Ceritasilat Novel Online

Hijaunya Lembah Hijaunya 6

04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 6


diantara mereka. Karena itu, maka lebih dari sepuluh orang yang semula
ragu-ragu itu mulai bergerak. Meski pun masih ada juga
kebimbangan di hati mereka, tetapi mereka merasa bahwa
mereka pun tidak dapat berbuat lain.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah y ang kemudian
justru berusaha untuk mengurangi keterlibatan orang-orang
padukuhan itu. Karena itu, maka sebelum orang-orang
padukuhan itu bergerak lebih lanjut, maka Mahisa Murti pun
berkata: "Kita mulai sekarang, agar orang-orang padukuhan
itu melihat apa yang terjadi sebelum mereka terlibat lebih
jauh." Demikian Mahisa Murti m emberikan isy arat, maka kelima
orang itulah yang kemudian bergerak. Ampat orang
menghadap ke empat penjuru, sementara Mahisa Amping
menyesuaikan dirinya di tengah-tengah.
Ternyata mereka tidak menunggu delapan orang itu
menyerang. Justru keempat orang itulah yang meloncat lebih
dahulu dengan senjata teracu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah mempergunakan pedang mereka yang seakan-akan
bercahaya kehijauan. Sementara Mahisa Semu dan Wantilan
yang telah meningkatkan ilmu pedang mereka, telah memutar
senjata mereka dengan cepatnya.
Delapan orang yang melangkah mendekat untuk
mengepung kelima orang itu terkejut. Demikian Mahisa Semu
meloncat dengan pedang terjulur, orang-orang yang berada di
hadapannya telah terkejut. Seorang diantara mereka telah
menjadi sasaran ujung pedang Mahisa Semu, sehingga orang
tersebut telah meloncat menjauh untuk mengambil jarak.
Tetapi ujung pedang Mahisa Semu y ang mengejutkannya
itu telah menyambar pundaknya, sehingga luka pun telah
menganga. Darah telah mengalir dari luka itu.
Ketika Mahisa Semu berusaha memburunya, maka seorang
kawannya telah memotong gerak maju Mahisa Semu. Dengan
garangnya orang itu telah mengayunkan senjatanya
menyambar ke arah kepala Mahisa Semu. Namun Mahisa
Semu sempat menundukkan kepalanya itu. Dengan
tangkasnya ia meloncat sambil merendahkan tubuhnya.
Pedangnyalah y ang terjulur lurus menggapai lam bung
lawannya. Satu gerakan y ang juga tidak terduga-duga. Namun
lawannya sempat meloncat mundur, sehingga ujung pedang
Mahisa Semu tidak melubangi lambung lawannya itu. Meski
pun demikian maka lawannya itu harus menjadi semakin
berhati-hati. Ia menyadari, bahwa anak m uda itu bukannya
sekedar kebetulan mampu melukai kawannya di pundaknya.
Sementara itu Wantilan pun telah bertempur pula melawan
dua orang. Senjatanya ternyata telah membuat lawanlawannya
harus bekerja keras. Ternyata bahwa kekuatan
tenaga Wantilan pun telah mengejutkan lawannya pula. Ketika
senjata m ereka berbenturan m aka seorang lawannya hampir
sa ja kehilangan senjatanya.
Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat langsung
dapat menguasai lawan-lawan mereka masing-masing.
Pedangnya y ang berkilauan telah membuat lawan-lawannya
menjadi berdebar -debar. Orang-orang yang semula berteriakteriak
menantang bagaikan meruntuhkan bukit, tiba-tiba telah
menjadi gelisah. Langkah yang diambil oleh Mahisa Murti itu ternyata
memang berarti. Lebih dari sepuluh orang yang telah siap
turun ke m edan menjadi semakin ragu-ragu. Mereka m elihat
delapan orang yang mereka ariggap berilmu tinggi, ternyata
tidak berdaya. Seorang lawan Mahisa Pukat telah kehilangan senjatanya,
ketika dengan keras sekali Mahisa Pukat dengan sengaja
memutar dan kemudian mengungkit senjata itu. Senjata
lawannya itu telah terlempar tinggi ke udara. Kemudian jatuh
beberapa langkah dari lawannya y ang menjadi termangumangu
itu. Tetapi ia tidak sempat mengambil senjatanya itu. Ketika ia
berusaha meloncat menggapai senjatanya itu, m aka pedang
Mahisa Pukat yang terayun mendatar, telah menyambar
punggungnya sehingga orang itu berteriak kesakitan. Dengan
keras ia terdor ong jatuh terjerembab. Kemudian berguling
beberapa kali untuk menjauhi lawannya. Namun ketika ia
meloncat bangkit, terasa punggungnya disengat oleh perasaan
sakit dan pedih. Apalagi ketika keringatnya mulai m embasahi
lukanya itu. Meski pun demikian, ketika lawannya menyerang Mahisa
Pukat dari arah samping dan berhasil mendesaknya mundur,
orang y ang terluka di punggungnya itu sempat mengambil
senjata yang terjatuh dan turun kembali ke medan
pertempuran. Tetapi tenaganya telah menjadi jauh susut. Darah y ang
mengalir dari lukanya telah membuatnya menjadi semakin
lama semakin lemah. Mahisa Murti yang tidak mempergunakan ilmunya untuk
menghisap tenaga lawannya sebagaimana Mahisa Pukat, ingin
menunjukkan kepada lebih dari sepuluh orang yang mulai
bergerak, bahwa delapan orang yang mereka takuti itu tidak
berarti apa-apa bagi Mahisa Murti dan saudara-saudaranya.
Karena itu, maka dengan tangkasnya Mahisa Murti
berloncatan dengan mempermainkan pedangnya yang
berkilauan memancarkan cahaya kehijauan.
Lebih dari sepuluh orang menyaksikan pertempuran itu
berlangsung. Mereka tidak m elihat lontaran ilmu y ang tidak
dapat mereka m engerti. Mereka melihat kedua belah pihak
bertempur sebagaimana mereka lihat pertempuranpertempuran
yang lain. Namun mereka melihat bahwa kelima
orang itu mampu mengatasi delapan orang y ang mereka
anggap orang-orang yang tidak terkalahkan. Delapan orang
yang sangat mereka takuti. Tetapi ternyata melawan lima
orang, seorang diantaranya anak-anak y ang lebih banyak
menyesuaikan diri diantara keempat orang yang lain, delapan
orang itu tidak berdaya sama sekali.
Dengan demikian maka lebih dari sepuluh orang
padukuhan y ang diajak oleh delapan orang itu untuk
menangkap orang-orang dari padepokan Bajra Seta tidak
berani bergerak lebih jauh. Mereka telah b erdiri tidak begitu
jauh. Namun ketika delapan orang itu terdesak dan tidak
mampu berbuat apa -apa m enghadapi k elima orang itu, maka
mereka pun menyadari, bahwa mereka yang tidak mempunyai
kemampuan sebagaimana delapan orang itu, tentu tidak akan
berarti sama sekali. Mereka akan dengan serta merta
dikalahkan dan bahkan m ungkin mereka akan begitu cepat
mati jika m ereka memaksa diri untuk m elawan orang-orang
Bajra Seta itu. Delapan orang y ang dikalahkan oleh orang-orang Bajra
Seta itu mengumpat tidak habis-habisny a sambil berusaha
untuk bertahan. Seorang diantara m ereka sempat berteriak:
"He, pengecut. Kenapa kalian tidak berbuat sesuatu."
Namun kata-katanya terputus ketika ujung senjata
Wantilan justru menyentuh lengannya.
Sebenarnyalah hampir semua dari delapan orang itu telah
terluka. Meski pun luka m ereka pada umumnya tidak parah,
namun karena darah mengalir terus, maka mereka telah
terpengaruh. Tenaga mereka telah susut, karena terhisap oleh
ilmu Mahisa Murti atau Mahisa Pukat, tetapi karena darah
mereka yang semakin lama semakin banyak mengalir.
Semakin kuat mereka mengerahkan tenaga, m aka darah itu
menjadi seakan-akan terperas dari tubuh mereka.
Akhirnya, delapan orang itu tidak lagi mampu bertahan.
Ampat dari orang Bajra Seta itu benar-benar tidak terlawan.
Sehingga akhirnya, ketika luka-luka m ereka semakin banyak
tergores di kulit m ereka, maka delapan orang itu pun benarbenar
telah kehilangan kesempatan untuk melindungi diri
mereka. Seandainya orang -orang Bajra Seta itu benar-benar
ingin membunuh mereka, maka mereka akan segera mati.
Tetapi y ang terdengar kemudian adalah suara Mahisa Murti
membentak: "Meny erahlah, atau kepala kalian akan terlepas
dari leher kalian." Delapan orang y ang sudah terluka itu memang tidak
mempunyai pilihan lain. Tenaga mereka sudah tidak mampu
lagi untuk bertempur. Bahkan untuk melarikan diri sekalipun.
Darah mengalir dri luka-luka yang tergores di punggung, di
pundak, di lengan dan di lambung.
Karena itu, maka pemimpin dari kedelapan orang itu pun
akhirnya berkata keras-keras: "Baiklah. Kami menyerah."
"Lepaskan senjata kalian." perintah Mahisa Murti.
Pemimpin dari antara mereka telah melemparkan
senjatanya. Demikian pula ke tujuh orang yang lain.
Sementara itu lebih dari sepuluh orang padukuhan berdiri
termangu-mangu. Mereka memang merasa beruntung, bahwa
mereka belum melibatkan diri. Namun sementara itu, mereka
mulai menjadi cemas, bahwa kedelapan orang itu akan
mendendam kepada mereka untuk melakukan hal-hal yang
tidak mereka sangka-sangka sebelumnya.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti berkata: "Kalian,
delapan orang, ikut kami ke padepokan Bajra Seta y ang sudah
tidak terlalu jauh lagi."
"Jangan," minta pemimpinnya: "jangan bawa kami ke
padepokan kalian." "Ada dua pilihan," berkata Mahisa Murti: "Mati atau ikut
kami ke padepokan Bajra Seta."
Delapan orang itu termangu-mangu. Sementara Mahisa
Murti berkata: "Aku tahu bahwa yang lain dari delapan orang
ini adalah orang-orang padukuhan yang berhasil kalian hasut
untuk membenci padepokan Bajra Seta y ang belum mereka
kenal. Karena itu, maka kami akan membiarkan mereka
kembali ke padukuhan mereka, sementara kalian ikut bersama
kami." "Tubuhku menjadi sangat lemah. Itu tidak mungkin bahwa
kami harus berjalan ke padepokan Bajra Seta," berkata salah
seorang dari antara mereka.
"Kami akan memberi obat sementara bagi kalian agar darah
kalian m enjadi pampat. Tetapi sesudah itu, siapa y ang tidak
mampu berjalan sampai ke padepokan Bajra Seta, ia akan
kami bunuh di perjalanan. Kami tidak sedang bermain-main,"
geram Mahisa Murti. Sikap Mahisa Murti yang garang memang mampu
menggetarkan jantung orang-orang itu. Karena itu, maka
mereka tidak dapat menolaknya.
Seperti yang dikatakan oleh Mahisa Murti, maka delapan
orang itu pun telah mendapatkan obat sementara, sehingga
darah tidak lagi mengalir dari luka-luka mereka.
Namun kemudian, delapan orang itu harus mengikuti
perintah para pengembara itu untuk ikut bersama mereka.
Sementara itu kepada orang-orang padukuhan Mahisa
Murti berkata: "Jika kalian ingin m endapat keterangan yang
sebenarnya dari padepokan Bajra Seta, berhubunganlah
dengan orang-orang dari padukuhan terdekat. Kalian ternyata
telah mendengar keterangan tentang padepokan Bajra Seta
dari orang-orang y ang kecewa, y ang telah gagal meny erang
dan ingin menguasai padepokan itu."
Orang-orang padukuhan itu termangu -mangu. Mereka
memandangi kedelapan orang itu dengan cemas. Jika pada
suatu saat mereka kembali, maka mereka mungkin sekali
akan-membalas dendam terhadap orang-orang padukuhan.
Bahkan mungkin kawan-kawan mereka. Tetapi jika mereka
membantu delapan orang itu, maka lima orang pengembara
yang m engaku berasal dari padepokan Bajra Seta itulah yang
akan menghancurkan mereka.
Dengan demikian maka orang-orang padukuhan itu berdiri
termangu-mangu. Mereka merasa bahwa apa pun yang
mereka lakukan akan menimbulkan akibat buruk bagi mereka.
Namun ketika orang -orang Bajra Seta yang membawa
delapan orang itu menjauh, maka seorang diantara orangorang
padukuhan itu berkata: "Kita mencari keterangan
tentang orang-orang Bajra Seta."
"Untuk apa"," bertanya kawannya.
"Mungkin kita memerlukan perlindungan m ereka," jawab
orang itu. Kawan-kawannya termangu-mangu. Namun agaknya itu
adalah satu-satunya jalan y ang dapat mereka tempuh.
Karena itu, maka salah seorang dari mereka berkata:
"Baiklah. Kita mencari keterangan di padukuhan-padukuhan
sekitar padepokan itu. Nampaknya mereka akan membantu
kita dalam upaya untuk melihat kebenaran tentang padepokan
Bajra Seta itu." Orang-orang padukuhan itu akhirnya sependapat. Mereka
memang harus membuat hubungan dengan padepokan Bajra
Seta karena mereka akan dapat menjadi sa saran dendam
orang-orang yang untuk beberapa lama berpengaruh di
padukuhan mereka dan meny ebarkan keterangan tentang
padepokan Bajra Seta sebagai satu padepokan y ang menganut
ilmu sesat. "Tetapi tentu tidak sekarang," berkata seorang diantara
mereka: "kelima orang dengan membawa delapan orang
tawanan itu hari ini tentu baru akan sampai ke padepokan
mereka. Bahkan mungkin menjelang malam."
"Ya. Dua atau tiga hari lagi. Mudah-mudahan delapan
orang itu tidak segera dilepaskan dan kemudian kembali ke
padepokan ini untuk membalas sakit hatinya," desis yang lain.
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Ra sa-rasanya
mereka telah melihat mendung yang tebal tergantung di langit
di atas padukuhan mereka.
Namun tiba -tiba salah seorang diantara mereka berkata:
"Apakah kita tidak dapat berbuat sesuatu sebelum kita
berhubungan dengan padepokan Bajra Seta" Bukankah
jumlah kita lebih banyak dari mereka yang hanya delapan
orang itu. Jika kita berniat, kita dapat membangkitkan gairah
orang-orang padukuhan ini untuk berbuat sesuatu. Untuk
berani menyatakan diri dengan sikapnya."
Yang lain termangu-mangu sejenak. Namun rasa-rasanya di
dalam darah mereka telah mengalir api y ang hangat merambat
dan membakar jantung mereka.
Seorang diantara mereka tiba -tiba saja berkata lantang:
"Ya. Kita dapat berbuat banyak. Kita akan mengerahkan
semua anak-anak muda dan semua orang laki -laki di


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

padukuhan kita. Jika orang-orang itu benar-benar kembali
dan mengancam ketenteraman hidup kita, maka kita akan
melawannya sebelum k ita sempat mencari hubungan dengan
orang-orang Bajra Seta. Apalagi seandainya padepokan Bajra
Seta itu benar-benar satu perguruan ilmu sesat, maka kita
sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Sehingga kita
tidak akan digila s oleh dua kekuatan y ang saling bertentangan,
sementara kita tidak tahu menahu ujung pangkalnya."
Yang lain-lain pun tiba-tiba saja bagaikan orang y ang
bangun dari tidur yang ny enyak. Mereka bangkit sambil
berkata hampir berbareng: "Bagus. Aku sependapat."
"Kita akan berbicara dengan Ki Bekel," berkata orang yang
pertama. Orang-orang itu pun kemudian telah memutuskan untuk
berbicara dengan Ki Bekel. Selama mereka berada di bawah
pengaruh orang-orang yang bermusuhan dengan orang-orang
Bajra Seta itu, Ki Bekel hampir tidak pernah mereka ajak
berbicara karena sikap Ki Bekel yang memang agak berbeda
dengan sikap mereka. "Ternyata pendapat Ki Bekel mengandung kebenaran,"
berkata orang yang pertama, "selama ini kita langsung
dihentak oleh satu kekuatan yang kita anggap tidak ada
batasnya, sehingga kita menjadi ketakutan. Namun kita
melihat, bahwa delapan orang itu tidak mampu mengalahkan
lima orang, sementara seorang diantara rnereka adalah anakanak
yang tidak banyak terlibat dalam pertempuran."
"Ya. Kita akan menghadap Ki Bekel untuk m inta maaf dan
minta persetujuannya," berkata kawannya y ang lain.
Dengan demikian, maka orang-orang itu pun segera
kembali ke padukuhan serta menunjuk tiga orang diantara
mereka untuk menghadap Ki Bekel.
Ternyata Ki Bekel merasa gembira atas perubahan sikap
mereka. Ki Bekel yang hampir berputus asa mengatasi
kegelisahanan orang-orang padukuhannya itu tiba-tiba saja
telah dikejutkan oleh perubahan sikap itu.
Orang-orang yang datang kepadanya telah m enceriterakan
apa y ang mereka sak sikan tentang orang-orang Bajra Seta itu.
"Biarlah aku sendiri mencari hubungan dengan padepokan
Bajra Seta. Tetapi aku minta satu dua orang diantara kalian
menjadi saksi," berkata Ki Bekel.
Tetapi mereka memang tidak akan pergi hari itu. Mereka
akan pergi di hari lain untuk mencari keterangan dan
kemudian mencari hubungan dengan orang -orang Bajra Seta.
Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan saudarasaudaranya
telah membawa delapan orang menuju ke
padepokan Bajra Seta. Delapan orang yang telah mereka
kalahkan. Di perjalanan kadang-kadang timbul pula niat
delapan orang itu untuk melarikan diri. Namun tubuh mereka
telah menjadi terlalu lemah. Meski pun darah m ereka sudah
pampat setelah mendapat pengobatan sementara, tetapi darah
sudah terlanjur terlalu banyak mengalir.
Karena itu, m aka perjalanan iring-iringan itu merupakan
perjalanan y ang lambat. Mahisa Murti dan saudarasaudaranya
menyadari, bahwa orang-orang itu sudah menjadi
sangat lemah. Meski pun setiap kali Mahisa Murti mengancam
akan membunuh mereka yang tidak sanggup lagi meneruskan
perjalanan, namun kekuatan sisa tenaga mereka memang
sangat terbatas. Sehingga dengan demikian mau tidak m au
maka iring-iringan itu memang harus beristirahat di
perjalanan. Ketika mereka berhenti di bawah sebatang pohon y ang
rindang maka rasa-rasanya kedelapan orang itu sudah tidak
ingin lagi bangkit berdiri dan meneruskan perjalanan. Namun
setiap kali Mahisa Murti berkata: "Siapa y ang tidak dapat lagi
meneruskan perjalanan akan aku bunuh dan m ayatnya akan
aku tinggalkan di pinggir jalan."
Mahisa Murti memang nampak bersungguh-sungguh.
Setiap kali tangannya sudah hinggap di hulu pedangnya.
Delapan orang y ang tidak mengenal Mahisa Murti dan
saudara-saudaranya itu memang menjadi cemas bahwa
jantung mereka benar-benar akan dilubangi oleh pedang anak
muda y ang mengerikan itu, sehingga mereka pun m emaksa
diri untuk dapat m eneruskan perjalanan betapa pun mereka
merasa letih. Di sepanjang jalan mereka hanya dapat minum air di belikbelik
di pinggir sungai. Mahisa Murti dan saudara-saudaranya
sama sekali tidak membawa kedelapan orang itu singgah
untuk makan dan m inum di kedai karena hal itu akan dapat
mengundang persoalan. Tetapi ternyata bahwa mereka tidak dapat menempuh
perjalanan yang tersisa itu hingga sampai ke padepokan Bajra
Seta pada hari itu. T ernyata mereka masih harus berhenti di
jalan dan bermalam di tempat terbuka.
Ternyata dingin malam telah menggigit kulit daging
mereka, sementara itu perut mereka pun menjadi lapar.
Tetapi tidak seorang pun y ang berani mempersoalkan perut
yang lapar itu. Mahisa Murti dan saudara-saudaranya memang
nampak begitu garang sehingga ke delapan orang itu benarbenar
menjadi ketakutan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat setiap kali m emang telah
membentak dan mengancam mereka. Dengan kata-kata keras
dan kasar mereka memaksa delapan orang itu berbaring
berjajar di atas rumput kering.
Menj elang tengah malam, maka satu dua diantara mereka
mulai mengantuk. Bahkan mata mereka mulai terpejam.
Mereka memang ingin segera tidur untuk melupakan perut
mereka y ang lapar. Namun tepat di tengah malam, maka ke delapan orang
yang sudah hampir tertidur itu terkejut. Seorang diantara
mereka telah meny entuh orang y ang terbaring di dekatnya
sambil berdesis: "Bangun. Bangun.
Orang yang berbaring di sisinya pun terbangun. Namun ia
pun segera m endengar suara burung keda sih y ang agak lain
dari suara burung kedasih y ang lain.
Delapan orang itu pun akhirnya telah membuka mata
mereka seluruhnya. Mereka semuanya telah mendengar suara
burung kedasih itu. Meski pun mulut mereka tidak mengucapkannya, namun
mereka berkata di dalam hati: "Guru telah datang untuk
menolong kami." Sikap mereka ternyata tidak luput dari tangkapan mata
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang masih belum tertidur.
Sementara Mahisa Semu dan Wantilan tidur disebelah
menyebelah Mahisa Amping.
Dengan tidak menarik perhatian mereka, maka Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat pun telah membangunkan mereka
pula. Mahisa Semu dan Wantilan pun mendengar pula suara
burung keda sih itu. Lamat-lamat. Namun semakin lama
semakin jelas bahwa suara itu bukan suara burung keda sih
yang sebenarnya. Dengan demikian maka keempat orang itu pun telah
bersiaga pula sepenuhnya. Mereka sadar, bahwa sesuatu akan
dapat terjadi malam itu. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
masih sempat berbincang. "Kita kurangi kekuatan delapan
orang itu," desis Mahisa Murti.
"Apakah mungkin mereka masih dapat berbuat sesuatu","
bertanya Mahisa Pukat hampir berbisik.
"Jika gurunya hadir, mereka akan mendapat semacam
kekuatan baru. Mereka, delapan orang akan dapat
mengganggu pemusatan perlawanan kita terhadap guru
mereka. Apalagi kita belum tahu, tataran kemampuan guru
mereka itu," berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun katanya
kemudian: "Tetapi jangan menjadikan mereka kehilangan
kemampuan untuk meneruskan perjalanan besok bagi m eski
pun jaraknya tidak jauh lagi."
Mahisa Murti masih sempat tersenyum. Katanya: "Aku juga
malas m endukung m ereka sampai ke padepokan. Tetapi jika
kita selesaikan persoalan kita dengan gurunya, mungkin kita
tidak perlu membawa mereka ke padepokan."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi ia masih juga
berbisik: "Jika perguruan mereka pernah meny erang
padepokan kita, jumlah m ereka tentu cukup banyak. Apakah
orang y ang datang itu bersama dengan banyak orang?"
"Kita belum tahu," jawab Mahisa Murti perlahan-lahan.
"Tetapi mereka tentu tidak akan sempat mempersiapkan
banyak orang dalam waktu singkat. Kecuali jika mereka
membuat perkemahan di sekitar tempat ini."
Keduanya pun kemudian terdiam. Suara burung kedasih itu
masih terdengar. Namun Mahisa Murti pun kemudian
memberikan isyarat kepada Mahisa Pukat untuk m endekati
delapan orang yang terbaring diam, meski pun sebenarnya
mereka tidak tertidur. Namun tiba -tiba saja Mahisa Murti meraba seorang
diantara mereka sambil berdesis: "He, kau belum tidur" "
Orang itu tidak menjawab. Mahisa Murti memang tidak
memerlukan jawaban. Ia tahu bahwa orang-orang itu tidak
sedang tidur. Tetapi ia hanya ingin menyentuh tubuh-tubuh
itu sejenak. Demikianlah pula yang dilakukan oleh Mahisa Pukat. Ia
pun telah meny entuh beberapa orang diantara para
tawanannya. Ternyata sentuhan-sentuhan itu telah m enyusut kekuatan
dan kemampuan delapan orang itu. Karena itu, seandainya
mereka kemudian bangkit dan m elupakan luka-luka m ereka,
namun mereka tidak lagi m emiliki kekuatan dan kemampuan
untuk melawan. Tetapi delapan orang y ang berbaring itu tidak segera
menyadari, karena mereka masih saja berpura-pura tidur.
Sementara itu buny i burung kedasih itu pun menjadi
semakin lama semakin jarang. Namun dengan demikian, maka
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menjadi semakin berhatihati.
Tetapi mereka sama sekali tidak menunjukkan sikap yang
menarik perhatian. Kedua orang anak m uda itu menyadari,
bahwa mereka masih belum dapat berbuat apa-apa selagi
suara burung kedasih itu masih jauh. Bahkan keduanya pun
kemudian telah duduk pula bersandar pohon.
Beberapa saat kemudian, maka suara burung kedasih itu
pun justru telah berhenti. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
memperhatikan delapan orang tawanan mereka yang m asih
berpura-pura tidur. Ternyata mereka mulai bergerak meski
pun masih sangat terbatas. Seorang diantara mereka tiba-tiba
sa ja telah terbatuk-batuk. Namun kemudian diam.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah bergeser pula
dengan sangat berhati-hati. Keduanya telah berkisar
memandangi arah yang berlawanan. Mereka memang
menduga, bahwa justru suara kedasih itu terdiam, maka
seseorang atau bahkan sekelompok orang justru mulai
bergerak. Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
menunggu. Sementara itu Mahisa Semu dan Wantilan pun
ikut mengamati pula kelingkaran diseputarnya. Mereka pun
mengerti, bahwa demikian suara burung keda sih itu hilang,
maka orang y ang melontarkan suara burung keda sih itu tentu
akan melakukan sesuatu yang lain.
Ternyata bahwa orang y ang dianggap guru oleh delapan
orang itu benar-benar telah berjalan didalam kegelapan
mendekati murid-muridnya.
Namun betapa pun orang itu berhati-hati, maka ketika
orang itu menjadi semakin dekat maka ketajaman mata anakanak
muda itu pun mampu menangkapnya. Terutama Mahisa
Murti yang kebetulan m enghadap ke arah orang itu berjalan
perlahan-lahan mendekati murid-muridnya yang terbaring
diam. Beberapa langkah dari murid-muridnya yang terbaring itu,
suara burung keda sih itu pun terdengar lagi. Justru lamatlamat
saja antara terdengar dan tidak terdengar. Tetapi ada
irama yang khusus y ang terdengar diantara suara burung
kedasih yang ngelangut itu.
Ternyata suara yang perlahan-lahan itu adalah satu isyarat.
Hampir serentak delapan orang itu pun telah meloncat
bangkit. Mereka telah siap untuk berbuat apa saja di hadapan
gurunya. Mereka tidak lagi takut mengalami mati.
Tetapi demikian mereka berdiri, hampir saja mereka
terjatuh kembali. Beberapa orang sempat terhuyung-huyung
sejenak. Namun mereka pun segera b erdiri tegak diatas kaki
mereka. Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Wantilan
pun telah terbangun pula. Wantilan masih juga sempat
membangunkan Mahisa Amping dengan kakinya.
Mahisa Amping masih sempat menguap. Namun ia pun
kemudian terkejut melihat kesiagaan orang-orang y ang berdiri
di sekitarnya. Bahkan delapan orang y ang mereka tawan itu
pun sudah berdiri pula. "Apakah mereka akan melarikan diri"," pertanyaan itu
timbul di dalam hatinya. Tetapi anak itu tidak
mengucapkannya. Ia menunggu saja sampai pada suatu saat ia
akan tahu apa y ang akan terjadi. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat memperhatikan
anak yang t ertatih-tatih berdiri itu. Bahkan keduanya sempat
bertanya di dalam hati: "Kenapa anak itu tidak menangkap
satu isy arat apapun" "
Sementara itu suara burung kedasih itu pun telah leny ap.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengetahui
dengan pasti, di mana orang yang menyuarakan suara burung
kedasih itu berada. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan saudarasaudaranya
telah dapat mengabaikan kedelapan orang itu.
Meski pun mereka kemudian tidak takut lagi untuk mati,
tetapi kekuatan mereka sama sekali tidak memadai lagi.
Mereka harus mengerahkan sisa tenaga mereka untuk berdiri
dan berjalan selangkah demi selangkah. Tubuh mereka
menjadi sangat lemah dan tulang-tulang mereka bagaikan
dilepas dari tubuh mereka.
"Apa yang telah terjadi"," bertanya orang -orang itu kepada
diri sendiri. Dalam pada itu, orang y ang menyuarakan suara burung
kedasih itu pun terkejut. Ternyata delapan orang y ang dibawa


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

oleh orang-orang Bajra Seta itu sudah tidak berdaya sama
sekali. "Luka mereka tentu sangat parah," desis orang y ang
bersembunyi itu didalam hatinya.
Karena itu, maka orang itu ingin menjajagi lebih jauh.
Sekali lagi orang itu melontarkan perintah dengan isyarat.
Delapan orang itu harus berbuat sesuatu tanpa menghiraukan
kematian yang akan dapat menerkam mereka dengan cepat.
Tetapi tidak seorang pun dari kedelapan orang itu y ang
berani melakukan sesuatu. Ketika beberapa orang diantara
mereka siap untuk meloncat, maka justru mereka hampir
jatuh tertelungkap. Karena itu, m eski pun mereka m engetahui maksud isyarat
suara burung keda sih itu, namun ternyata mereka tidak dapat
berbuat sesuatu. "Anak-anak iblis," geram orang y ang menyuarakan suara
burung kedasih itu. Orang itu m engira bahwa delapan orang itu tidak berdaya
lagi karena luka-luka mereka y ang parah.
Karena itu, maka orang itu tidak m enghiraukan kedelapan
orang itu lagi. Ia pun justru telah meloncat mendekati Mahisa
Murti dan saudara-saudaranya.
Mahisa Murti tidak terkejut. Demikian pula saudarasaudara
nya. Justru karena itu, maka orang itulah yang
terkejut. "Sudah agak lama kami menunggumu Ki Sanak," sapa
Mahisa Murti. " Ilmu dari iblis manakah y ang kalian sadap ini"," bertanya
orang itu. "Kenapa kau tiba-t iba saja marah" Bukankah kita belum
pernah bertemu sehingga kita tidak mempunyai persoalan","
bertanya Mahisa Murti. "Aku tidak peduli," jawab orang itu dengan suara parau,
"kalian telah memperlakukan murid-muridku di luar batas."
"Apa yang telah kami lakukan"," bertanya Mahisa Murti.
"Mereka terluka parah sehingga mereka tidak dapat berbuat
apa-apa," jawab orang itu.
"Mereka tidak terluka parah. Aku tidak berkeberatan Ki
Sanak melihat sendiri pada m ereka. Tetapi daya tahan tubuh
mereka memang sangat lemah. Dengan luka-luka y ang kecil
tergores di punggung, atau luka sejengkal y ang tidak t erlalu
dalam di dada atau luka di pundak bahkan segores kecil di
lengan telah membuat mereka tidak berdaya sama sekali,"
berkata Mahisa Murti. "Kau gila anak muda," geram orang itu.
"Yakinkan dirimu. Lihat anak-anakmu itu. Aku sama sekali
tidak berkeberatan," berkata Mahisa Murti.
Ternyata orang itu benar-benar ingin melihat apa y ang
telah terjadi. Ia pun telah mendekati delapan orang yang
berdiri dengan lemahnya itu.
Tetapi seperti y ang dikatakan oleh Mahisa Murti. Luka
mereka memang tidak terhitung terlalu parah. Meski pun
tidak hanya segores kecil. Seorang diantara mereka terluka
sampai di tiga tempat. Tetapi luka-luka itu bukan luka-luka
yang seharusnya membuat mereka tidak berday a sama sekali.
Apalagi orang itu melihat bahwa luka mereka telah pampat.
Jantung orang itu bagaikan bergetar semakin cepat. Tetapi
ia tidak segera dapat memecahkan teka -teki tentang muridmuridnya
itu. "Mungkin karena mereka dalam keadaan luka telah dipaksa
untuk berjalan cukup panjang," berkata orang itu didalam
hatinya. "Nah," berkata Mahisa Murti: "kau y akin sekarang, bahwa
anak-anakmu memang mempunyai day a tahan y ang sangat
lemah" " Orang itu menggeretakkan giginya. Kemarahan mulai
membakar jantungnya. Ketika ia mengetahui bahwa delapan
orang murid-muridnya digiring seperti itik yang
digembalakan, hatinya telah m enjadi panas. Apalagi ketika ia
melihat satu kenyataan, bahwa delapan orang itu memang
hanya terluka sedikit bagi seorang laki -laki yang memang
sudah terjun ke dunia oleh kanuragan.
"Apa pun yang telah terjadi," berkata orang itu: "kalian
semua akan mati. Kalian adalah orang Bajra Seta yang malang.
Ketika kami meny erang padepokanmu, maka orang-orang
padepokanmu mampu bertahan. Tetapi kalian y ang dengan
sombong berani keluar dari padepokan dan lewat daerah
pengamatan kami, maka kalian akan mati lebih dahulu
sebelum kami kembali untuk menghancurkan padepokanmu."
"Siapa kau"," bertanya Mahisa Murti.
"Aku adalah orang yang dipanggil Mpu Rangkut dari
perguruan Lawang Tunggal. Aku tidak senang terhadap
perguruan Bajra Seta yang dapat menghalangi perluasan
perguruanku ke daerah ini," geram orang itu.
"Apa sebabnya padepokan Bajra Seta kau anggap
menghalangi perkembangan perguruanmu"," bertanya Mahisa
Murti. "Pertanyaan y ang bodoh," orang itu menjadi semakin
marah. Lalu katanya: "Sekarang bersiaplah untuk mati. Kalian
berlima akan menjadi banten dari ketamakan perguruan
kalian itu." Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Tetapi ia pun
kemudian berkata: "Ki Sanak. Aku tidak mempunyai persoalan
dengan kau dan dengan perguruan Lawang Tunggal. Kaulah
yang bersikap memusuhi kami justru kami baru pulang dari
sebuah pengembaraan yang panjang. Namun aku sama sekali
tidak akan menghindar jika kalian memang menempatkan diri
sebagai lawan-lawan kami."
"Katakan apa y ang ingin kau katakan, karena
kesempatanmu memang tinggal sesaat y ang pendek. Mungkin
ada pesanmu bagi padepokan Bajra Seta atau pesanmu kepada
gurumu atau isterimu atau siapa pun juga. Kami akan
berusaha menyampaikannya agar kau tidak mendendam
sampai waktu yang tidak ada batasnya," berkata orang yang
mengaku bernama Mpu Rangkut itu.
Tetapi Mahisa Murti menjawab: "Aku sebenarnya ingin
tahu, ke mana mayatmu harus kami bawa. Delapan orang
murid-muridmu mungkin tidak tahu apa y ang sebenarnya kau
kehendaki setelah kematianmu."
"Kalian memang sombong," geram orang itu, "baiklah.
Sekarang akan kita lihat. Siapakah diantara kita yang akan
mati disini. Aku atau kalian berlima."
Mahisa Murti memang menjadi berdebar-debar melihat
sikap orang itu. Nampaknya ia terlalu y akin akan
kemampuannya. Namun Mahisa Murti itu pun telah berkata
kepada saudarasaudaranya: "Awasi delapan orang itu. Jangan
biarkan mereka pergi. Aku akan melayaninya sendiri."
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Ia juga melihat
kepercayaan y ang sangat besar kepada dirinya sendiri dari
orang yang bernama Mpu Rangkut itu. Tetapi ia tidak m au
membuat Mahisa Murti kecewa. Meski pun demikian, Mahisa
Pukat berniat untuk berada selalu dekat dengan medan.
"Kau memang gila anak muda," orang itu menggeram,
"kesombonganmu akan membuat kau meny esal. Kau akan
mati dalam wktu sekejap. Tetapi aku tidak ingin
membunuhmu. Aku ingin kau menyaksikan bagaimana
saudara-saudaramu y ang lain mati. Kau akan mati yang
terakhir kali." "Aku memang m enjadi ragu-ragu," berkata Mahisa Murti,
"apakah sebaiknya aku juga berbuat sebagaimana ingin kau
lakukan" Membunuh murid-muridmu seorang demi seorang.
Baru setelah yang ke delapan mati, aku akan membunuhmu."
"Tutup mulutmu," bentak orang itu, "kau m encoba untuk
menyelubungi kelemahanmu dengan meny ombongkan dirimu.
Tetapi itu tidak berarti apa-apa. Sekarang bersiaplah untuk
dalam sekejap terbujur di tanah. Kau hanya akan dapat
membuka matamu untuk melihat kematian saudarasaudaramu.
Kau memerlukan waktu yang agak panjang untuk
menikmati saat-saat kematianmu."
Mahisa Murti tiba-tiba saja menggeretakkan giginya. Ia
percaya bahwa orang itu akan melakukan sebagaimana
dikatakan jika ia mampu. Karena itu, maka Mahisa Murti harus menjadi sangat
berhati-hati. Demikianlah, maka sejenak kemudian keduanya telah
bergeser menjauhi orang-orang yang lain, y ang tidak akan
terlibat ke dalam pertempuran. Sementara iu Manhia Pukat
pun berdesis "Jaga delapan orang y ang sudah tidak berdaya itu. Aku
akan melihat pertempuran itu."
"Baik," jawab Mahisa Semu dan Wantilan hampir
bersamaan. Dengan hati-hati Mahias Pukat pun bergeser pula.
Memang tidak t erlalu dekat. Tetapi ia akan mampu
menjangkau medan jika terjadi sesuatu. Meski pun mungkin
tidak m enjadi kehendak Mahisa Murti, jika perlu ia m emang
harus melibatkan diri. Ra sa-rasanya ia tidak akan dapat
membiarkan bencana terjadi atas saudaranya itu, ju stru
setelah pengembaraan mereka y ang lama akan segera mereka
selesaikan. Sejenak kemudian, Mahisa Murti dan orang yang meny ebut
dirinya Mpu Rangkut itu telah terlibat ke dalam pertempuran
yang sengit. Ternyata orang y ang meny ebut dirinya mPu Rangkut itu
adalah seorang y ang berilmu tinggi. Memang agak
mengejutkan Mahisa Murti bahwa pada tingkat pertama
kekuatan dan kecepatan gerak mPu Rangkut itu telah
mendorongnya beberapa langkah surut. Menilik k emampuan
murid-muridnya yang terhitung lemah itu, Mahisa Murti
mengira bahwa gurunya pun seorang y ang berilmu sangat
tinggi. Agaknya memang satu peringatan bagi Mahisa Murti.
Hampir saja ia merendahkan lawannya, sehingga menjadi
lengah. Untunglah bahwa sebelum terlambat, Mahisa Murti
menyadari, bahwa ia pun harus mengerahkan kemampuannya
jika ia tidak ingin menjadi korban dalam pertempuran itu.
Dengan demikian maka pertempuran antara Mahisa Murti
melawan mPu Rangkut itu semakin lama menjadi semakin
sengit. Bukan saja Mahisa Murti y ang terkejut m enghadapi
lawannya, tetapi ternyata mPu Rangkut terkejut melihat
kemampuan seorang anak y ang masih dianggapnya t erlalu
muda. mPu Rangkut yang menduga bahwa ia akan segera
melumpuhkan lawannya dalam satu dua loncatan, ternyata
tidak demikian. Anak muda itu mampu memberikan
perlawanan y ang tidak dibay angkannya sebelumnya.
Karena itulah, maka kedua belah pihak telah meningkatkan
ilmu mereka. mPu Rangkut berniat untuk dengan cepat
menyelesaikan lawannya dan membawa murid-muridnya
pergi. Jika perlu, maka ia benar-benar akan membunuh. Anakanak
muda y ang lain jika menghalanginya.
Tetapi mPu Rangkut itu semakin menyadari kemampuan
lawannya yang masih muda itu pun menjadi semakin marah.
Bahkan ketika ia meningkatkan ilmunya hampir sampai ke
puncak, maka anak muda itu sama sekali belum dapat
dikalahkannya. " Ilmu iblis m ana yang telah disadap oleh anak ini: "geram
mPu Rangkut didalam hatinya.
Namun kakinya yang berputar mendatar mengarah ke
pelipis Mahisa Murti, ternyata sama sekali tidak mengenainya.
Mahisa Murti sempat merendahkan dirinya sambil berkisar
setapak. Namun justru saat lawannya itu berputar dan
bertumpu pada kakinya y ang lain, Mahisa Murti menjatuhkan
diri dan dengan sekuat tenaganya menyapu kaki lawannya itu.
Demikian cepatnya sapuan itu dilakukan sehingga
lawannya tidak sempat mengelak, kakinya yang lain baru saja
menapak tanah. Karena itu, maka sapuan kaki Mahisa Murti itu telah
melontarkan tubuh mPu Rangkut. Kakinya yang bagaikan
terlempar telah membuatnya kehilangan keseimbangan.
Namun mPu Rangkut ternyata cukup tangkas. Ia tidak
membiarkan tubuhnya jatuh terbanting seperti sepotong balok
kayu. Tetapi demikian ia jatuh, maka ia pun segera berguling
memutar pada pundaknya. Dalam sekejap maka mPu Rangkut
itu sudah tegak berdiri. Namun kaki Mahisa Murti pun dengan cepat pula terjulur
ke arah dada. Hampir saja untuk kedua kalinya mPu Rangkut
terlempar. Namun dengan sedikit bergeser ke samping, maka
sentuhan kaki Mahisa Murti tidak menggoy ahkannya, m eski
pun tubuhnya agak bergetar.
Untuk mengurangi tekanan serangan anak muda itu, maka
mPu Rangkut pun telah meny erang pula. Dengan satu
loncatan panjang, tangannya telah terjulur lurus mengarah ke
dada. Tetapi serangan itu tidak meny entuhnya sama sekali.
Demikianlah, semakin lama pertempuran itu pun menjadi
semakin garang. Tetapi kedua belah pihak masih belum
mampu mendesak lawan. Karena itu, maka keduanya telah meningkatkan ilmu
mereka. Bahkan lawan Mahisa Murti y ang meny ebut dirinya
mPu Rangkut itu telah m enarik senjatanya. Sebuah nenggala
yang tidak terlalu panjang, namun runcing ujung dan
pangkalnya. Bahkan satu diantara kedua tajamnya itu telah
mencuat tajam yang seperti kait pada duri daun pandan.
Mahisa Murti meloncat surut ketika ia mendengar desing
senjata lawannya itu. Ayunan yang cepat yang hampir saja
menyentuh dadanya, telah melontarkan bunyi yang tajam
serta menggetarkan udara di sekitarnya.
"Bukan main," geram Mahisa Murti, "kau berhasil
mengguncang angin." "Persetan," sahut mPu Rangkut, "jika kau menjadi
ketakutan, menundukkan, aku akan menusuk di tengkukmu."
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ketika senjata itu
terayun, berputar dan menyambar, maka ia telah m engambil
jarak yang panjang untuk memantapkan sikapnya.
Ketika lawannya itu mengejarnya dan menyerang pula
dengan senjatanya, maka Mahisa Murti sekali lagi merasakan
getaran udara dari ayunan nenggala y ang keras itu disertai
lontaran desing y ang tajam. Ternyata getaran udaranya saja
telah mampu membuat kulit Mahisa Murti menjadi pedih.
"Bukan main," desis Mahisa Murti.
Tetapi Mahisa Murti tidak membiarkan dirinya dikejar oleh


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serangan demi serangan. Ketika ia harus meloncat sekali lagi
mengambil jarak, maka ia pun telah menarik pedangnya pula.
mPu Rangkutlah yang terkejut. Ia m elihat senjata Mahisa
Murti y ang bercahaya kehijau -hijauan.
mPu Rangkut kemudian menyadari, bahwa orang Bajra
Seta itu ternyata adalah orang y ang memang memiliki
kelebihan. Bukan saja ketangkasannya dan kekuatannya,
tetapi juga sipat kandelnya yang berupa pedang y ang berkilau
kehijauan itu. Dengan senjata maka pertempuran itu pun semakin lama
menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak memiliki
ketangkasan dan kecepatan gerak y ang mengagumkan.
Namun ternyata Mahisa Murti masih memiliki kelebihan
kekuatan. Setiap terjadi benturan, maka terasa lawannya tidak
dapat menahan guncangan benturan yang terjadi itu.
Karena itu, maka Mahisa Murti telah memanfaatkan
kelemahan lawannya itu dengan berusaha membenturkan
senjatanya dengan sekuat tangannya.
Dengan demikian, maka lawannya itu pun semakin lama
menjadi semakin merasa terdesak. Karena itu, maka tidak ada
pilihan lain dari mPu Rangkut selain mempergunakan ilmu
puncaknya. Dalam pada itu, maka sejenak kemudian mPu Rangkut itu
telah meloncat menjauhi lawannya untuk mengambil jarak.
Dalam kesempatan y ang pendek itu, mPu Rangkut telah
memusatkan nalar budiny a. Pengalamannya y ang luas,
ilmunya yang tinggi serta kekuatannya yang besar k emudian
telah terpadu dalam ilmu puncaknya yang mengerikan.
Ketika pertempuran kemudian terjadi lagi semakin seru,
maka di arena pertempuran itu seakan-akan telah timbul
putaran angin yang semakin lama menjadi semakin keras. Jika
mula-mula sampah-sampah kecil dedaunan dan rumputrumput
kering saja y ang terangkat, maka angin pusaran itu
pun kemudian m enjadi semakin besar. Debu y ang terangkat
membuat mata menjadi pedih dan nafas serasa sesak.
Terdengar mPu Rangkut itu tertawa. Katanya disela-sela
gemuruhnya angin pusaran itu: "Kau memang seharusnya
mengenali ilmu Cleret Tahun. Ilmu y ang sudah hampir tidak
ada duanya sekarang ini. Nah, kau tidak akan dapat mengurai
diri dari libatan angin ini ke mana pun kau bergeser. Mungkin
kau mampu meloncat-loncat. Tetapi angin ini akan
mengikutimu. Bahkan seandainya aku meninggalkan arena
dan tidur di bawah sebatang pohon y ang rindang itu."
Mahisa Murti tidak dapat menjawab. Ra sa-rasanya
wajahnya telah penuh dengan debu yang menghambur. Jika ia
berkata sepatah kata saja, maka debu rasa-rasanya akan
menusuk kerongkongannya. Didalam putaran angin pusaran itu pertempuran masih
berlangsung dengan sengitnya. Mahisa Pukat yang
menyaksikan pertempuran itu menjadi berdebar-debar. Ia
memang masih melihat Mahisa Murti bertempur dengan
tangkasnya. Namun ia menyadari, bahwa pada suatu saat
Mahisa Murti tidak akan dapat bernafas lagi.
"Apakah iblis itu bernafas dengan insang"," bertanya
Mahisa Pukat di dalam hatinya ketika ia melihat mPu Rangkut
sama sekali tidak mengalami kesulitan bertempur di dalam
pusaran ilmunya sendiri. Namun Mahisa Murti tidak membiarkan diriny a kehilangan
kesempatan untuk melawan. Dengan mengerahkan daya
tahannya, maka Mahisa Murti telah mengetrapkan ilmunya
pula. Ia berusaha untuk menghisap kekuatan dan ilmu
lawannya di setiap sentuhan senjata.
Tetapi y ang terdengar kemudian adalah suara tertawa
lawannya. Sambil m enghindari setiap sentuhan, m aka ia pun
berkata: "Aku sudah dapat memecahkan teka-teki tentang
kedelapan muridku. Kau tentu memiliki ilmu y ang curang dan
licik itu. Kau tentu sudah menghisap sebagian tenaganya
sehingga mereka seakan-akan telah mengalami keletihan yang
luar biasa. Apalagi mereka sudah terluka meski pun tidak
terlalu berbahaya. Semula aku memang ragu-ragu. Tetapi
ketika kau mulai mengetrapkannya dan terasa getaran itu
menyentuh senjataku dan mengalir ke tubuhku, maka aku
segera mengetahuinya. Untunglah aku belum terlambat,
sehingga aku masih sempat menyaksikan, bagaimana
tubuhmu itu akan diangkat dan dilemparkan oleh ilmu Cleret
Tahun ini dari ketinggian. Tubuhmu akan terhempas ke tanah
dan hancur berserakan."
Mahisa Murti mengeram, sementara orang itu berkata pula:
"Mula-mula aku memang menjadi bingung. Tetapi bagaimana
pun juga orang-orang Bajra Seta tidak akan banyak berarti
bagi kami." Untuk beberapa saat Mahisa Murti masih berusaha
bertahan. Namun kemudian, nafasnya menjadi semakin sesak.
Ra sa -rasanya paru-parunya telah penuh dengan debu serta
kerongkongannya pun telah tersumbat rerumputan kering
pula. Mahisa Pukat memang menjadi berdebar-debar. Ia
mendengar kata-kata orang yang bertempur melawan Mahisa
Murti di dalam lingkaran angin pusaran.
Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping pun menjadi
semakin tegang. Sementara itu delapan orang yang sudah
menyerang itu, telah bersorak-sorak pula meski pun suaranya
tidak cukup lantang. Seorang diantara mereka berkata: "Nah, baru kau tahu anak
sombong." Hampir saja Mahisa Semu kehilangan pengendalian diri.
Namun Wantilan sempat menggamitnya sambil berdesis:
"Kita lihat apa yang akan terjadi atas Mahisa Murti."
Mahisa Pukat bagaikan terbakar seluruh isi dadanya.
Keadaan Mahisa Murti membuatnya cemas dan sekaligus
marah. Tetapi Mahisa Pukat masih berusaha untuk menahan
diri. Jika ia mencampurinya, maka Mahisa Murti mungkin
sekali tidak akan membenarkannya.
"Tetapi jika keadaan memaksa, maka tidak ada jalan lain,
meski pun Mahisa Murti akan marah kepadaku," berkata
Mahisa Pukat di dalam hatinya.
Sementara itu Mahisa Semu y ang gelisah tiba -tiba saja
berteriak: "Aku bunuh delapan orang muridmu."
Suara Mahisa Semu memang menghentak jantung mPu
Rangkut. Tetapi ternyata orang itu berteriak pula: " Jika
delapan orang muridku mati, maka kalian akan mati
semuanya. Tetapi jika tidak, maka aku hanya akan membunuh
orang-orang y ang melawanku."
"Aku tidak peduli," teriak Mahisa Semu.
mPu Rangkut menggeram. Katanya: "Lakukan jika kau
ingin mengalami kematian y ang paling tidak meny enangkan."
Mahisa Semu benar-benar akan melakukan apa yang sudah
diteriakkannya. Tetapi Wantilan masih mencegahnya.
Katanya: "Kita tunggu sebentar. Mahisa Murti tentu tidak
menghendaki mereka terbunuh."
"Tetapi kau lihat, Mahisa Murtilah y ang justru akan
terbunuh," sahut Mahisa Semu.
Wantilan termangu-mangu. Ia memang melihat angin
pusaran itu berputar semakin keras. Mahisa Murti memang
mulai nampak goy ah. Di saat ia meloncat menghindari
serangan mPu Rangkut, tubuhnya seakan-akan melayang dan
tidak dapat dikuasainya dengan cepat. Untunglah bahwa
Mahisa Murti memiliki ilmu pedang y ang sangat tinggi,
sementara lawannya agak segan untuk membenturkan
senjatanya. Namun disaat-saat terakhir, Mahisa Murti pun merasa
bahwa ia menjadi semakin banyak mengalami kesulitan. Angin
pusaran itu semakin lama menjadi semakin keras dan semakin
cepat. Debu berhamburan masuk ke dalam m atanya dan ke
dalam mulut serta hidungnya, sehingga pernafasannya serasa
menjadi terganggu. Karena itu, maka Mahisa Murti tidak mempunyai pilihan
lain daripada mengetrapkan ilmu puncaknya.
Namun demikian Mahisa Murti tidak segera mendapat
kesempatan. Ke m ana saja ia meloncat, maka angin pusaran
itu dengan cepat memburunya. Bahkan kadang-kadang jika ia
meloncat terlalu panjang, dor ongan angin pusaran itu
bagaikan melemparkannya sehingga rasa-rasanya sulit
baginya untuk m engendalikan diri. Sementara itu, lawannya
masih saja m enyerangnya dengan senjatanya yang runding di
kedua ujungnya. Namun dengan cerdik mPu Rangkut selalu
menghindari benturan senjata dengan Mahisa Murti.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti telah berusaha
dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan kesempatan.
Meski pun ke mana ia meloncat dan m elenting, namun angin
pusaran itu selalu m emburunya dan dengan cepat melibatnya
kembali. Ketika Mahisa Murti benar-benar merasa kehilangan
kesempatan untuk melawan, maka ia berusaha untuk
menghentakkan senjatanya di saat-saat terakhir. Senjata yang
bukan saja berwarna kehijauan, tetapi daun pedangnya itu
seakan-akan telah menyala sehingga lidah apiny a menjilatnjilat.
Tetapi pedangnya tidak pernah dapat meny entuh
lawannya. Bahkan membentur senjata lawannya pun tidak.
Pa da saat y ang paling gawat, maka Mahisa Murti telah
meloncat mengambil jarak. Namun angin pusaran yang
menjadi semakin keras itu justru telah melemparkannya
sehingga Mahisa Murti jatuh terguling.
mPu Rangkut sempat tertawa sambil berkata: "Sebentar
lagi kau akan segera dibawanya terbang. Say ang, bahwa
kemampuan terbangmu akan berakhir saat kau masih berada
tinggi di udara. Jika kau kemudian terjatuh dan kepalamu
membentur batu padas, maka kau tidak akan dapat dikenali
lagi." Mahisa Murti sama sekali tidak mendengarkannya lagi.
Demikian ia jatuh berguling, maka tanpa berusaha untuk
bangkit, Mahisa Murti telah mempergunakan kesempatan
yang sesaat itu. Justru sambil menelungkup Mahisa Murti
telah mengacukan ujung pedangnya ke dada mPu Rangkut.
mPu Rangkut yang merasa bahwa ia sudah menang,
memang menjadi lengah. Ia memang terkejut melihat ujung
pedang lawannya yang masih muda itu mengarah ke dadanya.
Namun mPu Rangkut tidak sempat berbuat apap-apa lagi.
Seleret sinar menembus pusaran angin langsung menghantam
dada mPu Rangkut yang sedang menilai apa yang sebenarnya
dihadapi. Namun sinar itu telah menyambar dadanya sehingga
seakan-akan telah meledak.
Serangan ilmu Mahisa Murti yang dahsyat telah m engenai
sa sarannya. Lontaran kekuatan ilmu Bjra Geni yang didorong
oleh kemampuan ilmu y ang disadapnya dari Akuwu Lemah
Warah, telah menghantam dada mPu Rangkut.
Yang terdengar adalah keluhan tertahan. mPu Rangkut
terlempar beberapa langkah surut. Dengan derasny a tubuhnya
telah terbanting di tanah.
Sementara itu, angin pusaran yang melilit Mahisa Murti
pun t iba-tiba saja telah mereda. Mahisa Murti y ang kemudian
bangkit sempat melihat mPu Rangkut itu menggeliat.
Namun ternyata tubuh Mahisa Murti pun rasa-rasanya
telah remuk. Tulang-tulangnya bagaikan menjadi retak. Tetapi
ternyata daya tahan Mahisa Murti cukup tinggi, sehingga ia
masih mampu mengatasi perasaan sakitnya itu.
Selangkah demi selangkah Mahisa Murti m endekati tubuh
mPu Rangkut yang terbaring diam. Namun Mahisa Murti
masih melihat mPu Rangkut itu menggeliat.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sejenak kemudian telah
berada di sebelahnya. Dengan hati-hati keduanya berjongkok
sambil memegang dada mPu Rangkut. Ternyata dadanya itu
masih bergerak. " Ia masih hidup," desis Mahisa Murti. Sebenarnyalah mPu
Rangkut itu telah membuka matanya.
Tetapi tubuhnya sudah m enjadi sangat lemah. Karena itu,
maka mPu Rangkut itu tidak mampu lagi untuk bangkit selain
menggerakkan kepalanya. Tetapi ternyata mPu Rangkut masih sempat berkata
perlahan: "Luar biasa anak muda."
"Apa yang luar biasa, mPu"," bertanya Mahisa Murti.
"Aku tidak mengira bahwa ada anak semuda kau memiliki
ilmu y ang demikian tinggi. Tidak ada tiga ampat orang yang
mampu mengatasi ilmu Cleret Tahunku. Tetapi kau yang
semuda itu terlepas dari cengkaman ilmuku. Bahkan kau
mampu membunuhku." "Kau akan sembuh mPu. Daya tahanmu tentu akan
mengatasi segalanya," berkata Mahisa Murti.
mPu Rangkut mencoba tersenyum. Dengan suara y ang
semakin lemah ia berkata: "Aku minta maaf anak muda. Aku
benar-benar akan membunuhmu."
"Lupakan mPu," jawab Mahisa Murti.
MPu Rangkut menarik nafas dalam-dalam. Dari antara
desah nafasnya terdengar ia berkata: "Aku minta diri anak
muda." Mahisa Murti memandang wajah mPu Rangkut y ang
menjadi semakin pucat. Namun ia tidak dapat berbuat apaapa.
Keadaan mPu Rangkut menjadi semakin gawat.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun berdesis: "Panggil
murid-muridnya." Mahisa Pukat yang tanggap segera bangkit untuk
memanggil delapan orang murid mPu Rangkut yang lemah itu.
Mereka pun kemudian telah berjongkok mengelilingi mPu
Rangkut y ang sudah tidak mampu bergerak sama sekali.
Namun ia m asih sempat berkata: "Kita telah bersalah. Jika
kalian mendapat pengampunan, katakan kepada saudarasaudaramu
seperguruan, apa y ang terjadi. Aku sudah minta
maaf kepada anak-anak muda dari perguruan Bajra Seta itu."
Kedelapan muridnya hanya menundukkan kepala mereka.
Mereka telah melihat satu kenyataan, bahwa gurunya yang
dianggapnya orang terkuat di dunia itu, tidak mampu
menghadapi satu dari antara ampat orang yang telah
menguasai mereka. Sehingga dengan demikian, maka
kedelapan orang itu pun meyakini bahwa para pengembara
yang mengaku dari perguruan Bajra Seta itu benar-benar
orang y ang tidak terkalahkan.
Sementara itu dalam keadaan y ang sangat lemah terdengar
suara mPu Rangkut: "Selamat tinggal."
Orang-orang y ang mengelilinginya itu melihat mPu


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rangkut memejamkan matanya. Kemudian menarik nafas
dalam-dalam. Ketika nafas itu dilepaskan, maka selesailah
segala-galanya. mPu Rangkut y ang tidak terluka itu, telah
menghembuskan nafasny a yang penghabisan.
Mahisa Murti pun menarik nafas dalam-dalam. Ia telah
membunuh orang itu. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain. Jika
ia tidak melakukannya, maka ia sendirilah y ang akan
terbunuh. Sejenak semuanya menjadi hening. Ada diantara muridmuridnya
mPu Rangkut itu y ang menangis.
"Guru kalian tidak cukup ditangisi," berkata Mahisa Murti:
"ia harus dikuburkan dengan baik."
0oo0dw0oo0 (Bersambung ke jilid 91).
Conv er by Editing: MCH Pdf ebook : Dan HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid 91 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo, Arema
Converter : Editor : MCH dan Pdf ebook : --ooo0dw0ooo- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 091 MURID-MURIDNYA itu mengangguk. Namun kemudian
mereka menyadari, bahwa mereka akan dapat mengalami
nasib y ang sama. Anak-anak muda dari Bajra Seta itu dapat
membunuhnya jika mereka menghendaki.
Tetapi ternyata Mahisa Murti berkata: "Kematian gurumu
adalah tebu san bagi nyawamu. Kuburkan gurumu baik-baik.
Kemudian terserah apa y ang akan kau lakukan. Apakah kau
akan menyusul aku ke padepokan Bajra Seta atau kalian akan
kembali ke padepokanmu sendiri. Tetapi kalian harus berjanji
bahwa kalian tidak akan mengusik orang-orang padukuhan
yang tidak bersedia membantumu. Seandainya mereka
melakukannya waktu itu, maka itu tidak ada artinya sama
sekali. Justru mungkin kalian pun sudah terbunuh pula."
"Kami mengerti," jawab seorang diantara mereka.
"Sekarang, lakukanlah. Kubur guru kalian dengan baik,"
desis Mahisa Murti. Kedelapan orang itu pun telah melakukan apa y ang
dikatakan oleh Mahisa Murti, sementara Mahisa Murti dan
saudara-saudaranya telah bergeser m enjauh. Namun Mahisa
Murti memang memerlukan waktu untuk beristirahat. Ia perlu
memperbaiki keadaan tubuhnya yang bagaikan menjadi
remuk itu. Karena itulah, maka mereka telah memilih untuk
beristirahat di tanggul parit yang airnya mengalir deras dan
bening. Mahisa Murti y ang tulang-tulangnya serasa menjadi retak
itu telah membasahi tubuhnya. Kakinya, tangannya dan
mukanya, sehingga terasa badannya menjadi agak segar.
Sambil duduk bersandar sebatang pohon yang tumbuh di
tanggul parit itu, Mahisa Murti telah beristirahat sepenuhnya.
Kakiny a yang terjulur, tangannya yang bersilang, memberinya
kesempaatan untuk melepaskan diri dari segala macam
ketegangan, sementara matanya sedikit terpejam.
Mahisa Pukat sempat meramu obat y ang dapat membantu
meningkatkan daya tahan tubuh Mahisa Murti. Sehingga
setelah ia minum obat itu meski pun dengan air parit yang
disaring di atas daun lumbu dengan kain y ang memang sudah
tersedia bersama obat -obat y ang dibawanya, maka keadaan
Mahisa Murti menjadi berangsur baik.
Tetapi Mahisa Murti tidak segera m eneruskan perjalanan.
Tetapi Mahisa Murti masih ingin beristirahat beberapa lama.
Sementara itu, kedelapan murid mPu Rangkut yang lemah
itu telah dengan susah payah m enggali sebuah lubang untuk
mengubur guru mereka. Perasaan yang pahit benar-benar
telah mencengkam jantung mereka.
Ketika delapan orang itu selesai, maka mereka masih
mendapatkan Mahisa Murti beristirahat di pinggir parit yang
berair bening. Dengan ragu-ragu delapan orang itu mendekat.
"Kalian akan mencuci kaki dan tangan"," bertanya Mahisa
Pukat. "Ya anak muda," jawab seorang diantara mereka.
"Jangan terlalu dekat," berkata Wantilari kemudian.
Kedelapan orang itu pun kemudian telah turun ke parit untuk
mencuci tangan dan kaki. Namun yang penting bagi mereka
bukannya sekedar mencuci tangan dan kaki. Tetapi mereka
ingin minta diri kepada Mahisa Murti dan saudara-saudaranya
jika memang mereka delapan orang itu diampuni.
"Pergilah," berkata Mahisa Murti dengan nada yang masih
lemah, "tetapi ingat. Jangan melakukan kesalahan lagi.
Mungkin sikap kami orang-orng Bajra Seta pada kesempatan
lain akan berbeda." "Kami berjanji," jawab y ang tertua diantara mereka,
"apalagi kini kami tidak lagi mempunyai seorang guru yang
dapat menjadi tumpuan perlindungan bagi kami. Maka kami
tidak akan berani berbuat apa -apa. Kami pun menyadari,
bahwa orang yang mampu mengalahkan guru kami, tentu
orang y ang m emiliki ilmu lebih baik dari guru. Sudah tentu
kami tidak akan mampu berbuat apa pun juga."
"Pergilah kepada saudara-saudara seperguruanmu. Jika
ada diantara mereka y ang mendendam kepada orang-orang
Bajra Seta, kami menunggu."
Orang yang tertua diantara mereka menyahut: "Tentu tidak
Ki Sanak. Jika kami menceriterakan apa yang terjadi, tentu
kami akan mengatakan pula per soalan yang telah m elibatkan
kami dan guru dalam pertentangan ini."
"Tetapi kematian seorang guru kadang-kadang telah
membakar perasaan seseorang sehingga kehilangan
penalaran. Apa pun y ang kalian ceriterakan, mungkin justru
akan menambah kemarahan mereka," sahut Mahisa Murti.
"Seandainya demikian, maka kami tidak akan termasuk
diantara mereka," berkata orang yang tertua diantara mereka.
"Kau akan berkata lain jika kau sudah berada diantara
saudara-saudara seperguruanmu," desis Mahisa Pukat.
Tetapi orang itu menggeleng. Katanya: "Tidak. Bukan
karena kami orang yang tiba -tiba menjadi baik dan tahu
berterima kasih. Tetapi kami tahu pasti, bahwa melawan
kalian akan sama artinya dengan membunuh diri. Karena itu,
maka kami akan memilih untuk menghindar."
"Bagaimana jika saudara-saudara seperguruanmu
memaksamu"," bertanya Mahisa Pukat pula.
"Kami akan terpaksa ikut. Tetapi kami tidak akan berbuat
apa-apa. Kami tahu, bahwa Bajra Seta tidak akan dapat
ditembus. Ketika guru masih ada dan kalian belum kami temui
di medan, kami sudah mengalami kesulitan menembus
pertahanan padepokan Bajra Seta. Apalagi sekarang," jawab
orang itu. "Mudah-mudahan m ereka sempat berpikir seperti kalian,"
berkata Mahisa Pukat. Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya:
"Kami akan mencoba berbuat sebaik-baiknya agar mereka
sempat berpikir dan mengerti apa yang mereka hadapi."
"Terima kasih," desis Mahisa Pukat.
Delapan orang itu pun kemudian telah minta diri untuk
kembali ke perguruan mereka. Mereka pun berjanji untuk
tidak m enakut-nakuti lagi orang-orang padukuhan dan tidak
lagi memfitnah nama baik perguruan Bajra Seta.
"Baiklah," berkata Mahisa Murti dengan nada dalam: "aku
percaya kepada kalian."
Sejenak kemudian, maka delapan orang itu pun telah
meninggalkan Mahisa Murti dan saudara-saudaranya. Mahisa
Murti sendiri masih duduk bersandar sebatang pohon di
pinggir parit y ang mengalir deras dan bening.
Namun setelah meneguk obat, maka rasa sakitnya pun
menjadi berkurang meski pun ia sadar, bahwa obat itu belum
berarti peny embuhan. >>> Tanpa m enunggu jawaban dari kawan-kawannya, seorang
diantara mereka telah berlari menemui Mahendra. Orang itu.
memberi laporan terperinci tentang apa y ang dilihatnya.
"Lima orang. Seorang diantaranya masih kanak-kanak,"
berkata orang itu kemudian.
"Jika m ereka berniat buruk, m ereka tentu tidak mengajak
kanak-kanak," jawab Mahendra.
"Tetapi kemungkinan lain dapat terjadi," berkata orang
yang melaporkan itu. Mahendra y ang tua itu dapat mengerti. Belum lama
padepokan mereka telah mendapat serangan. Karena itu,
maka orang -orang Bajra Seta itu menjadi sangat berhati-hati.
Karena itu, maka Mahendra pun kemudian berkata:
"Baiklah. Aku akan pergi ke panggungan di belakang dinding
di dekat pintu gerbang itu.
Sejenak kemudian, maka Mahendra pun telah berada di
tempat para pengawas itu. Dilihatnya lima orang yang berjalan
semakin mendekat. Mahendra itu pun kemudian telah menggosok matanya.
Seakan-akan ia tidak percaya kepada penglihatannya. Karena
itu, ia pun berkata sambil melangkah turun dari tempat itu:
"Aku akan melihat, siapakah mereka itu."
Dengan tergesa-gesa Mahendra telah pergi ke pintu
gerbang dan langsung memerintahkan membuka pintu
gerbang itu. Demikian pintu gerbang terbuka, maka Mahendra telah
menghambur keluar. Kelima orang itu menjadi semakin dekat.
Mereka pun telah mempercepat langkah mereka, sehingga
kemudian mereka sampai di tempat y ang lebih terbuka di
muka pintu gerbang. "He, jadi kalian telah kembali," Mahendra hampir
berteriak. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi tidak sabar lagi.
Mereka pun kemudian berlari-lari ke arah orang berdiri di
depan pintu gerbang serta memanggil mereka.
Beberapa orang penghuni padepokan itu pun menyusul
Mahendra keluar dari padepokan. Namun mereka pun segera
mengenali, dua dari kelima orang y ang datang itu.
Demikian mereka sampai ke depan Mahendra, maka kedua
orang anak muda diantara kelima orang itu segera berjongkok.
Namun Mahendra pun telah menarik mereka berdiri dan
memeluk kedua anak muda itu bersama-sama.
"Aku mengucapkan selamat datang kepada kalian," berkata
Mahendra. "Ayah," desis Mahisa Murti. Suaranya bagaikan tersumbat
di kerongkongan. "Aku sudah sangat lama menunggu kalian," berkata
Mahendra. "Kami mohon maaf," sahut Mahisa Murti.
"Marilah. Kita masuk," ajak Mahendra.
Mahisa Pukat pun kemudian berkata: "Kami datang
bersama tiga orang saudara kami. Dua orang kami anggap
sebagai adik kami, seorang kami anggap sebagai paman kami."
"Merekalah y ang kalian cari selama ini"," bertanya
Mahendra. "Kami tidak tahu ayah," jawab Mahisa Murti, "rasa-rasanya
kami belum puas. Tetapi kami sudah sangat lama
meninggalkan padepokan ini, sehingga kami memutuskan
untuk segera kembali. Namun agaknya anak itu memiliki
sedikit harapan." Mahendra mengangguk-angguk. Ia pun kemudian
melangkah m endekati ketiga orang y ang baru-dikenalnya itu
sambil berkata: "Marilah Ki Sanak. Aku persilahkan kalian
memasuki padepokan kami."
Mahisa Pukat pun kemudian berkata: " Ini adalah ayahku."
Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping pun kemudian
telah mengangguk hormat. Hampir berbareng mereka
menjawab: "Terima kasih."
Mahendra pun telah m engajak ketiga orang itu bersamasama
dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memasuki
padepokannya. Sementara itu para penghuni padepokan yang
melihat kedatangan kedua orang anak muda itu menjadi
ramai. Beberapa orang telah berdesakan untuk memberikan
pernyataan hati mereka y ang tulus, bahwa mereka sangat
gembira atas kedatangan kedua putera Mahendra itu.
"Kalian terlalu lama pergi," berkata seseorang. "Ki
Mahendra selalu berharap kalian segera kembali. Ada banyak
hal yang nampaknya mengganggu perasaannya. Apalagi barubaru
ini telah terjadi serangan atas padepokan ini."
"Sekarang kami telah kembali," sahut Mahisa Murti.
Demikianlah, kedatangan kedua orang anak muda itu
disambut dengan gembira oleh orang-orang padepokan itu.
Orang-orang yang berada diatas panggung y ang mula-mula
melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah datang pula
menemui keduanya. Mereka ternyata minta maaf, bahwa
mereka tidak segera dapat mengenali Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. "Jaraknya terlalu jauh untuk dapat melihat wajah-wajah
mereka," berkata orang y ang bertugas itu. Lalu katanya: "Baru
kemudian, setelah mereka menjadi dekat, kami dapat
mengenalinya. Mungkin bahwa karena mereka berlima itu
juga berpengaruh, kenapa kami t idak segera sampai kepada
dugaan mereka berdua kembali. Ternyata mereka memang
benar-benar telah kembali."


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
pun telah diajak pergi ke bangunan induk padepokan itu
bersama Mahendra, sementara orang y ang bertugas itu pun
kembali ke tempat tugas mereka.
Di pendapa, Mahendra telah menyambut kedua orang
anaknya dan tiga orang y ang datang bersamanya dengan
gembira. Namun di wajah orang itu nampak bayangan
kemuraman y ang kadang-kadang ingin disembuny ikan.
Hampir diluar sadarnya Mahisa Pukat telah bertanya:
"Ayah nampak terlalu tua "
Mahendra tertawa. Katanya: "Bukan nampak terlalu tua.
Aku memang sudah tua."
"Maksudku, lebih tua dari umur ay ah yang sebenarnya,"
berkata Mahisa Pukat pula.
Tetapi Mahendra menggelengkan kepalanya. Kemuraman
itu kembali membayang diwajarinya. Bahkan Mahendra tidak
lagi berhasil meny embunyikannya lagi.
"Sebenarnya aku tidak ingin mengatakannya sekarang,"
berkata Mahendra: "tetapi sulit bagiku untuk bertahan."
Kedua orang anaknya itu pun termangu-mangu. Namun
kemudian Mahisa Murti pun mendesak: "Ay ah. Aku kira ay ah
tidak usah menahan diri terlalu lama. Mungkin lebih baik jika
ay ah segera mengatakannya. Ada dua keuntungan y ang kita
dapatkan jika ay ah berkata sekarang juga. Ayah sendiri tidak
merasa t erlalu berat membawa beban, sedangkan kami pun
tidak lagi menjadi berdebar-debar, sehingga rasa-rasanya
tulang-tulang iga kami menjadi retak."
Mahendra mengangguk-angguk. Namun ia tidak segera
mengatakannya karena seorang cantrik telah menghidangkan
minuman dan makanan. Baru kemudian, setelah meneguk minuman hangat dan
makan beberapa potong makanan, Mahendra berkata: "Anakanakku.
Ternyata bahwa kalian tidak akan sempat lagi
bertemu dengan pamanmu Mahisa Agni dan Witantra."
Kedua anak muda itu m enjadi tegang. Meski pun belum
dikatakannya, namun keduanya segera tanggap. Justru karena
Mahisa Agni dan Witantra sudah terlalu tua.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian bertanya
dengan nada tertahan: "Apakah keduanya telah tidak ada" "
"Ya," jawab Mahendra: "hampir bersamaan. Hanya
berselisih dua pekan saja. Pamanmu Mahisa Agni telah
meninggal lebih dahulu. Baru kemudian pamanmu Witantra.
Namun yang hampir sama pada keduanya, wajah tua mereka
nampak ter senyum. Keduanya seakan-akan hanya sedang
tertidur ny enyak. Pemberitahuan itu memang menghentak jantung kedua
orang anak muda itu. Hampir di luar sadarnya Mahisa Murti
bertanya: "Apakah kakang Mahisa Bungalan sudah tahu" "
" Ia datang pada saatnya," jawab Mahendra, "tetapi tidak
seorang pun y ang tahu dimana kalian berdua.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menundukkan kepalanya,
sebenarnyalah m ereka telah melakukan pengembaraan tanpa
diketahui arahnya. Seandainya terjadi sesuatu di perjalanan,
maka ayah dan kakak mereka hanya dapat menunggu sampai
waktu yang tidak akan pernah mereka jumpai.
Tetapi kini mereka telah kembali. Namun ada y ang telah
hilang sehingga mereka tidak akan pernah bertemu lagi.
Orang-orang yang sangat mereka hormati.
Mahisa Agni dan Witantra adalah orang -orang y ang
memiliki ilmu y ang sangat tinggi. Namun ilmu mereka, betapa
pun tingginya tidak akan pernah dapat melindungi mereka
dari jangkauan maut. "Sudahlah," berkata Mahendra kemudian, "maut akan
menjemput siapa saja pada waktunya. Aku kira yang terjadi
atas kedua pamanmu itu adalah y ang terbaik bagi mereka."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Sementara itu, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping
mencoba untuk ikut dapat merasakan suasana itu. Tetapi
karena m ereka belum pernah bertemu dengan orang2 yang
bernama Mahisa Agni dan Witantra, maka mereka tidak dapat
membayangkan betapa dalamnya kepedihan hati Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Dalam suasana y ang masih dibayangi oleh b erita duka itu,
maka Mahendra pun bertanya, apa saja yang telah dilakukan
oleh anak-anaknya. Namun jawaban Mahisa Murti cukup singkat: "Kami
menjalani laku Tapa Ngrame, ayah."
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya: "Bagus
anak-anakku. Bagiku laku y ang paling baik adalah laku yang
telah kalian jalani selain laku y ang khusus memang harus
dijalani untuk satu kepentingan, khususnya dalam menimba
ilmu." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk2 kecil.
Ternyata ay ahnya telah membenarkan pilihan mereka. Apalagi
ketika Mahisa Murti dari Mahisa Pukat berganti-ganti
menceriterakan penglaman mereka secara singkat.
"Jika kami menceriterakan semuanya, maka akan
memerlukan waktu lebih dari tiga hari tiga m alam," berkata
Mahisa Pukat kemudian."
Mahisa Murti memandanginya sejenak. Namun ia pun
berkata pula: "Memang banyak sekali y ang ingin aku
sampaikan kepada ay ah."
Mahendra mengangguk2. Sementara itu, perhatiannya
mulai tertuju kepada sepasang pedang yang ada pada Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Meski pun serba sedikit hal itu sudah
diceriterakan, namun agaknya ay ahnya masih memerlukan
beberapa penjela san. "Kami akan menceriterakannya secara khusus ayah,"
berkata Mahisa Murti. Mahendra mengangguk-angguk. Ia tahu bahwa anakanaknya
itu sudah letih bercerita dan menjawab pertanyaanpertanyaan.
Karena itu, maka Mahendra pun berkata:
"Baiklah. Sekarang kalian membersihkan diri. Kemudian
beristirahatlah sebaik-baiknya sementara para cantrik
menyediakan makan bagi kalian."
Kelima orang itu pun kemudian telah m embersihkan diri.
Mereka benar-benar merasa letih ju stru setelah mereka
sampai ke padepokan Bajra Seta. Rasa-rasanya kaki mereka
menjadi semakin berat. Sejenak kemudian, maka kelima orang itu telah selesai
berbenah diri. Mereka berlima bersama Mahendra dan orangorang
y ang ikut memimpin padepokan itu telah bersiap-siap
untuk makan ber sama sambil mengucap syukur kepada Yang
Maha Agung, bahwa pemimpin-pemimpin mereka telah tiba
dari pengembaraan. "Anak-anak," berkata Mahendra setelah mereka selesai
makan: "Orang-orang yang hadir akan m enjadi saksi bahwa
aku telah mengembalikan pimpinan padepokan y ang kau
titipkan kepadaku ini."
Tetapi Mahisa Murti menggeleng sambil berkata: "Jangan
sekarang ayah. Kami masih harus mempersiapkan diri kami
sebaik-baiknya. Baru kelak setelah kami siap, kami akan
menerima pimpinan itu."
Mahendra mengangguk-angguk. Ia mengerti alasan
anaknya. Karena itu, maka ia pun bertanya: " Berapa hari kau
memerlukan waktu untuk mempersiapkan diri ?" bertanya
Mahendra.. "Paling sedikit sepekan ayah," jawab Mahisa Murti.
Mahendra mengangguk-angguk. Namun ia sama sekali tidak
merasa ragu untuk menyerahkan pimpinan itu k epada anakanaknya.
Apalagi padepokan itu memang didirikan atas
kehendak anak-anaknya. Demikianlah, maka selama lima hari y ang diminta, Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat telah mengajak Mahisa Semu,
Wantilan dan Mahisa Amping untuk melihat-lihat isi
padepokan. Mereka telah dibawa ke sanggar terbuka dibagian
belakang dari halaman padepokan y ang sangat luas itu.
"Meny enangkan sekali," teriak Mahisa Amping sambil
berlari-lari mengelilingi sanggar itu.
"Di sudut yang lain, masih terdapat sanggar tertutup,"
berkata Mahisa Murti kepada Mahisa Semu, Wantilan dan
Mahisa Amping. "Menarik sekali. Aku akan banyak mendapat kesempatan
untuk berlatih. Jika tidak di sanggar terbuka ini, aku dapat
berlatih di sanggar tertutup.," desis Mahisa Amping.
Mahisa Murti tersenyum. Katanya: "Ya, kita akan dapat
mempergunakannya. Tetapi sanggar itu dipergunakan oleh
banyak orang. Seluruh isi padepokan ini berlatih di sanggar
terbuka atau tertutup."
"Tetapi sanggar ini pada suatu saat kosong seperti ini,"
berkata Mahisa Amping. "Untuk hari -hari tertentu. Dihari lain, sanggar ini selalu
penuh," jawab Mahisa Murti. Tetapi katanya selanjutnya:
"Tetapi itu bukan berarti bahwa kita tidak akan mendapat
kesempatan. Sanggar ini cukup luas sehingga sekelompok
orang dapat latihan bersama-sama.
Mahisa Amping mengangguk-angguk. Tetapi ia masih
berdesis: "Tetapi kita lebih senang berlatih tanpa dilihat orang
lain." Mahisa Murti tertawa. Katanya: " Baiklah. Kita akan sekalisekali
berlatih untuk m eningkatkan kemampuan kita. Bukan
untuk menjadi tontonan."
Demikianlah, dalam lima hari rasa-rasanya isi padepokan
itu belum mampu dilihat secara keseluruhan. Tetapi segala
sesuatunya y ang paling penting telah diketahuinya.
Namun dalam pada itu, Mahendra telah memanggil mereka
dan bertanya: "Apakah kalian sudah cukup beristirahat,
kemudian sudah siap untuk menerima kembali kepemimpinan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat atas padepokan itu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak, sementara Mahendra berkata: "Kalian seharusnya
mengerti, terutama menyadari, bahwa kalianlah y ang telah
mendirikan padepokan ini."
"Ya ayah," jawab Mahisa Murti.
"Karena itu, kalian harus menerima kembali
pertanggungjawaban kalian y ang telah mendirikan sebagai
padepokan, untuk mengatur dan membimbing para cantrik
yang jumlahnya cukup besar."
"Kami mengerti ay ah," jawab Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat hampir berbareng. "Jadi kalian sudah siap"," bertanya Mahendra.
"Siap atau belum siap, tetapi segala sesuatunya merupakan
usaha yang sebaik-baiknya y ang telah kami lakukan," jawab
Mahisa Murti. "Bagus. Jika demikian, sore nanti kita akan m engadakan
pertemuan khusus bagi para pemimpin padepokan ini. Aku
akan meny erahkan kembali kembali kekuasaan atas
padepokan itu kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat."
"Tetapi ketika aku menyerahkan pimpinan kepada ay ah,
bukankah tidak ada upacara sama sekali "," bertanya Mahisa
Pukat. "Ya. Tetapi kali ini memang agak lain," jawab Mahendra
yang untuk sementara memimpin padepokan itu.
Mahisa Murti tidak dapat menolak rencana ayahnya.
Ayahnya ingin meny erahkan kembali pimpinan padepokan itu
di hadapan para penghuni padepokan. Para cantrik dan ketiga
orang y ang datang bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Tetapi y ang penting bagi Mahendra tentu bukan upacara
peny erahan itu sendiri. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
ternyata menangkap maksud ay ahnya itu dari sisi y ang lebih
dalam. Ayah mereka ingin memberikan tekanan kepada kedua
anaknya, bahwa mereka harus lebih banyak berbuat bagi
perguruan itu serta mempertanggung -jawabkannya.
Dengan upacara itu ay ah mereka ingin mengatakan:
"Kalian adalah pemimpin dari padepokan dan sekaligus
perguruan Bajra Seta."
Demikianlah, maka menjelang matahari turun ke balik
bukit, orang-orang seisi padepokan itu telah berkumpul.
Bukan hanya beberapa orang pembantu Mahendra memimpin
padepokan itu, tetapi ternyata semua orang telah diminta
untuk hadir di halaman depan padepokan itu.
Tetapi ternyata para cantrik juga telah menyiapkan
makanan dan minuman dalam pertemuan itu. Beberapa ekor
ay am telah dikorbankan. Sementara itu, dapur padepokan itu
pun telah menjadi sibuk. Upacara peny erahan itu sendiri tidak berlangsung terlalu
lama. Namun Mahendra sempat berbicara di hadapan para
penghuni padepokan itu: "Sejak saat ini, maka pimpinan
padepokan sekaligus perguruan Bajra Seta ada di tangan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat."
Orang-orang yang menghadiri pertemuan kecil itu bertepuk
tangan. Sementara itu jantung Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat terasa bergejolak. Seperti yang sudah mereka duga
sebelumnya, upacara y ang dibuat oleh ay ahnya itu adalah
sekedar tekanan jiwani bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
untuk lebih banyak berbuat dengan penuh kesadaran akan
tanggung jawab terhadap padepokan dan perguruan yang
mereka dirikan. Meski pun tidak terucapkan, namun ayahnya itu ingin
berkata kepada keduanya: "Kalian tidak sekedar bermainmain."
Demikianlah upacara itu berlangsung dengan lancar dan
meriah. Semua orang merasa gembira, bahwa Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat telah kembali di tengah-tengah mereka.
Sejak saat itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan
melakukan tugas mereka sebagai pemimpin padepokan itu.
Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping
memperhatikan upacara itu dengan saksama. Namun dengan
demikian mereka menyadari bahwa untuk selanjutnya Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat tidak hanya memperhatikan m ereka
bertiga, tetapi juga orang-orang lain di padepokan itu.
Mahisa Amping justru menjadi gelisah. Apakah seperti y ang
dikatakan Mahisa Murti sebelumnya bahwa ia akan dapat
mempergunakan sanggar itu tanpa orang lain"
Sementara pertemuan itu menjadi semakin riuh serta
makanan dan minuman sudah dibagikan. Mahisa Amping
merasa bahwa dunianya menjadi semakin sepi. Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat seakan-akan tidak memperhatikannya lagi.
Tetapi ketika ia m elihat Mahisa Semu dan Wantilan y ang
duduk sedikit terpisah dari orang -orang padepokan itu, karena
mereka memang belum begitu akrab dengan mereka, Mahisa


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Amping pun merasa bahwa ia masih mempunyai setidaktidaknya
dua orang kakak dan paman y ang akan
memperhatikannya. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah ikut
pula bergembira bersama seisi padepokan itu. Namun
disamping itu, keduanya pun merasa bahwa mereka harus
lebih menyadari kedudukan mereka.
Ternyata pertemuan itu berlangsung sampai m alam hari.
Menj elang tengah malam, maka Mahendra baru m enyatakan
bahwa pertemuan itu sudah selesai.
Malam itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m emang agak
melupakan Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping,
sehingga keduanya tidak melihat ketiga orang itu telah
kembali ke dalam biliknya.
Di hari berikutnya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai
dengan tugasny a y ang sibuk. Meski pun ia tidak lagi
melupakan Mahisa Amping, namun sudah tentu sikapnya
menjadi agak berbeda. Di perjalanan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat tidak dibebani oleh tugas-tugas yang
mengikatnya sebagaimana di dalam padepokan itu.
Tetapi yang memperhatikan anak itu lebih banyak adalah
justru Mahendra. Mahendra yang telah m eletakkan tugasnya,
mempunyai banyak waktu y ang luang, sehingga justru
dipergunakan untuk menemani anak itu.
Dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat Mahendra telah
mendengar beberapa hal tentang kelebihan anak itu meski pun
tidak selalu demikian. Kadang-kadang kelebihan itu tidak
tampak sama sekali. Namun tiba -tiba saja ada sesuatu yang
tidak dapat dimengerti tampak pada anak itu.
Karena itu maka Mahendra pun ingin mengetahui lebih
banyak lagi tentang anak itu. Sedangkan Mahisa Semu dan
Wantilan pun mendapatkan beberapa kesempatan langsung
dari Mahendra meski pun tidak terlepas dari bimbingan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dalam keterbatasannya.
Perhatian Mahendra kepadanya, membuat Mahisa Amping
menjadi berm inat kembali terhadap masa depannya. Hampir
sa ja Mahisa Amping merasa tidak berarti apa -apa lagi. Ia
sudah mulai bertanya, untuk apa ia datang ke padepokan itu.
Apalagi kemudian ia m enyadari, bahwa ia tidak lagi dapat
berlatih bersungguh-sungguh dengan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Apalagi m empergunakan sanggar terbuka atau
sanggar tertutup tanpa orang lain.
"Mereka sekarang lebih memperhatikan orang-orang
padepokan ini daripada aku," berkata Mahisa Amping di
dalam hatinya. Namun, selagi sikapnya mulai berubah sehingga ia tidak
lagi memperhatikan latihan-latihan dan ilmu kanuragan,
Mahendra mulai memperhatikannya.
"Amping," berkata Mahendra pada suatu pagi, "kenapa kau
masih duduk saja di situ" "
Mahisa Amping mengerutkan keningnya. Dengan nada
rendah ia menjawab: "Kepalaku agak pusing."
Mahendra tersenyum. Ia pun duduk di sebelah anak itu.
Dengan penuh pengertian ia bertanya: "Apakah kau tidak
ingin latihan di sanggar terbuka pagi ini" "
"Bukankah sanggar itu baru dipakai"," bertanya anak itu
pula. "Kau dapat latihan di tempat lain. Apakah latihan itu harus
dilakukan di sanggar"," desak Mahendra.
Mahisa Amping memperhatikan Mahendra itu sejenak.
Namun ia pun berkata: "Kakang Mahisa Murti dan kakang
Mahisa Pukat masih sibuk. Bahkan selalu sibuk dalam latihanlatihan
dengan seluruh isi padepokan ini. Mungkin Mahisa
Amping tidak akan pernah mendapat kesempatan lagi."
Mahendra t ertawa. Katanya: "Kau sudah m enjadi semakin
besar. Kau harus dapat meningkatkan kemampuanmu sendiri.
Kau harus mulai mencoba untuk tidak tergantung kepada
orang lain." "Tetapi apa arti seorang y ang berguru kepada orang lain","
bertanya anak itu dengan jujur.
Mahendra justru tertarik sekali kepada keterbukaan hati
anak itu. Karena itu, maka ia pun menjawab: "Seseorang yang
berguru kepada orang lain harus membuka diri menerima
pewarisan ilmu dari orang y ang m enjadi, gurunya. Tetapi ia
pun harus menjalani laku yang berat. Patuh dan tunduk
kepada gurunya, mendengarkan semua petunjuknya dan
mencoba melakukan semua perintahnya."
"Apakah dengan demikian seseorang y ang berguru tidak
akan pernah dapat hidup tanpa tergantung kepada orang lain,
meski pun orang itu adalah gurunya"," bertanya anak itu.
Mahendra menggelengkan kepalanya. Ia pun t ertawa
semakin panjang. Katanya: " Jangan mengambil kesimpulan
seperti itu. Di saat seseorang berguru, maka gurunya harus
mengajarnya mandiri. Selangkah demi selangkah. Namun
akhirnya, seseorang memang harus tidak bergantung lagi
kepada orang lain. Tetapi aku tidak bermaksud bahwa tibatiba
saja seseorang harus lepas dari ketergantungan. Terutama
dalam meningkatkan ilmunya. Jika tadi aku katakan
kepadamu bahwa kau sudah semakin besar dan sebaiknya
dapat meningkatkan ilmumu adalah karena keterbatasan
waktu dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dalam
keterbatasan waktu itu, kau jangan kehilangan waktu untuk
sekedar menunggu. Kau dapat mengisi waktumu untuk
berlatih tanpa salah seorang dari kedua kakakmu itu."
Mahisa Amping termangu-mangu. Tetapi sebenarnya ia
memang merasa kecewa. Mungkin ia dapat berlatih sendiri,
tetapi dengan demikian, maka ilmunya tidak akan dapat cepat
meningkat. Atau setidak-tidaknya merambat dengan wajar.
Tanpa bimbingan seseorang maka ilmunya akan meningkat
dengan sangat lamban. Mahisa Semu dan Wantilan, y ang juga kehilangan banyak
kesempatan untuk berlatih langsung bersama Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat, berusaha untuk membaur dengan para
cantrik dan berlatih bersama dengan mereka. Dalam
kesempatan-kesempatan tertentu, Mahendra memberikan
beberapa petunjuk dan latihan secara khusus.
Mahisa Amping mula-mula kurang berminat ketika
Mahendra membawanya ke sanggar tertutup sambil berkata:
"Berlatihlah. Aku akan melihat, apa yang telah kau pelajari."
Mahisa Amping memang tidak menolak. Tetapi ia
melakukan dengan setengah hati.
Ketika Mahendra minta anak itu mulai menunjukkan
kemampuan ilmunya, maka Mahisa Amping pun telah
melakukannya. Tetapi tidak sepenuhnya. Tidak ada kesan
kesungguhan dan tidak ada tekanan pada setiap unsur
geraknya. Mahendra mengetahui hal itu. Karena itu, maka ia pun
merasa berkewajiban untuk membangunkan anak itu dari
kemalasannya karena ia merasa kecewa akan dirinya sendiri.
Dengan nada lembut Mahendra berkata: "Marilah. Kita
berlatih bersama." Mahisa Amping sama sekali tidak tahu tingkat kemampuan
Mahendra. Ia memang mengetahui bahwa selama Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat pergi, Mahendra, ay ah kedua orang
anak m uda itulah y ang menggantikannya. Tetapi baginya ia
bukan ukuran kemampuan dan tingkat ilmu dari orang tua itu.
Menurut pendapat Mahisa Amping, Mahendra adalah
seorang tua y ang memiliki pengalaman yang luas, tetapi tidak
memiliki kemampuan ilmu seperti Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat, karena bagi anak itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
adalah orang yang memiliki ilmu tanpa tanding. Apalagi
melihat ujud wadagnya. Mahendra sudah terlalu tua untuk
mendukung ilmu yang tinggi.
Karena itu, ketika Mahendra mengajaknya berlatih bersama
maka Mahisa Amping hanya mengangguk saja tanpa, merubah
sikap dan ungkapan ilmu kanuragan y ang telah dipelajarinya.
Mula-mula Mahendra mengikuti saja sebagaimana
dilakukan Mahisa Amping. Namun kemudian Mahendra mulai
menyentuh tubuh anak itu. Bahkan kemudian, sentuhan
tangannya pun mulai terasa sakit.
Mahisa Amping mengerutkan keningnya. Perasaan sakit itu
datang beberapa kali sehingga Mahisa Amping m ulai sadar,
bahwa ia harus lebih bersungguh-sungguh dalam latihan itu,
agar kulitnya tidak menjadi semakin biru lembab.
Tetapi meski pun Mahisa Amping kemudian bersungguhsungguh,
namun ia sama sekali tidak mampu mengelak ketika
serangan Mahendra y ang tua itu datang semakin cepat.
Tangannya pun semakin sering m engenainya. Semakin lama
semakin sakit. Mahisa Amping menjadi marah ketika tangan Mahendra
menampar keningnya, sehingga kepala anak itu menjadi
pening. Namun bagaimana pun juga, Mahisa Amping tidak mampu
menyentuh tubuh Mahendra yang tua, y ang nampaknya hanya
bergeser setapak-setapak.
Tetapi akhirnya Mahisa Amping menjadi sangat letih tanpa
berhasil m eny entuh tubuh orang tua itu. Dengan nafas yang
terengah-engah Mahisa Amping berdiri sambil menekan
pinggangnya dengan kedua tangannya.
Namun Mahendra masih belum selesai. Ia ingin
meyakinkan anak itu, bahwa ia pun akan dapat memberikan
tuntunan kanuragan sebagaimana Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Karena itu, ketika Mahisa Amping y ang kecil itu tidak lagi
mampu berbuat sesuatu, maka Mahendra pun tidak lagi
menyerangnya. Tetapi Mahendra telah m elakukan semacam
latihan seorang diri dengan mengungkapkan unsur-unsur
gerak yang memang mengejutkan bagi Mahisa Amping.
Bahkan kemudian Mahendra telah mempergunakan
tonggak t onggak y ang ditanam tegak dengan ketinggian yang
berbeda. Kemudian meniti tali-tali yang bergayutan di bagian
atas sanggar, sementara itu, beberapa kali Mahendra telah
menunjukkan unsur-unsur gerak y ang tidak masuk di akal
anak itu. Bahkan kemudian Mahendra telah menggapai
sebatang tongkat besi dan sekaligus dengan kekuatan yang
diluar penalarannya, membengkokkannya sampai kedua ujung
dan pangkalnya bertemu. Mahisa Amping berdiri bagaikan membeku. Ia sama sekali
tidak mengerti bagaimana mungkin hal seperti itu dapat
terjadi. Tetapi matanya telah melihatnya bahwa hal itu
memang terjadi. Beberapa saat kemudian, maka Mahendra itu pun telah
menghentikan latihan-latihan y ang sangat menarik bagi
Mahisa Amping itu. Demikian Mahendra berhenti melakukan latihan y ang
diluar penalaran anak itu, maka Mahisa Amping pun tiba-tiba
sa ja telah berlutut dan berkata: "Luar biasa. Aku tidak y akin
akan penglihatanku sendiri."
Mahendra tersenyum. Katanya: "Bukan apa-apa. Hanya
sebuah latihan untuk mengingat kembali dasar-dasar ilmu
gerak sebagaimana aku pelajari ketika aku masih anak-anak."
"Aku tidak dapat mengerti bagaimana hal itu dapat terjadi,"
desis Mahisa Amping. Sambil menarik Mahisa Amping untuk berdiri Mahendra
berkata: "Kau pun dapat mempelajarinya."
"Aku"," mata anak itu terbelalak.
Mahendra tertawa. Jawabnya: "Tentu. Kau sebagaimana
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat semasa masih kanak-kanak."
"Apakah Ki Mahendra y ang mengajarnya"," bertanya anak
itu. "Ya. Anak-anakku adalah m urid-muridku kecuali seorang
yang mendapat guru y ang lain," jawab Mahendra.
Mahisa Amping termangu-mangu. Dengan nada ragu ia
bertanya: "Apakah aku dapat belajar juga" "
Mahendra tertawa. Katanya: "Kau. akan belajar pada
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tetapi j ika keduanya sibuk,
maka aku akan dapat membantunya."
Wajah anak itu menjadi cerah. Ia melihat harapan baru
setelah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi terlalu sibuk
dengan tugas-tugasnya sehingga tidak lagi mempunyai banyak
waktu untuk membimbingnya, meski pun bagi para cantrik,
Mahisa Amping termasuk murid yang lebih banyak mendapat
kesempatan. "Baiklah," berkata Mahendra, "agaknya latihanmu sudah
cukup hari ini. Besok kita akan mengadakan latihan lagi jika
sanggar ini tidak terpakai."
Tetapi sebelum keduanya keluar dari sanggar, pintu
sanggar telah terbuka. Mereka melihat Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat berdiri diluar pintu.
"Apakah Amping ada disini"," bertanya Mahisa Murti.
Mahendra tersenyum. Sambil menjuk Mahisa Amping y ang
masih berada di dalam sanggar ia berkata: " Ia ada disini. Aku
melihat bagaimana ia bermain-main."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melangkah masuk.
Dilihatnya anak itu telah nampak letih, sehingga karena itu,
maka keduanya mengurungkan niatnya untuk berlatih
bersama anak itu. "Kau baru saja berlatih"," bertanya Mahisa Murti.
"Aku membawanya ke sanggar," Mahendralah y ang
menjawab, "aku ingin mengisi waktunya selagi anak itu
menunggu kalian." "Kami sedang sibuk," jawab Mahisa Pukat.
"Aku mengerti. Itulah sebabnya aku mewakilimu," jawab
Mahendra. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m asih akan menjelaskan.
Tetapi Mahendra telah b erkata: "Amping. Kau dapat pergi ke
pakiwan. Mandi dan kemudian berbenah diri."
Mahisa Amping pun kemudian m eninggalkan sanggar itu
pergi ke pakiwan. Demikian anak itu keluar dari sanggar, maka Mahendra
pun berkata: "Ia telah menjadi semakin maju."
"Tetapi kami mempunyai kesibukan y ang lain kecuali
membina anak itu," berkata Mahisa Pukat.
"Aku tahu. Bukankah aku tidak menyalahkanmu" Aku
hanya mengisi waktunya y ang luang. Aku melihat anak itu
duduk termenung. Katanya kepalanya merasa pening. Lalu
aku ajak anak itu ke sanggar. Kegembiraannya segera timbul.
Dan ia tidak merasa pening lagi," jawab Mahendra.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk kecil.
Namun Mahisa Murti masih juga berkata: "Aku sama sekali


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak m elupakan anak itu ayah. Tetapi bukankah aku harus
menyelesaikan semua kewajibanku di padepokan dan
perguruan ini" "Berapa kali sudah aku katakan, bahwa aku tidak
menyalahkan kalian. Tetapi barangkali perlu aku peringatkan,
untuk apa kalian pergi meninggalkan padepokan ini untuk
waktu yang lama sehingga kalian tidak sempat melihat
keadaan terakhir kedua pamanmu"," bertanya ayahnya.
Kedua anak muda itu termangu-mangu sejenak. Tetapi
pertanyaan ayahnya itu telah m enyentuh perasaan keduanya.
Keduanya meninggalkan padepokan itu untuk mendapatkan
satu dua orang y ang akan ditempanya menjadi salah seorang
dari inti kekuatan padepokan itu. Keduanya ingin
mendapatkan bahan yang masih dapat dianggap murni,
sehingga dapat mereka bentuk sesuai dengan keinginan
mereka bagi kepentingan perguruan Bajra Seta.
Karena kedua anak muda itu masih berdiam diri, maka Ma hendra pun berkata: "Tetapi jangan cemas. Kalian dapat
melakukan tugas kalian sebaik-baiknya. Aku dapat membantu
mengurus anak itu." "Tetapi ....," Mahisa Murti menjadi ragu-ragu.
" Ingat, bukankah aku juga yang meletakkan dasar ilmu bagi
kalian," potong Mahendra.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk kecil. Dengan
nada dalam Mahisa Murti berkata: "Tetapi ay ah sekarang
sudah terlalu tua untuk tetap berada di sanggar."
Mahendra tertawa. Katanya: "Kau juga sudah tahu, bahwa
belum terlalu lama padepokan ini telah mendapat serangan
dari sekelompok orang dari sebuah perguruan yang dipimpin
oleh seorang y ang bernama mPu Santi dari perguruan Lawang
Tunggal. Dan aku masih sempat bersama-sama dengan
seluruh isi padepokan ini untuk melawan dan mengusir
mereka." "mPu Santi atau mPu Rangkut"," bertanya Mahisa Murti.
"mPu Santi," jawab Mahendra. "Bukankah kalian y ang
berceritera bahwa kalian telah bertemu dengan mPu Rangkut
yang agaknya memiliki ilmu lebih baik dai mPu Santi."
"Ya, ya," Mahisa Murti mengangguk-angguk. Ayahnya
memang pernah berceritera tentang mPu Santi.
"Nah," berkata Mahendra: "dengan demikian maka kalian
tentu akan dapat mempercayai aku untuk secara khusus
mempersiapkan anak itu. Pada saatnya kalian akan dapat
membentuknya menjadi seorang y ang memiliki ilmu dan
kemampuan sebagimana kalian harapkan. Tetapi aku juga
minta perhatian kalian kepada Mahisa Semu. Jika kalian tidak
berkeberatan, aku akan mempersiapkannya pula meski pun
dengan cara yang agak berbeda dengan Mahisa Amping.
Namun pada saatnya keduanya akan dapat m enjadi seorang
yang memiliki ilmu y ang baik dan mampu membantumu
memimpin padepokan ini, karena pada dasarnya Mahisa Semu
pun masih belum memiliki landasan."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata: "Jika hal itu
memang ayah kehendaki, maka kami akan mengucapkan
terima kasih." "Aku akan melakukannya sejauh dapat aku jangkau,"
berkata Mahendra, "selanjutnya adalah kewajibanmu.
Sementara itu Wantilan dapat kau tempatkan sesuai dengan
keadaannya. Namun ia telah menunjukkan tekadnya yang
besar meny ertaimu sampai ke padepokan ini."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk kecil sambil
menjawab hampir bersamaan: "Ya ay ah."
"Nah, sejak sekarang, biarlah aku menangani Mahisa
Amping dan Mahisa Semu, sementara kau dapat mengatur
padepokan ini sehingga kau tidak akan tenggelam dalam
kesibukan yang tidak terbatas."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Baru kemudian Mahisa Murti berkata: "Baiklah ay ah.
Jika ay ah masih berniat untuk berada di sanggar."
"Jika aku meninggalkan sanggar, aku akan menjadi
semakin cepat kehilangan gairah hidup ini dan menjadi
pikun," jawab Mahendra sambil tersenyum. Lalu katanya
kemudian: "Tetapi untuk selanjutnya anak itu tetap menjadi
tanggung jawabmu." "Ya ay ah," jawab Mahisa Murti dan Manisa Pukat hampir
bersamaan. Demikianlah, sejak itu, Mahisa Amping menjadi bergairah
kembali. Harapannya yang pudar, tiba-tiba telah menyala lagi.
Ia sadar, bahwa Mahendra adalah seorang yang berilmu
sangat tinggi. Meski pun Mahendra lebih banyak berlandaskan
satu jalur ilmunya Bajra Geni, namun Mahendra benar-benar
telah sampai ke puncak tataran ilmunya itu.
Bagi Mahisa Amping y ang kecil itu, sama sekali tidak
pernah diperhatikannya, darimana Mahendra mewarisi
ilmunya. Yang ia ketahui adalah, bahwa Mahendra memiliki
ilmu yang jarang ada bandingnya sebagaimana Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat. Apakah ilmunya itu ilmu y ang dahsy at yang
disebut Bajra Geni atau ilmu y ang lain, namun y ang penting
bagi Mahisa Amping, ilmunya akan dapat meningkat lebih
cepat. Tetapi sebagaimana dilakukan atas anak-anaknya sendiri,
Mahendra tidak saja mengajarkan ilmu kepada Mahisa
Amping dan Mahisa Semu. Tetapi disamping ilmu, k eduanya
juga selalu mendapat tuntutan m eniti jalan kehidupan yang
dianggapnya baik. Sikap dan pandangan hidup yang bersih
dan mewarnai ilmuriya dengan kesadaran akan sumber
hidupnya. Ilmu adalah ibarat ujung tombak yang sangat tajam.
Tergantung kepada tangan y ang memegangnya, untuk apa
ujung yang sangat tajam itu dipergunakan. Di tangan yang
baik ujung tombak yang tajam itu akan dapat menjadi
pelindung y ang menjaga keseimbangan dan kejernihan
kehidupan dan m enimbulkan ketenteraman. Tetapi di tangan
yang hitam, ujung tombak itu akan dapat mengguncang
ketenangan dan kedamaian.
Namun dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat dapat lebih banyak memperhatikan tugas-tugasnya yang
lain. Meski pun sekali-sekali keduanya ikut pula berada di
dalam sanggar bersama Mahisa Amping dan Mahisa Semu,
bahkan dengan Wantilan pula, namun tanggung jawab kedua
anak muda itu jauh lebih ringan. Sementara itu Mahendra dan
Mahisa Semu pun tidak merasa kehadirannya di padepokan
itu sia -sia. Ternyata seperti yang sering dikatakan oleh Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat, bahwa Mahisa Amping adalah anak yang
memang memiliki kelebihan dari anak kebanyakan. Apa yang
diajarkan oleh Mahendra, anak itu dengan cepat dapat
menyerapnya. Unsur-unsur gerak y ang paling dasar dengan
cepat dikuasainya seluruhnya. Bahkan kemudian Mahisa
Amping telah mulai dengan mempelajari unsur-unsur gerak
yang lebih rumit. Bahkan dalam umurnya y ang masih sangat muda itu.
Mahendra telah memperkenalkannya dengan tenaga cadangan
di dalam dirinya. Namun berbeda dengan ketajaman daya tangkap serta
ingatannya, Mahisa Amping tidak terlalu cepat memahami dan
mengungkapkan tenaga cadangan di dalam dirinya.
" Ia m asih terlalu anak-anak," setiap kali Mahendra telah
mengendorkan kekecewaannya jika Mahisa Amping sulit
untuk mengikuti petunjuk-petunjuknya serta memahami laku
untuk membangunkan tenaga cadangannya itu.
Sementara itu, Mahisa Semu pun telah mengalami banyak
kemajuan pula. Dengan rajin ia mengikuti semua petunjuk dan
tuntunan Mahendra. Bahkan dalam saat-saat yang
memungkinkan, Mahisa Semu telah mempergunakan waktu
sebaik-baiknya, m eski pun ia harus berlatih sendiri. Ia tidak
merajuk seperti Mahisa Amping. Namun justru berusaha
untuk berbuat sebaik-baiknya.
Apalagi Mahisa Semu merasa bahwa ia sudah lebih tua dari
Mahisa Amping, sehingga seharusnya ia dapat lebih banyak
mengambil kesempatan untuk menempa diri.
Dalam pada itu, kedatangan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah m embuat padepokan Bajra Seta itu menjadi lebih
hidup. Hubungan mereka dengan padukuhan di sekitarnya
tetap dipelihara dengan baik, sehingga kehadiran padepokan
dan perguruan Bajra Seta itu juga mempunyai arti bagi
padukuhan di sekitarnya, terutama dalam usaha para petani
untuk meningkatkan hasil sawah mereka. Bahkan beberapa
padukuhan telah dengan sengaja mengirimkan anak-anak
muda mereka untuk ikut serta mempelajari kemungkinankemungkinan
y ang lebih baik dalam hal mengolah sawah
mereka, sehingga dalam waktu y ang [terhitung tidak t erlalu
lama sebagaimana para cantrik, telah dapat mereka
pergunakan di padukuhan mereka masing-masing.
Sementara itu, padepokan Bajra Seta juga mengembangkan
lahan dan sawah bagi keperluan padepokan. Sawah yang
memang digarap oleh para cantrik untuk menghasilkan
pangan bagi seisi padepokan. Para cantrik dengan rajin
mengatur susunan jalur air y ang ternyata tidak hanya
bermanfaat bagi sawah dan lahan para cantrik itu sendiri,
namun ternyata juga berarti bagi pa-dukuhan di sekitarnya.
Dari hari ke hari, Padepokan Bajra Seta nampak menjadi
semakin berkembang. Bukan dalam jumlah murid yang ingin
belajar dan menjadi cantrik di padepokan itu saja, tetapi
tataran kecerdasan dan kehidupan di padepokan itu pun
menjadi semakin meningkat. Sawah garapan para penghuni
padepokan itu pun menjadi semakin luas. Atas ijin Ki Buyut
yang memimpin lingkungan itu, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah membuka tanah pertanian baru. Beberapa
puluh bahu lingkungan hutan yang pepat telah dibuka, tanpa
menimbulkan kerusakan keseimbangan pada hutan itu, karena
luas tanah y ang terbuka itu terhitung kecil dibandingkan
dengan luas hutan itu sendiri.
Namun akibat dari perluasan tanah pertanian itu adalah
kerja keras untuk menaikkan air dari sungai-sungai untuk
mengaliri tanah pertanian y ang baru itu, sehingga parit-parit
pun telah digali menyusuri kotak-kotak sawah y ang baru itu.
Dengan demikian maka padepokan Bajra Seta telah
menjadi padepokan yang berarti bukan saja dalam olah
kanuragan, tetapi juga ketrampilan di beberapa bidang
kehidupan. Karena di samping pertanian, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat juga mengusahakan peternakan dan meski pun
hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri, padepokan itu pun
telah membuat belumbang-belumbang untuk memelihara ikan
air. Karena itu, maka seakan-akan padepokan Bajra Seta telah,
memiliki segala macam usaha untuk memenuhi kebutuhan
sendiri. Bahkan hasilny a yang berlebih telah dapat disalurkan
untuk dijual ke pasar-pasar terdekat sehingga hasilnya dapat
untuk membeli kebutuhan-kebutuhan, y ang lain.
Dalam perkembangannya, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah m engembangkan bengkel-bengkel pande besi dan
berusaha mencukupi kebutuhan alat-alat pertanian sendiri.
Bahkan pande-pande b esi dari padepokan Bajra Seta itu telah
belajar untuk membuat senjata sendiri dan bahkan
mengembangkannya sehingga alat-alat dan senjata yang
dibuatnya adalah termasuk benda-benda pertanian dan
senjata yang baik. Seperti, y ang dirintis sejak padepokan itu didirikan, m aka
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memberikan
kesempatan kepada anak-anak muda di padukuhanpadukuhan
terdekat untuk mempelajari berbagai macam
ketrampilan di padepokan itu tanpa menjadi cantrik. Pagi-pagi
mereka-datang untuk m empelajari salah satu ketrampilan di
padepokan itu. Bertani, pande besi, any aman bambu atau
membuat alat-alat bambu dan kayu. Di sore hari mereka
pulang kembali ke rumah mereka masing-masing.
Namun dengan demikian, m aka hubungan, padepokan itu
dengan padukuhan-padukuhan di sekitarnya menjadi semakin
akrab. Bahkan tidak terpisahkan lagi. Padepokan itu seakanakan
merupakan satu padukuhan y ang besar dan lengkap
memiliki apa saja y ang dibutuhkan dalam kehidupan.
Disamping kesejahteraan hidup para penghuni padepokan
yang selalu meningkat, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
pun telah mengetrapkan paugeran y ang mapan bagi para
cantriknya. Latihan-latihan selalu berlangsung pada saat yang
ditentukan dengan tataran-tataran y ang telah tersusun.
Beberapa orang telah ditunjuk untuk membantu Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat menuntun peningkatan ilmu dari para
cantrik dari tataran di bawahnya.
Lima orang pembantu terpenting dari Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah mendapatkan kepercayaan untuk
memimpin seisi padepokan itu. Mereka telah dipersiapkan
untuk menjadi orang y ang akan dapat mewakili Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat menangani, persoalan-persoalan ke dalam
dan keluar padepokan. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
tidak pernah m elupakan niat yang terkandung di dalam dada
mereka membawa Mahisa Semu dan Mahisa Amping ke
padepokan itu. Sementara itu, Mahendra telah benar-benar menyiapkan
kedua -duanya dengan sebaik-baiknya. Namun karena Mahisa
Amping masih terlalu muda, sehingga Mahendra memang
lebih banyak memberikan perhatiannya kepadanya.
Sedangkan Amping sendiri ternyata dengan sangat tekun
mematuhi segenap ketentuan y ang ditetapkan oleh Mahendra.
Anak itu bangun pagi-pagi sekali. Melakukan latihan-latihan
ringan serta berlari -lari di sekitar padepokan. Bahkan kadangkadang
sampai ke jarak yang agak jauh. Ketika matahari terbit,
maka Mahisa Amping sempat beristirahat sejenak untuk
mengeringkan keringat. Sejenak kemudian ia harus mandi dan
bersiap untuk melakukan latihan-latihan berikutnya.
Dengan demikian, maka dari hari ke hari, Mahisa Amping
telah meningkatkan kemampuannya. Perlahan-lahan Mahisa
Amping telah melakukan latihan membuka diri untuk
mengangkat kekuatan cadangan yang terdalam sehingga ia
pada saatnya akan mampu memanfaatkan tenaga cadangan di
dalam dirinya dengan kekuatan yang cukup besar. Jika ia tetap
rajin berlatih, maka ia pun akan dengan mudah mengetrapkan
kekuatannya itu untuk mendukung ilmunya y ang berkembang.


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ternyata Mahendra semakin lama semakin mampu melihat
kelebihan Mahisa Amping. anak itu ternyata memiliki
ketajaman penglihatan batinnya sehingga jika diasah, akan
dapat m enjadi landasan kemampuan y ang sangat berarti bagi
hidupnya. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
bekerja keras untuk membangun perguruannya. Sekali-sekali
ter -bersit pula keinginannya untuk melihat kembali lintasan
perjalanannya. Beberapa kali ia berjanji kepada orang-orang
yang pernah dikunjunginya, bahwa ia akan datang kembali
pada suatu saat untuk melihat keadaan. Kadang-kadang
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengancam pula
beberapa orang y ang sebelumnya bertingkah laku tidak
sewajarnya dengan mengatakan, bahwa pada suatu saat ia
akan kembali untuk m elihat, apakah orang itu benar-benar
telah merubah tingkah lakunya.
Tetapi ketika ia sudah berada ditengah-tengah
perguruannya, maka kesempatan itu nampaknya sulit untuk
didapatkannya. Apalagi Mahendra tiba -tiba saja telah menjadi
terlalu tua untuk memimpin sebuah padepokan.
Sebenarnyalah sepeninggal orang-orang terdekat y ang
umurnya tidak terpaut banyak dari umurnya, Mahendra
memang merasa bahwa saat-saat seperti itu akan segera
datang pula menjemputnya. Karena itu, maka Mahendra
seakan-akan telah menempatkan diri diambang pintu untuk
menunggu saat itu benar-benar datang kepadanya.
Untunglah bahwa tiba-tiba telah hadir Mahisa Amping dan
Mahisa Semu. Bukan saja kedua orang anak muda itu m erasa
mendapatkan kesempatan cukup, tetapi mereka merupakan
dor ongan bagi Mahendra untuk tetap melakukan sesuatu
sehingga di masa -masa terakhir, ia tidak merasa kehilangan
arti bagi hidupnya. Dengan demikian, maka Mahendra y ang merasa dirinya
telah menjadi terlalu tua itu, sempat mengisi sisa -sisa
hidupnya dengan kesibukan yang memberinya kegembiraan.
Seperti Mahisa Semu dan Mahisa Amping, maka
Mahendra- pun disetiap hari harus banyak melakukan
kegiatan sebelum m emasuki sanggar. Mengikuti kedua orang
anak muda itu, Mahendra harus berlari-lari pula didini hari.
Mendaki tebing-tebing y ang tinggi dan sekali-sekali menuruni
lereng -lereng terjal. Berlari-lari melintasi pematang-pematang
sawah dan tanggul -tanggul parit.
Namun dengan demikian, Mahendra merasa dirinya tidak
lagi tinggal menunggu hari-hari terakhirnya.
Mahisa Semu dan Mahisa Amping, y ang mendapat
tuntunan olah kanuragan secara khusus dengan cara yang
berbeda itu, dari hari kehari meningkat semakin mapan.
Janda Pulau Cingkuk 1 Goosebumps - Pembalasan Di Malam Halloween Delapan Sabda Dewa 3

Cari Blog Ini