Misteri Kain Kafan Jesus The Brotherhood Of The Holy Shroud Karya Julia Navarro Bagian 2
bergerak dalam lingkungan yang sama."
"Apa yang sudah kautemukan tentang Padre Yves?" tanya Marco.
"Orang hebat, pastor kita itu. Pria yang sangat cerdas. Dia orang Prancis,
keluarganya masih keturunan bangsawan, punya banyak pengaruh di kalangan atas.
Ayahnya, yang sudah meninggal, adalah seorang diplomat dan salah satu orang
penting di Kementerian Luar Negeri dalam pemerintahan Presiden de Gaulle. Kakak
laki-laki Yves adalah delegasi di Parlemen Prancis, belum lagi dia pernah
memegang beberapa jabatan dalam pemerintahan Presiden Chirac. Kakak perempuannya
adalah hakim di Mahkamah Agung Prancis, dan Yves sendiri punya karier yang
melesat bak meteor di Gereja. Orang yang menolong kariernya dengan cara paling
langsung adalah Monsinyur Aubry, asisten Sekretaris Muda Negara Vatikan, tetapi
Kardinal Paul Visier, pengelola keuangan Vatikan, juga membantu Yves Visier
adalah teman sekamar kakak laki-laki Yves di universitas. Jadilah Yves mendapat
promosi demi promosi, menjalankan tugasnya dalam urusan diplomasi. Dia pernah
memegang jabatan di kedutaan besar Vatikan di Brusel, Bonn, Mexico City, dan
Panama. Dia ditempatkan sebagai sekretaris kardinal di sini di Turin khususnya
atas rekomendasi Monsinyur Aubry, dan menurut gosip dia sebentar lagi diangkat
menjadi wakil uskup di dioses. Tidak ada yang istimewa dalam riwayat hidupnya
kecuali fakta bahwa dia sepenuhnya mengabdi pada kepastoran, dengan keluarga
berpengaruh yang mendukung karier kerohaniwanannya. Catatan akademisnya juga
tidak begitu bersahaja. Selain teologi, dia pernah belajar filsafat, dia punya gelar dalam bahasa kuno,
bahasa-bahasa yang sudah mati, Latin, Aramaik, dan seterusnya, dan dia fasih
berbicara dalam beberapa bahasa yang masih hidup.
"Satu-satunya yang tidak biasa pada dirinya, setidaknya sebagai seorang pastor
adalah bahwa dia menyukai seni bela diri. Rupanya semasa kecil badannya lemah,
jadi supaya dia tidak jadi bulan-bulanan terus, ayahnya memutuskan bahwa dia
perlu belajar karate. Dia jadi ketagihan dan selain memiliki ban hitam dengan
entah berapa banyak takik atau apalah di bannya itu, dia juga menguasai tae kwon
do, kickboxing, dan aikido. Seni-seni bela diri ini tampaknya merupakan satusatunya kegemarannya, tetapi mengingat kegemaran-kegemaran lain yang biasa
ditemui di Vatikan, yang tadi itu bukan apa-apa. Oh, dan meski dia sangat
tampan, aku menilai dari foto-fotonya, dia tidak pernah diketahui menyimpang
dari sumpah kesuciannya, dengan perempuan atau pun laki-laki. Pokoknya, benarbenar selibat." "Apa lagi yang kita punya?" Marco bertanya tanpa menujukan pertanyaannya pada
seseorang secara khusus. "Kita hanya punya secuil, Bos," kata Giuseppe. "Kita masih di titik nol. Tidak
ada petunjuk dan, yang lebih buruk lagi, tidak ada motif. Kami akan memeriksa
lagi masalah pintu yang dibuka paksa itu kalau menurutmu itu mungkin pancingan
untuk membingungkan kita, tetapi kalau begitu lewat mana mereka masuk dan
keluar" Kami sudah memeriksa katedral dengan teliti sekali, dan aku bisa
menjamin tidak ada pintu atau jalan rahasia. Kardinal tertawa waktu kami
menanyakan kemungkinan itu. Dia meyakinkan kami bahwa katedral ini tidak punya
yang semacam itu. Dan kurasa dia benar kita sudah melihat peta terowonganterowongan yang malang melintang dibawah sebagian besar Turin, dan di daerah
katedral itu tidak ada satu pun. Sebenarnya, Turin memperoleh banyak uang dengan
mengajak wisatawan memasuki terowongan-terowongan itu dan menceritakan sejarah
pahlawan kota ini, Pietro Micca, tetapi tidak ada tanda-tanda apa pun di bawah
katedral ini." "Motifnya adalah Kafan Suci," Marco bersikukuh.
"Mereka mengincar kain itu. Aku masih belum yakin apakah mereka ingin mencuri
atau menghancurkan, tetapi sasarannya adalah Kafan Suci, yang satu itu aku
yakin. Baiklah, ada saran?"
Keheningan yang menggelisahkan hadir. Sofia melemparkan pandangan pada Pietro,
tetapi Pietro, yang kepalanya tertunduk, sedang menyibukkan diri dengan
menyalakan sebatang rokok, jadi Sofia memutuskan untuk langsung saja.
"Marco, kalau aku, aku akan membebaskan si Bisu."
Semua menatapnya. Sofia nekat. "Maksudku, seandainya kau benar, Marco, dan ini adalah upaya jangka
panjang yang terorganisasi untuk mengincar Kafan Suci, maka jelas bahwa mutilasi
ini adalah bagian dari modus operandi mereka, mereka mengirim orang-orang tak
berlidah untuk melaksanakan tugas itu, jadi jika mereka tertangkap, seperti si
Bisu di penjara Turin, mereka bisa terus membungkam, mengasingkan diri, tidak
tergoda untuk berkomunikasi. Dan bukan hanya tak berlidah, bukan" Sidik jari
mereka sudah dibakar sehingga tidak ada cara apa pun untuk mengetahui jati diri
mereka, dan mana mereka berasal.
Dan menurut pendapatku, Marco, mengancam orang ini tidak akan membawamu ke manamana. Dia sudah membiarkan seseorang memotong lidahnya dan membakar sidik
jarinya, apa pikirmu kau membuatnya takut" Jadi tidak mungkinlah dia melihat
kartumu dan berkata, 'Hmm, bolehjuga kalau aku bincang-bincang dengan polisi
ini.' Dia akan menyelesaikan masa hukumannya- tinggal setahun lagi yang harus dia
jalani. "Kita bisa melakukan satu dari dua hal: menunggu satu tahun, atau berusaha
meyakinkan bos-bos di atas untuk menyetujui alur investigasi baru bebaskan si
Bisu, dan begitu dia di jalan, tugaskan orang untuk membuntutinya. Dia pasti
harus pergi ke suatu tempat, menghubungi seseorang.
"Ini benang yang mungkin bisa membawa kita menelusuri simpul ini, menuntun kita
ke dalam konspirasi ini, seperti kuda Troya. Tetapi, kalau kau memutuskan untuk
mengambil jalan itu, banyak persiapan yang harus dilakukan. Kita tidak bisa
membebaskannya begitu saja; kita harus menunggu paling tidak menurutku dua bulan
dan bahkan harus banyak berakting supaya dia tidak curiga kenapa kita
membebaskannya." "Oh Tuhan, selama ini kita tolol sekali," ujar Marco setelah beberapa lama. Lalu
ia menghantamkan tinjunya ke meja. "Bagaimana kita bisa begitu bodoh! Kita, para
carabinieri, everybody! Kita punya pemecahan tepat didepan mata, tapi kita
menghabiskan dua tahun terakhir ini dengan kepala tersembunyi di bokong."
Kata-kata Marco berikutnya menghapus setiap keraguan yang Sofia rasakan tentang
pemikirannya. "Sofia, kau benar sekali. Itulah yang seharusnya kita lakukan dari awal. Aku
akan berbicara dengan menteri-menteri dan menjelaskan kepada mereka kita harus
mendesak mereka untuk berbicara dengan para hakim, jaksa, siapa saja, pokoknya
mendesak mereka untuk membebaskan si Bisu, dan dari sana kita memulai operasi
untuk membuntutinya, setiap langkah yang dia ambil. Siapa pun tidak bisa lagi
menyanggah bahwa ini hanya insiden acak. Dan aku akan memastikan bahwa tidak
seorang pun ingin berada di pihak yang salah dalam hal mengamankan kafan itu
untuk selama-lamanya. Sekaranglah waktunya, meski sudah terlambat sekali, untuk
mengetahui inti peristiwa-peristiwa ini. Dan mengakhirinya."
"Bos," sela Pietro, "kita tidak boleh sembrono. Mari kita pikirkan dulu
bagaimana menjual ide kepada si Bisu ini bahwa kita akan membebaskannya. Dua
bulan, seperti yang disarankan Sofia, sepertinya tidak cukup mengingat bahwa kau
baru saja bicara dengannya dan mengatakan kepadanya dia akan membusuk di
penjara. Jika kita bebaskan sekarang, dia pasti tahu ini jebakan dan tidak akan
melakukan gerakan apa pun."
Minerva gelisah di kursinya, sedang Giuseppe kelihatan pecah perhatiannya dan
Antonino menatap kosong. Mereka tahu bahwa Marco ingin mendengar pendapat mereka
masing-masing. "Antonino, kenapa kau belum mengatakan apa-apa?"
Marco bertanya kepada ahli sejarah seni lainnya dalam tim itu.
"Sejujurnya, Bos, kurasa rencana Sofia itu brilian. Kurasa kita harus
melaksanakan rencana itu, tetapi aku sependapat dengan Pietro bahwa kita tidak
bisa membebaskan si Bisu itu terlalu cepat; aku malah cenderung
membiarkannya menjalani satu tahun sisa
masa hukumannya." "Dan sementara itu apa" Duduk dan menunggu kelompok berikutnya menjajal
sesuatu?" Marco hampir berteriak.
"Kafan itu," sahut Antonino, "sudah berada di ruang penyimpanannya sendiri di bank, dan
bisa tetap di sana selama satu tahun ke depan. Bukan baru kali ini Kafan Suci
menghabiskan waktu selama itu tanpa diperlihatkan kepada masyarakat."
"Dia benar," timpal Minerva, "dan kau harus akui itu. Maksudku, aku sependapat
bahwa susah sekali hanya duduk dan menunggu, tetapi kalau tidak begitu, kita
bisa saja kehilangan satu-satunya petunjuk yang kita punya."
"Giuseppe?" "Aku benci harus menunggu, Bos," polisi itu menjawab. "Tetapi kurasa kita
terpaksa menunggu." "Aku tidak mau menunggu," kata Marco dengan tegas. "Tidak satu tahun."
"Yah, itulah tindakan yang paling masuk akal," sanggah Giuseppe.
"Sebenarnya bisa lebih dari itu."
Semua mata kembali tertuju pada Sofia. Marco mengangkat alis dan mengembangkan
kedua tangan, mempersilakan Sofia melanjutkan.
"Menurut pendapatku kita harus kembali ke para pekerja dan menginterogasi mereka
lagi, sampai kita yakin seyakin-yakinnya bahwa hubungan pendek itu memang hanya
kecelakaan. Kita juga harus menyelidiki COCSA, yang berarti menanyai D'Alaqua
juga. Di balik tampilan yang mengesankan itu mungkin saja ada sesuatu yang
selama ini kita lewatkan."
Pietro memelototi Sofia. Dialah yang sudah menginterogasi para pekerja, dan dia
melakukan tugas itu dengan sangat menyeluruh. Dia punya satu berkas arsip untuk
setiap pekerja, warga Italia maupun imigran, dan dia tidak menemukan apa-apa
dalam komputer polisi, arsip-arsip Europol, ataupun pemeriksaan latar
belakangyang sudah ia lakukan.
Mereka semua bersih. "Menurutmu kita harus menanyai mereka lagi karena mereka orang asing?"
sambarnya. Sofia menoleh kepadanya. "Kautahu bukan itu masalahnya, dan aku tidak suka
tuduhan tidak langsung itu, Pietro. Aku tadi mengatakan persis seperti yang
kumaksud; kurasa kita sebaiknya kembali menyelidiki mereka semua, yang orang
Italia maupun yang orang asing, dan kalau kau mendesakku aku akan mengatakan
Kardinal juga termasuk."
"Kita semua akan meneliti lagi yang sudah kita lakukan sejauh ini, dan kita
tidak menutup alur investigasi manapun," Marco menyela, untuk menghentikan
perdebatan yang semakin panas itu.
Pietro menggeliat marah di kursinya. "Ada apa ini. Kita akan menjadikan semua
orang tersangka?" Marco tidak menyukai nada bicara Pietro. "Kita akan meneruskan investigasi
kita," ulangnya. "Tapi aku akan kembali ke Roma sekarang.
Aku ingin berbicara dengan menteri-menteri; kita perlu lampu hijau dan mereka
untuk rencana kuda Troya kita. Aku akan berusaha memikirkan cara untuk
membebaskan si Bisu lebih cepat, bukan lebih lambat, tanpa membuat dia curiga
ada rencana tertentu. Aku ingin dua atau tiga orang dari kalian tetap di sini
beberapa hari lagi. Yang lainnya akan kembali bersamaku, tetapi aku ingin
menegaskan bahwa semua orang masih menangani kasus ini. Teliti lagi apa pun yang
sudah kalian dapat. Baiklah, kalau begitu, siapa yang tinggal?"
"Aku," ujar Sofia.
"Aku juga," kata Giuseppe dan Antonino bersamaan.
"Kurasa," kata Minerva, "aku akan lebih banyak membantu dengan komputerku di
Roma." "Baiklah. Minerva dan Pietro pergi bersamaku. Kurasa ada pesawat pukul tiga."
Sofia dan Pietro duduk membisu. Marco sudah pergi untuk mampir di kantor kepala
carabinieri Turin sebelum berangkat ke bandara, sementara Minerva, Giuseppe, dan
Antonino memutuskan untuk pergi ke bar di sudut jalan untuk minum kopi, untuk
memberi keleluasaan bagi pasangan ini. Semua orang sudah melihat ketegangan
diantara mereka. Sofia menyibukkan diri dengan kertas-kertas, sementara Pietro
memandang keluar jendela.
"Kau marah?" akhirnya Sofia bertanya.
"Tidak. Kau memang tidak perlu memberitahuku semua yang kaupikirkan."
"Sudahlah, Pietro, aku tahu kalau kau kesal."
"Aku tidak ingin berdebat soal itu. Kau menyodorkan rencana yang baru setengah
matang, dan sebenarnya aku bisa membantu seandainya kau membicarakan dulu
denganku. Tetapi kau berhasil membujuk Marco, jadi kaulah yang dapat bintang.
Dan sekarang kita semua harus berusaha memastikan kuda Troyamu berhasil. Tidak
usah mempersoalkan itu terus, atau kita akan terjebak dalam pertengkaran bodoh
yang tidak akan membawa kita kemanapun selain kemarahan."
"Apa kau keberatan dengan rencana itu karena aku yang mengusulkan" Atau kau
benar-benar melihat titik-titik lemahnya?"
"Membebaskan si Bisu itu adalah kesalahan. Dia akan sadar bahwa ada sesuatu yang
tidak beres dan dia tidak akan membawa kita ke manapun. Mungkin akhirnya kita
malah kehilangan dia. Dan mengenai menyelidiki para pekerja lagi, silakan saja.
Beritahu aku kalau kau menemukan sesuatu."
Sofia tidak mau repot-repot menjawab. Dia lega Pietro akan kembali ke Roma. Jika
Pietro tinggal, mereka malah akan benar-benar bertengkar dan tak seorang pun
dari mereka memerlukan itu, khususnya sekarang. Belum lagi pekerjaan mereka akan
terpengaruh, dan walaupun Kafan Suci tidak membuatnya terobsesi seperti Marco,
dia merasa tertantang dan penasaran dengan kasus ini dan sangat ingin mencari
pemecahan. Dan dia punya firasat bahwa kuda Troyanya bisa membawa pada pemecahan
itu. Ya, yang paling tepat adalah Pietro kembali saja ke Roma; beberapa hari akan
berlalu dan segalanya akan kembali normal. Mereka akan berciuman dan
berbaikan... 8 Laki-laki itu mengangkat tingkap dan menyorotkan sinar senternya menembus
kegelapan ruang bawah tanah. Tiga wajah lesu menatapnya.
Dengan susah payah dia menuruni tangga dari kayu kasar sambil menahan gigilan.
Dia ingin orang-orang yang tidak bisa bicara ini cepat pergi, tetapi dia juga
tahu bahwa setiap tindakan yang terburu-buru bisa saja mendaratkan mereka semua
di penjara dan, yang lebih buruk, memperbesar rasa malu karena mereka gagal
lagi, yang pasti membuat Addaio membenci mereka selamanya bahkan, mungkin,
memerintahkan agar mereka dikucilkan.
"Penyelidik-penyelidik dari Roma itu sudah pergi. Hari ini mereka mengadakan
pertemuan terakhir dengan Kardinal. Dan ketua mereka, Valoni, berbicara lama
sekali dengan Padre Yves. Kudengar carabinieri sudah menyimpulkan bahwa teman
kita yang meninggal bekerja sendirian dan boleh dibilang mereka sudah
menghentikan upaya investigasi. Jadi kurasa keadaan sudah aman bagi kalian untuk
memulai perjalanan pulang. Seperti yang diperintahkan Addaio, masing-masing dari
kalian akan mengambil rute yang berlainan."
Yang tertua dari orang-orang yang tidak berbicara ini, seorang pria berusia
pertengahan tiga puluhan yang tampaknya adalah pemimpin mereka, mengangguk
sambil menulis di secarik kertas.
Apa kau yakin tidak ada bahaya"
"Seyakin yang aku bisa. Apa kalian perlu sesuatu?"
Pria itu menulis lagi. Kami perlu mandi, peralatan bercukur. Kami tidak, mungkin
pergi dengan penampilan seperti ini. Bawakan kami air lebih banyak, sebuah
baskom untuk, kami mandi. Dan bagaimana dengan truk" "Kau yang pertama pergi.
Antara tengah malam dan pukul satu malam ini aku akan turun menjemputmu, dan aku
akan membawamu melalui terowongan ke pekuburan. Dari sana, kau harus berjalan ke
stasiun Merci di Vanchiglia, di sisi lain Piazza. Sebuah truk akan menunggumu di
sana, tetapi tidak lebih dari lima menit." Dia menyerahkan sehelai kertas dengan
angka-angka tertulis di atasnya. "Ini nomor pelat truk itu. Kau akan dibawa ke
Genoa. Di sana kau naik ke kapal sebagai pelaut di atas Stella di Mare, dan
dalam seminggu kau sudah di rumah."
Si pemimpin mengangguk lagi. Sementara itu, dua temannya duduk penuh harap.
Mereka lebih muda, belum lagi dua puluh tahun, yang satu bertubuh tinggi,
berbahu bidang, berotot, dengan rambut hitam dipangkas pendek gaya militer, yang
seorang lagi lebih pendek, lebih kurus, dan tidak terlalu berotot, dengan rambut
coklat dan wajah berkerut tegang.
Kontak mereka kemudian menoleh pada pemuda berambut hitam itu.
"Trukmu akan datang menjemput besok antara pukul satu dan dua pagi. Kau dan aku,
sekali lagi, akan mengikuti terowongan ke pekuburan.
Kalau kau sudah keluar ke jalan, berbeloklah ke kiri ke arah sungai; truk itu
pasti sudah menunggu. Kau akan melintasi perbatasan memasuki Swiss dan dari sana
kaucari jalan ke Jerman. Seseorang akan sudah menunggumu di Berlin; kau sudah
tahu alamat orang-orang yang akan memastikan bahwa kau sampai ke rumah."
Yang terakhir dari ketiga orang itu menatap lekat-lekat sang duta, yang tibatiba dilanda ketakutan melihat kemarahan dalam mata pemuda itu. "Kau yang
terakhir pergi. Kau harus tetap di sini dua hari lagi. Truk akan menjemputmu
pukul satu atau dua, seperti sebelumnya, dan kau akan dibawa langsung kerumah.
Aku akan memberikan lebih banyak lagi detail saat aku menjemputmu. Semoga kalian
Misteri Kain Kafan Jesus The Brotherhood Of The Holy Shroud Karya Julia Navarro di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
semua berhasil. Aku akan membawakan barang-barang yang kalian butuhkan."
Si pemimpin mencengkram lengan sang duta dan memberi isyarat bahwa dia punya
satu pertanyaan lagi, yang cepat-cepat dia tulis di kertas.
"Mendib?" kata si perantara. "Dia di penjara, kau tahu itu. Dulu dia bertingkah
seperti orang gila; dia tidak mau menunggu saudara-saudaranya tiba tapi justru
pergi sendirian memasuki katedral dan mencapai kapel. Aku tidak tahu apa yang
dia lakukan di sana, tetapi dia pasti sudah tidak sengaja membuat alarm
berbunyi. Dia tertangkap sewaktu berlari dari katedral. Tidak ada lagi yang bisa
dikatakan. Aku mendapat perintah dari Addaio untuk tidak mengambil risiko apa
pun, jadi aku tidak bisa menolongnya. Tak seorang pun dari kita yang bisa.
"Nah, ikuti saja instruksinya dan kalian semua akan selamat, tidak akan ada
masalah apa-apa. Tidak ada yang tahu tentang ruangan ini atau tentang terowongan
ini. Berhati-hatilah menjaga rahasia ini. Memang ada lusinan terowongan seperti
ini malang melintang di bawah kota, tetapi tidak semuanya diketahui orang.
Celakalah kalau mereka sampai menemukan yang satu ini, awal kehancuran bagi kita
semua dan misi suci kita." Ketika mereka tinggal bertiga lagi, si pemimpin
memberi isyarat agar teman-temannya mendekat. Hanya beberapa jam lagi tahap
berikutnya dalam perjalanan panjang mereka akan dimulai. Mereka akan sampai
dirumah atau tertangkap atau tewas. Sejauh ini keberuntungan tidak benar-benar
menjauhi mereka; bagaimanapun juga mereka masih hidup. Namun, perjalanan pulang
nanti penuh bertabur bahaya. Mereka berharap Tuhan mendengar doa-doa mereka dan
mengizinkan mereka bertemu lagi dengan Addaio.
Air mata mereka bercampur ketika mereka berangkulan.
9 "Josar! Josar!"
Seorang anak muda berlari memasuki kamar tempat Josar tengah terlelap. Fajar
baru saja merekah di cakrawala.
Berat rasanya Josar membuka mata, tetapi ketika itu ia lakukan, matanya menatap
sosok kurus tinggi Izaz, keponakannya, seorang pemuda yang cerdas dan penuh
bakat. Izaz sedang belajar menjadi penulis istana. Josar yang mengajarinya, maka mereka
menghabiskan banyak waktu bersama.
Pemuda itu juga mengikuti pelajaran dari filsuf Marcius, yang mengajarinya
bahasa Yunani, bahasa Latin, matematika, retorika, dan filsafat.
"Ada karavan datang, dan seorang saudagar mengirim pesan ke istana,
menanyakanmu. Katanya di antara rombongan pengelana itu ada seorang pria bernama
Tadeus, teman Yesus, dan dia membawakan kabar untukmu tentang Thomas."
Josar tersenyum gembira ketika bangkit dan tempat tidurnya, dan dia menanyai
Izaz sambil cepat-cepat membasuh diri.
"Apakah kau yakin bahwa Tadeus sudah tiba di Edessa" Kau tidak salah mengartikan
pesan itu?" "Paduka Ratu menyuruhku mencarimu; beliaulah yang memberitahu apa yang harus kukatakan padamu!"
"Oh, Izaz! Aku tidak percaya kebahagiaan seperti ini mungkin terjadi. Tadeus
adalah salah seorang pengikut Yesus. Dan Thomas...
Thomas adalah salah satu dan orang-orang yang paling dipercaya sang Juru
Selamat, salah seorang yang paling dekat dari kedua belas murid.
Tadeus tentu membawa berita tentang Yerusalem, tentang Petrus, tentang
Yohanes... " Josar lekas-lekas berpakaian agar bisa segera tiba ditempat karavan-karavan
beristirahat setelah perjalanan yang panjang. Dia akan mengajak serta Izaz agar
keponakannya yang masih muda itu bisa bertemu sang murid Yesus.
Mereka bergegas keluar dan rumah sederhana tempat Josar tinggal.
Sejak kepulangannya dari Yerusalem, Josar menjual harta miliknya, rumahnya yang
nyaman berikut semua perabotan, dan menyerahkan uang hasil penjualan itu kepada
kaum miskin di kota. Dia menemukan tempat berlindung dalam rumah yang kecil dan
bersahaja ini, yang menampung semua yang ia miliki dan butuhkan: sebuah tempat
tidur, sebuah meja, beberapa bangku, dan perkamen, lusinan gulungan perkamen
yang sedang ia baca dan banyak lagi yang ia gunakan untuk tulisannya sendiri.
Josar dan Izaz melangkah cepat melalui jalan-jalan Edessa sampai mereka tiba di
pinggiran kota, tempat mereka menemukan karavankaravan itu. Pada jam sepagi itu, para saudagar sedang menyiapkan barang
dagangan sebelum memasuki kota, sementara budak-budak bergerak sibuk, memberi
makan dan minum binatang, mengencangkan tali yang mengikat bal-bal barang
dagangan, meniup-niup api untuk memasak.
"Josar!" Suara berat pemimpin pasukan pengawal raja menghentikan langkah Josar. Dia
membalik badan dan melihat Marvuz bersama sekelompok tentara.
"Raja mengutusku untuk mengawalmu ke istana bersama Tadeus yang datang dari
Yerusalem." "Terima kasih, Marvuz. Tunggulah di sini sementara aku mencarinya, dan kami akan
pergi bersamamu ke istana."
"Aku sudah menanyakan, dan tenda milik saudagar yang ia tumpangi adalah tenda
besar di sebelah sana, yang berwarna kelabu seperti badai. Aku sendiri sedang
menuju ke sana." "Tunggu, Marvuz, tunggu, izinkan aku menyambut temanku sendirian."
Pengawal itu memberi isyarat kepada anak buahnya, dan mereka mundur sementara
Josar berjalan ke tenda sang saudagar. Izaz mengikuti dua langkah ke belakang
karena tahu bagaimana perasaan pamannya yang akan berjumpa lagi dengan murid
sang Juru Selamat. Sudah berkali-kali Josar menceritakan kepadanya tentang para
murid ini, Yohanes, kesayangan sang Guru; Petrus, yang dipercaya Yesus meski
sebelumnya menolak mengakui Yesus; Markus dan Lukas; Matius dan Thomas; dan
begitu banyak lagi yang lainnya, yang nama-namanya hampir tidak bisa diingat
Izaz. Josar gemetar ketika menghampiri pintu masuk tenda, tetapi pada saat itu dan
sana muncullah seorang pria jangkung dengan wajah ramah dan terbuka, yang
berpakaian sebagaimana seharusnya saudagar-saudagar kaya Yerusalem berpakaian.
"Kau Josar?" "Benar." "Masuklah. Tadeus sedang menunggumu."
Josar memasuki tenda dan di sanalah Tadeus, duduk di atas sebuah bantal di
tanah, sedang menulis di sehelai perkamen. Mata kedua pria itu bertemu dan
mereka tersenyum lebar, gembira saling bertemu lagi.
Tadeus berdiri dan memeluk Josar.
"Sahabatku, aku bahagia bisa melihatmu," katanya.
"Aku tidak pernah membayangkan akan bisa melihatmu lagi. Hatiku penuh
kegembiraan, betapa seringnya aku menGenarig kalian semua!
Memikirkan kalian membuatku merasa dekat dengan Guru."
"Dia mencintaimu, Josar, dan memercayaimu. Dia tahu bahwa hatimu penuh kebaikan
dan bahwa kau akan menyebarkan firmannya ke manapun kau pergi, di manapun kau
berada." "Dan itulah yang selama ini kulakukan, Tadeus, meski aku selalu takut bahwa aku
tidak sanggup menyampaikan kata-kata Guru sebagaimana seharusnya."
Tepat saat itu Saudagar masuk.
"Tadeus, aku akan meninggalkanmu di sini bersama temanmu agar kalian berdua bisa
bicara. Pelayan-pelayanku akan membawakan kalian kurma dan keju dan air sejuk
dan tidak akan mengganggu kalian kecuali kalau kalian membutuhkan mereka.
Sekarang aku harus pergi kekota, tempat barang-barangku menantiku. Aku akan
kembali malam ini." "Josar," ujar Tadeus, "saudagar yang baik ini bernama Joshua, dan aku menempuh
perjalanan dari Yerusalem dibawah perlindungannya. Dia seringkah pergi
mendengarkan ajaran-ajaran Yesus, tetapi dia selalu bersembunyi karena takut
Guru akan mengusirnya. Namun Yesus, yang bersedia menemui semua orang, pada
suatu hari memintanya mendekat dan kata-kata Yesus menjadi obat bagi jiwa
Joshua, yang baru saja ditinggal mati istrinya. Dia adalah teman baik yang sudah
sangat banyak membantukami. Karavan-karavannya membawakan berita di antara kami,
dan dia membantu kami menyebarkan firman Guru dalam setiap perjalanan."
"Selamat datang, Joshua," balas Josar. "Di sini kau diantara teman, dan kau
harus mengatakan kepadaku jika kami bisa membantumu dalam hal apa saja."
"Terima kasih, temanku yang baik, tetapi aku tidak perlu apa-apa, meski aku
sangat bersyukur atas tawaranmu. Aku tahu kau dulu mengikuti Guru, dan Tadeus
dan Thomas sangat menghargaimu. Aku akan kembali dari kota malam ini. Nikmatilah
pertemuan kalian; pasti banyak yang ingin kalian bicarakan."
Ketika Joshua meninggalkan mereka, seorang laki-laki yang sehitam malam
meletakkan piring-piring berisi kurma dan buah-buahan lain serta sekendi air.
Sesenyap dia masuk, sesenyap itu pula dia keluar.
Izaz memerhatikan adegan itu tanpa bersuara. Dia tidak berani menarik perhatian
pada kehadirannya. Pamannya seperti sudah melupaannya, tetapi Tadeus tersenyum
padanya dan memberi isyarat untuk mendekat.
"Dan anak muda ini?"
"Keponakanku, Izaz. Aku sedang mengajarinya. Pekerjaanku terdahulu adalah
penulis istana, dan suatu hari dia mungkin akan menduduki posisiku di istana.
Dia anak yang baik, pengikut ajaran Yesus."
Selagi Josar berbicara, Marvuz memasuki tenda.
"Josar, maafkan aku menyela, tetapi Abgar sudah mengutus seorang pelayan dan
istana untuk mencari kabar tentang dirimu dan pria ini yang baru tiba dari
Yerusalem." "Kau benar, Marvuz, kegembiraanku bertemu lagi dengan temanku telah membuatku
lupa bahwa Raja menunggu berita dari kami. Dia ingin menemuimu dan menyambutmu,
Tadeus, karena Abgar sudah meninggalkan praktik-praktik pagan dan percaya pada
satu Tuhan, Bapa dan Juru Selamat kita. Dan Ratu serta petinggi istana juga
mengimani Yesus. Kami sudah membangun sebuah kuil, kecil saja, tanpa hiasan,
tempat kami berkumpul untuk memohon ampunan Tuhan dan membicarakan ajaran-ajaran
Yesus. Aku sudah menuliskan semua yang kuingat dan yang pernah kudengar, tetapi
sekarang karena kau ada di sini bersama kami, kau akan bisa menyampaikan kepada
kami ajaran-ajaran Tuhan kita dan menjelaskan dengan lebih baik daripada aku
tentang seperti apa Yesus dan bagaimana dia wafat demi menyelamatkan kita."
"Kalau begitu, mari kita pergi menemui Raja," ujar Tadeus, "dan dalam perjalanan
kau bisa menceritakan kepadaku kabar itu. Para saudagar membawa kabar ke
Yerusalem bahwa Abgar sembuh dari penyakitnya setelah menyentuh kafan Yesus. Kau
harus menceritakan kepadaku keajaiban yang dilakukan Juru Selamat kita itu dan
bagaimana agama kita mulai berakar di kota ini."
Abgar sudah tidak sabar. Ratu berusaha menenangkannya.
Mengapa Josar dan Tadeus lama sekali" Matahari sudah tinggi di atas Edessa dan
mereka masih belum tiba. Raja ingin sekali mendengarkan murid Yesus, ingin
sekali memperdalam pengetahuannya tentang sang Juru Selamat. Dia akan meminta
Tadeus tinggal di Edessa selamanya, atau paling tidak beberapa tahun, supaya
setiap warganya bisa mendengar langsung dari bibir Tadeus kisah-kisah lain
tentang Yesus selain yang sudah disampaikan Josar. Kadang sulit bagi Abgar, raja
kota yang makmur itu, untuk memahami beberapa hal yang dikatakan sang Guru,
tetapi imannya pada pria yang bahkan sesudah wafatpun masih menyembuhkannya
membimbingnya untuk menerima semua perkataan itu. Dia tahu bahwa banyak lakilaki dan perempuan dikotanya yang tidak senang dengan keputusannya menyingkirkan
dewa-dewa yang sudah disembah rakyat Edessa sejak awal masa dan mengganti dewadewa itu dengan Tuhan yang tidak tampak, yang mengutus putra-Nya ke bumi untuk
disalib- seorang putra yang, meski dengan segala siksaan yang dia tahu sedang
menanti, mengajarkan untuk memaafkan musuh, yang mengajarkan bahwa lebih mudah
bagi seekor unta untuk melewati lubang jarum daripada seorang kaya untuk
memasuki kerajaan surga, sementara si miskin bisa masuk dengan bebas. Banyak
rakyat Abgar yang terus menyembah dewa-dewa leluhur di rumah dan pergi ke
gunung, kegua, untuk menuang anggur bagi patung dewa bulan, Syn, dan dewa-dewa
lain. Dia, Abgar, memperbolehkan mereka melakukan hal itu; ia tahu bahwa ia tidak bisa
memaksakan satu Tuhan pada rakyatnya, dan bahwa, seperti yang dikatakan Josar,
waktu akan meyakinkan mereka yang belum percaya bahwa hanya ada satu Tuhan.
Memang, masalahnya bukanlah bahwa rakyatnya tidak memercayai keilahian Yesus;
masalahnya adalah mereka berkeyakinan bahwa Yesus hanyalah salah satu dari
sekian banyak Tuhan. Dalam pengertian ini, mereka memang menerima Yesus, meski
tanpa melepas dewa-dewa leluhur mereka.
Selagi mereka berjalan menuju istana, Josar menyampaikan kepada Tadeus bagaimana
dia dulu merasakan desakan untuk mengambil kafan Yesus, meski tahu bahwa tak
satu pun dan orang-orang yang hadir di makam berani menyentuh kain itu. Tadeus
mengangguk mendengar penjelasan temannya. Tadeus sebelumnya tidak sadar bahwa
kafan itu tidak ada; benar, dia sudah melupakan kain itu sampai tiba kabar di
telinganya bahwa telah terjadi keajaiban Raja Abgar telah kembali sehat.
Berita itu mengejutkannya dan membuatnya takjub walaupun semua pengikut sudah
terbiasa dengan keajaiban-keajaiban yang diciptakan Yesus.
Tadeus lalu menjelaskan alasan kedatangannya kepada temannya:
"Thomas selalu mengingatmu dengan penuh kehangatan dan kasih dan menGenarig
bagaimana kau memohon kepada Guru agar menempuh perjalanan ke Edessa untuk
menyembuhkan rajamu. Dia juga ingat bahwa Guru berjanji akan mengutus salah
seorang murid.Oleh karena itu, setelah mengetahui bahwa kafan itu sudah
menyembuhkan Abgar dan bahwa kau menyebarkan ajaran Juru Selamat kita, dia
memintaku datang ke sini untuk melayanimu semampuku dan menolongmu. Aku akan
tetap di sini selama kau membutuhkanku, dan aku akan menolongmu menyampaikan
firman Yesus kepada bangsa yang baik ini. Tetapi, suatu hari nanti aku tentu
harus pergi, karena banyak kota dan banyak laki-laki dan perempuan yang harus
diajari tentang kebenaran kata-kata Tuhan kita."
"Apakah kau ingin melihat kafan itu?" Josar bertanya. Tadeus ragu.
Dia orang Yahudi, dan hukum adalah hukum-hukum itu pula yang diikuti sang Juru
Selamat. Tetap saja, helai kain yang dibawa ke makam oleh Yosefdan Arimathea
agar jenazah Yesus bisa direbahkan dan beristirahat dalam balutannya sepertinya
telah diresapi oleh kekuatan-kekuatan yang dulu dimiliki Yesus. Tadeus tidak
yakin harus mengatakan atau berbuat apa. Dia hampir tidak tahu harus berpikir
apa. Josar melihat dilema yang dihadapi temannya, dan ia meremas lengan Tadeus penuh
rasa persahabatan. "Tidak usah cemas, Tadeus. Aku tahu hukum Yahudi, dan aku menghormati hukum itu.
Tetapi bagi kami, warga kota kuno ini, kain kafan bukanlah benda yang kotor yang
tidak boleh disentuh. Kau tidak perlu menyentuhnya, atau bahkan melihatnya,
tetapi cukuplah kautahu bahwa Abgar telah memerintahkan agar dibuat sebuah peti
yang indah untuk menyimpan kafan itu oleh seniman Edessa yang paling terampil
dan bahwa peti itu ada di sebuah tempat yang aman, dijaga oleh anggota pengawal
pribadi raja yang paling dipercaya. Kain itu sungguh menghasilkan keajaiban kain
itu sudah menyembuhkan Abgar dan menyembuhkan lebih banyak lagi orang yang
datang dengan iman. Kau harus tahu bahwa darah dan keringat Juru Selamat kita
menciptakan gambaran wajah dan tubuhnya di kain itu. Percayalah padaku,
Sahabatku, bahwa saat aku menatap kafan itu, aku melihat guru kita serta
merasakan siksaan-siksaan yang ditimpakan orang-orang Romawi padanya."
"Suatu hari kelak aku akan memintamu memperlihatkan kafan itu, Josar, tetapi
pertama-tama aku harus mencari di dalam hatiku untuk mengetahui kapan hari itu."
Mereka tiba di istana dan Abgar menerima mereka dengan hangat.
Sang Ratu, di sisinya, tidak sanggup menyembunyikan kegembiraan yang dirasakan
karena bertemu dengan seorang sahabat Yesus.
"Selamat datang, Sahabat Yesus dan Sahabat kami sendiri," Raja menyambut Tadeus.
"Kau boleh tinggal dikota kami selama yang kau inginkan, di sini kau adalah tamu
kami dan tidak akan kekurangan apa pun. Kami hanya meminta agar kau menceritakan
kepada kami tentang sang Juru Selamat, agar kau mengingat-ingat kata-kata dan
perbuatannya, dan aku, atas izinmu, akan memerintahkan penulis-penulisku untuk
menyimak dengan cermat kata-katamu dan menuliskan semuanya agar warga laki-laki
dan perempuan di kotaku dan kota-kota lain dapat mengetahui kehidupan dan
ajaran-ajaran Tuhan kita."
Tadeus menerima undangan Raja untuk menetap di Edessa.
Sepanjang hari itu dan separuh malamnya, dengan Josar selalu di dekatnya, dia
mengisahkan kembali kepadanya dan para petinggi istana keajaiban-keajaiban yang
diperbuat Yesus. Ketika tiba saatnya beristirahat, ia hanya mau menerima sebuah
kamar yang kecil dengan satu tempat tidur di sebuah rumah dekat rumah Josar. Dia
juga menolak, sebagaimana Josar menolak sekembalinya dari Yerusalem, mengambil
budak untuk membantu-nya.
Dan sejalan berlalunya hari dan minggu, ia meminta kepada Raja agar Josar
menjadi penulisnya dan mencatat semua hal yang ia ingat tentang kehidupan dan
perkataan Yesus. 10 New York dibanjiri cahaya matahari musim semi, hari itu adalah salah satu dari
hari-hari sempurna yang jarang sekali tiba. Laki-laki tua itu mengalihkan
Misteri Kain Kafan Jesus The Brotherhood Of The Holy Shroud Karya Julia Navarro di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
matanya dari cerahnya cahaya pagi yang tercurah melalui jendela ketika ia
berbalik untuk menjawab telepon yang berdering.
Sistem komunikasi dalam kantor itu dirancang untukmenjamin keamanan absolut.
"Ya," ujarnya tegas pada gagang penerima.
"Nomor satu bergerak."
"Tidak ada masalah?"
"Mereka masih menggunakan kontak-kontak yang sama seperti sebelumnya dan rute
yang sama, dan semua-nya kelihatan aman untuk mereka. Polisi belum muncul."
"Bagaimana dengan nomor dua?"
"Dia berangkat malam ini. Nomor tiga, besok; dia akan langsung diantar, dalam
truk yang mengangkut baut dan mur. Dialah yang paling gelisah."
"Aku akan bicara dengan orang-orang kita di Urfa hari ini. Kita harus tahu
bagaimana reaksi Addaio dan apa yang akan dia lakukan."
"Mungkin nasib mereka bertiga akan lebih baik jika mereka tidak pulang ke sana."
"Biarkan saja semua berjalan. Kita perlu tahu apa yang dilakukan Addaio dan apa
keputusannya. Ada yang baru tentang orangnya di dalam katedral?"
"Nyalinya sudah hilang, setidaknya untuk saat ini. Tetapi baik Kardinal
maupun polisi tidak mencurigainya; mereka hanya menganggapnya orang baik yang kacau karena kebakaran itu."
"Kita harus terus mengawasinya."
"Tentu saja. Orang-orang kita di sana yang sekarang menangani."
"Bagaimana dengan saudara kita?"
"Mereka sedang menyelidikinya. Siapa dia, kearah mana seleranya, bagaimana dia
bisa seperti sekarang. Mereka juga menyelidikiku dan yang lainnya. Polisi itu,
Valoni, sangat pandai dan dia punya tim yang hebat yang membantunya."
"Kita harus sangat berhati-hati."
"Tentu." "Minggu depan di Boston."
"Aku pasti datang."
Anggota-anggota tim Kejahatan Seni yang tetap di Turin kembali berkumpul
keesokan paginya setelah yang lain kembali ke Roma.
"Dan mana kita mulai, Dottoressa?"
"Oke, Giuseppe, kurasa kita harus berbicara dengan para pekerja lagi dan kita
lihat apakah keterangan mereka masih sama seperti yang mereka sampaikan kepada
Pietro. Kita harus terus menggali di mana mereka tinggal, dengan siapa mereka
tinggal, apa pendapat para tetangga tentang mereka, apakah ada yang tidak biasa
dalam hidup mereka..."
"Itu akan makan waktu," Antonino mengingatkan.
"Ya, dan itulah sebabnya Marco meminta kepala carabinieri di sini untuk
meminjami kita beberapa orang. Mereka lebih mengenal kota ini daripada kita, dan
mereka pasti tahu jika yang disampaikan kepada kita itu ada yang tidak beres.
Giuseppe bisa menangani bagian itu, dan kau dan aku akan kembali ke katedral,
berbicara dengan para pegawai lagi, si tukang sapu, Padre Yves,..."
"Baik," kata Giuseppe, "tetapi rentetan pertanyaan lagi bisa membuat mereka
gugup, mereka jadi seperti disadarkan bahwa kita benar-benar menggenjot
pemeriksaan ini." "Jika salah seorang dari mereka gugup, kitalah yang disadarkan.
Kurasa kita juga harus menanyai D'Alaqua."
"Dia itu orang penting. Mungkin terlalu penting untuk ditanyai pada tahap ini.
Kalau kita menyinggung perasaannya, Roma bisa-bisa menegur kita," Antonino
memperingatkan Sofia. "Aku tahu, Antonino, tetapi kita harus mencoba. Aku penasaran dengan dia."
"Hati-hati, Dottoressa, jangan biarkan kepenasarananmu itu menjerumuskan kita ke
dalam kesulitan!"Giuseppe menggodanya.
Mereka membagi tugas. Antonino akan mewawancarai kembali pegawai-pegawai
katedral. Giuseppe akan berbicara dengan para teknisi listrik, dan Sofia akan
menyelidiki lebih jauh lagi D'Alaqua serta minat-minatnya dan berusaha membuat
janji pertemuan dengannya. Mereka akan mencoba menyelesaikan semuanya dalam satu
minggu, lalu mereka bisa memutuskan langkah selanjutnya, dengan mengasumsikan
mereka berhasil menemukan petunjuk.
Sofia meyakinkan Marco agar memanfaatkan koneksi-koneksi untuk memastikan bahwa
D'Alaqua bersedia berbicara dengan sang Dottoressa.
Marco menggerutu sedikit tetapi dia sependapat bahwa D'Alaqua harus ditanyai.
Maka Kepala Divisi Kejahatan Seni mengajukan permohonan langsung pada Menteri
Kebudayaan, yang berkata bahwa Marco pasti gila jika mengira bahwa dia akan
membiarkan Marco mengendus-endus ke dalam perusahaan seperti COCSA dan
menyelidiki orang seperti D'Alaqua.
Tetapi, akhirnya, Marco meyakinkan Menteri bahwa penting sekali berbicara dengan
pria itu dan bahwa Dottoressa Galloni, seorang investigator yang berbudaya dan sangat berpendidikan, akan melaksanakan wawancara
dengan teramat bijaksana.
Menteri membuatkan perjanjian untuk Sofia dengan Umberto D'Alaqua untuk keesokan
harinya pukul sepuluh. Ketika Marco memberitahu, Sofia tertawa gembira.
"Bos, kau ini luar biasa! Aku tahu apa yang mesti kauhadapi."
"Kalau begitu kautahu bahwa kau tidak boleh mengacaukan kesempatan ini atau kita
berdua akan mendorong-dorong arsip di Divisi Kearsipan. Aku mohon, Sofia, jangan
terburu-buru dan jangan mendesak, oke" D'Alaqua berpengaruh bukan hanya di sini
tetapi di seluruh dunia-dia punya investasi di seluruh Eropa, Timur Dekat,
Asia...Kau harus menangani orang ini dengan sangat hati-hati."
"Aku sependapat dengan Minerva. Aku punya firasat tentang D'Alaqua ini."
"Kuharap firasatmu tidak menyerang balik."
"Percayalah padaku."
"Kalau aku tidak memercayaimu, kau tidak bakal pergi."
Sekretaris Umberto D'Alaqua kelihatan lebih seperti seorang eksekutif puncak
daripada sekretaris, tak peduli sepenting apa majikannya. Dia seorang pria
separuh baya yang anggun dan menjaga sikap, yang memperkenalkan diri kepada
Sofia sebagai Bruno Moretti dan bertanya apakah Sofia mau kopi sementara
menunggu Signor D'Alaqua menyelesaikan rapat lain.
Ketika ia menolak, Moretti mohon diri dan meninggalkannya sendirian. Ruangan
tempatnya menunggu sungguh menakjubkan. Di dindingnya tergantung lukisan-lukisan
karya Canaletto, Modighani, Braque, dan sebuah yang kecil karya Picasso.
Karena asyik memerhatikan Modighani, Sofia terkejut oleh suara di belakangnya.
"Selamat pagi, Dottoressa Galloni."
Sofia berbalik dan mendapati dirinya menatap pria paling menarik yang pernah ia
temui, yang sedang memerhatikannya dengan tatapan tajam namun ingin tahu. Ia
merasa wajahnya memerah seolah terpergok sedang melakukan sesuatu yang salah.
Umberto D'Alaqua bertubuh tinggi dan berpakaian anggun, usianya mungkin
pertengahan lima puluh. Ia memancarkan keyakinan diri dan kekuatan.
"Selamat pagi. Maafkan saya, saya sedang mengamati Modighani ini. Sungguh
menakjubkan." D'Alaqua hanya tersenyum tipis. "Kita akan lebih nyaman di kantor saya,
Dottoressa Galloni."
Sofia mengangguk dan mengikutinya ke sederet ruangan di sana.
Kantor D'Alaqua benar-benar nyaman, dilengkapi perabotan modern yang menonjolkan
karya-karya seni luar biasa yang menutupi dinding: beberapa gambar karya da
Vinci, sebuah lukisan Madonna dari abad ke lima belas, sebuah lukisan Kristus
karya El Greco,sebuah harlekuin karya Picasso, sebuah karya Miro ... Diatas
sebuah meja kecil di salah satu sudut yang berseberangan dengan meja tulis
besar, kesederhanaan sebuah krusifiks yang diukir dari kayu zaitun menarik
perhatiannya. D'Alaqua mempersilakan Sofia duduk di sofa, dan dia sendiri duduk di sebuah
kursi besar di sebelah Sofia.
"Nah, Dottoressa Galloni, bagaimana saya bisa membantu Anda?"
Sofia menyerangnya tanpa pendahuluan. " Signor D'Alaqua, kami menduga bahwa
kebakaran di Katedral Turin bukan suatu kecelakaan.
Sebenarnya, kami yakin bahwa tak satu pun dari peristiwa-peristiwa nahas yang
pernah terjadi di Katedral Turin adalah kecelakaan."
Ekspresi wajah D'Alaqua sedikitpun tidak menunjukkan tanda kekhawatiran, atau
bahkan keterkejutan. Dia menatap Sofia dengan tenang, rupanya menunggu Sofia
melanjutkan, seolah yang didengarnya ini tidak ada kaitan apa-apa dengan
dirinya. "Apa Anda mengenal orang-orang yang bekerja di katedral" Dan apakah menurut
Anda, Anda bisa memercayai mereka sepenuhnya?"
" Dottoressa Galloni, COCSA adalah salah satu dari sekian banyak perusahaan yang
saya miliki atau yang saya awasi sebagai anggota dewan komisaris. Anda tentu
paham bahwa saya tidak secara pribadi mengenal semua pekerja di perusahaanperusahaan itu. Dalam bisnis ini, seperti dalam bisnis lain manapun, ada bagian
sumberdaya manusia, yang saya yakin akan memberi Anda semua informasi yang Anda
butuhkan mengenai orang-orang yang bekerja di katedral. Tetapi, jika Anda perlu
lebih dan itu, dengan senang hati saya akan meminta kepala bagian tersebut untuk
menyediakan semua yang Anda butuhkan."
Dia mengangkat telepon dan minta disambungkandengan kepala personalia.
" Signor Lazotti, aku sangat menghargai bila kau bersedia menemui Dottoressa
Galloni dari Divisi Kejahatan Seni. Dia memerlukan lebih banyak informasi
tentang orang-orang yang bekerja di katedral.
Sekretarisku akan mengantarnya ke kantormu beberapa menit lagi...
Ya,terima kasih." Dia meletakkan gagang telepon dan menatap Sofia dengan tenang;
jelaslah dia menganggap wawancara sudah selesai. Sofia merasa sudah menggagalkan
kesempatan ini. "Apakah menurut Anda yang saya sampaikan tadi sangat absurd, Signor D'Alaqua?"
Sofia mencoba lagi. " Dottoressa Galloni, Anda dan tim Anda adalah orang-orang profesional, dan Anda
harus melakukan tugas Anda. Saya tidak punya pendapat apa pun mengenai
kecurigaan-kecurigaan Anda atau alur investigasi Anda. Apa ada hal lain yang
bisa saya bantu?" Sofia mengangkat dagu sedikit dan tersenyum. "Kami mungkin akan punya lebih
banyak lagi pertanyaan untuk Anda selama penyelidikan kami berlanjut, Signor
D'Alaqua. Kami hanya ingin Anda mengetahui pemikiran kami dan bahwa karena itu
kami akan melakukan investigasi mendalam atas pegawai-pegawai Anda."
" Signor Lazotti akan memberi Anda semua bantuan yang Anda perlukan, saya yakin
itu." D'Alaqua tidak akan mengatakan apa-apa lagi. Sofia berdiri dan mengulurkan
tangan. "Terima kasih atas kerja sama Anda."
"Senang berkenalan dengan Anda, Dottoressa Galloni."
Sofia gusar pada dirinya sendiri tetapi tetap sanggup bercakap-cakap ramah
dengan Moretti, sekretaris D'Alaqua, ketika Moretti mengantarnya ke kantor Mario
Lazotti. Lazotti menyambutnya dengan senyuman. "Beritahu saya, Dottoressa Galloni, apa
yang Anda perlukan?"
"Saya perlu semua informasi yang Anda punya tentang orang-orang yang bekerja di
katedral, termasuk semua detail perorangan yang Anda punya."
"Saya sudah memberikan informasi itu pada salahs eorang rekan Anda di Divisi
Kejahatan Seni dan kepada polisi, tetapi dengan senang hati saya akan memberi
Anda salinan keseluruhan arsip. Saya sudah meminta sekretaris saya menyiapkan
untuk Anda. Sedangkan mengenai informasi perorangan, saya rasa kami tidak bisa
banyak membantu. COCSA adalah perusahaan besar, dan rasanya sukar untuk mengenal setiap pegawai.
Dalam hal ini, penyelia di katedral mungkin bisa menjadi sumber terbaik Anda."
Seorang perempuan muda masuk membawa sebuah map arsip besar, yang oleh Lazotti
diserahkan kepada Sofia. Sofia mengucapkan terima kasih dan duduk lebih nyaman di kursi yang ditawarkan
Lazotti. " Signor Lazotti, apakah Anda sering menghadapi kecelakaan seperti yang
terjadi di Katedral Turin?"
"Maksud Anda?" "COCSA adalah perusahaan yang menangani banyak pekerjaan untuk Gereja. Kalian
pernah melakukan perbaikan dan pekerjaan pemeliharaan di hampir setiap katedral
di Italia." "Italia dan sebagian besar Eropa. Dan kecelakaan, sayangnya, memang terjadi,
meski kami mematuhi dengan saksama semua peraturan keamanan dan keselamatan dan
mengambil langkah-langkah ketat kami sendiri."
"Bisakah Anda memberi saya daftar semua kecelakaan yang dialami COCSA selama
menangani pekerjaan di katedral-katedral?"
"Saya akan memeriksa hal itu dan melakukan semua yang saya bisa. Tapi tidak akan
mudah. Dalam setiap pekerjaan tentu ada masalah, insiden dan segala macam jenisluka, memar, jatuh, lengan patah, hal-hal semacam itu, dan saya tidak yakin kami
mencatat semua insiden itu.
Tetapi, biasanya, insinyur kepala atau penyelia memasukkan laporan pada saat
kejadian, jadi... Sampai seberapa jauh ke belakang saya harus memeriksa?"
"Katakanlah lima puluh tahun terakhir."
Lazotti memasang muka tidak percaya, tetapi tidak pernah melepas aura
efisiennya. "Saya akan melakukan semampu saya," ulangnya.
"Kapan Anda ingin informasi itu dikirim?"
"Ini kartu saya dan ini nomor ponsel saya. Telepon saya, dan jika saya sedang di
Turin, saya akan mampir dan mengambil. Jika tidak, Anda bisa kirimkan ke kantor
saya di Roma." "Saya harap Anda memaafkan pertanyaan saya, Dottoressa Galloni, tetapi apa
sebenarnya yang Anda cari?"
Sofia menilainya dengan pandangan sekilas, lalu memutuskan untuk mengatakan yang
sebenarnya. "Saya mencari siapa pun orangnya yang menciptakan 'kecelakaan-kecelakaan' di
Katedral Turin." "Maaf?" Lazotti tampak benar-benar bingung.
"Menurut kami, kejadian-kejadian ini bukan kecelakaan. Kami mencari orang atau
orang-orang di belakangnya."
"Anda sedang bergurau! Tetapi tentu saja tidak. Tapi siapa yang ingin merusak
katedral" Anda mencurigai pegawai-pegawai kami?"
"Itulah yang ingin kami ketahui-siapa dan mengapa."
"Tapi apa Anda yakin" Berdasarkan bukti apa" Anda secara langsung menuduh
pegawai-pegawai COCSA terlibat?"
"Ini bukan tuduhan, melainkan sesuatu yang perlu kami selidiki."
"Baiklah. Tentu saja. Anda boleh mengandalkan kami untuk sepenuhnya bekerja
sama." "Saya memang mengandalkan Anda, Signor Lazotti."
Sofia meninggalkan gedung dan kaca dan baja itu, merenung apakah dia sudah
memilih strategi yang tepat dengan mengungkapkan kecurigaannya pada kepala
bagian sumber daya manusia di COCSA dan juga kepada D'Alagua. Tepat saat itu
D'Alagua mungkin sedang menelepon menteri untuk protes. Atau dia mungkin tidak
melakukan apa pun, entah karena dia menganggap remeh kecurigaan itu, atau karena
sebaliknya. Dia harus segera menelepon Marco. Jika D'Alaqua sedang berbicara dengan menteri,
dia harus menyiapkan bosnya untuk menghadapi serangan.
Dia juga sudah sampai pada satu keputusan mengenai Pietro. Dia akan melepaskan
diri. Hubungan mereka tiba-tiba terasa memuakkan baginya.
11 Pena Izaz mengisi perkamen demi perkamen dengan kisah-kisah yang disampaikan
Tadeus. Abgar dan sang ratu memuji gulungan-gulungan perkamen yang sudah ia buat dengan
begitu cermat, dan ia berkhayal bahwa suatu hari kelak ia pun akan menjadi
penulis istana. Tadeus sering memanggilnya untuk mendiktekan kenangan-kenangan
yang sangat berarti bagi Tadeus tentang si orang Nazaret, dan pemuda itu hafal
diluar kepala petualangan-petualangan yang dialami Tadeus bersama-sama Yesus.
Tadeus biasa memejamkan mata dan tampak seperti menenggelamkan diri dalam mimpi selagi menuturkan kisah-kisahnya, seperti apa
Yesus, hal-hal yang Yesus ucapkan, hal-hal yang Yesus lakukan.
Josar juga menulis kenangan-kenangannya sendiri dan meminta tulisannya itu
disalin lagi, dan sebuah salinan dari setiap kisah disimpan di ruang arsip
istana. Mereka juga akan membuat salinan kisah-kisah yang dituturkan Tadeus.
Begitulah yang diperintahkan Abgar karena sang raja menginginkan bahwa Edessa
mewariskan kepada putra-putri negeri itu kisah Yesus yang sebenarnya.
Misteri Kain Kafan Jesus The Brotherhood Of The Holy Shroud Karya Julia Navarro di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Waktu berlalu, dan Tadeus tetap di Edessa. Sang ratu dan Abgar memang memintanya
menetap untuk membantu mereka menjadi penganut Kristen yang baik, untuk menolong
Josar menyebarkan ajaran-ajaran Yesus, dan untuk menjadikan Edessa tempat
berlindung bagi semua orang yang mengimani Yesus.
Izaz gembira bahwa Tadeus belum meninggalkan kota. Pamannya merasa tenang karena
ada orang lain di Edessa yang mengenal orang Nazaret itu, dan Josar selalu
meminta nasihat Tadeus mengenai apa yang sebaiknya ia sampaikan pada penduduk
kota yang datang ke rumahnya untuk mengenal sang Juru Selamat dan untuk berdoa.
Setiap hari Tadeus pergi bersama Josar ke kuil pertama yang didirikan atas
perintah Ratu untuk Yesus. Disana dia berbicara kepada dan berdoa bersama
kelompok-kelompok laki-laki dan perempuan yang datang untuk mencari penghiburan
atas kesulitan mereka, yang datangdengan harapan bahwa doa mereka akan sampai
kepadaYesus yang sudah menyelamatkan Abgar dan penyakityang mengerikan. Ia juga
duduk bersama-sama mereka yang beriman yang berkumpul di sebuah kuil baru yang
dibangun oleh Marcius, sang arsitek kerajaan.
Tadeus telah meminta Marcius membangun kuil baru itu sesederhana yang lama, yang
hampir hanya seperti sebuah rumah dengan atrium yang besar tempat firman Yesus
dikhotbahkan. Dia memberitahu Marcius bagaimana Yesus mengusir para lintah darat
dan kuil di Yerusalem dan bagaimana semangat Yesus bisa hidup hanya di tempat
yang sederhana dan damai.
"Aku, Maanu, pangeran Edessa, putra Abgar, memohon kepadamu, Syn, dewa segala
dewa, untuk membantuku menghancurkan orang-orang sesat yang telah membingungkan
rakyat kami dan menghasut mereka untuk meninggalkan engkau dan mengkhianati
dewa-dewa leluhur kami."
Di sebuah tanjung berbatu beberapa mil dari Edessa, altar bagi Syn hanya
diterangi suluh-suluh yang ditancapkan ke dinding gua yang berfungsi sebagai
kuil dewa itu. Gambar relief Syn dipahat di dinding batu dengan keterampilan
seni yang begitu tinggi hingga kelihatan hampir nyata, seolah dewa-dewa itu
hadir di antara mereka. Maanu menghirup dalam-dalam harum dupa dan tetumbuhan aromatik yang memabukkan
indra dan membantunya berkomunikasi dengan dewa bulan yang digdaya. Di
sampingnya adalah Marvuz yang setia, pemimpin pasukan pengawal raja, yang akan
menjadi penasihat utama Maanu bila Abgar wafat dan yang juga menyembah Syn dan
Tuhan-tuhan purba lainnya, sebagaimana yang dilakukan sejumlah warga Edessa lain
yang masih setia pada tradisi lama.
Syn sepertinya mendengar doa Maanu karena ia menyeruak keluar dari asap dupa dan
menyinari suaka itu. Sultanept, pendeta utama sekte itu, memberitahu Maanu bahwa
itu adalah suatu pertanda, cara dewa menunjukkan kepada manusia bahwa dia ada di
antara mereka. Bersama lima pendeta lain, Sultanept hidup dalam persembunyian di Sumurtar,
terlindung oleh terowongan-terowongan dan ruang-ruang bawah tanah tempat mereka
menyembah dewa-dewa matahari, bulan, planet-planet, inti dari segala sesuatu.
Maanu sudah berjanji kepada Sultanept akan mengembalikan kekuasaan dan
kekayaannya yang telah diambil Abgar ketika Raja menghapus agama leluhur mereka.
"Pangeran, kita harus pergi," Marvuz bergumam. "Raja mungkin mencarimu, dan
sudah berjam-jam yang lalu kita meninggalkan istana."
"Dia tidak akan mencariku, Marvuz; dia pasti mengira aku sedang minum-minum
dengan teman-temanku dikedai minum atau berzina dengan gadis penari. Ayahku
hampir tidak memedulikanku, dia begitu terpukul karena aku tidak mau ikut
menyembah Yesus-nya. Ratulah yang harus dipersalahkan. Dialah yang meyakinkan
ayahku untuk memungkiri dewa-dewa kita dan menjadikan orang Nazaret itu satusatunya Tuhan mereka. "Tetapi aku jamin, Marvuz, bahwa kota itu akan kembali menoleh pada Syn dan
menghancurkan kuil-kuil yang didirikan Ratu untuk menghormati orang Nazaret itu.
Begitu Abgar pergi beristirahat selama-lamanya, kita akan membunuh Ratu dan
mengakhiri hidup Josar dan temannya Tadeus."
Marvuz gemetar. Dia tidak menyimpan rasa kasihan pada Ratu; dia menganggap Ratu
adalah perempuan yang keras, orang yang sebenarnya memerintah Edessa sejak Abgar
jatuh sakit meski sekarang kesehatan Raja sudah pulih. Dan Ratu tidak memercayai
Marvuz. Dia bisa merasakan tatapan dingin Ratu mengikuti setiap geraknya, karena
perempuan itu tahu bahwa dia adalah teman Maanu. Tetapi meskipun demikian,
sanggupkah ia membunuh Ratu" Karena ia yakin Maanu akan memintanya melakukan
itu. Ia tidak akan kesulitan membunuh Josar dan Tadeus.
Akan ia tikam mereka dengan pedangnya. Ia sudah bosan mendengar khotbah-khotbah
mereka, kata-kata mereka yang penuh teguran karena ia berzina dengan setiap
perempuan yang mau ikut bersamanya dan karena, untuk menghormati Syn, ia minum
tanpa batas di malam-malam bulan purnama hingga akal sehatnya hilang, karena ia,
Marvuz, masih memuja dewa-dewa leluhurnya, dewa-dewa kotanya. Ia tidak menerima
Tuhan yang lemah lembut dan lurus ini, yang tak henti-hentinya dibicarakanJosar
dan Tadeus. 12 Matahari mulai terbit di selat bosporus ketika kapal Stella di Mare membelah
ombak di dekat Istambul dan paraawak sibuk mempersiapkan kapal untuk masuk
dermaga. Kapten kapal mengamati pemuda berkulit gelap yang tanpa suara mengepel geladak.
Di Genoa, salah seorang awaknya jauh sakit dan tidak bisa ikut berlayar, lalu
perwira pelaksana kapal itu membawakan orang ini. Ia meyakinkannya bahwa meski
bisu, orang baru itu adalah pelaut berpengalaman yang direkomendasikan oleh
salah seorang pengunjung tetap di Green Falcon, kedai minum di dermaga yang
sering mereka datangi bila sedang berlabuh. Pada saat itu, karena harus segera
berlayar, Kapten tidak memerhatikan bahwa kedua tangan orang itu halus, sedikit
pun tidak ada kapalan-tangan seorang pria yang tidak pernah melakukan pekerjaan
pelaut. Tetapi si Bisu itu mematuhi setiap perintah yang diterimanya selama
pelayaran, dan matanya tidak menampakkan emosi, tak peduli pekerjaan apa yang
diberikan kepadanya. Perwira Pelaksana sudah memberi tahu bahwa orang itu akan turun kapal di
Istambul, tetapi hanya mengangkat bahu ketika Kapten menanyakan alasannya.
Kapten itu orang Genoa. Dia sudah empat puluh tahun menjadi pelaut, dia sudah
merapat di ribuan pelabuhan dan mengenal segala jenis orang. Tetapi pemuda ini
sungguh aneh, dengan kegagalan tergurat di wajahnya dan sikap menarik diri dalam
setiap geraknya, seolah dia tahu dia akan sampai di titik akhir. Tetapi akhir
dari apa" Istambul tampak lebih indah di matanya ketimbang sebelum-sebelumnya.
Ia menghela nafas dalam-dalam sementara matanya memindai pelabuhan. Ia tahu
bahwa seseorang akan datang menjemputnya, mungkin orang yang sama yang
menyembunyikannya ketika ia tiba dari Urfa. Ia sudah mendambakan pulang ke
kotanya, memeluka yahnya, merasakan dekapan istrinya lagi, mendengarkan tawa
gembira putrinya. Ia gentar menghadapi pertemuan dengan Addaio, gentar akan kekecewaan pastor itu.
Tetapi saat ini kegagalan, kegagalannya sendiri, kecil artinya baginya, karena
ia masih hidup dan hampir tiba di rumah.
Itu sudah lebih dari yang berhasil dilakukan saudaranya dua tahun yang lalu.
Mereka sama sekali tidak mendengar berita dari saudaranya itu sejak malam gulita
ketika ia ditangkap seperti pencuri biasa. Kontak mereka di Turin mengatakan
bahwa Mendib masih di penjara tetapi seharusnya bebas satu tahun lagi.
Ia turun dari kapal tanpa berpamitan pada siapapun. Malam sebelumnya kapten
sudah membayar upah yang mereka sepakati bersama dan bertanya apakah dia tidak
ingin tetap menjadi awak kapal.
Dengan gerak isyarat ia menolak.
Ia tinggalkan daerah dermaga dan mulai berjalan, tanpa tahu pasti ke mana
arahnya. Jika orang dari Istambul itu tidak muncul, ia akan mencari cara untuk
pergi ke Urfa sendiri. Ia punya uang yang diperolehnya sebagai pelaut.
Ia mendengar langkah-langkah cepat di belakangnya dan ketika berbalik, ia
melihat pria yang memberinya tempat bernaung beberapa bulan yang lalu.
"Aku sudah membuntutimu beberapa lama, mengamati, untuk memastikan tidak ada
orang lain yang mengikutimu. Malam ini kau tidur di rumahku; mereka akan
menjemputmu besok pagi-pagi sekali. Lebih baik kau tidak meninggalkan rumah
sampai saat itu tiba."
Si Bisu mengangguk. Dia sebenarnya ingin berjalan-jalan di Istambul, menjelajahi
jalan-jalan sempit di pasar, mencari parfum untuk istrinya, hadiah untuk
putrinya, tetapi itu tidak akan ia lakukan. Persoalan lain apa pun akan membuat
Addaio semakin marah. 13 Ketukan halus di pintu anyam rumahnya membangunkan Josar dari tidur yang
gelisah. Fajar belum lagi merekah di atas Edessa, tetapi tentara di pintu membawa
perintah langsung dari sang ratu. Senja hari nanti Josar dan Tadeus harus datang
ke istana. Tentara itu tidak sanggup menyembunyikan kegelisahannya, dan karena
pesan sudah disampaikan, jelas terlihat ia lega bisa pergi.
Sambil bersimpuh, kedua mata terpejam, Josar berdoa agar Tuhan berkenan
memberinya penyembuh untuk keresahan yang memenuhi jiwanya.
Izaz tiba beberapa jam kemudian, hampir bersamaan dengan Tadeus. Keponakan Josar
ini sudah tumbuh menjadi pemuda yang tegap dan cerdas. Izaz membawa berita
mengenai gunjingan yang sedang gencar beredar diistana. Kekuatan Abgar mulai
surut; kemunduran kesehatannya hampir nyata terlihat. Para tabib berbicara
berbisik-bisik, dan menurut kabar burung mereka sudah memberitahu Ratu bahwa
kecil harapan Raja akan bangkit dari apa yang tampaknya merupakan serangan
terakhir kematian terhadap hidupnya.
Karena tahu dirinya sudah mendekati ajal, Abgar meminta Ratu untuk memanggil
teman-teman dan penasihat terdekatnya ke sisi peraduan agar ia bisa menyampaikan
instruksi yang harus dilaksanakan setelah ia wafat. Itulah sebabnya Ratu
memanggil Josar. Yang membuat Izaz terkejut adalah bahwa dirinya pun dipanggil
ke sisi Raja. Ketika tiba di istana, mereka cepat diantar ke hadirat Raja yang sedang
berbaring di sofanya, wajahnya jauh lebih pucat daripada hari-hari terakhir ini.
Ratu, yang sedang mendinginkan kening Abgar dengan kain yang dibasahi air mawar,
mendesah lega melihat mereka masuk.
Dua orang lagi memasuki kamar raja: Marcius, sang arsitek kerajaan, dan Senin,
saudagar terkaya di Edessa dan kerabat sedarah Abgar, yang sangat setia kepada
Abgar. Ratu mengisyaratkan kepada mereka semua untuk mendekati sofa Raja dan menyuruh
pergi para pelayan dan memerintahkan pengawal untuk menutup pintu-pintu dan
tidak mengizinkan siapa pun masuk.
"Sahabat-sahabatku, aku akan meninggalkan kalian semua dan aku ingin
menyampaikan perintah kepada kalian dalam permintaan terakhirku."
Suara Abgar lemah. Sang raja sedang sekarat dan dia tahu itu, dan rasa hormat
dan cinta yang dirasakan kelima pria itu terhadapnya menghalangi mereka
mengucapkan kata-kata harapan semu. Maka mereka berdiri diam di sisi
peraduannya, untuk mendengarkan apa yang ingin ia sampaikan kepada mereka.
"Mata-mataku sudah menyampaikan kepadaku bahwa bila aku wafat, putraku, Maanu,
akan mulai menganiaya semua orang Kristen di kota dan bahwa beberapa dari kalian
sudah ditetapkan akan dibunuh.
Tadeus, Josar, dan kau, Izaz, harus meninggalkan Edessa sebelum aku mati.
Setelah itu kalian tidak akan aman di sini. Maanu tidak akan berani membunuh
Marcius atau Senin, meski dia tahu mereka orang Kristen, karena mereka berasal
dari keluarga bangsawan Edessa yang pasti akan menuntut balas.
"Maanu akan membakar kuil-kuil Yesus dan menghancurkan rumah rakyatku yang
paling setia menyembah Yesus. Banyak laki-laki, perempuan, dan anak-anak akan
dibunuh selagi ia meneror saudara-saudara Kristen kita dan berusaha memaksa
mereka kembali menyembah dewa-dewa lama.
"Aku mengkhawatirkan kafan Yesus; aku takut kain itu akan dihancurkan. Maanu
sudah bersumpah akan membakar kafan itu di pasar di hadapan semua penduduk
Edessa, dan pada hari kematianku pasti itulah yang akan dia lakukan. Kalian,
Sahabat-sahabatku, harus menyelamatkan kafan Yesus."
Kelima pria itu mendengarkan kata-kata Raja tanpa bersuara. Josar menatap Ratu,
dan untuk pertama kalinya ia sadar bahwa kecantikan yang selama ini selalu
menghiasi perempuan itu sekarang memudar dan orang bisa melihat bahwa helaihelai rambut di antara lipatan kerudung itu berwarna perak. Paduka ratunya sudah
menua meski kecerahan mata itu tidak berubah dan kehadirannya masih seagung
biasanya. Apa yang akan menimpa Ratu" Josar yakin bahwa Maanu, putra Ratu
sendiri, membencinya. Abgar merasakan kekhawatiran Josar. Dia tahu pengabdian sahabatnya itu pada Ratu
tak pernah padam. "Josar, aku juga sudah meminta Ratu meninggalkan kota. Masih
ada waktu, tetapi dia tidak mau mendengar."
"Paduka Ratu," kata Josar, "nyawamu dalam bahaya yang lebih besar daripada
kami." "Aku adalah Ratu Edessa, Josar, dan seorang ratu tidak akan kabur.
Jika aku harus mati, aku akan mati disini bersama rakyatku, orang-orang yang
percaya pada Kristus seperti aku. Aku tidak akan meninggalkan mereka yang sudah
menyerahkan kepercayaan pada kami, teman-teman yang selama ini berdoa bersamaku.
Aku akan tetap di sisi Abgar; aku tidak sanggup meninggalkannya menghadap
takdirnya di istana ini. Selama Raja masih hidup, Maanu tidak akan berani bertindak menyerangku."
Abgar duduk tegak di sofanya, mencengkeram lengan Ratu. Selama beberapa hari
terakhir ini mereka berbicara berjam-jam, sepanjang malam hingga matahari
terbit, menyusun rencana yang sekarang akan dijelaskan Raja kepada sahabatsahabat yang paling ia cintai.
"Perintah terakhirku kepada kalian, Sahabat-sahabatku, adalah agar kalian
mengamankan kafan Yesus. Kain itu sudah mengembalikan nyawaku, memungkinkanku
hidup hingga usia renta yang sekarang menghinggapiku ini. Kain suci itu bukanlah
milikku melainkan milik seluruh umat Kristen, dan demi merekalah kalian harus
menyelamatkan kain itu namun, kuminta agar kain itu tidak meninggalkan Edessa,
agar kota ini menjadi tempatnya selama-lamanya. Yesus mengirim kain itu ke sini,
dana kan tetap di sinilah kain itu. Anggota-anggota pasukan pengawalku yang
masih setia menyimpannya di kuil pertama yang kita bangun untuk Yesus. Tadeus,
Josar, kalian akan mengambil kafan itu dan menyerahkannya kepada Marcius. Kau,
Marcius, harus mencarikan tempat persembunyian untuk kain itu, untuk
menyelamatkannya dari kemurkaan Maanu. Senin, kuminta kau mengatur pelarian
Tadeus, Josar, dan Izaz muda ini. Putraku tidak akan berani menyerang karavanmu.
Kutitipkan wargaku yang setia ini dalam perlindunganmu."
"Di mana kau ingin aku menyembunyikan kafan itu, Abgar?" tanya Marcius.
"Kaulah yang harus menentukan, Temanku yang baik. Ratu maupun aku tidak boleh
tahu, meski kau harus memilih seseorang untuk berbagi rahasia itu dan menitipkan
orang itu dalam perlindungan Senin juga. Aku merasa nyawaku mulai menjauh. Aku
tidak tahu berapa hari lagi yang tersisa untukku, tetapi aku berharap masih
cukup waktu sehingga kalian bisa melaksanakan hal-hal yang kuminta tadi."
Kemudian, ketika petang berubah malam, karena sadar sekarang mungkin kesempatan
yang terakhir kalinya, Raja berpamitan kepada mereka.
Matahari baru saja terbit ketika Marcius mencapai tembok sebelah barat. Para
pekerja sudah di sana, menunggu perintahnya. Sebagai arsitek raja, Marcius
bertanggung jawab bukan hanya atas pembangunan bangunan-bangunan yang membuat
Edessa berdiri megah tetapi juga atas pengawasan semua pekerjaan umum di kota
seperti pembangunan tembok barat ini, yang sekarang sedang diperlebar agar
sebuah gerbang ornamental yang indah bisa dibuat di tembok ini.
Dia terkejut melihat Marvuz, di atas kuda, sedang berbicara dengan Jeremin,
pengawas proyek. "Salam, Marcius."
"Apa yang membuat pemimpin pasukan pengawal Raja mendatangi tembok" Apakah Abgar
mengutusmu untukmemanggilku?"
"Aku diutus oleh Maanu, yang sebentar lagi akan menjadi raja."
"Dia akan jadi raja jika Tuhan menghendaki."
Tawa keras yang keluar dari mulut Marvuz menggema dalam keheningan fajar.
"Dia pasti jadi raja, Marcius, dia pasti jadi raja, dan kautahu itu, karena kau
bersama Abgar kemarin malam. Kaulihat sendiri maut sudah mendatanginya."
"Apa yang kauinginkan di sini" Cepat bicara, karena aku ada pekerjaan."
"Maanu ingin tahu perintah apa yang disampaikan Abgar. Dia tahu bahwa tidak
hanya kau tetapi juga Senin, Tadeus, Josar, dan bahkan Izaz si penulis ada di
sisi peraduan raja sampai jauh malam. Pangeran ingin kau tahu bahwa kalau kau
bersumpah setia kepadanya, tidak akan ada bahaya menimpamu; jika tidak, dia
tidak bertanggung jawab atas nasib yang kauhadapi."
"Kau datang ke sini untuk mengancamku" Apakah sang pangeran begitu tidak
menghargai dirinya sendiri hingga ia mau membungkuk di hadapan ancaman
kekerasan" Aku sudah terlalu tua untuk takut pada apa pun yang mungkin dilakukan
manusia padaku, Marvuz. Maanu hanya bisa mengambil nyawaku, dan rentang hidupku
sudah cukup. Sekarang pergilah, biarkan aku bekerja."
"Apa kau akan mengatakan kepadaku apa yang disampaikan Abgar?"
Marcius membalikkan badan tanpa menjawab dan mulai memeriksa mortar yang sedang
diangkut salahseorang pekerja.
"Kau akan menyesal, Marcius, kau akan menyesal!" teriak Marvuz sambil memutar
Misteri Kain Kafan Jesus The Brotherhood Of The Holy Shroud Karya Julia Navarro di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kudanya dan berderap ke istana.
Selama beberapa jam berikutnya Marcius tampak asyik dengan pekerjaannya. Si
pengawas memerhatikan Marcius dengan sudut mata; Marvuz sudah memberinya bayaran
yang besar untuk memata-matai sang arsitek kerajaan. Dia menyesal harus
mengkhianati orang tua itu, yang selalu baik kepadanya, tetapi masa Marcius
sudah lewat, dan Marvuz sudah menjanjikan kepada si pengawas bahwa Maanu akan
membalas jasanya dengan sangat dermawan.
Matahari diam di titik zenitnya ketika Marcius memberitahu si pengawas bahwa
sekarang waktunya beristirahat. Peluh mengalir dari tubuh para pekerja dan
bahkan si pengawas sendiri lelah akibat kerja pagi itu dan siap untuk duduk dan
beristirahat sebentar. Dua pelayan muda dari rumah Marcius datang tepat saat itu dengan membawa dua
keranjang. Si pengawas melihat bahwa mereka membawakan buah dan air, yang mulai
dibagikan sang arsitek kepada para pekerja.
Selama satu jam mereka semua beristirahat meski Marcius, seperti yang sering ia
lakukan sebelumnya, tetap asyik mempelajari rancangan-rancangannya. Memang, dia
begitu terserap dalam pekerjaannya hingga pada suatu saat ia berhenti meneliti
rancangannya untuk memanjat tangga dan menaiki perancah yang tinggi, memeriksa
tembok untuk memastikan bahwa tembok itu dibangun kuat dan kokoh. Si pengawas
memejamkan mata, lelah akibat cuaca panas dan kerja keras, sementara para
pekerja nyaris tidak punya kekuatan untuk bicara.
Baru setelah matahari mulai terbenam di barat Marcius memperbolehkan
para pekerja menghentikan peker-jaan. Dia mengucapkan selamat malam kepada mereka semua dan, dengan ditemani pelayanpelayannya, mulai berjalan pulang.
Hanya sedikit yang bisa dilaporkan si pengawas mengenai kegiatan Marcius, tetapi
ia pergi ke kedai minum di persimpangan jalan untuk bertemu dengan Marvuz.
Marcius, yang tidak punya anak dan menduda karena istrinya sudah meninggal
bertahun-tahun yang lalu, mencintai kedua pelayannya seperti layaknya putranya
sendiri. Keduanya adalah penganut Kristen, sebagaimana Marcius, dan dia tahu
mereka tidak akan mengkhianatinya.
Malam sebelumnya, Marcius sudah berjanji kepada Tadeus dan Josar sebelum
meninggalkan istana Abgar: Bila dia sudah menentukan di mana akan menyembunyikan
kafan Yesus, dia akan mengirim pesan kepada mereka. Josar akan menyusun rencana
untuk menyampaikan kain itu kepada Marcius tanpa membangkitkan kecurigaan Maanu
karena mereka tahu, seperti yang sudah diperingatkan Abgar, bahwa Maanu pasti
mengirim mata-mata untuk mengawasi mereka. Mereka juga memutuskan bahwa Marcius
hanya akan memberitahu Izaz seorang dimana kafan itu disembunyikan, dan ini
berarti bahwa begitu Izaz menerima informasi itu, dia harus pergi menemui Senin
dan lari dari kota. Tadeus sudah mengatur agar Izaz pergi ke Sidon, di sana ada komunitas Kristen
yang makmur meski kecil. Timaeus, pemimpin spiritual komunitas itu, diutus ke
sana oleh Petrus untuk berdakwah. Izaz akan mendapat perlindungan Timaeus, yang
akan menjaga rahasia lokasi kafan Yesus.
Meski Abgar memohon agar mereka menyelamatkan diri, Tadeus dan Josar mengambil
keputusan untuk tetap di Edessa. Mereka akan ikut merasakan takdir saudarasaudara mereka yang seiman. Tak seorang pun dan mereka ingin meninggalkan kafan
Yesus meski mereka tidak akan pernah tahu di mana Marcius menyembunyikan benda
itu. Mereka bertemu di kuil malam itu bersama banyakpenganut Kristen lain di kota.
Mereka berdoa bersama untuk Abgar, memohonkan ampunan Tuhan bagi raja mereka.
Pagi itu, dengan hati-hati Josar menggulung kafan Yesus dan menyembunyikannya di
dasar sebuah keranjang seperti yang diminta Marcius. Sebelum matahari mencapai
titik tertinggi, Josar pergi ke pasar sambil menenteng keranjang itu di tangan,
dan berkeliaran diantara kedai-kedai para saudagar, bercakap-cakap dengan para
pedagang. Pada jam yang telah disepakati, Josar melihat salah seorang pelayan
Marcius sedang membeli buah-buahan dari seorang lelaki tua; Josar menghampiri
anak muda itu, yang membawa keranjang seperti keranjang Josar, dan menyapanya
dengan hangat. Lalu, diam-diam dan dengan sangat hati-hati, mereka bertukar
keranjang. Tak ada yang melihat pertukaran itu, dan mata-mata Maanu tidak
melihat ada yang mencurigakan dalam fakta bahwa Josar menyapa salah seorang
temannya sesama orang Kristen.
Si pengawas pun tidak curiga ketika Marcius, tinggi di atas perancah, mengambil
sebutir apel dan keranjang yang ia bawa dan sesekali menggigit buah itu selagi
ia berjalan sepanjang tembok, menguji kekokohan tembok, mengetuk-ngetuk untuk
menemukan ruang-ruang kosong yang berbahaya di antara batu-batu bata bakaran.
Marcius selalu menyukai pekerjaan perbatuan dan bahkan sekarang pun dia senang
mengerjakan tembok-apa peduli si pengawas jika ia menghabiskan kekuatannya di
bawah terik matahari siang hari di saat semua orang di sekitarnya terkantukkantuk akibat hawa panas dan dengungan lalat"
Marcius menyegarkan diri dengan air dingin yang dibawakan salah seorang
pelayannya ke kamar. Sambil beristirahat dari panasnya hari, arsitek kerajaan
itu melepas tuniknya yang berdebu dan mengenakan yang bersih. Dia merasa bahwa
hidupnya tinggal beberapa hari lagi.
Begitu Abgar wafat, Maanu tentu berusaha mengetahui di mana kafan itu
disembunyikan supaya bisa dihancurkan. Maanu akan menyiksa siapa saja yang ia
yakin mengetahui tempat kain itu disembunyikan, dan Marcius termasuk di antara
teman-teman raja yang dicurigai Maanu mengetahui rahasia itu. Itulah sebabnya
Marcius sampai pada satu keputusan, yang akan ia beritahukan kepada Tadeus dan
Josar malam itu juga keputusan yang akan ia laksanakan begitu ia tahu Izaz sudah
aman. Dengan ditemani kedua pelayan mudanya ia berjalan menuju kuil, tempat ia
tahu teman-temannya sedang berdoa. Setiba di sana, ia mengambil tempat agak jauh
dari yang lain, di tempat yang tidak bisa dilihat orang-orang saleh di sana.
Meski mereka semua adalah penganut Kristen dan saling setia, uang Maanu
berlimpah dan bisa dipakai membujuk salah seorang dan mereka untuk berkhianat.
Izaz melihat sekilas sang arsitek yang sedang berdiri dalam bayang-bayang.
Dengan memanfaatkan kesempatan ketika Tadeus dan Josar memintanya membantu
membagikan roti dan anggur di antara orang-orang yang beribadat, Izaz mendekati
Marcius, yang memberinya sehelai perkamen kecil yang digulung erat-erat, yang
oleh Izaz diselipkan ke dalam lipatan tuniknya. Lalu ia memberi isyarat pada
seorang laki-laki berbadan besar yang tampaknya sedang menunggu tanda dan
menyelinap diam-diam keluar kuil. Di luar, dengan diikuti laki-laki bertubuh
raksasa itu, Izaz bergegas menuju tempat karavan.
Rombongan karavan Senin sudah disiapkan untuk berangkat meninggalkan Edessa.
Harran, orang yang ditugasi Senin memimpin karavan ke Sidon, sedang menunggu
dengan tidak sabar. Dia menunjukkan kepada Izaz dan si raksasa, yang bernama
Obodas, tempat yang dicadangkan untuk mereka dan memberi perintah untuk
berangkat. Izaz baru membuka gulungan perkamen ketika matahari sudah tinggi di langit
keesokan paginya. Dia membaca dua baris tulisan sang arsitek, yang dengan hurufhuruf yang jelas memberitahukan tempat Kafan Suci disembunyikan. Lalu ia merobek
perkamen itu menjadi serpihan-serpihan kecil dan perlahan-lahan menebarkan ke
sepanjang gurun yang mereka lalui.
Obodas mengawasi Izaz dengan penuh perhatian sementara matanya selalu waspada
memerhatikan keadaan sekeliling mereka. Dia mendapat perintah dari Senin untuk
melindungi nyawa pemuda ini dengan nyawanya sendiri bila perlu.
Tiga malam kemudian, Harran dan Obodas merasa sudah cukup jauh dari Edessa untuk
menghentikan perjalanan mereka sejenak dan mengutus kurir ke rumah Senin. Kurir
itu perlu waktu tiga hari untuk tiba di sana, dan pada saat itu Izaz tentu sudah
aman. Abgar sedang sekarat. Ratu mengutus orang untuk memanggil Tadeus dan Josar,
untuk memberitahu mereka bahwa beberapa jam lagi, mungkin beberapa menit lagi,
hidup Raja akan mencapai akhir. Raja bahkan sudah tidak mengenali Ratu lagi.
Sudah sepuluh hari sejak Abgar memanggil sahabat-sahabatnya ke kamar yang sama
untuk berbicara dengan mereka; saat itu mereka bercakap-cakap hingga gulita
malam sudah sepekat-pekatnya. Sekarang Raja hampir tak bernyawa; dia tidak
membuka mata, dan hanya embun tipis di cermin yang diletakkan di bawah hidungnya
yang menunjukkan bahwa dia masih hidup.
Maanu, yang tidak sabar menanti wafatnya sang raja, tidak mau sedikit
pun menjejakkan kaki keluar istana. Ratu tidak memperbolehkannya memasuki kamar raja, tetapi itu tidak penting. Dia pasti bisa
tahu tentang kematian ayahnya karena dia sudah menjanjikan kebebasan kepada
seorang gadis budak jika gadis itu menceritakan kepadanya semua yang terjadi
dalam kamar Abgar. Ratu tahu dirinya dimata-matai, maka ketika Josar dan Tadeus tiba, dia menyuruh
semua pelayan keluar dari kamar dan mereka bercakap-cakap dengan berbisik. Ratu
tersenyum lega ketika tahu bahwa kafan Yesus sudah aman. Dia berjanji akan
segera memberitahu mereka bila Abgar wafat; dia akan mengutus si penulis Ticius,
seorang penganut Kristen dan abdi yang setia. Ketiga sahabat lama itu saling
mengucapkan selamat berpisah dengan penuh perasaan, karena tahu bahwa mereka
tidak akan bertemu lagi dalam kehidupan ini, dan Ratu meminta Tadeus dan Josar
untuk berdoa agar Tuhan memberinya kekuatan untuk menghadapi ajal yang tentu
sudah direncanakan putranya.
Josar, dengan mata penuh air mata, tidak sanggup mengucapkan selamat berpisah
kepada sang ratu. Ratu bukan lagi wanita cantik seperti bertahun-tahun yang
lalu, tetapi matanya cerah oleh kecerdasan dan energi, dan pembawaannya yang
agung tetap tak tertundukkan. Karena menyadari pengabdian si penulis tua Josar
kepadanya, Ratu meremas tangan Josar dan memeluk agar Josar dapat merasakan
bahwa ia tahu betapa dalam cinta Josar kepadanya dan untuk menunjukkan bahwa
dirinya mencintai Josar sebagai sahabatnya yang paling setia.
Selama tiga hari berikutnya Abgar terbaring sekarat. Pada hari ketiga, istana
gelap dan malam di luar gulita, dan hanya Ratu yang menjaganya. Abgar membuka
mata dan tersenyum kepadanya penuh rasa terima kasih, tatapannya sarat dengan
kelembutan dan cinta. Lalu ia wafat, berdamai dengan dirinya sendiri dan Tuhan.
Ratu menggenggam tangan suaminya. Kemudian dengan lembut ia mengatupkan mata
Abgar dan mencium bibirnya.
Ratu hanya memberi waktu sebentar saja bagi dirinya sendiri untuk berdoa,
memohon agar Tuhan menempatkan Abgar dalam perlindunganNya. Lalu, diam-diam, ia menyelinap melalui koridor-koridor istana
yang gelapsampai tiba di sebuah apartemen di dekat istana, tempatsi penulis
Ticius sudah tinggal beberapa hari ini.
Ticius sedang lelap tetapi ia terjaga ketika merasakan tangan Ratu di bahunya.
Tak satu kata pun mereka ucapkan. Lalu, di bawah lindungan malam dan kegelapan,
Ratu kembali ke kamar tidur raja sementara Ticius dengan hati-hati mengendapendap keluar istana dan berjalan menuju rumah Josar.
Matahari belum lagi terbit ketika Josar, dengan hati penuh kesedihan, mendengar
dari Ticius berita wafatnya sang raja. Ia pun hanya punya waktu beberapa saat
untuk berdoa. Ia harus mengirim pesan kepada Marcius, seperti yang diminta
arsitek kerajaan itu. Rencana mereka tergantung pada sampainya pesan itu. Dan
dia harus memberitahu Tadeus karena hidup mereka berdua, dia yakin sekali, telah
berakhir. 14 "Baiklah Marco, beberkan saja apa yang sedang kaupikirkan?"
Pertanyaan Santiago Jimenez yang langsung itu mengejutkan Marco.
"Apa kelihatan sejelas itu?"
"Astaga, bukankah kita ini detektif?" Paola tersenyum. Marco memintanya
mengundang John Barry, Atase Kebudayaan A.S., dan Santiago Jimenez, Wakil
Europol di Roma, untuk makan malam dirumah mereka. John datang bersama istrinya,
Lisa. Santiago masih lajang, maka pendampingnya selalu merupakan kejutan, dan
tidak pernah gadis yang sama diajaknya dua kali. Kali ini ia datang bersama
adiknya Ana, seorang perempuan muda yang lincah, jurnalis yang sedang berada di
Roma untuk meliput konferensi tingkat tinggi kepala negara Uni Eropa.
Sekarang, setelah beberapa hidangan yang mewah, mereka semua bersantai
mengelilingi meja dengan hidangan penutup dan kopi.
"Baik kalau begitu, kalian tahu bahwa ada kecelakaan lagi di katedral di Turin,"
Marco memulai. Tanpa tergesa-gesa, dia meringkas kasus itu untuk mereka,
menyampaikan secara garis besar sejarah yang relevan dan kemiripan yang
fantastis di antara insiden-insiden itu, dengan sungguh-sungguh menanggapi
komentar dan pertanyaan mereka.
"Sejarah kafan itu sungguh menarik, bagaimana benda itu muncul dan menghilang
selama sekian abad ini, bahaya-bahaya yang mengancamnya, tetapi sukar
membayangkan ada seseorang yang begitu gigihnya ingin menghancurkan atau mencuri
kain itu," Lisa merenung ketika percakapan mulai sepi, minatnya sebagai seorang
arkeolog tersulut. "Kafan itu berada di katedral di Turin sejak Keluarga Savoy
menyimpannya di sana. Seingatku, kisahnya adalah bahwa Kardinal Milan, Carlos
Borromeo, berjanji akan berjalan dari Milan ke Chambery, tempat Kafan Suci saat
itu berada, untuk berdoa agar wabah yang merundung kotanya diangkat. Keluarga
Savoy, yang memiliki kafan itu, tergugah oleh kesalehan Kardinal dan memutuskan
untuk memindahkan kain itu ke pertengahan jafak kedua kota, yaitu ke Turin, agar
Kardinal tidak perlu berjalan terlalu jauh. Dan sekarang pun kain itu masih
disana. Jadi, coba pikirkan, jelaslah, jika sudah terjadi begitu banyak kecelakaan di
katedral itu, dan kau tida kpercaya semuanya tidak berkaitan, dan kau harus
mengakui bahwa tidak mungkin yang mengobarkan api dua minggu yang lalu dan lebih
dari seratus tahun yang lalu itu orang yang sama, maka ..."
"Lisa, pelan-pelan," John menegurnya. "Biarkan Marco selesai dulu."
"Ya, tapi yang tidak bisa kumengerti adalah apa alasannya aku tidak bisa melihat
motif apa pun. Mungkin hanya ulah orang fanatik yang ingin menghancurkan
kafanitu." "Orang fanatik bisa saja menciptakan kecelakaan selama sepuluh, lima belas, dua
puluh tahun terakhir ini, tetapi seratus tahun yang lalu?"
Ana menimpali argumen itu. "Bagaimanapun juga ini cerita yang hebat.
Aku ingin sekali menulis kisah ini."
"Ana! Kau di sini bukan sebagai wartawan!" Kakaknya memelototinya dari seberang
meja. "Tidak apa, Santiago, tidak apa. Aku yakin kita bisa memercayai Ana untuk tidak
membeberkan masalah ini dan tetap merahasiakan.
Betul, bukan, Ana?" Marco tersenyum pada sang jurnalis, tetapi maksud
perkataannya jelas. "Dan John, Lisa tadi langsung menuju inti permasalahan. Aku
memintamu dan Santiago untuk membantuku berpikir, untuk mencari penjelasan yang
masuk akal untuk misteri ini.
Aku tidak tahu apakah aku dan orang-orangku sudah terlalu dekat dengan kasus
ini, aku akan sangat menghargai pandangan orang luar.
Aku sudah menyiapkan laporan yang memerinci semua peristiwa yang tidak bisa
dijelaskan yang terjadi di katedral atau yang berhubungan dengan kafan itu
selama seratus tahun terakhir. Aku tahu aku terlalu memanfaatkan persahabatan
kita dan bahwa kalian berdua sangat sibuk di pekerjaan, tetapi aku akan sangat
tertolong jika kalian membaca laporanku dan memberitahu bagaimana pendapat
kalian." "Dengan senang hati aku akan membantu," si orang Spanyol berkata hangat. "Lagi
pula, kautahu kau bole hmelihat arsip-arsip Europol mengenai kafan itu kapan
saja kau mau." "Terima kasih, Santiago."
"Tentu aku juga akan membaca laporanmu, Marco, dan memberikan pendapat
sejujurnya. Kau tahu kau bisa mengandalkan bantuanku dalam hal apa saja, resmi
maupun tidak," janji John.
"Aku juga ingin membaca laporan itu, kalau boleh," adik Santiago berseru.
"Ana, kau bukan polisi, kau tidak ada hubungan dengan masalah ini. Marco tidak
bisa memberimu laporan yang sifatnya rahasia dan resmi."
"Maafkan aku, Ana - " Marco memulai.
"Kau yang rugi, Bos," Ana menyela. "Tapi biar kuberitahu kiat wartawan.
Intuisiku mengatakan bahwa jika memang ada sesuatu, kau harus mengejar apa pun
itu dari sudut sejarah, bukan sudut polisi. Tapi ini kan kasusmu."
Selagi berjalan ke mobil, Ana memeluk Santiago dengan main-main.
"Kautahu, Kakakku sayang, kurasa aku akan tinggal beberapa hari lagi."
Misteri Kain Kafan Jesus The Brotherhood Of The Holy Shroud Karya Julia Navarro di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ana, Marco itu temanku. Lagi pula, aku bisa kena masalah besar secara
profesional jika ada yang tahu bahwa adikku menurunkan berita tentang kasus
polisi yang hanya bisa diketahui melalui aku. Itu akan menghancurkan karierku,
sesederhana itu. Aku tidak peduli sehebat apa cerita ini."
"Oh, ayolah, jangan begitu melodramatis. Aku tidak akan menulis satu baris pun,
aku janji." "Tidak akan" Kau akan menjaga semua ini benar-benar off the record?"
"Aku sudah janji, tenanglah. Aku menghormati narasumberku bila mereka mengatakan
sesuatu itu off the record- tidak mungkin aku bertahan lama kalau sikapku tidak
begitu." "Aku tidak tahu kenapa kau memutuskan untuk jadi wartawan!"
"Yeeh, memangnya jadi polisi itu peningkatan hebat!"
"Sudahlah. Kutraktir kau minum di tempat baru yang sedang terkenal, supaya kau
bisa memberitahu semua temanmu kalau kau kembali ke Barcelona."
"Baik, tapi aku tidak menganggap tawaranmu ini suap, dan kuharap kau
mengizinkanku mengetahui isi laporan itu. Sejujurnya kurasa aku bisa membantu,
dan aku janji akan membantu tanpa mengatakan apapun kepada siapa pun atau
menulis satu kata pun tentang laporan itu. Hanya saja aku suka sekali cerita
macam ini. Kautahu seperti itulah aku. Ada sesuatu yang menarik disini. Aku bisa
merasakan." "Ana, aku tidak bisa membiarkanmu mencampuri investigasi yang menjadi wewenang
Divisi Kejahatan Seni, bukan wewenangku, sudah kukatakan aku bisa dapat masalah
besar." "Tetapi tidak akan ada yang tahu, aku janji. Percayalah padaku.
Aku sedang bosan menulis tentang politik dan mengendus-endus skandal pemerintah.
Aku tahu selama ini aku beruntung dan berhasil, tetapi aku masih belum menemukan
cerita yang hebat, dan mungkin inilah cerita itu." "Bagaimana cerita ini bisa
jadi cerita hebat kalau kau tidak akan mengatakan atau menulis sepatah kata
pun?" "Begini, kita buat kesepakatan. Kau biarkan aku menyelidiki sendiri, tanpa
mengatakan apa pun kepada siapa pun. Akan kuceritakan kepadamu apa yang
kutemukan, maksudku, jika aku menemukan sesuatu. Jika pada akhirnya aku
menemukan petunjuk, atau apalah, yang bisa membantu Marco menutup kasus ini, aku
mengharapkan turun izin untuk menceritakan kisah ini, atau paling tidak sebagian
dari kisah ini. Tetapi hanya setelah kasus ditutup."
"Tidak mungkin."
"Kenapa tidak?"
"Bagian mana yang tidak kau mengerti" Kasus ini bukan wewenangku, dan aku tidak
akan tidak bisa membuat kesepakatan, denganmu atau siapa pun. Astaga, kenapa
juga aku mengajakmu ke rumah Marco?"
"Tenanglah, Santiago. Aku mencintaimu dan aku tidak akan melakukan apa pun untuk
menyusahkanmu. Aku cinta pekerjaanku, tetapi kau lebih utama. Aku tidak pernah
menempatkan pekerjaanku di atas manusia, tidak pernah. Apa lagi dalam kasusmu."
"Aku ingin memercayaimu, Ana, sungguh. Aku tidak punya pilihan.
Tetapi kau berangkat besok, kembali ke Spanyol. Kau akan pergi dari sini."
15 Zafarin membiarkan matanya menjelajahi jalan raya yang padat. Supir truk yang
membawanya ke Urfa kelihatannya sebisu dirinya, supir itu hampir tidak pernah
mengatakan apa-apa kepadanya sejak mereka meninggalkan Istambul.
Pagi itu di rumah tempat ia disembunyikan semalaman, Zafarin mengenalinya
sebagai penduduk Urfa, salah seorang kepercayaan Addaio.
Ia ingin sekali mendengar berita tentang Addaio, tentang keluarganya, tentang
kotanya, tetapi laki-laki itu hanya menyetir sambil terus membungkam. Sepanjang
perjalanan laki-laki itu hanya berbicara dua atau tiga kali, untuk bertanya
apakah Zafarin lapar atau perlu pergi kekamar mandi.
Supir itu kelihatan lelah setelah berjam-jam di belakang kemudi, maka Zafarin
membuat isyarat yang menunjukkan bahwa dia bisa menyetir, tetapi supir truk itu
menolak. "Sudah tidak jauh lagi dan aku tidak ingin ada masalah. Addaio tidak akan
memaafkanku jika aku mengecewakannya. Kegagalan kita sudah cukup banyak
belakangan ini." Zafarin menggertakkan gigi. Seorang saudara tewas, dia sendiri mempertaruhkan
nyawa, dan orang bodoh ini mengomelinya karena gagal. Tahu apa orang ini tentang
bahaya yang dia dan sahabat-sahabatnya hadapi! Tentang pengorbanan yang sudah
mereka lakukan! Semakin jauh mereka melaju, semakin banyak mobil dan truk di jalan. Jalan E-24
adalah salah satu jalan raya tersibuk di Turki karena jalan ini menuju Irak dan
ladang-ladang minyak Irak. Truk dan mobil militer juga banyak berpatroli di
perbatasan Suriah-Turki, mewaspadai terutama milisi Kurdis yang beroperasi di
wilayah itu. Tidak sampai satu jam lagi dia akan berada di rumah, dan hanya
itulah yang penting. "Zafarin! Zafarin!"
Suara ibunya, tercekat oleh perasaan, terdengar laksana musik surgawi.
Di sanalah ibunya, kecil dan ramping, rambutnya tertutup oleh hijab, kerudung
yang sedari dahulu dipakai oleh perempuan Timur Dekat. Meski sosoknya kecil, ibu
Zafarinlah yang mengatur keluarga itu, ayahnya, saudara-saudaranya, dia sendiri,
dan tentu saja istrinya, Ayat, dan putrinya. Tak seorang pun dan mereka berani
menentang keinginan sang ibu. Mata Ayat penuh air mata. Dulu Ayat memohon agar
ia tidak pergi, tidak menerima misi ini. Tidak membiarkandirinya dimutilasi
selamanya. Tetapi bagaimana bisa ia menolak perintah dan Addaio dan panggilan yang paling
suci dalam komunitas mereka, panggilan yang sudah dijawab saudara lelakinya
sebelum dirinya" Rasa malu keluarganya tentu tak tertanggungkan.
Ia turun dari truk dan dalam sekejap merasakan rangkulan Ayat di lehernya,
sementara ibunya juga berusaha memeluknya. Putrinya, yang ketakutan, mulai
menangis. Ayahnya memerhatikan dengan penuh emosi, menunggu para perempuan berhenti
menarik dan mendorongnya penuh kasih sayang.
Akhirnya kedua laki-laki itu bisa berpelukan dan Zafarin, yang merasakan
kekuatan lengan ayahnya yang petani ini saat mendekap badannya, takluk dan mulai
terisak, menangis seperti yang dulu ia lakukan semasa kecil di pelukan ayahnya,
sambil menunjukkan bekas-bekas perkelahian di jalan atau di sekolah. Ayahnya
selalu memberinya perasaan aman itu, perasaan bahwa ia bisa mengandalkan
ayahnya, bahwa apa pun yang terjadi, ayahnya akan ada di sana untuk
melindunginya. Zafarin tahu ia akan membutuhkan seluruh kekuatan ayahnya saat
mereka berdiri di hadapan Addaio.
16 Halaman rumput dan kebun rumah besar bergaya Georgia itu bermandikan cahaya.
Semilir angin dari teluk menyejukkan lingkungan eksklusif di Boston itu,
sementara polisi wilayah dan agen-agen Secret Service bersaing menjamin keamanan
tamu-tamu di pesta makan malam.
Presiden Amerika Serikat beserta istrinya termasuk di antara undangan, begitu
pula Menteri Keuangan dan Menteri Pertahanan, sejumlah senator yang berpengaruh
dan wakil-wakil dari seluruh spektrum politik, para CEO dari berbagai perusahaan
multinasional Amerika dan Eropa, sekitar selusin bankir, dan beberapa doktor,
ilmuwan, pengacara kalangan atas, serta bintang-bintang dari dunia akademis.
Alasan diadakannya acara itu adalah ulang tahun kelima puluh Mary Stuart.
Suaminya, James, ingin merayakan bersama seluruh teman mereka. Kenyataannya
adalah, pikir Mary, yang hadir malam itu lebih banyak kenalan daripada teman.
Dia tidak akan menyakiti hati suaminya dengan mengatakan bahwa dia lebih senang
bila James memberinya kejutan berlibur ke Italia, tanpa jadwal yang kaku, tanpa
kewajiban-kewajiban sosial. Hanya mereka berdua, mengembara di Tuscany, seperti
yang mereka lakukan saat bulan madu tiga puluh tahun yang lalu. Tetapi yang
seperti itu tidak akan pernah terpikir oleh James. Mereka, sebenarnya, akan
pergi ke Roma minggu lusa tetapi terutama untuk urusan bisnis, termasuk beberapa
hari yang padat dengan acara-acara sosial dan budaya dipaksakan ke dalamnya.
Seorang pria jangkung dengan tangkas mencari jalan di antara keramaian untuk
menghampirinya. Mary tersenyum dengan kegembiraan yang tulus. "Umberto!"
"Mary, Sayangku, selamat ulang tahun."
"Aku senang sekali bertemu denganmu dan sungguh suatu kehormatan kau mau
datang!" "Akulah yang mendapat kehormatan kau undang. Ini, sesuatu untukmu. Kuharap kau
suka." Umberto mengulurkan sebuah kotak kecil yang dibungkus kertas putih mengilat.
"Oh, Umberto, sebetulnya tidak usah... Boleh kubuka?"
"Tentu saja. Kau harus segera membuka hadiahku,"jawab Umberto sambil tersenyum.
Mary terpana melihat patung yang terbaring dalam kertas tisu di dalam kotak itu.
"Ini patung dari abad kedua sebelum masehi. Seorang puan yang secantik dan
semenawan dirimu." "Umberto, ini indah sekali. Terima kasih, terima kasih banyak. Aku tidak tahu
harus bagaimana." Mary merasakan ada lengan menyelip merangkul pinggangnya
ketika suaminya bergabung dan diangkatnya kotak kecil itu untuk dilihat James.
Kedua pria itu berjabat tangan dengan hangat.
"Kejutan luar biasa apa yang kau bawa untuk istriku kali ini, Umberto" Oh,
indahnya! Tetapi tidak adil, sekarang persembahanku yang bersahaja jadi tidak
berarti!" "James, hentikan sekarang juga. Kau tahu aku suka sekali hadiahmu. Dia memberiku
cincin dan kerabu ini, Umberto. Mutiara paling sempurna yang pernah kulihat."
"Memang itu mutiara yang paling sempurna, Sayang. Nah, simpan dulu puan yang
mulia ini di tempat yang aman sementara aku mengambilkan Umberto minum."
Pabrik-pabrik baja, laboratorium farmasi, saham-saham teknologi, dan berbagai
jenis bisnis menjadikanJames Stuart, pada usia enam puluh dua, salah seorang
pria paling kaya dan paling berpengaruh di dunia. Dia dan D'Alaqua terus
berbincang sambil bersama-sama melangkah kembali ke keramaian.
Sepuluh menit kemudian James Stuart meninggalkan Umberto D'Alaqua dengan
Presiden dan tamu-tamu lain sementara dia sendiri mendatangi kelompok demi
kelompok, memastikan percakapan, minuman, dan makanan kecil terus mengalir
lancar. Ketika malam terus berlanjut dan kelompok-kelompok tamu bergerak bergabung dan
berputar memisah, tidak ada yang terlalu memerhatikan tujuh pria yang sedang
bercakap-cakap agak ke sisi dan mengganti topik pembicaraan setiap kali ada
orang lain mendekat, ke krisis di Irak, konferensi tingkat tinggi yang terakhir
di Dauos, topik apa saja dan berbagai masalah lain yang lazim menjadi perhatian
laki-laki semacam mereka. Akan tetapi, untuk saat itu, tidak ada yang mengganggu
mereka. "Marco Valoni sudah meminta Menteri Kebudayaan untuk membebaskan tahanan di
Turin itu dan penjara," ujar salah seorang dari mereka dalam bahasa Inggris yang
tanpa cela meski faktanya bahasa ibunya adalah bahasa Italia. "Dan Menteri
Kebudayaan sudah membawa masalah ini ke Menteri Dalam Negeri, yang menyetujui
gagasan itu. Gagasan itu sendiri datang dari salah seorang rekan Valoni, Dottoressa Galloni,
seorang pakar sejarah seni, yang akhirnya sampai pada kesimpulan yang sebenarnya
sudah jelas bahwa hanya tahanan itu yang bisa membawa mereka menemukan sesuatu
yang berharga. Galloni juga meyakinkan Valoni bahwa mereka harus menyelidiki
COCSA, dari atas sampai bawah."
"Sayang sekali. Apakah ada cara untuk menyingkirkan Galloni dari kasus ini?"
tanya seorang pria tinggi kurus, yang tertua di antara mereka.
"Kita selalu bisa menekan. Atau COCSA bisa mengajukan protes ke Vatikan dan
membiarkan Gereja menekan pemerintah Italia agar tidak ikut campur. Atau kita
bisa bertindak langsung melalui Menteri Keuangan, yang pasti tidak senang
melihat salah satu perusahaan paling penting di negeri itu terseret ke dalam
kasus ini dan diletakkan di bawah mikroskop, semua karena kebakaran yang tidak
menimbulkan kerugian besar. Kita sudah mengatur untuk mengganti karya-karya seni
yang rusak dengan yang setara atau lebih tinggi nilainya. Tetapi menurut
pendapatku, sekarang ini kita harus menangguhkan rencana apa pun menyangkut sang
Dottoressa." Tatapan pria yang lebih tua itu terpaku pada si pembicara yang mengemukakan
pikirannya dengan tenang. Tetapi ada kesan tertentu yang halus sekali dalam nada
suaranya yang menajamkan perhatian seniornya. Dia memutuskan untuk mendesak
lebih jauh, untuk melihat reaksi.
"Kita juga bisa membuat Galloni lenyap begitu saja. Kita tidak mungkin
membiarkan seorang investigator yang berbakat menggali terlalu dalam."
Pria lain dalam kelompok itu angkat bicara, aksennya berbau Prancis.
"Tidak, sepertinya itu tidak perlu. Itu reaksi yang berlebihan. Untuk saat ini
kita sebaiknya tidak melakukan apa-apa. Biarkan Dottoressa itu melanjutkan. Kita
bisa mencegatnya nanti atau menyingkirkannya dengan suatu cara."
"Aku setuju," dukung si orang Italia. "Salah jika kita bergerak terlalu cepat
atau mencampuri pekerjaannya, atau dirinya. Itu hanya akan membuat Valoni marah
dan yakin bahwa ada sesuatu yang harus ditemukan, dan itu berarti dia dan sisa
timnya tidak akan pernah melepas kasus ini bahkan jika mereka diperintahkan.
Dottoressa Galloni memang menimbulkan risiko; dia cerdas, mungkin sangat cerdas.
Tetapi kita terpaksa menghadapi risiko itu. Harap selalu diingat bahwa kita
unggul jauh, kita tahu persis apa yang mereka lakukan dan pikirkan."
"Informan kita aman" Tidak ada kecurigaan?"
"Tentang salah satu dan orang-orang yang paling dipercaya Valoni"
Tentu saja tidak ada."
"Baiklah. Apa lagi yang kita punya?" pria yang tertua itu bertanya sambil
menatapi kelompoknya. Seorang pria yang tampak seperti aristokrat Inggris berbicara.
"Zafarin tiba di Urfa dua hari yang lalu. Aku belum dapat berita tentang reaksi
Addaio. Seorang lagi dalam kelompok itu, Rasit, sudah sampai di Istambul dan
yang ketiga, Dermisat, seharusnya tiba hari ini."
"Bagus, kalau begitu mereka semua aman. Sekarang masalahnya menjadi masalah
Addaio, bukan kita. Tetapi kita harus memikirkan bagaimana menangani orang
dipenjara Turin itu."
"Sesuatu bisa menimpanya sebelum dia keluar penjara. Itulah yang paling aman,"
usul si pria Inggris. "Jika dia keluar, dia akan menuntun polisi pada Addaio."
"Itu tindakan yang paling bijak, aku setuju," sahut orang Prancis kedua.
"Apa itu bisa kita lakukan?" pria tertua itu bertanya.
"Tentu saja. Kita punya koneksi di dalam penjara.Tetapi harus kita atur dengan
cermat. Jika terjadi sesuatu pada jagoannya, Valoni tidak akan memercayai
laporan resmi." "Dia boleh saja gusar sampai mukanya biru, tetapi dia akan terpaksa menerima.
Tanpa tahanan itu, kasusnya tamat, paling tidak untuk saat ini," timpal pria
tertua dengan pedas. "Tapi kita teruskan saja mengamati. Saat ini aku tidak
ingin memberi mereka hal lain yang bisa dijadikan pegangan."
"Bagaimana dengan Kafan Suci?" tanya salah seorang.
"Masih di bank. Setelah pekerjaan perbaikan di katedral selesai, kain itu akan
dikembalikan ke kapel untuk dipajang. Kardinal ingin mengadakan Misa Syukur
untuk mensyukuri bahwa kafan itu sekali lagi selamat."
"Tuan-tuan... sedang mengadakan transaksi di sini, rupanya"
Memojokkan pasar aluminium?"
"Tidak, Bapak Presiden, tapi itu bukan ide buruk!"Mereka semua tertawa ketika
Presiden Amerika Serikat, ditemani James Stuart, menggabungkan diri. Lanjutan
diskusi mereka harus menunggu dulu.
"Mary, pria di sana itu, siapa dia?" Untuk merayakan ulang tahun kakaknya,
kemarin malam Lisa Barry terbang ke Boston bersama putri Mary dan James, Gina,
yang tinggal bersama Lisa dan John di Roma.
"Salah seorang sahabat kami, Umberto D'Alagua. Apa kau tidak ingat dia?"
"Oh ya, sesudah kausebut namanya aku jadi ingat. Dia masih mengesankan juga, ya"
Tampan sekali." "Lupakan. Dia sudah mantap mau membujang. Sayang memang, karena dia bukan hanya
tampan, dia sangat baik hati. Penuh perhatian dan ramah setiap kali kami bertemu
dengannya." "Aku mendengar sesuatu tentang dia belum lama ini... apa, ya"..."
Lisa memulai. Lalu teringatlah dia. Laporan mengenai kebakaran di Katedral Turin yang dikirim
Marco untuk John membicarakan sebuah perusahaan, COCSA, dan pemiliknya,
D'Alaqua. Umberto D'Alaqua. Lisa berhenti di tengah kalimat. Tidak mungkin dia
mengatakan apa pun tentang masalah itu kepada Mary. John tidak akan
memaafkannya. "Umberto memberiku patung keramik dari abad kedua sebelum Masehi. Indah sekali,
akan kuperlihatkan padamu nanti," janji Mary. Dia menggandeng tangan Lisa.
"Mariku perkenalkan."
Kedua bersaudari itu mendekati D'Alaqua.
"Umberto, kau tentu ingat adikku, Lisa."
"Tentu aku ingat. Senang sekali bertemu denganmu lagi."
"Sudah lama sekali, waktu terakhir kali Mary berkunjung..."
"Ya, Mary, kau datang ke Italia tidak sesering yang seharunya. Lisa, kurasa aku
Misteri Kain Kafan Jesus The Brotherhood Of The Holy Shroud Karya Julia Navarro di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ingat bahwa kau tinggal di Roma. Betul begitu?"
"Ya, Roma sudah terasa seperti rumah sekarang. Aku tidak yakin aku bisa tinggal
di tempat lain manapun."
"Gina tinggal di Roma bersama Lisa, Umberto, mengejar gelar doktornya di
universitas. Dan dia akan bergabung dengan tim Lisa di ekskavasi di
Herculaneum." "Ah! Sekarang aku ingat, kau seorang arkeolog!" antusiasme D'Alaqua jelas
terlihat. Mary menjawab untuk Lisa. "Ya, dan Gina mewarisi hasrat bibinya dalam urusan
menggali-gali pasir."
"Aku tidak bisa membayangkan pekerjaan yang lebih menyenangkan daripada mempelajari masa lalu." Lisa tersenyum. "Dan Umberto,
kurasa aku ingat bahwa kau tidakasing dengan arkeologi."
"Benar sekali. Aku selalu mencoba-coba kabur untuk bekerja di penggalian paling
tidak satu atau dua kali setahun."
"Yayasan Umberto mendanai beberapa ekskavasi," tambah Mary.
Sewaktu mereka mulai semangat berbincang tentang kesamaan minat terhadap masa
lalu itu, James muncul dan, yang membuat Lisa kecewa, menggiring D'Alaqua
kekelompok lain. Sebenarnya dia betah berbicara dengan D'Alaqua sepanjang malam.
John tidak akan percaya jika ia bercerita bahwa ia berbincang dengan pria yang
ada dalam laporan Marco Valoni ini. Bahkan Marco juga pasti terkejut. Lisa
tertawa sendiri, memikirkan bahwa untunglah dia menerima undangan James untuk
mengejutkanMary di hari ulang tahun kakaknya itu. Ia harus mengadakan pesta
makan malam untuk keluarga Stuart jika mereka datang ke Roma, pikirnya. Ia akan
membicarakan ide ini dengan keponakan perempuannya; mereka berduaakan membuat
daftar nama orang-orang yang akandiundang. Lisa bahkan sudah punya beberapa nama
dalam otaknya. 17 Pelayan muda itu menangis diliputi rasa takut dan ngeri. Wajah dan dagu Marcius
penuh cipratan darah. Pelayan yang seorang lagi sudah lari ke rumah Josar untuk
memberitakan tragedi di kediaman sang arsitek kerajaan. "Lalu kami mendengar
teriakan yang mengerikan, jeritan, dan ketika memasuki kamar, kami melihat
Marcius dengan sebilah belati tajam di salah satu tangan, dengan belati itu dia
sudah memotong lidahnya sendiri. Dia jatuh tak sadarkan diri ke tanah, dan kami
tidak tahu harus berbuat apa. Dia sudah memberitahu kami bahwa sesuatu akan
terjadi malam ini dan memerintahkan agar kami tidak takut, apa pun yang kami
lihat nanti. Tetapi, oh Tuhan, dia memotong lidahnya sendiri! Mengapa"
Mengapa"!" Josar dan Tadeus tidak terkejut mendengar cerita si pelayan.
Mereka berusaha menenangkan anak itu sambil berjalan bersamanya menuju rumah
Marcius, dan di sana mereka mendapati teman mereka masih pingsan, kain seprainya
bernoda merah oleh darah, sementara pelayannya meringkuk di sudut, menangis dan
berdoa dan melambai-lambaikan tangan karena takut dan ngeri.
"Tenangkan dirimu!" Josar memerintah pemuda yang seorang lagi itu. "Tabib akan
segera tiba dan dia akan menolong tuanmu. Tetapi malam ini, Teman-temanku,
kalian harus kuat. Kalian tidak boleh berkecil hati entah karena ketakutan atau
rasa kasihan, sebab jika tidak, nyawa Marcius akan terancam bahaya besar."
Pelayan-pelayan muda itu mulai lebih tenang. Ketika tabib tiba, dia
memerintahkan semua orang keluar darikamar dan tetap di sana sendirian bersama
asistennya. Lama sekali mereka baru keluar.
"Dia sekarang tenang beristirahat. Selama beberapa hari ini aku ingin dia tidak
diganggu; obat cair ini, bila dicampur dengan air minum yang kau berikan, akan
membuatnya tidur dan meredakan rasa sakit sampai lukanya sembuh."
"Kami ingin meminta bantuanmu," Tadeus berkata kepada sang tabib. "Kami juga
ingin memotong lidah kami."
Tabib itu, yang juga penganut Kristen, menatap mereka dengan sedih. "Tuhan kita
tidak akan bersenang hati dengan mutilasi ini."
"Ini harus kami lakukan," Josar menjelaskan, "karena hanya dengan cara inilah
Maanu tidak akan bisa memaksa kami bicara. Dia pasti menyiksa kami untuk
mengetahui dimana kafan yang membalut jenazah Yesus disembunyikan. Kami memang
tidak tahu, tetapi mungkin saja kami mengatakan sesuatu yang bisa membahayakan
orang-orang yang tahu. Kami tidak ingin lari dan kota ini; kami harus tetap di
sini bersama saudara-saudara kami karena tentu semua pemeluk Kristen akan
menanggung kemurkaan Maanu."
"Kami mohon," Tadeus meminta, "tolong kami. Kami tidak seberani Marcius, yang
memotong lidahnya dengan pisaunya sendiri."
"Yang kalian minta dariku ini bertentangan dengan hukum Tuhan.
Tugasku adalah menolong penyembuhan; aku dilarang memutilasi siapa pun." "Kalau
begitu akan kami lakukan sendiri," ucap Josar. Nada tegas dalam suara Josar
meyakinkan sang tabib. Mula-mula mereka pergi ke rumah Tadeus, dan disana sang penyembuh mencampur isi
sebuah ampul kecil dengan air. Ketika Tadeus sudah lelap tertidur, tabib itu
meminta Josar meninggalkan kamar dan pergi ke rumah Josar sendiri. Dia akan
segera menyusul Josar ke sana.
Dengan tidak sabar Josar menunggu kedatangan sang tabib, yang tak lama kemudian
masuk dengan sikap menyesal.
"Berbaringlah di tempat tidur dan minum ini," katanya kepada Josar. "Ramuan ini
akan membuatmu tertidur. Ketika kau bangun, kau tidak punya lidah lagi.
SemogaTuhan mengampuniku."
"Dia sudah mengampunimu, Teman."
Sang ratu sudah membasuh diri dan dengan seksama menata rambut dan tuniknya.
Berita wafatnya Abgar sudah mencapai sudut terjauh istana, dan dia memperkirakan
tak lama lagi putranya, Maanu, akan muncul dipintu kamar raja.
Para pelayan, dengan bantuan beberapa tabib, telah menyiapkan jenazah Abgar
untuk disaksikan rakyat Edessa. Sang raja sudah meminta agar doa dipanjatkan
demi kedamaian jiwanya sebelum jenazahnya disemayamkan di mausoleum kerajaan.
Ratu tidak tahu apakah Maanu akan mengizinkannya mengubur Abgar sesuai dengan
hukum Yesus, tetapi ia siap untuk bertarung dalam pertempuran terakhir itu demi
laki-laki yang ia cintai.
Sepanjang jam yang ia lalui dengan duduk sendirian di sisi jenazah Abgar, sang
ratu mencari jauh ke dalam lubuk hatinya alasan mengapa putranya demikian
membencinya. Dan ia menemukan jawaban itu; memang, ia selalu tahu jawaban itu
meski sampai pagi ini ia tidak pernah mengakui. Ia bukan seorang ibu yang baik.
Ya,memang bukan. Cintanya pada Abgar telah menjauhkan semua hal lain; ia tidak
pernah membolehkan apa pun atau siapa pun, bahkan anak-anaknya sendiri,
menggesernya dari sisi Raja. Selain Maanu, ia melahirkan empat anak lain ke
dunia ini: tiga putri dan seorang putra, yang meninggal tak lama setelah lahir.
Putri-putrinya tidak begitu menaruh perhatian padanya; mereka adalah anak-anak
pendiam yang segera dinikahkan untuk memperkuat persekutuan dengan kerajaankerajaan lain. Ia hampir tidak merasakan apa-apa ketika mereka pergi, begitu
kuatnya cintanya bagi sang raja.
Pengabdian itu pulalah yang menyebabkan ia menanggung diam-diam kepedihan hati
akibat cinta Abgar pada Ania, si gadis penari yang menulari Abgar dengan
penyakit yang mematikan itu. Sang ratu tidak pernah membiarkan satu kata teguran
pun keluar dan bibirnya, agar tak ada yang bisa mengeruhkan hubungannya dengan
sang raja. Sepanjang hidup ia tidak punya waktu untuk Maanu, cintanya bagi Abgar begitu
menyitanya. Dan sekarang ia akan mati, karena ia yakin Maanu tidak akan
membiarkannya hidup. Ia menyesal telah mengecewakan putranya, tidak pernah
menjadi ibu yang sesungguhnya bagi putranya. Betapa egois dirinya selama ini!
Akankah Yesus mengampuninya"
Suara lantang Maanu mencapai kamar raja sebelum pangeran itu sendiri tiba.
"Aku ingin melihat ayahku!"
"Dia sudah wafat."
Maanu memelototinya dengan sikap menantang.
"Kalau demikian aku adalah raja Edessa."
"Benar, dan semua orang akan mengakuimu sebagai raja."
"Maruuz! Bawa Ratu pergi!"
"Tidak, Anakku, tidak sekarang. Nyawaku ada ditanganmu, tetapi pertama-tama kita
harus mengubur Abgar seperti layaknya seorang raja.
Izinkan aku melaksanakan perintah terakhirnya, yang akan dibenarkan oleh penulis
kerajaan." Ticius mendekat dengan sikap waspada sambil membawa segulung perkamen.
"Paduka Raja, Abgar mendiktekan permintaan terakhirnya kepadaku."
Marvuz membisikkan sesuatu ke telinga Maanu. Maanu memandang sekeliling kamar
dan dia melihat bahwa pemimpin pasukan pengawal raja itu benar: Selain para
pelayan, ruangan itu dipenuhi para penulis istana, tabib, pengawal, dan petinggi
istana, yang semuanya memerhatikan dengan penuh harap. Dia tidak boleh
membiarkan dirinya dibimbing oleh rasa benci, setidaknya tidak terang-terangan,
atau dia akan menakuti orang-orang yang akan menjadi bawahannya. Jauh dan
merebut kerja sama dan perkenan mereka, dia justru akan mendapati mereka
bersekongkol menentangnya. Dia sadar bahwa sang ratu menang lagi.
Ingin dia membunuh sang ratu di situ juga, dan dengan tangannya sendiri, tetapi
Bulan Jatuh Dilereng Gunung 15 Pendekar Gila 14 Misteri Gadis Bisu Rajawali Lembah Huai 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama