06 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 25
"Aku tidak akan dapat memberikan latihan-latihan kepada semua anak-anak muda," berkata Agung Sedayu, "waktuku terbatas sekali sebagaimana yang mungkin aku pergunakan. Karena itu, aku akan mempergunakan cara yang akan dapat, menjangkau segala pihak. Sepuluh orang yang berlatih pertama kali itu, nanti akan membantu aku mengembangkan pengetahuannya kepada kawan-kawannya di padukuhan-padukuhan yang tersebar. Kemudian sepuluh orang lagi akan aku minta untuk melakukan hal yang sama, sehingga dengan demikian kemampuan para pengawal itu akan tersebar, tanpa menunggu aku lagi."
Dengan cara itu, maka yang diberikan oleh Agung Sedayu kepada para pengawal itupun berkembang lebih cepat. Meskipun ada juga satu dua orang yang kecewa karena tidak langsung mereka terima dari Agung Sedayu.
Namun demikian, pada waktu-waktu tertentu Agung Sedayupun menyediakan waktu untuk melihat-lihat para pengawal yang sedang berlatih dibawah tuntunan kawan-kawan mereka sendiri yang telah mendapat petunjuk langsung dari Agung Sedayu. Dengan demikian maka kekecewaan itupun telah berkurang.
Perubahan-perubahan mulai nampak di Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun tidak secepat keinginan Agung Sedayu sendiri, namun selangkah demi selangkah Tanah itu mulai memperbaiki kemunduran yang terjadi sebelumnya.
Hampir di segala lapangan, Tanah Perdikan Menoreh mulai membenahi diri. Wajah padukuhan-padukuhanpun sedikit demi sedikit mulai bertambah cantik. Jalan-jalan mulai rata sehingga pedati-pedati yang lewat di dini hari tidak mengalami kesulitan lagi pada lubang-lubang di jalan yang menggenang jika hujan turun. Bendungan-bendunganpun telah diperbaiki, sehingga air yang naikpun menjadi semakin banyak, sementara parit yang membelah tanah-tanah persawahan telah mengantarkan air sampai keujung-ujungnya, sehingga sawah yang menjadi kering telah dibasahi kembali.
Dimalam hari, gardu-gardu mulai terisi. Gardu-gardu yang rusak dan kehilangan kentongannya, telah menjadi baik dan kentongan pangkal batang kelapa itupun telah tergantung di sudut.
Harapan demi harapan mulai membayang. Ki Gede Menoreh sendiri menjadi semakin bergairah untuk mengelilingi Tanah Perdikannya. Perlahan-lahan ia telah berhasil mengusir kesepian di hatinya sepeninggal anak perempuannya. Apalagi jika ia melihat Prastawapun nampaknya telah hanyut pula dalam kerja.
Kadang-kadang bersama Ki Waskita disore hari, Ki Gede Menoreh berkuda menempuh jalan-jalan di sepanjang Tanah Perdikannya. Perubahan wajah Tanah Perdikan itu membuatnya seakan-akan menjadi muda kembali. Wajahnya yang cekung mulai nampak gembira. Sorot langit yang kemerah-merahan di sore hari, tidak lagi menjadi lambang kemuraman yang bakal turun di atas Tanah Perdikan. Obor-obor akan menyala di sudut-sudut padukuhan dan di gardu-gardu. Bahkan di regol-regol beberapa halamanpun akan terpasang obor-obor kecil yang menerangi jalan-jalan.
Bahkan di halaman banjar padukuhan, anak-anak muda justru mulai turun dalam latihan-latihan apabila langit menjadi gelap. Dengan penuh minat mereka mulai mengenang kembali kewajiban mereka untuk mengawal Tanah Perdikan itu, setelah untuk beberapa lama mereka terlena dalam tidur yang nyenyak sejak gelap mulai turun.
Para pemimpin Tanah Perdikan itupun menjadi semakin berpengharapan atas masa depan. Tanah Perdikan itu tidak lagi membayangkan kesuraman yang mencemaskan.
Dalam kesempatan tertentu. Agung Sedayu berusaha untuk memilih orang-orang terbaik dari Tanah Perdikan itu untuk mendapat tempaan khusus. Mereka akan menjadi penggerak utama dalam tugas pengawalan Tanah Perdikan itu. Namun hal itu baru akan dapat dilakukannya, setelah ia berada lebih lama lagi di atas Tanah itu, sehingga ia benar-benar mendapatkan anak-anak muda yang bukan saja memiliki kemampuan jasmaniah, tetapi juga anak-anak muda yang memiliki ketrampilan berpikir. Lebih dari itu, mereka harus anak-anak muda yang tahu akan dirinya dalam hubungan antar sesama dan hubungan dengan Penciptanya, sehingga kemampuan yang akan mereka miliki, tidak akan menambah buramnya Tanah Perdikan Menoreh.
Justru karena itu, maka Agung Sedayu tidak bertindak tergesa-gesa. Ia selalu menyampaikan segala persoalan yang timbul kepada Ki Waskita untuk mendapat petunjuk pemecahan.
Namun Agung Sedayupun sadar, bahwa waktunya di Tanah Perdikan Menorehpun tentu akan sangat terbatas.
Pada saatnya ia akan kembali ke padepokan kecilnya, jika ia sudah sampai pada saatnya menginjak hidup berkeluarga.
Tetapi kadang-kadang masih timbul pula pertanyaan didalam dirinya, "apakah aku masih mendapat kesempatan seperti ini sesudah hari perkawinanku dan membawa Sekar Mirah ke Tanah Perdikan ini ?"
Karena persoalan-persoalan yang menyangkut dirinya itulah, maka Agung Sedayu harus mengambil jalan tengah. Ia tidak boleh tergesa-gesa memilih anak-anak muda seperti yang dimaksud, tetapi iapun tidak boleh terlalu lamban, sehingga ia akan kehilangan kesempatan.
Namun dalam pada itu, selagi Agung Sedayu sibuk dengan usahanya untuk meningkatkan Tanah Perdikan Menoreh, telah terjadi sesuatu yang mengejutkan seluruh Tanah Perdikan itu.
Sejak anak-anak muda di Tanah Perdikan itu bangkit, maka keadaannyapun menjadi semakin baik. Tidak lagi terjadi kerusuhan-kerusuhan di malam hari, apalagi disiang hari.
Namun tiba-tiba saja, ketika seorang petani pergi kesawah di dini hari, ia telah dikejutkan oleh sesosok tubuh yang terbaring di jalan kecil yang membujur di sebelah sawahnya.
Dengan tergesa-gesa ia berlari-lari memanggil beberapa orang anak muda yang masih berada digardu di sudut desa. Dengan demikian maka anak-anak muda itupun segera menghambur ketempat yang dikatakan oleh petani itu.
Sebenarnyalah mereka menemukan seorang anak muda yang pingsan. Pada tubuhnya terdapat bekas-bekas penganiayaan. Pada wajahnya terdapat noda-noda biru. Demikian juga pada beberapa bagian tubuhnya. Sementara itu, dipinggangnya terselip sebatang seruling bambu.
Hal itu cepat didengar oleh Ki Gede Menoreh, Agung Sedayu dan Ki Waskita. Ketika Agung Sedayu mendengar ciri-ciri orang yang terbaring itu, apalagi sebuah seruling yang terselip di pinggangnya, maka ia tidak menunggu lebih lama lagi. Sebelum Ki Gede dan Ki Waskita bersiap. Agung Sedayu telah mendahului menuju ketempat itu.
Sebenarnyalah, darah Agung Sedayu serasa berhenti mengalir. Anak muda itu adalah Rudita.
"Gila," ia menggeram, "siapa yang telah menganiaya anak ini. Ia bukan sasaran penganiayaan karena ia tidak mempunyai rasa permusuhan meskipun hanya seujung duri."
Tiba-tiba saja jantung Agung Sedayu bagaikan menggelegak. Ia tidak pernah merasa betapa kemarahan menghentak-hentak dadanya seperti pada saat itu.
Ketika panas yang membakar dadanya tidak lagi terkendali, maka Agung Sedayupun kemudian berdiri tegak sambil menggeram, "Aku akan mencari orang yang telah melakukan penganiayaan ini sampai ketemu."
Orang-orang yang mengerumuni Rudita itupun menyibak ketika Ki Gede dan Ki Waskita tiba ditempat itu. Di belakang mereka, Prastawa termangu-mangu menyaksikan apa yang telah terjadi. Ketika tiba-tiba saja tatapan mata Agung-Sedayu menyambarnya, maka Prastawapun segera menundukkan kepalanya.
"Rudita," Ki Waskitapun segera berlutut di samping tubuh yang terbujur itu. Demikian pula Ki Gede dan disusul kemudian oleh Agung Sedayu.
Beberapa orang anak mudapun telah mengenalnya pula, karena Rudita memang sering berada di Tanah Perdikan Menoreh. Kadang-kadang bersama ayahnya, tetapi kadang-kadang ia seorang diri, karena anak muda itupun masih mempunyai hubungan keluarga dengan Ki Gede Menoreh.
Namun dalam pada itu, ternyata tubuh yang pingsan itu sudah mulai bergerak. Perlahan-lahan Rudita membuka matanya. Sejenak ia masih dibayangi oleh kebingungan karena seolah-olah dengan tiba-tiba ia telah dihadapkan kepada orang banyak. Namun kemudian perlahan-lahan ia mulai mengingat kembali apa yang telah terjadi.
"Rudita," desis Ki Waskita.
"Ayah," sahut Rudita, "O, agaknya Ki Gede dan Agung Sedayu telah berada disini pula."
"Apa yang terjadi ?" bertanya Ki Waskita.
Sejenak Rudita merenung. Namun kemudian iapun tersenyum sambil menjawab, "Tidak ada apa-apa ayah."
"Tetapi kau pingsan. Ada bekas-bekas penganiayaan pada tubuhmu," sahut Ki Gede.
Tiba-tiba saja Rudita bangkit. Meskipun ia masih sangat lemah, namun ia berusaha untuk duduk. Sambil tersenyum pula ia menjawab, "Tidak ada apa-apa ayah. Mungkin aku terlalu letih dan kantuk, sehingga aku tertidur disini."
Ki Waskita termangu-mangu. Namun katanya kemudian, "Aku tahu Rudita, bahwa kau sama sekali tidak menaruh dendam kepada siapapun, meskipun orang itu telah menganiayamu. Tetapi apakah didalam keyakinanmu, kau dibenarkan untuk berbohong ?"
Rudita mengerutkan keningnya. Sambil menarik nafas panjang ia menggeleng, "Aku memang tidak perlu berbohong ayah."
"Nah, jika demikian, apa yang telah terjadi," bertanya ayahnya.
"Ayah sudah mengetahui apa yang telah terjadi meskipun aku tidak menjawabnya," jawab Rudita. Lalu, "Dan itu bukannya satu kebohongan. Aku hanya tidak mau mengatakannya."
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu Ki Gede berkata, "Marilah, kita bawa anak ini pulang. Kita akan dapat berbicara lebih panjang di rumah."
Ki Waskita tidak menolak. Maka iapun kemudian memapah anaknya menuju ke padukuhan induk.
Beberapa orang anak muda mengikutinya. Agung Sedayu yang masih saja dibakar oleh kemarahan yang menghentak-hentak, ikut pula membawa Rudita ke rumah Ki Gede. Sementara itu, Prastawa mengikut pula beberapa puluh langkah dibelakang bersama beberapa orang kawan-kawannya.
Di rumah Ki Gede, beberapa orang berusaha untuk mengetahui siapakah yang telah melakukan penganiayaan itu. Namun Rudita hanya tersenyum saja.
"Aku sudah sehat," katanya setelah minum beberapa teguk, "aku mohon kalian melupakan saja peristiwa yang baru saja terjadi. Mudah-mudahan orang yang berhati gelap itu segera mendapat kurnia kebeningan budi dari Yang Maha Agung."
"Tetapi ia berbahaya bagi orang lain Rudita," desak Agung Sedayu, "mungkin kau dapat melupakannya, memaafkannya dan bahkan berdoa agar orang itu mendapat petunjuk. Tetapi dengan demikian berarti kau melupakan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atas orang lain. Mungkin lebih parah, dan bahkan mungkin orang itu akan merenggut nyawa seseorang."
Rudita menggeleng. Katanya, "Tidak. Ia tidak akan berbuat apa-apa, Akupun tidak mati karenanya."
Agung Sedayu menahan gejolak yang serasa meledak dijantungnya. Perasaan yang menghentak-hentak, kecewa, bahkan jengkel bercampur baur itu memang belum pernah dialaminya. Karena itu, maka bibirnya justru menjadi gemetar.
Tetapi tidak seorangpun dapat memaksa Rudita mengatakan sesuatu. Ia hanya tersenyum saja. Kadang-kadang tertawa. Bahkan akhirnya ia berkata kepada Ki Gede, "Paman, aku sebenarnya sangat lapar. Apakah paman bersedia memberikan semangkuk nasi kepadaku."
"O, tentu. Tentu Rudita," sahut Ki Gede.
Tetapi sebelum Ki Gede beringsut. Agung Sedayu telah pergi ke dapur untuk memesan kepada seorang pelayan agar menyediakan makan buat Rudita.
Namun dalam pada itu, Ki Waskita telah menyusulnya. Sambil berbisik ia bertanya, "Apakah mungkin Prastawa melakukannya seperti yang pernah dilakukan atasmu bersama-sama dengan kawan-kawannya ?"
"Aku kira bukan Ki Waskita," jawab Agung Sedayu, "menurut ingatanku, Rudita mempunyai landasan ilmu kebal meskipun ia sendiri menyebutnya sebagai satu sikap munafik. Tetapi yang pernah terjadi, ia tidak mengalami cidera ketika terjadi salah paham. Terhadapnya, sehingga ia mengalami nasib yang buruk ditangan anak-anak muda. Namun ia dapat melindungi dirinya dengan ilmu kebalnya."
"Tetapi ia masih tetap mengalami pertumbuhan sikap dan keyakinan," sahut Ki Waskita, "jika kemudian ia dengan sadar melepaskan ilmu yang dianggapnya munafik itu " Bahkan ia membiarkan tubuhnya menjadi merah biru karena penganiayaan itu ?"
Agung Sedayu menarik nafas dalam. Katanya kemudian, "Aku tidak melihat alasan, kenapa Prastawa memperlakukannya demikian."
"Jadi siapa menurut dugaanmu ?" bertanya Ki Waskita,
Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Baginya teka-teki itu memang rumit. Tetapi ia sudah bertekad untuk mencari orang yang telah menganiaya Rudita sampai ketemu dan bahkan iapun telah berniat untuk membuat perhitungan apapun yang akan terjadi. Satu keputusan untuk membuat perhitungan apapun yang akan terjadi. Satu keputusan yang jarang dapat diambil dengan cepat oleh Agung Sedayu.
Dalam pada itu, maka sejenak kemudian seorang pelayan telah menyediakan makan dan minum seperti yang diminta oleh Rudita. Karena itu, maka Ruditapun kemudian dipersilahkan untuk makan di ruang dalam.
Agung Sedayu dan Ki Waskita menungguinya ketika Rudita makan. Sekali-sekali Ki Waskita masih juga bertanya. Tetapi setiap kali Rudita selalu mengelak.
Namun tiba-tiba diluar dugaan Agung Sedayu Ki Waskita berdesis, "Baiklah Rudita, jika kau tidak mau mengatakan apa yang telah terjadi. Jangan kau kira bahwa aku tidak mengetahuinya. Bukan hanya kau yang pernah mengalaminya. Beberapa saat yang lalu, demikian angger Agung Sedayu datang ke Tanah Perdikan ini, iapun mengalami nasib yang sama."
Wajah Rudita menegang sejenak, sehingga iapun berhenti mengunyah makanan di mulutnya.
Hampir saja Agung Sedayu akan menyahut. Namun Ki Waskita sudah mendahuluinya, "Karena itu, maka akulah yang akan membuat perhitungan. Aku tahu, kau memegang satu keyakinan yang berbeda dengan aku. Karena itu, biarlah aku yang bertindak."
"Apa yang akan ayah lakukan ?" bertanya Radita dengan jantung yang berdebaran.
"Aku akan memperlakukannya sama seperti yang dilakukannya atas mu," jawab Ki Gede, "bahkan karena kau tentu tidak melawannya, maka jika ia melawan aku akan membalas dua kali lipat."
"Ayah," potong Rudita, "apakah ayah mengira bahwa kekerasan akan dapat menyelesaikan semua masalah."
"Terhadap anak yang bengal maka tidak ada lain cara yang dapat aku lakukan, kecuali dengan kekerasan," jawab Ki Waskita.
"Tetapi siapakah yang ayah maksud anak yang bengal itu ?" bertanya Rudita.
"Prastawa," jawab Ki Waskita singkat.
"Tidak. Bukan Prastawa yang memperlakukan aku demikian," sahut Rudita dengan serta merta. Lalu, "Nah, bukankah ayah lihat, bahwa cara yang akan ayah tempuh sudah salah sejak dalam rencana. Kenapa ayah menuduh Prastawa berbuat demikian ?"
"Ia juga memperlakukan Agung Sedayu demikian," berkata Ki Waskita, "karena itu, jangan kau lindungi lagi anak itu."
"Bukan. Bukan anak itu. Bukankah aku tidak akan berbohong ?" jawab Rudita kemudian.
"Jika bukan Prastawa siapa " Kau tidak akan berbohong " " desak Ki Waskita.
"Sudah aku katakan bahwa berbohong dan tidak mengatakannya adalah berbeda," jawab Rudita.
"Jika demikian aku menjadi semakin pasti, bahwa Prastawalah yang telah melakukannya. Karena itu, aku akan membuat perhitungan apapun yang akan dikatakan Ki Gede tentang kemanakannya itu. Aku bukan orang yang pantas dihinakan seperti itu. Dikiranya aku tidak mempunyai kemampuan apapun juga seandainya aku harus melawan seluruh Tanah Perdikan ini. Adalah sia-sia bahwa selama ini aku telah membantu pertumbuhan Tanah Perdikan ini, jika kemanakan Ki Gede itu juga memperlakukan anakku seperti itu. Meskipun anakku itu sendiri tidak menghendaki," geram Ki Waskita.
"Ayah," suara Rudita menjadi gemetar, "sekali lagi aku katakan. Yang melakukan itu sama sekali bukan Prastawa. Betapapun tinggi ilmunya, tetapi ia tidak akan dapat menyakiti kulitku. Memang memalukan sekali, bahwa kemunafikan itu masih harus terjadi. Tetapi karena aku berbicara dengan ayah dan Agung Sedayu, maka aku tidak akan mengingkari kemunafikanku itu."
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Agung Sedayu sejenak. Lalu katanya, "Rudita tetap tidak mau menyebut Prastawa. Tetapi anak muda itu memang pantas mendapat pelajaran."
"Tidak ayah. Sungguh tidak. Yang melakukan itu sama sekali bukan anak muda lagi. Aku benar-benar tidak tahu siapakah orang itu. Tetapi apakah gunanya masalah ini dipikirkan berkepanjangan. Aku sudah tidak apa-apa. Sehari dua hari, aku akan sembuh sama sekali. Lalu apakah yang perlu kita risaukan lagi ?" sahut Rudita.
Ki Waskita memandang anaknya dengan tajamnya. Namun kemudian sekali lagi ia berpaling kepada Agung Sedayu. Katanya, "Jika yang melakukan bukan orang yang dapat disebut muda lagi, maka akupun percaya bahwa orang itu bukan Prastawa."
Agung Sedayu yang tegang itupun menarik nafas pula. Ia tahu kemudian apakah maksud Ki Waskita. Ia sudah berhasil memancing keterangan dari anaknya, bahwa yang memperlakukan itu bukan Prastawa. Tetapi seseorang yang sudah tidak dapat disebut muda lagi. Bahkan Ruditapun dengan tidak langsung mengatakan, bahwa ia sudah melindungi dirinya dengan ilmu kebalnya. Tetapi ternyata bahwa ia menjadi pingsan karenanya. Dengan demikian maka baik Agung Sedayu maupun Ki Waskita dapat memperhitungkan, bahwa yang memperlakukan Rudita demikian adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Rudita yang berhenti makan itupun kemudian berdesis, "Ternyata ayah berhasil memancing keteranganku. Tetapi tidak apa-apa. Aku mohon ayah dan Agung Sedayu melupakan saja apa yang telah terjadi. Tidak ada gunanya lagi untuk merenunginya. Bahkan-sebaiknya ayah dan Agung Sedayu memberitahukan kepada anak-anak muda di Tanah Perdikan ini untuk tidak melayaninya jika mereka bertemu pada suatu saat dengan laki-laki itu, agar dengan demikian tidak akan terjadi sesuatu atas mereka."
Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Makanlah sebaik-baiknya. Aku akan mempertimbangkan semua keteranganmu."
Rudita tidak menjawab lagi. Iapun melanjutkan mengisi perutnya yang memang terasa lapar itu. Seteguk air kemudian diminumnya ketika ia merasa perutnya menjadi kenyang.
Namun dalam pada itu, keterangan Rudita itu telah memberikan jalan bagi Ki Waskita dan Agung Sedayu untuk memecahkan teka-teki, siapakah yang telah melakukan penganiayaan atas Rudita tersebut. Meskipun mereka masih belum pasti, namun mereka berkesimpulan bahwa orang itu tentu orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Orang yang mampu menembus perisai kekebalan Rudita.
Agaknya hanya karena sikap Rudita yang diam tanpa melawan sama sekali itulah, maka orang itu tidak membunuhnya.
Dalam kesempatan yang lain, ketika Ki Waskita dan Agung Sedayu berada di serambi setelah mereka membawa Rudita untuk berbaring melepaskan keletihannya didalam bilik di gandok, keduanya tidak dapat mengingkari dugaan mereka yang ternyata sesuai.
"Agaknya Ajar Tal Pitu telah sembuh sama sekali. Tentu ia ingin membuat perhitungan dengan aku," berkata Agung Sedayu.
Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, "Memang mungkin sekali. Tetapi juga mungkin orang lain yang di minta oleh Ki Pringgajaya. Atau justru Ki Pringgajaya sendiri."
"Banyak kemungkinan dapat terjadi. Tetapi menurut perhitunganku, yang paling mungkin melakukannya adalah Ajar Tal Pitu. Ia mungkin sekali masih terikat perjanjian dengan Ki Pringgajaya sekaligus untuk melepaskan dendamnya," sahut Agung Sedayu.
"Dengan demikian, kita harus mempersiapkan diri ngger. Bagaimanapun juga, tentu ada usaha Ajar Tal Pitu untuk meningkatkan diri, menyempurnakan ilmunya. Jika pada saat itu kau masih berada selapis tipis diatasnya, maka kau harus memperhitungkannya kali ini. Namun sebagaimana aku ketahui, bahwa keadaanmu setelah pertempuran itu, telah memungkinkanmu untuk menyempurnakan ilmu kebalmu. Kau telah berhasil memanfaatkan keadaanmu justru pada saat kau terluka parah. Namun disamping menyempurnakan ilmu kebalmu, kaupun harus meningkatkan kemampuan secara menyeluruh dalam batas kemungkinan yang sangat sempit."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dalam keadaan yang demikian terasa betapa jauh perbedaan yang terdapat antara dirinya dengan Rudita. Dengan sikapnya yang pasrah maka Rudita justru tidak pernah merasa gelisah menghadapi apapun juga. Namun setiap kali Agung Sedayu merasa, bahwa kelemahannya telah menyudutkannya kedalam keadaan yang berbeda dengan Rudita.
Sementara itu, maka ketika senja lewat, anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh seperti biasanya telah menyelenggarakan latihan-latihan yang berpencar. Sementara Agung Sedayu berada di halaman samping rumah Ki Gede untuk memberikan latihan kepada anak-anak muda yang khusus, yang kemudian akan menyebarkan ilmu itu kepada kawan-kawannya.
Namun dalam pada itu, terasa bahwa sikap Agung Sedayu agak berbeda dengan kebiasaannya. Ia nampak agak tergesa-gesa dan latihan-latihan itu diselesaikan dalam waktu yang lebih pendek dari biasanya.
Tidak seorangpun yang bertanya. Mereka hanya mengira bahwa Agung Sedayu sedang letih, sehingga ia perlu beristirahat.
Namun sebenarnyalah bahwa dalam keadaan yang demikian. Agung Sedayu telah mempergunakan waktu sebaik-baiknya bagi dirinya sendiri. Bersama Ki Waskita ia telah pergi ketempat yang tei pencil dan tidak banyak di kunjungi orang.
Dalam sepinya malam, maka Agung Sedayu mehhat kedalam dirinya sendiri, seolah-olah ia ingin meneliti, apakah segalanya masih pada keadaan yang seharusnya.
Beberapa kali Agung Sedayu mengamati ilmunya. Ternyata bahwa kemampuannya justru menjadi semakin mapan setelah ia tidak henti-hentinya merenungi pada saat-saat tertentu didalam biliknya, didalam malam yang hening, selama ia berada di Tanah Perdikan Menoreh.
"Seandainya Ajar Tal Pitu itu berada di Tanah Perdikan Menoreh Ki Waskita, aku kira akulah yang paling bertanggung jawab atas kehadirannya," berkata Agung Sedayu kepada Ki Waskita.
"Aku mengerti ngger. Dan agaknya kaupun sudah siap bertemu kapan saja," jawab Ki Waskita. "Apalagi setelah kau merambah dalam pengenalan ilmu yang lain yang kau temui didalam kitab yang pernah kau baca itu, meskipun baru kau mulai. Tetapi karena yang memulai itu adalah seseorang yang sudah dilandasi oleh kemampuan yang tinggi, maka nampaknya yang permulaan itupun sudah berada pada tingkat yang tinggi pula."
"Aku sedang menjajagi kemungkinannya Ki Waskita," jawab Agung Sedayu, "namun ilmu yang mampu meningkatkan kecepatan gerak itu sangat menarik."
"Jika kau berhasil, maka kau akan dapat bergerak secepat angin sehingga bagi lawanmu, seolah-olah kau bukan lagi bersifat wadag, tetapi seperti bayangan yang berterbangan disekitarnya," berkata Ki Waskita.
"Aku mohon, Ki Waskita bersedia untuk membantuku," berkata Agung Sedayu, "aku akan melihat lebih dalam pada kemungkinan yang terdapat dalam ilmu itu."
"Aku akan berusaha membantumu," berkata Ki Waskita.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah bahwa ia memang memiliki kemampuan untuk bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi, sehingga kadang-kadang lawannya menganggap seolah-olah kakinya tidak menyentuh tanah. Namun dilambari dengan ilmu yang ditemuinya pada kitab Ki Waskita, maka kemampuannya bergerak cepat itu akan menjadi semakin mantap. Seolah-olah ia telah didorong oleh kekuatan lain sehingga ia mampu bergerak lebih cepat lagi. Tubuhnya yang bersifat wadag itu bagaikan lenyap sehingga yang ada hanyalah bayangan yang berputar membingungkan.
Demikianlah, Agung Sedayu perlahan-lahan mulai mencoba mengetrapkan ilmu yang dikenalnya dalam kitab Ki Waskita. Selain yang pernah dipelajarinya, maka ilmu itu ternyata telah menarik perhatiannya dalam keadaan yang gawat itu.
Malam itu, seluruh waktunya telah di pergunakannya untuk mengenal ilmu yang akan dapat memperkaya kemampuannya.
Meskipun waktu itu terlalu sempit bagi pengamatan atas ilmu yang akan mampu mendorong gerak dan kemampuannya, namun Agung Sedayu dapat mempergunakan sebaik-baiknya. Ia sadar, bahwa ia masih harus mengulangi dan mengulangi. Namun setiap langkah merupakan kemajuan yang pesat bagi Agung Sedayu yang pada dasarnya sudah memiliki ilmu yang tinggi.
Baru menjelang pagi Agung Sedayu mengakhiri pengamatannya. Kemudian bersama Ki Waskita, Agung Sedayu memerlukan meronda padukuhan-padukuhan yang tidak terlalu jauh sambil menuju kembali ke padukuhan induk.
Di padukuhan-padukuhan yang dilaluinya. Agung Sedayu dan Ki Waskita masih menjumpai anak-anak muda yang berada di gardu-gardu. Namun ada diantara mereka yang sudah bersiap-siap untuk kembali kerumah masing-masing karena langit sudah menjadi kemerah-merahan.
Disiang hari Agung Sedayu melakukan kewajibannya sebagaimana dilakukan sehari-hari. Namun ia tidak meninggalkan kewaspadaan. Bagaimanapun juga ia tidak dapat mengingkari kemungkinan, bahwa orang yang merasa dirinya tidak terkalahkan sebagaimana Ajar Tal Pitu, akan dapat menemuinya di siang hari tanpa menghiraukan orang-orang lain yang mungkin akan memperhatikan mereka.
Namun bagaimanapun juga, Agung Sedayu masih juga berpikir tentang Rudita. Meskipun Prastawa sendiri tidak melakukannya, karena ia tidak akan mampu menembus dinding kekebalan Rudita, namun anak muda yang dengki itu akan dapat meminjam tangan orang lain.
Tetapi Agung Sedayu mencoba untuk menjawabnya sendiri, "Tetapi Prastawa tentu tidak mempunyai pamrih apapun terhadap Rudita."
Dengan demikian, maka Agung Sedayu condong kepada kemungkinan, bahwa yang hadir di Tanah Perdikan Menoreh adalah orang-orang yang memiliki kemampuan yang tinggi, yang mempunyai kepentingan dengan Agung Sedayu. Perbuatannya itu semata-mata untuk memancing agar Agung Sedayu dapat ditemuinya tidak dirumah Ki Gede Menoreh.
Pada malam berikutnya. Agung Sedayu masih melakukan latihan-latihan yang sama setelah ia dengan tergesa-gesa menyelesaiakn latihan-latihan bagi para pengawal. Rasa-rasanya Agung Sedayu selalu dibayangi oleh orang-orang yang memburunya.
Sementara itu, Rudita seolah-olah telah melupakan apa yang telah terjadi. Meskipun badannya masih belum pulih sama sekali, tetapi ia sudah dapat turun kehalaman dan berjalan-jalan keluar regol halaman itu.
"Kau jangan meninggalkan halaman rumah ini," pesan Ki Waskita, "bukan karena kecemasan bahwa kau akan mengalami sesuatu, tetapi biarlah kekuatan tubuhmu pulih kembali."
Rudita tersenyum. Sambil mengangguk ia menjawab, "Baiklah ayah. Aku akan tinggal di rumah ini untuk beberapa lama, sehingga aku mampu keluar dengan kekuatan yang sudah pulih sama sekali. Mungkin ibu juga menunggu-nunggu, kenapa aku tidak segera pulang, karena aku hanya minta ijin untuk keluar barang satu dua hari saja."
"Baiklah, jika keadaanmu sudah menjadi semakin baik," jawab Ki Waskita. Lalu, "Tetapi jangan dalam waktu yang terlalu dekat."
Sebenarnyalah ada semacam perasaan aneh dihati Agung Sedayu. Semakin banyak ia menyadap ilmu, maka rasa-rasanya ia menjadi bertambah gelisah karena ia merasa selalu diburu oleh orang-orang yang mendendamnya. Sementara Rudita yang sama sekali tidak pernah memikirkan bagaimana ia harus melawan seseorang, rasa-rasanya justru selalu tenang dan tenteram. Bahkan rasa-rasanya Rudita telah mulai menjelajahi jalan menuju ke kedamaian.
Tetapi Agung Sedayu sudah terlanjur ada di tengah-tengah arus yang kasar dari olah kanuragan. Betapapun juga ia sudah terlanjur basah. Surut atau melangkah lanjut.
Ternyata Agung Sedayu mendapat kesempatan tiga malam untuk mempelajari ilmu yang telah dibacanya dalam kitab Ki Waskita. Ia telah sempat menemukan hubungan yang luluh antara ilmu itu dengan ilmu yang telah dikuasai sebelumnya, sehingga dengan demikian, maka ilmu yang dipelajarinya itu telah terasa luluh menjadi satu dengan ilmunya yang lain.
"Kau berhasil ngger," berkata Ki Waskita, "ilmumu tidak lagi dibatasi dalam kotak-kotaknya masing-masing. Tetapi kau telah berhasil membuatnya menjadi luluh yang satu dengan yang lain."
"Tetapi masih dalam tingkat permulaan Ki Waskita," sahut Agung Sedayu.
"Sudah aku katakan, permulaan bagimu adalah tataran yang harus dicapai bertahun-tahun oleh orang lain," jawab Ki Waskita.
Dalam pada itu, seperti biasanya, menjelang dini hari mereka meninggalkan tempat terpencil itu dan berjalan melalui padukuhan-padukuhan. Tetapi Agung Sedayu di setiap pagi telah menempuh jalan yang berbeda, sehingga seolah-olah ia memang dengan sengaja mengelilingi padukuhan-padukuhan yang berbeda-beda di setiap malam.
Pada malam berikutnya Agung Sedayu sudah tidak tergesa-gesa lagi ketika ia berlatih bersama para pengawal. Namun ketika ia sudah selesai, maka ia masih juga pergi ketempat yang dipergunakan untuk berlatih setiap malam, sekedar untuk memantapkan ilmu yang baru saja dipelajarinya itu.
Tetapi justru menjelang pagi, telah terdengar isyarat yang mengejutkan seluruh penghuni Tanah Perdikan Menoreh. Pada saat Agung Sedayu berada di sebuah gardu di padukuhan kecil di perjalanan kembali ke rumah Ki Gede, langkahnya tertegun. Dari padukuhan di ujung Tanah Perdikan itu terdengar suara kentongan memecah heningnya dini hari. Rasa-rasanya udara diatas Tanah Perdikan itu telah tergetar oleh suara kentongan dalam nada titir.
Agung Sedayu dan Ki Waskita menjadi tegang. Tiba-tiba saja Agung Sedayu berkata lantang, "Siapa dapat memberikan kuda kepada kami ?"
Dua orang anak mudapun telah berlari-lari pulang. Sejenak kemudian mereka telah kembali dengan kuda masing-masing.
"Bersiagalah sepenuhnya. Kami berdua akan pergi ke sumber suara titir itu," geram Agung Sedayu sambil melecut kudanya. Sejenak kemudian kuda itupun telah berderap disusul oleh kuda yang dipergunakan oleh Ki Waskita.
Keduanya bagaikan berpacu. Ketika mereka melintas padukuhan berikutnya, mereka melihat anak-anak muda sudah bersiap-siap. Beberapa pedati yang akan pergi ke pasar, terpaksa berhenti di sudut desa karena mereka tidak tahu, apa yang sedang terjadi. Dengan demikian mereka merasa lebih aman berada di dekat anak-anak muda yang bersiaga daripada berada di bulak panjang.
"Dimanakah sumber suara titir itu ?" bertanya Agung Sedayu kepada anak-anak muda yang berjaga-jaga.
"Padukuhan sebelah, diseberang bulak panjang," jawab salah seorang peronda.
Agung Sedaya dan Ki Waskitapun memacu kudanya kembali menuju kepadukuhan sebelah seperti yang ditunjukkan oleh peronda itu.
Ketika ia mendekati padukuhan yang dimaksud, suara titir sudah tidak terdengar lagi. Bahkan di padukuhan-padukuhan lain suara itu justru masih menjalar. Sementara langit yang merahpun menjadi semakin terang.
Dengan jantung yang berdebar-debar Agung Sedayu memasuki padukuhan itu. Padukuhan yang berada di ujung Tanah Perdikan Menoreh.
Di gerbang padukuhan Agung Sedayu mehhat beberapa anak muda berjaga-jaga dengan senjata telanjang. Ketika anak-anak muda itu melihat Agung Sedayu dan Ki Waskita, maka merekapun segera menyongsongnya.
"Apa yang terjadi ?" bertanya Agung Sedayu sambil menarik kekang kudanya.
"Marilah, kita pergi ke banjar," jawab salah seorang dari anak-anak muda itu, "sesuatu telah terjadi."
Agung Sedayu tidak bertanya lebih banyak lagi. Iapun kemudian mengikuti anak muda itu ke banjar padukuhan yang terletak tidak terlalu jauh dari mulut lorong itu.
Ketika Agung Sedayu dan Ki Waskita memasuki regol halaman, maka keduanyapun segera meloncat turun dan menambatkan kuda mereka pada patok-patok yang sudah disediakan.
"Marilah, silahkan masuk," anak-anak muda itu mempersilahkan.
Demikian Agung Sedayu melangkah masuk keruang dalam banjar padukuhan itu, maka jantungnya berdegup semakin keras. Ia melihat beberapa anak muda terbaring diatas tikar yang dibentangkan di lantai ruang dalam banjar itu.
"Kenapa ?" bertanya Agung Sedayu.
Sebelum anak muda itu menjawab. Agung Sedayu telah melihat, betapa tubuh anak-anak muda itu bernoda merah biru. Dengan demikian maka Agung Sedayupun mengetahui bahwa mereka agaknya telah dipukuli oleh seseorang.
"Siapa yang melakukannya ?" bertanya Agung Sedayu.
"Marilah, silahkan duduk di pendapa banjar," anak muda itu mempersilahkan.
"Aku harus bergerak cepat. Mungkin aku dan Ki Waskita dapat berbuat sesuatu," jawab Agung Sedayu.
Tetapi anak muda itu mempersilahkan Agung Sedayu dan Ki Waskita untuk duduk meskipun hanya sebentar.
Demikian mereka duduk, maka anak muda itupun kemudian menceritakan apa yang telah terjadi di padukuhan kecil itu.
"Sejak sore, kami sudah mencurigainya," berkata anak muda itu, "ketika kawan-kawan kami sedang berlatih, maka orang itu melihat-lihat bagaimana kami berlatih."
Agung Sedayu mengangguk-angguk.
"Tetapi orang itu kemudian telah pergi," anak muda itu meneruskan, "dan kamipun sudah melupakannya. Tetapi menjelang dini hari, kami lihat orang itu lewat di jalan padukuhan ini. Kawan-kawan kami yang berada di gardu diujung yang lain dari lorong ini telah menghentikannya. Nampaknya dalam pembicaraan berikutnya telah terjadi perselisihan sehingga akibatnya sangat parah bagi kawan-kawan kami yang berada di regol di ujung yang lain dari lorong ini. Beberapa orang anak-anak muda itu ternyata tidak berdaya menghadapi orang itu. Akibatnya dapat dilihat pada anak-anak muda yang terbaring di ruang dalam. Sementara hal itu terjadi, salah seorang diantara mereka sempat membunyikan kentongan, sehingga gardu di ujung lainpun telah menyahut. Demikianlah maka beberapa orang yang memang sudah bangun segera membunyikan kentongan mereka masing-masing, sehingga suara titir itu telah menjalar."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Iapun kemudian mendapat keterangan, siapakah orang yang telah melakukannya. Meskipun anak anak muda itu belum mengenalnya, tetapi satu dua diantara mereka dapat menyebut ciri-cirinya.
Agung Sedayu menarik nafas. Hampir diluar sadarnya ia bergumam, "Untunglah orang itu sempat melihat latihan yang kalian lakukan ?"
"Ya," Ki Waskitapun mengangguk-angguk. "Jika orang itu belum melihat kalian berlatih, maka keadaannya akan lebih gawat lagi."
"Aku tidak mengerti, dan apakah kau mengenalnya ?" bertanya anak muda itu kepada Agung Sedayu.
Agung sedayu merenung sejenak. Kemudian katanya, "Justru orang itu melihat latihan yang kalian lakukan, maka ia tahu, bahwa kalian tidak berbahaya baginya. Karena itu, maka yang membekas itu sekedar sentuhan-sentuhan kekuatan wajarnya saja. Itupun telah membuat seluruh tubuh anak-anak muda itu menjadi merah biru."
"Kalau orang itu tidak mengenal kemampuan kami ?" bertanya anak muda itu.
"Mungkin ia mempergunakan kekuatan yang berlebihan, sehingga tulang belulang kalian akan rontok karenanya. Jika aku tidak salah, orang itu adalah orang yang memiliki ilmu tiada taranya dari padepokan Tal Pitu," jawab Agung Sedayu.
Anak muda itu termangu-mangu. Tetapi ia belum mengetahui padepokan Tal Pitu, sehingga iapun tidak mendapat kesan yang nggegirisi dari nama Padepokan itu.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayupun berkata, "Obati anak-anak itu sebagaimana dapat kalian lakukan. Aku akan berusaha untuk mencari orang itu."
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk.
Namun sebelum Agung Sedayu meninggalkan banjar, maka sebuah iring-iringan yang lain telah datang. Ternyata adalah Ki Gede Menoreh sendiri, diiringi oleh beberapa pengawal dan Prastawa.
Ki Gede mengerutkan keningnya ketika ia melihat Agung Sedayu dan Ki Waskita sudah berada ditempat itu.
"Kalian sudah mendahului," desis Ki Gede kemudian, "itulah sebaiknya kami tidak menemukan kalian di bilik kalian. Rudita mengatakan bahwa kalian telah pergi sebelum tengah malam dan belum kembali ketika terdengar tengara titir."
"Kami berjalan-jalan di bulak-bulak panjang Ki Gede," sahut Agung Sedayu, "ketika terdengar titir, kami berada di sebuah padukuhan sehingga kami dapat meminjam kuda."
Ki Gede mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu Agung Sedayupun segera minta diri bersama Ki Waskita untuk mencari orang yang mereka sangka Ajar Tal Pitu.
"Tetapi berhati-hatilah," pesan Ki Gede.
Demikianlah, Agung Sedayu dan Ki Gede meninggalkan padukuhan itu. Dari seseorang Ki Gede mendapat petunjuk kemana orang yang telah menggemparkan padukuhan itu pergi.
Sejenak kemudian dua ekor kuda telah berderap menuju kearah yang sama seperti yang ditunjukkan oleh orang itu. Semakin lama semakin cepat, sehingga kedua ekor kuda itu akhirnya bagaikan sedang berpacu.
Tetapi ketika mereka sampai kesebuah simpang tiga, maka merekapun telah berhenti. Mereka tidak dapat menebak, kemana arah orang yang mereka cari itu.
"Kita kemana paman ?" bertanya Agung Sedayu kepada Ki Waskita.
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Sambil menggeleng ia menjawab, "Sulit untuk mencari Agung Sedayu."
Agung Sedayu memandang Ki Waskita dengan tajamnya, seolah-olah ia inggin meyakinkan, apakah benar Ki Waskita tidak mengetahuinya. Namun akhirnya iapun menyadari, bahwa Ki Waskita bukan orang yang dapat melihat segala-galanya. Yang dapat diketahuipun hanyalah hal-hal tertentu saja. Bahkan kadang kadang Ki Waskitapun tidak berhasil mengurai isyarat yang ditangkap dan terbatas itu.
Akhirnya Agung Sedayupun berkata, "Tidak ada gunanya untuk menebak-nebak kemana orang itu pergi. Ia tentu sudah pergi jauh. Atau bahkan mungkin ia masih berada disekitar padukuhan itu."
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Baiklah kita kembali saja kepadukuhan itu."
Keduanyapun kemudian berpacu kembali, setelah keduanya tidak berhasil menemukan orang yang dicarinya, karena mereka sudah terlambat terlalu lama.
Ketika mereka sampai ke banjar, Ki Gede masih duduk dipendapa.
Dengan demikian, maka merekapun kemudian duduk untuk berbincang di pendapa itu. Mereka berbicara mengenai peristiwa yang baru saja terjadi di padukuhan itu, dihubungkan dengan peristiwa yang telah menimpa Rudita beberapa hari yang lalu.
"Ki Gede," Agung Sedayupun kemudian berkata dengan nada dalam, "nampaknya kehadiranku di Tanah Perdikan ini justru telah membawa bencana."
"Ah," desis Ki Gede, "kita akan bersama-sama mencari orang yang telah melakukan kejahatan itu. Jika bencana itu terjadi, maka itu bukan salahmu."
"Tetapi jika aku tidak berada disini, maka hal itu tentu tidak akan terjadi," jawab Agung Sedayu.
"Hal itu mungkin tidak akan terjadi. Tetapi perkembangan keadaan di Tanah Perdikan inipun tidak akan terjadi juga," sahut Ki Gede kemudian. Lalu, "karena itu, jangan hiraukan. Bukan berarti bahwa kita tidak berusaha untuk mencegah hal itu terulang kembali. Maksudku, jangan menyalahkan diri sendiri."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Karena akulah yang dicari oleh orang itu, maka aku akan mencarinya pula sampai aku dapat menemukannya."
"Tetapi jangan tergesa-gesa. Semuanya harus diperhitungkan sebaik-baiknya. Ketergesa-gesaan tidak banyak memberikan keuntungan," berkata Ki Geie. Lalu, "Lakukan apa yang harus kau lakukan. Jika dalam melakukan kewajiban itu kau bertemu dengan orang itu, apaboleh buat. Orang itulah yang mencarimu. Bukan kau."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah Ki Gede. Namun akupun wajib untuk berusaha membatasi bencana-bencana serupa ini."
"Kita akan melakukan bersama-sama," sahut Ki Gede.
Dengan demikian, maka peristiwa itu justru dapat menjadi cambuk untuk meningkatkan kewaspadaan. Namun beberapa orang menjadi kecut pula hatinya. Apalagi mereka yang telah menyaksikan sendiri, bagaimana orang itu dengan gerak yang sederhana dan seolah-olah tanpa mengacuhkannya, dapat melumpuhkan beberapa orang sekaligus.
Sejak malam itu, maka semua anak-anak muda telah bersiaga. Para pengawal yang tersebar itupun telah memperkuat penjagaan di padukuhan masing-masing. Sementara itu, Agung Sedayu dan Ki Waskita dimalam hari selalu berada di padukuhan-padukuhan yang tersebar di Tanah Perdikan itu, diatas punggung kuda. Hanya kadang-kadang saja mereka beristirahat dan tidur beberapa saat di banjar-banjar padukuhan. Sementara itu kuda merekapun selalu siap untuk berpacu kemanapun juga.
Dalam pada itu, Rudita yang sudah menjadi sehat benar, lelah bersiap-siap untuk meninggalkan Tanah Perdikan. Menjelang keberangkatannya, ia sempat berkata kepada ayahnya, "Ayah. Bukankah kita sendiri yang selalu diombang-ambingkan oleh perasaan kita" Apabila kita dapat melepaskan diri dari sikap bermusuhan itu, maka kita tidak akan terbelenggu oleh kegelisahan yang tidak berarti itu."
Ki Waskita hanya dapat mengelus kepala anaknya. Kemudian katanya, "Pulanglah ngger. Ibumu tentu sudah menunggu. Katakan bahwa aku berada di Tanah Perdikan Menoreh."
Agung Sedayu terperanjat mendengar kata-kata Ki Waskita itu. Karena itu, maka dengan serta merta ia bertanya, "Ki Waskita, apakah tidak berbahaya bagi Rudita untuk keluar dari rumah apalagi dan padukuhan ini."
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Keyakinannya membuat aku yakin pula akan dirinya."
Dalam pada itu Ruditapun tersenyum sambil berkata, "Agung Sedayu. Aku mengerti, bahwa kau mencemaskan keadaanku. Mungkin aku akan mengalami nasib buruk seperti yang pernah terjadi."
Agung Sedayu mengangguk kecil.
"Tidak. Tidak akan terjadi apa-apa dengan aku. Hanya mereka yang merasa bersalah, langsung atau tidak langsung, atau mereka yang memang sudah mempersiapkan diri untuk bermusuhan sajalah yang menjadi ketakutan. Mereka diburu oleh bayangan sendiri sehingga setiap gerak dan sikap, mereka harus memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi atas dirinya," sambung Rudita.
"Tetapi peristiwa buruk itu telah menimpamu pula," sahut Agung Sedayu.
"Tetapi aku tidak mencemaskannya bahwa hal itu akan mencelakai aku. Ternyata aku tidak apa-apa," jawab Rudita.
"Tetapi peristiwa semacam itu akan dapat berakibat maut," bantah Agung Sedayu pula.
"Itu bukan persoalanku. Jika seseorang pada suatu saat membunuhku, itu adalah persoalannya. Aku tidak mempunyai persoalan apa-apa dengan orang itu," jawab Rudita pula.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak menjawab lagi. Ia harus mengerti atau mencoba mengerti, alas berpijak dari keyakinan Rudita.
Karena itu, maka baik Agung Sedayu maupun ayahnya tidak akan dapat mencegahnya. Ruditapun kemudian minta diri kepada seisi rumah. Kepada Ki Gede, kepada Prastawa dan kepada anak-anak muda yang berada di halaman.
Ki Waskita melepas anaknya diregol halaman. Nam pak kerut-merut di kening orang tua itu. Anaknya yang seorang itu telah menganut jalan yang berbeda dengan jalan yang telah ditempuhnya. Namun justru karena itu, maka agaknya Rudita telah menemukan kedamaian di hatinya.
Agung Sedayu yang juga berdiri diregol memandang anak muda itu melangkah semakin lama semakin jauh. Ketika anak muda itu hilang ditikungan, maka Agung Sedayupun menarik nafas dalam-dalam.
"Aku tidak dapat berbuat apa-apa atasnya," desis Ki Waskita.
"Ia telah menemukan satu keyakinan yang tidak tergoyahkan," desis Agung Sedayu.
Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, "Hatinya lebih teguh dari hatiku."
"Juga dari hatiku dan dari hati setiap orang yang pernah aku kenal sampai saat ini," sahut Agung Sedayu pula.
Keduanya terdiam sejenak. Kemudian Ki Waskitapun berkata, "Kita serahkan segalanya kepada Yang Maha Bijaksana Kita adalah orang yang terlalu banyak membuat persoalan bagi diri kita sendiri."
Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Tetapi setiap kali ia selalu melihat dirinya sendiri sebagai seseorang yang sudah berada di tengah-tengah sungai yang mengahr deras. Bagaimanapun juga, ia sudah terlanjur menjadi basah.
Demikianlah maka kedua orang itupun kemudian melangkah memasuki halaman. Prastawapun telah masuk keruang dalam.
Dengan demikian maka Agung Sedayu dan Ki Waskitapun langsung masuk kedalam biliknya.
"Agung Sedayu," berkata Ki Waskita kemudian, "sebenarnyalah aku merasa iri terhadap Rudita. Tetapi apaboleh buat. Kita sudah memilih jalan kita sendiri. Karena itu, justru kita harus berusaha agar dengan jalan yang kita tempuh ini, kita akan dapat berbuat sesuatu yang paling baik."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara Ki Waskita berkata ketika aku masih kanak-kanak, aku sering berangan-angan, agar aku dapat menjadi orang yang tidak terkalahkan. Orang yang memiliki kesaktian yang paling tinggi. Bahkan melampaui tataran manusia sewajarnya. Jika aku dalam keadaan yang demikian, maka aku akan menghancurkan semua kejahatan tanpa ragu-ragu karena tidak seorangpun akan dapat mengalahkan aku."
Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Angan-angan yang demikian pernah juga hinggap dikepalanya. Bahkan dengan jujur ia mengatakan kepada dirinya sendiri, "Angan-angan semacam itu masih tetap ada didalam dada ini."
Tetapi sebagian dari kemampuan yang di angan-angankan itu telah dimilikinya. Meskipun demikian, yang dimilikinya itu adalah masih jauh dari angan-angannya. Karena angan-angan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, keterbatasan kewadagan dan kajiwan.
Namun dalam pada itu, segalanya itu justru telah mendorong Agung Sedayu untuk bekerja lebih keras lagi. Sebagairnana membayang di angan-angannya, semakin banyak dan semakin tinggi ia menguasai ilmu, maka iapun akan menjadi semakin banyak dapat beramal.
Dalam pada itu, pada saat yang tegang di Tanah Perdikan Menoreh, maka Agung Sedayupun menganggap, bahwa tugasnya yang utama, setelah ia berhasil mengarahkan kemauan dan kemampuan kerja orang-orang Tanah Perdikan Menoreh, adalah peningkatan gairah kerja anak-anak mudanya, juga dalam pengamanan kampung halamannya.
Namun sementara ia mulai, maka di Tanah Perdikan itu telah hadir seorang yang menganggap dirinya sebagai lawan bebuyutan yang harus dibinasakannya.
"Sikapku memang berbeda dengan sikap Rudita," berkata Agung Sedayu didalam hatinya, "aku harus menghadapi orang yang bernama Ajar Tal Pitu itu, agar ia tidak berbahaya bagi orang lain."
Demikianlah maka kerja Agung Sedayu disetiap malam adalah mencari orang yang bernama Ajar Tal Pitu bersama Ki Waskita. Bukan karena Agung Sedayu tidak berani menghadapinya sendiri, tetapi kecurangan memang mungkin terjadi di mana-mana.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya anak muda yang bertanya kepadanya itu. Kemudian dipandanginya pula anak-anak muda yang berdiri termangu-mangu di muka gardu.
Baru sejenak kemudian orang itu berkata, "Aku datang untuk satu kepentingan pribadi. Sama sekali tidak menyangkut siapapun juga. Karena itu, jika ada orang yang ingin menggangguku, maka ia akan menjadi korban yang pertama."
"Jika masalahnya tidak menyangkut kami, tentu kami tidak akan ikut mencampurinya," jawab anak muda itu, "yang justru ingin kami tanyakan, apakah kami akan dapat membantu Kiai."
Orang itu mengerutkan keningnya. Sejenak kemudian orang itu berkata, "Baiklah. Jika kau memang ingin membantuku, aku akan sangat berterima kasih."
"Nah, barangkali ada yang dapat kami lakukan ?" bertanya anak muda itu.
"Aku ingin bertemu dengan Agung Sedayu," jawab orang itu.
" Agung Sedayu ?" ulang anak muda itu.
" Ya. Apakah kau mengenalnya ?" bertanya orang itu.
"Tentu. Aku mengenalnya dengan baik," jawab anak muda itu, "aku akan mengatakannya. Tetapi apakah yang harus aku katakan ?"
"Aku ingin bertemu dengan Agung Sedayu. Aku ingin berperang tanding. Aku tidak berkeberatan jika ia membawa saksi-saksi. Tetapi tantanganku adalah perang tanding," jawab orang itu.
Anak-anak muda itupun termangu-mangu. Yang berdiri di depan gardu itupun menegang. Tetapi anak muda yang berbicara langsung itu masih bertanya, "jadi apakah yang harus aku katakan kepadanya " Perang Tanding " Dimana dan kapan ?"
"Aku siap melakukannya di manapun juga," jawab orang itu, "tetapi lebih baik jika kita akan melakukan perang tanding ditempat yang tidak banyak didatangi orang. Aku menunggu di ujung hutan dibawah sebatang pohon randu alas yang menurut keterangan beberapa orang disebut randu papak. Jika purnama naik, aku tantang Agung Sedayu di bawah randu papak diujung hutan. Aku masih menghargai harga diri Agung Sedayu dan orang-orang Tanah Perdikan ini. Karena itu aku menganggap bahwa mereka tidak akan berbuat curang meskipun yang akan hadir di randu papak itu bukan hanya Agung Sedayu seorang diri. Aku tahu, bahwa Agung Sedayu berada di Tanah Perdikan ini bersama Ki Waskita, dan sudah barang tentu Ki Gede sendiri adalah orang yang mumpuni."
Anak muda itupun mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah Kiai, aku akan menyampaikannya. Aku tidak mengerti persoalan apakah yang sudah terjadi antara Kiai dan Agung Sedayu. Karena itu, kewajibanku hanyalah menyampaikannya saja kepadanya."
"Bagus. Aku mengucapkan terima kasih," jawab orang itu, "jangan lupa. Pada saat purnama naik, dibawah randu papak diujung hutan. Jika Agung Sedayu tidak datang, maka akibatnya akan sangat buruk bagi Tanah Perdikan yang sedang dibangunnya. Tetapi jika ia datang dan bahkan setelah kematiannya, Tanah Perdikan ini akan dapat bekerja terus meskipun tanpa anak itu. Sebenarnyalah bahwa anak itu tidak banyak berarti bagi Tanah Perdikan ini."
"Nampaknya Kiai banyak mengetahui tentang Agung Sedayu," desis anak muda itu.
"Aku mengetahui segala-galanya tentang anak itu. Aku sudah mendapat keterangan tentang anak itu sampai hal yang sekecil-kecilnya. Karena itulah maka aku sudah siap untuk membunuhnya," jawab orang itu.
Anak-anak muda yang berada di depan gardu itu menjadi semakin tegang. Rasa-rasanya mereka ingin menerkam orang itu. Tetapi mereka sadar, bahwa pernah terjadi, beberapa orang kawan mereka menjadi pingsan karena seseorang, yang menurut dugaan mereka, tentu orang itu pula.
Tetapi anak muda yang langsung menghadapi orang itu telah bertindak bijaksana. Ia masih tetap menahan diri dan berbicara dengan cara yang baik, sehingga orang itu tidak menjadi marah dan berbuat sesuatu yang dapat mencelakai mereka.
"Sudahlah," berkata orang itu, "katakan kepada Agung Sedayu, sebagaimana aku pesankan. Biarlah ia berkemas menghadapi hari kematiannya. Barangkali ia masih ingin memberikan pesan kepada seseorang menjelang kematiannya."
Anak muda itu tidak menjawab. Sementara orang itupun melangkah menjauh sambil berkata, "Aku tunggu di randu papak menjelang purnama naik. Aku tidak berkeberatan jika ia membawa saksi untuk kemudian membawa mayatnya dan menguburkannya."
Anak-anak muda di gardu itu bagaikan membeku. Mereka hanya memandangi saja laki-laki itu berjalan semakin lama semakin jauh memasuki gelapnya malam.
Demikian orang itu hilang, anak-anak muda di gardu itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi seorang diantara merekapun berkata, "Kita beri isyarat. Agung Sedayu tentu sudah siap memburunya."
"Orang itu menantang perang tanding," jawab pengawal yang berbicara langsung.
"Karena itu, kita hindari perang tanding itu. Jika kita menunggu purnama naik, maka yang akan tejadi adalah perang tanding. Tetapi jika sekarang kita membunyikan isyarat titir, maka Agung Sedayu tidak perlu menghadapinya dalam perang tanding yang mungkin akan merenggut nyawanya," jawab anak muda itu.
Pengawal itu termangu-mangu. Namun kemudian ia menggeleng, "Kita minta pertimbangan Agung Sedayu. Terserah apakah Agung Sedayu akan melayaninya dalam perang tanding, atau nanti pada saatnya, ia akan menangkap orang itu sebagai seorang penjahat."
Tetapi anak muda itu membantah, "Agung Sedayu tentu keberatan jika hal itu dilakukan pada saat perang tanding itu dilaksanakan."
"Meskipun demikian, aku tidak dapat menyetujuinya. Kita harus berbicara dahulu dengan Agung Sedayu sendiri," jawab pengawal itu.
Karena itulah, maka niat untuk membunyikan isyarat itupun diurungkannya. Anak anak muda itupun kemudian bersepakat untuk menyampaikan hal itu kepada Agung Sedayu sebagaimana adanya.
06 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Demikianlah, maka rasa-rasanya anak-anak itu tidak sabar menunggu pagi. Tetapi mereka tidak dapat langsung menjumpai Agung Sedayu, karena merekapun tahu, bahwa Agung Sedayu biasanya juga tidak menetap. Baru setelah matahari terbit, ia berada kembali dirumah Ki Gede Menoreh.
Dengan demikian, maka demikian matahari mulai naik keatas cakrawala maka dua orang anak muda dengan tergesa-gesa telah pergi ke rumah Ki Gede Menoreh. Mereka rasa rasanya tidak sabar untuk menemui Agung Sedayu sambil berjalan kaki. Karena itu, maka kedua anak muda itupun pergi ke padukuhan induk dengan berkuda.
Kedatangan mereka telah mengejutkan para pengawal. Dengan wajah tegang dan tergesa-gesa mereka bertanya, apakah Agung Sedayu ada di rumah itu,
"Ada apa ?" bertanya seorang pengawal di regol halaman.
"Aku ingin bertemu dengan Agung Sedayu segera," jawab anak muda yang baru datang itu.
"Iapun belum lama datang," jawab pengawal di regol halaman.
"Aku tahu bahwa ia selalu meronda di malam hari. Karena itu aku datang setelah matahari terbit."
Kedua orang anak-anak muda itupun kemudian langsung dibawa kepada Agung Sedayu di gandok. Nampaknya Agung Sedayu baru saja selesai mandi dan mengemasi dirinya.
"Silahkan," berkata Agung Sedayu ketika kedua orang anak muda itu naik keserambi gandok.
Setelah menunggu sejenak, maka Agung Sidayupun kemudian duduk bersama kedua orang anak muda yang sudah dikenalnya itu.
"Apakah ada sesuatu yang penting " Bagaimana dengan latihan-latihan yang diselenggarakan di padukuhan kalian ?" bertanya Agung Sedayu.
Salah seorang dari kedua orang anak muda itu adalah anak muda yang langsung berbicara dengan orang yang aneh itu. Karena itu maka ia tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Kegelisahannya telah mendorongnya untuk berkata, "Agung Sedayu. Ada sesuatu yang sangat penting bagimu."
"Apa ?" bertanya Agung Sedayu dengan hati yang berdebar-debar.
Anak muda itupun kemudian menceriterakau apa yang ditemuinya ketika ia sedang meronda di padukuhannya.
"Anak-anak yang berada di gardu itupun melihat dan mendengar percakapan kami," berkata anak muda itu.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Baginya menjadi semakin jelas. Orang itu tentu Ajar Tal Pitu yang mendendamnya sampai keujung rambut.
"Bagaimana pertimbanganmu Agung Sedayu," bertanya anak muda itu.
Agung Sedayu memandang kedua orang anak muda itu berganti-ganti. Kemudian dengan nada datar ia berkata, "Aku tidak dapat memilih jalan lain kecuali menerimanya."
"Maksudmu, kau akan menerima tantangannya ?" bertanya salah seorang dari kedua anak muda itu.
"Ya. Aku akan menerima tantangannya," jawab Agung Sedayu.
"Perang tanding ?" bertanya anak muda itu.
"Tidak ada pilihan lain. Jika aku tidak menerima tantangan itu, kalianlah yang akan menjadi korban. Apa yang telah kita kerjakan selama ini akan menjadi berantakan," jawab Agung Sedayu.
"Tetapi bukankah dengan demikian orang itu dapat dianggap sebagai seorang penjahat dan akan dapat ditangkap beramai-ramai " Kau, Ki Waskita, Ki Gede sendiri dan kami, para pengawal," berkata anak muda itu.
"Tetapi dengan demikian akan dapat mengundang persoalan yang lebih jauh lagi," jawab Agung Sedayu, "karena itu biarlah aku menghadapinya. Bagiku, dengan demikian persoalan inipun tidak akan berkepanjangan. Apa yang akan terjadi, tetapi persoalanku dengan orang itupun akan berakhir dengan tuntas."
"Siapakah sebenarnya orang itu. Agung Sedayu ?" bertanya anak muda yang lain.
"Aku belum dapat mengatakannya karena aku belum bertemu dengan orang itu. Tetapi menilik ciri-ciri yang kalian katakan, orang itu agaknya adalah Ajar Tal Pitu yang mempunyai dendam kepadaku," jawab Agung Sedayu.
"Tetapi apakah hal itu tidak akan sangat berbahaya bagimu Agung Sedayu. Orang itu mempunyai kemampuan yang tidak terhingga. Beberapa orang pengawal baginya tidak berarti sama sekali."
Buku 147 DENGAN sekali ayun, ia dapat membuat dua tiga orang pingsan. Padahal, orang itu seolah-olah tidak berbuat apa-apa sama sekali. Bagaimana kira-kira akibat yang dapat timbul jika ia benar-benar mengayunkan tangan atau kakinya untuk menyerang," berkata salah seorang dari kedua anak muda itu.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian, "Kita serahkan segalanya kepada Yang Maha Agung."
Kedua anak muda itu terdiam. Merekapun mengerti, bahwa akhir dari segalanya ada dalam tangan dan keputusan-Nya.
Namun dalam pada itu. Agung Sedayu masih juga bertanya, "Menurut perhitungan kalian, purnama naik dalam berapa hari lagi ?"
"Lima hari lagi," jawab anak muda yang langsung berbicara dengan orang yang disangka Ajar Tal Pitu itu.
"Yang aku tidak tahu, apakah sebabnya ia menunggu sampai saatnya purnama naik," desis Agung Sedayu.
"Aku tidak tahu. Tetapi mungkin pada saat bulan bulat, malam tidak terlampau pekat, sehingga ia dapat melihat lawannya dengan jelas. Hal itu akan menguntungkan baginya," jawab anak muda yang lain.
"Tetapi bukankah lawannya juga akan mendapatkan keuntungan yang sama karena malam yang terang itu ?" desis Agung Sedayu. Namun kemudian, "Tetapi baiklah. Aku tidak berkeberatan kapan ia akan turun dalam arena perang tanding. Aku lerima tantangannya. tempat dan waktunya."
Kedua anak-anak muda itu termangu2. Namun ia tidak dapat merubah lagi keputusan Agung Sedayu, karena hal itu agaknya menyangkut banyak masalah yang tidak mereka ketahui sebelumnya.
Ketika anak-anak muda itu meninggalkan rumah Ki Gede, maka Agung Sedayupun telah membicarakan hal itu tidak saja dengan Ki Waskita, tetapi dengan Ki Gede Menoreh.
"Kau dapat menangkapnya," berkata Ki Gede, "tanpa menghiraukan tantangan perang tanding. Aku dapat menganggapnya sebagai seorang penjahat yang dapat aku tangkap dengan seluruh kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Menoreh ini."
"Tetapi masalahnya adalah masalahku Ki Gede," jawab Agung Sedayu, "sebaiknya aku terima tantangannya dengan jantan. Bukan karena sikap yang sombong, tetapi semata-mata aku tidak akan menyangkut orang lain dalam kesulitan ini. Ajar Tal Pitu adalah orang yang memiliki kemampuan baik secara pribadi, maupun sebagai seorang pemimpin padepokan, la tentu tidak akan menerima keadaan apapun juga kecuali perang tanding. Aku tahu, ia ingin melepaskan dendamnya. Tetapi tentu ada juga pembicaraan dengan Ki Pringgajaya yang memberikan dorongan kepadanya untuk melepaskan dendamnya itu."
Ki Gede Menorehpun tidak mempunyai kesempatan untuk mencegahnya. Agung Sedayu sudah bertekad untuk membatasi persoalannya dengan Ajar Tal Pitu tanpa menyeret orang lain. Apalagi anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang mulai bangun dari tidurnya yang nyenyak.
Demikianlah, maka pada hari itu juga telah tersebar diseluruh Tanah Perdikan Menoreh tantangan yang ditujukan kepada Agung Sedayu. Setiap orang di Tanah Perdikan Menoreh mengetahui, bahwa besok pada saat purnama naik. Agung Sedayu akan melakukan perang tanding di randu papak diujung hutan.
Namun sementara itu, yang lima hari itu adalah waktu yang dapat dipergunakan untuk mematangkan diri menghadapi perang tanding yang mendebarkan itu.
Ketika malam kemudian tiba. Agung Sedayu sudah tidak merasa perlu lagi untuk mengelilingi Tanah Perdikan Menoreh mencari orang yang disangka Ajar Tal Pitu, karena orang itu justru sudah menyampaikan tantangan. Namun demikian Agung Sedayupun masih juga menyelesaikah jalan-jalan antara padukuhan untuk menjaga agar anak-anak muda tidak menjadi ketakutan karenanya. Jika mereka melihat bahwa Agung Sedayu sendiri tidak merasa cemas menghadapi tantangan itu, maka anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh itupun tidak akan terpengaruh karenanya.
Sebenarnyalah bahwa anak-anak muda digardu-gardu yang melihat justru Agung Sedayu hanya seorang diri, saling berbisik, "Agung Sedayu sama sekali tidak gentar."
Namun dalam pada itu, meskipun bulan belum bulat, tetapi langit sudah nampak terang. Lewat senja, bulan yang sudah hampir bulat sudah memanjat langit, sementara awan yang tipis hanyut oleh angin malam yang dingin.
Ketika Agung Sedayu kembali ke biliknya, baru saja ia duduk di pembaringannya, maka Ki Waskita berdesis, "Kau dengar suara itu Agung Sedayu."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Kemudian iapun bertanya, "Suara apa paman ?"
"Aku tidak pernah memperhatikannya, tetapi rasa-rasanya suara itu jarang aku dengar sebelumnya. Mungkin sebelumnya aku kurang memperhatikan. Baru setelah aku mendengar rencana Ajar Tal Pitu untuk melakukan perang tanding pada saat purnama naik, aku tertarik pada suara itu."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi keinginannya untuk mengetahui semakin mendesaknya, sehingga ia bertanya pula, "Tetapi suara apakah yang paman maksud ?"
"Kau mendengar suara serigala ?" bertanya Ki Waskita.
Tiba-tiba saja kulit Agung Sedayu meremang. Ia memang mendengar suara srigala yang mengaum panjang sekali. Seolah-olah menelusuri pegunungan dari ujung sampai keujung.
"Paman," berkata Agung Sedayu kemudian, "kita dapat bertanya kepada anak-anak muda yang berada di regol, apakah di hutan-hutan didaerah Menoreh terdapat banyak srigala."
Ki Waskita mengangguk. Jawabnya, "Ada baiknya juga kau bertanya kepada mereka."
Agung Sedayu tidak menunggu lagi. Iapun segera bangkit dan melangkah keluar biliknya. Ketika ia turun dari serambi gandok, langit sudah menjadi suram. Bulan yang belum bulat telah turun di ujung Barat. Namun diregol masih ada beberapa orang peronda yang duduk sambil memeluk lutut, sementara dua orang diantara mereka berjalan hilir mudik sambil memanggul tombak pendek.
Agung Sedayupun kemudian duduk diantara para peronda itu. Mereka sama sekali tidak heran, karena Agung Sedayu memang sering melakukannya.
Setelah beberapa saat mereka berbincang, maka Agung Sedayupun kemudian bertanya tentang penghuni hutan di sekitar Tanah Perdikan Menoreh.
"Ki Gede masih sering berburu harimau," jawab salah seorang diantara para peronda itu.
"Apakah di hutan itu terdapat serigala ?" bertanya Agung Sedayu.
Para peronda itu mengerutkan keningnya. Seorang yang sudah berpengalaman dalam perburuan berkata, "Tidak. Di hutan itu tidak ada serigala. Yang ada hanya anjing-anjing liar yang memang mirip dengan tingkah laku serigala. Tetapi ujudnya agak berbeda."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia bertanya, "Jika demikian, apakah yang aku dengar ini suara anjing hutan ?"
Para peronda itu mengerutkan keningnya. Merekapun mendengarkan dengan saksama. Sebenarnyalah mereka mendengar lolongan panjang.
Seorang peronda yang masih sangat muda beringsut. Kulitnyapun terasa meremang. Hampir berbisik ia berkata, "Aku belum pernah mendengar suara itu."
Tetapi yang lebih tua tersenyum. Katanya, "Tentu suara anjing hutan. Mungkin mereka kelaparan, sehingga mereka melolong seperti itu."
"Apakah suara itu jarang terdengar ?" bertanya Agung Sedayu.
"Mungkin kami kurang memperhatikan saja sebelumnya," jawab yang lebih tua itu.
Tiba-tiba saja jantung Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Anak-anak muda yang meronda itu juga kurang memperhatikan sebelumnya, atau suara serigala itu memang tidak pernah terdengar kecuali malam itu.
Demikianlah setelah berbicara sejenak, maka Agung Sedayu kembali lagi kedalam biliknya untuk memberitahukan apa yang diketahui oleh anak-anak muda itu kepada Ki Waskita.
Ki Waskita yang masih duduk di pembaringannya itupun mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, "Akupun merasa aneh mendengar suara itu."
"Paman," bertanya Agung Sedayu kemudian, "seandainya suara itu belum pernah terdengar sebelumnya, apakah menurut dugaan paman, telah terjadi geseran kawanan serigala dari ujung hutan yang lain kebutan di tlatah Menoreh ?"
"Mungkin juga hal itu dapat terjadi. Karena sesuatu hal maka sekelompok serigala telah memasuki hutan didaerah ini, sehingga lolongan itu merupakan jerit perkenalan dengan daerah barunya," Ki Waskita berhenti sejenak, namun kemudian katanya, "Tetapi cobalah kau renungkan Agung Sedayu. Mungkin kau pernah mendengar dongeng tentang seekor harimau jadi-jadian. Tentang seekor babi hutan jadi-jadian dan juga tentang serigala jadi-jadian ?"
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Suara serigala itu sudah tidak didengarnya lagi.
"Bulan yang belum bulat sudah tenggelam. Sebentar lagi fajar akan menyingsing," desis Ki Waskita.
"Apakah tenggelamnya bulan itu ada hubungannya dengan hilangnya lolong anjing hutan atau serigala atau semacam itu yang Ki Waskita sebut jadi-jadian ?" bertanya Agung Sedayu.
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Mungkin aku terlalu berhati-hati. Tetapi mungkin ada gunanya juga untuk menghubungkannya dengan tantangan orang yang kita sangka Ajar Tal Pitu itu. Bukankah ia akan menemukannya tepat saat purnama naik dibawah randu papak di ujung hutan."
Tiba-tiba wajah Agung Sedayu menjadi tegang. Sejenak ia memandang Ki Waskita, kemudian katanya, "Apakah menurut Ki Waskita, orang itu dapat menjelma menjadi seekor serigala atau anjing hutan yang garang dan buas ?"
Ki Waskita mengangguk kecil.
Tetapi Agung Sedayu masih menjawab, "Paman. Kita adalah orang-orang yang bertualang didalam olah kanuragan. Bukankah seandainya kita bertemu dengan seekor harimau sekalipun kita tidak akan gentar " Apalagi seekor serigala. Jika aku harus berkelahi dengan Ajar Tal Pitu dalam ujud serigala, aku tidak akan gentar. Bahkan dengan demikian ia telah mempersempit kemungkinan geraknya, karena apa yang dapat dilakukan oleh seorang, maksudku seekor serigala adalah sangat terbatas. Apalagi jika aku bersenjata. Cambukku akan segera mengoyak kulitnya."
"Kau benar ngger. Tetapi kau harus ingat, dalam ujud seekor serigala maka ia akan dapat berbuat dengan cara yang paling buas dan liar. Ia akan dapat mempergunakan segenap tubuhnya, kuku-kukunya, giginya dan barangkali juga racun pada kuku-kukunya itu," Ki Waskita berhenti sejenak, lalu, "tetapi yang lebih buruk dari itu adalah satu ilmu yang dapat mempengaruhi binatang sejenis dari bentuk jadi-jadiannya itu."
"Maksud paman, bentuk serigala itu akan mampu menyeret serigala-serigala sebenarnya untuk menyerang aku ?" bertanya Agung Sedayu.
"Ya. Itulah yang harus diperhatikan. Betapapun tinggi ilmumu, kau akan mengalami kesulitan untuk melawan dua puluh atau duapuluh lima ekor serigala, atau bahkan anjing hutan yang buas dan liar. Binatang itu akan menerkam dari segala arah tanpa mengenal takut dan perhitungan apapun juga."
"Suatu ilmu yang aneh," desis Agung Sedayu.
"Tetapi seseorang akan dapat melakukannya. Seseorang mempunyai kemampuan untuk memanggil beribu-ribu ekor ular dan memberikan perintah kepadanya. Bahkan ada seorang pawang ular yang mampu menemukan satu diantara beribu-ribu ular yang telah menggigit seseorang dan memerintahkan kepada kawan-kawannya, maksudku kawan-kawan ular itu untuk menghukum dan membinasakan. Di pinggir kedung yang terdapat di pinggir Kali Bagawanta aku mendengar ada seorang pawang yang dapat memanggil berpuluh-puluh ekor buaya dan memberikan perintah kepada buaya-buaya itu dengan cara yang khusus."
"Dan buaya-buaya itu dapat juga menyerang seseorang ?" bertanya Agung Sedayu.
"Ya. Demikian juga terjadi atas seseorang yang dapat menjelma menjadi seekor harimau," berkata Ki Waskita. Lalu, "Tetapi yang lebih mungkin dilakukan dan yang lebih tepat diperhitungkan adalah mereka yang mampu mempengaruhi binatang-binatang itu dengan semacam ilmu gendam."
Agung Sedayu merenung sejenak. Dengan demikian ia akan menghadapi satu persoalan baru. Ia akan menghadapi satu bentuk ilmu yang pelik dan yang tidak ditemuinya dalam kitab Ki Waskita.
Dalam pada itu, seolah-olah Ki Waskita dapat membaca pikiran Agung Sedayu sehingga iapun berkata," berjenis-jenis ilmu yang terdapat didalam kitab yang pernah kau baca itu tidak kau jumpai satu pun dari jenis ilmu yang dapat mempengaruhi binatang dalam bentuk apapun. Sementara itu, untuk melawan seekor binatang kau tidak akan dapat mempergunakan ilmu semu, karena binatang itu tidak akan terpengaruh karenanya."
"Jadi, bagaimana menurut pendapat Ki Waskita ?" bertanya Agung Sedayu.
"Kau harus menemukan jalan. Tetapi untuk sementara kau harus meningkatkan ilmu kebalmu. Selebihnya kau akan di paksa untuk menyapu lawanmu dengan kekuatan sorot matamu. Namun harus diperhitungkan, bahwa kau mungkin sekali akan menghadapi sekelompok serigala sekaligus Ajar Tal Pitu itu sendiri dalam bentuk dan ujudnya diatas alas segenap ilmu dan kemampuannya."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun dengan demikian ia sudah memperhitungkan, bahwa melawan Ajar Tal Pitu atau orang yang disangka Ajar Tal Pitu itu akan sangat berat baginya. Apalagi apabila benar orang itu dapat mempengaruhi beberapa ekor binatang. Yang suaranya sudah diperdengarkan disaat bulan ada dilangit adalah suara lolongan serigala.
Seandainya Agung Sedayu mengetrapkan ilmu kebalnya, maka iapun harus memperhitungkan, apakah Ajar Tal Pitu itu secara pribadi disamping binatang-binatang yang dapat dipengaruhinya, mempunyai kemampuan untuk menembus ilmu kebalnya, atau bahwa Ajar Tal Pitu didalam ujud jadi-jadiannya juga mampu menembus ilmu kebalnya, sementara ia sendiri tidak dapat membedakan, diantara sekian banyak serigala, yang manakah bentuk jadi-jadian itu.
Namun dalam pada itu, Ki Waskita yang sudah memiliki pengalaman yang lebih banyak dari Agung Sedayu itupun berkata, "Agung Sedayu. Jika kau sudah menerima tantangannya untuk berperang tanding, maka tidak seorangpun yang berhak untuk membantumu dalam ujud apapun setelah perang tanding itu berlangsung. Tetapi sebelumnya, tegasnya saat ini aku masih dapat memberikan petunjuk. Kau sudah membaca kitab itu, dan kau sudah memahatkan isinya didalam dinding hatimu. Nah, kau akan dapat melihat perkembangan yang dapat kau pelajari dari ilmu kebal yang terdapat didalam kitab itu. Semisal orang berjalan, kau tinggal melangkah satu dua langkah lagi, sehingga kau akan sampai ketujuan."
"Tetapi," wajah Agung Sedayu menjadi tegang, "apakah aku pantas melakukannya Ki Waskita."
"Kenapa tidak ?" jawab Ki Waskita, "ilmu itu tidak akan terungkap disembarang waktu dan tempat, kecuali kau kehendaki. Karena itulah maka meskipun kau mempunyai ilmu kebal, Glagah Putih telah membuat kau terkejut dengan api upet yang tidak lebih besar dari jari tangan karena saat itu kau tidak sedang mengungkapkan ilmumu. Juga ilmu yang dapat kau capai selangkah lagi itu tidak akan banyak berpengaruh dalam kehidupanmu sehari-hari. Kau masih mempunyai waktu ampat hari ampat malam setelah malam ini. Dan kau akan mempergunakannya tiga hari tiga malam."
Agung Sedayu merenungi kata-kata itu. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk. Tiga hari tiga malam ia akan berada di sanggar. Sudah tentu ia harus minta ijin kepada Ki Gede Menoreh agar tidak menimbulkan salah paham.
Demikianlah, bersama Ki Waskita, Agung Sedayu menghadap Ki Gede Menoreh di pagi harinya. Mereka menyampaikan semua persoalan yang dihadapi dan akan dilakukan.
Ki Gede mengangguk-angguk. Namun katanya, "Aku masih ingin mengemukakan sekali lagi satu rencana penangkapan terhadap seorang yang telah berbuat jahat di Tanah Perdikan Menoreh, bukan satu perang tanding."
Tetapi Agung Sedayu menjawab, "Aku akan menyerahkan segalanya jika perang tanding itu sudah selesai, dan aku tidak berhasil."
Ki Gedepun tidak dapat memaksa. Karena itu, maka yang dapat dilakukan adalah menyediakan sanggarnya bagi Agung Sedayu.
Demikianlah, maka Agung Sedayu mulai dengan menempa dirinya khusus untuk menghadapi cara-cara yang dapat ditempuh oleh Ajar Tal Pitu. Didalam sanggar, ketika malam turun, dan bulan yang hampir bulat memancar dilangit, maka di kejauhan terdengar suara serigala yang melolong semakin lama rasa-rasanya menjadi semakin keras. Jantung Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar, ketika ia mendengar lolong anjing yang lain, menyahut dari arah yang berbeda.
Namun justru hal itu telah mendorongnya untuk lebih tekun dalam pembajaan diri.
Ada bermacam-macam tanggapan di Tanah Perdikan Menoreh sejak Agung Sedayu tidak menampakkan diri. Bagaimanapun juga, Prastawa masih belum ikhlas sepenuhnya untuk menerima Agung Sedayu di Tanah Perdikan Menoreh dalam kedudukan yang lebih baik dari dirinya sendiri di hadapan anak-anak muda. Karena itu, ketika beberapa anak-anak muda bertanya kepadanya, maka Prastawa itu menjawab, "Anak itu menjadi sangat tertekan. Ia menjadi ketakutan dan tidak berani keluar dari biliknya sampai purnama lewat. Nanti, jika purnama telah lampau, maka ia akan kembali menyelusuri jalan-jalan Tanah Perdikan ini diatas punggung kudanya yang berwarna gelap itu."
"Tetapi, jika Agung Sedayu tidak memenuhi tantangan itu, kita akan menjadi korban," jawab anak-anak muda itu.
"Tidak. Sudah barang tentu dalam keadaan yang demikian, semua kekuatan akan dikerahkan. Tentu Paman Argapati tidak akan tinggal diam. Betapapun tinggi ilmu orang yang menantang Agung Sedayu dalam perang tanding itu, ia tidak akan dapat mengimbangi kemampuan paman Argapati itu sendiri. Apalagi disini ada Ki Waskita dan sudah tentu aku sendiri."
Anak-anak muda itu tidak menjawab. Tetapi mereka sebenarnya masih menyimpan persoalan didalam hati. Jika demikian kenapa mereka tidak beramai-ramai menangkap pada saat seperti yang disebut oleh orang yang menantang Agung Sedayu untuk berperang tanding.
Demikianlah rasa-rasanya hari merambat dengan lamban. Ada semacam keinginan dari anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh untuk menunggu apa yang akan terjadi. Bahkan dalam pada itu. Ki Gede yang masih selalu mengelilingi Tanah Perdikannya yang sedang bangkit itu bersama Ki Waskita, selalu mengatakan, Agung Sedayu akan turun ke arena sebagaimana dikehendaki oleh orang yang menantangnya.
Akhirnya yang tiga hari tiga malam itu telah lewat. Ketika fajar menyingsing Agung Sedayu telah keluar dari sanggar. Ia langsung menuju ke pakiwan untuk mandi dan keramas sebagai mana harus dilakukan sesuai dengan petunjuk yang tertera didalam kitab.
"Kau masih mempunyai waktu satu malam untuk beristirahat," berkata Ki Waskita kepada anak muda itu setelah Agung Sedayu mandi. Lalu, "kau dapat memanfaatkan waktumu sebaik-baiknya."
Agung Sedayu mengangguk. Ketika ia kemudian menghadap Ki Gede, maka Ki Gedepun berkata, "Kita semua berdoa kepada Tuhan. Tidak ada ilmu yang dapat membatalkan keputusannya. Mudah-mudahan Tuhan selalu melindungi kita semuanya."
Satu malam yang tersisa telah dipergunakan oleh Agung Sedayu untuk beristirahat. Tetapi beristirahat sesuai dengan tugas Agung Sedayu adalah berkunjug dari gardu ke gardu.
Anak-anak muda yang telah tiga malam tidak melihat Agung Sedayu terkejut. Apalagi Agung Sedayu malam itu hanya seorang diri. Sehingga dengan demikian, kesan seolah-olah Agung Sedayu menjadi ketakutan segera telah terhapus dari pikiran anak-anak muda itu.
"Kemana kau selama ini ?" bertanya seorang anak muda.
"Menikmati hari-hari terakhir di pembaringan," jawab Agung Sedayu sambil tersenyum.
"Ah, kau aneh ?" desis anak muda yang lain.
"Seperti kalian, akupun harus bersiap-siap. Sudah lama aku tidak mempergunakan ilmu kanuragan yang ada didalam diriku sepenuhnya. Aku berusaha mengungkapnya. Mungkin malam besok aku memerlukannya," jawab Agung Sedayu bersungguh-sungguh.
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Namun jantung merekapun ikut menjadi tegang, bahwa di malam hari esok akan terjadi perang tanding antara Agung Sedayu dengan orang yang tidak mereka ketahui, namun yang tentu menyimpan dendam terhadap Agung Sedayu.
Ketika bulan yang hampir bulat sudah memanjat langit, maka seperti beberapa malam sebelumnya, terdengar suara sejenis anjing hutan melolong dikejauhan. Bukan sekedar anjing liar yang tidak terpelihara, tetapi anjing hutan yang buas dan garang.
Agung Sedayu yang sedang berkuda dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain telah berhenti di tengah-tengah bulak. Dipandanginya pegunungan yang uimaridikan oleh cahaya bulan yang kekuning-kuningan. Pohon nyiur dilereng yang bagaikan tertidur nyenyak. Namun suara anjing hutan itu bagaikan telah menggetarkan seluruh Tanaih Perdikan.
Tetapi Agung Sedayu benar-benar telah siap menghadapi segala kemungkinan. Bahkan seandainya malam itu, ia harus bertempur iapun telah siap pula.
Sejenak kemudian Agung Sedayu melanjutkan perjalanannya. Namun ketika ia sampai di sebuah tikungan, ditengah-tengah bulak, tiba-tiba kudanya meringkik bahkan kemudian hampir melonjak berdiri. Untuk beberapa saat kuda itu sulit dikendalikan. Namun akhirnya kuda itupun dapat dikasainya meskipun masih nampak betapa kuda itu menjadi gelisah dan ketakutan.
Bahkan kemudian, ternyata tengkuk Agung Sedayupun telah meremang. Kudanya yang gelisah dan kadang-kadang masih bergeser surut itu ternyata telah dikejutkan oleh sepasang mata yang bagaikan menyala. Dengan jantung yang berdebaran Agung Sedayu memandang seekor anjing yang luar biasa besarnya menunggu ditikungan. Seekor anjing yang bulu ditengkuknya memanjang dan moncongnya runcing melampaui anjing kebanyakan.
Kuda Agung Sedayu meringkik lagi ketika anjing itu menyeringai. Gigi-giginya yang tajam runcing nampak mengerikan, sementara matanya masih saja menyala memandang Agung Sedayu yang masih duduk dipunggung kuda.
Namun akhirnya Agung Sedayu menjadi tenang. Ia bahkan turun dari kudanya dan melepaskan kudanya begitu saja. Dengan demikian ia tidak akan terpengaruh jika kudanya menjadi ketakutan dan tidak terkendali. Demikian kudanya dilepaskan, maka kuda itupun telah berlari meninggalkan Agung Sedayu. Namun Agung Sedayupun yakin, bahwa kuda itu akan kembali ke kandangnya.
Sementara itu Agung Sedayu telah berdiri menghadapi anjing yang luar biasa besarnya itu. Anjing hutan yang jarang sekali terdapat di Tanah Perdikan Menoreh, bahkan menurut penglihatannya, anjing yang sejenis itu baru dilihatnya untuk pertama kali.
Tetapi anjing yang seekor itu kemudian tidak mampu menggetarkan jantung Agung Sedayu setelah ia berpikir mapan. Jangankan seekor anjing yang bagaimanapun besarnya, seekor harimaupun tidak akan membuatnya ketakutan dan kehilangan akal.
Sejenak anjing itu berdiri sambil menggeram, sementara giginya masih saja menyeringai mengerikan. Ketika Agung Sedayu melangkah setapak mendekat, anjing itu merendah pada kaki depannya sambil menggeram lebih keras lagi.
Agung Sedayu bersiap pula menghadapi segala kemungkinan. Tetapi ia akan mengambil jalan yang paling mudah seandainya anjing itu menyerang. Sambil bersiap menghadapi segala kemungkinan, maka Agung Sedayu telah mengurai cambuknya.
"Kecuali jika anjing hutan ini termasuk bukan anjing hutan sewajarnya, maka cambukku tidak akan dapat menyakitinya," berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
Tetapi tantangan Ajar Tal Pitu masih akan berlangsung besok. Karena itu, maka kehadiran anjing itu memang menimbulkan pertanyaan bagi Agung Sedayu. Apakah anjing ini mempunyai hubungan dengan tantangan Ajar Tal Pitu pada saat purnama naik, atau ada pihak lain yang telah mengambil kesempatan dengan tantangan Ajar Tal Pitu itu.
Sejenak Agung Sedayu menunggu. Anjing itupun kemudian bergeser pula mendekat. Kepalanya semakin merunduk, dan ekornya menjelujur lurus kebelakang tubuhnya.
Demikian anjing itu siap menyerang. Agung Sedayupun telah mempersiapkan dirinya dalam ilmunya. Ia telah melindungi dirinya dengan ilmu kebalnya, seandainya gigi anjing hutan raksasa itu menyentuh kulitnya.
"Seandainya anjing hutan raksasa ini ada hubungannya dengan Ajar Tal Pitu, nampaknya ia sedang menjajagi kemungkinan yang dapat terjadi esok malam," berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
Seperti yang diperhitungkan, maka tiba-tiba anjing hutan raksasa itu mengaum keras sekali sambil meloncat menerkamnya. Mulutnya terbuka lebar, dan giginya yang tajam siap merobek kulit Agung Sedayu.
Tetapi Agung Sedayu sudah siap. Dengan loncatan pendek ia mengelak sambil berkata, "Kau sudah tahu, bahwa dengan ketajaman gigi dan kukumu kau tidak akan dapat melukai kulitku."
Anjing yang sedang mengaum itu, tiba-tiba menggeram keras sekali, seolah-olah telah menjawab kata-kata Agung Sedayu. Namun suaranya segera terputus, ketika tiba-tiba saja cambuk Agung Sedayu itu meledak.
Ledakan cambuk Agung Sedayu itu telah mendesak anjing hutan raksasa itu untuk bergeser surut. Namun sejenak kemudian anjing raksasa itu telah menyerangnya kembali. Tidak dengan ancang-ancang. Tetapi anjing itu langsung melonjak dengan kukunya yang tajam, sementara giginya yang runcing siap untuk merobek kulit Agung Sedayu.
Agung Sedayu bergeser surut. Tetapi ia masih tetap menghubungkan anjing raksasa itu dengan tantangan Ajar Tal Pitu. Karena itu, ia tidak mau terpancing. Sehingga dengan demikian, maka yang dilakukannya adalah sekedar perlawanan dengan kemampuannya yang sewajarnya. Jika anjing hutan itu juga anjing hutan sewajarnya, maka anjing itu tentu akan dapat dikalahkannya. Namun seandainya anjing itu adalah usaha penjajagan Ajar Tal Pitu, maka yang dapat di perhitungkan oleh Ajar Tal Pitu itu adalah sekedar tenaga wajarnya saja.
Ketika sekali lagi anjing hutan itu menggeram sambil melonjak, maka sekali lagi cambuk Agung Sedayu meledak. Tidak hanya sekedar untuk menakut-nakuti. Tetapi ujung cambuk itu benar-benar telah mengenai anjing raksasa itu.
Namun jantung Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Ternyata anjing itu tidak melengking dan melolong kesakitan. Meskipun terdengar seolah-olah anjing itu merintih, tetapi tiba-tiba anjing itu telah menggeram sekali lagi dengan dahsyatnya. Dengan tangkasnya anjing itu justru menerkamnya sekali lagi. Mulutnya terbuka lebar dengan gigi dan taringnya yang tajam, siap untuk merobek kulit wajah Agung Sedayu.
Tetapi Agung Sedayu masih mampu mengelak. Sekali lagi ia mempergunakan cambuknya. Tidak hanya sekali. Tetapi beberapa kali lecutan telah terdengar.
Anjing raksasa itu bergeser surut. Tetapi dalam cahaya bulan yang hampir bulat. Agung Sedayu tidak melihat darah pada tubuh anjing itu, sehingga Agung Sedayu benar benar menjadi heran. Jika anjing itu anjing sewajarnya, betapapun liat kulitnya, maka anjing itu tentu akan terluka oleh ujung cambuknya.
Tetapi Agung Sedayu masih menahan diri. Ia sama sekali tidak kehilangan akal dan dengan serta merta mengerahkan ilmunya. Ia masih tetap dengan tenaga wajarnya melawan anjing yang telah meloncat menerkamnya.
Agung Sedayupun kemudian berloncatan ketika anjing itu memburunya dengan garang sambil menggeram dan berusaha menggigitnya. Ledakan cambuk Agung Sedayu menjadi semakin sering terdengar. Meledak-ledak. Setiap kali tepat mengenai sasarannya. Bahkan mengenai mulut, leher dan kepala anjing itu. Tetapi anjing itu tetap menyerangnya dengan garang.
Tiba-tiba Agung Sedayu mendapat akal. Di pinggir jalan bulak itu ada sebatang pohon waru yang cukup besar meskipun tidak terlalu tinggi. Agung Sedayu tahu pasti, seekor anjing tidak akan dapat memanjat. Karena itu, maka iapun telah memutuskan untuk melihat keadaan anjing raksasa itu dengan caranya.
Sambil berloncatan dan menahan serangan anjing raksasa itu, Agung Sedayu mendekati sebatang pohon waru itu. Demikian ia berada di bawah pohon itu, maka iapun segera meloncat dan dengan cepat memanjat pohon yang tidak terlalu tinggi itu. Kemudian dengan cambuknya tetap ditangan ia berdiri pada sebatang dahan yang cukup kuat.
Namun sekali lagi jantung Agung Sedayu berdebar. Ternyata anjing itu berusaha melonjak menggapai Agung Sedayu. Namun ketika beberapa kali ia tidak berhasil, maka tiba-tiba anjing itu telah mengambil ancang-ancang beberapa langkah.
Melihat sikap anjing raksasa itu. Agung Sedayu benar-benar harus membuat perhitungan yang cermat. Jika ia salah hitung, maka ia tidak akan sampai pada saat purnama naik. Anjing raksasa itu akan membinasakannya lebih dahulu.
Sebenarnyalah telah terjadi diluar kebiasaan. Anjing itupun kemudian berlari sambil mengaum keras sekali. Dengan kukunya yang tajam anjing itu telah berhasil memanjat pohon waru itu, menyusul Agung Sedayu pada dahan yang tidak dapat digapainya.
Dengan demikian, maka Agung Sedayupun menyadari sepenuhnya, dengan siapa ia berhadapan. Karena itu, maka demikian anjing raksasa itu mencapai dahan tempat ia berdiri, maka Agung Sedayupun telah meloncat turun sambil menggeram, "Nampaknya kau tidak sabar lagi. Baiklah. Apa yang kau kehendaki. Aku tidak akan ingkar."
Anjing yang justru bertengger diatas dahan itu menggeram. Giginya seolah-olah menjadi bertambah panjang. Namun sejenak kemudian anjing yang kehilangan lawannya itupun telah bersiap untuk menerkam Agung Sedayu dari atas dahan.
Tetapi Agung Sedayu benar-benar telah siap. Ia tidak dapat sekedar mempergunakan tenaga wajarnya. Meskipun ia masih harus berusaha untuk tidak sampai kepuncak ilmunya, tetapi ia tidak mau di koyak-koyak oleh anjing hutan raksasa itu.
Karena itu, maka anak muda itupun mulai mengalirkan tenaga cadangannya pada ujung cambuknya. Bahkan kemudian iapun bertekad untuk menyaksikan kenyataan dari anjing hutan raksasa itu.
"Jika aku berhasil membunuhnya, maka aku akan dapat mengungkap sebagian dari rahasia anjing hutan itu," berkata Agung Sedayu kemudian.
Sejenak ketegangan telah mencengkam. Agung Sedayu berdiri tegak dengan hulu cambuknya ditangan kanan dan ujung cambuknya di tangan kiri. Tangannya yang dialiri oleh kekuatan ilmunya menjadi bergetar. Sambil menunggu anjing raksasa yang aneh, yang mampu memanjat pohon waru itu, ia telah mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya.
Sejenak kemudian maka terdengar anjing itu mengaum keras sekali. Dengan garangnya anjing itu langsung menerkam Agung Sedayu dari atas dahan. Kedua kaki depannya terjulur lurus, seolah-olah ingin mencekik leher lawannya, sementara mulutnya terbuka siap untuk mengoyak wajah korbannya.
Namun dengan tangkasnya, Agung Sedayu telah bergeser kesamping. Dengan demikian, kaki anjing itu sama sekali tidak menyentuhnya. Bahkan demikian anjing itu menyentuh tanah, maka dengan lambaran ilmunya Agung Sedayu telah mengayunkan cambuknya.
Yang kemudian terdengar, cambuk Agung Sedayu itu meledak. Tetapi suara ledakannya menjadi berbeda. Suara ledakkan itu justru tidak lagi terlalu keras menurut pendengaran telinga wadag. Namun justru karena itu, maka kekuatan yang tersalur pada juntai cambuk itu merupakan kekuatan ilmu Agung Sedayu yang memiliki kekuatan luar biasa, meskipun Agung Sedayu belum sampai kepuncak ilmunya.
Juntai cambuk Agung Sedayu itu tepat mengenai punggung anjing raksasa itu. Demikian dahsyatnya, sehingga anjing raksasa itu seolah-olah telah terputar dan terangkat keudara. Kemudian dengan derasnya anjing raksasa itu telah terbanting ditanah.
Terdengar anjing itu melolong panjang. Namun anjing itu masih sempat bangkit dan dengan lolongan yang menggetarkan bulu-bulu tengkuk anjing itu dengan kecepatan yang luar biasa telah berlari meninggalkan Agung Sedayu menyusup kedalam tanaman yang tumbuh subur di sawah sebelah menyebelah jalan.
Agung Sedayu yang telah dijalari keinginan untuk membunuh anjing raksasa itupun telah meloncat mengejarnya. Meskipun anjing itu berlari terlalu cepat.
Tetapi baru beberapa langkah Agung Sedayu berlari, tiba-tiba saja langkahnya telah terhenti. Telinganya yang tajam telah mendengar suara orang tertawa. Tidak terlalu keras. Namun jelas terdengar dihadapannya.
Agung Sedayu berhenti. Dalam keremangan cahaya bulan yang hampir bulat ia melihat seseorang berdiri tegak di atas pematang. Kedua tangannya disilangkannya didadanya.
"Kau akan kemana Agung Sedayu," terdengar orang itu bertanya.
Agung Sedayu tegak berdiri memandang orang itu. Sebenarnyalah bahwa ia sudah menduga, bahwa ia akan bertemu dengan orang yang mendendamnya. Ajar Tal Pitu.
"Jadi kau telah menyusulku Ki Sanak," desis Agung Sedayu, "dengan demikian benar yang aku dengar, bahwa orang yang telah berusaha menakut-nakuti anak-anak ingusan di Tanah Perdikan Menoreh adalah kau. "
Ajar Tal Pitu tertawa. Katanya, "Kali ini aku tidak berhasil menakut-nakuti kau."
"Aku sudah menduga pula, bahwa anjing-anjing itu adalah permainanmu," sahut Agung Sedayu.
"Bukankah hanya seekor ?" bertanya Ajar Tal Pitu.
"Ya. Hanya seekor," jawab Agung Sedayu, "tetapi yang seekor ini adalah satu penjajagan ?"
Ajar Tal Pitu tertawa semakin keras. Katanya, "Kau memang cerdik. Perhitunganmu tajam dan agaknya kau mengerti, apa yang aku rencanakan."
"Aku sudah mengerti," jawab Agung Sedayu, "ternyata kau memang orang luar biasa. Kau mampu mempengaruhi anjing hutan. Bukan saja solah tingkahnya, tetapi juga kebiasaannya. Kau dapat memaksa anjing itu memanjat. Dan bahkan akupun mengetahui, bahwa dalam sekelompok anjing-anjing liar yang dapat kau gerakkan sesuai dengan keinginanmu, maka kau sendiri akan dapat berada diantaranya."
"Persetan," geram Ajar Tal Pitu.
"Kau dapat berbangga karenanya. Tetapi jika bukan kau sendiri maka kau dapat mempergunakan wadag anjing-anjing raksasa itu dengan kekuatanmu didalamnya. Jika yang aku hadapi itu adalah anjing sewajarnya, maka ia tentu tidak akan dapat memanjat. Bahkan punggungnya tentu sudah aku patahkan dengan ujung cambukku. Demikian anjing itu terbanting ditanah, ia tidak akan lebih dari seonggok daging dan kulit yang tidak akan berdaya untuk bangkit, apalagi berlari meninggalkan tempat ini," geram Agung Sedayu. Lalu, "tetapi anjing yang baru saja mengalami lecutan cambukku tidak demikian. Ia dapat menyelamatkan dirinya. Dan ia bukan tidak berarti bagiku, karena yang ada disini sekarang adalah kau sendiri."
Ajar Tal Pitu tertawa semakin keras. Dengan naida tinggi ia berkata," jadi kau sangka aku dapat merubah diriku menjadi seekor anjing raksasa ?"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia memang tidak dapat mengatakannya dengan pasti. Apakah Ajar Tal Pitu itu telah merubah ujud wadagnya, atau wadag anjing itu telah disusupi oleh kekuatan ilmunya sehingga anjing itu memiliki daya tahan yang luar biasa.
"Ajar Tal Pitu," berkata Agung Sedayu, "baiklah kita menunggu sampai esok. Apakah kau akan berperang tanding dengan jujur, atau kau akan bermain-main dengan sekelompok anjing hutan dan kau sendiri akan berada diantara mereka. Namun dengan demikian, maka kau bukan lagi seorang Ajar yang siap untuk berhadapan secara jantan."
"Kau memang pantas dikasihani Agung Sedayu," berkata Ajar Tal Pitu, "tetapi sangat memalukan bahwa kau telah merengek seperti itu. Sayang bahwa aku mempunyai ilmu yang dapat aku pergunakan dengan cara apapun juga. Apakah aku dapat mempengaruhi anjing-anjing liar itu, atau aku sendiri dapat berubah ujud seperti seekor anjing raksasa, diantara beberapa ekor anjing yang sebenarnya, namun itu bukannya satu kecurangan. Aku memang memiliki ilmu yang demikian."
"Bagaimana jika aku mempunyai ilmu yang dapat mempengaruhi orang lain. Bukan binatang seperti yang kau lakukan," bertanya Agung Sedayu.
"Itu bukan ilmu. Tetapi itu benar-benar kecurangan. Tetapi jika kau memang ingin berbuat demikian, bertempur bersama-sama dengan isi Tanah Perdikan ini, akupun tidak berkeberatan. Kalian akan dikoyak-koyak oleh anjing-anjing liarku yang ganas melampaui ganasnya seekor harimau," geram Ajar Tal Pitu.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "terserahlah apa yang akan kau lakukan Ajar Tal Pitu. Permainanmu itu bukan sesuatu yang mengejutkan bagiku. Seandainya anjing hutan dan bahkan ditambah dengan anjing-anjing liar diseluruh pegunungan Menoreh itu kau kerahkan, maka aku sudah siap untuk mengahadapinya, termasuk kau sendiri didalamnya."
"Gila, "geram Ajar Tal Pitu, "jadi kau menganggap bahwa dirimu adalah orang yang tidak terkalahkan dengan ilmu apapun juga ?"
"Tidak. Sama sekali tidak. Aku hanya berkata bahwa aku sudah siap."
Wajah Ajar Tal Pitu menjadi tegang. Terdengar giginya gemeretak. Yang telah terjadi itu sama sekali tidak menggetarkan jantung anak muda dari Jati Anom itu. Bahkan nampaknya Agung Sedayu sama sekali tidak menghiraukannya.
Dengan nada tinggi Ajar Tal Pitu berkata, "Kau akan hancur oleh kesombonganmu."
"Siapakah yang sebenarnya sombong diantara kita " Aku atau kau " Atau kita berdua ?" bertanya Agung Sedayu.
"Tutup mulutmu," Ajar Tal Pitu itu membentak, "Aku dapat merobek mulutmu."
Namun justru jantung Ajar Tal Pitu itulah yang bergetar ketika Agung Sedayu yang berdiri tegak memandanginya dengan tajam itu berkata, "Kau kasar sekali. Tetapi jika kau tidak sabar menunggu besok, malam ini-pun bulan sudah hampir bulat. Kau dapat menggerakkan anjing-anjingmu yang hidup dan menjadi garang dalam cahaya bulan. Aku tidak berkeberatan kita pergi bersama-sama ketempat yang kau pilih, yang barangkali dengan susah payah sudah kau ajarkan pada anjing hutan itu."
"Persetan," Ajar Tal Pitu berteriak. Lalu, "Aku tetap pada pendirianku. Perang tanding akan dilakukan besok malam sampai salah seorang diantara kita mati."
"Aku menuntut sekarang," Agung Sedayu berkata lantang.
Tetapi Ajar Tal Pitu menolak. Katanya, "Kau memang sudah menjadi seorang pengecut. Kau akan mengingkari sebuah perjanjian jantan ?"
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian, "Jika kau tidak berani menghadapi aku sekarang, pergilah. Kau membuat perutku menjadi mual."
"Jangan kau urusi aku dan apa yang akan aku lakukan," geram Ajar Tal Pitu. Namun iapun kemudian beringsut menjauh. Kemudian sambil melangkah pergi ia berkata, "Aku akan membunuhmu besok. Dan tidak seorangpun yang akan dapat menemukan mayatmu, selain onggokan tulang-tulang basah."
Agung Sedayu tidak menjawab. Dibiarkannya Ajar Tal Pitu itu kemudian menyelusuri pematang. Semakin lama menjadi semakin jauh.
Agung Sedayu tersadar ketika ia mendengar derap kaki kuda. Ketika ia berpaling, dilihatnya dalam cahaya bulan yang kekuning-kuningan beberapa orang diatas punggung kuda berpacu semakin dekat.
Dengan bebeapa loncatan panjang Agung Sedayu kemudian telah berdiri di pinggir jalan sambil memperhatikan orang-orang yang semakin dekat.
"Ki Gede," desisnya.
Sebenarnyalah, yang datang itu adalah Ki Gede Menoreh. Ki Waskita dan beberapa orang pengawal.
"Kau tidak apa-apa Agung Sedayu," Ki Waskitalah yang pertama-tama meloncat dari punggung kudanya yang berhenti beberapa langkah dihadapannya, yang kemudian disusul oleh Ki Gede dan para pengawalnya.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, "Aku tidak apa-apa Ki Waskita."
"Kami terkejut ketika para pengawal diregol padukuhan melihat kudamu pulang tanpa penunggangnya. Kemudian pengawal yang lain melaporkan bahwa terdengar ledakan cambukmu, bahkan ketika kami sudah keluar dari padukuhan indukpun, kami masih mendengarnya pula satu dua kali," berkata Ki Gede.
Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Katanya kemudian, "Sebenarnya tidak ada yang mengejutkan. Tetapi aku memang terpaksa mempergunakan cambukku."
"Untuk apa ?" bertanya Ki Waskita.
Dengan singkat Agung Sedayu berceritera tentang seekor anjing hutan. Tetapi ia berceritera dengan wajar. Dihadapan para pengawal ia tidak mengatakan keanehan yang dijumpainya pada anjing liar itu apalagi dalam hubungannya dengan Ajar Tal Pitu.
Namun demikian, ketika mereka sudah berada di rumah Ki Gede Menoreh, maka secara khusus, Agung Sedayu telah berbicara dengan Ki Waskita dan Ki Gede Menoreh. Agung Sedayu telah menceriterakan segalanya yang terjadi.
Ki Gede Menoreh menarik nafas panjang. Dengan nada datar ia berkata, "Satu pengalaman baru bagi orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Di atas bukit itu memang kadang-kadang terdapat sekelompok anjing-anjing liar. Tetapi nampaknya yang terjadi itu bukannya sekedar kebetulan bahwa Ajar Tal Pitu memanfaatkan apa yang ada di atas bukit."
"Agaknya memang demikian," sahut Ki Waskita, "Ajar Tal Pitu memang memiliki ilmu yang berhubungan dengan peri kehidupan anjing hutan. Tetapi bahwa yang menyerang Agung Sedayu adalah sejenis anjing raksasa, agaknya memang sangat menarik perhatian."
"Juga mengenai waktu Ki Waskita," berkata Agung Sedayu kemudian, "aku memang mencobanya untuk memaksakan perkelahian malam ini. Tetapi Ajar Tal Pitu masih menghindar betapapun kemarahan menghentak didadanya. Aku tidak tahu pasti, apakah memang ada hubungan antara ilmunya dengan cahaya bulan disaat purnama penuh."
"Mungkin demikian," berkata Ki Waskita, "agaknya anjing-anjing itu baru sampai kepada puncak kekuatannya pada saat purnama penuh."
"Ya," Ki Gede mengangguk-angguk, "semacam ilmu yang pernah aku dengar dalam dongeng orang-orang tua. Orang-orang kerdil di hutan Madenda adalah pemuja bulan. Mereka berperang pada saat bulan penuh justru karena pada saat yang demikian mereka memiliki puncak kemampuan ilmunya. Pada saat bulan pudar dan bahkan di malam-malam tidak berbulan, mereka bersembunyi, karena lawan lawan mereka akan memburunya. Namun pada puncak purnama, mereka adalah raja di hutan Madenda itu, sehingga tidak ada suku lain yang akan dapat mengalahkan mereka."
"Jika demikian," berkata Ki Waskita, "unsur cahaya bulan itu sangat penting. Kau dapat memperhitungkannya Agung Sedayu. Cahaya bulan itu bagaikan api yang membakar getaran ilmu didalam darah mereka. Semakin besar api itu, maka semakin panas pula gelora didalam tubuh mereka."
Agung Sedayu menundukkan kepala. Pendapat Ki Waskita itu ternyata telah mempengaruhi nalarnya. Bahkan hampir diluar sadarnya ia berkata, "Bagaimana dengan bayangan pepohonan meskipun pada saat puncak purnama ?"
"Aku kira juga ada pengaruhnya," berkata Ki Gede, "meskipun pengaruh itu tidak terlalu menentukan. Tetapi itu bukan pegangan yang meyakinkan. Kita belum mengetahui dengan pasti ilmu yang aneh itu."
"Apapun yang dapat kau lakukan, lakukanlah Agung Sedayu, selama kau masih tetap berjalan pada jalan yang benar sambil menempatkan diri sebagaimana seorang mahluk dihadapan Penciptanya," berkata Ki Waskita, "kitapun yakin bahwa Ajar Tal Pitu telah menyadap ilmu yang langsung bertentangan dengan kedudukannya sebagai hamba Yang Maha Agung, bahwa ia telah menempatkan diri dibawah pengaruh dunia yang hitam dan hidup didalam bayangannya."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah bahwa ia telah berhadapan dengan kekuatan hitam yang maha dahsyat. Namun iapun mempunyai kepercayaan sepenuhnya, bahwa segalanya tidak akan dapat menyimpang dari keputusan Yang Maha Agung, karena betapapun besarnya kekuatan dunia kelam, namun kekuatan itu tidak akan berarti apa-apa di hadapan Yang Maha Tinggi.
Dalam pada itu, maka Ki Waskitapun kemudian berkata, "Sudahlah. Kaupun perlu beristirahat. Tidurlah."
Agung Sedayupun kemudian pergi ke biliknya. Setelah berganti pakaian maka iapun segera membaringkan dirinya di pembaringannya, sementara Ki Gede dan Ki Waskita masih berbincang untuk beberapa lamanya.
"Besok aku akan hadir," berkata Ki Waskita kemudian.
"Aku juga," desis Ki Gede, "jika Ajar Tal Pitu tidak berhasil dengan caranya, mungkin ia akan mengambil cara lain yang lebih curang sehingga kehadiran kita mungkin ada gunanya."
Kedua orang tua itupun akhirnya masuk kedalam biliknya masing-masing pula. Agung Sedayu menggeliat ketika ia mendengar pintu berderit dan Ki Waskita masuk kedalamnya. Agaknya derit pintu itu telah membangunkannya.
"Tidur sajalah," desis Ki Waskita.
Agung Sedayu tersenyum. Namun iapun kemudian telah tertidur lagi ketika Ki Waskita juga membaringkan dirinya di pembaringannya. Meskipun hanya sesaat.
Seperti biasanya, mereka bangun pagi-pagi benar. Mereka langsung pergi ke pakiwan. Setelah mengisi jambangan dan mencuci pakaian kemudian merekapun membersihkan diri untuk menunaikan kewajiban mereka sebagai hamba Tuhannya.
Hari itu adalah hari yang menegangkan bukan saja bagi Agung Sedayu, tetapi juga bagi anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh yang mengetahui apa yang akan terjadi malam mendatang, sehingga disetiap sudut padesan, jalan-jalan ke pasar dan bahkan hampir disetiap pintu rumah, mereka mempercakapkan apa yang dapat terjadi malam mendatang, saat purnama bulat dilangit. Namun purnama yang bulat itu tidak akan ditandai dengan kegembiraan bocah-bocah bermain gobag, kejar-kejaran dan jamuran, tetapi purnama malam itu akan ditandai dengan perang tanding yang mengerikan.
Hari itu Agung Sedayu tidak banyak membuang tenaga. Ia hanya berkunjung kebeberapa padesan yang paling dekat. Sebagian besar waktunya telah dipergunakannya untuk beristirahat dan merenungi kemungkinan-kemungkinan yang harus dihadapinya malam nanti.
Sementara itu, Ki Gede dan Ki Waskita justru telah melakukan kunjungan sebagaimana sering dilakukan. Mereka mengunjungi padukuhan-padukuhan yang agak jauh dari padukuhan induk. Sebenarnyalah merekapun ingin tahu, bagaimana tanggapan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh tentang perang tanding yang akan diadakan malam mendatang.
Ternyata berita itu adalah berita yang sangat mengerikan. Mereka menganggap peristiwa itu sebagai pertanda yang kurang baik bagi masa-masa mendatang, apalagi jika Agung Sedayu kalah.
Ki Gede mendengarkan pendapat orang-orang itu dengan sungguh-sungguh. Bahkan iapun telah teringat apa yang pernah dilakukannya beberapa puluh tahun yang lalu. Perang tanding. Tetapi alasannya jauh berbeda. Dan perang tanding itupun telah pernah diulanginya di tempat yang sama.
Tetapi orang yang kemudian bernama Ki Tambak Wedi itu agaknya masih belum nggegirisi seperti orang yang menyebut dirinya Ajar Tal Pitu itu.
Dalam pada itu, mataharipun melintas dengan lamban di langit yang bersih. Selembar awan yang putih hanyut tertiup angin kentara. Jalan-jalan yang panjang bagaikan terbakar oleh terik matahari yang berpijar di birunya langit.
Namun akhirnya, matahari itupun turun ke Barat. Semakin lama semakin rendah. Sementara ketegangan-pun semakin meningkat.
Anak-anak muda yang pergi kesawah telah pulang jauh lebih cepat dari kebiasaan mereka Pande-pande besi telah memadamkan perapiannya lewat tengah hari, sementara pasarpun menjadi sepi karena kedai-kedaipun telah menutup pintunya.
Menjelang senja. Tanah Perdikan Menoreh telah menjadi sangat sepi. Jalan-jalan tidak lagi dilewati orang. Air yang mengalir diparit melimpah ke sawah yang telah penuh, karena tidak seorangpun yang berbuat sesuatu atas air dan sawah mereka. Bulak-bulak panjang menjadi sepi bagaikan kuburan.
Namun gardu-gardu justru menjadi penuh sebelum waktunya. Anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh, ternyata telah berada di gardu-gardu mereka. Para pengawal telah bersiaga sepenuhnya di setiap padukuhan dari ujung sampai keujung.
Tanah Perdikan Menoreh seolah-olah tengah menghadapi perang yang akan menyergap setiap jengkal tanah.
Dalam pada itu, Agung Sedayupun telah membenahi dirinya. Tubuhnya terasa segar setelah beristirahat secukupnya. Sambil membenahi pakaiannya, maka iapun berkata kepada Ki Waskita, "Sebentar lagi matahari akan tenggelam paman. Aku akan berangkat."
"Kita berangkat bersama-sama," berkata Ki Waskita, "aku dan Ki Gede sudah bersepakat untuk menjadi saksi dalam perang tanding di bawah pohon Randu papak itu. Beberapa orang pengawal akan pergi bersama kami."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, ia mengerli, bahwa kedua orang itu tentu ingin menyaksikan apa yang terjadi. Namun Agung Sedayupun tidak akan mengharap apapun juga dari keduanya, karena ia memang sudah bertekad untuk berperang tanding, kecuali jika Ajar Tal Pitu mulai dengan kecurangan.
Menuntut Balas 27 Jingga Untuk Matahari Karya Esti Kinasih Kaki Tiga Menjangan 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama