Ceritasilat Novel Online

Hijaunya Lembah Hijaunya 32

04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 32


Mahendra dan mPu Sidikara berpandangan sejenak.
Dengan nada berat mPu Sidikara berbisik "Orang yang
berkuda dibelakang orang y ang berbicara itulah yang kita
temui sedang merampok uang itu."
"Ya " Mahendra mengangguk-angguk "mungkin orang itu
menjadi dendam." "Baiklah. Biarlah aku y ang menerimanya" berkata mPu
Sidikara yang kemudian melangkah maju melekat bibir pagar
dipanggungan itu. Lalu katanya kepada orang-orang berkuda
itu "Aku mengerti siapakah yang kalian maksud. Apakah
kalian berniat mempersoalkannya lagi ?"
"Tidak Ki Sanak. Tetapi kami ingin bertemu dan berbicara."
berkata pemimpin sekelompok orang-orang berkuda itu.
mPu Sidikarapun kemudistn berpaling kepada Mahisa
Murti. Ia adalah pemimpin Padepokan itu. Karena itu, maka ia
harus m endapat keputusan dari Mahisa Murti, apakah orangorang
itu diperkenankan masuk atau tidak. Jika tidak, maka ia
akan menerima orang-orang itu diluar padepokan.
Namun Mahisa Murti y ang tanggap itupun berkata "Biarlah
mereka masuk mPu. Kita akan berbicara dengan mereka.
Namun sementara itu, m aka para cantrik dari Padepokan
Bajra Seta telah bersiap. Meskipun mereka masih ter sebar,
namun jika terjadi sesuatu, maka m ereka akan dengan cepat
bergerak. Ketika Mahisa Murti melihat Sambega ada diantara para
cantrik dan berdiri didekat Wantilan, maka iapun segera
teringat saat-saat saudara seperguruan Sambega yang sedang
memburunya, sehingga ia harus ikut campur pula.
Dengan isyarat, maka Mahisa Murti m emerintahkan para
cantrik yang ada di gerbang untuk membuka pintunya.
Demikian pintu terbuka, maka Mahisa Murti yang masih
ada dipanggungan itupun berkata "Silahkan masuk Ki Sanak.
Kita akan dapat berbicara lebih baik."
Sekelompok orang-orang berkuda itupun kemudian telah
memasuki pintu gerbang meskipun agak ragu. Demikian orang
terakhir melewati pintu, maka pintu gerbang itupun telah
ditutup kembali. Orang-orang berkuda itu termangu-mangu sejenak. Ketika
mereka melihat isi Padepokan Bajra Seta, maka jantung
merekapun menjadi semakin berdebar-debar. Di halaman itu
para cantrik dalam kelompok-kelompok kecil ter sebar
dibeberapa tempat. Namun nampak betapa mereka bersiap
sepenuhnya menghadapi segala kemungkinan.
Sementara itu, Mahisa Murti, mPu Sidikara dan
Mahendrapun telah turun pula dari atas panggung.
Suasanapun menjadi tegang. Orang-orang berkuda itu tidak
dapat mengkesampingkan kenyataan yang mereka hadapi,
bahwa Padepokan Bajra Seta memang sebuah padepokan yang
besar dan kuat. Seandainya mereka ingin memaksakan
kehendak mereka untuk mengambil orang-orang y ang mereka
maksud, m ereka tentu akan menghadapi k esulitan. Meskipun
ada diantara orang -orang berkuda itu orang -orang yang
berilmu tinggi. Namun menghadapi keny ataan y ang ada di
Pa depokan Seta, maka mereka harus berpikir ulang.
Orang y ang bertubuh sedang dan beberapa orang y ang
berilmu tinggi diantara orang-orang berkuda itupun telah
menyerahkan kuda mereka kepada kawan-kawannya yang
lain, sementara mereka melangkah beberapa langkah maju.
Mahisa Murti, Mahendra dan mPu Sidikarapun telah
melangkah mendekati mereka pula. Dengan nada rendah mPu
Sidikara bertanya kepada orang yang bertubuh kekar "Kau cari
kami berdua " Apakah kau masih merasa mempunyai
persoalan dengan kami " Bukankah kami sama sekali tidak
merampas uang hasil rampokanmu itu ?"
Orang bertubuh kekar itu mengerutkan dahinya.
Jantungnya serasa berdetak semakin cepat. Namun yang
menjawab adalah orang y ang kekurus-kurusan itu "Tidak Ki
Sanak. Seandainya kami m asih mempunyai persoalan, sama
sekali tidak ingin membuat kesalah-pahaman baru. Ju stru
kami datang untuk menjernihkan kesalah pahaman itu."
"Apakah kalian bermaksud baik atau ingin menantang kami
?" bertanya mPu Sidikara.
Orang bertubuh kekurus-kurusan itu menarik nafas dalamdalam.
Ia semakin menyadari, bahwa sulit untuk memaksakan
kehendak mereka terhadap orang-orang padepokan itu.
Untunglah bahwa mereka sudah memakai cara y ang lain
untuk melakukan pendekatan dengan seisi padepokan itu.
Dengan nada rendah orang yang bertubuh kekurus-kurusan
itu berdesis "Kami bermaksud baik Ki Sanak. Justru kami
ingin mohon maaf atas kesalahan yang pernah kami buat."
mPu Sidikara termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
Mahisa Murtilah yang mempersilahkan "Jika demikian,
marilah. Kita duduk dipendapa. Kita dapat b erbicara dengan
cara yang lebih baik."
Orang-orang itu tidak menolak. Beberapa orang diantara
mereka mengikuti Mahisa Murti, Mahendra dan mPu Sidikara
naik kependapa untuk dapat berbicara dengan lebih baik.
Sementara itu beberapa orang yang lain, masih tetap berdiri di
halaman sambil memegangi kuda-kuda mereka, termasuk
mereka y ang naik ke pendapa.
Demikian orang -orang itu naik kependapa sementara yang
lain masih berdiri di halaman, maka terjadi pula pergeser
kelompok-kelompok cantrik yang ada di halaman. Wantilan
dan Sambega bergeser kedekat pendapa, sementara kelompok
yang lain berdiri semakin dekat dengan pintu regol yang
tertutup. Beberapa orang cantrik masih tetap berada
dipanggungan! Sedangkan yang lain lagi berdiri disudut
bangunan induk Padepokan Bajra Seta.
Mahisa Semupun kemudian telah melangkah mendekati
orang-orang berkuda y ang masih berada di halaman bersama
dengan tiga orang cantrik. Dengan ramah Mahisa Semu
bertanya kepada mereka "Ki Sanak, kenapa Ki Sanak tidak ikut
naik kependapa " Bukankah Ki Sanak dapat ikut berbincang,
atau setidak-tidaknya dapat duduk ditempat y ang lebih
hangat." Orang-orang itu memang merasa agak canggung mendapat
pertanyaan demikian. Sebenarnyalah m ereka sedang berjagajaga
menghadapi segala kemungkinan. Jika pembicaraan
diantara mereka yang duduk dipendapa itu tidak menemukan
titik temu atau bahkan bersiap untuk segera bertindak. Namun
bagaimanapun juga mereka tidak dapat menutup mata, betapa
para cantrik padepokan itu bersikap.
Karena itu, maka seorang diantara mereka menjawab
"Terima kasih Ki Sanak. Biar kami disini saja menjaga
kuda-kuda kami". "Ku da-kuda itu dapat diikat dipatok-patok y ang sudah kami
sediakan dipinggir halaman itu Ki Sanak" berkata Mahisa
Semu. "Terima kasih. Biarlah kami disini " jawab orang itu.
Namun Mahisa Semu masih berkata selanjutnya "Tempat
ini adalah tempat tertutup Ki Sanak. Tidak akan ada
kemungkinan bahwa kuda-kuda itu akan melarikan diri
apalagi hilang diambil orang."
"Tentu. Tentu. Kami tahu itu Ki Sanak" jawab orang itu.
"Atau kalian sudah terbiasa terlalu berhati-hati menghadapi
perkembangan persoalan ?" bertanya Mahisa Semu pula.
Wajah orang itu m enegang sejenak. Anak itu masih terlalu
muda. Namun sikapnya nampak meyakinkan.
Karena itu, maka orang-orang itu harus menahan diri.
Seorang yang lain justru telah menyahut "Ki Sanak. Kami tidak
akan t erlalu lama berada disini. Karena itu biarlah kami
menunggu disini saja."
Mahisa Semu mengangguk-angguk kecil. Katanya "Jika itu
yang Ki Sanak kehendaki, silahkan."
Orang-orang itu tidak menjawab, sementara Mahisa Semu
melangkah meninggalkan orang itu. Tetapi tidak terlalu jauh.
Dipendapa, orang yang kekurus-kurusan itu sebagaimana
yang m ereka sepakati sebelum m ereka memasuki Padepokan
itu, telah menyatakan peny esalannya atas perbuatan orang
yang bertubuh kekar itu. Karena itu, muka iapun kemudian
berkata kepada orang yang bertubuh kekar itu "Kau harus
minta maaf" Orang yang bertubuh kekar itu m emang tidak mempunyai
pilihan lain. Karena itu, maka betapapun beratnya, tetapi
iapun kemudian memandangi mPu Sidikara dan Mahendra
berganti-ganti "Kami mencari
kalian untuk minta maaf"
"Kaulah y ang mula-mula harus
minta maaf" berkata pemimpin
kelompok itu "kau sudah
melakukan perbuatan y ang tercela
sehingga menimbulkan kesalahpahaman
dengan orang-orang Pa depokan Bajra Seta."
Orang bertubuh kekar itu menarik nafas dalam-dalam.
Namun kemudian iapun berkata
"Aku mohon maaf. Waktu itu kami,
maksudku aku dan orang-orang
yang bersamaku waktu itu, bukan kami y ang datang sekarang
ini, telah m elakukan satu perbuatan y ang justru m erugikan
nama baik kam i sendiri."
mPu Sidikara termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
iapun bertanya "Kenapa kau m erasa bahwa tindakanmu itu
telah merugikan nama baikmu sendiri ?"
Orang bertubuh kekar itupun kemudian berpaling kepada
orang y ang kekurus-kurusan itu sambil berkata "Aku telah
mendapat tegoran dari para pemimpinku."
"Ki Sanak" berkata orang yang bertubuh kekurus-kurusan
itu "Orang ini telah melakukan pemerasan dan bahkan
perampokan dengan mengatas namakan perjuangan yang
sedang kami lakukan. Mungkin maksudnya baik. Ia ingin
dengan cepat dapat mengumpulkan bekal yang m endukung
perjuangan kami. Tetapi caranya justru sangat tercela. Dengan
demikian orang-orang terutama y ang langsung menjadi
korban, tidak akan mendukung perjuangan kami ."
"Apakah sebenarnya yang kalian perjuangkan ?" bertanya
Mahendra. "Kami adalah sekelompok orang y ang menyadari, betapa
pincangnya pemerintahan Singasari sekarang ini. Terutama
dalam hubungannya dengan Kediri. Karena itu, m aka kami
ingin mengembalikan keadaan seperti sebelum Tumapel
merampas kekuasaan Kediri dan kemudian mendirikan
Singasari." jawab orang yang kekurus-kurusan itu.
"Jadi itukah yang kalian sebut sebagai satu perjuangan ?"
bertanya mPu Sidikara. "Sebenarnya kami tidak sekedar berjuang untuk
mengembalikan keadaan sebagaimana sebelum Singasari
berdiri. Tetapi kami juga ingin mengembalikan hak yang
pernah dirampas oleh S ingasari. Terutama hak yang luas dari
padepokan-padepokan y ang ada di Kediri. Seperti halnya
Pa depokan Bajra Seta y ang besar ini, pada masa kejayaan
Kediri, padepokan seperti ini akan mendapat dukungan
sepenuhnya dari istana. Bahkan padepokan Bajra Seta tentu
akan mendapat bantuan y ang besar sehingga padepokan ini
akan berkembang dengan pesatnya. Nah, Ki Sanak. Jika
kekuasaan Kediri pulih kembali, maka aku berani m enjamin
bahwa Padepokan Bajra Seta akan dapat menjadi padepokan
yang jauh lebih besar dari sekarang serta memiliki berbagai
macam perlengkapan y ang lebih memadai." berkata pemimpin
kelompok itu. Tetapi orang itu terkejut ketika Mahendra bertanya "Ki
Sanak. Siapakah kau sebenarnya " Apakah kedudukanmu
sehingga kau berani memberikan janji seperti itu ?" '
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
iapun menjawab "Aku adalah salah seorang Senopati dari
pasukan Kediri y ang sedang mempersiapkan pengambil alihan
kekuasaan itu ?" "Siapakah yang telah mengangkatmu " Sri Baginda di
Kediri atau siapa ?" desak Mahendra.
Namun orang itu masih menjawab "Tidak. Tentu tidak.
Tetapi Ki Sanak tidak perlu mengetahui, siapakah y ang telah
mengangkat aku menjadi Senapati. Namun y ang jela s, aku
mempunyai kekuasaan y ang cukup besar sebagaimana seorang
Senapati perang y ang menguasai satu wilayah tertentu yang
luas." "Dan wilayah kuasamu sampai ke lingkungan ini y ang
justru berada di luar wilayah Kediri ?" bertanya Mahendra
pula. "Kua saku meliputi daerah y ang luas sekali. Mungkin orang
menganggap bahwa daerah kuasaku berada diluar daerah
Kediri. Tetapi tentu Kediri sekarang y ang kau maksud."
"Sudahlah Ki Sanak" berkata Mahendra "lupakanlah itu.
Sebaiknya kita tidak terlalu banyak berharap. Kami sudah
puas dengan keadaan kami sekarang. Padepokan kami sudah
bergerak maju dengan pesat menurut penilaian kami. Karena
itu, biarlah kami berjalan sebagaimana sekarang."
"Ki Sanak" berkata orang yang kekurus-kurusan itu
"mungkin para pemimpin padepokan ini sekarang berpijak
pada sikap sebagaimana kau katakan. Tetapi kenyataan akan
berubah di daerah ini. Kalian harus mempunyai pandangan
yang jauh kedepan. Langkah yang cepat y ang diambil oleh
para pemimpin di Kediri harus kalian perhitungkan. "
"Terima kasih atas perhatian kalian terhadap Padepokan
Bajra Seta ini. Tetapi kami mohon maaf, bahwa kami tidak
dapat berbuat apa-apa." desis Mahendra.
Orang yang kekurus-kurusan itu menarik nafas dalamdalam.
Katanya "Pikirkan untuk bekerja bersama kami Ki
Sanak. Kami tidak akan minta sesuatu dari kalian. Tetapi kami
ingin meyakinkan kalian bahwa masa depan kalian akan
menjadi semakin cerah."
mPu Sidikaralah yang kemudian berkata "Ki Sanak. Kami
sudah puas dengan keadaan kami sekarang. Bukan berarti
kami menolak kerja sama dengan siapapun juga. Tetapi tidak
untuk tujuan sebagaimana kalian katakan. "
Pemimpin kelompok itu mengerutkan dahinya. Namun
orang y ang bertubuh kekurus-kurusan itu masih berkata
dengan nada rendah "Ki Sanak. Kami hanya menawarkan
kemungkinan-kemungkinan. Semuanya terserah kepada Ki


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sanak. Mungkin saat ini kalian masih belum sempat
memikirkan kesempatan yang terbuka dimasa -masa y ang akan
datang bagi padepokan kalian. Namun kami tidak menutup
kemungkinan bahwa pada suatu saat Ki Sanak akan
menyediakan diri bekerja bersama kami. Tentu saja dengan
sy arat-syarat y ang kita bicarakan bersama. Mungkin kalian
mempunyai sy arat-syarat tertentu untuk dapat menerima
uluran tangan kami."
Mahendra termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya "Ki Sanak. Aku minta Ki Sanak melupakan kami.
Anggap saja bahwa kami tidak pernah kalian kenal, karena
kami tidak akan pernah dapat bekerja bersama siapapun
dengan tujuan sebagaimana y ang Ki Sanak katakan. "
"Baiklah" berkata,orang y ang kekurus-kurusan itu "kami
tidak akan memaksakan kehendak kami. Kamipun menyadari
bahwa hal itu sekarang tidak dapat kami lakukan. Tetapi sekali
lagi aku katakan, bahwa kami akan selalu membuka
kesempatan kepada Padepokan Bajra Seta untuk bekerja
bersama kami. Karena aku y akin, bahwa kalianpun akan
melihat bahwa masa depan tanah ini adalah milik Kediri."
"Terima kasih atas kesempatan y ang terbuka itu Ki Sanak."
jawab Mahendra "tetapi sekali lagi kami beritahukan, bahwa
kami bukanlah sekelompok orang y ang kalian maksudkan. "
Orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu menganggukangguk.
Sambil berpaling kepada pemimpin kelompok itu ia
berkata "Marilah. Kita tidak dapat m emaksa seseorang untuk
mempunyai dasar pertimbangan y ang sama untuk
menanggapi satu persoalan. Karena itu, maka kita harus
menghormati sikap y ang berbeda ini. Meskipun kita selalu
berharap bahwa pada suatu saat, akan terjadi pendekatan
diantara kita dan Padepokan Bajra Seta."
Pemimpin kelompok itupun mengangguk-angguk pula.
Dengan nada rendah ia menjawab "Ba iklah. Kita tinggalkan
tempat ini. Tetapi kita sudah minta m aaf atas langkah kami
yang salah sehingga menimbulkan salah paham dengan
Pa depokan Bajra Seta."
Orang-orang yang datang ke Padepokan Bajra Seta itu
memang tidak mempunyai pilihan lain. Mereka memang harus
mengakui kenyataan yang mereka jumpai di Padepokan Bajra
Seta. Ternyata padepokan itu terlalu kuat untuk dipaksa
menuruti kehendak mereka. Mereka juga tidak akan dapat
memaksa mengambil orang Padepokan Bajra Seta yang
pernah berselisih dengan orang bertubuh kekar itu.
Karena itu, maka beberapa saat kemudian, maka orangorang
y ang datang ke Padepokan Bajra Seta itu telah m inta
Mahendra, mPu Sidikara dan Mahisa Murti mengantar
mereka sampai ke regol halaman padepokan. Kawan-kawan
mereka yang menunggu dihalaman telah minta diri pula. Juga
kepada Mahisa Semu yang mendekati m ereka ketika m ereka
akan meninggalkan padepokan.
Diregol, para cantrik yang bertugas, bersiap untuk
menghadapi segala kemungkinan. Sementara para cantrik
yang diatas panggung disebelah-menyebelah gerbang tidak
melihat kelompok-kelompok lain diluar padepokan. Demikian
pula cantrik yang bertugas di sudut-sudut belakang padepokan
tidak memberikan isy arat apa-apa sehingga tidak
menimbulkan kecurigaan, bahwa kelompok orang berkuda itu
datang ber sama kelompok-kelompok y ang lain.
Sebenarnyalah bahwa kelompok itu memang tidak datang
bersama kelompok y ang lain. Ketika kemudian pintu dibuka,
maka sekelompok orang berkuda itupun segera keluar lewat
pintu gerbang. Diluar pintu orang-orang itu berhenti sejenak. Beberapa
orang sempat melambaikan tangannya kepada penghuni
padepokan itu. Kemudian, sekelompok orang itupun segera melarikan
kuda mereka memasuki gelapnya malam. Sinar-sinar onc or di
pintu gerbangpun kemudian tidak mampu lagi menggapai
orang terakhir dari orang-orang berkuda itu.
Dalam pada itu, pintu gerbang Padepokan Bajra Seta
itupun segera ditutup. Sejenak kemudian, maka Mahendra, mPu Sidikara dan
Mahisa Murti telah duduk pula diserambi. Ternyata kehadiran
orang-orang berkuda itu sangat menarik untuk
diperbincangkan. "Apakah niat mereka sebenarnya datang ke padepokan ini"
desis Mahendra "tentu tidak sekedar minta maaf."
"Memang sulit untuk ditebak" sahut mPu Sidikara "tetapi
mungkin mereka menyadari, bahwa apa yang mereka lakukan
dapat menimbulkan akibat buruk bagi kelompok itu sendiri,
sebagaimana mereka katakan. Orang-orang yang menjadi
korban tidak akan mendukung mereka dengan sepenuh hati.
Pa dahal m ereka m emerlukan dukungan bukan hanya sekedar
memberikan uang sebagaimana yang diminta. "
"Agaknya m ereka ingin memancing kesediaan kita untuk
membantu mereka " berkata Mahisa Murti "mereka bukan saja
memerlukan uang dan benda-benda berharga atau bahan
makanan dan sebagainya, bahkan tenaga manusia
sebagaimana pernah terjadi atas Kabuyutan Bumiagara."
Mahendra m engangguk-angguk, sementara Mahisa Murti
berkata "Nampaknya orang-orang y ang pernah mengalami
kegagalan itu tidak jemu-jemunya mencoba dan mencoba
lagi." "Usaha mereka agaknya memang tidak akan pernah patah "
desis mPu Sidikara. Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Satu hal
yang perlu mendapat perhatian dari Sri Maharaja. Bahkan
secara khusus. Meskipun nampaknya hubungan antara
Singasari dan Kediri berlangsung dengan baik, namun usahausaha
sebagaimana dilakukan oleh beberapa orang
bangsawan, masih saja berlangsung. Berganti-ganti orang
yang m emimpin perlawanan terhadap kemapanan hubungan
antara Singasari dan Kediri. Sampai saat-saat terakhir usaha
itu memang selalu dapat digagalkan. Tetapi bukan berarti
dapat diabaikan." Peri stiwa malam itu ternyata telah mendorong Mahisa
Murti untuk minta agar ay ahnya dan mPu Sidikara untuk
menunda keberangkatannya.
"Kenapa ?" bertanya Mahendra.
"Tidak apa-apa ay ah. Hanya sekedar untuk menenangkan
perasaan. Jika ayah dan mPu Sidikara berangkat juga besok,
maka aku akan m erasa gelisah sampai aku sempat pergi ke
Singasari untuk mey akinkan bahwa tidak terjadi sesuatu pada
ay ah dan mPu diperjalanan ke Singasari."
mPu Sidikara menarik nafas dalam-dalam sambil berkata
"Baiklah Ki Mahendra. Kita tentu tidak ingin membuat angger
Mahisa Murti selalu gelisah. Biarlah keberangkatan kita
ditunda satu hari lagi."
"Itupun aku mohon agar tiga orang cantrik diperkenankan
mengikuti perjalanan ay ah dan imjPu berdua ke Singasari.
Mereka tidak akan mengawal ayah dan mPu. Tetapi sekedar
memberikan ketenteraman dihatiku. Jika mereka kembali dua
tiga hari lagi, maka mereka akan dapat mengatakan bahwa
perjalanan ayah dan mPu selamat sampai di Singasari."
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Terbersit perasaan
bangga dihatinya atas kedua anaknya. Seperti juga Mahisa
Pukat, maka Mahisa Murtipun mencemaskannya karena ia
sudah menjadi semakin tua. Namun kesadaran akan
kecemasan anak-anaknya itulah yang membuatnya kemudian
berkata "Baiklah. Aku akan menunda perjalananku kembali ke
Singasari. Aku juga tidak berkeberatan jika kau mengirimkan
tiga orang cantrik untuk pergi bersama kami ke Singasari."
Mahisa Murti m enarik nafas dalam-dalam. Bagaimanapun
juga sebenarnya ia m erasa cemas, bahwa ayahnya dan mPu
Sidikara akan bertemu atau sengaja dicegat oleh orang-orang
yang baru saja meninggalkan Padepokan Bajra Seta. Meskipun
mungkin mereka tidak tahu bahwa kedua orang yang pernah
mereka temui diperjalanan itu akan menempuh perjalanan
kembali ke Singasari. Demikianlah, maka perjalanan Mahendra dan mPu
Sidikara telah tertunda. Sementara itu, Mahisa Murti telah
menunjuk tiga orang kepercayaannya untuk pergi bersama
ay ahnya dan mPu Sidikara kembali ke Singasari. Seorang
diantara mereka adalah Wantilan. Sedang dua orang y ang lain
adalah dua orang cantrik terbaik di padepokan itu.
Tetapi orang-orang yang datang ke Padepokan Bajra Seta
sama sekali tidak berniat mencegatnya. Mereka memang tidak
tahu bahwa dua orang yang pernah berselisih paham dengan
orang y ang bertubuh kekar itu akan kembali ke Singasari.
Apalagi orang-orang itu masih belum berputus-a sa. Mereka
masih akan mencoba untuk mendekat orang -orang padepokan
itu. Sedikit demi sedikit tanpa menyakiti hati para
pemimpinnya. Tetapi ternyata bahwa cara itu tidak saja ditrapkan pada
orang-orang Padepokan Bajra Seta. Orang yang kekuruskurusan
dan berilmu tinggi itu ternyata memiliki pikiran yang
lebih jernih dari para pemimpin kelompok orang-orang
berkuda itu. Jika mereka terbia sa melakukan kekerasan, maka
orang y ang bertubuh kekurus-kurusan itu telah mendesak
mereka untuk melakukan cara yang lain.
Dengan cermat orang itu mempelajari kegagalan-kegagalan
yang pernah terjadi dimasa -masa sebelumnya. Kekerasan
ternyata tidak banyak membawa hasil. Bahkan memancing
kebencian dan jarak yang semakin jauh dengan orang-orang
atau kelompok atau bahkan rakyat se Kabuyutan yang pernah
menjadi korban. Mungkin cara itu akan dapat memberikan hasil y ang lebih
baik. Karena itu, maka yang dilakukan oleh orang-orang y ang
mendukung usaha untuk merubah tatanan hubungan antara
Smgasan Kediri itu tidak lagi mempergunakan cara yang keras
dan kasar. Mereka mencoba membujuk, memberikan janjijanji
dan harapan bagi banyak orang.
Dalam pada itu, Mahendra dan mPu Sidikara telah
memperpanjang waktunya satu hari satu malam di Padepokan
Bajra Seta. Baru dihari berikutnya, pagi-pagi benar Mahendra
dan mPu Sidikara telah bersiap. Demikian pula tiga orang
yang akan meny ertainya pergi ke Singasari.
Menj elang fajar, maka lima orang berkuda telah siap untuk
berangkat. Mahisa Murti m elepaskan mereka dipintu gerbang
Pa depokan Bajra Seta. Dengan hati y ang berdebar-debar
Mahisa Murti melihat ayahnya yang sudah menjadi semakin
tua duduk dipunggung kudanya. Wajahnya, tubuhnya dan
bahkan ketangkasannya sudah tidak lagi sebagaimana ayahnya
beberapa tahun yang lalu. Meskipun sorot matanya serta
wajahnya y ang masih menunjukkan ketegaran jiwanya, namun
wadagnya sudah semakin tidak mendukungnya lagi.
Tetapi Mahisa Murti tidak dapat mencegah ayahnya. Ia
masih harus tetap memberikan key akinan kepada ayahnya,
bahwa hari-harinya masih tetap berarti. Bahwa ayahnya bukan
seorang yang harus diletakkan dipintu sentong tengah sebagai
hiasan saja. Sebenarnyalah Mahendra sendiri merasa, bahwa belum
waktunya baginya untuk menghabiskan sisa umurnya dengan
duduk bertopang dagu dipringgitan.
Demikianlah, maka sejenak kemudian Mahendra, mPu
Sidikara dan ketiga orang y ang meny ertainya itu sudah
berpacu menembus bulak-bulak persawahan. Mereka memacu
kudanya semakin cepat. Perjalanan y ang mereka tempuh
adalah perjalanan y ang panjang.
Ternyata apa yang dicemaskan oleh Mahisa Murti tidak
terjadi. Tidak ada gangguan sama sekali diperjalanan. Juga
saat mereka berhenti di kedai untuk beristirahat dan sekedar
minum dan makan. Dengan demikian, maka perjalanan y ang mereka tempuh
lebih cepat dari perjalanan m ereka saat mereka menuju ke
Pa depokan Bajra Seta, karena mereka t erhenti beberapa saat
diperjalanan untuk meny elesaikan per soalan y ang disebut oleh
orang-orang Kediri sebagai satu kesalah-pahaman.
Demikian Mahisa Pukat mendengar bahwa ayahnya datang,
maka iapun segera minta ijin kepada Pangeran Kuda Pratama
untuk menemuinya. "Darimana kau m engetahui bahwa ay ahmu t elah datang?"
bertanya Pangeran Kuda Pratama.
"Seorang Pelayan Dalam yang baru kembali telah melihat
ay ah dan mPu Sidikara pulang dari Padepokan Bajra Seta."
jawab Mahisa Pukat. "Bukankah ayahmu tidak akan pergi lagi ke m ana-mana?"
bertanya Pangeran Kuda Pratama.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Pangeran, ay ah sudah terlalu tua untuk menempuh
perjalanan panjang. Tetapi aku tidak dapat mencegahnya
ketika ay ah berangkat. Karena itu, demikian ay ah pulang,
rasa-rasanya ingin segera mengetahui berita keselamatannya. "
Pangeran Kuda Pratama ter senyum. Katanya "Baiklah.
Pergilah. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu atas ay ahmu
dan mPu Sidikara di perjalanan."
Demikianlah maka Mahisa Pukatpun segera pulang
kerumah ayahnya. Meskipun rumah ayahnya juga berada di
halaman istana, tetapi agak jauh menjorok kebelakang,
sementara Ka satrian berada di arah samping istana Singasari.
Ketika Mahisa Pukat naik ketangga rumahnya, maka
malampun telah turun. Dipringgitan Mahisa Pukat melihat
Wantilan dan dua orang cantrik padepokannya duduk
bersama mPu Sidikara. Tubuh mereka masih basah oleh
keringat. Sementara itu Mahendra sendiri masih berada di
dalam. Mahisa Pukat berada di rumah
ay ahnya sampai jauh malam.
Banyak y ang diceritakan oleh
Mahendra dan mPu Sidikara,
sementara pembantu dirumah
Mahendra itu telah menghidangkan
minuman dan makanan bahkan
makan malam. Dalam kesempatan itu pula
Mahendra telah mengatakan bahwa
Mahisa Murti akan datang sepekan
sebelum dan sesudah hari pernikahan Mahisa Pukat

04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berlangsung. "Kenapa hanya sepuluh hari?" bertanya Mahisa Pukat.
"Sulit bagi Mahisa Murti untuk m eninggalkan padepokan
terlalu lama." jawab Mahendra "iapun sudah berjanji bahwa
Mahisa Semu dan Mahisa Amping akan ikut serta bersamanya.
Kecuali Wantilan. Ia harus tinggal untuk menunggui
padepokan." Mahisa Pukat memandang Wantilan y ang menganggukangguk.
Katanya "Paman dapat datang setelah Mahisa Murti
kembali ke padepokan. "
Wantilan tersenyum. Katanya "Sebenarnya aku juga ingin
menunggui pernikahanmu. Tetapi padepokan kita tidak akan
dapat ditinggalkan begitu saja. Meskipun ada orang lain yang
dapat berbuat lebih baik dari padaku, namun rasa -rasanya aku
ingin juga ikut menungguinya. Nah, setelah Mahisa Murti
kembali ke padepokan, aku akan mempertimbangkannya."
Demikianlah, maka baru lewat tengah malam Mahisa Pukat
minta diri. Ia tahu bahwa ay ahnya dan mereka y ang baru
datang dari padepokan itu perlu beristirahat.
Ketika Mahisa Pukat kembali ke Kasatrian, ternyata bahwa
mPu Sidikara telah kembali pula ke Ka satrian bersamanya.
Dalam pada itu sejak kedatangannya dari Padepokan Bajra
Seta, Mahendra telah bersiap-siap untuk m elakukan upacara
pernikahan anaknya sebagaimana telah disetujui bersama
dengan Arya Kuda Cemani. Seperti yang dijanjikan, maka mPu
Sidikarapun telah ikut membantu sejauh dapat dilakukan
disamping tugas-tugasnya di Kasatrian.
Ternyata bukan saja mPu Sidikara, tetapi beberapa orang
yang bersama-sama tinggal di lingkungan istana telah ikut
membantunya pula. Bahkan Pangeran Kuda Pratamapun telah
menaruh perhatian yang besar terhadap rencana pernikahan
Mahisa Pukat. Dari hari ke hari kesibukanpun nampak semakin
meningkat. Apalagi dirumah Arya Kuda Cemani. Persiapanpersiapan
telah dilakukan sebaik-baiknya. Pernikahan yang
telah mendapat restu dari Sri Maharaja itu tentu akan banyak
mendapat perhatian dari para pemimpin di Singasari. Apalagi
kedua orang tua dari mereka y ang akan menikah adalah
orang-orang y ang banyak dikenal dilingkungan istana
Singasari. Di Padepokan Bajra Seta, Mahisa Murtipun telah
mempersiapkan diriny a untuk menghadiri pernikahan Mahisa
Pukat dengan Sasi. Bukan hanya persiapan keberangkatannya
sa ja. Tetapi juga per siapan jiwani agar jantungnya tidak
terguncang karenanya. Wantilan yang telah berada kembali di Padepokan Biijra
Seta bersama dua orang cantrik telah menceriterakan,
persiapan-persiapan yang telah dilakukan oleh Mahendra dan
Arya Kuda Cemani menjelang pernikahan Mahisa Pukat
dengan Sasi. "Kau diharap datang sebelum sepekan" berkata Wantilan.
Tetapi Mahisa Murti m enggeleng sambil menjawab "Aku
tidak dapat meninggalkan padepokan ini terlalu lama. Jika
orang-orang y ang m engaku orang Kediri itu berbuat sesuatu
yang bertentangan dengan sikapnya y ang manis itu, maka
padepokan ini tentu akan menjadi sangat sibuk. "
Wantilan mengangguk-angguk. Katanya "Aku mengerti."
"Sepuluh hari bagiku sudah terhitung waktu yang sangat
panjang." berkata Mahisa Murti kemudian.
Wantilan hanya mengangguk-angguk soja.
Namun dalam pada itu, Wantilan m emang m erasa heran.
Pada saat-saat terakhir, menjelang kepergiannya ke Singasari,
Mahisa Murti benar-benar telah tenggelam didalam
sanggarnya. Mahisa Semu dan Mahisa Ampingpun telah
ditempa jauh lebih berat dari hari -hari sebelumnya. Bahkan
Wantilan sendiri mendapat kesempatan lebih banyak pula
untuk berlatih bersama Mahisa Murti, sehingga kesempatan
itu menjadi sangat berarti baginya. Bahkan Wantilan yang
mempunyai dasar ilmu yang berbeda dan bahkan hampir saja
membinasakannya perlahan-lahan, telah dapat diluruskan dan
bahkan selapis demi selapis telah meningkat semakin tinggi.
Yang kemudian dapat dibanggakan oleh Wantilan dalam
perkembangan ilmunya adalah kemampuannya dalam ilmu
pedang. Kemampuan itu seakan-akan begitu saja lahir dan
berkembang didalam dirinya dengan tuntunan yang tidak
terlalu banyak dari Mahisa Murti. Bahkan kemudian ilmu
pedang Wantilan m erupakan salah satu dari ilmu puncaknya
ketika dengan tuntunan Mahisa Murti, ilmu pedangnya
mencapai satu tataran y ang mampu melampaui sekedar
kemampuan kewadagan. Meskipun Wantilan tidak
mempunyai senjata sebagaimana dimiliki oleh Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat, tetapi dengan pedang y ang dibuat secara
khusus oleh seorang cantrik yang telah pernah berguru pada
para ahli pembuat senjata di Singasari, maka ilmu pedang
Wantilan merupakan ilmu kebanggaannya.
Sementara itu, Mahisa Semu dan Mahisa Amping y ang
sejak awal mempunyai landasan ilmu y ang diberikan oleh
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka kemampuan mereka
telah merambat sampai pada persiapan untuk memahami
dasar-dasar ilmu tertinggi y ang dimiliki Mahisa Murti,
terutama dari jalur ilmu y ang diwarisiny a dari Mahendra.
Kemampuan Aji Bajra Geni.
Namun karena Mahisa Amping masih t erlalu muda, maka
Mahisa Murti tidak dapat memberikan landasan ilmu
setataran dengan Mahisa Semu, agar tidak justru mengganggu
perkembangan kewadagan dan kejiwaannya. Tetapi setapak
demi setapak, Mahisa Murti memang berniat untuk
menyiapkan anak itu sebaik-baiknya. Bahkan menurut
pengamatan Mahisa Murti, didalam diri Mahisa Amping
tersimpan bekal y ang lebih baik dari anak-anak kebanyakan.
Dalam pada itu, Wantilan y ang umurnya sudah lebih
banyak dari Mahisa Murti, rasa-rasanya melihat sesuatu yang
asing didalam diri Mahisa Murti, justru menjelang pernikahan
Mahisa Pukat. Wantilan telah menghubungkan keadaan
Mahisa Murti itu dengan saat-saat Mahisa Murti pulang dari
Singasari tanpa Mahisa Pukat. Saat itu iapun melihat sikap
yang asing itu yang perlahan-lahan menjadi semakin samar
dan bahkan hilang. Namun tiba -tiba sikap itu kini dilihatnya
lagi. Namun Wantilan itu justru telah mengagumi Mahisa Murti
yang dapat menyalurkan gejolak perasaannya itu dengan sikap
yang justru memberikan arti baginya. Mahisa Murti yang
nampaknya dicengkam oleh kegelisahan itu telah mengisi
waktu-waktunya y ang nampak gelisah itu dengan
memperdalam ilmu serta memberikan tuntunan kepada
orang-orang yang ada disekitamya. Termasuk Wantilan
sendiri, Mahisa Semu, Mahisa Amping dan para cantrik.
Mahisa Murti tidak memberi kesempatan kepada dirinya
sendiri untuk dilindas oleh perasaannya. Namun ju stru
mendorongnya untuk melakukan pekerjaan y ang sangat
berarti baginya dan bagi lingkungannya.
Tetapi Wantilan tidak pernah b ertanya kepada anak muda
itu, apakah y ang sebenarnya telah terjadi atasnya. Bahkan
sikap Mahendra y ang sangat berhati-hati terhadap Mahisa
Murti telah menambah key akinannya, bahwa telah terjadi
sesuatu yang menyentuh perasaan anak muda itu.
Wantilan memang m enghubungkan persoalan itu dengan
pernikahan Mahisa Pukat y ang akan berlangsung tidak terlalu
lama lagi. Demikianlah, saat-saat pernikahan itupun menjadi semakin
dekat. Wantilan memang melihat Mahisa Murti menjadi
semakin murung. Tetapi ia menjadi semakin banyak berada di
dalam sanggar. Sendiri atau dengan siapapun juga. Bahkan
dengan beberapa orang cantrik terpilih.
Namun dalam pada itu, y ang dianggap akan mengganggu
padepokan Bajra Seta oleh orang-orang y ang mengaku dari
Kediri itu tidak pernah terjadi. Namun orang yang kekuruskurusan
yang pernah datang ke padepokan itu, telah pernah
singgah pula untuk menemui Mahisa Murti. Orang itu masih
sa ja menawarkan kesempatan untuk bekerja bersaf menyusun
keadaan baru dalam hubungan antara Singasari dbn Ke&ra
Namun sy erti sebelumnya, Mahisa Murti sama sekali tidak
tergerak hatinya. Bahkan Mahisa Murti itu berharap agar
orang itu tidak kembali lagi ke padepokannya.
Orang y ang bertubuh kekurus-kurusan itu menjadi
termangu-mangu karenanya. Dengan nada rendah ia berkata
"Anak muda. Sama sekali tidak ada niatku untuk menipumu.
Aku, berkata sebenarnya, bahwa masa depan tanah ini
tergantung pada keberhasilan perjuangaan kami."
Namun Mahisa Murti itupun menjawab "Ki Sanak.
Kedudukan kami sekarang sudah cukup baik bagi kami. Kami
tidak ingin mendapat lebih banyak lagi."
"Anak muda" berkata orang itu "setiap orang tentu
memiliki cita -cita. Setiap orang ingin mendapat lebih dari yang
pernah didapatkannya. Karena itu, kau yang masih muda,
tentu ingin mencapai sesuatu y ang lebih tinggi dari y ang telah
ada ditanganmu sekarang. "
"Kau benar Ki Sanak. Tetapi yang aku tidak sependapat
adalah cara y ang kau tawarkan kepadaku. Pada dasarnya aku
tidak ingin menjadi pemberontak. Mungkin ada sesuatu yang
tidak sesuai dengan jalan pikiranku sekarang ini yang terjadi
di Singasari, tetapi jika aku menghendaki perubahan, aku
tidak akan mempergunakan cara sebagaimana kau tawarkan. "
Orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu menganggukangguk
kecil. Tetapi ia masih saja menahan diri. Katanya
"Baiklah anak muda. Mungkin kau masih belum mengerti
sepenuhnya maksud dari perjuangan kami. Tetapi aku y akin
bahwa pada suatu saat kau akan mengerti."
"Ki Sanak" berkata Mahisa Murti "aku minta, kau jangan
kembali lagi kemari, karena itu hanya akan membuang-buang
waktu saja. Pendirianku tidak akan pernah goy ah."
Tetapi orang y ang bertubuh kekurus-kurusan itu berkata
"Aku akan minta diri. Tetapi aku y akin, bahwa pada suatu saat
kau akan mengerti." Mahisa Murti m enggeleng sambil menjawab "Jangan kau
berharap, karena sebenarnyalah bahwa aku sudah mengerti
apa yang kau maksud dengan penjuangan. Menurut
pendapatku, y ang kau maksud dengan perjuanganmu itu tidak
lebih dari sebuah pemberontakan. Baik terhadap Singasari,
maupun terhadap Kediri sendiri. "
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi Mahisa Murti
menyadari, bahwa orang itu sedang menahan diri karena
jantungnya telah bergejolak.
Namun orang itu berusaha tersenyum sambil berkata
"Baiklah anak muda. Aku mohon diri. Aku akan berdoa
bagimu, agar kau segera menyadari kedudukanmu. Kau
mempunyai kekuatan untuk m enggapai satu ujud k ehidupan
yang baru y ang jauh lebih baik dari sekarang. Mudahmudahan
kau akan bersedia bergerak disaat-saat mendatang. "
"Terima kasih atas kunjunganmu Ki Sanak " berkata Mahisa
Murti "mudah-mudahan kau tidak akan datang lagi kemari
jika kau masih saja ingin berbicara tentang
pemberontakanmu. Aku sama sekali tidak berkeberatan
menerima kunjunganmu dan siapa saja, sepanjang tidak
membawa per soalan y ang sangat aku benci itu."
Orang itu mengangguk kecil. Katanya "Baiklah. Aku akan
selalu ingat akan kata-katamu. Tetapi aku tidak akan berhenti
berharap bahwa kau akan menemukan satu kesadaran yang
sangat berarti bagi masa depanmu."
"Jangan memaksa aku untuk mengusirmu dengan ka sar Ki
Sanak" berkata Mahisa Murti "aku ingin berbuat sebaikbaiknya
bagi tamu-tamuku sepanjang mereka tidak
menyinggung perasaanku."
Orang itu tersenyum. Namun kemudian iapun
meninggalkan padepokan Bajra Seta. Namun orang itu
menyadari, bahwa anak muda y ang memimpin Padepokan
Bajra Seta itu adalah seorang y ang m empunyai pijakan yang
sangat kuat atas sikapnya sehingga tidak mudah untuk dapat
diguncang. Demikianlah, sepeninggal orang itu maka Mahisa Murtipun
menarik nafas dalam-dalam. Seakan-akan ia telah terlepas
dari himpitan perasaan yang terasa menyesakkan dadanya.
Pa da saat-saat terakhir, perasaan Mahisa Murti terasa agak
terganggu. Ia sedang berusaha untuk memantapkan sikapnya
menghadapi per soalan pribadinya. Bahkan Mahisa Murti
sedang mempersiapkan dirinya untuk pergi ke Singasari ketika
tiba -tiba saja muncul orang yang kekurus-kurusan itu yang
selalu m enawarkan kemungkinan hari depan yang lebih baik.
Hampir saja Mahisa Murti kehilangan kesabarannya. Namun
untunglah bahwa orang itu tidak m endesaknya sampai batas
kesabaran Mahisa Murti. Demikianlah, hari-haripun berlalu. Di Singasari persiapan
hari -hari pernikahan Mahisa Pukat menjadi semakin
mendesak. Rumah Arya Kuda Cemani sudah mulai sibuk
dengan berbagai macam pekerjaan yang berhubungan dengan
upacara pernikahan itu. Namun bagaimanapun juga perasaan Mahendra sebagai
seorang ay ah kadang-kadang terasa bergejolak pula jika ia
mengingat anaknya y ang berada di padepokan y ang jauh.
Namun ia merasa bersukur bahwa Mahisa Murti ternyata
mempunyai kesabaran, y ang luas sehingga jalan y ang dilalui
Mahisa Pukat tidak banyak mengalami hambatan, bahkan
tidak menimbulkan benturan kepentingan antara kedua orang
anak laki -lakinya itu. Demikianlah, hari -hari yang semakin dekat itu telah
membuat Mahendra semakin tegang. Namun kebutuhan yang
berhubungan dengan hari pernikahan Mahisa Pukat itu telah
dilengkapinya. Demikian pula dirumah Aiy a Kuda Cemani.
Kesibukannyapun menjadi semakin meningkat. Bahkan
perempuan-perempuan mulai sibuk siang dan malam.
Sementara itu Sasi sudah tidak diperkenankan lagi
meninggalkan rumahnya. Beberapa hari menjelang keberangkatannya ke Singasari,
Mahisa Murti memang menjadi semakin gelisah. Disaat-saat
lewat ia m emang dapat mengekang perasaannya. Meskipun
Mahisa Murti telah meyakinkan dirinya, bahwa ia masih akan
tetap mampu mengendalikan diri, namun jika ia melihat saatsaat
Sasi bersanding dengan Mahisa Pukat, maka perasaannya
itu tentu akan tergetar juga.


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi apapun y ang akan dihadapinya di Singasari, maka
Mahisa Murti memang harus datang.
Dalam keadaan y ang rumit itu, Mahisa Murti tidak
mempunyai tempat sama sekali untuk mengurangi beban
perasaannya. Ia masih belum dapat m engatakannya kepada
Wantilan. Meskipun Wantilan baginya merupakan orang yang
dituakannya, tetapi rasa -rasanya untuk menyatakan per soalan
pribadiny a dan apalagi menyangkut saudara laki-lakinya yang
juga dikenal baik oleh Wantilan, masih juga terlalu berat.
Karena itu, maka Mahisa Murti telah berniat untuk
membawa bebannya itu sendiri. Di Singasari mungkin ia dapat
berbicara dengan ayahnya sekedar untuk mengurangi berat
beban perasaannya itu. Namun sebelumnya, ia harus
memikulnya sendiri. Namun bagaimanapun juga Mahisa Murti menutupi
kegelisahannya itu, Wantilan masih juga dapat melihatnya.
Bahkan kemudian ia dapat juga berbicara dengan Sambega
mengenai anak muda, pemimpin Padepokan Bajra Seta itu.
Keduanya sependapat, bahwa Mahisa Murti memang
sedang memikul beban perasaannya. Namun keduanya tidak
ada y ang ber sedia menanyakannya.
"Aku tidak tahu, apakah hatinya akan terbuka " berkata
Wantilan. "Apalagi aku orang baru disini " berkata Sambega "aku
masih belum tahu watak dan sifatnya sedalam-dalamnya.
Karena itu, aku takut kalau justru aku melakukan kesalahan. "
Wantilan mengangguk-angguk. Katanya "Jika saja angger
Mahisa Murti mau membuka diri. "
Tetapi Mahisa Murti tetap tidak mengatakan kepada
Wantilan dan siapapun di Padepokan Bajra Seta. Meskipun
Mahisa Murti tahu, bahwa Wantilan sebenarnya telah
membaca kegelisahan hatinya. Namun Mahisa Murti m asih
belum dapat mengatakan kepadanya.
Tetapi perasaan Wantilan sebagai orang y ang lebih tua dari
Mahisa Murti memang sudah m enangkapnya sejak beberapa
saat sebelum hari-hari yang pahit itu datang. Kegelisahan
Mahisa Murti semakin nampak justru semakin dekat hari
keberangkatannya ke Singasari.
Tetapi sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti memang pernah
berbicara dengan Wantilan, m eskipun tidak berterus-terang.
Namun ungkapan y ang sedikit itu masih belum cukup kuat
untuk mendor ong Wantilan berbicara tentang per soalan yang
rumit tentang pribadi anak muda itu. Apalagi untuk
selanjutnya Mahisa Murti tidak pernah lagi meny inggung
persoalan pribadinya itu.
Namun menjelang hari keberangkatannya, ternyata Mahisa
Murti telah berdesah tentang kekalutan perasaannya ketika ia
sedang duduk bersama Wantilan dan Sambega.
"Sesuatu sedang menyulitkan perasaanku " desis Mahisa
Murti. Wantilan m enarik nafas panjang. Katanya "Sebenarnyalah
kami melihat kegelisahan pada sikapmu dihari-hari terakhir
ini, ngger. Tetapi aku tidak berani mempersoalkannya karena
agaknya ada y ang tersembunyi dihatimu."
"Maaf paman" jawab Mahisa Murti "tidak sepantasny a aku
mengeluh dihadapan paman kedua."
"Kalau saja kami dapat membantumu ngger" desis
Sambega. "Terima kasih paman. Aku tahu bahwa paman berdua tentu
bersedia membantu memperingan perasaanku. Mungkin
paman akan menghibur aku atau akan memberikan jalan
keluar. Tetapi biarlah, sebaiknya pada kesempatan lain aku
akan mengatakannya."
"Tetapi kau membuat kami gelisah" berkata Wantilan.
"Maaf paman" jawab Mahisa Murti "aku sama sekali tidak
berniat membuat paman gelisah. Tetapi aku dapat mengerti
kenapa paman gelisah melihat sikap dan tingkah lakuku.
Meskipun aku berusaha untuk meny embunyikannya. Tetapi
sulit bagiku untuk sama sekali menghapus kesan itu dari
permukaan." Wantilan mengangguk-angguk. Katanya "Aku yang sudah
lebih tua ini hanya dapat menduga-duga, meskipun agak
mendekati kebenaran serta sedikit keterangan yang
sebagaimana pernah kau katakan kepadaku. Tetapi baiklah.
Kami tidak akan mengatakan sesuatu sekarang ini. Namun
kami hanya ingin berpesan, agar angger Mahisa Murti tetap
mampu mengendalikan diri apapun y ang sedang kau hadapi."
Mahisa Murti m enarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
datar ia berkata "Ya paman"
"Bukankan besok kau akan berangkat ke Singasari ?"
bertanya Wantilan. "Ya paman" jawab Mahisa Murti pula.
"Baiklah. Kau akan tetap sebagaimana kau sekarang,
kemarin dan dahulu. Kau adalah seorang anak muda yang mampu menguasai diri.
Kau tidak mudah hanyut oleh
arus perasaanmu. Tetapi kau
mampu mencari keseimbangan
antara nalar dan perasaanmu
itu." Mahisa Murti menganggukangguk.
Namun iapun telah menduga-duga, apakah Wantilan benar-benar telah
meraba persoalannya dengan
tepat. Namun malam itu Mahisa Murti telah minta Mahisa Semu dan Mahisa Amping untuk bersiap-siap karena esok mereka akan pergi ke
Singasari. Berbeda dengan Mahisa Murti y ang menjadi murung, maka
Mahisa Semu dan Mahisa Amping menjadi gembira sekali.
Mereka akan m endapat kesempatan untuk pergi ke Singasari
dan menyaksikan Mahisa Pukat yang akan menikah. Karena
itu, justru karena mereka seakan-akan tidak sabar lagi
menunggu sampai esok, maka keduanya tidak segera dapat
tidur. Mahisa Murti malam itupun sulit untuk dapat
memejamkan matanya namun karena alasan y ang berbeda.
Demikianlah, pagi-pagi sekali, mereka bertiga sudah
mempersiapkan diri. Mahisa Semu dan Mahisa Amping
sebelum terang tanah, sudah mandi dan berpakaian rapi.
Mereka juga membawa sebungkus pakaian mereka yang
terbaik, yang akan m ereka kenakan saat pernikahan Mahisa
Pukat. Menj elang Ajar meny ingsing maka mereka bertiga sudah
selesai dengan makan pagi. Setelah beristirahat sambil minum
minuman hangat, maka merekapun segera m inta diri k epada
seisi padepokan untuk berangkat ke Singasari.
"Berhati-hatilah" pesan Wantilan "perjalanan Ki Mahendra
dengan angger Mahisa Pukat serta perjalanannya kemudian
bersama mPu Sidikara mengalami hambatan."
Tetapi Mahisa Murti menjawab "Namun perjalanan paman
dari Singasari bukankah tidak mengalami hambatan apapun ?"
"Ya " Wantilan mengangguk-angguk. Lalu katanya "Mudahmudahan
perjalanan angger juga tidak mengalami hambatan. "
Mahisa Murti mengangguk kecil sambil berkata "Doa
paman serta seisi Padepokan Bajra Seta yang aku minta. "
Wantilan menarik nafas dalam-dalam sambil berkata "Kami
akan selalu berdoa ngger."
Sebenarnyalah bahwa Wantilan dan Sambega melepas
Mahisa Murti dengan jantung yang berdebaran bukan karena
mereka mencemaskan keselamatan Mahisa Murti di
perjalanan. Mereka tahu bahwa Mahisa Murti adalah orang
yang berilmu tinggi, sementara Mahisa Semupun telah
disiapkan untuk mewarisi ilmu y ang tertinggi itu pula. Bahkan
Mahisa Amping yang kecil itu sudah memiliki bekal cukup
diperjalanan. Namun y ang menggelisahkan Mahisa Murti justru
keseimbangan penalaran dan perasaan Mahisa Murti
menghadapi kenyataan di Singasari. Karena menurut dugaan
Wantilan, kemurungan Mahisa Murti tentu ada hubungannya
dengan pernikahan Mahisa Pukat.
Demikianlah, sebelum matahari terbit, ketiga orang itupun
telah meninggalkan Padepokan Bajra Seta. Jalan-jalan yang
mereka lalui masih sepi. Tetapi mendekati padukuhan yang
besar diujung bulak panjang, maka mulai nampak setu dua
orang lewat sambil membawa obor. Mereka adalah orangorang
padukuhan kecil terdekat yang akan pergi menjual hasil
kebunnya ke pasar. Tetapi obor berlarak itupun segera dipadamkan, karena
langit telah menjadi semakin terang.
Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping itupun
melarikan kuda mereka disegarnya udara pagi. Seperti bia sa,
Mahisa Amping selalu berada dipaling depan. Dibelakangnya
Mahisa Semu sekali-sekali menyusul dan m e]arikan kudanya
disebelah Mahisa Amping. Namun kemudian Mahisa Amping
telah mendahuluinya lagi beberapa langkah.
Mahisa Murti mengikuti keduanya pada jarak tertentu. Jika
keduanya menjadi semakin jauh, maka Mahisa Murtipun
melarikan kudanya lebih cepat. Tetapi jika jaraknya m enjadi
terlalu dekat, maka Mahisa Murti telah memperlambat
kudanya pula. Disepanjang perjalanan Mahisa Murti berusaha untuk tidak
mengecewakan kedua orang anak itu. Itupun berusaha
nampak gembira seperti Mahisa Semu dan Mahisa Am ping.
Dengan demikian maka perjalanan itu merupakan
perjalanan yang m eny enangkan bagi kedua orang anak muda
itu. Udara terasa segar sementara jalan tidak terlalu ramai.
Namun semakin jauh mereka menempuh perjalanan, maka
mataharipun merambat semakin tinggi dilangit. Panasnya
mulai terasa gatal dikulit.
Namun Mahisa Amping masih saja berpacu didepan. Tetapi
sekali-sekali iapun berhenti menunggu Mahisa Semu dan
Mahisa Murti. Ketika kemudian matahari sampai dipuncak langit, maka
Mahisa Amping mulai merasa haus. Mahisa Murti yang
melihat keadaannya, telah mengajaknya berhenti di sebuah
kedai y ang terletak disebelah pasar yang sudah mulai menjadi
sepi. Namun masih juga ada sebagian diantara para pedagang
yang menunggu orang-orang y ang agak kesiangan pergi
berbelanja. Jika Mahisa Murti pergi dan kembali dari Singasari, ia
sudah sering melihat kedai itu. Tetapi selama ini ia belum
pernah singgah di kedai itu. Kedai yang nampaknya cukup
besar dan cukup ramai dikunjungi orang.
Seperti Oeberapa buah kedai y ang lain, maka ada orang
yang khusus melayani para penunggang kuda jika mereka
memesan makan dan minum bagi kuda mereka. Demikian
pula di kedai itu. Seorang anak muda telah siap m emberikan
minum dan makan bagi kuda Mahisa Murti, Mahisa Semu dan
Mahisa Amping. Sementara itu, maka ketiga orang itupun telah naik dan
masuk kedalam kedai itu. Ternyata didalam kedai itu telah duduk beberapa orang
yang datang lebih dahulu. Sekelompok anak muda duduk
disudut kedai itu. Mahisa Semu yang sempat menghitungnya
berdesis "Lima orang anak muda itu minum tuak. "
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan."
Mahisa Semu mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian
Mahisa Murtipun berkata "Sudahlah. Jangan t erlalu lama
memperhatikan mereka. Anak-anak itu akan dapat menjadi
salah paham." Mahisa Semu mengangguk-angguk. Sambil duduk iapun
berkata "Apakah mereka tidak akan mabuk?"
"Mungkin mereka hanya minum sedikit." jawab Mahisa
Murti. Mahisa Semu tidak bertanya lagi. Ia mulai memperhatikan
makanan y ang disediakan di kedai itu. Bahkan Mahisa Amping
sempatberdiri didepan geledeg bambu untuk melihat-lihat
jenis makanan yang tersedia.
"Panggil adikmu" desis Mahisa Murti.
Mahisa Semupun kemudian telah mendekati Mahisa
Amping dan menariknya, membawanya duduk bersama
Mahisa Murti. Sejenak kemudian, maka Mahisa Murtipun telah memesan
minuman dan m akanan kepada pemilik kedai y ang ternyata
tidak begitu ramah bagaimana pemilik kedai yang pernah
disinggahinya disepanjang jalan ke Singasari.
Tetapi Mahisa Murti tidak menghiraukannya. Yang penting
baginya, mereka dapat mengobat lapar dan haus. Demikian
pula kuda-kuda mereka. Sementara itu, anak-anak muda itu masih saja minum tuak.
Sebagaimana dilihat oleh Mahisa Murti, maka di kedai itu
memang disediakan tuak. Agaknya para pembeli tidak pernah
dibatasi, berapa saja mereka akan membeli, minum dan
kemudian mulai mabuk. Tetapi agaknya hal yang demikian sudah terbiasa terjadi di
kedai itu. Beberapa orang lain y ang duduk minum dan makan
sama sekali tidak menghiraukan mereka.
"Lihat, Mahisa Semu" berkata Mahisa Murti "anak -anak
muda itu mulai menjadi mabuk. "
Mahisa Semu mengangguk-angguk, sementara Mahisa
Amping m enjadi heran melihat m ereka y ang m ulai t ertawatawa
dan berbicara kesana kemari tanpa ujung pangkal.
Namun Mahisa Murti telah memperingatkan kedua adik
angkatnya itu sekali lagi "Jangan memandangi mereka seperti
itu. Nanti kalian akan dapat memancing persoalan. "
"Hanya karena dipandangi?" bertanya Mahisa Amping.
"Ya. Apalagi jika mereka menjadi mabuk. Kesadaran
mereka tidak lagi dapat dikendalikan, sehingga m ereka akan
berbuat apa saja sesuai dengan gejolak perasaannya. " jawab
Mahisa Murti. Mahisa Semu dan Mahisa Amping mengangguk-angguk,
meskipun diluar sadar, sekali-sekali keduanya berpaling juga
kepada mereka. Namun ketika minuman dan makanan dihidangi maka


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahisa Semu dan Mahisa Amping memang tidak lagi
menghiraukan beberapa orang anak muda itu lagi. Mereka
sibuk dengan minuman hangat dan makanan yang mereka
pesan. Namun dalam pada itu, ketika pembantu pemilik kedai itu
menghidangkan minuman yang dipesan lagi oleh Mahisa
Amping y ang kehausan, maka Mahisa Murtipun berdesis "Ki
Sanak. Anak-anak muda itu sudah mulai menjadi mabuk.
Apakah tidak sebaiknya dihentikan saja agar mereka tidak
minum tuak lebih banyak lagi?"
Pembantu yang melayani pesanan itu termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian katanya "Tetapi tanpa tuak, maka
kedai ini tidak akan mempunyai b anyak pembeli."
"Tetapi bukankah pembeli y ang lain juga tidak memesan
tuak sebagaimana anak-anak muda itu?" desis Mahisa Murti
perlahan-lahan. "Tetapi tidak cukup banyak. Apalagi m enjelang sore hari.
Yang banyak berdatangan di kedai ini adalah anak-anak uda
yang pada umumnya memerlukan tuak. " jawab pembantu itu.
"Jika demikian, maka kedai ini akan dianggap kurang baik
bagi kebanyakan orang " berkata Mahisa Murti "kalian menarik
pembeli dari golongan anak-anak m uda y ang sering m abuk
tuak, tetapi kalian akan kehilangan pembeli lain yang tidak
senang melihat anak-anak muda sekedar bermabuk-mabukan
sementara orang lain bekerja keras untuk epentingan m asa
depannya dan masa depan keluarganya. "
"Tetapi ini adalah kebijakan pemilik kedai ini, Ki Sanak"
jawab orang itu. Mahisa Murti memang tidak banyak berbicara lagi. Iapun
kemudian lebih banyak memperhatikan minuman dan
makanannya sendiri sebagaimana Mahisa Semu dan Mahisa
Amping. Namun Mahisa Murti terkejut ketika kemudian tiba-tiba
sa ja mendengar anak-anak muda yang sudah mulai mabuk itu
tertawa hampir berbareng. Ketika Mahisa Murti, Mahisa Semu
dan Mahisa Amping berpaling, maka m ereka melihat anakanak
muda itu justru memandangi m ereka. Bahkan diantara
mereka adalah pemilik kedai itu.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun pemilik
kedai tu berkata lantang "Nah, lihatlah betapa alimnya orangorang
itu. Mereka mencela kalian yang minum tuak di kedaiku
ini." Mahisa Murti m emang terkejut. Ia tidak mengira bahwa
pemilik kedai y ang agaknya mendengar laporan tentang
persoalan y ang dikatakannya telah langsung mengambil
langkah sesuai dengan kebijaksanaannya itu.
Mahia Murti memang meny esal bahwa ia telah
mencampuri persoalan pemilik kedai itu. Tetapi hal itu sudah
terlanjur dilakukannya. Ketika Mahisa Murti memandang pembantu y ang diajaknya
berbicara tentang anak-anak muda y ang membeli tuak di kedai
itu, orang itu menundukkan kepalanya.
Sementara itu Mahisa Semu berdesis "Pembantu itu
agaknya telah mengatakannya kepada pemilik kedai ini."
"Mungkin maksudnya baik. Mungkin ia sependapat dengan
pendapatku dan m enyampaikannya kepada pemilik kedai itu.
Tetapi pemilik kedai itulah yang ternyata telah menentukan
kebijaksanaan dan tidak mau terubahnya." sahut Mahisa
Murti. Mahisa Semu mengangguk-angguk, sementara Mahisa
Amping masih sibuk menyuapi mulutnya. Tetapi kemudian
iapun bertanya "Apa maksud pemilik kedai itu ?"
"Entahlah" jawab Mahisa Murti yang mencoba untuk tidak
menghiraukan lagi sikap pemilik kedai dan anak-anak muda
yang mulai mabuk itu. Tetapi pemilik kedai itu ternyata tidak berhenti sampai
sekian. Ia masih berkata lagi "Kehadirannya telah merusak
ketenangan langganan-langgananku."
"Apakah kita harus mengusirnya ?" bertanya seorang anak
muda yang juga sudah mulai mabuk.
"Terserah kepada kalian" berkata pemilik k edai itu "tetapi
jangan rusakkan perabot kedaiku ini."
Anak muda itu tertawa. Sementara Mahisa Murti memang
menjadi berdebar-debar. Sebenarnya ia tidak ingin
menimbulkan persoalan. Tetapi ia tidak mengira bahwa
pemilik kedai itu m erasa tersinggung oleh pendapatnya yang
dikatakannya kepada pembantunya.
Namun untuk sementara Mahisa Murti masih duduk diam.
Ia masih sempat menelan makanan yang dikunyahnya
meskipun ia menjadi gelisah.
Sementara itu, dua orang anak muda telah bangkit berdiri.
Tetapi keseimbangan penalarannya agaknya sudah terganggu.
Perlahan-lahan keduanya mendekati Mahisa Murti y ang masih
duduk ditempatnya. Ternyata beberapa orang yang ada di kedai itu tidak
menghiraukan apa yang terjadi. Agaknya sikap anak-anak
muda tu sudah sangat sering dilihatnya sehingga sudah
menjadi terbiasa bagi mereka.
Kedua orang anak muda itupun kemudian berdiri
dibelakang Mahisa Murti. Sambil tertawa seorang diantaranya
berkata "Ki Sanak. Jika kau tidak senang m elihat kebia saan
kami, sebaiknya kau pergi saja. Jangan sesorah seperti seorang
yang arif dan mengetahui baik dan buruk dengan sempurna. "
Mahisa Murti benar-benar tidak ingin membuat keributan,
Karena itu, maka iapun berkata "Baiklah. Kami akan pergi."
"Ternyata kau cukup bijaksana" berkata salah seorang dari
kedua orang anak muda yang sudah mulai mabuk itu.
Mahisa Murti m emang bangkit berdiri. Ia memberi isyarat
kepada Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Apalagi mereka
sudah cukup minum dan makan, sehingga mereka akan dapat
meneruskan perjalanan mereka ke Singasari.
Kepada pemilik kedai y ang masih berada diantara anakanak
muda y ang mulai mabuk itu Mahisa Murti bertanya
"Berapa keping aku harus membayar ?"
Pemilik kedai itu tertawa kecil. Katanya "Aku senang kau
singgah dikedaiku Ki Sanak. Tetapi lain kali kau tidak usah
sesorah seperti itu. Kau tidak berwenang untuk merubah
kebijaksanaanku, karena kedai ini adalah kedaiku."
"Baik Ki Sanak" jawab Mahisa Murti "tetapi berapa aku
harus membayar ?" "Kali ini kau mendapat perlakuan khusus. Kau tidak usah
membayar asal kau cepat pergi," jawab pemilik kedai itu.
Wajah Mahisa Murti menjadi merah sesaat. Ia merasa
tersinggung oleh kata-kata itu. Apalagi ketika kemudian
terdengar anak-anak muda itu tertawa meledak. Bahkan
beberapa orang lain di kedai itu tertawa pula.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba
untuk mengendapkan perasaannya yang mulai bergejolak.
Namun Mahisa Murti masih berusaha untuk menahan diri.
Tetapi diluar dugaan, maka Mahisa Amping justru berkata
"Bukankah kebetulan sekali, kakang. Kita tidak usah
membayar harga minuman dan makanan yang sudah kita
makan dan kita minum. Lain kali kita datang lagi ke kedai ini
dan sesorah lagi. Nah, kita akan mendapat perlakuan khusus
dan tidak perlu membayar lagi. "
"Sst " Mahisa Semu berdesah. Tetapi anak itu justru
menjawab "Bukan salah kita. Bahkan jika kita membawa
sebungkus besar makanan, maka kita t idak akan
membayarnya. " Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Sementara Mahisa
Semu y ang mengetahui maksud Mahisa Murti agar tidak
timbul keributan, telah menggandeng Mahisa Amping dan
menuntunnya keluar. Sebenarnyalah bahwa Mahisa Semu juga merasa
tersinggung karena sikap pemilik kedai itu. Tetapi Mahisa
Semu sudah dapat mengekang dirinya. Sementara Mahisa
Amping yang sudah tumbuh remaja itu, masih belum dapat
memilih sikap y ang sebaik-baiknya sesuai dengan sikap
Mahisa Murti. Bahkan ia masih juga berkata keras-keras
"Mereka mengira bahwa kakang Mahisa Murti tidak
mempunyai uang untuk membayar harga makanan dan
minuman itu. " "Cukup" teriak pemilik kedai y ang memang tidak begitu
ramah itu "aku sudah berbuat sebaik-baiknya bagi kalian yang
mencoba untuk mengganggu ketenangan kedai ini. Tetapi
kalian masih juga banyak tingkah."
Mahisa Amping yang agaknya masih akan berbicara lagi
telah didahului oleh Mahisa Semu. Katanya hampir berbisik "
udahlah Amping. Kakang Mahisa Murti tidak ingin terjadi
keributan. " Mahisa Amping mengerutkan keningnya. Namun semuanya
sudah terlanjur dilakukannya. Pemilik kedai itu sudah
terlanjur marah. Karena itu, ketika kemudian Mahisa Murti bergerak pula
keluar, maka pemilik kedai itu menyusulnya sampai diluar
pintu sambil berkata lantang "Anak tidak tahu diri. Apa
sebenarnya yang kau kehendaki."
Mahisa Murti memberi isy arat agar Mahisa Amping tidak
menjawab. Bahkan iapun m emberi isyarat agar m ereka pergi
ke kuda mereka dan meninggalkan tempat itu.
Tetapi anak-anak muda yang sudah mulai mabuk itu telah
menyusulnya pula turun ke halaman. Bahkan seorang yang
sudah lebih tua lagi yang tidak m abuk, telah pula berada di
halaman. Dengan suara serak orang yang lebih tua itu berkata
"Kenapa kau sengaja membuat keributan di tempat ini "
Kal ian tentu sekedar orang lewat. Kami adalah orang-orang
yang tinggal disekitar tempat ini. Kami tidak pernah merasa
terganggu oleh perbuatan anak-anak muda itu. Justru kenapa
kalian mencoba untuk menumbuhkan persoalan disini."
Mahisa Murti justru termangu-mangu sejenak. Dua orang
anak muda telah berdiri didekat kuda-kuda Mahisa Murti,
Mahisa Semu dan Mahisa Amping.
"Ki Sanak" berkata Mahisa Murti kemudian "kami sama
sekali tidak ingin membuat keributan. Kami hanya sekedar
mengatakan pendapat kami. Jika kalian tidak sesuai,
bukankah kami tidak dapat memaksakanpendapat kami itu."
"Jadi buat apa kalian m engatakan pendapat kalian itu jika
kalian tidak ingin membuat keributan" teriak seorang anak
muda y ang pandangan m atanya sudah m ulai berputar-putar
karena pengaruh tuak. "Aku sudah bersedia pergi. Tetapi kalian menahan kami
dengan cara seperti ini." berkata Mahisa Murti.
"Karena apa y ang kalian lakukan sudah keterlaluan. Kalian
bukan saja menyatakan pendapat lagi, tetapi kalian sudah
menyinggung perasaan kami, merendahkan kami dan
pokoknya perbuatan kalian tidak dapat kami maafkan."
berkata pemilik kedai itu.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak
dapat m enyalahkan Mahisa Amping yang masih sangat muda
itu. Karena itu, maka Mahisa Murti y ang sudah tidak lagi
dapat menghindar itu ju stru mencoba menjelaskan
pendapatnya "Ki Sanak. Baiklah. Jika persoalannya sudah
tidak dapat dikesampingkan lagi, aku ju stru akan berbicara
lebih banyak lagi." Wajah pemilik kedai itu menjadi panas. Dengan geram ia
berkata "Tidak ada yang perlu kau katakan lagi. "
"Ada" jawab Mahisa Murti "aku akan mengulangi
pendapatku, bahwa tidak sebaiknya di kedai ini disediakan
tuak dengan tidak terbatas. Membiarkan anak-anak muda
mabuk disetiap saat. Selagi matahari m asih belum turun ke
barat, anak-anak muda itu telah mulai menjadi mabuk. Ju stru
saat -saat mereka harus bekerja atau melakukan perbuatan
apapun y ang berarti. Di sawah, di pategalan atau di rumah
atau dimana saja." "Mereka anak orang-orang yang berkecukupan" teriak
pemilik kedai itu "buat apa mereka harus bekerja keras ?"
"Sekarang mereka anak-anak orang kaya. Tetapi k ekayaan
orang tua mereka tidak akan dapat berkembang engan
sendirinya. Bukankah orang tua mereka menjadi kaya karena
mereka bekerja keras " Seandainya mereka mendapat warisan,
bukankah warisan itu harus dikembangkan agar tidak menjadi
semakin susut dan akhirnya habis tanpa arti sama sekali."
"Mereka tidak perlu berbuat apa-apa lagi. Sawah, ladang,
ternak dan kekay aan mereka akan berkembang dengan
sendirinya." berkata seorang yang lebih tua dari anak-anak
muda itu. "Tetapi perbuatan mereka akan berpengaruh buruk
terhadap anak-anak muda y ang lain. Anak-anak muda yang
bukan anak orang-orang kaya. Jika mereka meniru anak-anak
orang kaya itu, maka kehidupan mereka akan menjadi
semakin sulit. Sementara itu kehidupan mereka, keluarga
mereka dan m asa depan mereka menuntut kerja keras. Juga
kampung halaman mereka, padukuhan mereka dan
Kabuyutan mereka." "Cukup." pemilik k edai itu berteriak. em entara itu seorang
diantara anak-anak muda yang sedang mulai mabuk itu
melangkah mendekati Mahisa Murti sambil berkata "Jika kau
berbicara sepatah kata lagi, maka aku akan mengoyak
mulutmu." Tetapi y ang terjadi adalah
diluar dugaan. Mahisa Amping
telah melangkah dan berdiri
diantara anak muda yang mulai
mabuk itu dengan Mahisa Murti.
Sambil mendor ong anak muda itu
kuat-kuat Mahisa Amping berkata "He orang mabuk. Kau
mau apa ?" "Amping " desis Mahisa Semu.
Tetapi Mahisa Amping sudah
berdiri bertolak pinggang sambil
berkata "Kalian, orang-orang
mabuk. Kalian mau apa " Dalam
keadaan mabuk, kalian tidak akan
dapat berbuat apa -apa. Selagi
berdiripun kalian tidak lagi dapat menjaga keseimbangan
kalian." Tetapi anak muda y ang didor ong oleh Mahisa Amping itu
menjadi sangat marah. Dalam keadaan setengah sadar, maka
iapun melangkah maju sambil mengayunkan tangannya.


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi tangan itu sama sekali tidak meny entuh apapun juga
karena Mahisa Amping bergeser selangkah surut.
Tetapi ay unan tangannya itu sendiri justru telah
menyeretnya sehingga anak muda itupun menjadi terhuyunghuyung.
Apalagi ia dalam keadaan mulai mabuk.
Mahisa Amping memang masih belum dapat berpikir jauh.
Ia masih mengikuti saja gejolak perasaannya. Karena itu,
demikian ia m elihat anak muda itu t erhuyung-huyung, maka
Mahisa Amping justru telah menarik tangannya, sehingga
anak muda itu jatuh terjerembab.
Namun dengan demikian, maka tidak ada jalan lagi untuk
menghindari pertengkaran. Mahisa Amping yang masih sangat
muda itu tidak lagi dapat menahan dirinya. Namun Mahisa
Amping benar-benar telah bersiap untuk berkelahi m eskipun
anak-anak muda y ang mabuk itu adalah anak-anak muda yang
lebih tua dan lebih besar dari padanya.
Mahisa Murti hanya dapat menarik nafas dalam-dalam
Tetapi ia dapat mengerti, bahwa Mahisa Amping menjadi
sangat marah kepada orang -orang yang telah meny inggung
perasaannya itu. Bahkan nampaknya Mahisa Semupun sulit
untuk menahan dirinya meskipun ia berusaha dengan
sungguh-sungguh. Karena itu, maka Mahisa Murtipun tidak lagi ingin
mengelak. Bukan karena ia ingin berbuat semena-mena.
Namun ia merasa bahwa sikapnya adalah benar. Pendapatnya
tidak semestinya dianggap sebagai pendapat yang merusak
ketenangan kedai itu. Dengan demikian, m aka Mahisa Murti itu justru berkata
"Aku peringatkan kalian, agar kalian tidak mempergunakan
kekerasan. Aku hanya mengatakan pendapat yang aku yakini
benar. Jika kalian menganggap pendapatku itu salah, itu
persoalan kalian. Tetapi sekali lagi aku katakan, bahwa usaha
yang tidak sepantasny a dilakukan, karena dengan demikian
kedai ini sudah ikut mengaburkan masa depan anak-anak
muda y ang sering menjadi mabuk di kedai ini, justru tanpa
menghitung waktu." Orang yang lebih tua dari anak-anak muda y ang mulai
mabuk itu justru telah berteriak "Usir orang-orang ini. Jika
mereka melawan, buat mereka menjadi jera."
Anak-anak muda y ang sudah mulai mabuk itu mulai
bergerak. Namun Mahisa Murtipun bertanya "Apa
hubunganmu dengan pemilik kedai itu sehingga kau telah ikut
mempertahankan sikapnya, tetapi kau sendiri tidak menjadi
mabuk karenanya, atau sama sekali tidak minum tuak "
Bukankah seharusnya kau peringatkan anak-anak muda yang
terlalu banyak minum sehingga mereka menjadi mabuk itu ?"
"Per setan, apa pedulimu " jawab orang itu "y ang penting,
kau harus pergi atau kau akan dihajar disini."
Mahisa Murti tidak menjawab. Ketika Mahisa Semu
berpaling kepadanya, maka Mahisa Murti itupun berkata
"Jangan kehilangan kendali diri Semu. Kau sudah dapat
membuat pertimbangan-pertimbangan yang mapan. Aku akan
mengendalikan adikmu."
Mahisa Semu mengangguk kecil. Ia mengerti maksud
Mahisa Murti. Karena itu, maka iapun berusaha untuk tidak
berbuat berlebih-lebihan. Apalagi anak-anak muda itu sedang
mabuk. Dalam pada itu, beberapa orang anak muda telah
mengepung Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping.
Ada diantara mereka yang sudah benar -benar mabuk. Ada
yang baru mulai. Tetapi ada yang masih sadar sepenuhnya apa
yang tengah terjadi itu. Orang yang sudah lebih tua dari mereka y ang sedang
mabuk itu serta pemilik kedai itu justru bergerak menepi.
Mereka nampaknya tidak ingin melibatkan diri dalam
perkelahian itu. Namun mereka telah memanas-manasi
suasana sehingga anak-anak muda y ang mulai mabuk itu
menjadi marah. Dalam pada itu, Mahisa Murti sendiri tidak langsung ikut
larut dalam perkelahian y ang terjadi kemudian. Mahisa Murti
mengamati kedua adik angkatnya itu dengan saksama. Ia tidak
ingin keduanya tidak lagi mampu menahan diri sehingga
melakukan tindakan-tindakan yang berbahaya bagi anak-anak
muda yang sedang mabuk itu.
Sejenak kemudian, telah terjadi perkelahian antara Mahisa
Semu dan Mahisa Amping melawan beberapa orang anak
muda yang sedang mabuk. Sebagaimana dikatakan oleh
Mahisa Amping, maka anak-anak muda itu tidak lagi mampu
berkelahi sebaik-baiknya. Ju stru karena kesadarannya tidak
lagi terkendali sepenuhnya, maka kepala merekapun mulai
menjadi pening oleh tuak.
Karena itu, maka Mahisa Semu dan Mahisa Amping
mempunyai kesempatan lebih baik untuk mengatasi lawanlawannya.
Meskipun anak-anak muda itu jumlahnya berlipat
banyaknya, namun justru karena mereka tidak menguasai
penalarannya sepenuhnya ada diantara mereka y ang tidak
berkelahi sepenuhnya. Mereka hanya saling mendor ong dan
bahkan kemudian jatuh bersama-sama.
Tetapi ternyata ada diantara mereka yang masih
sepenuhnya menguasai diri mereka. Jika pengaruh tuak mulai
menggelitik otaknya, maka mereka justru menjadi lebih
berbahaya. Orang-orang itulah yang kemudian mendapat perhatian
sepenuhnya oleh Mahisa Semu sementara Mahisa Amping
bermain-main dengan anak-anak muda y ang dengan
terhuyung-huyung berputaran disekitarnya. Sekali-sekali
mencoba memukul, namun ketika tubuhnya didorong
kesamping, maka keseimbangannya tidak ingin dapat
dikuasainya. Tetapi tiga orang diantara mereka justru menjadi sangat
berbahaya. Matanya mulai gelisah sementara bau tuak masih
berhembus lewat sela-sela bibirnya.
Ketiga orang anak muda itu mulai meny ibak kawankawannya
y ang tidak lagi dapat menguasai dirinya sendiri.
Mahisa Semu y ang melihat mereka memang menjadi
berdebar-debar. Ia tidak membiarkan anak-anak muda itu
bertindak langsung terhadap Mahisa Amping yang masih saja
berloncatan diantara mereka yang sedang mabuk. Sekali-sekali
ia mendorong anak-anak muda itu, sehingga mereka
berjatuhan. Namun kemudian Mahisa Amping itu segera
meloncat surut. Jika ada diantara lawan-lawannya itu
menyerangnya, maka dengan mudah ia dapat menghindar dan
membalas meny erang. Tetapi agaknya tidak demikian dengan ketiga orang anak
muda y ang masih mampu menguasai penalarannya
sepenuhnya meskipun otaknya sudah dipengaruhi oleh tuak
itu. Ju stru karena itu, maka ketiganya menjadi sangat garang,
sementara tenaganya masih tetap utuh dan bahkan seakanakan
menjadi bertambah-tambah.
Ketika kawan-kawannya menyibak, maka Mahisa Semulah
yang dengan cepat menghadapi mereka sambil berkata "Apa
yang akan kalian lakukan Ki Sanak."
"Mengoy ak mulutmu" geram salah seorang dari antara
mereka. Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Sebenarnya kami tidak bermaksud menimbulkan keributan."
Tetapi seorang y ang bertubuh kekar segera memotong
"Omong kosong. Kalian sudah mengacaukan ketenangan kami
dengan tingkah laku kalian. Seandainya kalian dengan suka
rela pergi meninggalkan kedai ini, kita tidak mempunyai
persoalan lagi. " "Kami sudah bersiap-siap untuk pergi" jawab Mahisa Semu.
"Tetapi mulut anak itu telah membuat kami sakit hati."
jawab anak muda y ang lain.
Mahisa Semu tidak menjawab lagi. Namun ia harus bersiap
sebaik-baiknya. Ketiga orang anak muda itu mulai bergerak
menyerangnya. Namun Mahisa Semu y ang sudah terlatih, bahkan sudah
mulai b ersiap-siap untuk sampai kepuncak kemampuan ilmu
Bajra Geni, telah bersiap pula menghadapi mereka.
Demikian, maka sejenak kemudian, Mahisa Semu itu telah
berkelahi pula menghadapi ketiga orang anak muda itu.
Dengan kemampuannya y ang semakin matang, maka Mahisa
Semu berloncatan meny erang ketiga lawannya berganti-ganti.
Namun ketiga orang y ang sudah dipengaruhi oleh tuak
itupun berkelahi dengan garangnya. Mereka meny erang
bersama-sama dari tiga arah yang berbeda.
Namun ternyata mereka berhadapan dengan anak muda
yang memiliki kemampuan yang semakin matang. Karena itu,
maka tiba -tiba saja salah seorang dari mereka telah terlempar
dan jatuh berguling ditanah. Ketika anak muda itu berusaha
untuk bangkit dan bersiap dan berkelahi lagi, m aka seorang
kawannya yang lainlah y ang berteriak kesakitan dan
terbanting jatuh. Tetapi anak-anak muda itu m asih juga tidak menjadi jera.
Meskipun agak kesakitan, tetapi keduanya telah ber siap pula
untuk berkelahi, Sementara itu, seorang kawannya y ang lain,
telah m eloncat menjauhi Mahisa Semu sebelum kedua orang
kawannya ber siap. Baru kemudian mereka bertiga berloncatan
mendekat lagi dari arah y ang berbeda.
Sementara itu, Mahisa Amping masih juga bermain-main
dengan beberapa orang anak-anak muda y ang telah mulai
menjadi mabuk. Anak itu justru berlari-lari berkeliling
halaman. Namun kemudian tiba -tiba saja ia meny erang salah
seorang dari mereka yang sedang terhuyung-huyung
mengejarnya sehingga orang itu terjatuh justru menimpa
kawan-kawannya. Dengan demikian, y ang dilakukan oleh
Mahisa Amping tidak lebih dari sekedar bermain-main.
Sementara itu anak-anak muda y ang m engejarnyapun sudah
menjadi jemu pula. Kepala mereka terasa pening sehingga ada
diantara m ereka yang justru m enjadi mual dan m erasa akan
muntah-muntah. Tetapi tiga orang yang menjadi semakin garang itu m asih
berkelahi melawan Mahisa Semu. Mereka berkelahi dengan
sungguh-sungguh. Bahkan mereka menjadi semakin garang
oleh pengaruh tuak, namun yang belum terasa sangat
mengganggu kesadaran mereka.
Dalam pada itu, pemilik kedai dan seorang yang meskipun
masih nampak m uda tetapi lebih tua dari anak-anak muda
yang mabuk itu, memperhatikan perkelahian itu dengan
kening yang berkerut. Mereka nampaknya tidak begitu
menghiraukan Mahisa Amping. Meskipun mereka merasa
heran juga bahwa anak itu memiliki ketangkasan yang tinggi,
namun mereka lebih m emperhatikan Mahisa Semu. Ternyata
Mahisa Semu sama sekali tidak mengalami kesulitan melawan
ketiga orang anak muda yang berkelahi dengan garangnya.
Bahkan anak-anak muda itu telah mulai merasa kesakitan.
Sekali-sekali salah seorang dari mereka terlempar keluar
lingkaran perkelahian yang menjadi semakin keras.
Tetapi wajah kedua orang itu menjadi cemas. Anak-anak
muda itu nampaknya akan kehilangan kesempatan. Bahkan
ketika tubuh mereka menjadi semakin terasa sakit, ny eri dan
terasa pedih oleh goresan-goresan kerikil saat mereka terjatuh,
perlawanan merekapun menjadi semakin mengendor.
"Anak iblis itu harus dibuat jera" geram orang yang sedikit
lebih tua dari anak-anak muda y ang minum tuak itu.
"Ternyata dengan sedikit kemampuan, mereka berani
mengganggu usaha kita" sahut pemilik kedai itu.
"Biarlah aku yang menghajarnya. Awasi anak y ang tertua
itu. Nam paknya ia juga memiliki kemampuan." berkata orang
itu. Pemilik kedai itu mengangguk kecil. Dipandanginya Mahisa
Murti y ang mengamati kedua adiknya y ang sedang berkelahi.
Namun ternyata bahwa ia tidak perlu mencemaskan Mahisa
Amping, karena Mahisa Amping lebih banyak bermain-main
daripada berkelahi. Ia berlari-lari berputaran, meskipun
sekali-sekali ia meny erang juga. Namun anak-anak muda yang
mabuk itu akhirnya tidak menghiraukan anak itu lagi. Mereka
kebanyakan merasa sangat terganggu oleh kepala mereka yang
menjadi pening. Bahkan kemudian perutnya menjadi mual.
Sebagian dari mereka ju stru telah menjatuhkan diri di
tangga kedai itu, sementara tinggal seorang saja y ang m asih
berusaha mengejar untuk m enangkap Mahisa Amping. Tetapi
Mahisa Amping masih berlari -lari terus dan sekali-sekali
berhenti untuk melawan. Bahkan Mahisa Amping kemudian
telah bersiap untuk berkelahi. Bukan saja berlari-lari.
Sementara itu, orang y ang sudah lebih tua dari anak-anak
muda y ang mabuk itu melangkah mendekati Mahisa Semu
yang m asih berkelahi melawan tiga orang lawannya. Namun
ketiga orang anak muda itu tidak lagi mampu berbuat sesuatu.
Tubuh mereka sudah terasa semakin lemah, sementara
dibeberapa tempat terdapat noda-noda kebiru-biruan. Wajah
mereka menjadi lembab dan tulang-tulang mereka terasa
ny eri. Goresan-goresan kerikil m ulai menitikkan darah yang
terasa menjadi pedih oleh keringat.
Orang y ang lebih tua dari mereka itupun tiba -tiba saja
berteriak "Minggir. Biarlah aku memberinya sedikit
peringatan agar anak ini menjadi jera. Jika tidak, maka ia akan
merasa menang dan berbuat lebih buruk lagi dikemudian
hari. " Ketiga orang anak muda yang sudah mulai dipengaruhi
tuak itu termangu-mangu sejenak. Namun ketika orang yang
berteriak itu m elangkah maju mendekati Mahisa Semu, maka
anak-anak muda itu melangkah surut.
"Kami tidak dapat membiarkan kau dengan kebanggaanmu
karena kau merasa dapat mengalahkan ketiga orang anak
muda itu. Tetapi ingat, m ereka dalam keadaan mabuk. Jika
mereka memiliki kesadarannya sepenuhnya, maka kau akan
mengalami nasib y ang sangat buruk" berkata orang itu.
"Aku tidak mulai membuat keributan disini " jawab Mahisa
Semu "aku hanya mempertahankan diri. "
"Saudaramu sudah membuat onar disini. Kau dengan
sombong mengangkat dadamu karena kau merasa menang
melawan tiga orang anak muda. Karena itu, maka kau harus
mendapat peringatan agar kau menjadi jera." geram orang itu.
Mahisa Semu termangu -mangu sejenak. Namun iapun
menyadari, bahwa orang itu tentu bukan orang kebanyakan. Ia
sudah melihat, bagaimana Mahisa Semu itu berkelahi
melawan tiga orang anak muda yang sudah mulai dipengaruhi
oleh tuak. Sehingga orang itu tentu sudah mempunyai


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gambaran tentang kemampuan Mahisa Semu.
Karena itu, maka menghadapi orang itu, Mahisa Semu
harus berhati-hati. Bahkan diluar sadarnya, maka Mahisa
Semu telah berpaling kepada Mahisa Murti.
Mahisa Murti tidak dapat berbuat lain kecuali mengangguk
kecil. Ia tidak dapat lagi menarik segala persoalan yang sudah
terjadi di kedai itu. Isy arat itu telah membesarkan hati Mahisa Semu. Karena
itu, ketika orang yang lebih tua itu bersiap untuk mulai
berkelahi, maka Mahisa Semupun telah bersiap pula.
"Kau, kakakmu dan adikmu harus minta maaf kepada kami
semuanya disini, karena kalian sudah mengganggu
ketenangan kami." berkata orang itu.
Tetapi Mahisa Semu menjawab lantang "Kalianlah y ang
harus minta maaf kepada kami karena kalian telah
mengganggu perjalanan kami. Kami yangberniat baik telah
kalian tanggapi dengan sikap y ang buruk sekali. Karena itu,
maka kalian memang pantas untuk mendapat peringatan."
"Anak iblis kau " geram orang itu "aku koyakkan mulutmu."
Mahisa Semu tidak menjawab. Tetapi ia sudah bersiap
sepenuhnya untuk menghadapi orang itu.
Sebenarnyalah sejenak kemudian orang itu telah m eloncat
menyerang, sehingga Mahisa Semu harus bergeser meng
hindarinya. Tetapi agaknya orang itu sudah benar-benar
menjadi marah. Dengan garangnya orang itu m emburu dan
menyerang beruntun sehingga Mahisa Semu harus
berloncatan mundur untuk mengambil jarak.
Meskipun demikian, jantung Mahisa Semu sama sekali
tidak tergetar karenanya. Dengan cermat ia mengamati
tatanan gerak lawannya. Namun kemudian, anak muda itu
telah bangkit untuk melakukan serangan-serangan pula.
Yang terjadi kemudian bukan sekedar perkelahian antara
orang-orang mabuk. Tetapi dua orang yang dengan penuh
kesadaran mempergunakan kemampuannya untuk
mengalahkan lawannya. Dengan demikian maka perkelahian itu semakin lama
menjadi semakin keras. Ternyata orang y ang lebih tua dari
anak-anak muda y ang mabuk itu memang memiliki
kemampuan olah kanuragan.
Mahisa Murti yang memperhatikan perkelahian itu
mengerutkan dahinya. Ia mulai m enduga, bahwa orang yang
berkelahi dengan Mahisa Semu itu adalah orang y ang memang
diupah oleh pemilik kedai itu untuk mengamankan
kebijaksanaan pemilik kedai itu.
Dengan keras dan bahkan kasar orang itu meny erang
sejadi-jadinya. Tetapi Mahisa Semu y ang terlatih itu masih
tetap mampu m engimbanginya. Bahkan kemudian perlahanlahan
Mahisa Semu mulai mengatasinya.
Namun orang itu juga bukan orang kebanyakan. Seranganserangannya
menjadi semakin keras. Orang itu berloncatan
dengan cepatnya, sementara tubuhnya seakan-akan menjadi
sangat ringan. Tetapi Mahisa Semu ternyata mampu mengimbangi
kecepatan geraknya. Meskipun Mahisa Semu masih muda,
tetapi ia tidak segera menjadi gelisah melihat kemampuan
lawannya. Dengan mengerahkan kemampuannya, maka
beberapa kali Mahisa Semu justru berhasil memotong gerak
lawannya, sehingga lawannya itu justru terkejut karenanya.
Lawannya y ang melihat Mahisa Semu m engalahkan ketiga
orang anak muda y ang telah dipengaruhi oleh tuak itu
memang sudah menduga bahwa anak muda itu memiliki
landasan ilmu kanuragan. Tetapi ia tidak mengira bahwa
tataran kemampuan ilmu kanuragan anak muda itu
sedemikian tinggi baginya, sehingga akhirnya ia mengalami
kesulitan. Tetapi ada satu hal kelebihan orang itu. Ia lebih tua dari
Mahisa Semu. Iapun ternyata memiliki pengalaman y ang luas
bertualang didunia kekerasan. Karena itu berdasarkan atas
pengalamannya, maka ia masih dapat bertahan lebih lama.
Bahkan sekali-sekali ia masih juga mampu membuat tipuantipuan
sehingga Mahisa Semu kadang-kadang terkejut
karenanya. Meskipun demikian, ketangkasan Mahisa Semu memang
membuat lawannya kadang-kadang harus berloncatan
mundur. Kaki Mahisa Semu seakan-akan menggapai-gapai
tubuhnya kemanapun ia menghindar. Sementara itu, kedua
tangannya dengan rapat m elindungi tubuhnya dari seranganserangan
lawannya y ang dengan tiba-tiba menerpanya.
Demikianlah, perkelahian itu m enjadi semakin seru. Pada
saat -saat y ang gawat, maka serangan-serangan Mahisa Semu
sempat masuk menembus pertahanan lawannya. Ketika
lawannya mengayunkan tangannya kearah kening Mahisa
Semu, maka Mahisa Semu dengan cepat merendah.
Demikian tangan lawannya itu terayun, maka dengan cepat
kaki Mahisa Semu yang memiringkan tubuhnya itu terjulur
langsung mengenai bagian bawah ketiak lawannya.
Lawannya itu terdor ong surut. Tetapi dengan berputar satu
lingkaran dan sedikit merendah, iapun segera mempersiapkan
diri. Ketika kemudian Mahisa Semu meloncat m emburunya,
maka Mahisa Semu justru terkejut. Lawannya itu sempat
bergeser selangkah kesamping. Namun kemudian ia meloncat
maju dengan tangan kawannya y ang terjulur lurus. Untunglah
bahwa Mahisa Semu sempat memiringkan kepalanya,
sehingga yang dikenai serangan lawannya itu hanyalah daun
telinganya Meskipun demikian rasa-rasanya daun telinganya itu
menjadi panas. Bukan saja karena sengatan rasa sakit. Tetapi
juga kemarahan y ang menerpa jantungnya.
Karena itu, maka Mahisa Semu menjadi semakin garang
pula. Jika semula ia masih menghormati lawannya yang
umurnya lebih tua daripadanya, maka kemudian, Mahisa
Semu seakan-akan telah m elupakannya. Anak muda itu telah
mengerahkan tenaga dalamnya sejauh tingkat
kemampuannya. Namun demikian, tenaga Mahisa Semu itu
seakan-akan telah menjadi berlipat.
Dengan demikian, m aka serangan-serangan Mahisa Semu
menjadi semakin kuat dan semakin keras, sehingga dengan
demikian, maka lawannya itu menjadi semakin mengalami
kesulitan. Pemilik kedai itu mulai menjadi gelisah. Anak itu
ternyata bukan anak muda kebanyakan. Ia memiliki kelebihan dari bukan saja
anak-anak muda sebay anya.
Tetapi orang-orang yang lebih tua dan lebih berpengalaman. Sebenarnyalah bahwa Mahisa Semu semakin lama semakin menguasai lawannya. Seranganserangannya
menjadi semakin cepat dan semakin
keras. Bahkan semakin banyak seranganserangannya
y ang mampu menyusup dan menguak pertahanan lawannya.
Dengan demikian, maka keadaan orang itu menjadi
semakin sulit sementara Mahisa Semu sudah terlanjur
menjadi marah. Ketika serangan kakinya mengenai lam bung
lawannya, maka lawannya itu telah terdorong beberapa
langkah surut. Namun Mahisa Semu masih memburunya.
Serangan berikutnya dilontarkannya dengan kakinya pula.
Sambil memiringkan tubuhnya, maka serangannya datang
meluncur dengan derasnya.
Orang itu tidak sempat menghindar. Serangan kaki itu
ternyata tepat hinggap didadanya.
Ternyata serangan itu telah m engakhiri perlawanan orang
itu. Ia terdor ong dengan derasnya dan tidak lagi mampu
mempertahankan keseimbangannya.
Orang itupun kemudian telah jatuh terlentang. Demikian
kerasnya sehingga tulang punggungnya serasa akan patah.
Ketika orang itu berusaha untuk bangkit, maka ia hanya
dapat meny eringai menahan sakit. Bahkan kemudian
terdengar ia mengerang kesakitan.
Sementara itu, pemilik kedai itupun menjadi gelisah.
Mahisa Murti yang tidak t erlibat dalam perkelahian itu telah
berdiri didekat pemilik kedai itu. Dengan nada dalam ia
berdesis "Ki Sanak. Apakah kau akan membantunya. Kau lihat,
tidak ada y ang dapat melawan adikku itu. Tetapi jika kau
ingin, maka kau dapat melakukan. Atau kau akan mencobai
aku sebagaimana pesannya tadi. Bukankah kau tadi dipesan
untuk mengawasi aku."
Pemilik kedai itu berdiri termangu-mangu. Namun ketika
Mahisa Murti menggeram, maka ia mulai menjadi gemetar.
"Aku memiliki kemampuan berlipat dari adikku itu. Nah,
jika kau ingin mencobanya, m arilah. Aku akan mengajarimu
agar kau sekali-sekali mau mendengarkan pendapat orang
lain." Tetapi pemilik kedai itu justru berkata dengan suara
bergetar "Ki Sanak. Kami mohon maaf. Jangan sakiti kami."
"Tetapi kawan-kawanmu sudah terlanjur kesakitan " desis
Mahisa Murti "supaya adil, maka kaupun harus disakiti."
"Ampun. Aku mohon ampun Ki Sanak. Aku tidak akan
mengulangi kesalahan ini."
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Sementara itu,
Mahisa Amping berdiri bertolak pinggang. Ternyata ia
berkelahi dengan salah seorang anak muda y ang m abuk itu.
Namun tidak t erlalu lama, karena anak muda itu dengan
mudah didorongnya jatuh. Bahkan beberapa kali.
Mahisa Semupun masih b erdiri termangu-mangu. Namun
kemudian katanya "Ki Sanak. Marilah. Aku ingin berbicara
dengan kau dan kawanmu itu."
Pemilik kedai itu termangu-mangu sejenak. Ketika ia
melihat disekitarnya, ternyata masih ada beberapa orang yang
berdiri dihalaman kedainya itu. Justru bukan orang-orang
yang semula ada di kedai itu. Mereka datang ketika mereka
mendengar telah terjadi perkelahian di halaman kedai itu
antara beberapa orang lewat yang sempat singgah dan
dianggap mengganggu ketenangan orang-orang yang sering
ribut di kedai itu karena mabuk.
Mahisa Semupun kemudian melangkah mendekati
lawannya y ang punggungnya serasa patah itu. Katanya
"Bangkit dan dengar kata-kata kakakku."
"Punggungku sakit sekali" desis orang itu.
"Kau mau bangkit atau aku patahkan kakimu?" geram
Mahisa Semu sambil menangkap pergelangan kaki orang itu.
"Jangan. Jangan" minta orang itu.
"Jika demikian, cepat bangkit, sebelum aku kehabisan
kesabaran." bentak Mahisa Semu.
Dengan susah payah sambil meny eringai kesakitan orang
itu mencoba untuk bangkit. Betapapun sakitnya, namun ia
tidak ingin kakinya dipilin oleh anak muda itu sehingga patah.
Sementara itu Mahisa Amping sambil bertolak pinggang
membentak anak muda y ang mabuk itu "Bangun. Dengar
kakakku berbicara. Kau dan kawan-kawanmu harus
merangkak mendekat dan mendengarkan kata-katanya. "
Tetapi Mahisa Murtilah yang kemudian memanggilnya.
Demikian Mahisa Amping mendekat, Mahisa Murtipun
berkata "Mereka sedang mabuk. Sulit untuk mengerti katakatamu."
Mahisa Amping termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian dua orang diantara anak-anak m uda y ang m abuk
itu telah muntah-muntah di halaman itu.
Mahisa Amping memalingkan wajahnya sambil berdesis
"Mereka harus dihukum."
"Bukan kita y ang akan menghukumnya." jawab Mahisa
Murti. "Siapa?" bertanya Mahisa Am ping.
"Kita akan berbicara dengan pemilik kedai itu " desis
Mahisa Murti. Mahisa Amping justru termangu-mangu. Namun ia tidak
menjawab lagi. Orang y ang kesakitan punggungnya dan pemilik kedai
itupun kemudian berdiri dengan wajah pucat dihadapan
Mahisa Murti. Sementara beberapa orang datang dari rumahrumah
yang tidak terlalu jauh dari kedai itu, serta beberapa
orang y ang masih berada di pasar disebelah.
Sebelum Mahisa Murti bertanya kepada kedua orang itu,
Mahisa Murti ju stru bertanya kepada orang-orang yang
berkerumun "Nah, apakah kata kalian tentang kedai ini?"
Seorang yang rambutnya sudah mulai ubanan m elangkah
maju mendekat sambil berkata "Apakah maksud angger
sebenarnya" Apakah yang angger maksud tentang anak-anak
muda yang sering bermabuk-mabukan di kedai ini?"
"Ya " jawab Mahisa Murti "apakah tidak ada akibat bagi
para penghuni rumah disekitar tempat ini atau mereka yang
masih berada di pasar itu?"
Orang y ang berambut ubanan itu menarik nafas dalamdalam.
Katanya "Sebenarnyalah bahwa sudah agak lama kami
ingin berbicara tentang hal itu. Tetapi pemilik kedai ini
agaknya tidak senang mendengarkan pendapat kami."
"Tidak " sahut pemilik kedai itu dengan serta merta. "Bukan
maksudku. Tetapi selama ini memang tidak ada orang yang
memberi aku petunjuk."
"Kau jangan mengada-ada " bentak Mahisa Murti "ketika
aku menyatakan pendapatku, kau langsung menjadi m arah.
Kau panasi hati anak-anak muda itu, sehingga mereka
menyerang kami." "Tetapi, bukan maksudku menolak pendapatmu ngger "
jawab pemilik kedai itu. "Ingat. Aku dapat berbuat apa saja terhadapmu. Aku dapat
memukulmu sampai kepalamu menjadi retak. Kau lihat,
bahwa orang-orang yang datang sekarang tidak semuanya
akan membantumu." "Tetapi aku mau m endengarnya" orang itu mulai m enjadi
gagap. Ketika Mahisa Murti memandanginya dengan
wajahyang bersungguh-sungguh orang itu berkata dengan
suara yang menjadi gemetar lagi. "Ya. Ya. Aku akan
mendengarnya."

04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara itu Mahisa Murti bertanya kepada orang y ang
rambutnya mulai beruban itu "Bagaimana pendapat kalian"
"Anak-anak muda y ang mabuk itu kadang-kadang memang
mengganggu," jawab orang itu bahkan tidaa mengenal waktu"
Mahisa Murti mengangguk-angguk kecil. Sementara
seorang perempuan berkata "Anakku mulai minum tuak juga."
Mahisa Murti memandangi pemilik kedai itu dengan
tajamnya. Sementara itu pemilik kedai itu menjadi semakin
cemas. Orang-orang yang biasanya berdiam diri dan tidak
berani m enyatakan sikapny a itu, telah mulai m engungkapkan
perasaan mereka. Seorang demi seorang akan terpancing
untuk menyatakan pendapatnya.
Sebenarnya bahwa orang-orang y ang tinggal disekitar kedai
itu serta orang-orang yang terbiasa berada di pasar, ternyata
sependapat, bahwa kedai yang meny ediakan tuak itu kurang
bijaksana. Apalagi pendapat beberapa orang perempuan yang
anaknya sudah mulai dipengaruhi oleh tuak.
Mahisa Murtipun mengangguk-angguk sambil berkata
kepada pemilik k edai itu "Nah, kau dengar pendapat mereka.
Mereka sebenarnya berkeberatan. Tetapi aku tidak tahu
kenapa mereka selama ini hanya berdiam diri saja. Mungkin
karena kau memiliki seorang upahan yang berilmu
sebagaimana orang y ang ternyata tidak dapat mengalahkah
adikku itu." Tetapi orang itu tiba-tiba saja menyahut meskipun m asih
harus menyeringai menahan sakit "Aku bukan orang upahan."
"O" Mahisa Murti berpaling kepadanya "jadi kenapa kau
pertaruhkan dirimu untuk membelanya " Jika kau m enerima
upah untuk pekerjaan itu, maka namanya kau orang upahan,
karena upah itulah yang menentukan, apakah kau akan
melakukan pekerjaan itu atau bukan."
"Tetapi aku bukan orang upahan " jawab orang itu.
"Jadi kenapa ?" desak Mahisa Murti.
Orang itu justru menjadi ragu-ragu. Tetapi pemilik kedai
itulah y ang kemudian menjawab Orang itulah yang
memberikan tuak kepadaku. Semakin banyak anak-anak yang
minum, maka semakin banyak pula tuaknya laku."
Mahisa Murti berdesah perlahan. Katanya "Jika demikian,
maka kalian berdualah y ang bertanggungjawab jika semakin
banyak anak-anak muda yang menjadi terbiasa m inum tuak.
Mereka akan menjadi ketagihan. Bahkan semakin lama
mereka minum semakin banyak. Tuak kalian memang menjadi
semakin laris. Tetapi apakah kalian berpikir tentang akibatnya
yang dapat terjadi atas anak-anak muda itu " Lihat, apa yang
telah mereka kerjakan sejak pagi sampai sesiang ini " Dudukduduk,
minum tuak, mabuk kemudian muntah-muntah dan
tidur atau m engganggu orang lain. Sementara itu anak-anak
muda yang lain sedang sibuk bekerja keras untuk membentuk
masa depan mereka." Pemilik kedai dan orang y ang kesakitan di punggungnya itu
tidak menjawab. Namun Mahisa Murtipun berkata terus "Nah, sekarang
terserah orang-orang y ang tinggal disekitar kedai ini. Kalian
harus mendengarkan pendapat mereka. Aku sendiri m emang
sering lewat jalan ini. Aku sudah m elihat orang keluar masuk
kedai ini, termasuk anak-anak muda. Tetapi baru sekarang
kami sempat singgah disini dan m enyaksikan apa y ang ada
didalam kedai ini." Pemilik kedai dan orang y ang kesakitan punggungnya itu
hanya menundukkan kepala mereka saja. Tetapi mereka sama
sekali tidak menjawab. Dalam pada itu, Mahisa Murti masih berkata kepada orangorang
y ang mengerumuninya "Ki Sanak. Selanjutnya terserah
kepada kalian. Jika kalian memang menentang, maka
sebaiknya kalian berbicara berterus-terang kepada pemilik
kedai. Sementara itu, kalian jangan tergesa -gesa
membebankan semua kesalahan kepada anak-anak muda itu.
Mereka harus mendapat bimbingan dan petunjuk bahwa apa
yang mereka lakukan bukan jalan terbaik bagi kehidupan
mereka kelak." Seorang y ang berambut ubanan itu berkata "Kami memang
memerlukan satu saat yang mengejutkan seperti ini. Dengan
demikian, m aka anak-anak itu akan m elihat kenyataan yang
mereka hadapi. Mereka semua sama sekali tidak menghargai
apa y ang telah ditentukan oleh banyak orang serta pemisahan
anggapan atas y ang baik dan yang buruk."
Pemilik kedai dan orang y ang punggungnya bagai patah itu
semakin menunduk. Kemudian seorangpun berkata lantang
"Kita akan m enutup kedai itu, nanti kalian pergi, maka kami
masih berteka-teki, apakah akan ada perubahan yang terjadi di
kedai ini. Bahkan mungkin kami, yang tentu akan dapat
dikenali oleh pemilik kedai dan pembuat tuak itu, akan
diancam oleh bahaya yang tidak akan dapat kami elakkan."
"Jangan takut" berkata Mahisa Murti "hal itu tidak akan
terjadi. Setelah aku mengetahui keadaan ini, maka tempat ini
akan selalu diawasi oleh para prajurit Singasari."
"Prajurit Singasari " Bukankah Singasari masih jauh ?"
bertanya orang bertubuh kecil itu.
"Ya. Singasari memang masih jauh. Tetapi prajurit itu akan
datang dan menghubungi bebahu Kabuyutan yang
membawahi tempat ini. Para prajurit itu akan dapat
membicarakan persoalan kedai ini dengan Ki Buyut dan para
bebahunya, sehingga pengawasan sehari-hari kedai ini ada
ditangan mereka." "Bagus" berkata orang bertubuh kecil itu. Agaknya ia
memiliki keberanian untuk berbicara lebih terbuka dari
kawan-kawannya m eskipun tubuhnya kecil. Kemudian iapun
berkata pula "sebaiknya para prajurit itu memang berbicara
dengan Ki Buyut. Jika mereka hanya berbicara dengan Ki
Bekel, maka tidak akan ada artinya lagi."
"Kenapa ?" bertanya Mahisa Murti.
"Kita disini semuanya tahu, apa y ang dilakukan oleh Ki
Bekel. Tetapi tidak seorangpun diantara kami y ang berani
berbicara. Kamipun tidak tahu dengan siapa kami harus
berbicara." "Apa ?" bertanya Mahisa Murti.
"Pemilik kedai dan pembuat tuak itu memiliki ilmu dan
kemampuan. Sedangkan Ki Bekel mempunyai kekuasaan yang
juga bersandar pada kekuatan beberapa orang bebahunya.
Sementara itu tuak menghasilkan uang. Nah?"
Tetapi seorang y ang lain berteriak "Bakar saja gubug yang
telah menyesatkan itu. Dua adikku mulutnya telah mulai
berbau tuak. Kelakuannya sudah tidak dapat dikendalikan lagi.
Mereka juga sering berada dikedai ini."
Sementara itu, m aka Mahisa Murtipun berkata "Baiklah.
Kami serahkan pemilik k edai itu kepada kalian, apapun yang
akan kalian lakukan. Namun satu hal y ang perlu aku
pesankan, kalian harus memperlakukan mereka sebagaimana
kalian memperlakukan sesama, karena mereka juga
mempunyai perasaan serta nalar budi."
"Kami akan menghukum mereka " teriaki seseorang.
"Itu tidak perlu " jawab Mahisa Murti "t etapi kalian harus
yakin, bahwa di kedai ini tidak akan dijual tuak."
Pemilik kedai itu termangu-mangu. Namun kemudian
Mahisa Murti berkata sekali lagi "Aku akan sering lewat jalan
ini. Karena itu, maka kalian harus melakukan apa yang
seharusnya kalian lakukan menurut pertimbangan nalar budi
kalian. Meskipun sekali lagi aku peringatkan, mereka harus
diperlakukan sebagaimana kita memperlakukan diri sendiri. "
Demikianlah, maka Mahisa Murtipun kemudian berkata
"Aku mengerti. Sekarang akan melanjutkan perjalanan. Jika
terjadi sesuatu, maka aku akan cepat mengerti."
Orang-orang yang berkerumun itupun menganggukangguk.
Ketika seorang yang bertubuh kecil meny eruak
kawan-kawannya dan kemudian berdiri dipaling depan,
Mahisa Murtipun bertanya "Ada y ang akan kau katakan ?"
"Ya " jawab orang itu "selama ini diantara kami m emang
tidak ada y ang berani berbuat sesuatu. Pemilik kedai dan
orang yang membuat tuak itu adalah orang-orang yang
ditakuti. Mereka dapat berbuat apa saja terhadap kami. Jika
uang itulah pusar dari persoalan yang sebenarnya kami hadapi
disini, sehingga Ki Bekelpun tidak bemiat untuk menghentikan
penjualan tuak di kedai ini."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya "Aku mengerti
sekarang apa yang terjadi disini. Baiklah. Aku berjanji, bahwa
petugas dari Singasari akan menghubungi Ki Buyut. "
Orang bertubuh kecil itu mengangguk-angguk. Namun
diwajah beberapa orang Mahisa Murti m asih m elihat keraguraguan.
Karena itu Mahisa Murtipun berkata "Kalian tidak usah
takut atau ragu-ragu menghadapi per soalan ini. Tetapi juga
tidak usah bertindak b erlebihan sebagaimana dikatakan oleh
beberapa orang untuk menghukum pemilik kedai itu dan
pembuat tuak itu. Biarlah Ki Buyut menangani hal ini."
"Sebenarnya kami tidak takut terhadap kedua orang itu "
berkata seorang y ang bertubuh kekar "bahkan kami siap
menghukumnya beramai-ramai. Jika selama ini kami hanya
berdiam diri, karena kami memang menghormati sikap Ki
Bekel. Tetapi tentu ada batas-batas tertentu. Yang kalian
lakukan adalah semacam awal dari langkah-langkah baik yang
dapat dilakukan disini."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun sebelum
pembicaraan berkepanjangan, maka orang-orang itu tertegun.
Orang yang siap untuk menghukum itupun terdiam pula.
Beberapa orang telah mendatangi tempat itu. Orang itulah
yang disebut Ki Bekel. "Apa yang terjadi disini. Seseorang telah melaporkan bahwa
ada orang y ang berusaha mengacaukan ketenangan di tempat
ini." berkata Ki Bekel yang datang diiringi oleh beberapa orang
bebahu yang memang sering menakut-nakuti orang-orang
padukuhan y ang cukup besar itu.
Mahisa Murtilah y ang kemudian melangkah m aju sambil
menjawab lantang "Akulah orangnya. Bukankah kau Bekel
yang berkuasa di padukuhan ini ?"
"Ya. Aku penguasa padukuhan ini. " jawab Ki Bekel.
"Bagus" berkata Mahisa Murti "aku pesan kepadamu, awasi
kedai ini. Di kedai ini tidak boleh lagi dijual tuak y ang dapat
meracuni anak-anak muda. Bahkan mereka dalam keadaan
mabuk telah mengganggu ketenangan padukuhan ini. "
"Siapa kau ?" bertanya Ki Bekel.
"Siapapun aku, itu tidak penting. Tetapi dengar
keteranganku. Orang-orang y ang berkerumun ini sependapat,
bahwa tidak sepantasny a di kedai ini dijual tuak, karena anakanak
mereka mulai dijalari penyakit minuman itu. Tetapi
selama ini kau tidak berbuat apa-apa untuk mencegahnya. "
"Setan kau " geram Ki Bekel "kau berbicara dengan aku, Ki
Bekel yang berkuasa di padukuhan ini. "
"Aku tidak peduli. Orang-orang disekitar kedai ini sudah
mulai bangkit. Mereka tidak lagi dibayangi oleh ketakutan.
Bahkan mereka sudah siap untuk bertindak, menghukum
pemilik kedai dan penjual tuak itu. Tetapi itu bukan wewenang
mereka. Tetapi wewenangmu."
"Kau jangan mengigau seperti itu. Ingat, disini aku
mempunyai wewenang sepenuhnya. Aku dapat bertindak
atasmu" berkata Ki Bekel.
Tetapi Mahisa Murti seakan-akan tidak mendengarnya.
Bahkan ia b erkata "Akan datang petugas dari Singasari untuk
menata pergaulan hidup di padukuhan ini."
Tetapi Ki Bekel yang marah itu m enjawab lantang "Omong
kosong. Aku tidak percaya kepada kata -katamu itu."
"Aku tidak akan m emaksamu untuk percaya. Tetapi pada
saatnya petugas dari Singasari itu akan datang bersama
sekelompok prajurit. Jika kau keras kepala, maka kau akan
ditangkap." "Aku tidak menunggu prajurit dari Singasari. Akulah y ang
akan menangkapmu sekarang. " teriak Ki Bekel.
Pemilik kedai dan orang yang ternyata pembuat tuak yang
sudah menjadi ketakutan, tiba -tiba telah menengadahkan
kepalanya lagi. Sebalikny a orang y ang telah berteriak untuk
menghukum pemilik kedai dan pembuat tuak itu menjadi
ragu-ragu. Bagaimanapun juga, Ki Bekel adalah seorang yang
berilmu. ?"?"d"w?"?"
(Bersambung ke Jilid 115)
Conv ert, Edit, Ebook by HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid 115 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo, Arema
Converter & Editor Ebook :
--?""0dw0?""Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 115 KI BEKEL PUN kemudian telah memberi isyarat kepada
para bebahu untuk melaksanakan perintahnya. Bahkan
katanya kemudian "Jika mereka melawan, buat mereka
menjadi jera." "Kau tidak akan dapat bertindak apa-apa Ki Bekel. Orangorangmu
akan bangkit menentangmu." sahut Mahisa Murti.
Tetapi Ki Bekel berteriak "Siapa y ang berani menentang
aku, penguasa di padukuhan ini " Siapa ?"
Ternyata sikap dan suara Ki Bekel benar-benar
berpengaruh. Orang-orang y ang semula telah nampak bangkit
dan mendapatkan keberanian untuk menentukan sikapnya,
tiba -tiba sudah berubah. Mereka justru terdiam dan berdiri
seperti patung. "He, kenapa kalian diam saja ?" bertanya Mahisa Murti
"tunjukkan bahwa kalian sekarang sudah bersikap."


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi Ki Bekel berteriak "Siapa yang ingin mati lebih
dahulu?" Tidak seorangpun yang berani bergerak. Bahkan ujung jari
kakinya sekalipun. Ki Bekelpun tertawa berkepanjangan. Katanya kepada
pemilik kedai itu "Nah, bukankah ketenangan kedaimu tidak
akan diganggu oleh orang-orang itu ?"
"Ya Ki Bekel" jawab pemilik kedai itu.
"Nah, sekarang, apa yang akan kau lakukan atas orang itu "
bertanya Ki Bekel. "Orang itu harus menjadi jera." jawab pemilik kedai itu.
"Lakukan. Aku akan menungguimu. Jika orang itu mencoba
untuk melawan, maka serahkan orang itu kepadaku." berkata
Ki Bekel kepada pemilik kedai itu.
"Serahkan kepadaku" geram pembuat tuak itu
"punggungku rasa-rasanya sudah dipatahkan oleh anak muda
itu aku akan membalas, tetapi terhadap orang yang
bertanggung jawab ini. "
Wajah-wajahpun menjadi tegang. Orang y ang punggungnya
bagaikan patah itu, sempat menyuruh seseorang "Ambil
cemeti kuda itu." Orang yang diperintahkan untuk mengambil cemeti kuda
itu termangu-mangu. Ia tidak melihat cemeti yang
dimaksudkan. Namun pembuat tuak itu berteriak "Ambil itu,
disudut kedai. " Barulah orang itu m engerti. Yang dimaksud cemeti kuda
adalah sepotong bambu yang disandarkan disudut kedai itu.
Dengan tanpa m embantah lagi, maka orang itupun telah
melangkah kesudut kedai itu untuk mengambil sepotong
bambu yang panjangnya hampir sepanjang tubuhnya sendiri.
Dalam pada itu Mahisa Murtipun menjadi tegang. Ia
menjadi bimbang, apakah sebaiknya dilakukan terhadap Ki
Bekel dan beberapa orang bebahu itu. Mahisa Murti sama
sekali t idak m enjadi ketakutan untuk m elawan mereka, tetapi
apakah ia harus menundukkan m ereka dengan kekerasan "
Yang dipikirkan oleh Mahisa Murti justru orang-orang yang
semula telah menyatakan tekadnya, namun dihadapan Ki
Bekel mereka tidak berani berbuat sesuatu.
"Jangan-jangan Ki Bekel akan m enumpahkan dendamnya
kepada mereka." berkata Mahisa Murti didalam hatinya.
Namun tiba -tiba Mahisa Murti mengerutkan dahinya.
Agaknya lebih baik baginya apabila ia menakut-nakuti bukan
sa ja pemilik kedai dan pembuat tuak itu . Tetapi juga Ki Bekel
dan para bebahu, sehingga mereka tidak akan berbuat sesuatu
yang dapat membuat orang-orang y ang sudah terlanjur
menyatakan sikapnya itu m engalami kesulitan di kemudian
hari. Karena itu, maka tiba-tiba saja Mahisa Murtipun berteriak
kepada orang y ang m engambil sepotong bambu itu "He, kau
yang akan mengambil cemeti kuda. Berhenti ditempatmu."
Orang itu terkejut. Ia m emang berhenti beberapa langkah
dari sudut kedai itu. "Jangan mengambil bambu itu." berkata Mahisa Murti
kemudian dengan nada tinggi.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
orang y ang m embuat tuak itu berteriak pula "Cepat. Jangan
dengarkan kata-katanya. Ia adalah orang y ang akan menerima
hukuman." Tetapi Mahisa Murti langsung menanggapi "Jika kau maju
lagi, maka kau akan mengalami kesulitan. "
"Omong kosong" ternyata Ki Bekel juga menjadi semakin
Pusaka Tombak Maut 1 Playboy Dari Nanking Karya Batara Mustika Naga Hitam 1

Cari Blog Ini