Satria Lonceng Dewa 4 Dewi Tangan Jerangkong Bagian 2
Dhika Gelang Gelang hingga luka di keningnya
menutup. Selain itu usapan membuat sepasang mata
perempuan itu serta merta terpejam dan mulut yang
sedang bicara saat itu juga tertutup rapat.
"Rakadinda Ratu Dhika Gelang Gelang. Kau
diperintahkan untuk menjaga Sumur Api. Bukan bicara
tidak karuan....Lekas ikut aku! Tinggalkan tempat ini.
Sebentar lagi Sumur Api akan meledak!"
Tangan raksasa itu lalu mencekal tengkuk Ratu Dhika
Gelang Gelang. Sang Ratu berusaha meronta dan
kerahkan tenaga dalam untuk bisa berteriak.
"Jangan! Lepaskan! Aku harus menjaga keselamatan
dua ba...."
"Tugasmu di sini sudah selesai karena kebodohanmu
sendiri! Aku sudah menyuruh orang lain untuk
menangani! Sekarang ada tugas baru yang harus kau
lakukan!" "Wuuttt!"
Tangan raksasa bergerak. Sekali tarik saja tubuh
perempuan gemuk itu amblas masuk ke dalam tanah.
Ragil Abang mengeong keras karena tidak ikut masuk
ke dalam tanah bersama sang majikan. Binatang ini
berputar-putar beberapa kali lalu melompat ke atas
bahu kiri Pangeran Bunga Bangkai.
8. SUMUR API MELEDAK
KETIKA dinding tebal cahaya tiga warna muncul
mengelilingi Sumur Api, sewaktu nenek bertubuh
buntung melayang menembus dinding itu dan masuk ke
dalam Sumur Api, di satu tempat tersembunyi di balik
semak belukar gelap, dua orang kakek nenek mendekam
memperhatikan dengan perasaan tegang apa yang
terjadi sambil bicara berbisik-bisik.
"Nenek tubuh sepotong yang mampu masuk ke dalam
Sumur Api itu, aku kenal dia. Tapi bagaimana ini bisa
terjadi benar-benar tidak masuk akal. Nenek itu sudah
menemui ajal sekitar satu purnama lalu. Tubuhnya
dibantai hingga terkutung dua oleh seorang musuh
bebuyutan yang telah mencarinya lebih dari tiga
tahun..." Yang berucap adalah kakek berpakaian
selempang kain putih, memegang sebuah kalung
menyerupai tasbih besar terbuat dari kayu cendana.
"Sahabatku Gede Kabayana, Jika Yang Maha Kuasa
menghendaki, apapun bisa terjadi walau tidak masuk
akal kita manusia yang berkepandaian dan berotak
dangkal. Siapa adanya nenek bermata hijau menyala
yang melayang dengan tubuh terbalik itu?" Orang di
samping si kakek bertanya. Dia adalah seorang nenek
berjubah Jingga. Dan di atas kepalanya bertengger
seekor kura-kura hijau bermata merah. Sudah dapat
diterka kalau nenek ini bukan lain adalah Sri
Sikaparwathi dan kura-kura di atas kepalanya bukan
binatang sembarangan, biasa dipanggil dengan
sebutan Raden Cahyo Kumolo. Seperti diceritakan
oleh si nenek pada sahabatnya Gede Kabayana,
seseorang yang memiliki ilmu kesaktian luar biasa
tinggi telah menggandakan diri dan kura-kura peliharaannya
guna berbuat jahat yaitu masuk ke dalam Sumur
Api untuk menculik dua bayi yang akan dilahirkan oleh
seorang perawan desa pilihan Para Dewa yakni
Ananthawuri. Namun hal itu tidak kesampaian. Dengan
kekuatan Yang Maha Kuasa si nenek bersama kurakuranya
dilempar keluar dari dasar Sumur Api dalam
keadaan cidera, (baca" Arwah Candi Miring")
"Kalau aku boleh tahu, siapa nama dan julukan nenek
bertubuh buntung yang kau katakan sudah mati tiga
puluh hari lalu itu."
"Namanya Kamara Simpul Melantik. Setahuku dia
berasal dari Tabanan. Dia berjuluk Iblis Tujuh
Bayangan. Semasa muda banyak berbuat dosa
mencelakai dan membunuh orang. Beberapa kerabat
Istana Tabanan ikut jadi korbannya. Setelah tua dikejar
banyak musuh. Salah seorang dari mereka berhasil
menemui dan menghabisinya. Tubuhnya dibantai,
dikutung dua dengan senjata pamungkas berupa
sebilah clurit raksasa yang telah disiapkan oleh
seorang sakti di Pulau Madura selama sepuluh tahun.
Mayatnya sebelah atas dilempar masuk ke dalam
jurang di tepi laut. Kutungan tubuh sebelah bawah
tidak pernah ditemukan."
"Berarti jenazahnya tidak pernah disempurnakan
menuju alam akhirat...." Ucap Sri Sikaparwathi.
"Benar..."
"Itulah kesempatan yang dipakai oleh orang jahat
berilmu tinggi untuk memanfaatkan dirinya."
"Apa maksudmu sahabatku?" tanya Gede Kabayana
pada si nenek. "Ingat ceritaku bahwa diriku dan kura-kura sakti
digandakan oleh seseorang. Kini orang yang sama
mencari jalan lain. Tidak lagi dengan cara mengDewi
KZ di Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
gandakan mahluk hidup. Dia pergunakan tubuh yang
sudah mati secara tidak sempurna dari seorang sakti.
Ini akan lebih berbahaya. Kau saksikan sendiri ternyata
dia berhasil! Nenek bernama Kamara Simpul Melantik
itu mampu masuk ke dalam Sumur Api dengan
mengandalkan ilmu kesaktian yang pernah dimilikinya
ditambah ilmu kesaktian sang pengendali."
"Bagaimana kau bisa tahu hal ini dilakukan oleh orang
yang sama?" tanya Gede Kabayana.
"Kau lihat dinding melingkar bercahaya tiga warna
itu" Merah, hitam dan biru..."
"Aku melihat...."
"Cahaya tiga warna seperti itu yang masuk ke dalam
tubuhku ketika orang menggandakan diriku dan Raden
Cahyo Kumolo. Bedanya hanya ujud lebih kecil namun
daya kekuatan serta bobot kejahatan yang bisa
dilakukan hampir tidak berbeda."
Di atas kepala si nenek, kura-kura hijau keluarkan
suara mendesis halus.
"Aku ingat sekarang. Malam itu di dalam pondok,
sebelum kau mengalami kesembuhan ada cahaya tiga
warna keluar dari dalam tubuhmu." Gede Kabayana
mengusap tengkuknya yang mendadak terasa dingin.
Mulutnya bertanya. 'Menurutmu apakah sang
pengendali ada di sekitar sini saat ini?"
"Bisa jadi. Tapi dengan kesaktiannya dia bisa berada
dan mengendalikan segala sesuatu dari tempat yang
jauh. Mungkin pula dia hanya mengirim orang suruhan
atau kaki tangannya."
"Apa yang harus kita lakukan. Berusaha menghalangi
nenek berjuluk Iblis Tujuh Bayangan mencapai dasar
Sumur Api?"
Si nenek pegang tangan sahabatnya. Lalu berbisik.
"Kita berdua memang punya ilmu kepandaian tinggi.
Tapi belum cukup tinggi untuk dapat melawan ilmu
kesaktian tiga cahaya itu. Lagi pula kalaupun kita
bergerak sekarang, kita tidak mungkin mengejarnya..."
Gede Kabayana terdiam.
"Tadinya aku berpikir kita harus menemui satu
mahluk alam gaib untuk meminta petunjuk. Tadi
mahluk itu ada di sini. Tapi sekarang sudah pergi."
"Mahluk yang mana?" tanya Gede Kabayana.
"Tadi dia datang hanya memperlihatkan tangan
besar berbulu. Dia yang membawa masuk Ratu Dhika
Gelang Gelang ke dalam tanah...."
"Kalau kau kenal dirinya, kita bisa mencarinya!"
"Dia biasa disebut Arwah Ketua. Tinggal di sebuah
candi. Kurasa tidak ada gunanya mencari mahluk alam
gaib itu sekarang. Apa kau tidak mendengar ucapannya
tadi sebelum menghilang ke dalam tanah bersama Ratu
Dhika" Sumur Api akan segera meledak."
"Kalau begitu kita harus segera menjauh dari sini!"
Gede Kabayana pegang tangan Sri Sikaparwathi.
"Betul. Tapi jangan terlalu jauh. Ada yang masih
kita kerjakan di tempat ini. Kau lihat manusia aneh
yang kepalanya berupa bunga besar dan kuncup hijau
itu" Yang oleh Ratu Dhika disebut Manusia Bunga
bangkai" Lalu masih ada dua orang aneh. Si gemuk
bermuka bopeng dan si kurus bermuka burik.
Keduanya sibuk mencari penabuh tambur dan suling
yang tadi mental!"
"Aku mencium bau sesuatu. Bau busuk. Bau itu
datang dari mahluk tanpa kepala itu. Ini mengingatkan
aku akan sesuatu ketika berada di dalam pondok
kediamanmu...."
Gede Kabayana hentikan ucapan. Saat itu tanah
yang mereka pijak yang tadinya dingin oleh udara
malam kini berubah hangat. Di dalam perut bumi ada
suara menggemuruh yang membuat tanah selain panas
mulai ikut bergetar.
"Sesuatu terjadi di dalam Sumur Api...." Ucap Gede
Kabayana. "Aku tahu," jawab si nenek. "Lekas katakan kejadian
apa yang kau Ingat sewaktu kau datang kepondokku
malam itu?"
"Setelah kau terbangun dari tidurdan aku selesai
melakukan samadi, kita berdua mencium bau busuk.
Ingat?" "Aku Ingati Astagal Bau busuk itu sama dengan bau
busuk yang keluar dari tubuh mahluk tanpa kepala
yang ada di depan aanal" Kata Sri Sikaparwathi.
"Berarti dialah yang malam itu datang ke dalam pondok
tanpa setahu kita." Wajah si nenek berubah tegang
membesi. "Jangan-jangan dia mahluk pengendali
cahaya tiga warna! Berarti kita harus menghabisinya
saat ini juga!"
Gede Kabayana cepat-cepat pegang lengan si nenek.
"Jangan terburu-buru mengambil kesimpulan. Kalau
dia sang pengendali cahaya tiga warna perlu apa
berada di tempat ini sementara dia telah mengirim
Iblis Tujuh Bayangan ke dalam Sumur Api. Bukankah
katamu dia bisa mengendali dari jarak sangat jauh"
Lalu apa kau lupa" Sebelum pondokmu diselimuti bau
busuk, kura-kura sakti Raden Cahyo Kumolo tidak ada
di tempat itu. Setelah pondokmu ditebar bau busuk
tahu-tahu binatang sakti itu sudah ada dalam pondok.
Berarti mahluk berkepala aneh berbau busuk itulah
yang menyelamatkan dan datang membawa kurakuramu
ke dalam pondok. Lalu dia pergi tanpa mau
mengganggu aku yang sedang bersemadi dan kau
yang tengah tidur. Itu semua berarti dia tidak
mengharapkan ucapan terima kasih atau pembalasan
budi dan pamrih. Siapapun dia adanya, maka dia bukan
mahluk jahat!"
Di atas kepala si nenek kura-kura hijau bermata
merah Raden Cahyo Kumolo keluarkan desisan halus.
Sri Sikaparwathl usap punggung kura-kura hijau.
"Kau mendesis, apakah itu pertanda bahwa apa yang
dikatakan sahabatku Gede Kabayana benar adanya"
Mahluk berkepala Bunga Bangkai itu yang menolongmu
dan membawa dirimu ke pondok malam itu" Jika benar
mendesislah sekali lagi."
Kura-kura hijau di atas kepala si nenek tegakkan
kepala, sepasang mata pancarkan cahaya merah dan
dari mulutnya keluar desisan panjang.
"Dewa Agungi" mengucap Sri Sikaparwathi. "Aku harus
menemui mahluk aneh itu dan menyampaikan terima
kasih padanya."
Si nenek gerakkan kaki kanan. Namun belum sempat
melangkah tiba-tiba menggelegar satu dentuman keras
dan dahsyat Keadaan seperti gunung meletus. Tiga
cahaya merah, hitam biru yang melingkari Sumur Api
bertabur lalu mencuat ke angkasa hingga langit yang
hanya diterangi cahaya suram bulan purnama kini
tampak terang benderang. Bersamaan dengan itu batubatu
yang mengelilingi Sumur Api berlesatan ke udara.
Tanah di sekitarnya terbongkar. Kobaran lidah api
menggebubu ke udara setinggi lima tombak. Pohonpohon
di sekitar tempat kejadian berderak-derak lalu
satu demi satu bergelimpangan roboh dengan kulit dan
ranting tampak hitam hangus. Kali kecil tak jauh dari
tempat itu seolah ditekan oleh satu kekuatan raksasa
melesak amblas dan lenyap. Tebing di kiri kanan kali
longsor bergemuruh. Air kali meluap membanjiri
kawasan sekitarnya.
Dari dalam Sumur Api untuk kedua kalinya terdengar
suara letusan. Kali ini lebih keras dan lebih dahsyat.
Sumur Api meledak berkeping-keping membentuk satu
jurang luar biasa dalam. Tanah di sekelilingnya
terbongkar membentang tujuh lobang sebesar
kubangan kerbau. Delapan pohon besar beterbangan ke
udara. Semua orang yang ada di tempat itu berpekikan
ketika tubuh masing-masing laksana dihantam topan
prahara berpelantingan di udara! Sayup-sayup
terdengar suara ngeongan Ragil Abang si kucing merah.
Binatang ini lari ke arah sosok Pangeran Bunga Bangkai
yang terkapar di tanah. Salah satu kaki terhimpit
batang pohon besar!
9. MATA KE TIGA MATA DEWA DIDALAM Sumur Api sosok buntung nenek Kamara
Simpul Melantik alias Iblis Tujuh Bayangan melesat
turun dengan kepala lebih dahulu. Kobaran api tidak
menciderai apa lagi membakar tubuhnya yang dibalut
dan dilindungi cahaya sakti tiga warna. Duuk! Kepala
mendarat di dasar sumur. Tubuh buntung melesat ke
atas seperti membal lalu kembali melayang turun. Kali
Satria Lonceng Dewa 4 Dewi Tangan Jerangkong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ini tubuh diputar. Kepala yang sejak tadi berada di
sebelah bawah, mengapung di udara, meneteskan
cairan darah! Beberapa potong isi perutnya ikut
terbujur keluar. Bukan saja mengerikan tapi juga
sangat menjijikan.
Sepasang telinga si nenek mencuat ke atas ketika
tiba-tiba dia mendengar suara dua bayi menangis di
arah kanan. Dua mata pancarkan cahaya hijau terang
menggidikkan, si nenek melihat satu pedataran rumput
dihias taman bunga yang sedang mengembang. Di
seberang taman bunga ada satu bangunan putih
berbentuk bagus. Dari bangunan inilah datangnya
suara tangisan bayi. Saat itu dasar Sumur Api mulai
bergetar. Kobaran api mencuat ke atas berulang kali.
Di beberapa tempat tanah tampak retak mengepulkan
asap. Tidak menunggu lebih lama Kamara Simpul Melantik
segera melesat ke arah bangunan putih. Tubuhnya
laksana angin, menembus dinding bangunan. Sesaat
kemudian dia telah berada dalam satu kamar besar
dimana seorang gadis cantik duduk di atas ranjang,
mendekap ketakutan dua bayi lelaki yang tengah
menangis keras. Kepalanya setengah tertunduk. Itulah
Ananthawuri bersama dua bayinya, Dirga Purana dan
Mimba Purana. Di atas tempat tidur, di dekat dua bayi
terletak sebuah Kitab Weda dan sebatang tongkat
kayu. Inilah kitab dan tongkat milik kakek Dhana
Padmasutra yang masih dipelihara baik-baik oleh
Ananthawuri (baca serial pertama berjudul "Perawan
Sumur Api").
Ketika Ananthawuri mengangkat kepala, si nenek
terkesiap dan sempat tersurut dua langkah begitu
melihat wajah anak perawan dari Sorogedug itu.
"Wajahnya, sangat menyerupai patung Loro Jonggrang
di Candi Siwa! Bagaimana mungkin! Apakah
Batari Durga telah menitiskan ke dalam dirinya" Aku
harus bertindak cepat. Para Dewa tidak suka melihat
kehadiranku di sini. Mereka lebih senang melihat aku
tidak mendapatkan bayi sekalipun harus memusnahkan
apa yang ada di dasar Sumur Api termasuk ibu dua
bayil" Si nenek maju mendekati Ananthawuri. Dia coba
tersenyum. Namun senyum yang menyeruak lebih
menampilkan sifat kejam jahat.
"Anak perawan pilihan Dewa, akhirnya kutemui juga
dirimu! Kita berdua bisa bersahabat. Serahkan dua bayi
padaku maka aku tidak akan membunuhmu!"
Seperti diketahui, ketika mendatangi patung Loro
Jonggrang di Candi Prambanan, patung yang sesaat
berubah hidup itu memberikan sebuah batu merah
bernama Batu Kaladungga pada Ananthawuri. Dengan
menelan batu itu maka siapa saja orang yang
mempunyai niat dan ingin berbuah jahat terhadap
dirinya tidak akan mampu melihat sosoknya. Namun
saat itu kesaktian Batu Kaladungga ternyata masih
berada di bawah kesaktian yang dimiliki Kamara
Simpul Melantik hingga si nenek tetap saja mampu
melihat tubuh nyata Ananthawuri.
Melihat kemunculan nenek buntung bermata hijau
menyala yang tidak dikenal dan inginkan dua bayinya
Ananthawuri ketakutan setengah mati.
"Nenek buntung, jika kau berniat jahat pada diriku
dan dua bayiku maka Para Dewa akan mengutukmu.
Lekas pergi dari sini!"
Si nenek tertawa. Tubuh buntung yang mengapung di
udara bergoyang-goyang. Darah menetes makin banyak
dari buntungan di pinggang yang merupakan satu
rongga mengerikan. Ujung usus menyembul turun naik.
Darah bedelehan!
"Perawan tolol! Aku mau lihat Dewamu akan
memberi pertolongan apal"
Didahului teriakan keras tubuh buntung si nenek
melesat ke arah Ananthawurl yang berada di tepi
tempat tidur mendekap! dua bayi. Tangan kiri kanan
bergerak, menyambar. Hanya sesaat lagi dua tangan
akan berhasil merampas dua bayi tiba-tiba satu angin
kencang bertiup di ruangan itu. Dinding dan atap
bangunan tanggal berterbangan. Di tempat yang kini
terbuka itu tujuh bayangan biru berkelebat dan tahutahu
tujuh manusia cebol telah berdiri memagari
Ananthawuri dan dua bayinya!
Kamara Simpul Melantik delikkan mata lalu
membentak. "Tujuh setan katai! Sekalipun Dewa mengutus kalian
apa kau kira aku takut pada kalian"!" Si nenek membentak
garang, sombong takabur.
Tujuh manusia cebol menyeringai lalu sama-sama
meniup ke arah si nenek. Saat itu juga tujuh deru
angin berwarna biru menghantam silang menyilang
membuat sosok buntung Kamara Simpul Melantik
terpental sejauh tiga tombak. Pakaian sebelah atas
robek, rambut riap-riapan mengepul hangus. Mata kiri
terbongkar keluar dari rongga!
Dalam keadaan tubuh masih goyah si nenek angkat
dua tangan ke atas, lalu salah satu tangan dipakai
mengusap mata kiri. Mata yang hancur mengerikan itu
serta merta kembali utuh! Si nenek kini berkomat
kamit, melafat mantera. Lalu satu pekik dahsyat
menggelegar dari mulutnya. Tubuh buntung berputar
kepala ke bawah dan meletup enam kali. Saat itu juga
sosoknya yang tadi cuma satu kini bertambah enam,
menjadi tujuh semuanya! Inilah Tujuh Bayangan Iblisl
Tujuh manusia cebol kembali menyeringai. Mereka
saling memberi isyarat lalu serentak menerjang ke arah
tujuh tubuh buntung! Pertarungan serta merta terjadi
tapi tidak berlangsung lama. Ketika Tujuh Bayangan
Iblis semburkan cahaya hijau dari sepasang mata, tak
ampun lagi tujuh manusia cebol berkaparan di tanah,
tubuh tercabik-cabik.
Tujuh Bayangan Iblis tertawa mengekeh sambil
berkacak pinggang. Dalam keadaan tidak berkutik lagi
tiba-tiba tujuh tubuh katai yang tercabik-cabik
berubah jadi kepulan asap putih. Sesaat kemudian
kepulan asap bergabung menjadi satu. Di lain kejap
berubah menjadi seekor ular besar kepala tiga!
"Naga Pratala tunggangan Dewa!" seru Tujuh Bayangan
Iblis. Walau terkesiap namun tujuh nenek buntung
tidak merasa gentar. Ketika ekor ular kepala tiga
menghantam dua dari tujuh sosok buntung hingga
hancur berkeping-keping, lima sosok buntung lainnya
serta merta menyerbu. Dari lima tubuh buntung ini
memancar cahaya tiga warna. Merah, biru dan hitam!
"Wusss!"
Tempat itu bergoncang keras laksana dilanda
gempa. Ular besar kepala tiga terpental dengan tubuh
terkutung-kutung. Didahului suara raungan keras dan
panjang setengah menyerupai raungan srigala setengah
menyerupai raungan manusia, sosok ular raksasa itu
lenyap dari pemandangan. Lima sosok buntung secara
aneh bergerak menjadi satu membentuk sosok asli
Kamara Simpul Melantik, namun sosoknya kini menjadi
lima kali lebih besar! Dengan gerakan sangat cepat si
nenek melalyang ke arah Ananthawuri yang masih
mendekap dua bayi yang tergolekdi atas tempat tidur.
Dua tangan dengan lima jari luar biasa besar
menyambar ke arah dua bayi.
"Jangan! Dewa Agung! Tolong anak-anak saya!"
Jerit Ananthawuri. Saat itu letusan dahsyat menggelegar
di dasar Sumur Api. Tubuh Ananthawuri bergoncang
keras lalu jatuh terbanting, kepala membentur
keras lantai ruangan hingga kejap itu juga anak
perawan ini tergolek tidak sadarkan diri. Dua bayi yang
lepas dari dekapan sang ibu bergulingan di atas tempat
tidur. Tanpa banyak kesulitan tangan kiri si nenek
segera menangkap salah satu dari dua bayi. Ketika dia
hendak menangkap bayi ke dua, tiba-tiba entah dari
mana datangnya tempat itu dilanda genta suara
lonceng! Si nenek merasa sekujur tubuh bergetar,
telinga mengiang dahsyat seperti mau pecah. Tubuhnya
seolah mau meledak. Dari telinga dan dua lobang
hidung darah tampak mengucur. Darah juga merebak
pada dua matanya yang hijau.
"Tidak! Aku tidak boleh menyerah! Tidak!" Si nenek
berteriak lalu hentakkan tangan kanan ke atas. Saat itu
juga dari tubuhnya memancar cahaya tiga warna.
Begitu merasa berhasil membendung kekuatan dahsyat
suara genta lonceng yang hendak menghancur luluhkan
tubuh buntungnya dengan cepat dia ulurkan tangan
kanan menyambar bayi kedua yang tergeletak di atas
tempat tidur. Hanya satu jengkal lagi sosok bayi kedua akan tenggelam
dalam cengkeraman tangan raksasa sinenek
buntung Kamara Simpul Melantik, sementara suara
lonceng terus bertalu-talu, tiba-tiba di kening bayi
kedua yang beranting-anting di telinga kanan muncul
sebuah titik kuning. Titik ini dengan cepat berubah
besar dan membentuk sebuah mata. Mata ketiga.
Tepat di atas antara dua mata sang bayi! Sesaat mata
itu masih terpejam. Namun begitu terbuka maka
wusss! Menyambarlah satu cahaya kuning luar biasa
menyilaukan. "Mata Ketiga! Mata Dewa!"
Teriak Kamara Simpul Melantik alias Iblis Tujuh
Bayangan yang menyadari apa adanya kejadian gaib
itu! Dengan cepat dia melayang mundur sambil putar
tubuh. Masih sempat berteriak marah karena tidak
berhasil menangkap bayi ke dua. Lalu mulut merapal
mantera kesaktian. Cahaya tiga warna memancar di
sekujur tubuhnya untuk melindungi diri dari serangan
cahaya kuning. Namun terlambat. Saat itu cahaya
kuning sudah mendarat telak di kepalanya yang
melayang ke bawah. Dari kepala cahaya ini menebar
cepat ke sekujur tubuh buntung. Si nenek menjerit
keras. Cahaya tiga wama yang membungkus tubuhnya
bergetar bergoyang-goyang pertanda mulai goyah dan
tak sanggup bertahan terhadap kehebatan cahaya
kuning yang keluar dari mata sang bayi. Perlahan-lahan
cahaya tiga warna yang tadinya terang angker luar
biasa kini berubah redup lalu lenyap sama sekali!
Kehilangan tiga warna cahaya sakti yang menjadi
andalannya tubuh iblis Tujuh Bayangan terlempar
kian kemari, mencelat ke udara lalu braak! Si nenek
meraung dahsyat. Namun suara raungannya lenyap
begitu kepalanya amblas masuk ke dalam tanah sampai
ke pundak. Tubuh buntung itu menggeliat-geliat,
berusaha melesat keluar dari dalam tanah sementara
cahaya kuning yang menyelubungi memancar semakin
terang, tambah menyilaukan!
Tiba-tiba blaarr! Buntungan tubuh Iblis Tujuh
Bayangan meledak hancur, bertabur dalam gelapnya
udara malam lalu sirna laksana debu ditiup angin!
Sesaat sebelum tubuh buntung itu hancur berubah
jadi debu, tiba-tiba ada dua kepulan asap aneh. Dari
balik kepulan asap sesaat kemudian muncul dua mahluk
kembar tinggi hitam berpakaian serba putih lengkap
dengan destar putih menyerupai sorban. Genta
lonceng sementara itu terus membahana tiada henti.
Dengan gerakan luar biasa cepat mahluk hitam
sebelah kiri segera menyambar bayi yang ada di
kepitan tangan kiri Iblis Tujuh Bayangan sambil
kirimkan satu tendangan. Mahluk hitam kedua dengan
sigap mengangkat bayi kedua yang tadi menyemburkan
cahaya kuning sakti dari mata ke tiganya, yang saat itu
masih tergeletak di atas tempat tidur dan kembali
menangis. Setelah menggendong sang bayi, mahluk
satu ini kemudian mendukung tubuh Ananthawuri. Lalu
pada temannya dia berkata.
"Cepat! Tempat ini sebentar lagi akan meledak!
Lekas pergi! Ingat pesan pimpinan! Lari ke arah tujuan!
Jangan sekali-kali menoleh ke belakang sekalipun kau
mendengar suara ibumu berteriak minta tolong karena
hendak digorok orang!"
"Aku mengerti, aku mengerti...." jawab mahluk
kembar satunya.
Sekali berkelebat dua mahluk kembar hitam tinggi
besar itu serta meria lenyap dari tempat itu.
Bersamaan dengan itu suara lonceng ikut menghilang.
Namun hanya beberapa saat setelah dua orang kembar
lenyap dari dasar Sumur Api yang keadaannya kini
sudah setengah rata, tiba-tiba menggelegar dentuman
dahsyat! Sumur Api meledak untuk kedua kalinya!
10. PERTEMUAN DALAM BENCANA LEDAKAN kedua yang terjadi bukan saja menghancurkan
Sumur Api tapi juga meluluh lantak sebagian
kawasan rimba belantara mulai dari timur Candi
Prambanan sampai sepanjang Kali Dengkeng. Sumur Api
yang selama ini memancarkan kobaran nyala api terang
angker lenyap dan di tempat itu kini terbentang satu
jurang sangat dalam. Di langit untuk kesekian kalinya
rembulan kembali disaput awan tebal. Dalam udara
gelap dan dingin begitu rupa tiba-tiba satu bayangan
berpakaian dan berkerudung putih berkelebat. Di satu
tempat ketinggian orang ini berhenti, memandang
berkeliling. Angin malam membuat kerudung putih di atas kepala
tersibak jatuh ke bahu. Ternyata dia adalah seorang
gadis muda belia berwajah cantik. Dengan tangan
Satria Lonceng Dewa 4 Dewi Tangan Jerangkong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kanan yang hanya merupakan tulang belulang gadis ini
merapikan kerudung putihnya. Pembaca tentu masih
ingat. Si gadis jelita bukan lain adalah Liris Pramawari
yang oleh Sebayang Kaligantha diberi nama julukan
Dewi Tangan Jerangkong.
Untuk beberapa lama gadis ini tegak tardiam,
menyaksikan kerusakan alam yang sungguh luar biasa.
Selain itu dia juga melihat beberapa tubuh bergeletakan.
Entah masih hidup entah sudah menemui ajal.
"Aku mendengar letusan luar biasa dahsyat! Tapi
tidak ada gunung yang meledak. Ada banjir besar di
sebelah timur. Tapi tidak kutemui sungai yang meluap.
Pohon-pohon bertumbangan dimana-mana. Ada
beberapa tubuh bergelimpangan. Mengapa banyak
lobang aneh di tanah" Lalu di sebelah s"na ada sebuah
jurang. Aku tidak dapat meihat sampai ke dasar kerena
begitu dalamnya. Yang Maha Kuasa berbuat sekehendakNya!
Apakah bencana ini terjadi akibat kemurkaan
Para Dewa atau disebabkan hati dan tangan jahat
bangsa manusia juga"' Ucapan hati si gadis terdiam
sesaat. Lalu dia ingat. "Sebelum terjadi letusan ke dua,
aku mendengar ada suara bayi menangis. Aku juga
mendengar suara lonceng bertalu-talu yang membuat
tanah bergetar....."
Liris Pramawari coba menembus kegelapan di dalam
jurang. Dari asap tipis yang masih mengepul dia bisa
mengetahui kalau sebelumnya jurang itu tidak pernah
ada. Sulit dia menduga apa sebenarnya yang telah
terjadi. "Kalau aku mengambil hikmah dari kejadian ini,
mungkinkah Para Dewa tengah memberi jalan bagiku
untuk melakukan kebajikan kedua" Dewa Agung, saya
mohon petunjukMu. Apa yang bisa saya lakukan di
tempat ini?" Sang dara memandang berkeliling.
"Wahai sang kebajikan, dimanakah kau bersembunyi"
Aku siap melakukan apa saja. Demi ayahku yang saat
ini tidak kuketahui dimana beradanya."
Tiba-tiba si gadis tercekat mendengar suara kucing
mengeong. "Di tempat seperti ini, ada kucing berkeliaran...?"
Hatinya membatin. Memandang ke kiri Liris Pramawari
melihat satu pohon besar tumbang di tanah. Di bawah
batang pohon yang hampir dua pemelukan tangan
tergeletak satu tubuh manusia, terhimpit di bagian
kaki. Seekor kucing merah besar tengah menjilati kaki
orang yang tertindih pohon itu.
Dengan cepat Liris Pramawari mendatangi. Siap
hendak menolong. Namun geraknya langsung terhenti
dan wajahnya berubah ketika melihat keadaan sosok
tubuh yang tertimpa batang kayu besar itu.
"Kaki yang terhimpit pohon tidak hancur. Tidak ada
suara mengerang. Ada tubuh tapi tidak ada kepala. Aku
hanya melihat satu bunga besar dan kuncup hijau di
bagian tubuh yang seharusnya ada kepala. Jika dia
manusia sungguhan betapa malang nasibnya Jika dia
mahluk jejadian bukankah mudah saja baginya untuk
menyelamatkan diri" Kakinya yang satu bergerak-gerak
tanda dia masih hidup! Lalu ada seekor kucing.
Menjilati kakinya. Belum pernah aku melihat kucing
berbulu merah. Sosoknya besar sekali. Ini bukan kucing
biasa. Dua mahluk aneh. Apakah binatang itu
peliharaannya....?"
"Orang yang terhimpit pohon, aku tidak melihat
kepalamu. Aku melihat kakimu yang satu bergerakgerak.
Aku tidak tahu kau ini mahluk apa. Juga apakah
kau masih hidup. Aku akan menolongmu menyingkirkan
pohon besar yang menindih kakimu."
Sebenarnya saat itu dengan ilmu kepandaian yang
dimilikinya Nalapraya alias Pangeran Bunga Bangkai
sanggup melepaskan kakinya dari tindihan batang kayu.
Namun sewaktu menyadari ada orang yang datang,
mendengar suara dan melihat wajah yang setengah
tertutup kerudung putih Itu, mendadak pemuda yang
tengah mengalami cobaan berat ini jadi terkesiap.
Hatinya bergetar.
"Dewa Agung! Suaramu sungguh mirip. Wajahnya ada
kesamaan! Apakah...apakah aku telah menemukan
dia?" "Mahluk aneh, aku hendak menolongmu. Mengapa
kau tidak menjawab" Kau tidak suka aku tolong?" Liris
Pramawari bertanya. "Aku tidak mau kesalahan
tangan." "Istriku....Kaukah.itu?" berucap Nalapraya.
Dipanggil istri tentu saja ucapan itu membuat Liris
Pramawari terkejut dan tersurut satu langkah.
"Hendak ditolong malah bicara aneh! Jangan-jangan
kepalamu telah lebih dulu hancur dilandabatang pohon
baru kakimu terjepit. Tapi...Ah!Sudahlah! Kau tidak
mau ditolong, aku tak bisa berbuat kebajikan. Mau
memaksakan bagaimana?"
Tiba-tiba ada suara lain menjawab sambil tertawa.
"Ha...ha! Pangeran kami tentu saja suka dan bahagia
ditolong oleh gadis secantikmu. Tapi sahabat berhati
baik, kau tidak perlu bersusah payah. Biar kami yang
menolong. Padahal kami berdua baru saja melesak ke
dalam tanah. Lihat, tubuh, pakaian dan muka kami
bercelemongan lumpur. Air banjiran, entah dari mana
datangnya. Untung bukan air comberan. Ha...ha...ha!"
Liris Pramawari berpaling ke arah datangnya suara
orang bicara dan tertawa. Di dalam kegelapan dia
melihat dua orang yang memang keadaannya seperti
baru tercebur di dalam lumpur. Satu pendek gemuk,
satu tinggi kurus. Si gemuk pendek membawa tambur
berikut dua penabuh, kawannya yang jangkung
memegang sebatang seruling. Si Tambur Bopeng dan
Si Suling Burik!
Sesaat kemudian di tempat itu menggelegar suara
tambur di tabuh dan suling ditiup. Dari dua bebunyian
itu memancar keluar kekuatan aneh yang membuat
Liris Pramawari tercengang-cengang ketika menyaksikan
kekuatan yang tidak kelihatan itu mampu
mengangkat batang kayu besar setinggi dua jengkal
dari kaki mahluk tanpa kepala lalu digulingkan di
tanah. "Ah, aku gagal berbuat kebajikan kedua...Mungkin
Para Dewa belum mengizinkan," kata Liris Pramawari
sambil mengusap tangan kirinya dengan tangan kanan.
Kedua tangan itu hanya merupakan tulang belulang
tanpa daging tanpa kulit sampai sebatas bawah siku.
Dia merasa kecewa namun tidak marah pada Si Tambur
Bopeng dan Suling Burik. Dia berusaha menghibur diri
dengan berkata dalam hati.
"Jika sekedar menyelamatkan seseorang dari tindihan
pohon mungkin hanya merupakan satu kebajikan
kecil. Mungkin itu tidak akan mengurangi bagian
tanganku yang cacat."
11. DEWI TANGAN JERANGKONG BERSEDIA
DIKAWINI PANGERAN
BUNGA BANGKAI BEGITU kakinya lepas dari himpitan batang pohon,
Nalapraya alias Pangeran Bunga Bangkai cepat berdiri
dan langsung mendekati Liris Pramawari.
"Sahabat berkerudung putih, katakan, apakah kita
pernah bertemu sebelumnya?" tanya Pangeran Bunga
Bangkai sambil kuncup hijau di kepalanya merunduk
sedikit seolah berusaha memperhatikan wajah si gadis
lekat-lekat. "Aku merasa... Istriku, apa ini bukannya
engkau" Aku melihat bayang-bayang dirimu dalam
sosok yang ada di hadapanku. Kau mungkin tidak
mengenalku karena saat pertemuan kita sebanyak
tujuh kali, kepalaku dalam keadaan wajar. Tidak
seperti sekarang ini merupakan bunga bangkai
dengan kelopak hijau menebar bau busuk
menjijikan..."
Kuncup hijau aneh di kepala mahluk itu serta bau
busuk yang menyengat membuat Liris Pramawari
jauhkan kepalanya. Menyadari hal ini Pangeran Bunga
Bangka segera bersurut dua langkah, tahu diri,
menjaga jarak. "Aku tidak kenal siapa kau. Aku yakin kita belum
pernah bertemu. Mengapa kau mengira aku istrimu"
Aku belum pernah kawin. Usiaku baru mencapai
delapan belas..."
"Hampir seusia dengan istriku. Menurut Para Dewa,
istriku meski sudah kawin dan melahirkan tetap
perawan." "Aneh bicaramu," ujar Liris Pramawari pula. "Kau
harus sadar. Aku bukan istrimu!"
Bunga besar dan kelopak hijau di atas leher
Nalapraya bergerak-gerak.
"Maafkan diriku...." Nalapraya menghela nafas
dalam. Mundur beberapa langkah lagi dan dudukkan
diri di tanah. "Aku terlalu berharap setelah sekian
lama mencari...." Sang Pangeran lalu keluarkan sebuah
benda dari saku pakaian birunya. Ketika dikembang
ternyata adalah sehelai cabikan sapu tangan merah
muda. "Aku ingin mengingatkan. Apakah kau pernah
melihat atau mengenali sapu tangan ini" Kalau kau
memiliki potongan yang dari sapu tangan ini maka...."
Liris Pramawari gelengkan kepala berulang kali.
"Aku tidak pernah memiliki sapu tangan seperti itu.
Apa lagi merupakan sehelai cabikan. Buat apa
menyimpan sapu tangan robek?"
Kuncup hijau di atas leher Pangeran Bunga Bangkai
bergerak-gerak. Dengan perasaan kecewa robekan sapu
tangan merah muda yang pernah diterimanya dari
Ananthawuri pada malam terakhir pertemuan mereka,
disimpan kembali. Dia tidak merasa perlu menerangkan
asal usul cabikan sapu tangan itu. Setelah menarik
nafas dalam Pangeran Bunga Bangkai berpaling pada Si
Tambur Bopeng dan Si Suling Perak. "Dua sahabat,
apakah kita lebih baik segera saja meninggalkan
tempat ini?"
"Tunggu, jangan pergi dulu!" tiba-tiba Liris
Pramawari berkata. "Aku ingin tahu kenapa keadaanmu
seperti ini. Kau bisa bicara, mampu mendengar, dapat
melihat. Tapi aku tidak melihat kepala, tidak melihat
telinga dan mata serta mulutmu. Lalu dua orang yang
berlumuran lumpur itu menyebutmu sebagai Pangeran!
Dewa Agung! Bagaimana hal ini bisa terjadi"! Siapa kau
ini sebenarnya?"
Pangeran Bunga Bangkai mengusap kuncup hijau
berulang kali. "Oh Dewa Agung. Walau kau tidak mengenali
potongan sapu tangan merah muda, bagaimana aku
lain tidak mempercayai bahwa kau adalah istri yang
dipilihkan Para Dewa untukku. Suaramu sangat mirip,
wajahmu juga banyak kesamaan. Kalau saja aku boleh
menyingkapkan lebih lebar kerudung putih yang
menutupi sebagian wajahmu...." Nalapraya ulurkan
tangan hendak menyentuh selendang putih di kepala si
gadis, namun dia batalkan maksud dan tarik tangannya
kembali. "Aku tengah mencari seseorang. Jika dia
bukanlah dirimu maka ini adalah satu keajaiban yang
membahagiakan diriku..."
"Siapa orang yang kau cari itu?" bertanya Liris
Pramawari sementara Si Tambur Bopeng dan Si Suling
Burik saat itu telah berdiri di kiri kanan Pangeran
Bunga Bangkai. "Aku..aku mencari istriku...."
"Apa"!"
Liris Pramawari tercengang. Sepasang matanya yang
bagus menatap penuh tidak percaya.
"Kau mengira aku ini istrimu?"
Kuncup hijau bergoyang merunduk.
"Jika kau memang punya seorang istri tentu dia
punya nama. Coba katakan namanya. Apa sama dengan
namaku" Atau siapa tahu mungkin aku mengenalnya."
"Itulah yang menyulitkan. Aku tidak pernah
mengetahui siapa nama istriku."
Liris Pramawari tertawa.
"Kau tertawa, aku tidak heran. Tidak ada orang
yang percaya kalau insan sepertiku punya seorang
istri. Kau akan lebih terkejut lagi kalau aku katakan
istriku sedang mengandung, akan segera melahirkan..."
Liris Pramawari memang benar-benar terkejut hingga
dia ternganga lalu cepat-celat pergunakan tangan
kanan untuk menutup mulut. Saat itulah Nalapraya
melihat keadaan tangan kanan si gadis yang hanya
merupakan tulang belulang. Ternyata tangan kirinya
juga serupa. "Sahabat, tanganmu.....Mengapa tanganmu seperti
itu?" Pangeran Bunga Bangkai bertanya dengan nada
heran juga kasihan.
"Aku menanggung beban dosa kesalahan ayahku. Para
Dewa menguji ketahananku dengan hukuman seperti
ini. Tubuhku akan menjadi jerangkong jika dalam
waktu dua belas purnama aku tidak mampu melakukan
tiga kebajikan..."
Pangeran dari Kerajaan Tarumanegara itu jadi ingat
pada nasibnya sendiri. "Apakah ayahmu membunuh
seseorang?" Nalapraya bertanya.
"Dia dituduh membunuh seorang perempuan muda
yang tengah mengandung...." Menjelaskan Liris
Pramawari. "Dia tidak membunuh perempuan itu, ada
orang lain yang melakukan. Namun dalam satu
pertarungan dahsyat ayahku membunuh ayah si
perempuan. Aku menyaksikan dengan mata kepala
Satria Lonceng Dewa 4 Dewi Tangan Jerangkong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sendiri. Mereka bertarung secara kesatria. Satu lawan
satu. Kesaktian lawan kesaktian."
" Kau anak yang sangat berbakti pada orang tua. Mau
menanggung dosa. Aku sendiri, aku juga dituduh
membunuh seseorang. Kau tahu siapa yang mereka
katakan aku bunuh" Ayah kandungku! Padahal ayah
menemui ajal tertusuk keris yang dipegangnya sendiri
ketika aku berusaha mencegah ayah yang hendak
menikam ibuku. Nasib mengatakan aku harus
menanggung akibat dari perbuatan yang tidaL pernah
aku lakukan. Para Dewa telah berlaku adil. Para Dewa
masih mengasihi diriku. Aku akan kembali ke ujudku
semula jika ada seorang gadis bersedia aku nikahi.
Bersedia menjadi istriku...."
"Tadi kau mengatakan sudah beristri. Dan kau sedang
mencari istrimu yang sedang mengandung bahkan akan
segera melahirkan. Sekarang kau berkata ujudmu bisa
kembali seperti semula ka!au ada gadis yang mau kau
kawini. Aku tidak mengerti...."
"Ketika Para Dewa menikahkan kami, diriku dalam
keadaan wajar. Utuh mulai dari kaki sampai kepala,
mulai dari kepala sampai ke kaki. Demikian juga setiap
kali aku menemuinya selama tujuh malam berturutturut.
Siapa saja gadisnya, kurasa tidak akan menolak
dinikahkan dengan diriku. Namun dengan ujud seperti
ini, menurutmu apakah ada gadis yang mau kawin
denganku" Itu sebabnya aku harus mencari istriku. Jika
dia masih mau kujadikan istridalam keadaan seperti ini
maka aku akan kembali keujud semula..."
"Tam...tam...tam!" Tiba-tiba Si Tambur Bopeng
menabuh tamburnya. Lalu tertawa gelak-gelak.
"Ada apa?" tanya Pangeran Bunga Bangkai.
"Pangeran, kau juga bisa segera kembali ke ujud
semula kalau menempuh jalan pintas. Tidak perlu
susah-susah mencari istrimu. Tapi langsung saja
meminta pada gadis ini apakah dia mau menjadi
istrimu. Jika dia mau maka Para Dewa pasti akan
mengembalikan ujudmu ke bentuk semula. Ada tubuh
ada kepala!"
Semua orang terkesiap mendengar kata-kata Si
Tambur Bopeng itu. Untuk beberapa lamanya keadaan
di tempat itu menjadi sunyi senyap. Kuncup hijau di
atas tubuh Pangeran Bunga Bangkai bergerak-gerak.
Si Suling Burik usap-usap sulingnya berulang kali
sementara Liris Pramawari menatap tak berkedip ke
arah sosok Pangeran Bunga Bangkai. Entah sadar
entah tidak mulutnya berucap.
"Aku punya kewajiban melakukan tiga kebajikan.
Aku sudah melakukan satu kebajikan. Kalau aku dapat
melakukan kebajikan yang kedua mengapa tidak.
Kalau aku bisa menolong mengembalikan ujudmu ke
bentuk semula hanya dengan sekedar mengatakan aku
bersedia menjadi istrimu, mengapa tidak?"
Keadaan di tempat itu, sehabis Liris Pramawari
mengeluarkan ucapan kembali dicekam kesunyian.
Pada saat itu juga di langit ada satu kilatan cahaya
putih. Si Suling Burik mendekati sahabatnya Si Tambur
Bopeng lalu berbisik. "Cahaya putih di langit tadi,
apakah satu pertanda bahwa Para Dewa akan benarbenar
mengembalikan ujud Pangeran Bunga Bangkai
kalau gadis ini mau dijadikan istrinya?"
"Yang Maha Kuasa mampu berbuat apa saja. Aku
juga tidak menolak kalau gadis ini mau kawin
denganku..." Jawab Si Tambur Bopeng dengan berbisik
pula. "Kau gila!"
"Ah, kau cemburu! Ha..ha...ha..."
Sementara dua sahabatnya tertawa Pangeran
Bunga Bangkai masih terduduk diam di tanah. Kalau
saja dia memiliki kepala dan wajah utuh maka saat
itu akan terlihat bagaimana dia menatapi wajah Liris
Pramawari dengan pandangan mata tidak berkedip.
"Gadis baik..." kata Pangeran Bunga Bangkai dalam
hati. "Aku yakin dia bersedia mengawini diriku bukan
karena ingin berbuat kebajikan untuk menolong diri
sendiri. Tapi ada kejujuran dalam ucapan dan
ketulusan di hati sanubari. Sahabat, aku tidak bisa
mengkhianati istriku. Kalaupun aku tidak akan pernah
menemukannya seumur hidupku, aku tidak akan kawin
dengan gadis manapun. Sekalipun dia secantik dan
sebaik sepertimu..."
"Sahabat," akhirnya Pangeran Bunga Bangkai
berkata sambil bangkit berdiri. "Perkawinan bukanlah
sesuatu yang hanya diucapkan di mulut. Perkawinan
menyangkut seluruh hati nurani bahkan jiwa raga
seseorang. Aku sangat berterima kasih dan terharu
mendengar ucapanmu tadi. Kau bersedia kujadikan
istri. Itu tidak mungkin kita lakukan...."
"Tidak mungkin" Mengapa tidak Mungkin?" Bertanya
Liris Pramawari.
"Aku yakin bukan dengan cara itu Para Dewa akan
mengembalikan ujudku. Bukan dengan cara kawin
dengan anak perawan lain yang tidak dikehendak Para
Dewa. Aku sangat berterima kasih padamu. Aku dan
dua temanku harus segera pergi. Sebelum pagi tiba
aku berharap bisa mendapatkan satu petunjuk...."
"Mengapa cepat-cepat pergi. Bukankah aku sudah
mengatakan bahwa aku bersedia menjadi istrimu"
Dan aku tidak main-main."
Di langit untuk kedua kalinya muncul kilatan
cahaya putih. Si gadis menatap kelangit lalu kembali memandang
ke arah Pangeran Bunga Bangkai dan tersenyum.
"Aku tahu, Para Dewa telah memberi tanda
padamu untuk tidak mengabulkan permintaanku..."
"Sahabat, Para Dewa akan memberkatimu. Aku
tidak mungkin mengkhianati seseorang yang telah
dipilihkan Para Dewa menjadi istriku. Sekarang kalau
saja aku boleh melakukan, aku ingin menolongmu.
Ulurkan ke dua tanganmu."
Meski tidak mengerti apa yang hendak dilakukan
Pangeran Bunga Bangkai namun Liris Pramawari
ulurkan dua tangannya yang hanya merupakan tulang
belulang. Sang Pangeran cepat pegang ke dua tangan
si gadis. Liris Pramawari merasa adanya kehangatan
yang membuat dua tangannya bergetar. Lalu muncul
kepulan asap disela-sela dua pasang tangan yang
saling bergenggaman itu. Liris Pramawari merasakan
hawa hangat berubah menjadi aliran hawa sejuk sekali
masuk ke dalam tangannya kiri kanan. Ketika
Pangeran Bunga Bangkai melepas pegangan, dua
tangan itu telah berubah utuh dan bagus, tidak lagi
merupakan tulang belulang atau jerangkong.
12. DUA BAYI DISELAMATKAN
LIRIS Pramawari sampai terpekik karena gembira dan
juga terkejut. Saat itu Pangeran Bunga Bangkai sudah
melesat masuk ke dalam jurang besar yang gelap gulita
sambil menggendong Ragil Abang si kucing merah,
diikuti Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik.
"Pangeran, aku yang menginginkan berbuat kebajikan.
Tetapi ternyata kau justru yang menolongku...."
Belum habis ucapan si gadis tiba-tiba ada bayangan
putih berkelebat. Disusul terdengarnya suara.
"Liris Pramawari, bukan begitu cara kesembuhan
yang dijanjikan Para Dewa bagimu. Kau tetap harus
melakukan dua kebajikan lagi. Ingat itu baik-baik.
Namun tetaplah berterima kasih dan bersyukur pada
niat baik seseorang yang telah menolongmu."
Si gadis terkejut. Ketika dua tangannya diangkat dan
diperhatikan, ternyata dua tangan yang tadi telah
berbentuk sempurna itu kini mengepulkan asap dan
periahan-lahan kembali ke bentuk yang menakutkan.
Berupa tulang belulang tanpa kulit tanpa daging!
Sekujur tubuh Liris Pramawari bergoncang. Sepasang
matanya membesar namun penuh ketabahan dia
berhasil membendung keluarnya air mata.
"Keadilan masih belum berpihak padaku. ." ucap si
gadis perlahan. Dalam kepasrahannya, Liris Pramawari
malah masih bisa tersenyum. Sungguh seorang gadis
berhati baja. "Lingkaran budi....." katanya. Dia ingat pada katakata
pemuda bernama Sebayang Kaligantha. "Manusia
sebenarnya hidup dalam lingkaran budi. Meskipun
terkadang budi baik yang begitu indah belum tentu
mendapat berkat dari Para Dewa. Namun aku percaya,
Para Dewa akan menabung kebaikan mahluk malang
tadi untuk menjadi satu berkat di masa depan. Roh
Agung, terima kasih. Ternyata kau selalu berada di
dekatku..." Meski mulutnya berkata begitu namun di
dalam hati Liris Pramawari masih tetap penasaran.
Dia lari ke arah jurang dalam dan gelap. Di tepi jurang
gadis ini berhenti.
"Dua anak buahnya memanggilnya dengan sebutan
Pangeran. Mahluk aneh itu pasti bukan orang
sembarangan. Kesetiaannya terhadap istrinya sungguh
luar biasa. Selain itu dia memiliki ilmu kesaktian
tinggi...." Liris Pramawari rapikan kerudung putih di
kepala yang tersingkap tiupan angin. Di pinggir jurang
gadis ini lalu berseru.
"Pangeran, jika perempuan itu menolak meneruskan
menjadi istrimu karena keadaanmu yang seperti itu,
ingatlah satu hal! Ada seorang gadis yang bersedia
menjadi istrimu! Aku! Jika kita bisa berbagi budi
bukankah rakhmatdan berkat Yang Maha Kuasa akan
menjadi bagian dan kebahagiaan kita berdua"!"
Liris Pramawari usap wajahnya berulang kali dengan
jari-jari tidak berkulit tidak berdaging. Hatinya
berkata. "Aku harus bisa berbuat satu kebajikan pada
orang ini. Harus!"
Tiba-tiba di langit kembali ada cahaya putih
memancar. Liris Pramawari angkat kedua tangannya
ke atas. Berteriak lantang.
"Roh Agung, aku tahu kau hendak mengatakan
sesuatu. Aku tidak pernah melihat ujud dirimu. Aku
tidak tahu bagaimana hati dan perasaanmu. Tapi jika
seandainya kau seorang manusia seperti diriku maka
ucapan dan tindakanmu pasti akan sangat berlainan!"
Terdengar suara tarikan nafas. Lalu sunyi. Tak ada
suara yang menjawab. Seperti nekad, tidak menunggu
lebih lama Liris Pramawari segera melompat memasuki
jurang yang gelap. Namun setengah jalan, selagi melayang
turun di dalam jurang tiba-tiba dalam kegelapan
dia melihat ada dua sosok hitam besar berpakaian
putih justru melesat dari dalam jurang menuju ke atas.
Salah seorang memanggul sosok perempuan. Di saat
yang sama terdengar suara tangisan dua orang bayi.
Dengan cepat Liris Pramawari membuat gerakan berjungkir
balik, lentingkan tubuh ke udara, mengejar ke
atas. Di atas jurang, dua orang hitam yang membawa
Ananthawuri dan dua bayi berkelebat ke arah timur, si
gadis serta merta mengejar kedua orang itu. Dia lupa
maksud semula hendak menyelidiki kemana perginya
Pangeran Bunga Bangkai dan dua pengiringnya.
Tahu kalau ada orang mengejar, lelaki hitam tinggi
besar yang menggendong bayi beranting-anting di
telinga kiri berkata pada kembarannya.
"Ada yang mengejar!"
"Aku tahu!" sahut lelaki hitam satunya. "Yang
mengejar manusia biasa, tidak perlu ditakutkan.
Sesaat lagi kita akan segera meninggalkannya!" Lalu
orang ini dongakkan kepala sambil menghembus.
Saat itu juga ada kepulan asap hitam yang segera
berubah menjadi tabir tipis penutup pemandangan.
Liris Pramawari yang tenga melakukan pengejaran
jadi terkesiap dan hentikan lari. Saat itu dia tidak bisa
memandang ke depan ataupun jurusan lain. Penglihatannya
tertutup kabut hitam.
"Orang mempergunakan ilmu. Aku tak mampu
melihat Tak bisa meneruskan pengejaran... Apa yang
harus aku lakukan?"
Saat itu tiba-tiba di langit di atas kepalanya Liris
Pramawari melihat ada cahaya tiga warna melesat.
"Ada cahaya tiga warna di langit!" Lelaki tinggi
hitam sebelah depan berseru.
"Tidak perlu kawatir! Ilmu hitam jahat tidak akan
sanggup menembus perlindungan kita! Jangan menoleh
ke belakang!"
Sementara dua mahluk kembar itu berjalan cepat,
di langit cahaya tiga warna terus mengikuti.
"Percepat larimu! Kita hampir sampai! Aku sudah
melihat puncak bangunan!" Orang hitam di sebelah
depan, yang mendukung bayi dan memanggul
Ananthawuri berteriak.
Tiba-tiba jauh di arah belakang terdengar suara
perempuan memanggil.
"Saka Parengtirtha, kekasihku, kaukah yang berlari
di depan sana" Hai, berhentilah barang sebentar. Lima
tahun kau pergi begitu saja, apakah tidak lagi ingat
padaku" Wahai, berhentilah barang sebentar...."
Mahluk kembar tinggi hitam yang lari di sebelah
belakang tersirap. Dua kali larinya tertahan. Di sebelah
depan saudara kembarnya berteriak.
"Saka! Jangan perdulikan suara perempuan yang
memanggilmu..."
Si hitam tinggi besar bernama Saka Parengtirtha
masih lari terus namun kini larinya disertai
kebimbangan. "Darka, aku mengenali suara itu. Yang memanggil
Satria Lonceng Dewa 4 Dewi Tangan Jerangkong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
adalah Juwilla Salimaya kekasihku. Lima tahun lalu aku
meninggalkannya begitu saja. Aku merasa berdosa...."
"Jangan terjebak. Itu hanya tipuan. Jangan berhenti.
Lari terus!" Menyahut Darka Parengtirtha, si hitam
kembar di sebelah depan.
"Tapi....."
"Saka, kau benar! Ini aku. Juwilla Salimaya
kekasihmu. Jika tidak lagi suka padaku tidak jadi apa.
Aku hanya ingin melihatmu lebih dekat barang
sebentar. Lima tahun aku mencarimu. Lima tahun aku
merindukanmu. Apakah tidak ada sedikit perasaan
yang sama di lubuk hatimu?"
"Saka! Jangan dengarkanl Lari terusl Kita hampir
sampai!" berteriak Darka Parengtirtha.
"Darka, izinkan aku barang seketika..."
"Jika kau melanggar pantangan, serahkan bayi itu
padaku dan aku akan membunuhmu saat ini juga!"
"Saka, jika saudara kembarmu tega membunuhmu,
biar aku minta agar dia membunuh diriku sekalian!"
Terdengar suara perempuan di belakang sana yang
disusul suara sesenggukan menahan tangis.
"Saka, aku tahu kau masih cinta padaku. Berhentilah
barang sejenak. Kalau tidak berpalinglah sedikit. Biar
aku bisa melihat wajahmu barang sekejap. Agar bisa
lenyap rasa rindu ini. Setelah itu jika kau hendak pergi
meninggalkan diriku silahkan pergi...."
Saka Parengtirtha lari terus namun langkahnya kini
tersaruk-saruk. Saudara kembarmu berulang kali
berteriak memberi ingat agar dia tidak berhenti atau
berpaling. Lalu terdengar kembali suara perempuan itu.
"Saka, sekarang aku sadar kalau kau sebenarnya
tidak suka lagi padaku. Aku rasa tidak perlu lagi aku
hidup mempermalu diri. Kau lihat pohon besar di
depan sana Saka" Aku akan membenturkan kepalaku
ke pohon itu!"
Saka dan Darka lari melewati pohon besar. Sesaat
kemudian di arah pohon yang sudah dilewati ini
terdengar suara braakk! Disertai suara jeritan
perempuan. Saka Parengtirtha tidak sanggup lagi bertahan.
Kepalanya dipalingkan ke belakang. Saat itulah tibaDewi
KZ di Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tiba wuus! Cahaya tiga warna yang melayang di langit
menukik, menyambar ke arah mahluk tinggi hitam
ini. "Dewa Jagat Bathara!" teriak Darka Parengtirtha.
Dalam keadaan memanggul Ananthawuri di bahu kiri
dan menggendong bayi di tangan kanan, dengan tangan
kirinya Darka merampas bayi dikepitan saudara
kembarnya lalu sebelum memutar tubuh dia tendang
tubuh Saka agar bisa terhindar dari sambaran cahaya
tiga warna. Namun teriambat!
"Wusss!"
Cahaya tiga warna menghantam tubuh Saka
Parengtirtha hingga tubuh itu ambruk ke tanah dan
leleh mengerikan. Darka Parengtirtha sendiri walau
berhasil selamatkan bayi namun kakinya yang
menendang masih sempat terkena imbasan cahaya
hingga kaki kanan mahluk ini tampak mengelupas
merah sampai ke tulang, mulai dari ujung jari sampai
ke pertengahan paha!
Dalam menanggung sakit luar biasa dan mulut
keluarkan jeritan tiada henti Darka Parengtirtha terus
berlari sementara bagian tubuhnya yang mengelupas
semakin bertambah lebar, menebar ke atas, melebar
ke samping. "Dewa Agung, tolong diriku! Beri kekuatan agar aku
bisa sampai ke tujuan menyelamatkan ibu dan dua bayi
ini! Jika mereka bisa kuselamatkan, matipun aku
pasrah!" Lari Darka Parengtirtha mulai terhuyung-huyung.
Setelah melewati satu rimba belantara kecil, dia mulai
mendaki sebuah bukit gersang. Mati-matian berusaha
mencapai satu bangunan di puncak bukit sementara
tubuhnya sedikit demi sedikit berubah leleh!
"Seratus langkah....Kalau saja aku bisa mencapai
seratus langkah dari bangunan. Dewa-Aku aku
mohon____"
Kekuatan dan kemampuan lelaki tinggi hitam ini
sampai ke batasnya. Brukkk! Darka tersungkur di bukit
gersang. Hanya sembilan puluh delapan langkah di
hadapan bangunan yang hendak dicapainya.
Ananthawuri jatuh dari panggulannya, dua bayi
terlepas dari gendongan. Saat itu cahaya tiga warna
kembali datang menghantam. Di saat yang bersamaan
dari pintu dan jendela bangunan candi di atas bukit
gersang melesat keluar tujuh cahaya putih berkilauan.
Letusan dahsyat mengguncang puncak bukit gersang
ketiga tiga cahaya biru, merah dan hitam berbenturan
dengan tujuh larik sinar putih. Tanah bukit retak
memanjang. Bangunan candi bergetar hebat. Salah
satu menara candi sampai runtuh. Namun secara aneh
runtuhan itu menyatu dan bertaut kembali!
Di tanah sosok Darka Parengtirtha mengepulkan asap
dan mulai meleleh mengerikan. Ananthawuri dan dua
bayi tidak kelihatan lagi.
Dari dalam candi kemudian terdengar suara
bergema. "Arwah Kembar! Sarka Parengtirtha dan Darka
Parengtirtha. Kalian telah menjalankan tugas dengan
baik. Arwah kalian akan mendapat tempat yang paling
indah di Swargalokal"
13. TEWASNYA GEDE KABAYANA
KETIKA ledakan kedua terjadi di Sumur Api, Sri
Sikaparwathi serta Gede Kabayana yang ada di sekitar
tempat itu mengalami cidera. Tekanan udara yang
dahsyat membuat keduanya terpental. Sebelum
mampu mengimbangi diri goncangan hebat
membanting mereka ke tanah, membuat kakek dan
nenek itu terkapar dalam keadaan setengah sadar dan
sekujur tubuh laksana remuk. Sebenarnya dengan ilmu
silat serta ilmu meringankan tubuh yang mereka miliki,
mereka bisa menyelamatkan diri. Namun ledakan yang
terjadi bukanlah ledakan biasa. Buktinya Pangeran
Bunga Bangkai dan dua pengiringnya yaitu Si Tambur
Bopeng dan Si Suling Burik juga mengalami cidera.
Dalam keadaan yang kini sunyi dan gelap Sri
Sikaparwathi berusaha bergerak, duduk di tanah,
memandang berkeliling. Raden Cahyo Kumolo, kurakura
sakti peliharaannya tampak mendekam di atas
satu bongkahan batu besar. Sepasang mata menyinarkan
cahaya merah pertanda binatang ini tidak
mengalami cidera.
"Sahabatku Gede Kabayana, dimana kau?" si nenek
keluarkan suara sambil memandang berkeliling
mencari-cari. "Sika, aku ada di dalam lobang sini. Aku..."
Terdengar jawaban parau, agak perlahan. Disusul
suara batuk-batuk lalu suara orang menyemburkan
muntah. Si nenek melompat, lari ke arah sebuah lobang
besar. Di dasar lobang dia melihat Gede Kabayana
tergeletak. Leher sampai ke dada basah oleh darah.
Mulut megap-megap, berusaha bernafas dengan
susah payah. Dengan cepat Sri Sikaparwathi
melompat masuk ke dalam lobang.
"Gede Kabayana, apa yang terjadi dengan dirimu"!"
"Seseorang me...nyerangku secara gelap. Ada.. .ada
sen..senjata rahasia men.. menancap di. .di leherku..."
Sri Sikaparwathi tersentak kaget. Dia perhatikan
leher Gede Kabayana. Memang benar, di tenggorokan
kakek itu menancap sebuah benda.
"Dewa Agung, bagaimana bisa terjadi....!" Si nenek
mengucap lalu dengan cepat mencabut benda yang
menancap di leher Gede Kabayana. Begitu benda
dicabut dari luka yang menganga menyembur darah
kental berwarna biru. "Kabayana, kau tidak melihat
orang yang menyerangmu?"
Yang ditanya hanya bisa menggeleng perlahan. Sri
Sikaparwathi perhatikan benda barusan dicabutnya
dari leher Gede Kabayana. Ternyata sebuah besi bulat
pipih yang pinggirannya bergerigi dan berwarna biru.
Senjata rahasia seperti inilah sebelumnya yang pernah
menyerang Sebayang Kaligantha dan Ratu Dhika Gelang
Gelang serta pernah ditemui dilihat Pangeran Bunga
Bangkai. "Kalau kau tidak menyadari dirimu diserang, berarti
terjadinya bersamaan dengan ledakan di Sumur Api...."
"Si..Sika...aku tidak akan bisa bertahan. Rasanya
tidak lama lagi..."
"Jangan menyerah pada nasib, sahabatku! Dewa
Agung akan menolongmu!" kata Sikaparwathi ketika
mendengar ucapan Gede Kabayana. Dengan cepat dia
menotok tubuh sahabatnya itu di beberapa tempat
termasuk dua di pangkal leher dan satu di ubun-ubun.
"Ter..terima kasih kau ber...berusaha menolongku.
Sika, aku seperti melihat Pintu Akhirat sudah terbuka
di atas sa.. ..sana..."
Kepala Gede Kabayana terkulai. Sepasang matanya
menutup. Sri Sikaparwathi pukul-pukul kepalanya
sendiri! "Sahabatku, aku bersumpah akan mencari siapa
pembunuhmu!" Setelah menyimpan senjata rahasia
yang dicabutnya dari leher Gede Kabayana, nenek ini
pegang pinggang sahabatnya itu erat-erat, siap hendak
dibawa melompat ke atas lobang. Namun gerakannya
tertahan ketika di atas lobang dia mendengar suara
kaki orang berlari.
"Sahabat, aku terpaksa harus meninggalkan dirimu..
Ada yang akan aku selidiki di atas sana. Aku mendengar
suara orang berlari. Aku akan segera kembali!"
Dengan cepat Sri Sikaparwathi melompat ke atas
lobang. Begitu sampai di atas dan memandang ke
arah jurang, dia melihat seorang perempuan
berpakaian dan berkerudung putih berdiri di pinggir
jurang sambil berteriak.
"Pangeran, jika perempuan itu menolak meneruskan
menjadi istrimu karena keadaanmu yang seperti itu,
ingatlah satu hal! Ada seorang gadis yang bersedia
menjadi istrimu! Aku! Jika kita bisa berbagi budi
bukankah rahkmatdan berkat Yang Maha Kuasa akan
menjadi bagian dan kebahagiaan kita berdua?"
"Siapa perempuan berkerudung ini. Dari belakang
kelihatannya masih muda. Siapa yang diserunya
dengan sebutan Pangeran?" Sri Sikaparwathi membatin.
"Mungkin sekali mahluk berkepala aneh itu. Manusia
Bunga Bangkai." Si nenek terus memperhatikan orang
berpakaian dan berkerudung putih yang bukan lain
adalah Liris Pramawari alias Dewi Tangan Jerangkong.
"Raden, waktu pertama kita datang tadi, perempuan
berkerudung itu belum ada di sini. Bagaimana
kalau aku datangi dia. Ada yang ingin kutanyakan."
Si nenek memberi isyarat pada kura-kura hijau
bermata merah yang masih mendekam di atas
bongkahan batu besar. Melihat isyarat dari sang tuan,
Raden Cahyo Kumolo segera melesat dan bertengger
di atas kepala si nenek. "Raden, kita akan mendatangi
perempuan di pinggir jurang. Kita harus berhati-hati.
Bukan mustahil perempuan berkerudung itu adalah
mahluk pengendali cahaya tiga warna. Bukan mustahil
pula dia kaki tangan mahluk yang telah menggandakan
diriku!" Di atas kepala si nenek kura-kura hijau
keluarkan desah perlahan.
Si nenek segera melangkah cepat menuju jurang,
di bagian mana Liris Pramawari berdiri. Namun
sebelum bisa mendekati tiba-tiba si gadis sudah
menghambur masuk ke dalam jurang. Selagi nenek
ini tertegun tidak menyangka akan apa yang terjadi,
tak berselang iama mendadak dari jurang dalam dan
gelap melesat keluar tiga sosok tubuh.
Sosok pertama adalah seorang lelaki yang memanggul
seorang perempuan di bahu kiri sementara tangan
kanan mengepit seorang bayi yang terus menangis.
Sosok kedua seorang lelaki lagi yang juga menggendong
seorang bayi di tangan kiri. Seperti bayi satunya bayi
inipun menangis tiada henti. Orang ketiga bukan laiin
adalah perempuan berkerudung putilh tadi.
Begitu keluar dari jurang, dua lelaki yang
memboyong bayii melarikan diri ke arah timur yang
segera diikuti oleh perempuan berkerudung putih.
Sri Sikaparwathi terdiam berpikir. Dia ingat pada
riwayat Gading Bersurat
"Kabayana, aku akan kembali mengurus jenazahmu!"
Si nenek berteriak lalu sekali berkelebat dia sudah
lenyap ke arah timur yakni ke jurusan lenyapnya ke
tiga orang tadi.
14. ORANG BERMUKA ANJING
ILMU kesaktian yang diberikan Giring Mangkureja
kepada puterinya melalui dekapan sebelum mereka
berpisah, bukan ilmu sembarangan, termasuk ilmu
lari Bayu Sewu yang konon sama dengan kecepatan lari
sepuluh ekor kuda! Namun Liris Pramawari merasa
penasaran. Setelah berlari cukup lama, sementara hari
mulai terang tanah, dia masih belum mampu mengejar
dua orang di depannya.
"Aneh, ilmu lari apa yang mereka miliki." Dewi
Tangan Jerangkong berkata dalam hatj. ketika dia
Satria Lonceng Dewa 4 Dewi Tangan Jerangkong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak lagi melihat orang yang dikejarnya di sebelah
depan, gadis ini andalkan ketajaman pendengaran
untuk meneruskan pengejaran melalui suara tangis
bayi. Mentari muncul di ufuk timur dan malam akhirnya
berganti siang, Liris Pramawari belum juga melihat
orang yang dikejarnya walau jauh di depan sana dia
masih mendengar suara tangisan si bayi.
"Aku harus mencari akal agar bisa mengejar. Kalau
aku mampu menyelamatkan perempuan atau dua bayi
yang diculik, syukur-syukur ketiganya, aku akan
membuat satu kebajikan besar. Mungkin bernilai dua
kebajikan sekaligus."
Sambil terus lari mengejar Liris Pramawari
mengingat-ingat ilmu apa saja yang dimiliki ayahnya
dan kini dikuasainya. Setelah cukup lama, gadis ini
ingat akan satu ilmu kesaktian bernama Mengirim
Suara Menguasai Jalan Pikiran.
"Mudah-mudahan aku bisa menerapkan. Dewa
Agung, saya mohon pertolonganMu," ucap Liris
Pramawari dalam hati. Lalu sambil berlari dia segera
menerapkan ilmu kesaktian itu. Dia menghembus tiga
kali ke depan dan berkata. "Di depanmu ada sungai.
Kau tak bisa menyeberang karena sungai terlalu lebar
dan tidak ada perahu. Kau harus berbelok ke kiri. Tapi
di arah itu ada bukit liar ditumbuhi banyak pohon
berduri. Sebagiannya mengandung racun. Kau harus
berbelok lagi ke kiri dan lari lebih cepat."
Kata-kata itu diucapkan Liris Pramawari berulang
kali. Pada setiap akhir kalimat dia meniup tiga kali.
Sewaktu mulutnya sudah terasa letih merapal berkalikali,
tiba-tiba di depan sana dia melihat ada seseorang
berlari sangat cepat ke arahnya. Orang ini mengenakan
jubah hitam menjela tanah. Dia sama sekali tidak
memanggul perempuan, tidak pula membawa bayi.
"Lain yang aku maksud, lain yang datang!" Liris
Pramawari hentikan lari dan menunggu. Bibir
mengulum seringai. Orang yang lari ke arahnya
kemudian juga berhenti dan berdiri sejarak delapan
langkah di hadapan si gadis. Untuk beberapa ketika
Liris Pramawari terkesiap melihat kepala dan wajah
orang. Kepala dan wajah yang tampak tua itu bukan
merupakan kepala manusia, tapi lebih merupakan
kepala seekor anjing tua, berbulu tipis coklat.
Sepasang mata menjorok merah dan besar. Hidung
kembang kempis menjadi satu dengan mulut yang
sangat lebar. Orang ini memiliki dua daun telinga yang
senantiasa bergerak-gerak.
"Dia bukan orang yang aku kejar! Ilmuku agaknya
telah kesalahan jatuh pada diri orang lain. Melihat
gelagatnya dia bukan manusia sembarangan. Tapi
kurasa ada sangkut paut dengan apa yang terjadi di
kawasan ini...." Pikir Liris Pramawari.
"Orang tua. Kau siapa?" tanya si gadis, menegur
dengan suara lembut.
"Bukankah kau yang mengirim suara jarak jauh.
Memberi tahu arah jalan. Mengacau pikiranku!
Ternyata kau menipuku!"
Liris Pramawari terkejut. Sepasang alis sampai
terjingkat ke atas. Dia ingin tertawa tapi ditahan.
"Kau telah mengacaukan pekerjaanku! Ada yang
bakal jadi korban. Tapi orang-orang itu sudah lolos.
Sekarang kau yang harus menggantikan nyawa
mereka!" Mendengar ucapan orang, si gadis yang tadinya
bersikap lembut berkata.
"Kau mau membunuhku tak jadi apa. Tapi coba
katakan siapa dirimu" Apa kau punya nama atau
punya julukan" Mengapa kepalamu seperti anjing.
Apa ibumu anjing bapakmu manusia" Atau terbalik
bapakmu anjing ibumu yang manusia?" Sampai di
situ Liris Pramawari tidak dapat lagi menahan
tawanya. Dia lalu tertawa gelak-gelak.
Muka anjing orang di depan si gadis kaku membesi.
Bulu tipis yang menutupi wajahnya meranggas berdiri.
Mulut terbuka keluarkan suara mendengus, barisan
gigi-gigi merah merupakan sederetan taring luar biasa
runcing. Perlahan-lahan orang tua ini gerakkan tangan
ke depan. Telapak dibolak-balik dan tiba-tiba tiga buah
benda bulat pipih berwarna biru dengan pinggiran
bergerigi entah dari mana datangnya tahu-tahu sudah
menempel di atas telapak tangan. Sekali si kakek
meniup tiga buah benda bulat pipih melesat deras,
menyambar ganas ke arah kepala dan dua bagian tubuh
Liris Pramawari.
"Oala! Salahku hanya membuatmu kesasar. Mengapa
hukumannya sampai mau membunuh diriku"!"
Liris Pramawari jentikkan jari-jari tangannya yang
hanya merupakan tiga tulang belulang.
"Tring.. .tring.. .tring."
Di udara terdengar suara bedentringan dan bunga
api berpijar ketika ujung-ujung jari puteri Giring
Mangkureja ini menghantam mental tiga senjata
rahasia. Orang berjubah hitam bermuka anjing tua terkejut.
Bukan saja karena dapatkan lawan yang cantik dan
masih muda belia itu sanggup menjentik mental tiga
senjata rahasia, tapi juga ketika melihat lima jari
tangan si gadis yang hanya merupakan jerangkong!
"Kau setan kesasar dari mana"!" si kakek
membentak. Liris Pramawari menjawab dengan tawa panjang.
"Kau tidak jadi membunuhku"!"
"Tidak kubunuhpun kau akan sengsara seumur
hidup!" "Memangnya kenapa?" tanya Liris Pramawari.
"Lihat tiga jarimu yang tadi kau pakai menjentik
senjata yang aku lemparkan. Tapi jari jerangkongmu
kini berwarna biru! Pertanda racun sudah menancap
dan mulai mengalir dalam darahmu!"
Liris Pramawari terkejut tapi tetap tenang. Dia
perhatikan tangan kanannya. Seperti yang dikatakan
orang bermuka anjing, tiga ujung jari tangan
kanannya memang telah berwarna biru!
"Hanya ilmu main-mainan. Kalau anak kecil boleh
kau takut-takuti!" Kata Liris Pramawira. Lalu dia
gerakkan tangan kirinya, tiga kali berturut-turut.
"Kraak! Kraak! Kraak!"
Tiga ujung jari tangan kanan yang berwarna biru
langsung berderak patah. Patahan ujung jari
kemudian dilemparkan ke arah orang muka anjing.
Satu tepat menancap di pelipis kiri.
Liris Pramawari tertawa panjang.
"Aku sudah terbebas dari racun! Sekarang dirimu
yang sudah keracunan! Hik...hik...hik!"
Orang bermuka anjing terkejut dan marah bukan
main. Dengan cepat dia cabut patahan ujung jari
mengandung racun yang menancap di pelipis kiri.
Pelipis itu kini kelihatan agak membengkak dan mulai
berwarna biru. Orang bermuka anjing meraung keras.
"Gadis kurang ajar! Terima pembalasanku!"
Orang di hadapan si gadis keluarkan suara raungan
keras seperti anjing sungguhan. Lalu dua tangan
diluruskan ke depan. Telapak dibolak balik. Seperti
tadi di atas dua telapak tangan itu kini terdapat
senjata rahasia berupa besi pipih, biru bergerigi dan
mengandung racun. Hanya saja kali ini jumlahnya
jauh lebih banyak. Sepuluh keping pada masingmasing
telapak tangan! Ketika dua tangan disentakkan,
dua puluh senjata rahasia melesat menyambar
ke arah kepala dan sekujur tubuh Liris Pramawari.
Liris tanggalkan selendang yang menutupi kepala.
Selendang dikebutkan berputar demikian rupa
sementara tangan kiri ikut memukul ke depan. Kaki
kanan menyentak tanah. Saat itu juga tubuh gadis ini
bergerak berputar dan melesat ke udara sambil
menebar angin keras menahan datangnya serangan.
"Brett...brett...brett!"
Sebelas senjata rahasia berhasil disapu oleh
selendang putih walau selendang sendiri robek dan
hancur bertaburan. Enam senjata lainnya mental oleh
pukulan tangan kiri. Satu melesat lewat di samping
bahu kiri. Satu menyambar ke arah paha kanan dan
satu lagi menderu mengarah wajah! Dua serangan
terakhir inilah yang sulit dielakkan oleh Liris
Pramawari! Hanya tinggal satu jengkal lagi senjata rahasia yang
mengarah wajah akan mendarat tepat di kening Liris
Pramawari tiba-tiba ada selarik sinar Jingga dan dua
cahaya merah menyambar, menghantam mental
bulatan besi pipih biru hingga hancur berkepingkeping!
Siapa yang telah memberikan pertolongan"
Liris Pramawari tidak sempat menyelidiki karena
masih ada satu senjata rahasia yang menderu
mengarah paha. Gadis ini coba lepaskan satu pukulan
tangan kosong bertenaga dalam tinggi untuk membuat
mental senjata rahasia. Namun saat itu tubuhnya
dalam keadaan tidak seimbang. Pukulannya meleset.
Si gadis hanya mendesah pasrah.
Di saat yang sangat genting itu tiba-tiba ada benda
hijau melesat lalu trang! Besi biru pipih mental. Di
saat bersamaan ada suara menguik keras. Raden
Cahyo Kumolo! Kura-kura hijau sakti itu tergeletak di
tanah. Punggungnya yang merupakan bagian paling
keras dan atos nampak gompal, namun tidak ada
warna biru di sekitar gompalan pertanda dia tidak
terkena racun. Sadar dirinya lagi-lagi ada yang menyelamatkan,
Liris Pramawari berteriak.
"Dewa Agung! Terima kasih. Kau menyelamatkan
diriku! Kura-kura hijau...." Si gadis mengangkat kurakura
yang tergeletak di tanah lalu berpaling ke arah
Sri Sikaparwathi. "Nek....aku berterima kasih pada
kalian berdua, hutang budi dan nyawaku setinggi
langit sedalam lautan. Tapi mohon maaf, biar aku
menyelesaikan urusan dengan manusia bermuka
anjing itu!"
Saat itu orang bermuka anjing sudah siap-siap
melarikan diri. Liris Pramawari serahkan kura-kura
hijau pada si nenek lalu dengan cepat dia mengambil
tiga buah besi bulat pipih biru dari sekian banyak
yang berjatuhan di tanah. Dia melompat ke orang yang
hendak lari. "Manusia muka anjing, larilah kemana kau suka!" Lalu
tangan kanan bergerak siap untuk melempar tiga
senjata rahasia beracun.
"Jangan dibunuh! Lebih baik kita menguras
keterangan lebih dulu siapa orang itu sebenarnya!
Bukankah dia tadi punya niat jahat mengejar dua orang
yang keluar dari dalam jurang, membawa perempuan
dan dua bayi"! Aku yakin dia juga yang membunuh
sahabatku Gede Kabayana!"
Mendengar teriakan Sri Sikaparwathi, Liris
Pramawari serta merta batalkan maksud hendak
membunuh orang berjubah hitam bermuka anjing.
Saat itu si nenek telah terlebih dulu menghadang
sementara Raden Cahyo Kumolo mencengkeram
tengkuk orang dan mulut bergigi tajam telah
menancap di tenggorokan.
"Demi Dewa, kau mohon jangan bunuh diriku!"
Orang bermuka anjing berteriak setengah meratap.
"Kami akan menyelamatkan nyawamu. Asal kau
mau bicara, apakah kau muncul di tempat ini
membekal cahaya tiga warna?" tanya Sri Sikaparwathi.
"Betul, memang aku membekal tiga cahaya sakti
itu..." "Siapa yang menyuruhmu mengejar dua orang yang
keluar dari dalam jurang di bekas Sumur Api dan
membunuh sahabat nenek ini"!" Kini Liris Pramawari
yang ajukan pertanyaan.
"Tidak ada yang menyuruh. Aku bekerja sendiri."
"Dari mana kau dapatkan ilmu cahaya tiga warna itu?"
tanya Liris. "Aku bertapa selama dua puluh tahun. Aku...."
"Raden, manusia ini sudah dua kali berdusta." Kata
Sri Sikaparwathi pada kura-kura hijau dan giginya
masih menancap di leher orang bermuka anjing.
"Putuskan lehernya!"
"Jangan! Ampun! Aku akan bicara!" teriak orang
bermuka anjing.
"Katakan siapa namamu?" tanya Sri Sikaparwathi.
"Aku Dharma Soma..." Jawab orang yang ditanya.
Baik Liris Pramawari maupun Sri Sikaparwathi tahu
kalau orang itu lagi-lagi berdusta.
"Siapa yang membekalimu dengan ilmu cahaya tiga
warna?" tanya Sri Sikaparwathi.
"Sri Maharaja Ke Delapan."
"Apa" Siapa"!" Si nenek dan Liris Pramawari bertanya
hampir bersamaan.
"Sri Maharaja Ke Delapan." Orang yang ditanya
kembali menyebut nama yang sama secara lebih keras.
"Siapa Sri Maharaja Ke Delapan" Jangan kau berani
mengarang cerita!" Bentak Liris Pramawari.
"Aku tidak mengarang cerita. Sri Maharaja Ke
Delapan adalah....." Orang bermuka anjing itu diam
seketika. Lalu tertawa mengekeh. Suara tawa
kemudian berganti dengan suara lolongan anjing.
Lalu dua tangan dengan sangat cepat, tidak terduga
sama sekali bergerak ke atas, mengepruk kepalanya
sendiri!
Satria Lonceng Dewa 4 Dewi Tangan Jerangkong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Praakk!"
Kepala rengkah mengerikan! Nyawa lepas saat itu
juga. Tubuh rubuh tertelungkup ke tanah. Kura hijau
keluarkan suara menguik lalu melompat ke atas kepala
Sri Sikaparwathi. Dalam jengkelnya Liris Pramawari
lemparkan tiga senjata rahasia besi bulat pipih yang
sejak tadi masih dipegangnya. Tiga senjata rahasia
masuk amblas ke dalam tubuh yang sudah tak
bernyawa. Saat itu juga terdengar tiga letupan keras.
Tiga cahaya merah, biru dan hitam keluar dari tubuh
tak berbentuk, mencuat ke langit lalu lenyap dari
pemandangan. TAMAT Apa yang terjadi dengan dua bayi putera Ananthawuri
setelah diselamatkan Dua Arwah Kembar yang terpaksa
mengorbankan nyawa" Berhasilkah Pangeran Bunga
Bangkai menemukan istrinya atau dia terpaksa
menerima Liris Pramawari sebagai istri pengganti"
Siapa gerangan Sri Maharaja Ke Delapan"
Ikutilah Kisah selanjutnya :
MERINGKIK DI LEMBAH HANTU
Sengketa Di Gunung Merbabu 1 Manusia Yang Bisa Menghilang Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung Sepasang Maling Budiman 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama