Ceritasilat Novel Online

Samurai Pengembara 5 2

Shugyosa Samurai Pengembara 5 Bagian 2


duk) sambil membungkukkan badan. Nobunaga mendengus, lalu duduk. Wajahnya menyunggingkan senyum tipis pada wanita kesayangannya itu.
Nobunaga menatap para samurai di ruangan itu.
Semua tampak bersemangat.
"Apakah ada yang akan kita bicarakan hari ini?"
Tanzaemon, kepala pengawal benteng membungkukkan badan. "Tuanku, izinkan hamba memberikan
laporan terlebih dulu."
"Tanzaemon!"
"Benar, Tuanku."
"Apa yang akan kaulaporkan?"
"Hamba tidak tahu persoalan ini apa ada hubungannya dengan rencana penyelenggaraan pesta atau
tidak, tetapi sebaiknya hamba laporkan kepada Tuanku." "Ada apa?"
"Semalam, menjelang tengah malam, seorang lakilaki datang ke pintu gerbang utama. Dia mengatakan
membawa kiriman dari Suruga. Sebenarnya, dia ingin
menjumpai sendiri Tuanku Nobunaga, tetapi karena
sudah larut, hamba tidak mengizinkannya. Akhirnya
setelah bersitegang agak lama, lelaki tersebut bersedia memberikan kiriman
tersebut pada hamba, dengan
janji, bahwa pagi ini hamba harus menyerahkan pada
Tuanku." "Apa isi kiriman itu?"
"Hamba tidak tahu. Kiriman tersebut berada dalam
peti kayu yang terkunci, sementara kuncinya berada
dalam amplop surat yang diperuntukkan Tuanku. Itu
sebabnya hamba belum mengetahui isinya. Apabila
Tuanku berkenan, hamba ingin menyerahkan kiriman
tersebut saat ini."
"Bawa kemari."
Tanzaemon berjalan mendekat sambil membawa sebuah peti kayu berpelitur yang tadi berada di depannya. Sesudah membungkuk, ia
menyerahkan amplop
coklat berisi surat untuk Nobunaga.
Nobunaga mengambil kunci peti itu, kemudian
mengambil surat tersebut. Lelaki itu mengerutkan kening ketika mendapati surat
tersebut berisi sebuah
puisi pendek. Ditulis dengan huruf kanji yang tidak begitu rapi, tetapi dari
tarikan garisnya yang kuat, me-nunjukkan bahwa puisi itu ditulis oleh orang yang
sangat berwatak.
Manusia tidak selalu kalah
dan tidak selalu menang.
Kekalahan adakalanya kemenangan yang tertunda,
kemenangan adalah ujian bagi manusia.
Orang kalah akan menjadi pemenang
orang menang akan mereguk kekalahan.
Buka peti kiriman itu, dan buktikanlah!
Nobunaga melipat surat itu meskipun tidak begitu
mengerti artinya. Sebagai seorang penguasa wilayah, Nobunaga tak pernah
menganggap puisi sebagai sesuatu yang berharga untuk dipelajari. Karena itu
sesudah selesai membaca, ia segera meminta Tanzaemon
memberikan peti tersebut padanya.
"Benarkah orang itu mengatakan ini kiriman dari
Suruga?" Nobunaga bertanya. "Orang tersebut berkata begitu."
"Di mana dia sekarang?"
"Sesudah menyerahkan peti ini, orang tersebut terus memacu kudanya, kembali ke Suruga."
Nobunaga mendengus. Ia memasukkan anak kunci
ke lubangnya, kemudian memutarnya. Dengan kedua
tangannya Nobunaga membuka tutup peti itu, seketika ia terloncat ke belakang.
Wajahnya seketika pucat pa-si. Isi peti itu adalah kepala Fukumi dan Hiromi!
"Bangsat! Siapa berani main-main denganku?" Nobunaga menggeram marah, lalu dengan kakinya ia
menendang peti di depannya. Kepala Fukumi dan Hiromi terlempar keluar peti dan menggelinding di lantai.
Semua orang dalam ruangan itu terkesiap, tapi tak
seorang pun berani bergerak.
*** Tazumi sedang berada di taman anggrek. Dengan sebuah pisau kecil ia tengah merawat bunga-bunga
anggrek yang berwarna-warni. Dengan hati-hati ia
memotong daun yang telah kering, dan menghilangkan
sulur-sulur yang layu. Di dalam taman itu ada hampir seratus jenis anggrek yang
dikumpulkan selama berta-hun-tahun dari seluruh penjuru Jepang. Bahkan ada
sebatang pohon anggrek langka berwarna ungu, yang
didatangkan dari seberang lautan. Anggrek tersebut
diperoleh dari seorang pedagang Cina, yang membawanya dari Pappua, sebuah negeri kecil di Hindia Timur. Ketika Tazumi masih asyik memangkasi daun-daun
anggreknya, seorang pengawal puri muncul mendekat.
Samurai tersebut berjongkok di depannya.
"Ada apa, Otawa?"
"Seorang utusan Owari telah datang tadi pagi dan
memberikan peti ini untuk Anda. Saya melihat ada surat di dalam amplop."
"Apakah sudah kaulihat isinya?"
"Saya tidak dapat membukanya, karena kunci peti
ini berada dalam amplop tertutup yang ditujukan pada Anda."
"Bawa ke sini, biar aku buka."
Amplop itu dibuka, ternyata tidak ada surat di dalamnya. Hanya selembar kertas kosong. Tanpa katakata. Dengan penuh keheranan, Tazumi membuka peti
itu. Seketika ia terpekik menyaksikan kepala Yaeko di dalamnya. Wanita itu
menutup mulut dengan perasaan ngeri. Dan segera menyuruh Otawa pergi.
*** IMAGAWA MENUJU KAMAKURA
MATAHARI merekah di kaki langit. Cahayanya yang
berwarna kuning padi menerobos gerbang Istana Suruga. Dua ratus prajurit Imagawa telah berdiri di ha-laman istana lengkap dengan
pakaian prajurit. Kimono mereka berwarna coklat dengan lambang Imagawa di
lengan kiri. Masing-masing menyandang dua buah pedang panjang dan pedang pendek di pinggang. Semua
tampak rapi dan penuh semangat.
Imagawa muncul dalam pakaian warna merah, lengkap dengan pedang panjang di tangannya. Ia berjalan
bergegas melewati prajuritnya menuju ke tengah barisan. Dibantu dua orang
samurai pengawal, lelaki itu naik ke punggung kudanya yang berwarna putih. Wajah
Imagawa tampak segar, matanya bersinar-sinar
penuh semangat serta kegembiraan.
Mayeda Toyotomi membungkukkan badan di depan
kuda Imagawa, untuk memberikan penghormatan terakhir sebelum shogun itu pergi.
"Sebelum hari ketujuh pada bulan ini, aku sudah
kembali," kata Imagawa pada Mayeda. "Kuminta engkau menjalankan tugasmu dengan baik sampai saat
aku pulang."
"Baik, Tuanku. Saya berharap Tuanku kembali dengan kegembiraan."
"Kudengar Tuanku Nobunaga telah mendatangkan
penari-penari dan sake paling enak untuk menyambutku. Kurasa aku akan menggunakan kunjungan ini
untuk melepaskan beban pikiran yang selama ini mengurangi tidurku."
"Saya gembira mendengarnya, Tuanku."
Imagawa tersenyum. Lalu dengan sebelah tangannya ia memberi isyarat agar genderang dan terompet
dibunyikan. Iring-iringan pun mulai bergerak meninggalkan istana. Para samurai
dan orang-orang yang ke-betulan berada di tepi jalan yang dilalui rombongan
tersebut, segera berdiri untuk mengelu-elukan Imagawa. Perempuan, laki-laki, dan
anak-anak berlarian ke tepi jalan untuk sekadar memberikan penghormatan.
Semua orang terpesona dengan penampilan penguasa
wilayahnya. Selama ini jarang mereka dapat menatap
wajah Imagawa. Berbeda dengan ayahnya, Imagawa jarang meninggalkan istana. Ia mengisi waktu-waktunya dengan melukis, menulis
syair, dan menari. Hanya sesekali ia keluar untuk menyaksikan pameran keramik
yang sering diadakan di Suruga.
Dua ratus pengawal yang berbaris di belakang Imagawa, terlihat gagah. Mereka berjalan sambil membi-su. Kakinya yang dibungkus
zori menapaki tanah tanpa suara. Tetapi siapa pun yang memandang iringiringan itu akan mengakui, bahwa kehidupan para
samurai itu tentulah sejahtera. Pakaian mereka bersih, sarung pedangnya
berkilat, dan dandanan rambutnya
tampak terpelihara. Rupanya kehidupan aman dan
tenteram di Suruga telah menjadikan kaum samurai
menikmati berbagai kesenangan.
Iring-iringan itu terus bergerak, meninggalkan kota kemudian memasuki jalanan
tanah yang menghubungkan Suruga dengan Owari. Burung-burung berkicau di dahan, sementara pemandangan yang menghampar di depan mereka kian indah. Petak-petak sawah yang ribuan hektar terlihat menguning emas.
Di atas puri, Tazumi berdiri memandang iring-iringan itu di kejauhan. Suara terompet dan genderang terdengar samar-samar.
"Ini adalah perjalanan terakhirmu, Imagawa," kata
Tazumi mendesis lirih. "Kau tak akan pernah kembali ke Suruga."
*** Di bilik para penari di Kamakura, selapis fuzuma di-gantungkan sebagai
penghalang. Dari sana terdengar
benda kecil dilemparkan di atas tatami. Dadu tersebut kadang-kadang langsung
berhenti di tempat jatuhnya, tapi sesekali berputar-putar lebih dulu. Mayumi
mengintai lewat samping fuzuma, ia melihat Konishita dan dua orang pemain musik
sedang bermain dadu. Lampu
di ruangan itu masih menyala, sehingga mereka dapat bermain dadu sepuas-puasnya.
Ketika Mayumi merasa tak tahan mendengar suara
dadu itu, ia beranjak bermaksud membentak. Ia membuka fuzuma. "Oh, Mayumi," kata Konishita sambil menatapnya.
"Belum tidur?"
"Saya terganggu suara dadumu."
Konishita mendengus. Dia meletakkan dadu di atas
telapak tangan kanannya, mengocok-ngocok dadu, lalu melemparkan di atas tatami.
Seketika wajahnya bersinar ketika melihat dadu itu memberinya angka enam.
"Ini hari keberuntunganku," kata Konishita tersenyum. "Malam ini aku belum pernah kalah."
"Besok kita harus berlatih menari, kalian tidak tidur?" "Nanti. Sebentar lagi."
"Sebaiknya kalian berhenti main dadu."
"Jangan cerewet," kata Konishita menggerutu. "Jangan mengurusi kami, kau tidurlah dulu. Kami nanti
akan menyusul."
Mayumi menatap lelaki itu. Ia ingat pertemuan dengan Konishita di pemandian air hangat di Ojima. Rupanya sudah dua hari lelaki
tersebut memperhatikannya, sampai akhirnya ia memperoleh kesempatan untuk mengajak Mayumi bergabung sebagai penari dalam
rombongannya. Sesudah meyakinkan Mayumi selama
hampir tiga jam, baru Konishita memperoleh tanggapan. "Tadi engkau dipanggil Tuanku Nobunaga," Mayumi
berkata pada Konishita.
"Ya."
"Soal apa?"
"Bukan soal apa-apa."
"Tentang kami?"
"Ya. Antara lain."
"Kenapa?"
Konishita menguap. Ia tampak malas menjawab.
Dengan kedua tangannya ia sekarang mengocok dadu,
lalu melemparkan ke tatami. Dadu itu berhenti pada
angka tiga. "Sial!" rutuk Konishita uring-uringan. "Kau jangan
mengajak bicara terus, akhirnya aku jadi sial."
"Kalau begitu jawab dulu pertanyaanku."
"Apa?"
"Apa yang ditanyakan oleh Tuanku Nobunaga?"
Konishita menatap Mayumi, lalu senyumnya menyeringai. Giginya yang tidak teratur tampak semuanya.
"Dia menanyakan dirimu," kata lelaki itu tanpa tekanan. "Aku?"
"Ya."
"Kenapa?"
"Kelihatannya dia menaruh perhatian padamu.
Mungkin Nobunaga sudah bosan dengan gundiknya."
"Kaupikir dia akan menggundik diriku?"
"Ya, siapa tahu."
"Mata keranjang!"
Konishita tersenyum.
"Laki-laki sama saja, apalagi dia kaya raya. Sudah
lama aku mempelajari lelaki itu, dia menyukai gadis-gadis penari atau geisha.
Naoko sebelum menjadi sim-panannya adalah geisha di Yoshiwara."
"Apakah kaupikir dia akan mengundangku?"
"Ya."
"Kapan?"
"Mungkin sesudah pesta. Aku tidak tahu pasti. Tetapi dari nada bicaranya, jelas sekali bahwa dia menaruh perhatian padamu.
Kuharap akan terus begitu
sampai pesta selesai."
"Kalau benar seperti dugaanmu, berarti tidak meleset dari rencanamu. Dia masuk dalam perangkap kita."
Konishita menghela napas panjang. Ia sekali lagi
melemparkan dadu. Kali ini ia tersenyum karena dadu
itu jatuh pada angka enam.
"Sekarang kau tidurlah, agar besok kau tetap segar.
Jangan sampai Nobunaga melihat dirimu kehilangan
kesegaran."
"Baiklah, aku akan tidur. Bangunkan aku sebelum
fajar menyingsing, aku harus mandi sebelum matahari terbit."
"Aku tahu. Tidurlah."
*** Mayeda Toyotomi meloncat dari punggung kudanya.
Setelah menyerahkan tali kekang pada salah seorang
pengawal Puri Tazumi, ia berjalan bergegas ke dalam puri. Langkah kakinya tegap,


Shugyosa Samurai Pengembara 5 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sementara wajahnya te-rangkat ke atas.
Tazumi yang baru saja selesai bersolek, segera menyambut kedatangan kekasihnya. Dengan senyum
menghiasi bibirnya, wanita itu membukakan pintu
kamarnya. Mayeda melangkah memasuki kamar.
"Seluruh rencana berjalan lancar," kata lelaki tersebut sambil mencabut pedang
dari pinggangnya. Seperti biasa ia meletakkan pedang itu di atas meja marmar di
samping ranjang. "Apabila tidak ada rintangan, se-minggu lagi penyergapan akan
dilakukan. Imagawa
akan tinggal nama."
"Ketika melihat lelaki itu berangkat meninggalkan
Suruga, seluruh tubuhku menggeletar. Aku merasa demikian tersiksa membayangkan akhir dari pelaksanaan seluruh rencana kita. Ingin rasanya semua terlaksana lebih cepat."
"Kelihatannya engkau sudah tidak sabar."
"Sesungguhnya memang demikian. Aku sudah tidak
sabar melihatmu menjadi penguasa Suruga."
Mayeda Toyotomi tersenyum tipis. Ia mendekati Tazumi, lalu melingkarkan tangan di pinggul wanita tersebut. Ia meremas pantatnya.
"Bersabarlah barang sejenak," kata Mayeda sambil
mengangkat dagu kekasihnya. "Tidak lebih dari seminggu, engkau sudah akan kembali ke Istana Suruga
sebagaimana dulu engkau berkuasa di sana."
"Aku sudah tidak sabar lagi."
Mayeda menatapnya tajam. "Sekarang aku pun sudah tidak sabar," katanya lembut. Lalu dengan sigap ia mengangkat Tazumi,
membopongnya menuju ke ranjang.
*** Satu jam sesudah Mayeda Toyotomi meninggalkan Puri
Tazumi, Daisuke Togakure datang. Lelaki tersebut duduk bersimpuh di lantai.
"Apa yang akan kaulaporkan, Daisuke?" Tazumi
bertanya sambil menuang sake ke dalam cawan.
"Saya telah menyelidiki tentang kepala samurai itu.
Dari beberapa orang yang saya temui, saya mengetahui samurai tersebut adalah
Yaeko, seorang samurai yang bersekutu dengan Tuanku Nobunaga. Dia berasal dari
Honshu, tetapi sudah beberapa bulan menetap di Kamakura sehubungan dengan hadiah yang disediakan
Nobunaga untuk menangkap Saburo Mishima dan putra Ashikaga. Beberapa orang mengatakan, mereka terakhir melihat Yaeko di
pinggiran Kamakura ketika bersama Fukumi, Hiromi, dan Junko memergoki Saburo
keluar dari salah satu bordil di sana. Sejak itu mereka tak pernah melihat
mereka lagi, sampai tersebar berita Tuanku Nobunaga memperoleh kiriman kepala
Fukumi dan Hiromi di dalam peti, persis seperti yang Anda alami."
"Nobunaga memperoleh kiriman dua kepala sekaligus?" "Dan sebuah syair pendek bernada ancaman."
"Siapa yang telah mengirimkannya?"
"Hingga saat ini tak seorang pun mengetahuinya.
Orang menduga Saburo Mishima yang melakukannya.
Hal itu mungkin saja dia lakukan terhadap Nobunaga, tetapi bila benar dia yang
mengirimkannya, untuk apa Saburo mengirim kepala Yaeko kemari?"
"Aku memang merasakan keanehannya."
"Saya akan terus menyelidikinya."
Wanita itu menarik napas sepenuh dada. Ingatannya melayang ke taman pada saat Otawa menyerahkan
peti berisi kepala Yaeko. Suatu kengerian terbersit di wajahnya.
Tazumi bertanya mengalihkan pembicaraan, "Sehubungan dengan Mayeda, apa yang engkau dapatkan,
Daisuke?" "Tidak banyak. Hingga saat ini saya belum mengetahui rencana Mayeda di Istana Suruga. Seperti Anda ketahui saat ini saya telah
berhasil menjadi pela-yannya, sehingga seluruh gerak-geriknya dapat saya
amati. Setiap hari ada rapat diselenggarakan di rumahnya, bahkan dia sering
memanggil komandan-komandan pasukannya. Pembicaraan memang berkisar tentang rencana penyergapan Tuanku Imagawa. Hanya
itu. Namun demikian saya menyarankan agar Anda
berhati-hati."
"Apakah dia akan mengkhianatiku?"
"Saat ini belum saya peroleh bukti mengenai rencana pengkhianatan itu, tetapi dari sepak terjangnya, bukan mustahil dia akan
berkhianat. Seorang samurai yang dapat mengkhianati junjungannya, dia pun akan
dapat mengkhianati siapa saja. Menurut saya, dia tidak dapat dipercaya."
"Kalau begitu kuminta kau terus mengawasinya. Bila memang terbukti dia mengkhianatiku, penggal kepalanya sebelum aku memaafkannya."
*** KOJIRO MELIHAT AYAHNYA
SENJA merah di atas Owari. Angin berhembus sepoisepoi. Unggas dan binatang malam mulai memperdengarkan suaranya. Kuil di tengah hutan itu tampak
sunyi. Hanya sesekali terdengar teriakan Kojiro ketika menghantamkan hanbo
(tongkat kayu yang biasa digunakan latihan ilmu pedang).
Sesudah kedatangan pasukan Nobunaga ke kuil itu,
Bapa Lao maupun Kojiro jarang keluar. Mereka lebih
banyak menyembunyikan diri di ruang bawah tanah.
Karena ruangan itu cukup luas, Bapa Lao memanfaatkannya untuk memberikan ilmu pedang pada Kojiro. Lalu malamnya, sebelum mereka tidur, Bapa Lao
akan bercerita tentang kisah-kisah ksatria samurai
pada masa lalu. Sedikit demi sedikit Kojiro dapat me-nyerap pengetahuan tentang
sejarah Jepang dari Bapa Lao. Dengan sabar pendeta tua itu bercerita tentang
kebangkitan kaum samurai yang dimulai pada zaman
Minamoto. Awal zaman peperangan yang tak kunjung
reda. Dari Bapa Lao pula Kojiro akhirnya mengetahui siapa sesungguhnya marga
Ashikaga. Ia tak pernah
membayangkan sebelumnya, bahwa kesanggupannya
menyamar sebagai Yoshioka, ternyata menjadi beban
yang berat karena nama tersebut berhubungan dengan
sejarah keshogunan Jepang.
Secara tidak langsung Kojiro mulai memahami kenapa Nobunaga ingin menumpas habis keluarga Ashikaga. Di dalam tradisi peperangan di Jepang, sejak
zaman Minamoto, pembalasan dendam selalu terjadi.
Karena itu penumpasan seluruh keluarga menjadi satusatunya cara untuk menghindarinya. Bahkan dalam
perang di laut pedalaman, kaisar Akito, yang baru berusia lima tahun terpaksa
ditenggelamkan untuk memusnahkan ancaman pembalasan dendam.
"Sampai kapan pun, engkau akan terus dikejar,"
kata Bapa Lao pada Kojiro. "Karena itu lebih aman
apabila engkau menyimpan pedang Muramasa dan pakaian keshogunan di kuil ini. Dengan cara itu kau dapat hidup bebas, tanpa rasa
takut dikejar pasukan Nobunaga."
"Apakah saya tidak mengingkari sumpah...."
"Tentu saja tidak," potong Bapa Lao sambil membelai jenggotnya. "Kau justru menyelamatkannya."
"Benarkah?"
"Itulah sesungguhnya kebenaran hidup. Dengan
meninggalkannya di sini, engkau aman, pedang dan
pakaian itu pun aman. Tidak ada yang merasa dirugikan atau terancam. Kelak, bila keadaan sudah berubah, jika Tuhan berpihak pada marga Ashikaga, engkau dapat mengambilnya lagi."
Kojiro memikirkan dengan sungguh-sungguh hal
itu. Akhirnya ia menyetujui usul Bapa Lao. Ia melipat pakaian keshogunan dan
menyimpan di sebuah ruang
penyimpanan di kuil itu. Kojiro kemudian memakai
kimono kumal berwarna kuning.
"Mulai sekarang engkau memakai nama Koyama,"
kata Bapa Lao sambil tersenyum. "Hanya tiga orang
yang mengetahui bahwa dirimu Yoshioka; Saburo Mishima, Kojiro, dan aku. Pada suatu saat, bila keadaan telah berubah, kami akan
menjadi saksi pengangka-tanmu sebagai shogun di Owari."
Kojiro menghela napas panjang. Ia tiba-tiba teringat ayahnya. Pelupuk matanya
tiba-tiba terasa hangat. Sejak perpisahan mereka dalam pengepungan itu, Kojiro
tak pernah lagi mendengar tentang ayahnya. Ia benarbenar tidak tahu apakah ayahnya masih hidup atau
sudah mati. Bapa Lao tiba-tiba memanggil Kojiro.
"Ada apa, Bapa?"
"Aku ingin mengajakmu pergi dari kuil ini, kurasa
kamu pasti gembira."
"Pergi" Ke mana?"
"Ke Kamakura."
Kojiro terperanjat. "Bapa tentu berolok-olok."
"Tidak. Aku memang akan mengajakmu ke Kamakura." "Untuk apa?"
"Kudengar Shogun Imagawa akan berkunjung ke
Kamakura. Ini tentu suatu pertemuan penting. Kau
tahu, sejak lama mereka bermusuhan. Nobunaga mengincar wilayah Suruga jauh sebelum dia merebut Kamakura. Karena itu sungguh aneh kalau sekarang Imagawa bersedia memenuhi undangan minum teh di
Kamakura."
"Apakah dia seorang shogun yang tolol?"
"Itulah soalnya. Kadangkala ketulusan hati sering
ditafsirkan sebagai ketololan. Dan kita tidak tahu isi hati mereka. Dulu ketika
Minamoto berkuasa di Jepang, banyak orang yang menertawakannya. Mereka
beranggapan Minamoto tidak pantas menjadi penguasa
wilayah hanya karena dia tidak pernah bersekolah. Tetapi kenyataannya, engkau
tahu sendiri, Minamoto
menjadi shogun paling berkuasa di negeri ini. Ketololan yang ditertawakan orang,
ternyata justru kebijak-sanaan yang disembunyikan. Saat semua orang menganggapnya pandir, Minamoto leluasa menyusun rencana. Ketika orang tak memperhitungkan kekuatannya, dia justru menggalang kekuatan dari kelengahan lawan. Akhirnya semua orang
tertipu, ketika orang-orang menyadari terperdaya, semuanya sudah terlambat. Minamoto terlanjur kuat dan berkuasa. Aku baru mengetahui kemudian,
Minamoto ternyata banyak belajar dari seni berperang Soen Tzu. Kemauannya yang
keras serta kecerdikannya telah memberinya jalan kemenangan."
"Lantas apa hubungannya dengan kita?"
"Tidak ada."
"Jadi untuk apa kita ke Kamakura?"
"Aku mendengar Nobunaga telah menghias seluruh
kota untuk menyambut kedatangan Imagawa. Bahkan
dia mendatangkan sake dan penari dari luar kota untuk menghibur tamunya. Dari caranya melakukan penyambutan, dapat dipastikan di sana akan terjadi banyak keramaian. Daripada kita
kesepian di sini, bukankah lebih baik kita ke sana untuk ikut pesta?"
"Tetapi sangat berbahaya untukku."
"Sekarang tidak lagi. Siapa yang peduli dengan seorang anak bernama Koyama?"
*** Esoknya Bapa Lao dan Kojiro berjalan menuju Kamakura. Mereka menyusuri tepi hutan menuju desa Siko, lalu mendaki bukit Ama untuk
mencapai jalanan utama menuju Owari. Di sepanjang jalan, Kojiro berlari-lari
kecil mendahului Bapa Lao, kemudian duduk di
tepi jalan menunggu kedatangan lelaki itu. Ketika sebuah gerobak pembawa jerami
lewat, Kojiro dengan tenang naik di bagian belakang gerobak tersebut. Ia duduk
sambil tersenyum-senyum pada Bapa Lao yang
berjalan di belakangnya.
Bunga sakura kebanyakan mulai bersemi. Mahkota
bunga yang melekat pada kelopak tampak mulai merekah. Ketika memasuki Kamakura, Kojiro turun dari gerobak, lalu berjalan di samping Bapa Lao. Ia tampak
liar dan bengal. Matanya menatap suasana Kamakura
dengan penuh kekaguman. Kecuali warung-warung
yang tumbuh di sepanjang jalan, kini banyak terlihat bangunan baru yang dulu
belum ada. Sebuah tempat
pembuatan pedang telah berdiri di tepi persimpangan Owari ke Mikawa. Seketika
Kojiro teringat rumah pembuat pedang di pinggiran Kamakura, rumah pengkhianat yang membuat ia berpisah dengan ayahnya dan
Yoshioka. Beberapa orang samurai tampak sedang menimang-nimang pedang pesanan mereka. Sebagian
yang lain tengah mengamati pakaian tempur yang dihiasi bilah-bilah besi. Wajah mereka tampak berseri-seri.
Kota Kamakura memang kelihatan semarak. Bendera-bendera dikibarkan di sepanjang tepi jalan. Para samurai yang berpakaian
bersih dan rapi, melenggang di jalan dengan gagah. Dari cara mereka merawat
pedang atau rambutnya, tampak kehidupan mereka cukup sejahtera. Di salah satu warung yang cukup besar, Kojiro melihat serombongan penari dari Izu sedang mengamen.
Tiga penari tengah menari di tengah lingkaran para
samurai yang menonton mereka dengan suka cita. Tiga pemain musik mengiringi
mereka dengan genderang,
shamizen, dan seruling. Kojiro segera menerobos kerumunan itu agar bisa melihat
lebih jelas. Mata Kojiro bersinar-sinar ketika menyaksikan pertunjukan tersebut. Kehidupannya selama ini di tengah hutan membuat ia terkagumkagum pada keramaian
itu. Ketika pertunjukan bubar, Kojiro mencari Bapa
Lao. Ia melihat pendeta tersebut sedang makan hanami dango dan kinome dengaku.
Kojiro segera berlari ke arahnya.
"Hei, dari mana makanan itu?" Kojiro bertanya.
"Apakah engkau mau ikut makan?"
"Tentu."
"Kalau begitu jangan bertanya apa pun tentang makanan ini. Sebaiknya kau langsung makan saja."
Kojiro menatap Bapa Lao tanpa berkedip, lalu mengambil hanami dango dan menikmatinya. Makanan tersebut terbuat dari tepung terigu dan gula berbentuk bulat, lalu ditusuk dengan
bambu. Makanan tersebut
dibuat untuk menyambut musim semi ketika bunga
sakura mulai bermekaran.
"Kita datang kemari tepat pada waktunya," kata Kojiro sambil menggigit makanan itu. "Di sini tampaknya kita tidak akan
kelaparan."
"Kalau engkau mau berusaha, di mana pun engkau
tidak akan kelaparan."
"Begitukah?"
"Ya. Tuhan akan memberi rezeki pada siapa pun
yang mau berusaha."
Kojiro membuang bambu penusuk makanan dari


Shugyosa Samurai Pengembara 5 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tepung terigu itu, lalu mengambil satu lagi.
"Dulu kota ini tidak seramai sekarang," kata Kojiro sambil menatap keramaian di
sekitarnya. "Sekarang
banyak rumah-rumah dan jalan-jalan baru."
"Itu artinya Nobunaga telah bekerja keras untuk
mengembangkan kota ini."
"Tampaknya memang begitu."
"Itu tampaknya. Tetapi untuk dapat menilai semua
ini kita harus tinggal di sini beberapa hari. Dengan ca-ra itu kita akan tahu
apakah Nobunaga membangun
Kamakura dengan cara yang layak."
"Maksud Bapa?"
"Bisa saja dia membangun dengan cara meningkatkan pajak bagi rakyat atau menggusur rakyat kecil dengan mengatasnamakan
pembangunan."
Kojiro terdiam. Ia melihat rombongan penari dari
Izu itu sekarang mulai bermain lagi di depan salah satu rumah. Orang-orang mulai berkerumun lagi, sementara suara musik mulai terdengar bertalu-talu.
Bapa Lao menatap Kojiro, ia tahu keinginan anak itu.
"Bolehkah saya melihat ke sana?" Kojiro bertanya
tanpa menoleh. "Kenapa tidak" Kau bebas di sini."
Kojiro menyeringai, lalu berlari ke arah kerumunan
orang-orang yang menonton pertunjukan itu. Baru saja ia menerobos ke tengah kerumunan itu, tiba-tiba
pandangannya terpaku pada sosok shugyosa yang berdiri berseberangan dengannya. Samurai pengembara
tersebut mengenakan tudung bambu sehingga menyembunyikan sebagian wajahnya, tetapi meski hanya
sekilas, Kojiro dapat memastikan pengembara itu adalah ayahnya. Tapi sebelum ia
sempat memanggil, samurai itu sudah berbalik dan pergi.
Kojiro menerobos kerumunan orang untuk mengejarnya. "Ayah, tunggu!"
Sampai di luar kerumunan, samurai itu sudah tidak
ada. Bahkan punggungnya sekalipun sudah tak tampak. Kojiro menoleh ke kanan ke kiri, kebingungan. Ia mencoba berlari ke arah
jalan raya, namun tak ada.
Akhirnya ia berlari ke tempat Bapa Lao.
"Bapa.... Bapa... saya melihat Panglima Saburo Mishima!" Bapa Lao menoleh dengan cepat. Dengan isyarat tangannya ia memberi peringatan pada Kojiro agar bicara pelan.
"Apa maksudmu?"
"Di tengah kerumunan penonton tari-tarian itu, tadi saya melihat Saburo
Mishima." "Kau tidak sedang mengigau, bukan?"
"Tidak. Saya benar-benar melihatnya. Tetapi sebelum sempat saya panggil, dia telah menghilang."
"Apakah kau tidak salah lihat?"
"Saya bersumpah. Meskipun dia menyamar sebagai
samurai pengembara, tetapi saya benar-benar mengenalinya." "Apakah dia akan menyerahkan kepala pada Nobunaga?" "Saya tidak tahu. Tapi tampaknya kita harus mencarinya." "Kurasa tidak perlu," jawab Bapa Lao tenang. "Kalau benar penglihatanmu, pasti ada maksudnya dia
berada di sini. Paling tidak, dia mempunyai suatu rencana. Ini menarik.
Sebaiknya kita tetap di sini, menunggu apa yang akan dilakukannya."
*** Jalanan di perbatasan Owari tampak sepi. Hutan di
kanan kiri jalan memberikan kesejukan tersendiri. Angin dari arah utara membawa
aroma buah prem dan
bunga sakura. Pohon-pohon yang tinggi menjulang
menjadikan jalanan tersembunyi dari cahaya matahari yang membakar.
Shogun Imagawa duduk di atas punggung kuda,
sambil bernyanyi-nyanyi kecil, ia menikmati pemandangan pada sore itu. Sesekali ia menoleh ke belakang, melihat pasukannya yang
berjalan dengan penuh semangat. Diam-diam shogun itu merasa bangga pada
kesetiaan tentaranya.
Ketika iring-iringan itu mendekati gerbang perbatasan Owari, samurai pengintai tiba-tiba memacu kudanya mendekati Imagawa. Ketika sampai di depan
iring-iringan itu, samurai tersebut meloncat dari kuda dan bersujud di depan
Imagawa. "Tuanku, ada sesuatu yang harus hamba sampaikan." "Ada apa Tomoki?"
"Di depan, persis di tikungan, dekat perbatasan dengan Owari, ada suatu peringatan untuk Tuanku."
"Peringatan apa?"
"Di tengah jalan, dipancangkan sebuah tombak Owari dengan sebuah kepala terpenggal di atasnya."
Imagawa terperanjat, "Kepala?"
"Benar, Tuanku."
"Kepala siapa?"
"Hamba mencoba mengenali kepala itu, tetapi hamba tak berhasil. Kelihatannya itu kepala ronin. Tetapi apa pun maksudnya, orang
yang menancapkan kepala
itu pasti memiliki maksud-maksud tertentu. Dia meng-ikat sepucuk surat di
tangkai tombak itu."
"Surat?"
"Benar, Tuanku."
"Untukku?"
"Benar, Tuanku."
Imagawa menerima surat yang diikat rami dari Tomoki. Ia membuka dengan tidak sabar, lalu membacanya: Hati-hati terhadap serangan dari depan, dan juga dari belakang. Musuh dari
kegelapan, jauh lebih berbahaya dibanding musuh di tempat terang.
Batalkan kunjungan Tuan, segera kembali ke Suru-ga. Imagawa menghela napas
panjang. Ia tahu surat itu berisi peringatan keras terhadapnya. Tetapi apa
maksudnya" Siapa yang dimaksud musuh dari kegelapan"
Siapa pula musuh di tempat terang" Kata-kata itu kedengarannya memang indah,
tetapi Imagawa tidak
mempunyai alasan untuk mematuhinya. Bila sebagai
seorang shogun ia gentar terhadap gertakan, ia akan kehilangan kehormatan di
depan pasukannya. Lagi pula, di Suruga, ada Mayeda Toyotomi, orang kepercayaannya. Dan di Owari, Nobunaga pasti akan menaruh hormat atas kedatangannya. Dia tak mungkin
mencelakakan dirinya.
Jadi apa yang harus ditakutkan"
Dengan hati-hati Imagawa melipat surat itu, lalu
memasukkan ke dalam sakunya.
"Sebaiknya kita tidak mudah digertak. Kecuali itu
tak ada alasan untuk mengecewakan Shogun Nobunaga hanya karena sebuah peringatan yang tak jelas
pengirimnya. Mari kita lanjutkan perjalanan."
*** KATAK MEMASUKI MULUT BUAYA
DARI hutan itu terdapat jalan yang sebelah sisinya
berpagar bambu, menurun bagai ular. Agak jauh di
bawah, bagaikan sebuah pemandangan buatan, tampaklah rombongan penari yang memasuki Kamakura.
Saburo Mishima berdiri di tepi hutan menatap rombongan penari yang terdiri dari delapan orang itu. Ia sendiri heran. Kemarin di
Kamakura, ia menjumpai
dua rombongan penari lain yang juga berjumlah delapan orang. Lima penari wanita dan tiga pemain musik.
Aneh. Kenapa jumlahnya delapan orang" Seperti kelompok kecil pasukan yang
sengaja disusupkan ke Kamakura. Jumlah delapan, rasanya bukan suatu kebetulan
belaka. Siapa mereka" Pasukan Mayeda Toyotomi"
Imagawa" Atau siapa"
Saburo segera berpaling pada Yoshioka yang sedang
makan buah prem.
"Ayo kita jalan."
"Ke mana?"
"Kita ikut rombongan penari itu."
Yoshioka berdiri sambil membersihkan kimononya,
kemudian dengan bergegas ia mengejar Saburo yang
sudah berjalan lebih dulu.
"Bukankah mereka menuju Kamakura?"
"Ya."
"Jadi kenapa kita mengikutinya?"
"Kita akan ke Kamakura."
Yoshioka mengerutkan kening tak percaya. Tetapi
ketika melihat Saburo tak peduli dengan keberatannya, ia berlari mengejar.
Sebelum mereka berjalan kira-kira enam ratus meter, rombongan penari itu sudah
terke-jar. Tapi karena Saburo tidak memperlambat langkahnya, maka ia mendahului rombongan penari tersebut.
Laki-laki yang berjalan sekitar lima puluh langkah di depan Saburo segera
menoleh. "Sungguh cepat Anda berjalan," kata lelaki itu. "Kelihatannya Anda sangat
terburu-buru."
Saburo memperlambat jalannya, kemudian berjalan
bersama laki-laki itu.
"Akan ke mana rombongan penari Anda?" Saburo
bertanya. "Ke Kamakura. Kami diminta turut memeriahkan
pesta atas kunjungan Shogun Imagawa."
"Apakah dia sudah datang?"
"Belum. Menurut rencana hari ini."
Laki-laki yang rupanya pemimpin rombongan penari
tersebut menggendong sebuah yanagigori (peti tempat menyimpan pakaian yang
terbuat dari ranting langsing yang dibelah dari sejenis pohon yang disebut
kooriya-nagi). Perempuan yang berumur kira-kira dua puluh tahun mendekap seekor anak anjing kecil. Di punggungnya juga ada yanagigori berwarna merah. Gadis penari itu menggendong taiko dan
penyangganya. Saburo bertanya, "Dari mana rombongan ini berasal?" "Dari Izu," jawab lelaki pemimpin rombongan itu datar. "Kami baru saja dari Pulau Oshima. Sejak meninggalkan pulau itu tiga bulan
lalu, kami terus mengembara. Sesungguhnya kami berencana kembali ke Izu
sesudah sepuluh hari main di Shimoda, tetapi baru sa-ja akan pulang, datang
utusan Tuanku Nobunaga meminta kami datang ke Kamakura."
"Banyak orang datang ke Oshima pada musim semi." "Mungkin. Saya tidak pernah memperhatikannya."
"Bagaimana dengan musim dingin?"
"Saya tidak tahu."
Mereka menempuh perjalanan kira-kira enam kilometer di jalan menurun sampai di Yugazima sepanjang lembah sungai Kawazu.
Setelah melewati puncak, warna gunung dan langit pun tampak seperti daerah
selatan. Saburo dan laki-laki itu terus berbincang-bincang sehingga mereka
menjadi akrab. Melalui dusun-dusun
kecil seperti Oginari dan Nashimoto, mereka tiba di tempat dari mana tampak
atap-atap jerami rumah Yu-gano di kaki gunung. Samar-samar, di kejauhan,
terlihat atap-atap rumah serta menara Istana Kamakura.
"Apakah Anda juga hendak ke Kamakura?" laki-laki
pemimpin rombongan itu bertanya.
"Saya akan mengikuti ke mana kaki melangkah. Sebagai shugyosa, saya tak pernah menentukan tujuan
perjalanan. Karena itu di setiap perjalanan, saya senang bila memperoleh kawan
berbincang-bincang."
"Oo, begitu. Dalam perjalanan memang lebih baik
berkawan. Begitu juga dalam hidup, sebaiknya kita saling tolong-menolong.
Mungkin Anda akan dapat menghilangkan rasa jemu kalau bersama kami."
"Terima kasih. Saya senang bisa berbincang-bincang dengan Anda."
Mereka beristirahat di tepi sebuah jembatan yang
air sungainya meluap sampai tanah datar di tepinya.
Salah seorang penari membuka tatami dan fuzuma
yang tampak masih baru. Sesudah membuka tatami
untuk duduk, penari itu membawa teh dan dua buah
cawan. Ia meletakkan di depan Saburo.
"Silakan minum," kata lelaki pemimpin rombongan
itu. "Kami terbiasa membawa bekal dalam perjalanan.
Rasanya jauh lebih hemat dibanding harus membeli."
"Saya rasa Anda benar."
Saat itu Yoshioka mengambil cawan Saburo dan
menuang teh ke dalamnya. Bukan untuk Saburo tetapi
untuk dirinya sendiri. Ia minum isi cawan itu dengan tandas. Lalu mengisinya
lagi. "Apakah dia anak Anda?"
Saburo menatap Yoshioka, lalu menjawab, "Ya."
"Tampaknya dia anak yang cerdas."
"Dan bengal," sambung Saburo sambil melirik Yoshioka. "Siapa namanya?"
"Kojiro."
Laki-laki tersebut bertanya pada Yoshioka, "Kojiro, apakah engkau juga ingin
menjadi samurai pengembara?"
Yoshioka menjawab, "Ya. Saya akan menjadi shugyosa." "Dia tampaknya sangat berbakat."
"Berbakat bengal," sambung Saburo, lalu tertawa.
Sesudah hampir satu jam mereka beristirahat, rombongan penari tersebut meneruskan perjalanan. Saburo memisahkan diri.
"Saya akan mampir ke Omi, dari sana saya baru
akan menuju Kamakura," kata Saburo. "Mudah-mudahan kita bertemu di sana."
"Baiklah kalau begitu. Sampai jumpa."
Saburo telah berjalan kira-kira sepuluh langkah ketika lelaki pemimpin rombongan itu berseru, "Siapakah nama Anda" Biar kami
mengingatnya."
"Saburo. Anda?"
"Yoshitaro."
Lalu mereka berpisah. Ketika rombongan penari itu
telah jauh, Saburo menarik lengan Yoshioka.
"Apakah engkau melihat sesuatu?"


Shugyosa Samurai Pengembara 5 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak. Kenapa?"
"Bodoh! Mereka bukan penari biasa, tetapi ninja
yang menyamar."
Yoshioka terperanjat. "Bagaimana engkau bisa tahu?" "Sejak berbincang-bincang tentang Izu, saya sudah
mengetahui bahwa mereka tidak dari sana. Para penari Izu pasti mengetahui kapan
orang-orang akan me-ngunjungi tempat itu. Lelaki tersebut tidak tahu apa-apa
tentang Izu. Dari sana saya telah menaruh curiga.
Kemudian ketika penari tadi memberikan teh serta cawan, kulihat telapak
tangannya tebal dan kasar. Tak mungkin penari bertangan seperti itu. Kehidupan
penari ditentukan oleh kecantikan serta kelembutan tangannya saat menari, mereka
selalu memelihara tangannya dengan sempurna. Jadi tadi aku sudah yakin
mereka bukan penari sebenarnya. Semua terjawab ketika secara tak sengaja kulihat isi yanagigori yang terbuka, di dalamnya
terdapat shuko, cakar pemanjat pa-ra ninja."
"Benarkah?"
"Sampai saat ini itulah keyakinanku. Kalau benar
dugaanku, berarti ada beberapa rombongan ninja yang diterjunkan ke Kamakura.
Mereka pasti menjalankan
suatu rencana terselubung. Persoalannya sekarang,
mereka berada di pihak mana" Siapa yang mengirimkan mereka?"
*** Sorak-sorai terdengar gemuruh ketika iring-iringan
Imagawa memasuki batas Kota Kamakura. Nobunaga
telah memerintahkan Hosokawa memimpin penyambutan itu. Dengan dua ratus prajurit berpakaian lengkap, Hosokawa menyambut
kedatangan Imagawa. Sesaat
sebelum iring-iringan mereka bertemu, suara genderang ditabuh dengan gegap gempita. Penduduk berkerumun di tepi jalan untuk menyaksikan penguasa Suruga. Mereka selama ini telah mendengar kemasyhuran Imagawa, namun belum pernah menyaksikan shogun tersebut. Karena itu kedatangan Imagawa kali ini menjadi terasa istimewa.
Sambutan orang Kamakura, sorak-sorai yang meriah, serta ribuan orang yang berdiri di pinggir jalan mengelu-elukannya,
membuat Imagawa melupakan
peringatan di luar perbatasan desa. Wajahnya seketika ceria, sesungging senyum
tipis menghiasi bibirnya.
Sambil mengikuti irama langkah kuda, Imagawa melambai-lambaikan tangan pada orang-orang di sekitarnya.
Dua iring-iringan itu berhadapan dalam jarak tiga
puluh meter. Suara genderang berhenti ketika seluruh pasukan Imagawa
menghentikan langkah.
Hosokawa segera turun dari kuda untuk menyongsong Shogun Imagawa. Dia bersujud di depan kuda
Imagawa. "Tuanku Imagawa," kata Hosokawa dengan nada
penuh hormat. "Hamba adalah Hosokawa, komandan
pasukan Yang Mulia Nobunaga. Perkenankan hamba
menyampaikan salam dari junjungan hamba atas kedatangan Tuanku di Kamakura."
"Saya merasa bahagia dapat memenuhi undangan
ini. Dan saya tidak menduga penyambutan yang diberikan penduduk Owari demikian meriah."
"Harapan Yang Mulia Nobunaga, Tuanku akan merasa senang dalam kunjungan ini sehingga merasa seperti di rumah sendiri."
"Terima kasih, Hosokawa-san. Terima kasih. Apakah kita dapat melanjutkan perjalanan ke istana?"
"Dengan segenap rasa hormat, Tuanku."
Perjalanan dilanjutkan. Orang-orang terus mengeluelukan dari tepi jalan. Diawali dengan pasukan yang dipimpin Hosokawa, rombongan
Imagawa berjalan menuju istana.
Kojiro dan Bapa Lao berdiri di tepi jalan menyaksikan iring-iringan itu.
Di salah satu sudut jalan, Saburo dan Yoshioka ikut menyaksikan kedatangan
Imagawa. Ketika Hosokawa
lewat di depannya, Saburo menurunkan tudung sehingga menutupi wajahnya.
"Dia tidak menggubris peringatan kita," kata Yoshioka pada Saburo.
"Ya."
"Sekarang kita tak mungkin menyelamatkannya."
"Pernahkah kau mendengar kisah tentang katak
memasuki mulut buaya?"
"Ya."
"Itulah yang sekarang kita lihat."
Ketika gerbang istana dibuka, lebih dari seratus penari telah siap menyambut
kedatangan Imagawa. Saat
terdengar suara musik dan tari-tarian dimulai, suasa-na berubah menjadi meriah
tanpa kehilangan keanggunan. Para penari yang berputar-putar memainkan
selendang sutera berwarna ungu, menjadi pemandangan mempesona. Dua ratus prajurit di bawah pimpinan Hosokawa,
bergerak ke tepi jalan. Mereka membiarkan Imagawa
memasuki gerbang istana. Oda Nobunaga, yang berpakaian serba perak, melangkah dengan anggun ke depan. Pancaran sinar matanya penuh kehangatan untuk menyambut kedatangan Imagawa. Di belakangnya,
Naoko berpakaian serba putih dengan gambar angsa di kimononya. Wanita yang
muncul dengan rambut diandam ke belakang, tampak berkilau di bawah matahari
senja. Imagawa demikian terpesona pada kecantikan
yang luar biasa itu. Beberapa detik ia tak berkedip menyaksikan pemandangan yang
demikian elok di depannya. Ketika sadar akan kehadiran Oda Nobunaga, Imagawa segera turun dari kudanya dengan anggun, lalu berjalan mendekati Nobunaga.
Sambil membungkukkan badan, Imagawa berkata,
"Sungguh hangat dan meriah sambutan yang diberikan untukku."
"Saya hanya memberikan sambutan sekadarnya,"
jawab Nobunaga sambil membungkukkan badan pula.
"Kecuali itu, saya hanya memberikan penyambutan
bagi orang yang pantas memperolehnya."
"Saya mengucapkan terima kasih atas kehangatan
yang saya terima."
"Demikian pula saya. Saya mengucapkan terima kasih atas kunjungan Anda."
Kemudian dengan keanggunan yang sama, Nobunaga dan Imagawa berjalan menuju istana.
*** PESTA PESTA pada malam pertama setelah kedatangan Imagawa adalah pertunjukan kabuki, semacam sandiwara gabungan antara nyanyi dan
tari. Kabuki baru ditemukan beberapa tahun lalu, ketika Jepang dilanda
perang saudara, sehingga kota-kota menjadi sepi karena kaum lelakinya pergi berperang. Akhirnya orang-orang yang dilanda kesepian
menciptakan pertunjukan hiburan yang penuh nyanyian, tarian, serta ditampilkan
dalam bentuknya yang paling mewah.
Pertunjukan dimulai dengan munculnya Agemaki,
seorang pelacur cantik jelita. Agemaki diperankan oleh Mayumi. Ia muncul dalam
pakaian kimono biru laut
dilengkapi obi merah muda. Wajahnya yang cantik jelita, membuat Imagawa dan Nobunaga terpesona. Bukan hanya kecantikan Mayumi yang memikat, tetapi
tarian yang ia bawakan juga sangat indah.
"Siapakah penari itu, Yang Mulia?" Imagawa bertanya penuh kekaguman.
Nobunaga menjawab, "Rupanya selera kita sama.
Saya juga mengagumi penari itu."
"Siapakah namanya?"
"Mayumi. Penari dari Izu."
Di panggung, Agemaki bertemu dengan Sukeroku,
seorang samurai pengembara yang tampan. Konishita
yang bermain sebagai Sukeroku muncul dengan kimono hitam, ikat kepala hitam, dan payung kertas warna merah. Di pinggangnya
tampak sebuah pedang panjang, suatu tanda bahwa ia seorang samurai pengembara. Dalam sebuah pertemuan yang tidak terduga, keduanya saling jatuh cinta.
"Permainan mereka sangat menarik," kata Imagawa
memuji. "Saya mendengar mereka adalah penari terbaik dari
Izu. Saya sengaja mendatangkan mereka untuk Anda."
"Saya beruntung menyaksikan pertunjukan ini."
Seorang tokoh muncul, namanya Ikyu, seorang lakilaki tua dari golongan bangsawan yang menaruh hati
pada Agemaki. Dengan berbekal kebangsawanan serta
kekayaannya, Ikyu berusaha memikat Agemaki. Tetapi
karena sudah terlanjur mencintai Sukeroku, wanita
tersebut menolak pinangan Ikyu. Penolakan ini membuat Ikyu marah, lebih-lebih setelah ia tahu Agemaki justru memilih Sukeroku,
seorang samurai miskin. Perasaan marah serta sakit hati membuat Ikyu membabi
buta. Ia menantang Sukeroku bertarung dengan pedang. Tepuk tangan terdengar gegap gempita ketika pertarungan antara Sukeroku dan Ikyu terjadi. Namun akhirnya samurai pengembara tersebut memenangkan
pertarungan. Saat Ikyu rubuh ke tanah, dengan meninggalkan suara parau orang sekarat, tepuk tangan
terdengar memanjang. Imagawa bertepuk tangan paling lama. Ia tersenyum puas.
"Benar-benar menyenangkan," kata Imagawa tulus.
"Belum pernah saya menyaksikan pertunjukan kabuki
seindah ini. Ini akan menjadi kenangan berharga untuk kami."
Seusai menonton pertunjukan, Nobunaga mengajak
Imagawa bermain dadu di ruang pertemuan. Mereka
bermain seperti dua orang sahabat yang sudah lama
tak bertemu. Terlihat sangat akrab.
"Tuanku Imagawa," kata Nobunaga sambil melempar dadu di atas tatami. "Apakah Anda pernah memikirkan untuk meluaskan wilayah Suruga?"
"Apa maksud Anda, Yang Mulia?"
"Bukankah menurut sejarah, ketika ayah Anda masih berkuasa, Mikawa dan Totomi termasuk di dalam
wilayahnya?"
"Itu dulu. Saya sekarang tak pernah memikirkannya. Suruga saya pandang sudah cukup luas. Lagi pula untuk apa wilayah luas bila kita tidak dapat memakmurkan rakyat" Kekuasaan hanya akan menjadi
beban di kepala kita."
Nobunaga menarik napas. Sekali lagi ia mengocok
dadu dalam telapak tangannya, meniup, lalu melemparkannya ke tatami.
Paginya Nobunaga mengajak Imagawa berburu dengan burung rajawali. Mereka berkuda ke padang Sekigahara, kemudian melepaskan burung rajawali untuk mencari babi hutan. Perburuan ini merupakan sesuatu yang baru bagi Imagawa. Selama ini ia tidak
pernah berburu, sehingga kehidupannya jauh dari
maut maupun darah.
Ketika di tengah siang yang terik, Imagawa harus
memacu kuda berkejaran dengan burung rajawali yang
menukik tajam dengan cakar-cakarnya, tiba-tiba muncul sesuatu yang baru pertama kali ia rasakan. Sesua-tu yang membuat bulu
kuduknya meremang, namun
memberikan kepuasan. Imagawa berkuda bersama
Nobunaga, mereka memacu ke arah lembah, lalu mendaki kembali ketika babi hutan buruannya lari menda-ki bukit. Sementara dua ekor
rajawali yang telah diji-nakkan terbang melayang-layang di langit.
Kuda-kuda mereka berderap di antara pohon kriptomeria, terus melaju memburu binatang yang lari ke-takutan. Nobunaga mementang
anak panah pada busurnya. Ia terus mengincar dari atas punggung kudanya. Pada saat yang tepat, ia melepaskan anak panah itu. Sekejap berikutnya terdengar suara mendengking ketika babi hutan itu terguling dengan anak panah menembus lehernya.
Imagawa menarik tali kekang kudanya, ia menyaksikan binatang tersebut menggelepar-gelepar sekarat.
"Anda seorang pemanah yang hebat," puji Imagawa
dengan masih terengah-engah di punggung kuda. "Saya merasa tak berarti apa-apa di hadapan Anda."
"Jangan berkata begitu, ini hanya olahraga."
Prajurit Nobunaga sudah mendirikan tenda di tepi
hutan. Sesudah lelah berburu, Imagawa dan Nobunaga
menuju tenda. Mereka duduk sambil menyantap daging hasil buruannya.
Sambil mengunyah daging babi hutan, Nobunaga
bertanya, "Saya mendengar saat ini orang-orang Kai
dan Shinano sedang membangun benteng di perbatasan Suruga."
"Itu benar."
"Apakah Anda tidak merasa terancam dengan pembangunan benteng itu" Bukankah Kai dan Shinano tepat di perbatasan wilayah kekuasaan Anda?"
"Pada awalnya saya memang memikirkannya, tetapi
kemudian pikiran buruk itu saya hilangkan. Betapa
pun, orang-orang Kai dan Shinano berhak membangun
benteng di wilayah mereka. Kenapa saya harus memikirkannya?"
"Tetapi bukankah suatu saat mereka dapat menyerang Suruga?"
"Jangankan Shinano dan Kai yang berbatasan dengan Suruga, penguasa Mino dan Gifu pun dapat menyerang Suruga. Semua sangat tergantung pada keinginan kita. Apakah dalam kehidupan ini kita akan
mencari musuh atau sekutu. Bukankah begitu, Yang
Mulia?" Nobunaga menelan ludah. Karena tergesa-gesa,
cabe terasa membakar tenggorokannya.
"Be..., benar, saya rasa."
Bila di padang perburuan Nobunaga tampak unggul, maka di ruang upacara minum teh, Imagawa
yang tampak unggul.
Selama abad ke-15, Jepang terus menerus dikoyak
oleh perang di dalam negeri. Para penguasa wilayah


Shugyosa Samurai Pengembara 5 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saling memperebutkan kekuasaan. Pada saat itulah
orang menciptakan kegiatan spiritual untuk menghilangkan kejenuhan terhadap perang ataupun stress.
Selain sandiwara kabuki, upacara minum teh menjadi
salah satu seni agung orang Jepang. Upacara ini telah berkembang sedemikian
rupa, sehingga menjadi salah
satu tolok ukur kebangsawanan seseorang.
Upacara minum teh pada dasarnya tak lebih daripada pertemuan beberapa sahabat di sebuah rumah
kecil yang didirikan dalam sebuah taman terpencil. Tujuan pertemuan ini adalah
menikmati teh dan memperbincangkan karya seni.
Di Kamakura, Nobunaga mendirikan sebuah rumah
kecil di belakang istana utama. Sebelum menuju rumah tersebut, dengan penuh keanggunan, Imagawa
melakukan upacara mencuci kaki dan mulut. Tempat
mencuci kaki itu disebut ura-senke, yang terdiri dari sebuah tempayan dan
gayung. Setelah menyucikan di-ri, Imagawa kemudian berjalan pelan menuju ruang
upacara. Rumah minum teh memiliki pintu yang kecil, sehingga siapa pun yang
memasuki rumah tersebut
harus berjongkok. Barulah sesudah Imagawa dan Nobunaga di dalam, upacara dimulai. Imagawa melakukan semua liku-liku upacara dengan penuh keanggunan. Ia menjalankan semua urut-urutan upacara minum teh dengan sempurna.
"Anda benar-benar luar biasa," puji Nobunaga terus
terang. "Selama menunggu kedatangan Anda, saya telah mempelajari tata-cara minum teh dari Rykiu, seorang pendeta Zen yang sangat
ahli. Tetapi bila saya bandingkan dengan cara yang Anda lakukan, saya
menjadi seperti orang kampung yang tak tahu apaapa." "Saya melakukan hanya yang saya bisa," jawab Imagawa sembari tersenyum. "Dan saya merasa masih
memiliki banyak kekurangan."
"Kalau Anda masih memiliki banyak kekurangan,
lantas saya apa artinya?"
"Anda tetaplah seorang yang luar biasa. Upacara
minum teh hanya satu bagian kecil dari keragaman
kehidupan. Tidak menguasainya, tidak berarti buruk.
Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangannya.
Bukankah begitu?"
Nobunaga menyeringai. Terbayang di matanya bagaimana kalau kepala Imagawa sudah terpenggal di
atas nampan. Masihkah dia dapat berbicara sebijaksana itu" Ketika Nobunaga pulang, Naoko langsung menyongsongnya. "Bagaimana dengan rencana kita?"
"Aku sedang memikirkannya."
"Rencana itu tidak untuk dipikirkan, tetapi untuk
dilaksanakan."
"Aku sedang memikirkan bagaimana melaksanakannya." "Kapan dia akan kembali?"
"Dua hari lagi."
"Kalau begitu rencana itu harus segera dilaksanakan. Tak boleh ditunda."
"Dia seorang laki-laki yang baik. Aku jadi ragu-ragu apakah kita harus
menyingkirkannya."
"Kita sudah membuat rencana selama berbulanbulan, jangan bimbang hanya karena engkau sudah
mengenalnya. Kalau engkau ingin berkuasa, jangan
mudah bimbang dan ragu."
"Bagaimana menurut pikiranmu sendiri?"
"Kalau kau ragu-ragu, biarkan aku yang melaksanakannya. Aku tidak akan berpikir dua kali untuk melakukan rencana itu."
*** PRAKARSA SEORANG GEISHA
KAMAKURA malam hari.
Sesungguhnya udara dingin. Angin membawa butirbutir salju yang mulai mencair dari Gunung Fuji. Namun Kota Kamakura justru
tampak seperti siang hari.
Lampu-lampu rumah dinyalakan. Demikian pula lampu jalanan. Di mana-mana terlihat kerumunan orang
dalam suatu keramaian. Rombongan penari membuat
pertunjukan di tengah lingkaran penonton. Suasana
meriah di mana-mana. Suara musik terdengar gegap
gempita di sela teriakan nyaring para penonton yang haus akan hiburan.
Para samurai yang biasa duduk di warung atau di
bordil, kini berkeliaran di jalan untuk menyaksikan para pengamen. Mereka
berjalan dalam kelompok-kelompok kecil sambil menenggak sake dari botol-botol
yang mereka bawa.
Kojiro menyelinap dari satu tempat pertunjukan ke
tempat pertunjukan lain. Dengan gesit ia menyusup di antara kaki-kaki penonton,
lalu duduk di barisan ter-depan untuk menyaksikan tari-tarian. Bapa Lao duduk di
pinggir warung sambil menatap keramaian di sekitarnya.
Ini adalah hari terakhir Imagawa berada di Kamakura. Apabila Oda Nobunaga
memiliki suatu rencana, malam inilah saat yang tepat dilaksanakan. Kecuali itu,
pesta yang diadakan di mana-mana terasa sangat men-curigakan. Seakan Nobunaga
sengaja mendatangkan sebanyak mungkin hiburan, sehingga orang-orang sibuk
menyaksikan pertunjukan. Rasanya, ini adalah malam yang berbahaya.
Bapa Lao segera mencari Kojiro, lalu menariknya
keluar dari kerumunan orang.
"Ada apa, Bapa" Saya mau nonton pertunjukan itu."
"Hei, dengarkan," kata Bapa Lao serius. "Ini bukan
keramaian biasa."
"Maksud Bapa?"
"Aku merasakan suatu keanehan. Malam ini tibatiba semua pertunjukan diadakan serentak, seakan
Oda Nobunaga bermaksud mengalihkan perhatian kita
dari istana. Kecuali itu, kau perhatikan pintu gerbang benteng, sejak tadi sore
gerbang telah ditutup. Padahal biasanya menjelang tengah malam gerbang tersebut
baru ditutup."
"Apa yang Bapa pikirkan?"
Bapa Lao menatap ke arah menara istana. Ia tampak memikirkan sesuatu. Lalu katanya, "Oda Nobunaga sedang merencanakan sesuatu yang buruk."
"Apa yang akan Bapa lakukan?"
"Tidak ada. Kita tidak tahu apa-apa mengenai rencana Nobunaga."
*** Di ruang perjamuan utama, dua ratus pasukan Imagawa duduk di lantai menyaksikan noh (suatu pertunjukan sandiwara yang baru
saja ditemukan). Tiga
puluh orang pelayan berkeliling mengucurkan sake ke cawan-cawan para samurai
itu. Sambil tertawa-tawa
mereka menikmati minuman dan makanan yang dihidangkan. Imagawa duduk di atas zabuton menyaksikan pertunjukan di depannya. Ia tampak gembira. Paling tidak kunjungannya kali ini
sangat mengesankan. Selama
enam hari di Kamakura, ia memperoleh pengalaman
yang luar biasa. Pertunjukan kabuki yang mempesona, berburu dengan rajawali,
melaksanakan upacara minum teh, melihat-lihat hutan di Owari, menyaksikan
pembangunan benteng di Kiyosu, dan kini melihat pertunjukan noh yang sejak lama
ingin ia saksikan.
Sekali lagi rombongan penari dari Izu membuat Imagawa terpesona. Mayumi, penari yang cantik jelita itu, semakin memikat hatinya.
Hampir setiap gerak maupun langkah Mayumi, membuat hati Imagawa bergetaran. Kecantikan gadis itu, di dalam peranannya sebagai putri rembulan, sungguh
mempesona. Oda Nobunaga duduk di samping Naoko, sesekali ia
tampak bertepuk tangan, sesekali pula ia meneguk
sake dari cawannya. Tetapi seperti berusaha mengendalikan diri, lelaki tersebut sangat membatasi minum.
Demikian pula Naoko. Mereka tak ingin mabuk.
Di luar ruang perjamuan itu, dua ratus pasukan
Nobunaga telah mengepung tempat tersebut. Dua ratus orang samurai telah disiapkan untuk menutup rapat ruang perjamuan, seratus lainnya adalah pasukan panah yang bertugas membakar
bangunan itu. Semua
telah dipersiapkan secara cermat. Hosokawa dan Konishiwa memimpin langsung
pembantaian kali ini. Mereka sengaja duduk di luar gedung menunggu perintah. Pintu gerbang benteng telah ditutup. Dua ratus pasukan dikerahkan untuk menjaga setiap sudut istana.
Nobunaga ingin melaksanakan rencananya sesempurna mungkin. Tidak satu celah pun ia biarkan kosong. Apabila pembakaran telah dilakukan, tak seorang pun dapat lolos. Bila saja pasukan Imagawa memiliki keberanian menerobos api menyala, seratus tentara panah Nobunaga telah
siap menghabisinya. Kalau lapisan ini pun gagal, masih ada dua ratus samurai
yang siap menghancurkannya.
Tidak ada peluang untuk lolos.
"Bila saya telah kembali ke Suruga," kata Imagawa
sambil mendekat ke arah Nobunaga. "Saya akan mengirim utusan untuk mengundang para penari Izu ini
ke sana. Rasanya saya belum merasa puas menyaksikan tarian mereka."
"Kedengarannya itu merupakan rencana yang sangat baik."
"Meskipun tidak sebesar Kamakura, saya berharap
mereka mau datang untuk memberikan hiburan pada
keluarga saya."
"Tentu saja mereka bersedia."
Imagawa tersenyum lepas, lalu meminta pelayan
kembali mengisi cawan miliknya. Ia menghabiskan
sake dalam cawan itu dengan sekali tenggak, sehingga wajahnya merah berbinarbinar. Karena pengaruh
sake, Imagawa mulai bertepuk tangan penuh kegembiraan. Naoko mendekati Nobunaga, lalu berbisik di telinganya, "Sekaranglah saatnya."
Nobunaga mengerutkan dahi. Ragu-ragu.
"Jangan bimbang," bisik Naoko lagi. "Kebimbangan
hanya bukti kelemahan hati."
Nobunaga minta izin keluar, Imagawa hanya mengangguk, seluruh perhatiannya masih tercurah pada
Mayumi yang melenggang-lenggok di arena.
Dengan hati-hati, Nobunaga keluar diikuti Naoko
dan para dayang-dayangnya. Pertunjukan masih terus
berlangsung, cawan-cawan diisi penuh, sehingga pasukan Imagawa terlena dan
sebagian justru mabuk. Pelayan keluar satu per satu. Pintu kemudian ditutup dengan hati-hati, lalu
dikunci. Setengah jam sesudah Nobunaga meninggalkan
tempat pertunjukan itu, ruang perjamuan tersebut
mulai terbakar. Api menjilat-jilat, suara kayu mulai ge-meratak, dan asap putih
mulai menerobos ke dalam
ruangan. Diawali dengan perasaan terperanjat, akhirnya muncul kepanikan dalam
ruangan itu. Beberapa
orang samurai yang masih dapat menguasai diri segera mencoba mencari jalan
keluar, tetapi semua pintu dan
jendela telah dikunci dari luar. Mereka mencoba mendobrak, namun sia-sia. Rasa
panik mulai menyelubungi orang-orang di dalam ruang tersebut.
"Pengkhianatan!" seru seorang samurai.
"Ya, ada pengkhianatan!"
"Bangsat! Kita harus keluar dari sini!"
"Tetapi bagaimana caranya?"
"Kita harus mendobraknya!"
"Nobunaga berhati busuk!"
"Lindungi Tuanku Imagawa!"
Semua sudah terlambat. Lidah api terus melalap
bangunan itu. Konishita menggamit lengan Mayumi.
"Kita harus keluar dari sini," kata Konishita. "Rupanya si busuk Nobunaga telah
dengan sengaja ingin
membakar kita hidup-hidup. Kita harus keluar dari si-ni." "Tetapi bagaimana
caranya?" tanya Mayumi bingung.
(Bersambung ke buku keenam.)
*** Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
Document Outline
MENGATUR SIASAT *** ***
NAFSU *** *** PEMERIKSAAN *** ***
PERTARUNGAN ***
PENYERGAPAN *** ***
SEBUAH KIRIMAN *** ***
IMAGAWA MENUJU KAMAKURA ***
*** *** *** KOJIRO MELIHAT AYAHNYA ***
*** *** KATAK MEMASUKI MULUT BUAYA *** ***
PESTA *** PRAKARSA SEORANG GEISHA *** ***
Pukulan Naga Sakti 6 Pendekar Rajawali Sakti 200 Bencana Tanah Kutukan Rahasia Si Badju Perak 5

Cari Blog Ini