Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 26

06 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 26


Karena itu, maka Agung Sedayupun sama sekali tidak berkeberatan untuk pergi bersama Ki Waskita dan Ki Gede Menoreh.
Sejenak kemudian, kedua orang tua itupun telah siap. Ki Waskita telah mengenakan ikat kepala khususnya dan ikat pinggangnya yang setiap saat dapat dipergunakan nya, sementara Ki Gede Menorehpun telah membawa tombak pendeknya.
Namun dalam pada itu, ternyata Prastawapun telah menemui Ki Gede dan mohon ijin untuk ikut bersamanya.
"Aku ingin melihat, apa yang akan terjadi," berkata Prastawa kepada Ki Gede.
Ki Gede termangu-mangu. Yang akan mereka saksikan adalah pertarungan ilmu yang tinggi. Jika ada pihak lain yang melibatkan dirinya, tentu orang yang berilmu tinggi pula.
Namun nampaknya Prastawa benar-benar ingin menyaksikannya. Ketika Ki Gede memperingatkan, ia berkata, "Aku hanya ingin melihat apa yang akan terjadi paman. Tetapi jika kemudian terjadi kecurangan, sehingga aku harus terlibat, maka aku tidak akan ingkar."
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk ia berkata, "Jika kau sudah bertekad untuk menghadapi semua kemungkinan yang dapat terjadi, baiklah. Tetapi bersiaplah sepenuhnya."
Dengan demikian, maka sejenak kemudian mereka berempat telah meninggalkan rumah Ki Gede Menoreh. Matahari yang sudah terbenam meninggalkan sisa cahayanya yang kemerahan. Namun dalam pada itu, langitpun menjadi cerah oleh cahaya bulan purnama yang terbit di ujung Timur.
Namun dalam pada itu, cahaya bulan itupun telah membuat jantung Agung Sedayu berdebaran. Seakan-akan terlontar pesan lewat garis-garis sinarnya yang kekuning-kuningan, bahwa sekelompok anjing hutan telah siap berbaris di ujung hutan di hadapan pohon randu alas yang disebut Randu papak. Anjing-anjing liar yang menunggu perintah lewat ilmu Ajar Tal Pitu untuk merobek robek tubuh Agung Sedayu dengan giginya yang runcing tajam.
Ketika mereka berempat keluar dari padukuhan induk, maka terasa kulit mereka meremang, ketika tiba-tiba saja telah terdengar lolong anjing hutan dikejauhan. Tidak hanya suara seekor anjing hutan, tetapi sahut menyahut.
Prastawa bergeser mendekati Ki Gede Menoreh yang berkuda agak didepan. Dengan nada dalam anak muda itu bertanya, "Apakah anjing hutan itu berbahaya ?"
Ki Gede berpaling sekilas. Lalu katanya, "Kau sudah mendengar apa yang diceriterakan oleh Agung Sedayu tentang peristiwa semalam ?"
"Ya," jawab Prastawa. Meskipun kurang Jelas.
"Karena itu, kita harus berhati-hati," pesan Ki Gede kemudian.
Prastawa mengangguk kecil. Namun debar jantungnya seakan-akan menjadi semakin cepat berdentang didalam dadanya.
Ketika mereka menjadi semakin dekat dengan Randu papak, maka Agung Sedayupun telah mengambil tempat dipaling depan. Kudanya berlari tidak terlalu kencang menyusuri jalan-jalan persawahan. Namun sekali-sekali mereka telah melewati jalan-jalan padukuhan.
Beberapa orang anak muda yang memenuhi gardu-gardu telah menyapanya. Beberapa orang telah dengan bersungguh-sungguh berdesis, "Hati-hatilah Agung Sedayu."
Agung Sedayu tersenyum kepada anak-anak muda itu. Katanya, "Kita bersama-sama berdoa kepada Tuhan. Segalanya tergantung kepada keputusan-Nya. Sedangkan kita masih tetap percaya, bahwa Tuhan Maha Benar adanya."
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk.
Namun demikian Agung Sedayu lewat, diikuti oleh Ki Gede sendiri, Ki Waskita dan Prastawa, maka anak-anak muda itupun saling berbisik, "Kitapun dapat menyaksikan perang tanding itu, asal kita tidak mengganggunya."
"Apakah kita berhak ?" bertanya yang lain.
"Kenapa tidak ?" desis yang lain, "kita akan menjadi saksi seperti Ki Waskita dan Ki Gede."
Beberapa orang anak muda yang memiliki keberanian akhirnya memutuskan untuk melihat dengan diam-diam perang tanding di bawah randu papak disebelah ujung hutan.
Dengan demikian, maka merekapun minta diri kepada kawan-kawannya yang lebih baik tetap tinggal digardu-gardu. Namun merekapun berpesan, jika terjadi sesuatu, maka mereka harus membunyikan isyarat.
"Tidak mustahil, selama perang tanding itu terjadi, ada pihak yang ingin memanfaatkan keadaan, atau justru kawan-kawan orang yang disebut dengan Ajar Tal Pitu itu sendiri," pesan seorang pemimpin pengawal pedukuhan yang terdekat dengan randu papak.
"Sementara itu, jika terjadi sesuatu di arena perang tanding itu, kalianpun sebaiknya segera memberi tahu kepada kami," sahut anak muda yang tinggal di gardu.
Dalam pada itu, maka ketika cahaya purnama telah memenuhi Tanah Perdikan Menoreh, Agung Sedayupun telah mendekati sebatang pohon randu alas yang besar yang disebut Randu Papak.
Namun, demikian anak muda itu mendekati arena yang disepakati, maka lolong anjing hutan itupun telah terdiam. Tidak seekor anjing hutanpun yang terdengar disekitar Randu papak itu. Bahkan terasa tempat itu menjadi sangat sepi.
Beberapa puluh langkah dari pohon randu alas itu Agung Sedayu berhenti. Diamatinya keadaan disekitarnya. Namun tidak selembar daunpun yang nampak bergerak.
"Aku akan mendekat Ki Gede," desis Agung Sedayu kemudian.
"Tinggalkan kudamu disini," berkata Ki Waskita, "nampaknya kau akan menjadi lebih baik tanpa seekor kuda. Kami akan menyaksikan segalanya dari tempat ini. Jarak ini tidak terlalu dekat, tetapi juga tidak terlalu jauh."
Agung Sedayu merenung sejenak. Kemudian iapun turun dari kudanya sambil berkata, "Nampaknya memang demikian paman. Aku mohon titip kuda ini."
Ki Waskita dan Ki Gede Menoreh serta Prastawapun turun pula dari kuda masing-masing. Merekapun kemudian mengikat kuda mereka serta kuda Agung Sedayu pada sebatang pohon perdu. Ternyata mereka benrtigapun merasa lebih aman untuk tidak berada di punggung kuda.
"Berhati-hatilah Agung Sedayu," pesan Ki Gede Menoreh, "kau akan melawan ilmu yang barangkali jarang dikenal saat ini. Tetapi kau harus yakin, bahwa Yang Maha Agung akan selalu melindungimu, karena dalam hal ini kau tidak bersalah sama sekali."
"Aku akan berhati-hati, Ki Gede," jawab Agung Sedayu, "aku mohon doa restu Ki Gede dan Ki Waskita."
Kedua orang itu mengangguk. Namun bagaimanapun juga, terasa ketegangan telah menekan dada mereka.
Sejenak kemudian Agung Sedayu melangkah mendekati pohon randu alas yang besar itu. Disebelah pohon randu alas itu, terdapat sebuah gumuk padas yang tidak terlalu tinggi, sementara disebelahnya berjarak beberapa puluh langkah, adalah ujung sebuah hutan yang menjorok.
Hampir diluar sadarnya Agung Sedayu mengangkat wajahnya, memandang langit yang cerah. Kemudian ditatapnya beberapa saat bulan yang berwarna kuning bulat penuh memancarkan cahayanya yang bening.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Semilirnya angin membuat udara menjadi sejuk. Namun demikian pakaian Agung Sedayu telah basah oleh keringat.
Beberapa saat kemudian Agung Sedayu telah berdiri dibawah pohon randu alas. Dengan hati-hati ia mendekati pokok pohon randu yang besar itu. Mungkin Ajar Tal Pitu ada dibelakang batang yang besar yang berdiri tegak dalam kebisuannya.
Tetapi ternyata Agung Sedayu tidak menemukan seseorang. Sehingga karena itu, maka iapun menjadi semakin tegang.
Dalam pada itu, selagi Agung Sedayu berdiri termangu-mangu disebelah pohon randu yang besar itu, tiba tiba saja ia telah dikejutkan oleh suara tertawa. Perlahan lahan. Namun semakin lama menjadi semakin keras.
Disela-sela suara lertawa itu terdengar suara seseorang. Ternyata kau memang seorang anak muda yang jantan. Agung Sedayu. Kau datang sebagaimana telah kau janjikan. Agaknya kau sama sekali tidak dapat membayangkan betapa tingginya ilmu Ajar Tal Pitu. Seharusnya kau bertigalah yang harus berdiri melawan aku, karena ilmuku sekarang sudah sundul langit. Setelah aku mesu diri dalam laku selama ampat puluh hari ampat puluh malam, serta menjalani pati geni selama tiga hari tiga malam, maka aku adalah manusia yang sempurna dalam ilmuku. Tidak seorangpun akan dapat mengalahkan aku, meskipun ia bernama Agung Sedayu."
Agung Sedayu menjadi tegang. Tetapi ia tidak melihat seorangpun disekitar tempat itu. Sementara itu, iapun belum berhasil mengetahui arah suara Ajar Tal Pitu yang seakan-akan melingkar-lingkar dari hutan gumuk, bulak panjang dan pegunungan yang membujur ke Utara.
Namun akhirnya Agung Sedayu menyadari sepenuhnya bahwa ia memang berhadapan dengan orang yang mumpuni. Karena itu, maka iapun harus menghadapinya dengan sikap yang matang. Lahir dan batin.
Karena itu, maka Agung Sedayupun sama sekali tidak menanggapinya. Ia berdiri saja seperti patung. Namun ia telah bersiaga sepenuhnya untuk menghadapi lawannya dari arah manapun datangnya.
Dalam pada itu, suara itu masih terdengar pula mengumandang, "Marilah Agung Sedayu, kita akan mulai dengan permainan kita yang mengasikkan. Kau sudah tahu, siapakah yang akan kau hadapi."
Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab. Namun dalam pada itu, sebenarnyalah bulu-bulu diseluruh wajah kulit Agung Sedayu telah meremang. Tiba-tiba saja ia mendengar anjing hutan melolong keras sekali beberapa langkah saja dari padanya. Ketika ia bergeser, maka dilihatnya diatas gumuk padas seekor anjing hutan raksasa berdiri sambil melolong panjang. Wajahnya tengadah memandang bulan dilangit yang menjadi semakin tinggi.
Agung Sedayu mempersiapkan dirinya. Anjing hutan itu adalah anjing hutan yang dijumpainya di tengah tengah sawah. Anjing hutan yang ternyata pandai memanjat pohon waru.
Tetapi anjing itu masih tetap melolong panjang, sementara Agung Sedayu masih juga ditempatnya. Agung Sedayu sama sekali tidak berniat untuk mendekati anjing raksasa itu, meskipun anjing itu seolah-olah telah menantangnya.
Beberapa saat anjing itu tetap melolong-lolong. Sementara Agung Sedayupun tetap berdiri dibawah pohon randu alas, dibawah bayangan rimbunnya daun randu alas sehingga ia sama sekali tidak tersentuh dengan langsung cahaya bulan yang bulat dilangit.
Anjing yang melolong itu melolong semakin keras. Dipandanginya Agung Sedayu dengan tatapan mata yang merah membara, seolah-olah anjing itu telah memaki-makinya karena Agung Sedayu tidak mau mendekatinya.
Ketika anjing itu seakan-akan menjadi tidak sabar lagi, maka terdengar anjing itu menjerit panjang, kemudian menghilang dibalik gumuk padas.
Demikian anjing itu hilang, terdengar suara mengumandang, "Agung Sedayu. Aku sangka kau seorang yang pilih tanding, yang tidak gentar menghadapi runtuhnya gunung sekalipun. Tetapi ternyata kau pengecut yang tidak berani mendekati anjing yang semalam telah dapat kau halau dari tikungan dibawah pohon waru itu."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak tinggal diam. Sejenak ia memusatkan kemampuan dan tenaga cadangannya. Kemudian dengan lambaran kekuatannya, ia menjawab. Meskipun mulutnya seolah-olah tetap terkatup rapat, namun bergulung-gulung bagaikan badai dari samodra terdengar jawabannya membentur hutan dan pegunungan, "Aku tetap memegang teguh perjanjian kita Ajar Tal Pitu. Kita akan bertempur dibawah randu papak ini. Aku siap menunggu, kapanpun kau datang mendekat. Aku sudah siap. Dan aku mulai curiga, bahwa aku menyesali tantanganmu itu, karena setelah kau menjajagi ilmuku dengan anjingmu itu, kau melihat satu kenyataan yang tidak kau duga sebelumnya."
Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa yang berkepanjangan. Semakin lama semakin keras, sehingga rasa-rasanya pohon randu alas yang besar itu telah berguncang.
Prastawa yang mendengar suara tertawa itupun menjadi gemetar. Ia belum pernah merasakan pengaruh yang demikian kuatnya menghentak-hentak didadanya.
"Aku tidak mengira bahwa Agung Sedayu adalah anak yang sedungu itu. Jika aku menyebut dibawah pohon randu alas, itu tentu mempunyai arti yang tidak sesempit jalan pikiranmu," jawab suara yang berkumandang itu.
Sementara jawab Agung Sedayu tidak kurang menghentak jantung, sehingga rasa-rasanya Prastawa ingin secepatnya meninggalkan tempat itu. Namun ia masih juga merasa malu meninggalkan arena yang mengerikan itu.
"Ajar Tal Pitu," berkata Agung Sedayu, "seandainya demikian, apakah salahnya jika kita bertempur di bawah randu alas ini " Kenapa aku harus pergi kegumuk untuk menyongsong anjing liar itu " Biarlah aku menunggu disini. Biarlah anjing itu menyerang aku jika ia masih berani. Atau sekali lagi aku akan mencambuknya sehingga tulang punggungnya benar-benar menjadi patah. Sebenarnyalah bahwa aku sama sekali tidak merasa perlu untuk melayani seekor anjing meskipun anjing itu mempunyai kelebihan apapun juga. Karena itu, biarlah aku tetap disini."
"Anak iblis," terdengar suara itu mengumpat, "jangan menyesal. Anjing-anjing liar akan membunuhmu."
Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Tetapi iapun bersiap sepenuhnya. Ia sadar, bahwa Ajar Tal Pitu telah kehabisan kesabaran, sementara seperti yang dikatakannya, bahwa anjing yang akan menyerangnya bukan hanya seekor anjing. Tetapi anjing-anjing liar yang tentu sudah dipersiapkannya.
Agung Sedayu tidak perlu menunggu terlalu lama. Sejenak kemudian anjing hutan raksasa itu telah kembali memanjat gumuk padas. Seperti semula anjing itu nampak menengadah, memandang bulan yang bulat dilangit.
Sejenak kemudian terdengar anjing itu mulai melolong. Semakin lama semakin keras, sehingga suaranya benar-benar telah menggetarkan dedaunan di hutan yang menjorok itu, dan menggoyahkan cabang dan ranting pohon randu alas itu.
Ki Waskita dan Ki Gede Menorehpun tergetar pula hatinya. Mereka tidak mengerti, apakah yang sebenarnya di hadapi oleh Agung Sedayu. Apakah anjing itu sebenarnya anjing hutan raksasa yang dapat dipengaruhi oleh ilmu Ajar Tal Pitu, atau Ajar Tal Pitu itu sendiri yang oleh ilmunya yang jarang diketahui oleh orang lain, mampu merubah dirinya menjadi seekor anjing raksasa.
Namun Prastawa menjadi semakin gemetar. Apalagi anak-anak muda yang merayap-rayap mendekati arena itu. Ketika mereka mendengar lolong anjing di atas gumuk padas itu, rasa-rasanya mereka akan menjadi pingsan karenanya.
Agug Sedayu yang bersiap di bawah randu alas itupun kemudian mendengar lolong anjing yang lain, yang seolah-olah menyahut dari dalam hutan. Meskipun Agung Sedayu tidak mengerti arti dari suara anjing hutan itu, namun seolah-olah ia dapat mengerti, bahwa anjing hutan yang berada di gumuk itu telah memanggil kawan-kawannya dari dalam hutan.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian terdengar suara sekelompok anjing hutan yang saling menyahut. Kemudian yang terdengar adalah gemerasak seperti arus air.
Jantung setiap orang yang menyaksikan menjadi bergetar karenanya. Ternyata dari dalam hutan itu telah muncul beberapa puluh ekor anjing hutan. Sambil menyalak mereka berlari menuju ke randu alas yang besar disebelah gumuk batu padas.
Agung Sedayupun segera mengerti, sekelompok anjing hutan telah menyerangnya.
Namun hati Agung Sedayu telah mapan. Ia memang sudah menduga, bahwa demikianlah yang akan terjadi. Karena itu, maka iapun tidak terlalu terkejut melihat sekelompok anjing hutan berlari-lari kearahnya. Namun demikian, sebenarnyalah hatinyapun telah berdesir melihat sekian banyak mulut anjing menganga dengan gigi-giginya yang runcing tajam. Meskipun anjing hutan yang berkelompok itu tidak sebesar anjing hutan yang melolong panjang di gumuk itu, namun dalam jumlah yang banyak, maka anjing bar itu menjadi sangat mengerikan.
Sebelum anjing itu menyerang, Agung Sedayu telah menyiapkan cambuknya. Karena itu, demikian anjing yang pertama meloncat menerkamnya, maka tiba-tiba saja telah meledak suara cambuk Agung Sedayu.
Sebenarnyalah bahwa kemampuan Agung Sedayu memang luar biasa. Untuk menjajagi lawannya, Agung Sedayu masih mempergunakan tenaga wajarnya, meskipun ia sudah melindungi dirinya dengan ilmu kebalnya. Ternyata bahwa anjing yang menyerangnya dalam kelompok itu tidak sejenis anjing yang menyerangnya dibawah pohon waru itu, yang kemudian telah berdiri diatas gumuk batu padas, melolong sambil memandang bulan bulan dilangit.
Anjing yang pertama-tama tersentuh ujung cambuk Agung Sedayu itupun telah melengking kesakitan. Keras sekali, namun anjing itu tidak akan pernah dapat mengulanginya, karena setelah berguling beberapa kali, maka anjing itupun diam untuk selamanya. Mati dengan tulang punggung yang patah dan kulit yang terkoyak oleh ujung cambuk Agung Sedayu.
"Mereka adalah anjing sewajarnya," geram Agung Sedayu.
Namun anjing itu memang terlalu banyak. Ketika anjing yang kedua meloncat menyerangnya, maka nasibnya seperti anjing yang pertama. Namun dalam pada itu, anjing berikutnya telah menerkam pundak Agung Sedayu disusul dengan anjing-anjing berikutnya.
Sebenarnyalah anjing-anjing itu tidak berhasil melukai kulit Agung Sedayu karena ilmu kebalnya. Tetapi karena banyaknya anjing yang menyerang, maka Agung Sedayupun menjadi ngeri. Namun ia masih dapat mengayunkan cambuknya. Tanpa diarahkannya lagi, maka setiap lecutan, cambuknya telah membunuh bukan saja seekor, tetapi dua ekor bahkan kadang-kadang tiga ekor Namun anjing itu ternyata terlalu banyak.
Anjing-anjing itu meloncat, menerkam, menggigit kaki, dan berbuat apa saja sambil menggeram, menggonggong dan melolong-lolong. Sementara Agung Sedayu sibuk mengayunkan cambuknya kesegenap arah.
Ki Waskita, Ki Gede Menoreh menyaksikan hal itu dengan jantung yang berdebaran. Mereka sudah tidak melihat Agung Seayu lagi. Yang nampak adalah segerombolan anjing hutan yang bagaikan berebut mangsa. Namun setiap kali mereka masih mendengar ledakan-ledakan cambuk dan melihat anjing hutan yang terlempar.
Prastawa benar-benar menjadi gemetar melihat peristiwa itu. Demikian pula anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang telah memberanikan diri menyaksikan dari jarak yang lebih jauh.
Dalam pada itu, anjing hutan raksasa yang berdiri di atas gumuk padas itupun masih saja menggonggong dengan keras sekali sambil menengadahkan kepalanya memandang bulan bulat dilangit. Bahkan rasa-rasanya suaranya semakin lama menjadi semakin keras menggetarkan udara.
Sementara itu, di Sangkal Putung, Sekar Mirah yang baru saja membaringkan dirinya dan memejamkan matanya, tiba-tiba saja telah berteriak-teriak dalam tidurnya. Swandaru dan Pandan Wangi yang pertama-tama mendengar adiknya berteriak-teriak telah berlari-lari kebiliknya. Dengan serta merta Swandaru telah mendorong pintu bilik Sekar Mirah sehingga suaranya berderak keras sekali.
Agaknya suara pintu itu telah membangunkan Sekar Mirah pula. Iapun terkejut. Namun kemudian terasa tubuhnya menggigil. Ketika Pandan Wangi duduk disebelahnya dengan jantugya berdebaran, tiba-tiba saja Sekar Mirah telah memeluknya.
Terasa oleh Pandan Wangi, tubuh adik iparnya itu masih gemetar, dan nafasnya terengah-engah.
"Kakang Swandaru, tolong, ambilkan gendi itu," desis Pandan Wangi.
Swandarupun kemudian mengambil gendi yang berisi air bersih, sementara Ki Demangpun telah datang kebilik itu pula.
"Kenapa dengan Sekar Mirah ?" Ki Demang bertanya.
"Kami belum bertanya ayah," sahut Swandaru.
Ketika Swandaru memberikan gendi itu kepada Pandan Wangi, maka Pandan Wangipun telah membantu Sekar Mirah sambil berkata, "Minumlah barang seteguk Sekar Mirah. Agaknya kau telah bermimpi buruk."
Sekar Mirahpun kemudian meneguk air dari dalam gendi itu. Namun iapun telah terbatuk-batuk sehingga air yang telah berada dimulutnyapun terlontar keluar.
"Jangan tergesa-gesa," bisik Pandan Wangi, "tenanglah. Kami ada disini."
Akhirnya Sekar Mirahpun telah minum beberapa teguk. Terasa dadanya menjadi agak sejuk dan nafasnya-pun menjadi lebih teratur.
"Kau bermimpi ?" bertanya Pandan Wangi.
"Aku bermimpi mengerikan sekali," sahut Sekar Mirah.
"Mimpi apa ?" bertanya Swandaru.
"Kakang Agung Sedayu yang sedang berburu dihutan telah diserang oleh sekelompok anjing hutan yang liar," jawab Sekar Mirah.
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "O, itu hanya mimpi saja Sekar Mirah. Bukankah Agung Sedayu berada di Tanah Perdikan Menoreh ?"
"Ayah," desis Sekar Mirah, "Apakah benar ada mimpi yang disebut dara-dasih ?"
"Maksudmu mimpi yang sebenarnya terjadi ?" bertanya Ki Demang.
Sekar Mirah mengangguk. "Memang ada, Sekar Mirah. Tetapi itu jarang sekali terjadi. Dan apakah di Tanah Perdikan Menoreh Agung Sedayu sempat pergi berburu " Dan apakah di Tanah Perdikan Menoreh terdapat kelompok-kelompok anjing hutan yang banyak jumlahnya," sahut Ki Demang.
Pandan Wangi menggelengkan kepalanya. Katanya, "Memang ada hutan yang terbujur disebelah bukit di Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi tidak banyak terdapat anjing-anjing liar. Mungkin di lereng bukit, di hutan-hutan yang tidak pernah di datangi oleh seseorang terdapat beberapa ekor anjing hutan. Tetapi tentu Agung Sedayu tidak akan pergi ke bukit itu."
"Sudahlah," berkata Swandaru, "tidurlah sekar Mirah."
Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi ketika lamat-lamat ia mendengar suara gejok lesung dengan lagu-lagunya yang gembira, ia bertanya, "Bukankah hari masih belum terlalu malam?"
"Belum. Kau tidur belum lama. Kami justru masih belum tidur," sahut Swandaru, "gadis-gadis masih bermain lesung dengan lagu-lagu gembira."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Suara gejok lesung yang gembira itu masih terdengar terus. Justru rasa-rasanya semakin keras. Nampaknya beberapa orang gadis dan anak-anak muda sedang bermain-main di bawah bulan purnama yang bulat dilangit. Sinarnya yang berwarna kuning cerah menyiram Kademangan Sangkal Putung, seolah-olah sengaja menyiramkan kegembiraan bagi para penghuninya. Gadis-gadis dan anak-anak muda bermain lesung dengan gembira. Anak-anak remaja bermain kejar-kejaran dan sembunyi-sembunyian di tempat-tempat yang biasanya dicengkam oleh kegelapan. Di gardu-gardu para pengawal bergurau dengan riangnya, sehingga kadang-kadang orang-orang yang lebih tua menahan mereka agar tidak tertawa terlalu keras.
"Kau akan mengejutkan anak-anak yang sedang tidur lelap," berkata seorang pengawal kepada kawannya yang tertawa meledak tanpa tertahankan lagi.
"Anak-anak bermain jamuran," jawab anak muda yang tertawa itu.
"Tetapi bayi-bayi tentu tidak," sahut pengawal itu pula.
Anak muda itu mengangguk. Tetapi ia masih tetap juga tertawa meskipun tidak terlalu keras.
Dalam pada itu. Sekar Mirah yang sedang gelisah itupun telah mencoba untuk tidur lagi, sementara Swandaru, Pandan Wangi dan Ki Demang telah meninggalkan biliknya. Sedangkan suara gejok lesung masih terdengar dengan gending-gending gembira.
Namun agaknya Sekar Mirah tidak dapat memejamkan matanya lagi. Mimpi itu masih saja terbayang. Agung Sedayu telah diserang oleh sekelompok anjing-anjing liar disaat anak muda itu berburu di hutan.
"Hanya sebuah mimpi," desisnya. Meskipun demikian mimpi itu terasa sangat mengganggunya. Bahkan rasa-rasanya ia masih melihat betapa taring anjing-anjing liar itu menghunjam ditubuh Agung Sedayu.
Namun dalam pada itu, sebenarnyalah Agung Sedayu sedang bergulat melawan sekelompok anjing hutan. Tetapi tidak sebuahpun gigi dari anjing hutan itu yang mampu melukai tubuh Agung Sedayu. Adalah satu keuntungan pula, bahwa Agung Sedayu telah membawa senjata lentur, sehingga dengan demikian, maka ujung cambuk itu mematuk kesegenap arah dan membunuh beberapa ekor srigala yang telah menyerangnya.
Raung kesakitan dan gonggong yang memekakkan telinga, telah menggetarkan udara dibawah pohon randu alas itu, sementara anjing hutan raksasa yang berada di atas gumuk batu padas itu masih juga melolong-lolong sambil memandang bulan bulat dilangit. Semakin lama rasa-rasanya menjadi semakin keras, sementara anjing yang menyerang Agung Sedayu itupun menjadi semakin buas meskipun jumlahnya semakin berkurang.
Akhirnya anjing hutan raksasa itu agaknya tidak sabar lagi. Sejenak kemudian terdengar anjing itu menyalak keras sekali. Suaranya mengguntur mengoyak suasana malam, mengatasi raung anjing hutan yang sedang berkelahi melawan Agung Sedayu. Dengan garangnya anjing hutan raksasa itupun segera melompat dengan mulut ternganga dan mata yang bagaikan menyala.
Agung Sedayu melihat anjing raksasa itu telah meloncat kearahnya pula. Karena itu, maka ia merasa, bahwa ia harus mengkhususkan diri menghadapinya. Anjing-anjing hutan yang lain tidak boleh mengganggunya, karena ia yakin, bahwa melawan anjing hutan raksasa itu, berarti ia melawan Ajar Tal Pitu sendiri, dengan atau tidak dengan wadagnya sendiri.
Karena itu, maka Agung Sedayupun segera mengerahkan segenap kemampuannya. Ia sudah menguasai sampai tuntas ilmu kekebalan yang disadapnya dari kitab Ki Waskita. Bahkan iapun mulai merambah pada perkembangan dari ilmu itu.
Karena itu, maka ketika anjing raksasa itu mendekatinya, maka anjing-anjing hutan yang lainpun telah bergeser mundur. Anjing-anjing itu masih tetap menyalak dengan mengerumuni Agung Sedayu, tetapi mereka tidak berani menyerangnya.
Dengan demikian maka kesempatan Agung Sedayu menjadi lebih luas. Dengan garangnya ia memutar cambuknya. Dalam satu putaran, maka anjing-anjing hutan yang berdiri dipaling depanpun telah memekik, meraung dan meronta untuk kemudian jatuh terkapar. Mati.
Anjing hutan raksasa itu tidak sempat memperhatikan kawan-kawannya yang terdahulu. Anjing raksasa itupun langsung meloncat menerkam Agung Sedayu.
Agung Sedayu mempunyai perhitungan lain menghadapi yang seekor ini. Ia tidak membiarkan anjing itu menyentuhnya. Karena itu, maka iapun telah bergeser dengan loncatan pendek. Demikian anjing itu meluncur, maka ia tidak melecutnya sebagaimana dilakukannya atas anjing-anjing hutan yang lain. Namun Agung Sedayu telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk melecut anjing raksasa yang menyerangnya itu.
Ledakan suara cambuk Agung Sedayu tidak terlalu keras, apalagi karena ujung cambuknya telah membelit anjing raksasa itu. Dengan hentakkan yang sangat kuat, maka ia menarik cambuknya, sehingga anjing hutan raksasa itu terputar, seperti yang telah terjadi di tengah sawah pada malam sebelumnya.
Terdengar anjing itu melengking keras sekali. Demikian anjing itu jatuh ditanah, maka dengan cepat anjing itu melenting berdiri. Namun sejenak ia termangu-mangu. Anjing-anjing yang lain masih mengerumuni Agung Sedayu sambil menyalak dengan buasnya. Tetapi mereka tidak berani menyerangnya.
Barulah anjing hutan raksasa itu mengerti, kenapa kawan-kawannya tidak berani mendekati Agung Sedayu. Nampaknya perkembangan ilmu kebal Agung Sedayu itu telah menjadikan Agung Sedayu mampu membuat dirinya bagaikan bara api yang panas. Setiap sentuhan dari moncong binatang buas dan liar itu, serasa telah membakarnya, sehingga merekapun tidak lagi berani menyentuh. Bahkan udara disekitar Agung Sedayu rasa-rasanya menjadi panas pula.
Anjing hutan raksasa itu menggeram. Matanya benar-benar bagaikan api yang menyala, sementara taringnya yang besar runcing siap untuk merobek mangsanya.
Namun yang dihadapi oleh anjing hutan raksasa itu adalah Agung Sedayu, sehingga karena itu, maka anjing hutan itu tidak akan mampu berbuat terlalu banyak.
Tetapi sejenak kemudian anjing hutan raksasa itupun telah menyerangnya lagi. Udara yang panas, serta tubuh Agung Sedayu yang bagaikan bara sama sekali tidak dapat menahan serangan anjing hutan itu. Kuku-kukunya yang tajam telah terjulur langsung kearah leher Agung Sedayu, seolah-olah anjing itu ingin mencekiknya.
Agung Sedayu masih mencoba menghindar. Tetapi anjing itu telah memburunya tanpa ancang-ancang. Kakinya melonjak dan menerkamnya. Giginyapun telah mencoba untuk mengoyak daging lengannya.
Baju Agung Sedayulah yang menjadi rontang-ranting. Namun kulitnya sama sekali tidak tergores seujung rambutpun. Bahkan ia berhasil meloncat mengambil jarak. Sekali lagi ia mengayunkan cambuknya. Seluruh kekuatannya telah tersalur pada cambuknya. Sehingga ketika cambuk itu meledak, maka sekali lagi anjing hutan raksasa itu terlempar dan terbanting ditanah. Jauh lebih keras dari hentakkan yang pertama, sehingga terdengar anjing itu melolong dan untuk sesaat anjing itu tidak segera mampu bangkit. Namun anjing itu telah berguling-guling menjauhi Agung Sedayu keluar dari bayangan dedaunan randu alas, dan terlempar kedalam cahaya bulan bulat dilangit.
Agung Sedayu yang melihat keadaan anjing itu tidak segera memburunya. Ia mengira anjing itu benar-benar menjadi kesakitan dan tidak mampu lagi untuk berbuat sesuatu.
Namun tiba-tiba saja rasa-rasanya seluruh kulitnya meremang. Anjing yang kesakitan dan berguling-guling ditanah itu, demikian disentuh oleh cahaya bulan, maka seolah-olah telah mendapatkan tenaga baru. Anjing itupun segera melenting berdiri dan sambil menengadahkan kepalanya kelangit, terdengar anjing itu melolong keras sekali.
Agung Sedayu tertegun ditempatnya. Ia mulai menghubungkan kekuatan anjing itu dengan sinar bulan yang penuh. Tentu ada pengaruh sinar bulan itu. Sekilas teringat oleh Agung Sedayu ceritera tentang orang-orang yang ditakuti justru pada saat purnama dihutan Madenda. Meskipun orang-orang itu adalah orang-orang kerdil, tetapi pengaruh cahaya bulan, lebih-lebih bulan purnama, telah membuat mereka menjadi orang-orang yang tidak terkalahkan.
Dalam pada itu Agung Sedayu sudah tidak menghiraukan lagi anjing-anjing hutan yang lain, yang hanya dapat menggonggong dan melolong-lolong. Anjing-anjing itu sama sekali tidak lagi berani mendekati Agung Sedayu karena tubuh anak muda itu seakan-akan telah membakar udara disekitarnya.
Tetapi Agung Sedayu tetap berdiri ditempatnya. Ia sama sekali tidak mau memburu anjing hutan raksasa yang berdiri di bawah cahaya bulan purnama sambil menengadahkan kepalanya.
Dalam pada itu, anjing hutan raksasa itupun masih saja berdiri ditempatnya pula. Semakin lama anjing itu menggonggong dan melolong-lolong semakin keras. Kadang-kadang anjing itu merunduk, meloncat mondar-mandir sambil menggeram, kadang-kadang kaki depannya seolah-olah hendak mengaduk tanah dengan ekor yang terangkat tinggi-tinggi.
Agung Sedayu merasa, bahwa anjing itu seolah-olah telah menantangnya agar ia menyerang. Tetapi Agung Sedayu tetap berada di bawah pohon randu alas, sehingga daunnya yang rimbun telah melindunginya dari sinar bulan purnama yang bulat.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayupun sadar, bahwa sinar bulan itu agaknya memang berpengaruh. Tetapi sudah barang tentu, bahwa pengaruhnya tidak mutlak. Ajar Tal Pitu dalam ujudnya yang bagaimanapun juga tentu masih mempunyai lambaran ilmu yang tidak semata-mata tergantung kepada cahaya bulan.
Untuk sesaat anjing itu masih tetap ditempatnya, sementara anjing-anjing yang lain melonjak-lonjak sambil melingkari Agung Sedayu. Betapapun anjing-anjing itu menjadi marah, tetapi mereka tidak dapat mendekatinya.
Dalam pada itu, Ki Gede Menoreh dan Ki Waskita bagaikan telah membeku menyaksikan pertempuran yang aneh itu. Merekapun telah mengambil kesimpulan pula, bahwa anjing hutan raksasa itu. ingin memancing agar Agung Sedayu memburunya dan mereka akan bertempur dibawah cahaya bulan. Sementara itu, Prastawa tidak tahu lagi apa yang sebenarnya sedang terjadi. Demikian pula anak-anak muda yang menyaksikan perang tanding yang mengerikan itu dari tempat yang agak jauh.
Dalam pada itu, anjing hutan raksasa itupun menjadi semakin marah justru Agung Sedayu tidak juga mau mengejarnya dan menyerangnya dibawah cahaya bulan. Karena itu, maka anjing itupun tidak sabar lagi. Ekornya-pun tiba-tiba dikibas-kibaskannya, sementara anjing itu merunduk dalam-dalam. Sambil menggeram mulutnya menyeringai sehingga gigi dan taringnya yang runcing nampak semakin mengerikan.
Agung Sedayu sadar, bahwa anjing itu sudah siap menyerangnya. Karena itu, maka iapun telah bersiap pula. Dengan segenap kemampuannya ia sudah siap meledakkan cambuknya seperti yang pernah dilakukannya.
Seperti yang diperhitungkannya, maka sejenak kemudian anjing itu telah meloncat menerkamnya. Sambil menggeram keras, maka mulutnyapun menganga dan berusaha untuk menggigit langsung wajah Agung Sedayu.
Namun Agung Sedayu yang sudah siap itupun telah menghindar pula. Seperti yang pernah terjadi, maka anjing itupun tidak berhasil menyentuhnya. Namun demikian anjing itu menginjakkan kakinya, maka anjing itupun segera meloncat berputar dan menyerang Agung Sedayu dengan meloncatinya.
Kedua kaki depan anjing itu berhasil menerkam dada Agung Sedayu. Mulutnya yang terbuka itupun dengan cepat telah berusaha menggigitnya. Karena Agung Sedayu menarik wajahnya kebelakang, maka akhirnya anjing itu hanya dapat menggigit pundak Agung Sedayu.
Tetapi ternyata ilmu kebal Agung Sedayu telah mapan. Gigi dan taringnya yang runcing sama sekali tidak dapat melukai Agung Sedayu yang bertempur dibawah lindungan bayangan dedaunan randu alas.
Kemarahan anjing hutan raksasa itu nampaknya semakin menjadi-jadi. Karena giginya tidak berhasil melukai Agung Sedayu, maka anjing itupun telah melepaskannya. Dengan kedua kaki depannya anjing itu seakan-akan telah mendorong Agung Sedayu surut beberapa langkah kebelakang.
Hampir saja Agung Sedayu sampai ke curahan cahaya bulan bulat dilangit. Namun ia tetap menyadarinya. Karena itu, maka dengan tangkasnya iapun meloncat mengambil jarak. Sekali lagi cambuknya meledak dilambari dengan segenap kekuatannya. Dan sekali lagi ujung cambuk itu membelit perut lawannya. Dengan hentakan yang dahsyat maka Agung Sedayu telah membanting anjing itu ke tanah.
Anjing itu memang melengking. Namun demikian anjing itu menggeliat kesakitan, maka kepalanya telah berada diluar bayangan lebatnya daun randu alas. Agung Sedayu masih berusaha meraih anjing raksasa itu dengan ujung cambuknya dan menyeretnya kedalam bayangan daun randu alas, tetapi anjing itupun ternyata tangkas pula. Sinar bulan yang jatuh dikepalanya itu telah menyelematkannya.
Anjing itu masih sempat melenting berdiri. Ketika ujung cambuk Agung Sedayu membelit kakinya, anjing itu meloncat mengibaskannya. Pada saat itu, Agung Sedayu menariknya dengan sekuat tenaganya. Namun terasa olehnya, seolah-olah kekuatan anjing itu menjadi berlipat ganda. Justru hampir saja Agung Sedayulah yang terseret oleh kekuatan anjing yang dengan sekuat tenaganya pula mengibaskan ujung cambuknya.
Ternyata bahwa akhirnya ujung cambuk Agung Sedayulah yang terlepas dari tubuh anjing raksasa itu, sehingga karena itu, Agung Sedayu telah terdorong surut beberapa langkah.
Tetapi anjing itu tidak memburunya. Anjing itu bagaikan menjadi gila. Sambil menggeram anjing itu melonjak-lonjak kekanan-kekiri didalam cerahnya sinar bulan.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa didalam cahaya bulan bulat dilangit, kekuatan anjing itu memang bagaikan berlipat. Meskipun apabila terpaksa ia tidak akan gentar bertempur melawan anjing itu didalam cahaya bulan, tetapi selagi ia masih dapat memilih tempat untuk menghemat tenaganya, maka ia akan tetap berada didalam bayangan lebatnya daun randu alas.
Sementara itu, hampir diluar sadarnya Ki Waskita berkata, "Untunglah bahwa musimnya musim randu tidak berbuah."
"Kenapa ?" bertanya Ki Gede.
"Jika musimnya randu berbuah, maka daun randu itu akan gugur selembar demi selembar pada saat randu menjadi tua. Dengan demikian maka pohon randu alas itu bagaikan menjadi gundul dan tidak berdaun lagi. Betapapun lebatnya buah randu, namun tidak akan dapat membuat bayangan sepepat daunnya," jawab Ki Waskita.
Ki Gede mengangguk-angguk. Sebenarnyalah bahwa randu alas itu memang sedang berdaun lebat. Di musim yang lain, randu alas itu benar-benar bagaikan pohon kayu yang mati dan kering.
Anjing hutan raksasa itu masih meraung-raung dengan marahnya. Namun Agung Sedayu tidak beranjak dari tempatnya, sementara anjing hutan yang lain, sama sekali tidak berani mendekatinya meskipun anjing-anjing itu juga meraung-raung.
Namun tiba-tiba terjadi sesuatu yang mengejutkan. Anjing hutan raksasa itu telah berpaling. Didalam cahaya bulan nampak oleh Ki Waskita, Ki Gede dan Prastawa, bahwa anjing hutan raksasa itu memandang mereka dengan kilatan cahaya di matanya.
Tib"-tiba saja anjing hutan itu meraung dahsyat. Tidak lagi tertuju kepada Agung Sedayu yang masih tetap berada didalam bayangan randu alas, tetapi anjing itu agaknya telah memberikan perintah kepada anjing-anjing hutan yang lain menyerang Ki Waskita dan Ki Gede Menoreh.
Sejenak anjing-anjing liar itu termangu-mangu. Namun ketika sekali lagi terdengar anjing hutan raksasa itu mengaum sambil memandang kearah Ki Gede dan Ki Waskita maka tiba-tiba saja anjing-anjing liar itu berloncatan meninggalkan Agung Sedayu, menuju kearah ketiga orang yang menyaksikan pertempuran itu.
Darah Agung Sedayu tersirap sampai kekepala. Hampir saja ia meloncat mengejar anjing-anjing liar itu. Namun tiba-tiba saja ia mendengar suara mengguntur seperti guruh yang meledak dilangit, "Kau tetap disitu Agung Sedayu. Biarlah kami menyelesaikan anjing-anjing liar ini."
Barulah Agung Sedayu kemudian menyadari. Suara itu adalah suara Ki Waskita. Karena itu, maka Agung Sedayupun mengurungkan niatnya, karena sebenarnyalah Ki Waskita dan Ki Gedepun bukan orang kebanyakan. Suara Ki Waskita telah memberikan kepercayaan kepadanya, bahwa Ki Waskita akan dapat mengatasi kesulitan itu. Apalagi bersama-sama dengan Ki Gede.
Yang mengaum keras sekali adalah anjing hutan raksasa itu. Dengan peringatan Ki Waskita itu, maka Agung Sedayupun mengerti, bahwa anjing hutan raksasa itu telah mencoba untuk memancingnya dengan satu cara yang lain. Jika Agung Sedayu mengejar anjing-anjing liar yang menyerang Ki Waskita dan Ki Gede itu,maka ia akan muncul dalam cahaya bulan. Meskipun Agung Sedayu sendiri sudah bertekad, apabila terpaksa ia tidak akan lari sekalipun harus bertempur dibawah cahaya bulan purnama langsung.
Karena itu, maka anjing itupun menjadi sangat marah. Tetapi anjing hutan itu tidak dapat berbuat apa-apa untuk memaksa Agung Sedayu keluar dari bayangan lebatnya daun randu alas.
Sementara itu, sekelompok anjing hutan yang jumlahnya sudah jauh berkurang itu telah menuju ketempat Ki Waskita dan Ki Gede menunggu. Prastawa yang menjadi ngeri melihat anjing-anjing itu bergeser mendekati Ki Gede.
"Prastawa, jangan menjadi perempuan cengeng. Jika kau masih ingin hidup, lindungi dirimu sendiri. Bukankah kau bersenjata " " tiba-tiba saja Ki Gede membentak.
Suara itu seolah-olah telah membangunkannya dari sebuah mimpi yang sangat buruk. Prastawapun kemudian menarik pedangnya dan siap menghadapi anjing-anjing liar itu.
Ki Gede, Ki Waskita dan Prastawa memang berada pada jarak yang tidak terlalu dekat. Mereka berada di dalam sebuah gerumbul pategalan dibawah pohon yang berdaun lebat pula, sehingga merekapun telah terlindung dari sinar bulan bulat dilangit.
Ki Waskitapun kemudian menggeram. Ia mengambil jarak beberapa langkah dari Ki Gede dan menempatkan dirinya dibawah perlindungan bayangan pula. Diurainya ikat kepalanya sekaligus ikat pinggangnya dan dipeganginya dengan kedua tangannya.
Demikianlah ketika anjing yang pertama meloncat menyerang Ki Waskita, maka dikibaskannya ikat kepalanya di tangan kirinya. Tidak terlalu keras, tetapi anjing itu terlempar lima langkah dan terbanting jatuh. Anjing yang kedua bagaikan diremukkan kepalanya karena telah tersentuh oleh ayunan ikat pinggang Ki Waskita.
Anjing yang menyerang Ki Gedepun mengalami nasib yang sama. Dengan tangkai tombaknya Ki Gede memukul anjing-anjing liar itu. Dengan satu putaran tangkai tombaknya, beberapa ekor anjing telah meraung dan mati terbunuh.
Sementara itu, ada juga diantara anjing-anjing liar itu yang menyerang Prastawa. Tetapi hati Prastawa telah bangkit. Dengan pedang ditangan ia melawan anjing-anjing liar itu. Sabetan pedangnya telah membelah perut seekor anjing hutan. Sementara seekor yang lain, yang meloncatinya dengan mulut ternganga, mengalami nasib yang buruk pula, karena pedang Prastawa telah menyayat kulit dilehernya.
Anjing-anjing liar itu tidak banyak dapat berbuat menghadapi Ki Waskita dan Ki Gede Menoreh. Karena itu. maka anjing-anjing itupun susut dengan cepatnya.
Tetapi anjing-anjing liar itu bagaikan menjadi gila.
Mereka sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu diluar kerangka perintah anjing raksasa yang mengaum keras sekali itu. Bahkan ketika anjing raksasa itu mengetahui, bahwa anjing-anjing hutan liar itu sudah hampir habis ditumpas, maka kemarahannya tidak terkendali lagi. Tiba-tiba saja ia meninggalkan Agung Sedayu dan berlari ke arah Ki Waskita dan Ki Gede Menoreh. Karena sebenarnyalah anjing raksasa itu belum mengenal siapakah sebenarnya orang-orang yang berada di pategalan itu.
Sekali lagi Agung Sedayu sudah hampir meloncat menyusul anjing raksasa itu. Namun sekali lagi suara Ki Waskita mengguntur, "Kau tetap disitu Agung Sedayu."
Anjing raksasa itu mengaum dahsyat sekali. Seolah-olah dedaunan di hutan, pategalan dan randu alas itu telah terguncang. Dedaunan yang menguning telah berguguran, terlepas dari pegangan tangkainya.
Ketika anjing raksasa itu mendekat, maka anjing-anjing liar yang menyerang mereka telah berserakan disekitar ketiga orang itu dengan luka-luka yang parah ditubuhnya. Ada satu dua yang masih meraung-raung. Tetapi anjing-anjing itu sudah tidak berdaya sama sekali.
Menghadapi anjing hutan raksasa itu, Ki Waskita mempunyai perhitungan tersendiri. Ia tidak dapat membiarkan Prastawa menjaga dirinya sendiri. Satu kelengahan kecil, akan dapat berakibat gawat bagi anak muda itu. Karena itu, maka Ki Waskita telah bergeser mendekat.
Agaknya Ki Gede Menorehpun berpikir demikian. Iapun bergeser selangkah, seolah-olah kedua orang itu telah sepakat untuk menutup serangan anjing hutan itu, sehingga tidak akan berbahaya bagi Prastawa.
Sebenarnyalah, anjing hutan raksasa yang marah itu, langsung dengan ancang-ancangnya yang panjang telah meloncat menerkam Ki Gede Menoreh. Namun Ki Gede bukanlah orang kebanyakan. Demikian anjing itu menjulurkan kedua kaki depannya dengan mulut menganga, Ki Gede bergeser setapak sambil mendorong Prastawa yang berada dibelakangnya untuk menyingkir. Demikian anjing itu menginjakkan kakinya ditanah, maka tombak pendek Ki Gede Menoreh telah menghunjam kedalam tubuhnya.
Namun ternyata Ki Gede terkejut bukan buatan. Anjing ini lain dengan anjing-anjing liar yang telah mati berserakan. Ujung tombak Ki Gede ternyata bagaikan mengenai kulit yang liat dan kuat. Ternyata ujung tombaknya yang dirasanya telah menghunjam kedalam tubuh anjing itu, sama sekali tidak melukai kulitnya, meskipun anjing itu melengking kesakitan. Namun anjing itu justru melonjak dan dengan garangnya merunduk siap menerkam Ki Gede.
Namun dalam pada itu, Ki Waskita tidak tinggal diam. Ki Gede dan Ki Waskita tidak terikat dengan perjanjian perang tanding. Sementara anjing hutan raksasa itu sendirilah yang mencari lawan. Sehingga karena itu, maka Ki Waskitapun telah menghentakkan ikat pinggangnya dengan sepenuh kekuatan, menghantam punggung anjing liar yang sedang merunduk itu.
Anjing itu terkejut dan melonjak tinggi-tinggi. Sambil mengaum dahsyat sekali, maka anjing itupun kemudian jatuh menggelepar. Tetapi dengan cepat anjing itu bangkit meskipun tertatih-tatih.
Ki Gede yang menyadari dengan siapa ia berhadapan, maka iapun telah menghimpun segenap ilmu dan kemampuannya. Ia tidak lagi menghunjamkan tombaknya dengan tenaga wajarnya, sehingga ujung tombaknya tidak berhasil melukai kulit anjing itu, meskipun seolah-olah ujung tombaknya telah terhunjam kedalam tubuh anjing liar itu.
Dengan tangkas Ki Gede telah menyentuhkan ujung tombaknya di tanah, kemudian dengan kekuatan ilmunya sekali lagi ia menyerang anjing raksasa itu. Ia tidak langsung menusuk tubuh itu, tetapi ia menyerang dengan watak tombak pusakanya. Ujung tombak itu tidak mematuk lurus, tetapi terayun dan menggores kulit anjing liar itu.
Sekali lagi anjing itu mengaum. Kemudian sambil melengking anjing itu berusaha melarikan diri. Namun sekali lagi Ki Waskita sempat memukul anjing itu dengan ikat pinggangnya, sehingga anjing itu terlempar sambil berguling.
Tetapi ternyata bahwa anjing itu justru telah terlempar kedalam cahaya bulan. Sekilas nampak darah mengucur dari kulitnya yang berhasil dikoyak oleh bukan saja ilmu yang matang dari Ki Gede, namun juga watak tombaknya yang garang menghadapi kejahatan.
Namun demikian anjing hutan raksasa itu berada di cahaya bulan bulat, maka anjing itu bagaikan menjadi segar kembali. Dengan lidahnya yang terjulur panjang, anjing itu menjilat bagian tubuhnya yang terluka oleh tombak Ki Gede Menoreh.
Adalah sangat mendebarkan. Ternyata luka-luka itupun seolah-olah begitu saja lenyap dari kulitnya, sementara itu, anjing itupun berlari kearah Agung Sedayu. Namun kemudian ia berhenti dan menengok kembali ke arah Ki Gede dan Ki Waskita.
Sementara itu, terdengar Agung Sedayu berkata lantang, "Akulah yang harus berperang tanding malam ini. Aku sudah siap siapapun yang harus aku hadapi."
Anjing hutan raksasa itu menggeram. Matanya bagaikan menyala sementara gigi-giginya menyeringai mengerikan.
Tetapi anjing itu masih termargu-mangu. Nampaknya anjing itu sedang menimbang-nimbang. Apakah sebaiknya yang akan dilakukannya.
Dalam pada itu. Agung Sedayu yang menjadi gelisah. Ia menduga, bahwa disamping Ki Gede dan Ki Waskita yang diikuti oleh Prastawa, agaknya ada beberapa orang pengawal yang ingin menyaksikan perang tanding itu. Jika anjing raksasa itu kemudian memilih untuk menyerang anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh itu, maka ia tidak akan dapat tinggal diam.
Namun dalam pada itu, terjadilah sesuatu yang sama sekali tidak diperhitungkan oleh anjing raksasa itu. Ketika, anjing raksasa itu mengangkat kepalanya memandang bulan bulat sambil melolong panjang, tiba-tiba saja nampak segumpal awan yang kelabu mengambang dilangit.
Dengan dahsyatnya anjing hutan itu mengaum marah. Tetapi ia tidak kuasa menentang tingkah laku alam sesuai dengan kodratnya. Karena itu, maka anjing hutan yang merasa tidak mampu melawan Agung Sedayu maupun kedua orang tua-tua yang menonton perang tanding itu dibawah bayangan, harus memperhitungkan awan yang kelabu yang bergerak cepat mendekati bulan bulat dilangit.
Awan itu tidak terlalu banyak. Namun beriringan. Dengan demikian ada pada saat-saat yang paling gawat dapat terjadi atasnya, justru pada saat awan yang agak panjang lewat dihadapan wajah bulan.
Karena itu, maka anjing hutan raksasa itupun telah mengambil satu keputusan lain. Kecuali ternyata bahwa lawan-lawannya cukup cerdik untuk bertempur dibawah bayangan dedaunan, maka awan itupun tidak menguntungkan lagi baginya.
Dengan demikian, maka tiba-tiba anjing hutan raksasa itu telah meloncat berlari menuju kegumuk padas dan kemudian menghilang dari pandangan mata Agung Sedayu dan orang-orang yang menyaksikan perang tanding itu.
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Ia juga melihat awan yang kelabu dilangit. Dan iapun mempunyai perhitungan tentang awan itu. Namun demikian ia melihat anjing hutan raksasa itu hilang dibalik gumuk padas, maka iapan harus memperhitungkan kemungkinan lain yang bakal terjadi.
Ketika awan yang kelabu itu lewat di hadapan wajah bulan yang bulat, maka cerahnyapun menjadi buram. Dengan hati yang berdebar-debar Agung Sedayu memperhatikan awan yang cukup panjang. Memang ada kemungkinan, anjing hutan itu sengaja menunggu sampai awan itu lewat.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja sebuah bayangan telah meloncat keatas gumuk padas. Dalam cahaya bulan yang buram karena awan yang kelabu, Agung Sedayu melihat bayangan seseorang berdiri tegak dengan dada tengadah.
Yang pertama terdengar adalah suara tertawanya yang menggelegar. Menghantam bukit-bukit yang membujur ke Utara, mengguncang dedaunan, dan bahkan seolah-olah telah menghentak-hentak isi dada.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Akhirnya ia benar-benar akan berhadapan dengan Ajar Tal Pitu sebagaimana keadaannya yang sesungguhnya.
"Agung Sedayu," terdengar suara Ajar Tal Pitu itu mengguruh, "kau memang seorang anak muda yang cerdik jika kau segan disebut pengecut. Kau mampu memperhitungkan keadaan disekitarmu. Kau telah mengambil keuntungan dengan bayangan randu papak itu. Adalah kesalahanku, bahwa aku kurang memperhatikan sebelumnya."
Agung Sedayu memandang bayangan yang berdiri diatas gumuk padas itu. Ajar Tal Pitu yang berdiri tegak itu ternyata membawa sebuah senjata yang mendebarkan. Sebuah trisula bertangkai panjang, melampaui panjang tubuhnya sendiri.
Sambil menggenggam tangkai trisulanya yang tegak disisinya dengan tangan kirinya. Ajar Tal Pitu itu berkata pula, "Baiklah Agung Sedayu. Aku tidak akan bermimpi lagi untuk memanfaatkan cahaya bulan yang ternyata sudah kau perhitungkan sebelumnya. Tetapi aku akan berhadapan denganmu sebagaimana Ajar Tal Pitu yang akan berhadapan dengan Agung Sedayu."
Agung Sedayu yang masih berdiri tegak dibawah pohon randu alas itupun menjawab dengan suara yang tidak kalah lantangnya, "Aku menunggu Ajar Tal Pitu. Bulan sudah menjadi semakin tinggi dilangit. Marilah, kita selesaikan persoalan kita malam ini."
"Bagus. Aku akan mulai justru dengan mempergunakan senjata. Aku tahu kau berilmu kebal. Tetapi aku ingin mencoba, apakah kebal kulitmu mampu menahan ujung trisulaku," berkata Ajar Tal Pitu.
"Anjing hutanmu telah mencoba apakah kulitku benar-benar kebal. Apakah trisulamu itu lebih runcing dari taring anjing hutanmu ?"
"Seandainya kau berdiri di terang bulan, mungkin akibatnya akan berbeda. Tetapi baiklah. Aku tahu bahwa kau pengecut. Karena itu aku akan menjajagi kulitmu yang kebal itu dengan trisula ini. Bukan saja ujungnya yang runcing dan terbuat dari besi baja yang khusus, tetapi kemampuan tenagaku yang mendorong ujung trisula itulah yang harus kau perhitungkan," jawab Ajar Tal Pitu.
"Marilah. Jangan hanya berbicara. Kita akan bertanding dengan senjata. Mungkin justru kemudian kita akan melemparkan senjata kita masing-masing dan berhadapan sebagaimana kita adanya," berkata Agung Sedayu pula.
Ajar Tal Pitu tertawa. Kemudian diangkatnya trisulanya tinggi-tinggi. Ketika awan dilangit bergeser semakin jauh, sehingga wajah bulan mulai nampak lagi dilangit. Agung Sedayu menjadi berdebar melihat ujung trisula Ajar Tal Pitu yang berkilat-kilat. Bahkan kemudian seolah-olah telah berubah menjadi nyala api yang merah membara.
"Ajar Tal Pitu," geram Agung Sedayu kemudian, "lihat. Awan telah lewat. Apakah kau akan bermain-main lagi dengan anjing hutanmu yang jinak itu ?"
"Tidak Agung Sedayu. Sulit bagiku untuk melawan seorang pengecut. Tetapi kau akan melihat arti dari trisulaku ini."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya Namun ia sadar sepenuhnya, bahwa akan segera datang saat penentuan dari perang tanding yang sebenarnya.
Namun dalam pada itu, agaknya trisula di tangan Ajar Tal Pitu itupun terpengaruh juga oleh cahaya bulan, betapapun kecilnya.
Tetapi Agung Sedayu benar-benar sudah siap. Segala ilmu yang ada didalam dirinyapun telah dipersiapkannya pula. Ia tidak ingin terlambat dan menyesal. Ilmu kebalnya yang telah menjadi mapan dengan perkembangannya, kemampuan tenaga dan kecepatan geraknya, segala unsur gerak yang telah luluh didalam dirinya, dan kemampuannya mempergunakan sorot matanya yang mempunyai sentuhan wadag. Sementara itu, ditangannya masih tergenggam cambuk yang diterimanya dari gurunya. Cambuk yang tidak memiliki kekuatan apapun juga yang mandiri, sehingga karena itulah maka cambuk yang ditangannya itu tergantung sekali kepada siapa yang memegangnya.
Namun, cambuk itu sebagai satu senjata, memang memiliki banyak kemungkinan ditangan orang yang memang menguasainya.
Sejenak kemudian. Ajar Tal Pitu yang berdiri di atas gumuk padas itupun segera meloncat turun. Dengan trisula yang merunduk disisi tubuhnya Ajar Tal Pitu itu berjalan mendekati randu alas yang berdaun rimbun.
Ki Waskita, Ki Gede dan Prastawa memandanginya dengan tegang. Merekapun melihat, bagaimana ujung-ujung trisula itu bagaikan menyala tersentuh oleh cahaya bulan.
Diluar sadarnya Ki Waskita dan Ki Gede menengadahkan wajah mereka memandang kelangit. Awan yang kelabu telah hanyut oleh angin yang terasa semilir.
Sesaat kemudian, Ajar Tal Pitu telah berada di bawah randu alas itu pula beberapa langkah dihadapan Agung Sedayu. Dengan lantang ia berkata, "Agung Sedayu. Puaskan hatimu memandang bulan untuk yang terakhir kalinya. Malam ini adalah malam kematianmu."
"Aku sudah siap Ajar Tal Pitu. Tetapi katakan, apakah kehadiranmu disini itu hanya karena dendam pribadimu, atau kau masih juga datang dalam hubungannya dengan Ki Pringgajaya yang pernah berusaha membersihkan namanya dengan ceritera kematian itu ?" bertanya Agung Sedayu.
Ajar Tal Pitu tertawa. Katanya, "Bagimu tidak ada gunanya. Apakah aku datang untuk kepentingan sendiri, untuk kepentingan Ki Pringgajaya, atau untuk kedua-duanya. Yang penting bagiku adalah membunuhmu apapun alasannya. Kematianmu akan memberikan kepuasan kepadaku."
"Kepuasan ganda " Karena kau adalah orang upahan Ki Pringgajaya ?" desak Agung Sedayu.
"Sudahlah. Kau tidak perlu merajuk seperti itu," sahut Ajar Tal Pitu, "bersiaplah untuk mati."
"Aku sudah bersiap untuk menghindari kematian itu," berkata Agung Sedayu, "agaknya itu sudah menjadi kodrat seseorang untuk berusaha menyelamatkan dirinya dari ancaman maut."
Ajar Tal Pitu tertawa. Suaranya menggelegar menghentak-hentak didalam dada. Prastawa yang juga mendengar suara itu seolah-olah merasa isi dadanya diguncang-guncang dari dalam, sehingga anak muda itu harus menahan dadanya dengan telapak tangannya.
Dalam pada itu. Ajar Tal Pitu itupun telah menggenggam trisulanya yang bertangkai panjang dengan kedua tangannya. Sambil bergeser selangkah ia berkata, "bersiaplah Agung Sedayu, ujung trisulaku ini mempunyai watak yang khusus. Yang tengah dari ketiga mata trisulaku ini selalu haus akan darah seseorang. Itulah sebabnya, maka trisula ini mempunyai tabiat yang dapat mempengaruhi pemiliknya. Nampaknya akupun kini telah dijalari oleh watak itu, sehingga aku malam ini benar-benar ingin membunuhmu. Justru dihadapan orang-orang yang nampaknya sangat bangga atas ilmumu."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak boleh lengah barang sekejappun. Ajar Tal Pitu dapat mulai disegala saat dengan menjulurkan trisulanya.
Setelah bergeser selangkah lagi, maka Ajar Tal Pitu itu mulai menggerakkan trisulanya. Dengan gerak yang pendek ujung trisula itu terjulur. Namun agaknya Ajar Tal Pitu memang belum bersungguh-sungguh.
Agung Sedayupun belum menanggapinya. Ia melangkah selangkah surut. Namun kemudian iapun bergeser ketika Ajar Tal Pitu bergeser lagi.
Namun Agung Sedayu itupun telah tertegun ketika Ajar Tal Pitu justru merendahkan diri pada lututnya. Trisulanya terangkat condong kedepan.
Ketika ujung trisula yang bermata tiga itu semakin merunduk, maka Agung Sedayupun telah bersiaga sepenuhnya. Dengan gerak yang sederhana, Ajar Tal Pitu memancing gerak lawannya dengan sangat hati-hati, karena Ajar Tal Pitupun sebenarnya mengetahui bahwa anak muda yang bernama Agung Sedayu memiliki banyak kelebihan dari anak-anak muda kebanyakan.
Dengan tangan kiri Ajar Tal Pitu mengarahkan ujung trisulanya, sementara dengan tangan kanan ia menggerakkan trisulanya untuk mematuk lawannya, atau memutar ketiga mata senjatanya untuk menguasai senjata lawan.
Tetapi senjata Agung Sedayu adalah senjata lentur yang mempunyai watak yang berbeda dengan pedang atau tombak. Sehingga karena itu, maka Ajar Tal Pitupun harus mempergunakan cara tersendiri untuk melawannya.
Dalam pada itu, Agung Sedayu masih tetap berdiri tegak dan bergeser setapak demi setapak. Digenggamnya tangkai cambuknya dengan tangan kanannya, sementara ia masih memegangi ujungnya dengan tangan kirinya. Dengan tenang ia melihat sikap dan gerak Ajar Tal Pitu dengan senjata yang dahsyat bertangkai panjang.
Ketenangan Agung Sedayu itulah yang membuat Ajar Tal Pitu justru menjadi berdebar-debar. Anak muda yang baju sudah rontang-ranting dikoyak oleh gigi dan taring anjing-anjing hutan itu sama sekali tidak nampak menjadi cemas dan apalagi ketakutan.
Namun dalam pada itu, Ajar Tal Pitu tidak lagi sekedar ingin memancing gerak lawannya. Ketika ia bergeser setapak lagi, dan Agung Sedayu masih tetap berdiri ditempatnya, maka tiba-tiba saja Ajar Tal Pitu telah meloncat sambil menjulurkan trisulanya yang bertangkai panjang itu, langsung mengarah keleher Agung Sedayu.
Agung Sedayu melihat gerak lawannya. Karena itu, maka iapun bergeser selangkah kesamping. Sambil memiringkan kepalanya maka ia telah menghindari patukan trisula yang mengarah ke lehernya itu.
Namun dalam pada itu, Ajar Tal Pitu telah bergerak dengan tangkas. Ketika ia sadar bahwa trisulanya tidak menyentuh lawannya, maka iapun telah mengayunkan senjata itu mendatar.
Namun sekali lagi Agung Sedayu menghindar. Dengan cepat ia berputar sambil merendahkan diri pada lututnya.
Ajar Tal Pitu tertawa. Katanya, "Aneh. Kau masih juga ingin bermain-main seperti itu. Agung Sedayu. Kita sudah mengetahui, bahwa kita dapat berbuat lebih banyak dari permainan-permainan yang tidak berarti apa-apa ini. Aku tahu kau mempunyai ilmu kebal. Kau mampu menyerang dari jarak yang panjang sehingga aku gagal membunuhmu dengan ilmu Kembar Tigaku itu. Pedang apikupun tidak mampu melawanmu dan bahkan aku hampir mati kau bunuh di dekat Lemah Cengkar. Nah, sekarang datang gilirannya aku membunuhmu. Aku tidak membawa pedang api dan pisau-pisau kecilku. Tetapi aku datang dengan trisula bertangkai panjang."
Agung Sedayu bergeser. Dipandanginya ketiga ujung trisula yang berwarna kemerah-merahan itu. Memang mirip dengan cahaya yang menyala pada pedang api Ajar Tal Pitu yang dipergunakannya di Jati Anom.
"Sekarang, apakah yang kau kehendaki " Ilmu anjingmu itu sama sekali tidak berdaya melawanku. Nah, sekarang apa lagi yang dapat kau lakukan ?" bertanya Agung Sedayu, "apakah kau akan mengulangi ilmu yang pernah kau pamerkan di Jati Anom itu " Ilmu Kakang Pembarep dan Adi Wuragil yang gagal itu " Atau ilmu yang barangkali dinamai Gelap Ngampar atau Sangga Dahana " Atau ilmu apa lagi ?"
Ajar Tal Pitu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa lebih keras. Semakin lama semakin keras.
Terasa hentakkan didada Agung Sedayu. Dan iapun sadar, bahwa Ajar Tal Pitu benar-benar telah mulai dengan ilmunya yang sebenarnya. Bukan sekedar berusaha menyentuhnya dengan ujung trisulanya.


06 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi daya tahan Agung Sedayu benar-benar telah dipersiapkan. Suara tertawa yang menghentak-hentak itu sama sekali tidak berhasil mengguncang isi dadanya.
Namun dalam pada itu, orang lainlah yang telah hampir menjadi pingsan. Ki Waskita dan Ki Gede Menoreh mampu mengatasi hentakan-hentakan itu didadanya. Namun Prastawa rasa-rasanya hampir menjadi pingsan karenanya, sementara anak-anak muda, Tanah Perdikan Menoreh yang lain, mengalami hal yang sama dengan Prastawa. Justru karena jarak mereka agak jauh, maka mereka tidak menjadi kehilangan kesadaran karenanya. Meskipun demikian, nafas mereka bagaikan terhimpit oleh bukit-bukit padas yang menimpa dada mereka.
Tetapi Agung Sedayu seolah-olah sama sekali tidak terpengaruh. Meskipun ia berdiri beberapa langkah saja dihadapan Ajar Tal Pitu. Namun Agung Sedayu justru tertawa sambil berkata, "Permainan yang itu lagi. Apakah kau tidak mempunyai cara lain untuk menggertak lawan " Lolong anjing hutan, gema teriakanmu dari balik batu padas, dan sekarang suara tertawamu itu tidak berarti apa-apa sama sekali."
"Bagus, bagus," sahut Ajar Tal Pitu, "Aku hanya ingin memperingatkanmu tentang kemampuanku pada saat aku menghadapimu di Jati Anom. Tetapi ketahuilah Agung Sedayu. Setelah itu aku telah menyempurnakan ilmuku. Ampat puluh hari ampat puluh malam aku mesu raga. Kemudian aku akhiri dengan pati geni selama tiga hari tiga malam. Nah, kau dapat menduga, apa yang akan dapat aku lakukan sekarang ini."
"Tentu peningkatan ilmu yang dahsyat sekali," berkata Agung Sedayu.
"Kau akui " Lalu, apakah yang akan kau lakukan ?" bertanya Ajar Tal Pitu, "menyerah, atau membunuh diri ?"
"Ajar Tal Pitu," berkata Agung Sedayu, "kita memang dapat berusaha. Termasuk menyempurnakan ilmu. Tetapi segalanya tergantung kepada kuasa Yang Maha Agung. Nah, kepada kuasa Yang Maha Agung itulah aku bersandar setelah aku berusaha untuk mempertahankan hidupku menghadapi ilmumu yang dahsyat. Jika masih ada kesempatanku untuk tetap hidup, maka aku akan dapat keluar dari arena ini dengan selamat."
Ajar Tal Pitu tertawa. Semakin lama semakin keras. Gejolak suara tertawa itu menghentak-hentak dan menghantam dinding jantungnya. Ajar Tal Pitu telah melepaskan ilmunya sepenuhnya. Justru setelah ia mesu diri di padepokannya.
Agung Sedayu masih tetap berdiri tegak. Namun dalam pada itu, Ki Waskita dan Ki Gede yang bertahan dari gejolak didadanya itu, melihat Prastawa hampir tidak lagi mampu bertahan, sehingga keduanya harus berusaha menahan anak itu yang hampir saja jatuh terkulai, dan kemudian menolongnya duduk bersandar sebatang pohon.
"Kau mampu mengatasinya jika kau berjiwa besar," desis Ki Gede.
Prastawa memang masih berusaha. Dan ia berhasil untuk tetap sadar dan tidak pingsan karenanya, meskipun ia sudah tidak dapat lagi tegak diatas kedua kakinya.
Sementara itu, anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh benar-benar telah menjadi pingsan karenanya, sehingga mereka tidak tahu lagi apa yang terjadi.
Ajar Tal Pitu memang benar-benar meningkat. Ki Waskita dan Ki Gedepun akhirnya benar-benar harus berjuang untuk tetap bertahan. Ketika keduanya kemudian berdiri tegak memandang ke bawah randu alas yang disebut randu papak, mereka masih melihat Agung Sedayu berdiri, dan bahkan terdengar ia tertawa kecil, "Sudahlah Ajar Tal Pitu," berkata Agung Sedayu, "jangan kau pamerkan lagi permainan yang memuakkan itu."
Suara tertawa Ajar Tal Pitu masih menggetarkan dedaunan. Namun Agung Sedayu masih tetap berdiri tegak. Suara itu tidak berhasil mempengaruhinya.
Namun sebenarnyalah Agung Sedayu harus bertahan agar jantungnya tidak berhenti berdentang. Suara itu sebenarnya terasa seolah-olah menyusup sampai ke pusat dadanya. Karena itulah, maka Agung Sedayu benar-benar harus mapan.
Tetapi akhirnya bahwa Ajar Tal Pitu itu harus mengakui, bahwa ia tidak berhasil mengguncang isi dada Agung Sedayu dengan ilmunya itu, sebelum ia menghantam dengan ilmunya yang lain. Agung Sedayu masih tetap berdiri tegak dan sama sekali tidak nampak, akibat apapun yang menunjukkan kelemahannya.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam ketika terasa tekanan di dadanya itu menurun. Bahkan iapun kemudian berkata, "Ajar Tal Pitu. Aku kira kita hanya akan bermain-main seperti ini semalam suntuk."
"Persetan Agung Sedayu," jawab Ajar Tal Pitu, "kau sudah pernah melihat betapa pedang apiku mampu membakarmu di dekat Lemah Cengkar di Jati Anom. Sekarang kau harus melihat, betapa ujung trisulaku akan melumatkanmu."
"Aku sudah siap sejak anjing-anjing liar itu belum datang," sahut Agung Sedayu.
Ajar Tal Pitu menggeram. Ia mulai menggerakkan trisula bertangkai panjang ditangannya. Ujungnya bergerak mendatar. Namun kemudian trisula itu berputar berporos genggaman tangannya di tengah-tengah tangkainya yang panjang.
Agung Sedayu surut selangkah. Ternyata Ajar Tal Pitu memang seorang yang luar biasa. Ujung trisulanya yang berputar itu seolah-olah telah membara, sehingga yang nampaknya bagaikan putaran cahaya api yang kemerah-merahan.
Seperti yang pernah di alami, udara dibawah pohon randu alas itupun menjadi panas. Ajar Tal Pitu memang mampu melepaskan ilmu yang seolah-olah dapat membakar udara.
Agung Sedayu mulai merasa, betapa ia telah disentuh oleh udara panas. Namun dengan ilmu kebalnya, maka ia berhasil melindungi dirinya. Udara panas itu tidak banyak mempengaruhinya sehingga Agung Sedayu dapat mengabaikannya.
Namun yang tidak dapat diabaikannya adalah senjata Ajar Tal Pitu. Ternyata setelah Ajar Tal Pitu menganggap bahwa udara panas telah mempengaruhi lawannya, mulailah ia mempergunakan senjatanya untuk menyerang.
Ketika senjata yang berputar itu kemudian menyilang, dan tiba-tiba saja mematuk, Agung Sedayu sudah siap untuk mengelak. Namun ternyata tangan Ajar Tal Pitu benar-benar telah terlatih. Ujung-ujung trisula yang membara itu, telah berubah arah, terayun mendatar mengejarnya.
Agung Sedayu masih belum mempercayakannya kepada ilmu kebalnya untuk melawan ujung trisula itu. Ia masih harus menjajagi kekuatan yang terlontar dari padanya, karena bagaimanapun juga, Agung Sedayu tetap sadar, bahwa kekuatan yang melampaui daya tahan ilmu kebalnya akan dapat mempengaruhinya. Terutama pada bagian dalam tubuhnya.
Karena itu Agung Sedayu masih juga berusaha untuk mempergunakan kecepatan geraknya. Dengan tangkas ia meloncat menghindari ujung trisula yang membara itu. Namun demikian ujung itu lewat, justru Agung Sedayu telah meloncat maju. Sebuah ledakan cambuknya yang dahsyat telah menggetarkan pohon randu alas itu.
Tetapi Ajar Tal Pitu dengan tangkas sempat juga mengelak. Dengan loncatan kecil ia surut selangkah. Namun ketika Agung Sedayu siap meloncat sekali lagi, ujung trisula Ajar Tal Pitu justru telah mematuk lurus kearah dada.
Agung Sedayulah yang surut. Namun Ajar Tal Pitu telah memburunya dengan ujung trisula yang terayun. Bahkan kemudian berputar dengan cepatnya.
Agung Sedayu masih berusaha menghindar. Sekali-sekali ia justru mendekat. Cambuknya menggelepar. Meskipun ledakan cambuknya tidak terdengar terlalu dahsyat bagaikan ledakan gunung berapi, namun bagi lawannya, terasa hentakkan kekuatan yang tiada taranya telah terlontar dari ujung cambuk itu.
Dalam pada itu, ternyata setelah mesu diri selama ampat puluh hari ampat puluh malam dan pati geni selama tiga hari tiga malam, ilmu Ajar Tal Pitu benar-benar telah meningkat. Lontaran ilmunya yang bagaikan membakar udara disekitar arena, terasa menyentuh bahkan menyusup diantara ilmu kebal Agung Sedayu. Meskipun ia masih mampu mengatasi perasaan panas yang menyentuhnya, namun dalam pada itu, rasa-rasanya keringatnya telah terperas habis.
Karena itulah, maka Agung Sedayupun telah mengembangkan ilmu kebalnya sampai ke batas kemampuan yang berhasil dijangkaunya. Ia ingin mengimbangi ilmu lawannya dengan ilmu yang serupa, meskipun sumbernya dan dasar pengembangannya yang berbeda pula.
Dalam pada itu, maka Agung Sedayupun seakan-akan semakin lama menjadi semakin panas pula. Seperti ilmu lawannya, maka lontaran panas ilmunya itu mulai terasa oleh lawannya. Jika semula hanya Agung Sedayu saja yang dipanggang dalam panasnya ilmu Ajar Tal Pitu, maka tiba-tiba saja Ajar Tal Pitu mulai merasa pula bahwa udara menjadi semakin panas.
Anjing hutan raksasa yang tidak berdaya melawan Agung Sedayu itupun mengetahui pula, bahwa anjing-anjing liar yang mengerubut anak muda itu telah terusir oleh udara panas. Namun ternyata bahwa Agung Sedayu masih mampu mengembangkannya, sehingga udara dibawah pohon randu alas itu benar-benar bagaikan terbakar.
Dengan demikian, maka kedua orang itupun seolah-olah telah bertempur di atas neraka. Mereka harus bertahan atas panasnya udara yang membakar, sementara itu, maka ujung-ujung senjata telah menyambar-nyambar.
Ajar Tal Pitu yang telah dibekali dengan dendam yang tiada taranya itu berusaha untuk segera membinasakan lawannya. Ujung trisulanya ternyata memiliki kekuatan seperti pedang yang pernah dipergunakannya. Ketiga mata trisula yang bertangkai panjang itu bagaikan menyala menyembur kearah lawannya.
Terasa panasnya memang bagaikan semburan lidah api. Tetapi ilmu kebal Agung Sedayu mampu menahan, dan ia masih terlindungi sehingga tubuhnya tidak menjadi hangus karenanya.
Namun sementara itu, ternyata Ajar Tal Pitu menahan diri bagaikan dipanggang diatas api. Betapa Ajar Tal Pitu menahan diri dari panasnya ilmu Agung Sedayu, namun akhirnya ia merasa, bahwa ia tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi.
Pada saat-saat terakhir Ajar Tal Pitu berusaha menekan Agung Sedayu dengan lidah api yang menyala dari ketiga mata trisulanya, maka Agung Sedayupun menghentakkan ilmunya, sehingga udara di bawah randu alas itu benar-benar bagaikan terbakar.
Dengan demikian, maka Ajar Tal Pitu tidak lagi mampu bertahan. Selangkah demi selangkah ia mundur meskipun trisulanya masih tetap berputaran dan mematuk-matuk jika Agung Sedayu memburunya. Dalam keadaan yang paling gawat, maka Ajar Tal Pitu itupun telah meloncat langsung keluar dari bayangan pohon randu alas.
Agung Sedayu masih tetap ragu-ragu. Karena itu ia tertegun sejenak.
Tetapi yang terjadi kemudian benar-benar sangat mengejutkan. Ajar Tal Pitu itu tiba-tiba saja telah berlari meninggalkan arena menuju ke gumuk padas.
Agung Sedayu tidak memburunya. Ia masih belum tahu pasti, apakah didalam cahaya bulan, trisula itu akan mempunyai arti tersendiri. Namun seakan-akan ada beberapa pertimbangan yang mencegahnya untuk mengejar Ajar Tal Pitu. Dan bahkan masih ada firasat padanya, bahwa Ajar Tal Pitu itu masih akan kembali lagi.
Ki Waskita dan Ki Gede Menoreh menjadi berdebar-debar. Prastawa yang seakan-akan telah pingsan oleh getar suara Ajar Tal Pitu yang dilambari ilmunya itu, telah menyadari dirinya sepenuhnya. Ketika ia bangkit, maka iapun berdesis, "Kemana Ajar Tal Pitu itu paman ?"
Ki Gede menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Aku tidak tahu. Tetapi aku kira ia belum lari."
"Berhati-hatilah," desis Ki Waskita, "seperti anjing hutan raksasa yang kehabisan akal itu, tiba-tiba saja telah menyerang kita. Mungkin kitapun harus bersiap-siap, jika pada suatu saat Ajar Tal Pitu itu justru menyerang kita."
Beberapa saat lamanya Agung Sedayu berdiri dengan tegang. Ia masih tetap berada di bawah bayangan dedaunan yang rimbun. Meskipun bulan bergeser, dan bayangan itupun bergeser, tetapi Agung Sedayu telah ikut bergerak pula.
Dalam pada itu, tiba-tiba saja telah terdengar suara menggelegar dari balik gumuk batu padas itu, katanya, "Agung Sedayu, kau anak muda yang luar biasa. Dalam usiamu yang muda itu, kau sudah memiliki ilmu yang luar biasa. Kau mampu menahan panasnya api ilmuku. Bahkan kau telah mampu membakar udara disekilingmu dengan api neraka."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa Ajar Tal Pitu tentu akan membuat sebuah permainan yang tidak kalah dahsyatnya. Karena itu, maka iapun telah bersiap menghadapinya.
"Tetapi anak muda," terdengar suara Ajar Tal Pitu itu lebih lanjut, "kau jangan terlalu bangga dengan kemenangan kecilmu itu. Aku masih mampu mengembangkan ilmuku yang pernah gagal melawanmu di Jati Anom. Bukan ilmu baru, tetapi ilmu yang pernah kau kenal itu pula dalam ujudnya yang lebih sempurna."
Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab. Ia masih tetap berdiri tegak menghadap ke gumuk batu padas itu.
Sejenak kemudian, terasa jantungnya menjadi berdebar-debar. Tiba-tiba saja ia melihat bayangan meloncat keatas gumuk padas itu. Dua orang dalam ujud yang serupa. Ajar Tal Pitu lengkap dengan trisulanya.
"Hanya dua," Agung Sedayu berdesis.
Namun ia tidak sempat berpikir lebih lama. Kedua bayangan itu sejenak kemudian telah menghambur, meloncat dari atas gumuk kecil itu bagaikan terbang dengan trisulanya terangkat tinggi-tinggi.
Agung Sedayupun telah bersiap melawannya. Ketika kedua bayangan itu mendekatinya, maka cambuknyapun telah menggelepar menyongsongnya.
Tetapi lecutan ujung cambuk Agung Sedayu itu seolah-olah tidak terasa ditubuh Ajar Tal Pitu, sementara yang seorang lagi telah menyerangnya pula dengan dahsyatnya.
Agung Sedayu harus berloncatan menghindar. Yang dilawannya tidak hanya sebuah trisula berujung rangkap tiga, tetapi dua buah trisula bertangkai panjang, yang seolah-olah telah menyembur api dari ujung-ujungnya.
Sejenak kemudian, cambuk Agung Sedayupun telah meledak-ledak. Memang tidak begitu keras, tetapi penuh dengan lontaran tenaga. Dengan ujung cambuknya Agung Sedayu ingin menjajagi, yang manakah diantara kedua bayangan itu, yang sebenarnya Ajar Tal Pitu.
Namun keduanya ternyata seolah-olah kebal dari segala macam senjata. Ujung cambuk Agung Sedayu yang berkarah baja pilihan itu sama sekali tidak mampu menggores dikulit kedua bayangan Ajar Tal Pitu yang serupa itu.
Untuk beberapa saat Agung Sedayu menjadi agak bingung. Sementara itu kedua Ajar Tal Pitu itu menyerangnya semakin lama semakin dahsyat. Ujung trisula merekapun menyambar-nyambar dari segala arah, sementara lidah api bagaikan menyala di mana-mana diseputar pohon randu alas itu.
Ki Waskita dan Ki Gede yang menyaksikan pertempuran itupun menjadi berdebar-debar. Mereka melihat Agung Sedayu yang telah memeras tenaganya, melawan kedua orang dalam ujung trisula Ajar Tal Pitu dengan segenap kemampuan dan ilmunya.
Untuk beberapa saat Agung Sedayu masih juga bertempur. Namun akhirnya ia tidak mau kehilangan tenaga terlalu banyak. Anak muda itu sadar, bahwa ia telah mencapai satu tingkat yang paling tingggi dari penguasaan ilmu kebal. Dalam keadaan luka parah ketika ia bertempur melawan Ajar Tal Pitu yang terdahulu, ia sudah memanfaatkan keadaan itu untuk menyempurnakan ilmu kebalnya. Terakhir di Tanah Perdikan Menoreh, ia justru telah mengembangkan ilmu kebalnya, sehingga ia mampu membakar udara disekitarnya dengan ilmunya itu.
Karena itu, maka Agung Sedayupun dengan hati-hati telah menjajagi kemampuan kedua orang lawannya yang serupa itu. Pada saat-saat tertentu ia sengaja tidak menangkis dan tidak menghindari serangan lawannya.
Sebenarnyalah, bahwa kedua ujud Ajar Tal Pitu itu benar-benar tidak mampu menembus ilmu kebalnya. Meskipun masih juga terasa pada tubuhnya, hentakkan-hentakkan kekuatan yang menyentuhnya. Namun seperti juga udara panas yang dilontarkan oleh Ajar Tal Pitu, segalanya masih mampu diatasinya.
Karena itu, maka Agung Sedayupun kemudian lebih banyak berpikir untuk menghadapi lawannya. Ia membiarkan beberapa serangan lawannya mengenainya. Namun baik udara panas maupun ujung trisula yang bagaikan semburan lidah api itu tidak dapat melukainya.
Namun dalam pada itu, serangan-serangan kedua ujud Ajar Tal Pitu itu menjadi semakin marah. Mereka menghentakkan kekuatan mereka. Serangan-serangan merekapun menjadi semakin meningkat. Bukan saja kedua ujung trisula itu semakin sering mengenainya, tetapi hentakkan kekuatannyapun menjadi semakin terasa oleh tubuh Agung Sedayu yang kebal. Sedikit demi sedikit, rasa-rasanya serangan-serangan itu sempat menerobos perisai ilmunya.
"Ajar Tal Pitu memang luar biasa," desis Agung Sedayu, "setelah mesu diri, kekuatannya telah meningkat dengan pesat."
Namun Agung Sedayupun sempat mengucap syukur. Jika ia tidak meningkatkan ilmu kebalnya, maka ia tentu sudah tergolek dibawah pohon randu alas yang besar itu. Tubuhnya meskipun tidak terkoyak oleh ujung trisula yang bagaikan menghembuskan api itu, namun bagian dalamnya akan segera menjadi remuk berkeping-keping. Tulang-tulangnya akan retak dan urat-urat darahnya akan pecah-pecah.
Tetapi ternyata bahwa Agung Sedayu telah meningkatkan ilmu kebalnya, seperti juga Ajar Tal Pitu meningkatkan ilmunya. Seperti yang pernah terjadi di Jati Anom, maka Agung Sedayu masih juga mampu menahan serangan-serangan Ajar Tal Pitu yang dahsyat.
Namun dalam pada itu, baik Agung Sedayu sendiri, maupun Ki Waskita yang pernah terlibat dalam pertempuran di Jati Anom itu merasa heran, bahwa yang hadir pada waktu itu hanya dua ujut Ajar Tal Pitu.
Sementara itu. Agung Sedayu yang bertempur melawan keduanya, ternyata sempat juga membuat perhitungan-perhitungan setelah ia lebih mempercayakan perlawanannya pada ilmu kebalnya.
Agung Sedayu mulai membayangkan kembali, sekilas-sekilas diantara ledakkan cambuknya, bagaimana ia bertempur melawan tiga orang Ajar Tal Pitu di Jati Anom.
"Seorang diantara ketiganya adalah Ajar Tal Pitu yang sebenarnya," berkata Agung Sedayu didalam hatinya, "sementara itu Ajar Tal Pitu yang sebenarnya itu justru selalu berusaha menghindari serangan-serangannya."
Agung Sedayu akhirnya menemukan jawaban atas pertanyaan yang selalu bergejolak didalam hatinya, sejak ia bertempur melawan dua orang bayangan Ajar Tal Pitu itu.
"Yang dua ini tentu bukan Ajar Tal Pitu yang sebenarnya," berkata Agung Sedayu didalam hatinya, "karena itulah, maka aku tidak akan mungkin dapat melumpuhkannya."
Karena itulah, maka Agung Sedayupun harus mengatur perlawanannya sebaik-baiknya. Iapun mulai melawan ilmu Ajar Tal Pitu itu bukan saja dengan ilmu kebalnya. Tetapi dengan satu keyakinan, bahwa yang dihadapinya itu adalah sekedar kekuatan ilmu Ajar Tai Pitu. Karena itulah, maka yang mampu dilakukan oleh ke dua ujud itu tentu tidak akan sebagaimana dilakukan oleh Ajar Tal Pitu sendiri.
Agung Sedayupun kemudian berusaha untuk membuat dirinya meyakini apa yang sedang dihadapinya. Senjata ditangan kedua ujud itu bukannya senjata Ajar Tal Pitu yang sesungguhnya. Ketika Ajar Tal Pitu menggenggam pedang api ditangannya, maka kedua ujud kembarnya memegang pedang pula. Disaat Ajar Tal Pitu memegang trisula, maka kedua ujud itupun memegang trisula pula sebagaimana Ajar Tal Pitu itu sendiri.
Dengan kekuatan daya pikirnya, maka Agung Sedayupun kemudian berusaha meyakinkan watak kedua lawannya. Dengan ujung cambuknya ia telah menyerang dengan garangnya. Namun ternyata bahwa kedua ujud itu seolah-olah tidak merasakan sama sekali sambaran ujung cambuknya. Keduanya tidak dapat dilukainya dan keduanya tidak dapat disakitinya.
"Gila," geram Agung Sedayu.
Meskipun ia telah memiliki ilmu kebal yang mapan, namun ternyata bahwa perasaannya masih juga mempengaruhinya. Sekilas Agung Sedayu menilai dirinya sendiri. Dibiarkannya ujung trisula lawannya mengenainya. Namun bukan saja ia melawan dengan ilmu kebalnya, namun dengan satu keyakinan, bahwa yang dihadapinya tidak akan memiliki kekuatan sebagaimana sumbernya.
"Jika aku tidak dapat menyakitinya, maka kedua bayangan ini tentu tidak akan mampu menyakiti aku, meskipun seandainya aku tidak memiliki ilmu kebal. Hanya orang-orang yang miris dan cemas sajalah yang akan jatuh kedalam pengaruh kedua ujud itu, sementara didalam pertempuran yang sebenarnya, ujud sumbernyalah yang akan melukai dan bahkan membunuh lawannya yang sudah kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri," berkata Agung Sedayu kepada dirinya sendiri. Dalam keyakinan yang penuh, maka ia berkata pula didalam dirinya, "Hanya ujud yang sebenarnyalah yang akan mampu menyakiti aku. Dan aku memang menunggu ujud yang sebenarnya itu."
Demikianlah, Agung Sedayu telah berhasil memecahkan teka-teki yang dihadapinya. Ia sudah yakin, bahwa ujud-ujud yang dihadapinya itu telah bersandar kepada kecemasannya sendiri. Dalam pada itu, maka segala macam sentuhan dan sayatan senjata ujud-ujud bayangan yang dilontarkan oleh kekuatan aji Kakang Pembareb dan Adi Wuragil itu telah tumbuh dari hatinya sendiri. Dengan demikian maka Ajar Tal Pitu yang sebenarnya, apabila ia tampil, maka sebenarnyalah orang itu yang melakukannya.
Dalam perang, tanding yang dahsyat itu, ternyata Ajar Tal Pitu sendiri tidak tampil di arena. Agung Sedayupun segera dapat mengerti alasannya. Agung Sedayu akan dapat menyerangnya kemanapun ia melenting. Karena itu, maka Ajar Tal Pitu itu telah mencoba membiarkan Agung Sedayu bertempur dengan kekerdilan hatinya sendiri dengan lantaran kedua ujud bayangannya yang dilontarkan oleh ilmunya, yang mempunyai watak yang memang berbeda dengan ujud semu yang dapat dilontarkan oleh Ki Waskita, yang akan dengan cepat dapat diketahui oleh lawan-lawannya yang memiliki pandangan mata hati yang cukup tajam.
Tetapi ternyata bahwa Agung Sedayu telah berhasil mengatasi perasaannya sendiri, sehingga dengan demikian, maka segala macam perasaan yang timbul karena kedua lawannya itu dapat diatasinya.
Dengan yakin ia memastikan, bahwa sentuhan trisula itu sama sekali tidak akan menyakitkan. Api yang memancar itupun sama sekali tidak akan membuat udara menjadi panas. Yang terasa panas adalah justru karena dirinya sendiri. Karena perasaannya sendiri.
Bahkan seandainya ia tidak memiliki ilmu kebal sekalipun, namun asal ia memiliki keyakinan yang teguh, maka kedua bayangan ujud Ajar Tal Pitu itu sama sekali tidak akan dapat berbuat apa-apa.
Demikianlah maka Agung Sedayu telah membuktikannya. Ia membiarkan dirinya ditikam oleh trisula yang bagaikan menyala itu. Bahkan sedikit demi sedikit ia telah mengurangi kemampuan daya tahan ilmu kebalnya.
Ternyata Agung Sedayu berhasil mengurai dengan tepat teka-teki ilmu lawannya. Dengan keyakinan yang teguh, tanpa lambaran ilmu kebalnya, maka kedua ujud Ajar Tal Pitu itu sama sekali tidak menyakitinya.
Dengan demikian, maka Agung Sedayupun telah sampai kepada puncak permainannya. Setelah ia berhasil mengatasi kekerdilan jiwanya, sehingga seolah-olah kedua ujud itu mampu menyakitinya sebagaimana telah dilakukan oleh Ajar Tal Pitu sendiri. Namun dengan satu kesadaran, bahwa terhadap Ajar Tal Pitu sendiri, ia harus mengenakan perisai ilmu kebalnya dalam puncak pengetrapannya.
Dalam pada itu, betapa Agung Sedayu sudah berhasil mengurai watak ilmu lawannya, namun nampaknya ia masih saja bertempur dengan segenap kemampuannya. Sekali-sekali ia masih meloncat, melejid dan kemudian menghentakkan cambuknya. Namun kedua ujud Ajar Tal Pitu itu nampaknya sama sekali tidak terpengaruh oleh senjata Agung Sedayu yang meledak-ledak.
Ki Waskita dan Ki Gede menjadi cemas. Justru karena mereka tidak berhadapan langsung seperti yang dilakukan oleh Agung Sedayu, maka merekapun tidak melihat watak yang sebenarnya dari ilmu yang nampaknya nggegirisi itu.
Jantung mereka bagaikan berhenti berdetak, ketika keduanya melihat justru Agung Sedayulah yang kemudian mendesak. Bahkan kemudian anak muda itu terhuyung-huyung dan jatuh bersandar batang pohon randu alas.
"Ki Gede," desis Ki Waskita.
Wajah Ki Gede menjadi merah. Ujung tombaknya menjadi bergetar oleh kemarahan yang menghentak jantungnya. Dengan suara yang gemetar ia berkata, "Jika Agung Sedayu gagal, aku akan menantangnya dalam perang tanding. Akulah yang membawa Agung Sedayu kemari. Dengan demikian aku harus bertanggung jawab. Aku harus berhasil membunuh orang yang menyebut dirinya Ajar Tal Pitu itu, atau aku yang harus mati di arena.
"Serahkan orang itu kepadaku Ki Gede, "geram Ki Waskita, "aku sudah mengenalnya sebelumnya. Sebagian dendamnya tertuju kepadaku, kepada orang-orang yang ikut bertempur di Jati Anom."
Ki Gede tidak menyahut. Namun terdengar giginya gemeretak, dan ujung tombaknya yang bergetar itu seakan-akan mulai menyala kebiru-biruan. Kemarahannya ternyata telah menjalar bukan saja sampai kegenggaman tangannya, tetapi sudah sampai keujung tombaknya.
"Kita harus menunggu sampai tuntas," desis Ki Waskita, "baru kita mulai dengan babak yang baru, apapun yang akan terjadi dengan Agung Sedayu."
Ki Gede tidak menjawab. Tetapi kemarahannya benar-benar telah menyala dihatinya.
Buku 148 DALAM pada itu, kedua ujud Ajar Tal Pitu yang melihat Agung Sedayu terjatuh dan bersandar pada batang randu alas itupun telah mempergunakan saat itu sebaik-baiknya. Mereka telah menyerang Agung Sedayu tanpa perlawanan. Mereka menikam, menggores dan bahkan membakar tubuh Agung Sedayu dengan api yang tersembur dari ujung trisula mereka.
Saat itulah yang ditunggu oleh Ajar Tal Pitu yang sebenarnya. Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa yang menggema di lereng-lereng perbukitan.
"Ternyata hatimu hanya semenir Agung Sedayu," terdengar suara Ajar Tal Pitu, "justru karena itu, maka ajalmu akan sampai."
Sebenarnyalah, di atas gumuk padas telah nampak sebuah ujud lagi sebagaimana kedua ujud yang sedang sibuk menyerang Agung Sedayu yang sama sekali tidak melawan.
Sambil mengangkat trisulanya dan menengadahkan wajahnya ke bulan yang sudah semakin bergeser ke Barat, Ajar Tal Pitu itupun berkata," berikan cahayamu kepadaku. Aku akan menyempurnakan kematian anak muda yang sombong ini."
Ki Gede Menoreh yang menyaksikan hal itu hampir tidak dapat menahan diri. Jika ia tidak terikat kepada perjanjian yang dibuat oleh Agung Sedayu dan Ajar Tal Pitu untuk berperang tanding, maka ia sudah tidak sabar lagi. Meskipun kemudian ia melihat trisula di tangan Ajar Tal Pitu yang berdiri diatas gumuk batu padas itu seakan-akan menyala semakin besar, namun diluar sadarnya iapun melihat cahaya kebiru-biruan di ujung tombaknya.
"Tombakku tentu tidak kalah bertuah dari trisula yang bercahaya kemerah-merahan itu," berkata Ki Gede didalam hatinya.
Sebenarnyalah Ki Gede tidak gentar melihat betapa cara Ajar Tal Pitu melawan Agung Sedayu. Meskipun ia sadar, bahwa dalam keadaan yang gawat, kakinya sering mengganggunya, tetapi pada saat terakhir ia masih sempat mengembangkan ilmunya. sesuai dengan keadaan tubuhnya.
Ki Waskitapun telah menjadi gemetar, Iapun harus menahan diri. Apapun yang akan terjadi atas Agung Sedayu, ia tidak akan dapat berbuat apa-apa. karena Agung Sedayu sudah menyatakan dirinya memasuki arena perang tanding.
Dalam pada itu, pada sisi yang lain. didalam gerumbul-gerumbul perdu disebelah gumuk batu padas itu, dua orang yang menyaksikan perang tanding itu sebagaimana Ajar Tal Pitu telah menentukan, bahwa perang tanding itu akan segera berakhir.
"Ternyata Ajar Tal Pitu berhasil," berkata yang seorang kepada kawannya.
"Ya, Ki Pringgajaya," jawab yang lain, "Agung Sedayu sudah tidak berdaya. Padahal Ajar Tal Pitu yang seorang masih baru akan turun kearena."
"Jangan panggil namaku," desis yang seorang.
"Semua orang sudah tahu kalau Ki Pringgajaya sebenarnya masih belum mati," jawab kawannya.
Ki Pringgajaya tersenyum. Katanya, "Biarlah. Tetapi tidak seorangpun akan dapat menemukan aku. Tanpa dapat mengajukan aku sebagai bukti, Ki Tumenggung Prabadaru juga tidak akan dapat dituntut oleh siapapun."
"Kita akan menyaksikan saat-saat terakhir dari kehidupan seorang anak muda yang pilih tanding," gumam kawannya.
"Ya. Sebenarnyalah Agung Sedayu adalah seorang anak muda yang jarang dicari bandingnya. Mungkin ia masih berada beberapa lapis dibawah Senapati Ing Ngalaga dan Pangeran Benawa namun kedua orang anak muda itu memang tidak dapat diperbandingkan dengan siapapun," desis Ki Pringgajaya, "mungkin pada masa muda Sultan Hadiwijaya yang bernama Mas Karebet dan yang juga disebut Jaka Tingkir itupun memiliki ilmu seperti Senapati Ing Ngalaga. Namun selain orang-orang ajaib itu, Agung Sedayu termasuk anak muda yang perkasa."
Kawannya mengangguk-angguk. Sementara itu. Ajar Tal Pitu yang berada diatas gumuk itu telah meloncat turun. Suara tertawanya masih terdengar menggema. Sementara itu, iapun melangkah perlahan-lahan mendekati pohon randu alas yang besar dan berdaun rimbun itu.
Agung Sedayu yang tersandar pada pokok batang randu alas itu melihat Ajar Tal Pitu datang mendekatinya. Iapun melihat Ajar Tal Pitu itu sudah memastikan diri untuk dapat membunuh Agung Sedayu, sehingga karena itu, maka Ajar Tal Pitupun melangkah maju sambil menengadahkan wajahnya. Suara tertawanya masih saja terdengar. Bahkan semakin lama menjadi semakin keras.
Beberapa langkah dihadapan Agung Sedayu ia berhenti. Kedua ujud Ajar Tal Pitu yang lainpun telah berhenti menyerangnya. Keduanya berdiri tegak seperti yang dilakukan oleh Ajar Tal Pitu itu sendiri.
Agung Sedayu masih tetap bersandar pada batang pohon randu alas yang besar itu tanpa bergerak.
Dalam pada itu. Ajar Tal Pitu itupun mulai merundukkan trisulanya mengarah kedada Agung Sedayu sambil berkata, "Agung Sedayu. Nasibmu buruk hari ini. Kau tidak dapat melawan ilmuku yang telah aku sempurnakan dengan mesu diri ampat puluh hari ampat puluh malam diikuti oleh pati geni tiga hari tiga malam. Ternyata ilmu kebalmu tidak sanggup menahan kekuatan ilmuku. Sekarang, trisulaku sendirilah yang akan menembus jantungmu. Mungkin lambaran ilmu kebalmu yang tersisa masih dapat melindungi luka dikulitmu untuk tusukan yang pertama, kedua atau yang ketiga. Tetapi aku akan menusuk kau berulang kali sampai dadamu berlubang tembus ke jantung. Dalam keadaanmu serupa itu, maka kau tidak akan mampu mengetrapkan ilmu kebalmu sampai kepuncak kemampuannya."
Agung Sedayu masih saja tersandar. Namun ia melihat apa saja yang dilakukan oleh Ajar Tal Pitu. Iapun melihat Ajar Tal Pitu itu kemudian melangkah setapak surut. Trisulanya benar-benar telah siap menembus jantung Agung Sedayu.
Sesaat Ajar Tal Pitu mengetrapkan puncak ilmunya. Kemudian sambil berteriak nyaring ia telah meloncat dalam ancang-ancangnya. Dengan sekuat tenaga maka iapun telah mendorong trisulanya lurus mengarah ke jantung Agung Sedayu.
Namun yang terjadi adalah sangat mengejutkan. Ujung trisula itu sama sekali tidak menusuk dada Agung Sedayu dan mematahkan tulang iganya, apalagi menembus sampai kejantung. Tepat pada saatnya Agung Sedayu telah berguling menghindari serangan maut itu. sehingga trisula itu tidak mengenainya.
Justru ujung trisula itu telah menancap pada pokok pohon randu alas yang tidak terlalu keras. Sehingga dengan demikian, berlandaskan kekuatan ilmu Ajar Tal Pitu, maka ujung trisulanya itu telah menghunjam cukup dalam pada pokok batang randu alas itu.
Ajar Tal Pitu justru terkejut. Sementara itu, Agung Sedayu telah melenting berdiri selangkah disebelah Ajar Tal Pitu yang menjadi gugup.
Yang terdengar kemudian adalah suara Agung Sedayu. Tidak terlalu keras, "Luar biasa."
Dalam pada itu, baik Ki Waskita maupun Ki Gede Menorehpun terkejut melihat sikap Agung Sedayu. Keduanya yang sudah kehilangan harapan, dan bahkan Ki Gede yang marah itu hampir saja memburu kearah Ajar Tal Pitu, rasa-rasanya telah melihat satu keajaiban telah terjadi.
Namun dalam pada itu, Ki Waskitapun berdesis, "Apa yang dapat dilakukan oleh anak muda itu ternyata melampaui dugaan kita."
"Ya," desis Ki Gede, "kitalah yang ternyata terlalu bodoh untuk mengerti apa yang telah terjadi."
Ki Waskita mengangguk-angguk. Namun sesuatu masih terasa bergejolak didalam dadanya.
Sementara itu, di arah yang lain Ki Pringgajaya dan seorang kawannya telah terguncang pula jantungnya melihat apa yang telah terjadi. Betapa keduanya terkejut ketika mereka melihat Agung Sedayu itu mengelak dan kemudian melenting berdiri selangkah disebelah Ajar Tal Pitu.
"Anak Setan," geram Ki Pringgajaya, "jadi ia masih sempat mengelak."
Pengawalnya yang terkejut itu justru menjadi gemetar. Ia melihat Agung Sedayu itu berdiri tegak, utuh dan sama sekali tidak lumpuh sebagaimana diduganya setelah Agung Sedayu jatuh bersandar pohon randu alas.
"Benar-benar anak iblis," sahut kawan Ki Pringgajaya itu.
Sebenarnyalah Agung Sedayu masih berdiri tegak. Ajar Tal Pitu yang tidak menduga bahwa korbannya masih akan mampu mengelak itupun untuk beberapa saat bagaikan kehilangan akal.
Namun ia bukan seorang yang berotak tumpul. Betapa jantungnya terguncang, namun ia dengan cepat dapat mengambil satu sikap. Ia telah menghadapi satu kenyataan tentang Agung Sedayu. Karena itu, maka ia harus segera berbuat sesuatu.
Karena itulah, maka dengan segenap kekuatan ilmunya, ia telah menarik trisulanya dari pokok pohon randu alas itu.
Adalah giliran Agung Sedayu untuk terkejut. Ia menduga, bahwa Ajar Tal Pitu memerlukan tenaga dalam ilmu puncaknya untuk mencabut senjatanya. Namun ternyata ia telah menarik senjata seolah-olah senjatanya itu tercelup didalam air. Begitu mudahnya.
Dalam keremangan cahaya bulan bulat yang dibayangi oleh rimbunnya daun randu alas, Agung Sedayu melihat dengan tatapan matanya yang tajam, lubang-lubang bekas ketiga ujung trisula itu masih mengepulkan asap.
"Bukan main," berkata Agung Sedayu didalam hatinya, "ternyata api diujung trisula Ajar Tald Pitu yang sebenarnya itu tidak main-main. Api itu mampu membakar pokok kayu randu alas sehingga dengan mudah ia mampu menarik trisulanya.
Dalam pada itu, barulah Agung Sedayu merasa membuat satu kesalahan. Karena demikian Ajar Tal Pitu itu menyadari keadaannya dan setelah menarik trisulanya, maka ialah yang mengambil kesempatan untuk memulai lagi dengan satu perang tanding yang dahsyat.
Dengan segenap kekuatannya Ajar Tal Pitu itu mengayunkan trisulanya mendatar menghantam dada Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu sempat meloncat mundur, sehingga trisula itu berdesing dihadapan dadanya.
Tetapi demikian trisula itu tidak menyentuh tubuh Agung Sedayu, Ajar Tal Pitu segera memutar senjatanya berporos pada pangkal tangkai trisulanya. Dengan secepat kilat senjatanya itu telah menyambar sekali lagi.
Agung Sedayu masih sempat mengelak. Namun ia merasa, bahwa Ajar Tal Pitu telah mengambil kesempatan untuk melibatnya dalam perkelahian jarak pendek.
Sebenarnyalah Ajar Tal Pitu yang sudah pernah mengalami kekalahan dari Agung Sedayu itu mengerti, bahwa Agung Sedayu mampu menyerangnya pada jarak diluar jarak jangkau wadagnya. Pada saat yang demikian, ia seolah-olah hanya merupakan sasaran yang tidak mampu membalas. Kedua bayangan ujudnya itu ternyata tidak berdaya menghadapi Agung Sedayu yang telah berhasil memecahkan teka-teki ilmunya, Kakang Pembarep dan Adi Wuragil. Karena itu, maka Ajar Tal Pitu tidak mau mengulangi kekalahan karena ia tidak mampu melawan pada jarak diluar jangkauan senjatanya.
Dengan demikian maka Ajar Tal Pitu yang berada pada jarak jangkau senjatanya itu tidak mau melepaskan Agung Sedayu untuk keluar dari libatan pertempuran jarak pendek.
Agung Sedayu yang sudah terlanjur berada dalam pergumulan berjarak pendek itu sulit untuk mengambil jarak dan melepaskan kekuatan ilmunya lewat sorot matanya. Ia tidak mempunyai kesempatan untuk melepaskan diri barang sekejap, membangun kekuatan dan ilmunya yang akan dilepaskan lewat sorot matanya.
Pada saat-saat berikutnya ternyata tidak mudah bagi Agung Sedayu untuk membetulkan kesalahannya. Pertempuran jarak pendek itu bagaikan prahara yang melibatnya, sehingga sulit baginya untuk dapat keluar dari putarannya.
Namun Agung Sedayu masih mempunyai perisai yang dapat melindunginya. Ia telah mengetrapkan ilmu kebalnya. Ia tidak mau hancur dicincang oleh ujung senjata Ajar Tal Pitu itu.
Perang tanding itupun semakin lama menjadi semakin dahsyat. Kedua ujud Ajar Tal Pitu yang lain itupun masih ikut bertempur pula. Meskipun Agung Sedayu tidak menghiraukannya lagi, namun karena mereka justru berusaha berbaur, kadang-kadang Agung Sedayu kehilangan waktu sekejap untuk memilih lawannya yang sebenarnya.
Sebagaimana yang dilakukannya terdahulu, karena Agung Sedayu tidak sempat mempergunakan sorot matanya dalam pertempuran yang berjarak pendek itu, maka Agung Sedayu telah mengembangkan ilmu kebalnya. Udara di bawah pohon randu alas itu menjadi semakin lama semakin panas.
Maka terulanglah pertempuran yang dahsyat itu. Yang nampak oleh mata orang lain. Agung Sedayu telah bertempur melawan tiga orang yang sama ujud dan ilmunya.
Dalam pada itu. Agung Sedayu yang telah berhasil memecahkan teka-teki ilmu lawannya itu sama sekali tidak menghiraukan kedua ujud yang lain dari Ajar Tal Pitu itu. Ia berusaha untuk mengenali Ajar Tal Pitu yang sebenarnya dan mengarahkan segenap serangannya kepada ujud yang sebenarnya itu.
Namun bagaimanapun juga, kadang-kadang Agung Sedayu juga kehilangan jejak beberapa saat atas lawannya yang memang berusaha untuk membaurkan diri. Sekali-sekali mereka bertiga dengan sengaja telah berlari-lari saling menyilang.
Tetapi sejenak kemudian Agung Sedayupun segera dapat mengenali lawan itu pula dengan senjatanya. Karena kedua ujud Ajar Tal Pitu yang bukan sebenarnya itu, seolah-olah tidak tersentuh oleh senjatanya betapapun juga ia menyerangnya.
Namun saat-saat yang sekejap-sekejap itu dapat dipergunakan sebaik-baiknya oleh Ajar Tal Pitu. Karena itu, maka sekali-sekali ujung trisulanya telah mampu mengenai tubuh Agung Sedayu.
Namun Agung Sedayu telah dilambari oleh ilmu kebalnya. Karena itu maka serangan-serangan Ajar Tal Pitu itu tidak mampu melukai kulitnya.
Justru dalam pada itu, ujung cambuk Agung Sedayulah yang mulai terasa menyentuh lawannya. Ajar Tal Pitu tidak dapat ingkar, bahwa kemampuan Agung Sedayu yang luar biasa itu telah dapat menggores kulitnya, melukainya dan menyakitinya.
Kemungkinan terluka itu pulalah yang membuat Agung Sedayu mengenali lawannya. Ajar Tal Pitu yang sebenarnya selalu menghindari serangannya, sedangkan ujud yang lain seolah-olah tidak menghiraukan serangan-serangan yang betapapun dahsyatnya.
Dalam pertempuran yang semakin sengit, serta telah terpecahnya ilmu Kakang Pembarep dan Adi Wuragil itu, maka terasa, baik oleh Ajar Tal Pitu sendiri, maupun oleh Agung Sedayu, bahwa keseimbangan pertempuran itu mulai bergeser. Udara panas yang terlontar dari kedua belah pihak ternyata mempunyai akibat yang berbeda. Dengan ilmu kebalnya Agung Sedayu mampu menahan serangan udara panas itu, sementara Ajar Tal Pitu semakin lama semakin mengalami kesulitan.
Sementara Agung Sedayu semakin meningkatkan serangannya, maka Ajar Tal Pitu telah berusaha mencari jalan untuk mengatasi lawannya yang masih muda itu. Dengan segala cara ia berusaha untuk membuat lawannya kadang-kadang menjadi bingung meskipun hanya sekejap. Yang sekejap itu telah dipergunakan sebaik-baiknya oleh Ajar Tal Pitu. Meskipun trisulanya tidak dapat melukai lawannya, namun pada benturan yang keras, kekuatan Ajar Tal Pitu mampu mendorong Agung Sedayu satu dua langkah. Karena itu, maka Ajar Tal Pitupun yakin. jika ia mendapat kesempatan, maka dengan sepenuh kekuatannya, ia akan mampu menembus ilmu kebal Agung Sedayu. Setidak-tidaknya ia akan dapat menghancurkan bagian dalam Agung Sedayu seandainya ia tidak berhasil melukai kulitnya.
Namun dalam pada itu, rasa-rasanya udara panas itupun semakin membakar tubuh Ajar Tal Pitu.
"Aku harus mendapat cara untuk dengan cepat menyelesaikan pertempuran ini," berkata Ajar Tal Pitu kepada diri sendiri.
Karena itu, maka iapun telah mencari akal berlandaskan ilmu yang ada padanya.
Sementara perkelahian itu menjadi semakin seru, maka pembauran diri dengan saling menyilang itupun dilakukan semakin sering. Namun akhirnya Agung Sedayu yang sedang kehilangan pengamatan atas lawannya itu menjadi bimbang, karena ketiga orang lawannya itu dengan serta-merta telah menjauhinya.
Namun akhirnya Agung Sedayu mengambil kesimpulan, bahwa ia telah menemukan lawannya yang sebenarnya. Satu diantara ketiga ujud itu telah bergeser perlahan-lahan menjauhinya. Semakin lama semakin jauh, sementara kedua ujud yang lain masih tetap berdiri ditempatnya, bahkan siap untuk menyerang.
"Kau tidak akan dapat lari," geram Agung Sedayu.
Karena itu, maka dengan serta merta Agung Sedayupun telah meloncat memburu ujud yang semakin lama semakin menjauhinya. Apalagi ketika ujud itu melihat Agung Sedayu yang siap menyerangnya itupun dengan cepat telah bergeser semakin jauh.
Serangan Agung Sedayu telah datang membadai. Dengan ujung cambuknya Agung Sedayu ingin menangkap Ajar Tal Pitu dan menyeretnya kembali ke pusat arena dibawah randu alas itu.
Namun ternyata Agung Sedayu telah membuat kesalahan sekali lagi. Agung Sedayu ternyata tidak berhasil menyentuh ujud itu dengan ujung cambuknya. Ketika ia melecut dengan sekuat tenaganya, maka ia melihat ujud itu menggeliat. Namun perasaannya tidak dapat tertipu lagi. Meskipun ujud itu menggeliat, tetapi tangannya tidak merasa sentuhan apapun juga pada ujung cambuknya.
Agung Sedayu baru menyadari apa yang terjadi. Tetapi ia sudah terlambat. Ternyata bahwa Ajar Tal Pitu telah mengelabuinya. Yang berusaha menghindar itu bukan Ajar Tal Pitu yang sebenarnya, justru karena Ajar Tal Pitu sudah mengetahui bahwa Agung Sedayu sudah berhasil memecahkan teka-teki ilmunya.
Dengan perhitungan yang cermat. Ajar Tal Pitu yakin, bahwa Agung Sedayu akan menyangka, bahwa ujud yang paling jauh menghindari senjata cambuknya adalah Ajar Tal Pitu yang sebenarnya.
Namun dalam pada itu, kesalahan Agung Sedayu itu telah memberi kesempatan kepada Ajar Tal Pitu yang sebenarnya untuk mengerahkan segenap kekuatan dalam lambaran ilmunya untuk menyerang Agung Sedayu yang seakan-akan tidak menghiraukannya lagi. Dengan ancang-ancang yang cukup, maka Ajar Tal Pitu telah berlari dengan ujung trisulanya yang merunduk tepat mengarah kejantung Agung Sedayu.
Agung Sedayu tidak sempat lagi untuk menghindar. Yang dapat dilakukan adalah melawan serangan itu dengan perisai ilmu kebalnya pada puncak kemampuannya.
Demikianlah, telah terjadi benturan yang dahsyat sekali. Ilmu Ajar Tal Pitu yang sudah ditempa dalam laku terakhirnya, telah membentur ilmu kebal Agung Sedayu pada puncak kekuatannya.
Sebenarnyalah bahwa ujung trisula itu tidak dapat mengoyak ilmu kebal Agung Sedayu, sehingga dengan demikian kulit Agung Sedayu memang tidak terluka karenanya. Namun kekuatan Ajar Tal Pitu yang tiada taranya itu telah berhasil menghantam bagian dalam tubuh Agung Sedayu dan mendorongnya sehingga Agung Sedayu itupun terpelanting jatuh.
Betapa perasaan sakit sempat menggigit tulang-tulang Agung Sedayu. Rasa-rasanya tulang-tulangnya itu berpatahan, dan isi dadanya berguguran.
Namun Agung Sedayu masih tetap sadar. Karena itu, maka iapun melihat, bahwa Ajar Tal Pitu itu kemudian melangkah surut dua tiga langkah. Sekali lagi Ajar Tal Pitu mengambil ancang-ancang. Dengan sepenuh tenaganya ia kemudian mengayunkan trisulanya menghantam Agung Sedayu yang tergolek ditanah.
Tetapi Agung Sedayu tidak membiarkan dirinya sekali lagi dikenai ujung trisula itu. Apalagi pada dahinya. Karena itu, meskipun untuk sesaat ia berbaring diam, namun mata trisula itu meluncur ke kepalanya, maka Agung Sedayupun telah bergeser setapak. Sehingga dengan demikian, trisula itu telah menghunjam justru kedalam tanah.
Pada saat yang tepat, betapapun perasaan sakit mencengkam tubuhnya, namun Agung Sedayu masih sempat mengayunkan cambuknya membelit tangan Ajar Tal Pitu yang justru menggenggam trisulanya.
Ajar Tal Pitu terkejut. Ia tidak menyangka bahwa Agung Sedayu masih sempat melakukannya.
Pada saat yang tepat. Agung Sedayu itupun melenting bangkit. Ia sudah siap berdiri ketika Ajar Tal Pitu menyadari keadaannya sepenuhnya. Pada saat ia berusaha mencabut trisulanya, maka belitan cambuk Agung Sedayu merupakan kekuatan yang menghambatnya.
Misteri Kain Kafan Jesus 2 Pesan Hari Ini Karya Fauzi Nugroho Pendekar Patung Emas 3

Cari Blog Ini