Ceritasilat Novel Online

Hantu Lereng Lawu 2

Pendekar Perisai Naga 1 Hantu Lereng Lawu Bagian 2


Pendekar Pedang Matahari 2 Misteri Batu Mustika
tinggi. Tanpa memiliki tenaga dalam yang sempurna,
mustahil! ia bisa memutar rantai berkapak sebesar itu.
Maka Sekar Arum mulai mempergencar serangan balasan. Tombak pendek bermata dua di tangannya berkali kali mengancam dada dan leher lawan.
Akan tetapi, Kebo Dungkul selalu berhasil melindungi sekujur tubuhnya dengan
putaran rantainya. Sesekali
saja mata kapak itu balas menyerang.
Melihat pertahanan lawan yang begitu ketat,
Sekar Arum merasa perlu mengeluarkan jurus pamungkasnya. Inilah Jurus Mengail Mangsa Keluar Sarang! Sekar Arum mundur beberapa langkah, kemudian merendahkan kedua lututnya dan menunggu serangan lawan. Ketika Kebo Dungkul terpancing untuk
menyerang, ketika itulah Sekar Arum melenting ke
udara dan turun dengan tikaman tombak ke arah leher
belakang lawan.
'Trang!" Sekar Arum terkejut bukan kepalang sebab ada
senjata lain yang membentur mata tombak pendeknya.
Sewaktu ia sudah kembali berdiri di atas kudakudanya, ia melihat seseorang telah berdiri di depan Kebo Dungkul.
"Ha-ha-ha! Gadis kecil bernyali besar Bagus!"
kata Hantu Lereng Lawu seraya menyarungkan pedang
ke sarungnya. Untuk sejenak Sekar Arum memeras otak. Ia
memang pernah mendengar cerita tentang lelaki yang
berpakaian serba hitam, berdahi lebar, dan berambut
kemerah merahan ini.
'Tentu kau yang bernama Hantu Lereng Lawu!"
ujar gadis itu setelah ingat siapa lelaki yang tengah dihadapinya ini.
"Ha-ha-ha, benar dugaanmu, Anak Manis. Akulah Hantu Lereng Lawu yang tentunya pernah disebutsebut oleh gurumu!"
' Jangan pongah! Guruku takkan sudi mengingat-ingat namamu yang hanya bisa menakut-nakuti
orang yang tidak ber-Tuhan itu!" sahut Sekar Arum seraya mencibir.
"Waii, tambah cantik kalau kau mencibir begitu, Anak Betari. Ha-ha ha!"
''Sepuasmulah kau tertawa sebelum kau kukirim ke liang kubur dan kau tidak akan bisa lagi membuka mulut!"
"Ya, ya, ya, aku memang paling suka mendapatkan gadis cantik yang galak dan sombong sepertimu. Eh, siapa namamu?"
"Tak perlu aku menyebutkan namaku! Kalau
memang kalian hendak mengeroyokku, keroyoklah!
Dan, aku yakin kalian memang hanya berani main keroyok!" Hantu Lereng Lawu memandang Kebo Dungkul,
kemudian keduanya tertawa terbahak-bahak. Bahkan
tiga anak buahnya yang tadi terlongong-longong melihat kehebatan Sekar Arum, kini ikut tertawa.
' Sebelum kami mengeroyokmu, aku lebih dulu
ingin mengujimu, pantas tidak kami ini mengeroyokmu. Majulah, Gadis Bengal!" tantang Hantu Lereng
Lawu seraya mencabut kembali pedang di pinggangnya, 'Pantang bagiku untuk menyerang lebih dulu!
Majulah kalau memang kau ingin mati mendahului
anak buahmu!"
' Mulutmu memang lebih cocok dicium pedang!"
ujar Hantu Lereng Lawu sambil mengayunkan pedangnya. Sekar Arum tidak gegabah membenturkan
tombak pendeknya untuk menangkis serangan lawan.
la yakin, ilmu silat Hantu Lereng Lawu berada setingkat di atas Kebo Dungkul.
Sudah barang tentu tenaga
yang dialirkan ke pedang itu lebih dahsyat dibandingkan tenaga Kebo Dungkul.
Maka gadis itu menarik kaki kanannya ke belakang sambil merundukkan kepalanya. Pedang lebar
bermata dua itu berdesing sejengkal di atas kepala gadis itu. Kesempatan ini
dipergunakan oleh gadis itu
untuk membalas serangan. Namun, di luar dugaan gerak pedang itu berbalik dan kini mengancam lutut gadis itu. Terpaksa Sekar Arum membatalkan serangan
balasannya. Ia harus melenting ke udara agar lututnya tidak terbabat.
"Ilmu silatmu memang lumayan bagus, Anak
Manis. Tetapi, aku ingin tahu apakah nafasmu sebaik
ilmu silatmu!" Berkata begini Hantu Lereng Lawu memutar pedangnya hingga tak terlihat lagi bentuk pedang itu. Sekar Arum hanya melihat sinar kebirubiruan yang membentuk payung di atas kepala lawan.
Inilah Jurus Pedang Penangkal Hujan, pikir gadis itu selintas. Untuk selanjutnya, ia harus secepatnya berloncatan ke kanan-kiri lawan agar tubuhnya tidak terpotong-potong.
Melihat gadis itu tak punya peluang untuk
mengirimkan balasan, Hantu Lereng Lawu semakin
bersemangat memburunya, ia memang belum ingin
melukai gadis itu. Ia hanya ingin menguji sejauh mana murid Ki Sempani itu
menguasai jurus-jurus pernapasan. Dari penjelasan gurunya, Hantu Lereng Lawu tahu persis kelemahan ilmu silat dari Bukit Karang Bolong ini. Mereka hanya mengandalkan kecepatan menyerang dan kelincahan menghindari tanpa memperhitungkan kesempurnaan pernapasan. Apalagi gadis ini
masih begitu belia, dan pasti belum berpengalaman
bertempur sampai puluhan jurus. Terbukti, sewaktu
melawan Kebo Dungkul tadi, gadis itu buru-buru mengeluarkan jurus pamungkasnya.
"Akh!" jerit Sekar Arum sambat memegangi celana pangsinya yang robek di bagian paha. Kulit pahanya yang putih mengintip membuat Hantu Lereng
Lawu dan anak buahnya bersamaan menelan ludah.
"Itu peringatan kecil buatmu, Gadis Bengal! '
ujar Hantu Lereng Lawu seraya tertawa terbahakbahak. 'Iblis Mata Bakul! Kalau memang kau mengaku
lelaki, bertempurlah secara jantan!" pekik Sekar Arum.
''Nafasmu tinggal satu-satu, bagaimana mungkin aku tega melawanmu, Manis" Tanganmu pun harus memegangi sebelah pahamu. Apa tidak sebaiknya
kau lepaskan saja celanamu?"
''Iblis cabul!" sergah Sekar Arum sambil menjejak tanah lalu tubuhnya terbang ke atas kepala lawan.
Namun, sewaktu tombak pendek di tangannya hendak
menghujam ubun-ubun lawan, kembali pedang di tangan Hantu Lereng Lawu memayungi kepala itu.
"Tring!"
Sedikit sekali ujung tombak pendek itu beradu
dengan pedang Hantu Lereng Lawu, tetapi getaran
yang menjalari tangan gadis itu mampu membuat bahu gadis itu seakan somplak.
Sekar Arum berdiri di atas kuda-kudanya sambil menahan rasa nyeri hebat di bahunya. Kalau saja ia tidak harus memegangi
celana pangsinya yang robek,
pastilah tangannya secara refleks akan memijat-mijat bahu itu.
' Sekarang, bisa kau teruskan pekerjaanmu,
Kebo Dungkul!" kata Hantu Lereng Lawu sebelum meninggalkan tempat itu sambil tertawa puas.
Kebo Dungkul mengusap kumisnya dengan
punggung tangannya. Ia tahu, gadis itu sekarang tak
akan segarang tadi. Bahu kanannya tidak akan bisa
lagi mendukung permainan tombak pendek di telapak
tangan gadis itu. Kalau saja gadis itu tidak memiliki tenaga dalam yang lumayan,
tentu sudah copot engsel
tulang bahunya. Kebo Dungkul sendiri pernah merasakan hebatnya Jurus Pedang Penangkal Hujan. Karena jurus itu pula maka ia terpaksa bertekuk lutut di depan Hantu Lereng Lawu.
Hampir sebulan lebih Kebo
Dungkul harus menggendong tangannya akibat rantai
berkapak yang dipegangnya membentur pedang yang
diputar Hantu Lereng Lawu.
Sekar Arum mundur beberapa tindak. Ia mencoba memainkan tombak pendeknya dengan tangan
kiri sementara tangan kanannya yang nyeri dipergunakan untuk memegangi celana pangsinya yang robek.
Diam-diam ia mengutuk Hantu Lereng Lawu yang tadi
telah menyelamatkan Kebo Dungkul dari tikaman
tombak di leher belakangnya.
"Hei, kenapa kalian diam saja" Ringkus gadis
bengal ini!" perintah Kebo Dungkul kepada tiga orang anak buahnya.
Mereka bertiga bergerak mengurung Sekar
Arum. Meski hanya dengan tangan kiri, gadis itu ternyata masih mampu membuat mereka bertiga kucarkacir. Ketiganya terlempar begitu golok di tangan mereka membentur tombak pendek
di tangan gadis itu.
"Huh! Kalian memang hanya pantas mencuri
kayu di hutan!" dengus Kebo Dungkul. Lalu katanya
kepada Sekar Arum, "Sekali lagi aku beri kau waktu
untuk berpikir, Cah Ayu. Kau pilih mati terbelah kapakku, atau kau pilih
menuruti kemauanku...."
' Jangan berangan-angan, Kebo Dungu!" sergah
gadis itu. ''Selama napas ku masih ada, tak akan aku mengaku kalah! Majulah,
biar kurobek perutmu yang
buncit itu!"
"Wah, betul-betul bosan hidup rupanya! Tapi,
terlalu enak buatmu jika kau mati tanpa memberi ku
kenikmatan lebih dulu. Nah, bersiaplah! Keluarkan il-mu yang kau warisi dari
gurumu!" Kebo Dungkul mengembangkan tangannya dan menubruk gadis itu.
Sekar Arum memagari dirinya dengan putaran
tombak pendeknya. Akan tetapi, di luar dugaannya jika ternyata Kebo Dungkul menarik kembali dua tangannya dan sebagai gantinya kaki kanannya menerjang betis indah gadis itu. Gerakan itu begitu cepat dan di luar dugaan Sekar
Arum. Tak pelak lagi betis
gadis itu terdorong dan gadis itu bergulingan di tanah.
Sewaktu ia hendak melenting bangun, tiba-tiba mata
kapak yang tadi menggantung di leher lawan sekarang
telah menempel di lehernya.
"Ha-ha-ha! Pengalamanmu baru secuil, tetapi
kesombonganmu segerobak, Gadis Bengal!"
Sekar Arum hendak menikamkan tombak pendeknya ke leher Kebo Dungkul yang hanya beberapa
jengkal jaraknya dari wajahnya, tetapi secepat kilat ti-ga buah golok menahan
tangan kiri gadis itu.
' Sekali lagi kau mencoba melawan, kapak ini
akan memenggal lehermu, Cah Manis," kata Kebo
Dungkul seraya menekankan mata kapaknya lebih
kuat lagi. "Lebih baik leherku terpenggal daripada terjamah tanganmu yang menjijikkan!" sahut Sekar Arum
sebelum menggerakkan tumitnya ke lutut Kebo Dungkul. "Ha-ha-ha! Sudah kubilang, terlalu enak buatmu mati sebelum kami berempat bisa menikmati tubuhmu yang mulus ini!" Dengan mudah Kebo Dungkul
menguasai kaki kanan gadis itu. Kini tangan kirinya
bersiap-siap merobek krah baju gadis itu.
' Bunuhlah aku jika kau merasa...."
"Ha-ha-ha! Hi-hi-hik! Ho-ho-hok!" Mereka berempat tertawa bersamaan.
"Nah, mari kita lihat apakah dada gadis ini sekeras hatinya!" Kebo Dungkul mencengkeram krah baju gadis itu. Akan tetapi, sebelum tangan itu menarik robek krah baju itu, tibatiba ada benda cair melabrak matanya yang melek. Bau amis menyelinap ke lubang
hidung, pandangan Kebo Dungkul gelap gulita. Satusatunya mata yang berfungsi telah tertutup kuning telur yang lengket.
Ketiga anak buah Kebo Dungkul menoleh ke
arah datangnya telur ayam itu. Sementara itu Kebo
Dungkul menyumpah-nyumpah sambil membersihkan
lumuran kuning telur di matanya.
Kesempatan ini tak disia-siakan oleh Sekar
Arum. Dengan sisa tenaga yang ada, ia menjejakkan
kakinya dan berjumpalitan ke belakang.
' Bangsat tengik! Kalau memang pendekar sejati, hadapi Kebo Dungkul! Jangan hanya main lempar
dari persembunyian!" tantang Kebo Dungkul meski
matanya belum jelas memandang sekeliling.
Tiga orang anak buah Kebo Dungkul yang tadi
menyerbu ke dalam kedai, satu per satu terlempar keluar sambil memegangi leher. Tak lama kemudian mereka berkelojotan dan terkulai lemas.
''Tunggu, Kisanak!" desis Sekar Arum seraya
memburu bayangan putih yang melesat ke arah belakang kedai. * * * 5 Kebo Dungkul tak bisa menebak siapa manusia
yang telah membunuh ketiga anak buahnya itu. Sewaktu ia berhasil menjernihkan pandang matanya, di
tempat itu tak ada lagi seorang pun yang bisa ditanyai.
Ia hanya bisa menatap ketiga mayat yang lehernya
hampir putus. Akan tetapi, ia bisa memastikan bahwa pembunuh ketiga anak buahnya itu orang yang berilmu tinggi. Dalam sekejap pembunuh itu bisa menguasai golokgolok lawan dan menggorokkan ke leher-leher lawannya. Dan, dengan ilmu setannya pembunuh itu mampu melemparkan kuning telur mentah tanpa menyertakan putih telurnya. Tentulah bukan dengan tangan,
melainkan dengan mulut!
Sementara Kebo Dungkul memutar otaknya
mencari-cari jawaban, Sekar Arum pun belum berhasil
menemukan orang yang telah menolongnya. Selain ia
ingin mengucapkan terima kasih, ia juga ingin berkenalan dengan pendekar berilmu tinggi itu. Meskipun
ketiga anak buah Kebo Dungkul bukan lawan yang berarti, tak akan dalam sekejap terbunuh jika tidak oleh seseorang yang berilmu
tinggi. Lagi pula, baru kali ini Sekar Arum gagal mengejar bayangan yang sempat


Pendekar Perisai Naga 1 Hantu Lereng Lawu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nampak di mata. Di Pantai Selatan, ia sudah terbiasa berkejaran dengan burung
walet. Dan, tadi pun ia
mengerahkan Jurus Walet Menyambar Mangsa sewak-tu mengejar bayangan serba putih itu. Toh dia tidak
berhasil menyusul!
' Dalam dunia persilatan, hanya ada satu orang
yang ilmu meringankan tubuhnya tak tertandingi!"
Mengiang kembali kata-kata Ki Sempani di telinga gadis itu. 'Pendekar Perisai Naga! Ya, tak salah lagi!" desis Sekar Arum
menyimpulkan. Tetapi, bukankah dia sudah terbunuh oleh
Empu Wadas Gempal dan Hantu Lereng Lawu tiga puluh tahun yang lalu" Gadis itu kembali diliputi keraguan. Atau, mungkinkah dia
tadi murid pendekar sakti itu" Ah, menurut cerita Guru, Pendekar Perisai Naga
tak pernah mau mengangkat siapa pun menjadi muridnya. Sampai kemudian ia tewas oleh kelicikan Empu Wadas Gempal. Lalu, siapa pendekar budiman yang
telah menolongku tadi"
Dan, gadis itu semakin sangsi sebab ia tadi tak
mendengar suara lecutan cambuk seperti yang pernah
diceritakan Ki Sempani.
Gadis itu melangkah sambil terus memikirkan
pendekar berpakaian serba putih yang hanya selintasan dilihatnya tadi. Bukan hanya pakaiannya yang
berwarna putih, melainkan rambutnya pun berwarna
putih. Artinya, pendekar tadi memang sudah lanjut
usia. Setidaknya seusia dengan Ki Sempani.
Sekar Arum memang bocah kemarin sore yang
belum berpengalaman di dunia persilatan. Lima belas
tahun yang lalu, ia bahkan belum ada di bumi ini. Ia masih dalam kandungan
ibunya. Umur sebelas tahun,
mulailah ia mengenal jurus-jurus silat sebab kedua
orang tuanya menyerahkannya kepada Ki Sempani.
Karena kecerdikannya, dalam waktu empat tahun gadis kecil itu telah menguasai sebagian besar ilmu silat yang diturunkan oleh Ki
Sempani. Namun demikian, Ki
Sempani tetap menyadari bahwa muridnya ini belum
layak bertanding dengan orang-orang sesat macam Kebo Dungkul dan Hantu Lereng Lawu.
Sebelum Sekar Arum nekat meninggalkan Padepokan Karang Bolong, sekali lagi Ki Sempani menceritakan jahatnya dunia persilatan agar gadis itu mawas diri. Akan tetapi, darah
muda yang mengalir di tubuh gadis itu membuat gadis itu ingin secepatnya mencoba
ilmu silat yang didapatkannya dari gurunya. Itulah kenapa Sekar Arum sengaja
melintasi kedai yang menjadi tempat mabuk-mabukan Kebo Dungkul dan anak
buahnya. Beruntung sewaktu gadis itu tak lagi berdaya
menghadapi Kebo Dungkul, tiba-tiba muncul Wiku Jaladri menyelamatkannya!
* * * "Ki Sempani memang bukan orang lain bagiku.
Akan tetapi, aku sengaja menghilang dari pandang mata muridnya agar Ki Sempani tidak kaget mendengar
cerita tentang kemunculanku kembali, " kata Wiku Jaladri setelah menceritakan perihal Sekar Arum, murid Ki Sempani.
' Berarti, Ki Sempani percaya bahwa Kiai sudah
tewas tiga puluh tahun yang lalu?" tanya Joko Sungsang. 'Begitulah menurut apa yang aku dengar."
' Karena tidak ingin dikenali murid Ki Sempani
maka Kiai tidak juga membawa-bawa Perisai Naga?"
''Perisai Naga sudah menjadi milikmu, Joko
Dan, sejak kau mewarisi ilmu Perisai Naga, maka kaulah yang harus bergelar Pendekar Perisai Naga. "
Joko Sungsang mencium lutut Wiku Jaladri sebagai Ungkapan rasa harunya. Saking terharunya,
sampai-sampai lidahnya tak mampu berucap sepatah
kata pun. ' Kebo Dungkul sendiri tidak akan mengenali
aku sore tadi. Sengaja matanya yang tinggal sebelah
itu aku tutup dengan kuning telur ayam yang aku ambil dari kedai itu. Hantu Lereng Lawu, bahkan Empu
Wadas Gempal akan bingung mendengarkan laporan
dari Kebo Dungkul."
' Bagaimana jika mereka menganggap Ki Sempani yang mempecundangi Kebo Dungkul, Kiai?"
"Itu sudah ada dalam perhitunganku, Joko.
Aku tidak ingin mereka menaruh dendam kepada Ki
Sempani. Karena itu aku sengaja meminjam golok mereka untuk membungkam mulut mereka, anak buah
Kebo Dungkul itu. Empu Wadas Gempal maupun Hantu Lereng Lawu tahu persis bagaimana tabiat aneh Ki
Sempani. "
' Tabiat aneh?" Dahi Joko Sungsang berkerutkerut. 'Bukankah aneh jika ada orang yang tidak mau melihat musuh bersimbah
darah?" ' Lalu, bagaimana cara dia melumpuhkan musuh-musuhnya, Kiai?"
' Dengan pukulan yang merontokkan isi dada
lawan. Itulah yang dikenal dengan Pukulan Ombak
Laut Selatan!"
Joko Sungsang manggut-manggut paham. Lalu,
katanya, ' Terima kasih, untuk kedua kalinya Kiai sudi membiarkan Kebo Dungkul
tetap hidup."
' Pendekar-pendekar dari golongan putih tidak
akan membunuh lawan yang menjadi musuh bebuyutan pendekar segolongannya. Apalagi Kebo Dungkul
musuh bebuyutan muridku sendiri," sahut Wiku Jaladri memberikan penjelasan.
' Maafkan saya, Kiai," sahut Joko Sungsang
dengan perasaan bersalah.
' Sekali lagi aku katakan kepadamu, Joko, bahwa setelah kau pergi dari dasar jurang ini, berarti tugas-tugasku sudah aku
limpahkan kepadamu. Dan,
camkan sekali lagi bahwa di dunia ini tidak ada manusia yang paling sakti. Kau
harus tetap yakin bahwa
masih banyak pendekar yang ilmunya jauh lebih tinggi darimu. Selama kau ingat
pesanku ini, kau tidak akan pongah dalam menghadapi segala macam rintangan."
' Saya akan laksanakan tugas tugas yang telah
Kiai bebankan ke pundak saya. Saya tidak akan sekelumit pun melupakan nasihat dan pesan-pesan Kiai."
"Kau bisa menemui ibumu di Desa Dadapsari,
Joko. Di desa itu juga kau akan bertemu dengan Sekar Arum, murid Ki Sempani itu.
Cobalah kau bujuk dia
agar kembali ke Padepokan Karang Bolong. Sifat pongah dan kekerasan hatinya membuatnya hampir saja
celaka." 'Apakah Kiai mengizinkan saya bertemu dengan Ki Sempani di Padepokan Karang Bolong?" tanya
Joko Sungsang ragu-ragu.
' Kunjung-mengunjungi sesama pendekar memang baik sekali. Aku senang sekali jika kau bisa
membawa kabar tentang aku kepada Ki Sempani."
' Saya akan merasa bangga bisa mewakili Kiai
menemui pendekar semacam Ki Sempani. Tetapi, apa
kiranya Ki Sempani masih mau percaya jika saya mengaku sebagai murid Kiai" Sebab, seperti yang Kiai katakan bahwa Ki Sempani
sendiri percaya bahwa Kiai
telah tewas."
' Perisai Naga di pinggangmu akan bercerita
tentang siapa kamu meskipun kamu datang ke Karang
Bolong dengan mulut membisu."
"Ah, saya hampir lupa, Kiai," sahut Joko Sungsang sambil meraba Perisai Naga yang melingkari
pinggangnya. ' Pergilah, Joko. Tetapi, sebelum kau benarbenar meninggalkan dasar jurang ini, tutuplah pintu
gua biar aku tenang menghabiskan sisa waktuku di
sini." 'Maksud, Kiai?" Mata Joko Sungsang membelalak. ' Jangan seperti anak kemarin sore. Takdir Tuhan telah menuliskan segalanya tentang kita. Pergilah, dan jangan lagi kau
tambahi beban pikiranmu dengan
memikirkan tentang nasibku di gua ini."
' Kiai...." Joko Sungsang menubruk kedua telapak kaki Wiku Jaladri dan menciumi telapak kaki itu.
* * * Desa Cemara Pitu adalah desa pertama yang
disinggahi Joko Sungsang dalam perjalanannya menuju Desa Dadapsari. Dinamakan Desa Cemara Pitu karena di ujung jalan yang membelah desa itu tertanam
tujuh batang pohon cemara. Menurut kabar burung,
tujuh pohon cemara itu sudah berumur ratusan tahun
dan tak seorang pun berani mengganggu kelestarian
pohon-pohon itu. Konon, ketujuh pohon itu tak bisa
ditumbangkan oleh tenaga apa pun.
Fajar baru saja merekah ketika Joko Sungsang
memasuki mulut desa itu. Udara pegunungan masih
terasakan oleh Joko Sungsang. Namun, di pagi yang
masih dingin itu, suasana di desa itu tak ubahnya suasana siang hari. Penghuni
desa sudah bertebaran di
sawah-sawah. Seolah-olah mereka telah bekerja beberapa jam sehingga keringat membuat tubuh mereka
berkilat-kilat tertimpa sinar matahari pagi.
Joko Sungsang menikmati pemandangan pagi
hari di mulut desa yang sudah hampir tujuh tahun tak dinikmatinya. Selama berada
di dasar jurang bersama
Wiku Jaladri, ia hanya bisa menikmati pepohonan
yang menjulang dan dihiasi suara binatang liar dan
buas. Maka Joko Sungsang menghirup napas sepenuh
dada. Ingin ia menghirup udara pagi di desa sepuaspuasnya. Akan tetapi, keindahan pagi itu rusak oleh datang-nya serombongan orang berkuda. Debu jalanan
mengepul menghalau kabut tipis yang menyelimuti jalanan. Joko Sungsang menyelinap ke balik pohon cemara yang terbesar. Ia tidak ingin kehadirannya di de-sa itu tercium oleh orangorang dari kalangan persilatan. Dan, tentunya orang-orang berkuda itu bukan
penduduk Desa Cemara Pitu yang tak mengenal selukbeluk dunia persilatan. Mereka pastilah datang dari
suatu tempat dan membawa-bawa nama perguruan
mereka ''Berhenti!" teriak lelaki yang berkuda paling depan memberikan aba-aba
kepada lima orang yang
berkuda di belakangnya.
Lelaki tinggi besar yang mengenakan baju tanpa lengan ini agaknya pimpinan rombongan. Sebilah
pedang menyilang di punggungnya. Mata lelaki itu merah seperti mata orang yang tak pernah tidur. Kumisnya yang tebal dan panjang dipelintir sehingga membentuk sumping wayang. Celana pangsi hitam yang dikenakannya dihiasi kain berwarna kuning emas. Ada
kesan bahwa dia datang sebagai punggawa kerajaan,
''Kenapa berhenti di sini, Kakang?" tanya lelaki
kedua yang agaknya orang kepercayaan lelaki pertama.
Dua bilah pedang pendek menggelantung di pinggang
kanan-kiri lelaki Ini.
' Kita lihat apakah mereka bekerja bersungguhsungguh," jawab lelaki pertama
''Mereka memang bekerja bersungguh-sungguh.
Hanya saja, mereka memang keberatan menyerahkan
hasil sawah mereka kepada kita," kata lelaki kedua.
' Kalau begitu, kita laksanakan saja perintah
Kakang Adipati, Ambil semua kekayaan desa ini! Bunuh dan bakar rumah mereka yang coba-coba melawan!" "Apa tidak sebaiknya sekali lagi kita peringatkan, Kakang?"
Pimpinan rombongan itu tidak lagi mendengarkan ucapan orang kedua. Ia langsung berteriak, mengerahkan anak buahnya agar menggiring orang-orang
yang sedang bekerja di sawah itu berkumpul di bawah
tujuh pohon cemara itu.
ingin sebenarnya Joko Sungsang tetap mendengarkan pembicaraan mereka. Akan tetapi, jika nanti orang-orang itu sudah berkumpul, tentulah salah
seorang dari mereka akan melihatnya bersembunyi di
balik pohon terbesar itu.
Maka dengan Ilmu Harimau Mengincar Kijang,
Joko Sungsang bergeser menjauh tanpa menimbulkan
suara sama sekali. Kemudian ia melenting dan hinggap di dahan yang paling rimbun
daunnya. Orang-orang yang tadi bekerja di sawah mulai
berkumpul dan duduk bersila di depan kuda yang ditunggangi pemimpin rombongan berkuda itu.
' Siapa yang dituakan di desa ini?" tanya pimpinan rombongan itu dari punggung kudanya.
Orang-orang yang kini berwajah pucat karena
takut itu saling memandang satu sama lain.
"Kalian ini bisu apa tuli?" bentak lelaki yang
berpedang dua. ' Saya yang paling tua...."'
' Goblok!" sergah pimpinan rombongan sambil
memajukan kudanya sehingga kaki depan kuda itu
hampir menyentuh hidung lelaki tua yang tadi menjawab. "Yang dituakan! Bukan yang paling tua!" kata
lelaki berpedang dua memberikan penjelasan.
"Hei, sekarang kamu saja aku tunjuk sebagai
pimpinan kalian semua. Nah, sekarang dengarkan perintahku. Sebelum tengah hari nanti, kalian sudah harus mengumpulkan seluruh
padi yang ada di lumbung
desa ini. Mengerti?"
"Kami tidak pernah menyimpan persediaan padi." "Aku tidak mau tahu! Pokoknya, kalau siang
nanti kalian tidak menyiapkan apa yang aku minta,
aku rata-kan desa ini dengan tanah!" sergah pimpinan rombongan itu seraya
menyepak perut kudanya. Maka
lima kuda yang lainnya memburu derap kuda pimpinan rombongan itu meninggalkan mulut Desa Cemara
Pitu. 'Kenapa tidak kita lawan saja mereka?" Berkata seorang pemuda yang duduk
menyandar pada salah
satu pohon cemara.


Pendekar Perisai Naga 1 Hantu Lereng Lawu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

' Kenapa kau tadi diam saja" Bicara jangan asal
buka mulut!" bentak kakek-kakek yang tadi berbicara
dengan orang-orang berkuda itu.
''Sama-sama mati, memang lebih baik kita melawan," sahut lelaki yang tadi duduk di samping kakek-kakek itu. "Kau tidak memikirkan bagaimana nasib anak
dan istrimu di rumah?" sahut yang lainnya lagi.
' Lalu, dari mana kita bisa dapatkan padi selumbung seperti yang mereka inginkan?"
Hening. Mereka semua menekuri tanah. Daun
cemara berdesau-desau. Dan, di antara desau daun
cemara inilah terdengar siulan mirip siulan burung
emprit gantil. Seperti dikomando, mereka semua menengadahkan kepala mencari-cari arah datangnya siulan. Mereka sadar bahwa yang mereka dengar siulan
manusia, bukan siulan burung.
' Gusti Allah!" desis mereka berbarengan sambil
melebarkan mata memandang Joko Sungsang yang tiduran di dahan cemara. Besar dahan yang ditiduri
anak muda itu tak lebih besar dari gagang cangkul!
* * * 6 Dari penjelasan penduduk desa, akhirnya Joko
Sungsang tahu siapa mereka yang datang berkuda dan
hendak merampas kekayaan Desa Cemara pitu tadi.
Mereka adalah orang-orang kepercayaan Adipati Sorengdriyo. Pimpinan rombongan itu bernama Mahesa
Lawung. Di sekitar Kadipaten Banyu Asin, nama Mahesa Lawung memang sangat ditakuti, ilmu silatnya
setingkat di bawah ilmu silat Adipati Sorengdriyo. Namun, kekejamannya dua
tingkat di atas kekejaman
sang adipati. Mengingat kekejaman Mahesa Lawung ini maka
para penduduk Desa Cemara Pitu terpaksa harus menyerahkan sebagian besar hasil panen mereka kepada
Adipati Sorengdriyo. Kalaupun sekarang mereka membangkang, tidak berarti bahwa mereka siap melawan
Mahesa Lawung dan anak buahnya. Mereka kali ini
memang tidak memetik hasil sawah mereka akibat
serbuan hama tikus.
' Akan tetapi, mana mereka mau tahu alasan
kami, Anakmas?" kata lelaki tertua di antara penduduk yang berkerumun di bawah tujuh pohon cemara
itu. ' Kalau begitu, sebaiknya siang nanti tak seorang pun keluar dari rumah. Biar saya yang menghadapi Mahesa Lawung dan kawan-kawannya," kata Joko Sungsang. ' Mereka orang-orang kejam, Anakmas," kata
seorang lelaki yang berdiri di samping lelaki tua itu.
' Karena mereka kejam maka saya ingin mewakili penduduk desa ini menemui mereka."
' Biar saya membantu Kisanak!" kata seorang
pemuda. Joko Sungsang tahu, inilah pemuda yang tadi
memiliki gagasan untuk melawan para penjarah itu.
' Terima kasih. Tetapi, saya akan mencoba
menghadapi mereka seorang diri. Saya tidak mau melibatkan seorang pun penduduk desa ini. Kalaupun
mereka menaruh dendam, biarlah mereka mendendam
kepada saya. Tetapi, saya akan mengusahakan agar
mereka tidak menaruh dendam."
' Berarti, Kisanak harus membunuh mereka
semua!" ' Tidak. Bahkan saya tidak akan melukai mereka jika tidak terpaksa. "
' Mereka tidak akan takut kepada orang asing
seperti Kisanak!"
' Betul, Anakmas. Mereka hanya takut kepada
Hantu Lereng Lawu."
Dahi Joko Sungsang berkerut-kerut. Lalu katanya, ''Apakah ada hubungannya antara Adipati Sorengdriyo dengan Hantu Lereng Lawu?"
' Betul, Anakmas. Semenjak Adipati Sorengdriyo
dikalahkan Hantu Lereng Lawu, semenjak itulah hasil
panen kami harus kami serahkan sebagian besar ke
kadipaten. "
' Padahal dulu kabarnya Adipati Sorengdriyo
orang baik-baik dan dicintai rakyat, " sahut pemuda
yang lain lagi.
' Artinya, Adipati Sorengdriyo diperalat oleh
Hantu Lereng Lawu," sahut Joko Sungsang.
' Tepatnya memang begitu!" Hampir bersamaan
mereka menjawab.
' Saya akan bicara dengan Hantu Lereng Lawu!"
' Apa?" Mata mereka membelalak.
' Tidak berarti saya ini teman Hantu Lereng Lawu. Tetapi, kebetulan saja saya memang ingin menemuinya. Saya ada urusan tersendiri dengan orang sesat dari Lereng Lawu itu."
' Barangkali Kisanak mau membalas dendam?"
tanya pemuda yang punya semangat melawan kejahatan itu. 'Ayah saya tewas di tangan anak buah Hantu
Lereng Lawu!" jawab Joko Sungsang dengan geraham
mengeras. "Oooh," desah mereka bersamaan.
Kemudian mereka bubar dan pulang ke rumah
masing-masing atas saran dari Joko Sungsang. Sebelum mereka bubaran, sekali lagi Joko Sungsang berpesan agar tidak seorang pun penduduk keluar dari rumah mereka sewaktu rombongan dari Kadipaten
Banyu Asin itu datang.
Joko Sungsang terpaksa menunda perjalanannya hingga siang hari. Ia merasa terpanggil untuk
membantu mengamankan desa itu. Ia tidak ingin desa
itu bernasib sama dengan Desa Sanareja, desa kelahirannya. Kalau benar bahwa Hantu Lereng Lawu dan
anak buahnya mencari-cari Pendekar Perisai Naga seperti yang diceritakan Wiku Jaladri, maka urusan dengan Desa Cemara Pitu akan
dilupakannya! Lagi pula, Joko Sungsang merasa pasti bahwa
Adipati Sorengdriyo berbuat demikian karena terpaksa.
Mungkin ia merasa putus asa sebab merasa tidak ada
orang yang berpihak kepadanya.
Matahari persis berada di atas pohon cemara
sewaktu rombongan yang dipimpin Mahesa Lawung
kembali memasuki mulut Desa Cemara Pitu. Mereka
datang dengan kereta kuda yang bakal dipakai untuk
mengangkut hasil jarahan. Rupanya mereka begitu yakin bahwa penduduk Desa Cemara Pitu pasti menyediakan hasil bumi yang mereka inginkan.
Tiba-tiba saja derap kaki kuda mereka terhenti.
Mata mereka menengadah ke atas, mengikuti gerak
tubuh Mahesa Lawung yang tiba tiba saja melayang ke
atas dan bertengger di sebuah dahan cemara. Kuda
yang tadi ditungganginya kini melesat tanpa terkendalikan. Mahesa Lawung tidak
gegabah melayang turun
dari dahan pohon itu. Bukan berarti ia takut turun, la pun memiliki ilmu
meringankan tubuh seperti layaknya orang orang dari dunia persilatan. Tak akan
ia merasa ngeri kalau hanya turun dari ketinggian sepuluh tombak. Namun, ia
sadar bahwa kini ia sedang berhadapan dengan lawan yang berilmu tinggi. Entah
den- gan ilmu setan mana, anak muda itu membawanya
terbang dengan lilitan cambuk di leher. Dan, cambuk
itu kini masih melilit lehernya. Dengan sekali hentak, Mahesa Lawung bisa
membayangkan apa yang bakal
menimpa dirinya.
Cambuk milik Joko Sungsang melilit di leher
Mahesa Lawung! Dia tidak berani gegabah terhadap
pemuda itu. Karena dengan sekali hentak, Mahesa Lawung bisa membayangkan apa yang bakal menimpa
dirinya! 'Anak muda, aku merasa tidak punya urusan
denganmu. Kenapa kau membuat persoalan denganku?" kata Mahesa Lawung hati-hati.
' Mulai detik ini, kau dan anak buahmu harus
berurusan denganku!" jawab Joko Sungsang. Lalu,
dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh mata, tibatiba saja cambuk yang tadi melilit leher Mahesa Lawung telah melingkar di telapak tangan anak muda
itu. ' Apakah tidak lebih baik kita bicara di bawah
agar anak buahku bisa ikut mendengarkan apa yang
kau. bicarakan?"
' Memang sebaiknya begitu," sahut Joko Sungsang lalu mendahului melayang turun.
Semua anak buah Mahesa Lawung memundurkan kuda mereka ketika anak muda yang berpakaian
serba putih itu mendarat di tanah. Mereka sadar bahwa anak muda ini bukan sembarang anak ingusan
seusianya. Apalagi tadi mereka melihat pimpinan mereka pun tidak berani gegabah menghadapi anak ingusan ini. 'Kisanak, katakan apa maumu dan apa urusanmu sehingga berani menghentikan perjalanan kami!" kata Mahesa Lawung begitu berhadapan dengan
Joko Sungsang di tanah.
' Bukankah kalian mau mengambil hasil panen
penduduk desa ini?"
"Kalaupun iya, aku kira tidak ada urusan denganmu, Kisanak"
' Justru harus berurusan denganku!" sahut Joko Sungsang. ' Lihatlah, betapa sepi desa ini. Kalian tak akan menemukan seorang
pun penduduk desa ini.
Mereka semua sudah aku usir dari desa ini Nah, sudah jelas, bukan" Desa ini sekarang ada dalam kekuasaanku'" Meski memiliki rasa cemas berhadapan dengan
Joko Sungsang, di depan anak buahnya yang begitu
memujanya Mahesa Lawung tetap harus menunjuk
kan keberaniannya. Toh kalau memang terjadi perkelahian, ia tidak seorang diri menghadapi pendekar ingusan ini..
''Kau pikir aku mempercayai bualan mu" Jangan coba-coba kau menakut-nakuti kami dengan bualan mu itu!" kata Mahesa Lawung seraya meraba gagang pedangnya.
''Kau bilang aku membual?" Berkata begini Joko Sungsang lalu melecutkan Perisai Naga ke arah tali pedang yang melintang di
dada Mahesa Lawung. Tak
pelak lagi, sarung pedang Mahesa Lawung terjatuh sebab tali yang menahannya terputus Kalau saja gagang
pedang itu tidak tergenggam tangan Mahesa Lawung,
tentulah nasib pedang itu akan sama dengan nasib sarungnya ' Bedebah! Berani kau menghinaku!' Mata Mahesa Lawung mendelik Akan tetapi, untuk langsung
menyerang lawannya, ia masih harus berpikir dua kali.
' Serahkan anak tikus ini kepadaku, Kakang"
kata lelaki yang menyandang dua bilah pedang di
pinggulnya. Dengan gesit lelaki itu meloncat dari
punggung kuda dan berdiri gagah di depan Joko Sungsang ''Lompati dulu mayatku sebelum kau hinakan
Kakang Mahesa Lawung, Anak Tikus!"
' Kita lihat saja siapa yang pantas jadi anak tikus!" sahut Joko Sungsang setelah melingkarkan Perisai Naga di pinggangnya.
' Bosan hidup!" seru lelaki itu sambil mengayunkan dua bilah pedangnya dengan gerakan menggunting. Joko Sungsang melipat lutut kanannya dan
membuang kaki kirinya lurus ke belakang sehingga
dua bilah pedang itu berdesing di atas kepalanya. Sebelum lawan menarik kembali
pedang-pedangnya, secepat kilat Joko Sungsang menggebrak kedua siku lawan. "Augh!" Lelaki itu melompat ke belakang dan
kedua pedangnya tergeletak di tanah. Tak kuasa lagi
kedua tangan itu menggenggam pedang.
Melihat orang andalannya patah siku dalam sekali gebrak, Mahesa Lawung semakin berhati-hati
menghadapi Joko Sungsang. Namun begitu, tetap saja
ia merasa malu untuk merendahkan diri di depan
anak buah-nya. Maka katanya sambil menimangnimang pedang, ''Sebelum aku mencincang tubuhmu,
ada baiknya aku mengetahui siapa namamu, Kisanak"
"Tak perlu kau mencincangku, Mahesa Lawung.
Hantu Lereng Lawu akan marah kepadamu jika kau
lancang membunuh musuh besarnya!"
' Dasar mulut besar!" seru salah seorang anak
buah Mahesa Lawung seraya menusukkan tombak ke
arah dada Joko Sungsang.
Hanya dengan mengegoskan sedikit. badannya,
Joko Sungsang berhasil meloloskan diri dari tusukan
tombak itu. Kemudian, punggung telapak kaki kirinya
bergerak cepat ke arah perut si penyerang.
' Hukkk!" Lelaki bertombak itu tersungkur.
"Kau tetap ingin tahu namaku, Mahesa Lawung?" tanya Joko Sungsang tanpa mempedulikan lawan yang tengkurap di samping kaki kirinya, ''Atau,
kau sendiri juga ingin menyerangku seperti kedua
anak buahmu yang bodoh itu?"
"Kau sudah tahu namaku, sudah selayaknya
jika aku pun tahu namamu!"
"Aku akan berterima kasih sekali jika kau mau
menyampaikan pesanku kepada Hantu Lereng Lawu.
Katakan kepadanya bahwa Pendekar Perisai Naga menunggunya di sini pada malam purnama bulan ini!"
' Pendekar Perisai Naga?" desis salah seorang
anak buah Mahesa Lawung.
' Tunggu!" katanya seraya maju beberapa langkah. ''Senjata yang kau miliki memang mengingatkanku pada cerita tentang Pendekar Perisai Naga. Tetapi, jangan kau pikir kami akan


Pendekar Perisai Naga 1 Hantu Lereng Lawu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

begitu saja mempercayai ucapanmu!"
"Aku tidak akan memaksa kalian untuk percaya. Hanya saja, jika kalian tetap ingin membunuhku, sama halnya kalian
menghina Hantu Lereng Lawu.
Sudah kukatakan bahwa Hantu Lereng Lawu menghendaki nyawaku, bukan?"
' Pendekar Perisai Naga sudah mampus di Jurang Jero puluhan tahun yang lalu! Bagaimana mungkin kau mengaku ngaku sebagai Pendekar Perisai Naga?" kata Mahesa Lawung. Serta-merta ia ingat penjelasan dari Adipati Sorengdriyo tentang Pendekar Perisai Naga.
"Apa kalian dan orang orang yang menyebar cerita itu menemukan mayatnya?" balik Joko Sungsang.
"Ya. Tetapi, pendekar itu umurnya sudah lebih
dari empat puluh tahun sewaktu menghilang dari dunia persilatan! Kau" Aku kira tak lebih dari usia anakku!" "Apa salahnya jika
aku mewarisi namanya" Toh aku mewarisi ilmu silatnya. Juga mewarisi Perisai Naga! Menurutku, hanya orang yang memegang Perisai
Naga yang berhak mengaku sebagai Pendekar Perisai
Naga!? Hening sejenak. Mahesa Lawung dan anak
buah-nya mulai dilanda keraguan. Kalau benar yang
mereka hadapi ini Pendekar Perisai Naga, memang mereka harus menyampaikan berita ini kepada Hantu Lereng Lawu. Tetapi, kalau anak muda ini hanya membual" "Nah, aku tidak punya banyak waktu untuk berbicara dengan kalian. Kalau
memang kalian hendak
nekat mengeroyokku keroyoklah! Tetapi, jangan menyesal jika kalian dicincang Hantu Lereng Lawu. Itu
pun kalau kalian selamat dari cambukku!" gertak Joko Sungsang.
"Bukan aku takut menghadapimu, Kisanak.
Aku akan tetap mencarimu jika ternyata kau hanya
membual! Aku anggap bahwa sebenarnya kau tidak
berani menghadapiku maka lalu kau karang cerita tentang Pendekar Perisai Naga tadi!" kata Mahesa Lawung seraya memberikan isyarat
kepada anak buahnya agar
bergerak pergi.
* * * Joko Sungsang tersenyum-senyum memandangi kepergian mereka. Kemudian ia meledakkan Perisai
Naga tiga kali sebagai isyarat agar para penduduk desa keluar dari persembunyian
masing-masing Setelah mereka berkumpul dengan wajah terkagum kagum, Joko
Sungsang berkata,
' Sekarang desa ini tidak akan mereka ganggu
lagi. Hanya saja, saya mohon izin menemui mereka lagi di sini pada malam purnama
bulan ini. Maaf, saya harus secepatnya melanjutkan perjalanan.
"Anakmas, apakah tidak sebaiknya Anakmas
istirahat dulu barang semalam di desa ini agar kami
bisa menjamu Anakmas?" kata lelaki tertua itu mewakili penduduk desa,
' Terima kasih, Ki Mungkin lain waktu saya bisa
mampir lagi untuk menikmati keindahan pemandangan di sini "
' Kami sungguh berhutang budi kepada Anakmas" 'Saya pun sangat senang menerima kepercayaan dari penduduk desa ini, Ki. Maaf jika saya terpaksa mengecewakan penduduk
desa ini dengan menolak jamuan makan". Joko Sungsang tak lagi menunggu reaksi mereka. Sekali berkelebat, ia telah
menghilang dari pandang mata penduduk desa itu
' Sejak Pendekar Perisai Naga menghilang, baru
kali ini muncul pendekar budiman lagi," kata lelaki tertua itu seperti berbicara
kepada dirinya sendiri.
' Atau, siapa tahu dia tadi murid Pendekar Perisai Naga?" sahut yang lain.
"Kalau memang benar dia murid Pendekar Perisai Naga, artinya tidak benar berita yang aku terima ti-ga puluh tahun yang lalu
" ' Berita apa yang kau dengar, Ki?" tanya pemuda yang memiliki semangat juang itu.
' Menurut kabar, Pendekar Perisai Naga tewas
di tangan Hantu Lereng Lawu...."
' Gusti Allah! Lagi-lagi Hantu Lereng Lawu!" desah pemuda itu sambil mengepalkan tinjunya.
''Mudah-mudahan saja anak muda tadi bisa
membuktikan bahwa Pendekar Perisai Naga masih hidup sampai detik ini. Dan, kalau saja Adipati Sorengdriyo tahu, ia akan memiliki keberanian untuk
melawan orang sesat dari Lereng Lawu itu."
* * * 7 Adipati Sorengdriyo memicingkan mata mendengarkan penjelasan dari Mahesa Lawung tentang
munculnya Pendekar Perisai Naga. Ia tidak begitu saja mempercayai laporan itu.
Namun, untuk membantah,
ia pun tidak berani. Dalam hatinya timbul harapan, jika benar Pendekar Perisai Naga masih hidup, artinya ia akan terlepas dari
cengkeraman Hantu Lereng Lawu.
Sudah bisa dipastikan bahwa kemunculan Pendekar
Perisai Naga berarti kematian bagi Hantu Lereng Lawu.
"Sekarang, coba kau ceritakan bagaimana ciriciri anak muda itu," kata Adipati Sorengdriyo penasaran. "ia berpakaian serba
putih, rambut digelung
kecil di atas kepala, memakai ikat kepala kulit ular, dan bercambuk kulit ular
juga, Kakang Adipati,' jawab Mahesa Lawung.
''Ciri-cirinya memang mirip dengan ciri-ciri Wiku Jaladri" Adipati Sorengdriyo manggut-manggut "Tetapi, bisa saja setiap orang meniru pakaian orang lain.
Tetapi, tunggu! Kau perhatikan bagaimana ujud cambuk kulit ular yang dibawanya?"
"Bagaimana tidak aku perhatikan, Kakang Adipati" Cambuk itu sempat melilit leherku dan bola berduri di ujungnya seperti
menggigit-gigit urat leherku...." 'Bola berduri itu berwarna hijau-kebirubiruan?"tukas Adipati Sorengdriyo
' Benar, Kakang Adipati. Dan, bola itu juga yang
memutuskan tali pengikat pedangku. Anehnya, bola
berduri Itu seperti tidak menyentuh dadaku."
' Kalau begitu, sudah pasti dia murid Wiku Jaladri! Ya, tidak akan ada lagi manusia yang bersenjatakan Perisai Naga kalau
bukan orang yang berhubungan erat dengan Wiku Jaladri alias Pendekar Perisai
Naga!" Akhirnya Adipati Sorengdriyo berani mengambil kesimpulan.
"Lalu, menurut Kakang Adipati, langkah apa
yang harus kita ambil" Maksudku, apa kita harus menyampaikan pesan itu kepada Hantu Lereng Lawu,
atau...?" ' Atau kau pilih dicekik Hantu Lereng Lawu!"
tukas Adipati Sorengdriyo kesal ''Tentu saja harus secepatnya kita sampaikan
berita ini kepada orang sesat itu! Dengan begitu, secepatnya pula kita akan
terbebas dari cengkeramannya Lawung.
' Kakang Adipati yakin anak muda itu akan
mampu menghadapi Hantu Lereng Lawu?"
' Akan kita atur siasat agar dia menang dalam
pertarungan mereka di Desa Cemara Pitu nanti1"
' Siasat?" Mahesa Lawung melongo. Benar benar ia tidak mengerti jalan pikiran Adipati Sorengdriyo ini.
"Aku percaya, Kebo Dungkul tidak akan berdiam diri melihat Hantu Lereng Lawu bertarung melawan anak muda itu. Untuk itu, kita harus membuat
siasat agar Kebo Dungkul tidak bisa membantu Hantu
Lereng Lawu."
'Bagaimana jika Empu Wadas Gempal ikut turun tangan, Kakang Adipati?"
Adipati Sorengdriyo seperti tersadar dari mimpi.
Ia menghela napas berat. Angan-angannya untuk bisa
lepas dari cengkeraman orang-orang sesat dari Lereng Lawu itu pun buyarlah.
Bagaimanapun tingginya ilmu
anak muda yang mengaku sebagai murid Wiku Jaladri
itu, tak akan mampu ia menghadapi ilmu iblis Empu
Wadas Gempal. ' Kalaupun kita kerahkan seluruh orang di Kadipaten Banyu Asin, belum tentu bisa membantu murid Wiku Jaladri itu," jawab Adipati Sorengdriyo lesu.
' Jadi, lebih baik tidak kita sampaikan pesan
murid Pendekar Perisai Naga itu, Kang Adipati?"
' Kalau kau bisa menyediakan padi selumbung,
tak perlu kau sampaikan pesan anak muda itu!" ''Tapi...?" 'Setidaknya, kita bebas upeti bulan ini jika kita laporkan kejadian di
Desa Cemara Pitu tadi kepada
Hantu Lereng Lawu!" sahut Adipati Sorengdriyo menukas. 'Baiklah. Sekarang juga, aku akan pergi ke Lereng Lawu, Kakang Adipati," ujar Mahesa Lawung sebelum mundur dari hadapan penguasa Kadipaten
Banyu Asin itu.
* * * Menjelang matahari tenggelam, Joko Sungsang
tiba di Desa Sanareja, desa kelahirannya. Ia tidak kaget melihat perubahan
suasana desa itu. Wiku Jaladri telah menceritakan apa saja yang terjadi di desa
itu selama Joko Sungsang berada di Jurang Jero. Dan, untuk terakhir kalinya ia mendengar cerita tentang desa itu, yakni sewaktu Sekar
Arum hampir saja terbunuh
oleh Kebo Dungkul.
Langkah Joko Sungsang terhenti, la melihat sosok seorang lelaki berjalan menuju luar desa. Bergegas Joko Sungsang menyelinap
ke balik semak-semak. la
ingin tahu lebih dulu siapa lelaki itu. Kalau memang lelaki itu anak buah Kebo
Dungkul, ia merasa perlu
untuk menghindar, la tidak ingin kehadirannya di desa itu tercium oleh orangorang dari Lereng Lawu.
Dalam jarak lima tombak, Joko Sungsang bisa
mengenali wajah lelaki itu. la heran, kenapa Kebo
Dungkul membiarkan lelaki ini tetap hidup" Padahal,
menurut kabar yang diterimanya, semua lelaki penduduk asli Desa Sanareja harus mati sebagai tebusan
atas kematian orang orang dari Lereng Lawu yang tewas di desa itu. Rasa heran ini membuat Joko Sungsang muncul dari persembunyiannya dan menghadang
lelaki itu. Lelaki itu ketakutan begitu melihat seseorang
yang tidak dikenalnya menghalang halangi langkahnya. Secepatnya ia membalik langkah dan berlari.
Akan tetapi, dengan mudah Joko Sungsang membuat
lelaki itu menghentikan langkah seribunya. Dengan sa-tu loncatan, Joko Sungsang
menotok jalan darah di
punggung lelaki itu sehingga tubuh lelaki itu kejang.
Joko Sungsang memanggul tubuh lelaki itu dan
dibawanya ke tempat sepi, di pinggiran sebuah kuburan tua. Di tempat ini pula Joko Sungsang sering bermain dengan anak-anak
seusianya tujuh tahun yang
lalu. Ia masih ingat, di tempat ini ada rumah kosong yang bisa dipergunakan
untuk berbicara rahasia dengan lelaki yang dipanggulnya itu.
Joko Sungsang mengumpulkan ranting kering
dan membuat perapian sebelum membebaskan totokan di punggung lelaki itu. Begitu merasakan tubuhnya kembali normal, lelaki itu hendak berlari lagi. Namun, dengan Perisai
Naganya, Joko Sungsang menahan tubuh lelaki itu.
"Kang Dipo tak usah takut. Aku Joko Sungsang
yang hilang dari desa ini tujuh tahun yang lalu," kata Joko Sungsang sambil
membebaskan lilitan cambuk di
pinggang lelaki itu.
"Joko Sungsang" Eh, Den Joko?" Mulut Dipo
menganga. Matanya melebar seolah ia melihat hantu
kuburan tua itu.
"Ya, aku Joko, anak Ki Linggar. Tidak takut kan
sekarang?"
"Oh, syukurlah Den Joko selamat!" Dipo menepuk-nepuk dadanya sendiri.
' Bagaimana kabar Kang Dipo" Maksudku, kenapa Kang Dipo bebas keluar-masuk desa ini?"
' Ceritanya memalukan sekali, Den. Tetapi, lebih baik saya dipermalukan daripada saya mati dan tidak bisa membesarkan anak
saya " ' Jadi, Kang Dipo sudah punya anak7"
' Begitulah, Den. Tetapi, istri saya sekarang jadi..." Dipo tidak meneruskan kalimatnya. la menunduk menekuri ranting-ranting
kering yang mulai membara
' Jadi apa, Kang?" desak Joko Sungsang.
"Jadi orangnya Kebo Dungkul, Den."
' Maksud Kang Dipo, ia jadi anak buah Kebo
Dungkul?" ''Bukan, Den. Maksud saya, jadi... jadi perempuan nakal yang bekerja untuk Kebo Dungkul."
"Oh, aku mengerti," sahut Joko Sungsang.
"Desa ini sekarang sudah jadi desa maksiat,
Den. " "Aku juga sudah mendengar, Kang. Semua yang
terjadi di desa ini, aku sudah tahu."
'Tetapi, mungkin ada yang belum Den Joko ketahui. Soal Kerpa."
' Kenapa Kang Kerpa?"
' Saya benar-benar tidak mengira dia tega
membuat bencana di desanya sendiri, Den."
"Apa yang diperbuatnya, Kang?"
"Lho, Ki Demang, ayah Den Joko terbunuh tujuh tahun yang lalu, itu karena ulah Kerpa. "
' Ayahku dibunuh Kebo Dungkul, Kang. Dan,
malam itu Kang Kerpa tidak ada di kademangan," bantah Joko Sungsang.
' Memang, Den. Mungkin semua orang di desa
ini menganggap bahwa Kerpa sudah mati. Paling tidak, dia pasti juga sudah
minggat dari desa ini. Mungkin hanya saya dan istri saya yang tahu bahwa Kerpa
yang menyebabkan bencana di desa ini. Karena ulah Kerpa
maka Hantu Lereng Lawu menyuruh Kebo Dungkul
membunuh Ki Demang...."
' Maksud Kang Dipo, Kang Kerpa yang menaruh
mayat anak buah Hantu Lereng Lawu malam itu?" tu

Pendekar Perisai Naga 1 Hantu Lereng Lawu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kas Joko Sungsang menebak.
' Betul sekali, Den. Sebenarnya anak buah Hantu Lereng Lawu itu terbunuh di luar desa. Tetap, Kerpa membawa mayat itu ke
mulut desa agar desa ini di-timpa bencana kemarahan Hantu Lereng Lawu."
' Sekarang, di mana Kang Kerpa tinggal, Kang?"
' Dialah sekarang yang dipercaya Kebo Dungkul
untuk menjaga perempuan perempuan nakal di kademangan, bekas rumah Den Joko."
''Jangan kau bilang rumah kotor itu kademangan lagi, Kang," sahut Joko Sungsang. la tidak rela
nama kademangan dihubung-hubungkan dengan perbuatan maksiat.
"Oh, maafkan saya, Den. Maksud saya hanya
ingin menjelaskan bahwa rumah Den Joko sekarang..."
"Aku mengerti." Joko Sungsang menepuk bahu
Dipo. 'Saya senang jika Den Joko bisa membalaskan
sakit hati orang-orang sedesa ini kepada Kerpa."
' Maksud Kang Dipo, aku harus membunuh
Kang Kerpa?"
' Begitulah, Den. Saya kira semua penduduk
desa ini mengharapkan kematian Kerpa."
"Dia berbuat seperti itu karena dia ingin hidup,
Kang. Aku tahu, dulu dia sakit hati kepada ayahku sebab ayahku lebih mempercayai
Paman Perdopo. Padahal Paman Perdopo ilmu silatnya masih kalah setingkat dengan Kang Kerpa."
' Tetapi, menurut pendapat saya, Ki Demang
sudah berbuat adil, Den. Ki Demang memilih Perdopo
sebab Perdopo memang orangnya jujur dan setia."
' Jadi, sekarang dia sudah hidup enak, bukan?" "Hidup enak, tapi di atas kesengsaraan orang sedesa!" kata Dipo dengan
perasaan penuh amarah
dan dendam. ' Sekarang yang penting aku harus menolong istri Kang Dipo keluar dari rumah laknat itu. Siapa na-ma istri Kang Dipo?"
"Oh, terima kasih, Den. Maaf, saya tadi mau lari. Soalnya saya tidak mengenali Den Joko lagi. Untung Den Joko...."
"Aku tanya, siapa nama istri Kang Dipo?" tukas
Joko Sungsang. "Oh, anu, Den... Trinil! Dia dari Desa Cemara
Pitu, Den."
' Kang Dipo tunggu saja di sini. Nanti aku bawa
Yu Trinil ke sini."
''Hati-hati ya, Den?"
Akan tetapi, bayangan Joko Sungsang telah hilang dari pandang mata lelaki itu. Terkagum kagum
Dipo memikirkan ilmu silat Joko Sungsang. Maka dia
merasa pasti, Joko Sungsang akan dengan mudah
membawa Trinil kepadanya.
* * * Tak sulit bagi Joko Sungsang memasuki halaman rumah bekas kademangan itu tanpa diketahui
seorang pun. Ia hafal betul keadaan di sekeliling rumahnya itu.
Di regol, tampak orang-orang dari Lereng Lawu
berjaga-jaga. Dua buah obor besar menerangi tempat
itu. Joko Sungsang menyelinap masuk pekarangan lewat tembok pagar samping rumah. Kemudian ia melayang dan hinggap di bubungan atap rumah. Untuk
sejenak ia menajamkan telinga. Ia mendengarkan suara-suara yang datang dari pendopo. Memang ada suara
Kerpa di situ. Tetapi, bagaimana ia bisa mengenali suara Trinil"
Joko Sungsang membuka genting tanpa menimbulkan suara. Lalu tampak di matanya pemandangan yang menjijikkan di pendopo itu. Beberapa lelaki minum arak sambil merabaraba dada perempuan
yang berada di pangkuan mereka masing-masing.
'Terkutuklah mereka!" rutuk Joko Sungsang
dalam hati. Kemudian ia bergeser, mencari-cari genting yang berada tepat di atas
kamar belakang rumah itu.
Tentulah pemandangan di dalam kamar ini lebih menjijikkan lagi, pikirnya sebelum membuka sebuah genting. Di bawah sana, di tempat tidur yang dulu ditiduri Joko Sungsang dan Nyai Demang, seorang lelaki
sedang menggumuli seorang perempuan nakal. Tak ingin lama-lama Joko Sungsang memandang dua manusia penuh dosa itu. Maka ia melayang turun dan langsung menotok jalan darah di leher lelaki itu.
Lelaki itu menghentikan gumulannya. Ia merasa lehernya kaku sekali dan suara di tenggorokannya
hilang entah ke mana. Perempuan yang tadi memejamkan mata, langsung terbelalak ketika melihat Joko Sungsang berdiri di samping
pembaringan. ' Kenakan pakaianmu dan jangan coba-coba teriak!" ancam Joko Sungsang seraya memalingkan wajahnya. Setelah perempuan itu berpakaian, Joko Sungsang meraih golok yang tergeletak di meja kecil di sudut kamar itu dan
menempelkannya ke leher perempuan itu. ' Siapa namamu?" tanyanya.
"Min... Min... Minten...." Tergagap-gagap perempuan itu menjawab.
"Aku penggal lehermu dan leher kerbau ini jika
kau mencoba melawan perintahku!" kata Joko Sungsang sambil menuding lelaki yang terduduk di pojok
kamar dengan leher dan mulut kejang itu.
Perempuan itu mengangguk berulang-ulang
sambil menggigit bibirnya.
' Panggil ke sini temanmu yang bernama Trinil,
dan jangan coba-coba memberitahu seorang pun tentang kedatanganku di kamar ini. Mengerti?"
Mengangguk lagi perempuan itu. Setelah Joko
Sungsang menunjuk pintu kamar dengan golok di tangannya, perempuan itu setengah berlari keluar menuju pendopo rumah. Tak lama
kemudian ia kembali masuk
kamar dengan menggandeng perempuan yang dimaksudkan Joko Sungsang. Dengan sigap Joko Sungsang
menekap mulut Trinil yang hampir saja berteriak karena ketakutan.
Dengan gerakan yang sulit diikuti mata, Joko
Sungsang membuat ketiganya pingsan, dan kemudian
melayang kembali ke atas genting sambil memanggul
tubuh Trinil. Berseri-seri wajah Dipo memandang kedatangan Joko Sungsang yang memanggul tubuh Trinil. Tak
bisa dibayangkannya bagaimana cara anak muda itu
masuk rumah maksiat itu dan kembali dengan tanpa
menimbulkan keributan.
' Setelah Yu Trinil siuman, bawa secepatnya
pergi dari desa ini, Kang. Dan, untuk beberapa hari ini,
sebaiknya kalian jangan dulu kembali ke rumah kalian. Percayalah bahwa suatu hari nanti desa ini akan terbebas dari bencana,"
kata Joko Sungsang.
"Den Joko mau ke mana?"
"Aku harus menemui Nyai Demang, Kang."
"Di mana sekarang Nyai Demang, Den?"
"Tak usah Kang Dipo tahu. Yang pasti, Nyai
Demang dalam keadaan sehat. Nah, cepat tinggalkan
tempat ini sebelum mereka tahu apa yang terjadi di
kamar belakang itu."
"Baik, Den. Terima kasih, Den. Semoga Gusti
Allah selalu melindungi Den Joko."
* * * 8 Mahesa Lawung memutar otaknya setelah
mendengar pernyataan Adipati Sorengdriyo. Ia tidak
setuju jika kemunculan Pendekar Perisai Naga dipergunakan sebagai alasan untuk mengkhianati Hantu
Lereng Lawu. Bagaimanapun tingginya ilmu silat Pendekar Perisai Naga, tetap saja ia bocah ingusan. Tidak akan ia mampu mengalahkan
Hantu Lereng Lawu yang
telah malang-melintang di dunia persilatan selama puluhan tahun.
Kalaupun Wiku Jaladri turun tangan membela
muridnya, belumlah jaminan bahwa Hantu Lereng Lawu bisa mereka robohkan. Lagi pula, Empu Wadas
Gempal tidak mungkin akan berpangku tangan melihat murid tunggalnya terancam bahaya!
Lebih dari itu, Mahesa Lawung pun sudah telanjur merasakan kenikmatan yang didapatkannya dari hasil kerja sama antara punggawa Kadipaten Banyu
Asin dengan orang-orang Lereng Lawu. Dan, kenikmatan itu tak boleh berakhir begitu saja hanya karena
munculnya Pendekar Perisai Naga!
Maka setiba di hadapan Hantu Lereng Lawu,
tangan kanan Adipati Sorengdriyo ini sudah membulatkan tekad untuk tetap bekerja sama dengan orangorang sesat itu. Apalagi kedatangannya kali ini bersamaan dengan kedatangan Empu
Gajahmada 8 Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long Pedang Hati Suci 9

Cari Blog Ini