Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 26

05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja Bagian 26


"Jika akulah Agung Sedayu itu, maka lawanku tentu sudah aku cincang sampai lumat. Apalagi mereka yang datang dengan sengaja untuk melepaskan dendam." berkata Sabungsari didalam hatinya.
Namun akhirnya keduanya telah memasuki regol padepokan kecil itu, dan langsung naik kependapa.
"Duduklah," berkata Agung Sedayu.
"Aku akan kembali ke barak jika kau mengijinkan," berkata Sabungsari.
"Kenapa tidak?" sahut Agung Sedayu, "tetapi sebaiknya kau minta diri kepada guru."
Sabungsari termangu-mangu. Sementara Agung Sedayu melangkah kepintu sambil berkata, "Duduklah. Jangan tergesa-gesa."
Suatu pesona yang tidak dapat diingkari oleh Sabungsari, bahwa iapun kemudian telah duduk dialas sehelai tikar yang terbentang di pendapa, dibawah sinar lampu minyak yang berkeredipan disentuh angin menjelang fajar.
Perlahan-lahan Agung Sedayu mengetuk pintu. Namun agaknya gurunya memang belum tidur. Meskipun sudah tidak terdengar suara apapun, namun Kiai Gringsing segera mendengar ketukan meskipun hanya perlahan-lahan.
Sejenak kemudian maka pintu itupun telah berderit. Ketika pintu itu kemudian terbuka. Kiai Gringsing telah berdiri dimuka pintu sambil tersenyum, "Lama sekali kalian pergi."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Kami berjalan-jalan mengelingi Jati Anom. Rasa-rasanya ingin melihat dan menunjukkan kepada Sabungsari masa-masa aku masih kecil dan ketakutan."
Kiai Gringsing tertawa. Lalu katanya, "Aku sudah lama menutup kitab yang aku baca. Glagah Putihpun sudah tidak tahan lagi duduk mendengarkan."
Agung Sedayu tidak menjawab. Sementara Kiai Gringsingpun kemudian melangkah mendekati Sabungsari yang duduk sambil menundukkan kepalanya.
Sambil duduk orang tua itu berkata, "Darimana saja kalian anakmas" Nampaknya kalian baru saja berjalan jauh sekali, sehingga pakaian kalian basah oleh keringat dan kotor oleh debu."
Sabungsari kebingungan. Sekilas ditatapnya wajah Agung Sedayu, seolah-olah ia ingin mendapatkan bantuan, bagaimana ia harus menjawab.
Sebenarnya Agung Sedayu sendiri juga bingung. Namun ia berkata, "Ya guru. Kami berjalan tanpa berhenti."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi senyum yang nampak dibibirnya terasa mempunyai arti tersendiri. Karena itulah, maka Sabungsari menjadi berdebar-debar.
Dalam pada itu, Sabungsaripun segera minta diri.
Ketika ia diantar Agung Sedayu sampai keregol halaman, maka iapun berkata, "Agung Sedayu. Agaknya gurumu curiga, bahwa sesuatu telah terjadi dengan kita."
"Kenapa kau menyangka demikian?" bertanya Agung Sedayu.
Sabungsari hanya dapat menarik nafas dalam-dalam, sementara Agung Sedayu berkata, "Sabungsari. Mungkin hati kita sudah dibayangi oleh suatu pengakuan bahwa sesuatu memang telah terjadi. Karena itu, maka seolah-olah kami melihat seseorang mengetahui apa yang telah terjadi itu. meskipun sebenarnya tidak sama sekali. Tetapi mungkin pula guru hanya mendasarkan dugaannya setelah melihat keadaan kita, pakaian kita dan mungkin sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya, yang dalam tangkapan kita justru seolah-olah ia mengetahui apa yang telah terjadi," Agung Sedayu berhenti sejenak, lalu. "Tetapi seandainya guru mengetahui, aku kira tidak ada keberatannya apapun juga, karena semuanya telah berakhir. Tentu guru tidak akan membuat persoalan baru yang dapat memulai lagi dari apa yang sudah berakhir itu."
Sabungsari hanya mengangguk-angguk saja. Betapapun juga, terbersit kekhawatiran didalam hatinya, bahwa Kiai Gringsing akan mengambil sikap lain. jika ia mengetahui, siapakah ia sebenarnya.
Sepeninggal Sabungsari, maka Agung Sedayupun segera masuk keruang dalam. Gurunya telah masuk kedalam biliknya, sehingga karena itu, maka Agung Sedayupun segera masuk kedalam biliknya pula.
Ia menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat Glagah Putih telah tertidur nyenyak. Tarikan nafasnya mengalir teratur dilubang hidungnya, sementara tubuhnya terbaring lurus terlentang diamben bambu.
Agung Sedayupun kemudian membenahi pakaiannya. Ia masih keluar lagi lewat pintu butulan kepakiwan dibelakang untuk mencuci tangan dan kakinya.
Meskipun badannya telah terasa sedikit segar, tetapi ketika Agung Sedayu kembali kebiliknya, ia tidak segera dapat tidur. Ia berbaring saja dipembaringannya sambil menatap atap. Tetapi ia tidak bangkit betapapun ia digelisahkan oleh peristiwa-peristiwa yang dialaminya. Ia memaksa dirinya untuk dapat tidur barang sekejap, karena sudah tidak mungkin lagi baginya malam itu menghadap gurunya, mengatakan sesuatu yang penting dan menyampaikan pesan Ki Waskita.
"Besok malam aku akan mempunyai waktu." berkata kepada diri sendiri. "Besok pagi-pagi aku akan mengatakan, bahwa aku mohon waktu untuk berbicara barang sejenak dimalam hari."
Dalam pada itu, menjelang dini hari, maka mata Agung Sedayupun mulai terpejam. Bagaimanapun juga, ia merasa tubuhnya lelah setelah ia berjuang untuk mengatasi kemampuan ilmu Sabungsari yang memang termasuk dalam tataran ilmu yang tinggi.
Saat matahari mulai menjenguk dari balik cakrawala, maka Agung Sedayu telah terbangun pula. Ia mendengar Glagah Putih turun dari pembaringan dan membuka selarak pintu biliknya.
Seperti biasa kedua anak-anak muda itupun segera melakukan tugas sehari-harinya. Menyapu halaman dan mengisi jambangan pakiwan. Kemudian merekapun melihat-lihat tanaman dikebun dan ikan yang berenang dikolam.
Glagah Pulih sama sekali tidak menduga, bahwa semalam telah terjadi sesesuatu yang mendebarkan antara kakak sepupunya dengan Sabungsari. Yang ia ketahui, keduanya telah pergi keluar padepokan, karena Sabungsari ingin menyampaikan sesuatu yang tidak boleh didengar oleh orang lain.
Karena itu, diluar sadarnya, maka tiba-tiba saja bertanya, "Apa yang dipersoalkan Sabungsari semalam kakang?"
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum sambil menjawab, "Tidak apa-apa. Persoalan biasa yang dialami oleh anak-anak muda. Mungkin kau sekarang tidak akan dapat mengerti, tetapi beberapa tahun lagi, masalah itu adalah masalah yang biasa pula bagimu."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa kakaknya tidak akan mengatakan apa-apa tentang persoalan yang menurut pengertiannya telah disampaikan oleh Sabungsari kepada kakaknya itu.
Karena itu, maka Glagah Putih tidak bertanya lagi. Meskipun ada juga keinginannya untuk mengetahui, tetapi ia menyadari, bahwa kakak sepupunya tidak akan mau mengatakannya.
Dalam pada itu, Sabungsaripun telah berada didalam lingkungannya pula. Didalam lingkungan keprajuritan. Hari itu, ia tidak mendapat tugas khusus, sehingga karena itu, maka ia mempunyai banyak waktu terluang. Namun justru karena itu, maka iapun banyak termenung sambil menyisihkan diri dari kawan-kawannya.
Setiap kali anak muda itu telah terlempar kembali kepada persoalannya dengan Agung Sedayu. Ia masih saja dibingungkan oleh sikap anak muda yang luar biasa. Jika ia selama itu dapat berbangga tentang dirinya, sebagai seorang anak muda yang jarang ada bandingnya, maka kini ia merasa dirinya masih terlalu kecil. Ternyata dengan kenyataan yang tidak dapat diingkarinya, ia masih belum dapat mengimbangi kemampuan Agung Sedayu.
"Ada berapa orang anak muda yang dapat menyamai atau melampaui Agung Sedayu di Pajang dan Mataram?" ia bertanya kepada diri sendiri.
Namun Sabungsari sempat membayangkan betapa dahsyatnya kemampuan Raden Sutawijaya di Mataram dan Pangeran Benawa di Pajang.
Yang terpikir kemudian oleh Sabungari, apakah yang akan dikatakannya kepada para pengikutnya tentang Agung Sedayu. Apakah ia akan membohongi para pengikutnya, atau ia akan berkata terus terang, bahwa ia tidak dapat mengalahkan anak muda yang aneh itu.
Semakin lama ia merenungi dirinya, maka iapun menjadi semakin gelisah. Terbayang pula wajah dan senyuman guru Agung Sedayu yang seolah-olah mempunyai arti yang khusus.
"Entahlah," ia berdesah, "aku tidak tahu. apakah yang sebaiknya aku lakukan. Juga sebagai anak Ki Gede Telengan."
Dengan demikian, maka Sabungsari nampak lebih banyak merenung. Kawan-kawannya tidak banyak menegurnya, karena mereka melihat, dihari-hari terakhir, setelah Sabungsari minta ijin untuk kembali pulang, ia lebih banyak termenung dan gelisah. Kadang-kadang ia duduk menyendiri untuk waktu yang lama. Dan kadang-kadang ia berbaring saja di pembaringan.
Menjelang sore, Sabungsari nampak semakin gelisah. Ketika matahari menjadi semakin rendah di Barat, maka anak muda itu keluar dari baraknya. Kepada penjaga regol ia berkata singkat, "Aku akan pergi kesungai."
Penjaga itu tidak bertanya lagi. Dibiarkannya Sabungsari berjalan sambil menundukkan kepalanya.
"Anak itu nampaknya sangat bersedih," desis salah seorang penjaga itu kepada kawannya yang kebetulan berdiri disebelah regol.
"Ya. Tetapi agaknya hatinya sangat tertutup, sehingga kami tidak banyak mengetahui apakah yang sudah terjadi atasnya," sahut yang lain.
Tanpa menghiraukan sesuatu, Sabungsari berjalan terus menuju ketepian. Dipandanginya sungai yang airnya mengalir tidak begitu deras diantara bebatuan.
Sekilas terbayang apa yang telah terjadi semalam ditepi sungai itu juga, tetapi dibagian yang lain. Terbayang bagaimana Agung Sedayu telah memukul hancur sebuah batu besar dengan tatapan matanya.
"Ternyata tatapan mata itu mempunyai kekuatan yang tidak terduga," ia bardesis.
Ketika nampak olehnya bebatuan yang berserakan, maka pengakuan dihatinyapun menjadi semakin dalam bahwa ia memang tidak akan dapat mengalahkan Agung Sedayu dengan cara apapun juga, kecuali cara seorang pengecut. Membunuhnya dengan diam-diam dengan menusuk punggung.
"Aku tidak mau," geramnya, "bagiku lebih jantan mengakui kekalahan daripada berbuat curang seperti itu."
Perlahan-lahan Sabungsaripun kemudian turun kepasir tepian. Perlahan-lahan ia berjalan disela-sela bebatuan. Kemudian, hampir diluar sadarnya iapun duduk diatas sebuah batu besar. Bahkan kemudian ia membaringkan tubuhnya sambil memandang cahaya langit yang menjadi semakin merah.
Sabungsari terkejut ketika ia mendengar desir langkah orang mendekal. Ketika ia berpaling, dilihatnya diatas tebing, dua orang berdiri memandanginya.
"Gila," geram Sabungsari. Ternyata dua orang pengikutnya telah mencarinya.
Kedua orang itupun segera turun mendekatinya. Salah seorang berkata, "Kami sudah datang kebarak. Kami diberi tahu, bahwa kau baru pergi ke sungai."
"Kenapa kalian mencari aku?" bertanya Sabungsari, "apakah ada perkembangan keadaan yang baru?"
Kedua orang itu termangu-mangu. Namun salah seorang dari kedua pengikut Sabungsari itu berkata, "Tidak. Tidak ada perkembangan apapun yang kami lihat. Tetapi kami justru ingin mengetahui, apakah ada sesuatu yang harus kami lakukan."
"Gila," bentak Sabungsari yang sudah duduk diatas batu, "jika aku memerlukan kalian, akulah yang akan memanggil atau datang kepada kalian."
Keduanya mengangguk-angguk.
"Aku tidak mempunyai perintah apapun untuk hari ini," berkata Sabungsari kemudian.
"Jika demikian," berkata salah seorang dari kedua pengikutnya itu, "apakah kami boleh kembali kepondok kami?"
"Pergilah. Kalian tidak mempunyai tugas apapun sekarang sampai aku memberikan perintah-perintah baru," berkata Sabungsari kemudian.
Namun tiba-tiba saja datanglah pertanyaan yang tidak disukainya. Salah seorang dari kedua pengikutnya itu tiba-tiba saja telah bertanya, "Bagaimana dengan Agung Sedayu?"
"Persetan. Diam. Aku akan mengurusnya," teriak Sabungsari, sehingga kedua orang pengikutnya itu terkejut.
Keduanya tidak berani bertanya lagi. Apalagi ketika mereka melihat Sabungsari itu meloncat berdiri sambil memandangi mereka berganti-ganti dengan sorot mata kemarahan.
"Jika demikian, perkenankan kami pergi," seorang dari kedua pengikutnya itu berdesis.
"Pergilah," geram Sabungsari.
Tetapi ketika keduanya melangkah menjauh, maka Sabungsaripun memanggil mereka. Katanya, "Kemarilah. Duduklah. Aku ingin berbicara."
Keduanya menjadi termangu-mangu. Namun keduanyapun harus mematuhi perintah itu. Keduanya duduk dengan hati yang berdebar-debar. Sekali-sekali mereka saling berpandangan. Namun kemudian keduanya menundukkan kepala mereka memandangi pasir tepian.
Sabungsari berjalan hilir mudik diantara bebatuan. Sekali-sekali ia menengadahkan kepalanya kelangit. Dilihatnya warna merah yang menjadi semakin suram. Sementara mataharipun telah bersembunyi dibalik gunung.
"Aku tidak akan dapat berbohong untuk seterusnya," berkata Sabungsari kemudian.
Kedua pengikutnya menjadi terheran-heran.
"Dengarlah," suara Sabungsari menghentak, "dari padepokan Ki Gede Telengan aku sudah berniat untuk membunuh Agung Sedayu."
Kedua pengikutnya mengangguk-angguk.
Namun keragu-raguan yang sangat tiba-tiba telah melanda jantung Sabungsari sehingga mulutnyapun seolah-olah menjadi terkunci. Ia masih tetap bimbang, apakah ia akan mengatakan tentang kekalahannya, atau tidak.
Sesaat pengikutnya itu termangu-mangu. Mereka menunggu apakah yang akan dikatakan oleh Sabungsari. Namun yang nampak kemudian adalah justru kegelisahan yang sangat. Bahkan kemudian Sabungsari itu membentak, "Pergi, pergi kalian."
Pengikutnya menjadi bingung. Namun mereka melihat Sabungsari bersungguh-sungguh, "Pergi. Pergi, cepat, sebelum aku mencincang kalian dipasir tepian ini."
Betapapun kebingungan mencengkam jantungnya, namun kedua pengikutnya itupun kemudian melangkah surut.
"Pergi, pergi. Apakah yang kalian tunggu?" bentak Sabungsari pula.
Keduanya tidak dapat bertanya sepatah katapun lagi. Melihat wajah Sabungsari yang bagaikan menyala, maka keduanyapun kemudian meninggalkannya seorang diri di tepian.
Sepeninggal kedua pengikutnya, kembali Sabungsari merenungi dirinya. Langit menjadi semakin kelam dan bintang-bintangpun mulai menghiasi hitamnya malam.
"Sepantasnya aku memang menjadi gila," geram Saungsari. Namun ia sadar sepenuhnya, apa yang telah terjadi atas dirinya.
Dalam pada itu, dipadepokan kecil yang sepi, Agung Sedayu duduk berdua diserambi gandok dengan Glagah Putih. Mereka berbincang tentang keadaan padepokannya yang semakin berkembang.
"Aku besok akan menjemput ayah," berkata Glagah Putih, "lebih baik aku datang sendiri daripada hanya sekedar memberitahukan bahwa aku telah kembali."
"Bukankah kau sudah menyuruh seseorang memberitahukan bahwa kau sudah datang?"
"Tetapi sampai sekarang, ayah belum datang kemari," jawab Glagah Putih.
"Tentu ayahmu sedang sibuk. Apalagi ayahmu mengetahui bahwa kita datang dengan selamat," jawab Agung Sedayu.
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi rasa-rasanya ia memang sudah sangat rindu kepada ayahnya.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayupun mulai gelisah karena ia masih belum menyampaikan pesan-pesan Ki Waskita yang tertulis pada sebuah rontal. Semalam ia telah kehilangan kesempatan. Karena itu, malam itu adalah malam yang tepat untuk melakukannya, sebelum Ki Widura benar-benar datang kepadepokan itu.
"Malam ini adalah malam ketiga aku berada dipadepokan," berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri, "nampaknya sudah cukup waktu untuk beristirahat."
Agung Sedayu merencanakan, setelah Glagah Putih tertidur nyenyak. maka ia akan menghadap gurunya menyampaikan beberapa persoalan. Diantaranya adalah persoalan yang dibawa oleh Sabungsari yang sebenarnya.
Dalam pada itu, ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih berada diserambi gandok, maka diruang dalam. Kiai Gringsing menghadapi kitab yang besar. Ia membaca kitab itu seperti semalam ia membaca, saat Agung Sedayu minta diri kepadanya bersama Sabungsari.
Kitab itu nampaknya sangat menarik perhatiannya. Sudah beberapa kali ia membaca isinya. Tetapi setiap kali ia telah membukanya dan membacanya kembali.
"Guru mulai membaca lagi," desis Agung Sedayu yang lamat-lamat mendengar suara gurunya.
"Ia nampaknya tekun sekali membaca," sahut Glagah Putih, "meskipun Kiai Gringsing sudah tua, tetapi suaranya masih cukup baik. Jika suara tembang itu menggema disepinya malam, aku justru menjadi sangat mengantuk."
Dan tiba-tiba saja Agung Sedayu menyahut, "Aku juga. Aneh sekali. Tetapi mungkin karena kita agak letih juga bekerja disawah."
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dalam pada itu. Agung Sedayu mulai merenungi dirinya sendiri pula. Jika Glagah Putih telah tertidur, maka ia akan mempergunakan waktunya sebaik-baiknya. Dimalam pertama ia datang kepadepokan, ia sudah menceriterakan segala yang dialaminya. Tetapi ia belum mulai menukik kekedalaman masalah yang diceriterakannya itu. Ia baru berceritera tentang pengalamannya sampai tuntas. Tentang rontal yang dibacanya, tentang pengaruh yang dialaminya setelah membaca rontal itu, dan tentang orang-orang yang mencegatnya, yang ternyata adalah pengikut-pengikut Ki Gede Telengan.
"Rontal Ki Waskita tentu berisi pesan-pesan penting," berkata Agung Sedayu, "aku tidak boleh menundanya lagi. Seharusnya semalam aku sudah menyerahkannya, jika saja Sabungsari tidak mengajak aku bermain-main ketepian. Sedangkan malam ini adalah malam ketiga."
Ternyata suara Kiai Giingsing itu benar-benar berpengaruh pada Glagah Putih. Lagu yang menyusup sampai keserambi dinding, rasa rasanya bagaikn silirnya angin lembut yang mengusap wajahnya. Sehingga Glagah Putih yang telah bekerja sehari-harian itupun mulai mengantuk.
"Jika kau mengantuk, tidurlah," berkata Agung Sedayu yang melihat mata Glagah Putih menjadi semakin berat.
Glagah Putih tersenyum. Jawabnya, "Sebenarnya masih terlalu sore untuk tidur. He, kakang Agung Sedayu. Kapan kita mulai dengan latihan-latihan yang lebih baik?"
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Iapun bertanya, "Kenapa tiba-tiba saja kau menyebut tentang latihan yang lebih baik?"
"Aku sudah menjadi semakin tua. Sementara orang-orang lain meningkatkan ilmunya, aku sama sekali tidak berbuat sesuatu."
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Kau masih ingin bertahan dari kantukmu?"
"Bukan karena itu. Aku memang akan tidur sekarang. Tetapi aku bertanya tentang kemungkinan itu sebelum aku pergi tidur."
"Kapan saja kau siap untuk mulai Glagah Putih. Besok atau lusa?"
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Dipandanginya kakak sepupunya dengan tatapan mata yang tajam, seolah-olah ia masih meragukan keterangannya itu.
"Kenapa kau memandang aku seperti itu?" bertanya Agung Sedayu.
"Tidak ada apa-apa," jawab Glagah Putih, "aku hanya akan meyakinkan diriku sendiri."
Agung Sedayu tertawa. Katanya, "Baiklah besok kita benar-benar akan mulai dengan latihan-latihan yang lebih baik. Bukankah kita sudah cukup beristirahat selama dua hari?"
"Ya. Kita sudak cukup beristirahat," sahut Glagah Putih.
"Nah, sekarang, jika kau sudah mengantuk, tidurlah."
"Jika belum?" bertanya Glagah Putih.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun jawabnya, "Jika belum, marilah kita bermain macanan."
Tetapi Glagah Putih justru membaringkan dirinya dipembaringannya sambil berkata, "Aku akan tidur meskipun masih sore."
Agung Sedayu tidak menyahut. Ia memang ingin Glagah Putih segera tertidur. Agar tidak menimbulkan kegelisahan anak itu, maka Agung Sedayupun kemudian ikut berbaring pula. Namun Agung Sedayu sama sekali tidak memejamkan matanya.
Dalam pada itu. sejenak kemudian, ternyata Glagah Putih telah tertidur nyenyak. Nafasnya mengalir dengan teratur.
Perlahan-lalian Agung sedayupun kemudian bangkit dan dengan hati-hati ia mengambil rontal dari geledeg bambunya. Sejenak ia ragu-ragu. Namun kemudian katanya dalam hati, "Waktunya sudah baik. Agaknya akupun sudah dapat mengatur perasaanku, mungkin guru akan banyak bertanya tentang isi kitab Ki Waskita setelah membaca rontal itu."
Dengan hati-hati pula ia membuka pintu biliknya dan kemudian melangkah keluar. Ia masih mendengar gurunya membaca meskipun hanya perlahan-lahan.
Ketika Agung Sedayu mendekat, Kiai Gringsing mengangkat wajahnya.
Ia tahu, bahwa ada yang penting yang akan dikatakan oleh anak itu kepadanya, melengkapi keterangan yang telah diberikannya.
"Duduklah Agung Seuayu," berkata Kiai Gringsing.
Agung Sedayupun duduk bersila diamben yang besar menghadap gurunya. Terasa, dadanya berdebar-debar seolah-olah ia sedang menghadapi pengadilan yang akan dapat menjatuhkan hukuman atasnya.
"Kau akan menyampaikan sesuatu yang penting?" bertanya gurunya.
Agung Sedayu mengangguk. Katanya, "Ya guru. Ada sesuatu yang penting, melengkapi keteranganku yang pernah aku sampaikan kepada guru."
"Aku sudah menduga. Waktu itu keteranganmu memang sudah cukup panjang dan lengkap. Tetapi baru permukaannya saja. Bukankah ada yang lebih penting dari yang permulaan itu."
"Ya guru. Tetapi sebelum itu, aku ingin menceritakan sesuatu tentang anak muda yang bernama Sabungsari itu."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, "Rasa rasanya memang ada sesuatu yang menarik pada anak muda itu."
"Menarik sekali guru," sahut Agung Sedayu, "anak itu ternyata adalah anak Ki Gede Telengan."
"He" " Kiai Gringsing memang agak terperanjat, "bukankah dengan demikian ia cukup berbahaya bagimu?"
"Ya Guru. Ia memang sangat berbahaya. Tetapi untunglah bahwa ia selalu bersikap jantan. Ia tidak mau merendahkan diri dengan berbuat licik dan curang."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Dengan nada yang dalam ia bergumam, "Agung Sedayu. Sebenarnyalah semalam aku memang gelisah. Aku sama sekali tidak dapat tidur. Sekali-sekali aku keluar dan berjalan-jalan dihalaman. Tetapi rasa-rasanya kau pergi terlalu lama, seolah-olah sudak lebih lama dari satu malam suntuk."
Agung Sedayupun kemudian menceritakan, apa yang telah terjadi dengan Sabungsari. Dari awal sampai akhir.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Sukurlah jika kau menemukan penyelesaian yang sebaik-baiknya. Nampaknya anak itu memang bukan seorang anak muda yang jahat. Jika ia berniat untuk membunuhmu, itu karena didorong oleh kesetiaannya kepada ayahnya. Dipandang dari satu segi, sikap itu tidak perlu dilakukannya. Ia harus lebih dahulu mengetahui dengan pasti, siapakah ayahnya, dan kenapa ia terbunuh."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Aku berharap, bahwa ia akan berubah. Mudah-mudahan ia mememukan jalan yang baik. Sebagai seorang prajurit, ia memiliki kelebihan yang melampaui kawan-kawan setatarannya. Jika ia mendapat kesempatan, maka ia akan cepat menanjak ketingkat yang lebih tinggi."
"Ya Agung Sedayu. Aku kira, kesempatan itu terbuka baginya," Kiai Gringsing mengangguk-angguk. "Lalu, apakah yang akan dilakukannya kemudian?"
"Aku tidak tahu guru. Tetapi aku melihat kesadaran membayang dimatanya. Bahkan sejak semula, ia sudah dibayangi oleh keragu-raguan meskipun ia tidak berani mengembangkannya didalam hatinya."
Kiai Gringsing termenung sejenak. Terbayang wajah, sikap dan sifat anak muda itu, yang ternyata menurut Agung Sedayu memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Yang hanya selapis lebih rendah dari Agung Sedayu sendiri.
"Agung Sedayu," berkata Kiai Gringsing kemudian, "bagaimanapun juga. kau tidak boleh meninggalkan kewaspadaan. Mungkin anak itu menemukan kesadarannya. Tetapi mungkin sakit hati dan dendam itu menyala dengan tiba-tiba didalam hatinya yang dapat menimbulkan ledakan yang tidak terduga-duga."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa hentakkan perasaan sesaat akan dapat merubah pikiran seseorang, sehingga ia akan dapat melakukan sesuatu yang disesalinya kemudian. Namun betapapun seseorang menyesal, yang sudah terjadi itu sudah terjadi."
Sejenak kedua orang itu terdiam. Kiai Gringsing mencoba membayangkan, apa yang dapat dilakukan oleh Sabungsari. Sementara Agung Sedayupun mencoba untuk mengerti, maksud gurunya agar ia tetap berhati-hati.
"Jika ia benar-benar menemui kesadarannya," berkata Kiai Gringsing kemudian, "dan ia benar-benar mengamalkan ilmunya didalam lingkungan keprajuritan, maka Pajang akan mempunyai seorang Senapati muda yang pilih tanding, meskipun ia masih harus banyak menyadap pengalaman dalam perang gelar dan penguasaan medan yang luas. Bukan sekedar mengendalikan dirinya sendiri."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja hatinya tersentuh oleh kata-kata gurunya. Jika Sabungsari pada suatu saat dapat menjadi seorang Senapati pinunjul karena pengamalan ilmunya, lalu bagaimana dengan dirinya sendiri.
Diluar sadarnya Agung Sedayu membayangkan, pada suatu saat seorang Senapati agung yang pilih tanding, dipunggung kuda diiringi oleh beberapa orang pengawal, datang kepadepokan kecilnya. Sementara ia sendiri dengan pakaian yang kotor dan kaki berlumpur datang menyongsongnya diregol halaman.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tiba-tiba saja terngiang kata-kata Sabungsari, "Aku merasa jemu berada didalam barak dengan suasana yang ajeg."
Meskipun yang dikatakan oleh Sabungsari itu ternyata hanyalah sikap pura-pura, tetapi ia menganggap bahwa baginya, sikap itu benar-benar akan dirasakannya apabila ia berada didalam lingkungan keprajuritan.
Sejenak kemudian terdengar Kiai Gringsing berkata, "Mudah-mudahan Agung Sedayu. Mudah-mudahan anak itu benar-benar menemukan jalan yang baik bagi hari depannya." ia berhenti sejenak, lalu. "Kemudian, apakah yang telah terjadi dengan dirimu sendiri. Kau sudah mengatakan tentang kitab yang kau baca sampai tuntas. Kau sudah mengatakan bahwa kau mendapatkan pengaruh dari padanya, meskipun kau belum dengan sengaja mempelajari maknanya. Apa yang terjadi pada dirimu adalah peningkatan dari kemampuan yang memang sudah ada padamu. Nah, barangkali kau sudah siap untuk membicarakan masalah yang lebih mendalam lagi tentang isi kitab itu?"
Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Terasa keragu-raguan masih saja merayapi jantungnya.
Namun iapun kemudian berkata, "Guru, pada suatu saat, aku memang harus menekuni bagian demi bagian dari isi kitab itu. Aku harus mempelajari dan menemukan maknanya. Karena didalam diriku sudah tersimpan unsur dari ilmu yang berbeda, maka aku harus mempelajarinya dan mencari kemungkinannya agar yang sudah ada dan yang baru itu dapat luluh didalam diriku."
"Gejala dari luluhnya ilmu yang bersumber dari cabang-cabang perguruan itu sudah ada. Pengaruhnya sudah terasa pada ilmu yang sudah ada pada dirimu. Kini didalam dirimu telah luluh dua ilmu sejenis yang berbeda sumbernya. Kau menguasai ilmu yang kau sadap dari aku. Tetapi kaupun memiliki pengetahuan yang mumpuni dari ilmu yang pernah mengalir pada saluran perguruan Ki Sadewa, karena kau pernah menemukan goa tanpa kau sengaja. Kini kau telah menguasai bunyi kitab Ki Waskita. Meskipun kau baru menguasai bunyi kalimat-kalimat yang tertulis didalam kitab itu, belum makna dari bunyi itu."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing itu didalam dirinya, Jika ia berhasil mengenal makna isi kitab Ki Waskita, maka seolah-olah ia menyandang trisula didalam dirinya. Tiga ujung ilmu yang akan sangat penting artinya bagi masa depannya.
Sementara itu. ketika keduanya terdiam sejenak, maka dengan gelisah Agung Sedayupun mulai menyentuh kantong yang berisi rontal dari Ki Waskita kepada Kiai Gringsing. Rontal yang tentu sangat penting, meskipun Agung Sedayu sudah dapat meraba perkembangan yang akan dihadapinya kemudian.
"Nah, Agung Sedayu. Jika kau memang sudah menghendaki, marilah kita berbicara tentang isi kitab itu. Atau barangkali masih ada masalah yang akan kau sampaikan?"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Guru. Ketika aku kembali dari rumah Ki Waskita, aku mendapat pesan untuk menyampaikan rontal ini kepada guru. Sebenarnya kemarin malam aku ingin menyampaikannya. Tetapi kehadiran Sabungsari telah menunda rencanaku itu."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Katanya, "Bagaimanakah jika pesan Ki Waskita itu menyangkut batasnya waktu?"
Wajah Agung Sedayu menegang sejenak. Namun kemudian ia hanya dapat menundukkan kepalanya. Jika benar seperti yang dikatakan gurunya, bahwa pesan itu menyangkut batasan waktu, maka ada kemungkinan bahwa gurunya telah terlambat.
Namun ketika kemudian Kiai Gringsing mengurai rontal itu dan membacanya. tidak ada kesan yang mendebarkan diwajahnya. Meskipun wajah itu nampak bersungguh-sungguh, tetapi agaknya tidak ada sesuatu yang membuatnya gelisah dan berdebar-debar.
Beberapa saat lamanya Kiai Gringsing membaca. Bahkan ada beberapa bagian yang nampaknya diulanginya untuk mendapatkan kejelasan arti.
Agung Sedayu kemudian hanya dapat menunggu sambil menundukkan kepalanya. Untuk beberapa saat, gurunya masih saja berdiam diri sambil berpikir.
Dalam pada itu. Agung Sedayu semakin lama menjadi semakin berdebar-debar. Sekilas dibayangkannya apa yang pernah dialaminya di rumah Ki Waskita. Terbayang juga sekilas wajah Rudita yang jernih bening. Kemudian nampak betapa buramnya wajah Prastawa yang berwajah tengadah itu.
Untuk beberapa saat Agung Sedayu harus menunggu. Ia sadar, bahwa gurunya tentu baru mencernakan isi rontal yang disampaikani kepadanya itu.
Ketegangan itu rasa-rasanya benar-benar mencengkam dada Agung Sedayu, sehingga pernafasannyapun rasa-rasanya menjadi sesak. Bahkan kepalanya terasa menjadi agak pening karenanya.
Namun ketegangan itu kemudian telah dipecahkan, ketika Kiai Gringsing menarik nafas sambil berkata, "Agung Sedayu. Didalam rontal ini tertulis beberapa pesan Ki Waskita kepadaku. Ada yang sangat menarik bagiku, karena Ki Waskita telah pernah menyebut sesuatu yang akan sangat berarti bagi perguruan ini."
Agung Sedayulah yang menjadi tegang. Namun kemudian ia sadar, bahwa yang dimaksudkan tentu pesan Ki Waskita tentang kitab yang pernah dikatakan kepadanya. Kitab Kiai Gringsing.
Dalam pada itu, maka Kiai Gringsing berkata, "Agung Sedayu. Yang pertama dikatakan oleh Ki Waskita, bahwa kau telah menguasai setiap kata didalam kitabnya. Seolah-olah isi dalam pengertian bunyinya telah kau pahatkan didinding hatimu."
Agung Sedayu mengangguk. "Dan itu memang sudah kau katakan kepadaku," berkata Kiai Gringsing kemudian, "karena itu, kau kemudian memerlukan waktu khusus untuk mencari makna dari bunyi yang tertulis didalam kitab itu."
Agung Sedayu menundukkan kepalanya.
"Dalam hal ini Agung Sedayu, Ki Waskita berpesan, agar aku dapat membantumu, mengawasi kerja yang mungkin dapat membahayakan dirimu itu."
Agung Sedayu mengangkat wajahnya. Kemudian katanya, "Terima kasih jika guru berkenan melakukannya. Masih banyak yang tidak aku pahami, bagaimana aku membuka pintu memasuki daerah penghayatan dan makna dari bunyi kalimat-kalimat didalam kitab itu."
"Tentu aku akan membantumu meskipun mungkin ada hal-hal yang aku juga tidak mengerti. Tetapi mudah-mudahan aku dapat membantu mencari jalan yang terbaik bagimu selama kau mencari arti dan makna dari isi kitab yang telah kau baca itu."
Agung Sedayu telah menundukkan kepalanya kembali.
"Selebihnya Agung Sedayu. Apakah Ki Waskita pernah mengatakan kepadamu, bahwa aku juga memiliki sebuah kitab yang memuat pengertian dan ilmu kanuragan dan kajiwan?"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ya guru. Ki Waskita pernah menyinggungnya."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ada sesuatu yang terbuka, tetapi kadang-kadang ada juga sesuatu yang harus tertutup. Pada suatu saat aku memang pernah menyatakan tentang diriku sendiri. Tetapi pernyataan itu aku berikan kepada beberapa orang tertentu. Tidak kepada setiap orang, karena kepentingan yang berbeda-beda. Justru karena itulah, maka yang pernah aku katakan itu, pernah pula aku ingkari. Justru karena ada orang lain yang tidak aku harapkan. Bukan karena tidak percaya, tetapi karena kepentingan lain." Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu. "karena itulah, maka sebenarnya pesan yang diberikan Ki Waskita kepadaku, terasa sangat berat untuk dilakukan, tetapi rasa-rasanya menuntut keharusan untuk dilakukan. Jika aku memberi kesempatan kepadamu, mempelajari isi kitab itu kelak pada suatu saat. Maka aku harus memberikan kesempatan serupa kepada muridku yang lain."
Agung Sedayu mengangkat wajahnya sejenak. Namun wajah itupun segera tunduk kembali.
Dengan penuh kesadaran ia memahami keterangan gurunya. Murid Kiai Gringsing tidak hanya dirinya sendiri. Tetapi ada seorang yang lain, yaitu Swandaru, sehingga dengan demikian maka gurunya tidak akan dapat emban cinde emban silatan atas kedua muridnya itu.
Sejenak Kiai Gringsing bardiam diri. Seolah-olah ia sedang memikirkan kalimat-kalimat yang akan diucapkannya.
Baru sejenak kemudian ia berkata, "Ki Waskita memang lebih dekat padamu daripada Swandaru. Itu bukan suatu kesalahan, karena ia dapat saja memilih apa yang sebaiknya dilakukan menurut pertimbangannya sendiri atas kau dan Swandaru. Barangkali ia dapat saja mengambil istilah, mengangkat kau menjadi muridnya, tetapi tidak demikian dengan Swandaru." Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu. "tetapi tentu tidak akan dapat terjadi demikian dengan aku."
Agung Sedayu mengangguk-angguk.
"Meskipun demikian Agung Sedayu," berkata Kiai Gringsing, "aku akan dapat memilih langkah yang paling adil. Aku pernah menjadi bimbang karena justru aku ingin berbuat adil. Misalnya aku mempunyai dua orang anak, maka yang seorang sudah berumur tujuh belas dan yang lain berumur tujuh tahun. Manakah yang lebih adil, apakah aku harus memberi makan masing-masing semangkuk nasi yang sama banyak dan macamnya, atau aku harus memberikan sesuatu dengan keperluan masing-masing. Bahwa anakku yang berumur tujuh belas inemerlukan nasi yang lebih banyak dari anakku yang berumur tujuh tahun."
Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu. "Yang pertama aku bertindak adil karena aku memberikan sesuatu yang sama meskipun kebutuhan mereka tidak sama. Sedang yang kedua aku bertindak adil karena aku memberikan sesuai dengan yang diperlukan."
Agung Sedayu masih saja menundukkan kepalanya. Tetapi ia mengerti, arah pembicaraan gurunya.
Tetapi ternyata gurunya kemudian berkata, "Agung Sedayu. Kau dan Swandaru memiliki beberapa perbedaan tingkat dan wawasan. Itulah yang perlu aku pertimbangkan."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang gurunya sekilas, maka dilihatnya Kiai Gringsing memandanginya dengan sorot mata yang memancarkan kesungguhan hatinya.
Untuk beberapa saat keduanya saling berdiam diri. Pesan Ki Waskita itu telah menumbuhkan masalah dipadepokan kecil dari Jati Anom itu. Namun Kiai gringsingpun mengerti, bahwa Ki Waskita agaknya benar-benar mengagumi Agung Sedayu, sehingga ia tergesa-gesa ingin melihat Agung Sedayu menjadi seseorang yang mumpuni.
Jika pesan itu tidak diberikan oleh Ki Waskita yang diketahuinya bahwa pesan itu diberikan dengan jujur tanpa maksud-maksud buruk, maka Kiai Gringsing tentu sudah tersinggung. Adalah haknya untuk memberikan atau tidak apapun yang ada padanya kepada muridnya.
Namun iapun mengerti, bahwa Ki Waskita benar-benar didorong oleh maksud baiknya terhadap Agung Sedayu.
Tetapi ia memang agak melupakan bahwa pada Kiai Gringsing, disamping Agung Sedayu ada juga Swandaru.
Namun bagaimanapun juga. Kiai Gringsing tidak dapat bertindak tergesa-gesa, meskipun hal itu dinilai sebagai suatu kelambanan. Kiai Gringsing tidak dapat berbuat sesuatu terhadap seorang muridnya tanpa menghiraukan muridnya yang lain, diketahui atau tidak diketahui.
Meskipun demikian. Kiai Gringsing tidak mau mengecewakan Agung Sedayu. Karena itu katanya, "Agung Sedayu. Baiklah aku akan memikirkan semua pesan Ki Waskita. Sudah tentu bahwa semua yang aku miliki akan aku wariskan kepada murid-muridku, karena jika ada satu hal saja yang tercecer, betapapun kecilnya, maka aku sudah mengurangi kemungkinan berkembangnya ilmuku sendiri. Jika demikian yang dilakukan setiap guru terhadap muridnya, maka ilmu itu akan menjadi semakin kerdil sehingga akhirnya akan kehilangan arti."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia sendiri tidak pernah merasa tergesa-gesa. Ia sudah merasa cukup banyak menerima dari gurunya. Dan iapun mengerti, bahwa gurunya pasti akan berbuat sebaik-baiknya terhadapnya.
Karena itu, maka katanya, "Guru. Adalah mapan sekali jika aku mendapat tenggang waktu menghadapi susunan ilmu yang berbeda itu. Aku sudah menerima banyak sekali dari guru, dan kemudian aku mendapat kesempatan untuk mengenali isi kitab Ki Waskita. Dengan demikian, maka aku memerlukan kesempatan untuk mencernakan isinya sebelum aku menyadap makna dari puncak ilmu yang dapat guru berikan kepadaku."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat kebijaksanaan pada muridnya yang masih muda itu. Ia mengerti bahwa Agung Sedayu mengerti perasaannya, bahwa ia harus menimbang semua segi kemungkinan karena Kiai Gringsing mempunyai dua orang murid.
Maka orang tua itupun berkata, "Itulah yang sangat menarik Agung Sedayu. Mudah-mudahan kau menyadari sikapmu, sehingga kau benar-benar memiliki kebijaksanaan menanggap sesuatu masalah."
Agung Sedayu hanya dapat menundukkan kepalanya. Bahkan pujian gurunya telah membuat wajahnya menjadi kemerah-merahan.
"Agung Sedayu," berkata gurunya kemudian, "sementara aku memikirkan jalan yang terbaik yang dapat aku lakukan, maka kau mendapat kesempatan untuk mencari makna dari isi kitab Ki Waskita. Sudah barang tentu kau jangan menyiksa wadagmu dengan tergesa-gesa ingin menguasai semua masalah yang ada didalam kitab itu. Kemampuanmu menyimpan isi kitab itu didalam ingatanmu memang luar biasa. Tetapi kita semua adalah orang-orang yang memiliki keterbatasan. Demikian juga ketajaman ingatanmu, sehingga semakin lama, maka kemungkinan ada satu dua bab yang menjadi kabur. Tetapi keterbatasanmu untuk menyadap makna dari isi kitab harus kau perhitungkan sebaik-baiknya."
Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab, "Seperti pesan Ki Waskita, aku memerlukan pengawasan dan tuntunan guru."
"Aku akan melakukannya. Aku akan membantumu mengurai masalahmu, seperti aku akan membantu mengurai masalah yang mungkin dihadapi oleh Swandaru. Tetapi sebaiknya kau sendiri akan memulainya, dan akan merasakan sentuhan-sentuhan yang paling sesuai dengan dasar pribadi dan ilmu yang telah ada padamu. Baru kemudian, aku akan mencoba membantumu."
Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab, "Ya guru. Aku akan mencoba melihat kedalam diriku sendiri, yang manakah yang lebih dahulu dapat aku cari maknanya."
"Kau dapat mulai kapan saja kau kehendaki. Tetapi sekali lagi aku berpesan, kau harus selalu memperhatikan wadagmu. Jangan kau paksa wadagmu melakukan melampaui kemampuan dan keterbatasannya, sehingga mungkin terjadi, kau memiliki ilmu yang tinggi, tetapi wadagmu akan menjadi gersang seperti sebatang pohon yang dipanggang dipanasnya api."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia menjadi berdebar-debar jika ia teringat keadaan wadagnya selama ia berada didalam goa yang tersembunyi dipinggir sungai yang terjal itu. Kemudian iapun meremang jika ia teringat, bahwa ia menjadi pingsan setelah ia memaksa diri untuk menyelesaikan isi kitab Ki Waskita.
"Itu baru kulitnya," berkata Agung Sedayu didalam hatinya, "apalagi jika aku memaksa diri untuk memahami maknanya. Mungkin ada bagian wadagku yang kalah dan mengalami kesulitan."
Agung Sedayu memang pernah mendengar, bahwa seseorang dapat menjadi lumpuh, atau buta atau tuli, atau cacad-cacad badaniah yang lain, bahkan seseorang dapat mengalami cacad rohaniah, menjadi gila atau kehilangan ingatan sama sekali, apabila tanpa keseimbangan mempelajari ilmu yang tinggi dan mendalam tentang apapun juga.
Karena itu, maka ia akan selalu ingat kepada pesan gurunya. Ia akan mendalami dan memahami makna isi kitab Ki Waskita, tanpa sikap tergesa-gesa dan didesak oleh perasaan. Keseimbangan perasaan dan nalar harus diperhitungkan seperti keseimbangan kemampuan wadag dan niat.
Disamping itu. Agung Sedayupun wajib menyisihkan waktunya bagi Glagah Putih. Anak muda itu tentu ingin mempergunakan waktunya sebanyak-banyak dapat dipergunakannya untuk latihan kanuragan.
Karena itu, maka Agung Sedayu harus dapat membagi waktu sebaik-baiknya. Bagi Glagah Putih yang sudah diserahkan kepadanya oleh pamannya, dan bagi dirinya sendiri.
Namun betapapun juga, ia tidak dapat meninggalkan gurunya dalam segala langkahnya. Iapun kemudian menyampaikan juga keinginan Glagah Putih untuk segera meningkatkan ilmunya, yang bahkan anak itu telah merasa sangat terlambat.
"Dengan siapa ia membandingkan dirinya?" bertanya Kiai Gringsing.
"Aku tidak tahu guru. Tetapi ia bertemu dengan Prastawa di Tanah Perdikan Menoreh," jawab Agung Sedayu.
"Apakah mungkin juga Sabungsari?" bertanya gurunya pula.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia kemudian berkata, "Ia tidak melihat ketinggian ilmu Sabungsari."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Kau memang harus membimbingnya Agung Sedayu. Menilik umurnya, sebenarnya ia masih sangat muda. Tetapi jika ia tidak segera berbenah diri, ia memang akan terlambat. Karena itu, kau harus benar-benar dapat membagi waktumu. Sebagian untukmu sendiri, sebagian lagi untuk adikmu. Sementara kaupun harus berada didalam tiga daerah ilmu, yang harus dapat kau trapkan sesuai dengan pembagian waktu itu."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat, betapa sulitnya masa-masa yang akan datang itu, justru karena ia bertanggung jawab kepada kesanggupan dan kewajiban.
"Agung Sedayu," berkata Kiai Gringsing kemudian, "kau harus menyesuaikan diri dalam keseimbangan waktu dan kemampuan jasmaniahmu. Jangan memaksa diri, sehingga akan dapat menyulitkan dirimu sendiri."
"Ya guru," jawab Agung Sedayu, "aku mengerti. Dan akupun harus selalu mengingat keadaan itu. Keadaan yang kadang-kadang memang terlupakan oleh dorongan perasaan yang bergelora."
"Nah. ambillah ketentuan waktu. Mulailah dan aku akan selalu mengikuti perkembanganmu dan perkembangan adik sepupumu itu."
Agung Sedayupun kemudian minta diri dari hadapan gurunya. Rasa-rasanya hatinya memang menjadi lapang, bahwa ia sudah menyampaikan pokok-pokok masalahnya kepada gurunya. Tetapi dengan demikian, iapun mulai terjun kedalam suatu kewajiban yang sangat berat. Ia harus dapat menyesuaikan diri dengan waktu, kemampuan jasmaniah dan dorongan perasaannya. Bukan saja atas dirinya sendiri, tetapi juga atas adik sepupunya, Glagah Putih.
Sepeninggal Agung Sedayu, Kiai Gringsing duduk sambil merenung. Kitab yang dibacanya masih terbuka. Tetapi ia tidak lagi membaca isi kitab itu, karena pikirannya justru sedang dicengkam oleh isi surat Ki Waskita yang menyebut-nyebut kitabnya yang berisi tuntunan Kanuragan dan Kajiwan.
"Setelah ia menuangkan ilmunya, maka Ki Waskita ingin melihat aku berbuat serupa," gumam Kiai Gringsing kepada dirinya sendiri.
Sebenarnya Kiai Gringsing agak menyesali sikap Ki Waskita itu, bahwa Ki Waskita sudah terlanjur memberitahukan kepada Agung Sedayu. Bukan karena ia mempertahankan rahasia itu untuk seterusnya, tetapi ia harus dengan bijaksana menurunkan segalanya kepada murid-muridnya.
Namun dalam pada itu Kiai Gringsingpun mulai menilai dirinya sendiri. Apakah seluruh isi kitab itu sudah dikuasainya. Baik unsur kanuragannya maupun unsur kajiwannya.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia harus mengakui kepada dirinya sendiri, bahwa seperti Ki Waskita, masih banyak makna isi kitabnya yang belum terungkapkan. Karena itu. maka ia memang harus berhati-hati dengan kitab itu.
"Tetapi Ki Waskita telah membuka kitabnya bagi Agung Sedayu, sehingga anak itu dapat mengetahui seluruh isinya dan membiarkannya mencari maknanya sendiri."
Tetapi seperti yang terjadi pada dirinya, ketika ia menerima kitab itu, iapun harus bekerja sendiri untuk menemukan maknanya. Namun yang sampai hari tuanya, ia masih belum menemukan seluruhnya. Tetapi pada bagian-bagian yang penting, ia telah menguasainya dengan baik.
Karena itulah, maka iapun telah berpesan pula kepada Agung Sedayu, bahwa iapun harus memilih yang paling sesuai tanpa didorong oleh ketamakan untuk menguasai seluruhnya. Karena jika demikian, maka ada kemungkinan bagian lain dari dirinya akan mengalami kemunduran sejalan dengan kemajuan yang kurang keseimbangan dibagian peningkatan ilmunya.
Dalam pada itu. Agung Sedayupun telah kembali kedalam biliknya. Perlahan-lahan ia membaringkan dirinya disamping Glagah Putih yang masih tidur nyenyak. Sambil menatap atap ia masih memikirkan kesibukan yang bakal dialaminya disaat-saat mendatang.
"Aku harus dapat membagi waktu sebaik-baiknya seperti yang dikatakan guru," katanya didalam hati, "siang aku pergi kesawah. Malam aku berada disanggar bersama Glagah Putih. Tetapi aku harus membatasi waktuku agar menjelang fajar aku dapat mempergunakan waktu untuk kepentingan diriku sendiri."
Ia sadar, bahwa kemajuan ilmunya seterusnya tentu akan sangat lamban karena keterbatasan waktu. Tetapi itu lebih baik daripada sama sekali tidak.
Agung Sedayu tertarik ketika ia melihat seekor cicak yang merambat didinding. Diluar sadarnya, maka ia telah menangkap cicak itu dengan sorot matanya. Dengan segi kemampuannya yang lain, maka ia tidak menghancurkan tubuh cicak itu. Tetapi ia telah mengangkatnya dan menempelkan dibagian dinding yang lain tanpa menyakitinya.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya ketika ia melihat seekor cicak yang berlari-larian mendekati seekor kupu-kupu kecil yang hinggap didekat lampu minyak. Dengan tergesa-gesa Agung Sedayu telah menghentikan cicak itu ditempatnya untuk beberapa saat. Baru ketika kupu itu terbang, Agung Sedayu telah melepaskannya.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian memalingkan wajahnya dengan memiringkan tubuhnya. Meskipun rasa-rasanya ia tidak mengantuk, tetapi dipejamkannya matanya. Namun ia masih sempat menilai kemampuannya sendiri. Ia dapat berbuat demikian, tidak hanya terhadap seekor cicak. Tetapi ia akan dapat melakukannya atas seseorang. Menguasainya dengan sorot matanya tanpa menyakitinya, tetapi seolah-olah merampas kesadarannya untuk sesaat dalam cengkaman ilmunya. Menguasai kesadaran itu dalam dua kemungkinan. Ia dapat menyalurkan perintah atas orang itu sehingga atas kehendaknya orang itu mempergunakan anggauta badannya. Tetapi ia juga dapat menguasai seseorang, sehingga orang itu seolah-olah menjadi sebuah patung mati. Sehingga dengan demikian, maka ia dapat menguasainya tanpa menyakitinya, disamping kemampuannya meremas isi dada seseorang dan merontokkannya. Menghancurkan batu menjadi debu dan mengguncang dedaunan seperti badai.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar sepenuhnya, betapa besar kemampuan yang ada padanya. Meskipun ia meyakini kebenaran kata gurunya, bahwa tidak ada seseorang yang tidak terkalahkan betapapun juga ia menyimpan ilmu yang tidak ternilai. Dalam kekuatannya, maka seseorang tentu mempunyai kelemahan.
Namun dalam pada itu, perlahan-lahan kesadaran Agung Sedayupun menjadi semakin kabur. Justru ia memang berusaha, agar dapat tidur barang sejenak. Dengan meletakkan segala macam persoalan didalam hatinya, maka iapun akhirnya dapat tertidur juga dengan nyenyaknya.
Seperti biasa, maka sebelum matahari membayang di Timur, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah bangun. Demikian juga beberapa orang anak muda yang tinggal dipadepokan itu pula. Mereka melakukan kerja mereka sehari-hari seperti biasanya. Membersihkan halaman, mengisi jambangan, dan kerja sehari-hari yang lain.
Namun dalam pada itu. Agung Sedayu mulai memperhatikan Glagah Pulih. Ia telah siap pula untuk mulai dengan latihan-latihan yang dikehendaki oleh Glagah Putih. Karena itu, maka ketika Glagah Putih siap dengan sapu lidinya. Agung Sedayu berkata, "Glagah Putih. Marilah kita mulai dengan latihan-latihan kanuragan. Kau harus mulai dengan menguasai diri dan kehendak. Cobalah. kau berbuat seperti yang aku lakukan."
"Apa yang kau lakukan kakang?" bertanya Glagah Putih.
"Kau harus membersihkan halaman ini dengan tanpa meninggalkan bekas seperti yang aku lakukan," jawab Agung Sedayu.
"Aku harus menyapu halaman sekian luasnya dengan mundur seperti undur-undur , aku tidak telaten kakang." desah Glagah Putih.
"Kau harus mencobanya." desak Agung Sedayu, "bukan sekedar untuk membersihkan halaman. Tetapi kau mulai berlatih mengatur diri sendiri. Kau harus dapat memaksa dirimu untuk melakukan pekerjaan yang kau sebenarnya tidak telaten."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian kalanya, "Kau bergurau."
"Aku bersungguh-sungguh Glagah Putih."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi agaknya Agung Sedayu memang bersungguh-sungguh. Karena itu, maka betapapun segannya, ia mulai dengan menyapu halaman sambil melangkah mundur.
Rasa-rasanya pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang berlipat beratnya dari pekerjaan yang setiap hari dilakukannya. Rasa-rasanya halaman itu menjadi jauh bertambah luas dan dedaunan yang runtuh berlebaran menjadi berlipat pula.
Tetapi akhirnya, pekerjaan itupun selesai juga. Dengan keringat yang membasahi segenap tubuhnya, Glagah Putih melihat halaman padepokan yang gilar-gilar. Yang nampak hanya bekas sapu lidinya, tanpa bekas kaki sama sekali.
"Lihatlah," berkata Agung Sedayu kemudian, "kau sudah berhasil."
"Tentu," jawab Glagah Putih, "pekerjaan ini tidak sulit. Tetapi aku tidak telaten."
"Itulah yang aku katakan, bahwa kau berhasil. Bukan karena kau dapat membersihkan halaman ini. Tetapi bahwa kau sudah mengalasi perasaan tidak telaten itu," berkata Agung Sedayu selanjutnya, "mudah-mudahan kau akan dapat berbuat seperti itu dalam tugas-tugasmu yang lain. Nah, aku akan melihat, apakah besok pagi, besok lusa, sepekan dan sebulan lagi, kau masih dapat melakukan seperti ini."


05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Kemudian iapun bertanya, "Jadi aku harus melakukannya setiap hari untuk seterusnya?"
"Ya," jawab Agung Sedayu.
Glagah Putih menegang sejenak. Sementara Agung Sedayu yang mehhatnya berkata sambil tersenyum, "Hanya untuk satu pekerjaan yang sangat mudah kau lakukan. Apalagi jika kau harus menekuni ilmu kanuragan. Banyak hal-hal yang menjemukan harus kau lakukan berulang kali. Bahkan beratus kali. Kau harus telaten berlatih tidak hanya untuk satu dua hari, bahkan satu dua bulan. Tetapi kau harus melakukannya bertahun-tahun tanpa jemu-jemunya. Kau harus mengatasi perasaan tidak telaten dan jemu."
Glagah Pulih termangu-mangu. Sementara Agung Sedayu meneruskan, "Kau harus melakukan latihan-latihan yang berat dan berulang-ulang. Memang menjemukan sekali. Mungkin seseorang akan lebih senang meloncat untuk langsung menguasai ilmu yang nampaknya lebih tinggi tingkat dan nilainya. Tetapi dengan demikian, maka yang didapatkannya tentulah hanya kulitnya. Sedangkan didalam kulit itu sama sekali tidak terdapat daging dan apalagi tulang."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia menjawab, "Aku mengerti kakang."
"Nah, cobalah menguasai diri dengan sadar. Mungkin kau akan melakukan pekerjaan yang menjemukan dan yang sebenarnya kau tidak telaten melakukan nya didalam menuntut ilmu kanuragan," berkata Agung Sedayu kemudian.
"Ya kakang. Aku mengerti."
Agung Sedayu tersenyum. Ia benar-benar sudah mulai membentuk adik sepupunya. Seperti yang diinginkan oleh anak itu dan pamannya Ki Widura, maka Agung Sedayu diharapkan dapat menyalurkan ilmu yang mengalir melalui perguruan yang dimasa hidupnya Ki Sadewa merupakan ilmu yang pilih tanding.
Namun dalam pada itu, yang masih belum dapat disingkirkan dari hati Agung Sedayu adalah kebimbangannya. Kadang-kadang ia masih dibayangi keragu-raguan. Bukan karena ia tidak rela memberikan segalanya yang diketahuinya dari setiap unsur ilmu ayahnya itu, tetapi kadang-kadang ia menjadi cemas melihat anak-anak muda seperti Prastawa dan bahkan saudara seperguruannya sendiri Swandaru.
"Apakah aku akan tetap dapat menguasainya" " pertanyaan itulah yang selalu membayanginya. Bahkan kadang-kadang ia sudah mulai dibayangi. betapa prihatinnya, jika kelak Glagah Putih yang memiliki ilmu yang tinggi itu menjadi seorang anak muda yang sulit dikendalikan dan hanya menuruti kemauannya sendiri.
"Aku harus berhati-hati," berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri, seperti pekerjaan apa saja yang dilakukannya.
Namun Agung Sedayupun kemudian menemukan pemecahan. Untuk mempunyai kemampuan ilmu yang tinggi. Glagah Putih masih memerlukan waktu yang panjang. Selama itu ia masih mempunyai waktu untuk terus-menerus mengawasinya.
Hari itu nampaknya Agung Sedayupun telah mempersiapkan rencana bagi adik sepupunya. Menjelang malam, ia akan mulai lagi dengan latihan-latihan yang semakin lama tentu akan menjadi semakin berat disaat-saat mendatang.
Namun dalam pada itu. ketika Agung Sedayu siap untuk pergi kesawah, melihat apakah air mengalir sewajarnya, Glagah Putih menemuinya sambil berkata, "Kakang, aku akan pergi ke Banyu Asri."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa Glagah Putih tentu ingin sekali bertemu dengan orang tuanya. Karena itu, maka katanya, "Baiklah Glagah Putih. Nanti aku akan mengantarmu pergi ke Banyu Asri."
"Kenapa kau harus mengantar?" bertanya Glagah Putih, "untuk jarak beberapa ratus tonggak, kenapa harus diantarkan?"
Agung Sedayu tersenyum. Jawabnya, "Maksudku, akupun sudah rindu kepada paman dan keluarga di Banyu Asri. Apa salahnya aku juga pergi ke Banyu Asri?"
"Tetapi kakang tidak perlu mengantar aku. Jika kakang ingin bertemu dengan ayah, biarlah aku mengajak ayah datang kepadepokan ini," berkata Glagah Putih kemudian.
Agung Sedayu justru tertawa. Ia mengerti getaran perasaan Glagah Putih. Karena itu maka iapun tidak ingin memaksakan keinginannya.
Namun dalam pada itu, selagi mereka berbicara, seseorang memasuki regol halaman dengan ragu-ragu. Bahkan orang itupun kemudian berhenti di ujung halaman dengan penuh kebimbangan.
"Sabungsari," sapa Agung Sedayu yang melihat kedatangannya. Dengan tidak memberikan kesan apapun, ia menyongsongnya seperti saat-saat mereka baru berkenalan. Apalagi Glagah Putih yang tidak mengetahui apa yang telah terjadi antara Agung Sedayu dan Sabungsari. Sambil tertawa Glagah Putih berkata, "He, kenapa ragu-ragu" Seolah-olah baru kali ini kau melihat padepokan ini."
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengerutkan keningnya ia berdesis didalam hati. "Aku tidak dapat mengerti, betapa jernihnya hati anak muda itu. Yang telah terjadi sama sekali tidak membekas. Agaknya Agung Sedayu dapat menahan perasaannya dan tidak menceriterakannya kepada Glagah Putih. Nampaknya anak itu sama sekali tidak mengerti apa yang telah terjadi."
Namun Sabungsari masih tetap termangu-mangu, sehingga Glagah Putih mengulangi, "He, apakah kau bermimpi?"
Akhirnya Sabungsari menyadari keadaannya. Betapapun pahitnya ia mencoba untuk tersenyum sambil menjawab, "Aku takut kalau kedatanganku akan mengganggu."
"He, apakah kau pernah mengatakan demikian sebelumnya" Kau datang setiap saat. Pagi, siang, sore, bahkan waktu makan. Kau tidak pernah merasa mengganggu. Kenapa tiba-tiba saja kau berkata demikian?"
Sabungsari benar-benar bingung menjawab pertanyaan Glagah Putih. Namun Agung Sedayulah yang menolongnya, "Pertanyaanmu sulit dijawab Glagah Putih. Karena itu, bertanyalah yang lain."
Glagah Putihpun tertawa. Katanya, "Baiklah. Aku tidak bertanya apa-apa lagi."
Agung Sedayupun kemudian mempersilahkan Sabungsari untuk naik kependapa. Tetapi ternyata Sabungsari menjawab, "Biarlah aku dihalaman saja. Lakukanlah apa yang masih harus kaulakukan."
"Tidak ada yang akan aku lakukan sekarang," berkata Glagah Putih, "kakang Agung Sedayupun tidak. Kakang akan pergi kesawah, sedang aku akan pergi ke Banyu Asri."
"Jadi kalian akan pergi?" bertanya Sabungsari.
"Tidak sekarang," jawab Agung Sedayu.
"Ya. Kakang Agung Sedayu memang tidak akan pergi sekarang. Akulah yang akan pergi ke Banyu Asri."
Sabungsari memandang Agung Sedayu sekilas, sementara Agung Sedayu berkata, "Benar. Aku memang tidak akan pergi. Silahkan. Duduklah dipendapa."
Sabungsari termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian melangkah naik kependapa bersama Agung Sedayu, sementara Glagah Putih masih tetap berdiri dihalaman.
"Jika kau akan pergi, mintalah ijin Kiai Gringsing," berkata Agung Sedayu kemudian.
Glagah Putih kemudian masuk keruang dalam mencari Kiai Gringsing dan minta ijin kepadanya untuk pergi ke Banyu Asri.
"Kau sudah minta ijin kakakmu?" bertanya Kiai Gringsing.
"Sudah Kiai." "Berhati-hatilah. Apakah kau akan berjalan kaki atau berkuda saja meskipun tidak begitu jauh?"
"Aku akan berjalan kaki saja Kiai," jawab Glagah Putih, "nampaknya menyenangkan berjalan-jalan di daerah ini."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, "Pergilah. Tetapi jangan singgah dimana-mana. Kau harus langsung menuju ke Banyu Asri."
Glagah Putih tersenyum. Ia mengerti, bahwa Kiai Gringsing, seperti juga kakak sepupunya, tentu mengkhawatirkannya. Telapi jika kemana-mana ia harus selalu ditemani oleh Agung Sedayu, maka ia akan menjadi anak yang cengeng.
Tetapi Glagah Putih kurang mempertimbangkan, justru karena ia dekat dengan Agung Sedayu, maka ia telah terpercik juga oleh masalah-masalah yang sebenarnya tidak diketahuinya.
Ketika kemudian Glagah Putih keluar dari ruang dalam, maka sekali lagi ia minta diri kepada kakaknya, kemudian mempersilahkan Sabungsari untuk tinggal dipadepokan itu.
Sabungsari memandang Glagah Pulih sampai hilang dibalik pinlu regol. Kemudian diluar sadarnya ia memandang Agung Sedayu yang duduk di sampingnya. Tetapi agaknya Agung Sedayu itupun sedang memperhatikan Glagah Putih yang melintasi pintu regol halaman.
Sepeninggal Glagah Putih, maka Agung Sedayupun masih berbicara beberapa saat dengan Sabungsari. Diluar sadarnya, Sabungsari menceriterakan pergolakkan perasaannya. Seolah-olah ia sedang terbanting-banting pada dua dunia yang kurang dipahaminya.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Sabungsari berkata, "Maaf Agung Sedayu. Aku akan kembali ke barak."
Agung Sedayu terkejut. Dengan ragu-ragu ia bertanya. "Kenapa sebenarnya. Kau tiba-tiba saja ingin kembali kebarakmu."
"Aku ingat, bahwa sebentar lagi aku harus berada di rumah Ki Untara. Mungkin aku akan mendapat tugas untuk pergi keluar tlatah Jati Anom."
"Ah, begitu tiba-tiba. Tinggallah disini dahulu. Mungkin kau haus. Marilah kita mengambil beberapa buah jambu, atau beberapa butir kelapa muda." ajak Agung Sedayu.
"Lain kali sajalah. Aku tergesa-gesa."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Katanya, "Kau berbuat aneh. Tiba-tiba saja kau ingin meninggalkan padepokan ini."
"Tadi aku lupa, bahwa aku harus bertugas. Ketika aku teringat, maka aku menjadi gelisah. Mungkin beberapa orang kawan sudah menunggu. Jika aku tidak datang tepat pada waktunya, Ki Untara tentu akan marah. Baru saja ia menunjukkan kebaikan hatinya memberi aku ijin meninggalkan Jati Anom, meskipun aku sekedar menipunya. Tetapi maksud yang ada dihatinya adalah maksud yang baik."
"Tetapi nantilah sebentar," jawab Agung Sedayu, "aku juga akan pergi kesawah. Marilah kita pergi bersama-sama."
Wajah Sabungsari menegang. Namun kemudian ia menundukkan kepalanya. Dengan nada yang dalam ia berkata, "O, aku mengerti Agung Sedayu."
"Apa?" bertanya Agung Sedayu.
"Agaknya kau masih mencurigai aku. Mungkin kau berpikir, begitu Glagah Putih meninggalkan padepokan ini, begitu aku minta diri."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat menjawab. Namun sebenarnyalah ia menjadi curiga, bahwa tiba-tiba saja Sabungsari ingin meninggalkan padepokannya sebelum Glagah Putih menjadi cukup jauh.
"Agung Sedayu," berkata Sabungsari, "meskipun aku tidak bertempur sampai mati melawanmu, tetapi aku masih tetap seorang laki-laki. Aku tidak akan berbuat licik. Seandainya aku masih ingin melakukan sesuatu atasmu." Sabungsari berhenti sejenak, lalu. "Agung Sedayu. Lahir batin, aku sudah tidak ingin lagi membunuhmu, meskipun aku bukan berarti menjadi seorang yang baik. Jika aku tidak nnembunuhmu, seperti yang pernah aku katakan, bukan karena aku berhasil melihat buruk dan baik, tetapi karena aku memang sudah kau kalahkan. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa aku tidak berusha sejauh-jauh dapat aku lakukan untuk mengetahui buruk dan baik itu, sehingga aku dapat dengan ikhlas melupakan kekalahan ini."
Dada Agung Sedayu berdesir. Ia melihat kejujuran seorang laki-laki jantan. Karena itu, maka kalanya kemudian, "Aku minta maaf Sabungsari. Mungkin aku masih dipengaruhi oleh kecurigaan yang tidak beralasan itu."
"Telapi aku dapat mengerti. Ketika kita bertemu pertama-tama, maka aku memang bersikap pura-pura. Sekali aku berbuat demikian, maka sulit bagi orang lain unluk melupakan dan kemudian mempercayai aku."
"Aku percaya kepadamu," desis Agung Sedayu.
"Tetapi tidak sekarang. Aku minta kau pergi bersamaku, sampai kau yakin, Glagah Putih sampai ke Banyu Asri dan aku tidak dapat menyusulnya atau orang-orang yang aku perintahkan melakukan demikian."
"Tidak perlu Sabungsari. Aku percaya kepadamu. Aku khilaf, bahwa aku mencurigaimu seperti aku mencurigai laki-laki yang licik."
"Tetapi prasangka itu pernah ada didalam angan-anganmu. Karena itu marilah. Kau harus yakin bahwa aku tidak berbuat apa apa." Sabungsari memaksa, "karena seandainya Glagah Putih mengalami sesuatu oleh pihak manapun juga, maka kecurigaanmu yang sudah kau timbuni dengan kepercayaan itu, seolah-olah akan menganga lagi. Dan kau tentu akan berkata, "Nah, bukankah Sabungsari benar-benar licik dan pengecut?"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
"Marilah Agung Sedayu,"ajak Sabungsari, "sekedar untuk menenangkan hatiku. Agar aku tidak dibebani oleh kegelisahan lagi. Dalam kebimbangan aku sudah cukup gelisah dan bingung. Karena itu, biarlah aku mendapat sedikit ketenangan dalam hal ini."
Agung Sedayu tidak dapat mengelak lagi. iapun segera masuk dan membenahi pakaiannya. Kepada Kiai Gringsing ia minta diri dan mengatakan serba singkat, apa yang telah terjadi pada perasaan Sabungsari."
"Baiklah. Biarlah aku tidak menemuinya dulu. Biarlah hatinya mapan, sehingga ia tidak menjadi semakin baur," berkata Kiai Gringsing.
Demikianlah maka Agung Sedayu dan Sabungsari meninggalkan padepokan itu. Agung Sedayu mengatakan, bahwa yang telah terjadi sudah diketahui oleh Kiai Gringsing.
"Dan gurumu marah kepadaku, sehingga ia tidak mau menampakkan diri?" bertanya Sabungsari.
"Kau selalu salah sangka."
"Itu wajar. Perasaanku yang bingung membuat aku tidak mempunyai pegangan. Tetapi pada peristiwa yang telah terjadi sampai saat ini, aku ternyata telah mengagumimu, aku kehendaki atau tidak aku kehendaki."
"Kau memuji," desis Agung Sedayu.
"Aku berkata sebenarnya. Sementara hatiku masih saja bergejolak. Aku ingin melihat buruk dan baik. Telapi keinginan membalas dendam itupun masih saja menyala. Tidak lagi kepadamu, karena aku tidak mampu. Tetapi seperti banjir yang terbendung, maka dendam itu kini mengarah kepada Carang Waja dan orang-orang Pasisir Endut."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia pernah mendengar bahwa salah seorang pengikut Sabungsari yang mencegatnya justru dibunuh oleh orang-orang Pesisir Endut!
"Tetapi Sabungsari," berkata Agung Sedayu, "bukankah, pengikut-pengikutmu juga sudah membunuh mereka" Bahkan berlipat?"
"Aku mengerti Agung Sedayu," berkata Sabungsari kemudian, "tetapi merekalah yang mulai dengan pertengkaran itu."
"Itu hanyalah suatu ledakan dari peristiwa yang mungkin sekali terjadi dari dua gerombolan yang bertemu," berkata Agung Sedayu.
"Memang mungkin sekali. Sekelompok penjahat akan merasa daerah serambahnya terganggu jika ada kelompok lain yang memasukinya," desis Sabungsari, "namun demikian, satu orang dari perguruan Telengan bernilai lima orang dari Pesisir Endut."
"Itu menurut penilaianmu. Tetapi menurut penilaian orang Pesisir Endut akan berbeda pula. Jika penilaian itu masih saja ada pada salah satu pihak, maka dendam memang akan tetap menyala. Justru semakin lama akan menjadi semakin besar."
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Itulah yang masih belum mengerti. Tetapi aku akan mencoba Agung Sedayu, meskipun dengan terus terang aku katakan, bahwa sampai saat ini aku masih tetap mendendam mereka."
Agung Sedayu tidak menjawab, meskipun dadanya menjadi berdebar-debar juga. Ia seolah-olah melihat jantung Sabungsari yang membara. Ia gagal memenuhi janjinya kepada diri sendiri untuk membunuh seorang anak muda yang telah membunuh ayahnya. Bahkan tiba-tiba pihak yang semula tidak bersangkut paut itu telah membunuh pengikutnya pula.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Agung Sedayu menghentikan langkahnya sambil berkata, "Bukankah kau akan kembali kebarakmu sebelum kau akan melakukan tugasmu?"
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Ya. Aku memang akan bertugas. Mungkin aku akan bertugas nganglang sampai keluar telatah Jati Anom. Sekarang Ki Untara sering memerintahkan sekelompok prajurit nganglang sampai ke tlatah Macanan bahkan sampai ke Benda dan Sangkal Putung."
"Apakah ada gejala yang kurang baik disaat terakhir?"
"Aku kira tidak Agung Sedayu. Tetapi aku tahu, bahwa Ki Untara telah mendapat perintah dari Pajang, untuk mengawasi setiap perkembangan didaerah ini. Termasuk Sangkal Putung," jawab Sabungsari.
Dada Agung Sedayu berdesir. Tetapi ia berusaha untuk menyembunyikan setiap kesan yang dapat menimbulkan kecurigaan pada Sabungsari.
"Baiklah," berkata Agung Sedayu kemudian, "kita berpisah sampai disini. Lupakan kekhilafanku. Aku benar-benar mempercayaimu. Lakukanlah tugasmu dengan baik sebagai seorang prajurit Pajang."
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, "Terima kasih atas kepercayaanmu Agung Sedayu. Saat ini Glagah Pulih tentu sudah memasuki bulak Banyu Asri. Sebentar lagi ia akan bertemu dengan orang tuanya."
Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab, "Ya. Dan ia tidak mengerti apa yang telah terjadi. Ia juga tidak mengerti gejolak perasaanmu dan keragu-raguanku."
Sabungsari memandang Agung Sedayu sejenak. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Aku minta diri."
Kedua anak muda itupun segera berpisah. Agung Sedayu menuju kebulak, sedang Sabungsari menuju ke baraknya. Seperti dikatakannya ia memang akan mendapat tugas dengan beberapa orang kawannya untuk mengelilingi daerah yang agak luas. seperti yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang lain bergantian.
Ketika Sabungsari sampai dirumah Untara yang dipergunakan untuk kepentingan keprajuritan itu, maka ia masih harus menunggu sesaat. Untara sendiri akan memberikan beberapa pesan kepada mereka, seperti yang selalu dilakukannya pula.
Sejenak kemudian, maka lima orang yang akan bertugas itupun segera dipanggil kependapa. Mereka mendapat penjelasan singkat tentang tugas mereka.
"Kalian adalah pelindung yang baik. Kepada kalian mereka berharap. Ada tanda-tanda kerusuhan didaerah Selatan. Mungkin para pengawal Kademangan sudah mempersiapkan diri. Tetapi kehadiran kalian akan dan seharusnya menumbuhkan ketenangan dihati para penghuni Kademangan didaerah Selatan itu." Untara terdiam sejenak, namun kemudian. "Disamping tugas itu, kalian juga mengemban kewajiban untuk mengetahui, apakah yang berkembang disetiap wilayah yang kalian lalui. Mungkin kalian akan berhenti digardu-gardu perondan. Berbicara dengan para pengawal Kademangan. Dari mereka kalian akan menangkap, apakah yang sedang menjadi pusar perhatian Kademangan-Kademangan itu.
Kelima prajurit yang akan berangkat nganglang itu mengangguk-angguk.
"Kalian akan melalui beberapa daerah Kademangan. Dan kalian akan melihat perhatian yang berbeda-beda dari setiap Kademangan itu."
Setelah memberikan beberapa petunjuk Untara kemudian mempersilahkan para prajurit itu bersiap-siap. Mereka akan berangkat lewat jalan ditepi hutan disebelah Barat. Kemudian mereka akan berbelok dan melalui bulak-bulak panjang. Mereka akan berada diperjalanan dimalam hari melalui beberapa Kademangan sehingga mereka akan dapat bertemu dan berbicara dengan para pengawal yang sedang meronda di gardu-gardu. Disiang berikutnya, mereka akan beristirahat disebuah Kademangan yang akan mereka pilih, sampai menjelang senja. Mereka akan segera melanjutkan perjalanan, sehingga pagi berikutnya, mereka akan sudah berada kembali di Jati Anom.
Dalam perjalanan itu, mereka dibekali dengan beberapa jenis makanan yang tahan untuk dua hari. Mereka tidak dapat mengharapkan jamuan dari pihak lain, meskipun biasanya disetiap Kademangan mereka selalu disambut baik.
Dengan kelengkapan tempur, maka sekelompok prajurit telah meninggalkan Jati Anom, dipimpin oleh seorang perwira yang mulai menginjak diusia pertengahan.
Namun wajahnya nampak cerah dan gembira seperti wajah anak-anak muda.
Perjalanan itu bukannya yang pertama kali dilakukan oleh perwira diusia pertengahan itu. Sebelumnya ia pernah melakukannya bersama kelompok lain. Baginya perjalanan demikian itu adalah perjalanan yang menyenangkan. Mereka akan dapat bertemu dengan anak-anak muda dan para pengawal dari beberapa Kademangan. Biasanya mereka akan dapat mendengar banyak ceritera, dan terutama mereka akan diterima dengan senang hati. Jika mereka singgah di Kademangan manapun juga, mereka akan disambut dengan berbagai macam hidangan. Satu atau dua ekor ayam, biasanya akan dikorbankan.
"Kita akan bertamasya," berkata perwira itu ketika mereka meninggalkan Jati Anom. "kita akan bujana dibeberapa Kademangan. Dan kita akan bergurau dengan anak-anak muda yang gembira serta para pengawal yang setia kepada tugas mereka."
Para prajurit yang menyertainya mengangguk-angguk. Sabungsaripun menjadi agak gembira pula. Dengan demikian, ia berharap untuk mendapatkan suasana yang baru setelah perasaannya dihancurkan oleh Agung Sedayu. Bukan saja kekalahannya, tetapi berita tentang buruk dan baik benar-benar telah menggelisahkan.
Diperjalanan aku akan mengalami kesegaran. Mudah-mudahan kemudian aku dapat memikirkan persoalan yang menyangkut aku dan Agung Sedayu dengan bening. Mungkin kabar tentang buruk dan baik yang dibawanya itu, akan dapat memberikan ketenteraman hidup bagiku dimasa datang," berkata Sabungsari kepada diri sendiri.
Sebenarnyalah, perjalanan mereka sangat menyenangkan. Matahari yang turun perlahan-lahan, dan untuk beberapa saat hinggap dipunggung bukit, memberikan kesan tersendiri dihati para prajurit itu.
"He, kau lihat," berkata perwira yang memimpin selompok kecil itu, "langit menjadi merah layung" Anak-anak kecil dipadesan akan meneriakkan lagu layung, agar mereka tidak terkena penyakit mata yang disebarkan lewat warna merah Jingga seperti ini."
Dan sebenarnyalah, ketika mereka mendekati sebuah padukuhan kecil yang pertama setelah mereka melintasi bulak yang berbatasan dengan ujung hutan perdu, mereka mendengar anak-anak kecil berdendang bersama-sama.
"Alangkah damainya hati anak-anak itu," berkata Sabungsari didalam hatinya. Ia melihat gadis-gadis kecil bergandengan tangan membuat lingkaran sambil memandang langit berwarna merah jingga yang tajam. Mereka mohon, agar layung dilangit tidak membuat mata mereka menjadi sakit. Tetapi biarlah orang lain sajalah yang menjadi sakit mata."
"Ah, lagu itu harus dirubah," tiba-tiba Sabungsari mengerutkan keningnya, "Agung Sedayu tentu tidak sependapat. Jika mereka memohon untuk tidak sakit mata itu tidak mengapa. Tetapi kenapa harus orang lain yang mengalami."
Tetapi Sabungsari tersenyum ketika ia melihat gadis-gadis kecil itu kemudian berlari-lari dan berdiri dipinggir jalan sambil melambaikan tangan mereka dan berteriak-teriak menyambut para prajurit yang lewat.
Ternyata perwira yang memimpin kelompok kecil itu benar-benar seorang yang ramah. Ia menghentikan kudanya dan meloncat turun dihadapan gadis-gadis kecil itu.
"Sebentar lagi gelap akan turun," katanya.
"Tetapi sekarang belum gelap," jawab seorang gadis kecil.
Sambil tersenyum perwira itu berkata, "Sebaiknya kalian pulang sebelum gelap. Nanti ayah ibumu mencarimu."
"Rumah kami dekat," sahut salah seorang dari mereka.
Perwira, itu menepuk kepala gadis kecil itu sambil tertawa. Katanya, "Meskipun dekat, tetapi lihat, setelah layung itu lenyap, maka hari akan gelap. He, kalian berani pulang sendiri?"
"Kenapa tidak" " gadis kecil yang lain menyahut.
"Kami terbiasa pulang malam."
"Kenapa yang bermain disini hanya anak-anak perempuan" Dimana anak-anak laki-laki bermain?" bertanya perwira itu.
"Mereka berada disungai. Mereka menyiapkan pliridan," jawab seorang gadis kecil berambut panjang.
"O, jadi disaat seperti ini mereka masih berada disungai?"
"Ya. Sudah menjadi kebiasaan mereka. Kakakku juga pergi kesungai. Mereka membuka pliridan. Malam nanti, mereka akan menutup pliridan itu dan memasang icir untuk menangkap ikan terperosok masuk kedalam pliridan."
"Hanya anak-anak" Dimana anak-anak remaja?"
"Mereka juga berada disungai. Ayah juga berada disungai," anak yang lain menyahut.
Perwira itu mengangguk-angguk. Padukuhan yang terletak dipinggir sungai itu ternyata memberikan penghasilan sampingan bagi penghuninya meskipun terlalu sedikit untuk diperhitungkan. Tetapi perwira itu mengetahui bahwa ada tiga orang penghuni padukuhan itu yang selain petani juga seorang pencari ikan dengan jala. Dimalam hari mereka turun kesungai sampai menjelang pagi dengan jala mereka.
Sejenak kemudian maka perwira itu berkata, "Sudahlah. Aku dan paman-paman yang lain akan melanjutkan perjalanan. Pulanglah segera. Ibumu tentu sudah menyalakan lampu dirumah. Mungkin ketela pohon yang tadi siang dicabut, sudah direbus. He, bahkan dengan legen. Manis sekali bukan?"
Tetapi seorang gadis kecil menyahut, "Ayah tidak mencabut ketela pohon siang tadi."
"O," perwira itu mengerutkan keningnya.
"Kakakkulah yang menggali ubi ungu." anak itu melanjutkan, "dan aku mengumpulkan becicing sebakul penuh."
"Bagus," sahut perwira itu, "pulanglah. Tentu ubi ungu itu masih hangat."
Anak-anak itu mengguk-angguk. Sementara perwira itu telah meloncat kepunggung kudanya untuk melanjutkan perjalanan.
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Di Jati Anom anak-anak kecil juga bermain-main. Tetapi seakan-akan ia tidak mempunyai waktu untuk memperhatikannya, sehingga hatinya benar-benar menjadi gersang dan tandus.
Sejenak kemudian kelompok kecil para prajurit itu meneruskan perjalanan mereka dalam tugas. Kuda-kuda yang tegar itu berderap dijalan padukuhan. Rumah-rumah yang mulai buram telah diterangi lampu minyak yang berkeredip disentuh angin lembut.
Sabungsari mengerutkan keningnya sambil mengusap keringat yang membasahi kening. Yang dilihatnya seolah-olah merupakan masalah-masalah baru yang sangat menarik. Seolah-olah ia belum pernah melihat rumah berdinding bambu dan beratap ilalang terletak ditengah-tengah halaman yang berpagar batu rendah.
Yang dilalui oleh kelompok prajurit itu, bagi Sabungsari merupakan padukuhan yang tenang dan segar. Meskipun mereka hidup dalam kesederhanaan, tetapi anak-anak nampak gembira dan ramah.
Kesan itu telah mempengaruhi perasaan Sabungsari. Kesegaran dan sambutan yang jujur dari anak-anak padukuhan kecil itu bagaikan titik air hujan yang membasahi hatinya yang gersang, yang semula hanya dibayangi oleh perasaan dendam dan kebencian.
Diperjalanan, Sabungsari tidak banyak ikut bercakap-cakap dengan kawannya. Tetapi kawan-kawannyupun masih saja menyangka, bahwa Sabungsari belum dapat melepaskan diri dari suasana suram pada keluarganya, sehingga merekapun tidak mengganggunya.
Ketika kuda-kuda itu kemudian berderap di bulak persawahan, maka Sabungsari berada dipaling belakang. Angan-angannya sedang melambung menerawang masa-masa lampaunya. Ia mulai menilai, apakah yang telah dilakukannya sebelunn dan disaat-saat ia mulai berkenalan dengan seorang anak muda yang bernama Agung Sedayu. Seorang anak muda yang menjadi sasaran kebenciannya dan yang akan dibunuhnya seperti janji yang pernah diucapkan saat ia berangkat dari padepokannya.
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Dalam kegelapan yang mulai turun, ia seolah-olah melihat dirinya sendiri seperti kegelapan itu sendiri. Tetapi iapun mulai melihat lampu-lampu minyak yang menyala di rumah-rumah kecil sebelah menyebelah lorong dan di regol-regol halaman.
Sabungsari mengerutkan keningnya ketika ia mendengar salah seorang kawannya mendendangkan kidung perlahan-lahan.
"Aku tidak pernah melihat segi-segi kehidupan yang sebenarnya didalam lingkunganku sendiri," berkata Sabungsari didalam hatinya, "selama ini ternyata hatikulah yang selalu dibayangi oleh kabut dendam dan kebencian, sehingga hidup ini rasa-rasanya sangat kering dan panas."
Sambil menarik nafas dalam-dalam ia masih mendengar kawannya berdendang. Suaranya lembut meskipun tidak terlalu merdu.
Ketika mereka kemudian memasuki padukuhan berikutnya, mereka sudah melihat lampu menyala digardu diujung lorong. Tetapi mereka belum melihat anak-anak muda dan para pengawal yang bertugas berada digardu itu.
"Padukuhan kecil ini merupakan padukuhan yang hidup," berkata perwira yang berkuda dipaling depan sambil memperlambat derap kudanya, "tetapi kegemaran beberapa orang disini kurang aku sukai."
"Kegemaran apa Ki Lurah?" bertanya salah seorang prajurit.
"Sabung ayam," jawab perwira itu, "disini terdapat arena sabung ayam. Jika kita lewat padukuhan ini disiang hari, di-saat-saat arena sabung ayam itu dipergunakan, maka padukuhan ini adalah pedukuhan yang ramai. Sementara laki-laki berkumpul diarena sabung ayam, perempuan-perempuan bekerja disawah dan pategalan bersama anak-anak mereka."
Para prajurit yang mengikutinya mengangguk-angguk. Sabungsari yang ikut mendengarkan keterangan itupun mengangguk-angguk pula.
Perwira yang memimpin kelompok kecil itupun menarik kekang kudanya ketika ditikungan tiba-tiba saja ia melihat dua orang anak muda yang sedang berjalan. Dengan tiba-tiba kudanya berhenti, sehingga kuda-kudayang lain-pun terkejut dan berhenti dengan tiba-tiba pula.
Kedua anak muda itu berhenti pula. Tetapi seolah-olah keduanya sudah terlalu akrab berhubungan dengan para prajurit, sehingga karena itu maka salah seorang dari mereka segera bertanya, "Apakah paman bertugas malam ini?"
"Ya," sahut perwira itu.
"Dari Jati Anom?" bertanya yang lain.
"Ya, Aku ingin ikut duduk dan berbincang-bincang di gardu itu. Tetapi gardu itu masih kosong," jawab perwira itu.
"Kami akan berada digardu menjelang tengah malam," sahut anak muda itu.
"Kenapa tengah malam?"
Kedua anak muda itu saling berpandangan. Namun kemudian yang seorang menjawab, "Disore hari kami sedang mencoba untuk meningkatkan kemampuan kami. Terutama para pengawal."
"Bagus sekali. Dimana hal itu kalian lakukan?"
"Dirumah pemimpin pengawal padukuhan ini."
"Menarik sekali. Apakah kami dapat melihat kegiatan itu?"
Keduanya termenung sejenak. Kemudian salah seorang dari mereka menjawab dengan ragu-ragu. "Malu. Kami belum dapat berbual apa-apa."
"Tidak apa-apa. Marilah. Kami akan ikut serta bersama kalian. Bukankah kalian juga akan pergi kerumah pemimpin pengawal padukuhan itu?"
Keduanya masih tetap ragu-ragu. Tetapi akhirnya keduanya mengangguk.
Para prajurit itupun kemudian meloncat turun dan mengikuti kedua anak muda yang berjalan itu. Dari percakapan singkat disepanjang jalan, para prajurit itu mengetahui, bahwa perkembangan disaat-saat terakhir agak kurang menggembirakan. Dipadukuhan yang tidak terlalu jauh, baru saja terjadi perampokan.
"Belum ada sepekan," berkata anak muda itu, "sedang pada malam itu juga, dibulak panjang, diseberang padukuhan ini, telah terjadi pula penyamunan. Mungkin perampok-perampok itu pula yang telah menyamun. Kebetulan setelah mereka kembali dari merampok, mereka bertemu dengan beberapa orang pedagang yang kemalaman dijalan."
Perwira itu mengerutkan keningnya. Dengan sungguh-sungguh ia bertanya, "Apakah pernah ada peristiwa lain?"
"Tidak," jawab anak muda itu, "peristiwa itu memang mengejutkan. Sudah lama sekali hal itu tidak terjadi. Karena itu, maka setiap padukuhan disekitar peristiwa itu terjadi, telah mempersiapkan diri."
Kedatangan sekelompok prajurit di tempat latihan para pengawal padukuhan itu memang mengejutkan. Bahkan beberapa orang pengawal justru menjadi curiga.
Tetapi ketika mereka telah mendengar penjelasan, kenapa para prajurit itu tiba-tiba saja hadir ditempai latihan itu, merekapun menjadi tenang.
"Kami hanya akah melihat saja. Kami tidak akan mengganggu," berkata perwira itu.
"Tetapi kami menjadi segan," berkata pemimpin pengawal itu, "yang dapat kami lakukan barulah berloncat-loncatan saja. Tentu tidak akan menarik sama sekali."
"Kami ingin melihat apa adanya. Dengan demikian kami akan dapat mengetahui, apakah yang sebaiknya kami lakukan," jawab perwira itu. Seterusnya ia berkata, "Jika kami salah menilai yang sebenarnya itu, maka akibatnya akan dapat merugikan. Yang masih harus di bantu, kami anggap sudah terlalu cukup untuk menjaga diri sendiri."
Para pengawal itu dapat mengerti, sehingga karena itu mereka tidak merasa perlu untuk malu. Apa yang ada, itulah yang seharusnya dilihat. Agar para prajurit itu dapat merencanakan, apakah yang akan mereka lakukan kemudian.
Sejenak kemudian, maka latihan-latihan itupun segera dimulai. Dimata para prajurit, maka yang dapat dilakukan oleh para pengawal itu memang baru permulaan dari olah kanuragan. Tetapi mereka sama sekali tidak menunjukkan kesan, bahwa yang dilihat itu sama sekali belum berarti.
"Bagaimana menurut penilaian paman," bertanya pemimpin pengawal kepada perwira yang memimpin kelompok prajurit itu.
"Bagus. Bagus," sahut perwira itu, "tetapi kalian masih harus lebih giat lagi berlatih. Kalian sudah memiliki dasar dari tata gerak olah kanuragan. Kalian harus meningkat, sehingga dengan demikian kalian akan benar-benar menjadi pelindung bagi padukuhan ini."
"Tetapi bagaimana dengan kemampuan yang sudah ada pada kami," bertanya seorang anak muda bertubuh tinggi kekar, "apakah dengan kemampuan kami, kami sudah cukup kuat menghadapi para perampok?"
Perwira itu harus berhati-hati. Ia tidak boleh mengecewakan anak-anak muda itu. Tetapi iapun tidak boleh memberikan gambaran yang salah, seolah-olah apa yang telah mereka miliki itu sudah cukup kuat untuk dihadapkan pada kesulitan yang sebenarnya.
Karena itu, maka katanya, "Seperti juga seorang prajurit, atau seorang pengawal, maka para penjahatpun mempunyai tingkatannya pula. Ada seorang penjahat yang memang baru mencoba-coba. Yang baru mulai dengan latihan-latihan dasar olah kanuragan. Tetapi ada seorang penjahat yang memiliki kemampuan seorang perwira besar. Karena itu, janganlah pernah merasa puas dengan kemanmpuan yang kalian miliki, betapapun tingginya ilmu kalian, karena kalian tidak tahu, penjahat yang manakah yang akan datang kepadukuhan ini." perwira itu berhenti sejenak, lalu. "maka latihan-latihan semacam ini sebenarnyalah akan banyak memberikan arti bagi kalian dan padukuhan kalian."
Para pengawal itu mengangguk-angguk. Mereka menjadi berbesar hati mendengar pendapat perwira itu, sehingga merekapun merasa lebih mantap lagi untuk berlatih disetiap hari menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi, karena mereka memang merasa tidak dapat menggantungkan diri kepada siapapun juga, kecuali kepada kemampuan para pengawalnya sendiri.
Meskipun waktunya sangat pendek, tetapi perwira itu ternyata telah menyisihkan waktu untuk memberikan beberapa petunjuk langsung kepada para pengawal. Ia memberikan beberapa petunjuk yang dapat dikembangkan oleh anak-anak muda itu didalam ilmu pedang. Bagaimana cara yang benar menggenggam hulu pedang. Bagaimana menggerakkan sesuai dengan keadaan yang timbul disetiap saat. Bagaimana harus menyerang dengan ayunan, dengan tusukan dan dengan tebasan mendatar. Bagaimana menangkis dengan membenturkan senjata, merubah arah serangan lawan dan melibat senjata lawan pada suatu putaran sehingga memungkinkan senjata lawan terlepas. Dan beberapa petunjuk tata gerak pokok yang lain.
"Kembangkan," berkata perwira itu, "lain kali aku akan lewat padukuhan ini lagi, atau salah seorang dari kami. Kami akan menilai apakah petunjuk pendek ini dapat kalian kembangkan sebaik-baiknya. Diantara kami tentu akan memberikan petunjuk-petunjuk berikutnya. Mungkin dalam olah senjata yang lain. Tombak, bindi atau trisula bertangkai panjang dan pendek. Canggah atau senjata lentur."
"Cambuk," tiba-tiba seorang anak muda berdesis.
Perwira itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum. Katanya, "Siapakah yang pernah mendengar, bahwa cambuk dapat dipergunakan sebagai senjata yang sangat berbahaya?"
"Orang-orang bercambuk dari Jati Anom itu" " yang lain berdesis.
Perwira itu tertawa. Katanya, "Ilmu itu sangat sulit. Akupun tidak mampu melakukannya. Tetapi jika orang itu lewat dipadukuhan ini. ia tentu bersedia membantu kalian."
Anak-anak muda itupun mengangguk-angguk. Sementara perwira itu berkata, "Nah, kami mohon diri. Kami akan melanjutkan perjalanan. Kami masih ingin melihat-lihat padukuhan yang lain. Kami akan melalui daerah yang baru saja mengalami bencana itu. Bencana itu terjadi, disaat prajurit yang meronda baru saja melalui padukuhan itu. Atau setelah memperhitungkan dengan saksama karena pengamatan yang tidak hanya sesaat, bahwa pada malam itu tidak ada prajurit yang meronda. Karena kami memang tidak setiap malam melalui daerah ini."
"Ya. Nampaknya merekapun mengetahuinya. Prajurit Pajang di Jati Anom hanya melalui daerah ini kira-kira sepekan sekali," sahut seorang anak muda.
"Kami akan mempercepat gelombang perondaan itu," jawab perwira itu, "tetapi selebihnya, perlindungan langsung ada ditangan kalian anak-anak muda padukuhan ini. Meskipun demikian kami berpesan. jika kalian menjumpai sekelompok penjahat yang tidak mungkin terlawan jangan memaksa diri. Mereka tentu orang-orang yang buas tanpa mengenal kasihan. Orang-orang yang demikian adalah urusan kami."
Anak-anak muda itu mengerutkan keningnya. Seolah-olah ada sesuatu yang tertahan di tenggorokan.
Perwira itu seolah-olah mengetahui apa yang akan mereka katakan. Katanya mendahului, "Mungkin mereka melakukan hal itu diluar pengetahuan kami. Tetapi jika benar-benar terjadi seperti itu, maka adalah kewajiban kami untuk mengejar, mencari dan menemukan mereka. Seperti yang telah terjadi dipadukuhan seberang bulak panjang itu, maka kamipun berkewajiban mencari keterangan siapakah yang telah melakukannya. Selanjutnya kamipun bertanggungjawab untuk menemukan penjahatnya. Mungkin bukan sekelompok prajurit inilah yang harus mengejar dan mencari mereka, tetapi setelah hal ini kami laporkan kepada Senopati di Pajang, maka ia akan membuat perintah-perintah tertentu."
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk.
"Nah, selamat tinggal. Salam kalian akan kami sampaikan kepada orang-orang bercambuk di Jati Anom itu," berkata perwira itu sambil tertawa.
Ketika para perajurit itu melanjutkan perjalanan, maka di Jati Anom, yang disebut orang bercambuk itu sedang sibuk didalam sanggarnya. Dengan sungguh-sungguh Agung Sedayu sedang memberikan beberapa petunjuk kepada adik sepupunya dihadapan Kiai Gringsing dan Ki Widura yang ternyata telah ikut pergi kepadepokan kecil itu atas permintaan anaknya.
Dengan sungguh-sungguh pula Glagah Putih mengikuti petunjuk-petunjuk kakak sepupunya yang memberikan beberapa contoh tata gerak, kemudian memberikan arti dan sifat dari setiap gerak itu.
Glagah Putihpun kemudian harus mengulangi melakukan tata gerak itu beberapa kali. Bukan saja mengulangi gerak itu sendiri, tetapi ia harus mengerti arti dan sifatnya. Dengan beberapa contoh gerak imbangan tata gerak tandingan dan bermacam-macam penjelasan kenapa dilakukannya demikian, Glagah Putih memahami gerak itu sampai kemaknanya.
Karena itu, dengan penuh pengertian ia melakukannya, karena iapun menjadi sadar, bahwa hal itu memang harus dilakukannya dalam keadaan dan hubungan peristiwa tertentu pula.
Kiai Gringsing dan Ki Widura memperhatikan anak muda itu dengan saksama. Glagah Putih memang cukup tangkas, ia meloncat dengan ringan dan menggerakkan anggauta badannya dengan mantap dan berisi. Sekali-sekali terdengar ia menggeram, menggerakkan gigi dan berdesis. Tetapi sekali-sekali terdengar suaranya menghentak sejalan dengan hentakkan tangan dan kakinya.
Ki Widura mengangguk-angguk ketika ia melihat Glagah Putih kemudian menghentikan latihannya pada unsur gerak yang pertama dilakukannya malam itu. Ia mengerti, bahwa Agung Sedayu masih menitik beratkan latihannya kepada penguasaan gerak untuk meningkatkan kecepatan dan tanggapan atas suatu gerak.
Agung Sedayu memang membagi waktu Glagah Putih sebaik-baiknya. Disore dan malam hari, Glagah Putih harus meningkatkan kemampuannya menguasai tata gerak, meningkatkan kecepatan gerak dan tanggapan atas gerak sampai kemaknanya. Tetapi di pagi hari, Glagah Putih harus meningkatkan kemampuan tenaganya dan kekuatannya sejalan dengan kemajuan kecepatan, penguasaan dan tanggapannya atas gerak dan maknanya.
Disiang hari Glagah Putih tidak akan mendapatkan latihan-latihan khusus. Menurut rencana Agung Sedayu, di siang hari Glagah Putih akan menyesuaikan diri dengan kehidupan sehari-hari. Diantara kerjanya sehari-hari itu memang mungkin baginya untuk meningkatkan kemampuannya pada segi yang manapun.
Mungkin Glagah Putih akan berjalan sejak matahari terbit menuruni tebing sungai yang curam, naik ketebing diseberang sampai beberapa kali. Mungkin ia harus menyusuri kali itu dengan meloncat dari batu kebatu, atau berkali-kali dipematang yang sempit, menimba air bukan saja untuk mengisi jambangan, tetapi untuk menambah air dibelumbang.
Banyak kerja yang dilakukan untuk menambah kemampuannya dan kecepatan gerak serta keseimbangan tubuhnya. Sehingga kemampuannyapun akan luluh dalam gerak gerak naluriah sehingga dapat dilakukan pada setiap saat tanpa memikirkannya berlama-lama.
Sambil mengusap keringat yang membasahi keningnya, Glagah Putih memandang Agung Sedayu, seolah-olah ingin mendapatkan kesan, apakah yang dilakukan sudah benar.
Tetapi Agung Sedayu tidak memberikan tanggapan apapun. Ia segera memberikan beberapa petunjuk tata gerak yang lain dalam hubungan arti dan sifat dengan tata gerak yang pertama.
"Unsur yang ketiga," berkata Agung Sedayu.
Glagah Putih sama sekali tidak berkata apapun juga. Ia hanya memandang dengan sungguh-sungguh agar tidak kehilangan gerak yang betapapun kecilnya, karena ia mengerti, bahwa tidak ada gerak yang tidak mempunyai arti dan kepentingan dalam hubungannya dengan keseluruhan gerak.
Karena itu, maka Glagah Putihpun kemudian mulai dengan tata gerak pada unsur ketiga. Ia mengerti, pada tataran kedua, ia akan mempelajari dua belas unsur tata gerak seperti yang diberitahukan oleh Agung Sedayu, setelah pada tataran pertama ia menguasai duapuluh satu unsur tata gerak dasar, yang dipelajarinya sebagian besar dari ayahnya. Tetapi yang kemudian dimatangkan pula oleh Agung Sedayu. Serta unsur yang pertama pada tataran kedua.
Seperti unsur tata gerak kedua, maka Glagah Putihpun kemudian menirukan, mengerti dan memahami arti-dan sifat dari unsur tata gerak ketiga. Dengan sungguh-sungguh ia melakukan latihan, sehingga keringatnya bagaikan terperas dari tubuhnya.
Pada unsur tata gerak ketiga. Agung Sedayu sudah-mulai dengan perbandingan gerak dan kemungkinan-kemungkinannya yang lebih luas, sehingga Glagah Putih menjadi semakin yakin akan arti dan sifatnya. Kenapa ia harus berbuat demikian menghadapi keadaan yang berbeda-beda tetapi dalam suasana yang serupa.
Demikianlah, Glagah Putih yang merasa dirinya telah jauh ketinggalan itu berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mempergunakan setiap saat yang tersedia untuk mengejar ketinggalannya. Namun setiap kali Agung Sedayu mengatakan, bahwa ia tidak ketinggalan sekejappun, karena masa mendatang yang panjang itu masih dapat dibentuknya dengan kerja yang sungguh-sungguh.
Dalam pada itu. Kiai Gringsing memperhatikan latihan-latihan itu dengan hati yang berdebar-debar. Ia tidak mencemaskan Glagah Putih yang menurut pengamatan Kiai Gringsing akan segera dapat menyesuaikan diri dan memahami ilmu yang akan diterimanya setingkat demi setingkat. Tetapi yang dipikirkan adalah justru Agung Sedayu sendiri.
Jika ia sudah bekerja keras membentuk Glagah Putih, maka waktunya tentu tinggal sedikit sekali yang dapat dipergunakan bagi dirinya sendiri. Meskipun Agung Sedayu akan dapat mempergunakan seluruh waktunya, namun hal itu akan dapat menimbulkan kesulitan bagi wadagnya.
Tetapi Kiai Gringsing masih belum dapat menilai keadaan yang sebenarnya, karena semuanya baru pada permulaannya.
"Mungkin setelah berjalan satu dua pekan. Agung Sedyu akan dapat menyesuaikan dirinya dengan waktu yang ada padanya," berkata Kiai Gringsing didalam hatinya.
Bagi Ki Widura, semakin banyak waktu yang diberikan kepada Glagah Putih akan semakin baik baginya. Ia tidak mengerti, apa yang telah terjadi pada Agung Sedayu. Yang diketahuinya, bahwa diperjalanan ia mengalami kesulitan yang gawat, yang untung masih dapat diatasinya.
Dalam pada itu diperjalanan rondanya, para prajurit Pajang telah menyusuri bulak panjang. Jika mereka memasuki sebuah padukuhan diseberang bulak itu, maka mereka akan sampai pada padukuhan yang belum lama berselang mengalami malapetaka. Seorang penghuni padukuhan itu telah dirampok oleh beberapa orang. Bahkan di bulak yang lain, dimalam itu telah terjadi penyamunan pula.
"Kedatang kita mungkin akan mengejutkan, dan mungkin akan menimbulkan kecurigaan meskipun kita berpakaian prajurit selengkapnya, karena siapapun akan dapat memalsukan pakaian serupa ini," berkata perwira itu, "karena itu, sikap kitalah yang akan meyakinkan kepada mereka, bahwa kita adalah prajurit yang sebenarnya, sehingga kehadiran kita akan dapat memberikan ketenteraman kepada mereka. Bukan sebaliknya."
Prajurit-prajurit pengiringnya mengangguk-angguk. Tetapi tidak seorangpun yang merasa perlu untuk menjawab.
Seperti yang mereka duga, derap kaki kuda mereka telah mengejutkan anak-anak muda yang berjaga-jaga digardu. Serentak mereka berloncatan turun sambil mengacukan senjata mereka disebelah menyebelah jalan didalam regol padukuhan.
Perwira prajurit Pajang yang telah memperhitungkan hal itupun berhenti diluar regol. Bersama para prajuritnya merekapun turun dari punggung kuda.
"Apakah kalian mengenal kami?" bertanya perwira itu.
Buku 123 SEORANG anak muda yang bertubuh tinggi agak kekurus-kurusan, yang agaknya pemimpin pasukan pengawal padukuhan itu, maju kedepan regol. Dibawah cahaya lampu obor ia memperhatikan kelima orang prajurit yang berdiri termangu-mangu diluar regol padukuhan.
"Apakah aku berhadapan dengan prajurit Pajang di jati Anom?" bertanya anak muda yang bertubuh tinggi itu.
"Ya. Kami adalah petugas dari Jati Anom. Kami malam ini mendapat giliran meronda didaerah ini dan sekitarnya," jawab perwira itu.
Nampak keragu-raguan membayang diwajah anak-anak muda itu. Namun kemudian anak muda bertubuh tinggi itu berkata, "Silahkan, silahkan memasuki padukuhan kami."
"Prajurit-prajurit itupun kemudian memasuki regol padukuhan. Atas perintah perwira itu, maka prajurit-prajurit itupun singgah sejenak digardu perondan.
"Kami sudah mendengar peristiwa yang terjadi di padukuhan ini," berkata perwira itu.
"Apakah laporan kami sudah sampai ke Jati Anom ?" bertanya pemimpin pengawal itu.
Perwira itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata berterus terang, "Kami tidak mendengar atas laporan yang kalian sampaikan ke Jati Anom. Tetapi kami mendengar dari padukuhan sebelah."
"O, bukan maksud kami, bahwa kami telah melaporkan ke Jati Anom. Kami telah melaporkan ke Kademangan Klebak. Seterusnya, aku tidak tahu, apakah laporan itu sudah diteruskan," jawab anak muda itu.
Perwira prajurit Pajang itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak mengusut laporan itu lebih jauh. Yang kemudian ditanyakannya adalah peristiwa yang telah terjadi itu sendiri.
Dari anak-anak muda padukuhan itu, para prajurit mendengar dengan jelas, apakah yang telah terjadi. Orang yang mengalami itupun dapat menyebut, wajah-wajah yang keras dan mengerikan, serta ujung-ujung senjata yang mendebarkan jantung ditangan mereka.
Diluar sadarnya, tiba-tiba saja Sabungsari mengangguk-angguk. Seolah-alah ia menemukan hubungan antara ceritera itu dengan ceritera para pengikutnya yang tentu masih menunggu perintahnya di Jati Anom.
"Apakah yang telah melakukannya itu orang-orang dari Pesisir Endut atau orang-orangnya Carang Waja," desis Sabungsari didalam hatinya. Tetapi ia tidak mengatakannya kepada siapapun juga. Namun bahwa hal itu sangat menarik perhatiannya, justru karena orang-orang Pesisir Endut telah membunuh salah seorang dari pengikutnya.
Dengan saksama para prajurit itu mendengarkan ceritera tentang perampokan itu. Merekapun dapat menyebut, beberapa orang korban yang mati terbunuh dalam usaha mereka mempertahankan milik mereka, ketika mereka disamundi tengah-tengah bulak yang sepi.
Perwira yang memimpin kelompok kecil prajurit Pajang itupun menjadi tegang. Ia sadar, bahwa prajurit Pajang di Jati Anom tidak dapat melepaskan tanggung jawabnya. Mereka tidak dapat mengatakan, bahwa hal itu adalah tanggung jawab para pengawal padukuhan. Apalagi bencana yang terjadi di bulak panjang itu.
Tetapi iapun menyadari, bahwa Pajang tidak mempunyai cukup prajurit untuk setiap saat mengawasi segala bulak didaerah Selatan. Dari Jati Anom, Tambak Wedi dilereng Gunung Merapi, Daerah Wit Manca Warna, kemudian turun ke daerah Cangkring. Sambojan, Temu Agal dan Alas Tambak Baya. Kemudian menyusur ke Timur, melewati daerah Prambanan, Tlaga, Kali Asat menyusur lebih ke Timur. Benda, Sangkal Putung dan daerah disepanjang Kali Opak keselatan sampai kepesisir.
Prajurit itu menarik nafas alam-dalam. Desisnya, "Tidak mungkin. Tetapi Senapati Prajurit Pajang di Jati Anom tidak dapat menjawab bahwa itu bukan tanggung jawabnya."
Anak-anak muda yang berada didalam gardu itupun mengerti, bahwa perwira itu memperhatikan keadaan padukuhan mereka dengan sungguh-sungguh. Dan merekapun menyadari, bahwa tugas para prajurit itu cukup banyak sehingga mereka tidak akan dapat menunggui padukuhan demi padukuhan.
"Ki Sanak," berkata perwira itu kemudian, "kami tidak akan ingkar akan kewajiban kami. Tetapi kalian harus mengetahui, bahwa tidak mungkin kami harus ada disegala tempat untuk menghadapi kemungkinan semacam ini. Karena itu, adalah sudah benar bahwa kalian, seperti padukuhan yang lain, berusaha meningkatkan kemampuan para pengawal. Apakah ada diantara kalian yang dapat memimpin peningkatan itu ?"
"Dipadukuhan ini ada seorang bekas prajurit. Meskipun usianya sudah lanjut, tetapi ia masih dapat membimbing kami dengan baik," jawab salah seorang anak muda.
"Bagus. Lakukanlah sebaik-baiknya. Tetapi lebih daripada itu, jika hal itu terjadi lagi, usahakanlah untuk mengenal ciri-ciri mereka. Dengan demikian, kita akan mendapat petunjuk, kemana kita harus mencari orang-orang itu."
"Masuk kesarang mereka ?" bertanya salah seorang anak muda.
"Ya," jawab perwira itu.
"Untuk membunuh diri " " geram yang lain.
"Jika kalian merasa demikian, jangan pergi. Bukan karena kalian penakut. Tetapi sebenarnyalah bahwa kalian harus mawas diri. Dalam hal yang demikian, berikan petunjuk kepada kami, para prajurit. Kamilah yang akan memasuki sarang mereka," jawab perwira itu.
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk.
Sementara itu Sabungsaripun menjadi berdebar-debar. Seolah-olah ia melihat jalan yang mulai terbuka. Jika ia pergi ke Pesisir Endut, maka ia akan datang sebagai seorang prajurit yang melakukan tugas keprajuritan.


05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mudah-mudahan pada suatu saat, ada satu dua orang yang mengenal ciri mereka, orang-orang Pesisir Endut. Atau bahkan mendengar mereka sesumbar dan menyebut diri mereka sendiri."
Tetapi hal itu merupakan rahasia pribadinya, Ia tidak akan mengatakan kepada siapapun juga. Kepada pemimpinnya itupun tidak.
Dalam pada itu, setelah berbicara beberapa lamanya, maka para prajurit itupun meneruskan perjalanan mereka. Mereka memasuki padukuhan-padukuhan besar dan kecil yang mereka lalui. Pada umumnya para pengawal padukuhan itu sudah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan, karena gangguan yang pernah terjadi.
"Ada juga baiknya," tiba-tiba salah seorang prajurit berdesis ketika mereka menyusuri bulak panjang perlahan-lahan.
"Kenapa," pemimpinnya bertanya.
"Yang terjadi itu seolah-olah telah membangunkan anak-anak muda disetiap padukuhan. Selama ini mereka seakan-akan telah tertidur nyenyak. Kini mereka harus bangkit dan melihat kenyataan," jawab prajurit itu.
"Dari satu segi," sahut prajurit yang lain, "tetapi hal itu telah menimbulkan kegelisahan dan kecemasan. Segi itulah yang tidak baik. Apalagi telah jatuh korban jiwa di bulak-bulak panjang itu, sehingga kegelisahan itu telah membendung arus barang dari satu tempat ke tempat lain. Biasanya mereka berjalan dimalam hari. Sejuk dan tidak terlalu ribut disepanjang jalan. Tetapi kini mereka harus membawa barang-barang mereka di siang hari."
Yang lain tidak menjawab. Keduanya mempunyai alasan sesuai dengan sudut pandangan masing-masing.
Namun perwira itu akhirnya berkata, "Bagaimanapun juga, tetapi tentu lebih baik jika daerah ini tetap tenang dan tenteram. Persoalan yang menyangkut pemerintahan itu telah menimbulkan persoalan yang cukup gawat. Untunglah, bahwa tidak banyak berpengaruh terhadap orang kebanyakan. Tetapi sebagian dari mereka tentu pernah digelisahkan oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi akibat memburuknya hubungan antara Pajang dan Mataram. Apalagi dengan kejahatan-kejahatan yang langsung menikam jantung ketenteraman hidup orang kebanyakan."
Para prajurit itu tidak menjawab. Merekapun menyadari seperti yang dikatakan oleh perwira itu. Bahkan Sabungsari yang sebenarnya mempunyai kepentingan langsung dengan hubungan yang memburuk itu hanya menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar sepenuhnya apa yang telah dilakukan oleh ayahnya. Ia sadar sepenuhnya untuk apa ia menjadi seorang prajurit. Tentu bukan karena keinginannya mengabdikan diri kepada Pajang. Tentu bukan karena ia ingin mendapat gaji atau mengharap kelak akan dapat meningkat dan menjadi orang yang berpangkat. Sebagai anak Ki Gede Telengan ia memiliki kemampuan melampaui perwira yang kini memimpinnya.
Tetapi dengan yang menuntutnya ke Jati Anom itu tiba-tiba saja telah pudar ketika ia melihat kenyataan tentang Agung Sedayu.
"Apakah dengan demikian, aku akan tetap menjadi seorang prajurit," bertanya Sabungsari kepada diri sendiri.
Namun tiba-tiba saja seakan-akan ada yang mengikatnya didalam kalangan yang semula tidak disukainya itu. Samar-samar ia melihat, bahwa didalam dunianya itu, ia akan dapat berbuat sesuatu dengan ilmunya, sehingga ilmunya itu tidak akan terpendam sia-sia.
Tetapi segalanya masih tetap samar-samar bagi Sabungsari. Ia masih belum menemukan kemantapan sikap. Meskipun demikian, ia mulai melihat satu arah yang dapat ditempuhnya.
"Aku memang harus memikirkannya baik-baik," berkata Sabungsari didalam hatinya, "sikap Agung Sedayu rasa-rasanya menimbulkan persoalan khusus didalam diriku. Aku tidak mati dalam perang tanding dipinggir sungai itu. Tetapi seperti yang diharapkan oleh Agung Sedayu, bahwa Sabungsari yang lama itu akan mati dan lahir Sabungsari yang baru, bukan jasmani, tetapi rohani."
Dalam pada itu, sekelompok prajurit itu masih terus dalam perjalanan tugasnya. Dari padukuhan-padukuhan yang lain, merekapun mendengar banyak persoalan yang akan dapat dijadikan laporan kepada pimpinan prajurit Pajang di Jati Anom.
Sapu Jagad 1 Kelompok 2 Dan 1 Sang Pengintai Karya Dwianto Setyawan Naga Kemala Putih 2

Cari Blog Ini