Naga Kemala Putih Karya Gu Long Bagian 2
"Nanti ada orang yang akan mengantar makan malam," kata
Tong Ou lagi, "kira-kira selepas makan malam, orang itu akan
muncul di sini untuk bertemu dengan kau. Asal pintu ini kau tutup
maka tak ada orang lain yang bisa mengganggu kalian lagi, setelah
berjumpa nanti, berapa lama pun kalian ingin berbicara silahkan.
Hanya ada satu hal yang harus kau ingat, ketika pergi dari sini, kau
hanya boleh pergi seorang diri."
"Bagaimana kalau kami pergi berdua?"
"Aku telah menurunkan perintah ke seluruh penjuru Benteng
Keluarga Tong, selama kau pergi seorang diri, tak seorang pun dari
Keluarga Tong akan menghalangi kepergianmu, tapi jika kau pergi
berdua maka mereka akan berusaha membunuh kalian berdua
dengan cara apa pun."
"Sebetulnya kau ingin menahan siapa?"
"Segera kau akan tahu sendiri!"
Sekarang, air teh telah habis diminum, sayur, nasi dan arak
baru saja dihidangkan, namun Bu-ki merasa seolah-olah telah
berada di situ selama tiga hari tiga malam. Dalam penantian itu ia
terus berusaha mengendalikan diri untuk tidak menduga-duga siapa
yang akan dijumpainya nanti, dia berusaha menyatukan pikiran serta
perhatiannya untuk mencari jalan menghadapi rencana keji Tong
Ou. Tong Ou sudah berkata terang-terangan kalau mereka akan
menyerbu markas besar Tayhong-tong, tapi markas mana yang akan
mereka serang duluan" Dengan cara apa mereka akan melancarkan
serangannya"
Bu-ki sudah memikirkan berbagai cara untuk melakukan
perlawanan atas datangnya serbuan, dia juga membayangkan
berbagai cara berbeda-beda di tempat yang berbeda-beda pula
untuk menghadapi serbuan, tapi kemudian ia menyadari bahwa hal
terpenting yang harus dia pikirkan bukanlah cara menanggulangi
datangnya serbuan, melainkan markas mana yang akan diserang
Tong Ou lebih dahulu"
Besok sekeluarnya dari Benteng Keluarga Tong, Bu-ki bisa
langsung tiba di lembah Boanliong-kok yang jaraknya paling dekat,
tapi dia juga bisa berputar sedikit dan dalam setengah hari ia akan
tiba di benteng yang dulu dijaga Sangkoan Jin.
Ia sadar, waktu setengah hari itu bisa menjadi waktu kunci
yang bisa mengubah sejarah. Jika ia pergi ke Boanliong-kok lebih
dulu, sedangkan Tong Ou ternyata menyerang benteng Sangkoan
Jin, sedangkan pemimpin benteng Sangkoan Jin itu saat ini adalah
Kwik Koan-kun, yang jelas tak akan punya persiapan apa-apa, maka
datangnya serangan tiba-tiba itu bisa membuat mereka gelagapan
dan kalang kabut. Akibatnya benteng Sangkoan Jin kemungkinan
besar akan terjatuh ke tangan musuh dengan mudah.
Sebaliknya bila Bu-ki pergi ke benteng Sangkoan Jin dulu,
sedang Tong Ou ternyata menyerang lembah Boanliong-kok lebih
dulu, bukankah akibatnya sama runyamnya"
Selain soal itu, masih ada satu hal lagi yang tak kalah
pentingnya, yaitu adakah kesempatan bagi Sangkoan Jin untuk
mengirimkan peringatan dini ke tempat yang bakal diserang Tong
Ou lebih dulu itu"
Bukan hanya itu, masih ada satu soal lagi yang
menguatirkan Bu-ki saat ini. Ia takut jika orang yang akan
dijumpainya malam ini adalah Sangkoan Jin!
Dia kuatir Tong Ou telah berhasil mengetahui tujuan
sesungguhnya Sangkoan Jin bergabung dengan Benteng Keluarga
Tong dan karena itu dia sengaja menyuruh Sangkoan Jin bertemu
dengannya di sini. Sesudah itu Tong Ou membiarkan hanya dia pergi
seorang diri, sedang Sangkoan Jin tetap ditahan di sini. Kecuali dia,
Bu-ki tidak berhasil menemukan orang lain yang cukup berharga
bagi Tong Ou untuk tetap ditahan dalam Benteng Keluarga Tong.
Pikiran dan perasaan Bu-ki sangat kalut, dia curiga,
mungkinkah dia sedang dijadikan permainan Tong Ou, mungkinkah
ia cuma salah satu pion permainan orang itu dalam menjalankan
rencana besarnya"
Mendadak timbul perasaan menyesal dalam hatinya, ia
menyesal kenapa dulu terlalu suka bermain hingga tidak rajin
berlatih, dia pun menyesal kenapa tidak sejak dulu mempelajari ilmu
siasat perang yang ternyata amat berguna di saat-saat seperti ini.
Seperti saat ini, Tong Ou membiarkan ia pergi dari situ
dengan bebas padahal sudah memberitahunya bahwa mereka akan
menyerbu markas besar Tayhong-tong, sikap percaya diri seperti ini
menunjuk?kan bahwa tahu atau tidaknya Bu-ki dalam rencana ini
seperti tak ada pengaruhnya. Ini saja sudah cukup membuktikan
bahwa ilmu siasat perang Tong Ou jauh di atas kemampuannya.
Benteng Keluarga Tong betul-betul merupakan sebuah
tempat yang sangat menakutkan, tidak gampang-gampang dihadapi
seperti yang disangkanya semula, saat itu barulah ia merasakan
betapa hebat dan luar biasa rencana ayahnya yang rela mati demi
siasat Harimau Kemala Putih untuk menyusupkan orang ke tubuh
lawan. Di lain pihak dia pun merasa bahwa pengorbanan ayahnya
tidak cukup berharga, sebab Tong Ou terbukti seorang tokoh
persilatan yang benar-benar luar biasa, seandainya ia berhasil
membongkar tujuan Sangkoan Jin yang sesungguhnya, atau pun jika
dia mulai curiga dan tidak mempercayai Sangkoan Jin, bukankah
semua pengorbanan serta perencanaan yang cermat itu j adi sia-sia
belaka" Daripada berkorban dalam keadaan yang terjepit, bukankah
jauh lebih berharga mati dalam pertempuran yang gagah berani
hingga titik darah penghabisan"
Berpikir sampai di situ, tiba-tiba saja timbul rasa duka yang
mendalam di dasar hati Bu-ki. Pada saat itulah ia mendengar ada
suara langkah kaki manusia yang sangat ringan berjalan mendekat,
dia tahu, orang yang harus dijumpainya akhirnya muncul juga.
Walaupun dia hanya menunggu tidak sampai dua jam, namun bagi
Bu-ki dua jam itu adalah waktu yang amat panjang.
Sepanjang apapun penantian Bu-ki tidak sepanjang yang
dirasakan Wi Hong-nio, perempuan itu merasa seakan-akan dunia
berhenti berputar, waktu seakan akan merangkak lambat-lambat...
Perasaan kalut dan gelisah yang dirasakan Wi Hong-nio
tercatat semua dalam buku hariannya.
Bulan lima tanggal dua.
Kemarin, meskipun aku baru tertidur menjelang datangnya
fajar, namun anehnya hingga sekarang aku tidak merasa
mengantuk, ketika kupaksakan untuk tidur sejenak, itupun hanya
tidur-tidur ayam.
Dari kejauhan suara kokok ayam jago mulai terdengar,
dalam pendengaranku suara itu sangat memuakkan karena kokok
ayam merupakan tanda dimulainya satu hari yang baru, padahal
hatiku amat gelisah, aku gelisah dan ingin segera bertemu dengan
orang itu. Aku tahu, kemungkinan besar orang itu adalah Bu-ki.
Setelah ayam jago berkokok berulang kali, kuputuskan untuk
tidak melanjutkan tidurku, aku bangkit dari pembaringan, menuju ke
depan meja rias dan mulai bercermin.
Aku mulai mencoba berlagak, seandainya orang yang akan
kujumpai itu benar-benar Tio Bu-ki, apakah reaksi yang tampil pada
wajahku saat itu, aku ingin mengetahui ekspresi mukaku dari balik
cermin. Aku berusaha mengendalikan gejolak perasaanku, wajah
yang tampil dari balik cermin itu ternyata biasa saja, tidak terlihat
ada perubahan apapun. Aku berlatih dan berlatih terus sampai
kuanggap ekspresi wajahku tak akan berubah walaupun orang yang
kujumpai nanti benar-benar adalah Bu-ki, aku baru berhenti berlatih
setelah penampilanku benar-benar memperlihatkan ekspresi wajah
yang sangat tenang seakan-akan baru saja bertemu dengan orang
asing. Ketika Siau Tang-lo mengutus orang untuk mengundangku
sarapan, aku tidak menyahut, aku pura-pura masih tidur karena aku
masih merasa segan untuk keluar dari kamarku. Tapi sesaat
kemudian hatiku mulai menyesal, bagaimana seandainya orang itu
muncul disaat sarapan tadi"
Buru-buru aku keluar dari kamar dan berlari-lari menuju ke
tempat tinggal Siau Tang-lo. Baru saja pintu kuketuk, Siau Tang-lo
sudah tahu aku yang datang dan segera menyuruhku masuk.
Aku segera bertanya kepadanya, kapan akan mengajakku
bertemu dengan orangku?"
Dengan nada mengejek Siau Tang-lo segera menjawab,
"Coba kau lihat wajahmu, sepertinya kau yakin kalau orang yang
akan kau jumpai betul-betul Tio Bu-ki "
Aku tidak menggubris ejekan itu, aku mendesaknya terus,
aku ingin tahu kapan aku akan bertemu dengan orangku.
JawabSiau Tang-lo, "Barusan Tong Ou telah mengutus
orang memberi kabar, dia mengundangku makan siang, tapi hanya
mengundangaku seorang."
Aku segera bertanya kenapa begitu, tapi dia sendiripun tidak
tahu. Aku meminta dia membuat janji dengan Tong Ou nanti di
waktu bertemu makan siang dan dia berkata pasti akan membuat
janjiku. Kemudian ia bertanya apakah semalam aku tidur nyenyak,
aku menjawabya, dia minta aku tidur cukup agar kesehatan badan
terjaga. Terus terang, mana mungkin aku bisa tidur nyenyak dalam
suasana seperti ini" Satu siang itu aku hanya duduk di muka jendela,
mengenang kembali saat-saat manis ketika masih berkumpul dengan
Bu-ki, kadang aku melatih kembali raut wajahku, agar nanti aku
tidak menunjukkan perasaan kaget dan terharu.
Aku dapat merasakan debaran jantungku yang begitu
kencang, aku sadar ternyata aku diliputi ketegangan luar biasa, aku
mulai kuatir tak mampu mengendalikan diri kuatir aku tak bisa
menahan rasa haruku ketika berjumpa dengannya nanti.
Aku tak berselera untuk makan siang. Dengan penuh
kegelisahan aku menunggu berita dari Siau Tang-lo.
Waktu berjalan begku lambat, sepertisiput merangkak,
untung saja sepanjang apapun penantian, akhirnya akan tiba juga
ujungnya. Siau Tang-lo mengutus orang untuk memberi kabar
bahwa Tong Ou menyuruh aku bertemu dengan orang itu malam
nanti. Mengapa harus menunggu sampai jam tujuh malam nanti"
Kenapa aku harus menunggu lagi"
Penantian benar-benar pengalaman yang menyiksa batin.
Menunggu tibanya sore hari ternyata jauh lebih lambat
daripada menunggu datangnya tengah hari tadi Mulai terbayang
kembali sore hari disaat aku akan melakukan upacara pernikahan
dengan Bu-ki, sore yang sangat panjang dan amat menakutkan.
Mengenang kembali kisah tragis disaat akan melakukan upacara
pemikahan dulu, aku mulai kuatir, mulai cemas lagi, apakah
penantian yang kulakukan hari ini akan berakhir lagi dengan kisah
tragis seperti dulu"
Aku betul-betul sangat gelisah, gelisah setengah mati.
Dengan susah payah akhirnya senja menjelang juga. Ketika
Keluarga Tong mengutus orang untuk mengundangku, hatiku mulai
terasa tegang dan berdebar-debar.
Pelayanku mengantarku ke sebuah kamar dan menyuruh
aku menunggu disitu.
Lagi-lagi menunggu!
Ada orang datang! Semula kukira orang yang ingin kujumpai
telah datang, ternyata orang yang tadi muncul kembali, dia masuk
sambil membawa nasi dan hidangan.
Ketika kuperiksa, ternyata hanya sebuah mangkok dengan
sepasang sumpit. Kenapa hanya satu mangkok" Segera kutanyakan
hal ini kepada pelayan itu, tapi dia menjawab tidak tahu, majikannya
hanya seperti itu dan menyuruhaku bersantap dalam ruangan.
Apa yang akan dilakukan setelah bersantap nanti"Apakah
akan mengajakku menjumpai orangitu" Kembali pelayan menjawab
tidak tahu. Hatiku jengkel sekali, mendongkol bercampur perasaan
cemas, bayangkan saja, mana aku punya selera untuk bersantap
dalam keadaan begini" Tapi aku tidak menyuruh pelayan itu
membawa pergi nasi dan hidangan, bagaimanapun orang itu hanya
seorang pelayan, seorang petugas yang menjalankan perintah
majikannya, aku tahu tak ada gunanya marah-marah terhadap orang
seperti itu, karenanya aku hanya mengucapkan terimakasih dengan
nada selembut mungkin.
Sayur yang dihidangkan bercorak Sucoan yang harum
baunya, saying selera makanku benar-benar telah habis. Dalam
ruangan aku hanya bisa berjalan bolak-balik dengan gelisah. Tibatiba
aku mendengar suara orang bertengkar dari ruangan sebelah.
Suara ribut itu mengundang perhatianku, akupun bangku berdiri dan
keluar dari ruangan, mendekati ruang sebelah.
Tiba didepan jendela, aku mendengar dua orang sedang
bertengkar, yang satu, suara yang belum pernah kudengar
sebelumnya, sedangkan yang lain pernah kudengar. Mula-mula tak
terpikir olehku suara siapakah dia, tapi sejenak kemudian aku mulai
ingat, itu suaranya sigendut yang mengaku bernama Tong Koat.
Akupun dengan jelas menangkap inti masalah yang sedang
diributkan kedua orang itu.
Terdengar Tong Koat berkata, "Aku usul, kita serang
perkampungan keluarga Tio lebih dulu!"
"Kenapa?" tanya orang kedua.
"Sebab Tio Kian sudah mampus sedang Tio Bu-ki juga tak
ketahuan kabar beritanya, saat ini suasana didalam perkampungan
keluarga Tio pasti sangat kalut, jika kita serang perkampungan itu
lebih dulu, sudah pasti serangan kita akan berhasil. Jika
pertempuran pertama berhasil kita menangi secara gampang, hal ini
akan meningkatkan semangat tempur rekan-rekan yang lain."
"Kau anggap kita tak sanggup meraih kemenangan jika
menyerang tempat lain" Kau terlalu memandang enteng kekuatan
kita." "Tidak, aku tidak bermaksud begitu, "sahut Tong Koat.
"Kalau begitu, aku perlu beritahukan satu hal padamu, tak
ada gunanya kita serang perkampungan keluarga Tio!"
"Kenapa tidak berguna?"
"Perkampungan keluarga Tio merupakan kekuatan yang
berada pada garis belakang Tayhong-tong, jika kita serang garis
belakang mereka dulu maka akan memberi peluang bagi pos-pos
penjagaan mereka yang berada lebih depan untuk membuat
persiapan, apalagi perjaknan kita akan semakin jauh, pasukan kita
bakal kelelahan sebelum melancarkan serangan."
"Lalu kau akan menyerang mana dulu?"
"Kita serang dulu pos jaga yang dipimpin Sugong Siau-hong,
pertama karena jaraknya dekat, kedua kita paling banyak menyuap
orang-orang di sana. Dengan bantuan orang dalam, kita semakin
mudah mengalahkan mereka ketimbang harus menyeran
gperkampungan keluarga Tio."
Tanya jawab mereka selanjutnya tidak kucatat lagi karena
apa yang mereka ributkan hanya tempat mana yang akan diserang
dulu. Kemanapun mereka akan menyerang, bagiku merupakan
masalah yang penting karena semua tempat yang mereka sebut
berada di bawah kekuasaan Tayhong-tong.
Naga Kemala Putih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika pertikaian itu mencapai puncaknya, dengan suara
jengkel bercampur dongkol Tong Koat berseru, "Baik, baiklah, kau
adalah kakak, aku akan menuruti perkataanmu!"
Saat itulah aku baru tahu, ternyata orang yang diajak
bertikai itu adalah Tong Ou.
Sasaran yang hendak diserbu Tong Ou adalah benteng yang
dijaga Sugong Siau-hong, waktunya adalah bulan lima tanggal lima.
Sekarang aku sudah mengetahui rahasia mereka, buru-buru aku
balik ke kamarku dan Mengambil sumpit pura-pura sedang makan,
padahal hatiku berdebaran sangat keras. Untung saja tak ada yang
muncul, kalau tidak, wajahku saat itu pasti akan membongkar
rahasia bahwa aku mencuri dengar perdebatan mereka.
Secara garis besar aku mulai membuat perhitungan, hari ini
baru tanggal dua, untuk mencapai wilayah Tayhong-tong dibutuhkan
dua hari perjalanan, berarti kalau besok pagi mereka sudah
berangkat maka malam tanggal empat sudah tiba di tujuan, berarti
tanggal lima sudah dapat mulai melancarkan serangan.
Dengan cara apa aku harus menyampaikan peringatan ini
kepada paman Sugong" Aku jadi teringat dengan Siau Tang-lo,hanya
dia yang bisa dimintai tolong, aku harus segera mencarinya
dipenginapan, aku akan minta tolong dia untuk menyampaikan
pesan ini kepada paman Sugong.
Tapi, maukah Siau Tang-lo mengabulkan permintaanku"Aku
rasa pasti mau, asal aku memintanya secara halus dan lembut, dia
pasti akan menurut. Buru-buru kuletakkan kembali sumpitku dan
siap keluar dari ruangan, tapi sebelum kubuka pintu kamar itu,
seseorang telah membuka pintu itu lebih dulu. Aku benar-benar
sangat terperanjat, saking kagetnya aku sampai berseru tertahan.
Orang yang membuka pintu itu segera minta maaf padaku,
dia mengatakan seharusnya ia mengetuk pintu lebih dulu sebelum
masuk Kucoba mengamati wajahnya, dia adalah seorang lelaki kekar
dan tinggi besar, wajahnya amat tampan, garis-gark kegagahan
tampak diantara kerutan matanya.
Ia memperkenalkan diri sebagai Tong Ou. Sebelum aku
membuka suara untuk memperkenalkan diriku, ia sudah berkata
dulu, dia tahu bahwa aku adalah istri Tio Bu-ki yang belum dinikahi
resmi, WiHong-nio. Dia juga menjelaskan bahwa ia mengundangku
kemari bukan karena keinginannya sendiri, tapi atas permintaan Siau
Tang-lo. Aku benar-benar berterimakasih kepada Siau Tang-lo, tapi
perkataan Tong Ou selanjutnya membuat aku tertegun dan untuk
beberapa saat tak tahu apa yang mesti kuucapkan. Dia bilang,
sebenarnya Siau Tang-lo ingin memintaku untuk mengenali
seseorang, ada seseorang yang tidak jelas identitasnya. Tidak
diketahui apakah dia TioBu-ki atau bukan, tapi dia mengatakan
bahwa sekarang sudah tak perlu, sebab orang itu sudah mengaku
kalau dia adalah Tio Bu-ki.
Dengan perasaan gelisah akupun bertanya kepadanya, apa
yang telah dia lakukan terhadap Bu-ki" Sambil tertawa ia menjawab
bahwa ia tidak berbuat apa-apa, malah akan mengijinkan aku untuk
bertemu dengannya.
Ai, ucapan itu sungguh mengharukan hatiku, hanya
selanjutnya aku berpikir lagi, kenapa ia memberi kesempatan
kepadaku untuk bertemu dengan Bu-ki" Apakah ada rencana busuk
di balik semua itu"
Tong Ou bertanya kepadaku apakah aku mau bertemu
dengan Bu-ki" Tentu saja kujawab mau, kemudian aku bertanya
kepadanya, apakah dia mempunyai maksud tertentu dengan
membiarkan aku berjumpa Bu-ki"
Ternyata ia sangat jujur, dia jawab memang ada tujuannya,
dia punya syarat
Aku tanya, apa syaratnya" Dia jawab selesai pertemuan
nanti, dia hanya membiarkan satu diantara kami berdua yang boleh
pergi meninggalkan Benteng Keluarga Tong, mengenai siapa yang
tinggal dan siapa yang pergi, kami bisa memutuskan sendiri.
Aku segera memahami maksudnya, ia sedang mencari
alasan untuk membunuh Bu-ki. Dia tentu mengirasetiap orang pasti
akan menyayangi nyawa sendiri, kalau satu diantara kami berdua
boleh pergi dan keputusan boleh kuputuskan sendiri, siapapun pasti
akan memilih diri sendiri.
Tapi aku... aku justru tidak!
Bila Bu-ki mati dan Tayhong-tong berhasil dibasmi Benteng
Keluarga Tong, apa lagi makna kehidupanku selanjutnya" Aku rela
mati asal Bu-ki bisa hidup bahagia, melihat Bu-ki senang, akupun
akan tenteram, apalagi baru saja aku telah mencuri dengar rencana
penyerbuan mereka.
Asal aku dapat bertemu dengan Bu-ki rahasia yang kudengar
pasti akan kusampaikan kepadanya, kalau dia segera pulang ke
Tayhong-tong dan berdampingan dengan paman Sugong melakukan
perlawanan, serbuan dari Keluarga Tong pasti bias mereka
patahkan. Kalau terbukti bahwa kepergian Bu-ki bisa menuai banyak
keuntungan dan kebaikan, kenapa aku tidak memilih dia saja yang
pergi dari sini"
Maka kepada Tong Ou aku menjawab. Aku yang tetap
tinggal di sini!
Tong Ou masih mengulang kembali pertanyaan itu beberapa
kali apakah aku rela tetap tinggal di sini"Apakah aku rela dengan
keputusan itu" Aku jawab, ya, aku rela!
Selanjutnya dia berkata akan mengajakku berjumpa dengan
Bu-ki. Dia mengajakku keluar dari kamar, belok ke kanan, berjalan
duapuluh lima langkah menyusuri lorong, lalu belok ke kiri dan
berjalan lagi tujuh belas langkah untuk akhirnya berhenti di depan
sebuah gardu peristirahatan ditengah taman bunga. Ia mendekati
gardu itu lalu memutar sebuah bangku batu ke kanan dan dari
bawah meja batu pelan-pelan muncul sebuah lorong bawah tanah.
Dia masuk ke lubang bawah tanah itu lebih dulu, aku
mengikutinya di belakang, kami menuruni enam belas buah anak
tangga sebelum belok ke kanan, kemudian menyusuri sebuah lorong
batu yang panjang sekali, dua belas batang obor menerangi lorong
panjangitu. Aku bertanya kepadanya, apakah dia mengurung Bu-ki di
tempat ini" Sambil tertawa dia menjawab tidak. Bu-ki sendiri yang
rela menunggu di situ, dia menambahkan bahwa tempat ini bukan
penjara, melainkan tempat rahasia yang biasa digunakan Keluarga
Tong untuk mengadakan rapat rahasia, iapun menjelaskan, ia
sengaja memilih tempat semacam ini sebagai tempat pertemuan
kami lantaran dia tak ingin pembicaraan mesra kami berdua
didengar orang lain.
Pembicaraan mesra" Kata-kata yang sangat memalukan!
Pipiku merona jengah mendengar kata-kata itu. Tong Ou
mengajakku berjalan sampai ke ujung lorong itu kemudian belok lagi
ke kiri, kembali dua belas batang obor menerangi lorong yang
panjang itu, hanya kali ini di ujung lorong terlihat pintu yang sedikit
terbuka. Sambil menunjuk ke ruangan di balik pintu itu Tong Ou
berkata, "Bu-ki ada di dalam, aku tak enak mengganggu kalian lagi."
Selesai berkata ia memandangku sambil tertawa, kemudian
membalik badan dan berlalu dari situ. Aku berdiri mematung
memandang pintu ruangan itu, jantungku terasa berdebar semakin
kencang, setiap kuayun langkahku, jantungku berdebar makin keras.
Ooh Bu-ki! Sebentar lagi aku akan bertemu denganmu!
Akhirnya sampai juga aku di muka pintu batu, kudorong
pintu itu kuat-kuat, ketika mendorong pintu, tiba-tiba suatu ingatan
melintas di benakku, setelah aku masuk nanti, apakahTong Ou akan
segera menutup rapat pintu ruangan dan mengurungku bersama Buki
untuk selama-lamanya di situ"
Pikiran itu hanya sekilas melintas, sebab aku segera
memberitahu diriku sendiri, alangkah bahagianya bila aku bersama
Bu-ki terkurung untuk selamanya di tempat ini. Akhirya pintu terbuka
lebar, semula aku pikir aku akan pingsan karena terkejut, tapi
kenyataannya aku masiht etap tenang, tenang sekali perasaanku.
Aku telah melihat Bu-ki, mula-mula aku melihat sepasang
matanya, aku pun dapat menangkap ia tampak tertegun sewaktu
pandangan pertama melihat kemunculanku, menyusul kemudian
sinar kegembiraan memancar dari wajahnya, ini menandakan kalau
dia tak tahu kalau akulah yang akan muncul disitu.
Mengapa Tong Ou tidak memberitahunya" Apakah dia ingin
membuat kejutan baginya" Aku tidak berpikir lebih lanjut, sebab
kulihat Bu-ki telah bangkit dari tempat duduknya dan berjalan
menghampiriku, dia menjulurkan tangannya, akupun mengulurkan
tanganku. Ketika akhirnya tangan kami saling bersentuhan, aku
merasakan tubuhku menggigil keras, menggigil saking gembiranya.
Ooh, aku merasa betapa bahagia saat itu! Bu-ki
menggenggam tanganku erat-erat, ia menarikku hingga menempel
dengan tubuhnya, lalu mengawasi wajahku tanpa berkedip, tatapan
itu membuat wajahku semakin merah jengah. Setelah itu dia baru
berkata, "Kau tambah kurus!"
"Kau juga," kataku.
Ia tertawa ringan dan menggandengku untuk duduk di
bangku, kemudian ia duduk di hadapanku dan menuangkan secawan
arak untukku. Sambil mengangkat cawan, dia memandangi terus
wajahku tanpa berkedip. Akupun mengangkat cawan itu dan
mereguknya dalam satu tegukan, andai saja arak ini arak pertukaran
dalam upacara perkawinan, oh, alangkah senangnya hatiku!
Bu-ki masih mengawasi terus wajahku seperti orang bodoh,
sampai lama kemudian ia baru bertanya kepadaku, "Mengapa kau
datang ke Benteng Keluarga Tong?"
Dengan ringkas aku menceritakan perjalananku, kemudian ia
juga mengisahkan apa yang di alaminya selama ini. Saat itulah aku
baru teringat akan urusan yang lebih penting, aku segera
menceritakan kalau aku telah mencuri dengar pertikaian antara Tong
Koat dengan Tong Ou, aku juga bercerita bahwa Tong Ou berpesan
kepadaku, hanya satu di antara kita berdua yang boleh
meninggalkan BentengKeluarga Tong.
Bu-ki tampak termenung dan berpikir cukup lama setelah
mendengar penuturanku itu, aku tahu sedang terjadi perang batin
dalam hatinya, ia pasti amat sedih dan menderita. Aku mencoba
menghiburnya, kubilang aku tak akan apa-apa dalam Benteng
Keluarga Tong, dengan nama besar serta reputasi Keluarga Tong
dalam dunia persilatan selama ini, mustahil mereka akan
menganiaya seorang gadis lemah macam aku.
Bu-ki berkata bahwa apa yang kuucapkan memang masuk di
akal, tapi ia tetap berkuatir. Kutanya, apa yang dia kuatirkan"
Dia berkata ia takut pihak Keluarga Tong akan
menggunakan aku sebagai sandera, seandainyapihak Tayhongtongberhasil
mengalahkan Keluarga Tong, mereka bisa
menggunakan kau untuk menekan mereka agar menyerah.
Dengan tegas aku berjanji kepada Bu-ki, "Kau tidak usah
kuatir, bila mereka benar-benar memakai aku sebagai sandera untuk
memaksakan kehendaknya, mintalah kepada mereka untuk bertemu
lebih dulu denganku, kemudian aku baru akan mengambil
keputusan."
Bu-ki bertanya, mengapa begitu"
Jawabku, "Bila tiba saatnya, demi Tayhong-tong dan demi
kau, aku rela mengorbankan diriku sendiri, aku tak akan
membiarkan orang Keluarga Tong meraih keuntungan dariku
sehingga dengan begitu, kau bisa memusatkan seluruh pikiran dan
perhatianmu untuk menang dalam pertempuran. Kau tak perlu
menguatirkan diriku lagi!"
Bu-ki tidak berbicara lagi, tapi aku dapat menangkap sinar
kepedihan dan kedukaan yang terpancar dari matanya, i meneguk
araknya secawan demi secawan....
Aku tidak berusaha menghalanginya, hanya ketika ia
menghabiskan cawan arak yang ketiga, barulah aku berkata,
"Jangan lupa, kau masih perlu menyampaikan peringatan dini
kepada paman Sugong!"
Dia segera meletakkan kembali cawan araknya dan sinar
mata penuh rasa terima kasih. Aku tertawa kepadanya, aku percaya
tertawaku saat itu pasti mengandung kegetiran yang mendalam. Tak
tertahan, akupun menyambar cawan arakku dan meneguk habis
isinya, tiba-tiba aku ingat, mungkin malam ini akan menjadi malam
terakhirku berkumpul bersama Bu-ki. Tampaknya Bu-ki juga terbawa
perasaanku, kembali dia meraih teko arak dan memenuhi cawannya.
Aku sadar, aku tak boleh terus memperlihatkan duka dan
penderitaanku, aku harus menggunakan sikap tegar dan teguh
menghadapi Bu-ki, agar ia tenang, agar dia tak usah menguatirkan
aku. Baru dengan begitu ia bisa memusatkan seluruh pikiran dan
perhatiannya untuk melawan serbuan Benteng Keluarga Tong.
Maka aku segera tertawa, aku berusaha mengingatkan
kenangan lama saat kita sedang bergembira dahulu untuk
mengajaknya bicara. Mula-mula dia agak tertegun, tapi tak lama
kemudian diapun seperti aku, hanyut dalam kenangan lama yang
penuh keceriaan dan kegembiraan. Sayang, betapapun riang dan
gembiranya suasana, pada akhirnya harus disudahi juga. Apalagi
saat itu, ketika selesai membicarakan kenangan gembira, duka dan
sedih muncul kembali.
Sungguh, begitu kami berhenti berbicara, suasana diruangan
itu langsung tenggelam kembali dalam suasana duka yang
mendalam. Aku sudah tak tahu lagi yang harus kuperbuat, aku juga
tak tahu bagaimana harus bersikap agar Bu-ki tetap gembira dan
bersemangat. Aku mencoba mengamati wajah Bu-ki, tampaknya
diapun punya pikiran dan perasaan yang sama seperti aku, dia
seperti ingin mencari bahan pembicaraan yang menggembirakan
untuk menghibur hatiku.
Pada saat itulah api yang menerangi ruangan tiba-tiba
padam, suasana dalam ruangan jadi gelap-gulita, padamnya api
obor melipatgandakan sendu dan duka dalam hati kami berdua.
Aku berbisik pada Bu-ki, "Api telah padam, berarti fajar
segera akan menyingsing, hari yang baru segera akan muncul"
Bu-ki tidak berkata-kata, dia hanya mengangguk,
mengiakan. Aku tak tahan untuk tidak meninggikan nada suaraku,
kataku kepada Bu-ki, "Apa kau tak menyadari ini menandakan apa?"
Bu-ki memandangku bingung agaknya dia belum memahami
maksudku. "Artinya kau harus mempercepat langkahmu untuk segera
kembali ke Tayhong-tong, mengerti?"
Bu-ki segera bangkit berdiri, tapi sesaat kemudian ia duduk
kembali, bisiknya, "Ini berarti kita harus berpisah!"
A irmataku nyaris meleleh keluar, tapi aku berusaha
sekuatnya agar tidak menetes, dengan nada menghibur aku berkata,
"Asal ada jodoh, aku percaya kita pasti akan berkumpul kembali "
Aku tahu, nada suaraku saat itu pasti tak lancar, aku tak
tahu bagaimana perasaan Bu-ki saat itu, sebab dia sudah bangkit
berdiri dan berkata kepadaku sambil membelakangi tubuhku, "Kau
harus baik-baik menjaga diri."
Tanpa berpaling lagi ia melangkah mendekati pintu ruangan,
langkah kakinya begitu kuat dan mantap. Begitulah, dengan langkah
tegap dan tak pemah menoleh lagi dia berjalan keluar, keluar dari
Naga Kemala Putih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pandanganku. Dalam hati aku menjerit, hampir-hampir saja keluar dari
tenggorokanku, tapi aku tahu aku tak boleh berteriak, sekali aku
bersuara dia pasti akan berpaling dan bila ia berpaling raut wajahku
yang teramats edih tentu akan terlihat olehnya, akibat selanjutnya
aku tak berani membayangkannya....
Tapi... apakah dia akan pergi begitu saja"
Apakah dia akan berjalan keluar dari hidupku untuk
seterusnya" Sesuatu yang panas tiba-tiba menggumpal dalam
hatiku, sesuatu yang menyakitkan. Air mataku tak terbendung lagi,
kucuran air mata segera membasahi seluruh wajahku.
Aku tengkurap di atas meja dan menangis tersedu-sedu...
entah berapa lama aku menangis, sewaktu membuka kembali
mataku, aku melihat ada sepasang kaki berdiri tak jauh dari
hadapanku. Mula-mula aku merasa kegirangan, ooh, Bu-ki, ternyata
kau tak rela meninggalkan aku, tapi hanyas ebentar, rasa girang itu
segera lenyap kembali, sebab aku berpendapat Bu-ki tak mungkin
balik lagi, tak mungkin ia mengorbankan kepentingan Tayhong-tong
hanya karena urusan cinta.
Sewaktu aku menengadah, untunglah... ternyata dia bukan
Bu-ki, dia TongOu!
Tong Ou berdiri dengan wajah kikuk, dia seperti ingin
tertawa padaku, tapi melihat raut mukaku saat itu, mana mungkin ia
bisa tertawa" Kalau tidak tertawapun rasanya salah, karena kurang
menunjukkans antun, maka raut mukanya waktu itu lucu sekali.
Akhirnya dengan nada rikuh dia berkata, "Ayoh, kuantarkau
pulang." Aku mengerti, yang dimaksud pulang adalah balik ke rumah
penginapan, bukan meninggalkan Benteng Keluarga Tong, dia
memang merasa perlu untuk menahanku, agar di kemudian hari ia
bisa memperalat aku untuk kepentingannya. Aku mengikut di
belakangnya keluar dari ruang batu itu, ketika muncul di atas gardu
taman, aku barut ahu, ternyata hari sudah terang.
Ketika hampir tiba di rumah penginapan, tiba-tiba aku
teringat pada Siau Tang-lo. Dengan ilmu silat yang dimiliki Siau
Tang-lo, mungkinkah baginya untuk mengungguli Tong Ou"Aku
percaya seandainya Siau Tang-lo tidak mengandalkan tongkat
penyangga untuk berdiri, ia pasti dapat mengalahkan Tong Ou. Tapi
sekarang ia butuh tongkat penyangga untuk menopang tubuhnya,
aku tak yakin dia bisa menang.
Bagiku, menang atau kalah bukan persoalan, yang
kubutuhkan hanya membawaku keluar dari sini dengan selamat.
Berpikir sampai di situ, tanpa terasa muncul harapan baru di hatiku,
rasa sedihku segera banyak berkurang, bahkan sedikit rasa gembira
mulai muncul dalam hatiku.
Tong Ou berhenti didepan pintu setelah membukakan pintu
kamar, katanya kemudian, "Cepat kau benahi semua barangbarangmu."
Aku bertanya buat apa"
Dia menjawab, "Siau Tang-lo sudah pergi, kami akan
menyediakan kamar yang lebih besar dan lebih nyaman untuk kau
tinggali "
Aku berdiri termangu-mangu seperti orang bodoh, lama
sekali aku diam, ternyata Siau Tang-lo telah pergi. Kini semua
harapanku musnah sudah,tak ada setitikpun harapan lagi bagiku
untuk pergi meninggalkant empat ini.
Dengan perasaan tertahan aku bertanya kepada Tong Ou,
kapankah Siau Tang-lo pergi"
Kata Tong Ou, dia sudah pergi sebelum fajar menyingsing,
katanya mau mencari siMayat Hidup untuk membantunya
melancarkan peredaran jalan darahnya.
Mengapa ia pergi tanpa pamit" Menurut Tong Ou karena ia
tak berhasil menemukan aku. Kenapa bisa tak berhasil menemukan
aku" Kata Tong Ou, "Sebab aku memberitahunya, kau sudah
pergi meninggalkan BentengKeluarga Tong bersama Bu-ki "
Dengan murka aku menegurnya, "Kenapa kau
membohonginya?"
Jawab Tong Ou, "Bukankah lebih bagus begini" Agar dia
bisa mematikan perasaannya. Memangnya kau rela mengikut dia?"
Aku tidak berkata-kata lagi, semua yang dikatakan Tong Ou
memang benar, buat apa aku harus menyiksa perasaan Siau Tanglo"
Perasaan dan tubuhku hanya kuberikan untuk Bu-ki seorang,
kenapa aku harus terus memperrnainkan perasaan Siau Tang-lo"
Tiba-tiba saja perasaan tersinggung, dengan nada garang
aku berkata, "Aku suka ada orang mendampingiku, apa tidak boleh?"
Tong Ou segera tertawa bergelak mendengar ucapanku itu,
sahutannya ternyata sama sekali di luar dugaanku, dia bilang,
"Bagus sekali kalau begitu, aku malah kuatir kau tak senang bila ada
yang mendampingimu!"
Dengan bingung dan tak habis mengerti aku menengok ke
arahnya, kembali dia berkata, "Sejujumya, bukan aku yang meminta
kau pindah ke dalam taman."
Lalu keinginan siapa"
Keinginan Lo-cocong si Nenek Moyang"
Kata TongOu, "Bukan sepenuhnya keinginan Lo-cocong,
Tong Hoa yang memohon kepada Lo-cocong untuk ini "
Tong Hoa" Siapa Tong Hoa"
"Tong Hoa adalah adik misanku," kata Tong Ou, "karena dia
suka main perempuan di sana-sini maka ia jarang sekali berkelana di
dunia persilatan, jadi kau pasti belum pernah mendengar namanya.
Beberapa hari yang lalu secara tak sengaja, ia melihat lukisan
wajahmu. Ia terpesona kecantikanmu dan sejak itu dia selalu
merecoki kami untuk menemukanmu. Kebetulan kau berkunjung
kemari sehingga begitu tahu, ia segera memohon kepada Lo-oocong
untuk menahanmu."
Sekarang aku baru tahu mengapa mereka memaksa
menahanku disini. Aku paham, aku betul-betul sangat paham,
kenapa aku selalu sial"
Tanpa banyak bicara aku segera mengemasi seluruh barang
bawaanku dan ikut Tong Ou menuju ke taman bunga, kali ini dia
mengajak aku masuk ke dalam sebuah kamar tidur yang sangat
indah dengan perabot yang mewah.
Dia menyuruh aku beristirahat, katanya sebentar lagi Tong
Hoa akan datang menjumpaiku. Menggunakan kesempatan ini buruburu
kucatat semua kejadian yang kualami ke dalam buku harian,
siapa tahu sebentar lagi akan terjadi banyak peristiwa lagi"
Bab 8. Menentukan Pilihan
Tiap manusia pada suatu saat akan menghadapi perasaan
bimbang. Sebenarnya bimbang bukan sesuatu yang
menakutkan, yang paling menakutkan justru tidak menentukan
pilihan di saat bimbang, sebab sekali kau telah mengambil
keputusan, perasaan bimbang akan lenyap dengan sendirinya,
tinggal kau laksanakan apa yang telah kau putuskan itu
Bu-ki juga manusia, tentu ada saat baginya untuk merasa
bimbang, apalagi berada di depan simpang tiga, perasaan bimbang
semakin mencekam perasaan hatinya. Jalan mana yang harus ia
pilih" Kalau belok ke kiri, dia akan tiba di Benteng Sangkoan Jin yang
saat ini dijaga oleh Kwik Koan-kun.
Jika belok ke kanan, dia akan sampai di lembah Boanliongkok
yang dijaga oleh Si Kiong. Sebaliknya jika ia berjalan lurus akan
tiba di benteng yang dijaga Sugong Siau-hong. Kalau menurut
aturan, seharusnya Bu-ki berjalan lurus, tapi yang dimaksud menurut
aturan itu aturan siapa" Apakah aturan yang dibuat lantaran Wi
Hong-nio sempat mencuri dengar perdebatan dua bersaudara Tong"
Tepatkah berita hasil mencuri dengar itu" Tidak mungkinkah hanya
sebuah jebakan"
Yang harus ditebak Bu-ki saat itu sebenarnya adalah
masalah Tong Ou mau menyerang mana" Kalau berdasarkan jarak,
maka lembah Boanliong-kok adalah tempat terdekat, menurut aturan
mestinya Tong Ou menyerang lembah itu lebih dulu, apalagi Bu-ki
sudah meninggalkan Benteng Keluarga Tong dan Keluarga Tong
tampaknya sama sekali belum melakukan persiapan untuk
melancarkan serangan. Jika Tong Ou ingin menyerang tempat yang
lebih jauh mestinya mereka sudah berangkat jauh sebelum
keberangkatan Bu-ki.
Tentu saja bisa jadi Tong Ou sudah melakukan persiapan
jauh hari sebelumnya atau mungkin Keluarga Tong tak usah
mengirim pasukannya karena di luar sudah ada banyak pasukan
yang siap melakukan penyerangan. Sebenarnya Bu-ki sama sekali
tidak percaya pada Tong Ou. Mustahil ada orang yang mau
melepaskan musuhnya baru kemudian melancarkan serangan,
apalagi ada kejadian yang begitu kebetulan ketika Wi Hong-nio
sempat mencuri dengar berita penyerangan terhadap Tayhong-tong.
Mana mungkin merundingkan masalah serahasia itu secara
begitu gegabah hingga kedengaran orang luar"
Kemungkinan besar berita penyerangan itu hanya berita
palsu, berita itu hanya umpan agar Bu-ki masuk perangkap. Bu-ki
mengambil keputusan untuk tidak pergi ke benteng Tayhong-tong.
Haruskah dia pergi ke lembah Boanliong-kok" Ia merasa tempat ini
yang paling mungkin diserang lebih dulu.
Bu-ki sudah menarik tali kudanya untuk belok ke kanan, tapi
baru berjalan berapa langkah tiba-tiba ia berhenti, ia ingat akan
Sangkoan Jin. Ke arah mana pun Tong Ou melancarkan serangan,
Sangkoan Jin pasti akan mendampinginya, dia pasti berusaha untuk
mengirim kabar tempat yang akan diserang supaya pihak Tayhongtong
bersiap-siap, betapapun sulitnya, dia percaya Sangkoan Jin
pasti akan berusaha mengirim peringatan.
Selain itu masih ada satu hal yang perlu mendapat
perhatian, yaitu seandainya Sangkoan Jin berhasil mengirim
peringatan dini hingga serangan yang dilancarkan Tong Ou
mendapat perlawanan sengit atau bahkan gagal total, sudah pasti
Tong Ou akan mencurigai Sangkoan Jin sebagai pembocor berita
karena tidak ada orang lain lagi yang tahu sasaran penyerangannya.
Atau seandainya berita itu diketahui orang-orang Tayhong-tong yang
telah disuap Tong Ou, mereka pasti akan melaporkan kejadian itu
sehingga Tong Ou tahu bahwa Sangkoan Jin yang membocorkan
rahasia. Sesudah dipikir pikir lagi, akhirnya Bu-ki memutuskan untuk
tidak pergi ke mana pun, dia memilih untuk melenyapkan diri saja
agar orang-orang Keluarga Tong tidak tahu ke mana perginya,
dengan demikian seandainya berita serbuan itu bocor, Tong Ou akan
mencurigai dia sebagai pembocor rahasia itu. Tong Ou pasti akan
menduga dialah yang menyampaikan peringatan dini itu hingga
pihak Tayhong-tong sempat melakukan persiapan.
Jika dirinya yang dicurigai, dengan sendirinya Sangkoan Jin
akan terhindar dari kecurigaan. Tapi... bagaimana seandainya
Sangkoan Jin tidak mengirim peringatan dini"
Bu-ki tidak menguatirkan hal ini, sebab dia tahu
pertempuran ini adalah pertempuran besar yang akan menentukan
mati hidupnya Tayhong-tong dan Keluarga Tong, tak mungkin
Sangkoan Jin hanya berpeluk tangan belaka.
Diputuskannya untuk tidak pergi ke mana pun, ia memeriksa
bekalnya dan tahu ia masih bisa bertahan lima hari, maka ia pun
turun dari kudanya, lalu sambil menuntun kudanya ia menuju ke
atas bukit. Ooo)))(((ooo Bagi Sangkoan Jin, ada saatnya juga ia merasa bimbang
bercampur kuatir, tapi perasaan itu hanya sebentar saja, dengan
kecerdasan serta pengalamannya selama ini, dengan cepat ia dapat
mengendalikan diri serta segera mengambil keputusan. Tadinya ia
merasa bimbang, haruskah ia mengirim peringatan dini kepada Si
Kiong yang berada di Boanliong-kok" Hanya sejenak dan ia
mengambil keputusan.
Sewaktu berbicara dengan Tong Ou tadi, waktu sudah
menunjukkan menjelang sore hari dan pembicaraan baru selesai
setelah jatuhnya senja. Waktu itu matahari sudah condong ke langit
barat ketika ia meninggalkan tempat tinggalnya menuju ke tengah
kota. Tiba di sebuah warung makan, ia pun segera mengambil
tempat duduk. Di warung itu ada enam buah meja dan saat itu tepat
waktu makan malam, tak heran kalau semua meja sudah ditempati
orang. Tempat duduknya pun baru saja dipakai orang. Ia memesan
semangkok mie dan daging sapi, angsio daging sapi yang pedas
sekali hingga saking pedasnya, sambil makan tak hentinya ia
mengusap keringat yang jatuh bercucuran. Dia makan dengan
sangat lambat, setiap utas mie seakan-akan harus dikunyah sampai
lumat baru ditelan, oleh karena itu sewaktu ia selesai menghabiskan
mienya, tamu-tamu lain sudah bubar. Di antara tamu yang baru
datang, hanya satu yang kebetulan duduk semeja dengannya.
Tamu yang baru datang itu memakai baju berwarna abuabu,
wajahnya penuh cambang, tampang yang kasar. Cara
makannya pun kasar sekali, mie semangkok besar dilahapnya sambil
mengeluarkan suara berkecipak yang keras. Sangkoan Jin sudah
bangkit berdiri siap membayar rekeningnya ketika melihat cara
makan orang berbaju abu-abu itu. Dia memandang sekejap ke arah
tauke warung lalu sambil tertawa menggeleng kepalanya berulangulang
baru kemudian ia mengeluarkan uang dan dibayarkan ke
pemilik warung.
Tiba-tiba terdengar orang berbaju abu-abu itu berteriak
keras, "Aduh, celaka!"
Tanpa sadar Sangkoan Jin dan pemilik warung berpaling ke
arahnya. Tampak orang berbaju abu-abu itu sedang meraba-raba
sekujur tubuhnya berulang kali, lalu teriaknya lagi, "Aduh celaka, aku
lupa membawa uang!"
"Tampaknya kau datang dari tempat jauh ya?" tegur
Sangkoan Jin sambil tertawa.
"Benar!" sahut orang berbaju abu-abu itu, "aku pedagang
kain baru datang kemari dan tinggal di penginapan Ya-lay. Tauke,
bagaimana kalau aku balik dulu ke rumah penginapan untuk
mengambil uang?"
Sebelum pemilik warung bakmi itu menjawab, Sangkoan Jin
telah berkata duluan, "Tidak usah, biar aku saja yang bayarkan!"
Kembali ia mengeluarkan sekeping uang dan diserahkan
kepada pemilik warung itu.
Kemudian sambil menghampiri orang berbaju abu-abu itu,
katanya, "Aku rasa kau tak usah buru-buru kembali ke rumah
penginapan, hari Peh-cun hampir tiba, suasana di kota ramai sekali,
ini ambillah uangku untuk digunakan dulu, besok baru kau
kembalikan kepadaku, atau kau bisa serahkan uangnya kepada
tauke ini, aku sering datang kemari!"
Kembali dia mengambil sekeping goanpo dan dilemparkan
ke tangan orang berbaju abu-abu itu, lalu setelah tersenyum kepada
pemilik warung, ia pergi meninggalkan tempat itu.
"Orang itu baik sekali," puji orang berbaju abu-abu itu
sambil memegang goanpo pemberiannya, "'tauke, apa dia adalah
orang paling kaya di kota ini?"
"Oh bukan," jawab pemilik warung mie, "dia adalah tamu
kehormatan dari Benteng Keluarga Tong, dia punya nama besar
yang amat tersohor, lebih baik tak usah kusebutkan daripada nanti
Naga Kemala Putih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setelah mendengar kau jatuh pingsan."
"Baiklah," kata orang berbaju abu-abu itu sambil
mengangguk, "tidak tahu namanya juga tak mengapa, paling banter
besok aku ganti mentraktirnya makan."
"Besok belum tentu dia datang kemari."
"Tidak apa-apa, aku akan meninggalkan uang lebih di
tempatmu."
"Terserah..."
Sambil menyimpan goanpo pemberian itu, kembali orang
berbaju abu-abu itu berkata, "Tauke, sekarang aku mau mencari pipi
licin dulu, sampai ketemu besok, melihat nasibmu yang lagi mujur,
besok aku pasti akan kemari lagi untuk makan sampai kenyang."
Habis berkata ia segera meninggalkan warung makan
menuju ke keramaian kota. Ia berjalan lurus ke depan tanpa
berpaling, padahal ia tahu ada orang sedang membuntutinya. Sejak
ia duduk di warung sambil makan mie tadi ia sudah merasa ada
seseorang mengawasi gerak-geriknya.
Orang-orang Keluarga Tong memang selalu menaruh
perhatian khusus terhadap setiap orang asing yang muncul di kota
itu. Sejak awal orang berbaju abu-abu itu sudah mengetahui hal ini,
ia justru merasa kuatir jika tidak ada yang mengikuti.
Ia sengaja menuju ke rumah pelacuran yang paling ternama
di kota itu, Li-cun-wan, lalu memanggil beberapa orang nona untuk
menemaninya minum arak. Setelah lewat satu jam ia baru balik ke
rumah penginapan. Setelah berada di kamarnya, barulah ia
mengeluarkan beberapa keping perak hancur serta berapa biji
goanpoo. Ternyata ia membawa uang!
Dia keluarkan goanpo pemberian Sangkoan Jin tadi, lalu
mematahkan goanpo itu pada kedua ujungnya. Ketika goanpo itu
patah menjadi dua bagian, dari dalam patahan itu muncul selembar
kertas yang tipis sekali.
Setelah mengeluarkan kertas tipis itu, tanpa diperiksa lagi
isinya dia mengeluarkan sebuah peti dari dalam buntalannya dan
ketika peti selebar satu kaki itu dibuka, tampaklah sebuah kurungan
bambu kecil, kurungan bambu itu berisi tiga ekor burung merpati.
Saat itulah kertas tadi dibukanya, ternyata gulungan kertas itu
terbagi jadi tiga bagian yang dilipat jadi satu.
Orang berbaju abu-abu itu tidak melihat isi surat itu, ia
membagi surat itu jadi tiga kemudian mengikatkan pada kaki ketiga
ekor burung merpati itu. Itulah tugas orang itu, ia sangat ahli dalam
melatih burung merpati yang bisa terbang di waktu malam. Sejak
rencana Harimau Kemala Putih dilaksanakan, ia selalu muncul
dengan identitas yang berbeda-beda, sepuluh hari sekali dia muncul
di situ. Tiap kali pasti makan mie disitu sambil menunggu berita dan
sekarang ini adalah pertama kali ia menerima berita.
Orang ini she Gi bernama Pek-bin (Seratus Wajah) dan
sangat mahir berganti wajah, dia sahabat sehidup semati Sangkoan
Jin, sejak awal tahun ia mendapat pesan dari sahabat karibnya itu
untuk membawa burung-burung merpati yang bisa terbang langsung
ke Boanliong-kok, benteng Hong-po serta benteng Sangkoan Jin ke
dalam Benteng Keluarga Tong.
Selesai mengikat ketiga helai kertas itu di kaki masingmasing
burung merpati, Gi Pek-bin memasukkan burung-burung itu
ke dalam sakunya lalu berjalan keluar dari dalam kamar langsung
menuju ke warung mie.
Begitu bertemu dengan pemilik warung mie, Gi Pek-bin
menyerahkan uangnya dan kemudian berkata, "Tolong sampaikan
uang ini kepada tuan yang telah membayari aku kemarin."
"Dikembalikan besok juga tidak apa-apa," sahut si penjual
mie sambil tertawa lebar, "kenapa mesti repot-repot kemari
sekarang" Besok saja datang lagi!"
"Besok tidak bisa, karena pagi-pagi aku sudah pergi."
"Oh, tidak tinggal beberapa hari lagi?"
Setelah memeriksa uang yang diterimanya, ia berkata lagi,
"Uangmu ini terlalu banyak..."
"Sisanya untukmu, anggap saja sebagai uang lelah!" Pemilik
warung itu gembira setengah mati, serunya, "Terima kasih banyak
atas pemberianmu, bagaimana kalau kau cicipi dulu nasi gorengku"
Tanggung kau akan ketagihan!"
"Baiklah!"
Selesai menghabiskan sepiring nasi goreng, Gi Pek-bin
meninggalkan warung bakmi itu dengan riang, dia gembira karena
ternyata orang yang menguntitnya sudah tidak kelihatan lagi dan ia
tahu sebabnya. Pemilik warung makan itu adalah mata-mata
Keluarga Tong yang khusus ditugaskan untuk mengawasi tamu-tamu
asing. Yang tidak diketahuinya adalah dengan cara apa tauke bakmi
itu menyampaikan beritanya kepada si penguntit hingga orang itu
tidak mengikutinya lagi.
Kalau seorang tamu sudah memutuskan akan pergi dari kota
itu esok pagi, memang tak ada alasan untuk menguntitnya lagi.
Apalagi penampilan Gi Pek-bin begitu sempurna, tak ada gerak-gerik
yang patut dicurigai.
Dengan langkah santai ia berjalan kembali ke rumah
penginapan, sepanjang jalan dia mencoba memeriksa sekelilingnya,
apakah masih ada yang menguntitnya atau tidak. Ketika yakin di
sekelilingnya tidak ada orang, dari dalam sakunya segera ia
keluarkan ketiga ekor burung merpati itu.
Merpati-merpati itu memang sudah dilatih secara khusus
sehingga selama berada dalam sakunya, burung-burung itu sama
sekali tak bersuara, bergerak pun tidak. Tanpa menimbulkan suara
sedikit pun ia melepas ketiga ekor burung merpati itu, burungburung
itu tak bersuara karena mereka dilemparkan ke tengah
udara. Untuk meyakinkan bahwa burung-burungnya telah pergi, Gi
Pek-bin memasang telinga untuk mendengarkan dengan cermat.
Setelah yakin burung-burung itu terbang tinggi, dengan senyuman
puas ia meneruskan langkahnya kembali ke rumah penginapan.
Ooo)))(((ooo Tong Ou biasanya selalu berpenampilan tenang, tapi saat ini
mulai nampak gelisah, ia berjalan bolak-balik dalam kamarnya tanpa
mengerti apa yang harus diperbuatnya, ia benar-benar sangat
gelisah. Dia patut gelisah, karena secara tiba-tiba rencana besarnya
mengalami perubahan yang sama sekali di luar dugaan.
Perubahan di luar dugaan ini ditimbulkan oleh Tio Bu-ki.
Sore tadi, menurut laporan mata-mata yang sampai di
tangannya, mereka tidak berhasil menemukan jejak Tio Bu-ki di
sepanjang perjalanan menuju ke lembah Boanliong-kok. Waktu
menerima laporan itu Tong Ou masih berbesar hati, karena dia
beranggapan bahwa kemungkinan besar Tio Bu-ki akan masuk
perangkap dengan langsung menuju ke benteng Hong-po. Tapi
sesaat kemudian, laporan dari mata-mata yang lain diterimanya,
ternyata sepanjang jalan menuju ke benteng Hong-po pun tidak
ditemukan jejak Tio Bu-ki.
Menurut perkiraan Tong Ou, dengan menggunakan Wi
Hong-nio sebagai umpan, kemungkinan besar Tio Bu-ki akan
terjebak, sebab berita yang disampaikan oleh Wi Hong-nio pada
mulanya pasti sulit dipercayai pemuda itu. Tapi setelah dia
mengembangkan perhitungannya, pemuda itu pasti menduga bahwa
berdasarkan keli?cikan Keluarga Tong, maka jika mereka berkata
tak akan menyerang benteng Hong-po, justru sangat mungkin
benteng Hong-po lah yang akan diserang paling dulu. Dengan
begitu, pada akhirnya Tio Bu-ki akan berangkat menuju ke benteng
Hong-po. Tapi setelah datangnya laporan dari kedua mata-matanya
yang menyampaikan bahwa selain jalan yang menuju benteng Hongpo,
di kedua jalan lain mereka tidak menjumpai jejak Bu-ki, dia pun
berpendapat bahwa Bu-ki pasti sudah termakan oleh kecerdasannya
sendiri hingga dia memilih datang ke benteng Hong-po.
Cara kerja Tong Ou selalu amat berhati-hati dan jauh dari
sembrono, ia baru mau melakukan tindakan apabila sudah yakin
seratus persen, maka saat ini dia masih harus menunggu lagi,
menunggu datangnya laporan dari mata-mata yang dikirim ke
benteng Hong. Akhirnya laporan itu diterimanya, tapi isi laporan itu
membuat Tong Ou terkejut dan tidak habis mengerti.
Sepanjang jalan menuju ke benteng Hong-po, ternyata tidak
juga dijumpai jejak dari Tio Bu-ki! Ke mana perginya Bu-ki"
Tong Ou memutar otaknya memikirkan persoalan ini, namun
sampai akhirnya pun ia tak berhasil menemukan jawabnya.
Sejak awal ia sudah membuat banyak pengandaian, kalau
Tio Bu-ki tidak masuk perangkap dan pindah ke tujuan yang lain, dia
percaya dengan bantuan mata-matanya, ia bisa segera mengubah
rencananya. Tapi sekarang semua berita menyatakan Tio Bu-ki tibatiba
lenyap tak berbekas. Ini benar-benar membuatnya pusing tujuh
keliling. Sebenarnya Tong Ou tidak begitu peduli Tio Bu-ki pergi ke
arah mana, sebenarnya ia hanya hendak mengetahui tujuan yang
dipilih Tio Bu-ki untuk mengukur sejauh mana kesetiaan Sangkoan
Jin padanya. Tong Ou sudah tahu, kalau dia hendak menyerang
lembah Boanliong-kok, seandainya Tio Bu-ki langsung menuju ke
benteng Hong-po maka dia akan pura-pura menyerang lembah
Boanliong-kok, padahal tujuan serangan yang sesungguhnya adalah
benteng Sangkoan Jin. Ia pura-pura menyerang lembah Boanliongkok
sekedar ingin tahu sampai di mana kesiapan orang-orang di
lembah itu menghadapi serangannya.
Jika persiapan orang-orang Boanliong-kok ternyata sangat
kuat, maka Sangkoan Jin tak bisa terlepas dari kecurigaan sebagai
orang yang telah membocorkan rencana itu. Sebaliknya jika lembah
itu tak ada persiapan, dia akan langsung merebut Boanliong-kok,
sedangkan Sangkoan Jin semakin bisa dipercaya. Semua itu tentu
saja menurut perhitungan Tong Ou!
Di luar dugaan, mimpi pun dia tak menyangka bakal
kehilangan jejak Tio Bu-ki secara tiba-tiba. Tentu saja peran Tio Buki
dalam rencana ini sesungguhnya tidak terlalu penting, ia sengaja
melepas pemuda itu hanya untuk menambah keasyikannya saja.
Tapi sekarang mereka telah kehilangan jejak Tio Bu-ki, dan
urusan ini dirasakan mulai mempengaruhi situasi keseluruhan, paling
tidak akan mempengaruhi penilaiannya atas Sangkoan Jin, padahal
kesetiaan Sangkoan Jin pada Keluarga Tong suatu masalah yang
amat penting. "Hanya sejenak Tong Ou bimbang, ia segera mengambil
keputusan untuk tetap melaksanakan rencananya sesuai semula.
Maka ia memerintahkan orang untuk menyiapkan kuda dan
menyampaikan kabar kepada orang-orang yang telah disuapnya dari
markas Tayhong-tong agar melaksanakan perintah sesuai dengan
rencana semula.
Tong Ou memang tetap Tong Ou yang ulung, sekalipun ia
memutuskan untuk tetap melaksanakan rencana semulanya, namun
dia juga melakukan satu tindakan persiapan lainnya, dia ingin sedia
payung sebelum hujan. Payung ini disediakan bukan untuk
menghadapi perubahan di luar dugaan dalam serangannya terhadap
Tayhong-tong, tapi khusus ditujukan untuk menghadapi Sangkoan
Jin. Ia segera mengundang datang Tong Hoa dan
memerintahkan kepadanya untuk mulai melancarkan aksinya
terhadap Wi Hong-nio. Semua kejadian ini berlangsung pada senja
hari tanggal dua bulan lima.
Bulan lima tanggal tiga, hari sudah senja, matahari tampak
surut di langit barat sementara gelap malam turun dari angkasa.
Ketika terjaga dari tidurnya Wi Hong-nio menyaksikan
pantulan cahaya keemas-emasan yang memancar masuk melalui
daun jendela dan rasa riang serta segar timbul menyelimuti hatinya.
Begitulah sifat gadis ini, asal bisa tidur dan tidurnya nyenyak, ketika
terjaga dari tidurnya dan bisa menyaksikan pemandangan alam yang
begitu indah terpampang di luar jendela, ia lalu merasa begitu
bahagia dan gembira.
Sambil duduk di tepi pembaringan, ia mulai berpikir,
"Suasana senja hari begitu indah, aku seharusnya keluar dari kamar
dan menikmatinya!"
Maka ia pun turun dari ranjang dan membuka pintu kamar.
Dengan mendadak Wi Hong-nio tertegun. Ia menyaksikan
munculnya seseorang tepat di hadapannya, orang yang tampaknya
sudah dari tadi menunggu di situ dengan senyuman menghias
wajahnya. Orang itu mempunyai mata dan hidung sempurna, wajah
yang tampan, hanya sayang ketampanannya cenderung kebancibancian.
Begitu nampak orang ini, Wi Hong-nio segera teringat pada
kata-kata Tong Ou, dia segera tahu orang ini.
Dia memang Tong Hoa, tuan muda hidung belang yang
gemar menguber pipi licin.
Senyum yang menghias wajah Tong Hoa seakan senyuman
yang alami, seakan sejak lahir ia sudah membawa senyum itu. Ia
mengawasi wajah Wi Hong-nio sambil tertawa, katanya, "Namaku
Tong Hoa!"
"Aku tahu!" jawab Wi Hong-nio cepat.
Perempuan itu hanya memandangnya sekejap dan hanya
menjawab sekecap, kemudian sorot matanya segera dialihkan ke
luar, meman?dang kegelapan senja yang mulai muncul di langit.
Tong Hoa segera menggerakkan kepalanya menghalangi
pandangan mata Wi Hong-nio, dia seperti hendak memaksa gadis itu
untuk melihat wajahnya saja dan menikmati senyumnya.
"Kegelapan malam tak bagus dilihat!" serunya.
Wi Hong-nio melengak.
"Suasana senja hari begini indah, kenapa kau bilang tak
bagus?" "Seindah-indahnya senja tak akan seindah wajahmu,
wajahmu jauh lebih enak dipandang," sahut Tong Hoa.
Merah jengah Wi Hong-nio mendengar pujian itu, pipinya
bersemu merah seperti tomat yang segar.
"Coba lihat!" kembali Tong Hoa berseru setelah mengawasi
pipinya yang merah dengan pandangan tolol, "kau nampak begitu
cantik... begitu menawan hati!"
Paras muka Wi Hong-nio semakin merah, merah padam
karena jengah. Sementara Tong Hoa berdiri mematung, senyum
tololnya semakin melebar, ia berdiri termangu-mangu seperti orang
yang kehilangan sukma.
Sementara itu warna senja mulai memudar, kegelapan
malam pun menyelimuti seluruh jagad. Tong Hoa bertepuk tangan
dua kali, dua orang dayang dengan membawa lampu lampion
muncul dari sudut lorong di ujung hala?man.
Dengan nada seperti opera, kembali Tong Hoa berkata,
"Malam sudah menjelang, jalan mulai guram dan tak nampak jelas,
aku takut kau kurang hati-hati hingga jatuh, maka kusuruh dua
orang dayang untuk menuntunmu berjalan."
Wi Hong-nio ingin tertawa, ia merasa orang itu lucu sekali,
tapi ia tak sampai tertawa terbuka, katanya, "Buat apa kau suruh
dayang menuntunku berjalan" Siapa bilang aku mau pergi dari sini?"
"Oh, kalau memang tak mau keluar, mari kita masuk ke
dalam kamar saja!" sahut Tong Hoa sambil berganti gaya.
Naga Kemala Putih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia segera berpaling dan serunya kepada salah satu dayang
itu, "Siau-tiap, cepat masuk dan pasang lampu!"
Siau-tiap menyahut dan segera masuk ke dalam kamar.
"Aku paling benci dilayani orang!" sentak Wi Hong-nio cepat.
"Waaah tidak bisa!" sahut Tong Hoa masih tertawa nyengir.
"Di samping nona cantik kalau tak ada dayangnya, sama seperti
jenderal tanpa serdadu, pasti kurang sedap dipandang. Mari
kuperkenalkan kepada dua orang dayang itu, yang ini bernama SiauKANG
ZUSI website http://cerita-silat.co.cc/
tiap sedang yang satu lagi bernama Siau-oh, Oh-tiap kupu-kupu.
Mereka ditugaskan di sini untuk melayani segala keperluanmu,
walaupun tidak terbiasa, kau harus mulai belajar membiasakan diri!"
Tiba-tiba Wi Hong-nio merasa bahwa Tong Hoa ternyata
seorang pemuda yang kelewat cerewet, suka banyak bicara seperti
yang diucapkannya barusan. Sebenarnya ia ingin menarik muka dan
menunjukkan rasa tak senangnya, tapi tiba-tiba ia teringat sesuatu,
senyum manis segera menghiasi wajahnya.
Dalam pikirannya ia ingin memperalat Tong Hoa, bila ia bias
membuat Tong Hoa tergila-gila kepadanya, ia bisa memanfaatkan
posisinya di Benteng Keluarga Tong untuk kelak membantunya pergi
meninggalkan tempat itu.
Berpikir begini, ia pun menyahut sambil tertawa, "Baiklah,
bagaimanapun satu kebiasaan harus dilakukan secara pelan-pelan..."
"Nah, begitu baru benar!" teriak Tong Hoa kegirangan,
sambil berteriak ia bertepuk tangan berulang kali.
Sementara itu lampu dalam kamar telah disulut, Siau-tiap
sudah keluar dari dalam ruangan dan berdiri di samping Siau-oh.
Kepada kedua orang dayang itu, Tong Hoa segera
memerintahkan, "Sekarang siapkan hidangan malam di dalam
kamar!" Kemudian sambil berpaling ke arah Wi Hong-nio, terusnya,
"Apakah aku bisa mendapat kehormatan untuk makan malam
bersamamu?"
"Mungkinkah bagiku untuk menolak?" sahut Wi Hong-nio.
Tong Hoa segera tertawa, tertawa lebar dan penuh rasa
gembira. Sambil tertawa ia pun memberi tanda mempersilahkan Wi
Hong-nio untuk masuk kembali ke dalam kamar tidurnya. Malam
semakin menyelimuti seluruh jagad, beberapa titik cahaya bintang
mulai memancarkan sinar kebiru-biruan dari balik kegelapan awan.
Hidangan malam telah disiapkan, sayurnya terdiri dari
beberapa macam masakan Sucoan dengan warna dan rasanya yang
khas, serba merah dan serba pedas.
"Kau sudah terbiasa dengan masakan yang pedas?" tanya
Tong Hoa kemudian.
"Ya, aku memang senang dengan hidangan yang pedas."
"Kalau kebanyakan makan hidangan yang pedas,
tenggorokan dan lidah kita gampang mengering, kau tahu arak apa
yang paling tepat untuk menemani hidangan-hidangan pedas itu?"
"Arak apa?" tanya Hong-nio.
"Arak anggur salju dari Persia! Kau pernah mencicipi?"
"Belum pernah," Wi Hong-nio menggeleng, "malah
mendengar pun baru pertama kali ini."
"Kalau begitu segera kau akan mencicipinya!"
Baru selesai dia berkata, Siau-tiap sudah berjalan masuk
sambil membawa sebuah baki kayu yang di atasnya ada botol
porselen dengan mulut sangat besar, sementara di dalam botol
porselen itu masih ada sebuah botol porselen lain yang lebih kecil
dan ramping bentuknya.
Tong Hoa segera menjelaskan, "Botol besar itu berisi butiran
es batu, sementara isi dari botol kecil itu adalah arak anggur yang
khusus didatangkan dari negeri Persia."
Siau-tiap menuang penuh dua cawan arak di hadapannya.
"Mari, aku menghormati secawan arak untukmu!" kata Tong
Hoa kemudian sambil mengangkat cawannya.
Wi Hong-nio mencoba mencicipi arak itu satu tegukan.
"Bagaimana" Enak bukan?" tanya Tong Hoa kemudian.
"Tidak, tidak enak, rasanya manis agak masam, persis
seperti manisan kiam-bwee."
"Rasa dingin es tepat untuk menghilangkan rasa pedas dan
kering yang kita rasakan di mulut. Kau tahu, minuman ini adalah
simpanan Keluarga Tong kami!"
"Oh, artinya satu penghormatan untukku!" kata Wi Hong-nio
sambil tertawa.
"Asal kau senang, Keluarga Tong kami masih menyimpan
banyak sekali barang mestika serta barang langka lainnya, kau boleh
menikmatinya setiap saat."
"Sungguh?"
"Tentu saja sungguh! Kau tahu, sudah lama aku kagum dan
terpesona padamu!"
Wi Hong-nio tidak menjawab, ia meneruskan santapannya
dengan kepala tertunduk, arak membuat pipinya semakin bersemu
merah. Dengan termangu Tong Hoa mengawasi wajahnya, seakan
dia sudah dibuat tolol oleh kecantikan wajah gadis itu.
Tidak mendengar pemuda itu melanjutkan perkataannya, Wi
Hong-nio kembali angkat wajahnya sambil menengok ke arah
pemuda itu. "Ooh.... kau memang amat cantik," puji Tong Hoa semakin
termangu. Wi Hong-nio segera tertawa, wajahnya berbunga-bunga
karena gembira.
Kembali Tong Hoa berkata, "Setengah tahun lalu, aku
pernah melihatmu secara tidak sengaja di tempat kira-kira tiga li dari
Benteng Keluarga Tong. Saat itu aku sudah merasa bahwa
kecantikanmu melebihi bidadari dari kahyangan, dalam hati aku
selalu berpikir bila suatu ketika aku bisa bertemu lagi dengan kau....
Dan aah, tak kusangka... setelah bertemu sekarang, terbukti
kecantikanmu beribu kali lebih memikat ketimbang bayanganku
semula!" Wi Hong-nio agak muak mendengar rayuan gombal seperti
itu, namun perasaan ini tidak diungkapkannya karena ia masih
punya tujuan lain. Karena itu dengan senyum masih menghias
bibirnya ia berbisik, "Terima kasih banyak atas pujianmu!"
"Aku bukan sedang memuji, aku hanya mengatakan apa
yang memang kulihat."
Wi Hong-nio tidak bicara lagi, rasa muak dalam hatinya
pelan-pelan ikut lenyap. Dia belum pernah mendengar ada lelaki
yang memuji kecantikan wajahnya dengan cara begini, Tio Bu-ki pun
tidak, pujaan hatinya itu hanya mengungkap perasaan hatinya
melalui pancaran sinar mata.
Tapi Tong Hoa, lelaki yang berada di hadapannya kini justru
berani mengungkap perasaan hatinya secara blak-blakan, katakatanya
begitu mendayu-dayu dan sedap didengar, ini membuat Wi
Hong-nio mulai terharu dibuatnya, ia mulai menaruh kesan baik
pada lelaki ini.
Kembali Tong Hoa berkata, "Selama setengah tahun lebih,
berarti ada duaratusan siang dan malam, aku selalu membayangkan
dan merindukan pujaan hatiku itu, sekarang ternyata nasibku baik,
aku bahkan bisa bersantap satu meja dengannya, coba bayangkan,
betapa gembiranya perasaan hatiku kini! Mari, kita bersulang
secawan arak lagi!"
Wi Hong-nio tak dapat mengendalikan perasaan hatinya,
tanpa sadar dia angkat cawan dan menghabiskan isinya.
"Sekarang, tentunya kau sudah paham akan perasaan hatiku
bukan?" tanya Tong Hoa sambil meletakkan kembali cawan araknya.
Wi Hong-nio tidak menjawab, tentu saja dia sangat paham.
Tapi paham kembali paham, jangan lagi perasaan hatinya kini hanya
ada Tio Bu-ki, sekalipun tak ada pemuda tersebut, mana mungkin ia
bisa menanggapi cinta yang diucapkan seorang lelaki macam Tong
Hoa" Bagaimana pula dia bisa menjawab pertanyaan semacam itu"
Kembali Tong Hoa berjanji, "Aku bersedia melakukan apa
saja demi kau!"
Wi Hong Nio merasa amat gembira, janji tersebut membuat
perasaan hatinya lega, sebab dia memang berharap Tong Hoa
tersulut emosinya karena luapan rasa cintanya, begitu emosi
sehingga tanpa memikirkan apa akibatnya ia bersedia membawanya
pergi meninggalkan Benteng Keluarga Tong.
"Melakukan pekerjaan apa pun?" Wi Hong-nio menegaskan.
"Benar, perbuatan apa pun!" jawaban Tong Hoa begitu
tegas dan tandas.
"Bagaimana misalnya kusuruh kau pergi mati?" tanya Wi
Hong-nio dengan nada bergurau.
Tong Hoa agak melengak, tapi cepat jawabnya, "Tentu saja
aku tak boleh berbuat begitu!"
"Kenapa" Bukankah kau berjanji akan melakukan perbuatan
dan pekerjaan apa pun demi aku?"
"Tentu saja terkecuali pergi mati, karena jika aku mati maka
aku tak bisa bertemu kau lagi, aku tak akan melakukan perbuatan
yang membuatku tak bisa berjumpa lagi denganmu."
"Berarti janjimu hanya janji gombal, hanya ingin menipuku,
membuatku senang?"
"Tidak... bukan begitu, aku harus memperbaiki kata-kataku
tadi, aku berjanji akan melakukan pekerjaan dan perbuatan apa pun
demi kau, asal aku bisa selalu berkumpul dan bersamamu."
"Sungguh?" desak Hong-nio sekali lagi.
"Yaa, sungguh!"
"Seandainya ada orang berusaha menghalangimu untuk
bertemu aku atau berusaha mengekang kebebasanku, apa yang
akan kau lakukan?"
"Aku akan mengusirnya!"
"Kalau dia ngotot tak mau pergi?"
"Akan kuhabisi nyawanya!"
"Bagaimana kalau orang itu anggota Keluarga Tong?"
Tong Hoa tidak menjawab, dia hanya mengawasi wajah Wi
Hong-nio dengan termangu-mangu.
"Jadi kau tidak berani?" ejek Wi Hong-nio.
"Tidak ada perbuatan yang tak berani kulakukan!"
"Lalu mengapa kau tidak berani menjawab pertanyaanku?"
"Mengapa aku harus membunuh sanak keluargaku sendiri?"
Tong Hoa balik bertanya.
"Kau sendiri yang berkata akan membunuhnya!"
"Masa ada anggota Keluarga Tong kami yang menghalangi
kebebasanmu?"
"Ada."
"Siapa?"
"Tong Ou!"
"Toa-piauko" Mana mungkin?"
"Bukankah dia yang menahanku di Benteng Keluarga Tong?"
"Betul, tapi ia berbuat demikian demi aku!"
"Demi kau?"
"Benar, dia tahu aku sangat menyukaimu maka sengaja
menahanmu di sini."
Wi Hong-nio tidak berbicara lagi, sebab dia tahu
kenyataannya bukanlah seperti itu. Bukankah Tong Ou berkata
kepadanya bahwa sehabis berjumpa Bu-ki, dia akan mengijinkan
satu orang di antara mereka berdua untuk meninggalkan Benteng
Keluarga Tong"
Seandainya nanti dia memutuskan dia yang pergi dan bukan
Bu-ki, maka kata-kata Tong Hoa jelas bohong besar. Tetapi ia
segera sadar, pasti ada siasat busuk lain di balik semua ini. Kalau
bukan Tong Ou telah membohongi Tong Hoa, berarti Tong Hoa-lah
yang sedang berusaha membohongi dirinya.
Walaupun ia berpikir demikian, namun kecurigaannya tak
diungkap, malah tanyanya kemudian, "Sekalipun tujuan Tong Ou
menahanku memang demi kau, tapi bagaimana jika aku tetap
menganggapnya berusaha menghalangi kebebasanku?"
"Dari sudut mana kau merasa tidak bebas?"
"Bahwa aku tidak boleh meninggalkan Benteng Keluarga
Tong!" "Siapa bilang?"
"Tong Ou!"
"Aaah, tidak mungkin! Begini saja, nanti malam kutanyakan
lagi kepadanya."
"Bagaimana kalau dia membohongimu?"
"Tidak mungkin, ke mana pun kau hendak pergi, aku pasti
akan mengantarmu!"
"Kalau Tong Ou tidak mengijinkan?"
"Kalau dia benar-benar tidak mengijinkan, kita pergi dari sini
secara diam-diam."
"Sungguh?"
"Asal kau ijinkan aku selalu mendampingimu, aku bersedia
mengantarmu pergi ke mana saja yang kau suka!"
"Termasuk pergi ke Tayhong-tong?"
"Kau ingin pulang ke Tayhong-tong?"
"Tentu saja! Siapa yang tidak ingin pulang ketempat
tinggalnya sejak kecil?"
"Aku tidak berharap kau pergi ke situ..."
"Kenapa" Kau takut?"
"Tidak, aku tidak takut, Tayhong-tong tak pernah
kupandang sebelah mata pun!"
"Lalu mengapa kau tidak berharap aku pulang ke sana?"
"Karena di Tayhong-tong ada seseorang."
"Bu-ki yang kau maksud?"
Tong Hoa segera menunjukkan sikap cemburunya dan
sambil tertawa getir menyahut, "Benar, aku tidak berharap kau bisa
bertemu lagi dengannya."
"Tapi kalaupun aku pulang belum tentu aku akan bertemu
dengannya!"
"Bagaimana seandainya bertemu?"
"Masa kau tak berani bertaruh?"
"Aku tidak pernah mau melakukan tindakan yang aku tidak
yakin!" "Baiklah, kalau begitu kita tak perlu bicara lagi."
Tong Hoa tidak bicara lagi, dia minum arak seorang diri.
Sekaligus dia habiskan lima cawan arak anggur sebelum bangkit
berdiri dan mohon pamit dari tempat itu.
"Tidurlah, aku akan mohon diri dulu," katanya.
Habis berkata, ia memberi tanda kepada Siau-Ou dan Siautiap,
kemudian mereka bertiga meninggalkan tempat itu.
Ooo)))(((ooo Wi Hong-nio amat gelisah, ia duduk seorang diri di depan
jendela, memandang kegelapan malam sambil termangu-mangu. Ia
sadar bahwa penampilannya tadi sangat buruk, tidak seharusnya dia
mendesak Tong Hoa dengan kata-kata seperti itu.
Seharusnya dia menggunakan bujukan yang lemah-lembut
untuk mempengaruhi hatinya dulu, sesudah terpikat dan mabuk
cinta, barulah permintaan diajukan sedikit demi sedikit. Cara
semacam itulah yang seharusnya ia lakukan!
Dalam pandangannya, Tong Hoa tak lebih hanya seorang
pemuda romantis yang jatuh cinta kepadanya sejak pandangan
pertama dan baginya sekedar cinta sepihak. Wi Hong-nio tidak
punya perasaan apa pun padanya bahkan ia tidak menunjukkan
Naga Kemala Putih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perhatian sedikit pun. Berhadapan dengan gadis yang belum tentu
membalas cintanya, mana mungkin pemuda itu mau mengabulkan
semua permintaannya dengan begitu saja"
Setelah lama merenung, akhirnya pelan-pelan Wi Hong-nio
dapat mengendalikan hatinya. Ia mulai menemukan jalan yang harus
ditempuhnya dan ia lalu memutuskan sikap selanjutnya.
Dia menganggap malam ini akan tidur lebih awal hingga
besok bisa tampil dengan wajah yang lebih segar, kemudian dengan
mengenakan topeng, pura-pura membalas cinta pemuda itu, dia
akan balas merayu Tong Hoa dan menarik simpatinya. Setelah
membuat keputusan ia merasa hatinya lebih lega, maka ia pun bisa
tidur dengan nyenyak.
Ooo)))(((ooo Pada malam yang sama, Tio Bu-ki sedang merasa sulit untuk
memejamkan matanya. Dia ingin segera tidur, tapi berbagai pikiran
berkecamuk dalam benaknya, membuat dia gelisah dan tak tenang.
Dia tidak tahu apakah Sangkoan Jin telah mengirim kabar ke
semua cabang Tayhong-tong agar mereka dapat mempersiapkan diri
untuk menghadapi serangan besar-besaran pihak Benteng Keluarga
Tong. Ia sadar bahwa hal ini merupakan pertaruhan besar,
pertaruhan besar yang menyangkut masa depan serta hidup-matinya
Tayhong-tong. Dalam pertaruhan ini, Bu-ki sadar kalau dia harus segera
memasang taruhannya. Sampai sekarang, Tio Bu-ki tetap belum
memahami sikap paman Siangkoannya itu, bahkan sikapnya
terhadap rencana Harimau Kema?la Putih. Bagaimana mungkin dia
bisa memahami tokoh-tokoh lain di Tayhong-tong"
Karena tidak bisa memahami semua itu, pemuda ini merasa
amat risau, bingung dan gelisah. Semula dia mengira bahwa
Sangkoan Jin pasti akan berupaya untuk menyampaikan berita itu ke
semua cabang Tayhong-tong. Tapi sekarang, tiba-tiba saja, ia mulai
ragu dan bimbang, apa jadinya kalau Sangkoan Jin lebih
mementingkan keselamatan dirinya sendiri, atau gagal menemukan
orang yang bisa membawa berita tersebut ke semua cabang
Tayhong-tong"
Andaikata gara-gara hal ini anggota Tayhong-tong sampai
dibuat kalang-kabut oleh datangnya serangan dari Keluarga Tong,
atau bahkan banyak yang mati atau tcrluka parah, apakah dia yang
harus memikul tanggung-jawab ini"
Ia merasa sudah waktunya untuk mengambil keputusan, dia
harus menyampaikan kabar tersebut ke salah satu pos jaga
Tayhong-tong, sekalipun jika akhirnya terbukti bukan tempat itu
yang diserang Keluarga Tong, paling tidak dia tak akan merasa
menyesal karena hanya berpeluk tangan belaka.
Ia sadar, terus bersembunyi di atas bukit adalah keputusan
yang salah, tidak seharusnya ia mempertaruhkan keselamatan jiwa
para anggota Tayhong-tong dengan menggantungkan diri pada
Sangkoan Jin seorang. Tio Bu-ki menengadah, memandang sejenak
kegelapan malam yang telah menyelimuti angkasa, dia sadar,
seandainya keputusan yang diambilnya keliru, tak akan ada harapan
lagi untuk merubahnya, sebab sudah tidak ada waktu lagi untuk itu.
Pada saat itulah mendadak ia mendengar suara gemersik
seperti suara burung yang terbang rendah bergerak menuju ke
arahnya. Dengan satu gerakan cepat ia mematahkan ranting pohon,
kemu?dian langsung ditimpukkan ke arah datangnya suara
sambaran itu. Serangan itu amat cepat dan tepat, sekejap lalu terdengar
suara benturan bergema di udara, disusul suara seperti sesuatu
menumbuk batang pohon dan jatuh ke tanah. Bu-ki tidak langsung
menghampiri tempat itu, ia memasang telinga dan mencoba
mendengarkan keadaan di sekelilingnya. Ia harus yakin di situ tidak
ada orang lain sebelum memunculkan diri dari tempat
persembunyiannya.
Suasana amat hening, kecuali hembusan angin malam yang
lembut, tak terdengar suara apa pun. Lama sekali ia berdiri
mematung, ia kuatir benda yang menyambar ke arahnya tadi adalah
suara sambitan senjata rahasia yang sengaja dilepas seseorang.
Sepeminuman teh lewat tanpa terlihat suatu gerakan apa
pun, suasana tetap hening, sepi dan senyap. Bu-ki mulai menduga,
jangan-jangan benda yang ditimpuknya tadi benar-benar hanya
seekor burung yang sedang terbang rendah. Pelan-pelan ia mulai
bergerak mendekati tempat itu, kemudian mencoba memungutnya
dari tanah. Di tengah kegelapan malam, ia merasa benda yang
dipungutnya benar-benar seekor burung dan ketika diperiksa lebih
teliti, ternyata burung itu seekor merpati. Burung merpati"
Pemuda itu segera teringat pada merpati pos. Mungkinkah
merpati ini adalah merpati pos yang dilepas orang-orang Keluarga
Tong untuk menyampaikan berita"
Cepat-cepat diperiksanya kaki burung merpati itu dan benar
saja, segulung kertas kecil terikat erat pada kaki burung merpati itu.
Buru-buru dia merogoh ke dalam saku dan mengeluarkan
korek api, lalu di bawah terang cahayanya dia membuka lipatan
kertas itu dan memeriksa isinya. Yang kemudian dilihatnya membuat
anak muda itu terkesiap seketika.
"Aduh celaka!" pekiknya di hati.
Dia segera mengenali isi surat itu, yaitu tanda rahasia yang
sering dipakai Tayhong-tong untuk menyampaikan berita.
Di balik lembaran kertas itu tidak ada tulisan apa pun, tapi
kertas tersebut dilipat dengan suatu lipatan khusus, yaitu selembar
kertas yang ditempeli kertas kecil lain berbentuk hati. Tanda rahasia
ini berarti bahwa seluruh anggota Tayhong-tong harus waspada dan
lebih hati-hati. Lipatan yang kecil menandakan bahwa jangka waktu
untuk berhati-hati adalah satu-dua hari kemudian. Bila delapan
sampai sepuluh hari lagi, lipatan kertas itu akan lebih besar lagi.
Dia tahu, merpati ini pasti dilepaskan oleh Sangkoan Jin
untuk memperingatkan anggota-anggota Tayhong-tong. Namun
sekarang merpati itu sudah mati tersambit. Apa yang harus
dilakukannya sekarang" Mungkinkah Sangkoan Jin hanya
melepaskan seekor merpati" Merpati itu sebenarnya dikirim ke
mana" Tio Bu-ki menyesal, mengapa ia tidak lebih berhati-hati"
Mengapa ia tidak menduga kalau burung itu adalah seekor burung
merpati pos" Mengapa dia mengira sebagai sambitan senjata
rahasia" Nasi sudah menjadi bubur, menyesal pun tak ada gunanya,
yang penting sekarang adalah bagaimana mengatasi kesalahan ini.
Tapi... apa yang harus diperbuatnya untuk memperbaiki kesalahan
itu" Ooo)))(((ooo Pada malam yang sama, Sangkoan Jin bisa tidur sangat
nyenyak. Sebelum berangkat tidur, ia pergi menengok sebentar putri
tunggalnya. Dia tidak tahu bahwa sejak terluka karena harus
menyelamatkan jiwa ayahnya, gadis itu lalu berubah menjadi lebih
pendiam, kelincahan dan keriangannya di masa lalu sama sekali
sudah lenyap. Meskipun luka luar yang dideritanya berangsur
sembuh, namun rasa risau dan murung yang menyelimuti
perasaannya kian hari kian bertambah dalam.
Sangkoan Jin sama sekali tidak mempertimbangkan hal ini,
saat itu pikiran dan perhatiannya, kecuali pada luka-luka putrinya,
hampir semuanya terpusat pada penyelidikan atas Benteng Keluarga
Tong serta mengawasi segala tindakan yang akan dilakukan oleh
Keluarga Tong pada Tayhong-tong.
Jangankan perasaan putrinya, ia bahkan tidak bertanya
kepada Tong Ou apakah Tio Bu-ki jadi dibebaskan atau tidak.
Bukannya ia tak mau tahu tentang nasib putra tunggal saudara
angkatnya ini tentu saja ia menguatirkan keselamatan jiwanya tapi
bila dibandingkan dengan mati-hidupnya Tayhong-tong, ia merasa
urusan itu tidak seberapa penting.
Ia harus berusaha sebaik mungkin merahasiakan
identitasnya, hanya dengan demikian ia bisa dikatakan berjuang
demi Tayhong-tong. Asal berita berita penting bisa dikirim ke luar, ia
sudah merasa tenteram. Ia percaya bahkan yakin, berita yang
dikirimnya pasti dapat diterima anggota Tayhong-tong.
Ooo)))(((ooo Malam bertambah larut, kegelapan semakin dalam
menyelimuti angkasa.
Ketika Sangkoan Jin dan Wi Hong-nio sudah tertidur
nyenyak, ketika Tio Bu-ki yang berada dalam hutan sedang ragu dan
menyesal atas kecerobohan sendiri, saat itu Tong Hoa sedang
berunding dengan TongOu.
"Ternyata Wi Hong-nio betul-betul ingin meninggalkan
Benteng Keluarga Tong," lapor Tong Hoa.
"Kau yakin bisa mendampinginya ke mana pun dia pergi?"
"Sangat yakin, semalam aku telah menggunakan siasat
rayuan maut, aku percaya mulai besok dia pasti akan bersikap lebih
baik kepadaku!"
"Kau mesti lebih hati-hati," pesan Tong Ou kemudian,
"sebab langkah berikut kita kemungkinan besar sangat tergantung
pada keberhasilanmu."
"Aku tahu."
Tong Ou bangkit dan berjalan ke lemari, mengeluarkan
sebuah kotak dari dalamnya. Kotak itu lalu diletakkan di atas meja
dan katanya lagi, "Kuserahkan kotak ini kepadamu, bawalah selalu
ke mana pun kau pergi, karena setiap saat kau bakal
membutuhkannya."
"Apa isi kotak ini?"
"Bukalah sendiri!"
Tong Hoa membuka penutup kotak itu lalu dengan sangat
hati-hati mengeluarkan sebuah benda dari dalamnya. Benda itu
adalah sebuah patung berukir terbuat dari batu kemala putih,
sebuah patung berukiran naga sedang mementang cakar tajamnya,
Naga Kemala Putih.
"Ukiran naga yang sangat indah!" puji Tong Hoa.
"Ya, naga itu diukir di batu kemala, patung itu bernama
Naga Kemala Putih!" jelas Tong Ou.
Ukiran Naga Kemala Putih itu tidak terlalu besar, ukurannya
hanya sedikit lebih besar dari telapak tangan, tapi ukirannya sangat
bagus dan sempurna, seperti seekor naga yang siap terbang ke
angkasa. Tong Ou mengambil kembali patung naga itu dari tangan
Tong Hoa, lalu sambil menuding ke arah mulut naga itu ia berkata
lagi, "Mulut naga ini memang sengaja dibuat terbuka lebar, di balik
mulut ini ada ruang kosong, kau bisa memasukkan kertas ke
dalamnya."
"Maksudmu, semua rencana kita akan menggunakan mulut
ukiran naga itu?"
"Yang benar kita menggunakan perut naga yang kosong."
"Kenapa kita harus menggunakan Naga Kemala Putih ini?"
"Sebab benda ini hadiah dari Sangkoan Jin, menurut
Sangkoan Jin benda ini adalah benda kuno yang paling disayang Tio
Kian semasa hidupnya dulu."
"Akan kusimpan dengan sangat hati-hati," janji Tong Hoa.
Tong Ou manggut-manggut, lalu katanya lagi, "Sebelum
digunakan, kau harus mendatangi dusun tempat tinggal Tio Kian, di
dusun itu ada toko yang menjual alat tulis, pemilik toko itu bernama
Pek Giok-ki."
"Aku tahu, taukenya bernama Pek Giok-ki."
"Betul, Pek Giok-ki paling mahir tulis menulis, bukan saja
tulisannya sangat indah, dia pun sangat pandai meniru gaya tulisan
orang." "Ya, bagaimanapun juga aku mesti menunggu kabarmu,
biarlah sampai waktunya baru kucari dia dan minta dia menulis
sesuai dengan rencanamu."
"Benar. Kepadanya kau boleh membeberkan indentitas
aslimu." "Jadi dia termasuk salah seorang yang kita suap untuk
mendukung kita?"
"Yaa, tiap tahun kita membayarnya limaribu tahil perak."
"Waah, dengan uang sebanyak itu, berarti dia tidak perlu
buka toko lagi!"
"Jika rencana Naga Kemala Putih kita berhasil dijalankan,
selanjutnya memang dia tak perlu buka toko lagi."
"Kenapa" Masa kita harus terus membayarnya lagi setelah
dia menuliskannya buat kita?"
"Tidak. Ketika ia selesai menulis, kau harus membunuhnya!"
"Membunuhnya untuk melenyapkan bukti?"
"Benar, orang yang bisa kita suap berarti bisa juga disuap
pihak lain, untuk ini kita harus waspada dan lebih baik sedia payung
sebelum hujan."
"Sangat masuk di akal!" puji Tong Hoa. Tong Ou tertawa
tergelak. "Jika tidak masuk di akal, masa Keluarga Tong kita bisa
menancapkan kaki begitu lama di dalam dunia persilatan?"
Tong Hoa ikut tertawa, suara tertawanya penuh rasa bangga
dan puas. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar seseorang mengetuk
pintu. Siapa yang berani mengetuk pintu di tengah malam buta
begini" Mungkinkah sudah terjadi sesuatu yang gawat dan penting"
Buru-buru Tong Ou memerintah Tong Hoa untuk
menyimpan Naga Kemala Putih itu ke dalam sakunya, kemudian
baru membuka pintu. Orang yang berada di luar pintu adalah Tong
Koat, di tangan TongKoat-terlihat seekor burung merpati. Setelah
menutup kembali pintu ruangan, Tong Koat menyerahkan merpati
itu ke tangan Tong Ou.
Merpati itu masih hidup, ia meronta-ronta hendak
melepaskan diri dari genggaman Tong Ou.
Dengan sangat teliti Tong Ou membentangkan sayap
merpati itu dan memeriksanya satu per satu, kemudian berkata,
"Merpati ini bukan burung merpati pos milik kita!"
"Betul," Tong Koat mengiakan, "merpati ini dirontokkan oleh
penjaga kita yang bertugas tujuh belas li di luar kota, mereka
mengirim balik dengan menggunakan kuda cepat."
"Jadi milik siapa?" tanya Tong Ou.
"Belum terlacak, sampai sekarang belum pernah dijumpai
burung merpati semacam ini."
"Apa mungkin merpati pos milik Tayhong-tong?"
"Tayhong-tong tidak pernah menggunakan merpati pos
semacam ini."
"Apakah sudah diselidiki merpati ini terbang dari mana dan
kira-kira akan terbang ke mana?"
"Menurut laporan, merpati ini kemungkinan besar terbang
dari Benteng Keluarga Tong, hanya tidak jelas akan terbang ke arah
mana." "Merpati pos yang mampu terbang malam" Suatu cara
pengiriman berita yang sangat hebat!" puji Tong Ou tanpa terasa.
"Kira-kira jagoan mana dalam dunia persilatan yang mampu melatih
burung merpati semacam ini?"
"Belum pernah ada yang tahu," jawab Tong Koat, "aku
sudah mengirim orang untuk minta pendapat Pek Siau-seng,
Naga Kemala Putih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mungkin besok pagi sudah ada beritanya."
"Apakah belakangan ada orang asing yang berkunjung ke
Benteng Keluarga Tong?"
"Hari ini tidak ada, tapi tiga hari berselang ada."
"Tiga hari berselang" Berarti orang itu sudah tiga hari
tinggal di sini?"
"Dia seorang pedagang kain, waktu mendaftar di losmen
menggunakan nama Go Yong, tinggal di penginapan Ya-lay. Baru
saja aku mengirim petugas untuk menanyai orang itu."
Sementara pembicaraan masih berlangsung, Tong Ou telah
melepaskan kertas yang terikat di kaki burung merpati itu dan
meme?riksa isinya. Ia melihat isi surat itu hanya sebuah tanda yang
berbentuk hati.
Tong Koat kembali menjelaskan, "Toako, kertas itu sudah
diperiksa, itu adalah kertas tulis yang umum dipakai semua orang,
bahan kertas semacam ini bisa didapat di semua tempat."
"Apa arti tanda hati di dalam surat ini" Masa surat
pernyataan cinta?" tanya Tong Ou.
"Aaah tidak mungkin, mana ada orang yang mau bersusahpayah
melatih merpati pos yang bisa terbang malam hanya untuk
menyampaikan perasaan cinta?"
"Waah, itu ide yang sangat bagus!" timbrung Tong Hoa
pula, "lain kali aku mesti meniru cara ini, rasanya perempuan yang
kuburu pasti akan terharu bila dirayu dengan cara begini..."
"Aku yakin tanda hati ini pasti bukan berarti cinta, tentu
punya makna lain yang lebih dalam," tandas Tong Ou.
Tong Hoa mulai memperhatikan lambang hati itu dengan
lebih seksama, tiba-tiba katanya, "Hati ini tidak terlalu besar dan
tidak besar berarti kecil, hati yang kecil melambangkan kehatihatian.
Mungkinkah surat itu peringatan agar orang lebih berhatihati?"
"Ehmm, mungkin sekali begitu!"
Selanjutnya, ketiga orang itu pun diam dalam keheningan,
yang ada dalam pikiran mereka sekarang sama. Semua sedang
berpikir siapa yang telah melepaskan burung merpati itu dari dalam
Benteng Keluarga Tong" Mungkinkah merpati itu hendak memberi
kabar kepada Tayhong-tong agar siap sedia dan lebih berhati-hati"
Mung?kinkah merpati itu membawa berita kalau Keluarga Tong
akan menye?rang mereka"
"Apa mungkin hasil perbuatan Tio Bu-ki?" tiba-tiba Tong
Koat bertanya. "Masa dia membawa burung merpati?" Tong Ou balik
bertanya. "Kalau bukan dia, lantas siapa?"
"Lebih baik kita bicarakan lagi setelah berita dari penginapan
Ya-lay kita terima."
Lentera yang menerangi rumah penginapan Ya-lay sudah
mulai redup, kecuali sebuah lentera yang masih bersinar di ruang
tengah, suasana di sekelilingnya gelap gulita. Tauke rumah
penginapan itu duduk di belakang meja, tampaknya ia sudah tertidur
sangat nyenyak.
Dua orang utusan Tong Ou itu sama sekali tidak
membangunkan sang tauke, mereka langsung naik ke lantai dua,
belok ke kanan dan tiba di muka kamar nomor tiga. Tanpa
mengetuk pintu atau berbasa-basi lagi, salah seorang di antaranya
menendang roboh pintu kamar, sementara rekannya menyerbu ke
dalam kamar. Tampaknya'orang itu sangat hapal dengan isi ruangan itu,
begitu menyerbu ke dalam, ia langsung menghampiri pembaringan
dan menotok. Kecuali ketika menendang pintu kamar tadi, mereka
tidak mengeluarkan suara apa-apa lagi, orang yang sedang tertidur
itu pun berhasil ditotok jalan darahnya. Begitu berhasil menotok
jalan darah orang itu, dia langsung mendukung badannya dan
diangkut keluar.
Gerakan tubuh kedua orang itu cepat sekali, tak selang
berapa saat, mereka telah sampai di Benteng Keluarga Tong.
Tong Koat segera membuka pintu dan begitu masuk, kedua
orang itu membaringkan orang yang telah ditotok jalan darahnya itu
ke atas meja. Salah seorang di antara mereka berkata, "Go Yong
telah tertangkap!"
Belum sempat Tong Koat memuji kecepatan kerja kedua
orang anak buahnya itu, ia mendadak berdiri tertegun. Sesaat
kemudian Tong Ou, Tong Hoa serta kedua orang itu pun ikut
termangu-mangu.
Rupanya mereka menjumpai Go Yong yang baru ditangkap
itu telah berubah jadi mayat. Orang itu sudah mati!
"Apa yang terjadi?" teriak Tong Koat dengan tiba-tiba.
Orang yang tadi menotok jalan darah Go Yong jadi
melengak, untuk sesaat dia hanya berdiri tergugu dan tak sanggup
mengucapkan sepatah kata pun.
"Jangan-jangan sudah mampus dari tadi?" orang yang
menendang pintu itu menimpali.
Tong Ou tidak berbicara apa-apa, dia menghampiri mayat
Go Yong dan meraba sejenak kening mayat itu, kemudian katanya,
"Benar, paling tidak ia sudah mati satu jam berselang!"
Pada saat itu barulah semua yang hadir melihat adanya
warna hitam lebam yang di tubuh mayat itu, warna khas mayat yang
sudah mati lebih dari satu jam.
Tong Hoa merentangkan mulut mayat itu dan memeriksa
giginya, setelah itu katanya lagi, "Benar, giginya juga telah
menghitam"
"Berarti dia mampus terkena jarum beracun Tawon Harimau
kita?" seru Tong Koat terkejut.
"Siapa saja dari Keluarga Tong kita yang menggunakan
jarum beracun Hau-hong-ciam?"
Dengan suara lirih Tong Koat segera menyebutkan sejumlah
nama, tapi Tong Ou gelengkan kepalanya berulang-ulang sambil
berkata tak mungkin, karena orang-orang yang disebut namanya itu
sedang tidak berada di Benteng Keluarga Tong, mereka sedang
bertugas di luar. Yang tersisa tinggal mereka tiga bersaudara.
Beberapa saat lamanya Tong Ou termangu, bingung dan
tidak tahu menemukan jawabnya.
Lama sekali Tong Ou membungkam diri, akhirnya dia baru
berkata kepada dua orang anak buahnya, "Coba kalian pergi lagi ke
rumah penginapan Ya-lay dan bawa kemari taukenya!"
Sepeninggal dua orang itu, Tong Ou baru berkata lagi
kepada Tong Koat, "Coba periksa sekali lagi, apakah kita pernah
kehilangan jarum Tawon Harimau?"
Dengan cepat Tong Koat sudah muncul kembali sambil
membawa beberapa jilid buku, setelah membalik beberapa halaman
dan meneliti catatan yang tertulis, ia berseru, "Aaah, pernah!"
"Siapa yang kehilangan jarum beracun?"
"Li Bun-ting!"
"Kapan" Di mana?" kembali Tong Ou bertanya. "Bulan satu
tahun ini di Hoolam!"
"Kenapa bisa hilang?"
"Dia melepaskan dua batang jarum Hou-hong-ciam ketika
hendak membunuh Gi Pek-bin, tapi serangan tersebut berhasil
dipatahkan Gi Pek-bin dengan menggunakan sebuah kantung kain."
"Gi Pek-bin" Raja berganti wajah Gi Pek-bin?" Tong Ou
menegaskan. "Benar, menurut laporan, ilmu merubah wajah yang dia
miliki sangat hebat dan sempurna, tampaknya setiap saat dia selalu
membawa ratusan lembar kulit wajah yang bisa digunakannya kapan
pun." "Kenapa kita mesti berusaha membunuh orang itu?"
"Kami mendapat laporan, konon Gi Pek-bin telah disuap
pihak Tayhong-tong untuk berpihak kepada mereka. Oleh karena
orang ini sangat berbahaya dan menakutkan, kami putuskan lebih
baik dibi?kin mampus saja daripada membiarkannya bekerja untuk
Tayhong-tong!"
"Yaa, betul sekali ucapan itu," Tong Hoa mengangguk, "coba
bayangkan saja, kalau satu orang memiliki ratusan lembar topeng
muka yang bisa digunakan untuk berganti rupa setiap saat, siapa
yang bisa menyelidiki identitasnya" Hal semacam ini memang sangat
menakutkan."
"Siapa yang mengambil keputusan untuk membunuhnya?"
kembali Tong Ou bertanya.
"Waktu itu kau tidak ada di tempat, tentu saja aku yang
memutuskan," jawab Tong Koat cepat.
"Apa Lo- cocong tahu?"
"Tidak! Bagaimana" Jadi aku salah mengambil keputusan?"
"Betul, seandainya waktu itu kau minta persetujuan dari Lococong,
aku yakin dia pasti akan melarang!"
"Kenapa melarang?" seru Tong Koat tidak puas.
"Untuk menghadapi manusia macam ini, seharusnya kita
justru membujuk atau merajainya agar dia mau berbalik memihak
kita. Membunuh adalah pilihan yang salah, sebab bila kau gagal
membunuhnya, dia akan semakin berbakti untuk lawan. Aku yakin
saat ini dia pasti akan mati-matian bekerja untuk kepentingan
Tayhong-tong."
Tong Koat bungkam seribu bahasa, sebab dia merasa
ucapan toakonya sangat beralasan dan masuk akal, dia mulai
menyadari kekeliruan yang telah dilakukannya. Sementara itu Tong
Ou tidak memedulikan lagi sikap Tong Koat, ia berjalan menghampiri
jenasah itu lalu dengan tangan kirinya mengangkat kepala mayat
tadi dan tangan kanannya mulai meraba sekeliling wajah, tengkuk
dan belakang kepala mayat itu.
Beberapa saat kemudian, tiba-tiba dia mencengkeram
tengkuk sebelah kiri mayat tadi, lalu dengan sangat perlahan tapi
penuh tenaga dia merobek sesuatu dari wajah mayat itu. Sementara
itu Tong Koat berdua juga sudah melihat bahwa wajah orang mati
itu mengenakan selembar topeng kulit manusia.
Satu ingatan segera melintas dalam benaknya, dia teringat
akan sebuah nama yang punya hubungan erat dengan mayat itu. Gi
Pek-bin, Gi berwajah seratus.
Tampaknya orang itu dibunuh oleh Gi Pek-bin dan selesai
membunuh, ia mengenakan selembar topeng kulit manusia di wajah
mayat itu. Sementara itu Tong Ou sudah melepaskan seluruh topeng
kulit manusia yang dikenakan mayat itu, sekarang terlihatlah paras
muka orang itu berwarna hitam gelap, tak heran kalau Tong Ou
sekalian tidak tahu kalau orang ini sebenarnya telah mati keracunan.
Rupanya wajah orang itu tertutup selembar kulit manusia sehingga
warna hitam yang muncul di wajah asli mayat itu sama sekali tak
kelihatan. Di saat Tong Ou bertiga masih berdiri tertegun sambil
mengawasi mayat yang telah menghitam itu, dua orang yang diutus
menjemput tauke rumah penginapan Ya-lay telah tiba di situ. Begitu
melihat wajah mayat yang membujur kaku itu, paras muka si tauke
rumah penginapan segera berubah hebat, dia berdiri mema?tung
tanpa sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
"Siapakah orang itu?" Tong Ou segera menegur.
"Dia... dia... adalah Li Jin-tiong, tapi..." jawab tauke itu
gelagapan dan gemetar keras.
"Tapi kau melihat dia sudah meninggalkan rumah
penginapan sejak tadi, bukan begitu?" Tong Ou menimpali.
"Dari... dari mana kau bisa tahu?" tanya si tauke keheranan.
Tong Ou mendengus dingin.
"Hmm, masih belum jelaskah kau" Ketika orang yang
mengaku bernama Go Yong itu mendaftar di rumah penginapanmu
itu, bukankah dia muncul dengan mengenakan topeng ini?"
Sambil menggoyangkan topeng kulit manusia tersebut
kembali Tong Ou berkata, "Dia adalah Gi Pek-bin, ketika dia selesai
bertugas di tempat ini maka dibunuhnya Li Jin-tiong yang menginap
di kamar sebelah, kemudian topeng kulit manusia yang semula
dipakainya sengaja dia lepaskan dan dikenakan pada wajah orang
itu. Dengan begitu semua orang mengira Go Yong telah mati,
padahal secara diam-diam dia telah mengenakan topeng wajah yang
mirip dengan Li Jin-tiong untuk meninggalkan rumah penginapan Yalay
dan kabur dari Benteng Keluarga Tong!"
Pucat pias wajah si tauke sehabis mendengar penjelasan itu,
gumamnya dengan nada bergetar, "Orang ini... orang ini benarbenar
menakutkan..."
Tong Ou berpaling ke arah Tong Koat, mendadak tanyanya,
"Go Yong pergi ke mana saja?"
Secara ringkas Tong Koat melaporkan semua yang
diketahuinya. Lama sekali Tong Ou berpikir, dia mencoba mengupas
masalah demi masalah dengan seksama, kemudian katanya, "Aku
rasa masalahnya timbul kalau bukan di warung bakmi tentu ketika
keluar dari rumah pelacuran Li-cun-wan. Aku curiga merpati yang
berhasil kita tangkap ini adalah burung merpati yang dilepas
olehnya." Sambil berkata dia menuding bangkai burung merpati yang
tergeletak di meja.
Waktu itu Tong Koat sedang membolak-balik buku catatan,
tiba-tiba teriaknya lantang, "Aaah, betul, catatan mengenai Gi Pekbin
mengatakan bahwa dia sangat suka memelihara burung
merpati!" Tong Ou manggut-manggut, ujarnya, "Ketika berada di
warung bakmi, orang yang pernah berhubungan dengan Gi Pek-bin
adalah Sangkoan Jin, sementara ketika berada di rumah pelacuran
Li-cun-wan, dia berhubungan dengan..."
"Dia bernama Siau-ping," sela Tong Koat.
"Siau-ping dibesarkan dalam kalangan kita, rasanya tidak
cocok untuk dicurigai."
"Jangan-jangan Sangkoan Jin?"
"Mana-mungkin?" seru Tong Koat, "waktu itu dia hanya
menyerahkan sekeping goanpo!"
"Siapa tahu di balik goanpo itu terdapat sesuatu yang
aneh?" kata Tong Hoa.
"Mungkin saja, coba kau panggil..."
Mendadak Tong Ou berhenti berbicara, kemudian menoleh
dan memandang sekejap ke arah tauke rumah penginapan Ya-lay
serta ke kedua pembunuh gelap itu.
Tong Koat segera mengerti maksud kakaknya, cepat dia
berseru, "Di sini sudah tidak ada urusanmu lagi, kalian boleh pergi!"
Tiga orang itu segera berpamitan dan meninggalkan tempat
itu. Setelah ketiga orang itu lenyap dari pandangan, Tong Ou
baru berkata lagi, "Segera panggil Cing-cing kemari."
"Panggil Cing-cing" Buat apa"*
"Aku akan menggunakan kecantikan wajahnya untuk
menyelidiki Sangkoan Jin, aku ingin tahu masih ada rahasia apa lagi
yang tidak kita ketahui."
Setelah berpisah dengan kedua orang pembunuh gelap itu,
si tauke rumah penginapan Ya-lay kembali ke ruang kerjanya
seorang diri, dia berjalan menuju ke meja tempat tadi ia tidur lalu
duduk dan mengeluarkan buku tamu. Di situ ia menandai dengan
lingkaran kecil pada nama Go Yong. Segera sesudahnya ia keluar
meninggalkan rumah penginapan lagi. Ia bergerak cepat
Naga Kemala Putih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meninggalkan Benteng Keluarga Tong, rupanya ingin pergi dari situ
sebelum fajar menyingsing.
Ketika sudah berada di luar wilayah Benteng Keluarga Tong,
si tauke baru melakukan hal yang sama seperti yang tadi dilakukan
Tong Ou, ia melepas selembar topeng kulit manusia dari wajahnya.
Ia tertawa, tertawa sangat dingin. Ternyata si tauke ini adalah Gi
Pek-bin! Fajar belum menyingsing, kegelapan malam masih
memenuhi langit ketika terlihat sesosok manusia berkerudung
menyelinap masuk ke dalam rumah penginapan Ya-lay. Langsung ia
menuju ke meja kasir dan mengeluarkan buku catatan tamu. Setelah
memeriksa sekejap nama Go Yong yang diberi tanda lingkaran itu,
kemudian dengan sama cepatnya ia pergi meninggalkan tempat itu.
Ilmu meringankan tubuh orang berkerudung ini amat hebat,
dia pun nampaknya hapal betul dengan seluk-beluk kebun bunga
Keluarga Tong. Menyusuri sudut-sudut halaman yang gelap, dengan
satu gerakan lincah orang itu sudah menyelinap masuk ke dalam
sebuah kamar. Ketika sudah di dalam kamar dan sedang melepaskan kain
keru?dung hitam yang menutupi wajahnya, baru kelihatan bahwa
orang itu adalah Sangkoan Jin. Baru saja Sangkoan Jin melepaskan
kain kerudung dan meletak?kannya di meja, tiba-tiba terdengar
pintu kamar diketuk orang.
Mula-mula ia nampak terperanjat sebab saat itu masih
tengah malam buta, lagipula baru saja dia kembali dari rumah
penginapan Ya-lay. Mungkinkah jejak serta gerak geriknya sudah
ketahuan orang-orang Keluarga Tong"
Dengan gerakan refleks dia mengambil kembali kain
kerudung hitamnya. Belum sempat ia berpikir mau disembunyikan di
mana, tiba-tiba satu ingatan melintas di dalam benaknya, janganjangan
orang yang mengetuk pintu adalah Cing-cing" "Siapa?" ia
segera menegur.
"Aku!"
Ternyata dugaannya tidak salah, itu suara Cing-cing. Cingcing
adalah gadis yang dikenal Sangkoan Jin sejak ia bergabung
dalam Benteng Keluarga Tong. Selama ini hubungan mereka sangat
mesra dan Cing-cing sering melayani hasrat syahwatnya, maka
kehadirannya di tengah malam buta seperti ini bukan kejadian yang
aneh dalam pikirannya.
Sesudah tahu bahwa yang datang adalah Cing-cing,
Sangkoan Jin merasa lega. Ia masukkan kain kerudung hitam itu ke
dalam sakunya kemudian membuka pintu. Baru saja pintu dibuka,
Cing-cing sudah menubruk ke dalam pelukannya, kemudian sambil
mendesis lirih ia menempelkan wajahnya ke wajah Sangkoaan Jin.
Menghadapi perlakuan seperti ini Sangkoan Jin tertawa, dia
balas memeluk erat gadis itu dan kemudian membopongnya ke atas
ranjang. Tak lama kemudian dua tubuh yang telanjang bulat telah
saling menempel satu sama lain seperti permen karet...
Ooo)))(((ooo Fajar sudah menyingsing, cahaya terang benderang telah
memenuhi langit, namun Tio Bu-ki masih berdiri termangu sambil
mengawasi batang pohon di hadapannya. Dia masih bimbang, masih
resah. Dia menyesal mengapa tindakannya kurang berhati-hati
hingga membunuh burung merpati yang justru membawa surat
peringatan untuk para anggota Tayhong-tong.
Ia tidak tahu bagaimana caranya memperbaiki kesalahan
yang telah diperbuatnya itu. Lama sekali dia berpikir, memutar otak
dan mencari akal... Akhirnya dia mengambil satu keputusan. Untuk
mencapai lembah Boanliong-kok dibutuhkan perjalanan satu hari
penuh. Artinya jika berangkat sekarang juga, dia baru akan sampai
keesokan harinya dan saat itu sudah tiba hari Peh-cun. Dapat diduga
semua orang tentu sedang mabuk-mabukan atau dengan perkataan
lain, penjagaan pasti sangat kendor.
Berpikir sampai di sini Tio Bu-ki terkesiap dan buru-buru
melompat turun dari atas pohon, melompat naik ke atas pelana kuda
dan melarikannya langsung ke lembah Boanliong-kok.
Pada fajar yang sama. Tong Ou, Tong Koat maupun Tong
Hoa belum tidur barang sekejap pun, mereka bertiga masih di dalam
kamar sambil membicarakan masalah merpati pos serta urusan Gi
Pek-bin. Melihat fajar mulai menyingsing di ufuk timur, tiba-tiba Tong
Ou berkata kepada Tong Koat, "Aku bermaksud untuk mengubah
rencana penyerbuan."
"Kenapa?"
"Terlalu banyak kejadian di luar dugaan, aku takut terjadi
perubahan yang tidak menguntungkan."
"Lalu apa rencanamu?"
"Segera kirim surat perintah lewat merpati pos, perintahkan
mereka segera melancarkan serangan dari tiga jurusan!"
Tampaknya dia telah menyiapkan tiga kelompok pasukan
yang bersembunyi di sekeliling markas besar Tayhong-tong sambil
menunggu perintah dari Keluarga Tong untuk melancarkan
serangan. Semula ia berniat datang bersama Tong Koat ke medan
pertempuran dan memimpin sendiri penyerbuan itu. Tapi sekarang
tiba-tiba saja dia berubah pikiran, bukan saja batal ikut serta, ia
bahkan mempercepat waktu penyerangan.
Dia memang sengaja membocorkan rahasia penyerbuannya
dan waktu penyerangan yang katanya akan dilakukan tepat di hari
Pendekar Kembar 15 Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong Kisah Bangsa Petualang 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama