Ceritasilat Novel Online

Hijaunya Lembah Hijaunya 28

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 28


Tetapi selagi mereka saling berbicara, maka Mahisa
Amping telah melangkah mendekati hutan y ang lebat itu.
Meny usup di antara pohon-pohon perdu melihat bibir hutan
yang memang mendebarkan itu.
Namun Mahisa Amping itu terkejut. Ia melihat sesuatu
yang tidak wajar. Ia melihat di antara dua batang pohon
raksasa, jalan setapak memasuki hutan menyusup dibawah
dedaunan y ang rimbun. Namun Mahisa Amping terkejut ketika ia mendengar
suara kakak angkatnya itu memanggilnya dari balik pohon
perdu. Mahisa Amping berlari -lari kecil. Sementara Mahisa
Murti berkata, "Hati-hati kau. Jangan dekat-dekat ke tempat
yang kau belum mengenalnya sama sekali."
Mahisa Amping berlari mendekat. Tetapi ia justru
berceritera tentang apa y ang dilihatnya.
Ceritera Mahisa Amping itu memang menarik perhatian.
Karena itu maka yang lain pun telah mengikutinya menuju ke
jalan setapak yang menyusup masuk ke dalam hutan itu.
Ternyata yang dikatakan Mahisa Amping m emang agak
aneh. Jalan setapak itu menunjukkan bekas-bekas disentuh
kaki. Sudah tentu mereka tidak dengan serta merta
mengatakan kaki orang. Tetapi rasa-rasanya bahwa jalan itu
memang sering dilalui orang keluar masuk hutan y ang lebat
itu, seakan-akan m ereka menemukan sebuah pintu goa yang
asing. Untuk beberapa saat mereka termangu-mangu di depan
pintu goa itu. Goa y ang terbentuk dari dedaunan yang lebat di
antara batang-batang pohon y ang besar.
Anak-anak muda itu memang menjadi ragu-ragu.
Apakah mereka akan masuk atau tidak.
Tetapi Mahisa Amping justru telah m encoba mengintip
kedalamannya. Namun dengan serta merta Mahisa Pukat
menyambarnya sambil berkata, "Sudah kami katakan. Jangan
melakukan hal-hal y ang berbahaya. Kita tidak tahu apa yang
ada didalamnya." Mahisa Amping memang terkejut. Namun ia tidak
berkata apa-apa. "Aku akan melihatnya," berkata Mahisa Murti.
"Aku pergi bersamamu," sahut Mahisa Pukat.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian ia pun berpesan kepada Mahisa Semu dan
Wantilan, " Jaga anak itu. Jangan kau ijinkan m elakukan hal
yang berbahaya. Satu patukan ular sebesar jari akan dapat
menamatkan riwayatnya. Apalagi jika kami berdua tidak ada
di dekatnya." Mahisa Semu dan Wantilan mengangguk mengiakan.
Dengan cepat Mahisa Semu telah menangkap pergelangan
tangan Mahisa Am ping sambil berkata, "Kau tidak boleh lepas
lagi." Mahisa Amping tidak menjawab. Dibiarkannya Mahisa
Semu memegangi tangannya erat-erat.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat segera
mempersiapkan diri. Keduanya benar -benar berada dalam
kesigapan tertinggi sehingga apabila terjadi sesuatu, keduanya
akan mampu mengatasiny a.
Sejenak kemudian maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah menyusup memasuki terowongan di antara
dedaunan y ang rimbun itu.
Ternyata mereka harus menyusup beberapa puluh
langkah. Namun kemudian, mereka keluar dari terowongan
sempit itu dan berada di tempat yang agak lapang m eskipun
masih juga berada di antara pohon-pohon y ang tinggi. Tetapi
tidak lagi dirim buni oleh pohon-pohon perdu padat seolaholah
dinding sebuah terowongan panjang.
Sinar matahari mulai nampak menyusup di antara
dedaunan. Garis-garis y ang condong jatuh di atas tanah yang
memang lembab. "Memang aneh," berkata Mahisa Murti, "nampaknya
terowongan itu memang dibuat orang. Jika kita perhatikan,
maka nampak bekas-bekas senjata tajam memotong rantingranting
yang lebat." "Ya. Tempat ini bukannya tempat y ang terasing sama
sekali. Jalan ini akan dapat kita telusuri," jawab Mahisa Pukat.
"Apakah kita akan mengikuti jalan ini?" bertanya
Mahisa Murti. "Tidak terlalu jauh," jawab Mahisa Pukat.
"Marilah. Namun nampaknya sudah agak lama jalan ini
memang tidak dilalui orang."
"Tetapi bekas parang tadi?" bertanya Mahisa Pukat.
Keduanya sempat memperhatikan terowongan itu sekali
lagi. Keduanya memang berkesimpulan bahwa terowongan
itu telah dibuat orang. Sejenak kemudian mereka telah berjalan menyusuri
jalan sempit di tengah-tengah hutan itu. Jalan y ang menjelujur
panjang, berkelok-kelok di antara pepohonan. Menilik jalan
panjang itu, maka jalan itu tentu dibuat setelah pohon-pohon
itu tumbuh menjadi besar.
Namun ternyata m ereka tidak m enjumpai apapun juga
selain jalan panjang itu.
"Tidak ada y ang aneh lagi," desis Mahisa Pukat.
"Ya," jawab Mahisa Murti, "agaknya jalan itu akan
menusuk sampai ke jantung hutan ini, bahkan sampai
menembus di seberang."
" Jika demikian, apakah kita akan m engikuti jalan ini
sampai ke seberang hutan?" bertanya Mahisa Pukat, "jika
demikian, maka kita akan membawa Mahisa Semu, paman
Wantilan dan Mahisa Amping."
Mahisa Murti ragu-ragu. Namun tiba-tiba saja ia
berkata,"Kau lihat sesuatu?"
Mahisa Pukat termangu-mangu. Ia memang melihat
sesuatu y ang agaknya bukan pepohonan dan bukan pula batubatu
padas dari sebuah gumuk kecil. Dibalik kabut y ang mulai
terangkat oleh sinar matahari yang menusuk udara lembab di
dalam hutan itu, mereka melihat sesuatu.
Mahisa Murti pun kemudian berdesis, "Marilah. Kita
lihat, apakah y ang nampak itu."
Namun Mahisa Murti yang memiliki ilmu yang tinggi itu
benar-benar telah bersiap. Demikian pula Mahisa Pukat.
Selangkah demi selangkah mereka memasuki daerah
berkabut. Namun semakin lama menjadi semakin jelas, bahwa
sebuah bangunan berada di hadapan mereka.
"Candi," desis Mahisa Murti.
"Candi y ang terbuat dari batu keras. Bukan sekedar batu
padas," sahut Mahisa Pukat.
Mahisa Murti kemudian telah berhenti sejenak untuk
memandangi keseluruhan candi itu. Seakan-akan sebuah
bangunan y ang besar telah menguak kabut yang semakin tipis,
sehingga mereka pun kemudian melihat satu candi y ang besar
di antara pepohonan. "Mana mungkin," desis Mahisa Pukat.
"Memang sebuah candi," berkata Mahisa Murti
kemudian, "mungkin buat tempat tinggal atau sebuah
pertanda yang lain."
"Tetapi hanya satu-satunya," berkata Mahisa Pukat,
"tidak nampak ada bekas-bekasnya bangunan y ang lain."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Nampaknya
memang tidak ada bangunan yang lain di sekitar bangunan
yang terbuat dari batu itu. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat belum tahu dengan pasti, bangunan apa yang mereka
hadapi. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu
pun kemudian telah sepakat untuk melihat -lihat bangunan itu
lebih dekat. "Tetapi kita harus berhati-hati sekali," berkata Mahisa
Murti. Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Selangkah demi
selangkah ia maju mendekati bangunan itu, sementara Mahisa
Murti melangkah menyamping.
Namun keduanya kemudian telah memanjat tangga y ang
agak tinggi. Keduanya tertegun ketika seekor ular keluar dari pintu
bangunan itu. Ular bandotan hitam.
"Tentu bangunan ini sudah lama kosong," berkata
Mahisa Murti. "Ya. Sehingga seekor ular tinggal di dalamnya," desis
Mahisa Pukat. Keduanya termangu-niangu sejenak di muka pintu. Dari
luar mereka melihat ruangan yang suram. Apalagi pepohonan
yang tumbuh liar disekitarnya serta dedaunan y ang rimbun,
maka udara di dalam bangunan itu terasa sangat lembab.
Tetapi keduanya melangkah terus. Terasa titik -titik
embun masih melekat di bebatuan.
Keduanya terkejut ketika keduanya melihat kerangka
manusia y ang terbaring di atas setumpuk batu yang ditata di
tengah-tengah sebuah ruangan yang tidak terlalu luas. Cahaya
matahari yang lemah meny entuh ruangan itu lewat lubanglubang
yang cukup besar di sisi bangunan itu, selain dari pintu
depan y ang bertangga. "Apa sebenarnya yang telah terjadi di sini?" bertanya
Mahisa Pukat. "Nampaknya seorang pertapa yang hidup sendiri di
tempat ini sehingga saat ajalnya tiba," sahut Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia sependapat
bahwa y ang terbaring itu tentu seorang pertapa yang memang
telah menyerahkan nyawanya di tempat itu. Demikian
pasrahnya sehingga kerangkanya masih terbujur di tempatnya
dengan baik. Namun ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
melangkah ke ruang di belakangnya y ang gelap, maka ia pun
melihat bahwa beberapa buah batu telah tidak berada di
tempatnya lagi. Beberapa buah batu telah terjatuh dari tempat
yang seharusy a. Namun agaknya batu -batu itu telah diungkit
dengan paksa. Meskipun gelap, namun lama-kelamaan keduanya
menjadi agak terbiasa sehingga mereka mulai dapat melihat
meskipun hanya lamat -lamat.
"Perampokan telah terjadi di sini," berkata Mahisa
Pukat. "Ya," jawab Mahisa Murti, "agaknya di bangunan ini
tersimpan beberapa macam barang berharga. Tetapi
sekelompok orang telah mengetahuinya sehingga mereka telah
mengambilnya." "Apakah mungkin telah terjadi pembunuhan?" desis
Mahisa Pukat. Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, "Bukan
mustahil. Pembunuhan, kemudian perampokan. Atau
kematian datang lebih dahulu, baru kemudian muridmuridnya
merampok isi bangunan ini."
"Kita lihat sekali lagi kerangka itu," berkata Mahisa
Pukat. Keduanya pun kemudian telah memperhatikan kerangka
itu sekali lagi. Bahkan dengan seksama. Tetapi keduanya tidak
menemukan kelainan. Tidak ada bagian y ang retak. Tidak ada
yang patah atau pecah. Semuanya masih utuh dan berada di
tempatnya. Dengan demikian maka Mahisa Murti berkata, "Agaknya
kematian datang lebih dahulu, baru perampokan."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Keduanya telah
mencoba sekali lagi untuk melihat ruangan y ang telah dirusak
itu. Namun y ang mereka ketemukan adalah sebuah lekuk yang
menarik perhatian. "Kenapa lekuk ini tidak memanggil para perampok
untuk melihat kemungkinan lebih lanjut?" berkata Mahisa
Murti. "Rahasia y ang sulit untuk sekedar ditebak," jawab
Mahisa Pukat. "Apakah kita juga harus merusak bangunan ini untuk
melihat apa yang ada di belakang lekuk ini?" bertanya Mahisa
Pukat. Mahisa Murti memang menjadi ragu-ragu. Jika
kemudian ada orang lain lagi datang ke tempat itu, maka
orang itu pun tentu akan m enganggap bahwa y ang dilakukan
itu adalah perampokan pula.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun kemudian
katanya, "Tetapi kita tidak akan merampok."
"Merusak?" desis Mahisa Murti.
Sekali lagi Mahisa Pukat tertegun. Namun rasa ingin
tahunya telah mendesaknya semakin kuat. Apakah lekuk itu
sebuah pintu rahasia atau bukan, atau sekedar pemanis
bentuk. Untuk beberapa saat keduanya ragu-ragu. Keduanya
berusaha untuk melihat -lihat bagian yang lain dari dinding
batu itu. Tetapi tidak ada bagian y ang lebih menarik perhatian
daripada lekuk itu. Dari sebelah, keduanya memastikan bahwa ada ruang di
belakang lekuk itu. Sementara itu mereka pun menemukan
rongga-rongga tipis di antara batu-batu y ang t ertumpuk rapi
itu, sehingga keduanya memang berpendapat bahwa rongga
itu akan dapat mereka temukan dengan membuka dinding
batu yang berlekuk itu. Betapapun keduanya ragu-ragu, namun Mahisa Murti
kemudian mengambil keputusan untuk membuka dinding itu.
"Apa boleh buat," berkata Mahisa Murti, "kita sama
sekali tidak ingin merampok. Tetapi perasaan ingin tahu ini
sulit untuk ditekan."
Ber sama Mahisa Pukat keduanya telah mulai
mengungkit batu-batu y ang tidak terlalu besar itu dengan
pedang mereka. Kemudian m enekan batu-batu itu disebelah
menyebelah dari batu y ang diperkirakan paling mudah untuk
diangkat. Akhirnya keduanya memang berhasil. Keduanya dapat
menarik satu di antara batu-batu y ang menutup sebuah
ruangan khusus yang luput dari perhatian orang-orang yang
telah membongkar bangunan itu sebelumnya, sehingga
kemudian sebuah lubang persegi telah menganga.
Seperti y ang mereka duga, maka di belakang dinding itu


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang terdapat sebuah ruang. Namun Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat terkejut bahwa dalam kegelapan ruang itu,
keduanya melihat samar -samar sebuah kerangka yang berdiri
tegak bersandar di sudut dinding masih dalam keadaan utuh.
"Apa pula y ang telah terjadi?" desis Mahisa Murti.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Rahasia yang tidak akan dapat kita pecahkan. Marilah kita
kembalikan batu penutup itu. Agaknya bukan hanya kita yang
pernah membuka penutup ruang itu. Namun mereka telah
mengembalikan pula."
"Ya," jawab Mahisa Murti,tetapi katanya, "Meskipun
demikian, kita belum melihat isi sepenuhnya dari ruang itu."
"Apakah itu perlu?" bertanya Mahisa Pukat.
"Orang lain tidak melakukannya. Mereka membuka satu
sa ja dari batu-batu penutup ini, kemudian
mengembalikannya," berkata Mahisa Pukat.
Mahisa mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Tetapi
kita harus berhati-hati agar batu-batu penutup ini tidak
runtuh." Dengan sangat berhati-hati, maka kedua orang anak
muda itu telah membuka beberapa buah batu lagi. Mereka
melakukannya dengan sangat berhati-hati sehingga batu-batu
penutup ruang itu tidak runtuh.
Ketika tutup itu sudah terbuka agak luas, maka
keduanya telah berusaha menyusup masuk. Ruang itu
memang sempit,tetapi cukup memberikan tempat bagi
keduanya. Tetapi keduanya telah terkejut sekali lagi. Di sisi y ang
berada di arah pintu, mereka telah menemukah satu lagi sosok
kerangka yang sudah k ering. Nampaknya sosok kerangka itu
semula duduk di atas sebuah batu di sudut ruang sempit itu.
"Orang-orang y ang hanya membuka satu batu saja tidak
melihat kerangka ini," berkata Mahisa Pukat.
"Ya," jawab Mahisa Murti yang berdiri dekat di hadapan
kerangka itu. Dalam kegelapan mereka pun melihat bahwa
kerangka itu masih dililiti ikat pinggang y ang besar dan
sepasang pedang y ang tergantung di lambung orang itu
sebelah meny ebelah. Mahisa Pukat y ang kemudian m elihat pedang itu pula
berkata, "Apakah kita boleh m elihat pedang yang tergantung
di lam bung?" Mahisa Murti pun ingin melihatnya pula. Karena itu
maka katanya, "Kita akan mencoba melihatnya."
Meskipun agak berdebar-debar, maka keduanya telah
bersama-sama menarik pedang itu masing-masing sebuah.
Demikian mereka menarik pedang itu, mereka harus
melangkah mundur. Semacam serbuk putih terhambur dari
kerangka pedang y ang ditarik itu.
"Serbuk ini beracun," berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat pun menyadari hal itu. Hidungnya
memang merasakan ketajaman racun itu. Namun karena
keduanya memiliki penangkal racun, keduanya tidak
mengalami kesulitan akibat racun itu.
Ketika serbuk itu telah habis terhambur, m aka m ereka
pun melihat sepasang pedang yang luar biasa. Pedang yang
nampak menyala kehijau-hijauan di dalam kegelapan itu.
Kedua anak muda itu telah mengagumi sepa sang pedang
yang kembar itu. Keduanya mempunyai bentuk y ang agak lain
dari kebanyakan pedang y ang mereka kenal. Pedang itu
berbentuk seperti sebilah keris yang berlekuk-lekuk. Luk
sebelas. Ada sebelas lekuk terdapat pada pedang itu.
Sementara itu, pada hulunya terdapat selingkar permata yang
meskipun dalam gelap tampak seperti berkeredipan.
"Luar biasa," desis Mahisa Pukat, "hulunya terbuat dari
logam. Mungkin dari emas."
Mahisa Murti memang sudah m enduga. Tetapi mereka
tidak dapat melihat dengan jela s dalam kegelapan.
"Sepasang senjata y ang sangat bagus," berkata Mahisa
Murti. Tetapi sebuah pertanyaan muncul dari mulut Mahisa
Pukat, "Apakah kita boleh memiliki senjata ini."
Mahisa Murti menunduk sesaat, ia memang menjadi
ragu-ragu.Apakah jika m ereka membawa senjata itu, m ereka
tidak dapat disebut melakukan perampokan sebagaimana
dilakukan orang lain sebelumnya?"
Dalam pada itu, selagi Mahisa Murti merasa ragu,
apakah mereka dapat membawa pedang y ang aneh itu atau
tidak, maka diluar sadarnya ia telah memutar pedang yang
bercahaya kehijau-hijauan itu. Cahayanya y ang samar telah
sekilas-sekilas meny entuh dinding batu di ruang itu. Bahkan
ketika diluar sadarnya ujung pedang itu m eny entuh dinding
batu itu, maka sepercik api telah menyala. Kemudian nampak
sekilas dinding batu itu tergores dan menjadi luka.
Mahisa Murti menjadi semakin kagum melihat akibat
goresan itu. Diluar sadarnya pula ia meraba goresan yang
terpahat di batu itu. Namun kemudian y ang terasa ditangannya bukan
sekedar goresan pedang itu saja. Di sebelahnya terdapat
goresan-goresan pula. Memanjang dan berliku-liku.
"Tulisan," desisnya, "di dinding itu terpahat hurufhuruf."
"Huruf-huruf apa?" bertanya Mahisa Pukat.
"Kita tidak akan dapat membacanya. Kita tidak melihat
huruf-huruf itu," jawab Mahisa Murti.
"Apakah rabaan jari-jari kita tidak mampu
membacanya?" bertanya Mahisa Pukat.
"Kita akan mencobanya," jawab Mahisa Murti.
Keduanya pun kemudian mencoba untuk mengenali
huruf-huruf yang terpahat pada dinding itu. Nampaknya
huruf-huruf itu telah dibuat dengan goresan-goresan unjung
pedang. Dengan memusatkan segenap perhatian mereka pada
rabaan ujung jari, maka kedua orang anak muda itu mencoba
untuk membaca huruf-huruf y ang terpahat pada dinding batu
itu. Ternyata keduanya memerlukan waktu y ang lama.
Tetapi huruf-huruf itu cukup besar untuk dikenalinya dengan
jari-jari mereka, sehingga akhirnya mereka mendapatkan
kesimpulan bahwa tulisan itu berbunyi, "Siapa y ang berhasil
membawa pedang ini keluar, ialah y ang boleh memilikinya.
Tanpa dendam dan pembalasan kepada siapa pun juga."
"Kau yakin?" bertanya Mahisa Pukat.
"Aku y akin. Kita sudah berulang kali mengulanginya
dan buny inya tetap sama," berkata Mahisa Murti.
"Tanpa dendam yang mengandung dendam," berkata
Mahisa Pukat. "Tetapi nampaknya kedua orang ini y ang tinggal
kerangkanya telah menerima dengan ikhlas apa yang terjadi
atas diri mereka. Agaknya keduanya telah mendapat
hukuman, ditutup dengan rapat sampai mati," berkata Mahisa
Murti. "Ya. Keduanya tidak menerima dengan ikhlas, maka
keduanya akan dapat berusaha untuk mengungkit batu-batu
ini," jawab Mahisa Pukat.
"Tetapi orang yang diluar itu?" desis Mahisa Murti,
"Apakah orang itu y ang mendapat tugas untuk menunggui
kedua orang ini?" Mahisa Pukat menggelengkan kepalanya. Katanya,
"Teka-teki. Kita memang menghadapi satu teka-teki y ang tidak
terpecahkan. Kita hanya dapat meraba, bahwa kedua orang ini
telah mendapat hukumannya didalam ruang sempit itu oleh
orang yang tidak dapat dilawannya. Mungkin karena ia
mendapat hukuman dari rajanya atau dari orang tuanya atau
dari gurunya." "Bagaimana jika kedua orang y ang ada di dalam
ruangan ini laki -laki dan perempuan?" bertanya Mahisa Murti.
"Satu kemungkinan," jawab Mahisa Pukat.
"Rasa-rasanya ingin juga untuk mengetahui ceritera
tentang bangunan ini serta kerangka-kerangka y ang ada di
dalamnya," berkata Mahisa Murti.
"Apakah sekarang kita mempunyai waktu?" bertanya
Mahisa Pukat. "Tentu tidak. Kita akan segera melanjutkan perjalanan,"
berkata Mahisa Murti. Demikianlah keduanya pun kemudian telah keluar dari
ruangan itu. Mereka berusaha untuk mengembalikan batubatu
y ang telah m ereka ungkit sejauh dapat mereka lakukan,
meskipun tidak dapat pulih kembali seperti semula. Namun
ruangan itu telah tertutup kembali.
Sejenak kemudian, maka keduanya telah berada di
ruangan induk. Sekali lagi mereka memperhatikan ruangan
itu. Beberapa buah batu y ang berserakan memang
menunjukkan bahwa sebuah ruangan yang lain telah
dibongkar. Mungkin ruang tempat peny impanan harta benda.
Namun apa hubungannya dengan kedua orang yang telah
meninggal di ruang y ang lain serta kerangka y ang terbaring di
ruang induk itu, y ang nampaknya tidak terusik sejak saat
meninggalnya. Namun kedua orang itu pun kemudian telah melangkah
ke pintu. Keduanya telah mencabut pedang mereka sendiri
dan kemudian meletakkannya di bawah kaki kerangka yang
ada di ruangan induk itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah mempergunakan sarung pedangnya untuk
menyarungkan pedang-pedang y ang telah mereka dapatkan di
ruang yang telah mereka bongkar. Meskipun sarung pedang
itu agak terlalu longgar, namun sarung pedang itu cukup
memadainya. Demikian mereka keluar dari bangunan itu, sebelum
mereka turun dari tangga, mereka telah sekali lagi
memperhatikan pedang-pedang yang telah mereka bawa.
Hijau pedang itu benar-benar terselaput emas meskipun tidak
utuh. Bahkan dengan beberapa buah permata di pangkalnya.
Tetapi hulu itu sendiri ternyata sebagian memang terbuat dari
kayu yang keras dan berwarna kehitam-hitaman dengan
lingkaran-lingkaran gelang emas y ang dihiasi dengan permata.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu
beberapa saat. Pedang y ang sepasang itu terlalu bagus bagi
keduanya. Tetapi keduanya memang merasa berhak untuk
memiliki, karena pemiliknya telah mengikhlaskannya
sebagaimana ia m engikhlaskan nyawanya di ruang sempit itu
apapun alasannya. " Jika orang itu mengikhlaskannya, kenapa ia masih juga
menaruh racun dalam serbuk yang terhambur ketika kita
menarik pedang itu?" desis Mahisa Pukat.
"Hanya orang-orang yang mampu mengatasinya y ang
boleh memilikinya," berkata Mahisa Murti.
"Bukankah itu hanya sekedar satu dugaan?" bertanya
Mahisa Pukat kemudian. "Kita memang sedang menduga-duga," berkata Mahisa
Murti. "Apa boleh buat," berkata Mahisa Pukat, "kita sudah
mendapat ijinnya. Kita tidak merampok. Namun pedang ini
harganya tentu sangat mahal. Setidak -tidaknya emas dan
permatanya. Seandainya kita harusmenabung, m aka seumur
hidup kita, kita belum dapat membelinya."
"Tetapi y ang lebih m ahal lagi adalah besi baja pilihan
untuk membuat mata pedang y ang agak berbeda dengan
pedang kebanyakan itu. Mungkin ayah pernah melihat,
mengetahui atau mendengar tentang pedang ini," sahut
Mahisa Murti. "Ya. Ay ah telah cukup lama berdagang besi aji dan batubatu
mulia," desis Mahisa Pukat.
Dengari demikian maka rasa -rasanya mereka ingin
segera sampai ke padepokan. Kecuali mereka memang sudah
cukup lama pergi, mereka pun sudah rindu kepada ay ah
mereka serta dengan demikian mereka akan dapat bertanya
tentang pedang-pedang mereka itu.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Mahisa Murti
berkata, "Marilah kita keluar dari hutan ini. Mahisa Semu dan
paman Witantra menunggu kita. Tidak seorang pun akan
mengenali kita karena pedang yang kita tinggalkan, karena
pedang itu dapatdibeli pada semua pande besi di manapun
juga." Keduanya pun kemudian telah turun tangga bangunan
batu yang penuh dengan teka-teki itu. Sekali lagi mereka
melihat seekor ular y ang menjalar di tanah lembab di bawah
tangga. Ular yang cukup besar berwarna hitam kemerahan.
Ular itu memang berhenti memandang kedua anak
muda y ang turun tangga itu. Namun kedua anak muda itu pun
berhenti pula dan berdiri mematung. Meskipun keduanya
memiliki penangkal bisa ular, tetapi keduanya lebih senang
tidak dipatuk ular sebesar itu.
Demikian ular itu kemudian menjalar meninggalkan
tempatnya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
melanjutkan perjalanan mereka pula.
Ketika mereka sampai ke terowongan y ang menuju
keluar hutan y ang pepat itu, maka Mahisa Murti telah berkata,
"Tetapi pedang ini akan m enjadi beban y ang berat buat kita.
Orang-orang yang pernah mengenalnya dan yang bahkan telah
melupakannya akan teringat kembali dan membuat
bermacam-macam cerita untuk memaksakan kehendak
mereka. Mungkin seseorang m erasa berhak atas pedang ini
atau orang lain bahkan merasa sebagai pemiliknya atau
seseorang akan mengaku bahwa pedang itu pernah dicuri
orang." "Kita sadari akan hal itu. Kita akan
mempertahankannya atas dasar hak yang telah kita terima
langsung dari orang y ang membawanya sampai ajalnya,"
berkata Mahisa Pukat. Demikianlah, keduanya pun kemudian telah m emasuki
terowongan y ang terdiri dari dedaunan, ranting-ranting dan
dahan pepohonan yang nampaknya pernah dibentuk oleh
tangan seseorang. Ketika mereka keluar dari hutan itu, maka mereka
melihat agak di kejauhan, di bawah sebatang pohon perdu
yang rimbun, Mahisa Semu dan Wantilan duduk terkantukkantuk,
sementara Mahisa Amping berbaring sambil
menggapai-gapai dengan kakinya.
Demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat muncul,
maka Mahisa Amping lah y ang pertama-tama menyapa,


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kakang berdua terlalu lama meninggalkan kami di sini. Kami
menjadi cemas. Hampir saja kami menyusul kakang."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya tersenyum saja.
Namun ketika keduanya telah duduk pula bersama dengan
anak itu, maka keduanya mulai berceritera tentang
penglihatan mereka atas bangunan yang aneh itu serta segala
macam teka-teki y ang ada didalamnya.
" Jadi pedang itu ada di tangan kalian?" bertanya
Wantilan. "Ya," jawab Mahisa Murti, "kami memang merasa
berhak untuk membawanya."
Ternyata penglihatan Wantilan cukup tajam. Ia pun
kemudian telah berkata, "Tetapi berhati-hatilah. Mungkin ada
orang lain y ang menginginkannya apapun alasan mereka."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Dengan nada datar Mahisa Pukat menyahut, "Kami sudah
memperhitungkannya. Tetapi bukankah kami berhak
mempertahankannya?" "Tentu," jawab Wantilan, " sepa sang pedang itu sudah
menjadi hak kalian. Kalian tidak dapat dituduh mencuri atau
merampas hak orang lain."
Mahisa Muri dan Mahisa Pukat masih saja menganggukangguk.
Namun kemudian Mahisa Murti pun berkata,
"Marilah. Kita akan melanjutkan perjalanan."
"Melanjutkan ke mana?" bertanya Mahisa Semu,
"meny eberangi hutan ini, menelusuri tepiny a atau kembali
turun ke jalan y ang lebih besar yang tadi kita lalui?"
Mahisa Murti memang harus berpikir sejenak. Namun
kemudian ia berkata, "Kita tidak dapat menembus hutan yang
sangat lebat ini. Seandainya itu kita lakukan, maka kita akan
memerlukan waktu y ang sangat lama."
"Kita kembali dan turun ke jalan y ang kita lalui tadi,"
berkata Mahisa Pukat, "kita tidak mempunyai pilihan lain."
Mahisa Amping yang kemudian bangkit berkata,
"Marilah. Aku sudah mulai mengantuk. Jika kita masih
menunggu lagi, maka aku tentu akan tertidur di sini."
" Jika kau tidur di sini, kau akan kami tinggalkan," sahut
Mahisa Pukat. "Karena itu aku tidak tidur," jawab Mahisa Amping.
Mahisa Semu terseny um. Ditariknya tangan anak itu
sambilberkata, "Marilah. Kita berjalan terus."
Mahisa Amping pun kemudian berjalan mendahului
yang lain menempuh jalan kembali menuju ke jalan y ang lebih
besar, yang mereka lalui semula. Namun mereka akan
menempuh arah seperti semula jika mereka telah berada di
jalan itu. Sementara itu matahari menjadi semakin rendah.
Ternyata kedua anak muda itu memerlukan waktu cukup lama
ketika mereka berada di dalam hutan.
Namun tiba -tiba langkah mereka terhenti. Seorang y ang
nampaknya seperti seorang petani kebanyakan telah
meny ongsong langkah mereka. Demikian petani itu berada
beberapa langkah di depan mereka, maka ia pun telah berhenti
dan bahkan kemudian mengangguk dalam-dalam.
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya terkejut. Dengan
serta merta mereka pun telah berhenti pula.
"Ki Sanak," berkata orang yang berpakaian seperti
petani itu, "aku mohon maaf, bahwa aku terpaksa
menghentikan perjalanan Ki Sanak."
"Apakah ada sesuatu y ang penting?" bertanya Mahisa
Murti. "Ki Sanak. Pamanku mohon agar Ki Sanak sudi singgah
barang sejenak," berkata orang itu.
"Untuk apa" Dan di m ana pamanmu tinggal?" bertanya
Mahisa Murti. Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun
telah menunjuk ke satu arah. Ke lereng sebuah bukit kecil dan
rendah yang terdapat di pinggir hutan itu.
" Di bawah pohon itu?" desisnya.
Baru saat itu mereka melihat sebuah gubug kecil di
bawah sebatang pohon. Pada saat mereka datang, mereka
sama sekali tidak memperhatikannya. Mereka pun sama sekali
tidak m enduga bahwa di t empat itu terdapat sebuah pondok
kecil. Dari hutan itu setiap saat dapat muncul binatang buas
atau binatang berbisa. Selagi para pengembara itu termangu-mangu, maka
orang itu berkata, "Marilah. Silahkan Ki Sanak."
"Tetapi untuk apa" Dan siapakah pamanmu itu?"
bertanya Mahisa Pukat. "Aku tidak begitu mengerti, apa y ang akan dibicarakan
paman dengan kalian. Tetapi aku hanya diperintahkan oleh
paman untuk mohon kalian bersedia singgah sebentar. Paman
merasa penting untuk berbicara dengan kalian," jawab orang
itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun saling
berpandangan sejenak. Keduanya yang akan mengambil
keputusan apakah m ereka akan singgah atau tidak. Namun
Mahisa Semu dan Wantilan merasa perlu untuk bersiap-siap
sebaik-baiknya." Ternyata bahwa Mahisa Murti telah m engangguk k ecil.
Dengan nada berat ia berkata, "Baiklah. Kami akan singgah
sebentar." "Terima kasih atas kesediaan kalian," berkata orang itu.
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan saudarasaudaranya
telah beriringan mengikuti orang itu. Mereka
berjalan di antara pohon-pohon perdu. Kemudian sedikit
memanjat lereng rendah sebuah bukit kecil. Di bawah
sebatang pohon terdapat sebuah rumah kecil berkerangka
bambu dan berdinding bambu pula. Beratap ilalang.
"Marilah," berkata orang itu y ang mempersilahkan
mereka singgah, "paman ada di dalam."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang merasa ragu.
Namun mereka mendekati pintu y ang terbuka. Kepada Mahisa
Semu dan Wantilan Mahisa Murti berpesan agar menunggu
sa ja diluar serta m enjaga Mahisa Amping agar tidak pergi ke
mana-mana. "Kalian harus tanggap atas semua peristiwa y ang dapat
terjadi," desis Mahisa Murti.
Mahisa Semu dan Wantilan mengangguk kecil.
Sesaat kemudian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
itu pun telah berdiri di muka pintu y ang rendah. Sambil
membungkukkan kepala, mereka melangkah masuk bersamasama.
Tangan mereka telah berada di hulu pedang, sementara
segala kekuatan dan ilmu sudah siap untuk dipergunakan jika
perlu. Namun y ang terdengar adalah suara lembut seorang
yang telah berusia tua. Katanya, "Marilah. Silahkan Ki Sanak.
Aku sudah menunggu terlalu lama untuk m elihat seseorang
atau dua orang singgah di rumahku ini."
Kedua orang anak muda itu m elangkah masuk. Mereka
kemudian berdiri pada jarak beberapa langkah.
"Marilah. Silahkan duduk ngger. Kenapa yang lain tidak
kalian ajak masuk pula?" bertanya orang itu.
"Terima kasih, Kiai," jawab Mahisa Murti, "kami hanya
singgah sebentar atas permintaan orang ini."
Orang tua yang duduk di sebuah amben y ang besar itu
menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kenapa kalian begitu
tergesa -gesa?" "Kami dalam perjalanan kembali k e padepokan kami,"
jawab Mahisa Murti. "Apa salahnya kalian singgah barang semalam di gubug
ini?" bertanya orang tua itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Namun mereka memang tidak ingin terlalu lama
berada di tempat itu. Dengan nada rendah Mahisa Murti pun kemudian
menyahut, "Maaf Kiai. Kami akan segera melanjutkan
perjalanan." "Sayang sekali," desis orang tua itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian sempat
memperhatikan orang tua y ang duduk di amben y ang besar
itu. Seorang tua y ang berjanggut putih sampai kedadanya.
Matanya sudah mulai cekung, sementara giginya masih
nampak rampak disaat orang itu terseny um.
" Jika demikian," berkata orang itu, "silahkan duduk
sebentar. Aku ingin berbincang dengan Ki Sanak berdua.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian duduk
diamben yang besar itu. Dengan hati-hati mereka
menempatkan diriny a berhadapan dengan orang tua
berjanggut putih itu. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
yang merasa harus berhati-hati itu duduk pada jarak beberapa
jengkal. Sementara itu orang yang mempersilahkan anak-anak
muda itu singgah telah duduk disudut amben y ang besar itu.
"Anak-anak muda," berkata orang tua berjanggjut putih
itu, "sudah bertahun-tahun aku tinggal di sini. Tidak seorangpun
y ang pantas aku persilahkan singgah, selain anak muda
berdua." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab,
sementara orang tua itu bertanya, "Anak-anak muda. Apakah
yang telah mendor ong anak-anak muda m emasaki hutan itu,
atau barangkali apakah ada orang y ang telah memberikan
petunjuk kepada anak-anak muda?"
"Tidak Kiai," jawab Mahisa Murti, "tidak ada orang y ang
memberikan petunjuk kepada kami. Adalah k ebetulan bahwa
kami telah sampai kehutan itu dan mencoba-coba untuk
melihat kedalamnya. Aku y akin bahwa pertanyaan Kiai ada
hubungannya dengan bangunan yang ada didalam hutan itu
serta sepasang pedang y ang telah kami bawa."
"Kau begitu cerdas anak muda," berkata orang tua itu,
"yang kau katakan itu benar seluruhnya. Sudah bertahuntahun
aku m enunggu. Baru sekarang aku m enemukan orang
yang aku tunggu itu. Orang y ang telah berhasil memungut
keris yang ada di dalam candi itu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Kemudian dengan heran Mahisa Pukat bertanya,
"Bagaimana Kiai tahu sejak kami keluar dari hutan itu bahwa
kami telah berhasil mengambil kedua bilah pedang itu?"
"Anak-anak muda," berkata orang tua itu, "kedua keris
itu mempunyai hubungan khusus dengan aku. Kedua keris itu
adalah kerisku." "Sudah aku duga. Sekarang Kiai ingin m erampas keris
yang aku kira sebagai pedang itu?" bertanya Mahisa Pukat.
"Tidak. Tidak. Jangan salah paham," berkata orang tua
itu dengan serta. Lalu katanya, "dengarlah dahulu
keteranganku." Orang itu berhenti sejenak, lalu "Keris itu
adalah kerisku. Tetapi sudah aku berikan kepada seorang
muridku. Muridku itulah yang kau jumpai di dalam ruangan
tertutup itu." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak, lalu orang tua itu meneruskan, "Tetapi aku tidak
dapat mencegah muridku melakukan satu tindakan yang tidak
terpuji." Mahisa Marti dan Mahisa Pukat menjadi berdebardebar.
Sementara orang tua itu berkata selanjutnya, "Muridku
adalah menantu kakak seperguruanku yang tinggal di
bangunan yang terdapat di hutan itu. Ternyata muridku, atas
pertolongan dari isterinya, anak kakak seperguruanku itu,
telah mencuri sebuah kitab. Kitab y ang sangat rahasia yang
belum waktunya diberikan kepada siapapun juga, karena kitab
itu ada hubungannya dengan ilmu puncak perguruan kami
yang belum terpecahkan. Kakak seperguruanku menjadi
sangat kecewa. Ia menghukum muridku dan anak
perempuannya sendiri didalam ruang tertutup. Tetapi ia tidak
berniat untuk membunuhnya. Ia hanya ingin membuatnya
jera. Namun nampaknya ada tangan y ang lebih berkuasa.
Kakak seperguruanku terlibat dalam pertempuran yang tidak
berkeputusan. Lima hari lima malam. Mereka beristirahat
hanya di tengah malam sambil minum dari ujung-ujung
kelopak bunga di hutan. Bunga-bunga liar serta embun yang
menitik. Pertempuran itu memang berakhir dengan
kemenangan kakak seperguruanku, tetapi ia luka parah.
Seorang telah merawatnya tanpa mengetahui bahwa saudara
seperguruanku itu sedang menghukum anak dan menantunya.
Ketika kakak seperguruanku itu mulai sembuh, ia sempat
mengatakan bahwa ia sedang menghukum seseorang. Tetapi
terlambat. Anak dan menantunya telah meninggal. Betapa
kecewanya kakak seperguruanku itu. Ia lalu m enghukum diri
dan m enunggu saat kematiannya sendiri di ruang tengah dari
bangunan batu itu. Ia tidak mau lagi mengobati diriny a sendiri
yang belum sembuh benar. Aku y ang kemudian m engetahui
keadaan itu datang terlambat. Keadaan kakak seperguruanku
telah semakin parah, sehingga ia akhirnya meninggal dengan
meninggalkan beberapa pesan. Antara lain, agar tubuhnya
dibiarkan saja di tempatnya terbaring."
Orang tua itu kemudian tersenyum sambil berkata,
"Nah, anak-anak muda. Terserah kepada kalian. Apakah kalian
akan percaya atau tidak."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Berda sarkan beberapa hal yang m ereka dengar dan mereka
lihat, maka m ereka sepatutnya percaya kepada orang tua itu.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berkata,
"Baiklah Kiai. Aku percaya bahwa ada hubungan antara keris
yang kiai miliki itu dengan kedua pedang yang kami
ketemukan di dalam ruangan tertutup itu. Kamipun tidak akan
menolak semua keterangan Kiai. Namun kemudian apakah
yang sebenarnya Kiai kehendaki dari kami berdua setelah
kami mendapatkan kedua bilah pedang ini."
"Tidak apa -apa anak-anak muda. Aku justru ingin
menitipkan sepa sang keris itu kepada anak-anak muda
sebagaimana aku katakan. Jika semula keris itu aku buat
berpasangan untuk seorang saja y ang terbiasa bertempur
dengan pedang rangkap, maka sekarang sepasang keris itu
telah terbagi oleh dua orang." orang itu berhenti sejenak, lalu
"tetapi itu sama sekali tidak meny ebabkan apa-apa. Semuanya
memang tergantung kepada orang yang memegang pedang.
Meskipun ia membawa sepa sang pedang, tetapi jika ia tidak
menguasai ilmu pedang, maka sepasang pedang itu tidak akan
berarti apa -apa. Sebalikny a orang y ang hanya membawa
sebilah saja, t etapi memiliki ilmu pedang y ang tinggi, m aka
orang itu pun akan dapat mempergunakannya sebaikbaiknya."


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baiklah Kiai," berkata Mahisa Murti, "kami akan
menjaga sepa sang senjata ini sebaik-baiknya. Mudahmudahan
kami dapat m empergunakannya untuk kepentingan
yang baik, karena tulisan di dinding ruangan itu pun berbunyi
tanpa dendam dan pembalasan kepada siapapun juga."
Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Tetapi ia
kemudian bertanya, "jadi begitu buny i tulisan itu?"
"Ya," jawab Mahisa Murti.
"Ternyata ada juga yang dapat dibanggakan pada anak
itu. Aku yang dikecewakan oleh perbuatannya karena ia telah
mencuri kitab gurunya, agak terhibur sedikit mendengar
bahwa anakku itu tidak mendendam siapapun juga," berkata
orang tua itu. Lalu katanya, "besok aku akan m elihat ruangan
itu. Mudah-mudahan aku juga dapat membaca sebagaimana
kalian membacanya." "Kami membaca dengan ujung jari," jawab Mahisa
Murti. "Kami akan membawa obor," desis orang tua itu.
Namun ia pun kemudian bertanya, "Apakah kalian akan ikut
bersama kami besok?"
"Tidak Kiai," jawab Mahisa Murti, "kami akan segera
melanjutkan perjalanan."
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya, "Anak-anak m uda. Keris itu adalah keris
yang sangat berharga. Aku telah membuatnya secara khusus
dari bahan yang sangat khusus pula. Keris itu jauh lebih baik
dari kerisku sendiri."
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk.
"Keris itu akan sangat berarti bagi mereka yang pada
dasarnya memiliki kemampuan ilmu pedang y ang sangat
tinggi," berkata orang tua itu. Lalu katanya pula, "Tetapi aku
percaya bahwa kalian berdua memenuhi syarat untuk
memiliki dan mempergunakan keris itu. Namun demikian aku
masih juga berpesan. Kalian harus berhati-hati. Keris itu
sudah dikenal oleh beberapa orang dan celakanya mereka
mengakui kelebihan sepasang keris itu. Karena itu, maka
kalian akan menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk
justru karena kalian membawa keris itu. Tetapi sekali lagi aku
yakin bahwa kalian akan dapat mempertahankannya
meskipun aku belum melihta tingkat kemampuan kalian."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang sudah
menduga bahwa kemungkinan seperti itu akan dapat terjadi
atas diri mereka karena sepasang senjata itu. Tetapi keduanya
sudah siap untuk mempertahankannya.
Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, "Kiai. Kam i
memang sudah memperhitungkan bahwa hal seperti itu akan
dapat terjadi. Keris menurut pengertian Kiai ini memiliki
banyak kelebihan dari senjata-senjata kebanyakan. Karena itu,
maka tentu ada orang y ang menginginkannya. Apalagi orangorang
y ang memang pernah mengenal sebelumnya."
Mahisa Marti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Ada beberapa hal yang sesuai dan masuk akal. Namun
ada beberapa hal yang masih perlu dipertanyakan.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian telah
bertanya, "Kenapa kedua orang itu sama sekali tidak berusaha
untuk keluar dari bilik sempit itu?"
"Keduanya tidak berani melawan perintah guru dan
orang tuanya. Apapun yang t erjadi, maka keduanya dengan
tabah menerimanya," berkata orang tua itu.
"Tetapi bagaimana dengan serbuk beracun y ang
terdapat dalam sarung pedang itu?" bertanya Mahisa Pukat.
"Anakku mempunyai kekebalan terhadap racun apapun
juga," berkata orang tua itu, "karena itu, maka senjatanya
sengaja diberinya beracun. Jika ia menarik senjatanya, maka
racun itu telah lebih dahulu m emperlemah ketahanan tubuh
lawannya. Bahkan ada y ang tidak lagi mampu bertahan. Tetapi
kalian pun agaknya mempunyai kekebalan atas racun seperti
anakku." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Namun tiba -tiba Mahisa Pukat bertanya, "Dimanakah kitab itu
sekarang?" " Itulah y ang belum dapat diketemukan sampai
sekarang. Kitab itu telah diambil kembali oleh kakak
seperguruanku itu. Tetapi tidak seorang pun yang tahu di
mana kitab itu disembuny ikan. Di saat ia meninggal,
nampaknya ia memang ingin m emberitahukan di m ana kitab
itu disimpan. Tetapi kakak seperguruanku itu telah t erlalu
cepat pergi. Aku sudah mencarinya dengan membongkar
tempat -tempat yang aku kira dipergunakan untuk menyimpan
kitab itu, tetapi tidak aku ketemukan. Kitab itu sangat b erarti
bagi perguruanku. Tetapi pada bagian terakhir sampai saat
meninggalnya kakakku, masih tetap merupakan rahasia yang
belum terpecahkan. Jika aku dapat menemukannya, maka
mungkin aku akan akan dapat menelusurinya dan mencari
kemungkinan pemecahannya," berkata orang tua itu.
Namun Mahisa Pukat tiba -tiba bertanya, "Apakah Ki
Sanak menganggap bahwa kami telah menemukan kitab itu?"
"Tidak. Tidak. Sekali lagi aku katakan, aku sama sekali
tidak berprasangka buruk terhadap kalian berdua," jawab
orang tua itu, "kalian yang telah mendapatkan pedang itu,
silahkan m empergunakannya jika kalian berdua sudi. Pedang
yang t idak berarti apa -apa. Namun pedang itu yang aku sebut
sa ja keris, adalah buatanku sendiri. Sepa sang, karena
perguruan kami mempelajari ilmu pedang sepa sang. Ju stru
karena keris itu aku buat sendiri, maka seakan-akan terdapat
sentuhan getaran antara keris-keris itu dan aku. Ketika kalian
keluar dari hutan, sebelum aku melihat hulu keris di sarung
yang berbeda itu, aku sudahmerasakan sentuhan getarannya,
bahwa keris itu ada pada kalian."
"Tetapi di dinding batu itu tergores tulisan, bahwa siapa
yang berhasil m embawa pedang itu keluar, ialah yang boleh
memilikinya." Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya, "Tulisan itu
telah memperkokoh hak anak-anak muda untuk memiliki
keris itu. Karena itu, maka aku pun tidak akan menuntut agar
keris itu dikembalikan kepadaku. Aku pun tidak berprasangka
bahwa kalian telah mengambil kitab itu atau hal-hal lain yang
buruk. Apalagi angger berdua memiliki kekebalan atas racun
sebagaimana anakku. Namun bagaimanapun juga, karena
angger berdua akan memiliki sepasang kerisku, aku ingin
tahu, siapakah y ang telah membentuk angger sehingga angger
nampaknya telah menjadi anak muda y ang berilmu tinggi,
kebal akan bisa dan mungkin ilmu-ilmu y ang lain. Meskipun
aku belum membuktikan, tetapi aku melihat pada sikap, katakata
dan pandangan mata anak-anak muda berdua."
Keduanya termangu-mangu sejenak. Keduanya memang
agak ragu-ragu untuk mengatakan tentang diri mereka sendiri.
Namun keduanya telah bertekad untuk bertanggung
jawab apapun yang terjadi. Karena itu, maka Mahisa Murti
pun kemudian berkata, "Aku adalah Mahisa Murti dan
saudaraku adalah Mahisa Pukat. Kami adalah anak ay ah
Mahendra dari Singasari."
Orang itu m engangguk-angguk. Katanya, "Aku pernah
mendengar nama Mahendra."
"Adik seperguruan paman Witantra," desis Mahisa
Pukat, "y ang pernah berada di Kediri sebagai wakil Singasari
setelah pamanda Mahisa Agni."
"Nama-nama yang terkenal. Mahisa Agni adalah
seorang yang disegani dan dihormati. Aku pernah m endengar
namanya. Jauh lebih besar dari nama perguruan kami di sini,"
desis orang tua itu, "Karena itu, maka sepasang keris itu telah
mendapatkan pemiliknya y ang akan dapat
mempertahankannya. Aku justru ingin menitipkannya kepada
kalian berdua." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru termangumangu.
Sementara orang tua itu berkata, "Anak-anak muda.
Aku tahu, bahwa kalian t entu tidak akan dapat dengan serta
merta mempecayai aku. Bahkan mungkin kalian juga
menganggap keteranganku tentang bangunan dan kerangkakerangka
itu sebagai satu dongeng yang aku buat dengan
maksud tertentu. Tetapi barangkali kau akan percaya jika kau
sempat mengamati pangkal hulu keris itu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun hampir serentak
telah mengamati hulu keris yang dianggapnya pedang itu.
Pa da ukiran di pangkal hulu pedang, mereka melihat pahatan
ujud bunga berdaun bunga lima helai. Sementara itu, orang
tua itu juga telah menarik kerisny a dan menunjukkan pangkal
hulu kerisnya itu kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Ternyata bahwa bentuknya memang sama.
Orang tua itu mengangguk-angguk pula. Katanya
kemudian, "Nah, sebenarnya aku ingin mempersilahkan
angger berdua untuk singgah barang satu hari. Akan lebih baik
jika angger berdua besok bersedia bersama kami untuk
kembali ke hutan. Namun segala sesuatunya terserah k epada
kalian. Karena aku pun menyadari, bahwa kalian masih saja
dibayangi oleh keragu-raguan tentang diriku. Kerisku
mungkin dapat meyakinkan kalian bahwa akulah yang telah
membuat sepasang keris itu, atau barangkali kalian dapat saja
menyangka bahwa aku telah memesannya kepada seorang
empu yang berilmu tinggi."
"Kami mohon maaf Kiai. Bukan keragu-raguan kami
yang memaksa kami meninggalkan tempat ini. Tetapi kami
memang ingin segera sampai ke padepokan kami," jawab
Mahisa Murti. Orang tua itu memang tidak menahannya. Tetapi
berkali-kali ia berpesan agar anak-anak muda itu berhati-hati.
Bahkan kemudian ia berkata, "Jika perlu, kalian dapat
menghubungi aku di sini."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk kecil.
Sementara Mahisa Murti berdesis, "Terima ka sih Kiai. Jika
perlu kami akan bertemu dengan Kiai lagi."
"Aku agaknya sudah tidak akan berpindah tempat lagi.
Di sini memang sepi. Tetapi rasa-rasanya ada keharusan untuk
selalu dekat dengan bangunan di dalam hutan itu. Seorang
kawanku, satu-satunya muridku sebagaimana kau kenal itu."
orang itu berhenti sejenak lalu "mungkin kalian merasa bahwa
kami telah mengganggu kalian. Namun aku baru merasa
tenang jika aku sudah memberikan beberapa pesan kepada
kalian sehubungan dengan sepa sang keris yang kau bawa.
Ra sa -rasanya aku bersalah jika aku tidak pernah memberikan
peringatan apapun kepada kalian berdua jika pada suatu saat
kalian mengalami kesulitan karena keris itu."
"Terima kasih Kiai," berkata Mahisa Murti, "sekarang,
kami mohon diri." Orang tua itu tidak menahannya lagi. Dilepaskannya
kedua orang anak muda itu pergi bersama saudara-saudaranya
yang menunggu di luar. "Mereka sama sekali tidak merasa gentar," berkata
murid orang tua itu. "Ya. Karena itu m ereka memang sepantasnya memiliki
sepasang keris itu. Mudah-mudahan mereka selamat dan
mampu mempertahankannya," berkata orang tua itu.
"Atau, sama sekali tidak bertemu dengan orang y ang
ingin merampas keris itu apapun alasannya," desis muridnya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang meninggalkan
gubug itu, masih saja sangat berhati-hati. Keduanya memang
merasa aneh bahwa orang tua itu ternyata tidak berbuat apaapa
meskipun ia mengaku telah membuat dan kemudian
memiliki sepasang senjata itu. Namun yang kemudian telah
diberikan kepada anaknya.
Tetapi orang tua itu memang tidak berbuat apa -apa. Ia
sudai mengikhlaskan sepasang keris itu kepada dua orang
anak muda y ang dianggapnya akan dapat
mempertahankannya. Sehari itu, anak-anak m uda y ang sedang mengembara
itu, ternyata tidak menjumpai kesulitan. Namun mereka tidak
berusaha singgah dan bermalam di banjar-banjar. Mereka
merasa lebih baik untuk bermalam di tempat terbuka. Di
banjar -banjar padukuhan mereka dapat saja menjumpai
persoalan y ang tidak dapat mereka tinggalkan begitu saja,
sehingga akan m elibatkan mereka pada persoalan-per soalan
baru yang y ang tidak akan kunjung berakhir, sementara
mereka menjadi semakin lama meninggalkan padepokan
mereka. Tetapi anak-anak muda itu sudah berjanji kepada diri
mereka sendiri, bahwa mereka sedang menempuh tapa
ngrame. Dengan demikian maka mereka pun tidak dapat
mengelak untuk memberikan pertolongan kepada orang-orang
yang membutuhkan. Bahkan Mahisa Pukat telah beranggapan
bahwa sepasang senjata itu adalah anugerah karena tindakan
mereka, melakukan tapa ngrame itu.
"Dengan senjata yang lebih baik, maka kita akan dapat
melakukannya dengan lebih baik pula," berkata Mahisa Pukat.
" Itu adalah wajar," sahut Wantilan, "bahkan seandainya
sepasang senjata itu karunia dalam hubungan dengan laku
yang kalian tempuh, maka justru dengan demikian kalian
dituntut untuk berlaku lebih baik dalam olah laku itu sendiri."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Dengan nada rendah Mahisa Pukat berkata, "Kam i menyadari
akan hal itu." Ketika malam menjadi semakin larut, maka para
pengembara itu pun telah mulai membaringkan dirinya.
Mahisa Amping sudah lebih dahulu tidur. Sementara itu
Mahisa Semu dan Wantilan pun rasa -rasanya tidak m ampu
lagi menahan agar matanya tidak segera terpejam.
Bahkan Mahisa Semu berkata, "Aku akan tidur
dahulu.Nanti jika saatnya aku berjaga-jaga, tolong, bangunkan
aku. Aku kantuk sekali."
Sebelum kata-kata itu terjawab, maka Wantilan pun
berkata, "aku juga. Mataku seperti kena pulut."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membiarkan
mereka tidur. Keduanyalah yang masih dapat bertahan untuk
tidak segera tertidur ny enyak.
Namun ketika tengah malam lewat, mata kedua orang
itu-pun rasa-rasanya tidak dapat lagi dibuka. Mereka benarbenar
mengantuk tanpa dapat dikendalikan lagi.
Tetapi justru karena itu, maka keduanya telah m enjadi
curiga bahwa sesuatu telah terjadi.
"Kita tidak boleh tidur, justru dalam keadaan seperti


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini," berkata Mahisa Murti.
"Ya. Suasananya memang aneh. Apakah kakang
mengarah kepada satu dugaan bahwa kita sedang kena sirep?"
bertanya Mahisa Pukat. "Tepat," jawab Mahisa Murti, "karena itu kita harus
semakin berhati-hati."
"Apakah mungkin orang tua yang merasa berhak atas
keris itu?" bertanya Mahisa Pukat.
"Memang mungkin. Tetapi agaknya bukan orang itu
yang melakukannya," jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun
ketika m atanya m enjadi semakin berat, m aka Mahisa Murti
berkata, "Kita harus y akin akan day a tahan kita terhadap ilmu
seperti ini. Dengan demikian maka kita akan bebas dari
pengaruhnya." Mahisa Pukat mengangguk. Namun ketika ia benarbenar
mengerahkan daya tahannya, maka ia dapat melampaui
saat -saat yang gawat sehingga kemudian Mahisa Pukat ju stru
tidak merasa kantuk sama sekali.
"Apakah kita akan mencari orang itu?" bertanya Mahisa
Pukat kemudian. "Kita menunggu mereka datang kemari," jawab Mahisa
Murti. "Apakah mereka akan datang?" b ertanya Mahisa Pukat
pula. " Jika mereka menganggap bahwa kita sudah tidur
ny enyak," jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat m engangguk-angguk. Kemudian bersama
Mahisa Murti maka ia pun telah m embaringkan diri. Namun
seakan-akan keduanya telah membagi tugas. Masing-masing
memperhatikan ke arah y ang berbeda.
Beberapa saat keduanya menunggu. Bahkan perasaan
kantuk mulai menyentuh mata mereka kembali. Namun sekali
lagi mereka mengerahkan day a tahan, sehingga mereka
berhasil untuk mengatasi kekuatan sirep y ang telah ditebarkan
itu. Sebenarnya sebagaimana diperhitungkan oleh Mahisa
Murti. Ketika malam justru mendekati dini hari, kekuatan
sirep itu rasa-rasanya semakin menjadi tajam. Apalagi udara
dingin dan angin berhembus perlahan.
Tetapi sirep dan udara dingin tidak mampu
memecahkan daya tahan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang
menunggu perkembangan keadaan.
Ketajaman pendengaran mereka dan ketajaman
penglihatan mereka meskipun digelapnya malam, maka
mereka mengetahui bahwa ada beberapa orang tengah
mendekati mereka yang disangkanya sudah tertidur ny enyak.
"Tidak ada tanda -tanda bahwa mereka masih
terbangun," desis seorang di antara mereka.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak
memejamkan mata mereka. Namun mereka telah berusaha
untuk mengaburkannya di bawah rambut mereka yang
memang tidak diikat dengan rapi.
Orang-orang yang datang itu hanya dapat menilik sikap
dannafas anak-anak m uda itu. Keduanya memang berusaha
untuk meny esuaikan pernafasan mereka sebagai m ereka yang
telah tertidur. Pernafasan yang mengalir teratur lewat lubang
hidung mereka. "Ya," terdengar yang lain menjawabnya, "kita akan
dapat mengambil pedang itu."
"Ternyata orang tua y ang dungu itu tidak mengambil
sepasang pedangnya," berkata orang yang pertama, "meskipun
ia sudah memanggil anak-anak itu singah di gubugnya."
"Orang dungu itu ingin mengelabui kita," berkata
kawannya. "Mengelabui bagaimana?" bertanya orang y ang
pertama. "Anak-anak itu dimintanya singgah di rumahnya. Ia
berharap bahwa kita menganggap kedua pedang itu sudah
dimintanya, sehingga kita tidak akan menyusul anak-anak
malas itu," jawab kawannya, "orang tua itu tentu berharap
bahwa benturan akan terjadi antara kita dengan orang itu."
"Untunglah bahwa kita tidak sebodoh y ang dikiranya,"
berkata orang yang pertama.
Sejenak orang -orang itu termangu-mangu. Namun
kemudian seorang di antara mereka berkata, "Kita akan
mengambilnya. Guru akan berterima kasih kepada kita, karena
Guru memang sudah lama menginginkan sepasang pedang itu.
Bukan saja karena sepa sang pedang itu m erupakan pedang
yang pilih tanding, yang terbuat dari bahan y ang khusus yang
sulit dicari duanya, juga karena pedang itu berhulu emas
bertatahkan permata. Harganya tentu akan mahal sekali. Jika
hulu pedang itu diganti, maka pedangnya masih tetap bernilai
tinggi, sementara harga hulunyapun akan sangat mahal."
Kawan-kawannya tidak menjawab. Tetapi mereka
bergerak selangkah maju mendekat.
Mahisa Murti yang merasa bahwa saatnya telah datang,
tiba -tiba saja telah meloncat bangkit. Mahisa Pukat pun segera
menyusul pula sehingga keduanya pun kemudian telah berdiri
tegak. Mahisa Pukat masih sempat menginjak kaki Mahisa
Semu sehingga anak muda yang telah terkena sirep itu
menggeliat. Tetapi agaknya pengaruh sirep masih
mencengkamnya sehingga ia tidak terbangun karenanya.
Orang-orang y ang m endekatinya itu pun telah bergeser
mundur. Yang tertua di antara m ereka pun kemudian telah
menggeram, "Setan alas kalian berdua. Kenapa kalian tidak
tertidur seperti kawan-kawan kalian?"
"Kami m emang ingin tidur ny enyak. Tetapi kami selalu
terganggu oleh getaran-getaran y ang tidak kami kenal,
sehingga kami tidak dapat tidur. Bukan kebiasaan kami.
Biasanya asal kami menjatuhkan diri, maka dalam sesaat kami
sudah tertidur ny enyak. Namun malam ini kami justru tidak
dapat tidur," jawab Mahisa Murti.
"Ternyata kau terlalu sombong," geram yang tertua di
antara mereka yang datang itu, "kau telah menghinakan ilmu
sirep kami." "O, jadi kalian telah menebarkan ilmu sirep" Kenapa
akibatnya justru sebaliknya?" bertanya Mahisa Pukat.
"Tutup mulutmu," bentak y ang tertua di antara mereka
yang telah datang untuk mengambil sepasang senjata yang
ditemukan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat didalam
ruangan tertutup itu. Namun akhirnya Mahisa Amping itu pun terbangun
juga. Sambil mengusap matanya ia bertanya, "Ada apa?"
"Sst," desis Mahisa Semu, "berhati-hatilah. Kau harus
dapat menjaga dirimu sendiri. Nampaknya ada orang yang
ingin mengganggu kita malam ini."
Mahisa Amping y ang sudah terlepas dari pengaruh sirep
itu pun segera menyadari apa yang terjadi. Karena itu, maka ia
puntelah bersiap-siap pula. Sekali-sekali ia melihat
kesekelilingnya. Ia harus mendapat tempat untuk
bersembunyi jika terjadi pertempuran.
Sementara itu, orang-orang y ang akan merampas
sepasang pedang yang ada ditangan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat itu telah memencar. Mahisa Murti pun telah bergeser
menjauhi Mahisa Pukat. Sementara Mahisa Semu dan
Wantilan pun telah bersiap-siap pula menghadapi segala
kemungkinan. Dalam kegelapan mereka sempat menghitung orangorang
y ang ingin merampas sepasang pedang itu. Semuanya
ada lima orang. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah mulai
memperhitungkan kemungkinan buruk atas Mahisa Amping.
Jika mereka harus bertempur seorang melawan seorang, maka
masih ada seorang y ang beba s yang akan dapat memanfaatkan
Mahisa Amping untuk memaksa mereka meny erahkan
sepasang pedang itu. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian telah
bergeser pula mendekati Mahisa Amping sambil berkata,
"Hati-hati. Dekati aku."
Mahisa Amping yang memiliki ketajaman panggraita itu
pun mengerti maksud Mahisa Murti. Karena itu, maka ia pun
telah bergeser mendekatinya, sementara Mahisa Semu dan
Wantilan pun telah menyesuaikan diri mereka sambil
berusaha melindungi Mahisa Amping pula.
Hanya Mahisa Pukat lah yang mengambil tempat
tersendiri. Ia justru berharap untuk memancing dua orang di
antara lawan-lawan mereka.
Sejenak kemudian murid tertua dari perguruan y ang
menginginkan pedang yang sepa sang itu telah bersiap. Dengan
garang ia memberikan aba-aba kepada saudara-saudara
seperguruannya. "Ambil pedang itu. Jika perlu bunuh mereka y ang
menghalangi." Yang lain pun kemudian telah bergerak. Ampat orang
berada dalam satu kelompok untuk menghadapi Mahisa
Murti, Mahisa Semu dan Wantilan, sedangkan seorang di
antara mereka akan berhadapan dengan Mahisa Pukat.
Meskipun baru satu orang yang berhadapan dengan
Mahisa Pukat, namun Mahisa Pukat berharap bahwa seorang
lagi akan datang pula kepadanya setelah mereka mulai
bertempur. Sejenak kemudian, maka lawan Mahisa Pukat pun telah
mulai meloncat meny erang. Namun dengan tangkasnya
Mahisa Pukat sempat menghindarinya. Meskipun demikian,
maka sambaran angin serangan orang itu telah
memperingatkan Mahisa Pukat, bahwa lawannya adalah
seseorang y ang berilmu cukup tinggi.
Karena itu, maka Mahisa Pukat pun dengan cepat
menanggapi keadaan. Nampaknya lawannya tidak merasa
perlu untuk menjajagi kemampuannya dari awal. Ia akan
langsung saja menghancurkannya agar orang itu segera dapat
mengambil pedang y ang dibawanya.
Dengan demikian maka Mahisa Pukat pun harus
mengimbanginya pula. Ia pun telah mengerahkan tenaga
cadangan didalam dirinya untuk mendukung perlawanannya.
Namun agaknya tenaga cadangannya tidak cukup kuat
untuk melawan ilmu orang itu. Sehingga karena itu, maka
Mahisa Pukat pun harus langsung merambah kedalam
ilmunya. Tetapi Mahisa Pukat tidak ingin menghancurkan
lawannya dengan serangan jarak jauhnya. Mahisa Pukat masih
ingin bertempur dalam ujud sewajarnya meskipun dengan
landasan ilmunya. Ia pun m asih belum sampai pada tataran
tertinggi ilmu Bajra Geninya, karena ia memang tidak ingin
menghancurkan lawannya sehingga menjadi debu.
Namun ternyata bahwa lawannya pun memiliki ilmu
yang tinggi. Semakin lama mereka bertempur, maka lawannya
itu seakan-akan mampu bergerak semakin cepat sehingga
untuk beberapa saat Mahisa Pukat sempat terdesak.
Tetapi, demikian Mahisa Pukat meningkatkan ilmunya,
maka ia pun segera mampu mencapai keseimbangan kembali.
Sementara itu, Mahisa Murti pun telah tertempur pula.
Bertiga Mahisa Murti harus bertempur melawan ampat orang.
Seorang di antaranya adalah justru y ang tertua di antara
mereka. Karena itu, maka berbeda dengan Mahisa Pukat,
maka Mahisa Murti lah yang langsung mempergunakan
kemampuannya untuk mengurangi kemampuan lawan karena
selain ia harus bertempur bagi dirinya sendiri, maka ia pun
harus bertempur melindungi Mahisa Amping dan bahkan
harus memperhatikan kemungkinan yang dapat terjadi atas
Mahisa Semu dan Wantilan, karena seperti Mahisa Pukat,
maka Mahisa Murti pun segera menyadari bahwa lawannya
memiliki ilmu yang tinggi.
Mahisa Semu y ang lebih mempercayakan diri kepada
kemampuan ilmu pedangnya, memang segera menarik
pedangnya. Dengan cepat ia melibat lawannya yang juga
segera menarik senjatanya pula.
Namun orang itu sempat tertawa sambil berkata, "Kau
mempercepat kematianmu. Kau kira ilmu pedangmu akan
dapat melindungimu?"
Mahisa Semu tidak menjawab. Namun ia pun harus
segera bertempur melawan ketajaman pedang pula.
Wantilan lah y ang masih mencoba bertempur tanpa
senjata. Namun ternyata ia harus menghadapi dua orang
lawan. Karena itu, dalam waktu singkat, maka Wantilan telah
mulai terdesak. Ju stru karena itu, maka Mahisa Murti pun telah
mengerahkan segenap kemampuannya untuk mengatasi
keadaan itu. Ia bukan saja bertempur dengan keras, namun
Mahisa Murti jugatelah m engetrapkan ilmunya yang mampu
menghisap kekuatan lawannya.
Namun Mahisa Murti tidak segera mampu membentur
lawan-lawannya. Ternyata bahwa lawan-lawannyapun tidak
menyia-ny iakan waktu sehingga mereka bukan saja telah
mengerahkan ilmu mereka, tetapi mereka pun telah
menggenggam senjata pula.
Mahisa Murti tidak mempunyai pilihan lain. Karena
yang dibawanya adalah pedang yang ditemukannya di dalam
bangunan batu di dalam hutan itu, maka ia pun telah
mencabut pedang itu pula.
Ternyata yang terjadi sangat mengejutkan. Kekuatan
ilmu Mahisa Murti yang mampu menghisap kekuatan dan
kemampuan lawan itu, telah bergejolak dengan dahsy at ketika
menjalar melalui senjata y ang dibuat dari besi baja pilihan itu.
Cahaya yang kebiru -biruan itu bagaikan menyala semakin
besar. Bahkan kemudian seperti api yang meny embur dengan
dahsy atnya. Namun Mahisa Murti masih belum puas dengan
keny ataan itu meskipun semula ia sendiri telah terkejut.
Mahisa Murti y ang ingin mencoba kekuatan ilmunya yang
berpengaruh terhadap pusakanya yang baru itu telah
mengetrapkan ilmunya Bajra Geni dan segenap ilmu yang
tersimpan di dalam dirinya.
Sebenarnyalah akibatnya sangat mendebarkan jantung.
Pedang itu benar -benar bagaikan diselubungi oleh lidah api
yang m enjilat-jilat. Bahkan kemudian seperti l idah ular naga
yang menyala menjilat ke segala arah.
Dengan serta merta lawan Mahisa Murti itu pun telah
meloncat surut. Namun dengan kemarahan y ang bergelora


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

didalam dadanya, murid tertua dari antara mereka yang
datang untuk mengambil pedang itu berteriak, "jangan gentar.
Apapun y ang kita lihat, namun segala sesuatunya sangat
tergantung kepada orangnya. Jika orang y ang m enggenggam
pusaka yang dahsy at itu tidak memiliki ilmu pedang y ang baik,
maka kita akan segera membunuhnya dan mengambil pedang
itu bagi perguruan kita."
Kata -kata itu memang dapat membangkitkan keberanian
orang-orang yang akan mengambil sepa sang pedang itu.
Karena itu, maka mereka pun telah bertempur semakin sengit.
Orang y ang semula berdua bertempur melawan Wantilan,
telah bergeser. Dua orang kemudian berpasangan melawan
Mahisa Murti. Mahisa Pukat memang menjadi cemas, Mahisa Amping
akan dapat mengalami kesulitan. Karena itu, maka ia pun
tidak m emperpanjang waktu lagi. Dengan serta m erta m aka
Mahisa Pukat pun telah mengerahkan segala macam ilmunya
dan disalurkannya lewat daun pedangnya.
Lawannyapun telah terkejut pula, tetapi ia berpendirian
seperti saudara seperguruannya. Betapapun dahsy atnya
pedang di tangan, namun akhirnya y ang m enentukan adalah
orangnya pula. Pertempuran pun semakin lama menjadi semakin sengit.
Mahisa Murti harus bertempur melawan dua orang lawan.
Sementara Mahisa Pukat bertempur melawan seorang.
Demikian pula Mahisa Semu dan Wantilan.
Demikian pertempuran itu m enjadi semakin seru, maka
segera nampak bahwa Mahisa Semu dan Wantilan mulai
terdesak. Mereka telah mengerahkan segenap kemampuan
mereka, namun kemampuan itu memang terbatas.
Mahisa Murti y ang harus bertempur melawan dua orang
lawan, harus mengerahkan segenap kemampuannya pula.
Apalagi setelah kedua lawannya itu pun sampai ke tingkat
tertinggi dari ilmunya, maka Mahisa Murti pun harus
mempergunakan kemampuannya sebaik-baiknya.
Namun justru karena senjata Mahisa Murti yang dahsyat
itu, maka kedua lawannya telah berusaha untuk tidak
membenturkan pedang y ang ada di tangan mereka. Dengan
demikian maka usaha Mahisa Murti untuk menghisap tenaga
mereka menjadi lamban sekali.
Tetapi Mahisa Murti tidak henti-hentinya berusaha.
Dengan kecepatan y ang tinggi, maka ia berusaha untuk
melanda kedua lawannya. Bagi Mahisa Murti, apakah ia
berhasil menghisap kekuatan dan kemampuannya sampai
tuntas, atau mampu menggoreskan ujung pedangnya yang
nggegirisi itu ke tubuh lawan, tidak ada bedanya. Yang penting
baginya adalah dengan cepat melumpuhkan lawannya
sebelum lawannya melukai salah seorang saudara-saudaranya,
terutama Mahisa Am ping. Namun Mahisa Murti itu menarik nafas dalam-dalam
ketika dalam kekisruhan pertempuran, Mahisa Amping
ternyata telah mengambil langkah y ang menguntungkan. Tibatiba
saja ia telah hilang dari medan. Mahisa Murti y akin,
bahwa anak y ang memang memiliki penggraita yang tajam itu
telah bersembuny i, sehingga ia tidak akan menjadi sasaran
kelicikan lawan-lawannya.
Meskipun demikian, kecemasan y ang lain telah timbul.
Mahisa Semu dan Wantilan benar -benar telah terdesak,
sehingga keduanya seakan-akan tidak mempunyai ruang gerak
lagi. Tetapi, di lingkaran pertempuran yang lain, Mahisa
Pukat telah menggulung lawannya. Melawan seorang di antara
mereka yang datang untuk merampas pedang yang baru saja
mereka dapatkan di hutan itu, ternyata Mahisa Pukat m asih
memiliki kelebihan. Apalagi karena lawannya ternyata tidak
ragu-ragu untuk membenturkan senjatanya.
Namun dengan membenturkan senjatanya, lawan
Mahisa Pukat itu mengalami dua kesulitan. Demikian
kerasnya benturan y ang terjadi serta kelebihan jeni s pedang
yang dimiliki Mahisa Pukat, maka disetiap benturan itu, tajam
pedang lawannya telah menjadi repih. Bahkan kemudian
bagaikan menjadi retak-retak. Namun dengan demikian, tajam
pedang itu justeru menjadi berbahaya, karena pedang itu
menjadi seakan-akan bergerigi.
Tetapi kesulitan yang lebih besar dari lawan Mahisa
Pukat itu adalah karena kemampuan ilmu Mahisa Pukat
menghisap kekuatan dan kemampuan lawannya. Getaran yang
seakan-akan m engalir dengan cepat dalam setiap sentuhan,
bukan saja wadagnya, tetapi juga senjata mereka.
Itulah sebabnya, maka lawan Mahisa Pukat itu
merasakan sesuatu y ang tidak wajar dalam diriny a. Selagi ia
bertempur dengan segenap kekuatannya mendesak Mahisa
Pukat, tiba-tiba saja terasa tenaganya telah mulai menjadi
su sut. "Apa y ang sebenarnya telah terjadi?" bertanya orang itu
didalam dirinya. Namun Mahisa Pukat masih juga menjadi berdebardebar
ketika ia melihat kesulitan y ang m encengkam Mahisa
Semu dan Wantilan. Bahkan beberapa kali keduanya harus
berloncatan mengambil jarak. Ternyata orang-orang yang
datang untuk m engambil sepasang pedang itu adalah orangorang
y ang memang memiliki ilmu yang tinggi.
Bahkan Mahisa Murti yang harus bertempur melawan
dua orang itu pun ternyata mulai mengalami kesulitan.
Keduanya adalah orang-orang y ang berbekal ilmu pula.
Apalagi keduanya tidak dengan serta merta membenturkan
senjata-senjata m ereka, karena m ereka menjadi silau m elihat
pedang di tangan Mahisa Murti. Karena keduanya bertempur
berpasangan, maka mereka mampu saling mengisi dan
menyerang berganti-ganti sambil menghindari sentuhan.
Mereka sama sekali t idak m engetahui bahwa Mahisa Murti
memiliki ilmu y ang dapat menghisap kemampuan mereka,
namun mereka mencemaskan senjata-senjata mereka yang
akan dapat merusak j ika berbenturan dengan senjata Mahisa
Murti. Tetapi Mahisa Murti memang cukup garang. Senjatanya
berputar -putar dan menyambar-nyambar menggetarkan
jantung. Yang lebih dahulu menyelesaikan lawannya adalah
Mahisa Pukat. Beberapa saat kemudian, maka lawannya
benar-benar telah kehilangan kekuatannya selapis demi
selapis, sehingga akhirnya, ia merasa seluruh tubuhnya
menjadi sangat lemah. Seakan-akan tulang-tulangnya telah
terlepas pada per sendiannya.
Karena itu, m aka ketika pada saat-saat terakhir Mahisa
Pukat menekannya lebih keras, maka orang itu benar-benar
telah kehilangan kemampuannya untuk melawannya. Bahkan
senjatanya yang telah m irip dengan gergaji telah patah dan
terlepas dari tangannya. Sementara itu, ia tidak lagi m ampu
berdiri tegak di atas kedua kakinya ketika Mahisa Pukat
sempat mencengkam pergelangan tangannya beberapa saat.
Demikian orang itu jatuh terduduk, maka Mahisa Pukat
pun telah meloncat meninggalkannya. Ia pun segera berusaha
untuk membantu Mahisa Semu dan Wantilan. Meskipun
Mahisa Murti juga mengalami kesulitan, tetapi ia yakin, bahwa
Mahisa Murti dalam keadaan yang paling gawat, masih akan
mampu melindungi dirinya dengan ilmunya.
Kehadiran Mahisa Pukat telah membuat jantung Mahisa
Semu dan Wantilan sedikit mengembang.
Sebenarnyalah Mahisa Pukat langsung m engambil alih
lawan Wantilan sambil berkata lantang, "Bantulah Mahisa
Semu." Wantilan memang segera meninggalkan lawannya.
Lawannya memang tidak dapat berbuat apa -apa. Ia tidak
berani meremehkan Mahisa Pukat karena ia tahu bahwa
Mahisa Pukat telah mampu mengalahkan lawannya yang
terdahulu. Apalagi pedang Mahisa Pukat yang bagaikan
menyemburkan lidah api ke segala penjuru itu merupakan
senjata yang menggetarkan jantung.
Namun orang itu tidak dapat ingkar. Ia harus bertempur
melawannya. Apapun y ang terjadi.
Sementara itu, Wantilan telah bergabung dengan Mahisa
Semu untuk melawan seorang di antara mereka yang ternyata
juga memiliki ilmu y ang tinggi. Ilmu pedang Mahisa Semu
ternyata masih berada dibawah kemampuan lawannya itu.
Namun bersama dengan Wantilan, maka Mahisa Semu
menjadi sedikit dapat bernafas meskipun keduanya masih juga
ragu, apakah mereka akan dapat mengalahkan orang itu.
Dalam pada itu, Mahisa Murti masih harus bertempur
melawan kedua orang lawannya. Ternyata kedua orang
lawannya semakin lama terasa semakin sulit di atasi. Dengan
demikian maka Mahisa Murti untuk beberapa saat harus
bertahan saja sambil berusaha untuk setiap kali meny entuh
senjata lawan. Setiap serangan yang datang, dalam batas
kemungkinan, tidak dihindarinya. Tetapi ia berusaha
menangkisnya dengan sepenuh tenaganya. Selain senjata
lawannya itu menjadi repih pada tajamnya, ia pun berhasil
mengurangi tenaga lawannya itu selapis demi selapis tipis.
Tetapi ternyata y ang tertua di antara orang-orang y ang
datang untuk merampas pedang itu memiliki ilmu y ang tinggi
pula. Meskipun pedangnya pada setiap benturan memberikan
kesan y ang aneh padadirinya, namun ternyata kemampuan
ilmu orang itu yang mengalir pada senjatanya telah
menumbuhkan getaran udara y ang memancarkan panas,
menjalar menyentuh tubuh Mahisa Murti.
Mahisa Murti y ang mulai merasakan getaran udara
panas itu m erasa bahwa tekanan lawan-lawannya tentu akan
menjadi semakin berat. Setiap ay unan senjata lawannya, telah
disertai dengan arus udara panas y ang m enampar tubuhnya.
Sementara itu, lawannya y ang seorang lagi, agaknya masih
baru mulai sehingga udara y ang terhempas oleh ay unan
senjatanya masih belum terasa membakar tubuh.
Namun Mahisa Murti masih saja bertekad untuk
bertahan sambil berusaha selalu menangkis serangan
lawannya, betapapun terasa udara panas menerpa tubuhnya.
Namun Mahisa Murti ternyata memerlukan waktu y ang
lama. Hampir saja Mahisa Murti m enjadi k ehilangan kekang
diri dan menghancurkan lawannya dengan serangan berjarak
disertai dengan landasan ilmu Bajra Geninya. Namun sebelum
ia m elakukannya, maka Mahisa Murti mulai m erasa, tenaga
lawannya itu melemah. Di samping kedua lawan Mahisa Murti yang mulai
melemah perlahan-lahan, maka lawan Mahisa Pukat y ang baru
itu pun mengalaminya pula. Lebih cepat dari kedua lawan
Mahisa Murti. Namun dalam pada itu, selagi pertempuran di antara
mereka masih belum selesai, tiba-tiba saja terdengar putaran
angin yang dahsyat menggerakkan dedaunan, dahan-dahan
dan ranting-ranting pepohonan.
Sementara itu, kedua orang lawan Mahisa Murti, lawan
Mahisa Pukat dan lawan Mahisa Semu dan Wantilan, telah
meloncat mengambil jarak.
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya memang terkejut.
Selain angin y ang datang m embadai itu, juga karena lawanlawan
mereka telah berloncatan surut.
Namun mereka pun segera m endapat jawabnya. Dalam
keadaan y ang mencengkam itu, tiba-tiba saja didalam
kegelapan telah nampak sesosok tubuh y ang berdiri tegak di
atas batu padas sambil mengangkat tangannya dan berkata,
"Berhentilah." Lawan-lawan Mahisa Murti dan saudara-saudaranya itu
pun telah m elangkah surut. Sementara itu orang di atas batu
padas itu berkata, "Aku sendiri telah datang ke arena. Karena
itu, maka pertempuran itu tidak perlu lagi."
Lawan-lawan Mahisa Murti dan saudara-saudaranya itu
pun telah bergeser menjauh. Sementara orang itu berkata
lebih lanjut, "Biarlah aku sendiri mengambil pedang-pedang
yang aku inginkan itu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah m elangkah saling
mendekat. Demikian pula Mahisa Semu dan Wantilan.
Sementara itu, maka orang itu pun berkata kepada anakanakmuda
yang membawa pedang yang dikehendaki oleh
orang itu. "Anak-anak muda, aku datang untuk menyelesaikan
persoalan ini dengan cepat. Nampaknya murid-muridku tidak
dapat melakukannya, sementara waktu kami t idak t erlalu
banyak." "Siapa kau dan apa maksudmu?" bertanya Mahisa Murti
"Mak sudku sudah jelas. Aku ingin mengambil sepasang
pedang y ang kalian bawa itu," jawab orang itu, "sedangkan
siapa aku, agaknya kau tidak perlu mengetahuinya."
"Ki Sanak," berkata Mahisa Murti, "sudah aku katakan,
bahwa aku akan mempertahankannya apapun y ang akan
terjadi." "Kalian memang anak iblis. Kalian memiliki ilmu iblis
pula. Kau sadap ilmu itu dari Akuwu Sangling sedangkan
nampaknya kau sadap ilmu y ang licik itu dari Akuwu Lemah
Warah," berkata orang itu. Lalu "Tetapi ilmu yang kau
tunjukkan kepadaku itu sama sekali tidak berarti apa-apa
bagiku. Aku memang harus berpikir ulang jika aku harus
bertempur dengan gurumu. Tetapi sayang. Malam ini aku
akan terpaksa membunuh kalian jika kalian tidak
menyerahkan pedang itu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian Mahisa Murti berkata, "Sudah aku
katakan. Apapun yang akan terjadi, kami akan
mempertahankannya sepasang pedang ini."
"Sayang," berkata orang itu, "kalian akan mati muda."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab lagi.
Namun mereka terkejut ketika mereka melihat dari tubuh
orang itu seakan-akan mengepul awan yang tipis. Namun
semakin lama m enjadi semakin banyak. Seakan-akan kabut
yang meny ebar meliputi lingkungan itu, sehingga malam
menjadi semakin gelap. Selagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih sempat
melihat orang itu, maka Mahisa Murti pun berdesis, "Kita
hentikan semuanya ini. Apa boleh buat, jika orang itu lumat
oleh ilmu kita." Mahisa Pukat pun kemudian telah bersiap pula. Ia
menunggu isy arat Mahisa Murti untuk melepaskan ilmu
mereka y ang tertinggi.

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Demikianlah, sejenak kemudian, dengan satu isy arat,
maka keduanya telah m enghentakkan tangan mereka dengan
telapak tangan terbuka mengarah kepada orang y ang berdiri di
atas batu padas itu. Seleret cahaya seakan-akan telah m eloncat dari telapak
tangan kedua orang anak m uda itu m engarah kepada orang
yang berdiri di atas batu padas itu.
Sebuah ledakan telah terjadi. Namun kedua orang anak
muda itu harus melihat satu keny ataan bahwa serangannya
sama sekali tidak mengenai sa saran. Batu padas itu m emang
bagaikan meledak. Tetapi orang yang berdiri di atasnya telah
tidak ada lagi di tempatnya.
Sementara itu, maka kabutpun semakin lama menjadi
semakin meny ebar. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang menjadi
gelisah. Apalagi Mahisa Semu dan Wantilan. Mereka seakanakan
sudah tidak dapat melihat lagi. Kabut menjadi sangat
tebal meny elimuti tempat itu.
"Anak-anak," terdengar suara yang bergulung-gulung
tanpa dapat diketahui arahnya, " serahkan sepasang pedang itu
atau kalian akan mati. Kabut itu m emang tidak mengandung
racun, karena aku tahu kalian memiliki penangkal racun.
Namun dalam kabut kalian tidak akan dapat melawan aku.
Penglihatanku dapat menembus kabut y ang aku buat sendiri
itu. Aku dengan mudah dapat mendekati kalian dan menikam
jantung kalian. Kemudian memungut sepa sang pedang itu.
Tetapi aku akan m embiarkan kalian tetap hidup jika kalian
mau meletakkan pedang dan bergerak menjauh."
Tidak terdengar jawaban. Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat memang sudah bertekad untuk tidak meny erahkan
pedang-pedang mereka apapun yang terjadi. Karena itu, maka
mereka justru menggenggam pedang mereka semakin erat.
"Tidak ada gunanya," berkata orang itu, "tetapi baiklah.
Agaknya kalian m emang memilih kematian. Jangan salahkan
aku jika kalian semuanya akan mati. Bukan hanya kedua anak
muda y ang membawa pedang saja. Tetapi kematian anak-anak
muda y ang lain akan kau serahkan saja kepada muridmuridku,
agar mereka mendapatkan kegembiraan pula dalam
perburuan sepa sang pusaka itu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang sudah tidak dapat
melihat pada jarak sepanjang hidung mereka itu pun memang
menjadi semakin gelisah. Tetapi sama sekali tidak ada niat di
hati m ereka untuk m eny erah dan m eletakkan pusaka-pusaka
itu. Namun dalam keadaan yang demikian, tiba -tiba saja
terdengar suara kidung. Suara kidung yang ngelangut
memecah suara-suara malam yang sepi.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m endengarkan suara
kidung itu dengan penuh kecurigaan. Mungkin suara kidung
itu adalah satu usaha lawannya melepaskan ilmunya yang lain
untuk membunuh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Tetapi anak-anak muda itu menjadi heran, ketika
kemudian telah bertiup angin. Mula-mula perlahan-lahan.
Namun sejalan dengan irama kidung yang menghentak keras,
maka angin y ang bertiup pun terasa semakin kencang pula.
Sedikit demi sedikit, angin itu ternyata telah mampu menguak
kabut yang t ebal, sehingga sejenak kemudian, jarak pandang
anak-anak muda itu pun telah menjadi semakin jauh.
Namun, anak-anak muda itu pun kemudian terkejut
ketika mereka mendengar derap kaki dua orang y ang sedang
bertempur. Tetapi sejenak kemudian, keduanya mendengar
salah seorang di antara mereka meloncat mengambil jarak,
sehingga pertempuran itu pun telah berhenti.
Ber samaan dengan itu, maka kabut pun menjadi
semakin tipis, seakan-akan telah terkuak, sehingga dalam
keremangan malam, anak-anak muda itu melihat dua orang
yang saling berhadapan. "Kau iblis," terdengar orang y ang m engingini sepasang
pusaka itu menggeram. Yang seorang lagi, ternyata pernah dilihat juga oleh
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Orang tua y ang minta
keduanya singgah di gubugnya.
Orang tua itu berkata, "Aku sudah m engira bahwa kau
akan datang untuk mengganggu anak-anak itu. Kenapa kau
masih saja berbuat seperti itu" Sebaikny a kau biarkan saja
kedua orang anak muda itu memiliki t emuannya sendiri,kau
tidak boleh iri. Kenapa kau tidak mencarinya sendiri sehingga
kau akan dapat m emilikinya" Aku, y ang membuat keris itu
dan kemudian m emberikannya kepada anakku, tidak pernah
berniat untuk merampasnya kembali. Tetapi kenapa kau justru
melakukannya." "Aku tidak peduli," geram orang y ang mengingini
sepasang pusaka itu, "aku hanya ingin memiliki sepa sang
pusaka itu siapapun y ang akan aku hadapi. Sekarang, jika kau
menghalangi niatku, kau akan aku habisi sama sekali."
"Kabutmu tidak b erarti apa-apa bagiku," berkata orang
tua itu. "Kau kira aku hanya mampu bermain dengan kabut?"
geram orang itu, "aku akan m embuktikan, bahwa aku akan
dapat membunuhmu." Orang tua itu tertawa. Katanya, "Baiklah. Jika kau
memang merasa akan dapat membunuhku, lakukanlah. Tetapi
aku puntelah memutuskan untuk membunuhmu. Aku berkata
sesungguhnya, karena jika tidak, kau tentu masih akan
mengganggu kedua anak muda y ang kebetulan bernasib baik
itu. Kau tidak boleh merampas keris-keris itu, karena aku
sudah merelakannya."
"Persetan," bentak orang itu. Namun ia pun segera
mempersiapkan diri, "ternyata kita memang harus menguji,
siapakah yang lebih kuat. Jika kau mati, maka anak-anak itu
tidak akan mempunyai pelindung lagi."
"Aku sudah siap," berkata orang tua itu.
Demikianlah keduanya pun telah bersiap menghadapi
segala kemungkinan. Orang y ang mengingini sepasang pusaka
itulah yang kemudian telah meloncat meny erang lebih dahulu.
Tetapi lawannya dengan tangkas menghindarinya. Bahkan
demikian serangan itu lewat, maka orang tua itu telah
menyerangnya pula dengan cermat sekali.
Tetapi, kedua orang itu ternyata memiliki ilmu y ang
sangat tinggi. Dalam waktu yang singkat, keduanya bagaikan
telah hilang dari pandangan mata wadag. Hanya dengan
kemampuan khusus Mahisa Murti dan saudara-saudaranya
mampu melihat keduanya berputaran. Sekali-sekali mereka
melenting di udara dan seakan-akan bertempur tanpa berjejak
di atas tanah. S ekali-sekali a sap mengepul. Namun kemudian
bagaikan dihembus oleh angin y ang kuat dan leny ap dalam
kegelapan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat adalah anak-anak muda
yang berilmu tinggi. Namun ternyata mereka masih juga
merasa heran melihat pertempuran y ang sedang berlangsung
itu. Dua orang yang ternyata memiliki ilmu y ang sangat tinggi
dengan berbagai macam bentuk dan ungkapan.
Bahkan kedua anak muda itu menjadi ragu-ragu, apakah
ay ahnya mampu mengimbangi kemampuan kedua orang itu.
Selagi mereka dengan tegang menyaksikan pertempuran
dari dua orang yang berilmu sangat tinggi itu, Mahisa Semu
terkejut ketika seseorang menggamitnya. Ternyata Mahisa
Amping telah berdiri di belakangnya sambil berdesis, "Apakah
pertempuran sudah selesai?"
Mahisa Semu tidak m enjawab. Tetapi ia menunjuk dua
sosok bay angan yang berterbangan di dalam kegelapan.
Tetapi Mahisa Amping agaknya tidak dapat menangkap
arti dari penglihatannya selain ujud diluar yang berbaur,
berputaran. Namun dalam pada itu, hampir diluar sadarnya, Mahisa
Semu dapat melihat murid-murid orang y ang ingin memiliki
sepasang pedang itu telah bergerak-gerak. Agaknya mereka
ingin mempergunakan kesempatan itu untuk meny erang
anak-anak muda y ang agaknya lebih memperhatikan
pertempuran y ang sedang terjadi itu.
Tetapi ketika Mahisa Semu hampir saja berteriak
memperingatkan saudara-saudara angkatnya, Mahisa Murti
ternyata telah mendahuluinya berkata, "Ki Sanak. Jangan
mempersulit keadaan diri sendiri. Jika kalian meny erang,
maka kalian akan m ati. Kami tidak akan memaafkan kalian
lagi." Ternyata murid-murid dari orang y ang menginginkan
sepasang pedang itu harus berpikir dua kali. Salah seorang di
antara mereka sudah tidak berdaya. Sementara y ang lain
merasa tubuhnya menjadi lemah karena tenaganya telah susut
diluar sadar mereka. Dengan demikian maka mereka pun telah
mengurungkan niatnya untuk berbuat sesuatu, sehingga
perhatian mereka pun kemudian telah mereka tujukan kepada
guru mereka yang harus bertempur melawan orang yang
menyatakan dirinya telah membuat pedang y ang disebutnya
keris itu. Kedua orang itu pun bertempur semakin dahsyat.
Keduanya telah mengerahkan kemampuan m ereka sehingga
dengan demikian, maka pertempuran itu pun menjadi
semakin sulit dimengerti, siapa di antara m ereka y ang akan
memenangkan pertempuran. Dalam kekalutan itu terdengar orang y ang ingin
merampas sepasang pedang itu menggeram, " Iblis kau.
Ternyata kau masih mampu meningkatkan ilmumu."
Yang terdengar adalah suara tertawa orang tua itu.
Sambil bertempur berputaran terdengar orang itu m enjawab,
"Biarlah yang tua menyelesaikan persoalannya dengan orang
tua. Jangan hanya berani mengganggu anak-anak saja."
"Kau kira aku tidak mampu membunuhmu," bentak
orang y ang mengingini sepasang pusaka itu.
Orang tua itu tertawa semakin panjang.
Namun suara tertawanya pun terputus ketika tiba -tiba
seleret sinar memancar dari tangan lawannya. Dengan
tangkasnya orang tua itu meloncat menghindar. Tetapi
serangan-serangan berikutnya menyambarnya beruntun
seakan-akan tidak berjarak.
Karena itu, maka orang tua itu harus berloncatan.
Namun orang tua itu justru meloncat semakin mendekati
lawannya, sehingga satu saat ia sempat melontarkan pisaupisau
kecil ke arah lawannya, sambil meloncat berputar di
udara. Serangan itu tidak terduga-duga. Karena itu, maka orang
yang m enginginkan sepa sang pusaka itu, harus dengan serta
merta meloncat menghindar.
Namun demikian ia tegak di atas kakinya, maka
terdengar suara orang tua itu, "Nah, sekarang aku pun
mendapat kesempatan."
Lawannya tidak m enjawab. Dengan serta m erta pula ia
telah meluncurkan serangannya. Secercah cahaya telah
menyambar ke arah lawannya.
Tetapi orang tua itu telah sempat memusatkan nalar
budinya membangunkan ilmunya. Karena itu, maka ia pun
telah berbuat sebagaimana dilakukan oleh lawannya.
Segumpal sinar telah memancar dan m enyambar sinar yang
datang meny erangnya. Satu benturan ilmu telah terjadi. Sebuah ledakkan telah
menghentak di kegelapan malam dengan melontarkan
percikan cahaya y ang meny ilaukan.
Namun sejenak kemudian, keduanya telah berloncatan
sekali lagi. Keduanya telah saling menyerang dengan kekuatan
ilmunya itu. Tidak dengan senjata sebagaimana telah
dilakukan oleh orang tua itu sebelumnya.
Cahaya yang meny ilaukan telah meluncur sambarmenyambar
dari kedua arah. Dalam gelapnya malam, m aka
seakan-akan telah terjadi pertempuran antara bintang-bintang
yang meluncur dengan garangnya sambar-menyambar.
Beberapa kali telah terjadi benturan ilmu. Gumpalangumpalan
sinar itu bagaikan pecah dan meluncur seperti
bunga api ke segala arah.
Namun sebenarnyalah, benturan-benturan ilmu itu telah
berpengaruh atas kedua orang yang sedang bertempur itu.
Seorang di antara mereka yang ilmunya lebih kuat akan
menekan lawannya langsung ke bagian dalam tubuhnya.
Dalam pada itu, maka pertempuran itu pun semakin
lama semakin dahsy at. Lontaran ilmu y ang tidak m engenai
sa saran dan tidak saling berbenturan telah menghantam batubatu
padas dan pepohonan. Ranting-ranting pun berpatahan
dan dahan-dahan pun berguguran runtuh dari batangnya.
Namun akhirnya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
berhasil melihat bahwa keseimbangan antara kedua orang
yang bertempur itu sudah mulai berubah. Orang yang ingin
mengambil sepasang pedang itu nampak menjadi semakin
lemah. Bahkan kemudian, serangan-serangannya tidak lagi
menggetarkan ilmu lawannya y ang meluncur deras dalam
benturan ilmu. Dalam keadaan yang demikian, terdengar suara orang
tua itu, "Kau harus melihat kenyataan ini. Urungkan niatmu
untuk mengambil sepasang keri s itu."
"Persetan," orang itu menggeram. Bahkan langsung
menyerang orang tua itu dengan sisa tenaganya.
Orang tua itu terkejut. Ia tidak menduga, bahwa
lawannya dengan licik telah meny erangnya. Namun demikian
tinggi ilmunya, maka ia pun dengan serta merta telah
melawannya dengan menghantam serangan lawannya itu.
Tetapi kemarahan orang tua itu tidak terkekang lagi. Ia
tidak saja membentur serangan lawannya, t etapi ia pun
dengan garang telah menyerang lawannya itu pula.
Satu serangan yang cepat dan t iba-tiba. Yang terdengar
kemudian adalah keluhan t ertahan. Serangan itu ternyata
telah dengan tepat mengenai dada orang yang ingin
mengambil sepasang pusaka itu.
Betapapun orang itu berilmu tinggi, namun serangan itu
pun telah dilontarkan dengan ilmu y ang tinggi pula. Karena
itu, maka segumpal cahaya telah menghantam dada dan
mendorongnya beberapa langkah surut. Orang itu pun
kemudian jatuh terbanting di tanah. Sekali ia menggeliat
sambil mengumpat. Namun kemudian suaranya bagaikan
tertelan kembali. Murid-muridnya y ang melihat keadaan gurunya itu pun


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan serta merta telah berloncatan berlari. Hanya lawan
Mahisa Pukat y ang telah menjadi sangat lemah, hanya mampu
beringsut selangkah demi selangkah sambil merangkak.
Ternyata Mahisa Pukat menjadi iba m elihatnya. Ia pun
kemudian telah mendekatinya dan memapahnya dan
meletakkannya di sisi tubuh gurunya y ang terdiam.
Murid-muridnya telah menjadi kebingungan melihat
keadaan gurunya. Bahkan ada di antara mereka yang telah
mengguncang-guncang sambil memanggil-manggil, "Guru,
guru." Gurunya memang masih bernafas. Namun dadanya
terasa sesak. Sekali ia mencoba mengangkat kepalanya.
Namun ia sudah tidak mempunyai kekuatan sama sekali.
Orang tua, yang mengaku telah membuat sepasang keris
yang m irip dengan pedang itu telah m endekatinya. Dadanya
sendiri juga merasa sesak. Tetapi ia masih cukup kuat dan
tenaganya masih cukup besar untuk melakukan sesuatu jika
perlu. Tetapi lawannya sudah tidak berday a sama sekali.
Orang tua itu pun kemudian berdiri di sebelah tubuh
yang terbaring itu. Mahisa Murti dan saudara-saudaranya juga
mendekatinya. Tetapi mereka masih cukup berhati-hati untuk
mengambil jarak. " Jangan tinggalkan kami guru," berkata salah seorang
muridnya. Gurunya masih mencoba untuk berbicara, "Aku sudah
tidak kuat lagi." " Jangan guru," teriak muridnya yang lain.
Tetapi gurunya memang sudah sangat lemah.
Dalam pada itu, orang tua yang termangu-mangu itu pun
kemudian berkata, "Mundurlah. Biar aku y ang mencobanya."
Tetapi sor ot mata murid-muridnya nampak curiga,
sehingga orang tua itu berkata, "Jangan cemas bahwa aku
akan membunuhnya. Jika aku ingin melakukannya, maka aku
akan dapat membunuh bukan saja gurumu. Tetapi bersama
dengan kalian semuanya."
Murid-muridnya itu termangu-mangu. Namun akhirnya
mereka pun telah bergeser menjauh beberapa langkah.
Demikian juga muridnya y ang sudah kehabisan tenaga sama
sekali itu. Dibantu oleh saudara seperguruannya, maka ia pun
telah bergeser menjauh pula.
Orang tua itu kemudian telah mengambil butiranbutiran
obat dari kantong ikat pinggangnya y ang besar.
Kemudian memasukkannya dua butir ke dalam mulut
lawannya y ang terluka parah itu.
Sejenak orang tua itu menunggu. Namun sejenak
kemudian orang yang terluka itu telah menggeliat kesakitan.
Diluar sadar, murid-muridnya pun telah bergerak pula.
Namun orang tua itu berkata, "Pertanda bahwa obatku masih
juga dapat mengguncang bagian dalam tubuhnya y ang terluka.
Ju stru dengan demikian, kalian masih mempunyai harapan."
Murid-muridnya terdiam . Sementara orang tua itu
berkata, "Mudah-mudahan ia akan dapat hidup atas
kemurahan Yang Maha Agung. Ia tidak akan dapat memiliki
ilmunya kembali. Sebagian besar ilmunya akan menjadi punah
bersama dengan cacat yang dapat terjadi atas wadagnya."
Murid-muridnya terkejut mendengar keterangan itu.
Yang tertua di antara mereka bertanya terbata -bata, "Jadi
maksudmu, Guru tidak akan berilmu tinggi lagi?"
Orang tua itu mengangguk kecil. Namun karena itu,
muridnya yang tertua telah dengan serta merta meloncat
sambil berkata lantang, "Kau telah meracuni guruku."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan serta merta
telah bergeser pula. Tetapi orang tua itu masih saja tetap tenang. Dengan
nada rendah ia berkata, "Jangan membuat persoalan baru.
Kau tahu apa yang sudah terjadi. Karena itu, maka kau harus
menilai keadaan ini dengan wajar."
"Tetapi kau sudah membuat guruku tidak berday a lagi,"
berkata muridnya y ang tertua.
"Aku kira itu lebih baik daripada aku membunuhnya,"
berkata orang tua itu. " Justru lebih buruk lagi," berkata muridnya, "jika
guruku terbunuh dalam pertempuran, maka ia telah mati
sebagai laki -laki. Tetapi tanpa ilmu sama sekali maka ia akan
menjadi bahan tertawaan musuh-musuh besarnya. Dan
bahkan ia akan dapat menjadi bahan permainan untuk
dihinakan." "Tetapi ia tidak akan dapat berusaha m erebut sepasang
keris y ang kini telah berada di tangan kedua orang anak muda
itu," berkata orang tua itu.
Muridnya yang tertua termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian ia pun berkata, "Apapun y ang terjadi, aku harus
menuntut atas tindakan kalian y ang licik itu."
"Sudahlah, jangan bermimpi," berkata orang tua itu,
"jika kau tidak mau m elihat kepada gurumu, maka kau pun
akan mengalaminya. Kau akan kehilangan segala kekuatan
dan kemampuanmu. Bahkan untuk membunuh diripun kau
tidak akan mampu lagi." Orang tua itu terdiam sejenak, lalu
katanya, "lihat salah seorang saudara sepeguruanmu itu. Ia
telah kehilangan segenap kekuatannya. Seandainya ia
menggenggam pedangnya di tangan, maka kekuatan yang
terisa padanya, tidak akan mampu mnghunjamkannya di
tubuhnya sendiri." Murid tertua dari orang yang terluka parah itu
termangu-mangu sejenak. Sementara itu orang tua itu pun
berkata, "Kau tahu bahwa yang melakukannya bukan aku. Aku
akan dapat melakukan lebih buruk lagi bagi kalian."
Muridnya yang tertua itu menjadi tegang oleh gejolak di
dalam dirinya. Sementara itu, Mahisa Murti sempat berkata,
"Seharusnya kalian mengucapkan terima kasih bahwa guru
kalian tidak terbunuh. Meskipun ia menjadi cacat dan tidak
mungkin dapat pulih kembali, tetapi ia akan tetap dapat
memberikan beberapa petunjuk kepada kalian untuk
meningkatkan ilmu kalian. Tetapi kalianpun harus bercermin
apa y ang telah terjadi atas gurumu, bahwa semua usaha yang
tidak sewajarnya tentu tidak akan m endapat restu dari Yang
Maha Agung. Akibatnya dapat kau ketahui sendiri."
Muridnya y ang tertua itu m enarik nafas dalam-dalam.
Di sekitarnya terdapat beberapa orang berilmu tinggi. Anakanak
muda itu pun tidak dapat dikalahkannya. Apalagi dengan
kehadiran orang tua y ang telah mengalahkan gurunya itu.
Dengan demikian maka murid-murid orang y ang
terlukaparah itu harus melihat keny ataan y ang mereka hadapi.
Mereka tidak dapat membunuh diri pada k esempatan seperti
itu. Apalagi gurunya yang lemah itu berdesis, "Sudahlah.
Kal ian harus mengikhlaskan aku."
Murid-muridnya memang tidak dapat berbuat lain.
Betapa sakit hati mereka, tetapi keadaan itu harus
diterimanya. Gurunya dan mereka masing-masing.
Sesaat kemudian, ternyata bahwa keadaan gurunya
menjadi berangsur baik. Obat orang tua itu cukup kuat untuk
mengatasi luka bagian dalam tubuh lawannya y ang lemah itu.
"Nah," berkata orang tua itu, "keadaan kalian sudah
berangsur baik. Karena itu, maka biarlah kami m eninggalkan
kalian. Uruslah diri kalian selanjutnya. Tetapi aku masih akan
meninggalkan obat bagi guru kalian. Mudah-mudahan guru
kalian cepat sembuh meskipun dalam k eadaan yang berbeda
dari sebelumnya." Murid-muridnya t idak dapat berbuat sesuatu. Yang
dapat mereka lakukan adalah menerima obat y ang dapat
mempercepat kesembuhan gurunya meskipun tubuhnya akan
menjadi cacat sehingga ia tidak akan memiliki ilmunya
seutuhnya kembali. Dalam pada itu, maka orang tua itu pun kemudian
berkata kepada Mahisa Murti dan saudara-saudaranya,
"Marilah. Kita tinggalkan mereka. Meskipun mereka yang
datang kemudian ke tempat ini, namun biarlah kita sajalah
yang mengalah." Mahisa Murti t idak membantah. Ia tahu bahwa di antara
lawan-lawan mereka masih terdapat orang-orang y ang lemah
dan tidak mampu untuk meninggalkan tempat itu. Karena itu,
maka ia pun telah memberi isy arat kepada saudarasaudaranya
untuk mengikuti orang tua itu meninggalkan
lawan-lawan mereka. Dalam k egelapan mereka menyusuri padang perdu dan
kemudian turun ke pategalan y ang tidak begitu subur. Mahisa
Amping yang dibimbing oleh Mahisa Semu berjalan sambil
terkantuk-kantuk. Tetapi ia sama sekali tidak mengeluh. Ia
berusaha untuk t etap berjalan bersama dengan saudarasaudaranya.
Beberapa saat kemudian, ketika fajar justru mulai
membayang dilangit, maka iring-iringan kecil itu pun
berhenti. Orang tua yang mengaku telah m embuat sepa sang
keris y ang disebut pedang oleh Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat itu berkata, "Kita berhenti di sini. Jarang sekali pemilik
pategalan ini melihat pategalannya y ang gersang.
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya tidak menjawab.
Mereka pun kemudian telah duduk m elingkar di atas rumput
kering di pinggir sebuah pategalan y ang tidak ditumbuhi
tanaman yang berarti kecuali beberapa pohon buah-buahan
yang kurus. Dengan nada lembut orang tua itu pun kemudian
berkata, "Anak-anak muda. Yang kalian hadapi adalah
kesulitan y ang pertama. Aku kira, kalian masih akan
menghadapi kesulitan-kesulitan y ang lain lagi. Sementara itu
aku tidak tahu, apakah aku masih akan dapat membantu atau
tidak. Namun aku m erasa perlu untuk memberikan beberapa
pesan kepada kalian. Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah
mendengarkan pesan itu dengan seksama.
"Anak-anak muda," berkata orang tua itu, "ketika aku
membuat keris itu, atau namakanlah pedang, aku sudah
berniat untuk membuat dua buah senjata tetapi satu jiwa.
Ditangan kalian senjata-senjata itu memang menjadi luar
biasa. Ternyata berlandaskan ilmu yang telah kalian miliki,
maka kedua senjata itu seakan-akan memiliki kemampuan
berlipat ganda. Itu sudah satu pertanda bahwa senjata-senjata
itu memang sesuai bagi kalian berdua. Namun dalam keadaan
khusus, kedua buah senjata itu akan lebih berarti jika kalian
mempergunakan dalam pasangan."
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak, sehingga ia pun
bertanya, "Apakah maksud Kiai" Apakah kami harus
merelakan salah seorang saja di antara kami y ang m emiliki
pusaka itu?" "Bukan anak muda. Bukan begitu," jawab orang tua itu,
"kalian dapat saja mempergunakannya sebuah bagi seorang.
Tetapi dalam keadaan y ang gawat, maka kalian harus
menentukan satu sikap sesuai dengan watak sepasang senjata
itu. Kalian harus menggabungkan kekuatan ilmu kalian dan
kemudian kalian harus mempergunakan sepasang senjata itu
bersama-sama. Dengan demikian m aka kekuatan pedang itu
tentu akan berlipat, sementara itu kalian sendiri sudah sangat
tinggi. Dengan demikian maka lontaran ilmu lewat sepa sang
pedang itu, dalam satu kesatuan akan m erupakan kekuatan
ilmu y ang sangat dahsyat."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan.
Sementara orang tua itu berkata, "Karena itu, kalian harus
mulai membiasakan diri mempergunakan senjata itu
berpasangan meskipun dalam genggaman tangan dari orang
yang berbeda. Mudah-mudahan kekuatan, kemampuan dan
ilmu kalian akan dapat bulat utuh dengan kekuatan y ang ada
didalam pusaka itu, akan merupakan kekuatan yang dahsyat.
Yang bahkan melampaui kekuatan ilmu orang y ang telah
dapat aku kalahkan." orang tua itu berhenti sejenak, lalu,
"tetapi itu bukan memperkecil arti dari kemampuan kalian
mempergunakan senjata itu seorang-seorang."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, "Kami
justru mengucapkan terima kasih atas petunjuk itu. Tetapi
apakah tidak ada laku y ang dapat menjadi jembatan agar
pusaka itu menjadi bulat dalam diri kami, serta menyesuaikan
antara watak dan sifat-sifat ilmuku dan watak senjata-senjata
itu. "Kalian telah sesuai. Aku sudah melihat, bagaimana
kalian mempergunakan senjata kalian untuk membela diri.
Agaknya kemampuan membela diri itu adalah ilmu yang
paling baik untuk kalian kembangkan," berkata orang tua itu,
"tetapi yang aku maksudkan, jika kalian menjumpai lawan
yang tidak dapat kalian kalahkan seorang demi seorang, maka
kalian akan dapat mencobanya dengan sepasang pedang itu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Sementara itu orang tua itu pun berkata, "Siapakah anak-anak
yang ikut bersama kalian itu."
"Adik angkatku," jawab Mahisa Murti.
"Kenapa anak itu sudah kau bawa mengembara melalui
daerah yang paling berbahaya bagi setiap orang justru karena
kalian telah memiliki pusaka itu?" bertanya orang tua itu pula.
"Kami justru akan membawanya ke padepokan kami.
Anak itu kami temukan dalam lingkungan perguruan hitam
yang terpaksa harus kami hancurkan. Sementara itu, kami
telah mengambil pula ilmu yang sudah diwarisinya serba
sedikit dari perguruan itu."
"Perguruan hitam?" bertanya orang tua itu.
Mahisa Murti sempat menceritakan dengan singkat
tentanganak yang bernama Mahisa Amping.
Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya, "Ajari anak
itu baik-baik. Bukan saja ilmunya. Tetapi juga sifat, watak dan
tingkah lakunya." "Ya Kiai," jawab Mahisa Pukat, "saat-saat kami
membebaskan anak itu dari tangan dan pengaruh jiwani
sebuah perguruan hitam, maka kamipun sudah melihat
sesuatu pada anak itu. Tetapi aku pun sudah mengatakan
kepada mereka, bahwa mereka justru pada saatnya harus
bekerja keras." Orang tua itu mengangguk-angguk lemah. Namun
kemudian katanya, "Jika saja kalian masih bersedia menunda
perjalanan kalan untuk waktu singkat."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Namun kemudian Mahisa Murti pun bertanya,
"Untuk apa Kiai?"


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku ingin berceritera lebih banyak tentang sepasang
keris itu. Wataknya dan kemungkinan-kemungkinannya. Aku
sudah kehilangan anakku laki -laki yang diluar niatnya telah
dibunuh oleh mertuanya, sehingga hidup ini rasa-rasanya
terlalu sepi. Aku memang sudah menemukan seorang
penggantinya. Namun bagaimanapun juga aku tidak dapat
melupakan anakku itu, y ang aku harapkan akan dapat menjadi
tempat menumpang di hari tua," jawab orang tua itu.
" Jika hanya untuk satu dua hari, aku kira kami tidak
akan berkeberatan," berkata Mahisa Murti.
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Peristiwa yang terjadi baru-baru ini merupakan satu
peringatan bagi kalian. Tetapi agaknya kalian masih akan
mengalaminya lagi." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m emang tidak dapat
menolak niat baik orang tua itu. Dengan peristiwa y ang baru
sa ja terjadi, maka anak-anak muda itu menjadi percaya
sepenuhnya bahwa orang tua itu sama sekali tidak berniat
buruk terhadap mereka. Namun orang tua itu pun kemudian berkata, "Tetapi jika
demikian, maka aku berharap kalian kembali ke gubugku itu.
Hanya untuk satu dua hari."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berpaling kepada
Mahisa Semu dan Wantilan. Ternyata mereka juga tidak
berkeberatan, karena pada dasarnya keduanya hanya
mengikuti saja perjalanan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Apalagi Mahisa Amping. Demikianlah sebelum fajar mereka telah mulai berjalan
lagi justru kembali ke gubug kecil milik orang tua itu.
Di gubug itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat secara
khusus telah mendapatkan beberapa petunjuk tentang
sepasang pusaka itu. "Aku m ohon kalian menyebutnya dengan keris, bukan
pedang," berkata orang tua itu. Lalu katanya, "Karena saat
membuatnya aku memang ingin membuat keris. Meskipun
keris itu ternyata terlain besar dan karena itu aku telah
memberikan hulu yang lain dari kebanyakan keris. Apalagi
waktu itu, aku telah menemukan harta karun yang tidak
ternilai harganya. Harta yang tidak diketahui a sal usulnya.
Aku menemukan harta karun itu di sebuah goa y ang terpencil.
Menurut pendapatku, goa itu adalah sarang penjahat yang
karena sesuatu hal, kawanan perampok itu tidak pernah
kembali lagi ke sarangnya. Mungkin karena sekelompok
perampok itu telah bertemu dengan sepasukan prajurit dan
telah dimusnahkan hingga orang terakhir, atau karena sebab
lain," orang itu berhenti sejenak, lalu katanya, "tetapi aku
tidak m engambil harta karun itu lebih banyak dari y ang aku
perlukan untuk membuat sepasang keris itu. Aku
meninggalkan y ang lain di dalam goa. Mudah-mudahan goa
itu runtuh dan harta karun itu tertimbun di dalamnya.
Seandainya seratus atau dua ratus tahun lagi harta karun itu
diketemukan, maka orang yang menemukannya tidak bersalah
sama sekali karena mereka tidak tahu menahu asal usul harta
karun itu." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk
kecil. Namun tiba -tiba orang tua itu bertanya, "Atau
barangkali kalian berdua ingin mendapatkan harta karun itu"
Aku bersedia menunjukkannya karena aku masih ingat benar
di mana tempatnya." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu
sejenak. Sementara orang tua itu m enunggu jawaban anakanak
muda itu dengan tegang. Baru sejenak kemudian, Mahisa Murti m enjawab, "Kiai.
Seandainya Kiai masih ingat tempat itu, kenapa Kiai tidak
mengambilnya dan m embagikan kepada orang-orang m iskin,
atau barangkali lebih tepat meny erahkannya kepada Sang
Akuwu sehingga harta karun itu dapat m enjadi benda-benda
Pendekar Guntur 19 Siluman Ular Putih 19 Tapak Merah Darah Pendekar Muka Buruk 12

Cari Blog Ini