Pendekar Gila 25 Sepasang Maling Budiman Bagian 2
Sampai sejauh itu kedua pendekar muda itu belum
mengerti penyelesaian macam apa yang diinginkan Ki
Jalna Wangga. Setelah sampai di Bukit Yuyu yang masih sepi,
Pendekar Gila segera mengajak Mei Lie bersembunyi di
balik semak-semak yang cukup rimbun. Hal itu dimaksudkan agar kehadiran mereka tak diketahui Ki
Jalna Wangga maupun kedua lelaki bercadar.
"Ingat, Kakang. Kau jangan cekikikan!" ujar Mei Lie mengingatkan Pendekar Gila.
Sebab kebiasaan konyol kekasihnya akan menyebabkan persembunyian
mereka diketahui.
"Aha, tenanglah, Mei! aku akan berusaha," sahut Sena sambil cengengesan dengan
tangan mengga- ruk-garuk kepala.
"Lihat, dua lelaki bercadar itu datang," bisik Mei Lie. "Aha, kau benar. Kurasa,
malam ini akan terjadi pertarungan yang seru, Mei," kata Sena masih dengan mulut
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Dari arah barat, melesat dua sosok tubuh menuju tanah lapang yang ada di Bukit Yuyu. Tidak lama
kemudian, dari arah selatan melesat pula sesosok tubuh tinggi besar. Ketiganya pun bertemu, saling pandang satu sama lain.
Pendekar Gila dan Mei Lie ingin tahu apa sebenarnya yang akan terjadi. Keduanya berusaha tenang
di persembunyian. Mata mereka memandang tajam ke
tanah lapang tempat tiga orang lelaki saling berhadapan. "Kau telah siap, Cadar Biru?" tanya Ki Jalna Wangga.
"Aku siap. Apapun yang hendak kau lakukan,
aku telah siap menghadapinya," jawab Pangeran Prapanca tegas.
"Bagus! Tapi terlebih dahulu kukatakan, bahwa
aku hanya menjalankan tugas yang diperintahkan
Durka Pela," tutur Ki Jalna Wangga.
"Aku tahu," jawab Pangeran Prapanca yang
mengenakan cadar biru.
"Baik, bersiaplah! Heaaa...!"
Ki Jalna Wangga melesat dengan serangan pertamanya yang bernama 'Pukulan Gempa'. Kedua tangannya direntangkan dengan jari-jari mengepal. Tangan kiri ditaruh di bawah siku tangan kanan. Sedangkan tangan kanan digerakkan ke samping, yang diteruskan ke depan lurus.
"Mundurlah, Cadar Ungu!" perintah Cadar Biru tak menyebut nama rekannya. Setelah
Pranala mundur, Pangeran Prapanca pun segera membuka jurusnya. Kaki kanannya digeser agak ke depan setengah
ditekuk. Kedua tangannya menyatu di depan dada. Lalu tangan kanan membuka dan ditarik ke atas, diikuti
dengan tangan kiri diangkat ke atas kepala. Itulah jurus pembuka 'Bangau
Merentang Sayap' diteruskan
dengan jurus 'Kepakan Sayap Bangau'.
"Hea!"
"Yea!"
Tubuh keduanya melesat ke depan. Tidak
hanya tangan yang bergerak menyerang, kedua kaki
mereka pun turut menendang dan menyapu. Dalam
sekejap saja, keduanya telah terlibat pertarungan yang seru. "Jaga igamu, Cadar
Biru!" seru Ki Jalna Wangga. Kemudian dihantamkan pukulan tangan kanannya
ke dada sebelah kiri lawan. Namun dengan cepat Pangeran Prapanca berkelit, sehingga pukulan lawan
hanya mendesir beberapa jari di samping tubuhnya.
Setelah lepas dari serangan lawan, dengan cepat Pangeran Prapanca memutar tubuhnya setengah
lingkaran. Kemudian dengan gerakan ringan, lelaki
bercadar biru itu mengibaskan telapak tangan kirinya
ke tulang rusuk sebelah kanan lawan.
"Rusukmu, Ki! Hea...!"
Wrt! "Hait!"
Dengan berguling, Ki Jalna Wangga mengelitkan serangan lawan. Sambil berguling pula, lelaki
tua itu melancarkan tendangan dengan jurus 'Kaki
Jengkrik Menjentik'.
"Hea...!"
Pangeran Prapanca mencelat ke belakang,
mengelakkan tendangan kaki lawan. Melihat lawan
melompat, dengan cepat Ki Jalna Wangga melakukan
salto. Kemudian dilentingkan tubuhnya ke atas, sambil bergerak melakukan serangan. Kaki kanan menendang tubuh lawan dalam keadaan masih melayang.
"Heaaa!"
Melihat lawan menyerang dengan tendangan,
Pangeran Prapanca segera memiringkan tubuh ke
samping kanan lalu merunduk. Kemudian dengan jarijari terbuka tangan kanannya dikibaskan ke tubuh Ki
Jalna Wangga. "Yea!"
Wrt! "Heh"!" Ki Jalna Wangga kaget bukan kepalang
karena tak menyangka lawan akan menyerang begitu
cepat. Dengan cepat lelaki berambut panjang itu menarik serangan. Tubuhnya dilontarkan ke atas. Setelah berjumpalitan di udara
dengan ringan kakinya mendarat sambil tertawa-tawa.
"Hua ha ha...! Hebat! Kau benar-benar hebat
Cadar Biru. Tapi itu baru pemula, bukan" Kini kau
yang menyerang!" seru Ki Jalna Wangga.
"Baik! Bersiaplah!"
"Aku telah siap," jawab Ki Jalna Wangga.
Pangeran Prapanca segera menarik kaki kanan
ke belakang. Kaki kiri agak ditekuk. Tangannya menyilang ke bawah, kemudian digerakkan ke atas. Itulah
jurus 'Bangau Menyibak Air'. Sebuah jurus pembuka
yang cukup berbahaya. Sasarannya dada dan jantung
lawan. "Yea!"
"Hea!"
Kedua tubuh melesat ke udara. Pangeran Prapanca mengembangkan kedua tangan ke samping.
Kemudian dengan cepat tangan kanannya memburu
ke depan. Disusul dengan tangan kiri untuk menangkis. "Hea!"
Ki Jalna Wangga pun nampaknya tak mau kalah. Tangannya dijotoskan ke muka, disusul dengan
tangkisan tangan kirinya. Mereka terus bertarung di
udara laksana burung terbang.
Pendekar Gila dan Mei Lie yang menyaksikan
pertarungan itu terkesiap kaget Mata keduanya membelakak, takut kalau-kalau salah seorang di antara keduanya akan menjadi korban.
Namun untuk ikut campur dalam urusan itu, Sena tak mau. Dirinya belum
tahu apa sebenarnya yang terjadi.
"Kakang, apa kita akan tinggal diam?" tanya
Mei Lie berbisik lirih, sepertinya khawatir menyaksikan pertarungan itu.
"Aha, rupanya kau yang cerewet, Mei. Bukankah kau tadi melarangku berbicara?" sahut Pendekar Gila dengan mulut cengengesan
sambil menggaruk-garuk kepala.
"Tapi, aku khawatir salah satu mati percuma,
Kakang." "Aha, kau semakin cerewet saja seperti seorang
nenek, Mei."
"Tapi, Kakang...."
"Aha, sudahlah. Rimba persilatan memang begitu, Mei. Kita lihat saja. Bukankah kita tak tahu apaapa?" ujar Sena berusaha mengingatkan kekasihnya yang kelihatan tak sabar.
"Tapi kelihatannya mereka orang baik-baik. Rasanya tak pantas sealiran harus bertarung," tukas Mei Lie masih berusaha
mengajak Pendekar Gila agar melerai pertarungan itu.
Tampak kini keduanya bertarung sambil bergulingan ke bawah. Mereka masih saling pukul dan tendang. "Kau harus ingat, Mei. Ini pelajaran untukmu.
Dalam urusan pribadi, kita tak bisa ikut campur," ujar Sena berusaha menjelaskan
pada kekasihnya. "Aha, bukankah lebih baik kita melihat?"
Mei Lie pun menurut diam. Dengan cemas gadis itu menyaksikan pertarungan yang semakin seru.
Kini tubuh keduanya masih bergulingan di tanah. Namun begitu, keduanya bagaikan dua ekor kucing.
Meski dengan tubuh menggelinding dari atas bukit itu, keduanya tetap berusaha
saling menyerang.
"Hea!"
"Yea!"
Tangan mereka terus bergerak, memukul dan
menangkis. Begitu pula dengan kedua kaki mereka,
saling kait dan tendang. Sebuah perkelahian yang sangat seru. Tampaknya kedua orang itu memiliki ilmu setaraf. Trak! "Heaaa...!"
Trep! Tangan Pangeran Prapanca menyerang. Namun
dengan cepat tangan kiri Ki Jalna Wangga menangkis
dan menangkapnya. Lelaki bercadar biru itu berusaha
menarik tangannya. Disodokkan sikunya menyerang,
tetapi kembali Ki Jalna Wangga menangkis dengan siku tangan kiri.
"Hea!"
Trak! Keduanya saling dorong dan tarik. Sampai akhirnya, mereka berada di bawah. Keduanya masih saja
saling dorong dan tarik, kemudian tiba-tiba telapak
tangan dan jotosan mereka beradu.
Plakkk! "Hea!"
"Yea!"
Pangeran Prapanca melenting ke atas, dengan
tubuh jumpalitan. Kemudian dengan ringan mendaratkan kaki di atas bukit. Begitu juga dengan Ki Jalna Wangga. Lelaki tua itu
pun melakukan hal yang serupa. Setelah berjumpalitan mencelat ke atas, dengan
ringan kedua kakinya mendarat di atas bukit. Seketika pertarungan mereka
berlanjut. Mata mereka saling
pandang seakan berusaha mengukur ilmu masingmasing. "Bagaimana, Cadar Biru" Apakah akan diteruskan?" tanya Ki Jalna Wangga,
"Sengaja aku tidak mengeluarkan jurus andalanku yang bernama jurus
'Pukulan Petir'. Karena jika aku keluarkan jurus itu,
maka kau akan mengalami kematian."
Diam-diam di hati Cadar Biru tersirat rasa kagum pada lelaki setengah baya itu. Dia pun menyadari, kalau lelaki bermuka
garang itu mau, maka dalam beberapa gebrakan saja dia akan kalah. Tetapi rupanya
lelaki berjubah coklat itu hanya menjajal sampai seberapa ilmunya.
"Hm, kita teruskan," sahut Cadar Biru yang ju-ga ingin melihat sampai sejauh
mana kepandaian lelaki bermuka garang namun matanya mencerminkan ketenangan dan persahabatan ini.
"Cadar Biru, biar aku yang meneruskan, karena
aku pun terlibat di dalamnya," tiba-tiba Cadar Ungu yang tak lain Pranala
berseru. "Hm, dua-duanya pun boleh!" sela Ki Jalna
Wangga, yang membuat kedua lelaki bercadar saling
pandang sesaat. Napas keduanya memburu, terlebihlebih Pangeran Prapanca yang merasa diremehkan.
Mata di balik cadar biru itu menyorot tajam ke wajah
Ki Jalna Wangga. Seakan tak mampu lagi ditahan kemarahannya yang bergayut dalam hati. Hal itu karena
dirinya merasa lelaki tua itu telah ikut campur urusannya terhadap Juragan Durka
Pela. "Kita teruskan! Biar aku yang menghadapimu!"
tantang Pangeran Prapanca, "Mari kita gunakan senjata kita!" "Hm, begitu"
Baiklah." Ki Jalna Wangga tersenyum sinis seraya memicingkan mata memandang wajah Cadar Biru.
Sret! Pangeran Prapanca menarik pedang dari warangkanya. Begitupula yang dilakukan Ki Jalna Wangga. Lelaki tua itu mencabut golok panjangnya dari warangka. Keduanya mundur dua tindak dengan mata
saling menatap tajam.
"Hai... Mereka benar-benar hendak saling
membunuh, Kakang," kata Mei Lie berbisik.
"Aha, biarkan saja! Inilah rimba persilatan, Mei.
Kadang kala, manusia tak lebihnya seperti hewan. Tak
mengenal belas kasihan terhadap sesamanya," gumam Sena sambil menggaruk-garuk
kepala. "Kita lihat saja, Mei!" Mei Lie kembali diam sambil memperhatikan kedua
orang yang siap melakukan pertarungan maut.
Keduanya sama-sama telah mengeluarkan senjata. Satu bersenjata pedang, sedangkan yang satunya bersenjatakan golok panjang bergerigi.
*** Pangeran Prapanca dengan mata tajam menatap wajah Ki Jalna Wangga. Diletakkan pedangnya ke
depan wajah. Sementara tangan kirinya, kini diletakkan di pinggang dengan jari-jari terbuka. Kakinya bergerak teratur, melangkah
membentuk siku.
"Yea!"
Dengan jurus 'Bangau Terbang', Pangeran Prapanca membuka serangan. Pedang di tangan kanannya
digerakkan dengan cepat. Mulanya ke bawah, kemudian dengan cepat diangkat dan dibabatkan sambil
melesat ke depan. Sedang tangan kirinya tak mau ketinggalan, bergerak memukul dengan telapak terbuka.
"Hea!"
Menyaksikan lawan telah membuka serangan,
Ki Jalna Wangga pun dengan cepat membuka jurus
'Simpul Golok Maut'. Golok di tangannya digerakkan
naik turun, lalu dilanjutkan dengan babatan mendatar. Disertai pekikan menggelegar, membuat suasana
sepi di Bukit Yuyu berubah riuh, Ki Jalna Wangga melesat menyerang.
"Yeaaa...!"
Wrt! Dua tubuh berkelebat cepat dengan senjata
siap membantai satu sama lain. Pedang dan golok
tampak berkelebat begitu cepat. Sehingga kedua senjata itu bagaikan menghilang. Yang kelihatan hanya sinar yang berkeredep, keluar dari gerakan kedua senja
Pendekar Gila 25 Sepasang Maling Budiman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ta. Wrt! Trang! Golok dan pedang tajam itu beradu, mengeluarkan pijaran api. Ki Jalna Wangga dan Pangeran Prapanca tampak saling melompat ke belakang. Namun
sebentar kemudian, dengan pekikan menggelegar, keduanya kembali melesat maju.
"Hea!"
Wut! Wut! "Yeaaa...!"
Keduanya kembali menyerang, menggerakkan
senjata masing-masing untuk membabat dan menusuk
ke tubuh lawan. Namun kedua-duanya sama-sama
lincah dan gesit Tubuh mereka berkelebat-kelebat dalam mengelitkan dan menangkis serangan lawan.
Wrt! Trang! Dengan memutar cepat pedangnya, Pangeran
Prapanca berusaha mendesak lawan. Pedangnya membabat dan menusuk ke bagian atas tubuh Ki Jalna
Wangga. Namun orang tua berambut panjang itu nampak tak mengalami kesulitan menghadapi seranganserangan lawan. Dengan melompat ke sana kemari Ki
Jalna Wangga menangkis dan mengelak.
"Hea!"
Trang! "Hih!"
Pangeran Prapanca menarik pedangnya, lalu
melancarkan pukulan ke dada. Namun dengan cepat
Ki Jalna Wangga merundukkan tubuh. Digeser kaki kiri ke samping, diikuti dengan tubuhnya yang doyong.
Sehingga serangan Pangeran Prapanca hanya mengenai tempat kosong. Ki Jalna Wangga segera membalas
serangan dengan tubuh masih agak membungkuk. Di
tusukkan goloknya ke perut lawan.
"Jaga perutmu, Cadar Biru! Heaaa...!"
Wrt! "Aits! Hebat...!" teriak Pangeran Prapanca tak sadar, karena kaget mendapatkan
serangan yang tiba-tiba itu. Dengan cepat lelaki bercadar biru itu melompat ke
belakang. Kemudian bersamaan dengan itu diputarnya pedang ke bawah menangkis serangan lawan. "Hea!"
Trang! Mei Lie yang ahli bermain pedang menggelenggelengkan kepala, menyaksikan pertarungan lelaki
bercadar biru melawan Ki Jalna Wangga. Sebenarnya
menurut pandangan Mei Lie, Ki Jalna Wangga dapat
dengan mudah mengalahkan lawannya. Mei Lie melihat titik lemah lelaki bercadar biru itu. Namun nampaknya Ki Jalna Wangga masih berusaha menjajaki
sampai seberapa ilmu pedang lelaki bercadar biru itu, sehingga orang tua bermuka
garang itu nampaknya
tak bermaksud menyudahi pertarungan dengan cepat.
"Kakang, kulihat orang tua itu bertarung tak
sungguh-sungguh," bisik Mei Lie pada Pendekar Gila.
"Aha, kau benar, Mei. Nampaknya Ki Jalna
Wangga memang sedang mendalami sampai seberapa
ilmu lelaki bercadar biru," sahut Sena dengan wajah meringis sambil menggarukgaruk kepala. "Tak kusangka, orang tua bermuka garang itu,
ternyata memiliki hati yang baik juga," gumam Mei Lie sambil terus memperhatikan
jalannya pertarungan
yang masih berlangsung seru.
Kini nampak dengan gerakan cepat mereka saling menyerang. Tubuh keduanya berkelebat saling
menghindar dan menangkis. Golok dan pedang pun
terdengar terus berbenturan. Suaranya memecah keheningan malam.
Trang! "Heaaa...!"
Pangeran Prapanca dan Ki Jalna Wangga terus
bergerak melangkah ke samping sambil saling menangkis serangan. Sungguh sebuah gerakan silat yang
sangat indah ditonton.
Pranala yang ilmunya memang berada di bawah
ilmu Pangeran Prapanca, hanya terbengong kagum.
Hatinya hampir tak percaya, kalau Pangeran Prapanca
akan dapat mengeluarkan jurus silat yang indah dan
cepat Selama ini, keduanya memang bersama-sama.
Namun Pranala belum pernah melihat Pangeran Prapanca mengeluarkan jurus 'Angin Meniup Daun'.
Tubuh keduanya terus bergerak ke samping
dengan masih diiringi benturan senjata saling serang.
Kaki-kaki mereka bergerak dengan teratur, kadang
menyilang dan kadang merentang. Sedangkan tangan
kiri keduanya, bergerak mengepak-ngepak atau terkadang menekan ke belakang dan samping. Sepertinya
tangan kiri itu sengaja digunakan untuk menjaga keseimbangan tubuh mereka dalam menyerang.
Trang! Trang! Senjata mereka terus beradu. Namun pada suatu kesempatan, Pangeran Prapanca berhasil menarik
golok di tangan Ki Jalna Wangga.
"Hea!"
Wrt! Trakkk! "Akh...!" Ki Jalna Wangga tersentak kaget dengan mata terbelalak. Dirinya tak
menyangka kalau lawan akan dapat membuang senjatanya. Kini Ki Jalna
Wangga nampak pasrah, ketika Pangeran Prapanca
menempelkan ujung pedangnya ke leher. "Kalau kau mau membunuhku, bunuhlah!"
"Hm, membunuhmu mudah saja. Tapi aku tak
pernah sembarang membunuh orang. Dan untuk itu
sebaiknya kau cepat tinggalkan tempat ini, sebelum
pikiranku berubah!" perintah Pangeran Prapanca.
Ki Jalna Wangga hanya diam saja tak berkata
apa-apa. Dirinya hanya bergumam dalam hati. "Kalau saja aku tak tahu siapa kau
sebenarnya, hhh..., tak
segan aku membunuhmu. Tapi aku tahu siapa kau sebenarnya. Aku bersalah jika membunuh atau menangkapmu...."
Kemudian Ki Jalna Wangga cepat pergi meninggalkan tempat itu, Pangeran Prapanca mengikutinya
dengan pandangan tajam. Pranala yang melihat Pangeran Prapanca cemas segera menghampiri.
"Kenapa orang itu dilepas begitu saja, Pangeran?" tanya Pranala agak gusar.
"Biarlah. Kita tak perlu membunuh orang seperti dia. Tujuan kita bukan itu," jawab Pangeran Prapanca. "Ah, sudahlah! Mari
kita pergi!"
Keduanya pun melesat pergi meninggalkan Bukit Yuyu yang kembali sepi.
Sementara itu Pendekar Gila dan Mei Lie pun
keluar dari tempat sembunyi.
"Orang tua aneh," gumam Mei Lie.
"Hi hi hi.... Kau benar, Mei. Tapi yang ku herankan, siapa sebenarnya lelaki bercadar biru" Rekannya tadi memanggil dengan sebutan 'pangeran'. Ah ah
ah... aneh sekali!" gumam Sena dengan cekikikan
sambil menggaruk-garuk kepala.
"Hm, memang aneh, Kakang. Kalau dia seorang
pangeran, dari kerajaan mana" Lalu untuk apa dia
memakai cadar dan merampok?" tanya Mei Lie turut heran. "Aha, kurasa kita akan
tertunda di sini, Mei. Ini benar-benar keanehan. Hi hi hi...!" kata Sena sambil
cekikikan, membuat mata Mei Lie melotot gemas. Namun gadis itu tak mencubit
pinggang, kekasihnya
bahkan kini merapatkan diri ke tubuh Pendekar Gila.
Pendekar Gila dan Mei Lie pun segera meninggalkan Bukit Yuyu yang kembali sepi. Bulan kelabu
mengiringi perjalanan kedua pendekar muda itu.
*** 5 Malam yang disinari bulan kelabu terus menyelimuti bumi. Membawa para penghuni bumi terlelap
dalam tidur. Begitu pula dengan keadaan lingkungan
Kadipaten Wungkalan yang masih termasuk dalam wilayah Kerajaan Surya Langit, nampak sepi. Hanya ada
empat orang prajurit yang belum tertidur. Mereka sedang melakukan tugas, menjaga keamanan lingkungan
kadipaten Malam semakin larut, ketika dari luar benteng
kadipaten melesat dua sosok bayangan melompati
tembok tinggi yang mengelilingi lingkungan kadipaten.
"Hop!"
Kedua sosok itu kini berdiri di atas tembok.
Mata mereka yang sebagian wajahnya tertutup cadar
biru dan ungu mengawasi sekeliling bangunan kadipaten itu. "Hati-hati, kita harus bergerak cepat!" ujar Pangeran Prapanca mengingatkan pada Pranala.
"Apa tak sebaiknya kita lumpuhkan keempat
penjaga ini, Pangeran?" ucap Pranala.
"Kurasa tak perlu. Kalau kepergok apa boleh
buat," jawab Pangeran Prapanca. "Ayo, kita beraksi!"
Kedua lelaki bercadar itu melesat turun. Dengan ringan tanpa menimbulkan suara, keduanya mendarat di pekarangan sebelah barat kadipaten.
"Hop!"
"Ya! Hm, kita harus cepat beraksi," ujar Pangeran Prapanca dengan mata memanjang
tajam ke seke- lilingnya. "Pangeran, lihat!" bisik Pranala sambil menunjuk ke salah sebuah kamar yang
nampak masih terang. Dari bayangan di dalam kamar itu, menunjukkan
masih banyak orang yang belum tidur. "Nampaknya
mereka belum tidur, Pangeran."
"Hm, benar. Tapi...," Pangeran Prapanca mena-jamkan pandangannya. Nampak bukan
bayangan lela- ki melainkan ada lima orang wanita di dalam kamar
itu. "Kurasa mereka perempuan, Pranala. Hanya satu lelaki. "Mungkinkah wanita
simpanan adipati cabul itu, Pangeran?" tanya Pranala.
"Bisa jadi. Dasar adipati keparat! Tak memperhatikan rakyatnya yang menderita, malah enakenakan bersama wanita-wanita simpanannya," dengus Pangeran Prapanca geram.
Matanya membelalak semakin lebar, "Ayo...!"
Kedua sosok itu melesat cepat menuju kamar
tempat bercengkerama itu. Keduanya mendekat, kemudian perlahan-lahan mengintip apa yang terjadi di
dalam kamar itu lewat celah jendela.
Membelalak mata Pangeran Prapanca dan Pranala melihat apa yang terjadi di dalam kamar itu. Keduanya terkejut. Di dalam kamar itu, Adipati Jata Sura sedang asyik bercumbu
bersama kelima gundiknya
yang masih muda-muda.
"Adipati keparat!" dengus Pangeran Prapanca dalam hati. Kemudian segera
menggerakkan kepala
memberi isyarat kepada Pranala agar masuk.
Brak! Suara berderak keras terdengar. Adipati Jata
Sura dan kelima gundiknya yang masih dalam keadaan telanjang tersentak kaget. Serentak mereka menjerit melihat jendela kamar telah jebol. Mereka hendak lari, namun Pranala telah
menghadang di pintu kamar.
Srang! "Jangan lari! Serahkan hartamu, Adipati! Atau
nyawamu yang akan melayang!" ancam Pangeran Prapanca sambil mengacungkan pedang ke arah leher
Kanjeng Adipati Jata Sura yang ketakutan. Sehingga
wajahnya kelihatan sangat pucat. Tubuh gemetaran.
Begitu pula dengan kelima wanita cantik yang masih
dalam keadaan telanjang bulat mereka menggigil ketakutan. "Cepat katakan, di mana hartamu"!"
"Ampun..., jangan bunuh kami!" ratap Adipati Jata Sura mengiba dengan keringat
dingin bercucuran,
"Ambillah semua hartaku! Asal jangan kalian apa-apa-kan aku!"
"Baik! Cepat katakan!" bentak Pangeran Prapanca semakin menempelkan pedangnya ke leher sang
Adipati. "Ayo, tunjukkan di mana kau menyimpannya."
Dengan ketakutan, Adipati Jata Sura pun menurut Kakinya melangkah di bawah ancaman pedang
Pangeran Prapanca. Sedangkan Pranala menahan kelima wanita gundik yang semakin ketakutan. Mereka
berdiri mengumpul di sudut kamar itu, sambil menutupi tubuh mereka.
Adipati Jata Sura terus melangkah menuju
kamar lain Sedangkan Pangeran Prapanca terus menodongkan pedangnya di leher sang Adipati. Namun
tak terduga, tiba-tiba Adipati Jata Sura memberontak
sampai lepas. Kemudian lari keluar.
"Prajurit! Maliiing...!" teriak Adipati Jata Sura membuat para prajuritnya yang
tidur seketika terban-gun. Mereka serentak lari menghampiri.
"Ada apa, Kanjeng Adipati?"
"Tolol! Mengapa kalian tak tahu kalau ada dua
orang maling masuk"!" bentak Adipati Jata Sura,
"Tangkap mereka!"
Prajurit-prajurit kadipaten yang berjumlah sepuluh orang langsung menyerbu ke dalam.
"Tangkap maling!"
"Celaka, Pangeran, kita tak bisa apa-apa lagi,"
bisik Pranala. "Apa boleh buat. Kita layani!"
Dua lelaki bercadar itu segera melesat memapaki serangan kesepuluh prajurit kadipaten yang
memburu ke tempat mereka. Pedang di tangan Pangeran Prapanca dan Pranala bergerak cepat memapaki
serangan pedang dan tombak lawan.
"Hea!"
Wrt! Wrt! Trang! Trang! Pangeran Prapanca dan Pranala nampaknya
tak ingin berlama-lama menghadapi kesepuluh prajurit
Pendekar Gila 25 Sepasang Maling Budiman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kadipaten. Keduanya langsung mengeluarkan jurus silat andalan. Pedang mereka bergerak semakin cepat,
berputar laksana baling-baling. Dari putaran pedang
itu keluar deru angin yang menyentak.
"Kita tak ada waktu, Cadar Ungu! Tumpas saja!" perintah Pangeran Prapanca.
"Baik, Cadar Biru! Heaaa...!"
"Yea!"
Suara riuh rendah, teriakan dan dentang senjata seketika memecah kesunyian malam di lingkungan
kadipaten itu. "Tangkap mereka...!" seru Adipati Jata Sura merasa berani karena para
prajuritnya kini menghadang kedua maling itu.
Para prajurit berusaha merangsek kedua lawannya. Namun dengan cepat keduanya memutar pedang. Lalu tubuh keduanya turut berputar, mengikuti
gerakan pedang. Kejadian itu sangat cepat, dan....
Wrt! Wrt! Cras! Cras! "Akh...!"
Tiga orang prajurit menjerit. Perut mereka terbabat pedang Pranala. Begitu juga dengan yang dilakukan Pangeran Prapanca. Tiga orang yang mengeroyoknya, harus rela melepaskan nyawa mereka. Dada
dan muka mereka terbabat pedang. Darah pun seketika berceceran di tempat pertarungan itu.
Melihat teman-temannya mati, keempat prajurit
yang masih hidup seketika merasa kecut. Mereka menyurut mundur dengan tubuh gemetaran. Namun terdengar Adipati Jata Sura berteriak, memerintah mereka agar menyerang....
"Seraaang! Bunuh saja kedua maling itu...!"
Mau tak mau, keempat prajurit kadipaten itu
kembali bergerak menyerang. Namun dengan keadaan
tekanan jiwa, menjadikan keempat prajurit itu kaku
dan kewalahan menghadapi serangan lawan. Tanpa
kesulitan Pangeran Prapanca dan Pranala membabatkan pedang mereka menghalau para prajurit itu.
Wrt! Cras! Cras! "Akh..,!"
Keempat prajurit kadipaten langsung mendongak sekarat, dengan tangan memegangi perut yang
terbabat pedang. Kemudian dengan mendelik, mereka
ambruk ke tanah dan tewas. Kejadian itu tentu saja
membuat Adipati Jata Sura kembali membelalakkan
mata. Tubuhnya gemetaran. Terlebih lagi ketika Pangeran Prapanca mendekati dirinya dengan pedang berlumuran darah. "Kau mau seperti mereka, Adipati"!" ancam
Pangeran Prapanca sambil mengajukan pedangnya.
"Ampun..., tidak. Ambillah semua hartaku, asal
jangan kalian bunuh aku!" ratap Adipati Jata Sura dengan tubuh semakin
gemetaran. "Cadar Ungu," Pangeran Prapanca memberi
isyarat pada Pranala agar mengikat tangan dan kaki
Kanjeng Adipati Jata Sura.
Setelah menyumbat mulut Adipati Jata Sura,
Pranala segera membantu Pangeran Prapanca menguras habis harta milik Adipati Jata Sura.
Dua karung harta berharga mereka bawa, kemudian dengan cepat meninggalkan kadipaten.
"Ayo, kita harus cepat! Waktu tak ada lagi,"
ajak Pangeran Prapanca sambil melompati pagar tembok kadipaten, diikuti Pranala.
"Hop!"
Dengan ringan kedua lelaki bercadar itu melompat dan hinggap di pagar tembok. Kemudian langsung melompat keluar dari lingkungan kadipaten. Keduanya berlari meninggalkan lingkungan Kadipaten
Wungkalan, menembus gelapnya malam.
Tidak lama kemudian, kelima gundik Adipati
Jata Sura ribut. Hal itu mengundang perhatian warga
yang dekat dengan kadipaten, juga orang-orang yang
bekerja pada kadipaten. Malam itu juga, gempar. Kadipaten telah didatangi maling.
Sementara Pangeran Prapanca dan Pranala seperti biasanya, langsung membagikan hasil curian kepada orang-orang miskin yang membutuhkan.
Kini mereka berada di Desa Kuniran yang masih termasuk wilayah Kadipaten Wungkalan. Keduanya
langsung meletakkan barang-barang berharga di depan
pintu rumah mereka. Setelah selesai membagi-bagikan
hasil curian, mereka kembali melesat pergi menuju ke
barat, tempat Hutan Aseman berada. Mereka pun
menghilang di dalam hutan itu.
*** Kejadian yang menimpa Adipati Jata Sura bukan hanya mengejutkan para pembesar kerajaan. Juragan Durka Pela yang menyangka kedua lelaki bercadar itu sudah mati di tangan Ki Jalna Wangga pun kaget. Bagaimana mungkin orang-orang yang sudah mati
bisa melakukan kejahatan lagi" Juragan Durka Pela
tak habis pikir, mendengar berita tentang dua lelaki
bercadar menjarah Kadipaten Wungkalan.
Satu pihak, mengutuk perbuatan kedua maling
budiman. Pihak ini tentunya berasal dari kalangan
orang-orang besar, para pejabat kerajaan. Namun di
pihak lain, terutama rakyat yang menderita merasa
bersyukur dengan kehadiran kedua maling budiman
yang banyak menolong mereka.
Pagi itu, di ruang pertemuan Istana Kerajaan
Surya Langit nampak hadir seluruh pembesar istana.
Perdana Menteri Giri Gantra, Panglima Utama Rawa
Sekti, sesepuh kerajaan yang terdiri dari lima orang
dan Baginda Raja sendiri, Prabu Awangga telah hadir
di balai pertemuan.
Sementara dari luar istana, telah datang para
adipati. Di situ juga hadir Juragan Durka Pela, serta beberapa tokoh rimba
persilatan yang sengaja diundang baginda raja. Di antara tokoh rimba persilatan,
nampak Tirta Kayonan atau yang lebih terkenal dengan sebutan Pisau Maut. Buto Gege, seorang tokoh
persilatan aliran sesat yang tubuhnya tinggi bagaikan raksasa. Bermuka
menyeramkan dan telanjang dada.
Senjata yang digunakan sebuah martil besar bernama
Martil Dewa. Selain kedua tokoh itu, hadir pula lima orang
tokoh rimba persilatan lainnya. Di antara mereka terdapat Ki Naga Wilis, Nyi Rara Cenil serta sepasang
pendekar muda bergelar Sepasang Jalak Sakti dari Desa Kumbar. Sedangkan seorang lagi, tak lain seorang
resi gemuk berkepala botak dengan senjata tasbih besar dari Perguruan Kuil Perak.
"Saudara-saudara sekalian, tentunya kalian
saya undang kemari telah mengerti apa yang akan kita
bicarakan," ujar Baginda Prabu Awangga, membuka
pertemuan itu. Semua menganggukkan kepala.
"Akhir-akhir ini, wilayah kita dihebohkan
adanya dua orang maling yang oleh rakyat dianggap
maling budiman. Padahal, sebulan lagi putriku akan
me-langsungkan pernikahan dengan pangeran dari Kerajaan Bayu Bumi. Kalau sampai masanya suasana belum juga tenang, bagaimana tanggapan Kerajaan Bayu
Bumi terhadap kita" Untuk itulah, kuharap secepatnya
bereskan kedua maling itu," perintah Baginda Awangga menekankan.
"Daulat, Baginda...!" jawab semua para undangan. "Saya tak tahu, apa kedua
maling itu dari kerajaan kita, atau dari kerajaan lain yang sengaja disusupkan kemari," kembali baginda berkata, setelah menarik napas dalam-dalam.
"Selama ini, kerajaan ki-ta aman. Namun entah mengapa, tiba-tiba kini ketika
putriku hendak melangsungkan perkawinan, muncul
kekacauan. Bagaimana menurutmu, Paman Perdana
Menteri?" Perdana Menteri Giri Gantra menjura dengan
menganggukkan kepala. Wajah lelaki berusia sekitar
lima puluh lima tahun ini, nampak menggambarkan
kelicikan dan keserakahan.
"Ampun, Baginda! Apa yang Baginda titahkan
memang sudah sepantasnya. Karena kalau dibiarkan
kerajaan kita bisa buruk di mata kerajaan lain," ujar Perdana Menteri Giri
Gantra, nadanya menjilat.
"Lalu, bagaimana rencanamu, Paman?" tanya
Baginda Raja ingin tahu, apa rencana yang ada dalam
pemikiran Perdana Menteri Giri Gantra.
"Menurut hamba, kita sebar sayembara. Barang
siapa bisa mendapatkan kedua maling itu, maka padanya akan kita berikan kedudukan di istana sekaligus harta," tutur lelaki penjilat ini sambil menganggukkan kepala. Matanya yang
mengandung kelicikan,
melirik pada Buto Gege yang menyeringai.
"Aku setuju. Bahkan bila perlu, aku rela memberi putriku yang kedua untuk istrinya, jika dia memang lelaki. Tapi jika wanita, maka akan kujadikan
permaisuriku."
Baginda Awangga bagaikan tanpa sadar mengucapkan perintah itu.
"Ampun, Baginda! Apakah Baginda sadar bersabda begitu?" tanya Ki Samaika, salah seorang sesepuh istana yang dianggap
paling tua serta sangat dihormati. "Memangnya kenapa, Ki Resi" Apakah salah jika aku bersabda begitu?" tanya Baginda Awangga belum menyadari.
"Ampun, Baginda! Memang sabda seorang raja
tak salah. Tetapi, mungkin ada kekeliruan yang harus
dibenahi atau dipertimbangkan kembali," ujar Ki Samaika berusaha mengingatkan.
"Tidak bisa, Ki! Kau jangan menentang Baginda!" hardik Perdana Menteri Giri Gantra, "Sabda Baginda berarti hukum! Dan sabda
seorang raja, disaksikan serta diperintahkan para dewata. Adalah hal yang
tidak benar, jika seorang raja menarik sabda yang telah diucapkan."
Ki Samaika terdiam. Nampaknya orang tua berusia sekitar tujuh puluh lima tahun ini, tak mau ber-debat dengan perdana
menteri kerajaan. Itu pula yang
membuat Ki Samaika hanya mengalah diam.
"Ampun Baginda Yang Mulia! Bukan maksud
hamba melancangi titah Baginda," kata Perdana Menteri Giri Gantra sambil
menyembah. "Tidak apa, Paman. Memang apa yang kau katakan benar adanya. Sabda seorang raja, tidak boleh
ditarik kembali. Maka itu, besok perintahkan sebar
sayembara itu. Siapa pun orangnya, berhak mengikuti
sayembara ini!" titah Baginda Prabu Awangga. Semua terdiam, tak ada yang dapat
lagi berkata-kata, termasuk Ki Samaika. Walau dalam hati orang tua itu menyesalkan sabda Baginda Raja, tetapi sebagai seorang
penasihat dirinya tak mungkin menentang keputusan
saja. Keputusan seorang raja, merupakan hukum kuat
yang harus dijalankan semua orang yang menjadi rakyat kerajaan. "Daulat, Baginda! Segala titah Baginda, akan
segera hamba laksanakan," jawab Perdana Menteri Giri Gantra sambil menyembah.
Senyum tipis mengembang
di bibirnya. "Kurasa tak ada masalah lagi. Maka itu, pertemuan saya tutup!" kata Baginda Raja, kemudian berlalu meninggalkan ruang
pertemuan. Satu persatu semuanya pergi, kini di dalam
ruang pertemuan tinggal lima orang sesepuh kerajaan
yang masih termenung. Mereka nampaknya masih
memikirkan tentang keputusan baginda. Mulut mereka
bungkam. Hanya mata mereka yang dihias alis putih
tampak saling berpandangan satu sama lain.
*** 6 Empat orang prajurit Kerajaan Surya Langit
nampak memacu kuda mereka yang berlari ke arah
barat, menuju Desa Kaliamba. Di tangan salah seorang
prajurit yang paling depan, tergenggam selembar gulungan kain. Keempatnya berhenti tepat di depan sebuah kedai. Setelah menambatkan kuda, mereka langsung memasang gulungan kain yang bertuliskan pengumuman pada pohon mangga di depan kedai itu
Setelah memasang pengumuman itu, keempat
prajurit kerajaan segera meninggalkan tempat itu.
Orang-orang yang ada di kedai, termasuk Pendekar Gila dan Mei Lie, keluar ingin tahu apa isi pengumuman
itu. "Kakang, nampaknya pihak kerajaan tak suka
dengan kedua lelaki bercadar itu," kata Mei Lie setelah membaca isi pengumuman
sayembara itu. "Aha, kau benar. Nampaknya kedua orang itu
kini menjadi perhatian pihak kerajaan," gumam Sena sambil cengengesan dengan
tangan menggaruk-garuk
kepala. "Lalu, apa yang harus kita lakukan, Kakang?"
tanya Mei Lie. "Kita?" gumam Sena sambil mengerutkan kening. Kemudian terdengar tawanya yang lepas sambil
menggaruk-garuk kepala. Hal itu menjadikan Mei Lie
cemberut "Lucu sekali...! Hi hi hi...! Untuk apa kita mesti pusing-pusing" Kita
belum jelas masalahnya,
Mei Lie." "Tapi, pihak kerajaan nampaknya sangat membutuhkan pertolongan kita," tukas Mei Lie.
Pendekar Gila tak langsung menjawab. Sesaat
wajahnya nampak tercenung. Namun, kemudian kembali terdengar suara tawanya yang nyaring. Tangannya
menggaruk-garuk kepala. Hal itu membuat semua
orang yang melihat tingkah lakunya, memandang heran pada Pendekar Gila. Namun Sena tak menghiraukannya. Mulutnya masih cengengesan sambil mengga
Pendekar Gila 25 Sepasang Maling Budiman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ruk-garuk kepala.
"Ah, dunia ini memang sulit...," gumamnya setengah mengeluh. "Kadang kala, orang
benar disalahkan. Tetapi, orang salah dibenarkan. Seperti hukum
rimba. Kalau yang kuat akan semakin di atas. Sedangkan yang lemah, akan semakin di bawah bahkan terinjak." "Apa maksudmu, Kakang?" tanya Mei Lie belum memahami ungkapan yang baru
saja dikatakan Sena.
Mata gadis Cina yang cantik itu, memandang lekat wajah kekasihnya yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala
"Ah ah ah..., kadang aku bingung, atau memang aku yang sudah gila" Hi hi hi...! Lucu sekali!"
gumam Sena lagi sambil tertawa cekikikan, "Gila..."
Ah, memang aku ini gila! Namun kurasa masih banyak
orang yang melebihi aku gilanya."
"Aku tak mengerti, Kakang," keluh Mei Lie dengan kening masih mengerut,
menyaksikan tingkah laku Pendekar Gila. Tingkah laku dan ucapannya. Semakin aneh bagi Mei Lie. Kadang kala, mimik muka
Pendekar Gila tercenung. Tetapi sebentar kemudian
tersenyum cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. "Inikah kehidupan yang beradab...?" tanya Se-na, seperti bertanya pada
diri sendiri. "Ah ah ah, sangat lucu sekali! Kadang orang menutupi kejahatan
dengan kebaikan. Lucu...! Hi hi hi...!"
Mei Lie semakin tak mengerti dengan kata-kata
yang diucapkan Pendekar Gila. Dirinya memang belum
begitu dalam menghayati kehidupan. Tidak seperti Sena, yang telah lama menghayati kehidupan dengan
berkelana. Perasaan mereka pun berbeda. Mei Lie senantiasa cepat emosi dan tersinggung. Sebaliknya Sena nampak tenang dan selalu berusaha memahami kejadian di sekitarnya dengan pikiran tenang. Bahkan
sekilas seperti bercanda. Cekikikan, cengengesan, tertawa terbahak-bahak atau
tersenyum-senyum sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Mei Lie, kau baca sekali lagi isi pengumuman
itu! Lalu resapilah maksudnya," ujar Sena seraya menunjuk pengumuman sayembara
itu. Mei Lie menurut, dengan lafal terputus-putus
bahasanya dia membaca isi pengumuman itu.
Barang siapa yang dapat menangkap hidup
atau mati, penjahat-penjahat kerajaan yang telah membuat keonaran dengan mencuri
dan merampok beberapa orang pembesar kerajaan, maka akan mendapat
ganjaran dari Baginda Raja. Jika yang berhasil menangkap kedua maling lelaki,
akan dinikahkan dengan putri baginda yang kedua, Putri Dyah Ayu Pitasari, adik
Putri Dyah Sari Sekar Arum.
Kedua penjahat itu sangat berbahaya jika dibiarkan. Terbukti sejak kemunculannya, telah meng-hambat pembangunan jalan. Hal
itu karena adanya kejadian yang menimpa Ki Durka Pela dan Adipati Jata
Sura yang bertanggung jawab dalam pembuatan jalan tersebut.
Baginda Raja Sutya Langit.
Prabu Awangga. "Aha, bagaimana menurutmu, Mei?" tanya Sena setelah melihat Mei Lie selesai
membaca. Mei Lie menggeleng-gelengkan kepala. Pendekar
Gila tersenyum cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Aku tak mengerti, Kakang. Kurasa, pihak kerajaan benar," sahut Mei Lie, yang membuat Pendekar Gila tertawa. Sepertinya
ucapan Mei Lie lucu sekali.
"Hua ha ha...!"
Mei Lie yang merasa ditertawakan merengut,
Pendekar Gila menghentikan tawanya. Kemudian dengan masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala, Sena berujar.
"Ah ah ah..., kurasa kau tak bisa menyalahkan
dan membenarkan salah satu pihak, tanpa lebih dahulu mengetahui masalah yang sebenarnya, Mei."
"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Kakang?"
tanya Mei Lie meminta saran, "Kalau kita hanya diam kurasa pihak kerajaan akan
menuduh kita bersekong-kol dengan mereka."
Pendekar Gila tidak langsung menjawab. Tangannya mencabut bulu burung yang terselip di ikat
pinggangnya. Kemudian dikoreknya telinga dengan bulu burung itu. Mulutnya cengengesan, sedang matanya
memandang ke atas.
"Ah ah ah, sulit..., sulit memang! Tapi kita harus bisa bertemu dengan kedua maling itu," ujar Sena.
"Untuk apa, Kakang?"
"Aha, kurasa mereka melakukan pencurian dan
membagi-bagikan harta hasil curian pada penduduk,
karena ada alasan tertentu, Mei," ujar Sena berusaha menjelaskan. "Ah, lebih
baik kita masuk ke kedai, daripada di sini terkena terik matahari."
Mei Lie pun menurut, melangkah seiring bersama kekasihnya kembali ke dalam kedai. Keduanya
baru saja hendak masuk, ketika dari arah timur nampak dua orang lelaki satu menunggang kuda dan satunya lagi berjalan menuju kedai.
Pendekar Gila dan Mei Lie tak peduli dengan
kedatangan kedua orang berwajah garang itu. Orang
yang berjalan, bertubuh tinggi besar seperti raksasa.
Dadanya berbulu lebat. Matanya garang. Orang ini tak
lain Buto Gege. Sedangkan orang yang naik kuda,
meski badannya besar, tetap tak sebesar dan setinggi
manusia raksasa itu.
Penunggang kuda itu kalau dilihat dari pakaiannya terbentuk jubah tentu seorang resi. Kepalanya botak plontos. Di lehernya tergantung sebuah
kalung tasbih besar. Dialah Resi Wisangkara, dari Kuil Perak. Kuda yang
ditungganginya terus melangkah
ringan, seakan tak membawa beban sama sekali.
Kedua tokoh hitam itu terus menuju kedai di
ujung Desa Kaliamba. Pendekar Gila dan Mei Lie nampak telah berada di dalam kedai, seakan tak mempedulikan kedatangan dua lelaki bertubuh besar itu.
Namun baru saja Pendekar Gila dan Mei Lie hendak
duduk, tiba-tiba keduanya disentakkan oleh suara keras dan menggelegar laksana guruh.
"Di mana maling pengecut itu"! Hai..., katakan!
Di mana maling-maling tolol itu"! Atau Buto Gege akan memangsa kalian"!" bentak
Buto Gege sambil menyeringai, menunjukkan gigi-giginya yang coklat menyeramkan. Matanya yang lebar, melotot menatap ke kedai. Pendekar Gila karena terkejut, mengurungkan
niatnya untuk duduk. Matanya memandang keluar.
Terdengar suara tawa nyaring dari mulutnya ketika
melihat dua manusia besar itu membentak-bentak
orang-orang di kedai.
"Hua ha ha...! Kau lihat sendiri, Mei" Lucu sekali mereka itu. Mereka tak ubahnya cecurut besar
yang suka menjilat kotoran. Hua ha ha...!" seru Sena sambil tertawa terbahakbahak. Hal itu tentu saja
membuat kedua manusia besar di luar tersentak kaget.
Seketika mata keduanya memperhatikan ke dalam kedai, seakan ingin membuktikan orang yang berani
mentertawai mereka.
"Bocah gila! Sinting...! Lancang sekali mulutmu!! Rupanya kau teman kedua maling tolol itu"!" bentak Resi Wisangkara dengan
suara keras dan parau.
Hatinya marah mendengar ejekan Pendekar Gila.
Sementara itu orang-orang yang berada di dalam kedai tampak bingung dan serba salah. Mereka
ketakutan dan cemas menyaksikan kedua manusia
bertubuh besar yang masih berada di luar kedai. Namun untuk turut campur jelas tak ada yang berani.
Mata mereka silih berganti memperhatikan pemuda gila yang berada di dalam kedai, lalu menoleh pada kedua lelaki yang sedang marah-marah itu.
Para pengunjung kedai itu merasa heran pula
melihat keberanian pemuda gila mengejek Buto Gege
dan Resi Wisangkara. Namun semua hanya diam
membisu, ketakutan. Tak ada yang menyahuti katakata kedua orang besar itu.
"Hua ha ha...! Lihat Mei Lie, kurasa merekalah
yang tolol! Karena mereka menjilati kotoran. Hi hi
hi...!" teriak Sena sambil tertawa-tawa dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Sikapnya yang konyol membuat Buto Gege dan Resi Wisangkara terbelalak karena
begitu marah. Hati mereka benar-benar tersinggung
mendengar ucapan seenaknya dari mulut pemuda bertingkah laku mirip orang gila itu.
"Grrr! Keluarlah kau, Bocah Sinting"!" geram Buto Gege sambil mengayunkan
martilnya yang besar
hingga menimbulkan angin. Lalu dengan kuat dihantamkan martil raksasa itu ke kedai.
Wuttt! Brakkk! Kedai itu porak-poranda terhantam Martil Dewa
di tangan Buto Gege. Orang-orang di dalam kedai berteriak-teriak ketakutan. Ada di antara mereka yang ter-luka, tertimpa kayu
bangunan. Bagi mereka yang telah
lebih dulu lari menghindar tentu saja selamat dari ke-jatuhan dinding kayu kedai
itu. Sementara Pendekar
Gila dan Mei Lie yang telah melompat keluar tak terke-na hantaman Martil Dewa
itu. "Hua ha ha...! Dasar raksasa tolol!" seru Sena sambil cengengesan. Kini tubuhnya
telah berada sepuluh tombak dari kedai yang hancur. "Ah ah ah, kurasa binatang
hutan ini harus dijinakkan, Mei?"
"Kakang, apakah Kakang akan diam dan menimbang-nimbang lagi jika sudah begini?" tanya Mei Lie nampak sudah tak sabar.
Matanya menatap tajam
ke arah dua manusia besar yang kini melangkah menuju ke arah mereka.
"Aha, kurasa tidak, Mei. Jelas mereka mengajak
kita main-main," jawab Sena sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk
kepala. "Aku juga muak melihat kedua manusia sombong itu," rungut Mei Lie dengan pandangan penuh kebencian terhadap dua manusia
besar yang kelihatan
angkuh. Seakan, keduanya hendak menyombongkan
diri, sehingga melangkah pun dengan cara membusungkan dada. "Aha, kurasa mereka memang tikus-tikus sombong. Badan mereka saja yang besar, tetapi berotak
kerbau!" ujar Pendekar Gila sambil tertawa-tawa. Hal itu sengaja untuk memancing
kemarahan kedua manusia besar itu.
"Kurang ajar! Bocah gila, jika kau ingin selamat, cepat katakan, di mana kedua maling itu berada"!" bentak Resi Wisangkara dengan menggeram marah. Tasbih besar yang tadi
dikalungkan di leher, kini telah berada di tangan kanannya. Setelah melompat
dari kuda, kakinya perlahan-lahan melangkah mendekati Pendekar Gila dan Mei Lie yang berada di sebelah barat sepuluh tombak dari
kedua lelaki besar itu.
"Hm...! Grrr! Rupanya tulang tubuhmu minta
kuremukkan, Bocah Edan!" bentak Buto Gege marah
merasa dihina sebagai kerbau dungu. Martil Dewa di
tangannya diputar dengan cepat hingga mengeluarkan
suara menderu-deru disertai angin.
Werrr! Werrr! *** Buto Gege terus memutar Martil Dewa semakin
kencang. Angin yang keluar laksana topan. Orangorang yang terkena sambaran angin dari Martil Dewa
di tangan Buto Gege, seketika terpental seperti dihem-paskan suatu kekuatan
dahsyat. Kedai yang ambruk,
turut tersapu angin besar itu.
Werrr! Werrr! Srakkk! Srakkk!
"Hua ha ha....!"
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak seperti
merasa ada sesuatu yang lucu. Tangannya terus
menggaruk-garuk kepala. Buto Gege yang merasa ditertawakan seperti itu meledaklah kemarahannya. Serta merta dipercepat gerakan tangannya memutar Martil Dewa. Werrr! Werrr! Angin pun menderu bertambah kencang. Para
pengunjung kedai sudah tak berani berada di dekat
kedai. Namun Pendekar Gila masih berdiri dengan suara tawanya yang semakin keras. Seakan-akan angin
besar itu tak berarti sama sekali baginya. Sementara
itu, Mei Lie tampak telah menggenggam erat-erat Pedang Bidadarinya, berusaha menahan serangan kekuatan dahsyat dari Martil Dewa.
"Hua ha ha! Lucu sekali kau, Buto Tolol"!" ejek Sena sambil terus tertawa
terbahak-bahak dengan
tangan menggaruk-garuk kepala. Bahkan sesekali mulutnya terdengar bernyanyi-nyanyi. Matanya memejam-mejam seperti hendak tidur. "Ah, segar sekali!
Mengapa tak dari kemarin kau mengipas tubuhku ini"
Hua ha ha...! Hua ha ha...! Terus, putar terus kipasmu...!" Buto Gege dan Resi Wisangkara tersentak kaget menyaksikan Pendekar Gila
tak terpengaruh sama sekali. Mata mereka membelalak seakan tak percaya
dengan apa yang mereka saksikan. Bagi kedua manusia besar itu sungguh tak masuk akal. Tubuh pemuda
berompi kulit ular itu ternyata mampu bertahan terhadap serangan angin besar yang keluar dari putaran
Martil Dewa di tangan Buto Gege. Bahkan pemuda gila
itu tertawa semakin keras sambil memejam-mejamkan
mata. "Bocah sombong! Rupanya kau mencari mampus, berani menghina Buto Gege!" dengus Buto Gege sambil menghantamkan martil
raksasanya ke tubuh
Pendekar Gila. "Remuk tubuhmu! Heaaa...!"
"Mei Lie, awaaas!" teriak Sena mengingatkan kekasihnya yang langsung melompat ke
samping. Sementara dia sendiri langsung melenting ke atas.
Wuttt! Glarrr...! Ledakan dahsyat menggelegar terdengar, ketika
Martil Dewa menghantam tanah. Tanah yang terkena
hantaman martil itu, hancur berhamburan menganga
Pendekar Gila 25 Sepasang Maling Budiman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan cukup dalam.
"Hua ha ha...! Kau benar-benar tolol, Buto"!
Kenapa tanah kosong kau hantam?" ejek Sena yang telah bertengger di atas
sebatang cabang pohon sambil
masih terdengar pula suara tawanya. Tingkah lakunya
mirip seekor kera. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Sedangkan tubuhnya berjingkrak-jingkrakan. Sehingga dedaunan pohon itu tampak bergetar.
"Kurang ajar!"
"Kau hadapi dia, Buto! Biar aku meringkus gadis cantik itu," seru Resi Wisangkara sambil menatap Mei Lie. "Baik! Tapi kalau
berhasil, akulah yang lebih dahulu!" sahut Buto Gege sambil menolehkan kepala
kepada Mei Lie yang masih menggenggam erat pedangnya.
"Baik," sahut Resi Wisangkara sambil tersenyum, kemudian dia segera melangkah ke arah Mei Lie
yang nampaknya sudah siap dengan sambutannya.
Mei Lie segera menggerakkan Pedang Bidadarinya dengan jurus 'Tarian Bidadari'. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari.
"Hea!"
"He he he...! Nisanak lebih baik menyerah! Kau
akan kujadikan istriku yang ketiga kalau kau mau
menyerah," ujar Resi Wisangkara sambil terkekeh, merendahkan siapa gadis yang
hendak dihadapinya.
Bahkan resi dari Kuil Perak itu nampak tenang, menganggap Mei Lie bukan lawan yang perlu ditakuti
"Huh, kalau memang aku kalah, aku rela mati
di tanganmu!" dengus Mei Lie dengan sengit. Kemudian dengan masih bergerak
menari, gadis itu mulai
melakukan serangan pada Resi Wisangkara.
"Heaaa...!"
Wut! Wuttt! Pedang Bidadari yang mengeluarkan sinar kuning kemerah-merahan semakin mendekat ke tubuh lawan. Lelaki tua berkepala botak itu tiba-tiba tersentak kaget. "Heh"!"
Dengan mata terbelalak kaget, Resi Wisangkara
melompat ke belakang. Matanya memandang tajam,
hampir tak percaya pada apa yang dialaminya barusan. Dirinya tak menyangka, kalau gadis Cina di hadapannya ternyata bukan gadis sembarangan. Terbukti dengan serangan yang hampir saja merenggut
nyawanya. Kalau saja kakinya tak segera melompat ke
belakang, pedang Mei Lei yang mampu menghancurkan tubuh lawan itu pasti membabatnya.
"Hm, rupanya kau bukan gadis sembarangan,
Nisanak"! Baik, aku pun tak segan-segan meladenimu," kata Resi Wisangkara sambil memutar tasbih be-sarnya yang berwarna hijau.
Wrt! Srakkk...!
"Hm, memang itulah yang kuinginkan, Resi Cabul! Heaaa...!"
"Yea!"
Mei Lie segera melesat dengan jurus 'Bidadari
Menyentak Selendang'. Tangannya bergerak merentang
dan kaki kanannya diajukan. Kemudian dengan cepat,
kedua tangannya yang merentang bergerak menyerang. Pedang Bidadari di tangan kanannya terus berkelebat memburu sasaran. Dari gerakan pedang itu keluar hawa panas.
Wuttt! Wuttt! "Aits!"
Dengan cepat Resi Wisangkara merundukkan
tubuh sambil menggeser kedudukan kakinya tiga
langkah ke kanan. Lalu dengan jurus 'Musang Menyelimut Tubuh', lelaki tua berkepala botak itu membalas serangan. Dikibaskan dan
diputar-putar tasbihnya
menyerang Mei Lie.
Wert! Crakkk...!
Cletarrr...! "Haits...! Hea...!"
Dengan memiringkan tubuh, Mei Lie mengelakkan sambaran tasbih hijau itu. Lalu setelah berhasil
lolos dari serangan lawan, dengan cepat Mei Lie melancarkan tendangan kaki kiri
ke dada lawan. Melihat lawan menendang, Resi Wisangkara segera memapakinya dengan pukulan tangan kiri. Namun, ternyata tendangan yang dilakukan Mei Lie
hanya se-bagai gerak tipu. Ketika lawan menangkis,
dengan cepat Mei Lie menarik serangan. Lalu tanpa diduga gadis cantik berpakaian hijau itu melancarkan
sebuah pukulan dahsyat.
"Hea!"
Wuttt! "Heh"!"
Resi Wisangkara yang tak menduga akan diserang begitu cepat, berusaha mengelak. Namun gerakan tangan Mei Lie yang disertai pengerahan tenaga
dalam, datang lebih cepat. Tak ada kesempatan bagi
lelaki berkepala botak itu untuk mengelak. Yang dapat dilakukan hanya balas
menyerang dengan tasbih be-sarnya. Tanpa sungkan lagi, Resi Wisangkara segera
mengibaskan tasbihnya ke tangan Mei Lie.
"Hea!"
Melihat lawan hendak menyerang dengan tasbihnya, Mei Lie segera menarik pukulan tangannya.
Kemudian sambil mengelit ke samping dengan cepat
dibabatkan Pedang Bidadari, memapak tasbih yang
menderu di atas kepalanya.
Jletarrr! Prakkk! Ledakan keras memekakkan telinga terdengar
ketika pedang Mei Lie berhasil menyambar tasbih lawan. Prelll! "Hah...!"
Mata Resi Wisangkara terbelalak kaget. Lelaki
besar berkepala botak dan bermuka bengis itu, melompat ke belakang. Matanya memandangi tasbihnya
yang hancur berantakan, terbabat pedang Mei Lie.
"Celaka! Dia bukan gadis biasa!" gumam Resi Wisangkara dengan wajah menampakkan
ketegangan. Dia benar-benar tak menyangka kalau tasbihnya yang
merupakan senjata sakti dan terbuat dari batu-batu
pualam rontok terbabat pedang lawan.
Merasa tak unggulan menghadapi gadis Cina
itu, tanpa membuang waktu lagi Resi Wisangkara melesat kabur. Wajahnya begitu pucat, setelah menyadari kalau lawan menghendaki
biasa saja menghabisi nyawanya. "Mungkinkah dia yang bernama Bidadari Pencabut
Nyawa?" gumam Resi Wisangkara sambil terus berlari, meninggalkan Mei Lie yang
tampak tersenyum.
"Celakalah aku kalau dia benar-benar Bidadari Pencabut Nyawa!"
Sementara, Pendekar Gila yang menghadapi
Buto Gege masih bergerak ke sana kemari, mengelakkan hantaman-hantaman Martil Dewa. Buto Gege
tampaknya tak ingin lawan dapat melakukan serangan
balasan. Diserangnya terus Pendekar Gila tanpa henti.
Wrt! Wrt! Glarrr...! Brakkk! Martil Dewa kembali menghantam pohon, hingga hancur berantakan. Sedangkan Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepala.
"Hi hi hi...! Aku di sini, Buto Tolol!" seru Sena sambil tertawa-tawa.
"Grrr! Kurang ajar! Remuk tubuhmu!" Buto
Gege kembali menghantamkan Martil Dewa ke pohon
tempat Pendekar Gila bertengger. Namun dengan cepat
pemuda itu melompat berpindah ke pohon lain.
Wrt! Brakkk! "Hua ha ha...! Matamu buta, Raksasa Tolol.
Mengapa pohon kau hantam?" ejek Sena sambil terta-wa. Tanpa diketahui tiba-tiba
tubuhnya telah bertengger di cabang pohon yang lain. "Ah ah ah...! Tempatmu di hutan. Tetapi, mengapa
kau merusak pepohonan?"
"Kurang ajar! Kali ini tak akan luput dari Martil Dewaku, Bocah Gila! Hm...!
Hiaaa...!"
Buto Gege yang marah karena sejak tadi diledek oleh Pendekar Gila, segera memutar Martil Dewanya. Angin menderu-deru keras dan menggetarkan
disertai hawa panas yang menyengat. Semakin cepat
Martil Dewa diputar, nampak martil itu mengalami perubahan. Dari Martil itu, keluar lidah api.
"Heaaa!"
Wusss...! Melihat Buto Gege mengarahkan lidah api yang
keluar dari kepala martil dengan cepat Pendekar Gila
mengeluarkan ajian 'Inti Bayu'nya.
"Heaaa!"
Wusss! Wusss...!
Besss...! Dua kekuatan sakti saling bertemu. Api yang
semula hendak menyerang ke tubuh Pendekar Gila,
seketika padam terhempas hawa dingin dari angin
yang keluar dari ajian 'Inti Bayu'.
Disertai amarah meledak-ledak Buto Gege memutar Martil Dewa dengan kekuatan tenaga dalam
yang luar biasa. Dari putaran senjata itu muncul angin dahsyat yang
menghembuskan hawa dingin. Orang-orang yang berada di sekitar tempat pertarungan
me- rasa menggigil kedinginan.
"Hi hi hi...! Enak sekali kipasmu," kata Sena sambil tertawa cekikikan "Ah,
membuatku mengantuk sekali." Dengan mata memejam-mejam seperti orang mengantuk,
Pendekar Gila mengerahkan tenaga in-tinya ke seluruh tubuh. Sehingga tubuhnya
tidak me- rasa dingin. Yang dirasakan hanya hawa sejuk.
"Kurang ajar! Kuremukkan tubuhmu, Bocah
Gila!" Buto Gege kini mengangkat martilnya tinggi-tinggi. Kemudian dengan kuat
dihantamkan martil besar itu ke tubuh lawan. Namun sebelum senjata lawan
sempat menerjang, dengan cepat Pendekar Gila mencabut Suling Naga Saktinya. Dan secepat kilat pula
disabetkan suling itu untuk menangkis Martil Dewa.
Wrt! Srt! Trakkk! "Heh"!"
Membelalak mata Buto Gege, melihat suling di
tangan Pendekar Gila. Mulutnya menganga dan tubuhnya seketika menggigil bagai kedinginan, "Kau"!
Kau Pendekar Gila...?"
"Aha, kenapa tubuhmu Buto Gege?" tanya Sena dengan mulut cengengesan Sedangkan
tangannya masih menangkiskan Suling Naga Sakti ke senjata lawan
yang semakin lama semakin melemah.
"Tidak! Ampuuun...!" teriak Buto Gege sambil menarik senjatanya. Kemudian
manusia raksasa itu
berlutut, sambil melakukan sembah. Keadaan itu
membuat Pendekar Gila dan Mei Lie mengerutkan kening, tak mengerti mengapa manusia raksasa itu berbuat begitu. "Aha, kenapa kau seperti dikejar setan, Raksasa?" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Matanya menatap keheranan pada
Buto Gege yang masih
bersujud sambil meraung-raung bagaikan ketakutan.
"Ampun, Tuan...! Ampun...! Hukumlah hambamu yang bodoh dan dungu ini!" Buto Gege terus meraung-raung minta ampun sambil
bersujud di depan
Pendekar Gila. Seolah akan diterimanya apapun hukuman dari Pendekar Gila.
Namun Pendekar Gila dan Mei Lie masih tak
mengerti, mengapa Buto Gege berlaku begitu.
"Ah ah ah, kau aneh sekali, Raksasa" Aku...,
aku tak mengerti dengan tingkahmu. Hi hi hi...!" Sena cekikikan sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Kenapa dia, Kakang?" tanya Mei Lie yang juga heran melihat keganasan Buto Gege
yang tiba-tiba hilang. "Aha, mana aku tahu?" sahut Sena sambil cengengesan
dengan tangan masih menggaruk-garuk kepala. "Aha, bangunlah, dan ceritakan mengapa kau ini!"
Dengan perlahan Buto Gege bangun. Kepalanya
tertunduk, tak berani memandang Pendekar Gila. Hal
itu membuat Sena semakin tak mengerti. Mulutnya
semakin cengengesan.
"Aha, kenapa kau, Raksasa?" tanya Sena.
Buto Gege sejenak melakukan sembah sambil
berdiri, kemudian dengan suara berat dan besar Buto
Gege pun menceritakan siapa dia sebenarnya. Dikatakan, bahwa dirinya saudara dari Kemuning Wangi.
Kemuning Wangi adalah kekasih dari Pendekar Gila.
Puluhan tahun yang silam, keduanya menjalin cinta.
Keduanya saling menyayangi. Namun cinta mereka
kandas, setelah kehadiran Buto Gege.
"Aha, mengapa kau salah, Raksasa. Aku bukan
Pendekar Gila yang kau maksudkan. Aku hanyalah
muridnya," ujar Sena menjelaskan.
"Jadi, kau murid Kakang Singo Edan?" tanya
Buto Gege. "Aha, benar!" jawab Sena.
"Oh, syukurlah kalau begitu! Walau kau muridnya, aku tetap mau meminta maaf padanya lewat
kau. Aku merasa bersalah. Karena semenjak kehadiranku, mengakibatkan kakakku menderita. Sampaisampai kakakku tak mau melihat dunia lagi," tutur Buto Gege.
"Maksudmu?" tanya Mei Lie menyala.
"Siapa dia, Pendekar...?" tanya Buto Gege, seraya menoleh pada Mei Lie.
Memburu Manusia Setan 2 Cinta Bernoda Darah Serial Bu Kek Sian Su 3 Karya Kho Ping Hoo Kisah Membunuh Naga 36
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama