Ceritasilat Novel Online

Hijaunya Lembah Hijaunya 21

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 21


Mahisa Murti segera meloncat mendekat. Tetapi
perempuan tua itu sudah terjatuh di tanah.
" Jangan membunuh diri begitu nek." minta Mahisa
Murti. Tetapi segalanya sudah terlambat. Mahisa Murti y ang
kemudian berjongkok di sebelahnya berkata, "Seharusnya kau
tidak perlu melakukannya."
Tetapi perempuan itu sudah tidak mungkin ditolong lagi.
Tubuhnya y ang sedang sangat lemah, sama sekali tidak
mempunyai day a tahan terhadap ketajaman bisa di senjatanya
sendiri. Mahisa Murti hanya dapat m enarik nafas dalam-dalam.
Kemudian ia pun berpaling kepada ketiga orang yang tidak
berday a yang bersandar pada dinding kebun yang kosong itu.
"Kalian menjadi saksi apa yang telah terjadi disini."
berkata Mahisa Murti. Orang-orang itu hanya mengangguk kecil.
Mahisa Murti pun kemudian telah mendekati m ereka.
Memijat beberapa buah simpul syarafnya sehingga kemudian
ketiga orang itu telah mampu bangkit dan berdiri tegak.
Kekuatan mereka seakan-akan dengan cepat telah pulih
kembali, sehingga mereka dapat berbuat sesuatu sebagaimana
sediakala. "Kau urus perempuan itu," berkata Mahisa Murti, "bawa
mayatnya ke banjar dan katakan apa yang telah terjadi dengan
benar. Mereka y ang ada di banjar tentu akan lebih percaya
kepada kalian daripada kepadaku sendiri."
Ketiga orang itu mengangguk-angguk. Sementara itu
Mahisa Murti berkata, "Senjata y ang meny erupai kuku itu
beracun. Jangan sampai seorang pun di antara kalian atau
orang lain tergores sehingga terluka. Racun y ang m eny entuh
darah akan dengan cepat membunuh orang yang terkena
goresannya itu." Ketiga orang itu mengangguk. Seorang di antara mereka
berkata, "Apakah kau juga akan segera kembali ke banjar?"
"Ya," jawab Mahisa Murti. "tetapi aku akan mendahului
kalian." Ketiga orang itu tidak bertanya lagi. Sementara itu,
Mahisa Murti pun dengan tergesa-gesa telah meninggalkan
tempat itu. Ternyata Mahisa Murti lebih dahulu sampai di banjar.
Tetapi Mahisa Murti tidak memasuki halaman lewat regol. Ia
telah meloncati dinding dan langsung pergi ke biliknya.
"Aku telah gagal," desis Mahisa Murti ketika ia sudah
berada di dalam biliknya bersama Mahisa Pukat dan Mahisa
Semu yang menunggunya dengan gelisah.
Dengan jelas Mahisa Murti menceriterakan apa y ang
sudah terjadi sehingga perempuan tua itu telah m embunuh
dirinya sebelum dapat diajukan satu pertanyaan pun
kepadanya. Orang itu menjadi pucat. Ia menyadari, jika
persoalannya diserahkan kepada orang-orang padukuhan itu,
maka ia akan mengalami perlakuan y ang sangat menyakitkan.
Meny akitkan hati dan bahkan akan menyakitkan sekali bagi
tubuhnya y ang masih sangat lemah oleh luka-lukanya yang
agak parah. Sementara itu, agaknya Ki Buyut pun telah kehilangan
kesabarannya dan mendesaknya, "Kau jangan menunggu
sampai terlambat. Sebenarnya aku pun takut sekali
mendengar jawaban yang akan kau ucapkan. Tetapi kau harus
mengatakannya." Orang y ang bertubuh tinggi tegap itu m emang m enjadi
ketakutan. Tetapi mulutnya tidak segera dapat m engucapkan
jawaban. Karena itu, maka.
"Baiklah," berkata Ki Buyut yang kemudian berpaling
kepada isteri laki-laki y ang bertubuh tinggi tegap itu, "relakan
suamimu. Aku akan meny erahkannya kepada orang-orang
padukuhan." " Jangan, jangan." isterinya berteriak.
"Aku tidak memerlukan lagi," berkata Ki Buyut pula, "ia
tidak mau membantu memecahkan persoalan ini. Ia lebih baik
diam daripada menolong dirinya sendiri."
Perempuan itu pun telah berlari mendapatkan
suaminya. Sambil menangis ia berkata, "Katakan, katakan
kakang, di mana bay i-bay i itu agar kau tidak mengalami siksa
yang sangat mengerikan dari orang-orang padukuhan yang
marah." Laki-laki itu masih terdiam sesaat. Namun tiba-tiba saja
ia tidak dapat menahan gejolak hatinya. Ketakutan, gelisah,
kecewa tetapi juga meny esal y ang dalam sekali. Seperti kanakkanak
maka laki-laki itu tiba -tiba saja telah menangis.
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat pada
tangis laki -laki yang bertubuh tinggi tegap dan garang itu
peny esalan y ang sangat mendalam.
Untuk beberapa saat Ki Buyut hanya berdiam diri saja
menyaksikan laki -laki yang bertubuh tegap dan garang itu
menangis. Sementara isterinya pun dengan demikian telah
menangis semakin keras. Bahkan meraung-raung sekeraskerasnya.
Bagaimanapun juga, saudara -saudaranya laki-laki tidak
sampai hati membiarkan adik perempuannya mengalami
tekanan batin yang sangat berat. Karena itu, maka mereka
telah mencoba untuk menenangkannya.
"Kau tidak bersalah." berkata salah seorang kakaknya.
"Salah suamiku adalah salahku." jawab perempuan itu.
"Kau tidak akan ikut dihukum." berkata saudaranya
yang lain. Tetapi perempuan itu menjawab, "Jika suamiku
dihukum, aku pun harus dihukum."
Saudara-saudaranya menarik nafas dalam-dalam.
Sementara itu Ki Buyut yang berdiri pada satu jarak tertentu
dengan keluarga itu menjadi termangu-mangu. Namun ia
masih belum m endapat jawaban atas pertanyaan tentang dua
orang bay i y ang hilang itu.
Meskipun demikian Ki Buyut justru telah menunggu
setelah ia melihat betapa isterinya orang yang bersalah itu
bagaikan kehilangan nalar budinya.
Ternyata tanpa mendapat pertanyaan lagi, laki -laki itu
telah mengatakan di mana bay i-bay i itu disingkirkan.
"Aku telah menjualnya." berkata laki -laki itu.
" Dimana?" hampir berbareng kedua orang ay ah dari
bay i-bay i itu bertanya. Karena dengan keterangan itu, m aka
keduanya masih mempunyai harapan.
"Tetapi aku sudah berjanji untuk tidak mengganggu lagi
kedua orang bay i yang berada di tangan orang tua angkat
mereka." jawab laki-laki itu.
"Tetapi keadaannya telah berubah. Kau harus
menyesuaikan dirimu." berkata Ki Buyut.
Orang itu termangu-mangu. Namun ia sudah berhasil
menahan diri untuk tidak menangis lagi.
" Jadi apa y ang harus aku lakukan?" bertanya laki -laki
itu. "Ambil kedua bay i itu kembali." jawab Ki Buyut.
Laki-laki y ang telah menjual bay i itu termangu-mangu.
Namun katanya kemudian, "Tetapi, apakah dengan
demikian keadaan bay i itu tidak justru terancam. Orang-orang
yang mengangkat bay i-bay i itu menjadi anak mereka, akan
menjadi sangat kecewa. Mereka telah kehilangan sejumlah
uang. Kemudian bayi itu begitu saja diambil kembali. Tetapi
yang lebih parah lagi, karena orang tua angkat kedua orang
bay i itu adalah orang-orang y ang tidak mempunyai anak,
sementara mereka adalah orang-orang yang kaya. Ra sarasanya
sulit untuk menebus kembali bay i-bay i itu dengan
uang." "Kita belum mencoba," berkata Ki Buyut, "kita akan
datang kepada mereka, menjelaskan persoalannya. Mudahmudahan
mereka dapat mengerti."
"Tetapi aku tidak berani melakukannya," berkata laki laki itu. "nampaknya mereka tidak akan dapat mudah
mengerti." "Kau tidak akan pergi seorang diri." berkata Ki Buyut.
Laki-laki itu merenung sejenak. Namun nampak
kekhawatiran y ang sangat membayang di wajahnya.
"Ki Buyut," berkata laki-laki itu, "dibutuhkan langkahlangkah
yang cepat untuk menyelamatkan bay i-bay i itu."
"Mak sudmu?" bertanya Ki Buyut.
"Menurut perhitunganku, mereka akan
mempertahankan bay i-bay i itu. Jika mereka gagal, maka
daripada menyerahkan bay i-bay i itu kepada orang lain,
meskipun orang lain itu adalah orang tua bay i itu, maka
mereka tentu merasa lebih baik membunuh bay i-bay i itu."
jawab laki -laki y ang ketakutan itu.
Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Namun salah
seorang dari antara orang tua bay i itu berkata, "Kita akan
mencoba. Aku akan menjelaskan, bahwa aku dan isteriku
sangat membutuhkan kehadiran anak itu di rumah kami.
Sehingga dengan demikian maka mereka akan
memperbandingkan keinginan m ereka untuk m engasuh anak
kami dengan kepentingan kami, orang tua anak itu sendiri."
Tetapi laki -laki itu justru nampak semakin bingung.
Wajahnya bertambah pucat dan bibirnya gemetar.
"Kenapa?" desak Ki Buyut.
Wajah laki-laki itu menunduk dalam-dalam. Katanya,
"Akulah y ang bersalah. Apa pun yang akan ditimpakan diatas
kepalaku, aku tidak akan mengelak."
"Katakan." ay ah dari anak-anak yang diculik itu justru
menjadi sangat cemas. Orang itu menjadi gemetar. Suaranya pun bertambah
bergetar oleh perasaan yang bergejolak di dalam dadanya.
"Katakan." desak Ki Buyut.
Dengan nada rendah, terbata-bata dan penuh
peny esalan orang itu berkata, "Aku telah menjualnya kepada
sebuah perguruan." "Perguruan apa yang kau maksud?" bertanya kedua
ay ah bay i y ang hilang itu hampir bersamaan, "apakah
perguruan itu terbiasa membuat upacara dengan
mengorbankan bay i-bay i"
"Tidak. Tidak," jawab laki-laki itu dengan serta merta,
"tetapi perguruan itu mengumpulkan bay i-bay i untuk kelak
dijadikan pengikut y ang sangat setia kepada perguruan itu.
Anak-anak itu akan menjadi murid-murid y ang paling
terpercaya dan akan mengikuti arah apa pun y ang diberikan
oleh pemimpin padepokan itu."
"Oh," orang tua bay i y ang hilang itu m engeluh. Kedua
ibu dari kedua bay i y ang juga hadir ditempat itu bahkan
hampir menjadi pingsan karenanya.
Anak-anak yang diperlukan demikian akan kehilangan
kepribadiannya. Mereka akan dibentuk menurut keinginan
pemimpin padepokan itu. Meskipun anak-anak itu baru akan
berarti bagi masa depan yang agak panjang, sekitar lima belas
tahun mendatang, namun padepokan seperti itu ju stru
padepokan yang tentu akan sangat berbahaya bagi
lingkungannya. Anak-anak itu kelak tidak akan lebih berarti dari seekor
lembu y ang dicocok hidungnya bagi dirinya sendiri. Tetapi ia
akan sangat bermanfaat bagi orang yang telah membentuknya
demikian. Namun Ki Buyut masih bertanya, "Katakan, apakah
menurut pendapatmu, padepokan itu padepokan yang baik
atau padepokan yang mendalami ilmu sesat?"
Orang itu semakin gelisah. Suaranya tertahan, "Aku kira
mereka mendalami ilmu hitam."
Ketegangan pun menjadi semakin mencengkam. Orang
tua kedua orang bay i itu menjadi sangat gelisah. Demikian
pula saudara tertua dari kedua ayah dari bay i-bay i itu.
Ki Buyut lah y ang kemudian masih bertanya lebih lanjut,
"berapakah isi padepokan itu sekarang?"
"Padepokan itu m asih belum banyak berpenghuni. Ada
beberapa orang perempuan di dalamnya. Orang-orang yang
tidak tahu dari mana datangnya. Tetapi nampaknya mereka
bukan penghuni yang mapan. Bahkan mungkin mereka berada
di padepokan itu karena terpaksa." jawab laki-laki itu.
"Berapa kau jual bay i-bay i itu?" bertanya Ki Buyut.
"Mereka membeli berapa saja bayi-bay i itu ditawarkan.
Uang nampaknya bukan persoalan bagi mereka. Di antara
perempuan-perempuan y ang ada di dalam padepokan itu
antara lain untuk memelihara bay i-bay i itu dan
membesarkannya. Nampaknya usaha untuk mengambil anakanak
itu sudah dilakukan cukup lama. Di padepokan itu
terdapat anak-anak y ang sudah lebih besar. Bahkan ada yang
sudah dapat dipekerjakan di kebun dan halaman. Meny apu
dan menyabit rumput." jawab laki-laki itu.
"Apakah sudah ada tanda-tanda bahwa anak-anak itu
kehilangan pribadinya?" bertanya Ki Buyut.
"Ya. Anak-anak itu nampaknya tidak mengenal diri
mereka sendiri." jawab laki-laki itu.
"Agaknya lebih baik anak-anak itu mati." desis ayah dari
salah seorang bay i y ang hilang itu.
Namun Mahisa Murti pun berkata, "Kita harus berusaha
menemukan anak-anak y ang hilang itu. Kita t idak dapat
membiarkannya dalam tangan orang-orang berilmu sesat.
Dengan demikian maka anak-anak itu kelak akan menjadi
orang y ang sangat berbahaya bagi orang lain."
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tetapi
bagaimana kita dapat melakukannya. Padepokan itu tentu
dihuni oleh orang -orang berilmu. Apalagi ilmu hitam. Jika kita
memasuki padepokan itu, berarti kita akan m embunuh diri.
Sementara itu tidak mungkin kita datang m embujuk m ereka
untuk mengembalikan bay i-bay i y ang telah mereka ambil."
"Apakah di Kabuyutan ini tidak ada sejumlah anak-anak
muda y ang memiliki serba sedikit kemampuan dalam olah
kanuragan?" bertanya Mahisa Murti.
"Tetapi tentu tidak memadai," berkata Ki Buyut,
"mereka adalah orang -orang padukuhan y ang m emang tidak
dipersiapkan untuk menghadapi orang-orang berilmu."
"Siapakah y ang mengajari mereka?" bertanya Mahisa
Murti. "Aku dan Ki Jagabaya." jawab Ki Buyut.
"Nampaknya Ki Buyut dan Ki Jagabaya akan dapat
melakukannya. Kemudian ayah-ayah kedua bay i itu," berkata


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahisa Murti. Lalu tiba-tiba ia bertanya, "Apakah di
padukuhan ini tidak ada bekas prajurit atau pengawal atau apa
pun juga?" Ki Buyut termangu-mangu. Namun ia memang m erasa
bertanggung jawab untuk melindungi orang-orang di
Kabuyutannya. Karena itu maka ia pun kemudian bertanya
kepada kedua ay ah dari kedua bay i itu y ang hilang itu,
"Apakah kalian ber sedia bersama kami berusaha melepaskan
anak-anak kalian." "Tentu." hampir bersamaan keduanya menjawab.
"Baiklah," berkata Ki Buyut, "kita akan mengumpulkan
orang-orang yang mungkin akan pergi bersama kita." Lalu ia
pun bertanya kepada laki -laki yang telah menjual bay i-bay i itu,
"ketika kau serahkan bay i-bay i itu, berapa orang yang
menemuimu?" "Nampaknya dua orang y ang terpenting di antara
penghuni padepokan itu. Kemudian yang terdekat dengan
mereka adalah tiga atau empat orang. Memang masih ada satu
dua orang lain, tetapi nampaknya mereka adalah pekerjapekerja
y ang tidak begitu banyak berarti di padepokan itu
sebagaimana perempuan-perempuan y ang ada di dalamnya,"
jawab laki -laki itu. Ki Buyut mengangguk-angguk. Kemudian ia pun
berkata, "Aku akan mengumpulkan orang-orang yang
diperlukan. Aku akan berbicara tersendiri dengan Ki Jagabaya.
Agaknya di padukuhan ini ada seorang bekas prajurit. Di
padukuhan sebelah juga ada seorang."
"Silahkan Ki Buyut," berkata Mahisa Murti. Tetapi ia
pun kemudian berpesan, "Kita harus bergerak cepat. Jika
orang-orang padepokan itu m engetahui bahwa Kabuyutan ini
berusaha untuk mengambil bay i-bay inya, maka m ereka akan
mengambil langkah-langkah khusus. Bahkan mungkin
membahayakan jiwa anak-anak itu."
Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, "Aku akan
minta waktu sampai menjelang dini hari." Lalu katanya
kepada laki -laki yang menjual bay i itu, "berapakah jarak
padepokan itu dari Kabuyutan ini."
"Hampir setengah hari berjalan kaki." jawab laki -laki
itu. "Tidak terlalu jauh. Di arah manakah letaknya?"
bertanya Ki Buyut pula. " Dibalik padang perdu Ambal." jawab laki-laki itu.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa
menembus padang perdu Ambal adalah pekerjaan yang tidak
terlalu mudah. Selain padang perdu itu liar dan gersang,
apalagi panasnya bagaikan membakar di siang hari, maka
kemungkinan untuk diketahui oleh orang-orang padepokan itu
besar sekali. Sekelompok orang y ang berjalan di padang perdu
itu akan dapat melontarkan debu y ang cukup banyak menarik
perhatian. Meskipun padang perdu Ambal tidak terlalu luas,
tetapi perlu mendapat perhatian.
Demikianlah, maka Ki Buyut dan Ki Jagabaya pun telah
mengadakan pembicaraan tersendiri bersama para bebahu.
Akhirnya mereka mengambil keputusan untuk memanggil
beberapa orang y ang dianggap memiliki pengalaman serba
sedikit dalam hubungannya dengan tugas yang akan mereka
lakukan. Di seluruh Kabuyutan itu ada tiga orang yang pernah
menjadi prajurit, y ang karena umurnya telah melepaskan
tugas-tugasny a dan kembali ke kampung halamannya.
Disamping itu di Kabuyutan ini ada dua orang yang dianggap
pernah terlibat dalam kehidupan y ang kotor. Keduanya pernah
menjadi perampok yang mengembara diluar Kabuyutan
mereka. Namun y ang kemudian telah meny esali kehidupan
gelap mereka dan dihadapan Ki Buyut dan para bebahu yang
lain serta beberapa orang tetua di Kabuyutan itu telah
menyatakan kesediaan mereka menebus segala kesalahan
mereka, karena mereka telah menodai nama baik Kabuyutan
mereka. Selain tiga orang bekas prajurit y ang umurnya sudah
mendekati setengah abad itu, dua orang bekas perampok,
maka ada dua orang pembantu Ki Jagabaya yang dapat
dianggap memiliki serba sedikit kemampuan sebagaimana Ki
Jagabaya. Menj elang dinihari, Ki Buyut memang telah berhasil
mengumpulkan sepuluh orang y ang dianggap memiliki bekal.
Kemudian Ki Buyut sendiri dan Ki Jagabaya. Dua orang ayah
dari dua orang bay i yang hilang itu. Ditambah dengan tiga
orang anak muda yang kebetulan singgah di Kabuyutan itu.
Demikian mereka berkumpul, maka Ki Buyut telah
membicarakannya dengan Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan
Mahisa Semu, apa yang sebaiknya mereka lakukan setelah
ketiga anak muda itu mendapat gambaran tentang medan
yang akan mereka hadapi. "Nampaknya padang perdu itu memang harus
mendapat perhatian jika ternyata padepokan itu letaknya tidak
jauh dari tepi padang itu," berkata Mahisa Murti, "namun
apakah kita tidak dapat menempuh jalan lain untuk mendekati
padepokan itu?" " Di sisi lain dari padepokan itu terdapat sebuah hutan
kecil. Hutan yang tidak terlalu lebat yang memanjang
disebelah m enyebelah sebuah sungai y ang tidak begitu besar.
Sebuah sendang y ang tidak terlalu luas terdapat di dalam
hutan itu." berkata Ki Buyut.
"Sendang y ang dialiri air dari sungai itu?" bertanya
Mahisa Murti. "Bukan," jawab Ki Buyut, "malah sebaliknya. Dari
sedang y ang mempunyai mata air sendiri itu telah mengalir air
yang menambah arus sungai itu semakin besar."
"Kita akan mendekati padepokan itu dari hutan.
Kemungkinan untuk diketahui sebelum kita mendekati
padepokan itu lebih kecil." berkata Mahisa Murti.
Ki Buyut mengerutkan keningnya. Katanya, "Perjalanan
yang sulit." "Tetapi bahayanya jauh lebih kecil. Dari hutan itu k ita
akan dapat dengan cepat mencapai padepokan sebelum orangorang
di dalam padepokan itu menyadari apa yang telah
terjadi." berkata Mahisa Murti kemudian.
Ternyata orang-orang yang akan berangkat ke pedesaan
kecil itu sependapat dengan Mahisa Murti. Sebagian dari
mereka telah pernah melihat padang perdu Ambal yang sering
juga disebut Ara-ara Ambal. Sebuah padang perdu yang kering
dan tandus. Di siang hari, debu berhamburan bagaikan kabut.
Bahkan jika angin bertiup meskipun tidak terlalu keras, maka
padang perdu Ambal menjadi keputih-putihan oleh debu yang
sangat lembut, yang ju stru sangat berbahaya bagi pernafasan
mereka. Sekelompok orang itu akan mendekati padepokan itu
dengan menempuh perjalanan di siang hari. Mereka akan
menunggu di hutan itu sampai senja mulai turun. Untuk
kepentingan bay i-bay i yang akan mereka lepaskan, maka
mereka akan meny erang setelah gelap. Beberapa orang akan
langsung m encari bay i itu. Sehingga dengan demikian m aka
kehadiran mereka tidak akan membuat bay i-bay i itu atau
anak-anak y ang lain dikorbankan.
Setelah orang-orang yang akan pergi ke padepokan itu
sependapat, maka mereka pun telah bersiap-siap. Meskipun
orang bertubuh tinggi tegap itu belum sembuh dari lukalukanya,
tetapi ia telah dipaksa untuk ikut serta. Mereka akan
menjadi penunjuk jalan sampai k e padepokan disebelah Araara
Ambal itu. Ki Buyut telah meny iapkan bekal secukupnya. Mereka
pun telah membagi diri dan menentukan tempat untuk
berkumpul sebelum mereka meny ergap padepokan itu.
Setelah semuanya siap, maka perjalanan y ang
menentukan nasib dua orang bay i dan bahkan beberapa orang
anak-anak itu pun dimulai. Di pagi y ang cerah, dua tiga orang
dalam kelompok-kelompok kecil telah berjalan menuju ke
hutan yang panjang. Kemudian mereka akan menempuh
perjalanan di hutan itu mendekati padepokan.
Ternyata orang-orang yang ikut dalam kelompok itu
memang memiliki pengalaman menurut jeni s pekerjaan
mereka masing -masing. Bekas prajurit y ang ikut serta
bersama mereka, rasa-rasanya telah teringat saat-saat m ereka
berangkat berperang. Dua orang bekas perampok y ang ikut
pula bersama mereka, se-akan-akan telah mengenang kembali
saat -saat y ang sangat berbahaya. Namun mereka berbangga,
bahwa saat itu m ereka justru pada keadaan y ang sebaliknya
dari saat-saat mereka merampok. Mereka justru akan ikut
serta menegakkan k emanusiaan dengan membebaskan anakanak
di padepokan itu. Perjalanan mereka ternyata berjalan lancar. Tidak ada
hambatan apa pun juga sehingga mereka memasuki hutan
tipis yang panjang itu. Dengan hati-hati pula mereka
menelusuri hutan itu mendekati sebuah padepokan yang
terasing, karena terpisah oleh Ara-ara Ambal yang gersang.
Semuanya dapat ditempuh seperti y ang diperhitungkan.
Mereka sempat beristirahat di tempat yang sudah ditentukan
pula. Meskipun di hutan y ang lembab, namun orang-orang
yang berkum pul itu sempat beristirahat dengan baik. Apalagi
Ki Buyut telah menyediakan bekal yang cukup pula bagi
mereka. Menj elang senja, orang-orang itu telah berbenah diri.
Mereka telah menyiapkan senjata mereka dengan
sebaik-baiknya sehingga tidak akan mengecewakan.
Kedua orang perampok y ang pernah ditakuti karena
kegarangannya itu masih tetap garang dengan senjata mereka.
Seorang m embawa bindi y ang cukup besar, sedangkan yang
lain membawa sepotong besi baja dengan juntai sehelai rantai
yang tidak begitu panjang. Ia dapat mempergunakan
senjatanya dengan dua cara. Menggenggam tongkat bajanya
sebagai tangkai rantainya, atau mempergunakan tongkat baja
itu sebagai ujung juntai rantainya dan memegang senjatanya
pada ujung rantainya. -0ooodwooo0- HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid 72 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo Converter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Pdf ebook : --ooo0dw0ooo- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 072 DEMIKIANLAH maka sejenak kemudian, Ki Buyut telah
memberikan isyarat agar sekelompok orang itu mulai
bergerak. Mereka mulai merayap keluar dari hutan, menuju ke
padepokan yang sudah diselimuti oleh kegelapan.
Orang-orang di dalam kelompok itu telah mengetahui
kewajiban mereka masing -masing. Yang mendapat tugas
untuk melindungi anak-anak yang ada di padepokan itu harus
memasuki padepokan lewat jalan yang masih dicari. Agaknya
mereka harus meloncati dinding. Baru setelah mereka
menemukan tempat bagi anak-anak di padepokan itu m ereka
memberikan isy arat agar yang lain memecahkan pintu regol
atau cara lain untuk menarik perhatian para penghuni
padepokan itu. Dalam kegelapan sekelompok orang itu bergerak
mendekati padepokan dengan sangat berhati-hati. Mereka
memperhitungkan penjagaan yang kuat di padepokan itu
karena padepokan itu mempunyai kebiasaan y ang aneh, yang
dapat mengundang kehadiran orang lain untuk membuka
rahasia padepokan itu. Karena itu, maka sebagian dari orang-orang y ang
mendekati padepokan itu harus merangkak dengan sangat
berhati-hati menuju ke belakang padepokan itu. Mereka harus
bekerja tanpa petunjuk sama sekali, karena belum ada seorang
pun di antara mereka yang pernah m emasuki dan mengenal
sudut -sudut bangunan di dalam padepokan itu.
Ternyata bahwa kehadiran Mahisa Pukat di antara
mereka yang mendapat tugas untuk meny elamatkan anakanak
itu sangat berarti. Meskipun di antara mereka terdapat
tiga orang bekas prajurit, tetapi umur mereka telah ada di
sekitar setengah abad. Sehingga karena itu maka dukungan
wadag mereka tidak lagi sebagaimana Mahisa Pukat yang
muda. Demikian mereka berada di belakang padepokan, maka
Mahisa Pukat telah berusaha m encari sebatang pohon yang
cabang-cabangnya ada di atas dinding padepokan.
Namun ternyata bahwa penghuni padepokan itu cukup
cermat sehingga Mahisa Pukat tidak menemukannya.
Karena itu, maka ia pun telah memberi isy arat agar
kawan-kawannya terutama para bekas prajurit yang
menyertainya, mengamati keadaan.
Sejenak kemudian maka Mahisa Pukat telah m eloncati
ke atas dinding padepokan y ang dibuat dari batang-batang
kayu y ang bulat utuh berjajar rapat.
Dengan kemampuan y ang tinggi, maka Mahisa Pukat
mampu berada di atas dinding tanpa menimbulkan keributan.
Dengan hati-hati Mahisa Pukat telah menelungkup m erapat
dinding padepokan itu. Untuk beberapa saat ia menunggu
seakan-akan tidak bergerak sama sekali. Bernafas pun seolaholah
tidak dilakukannya. Mahisa Pukat dengan sebelah tangannya sempat
memberikan isy arat kepada kawan-kawannya yang ada di luar,
bahwa ada peronda y ang sedang lewat didalam dinding
padepokan.

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan demikian maka kawan-kawan mereka pun telah
berusaha untuk mengaburkan dirinya dengan batang-batang
perdu. Karena dinding padepokan itu tidak terlalu rapat,
sehingga sengaja atau tidak sengaja, dalam keremangan
malam itu tempat terbuka, para per onda itu akan mungkin
melihat mereka. Tetapi para peronda itu ternyata tidak berhenti. Mereka
ternyata tidak juga melihat Mahisa Pukat yang menelungkup
di atas dinding itu. Demikian peronda itu lewat, maka Mahisa Pukat pun
segera memberikan isyarat agar kawan-kawannya segera
meloncati dinding yang memang agak tinggi itu.
Tetapi ternyata mereka berhasil melakukannya
meskipun ada di antara mereka y ang sedikit mengalami
kesulitan. Terutama kedua ay ah dari anak-anak y ang akan
dibebaskan itu. Demikian m ereka berada di lingkungan padepokan itu,
maka mereka pun segera bergerak ke arah y ang terlindung.
Sejenak mereka mengatur pernafasan yang mengalir
lebih cepat oleh ketegangan. Baru kemudian Mahisa Pukat
telah membawa mereka untuk bergerak.
Namun Mahisa Pukat kemudian telah membagi
kelompoknya menjadi dua kelompok yang lebih kecil. Satu
kelompok terdiri dari dua orang prajurit dan salah seorang
ay ah y ang mencari anaknya, sedangkan sekelompok lagi
terdiri dari Mahisa Pukat, seorang bekas prajurit dan satu dari
kedua orang ayah yang mencari anaknya itu.
Mereka pun kemudian telah membuat perjanjian untuk
sal ing memberikan isy arat jika mereka menemukan tempat
itu. Namun demikian kedua kelompok itu siap untuk
berpisah, maka tiba -tiba saja mereka mendengar rengek
seorang anak-anak yang agaknya terbangun di malam hari.
Tetapi t ernyata tidak terlalu lama. Terdengar pula suara
perempuan yang berusaha untuk menenangkannya. Namun
demikian tangis bay i itu terdiam, yang kemudian terdengar
adalah isak seorang perempuan.
Mahisa Pukat segera menyadari, bahwa perempuanperempuan
y ang ada di padepokan itu adalah perempuanperempuan
y ang agaknya juga diambil dengan paksa
sebagaimana anak-anak y ang mereka rawat.
Karena itu, maka Mahisa Pukat telah mengurungkan
niatnya untuk memecah kelompoknya. Tetapi mereka telah
membagi tugas. Mereka dengan hati-hati melihat keadaan
barak y ang agaknya dipergunakan bagi anak-anak yang masih
terlalu kecil lewat mana pun juga.
Keenam orang itu justru berpencar di sekitar rumah itu.
Namun mereka tetap berusaha bergerak dibawah bayangan
kekelaman malam. Salah seorang di antara ketiga orang bekas prajurit itu
akhirnya menemukan sebuah lubang di dinding. Dengan hatihati
ia telah berhasil m emperlebar lubang itu dan m engintip
ke dalamnya. Dilihatnya dengan jelas apa yang ada di dalam barak itu.
Sebuah amben dengan tiga orang perempuan y ang berbaring.
Namun mereka tidak tidur. Seorang lagi duduk sambil
menangis terisak di bibir pembaringan. Sedangkan di sisi lain,
beberapa orang kanak-kanak tidur di sebuah amben panjang.
Di sisi y ang lain lagi dari barak yang termasuk panjang itu
terdapat amben yang besar. Di atasny a beberapa orang kanakkanak
y ang lebih besar terbaring silang melintang.
Di pintu terdapat dua orang laki-laki yang berdiri
dengan garang. Beberapa saat orang-orang itu hanya mondarmandir
saja. Namun kemudian seorang di antara mereka tidak
sabar lagi. Ia pun kemudian melangkah mendekati perempuan
yang terisak itu sambil membentak tertahan, "Kau mau diam
atau tidak." Perempuan itu memang menahan tangisnya. Tetapi
isaknya tidak segera dapat hilang begitu saja.
Karena itu, laki-laki yang garang itu membentak sekali
lagi, "Jika dalam hitungan kesepuluh kau tidak mau diam,
maka kau akan aku seret dan aku lemparkan ke barak tempat
para cantrik itu tidur. Aku tidak tahu akibat y ang dapat terjadi
atasmu, karena para cantik itu tahu pasti, bahwa perempuan
yang dilemparkan ke dalam barak mereka, adalah hak
mereka." Perempuan itu m emang menjadi ketakutan. Karena itu,
betapa sakit dadanya, ia pun segera terdiam.
Beka s prajurit itu pun segera menemui kawankawannya.
Mereka berganti-ganti telah mengintip dari lubang
itu. Sehingga Mahisa Pukat pun telah melakukannya pula.
Mahisa Pukat pun segera memberi isyarat kepada
mereka untuk pergi ke pintu. Dua orang laki -laki itu harus
dilumpuhkan lebih dahulu, kemudian mereka memasuki barak
itu dan melindungi semua kanak-kanak y ang ada di dalamnya.
Mereka harus bertempur jika ada orang y ang memasuki barak
itu untuk mencelakai anak-anak itu.
Sejenak mereka memperhatikan keadaan. Ketika malam
menjadi semakin sepi, maka Mahisa Pukat pun telah
memberikan isyarat untuk bertindak.
Dengan hati-hati mereka telah pergi ke pintu barak.
Mula-mula Mahisa Pukat m eraba dan mengguncang pintu itu
untuk mengetahui kekuatan pintu itu. Namun ia pun
kemudian menyadari, bahwa pintu itu tidak terlalu kuat. Pintu
lereg y ang terbuat dari bam bu itu akan dapat dipecahkannya
dengan sekali hentak. Sementara itu kawan-kawannya yang
lain harus berjaga-jaga diluar. Terutama para bekas prajurit
itu. Dua orang ayah dari dua orang bay i itu akan segera
mencari bay inya. Itu bukan berarti bahwa bay i-bay i y ang lain
akan dikorbankan. Sesaat kemudian, maka Mahisa Pukat pun telah
memberikan isy arat. Sejenak kemudian, maka ia pun telah
menghentakkan pintu itu dengan kakinya dialasi dengan
tenaga cadangan di dalam dirinya.
Sekali hentak, maka pintu itu memang telah roboh.
Dengan sigapnya Mahisa Pukat meloncat masuk. Ia tidak
memberi kesempatan kepada kedua orang laki-laki y ang ada di
dalam barak itu, y ang agaknya dua orang peronda yang sedang
berkeliling lingkungan padepokan itu dan m enemukan suara
isak tangis seorang perempuan, sehingga ia pun singgah ke
dalam barak itu. Bahkan kemudian telah terdengar tangis bay i pula.
Perempuan y ang terisak itu terdiam sejenak untuk
menenangkan bay i y ang terbangun. Namun ketika bay i itu
terdiam, maka ia pun telah menangis lagi.
Dengan cepat Mahisa Pukat telah m elumpuhkan kedua
orang laki -laki itu sebelum mereka sempat menarik
senjatanya. Pukulan y ang sangat keras rasa -rasanya telah
mematahkan tulang iga seorang di antara m ereka, sementara
yang lain tidak sempat mengelak ketika Mahisa Pukat
memukul keningnya, kemudian dengan sisi telapak tangannya
memukul tengkuknya. Ber samaan dengan itu, maka seorang di antara bekas
prajurit y ang memang ditugaskan telah memberikan isyarat
kepada orang-orang y ang masih ada diluar. Dengan suara
burung hantu yang nyaring dalam ganda tiga berturut-turut.
Dua orang yang bertugas di pendapa pun mendengar
suara burung hantu itu. Mereka pun telah menjadi curiga,
sehingga perhatian mereka telah terpecah. Seorang
memperhatikan pintu regol halaman, sementara y ang lain
memperhatikan arah suara burung hantu itu.
Keduanya terkejut ketika tiba-tiba pintu regol pun telah
retak pula. Beberapa orang tiba-tiba saja telah muncul di reg ol.
Dengan cepat seorang di antara m ereka t elah m eloncat
ke sudut pendapa. Sejenak kemudian suara kenthongan pun
telah terdengar m engumandang di seputar padepokan yang
terpencil itu. Beberapa orang memang telah menghambur keluar dari
barak-barak mereka. Ternyata memang tidak terlalu banyak.
Meskipun demikian jumlah m ereka masih lebih banyak dari
orang-orang y ang datang ke padepokan itu.
Mahisa Murti dan Ki Buyut berada di paling depan.
Dengan wajah tengadah mereka berhadapan dengan beberapa
orang pemimpin dari padepokan itu.
"Siapa kalian yang telah berani memasuki padepokanku
he?" bertanya pemimpin padepokan itu.
Tetapi sebelum Ki Buyut menjawab, tiba -tiba saja salah
seorang dari bekas perampok itu maju selangkah sambil
berkata, "He, jadi kau yang ada di padepokan ini?"
Pemimpin padepokan itu termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian ia pun bertanya, "Siapa kau?"
Beka s perampok itu tertawa. Katanya, "Kau tidak
mengenal aku lagi atau kau pura-pura tidak mengenal aku?"
" Jangan m engigau. Sebut namamu," bentak pemimpin
padepokan itu. Perampok itu masih saja tertawa berkepanjangan. Ia
justru memanggil kawannya yang juga bekas perampok sambil
berkata, "Kau tentu pernah juga m endengar namanya. Bajak
Laut dari Bukit Batu. He, gelar yang aneh bukan. Ia m emang
berasal dari Bukit Batu. Tetapi ia pun memang menjadi bajak
laut yang disegani di pesisir Utara. Bahkan daerah jelajahnya
sampai ke pedalaman menyusuri bengawan."
"Tutup mulutmu," bentak pemimpin padepokan itu.
"Sejak kapan kau berhenti menjadi bajak laut dan
memilih tinggal di darat" Bahkan membuka sebuah
padepokan?" bertanya bekas perampok itu tanpa
menghiraukan sikap pemimpin padepokan yang gelisah itu.
Pemimpin padepokan itu memang menjadi marah.
Karena itu m aka ia pun telah m embentak, "Tutup mulutmu.
Atau aku akan mengoyakkannya."
" Jangan marah," berkata bekas perampok itu, "sejak
dahulu aku memang kalah setingkat dari ilmumu. Tetapi kau
tidak akan dapat sombong sekarang. Bersamaku adalah Ki
Buyut dan Ki Jagabaya dari Kabuyutanku. Ilmu m ereka juga
selapis lebih tinggi dari ilmuku."
Pemimpin padepokan itu termangu-mangu sejenak.
Namun tiba -tiba saja ia telah tertawa berkepanjangan.
Katanya, "Jika beberapa waktu y ang lalu ilmuku selapis lebih
tinggi dari ilmumu, maka sekarang aku akan dapat melawan
sepuluh orang bahkan lebih dari tataran orang yang kau sebut
Ki Buyut dan Ki Jagabaya itu. Ilmuku telah berlipat ganda dari
ilmu y ang pernah kau kenal."
Tetapi bekas perampok itu tertawa lagi. Tidak kalah
kerasnya. Katanya, "Kita sama-sama orang y ang pernah hidup
dalam kegelapan nalar budi. Kita sama-samadi tahu, bahwa
mulut kita masing-masing memang tidak dapat dipercaya.
Karena itu, kau tidak usah sombong."
"Persetan. Tetapi apa maksud kedatangan kalian ke
padepokanku sekarang ini" Sekedar bunuh diri atau kalian
memang mempunyai satu kepentingan tertentu?" bertanya
orang itu. Sebelum Ki Buyut m enjawab, maka bekas perampok itu
ternyata telah m endahului " Kami datang untuk mengambil
anak-anak kami y ang kau beli. Kami akan menebusny a dengan
harga yang kau kehendaki."
"Anak iblis," geram pemimpin padepokan itu, "siapa
yang mengatakan bahwa kami telah membeli anak-anak?"
" Jangan ingkar," berkata bekas perampok itu, "kami
datang bersama-sama orang y ang telah menjual anak-anak itu
kepadamu. Tetapi ia dalam keadaan terluka. Nah, agar kau
tidak mengalami nasib seperti orang itu, berikan saja anak itu
dan kami akan membayar kembali harga yang telah kau bay ar
bagi anak itu dengan barangkali bunganya."
"Tutup mulut kau kambing buruk," geram orang itu,
"kalian telah menghina padepokan ini. Karena itu, maka tidak
seorang pun di antara kalian akan keluar dari lingkungan
padepokan ini. Mereka y ang masuk tanpa ijin kami, maka
mereka tidak akan pernah keluar. Mungkin namanya akan
diperbincangkan orang, tetapi wadag kalian akan hancur di
makan binatang di hutan itu."
"Kami datang dari hutan itu," jawab perampok itu,
"memang ada binatang buasny a. Tetapi binatang buas di
hutan itu ternyata tidak sebuas kami. Ingat, kami datang
dengan Ki Buyut dan Ki Jagabaya. Disamping itu bersama
dengan bekas prajurit terpilih dan bekas perampok seperti aku
ini. Selain itu, beberapa pengawal yang sudah mengalami
latihan khusus dari Ki Jagabaya. Karena itu, jangan m encoba
untuk melawan." " Diam kau," teriak pemimpin padepokan itu. Tanpa
ragu-ragu m aka ia pun berteriak, "bunuh semua orang yang
ada di dalam lingkungan padepokan ini. Jika mereka melawan,
bunuh semua bay i, anak-anak dan perempuan yang ada di
dalam barak itu." Bulu kuduk Mahisa Murti memang meremang. Tetapi ia
berharap bahwa Mahisa Pukat akan dapat mengatasinya
bersama ketiga orang beka s prajurit itu.
Sebenarnyalah beberapa orang telah berlari ke barak
anak-anak dan perempuan. Namun mereka tidak dapat
dengan m udah masuk ke dalam barak itu untuk setiap saat
jika jatuh perintah, membunuh anak-anak dan perempuan
yang ada di dalamnya. Tetapi bekas perampok itu t ertawa lagi. Semakin keras.
Katanya, "Anak-anak y ang kau maksud itu telah kami kuasai.
Orang-orangmu y ang berlari-lari ke barak anak-anak itu tidak
akan pernah dapat bertemu dengan kau lagi."
"Cukup," pemimpin padepokan itu berteriak, "bunuh
mereka sekarang." Beberapa orang pengikutnya telah menghambur ke
halaman. Namun orang-orang yang ada di halaman itu sudah
bersiap menghadapi mereka. Mahisa Murti sempat berbisik
kepada Mahisa Semu, "Hati-hatilah. Nampaknya mereka
orang-orang y ang garang y ang tidak mempergunakan otaknya
untuk menilai langkah-langkahnya serta untuk
mempertimbangkan baik dan buruk."
Mahisa Semu mengangguk. Ia pun melihat watak itu dari
sikap dan kata-kata pemimpin padepokan y ang garang itu.
Dalam benturan pertamanya bekas perampok itu
tertawa keras-keras. Katanya, "Aku sudah rindu dengan
permainan seperti ini. Aku memang menunggu untuk
melakukannya namun dalam kedudukan yang sebaliknya dari


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang pernah aku lakukan dahulu."
Orang-orang padepokan itu menjadi semakin marah.
Seorang di antara m ereka telah m elibat bekas perampok itu
dengan garangnya. Namun bekas perampok itu ternyata telah
menanggapinya sambil tertawa.
Yang lain pun kemudian telah mulai terlibat dalam
pertempuran pula. Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Semu
pun telah bertempur pula melawan orang-orang padepokan
itu. Ternyata m ereka tidak ingin membuang-buang waktu.
Karena orang-orang padepokan itu telah m endapat perintah
untuk membunuh lawan-lawannya, maka mereka langsung
mempergunakan senjata mereka tanpa ragu-ragu. Mereka
benar-benar ingin membunuh orang-orang yang telah
memasuki padepokan mereka seluruhnya.
Sementara itu pemimpin padepokan itu masih saja
menyaksikan pertempuran dari pendapa bangunan induk di
padepokannya. Ia terlalu percaya kepada orang-orangnya,
sehingga ia menduga bahwa dalam waktu singkat orangorangnya
tentu akan segera dapat membunuh orang-orang
yang telah memasuki padepokannya itu.
Tetapi dugaannya itu ternyata telah mengecewakannya.
Orang-orangnya tidak segera dapat meny elesaikan
orang-orang yang memasuki padepokannya dengan paksa itu.
Dua orang bekas perampok itu ternyata memiliki kemampuan
yang memadai. Bahkan bekas perampok y ang berpengalaman
sangat luas dalam dunia kekerasan itu telah berhasil mendesak
lawan masing-masing. Bahkan seorang di antaranya masih
sa ja berteriak-teriak sambil t ertawa keras-keras. Sementara itu
senjatanya y ang m endebarkan jantung masih saja berputaran
dengan dahsyatnya. Sedangkan bekas perampok y ang seorang
lagi ternyata lebih banyak menggerakkan senjatanya daripada
membuka mulutnya. Namun diam-diam ia telah berhasil
mendesak lawannya sehingga melekat dinding.
Lawannya tiba-tiba saja telah menjadi ketakutan. Dalam
keremangan malam ia melihat mata bekas perampok itu
menyala. Tetapi bekas perampok itu tidak segera mengayunkan
senjatanya untuk membunuhnya. Dengan nada rendah ia
menggeram, "Aku sudah terlalu banyak membunuh orang.
Lepaskan senjatamu agar kau tidak aku bunuh."
Orang yang sudah tidak sempat mengelak lagi itu
termangu-mangu. Namun sesuatu telah bergetar di hatinya.
Orang yang akan dibunuhnya itu m endapat kesempatan lebih
dahulu untuk melakukannya. Tetapi ia tidak berbuat demikian
atasnya. "Cepat," bentak bekas perampok itu, "atau aku benarbenar
harus membunuhmu." Orang yang sudah melekat dinding itu termangu-mangu.
Namun tiba-tiba saja seorang kawannya sempat meloncat
mendekat dan mengayunkan senjatanya mengarah kepada
bekas perampok itu. Tetapi bekas-bekas perampok itu
menyadari bahaya yang datang mengancamnya, sehingga ia
masih sempat mengelakkan diri dari ayunan senjata orang itu.
Dengan demikian maka bekas perampok itu telah
berganti lawan. Tetapi sejenak kemudian, maka bekas
perampok itu telah berhasil mendesak lawannya itu pula,
sementara orang y ang tidak dibunuhnya itu hanya termangumangu
saja. Ia masih saja dibayangi oleh sikap lawannya yang
tidak membunuhnya itu meskipun ada kesempatan.
Namun jumlah orang-orang padepokan itu memang
lebih banyak. Karena itu, maka keadaan pertempuran itu rasarasanya
masih saja seimbang. Ki Buyut dan Ki Jagabaya y ang juga telah terlibat dalam
pertempuran telah mengerahkan kemampuan mereka. Ki
Buyut memang memiliki kelebihan dari lawannya. Tetapi Ki
Jagabaya ternyata mendapat lawan y ang lebih baik, sehingga
ia telah terdesak dan mengalami kesulitan. Apalagi anak-anak
muda yang menyertai mereka.
Tetapi Mahisa Semu y ang muda itu ternyata telah
berhasil m endesak lawannya. Bahkan ia telah dipaksa untuk
bertempur melawan dua orang. Untunglah keduanya bukan
orang-orang terbaik di padepokan itu.
Sementara itu Mahisa Murti ternyata telah berloncatan
dari satu putaran pertempuran ke putaran y ang lain.
Bagaimanapun juga ia merasa berkewajiban untuk membantu
orang-orang padukuhan y ang mengalami kesulitan dalam
pertempuran itu. Selagi pemimpin padepokan itu belum turun
langsung ke medan. Beka s perampok yang ternyata banyak berbicara itu
telah mendapat lawan y ang termasuk tataran y ang tinggi di
padepokan itu. Namun beka s perampok itu masih saja sempat
bertempur sambil t ertawa, berteriak-teriak dan kadangkadang
dengan sengaja membakar perasaan lawannya,
sehingga lawannya benar-benar menjadi marah dan
kehilangan kendali perasaannya.
Dalam pada itu, beberapa orang dari antara orang-orang
padepokan itu memang telah menuju ke barak tempat mereka
menyimpan anak-anak. Namun langkah mereka segera
tertahan oleh para bekas prajurit. Meskipun umur mereka
rata -rata sudah berkisar pada pertengahan abad, tetapi
pengalaman mereka telah membantu mereka mengatasi
kesulitan. Ternyata ketiga orang bekas prajurit itu masih m ampu
menyatukan diri dalam pertempuran melawan lima orang
sekaligus. Sementara itu seorang lagi di antara m ereka telah
berlari langsung menuju ke pintu barak.
Namun langkahnya terhenti karena Mahisa Pukat tiba tiba saja telah berdiri di muka pintu.
"Setan," geram orang itu, "siapa kau?"
"Aku salah seorang pengawal padukuhan. Kami,
keluarga anak-anak yang kau kumpulkan di sini ingin
mengambil mereka kembali," jawab Mahisa Pukat.
Sejenak kemudian m aka pertempuran y ang sengit pun
telah terjadi. Mahisa Murti harus meningkatkan
kemampuannya untuk melawan pemimpin padepokan yang
ternyata memang berilmu tinggi itu.
Sementara itu karena Mahisa Murti harus bertempur
melawan pemimpin padepokan itu, maka Ki Buyut dan orangorangnya,
termasuk kedua orang bekas perampok itu, harus
menghadapi lawan-lawan mereka tanpa bantuan anak muda
itu. Beruntunglah mereka, bahwa sebelumnya Mahisa Murti
telah dapat mengurangi meskipun baru sebagian kecil dari
kekuatan lawan-lawannya. Yang sedikit itu ternyata telah
memberikan pengaruh. Karena dengan demikian maka Ki
Buyut dan orang-orangnya telah dikurangi bebannya.
Namun karena jumlah lawan yang menjadi semakin
banyak, maka Ki Buyut dan orang-orangnya semakin lama
menjadi semakin terkuras tenaganya. Mereka harus
mengerahkan kekuatan dan kemampuan mereka. Apalagi
mereka y ang harus bertempur melawan lebih dari seorang,
sebagaimana Mahisa Semu. Tetapi karena Mahisa Semu telah
ditempa oleh pengalaman y ang meski- pun tidak t erlalu
banyak, tetapi cukup luas serta latihan-latihan y ang berat,
maka ia masih mampu mengatasi desakan lawannya.
Tetapi beberapa orang y ang lain, justru telah mulai
terdesak. Bekas perampok yang seorang, y ang harus m elawan
dua orang bahkan kadang-kadang tiga orang, m emang harus
bekerja keras untuk mengatasinya.
Ketika tenaga Ki Buyut dan orang-orangnya mulai susut,
maka mereka benar-benar menjadi semakin terdesak,
sementara Mahisa Murti telah terikat dalam pertempuran
melawan pemimpin padepokan yang mampu melihat
kemampuan ilmu Mahisa Murti untuk m enghisap kekuatan
dan kemampuan lawannya. Karena itu, maka pemimpin
padepokan itu telah m engerahkan kecepatan geraknya untuk
menghindari benturan dan bahkan sentuhan dengan senjata
anak muda itu. Dalam keadaan yang semakin sulit itulah, maka Mahisa
Pukat telah hadir di halaman.
Untuk beberapa saat ia melihat apa yang terjadi.
Ternyata bahwa Ki Buyut dan orang-orangnya memang mulai
terdesak. Kekuatan mereka pun ternyata mulai surut
meskipun lawan-lawan mereka tidak memiliki ilmu y ang dapat
menghisap ilmu m ereka. Namun karena jumlah lawan yang
lebih banyak, maka mereka harus mengerahkan tenaga yang
sebesar-besarnya. Dengan demikian maka tenaga mereka pun
menjadi cepat terkuras. Mahisa Pukat tidak dapat m enunggu lebih lama lagi. Ia
harus segera turun ke medan sebelum terlambat. Sebelum
jatuh korban. Mahisa Pukat dengan serta merta telah meloncat
memasuki arena ketika melihat seorang di antara anak muda
pengawal Ki Jagabaya itu jatuh terlempar dari arena dengan
luka y ang dalam di pundaknya.
Mahisa Pukat sempat menangkap orang yang terlempar
itu, sehingga orang itu tidak jatuh terpelanting. Perlahanlahan
Mahisa Pukat meletakkannya di pinggir arena sambil
berdesis, "jangan bergerak-gerak agar darahmu tidak t erlalu
banyak mengalir." Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia mematuhi pesan itu
dan berusaha untuk tidak bergerak sama sekali. Meskipun
demikian senjatanya masih tetap tergenggam di tangannya.
Kedudukan Ki Buyut menjadi semakin sulit ketika
jumlah mereka telah berkurang meskipun hanya dua orang.
Mahisa Murti y ang terikat dengan lawannya y ang baru dan
seorang pengawal Ki Jagabaya.
Namun Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam ketika
dilihatnya Mahisa Pukat memasuki arena sambil berteriak,
"Orang-orang yang ada di barak anak-anak sudah kami
habiskan. Orang-orang kita sedang menolong para bay i dan
perempuan y ang telah diculik dan disimpan dengan paksa di
padepokan ini." "Persetan," geram pemimpin padepokan itu, "kau
jangan membual." " Jika belum terjadi, aku tidak akan ada di sini," jawab
Mahisa Pukat sambil berloncatan sebagaimana dilakukan oleh
Mahisa Murti. Keduanya ternyata mempunyai perhitungan
yang sama untuk mengurangi kekuatan dan kemampuan
lawan, karena ternyata mereka menjadi semakin mendesak.
Mahisa Pukat dengan senjatanya telah membentur
setiap senjata lawan yang sempat disentuhnya. Siapa saja
tanpa memilih. Sekali-sekali bahkan Mahisa Pukat telah
mengikat seorang lawan dalam pertempuran yang cepat.
Sementara itu pemimpin padepokan yang sedang
bertempur melawan Mahisa Murti itu telah meloncat
mengambil jarak. Tiba-tiba saja ia sudah berada di pendapa
lagi. Sekila s ia berusaha mengamati Mahisa Pukat yang
bertempur dengan cara dan gaya yang sama dengan Mahisa
Murti. Karena itu, maka pemimpin padepokan itu pun telah
berteriak, "Hati-hati dengan anak muda itu. Ia memiliki ilmu
yang paling licik y ang pernah aku kenal. Ia dapat mencuri ilmu
dan kekuatan y ang ada di dalam diri kalian. Jangan sampai
bersentuhan meskipun hanya senjata kalian dengan
senjatanya." Orang itu tidak sempat berbicara lebih panjang. Mahisa
Murti dengan cepat telah meloncat menyusulnya dan langsung
menyerangnya dengan garang, sehingga orang itu harus
berloncatan menghindar. Namun pernyataannya itu telah membuat para
pengikutnya menjadi sangat berhati-hati. Bahkan tiga orang
telah membentuk sebuah kelompok untuk mencegah Mahisa
Pukat berloncatan dengan senjatanya untuk membentur
senjata-senjata orang-orang padepokan itu.
Orang itu sama sekali t idak m enghiraukan peringatan
Mahisa Murti. Bahkan ia telah meningkatkan ilmunya
sehingga pertempuran itu pun menjadi semakin sengit.
Agaknya orang yang memimpin padepokan itu telah
meningkatkan ilmunya sampai ke puncak. Karena itu, m aka
katanya, "Kalian telah membunuh dan menghancurkan
padepokanku, bahkan jika yang kau katakan itu benar, bahwa
anak-anakku telah kalian kuasai, maka aku tidak m empunyai
pilihan lain. Aku bunuh kalian, atau aku akan mati di sini."
"Kau dapat memikirkan langkah y ang paling baik,"
teriak Mahisa Pukat. Tetapi orang itu tidak menghiraukannya. Karena ia
memang tidak ingin bersentuhan dengan Mahisa Murti untuk
menghindarkan diri dari kemungkinan kehilangan tenaga dan
ilmunya, maka orang itu telah mengambil langkah yang
menurut penilaiannya paling baik. Bahkan satu-satunya
kemungkinan y ang dapat dilakukannya.
Ketika Mahisa Murti meny erangnya dengan garang,
maka orang itu telah m eloncat m engambil jarak sejauh-jauh
dapat dilakukannya. Bahkan orang itu telah meloncat ke
halaman samping di antara beberapa jenis tanaman perdu.
Mahisa Murti tidak mau kehilangan lawannya. Karena
itu, maka ia pun telah menyusulnya, meloncat ke halaman
samping. Tetapi Mahisa Murti terkejut. Ia melihat orang itu
menggerakkan tangannya dengan cepat. Seperti kilat, sesuatu
telah terbang dari telapak tangan orang itu menyambar
Mahisa Murti. Mahisa Murti m enggeliat. Untunglah bahwa ia t ernyata
mampu menghindari serangan itu. Sebilah pisau kecil yang
tersentuh cahaya obor y ang terpancang di regol bagian dalam
dan di pendapa, sehingga cahayanya tidak cukup terang,
namun cukup memberikan isy arat kepada Mahisa Murti akan
bahaya yang menyambarnya.
Tidak hanya sekali. Pisau itu telah disusul lagi dengan
lontaran pisau berikutnya. Sambaran senjata itu ternyata
benar-benar telah menggetarkan jantung Mahisa Murti. Pisau
itu terbang demikian cepatnya, sehingga merupakan serangan
yang sangat berbahaya. Ternyata Mahisa Murti tidak mendapat kesempatan
untuk mendekat. Serangan-serangan datang bagaikan arus
banjir y ang deras. Beruntun su sul menyusul.
"Berapa puluh pisau yang dibawanya?" bertanya Mahisa
Murti didalam hatinya.

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun Mahisa Murti harus mengambil sikap. Ia tidak
dapat m embiarkan dirinya diserang tanpa membalas, bahkan
tanpa batas. Pisau-pisau itu seakan-akan mengalir tidak habishabisny
a. Karena itu, maka Mahisa Murti telah mengambil
keputusan yang keras untuk menghindarkan dirinya dari
akibat y ang paling buruk. Ketika sekali lagi ia memberikan
peringatan tetapi tidak dihiraukan sama sekali, bahkan hampir
sa ja lehernya disambar oleh sebuah pisau kecil, maka Mahisa
Murti benar-benar kehilangan kesabaran.
Tanpa ada pilihan lain Mahisa Murti telah mengetrapkan
ilmunya yang dahsy at. Ilmu yang mampu melontarkan
kekuatan yang luar biasa dari dalam dirinya ke sa saran.
Karena itu, ketika orang itu siap melontarkan pisaunya
lagi, maka Mahisa Murti pun telah menghentakkan tangannya
dengan telapak tangan terbuka ke arah lawannya. Satu
kekuatan y ang dahsyat telah terlontar m enyambar lawannya
itu tanpa dapat dihindarinya.
Akibatnya memang parah sekali. Seolah-olah telah
terjadi satu ledakan. Lawannya itu telah terpental beberapa
langkah surut. Jatuh terlentang dengan tubuh yang seakanakan
terluka oleh hembusan api y ang menyala.
Terdengar teriakan nyaring. Namun kemudian sepi.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia merasakan
teriakan terakhir lawannya adalah ungkapan kemarahan,
dendam dan kebencian tanpa batas.
Sejenak suasana y ang tegang itu menjadi semakin
tegang. Bahkan angin malam pun rasa -rasanya telah berhenti
bertiup. Suara-suara malam pun bagaikan telah terputus pula.
Tidak ada suara jengkerik, bilalang atau angkup bunga
nangka. Baru kemudian terdengar Mahisa Murti melangkah
perlahan-lahan mendekati lawannya y ang terbaring diam
beberapa langkah dari tempatnya berdiri di saat ia dikenai
ilmu Mahisa Murti y ang mendebarkan itu.
Dengan demikian maka pertempuran pun telah selesai.
Sebagian dari penghuni padepokan itu memang telah
terbunuh dan terluka cukup parah.
Untuk beberapa saat Ki Buyut sibuk dengan orangorangnya.
Ternyata tidak hanya satu dua orang yang terluka.
Kedua orang bekas perampok itu pun telah terluka pula
meskipun tidak terlalu parah.
Tetapi seorang di antara anak-anak muda memang telah
terluka parah. Sehingga orang itu memerlukan perawatan
yang khusus dari kawan-kawannya.
Dalam pada itu, maka Ki Buyut pun telah mengatur
orang -orangnya pula. Mereka harus membantu orang-orang
padepokan itu yang terluka disamping mengurusi kawankawan
m ereka sendiri. Satu dua orang penghuni padepokan
itu terluka tidak terlalu parah, sehingga orang-orang itu akan
dapat diserahi tugas untuk merawat kawan-kawannya yang
parah dan mengubur kawan-kawannya y ang terbunuh. Mereka
yang dengan cerdik menjatuhkan diri meskipun hanya terluka
tidak terlalu parah, ternyata telah dapat meny elamatkan diri.
Dalam pada itu, Ki Buyut dan orang-orangnya memang
tidak dengan tergesa-gesa meninggalkan tempat itu. Ia sempat
berbicara dengan beberapa orang yang masih mungkin diajak
berbicara di antara orang-orang padepokan itu.
Dalam kesempatan itu, Ki Buyut telah memberikan
kesempatan kepada orang-orangnya untuk beristirahat.
Terutama mereka y ang terluka meskipun tidak parah. Bahkan
seorang di antara bekas perampok y ang juga terluka lengannya
itu m asih sempat b erkata lantang, "Siapa yang akan m erebus
minuman buat kami?" Tiga orang bekas prajurit yang ikut membebaskan anakanak
itu telah berkumpul pula dengan kawan-kawannya.
Seorang di antara m ereka berkata, "Ada perempuan di barak
anak-anak. Mereka tentu bersedia merebus air buat kita.
Tentu dengan imbalan."
"Apa imbalannya?" bertanya bekas perampok itu.
"Mereka ingin kita bebaskan seperti anak-anak," jawab
bekas prajurit itu. "Tentu," jawab bekas perampok itu, "mereka akan k ita
bebaskan." Namun tiba-tiba saja ia berkata pula, "tetapi sudah
tentu segala sesuatunya terserah kepada Ki Buyut."
Ki Buyut memang belum mengambil keputusan. Namun
dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
membantu mengobati orang-orang Kabuyutan yang terluka.
Tetapi juga orang-orang padepokan itu. Karena menurut
kedua anak muda itu, tidak semua orang padepokan itu
mutlak bersalah. Mahisa Semu agaknya memerlukan beberapa saat untuk
beristirahat. Anak muda itu tidak terluka, kecuali sebuah
goresan kecil di pundaknya. Tetapi darah yang m engalir di
luka itu segera menjadi pampat. Namun agaknya anak muda
itu telah mengerahkan segenap kekuatannya sehingga ia
memerlukan waktu untuk beristirahat sebaik-baiknya, agar
nafasnya tidak terputus karenanya.
Beberapa orang padepokan itu memang merasa semakin
baik ketika mereka telah mengobati luka-lukanya. Tetapi
mereka masih belum dapat berbuat banyak atas kawan-kawan
mereka y ang terluka lebih parah dan apalagi yang terbunuh.
Di dapur, beberapa orang perempuan y ang untuk
beberapa lama telah menjadi tawanan dan bahkan tidak lebih
daripada budak-budak yang harus m elakukan segala perintah
orang-orang padepokan itu, sedang merebus air dan bahkan
menanak nasi. Beras memang tidak kekurangan. Bahkan
bahan-bahan makanan yang lain pun melimpah di padepokan
itu. Menj elang fajar, maka orang-orang yang ada di
padepokan itu setelah membersihkan diri di belumbang
sempat makan nasi hangat dan minum minuman panas
dengan gula kelapa. Dengan demikian maka tubuh mereka
pun menjadi segar. Ternyata Ki Buyut juga memberikan kesempatan kepada
orang-orang padepokan itu untuk melakukan hal y ang sama.
Namun ketika kemudian fajar menyingsing, maka orangorang
padepokan itu harus bekerja keras untuk
mengumpulkan kawan-kawannya y ang terluka dan terbunuh.
Sementara itu k eadaan mereka sendiri pada umumnya masih
belum terlalu baik. Tetapi ternyata bahwa orang-orang Kabuyutan tidak
membiarkan orang-orang y ang masih lemah itu bekerja
sendiri. Mereka ternyata telah ikut membantu meskipun tidak
dengan sepenuh hati. Sementara itu Ki Buyut telah berbicara dengan beberapa
orang yang dianggap dapat memberikan keterangan yang
diperlukan tentang para penghuni padepokan itu. Para
pemimpinnya dan anak-anak y ang ada di dalamnya.
Menurut kesimpulan Ki Buyut, orang yang paling
bertanggungjawab dalam persoalan penculikan anak-anak itu
adalah pemimpin padepokan y ang telah terbunuh dalam
pertempuran. Beberapa orang pemimpin yang lain dengan
setia melakukan semua perintah pemimpinnya, karena mereka
merasa takut, bahwa mereka akan tersingkir. Tiga orang
pemimpin padepokan itu yang mempunyai sikap lain dengan
pemimpinnya, seorang demi seorang telah terbunuh tanpa
diketahui pembunuhnya dan sebab-sebabnya.
"Kami memang hidup dalam suasana ketakutan,"
berkata salah seorang di antara orang-orang yang terluka itu.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Bahkan akhirnya Ki
Buyut mengambil satu kesimpulan bahwa ia tidak akan
menangkap semua orang isi padepokan y ang tersisa. Bahkan
Ki Buyut memberikan kesempatan orang-orang itu untuk
mengembangkan padepokan itu namun dengan watak yang
berbeda. "Kabuyutanku tidak terlalu jauh dari tempat ini,"
berkata Ki Buyut, "kami akan dapat mengawasi perkembangan
Kabuyutan ini." Orang-orang y ang ter sisa itu pun telah berjanji untuk
melakukan semua pesan Ki Buyut, karena sebenarnyalah
bahwa mereka juga tidak tahu apa y ang telah terjadi di
padepokan itu sebenarnya.
Namun dalam pada itu, Ki Buyut telah dibebani tugas
yang cukup berat. Ia harus meny elamatkan anak-anak dan
perempuan y ang ada di padepokan itu. Beberapa orang
perempuan dengan jela s dapat meny ebut asal-usul mereka.
Tetapi beberapa orang anak yang ada di padepokan itu sama
sekali tidak tahu menahu tentang diri mereka sendiri. Bahkan
anak-anak yang sudah tumbuh menjelang remajanya pun sulit
untuk mengatakan, dari manakah mereka telah diambil.
"Baiklah," berkata Ki Buyut, "kita akan membawa
semuanya ke Kabuyutan. Dari Kabuyutan kit akan m engatur
perjalanan mereka kembali ke tempat asal mereka."
Dengan demikian, maka Ki Buyut dan orang-orangnya
memerlukan waktu y ang agak panjang untuk mempersiapkan
orang-orang perempuan dan anak-anak y ang ada di
padepokan itu. Karena itu, maka Ki Buyut dan orang-orangnya
telah memerlukan untuk tinggal semalam lagi di padepokan
itu. Kecuali untuk mempersiapkan segala sesuatunya, yang
satu malam lagi itu juga m emberi kesempatan orang-orang
yang terluka beristirahat cukup banyak. Apalagi seorang di
antara anak muda y ang terluka agak parah itu. Dengan
beristirahat sebaik-baiknya, maka keadaannya menjadi
berangsur baik. Sedangkan bekas perampok y ang juga terluka
itu seakan-akan tidak merasakan sejak semula meskipun
dagingnya telah terkoyak.
Di malam hari, orang -orang y ang tidak terluka serta
mereka yang hanya tergores kecil, diwajibkan untuk ikut
berjaga-jaga bergantian. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
ikut pula bergantian bersama-sama dengan beberapa orang
yang lain. Sementara itu Mahisa Semu seperti juga orangorang
yang terluka lainnya, mendapat kesempatan untuk tidur
semalam suntuk. Memang tidak t erjadi sesuatu di m alam itu. Menjelang
fajar maka segala sesuatunya telah dipersiapkan. Bersama
perempuan dan anak-anak, iring-iringan y ang akan
meninggalkan padepokan itu dan menuju ke Kabuyutan
memerlukan waktu y ang lebih panjang. Namun Ki Buyut telah
memutuskan untuk kembali ke Kabuyutan lewat jalan yang
mereka tempuh ketika mereka berangkat. Melalui hutan
panjang untuk menghindari perhatian yang berlebihan dari
orang-orang padukuhan. Ketika kemudian m atahari terbit serta anak-anak telah
mendapat makan pagi secukupnya, maka perempuan dan
anak-anak di padepokan itu telah mengikuti Ki Buyut menuju
Kabuyutan. Ki Buyut memang memerlukan waktu beberapa
hari untuk meny ebarkan pengumuman ke padukuhanpadukuhan
di lingkungan Kabuyutannya, atau di lingkungan
Kabuyutan lain. Mereka yang merasa kehilangan sejak dua tiga
tahun y ang lalu, diharap berhubungan dengan Ki Buyut atau
bebahu y ang ditunjuk. Namun Ki Buyut pun harus berhati-hati. Mungkin orang
yang datang mengaku mempunyai anak yang pernah hilang itu
hanya sebuah permainan saja. Beruntunglah jika orang-orang
yang datang mengaku mempunyai keluarga itu benar-benar
berniat baik. Jika tidak, maka anak yang dilepaskan dengan
su sah pay ah akan jatuh ke tangan orang-orang tua yang
kurang bertanggung jawab. Dan bahkan dengan tujuan yang
buruk pula. Kepada orang-orang yang akan ditinggalkan Ki Buyut
berpesan, agar pengalaman pahit itu dapat menjadi pelajaran
dalam hidup mereka selanjutnya.
"Kali ini kalian kami bebaskan meskipun beberapa
orang kawan kalian terpaksa terbunuh. Namun pada
kesempatan lain, kami akan bertindak lain pula. Mungkin seisi
padepokan ini harus dibersihkan sama sekali."
Orang-orang padepokan itu pun berjanji, bahwa mereka
tidak akan melakukannya lagi. Mereka pun sebenarnya tidak
banyak ikut campur atas rencana pemimpinnya, karena
mereka sama sekali tidak berhak berbuat apa pun kecuali
melaksanakan segala perintah.
Demikianlah, maka Ki Buyut telah mulai dengan
perjalanannya. Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu
telah diminta oleh Ki Buyut untuk tetap berada di Kabuyutan
itu beberapa hari menunggu sampai saatnya anak-anak itu
diambil oleh mereka yang berhak.
Perjalanan kembali ke Kabuyutan lewat hutan itu
memang sulit. Apalagi bagi perempuan dan anak-anak. Tetapi
perjalanan itu adalah perjalanan y ang terbaik ditempuh.
Beberapa orang anak-anak masih harus didukung.
Bahkan ada pula y ang masih terlampau kecil, sehingga harus
digendong dengan selendang oleh perempuan-perempuan
yang ikut dibebaskan itu.
Tetapi betapa pun beratnya perjalanan itu, perempuanperempuan
y ang ada di dalam iring-iringan itu tetap m erasa
bergembira, karena jalan yang berat itu adalah jalan m enuju
ke kebebasan. Betapa menderitanya mereka di padepokan itu.
Lahir dan batin. Mereka benar-benar diperlakukan sebagai
budak bahkan seperti binatang.
Untuk menjaga agar anak-anak itu tidak kelaparan di
perjalanan, Ki Buyut y ang juga mempunyai beberapa orang
anak itu telah memerintahkan perempuan-perempuan itu
membawa makanan. Bahkan kedua orang bekas perampok itu
pun t elah ikut pula m embawa m akanan. Bukan mereka saja,
anak-anak muda y ang ada bersama mereka pun tidak
ketinggalan, sehingga makanan y ang mereka bawa cukup tidak
sa ja untuk anak-anak, tetapi untuk semuanya.
Namun di antara anak-anak m uda itu ada yang harus
dipapah berganti-ganti. Keadaannya memang agak berat.
Namun Ki Buyut y akin bahwa anak muda itu akan dapat
tertolong jiwanya. Ternyata bahwa mereka memerlukan waktu sehari
penuh untuk menempuh perjalanan panjang itu. Mereka
memang beberapa kali harus beristirahat.
Akhirnya perjalanan yang berat itu dapat diakhiri.
Anak muda y ang terluka parah itu memang menjadi
semakin berat. Tetapi seorang y ang m enguasai pengetahuan
tentang obat-obatan y ang terbaik di Kabuyutan itu telah
dipanggil untuk secara khusus merawat anak muda itu.


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Demikian mereka memasuki halaman banjar, maka
perempuan-perempuan itu merasakan udara kebebasan yang
segar di pusat paru-paru mereka. Diam-diam mereka
mengucap syukur kepada Yang Maha Agung, bahwa pada
suatu saat telah dikirim beberapa orang untuk membebaskan
mereka. Letih dan sengatan panas matahari yang membakar
telah mereka lupakan. Apalagi setelah mereka mendapat
kesempatan untuk mandi dan membenahi pakaian mereka.
Di banjar, mereka mendapat pelay anan y ang wajar.
Tidak lagi sebagai budak. Tetapi mereka adalah orang-orang
yang beba s sebagaimana orang lain.
Namun ju stru Kabuyutan itu justru telah mempunyai
pekerjaan yang termasuk berat. Mereka harus meny ebarkan
wara-wara sejauh-jauh dapat dijangkau tentang penemuan
mereka. Anak-anak dari bay i sampai anak-anak yang
menjelang remaja. Sementara itu, Ki Buyut telah minta kepada perempuanperempuan
itu untuk beberapa lama tinggal di Kabuyutan
untuk merawat anak-anak y ang belum diam bil oleh orang tua
mereka, karena perempuan-perempuan itu sudah dikenal oleh
anak-anak itu selama di padepokan.
Ternyata perempuan-perempuan itu sama sekali tidak
berkeberatan. Mereka menganggap bahwa mereka memang
mempunyai kewajiban sebagai ucapan terima kasih mereka
kepada orang-orang Kabuyutan itu.
Demikianlah m aka Ki Buyut pun telah memerintahkan
beberapa orang anak muda untuk menghubungi Kabuyutankabuyutan
yang lain. Mereka memberitahukan bahwa ada
beberapa orang anak-anak y ang telah mereka bebaskan.
Karena itu, jika Kabuyutan itu pernah merasa kehilangan
anak-anak, maka mereka dapat berhubungan dengan Ki Buyut
atau orang-orang y ang diserahi tugas untuk mengurusnya.
Pemberitahuan itu m emang cukup membuat beberapa
Kabuyutan menjadi gempar. Apalagi jika Kabuyutan itu
memang pernah kehilangan anak-anak.
Dengan demikian maka beberapa orang telah datang
untuk melihat apakah ada di antara anak-anak itu anak-anak
mereka y ang pernah hilang.
Satu-satu anak-anak itu telah kembali kepada orang
tuanya. Untuk m ey akinkan Ki Buyut, maka orang tua yang
mengambil anak-anak selalu diikuti atau diantar oleh bebahu
Kabuyutan mereka. Namun sampai saat terakhir, masih ada seorang anak
yang ternyata tidak m endapat perhatian dari siapa pun juga.
Anak itu seakan-akan memang anak yang tidak beribu dan
tidak berbapa lagi. Perempuan-perempuan yang merawatnya juga tidak
tahu, darimana anak itu datang.
Anak yang sudah menginjak umur enam tahun itu juga
tidak dapat memberitahukan apa pun tentang dirinya.
Dari perempuan-perempuan yang ada di padepokan itu
mereka mengetahui bahwa anak itu sudah ada di padepokan
sekitar satu tahun. "Ma sih belum banyak pengaruh y ang mencengkamnya,"
berkata salah seorang dari perempuan itu, "apalagi anak itu
nakal sekali. Kadang -kadang ia memang diikat dan dipukuli.
Tetapi ia tidak dengan mudah dapat ditundukkan."
Ki Buyut termangu-mangu. Jika tidak ada orang y ang
mengambilnya, maka anak itu harus menjadi tanggungan
Kabuyutan. Namun siapakah y ang akan dapat m engurusnya
sehari-hari. Anak itu nampaknya memang nakal dan keras
kepala." Dalam pada itu, karena sudah ditunggu sampai lebih
dari dua pekan tidak ada y ang m engambilnya, maka Mahisa
Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah
membicarakannya pula. " Jika memang tidak ada y ang m engambilnya, biarlah
kita mengambil anak itu," berkata Mahisa Murti.
"Apakah anak itu tahan berjalan demikian jauhnya?"
bertanya Mahisa Semu. "Kita akan mendukungnya berganti-ganti," jawab
Mahisa Pukat yang nampaknya juga tertarik kepada anak itu.
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah.
Aku akan ikut mendapat giliran."
Akhirnya mereka menyatakan kepada Ki Buyut
kesediaan mereka untuk membawa anak-anak itu.
Memeliharanya dan membesarkannya.
Ki Buyut justru termangu-mangu. Dengan nada rendah
ia bertanya, "Apakah kalian akan dapat menjaganya" Kecuali
anak ini memang nakal, bukankah kalian masih akan
menempuh perjalanan y ang panjang?"
Mahisa Murti dengan y akin menjawab, "Kami akan
bersungguh-sungguh memperhatikannya. Kami berjanji untuk
membuatnya menjadi seorang anak yang baik meskipun kami
tidak tahu jalur keturunannya. Tetapi pengaruh tuntunan dari
orang-orang terdekat tentu akan terasa sangat besar."
Ki Buyut mengangguk-angguk. Namun demikian ia
masih berkata, "Anak-anak muda. Jika kalian memang berniat
untuk membawanya, kami di Kabuyutan ini memang tidak
berkeberatan, karena memang tidak seorang pun yang
mengaku sebagai orang tuanya. Mungkin anak itu diambilnya
dari tempat yang jauh atau alasan apapun. Tetapi aku minta,
pada waktu tertentu, tiga atau empat tahun lagi, anak itu
dibawa kemari. Mungkin ada perkembangan tertentu tentang
keluarganya atau persoalan-persoalan lain y ang berhubungan
dengan anak-anak itu."
"Baiklah Ki Buyut," berkata Mahisa Murti, " sekitar tiga
atau empat tahun lagi, kami akan m embawa anak itu kemari.
Ia tentu sudah menjadi lebih besar. Perkembangan pribadinya
sudah mulai nampak meskipun belum terlalu jelas."
Dengan demikian maka anak terakhir dari anak-anak
dan bayi yang ada di padepokan itu sudah m endapat tempat.
Karena itu, maka Ki Buyut pun telah memenuhi janjinya,
memerintahkan anak-anak muda Kabuyutan itu
mengantarkan perempuan-perempuan yang telah diambil oleh
orang-orang padepokan. Perempuan-perempuan itu m asih ingat jelas, darimana
mereka diambil. Meskipun mereka tidak tahu jalan menuju ke
padukuhan mereka masing-masing, tetapi mereka dapat
menyebut nama padukuhan dan Kabuyutan mereka, sehingga
mempermudah anak-anak muda yang mendapat tugas
mengantar mereka. Ternyata perempuan-perempuan itu telah diambil dari
padukuhan yang berbeda -beda. Bahkan ada di antaranya yang
diambil dari padukuhan y ang jauh.
Namun tidak banyak kesulitan yang dialami oleh anakanak
muda itu untuk menemukan padukuhan perempuanperempuan
yang harus mereka antar, m eskipun cukup jauh.
Bahkan anak-anak muda itu ada y ang harus berjalan dua hari
penuh. Namun tidak banyak kesulitan yang dialami oleh anakanak
muda itu untuk menemukan padukuhan perempuanperempuan
yang harus mereka antar, m eskipun cukup jauh.
Bahkan anak-anak muda itu ada y ang harus berjalan dua hari
penuh. Tetapi mereka tidak takut lagi kepada orang-orang
padepokan y ang garang itu, karena sebagian besar dari
mereka, justru para pemimpinnya, sudah dihancurkan,
sehingga padepokan itu hampir lumpuh sama sekali. Orangorang
y ang m asih hidup tentu tidak akan berani melakukan
gerakan diluar padepokan mereka pada saat mereka dalam
keadaan tidak berday a. Dalam pada itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan
Mahisa Semu justru masih menunggu satu dua hari untuk
meyakinkan bahwa memang tidak ada orang y ang akan
mengambil anak itu, sekaligus untuk mulai mengenalinya
lebih banyak. Anak itu memang nakal. Tetapi Mahisa Murti, Mahisa
Pukat dan Mahisa Semu tidak memperlakukan anak itu
dengan kasar dan keras. Anak-anak m uda itu m ulai dengan
mengajak anak itu bermain-main. Permainan anak-anak lakilaki
yang memang agak keras. Berkejaran. Berlari-larian dan
sembunyi-sembuny ian. Sekali-sekali anak itu diajak berkelahi m eskipun tidak
bersungguh-sungguh. Nampaknya anak itu senang sekali melakukannya. Ia
menjadi gembira. Perubahan y ang sangat besar telah terjadi
didalam dirinya. Jika saat diketemukan wajahnya nampak
selalu murung dan sedih, telah berubah menjadi gembira dan
cerah. Ketiga anak muda itu dengan cepat menjadi akrab.
Mereka ternyata m erasa gembira pula m endapatkan seorang
adik yang nakal, namun benar-benar bersikap sebagai seorang
anak laki -laki. Ketika ketiga anak muda itu sudah merasa cukup
meyakinkan bahwa tidak ada orang y ang akan mengambilnya,
maka ketiga orang anak muda itu pun telah minta diri kepada
Ki Buyut untuk meneruskan perjalanan.
"Terima kasih atas pert olongan kalian," berkata Ki
Buyut, " orang y ang telah meny ebabkan Kabuyutan kami
kehilangan watak dan sifatnya itu, telah disiapkan untuk
diusut dan dijatuhi hukuman y ang pantas meskipun saudarasaudaranya
y ang langsung dirugikan tidak menuntut."
"Yang bersalah memang harus dihukum," berkata
Mahisa Murti, "tetapi hukuman bukannya balas dendam."
Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Hukuman
memang bukan balas dendam. Hukuman harus memberikan
satu kesadaran tentang kesalahan y ang telah dilakukan untuk
disesali dan tidak lagi berniat melakukannya."
Dalam pada itu, sebelum ketiga orang anak muda itu
meninggalkan Kabuyutan sambil membawa seorang anak yang
mereka dapatkan dari padepokan itu, maka beberapa orang
telah menemui ketiga orang anak muda itu di banjar
Kabuyutan. Orang tua dari anak-anak y ang telah diketemukan
kembali itu menyatakan terima kasihnya berulangkali. Bahkan
saudara tertua di antara mereka, seorang y ang kaya raya, telah
menyiapkan bekal uang bagi ketiga orang anak muda itu.
Tetapi anak-anak muda itu menyatakan keberatan
mereka untuk menerimanya. Bahkan Mahisa Semu itu telah
berkata, "Kami memang tidak memerlukan bekal diperjalanan
kami. Itu merupakan laku y ang harus kami tempuh."
Orang itu tidak memaksa jika itu memang satu laku
dalam menjalani paugeran dari sebuah perguruan. Bahkan
Mahisa Murti pun berkata, "Salah satu rangkaian laku dari
tapa ngrame." Namun di dalam hati Mahisa Murti itu ter senyum. Ia
tahu bahwa Mahisa Semu m embawa bekal cukup. Bukan saja
berupa uang, tetapi juga berupa apa saja yang dapat ditukar
dengan uang m eskipun tidak berlebih-lebihan. Sementara itu
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat juga membawa bekal uang
meskipun sudah m enjadi jauh susut. Bahkan sudah hampir
habis. Namun orang itu ternyata cerdik juga. Katanya, "Laku
yang harus dijalankan oleh seorang yang menuntut ilmu pada
sebuah perguruan memang harus dilakukan. Apalagi yang
sedang menjalani tapa ngrame. Karena itu, maka aku berikan
bekal ini kepada anak-anak yang tidak berbapa dan beribu ini.
Mudah-mudahan bekal ini akan berarti baginya, setidaktidaknya
selama dalam perjalanan. Jika biasanya anak-anak
muda y ang sedang menjalani laku itu dapat menginap dimana
sa ja, tetapi mungkin anak-anak ini m emerlukan tempat yang
lain. Demikian juga bagi makan dan minumnya, sehingga
baginya diperlukan sekedar bekal."
Anak-anak muda itu saling berpandangan sejenak.
Namun Mahisa Murti kemudian telah berkata, "Biarlah. Kami
menerima bekal itu bagi anak itu."
Ternyata dimalam hari m enjelang keberangkatan ketiga
anak muda itu dikeesokan harinya, banjar itu telah penuh. Ki
Buyut, para bebahu, orang-orang yang merasa pernah
langsung ditolongnya, bahkan anak muda yang terluka berat,
namun y ang telah menjadi agak baik itu, telah datang untuk
mengucapkan selamat jalan kepada ketiga orang anak muda
beserta seorang anak kecil itu.
Ketiga orang anak muda itu telah dianggap sebagai
orang y ang pantas sangat dihormati. Mereka telah melakukan
satu pekerjaan yang sangat mengagumkan, sehingga kedua
orang kanak-kanak y ang hilang dari Kabuyutan itu dapat
kembali kepada orang tuanya, sekaligus membongkar niat
jahat seorang adik terhadap saudara -saudara tuanya.
Bahkan semalam suntuk orang -orang Kabuyutan itu
berada di banjar. Lewat tengah malam mereka telah
mempersilahkan ketiga orang anak muda itu beristirahat.
Besok m ereka akan m engadakan perjalanan panjang. Namun
orang-orang Kabuyutan itu sendiri akan berada di banjar itu
sampai ketiga orang anak muda itu berangkat membawa
seorang di antara anak-anak y ang diselamatkan dari
padepokan itu, namun y ang tidak diambil kembali oleh
keluarganya. Tidak seorang pun y ang tahu tentang anak itu.
Sedangkan anak itu pun tidak tahu tentang dirinya sendiri.
Ternyata dalam keriuhan kelakar dan bermacam-macam
permainan anak-anak muda, ketiga orang y ang sedang
dihormati malam itu sempat juga tidur. Setelah pintu diselarak
dari dalam bilik di banjar itu, maka ketiganya telah bersepakat
untuk berganti-ganti berjaga-jaga. Bagaimanapun juga mereka
harus tetap berhati-hati. Sementara itu anak yang akan
mereka bawa telah tidur ny enyak sejak sore.
Menj elang fajar, ketiga orang anak muda itu telah
terbangun. Ternyata di pendapa banjar, orang-orang
Kabuyutan masih berkelakar dengan riuhnya. Baru saja
dihidangkan bagi mereka minuman hangat. Di dapur masih
sedang disiapkan makan bagi mereka dan terutama bagi
mereka yang akan m eninggalkan banjar itu untuk menuju ke
tempat y ang jauh. Beberapa saat kemudian, maka semuanya memang
sudah siap. Ketiga orang anak muda itu pun sudah siap
membenahi dirinya. Anak yang akan m eny ertai mereka pun
sudah mandi dan berpakaian rapi.
Demikianlah setelah makan pagi, maka Mahisa Murti,


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah m inta diri kepada Ki
Buyut, Ki Jagabaya, para bebahu dan orang-orang Kabuyutan
yang ada di banjar. Termasuk keluarga dari kanak-kanak yang
telah dibebaskan itu. " Jika saja kalian bersedia tinggal di Kabuyutan ini,"
desis Ki Buyut. "Maaf Ki Buyut," sahut Mahisa Murti, "sesuatu telah
memanggil kami untuk meninggalkan Kabuyutan ini. Mungkin
pada kesempatan lain, kami akan berusaha untuk singgah lagi
kemari." Tidak seorang pun dapat mencegah. Mahisa Murti,
Mahisa Pukat, Mahisa Semu bersama seorang anak telah
meninggalkan banjar padukuhan itu.
Namun ketiga orang anak m uda itu menyadari bahwa
dengan membawa anak-anak itu, perjalanan mereka akan
menjadi jauh lebih lama. Mereka tidak dapat m emaksa anak
itu berjalan terlalu cepat. Anak itu pun tentu lebih cepat
merasa lelah sehingga mereka harus beristirahat.
Tetapi Mahisa Murti pun kemudian berkata, "Kita tidak
akan lagi berhenti. Meskipun lambat kita akan berjalan terus.
Kita sudah terlalu lama meninggalkan ayah di padepokan itu."
Mahisa Pukat pun sependapat. Katanya, "Baiklah. Kita
hentikan laku y ang selama ini kita jalani. Kita tidak lagi tapa
ngrame." Mahisa Murti justru menjadi ragu-ragu. Apakah benar
mereka dapat membiarkan saja hal-hal yang tidak wajar
berlangsung jika mereka menjumpainya di perjalanan?"
Tetapi Mahisa Murti tidak mengatakannya. Bahkan katakata
y ang sudah ada di kerongkongannya pun telah ditelannya
kembali. Anak-anak muda itu memang tidak mempersoalkannya
lagi. Mereka pun berjalan terus menyusuri bulak-bulak
persawahan. Anak yang mereka bawa itu masih nampak segar
di panasny a matahari pagi. Dengan gembira anak itu berlarilari
di tanggul parit. Ketika dijumpainya sebatang pohon randu, m aka tiba tiba anak itu meloncat memanjatnya.
"Turun," minta Mahisa Pukat.
Tetapi anak itu memanjat semakin tinggi. Bahkan
kemudian anak itu telah berteriak-teriak gembira, "Susul aku
jika kalian mampu." Pohon randu itu memang tidak begitu besar. Tetapi
dahan batang randu adalah dahan y ang lemah dan mudah
patah. Jika anak itu m emanjat t erlalu tinggi, pohon itu akan
dapat membahayakannya. Tetapi nampaknya tidak mudah untuk memaksa anak itu
turun. Bahkan ketika Mahisa Murti mengancam akan
meninggalkannya di situ, anak itu tidak mau turun.
Mahisa Semu mencoba membujuk anak itu dengan cara
lain. Katanya, "Jika kau turun, kita akan membeli beberapa
mangkuk dawet cendol. Kau mau dawet cendol?"
"Mau. Aku mau dawet cendol," jawab anak itu.
Sambil tertawa anak itu menjawab, "Bawa dawet cendol
itu naik." Mahisa Semu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun
menjawab, "Penjual dawet cendol itu tidak ada di sini. Kita
berjalan beberapa puluh langkah lagi, baru kita akan
menjumpai penjual dawet itu."
Tetapi anak itu t ertawa. Katanya, " Jangan menipu aku.
Aku akan duduk di sini sampai sore."
Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi
agaknya ia mulai m enjadi jengkel. Katanya, "Kau mau turun
atau tidak?" Tetapi anak itu justru tertawa. Ia semakin senang
melihat Mahisa Semu menjadi marah.
Tetapi Mahisa Murti telah menggamit Mahisa Semu dan
berbisik ditelinganya. Demikian pula dibisikinya juga Mahisa
Pukat. Bahkan kemudian Mahisa Pukat dan Mahisa Semu
telah saling berbisik. "Apa yang kalian katakan he?" anak di atas dahan randu
itu berteriak. Tetapi tiba -tiba saja ketika orang anak muda itu tertawa.
Sambil memandang kepada anak y ang ada di pohon itu,
mereka bertiga telah melangkah ke tepi jalan di seberang
pohon itu dan duduk di atas sebuah batu.
Beberapa saat kemudian ketiganya telah saling berbicara
dan bahkan berkelakar dengan gembiranya tanpa
memperhatikan lagi anak y ang ada di pohon randu itu.
Untuk beberapa saat anak itu menunggu. Tetapi ternyata
ketiganya sama sekali tidak memperhatikannya. Mereka masih
sa ja berbicara dengan tanpa pernah berpaling kepadanya. Di
saat -saat ketiganya berhenti berbicara, maka perhatian
mereka pun tertuju kepada tanaman, sawah dan gunung
dikejauhan. Atau bahkan mereka sempat memperhatikan
orang-orang y ang lewat. Tetapi tidak memperhatikan anak itu
sama sekali. Beberapa kali anak itu memanggil-manggil. Namun
ketiganya tidak menghiraukannya, sehingga akhirnya anak itu
berteriak-teriak. Mahisa Murti lah yang pertama kali berpaling
kepadanya. Tetapi kata-kata yang diucapkannya hanya singkat
sa ja. "Turunlah. Atau kau dapat berada di situ sampai sore
seperti y ang kau katakan. Kami akan menunggu di sini."
"Ambil aku," teriak anak itu.
Tetapi ketiga orang itu sudah tidak lagi berpaling kepada
mereka. Bahkan Mahisa Pukat duduk bersandar sebatang
pohon sambil memejamkan matanya.
Akhirnya anak itu m eluncur turun sambil bergeremang.
Demikian ia turun, maka anak itu pun segera berlari ke arah
Mahisa Pukat, Mahisa Murti dan Mahisa Semu.
Demikian marah anak itu telah memukuli ketiganya di
bahu, di punggung dan di lengannya.
Ketiganya kemudian berdiri dan berlari m eninggalkan
anak itu. Tetapi anak itu tidak mau melepaskan mereka.
Karena itu maka ia pun telah mengejarnya.
Ketika sebuah bulak telah m ereka lalui, maka anak itu
mulai m enjadi letih. Karena itu, m aka ia pun telah berhenti
dengan sendirinya sambil berteriak-teriak.
Ketiga anak m uda itu pun berhenti. Mereka berpaling
sambil tertawa. Mahisa Semu pun berkata, "Kau harus
memanjat lagi." Anak itu mulai merengek. Bahkan matanya mulai
menjadi merah. Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam. Ialah y ang
pertama kali mendekati anak itu. Katanya, "Nah, lain kali kau
tidak boleh nakal lagi y a" Kau harus menurut apa y ang kami
katakan kepadamu." Anak itu tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk kecil.
"Nah, jika demikian kita akan membeli dawet cendol
jika kita bertemu dengan penjual dawet di perjalanan," berkata
Mahisa Semu yang kemudian menggandeng anak itu berjalan
mengikuti Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berjalan di
depan. Beberapa lama mereka berjalan kemudian, ketika anak
itu benar-benar merasa letih. Untunglah bahwa mereka
sempat sampai ke sebuah kedai y ang menjual dawet cendol.
Namun agaknya anak itu benar-benar sudah sulit untuk
diajak berjalan lagi. Karena itu, mereka memutuskan untuk
berhenti saja di padukuhan itu. Mereka akan minta ijin untuk
bermalam di banjar meskipun hanya di serambi.
Ternyata orang-orang padukuhan itu adalah orangorang
yang ramah. Apalagi ketika m ereka mengetahui bahwa
anak-anak muda itu membawa seorang anak kecil. Karena itu,
maka dengan senang hati orang-orang itu memberikan tempat
kepada anak-anak muda itu beserta anak kecil yang diajaknya
untuk bermalam di banjar.
Pagi-pagi mereka telah bersiap-siap melanjutkan
perjalanan. Setelah mengucapkan terima kasih, maka ketiga
orang anak muda itu telah meninggalkan banjar padukuhan
dengan menggandeng anak kecil y ang nakal itu.
Seperti yang telah mereka duga, berjalan bersama
dengan anak kecil memang harus mengendalikan diri. Mereka
tidak dapat berjalan secepat saat-saat mereka hanya bertiga.
Namun karena hal itu sudah mereka perhitungkan
sebelumnya, maka mereka bertiga sama sekali tidak
menyesalinya. Bahkan pada saat-saat mereka beristirahat,
maka Mahisa Semu dapat mempergunakan kesempatan itu
untuk meningkatkan ilmunya.
Dengan demikian maka tidak ada waktu yang terbuang.
Sementara itu kemampuan Mahisa Semu pun telah m enjadi
semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya
pengalamannya. Justru karena kemampuan ditempa pada
saat -saat yang berat dan kadang-kadang gawat, maka ilmu
Mahisa Semu pun cepat mencapai tingkat kedewasaannya.
Demikianlah maka perjalanan itu pun telah mereka
tempuh dengan lamban namun bukannya tidak berarti.
Namun pada suatu kali, ketika mereka memasuki sebuah
padukuhan, t iba-tiba anak k ecil yang bersama dengan ketiga
orang anak muda itu termangu-mangu. Dipandanginya pintu
gerbang padukuhan itu. Kemudian jalan y ang mereka lalui.
Hampir diluar sadarnya anak itu berkata, "Aku pernah melihat
tempat ini." Ketiga orang anak m uda itu termangu -mangu. Mahisa
Murti pun kemudian berjongkok dihadapan anak itu sambil
bertanya, "Kapan kau pernah melihat tempat ini?"
"Dahulu," jawab anak itu , "tetapi aku tidak begitu ingat
lagi." Mahisa Murti pun kemudian menuntun ingatan anak itu,
"Kau ingat pohon beringin di tengah-tengah jalan
padukuhanmu itu" Nampaknya pohon beringin itu m endapat
banyak perhatian dari orang-orang di sekitarnya. Pagar yang
bagus dan terawat rapi itu menunjukkan bahwa pohon itu
merupakan satu ujud yang dianggap penting. Atau barangkali
kau ingat regol-reg ol halaman yang tidak begitu terawat
sebagaimana pagar pohon beringin itu."
Wajah anak itu tiba-tiba menjadi tegang. Tiba-tiba saja
ia berkata dengan suara gemetar, "Aku takut. Mari kita pergi."
"Apa yang kau takutkan" Apakah ada sesuatu y ang
pernah terjadi atasmu di sini?" bertanya Mahisa Murti.
"Pohon itu. Pagar itu," wajah anak itu benar-benar
menunjukkan ketakutan. "Apa y ang pernah terjadi?" bertanya Mahisa Murti.
Anak itu memang masih terlalu kecil untuk mengingat
apa yang pernah terjadi satu dua tahun y ang lewat. Namun
agaknya bay angan kabur itu masih dapat diamati oleh
kenangan anak kecil itu. Katanya, "Ayah dan ibu."
"Kenapa dengan ay ah dan ibumu?" bertanya Mahisa
Murti. Anak itu menjadi semakin ketakutan. Rasa-rasanya
ingatannya mulai menggapai kenangan masa lalunya.
Tetapi anak itu kemudian menggeleng. Katanya, "Aku
tidak begitu ingat lagi."
Namun ketiga orang anak muda itu terkejut ketika
mereka melihat. Satu dua orang yang berjalan mendekat.
Kemudian disusul dua tiga orang lain. Empat, lima dan
semakin lama semakin banyak.
"Aku takut," teriak anak itu, "aku takut."
"Apa y ang kau takutkan," desak Mahisa Pukat.
"Orang-orang itu. Mereka telah membunuh ayah dan
ibuku," jawab anak kecil itu.
" Jadi kau berasal dari padukuhan ini?" bertanya Mahisa
Pukat. "Ya. Aku ingat pohon beringin itu. Aku ingat regol
padukuhan itu. Dan aku ingat, ay ah dan ibu dikubur di bawah
pohon itu, di dalam pagar."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun k emudian berdiri
tegak. Bertiga dengan Mahisa Semu mereka berdiri
membelakangi anak kecil y ang ada di tengah-tengah itu.
Namun y ang demikian eratnya berpegangan pada kain
panjang Mahisa Semu. Beberapa saat suasana menjadi sangat tegang. Orangorang
padukuhan itu telah mengepung ketiga orang anak
muda yang membawa anak kecil itu.
Seorang di antara mereka yang mengepung ketiga orang
anak muda itu telah melangkah maju. Dengan nada berat
orang itu bertanya, "Anak-anak muda. Darimanakah kau bawa
anak kecil itu?" "Aku mendapat tugas untuk membawanya dan
menyerahkannya kepada seseorang dari pemimpin
padepokanku," berkata Mahisa Murti.
"Siapakah pemimpin padepokanmu?" bertanya orang
itu. "Bukankah anak ini sudah kalian jual kepada
sekelompok orang di sebuah padepokan didekat padang perdu
itu" Padang perdu y ang disebut Ambal" Nah, kalian sudah
tidak berhak apa pun atas anak ini."
"Apakah kau orang padepokan itu?" bertanya orang
padukuhan itu. "Ya. Aku adalah penghuni padepokan itu," jawab
Mahisa Murti. "Untuk apa kalian k emari dengan membawa anak itu,"
bertanya orang padukuhan itu.
"Aku hanya lewat saja," jawab Mahisa Murti.
Beberapa orang saling berpandangan sejenak. Namun
kemudian seorang di antara mereka berkata, "Kedatangan
anak itu akan membawa bencana."
"Kenapa?" bertanya Mahisa Murti.
"Seperti ayah dan ibunya," jawab orang itu, "mereka
telah meny ebabkan padukuhan ini dikutuk oleh para danyang
di padukuhan ini. Penunggu pohon ini, penunggu regol
padukuhan dan penunggu banjar."
"Kenapa kalian dikutuk?" bertanya Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. "Mereka telah melanggar adat. Ternyata keduanya
adalah dua orang saudara kandung y ang akhirnya menjadi
suami isteri," berkata orang itu, "bahkan telah m enghasilkan
anak itu." "Dari mana kalian tahu bahwa keduanya adalah saudara
kandung?" bertanya Mahisa Murti.


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bukankah orang itu penghuni padukuhan ini, dan
kami- pun penghuni padukuhan ini," jawab orang itu.
"Kau telah berbohong pada keteranganmu y ang
pertama. Kau tentu akan berbohong lagi. Dua kali, tiga kali
dan untuk menutupi kebohonganmu, kau tentu akan terus
menerus melakukan kebohongan."
Orang itu menjadi heran. Dengan lantang ia bertanya,
"Kenapa aku berbohong?"
" Jika kedua orang yang mengaku suami isteri tetapi
sebenarnya masih saudara kandung, kemudian mempunyai
seorang anak satu, kenapa kalian tidak mencegahnya" Sejak
semula. Bukan setelah keduanya mempunyai anak sebesar ini"
Aku y akin bahwa kalian tentu telah membunuhnya sejak
kalian k etahui perempuan itu m engandung," berkata Mahisa
Murti. "Persetan," geram orang itu, "kau tidak tahu apa-apa
tentang orang -orang di padukuhan ini. Karena itu, kau tidak
berhak ikut campur. Sekarang, serahkan anak itu kepada kami.
Ia adalah hasil perbuatan y ang kotor dan mengotori
padukuhan ini. Satu-satu tebusan adalah mencuci tanah ini
dengan darahnya." " Itu tidak mungkin. Aku adalah petugas dari padepokan
yang telah membayar harganya. Ia adalah anak padepokan
yang sah. Jika kalian mencoba m engganggu anak ini, m aka
kalian, padukuhan ini akan bermusuhan dengan padepokan
kami. Jangan kau k ira, bahwa padepokan kami berisi orangorang
yang ramah, baik hati dan mengalah tentang satu
persoalan. Padepokan kami berisi sekelompok orang-orang
kasar y ang siap membunuh dengan jari-jarinya tanpa
gemetar," berkata Mahisa Murti.
Orang-orang padukuhan itu menjadi ragu-ragu.
Sementara itu Mahisa Pukat pun berkata, "Kami akan
melanjutkan perjalanan. Anak ini anak kami. Minggirlah
kalian." "Tetapi anak itu telah menodai padukuhan ini
sebagaimana orang tuanya," berkata orang y ang m elangkah
maju mendekati Mahisa Murti itu.
"Siapakah yang saat itu telah menjual anak ini kepada
kami. Kepada padepokan kami?" bertanya Mahisa Murti.
Beberapa orang saling berpandangan. Namun kemudian
orang yang melangkah maju itu berkata, "Kami berniat
menyingkirkannya. Anak itu tidak boleh menginjakkan
kakinya lagi di dalam regol padukuhan. Setiap sentuhannya
akan menimbulkan bencana. Pagebluk, hama tanaman dan
musim panas sepanjang tahun. Namun ternyata anak itu telah
memasuki padukuhan ini. Karena itu, maka aku minta
kerelaan kalian untuk mencuci padukuhan ini dengan
darahnya. Kami memerlukan darahnya untuk membasahi
keempat sudut pagar pohon beringin itu. Kemudian sudut
tikungan batu datar. Keempat regol padukuhan dan patung di
halaman Ki Bekel. Jika kebutuhan kami sudah cukup dan anak
itu m asih tetap hidup, anak itu boleh kau bawa pergi. Tetapi
dengan janji, bahwa anak itu tidak akan mengotori padukuhan
ini lagi, karena jika demikian maka ia harus mencucinya
dengan darahnya pula."
"Bagaimana caranya kau mengambil darahnya?"
bertanya Mahisa Murti. "Kami akan memotong nadi di kedua pergelangan
tangannya. Darahnya akan kami tampung dengan sebuah
mangkuk tempurung," berkata orang itu.
"Kalian adalah pembunuh-pembunuh y ang paling
kejam," geram Mahisa Pukat, "anak itu tentu akan mati jika
diambil darahnya sebanyak itu. Bagaimana jika darah orang
lain. Darah kami bertiga misalny a."
"Tidak mungkin," jawab orang y ang maju mendekati
Mahisa Murti, "hanya darah anak itu."
Namun tiba-tiba saja Mahisa Semu berkata lantang,
"Kami berkeberatan. Bukan hanya kami, tetapi seluruh isi
padepokan kami. Jika kalian memaksa, maka akan timbul
perang. Kami akan memanggil semua orang di padepokan
kami. Meskipun jumlahnya tidak akan sebanyak jumlah lakilaki
di padukuhan ini, tetapi seorang di antara kami akan
mampu membunuh empat orang padukuhan ini."
Orang-orang padukuhan itu memang menjadi ragu -ragu.
Jika benar k etiga orang anak muda itu m emanggil seisi
padepokan maka akibatnya akan sangat parah.
Namun tiba -tiba saja seorang berteriak, "Bunuh saja
mereka bertiga, agar mereka tidak meninggalkan jejak."
"Kau kira tidak akan ada petugas sandi y ang dapat
membongkar pembunuhan ini" Terutama petugas sandi dari
padepokanku. Nah, jika kemudian keadaan y ang sebenarnya
sudah diketahui, m aka padukuhan ini akan m enjadi karang
abang. Tidak sebuah pun akan masih tersisa. Aku tidak peduli
ke mana orang-orangnya akan mengungsi atau bahkan mati
lemas karena asap untuk terbakar sekalipun oleh api yang
menyala," jawab Mahisa Pukat.
"Omong kosong," berkata salah seorang y ang
mengepung mereka bertiga serta anak kecil y ang berpegangan
kain panjang Mahisa Semu, "meny erahlah. Kalian bertiga pun
akan dibunuh untuk menghilangkan jejak. Tidak seorang pun
akan mengetahui apa y ang akan terjadi hari ini, selain
keluarga padukuhan ini sendiri."
Mahisa Semu rasa-rasanya tidak sabar lagi. Katanya,
"Jadi kalian bersungguh-sungguh?"
"Ya. Kami bersungguh-sungguh," jawab orang itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti berkata, "Kami
lebih takut kepada ikatan paugeran dalam padepokan kami
dari pada padukuhan ini. Apa pun yang akan kalian lakukan
atas kami, maka kami tentu akan mengimbanginya."
Demikianlah maka orang-orang yang mengepung ketiga
orang anak muda itu bersiap-siap. Orang y ang mendekati
Mahisa Murti itu pun berteriak, "Bunuh mereka. Tetapi ingat,
darah anak itu harus dipisahkan."
Tidak ada jawaban. Namun para penghuni padukuhan
itu benar-benar telah kehilangan penalaran. Karena itu, maka
mereka pun justru mulai bergerak perlahan-lahan.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Hampir
berbisik ia berkata, "Kenapa kita akan m enjumpai per soalan
dengan orang-orang padukuhan lagi" Apakah kita harus
bertempur dengan mereka dan membiarkan korban jatuh?"
Mahisa Pukat memang juga menjadi bingung, sementara
Mahisa Semu menjadi ragu -ragu. Namun hampir diluar
sa darnya Mahisa Semu berkata, "Sudah tentu kita tidak mau
mati dibantai orang-orang itu."
Mahisa Pukat mengangguk. Namun ia berdesis, "Apakah
sebab y ang sebenarnya sehingga kedua orang tua anak ini
dibunuh" Tentu tidak sebagaimana dikatakan oleh orangorang
itu." " Itulah y ang sulit," berkata Mahisa Murti, "mereka telah
sepakat untuk meny ebutnya demikian. Nampaknya
padukuhan ini dikuasai oleh seorang y ang sangat berpengaruh
sebagaimana pemimpin sebuah padepokan."
Mahisa Pukat mengangguk. Namun sementara itu
kepungan itu pun telah menjadi semakin rapat, sehingga
ketiga orang anak muda itu tidak sempat berbuat lain kecuali
bersiap-siap untuk melawan.
Anak y ang menjadi sa saran kemarahan orang-orang
padukuhan itu menjadi ketakutan. Ia berpegangan Mahisa
Semu semakin erat. Sehingga akhirnya Mahisa Pukat pun
berkata, "jagalah anak ini. Biarlah kami berdua
menghadapinya." Sebenarnyalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
telah bergerak selangkah maju. Mereka telah menggenggam
senjata di tangan mereka untuk menghadapi ujung-ujung
senjata dari orang-orang padukuhan.
"Kalian benar-benar dungu. Apakah kalian bertiga
benar-benar ingin m enghadapi kami yang sekian banyaknya"
Lebih dari dua puluh lima orang" Sebentar lagi yang lain pun
akan berdatangan pula. Mereka akan membunuh kalian
seperti membunuh garangan yang telah mencuri ayam di
kandang," berkata orang yang nampaknya menjadi pemimpin
di antara orang-orang itu.
Tetapi Mahisa Pukat tertawa. Katanya, "Kami adalah
perampok, peny amun dan pembunuh yang tidak ada duanya
di sekitar padang perdu Ambal. Kami adalah penjahat yang
paling ditakuti di sisi ini bahkan di seluruh Pakuwon. Kami
membunuh orang bagaikan membabat padang ilalang. Jika
kalian tidak y akin akan kata-kata kami, m arilah. Kita akan
membuktikannya. Siapakah y ang akan tinggal hidup di sini.
Tetapi seandainya kam i berdua mati, maka lebih dari separuh
di antara kalian tentu akan mati. Itu sudah m enjadi takaran.
Nyawa kami berharga sepuluh orang lain. Apalagi orang-orang
padukuhan y ang dungu seperti kalian, yang tidak tahu sama
sekali tentang kerasny a dunia olah kanuragan."
Sikap dan kata -kata Mahisa Pukat memang
berpengaruh. Tetapi pemimpin dari orang-orang padukuhan
itu berteriak, "Cepat. Jangan ragu-ragu."
Orang-orang y ang sebenarnya memang sudah menjadi
ragu-ragu itu telah bergerak kembali. Semakin mendekat
dengan senjata telanjang di tangan.
Sementara itu Mahisa Semu sempat bertanya kepada
anak itu, "Kau ingat kenapa ayah dan ibumu dibunuh?"
Anak itu menggeleng. Namun wajahnya benar-benar
menjadi pucat. Katanya, "Dulu ayah dan ibu dikepung seperti
sekarang. Lalu ayah dan ibu dibunuh beramai-ramai."
"Apa y ang mereka katakan ketika ay ah dan ibumu
dibunuh?" bertanya Mahisa Semu.
Anak itu menggeleng. Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia
pun telah berdiri tegak dengan senjata di tangan kanan,
sedangkan tangan kirinya memegangi tangan anak itu eraterat.
" Jangan takut," berkata Mahisa Semu, "kita akan
mengusir mereka." Namun bagaimanapun juga anak itu menjadi gemetar. Ia
mulai membayangkan kembali apa y ang telah terjadi atas ay ah
dan ibunya sebelum ia dijual kepada orang-orang padepokan.
Beberapa saat kemudian, kepungan pun telah menjadi
rapat dan semakin lama semakin sempit. Beberapa pucuk
senjata teracu ke arah mereka. Tetapi beberapa buah lembing
nampaknya siap dilontarkan.
Akhirnya Mahisa Murti pun berbisik. "Kita harus
menakut-nakuti mereka agar mereka pergi tanpa harus jatuh
korban lagi sebagaimana di padukuhan yang baru kita
tinggalkan. Nampaknya orang-orang ini benar-benar tidak
mengerti. Kita hanya akan menangkap pemimpinnya saja."
Mahisa Pukat mengerti maksud Mahisa Murti. Karena
itu, ketika orang-orang itu m enjadi semakin rapat, m aka ia
pun telah memusatkan nalar budinya.
Sebenarnyalah orang-orang padukuhan itu memang
akan membunuh mereka berempat sebagaimana mereka
membunuh orang tua anak kecil itu. Ketika sebuah lembing
melayang, anak " Hikss"., tidak nyambung ya. Di buku aslinya juga
begitu " Jangan takut," berkata Mahisa Semu.
"Dahulu ayah dan ibu juga dilempari lembing, senjata
dan batu-batu besar sehingga ayah dan ibu mati t ertimbun,"
berkata anak itu. "Begitu kejamnya," geram Mahisa Semu.
Namun beberapa buah lembing telah dilemparkan lagi.
Mahisa Semu telah menangkis lembing-lembing itu
dengan senjatanya. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
nampaknya tidak hanya sekedar menangkis dengan pedang
mereka, meskipun hal itu dapat mereka lakukan. Tetapi
mereka merasa perlu untuk memaksa orang-orang itu
mengurungkan niatnya yang bodoh dan tidak wajar itu.
Hikss"., tidak nyambung ya. Di buku aslinya juga
begitu Suara Mahisa Murti bergema bergulung-gulung di
seluruh padukuhan. Jantung didalam setiap dada pun bergetar
dan tubuh-tubuh telah menggigil ketakutan.
Dalam pada itu, seorang y ang rambutnya mulai memutih
telah melangkah maju. Tubuhnya ditopang dengan sebuah
tongkat panjang y ang bercabang pendek di ujungnya.
"Ampun anak-anak muda," berkata orang tua itu, "atas
nama seisi padukuhan ini kami mohon am pun."
"Siapa kau?" bertanya Mahisa Murti.
Orang itu berjalan terbongkok-bongkok berpegang pada
tongkatnya. Katanya, "Aku termasuk orang tersisih di sini. Aku
orang y ang tidak mendapat tempat di antara orang-orang
padukuhan ini." "Kenapa kau sekarang m inta ampun atas nama orangorang
padukuhanmu" Apakah kau berhak mewakili orangorang
padukuhanmu sementara kau adalah orang tersisih?"
bertanya Mahisa Murti. "Memang tidak seorang pun yang berhak mohon
ampun, karena semuanya terlibat dalam kesalahan ini.
Semuanya terlibat dalam pembunuhan y ang pernah dilakukan
tahun lalu atas kedua orang tua anak itu. Hanya akulah yang
tidak t erlibat kedalamnya, sehingga aku adalah orang yang
paling berhak m ohon ampun. Dan jika dibenarkan, aku pun
akan memohonkan ampun bagi orang-orang padukuhan ini,"
berkata orang tua itu. Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian ia pun bertanya, "Tetapi siapakah y ang telah
bersalah atas peri stiwa ini dan peristiwa lebih dari setahun
yang lalu itu" Tentu ada satu dua orang yang telah
menggerakkan seisi padukuhan ini sehingga padukuhan ini
bergejolak." "Ampun anak-anak muda. Aku tidak tahu. Tiba-tiba saja
aku melihat peri stiwa itu terjadi. Seperti peristiwa yang
hampir saja terjadi ini," berkata orang tua itu.
" Jika demikian aku tidak akan memaafkan seorang pun.
Sudah aku katakan aku adalah perampok, penyamun, penjahat
dan apa saja yang paling buruk di bumi ini. Aku juga
pembunuh berdarah dingin. Karena itu, jika tidak ada orang
yang bertanggung jawab atas pembunuhan yang pernah terjadi
dan y ang hampir saja terjadi, maka kami akan tetap
melakukan sebagaimana kami rencanakan. Tetapi jika kau


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kakek tua, dapat m enunjuk orang yang bertanggung jawab,
masa aku akan mengampunimu dan orang-orang y ang kau
mintakan ampun. Mungkin bay i-bay i, mungkin perempuan
atau orang lain," jawab Mahisa Murti.
Orang tua itu termangu-mangu. Ia berpaling kepada
orang-orang y ang ketakutan itu. Namun akhirnya ia
menggeleng, "Aku tidak dapat berbuat lebih jauh."
Mahisa Murti akhirnya telah kehilangan kesabaran.
Karena itu, maka ia pun berteriak, "Cukup. Tidak ada yang
harus diampuni. Aku tidak mempunyai waktu lagi."
Ketika Mahisa Murti kemudian menghadap ke arah
orang-orang yang mengepungnya, serta seakan-akan siap
untuk melontarkan ilmunya, maka tiba-tiba orang tua itu
berkata, "tunggu. Jangan."
"Aku tidak mau kehilangan terlalu banyak waktu di sini.
Dengan sekali hentak, maka separuh dari orang-orang itu akan
mati. Sekali lagi dan sekali lagi, habislah m ereka. Sementara
saudaraku akan dapat membakar semua rumah di sini."
" Jangan," berkata orang tua itu, "ternyata aku memang
harus melakukannya. Aku tahu, akibatnya akan sangat parah
bagiku. Mungkin aku dan keluargaku akan habis dicincang
sampai lumat." "Kenapa?" bertanya Mahisa Murti.
"Orang yang kau cari adalah orang y ang tidak ada
duanya di padukuhan ini. Orang itu adalah orang y ang berdiri
di sudut pagar pohon beringin itu. Dibawah kakinya kedua
orang y ang telah dibunuh itu dikuburkan," berkata orang tua
itu. "Omong kosong," teriak orang itu.
" Ialah y ang telah menggerakkan orang-orang
padukuhan ini untuk melakukan pembunuhan itu. Ia pulalah
yang merancangkan tuduhan seolah-olah kedua orang tua
anak itu adalah kakak beradik," berkata orang itu pula.
" Jadi, ternyata tuduhan itu palsu?" bertanya Mahisa
Murti. "Ya," jawab orang tua itu, "semuanya palsu. Orang
itulah yang sebenarnya ingin memperistri perempuan yang
dibunuh beramai-ramai itu. Dilempari lembing, pisau, pedang,
kapak, batu dan potongan-potongan kayu sehingga kedua
orang suami istri itu mati dalam keadaan y ang sangat
menyedihkan." " Diam," teriak orang itu pula, "kubunuh kau."
"Nah kau dengar," berkata orang tua itu, "ia dan
pengikutnya tentu akan membunuh aku dan anak serta
menantuku. Tetapi jumlahnya jauh lebih sedikit dari sekian
banyak orang yang mengepung kalian. Lebih dari dua puluh
lima bahkan t iga puluh orang. Belum terhitung perempuan
dan anak-anak y ang ada di rumah. Bahkan beberapa orang
masih berdatangan. Sedangkan keluargaku hanya terdiri dari
lima orang. Lima orang tentu jauh lebih sedikit dari seratus
orang seisi padukuhan ini."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya
dengan nada rendah, "jadi kau berkorban untuk orang-orang
ini?" "Ya. Mereka adalah keluarga besar padukuhan ini.
Mereka adalah tetangga y ang baik. Sanak kadang y ang aku
cintai. Nah, sekarang terserah kepada anak muda, apakah yang
akan anak muda lakukan," berkata orang tua itu.
"Bohong. Orang itu memang pembohong besar di
padukuhan ini. Karena itu ia memang tersisih dari antara
kami," teriak orang itu.
Mahisa Murti berpaling kepada orang tua itu. Namun
orang tua itu berkata, "Aku memang ter sisih karena aku
merasa ka sihan kepada orang-orang padukuhan ini. Tetapi
agaknya karena aku sudah dianggapnya terlalu tua, sehingga
aku telah dibiarkan saja. Tetapi apa yang aku katakan itu
Halloween Tanpa Kepala 1 Pertemuan Maut Di Kutub Utara Ice Station Zebra Karya Alistair Maclean Pendekar Pengejar Nyawa 24

Cari Blog Ini