Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 10

06 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 10


Swandaru-mengangguk-angguk, sementara Pandan Wangi dan Sekar Mirahpun telah membenahi bekal yang akan mereka bawa ke Tanah Perdikan Menoreh.
Demikianlah, ketika fajar menyingsing dikeesokan harinya, maka sebuah iring-iringan kecil telah meninggalkan Sangkal Putung. Pandan Wangi dan Sekar Mirah telah dengan sengaja memakai pakaian sebagai seorang laki-laki, agar tidak menarik perhatian orang disepanjang jalan, seperti saat-saat ia pergi berkuda kemanapun juga, sementara orang-orang Sangkal Putung sendiri sudah terlalu sering melihat mereka dalam pakaian seperti itu, sehingga mereka sama sekali tidak merasa heran karenanya.
Tetapi pakaian mereka telah membuat mereka tidak dikenal sama sekali oleh orang-orang yang berpapasan dengar mereka disepanjang jalan, bahwa keduanya adalah perempuan.
Beberapa orang anak muda melepas mereka sampai keregol padukuhan, sementara dipadukuhan-padukuhan lain didalam lingkungan Kademangan Sangkal Putung, anak-anak muda memberikan salam dan ucapan selamat jalan.
Demikian mereka meninggalkan batas Kademangan Sangkal Putung, maka kuda merekapun berpacu semakin cepat. Agar tidak terlalu menarik perhatian, maka Swandaru, Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Prastawa berkuda dalam kelompok kecil didepan, kemudian beberapa puluh langkah dibelakang mereka adalah para pengawal Prastawa yang menyertainya sejak dari Tanah Perdikan Menoreh.
Swandaru sudah sepakat dengan Pandan Wangi dan Sekar Mirah, bahwa mereka tidak akan melewati kota Mataram. Rasa-rasanya tidak enak dihati jika mereka tidak singgah apabila satu dua orang yang dikenalnya melihat mereka lewat. Apalagi Ki Lurah Branjangan. Atau bahkan Raden Sutawijaya sendiri atau orang lain yang dapat saja memberitahukan kepadanya.
Karena itu, maka mereka telah memilih jalan lain yang melingkari batas kota yang menjadi semakin lama semakin ramai itu.
Ternyata perjalanan mereka tidak mengalami hambatan sama sekali. Mereka menempuh perjalanan yang cukup panjang itu, bagaikan perjalanan tamasya yang menyenangkan setelah beberapa lama mereka tidak pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.
Ketika mereka sampai ketepi Kali Progo, maka mereka telah beristirahat untuk beberapa lama. Meskipun mereka telah beristirahat pula sebelumnya, namun rasa-rasanya mereka menjadi semakin segar duduk diatas pasir tepian.
Prastawa justru sempat berbaring diatas pasir yang kering, sementara kuda mereka mengunyah rerumputan segar beberapa langkah dari mereka, tertambat pada pepohonan perdu.
Namun dalam pada itu, selagi orang-orang yang sedang dalam perjalanan itu menikmati segarnya udara ditepian, beberapa pasang mata tengah memandangi mereka dengan saksama dari seberang.
"Apakah mereka yang dimaksud ?" bertanya seseorang bertubuh tinggi tegap berdada bidang.
"Mungkin," sahut yang lain, "aku masih belum dapat melihat wajah-wajah mereka dengan jelas."
"Kita mendekat," desis yang lain.
"Tidak ada kawan menyeberang," desis orang bertubuh raksasa itu, "jika kita berempat saja menyeberang, maka mereka mungkin akan sempat memperhatikan kita."
"Mereka tidak akan menghiraukan orang-orang yang menyeberang," jawab yang lain pula.
Sejenak orang-orang itu merenungi beberapa orang yang sedang duduk ditepian diseberang.
"Tentu mereka," desis orang bertubuh raksasa itu, "Prastawa, kemanakan Ki Gede Menoreh, pergi ke Kademangan Sangkal Putung untuk menjemput anak perempuannya Ki Gede itu. Ia sudah terlalu rindu karena sudah terlalu lama anak perempuannya itu tidak menengoknya."
"Tetapi tidak seorang perempuan diantara mereka," berkata yang lain.
Orang bertubuh raksasa itu tidak menyahut. Dari kejauhan mereka memang tidak melihat, bahwa ada diantara orang-orang yang sedang beristirahat ditepian itu satu atau apalagi dua orang perempuan.
"Yang paling baik bagi kita adalah mendekat," desis seorang diantara mereka, "kita memanggil tukang satang, kemudian menyeberang tanpa menarik perhatian mereka. Tetapi jika kita tetap disini sambil memperhatikan mereka, maka mungkin sekali mereka akan merasa, bahwa kita telah memperhatikannya."
"Marilah," desis orang bertubuh raksasa itu, "kita menyeberang dan menepi dekat dengan tempat mereka beristirahat, agar jika kita melintas didekat mereka, kita tidak akan menarik perhatian.
Keempat orang yang berada diseberang sebelah Barat itupun kemudian memanggil tukang satang, dan minta agar mereka diseberangkan dan menepi ditempat yang mereka inginkan.
"Dekat dengan pohon benda itu," desis yang seorang.
"Pohon itu tidak berada ditepian. Tetapi beberapa puluh langkah lagi," jawab tukang satang.
"Maksudku, diarah pohon itu," orang yang ingin menyeberang itu menegaskan.
"Didekat orang-orang yang berhenti ditepian itu ?" tukang satang itu menegaskan.
"Ya. Ya. Kami agaknya tidak memperhatikan orang-orang itu," sahut salah seorang dari mereka.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, sebuah rakit telah meluncur menyeberang kali Progo yang berair coklat berlumpur.
Selama mereka berada diatas rakit, mereka hampir tidak berbicara apapun juga. Satu dua rakit yang lain, melintas didekat rakit mereka. Yang lain menyilang kearah yang berlawanan.
Saat itu, agaknya jalan tidak terlalu ramai. Tetapi ada juga satu dua orang pedagang yang membawa barang dagangan menyeberang.
Swandaru sama sekali tidak menghiraukan orang-orang yang berada diatas rakit. Yang menyeberang kearahnya maupun yang berlawanan. Angin yang lembut membuatnya mengantuk. Ketika ia melihat Prastawa memejamkan matanya, iapun tersenyum.
"Apakah kita akan menunggu senja disini," desis Swandaru.
"Tentu tidak," Pandan Wangilah yang menyahut, "kita akan langsung sampai ke induk Tanah Perdikan."
"Tetapi Prastawa akan tidur sejenak. Atau barangkali kita tinggal saja anak itu disitu," desis Swandaru.
Meskipun Prastawa memejamkan matanya, namun ia sempat tersenyum sambil menjawab, "Jika kalian akan pergi dahulu, pergilah. Tetapi beri aku kawan disini."
"Siapa?" bertanya Swandaru.
Prastawa hanya tersenyum saja. Namun ia masih tetap berbaring diatas pasir yang kering.
Sementara itu, sebuah rakit telah merapat ditepian. Empat orang berloncatan turun. Setelah memberikan sejumlah uang kepada tukang satang, maka merekapun melangkah meninggalkan rakit yang masih tetap berada ditepian, sementara tukang satangnya telah menambatkan rakitnya pada sebatang patok yang banyak terdapat ditepian.
Dengan hati-hati orang-orang itu mencoba mengamati beberapa orang yang berganti ditepian. Sambil menggamit kawannya, orang bertubuh raksasa itu bergumam, "Aku berani dipenggal leherku jika aku salah tebak. Ada diantara mereka orang perempuan."
"Ya," kawannya mengangguk-angguk, "aku sependapat."
Tetapi mereka tidak berhenti. Keempat orang itu melangkah terus sehingga mereka melintasi pasir tepian dan naik ke rerumputan yang tumbuh bercampur baur dengan batang ilalang.
Swandaru sama sekali tidak menghiraukan orang itu, seperti ia tidak menghiraukan rakit yang lain yang merapat pula ditepian. Namun justru Pandan Wangilah yang memperhatikan keempat orang yang naik kepadang rumput. Mereka tidak meninggalkan tepian dan naik kejalan yang meskipun tidak terlalu ramai, tetapi jalan itu merupakan jalur untuk turun ketepian jika seseorang ingin menyeberang.
Beberapa saat Pandan Wangi masih memperhatikan orang-orang itu. Meskipun yang dapat dilihatnya hanyalah kepala-kepala mereka, karena badan mereka telah terlindung oleh batang-batang ilalang.
Namun demikian Pandan Wangi tidak mengatakannya kepada siapapun juga, karena ia tidak dapat mengatakan alasan apapun untuk mencurigainya kecuali satu pertanyaan, kenapa orang itu tidak melintasi tepian dan naik ke jalan, tetapi mereka menghilang di balik rerumputan dan batang-batang ilalang.
Ternyata orang-orang lain dalam kelompok kecil itu tidak ada yang memperhatikan orang-orang itu pula. Sekar Mirah lebih tertarik meUhat rakit yang meluncur diatas air yang keruh. Sementara para pengawal Prastawa lebih senang duduk terkantuk-kantuk.
Oleh perasaan yang kurang mantap, maka Pandan Wangipun kemudian bertanya kepada Swandaru, "Kapan kita meneruskan perjalanan" Agaknya kita sudah cukup lama beristirahat."
Swandaru kemudian bangkit berdiri. Dipandanginya air sungai yang mengalir dihadapannya. Kemudian rakit yang masih tertambat. Dua orang tukang satang duduk ditepian sambil memeluk lututnya. Sekali-sekali keduanya mengerling kepada beberapa orang yang berhenti ditepian itu dengan penuh harap, agar orang-orang itu memanggil mereka dan menyuruh mereka membawa sekelompok orang itu bersama kuda-kuda mereka.
"Rakit itu dapat kita pergunakan," berkata Pandan Wangi.
"Baiklah," sahut Swandaru, "kita akan segera menyeberang."
Namun dalam pada itu Prastawa yang masih berbaring sambil memejamkan matanya berkata, "Aku masih segan bangkit."
"Tinggallah disini," desis Pandan Wangi. Prastawa terpaksa bangkit sambil menggeliat.
Namun iapun kemudian membenahi pakaiannya meskipun ia masih menguap.
"Aku hampir tertidur. Benar-benar tertidur," desisnya.
"Jika kau tidur, kami akan meninggalkan kau disini tanpa seorang kawanpun," sahut Pandan Wangi.
Prastawa tidak menjawab. Tetapi diluar sadarnya ia memandang Sekar Mirah yang sudah bersiap-siap pula untuk melanjutkan perjalanan.
Namun dalam pada itu, selagi mereka sibuk dengan kuda-kuda mereka, maka sekali lagi Pandan Wangi tertarik perhatiannya kepada keempat orang yang lewat beberapa langkah dihadapannya. Ternyata keempat orang itu telah berada diatas rakit yang membawa mereka-kembali keseberang. Agaknya mereka telah melingkar dan kembali ketepian beberapa puluh langkah dari tempat Pandan Wangi dan orang-orang yang bersamanya berisirahat.
Tetapi ternyata Pandan Wangi yang mencurigai mereka itu tidak lagi tinggal diam. Sambil menggamit Swandaru ia berdesis, "Kau perhatikan orang-orang itu kakang."
Swandaru mengerutkan keningnya. Katanya, "Kenapa dengan mereka ?"
"Baru saja mereka menyeberang kemari. Bukankah mereka yang beberapa saat yang lalu berjalan beberapa langkah dihadapan kita ?"
Swandaru mengerutkan keningnya. Sejenak ia memperhatikan orang-orang yang berada diatas rakit, namun yang sudah hampir sampai keseberang. Kemudian katanya, "Ya. Aku ingat kepada mereka."
"Bukankah sangat menarik, bahwa mereka dengan tergesa-gesa kembali keseberang ?" bertanya Pandan Wangi.
"Ya. Tetapi baiklah kita berpura-pura tidak mengetahui apa yang mereka lakukan," desis Swandaru.
Sekar Mirah dan Prastawapun kemudian bertanya pula, apa yang telah menarik perhatian mereka. Yang dengan singkat dijawab oleh Pandan Wangi, tentang empat orang yang mecurigakan itu.
Prastawa mengerutkan keningnya. Kemudian iapun berdesis, "Kita memang harus berhati-hati."
Swandaru sekali lagi memandang keempat orang yang telah sampai keseberang. Ia melihat betapa keempat orang itu dengan tangkasnya meloncat kepasir tepian.
"Apakah maksud mereka," desis Swandaru.
"Apakah kau dapat menduga, siapakah mereka ?" bertanya Pandan Wangi kepada Prastawa.
"Biasanya Tanah Perdikan menoreh selalu tenang. Entahlah, siapa mereka itu," jawab Prastawa.
Swandaru tidak bertanya lagi. Iapun kemudian menuntun kudanya kearah sebuah rakit yang berhenti.
Dengan rakit itulah, maka iring-iringan itupun menyeberang. Perlahan-lahan mereka meluncur diatas air yang keruh.
Sementara itu, di seberang yang lain, keempat orang yang telah melintasi sungai itu menunggu rakit itu dengan hati yang berdebar-debar. Salah seorang dari mereka bertanya, "Apakah kita akan memberitahukan kedatangan mereka kepada Ki Lurah ?"
"Sebaiknya memang demikian. Panggillah Ki Lurah kemari," jawab orang tertua diantara mereka.
Sejenak kemudian seorang diantara mereka menyelinap menghilang diantara pepohonan. Ketika ia kemudian kembali, maka ia datang bersama seorang yang sudah separo baya.
"Anak-anak manis itu telah datang," desisnya.
"Ya Ki Lurah," jawab salah seorang dari mereka.
"Kita harus dapat mengambil keputusan, apakah kita akan bertindak atas mereka, atau kita akan menunggu," desis orang yang disebut Ki Lurah.
"Mereka berjumlah tujuh orang. Dua diantara mereka tentu perempuan," sahut yang lain.
"Kita berlima sekarang," berkata kawannya.
Orang yang disebut Ki Lurah itu termangu-mangu. Kemudian katanya, "Kita mempunyai beberapa pilihan. Kita dapat bertindak sekarang, atau nanti jika mereka kembali ke Sangkal Putung. Jumlah mereka tentu berkurang. Anak Tanah Perdikan Menoreh beserta pengawalnya itu tentu tidak akan ikut lagi ke Sangkal Putung."
Kawan-kawannya berpikir sejenak. Namun seorang yang bertubuh raksasa itu berkata, "Tetapi kapan mereka akan kembali ke Sangkal Putung. Kita akan kehilangan waktu beberapa hari lagi."
"Tetapi kau jangan sekedar terburu nafsu. Kau harus menghitung kekuatan orang-orang itu. Yang seorang adalah murid orang bercambuk itu. Ia adalah saudara seperguruan Agung Sedayu, meskipun mungkin ia tidak mempunyai kemampuan setingkat Agung Sedayu yang telah dapat membunuh murid terbaik dari Gunung Kendeng."
"Dua orang perempuan itu tentu Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Keduanya adalah harimau betina yang harus diperhitungkan. Disamping mereka masih ada empat orang lagi. Ampat orang yang tentu harus diperhitungkan pula betapapun lemahnya mereka itu," berkata orang yang disebut Ki Lurah.
"Kita semuanya berjumlah lima orang," desis orang bertubuh raksasa itu, "apakah kita tidak akan dapat mengalahkan mereka " Serahkan kedua orang perempuan itu kepadaku."
Orang yang disebut Ki Lurah itu tertawa. Katanya, "Kau akan dibantai mereka sampai lumat. Sudah aku katakan, kedua perempuan itu adalah macan betina yang garang. Yang seorang adalah anak dan sekaligus murid Ki Gede Menoreh dengan pedang rangkapnya, yang seorang adalah muirid saudara seperguruan Patih Mantahun dari Jipang yang disebut orang bernyawa rangkap dengan senjata yang mengerikan, tongkat baja putih berkepala tengkorak berwarna kuning."
Orang bertubuh raksasa itu mengerutkan keningnya. Orang yang disebutnya Ki Lurah itu adalah orang yang luar biasa. Tetapi ia masih membuat perhitungan yang cermat terhadap lawan-lawan yang kurang meyakinkan itu.
"Mungkin aku dapat bertempur melawan dua orang diantara mereka," berkata orang yang disebut Ki Lurah itu, "tetapi satu diantara kedua perempuan itu akan dapat membunuh dua orang diantara kita. Selebihnya, ampat orang yang lain akan melubangi perut kalian berdua yang lain."
Orang itu tidak berbicara lagi. Ki Lurah itu tentu mempunyai pertimbangan yang mapan sehingga ia harus memperhitungkan segalanya dari berbagai segi pandangan.
"Biarlah mereka lewat," berkata orang yang disebut Ki Lurah itu, "tetapi kita akan menunggu mereka kembali. Lawan kita tentu sudah berkurang. Kita akan membunuh mereka yang sedang dalam perjalanan kembali ke Sangkal Putung itu."
Kawan-kawannya hanya mengangguk-angguk saja.
"Mereka sudah sampai ketepian. Marilah, kita tinggalkan tempat ini. Jika mereka mencurigai kita dan bertindak lebih dahulu, kita akan mengalami kesulitan," berkata orang yang disebut Ki Lurah itu.
Ternyata kehma orang itupun kemudian meninggalkan tepian memasuki padang perdu menyusup dibalik gerumbul-gerumbul menuju kepadukuhan terdekat, yang hanya berjarak beberapa puluh langkah saja.
Swandaru dan Pandan Wangi melihat kelima orang itu pergi. Prastawa dan Sekar Mirahpun diberitahukannya juga. Agaknya kelima orang itu tidak akan bertindak atas mereka.
"Mereka agaknya hanya mengawasi kita saja," desis Sekar Mirah.
"Mungkin mereka menunggu ditempat lain. Atau mereka membuat perhitungan tertentu," desis Swandaru, "yang penting kita harus berhati-hati."
Orang-orang dalam kelompok kecil itupun segera turun dari rakit beserta kuda-kuda mereka. Setelah membayar upah menyeberang, maka merekapun segera melanjutkan perjalanan. Yang kemudian berkuda dipaling depan adalah Prastawa. Ia merasa, bahwa ia berkewajiban untuk merintis jalan bagi tamu-tamunya, karena mereka sudah berada ditlatah Tanah Perdikan Menoreh."
Namun demikian, sekelompok orang-orang berkuda itu tidak kehilangan kewaspadaan. Bahaya dapat menyergap dimana-mana. Juga di Tanah Perdikan Menoreh yang biasanya dihputi oleh suasana yang tenang.
Tetapi ternyata mereka tidak mengalami gangguan apapun juga. Mereka melintasi bulak-bulak panjang dengan kecepatan yang tidak terlalu tinggi. Namun tidak seorangpun yang datang mengganggu, atau bahkan mencegat perjalanan mereka.
Pandan Wangi menjadi gelisah ketika mereka mendekati induk padukuhan dari Tanah Perdikan Menoreh. Rupa-rupanya ia memasuki daerah kenangan yang sudah lama sekali ditinggalkannya.
Dengan demikian, diluar sadarnya, maka kudanya telah berlari semakin cepat. Rasa-rasanya ingin sekali ia segera datang menghadap ayahnya.
Namun akhirnya sekelompok orang-orang berkuda itu sampai juga keregol rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Betapa debar jantung Pandan Wangi terasa semakin cepat. Hampir tidak sabar ia mendahului Prastawa memasuki regol dan kemudian meloncat turun dihalaman.
Demikian ia menambatkan kudanya, maka iapun segera berlari kependapa.
Dalam pada itu, seorang pengawal telah memberitahukan kehadiran Prastawa bersama beberapa orang dari Sangkal Putung, termasuk Pandan Wangi. Karena itulah maka iapun kemudian tergesa-gesa menyambut mereka kependapa.
Demikian Ki Gede Menoreh membuka pintu pringgitan, Pandan Wangi bergeser mendekat. Sejenak diamatinya orang yang berdiri dipintu. Dilihatnya wajah ayahnya yang nampaknya demikian cepat menjadi tua, meskipun tubuhnya masih nampak tegap dan segar.
"Ayah," Pandan Wangipun kemudian berlari memeluk ayahnya. Seperti seorang ayah yang menyambut anaknya datang dari rantau maka Ki Gede Menoreh-pun mendekap kepala anaknya. Sambil membelai rambut Pandan Wangi ia berkata, "Selamat datang anakku. Marilah, duduklah bersama suamimu dan adikmu."
Terasa wajah Pandan Wangi menjadi basah. Iapun kemudian melepaskan pelukannya.
"Duduklah," sekali lagi ayahnya mempersilahkan. Pandan Wangipun kemudian melangkah kembali ketengah-tengah pendapa. Swandaru dan Sekar Mirah yang masih berdiripun mengangguk hormat pula kepada Ki Gede Menoreh.
"Marilah ngger," Ki Gede berkata sambil tersenyum, "duduklah."
Ketiganyapun kemudian duduk diatas tikar pandan yang terbentang dipendapa. Sementara Prastawa bersama pengawalnya langsung membawa kuda mereka kebelakang.
Namun dalam pada itu. Pandan Wangi melihat sesuatu yang mendebarkan pada ayahnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, "Apakah kaki ayah sakit ?"
Ki Argapati yang kemudian duduk pula bersama mereka tersenyum. Sambil memijit kakinya ia berkata, "Keadaan kakiku agaknya memang kurang baik pada akhir-akhir ini. Kadang-kadang kakiku terasa sakit tanpa sebab. Untuk lima sampai enam hari rasa sakit itu bagaikan mencengkam. Namun kemudian perasaan sakit itu hilang dengan sendirinya. Tetapi pada saat lain, rasa sakit itu kambuh untuk lima enam hari pula."
Wajah Pandan Wangi menegang. Ia sadar, bahwa kaki ayahnya memang sudah cacat. Dalam keadaan tidak kambuh sekalipun, apabila ayahnya terlibat dalam pertempuran yang keras, maka kakinya akan terasa sakit. Bahkan kadang-kadang kaki itu telah mengganggunya sehingga ia kehilangan sebagian dari kesempatannya.
Dan kini, agaknya keadaan kaki ayahnya itu menjadi semakin buruk.
"Tetapi jangan hiraukan kakiku," berkata Ki Argapati sambil tertawa, "katakan, bagaimana keadaan kalian diperjalanan. Dan bagaimana keadaan seluruh keluarga di Sangkal Putung."
Swandarulah yang kemudian menjawab, "Kami dalam keadaan selamat dan baik Ki Gede. Keluarga di Sangkal Putungpun dalam keadaan sehat dan selamat."
"Sokurlah Menoreh juga dalam keadaan sejahtera. Meskipun barangkali tidak dapat menyamai sejahteranya Sangkal Putung," berkata Ki Gede sambil tertawa.
Swandarupun tertawa pula. Jawabnya, "Tentu Tanah Perdikan ini mempunyai beberapa kelebihan."
Ki Gede Menoreh masih tertawa. Ketika ia melihat Prastawa naik pula kependapa, ia berkata, "Prastawa, pamanmu Waskita ada disini. Panggilah. Ia berada digandok. Biarlah ia ikut menyambut anak-anak dari Sangkal Putung ini."
Prastawapun kemudian bergeser surut. Dengan langkah yang cepat ia menuju ke gandok sebelah kanan.
Ki Waskita yang sedang sibuk dengan lampu yang agaknya kehabisan minyak terkejut melihat Prastawa masuk ke gandok. Apalagi ketika anak muda itu berkata, "Paman, aku datang bersama kakang Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah."
"O, dimana mereka sekarang ?" bertanya Ki Waskita.
"Mereka berada dipendapa," jawab Prastawa.
"Bagus. Aku akan datang setelah aku mencuci tanganku," desis Ki Waskita. "Biarlah anak-anak nanti menyalakan lampu ini."
Ki Waskitapun kemudian dengan tergesa-gesa mencuci tangannya, dan yang dengan tergesa-gesa pula pergi mendapatkan tamu-tamu dari Sangkal Putung yang telah berada dipendapa.
"Paman sudah lama berada disini ?" bertanya Swandaru.
"Baru kemarin aku datang," jawab Ki Waskita, sementara Prastawa menyambung, "Ketika aku pergi ke Sangkal Putung, paman Waskita belum datang."
"Rasa-rasanya ada yang menggerakkan aku datang kemari," berkata Ki Waskita kemudian, "ternyata aku akan bertemu dengan anak-anak muda Sangkal Putung."
"Suatu kebetulan paman, atau paman memang sudah melihat bahwa kami akan datang hari ini," desis Pandan Wangi.
"Ah, tentu tidak," jawab Ki Waskita sambil tersenyum, "tetapi agaknya ada juga sentuhan dihati ini, sehingga aku telah memerlukan datang kemari."
"Tentu paman sudah melihat satu isyarat, bahwa kami bertiga akan datang hari ini dari Sangkal Putung," berkata Pandan Wangi pula, "atau barangkali ada isyarat lain yang harus paman sampaikan kepada kami, sehingga paman telah menunggu kami disini."
"Kau aneh-aneh saja Pandan Wangi. Kau kira aku melihat apa saja yang bakal terjadi " Jika demikian, alangkah senangnya, karena aku tentu sudah melihat, kapan aku akan diundang oleh Ki Demang Sangkal Putung dalam peralatan perkawinan anak gadisnya," jawab Ki Waskita sambil tertawa.
Yang lainpun tertawa pula. Tetapi Sekar Mirah telah menundukkan kepalanya dalam-dalam. Pipinya terasa menjadi hangat dan jantungnya menjadi semakin berdebar-debar. Namun akhirnya iapun tersenyum pula.
Tanggapan yang lain nampak pada wajah Prastawa. Tetapi ia berusaha menghapus segala kesan diwajahnya.
Ternyata kehadiran Pandan Wangi di Tanah Perdikan Menoreh itu membuat Ki Argapati menjadi gembira. Rasa-rasanya hidupnya yang terasa kering itu menjadi segar. Kehadiran anak gadisnya seakan-akan titik air yang menyiram tanah perdikan Menoreh yang kering dimusim kemarau.
Atas permintaan Ki Gede Monereh, maka Pandan Wangi, Swandaru dan Sekar Mirah akan berada di Tanah perdikan Menoreh untuk beberapa hari. Rasa-rasanya Ki Gede Menoreh masih belum dapat melepaskan rindunya kepada anak dan menantunya.
Selama di Tanah Perdikan Menoreh, Pandan Wangi mempergunakan waktunya untuk menjelajahi seluruh Tanah Perdikan seperti ketika ia masih tinggal bersama ayahnya. Ditemuinya kawan-kawannya bermain. Rasa-rasanya yang pernah dikenal dan hanya tinggal didalam kenangan itu, telah terulang kembali.
"Kau masih tetap seperti seorang gadis," desis seorang kawannya yang sebaya.
"Ah, tentu tidak," sahut Pandan Wangi.
"Aku sudah mempunyai seorang anak laki-laki," berkata kawannya.
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ketika kemudian kawannya mengambil anaknya dari ruang dalam, seorang anak laki-laki yang sangat manis, terasa hatinya telah tersentuh.
"Marilah, biarlah aku mendukungnya," minta Pandan Wangi.
"Ah, kau hanya pantas bermain pedang," jawab kawannya sambil tersenyum.
Pandan Wangi tersenyum pula. Namun betapa hatinya telah bergejolak. Ia sadar, bahwa kawannya hanya ingin bergurau. Tetapi gurau itu benar-benar telah terasa menghunjam dipusat jantung.
Betapa ia mampu menguasai ilmu pedang rangkap, namun ilmu itu justru hanya melibatkan kedalam pertentangan yang satu kepertantangan yang lain.
Tiba-tiba terbersit perasaan iri dihatinya melihat kawannya dengan anak laki-lakinya yang manis. Ketika ia kemudian mendukung anak itu ditangannya, maka tiba-tiba saja ia telah menciuminya. Tanpa sesadarnya, pipi anak itupun menjadi basah.
Tetapi Pandan Wangi masih mampu bertahan. Kawannya sama sekali tidak menyangka bahwa pipi anaknya telah dibasahi oleh titik air dari mata Pandan Wangi yang kemudian telah menyelubungi dengan sikap. Ia berjalan hilir mudik sambil mengayun-ayun anak itu ditangannya.
Meskipun sekali-sekali ia mengusap matanya, namun kawannya menyangka bahwa justru anaknyalah yang telah mengotori wajah Pandan Wangi.
"Marilah, biarlah aku gendong anak nakal itu," berkata kawannya.
"Biarlah. Beri aku kesempatan sebentar lagi," jawab Pandan Wangi sambil membelakangi kawannya. Tetapi ia masih mengayun anak itu yang sekali-kali justru tertawa gembira.
Ketika kemudian Pandan Wangi kembali ke rumahnya, kesan tentang seorang anak laki-laki yang manis itu masih terasa mencengkamnya. Bagaimanapun juga ia adalah seorang perempuan. Ia tidak akan dapat berkawan dengan pedang untuk selamanya. Pada suatu saat, ia akan merindukan seorang anak yang tidur disampingnya. Seorang anak yang akan dapat menyambung darah keturunannya.
Ketika disore hari. Pandan Wangi duduk dipendapa bersama ayah, suami dan adik iparnya, maka ia tidak merahasiakan perasaannya. Dengan sepenuh perasaan ia menceriterakan betapa kawannya merasa bahagia dengan menimang anak bayinya.
"Tidak selamanya aku harus menimang pedang," desis Pandan Wangi.
Ki Argapati mengangguk-angguk. Ia mengerti perasaan anak perempuannya. Pada suatu ketika ia memang akan merindukan seorang anak laki-laki atau perempuan. Namun anaknya itu masih belum dikurniai momongan. Bahkan tanda-tandanyapun belum ada.
"Apakah ia terlalu banyak mengisi waktunya dengan berlatih olah kanuragan," bertanya Ki Argapati didalam hatinya.
Tetapi Ki Argapati tidak mengucapkannya. Ia yakin, bahwa anaknya akan dapat memilih saat dan menentukan keadaan. Namun apabila Yang Maha Kasih memang belum mengkurniainya, maka betapapun juga, Pandan Wangi masih harus bersabar.
Dalam pada itu, setelah beberapa hari Pandan Wangi berada di Tanah Perdikan Menoreh, maka pada satu kesempatan yang baik, Ki Argapatipun berkata kepadanya dan kepada menantunya tentang keadaannya dan tentang keadaan Tanah Perdikan Menoreh yang semakin lama menjadi semakin mundur.
"Persoalannya tidak terlalu tergesa-gesa untuk dipecahkan," berkata Ki Argapati, "tetapi sudah pasti, bahwa kodrat seseorang akan sampai juga pada batasnya. Aku menjadi semakin tua. Keadaan tubuhku menjadi semakin lemah. Ternyata bahwa cacad kakiku menjadi semakin parah. Pada mulanya, kakiku lidak pernah kambuh jika aku tidak terlibat dalam pengerahan tenaga yang berlebih-lebihan. Tetapi kini ternyata rasa sakit itu datang tanpa sebab. Aku tidak menyesalinya karena hal itu adalah akibat yang wajar dari tingkah lakuku sendiri. Namun, sudah sewajarnya pula bahwa sejak saat ini aku mulai berpikir tentang masa datang bagi Tanah Perdikan ini. Pada saatnya aku akan tidak mampu lagi melakukan kewajibanku."
Swandaru mendengarkan keterangan Ki Gede Menoreh itu dengan saksama. Ia mengerti dan menyadari sepenuhnya perasaan mertuanya itu. Iapun tidak dapat ingkar, bahwa hari depan Tanah Perdikan Menoreh akan menjadi satu persoalan yang harus dipecahkan. Anak Ki Argapati hanya seorang, Pandan Wangi. Dan Pandan Wangi telah menjadi isterinya.
"Apakah aku akan meninggalkan Sangkal Putung dan kemudian tinggal di Tanah Perdikan Menoreh " " pertanyaan itu tumbuh dihati Swandaru.
Namun dari dasar hatinya yang dalam, ia tidak akan sampai hati meninggalkan Kademangan yang telah dibinanya. Ia adalah satu-satunya anak laki-laki. Saudaranya satu-satunya adalah seorang perempuan. Meskipun Sekar Mirah kelak akan kawin pula, dan bakal suaminya-pun telah dikenalnya dengan baik, tetapi, apakah ia akan dapat berpisah dengan Sangkal Putung.
"Disini aku hanya seorang menantu. Jika aku tinggal disini, maka aku adalah seorang laki-laki yang menumpang pada isterinya," berkata Swandaru didalam hatinya, sebagaimana sifatnya yang selalu dipengaruhi oleh harga diri. Tetapi sebenarnyalah bahwa Swandaru akan sangat berkeberatan untuk berpisah dengan Tanah Kademangan yang sudah lama dibinanya.
Dengan demikian maka Swandaru itupun sama sekali tidak menjawabnya. Ia masih dicengkam oleh kekaburan sikap menanggapi masalah yang dilontarkan oleh mertuanya.
Namun dalam pada itu, Ki Argapati berkata, "Sudah aku katakan, bahwa persoalannya tidak terlalu tergesa-gesa untuk dipecahkan. Karena itu maka aku tidak ingin mendegar jawabanmu sekarang. Kau masih mempunyai waktu untuk memikirkannya. Karena menurut kenyataan lahiriah aku masih sehat. Hanya kadang-kadang saja kakiku terasa sakit. Namun dalam waktu pendek akan segera sembuh kembali. Namun segalanya memang berada ditangan Yang Maha Kuasa."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya, "Baiklah Ki Gede. Aku akan memikirkannya. Persoalan itu adalah persoalan yang wajar, dan yang memang harus mendapat perhatian. Pada saatnya masalah itu memang harus mendapat jawaban, karena Tanah Perdikan Menoreh, maupun Kademangan Sangkal Putung tidak boleh berhenti tanpa berkelanjutan."
"Bagus sekali," sahut Ki Gede, "kau benar-benar sudah berpikir dengan matang. Aku sangat berbesar hati. Pemikiran yang sungguh-sungguh memang akan menghasilkan keputusan yang mapan. Apalagi masalahnya adalah masalah yang menentukan bagi satu daerah yang mempunyai masalahnya masing-masing, dan satu daerah yang menjadi wadah dari berbagai bentuk kehidupan dan persoalan."
Swandaru mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab lagi.
Karena itu, maka Ki Gedepun berpesan kepada anak perempuannya, "Cobalah membantu suamimu. Apa yang baik menurut pendapatmu, sehingga pada saatnya suami-mu akan dapat mengambil satu keputusan yang baik, mapan dan menguntungkan segala pihak."
"Aku akan mencoba ayah," berkata Pandan Wangi.
"Sekali lagi aku beritahukan bahwa persoalannya tidak sangat tergesa-gesa. Aku akan menunggu," berkata Ki Gede Menoreh.
Swandaru dan isterinya menyadari, bahwa hal itu adalah hal yang penting sehingga ayahnya menyuruh Prastawa datang menjemputnya di Sangkal Putung. Meskipun ayahnya selalu mengatakan bahwa persoalannya tidak tergesa-gesa, namun persoalan itu memang harus sudah mulai dipikirkan.
Demikianlah, setelah Ki Argapati menyampaikan masalah itu kepada anak dan menantunya, maka rasa-rasanya sebagian beban dihatinya telah diletakkannya diatas pundak anak dan menantunya, yang akan dapat membantu memikulnya.
Swandaru dan Pandan Wangipun merasa, bahwa masalah yang terpenting telah disampaikan oleh Ki Argapati kepada mereka, sehingga mereka sudah dapat meninggalkan Tanah Perdikan itu apabila perasaan rindu mereka terhadap Tanah itu sudah terobati.
Karena itu, maka dihari berikutnya, rasa-rasanya Pandan Wangi hanya sekedar menuntaskan rasa rindunya kepada Tanah Perdikan tempat ia dilahirkan. Ia mengunjungi kawan-kawannya dan tempat-tempat yang pernah memberikan kesan tertentu. Kadang-kadang ia pergi bersama suaminya, namun kadang-kadang ia pergi bersama Sekar Mirah.
Namun dalam pada itu, agaknya Sekar Mirah kadang-kadang menentukan acaranya sendiri. Diluar pengetahuan Swandaru dan Pandan Wangi, kadang-kadang Sekar Mirah telah menentukan untuk melihat sesuatu yang menarik hatinya bersama Prastawa. Bahkan Prastawa dengan sengaja telah mengajak Sekar Mirah ketempat-tempat yang asing bagi gadis Sangkal Putung itu.
Ada semacam perasaan kurang senang pada Swandaru melihat tingkah adiknya. Namun iapun merasa segan untuk menegurnya. Jika isterinya salah paham, seolah-olah ia tidak percaya kepada adik sepupunya, maka persoalannya akan bergeser menjadi persoalannya dengan isterinya.
Karena itu, maka Swandaru hanya dapat menahan perasaannya itu didalam dadanya. Tetapi kadang-kadang dengan sengaja ia telah membawa Sekar Mirah pergi bersamanya mengelilingi Tanah Perdikan Menoreh yang dibatasi oleh pegunungan yang membujur panjang, bersama Pandan Wangi.
Namun dalam kesempatan yang demikian, Prastawa tentu ikut serta bersama mereka.
"Aku tidak mengerti, apakah maksudnya," bertanya Swandaru kepada diri sendiri.
Namun hal itu, seolah-olah telah mendesak Swandaru untuk segera meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh, membawa adik perempuannya itu kembali ke Sangkal Putung, sebelum sesuatu yang tidak dikehendakinya berkembang lebih jauh.
"Prastawa memang mempunyai sifat dan watak yang lebih menarik dari kakang Agung Sedayu," berkata Swandaru didalam hatinya, "anak ini nampak gembira, terbuka dan sedikit sombong. Tetapi bagi seorang perempuan sifat yang demikian nampaknya memang lebih menarik."
Tanpa menimbulkan kesan yang kurang baik pada Pandan Wangi, maka Swandaru telah bertanya kepada isterinya, apakah mereka sudah cukup lama berada di Tanah Perdikan Menoreh.
"Jika keadaan Sangkal Putung tidak sedang dibayangi oleh peristiwa yang terjadi di Jati Anom, maka aku kerasan tinggal disini untuk waktu yang lebih lama lagi," berkata Swandaru.
Pandan Wangi menyadari, bahwa Ki Demang Sangkal Putung tentu sudah gelisah menunggu kedatangan mereka kembali. Bahkan jika terjadi sesuatu, maka semua pihak tentu akan menyesalinya.
Karena itu, maka Pandan Wangipun sependapat, bahwa mereka akan segera kembali ke Kademangan Sangkal Putung setelah mereka berada di Tanah Perdikan Menoreh beberapa saat lamanya.
"Kenapa kalian demikian tergesa-gesa kembali ?" bertanya Ki Gede Menoreh.
"Keadaan Sangkal Putung agak menggelisahkan akhir-akhir ini ayah," Pandan Wangi yang menjawab, "sementara kita bertiga disini, maka kemungkinan yang tidak kita kehendaki nnungkin sekali terjadi di Sangkal Putung."
Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Ia sudah mendengar ceritera anak-anak Sangkal Putung itu, tentang apa yang telah terjadi di Jati Anom. Karena itu, maka iapun tidak ingin menahannya lebih lama lagi.
"Baiklah," berkata Ki Argapati, "sementara kau berada di Sangkal Putung, kau akan sempat memikirkan persoalan yang aku katakan. Tidak usah dengan hati yang risau, karena persoalannya sekali lagi aku katakan tidak terlalu tergesa-gesa.
Demikianlah maka Swandaru dan Pandan Wangipun memutuskan, dikeesokan harinya, mereka akan kembali ke Sangkal Putung, setelah untuk beberapa lama mereka tinggal di Tanah Perdikan Menoreh. Dalam pada itu, dibagian yang agak terpisah dari daerah yang ramai, beberapa orang menunggu dengan tidak sabar lagi, seolah-olah Swandaru telah bertahun-tahun berada di Tanah Perdikan Menoreh. Salah seorang dari mereka telah membujuk seseorang agar orang itu memberitahukan kepadanya, kapan Swandaru akan kembali.
"Untuk apa ?" bertanya orang itu ketika seseorang menemuinya di pategalan dan menyatakan keinginannya untuk mengetahui saat Swandaru kembali ke Jati Anom.
"Tidak apa-apa," jawab orang itu, "aku hanya ingin mengejutkannya. Aku adalah kawannya yang sudah lama tidak bertemu."
Orang itu termangu-mangu. Namun iapun kemudian tertegun melihat beberapa keping uang ditangan orang yang membujuknya itu.
"Kau akan mendapat uang ini jika kau bersedia membantu aku. Kau tidak usah berbuat apa-apa. Kau hanya mengatakan kepadaku Jika kau mengetahui atau mendengar dari siapapun juga, kapan Swandaru akan kembali." bujuk orang itu pula, "dan kau tidak akan bertanggung jawab tentang apapun juga."
Rasa-rasanya beberapa keping uang itu telah menggelitiknya pula. Karena itu, maka katanya, "Aku akan mengatakannya, jika aku mengetahuinya. Tetapi dimana aku dapat bertemu dengan kau lagi ?"
"Aku akan menjumpaimu dipategalan ini setiap kali." Demikianlah, seperti yang dikatakan, maka orang itu telah menemuinya pula dipategalan itu dihari berikutnya. Ternyata bahwa orang yang berada dipategalannya itupun sudah mendengar dari orang-orang disekitar rumah Ki Gede, bahwa Swandaru akan kembali pada saat matahari terbit dihari berikutnya.
"Darimana mereka megetahuinya," bertanya orang yang membujuknya itu.
"Mereka mendengar dari para pembantu dirumah Ki Gede. Anak Demang Sangkal Putung, bersama isteri dan adiknya akan kembali besok. Mereka sudah mengemasi barang-barang yang akan dibawanya," jawab orang itu.
Orang yang bertanya tentang Swandaru itu tertawa. Katanya, "Omong kosong. Mereka tentu belum akan mengemasi pakaian atau barang-barangnya yang lain sejak orang-orang itu mendengar berita itu."
"Tetapi mereka berkata begitu," orang itu bertahan.
"Baiklah. Aku akan menepati janjiku. Aku akan menyerahkan uang ini kepadamu. Tetapi aku masih minta kau berjanji," berkata orang yang telah menimang uang ditangannya.
"Janji apa?" "Jangan mengatakannya kepada siapapun juga. Kepada isterimupun jangan agar kau tidak mendapat malapetaka karenanya."
Orang itu termangu-mangu. Tetapi iapun menerima uang yang diberikan kepadanya. Uang beberapa keping itu tentu akan sangat berguna baginya.
"Aku hanya berjanji untuk tidak mengatakannya kepada siapapun juga," berkata orang itu didalam hatinya, "sementara keberangkatan anak Sangkal Putung itu telah diketahui oleh banyak orang, terutama dipadukuhan induk."
Karena itu, maka orang itupun merasa, bahwa ia tidak bersalah dengan perbuatannya itu.
Namun dalam pada itu, berita itu ternyata merupakan berita penting bagi orang-orang yang berada dipadukuhan kecil yang agak terpisah oleh bulak panjang dari padukuhan-padukuhan Tanah Perdikan Menoreh yang lain.
"Kita akan mencegatnya," berkata orang yang tertua diantara mereka.
"Kita sudah kehilangan banyak waktu Ki Lurah," berkata salah seorang dari mereka.
"Sudah aku katakan sejak mereka datang ke Tanah Perdikan ini," sahut seorang yang bertubuh raksasa.
"Baiklah," orang yang disebut Ki Lurah itu menjawab, "kita akan segera bertindak. Kita akan membinasakan mereka. Kita tidak usah memancing Swandaru keluar dari Kademangannya. Ia sendiri telah mengumpankan dirinya. Kali ini, yang kita hadapi bukan Agung Sedayu, bukan prajurit muda di Jati Anom yang bernama Sabungsari. Bukan pula Kiai Gringsing atau orang-orang lain yang memiliki kemampuan diluar nalar kita. Yang akan lewat hanyalah Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Meskipun kita gagal membunuh Agung Sedayu dan Sabungsari, karena kedunguan orang-orang Gunung Kendeng, maka kita sekarang akan berhasil membunuh yang lain. Namun sebenarnya tidak banyak bedanya. Yang penting, orang-orang yang sudah termasuk kedalam deretan nama dari mereka yang harus disingkirkan itu dapat dibinasakan, siapapun yang lebih dahulu."
"Tetapi agaknya Swandaru itu termasuk orang yang lebih penting. Karena ia mempunyai Sangkal Putung. Sementara Sangkal Putung berada digaris hubungan antara Pajang Mataram. Karena itu, maka Sangkal Putung akan dapat menjadi duri didalam garis pertempuran yang mungkin akan terjadi disekitar Sangkal Putung, Kali Wedi atau Taji. Tetapi mungkin juga terjadi di Prambanan atau sepanjang sungai Opak," desis salah seorang dari mereka.
"Banyak kemungkinan yang dapat terjadi. Tetapi kematian mereka bertiga akan melumpuhkan Sangkal Putung, sehingga Sangkal Putung tidak akan dapat mengganggu lagi, jika pasukan Pajang akan menuju ke Mataram," berkata orang bertubuh raksasa.
"Kita memang tidak akan dapat memperhitungkan Untara. Kita tidak tahu pasti, apa yang akan dilakukan jika terjadi benturan antara Pajang dan Mataram," berkata orang yang dipanggil Ki Lurah.
"Ia seorang prajurit yang setia dan siap menjalankan segala tugas yang diserahkan kepadanya. Jika Sultan memerintahkannya menyerbu Mataram, maka ia akan pergi," berkata salah seorang dari mereka.
"Kau salah menilai Untara," berkata Ki Lurah, "ia adalah seorang yang berpegangan kepada paugeran. Kepada ketentuan yang berlaku dan benar menurut keyakinannya. Jika ia tahu, bahwa benturan kekuatan antara Pajang dan Mataram itu dipengaruhi oleh satu keadaan tertentu, maka ia akan dapat mengambil sikap sendiri."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Mereka pernah mendengar sikap Untara. Karena itu, maka merekapun mempunyai penilaian khusus terhadap Senapati muda itu.
Namun dalam pada itu, orang yang mereka sebut Ki Lurah itupun kemudian berkata, "Kita tidak perlu menilai siapapun. Kita tidak perlu memikirkan apa yang akan dilakukan oleh para pemimpin di Pajang. Yang harus kita lakukan sekarang adalah membinasakan Swandaru dan kedua orang perempuan itu."
Tetapi seorang dari antara mereka bertanya, "Tetapi apakah benar, bahwa mereka akan kembali ke Sangkal Putung hanya bertiga saja ?"
"Aku kira demikian. Prastawa, kemanakan Ki Gede Menorehdan pengawalnya tentu akan tinggal di Tanah Perdikan Menoreh," jawab Ki Lurah.
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Mereka menganggap bahwa mereka tentu akan dapat menyelesaikan tugas mereka, apalagi ketika orang yang disebut Ki Lurah itu berkata, "Jika kita masih ragu-ragu, biarlah aku mengajak dua orang gegedu dari Gunung Sepikul itu."
"Apakah kita harus memanggil mereka disebelah hutan Kepandak," bertanya salah seorang pengikutnya.
"Kau bodoh sekali. Apakah kau tidak mengenal keduanya lagi ?" bertanya Ki Lurah.
"Aku sudah mengenal mereka," jawab orang bertubuh raksasa.
"Keduanya berada diantara tukang satang," jawab Ki Lurah.
Kawan-kawannya menjadi ragu-ragu. Tetapi Ki Lurah berkata, "Nanti malam aku akan memanggil keduanya. Besok pagi Swandaru akan kembali ke Sangkal Putung. Biarlah keduanya membantu. Mereka akan mendapat bagian pula sekedarnya."
"Jika mereka berada diantara tukang satang, aku akan mengenalnya," orang-orang itu masih saling berbisik.
Tetapi ternyata mereka memang tidak mengenal, selain orang yang disebut Ki Lurah.
Katanya kemudian, "Nanti malam, aku akan membawa mereka kemari."
Ternyata seperti yang dijanjikan, maka ketika malam turun, Ki Lurah datang ketempat orang-orang yang besok akan mencegat Swandaru itu bersama dua orang tukang satang.
"Inilah mereka," berkata Ki Lurah.
"Kau berpakaian seperti benar-benar seorang tukang satang. He, apakah keuntunganmu dengan kerjamu itu he " Apakah kau sedang bertugas untuk mengamati seseorang," bertanya yang bertubuh raksasa.
"Tidak," jawab gegedug dari Gunung Sepikul itu, "aku sedang kekurangan buruan. Disini aku mencoba untuk mengadu nasib. Jika ada orang yang pantas aku rampas hartanya, maka aku akan melakukannya. Ditengah sungai atau setelah mereka turun."
"Kau merusak kehidupan tukang-tukang satang yang lain," desis Ki Lurah.
"Aku tidak peduli dengan mereka, Merekapun mengetahui bahwa aku akan merampok jika aku melihat korban yang memadai. Tetapi mereka tidak akan berani berbuat apa-apa."
"Tetapi penyeberangan ini akan menjadi sepi. Orang-orang akan mencari tempat penyeberangan yang lain."
"Aku juga akan berpindah tempat. Tidak ada seorang tukang satangpun yang akan berani mengganggu aku, dimanapun aku berada diantara mereka," jawab salah seorang dari kedua tukang satang itu.
Ki Lurah itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Sebenarnya aku ingin menawarkan pekerjaan bagi kalian."
"Pekerjaan apa ?" bertanya tukang satang itu.
"Kita merampok. Kau akan mendapat harta benda nya, dan kami akan mendapat nyawanya."
"Maksudmu ?" bertanya salah seorang tukang satang itu.
Ki Lurahpun kemudian menceriterakan tentang tiga orang yang menurut pengamatan Ki Lurah, akan melintasi Kali Praga besok pagi.
"Apakah kau pasti bahwa mereka akan lewat jalan ini " Bukan daerah penyeberangan lain ?" bertanya tukang satang itu.
"Aku sudah memperhitungkannya. Ketika mereka datang, perhitunganku tepat. Mereka pasti akan memilih jalan ini," jawab Ki Lurah, "sedangkan menurut perhitunganku, mereka akan kembali lewat jalan ini pula."
"Siapa mereka ?" bertanya tukang satang itu.
"Anak Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang bersuamikan anak Sangkal Putung itu, "jawab Ki Lurah.
"Yang beberapa hari yang lalu lewat jalan ini pula."
"Sudah aku katakan," desis Ki Lurah.
"Sebenarnya aku ingin menyelesaikan mereka tanpa kalian. Dengan demikian aku akan mendapatkan seluruhnya. Kalian tidak akan mendapat bagian apapun juga."
"Aku tidak membutuhkan apa-apa," berkata Ki Lurah, "aku hanya menginginkan Swandaru tersingkirkan. Aku hanya akan menuntut kematiannya."


06 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Keduaorang tukang satang itu termangu-mangu. Lalu katanya, "Kalian telah mengenal aku. Sepasang elang dari Gunung Sepikul. Kenapa kalian masih hanya memikirkan kepentingan kalian saja " Kenapa kalian hanya menghendaki kematian saja " Tetapi jangan dikira bahwa dengan demikian justru kalian sajalah yang telah mempunyai satu kepentingan yang luar biasa. Aku berduapun mempunyai kepentingan yang besar pada keduanya."
"Aku tahu. Kalian tentu menghendaki apa yang mereka bawa. Aku sama sekali tidak berkeberatan. Ambillah yang akan kalian ambil daripadanya. Kami hanya menghendaki nyawanya."
"Kenapa kalian menghubungi kami," tiba-tiba saja salah seorang dari kedua orang itu bertanya.
"Kami dapat bekerja sendiri. Kalianpun dapat bekerja sendiri. Tetapi kita mungkin akan gagal karena yang akan lewat adalah murid orang bercambuk itu. Agar kita pasti, maka sebaiknya kita akan bekerja bersama. Terutama bagi kalian berdua. Kalian berdua sama sekali tidak akan berdaya menghadapi ketiga orang itu," berkata Ki Lurah.
Kedua orang dari Gunung Sepikul itu termangu-mangu. Namun merekapun ternyata memang lebih senang bekerja bersama dengan tujuan yang berbeda daripada bekerja sendiri-sendiri, tetapi dibayangi oleli kegagalan.
Demikianlah maka kedua orang dari Gunung Sepikul, disebelah alas Kepandak itu akhirnya menyatakan diri untuk bersama-sama mencegat ketiga orang dari Sangkal Putung itu. Ki Lurah ingin meyakinkan kematian, ketiga orang itu, sementara kedua orang itu akan mendapat apa saja yang dibawa oleh ketiga orang dari Sangkal Putung itu.
Demikianlah maka mereka telah berjanji untuk bekerja bersama-sama. Karena sebenarnyalah mereka mengakui didalam hati, bahwa masing-masing dari mereka tidak akan dapat berbuat banyak atas ketiga orang dari Sangkal Putung itu. Meskipun kedua orang dari Gunung Sepikul itu belum mengenal dengan baik anak Demang Sangkal Putung itu, tetapi ia percaya akan keterangan orang yang disebut Ki Lurah itu.
Ketujuh orang itupun kemudian bersepakat untuk melakukan pencegatan itu diseberang Kali Praga, setelah ketiga orang itu meninggalkan tlatah Tanah Perdikan Menoreh.
"Kita tidak usah mempedulikan, apakah ada orang yang melihat atau tidak. Kita akan segera menyelesaikan pekerjaan kita. Sementara berita perampokan itu terdengar oleh orang-orang yang memiliki keberanian serba sedikit untuk membantu, ketiga orang itu sudah terkapar mati. Kita telah lenyap sementara kita dapat menikmati hasil yang kita inginkan," berkata salah seorang dari Gunung Sepikul itu.
"Kehadiran orang lain hanya akan menambah korban," desis Ki Lurah, "kita akan mencegat mereka dipadang ilalang, dekat tepian. Kita dapat mendesaknya menjauhi jalan yang memang tidak terlalu ramai itu. Memang lebih baik jika tidak ada orang yang melihat perkelahian diantara kita dengan orang-orang itu. Tetapi jika ada orang yang ingin mencampuri persoalan ini, maka merekapun akan mati pula."
"Dan aku akan mendapat tambahan rampasan. Mungkin sarung keris dari emas, atau timang bertreteskan berlian," desis salah seorang dari kedua orang Gunung Sepikul itu.
Dalam pada itu, di Tanah Perdikan Menoreh, Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirahpun telah berkemas. Dipagi hari mereka akan berangkat meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh, kembali ke Sangkal Putung.
"Besok kami akan mengantar kalian sampai ketepi Kali Progo," berkata Prastawa.
"Demikian jauh," sahut Swandaru.
"Tidak apa-apa. Bukankah kami terbiasa nganglang keseluruh daerah Tanah Perdikan ini," berkata Prastawa.
Swandaru tidak mencegahnya. Prastawa bersama beberapa orang pengawal akan mengantar mereka, sampai saatnya mereka menyeberang.
Namun mereka sama sekali tidak memperhitungkan, bahwa di seiberang kali Praga beberapa orang telah siap menunggu mereka.
Tetapi yang juga tidak disangka-sangka oleh Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah adalah, bahwa ketika mereka duduk dipendapa dimalam hari, menjelang keberangkatan mereka dikeesokan harinya, maka Ki Waskita berkata, "Aku ingin melihat, bagaimana keadaan Agung Sedayu yang terluka parah itu."
"Jadi paman juga akan pergi ke Sangkal Putung?" Pandan Wangi bertanya dengan serta merta.
"Ya. Aku juga akan pergi ke Sangkal Putung untuk selanjutnya pergi ke Jati Anom. Kepadepokan kecil itu," jawab Ki Waskita.
"Senang sekali," sahut Swandaru, "ada kawan berbincang di perjalanan. Dengan demikian perjalanan kami akan terasa sangat pendek."
Dengan demikian, maka Ki Waskitapun minta diri pula kepada Ki Gede Menoreh untuk di keesokan harinya pergi bersama-sama dengan anak Ki Demang Sangkal Putung itu setelah beberapa hari berada di Tanah Perdikan Menoreh. Rasa-rasanya ada perasaan rindu pula kepada Agung Sedayu yang sudah agak lama tidak dilihatnya. Bagi Ki Waskita Agung Sedayu bukanlah orang lain. Anak muda itu adalah satu-satunya orang yang dipercayainya untuk melihat isi kitabnya, selain anak laki-lakinya yang telah melakukannya pula diluar pengetahuannya. Namun yang ternyata telah memilih jalan sendiri. Ternyata Rudita telah menemukan ujud kedamaian didalam hatinya melampaui orang lain.
Apalagi ketika Ki Waskita mendengar bahwa Agung Sedayu baru saja mengalami pertempuran yang membuatnya terluka parah. Maka keinginannya untuk bertemu dengan anak muda itu menjadi semakin besar.
Didini hari, mereka yang akan berangkat ke Sangkal Putung itupun telah mengemasi diri. Bahkan didapur rumah Ki Gede Menoreh itupun telah sibuk beberapa orang yang menyiapkan makan pagi bagi mereka yang akan pergi ke Sangkal Putung. Sementara Prastawa dan beberapa orang pengawalnya telah siap pula untuk mengantarkan Swandaru sampai ketepi Kali Praga.
Menjelang matahari terbit, maka sebuah iring-iringan kecil telah meninggalkan rumah Ki Gede Menoreh. Selain mereka yang akan pergi ke Sangkal Putung, maka mereka telah diiringi pula oleh beberapa orang Tanah Perdikan Menoreh sendiri, termasuk Prastawa.
Ada semacam perasaan kecewa dihati Prastawa, bahwa Sekar Mirah demikian cepat meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi ia tidak dapat menahannya. Agaknya Pandan Wangi sendiri memang sudah berniat untuk kembali. Dengan demikian, maka keberangkatan mereka tidak akan dapat ditunda lagi.
Ki Gede Menoreh yang memberikan beberapa pesar pada saat keberangkatan anak dan menantunya hanya dapat mengantar mereka sampai kegerbang halaman rumahnya. Selebihnya ia hanya melambaikan tangannya ketika iring-iringan itu mulai bergerak.
Cahaya pagi yang cerah, memantul pada daun-daun padi yang hijau segar. Seolah-olah daun yang bergetar disentuh angin itu bergemerlapan kekuning-kuningan.
Tidak begitu jauh nampak pegunungan Menoreh membujur ke Utara, seolah-olah merupakan dinding raksasa yang mehndungi Tanah Perdikan itu dari amukan angin-angin dan badai. Sementara tatapan mata kearah Selatan, lepas bebas sampai pada batas langit, menyeberangi samodra yang seakan-akan tidak bertepi.
Iring-iringan itu tidak maju terlalu cepat. Kuda-kuda itu berderap melalui bulak panjang dan pendek. Beberapa orang nampak sedang sibuk menggarap sawah mereka.
Pandan Wangi merasa betapa semuanya itu telah dikenalnya sejak masa kanak-kanaknya. Angan-angannya tiba-tiba saja telah melayang kemasa mendatang. Siapakah yang kemudian akan memimpin Tanah Perdikan yang pada saat-saat terakhir seakan-akan tidak berkembang lagi.
Tanpa sesadarnya ia berpaling kepada adik sepupunya, Prastawa, yang berkuda disebelah Sekar Mirah.
Ternyata tidak hanya pada Swandaru saja yang mempunyai tanggapan yang aneh atas sikap Prastawa terhadap Sekar Mirah. Pandan Wangipun kadang kadang merasa gelisah melihat sikap adik sepupunya.
Pandan Wangi tahu benar, siapakah Sekar Mirah itu. Dan iapun tahu benar, bahwa ada hubungan yang khusus antara Sekar Mirah dan Agung Sedayu.
"Jika Prastawa tidak dapat mengendalikan dirinya, apakah kira-kira yang akan terjadi," berkata Pandan Wangi didalam hatinya, "kakang Agung Sedayu bukan seorang yang keras hati. Mungkin ia tidak akan berbuat apa-apa. Jika terjadi sesuatu antara Sekar Mirah dan Prastawa yang pantas menjadi adiknya itu, tentu Agung Sedayu akan melepaskannya tanpa berbuat apa-apa, betapapun sakit hatinya. Mungkin Agung Sedayu akan pergi, menyepi atau bertapa seumur hidupnya. Ia akan semakin kehilangan gairah hidup yang dirasanya terlalu kejam baginya."
Tetapi Pandan Wangi tidak mengatakan sesuatu. Ia masih ingin melihat perkembangan lebih jauh. Apabila arah hubungan keduanya akan sisip dari hubungan pergaulan yang wajar, maka ia berhak untuk menegur adik sepupunya.
Namun Pandan Wangi melihat pula kemungkinan yang dapat dilakukan oleh Prastawa atas Tanah Perdikan Menoreh. Apakah mungkin untuk dapat mempercayainya memegang kendali atas Tanah Perdikan yang cukup luas itu.
Dalam pada itu, tumbuh pengakuan didalam hati Pandan Wangi, "Aku kurang mempercayainya. Mungkin ia masih terlalu muda. Mungkin pada saat mendatang, ia akan menemukan kepribadiannya. Namun aku masih menyangsikannya."
Dalam pada itu, iring-iringan itu berjalan terus. Sekali-kali Pandan Wangi dan Swandaru berpaling jika mereka mendengar gurau yang segar antara Prastawa dan Sekar Mirah. Namun setiap kali dada mereka berdesir digores oleh kegelisahan hati.
Akhirnya perjalanan itupun sampai ketepi Kali Praga. Mereka memilih tempat menyeberang dipenyeberangan yang mereka lewati disaat mereka berangkat ke Tanah Perdikan Menoreh.
Betapapun perasaan Prastawa dicengkam oleh kekecewaan, namun iring-iringan itu turun pula kedalam rakit yang akan membawa mereka menyeberang. Pandan Wangi yang sudah berada diatas rakit, masih juga memberikan pesan kepada adik sepupunya, agar ia menjaga Tanah Perdikan Menoreh sebaik-baiknya.
"Ayah dan pamanmu sudah menjadi semakin tua," berkata Pandan Wangi. "Kedua-duanya memerlukan pengamatanmu."
Prastawa mengangguk sambil menjawab, "Sejauh dapat aku lakukan, aku akan melakukannya."
Pandan Wangi tersenyum. Katanya, "Bagus. Tidak ada orang lain yang akan dapat melakukannya diatas Tanah Perdikan Menoreh, selain kau."
Prastawapun tersenyum pula. Namun kekecewaannya masih tetap membayang ketika rakit itu mulai bergerak.
Yang kemudian duduk dengan kepala tunduk diatas rakit itu adalah Ki Waskita. Ternyata iapun mengamati sikap Prastawa yang membuatnya menjadi gelisah pula seperti Swandaru dan Pandan Wangi. Bahkan lebih dari pada itu. Selain pengamatannya atas sikap kemanakan Ki Gede Menoreh itu, maka setiap kali penglihatan batin Ki Waskitapun dibayangi oleh kabut yang buram pada hubungan antara Agung Sedayu dan Sekar Mirah.
Tetapi seperti yang lain, Ki Waskitapun tidak mengatakan kepada siapapun juga. Seperti yang lain, maka yang mereka lihat dan mereka cemaskan barulah prasangka saja.
Demikianlah, maka rakit yang mereka tumpangi itupun meluncur diatas air berwarna lumpur. Jarak yang mereka seberahgi memang tidak terlalu panjang, sehingga karena itu, maka mereka tidak memerlukan waktu terlalu lama.
Ketika mereka turun diseberang, dan setelah mereka memberi upah kepada tukang satang yang mendorong rakit mereka melintas, maka mereka pun segera berkemas untuk meneruskan perjalanan. Diseberang masih nampak Prastawa dan pengawalnya melambaikan tangan mereka.
Yang baru turun dari rakit itupun melambai pula. Namun merekapun kemudian mulai bergerak meninggalkan tepian.
Tetapi demikian kuda mereka meninggalkan pasir tepian yang basah, dua orang yang berpakaian seperti tukang satang pula mendekatinya sambil berkata, "Kami mohon maaf, bahwa kami telah berani menghentikan perjalanan tuan."
Swandaru yang berada dipaling depan menarik kendali kudanya. Kemudian iapun bertanya, "Apakah kalian mempunyai kepentingan dengan kami?"
"Kami adalah tukang satang tuan," berkata salah seorang dari mereka, "kamilah yang beberapa hari yang lalu telah menyeberangkan tuan ke Tanah Perdikan Menoreh."
Swandaru mengerutkan keningnya. Namun ia berdesis, "Aku kira bukan kalian."
"Ya, bukan kedua orang itu," desis Sekar Mirah.
Ternyata anak Sangkal Putung itu tidak mudah untuk melupakan pengenalannya atas seseorang pada sesuatu peristiwa. Bahkan Pandan Wangipun yakin pula, bahwa bukan kedua orang itulah yang telah menyeberangkan mereka beberapa hari yang lalu.
Karena itu, maka salah seorang dari tukang satang itupun berkata, "Memang bukan kami berdua yang telah melakukannya. Maksudku, rakit yang kalian pergunakan adalah rakit kami. Sedang orang-orang yang waktu itu mendorong rakit tuan dengan satang, memang bukan kami, tetapi saudara-saudara kami."
Swandaru mengangguk-angguk. Dan orang itu berkata seterusnya, "ada sesuatu yang tertinggal dirakit kami tuan. Karena itu, kami mohon tuan dapat melihatnya jika barang itu milik tuan."
Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian berkata, "Tidak ada barang kami yang ketinggalan. Tentu bukan milik kami."
"Sudah tiga orang yang kami minta untuk melihatnya. Setiap orang yang kami kira pernah kami seberangkan dibeberapa hari yang lalu, dan kemudian melintas kembali, telah kami persilahkan untuk mengenalinya. Tetapi tidak seorangpun yang merasa kehilangan," berkata orang itu.
Swandaru memandang Pandan Wangi sekaligus. Yang nampak justru kebimbangan dan keragu-raguan. Ketika ia memandang Ki Waskita, orang tua itupun nampaknya ragu-ragu.
"Paman," desis Swandaru, "apakah kita perlu menengoknya."
Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata, "Jika kita memang tidak merasa kehilangan, maka sebaikya kita tidak perlu singgah."
"Mungkin tuan-tuan mengenal barang apakah yang kami temukan itu. Penting atau tidak penting atau barang yang tidak berharga sama sekali," desis salah seorang dari keduanya.
"Apakah ujudnya " " Sekar Mirahlah yang bertanya.
"Sebilah keris," jawab orang itu.
"Keris," Sekar Mirah mengulang, "benar-benar sebilah keris ?"
"Ya. Sebilah keris. Apakah keris itu sebuah pusaka atau bukan, kami memang tidak mengetahuinya," jawab orang itu.
Namun dalam pada itu Ki Waskita berkata, "Cobalah Ki Sanak bertanya kepada orang yang akan menyeberang kemudian. Mungkin mereka benar-benar telah kehilangan barang itu."
"Kita dapat melihatnya paman," berkata Sekar Mirah, "sekedar melihat."
"Sekedar melihat," orang yang berpakaian tukang satang itu mengulang, "atau barangkali tuan dapat memberikan beberapa petunjuk kepada kami, apakah yang sebaiknya kami lakukan atas barang-barang itu. Menyerahkan kepada Ki Demang, atau kepada siapa ?"
"Kita akan melihat, sekedar melihat, karena kami memang tidak pernah merasa kehilangan " desis Sekar Mirah.
Swandaru tidak mencegahnya. Karena itu, maka merekapun kemudian mengikuti kedua orang itu menuntas jalan sempit diantara batang-batang ilalang.
"Kita akan pergi kemana ?" bertanya Swandaru kepada kedua orang itu.
"Kami mempunyai sebuah gubug kecil dibalik pepohonan perdu itu. Tempat untuk sekedar beristirahat jika terik matahari membakar punggung," jawab orang itu
Swandaru sama sekali tidak bercuriga. Karena itu, maka iapun mengikut saja kemana orang itu pergi.
Dalam pada itu, lima orang yang lain telah menunggu. Dari balik sebuah gerumbul keempat orang itu mengintip Swandaru yang datang berkuda bersama tiga orang lainnya.
"Mereka berempat," desis orang yang dipanggil Ki Lurah.
"Yang seorang bukannya kawan mereka seperjalanan ketika mereka berangkat," desis yang lain.
"Persetan orang tua itu. Tetapi nasibnya ternyata sangat buruk, karena kami harus membunuhnya sama sekali," berkata Ki Lurah.
"Biar sajalah. Kehadirannya tentu tidak akan berpengaruh sama sekali," berkata seorang yang bertubuh tegap.
Dalam pada itu, Swandaru yang berada dipaling depan bertanya pula, "Mana gubugmu he ?"
Kedua orang itupun justru berhenti. Kemudian mereka berpencar beberapa langkah sambil bersiap menghadapi segala kemungkinan. Yang seorang dari mereka kemudian berkata, "Itulah gubug kami."
Semua orang berpaling kearah yang ditunjuk oleh orang itu. Tetapi mereka sama sekali tidak melihat sebuah gubugpun. Yang mereka lihat adalah sebuah gerumbul perdu yang bergerak-gerak mencurigakan.
Ki Waskita segera melihat, apa yang ada dibelakang gerumbul itu. Ketajaman penglihatannya menangkap gerak yang tidak wajar dari dedaunan dan ranting-ranting perdu. Bahkan kemudian ia melihat ujung kaki yang mencuat diantara dedaunan dan batang-batang ilalang.
"Kita tidak usah bermain sembunyi-sembunyian," berkata Ki Waskita kemudian, "silahkan tampil. Kami akan senang sekali berkenalan dengan Ki Sanak semuanya."
Kedua orang yang berpakaian seperti tukang satang itu mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia menjawab, maka orang yang disebut Ki Lurah itupun sudah meloncat dari balik gerumbul sambil berkata, "Kami sama sekali tidak bersembunyi. Kami sedang menunggu tuan-tuan dibayangan dedaunan yang rimbun."
Swandaru, Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Ki Waskita menjadi berdebar-debar juga ketika kemudian muncul pula ampat orang lainnya. Terlebih-lebih mereka yang segera dapat mengenali keempat orang yang pada saat mereka berangkat ke Tanah Perdikan Menoreh telah membuat mereka menjadi curiga.
"Itulah mereka," desis Pandan Wangi.
"Ya," sahut Swandaru, "kita sudah terpancing. Agaknya mereka sengaja menjebak kita."
"Gila," Sekar Mirah menggeram. Ia merasa bahwa kesalahan terbesar terletak padanya, sehingga mereka telah terjebak kedalam satu perangkap. Karena itu, maka iapun bergeser maju sambil berkata lantang, "Apa yang kalian kehendaki dari kami."
Orang yang disebut Ki Lurah itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia menjawab, "Luar biasa. Untunglah bahwa aku sudah mendapat beberapa keterangan tentang harimau betina dari Sangkal Putung ini, murid Ki Sumangkar yang mewarisi tongkat baja putihnya."
"Kau mengenal aku," geram Sekar Mirah.
"Aku mengenal kau, mengenal anak muda yang bernama Swandaru itu dan mengenal pula isterinya, anak perempuan Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang bersenjata pedang rangkap. Sungguh luar biasa. Seorang perempuan bertongkat baja putih, berkepala tengkorak yang kekuning-kuningan, seorang perempuan berpedang rangkap, dan seorang laki-laki bercambuk," berkata orang yang disebut Ki Lurah.
Dalam pada itu Ki Waskitapun bertanya, "Bolehkah aku juga memperkenalkan diriku ?"
"Jika namamu mempunyai arti dalam pengembaraan olah kanuragan sebut namamu. Jika tidak, kau tidak berarti apa-apa, selain sekedar menambah pedangku basah dengart darah," geram salah seorang dari tukang satang itu.
"Aku adalah paman dari Pandan Wangi," berkata Ki Waskita, "sebenarnya aku hanya sekedar menompang perjalanan. Karena itu, aku bukan apa-apa bagi kalian."
Orang-orang itu memperhatikan Ki Waskita sejenak. Namun nampaknya orang itu tidak berarti apa-apa. Apalagi menurut pengakuannya, ia adalah paman Pandan Wangi yang sekedar ikut dalam perjalanan.
Karena itu, maka Ki Lurah itupun berkata, "Aku tidak peduli siapa kau. Yang aku perlukan kehadirannya adalah Swandaru dan kedua perempuan itu. Tetapi karena kau sudah hadir disini pula, maka kaupun akan mati."
"Siapakah sebenarnya kalian, dan apakah keperluan kalian. Aku tidak pernah berhubungan dengan kalian sebelumnya, dan karena itu, maka aku tidak pernah mempunyai persoalan dengan kalian." desis Swandaru.
Ki Lurah itu tertawa. Katanya, "Anak yang malang. Kau memang tidak mempunyai persoalan dengan aku. Kesalahanmu satu-satunya adalah bahwa kau murid Kiai Gringsing dan adik seperguruan Agung Sedayu. Ternyata kau berhasil mengembangkan kemampuanmu dengan membangun Kademanganmu."
"Aku tidak mengerti, kenapa hal itu kau sebut sebagai satu kesalahan. Bukankah yang aku lakukan itu sangat bermanfaat bagi banyak orang di Kademanganku." sahut Swandaru.
"Baiklah kita tidak berbantah tentang siapa yang bersalah dan siapa yang tidak bersalah." potong Ki Lurah, "tugas yang aku terima, aku harus membunuh Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Karena orang tua itu ada diantara kalian, maka terpaksa aku akan menghabisi nyawanya pula. Juga tanpa mempersoalkan apakah ia bersalah atau tidak bersalah."
Swandaru menggeram. Dengan nada berat ia berkata, "Kalian orang-orang upahan yang tidak tahu diri. Kenapa kalian tidak mencari makan dengan cara yang lain. Kenapa kau harus makan dengan tangan yang penuh bernoda darah ?"
"Kau salah mengartikan tugasku. Aku bukan orang upahan. Tetapi aku telah melakukan tugasku diatas cita-cita yang besar bagi Tanah ini," jawab orang itu, "karena itu, maka sebenarnyalah aku adalah seorang yang melakukan sesuatu atas dasar keyakinan."
Swandaru menjadi semakin tegang. Ia segera mengerti, siapakah yang dihadapinya. Orang yang menjebaknya itu tentu orang-orang yang berada didalam barisan yang menyebut diri mereka pendukung-pendukung tegaknya kewibawaan Majapahit.
Karena itu, maka Swandaru tidak dapat menganggap persoalan yang dihadapinya itu sebagai persoalan yang tidak berarti. Orang-orang yang ditugaskan dalam rangka menegakkan kewibawaan Majapahit bukannya orang-orang kebanyakan.
Menurut pengamatan Swandaru, orang-orang yang selalu memburu Agung Sedayu kemanapun ia pergi, adalah orang-orang yang berkeyakinan serupa. Mungkin mereka meminjam tangan orang lain. Orang-orang Pesisir Endut, orang-orang Gunung Kendeng atau orang manapun lagi Tetapi kadang-kadang juga orang-orang yang berada didalam lingkungan keprajuritan Pajang sendiri.
*** Buku 135 DALAM pada itu, maka orang yang disebut Ki Lurah itupun kemudian berkata, "Ki Sanak. Segera bersiaplah untuk mati. Aku sadar, bahwa kalian bukan orang-orang yang mudah menyerah menghadapi keadaan yang bagaimanapun juga gawatnya. Karena itu, maka aku persilahkan kalian bersiap untuk bertempur. Kita mempunyai waktu cukup tanpa diganggu oleh orang lain."
"Ternyata kalian telah melakukan pekerjaan ini dengan sepenuh kesadaran. Baiklah. Seperti kalian, akupun mempunyai kesadaran atas satu keyakinan, bahwa orang-orang yang bermimpi tentang masa kejayaan Majapahit lama tidak akan mempunyai tempat untuk hidup dimasa ini. Bukan kebesaran Majapahit yang tidak dapat diterima lagi saat ini, bukan pula kesatuan yang pernah terujud, tetapi adalah ketamakan dan kedengkian yang mendukung cita-cita itulah yang harus ditentang."
"Hanya orang-orang yang tidak mengerti sajalah yang mengatakan, bahwa ketamakan dan kedengkian telah mendukung cita-cita yang besar itu," berkata orang yang disebut Ki Lurah.
"Itu suatu keyakinan, seperti kalian meyakini perjuangan kalian," sahut Swandaru, lalu, "jika demikian, kita akan mempertahankan keyakinan kita masing-masing. Seperti kalian menyadari sepenuhnya apa yang kalian lakukan, maka akupun menyadari sepenuhnya apa yang aku lakukan."
Swandaru tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun kemudian segera bersiap menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi. Demikian pula Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Mereka menambatkan kuda mereka pada batang perdu. Kemudian berdiri tegak dengan dada tengadah meskipun mereka agak berdebar-debar juga menghadapi persoalan yang lidak mereka perhitunhkan sama sekali.
Dalam pada itu, Ki Waskita yang juga telah menambatkan kudanya, justru berdiri agak jauh dari ketiga orang yang sedang dalam perjalanan kembali ke Sangkal Putung itu. Sementara Swandaru yang mengenal siapa Ki Waskita itupun sama sekali tidak menegurnya. Swandaru menyadari bahwa Ki Waskita tentu mempunyai perhitungan tersendiri atas peristiwa yang sedang mereka hadapi.
"Ki Sanak," berkata orang yang disebut Ki Lurah, "ternyata aku telah mempersiapkan orang-orangku melampaui kebutuhan. Disini ada tujuh orang. Sedang kalian hanya bertiga. Tetapi kesiagaan ini perlu, justru karena kami mengerti, bahwa orang-orang bercambuk adalah orang-orang yang berbahaya. Juga seorang perempuan yang bersenjata pedang rangkap dari Tanah Perdikan Menoreh, dan seekor macan betina yang mewarisi tongkat Ki Sumangkar."
"Kami tidak hanya bertiga, tetapi berempat," desis Swandaru.
"Baiklah, jika yang seorang itu harus diperhitungkan pula. Tetapi ia tidak mempunyai arti khusus didalam pertentangan ini." jawab orang yang disebut Ki Lurah itu.
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ternyata orang-orang itu mempunyai perhitungan yang salah terhadap Ki Waskita. Namun Swandaru tidak mempersoalkannya. Ia percaya sepenuhnya apa saja yang akan dilakukan oleh Ki Waskita itu.
Demikianlah, maka orang yang disebut Ki Lurah itupun kemudian berkata kepada para pengikutnya, "bersiaplah Kita akan bertempur beradu dada sebagai orang orang yang mempunyai pegangan dalam perjuangannya."
Kedua orang yang berpakaian tukang satang itu nnengerutkan keningnya. Namun ketika sepintas ia melihat perhiasan pada timang Swandaru dan permata di leher Pandan Wangi dan Sekar Mirah, maka gairah merekapun segera melonjak.
Swandaru yang merasa bertanggung jawab atas keselamatan mereka semuanya, maju selangkah. Meskipun ia menyadari, bahwa kedua perempuan yang menempuh perjalanan bersamanya itu juga memiliki kemampuan bertempur, namun menurut tingkat dan tataran hubungan diantara mereka, maka Swandaru adalah orang yang tertua.
Orang yang menyebut dirinya Ki Lurah itupun segera menempatkan diri untuk melawan Swandaru. Sambil memandang kawan-kawannya seorang demi seorang serta kedua tukang satang itu, iapun berkata, "Aku akan melawan anak ini. Kalian berenam mempunyai tiga orang korban. Kalian dapat memilih. Kita tidak akan memerlukan waktu lama. Aku hanya memerlukan waktu sepenginang untuk membunuh anak Demang Sangkal Putung ini, meskipun barangkali aku harus berpikir berulang kali untuk berperang tanding melawan gurunya."
Swandaru menggeram. Namun iapun menyadari, bahwa orang yang berdiri dihadapannya itu tentu tidak hanya sekedar menakut-nakutinya. Ia tentu mempunyai pertimbangan dan perhitungan yang mapan. Nampaknya ia telah mengenal tentang dirinya, tentang isteri dan adiknya.
Swandaru menjadi berdebar-debar ketika ia melihat keenam orang yang lain telah berpencar. Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Ki Waskita harus menghadapi masing-masing dua orang lawan yang masih belum diketahui tingkat kemampuannya.
Namun Swandaru tidak dapat berbuat lain. Jika ia menempatkan diri ditempat kedua perempuan itu, tetapi ternyata orang yang agaknya pemimpin dari kelompok itu memiliki kemampuan yang tidak terlawan, maka iapun akan menyesal.
Karena itu, ia tidak merubah keadaan yang dihadapinya. Ia harus berani mencoba beberapa saat untuk menjajaki keadaan. Jika keadaan memaksa, maka ia harus dapat mengambil keputusan dengan cepat.
Namun demikian ia berkata didalam hatinya, "Mudah mudahan Ki Waskita mau juga melihat keadaan ini dalam keseluruhan."
Dalam pada itu, ketujuh orang yang telah menjebak Swandaru dan iring-iringan kecilnya telah bersiap bertindak atas mereka. Orang yang disebut Ki Lurah itupun berkata, "Aku sudah terlalu lama berada di daerah ini. Aku sudah menjadi jemu karenanya. Dan akupun ingin segera kembali ke Pajang dengan membawa berita kematianmu, kematian Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Ditambah lagi seorang tua yang bernasib buruk karena ia berada diantara kalian."
Swandaru tidak menjawab. Tetapi iapun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja orang yang bertubuh tinggi tegap diantara mereka itupun berkata, "Ki Lurah, apakah perempuan-perempuan ini harus dibunuh ?"
"Ya. Semua harus dibunuh." jawab orang yang disebut Ki Lurah.
"Sayang sekali. Kedua perempuan ini adalah perempuan-perempuan cantik yang barangkali dapat dimanfaatkan. Aku ingin mendapat salah satu daripadanya. Bagimana jika aku berjanji, bahwa aku akan mengambil perempuan-perempuan ini tanpa mengganggu tugas kita berikutnya."
"Apa maksudmu ?" bertanya Ki Lurah.
"Aku akan membawa mereka. Tetapi dengan janji, melumpuhkan mereka sehingga mereka tidak akan mungkin dapat berbuat sesuatu lagi," jawab orang itu.
Tetapi Ki Lurah tertawa meskipun ia tetap berhati-hati menghadapi sikap Swandaru. Katanya, "Jangan menyimpan ular didalam kantong ikat pinggangmu. Pada suatu saat kau akan digigitnya."
"Aku akan mempertanggung jawabkannya," jawab orang itu.
Namun jawab Ki Lurah kemudian singkat, tegas, "Bunuh semuanya."
Tidak ada lagi yang bertanya kepadanya. Yang terjadi kemudian adalah sikap-sikap tegang dari mereka yang sudah siap menghadapi benturan kekerasan.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Ki Waskita tertawa pendek. Hanya pendek.
Tetapi ternyata suara tertawa itu mengejutkan orang yang disebut dengan Ki Lurah itu. Wajahnya tiba-tiba menjadi tegang.
"He, siapa kau sebenarnya," tiba-tiba saja ia berteriak.
Tidak ada yang menjawab meskipun pertanyaan itu mengejutkan.
"Siapa kau orang tua," sekali lagi terdengar orang yang disebut Ki Lurah itu bertanya.
"Apakah yang kau maksud aku ?" bertanya Ki Waskita.
"Jangan berpura-pura. Marilah kita bersikap jantan. Aku tahu, kau bukan orang kebanyakan. Sikapmu sungguh meyakinkan," berkata orang yang disebut Ki Lurah itu.
"Aku tidak dapat menyebut diriku dengan sebutan lain, kecuali seperti yang sudah aku katakan," berkata Ki Waskita, lalu katanya pula, "tetapi apakah seseorang seperti kau masih perlu bertanya tentang seseorang " Jika demikian, apakah aku juga boleh bertanya siapakah nama tuan."
"Menarik sekali," desis orang itu, "ternyata aku lebih tertarik kepadamu daripada anak muda ini. He, kau berdua yang sudah siap menghadapi orang tua itu. Kemarilah. Orang tua itu perlu mendapat perhatian yang khusus. Meskipun dengan demikian pekerjaanku akan menjadi lebih panjang, tetapi lebih baik menyelesaikannya dalam waktu yang agak lama daripada kalian berdua akan menjadi bahan permainannya.
Kawan-kawan Ki lurah itu menjadi heran mendengar keterangan yang tidak segera dapat mereka pahami. Namun mereka mempunyai keyakinan tentang orang yang disebut Ki Lurah itu. Orang itu tentu mempunyai perhitungan yang mapan atas apa yang dilakukannya.
Karena itu, maka dua orang yang sudah siap untuk bertindak atas Ki Waskitapun bergeser. Mereka dengan hati-hati melangkah mendekati Swandaru sementara orang yang disebut Ki Lurah itupun perlahan-lahan mendekati Ki Waskita sambil berkata, "Untunglah, kau belum membunuh kedua kawanku. Dan akupun belum membunuh Swandaru. Agaknya aku harus menyelesaikan kau lebih dahulu, sebelum aku membunuh ketiga orang itu."
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ketajaman penglihatannya telah memperingatkan kepadanya, bahwa orang yang disebut Ki Lurah itu memang memiliki kelebihan dari kawan-kawannya yang lain. Bahkan Ki Waskita menduga, bahwa orang itu mempunyai kelebihan pula dari Swandaru.
Karena itu, maka ia harus memancingnya, agar orang itu langsung berhadapan dengan dirinya sendiri. Meskipun ia tidak tahu apakah ia akan dapat menghadapinya, namun ia merasa akan dapat bertahan lebih lama dari Swandaru. Sementara menurut penglihatannya, orang-orang lain yang ada ditempat itu bukanlah orang-orang yang perlu dicemaskan meskipun bukan pula berarti dapat diremehkan. Apalagi mereka masing-masing bertempur berpasangan.
Namun Ki Waskita yakin, bahwa yang seorang itu justru akan lebih berbahaya bagi Swandaru daripada yang dua orang, yang kemudian akan menghadapinya.
Dalam pada itu, Swandaru sendiri justru menjadi heran, bahwa orang yang disebut Ki Lurah itu demikian saja meninggalkannya, dan bersiap menghadapi Ki Waskita. Namun akhirnya ia menyadari, bahwa orang itu tentu mempunyai tanggapan yang tajam atas lawan yang dipilihnya. Orang yang disebut Ki Lurah itu tentu mencemaskan nasib kedua orang kawannya jika kedua orang itu harus berhadapan dengan Ki Waskita, yang agaknya dengan sengaja pula telah memancing orang yang disebut Ki Lurah itu untuk menghadapinya.
Karena yang melakukan itu adalah Ki Waskita, yang dikenal oleh Swandaru dengan baik tingkat kemampuan dan pengalamannya, maka Swandaru sama sekali tidak merasa tersinggung. Dilepaskannya orang yang disebut Ki Lurah itu, dan iapun segera bersiap menghadapi dua orang lawannya.
Sejenak orang yang disebut Ki Lurah itu memandangi Ki Waskita. Namun sejenak kemudian iapun berteriak kepada kawan-kawannya, "He, apalagi yang kalian tunggu ?"
Keenam kawan-kawannya serentak bergerak. Dua orang tukang satang dari Gunung Sepikul itupun segera menghadapi lawan yang mereka pilih. Bukan karena perhitungan kemampuan kanuragan, tetapi karena pada Sekar Mirah tergantung perhiasan yang mereka anggap cukup berharga, maka mereka telah memilih gadis itu sebagai lawan.
"Tanpa memperhatikanmu dengan saksama, kami tidak akan mengenalmu sebagai seorang perempuan," desis salah seorang dari kedua orang dari Gunung Sepikul itu, "ternyata bahwa kau cantik. Dan ternyata bahwa kau memakai perhiasan juga sebagai umumnya seorang perempuan."
Sekar Mirah tidak menghiraukannya. Namun untuk menjaga diri, karena ia sama sekali belum dapat menjajagi kemampuan lawannya, ditangannya segera tergenggam tongkat baja putihnya.
"Senjata itu memang agak mendebarkan," desis salah seorang dari kedua tukang satang itu.
Kawannya tidak menyahut. Tetapi ternyata bahwa keduanya telah menggenggam senjata mereka pula. Senjata yang khusus mereka pergunakan. Sebatang tongkat vang patah-patah, dihubungkan dengan rantai-rantai pendek.
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Senjata itu memberikan kesan tersendiri kepadanya. Senjata yang jarang ditemui itu menuntut perlawanan tersendiri pula.
"Aku sudah sering berlatih dengan kakang Swandaru yang mempergunakan senjata lentur," berkata Sekar Mirah didalam hatinya, "meskipun agak berbeda, tetapi tentu ada persamaan penggunaan antara senjata lentur dengan senjata yang patah-patah ini."
Sekar Mirah tidak sempat merenungi senjata lawannya terlalu lama. Tiba-tiba saja kedua lawannya meloncat memencar. Kemudian hampir bersamaan pula mereka menyerang.
Pada langkah-langkah pertama Sekar Mirah telah melihat, betapa kasar tata gerak mereka. Apalagi ketika keduanya kemudian mengumpat dengan kata-kata kotor ketika serangan mereka sempat dielakkan oleh Sekar Mirah.
Kekasaran kedua orang itu menarik perhatian Swandaru dan Pandan Wangi pula. Agaknya dua orang itu mempunyai kebiasaan yang berbeda dengan orang-orang lain yang berada di arena itu.
Dalam pada itu, Ki Waskita masih sempat juga bertanya, "Kedua kawanmu yang bertempur melawan Sekar Mirah itu nampaknya dua orang yang aneh."
"Siapapun mereka, kami akan membunuh kalian," jawab orang yang disebut Ki Lurah itu.
"Baiklah," berkata Ki Waskita, "agaknya memang tidak ada pilihan diantara kita kecuali saling membunuh."
"Ya, memang tidak ada pilihan lain," desis orang itu.
"Jika demikian," berkata Ki Waskita, "kita berdualah yang akan menentukan akhir dari pertempuran ini. Siapa diantara kita yang dapat membunuh lebih dahulu, akan mempengaruhi keseluruhan dari pertempuran ini."
"Omong kosong. Kau kira orang-orangku tidak berarti apa-apa," geram orang yang disebut Ki Lurah.
Ki Waskita mengerutkan keningnya. Lawan Swandaru dan Pandan Wangipun mulai bergerak pula. Namun katanya, "Aku dapat memastikan, bahwa anak-anak Sangkal Putung itu akan dapat bertahan cukup lama. Lebih lama dari waktu yang aku perlukan untuk mengalahkanmu."
"Kau ternyata sombong sekali," orang itu menggeram sambil bergerak menyerang meskipun baru sekedar memancing sikap lawannya.
Ki Waskita bergeser sambil menjawab, "Aku memang mencoba untuk menyombongkan diri dihadapanmu. Mudah-mudahan aku berhasil. Bukan saja sebagai satu kesombongan, tetapi benar-benar berhasil memenangkan perkelahian ini lebih dari waktu yang diperlukan oleh anak-anak Sangkal Putung itu untuk mempertahankan dirinya."
"Persetan," orang itu membentak. Serangannya menjadi semakin cepat.
Sementara Ki Waskitapun segera meningkatkan tata geraknya. Namun justru karena lawannya tidak bersenjata, maka ia menganggap bahwa lawannya itu benar-benar seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Karena itu ia harus benar-benar berhati-hati menghadapi setiap kemungkinan jang dapat terjadi atas dirinya dan atas anak-anak Sangkal Putung yang harus bertempur melawan lawan rangkap.
Dengan demikian maka pertempuran diantara batang-batang ilalang itupun menjadi semakin lama semakin seru. Orang-orang kasar dari Gunung Sepikul itu ternyata berhasil membuat Sekar Mirah menjadi ngeri. Bukan karena kemampuan tempur mereka yang tinggi, tetapi justru karena kekasaran mereka. Tidak henti-hentinya mereka mengumpat-umpat dengan kata-kata kasar. Dan bahkan kadang-kadang dengan kata-kata yang tidak pantas diucapkan.
"Apakah keduanya juga pendukung cita-cita kejayaan Majapahit ?" bertanya Ki Waskita kepada lawannya yang disebut Ki Lurah.
"Kenapa perhatianmu tertuju kepada keduanya ?" bertanya orang yang disebut Ki Lurah.
"Keduanya sangat menarik. Agak berbeda dengan kau dan kawan-kawanmu yang lain." jawab Ki Waskita.
"Keduanya adalah orang-orang gila yang dapat aku manfaatkan," jawab orang yang disebut Ki Lurah itu.
Ki Waskita yang bertempur semakin cepat masih sempat berkata lagi, "Aku sudah menduga. Orang-orang yang menyebut dirinya pendukung kejayaan Majapahit selalu memanfaatkan orang-orang yang dapat dijebaknya dengan cara apapun. Coba katakan, siapa saja yang telah menjadi korban ketamakan beberapa orang yang masih bermimpi tentang kejayaan Majapahit itu."
Tiba-tiba saja tata gerak lawan Ki Waskita itu mengendor. Sambil meloncat surut ia berkata, "Agaknya kau mendapat keterangan yang salah tentang cita-cita kami. Sebaiknya aku memberikan beberapa keterangan. Kau agaknya seseorang yang memiliki kemampuan yang cukup. Karena itu, tenagamu dan barangkali pikiranmu akan sangat bermanfaat bagi kami."
Ki Waskita tidak memburunya ketika lawannya meloncat surut. Bahkan seakan-akan ia memberi kesempatan lawannya untuk berbicara.
"Ki Sanak," berkata orang itu, "apakah kau tidak mengakui kebesaran Majapahit " Apalagi sebelum masa surutnya."
"Aku mengakui Ki Sanak," jawab Ki Waskita.
"Majapahit yang meliputi seluruh Nusantara," desis orang itu pula.
"Ya. Yang telah mempersatukan daerah-daerah yang berpencaran letaknya, namun dalam nafas kehidupan yang satu," jawab Ki Waskita.
"Nah, bukankah kita semuanya merindukan masa seperti yang pernah terjadi pada masa kejayaan Majapahit " Tidak seperti Pajang yang kita lihat sekarang kecil, terpecah-pecah dan tidak ada kesatuan sikap dan perbuatan. Masing-masing ingin memaksakan kehendak sendiri tanpa memperhatikan kepentingan orang lain," geram orang yang disebut Ki Lurah itu.
"Apakah demikian ?" bertanya Ki Waskita, "apakah pengamatanmu cukup cermat ?"
"Tentu Ki Sanak. Aku melihat segalanya yang berkembang sekarang Pajang yang kerdil. Dan Mataram yang dengki dan menuruti nafsu pribadi," jawab orang itu.
"Ki Sanak," berkata Ki Waskita, "apakah kau tahu pasti, siapakah yang berada dipaling ujung dari barisanmu " Dari orang-orang yang merasa berkepentingan dengan bangkitnya Majapahit kembali pada masa sekarang ini ?"
"Pertanyaanmu aneh. Kau tentu tahu bahwa pertanyaan itu tidak akan terjawab. Tetapi katakan, apakah kau tidak merindukan masa-masa yang gemilang itu ?" bertanya orang yang disebut Ki Lurah.
"Tentu. Tentu Ki Sanak. Aku dan aku kira seluruh rakyat Nusantara merindukannya. Persatuan yang utuh. Kesejahteraan yang adil dari ujung sampai keujung dari tanah yang dikurniakan oleh Yang Maha Agung ini," jawab Ki Waskita.
"Lalu apa lagi ?" bertanya orang itu.
"Apakah kau kira cara yang kau tempuh itu dapat dibenarkan ?" tiba-tiba Ki Waskita bertanya.
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menjawab, "Apakah artinya cara dibanding dengan cita-cita yang luhur dan tidak ternilai harganya. Tidak ada yang pantas disesalkan dari cara yang telah kami tempuh. Setiap cita-cita harus dilambari dengan kesediaan berkorban. Bahkan mungkin kita sendiri yang menjadi korban."
Ki Waskita menggelengkan kepalanya. Katanya, "Ki Sanak. Aku sependapat dengan kerinduanmu atas kesatuan seperti yang nampak pada masa kejayaan Majapahit. Tetapi aku tidak sependapat dengan cara yang kau tempuh. Yang ditempuh oleh kawan-kawanmu dan bahkan mungkin karena sikap pemimpinmu. Justru karena kau mengabaikan arti dari cara yang kau tempuh itulah, maka kau sudah mulai dengan langkah yang salah."
"Kenapa " Maksudmu, kita harus menunggu sampai kebesaran dan kejayaan itu datang sendiri " Apakah kau maksud bahwa Pajang akan dengan sendirinya mengglembung menelan daerah-daerah lain yang sudah mulai memisahkan diri " Tidak. Pajang harus dimusnahkan. Mataram harus di lumpuhkan sebelum mampu bangkit dan melangkah. Kekuatan baru harus bangkit untuk menaklukkan kembali daerah-daerah yang telah memisahkan diri."
"Aku semakin banyak melihat kesalahan pada ucapan-ucapanmu," berkata Ki Waskita, "apakah artinya kebesaran dan kesatuan yang kaurindukan jika kau masih berpijak pada kekuasaan untuk mengalahkan bagian dari kesatuan yang kau sebut daerah-daerah yang memisahkan diri itu."
Wajah orang itu menegang. Namun kemudian katanya, "Sudahlah. Ternyata jiwamu terlalu kerdil dan cengeng. Karena itu, jika kau memang tidak dapat mengerti, maka kau harus dibunuh sekarang juga."
"Terserahlah kepadamu. Tetapi bagiku, kebesaran dan persatuan tidak akan diikat dengan kekerasan dan kekuasaan yang berlandaskan kekuatan. Nampaknya kau mulai dengan cara yang bagiku mustahil akan dapat berhasil itu, selain jatuhnya korban dan mungkin keberhasilan sementara bagi orang-orang yang diburu oleh nafsu ketamakan semata-mata."
"Pikiran kita tidak akan dapat bertemu. Baiklah. Ternyata aku telah melakukan satu perbuatan sia-sia," geram orang itu, "sekarang bersiaplah untuk mati."
Ki Waskita tidak menjawab. Tetapi ia benar-benar bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Namun dalam pada itu, ia masih sempat memperhatikan sekilas, apa yang telah terjadi. Pertempuran telah berlangsung dengan serunya dalam lingkaran-lingkaran pertempuran di padang ilalang itu. Namun yang agaknya mengalami kesulitan pertama-tama adalah justru Sekar Mirah.
Sebenarnya kemampuan kedua orang tukang satang dari Gunung Sepikul itu tidak menggetarkan pertahanan Sekar Mirah. Tetapi Sekar Mirah telah menjadi ngeri karena tingkah laku orang-orang itu. Atas kekasaran yang liar dan buas. Kata-kata kotor yang diucapkannya membual jantung Sekar Mirah bagaikan berhenti berdenyut.
Agaknya kedua orang itupun menyadari, bahwa Sekar Mirah telah terganggu dengan sikap dan keliaran mereka. Justru dengan demikian, maka mereka tidak segan-segan telah menyinggung perasaan Sekar Mirah dengan kata-kata yang tidak pantas, justru karena Sekar Mirah adalah seorang gadis.
Karena itu, semakin lama pertahanan Sekar Mirah menjadi semakin lemah. Beberapa kali ia terpaksa berloncatan surut.
"Kau lihat," desis Ki Lurah yang bertempur melawan Ki Waskita sambil menyerang semakin garang pula, "gadis Sangkal Putung itu sudah kehilangan kemampuannya menghadapi orang-orang gila dari Gunung Sepikul itu."
Ki Waskita tidak menjawab. Ia sadar, bahwa lawan yang pahng berat bagi Sekar Mirah saat itu adalah perasaannya sendiri.
Untuk beberapa saat, Ki Waskita harus memusatkan perhatiannya pada dirinya sendiri. Orang yang disebut Ki Lurah itu telah menyerangnya dengan cepat dan keras. Namun orang itu masih belum mempergunakan senjata apapun juga.
Sekar Mirah benar-benar telah mengalami kesulitan dengan kedua lawannya. Senjata mereka yang aneh, kadang-kadang membuat Sekar Mirah menjadi gugup. Tetapi yang paling berat baginya adalah teriakan-teriakan yang bagaikan membakar telinganya.
"Kalian licik dan liar," geram Sekar Mirah, "marilah kita memperbandingkan ilmu. Bukan kata-kata kotor dan liar."
Keduanya justru tertawa. Mereka sama sekali tidak menghiraukan, apa saja penilaian orang lain terhadap mereka. Yang penting bagi keduanya adalah berhasil mengalahkan lawannya dan merampas harta benda yang ada pada lawannya.
Dalam pada itu, Swandaru ternyata harus mengerahkan segenap kemampuannya pula menghadapi dua orang lawannya. Ketika keringatnya mulai membasahi, maka ledakan-ledakan cambuknyapun menjadi semakin tajam menggores isi dada. Rasa-rasanya kedua lawannya telah tersobek selaput telinganya.
Namun demikian kedua lawan Swandaru memang bukan orang kebanyakan. Mereka bertempur dengan garangnya. Menghindar dan berusaha menyusup diantara ujung cambuk Swandaru yang meledak-ledak.
Pandan Wangipun nampaknya dalam keadaan yang serupa. Ia harus bertempur dengan segenap kemampuan ilmunya. Pedang rangkapnya berputaran, menyambar dan mematuk. Kecepatan geraknya telah banyak berhasil membuat lawannya kadang-kadang kehilangan sasaran. Namun demikian, karena ia harus melawan dua orang yang bertempur berpasangan, maka iapun harus menjadi sangat berhati-hati.
Tetapi bagi Ki Waskita, keadaan Swandaru dan Pandan Wangi tidak begitu mencemaskannya. Menurut pengamatannya, keduanya masih mempunyai kesempatan untuk bertahan dan bahkan, jika keduanya mampu mengembangkan perlawanan mereka, maka agaknya keduanya akan berhasil.
Namun sementara itu, Pandan Wangi semakin lama menjadi semakin terdesak. Kedua lawannya berteriak semakin keras dan semakin kotor. Kata-kata yang tidak pantas diucapkan, telah mereka teriakkan dengan sengaja.
"Gila, o gila," geram Sekar Mirah.
Lawannya tertawa berkepanjangan.
Ki Waskita yang benar-benar menjadi cemas melihat keadaan Sekar Mirah yang bertempur melawan dua orang yang liar, kasar dan bersenjata agak lain dari senjata yang banyak dipergunakan, tiba-tiba saja berteriak, "Sekar Mirah. Kau adalah pewaris tongkat besi baja berkepala tengkorak. Senjatamu adalah senjata pamungkas yang dapat kau pakai untuk menutup mulut mereka. Dengan demikian, mereka tidak akan dapat meneriakkan kata-kata kotor lagi."
"Diam kau," Ki Lurahlah yang membentak sambil menyerang dengan garangnya. Hampir saja Ki Waskita tersentuh dadanya, sehingga jantungnya akan dapat dirontokkannya. Untunglah, ia masih sempat mengelak, meskipun ia harus membantu Sekar Mirah.
Suara Ki Waskita didengar oleh Sekar Mirah. Ternyata bahwa kata-kata Ki Waskita itu seakan-akan menumbuhkan pertanyaan didalam hatinya, "Kenapa aku tidak membungkam mulutnya yang kasar dan kotor itu."
Pertanyaan itu ternyata telah bergejolak didalam hatinya. Semakin lama semakin gemuruh, sehingga akhirnya Sekar Mirah diluar sadarnya telah berteriak pula, "Aku tutup mulutmu dengan pangkal tongkatku ini."
Suara Sekar Mirah itu ternyata telah mendebarkan jantung kedua lawannya. Seolah-olah Sekar Mirah yang ngeri mendengar kata-kata kasar lawannya itu telah mendapatkan tempat untuk bertumpu.
Sebenarnyalah bahwa sejenak kemudian tongkat baja Sekar Mirah telah berputar semakin cepat. Tengkorak yang berwarna kekuning-kuningan itupun menyambar-nyambar dengan cepatnya, seperti burung sikatan menyambar bilalang.
Kedua lawannya terkejut melihat perubahan pada tata gerak Sekar Mirah. Nampaknya gadis itu telah mendapatkan satu kesadaran baru bahwa lebih baik baginya untuk menutup mulut kedua orang itu daripada ia harus mendengarkannya berkepanjangan, dan apalagi jika ia benar-benar dikalahkan.
"Aku akan mengalami perlakuan yang kasar dan kotor seperti kata-kata yang diucapkan itu jika aku dapat mereka kalahkan," geram Sekar Mirah didalam hatinya.
Dengan demikian, maka perlawanan Sekar Mirahpun kemudian menjadi semakin meningkat. Kecepatannya bergerakpun mulai dapat membingungkan lawannya. Tongkat baja putihnya dengan pangkal kepala tengkorak itu menyambar-nyambar dengan cepatnya. Sekali-sekali tongkat baja itu telah menghantam senjata lawannya.
Pada benturan-benturan yang terjadi, maka perlahan-lahan Sekar Mirah menjadi semakin mengenal keseimbangan kekuatan antara dirinya dan kedua lawannya. Ketika dengan sengaja Sekar Mirah menangkis senjata lawannya yang menyambar keningnya, maka hampir saja Sekar Mirah berhasil melontarkan senjata lawannya itu. Namun agaknya betapapun tangannya merasa panas dan pedih, namun lawannya itu masih berhasil mempertahankannya.
Ketika Sekar Mirah memburunya dan bermaksud untuk sama sekali memukul dan melontarkan senjata lawannya itu, maka lawannya yang lain telah menyerangnya sambil berteriak kasar.
Sekar Mirah terpaksa menghindari serangan itu. Namun dengan demikian ia menjadi semakin percaya kepada dirinya sendiri. Meskipun ia seorang perempuan, tetapi kekuatannya yang terlatih serta dukungan kekuatan cadangannya, maka ia mampu melawan bahkan melampaui kekuatan lawannya yang kasar dan liar itu.
Dengan demikian, maka pertempuran antara Sekar Mirah dan kedua lawannya itupun menjadi semakin sengit. Sekar Mirah yang bertempur semakin mapan telah membuat lawannya menjadi gelisah. Beberapa kali mereka mencoba mempengaruhi lawannya dengan kata-kata kasar dan kotor. Namun Sekar Mirah tidak menghiraukannya lagi. Bahkan dengan marah ia menggeram, "Aku harus membungkam mulutnya yang kotor itu."
Sementara itu, Ki Waskita mulai tersenyum melihat keseimbangan pertempuran antara Sekar Mirah dan kedua lawannya. Dengan demikian maka iapun berkata, "Sekarang aku mendapat kesempatan untuk memusatkan perhatianku kepadamu Ki Sanak."
"O," desis orang yang disebut Ki Lurah, "apakah itu satu pemberitahuan bahwa selama ini kau masih belum sampai pada puncak ilmumu ?"
Ki Waskita tersenyum. Namun ia harus meloncat mundur. Serangan lawannya datang bagaikan badai. Agaknya orang yang disebut Ki Lurah itu ingin mempergunakan saat Ki Waskita menjawab kata-katanya.
Tetapi Ki Waskita sempat mengelakkan serangan itu, dan bahkan kemudian iapun telah bersiap menghadapi serangan-serangan berikutnya.
"Gila," geram Ki Lurah, "kau memang seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi yang kau lihat padaku belum separo dari tingkat kemampuanku."
"Begitu ?" bertanya Ki Waskita. Tetapi ia tidak mengabaikan peringatan lawannya itu. Mungkin tidak seluruhnya benar. Tetapi sebagian dari padanya tentu mempunyai kebenaran.
Karena itu maka Ki Waskitapun segera mempersiapkan diri untuk menghadapi ilmu yang tentu lebih dahsyat dari yang sudah diungkapkan dalam gerak oleh orang yang disebut Ki Lurah itu.
Dalam pada itu. Pandan Wangi yang bertempur dengan pedang rangkap, agaknya masih dapat melindungi dirinya. Betapa kedua lawannya berusaha menekannya, tetapi kedua pedangnya yang berputar seperti baling-baling, masih mampu menjadi perisai yang seakan-akan tidak tertembus."
"Iblis betina," geram salah seorang lawannya yang hampir kehabisan akal. Apapun yang dilakukan, ternyata Pandan Wangi mampu mengatasinya. Serangan yang datang beruntun dari keduanya, selalu dapat dielakkan. Bahkan dalam keadaan yang paling gawat. Pandan Wangi telah membenturkan senjatanya pula. Namun tenaga Pandan Wangi bukannya tenaga perempuan sewajarnya, sehingga karena itu, maka dalam benturan kekuatan, kedua orang lawan Pandan Wangi itu menjadi heran dan bahkan kemudian menjadi cemas.
Sebenarnyalah bahwa pedang rangkap Pandan Wangi menyambar-nyambar seperti sayap seekor burung Srigunting. Namun yang setiap sentuhannya akan dapat merobek kulit dan daging.
Sementara itu, Swandaru perlahan-lahan namun pasti, akan berhasil menguasai lawannya. Cambuknya yang meledak-ledak membuat lawannya menjadi ngeri. Suaranya bukan saja memekakkan telinga, namun semakin lama suara ledakkan cambuk itu bagaikan menyusup masuk kedalam rongga dadanya, dan mengguncang jantungnya.
"Ilmu iblis yang manakah yang kau pergunakan ini he ?" geram salah seorang dari kedua lawannya.
Swandaru tidak menjawab. Tetapi cambuknya sajalah yang meledak dengan dahsyatnya.
Kedua orang lawannya meloncat surut. Meskipun ujung cambuk Swandaru tidak mengenai kulit mereka, namun hembusan anginnya seakan-akan telah memperingatkan mereka, bahwa sentuhan ujung cambuk itu bukan saja dapat menyayat kulit mereka, tetapi bahkan akan dapat meremukkan tulang mereka. Hampir diluar sadarnya Swandaru menyahut, "Guruku."


06 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Anak setan," salah seorang dari kedua orang lawan Swandaru itu mengumpat, "darimana kau mendapat kemampuan bermain cambuk itu ?"
"Ya, gurumu tentu kerasukan iblis sehingga ia mampu mengajarimu bermain cambuk," geram lawannya yang lain. Namun kemudian katanya, "Tetapi cambuk semacam itu hanya dapat menakut-nakuti anak kambing cengeng. Bukan untuk menakut-nakuti aku."
Swandaru menggeretakkan giginya. Tetapi ia masih menyadari, bahwa ia tidak boleh tenggelam dalam arus perasaannya. Bahkan dengan demikian ia masih sempat menjawab, "Aku kira, aku sekarang memang sedang berhadapan dengan anak-anak kambing cengeng."
Orang itulah yang kemudian menggeram. Namun yang lain masih sempat berkata, "Kita bertempur dengan kemampuan ilmu. Bukan sekedar saling menyindir agar lawannya kehilangan pengamatan diri."
Swandaru meloncat surut. Dengan demikian ia mendapat kesempatan untuk menjawab, "Baiklah. Bagaimana jika kita bertempur sambil berdiam diri " Bukankah dengan demikian, kita benar-benar sedang beradu tingkat kemampuan dan kekuatan ?"
Kedua lawannya tidak menjawab lagi. Tetapi keduanya dengan serta merta telah menyerang dari dua arah yang berbeda.
"Tidak ada aba-aba," berkata Swandaru didalam hatinya, "tetapi keduanya mampu bergerak serentak, seolah-olah keduanya telah digerakkan oleh otak yang sama."
Sebenarnyalah kedua orang lawannya mampu bertempur berpasangan dengan mapan sekali.
Namun Swandaru adalah seorang yang memiliki ilmu yang cukup. Ia telah mewarisi semua dasar ilmu Kiai Gringsing, meskipun ia masih belum sampai kepuncak perkembangannya. Namun demikian, ia adalah seorang yang mengagumkan. Kekuatannya benar-benar mengejutkan lawannya disetiap sentuhan dan benturan senjata.
Tetapi kedua lawannya ternyata memiliki kecepatan bergerak yang tinggi. Apalagi kemapanan kerja sama diantara mereka yang mengagumkan. Sehingga dengan demikian, maka Swandaru harus berjuang sekuat tenaganya untuk bertahan.
Tetapi agaknya senjata Swandaru yang agak lain dari kebanyakan senjata itu sangat berpengaruh. Ujung senjatanya yang meskipun tidak tajam, tetapi lentur, kadang-kadang membuat lawannya menjadi bingung. Ujung cambuk Swandaru itu seolah-olah selalu mengejar keduanya kemanapun mereka menghindar.
Meskipun demikian, keduanya bukan kanak-kanak lagi diarena petualangan olah kanuragan. Keduanya adalah orang yang berpengalaman dan mengenal berbagai macam tata gerak ilmu kanuragan. Karena itu, maka keduanya masih memiliki kesempatan untuk menghindari kejaran ujung cambuk Swandaru yang bukan saja berkarah baja seperti saat ia mendapatkannya dari gurunya. Tetapi karah baja yang melingkar pada ujung cambuk Swandaru ternyata sudah menjadi semakin rapat. Dengan demikian, maka setiap sentuhan ujung senjatanya akan dapat menyayat kulitnya sampai ketulang.
Di arena pertempuran yang lain. Pandan Wangi yang bertempur dengan pedang rangkap ternyata membuat lawannya kadang-kadang tidak percaya akan penglihatannya. Perempuan itu seakan-akan benar-benar telah terbang dengan sayap pedangnya. Namun kemudian dengan cepat menukik dan mematuk dengan ujung sayapnya yang tajam, melampaui tajamnya paruh rajawali.
Dengan demikian, maka kedua lawannya telah mempergunakan cara yang khusus pula untuk melawan sepasang pedang itu. Keduanya mengambil jarak yang cukup diarah yang berlawanan. Seperti berjanji keduanya menyerang berganti-ganti, bagaikan arus ombak yang menghantam tebing. Berurutan tidak henti-hentinya, sehingga mereka berharap bahwa Pandan Wangi tidak akan sempat menyerang mereka.
Tetapi Pandan Wangi memiliki ketajaman pengamatan atas kedua lawannya. Ia tidak mau terperangkap kedalam serangan yang datang beruntun. Namun ia dengan tangkasnya melepaskan diri dari garis serangan keduanya, dan dengan cepatnya memusatkan serangannya kepada salah seorang lawannya.
Serangan Pandan Wangi benar-benar mengejutkan. Lawannya yang seorang itu terpaksa berloncatan menghindari serangan Pandan Wangi. Namun Pandan Wangi tidak melepaskannya. Serangannya datang tanpa terbendung.
Tetapi sejenak kemudian Pandan Wangi terpaksa memperhitungkan lawannya yang lain yang dengan tergesa-gesa datang memburunya. Sehingga dengan demikian. Pandan Wangi terpaksa melepaskan kesempatan yang hampir saja terbuka baginya.
"Perempuan ini benar-benar gila," geram lawannya yang hampir saja dadanya disayat oleh pedang Pandan Wangi. Dengan nafas yang terengah-engah iapun memperbaiki kedudukannya meskipun ia tidak sempat beristirahat sama sekali walau hanya sekedar untuk mengatur pernafasannya. Karena jika ia terlambat sekejap, maka kawannyalah yang akan menjadi korban puta ran pedang Pandan Wangi.
Dalam pada itu, ternyata lawannya benar-benar telah kehilangan pengekangan diri. Mereka telah mengerahkan segenap ilmu dan kemampuan mereka. Sehingga dengan demikian, maka keduanya telah meningkat bukan saja sekedar bertempur dengan tenaga wajarnya. Keduanya telah mulai mengerahkan segenap tenaga cadangannya sampai kepuncak kemampuan.
Pandan Wangi merasa,tekanan kedua lawannya memang menjadi semakin berat. Justru karena itu, maka sengaja atau tidak sengaja, iapun telaii memeras segenap tenaga, kemampuan dan ilmu yang ada padanya.
Pada saat-saat terakhir, ketika lawannya mulai mendesaknya dengan tenaga yang terasa semakin besar, Pandan Wangi yang tidak mungkin menghindar dari arena itupun menghentakkan kekuatannya. Ketika serangan lawannya mematuknya, maka ia berusaha untuk meloncat kesamping. Namun justru pada saat itu, lawannya yang lain telah mengayunkan senjatanya dengan sepenuh kekuatannya menebas kearah leher.
Tidak ada kesempatan lagi untuk mengelak. Sementara itu Pandan Wangi sadar, bahwa lawannya telah mempergunakan segenap kemampuan yang ada padanya. Bukan saja tenaga wajarnya, tetapi juga tenaga cadangannya. Karena itu, maka Pandan Wangi yang tidak mempunyai kesempatan lain, kecuali menangkis serangan itu, telah mengerahkan segenap kemampuannya pula. Dengan sepenuh pemusatan ilmu, ia telah mengerahkan tenaga cadangannya untuk menangkis senjata lawannya yang langsung menebas lehernya. Bahkan demikian maka ungkapan kekuatan Pandan Wangi yang dihentakkan itu benar-benar telah mengungkap segenap kemampuan yang ada pada dirinya. Setelah beberapa lama ia mesu diri dengan cara yang agak berbeda dengan Swandaru dan Sekar Mirah, karena kekagumannya setelah ia mendengar bahwa iapun akan mampu menghentakkan ilmu dalam ungkapan yang agak lain dari ungkapan tenaga dan tenaga cadangan saja.
Salam Terakhir Sherlock 4 Setannya Kok Beneran Karya Dyah Ratna Setan Gembel 2

Cari Blog Ini