Siluman Ular Putih 12 Lukisan Darah Bagian 2
sama oleh Pangeran Pemimpin.
"Tutup mulutmu, Nimas! Aku tidak bicara denganmu!" hardik Pangeran Pemimpin kesal.
Putri Sekartaji mengeretakkan gerahamnya.
Pangeran Pemimpin tidak begitu memperhatikan. Sepasang matanya yang licik kini dialihkan pada
Siluman Ular Putih.
"Apa pendapatmu, Bocah" Aku bermaksud baik
padamu. Aku berkeinginan mengajakmu turut merebut takhta Kadipaten Pleret seperti yang dikatakan
adikku itu. Bila nanti perjuangan kita berhasil tentu aku tidak mungkin
melupakan jasamu. Kau boleh
memilih kedudukan apa saja. Apa kau keberatan, Bocah?" Soma tersenyum-senyum menggoda. Putri Sekartaji cemas bukan main. Ia khawatir Soma mulai
terpengaruh tawaran Pangeran Pemimpin.
Soma bergumam sambil menganggukanggukkan kepala. "Jadi benar kan" Kalian memang
gerombolan pemberontak yang tengah dikejar-kejar
pasukan kadipaten. Kau telah mengakuinya sendiri.
Dan mengenai tawaranmu tadi, sebenarnya memang
sangat menggiurkan. Tapi sayang aku tidak mau. Aku
takut Kanjeng Adipati akan murka lalu menggantungku. Mampuslah aku nantinya. Padahal aku masih
doyan makan nasi. Tapi nggak tahu kalau dirimu.
Mungkin kau sudah bosan makan nasi tempe sehingga
nekat mau bunuh diri dengan jalan seperti ini!" kata Siluman Ular Putih asal
bunyi. Bukan main marahnya Pangeran Pemimpin
mendengar ucapan Soma. Kedua pelipisnya tampak
bergerak-gerak. Ketua Partai Kawula Sejati itu agaknya tak dapat lagi
mengendalikan amarah. Sementara, di-am-diam Putri Sekartaji makin mendekati
murid Eyang Begawan Kamasetyo.
"Tangkap kunyuk gondrong itu!" teriak Pangeran Pemimpin tiba-tiba didorong oleh
rasa marahnya. Para anggota Partai Kawula Sejati yang dibantu
tokoh-tokoh sakti dunia persilatan segera melangkah
maju. Namun Pelajar Agung telah lebih dulu membentak garang. "Mundur! Akulah yang berhak mengirim nyawa
kunyuk gondrong ini ke dasar neraka!"
"Bagus! Yang lainnya boleh menangkap gadis
itu!" kata Pangeran Pemimpin menimpali.
"Sebaiknya kita beradu punggung, Soma," Putri Sekartaji mengajukan usul.
"Baik. Tapi aku lebih senang kalau kau selekasnya meninggalkan tempat ini, Putri."
"Sekali lagi kau bicara seperti itu, aku tak sudi jadi kawanmu, Soma!" sungut
Putri Sekartaji kesal.
"Ah...! Kenapa kau cemberut begini, Putri"
Baik. Hayo, kita hadapi monyet-monyet pemberontak
ini. Aku pun akan rugi besar kalau kau tidak lagi menganggapku sebagai kawan," kata Soma dengan diiringi senyuman.
Siluman Ular Putih mencabut keluar senjata
pusaka Anak Panah Bercakra Kembar. Seperti namanya, senjata andalan murid Eyang Begawan Kamasetyo itu memang sebatang anak panah yang sedikit
melengkung pada bagian ujungnya. Dari bagian ujung
panah yang melengkung melilit kepala ular hingga ke
badan anak panah. Di kepala ular itu tampak dua
buah cakra kembar di kanan kirinya. Sedang di bagian
badan terdapat lobang mirip lobang suling.
Begitu Siluman Ular Putih mengerahkan tenaga
dalam, hawa dingin yang menggigilkan tubuh memenuhi tempat pertarungan. Sejenak Pangeran Pemimpin
berdecak kagum melihat senjata aneh di tangan Soma.
Ketika dirasakannya hawa dingin menusuk-nusuk kulit, Pangeran Pemimpin gusar bukan main. Rasa kagumnya melihat kehebatan senjata lawan mendadak
sirna, berganti dengan rasa jengkel yang memuncak.
Dilihatnya beberapa anak buahnya yang memiliki kepandaian rendah jatuh bergelimpangan tak kuat menahan amukan hawa dingin. Malah beberapa tokoh silat segera bersemadi untuk mengusir hawa dingin itu.
Pangeran Pemimpin tak ingin membiarkan
anak buahnya sengsara. Beberapa anak buahnya
kembali bergelimpangan dengan wajah pias. Pangeran
Pemimpin kontan menggembor penuh kemarahan.
"Bocah edan! Berani kau menjual lagak di depanku. Terimalah kematianmu hari ini, Bocah!"
Namun belum sempat Pangeran Pemimpin melancarkan serangan, Pelajar Agung telah memegang
lengannya. "Kunyuk gondrong ini bagianku, Pangeran. Kukira sebaiknya kau urus saja adik tirimu yang cantik
itu. Katanya kau ingin memanfaatkan gadis itu!" kata
Pelajar Agung mengingatkan.
"Hm...!"
Pangeran Pemimpin mendengus tak senang.
Namun ketika dilihatnya Pelajar Agung telah menyerang Siluman Ular Putih, terpaksa ia segera menyerang Putri Sekartaji dari arah
berlawanan. Meski dengan
menggunakan tangan kosong serangan Pangeran Pemimpin yang dibantu beberapa anggota Partai Kawula
Sejati dan tokoh sakti dunia persilatan membuat Putri Sekartaji kalang kabut.
Keadaan ini tentu saja sangat menyita perhatian Siluman Ular Putih. Untung saja Pelajar Agung tidak ingin dibantu para
anggota Partai Kawula Sejati,
hingga sedikit banyak Soma dapat membantu Putri
Sekartaji bila mengalami desakan dari para pengeroyoknya. "Hea...!"
Siluman Ular Putih menghantamkan kedua telapak tangannya ke depan. Seketika dua larik sinar
putih melesat cepat siap melabrak tubuh Pelajar
Agung. Pelajar Agung rupanya telah siap menghadapi
pukulan tenaga 'Inti Bumi' lawan. Begitu melihat dua
larik sinar putih menyerang dirinya, Pelajar Agung
mencoba memapaki dengan pukulan 'Kelabang Geni'
yang dipelajarinya dari mendiang Manusia Rambut
Merah. "Hea...!"
Pelajar Agung melengking tinggi. Dari kedua telapak tangannya membersit sinar merah menyala.
Blaarrr...!!! Hebat bukan main benturan dua tenaga dalam
itu. Angin kencang berhamburan memporakporandakan semua yang ada di sekitar tempat pertarungan. Ranting-ranting pohon hangus terbakar terkena sambaran pukulan 'Kelabang Geni'. Sebagian lain
kontan membeku begitu terkena pukulan tenaga 'Inti
Bumi' Siluman Ular Putih.
Tubuh Soma dan Pelajar Agung sendiri terjengkang ke belakang. Isi dada mereka serasa mau jebol.
Pada saat Siluman Ular Putih terjengkang mendadak Putri Sekartaji menjerit histeris. Bahunya yang terkena sambaran pedang
salah seorang pengeroyok
mengeluarkan darah segar. Soma cemas bukan main.
Gempuran para pengeroyok Putri Sekartaji tampak
demikian hebat. Putri Sekartaji dipaksa berjumpalitan ke sana kemari menghindari
serangan. "Hea...! Hea...!"
Pangeran Pemimpin yang dibantu anak buahnya dan beberapa tokoh sakti dunia persilatan terus
mendesak Putri Sekartaji. Kalau saja Siluman Ular Putih tidak cepat bertindak bukan mustahil gadis cantik itu akan roboh. Untung
saja pada saat totokan jari-jari Pangeran Pemimpin hampir mengenai sasaran,
dengan kecepatan yang luar biasa Siluman Ular Putih melemparkan senjata andalannya.
Wesss! Pangeran Pemimpin terkesiap kaget. Kalau nekat meneruskan serangan tubuhnya akan jadi sasaran
empuk serangan anak panah. Tentu saja Pangeran
Pemimpin tidak ingin tubuhnya terluka. Dengan sangat terpaksa sekali Pangeran Pemimpin kemudian
membuang tubuhnya ke samping. Senjata anak panah
Siluman Ular Putih terus melesat ke belakang.
Pangeran Pemimpin tersenyum girang. Tanpa
mengenai belas kasihan sedikit pun, ia dan beberapa
anak buahnya kembali menyerang Putri Sekartaji. Mereka tidak tahu kalau secara tiba-tiba anak panah Siluman Ular Putih membalik dan kembali menyerang
para pengeroyok itu dengan kecepatan yang mengagumkan. Clep! Anggota Partai Kawula Sejati yang berada paling belakang memekik setinggi langit. Anak panah Siluman Ular Putih telak mengenai punggungnya. Pangeran Pemimpin dan beberapa anak buahnya seketika
memalingkan kepala. Dilihatnya salah seorang anggota
Partai Kawula Sejati ambruk ke tanah dengan sebatang anak panah menancap di punggung.
Pangeran Pemimpin menggembor penuh kemarahan. Dilanjutkan lagi serangannya yang tadi tertunda. Putri Sekartaji kembali dibuatnya kalang kabut.
Untung saja lagi-lagi Siluman Ular Putih yang
tengah sibuk menghadapi gempuran Pelajar Agung
masih sempat memberi bantuan. Sayang, tindakan ini
telah membahayakan keselamatan Siluman Ular Putih
sendiri. Baru saja pukulan tenaga 'Inti Bumi' dilontarkan tiba-tiba Pelajar
Agung mengirimkan pukulan
'Cahaya Kilat Biru' ke arah dirinya.
Wesss! Wesss! Siluman Ular Putih meloncat tinggi ke udara.
Namun dengan gerakan yang sangat tidak terduga, Pelajar Agung telah memapaki lesatan tubuh Soma dengan telapak tangan terkembang.
Bukkk! Bukkk! Telak sekali hantaman dua telapak tangan penuh pukulan 'Cahaya Kilat Biru' mengenai dada Soma.
Tubuh Siluman Ular Putih langsung terlempar jauh ke
belakang lalu jatuh berdebum di tanah.
Soma mengerang kesakitan. Ia berusaha bangkit dengan susah payah. Sayang, tak sanggup. Malah
darah segar menghambur dari mulutnya.
Melihat keadaan Siluman Ular Putih, Putri Sekartaji memekik histeris. Hal ini malah memperburuk
keadaannya. Tanpa diduga, jari-jari Pangeran Pemimpin berhasil menotok punggung Putri Sekartaji.
Tukkk! Tukkk! Putri Sekartaji hanya bisa memekik tertahan.
Seketika tubuhnya kaku tak dapat digerakkan.
Melihat Putri Sekartaji telah tertawan, Siluman
Ular Putih menggeram marah. Kedua pelipisnya bergerak-gerak. Murid Eyang Begawan Kamasetyo itu tampaknya tak dapat lagi mengendalikan amarahnya yang
menggelegak. Mendadak, rambut Soma berubah menjadi ratusan ular putih dengan kepala terangkat tinggi-tinggi! "Manusia
pengecut! Lepaskan gadis itu! Kalau kalian mengganggu seujung rambut pun, demi
Tuhan aku akan mengobrak-abrik markas kalian!"
Pangeran Pemimpin hanya tersenyum sinis, Sedikit pun ia tidak gentar mendengar ancaman Siluman
Ular Putih. Baginya Soma hanyalah seorang pemuda
sakti yang memiliki otak bebal.
"Keadaanmu terjepit, Bocah. Kau tak patut
memerintah aku. Justru kaulah yang harus patuh pada perintahku. Sekarang lekas letakkan senjatamu!"
bentak Pangeran Pemimpin ketika melihat senjata
anak panah telah tergenggam di tangan Soma. Padahal
tadi senjata itu sempat diambil salah seorang anggota Partai Kawula Sejati.
Pangeran Pemimpin tahu bagaimana cara Siluman Ular Putih merebut senjata andalannya itu. Diam-diam kekaguman Pangeran Pemimpin makin bertambah. Meski Soma tengah sibuk menghadapi serangan Pelajar Agung. Pemuda itu masih sempat mencabut senjata anak panahnya dari tubuh sang korban.
"Aku akan melepaskan senjataku kalau kau
pun melepaskan gadis itu, Pangeran Pemberontak!" Siluman Ular Putih tak kalah
gertak. Entah kenapa Pangeran Pemimpin tertawa bergelak. Pelajar Agung tampak tak begitu menyukai sikap Pangeran Pemimpin. Agaknya ia tidak ingin Siluman Ular Putih tewas di tangan Pangeran Pemimpin.
"Jangan banyak bacot, Bocah! Turuti saja kemauanku jika masih ingin melihat gadis cantik ini berkepala utuh!" ancam
Pangeran Pemimpin. Jari-jari tangannya yang membentuk patukan ular siap
meremukkan batok kepala Putri Sekartaji.
"Sebenarnya apa maumu, Pangeran Pemimpin?" kata Siluman Ular Putih kesal melihat kelicikan Pangeran Pemimpin.
Pangeran Pemimpin kembali tertawa bergelak.
"Seperti yang kukatakan tadi, aku hanya ingin
kau bergabung dengan para anggota Partai Kawula Sejati untuk merebut takhta Kadipaten Pleret. Kalau kau masih keberatan tentu aku
tak akan segan-segan meremukkan batok kepala gadis ini. Sekarang jawab! Kau
sudi bergabung denganku atau tidak"!"
Siluman Ular Putih dicekam kebimbangan. Untuk membiarkan Putri Sekartaji tewas di depan matanya tanpa dapat membela sedikit pun, jelas ia tidak rela. Namun kalau menuruti
kemauan Pangeran Pemimpin untuk membantu perjuangannya, itu jelas tidak mungkin. Soma akhirnya memutuskan untuk
mengelabui Pangeran Pemimpin dengan ilmu sihirnya.
Siluman Ular Putih mulai mengerahkan kekuatan batinnya. Kedua bibir Soma berkemik-kemik. Sepasang matanya yang tajam mendadak mencorong tajam mengerikan.
Putri Sekartaji sendiri yang melihat sepasang
mata Soma jadi bergidik ngeri. Namun ketika Siluman
Ular Putih membentak, Putri Sekartaji merasakan
Siluman Ular Putih 12 Lukisan Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
adanya getaran aneh menyerang jalan pikirannya.
"Pangeran Pemimpin! Lepaskan gadis itu. Apa
matamu buta" Coba perhatikan aku baik-baik! Bukankah aku Romomu Adipati Pleret Tua?"
Sekujur tubuh Pangeran Pemimpin bergetar
hebat. Apa yang dilihatnya saat itu benar-benar membuat hatinya heran bukan main. Di hadapannya bukan lagi sosok pemuda gondrong yang mengenakan
pakaian rompi dan celana bersisik warna putih keperakan. Yang ada sosok lelaki tua berusia tujuh puluhan tahun dengan rambut putih digelung ke atas dan
mengenakan pakaian bangsawan Jawa. Itulah pakaian
kebesaran yang biasa dikenakan Adipati Pleret Tua.
"Ba... baik, Romo. Aku akan segera melepaskan
gadis ini," kata Pangeran Pemimpin dengan suara bergetar. Perlahan-lahan ia
melepaskan Putri Sekartaji
dari ancamannya.
"Bagus! Rupanya kau masih mentaatiku, Pangeran Pemimpin. Sekarang lekaslah kalian semua yang
ada di tempat ini untuk bersujud. Kalian tak pantas
menemuiku dengan cara berdiri begini. Hayo, lekas
berlutut!" bentak Siluman Ular Putih lagi. Suaranya bergetar-getar aneh
menyerang jalan pikiran semua
yang ada di halaman samping markas Partai Kawula
Sejati. Seperti yang diperintahkan Soma, Pangeran
Pemimpin dan juga semua yang ada di halaman samping langsung menjatuhkan diri ke tanah dan berlutut
di hadapan pemuda itu.
Sebenarnya Soma ingin sekali menggoda Putri
Sekartaji, namun ketika dilihatnya gadis itu tampak
ketakutan maka niatnya diurungkan. Disambarnya
tubuh Putri Sekartaji lalu berkelebat cepat meninggalkan tempat itu. Sosok murid
Eyang Begawan Kamasetyo itu hilang di balik kegelapan malam.
Bersamaan dengan lenyapnya bayangan Siluman Ular Putih pengaruh sihir itu pun sirna. Pangeran Pemimpin murka bukan main.
Sadarlah dia kalau telah diperdaya. Sambil berteriak-teriak penuh kemarahan diperintahkannya beberapa anak buahnya untuk
menangkap Siluman Ular Putih dan Putri Sekartaji.
"Tangkap mereka! Cepat tangkap Siluman Ular
Putih dan Putri Sekartaji!"
*** 8 "Soma! Lepaskan totokanku! Aku masih sanggup berlari sendiri!" teriak Putri Sekartaji dari pondongan murid Eyang Begawan
Kamasetyo. Soma tidak mempedulikan. Sambil terus berkelebat cepat dari dahan satu ke dahan pohon lain, Soma hanya tersenyum-senyum
menggoda. Putri Sekartaji
jengkel sekali. Tak henti-henti ia terus berteriak hingga suaranya serak. Namun
Soma tetap membawanya pergi tanpa menghiraukan teriakan-teriakan itu.
"Soma! Jangan gila! Kau mau bawa aku ke mana" Hayo, lekas lepaskan totokanku, Soma!"
"Kenapa kau berteriak-teriak minta dilepaskan
totokanmu, Putri" Bukankah enak di atas pondonganku" Kau ini bagaimana sih. Orang enak-enak digendong malah minta dituruni. Aku senang sekali kalau
kau mau gantian menggendongku. Apa kau ingin
menggendongku, Putri?" kata Soma menggoda.
Meski Soma berkata demikian, namun sebenarnya dalam hati murid Eyang Begawan Kamasetyo
itu berkata lain. Ia tidak ingin keselamatan Putri Sekartaji terancam meski adik
tiri Pangeran Pemimpin itu memiliki kepandaian lumayan. Namun Soma tetap merasa
khawatir jika Putri Sekartaji berlari sendiri. Di samping perjalanan malam itu
memang cukup sulit, di
seputar markas Partai Kawula Sejati banyak sekali jebakan maut. "Soma! Apa sebenarnya yang kau inginkan"
Apa kau ingin mencelakakanku" Terkutuklah kau,
Soma! Awas nanti kalau kau melepaskan totokanku.
Aku pasti tidak akan memaafkan kekurangajaranmu
ini!" Soma tetap tidak mempedulikan ancaman gadis
cantik dalam pondongannya. Sambil sesekali menggoda Putri Sekartaji, Soma terus berkelebat meninggalkan markas Partai Kawula Sejati. Sampailah murid
Eyang Begawan Kamasetyo itu di luar hutan. Baru saja
Soma menghentikan langkah dan bermaksud menurunkan tubuh Putri Sekartaji, terdengar bentakan garang dari sesosok bayangan yang berkelebat datang.
"Berani kau menyentuh tubuh gadis itu berarti
kau tak sayang lagi pada nyawamu, Bocah!"
Soma menautkan alis matanya dalam-dalam.
Sosok di hadapannya benar-benar membuat hatinya
terperanjat. Dia seorang kakek tua renta. Berusia kira-kira tujuh puluh tahunan.
Wajahnya putih bersih. Sepasang matanya kelabu dengan alis dan bulu mata
berwarna putih. Ia mengenakan topi hitam panjang mirip topi seorang pelajar. Jubahnya hitam kedodoran
sampai ke lutut. Sosok tinggi kurus yang mirip penampilan seorang pelajar itu tak lain Marabunta atau
lebih dikenal dengan julukan Pendidik Ulung.
Soma heran bercampur kecut melihat sosok di
hadapannya. Bukan heran melihat penampilannya,
melainkan heran karena melihat kemunculannya.
"Sosok di hadapanku ini jelas memiliki ilmu
meringankan tubuh yang tinggi. Apalagi dengan sepasang mata yang mencorong. Aku yakin orang tua renta
ini memiliki tenaga dalam hebat. Siapakah sebenarnya
dia" Kalau ia salah seorang sekutu Pangeran Pemimpin, ini benar-benar celaka. Keamanan Kadipaten Pleret dan dunia persilatan terancam!" gumam murid
Eyang Begawan Kamasetyo dalam hati.
"Memalukan sekali perbuatanmu, Bocah! Beraninya kau bertindak kurang ajar di hadapanku. Hayo,
lekas lepaskan gadis itu!" bentak Pendidik Ulung garang. "Eh eh eh...! Kau
menuduhku telah bersikap kurang ajar. Apa tidak budek telingaku" Jangan-jangan
malah matamu yang lamur" Siapa yang berani
bersikap kurang ajar di hadapanmu" Kenal saja tidak
kok menuduh sembarangan. Enak saja!"
"Apa kau bilang" Kau tidak bersikap kurang
ajar di hadapanku" Apa dengan melarikan seorang gadis di tengah hutan sesunyi ini bukan perbuatan kurang ajar" Kau ini benar-benar memuakkan. Aku paling benci melihat pemuda pengecut sepertimu! Aku tahu apa yang akan kau lakukan. Kalau saja aku tidak
segera muncul, kau pasti sudah menelanjangi gadis itu dan memperkosanya. Iya,
kan"!"
Soma bersiul-siul kecil mendengar tuduhan
Pendidik Ulung.
"Bocah sinting! Orang ditanya malah bersiulsiul. Pakai melototi aku lagi. Kau demikian beraninya menjual lagak di hadapanku
Pendidik Ulung!" Kedua telapak tangan Pendidik Ulung yang telah berubah putih
berkilauan sudah gatal ingin melontarkan pukulan
mautnya. "Ah...! Jadi... kau.... Pendidik Ulung"! Ibu dan eyangku bisa marah besar kalau
aku tahu tak berlaku
hormat padamu, Orang Tua. Maaf. Aku benar-benar
tidak tahu kau orang tua sakti yang bergelar Pendidik Ulung," Soma sangat
terkejut mendengar keterangan orang tua di hadapannya. Pendidik Ulung adalah
salah seorang sahabat eyangnya di Gunung Bucu.
"Diam! Kau pikir aku tidak tahu sifat manusia
pengecut sepertimu. Benar-benar memuakkan, Bocah.
Setelah mendengar nama besarku beraninya kau menjilat seperti ini. Padahal dalam hati kau tengah berpikir bagaimana caranya agar
dapat selekasnya menikmati
kehangatan tubuh gadis itu. Hayo, sekarang lepaskan
gadis itu!"
"Ba... baik. Tanpa kau suruh pun aku akan melepaskan temanku ini," sahut Soma. Murid Eyang Begawan Kamasetyo itu segera
menurunkan tubuh gadis
cantik dalam pondongannya. Namun ketika jari-jari
tangannya hendak menotok pulih jalan darah di tubuh
Putri Sekartaji, segulung sinar hitam dari tangan Pendidik Ulung telah melesat
cepat ke arahnya.
Soma terperanjat kaget. Ia mengira Pendidik
Ulung akan menyerang dirinya. Tanpa pikir panjang
murid Eyang Begawan Kamasetyo menggeser tubuhnya ke samping. Ternyata gulungan sinar hitam itu
bukan menyerang dirinya. Sinar itu bergerak cepat
menyambar tubuh Putri Sekartaji dan melemparkannya ke samping.
Soma tak dapat lagi menyembunyikan rasa kagum. Berkali-kali mulutnya berdecak melihat sinar hitam yang ternyata ikat pinggang orang tua itu menyambar tubuh Putri Sekartaji dengan demikian mudah. Sungguh suatu pertunjukan tenaga dalam tingkat
tinggi. Begitu tubuh Putri Sekartaji berguling ke samping, gadis cantik itu
segera meloncat tinggi ke udara dan menjejakkan sepasang kakinya yang jenjang ke
tanah dengan sangat ringannya.
"Hebat! Tak kusangka ikat pinggang kakek ini
mampu melepaskan totokan di tubuh Putri Sekartaji!"
gumam murid Eyang Begawan Kamasetyo penuh kagum. "Kau menjengkelkanku, Soma. Aku benci kau.
Benci!" teriak Putri Sekartaji.
"Benar! Pemuda sinting ini memang menjengkelkan. Kukira ia patut mendapat sedikit pelajaran.
Minggirlah kau, Gadis. Tangan-tanganku yang rapuh
ini kukira masih sanggup mematahkan batang lehernya. Lihatlah bagaimana caranya aku menghajar pemuda tak tahu malu ini!" kata Pendidik Ulung.
Habis berkata, Pendidik Ulung melangkah beberapa tindak ke depan. Dimainkannya jurus 'Tangan
Maut Dewa Kayangan'.
Siluman Ular Putih terkejut. Bukan karena merasakan berkesiurnya angin dingin sebelum serangan
itu menerpa dirinya, jurus-jurus yang dikeluarkan
Pendidik Ulung benar-benar sama seperti yang dimiliki Prameswara alias Pelajar Agung.
"Tunggu, Orang Tua! Menilik jurus-jurus yang
tengah kau keluarkan, apakah kau guru Prameswara
yang kini bergelar Pelajar Agung?" kata Soma seraya menyurutkan langkahnya
setindak ke belakang.
Seketika Pendidik Ulung menghentikan serangan. Sepasang matanya yang tajam mencorong memperhatikan pemuda gondrong di hadapannya.
"Benar. Apakah kau pernah bersilang sengketa
dengan muridku?" hardik Pendidik Ulung.
"Bukan hanya bersilang sengketa. Bahkan aku
menginginkan nyawanya!"
"Kenapa?" Pendidik Ulung menautkan alis mata. "Karena dia telah mempengaruhi Manusia
Rambut Merah untuk membunuh ayah kandungku
Pendekar Kujang Emas."
"Kau... anaknya Pendekar Kujang Emas"!" Pendidik Ulung tak dapat menyembunyikan
rasa terkejut- nya. "Buat apa aku mengaku-aku, Orang Tua. Sekarang aku benar-benar tidak mengerti. Ternyata sahabat eyangku yang terkenal itu telah ditipu mentahmentah. Bukannya mencari murid baik-baik. Eh... malah mencari murid bejat macam Prameswara."
"Siapa sebenarnya Prameswara itu" Kalau kau
tidak dapat menjelaskannya, jangan harap aku akan
melepaskanmu begitu saja."
Siluman Ular Putih tersenyum.
"Dia adalah bekas murid Pendekar Kujang
Emas. Namun entah karena apa kemudian ia berguru
pada Manusia Rambut Merah. Aku tahu hal ini karena
Prameswara mampu menguasai ilmu 'Amblas Bumi'
milik Manusia Rambut Merah. Sedang ayahku tewas di
tangan Manusia Rambut Merah. Mungkinkah kejadian
ini tidak ada sangkut pautnya dengan Prameswara"
Dan apakah kau tidak mengenal siapa Manusia Rambut Merah?"
"Manusia Rambut Merah" Ya ya aku kenal dia.
Dia seorang tokoh sesat dari Hutan Sawo Kembar,"
ujar Pendidik Ulung seraya mengangguk-anggukkan
kepala. Sepasang matanya yang kelabu terus memperhatikan murid Eyang Begawan Kamasetyo. Namun sebenarnya orang tua sakti itu tengah mengingat kembali pertemuannya dengan
Prameswara beberapa bulan la-lu. Tiba-tiba Pendidik Ulung bergumam sendirian.
"Ya ya ya. Tentu Manusia Rambut Merah telah terkena bujuk rayunya. Aku cukup
tahu siapa Manusia Rambut
Merah...."
Soma mengerutkan kening. Samar-samar ia
mulai mengerti duduk persoalannya. "Apakah kau juga terkena bujuk rayu manusia
culas itu, Orang Tua?"
"Mungkin iya, mungkin juga tidak. Yang jelas
saat itu aku sangat terkesan dengan sikapnya yang
santun. Apalagi ketika itu aku sedang kecewa dengan
kelakuan bekas muridku yang bergelar Samber Nyawa.
Kalau aku tahu dia seorang pengecut, sudah pasti tidak sudi aku menerimanya sebagai murid. Huh! Sungguh bodoh aku yang tua ini!" keluh Pendidik Ulung jengkel. "Kalau sekarang kau
tahu apa yang tengah di-rencanakan oleh muridmu yang bergelar Pelajar
Agung, tentu kau akan terkejut, Orang Tua. Dia kini
bergabung dengan Pangeran Pemimpin yang bermaksud menggulingkan kekuasaan Adipati Pleret."
"Hm...!" Pendidik Ulung mengeretakkan gerahamnya. "Tak kusangka muridku seculas
ini. Aku sebenarnya juga sudah mendengar desas-desus ini.
Bahkan Ki Rombeng memintaku untuk bertemu dengan para pendekar lain. Tentu mereka akan membicarakan sepak terjang muridku. Huh! Benar benar mengecewakan. Tak kusangka aku memiliki murid-murid
bejat. Sekarang apa yang harus kulakukan" Menyelidiki sepak terjang muridku atau terus menemui Ki
Rombeng di puncak Gunung Anjasmoro?"
Siluman Ular Putih 12 Lukisan Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Soma membiarkan orang tua itu kebingungan
sendiri. Dalam hati ia merasa sedikit lega karena Pendidik Ulung telah melupakan
perselisihan dengan dirinya. "Ah...! Kukira sebaiknya aku menemui Ki Rombeng terlebih dahulu," gumam
Pendidik Ulung tiba-tiba. Kedua kakinya siap berkelebat meninggalkan
tempat itu. Namun ketika pandang matanya bertemu
dengan Putri Sekartaji, mendadak orang tua itu menghentikan langkah dan berbalik memandang Siluman
Ular Putih. "Ada apa lagi, Orang Tua" Kenapa kau tidak lekas-lekas pergi dari hadapanku?" kata Soma menggo-da. Senyum nakalnya
tersungging di bibir.
"Memang aku akan meninggalkan tempat ini.
Tapi apa kau kira aku bodoh. Tidak! Aku tidak bodoh!
Aku takkan mungkin membiarkan kehormatan gadis
itu kau rusak. Meski saat ini aku sedang bingung
mendengar sepak terjang muridku, aku tidak akan
membiarkan kejahatan berlangsung di depan mata.
Sekarang aku ingin meminta pertanggungjawaban mu
mengapa kau melarikan gadis itu!" kata Pendidik
Ulung. Jari telunjuknya menuding ke arah Putri Sekartaji yang sedari tadi hanya membisu mendengarkan
percakapan Pendidik Ulung dan Soma.
"Tunggu, Orang Tua. Kau salah paham. Aku
melarikan gadis itu justru karena ingin menyelamatkannya dari cengkeraman Pangeran Pemimpin dan
muridmu yang bejat itu."
"Heh"! Jadi kau bermaksud menyelamatkan
gadis itu. Apa tidak budek telingaku?" Pendidik Ulung mengerutkan keningnya.
Dengan pandang mata curiga
tatapannya dialihkan pada Putri Sekartaji. "Benarkah apa yang dikatakan pemuda
sinting itu, Gadis?"
"Be... benar, Orang Tua," jawab Putri Sekartaji agak gugup.
Bagaimanapun ia tidak ingin pemuda yang telah menolong dirinya celaka di tangan Pendidik Ulung.
Namun sebenarnya hati gadis itu mulai terusik dengan
ketampanan Soma.
Mendengar ucapan Putri Sekartaji, Pendidik
Ulung jadi gelisah. Pandang matanya kini tidak lagi
memusuhi Siluman Ular Putih. Malah dengan kening
berkerut Pendidik Ulung kembali membuka suara.
"Jadi kau telah menyelamatkan gadis itu dari
cengkeraman Pangeran Pemimpin dan Pelajar Agung?"
"Iya, dong. Makanya jadi orang jangan sembarang menuduh. Kalau salah kan malu sendiri!" ujar Soma seraya menepuk dada.
"Berarti kau telah bertemu dengan muridku,
Bocah," kata Pendidik Ulung tak menghiraukan gurauan Siluman Ular Putih.
"Bukan hanya bertemu. Malah kami saling bertukar jotosan barang satu-dua jurus. Sayang, mereka
terlalu pengecut. Ingin rasanya aku meremukkan batok kepala muridmu, Orang Tua."
"Hm...! Tampaknya kau memiliki sedikit kepandaian, Bocah. Kukira kau pun harus hadir di puncak
Gunung Anjasmoro guna membicarakan sepak terjang
Pangeran Pemimpin dan Pelajar Agung!"
"Usulmu sebenarnya baik sekali, Orang Tua.
Tapi sayang aku tidak bisa menuruti."
"Kenapa?"
"Aku lebih senang berduaan dengan temanku
yang cantik ini daripada bepergian denganmu, Orang
Tua," kata Soma menggoda.
"Berani kau menggodaku seperti ini, Bocah?"
Pendidik Ulung marah karena merasa dipermainkan.
"Eh eh eh...! Jangan marah dulu, Orang Tua.
Siapa pun juga akan lebih senang berduaan dengan
seorang gadis cantik dibandingkan dengan seorang laki-laki tua. Nanti dikira apa aku ini."
"Mulutmu terlalu lancang. Tapi, aku yakin kau
pasti memiliki hati yang baik."
"Jelas dong. Setidak-tidaknya lebih baik dibandingkan kelakuan muridmu yang bejat itu!" sahut So-ma asal-asalan.
"Hm...!"
Pendidik Ulung mengeretakkan gerahamnya.
Ingin sebenarnya ia memberi sedikit pelajaran pada
pemuda gondrong di hadapannya. Namun niat itu diurungkan. Sepasang mata Pendidik Ulung malah
memperhatikan rajahan ular putih kecil di dada Soma.
"Jangan-jangan saat ini aku tengah berhadapan
dengan pemuda edan yang bergelar Siluman Ular Putih. Apakah kau pemuda edan itu, Bocah?"
Soma tertawa bergelak. Ia tidak menampakkan
rasa tersinggung dimaki 'pemuda edan' oleh Pendidik
Ulung. Malah sambil menuding-nudingkan telunjuknya, murid Eyang Begawan Kamasetyo kembali menggoda guru Pelajar Agung.
"Kalau mau mengigau sebaiknya jangan di sini,
Orang Tua. Mana berani aku yang rendah ini bergelar
Siluman Ular Putih."
"Ya ya ya.... Sudah. Lupakan saja. Tapi sekali
lagi kuperingatkan. Kalau terjadi sesuatu dengan gadis itu, akulah orang yang
pertama akan meremukkan batok kepalamu!" ancam Pendidik Ulung serius.
Siluman Ular Putih makin memperlebar tawa.
Pendidik Ulung tidak menggubris. Sepasang
matanya dipelototkan sebelum berkelebat meninggalkan tempat itu.
"Kau memang keterlaluan, Soma. Pada orang
tua saja berani bertindak seenak dengkulmu, apalagi
terhadapku. Mungkin akan lebih kurang ajar!" kata Putri Sekartaji tiba-tiba.
*** Soma terperanjat kaget. Ia yang tengah memperhatikan kepergian Pendidik Ulung buru-buru memalingkan kepala. Putri Sekartaji tengah bersungutsungut seraya memperhatikan dirinya.
"Eh...! Apa tadi kau bilang, Putri?"
"Kau memang menjengkelkan, Soma. Sebenarnya aku ingin menamparmu. Tapi tadi aku sudah memaafkan kelancanganmu."
"Kenapa" Apa tadi aku bersikap lancang padamu" Yang benar saja. Bukankah enak digendong" Kau
dapat memejamkan mata seperti terlelap dalam pondongan ibumu. Kalau aku sih pasti akan minta tambah. Tapi sudahlah. Ngomong-ngomong tadi kau sudah memaafkan aku. Kenapa?"
Ditanya seperti itu Putri Sekartaji jadi keki. Ia
yang diam-diam terpesona melihat ketampanan pemuda di hadapannya hanya terus memperhatikan Soma.
"Kok jadi diam. Ada apa" Jangan-jangan kau
mulai ketularan penyakit orang tua itu. Atau, janganjangan kau naksir aku?" Lalu disusul dengan suara tawa Soma yang bergelak.
Semburat rona merah mewarnai kedua pipi Putri Sekartaji. Beruntung saat itu malam masih menyelimuti bumi, sehingga murid Eyang Begawan Kamasetyo tidak sempat melihat rona merah di pipinya. Putri Sekartaji jadi jengkel mendengar godaan Siluman
Ular Putih. Tangan kanannya kemudian bergerak cepat. Plak! Plak! Dua kali telapak tangan Putri Sekartaji mendarat di pipi Soma, hingga kepalanya oleng ke kanan kiri.
"Aduuuh...! Sudah kuduga tanganmu pasti halus, Putri. Rasanya aku ingin tambah. Tapi jangan
kencang-kencang. Kalau perlu dielus-elus saja pipiku
ini," rupanya murid Eyang Begawan Kamasetyo belum jera juga.
Putri Sekartaji mendelikkan mata. Tangan kanannya kembali siap menampar pipi Soma. Namun
anehnya Soma malah menyorongkan pipinya ke depan.
Tentu saja Putri Sekartaji jadi mengurungkan niatnya.
"Kenapa tidak diteruskan, Putri" Kau tidak tega" Jangan-jangan kau memang naksir aku?"
"Soma! Jangan kurang ajar!" pekik Putri Sekartaji saking jengkelnya. Tangan
kanannya kini tampak
tak segan-segan lagi akan menampar pipi Soma.
Soma tertawa bergelak. Melihat tangan Putri
Sekartaji sudah terangkat tinggi-tinggi, Soma pun buru-buru menyingkir.
"Baik, baik. Aku berjanji tidak akan kurang ajar lagi. Sekarang rencanamu mau ke
mana?" kata Soma mulai serius.
Putri Sekartaji menurunkan tangannya kembali. Mulutnya masih memberengut. Ditanya seperti itu
Putri Sekartaji jadi kebingungan sendiri.
"Aku tidak tahu. Mungkin akan segera melaporkan Kangmas Sembodo pada Kangmas Adipati. Aku
tidak tahu pasti, Soma."
"Sebaiknya kau melaporkan pengkhianatan
Pangeran Pemimpin pada Adipati Pleret, Putri. Ini bukan masalah kecil. Lekaslah pulang ke kadipaten,"
usul Soma. "Tapi... aku ingin laporanku lebih nyata," Putri Sekartaji keberatan. Ia merasa
betah berduaan dengan
murid Eyang Begawan Kamasetyo. Walau terkadang
gurauan Soma keterlaluan, namun sebenarnya Putri
Sekartaji sangat menyukai.
"Laporan yang lebih nyata. Maksudmu bagaimana, Putri" Aku kok malah jadi bingung sendiri. Bukankah Pangeran Pemimpin bermaksud memberontak
terhadap Kadipaten Pleret" Apakah itu bukan laporan
yang nyata?"
"Aku ingin kau turut serta."
"Apa?"
"Soma! Apa telingamu tuli" Aku ingin kau ikut
denganku untuk melaporkan sepak terjang Pangeran
Pemimpin. Apa kau keberatan?" kata Putri Sekartaji setengah berteriak.
"Bagaimana, ya" Sebenarnya aku keberatan.
Tapi baiklah. Asal mulai sekarang kau harus memanggilku Kangmas Soma!"
"Apa?"
Soma tertawa bergelak. Rasanya senang sekali
bisa menggoda Putri Sekartaji seperti itu.
*** 9 Pangeran Pemimpin melangkah lebar menuju
ruang pendopo. Di sana telah menunggu Iblis Muka
Merah dan Setan Mayat Merah. Tanpa banyak cakap
Pangeran Pemimpin segera duduk di kursi kebesarannya. Pelajar Agung menyusul kemudian duduk di kursi
samping Pangeran Pemimpin.
Sementara dua orang gadis kembar di samping
Iblis Muka Merah dan Setan Mayat Merah terlihat ketakutan. Mereka baru saja diculik Iblis Muka Merah
dan Setan Mayat Merah dari sebuah dusun tak jauh
dari markas Partai Kawula Sejati. Wajah kedua gadis
itu tidaklah terlalu mengecewakan. Wajahnya bulat telur dengan kulit tubuh yang putih bersih. Rambutnya
hitam panjang dibiarkan tergerai sampai ke punggung.
Kedua gadis kembar ini sama-sama mengenakan kemben hitam dengan kain panjang biru tua.
Melihat hasil tangkapan Iblis Muka Merah dan
Setan Mayat Merah, wajah Pangeran Pemimpin sedikit
menunjukkan keceriaan. Hal ini terlihat jelas oleh Iblis Muka Merah dan Setan
Mayat Merah. "Bagaimana, Pangeran Pemimpin" Apakah kedua gadis kembar ini cukup memenuhi syarat?" kata Iblis Muka Merah.
Pangeran Pemimpin hanya mengangguk-anggukkan kepala sambil tangan kanannya memegangi
jenggot. "Aku belum tahu pasti. Mungkin kedua gadis kembar ini cukup memenuhi
syarat. Tapi, sebaiknya
kita tanyakan dulu pada Raja Maling. Dialah yang
mengetahui rahasia Lukisan Darah. Bukan begitu, Sobatku Pelajar Agung?" ujar Pangeran Pemimpin menyahuti. "Ya ya.... Sebaiknya cepat panggil Raja Maling
kemari. Hanya dia yang tahu rahasia Lukisan Darah,"
ujar Pelajar Agung membenarkan pendapat Pangeran
Pemimpin. Pangeran Pemimpin mengangguk-anggukkan
kepala. Tangan kanannya yang sedari tadi mengeluselus jenggot segera mengisyaratkan agar salah seorang anak buahnya mendekat.
Seorang anak buah Partai
Kawula Sejati yang merasa dipanggil buru-buru mendekati. "Lekas kau panggil Raja Maling kemari!" perintah Pangeran Pemimpin.
"Baik, Pangeran!" Laki-laki berusia empat puluh tahunan itu bergegas pergi
meninggalkan ruang pendopo. "Sekarang tidak ada pilihan lain. Terpaksa kita
harus menjalankan rencana kita yang terakhir, Sobatku Pelajar Agung. Kalau saja
pemuda keparat yang
bergelar Siluman Ular Putih itu tidak membawa lari
Nimas Putri Sekartaji, kita tentu dapat dengan mudah
merebut takhta Kadipaten Pleret. Tapi sekarang tidak
ada pilihan lain. Terpaksa kita harus mengumpulkan
banyak dana dengan cara menyingkap rahasia Lukisan
Darah." "Ya. Aku juga marah sekali dengan Siluman Ular Putih. Suatu saat aku
pasti akan membuat perhitungan dengannya. Belum puas rasanya kalau belum
dapat meremukkan batok kepalanya!" geram Pelajar Agung. "Ya! Dan kau harus
berhati-hati dengan ilmu sihirnya," kata Pangeran Pemimpin mengingatkan.
"Tentu. Itu sudah aku perhitungkan."
"Aku percaya denganmu, Sobat. Sekarang kita
harus secepatnya mengetahui rahasia Lukisan Darah.
Nah, itu Raja Maling sudah datang!"
Di pintu ruang pendopo tampak Raja Maling
tengah melangkah lebar mendekati Pangeran Pemimpin. Di belakangnya mengikuti anggota Partai Kawula
Sejati yang diperintah tadi. Begitu berada di dekat
Pangeran Pemimpin, Raja Maling segera membuka suara. "Ha ha ha...! Tak kusangka sobatku Iblis Muka
Merah dan Setan Mayat Merah berhasil secepat ini
mendapatkan dua orang gadis kembar. Hebat. Aku salut pada kalian."
"Raja Maling, duduklah. Aku ingin bicara denganmu!" kata Pangeran Pemimpin memerintah.
Siluman Ular Putih 12 Lukisan Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sejenak Raja Maling memperlebar suara tawanya. Lalu ia segera menghenyakkan pantat di samping Iblis Muka Merah.
"Nah, sekarang aku sudah duduk. Apa yang ingin kau tanyakan, Pangeran Pemimpin?"
"Mengenai dua orang gadis kembar itu. Apakah
sudah memenuhi syarat?" Pangeran Pemimpin menunjuk ke arah dua orang gadis kembar di samping Iblis
Muka Merah dan Setan Mayat Merah.
Raja Maling buru-buru menolehkan kepalanya
ke samping. Sepasang mata garang Raja Maling memperhatikan kedua gadis kembar itu lekat-lekat. Tanpa sadar jakun murid Maling
Tanpa Bayangan itu bergerak-gerak. Sepasang matanya terus memperhatikan lekuk-lekuk tubuh kedua gadis kembar itu.
"Bagaimana, Raja Maling" Apakah kedua gadis
kembar itu sudah memenuhi syarat?" tanya Pangeran Pemimpin tak sabar.
"Oh, ya ya.... Sangat memenuhi syarat!" kata
Raja Maling buru-buru setelah menelan ludahnya sendiri. Kalau saja kedua gadis kembar itu tidak sedang
dibutuhkan, sudah pasti Raja Maling ingin menikmati
hangatnya tubuh mereka. Namun sayang terpaksa kali
ini Raja Maling harus menunda keinginannya.
"Bagus! Kalau begitu, buat apa kita membuangbuang waktu" Mengapa tidak sekarang saja kita membereskan urusan ini?"
"Sabar, Pangeran Pemimpin. Kita memang harus selekasnya membereskan urusan ini. Tapi kita sebaiknya menunggu saat yang tepat, yaitu tengah malam nanti. Sekarang aku harus menyiapkan peralatan
terlebih dahulu."
"Baiklah. Cepat kerjakan apa yang ingin kau
lakukan, Raja Maling."
"Baik!"
Raja Maling segera beranjak dari tempat duduknya. Sejenak sepasang mata berwarna merah saga
itu memperhatikan kedua gadis kembar. Lalu ia segera
pergi meninggalkan ruang pendopo.
*** Di tengah ruang khusus yang hanya diterangi
nyala lilin tampak lukisan seorang wanita telanjang
berwarna merah darah telah dipersiapkan oleh Raja
Maling. Keadaan Lukisan Darah itu terlihat sedikit
aneh. Wajahnya yang berwarna kemerah-merahan kini
tampak demikian memelas. Sorot matanya layu, seolah-olah tidak rela dirinya jatuh ke tangan orang berhati culas. Sorot mata
lukisan wanita telanjang itu
seakan tahu kekejian apa yang sebentar lagi akan terjadi di ruang tersebut.
Di hadapan Lukisan Darah sosok tinggi besar
Raja Maling tengah duduk bersila. Kedua bibirnya
yang hitam berkemik-kemik membaca mantra. Sementara tangan kanannya terus mengaduk-aduk kemenyan dalam tungku kecil di hadapannya. Maka tak heran kalau ruang khusus itu dipenuhi bau kemenyan
yang teramat menusuk hidung.
Di samping Raja Maling tergeletak di lantai dua
sosok gadis kembar. Tubuh mereka kaku tak dapat digerakkan. Wajah mereka pun pucat pasi. Hanya sepasang matanya saja yang bergerak-gerak liar seolah ingin berteriak minta tolong pada dinding-dinding kamar. "Sudah saatnya...!" desis Raja Maling pada dirinya sendiri. Tangannya tak
lagi mengaduk-aduk kemenyan di tungku. Raja Maling beranjak dari duduk
untuk mendekati tubuh kedua calon korbannya.
Meski kedua gadis kembar itu mengetahui kekejian apa yang akan menimpa dirinya, namun naluri
mereka mengisyaratkan kalau keselamatan dirinya
tengah terancam. Saking tidak tahannya didera oleh
perasaan takut, kedua gadis kembar itu menitikkan
airmata. Raja Maling hanya tertawa bergelak membayangkan permainan maut yang sebentar lagi akan
dilakukannya. "Gadis-gadis cantik yang malang. Sebenarnya
sayang sekali kalian harus mati percuma tanpa terlebih dahulu aku menikmati kehangatan tubuh kalian!"
de-sis Raja Maling semakin membuat kedua gadis
kembar itu ketakutan.
Raja Maling makin melipatgandakan tawanya.
Setelah reda, dengan perlahan-lahan diambilnya dua
butir pil hitam yang telah dipersiapkan dari dalam sa-ku.
"Ha ha ha...! Telanlah pil pemberianku ini, Gadis!" Raja Maling tak ragu-ragu untuk menjejalkan
kedua pil hitam itu ke dalam mulut mereka. Dengan
sedikit memaksa, Raja Maling berhasil melakukannya.
Perlahan-lahan kedua pil hitam memasuki kerongkongan kedua gadis kembar.
Raja Maling girang bukan main. Di tangan kanannya kini telah tergenggam dua batang jarum kecil
yang baru saja diambilnya dari dalam saku. Lalu, kedua batang itu ditusukkan ke pergelangan tangan kedua calon korbannya. Setelah menusuk pergelangan
tangan, Raja Maling segera menghisap darah mereka
bergantian. Kedua gadis kembar itu meringis kesakitan. Raja Maling tidak mempedulikannya. Ia terus menghisap
darah mereka hingga mulutnya menggembung. Kemudian Raja Maling menyemburkan campuran darah kedua gadis itu ke permukaan lukisan.
Wurrr...!!! Ajaib sekali! Begitu darah kedua gadis kembar
itu membasahi Lukisan Darah, seketika warna merah
dalam lukisan mendadak pudar, berganti dengan guratan-guratan merah yang membentuk sebuah peta.
Bukan main girangnya Raja Maling. Begitu melihat Lukisan Darah mulai menunjukkan gambar sebuah peta, Raja Maling kembali menghisap darah di
pergelangan tangan kedua korbannya. Dan seperti tadi, darah di mulutnya kembali disemburkan pada Lukisan Darah hingga akhirnya lukisan itu membentuk
sebuah peta yang jelas.
"Ha ha ha...! Aku telah mendapatkan peta harta
karun! Aku telah mendapatkan peta harta karun!!!"
Raja Maling berteriak-teriak penuh kegembiraan.
Sementara, keadaan kedua gadis kembar itu
tampak sangat memprihatinkan. Wajahnya pias karena darah mereka telah banyak terkuras. Dan ketika
Raja Maling mendekati kedua gadis itu, ternyata mereka telah menemui ajal karena kehabisan darah.
*** 10 Di ruang pendopo markas Partai Kawula Sejati,
Pangeran Pemimpin dan Pelajar Agung tidak sabar lagi
menunggu hasil kerja Raja Maling. Iblis Muka Merah
dan Setan Mayat Merah pun demikian. Kedua tokoh
sesat itu berkali-kali memalingkan kepalanya ke belakang, namun Raja Maling belum juga muncul.
"Bagaimana pendapatmu, Pelajar Agung" Apakah Raja Maling dapat menyingkap rahasia yang tersembunyi dalam Lukisan Darah?" tanya Pangeran Pemimpin tak sabar.
"Hm...!" Pelajar Agung mengeretakkan gerahamnya seraya mengangguk-anggukkan kepala. "Menurut perkiraanku, Raja Maling dapat menyingkap rahasia itu. Percuma saja ia menjadi murid Maling Tanpa Bayangan kalau tak dapat
menyingkap rahasia Lukisan Darah."
"Kukira pendapat wakil ketua benar, Pangeran.
Sebab hanya Raja Maling seorang yang tahu rahasia
Lukisan Darah. Kenapa Pangeran segusar ini?" kata Iblis Muka Merah menyahuti.
"Aku memang gusar sekali, Iblis Muka Merah.
Apalagi setelah kepergian Nimas Putri Sekartaji. Kukira untuk sementara kita
harus menunda rencana kita.
Meski demikian kita harus terus mengamati perkembangan kadipaten."
"Benar. Kita harus terus menyebar mata-mata.
Aku takut pasukan kadipaten keburu datang menyerang markas ini sebelum kita siap siaga," kata Pelajar
Agung membuka suara.
"Ha ha ha...! Rupanya mimpi kalian semua dapat terwujud. Tak kusangka dengan demikian mudahnya aku dapat menyingkap rahasia Lukisan Darah!"
*** Pangeran Pemimpin melengak kaget. Namun
ketika mengenali suara tawa itu, mendadak senyumnya terkembang. Seketika Pangeran Pemimpin memalingkan kepala ke arah datangnya suara.
Raja Maling melangkah gagah memasuki ruang
pendopo. Tangan kanannya menggenggam Lukisan
Darah yang telah berubah gambarnya. Bukan lagi bergambar seorang wanita telanjang berwarna merah darah, melainkan guratan-guratan mirip sebuah peta.
"Bagus! Aku senang sekali mendengar keberhasilanmu. Lekaslah kau mendekat, Raja Maling!" kata Pangeran Pemimpin.
Sambil melangkah lebar mendekati Pangeran
Pemimpin, Raja Maling terus mengumbar tawanya.
Lalu dengan membusungkan dada, Raja Maling
menyerahkan Lukisan Darah yang telah berubah. Pangeran Pemimpin dan Pelajar Agung yang duduk berdampingan mengamati Lukisan Darah dengan seksama. Lukisan itu memang telah berubah.
"Kalau tidak salah tonjolan besar dalam peta ini adalah Gunung Merapi dan Gunung
Merbabu. Aku yakin ini. Lalu...."
"Salah, Pangeran. Tonjolan besar dalam lukisan
itu bukanlah gambar Gunung Merbabu atau Merapi.
Cobalah Pangeran amati tonjolan-tonjolan kecil di sekitar tonjolan besar sebelah
kiri. Apa di sekitar Gunung Merapi maupun Gunung Merbabu ada gunung-gunung
kecil seperti dalam gambar?" kata Raja Maling tibatiba. Pangeran Pemimpin dan Pelajar Agung mendongakkan kepala. Sepasang matanya memperhatikan
Raja Maling. Diperhatikan seperti itu, Raja Maling malah mengumbar tawa.
"Kalau bukan Gunung Merapi dan Merbabu, lalu gunung apa lagi, Raja Maling" Kau jangan seenaknya menafsirkan rahasia peta ini!" hardik Pangeran Pemimpin tak suka.
Raja Maling tersenyum-senyum kecil. Bibirnya
sedikit mencibir sinis, seolah hanya dia seorang yang tahu rahasia itu.
"Kukira tidak percuma Pangeran Pemimpin
memiliki pembantu seperti aku. Apa Pangeran lupa
siapa aku. Raja Maling, murid Maling Tanpa Bayangan
yang kesohor itu. Sudah pasti aku tahu rahasia dalam
peta Lukisan Darah," kata Raja Maling ringan sekali.
"Kenapa tidak lekas kau katakan, Raja Maling!"
tukas Iblis Muka Merah kesal melihat tingkah Raja
Maling. "Memang aku ingin mengatakannya, tapi kau keburu menyela!" Sepasang mata
Raja Maling yang
berwarna merah saga berkilat-kilat memandangi Iblis
Muka Merah. Namun Iblis Muka Merah tidak takut
melihat kemarahan Raja Maling.
"Sudahlah. Kenapa kalian bersitegang begini?"
tegur Pangeran Pemimpin. "Sekarang kalau kau tahu lekas katakan gunung apa yang
terdapat dalam peta
ini, Raja Maling."
"Baik," Raja Maling melangkah lebar mendekati Pangeran Pemimpin. "Coba
perhatikan tonjolan-tonjolan kecil di sekitar tonjolan besar ini, Pangeran.
Apa tonjolan ini bukan menunjukkan Gunung Sindoro" Sedang di sebelah kanannya adalah Gunung
Sumbing." "Hm...," Pangeran Pemimpin menganggukanggukkan kepala. Dari raut wajahnya nampak kalau
Pangeran Pemimpin belum puas dengan penjelasan
tersebut. "Lalu, tonjolan-tonjolan kecil ini menunjukkan gunung apa?"
"Tonjolan yang agak besar ini pasti Gunung
Kembang. Sedang tonjolan yang kecil ini tidak lain Gunung Batu. Kemungkinan
besar letak harta karun berada di sekitar Gunung Kembang. Coba perhatikan
tanda anak panah kecil yang menunjuk ke tonjolan
Gunung Kembang ini."
"Hm... Ya ya...."
"Kalau begitu sudah jelas. Sekarang kita bisa
lekas ke sana untuk mendapatkan harta karun," kata Pelajar Agung menukas.
"Bukan begitu persoalannya," sahut Raja Maling. "Sekarang pun kita bisa
berangkat mencari harta karun. Tapi apa kita tidak ingin mendapat petunjuk
yang lebih jelas?"
"Apakah kau mendapat petunjuk lain, Raja
Maling?" "Tadi aku sudah meneliti Lukisan Darah ini.
Dan aku sedikit mendapat petunjuk. Cobalah buka lipatan kecil yang tersembunyi di belakang lukisan,
Pangeran. Mungkin petunjuk itu yang dapat membantu kita mendapatkan harta karun."
Pangeran Pemimpin buru-buru membuka lipatan kecil yang ditunjukkan Raja Maling. Jari-jari tangannya sedikit gemetaran
waktu membuka lipatan di
belakang lukisan. Seketika sepasang mata Pangeran
Pemimpin membelalak lebar.
"Apa maksudnya ini, Raja Maling" Kenapa
hanya bertuliskan 'Penguasa Alam'?"
Raja Maling tersenyum.
"Apakah Pangeran belum pernah mendengar julukan Penguasa Alam. Dia seorang tokoh sakti yang
sulit sekali dicari tandingannya. Penguasa Alam-lah
yang mengetahui di mana harta karun berada. Dialah
kunci terakhir untuk mendapatkan harta karun ini,
Pangeran."
"Kita bujuk saja dia. Siapa tahu mau?" kata Pangeran Pemimpin bersemangat.
"Sebelumnya aku
mengucapkan terima kasih atas semua keteranganmu
ini, Raja Maling. Kalau perjuangan kita berhasil aku
berjanji akan mengangkatmu menjadi pejabat tinggi.
Kau boleh menunjuk wanita mana saja untuk dijadikan selir," lanjut Pangeran Pemimpin menambahi.
Raja Maling tertawa bergelak. Sepasang matanya yang berkilat-kilat jelas menunjukkan kalau mu
Siluman Ular Putih 12 Lukisan Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rid Maling Tanpa Bayangan itu senang sekali dengan
tawaran Pangeran Pemimpin. Raja Maling jadi menelan
ludah membayangkan beberapa orang selir yang cantik-cantik tengah mengerumuni dirinya.
"Aku tahu, Pangeran. Tapi bukan itu persoalannya. Yang jelas, sekarang kita harus mendapatkan
harta karun itu secepatnya."
"Memang itulah yang kuinginkan, Raja Maling."
"Dan itu tidak mudah. Di samping Penguasa
Alam memiliki hati yang kejam luar biasa. Dia pun
memiliki kesaktian hebat."
"Setan alas! Kau tidak memandang sebelah mata padaku, Raja Maling!" bentak Pelajar Agung tiba-tiba. Ia yang memiliki watak
tinggi hati tak mau dikalahkan oleh siapa pun. Rasanya sudah tidak sabar lagi
untuk segera berhadapan dengan Penguasa Alam.
"Aku percaya. Kau memang memiliki kepandaian hebat, Pelajar Agung. Tapi kalau berhadapan
dengan Penguasa Alam, aku ragu. Apakah kau dapat
mengatasi Penguasa Alam" Kau akan tewas di tangannya," sahut Raja Maling sinis.
Bukan main geramnya hati Pelajar Agung. Jarijari tangannya mencengkeram lengan kursi kuat-kuat.
Seketika terdengar bunyi kayu jati hancur diiringi
mengepulkan asap putih.
"Sekali lagi kau berkata seperti itu, kupecahkan batok kepalamu, Raja Maling!
Aku, Pelajar Agung, sedikit pun tidak gentar menghadapi Penguasa Alam.
Untuk membuktikannya sekarang juga aku akan mencari Penguasa Alam dan merampas harta karun yang
kita butuhkan darinya!"
Habis berkata, Pelajar Agung berkelebat keluar
dari ruangan pendopo. Pangeran Pemimpin gelisah sekali setelah teriakannya untuk mencegah tidak digubris oleh Pelajar Agung.
"Cepat ikuti dia. Aku khawatir ia akan mendapat celaka di tangan Penguasa Alam!" perintah Pangeran Pemimpin.
"Baik," sahut Iblis Muka Merah dan Setan
Mayat Merah bersamaan. Dengan menggunakan ilmu
meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat
tinggi, kedua tokoh sesat itu berkelebat menyusul Pelajar Agung.
Tidak demikian dengan Raja Maling. Ia yang
gemas sekali dengan sifat tinggi hati Pelajar Agung
hanya memandangi kepergiannya.
"Kenapa kau tidak turut membantu Pelajar
Agung, Raja Maling?" tegur Pangeran Pemimpin.
"Terus terang aku muak sekali melihat tingkahnya. Tapi kalau memang Pangeran memerintahkan,
dengan senang hati aku akan menyusul manusia pongah itu!" kata Raja Maling ketus.
"Kalau begitu, lekaslah kau pergi!"
"Baik."
*** 11 Malam masih menyelimuti bumi. Di belahan
langit sebelah barat cahaya bulan purnama mulai meredup. Tiada kegairahan yang terpancar dari suasana
malam itu. Sementara angin seolah malas berhembus,
hingga membuat suasana malam bertambah lengang.
Dalam kegelapan malam, sesosok tubuh berpakaian serba hitam berkelebat cepat di antara kerapatan pohon di luar Kadipaten Pleret. Entah kenapa
mendadak sosok bayangan itu menghentikan langkahnya. Wajahnya yang tua tampak demikian gelisah. Kedua bibirnya pun berkemik-kemik.
"Keparat! Kalau begini caranya aku bisa mati
penasaran. Aku harus memeriksa kebenaran itu. Kalau memang muridku yang bergelar Pelajar Agung telah berbuat kesalahan, maka akulah orang pertama
yang akan memecahkan batok kepalanya," gumam sosok berjubah hitam yang tidak lain Pendidik Ulung.
"Aku harus menangguhkan urusanku untuk menemui
Ki Rombeng. Aku tak mungkin membiarkan begitu saja
sepak terjang muridku."
Pendidik Ulung kembali menjejakkan kakinya
ke tanah dan berkelebat cepat meninggalkan tempat
itu. Gerakan kedua kakinya ringan sekali laksana terbang. Dalam beberapa kelebatan saja sosok tinggi kurus Pendidik Ulung telah hilang di balik kerapatan pohon.
*** Sosok Pendidik Ulung berkelebatan dari dahan
pohon yang satu ke pohon lain. Sebagai seorang tokoh
tua yang sudah kenyang malang melintang di dunia
persilatan, Pendidik Ulung tentu tak mau melakukan
perjalanan melalui bawah. Apalagi perjalanan malam
itu memasuki markas Partai Kawula Sejati.
Pendidik Ulung sadar benar tentu di seputar
markas telah ditebar banyak jebakan. Dan ia tidak
mau terkecoh oleh jebakan-jebakan itu. Atas dasar
perhitungan itulah Pendidik Ulung melakukan perjalanan melalui jalan atas.
Pendidik Ulung makin bergerak masuk ke dalam hutan. Tiba-tiba sepasang mata Pendidik Ulung
bersinar terang. Tak jauh di hadapannya tampak lima
buah bangunan megah di atas tanah rerumputan. Di
sekitar bangunan berpuluh-puluh anak buah Partai
Kawula Sejati tengah berjaga-jaga dengan senjata di
tangan. Pendidik Ulung memperhatikan keadaan sekitar. Lalu sosok tinggi kurus itu berkelebat menuju halaman depan markas Partai
Kawula Sejati. Beberapa
anggota Partai Kawula Sejati yang tengah berjaga-jaga tersentak kaget. Ketika
menyadari kemunculan orang
asing yang belum dikenal, mereka segera mengurung
Pendidik Ulung.
"Siapa kau" Berani kau memasuki markas Partai Kawula Sejati, he"!"
"Minggir! Aku tak ada urusan dengan cecurut
macam kalian. Aku ingin bertemu dengan muridku
yang bergelar Pelajar Agung!" bentak Pendidik Ulung tak kalah garang.
Para anggota Partai Kawula Sejati itu melengak
kaget. Di saat mereka tertegun inilah Pendidik Ulung
berteriak lantang.
"Pelajar Agung! Keluar kau! Aku, Pendidik
Ulung, ingin meminta pertanggungjawaban mu!"
Tak ada sahutan. Para anggota Partai Kawula
Sejati semakin curiga. Kalau mengaku gurunya, mengapa Pendidik Ulung ingin meminta pertanggungjawaban muridnya" Dan kalau hanya meminta pertanggungjawaban karena Pelajar Agung telah bersekutu dengan Pangeran Pemimpin, jelas Pendidik Ulung
mempunyai maksud tidak baik terhadap Partai Kawula
Sejati. Begitu antara lain kesimpulan anak buah Pangeran Pemimpin.
"Setan alas! Jadi benar kau telah bersekongkol
dengan kaum pemberontak, Pelajar Agung!" bentak
Pendidik Ulung lagi. Suaranya bergema memenuhi segenap penjuru. Sayang, kembali tidak terdengar sahutan dari
Pelajar Agung. Pendidik Ulung marah bukan main.
Jangankan menampakkan diri untuk menemuinya, Pelajar Agung menyahuti teriakannya pun tidak.
"Keparat! Berani kau tidak mempedulikan
panggilanku, Murid Murtad! Baik kalau begitu. Aku
yakin kini kau pasti telah bersekongkol dengan manusia-manusia pemberontak. Patut kau ketahui, Murid
Murtad! Akulah orang pertama yang akan memenggal
kepalamu!"
"Jangan bodoh, Orang Tua! Kau bisa apa hingga berani mengacau di tempat ini!" bentak seseorang dari samping.
Dia seorang laki-laki berusia empat puluh tahunan. Wajahnya garang. Rambutnya yang hitam panjang digelung ke atas. Laki-laki itu mengenakan jubah besar berwarna kuning.
Di kanan kiri laki-laki berjubah kuning berdiri
dua orang kakek berusia enam puluh tahunan. Yang
sebelah kanan seorang kakek bermata juling. Tubuhnya yang tinggi kurus dibalut pakaian ketat warna hitam. Sedang di sebelah kiri berdiri kakek bercodet
memanjang di pipi. Ia mengenakan ikat kepala biru
serta jubah besar yang juga berwarna biru.
Pendidik Ulung kaget bukan main melihat ketiga orang laki-laki itu. Menilik pakaiannya jelas mereka bukanlah anggota Partai
Kawula Sejati. Mereka adalah sekutu Pangeran Pemimpin yang terdiri dari tokohtokoh sesat dunia persilatan. Tak jauh dari ketiga
orang tokoh sesat itu tampak pula Algojo Dari Timur, Denok Supi, Raja Golok Dari
Utara, serta Raja Racun
Dari Selatan. "Hm...! Tak kusangka di tempat ini banyak berkumpul tokoh-tokoh sesat dunia persilatan. Tampaknya aku harus berhati-hati. Untuk menghadapi mereka satu persatu mungkin aku masih dapat melayani.
Namun kalau maju bersama, inilah yang merepotkanku," gumam Pendidik Ulung dalam hati.
"Tua bangka tak tahu diri. Berhubung kau telah mengotori tempat ini, maka nyawamulah tebusannya!" bentak pimpinan anak buah Partai Kawula Sejati.
"Hm.... Pemberontak-pemberontak kecil. Minggirlah kalian semua. Aku tidak ada urusan dengan kalian. Aku hanya ingin menemui muridku Pelajar
Agung. Benarkah muridku telah bersekongkol dengan
ketua Partai Kawula Sejati?" kata Pendidik Ulung dengan menahan gejolak amarah.
"Kalau memang iya, kau mau apa, he"!"
"Bagus! Kalau begitu kabar yang kuterima memang benar adanya. Sekarang cepat suruh keluar manusia durjana yang bergelar Pelajar Agung!" kali ini Pendidik Ulung tak dapat
mengendalikan amarahnya
lagi. "Tua bangka sepertimu mana pantas menemui wakil ketua. Sebaiknya lekas
tinggalkan tempat ini.
Atau, barangkali kau sudah bosan hidup"!" bentak tokoh sesat dunia persilatan
yang mengenakan jubah
kuning. "Tidak ada satu manusia pun yang bosan hidup. Apalagi aku. Cepat suruh keluar murid murtad
itu. Mumpung kesabaranku belum habis!" Pendidik
Ulung semakin tak sabar.
"Kau memang benar-benar ingin mencari mati,
Orang Tua! Makanlah rantai bajaku! Hea...!"
Dikawal dengan bentakan nyaring, tokoh sesat
berjubah kuning yang bergelar Rantai Kumala Kuning
segera menerjang Pendidik Ulung. Rantai bajanya yang
berwarna kuning menyambar-nyambar ganas diiringi
berkesiurnya angin kencang. Bersamaan dengan berkelebatnya rantai baja di tangan Rantai Kumala Kuning, beberapa anak buah Pangeran Pemimpin serentak
menyerang Pendidik Ulung.
Melihat datangnya serangan, Pendidik Ulung
tak segan-segan lagi segera bertindak. Sekali kakinya dihentakkan ke tanah,
tubuh tinggi kurus itu bergerak cepat laksana kilat. Jari-jari tangannya
terkembang untuk melontarkan totokan 'Jari-jari Putih Dewa
Kayangan'. Tukkk! Tukkk! Totokan jari-jari Pendidik Ulung telak mengenai
dada dua orang anak buah Pangeran Pemimpin. Seketika keduanya memekik setinggi langit. Tubuh mereka
limbung ke kiri dengan dada berlobang. Dan bilamana
kedua anak buah Pangeran Pemimpin itu jatuh bergedebukan di tanah maka dapat dipastikan keduanya
meregang nyawa.
"Setan alas! Berani kau membunuh dua orang
anggota kami. Rasakan pembalasanku!" geram pimpinan anak buah Pangeran Pemimpin.
Laki-laki berusia empat puluh tahunan itu
kembali menerjang Pendidik Ulung. Pedang di tangan
kanannya digerakkan sedemikian rupa seolah-olah ingin membelah tubuh Pendidik Ulung menjadi dua bagian. Sedang tangan kirinya siap pula melontarkan
pukulan maut. "Hea...! Hea...!"
Pendidik Ulung sedikit menggeser tubuh ke
samping hingga serangan itu hanya menemui angin
kosong. Kemudian Pendidik Ulung melontarkan tendangan samping kanannya ke dada lawan.
Bukkk! Telak sekali tendangan tersebut mendarat di
dada lawan. Darah segar menyembur dari mulut pimpinan anak buah Pangeran Pemimpin. Sedang tubuhnya yang masih melayang di udara terus meluncur ke
belakang. Bukan main marahnya para tokoh sesat dunia
persilatan yang menjadi sekutu Pangeran Pemimpin.
Tanpa diperintah, mereka segera menerjang Pendidik
Ulung. Menghadapi serangan yang datangnya laksana
banjir bandang, Pendidik Ulung mengeluarkan jurus
andalannya 'Tangan Maut Dewa Kayangan'. Seketika
kedua telapak tangan Pendidik Ulung berubah putih
berkilauan. Dengan menggunakan jurus 'Tangan Maut
Dewa Kayangan' inilah Pendidik Ulung balik menyerang para pengeroyoknya.
Sayang, serangan balik Pendidik Ulung hanya
sebentar saja dapat mengatasi gempuran lawan. Beberapa jurus kemudian Pendidik Ulung mulai kewalahan.
Apalagi saat itu Algojo Dari Timur, Denok Supi, Raja
Golok, dan Raja Racun Dari Selatan turut mengeroyok.
Tanpa ampun lagi tubuh tinggi kurus Pendidik Ulung
dipaksa berjumpalitan di udara menghindari gempuran-gempuran lawan. Bahkan tak jarang tubuhnya
terkena serangan lawan pada bagian-bagian yang mematikan. Untung saja tenaga dalam Pendidik Ulung
cukup tinggi. Kalau tidak, bukan mustahil orang tua
itu sudah menemui ajal di tangan para pengeroyoknya.
"Bertobatlah pada malaikat maut sebelum nyawa busukmu kukirim ke dasar neraka, Pendidik
Ulung!" ejek Raja Racun memerahkan telinga lawan.
Pendidik Ulung hanya tertawa sumbang men
Siluman Ular Putih 12 Lukisan Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengar ejekan Raja Racun. Meski ia tengah sibuk
menghadapi gempuran, sepasang matanya terus mencari-cari sosok muridnya. Tapi sosok Pelajar Agung belum juga menampakkan batang
hidungnya. Pendidik
Ulung geram bukan main. Dengan kemarahan meluap
kemudian dilancarkannya serangan balik melalui jurus
pamungkas 'Tulisan Maut Dewa Kayangan' yang digabungkan dengan totokan 'Jari-jari Putih Dewa Kayangan'. "Tahan senjata! Tua bangka ini bukanlah urusan kalian!"
*** Pendidik Ulung melengak kaget. Ia amat mengenal pemilik suara bentakan itu. Ketika memalingkan
kepala ke arah datangnya suara, Pendidik Ulung pun
menggeram penuh kemarahan.
Dari arah pintu pendopo markas Partai Kawula
Sejati sosok Pelajar Agung melangkah mendekati tempat pertarungan dengan lagaknya yang angkuh. Ia saat
itu keluar dari markas Partai Kawula Sejati untuk menemui Penguasa Alam. Niatnya jadi diurungkan begitu
melihat sosok gurunya tengah dikeroyok beberapa tokoh sesat dunia persilatan.
"Apa kau bilang, Prameswara" Kau memanggilku tua bangka"!" tegur Pendidik Ulung dengan kening berkerut.
Prameswara alias Pelajar Agung hanya tersenyum sinis. Tangan kanannya dikibaskan ke samping,
mengisyaratkan pada tokoh-tokoh sesat yang tengah
mengeroyok Pendidik Ulung untuk menyingkir.
"Memangnya kenapa" Kenyataannya kau sudah
tua bangka!" kata Pelajar Agung menyakitkan.
"Haram jadah! Jadi benar kau sudah memberontak, Bocah"!" geram Pendidik Ulung dengan gigi bergemeletukkan.
"Tidak usah banyak bacot, Orang Tua. Kalau
saja kau bukan guruku, sudah kupenggal batang lehermu!" "Setan alas! Tak kusangka kau akan tersesat sejauh ini! Akulah orang
yang akan memenggal batang
lehermu. Hayo, lekas cabut senjatamu. Atau kau ingin
mengandalkan pengeroyokan"!" ejek Pendidik Ulung memanas-manasi.
"Jangan banyak bacot. Kedua tanganku ini masih sanggup untuk meremukkan batok kepalamu!"
"Bagus! Kalau begitu terimalah kematianmu
hari ini, Bocah!"
Pendidik Ulung segera memainkan jurus andalan 'Tulisan Maut Dewa Kayangan' yang semula hendak digunakan untuk menyerang para pengeroyoknya.
Dengan menggunakan senjata sepasang pena, Pendidik Ulung mulai memainkan jurus pertama. Pena di
tangan kanannya bergerak lemah gemulai dari kanan
ke kiri. Pena di tangan kiri bergerak dari kiri ke kanan membentuk sebuah huruf
gaib yang hanya diketahui
Pendidik Ulung dan Pelajar Agung.
Melihat Pendidik Ulung mengeluarkan jurus
andalannya, tanpa banyak pikir lagi Pelajar Agung
mengeluarkan jurus yang sama. Kedua telunjuk Pelajar Agung menggurat di udara. Terdengarlah bunyi
men-cicit yang teramat memekakkan telinga. Dan saat
kedua ujung pena Pendidik Ulung menyatu, selarik sinar putih yang berkilauan melesat cepat menyerang
Pelajar Agung. Pelajar Agung mengeretakkan gerahamnya penuh kemarahan. Kedua telunjuk jarinya buru-buru
disatukan. Seketika itu tampak pula selarik sinar putih berkilauan melesat cepat memapaki serangan gurunya. Wesss! Wesss!
Bummm...!!! Hebat bukan main bentrokan dua tenaga dalam
itu. Bumi berguncang hebat laksana dilanda gempa.
Dinding-dinding markas Partai Kawula Sejati bergetar
hebat. Sewaktu terjadi bentrokan di udara, tubuh
tinggi kekar Pelajar Agung terlempar beberapa tombak
ke belakang. Parasnya pucat pasi. Darah segar membasahi sudut-sudut bibir. Agaknya murid durhaka
Pendekar Kujang Emas itu menderita luka dalam cukup parah. Dan apa yang dialami Pelajar Agung juga menimpa Pendidik Ulung. Namun keadaan Pendidik
Ulung sedikit lebih beruntung. Tubuh Pendidik Ulung
hanya terjajar beberapa langkah ke belakang dengan
paras pias. Beberapa saat kemudian Pendidik Ulung
sudah dapat mengendalikan keseimbangan tubuhnya.
Pendidik Ulung kembali menggurat-guratkan kedua
ujung penanya di udara. Kali ini gerakan kedua penanya tampak demikian lamban. Namun anehnya terdengar suara mencicit dari guratan pena Pendidik
Ulung. Itulah jurus kedua dari rangkaian jurus
'Tulisan Maut Dewa Kayangan'.
"Terimalah kematianmu hari ini, Bocah. Aku
tak segan-segan lagi untuk membunuhmu. Dulu kau
berjanji akan mematuhi segala pesanku. Tapi apa yang
kau janjikan hanyalah omong kosong. Hayo, maju! Lekas hadapi gurumu!"
Prameswara mengeretakkan geraham penuh
kemarahan. "Hm...! Tak mungkin aku menghadapi tua
bangka ini dengan jurus 'Tulisan Maut Dewa Kayangan'. Dia lebih ahli dibandingkan aku. Tak ada pilihan lain. Terpaksa aku harus
mengeluarkan ilmu yang telah kupelajari dari mendiang guruku Manusia Rambut
Merah!" gumam Pelajar Agung dalam hati.
Tanpa banyak cakap Pelajar Agung segera mengerahkan ilmu 'Amblas Bumi'. Prameswara yang kini
bergelar Pelajar Agung memutar tubuhnya laksana
gasing. Seketika tanah di sekitar Pelajar Agung membuncah tinggi ke udara begitu tubuh tinggi kekarnya
cepat amblas ke dalam bumi.
Pendidik Ulung dan semua yang berada di halaman depan markas Partai Kawula Sejati berdecak
penuh kagum. Beberapa saat tidak ada tanda-tanda
kalau Pelajar Agung akan melakukan serangan. Meski
demikian, Pendidik Ulung tetap waspada.
Manakala dilihatnya gundukan tanah di hadapannya bergerak cepat menuju dirinya, Pendidik Ulung
melontarkan pukulan maut ke arah gundukan tanah
yang bergerak itu.
Bummm...! Gundukan tanah di hadapan Pendidik Ulung
membuncah tinggi ke udara dan membentuk lobang
yang cukup dalam. Namun dalam lekukan tanah yang
berlobang Pendidik Ulung tidak menemukan sosok Pelajar Agung. Pendidik Ulung gusar bukan main. Kedua
telapak tangannya makin putih berkilauan sampai ke
pangkal siku. Agaknya Pendidik Ulung telah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Tiba-tiba tanah di hadapan Pendidik Ulung
membuncah tinggi ke udara. Bersamaan dengan itu
tubuh Pelajar Agung menyembul dari dalam tanah
dengan kedua telapak tangan siap melontarkan pukulan 'Cahaya Kilat Biru'.
Pendidik Ulung kaget bukan main. Untung saja
indera keenamnya cukup tajam. Secepat kilat dilontarkannya pukulan 'Tangan Penggebuk Dewa'. Dua larik
sinar putih berkilauan dari kedua telapak tangan Pendidik Ulung melesat cepat ke depan.
Bummm...!!! Bumi bergetar hebat. Ranting-ranting pohon di
sekitar tempat pertarungan hangus terbakar. Bak
layangan putus benangnya, tubuh Pelajar Agung langsung limbung ke samping dan tak dapat bangun lagi.
Pingsan! Pendidik Ulung sendiri tak dapat mengendalikan keseimbangan tubuhnya. Dadanya terguncang hebat serasa mau jebol. Pada saat Pendidik Ulung kehilangan keseimbangan badan mendadak serangkum
angin dingin yang datangnya dari belakang telah menyambar tubuh. Pendidik Ulung berusaha mengelak.
Sayang, gerakan tubuhnya kurang cepat. Tanpa ampun lagi dadanya terkena sambaran angin dingin itu!
Bukkk! Bukkk! Pendidik Ulung menggembor keras-keras. Tubuhnya terpental beberapa tombak ke belakang dan jatuh berdebam di tanah. Kakek itu mengeretakkan gerahamnya penuh kemarahan. Sambil memegangi dadanya yang serasa mau pecah, sepasang mata tajam
Pendidik Ulung memperhatikan sosok tubuh di hadapannya. "Pembokong keparat! Rasakan pembalasanku!"
*** Sosok di hadapan Pendidik Ulung hanya tertawa bergelak. Ia adalah seorang laki-laki gagah berusia empat puluh tahunan.
Tubuhnya tinggi kekar dibalut
pakaian bangsawan Jawa. Siapa lagi sosok itu kalau
bukan Ketua Partai Kawula Sejati yang bergelar Pangeran Pemimpin. "Bagaimana mungkin kau dapat membalasku
kalau membawa tubuhmu saja masih susah payah!"
ejek Pangeran Pemimpin.
Dan kenyataannya memang demikian. Begitu
Pendidik Ulung ingin melontarkan pukulan 'Tangan
Penggebuk Dewa', mendadak ia muntah darah. Perlahan-lahan tubuhnya luruh ke tanah. Meski demikian
Pendidik Ulung berusaha tetap tegak di tempatnya.
Namun Pangeran Pemimpin melontarkan totokannya
dengan kecepatan kilat.
Tukkk! Tukkk! Tanpa ampun tubuh Pendidik Ulung yang tengah sekarat terpelanting ke tanah dan tak dapat bergerak lagi. Sepasang matanya
yang mencorong tajam terus memperhatikan Pangeran Pemimpin penuh kebencian. Pangeran Pemimpin tersenyum Sinis.
"Seret tua bangka ini ke kamar tahanan!" perintah Pangeran Pemimpin pada
beberapa orang anak
buahnya. "Kenapa tidak kita habisi saja tua bangka ini,
Ketua?" kata Setan Mayat Merah mengusulkan.
"Iya, Ketua! Kenapa tidak kita habisi saja tua
bangka ini" Nanti malah jadi batu sandungan di kemudian hari!" tambah Iblis Muka Merah.
Pangeran Pemimpin menggelengkan kepala.
Saat itu akalnya yang licik telah mendapatkan satu
rencana. Dan ia yakin akan berhasil dengan rencananya tersebut.
"Tidak! Sayang sekali kalau orang sehebat itu
dihabisi begitu saja. Sebenarnya saat ini aku memang
ingin membunuhnya. Tapi terpaksa aku harus mengurungkan niatku. Aku lebih senang memanfaatkan tua
bangka itu!" kata Pangeran Pemimpin. Lalu disusul dengan senyumnya yang licik.
"Kalau boleh tahu rencana apa itu, Ketua?" Setan Mayat Merah kembali membuka
suara. "Nanti. Nanti aku terangkan. Sekarang lekas seret tua bangka itu ke kamar tahanan. Yang lainnya segera mengobati teman kita yang terluka."
"Baik."
Beberapa anak buah Pangeran Pemimpin segera menyeret tubuh Pendidik Ulung ke kamar tahanan.
Yang lainnya membawa para anggota Partai Kawula
Sejati yang terluka ke dalam markas.
Pangeran Pemimpin melambaikan tangan kanannya ke arah Raja Racun. Raja Racun buru-buru
menghampiri sekutunya.
"Ada yang bisa kubantu, Pangeran?"
"Hm.... Ya ya...," ujar Pangeran Pemimpin. "Tolong persiapkan racun yang dapat
mempengaruhi jalan
pikiran seseorang, Raja Racun."
"Tampaknya kau serius sekali dalam masalah
ini, Pangeran. Apakah kau tengah merencanakan sesuatu?" "Aku ingin mendapatkan harta karun itu secepatnya. Untuk itu aku harus
memanfaatkan tua bangka tadi. Kulihat kepandaiannya tinggi sekali. Mungkin ia dapat melumpuhkan
Penguasa Alam."
"Ah...! Kau licik sekali, Pangeran. Tak kusangka otakmu demikian liciknya. Baikbaik. Dengan senang
hati aku akan membantumu, Pangeran!" sahut Raja
Racun bersemangat.
Pangeran Pemimpin tertawa bergelak. Laki-laki
berpakaian bangsawan Jawa itu senang sekali. Tubuhnya berguncang-guncang di antara suara tawanya
yang membahana memenuhi angkasa raya.
SELESAI Segera ikuti lanjutannya!!!
Serial Siluman Ular Putih dalam episode :
PENGUASA ALAM Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
Senja Jatuh Di Pajajaran 7 Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo Hantu Lereng Lawu 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama