Kamenjangan sambil tersenyum.
Mahisa Pukat memang tersinggung. Katanya "Bukankah
mPu tahu bahwa aku sejak semula adalah laki-laki " Bukankah
mPu tahu bahwa untuk menjadi seorang Pelayan Dalam aku
telah melampaui pendadaran tiga rambahan ?"
mPu Kamenjangan tertawa. Katanya "Apakah artinya
pendadaran seorang calon Pelayan Dalam."
"Tetapi kau tahu mPu, bahwa bekalku bukan sekedar
berhasil dalam pendadaran bagi calon Pelayan Dalam," jawab
Mahisa Pukat. "Bagus. Bagus" jawab mPu Kamenjangan "besok pagi-pagi
aku menunggumu disini. "
mPu Kamenjangan tidak menunggu jawaban Mahisa Pukat.
Ber sama dengan kedua orang kawannya, iapun meninggalkan
tempat itu. Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian
mendekati kedua orang muridnya sambil berkata "Satu contoh
yang tidak baik, Raden. Tetapi aku tidak dapat m enghindar.
Karena itu, sebaiknya kalian berdua tidak mengatakan kepada
siapapun juga. Sebenarnya aku malu berselisih dengan
siapapun juga. Tetapi mereka memaksa aku untuk m embela
harga diriku." Kedua bangsawan remaja itu mengangguk-angguk. Dengan
nada rendah seorang diantara mereka berkata "Aku m engerti
guru. Tetapi apakah guru harus menghadapi mereka bertiga
besok ?" "Tidak " jawab Mahisa Pukat "nampaknya y ang paling
mendesak ingin menjajagi kemampuanku adalah mPu
Kamenjangan. Agaknya mPu Sidikarapun diminta untuk mPu
Kamenjangan untuk menjajagi kemampuanku. Menurut
penglihatanku, mPu Kamenjangan dan mPu Sidikara memiliki
sumber ilmu yang sama. Meskipun aku belum pernah
mengamati unsur-unsur gerak mPu Kamenjangan, tetapi
unsur itu nampak pada murid-muridnya."
Kedua remaja itu mengangguk-angguk. Dengan ragu-ragu
seorang diantara mereka bertanya "Tetapi bagaimana jika
mereka ber sama-sama melawan guru ?"
"Aku berharap bahwa hal seperti itu tidak terjadi, Raden."
Kedua remaja itu tidak menjawab. Tetapi mereka nampak
merenung. Agaknya mereka menjadi cemas, bahwa kedua
orang kawan mPu Kamenjangan itu akan bertempur bersamasama.
"Sudahlah" berkata Mahisa Pukat "bagaimanapun juga aku
masih m enghargai mPu Kamenjangan. Ia tidak akan berbuat
licik seperti itu." Kedua remaja itu hanya mengangguk-angguk saja
betapapun mereka merasa ragu.
"Marilah " berkata Mahisa Pukat "kita mulai dengan latihanlatihan
ringan seperti biasanya. Lupakan apa y ang kalian lihat
dan kalian dengar tadi. Itu adalah persoalanku. Biarlah aku
menyelesaikan per soalanku."
Kedua orang remaja itu masih berdiam diri. Merekapun
kemudian bangkit dan mulai berlatih. Tetapi Mahisa Pukat
mengetahui bahwa mereka tidak lagi dapat memusatkan
perhatian mereka. Meskipun demikian Mahisa Pukat masih saja membawa
mereka kedalam latihan-latihan untuk memanaskan tubuh
mereka. Ketika matahari mulai naik, maka Mahisa Pukat mengajak
kedua orang muridnya itu kembali ke Kasatrian. Mereka
berjalan dengan kepala tunduk. Kedua remaja itu tidak
nampak gembira seperti biasanya. Bahkan di Kasatrianpun
mereka menjadi lebih banyak berdiam diri.
Mahisa Pukat yang mengerti gejolak perasaan mereka,
sempat memberikan petunjuk-petunjuk kepada mereka.
Namun Mahisa Pukatpun menyadari bahwa ia tidak akan
dapat menghapuskan gejolak perasaan anak-anak itu dengan
serta merta, sehingga mereka masih saja tidak dapat
memusatkan perhatian mereka kepada latihan-latihan yang
harus mereka lalukan. "Lihat " berkata Mahisa Pukat sambil tersenyum "aku y ang
akan menghadapi mereka tidak merasa cemas. Tidak pula
kehilangan kegembiraanku hari ini. Karena itu, kalian jangan
menjadi muram seperti itu."
Namun jika kemudian anak-anak itu tersenyum dan
tertawa, Mahisa Pukat menyadari bahwa mereka hanya
sekedar ingin menghapuskan kesan kemuraman sgja.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat t erkejut ketika di sore hari
seseorang telah mencarinya, ketika Mahisa Pukat
menemuinya, ternyata orang itu adalah mPu Sidikara.
"Marilah mPu " Mahisa Pukat mempersilahkan. Merekapun
kemudian duduk diamben panjang diserambi belakang
Ka satrian. "Maaf mPu" berkata Mahisa Pukat kemudian setelah
mereka duduk "kedatangan mPu membuat aku berdebardebar."
mPu Sidikara menarik nafas panjang. Katanya "Akulah
yang harus minta maaf bahwa aku telah mengejutkanmu
ngger." "Apakah mPu datang untuk sekedar melihat-lihat, atau
mPu mempunyai satu kepentingan ?"
mPu Sidikara termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya "Ngger. Aku tidak tahu, apakah langkahku ini
menunjukkan kepicikan penalaranku. Bahkan mungkin aku
dapat disebut berkhianat terhadap saudara seperguruanku."
"Maksud mPu ?" desak Mahisa Pukat.
mPu Sidikarapun kemudian menceriterakan niat mPu
Kamenjangan untuk menemui Mahisa Pukat dan menjajagi
kemampuannya. "Sebenarnya aku dapat saja tidak ikut cam pur setelah aku
melakukannya untuk kepentingan saudara seperguruanku itu
pula." berkata mPu Sidikara kemudian "tetapi aku tidak dapat
berbuat demikian ngger. Aku bahkan sudah mencoba untuk
mencegah saudara seperguruanku itu. Aku sudah mengatakan
bahwa tataran kemampuannya yang setataran dengan
kemampuanku tidak akan dapat melampaui kemampuan
angger Mahisa Pukat. Tetapi saudara seperguruanku itu tidak
percaya. Sementara itu aku tidak ingin sesuatu terjadi, baik
atas angger Mahisa Pukat y ang menurut penilaianku sama
sekali tidak bersalah, tetapi juga atas saudara seperguruanku."
Mahisa Pukat termangu -mangu sejenak. Namun kemudian
dengan suara berat ia m enceriterakan pertemuannya dengan
mPu Kamenjangan di lereng bukit.
"Besok, aku harus menemuinya. Aku memang tidak
mempunyai pilihan." berkata Mahisa Pukat kemudian.
"Apakah angger sudah mempertimbangkan bahwa dua
orang kawan mPu Kamenjangan akan hadir ?"
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Diluar sadarnya
ia bertanya "Apakah keduanya juga saudara seperguruan mPu
Kamenjangan ?" "Apakah kau melihat persamaan ilmu diantara m ereka ?"
bertanya mPu Sidikara. "Aku belum pernah melihat mereka dalam olah kanuragan."
jawab Mahisa Pukat "tetapi m elihat beberapa kemungkinan,
mereka tidak seperguruan meskipun nampaknya mereka
dapat bekeija sama dengan baik."
mPu Sidikara mengangguk-angguk. Katanya "Mereka
bukan saudara seperguruan. Tetapi mereka memang dapat
bekerja sama dengan baik. Mereka bertiga bersama-sama
bertugas di Kasatrian setelah mereka bersama-sama terpilih
dari antara sebelas orang y ang menyatakan diri untuk menjadi
guru di Ka satrian." jawab mPu Sidikara.
"Dan mPu sendiri tidak termasuk diantara mereka ?"
bertanya Mahisa Pukat. "Aku memang tidak menyatakan diri untuk mengikuti
pendadaran pada waktu itu." jawab mPu Sidikara.
"Selain ketiga orang itu, ada beberapa orang guru dibidang
yang lain y ang bertugas di Kasatrian. "
"Ya. Dengan mereka aku tidak mempunyai persoalan."
jawab Mahisa Pukat. "Justru dengan mPu Kamenjangan mereka mempunyai
persoalan. Tetapi Pangeran Kuda Pratama selalu berusaha
menengahi. Karena mereka tidak bekerja dihidang yang sama,
maka mereka dapat beijalan sesuai dengan tugas mereka
sendiri-sendiri, meskipun ketidak sesuaian itu tetap ada.
Namun para guru dihidang lain, tidak pernah
mempersoalkannya. Mereka melaksanakan tugas m ereka saja
sebaik-baiknya. Mereka menuntun para bangsawan dalam
ilmu kesusa steraan, ilmu hitung, pengenalan musim dan
dasar-dasar ilmu perbintangan dan secara khusus guru yang
menuntun mereka dalam budi pekerti dan unggah-ungguh.
Tetapi sebagian dari para bangsawan muda itu tidak belajar
dengan sungguh-sungguh. Yang paling menonjol hanyalah
pengetahuan dalam olah kanuragan. Guru-guru dalam olah
kanuragan pulalah yang nampaknya lebih menguasai anakanak
muda itu." Mahisa Pukat hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi ia
mengerti bahwa maksud mPu Sidikara tentu baik. Agaknya
apa yang dikatakannya itu adalah sikapnya y ang jujur. Ia tidak
ingin saudara seperguruannya mengalami bencana karena
mPu Sidikara menyadari bahwa ilmu mPu Kamenjangan itu
tidak lebih tinggi dari ilmu Mahisa Pukat. T etapi iapun tidak
ingin membiarkan Mahisa Pukat mengalami kesulitan, karena
dengan mata gelap, mPu Kamenjangan dapat melibatkan
kedua orang kawannya. Namun Mahisa Pukat memang sudah siap menghadapi
segala kemungkinan. Seandainya kedua orang kawan mPu
Kamenjangan bersama-sama melibatkan dirinya, maka iapun
harus menghadapinya dengan segenap ilmunya. Ia harus
dengan cepat menghisap tenaga mereka sejauh dapat
dilakukan sejak awal keduanya memasuki arena. Bahkan jika
perlu, ia harus mempergunakan ilmu pamungkasnya.
Karena itu, m aka Mahisa Pukat itupun kemudian berkata
"mPu. Aku berterima kasih bahwa mPu telah berusaha
memberikan peringatan kepadaku. Aku tahu bahwa mPu
memang berdiri disimpang jalan y ang sulit. Disatu pihak
berdiri mPu Kamenjangan y ang kebetulan adalah saudara
seperguruan mPu, sedang dilain pihak mPu melihat kebenaran
sikapku. Tetapi aku telah bersiap sepenuhnya, mPu. Meskipun
aku harus mohon maaf, jika ada ketelanjuran sikapku. Aku
sama sekali tidak berniat untuk menciderai dan selanjutnya
mencelakai mPu Kamenjangan karena sebenarnya kami tidak
bermusuhan. Yang terjadi hanyalah sekedar salah paham di
Ka satrian. " "Bukan salah paham ngger " sahut mPu Sidikara "jika kita
ingin mempergunakan istilah dengan jujur, maka mPu
Kamenjangan merasa dengki karena kehadiran angger.
Berbeda dengan kehadiran kedua kawannya karena mereka
datang ber sama-sama. "
Mahisa Pukat memang tidak membantah. Sambil
mengangguk kecil ia berkata "Mungkin memang demikian
mPu." "Tetapi jika dengan demikian dengan tidak sengaja terjadi
bencana, apaboleh buat," guman mPu Sidikara.
"Tetapi aku akan berusaha mPu. Namun agaknya hati mPu
Kamenjangan jauh lebih keras dari hati mPu Sidikara. " jawab
Mahisa Pukat. "Ya. Kau benar ngger. Bukan karena aku ingin
menunjukkan kelebihanku, tetapi hati mPu Kamenjangan
memang sekeras batu."
Mahisa Pukat hanya dapat mengangguk-angguk. Sementara
mPu Sidikarapun kemudian telah minta diri.
Kehadiran mPu Sidikara memang dapat melunakkan hati
Mahisa Pukat. Kemarahannya kepada mPu Kamenjanganpun
memang menyusut. Tetapi Mahisa Pukat memang tidak dapat
berbuat lain daripada mempertahankan diri jika mPu
Kamenjangan benar-benar ingin meny ingkirkannya dengan
cara apapun juga. Malam harinya, Mahisa Pukat m emang tidak dapat segera
tertidur. Kedatangan mPu Sidikara membuat perasaannya
terpancang kepada persoalan yang akan dihadapinya esok
pagi. Namun lewat tengah malam, akhirnya Mahisa Pukatpun
sempat tertidur pula. Mimpi y ang gelisah sempat
mengganggunya. Namun Mahisa Pukat merasa cukup lama
beristirahat, sehingga kekuatan wadagnya benar-benar telah
menjadi segar kembali. Karena ia tidak dapat mengingkari
tantangan mPu Kamenjangan.
Seperti dijanjikan, maka menjelang matahari terbit, Mahisa
Pukat telah berjalan dengan tergesa-gesa menuju ke lereng
bukit untuk memenuhi janjinya kepada mPu Kamenjangan.
Dengan sengaja Mahisa Pukat berjalan cepat untuk
memanaskan tubuhnya. Jika ia langsung harus berhadapan
dengan mPu Kamenjangan, maka darahnya sudah cukup
panas dan urat-uratnya telah menjadi lemas.
Tetapi ketika ia sampai di lereng bukit, ternyata mPu
Kamenjangan belum ada di tempat.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak akan
disangka mengulur waktu jika ia datang kemudian.
Sambil menunggu, maka Mahisa Pukat telah
mempergunakan waktunya untuk lebih memanaskan
tubuhnya. Baru beberapa saat kemudian, Mahisa Pukat melihat mPu
Kamenjangan dengan dua orang kawannya datang. Mereka
beijalan sambil berbincang memanjat tebing y ang tidak terlalu
terjal. mPu Kamenjangan nampaknya memang tidak tergesa -gesa.
Bahkan rasa -rasanya mereka memang dengan sengaja
memperlambat langkah mereka. Meskipun mPu Kamenjangan
dan kedua orang kawannya sudah melihat Mahisa Pukat
menunggu, tetapi mereka sama sekali tidak menghiraukannya.
Mereka masih sfy a berjalan seenaknya. Justru perhatian
mereka tertuju kelembah dan ngarai dibawah bukit itu. m Pu
Kamenjangan sempat menunjuk padukuhan-padukuhan yang
teronggok di atas hijaunya hamparan batang-batang padi di
sawah. Sementara itu, Kotaraja y ang seakan-akan berada
dihadapan kaki mereka yang berdiri di lereng bukit kecil itu.
Mahisa Pukat mula-mula memang menjadi gelisah. Ia
merasa dianggap tidak berarti sama sekali oleh mPu
Kamenjangan dengan kedua orang kawannya. Perhatian
04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka sama sekali tidak tertuju kepadanya, meskipun mPu
Kamenjangan telah menantangnya untuk saling menjajagi.
Namun Mahisa Pukatpun kemudian menyadari, bahwa
agaknya mPu Kamenjangan dengan sengaja ingin
merendahkannya, sekaligus membuatnya m arah. Kemarahan
akan dapat membuat penalaran menjadi kabur.
Karena itu, maka Mahisa Pukatpun sama sekali tidak
menunjukkan gejolak perasaannya. Bahkan demikian ia
berhenti memanaskan tubuhnya dan memandang mPu
Kamenjangan y ang berjalan naik lereng bukit k ecil itu, maka
iapun tidak menghiraukannya lagi. Mahisa Pukat kemudian
melanjutkan gerakan-gerakan sederhananya sebagai mana
dilakukannya sebelumnya. mPu Kamenjangan yang melihat sikap Mahisa Pukat itu
telah mengerutkan dahinya.
Apalagi kemudian Mahisa Pukat
yang tubuhnya telah basah oleh
keringat itu justru duduk diates
seonggok batu padas dan bahkan
kemudian membaringkan tubuhnya. Kedua kakinya diangkatnya berganti-ganti.
Kemudian keduanya bersamasama.
mPu Kamenjangan justru menjadi berdebar-debar. Mahisa
Pukat itu nampaknya juga tidak
memperhatikan kedatangannya.
Anak m uda itu sama sekali tidak
menjadi gelisah melihat orang y ang menantangnya itu
mendekatinya dan siap untuk bertempur. Anak muda yang
sudah berdiri sejenak melihat kedatangannya itu bukannya
segera mempersiapkan diri. Tetapi ia justru masih saja
memanasi tubuhnya tanpa menghiraukannya sama sekali.
Namun akhirnya, mPu Kamenjangan dan kedua orang
kawannya itu telah sampai ketempat Mahisa Pukat
bermain"main sendiri. Demikian ketiganya berdiri beberapa
langkah daripadanya, Mahisa Pukat itu menghentikan
geraknya. Perlahan-lahan dengan malasnya ia bangkit berdiri.
"Selamat datang mPu bertiga" sapa Mahisa Pukat.
mPu Kamenjangan memandanginya dengan tajamnya.
Dengan nada berat ia m enjawab "Selamat anak muda. Aku
kira kau tidak akan memenuhi janjimu."
Mahisa Pukat tertawa. Tetapi ia b ertanya "Apa alasan mPu
dengan dugaan mPu itu?"
"Kau tentu merasa betapa kecilnya kau dihadapanku."
Mahisa Pukat tertawa semakin panjang. Katanya "Ya,
perasaan itu m emang ada mPu. Tetapi justru perasaan itulah
yang mendor ong aku untuk datang kemari. "
"Kenapa ?" bertanya mPu Kamenjangan.
"Aku tidak y akin bahwa perasaan itu benar. Aku tidak yakin
bahwa aku terlalu kecil dihadapan mPu Kamenjangan."
"Jadi kau merasa bahwa kau pantas untuk mengimbangi
kemampuanku ?" "Apakah mPu sudah bertemu dan berbicara dengan mPu
Sidikara yang menurut pengakuannya saudara seperguruan
mPu?" mPu Kamenjanganlah yang kemudian t ertawa. Katanya
"Ya. Ia adalah saudara seperguruanku. Kami bersama-sama
dituntun oleh guru yang sama. Kami bersama-sama telah
menuntaskan ilmu dari perguruan kami. Tetapi Sidikara lalu
berhenti. Ia tidak lagi mampu meningkatkan ilmunya. Ia
sudah merasa puas dengan apa y ang dimiliki dari seorang guru
sa ja. Tetapi aku tidak anak muda. Aku haus akan ilmu. Karena
itu, maka setelah aku berpisah dengan Sidikara, maka
kemampuanku meningkat dua tiga kali lipat dari kemampuan
mPu Sidikara itu." Mahisa Pukat tersenyum. Katanya "Apakah aku juga harus
mengarang ceritera yang lebih garang lagi dari c erita mPu itu
sehingga kesannya aku memiliki kelebihan dari mpu "
Wajah mPu Kamenjangan m enjadi merah. Mahisa Pukat
ternyata tidak mempercayai ceriteranya tentang dirinya.
Karena itu, maka iapun kemudian menggeram "Baiklah,
kau benar-benar anak yang sombong dan tidak tahu diri. Aku
ingin menunjukkan kepadamu, bahwa kau tidak lebih dari
seorang anak ingusan bagiku."
MahisaPukat m engerutkan dahinya. Ia sadar, bahwa mPu
Kamenjangan justru telah menjadi marah. Namun Mahisa
Pukatpun sudah memperhitungkan bahwa mPu Kamenjangan
tentu tidak akan kehilangan penalarannya. Bagai manapun
juga mPu Kamenjangan adalah seorang yang memiliki ilmu
yang tinggi. Karena itu maka Mahisa Pukatpun menyadari, bahwa
pertempuran yang akan terjadi adalah pertempuran yang
bukan saja sekedar penjajagan. Meskipun perasaan mPu
Kamenjangan tentu sudah m engendap, namun ia pada suatu
saat akan dapat kehilangan kendali, sehingga ia akan
mengerahkan segenap kemampuan dan ilmunya. Jika
kemudian y ang terjadi demikian, maka y ang harus
dilakukannya adalah mempertaruhkan segala-galanya yang
adapadanya.
Demikianlah, maka mPu Kamenjangan yang marah itupun
berkata "Anak muda. Bersiaplah. Matahari sudah mulai
memanjat langit. Kita akan mulai bermain-main. Jika kau
pernah bermain-main dengan mPu Sidikara, m aka kini kau
bermain-main dengan aku. mPuKamenjangan,"
"Aku sudah siap. mPu. Bukankah aku sudah datang lebih
dahulu dari mPu?" sahut Mahisa Pukat.
mPu Kamenjangan bergeser maju. Kepada kedua kawannya
ia berkata "Nah, kalian akan m enjadi saksi apa yang terjadi
disini atas anak muda yang sombong itu. Jika tanganku
terlanjur menyakitinya, itu bukan salahku."
Kedua orang kawan mPu Sidikara itupun segera mendekat
pula. Mereka berdiri beberapa langkah dari mPu Sidikara yang
kemudian telah berhadap-hadapan dengan MahisaPukat.
Ternyata mPu Kamenjangan telah melepaskan senjatanya.
Sebuah nenggala y ang tajam dikedua ujungnya dan
menyerahkannya kepada salah seorang dari kedua kawannya.
"Aku tidak ingin mempergunakannya. " Namun kemudian
katanya kepada Mahisa Pukat "kau sebaiknya tidak usah
melepas senjatamu itu, mungkin kau akan
mempergunakannya." Mahisa Pukat tersenyum sambil menjawab "Kau tentu
sudah mendengar dari mPu Sidikara, bahwa aku tidak selalu
memerlukan senjataku. Karena itu, supaya menjadi adil, maka
akupun akan meletakkan senjataku pula."
mPu Kamenjangan tidak menyahut. Tetapi ia hanya
memandangi saja Mahisa Pukat yang kemudian m eletakkan
pedang dan sarungnya diatas batu padas.
"Kau m emang sombong" geram mPu Kamenjangan "tetapi
segala y ang terjadi kemudian adalah salahmu sendiri."
Mahisa Pukat tidak m enjawab lagi. Ketika ia m elihat mPu
Kamenjangan bergeser mendekat lagi, maka iapun benarbenar
telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
mPu Kamenjangan memang mulai meny erang meskipun
sekedar memancing gerakan Mahisa Pukat. Ketika Mahisa
Pukat bergeser, maka mPu Kamenjangan telah meloncat
menyusul dengan serangannya pula.
Mahisa Pukat yang menghindar, justru telah mulai
mempersiapkan diri untuk membalas serangan mPu
Kamenjangan. Dengan demikian maka pertempuran itu telah menjadi
semakin meningkat. Baik mPu Kamenjangan maupun Mahisa
Pukat masih berusaha untuk m enjajagi kemampuan masingmasing.
Namun pada langkah selanjutnya, maka mPu
Kamenjangan telah bergerak semakin cepat.
Mahisa Pukat mampu mengenali satu dua unsur gerak
sebagaimana dapat dilihatnya pada unsur gerak mPu Sidikara
yang kebetulan adalah saudara perguruan mPu Kamenjangan.
Namun diantara unsur-unsur gerak y ang samam itu, memang
nampak ada unsur-unsur gerak y ang berbeda. Semakin cepat
mereka bertempur, m aka Mahisa Pukat memang merasakan
perbedaan itu. Namun bagi Mahisa Pukat, perbedaan y ang ada
itu, masih belum menyulitkannya.
Meskipun mPu Kamenjangan telah m endapat laporan dari
mPu Sidikara tentang Mahisa Pukat, namun agaknya mPu
Kamenjangan masih ingin menjajagi langsung tataran demi
tataran dari ilmu anak muda y ang telah membuatnya
tersingkir dari Kasatrian.
Namun Mahisa Pukat yang menyadari akan hal itu, telah
berusaha untuk mengurungkannya Ia tidak ingin mPu
Kamenjangan menelusuri ilmunya tataran demi tataran.
Sebenarnya ia sama sekali tidak berkeberatan, namun Mahisa
Pukat hanya ingin melakukan sesuatu y ang tidak sejalan
dengan keinginan mPu Kamenjangan.
Karena itu, pada saat mPu Kamenjangan mulai
meningkatkan ilmunya tataran demi tataran, Mahisa Pukat
justru telah meloncat ketataran yang lebih tinggi.
mPu Kamenjangan sempat terkejut. Beberapa langkah ia
terdorong surut. mPu Kamenjangan yang terkejut mendapat serangan y ang
keras itu telah meloncat mengambil jarak sambil mengumpat.
Namun Mahisa Pukat tidak memberinya kesempatan.
Serangannya justru menjadi semakin cepat.
Dengan demikian maka mPu Kamenjangan memang tidak
mempunyai kesempatan untuk melihat ilmu Mahisa Pukat
tataran demi tataran. Untuk m engimbangi serangan-serangan
anak muda itu, maka mPu Kamenjanganpun harus dengan
cepat meningkatkan ilmunya pula.
Mahisa Pukat yang melihat lawannya menjatuhkan diri,
mengurungkan niatnya. Tetapi justru tubuhnya berputar.
Kakiny a yang terangkat itu kemudian menjadi tumpuan
putaran tubuhnya sehingga kakinya y ang lain terayun
mendatar menyambur kepala mPu Kamenjangan.
Tetapi mPu Kamenjangan menundukkan kepalanya dalamdalam,
hampir mencium tanah. Dengan demikian maka kaki
Mahisa Pukat y ang terayun itu tidak mengenainya. Bahkan
demikian kaki itu lewat, maka mPu Kamenjangan dengan
cepat bangkit berdiri. Kakinya y ang dilipat itu dengan cepat
menyerang Mahisa Pukat. Mahisa Pukatlah y ang terkejut. Tetapi Mahisa Pukat
dengan cepat menjatuhkan dirinya. Kedua kakinya yang
renggang meluncur mendatar menjepit sebelah kaki mPu
Kamenjangan y ang berpijak kuat-kuat, sementara kakinya
yang lain terayun keluar.
Ketika Mahisa Pukat memutar kakinya, maka mPu
Kamenjanganpun ikut berputar pula. Karena itu, maka mPu
Kamenjangan itupun telah terbanting jatuh.
Hanya karena ketrampilannya sajalah maka kepalanya
tidak seperti dihentakkan m embentur tanah. Tubuhnya yang
liat itu berhasil lepas dari jepitan kaki Mahisa Pukat. Dua kali
mPu Kamenjangan berguling. Baru kemudian, ia melenting
berdiri tegak diatas kedua kakinya.
Demikian pula Mahisa Pukat. Ketika mPu Kamenjangan
berdiri tegak, maka Mahisa Pukatpun telah berdiri pula.
mPu Kamenjangan menggeram marah. Ia tidak dapat
mengingkari bahwa kekuatan anak muda itu terlalu besar
untuk dilawan. Benturan-benturan y ang terjadi telah
membuat tubuh mPu Kamenjangan menjadi sakit. Serangan
Mahisa Pukat y ang mampu menembus pertahanannya
membuat tulang-tulangnya bagaikan retak. Ketika ia
terbanting jatuh, meskipun ia sempat berguling dan melenting
tegak berdiri, namun mPu Kamenjangan harus meny eringai
menahan sakit di punggungnya.
Karena itu maka mPu Kamenjangan tidak mempunyai
pilihan lain. Ia tidak dapat mengingkari keny ataan bahwa
memang sulit baginya untuk dapat mengalahkan Mahisa Pukat
tanpa mempergunakan ilmu puncaknya.
Karena itu, maka setelah tidak mempunyai kemungkinan
lain maka mPu Kamenjangan itupun telah mempesiapkan
dirinya untuk sampai kepada kemampuan ilmu puncaknya.
Mahisa Pukat y ang m elihat unsur unsur y ang sama pada
ilmu mPu Kamenjangan dengan ilmu mPu Sidikara memang
menjadi termangu-mangu. Namun seperti y ang dikatakan oleh
mPu Kamenjangan, bahwa ilmunya lebih dari y ang telah
dimiliki oleh Mpu Sidikara.
Karena itu, maka Mahisa Pukatpun merasa bahwa ia harus
menjadi sangat berhati-hati.
Mahisa Pukat menjadi berdebar-debar ketika ia melihat
mPu Kamenjangan mempersiapkan dirinya dalam pemusatan
nalar budinya. Hampir di luar sadarnya ia berkata "mPu.
Apakah kita benar-benar akan membenturkan ilmu puncak
kita?" "Per setan" geram mPu Kamenjangan "kau sudah
kehilangan kesempatan untuk memohon pengampunan.
Tengadahkan wajahmu k elangit dan tundukkan kepalamu ke
pusat bumi. Kau akan segera hancur menjadi debu."
Mahisa Pukat memang tidak mempunyai banyak
kesempatan. Karena itu, ketika mPu Kamenjangan berdiri
tegak dengan kaki renggang serta kedua tangannya merapat di
depan dadanya, maka Mahisa Pukatpun dengan cepat
mempersiapkan dirinya pula. Meskipun ia tidak membawa
kerisnya y ang berwarna kehijauan, namun ia mempersiapkan
ilmunya pada landasan segala kemampuan dan tenaga-tenaga
dalam y ang ada di dalam dirinya.
Mahisa Pukat memang tidak mempunyai kesempatan
untuk mengelakkan benturan ilmu itu. Karena itulah, m aka
ketika ia melihat mPu Kamenjangan menggerakkan kedua
tangannya dan m engosokkan kedua tetapi tangannya, m aka
iapun telah siap untuk melontarkan ilmunya pula.
Demikianlah, sekejap kemudian mPu Kamenjangan itu
telah menghentakkan ilmu puncaknya. Ia telah melontarkan
getar kekuatan ilmu didalam dirinya dalam lontaran ilmu yang
jarang ada bandingnya. Namun sementara itu Mahisa Pukatpun telah melakukan
hal yang sama. Ia telah m empersiapkan dirinya. Memusatkan
nalar budinya, dan siap melontarkan puncak ilmunya pula.
MahisaPukat memang tidak ingin terlambat. Ketika melihat
mPu Kamenjangan melontarkan ilmunya, ia maka Mahisa
04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pukatpun telah melepaskan ilmunya pula. Ketika kedua
telapak tangannya y ang terbuka menghadap ke arah mPu
Kamenjangan, maka sinar yang kehijauan seolah-olah telah
meluncur dari telapak tangan anak muda itu.
Sejenak kemudian, benturan kekuatan y ang dahsyat telah
terjadi. Dua getaran ilmu puncak y ang tidak ada bandingnya.
Kedua kekuatan ilmu itu telah saling menghantam dengan
gelombang kekuatan getaran masing-masing.
Benturan kekuatan itu ternyata telah saling dan saling
menekan. Keseimbangan kekuatan dahsy at yang berbenturan
itu telah m enentukan akibat y ang terjadi pada kedua orang
yang telah melepaskannya. Getaran y ang terpantul oleh
benturan itu, ternyata telah m engetuk jantung Mahisa Pukat
sehingga anak muda itu harus mengerahkan daya tahannya,
agar jantungnya tidak pecah karenanya
Meskipun demikian getaran yang menghentaknya itu telah
mendorongnya beberapa langkah surut. Namun Mahisa Pukat
masih mampu m empertahankan keseimbangannya, sehingga
ia masih berdiri tegak diatas kedua kakinya.
Tetapi anak muda itupun segera meny ilangkan kedua
tangannya didadanya, menghisap udara dalam-dalam
memenuhi rongga dadanya, kemudian menghembuskannya
perlahan-lahan. Dada Mahisa Pukat memang terasa ny eri. Namun
diulanginya tarikan udara kedalam rongga dadanya dan
melepaskannya perlahan-lahan.
Sementara itu, akibat y ang menimpa mPu Kamenjangan
ternyata lebih parah. mPu Kamenjangan bukan saja terdorong
beberapa langkah surut. Tetapi mPu Kamenjangan telah
terlempar dan jatuh terbanting ditanah berbatu padas.
Hentakkan balik pantulan benturan ilmunya melawan ilmu
Mahisa Pukat y ang lebih kuat telah menghantam seisi
dadanya. Betapapun mPu Kamenjangan mengerahkan daya
tahannya, namun isi dadanya bagaikan telah rontok
berjatuhan. Terdengar erang kesakitan. Sementara itu kedua orang
kawan mPu Kamenjangan telah berlari dan berjongkok
disisiny a. "mPu " desis salah seorang dari mereka.
mPu Kamenjangan memang tidak pingsan. Tetapi
keadaannya memang parah. Darah nampak menitik dari selasela
bibirnya. "Dimana iblis itu?" desis mPu Kamenjangan.
Kedua orang kawan mPu Kamenjangan itupun berpaling
kearah Mahisa Pukat. Namun mereka melihat Mahisa Pukat
itu sudah duduk memusatkan nalar budinya, mengatur
pernafasannya untuk meningkatkan daya tahannya. Perlahanlahan
maka Mahisa Pukat itu dapat m enguasai rasa sakit di
dadanya. Nafasny apun semakin lama menjadi semakin lancar.
Demikian pula darahnya telah mengalir wajar dijalur-jalur
pembuluhnya diseluruh tubuhnya.
"Kenapa kalian diam saja?" bertanya mPu Kamenjangan
dengan nafas y ang tersengal-sengal.
"Apa yang harus kami lakukan?" bertanya salah seorang
dari mereka. "Hancurkan anak itu. Ia tidak boleh keluar dari lingkaran
pertempuran ini. Ia akan menjadi semakin sombong dan
mengira bahwa ia dapat mengalahkan aku" desis mPu
Kamenjangan. Kedua orang kawannya itu termangu-mangu sejenak.
Namun mPu Kamenjangan itu berkata "Ia tentu dalam
kesulitan pula sekarang ini seandainya ia tidak mati. Dadanya
tentu retak dan jantungnya telah pecah. Jika ia masih dapat
bangkit, maka nyawanya sudah berada diujung rambutnya."
Kedua orang kawannya itu mengangguk. Tetapi mereka
memang merasa sakit hati pula terhadap Mahisa Pukat.
Apalagi setelah Mahisa Pukat mampu mengalahkan mPu
Kamenjangan. Maka Mahisa Pukat tentu akan semakin
menengadahkan kepalanya dan berkata kepada setiap orang
dan kepada Pangeran Kuda Pratama, bahwa mPu
Kamenjangan telah dikalahkan.
Karena itu, maka kedua orang itupun segera bangkit
berdiri. Mereka berdua juga bukan orang kebanyakan. Mereka
telah terpilih diantara beberapa orang y ang m enyatakan diri
untuk mendapat tugas di Kasatrian, membimbing para
bangsawan muda. Beberapa langkah mereka berjalan mendekati Mahisa
Pukat. Sementara itu Mahisa Pukat telah berhasil m enguasai
perasaan sakitnya, serta memulihkan pernafasannya serta
peredaran darahnya. Meskipun demikian, tenaga dan
kemampuannya memang belum pulih sepenuhnya.
Tetapi Mahisa Pukat tidak akan bersedia meny erahkan
kepalanya kepada siapapun juga. Karena itu, meskipun
kemampuannya belum pulih kembali, namun Mahisa
Pukatpun telah bangkit pula dan bersiap untuk segera
menghadapi kedua orang itu dengan penuh kesadaran, bahwa
kedua orang itu tentu memiliki ilmu yang tinggi pula.
Karena itu, Mahisa Pukat tidak sekedar mempercayakan
diri pada ilmunya yang akan dapat dilontarkan dari jarak jauh.
Tetapi Mahisa Pukatpun telah mengetrapkan pula ilmunya
yang mampu menghisap kekuatan dan kemampuan lawannya.
"Kau dalam keadaanmu seperti itu tidak akan dapat
berbuat banyak, anak muda" berkata salah seorang dari kedua
orang itu. "Jadi" Mak sudmu, biarlah aku menundukkan kepalaku,
sementara kalian akan mematahkan leherku?" bertanya
Mahisa Pukat. "Ya " jawab yang lain "kau tidak boleh kembali ke Kasatrian
dengan meny ebarkan ceritera bohong tentang mPu
Kamenjangan dan kami berdua "
"Ceritera bohong bagaimana" Seandainya aku mengatakan
bahwa aku dapat m engalahkan mPu Kamenjangan, bukankah
itu sebenarnya telah terjadi?" jawab Mahisa Pukat.
"Apapun yang telah terjadi, sebaiknya kau tidak
mengatakan apapun kepada siapapun. Hal itu akan dapat
terjadi, jika kau tidak keluar dari arena pertempuran ini."
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Tetapi kata-kata
itu sudah pasti baginya. Ia harus bertempur melawan kedua
orang kawan mPu Kamenjangan. Dua orang y ang juga
bertugas di Ka satrian Singasari. Karena itu, maka Mahisa
Pukatpun telah bersiap sepenuhnya. Apapun y ang akan
terjadi, tetapi ia akan mempertahankan diri sejauh dapat
dilakukannya. "Nah, anak muda" berkata salah seorang dari kedua orang
itu "jika kau dapat lolos dari tangan mPu Kamenjangan, maka
datang saatnya kau mati pula."
Mahisa Pukat menggeram. Ia memang tidak terlalu terkejut
melihat sikap kedua orang itu. Karena itu, maka apa y ang akan
terjadi, Mahisa Pukat telah siap menghadapinya. Bahkan
sampai kemungkinan terburuk sekalipun. Meskipun belum
utuh kembali, tetapi ia merasa bahwa ia telah berhasil
menemukan kembali landasan untuk berpijak.
Ketika kedua orang itu bergerak
sal ing menjauh, maka Mahisa
Pukatpun segera memiringkan
tubuhnya. Satu kakinya ditariknya
setengah langkah surut sambil
merendah pada lututnya. Kedua
tangannya mengepal dan bersilang
didepan dadanya. "Jangan m enyesali nasibmu y ang
buruk anak muda." desis seorang
yang lain sambil bergeser selangkah
"luka mPu Kamenjangan yang parah
akan segera terbalas."
Mahisa Pukat sama sekali tidak
menjawab. Tetapi ia sudah siap meloncat dan bertempur pada
jarak dekat, sehingga memungkinkannya untuk
membenturkan tubuhnya pada tubuh lawannya, sehingga
tenaga dan kemampuan lawannya akan dapat terhisap.
Kecuali itu jika ia bertempur pada jarak dekat dengan salah
seorang diantara mereka, maka y ang seorang tentu tidak akan
dengan gegabah melontarkan ilmunya dari jarak jauh,
seandainya ia memiliki kemampuan itu.
Namun dalam pada itu, selagi Mahisa Pukat sudah siap
untuk meloncat m enyerang dan bertempur pada jarak dekat,
tiba -tiba saja terdengar suara tertawa diatas batu padas di
tebing bukit kecil itu. Semua orang berpaling kearah suara itu. Yang berdiri tegak
sambil tertawa diatas batu padas itu adalah mPu Sidikara.
Agaknya ia telah meloncat dari balik batu padas itu.
"mPu Sidikara" desis salah seorang dari kedua orang kawan
mPu Kamenjangan itu. "Ya Ki Sanak. Aku telah melihat apa y ang telah terjadi
disini. Aku telah melihat bagaimana mPu Kamenjangan,
saudara seperguruanku itu jatuh terpelanting dan terluka
parah dibagian dalam tubuhnya. "
"Apakah kau akan menuntut balas atas kekalahan saudara
seperguruanmu ?" bertanya salah seorang dari kedua kawan
mPu Kamenjangan itu. "Tidak " jawab mPu Sidikara "aku telah memberikan
peringatan kepadanya sebelum ia bertanding melawan Mahisa
Pukat. Tetapi ia tidak mendengarkannya. Bahkan ia telah
merendahkan bukan saja Mahisa Pukat, tetapi juga aku. mPu
Kamenjangan merasa bahwa ilmunya lebih tinggi dari ilmuku.
Tetapi lihat, apa y ang telah terjadi " Apakah ilmunya benar
lebih tinggi dari ilmuku."
"Jika kau merasa ilmumu lebih tinggi, kenapa kau tidak
menuntut balas kekalahan saudara seperguruanmu " Jika
benar ilmumu lebih tinggi, maka kau akan dengan mudah
dapat mengalahkan Mahisa Pukat. "
"Tidak. Aku tidak akan menuntut balas karena aku tahu
siapakah y ang bersalah dalam pertandingan ini." jawab mPu
Sidikara. "Apakah aku t idak salah dengar ?" bertanya salah seorang
kawan mPu Kamenjangan itu "bukankah seharusnya
seseorang akan membela saudara seperguruannya dengan
mempertaruhkan nyawanya sendiri ?"
"Apakah nilai seorang saudara seperguruan lebih tinggi dari
nilai kebenaran ?" bertanya mPu Sidikara.
"Apakah y ang kau maksud ?" bertanya kawan mPu
Kamenjangan itu. "Jika dalam persoalan ini saudara seperguruanku berada
difihak y ang bersalah, apakah aku harus menuntut balas "
Sementara itu lawan saudara seperguruanku berdiri dipihak
yang benar sebagaimana Mahisa Pukat ?"
"Per setan" geram orang itu "kau sudah sampai hati
mengkhianati saudara seperguruanmu sendiri."
"Itu lebih baik daripada aku berkhianat terhadap
kebenaran." jawab mPu Sidikara.
"Terkutuklah kau" berkata kawan mPu Kamenjangan itu.
"Jika kelak mPu Kamenjangan sembuh dan kekuatannya pulih
kembali, maka kau akan meny esal. Ia akan menghukummu."
"Kenapa bukan aku yang menghukumnya" Ia sudah
melanggar nasehatku." jawab mPu Sidikara.
"Jangan sombong. Kau akan dihancurkan oleh saudara
seperguruanmu. Biarlah sekarang aku membalaskan sakit
hatinya menghancurkan Mahisa Pukat itu. Nanti, kita akan
berbicara tentang pengkhianatanmu itu." berkata kawan mPu
Kamenjangan itu. Tetapi mPu Sidikara itu tertawa. Katanya "Ki Sanak. Sejak
semula aku m emang datang dengan tujuan lain. Sama sekali
tidak akan membantu apalagi menuntut balas akan
kekalahannya. Biarlah ia m enyadari, bahwa ilmunya memang
masih belum mencapai tataran kemampuan Mahisa Pukat"
berkata mPu Sidikara. Lalu katanya "Sekarang aku justru akan
berurusan dengan kalian. Kau tahu, bahwa Mahisa Pukat
masih terlalu letih. Apalagi setelah ilmunya berbenturan
dengan ilmu mPu Kamenjangan. Karena itu, maka tidak adil
kiranya jika ia harus b ertempur melawan dua orang sekaligus
sekarang ini. Jika kalian memaksakan pertempuran, maka
biarlah Mahisa Pukat melawan seorang saja diantara kalian."
"Apa pedulimu. Kami berdua akan bertempur bersamasama.
Mahisa Pukat harus kami hancurkan sekarang juga."
geram kawan mPu Kamenjangan itu.
"Ki Sanak. Jika kalian berdua m emaksa untuk bertempur
melawan Mahisa Pukat, maka biarlah aku juga turun ke arena.
Aku berdiri dipihak Mahisa Pukat"
Kedua orang itu terkejut. Mereka sama sekali tidak mengira
bahwa mPu Sidikara justru akan berpihak kepada Mahisa
Pukat. Justru setelah Mahisa Pukat mengalahkan mPu
Kamenjangan. Seorang diantara kedua orang kawan mPu Kamenjangan
itupun kemudian berkata lantang "mPu Sidikara. kau telah
melengkapi pengkhianatanmu. Jika kemudian mPu
Kamenjangan tahu, apa saja y g akan dilakukan atasmu?"
"Aku akan bertanggung jawab atas perbuatanku. Sudah aku
katakan, aku lebih baik berkhianat kepada saudara
seperguruanku daripada berkhianat atas key akinanku."
Mahisa pukat yg mendengar kata-kata mPu Sidikara itupun
diluar sadarnya berkata "Terima kasih mPu. Ternyata bahwa
mPu mampu melihat kebenaran."
mPu Sidikara itu melangkah mendekat. Sementara itu
kedua orang kawan mPu Kamenjangan itu menjadi ragu-ragu.
Jika Mahisa Pukat mampu mengalahkan mPu Kamenjangan,
maka m ereka berdua tentu sulit untuk dapat memenangkan
pertempuran melawan anak muda itu ber sama-sama dengan
mPu Sidikara. Apalagi nampaknya mPu Sidikara juga memiliki
ilmu y g tinggi sebagaimana mPu Kamenjangan.
Karena itu, maka untuk beberapa saat keduanya berdiri
termangu-mangu. Sementara itu mPu Sidikara telah berdiri
disebelah Mahisa Pukat. Katanya "Pikirkan Ki Sanak. Maih
ada kesempatan untuk mengurungkan perkelahian y g tentu
tidak akan menguntungkan bagi kalian berdua. Seorang
diantara kalian tentu akan dibunuh oleh Mahisa Pukat, sedang
yg lain akulah yg akan membunuhnya."
Kedua orang itu benar-benar dicekam oleh kebimbangan.
Antara kesetia -kawanan, harga diri dan kenyataan yg
dihadapinya y g tidak dapat diingkarinya.
"Pergilah. Bawa mPu Kamenjangan. Kalian tentu dapat
04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencari seorang tabib yang akan dapat mengobatinya. Atau
mPu Kamenjangan sendiri agaknya mempunyai obat penolong
untuk sementara agar ia tetap dapat bertahan hidup." berkata
mPu Sidikara. Kedua orang itu masih tetap ragu-ragu. Tetapi mPu
Sidikara berkata lebih keras "Jangan tunggu mPu
Kamenjangan mati. Tanyakan kepadanya apakah ia membawa
obat atau tidak. " Kedua orang itupun kemudian mendekati mPu
Kamenjangan y ang menjadi semakin lemah. Matanya mulai
terpejam sementara nafasnya menjadi semakin sesak.
"mPu " desis salah seorang kawannya.
mPu Kamenjangan ternyata masih mendengar suara
kawannya. Dengan lemah ia bertanya "Apakah tikus itu sudah
mati"- Kedua orang itu berpaling. Tetapi Mahisa Pukat dan mPu
Sidikara telah berdiri dekat dibelakang mereka. Bahkan
keduanya telah mendengar pula desah suara mPu
Kamenjangan meskipun hanya perlahan-lahan.
Kedua orang itu memang menjadi ragu-ragu untuk
menjawab. Sementara itu mPu Kamenjangan masih saja
berdesis lemah "Apakah anak itu sudah mati?"
Namun mPu Sidikaralah yg berdesis "Suruh ia menelan
obat y ang dapat membantunya mempertahankan hidupnya"
Kedua orang kawan mPu Kamenjangan itu ragu-ragu.
Namun mPu Sidikara justru telah mendesak mereka dan
berjongkok disamping mPu Kamenjangan. Tanpa mengatakan
sesuatu mPu Sidikara telah mengambil sebutir obat dari
kantong ikat pinggangnya dan perlahan-lahan dimasukan di
sela -sela bibir mPu Kamenjangan.
mPu Kamenjangan tidak menyadari apa y ang terjadi.
Namun ketika obat itu seakan-akan mencair dimulutnya dan
tertelan lewat kerongkongannya maka rasa-rasanya sentuhan
udara segar telah mengalir didalam rongga dadanya. Darahnya
yang hampir membeku telah mulai bergejolak mengalir
diseluruh pembuluh ditubuh.
mPu Kamenjangan sempat menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi keadaannya masih saja sangat lemah.
"Kalian harus menunggui mPu Kamenjangan untuk
beberapa lama. Keadaannya akan berangsur baik meskipun
dalam keterbatasannya. Kalian berdua kemudian dapat
membantunya meninggalkan tempat ini. Jika ia menjadi
sa dar, maka mPu Kamenjangan sendiri tahu, apa yang harus
ditelannya. Katakan bahwa aku telah meny elipkan sebutir obat
dimulutnya." Kedua orang itu. tidak menjawab. Mereka hanya termangumangu
saja melihat mPu Sidikara yang kemudian mengajak
Mahisa Pukat meninggalkan tempat itu.
Sepeninggal Mahisa Pukat dan mPu Sidikara, maka
keadaan mPu Kamenjangan memang m enjadi semakin baik.
Ketika ia kemudian menyadari keadaannya, maka ia bertanya
lagi "Apakah kau sudah membunuh anak itu?"
"Tidak mPu" jawab salah seorang kawannya.
"Kenapa ?" bertanya mPu Kamenjangan dengan wajah
tegang. Kawannya memang menjadi ragu-ragu untuk menjawab.
Tetapi yang seorang lagi berkata "mPu, sebaiknya mPu
memikirkan keadaan mPu sekarang ini. Mungkin mPu
mempunyai obat yang dapat setidak-setidaknya membantu
agar day a tahan mPu semakin meningkat. Dengan demikian
kita akan dapat meninggalkan tempat ini."
mPu Kamenjangan termangu-mangu sejenak, sementara
kawannya y ang lain berkata pula "Marilah mPu. Kita
tinggalkan tempat ini. Nanti jika keadaan mPu menjadi
semakin baik, biarlah kami ceriterakan apa y ang telah terjadi."
Tetapi mPu Kamenjangan itu tiba-tiba saja bertanya
"Apakah mPu Sidikara ada disini ?"
"Ya mPu " jawab salah seorang dari kedua kawannya.
"Samar-samar aku m endengar suaranya." namun tiba-tiba
ia bertanya "apakah ia memberikan obat untukku ?"
Kedua orang kawannya memang ragu-ragu untuk
menjawab. Tetapi mPu Kamenjangan itu mendesak "Ia
mempunyai obat sebagaimana aku punya. Ra sa-rasanya
keadaanku cepat berubah karena obat y ang diberikannya atau
obatku sendiri." Kedua kawannya tidak dapat mengelak lagi. Meskipun
ragu-ragu namun seorang diantara merekapun kemudian
berkata "mPu Sidikara telah memberikan obat itu kepada mPu
langsung. m Pu Sidikaralah y ang m eny elipkan obat itu dibibir
mPu." "Lalu apa lagi yang dilakukan oleh orang tua ?" bertanya
mPu Kamenjangan. "mPu Sidikara telah pergi."
jawab kawannya. Namun katanya
pula "Tetapi sudahlah mPu.
Sekarang, marilah kita pergi. Kita
akan dapat membicarakan nanti
jika keadaan mPu sudah bertambah baik. " "Kau jangan bodoh" berkata
mPu Kamenjangan "pengaruh obat
itu semakin lama semakin baik.
Seandainya kita sempat m enunggu
beberapa saat, maka keadaanku
tentu bertambah baik."
"Tetapi daya obat itu
mempunyai keterbatasan. Semakin
lama memang semakin baik. Tetapi bagaimana jika t erlalu
lama melampaui day a kekuatannya dalam keterbatasannya."
mPu Kamenjangan menarik nafas dalam-dalam. Lalu
katanya "Baiklah. Marilah kita pergi."
Kedua orang kawannya itupun telah membantu mPu
Kamenjangan bangkit berdiri. Ternyata bahwa kekuatan yang
tersisa dan yang bahkan telah dibantu oleh obat y ang telah
diselipkan dibibirnya, namun mPu Kamenjangan masih harus
dipapah oleh kedua orang kawannya ketika ia meninggalkan
tempat itu. Baru kemudian, setelah mereka berada dirumah, kedua
kawan mPu Kamenjangan itu menceriterakan semua peri stiwa
yang terjadi sejak mPu Kamenjangan terlempar jatuh.
mPu Kamenjangan sempat merenungi keterangan kedua
kawannya itu. Namun bagaimanapun juga ia masih sulit untuk
menerima kenyataan bahwa ia dikalahkan oleh Mahisa Pukat.
mPu Kamenjangan juga sulit untuk mengerti sikap saudara
seperguruannya. mPu Sidikara sama sekali t idak mau
membantunya, bahkan ketika kedua orang kawannya siap
melawan Mahisa Pukat, m Pu Sidikara itu menyatakan berdiri
dipihak Mahisa Pukat. Namun ternyata bahwa mPu Sidikara
itu telah memberikan obat baginya pada saat yang sangat
mencemaskan. Seandainya mPu Sidikara membiarkannya
terkapar di tanah berbatu padas, mungkin ia tidak akan
sempat bangkit lagi. Justru karena obat yang diberikan oleh
mPu Sidikara itu, maka ia sempat sampai kerumahnya dan
kemudian sempat menelan obat y ang lebih sesuai dengan
keadaannya y ang parah itu.
Kedua orang kawannya itu kemudian menasehatkan
kepada mPu Kamenjangan untuk beristirahat saja lebih
dahulu tanpa memikirkan bermacam-macam per soalan.
Biarlah yang telah terjadi atasnya itu terjadi. Jika keadaan
mPu Kamenjangan telah menjadi baik, maka ia akan dapat
membuat pertimbangan-pertimbangan baru, apa y ang akan
dilakukannya. Sementara itu, Mahisa Pukat justru telah diminta singgah
dirumah mPu Sidikara. Rumahnya memang tidak ada
dilingkungan dinding Kotaraja sebagaimana mPu
Kamenjangan. Namun juga tidak terlalu jauh. Rumah mPu
Sidikara berada disebuah padukuhan y ang besar. Namun
halamannya yang luas t erletak diujung padukuhan. Bahkan
terpisah oleh kotak-kotak sawah y ang sempit, milik mPu
Sidikara sendiri. "Sebuah padepokan kecil y ang tenang" desis Mahisa Pukat.
mPu Sidikara mengangguk-angguk. Katanya "Aku memang
merindukan sebuah padepokan. Tetapi aku masih belum
sempat mendirikannya. Rumah y ang dikelilingi oleh halaman
dan sawah ini aku harap kelak dapat berkembang menjadi
sebuah padepokan. Meskipun tidak akan pernah dapat
menjadi padepokan sebesar Padepokan Bajra Seta."
"Kenapa tidak ?" bertanya Mahisa Pukat.
"Tidak. Aku tidak mempunyai kemampuan yang cukup
untuk mendirikan sebuah padepokan. Meskipuja demikian
aku memang mencoba untuk merintisny a. Ada beberapa orang
anak muda yang tinggal dirumahku. Mereka meny ebut aku
guru." berkata mPu Sidikara.
"Satu langkah awal" desis Mahisa Pukat.
Beberapa lama Mahisa Pukat berada dirumah mPu Sidikara
yang sejuk. Mahisa Pukat memang melihat beberapa orang
anak muda y ang tinggal dirumah yang terhitung besar itu.
Mereka bersikap hormat kepada mPu Sidikara sebagaimana
seorang murid kepada gurunya.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dibanding dengan
Pa depokan Bajra Seta, maka padepokan yang sedang dirintis
oleh mPu Sidikara itu adalah padepokan yang kecil saja.
Untuk beberapa lama Mahisa Pukat masih berada dirumah
mPu Sidikara itu. Bahkan Mahisa Pukat sempat
membicarakan kemungkinan pengganti kedudukan mPu
Kamenjangan di Kasatrian.
Namun mPu Sidikara tersenyum sambil berdesis "Sulit
bagiku untuk menerima tawaran seperti itu."
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun iapun
kemudian bertanya "Kenapa mPu. Bukan mPu yang
menyebabkan mPu Kamenjangan terusir dari Kasatrian.
Seandainya mPu kemudian hadir, maka tidak ada lagi
hubungannya dengan kepergian mPu Kamenjangan."
"Tidak ngger. Aku adalah saudara seperguruan mPu
Kamenjangan. Tentu tidak baik jika kemudian aku hadir di
Ka satrian, sementara saudara seperguruanku telah terusir. "
jawab mPu Sidikara. Mahisa Pukat mengangguk-angguk kecil. Ia mengerti
sepenuhnya kenapa mPu Sidikara merasa berkeberatan untuk
menggantikan kedudukan mPu Kamenjangan di Kasatrian.
Karena itu, maka Mahisa Pukat tidak membicarakannya
lagi. Demikianlah, setelah beberapa lama Mahisa Pukat berada
dirumah mPu Sidikara, maka iapun berniat untuk minta diri.
Namun Mahisa Pukat itupun kemudian bertanya "mPu,
bagaimana sikap mPu jika mPu Kamenjangan benar-benar
marah kepada mPu ?" mPu Sidikara ter senyum. Katanya "Sudah aku katakan
ngger. Bahwa aku tidak dapat mengingkari kata nuraniku.
Karena itu, maka aku akan mempertanggung jawabkan akibat
dari sikapku. Sebenarnyalah bahwa mPu Kamenjangan tidak
mempunyai banyak kelebihan dari aku. mPu Kamenjangan
mempunyai beberapa kelebihan di satu sisi. Akupun
mempunyai kelebihan disisi lain, sehingga jika kami benarbenar
harus m embenturkan ilmu dan kemampuan aku sudah
siap. Tetapi aku harap bahwa hal itu tidak akan terjadi. Jika
kelak hati mPu Kamenjangan sudah dingin, maka ia tidak
akan berusaha menghukumku. Sementara itu kedua kawannya
tentu akan membuat pertimbangan-pertimbangan lain. Untuk
apa ia tetap setia kepada mPu Kamenjangan jika mereka sudah
tidak lagi mempunyai kepentingan yang sama."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Hatinya ikut menjadi
tenang mendengar sikap mPu Sidikara. mPu Sidikara ternyata
sama sekali tidak digelisahkan oleh sikap saudara
seperguruannya itu kelak. Bahkan ia berharap bahwa saudara
seperguruannya dan dua orang kawannya itu berubah sikap.
Sebenarnyalah ketika keadaan mPu Kamenjangan
berangsur baik, maka ia sempat berpikir kembali tentang
sikapnya terhadap Mahisa Pukat dan kemarahannya terhadap
saudara seperguruannya. Iapun menilai arti dari usaha mPu
Sidikara mengobatinya pada saat umurnya telah berada
diujung rambut. Seandainya saudara seperguruannya itu
benar-benar berniat buruk terhadapnya, maka untuk apa ia
memberikan obat y ang m ampu m embantunya m eningkatkan
day a tahan tubuhnya sehingga ia tidak mati dilereng bukit itu.
Disamping itu iapun harus m engakui kelebihan Mahisa Pukat
atas dirinya. Kedua kawannya itu mengatakan, bahwa
beberapa saat setelah benturan itu terjadi, maka Mahisa Pukat
telah mampu ber siap untuk melawan mereka berdua sebelum
mPu Sidikara menampakkan diri.
"Dengan demikian" berkata salah seorang kawan mPu
Sidikara itu "jika Mahisa Pukat berniat, maka ia dapat saja
melakukan tindakan y ang lebih jauh dari y ang sudah
dilakukan. Apalagi setelah mPu Sidikara menyatakan
sikapnya." mPu Kamenjangan m engangguk-angguk kecil. T ernyata ia
sempat menilai kembali, tindakan-tindakan y ang pernah
diambilnya sejak Mahisa Pukat datang di Ka satrian sebagai
pemimpin kelompok Pelay an Dalam. Sebagai seorang yang
berilmu sangat tinggi, ia merasa ter singgung melihat
perlakuan penghuni Ka satrian itu terhadap para Pelay an
Dalam y ang dianggap tidak lebih dari sekedar pelay an
sebagaimana para pelay an y ang lain.
"Baiklah" berkata mPu Kamenjangan kepada kedua orang
kawannya justru ketika luka-luka dalamnya m enjadi semakin
baik beberapa hari kemudian. "Agaknya kita harus mengakhiri
permusuhan kita dengan Mahisa Pukat. Meskipun aku sudah
benar-benar mengancam jiwanya, namun ia masih tetap
menahan diri. Aku memang tidak dapat lain kecuali mengakui
kesalahan dan sekaligus mengakui kekalahanku.
Bagaimanapun juga, aku tidak akan dapat menang
melawannya jika aku bertindak jujur. "
Kedua kawannyapun menarik nafas panjang.
Sebenarnyalah bahwa mereka memang sudah jemu
bermusuhan dengan Mahisa Pukat y ang berilmu tinggi. Jika
anak muda itu kehilangan kesabaran, jika ia berusaha
melawan mereka bertiga seorang demi seorang, maka m ereka
akan dapat menjadi debu. Dengan demikian, maka persoalan y ang terjadi di Kasatrian
Singasari itupun menjadi tenang. Persoalan yang memang
04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak banyak diketahui orang. Tetapi yang hampir saja
merenggut jiwa orang y ang pernah bertugas di Kasatrian itu.
Dengan demikian maka untuk sementara Mahisa Pukat
bertugas sendirian di Kasatrian Singasari. Para bangsawan
muda y ang semula menjadi murid mPu Kamenjangan dan
kedua orang guru y ang lain, harus belajar ilmu kanuragan
kepada Mahisa Pukat. Mula-mula memang ada keseganan pada para bangsawan
muda itu. Tetapi sikap Mahisa Pukat y ang tegas dan
berwibawa ternyata mampu menundukkan tantangan yang
tumbuh dilingkungan Kasatrian.
Namun ternyata bahwa Pangeran Kuda Pratama
berpendapat bahwa Mahisa Pukat akan m enjadi sangat sibuk
di Ka satrian jika ia harus memberikan latihan olah kanuragan
seorang diri di Kasatrian.
Bahkan Pangeran Kuda Pratama itu telah memanggilnya
dan bertanya kepadanya "Apakah kau dapat menunjuk
seseorang y ang dapat bekerja bersama untuk memberikan
latihan-latihan olah kanuragan di Kasatrian ?"
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Ingatannya y ang
pertama telah meloncat kepada saudaranya Mahisa Murti yang
ada di padepokan Bajra Seta. Namun ia tidak segera dapat
menyanggupinya karena ia harus berhubungan lebih dahulu
dengan Mahisa Murti. Karena itu, maka iapun kemudian menjawab "Pangeran,
ada seorang saudaraku di Padepokan Bajra Seta. Ia memiliki
kemampuan dan ilmu sebagamana aku sendiri. Jika Pangeran
berkenan, aku akan menghubunginya untuk menanyakan
kepadanya, apakah ia bersedia bekerja bersamaku di
Ka satrian." "Aku tidak berkeberatan. Pergilah, temuilah saudaramu itu
dan ajaklah ia menemui aku." berkata Pangeran Kuda
Pratama. "Jika demikian aku mohon waktu barang tiga hari untuk
menemui saudaraku itu " berkata Mahisa Pukat kemudian.
Ternyata Pangeran Kuda Pratama tidak berkeberatan.
Setelah memberitahukan rencananya meninggalkan Kasatrian
kepada para Pelay an Dalam serta menunjuk seorang diantara
mereka untuk mewakilinya selama ia pergi, maka Mahisa
Pukatpun telah meninggalkan Kasatrian. Ia semoat singgah
untuk menemui ayahnya, memberitahukan rencananya untuk
minta agar Mahisa Murti bersedia berada di Kasatrian.
Demikianlah, maka Mahisa Pukatpun kemudian telah
meninggalkan Kotaraja seorang diri menuju ke padepokan
Bajra Seta dengan penuh harapan, bahwa saudaranya akan
bersedia bekerja bersamanya di Kasatrian.
Perjalanan panjang yang ditempuh seorang diri m emang
terasa melelahkan. Namun karena Mahisa Pukat memacu
kudanya sambil berpengharapan, maka ia dapat mengatasi
perasaan lelah. Bahkan rasa-rasanya ia ingin berpacu lebih
cepat lagi. Meskipun demikian Mahisa Pukat memang harus singgah
disebuah kedai. Kecuali untuk kepentingan Mahisa Pukat
sendiri, kudanyapun perlu beristirahat, minum dan makan
rumput segar. Baru setelah beristirahat beberapa lama, maka Mahisa
Pukat segera melanjutkan perjalanannya.
Ternyata tidak ada hambatan apapun diperjalanan.
Sehingga Mahisa Pukat telah sampai kepadepokan Bajra Seta
dengan selamat. Kedatangan Mahisa Pukat disambut dengan wajah-wajah
cerah. Mahisa Murti, Wantilan, Mahisa Semu apalagi Mahisa
Amping telah menyatakan kegembiraan mereka atas
kedatangan Mahisa Pukat. Demikian pula para cantrik yang
sudah lama tidak melihat Mahisa Pukat di padepokan itu.
Hampir tanpa berhenti Mahisa Amping bertanya apa saja
yang telah dilakukan Mahisa Pukat di Kotaraja. Sekali2 Mahisa
Semupun telah menanyakannya pula tentang pengalaman
Mahisa Pukat selama di Kotaraja.
Dengan senang hati Mahisa Pukatpun menceriterakan apa
yang telah dialaminya. Juga keberhasilannya memasuki
lingkungan Pelayan Dalam.
"Alangkah senangnya" berkata Mahisa Amping.
Mahisa Pukat ter senyum. Tetapi ia tidak mengatakan
bahwa sebenarnya ilmunya berada pada tataran yang lebih
tinggi dari tataran ilmu Pelayan Dalam pada umumnya.
Demikianlah, Mahisa Pukat masih belum secara langsung
mengatakan niat kedatangannya kepada Mahisa Murti. Waktu
yang ada dipergunakannya untuk melihat-lihat Padepokan
yang untuk beberapa lama ditinggalkannya. Bany ak hal yang
menumbuhkan kembali keterikatannya dengan padepokan itu.
Namun Mahisa Pukat juga harus mengingat keinginan Sasi.
Sasi tentu lebih senang jika ia m engabdikan dirinya diistana
Singasari sebagaimana ayah Sasi itu sendiri daripada berada di
padepoan seperti ini.
Mahendra y g mengetahui dengan pasti perasaan Mahisa
Murti pada dasarnya berkeberatan atas rencana anaknya itu.
Namun ia tidak ingin mendahuluinya meskipun ia y akin
bahwa Mahisa Murti tidak akan bersedia memenuhinya.
Meskipun demikian Mahendra itu juga bertanya "Jika
Mahisa Murti kau ajak untuk berada di Kasatrian pula,
siapakah y ang akan mengurusi Padepokan Bajra Seta?"
"Ada beberapa orang y ang sudah sanggup m elakukannya"
jawab Mahisa Pukat "ada paman Wantilan, ada Mahisa Semu
dan para cantrik yang umurnya menjadi semakin tua. Mereka
akan dapat mengurusi Padepokan itu dan
mengembangkannya." "Tetapi disebuah Padepokan diperlukan setidak -tidaknya
seorang y ang dapat dianggap sebagai Panutan. Ia harus
mempunyai wibawa cukup atas semua penghuni dan isi
padepokan." "Setidak -tidaknya hanya untuk sementara ayah. Sebelum
aku m endapatkan kawan y ang lain yang memadai. Jika aku
sudah mendapatkannya, maka b iarlah Mahisa Murti kembali
ke padepokan." Namun bagaimana dengan Mahisa Murti"
Setelah berada di padepokan Mahisa Pukat justru m erasa
ragu-ragu untuk menyampaikan maksudnya. Ia tidak sampai
hati membiarkan padepokan yang telah dibangunnya itu
ditinggal tanpa pimpinan yang cukup berwibawa. Jika ia pergi
dan kemudian Mahisa Murti juga pergi, padepokan itu benarbenar
akan kehilangan Panutan sebagaimana dikatakan oleh
ay ahnya. Karena itu, maka Mahisa Pukat masih harus berpikir ulang
tentang niatnya untuk mengajak Mahisa Murti ke Kotaraja.
Meskipun demikian, Mahisa Pukat akhirnya mengatakan
juga maksud kedatangannya kepada Mahisa Murti ketika
mereka tinggal berdua saja. Meskipun agak ragu, namun
mahisa Pukat menceriterakan apa y ang telah dialaminya di
Ka satrian. Dengan urut Mahisa Pukat menceriterakan apa
yang telah terjadi sehingga akhirnya ia tinggal sendiri di
Ka satrian Singasari. "Pangeran Kuda Pratama memerintahkan agar aku
mendapat seorang yang akan dapat bekerja bersama untuk
menangani para bangsawan muda di Kasatrian. Karena itulah,
maka aku pulang dan menyampaikan persoalan ini
kepadamu." Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia tanggap akan
maksud Mahisa Pukat. Untuk beberapa saat Mahisa Murti merenungi maksud
Mahisa Pukat. Namun seperti yang sudah diduga oleh Mahisa
Pukat, maka Mahisa Murti itu kemudian berkata "Aku
berterima ka sih kepadamu Mahisa Pukat, bahwa kau berniat
untuk mengajakku masuk ke Kasatrian Singasari. Dengan
demikian maka kau telah membuka kesempatan bagiku untuk
ikut mengabdi langsung diistana. tetapi jika aku kemudian
juga meninggalkan padepokan ini, lalu siapakah yang akan
mengungsi padepokan kita ini" Kita sudah mendirikannya,
memupuknya sehingga dapat tumbuh dengan subur. Jika
kemudian kita tinggalkan, bukankah kerja y g telah kita
lakukan itu akan sia-sia?"
Mahisa Pukat mengangguk-angguk kecil. Katanya "Aku
mengerti Mahisa Murti. Ketika aku memasuki padepokan ini,
maka sudah terlintas diangan-anganku jawabanmu seperti itu.
Berbeda dengan saat aku mendengar perintah Pangeran Kuda
Pratama y ang dengan serta-merta aku telah berpaling kepada
kemungkinan membawamu ke Kasatrian"
"Aku minta maaf Mahisa Pukat" berkata Mahisa Murti
kemudian "tetapi apakah ayah mengerti rencanamu ini""Ya. Ayah pun telah mengatakan kepadaku kemungkinan
sikapmu itu. Karena itu, maka aku dapat mengerti
sepenuhnya " jawab Mahisa Pukat.
"Sokurlah jika kau dapat mengerti. Aku sangat berterima
kasih kepadamu" berkata Mahisa Murti kemudian.
Mahisa Pukat memang tidak dapat berkata apapun lagi
tentang niatnya mengajak Mahisa Murti memasuki lingkungan
Ka satrian. Namun demikian Mahisa Pukat telah minta
pertimbangan Mahisa Murti, bagaimana pendapatnya jika ia
mengajak Mahisa Semu untuk sekedar membantunya di
Ka satrian. Setidak-tidaknya untuk sementara karena Mahisa
Semu sudah memiliki dasar kemampuan y ang utuh dari
landasan ilmu padepokan Bajra Seta.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Dengan nada
dalam ia berkata "Aku masih m enyangsikan kematangannya
berpikir. Ia masih terlalu muda untuk membimbing anak-anak
muda pula. Jika terjadi pergeseran sikap diantara mereka,
maka suasananya akan cepat menjadi panas."
Mahisa Pukatpun mengangguk-angguk pula. Ia mengerti
keberatan yang diajukan oleh Mahisa Murti.
Karena itu, maka katanya "Baiklah. Jika demikian aku akan
kembali tanpa siapapun juga."
"Kami minta maaf, Pukat, bahwa kami tidak dapat
memenuhi keinginanmu."
"Aku mengerti. Padepokan ini memang tidak dapat
ditinggalkan." jawab Mahisa Pukat.
Tetapi Mahisa Murtipun kemudian berkata "Meskipun
demikian, biarlah aku akan ikut bersamamu sampai ke
Singasari. Aku ingin m engunjungi ayah barang dua tiga hari.
Aku akan mengajak Mahisa Semu dan Mahisa Amping."
"Apakah Amping sudah dapat berkuda sendiri pada jarak
sejauh Singasari?" bertanya Mahisa Pukat.
"Aku kira ia sudah dapat melakukannya." jawab Mahisa
Murti. "Sokurlah" desis Mahisa Pukat "mudah-mudahan ia cepat
menguasai ilmu yang diperuntukkan baginya pada umurnya.
"Aku kira ia sudah cukup baik. Ia justru mampu
menunjukkan kelebihan dari takaran y ang seharusnya
bagiku." jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat m engangguk-angguk. Iapun teringat kepada
dua orang remaja di Ka satrian y ang sejak semula diasuhnya.
Keduanya adalah remaja yang memiliki dasar y ang baik
sebagaimana Mahisa Amping. Katanya didalam hati "Mudahmudahan
keduanya mampu meny erap ilmu sebagaimana
dilakukan oleh Mahisa Amping. "
Demikianlah, maka keduanya sepakat untuk bersama-sama
menempuh perjalanan ke Kotaraja. Mahisa Pukat harus
kembali ke Ka satrian sementara Mahisa Murti akan
mengunjungi ayahnya bersama dengan Mahisa Semu dan
Mahisa Amping. Sementara mereka pergi maka Mahisa Murti m inta agar
Wantilan dan beberapa orang cantrik tertua untuk memimpin
padepokan itu. "Semua kerja kita sehari-hari hendaknya dapat berlangsung
dengan baik" pesan Mahisa Murti.
"Kami akan berusaha" jawab Wantilan.
"Kami tidak akan lama paman" berkata Mahisa Murti "
mungkin hanya tiga hari. Lima hari dengan perjalanan pulang
balik." "Baiklah. Tetapi jangan lebih lama lagi. Padepokan ini akan
terasa sepi tanpa kalian bertiga " berkata Wantilan.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Kepergian
Mahisa Murti untuk sekitar lima hari sudah dianggap cukup
lama. Apalagi jika ia benar-benar meninggalkan padepokan
itu. Maka padepokan Bajra Seta tentu akan segera menjadi
su sut dan bahkan mungkin akan hilang sama sekali.
Karena itu, seandainya Mahisa Murti bersedia sekalipun,
maka ia memang berniat untuk mengurungkan maksudnya
mengajak Mahisa Murti untuk bekerja bersamanya di
Ka satrian. Meskipun demikian, maka mereka berdua bersama Mahisa
Semu dan Mahisa Amping berama-sama pergi ke Kotaraja.
Mereka menempuh perjalanan berkuda pada jarak yang cukup
panjang. Mahisa Semu dan Mahisa Amping y ang jarang keluar dari
padepokannya sejak m ereka tinggal di padepokan itu, m erasa
betapa lapangnya penglihatannya. Sawah y ang luas sampai ke
kaki cakrawala. Bukit-bukit y ang membujur di kejauhan
seperti tubuh raksasa dalam dongeng yang sedang tidur
ny enyak. Semuanya itu pernah dilihatnya. Tetapi setelah beberapa
lama ia berada di Padepokan Bajra Seta, maka iapun jarang
menempuh perjalanan jauh, sehingga perjalanan yang
dilakukan itu, rasa-rasanya telah m embuatnya menjadi segar.
Langit y ang bersih, angin semilir lembut, membuat wajah
anak itu menjadi semakin cerah.
Mahisa Amping itu teringat saat pengembaraannya
bersama Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan
Wantilan. Mereka berjalan saja tanpa batas waktu dan tujuan.
Meskipun akhirnya mereka memasuki Padepokan Bajra Seta.
Diluar sadarnya Mahisa Amping itupun telah memacu
kudanya dipaling depan. Sambil mengamati alam yang ramah,
Mahisa Amping sempat melihat beberapa orang petani yang
bekerja keras di sawah mereka masing-masing. Mereka
dengan tekun membersihkan sawah m ereka dari rerumputan
liar y ang tumbuh diantara batang-batang padi y ang hijau.
Mahisa Pukat, Mahisa Murti dan Mahisa Semu m emang
tidak ingin menempuh perjalanan itu terlalu cepat. Meskipun
kuda mereka berlari diatas jalan bulak, tetapi tidak t erlalu
04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kencang. Mereka membiarkan Mahisa Amping mendahului
mereka, kemudian berhenti pada jarak yang agak jauh,
dibawah pepohonan y ang rindang. Sebagaimana dahulu sering
dilakukannya. Bahkan dahulu Mahisa Amping y ang berlari -lari
mendahului perjalanan mereka, sempat memanjat pohonpohon
y ang tumbuh dipinggir jalan.
Ketika kemudian matahari melampaui puncak, maka
merekapun telah singgah disebuah kedai di pinggir jalan itu.
Kedai yang terhitung cukup besar. Bukan saja para
penunggang kuda y ang dapat beristirahat sambil m inum dan
makan, tetap kuda-kuda merekapun dapat beristirahat sambil
minum dan makan pula. Ketika mereka m emasuki kedai itu, m aka beberapa orang
telah bearda di dalamnya. Nampaknya mereka juga orangorang
y ang menempuh perjalanan jauh.
Seorang diantara mereka adalah seorang yang telah
berambut dan berjanggut putih. Tetapi orang itu masih
nampak kuat dan tegar. Adalah diluar dugaan bahwa orang berambut putih y ang
nampaknya sedang berbincang dengan kawan-kawannya itu
berkata "Aku tidak rela bahwa Sidikara telah mengkhianati
Kamenjangan." "Tetapi bukankah mPu Kamenjangan akhirnya sudah
mengakui kekeliruannya. Ia telah salah langkah sehingga
akhirnya ia justru terusir dari Kasatrian. "
"Itulah yang harus dibenahi. Memang agaknya tidak ada
lagi jalan kembali Ke Kasatrian. Tetapi seharusny a Sidikara
tidak mengkhianatinya. Aku benci pada orang-orang yang
demikian." geram orang berambut putih itu.
"Tetapi guru, y ang bersalah adalah mPu Kamenjangan.
Bukan mPu Sidikara." berkata yang lain.
"Omong kosong" jawab orang itu "a pa artinya salah atau
benar bagi saudara seperguruan " Yang penting saudarasaudara
seperguruan harus hidup dalam kesetia -kawanan.
Bukan saja saat mereka berguru. Tetapi juga kemudian setelah
mereka berada di luar dinding perguruan."
Tiba-tiba seorang yang bertubuh gemuk dan y ang makan
paling banyak diantara mereka berkata "Tetapi bukankah mPu
Kamenjangan m emang kalah dan iapun m engakui kekalahan
itu." "Justru pada saat y ang demikian Sidikara harus tampil.
Bukan sebalikny a malahan berkhianat, " jawab orang berambut
putih itu. Yang lainpun terdiam. Sementara orang berambut putih itu
berkata "Itulah sebabny a kalian telah kami kumpulkan. Kita
akan berbicara dengan Kamenjangan dan Sidikara. Aku
berniat untuk menebus kekalahan ini."
Beberapa orang diantara mereka saling berpandangan.
Tetapi mereka tidak berkata apa-apa.
Tetapi ketika orang tua itu keluar sebenar untuk pergi ke
oekiwan, maka seorang diantara mereka berkata "Apa
sebenarnya y ang dikehendaki oleh guru" Semakin tua, ia
menjadi semakin berubah. Ia tidak lagi mampu menilai
persoalan-persoalan yang dihadapinya dengan penalasan yang
bening." "Kita tahu, bahwa kakang Kamenjangan adalah murid y ang
dianggap terbaik oleh guru. Ia mendapat kesempatan lebih
dari murid-muridnya y ang lain. Karena itu, bahwa mPu
Kamenjangan dikatakan dapat dikalahkan oleh seorang anak
muda, maka janggutnya merasa terbakar."
"Hus" desis y ang lain.
"Tetapi bukankah guru m emang sudah berubah" berkata
orang y ang pertama. "Ia memang m enjadi semakin tua. Tetapi ada yang tidak
berubah. Aku masih dibiarkan makan sebanyak-banyaknya"
berkata orang yang gemuk itu.
Kawan-kawannya sempat tertawa. Seorang diantaranya
berkata "Kau tidak pernah berpikir lain kecuali makan
sebanyak-banyaknya. Apapun yang t erjadi disekelilingmu
tidak akan mempengaruhimu, asal kau masih t etap dapat
makan sebanyak-banyaknya."
Orang itu tertawa. Tetapi dengan cepat ia menutup
mulutnya. (Bersambung ke Jilid 110)
Conv ert & Edit by Pdf ebook : Dan H HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid 110 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo, Arema
Converter & Editor : Pdf ebook : --ooo0dw0ooo- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 110 SEMENTARA itu seorang y ang lain berkata bersungguhsungguh
"Nanti, setelah guru m emanggil mPu Kamenjangan
dan mPu Sidikara, lalu apa y ang akan dilakukannya" Apa pula
yang harus kami lakukan" Menghukum mPu Sidikara
beramai-ramai?" "Entahlah" jawab yang lain "apa pula maksud guru dengan
menebus kekalahan" Apakah kita harus bertempur melawan
anak muda yang telah mengalahkan mPu Kamenjangan itu
atau guru sendiri y ang akan melakukannya atau apa?"
Tetapi merekapun terdiam ketika mereka melihat orang
beranggut putih y ang mereka sebut sebagai guru itu.
Untuk beberapa saat mereka saling berdiam diri. Mahisa
Murti dan Mahisa Pukatpun sama sekali tidak berbicara
apapun juga selain memesan makanan dan minuman serta
minta agar kuda-kuda mereka juga dirawat.
Namun anak-anak muda itu terkejut ketika orang
berjanggut putih itu tiba -tiba saja berdiri dan melangkah
mendekati mereka. Sambil duduk didekat mereka, orang itu
bertanya "Anak-anak muda itu akan pergi ke mana atau dari
mana?" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang menjadi agak
bingung. Sudah tentu mereka tidak akan meny ebut bahwa
salah seorang diantara mereka adalah Mahisa Pukat.
Kebetulan itu harus mereka tanggapi dengan sangat berhatihati.
Namun ternyata bahwa Mahisa Murtilah y ang menjawab
"Kami baru saja menempuh perjalanan dari Bumiagara."
"Bumiagara?" orang itu mengerutkan dahinya. Kemudian
iapun bertanya "Kalian akan pergi kemana?"
"Kembali ke Singasari" jawab Mahisa Murti
"Apakah kalian anak-anak Singasari?" bertanya orang itu.
"Bukan " jawab Mahisa Murti "kami adalah orang Sangling.
Tetapi ada saudara kami yang tinggal di Singasari. Sudah agak
lama kami tinggal bersama saudara kami itu."
Orang tua itu mengangguk-angguk. Iapun kemudian
bertanya "Apakah kalian semua bersaudara?"
"Ya " jawab Mahisa Murti "bahkan masih ada saudara kami
yang lain." Orang itu mengangguk-angguk. Lalu katanya "Kenapa
kalian tidak memilih jalan y ang lebih dekat?"
"Kami sudah terbia sa menempuh jalan ini." jawab Mahisa
Murti. Orang itu mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa
Semu dan Mahisa Amping y ang tanggap akan jawaban2
Mahisa Murti telah m engarang nama-nama bagi diri m ereka
masing2. Untunglah bahwa orang itu tidak bertanya nama
mereka seorang demi seorang.
Bahkan kemudian orang tua itu telah bangkit dan
mendekati murid-muridnya sambil berkata "Marilah. Kita
lanjutkan peijalanan."
Sejenak kemudian, setelah m embayar harga makanan dan
minuman mereka, maka orang-orang itupun segera
meninggalkan kedai itu. Selain gurunya, maka mereka
berjumlah lima orang. Seorang diantara mereka, yang
termuda, adalah orang y ang gemuk itu.
Demikian m ereka pergi, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat itupun menarik nafas dalam-dalam. Seakan-akan
mereka telah terlepas dari intaian sekelompok serigala yang
lapar. "Adalah kebetulan sekali kita bertemu disini " berkata
Mahisa Pukat. "Hanya terjadi satu dari seribu peristiwa" jawab Mahisa
Murti "namun membuat hati ini menjadi berdebar-debar."
Mahisa Pukat tersenyum. Katanya "Jika aku sempat
bertemu lebih dahulu dengan mPu Sidikara."
"Kau coba sajalah" berkata Mahisa Murti "sebentar lagi kita
akan melanjutkan perjalanan. "
"Aku akan langsung singgah dirumah mPu Sidikara
mengabarkan rencana y ang kita dengar tadi."
"Baiklah aku orang-orang itu tentu akan singgah lebih
dahulu dirumah mPu Kamenjangan. Baru kemudian mereka
akan memanggil mPu Sidikara."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun rasa-rasanya ia
menjadi tergesa-gesa meny elesaikan makan dan minumnya.
Demikian mereka selesai, maka merekapun segera
mempersiapkan diri. Agaknya kuda merekapun telah cukup
beristirahat. Telah cukup pula makan dan minum
sebagaimana mereka sendiri.
Perjalanan mereka tidak lagi sekedar melarikan kuda
mereka ditengah-tengah bulak. Tetapi mereka telah melarikan
kuda mereka lebih kencang, meskipun tidak berpacu seperti
dipacuan kuda. Setelah menempuh perjalanan panjang, maka seperti y ang
direncanakan Mahisa Pukat tidak singgah dulu dirumah
ay ahnya. Tetapi ia langsung m enuju kerumah mPu Sidikara.
Karena itu ketika Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa
Amping datang, < sepertinya ada bagian cerita yang terlewatkan >
"Apa kesan y ang kau dapatkan pada mPu Sidikara itu" "
"Seperti saudara -saudara seperguruannya, mPu Sidikara
merasa bahwa gurunya telah berubah." jawab Mahisa Pukat
"ia berharap bahwa ia dapat berbicara dengan baik. Tetapi
tanggapannya memang sama seperti saudara-saudara
seperguruannya y ang lain tentang mPu Kamenjangan. mPu
Kamenjangan memang terlalu manja, sehingga kadangkadang
ia tidak berdiri beralaskan kenyataan. Seperti sikapnya
di Ka satrian. Bahkan iapun ikut memanjakannya ketika ia
minta menjajagi ilmuku."
"Kenapa ia mendapat perhatian khusus dari gurunya?"
bertanya Mahendra. "Ia dianggap murid terbaik oleh gurunya " jawab Mahisa
Pukat "ia mempunyai beberapa kelebihan, sehingga ia
mendapat perhatian khusus. Mungkin gurunya menumpahkan
harapannya atas kelangsungan perguruannya kepada mPu
Kamenjangan. Kesempatan mPu Kamenjangan menyusupkan
ilmunya lewat para bangsawan muda di Kasatrian, ia berharap
bahwa ilmunya akan m enjadi ilmu y ang paling berpengaruh.
Para bangsawan itu kelak akan memegang kepemimpinan di
Singasari. Sementara itu mereka adalah orang-orang yang
memiliki landasan ilmu dari perguruan mPu Kamenjangan. "
Mahendra mengangguk-angguk. Namun kemudian ia
berkata "Jika demikian m aka kau harus berhati-hati Mahisa
Pukat. Mungkin orang itu akan berbuat apa saja untuk
merebut kembali kedudukannya. Mungkin mereka tidak
segan-segan berbuat licik dan mengabaikan harga dirinya
untuk mencapai keinginannya, menembus kembali dinding
Ka satrian. " "Tetapi Pangeran Kuda Pratama bukan seorang y ang
pendiriannya mudah goyah" Besok aku akan memberikan
laporan tentang kedatangan guru mPu Kamenjangan serta apa
yang ia inginkan. " berkata Mahisa Pukat.
"Baiklah" Mahendra mengangguk-angguk "meskipun
demikian kau harus tetap berhati-hati."
Demikianlah, maka malam itu Mahisa Pukat bermalam
dirumah ayahnya. Ia masih ingin banyak berbicara dengan
Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping.
Memang sampai lewat tengah malam mereka berbincang
tanpa habis-habisnya. Ada saja yang mereka bicarakan.
Tentang padepokan Bajra Seta, tentang hubungan padepokan
itu dengan padukuhan-padukuhan sekitarnya dan juga tentang
Ka satrian Singasari. Namun malam menjadi semakin larut, maka Mahendrapun
memperingatkan Mahisa Pukat, bahwa besok ia masih harus
melakukan kewajibannya yang sudah ditinggalkan sekitar
sepekan. Ketika Matahari terbit dikeesokan harinya, maka Mahisa
Pukat telah siap untuk pergi ke Kasatrian. Ia minta Mahisa
Murti untuk tinggal beberapa hari di Kotaraja.
"Pada satu kesempatan aku akan mengajak kalian ke
Ka satrian Singasari. Kalian dapat bertemu dan berbicara
dengan Pangeran Kuda Pratama y ang pernah menyetujui
kehadiran Mahisa Murti di Ka satrian. Kau akan dapat
berbicara langsung dan memberikan alasan-alasanmu kenapa
kau tidak dapat bertugas di Ka satrian" berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya "Ba iklah. Aku
akan menunggu kesempatan itu."
"Tentu tidak akan lama besok atau lusa " berkata Mahisa
Pukat pula "sementara itu kau dapat membawa Mahisa Semu
dan Mahisa Amping melihat-lihat keadaan Kotaraja."
"Baiklah" Mahisa Murti mengangguk kecil "aku mempunyai
waktu beberapa hari di Kotaraja ini."
Mahisa Pukatpun kemudian telah minta diri kepada
04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ay ahnya pula untuk kembali ke Kasatrian. Namun ia m asih
mempunyai sedikit waktu untuk singgah kerumah Sasi.
Mahisa Pukat memang tidak dapat terlalu lama berada
dirumah Sasi. Meskipun agaknya Sasi masih mengharap
Mahisa Pukat tinggal lebih lama dirumahnya, namun Mahisa
Pukat harus segera kembali ke Kasatrian. Bahkan ketika Arya
Kuda Cemani berangkat ketugasnya maka iapun bertanya
kepada Mahisa Pukat "Apakah kau masih belum bertugas hari
ini?" "Aku memang akan pergi ke Kasatrian. Aku hanya singgah
sebentar." jawab Mahisa Pukat.
Demikianlah, sepeninggal Arya Kuda Cemani, maka Mahisa
Pukat telah minta diri pula. Sasi tidak lagi menahannya,
karena ia menyadari bahwa Mahisa Pukat memang harus
segera berada di Kasatrian untuk melakukan tugasnya.
Demikian Mahisa Pukat sampai di Kasatrian, maka y ang
pertama-tama dilakukan adalah mohon untuk dapat
menghadap Pangeran Kuda Pratama.
Ternyata Pangeran Kuda Pratama tidak berkeberatan untuk
menerimanya. Ditemuinya Mahisa Pukat diserambi tempat
tinggal Pangeran Kuda Pratama masih dilingkungan Ka satrian
Setelah melaporkan diri bahwa ia telah siap untuk bertugas
lagi, maka Mahisa Pukatpun telah melaporkan pula bahwa
kepergiannya ke Padepokan Bajra Seta tidak menghasilkan
apa-apa. "Bagaimana dengan saudaramu itu?" bertanya Pangeran
Kuda Pratama. "Ia sekarang berada di Kotaraja, Pangeran" jawab Mahisa
Pukat. "Jika Pangeran berkenan, ia akan menghadap untuk
menyampaikan alasan-alasannya, kenapa ia tidak dapat ikut
bersamaku bertugas di Kasatrian. "
"Tentu saja aku senang sekali menerimanya " berkata
Pangeran Kuda Pratama "ajaklah ia kemari."
"Apakah besok saudaraku itu diperkenankan menghadap?"
bertanya Mahisa Pukat. "y a " jawab Pangeran Kuda Pratama "kapan saja ia akan
datang, aku akan menerimanya dengan senang hati. Kecuali
jika kebetulan aku tidak ada di Kasatrian. "
"Baiklah Pangeran " jawab Mahisa Pukat "nanti malam aku
akan pulang dan besok membawa saudaraku itu m enghadap"
berkata Mahisa Pukat. Namun kemudian Mahisa Pukatpun telah memberikan
laporan tentang guru dan saudara-saudara seperguruan Empu
Kamenjangan yang telah datang ke Kotaraja
"Darimana kau tahu?" bertanya Pangeran Kuda Pratama
"Hanya satu kebetulan Pangeran. Agaknya memang kurang
meyakinkan. Tetapi demikianlah yang sudah terjadi."
Pangeran Kuda Pratama mengangguk-angguk. Ia
mendengarkan dengan sungguh-sungguh laporan Mahisa
Pukat tentang sikap guru mPu Kamenjangan.
"Apakah gurunya sudah sangat tua?" bertanya Pangeran
KudaPratama. "Belum Pangeran" jawab Mahisa Pukat "mungkin umurnya
tidak terpaut terlalu banyak dengan mPu kamenjangan dan
mPu Sidikara." Pangeran Kuda Pratama mengangguk-angguk. Katanya
"Sebaiknya kita tunggu. Langkah apa yang akan diam bil. Jika
perlu, maka biarlah aku sendiri y ang akan menemui gurunya. "
"Jangan Pangeran" berkata Mahisa Pukau "orang itu bukan
apa-apa. Karena itu, tidak sepantasnya Pangeran m elibatkan
diri langsung dengan persoalan ini. Mungkin saudaraku yang
kebetulan berada di Kotaraja. Mungkin pula ay ahku."
"Ayahmu sudah terlalu tua Mahisa Pukat. Bukankah aku
lebih muda dari ayahmu meskipun aku juga sudah tua?"
"Tetapi orang itu tidak cukup penting untuk menggerakkan
wiru kain Pangeran." sahut Mahisa Pukat.
Pangeran Kuda Pratama tersenyum. Katanya "Jangan
melibatkan orang lain y ang tidak mempunyai sangkut-paut
sama sekali dengan persoalan y ang. sedang mereka hadapi.
Persoalannya adalah persoalan yang langsung menyangkut
kedudukan di Ka satrian. Karena itu, maka akulah yang
bertanggung jawab." "Jangan Pangeran" Mahisa Pukat mencoba mencegah.
Namun Pangeran Kuda Pratama justru tertawa "Jangan
memperkecil arti kehadiranku di Kasatrian ini Mahisa Pukat."
"Ampun Pangeran" jawab Mahisa Pukat sambil m enunduk
dalam-dalam. "Kalau kau menghargai aku, maka biarlah aku
mempertanggungjawabkan keputusan y ang aku ambil."
Mahisa Pukat tidak berani menjawab lagi. Karena itu maka
iapun hanya dapat menundukkan kepalanya dalam-dalam.
"Sudahlah" berkata Pangeran Kuda Pratama "jangan
dipikirkan terlalu panjang. Ajak saja besok saudaramu itu
kemari. Aku m emang ingin m endengarkan alasannya kenapa
ia tidak bersedia bertugas di Kasatrian. Tugas y g ditunggu oleh
banyak orang" "Baik Pangeran" jawab Mahisa Pukat.
"Nah, sudahlah. Bukankah kau akan mulai melakukan
tugasmu setelah kurang lebih sepekan kau tinggalkan?"
berkata Pangeran Kuda Pratama selanjutnya."
"Ya, Pangeran" jawab Mahisa Pukat kemudian.
"Tetapi aku pesankan kepadamu, sebaikny a kau tidak
membawa anak-anak muridmu keluar dari istana lebih dahulu
sampai dua tiga hari. Kita akan melihat perkembangan
suasana." Mahisa Pukat justru m enjadi termangu-mangu. Meskipun
dengan agak ragu, iapun bertanya "Jadi maksud Pangeran, aku
harus menghindari guru dan saudara-saudara seperguruan
mPu Kamenjangan itu?"
"Bukan kau. Tetapi murid-muridmu. Anak-anak Kasatrian.
Maksudku, jika kau ingin pergi keluar, jangan bawa
seorangpun diantara anak-anak Kasatrian. "
Mahisa Pukat m enarik nafas dalam-dalam. Justru dengan
demikian m aka Pangeran Kuda Pratamaitu memberi isyarat
kepadanya, agar ia selalu bersiap menghadapi segala
kemungkinan tanpa melibatkan para bangsawan muda dari
Ka satrian. Sambil membungkuk h ormat, maka Mahisa Pukat berkata
"Ampun Pangeran. Segala perintah Pangeran akan aku
lakukan." Demikianlah, maka Mahisa Pukatpun kemudian telah
berada kembali diantara para Pelayan Dalam. Baru kemudian
ia mendapatkan para bangsawan muda y ang telah
menunggunya beberapa lama. Ra sa-rasanya mereka sudah
cukup lama tidak melakukan latihan bersama dengan gurunya.
Selama Mahisa Pukat pergi, maka para bangsawan muda itu
melakukan latihan-latihan sendiri sekedar diawasi oleh para
Pelay an Dalam y ang ditugaskan oleh Mahisa Pukat.
Dalam pada itu, pada hari itu pagi-pagi benar guru mPu
Kamenjangan telah mengajaknya menemui mPu Sidikara.
Gurunya sama sekali tidak puas dengan keterangan mPu
Kamenjangan bahwa sebenarnya ilmu anak muda y ang disebut
Mahisa Pukat itu sangat tinggi sehingga ia sama sekali tidak
mampu mengatasiny a. "Tetapi t elingaku mendengar bahwa Sidikara telah
berkhianat kepadamu, sehingga ketika kau dikalahkan oleh
anak muda itu, sementara kedua orang kawanmu ingin
membelamu, ju stru Sidikara berdiri dipihak anak muda itu."
berkata gurunya. "Dari siapa guru mendengarnya?" bertanya mPu
Kamenjangan. "Kau tidak perlu tahu, dari siapa aku mendengar" jawab
gurunya. Tetapi mPu Kamenjangan tahu, bahwa ceritera itu tentu
bermula dari salah seorang kawannya itu. Meskipun kawannya
tidak berniat menyampaikannya kepada gurunya, tetapi orang
lain y ang mendengarnya dan mengenal gurunya telah
menyampaikannya. "Aku harus menelusuri orang y ang mengenal guru itu "
berkata mPu Kamenjangan di dalam hatinya.
Namun kepada gurunya mPu Kamenjangan menjawab
"Sidikara sama sekali tidak ingin berkhianat. Ia hanya ingin
memperingatkan aku bahwa aku telah mengambil langkah
yang salah" "Kau tidak usah melindunginya " berkata gurunya
"Aku berkata sebenarnya guru " jawab mPu Kamenjangan.
Iapun menceriterakan bagaimana mPu Sidikara telah
mengobatinya ketika ia hampir saja dijemput oleh maut.
Tetapi gurunya tetap berpendapat bahwa mPu Sidikara
telah melakukan kesalahan. Karena itu, maka guru mPu
Kamenjangan telah mengajaknya untuk menemui mPu
Sidikara, maka mPu Sidikara telah siap untuk menerima
mereka. Tanpa kegelisahan sama sekali, ia mempersilakan
gurunya untuk naik ke pendapa bersama saudara-saudaranya
seperguruannya. "Aku menunggu sejak kemarin" berkata mPu Sidikara.
"Sejak kemarin?" gurunya bertanya.
"Ya. Sejak kemarin" jawab mPu Sidikara.
"Bagaimana kau tahu bahwa aku akan datang kemarin ?"
bertanya gurunya. "Orang y ang memberitakan kepada guru apa y ang telah
terjadi dengan mPu Kamenjangan itulah yang mengatakan
kepadaku," jawab Sidikara sambil terseny um.
"Kau berbohong " berkata gurunya "tetapi baiklah.
Meskipun kau berbohong, tetapi aku benar-benar mengetahui
Atau perasaan-perasaan lain yang
bergejolak di jantungmu. Kau
menerima kedatanganku dengan
persiapan jiwani y ang mantap.
Meskipun kau berbohong tentang
siapa yang mengatakan kepadamu
bahwa aku datang, ny atanya kau
memang mengetahuinya. " guru
mPu Kamenjangan itu berhenti
sejenak, lalu katanya "Aku
memang kemarin datang ke rumah
Kamenjangan. Sebenarnya aku
memang akan langsung datang
kemari. Tetapi aku tidak ingin
perasaanku yang masih panas itu
membakar rumahmu ini."
"Terima kasih guru" jawab mPu Sidikara "aku memang
sudah lama tidak bertemu dengan guru. Kedatangan guru
sangat meny enangkan m eskipun aku tahu bahwa guru tentu
marah akan sikapku ketika mPu Kamenjangan bertempur
dengan Mahisa Pukat, seorang Pelay an Dalam yang masih
sangat muda dibandingkan dengan umur kami. Maksudku
umurku dan umur mPu Kamenjangan."
"Nah, sekarang aku datang untuk menuntut tanggung
jawabmu sebagai saudara seperguruan Kamenjangan. Kenapa
kau telah mengkhianatinya?" bertanya gurunya.
"Sebenarnya aku ingin bertanya kepada mPu Kamenjangan,
apakah ia merasa aku khianati?"
"Aku tidak peduli pendapat Kamenjangan. Tetapi menaut
pendapatku, kau telah berkhianat." geram gurunya.
"Nah, bukankah ada orang lain yang melaporkan kepada
guru" Apa kata orang itu" Aku tidak tahu maksudnya, kenapa
ia melapor kepada guru, kemudian ia memberitahukan
kepadaku bahwa guru akan datang menemui aku."
"Jangan berbelit-belit " bentak gurunya.
mPu Sidikara mengerutkan dahinya. Tetapi ia berkata "Aku
tidak tahu, kenapa guru menganggap aku berbelit-belit. "
"Cukup" bentak gurunya. Lalu katanya "Kau harus menebus
pengkhianatanmu." "Maksud guru ?" bertanya mPu Sidikara.
"Kau tantang anak itu. Kau harus mengalahkannya. Baru
harga diri perguruan kita dapat diangkat kembali."
Tetapi mPu Sidikara menjawab sambil menggelengkan
kepalanya "Tidak guru. Aku tidak sanggup. Sebelum mPu
Kamenjangan, aku telah bertempur melawannya. Juga atas
permintaan mPu Kamenjangan. Ternyata aku tidak dapat
mengimbangi ilmunya. Ketika kemudian mPu Kamenjangan
ingin melakukannya sendiri, aku sudah m emperingatkannya.
Tetapi mPu Kamenjangan tetap melakukannya. Hampir saja
mPu Kamenjangan terbunuh dalam pertempuran itu."
"Kenapa kau justru berbuat sebaliknya ketika kedua orang
kawan Kamenjangan itu berusahamembalas sakit hati atas
kekalahan Kamenjangan. Justru kau mengancam untuk
berdiri dipihak anak muda itu. "
"Aku justru ingin mempertahankan harga diri perguruan
kita. Apa kata orang bahwa perguruan kita baru dapat
mengalahkan lawannya setelah mendapat bantuan dari orang
lain " Karena itu, maka aku mencegah pertempuran y ang akan
terjadi antara kedua orang kawan mPu Kamenjangan melawan
Mahisa Pukat itu." jawab mPu Sidikara. Lalu iapun kemudian
bertanya kepada mPu Kamenjangan "Nah, mPu Kamenjangan.
Apa pendapatmu sebenarnya. Kata hati nuranimu ?"
mPu Kamenjangan menarik nafas dalam-dalam. Meskipun
agak ragu ia berkata "Aku memang sudah dikalahkannya. Aku
harus mengakui itu."
"Bagus. Besok atau sampai kapanpun aku berusaha untuk
menjumpai anak itu. Saudara-saudara seperguruan kalian
masih mempunyai kebesaran jiwa untuk membela nama baik
perguruan kalian. Mereka akan dengan dada tengadah
menghadapi Pelay an Dalam y ang angkuh itu."
Namun tiba-tiba muridnya y ang gemuk itu b erkata "Guru
Jika mPu Kamenjangan dan mPu Sidikara saja tidak dapat
mengatasi ilmunya, apalagi kami."
"Diam kau " bentak gurunya "bahwa Kamenjangan
kehilangan kedudukannya di Kasatrian itu berarti bahwa ilmu
perguruan kita tidak akan dapat menjadi ilmu yang paling
berpengaruh di Singasari. Jika ada diantara kita y ang m asih
tetap berada di Kasatrian maka para bangsawan Singasari
akan m elandasi kekuatan m ereka dalam kedudukan mereka
dengan ilmu dari-perguruan kita. "
"Tetapi itu sudah terlepas" berkata mPu Kamenjangan
"apakah dengan menantang dan berkelahi melawan Pelay an
Dalam itu, kedudukan di Kasatrian dapat kita miliki kembali?"
'"Kau memang bodoh. Kita jadikan Pelay an Dalam itu
taruhan. Kita akan menghidupinya jika ia mampu
04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menempatkan kau kembali di Kasatrian. " jawab mPu
Kamenjangan. "Tetapi y ang menentukan kedudukanku di Kasatrian bukan
Pelay an Dalam itu. Tetapi Pangeran Kuda Pratama." jawab
mPu Kamenjangan. "Tetapi bukankah Pelay an Dalam itu punya mulut. Nah,
biar mulutnya itu dipergunakannya untuk menyampaikan hal
itu kepada Pangeran Kuda Pratama."
mPu Kamenjangan menarik nafas dalam-dalam. Namun
katanya kemudian "Guru. Jika guru mau mendengarkan katakataku,
sudahlah. Kita lupakan saja kedudukan di Kasatrian
itu. Aku sudah m erasa bersalah. Jika guru ingin menghukum
aku, aku sama sekali tidak berkeberatan."
"Aku tidak mau menjadi putus-a sa seperti itu." jawab
gurunya "aku harus mendapatkan apa y ang aku inginkan."
"Tetapi" mPu Kamenjangan memotong "aku tidak mengira
bahwa guru akan bersikap demikian. Selama ini aku ju stru
mencemaskan guru, justru guru akan sangat marah kepadaku
karena ketamakanku di Kasatrian. Setelah aku mendapat
kedudukan di Ka satrian, aku menjadi lupa diri dan melupakan
semua pesan guru." "Tutup mulutmu Kamenjangan. Kau sudah m engusutkan
nama perguruan kita, sekarang kau masih juga ingin
menentang sikapku. Aku sudah mengambil keputusan.
Meskipun kalian menganggap aku berubah, tetapi niatku
untuk menguasai landasan ilmu bagi para bangsawan di
Singasari tidak akan berubah. Satu cara untuk menjadikan
perguruan kita menjadi perguruan y ang paling berpengaruh di
Singasari." mPu Kamenjangan memang terdiam. Namun mPu
Sidikaralah y ang b erkata "Guru. Biarlah aku berterus-terang.
Tidak ada seorangpun diantara kita y ang akan mampu
mengalahkan anak muda itu."
"Aku tidak akan minta salah seorang dari antara kalian
untuk berperang tanding. Kita akan menangkapnya dan
memaksanya untuk m enempatkan kembali Kamenjangan di
Ka satrian. Aku percaya bahwa orang-orang seperti itu akan
memegang janjinya. "
"Satu hal y ang mustahil" berkata mPu Kamenjangan.
"Kalian m emang orang-orang dungu, bodoh dan pengecut.
Tetapi kalian harus mencobanya. Kita tidak mempunyai jalan
lain. Kita akan menunggu ditempat yang terbiasa baginya
untuk mengadakan latihan di luar istana, bahkan diluar
Kotaraja. Kemudian kita akan menangkapnya dan
memaksanya untuk berjanji. Jika kalian semuanya tidak
mampu menghadapinya, biarlah aku turut campur. "
"Guru" berkata mPu Kamenjangan "aku benar-benar tidak
mengerti sikap guru sekarang."
< sepertinya ada bagian cerita yang terlewat di buku
aslinya> Dengan demikian maka Mahisa Pukatpun m erasa bahwa
persoalan saudaranya y ang tidak bersedia menjalani tugas di
Ka satrian itu sudah selesai. Mahisa Pukat merasa bahwa ia
telah menawarkannya, sehingga penolakan saudaranya itu
akan dapat m eny inggung perasaan Pangeran Kuda Pratama.
Namun ternyata tidak. Pangeran Kuda Pratama dapat
mengerti sepenuhnya kenapa Mahisa Murti tidak dapat
mengabdikan diriny a di Istana Singasari.
Selain daripada itu, maka Mahisa Pukat ingin mengajak
Mahisa Murti untuk pergi ke lereng bukit, ketika semua
keduanya telah berada di serambi sebelum tidur, maka
MahisaPukat telah menceriterakan persoalan y ang ternyata
kemudian timbul karena kehadiran guru mPu Kamenjangan
itu. "Baiklah " berkata Mahisa Murti "besok aku ikut pergi ke
lereng bukit" jawab Mahisa Murti
Malam itu, Mahisa Murti telah tidur di bilik yang di
peruntukkan para Pelay an Dalam. Karena ada beberapa orang
yang bertugas malam itu, maka Mahisa Murti dapat
menempati pembaringannya malam itu.
Pagi-pagi benar Mahisa Pukat dan Mahisa Murti telah
bersih Mereka berdua telah meninggalkan Kasatrian. Tetapi
Mahisa Pukat tidak mengajak seorangpun dari para
bangsawan muda itu pergi ber samanya. Mahisa Pukat hanya
memberikan pesan kepada dua orang Pelay an ditunjuk untuk
membantu dan melayani para bangsawan muda itu berlatih di
pagi hari. Para bangsawan muda itu memang menjadi heran, tidak
seorangpun diantara m ereka y ang m engetahui, kemana guru
mereka itu pergi, bahkan kedua bangsawan remaja y ang sejak
semula menjadi murid Mahisa Pukat itupun tidak tahu
kemana perginya Mahisa Pukat dan saudaranya y ang semalam
bermalam di Kasatrian itu."
Dalam pada itu, Mahisa Pukat yang meninggalkan
Ka satrian memang memenuhi pemerintah Pangeran Kuda
Pratama. Jika ia akan pergi menemui guru mPu Kamenjangan,
sebaiknya ia tidak m embawa seorangpun dari antara muridkmuridnya
di Kasatrian. Demikianlah sebelum matahari terbit, Mahisa Pukat dan
Mahisa Murti telah berada di lereng bukit. Sebenarnyalah
mereka mengetahui bahwa beberapa pasang mata
mengikutinya saat mereka memanjat lereng y ang tidak terlalu
terjal dan tidak terlalu tinggi itu menuju ke tempat yang
terbiasa dipergunakan oleh Mahisa Pukat untuk berlatih
bersama murid-muridnya di Ka satrian.
"Mereka mengikuti kita " berkata Mahisa Murti.
"Ya " jawab Mahisa Pukat "kita akan menunggu mereka
sampai mereka menampakkan diri. "
Mahisa Murti mengangguk. Keduanya berlari-lari kecil
sebagaimana sering dilakukan oleh Mahisa Pukat dan muridmuridnya,
para bangsawan muda di Kasatrian.
Ketika keduanya berada di tempat y ang datar di lambung
pembukitan itu, maka tiba-tiba saja orang yang mereka kenal
sebagai guru mPu Kamenjangan itu langsung berjalan
bergegas menemui mereka. Tanpa memperkenalkan diri,
orang itu langsung menuding kedua orang muda itu sambil
berkata "He, bukankah kalian anak-anak y ang aku temui di
kedai dalam perjalanan kalian ke Singasari itu?"
"Ya Ki Sanak " jawab Mahisa Pukat sambil m emperhatikan
beberapa orang yang kemudian datang m engikuti guru mPu
Kamenjangan. Diantara mereka terdapat mPu Kamenjangan
dan mPu Sidikara. "Jadi kalian mendengar apa y ang kami katakan di kedai itu
tentang Kamenjangan dan Sidikara ?" bertanya orang itu.
"Ya. Kami mendengar semuanya. Kami tahu bagaimana Ki
Sanak meny esali sikap mPu Sidikara. Bagaimana Ki Sanak
kecewa atas kegagalan mPu Kamenjangan. Aku memang
mendengarkan apa yang Ki Sanak katakan, karena aku
langsung berkepentingan. "
"Kenapa kalian diam saja?" bertanya Orang itu.
"Jadi apa y ang harus kami perbuat" Bukankah memang
sebaiknya kami tidak berbuat apa-apa saat itu ?" bertanya
Mahisa Pukat. "Kau licik. Seharusnya kalian mengaku siapa sebenarnya
kalian berdua." geram guru mPu Kamenjangan itu.
"Untuk apa " Bukankah dengan demikian hanya akan
menimbulkan perselisihan " Apa pula gunanya perselisihan
itu. Karena kami menganggap bahwa perselisihan diantara
kita tidak ada gunanya, maka kami memutuskan untuk
berdiam diri saja " "Tetapi benih-benih perselisihan memang sudah ada.
Bukankah akhirnya kitapun akan berselisih dan m enentukan
tataran kemampuan kita" Seandainya kau berani mengaku
saat itu, maka persoalan kita sudah selesai. " berkata orang itu.
Tetapi Mahisa Pukat justru tersenyum sambil berkata
"Aku ingin Ki Sanak lebih dahulu bertemu dengan mPu
Kamenjangan dan mPu Sidikara. Mereka akan dapat
memberikan pertimbangan kepadaKi Sanak, apa yang
sebenarnya yang telah terjadi. Agaknya Ki Sanak telah
mendengarnya dari orang lain yang tidak langsung
berkepentingan." "Aku tahu Kau bermaksud agar Kamenjangan dan Sidikara
berusaha membatalkan niatku untuk memaksamu agar
Kamenjangan ditempatkan kembali di Kasatrian" geram guru
mPu Kamenjangan. "Ya " jawab Mahisa Pukat "karena hal itu tidak akan
mungkin dilakukan. Pangeran Kuda Pratamalah yang dapat
menentukan hal itu. Ia bukan orang y ang m udah merubah
keputusannya. " "Tetapi jika perubahan itu disertai dengan alasan-alasan
yang masuk akal, maka Pangeran tua itu tentu akan
menerimanya. " berkata guru mPu Kamenjangan dengan nada
tinggi. Tetapi Mahisa Pukat menggeleng. Katanya "Aku tidak akan
mampu meyakinkannya. "
"Anak muda" berkata guru mPu Kamenjangan itu "kami
datang memang untuk menangkapmu. Kami akan
memaksamu untuk mengusahakan agar Kamenjangan dapat
kembali memangku jabatannya di Kasatrian. Dengan demikian
maka barulah persoalan diantara kita selesai. Aku memang
tidak akan menuntut apapun juga kecuali kedudukan itu.
Meskipun dengan kehadiranmu, maka pengaruh ilmu
perguruanku atas para bangsawan di Singasari tidak akan
mutlak lagi." "Bukankah sejak aku belum ada di Kasatrian pengaruh ilmu
mPu Kamenjangan juga tidak mutlak" Bukankah disini ada
dua orang lain y ang m enjadi guru para bangsawan muda di
Ka satrian?" sahut Mahisa Pukat.
"Tetapi mereka tidak berarti apa -apa. Mereka berada
dibawah pengaruh Kamenjangan. Kedua orang itu tidak lebih
dari sekedar membantu Kamenjangan membimbing para
bangsawan muda di Kasatrian ini. Tetapi landasan ilmu yang
diberikan kepada para bangsawan muda itu adalah landasan
ilmu Kamenjangan." Namun Mahisa Pukat tetap menggeleng. Katanya "Aku
tidak sanggup Ki Sanak."
"Aku tidak bertanya kau sanggup atau tidak sanggup. Tetapi
aku berniat memaksamu. Jika kau berkeras tidak mau
membantu Kamenjangan kembali ke Ka satrian, maka
sekarang aku akan menangkapmu dan apabila perlu
membunuhmu." "Sampai seberapa jauh batas apabila perlu yang Ki Sanak
maksudkan?" bertanya Mahisa Pukat.
"Per setan dengan pertanyaanmu itu. Katakan sekarang
bahwa kau bersedia untuk membantuku" bentak guru mPu
amenjangan itu. Tetapi Mahisa Pukat menggeleng. Katanya "Tidak, mPu.
aku tidak dapat membantu."
"Jika demikian aku tiarus memaksamu. Kami akan
menangkapmu dan memaksamu untuk menerima
keinginanku, membantu agar Kamenjangan dapat diterima
lagi di Kasatrian." Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Jadi
Ki sanak akan memaksakan perselisihan?"
"Itu salahmu. Jika kau tidak mengelakkan niatku, maka
tidak akan ada perselisihan itu."
"Guru" berkata mPu Kamenjangan "jika demikian maka
baiklah aku berterus terang. Aku tidak akan bersedia untuk
bertugas kembali di Kasatrian. Harga diriku sudah larut. Aku
tidak akan mempunyai wibawa lagi atas murid-muridku."
"Pengecut kau" bentak gurunya marah "kenapa kau katakan
bahwa aku berubah sekarang" Ternyata bukan aku yang
berubah, tetapi kalian. Terutama Kamenjangan. Kau y ang aku
kira akan dapat melangsungkan kebesaran nama perguruan
kita, ternyata kau tidak lebih dari seorang pengecut. "
mPu Kamenjangan tidak menjawab. Ia tahu bahwa gurunya
benar-benar marah. Tetapi ia memang sudah berkeputusan
tidak akan kembali ke Kasatrian.
Karena mPu Kemenjangan tidak menjawab, maka gurunya
itupun berkata "Tetapi jika kau bersikeras menolak
Kamenjangan, maka aku perintahkan kepada Sidikara untuk
menggantikan kedudukan Kamenjangan di Kasatrian."
< sepertinya ada bagian dialog yang terlewat "
> "Jangan dengarkan kata orang" bentak guru mPu
Kamenjangan "bagiku apapun kata orang, tujuan utama
perguruan kita tidak boleh terlepas dari tangan."
"Tetapi kita hidup diantara orang-orang" jawab mPu
Sidikara meskipun agak ragu.
"Orang akan membicarakan kita sesuai dengan sudut
pandang dan kepentingan mereka. Mungkin seseorang akan
mengatakan bahwa kau tidak tahu malu. Tetapi orang lain
akan memujimu sebagai pahlawan y ang telah meny elamatkan
nama perguruanmu. Meskipun saudara seperguruannya
terusir, tetapi kau ternyata mampu menggantikannya."
berkata gurunya lantang. "Sementara itu, apa kata hati nurani kita sendiri?" bertanya
mPu Sidikara. "Nah, itu tergantung kepadamu. Apakah kau seorang y ang
berjiwa besar atau tidak lebih dari seekor tikus kecil sakitsakitan.
Nurani seseorang memang tergantung pada sikap
jiwani serta pandangan hidupnya. Itulah sebabnya maka setiap
orang mempunyai pendapat, sikap dan tanggapan yang
berbeda terhadap satu persoalan."
"Tetapi bukankah ada keselarasan sikap y ang bersifat
umum" Bukankah berdasarkan atas sikap itu, maka dalam
kehidupan ini terdapat keselarasan dan keseimbangan?"
bertanya mPu Sidikara. "Itu adalah sikap batang ilalang yang merunduk kemana
arah angin bertiup. Tidak. Kau dan semua murid-muridku
tidak boleh bersikap sebagaimana batang ilalang. Kalian harus
tegak dan tegar pada sikap y ang telah kalian pilih sendiri."
beekata guru mPu Kamenjangan itu.
"Jika itu yang guru maksud, maka aku sudah m enyatakan
sikapku. Agaknya sikap itu bukan sikap batang ilalang
meskipun angin prahara akan bertiup," jawab mPu Sidikara.
"Kau memang anak iblis. Jika demikian, aku akan
melupakan kalian berdua" geram guru mPu Kamenjangan itu.
< Ada bagian cerita di buku aslinya terloncat >
Dalam pada itu, saudara-saudara seperguruan mPu
04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kamenjangan dan mPu Sidikara itu memang tidak dapat
berbuat lain kecuali bertempur dengan sungguh-sungguh.
Gurunya seakan-akan melihat gejolak jantung mereka jika
mereka menjadi ragu-ragu. Semakin keras gurunya berteriak
maka pertempuran itupun menjadi semakin sengit.
Meskipun masih berada dibawah tataran mPu Kamenjang
an dan mPu Sidikara, namun berlima mereka m enjadi sangat
berbahaya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang harus
mengerahkan tenaga mereka untuk melindungi diri, sehingga
kulit daging Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m ulai merasa
ny eri. Namun dalam pada itu, mPu Sidikara menarik nafas
dalam-dalam. Ia mengerti apa y ang telah terjadi di arena.
Karena itu di dalam hati ia bergumam "Anak-anak muda yang
hatinya bagaikan lautan. Mereka memiliki kesabaran yang
tinggi meskipun mereka menghadapi bahaya y ang mengancam
keselamatan jiwa mereka."
mPu Sidikara yang pernah dikalahkan oleh Mahisa Pukat
dengan kekuatan ilmu yang mampu menghisap kekuatan
lawannya itu segera menyadari, bahwa kedua orang anak
muda itu telah m engetrapkan ilmu itu pula. Keduanya lebih
banyak membentur setiap serangan dengan serangan. Bahkan
serangan-serangan mereka berdua nampaknya bukannya
serangan y ang berbahaya. Seakan-akan keduanya asal saja
dapat mengenai lawannya disasaran yang manapun juga.
"Ternyata saudara laki -laki Mahisa Pukat itu memiliki
kemampuan dan ilmu setingkat dengan Mahisa Pukat.
Keduanya sama sekali tidak dapat dibedakan. Bukan saja
unsur -unsur gerak y ang m ereka kuasai, t etapi juga sikap dan
wataknya. "berkata mPu Sidikara didalam hatinya.
Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, pertempuran
itupun mulai menarik perhatian guru mPu Sidikara. Ia melihat
perubahan y ang t erlalu cepat terjadi pada m urid-muridnya.
Mereka y ang sudah terbiasa berlatih dengan mengerahkan
segenap kekuatan dan tenaga mereka di dalam dan juga diluar
sanggar, tentu mempunyai ketahanan tubuh y ang besar.
Tetapi melawan dua orang anak muda itu, saudara-saudara
seperguruan mPu Kamenjagan dan mPu Sidikara itu dengan
cepat mengalami kesulitan. Mereka mulai nampak letih.
Tenaga mereka dengan cepat pula m enyusut. Gerak mereka
tidak lagi cepat dan kuat.
Meskipun kelima orang itu berusaha untukmengerahkan
segenap kekuatan dan kemampuan mereka, namun
rasa "rasanya urat-urat darah mereka mulai membeku.
Jantung mereka seolah-olah menjadi semakin lambat berdetak
di dalam dadanya. "He, mony et-mony ek kecil" t eriak guru mPu Kamenjangan
"ada apa dengan kalian" Kenapa kalian tiba -tiba menjadi
seperti kehabisan darah, sementara kalian semuanya m asih
belum terluka?" Saudara-saudara seperguruan mPu Kamenjangan itu
memang merasa heran tentang diri mereka sendiri. Betapapun
mereka mengerahkan tenaga, namun rasa-rasanya tulangtulang
mereka menjadi seberat batang-batang timah.
Gurunya menjadi semakin marah melihat keadaan itu.
Dengaii lantang berteriak "Apa boleh buat, Hancurkan mereka
dengan ilmu pamungkas kalian."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendengar perintah itu,
karena itu, maka mereka berdua telah mengerahkan
kemampuan mereka. Serangan-serangan mereka menjadi semakin cepat
sehingga sentuhan-sentuhan pada tubuh lawan-lawan mereka
pun menjadi semakin sering pula.
Dalam pada itu, kelima orang saudara seperguruan mPu
Kamenjangan itupun mendengar perintah gurunya. Tetapi
rasa-rasanya mereka tidak sanggup lagi mengerahkannya.
Tenaga mereka telah tersusut sampai batas yang tidak
memungkinkan mereka untuk melepaskan kekuatan
pamungkas mereka. Bahkan orang y ang gemuk itu kadangkadang
telah menjadi goyah. Keseimbangannya tidak cukup
mantap. Guru mPu Kamenjangan itu terlambat mengetahui apa yang telah
terjadi. Baru kemudian dengan
marah ia berteriak "Iblis y ang licik.
Kal ian pergunakan ilmu y ang tidak
pantas lagi dipergunakan sekarang
ini. Kau curi tenaga dan kemampuan
murid-muridku dengan ilmu kalian
yang sangat licik itu."
"Apakah yang Ki Sanak
maksudkan dengan licik itu" Apakah
benar kami telah berbuat licik
menghadapi lima orang murid Ki
Sanak itu?" sahut Mahisa Pukat.
"Per setan" geram guru mPu Kamenjangan itu "jika
demikian, maka biarlah aku sendiri yang akan m enghadapi
kalian berdua. Aku tidak takut dengan ilmu iblismu itu."
Kepada murid-muridnya iapun berteriak "Minggir, atau
kalian akan terbakar oleh ilmu puncakku."
Mahisa Pukat dan Mahisa Murti termangu-mangu sejenak.
Mahisa Murti membawa pedang pusakanya. Tetapi Mahisa
Pukat tidak, karena selama ini b ertugas di Ka satrian sebagai
Pelay an Dalam ia mengenakan pedang keprajuritan
sebagaimana y ang dipergunakan oleh semua pelay an dalam.
Karena itu, maka Mahisa Murtipun tidak berniat
mempergunakan pedangnya untuk melontarkan i lmunya jika
bersama-sama dengan Mahisa Pukat ia harus melontarkan
ilmunya untuk m elawan ilmu guru mPu Kamenjangan yang
tentu sangat dahsy at itu.
Sementara itu, tiba -tiba pula hampir berbareng mPu
Kamenjangan dan mPu Sidikara meloncat maju sambil
berkata "Jangan guru. Mereka masih terlalu muda untuk melawan
ilmu puncak yang akan guru lontarkan."
Tetapi guru mPu Kamenjangan itu telah menjadi sangat
marah. Karena itu, maka iapun berteriak "Minggir. Atau kalian
Pendekar Pemanah Rajawali 37 The True Of My Life Karya Nyimas Humairoh Dewi Dua Musim 1