Ceritasilat Novel Online

Hijaunya Lembah Hijaunya 34

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 34


Nenek tua itu tiba -tiba telah merindukan kehadiran
seorang atau dua orang anak di dalam kehidupannya. Namun
ia tidak dapat menentang kenyataan bahwa ia m emang tidak
mempunyai anak lagi. Demikianlah, ketika malam menjadi semakin malam,
maka nenek itu pun telah masuk ke dalam biliknya. Mahisa
Murti dan saudara-saudaranya pun telah berbaring pula di
ruang tengah, di-sebuah amben yang besar. Di antara m ereka
terdapat sebuah peti untuk meny impan uang hasil penjualan
benda-benda berharga yang dilakukan di pendapa rumah itu,
setelah tertunda beberapa saat karena terjadi kerusuhan.
Sementara itu, Ki Bekel telah memerintahkan anak-anak
muda untuk berada di pendapa rumah itu.
Meskipun demikian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telahmembagi waktu untuk berjaga-jaga. Apalagi di rumah itu
tersimpan uang cukup banyak.
Namun sampai saatnya matahari membayang, tidak ada
sesuatu yang terjadi. Ketika Mahisa Pukat keluar pintu
pringgitan, maka anak-anak muda y ang berada di pendapa
telah bersiap-siap untuk pulang. Tiga orang di antara mereka
yang tertidur telah dibangunkannya pula.
Ketika fajar kemudian menyingsing, maka nenek tua itu
pun telah terbangun pula dan setelah pergi pakiwan, maka ia
pun telah mengisi tempayan dengan air. Sejenak kemudian
nenek tua itu telah merebus air dan bahkan menanak nasi.
Sementara itu, maka Mahisa Semu, Wantilan dan
Mahisa Amping pun telah terbangun pula. Ketika matahari
kemudian terbit, maka mereka telah selesai berbenah diri.
Nenek tua itu pun telah selesai pula menyiapkan makan
pagi dan m inuman hangat. Karena itu, maka k etika matahari
mulai memanjat naik, anak-anak muda y ang mengaku
pengembara itu pun telah dipersilahkan untuk makan pagi dan
minum minuman hangat. "Tetapi bukan berarti bahwa kalian akan berangkat pagipagi,"
berkata nenek tua itu. "Tidak nek," jawab Mahisa Murti, "kami masih
menunggu kedua orang adik bebahu yang menurut
penglihatan kami memiliki kemampuan y ang memadai."
"Syukurlah. Jika demikian maka kalian tentu akan
berangkat esok pagi," berkata nenek tua itu.
"Belum tentu nek," jawab Mahisa Murti, "jika kedua
orang itu datang pagi-pagi, maka kami masih mempunyai
kesempatan untuk berangkat hari ini."
"Tidak. Kalian tidak akan berangkat hari ini," jawab
nenek itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya saling
berpandangan sejenak. Namun agaknya mereka memang tidak
akan berangkat pada hari itu.
Seperti y ang dijanjikan oleh bebahu itu, maka kedua
orang adiknya benar-benar telah datang. Bukan hanya mereka
berdua, tetapi bebahu itu pun telah mengantarkan kedua
adiknya untuk menemui anak-anak muda y ang mengaku
pengembara itu. "Kami telah datang memenuhi permintaan kalian,"
berkata bebahu itu. "Ya," jawab Mahisa Murti, "aku mengucapkan terima
kasih." "Selanjutnya terserah kepada anak-anak muda. Aku
hanya akan menjadi saksi, apa yang akan kalian pesankan
kepada kedua adikku."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, "Namun
sebelumnya kami ingin tahu tataran kemampuan kedua
adikmu. Dengan demikian kami akan dapat mengambil
kesimpulan, di tataran manakah kami akan menarik garis
pesan kepada mereka."
"Silahkan. Silahkan," berkata bebahu itu.
Mahisa Murti telah m engajak kedua orang adik bebahu
itu pergi ke kebun belakang, agar segala sesuatunya tidak
dilihat orang y ang berjalan di luar regol. Meskipun seandainya
regol itu ditutup, namun suaranya tentu akan terdengar dari
luar dinding halaman itu.
Di belakang rumah, kedua orang itu telah berhadapan
dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
"Marilah," berkata Mahisa Murti, "kami akan m elihat,
sampai di mana tingkat kemampuan kalian."
Tawaran untuk menjajagi kemampuan kedua adik
bebahu itu telah menggembirakan hati mereka. Sebenarnyalah
ada keinginan mereka untuk membuat perbandingan ilmu
dengan anak-anak muda y ang mengaku pengembara itu.
"Apakah benar ilmu mereka cukup tinggi sehingga
keduanya pantas untuk dikagumi?" pertanyaan itu telah
bergejolak di dalam hati kedua orang adik bebahu itu.
Mereka masih juga beranggapan ada kemungkinan
mereka akan dapat mengalahkan keduanya. Apabila salah
seorang dari mereka menang atas orang y ang meny ebut
dirinya gegedug dari Bukit Palang, sebenarnyalah ilmu
gegedug itulah y ang masih sangat dangkal. Selain itu, ternyata
orang-orang dari Bukit Palang m emang tidak memiliki daya
tahan tubuh y ang memadai, sehingga mereka cepat sekali
menjadi letih. Demikianlah, maka Mahisa Murti telah berhadapan
dengan y ang tertua di antara keduanya, sementara Mahisa
Pukat berhadapan dengan yang muda.
Sejenak mereka masih berdiri tegak sambil
mempersiapkan diri. Dengan nada rendah Mahisa Murti
berkata, "Kita hanya akan melihat tataran dari kemampuan
kita. Karena dengan demikian kita sudah dapat menjajagi
kemampuan kita masing-masing.
Kedua orang itu tidak menjawab. Tetapi mereka agaknya
berpendirian lain. Mereka tidak hanya sekedar ingin menjajagi
tataran ilmu mereka, namun mereka benar-benar ingin
melakukan perbandingan ilmu, siapakah y ang terbaik di
antara mereka. Demikianlah, sejenak kemudian maka keduanya mulai
bergerak. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah
mempersiapkan diri. Ketika y ang tertua diatara kedua orang
itu mulai meloncat meny erang, maka Mahisa Murti pun mulai
bergerak pula bukan saja menghindar, tetapi juga mulai
menyerang meskipun terbatas pada sekedar penjajagan.
Semakin lama mereka pun bergerak semakin cepat. Baik
Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat telah mencoba
meningkatkan kecepatan gerak mereka untuk memancing
tingkat kemampuan kedua orang kakak beradik itu.
Tetapi baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat terkejut
ketika mereka mengalami serangan yang bukan saja cepat,
tetapi juga kuat. Ayunan serangan yang menggetarkan udara
sehingga dengan demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
menyadari, bahwa lawannya telah berusaha untuk
menunjukkan bukan saja tataran kemampuan mereka, tetapi
juga tingkat kemampuan dan ilmu mereka dalam olah
kanuragan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih m enganggap hal
itu wajar, karena keduanya ingin menunjukkan segala-galanya
yang mereka miliki. Keduanya agaknya ingin menunjukkan
segenap kemampuan dan ilmu mereka karena mereka merasa
ragu bahwa sekedar mengenal tataran ilmu masih belum
cukup meyakinkan. Dengan demikian, maka baik Mahisa Murti maupun
Mahisa Pukat masih saja memancing agar kedua orang itu
melepaskan landasan ilmu mereka sampai tingkat yang
tertinggi. Namun kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
merasa bahwa serangan-serangan kedua orang itu nampak
semakin keras. Mereka bergerak semakin cepat dan terasa
mereka telah menjadi semakin ber sungguh-sungguh.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih selalu
menyesuaikan diri. Namun akhirnya keduanya menyadari,
bahwa kedua orang itu bukan saja ingin menunjukkan tataran
tertinggi dari kemampuannya, tetapi mereka benar-benar
ingin memperbandingkan ilmu mereka dengan kedua orang
anak muda itu. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, pada usianya
yang masih muda itu telah menjadi cukup dewasa dalam olah
kanuragan. Karena itu, mereka tidak cepat menjadi terbakar
karena tingkah laku kedua orang kakak beradik itu. Bahkan
keduanya berniat untuk melayani mereka sampai ke batas
yang tertinggi dari keduanya.
Namun dengan demikian baik Mahisa Murti maupun
Mahisa Pukat tidak lagi memancing keduanya dengan
meningkatkan ilmu mereka mendahului keduanya. Tetapi
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kemudian cenderung untuk
mengikuti tingkat kemampuan kedua orang kakak beradik itu.
Sebenarnyalah kedua orang itu telah berusaha mengatasi
kemampuan ilmu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mereka
ingin menunjukkan bahwa mereka memiliki kemampuan
untuk tampil sebagaimana kedua orang anak muda yang
mengaku pengembara iu. Seandainya tanpa mereka, kedua
orang itu akan dapat mengatasi orang yang meny ebut dirinya
gegedug dari Bukit Palang itu.
Dengan demikian maka kedua orang itu telah
meningkatkan dan meningkatkan kemampuan mereka
sehingga akhirnya mereka benar-benar telah sampai ke
puncak. Namun keduanya sama sekali tidak berhasil mengatasi
dan apalagi m enguasai kedua orang anak muda pengembara
itu. Bahkan m eskipun keduanya sudah sampai pada tingkat
tertinggi dari kemampuan mereka, kedua anak muda itu
nampaknya masih belum bersungguh-sungguh.
Keringat telah membasahi seluruh tubuh kedua orang
itu. Bukan saja karena mereka telah mengerahkan segenap
tenaga dan kemampuan mereka, tetapi juga karena mereka
merasa gelisah. Mereka m erasa semakin lama justru m enjadi
semakin kecil di hadapan anak-anak muda pengembara yang
masih saja tersenyum-senyum melihat kedua orang itu hampir
kehabisan nafas. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak berniat
untuk berhenti. Mereka pun tidak berusaha untuk
menghentikan perlawanan keduanya dengan seranganserangan
yang langsung mengenai tubuh mereka. Sekali-sekali
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang telah meny entuh
tubuh kedua orang itu. Tetapi tanpa menyakitinya. Mereka
hanya ingin m enunjukkan, bahwa anak-anak muda itu tanpa
mengalami kesulitan dapat mengenai mereka jika
dikehendaki. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kemudian
hanya sekedar menunggu saatnya saja, sampai kapan
keduanya akan menghentikan pertempuran itu.
Untuk beberapa saat kedua orang itu masih bertahan.
Mereka berusaha untuk sekali-sekali dapat mengenai tubuh
anak-anak muda itu. Namun ternyata sulit untuk dapat
berhasil. Bahkan justru anak-anak muda y ang mengaku
pengembara itulah y ang justru semakin sering meny entuh
tubuh mereka. Mahisa Pukat yang agak terlalu keras
mendorong lawannya, telah membuatnya hampir saja jatuh
terjerembab. Meskipun sentuhan tangan Mahisa Pukat itu
tidak membuatnya kesakitan, tetapi terasa kekuatan yang
sangat besar yang sulit baginya untuk menahannya.
Kedua orang adik bebahu itu semakin lama semakin
menyadari bahwa mereka memang tidak akan dapat
mengimbangi kemampuan kedua orang pengembara itu.
Semakin lama tenaga mereka menjadi semakin susut.
Sementara itu kedua anak muda itu masih saja seakan-akan
sedang bermain-main. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menyadari, bahwa
kedua orang lawannya telah menjadi semakin lemah.
Beberapa saat kemudian mereka berdua akan m enjadi sangat
letih dan akan menghentikan perlawanan mereka.
Baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat sama sekali
tidak m engetrapkan ilmunya untuk menyusut tenaga lawan.
Keduanya bertempur dengan kemampuan wajar mereka.
Namun mereka memang bergerak semakin lama semakin
cepat, sehingga kedua orang adik bebahu itu pun telah
meningkatkan kecepatan geraknya pula. Namun dengan
demikian maka keduanya pun semakin cepat menjadi letih
dan akhirnya keduanya tidak lagi mampu melawan lagi. Nafas
mereka menjadi tersengal-sengal dan tulang-tulang mereka
bagaikan telah kehilangan tenaga.
Lawan Mahisa Murti lah y ang lebih dahulu kehabisan
tenaga dan menghentikan perlawanannya. Baru kemudian
adiknya -pun telah menjadi semakin terengah-engah.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tersenyum melihat
kedua orang itu kelelahan. Dengan nada rendah Mahisa Murti
berkata, "Nah, sudah letih?"
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Ia berusaha
untuk mengatur pernafasannya. Sambil berpaling kepada
adiknya ia berkata, "Nafasku hampir putus. Aku tidak mengira
bahwa ilmuku tidak ada sehitam kukumu. Aku kira, bahwa aku
akan mampu setidak-tidaknya mendekati kemampuanmu.
Namun ternyata bahwa aku belum apa-apa di hadapmu."
"Ah, jangan terlalu m emuji. Kita memang hanya ingin
menjajagi tingkat kemampuan kita. Dengan demikian m aka
kita akan dapat merencanakan, apa yang sebaiknya harus
kalian lakukan sepeninggal kami," berkata Mahisa Murti.
Kedua orang itu mengangguk-angguk. Namun y ang
muda di antara mereka bertanya, "Ada sesuatu yang tidak aku
mengerti. Apakah orang-orang dari Bukit Palang itu tidak
lebih dari kami berdua, sehingga mereka pun telah kehilangan
kemampuan dan kekuatan untuk melawan. Mereka
nampaknya juga kehabisan tenaga sehingga gegedug dari
Bukit Palang itu seakan-akan untuk melangkahpun tidak lagi
dapat dilakukannya."
"Tidak," Mahisa Murti menggeleng, "orang itu m emiliki
ilmu yang tinggi. Yang tidak akan mudah dapat kalian lawan
meskipun dengan sekelompok orang sekalipun."
"Tetapi bukankah mereka juga menjadi letih dan
nafasnya hampir terputus?" bertanya yang muda di antara
kedua orang itu. "Tetapi bukan karena ia tidak berilmu. Jika ia m enjadi


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kelelahan dan tidak berdaya, itu karena ada sebab yang lain,"
jawab Mahisa Murti. "Jadi kenapa?" bertanya y ang tua.
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, "Sudahlah. Kau tidak
perlu memikirkannya. Kau tidak dapat mengerti. Yang
penting, apa yang sebaiknya kalian lakukan. Besok kami akan
meninggalkan padukuhan ini."
"Tetapi kenapa kita tidak membinasakan orang-orang
Bukit Palang itu" Bukankah dengan demikian kekuatan
mereka akan berkurang?" bertanya salah seorang dari kedua
orang itu. "Bukankah Ki Bekel sudah memberikan penjelasan" Kita
tidak membakar dendam dihati orang-orang Bukit Palang, jika
mereka mendendam, maka akibatnya akan parah," berkata
Mahisa Murti. "Tetapi kekuatan mereka telah jauh berkurang," berkata
yang muda dari antara kedua orang itu.
"Jika dendam itu membakar sisa -sisa orang-orang Bukit
Palang, m aka m ereka tidak akan segan-segan minta bantuan
kepada gerombolan -gerombolan y ang lain. Mereka akan
datang dalam jumlah yang besar sehingga tidak terlawan oleh
orang-orang padukuhan ini. Tetapi y ang kita lakukan adalah
lain. Bagaimanapun juga tentu masih ada sisa-sisa perasaan di
dalam dada orang-orang Bukit Palang itu. Mereka sadari, jika
kita ingin m embunuh m ereka, m aka sepuluh orang itu t entu
akan mati. Tetapi kita tidak melakukannya," berkata Mahisa
Murti. "Apakah dengan demikian persoalan dengan Bukit
Palang telah dapat dianggap selesai?" bertanya orang itu.
"Tentu tidak," jawab Mahisa Murti, "itulah y ang akan
kita bicarakan kemudian."
Kedua orang itu mengangguk-angguk. Sementara itu
Mahisa Murti berkata, "Marilah. Kita duduk di pendapa. Kita
akan dapat berbicara dengan tenang."
Demikianlah, Mahisa Murti dan saudara-saudaranya,
termasuk Mahisa Amping serta bebahu dan kedua adiknya
telah berada di pendapa. Namun nenek tua itu pun kemudian
telah memanggil Mahisa Amping untuk membantunya di
dapur. Dengan nada rendah nenek itu bertanya, "Amping,
apakah kau perlu ikut berbincang?"
"Tidak nek, tidak," jawab Mahisa Amping.
"Nah, kau bantu nenek mempersiapkan minuman dan
makanan, y a?" minta nenek itu.
"Ya, ya nek. Aku bantu nenek," jawab Mahisa Amping.
"Bagus," jawab nenek. Lalu katanya, "Nah, kau sekarang
mempersiapkan mangkuk."
Mahisa Amping ternyata cukup cekatan. Ia telah
mempersiapkan mangkuk-mangkuk untuk dihidangkan di
pendapa. Sementara itu di pendapa, Mahisa Murti memberikan
beberapa petunjuk kepada kedua orang adik bebahu itu.
Namun kepada bebahu yang meny ertainya, Mahisa Murti
minta agar hal itu juga disampaikan kepada Ki Bekel.
"Sebelum pergi, aku persilahkan kalian singgah di rumah
Ki Bekel," bekata bebahu itu, "bukankah kalian juga akan
menyerahkan uang y ang masih dititipkan di sini?"
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun
katanya kemudian, "Baiklah, aku Akan bertemu dengan Ki
Bekel sebelum aku meninggalkan rumah ini. Ki Bekel memang
masih harus memikirkan uang itu sejalan dengan pesan-pesan
yang aku berikan kepada kedua adik Ki Sanak."
"Aku akan menyampaikannya kepada Ki Bekel. Namun
sekarang, kalian dapat memberikan petunjuk-petunjuk, apa
yang sebaiknya harus dilakukan oleh kedua adikku," berkata
bebahu itu. Mahisa Murti mengangguk-angguk. Lalu katanya,
"Semuanya tidak akan dapat dilakukan oleh kedua orang
tanpa bantuan orang lain. Yang harus kalian lakukan adalah
menghimpun kekuatan yang ada di padukuhan ini. Kau harus
memilih m enurut tataran kemampuan dan umur. Kau harus
mengumpulkan semua laki -laki di padukuhan ini."
" Itu wewenang Ki Bekel," berkata bebahu itu.
"Karena itu harus ada limpahan wewenang. Tanpa
limpahan wewenang maka semuanya harus dilakukan oleh Ki
Bekel. Betapapun besar kemauan Ki Bekel untuk
melakukannya, namun tentu ia memiliki k eterbatasan," sahut
Mahisa Murti. Bebahu itu m engangguk-angguk. Namun ia pun masih
bergumam, "Sebaiknya kalianlah yang menyampaikannya.
Mudah-mudahan tidak terjadi salah paham."
"Tentu tidak," jawab Mahisa Murti, "menurut
penglihatanku, Ki Bekel termasuk orang y ang berhati longgar.
Ia tidak memegang satu pilihan tanpa pertimbangan."
Bebahu itu mengangguk-angguk. Katanya, "Kami,
penghuni padukuhan ini pun berpendapat demikian. Namun
sekali-sekali Ki Bekel juga bertindak keras sehingga sulit untuk
dipahami." "Baiklah, aku akan berbicara dengan Ki Bekel," jawab
Mahisa Murti. Lalu katanya pula, "tetapi baiklah kau
memberikan beberapa pesan kepada kedua orang ini."
"Silahkan," sahut bebahu itu.
Mahisa Murti pun telah memberikan beberapa petunjuk
yang dapat dilakukan oleh kedua orang itu. Mereka akan
diusulkan, disamping Ki Bekel dan para bebahu, untuk
mendapat kesempatan meny iapkan anak-anak muda
padukuhan itu untuk jangka panjang.
"Padukuhan ini akan menjadi padukuhan y ang paling
kaya di sekitar daerah ini. Banjarnya akan menjadi banjar yang
paling baik. Kemudian jaringan parit-parit, bendunganbendungan
dan jembatan-jembatan. Uang y ang ada dapat
memacu kerja keras para penghuni padukuhan ini. Bukan
sebaliknya, uang itu ju stru akan menjadi rebutan. Tetapi
memancing pengumpulan uang lebih banyak lagi dari para
penghuni padukuhan ini, sehingga akan menjadikan
padukuhan ini lain dari sebelumnya dalam arti y ang baik. Baik
bentuknya dan baik isinya."
Bebahu dan kedua adiknya itu mengangguk-angguk.
Tetapi Mahisa Murti berkata selanjutnya, "Namun hal itu akan
dapat m engundang kesulitan. Iri hati atau bahkan mungkin
usaha untuk menguasai harta benda y ang ada di padukuhan
ini." Mahisa Murti berhenti sejenak, lalu, "Karena itu, m aka
anak-anak muda di padukuhan ini perlu dipersiapkan. T entu
sa ja sejauh dapat kalian lakukan. Namun sudah tentu dengan
kerja keras. Kemudian orang-orang y ang lebih tua harus
merupakan bagian y ang berarti pula dalam bidang pengawalan
padukuhan ini. Meskipun terbatas pada dasar -dasarnya saja,
namun mereka perlu mendapat bimbingan cara
mempergunakan senjata. Sedangkan yang lebih tua lagi,
merupakan tenaga suka rela. Mereka y ang memiliki ilmu serba
sedikit, diminta untuk menularkan kepada orang lain dibawah
pengawasan Ki Bekel. Nah, jika demikian, maka Bukit Palang
tidak lagi akan menjadi hantu. Gegedug Bukit Palang yang
berilmu tinggi itu, tentu tidak akan dapat menghindari
sepenuhnya jika ia ia bertempur melawan sepuluh orang
bertombak dan bersama-sama melemparkan lembingnya itu.
Asal orang-orang itu tahu caranya, bagaimana harus
melemparkan lembing. Atau bahkan mungkin anak panah dan
pisau-pisau belati. Tetapi sekali lagi, beri mereka sedikit
pengetahuan tentang penggunaan senjata itu."
Bebahu dan kedua adiknya itu mengangguk-angguk.
Mereka tahu maksud anak-anak muda itu. Karena itu, maka
bebahu itu-pun berkata, " Jika hal seperti ini kau katakan
kepada Ki Bekel, maka ia tentu akan melaksanakannya."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Dengan nada
rendah ia bergumam, "Aku kira aku cukup memberikan
petunjuk dan kalian akan melakukannya termasuk mohon
kepada Ki Bekel kesempatan untuk itu."
"Ah. Tentu berbeda akibatnya jika kalian sendiri y ang
menyampaikannya," berkata bebahu itu.
"Tetapi aku mohon kesediaan adikmu berdua.
Seandainya tidak ada orang lain, apakah berdua mereka
bersedia bekerja keras memberikan tuntunan kepada anakanak
muda di padukuhan ini," bertanya Mahisa Murti.
Sebelum bebahu itu m enjawab, maka kedua orang itu
hampir bersamaan telah menjawab, "Ya. Kami bersedia a sal
anak-anak muda itu bersedia pula."
Mahisa Murti m engangguk-angguk. Katanya, "Baiklah.
Kita akan membicarakan dengan Ki Bekel."
Mahisa Murti pun kemudian minta agar Mahisa Pukat
bersama Mahisa Semu dan Wantilan menjaga uang yang
dititipkan oleh Ki Bekel di rumah itu.
"Aku akan menemui Ki Bekel bersama bebahu dan kedua
adiknya ini," berkata Mahisa Murti kemudian.
Mahisa Pukat m engangguk sambil menjawab, "Baiklah.
Mudah-mudahan kita akan segera mendapat kesempatan
untuk meneruskan perjalanan."
Mahisa Murti tersenyum. Dengan nada rendah ia
menjawab, "Aku juga berharap demikian."
Setelah minta diri kepada nenek pemilik rumah itu,
maka Mahisa Murti bersama bebahu dan kedua adiknya itu
pun telah pergi ke rumah Ki Bekel untuk memberitahukan
rencananya. Ternyata Ki Bekel menjadi sangat t ertarik kepada
rencana itu. Dengan tegas ia berkata, "Aku akan berusaha
sejauh dapat aku lakukan. Padukuhan ini akan menjadi
padukuhan terbaik sehingga memerlukan penjagaan yang
paling kuat. Orang-orang lain akan dapat menjadi dengki dan
iri hati. Apalagi jika kita kemudian menjadikan pasar kecil kita
yang semakin berkembang itu menjadi pasar yang lebih besar.
Dengan memperbaiki jalan-jalan dan jembatan di sekitar
padukuhan ini, maka pasar itu tentu akan cepat menjadi besar.
Untuk itu memang diperlukan pengamanan."
"Ya Ki Bekel," sahut bebahu itu, "padukuhan kita akan
berkembang. Kesejahteraan hidup penghuninya pun akan
berkembang semakin pesat."
"Bagus," jawab Ki Bekel, "kita akan mengatur segala
sesuatunya." Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia pun
kemudian berkata, "Jika demikian, kami telah dapat m ohon
diri untuk meninggalkan padukuhan ini."
"Jangan," jawab Ki Bekel, "kau harus memberikan
latihan-latihan kepada anak-anak muda itu."
Tetapi Mahisa Murti menggeleng. Katanya, "Maaf Ki
Sanak. Kami harus segera berangkat. Di sini sudah ada dua
orang yang akan dapat menuntun anak-anak muda
mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan.
Disamping itu tentu Ki Bekel sendiri dan beberapa orang
bebahu. Bahkan mungkin penghuni padukuhan ini yang
pernah mempelajari olah kanuragan."
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
rendah ia bertanya, "Kenapa anak-anak muda tidak mau
tinggal di padukuhan ini saja daripada mengembara tanpa
tujuan. Bukankah di sini anak-anak muda juga mendapat
kesempatan untuk berbuat kebajikan, karena menurut
pendengaranku kalian sedang melakukan Tapa Ngrame
sebagai satu laku yang harus kalian jalani."
"Ya, Ki Bekel," jawab Mahisa Murti, "kecuali m enjalani
laku dengan Tapa Ngrame, kamipun sebenarnya sedang dalam
perjalanan kembali ke padepokan kami."
Ki Bekel mengangguk-angguk. Agaknya anak-anak muda
yang diwakili oleh Mahisa Murti itu sudah tidak akan dapat
dihentikan lagi. Karena itu, maka Ki Bekel pun berkata, "Jika
demikian, maka aku akan minta kalian menunda satu hari
sa ja. Besok pagi-pagi aku akan mengumpulkan anak-anak
muda. Kalian akan dapat m elihat, kemungkinan y ang dapat
dibangunkan oleh mereka bagi pengamanan padukuhan ini.
Bahkan jika perlu kami dapat mengupah beberapa orang yang
memang memiliki kemampuan untuk ikut menjaga
padukuhan ini." "Ki Bekel agaknya kurang yakin akan kemampuan diri,"
berkata Mahisa Murti, "itu adalah permulaan y ang kurang
baik. Jika Ki Bekel mengupah orang untuk melindungi
padukuhan ini, maka kemungkinan y ang buruk akan dapat
terjadi. Anak-anak muda padukuhan ini, dan bahkan juga para
bebahu menjadi malas, karena mereka merasa bahwa mereka
telah mendapat perlindungan. Sedangkan kemungkinan buruk
yang lain, justru orang-orang y ang diminta untuk melindungi
padukuhan itulah yang akan menghancurkan padukuhan ini
sendiri tanpa perlawanan. Jika mereka pada suatu saat
didesak oleh nafsu yang tidak t erlawan, maka mereka pun
akan dapat tergelincir ke dalam langkah-langkah y ang buruk."
Ki Bekel m engangguk-angguk, sementara Mahisa Murti
berkata, "Yakinkan diri Ki Bekel sendiri, bahwa padukuhan ini
akan dapat menyelesaikan segala masalahnya sendiri. Sudah
tentu dengan memberikan laporan kepada Ki Buyut serta
mohon perlindungannya secara wajar sesuai dengan tatanan
pemerintahan. Tetapi lebih dari itu, padukuhan ini akan dapat
menyelamatkan dirinya sendiri."
Ki Bekel m engangguk-angguk. Dengan nada rendah ia
berkata, "Kau benar anak muda. Aku kadang-kadang kurang
yakin akan kemampuan diri sendiri. Menghadapi
perkembangan padukuhan ini y ang aku bay angkan akan
terjadi, maka kepercayaanku kembali terguncang."
"Tetapi segala sesuatunya masih belum t erlambat. Ki
Bekel masih dapat memulainya sejak hari ini," berkata Mahisa
Murti. Ki Bekel tersenyum sambil menjawab, "Ya. Ya. Kita akan
memulainya." "Bukankah masih banyak waktu?" bertanya Mahisa
Murti. Tetapi Ki Bekel menjawab, "Tidak. Sebenarnya waktunya
tinggal sedikit. Sepanjang kau sempat tinggal di sini. Setelah
itu, kami akan selalu gelisah selama kami masih belum tegak
benar." " Itu adalah bagian dari ketidak percayaan kepada diri
sendiri, Ki Bekel. Lupakanlah," berkata Mahisa Murti.
"Tetapi kita jangan mengingkari keny ataan," jawab Ki
Bekel, "Jika besok kita baru mulai dengan mengumpulkan
anak-anak muda, apakah itu berarti bahwa kita sudah mampu


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdiri tegak?" Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun katanya, "Ki
Bekel benar. Tetapi masih ada jalan lain. Selama ini, seperti
aku katakan sudah ada beberapa orang y ang pantas
diandalkan. Ki Bekel dan para bebahu. Beberapa orang anak
muda dan bahkan orang-orang tua yang pernah dikenal di
padukuhan ini. Meskipun usianya sudah merambat naik,
tetapi mereka akan dapat memberikan sisa -sisa
pengabdiannya bagi padukuhan ini."
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Sambil
mengangguk-angguk ia berkata, "Ya. y a. Aku mengerti."
"Bukankah Ki Bekel mengenal semua orang di
padukuhan ini?" bertanya Mahisa Murti.
"Ya. Besok aku akan memanggil mereka. Tetapi
permintaanku aku ulangi, kalian jangan pergi sampai
pertemuan itu," minta Ki Bekel.
Mahisa Murti ter senyum sambil mengangguk. Katanya,
"Baiklah Ki Bekel. Aku harus menunda lagi keberangkatanku.
Tetapi tidak lebih dari satu hari."
Demikianlah, maka anak-anak muda pengembara itu,
masih harus menunggu. Mahisa Pukat pun harus bersabar
lagi. Sementara Mahisa Amping justru merasa senang, bahwa
ia masih dapat tinggal bersama nenek yang baik itu sehari lagi.
"Apakah kau akan tinggal di sini saja?" bertanya nenek
itu ketika Mahisa Amping berada di dapur.
Mahisa Amping menggeliat. Katanya, "Sebenarnya aku
senang di sini nek. Tetapi aku tidak dapat berpisah dari
saudara-saudaraku." Nenek itu ter senyum. Sambil mengusap kepala anak itu,
ia berkata, "Kau benar ngger. Kau harus selalu bersama
saudara-saudaramu. Di sini kau akan terlantar. Nenek tidak
akan lama lagi melihat matahari terbit. Jika kau tinggal, maka
tidak akan ada lagi y ang menemanimu."
Mahisa Amping mengerutkan keningnya. Kemudian
katanya, "Tetapi nenek tidak akan segera meninggalkan rumah
ini, padukuhan ini dan para penghuninya."
Nenek itu masih t ersenyum. Sambil m enuang minuman
di mangkuk nenek itu berkata, "Nenek sudah m erasa lapang.
Tidak ada lagi beban y ang terasa di pundak. Semuanya sudah
selesai." Mahisa Amping y ang kecil itu menarik nafas dalamdalam.
Meskipun masih agak kabur, tetapi ia mengerti serba
sedikit jawaban nenek tua itu.
Demikianlah, seperti yang dikatakan oleh Ki Bekel, maka
di padukuhan itu telah diselenggarakan pertemuan antara
beberapa pihak yang mewakili orang-orang tua, orang-orang
muda dan anak-anak muda. Mereka membicarakan tentang
padukuhan mereka di masa mendatang. Bukan saja
bagaimana mereka mengamankan padukuhan mereka, tetapi
apa y ang sebaiknya mereka lakukan dengan modal yang telah
tersedia. Ternyata dalam pertemuan seperti itu Ki Bekel
mendapat banyak bahan y ang akan menjadi bekal langkahlangkahnya.
Kedua orang adik bebahu y ang memiliki
kemampuan olah kanuragan itu telah m endapat tugas untuk
membimbing anak-anak m uda di padukuhan itu dalam olah
kanuragan. Seorang y ang mengaku bekas prajurit, bersedia
memberikan tuntunan kepada orang-orang muda yang
memiliki kemauan dan tenaga yang cukup. Sementara itu Ki
Bekel dan beberapa bebahu akan mengatur segala-galanya
agar rencana itu dapat berlangsung dengan baik. Sementara
tiga orang bebahu mendapat tugas menyusun perencanaan
penggunaan uang y ang telah tersedia.
Hari itu juga, Ki Bekel bersama beberapa orang telah
mendengarkan secara khusus petunjuk-petunjuk Mahisa
Murti dan bahkan kemudian mereka telah menentukan bahwa
pada hari juga dikirim utusan untuk menemui Ki Demang.
Ki Bekel, dua orang bebahu, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah diminta untuk menghadap Ki Demang, dan
menyampaikan segala rencana y ang telah disusun
sebelumnya. Mahisa Murti tidak berkeberatan, a sal semuanya akan
dapat diselesaikan pada hari itu.
"Besok kami sudah meninggalkan padukuhan ini,"
berkata Mahisa Murti. Ki Bekel terseny um. Ia mengerti perasaan Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat yang sudah tertunda-tunda waktunya
berada di padukuhan itu. Karena itu, maka katanya kemudian,
"Kita akan segera berangkat untuk menemui Ki Buyut."
Demikianlah, m aka orang-orang yang telah ditentukan
itu-pun telah pergi ke rumah Ki Buyut yang berada di
padukuhan y ang di antarai oleh beberapa bulak pendek dan
panjang. Namun Ki Bekel dan sekelompok orang yang
menyertainya itu pun telah berjalan denan cepat, sehingga
mereka tidak memerlukan waktu terlalu lama di perjalanan.
Kedatangan Ki Bekel dan beberapa orang itu m emang
mengejutkan Ki Buyut. Dipersilahkan sekelompok orang itu
duduk di pendapa, sementara Ki Buyut berbenah diri. Baru
beberapa saat kemudian, Ki Buyut telah berada di pendapa
pula untuk menemui tamu-tamunya itu.
Nampaknya Ki Buyut adalah orang y ang terbuka dan
berterus terang. Karena itu, maka tidak ada kata-kata yang
melingkar -lingkar. Ki Buyut itu pun langsung bertanya,
"Nampaknya ada keperluan y ang penting Ki Bekel. Begitu tibatiba
Ki Bekel datang di hari y ang bukan hari pertemuan."
Ki Bekel pun langsung ke persoalannya pula. Maka
jawabnya kemudian, "Aku ingin melaporkan satu
perkembangan y ang begitu tiba-tiba saja melonjak di
padukuhan kami Ki Buyut."
"Begitu tergesa -gesa kau sampaikan sehingga tidak sabar
menunggu hari pertemuan?" bertanya Ki Buyut.
"Mungkin begitu, karena menyangkut ketenteraman
hidup orang-orang di padukuhan kami," jawab Ki Bekel.
Ki Demang mengangguk-angguk. Namun kemudian
katanya, "Jika per soalannya penting, biarlah tiga atau ampat
orang bebahu dipanggil. Mungkin mereka akan dapat
memberikan pertimbangan-pertimbangan yang berarti bagi Ki
Bekel. Apakah menurut Ki Bekel perlu?"
"Aku kira ada juga baiknya Ki Buyut," jawab Ki Bekel.
"Nah, jika demikian, tunggulah sebentar. Aku akan
memanggil beberapa orang bebahu yang terdekat saja,"
berkata Ki Buyut. Namun sambil menunggu kehadiran beberapa orang
bebahu yang dipanggilnya, maka Ki Bekel telah
menceriterakan persoalan yang dihadapinya dari awal sampai
saat -saat ia menghadap Ki Buyut.
"Kau beruntung Ki Bekel," berkata Ki Buyut, "jarang,
bahkan tidak ada padukuhan y ang mendapatkan limpahan
benda-benda berharga seperti itu. Apalagi sebuah rumah yang
baik dan besar sehingga akan dapat dipergunakan sebagai
banjar padukuhan. Yang tidak dipunyai oleh padukuhan yang
manapun, karena aku pernah melihat rumah itu pula."
"Ya Ki Buyut. Namun justru karena itu, maka telah
timbul satu masalah. Apalagi ketika ternyata perempuan tua
itu diketahui masih m empunyai beberapa buah benda-benda
berharga, terutama berujud senjata. Keris, luwuk, pedang dan
mata tombak serta bentuk-bentuk pusaka yang lain. Yang
setelah kami jual atas dasar penawaran tertinggi, maka kami
telah mengumpulkan uang cukup banyak untuk membuat
padukuhan kami menjadi padukuhan y ang besar sehingga
kehidupan di dalamnya akan merupakan kehidupan yang baik
dan sejahtera," desis Ki Bekel kemudian.
Ki Buyut pun mengangguk-angguk. Sementaraitu,
beberapa bebahu telah datang pula untuk ikut membicarakan
kemungkinan kemungkinan yang dapat terjadi di padukuhan
yang menjadi cukup kaya itu.
Ki Buyut sempat mengulangi laporan Ki Bekel dengan
singkat. Kemudian memberikan sedikit gambaran tentang
kekay aan yang kemudian ada di padukuhan itu.
Ternyata para bebahu di Kabuyutan juga pernah melihat
rumah yang bagus dan besar itu. Namun mereka mendapatkan
kesan bahwa rumah itu kotor dan tidak terpelihara, sehingga
saat -saat yang jaya bagi rumah itu telah lewat. Namun mereka
tidak pernah mendengar bahwa di dalam rumah itu masih
terdapat benda-benda berharga setelah seisi rumah itu
mendapat kutukan dari ilmu hitam tempat mereka mencari
kekay aan. "Rumah itu masih belum dibersihkan," berkata Ki Bekel,
"masih ada kesan wingit. Tetapi setiap malam anak-anak
muda sudah bermain-main di pendapa rumah itu sebelum
secara resmi dipindahkan dari banjar yang lama ke banjar
yang baru. Rumahitu masih perlu dibersihkan. Ilalang yang
tumbuh liar akan dibabat serta pepohonan di kebunpun akan
dijarangkan sesuai dengan kebutuhan."
"Bagus," berkata Ki Buyut, yang kemudian katanya, "Aku
ikut merasa senang bahwa padukuhan Ki Bekel akan segera
menjadi sebuah padukuhan yang besar."
"Namun demikian, ada per soalan y ang ingin aku
sampaikan k epada Ki Buyut untuk m elengkapi laporan kami
serta, selanjutnya mohon petunjuk dan perlindungan," berkata
Ki Bekel. "Persoalan apa?" bertanya Ki Buyut.
"Justru karena padukuhan kami akan menjadi
padukuhan yang terhitung kaya, maka kami merasa terancam
oleh orang-orang y ang berniat jahat Ki Buyut," ulang Ki Bekel
yang kemudian telah m enceriterakan apa yang telah terjadi.
Namun juga rencana y ang telah disu sun bersama para bebahu
dan anak-anak muda padukuhan.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia
berkata, "Ternyata rencana kalian cukup baik. Kalian akan
berusaha untuk melindungi padukuhan kalian dari
kemungkinan buruk justru karena kalian menemukan
kesempatan untuk berkembang."
"Ya Ki Buyut," jawab Ki Bekel, "namun sebelum kami
memiliki kemampuan untuk dapat melindungi diri sendiri,
maka kami akan mohon dengan sangat perlindungan dari Ki
Buyut atas padukuhan kami. Tetapi bukan berarti bahwa kami
akan berpangku tangan sambil menikmati keberuntungan
yang kami dapatkan itu. Kami akan berusaha dalam waktu
yang sesingkat-singkatnya untuk dapat menjaga diri sendiri."
Ki Buyut mengangguk-angguk. Sambil tersenyum ia
berkata, "Tentu. Kami tidak akan berkeberatan. Aku akan
mengirimkan ampat orang pengawal setiap malam ke
padukuhanmu. Meskipun hanya ampat, namun bersama-sama
dengan orang-orang padukuhanmu akan dapat tersusun
kekuatan y ang akan dapat menjadi pelindung bagi padukuhan
Ki Bekel." "Terima kasih Ki Buyut," jawab Ki Bekel sambil
mengangguk-angguk, " sementara itu, kami akan menyusun
kekuatan untuk melindungi diri sendiri."
"Biarlah sejak nanti malam aku akan mengirimkan
ampat orang pengawal," berkata Ki Buyut.
Namun tiba -tiba salah seorang bebahu telah memotong,
"Ki Buyut. Jika Ki Buyut berkenan, aku ingin menyatakan satu
pendapat." "Katakan," sahut Ki Buyut.
"Kekay aan y ang ada di padukuhan itu sebenarnya tidak
seimbang dengan kemampuan padukuhan itu untuk
melindunginya. Karena itu, maka aku ingin mengusulkan, agar
rumah dan segala isinya itu, diambil alih saja oleh Kabuyutan.
Bukankah padukuhan itu juga merupakan bagian dari sebuah
Kabuyutan" Adalah tidak masuk akal bahwa banjar
padukuhan akan lebih baik dan lebih besar dari banjar
Kabuyutan. Karena itu, maka aku mohon Ki Buyut
mempertimbangkan sebuah kemungkinan, bahwa rumah itu
dengan segala isinya harus diserahkan kepada Kabuyutan.
Penggunaannyapun akan menjadi lebih luas. Demikian pula
uang hasil penjualan pusaka-pusaka itu akan lebih bermanfaat
jika dipergunakan untuk membangun seluruh Kabuyutan
daripada hanya sebuah padukuhan," berkata bebahu itu.
Ki Buyut termangu -mangu sejenak. Sementara itu wajah
Ki Bekel nampak menjadi tegang.
Namun ternyata Ki Buyut pun kemudian berkata dengan
nada rendah, "Tidak selalu bahwa apa y ang diperuntukkan
bagi Kabuyutan harus lebih baik dan lebih besar dari milik
padukuhan. Karena itu, tidak apa jika banjar desa sebuah
padukuhan ternyata lebih besar dari banjar Kabuyutan."
"Tetapi seandainya Ki Buyut minta Ki Bekel
menyerahkanrumah itu dengan segala isinya adalah wajar.
Kecuali jika padukuhan itu berada diluar Kabuyutan ini, maka
kita tidak berhak untuk berbuat sesuatu. Tetapi selama
padukuhan itu berada di daerah kabuyutan, maka padukuhan
itu harus tunduk kepada keputusan Kabuyutan," berkata
bebahu itu. Bahkan bebahu yang lain pun berkata, "Aku sependapat
Ki Buyut. Padukuhan itu harus menunjukkan kesetiaannya
sebagai warga dari keluarga besar Kabuyutan ini.
Padukuhannya tidak boleh mementingkan dirinya sendiri.
Bahkan minta perlindungan dari Kabuyutan."
"Bukankah y ang diminta itu wajar" Kita memang harus
melindungi padukuhan y ang memerlukan perlindungan.
Bukan sebaliknya kita berbuat sewenang-wenang karena
kebetulan kita memegang kekuasaan. Lagi pula kita tidak akan
dapat memindahkan rumah sekaligus halamannya y ang luas
itu ke padukuhan induk ini. Adalah tidak pantas pula jika
banjar Kabuyutan t erletak tidak di padukuhan induk," jawab
Ki Buyut. "Tidak apa-apa Ki Buyut," sahut bebahu itu, "di
padukuhan induk ini akan memiliki banjar padukuhan.
Sementara banjar Kabuyutan terletak di padukuhan lain a sal
masih berada di Kabuyutan ini."
"Tidak," jawab Ki Buyut, "aku tidak sependapat. Biarlah
banjar Kabuyutan kita tetap banjar yang lama, yang sudah
cukup luas dan cukup baik. Sedangkan rumah hantu itu akan
menjadi banjar padukuhan. Biarlah orang-orang padukuhan
memeliharanya dan jika mampu mengembangkannya lagi.
Apa salahnya. Juga kemungkinan-kemungkinan y ang lain
yang dapat diterapkan pada banjar padukuhan itu."
Namun bebahu y ang seorang lagi tiba -tiba berkata,
"Seandainya kita berpegang kepada pendapat Ki Buyut bahwa


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak sepantasnya banjar Kabuyutan tidak berada di
Kabuyutan induk, lalu bagaimana dengan uang hasil penjualan
pusaka-pusaka atas dasar penawaran tertinggi itu."
"Hasilny a adalah hak padukuhan," jawab Ki Buyut.
"Kita dapat berpikir lain," jawab bebahu itu, "kita
memang tidak akan mungkin memindahkan rumah dan
halaman rumah hantu itu kemari. Tetapi uang sebagai hasil
penjualan isi dari rumah itu akan dapat kita anggap milik
Kabuyutan. Dengan demikian maka rencana
penggunaannyapun akan ditentukan oleh Kabuyutan. Bukan
padukuhan. Dengan demikian nampaknya sudah menjadi adil.
Bentuk kewadagan rumah itu akan tetap berada dipadukuhan,
tetapi uang hasil penjualan pusaka-pusaka atas dasar
penawaran tertinggi itu akan menjadi milik Kabuyutan."
Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Nampak
kebimbangan mulai membayang di wajahnya. Namun
kemudian ia berkata, "Biarlah semuanya diatur oleh
padukuhan itu sendiri."
" Itu tidak adil," desis bebahu yang lain, "padukuhan itu
merupakan bagian dari Kabuyutan. Kabuyutan memiliki
kewenangan lebih tinggi dari padukuhan. Kabuyutan dapat
mengatur segala sesuatu y ang ada di dalam Kabuyutan,
termasuk yang berada di padukuhan-padukuhan."
Ki Buyut tidak segera menjawab. Ia memang menjadi
bimbang. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti pun berkata, "Ki
Buyut. Mohon maaf jika aku ikut memberikan sedikit
penjelasan. Rumah dan beberapa buah pusaka itu adalah
sebuah pemberian. Seseorang memberikan haknya kepada
padukuhannya. Karena itu, maka kita pun harus menghormati
orang mempunyai hak itu. Bukankah nenek tua itu
mempunyai hak untuk memberikan kepada siapa saja sesuai
dengan kehendaknya."
"Tetapi ia adalah penghuni Kabuyutan ini," jawab
bebahu itu. "Bagaimana sikap Ki Sanak jika rumah dan benda-benda
berharga itu diberikan kepada seseorang" Apalagi jika
seseorang itu penghuni Kabuyutan ini" Apakah Kabuyutan
juga berhak mengambilnya dengan alasan seperti y ang Ki
Sanak katakan?" bertanya Mahisa Murti.
"Kau memang bodoh anak muda," bentak bebahu itu,
"kau t idak dapat membedakan antara pribadi dan sekelompok
orang yang menyusun diri dalam satu himpunan. Dalam hal
ini penghuni padukuhan."
"Ya. Sekelompok orang itu telah mendapat limpahan hak
dari nenek itu. Dan sudah barang tentu nenek tua itu tidak
akan rela jika hak yang dilimpahkan itu harus dipindahkan
meskipun kepada satu lingkungan masy arakat yang lebih
besar," berkata Mahisa Murti.
"Belum tentu," jawab bebahu itu, "itu masih harus
dibuktikan. Tetapi aku yakin bahwa nenek tua itu tentu akan
menjadi lebih berbangga hati jika rumahnya menjadi banjar
Kabuyutan serta uang y ang disumbangkan dapat
dipergunakan dengan kebijak sanaan Kabuyutan."
"Kami tidak yakin," sahut Mahisa Pukat, "jika kalian
berkeras, sebaiknya kalian berbicara langsung dengan nenek
itu. Dengan menghormati haknya, maka kalian tidak dapat
merubah sikapnya dengan paksa."
"Kau jangan m embual," bentak bebahu itu, "sebaiknya
kalian tidak ikut dalam pembicaraan ini. Kalian belum tahu
apa-apa. Barangkali kalian baru pantas untuk berada di gardu
meronda bersama kawan-kawan sebayamu."
Namun yang menjawab adalah Ki Bekel, "Aku membawa
mereka berdua. Mereka berdua adalah penasehat-penasehatku
yang paling aku percaya."
"Kau bermimpi Ki Bekel," geram salah seorang di antara
para bebahu itu, "atau barangkali karena penasehatpenasehatmu
adalah anak-anak ingusan, maka kau tidak lagi
dapat membedakan y ang mana y ang baik bagi Kabuyutan dan
yang mana y ang tidak."
Tetapi para bebahu itu terkejut ketika Ki Buyut berkata,
"Baiklah. Aku ambil semuanya itu bagi Kabuyutan. Namun
kemudian aku serahkan penggunaannya kepada padukuhan
itu." Para bebahu itu hampir ber samaan menjawab, "Itu tidak
adil." Namun Ki Bekelpun berkata, "Aku berkeberatan Ki
Buyut. Jika demikian, maka kami hanya sekedar merawat dan
mempergunakannya, sementara haknya ada di Kabuyutan."
" Itu adalah y ang paling baik y ang dapat aku lakukan
sekarang ini," berkata Ki Buyut.
"Ki Buyut," berkata Ki Bekel, "aku mohon Ki Buyut
menghormati hak orang lain itu. Sebaiknya Ki Buyut berbicara
dengan nenek pemilik rumah itu."
Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku
akan berbicara dengan nenek tua itu."
"Tidak ada gunanya Ki Buyut," berkata salah seorang
bebahu itu, "nenek tua itu tentu sudah ditakut-takuti lebih
dahulu oleh Ki Bekel dan anak-anak muda y ang disebutnya
sebagai penasehatnya itu."
"Jika demikian, m aka pembicaraan ini tentu tidak akan
selesai," berkata Ki Buyut, "karena itu, aku akan bertemu
dengan nenek itu. Aku akan tahu, apakah ia telah ditakuttakuti
atau tidak." "Ki Buyut telah terjebak," desis salah seorang yang lain.
Tetapi Ki Buyut berkata, "besok aku akan datang ke
rumah nenek tua itu. Menjelang tengah hari, aku harap Ki
Bekel sudah berada di rumah itu."
Ki Bekel mengangguk kecil sambil menjawab, "Baik Ki
Buyut. Besok sebelum tengah hari aku sudah berada di rumah
nenek tua itu." Demikianlah, maka Ki Bekel dan orang-orang y ang
menyertainya itu pun telah m ohon diri. Dengan nada rendah
Ki Bekel berkata, "Tetapi sementara itu Ki Buyut, kami t etap
mohon perlindungan sejak malam ini, apapun keputusan Ki
Buyut kemudian." "Baik," jawab Ki Buyut, "aku tetap pada janjiku. Aku
akan mengirim pengawal untuk ikut mengawal kekayaan yang
besar itu. Malam nanti mereka akan berada di rumah nenek
tua itu." Ki Bekel dan beberapa orang yang meny ertainya pun
telah meninggalkan rumah Ki Buyut. Dengan gelisah Ki Bekel
berkata kepada orang-orang yang meny ertainya, "Ki Buyut
memang kurang tegas pada satu sikap. Ia sudah dipengaruhi
oleh orang lain. Kemudian menjadi ragu-ragu atas sikap yang
diambilnya sebelumnya."
"Tetapi ia tidak begitu saja menerima pendapat para
bebahu itu," berkata Mahisa Murti.
"Sikapnya kali ini memang agak baik meskipun
terguncang juga. Kita akan melihat esok. Apakah Ki Buyut
masih seperti Ki Buyut yang sekarang, atau sudah berubah
lagi," berkata Ki Bekel.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sikap Ki
Buyut itu juga berarti keberangkatan mereka akan tertunda
lagi meskipun hanya satu hari.
Dari rumah Ki Buyut Ki Bekel ternyata langsung pergi
kerumah nenek itu. Dengan hati y ang berdebar-debar ia
menceriterakan sikap Ki Buyut dan beberapa orang bebahu
Kabuyutan terhadap rumah dan barang-barang peninggalan
suami nenek tua itu. "Tetapi," berkata nenek tua itu, "aku tidak
memberikannya kepada orang lain. Aku memberikannya
kepada sanak kadang di padukuhan ini. Tetangga-tetangga
yang baik, yang selama ini aku anggap orang asing y ang selalu
memusuhiku. Justru karena itu maka aku meny erahkan
segalanya kepada padukuhan ini."
"Katakan besok kepada Ki Buyut," berkata Ki Bekel, "
tetapi para bebahu itu tentu tidak percaya. Mereka mengira
bahwa aku akan memerintahkan orang-orangku untuk
menakuti-nakuti nenek. Karena itu, terserahlah kepada nenek
untuk mey akinkan Ki Buyut, bahwa segala sesuatunya
memang atas kehendak nenek sendiri."
Nenek itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku
kira segala sesuatunya akan berjalan rancak. Namun ternyata
beberapa kesulitan telah aku alami. Semula orang yang
mengaku pewaris kekayaan yang tertinggal dari suamiku yang
telah meninggal. Kemudian gegedug dari Bukit Palang.
Sekarang, justru Ki Buyut sendiri."
"Sudahlah nek," berkata Mahisa Murti, "jika nenek
bersikap wajar sebagaimana y ang sebenarnya, maka agaknya
Ki Buyut akan mengetahui bahwa nenek tidak berpura -pura,
atau dibawah ancaman siapapun."
Nenek itu mengangguk-angguk. Tetapi katanya, "Aku
tidak terbia sa berhadapan dengan siapapun. Karena itu, aku
akan dapat menjadi gemetar jika aku harus menjawab
pertanyaan-pertanyaan y ang diberikan oleh Ki Buyut."
"Nenek harus t etap tenang. Kami akan mendampingi
nenek," berkata Mahisa Murti.
Nenek itu m emandang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
berganti-ganti. Lalu katanya dengan nada rendah, "Dalam
keadaan seperti ini, kalian memang tidak boleh pergi."
"Kami telah memutuskan untuk menunda
keberangkatan kami nek," sahut Mahisa Pukat.
Nenek itu menjadi sedikit tenang. Namun
bagaimanapun juga ia m erasa gelisah jika harus berhadapan
dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan Ki Buyut dan
beberapa orang bebahu. Tetapi Ki Bekel y ang kemudian minta diri masih juga
berkata, "Kita akan bersikap sejujur-jujurnya nek. Tidak ada
niat dihati kita untuk berbuat curang. Apalagi nenek.
Bukankah semuanya itu milik nenek?"
Nenek tua itu mengangguk-angguk. Sebenarnya ia tidak
ingin terlibat kedalam kesulitan seperti itu. Tetapi ia m emang
tidak akan dapat mengelak.
Karena itu, yang terbaik dilakukan adalah berbuat
sejujur-jujurnya. Nenek itu sudah bertekad untuk
menceritakan apa y ang telah terjadi atas diriny a dari awal sampai akhir.
Ketika lampu-lampu telah m enyala, m aka ampat orang
pengawal memang sudah berada di rumah nenek tua itu.
Mahisa Ampinglah yang kemudian menghidangkan suguhan
bagi mereka. Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
duduk menemui para pengawal Kabuyutan itu.
"Menarik sekali," berkata salah seorang di antara para
pengawal itu. "Apa yang menarik?" bertanya Mahisa Murti.
"Rumah ini. Rumah yang akan menjadi banjar y ang
besar dan bagus. Bahkan terlalu bagus," jawab pengawal itu.
Mahisa Murti mengangguk kecil. Katanya, "Ya. Memang
terlalu bagus." "Kenapa tidak diserahkan saja kepada Ki Buyut y ang
akan mampu memelihara dan merawatnya?" bertanya
pengawal itu. "Tidak," jawab Mahisa Murti, "i si padukuhan ini akan
dapat merawatnya dengan baik."
"Jika demikian, kenapa padukuhan ini harus minta
pengawalan dan perlindungan Ki Buyut?" bertanya pengawal
yang lain. "Bukankah itu wajar sekali," Mahisa Pukat lah y ang
menyahut, "jika tidak kepada Ki Buyut, kepada siapa kita
minta perlindungan."
"Tetapi bukankah banjar ini berlebihan bagi sebuah
padukuhan?" berkata pengawal y ang lain.
Mahisa Pukat menggeleng sambil tersenyum, "tentu
tidak. Banjar ini akan m erupakan wadah dari segala kegiatan
padukuhan ini." Para pengawal itu termangu-mangu sejenak. Mereka
kemudian melihat beberapa orang anak muda yang
berdatangan. Selain anak muda yang memang mendapat
giliran meronda, m aka beberapa orang kawannya telah ikut
pula untuk sekedar duduk-duduk dan berbincang di r egol
halaman rumah yang disiapkan untuk menjadi banjar
padukuhan itu. "Anak-anak muda padukuhan itu merasa ikut
bertanggung jawab atas banjar mereka y ang baru ini," berkata
Mahisa Murti. Pengawal yang nampaknya pemimpin di antara keempat
orang itu berkata, "Mereka ternyata memiliki rasa tanggung
jawab yang besar. Tetapi tanggung jawab saja tidak cukup
untuk memelihara sebuah bangunan y ang baik seperti ini."
"Maksud Ki Sanak?" bertanya Mahisa Murti.
"Mereka harus mampu menjaga dan melindungi
miliknya,"jawab pengawal itu.
"Mereka akan m enjaga dan m elindungi milik mereka,"
jawab Mahisa Murti pula. "Mereka tidak akan mampu. Ternyata mereka
memerlukan kami," berkata pengawal itu.
"Bukankah aku telah mengatakannya, adalah wajar
sekali jika kami mohon perlindungan kepada Ki Buyut," jawab
Mahisa Murti, "tetapi itu hanyalah basa-basi saja."
"Maksudmu?" bertanya orang itu.
"Aku memang orang baru di sini. Tetapi aku mengetahui
banyak tentang mereka," jawab Mahisa Murti.
"Kau jangan membual. Aku lahir di Kabuyutan ini.
Karena itu, aku mengenal sebagian dari mereka. Terutama
anak-anak muda yang memang lahir di sini," jawab pengawal
itu. "Jika demikian, marilah kita duduk-duduk bersama
mereka," ajak Mahisa Murti.
"Nanti dulu," sahut pengawal itu, "aku ingin
penjelasanmu, bahwa perm intaan perlindungan kepada Ki
Buyut itu hanya basa -basi."
Mahisa Murti terseny um. Katanya, "Kami memiliki
kemampuan cukup untuk melindunginya. Ki Bekel telah
melaporkan, bahwa kami telah m engembalikan gegedug dari
Bukit Palang." Pengawal itu tertawa. Katanya, "Satu permainan y ang
tentu mengasyikkan. Gegedug Gunung Palang adalah
sekelompok orang-orang yang kehilangan akal dan
menganggap dirinya memiliki kemampuan y ang tinggi. Jika
benar gegedug itu datang lagi, maka untuk melawan sepuluh


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang kami tidak perlu mengerahkan orang sepadukuhan.
Tetapi kami berempat akan dapat mengusir mereka."
"Tetapi kami memiliki kepercayaan kepada diri sendiri,"
jawab Mahisa Murti. "Sekali lagi aku peringatkan, kau jangan membual,"
geram pengawal itu, "Aku dapat menjadi muak
mendengarnya." "Ah," desis Mahisa Murti, "kau m enjadi cepat marah.
Bukankah kita ingin melihat satu kenyataan?"
"Kau membuat telingaku merah. Tunjukkanlah
kepadaku, anak muda yang manakah yang kau sebut mampu
melindungi banjar ini dari kemungkinan buruk sebagaimana
dapat dilakukan oleh para pengawal," berkata pengawal itu.
Mahisa Murti tertawa. Namun seorang di antara para
pengawal itu membentak, "Kau sangat memuakkan. Apakah
kau m erasa dirimu memiliki kemampuan itu" Jika memang
demikian katakanlah bahwa kau ingin menjajagi kemampuan
kami." "Terbalik Ki Sanak," berkata Mahisa Murti, "bukan kami
yang akan menjajagi kemampuan kalian."
"Bagus," sahut pengawal yang bertubuh tinggi tegap,
"apapun namanya bukan soal bagi kami. Yang penting kalian
dapat membuktikan kata-kata kalian."
"Baiklah. Aku tidak ingin m engganggu anak-anak muda
itu," berkata Mahisa Murti, "karena itu, biar aku sajalah yang
mewakili mereka. Marilah, kita pergi ke kebun belakang, agar
tidak meresahkan anak-anak muda itu, sehingga mereka
melakukan tindakan yang kurang terpuji."
Para pengawal itu tidak menunggu lagi. Kemarahan
telah mencengkam jantung mereka. Anak muda itu telah
merendahkan kemampuan para pengawal yang sudah terlatih
secara khusus untuk menjadi pengawal Kademangan.
Beberapa saat kemudian, para pengawal itu telah berada
di kebun belakang bersama Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan
Mahisa Semu. Sementara Wantilan dan Mahisa Amping
diminta untuk tetap berada di ruang dalam m enemani nenek
tua y ang selalu merasa gelisah karena Ki Buyut akan
menemuinya besok. "Nah," berkata salah seorang pengawal, "siapa di antara
kalian yang akan m enunjukkan kemampuan kalian, sehingga
berani menganggap bahwa perlindungan dari Ki Buyut hanya
sekedar basa-basi?" "Tunjuklah salah seorang di antara kami," berkata
Mahisa Murti, "karena kemampuan kami tidak jauh berbeda."
Pengawal yang bertubuh tinggi tegap maju selangkah
sambil menunjuk kepada Mahisa Murti, "Kau sajalah yang
terlalu banyak bicara. Kau pulalah y ang telah menghina kami."
"Bukan maksud kami menghina," jawab Mahisa Murti.
"Cukup. Kita tidak akan membuang -buang waktu. Rasarasanya
menjajagi kemampuan merupakan sambilan yang
menarik daripada sekedar untuk berjaga-jaga di sini," geram
anak muda y ang bertubuh tinggi tegap itu.
Mahisa Murti pun tersenyum. Agaknya anak m uda itu
terlalu y akin akan dirinya. Di antara anak-anak muda
Kabuyutan, ia memang dianggap anak muda y ang terbaik,
bahkan di antara para pengawal ia termasuk disegani
sebagaimana anak m uda y ang menjadi pemimpin di antara
mereka berempat. Tetapi Mahisa Murti sudah siap untuk menghentikan
kesombongannya. Anak muda yang dianggap pengawal yang
baik itu, agaknya belum banyak mengenal dunia kanuragan di
luar Kabuyutan itu. Meskipun Mahisa Murti sama sekali tidak
merendahkannya, tetapi Mahisa Murti m ampu m enilai sikap,
tingkah laku dan tata gerak anak muda itu, sehingga menurut
penilaian Mahisa Murti, tataran kemampuannya masih berada
dibawah kedua orang anak muda adik bebahu padukuhan itu,
yang telah diserahi oleh Mahisa Murti untuk menuntun anakanak
muda padukuhan itu. "Bersiaplah," berkata pengawal y ang bertubuh tinggi
tegap itu. Lalu, "tetapi jangan salahkan aku jika aku sedikit
lepas kendali. Agaknya m emang sulit untuk terlalu berhatihati
sehingga aku akan dapat mey akinkanmu bahwa kau
terlalu sombong tanpa menyakitimu."
Mahisa Murti masih saja tersenyum. Sinar oncor
dikejauhan masih juga menggapai wajahnya meskipun lemah.
Namun dalam kemerahan bayangan onc or itu, masih nampak
senyum di bibir Mahsia Murti.
Senyum itu m emang terasa m enyakitkan hati. Karena
itu, maka pengawal itu pun mulai bergerak selangkah maju.
Mahisa Murti memang melangkah surut.
Sementara pengawal itu berdesis, "jangan takut. Aku
tidak akan membunuhmu, meskipun sedikit menyakitimu."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak
bergeser lagi ketika lawannya mendekat. Tetapi ia m enunggu
serangan y ang bakal datang. Ia ingin menunjukkan tataran
kemampuan lawannya y ang sebenarnya dalam olah
kanuragan. Karena itu, m aka ketika lawannya itu m eloncat sambil
menjulurkan tangannya Mahisa Murti sama sekali tidak
menghindar. Ia menahan serangan itu dengan telapak
tangannya. Pengawal itu menjadi sangat terkejut. Ia memang belum
mengerahkan segenap kekuatannya, karena maksudnya ia
baru sekedar m emancing perlawanan Mahisa Murti. Namun
ternyata tangannya itu bagaikan membentur sebatang pokok
kayu. Tetapi pengawal itu segera meny embuny ikan
keheranannya. Bahkan tangannya y ang terasa sakit. Dengan
mengerahkan kekuatan y ang lebih besar, maka pengawal itu
ingin segera membuktikan bahwa ia jauh lebih baik dari
Mahisa Murti y ang dianggapnya terlalu sombong itu.
Dengan cepat pengawal itu meloncat dan langsung
menyerang dada Mahisa Murti dengan kakinya.
Sekali lagi Mahisa Murti menunggu. Ia tidak
menghindar. Tetapi ia melindungi dadanya dengan
menyilangkan kedua tangannya.
Dan sekali lagi serangan itu bagaikan membentur pokok
sebatang pohon raksa sa y ang sama sekali tidak terguncang
oleh serangannya. Benturan y ang terjadi justru telah
mendorongnya beberapa langkah surut. Hampir saja pengawal
itu kehilangan keseimbangannya.
Kemarahan pengawal itu pun telah memuncak sampai
ke ubun-ubun. Ia tidak mau kehilangan kewibawaannya
sebagai seorang pengawal. Apalagi lawannya itu pun m asih
belum lebih tua dari padanya.
Dengan demikian, maka pengawal itu benar-benar telah
mengerahkan segenap kemampuannya. Ia ingin melemparkan
anak muda yang dinilainya sangat sombong, tanpa berusaha
menghindar, justru membentur serangannya.
Anak muda itu telah mempersiapkan diri sebaikbaiknya.
Dengan sepenuh tenaga ia meloncat sambil
menjulurkan tangannya menyerang ke arah kening.
Mahisa Murti ternyata juga berniat untuk segera
mengakhiri pertempuran, agar anak muda itu menyadari,
sampai di mana tataran kemampuannya. Sehingga karena itu,
ketika tangan anak muda itu terayun, Mahisa Murti
merendahkan kepalanya sehingga ayunan serangan y ang deras
itu tidak meny entuhnya. Namun demikian tangan itu lewat,
maka dengan cepat, Mahisa Murti telah menangkap pada
pergelangan tangannya. Yang dilakukan Mahisa Murti kemudian adalah diluar
kuasa pengawal itu untuk mencegah. Tangan itu tiba -tiba saja
telah terpilin di punggungnya. Ketika Mahisa Murti m enekan
tangan itu, serta pundak kirinya, maka pengawal itu
menyeringai menahan sakit.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya
dengan nada rendah, "Nah, apakah penjajagan ini sudah
selesai." "Gila kau. Kau curang," geram anak muda itu.
"Kenapa aku curang?" bertanya Mahisa Murti, "apakah
ada y ang tidak sewajarnya yang aku lakukan?"
"Kau memanfaatkan satu kebetulan," berkata
pengawalitu. "Apa y ang kebetulan m enurut pendapatmu?" bertanya
Mahisa Murti. "Persetan. Lepa skan, kita akan mulai lagi. Kau tidak
akan dapat mencurangiku lagi," geram pengawal itu pula.
Mahisa Murti termangu -mangu sejenak. Namun ia pun
kemudian berkata, " Baiklah. Kita akan mulai dari permulaan
lagi." Mahisa Murti telah melepaskan tangan pengawal itu.
Selangkah Mahisa Murti mundur. Sementara itu, pengawal itu
pun telah mengibaskan tangannya y ang terasa agak sakit.
"Nah, silahkan," berkata Mahisa Murti, "kita akan mulai
sejak permulaan." "Bagus," geram pengawal itu sambil sekali lagi
mengibaskan tangannya y ang dipilin oleh Mahisa Murti.
Kemudian katanya, "Bersiaplah. Kau akan tahu siapakah yang
kau hadapi." Mahisa Murti tidak menjawab. Ia pun segera bersiap
untuk menghadapi segala kemungkinan. Bahkan Mahisa Murti
pun sempat menduga bahwa pengawal itu masih m empunyai
ilmu yang belum sempat dipergunakan. Mungkin pengawal itu
terlalu merendahkannya, sehingga tiba -tiba saja ia terkejut
menghadapi satu keny ataan.
Tetapi Mahisa Murti tidak melihat bahwa pengawal itu
memusatkan nalar budiny a untuk menghimpun
kemampuannya dalam ungkapan ilmu.
Meskipun demikian Mahisa Murti masih tetap berhatihati
menghadapi pengawal itu. Sejenak kemudian, maka pengawal itu telah mulai
menyerangnya lagi. Satu sambaran kaki y ang cepat dan keras.
Namun benar-benar hanya tenaga wantahnya.
Mahisa Murti ternyata mulai digelitik lagi oleh
keinginannya untuk dengan cepat menundukkan pengawal itu.
Karena itu, maka demikian kaki itu terjulur, Mahisa Murti
dengan cepat telah bergeser. Dengan cepat pula ia telah
menangkap kaki itu dan mengangkatnya. Dengan satu gerakan
yang sederhana kakinya Mahisa Murti menyentuh kaki yang
lain dari pengawal itu. Demikian ia melepaskan tangannya,
maka pengawal itu telah jatuh terbanting di tanah. Namun
pengawal itu tidak membiarkan dirinya terbaring. Dengan
cepat ia meloncat bangkit dan berdiri tegak. Namun Mahisa
Murti bergerak lebih cepat lagi. Sebelum pengawal itu
menydari keadaannya, maka kedua tangan Mahisa Murti telah
membelit dibawah kedua lengannya dan kemudian
menelungkup di belakang tengkuknya.
Kepala pengawal itu tertunduk. Tangan di tengkuknya
itu menekan keras, sementara kedua tangan pengawal itu
seakan-akan telah terangkat.
Pengawal itu sama sekali tidak mampu lagi berbuat
sesuatu. Sementara tangan Mahisa Murti menekan
tengkuknya, Mahisa Murti itu pun bertanya, "Bagaimana
menurut pendapatmu" Apakah juga satu kebetulan, atau
kecurangan atau apa?"
Pengawal itu menggeram. Tetapi Mahisa Murti y ang
sudah jemu bermain-main itu berkata, "Katakan, apakah kita
akan mulai lagi dari permulaan?"
Pengawal itu tidak menjawab. Tetapi ketika Mahisa
Murti menekan tengkuknya lebih keras, maka pengawal itu
telah mengaduh tertahan. Semula Mahisa Murti ingin memaksa pengawal itu
mengakui kekalahannya. Tetapi niatnya diurungkan.
Demikian pengawal itu mengaduh, m aka Mahisa Murti pun
segera melepaskannya. Pengawal itu hampir jatuh terjerembab. Tetapi ia tidak
dapat ingkar lagi dari keny ataan, bahwa ia telah ternyata tidak
berday a sama sekali di hadapan anak muda padukuhan itu.
Dua kali ia mencoba melawannya. Namun dua kali pula ia
dikuasainya. Begitu cepatnya dan sama sekali t idak sempat
melakukan perlawanan yang berarti.
Namun kawannya telah menggeram. Orang y ang
dianggap memimpin ketiga kawannya yang lain itu pun
kemudian melangkah maju sambil berkata, "Aku tidak
mengerti apa y ang telah terjadi. Tidak lebih dari permainan
sihir y ang memuakkan. Nah, sekarang aku y ang akan mencoba
kemampuan sihirmu itu."
Tetapi Mahisa Murti menjawab, "jangan aku. Pilihlah
saudaraku yang lain. Kami memiliki kemampuan y ang tidak
jauh berbeda. Untuk menilai kemampuan kami, m aka kalian
harusmelakukan penjajagan dari lebih seorang saja."
Pengawal itu menggeram. Namun Mahisa Pukat telah melangkah maju sambil
berkata, "Aku menawarkan diri. Aku juga dapat m eny ihirmu
sehingga kau harus meny erah kepadaku sebagaimana
kawanmu itu." "Tutup mulutmu," geram pengawal itu, "kau tidak akan
mampu mengalahkan aku dengan sihirmu."
Mahisa Pukat tertawa. Katanya, "Persoalannya bukan
permainan sihir. Tetapi siapakah di antara kita yang memiliki
kemampuan lebih tinggi. Bukankah sejak semula kau ingin
men-jajagi kami, karena kami terlanjur mengatakan bahwa
permohonan kami perlindungan kepada Ki Buyut hanya basabasi?"
"Cukup," geram pengawal itu, "bersiaplah. Aku akan
mulai." "Tunggu," berkata Mahisa Pukat, "agar salah seorang di
antara kita tidak dituduh curang, sihir atau kebetulan atau
alasan lain, kita akan mulai setelah hitungan ketiga. Biarlah
salah seorang kawanmu menghitungnya."
Pengawal itu termangu-mangu. Namun ia pun kemudian
berkata kepada seorang kawannya, "Hitung sampai tiga."
Kawannya itu memang menjadi ragu -ragu. Namun
kemudian ia pun mulai menghitung, "satu, dua, tiga."
Pengawal itu segera bergeser. Ia telah siap untuk
meloncat meny erang. Serangan yang dianggapnya langsung
melumpuhkan perlawanannya.
Namun dengan tidak disangka-sangka, Mahisa Pukat
telah meloncat begitu cepatnya. Tangannya yang terbuka telah
mendorong dada pengawal itu dengan kuat, sehingga ia pun


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah jatuh terlentang. Serangan itu memang tidak menyakitinya. Tetapi
mengejutkannya. Karena itu, dengan serta merta ia telah
meloncat bangkit. Tetapi demikian ia tegak, maka serangan
Mahisa Pukat telah datang lagi. Dor ongan yang kuat dari
samping pada pundaknya, sehingga pengawal itu pun telah
terhuyung-huyung. Beberapa saat ia mencoba bertahan. Tetapi
akhirnya ia terjatuh juga.
Pengawal itu m enggeram. Ia tidak ingin hal itu terulang
lagi. Karena itu, m aka ia tidak dengan serta merta meloncat
bangkit, tetapi ia menunggu beberapa saat.
Kemarahan pengawal itu menyala sampai ke ujung
rambutnya ketika ia melihat Mahisa Pukat berdiri di dekatnya,
sehingga tumitnya hampir saja menginjak hidungnya.
Namun hal itu dianggapnya sebagai satu kesempatan.
Dengan sekuat tenaganya pengawal itu telah berusaha
menyapu kaki Mahisa Pukat. Sambil bergeser agar ia
mendapat kesempatan y ang baik, maka kakinya telah
menghantam ke arah kaki Mahisa Pukat. Jika pengawal itu
berhasil, maka Mahisa Pukat lah y ang akan terjatuh,
sementara ia akan dapat lebih dahulu meloncat bangkit dan
mempergunakan setiap kesempatan untuk menjatuhkan
lawannya itu. Tetapi pengawal itu terkejut bukan buatan. Sapuan
kakinya sama sekali tidak m enyentuh apapun juga. Ternyata
dengan gerak y ang sederhana Mahisa Pukat berhasil
menghindari sapuan kaki pengawal itu. Dengan meloncat
kecil, maka sapuan kaki itu lewat dibawah telapak kakinya
tanpa meny entuhnya. Bahkan tiba -tiba saja Mahisa Pukat
justeru telah menekan kakinya dengan telapak kakinya pula.
Pengawal itu ternyata mengalami kesulitan untuk
melepaskan tekanan kaki Mahisa Pukat. Ketika ia mencoba
mengungkitnya, maka justru kakinya menjadi semakin sakit.
"Nah," berkata Mahisa Pukat, "apakah kita akan mulai
lagi dari permulaan" Kebetulan atau sihir atau apa lagi?"
Pengawal itu menggeram. Namun ia memang sudah
tidak dapat berbuat sesuatu. Jika Mahisa Pukat menghendaki,
maka kedua tangannya akan dapat meny erangnya. Tetapi
Mahisa Pukat tidak melakukannya. Ia hanya bertanya saja
kepada pengawal itu, apakah y ang dikehendaki.
Untuk beberapa saat pengawal itu tidak menjawab.
Tetapi tekanan telapan kaki Mahisa Pukat menjadi semakin
keras sehingga pengawal itu harus mengaduh.
Namun akhirnya Mahisa Pukat tidak menunggu
pengawal itu menjawab. Ia pun kemudian telah melepaskan
kaki itu dan bergeser menjauh.
Pengawal itu pun kemudian telah tertatih-tatih berdiri.
Namun Mahisa Pukat tidak bertanya lagi. Ia tahu bahwa
pengawal itu tentu akan berusaha untuk tetap
mempertahankan harga dirinya.
Namun Mahisa Murti lah yang kemudian bertanya,
"Apakah masih ada permainan lagi. Ma sih ada seorang di sini
yang belum mendapat kesempatan. Bahkan jika perlu, aku
akan mengundang seorang lagi, sehingga semuanya akan
mendapat kesempatan."
Untuk beberapa saat para pengawal itu termangumangu.
Mahisa Semu telah bersiap-siap jika saja ia mendapat
tantangan. Meskipun ia tidak akan dapat dengan mudah
mengalahkan pengawal-pengawal itu sebagaimana dilakukan
oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, namun ia pun merasaa
bahwa ia akan dapat menang atas pengawal-pengawal itu
dengan cepat. Tetapi setelah sempat merenung sejenak, pemimpin
pengawal itu berkata, "Tidak. Permainan ini sudah selesai."
"Baiklah," berkata Mahisa Murti, "jika demikian, kita
dapat duduk di serambi. Kita memang tidak perlu tergesa -gesa
bergabung dengan anak-anak muda y ang bertugas meronda
itu." Para pengawal itu tidak menjawab. Mereka pun
kemudian telah pergi ke serambi. Sementara Mahisa Pukat
minta Mahisa Amping untuk menghidangkan m inuman bagi
mereka. Sambil minum minuman hangat, maka Mahisa Murti
sempat bertanya, "Apakah kalian mengerti maksud kami"
Bahwa permohonan kami kepada Ki Buyut itu sekedar basabasi?"
Para pengawal itu mengangguk-angguk. Sementara
Mahisa Pukat berkata, "Jika ada di antara para bebahu dan
berhasil mempengaruhi Ki Buyut untuk menjadikan rumah ini
milik Kabuyutan, kau akan dapat m embayangkan akibatnya.
Kita tidak akan bersedia meny erahkannya, sementara
keputusan Ki Buyut harus dilaksanakan. Kau tentu akan dapat
mengurai per soalan yang berkembang selanjutnya. Mungkin
beberapa padukuhan di Kabuyutan ini dapat digerakkan
bersama-sama untuk melaksanakan keputusan Ki Buyut
dengan paksa, sementara anak-anak muda padukuhan ini
mempertanyakannya. Jumlah kalian akan lebih banyak, tetapi
kau akan dapat mengukur perbandingan kemampuan kalian
dengan kami, anak-anak muda Kabuyutan yang kebetulan
tinggal di padukuhan ini."
"Kami dapat mengerti," jawab pemimpin di antara
ampat orang pengawal itu.
"Jika demikian, sampaikan kepada Ki Buyut apa y ang
kalian ketahui untuk kepentingan ketenangan Kabuyutan ini
sendiri," berkata Mahisa Pukat, "sementara itu, Ki Buyut dapat
berbicara langsung dengan nenek yang meny erahkan rumah
ini kepada Ki Bekel dari padukuhan ini."
Para pengawal itu mengangguk-angguk. Ia melihat
kesungguhan pada kata-kata kedua orang anak muda yang
ternyata memiliki kemampuan y ang tinggi itu. Meskipun para
pengawal itu m engerti bahwa tidak banyak anak-anak muda
padukuhan itu y ang m emiliki kemampuan seperti itu, namun
nampaknya mereka akan benar-benar mempertahankan
rumah itu bagi padukuhannya. Rumah y ang memang t erlalu
bagus dan besar. Tetapi karena itu adalah sebuah pemberian,
maka orang-orang padukuhan itu bertekad untuk tidak
melepaskannya. Malam itu, para pengawal itu melihat bahwa anak-anak
muda padukuhan itu telah berkumpul di rumah itu. Bukan
hanya mereka yang mendapat giliran meronda. Tetapi mereka
yang tidak sedang m erodanpun telah ikut pula datang untuk
berjaga-jaga. Meskipun bagi yang tidak bertugas, lewat tengah
malam mereka telah terbaring tidur di pendapa. Tetapi
kehadiran mereka telah ikut membantu agar mereka yang
meronda tidak merasa kesepian berada di pendapa rumah
yang besar itu. Para pengawal Kabuyutan pun telah berada pula di
antara anak-anak muda padukuhan itu. Sebagian terbesar dari
mereka memang sudah saling mengenal meskipun tidak begitu
akrab. Menj elang fajar, m aka para pengawal dari Kademangan
itu telah minta diri. Pemimpin di antara mereka telah berjanji
kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bahwa ia akan
bertemu dengan Ki Buyut langsung dari tugas itu.
Seperti y ang dikatakan, maka keempat orang pengawal
yang pertama kali mendapat tugas untuk melindungi
padukuhan y ang mendapat kesempatan untuk berkembang itu
telah langsung menghadap Ki Buyut. Dengan jujur mereka
menceriterakan apa yang telah mereka alami. Karena itu,
maka mereka pun sependapat dengan Ki Buyut, bahwa
sebaiknya rumah dan apapun yang memang telah diberikan
oleh nenek tua itu kepada padukuhan, biarlah menjadi hak
padukuhan itu. "Jika terjadi kekerasan, maka Kabuyutan ini akan
mengalami kesulitan," berkata pengawal itu.
"Kau tahu pasti?" bertanya Ki Buyut.
"Ya Ki Buyut," jawab pemimpin dari para pengawal itu,
"apapun akhir dari pertentangan yang apalagi dengan
kekerasan itu tentu tidak akan menguntungkan kita semuanya.
Karena itu, maka apa salahnya jika keinginan Ki Bekel itu
dipenuhi. Kabuyutan tidak pernah dirugikan, karena yang
diambil oleh padukuhan itu sejak semula memang bukan milik
Kabuyutan." Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, "Menjelang
matahari naik, para bebahu akan datang untuk berbincangbincang.
Aku juga sudah berjanji untuk menemui perempuan
tua itu. Dengan demikian aku akan mendapatkan satu
keyakinan, apakah rumah dan pusaka-pusaka itu memang
diserahkan atau diambil dengan paksa oleh Ki Bekel dan para
bebahu padukuhan itu."
Pemimpin pengawal itu pun kemudian telah m enyahut,
"Aku juga sempat berbicara dengan nenek tua pemilik rumah
itu, Ki Buyut. Nampaknya nenek itu memang menyerahkannya
dengan ikhlas. Ia berbicara dengan lancar dan tidak dibuatbuat,
bagaimana ia merasa menemukan kembali tetanggatetangganya
y ang hilang. Bagaimana ia merasa hidup lagi
dalam satu pergaulan sesamanya. Karena semula ia merasa
menjadi orang asing di rumahnya sendiri, karena
lingkungannya y ang tidak dikenalnya sama sekali."
Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku
akan mempertimbangkan pendapat kalian."
Sebelum m atahari terbit, maka para pengawal itu telah
meninggalkan rumah Ki Buyut, kembali ke rumah masingmasing.
Seperti y ang dikatakan oleh Ki Buyut, maka ketika
matahari mulai naik, para bebahu pun telah berdatangan di
rumah Ki Buyut. Bukan hanya bebahu yang sehari sebelumnya
sudah ikut berbincang dengan Ki Bekel y ang mendapat
limpahan sebuah rumah y ang besar beserta beberapa buah
pusaka yang berharga itu, karena bahannya memang logam
yang berharga serta permata y ang mahal.
Ternyata bahwa pendapat para bebahu itu pun berbedabeda.
Ada y ang berpendapat, bahwa sebaiknya rumah itu
dibiarkan saja menjadi kebanggaan padukuhan. Namun
beberapa orang bebahu memang telah terpengaruh oleh
pendapat beberapa orang kawan-kawannya yang berniat
mengambil rumah itu. Tetapi ternyata Ki Buyut kemudian berkata, "Aku lebih
condong untuk meny erahkan rumah dengan segala isinya
kepada padukuhan itu jika perempuan tua pemilik rumah itu
memang mengatakan demikian. Aku tidak ingin terjadi
perpecahan di antara para penghuni padukuhan-padukuhan di
Kabuyutan ini. Apalagi per soalannya adalah rumah dan
benda-benda berharga. Seakan-akan orang -orang padukuhan
ini sudah demikian miskinnya sehingga ketika ada seseorang
yang akan meninggalkan harta miliknya semua orang berebut
untuk mewarisi. Bukankah itu sangat memalukan" Jika
didengar oleh Kabuyutan lain, maka dalam pertemuanpertemuan
para Buyut, aku akan menjadi bahan ejekan
kawan-kawan Buyut dan Kabuyutan-Kabuyutan lain."
Namun seseorang di antara para bebahu itu berkata, "Ki
Buyut. Sebaiknya Ki Buyut memperhatikan suara kami. Ki
Buyut jangan mengambil sikap mati seperti itu. Kita berbicara
agar kita mendapatkan keputusan y ang paling baik."
"Aku akan mendengarkannya. Aku memang
memerlukan pendapat-pendapat kalian. Tetapi keputusan
terakhir ada di tanganku," jawab Ki Buyut.
Beberapa orang bebahu memang sependapat dengan Ki
Buyut. Tetapi bebahu y ang menganggap bahwa sebuah
padukuhan mutlak tunduk kepada Kabuyutan tetap pula
pendiriannya. Karena itu maka salah seorang dari mereka
berkata, "Baiklah. Keputusan terakhir memang ada pada Ki
Buyut. Tetapi kita akan mendengar keterangan perempuan tua
itu." "Aku akan menemuinya," berkata Ki Buyut.
"Ki Buyut akan pergi ke rumahnya?" bertanya bebahuitu.
"Ya. Aku sudah berjanji dengan Ki Bekel," jawab Ki
Buyut. "Kenapa Ki Buyut harus pergi k e rumahnya" Kenapa Ki
Buyut tidak memerintahkan saja kepada Ki Bekel untuk
membawa perempuan tua itu kemari?" bertanya bebahu itu.
"Perempuan itu sudah terlalu tua," jawab Ki Buyut,
"biarlah aku y ang leibh m uda datang kepadanya, meskipun
aku-pun sudah terhitung tua."
"Tetapi Ki Buyut berhak m emanggil siapa saja yang Ki
Buyut perlukan dari penghuni Kabuyutan ini," jawab bebahu
itu. "Aku memang berhak memanggil. Setiap orang y ang
tinggal di Kabuyutan ini harus memenuhi panggilanku. Tetapi
kali ini aku memang tidak memanggilnya, sehingga
perempuan tua itu tidak berkewajiban untuk datang
menghadapku," jawab Ki Buyut.
"Untuk menjaga kewibawaan Ki Buyut, sebaiknya Ki
Buyut memanggilnya," berkata bebahu itu.
"Tetapi aku harus menunjukkan sikap hormatku kepada
orang tua. Apalagi orang tua yang sudah berbaik hati
memberikan rumahnya dan segala milik y ang masih ada
padanya, karena kekay aannya y ang lain y ang tidak terhitung
banyaknya, termasuk anak-anaknya sudah ditelan oleh ilmu
hitamnya," berkata Ki Buyut.
Bebahu itu tidak dapat mengatasinya lagi. Namun ia
masih minta kepada Ki Buyut, "Ki Buyut, aku mohon agar aku
diperkenankan ikut bersama Ki Buyut. Aku ingin tahu, apakah
nenek tua itu tidak ditakut-takuti oleh Ki Bekel."
Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Baik. Siapa yang ingin ikut aku, ikutlah."
Beberapa orang bebahu memang menyatakan untuk ikut
serta. Tetapi ada di antara mereka y ang bersikap sebagaimana
sikap Ki Buyut. Sementara itu y ang lain menginginkan agar
apa y ang diserahkan oleh nenek tua itu diambil oleh
Kabuyutan. Sebagaimana y ang telah disepakati, maka menjelang
tengah m alam Ki Buyut telah pergi ke rumah nenek tua itu.
SedangkanKi Bekel telah lebih dahulu datang bersama
beberapa bebahu padukuhan.
Ketika Ki Buyut datang, maka Ki Bekel telah
mempersilahkannya untuk naik ke pendapa.
Mahisa Amping ternyata masih sempat menghidangkan
minuman bagi para tamu dengan mangkuk y ang sengaja telah
dibawa oleh seorang pembantu Ki Bekel, karena di rumah tua
itu tidak tersedia mangkuk minuman cukup banyak.
"Ki Bekel," bertanya Ki Buyut kemudian, "aku datang


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk memenuhi kesepakatan kita kemarin. Aku akan
bertemu dengan perempuan tua pemilik ruamh ini. Aku ingin
berbicara serba sedikit mengenai rumahnya ini."
"Baik Ki Buyut. Aku pun sudah memberitahukan kepada
nenek tua itu, bahwa hari ini Ki Buyut akan menemuinya,"
berkata Ki Bekel. "Dan kau tentu sudah mengancamnya pula," tiba-tiba
sa ja bebahu Kabuyutan yang menginginkan rumah itu menjadi
milik Kabuyutan memotong.
Ki Bekel memandangi orang itu dengan sor ot mata y ang
tajam. Dengan nada rendah ia berkata, "Ki Buyut. Apakah aku
harus melayaninya?" Tetapi Ki Buyut menjawab, "Aku ingin berbicara dengan
perempuan itu." "Baiklah," jawab Ki Bekel. Lalu katanya kepada Mahisa
Murti y ang hadir pula di pendapa itu, "Tolong, panggil
perempuan tua itu." Sejenak kemudian Mahisa Murti sudah menemui nenek
tua itu di ruang tengah. Dengan nada rendah Mahisa Murti
bertanya, "Kau dengar pendapat salah seorang bebahu itu
nek?" Nenek tua itu mengangguk, "Bebahu itu menuduh Ki
Bekel telah mengancam nenek, sehingga jawaban nenek
seolah-olah telah dipersiapkan lebih dahulu," berkata Mahisa
Murti, "karena itu tolong nek, bersikaplah wajar. Jangan
gelisah. Kami ada di sini. Bahkan kami akan berada di
pendapa. Jika terjadi sesuatu, kami tidak akan membiarkan
nenek dalam kesulitan."
Nenek tua itu mengangguk-angguk.
"Bukankah nenek mengerti maksudku?" bertanya
Mahisa Murti. Nenek itu mengangguk-angguk pula.
Demikianlah, sejenak kemudian nenek itu pun telah
berada di pendapa menghadap Ki Buyut. Mahisa Murti,
Mahisa Pukat, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping
telah berada pula di pendapa itu. Bahkan Mahisa Amping
sempat duduk di sebelah nenek tua itu. Justru agak
mendesaknya. Dengan ramah Ki Buyut pun telah menanyakan
keselamatan nenek tua itu, y ang ternyata sikap Ki Buyut itu
dapat sedikit meredakan ketegangan jiwa perempuan tua itu.
Bahkan Ki Buyut memang tidak langsung bertanya
tentang niat perempuan tua itu menyerahkan rumahnya.
Dengan demikian, maka perempuan itu tidak lagi
merasa ragu-ragu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan oleh Ki Buyut. Apalagi setiap kali Ki Buyut
nampak tersenyum dan bahkan tertawa.
Baru ketika Ki Buyut y akin bahwa perempuan tua itu
telah menjadi lebih terbuka, pertanyaannya m ulai mengarah
pada persoalan yang sesungguhnya.
Namun dengan cerdik Ki Buyut memancing jawaban
nenek tua itu sehingga dapat meyakinkan dirinya.
Beberapa orang bebahu yang ikut mendengarkan
pembicaraan itu menjadi tegang. Mereka mengerti bahwa cara
yang paling baik telah dilakukan oleh Ki Buyut. Jawabanjawaban
perempuan itu akan merupakan pernyataan yang
sebenarnya dari niatnya sendiri, karena nenek tua itu tidak
lagi dikekang oleh ketegangan jiwanya.
Ki Buyut sendiri tidak terkejut ketika ia mendengar
jawaban-jawaban nenek tua itu. Juga jawaban atas
pertanyaannya, "Jadi, kepada siapa sebenarnya nenek ingin
menyerahkan rumah nenek?"
Perempuan tua itu m enarik nafas dalam-dalam. Sambil
memandang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, ia menjawab
dengan jujur, "Mulanya aku ingin memberikan warisanku
kepada anak-anak muda itu. Mereka adalah anak-anak yang
baik. Disaat aku sendiri dan merasa a sing dari kehidupan ini,
mereka datang kepadaku. Mengisi kekosongan hatiku dan
dengan kehadirannya di dalam hidupku, maka aku merasa
bahwa aku masih penghuni dunia ini."
"Dengan demikian, maka rumah dan isiny a kelak akan
menjadi milik anak-anak muda itu sepeninggal nenek,"
berkata Ki Buyut. "Tidak. Anak-anak itu telah menghubungkan aku dengan
dunia di sekitarku. Merekalah y ang kemudian menuntun aku
untuk meny erahkan rumah dan segala isinya kepada
lingkunganku. Kepada satu keluarga y ang sebenarnya
merupakan keluarga besar dimana aku berada di dalamnya,"
jawab nenek tua itu. "Siapakah y ang kau maksudkan?" bertanya Ki Buyut.
"Kepada padukuhan ini. Sudah tentu aku tidak dapat
menyerahkan kepada orang -orang yang lewat, orang-orang
yang kemudian telah memasuki duniaku y ang semula kosong
sama sekali, seorang demi seorang. Karena itu, maka aku telah
menyerahkannya kepada orang y ang mampu mewakili seluruh
keluaga padukuhan ini. Ki Bekel," berkata nenek tua itu.
Ki Buyut m engangguk-angguk. Kemudian ia berpaling
kepada para bebahu sambil berkata, "Aku percaya kepada
kata-katanya. Ia mengatakannya dengan jujur."
"Ya," jawab bebahu y ang menginginkan rumah itu
menjadi milik Kabuyutan, meskipun ada unsur pamrih
pribadi. Katanya lebih lanjut, "Namun sebaiknya Ki Buyut
bertanya, apakah nenek itu tidak lebih berbangga jika rumah
dan isinya m enjadi m ilik Kabuyutan serta digunakan untuk
kepentingan Kabuyutan meskipun letaknya dipadukuhan ini,
karena padukuhan ini juga merupakan bagian dari
Kabuyutan." Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun
kemudian berkata, "Nek, kau sudah mendengar sendiri
pertanyaan itu. Bagaimanakah jawabmu atas pertanyaan itu?"
Perempuan itu termungu-mangu sejenak. Ketegangan
jiwanya mulai lagi mencengkamnya. Namun ia masih sempat
menjawab, "Ki Buyut. Aku sudah meny erahkannya kepada Ki
Bekel. Segala sesuatunya ter serah kepada Ki Bekel. Tetapi
bagiku, aku merasa lebih akrab dengan padukuhan ini
daripada dengan seluruh Kabuyutan. Baru saja aku sempat
kembali m emasuki pergaulan hidup wajar di padukuhan ini.
Karena itu, maka sebaiknya aku tidak menyakiti hatinya. Jika
aku mengambil kembali apa y ang sudah aku serahkan."
"Apakah Ki Bekel sudah menakut-nakutimu nek"
Mengancammu" Jangan takut bahwa kau akan mengalami
kesulitan jika kau ambil lagi rumah ini dan kau serahkan
kepada Ki Buyut y ang mempunyai wewenang jauh lebih besar
dari Ki Bekel," berkata bebahu itu.
Nenek tua itu mulai menjadi bingung. Tetapi ia
menjawab, "Segala sesuatunya telah aku serahkan kepada Ki
Bekel. Aku tidak memilikinya lagi."
"Tetapi bukankah rumah ini baru dianggap sah untuk
diwarisi setelah nenek meninggal?" bertanya bebahu itu.
"Tidak. Aku sudah meny erahkannya. Sebenarnya aku
sudah mati sejak beberapa tahun yang lalu. Aku sekarang
sudah tidak memerlukan apa -apa lagi kecuali diakui
kehadiranku di padukuhan ini," berkata nenek tua itu.
"Nah, semuanya sudah jelas," berkata Ki Buyut.
"Belum," jawab bebahu itu, "aku sudah mengatakan,
bahwa sebaiknya Ki Buyut memanggil nenek itu dan berbicara
dengannya tanpa kehadiran Ki Bekel."
"Jadi, j ika bukan Ki Bekel, kitakah yang akan menakutnakutinya?"
bertanya Ki Buyut. Bebahu itu terdiam. Tetapi agaknya masih ada sesuatu
yang tersimpan di dalam hatinya. Ia masih tidak rela jika
rumah itu akan menjadi banjar bagi sebuah padukuhan,
sehingga banjar itu akan menjadi jauh lebih baik dari banjar
Kabuyutan. Demikian pula hasil penjualan benda-benda
berharga itu. Namun bebahu itu tidak dapat mengatasi keputusan
yang sudah ditetapkan oleh Ki Buyut, bahwa nenek tua itu
menyerahkan warisannya kepada Ki Bekel atas nama seluruh
padukuhan. Bahkan hal itu m erupakan rangkaian dari sikap
anak-anak muda yang menurut nenek itu berbuat sangat baik
kepadanya, justru saat ia masih dianggap orang asing.
Karena itu, maka untuk sementara bebahu itu harus
menerima satu kenyataan tentang sikap Ki Buyut.
Demikianlah, m aka sejenak kemudian, maka Ki Buyut
itu-pun telah m inta diri. Ia sudah m erasa meny elesaikan satu
masalah yang rumit justru karena sikap beberapa orang
pembantunya sendiri. Ki Buyut sama sekali sudah tidak memikirkan bahwa hal
itu masih akan berekor lagi.
Tetapi dalam pada itu, bebahu yang menganggap sikap
Ki Buyut itu terlalu lemah, telah berusaha untuk mengambil
jalannya sendiri. Sepeninggal Ki Buyut, maka Ki Bekel pun telah minta
diri. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat juga sudah menyatakan
bahwa mereka besok akan segera berangkat meninggalkan
padukuhan itu. "Bukankah sudah tidak ada masalah lagi Ki Bekel?"
bertanya Mahisa Murti. "Nampaknya semuanya sudah teratasi," berkata Ki
Bekel, "tapi kita masih harus berhati-hati."
"Namun, maaf bahwa kami tidak akan dapat tinggal di
padukuhan ini lebih lama lagi," berkata Mahisa Murti.
0oo0dw0oo0 (Bersambung ke Jilid 84) Conv ert/Pr oofing: Ki Raharga
Rechecking/Editing: Ki Arema
Pdf ebook : HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid 84 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo, Arema
Converter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Pdf ebook : --ooo0dw0ooo- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 084 KI BEKEL manarik nafas dalam-dalam. Namun
katanya, "Apa boleh buat. Sebenarnya kami ingin m enahan
kalian untuk tinggal di sini lebih lama lagi. Tetapi jika kalian
harus melanjutkan perjalanan kalian, maka aku tidak akan
dapat menahan kalian lebih lama lagi."
Demikianlah maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah m enyerahkan segala-galanya kepada Ki Bekel. Sehingga
karena itu, maka bukan saja rumah itu yang akan selalu
mendapat pengawasan anak-anak muda dan perlindungan
oleh pengawal y ang akan dikirim oleh Ki Buyut, tetapi juga
rumah Ki Bekel selalu diawasi oleh para peronda. Bahkan Ki
Bekel minta di setiap malam ada dua atau tiga orang anak
muda yang tidur di rumahnya.
"Setidak-tidaknya kita mendapat kesempatan untuk
membunyikan kentongan," berkata Ki Bekel kepada anak-anak
muda yang diminta untuk bergantian tidur di rumahnya.
Hari itu Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu,
Wantilan dan Mahisa Amping, telah berbenah diri. Besok
mereka akan berangkat pagi-pagi.
Ketika kemudian senja turun, ampat orang pengawal
dari Kabuyutan telah datang pula ke rumah itu. Lebih dahulu
dari anak-anak muda padukuhan itu sendiri.
Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menemui
mereka, maka agaknya mereka telah mendengar apa yang
telah terjadi di rumah itu malam sebelumnya. Ampat orang
pengawal telah menjadi saksi bahwa anak-anak m uda yang
tinggal di rumah nenek tua itu adalah anak-anak muda yang
berilmu tinggi. Karena itu, maka keempat pengawal itu bersikap lain
dengan para pengawal sebelumnya di saat mereka datang.
Para pengawal yang datang kemudian itu telah menunjukkan
sikap yang jauh lebih baik.
Bahkan salah seorang di antara para pengawal itu
berkata kepada Mahisa Murti, "sebenarnya kami ingin berlatih
di sini." Tetapi Mahisa Murti menjawab, "Sayang sekali. Besok
kami akan pergi untuk beberapa lama."
"Besok jika kalian telah kembali," jawab anak muda itu.
Mahisa Murti ter senyum. Jawabnya, "Baiklah. Besok jika
kami kembali." Namun dalam pada itu, tiba -tiba saja seorang anak
muda telah datang dari rumah Ki Bekel dengan membawa
pesan agar Mahisa Murti dan Mahisa Pukat segera datang.
"Ada apa?" bertanya Mahisa Murti.
"Ada tamu di rumah Ki Bekel," jawab anak muda itu.
"Siapa?" bertanya Mahisa Murti.
"Dua orang bebahu Kabuyutan," jawab anak muda itu.
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun
kemudiankatanya, "Baiklah. Kami akan datang."
Maka setelah minta diri kepada Mahisa Semu dan
Wantilan y ang dimintanya mengawasi nenek tua itu serta para
pengawal y ang bertugas, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
pergi ke rumah Ki Bekel. Sebenarnyalah di rumah Ki Bekel terdapat dua orang
tamu bebahu Kabuyutan. "Nah, kita akan m embicarakannya dengan kedua orang
anak muda ini," berkata Ki Bekel.
"Terserah kepada Ki Bekel," jawab bebahu itu, "aku
hanya akan berbicara dengan Ki Bekel saja. Jika Ki Bekel akan


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membicarakan dengan siapapun, itu adalah masalah Ki Bekel
sendiri." "Baiklah," berkata Ki Bekel, "aku akan
membicarakannya dengan anak-anak muda ini."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu.
Mereka merasakan bahwa sesuatu telah terjadi dalam
pembicaraan antara Ki Bekel dan para bebahu itu.
Dalam pada itu, maka Ki Bekelpun berkata, "Anak-anak
muda. Kedua orang bebahu dari Kabuyutan ini berniat untuk
meneruskan maksudnya mempergunakan rumah itu untuk
kepentingan seluruh Kabuyutan serta uang hasil penjualan
benda-benda berharga itu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu.
Dengan nada tinggi Mahisa Murti bertanya, "Bagaimana hal
itu dapat terjadi" Bukankah Ki Buyut sendiri telah
menetapkan, bahwa rumah dan benda-benda berharga itu
dibiarkan untuk dimiliki dan dipergunakan bagi Kabuyutan
ini?" "Soalnya Ki Buyut masih belum jelas duduk
persoalannya. Ketika kami menjelaskannya setelah kami
sampai di Kabuyutan, ternyata Ki Buyut baru menyadari,
bahwa keputusan y ang diambil ternyata keliru. Karena itu,
besok Ki Buyut akan membuat satu pernyataan bahwa ia
merubah keputusannya," berkata kedua orang bebahu itu.
"Keputusan yang sudah diucapkan itu sudah didengar
oleh sekelompok orang y ang bertanggung jawab baik atas
padukuhan ini maupun bagi seluruh Kabuyutan. Karena itu,
maka keputusan itu dianggap akan berlaku dengan kepastian
kuasa Ki Buyut itu sendiri," berkata Mahisa Pukat.
"Tetapi kuasa Ki Buyut pun mampu merubah
keputusannya," berkata bebahu itu.
" Itu tidak wajar," berkata Mahisa Murti, "ada dua
kemungkinan yang terjadi. Ki Buyut kehilangan
kewibawaannya atau karena ancaman. Mungkin bukan nenek
tua itu y ang mendapat tekanan dan ancaman. Tetapi justru Ki
Buyut." "Kau jangan menjadi gila anak m uda," berkata bebahu
itu, "semuanya itu hanyalah sekedar m impi burukmu. Besok
Ki Buyut akan menyatakan keputusannya y ang baru itu."
"Tidak. Bagaimanapun juga Ki Bekel akan
mempertahankannya," berkata Mahisa Pukat.
"Nah," berkata Ki Bekel, "bukankah kalian telah
berbicara langsung dengan anak-anak muda itu" Itu adalah
sikap kami. Sikap padukuhan ini dengan segala isinya. Jelas?"
"Ajari mereka menghormati kuasa Ki Buyut," bentak
bebahu itu. "Jangan membentak-bentak di sini," berkata Ki Bekel,
"ini adalah rumahku."
"Kau dapat memaksa anak-anak muda itu menerima
keputusan Ki Buyut," bebahu itu masih saja bersikap kasar.
"Pulanglah," Ki Bekel pun kemudian juga menjadi kasar,
"aku tidak mau diperlakukan seperti itu."
Kedua bebahu itu memandang Ki Bekel dengan
tajamnya. Dengan keras salah seorang di antara mereka
berkata, "Ingat Ki Bekel. Kuasamu hanya di padukuhan ini.
Sedangkan Kabuyutan tidak hanya terdiri dari satu atau dua
Padukuhan. Karena itu, lakukan perintah Ki Buyut. Serahkan
uang hasil penjualan benda-benda berharga itu kepada kami.
Kau telah lancang melakukannya sebelum Ki Buyut
mengambil keputusan."
"Kalian ini ingin berbicara sebagai bebahu Kabuyutan
atau ingin merampok?" bertanya Ki Bekel.
Tiba-tiba saja salah seorang di antara kedua orang itu
berkata sambil menunjukkan cincin yang dipakainya, "Ini
adalah cincin pertanda kuasa Ki Buyut. Bukankah tanda kuasa
Ki Buyut ini sudah diakui" Karena itu, atas nama kuasa Ki
Buyut, maka lakukan perintahku. Perintah yang aku ucapkan
dengan bertumpu pada pertanda kuasa Ki Buyut adalah sama
dengan perintah Ki Buyut."
Ki Bekel t ermangu-mangu sejenak. Ia m emang melihat
dibawah cahaya lampu minyak, pertanda kuasa Ki Buyut itu
ada pada salah seorang di antara kedua orang bebahu itu.
Namun y ang menjawab adalah Mahisa Pukat, "Kami
tidak peduli atas nama kuasa siapapun juga. Kami menolak
kuasa Ki Buyut yang berujud benda mati itu. Kami lebih
menghargai sikap dan keputusan dari Ki Buyut yang hidup
yang telah diucapkan sendiri siang tadi."
" Itu berarti bahwa kalian telah memberontak terhadap
kekuasaan y ang sah di Kabuyutan ini," berkata bebahu itu.
"Apa pedulimu," jawab Mahisa Pukat y ang tidak sabar
lagi, "kami tidak akan membiarkan dua orang perampok
menguasai harta kekayaan padukuhan ini. Bukan mustahil
bahwa cincin pertanda kuasa Ki Buyut itu pun telah kalian
rampok pula." "Jadi kalian menolak?" bertanya bebahu itu.
"Kami menolak," jawab Mahisa Pukat.
"Aku bertanya kepada Ki Bekel,"geram bebahu itu.
"Aku menolak," jawab Ki Bekel tegas, "kau kira kau
dapat menakut-nakuti kami dengan benda mati itu."
"Setan. Kalian akan meny esal. Kalian tentu tahu
hukuman bagi orang-orang yang memberontak," berkata salah
seorang dari kedua bebahu itu.
Tetapi jawab Ki Bekel, "Kau pun tentu tahu hukuman
bagi para perampok."
Wajah kedua orang bebahu itu m enjadi merah. Dengan
marah keduanya hampir berbareng berkata, "Tutup
mulutmu." Tetapi Ki Bekel berkata lantang, "Tinggalkan rumah ini.
Atau kalian akan kami perlakukan sebagai perampok."
"Baik. Tetapi kau akan menyesal," geram bebahu itu.
Ki Bekel hampir tidak sabar lagi. Tetapi kedua orang
bebahu itu kemudian telah bangkit berdiri dan m eninggalkan
rumah Ki Bekel. Namun dendam benar-benar telah membara
di jantungnya. Rencana pada kedua akan dilakukan karena
rencana tahap pertama ternyata tidak berhasil sama sekali.
Dengan terges-gesa para bebahu itu kembali ke
padukuhan induk. Mereka pun segera m enemui orang-orang
yang mempunyai sikap y ang sama untuk mematangkan
rencana mereka berikutnya esok hari.
"Mereka telah memberontak melawan Ki Buyut. Aku
telah menunjukkan pertanda kuasa Ki Buyut. Tetapi mereka
justru menganggapku sebagai perampok," berkata bebahu itu.
"Ki Bekel menjadi sangat sombong karena ada anakanak
muda yang disebutnya sebagai penasehatnya itu,"
berkata seseorang yang bertubuh tinggi tegap.
"Satu-satunya cara y ang paling baik adalah menuduhnya
telah memberontak," berkata bebahu itu, "dengan demikian,
atas nama Ki Buyut dengan limpahan kuasanya yang dapat
dibuktikan dengan cicinnya, maka kita akan dapat bertindak."
"Kita akan menunggu sampai besok," berkata bebahu
itu, "sementara itu, kita dapat berbicara dengan pemimin
pengawal Kabuyutan. Para pengawal harus dipersiapkan
untuk mengamankan kuasa Ki Buyut."
"Aku akan memanggilnya," berkata bebahu y ang lain.
Sementara itu, beberapa orang telah bersiap-siap untuk
menentukan satu langkah yang harus dilakukan oleh para
pengawal untuk menghukum pemberontakan yang dilakukan
oleh Ki Bekel. Namun, sikap pemimpin pengawal tidak begitu
meyakinkan para bebahu itu. Ketika pemimpin pengawal itu
datang memenuhi panggilan para bebahu, maka ia telah
disertai oleh tiga orang pengawal. Seorang di antara mereka
adalah pengawal y ang malam sebelumnya telah bertugas
melindungi padukuhan yang justru menjadi persoalan itu.
"Kita tidak dapat ingkar dari tugas yang dibebankan oleh
Ki Buyut," berkata bebahu itu.
"Dimana Ki Buyut sekarang?" bertanya pemimpin
pengawal itu. "Ki Buyut sedang terganggu kesehatannya. Kepalanya
pening sehingga ia tidak dapat keluar dari biliknya. Ki Buyut
memang agak terpengaruh oleh keadaan y ang sedang
dihadapinya. Namun setelah segala sesuatunya jelas, maka Ki
Buyut telah bertekad untuk mengambil sikap yang tegas,"
berkata bebahu itu. "Kami telah mengetahui sikap Ki Buyut," berkata
pemimpin pengawal itu. "Tetapi Ki Buyut sudah bertekad mencabut
keputusannya itu dan memberikan keputusan y ang lain. Ki
Buyut telah memberikan cincin ini kepadaku. Dengan
demikian maka kuasa Ki Buyut telah dilimpahkan kepadaku,"
berkata bebahu itu. "Baik. Aku akan mempersiapkan para pengawal. Tetapi
besok aku menunggu perintah langsung dari Ki Buyut,"
berkata pemimpin pengawal itu.
"Besok Ki Buyut akan mengucapkannya langsung
kepadamu jika keadaannya menjadi baik. Sekarang, siapkan
pasukan pengawal Kabuyutan ini," perintah bebahu itu.
Pengawal itu pun kemudian telah minta diri. Katanya,
"Aku akan berada di banjar. Aku akan mengendalikan pasukan
pengawal dari banjar sebelum aku bertemu dengan Ki Buyut."
Bebahu itu tidak menjawab. Sementara itu, pemimpin
pengawal itu telah meninggalkan para bebahu itu untuk pergi
ke banjar. Dalam pada itu, maka beberapa orang y ang secara
khusus telah diatur oleh bebahu itu, berjaga-jaga di rumah Ki
Buyut. Mereka tidak ingin sesuatu terjadi sehingga akan dapat
merubah keadaan. Sementara itu, malam pun telah menjadi semakin
malam. Para bebahu yang letih itu telah mengatur waktu,
kapan mereka harus berjaga-jaga, kapan mereka dapat
beristirahat. Beberapa orang kepercayaan mereka pun telah
ikut pula duduk-duduk di pendapa.
Namun dalam pada itu, dua bay angan hitam telah
bergerak dengan sangat berhati-hati di halaman rumah Ki
Buyut itu. Mereka bergerak dari balik gerumbul-gerumbul
perdu ke balik pepohonan. Semakin lama menjadi semakin
mendekati rumah Ki Buyut dari arah samping.
Ternyata kedua bay angan hitam itu bergerak tanpa
menimbulkan suara apapun juga. Beberapa saat kemudian,
mereka telah berada di longkangan belakang.
Ternyata bagian belakang rumah Ki Buyut itu tidak
mendapat pengawasan khusus. Dua orang di antara mereka
yang ada di pendapa hanya kadang-kadang saja mengamati
bagian belakang rumah Ki Buyut itu. Tetapi mereka hanya
sekedar berjalan dalam gelap. Berhenti sejenak,
memperhatikan keadaan. Namun kemudian mereka telah
berjalan lagi. Dengan demikian, maka kedua orang yang ada di
longkangan itu sama sekali tidak mereka ketahui. Bahkan
mereka juga tidak tahu bahwa kedua orang itu beberapa saat
kemudian telah berada di atas atap rumah Ki Buyut.
Dengan sangat berhati-hati kedua orang itu telah
membuka atap rumah Ki Buyut. Ternyata di dalam rumah itu,
tidak ada pula seorang pun y ang berjaga-jaga.
Dengan hati-hati kedua orang y ang membuka atap
rumah Ki Buyut itu pun kemudian telah merambat turun.
Mereka telah m eluncur lewat ander dan hinggap di pengeret.
Tanpa menimbulkan suara apapun mereka telah berada di
lantai di dalam rumah Ki Buyut y ang sepi.
Sejenak keduanya memperhatikan keadaan. Kemudian
mereka telah bergeser menepi dan mendengarkan dengan
sak sama, apakah di dalam rumah itu ada seseorang.
Ternyata mereka mendengar desah nafas di dalam
sebuah bilik. Keduanya saling berpandangan sejenak. Namun
kemudian mereka berjingkat mendekati pintu bilik itu.
Perlahan-lahan seorang di antaranya berdesis, "Ki
Buyut?" Tidak terdengar jawaban. Sehingga orang y ang
memasuki rumah itu mengetuk perlahan-lahan sambil
berdesis, "Ki Buyut."
"Siapa?" terdengar sebuah pertanyaan dari dalam
bilikitu. "Aku. T olong buka pintu bilik Ki Buyut," berkata orang
yang memasuki rumah itu. Yang ada di dalam bilik itu m emang Ki Buyut. Dengan
nada rendah ia berkata, "Bukalah. Pintu itu tidak diselarak."
Dengan hati-hati kedua orang yang memasuki rumah itu
pun telah mendorong pintu lereg dan membukanya. Di dalam
bilik itu Ki Buyut duduk di atas pembaringannya. Dengan
wajah kusut dipandanginya kedua orang y ang memasuki
biliknya itu. Namun ketika Ki Buyut melihat siapa y ang datang itu,
maka tiba-tiba ia telah terloncat bangkit.
"Kalian dapat memasuki rumahku ini?" bertanya Ki
Buyut. "Ya," jawab salah seorang dari keduanya.
"Bukankah kau kedua orang anak muda y ang
mendampingi Ki Bekel itu?" bertanya Ki Buyut pula.
"Ya Ki Buyut," jawab keduanya hampir berbareng.
Ki Buyut pun kemudian m empersilahkan Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat duduk di pembaringannya setelah menutup
pintu itu. "Aku tidak diperbolehkan meny elarak pintu itu," berkata
Ki Buyut. "Aku sudah mengira bahwa hal seperti ini akan terjadi.
Bukankah Ki Buyut dipaksa untuk meny erahkan cincin tanda
kuasa Ki Buyut itu?" bertanya Mahisa Murti.
"Ya. Darimana kau tahu?" Ki Buyut justru bertanya pula.
"Yang terjadi tentu tidak wajar. Aku yakin bahwa
beberapa orang bebahu itu telah m engambil sikap sendiri. Ki
Buyut tentu tidak akan mengambil keputusan yang begitu
ccpat berubah apapun yang terjadi," berkata Mahisa Murti.
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kau
telah melakukan sesuatu y ang sangat berbahaya. Bukankah
rumah ini telah dijaga kuat?"
"Tetapi sebagaimana Ki Buyut lihat, kami berdua
berhasil masuk," jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat nampaknya ingin lebih cepat
menyelesaikan tugasnya. Karena itu, maka ia pun berkata, "Ki


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Buyut. Sekarang kami mohon perintah Ki Buyut."
Tetapi Ki Buyut m enggeleng. Katanya, "Aku tidak dapat
berbuat apa-apa." "Kenapa" Ki Buyut harus bersikap sebagai seorang
pemimpin," berkata Mahisa Pukat.
"Ny i Buyut ada di tangan mereka. Kami tidak
mempunyai anak. Karena itu, tanpa Ny i Buyut aku tidak
berarti apa apa," jawab Ki Buyut.
Wajah kedua anak muda itu menjadi tegang. Dengan
nada geram Mahisa Murti bertanya, "Dimana Ny i Buyut
sekarang?" "Tentu masih di rumah ini. Tetapi aku tidak tahu di
ruang yang mana. Rumah ini seakan-akan memang telah
dikosongkan. Beberapa orang pembantu di rumah ini telah
dikumpulkan pula di gandok dan dijaga dengan kuat."
"Gandok yang mana?" bertanya Mahisa Murti.
"Sepengetahuanku di gandok sebelah kanan jika mereka
belum dipindahkan," jawab Ki Buyut.
"Jika demikian, Ny i Buyut ada di gandok sebelah kiri,"
desis Mahisa Murti. "Dari mana kau tahu?" bertanya Ki Buyut pula.
"Menurut perhitunganku," jawab Mahisa Murti.
"Di manapun Ny i Buyut disimpan, aku tidak akan berani
berbuat apa-apa. Mereka termasuk orang -orang yang dapat
berbuat apa saja untuk mencapai niatnya," berkata Ki Buyut.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Lalu katanya
kepada Mahisa Pukat, "Awasi Ki Buyut. Aku akan melihat
kemungkinan untuk melepaskan Ny i Buyut."
Mahisa Pukat mengangguk kecil. Namun Ki Buyut
berkata, "Lebih baik urungkan niatmu. Kau akan dapat
menyakiti Ny i Buyut meskipun tidak secara langsung. Jika
mereka tahu ada orang yang berusaha m embebaskan mereka,
maka mereka tentu akan bertindak."
"Kami akan berhati-hati Ki Buyut," jawab Mahisa Murti.
Demikianlah, maka Mahisa Murti pun telah
meninggalkan bilik itu sambil berpesan, "Aku akan
memberikan isy arat dari luar. Jika kau mendengar isyarat
lemparan batu, maka bawa Ki Buyut keluar. Berarti aku sudah
membawa Nyi Buyut bersamaku."
Mahisa Pukat mengangguk. Namun dengan demikian ia
sa dar, bahwa mereka akan benar-benar melakukan tugas yang
rumit, justru karena Ki Buyut dan bahkan Nyi Buyut telah
dikuasai oleh beberapa orang bebahu.
Sepeninggal Mahisa Murti, maka Mahisa Pukat tidak lagi
banyak berbicara. Ia sadar, bahwa bilik itu sedang dalam
pengawasan, meskipun orang-orang yang mengawasinya
agaknya merasa bahwa Ki Buyut tidak akan meninggalkan
rumah itu, karena Ny i Buyut ada di tangan mereka. Dengan
demikian maka orang-orang y ang telah menahan Ki Buyut itu
menjadi kurang bersungguh-sungguh.
Sementara itu, Mahisa Murti dengan sangat berhati-hati
telah melintasi longkangan samping. Dengan sangat berhatihati
pula Mahisa Murti berhasil keluar dari pintu butulan,
melingkari bagian belakang rumah itu dan m endekati gandok
sebelah kiri. Sebenarnyalah, ia mendengar tangis seseorang di
gandok sebelah kiri itu. Namun kemudian terdengar suara
seorang laki -laki, "Ny i Buyut tidak usah menangis. Ki Buyut
nampaknya tidak akan menentang niat kami. Karena itu, jika
semuanya sudah selesai, maka Nyi Buyut akan segera kami
bebaskan." "Kenapa tidak sekarang?" bertanya Ny i Buyut disela-sela
isaknya. "Kami masih menunggu sampai esok. Taruhannya besar
sekali. Uang yang sangat banyak, serta sebuah rumah yang
besar dan sangat bagus. Rumah itu jika dijual akan laku sangat
mahal. Uangnya dapat dipergunakan untuk membangun
sebuah banjar y ang sangat bagus di padukuhan induk ini.
Sisanya akan m enjadi kekayaan kita bersama-sama," berkata
suara itu. "Aku tidak tahu apa -apa tentang itu. Karena itu,
lepaskan aku dan kembalikan aku kepada Ki Buyut," minta Ny i
Buyut. "Sudahlah. Sebaiknya Ny i Buyut tidur saja. Segalanya
akan dapat kita selesaikan besok. Besok para pengawal akan
mendapat perintah dari Ki Buyut untuk memaksakan
keputusan Ki Buyut atas padukuhan y ang memberontak itu.
Baru kemudianNy i Buyut akan kami kembalikan kepada Ki
Buyut," jawab laki-laki itu.
Nyi Buyut tidak berbicara apapun lagi. Yang terdengar
hanya isak tangisny a saja. Sementara itu terdengar pintu
berderit terbuka. Beberapa saat kemudian, m aka pintu pun
telah tertutup lagi. Mahisa Murti masih ada di belakang gandok. Agaknya
orang-orang y ang mengawal rumah itu memang kurang
berhati-hati. Karena itu, maka Mahisa Murti nampaknya
mempunyai kesempatan betapapun tipisny a untuk
membebaskan Ny i Buyut dari gandok.
Sejenak kemudian, Mahisa Murti telah meraba-raba
dinding gandok itu. Tali-tali ijuk y ang kuat mengikat dinding
Rahasia Mo-kau Kaucu 8 Wiro Sableng 033 Panglima Buronan Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 3

Cari Blog Ini