Ceritasilat Novel Online

Samurai Pengembara 10 2

Shugyosa Samurai Pengembara 10 Bagian 2


mua orang jatuh miskin sehingga terpaksa harus bergabung dengannya. Bila aku
tidak menjadi prajuritnya, aku tak bisa mencari makan. Semua ronin telah dilarang tinggal di wilayah Owari."
"Lalu kenapa Bapak tidak bergabung dengan Saburo?" "Aku akan melihat keadaan. Kalau keadaan memungkinkan, aku tidak keberatan bergabung dengannya." "Keadaan pasti memungkinkan," kata Yoshioka datar. Lalu dia pura-pura pergi mencari air minum.
*** PERTEMPURAN SEPERTI air bah serbuan pasukan Mayeda Toyotomi
tiba-tiba muncul dari bukit Higura. Ribuan anak panah melesat ke langit,
kemudian turun bagai hujan deras. Pasukan Oda Nobunaga yang tidak menduga sergapan itu bergelimpangan bermandikan darah.
"Kita diseraang!" Hosokawa berteriak nyaring.
Tetapi teriakannya telah tertutup jerit serta rintih pasukannya yang tewas atau
terluka. Lengking kematian belum lenyap, dari balik bukit muncul pasukan pedang
dan tombak yang berteriak gegap gempita. Mereka bagai sekawanan serigala
menyerbu ke arah pasukan Hosokawa. Pertempuran pun terjadi dengan hebat. Masingmasing pihak ingin memenangkan pertarungan. Suara gemerincing pedang serta tikaman tombak terjadi dengan seru.
Tangan dan kaki beterbangan di udara disertai ceceran darah di tanah.
Hosokawa mencoba memberi komando dari kudanya, "Awaas! Sebelah kanan! Tutup bagian kiri!"
Hosokawa memacu kudanya ke arah kanan, tangan
kirinya memegang kendali, sementara tangan kanannya menggenggam pedang. Ia menebas ke kanan ke ki-ri, berusaha membunuh sebanyak
mungkin musuh. "Jangan biarkan mereka menerobos pertahanan kita!" Dengan bengis Hosokawa memenggal kepala musuh yang menghadang di depannya.
Ia kemudian memacu
kudanya menerjang prajurit Mayeda yang berlari menuruni bukit.
Debu-debu berkepul. Udara siang hari menjadi demikian terik. Panas matahari seakan membakar nafsu membunuh menjadi kekejaman
tiada tara. Pakaian Hosokawa kini telah memerah oleh darah
dari musuh, namun ia tak peduli. Dengan ganas, panglima Oda Nobunaga itu
menerjang musuh-musuhnya.
Lima orang samurai menghadangnya. Hosokawa segera memperkuat genggaman pedangnya, lalu memacu
untuk menerjang. Seorang samurai bertombak langsung ditebas lehernya, darah menyembur ke tanah.
Sebelum tubuh pertama roboh, Hosokawa telah mengayunkan pedangnya, membelah tubuh samurai kedua.
Samurai ketiga maju dengan gagah berani, namun
dengan memiringkan tubuh, Hosokawa menebas ke
perut lawan. Terdengar jeritan melengking ketika isi perut samurai tersebut
berurai keluar. Kemudian dengan memutar kudanya, Hosokawa membelah punggung kedua samurai yang lain.
Pertarungan terjadi dengan hebat. Ribuan samurai
bertarung untuk mempertahankan hidup. Kilatan pedang serta suara gemerincing pedang membuat keadaan menjadi riuh rendah. Hampir setiap detik terdengar jerit kematian. Namun
seperti air jeram, para samurai terus mengalir tanpa henti. Mereka bertempur
seperti kesetanan. Tak lagi memikirkan rasa takut maupun rasa iba. Kekejaman dan
kebengisan berbaur menjadi satu, membuahkan kepala-kepala terpenggal, perut
terbelah, dan kaki tangan terpangkas. Kematian seakan menjadi sesuatu yang
biasa. Tak ada kengerian sedikit pun menghadapi el maut.
Hosokawa memacu ke lereng bukit, "Di mana Mayeda Toyotomi?"
"Belum kelihatan."
"Apa dia seorang pengecut?"
"Itu dia di sana!"
"Mana?"
"Sebelah kanan!"
Hosokawa menoleh, ia melihat seorang samurai dengan pakaian perisai besi memacu kuda ke arahnya.
Dengan sigap, Hosokawa memutar pedangnya, kemudian seperti meteor ia menerjang ke arah Mayeda.
Melihat musuhnya menerjang, Mayeda segera mencabut pedangnya dan menyongsong kedatangan Hosokawa. Matanya memancarkan api membunuh, sementara bilah-bilah besi pada pakaiannya memantulkan sinar matahari.
Hosokawa berteriak, "Mayeda, terimalah kematianmu!" Mayeda menjawab, "Hosokawa, ini hari terakhirmu!"
Dalam sebuah ayunan serentak, terdengar gemerincing pedang. Hosokawa maupun Mayeda segera memutar kudanya, kemudian menggebrak untuk kembali
melancarkan serangan. Dengan kebengisan yang mengerikan, Hosokawa menikam, Mayeda berhasil menangkis, lalu menebas leher musuhnya. Hosokawa me-nundukkan kepala sehingga
desis pedang Mayeda hanya seinci di belakang kepalanya. Hosokawa segera berbalik, lalu menerjang.
Terjadi pertarungan jarak dekat dari kuda masing-masing. Keduanya berusaha keras
untuk menaklukkan lawan.
Sabetan dan ayunan pedang Hosokawa maupun
Mayeda, mengeluarkan angin mendesis yang mengerikan. Mereka adalah kedua panglima perang yang hebat. Masing-masing membawa beban untuk mempersembahkan kepala musuh untuk junjungan masingmasing, karena itu tak mengherankan bila mereka berusaha menjatuhkan lawan
secepat mungkin.
Sebuah sabetan pedang Mayeda membuat bahu Hosokawa robek. Panglima perang Nobunaga itu meringis kesakitan, namun dengan
gagah berani ia kembali menyerang Mayeda. Terdengar suara berdenting ketika
Mayeda menangkis, namun tanpa diduga, Hosokawa
mengeluarkan pisau dan menikam paha Mayeda. Panglima Suruga itu menjerit, darah mengucur deras dari lukanya.
"Kau akan kalah, Mayeda!"
"Jangan takabur! Siapa tahu kepalamu yang akan
menggelinding ke tanah!"
"Aku tidak sabar untuk memenggal kepalamu!"
Keduanya kembali terlibat dalam pertarungan seru.
Pedang mereka bergerak seperti kipas. Setiap tebasan terjadi dengan kekuatan
dahsyat, sehingga kalau tak tertangkis atau terhindarkan, dapat dipastikan
kepala lawan akan terpenggal. Sinar mata keduanya sama-sama memerah, syarafnya
mengejang karena dialiri nafsu membunuh yang meluap-luap.
Di sekitar mereka para prajurit terus bertarung. Sudah tak terhitung berapa
banyak mayat bergelimpangan. Ratusan samurai merintih di tanah dalam kubangan darahnya sendiri. Ada yang terpenggal lengannya, kakinya, bahunya, atau
tercungkil matanya karena tikaman tombak. Mereka menjerit-jerit. Dan bagi yang
tak sanggup menahankan penderitaan, mereka
memilih merobek perutnya sendiri.
Oda Nobunaga masih duduk di atas pelana di depan
pasukannya. Dia melihat dengan seksama jalannya
pertarungan. "Tampaknya Hosokawa-san mulai terdesak," kata
Nobunaga pada panglima perangnya. "Kalau kita biarkan, setengah hari lagi kita
akan kehilangan prajurit terbaik kita."
"Apakah sebaiknya pasukan kita gerakkan?"
"Ya. Sebentar lagi."
Sebuah tikaman tak dapat dihindarkan oleh Hosokawa. Ia menjerit sambil mendekap perutnya. Darah membanjir dari luka itu. Tibatiba ia merasakan kepalanya berkunang-kunang. Tubuhnya dirasakan akan
jatuh. Melihat keadaan lawannya, Mayeda segera menerjang untuk memenggal kepalanya. Tetapi sebelum maksudnya kesampaian, sebatang
anak panah menghunjam ke bahunya. Mayeda mengurungkan serangannya,
dan ia melihat ribuan pasukan Oda Nobunaga menyerbu ke arahnya.
Mayeda berteriak, "Awas di belakang kita!"
"Awaaas!"
Hosokawa menggunakan kesempatan untuk menyerang. Tebasannya mengenai bahu Mayeda. Terdengar
suara jeritan kesakitan. Mayeda jatuh dari kudanya.
Kemudian dengan penuh nafsu, Hosokawa memacu
kudanya untuk menerjang, ia bergerak sambil mengayun-ayunkan pedangnya. Dalam detik kritis itu, Mayeda mencungkil tombak dengan
kakinya, dan dengan kecepatan tak terduga, ia melemparkan tombak itu ke arah
Hosokawa. Terdengar suara "crass" ketika tombak tersebut menembus dada Hosokawa. Laki-laki
tersebut mendelik, dadanya sesak, lalu tubuhnya melayang ke tanah. Mayeda segera
meloncat, menjambak rambutnya, kemudian menebas kepalanya sehingga terpenggal.
Mayeda mengangkat kepala Hosokawa tinggi-tinggi,
"Kita menang!"
Teriakan itu tertutup oleh gemuruh ribuan tentara Nobunaga yang mulai menyerang.
*** SUNGAI DARAH HUTAN itu berada di lereng bukit. Di dasarnya mengalir Sungai Okada yang
mengalir deras, meskipun tidak begitu dalam. Air sungai itu sangat jernih, sehingga ikan-ikan di dalamnya
tampak bertemperasan. Ketika sampai di lereng bukit, para prajurit Hiroshi berdesakan ke depan untuk minum atau mandi. Tetapi
mereka tak berani langsung melakukannya sebelum
ada perintah Hiroshi.
"Saya tidak menyukai tempat ini," kata Hiroshi pada Mikoto. "Tetapi tampaknya
para prajurit ingin melepaskan lelah."
"Sebaiknya kita suruh mereka istirahat," kata Mikoto. "Dengan mandi dan berenang kurasa semangat
mereka akan pulih."
"Sungai jernih seperti ini bisa membuat kita kehilangan kewaspadaan."
"Kita dapat menempatkan penjaga di tepi sungai."
"Kalau begitu aturlah penjagaan di setiap sisi sungai, aku tak ingin mengambil
resiko." "Baiklah."
Mikoto memacu kudanya ke arah pasukan berkuda,
kemudian dia mulai menempatkan dua puluh lima pasukan berkuda untuk mengawasi keadaan di tempat
itu. "Kita beristirahat di sini," kata Hiroshi pada pasukannya. "Kalian boleh
minum dan mandi. Nanti menjelang matahari terbenam kita berangkat menuju Sasaki." Sorak-sorai terdengar riuh. Para prajurit menyambut pengumuman itu dengan
suka cita. Hampir seminggu mereka telah berjalan, tanpa sempat mandi.
Pakaian mereka telah bau dan keringat membuat pakaian lengket. Kesempatan untuk mandi bagi mereka seakan karunia dari langit.
Tanpa membuka pakaian mereka langsung terjun ke sungai, lalu berenang dan
bermain-main dengan air.
Hiroshi menatap prajuritnya dengan tersenyum. Para samurai itu kini tampak seperti anak-anak yang menemukan mainan baru.
Sambil turun dari kudanya, Hiroshi berkata, "Kalau lusa persembunyian gerombolan
itu belum kita temukan, sebaiknya kita kembali ke Kamakura. Dari sana kita
berangkat ke Suruga."
"Bagaimana dengan Naoko-san?"
"Kita simpan rapat-rapat dengan penjagaan ketat."
"Apakah engkau mempercayai kata-katanya?"
"Sebagian."
"Aku tidak mempercayai semuanya. Perempuan itu
memiliki akal bulus yang berbahaya. Aku dengan senang hati kalau diperintahkan
memenggal kepalanya."
"Kita harus menunggu perintah Yang Mulia Nobunaga." Yotomo diam. Ia menyibakkan rambutnya yang panjang kemudian pelan-pelan turun dari kudanya.
Hiroshi dan Yotomo berjalan menuruni lereng menuju sungai. Ia menatap anak pasukannya yang bergembira ria dalam sungai. Hiroshi membungkukkan
badan untuk mencuci muka, saat itulah terdengar de-singan ratusan anak panah
dari balik hutan. Dalam sekejap terdengar jeritan kematian pasukan Hiroshi.
Sebelum mereka menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba rumput di tepi sungai
tersibak dan ratusan samurai menyerbu dengan ganas.
"Awas serangan!" Hiroshi berteriak.
Tapi ratusan anak panah berikutnya telah menghujani prajuritnya. Mereka bergelimpangan sekarat. Darah mereka memerah mewarnai
sungai itu. Dalam suasana panik dan tercerai berai, muncul Saburo Mishima
memimpin penyerbuan.
Dalam sekejap terjadilah pertempuran yang hebat.
Pasukan Saburo yang rupanya telah menunggu di tepi sungai, bagai banjir
menerjang prajurit Hiroshi yang
dalam keadaan telanjang dan tak bersenjata. Karuan saja prajurit Hiroshi menjadi
sasaran empuk kebuasan pedang musuh. Mereka mencoba naik ke tepi sungai, namun
sebelum mereka mencapai tepi, pedang dan
tombak musuh telah menebas punggung dan perut
mereka. Darah mengucur meronai air sungai.
"Kejar mereka! Jangan biarkan lolos!"
Pasukan Saburo menerjang bagai banteng, mereka
menikam dan menebas dengan ganas.
Hiroshi telah mencabut pedang ketika Saburo sampai di dekatnya.
"Aku Saburo Mishima, pengikut Yang Mulia Ashikaga!" "Aku Hiroshi, pengikut Oda Nobunaga!"
Tanpa menunggu lagi mereka saling menerjang. Saburo menggunakan seluruh kekuatan untuk menggempur Hiroshi. Tetapi rupanya murid Yagyu itu bukan lawan yang ringan. Ia
berkelit lalu membalas menyerang dengan ganas. Suara gemerincing pedang kedua
pendekar itu memercikkan api dari bilah pedang masing-masing.
Tubuh kurus Hiroshi, meskipun kurus, tetapi terasa gesit. Ia mengembangkan permainan pedang yang menakjubkan. Serangan maupun
tangkisannya sukar
diikuti dengan mata.
Di tengah keriuhan pertarungan para anak pasukan
yang dahsyat, Saburo dan Hiroshi mengeluarkan segenap kemampuannya untuk menyelamatkan nyawa
mereka. Lereng bukit itu menjadi arena pertarungan yang berbahaya. Sesekali
Hiroshi berlari mendaki, Saburo mengejarnya dengan ayunan pedang, namun sebelum sampai puncak, tiba-tiba Hiroshi telah melun-cur turun menerjang Saburo,
terjadi benturan pedang dengan hebat, sebelum mereka bergulingan untuk saling
menjauhi lawan.
Yotomo melihat Hiroshi, ia segera memacu kuda untuk membantunya. Tetapi baru beberapa langkah, tiba-tiba kudanya ambruk karena
kedua kaki depannya ter-jerat rantai. Yotomo bangkit sambil menarik pedangnya.
"Aku Ishida Mitsunari, pengikut Ashikaga. Sebut

Shugyosa Samurai Pengembara 10 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kan namamu agar aku tidak penasaran!"
"Ingatlah. Aku Yotomo, murid Yagyu, pengikut Oda
Nobunaga!"
Pada saat itu Ishida Mitsunari sudah menerjangnya.
Di sini pertarungan kembali terjadi dengan hebat. Yotomo dengan bernafsu
melancarkan serangan, sementara Mitsunari meladeni dengan jurus-jurus simpanannya. Dalam kecepatan gerak yang sukar dipercaya, kedua musuh ini seperti segumpal bayangan yang saling menerjang. Debu dan kerikil
beterbangan oleh gerakan kaki mereka.
Mikoto menebas ke kanan ke kiri, entah sudah berapa prajurit Saburo terbantai olehnya. Murid kedua perguruan Yagyu itu seperti
baling-baling berputar, dan dari setiap putarannya bergelimpangan tubuh di
dekatnya. Tiba-tiba pedangnya ditangkis, tangan Mikoto sampai bergetar menandakan lawannya bukan samurai biasa. Di depannya ia melihat
Takeshi memainkan tombak ke arahnya. Tanpa menunggu lebih lama, Mikoto segera
menerjang musuh di depannya. Suara tombak
dan pedang silih beradu.
Saat pertempuran terus berkecamuk, Yoshioka bersembunyi di balik dinding batu bersama Genza. Mereka menatap pertarungan dengan perasaan gugup.
Diam-diam Yoshioka mencari Saburo Mishima. Ia berpikir bila menemukan Saburo,
seusai pertempuran ini segalanya akan menjadi beres. Ia akan segera dapat
bergabung dengan Saburo.
"Mungkin itu Saburo Mishima!" kata Genza sambil
menunjuk ke lereng bukit.
"Sebelah mana?"
"Sebelah kanan dekat pohon prem. Orang yang sedang bertarung dengan Hiroshi."
Yoshioka menoleh. Benar! Ia melihat Saburo bertarung habis-habisan dengan Hiroshi. Dari jauh tampak mereka saling menerjang dan
menangkis. Saburo, seperti biasa, seperti seekor banteng luka siap menerjang
lawan. Tapi Hiroshi melawannya dengan hebat. Laki-laki itu memberikan pelayanan
yang setimpal. "Mari kita mendekat," kata Yoshioka pada Genza.
"Untuk apa?"
"Agar bisa melihat dengan jelas pertarungan mereka." "Gila! Kita bisa mati konyol!"
Yoshioka menatap Genza, ia tahu Genza hanya seorang ronin biasa. Dia membawa pedang semata-mata untuk mencari makan. Karena itu
jiwanya tetap saja pengecut.
Yotomo menebas leher Mitsunari. Dengan sigap Mitsunari menangkis serangan itu, dan tanpa diduga oleh lawan, Mitsunari menikam
perut Yotomo dengan penyangga kakinya. Terdengar suara merintih ketika Yotomo
menyadari perutnya robek. Bersamaan dengan
tarikan kakinya, Mitsunari menebaskan pedangnya ke dada lawan. Yotomo berputar
lalu terguling di tanah.
"Yotomo tewas!" Genza berkata sambil menunjuk
tempat pertarungannya.
Yoshioka menoleh, ia seketika terbeliak ketika melihat pembunuh Yotomo adalah Ishida Mitsunari.
"Ishida Mitsunari...."
"Hei, kau mengenalnya?"
"Ya, saya tahu namanya."
"Dia tampak sangat ganas!"
Pandangan Yoshioka kini terpaku pada Mikoto yang
tengah menerjang Takeshi. Murid Yagyu itu tampaknya di atas angin. Beberapa kali Takeshi menjerit ketika pedang Mikoto melukai
tubuhnya. Tapi seperti tak kenal takut, Takeshi terus menyerang.
Tiba-tiba tanpa diduga, Mikoto meloncat tinggi, lalu mendarat sambil mengayunkan
pedangnya. Takeshi
yang tidak menduga adanya serangan itu, ia menjerit ketika punggungnya terasa
ditebas pedang. Baru saja ia berbalik, Mikoto telah menerjang.
Pada saat kritis itulah, tiba-tiba muncul Mayumi
yang menerjang Mikoto. Pertarungan jadi kian seru.
Meskipun sudah terluka, Takeshi masih tetap menerjang. Dalam satu kesempatan
yang sukar dibayangkan, tiba-tiba Mikoto menerjang Mayumi, lalu dengan loncatan yang kuat ia
menerjang Takeshi. Saat itu Takeshi terdengar menjerit ketika menyadari lengan
kirinya terpenggal. Tubuhnya terhuyung-huyung, matanya terbeliak ketika menyadari Mikoto telah siap kembali menyerang. Namun
dalam saat kritis itu,
Mayumi telah melemparkan keping-keping perak dari tangannya. Mikoto ganti yang
menjerit ketika senjata itu menancap di kedua matanya. Rasa pedih dan buta
membuat Mikoto menyerang dengan membabi buta.
Takeshi merintih sambil mendekap lengannya.
Mayumi dengan sekali terjang berhasil menebas dada Mikoto. Tubuh murid Yagyu itu
berputar, lalu ambruk di tanah.
Pada detik bersamaan, Saburo berhasil menyudahi
pertarungannya dengan Hiroshi. Ia mengayunkan pedang dengan ganas. Hiroshi menangkis, namun pedangnya patah dan pedang Saburo membelah tubuhnya. Tanpa membuang waktu Saburo segera memenggal
kepala Hiroshi dan menancapkan di ujung tombak. Ia lalu mengangkatnya tinggitinggi. "Kita menaaang! Hiroshi telah terbunuuh!"
Teriakan Saburo ternyata mengubah keadaan menjadi kacau balau. Anggota pasukan Hiroshi seketika angkat kaki untuk melarikan
diri. Yoshioka baru akan berdiri, ketika merasakan Genza membopongnya, lalu berlari mengikuti anak pasukan yang lain. Laki-laki itu dengan wajah gugup dan ketakutan terus berlari
menjauhi tempat pertempuran berlangsung.
Yoshioka kaget. Ia mencoba melepaskan diri.
"Lepaskan aku! Lepaskan!"
Genza tidak peduli. Ia terus berlari secepat-cepatnya untuk menjauhi tempat
pertarungan itu.
*** PERBINCANGAN DI MALAM HARI
KETIKA Yoshioka berhasil menghentikan Genza, tempat mereka telah jauh dari tempat pertempuran berlangsung. Laki-laki itu duduk
terengah-engah di bawah pohon. Wajahnya pucat.
"Kenapa engkau lari?" Yoshioka bertanya.
"Kau tidak melihat apa yang dipancangkan di tombak Saburo?"
"Kepala Hiroshi."
"Nah, itu sebabnya."
"Kenapa?"
"Kalau kita tidak lari, kita akan dibantai oleh pasukan Saburo. Bukankah lebih
baik menyelamatkan diri dibanding mati konyol?"
"Tetapi belum tentu mereka akan membunuh kita?"
"Kita ini apa" Tak ada artinya bagi mereka. Sebagai
ronin aku sudah bertahun-tahun merantau, kuketahui ilmu perang terbaik adalah
menyelamatkan diri."
"Tapi belum tentu mereka akan membinasakan kita."
"Sudah pasti. Jangan percaya pada kebaikan hati
manusia." Yoshioka diam. "Bagaimana kalau mereka tak berniat membunuh
kita?" "Bagaimana kalau sebaliknya?"
"Entahlah."
Genza menghapus keringat yang membasahi badannya. Ia mulai tampak tenang.
Yoshioka bertanya, "Bukankah Saburo saat ini sedang menghimpun kekuatan untuk merebut Kamakura?" "Ya."
"Jadi dia membutuhkan anggota pasukan yang gagah berani. Bukankah pasukan Hiroshi dapat menjadi anggota pasukannya?"
"Mungkin."
"Kau pernah bercerita, saat ini Saburo melakukan
perjalanan keliling Owari untuk mencari prajurit?"
"Betul."
"Jadi, kalau dia pintar, dia pasti tidak akan membunuh seluruh pasukan Hiroshi.
Dia akan menjadikan mereka sekutu. Untuk apa membunuh kalau tak ada
gunanya." Genza diam, ia merenungkan ucapan Yoshioka.
"Kalau saja engkau tidak ketakutan, mungkin kita
dapat bergabung dengannya," kata Yoshioka. "Kurasa Saburo akan membutuhkan
banyak sekali samurai
prajurit."
"Apakah mungkin dia menerimaku?"
"Mungkin saja. Kenapa tidak" Kau adalah anggota
pasukan Hiroshi, dan sekarang kau masih memiliki pedang yang bagus. Kalau kau datang padanya, kurasa dia tak mungkin menolak
keinginanmu. Percayalah
padaku." "Hei, siapa kamu sebenarnya?"
"Aku pembersih pedang dan pembawa sandalmu."
"Tapi otakmu lebih pintar dariku."
"Saya hanya memikirkan apa yang terbaik untukmu. Bukankah kalau engkau dapat hidup baik, aku
pun akan ikut menikmati keberuntunganmu?"
Genza tertawa terbahak-bahak. Lalu ia berdiri,
menggandeng tangan Yoshioka, dan berkata, "Mari kita cari Saburo Mishima. Untuk
menitipkan hidup kita."
Yoshioka tersenyum. Genza sekali lagi tertawa.
*** KEKALAHAN MAYEDA
KEKUATAN Oda Nobunaga ternyata tak dapat diperkirakan. Sesaat sesudah Mayeda berhasil mengalahkan Hosokawa, ribuan prajurit Nobunaga muncul bagai pasukan siluman. Dengan jeritan dan pekik mengerikan, mereka menerjang pertahanan Mayeda yang tidak memperkirakan kedatangan
mereka sebelumnya.
Akibatnya, ribuan prajurit Nobunaga itu dengan cepat mengobrak-abrik pertahanan
orang Suruga. "Jangan lengah! Pertahankan posisi kalian masingmasing!" teriak Mayeda mencoba memberi semangat
pasukannya. Tetapi semangat saja tidak cukup. Prajurit Nobunaga telah mengamuk, menebaskan pedang bagai iblis.
Mereka tidak peduli lawannya orang tua atau muda, seperti orang kalap, prajurit
Owari membantai lawan mereka.
Ratusan prajurit Suruga tumbang dengan tubuh
terpenggal-penggal. Jeritan kematian terdengar di ma-na-mana. Kedua belah pihak
akhirnya terlibat dalam suatu pertempuran paling primitif yang mendirikan bulu
roma. Tangan dan kepala beterbangan terkena tebasan pedang. Darah mengucur
membasahi tanah.
Mayeda menghadapi sepuluh orang samurai. Mereka mengepung dengan sinar mata penuh nafsu
membunuh. "Aku panglima Suruga, Mayeda Toyotomi, kalian
maju bila telah bosan hidup!"
"Kebetulan, kami memang mencarimu!"
"Bersiaplah untuk mati!"
Kesepuluh samurai itu serentak menerjang, tetapi
dengan hebat Mayeda berhasil menangkis semua serangan, lalu membalas dengan tebasan mengerikan.
Dua orang samurai yang berada di dekatnya langsung terjungkal terkena sabetan
pedangnya. Selesai menebas, Mayeda kembali mengatur serangan. Kedua tangannya menggenggam gagang pedang
dengan erat, lalu mulai menerjang ke kanan ke kiri.
Dua samurai yang tak sanggup menahan serangan itu terlempar ke belakang dengan
dada menyemburkan
darah. Sisanya segera mengepung, namun mereka
tampak mulai keder. Terjangan Mayeda membuat mereka menjerit sebelum akhirnya tumbang tanpa nyawa.
Sepuluh orang tewas, kini datang dua puluh samurai mengepung Mayeda. Mereka sama ganasnya. Sama
kalapnya. Pertempuran pun berlangsung dengan dahsyat. "Bukankah itu panglima Suruga?" Oda Nobunaga
bertanya. "Benar, Yang Mulia."
"Kelihatannya dia memang hebat."
"Dia telah berhasil mengalahkan Hosokawa-san."
"Ya, sayang sekali. Hosokawa sesungguhnya dapat
menghindarinya sebelum celaka."
"Apakah Yang Mulia akan menghadapi Mayeda?"
"Tidak. Kerahkan empat puluh samurai paling baik
untuk memenggal kepalanya."
Dua puluh samurai tambahan segera mengepung
Mayeda. Tampaknya sulit ia memikirkan jalan untuk meloloskan diri. Pengepungan
ini demikian rapat. Jarak terjangan pun menjadi demikian sempit. Setiap kali
Mayeda menerjang ke kanan, para pengepung segera mengikuti gerakannya ke kanan.
Ketika kembali Mayeda menerjang ke kiri, para penyerang pun segera mundur ke
kiri. Satu dua samurai berhasil ia tebas, namun seperti gelombang yang tak
berhenti, para samurai lain terus mengepung dengan ketat. Ibarat binatang,
Mayeda kian terpojok.
Tidak ada cara lain. Pengepungan ini harus dibuka, kemudian secepatnya
meloloskan diri!
Mayeda menunggu kesempatan. Ketika salah satu
sudut pengepungan terbuka, Mayeda segera menebas
samurai di tempat itu kemudian berlari keluar dari kepungan. Ia berhasil
mencapai anggota pasukannya,
sehingga pengepungan itu tidak lagi tertuju padanya.
Sejumlah prajuritnya segera menerjang untuk mengobrak-abrik kepungan terhadap
pimpinan mereka.
"Kita akan kalah!" teriak Mayeda sambil terus menebaskan pedangnya. "Lari ke
dalam hutan! Cepat lariii!"
Secara serentak, pasukan Mayeda mundur ke belakang. Semua berlarian ke hutan untuk meloloskan di-ri. Tetapi seperti sudah
kesetanan, prajurit Nobunaga terus mengejar mereka. Beberapa prajurit yang tidak
dapat berlari cepat, segera terjungkal dengan luka yang dalam.
Mayeda terus berlari ke belakang, sambil sesekali berbalik menerjang lawan.
Luka-luka yang dideritanya tak dirasakan. Ia merasakan kedua kakinya mulai lumpuh. Tadi mata tombak musuh berhasil melukai pahanya. Namun Mayeda menyadari bila ia berhenti, bukan hanya pahanya yang akan
terpenggal, namun juga kepalanya.
"Jangan biarkan mereka lari!" teriak Nobunaga garang. "Kejar terus orang-orang Suruga itu, tebas habis kepalanya!"
Sorak-sorai terdengar membahana. Kaki-kaki para
samurai menderap berkejaran dengan maut. Pertempuran kali ini benar-benar buas. Ribuan samurai saling berkejaran, dan semua


Shugyosa Samurai Pengembara 10 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diakhiri dengan ayunan pedang yang membuat kepala terpenggal. Semua terjadi
seakan kehidupan tidak berharga dipertahankan.
Orang luka-luka dan mayat bertebaran di lereng bukit, bendera dan sayatan
pakaian berkibar-kibar tertiup angin.
Pasukan Mayeda akhirnya terhadang sungai yang
berarus deras, namun mereka tak peduli. Satu persatu mencebur ke sungai, lalu
berusaha berenang ke ping-gir. Air sungai seketika menjadi merah karena lukaluka para prajurit itu. Mayeda juga mencebur ke sungai, berusaha menyeberang.
Tiga orang prajurit Nobunaga mencoba menghadang, namun dengan ayunan
pedangnya, Mayeda berhasil mengirim ketiga musuhnya ke neraka. "Terus lari, capai hutan di seberang sungai itu!"
Mayeda terus memompa semangat anak pasukannya.
"Kita akan dapat bertahan di sana!"
Kejar-kejaran itu terus berlangsung sampai menjelang malam hari. Pasukan Mayeda merasa beruntung, ketika pasukannya berhasil
menyeberangi sungai, tiba-tiba turun hujan lebat. Suara petir menyambar-nyambar.
Akhirnya pasukan Nobunaga menghentikan pengejaran, lalu kembali ke pusat perkemahan mereka.
*** Pada malam hari, Oda Nobunaga memimpin upacara
penguburan massal. Dia memerintahkan prajuritnya
membuat liang besar di tengah hutan untuk menguburkan ribuan mayat akibat
peperangan itu. Mayat-mayat itu - tak peduli pasukan Nobunaga atau pasukan
Mayeda - dikumpulkan menjadi satu, kemudian kepala
mereka dipenggal untuk dimakamkan. Pemenggalan
kepala itu mengandung penghormatan akan keksatria-an mereka.
Nobunaga menimang-nimang kepala Hosokawa
yang telah dibungkus dengan kain putih.
"Seharusnya engkau tidak mati," kata Oda Nobunaga dengan suara berat. "Masih banyak yang dapat kita lakukan. Tetapi Mayeda
telah mengirimmu ke alam baka. Dengan perasaan pedih, kukuburkan dirimu
bersama ribuan ksatria lain untuk menandai peperangan ini. Kuharap kau bisa
tenang di surga."
Nobunaga meletakkan kepala Hosokawa. Kemudian
penimbunan liang itu pun dimulai.
Sambil berjalan menuju ke tendanya, Nobunaga
bertanya pada salah seorang panglima perangnya.
"Berapa musuh kehilangan pasukannya?"
"Seribu delapan ratus."
"Berapa orang kita yang tewas?"
"Dua ribu orang."
"Berarti sebelum kita datang, mereka memang berhasil memukul Hosokawa."
"Begitulah, Yang Mulia."
"Tidak apa-apa, tiga hari lagi kita hantam lagi mereka dengan kekuatan penuh.
Sekarang aku mau istirahat."
*** PERTEMUAN DENGAN IMAGAWA
HUTAN di tepi sungai itu terasa sunyi. Tak ada suara binatang atau gemerisik
dedaunan. Mayeda Toyotomi telah memerintahkan semua anggota pasukannya untuk
tidak bicara keras-keras. Dia juga melarang membuat api unggun.
Kekalahan yang dialaminya membuat Mayeda bersikap hati-hati. Api unggun hanya akan mendatangkan musuh. Demikian pula suarasuara prajurit. Mayeda membiarkan pasukannya beristirahat, namun tidak
seorang pun diizinkan berkeliaran. Akibatnya tepi hutan itu menjadi demikian
sepi. Kesunyian yang menye-ramkan.
Mayeda sendiri tinggal di tenda, namun tanpa nyala api. Ia membiarkan dirinya
berada dalam kegelapan, digigiti nyamuk, dan udara lembab. Sambil bersimpuh,
Mayeda mencoba melakukan meditasi. Ia ingin memu-lihkan kembali pikirannya yang
jernih. Mencoba memikirkan kesalahan strategi atau taktik dalam pertempuran
kemarin sehingga mereka mengalami kekalahan.
Pemusatan pikiran itu menyebabkan ia tak bersentuhan dengan alam sekelilingnya.
Di luar terdengar suara gemerisik pohon diinjak ka-ki. Beberapa orang yang
mendengar suara itu segera terbangun, mereka menatap ke arah hutan. Tetapi semua
tetap diselimuti kegelapan. Tak tampak apa pun.
Namun selang sesaat, terdengar lagi langkah kaki mendekat. Kali ini jumlahnya
ada ribuan. "Hei, siapa kalian?" salah seorang penjaga berteriak.
Ia tak dapat lagi menahan rasa takutnya. "Siapa di si-tu?"
Tak ada lagi suara. Hanya suara angin berdesir. Tetapi sesaat berikutnya kembali
terdengar langkah kaki mendekat. Gemerisik dedaunan dan ranting patah karena terinjak kali ini tak dapat disembunyikan.
Salah seorang pengawal berlari ke tenda Mayeda
Toyotomi. "Tuanku," katanya terengah-engah. "Ada yang datang kemari."
Mayeda terganggu konsentrasinya. Ia membuka mata, lalu keluar dari tenda. Pengawal tadi masih bersujud di depan tendanya.
"Ada apa?"
"Ada yang datang, Tuanku."
"Mana?"
"Hamba sendiri heran. Tetapi hamba dapat merasakan kedatangan mereka, namun hingga saat ini mereka belum tampak."
"Bagaimana kau dapat menyimpulkan begitu?"
"Hamba mendengar ranting-ranting diinjak, dan dedaunan bergeser. Hamba yakin ada ribuan orang sedang mendekati tempat ini."
Mayeda Toyotomi berdiri di depan tenda, ia mencoba memusatkan pikiran ke arah kegelapan di depannya. Meskipun ia sudah mempertajam pandangannya,
tetapi tak sesuatu pun ia lihat. Kegelapan di hadapannya tetap menjadi kegelapan
dan kesunyian sekaligus.
"Tidak ada apa-apa," kata Mayeda datar. "Sebaiknya engkau kembali ke tempatmu."
"Baiklah, Tuanku."
Penjaga itu berlari mengendap-endap ke tempatnya
bertugas. Baru saja penjaga itu lenyap, tiba-tiba di tepi hutan itu muncul nyala api yang
sangat menakjubkan. Ratusan obor menyala menerangi tempat itu. Hutan yang semula
gelap gulita, seketika menjadi terang bende-rang.
Mayeda tersentak menyaksikan pemandangan itu.
"Awas penyergapan!" teriak Mayeda sambil mencabut pedangnya. "Kalian semua bersiaga!"
Hutan tersebut seakan terbakar. Di hadapan mereka terlihat ribuan prajurit yang masing-masing memegang obor. Mereka hanya
berdiri, seakan menunggu perintah menyerbu. Tetapi apa yang mereka khawatir-kan
tidak terjadi. Pasukan yang berjajar di tepi hutan itu tetap tak bergerak.
"Siapa mereka?" Mayeda bertanya pada pengawalnya. "Kelihatannya bukan pasukan Nobunaga."
"Lalu siapa?"
Tiba-tiba dari kegelapan, muncul empat orang berkuda. Keempatnya mengenakan pakaian besi. Seluruh wajah penunggang kuda itu
tersembunyi di balik topeng besi. Mereka menarik kekang kuda sehingga binatang
itu mendekati tenda Mayeda. Sikap mereka tenang, seakan tidak bermusuhan. Mayeda
berusaha bersikap wajar, namun genggaman tangannya kian
erat di gagang pedangnya.
"Siapa kalian?" Mayeda berseru lebih dulu.
"Mayeda, kaukah itu?" tiba-tiba terdengar suara ramah dari penunggang kuda yang
paling depan. Mayeda mencoba mengingat pemilik suara itu.
Pelan-pelan penunggang kuda itu membuka topengnya, dan tampak wajah Imagawa tersenyum dalam keremangan cahaya obor.
Mayeda langsung bersujud, "Yang Mulia Imagawa."
Secara serempak ribuan prajurit Mayeda bersujud
mengikuti pimpinannya. Mereka benar-benar merasa
terkejut, namun sekaligus lega.
"Rupanya engkau benar-benar menepati janjimu
untuk bertempur di pihakku."
"Hamba telah bersumpah."
"Tampaknya engkau baru saja mengalami kekalahan?" "Benar, Yang Mulia. Namun hamba di sini sedang
merancang perang besar-besaran untuk melawan Nobunaga." "Berapa sisa pasukanmu?"
"Tiga ribu orang, Yang Mulia."
"Termasuk yang luka dan sekarat?"
"Demikianlah."
"Berapa kekuatan Nobunaga saat ini?"
"Kurang lebih enam ribu orang."
"Termasuk yang terluka dan sekarat?"
"Demikianlah."
"Kalau begitu kita pasti dapat mengalahkannya."
"Maksud Yang Mulia?"
"Saat ini Nobunaga tentu sedang merayakan kemenangannya. Dia akan pesta bermabuk-mabukan. Pesta akan membuat ia lengah. Bila
kita menyatukan kekuatan, kemudian menyerang mendadak, pasti dia tak
akan sempat melakukan perlawanan. Tidak ada kesempatan Nobunaga untuk mempersiapkan diri."
"Maksud Yang Mulia?"
"Persiapkan pasukanmu. Kita gempur Nobunaga sekarang juga."
*** ISTANA TERBAKAR
TIGA ribu prajurit di bawah pimpinan Saburo Mishima pada pagi, menjelang fajar,
telah memasuki Kamakura.
Tak seorang pun membayangkan bakal datang serbuan ini. Tanpa suatu tanda-tanda, prajurit Saburo ti-ba-tiba muncul menguasai
setiap sudut kota. Mereka terus bergerak menuju ke Istana Kamakura.
Saburo berjalan paling depan, ia menuntun seekor
kuda warna putih yang dinaiki Koyama. Kali ini Koyama mengenakan pakaian kebesaran dengan lambang
keshogunan Ashikaga. Koyama juga menggenggam Pedang Muramasa, sehingga tampak gagah dan penuh
wibawa. Bapa Lao berjalan di samping kiri Koyama, ta-tapannya tetap tenang dan
penuh kedamaian.
Di belakang mereka berbaris pasukan panah yang
terdiri dari para ninja. Meskipun berpakaian serba hitam, namun para ninja itu
tidak menutup wajah mereka. Ini menandakan mereka telah memilih menjadi prajurit dibanding sebagai
pembunuh. Di belakang para ninja itu, berbaris ribuan ronin dan bekas prajurit Hiroshi.
Mereka adalah prajurit yang ganas, namun berkat pengarahan Saburo, kini
mereka menjadi prajurit yang sangat disiplin.
Gerakan mereka demikian cepat, sehingga tak ada
perlawanan sama sekali dari pengawal istana.
Ketika melihat kedatangan pasukan Saburo itu, seorang pengawal segera lari ke kamar Naoko. Ia segera melaporkan suasana di luar
benteng. Naoko diam. Api kemarahan seakan membakar wajahnya. Apa yang dipikirkan kini benar-benar terjadi, Saburo berhasil menghimpun
kekuatan untuk merebut istana.
"Kerahkan seluruh pasukan," kata Naoko tegas.
"Hadang mereka dalam perang habis-habisan. Aku tak ingin meninggalkan istana ini
dengan kekalahan."
"Baik, Tuan Putri."
Gerbang istana kini sudah terkepung. Semua prajurit Saburo telah siap menyerbu. Bahkan pasukan panah telah merentang busur
dengan mata panah berapi.
Mereka tinggal menunggu perintah untuk menembus
pertahanan pengawal istana.
"Kami datang bersama putra Ashikaga," kata Saburo lantang. "Yang Mulia Yoshioka akan mengambil alih kembali Istana Kamakura.
Karena itu jangan halanghalangi kami!"
Salah seorang pemimpin pasukan Naoko maju ke
depan, "Jangan coba-coba menerobos, kami telah mempersiapkan pasukan untuk
menghadang kedatangan
kalian!" "Kalian lihat, kekuatan kami tiga ribu orang."
"Kami tidak pernah gentar. Kami telah bersumpah
untuk mempertahankan istana ini."
Bertepatan dengan akhir ucapannya, pemimpin pasukan itu memberi isyarat penyerangan. Sebuah anak panah melesat cepat ke arah
leher Koyama, tetapi dengan kecepatan yang tak terduga pula, Bapa Lao telah
memegang anak panah itu.
Saburo segera mencabut pedang dan memberi komando penyerbuan. Dalam sekejap ratusan anak panah berapi melayang ke istana. Kemudian seperti serbuan badai, pasukan Saburo
berteriak mengobarkan
peperangan. Seratus pengawal gerbang langsung tewas dalam pertarungan yang
singkat. Dua puluh prajurit maju dengan sebatang pohon
kelapa untuk menggempur pintu gerbang. Dalam sekejap pintu itu bobol. Dan ribuan
prajurit menerobos ke dalam untuk bertarung. Panah api telah membakar
atap istana, api terus menjalar dengan hebat. Lebih-lebih angin bertiup kencang,
sehingga amukan api itu tak mudah dipadamkan. Sejumlah pengawal istana
mencoba memadamkan api, namun usaha mereka terhenti ketika para samurai menebas tubuh mereka.
Hiruk-pikuk terjadi. Para dayang-dayang menjeritjerit sambil berlari-larian. Mereka seperti anak ayam kehilangan induk, tak tahu
harus melakukan apa. Pa-ra ninja yang berjuang mempertahankan istana, tak
berarti apa-apa di hadapan tiga ribu samurai yang kalap. Kemarahan karena selama
ini merasa di- manipulasi oleh Nobunaga dan Naoko, membuat para
samurai gelap mata. Mereka mengamuk tanpa iba kasihan. Jeritan kematian terdengar di mana-mana. Darah muncrat ke dinding dan
tiang-tiang istana.
Naoko mencoba menyelamatkan diri. Ia dikelilingi
sepuluh ninja yang mencoba melindunginya. Saat mereka akan meninggalkan kamar,
pintu telah didobrak dari luar. Saburo dengan sejumlah samurai menerobos masuk.
Koyama melangkah masuk dengan gagah.
"Koyama!" jerit Naoko histeris. "Kaukah putra Ashikaga?"
Koyama menjawab pendek, "Ya."
"Tidakkah kau mau memaafkan diriku?"
"Ya."
"Kalau begitu selamatkan diriku."
Koyama diam menatap Naoko dan para ninja di sekelilingnya. "Istana ini milikku," kata Koyama penuh tekanan. "Kau harus pergi
dari sini...."
Belum selesai Koyama bicara, Naoko telah melempar pisau kecil ke arah leher Koyama, untung Saburo sudah memperhitungkan hal
itu. Ia segera menangkis dengan tebasan pedangnya.
Naoko berseru, "Bunuh mereka!"
Kesepuluh ninja itu langsung berloncatan menyerbu. Dua prajurit Saburo langsung menjerit terkena ayunan ganco para ninja.


Shugyosa Samurai Pengembara 10 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pertarungan menjadi seru.
Sesaat saja mereka lengah, nyawa pasti melayang. Saburo menghadapi tiga ninja
sambil melindungi Koya-ma. Ia menerjang dengan tetap membentengi anaknya.
Dua ninja meloncat sambil mengayunkan tombak. Sebelum mereka menjejak lantai, Saburo telah meloncat menebas tubuh mereka. Darah
menyembur ke lantai,
sementara kedua ninja itu sekarat.
Delapan ninja lain rupanya memberikan perlawanan
yang hebat. Mereka seperti bayangan merah menerjang kian kemari dengan ninjato.
Dua orang prajurit Saburo
menjerit ketika lehernya robek. Saburo langsung menerjang. Tiga ninja yang
berada di dekatnya langsung terjungkal terkena sabetan pedangnya. Dua yang lain
juga terjungkal terkena tebasan Mayumi. Tiga ninja lainnya segera menerjang,
namun para prajurit Saburo telah menghentikan perlawanan mereka.
Saburo, Mayumi, dan Koyama segera bergegas mengejar Naoko. Mereka berlari menyusuri lorong istana menuju ke kamar Oda
Nobunaga. Atap kamar itu telah terbakar. Asap hitam bergulung-gulung ke angkasa.
Dengan mengerahkan tenaga, Saburo menendang
pintu kamar itu. Mereka seketika terpaku menyaksikan Naoko duduk di atas tatami
menunggu kedatangan mereka. Saat mereka mendekat, Naoko mengangkat pisau di
tangannya. Dengan suara bergetar ia berkata, "Aku kalah. Tetapi aku tidak
menyerah."
Selesai mengucapkan kata-katanya, Naoko secepat
kilat menancapkan pisau di tangannya ke urat lehernya.
*** PERANG TERAKHIR
PESTA pora masih berlangsung di pusat perkemahan
Oda Nobunaga. Api unggun dan tari-tarian diadakan di mana-mana. Para prajurit
minum-minum sambil membicarakan tentang kemenangan mereka. Beberapa di
antaranya mendendangkan lagu tradisional untuk
menghibur bagi prajurit yang terluka.
Bagian logistik telah bekerja keras untuk memuaskan para prajurit yang baru kembali dari medan perang. Mereka mengeluarkan
semua minuman yang
lezat serta buah-buahan segar. Pada saat seperti itu,
tampak mereka tak ingat lagi pada kekalahan Hosoka-wa. Nobunaga juga ikut mabukmabukan. Dia tertawa terus tanpa henti sambil memegangi perutnya yang
buncit. Bersama sejumlah panglima perangnya, Nobunaga menikmati semua makanan
yang dihidangkan.
Dengan bangga ia mengisahkan kemenangan-kemenangan sebelumnya. Para panglimanya sambil minum
sake mendengarkan dengan penuh kekaguman.
Malam gelap gulita. Bulan telah lenyap di balik
awan. Lereng bukit yang mereka jadikan pusat perkemahan dikeliling hutan dan sungai Imaji. Nobunaga sengaja memilih tempat itu
untuk menciptakan pertahanan. Pikirnya, sungai itu akan menjadi penghalang musuh
untuk menyerang. Demikian pula hutan prem
yang lebat di belakang mereka.
"Apakah kira-kira yang sekarang dipikirkan oleh
Mayeda Toyotomi?" Nobunaga bertanya. Ketika tak seorang pun menjawab ia
melanjutkan, "Main perempuan, karena kalau kepalanya sudah dipenggal dia tak mungkin bisa melakukannya."
Seketika orang-orang tertawa bergelak. Mereka sekali lagi meneguk sake dari cawan.
Seorang panglimanya bertanya, "Bagaimana Yang
Mulia dapat menaklukkan Mayeda dengan sekali pukul padahal dia baru saja
mengalahkan Hosokawa?"
"Harus ada yang berani berkorban," jawab Nobunaga tenang. "Tidak ada kemenangan tanpa pengorbanan." "Maksud Yang Mulia?"
"Maksudku harus ada orang yang seperti Hosokawa." "Apakah itu berarti Yang Mulia mengorbankannya?"
"Itu hanya taktik untuk memperoleh kemenangan."
Kata-kata itu diucapkan dengan tenang, bahkan
agak mabuk, namun pengaruhnya sangat hebat bagi
para panglimanya. Mereka semua sukar memahami jalan pikiran Nobunaga, namun bila menyangkut taktik, bukan mustahil suatu saat
mereka akan menghadapi
sesuatu yang mengerikan. Nobunaga sering menunjukkan sikap suka mempermainkan kehidupan seseorang. Baginya kematian adalah bukti kesetiaan tertinggi pengikutnya.
Sambil menikmati sake, mereka bersenda-gurau.
Sesekali Nobunaga tertawa tergelak-gelak mendengarkan leluconnya sendiri.
Pada saat yang sama, dari dalam hutan, ribuan pasukan Imagawa mulai bergerak mendekati pusat perkemahan itu. Cuaca yang gelap gulita membuat kedatangan mereka tersembunyi.
Dengan hati-hati pasukan Imagawa terus bergerak.
Di sisi lain, Mayeda Toyotomi memimpin hampir tiga ribu pasukan menyeberangi
sungai. Suara arus air
yang deras membuat gerak mereka tak terdengar. Dengan hati-hati Mayeda menyebar
pasukannya untuk
mengepung perkemahan itu.
"Dekati mereka sedekat mungkin," kata Mayeda pada prajuritnya. "Kita akan berikan kejutan bagi Nobunaga."
"Benar dugaan Yang Mulia Imagawa, mereka sedang
berpesta pora."
"Ya."
"Pelajaran untuk kita, jangan suka mabuk kemenangan dan lengah dalam peperangan."
Angin malam bertiup sepoi-sepoi. Udara dingin
menggigit tulang. Dalam cuaca seperti itu, tak seorang pun pasukan Nobunaga
ingin meninggal tenda atau
api unggun. Satu persatu mulai terlelap. Tak peduli nyamuk mendenging di
sekitarnya. Keletihan dari medan perang dan pesta sake membuat kelopak mata mereka serasa lengket. Akhirnya mereka tidur pulas.
Nobunaga berjalan menuju tendanya terhuyunghuyung. Terlalu banyak sake membuat lelaki itu kehilangan kesadaran. Sesampainya
di tenda, ia langsung menggelimpang seperti sapi siap disembelih. Sebentar
kemudian mulai terdengar dengkurnya yang panjang
dan pendek. Pada saat itulah Imagawa memberikan perintah penyerbuan. Kesunyian seketika meledak bagai prahara.
Panah api yang ribuan jumlahnya menghujani kemahkemah pasukan Nobunaga, membakar tenda, membuat panik semuanya.
Seseorang berteriak, "Kita diserang!"
"Ya, kita diseraaang!"
"Lindungi Yang Mulia Nobunaga!"
"Ya, cepat selamatkan jiwa junjungan kita!"
Teriakan-teriakan terdengar, ditingkah pekik serangan dari musuh. Ribuan samurai
yang sedari tadi sudah siap menyergap, kini bagai derap kaki binatang ganas
mengobrak-abrik benteng pertahanan Nobunaga.
Prajurit yang masih sadar mencoba melawan, namun
musuh terlampau kuat. Hanya beberapa saat terjadi adu senjata, dan berakhir
dengan kematian pasukan Nobunaga.
Karena merasa tak sanggup melawan, ribuan prajurit mencoba melarikan diri dengan menyeberangi sungai. Tetapi di sana tiga ribu
pasukan Mayeda telah menunggu. Dengan kekejaman yang dilandasi hasrat
membalas dendam, orang-orang Mayeda mengamuk
tanpa belas kasihan. Mereka menerjang dan membantai pasukan Nobunaga dengan kekejaman yang tak ter-lukiskan.
Sungai itu seketika dipenuhi pekik kematian. Darah mengucur mewarnai air yang
jernih. Mayat-mayat ter-apung, mirip sampah yang terbawa arus sungai. Kegelapan malam itu seketika berubah menjadi medan perang yang sangat mengerikan.
Tubuh-tubuh terpenggal, kepala lepas dari lehernya, dan isi perut terburai keluar. Suatu penjagalan
terjadi secara besar-besaran.
Mayeda telah sampai di tepi sungai bersama lima
belas pasukannya.
"Kita cari Nobunaga!" kata Mayeda dalam nada perintah. "Aku tak ingin dia lolos!"
Mereka segera berjalan sambil menghadapi lawan
yang masih punya keberanian menerjang. Namun tekad serta hasrat pembalasan dendam Mayeda telah
menjadi kekuatan yang mengerikan. Ia menebas musuh bagai menebas pohon pisang. Tak ada belas kasihan atau pengampunan. Setiap
musuh yang muncul,
langsung ditebas pedang.
Nobunaga terbangun ketika pengawalnya membangunkannya. "Yang Mulia, kita diserang!"
"Diserang?"
"Benar. Pasukan Imagawa telah mengepung kita."
Sambil terhuyung-huyung Nobunaga berdiri. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya. Namun pengaruh sake
membuat ia tak cepat menyadari keadaan.
"Apa yang harus kita lakukan, Yang Mulia?"
"Seberangi sungai."
"Pasukan Mayeda telah menyeberangi sungai untuk
mengepung kita."
"Sungai dipenuhi pasukan Mayeda?"
"Benar, Yang Mulia."
"Mati aku!"
Baru saja Nobunaga selesai bicara, enam pengawalnya datang. "Cepat selamatkan Yang Mulia Nobunaga, bawa
mundur ke arah lereng bukit!"
Dengan susah payah para pengawalnya menarik
Nobunaga menuju ke lereng bukit. Tetapi di luar tenda pertempuran sudah terjadi
dengan hebat. Kekacauan terjadi di mana-mana. Suara pedang dan perisai
gemerincing diikuti jeritan orang sekarat. Mayat-mayat telah menggunung.
Nobunaga diseret menuju ke arah lereng bukit, tetapi baru seratus langkah meninggalkan tenda, Mayeda telah berhasil menyusul.
"Berhenti kalian!" teriak Mayeda menghentikan langkah mereka. "Serahkan Nobunaga
pada kami!"
Tanpa membuka percakapan, para pengawal Nobunaga menerjang dengan pedang mereka. Serangan ini disambut dengan terjangan
pasukan Mayeda. Terjadi pertempuran seru satu lawan satu. Para pengawal
yang sebagian tidak ikut pesta sake rupanya dapat memberikan perlawanan yang
hebat. Mereka adalah
pendekar-pendekar pedang pilihan.
Mayeda menerjang dengan ganas, ia menebas dengan penuh kemarahan. Salah seorang pengawal Nobunaga menjerit ketika kedua tangannya terpenggal, dan sebelum jeritannya
berhenti, Mayeda telah menebas punggungnya. Kematian lawannya membuat Mayeda punya kesempatan mengejar Nobunaga.
Dengan terhuyung-huyung Nobunaga merangkak,
lalu mencoba berlari ke arah lereng bukit, tetapi pengaruh sake membuat dirinya
kehilangan kekuatan.
Napasnya terengah-engah, dahinya berkeringat. Sebenarnya ia malu melarikan diri
seperti itu, tetapi keadaan dirinya tidak memungkinkan untuk melawan.
Nobunaga berjalan terhuyung-huyung, tiba-tiba ia
merasakan seseorang menjambak rambutnya, kemudian menyeretnya kembali ke arah medan perang. Nobunaga merasa pening, ia
merasakan akar rambutnya serasa mau lepas dari kulit kepala. Dengan sekuat
tenaga Nobunaga mencoba melepaskan diri, namun
cengkeraman itu demikian kuat.
"Lepaskan aku!" jerit Nobunaga dengan tangan
menggapai-gapai. "Kau tidak pantas memperlakukan
diriku seperti ini!"
"Aku Mayeda Toyotomi bersumpah akan melepaskan kepalamu!"
Nobunaga masih terengah-engah, belum menyadari
sepenuhnya apa yang ia hadapi ketika Mayeda mengayunkan pedang memenggal kepalanya.
*** PENOBATAN MALAM hari. Di salah satu ruang ruangan di istana Suruga, berkumpul Saburo
Mishima, Bapa Lao, Ishida Mitsunari, Mayumi, dan Takeshi. Mereka tengah
membicarakan rencana penobatan Yoshioka sebagai shogun penguasa wilayah Owari. Semua orang terdiam ketika Saburo membuka rahasia
yang selama ini ia simpan, bahwa Koyama sesungguhnya bukan Yoshioka,
tetapi anaknya - Kojiro. Ia menceritakan kisah pengepungan Konishiwa sesaat ia
berhasil menyelamatkan diri dari pembantaian yang dilakukan Nobunaga.
"Bagaimanapun kita harus menobatkannya sebagai
penerus Ashikaga," kata Mitsunari. "Bila kita tidak melakukan upacara penobatan,
rakyat akan risau dan
curiga. Mereka dapat menuduh kita tak lebih penyamun biasa yang berjuang di
balik kedok putra Ashikaga."
"Tetapi bagaimana kalau akhirnya mereka mengetahuinya?"
"Kita harus berusaha mereka tidak mengetahuinya."
"Caranya?"
"Selama ini mereka tidak mengetahui, jadi kita harus mempertahankan keadaan itu. Jangan sampai rakyat tahu bahwa Kojiro yang kita
nobatkan menjadi
shogun." "Kalau Yoshioka kembali?"
"Banyak cara untuk melenyapkannya."
"Maksudmu?"
"Ya, kita singkirkan dia."
Bapa Lao berkata, "Kita jangan terburu-buru, banyak cara yang dapat kita pikirkan untuk mengatasi keadaan ini. Sesuatu yang
diawali dengan pembu-nuhan, tidak akan pernah membawa berkah. Kita harus memikirkan suatu jalan keluar yang bijaksana."
Mitsunari menukas, "Bapa Lao, saat ini semua telah menganggap Kojiro sebagai
Yoshioka. Dan Yoshioka
sendiri tidak ada yang mengetahui dia di mana. Jangan-jangan dia sudah
meninggal. Karena itu jalan sa-tu-satunya adalah menobatkannya sebagaimana dipikirkan orang. Selain itu, dia toh sudah berjuang keras untuk mempertahankan
penyamarannya. Dia...."
Tiba-tiba seorang pengawal masuk.
"Tuanku Saburo, ada dua orang memaksa menerobos masuk, katanya dia adalah putra Ashikaga."
Semua orang terperanjat. Sesudah saling berpandangan, akhirnya Saburo berkata, "Bawa dia masuk."
Sesaat kemudian Yoshioka muncul bersama Genza.
*** Upacara penobatan itu berlangsung pagi harinya. Bapa Lao memimpin jalannya
upacara. Seribu samurai mengikuti urut-urutan upacara sakral tersebut dengan
rasa haru dan hormat. Suatu masa baru telah datang, melewati masa penuh dendam
dan peperangan.
Yoshioka memasuki ruangan untuk menjalani upacara penobatan sebagai shogun. Bapa Lao mencukur
rambutnya sebagai tanda bahwa ia resmi menjadi sho

Shugyosa Samurai Pengembara 10 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gun Yoshioka Ashikaga.
Dekrit yang pertama dikeluarkan oleh Yoshioka Ashikaga:
Ishida Mitsunari diangkat menjadi panglima perang tertinggi.
Takeshi menjadi panglima perang.
Mayumi diberi kekuasaan atas benteng Imaji.
Bapa Lao diangkat sebagai pemimpin pendeta istana. Saburo Mishima dan Kojiro anaknya dikabulkan
permohonannya untuk meninggalkan istana sebagai
samurai pengembara.
Genza diangkat menjadi pembersih pedang dan
pembawa sandal Yoshioka.
*** SHUGYOSA MATAHARI terbit memancarkan sinarnya yang lembut.
Jalan Akasuka tampak masih lengang. Hanya beberapa petani mulai meninggalkan rumah menuju sawah. Kojiro berlari-lari kecil mengejar capung. Beberapa kali ia hampir berhasil,
namun capung itu selalu terbang menjauh. Karena jengkel, Kojiro mengeluarkan
pedang, lalu menebas capung yang sedang terbang.
Capung itu tertebas menjadi dua bagian.
Saburo yang melihat kejadian itu hanya tersenyum
masam. "Ayah," kata Kojiro sambil mendekati ayahnya. "Kenapa ayah menolak untuk menjadi
panglima perang"
Bukankah dengan menjadi panglima hidup kita tercu-kupi?"
"Dalam hidup, ternyata ada yang lebih penting dari
sekadar jabatan."
"Maksud Ayah?"
"Misalnya kearifan untuk menerima kekalahan. Pengalamanku yang lalu, selalu menyadarkan diriku pa-da kekalahan. Karena apa,
sebagai panglima perang aku tak dapat menghindari peperangan. Dan setiap
peperangan akan selalu meninggalkan bekas kekalahan.
Karena itu daripada aku selalu dihadapkan pada peperangan, lebih baik hal itu
kuhindarkan."
"Itu sebabnya Ayah memilih menjadi shugyosa?"
"Ya. Dengan menjadi shugyosa kita menjadi bebas.
Ke mana pun pergi tak ada yang menghalangi. Kita benar-benar merdeka. Tidak
seorang pun bisa mengikat kita."
"Seperti capung...."
"Ya, bisa juga seperti capung. Tapi kita harus hati-hati agar tak ada anak yang
menebas tubuh kita."
Kojiro menatap ayahnya. Lalu tersenyum.
"Dengan menjadi shugyosa, kita akan memiliki banyak pengalaman, menempa ilmu pedang, dan menjalani kehidupan tanpa rasa terikat pada apa pun."
SELESAI Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
Document Outline
PENYELAMATAN NINJA *** ***
YOSHIOKA BERTEMU MITSUNARI ***
AWAL PENYERBUAN ***
*** *** MUSUH DALAM SELIMUT *** ***
PENGHIMPUNAN KEKUATAN ***
*** *** PERMAINAN NAOKO ***
*** *** YOSHIOKA TERBELALAK ***
PERTEMPURAN ***
SUNGAI DARAH ***
PERBINCANGAN DI MALAM HARI ***
KEKALAHAN MAYEDA *** ***
PERTEMUAN DENGAN IMAGAWA ***
ISTANA TERBAKAR ***
PERANG TERAKHIR ***
PENOBATAN *** ***
SHUGYOSA SELESAI
Pedang Pelangi 22 Pendekar Rajawali Sakti 148 Putri Randu Walang Pendekar Bloon 28

Cari Blog Ini