Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 30

06 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 30


Ki Lurah menggeleng, jawabnya, "Orang itu sebagaimana orang kebanyakan. Tidak ada ciri khusus. Dalam keremangan lewat senja, anak-anak muda itu tidak dapat mengenal dengan pasti."
"Lalu, apakah maksud Ki Lurah ?" bertanya Agung Sedayu.
Ki Lurah Branjangan termangu-mangu sejenak. Ada semacam keragu-raguan didalam hatinya untuk mengatakan rencananya kepada Agung Sedayu.
Namun akhirnya ia berkata juga, "Agung Sedayu. Menurut dugaanku, orang itu tentu orang yang terlalu yakin akan kemampuan diri. Karena itu, kita disinipun harus menanggapinya. Kita harus dapat menunjukkan, baik kepada orang itu, maupun kepada anak-anak kita disini, bahwa kita disini tidak dapat ditakut-takuti."
Agung Sedayu mengangguk-angguk, sementara itu Ki Lurah Branjangan berkata selanjutnya, "Jika kita tidak dapat mengatasi persoalan ini, maka anak-anak kita disini tentu akan bertanya-tanya, apakah kita, para pembina ini akan dapat melakukan tugas kita sebaik-baiknya."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Baiklah Ki Lurah, aku akan mencoba. Tetapi segalanya akan tergantung kepada keadaan."
"Tentu ngger. Segalanya akan tergantung kepada keadaan. Tetapi marilah kita melihat kedaan itu," jawab Ki Lurah Branjangan.
Rencana itu, ternyata tidak dapat dirahasiakan. Anak-anak muda di Barak itu mengetahui bahwa Agung Sedayu dan Ki Lurah Branjangan akan menunggu orang yang telah mengganggu para petugas di regol barak itu.
"Jangan mengganggu rencana ini," Ki Lurah memperingatkan anak-anak di barak itu. "Biarlah anak-anak muda yang bertugas sajalah yang berada di gardu. Dengan demikian, maka orang itu tidak melihat persiapan-persiapan yang akan dapat menjebaknya."
Demikianlah, ketika matahari condong ke Barat, Agung Sedayu minta diri kepada Ki Lurah untuk menemui Ki Waskita. Ia ingin mengatakan serba sedikit tentang orang aneh itu kepada Ki Waskita dan Ki Gede Menoreh.
"Akupun akan memberitahukan bahwa malam nanti aku akan berada di barak ini," berkata Agung Sedayu.
Ketika hai itu kemudian benar-benar di beritahukan kepada Ki Waskita dan Ki Gede, maka keduanya telah berpesan, agar Agung Sedayu berhati-hati. Tidak dapat diduga, apa yang dikehendaki oleh orang itu. Bahkan mungkin masih ada kaitannya dengan kematian Ajar Tal Pitu. Dendam itu akan dapat menyeretnya kedalam kesulitan. Mungkin yang dilakukan oleh orang itu terhadap para penjaga malam itu, hanya sekedar cara untuk memancingnya."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Memang mungkin sekali ada orang lain setelah Ajar Tal Pitu. Namun hal itu tidak akan dikatakannya kepada Ki Lurah Branjangan.
Menjelang senja. Agung Sedayu telah berada kembali dibarak. Ia sudah siap untuk ikut serta dalam tugas para penjaga di regol. Bersama Ki Lurah Branjangan ia ingin memecahkan teka-teki yang terasa mengganggu perasaan anak-anak muda yang berada didalam barak itu.
Ketika langit menjadi suram, maka setiap hatipun menjadi berdebar-debar. Anak-anak yang tidak bertugaspun ikut menjadi tegang.
Beberapa saat anak-anak muda yang berada diregol menunggu. Pada saat-saat seperti biasanya orang itu lewat, merekapun menunggu dengan tegang. Bahkan rasa-rasanya mereka tidak sabar lagi menanti.
Tetapi ternyata hari itu orang yang mereka tunggu tidak lewat. Sampai lewat senja anak-anak muda itu menunggu. Bahkan ternyata sampai jauh malam orang yang mereka nantikan itu tidak menampakkan batang hidungnya.
"Orang itu tidak muncul," berkata anak-anak muda yang bertugas.
"Apakah ia mengetahui bahwa diantara kami terdapat Agung Sedayu dan Ki Lurah Branjangan ?" desis anak-anak muda itu.
"Mungkin sekali," jawab yang lain.
Para petugas itupun kemudian melaporkannya kepada Ki Lurah Branjangan bahwa saat orang itu lewat telah lampau. Agaknya orang itu memang tidak akan lewat. Setidak-tidaknya malam itu.
Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Baiklah. Jika malam ini orang itu tidak lewat, maka kami akan menunggu malam berikutnya."
Dalam padi itu, seperti yang dikatakannya. Di hari berikutnya Ki Lurah Branjangan minta agar malam nanti ia berada lagi di barak itu. Mungkin orang itu akan lewat.
Hari itu Agung Sedayu melakukan kewajibannya seperi biasanya. Di sore hari ia pergi kerumah Ki Gede untuk bertemu dengan Ki Gede dan Ki Waskita.
"Malam nanti aku akan menunggu lagi bersama Ki Lurah Branjangan," berkata Agung Sedayu.
"Kau harus tetap berhati-hati," pesan keduanya.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa menghadapi teka-teki seperti itu, ia memang harus berhati-hati.
Seperti yang direncanakan, maka malam berikutnya, Agung Sedayupun berada di barak itu pula. Kegiatan anak-anak muda dibarak itu seolah-olah telah terhenti untuk dua malam. Mereka hanya menunggu dengan tegang tanpa melakukan apa-apa.
Dalam pada itu, anak-anak muda yang bertugas diregolpun telah menunggu seperti malam sebelumnya. Mereka berusaha untuk tidak menunjukkan sikap dan tingkah laku yang dapat menimbulkan kesan bahwa mereka sudah siap menghadapi kemungkinan hadirnya orang yang aneh itu.
Menjelang senja anak-anak muda diregol itupun menjadi tegang pula. Mereka menanti arah dari mana orang itu selalu datang.
Jantung anak-anak muda itu bagaikan berhenti berdetak ketika tiba-tiba saja mereka melihat bayangan orang itu datang, dalam keremangan itu, anak anak muda diregol itu tetap mengenalinya, bahwa orang itu, dalam pakaian yang itu-itu juga telah datang mendekati regol halaman barak itu.
Seorang dari anak-anak muda itupun kemudian memberitahukan kepada Ki Lurah dan Agung Sedayu yang berada diregol, bahwa orang itu telah datang.
"Bagus," desis Ki Lurah Branjangan, "biarlah ia sampai kedepan regol. Jangan kau hentikan sebelum ia berada dihadapan kalian."
Anak-anak muda itupun mematuhi pesan Ki Lurah Branjangan. Anak muda yang melaporkan itupun telah menyampaikan pesan Ki Lurah itu. Karena itulah, maka anak-anak muda itu menunggu saja sampai orang yang mereka tunggu itu sampai didepan regol.
"Selamat malam Ki Sanak," tegur salah seorang anak muda.
"Selamat malam," jawab orang itu.
"Nampaknya tergesa-gesa Ki Sanak.?" bertanya anak muda itu pula.
"Aku sudah agak lambat," jawab orang itu - aku harus memasang icir sebelum ikan-ikan itu keluar dari sarangnya."
Anak muda itu tertawa pendek. Katanya, "Kau masih saja berceritera tentang icir, ikan dan kemalaman. Ki Sanak, jangan terlalu merendahkan kami. Aku tahu, kau memiliki sesuatu yang tidak kami miliki. Ternyata kami tidak mampu mencarimu diantara semak-semak itu. Tetapi meskipun demikian, jangan terlalu memperbodoh kami dengan ceritera tentang icir, ikan dan pliridan."
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja ia bertanya, "jadi kalian jugakah yang telah mengejar aku diantara semak-semak itu ?"
"Ya," jawab anak muda itu.
"O, adakah kau bertugas setiap malam disini " Tidakkah kalian bergani-ganti tugas ?" bertanya orang itu.
"Jadi kau tahu, bahwa petugas seperti aku ini biasanya berganti-ganti ?" beranya anak muda itu.
"Aku hanya menduga, tetapi bukankah nalar jika aku bertanya demikian. Dibarak ini ada banyak anak-anak muda. Tentu tidak hanya lima atau enam orang sajalah yang bertugas tiap malam terus-menerus." bertanya orang itu.
"Tepat," jawab anak muda itu. Lalu, "Ki Sanak. Seperti dua malam yang lalu, maka aku ingin mempersilahkan kau singgah. Agar aku tidak usah mencarimu diantara semak-semak, maka aku harap kau tidak usah berlari-lari."
"Jangan memaksa begitu anak mas," jawab orang itu. "sudah aku katakan, bahwa aku tidak akan singgah di barak ini. Jika aku tidak boleh lagi menyebut ikan, icir dan pliridan, maka aku tidak akan menyebut apapun juga. Tetapi aku tidak akan singgah."
"Berkata terus terang sajalah," desis anak muda itu, "apakah yang sebenarnya kau kehendaki. Kau tentu berusaha memancing seseorang keluar dari barak ini. Jika tidak, maka mustahil malam ini kau lewat lagi di jalan ini. Bukankah kau dapat mengambil jalan lain ?"
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, "Sudahlah. Aku akan meneruskan perjalanan. Jangan ganggu aku lagi."
"Maaf Ki Sanak," jawab anak muda itu, "kami tidak akan melepaskan kau lagi. Kami akan memaksamu untuk singgah."
"Jangan bergurau lagi," jawabnya, "kau tidak akan dapat mengejar aku."
Namun dalam pada itu terdengar suara lain di regol, "Aku akan mencoba mengejarmu Ki Sanak."
Orang itu terkejut. Dipandanginya seorang anak muda yang berdiri diregol. Cahaya obor yang redup menggapai wajahnya yang berkerut.
"Siapa kau ?" bertanya orang yang berdiri didalam gelap.
Anak muda yang semula menyapanya telah mendahului menjawab, "Agung Sedayu. Anak muda itulah Agung Sedayu."
Agung Sedayu sendiri menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, orang yang mengaku akan mencari ikan itupun berkata, "Agung Sedayu. Aku belum pernah mengenal Agung Sedayu."
"Tentu," desis anak muda bertubuh kecil yang pernah mengejarnya, "bukankah satu bukti lagi bahwa kau bukan orang dari padukuhan di sebelah Utara itu " Setiap orang Tanah Perdikan Menoreh tentu mengenal Agung Sedayu."
Orang yang berada di bayangan kegelapan itu berkata pula, "Sudahlah. Biarlah Agung Sedayu atau bukan Agung Sedayu ikut bersama kalian. Tetapi senja telah menjadi semakin gelap. Aku akan terlambat."
"Jangan sebut lagi tentang icir," bentak salah seorang anak muda didepan regol.
"Ah, kenapa kau membentak aku ?" berkata orang dalam pakaian petani itu, "aku adalah seorang yang bebas. Aku bukan buruan dan bukan penjahat yang tertangkap. Kenapa ?"
"Ikuti perintah kami," berkata anak muda yang bertubuh kecil.
"Tidak," jawab orang itu. "Kalian sudah mencoba menangkap aku, tetapi kalian tidak berhasil."
"Agung sedayu akan dapat menangkapmu," berkata salah seorang dari anak-anak muda itu.
"Setiap kali kalian menyebut nama Agung Sedayu. Apakah Agung Sedayu itu mempunyai kemampuan seperti iblis ?" bertanya orang itu.
Dalam pada itu. Agung Sedayu telah melangkah maju sambil berkata, "jangan salah mengerti Ki Sanak. Agung Sedayu tidak mempunyai kelebihan apapun juga. Tetapi karena aku belum mencoba mengejarmu, maka aku akan mencobanya. Mungkin akupun akan gagal. Tetapi aku tidak akan berkata bahwa aku gagal, sebelum aku mencobanya."
"Bagus," berkata orang itu, "tangkaplah aku jika kau mampu."
"Nah, berlarilah kedalam semak-semak. Bukankah kau berbuat demikian pada saat anak-anak muda di barak ini mengejarmu ?" berkata Agung Sedayu.
"Ya. Dan aku memang akan mengulangi," jawab orang itu.
Sejenak orang itu termangu-mangu. Sementara itu Agung Sedayupun berkata kepada Ki Lurah Branjangan yang berdiri dibelakangnya, "Biarlah aku mencoba menangkapnya Ki Lurah."
"Hati-hatilah Agung Sedayu," pesan Ki Lurah.
Dalam pada itu, orang dalam pakaian petani itupun mulai bergeser surut. Tiba-tiba saja iapun telah meloncat kedalam semak-semak seperti yang pernah dilakukannya. Namun dalam pada itu, maka Agung Sedayupun telah meloncat seperti angin. Sekejap kemudian keduanya telah hilang dari pandangan mata anak-anak muda yang menghuni barak itu. Bahkan Ki Lurah Branjanganpun menjadi heran pula. Katanya didalam hati, "Nampaknya orang itu bukan orang kebanyakan. Tetapi dihadapan Agung Sedayu ia tidak akan dapat apa-apa."
Demikianlah maka Ki Lurah Branjangan dan anak-anak muda itupun telah menunggu dengan berdebar-debar. Mereka tidak mendengar sesuatu dan merekapun tidak melihat semak-semak yang terguncang. Nampaknya kedua orang yang saling mengejar itu bagaikan bayangan yang terbang menembus semak-semak tanpa menyentuhnya.
Ketegangan telah mencengkam setiap dada. Mereka kadang-kadang menjadi cemas bahwa Agung Sedayu telah terperangkap kedalam satu kesulitan, yang tidak teratasi. Namun dalam pada itu, merekapun yakin akan kemampuan Agung Sedayu. Apalagi anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang sempat menyaksikan, bagaimana Agung Sedayu membunuh Ajar Tal Pitu. Tetapi hanya ada dua orang sajalah yang sempat melihat peristiwa itu, dan kebetulan telah dikirim oleh Tanah Perdikan Menoreh memasuki barak mendahului kawan-kawannya. Namun yang dua orang itu telah mengatakannya kepada kawan-kawannya, bukan saja anak-anak dari Tanah Perdikan Menoreh sendiri, tetapi kepada anak-anak muda yang datang dari daerah-daerah lain.
Dalam pada itu, Agung Sedayu mengikuti bayangan yang menyelinap diantara semak-semak itu. Namun ternyata bahwa Agung Sedayu harus mengerahkan segenap kemampuannya untuk mengikuti kecepatan geraknya.
Bahkan kemudian ternyata bahwa Agung Sedayu telah ketinggalan beberapa langkah. Sehingga akhirnya buruannya itu telah hilang dari pandangan matanya.
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Ternyata ia sendiri tidak mampu mengikuti kecepatan gerak orang itu. Apalagi anak-anak muda yang berada didalam barak itu.
Ia dapat saja dengan jujur mengakui kekurangannya. Tetapi apakah dengan demikian, ia tidak akan membuat anak-anak muda didalam barak itu menjadi kecewa "
"Apaboleh buat," desis Agung Sedayu.
Namun Agung Sedayu tidak berputus asa. Ia memiliki kemampuan untuk mempertajam inderanya, pendengarannya, pandangan matanya dan penciumannya. Karena itu, maka dicobanya untuk mendengarkan, apakah ia masih akan dapat menggapai detak jantung orang yang dicarinya atau mungkin desah nafasnya.
Ternyata usaha Agung Sedayu itu berhasil. Sambil berdiri tegak ia mencoba untuk mengetahui arah desah nafas seseorang didalam semak-semak.
Dipusatkannya segenap kemampuannya mempertajam inderanya pada pendengarannya. Seolah-olah desah nafas orang yang dicarinya itu menjadi semakin jelas di telinganya.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dengan kecepatan kilat meloncat memburu. Bahkan sambil menarik nafas dalam-dalam ia beringsut selangkah. Sambil bersandar pada sebatang pohon yang agak besar yang tumbuh diantara semak-semak ia berkata, "Sudahlah Pangeran. Aku sudah lelah sekali. Jika Pangeran berkisar lagi, aku tentu tidak akan dapat menemukannya."
Untuk sesaat, tidak terdengar jawaban sama sekali. Sementara itu Agung Sedayu masih tetap berdiri ditempatnya.
Namun demikian Agung Sedayu benar-benar tidak ingin lagi mengejar buruannya. Jika orang itu memang berniat, maka usaha Agung Sedayu tentu akan gagal karena Agung Sedayu menyadari, bahwa orang itu memiliki kemampuan jauh melampaui kemampuannya.
Untuk beberapa saat keduanya saling berdiam diri. Namun sejenak kemudian. Agung Sedayu mendengar gemerisik dedaunan.
"Kenapa kau berhenti Agung Sedayu," terdengar seseorang bertanya.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Kemudian iapun menjawab, "Tidak ada gunanya lagi aku berlari-lari mengejar, karena aku yakin bahwa aku memang tidak akan dapat menemukan Pangeran."
Terdengar seseorang tertawa. Sejenak kemudian Agung Sedayu melihat orang yang di kejarnya itu muncul dari semak-semak. Katanya, "Seharusnya kau mencari aku sampai ketemu: Tetapi bahwa kau tahu, aku masih disini itu adalah pertanda bahwa kau memiliki ketajaman indera yang luar biasa."
"Aku tidak tahu bahwa Pangeran ada disini," jawab Agung Sedayu, "asal saja aku memanggil-manggil, tentu Pangeran akan datang."
"Jangan berkata begitu," jawab orang itu, "kau tahu aku disini. Ketika kau mendengar sesuatu, kau yakin bahwa yang kau dengar itu adalah suana yang aku timbulkan. Nampaknya kau mendengar desah nafasku."
"Tentu Pangeran sengaja memperdengarkan desah nafas Pangeran," jawab Agung Sedayu, "aku yakin. Pangeran dapat menyerap segala macam bunyi yang timbul karena sebab apapun. Mungkin sentuhan antara tubuh Pangeran dengan keadaan disekitar Pangeran, maupun bunyi dari diri Pangeran sendiri termasuk pernafasan Pangeran."
Orang itu tertawa. Setelah ia berdiri dekat dihadapan Agung Sedayu, maka Agung Sedayupun berdiri tegak pula.
"Nah, kau sudah menemukan aku. Apa yang akan kau lakukan " " bertanya orang itu.
"Tidak apa-apa," jawab Agung Sedayu, "aku hanya memenuhi keinginan anak-anak muda dibarak itu dan keinginan Ki Lurah Branjangan agar aku mengejar Pangeran."
"Apakah kau memang sudah mengenali aku sejak aku berada didepan regol ?" bertanya orang itu.
"Tentu Pangeran. Aku telah mengenal Pangeran. Semula aku ragu-ragu. tetapi suara Pangeran lebih aku kenal dari ujud Pangeran didalam kegelapan," jawab Agung Sedayu.
"Baiklah," berkata orang itu, "sekarang, apakah kau akan menangkap aku dan membawa aku ke barakmu ?"
"Tidak," jawab Agung Sedayu.
"Lalu apa yang akan kau lakukan setelah kau mengejar aku ?" bertanya orang itu.
"Tidak apa-apa," jawab Agung Sedayu.
"Kau orang aneh," berkata orang itu.
"Pangeran lebih aneh lagi," jawab Agung Sedayu, "namun demikian, sebenarnyalah aku yang harus bertanya kepada Pangeran. Apakah yang Pangeran kehendaki. Karena akupun mengerti, bahwa Pangeran tentu berniat memanggil aku dengan cara Pangeran yang aneh itu."
"O," orang itu mengerutkan keningnya, "apa begitu " Kau yakin bahwa yang aku cari adalah kau ?"
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menggeleng sambil menjawab, "Tidak. Memang mungkin tidak."
Orang itu tertawa. Katanya, "Duduklah. Aku memang ingin berbicara denganmu serba sedikit."
"Pangeran," berkata Agung Sedayu, "apakah Pangeran benar-benar tidak ingin singgah di barak itu ?"
"Aku ingin berbicara dengan kau saja," berkata orang itu, "tidak dengan Ki Lurah Branjangan, apalagi dengan orang-orang lain didalam barak itu."
"Baiklah. Mungkin yang akan Pangeran katakan itu penting sekali bagiku," desis Agung Sedayu.
"Tidak," jawab Pangeran Benawa, "bukan masalah yang penting sekali. Tetapi aku hanya ingin mengerti, mungkin mendengar serba sedikit tentang pasukan khusus yang sudah dipersiapkan oleh Mataram."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
"Nampaknya kakangmas Sutawijaya sudah kehilangan kesabaran menghadapi orang-orang gila seperti Prabadaru," berkata orang itu.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Adalah satu sikap berhati-hati Pangeran. Mungkin Pangeran juga mengetahui apa saja yang sudah dilakukan oleh Tumenggung Prabadaru."
"Ya. Aku sudah mendengar apa yang dilakukan oleh Pringgajaya. Pringgabaya dan Tandabaya," jawab orang itu, "dan akupun sudah mendengar apa yang mereka lakukan lewat tangan Ajar Tal Pitu. Namun ternyata bahwa nasib Ajar itulah yang sangat buruk. Kau berhasil membunuhnya. Satu hal yang tidak pernah diperhitungkan oleh mereka."
"Satu kebetulan Pangeran," jawab Agung Sedayu.
"Kau masih saja selalu merendahkan diri. Bukan satu kebetulan, tetapi ilmumu lebih tinggi dari ilmu Ajar Tal Pitu." jawab orang itu.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu orang itu berkata selanjutnya, "Nampaknya usaha orang-orang gila di Pajang itu yang terakhir adalah memancing pertentangan yang lebih tajam lagi dengan membentuk pasukan khusus dibawah Prabadaru. Ternyata kakangmas Sutawijaya benar-benar telah kehilangan kesabaran. Namun ternyata bahwa kakangmas Sutawijaya masih membuat perhitungan yang cermat. Ia tidak mau menyusun kekuatan ini di Mataram. Tetapi di Tanah Perdikan Menoreh, sehingga tidak semata-mata menjawab tantangan Tumenggung Prabadaru itu."
"Ya. Begitulah keadaannya Pangeran," jawab Agung Sedayu.
"Dan kau adalah salah seorang yang akan memimpin pasukan ini ?" bertanya orang itu.
Agung Sedayu menggeleng. Jawabnya, "Tidak Pangeran. Aku tidak akan menjadi salah seorang pemimpin atau Senapati dalam pasukan khusus ini. Aku merasa bahwa aku tidak sesuai menjadi seorang Senapati."
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk. Katanya, "jadi kau tidak akan menjadi seorang Senapati di pasukan khusus yang akan dibentuk ini " Aku memang sudah mengira. Tetapi kau tetap diangggap orang terbaik didalam lingkungan barak ini. Semua orang didalam barak ini, anak-anak muda yang mendahului kawan-kawannya, para pembina dan pelatih, para pemimpin dan Senopati, menganggap bahwa kau adalah puncak dari kekuatan mereka, sudah tentu selain kakangmas Sutawijaya sendiri, dan Ki Juru Martani."
"Tidak Pangeran," jawab Agung Sedayu, "ada orang lain. Tetapi karena mereka menganggap bahwa yang kebetulan berada di barak adalah aku, maka mereka meletakkan kepercayaannya kepadaku."
"Kenapa bukan Ki Lurah Branjangan " Anak-anak muda itu selalu menyebut namamu dengan penuh kebanggaan," berkata orang itu.
"Yang mereka lihat pada waktu itu di regol adalah aku. Meskipun ada Ki Lurah Branjangan, namun yang setiap hari bergulat dalam latihan adalah aku," jawab Agung Sedayu.
"Dan mereka tahu, bahwa kau telah membunuh Ajar Tal Pitu. Sesuatu yang tidak akan dapat dilakukan oleh orang lain," desak orang itu.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, "Karena mereka tidak tahu, apa yang sebenarnya terjadi, mereka tidak pernah melihat, betapa tinggi ilmu yang kini dimiliki oleh Raden Sutawijaya. Dan betapa ajaibnya ilmu yang dimiliki oleh Pangeran Benawa, maka apa yang mereka lihat padaku, mereka anggap sesuatu yang pantas dikagumi."
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Kau memang seorang yang rendah hati. Kau kira bahwa aku mempunyai semacam ilmu yang dapat menyamai ilmumu dan apalagi ilmu kakangmas Sutawijaya."
"Bukan aku yang rendah hati. Tetapi Pangeran benar-benar orang aneh bagiku. Bukan saja ilmu yang ada pada Pangeran, tetapi juga sikap Pangeran menanggapi keadaan pada masa-masa terakhir ini."
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku tidak mau terlihat dalam persoalan yang sangat memuakkan. Perebutan kekuasaan, ketamakan atas kesempatan yang terbuka di Pajang pada saat-saat ayahanda sakit-sakitan."
"Bukankah sebenarnya Pangeran dapat mengambil sikap ?" bertanya Agung Sedayu.
"Sudah seribu kali aku katakan," jawab orang itu, "aku kecewa sejak aku sadar, bahwa disamping ibunda, di Pajang ada seribu perempuan lain yang semuanya mengaku mencintai ayahanda. Sementara itu ayahanda-pun telah mencintai mereka. Kau tahu, bahwa ibunda hanya menerima sebagian kecil saja dari cinta ayahanda yang terhambur-hambur itu ?"
"Apakah itu sebab yang sebenarnya ?" bertanya Agung Sedayu.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam.
"Pangeran memiliki semua yang diperlukan," berkata Agung Sedayu.
"Kakangmas Sutawijaya juga memiliki semuanya yang diperlukan," jawab orang itu sambil memandang kekejauhan. Seolah-olah ingin menatap sesuatu yang tidak ada di dalam gelapnya malam.
"Pangeran," bertanya Agung Sedayu kemudian, "apakah yang sebenarnya Pangeran kehendaki ?"
"Maksudmu atas Pajang atau atas kehadiranku disini ?" bertanya orang itu pula.
"Atas kehadiran Pangeran sekarang ini " Juga atas Pajang dalam keseluruhan," jawab Agung Sedayu.
"Aku tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaanmu yang kedua. Tetapi pertanyaanmu yang pertama itupun tidak dapat aku jawab langsung. Sebenarnya aku tidak ingin mengunjungi tempat ini. Tetapi karena aku lewat daerah wadah pasukan khusus ini disusun, maka akupun ingin singgah barang sejenak. Yang penting bagiku adalah menjumpaimu," jawab orang itu.
"Jadi Pangeran Benawa hanya lewat saja " " ulang Agung Sedayu.
"Ya," jawab orang itu, "dan tiba-tiba saja aku ingin menemuimu disini."
"Dari manakah Pangeran sebenarnya ?" bertanya Agung Sedayu.
"Beberapa hari yang lalu, aku turun dari goa Pamanasan," jawab orang itu.
"Goa Pamanasan " Aku belum pernah mendengar nama itu."
"Di lereng bukit Menoreh. Disiang hari kau dapat melihat dinding kelir yang keputih-putihan menghadap ke lautan. Ke Samodra yang seakan-akan tidak bertepi. Yang ombaknya selalu bergerak tanpa berhenti."
"Maksud Pangeran, Laut Selatan ?" bertanya Agung Sedayu.
"Ya," jawab Pangeran Benawa.
"Tetapi aku belum pernah mendengar goa Pamanasan. Orang-orang Tanah Perdikan Menoreh tidak pernah menyebut nama goa itu. Aku memang melihat dinding yang keputih-putihan yang barangkali yang berdiri tegak seperti kelir, sehingga Pangeran menyebutnya dinding Kelir itu."
"Ya," jawab orang itu, "di bagian atas dari dinding itu terdapat sebuah lubang. Aku menyebutnya lubang Pamanasan."
"Tetapi orang-orang Menoreh tidak pernah menyebut demikian."
"Biar saja," jawab Pangeran Benawa, "aku tidak mempunyai keberatan sebutan apapun yang diberikan oleh orang-orang Tanah Perdikan ini."
"Tetapi apakah Pangeran memasuki goa itu ?" bertanya Agung Sedayu.
"Ya. Aku memasuki goa itu."
"Bagaimana mungkin, dinding yang berwarna kapur itu berdiri tegak. Seperti sebuah dinding yang sangat tinggi dan terjal karena terdiri dari batu-batu karang," sahut Agung Sedayu.
"Aku turun dari atas. Aku mempergunakan sebuah tali. Aku memasuki goa itu di dini hari. Aku berada didalam goa itu tiga hari tiga malam," berkat Pangeran Benawa.
"Tiga hari tiga malam " " ulang Agung Sedayu.
"Didalam goa itu terdapat sebuah mata air yang sangat jernih, dari mulut goa, air yang mengalir itu bagaikan meresap kedalam bumi. Hilang," jawab Pangeran-Benawa.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Pangeran Benawa memang sama anehnya dengan Raden Sutawijaya. Raden Sutawijaya telah berendam sambil bergantung pada dahan sekaligus pati geni tiga hari tiga malam disebuah sendang di dekat Jati Anom. Ternyata kini ia mendengar pengakuan Pangeran Benawa yang telah berada didalam goa tiga hari tiga malam. Betapa sulitnya memasuki goa yang seolah-olah hanya merupakan lubang kecil pada sebuah dinding karang yang tegak dan luas. Darimana pula Pangeran Benawa mengetahui bahwa pada dinding itu terdapat sebuah goa.
Dalam pada itu. Pangeran Benawapun berkata, "Agung Sedayu. Aku mendapatkan sesuatu yang sangat berharga didalam goa itu. Karena itu aku perlukan singgah untuk menemuimu."
Wajah Agung Sedayu menjadi tegang.
Dalam pada itu Pangeran Benawa berkata seterusnya, "Sebagaimana kau ketahui Agung Sedayu. Aku adalah orang yang lemah hati, cengeng, perajuk dan sejenisnya. Aku bukan seorang yang berhati kuat menghadapi keadaan Pajang. Berbeda dengan kakangmas Sutawijaya. Ia memiliki pegangan hidup yang kuat dan diyakininya."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
"Nampaknya ayahanda yang sudah mengetahui segala-galanya. Tetapi ayahanda yang mempunyai sifat yang aneh dimasa mudanya itu ternyata telah terbelenggu oleh satu keadaan yang sangat rumit. Seperti seutas benang yang telah kusut. Nah, dalam kekusutan itu ayahanda menyaksikan kekuatan-kekuatan yang akan saling berbenturan." Pangeran Benawa berhenti sejenak, lalu. "namun dalam pada itu, dalam ketidak pastian itu, sikapkupun tidak pasti pula. Aku tidak ingkar. Aku akan dibebani dosa-dosa karena sikapku ini. Meskipun demikian, aku kurang mengerti apakah sebabnya, bahwa kau telah menarik perhatianku. Aku tidak akan menentang kakangmas Sutawijaya, Ayahandapun tidak menentangnya. Tetapi akupun tidak dapat langsung melibatkan diri untuk berdiri berhadapan dengan Pajang meskipun dengan restu ayahanda sekalipun."
Agung Sedayu termangu-mangu. Ia menjadi bingung karena ia tidak mengerti ujung dan pangkal pembicaraan Pangeran Benawa. Namun sementara itu Pangeran Benawa melanjutkan, "Dalam keadaan yang demikian, aku menjadi sangat tertarik kepadamu. Kepada sikapmu, kepada kepribadianmu. Justru dengani segala cacat dan celamu. Karena itu aku datang padamu. Aku tahu bahwa akan semakin banyak orang yang memusuhinya. Tetapi semakin banyak pula orang yang membantumu. Kau sudah menyadap sampai tuntas ilmu dari Kiai Gringsing. Kaupun menguasai dengan utuh ilmu yang mengalir lewat jalur ayahmu. Ki Sadewa meskipun tidak dengan langsung. Kau menguasai sebagian besar dari cabang ilmu Ki Waskita. Namun demikian, tidak ada orang yang akan mencapai kesempurnaan seutuhnya."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia masih belum tahu arah pembicaraan Pangeran Benawa. Sementara Pangeran Benawa masih meneruskan, "Agung Sedayu, untuk menghadapi orang-orang yang semakin banyak mendendammu, maka tiba-tiba saja timbul pula keinginanku, untuk ikut serta memberikan sedikit sumbangan bagi keselamatanmu."
Wajah Agung Sedayu menjadi semakin tegang. Dengan ragu-ragu iapun kemudian bertanya, "Aku kurang mengerti maksud Pangeran yang sebenarnya."
"Bukan maksudku untuk mengatakan bahwa aku mempunyai kelebihan daripadamu," berkata Pangeran Benawa, "tetapi sudah barang tentu ada yang kebetulan aku miliki tetapi tidak kau punyai dan sebaliknya. Aku tidak dapat berbicara tentang kakangmas Sutawijaya. Ia sudah mempunyai segala-galanya."
Agung Sedayu mengangguk kecil.
"Nah, jika kau mau, kau akan dapat memperoleh seperti apa yang aku peroleh," berkata Pangeran Benawa.
Agung Sedayu menunggu kelanjutan keterangan itu. Dan Pangeran Benawapun berkata, "Aku mendapatkan sesuatu yang berharga di goa itu."
"Apakah yang Pangeran dapatkan" " tiba-tiba saja Agung Sedayu bertanya.
"Nampaknya kau mulai tertarik," desis Pangeran Benawa.
"Yang Pangeran katakan kurang jelas bagiku," sahut Agung Sedayu.
"Baiklah. Dengarlah. Aku tahu, bahwa kau memiliki ilmu kebal yang sangat tinggi. Aku tahu bahwa dengan sorot matamu kau dapat meruntuhkan gunung. Akupun tahu bahwa kau mempunyai kekuatan yang mirip dengan ilmu sapta pangrungu, dan akupun tahu bahwa kau memiliki kemampuan bergerak cepat dan menyerap bunyi. Bukan saja yang timbul dari dalam dirimu, tetapi juga sentuhan wadagmu dengan benda-benda diluar dirimu," berkata Pangeran Benawa.
Agung Sedayu justru bagaikan membeku. Ia menjadi heran, bahwa Pangeran Benawa mengetahui sebagian besar ilmu yang ada pada dirinya.
"Tetapi Agung Sedayu," berkata Pangeran Benawa, "masih ada cara untuk menembus ilmumu. Mungkin dengan ilmu yang tinggi, serangan seseorang dapat membuka tirai ilmu kebalmu. Sudah tentu dalam keadaan yang biasa kekuatan itu tidak akan banyak berarti, karena yang sempat menembus tirai ilmumu itu tentu sudah menjadi lemah sekali. Namun jika yang lemah itu adalah goresan senjata atau sentuhan racun lainnya, maka kau akan mengalami kesulitan. Karena agaknya kau belum memiliki daya tahan terhadap racun dan bisa yang sangat kuat."
Agung Sedayu mengangguk-angguk, jawabnya," benar Pangeran. Aku mengandalkan perlawanan terhadap bisa kepada kemampuan guruku. Guru mampu menawarkan bisa yang paling kuat sekalipun."
"Dengan ilmu pengobatan," sahut Pangeran Benawa, "tetapi yang aku maksudkan adalah penolakan dari dalam tubuhmu sendiri."
Agung Sedayu menggeleng. Jawabnya, "Tidak. Pangeran. Aku memang tidak mempunyai kemampuan yang demikian."
Agung Sedayu telah termangu-mangu. Seolah-olah ia ragu-ragu, apakah Pangeran Benawa itu berkata sebenarnya.
Untuk beberapa saat Pangeran Benawa menunggu. Sementara Agung Sedayu masih mengharap penjelasan. Namun akhirnya Agung Sedayu itupun bertanya, "Apakah maksud Pangeran, kekuatan semacam itu terdapat didalam goa yang Pangeran maksudkan ?"
"Ya," berkata Pangeran Benawa.
"Dari manakah Pangeran mengetahui, bahwa di dalam goa itu terdapat kekuatan untuk melawan bisa ular atau racun yang paling keras sekalipun," bertanya Agung Sedayu.
"Aku sudah menyelidikinya dengan saksama," jawab Pangeran Benawa, "aku sudah membuktikannya dan aku kemudian meyakininya."
"Dengan pati geni tiga hari tiga malam ?" bertanya Agung Sedayu.
"Tidak. Laku yang harus ditempuh memang agak berbeda," jawab Pangeran Benawa, "aku mendapat petunjuk dari seorang dukun tua yang tidak banyak dikenal. Aku menunggui dukun itu dalam keadaan sakit karena umurnya yang sudah sangat tua. Kemudian timbullah niatku untuk membuktikannya. Ternyata orang itu tidak berbohong."
"Pangeran sudah memberitahukannya kepada dukun tua yang sakit itu ?" bertanya Agung Sedayu.
"Ya. Aku masih sempat menemuinya. Dukun itu masih dapat memberikan beberapa petunjuk bagimana aku harus membuktikannya," jawab Pangeran Benawa, "tetapi kini ia sudah tidak ada lagi. Baru beberapa hari yang lalu ia meninggal karena ketuaannya itu. Tetapi ia sudah meninggalkan keyakinan kepadaku, bahwa yang dikatakannya itu benar."
Agung Sedayu mengangguk-angguk, ia percaya bahwa Pangeran Benawa tidak akan berbohong. Namun ia masih saja merasa heran bahwa Pangeran Benawa demikian memperhatikannya sehingga ia memerlukan singgah untuk menemuinya dan memberitahukan kepadanya rahasia tentang goa di dinding yang disebut oleh Pangeran Benawa dinding Kelir itu.
"Agung Sedayu," berkata Pangeran Benawa, "jika kau ingin memiliki kemampuan seperti itu, aku dapat memberikan petunjuk itu kepadamu."
"Pangeran," jawab Agung Sedayu kemudian, "pada dasarnya segala macam ilmu dan pengetahuan, akan sangat bermanfaat bagi hidup ini. Jika kesempatan itu Pangeran berikan kepadaku, maka aku tentu akan sangat berterima kasih."
"Baiklah Agung Sedayu," berkata Pangeran Benawa, "jika kau benar-benar berniat untuk melakukannya, maka kau akan dapat melakukannya seperti yang pernah aku lakukan. Kau harus berada di dalam goa itu selama tiga hari tiga malam. Kau tidak boleh makan apapun juga selain minum air yang mengalir didalam goa itu."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Sementara Pangeran Benawa itu berkata selanjutnya, "Tetapi kau harus yakin kepada dirimu sendiri, bahwa kau akan dapat melakukannya. Karena setelah tiga hari tiga malam kau berada didalam goa itu tanpa makan selain minum, maka pada hari berikutnya kau harus memanjat tali naik keatas dinding Kelir. Kau tidak boleh ragu-ragu sedikit pun, bahwa kau dapat melakukannya, karena keragu-raguan akan dapat sangat membahayakanmu."
Agung Sedayu tidak segera dapat menjawab. Ia memang harus memperhitungkannya dengan cermat.
"Tetapi Agung Sedayu," berkata Pangeran itu selanjutnya, "aku dapat melakukannya. Kaupun tentu dapat melakukannya pula."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "ada keinginanku untuk melakukan Pangeran. Tetapi laku apalagi yang harus dikerjakan didalam goa Itu ?"
"Tidak apa-apa. Duduk dan minum kapan saja kau merasa haus," jawab Pangeran Benawa.
"Dan dengan sendirinya kau akan kebal dari segala jenis bisa dan racun ?" bertanya Agung Sedayu pula.
"Ya," jawab Pangeran Benawa, "hal itu memang perlu penjelasan. Menurut dukun tua itu, di atas dinding Kelir itu tumbuh sebatang pohon raksasa. Pohon yang ujudnya seperti pohon beringin. Tetapi pohon itu mempunyai satu bagian yang lain dari tumbuh-tumbuhan yang kita kenal. Sulur-sulur pohon yang mirip dengan pohon beringin itu sangat beracun. Setiap jenis kehidupan yang tersentuh oleh sulur-sulurnya, maka ia akan mati. Setelah mati, maka sulur-sulur itu seakan-akan dapat membelitnya dan menarik korbannya kepusat batangnya yang sangat besar itu. Dan korban yang paling digemari oleh pohon yang disebut dengan pohon hantu itu adalah sejenis ular dan binatang berbisa lainnya. Bahkan dengan demikian, maka bisa pohon itupun menjadi semakin tajam."
"Apakah pohon itu sekarang masih ada ?" bertanya Agung Sedayu.
"Tidak. Pohon hantu itu sudah tidak ada," jawab Pangeran Benawa, "pohon itu menurut dukun tua itu, telah terlibat dalam satu permusuhan dengan raja ular yang berada dilangit. Raja ular itu mendengar keluhan dari rakyatnya yang mengalami perlakuan yang sangat keji dari pohon itu. Karena itu, maka pada suatu saat raja ular itu telah datang dan menghancurkan pohon raksasa itu. Ternyata dalam pertempuran itu, pohon raksasa itu tidak dapat bertahan. Meskipun seribu sulur-sulur raksasanya berusaha menggapai raja ular yang menyerangnya, namun tangan-tangan pohon itu tidak berhasil menangkap lawannya, karena setiap sentuhan dengan tubuh raja ular itu, berarti hangus. Raja ular itu bertubuh api yang tidak dapat dimatikan oleh racun pada sulur-sulur raksasa itu."
"Satu dongeng yang mengerikan," desis Agung Sedayu diluar sadarnya.
"Mungkin memang satu dongeng. Meskipun demikian, sebagian kecil dari dongeng itu tentu merupakan pernyataan dari satu peristiwa yang memang mengandung rahasia," jawab Pangeran Benawa, "tetapi aku berpendapat, bahwa apa yang dikatakan oleh dukun tua itu, kedatangan raja ular dari langit, menilik bekas-bekasnya yang sudah tidak dapat dikenali dengan baik karena hal itu telah terjadi pada waktu yang lama sekali, pohon itu agaknya telah disambar petir yang sangat kuat. Namun kematian pohon itu tidak dapat mematikan mata air yang terdapat dibawah akar-akarnya yang tersisa. Air yang mengalir dari bawah pohon itu, menelusuri goa di dinding kelir itu ternyata menyimpan satu kekuatan tersendiri."
Agung Sedayu mendengarkan ceritera itu dengan jantung yang berdegup semakin keras. Ia mulai mengerti maksud yang sebenarnya dari Pangeran Benawa. Air yang mengalir didalam goa itu mengandung semacam khasiat yang dapat membuat seseorang menjadi kebal bisa.
Pada dasarnya Agung Sedayu adalah seseorang yang ingin mempelajari segala macam ilmu dan menambah pengetahuannya sejauh dapat dilakukan. Rasa ingin tahunya tiba-tiba telah menggebu didalam hatinya. Apalagi jika Agung Sedayu menyadari, bahwa ia masih saja selalu menjadi sasaran dendam dan kebencian dari beberapa pihak yang bahkan kadang-kadang diluar dugaannya sama sekali.
Karena itulah, maka iapun kemudian menjawab, "Pangeran. Jika yang dimaksud Pangeran, agar aku memasuki goa itu, maka aku akan bersedia melakukannya, karena dengan demikian akan memberikan satu kekuatan baru bagiku. Mungkin kekuatan itu akan berguna bagi masa depanku yang penuh dengan ketidak tentuan ini."
Pangeran Benawa mengerutkan keningnya. Kemudian dengan nada datar ia bertanya, "jadi kau bersedia ?"
"Ya Pangeran," jawab Agung Sedayu.
"Dengan demikian masih juga tersirat keinginanmu untuk meningkatkan kemampuanmu. He, untuk apakah sebenarnya kemampuanmu yang akan menjadi semakin dahsyat itu " Apakah kau sebenarnya ingin menjadi seorang Senapati meskipun pada ujud lahiriahnya kau menolak " Atau kau ternyata dibayangi juga oleh dendam dan kebencian kepada seseorang yang kau harapkan akan dapat kau kalahkan ?" bertanya Pangeran Benawa tiba-tiba.
Pertanyaan itu benar-benar mengejutkan Agung Sedayu. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa Pangeran Benawa akan bertanya seperti itu kepadanya.
Namun untunglah, bahwa jawaban dari pertanyaan yang demikian telah tersimpan didalam hatinya. Kiai Gringsing setiap kali memang mengulangi pertanyaan seperti itu dan setiap kali mengingatkan kepadanya bagaimana ia harus menjawabnya.
Karena itu, maka Agung Sedayupun kemudian menjawab, "Pangeran. Sebenarnyalah bahwa ilmu itu tergantung sekali kepada seseorang yang memilikinya. Ilmu yang semakin tinggi akan dapat menjadi semakin berbahaya bagi kehidupan manusia, tetapi juga sebaliknya. Karena dengan ilmu yang tinggi, maka seseorang akan dapat berbuat lebih banyak. Baik bagi maksud-maksud buruk maupun bagi maksud-maksud baik. Jika mereka yang berniat buruk memiliki ilmu yang semakin tinggi, tetapi tidak mendapat imbangan dari mereka yang bermaksud baik, maka kita akan dapat membayangkan, apa yang akan terjadi."
"O," Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Lalu iapun telah mengejutkan Agung Sedayu lagi dengan pertanyaan, "Nah, jika demikian dimana kau sebenarnya berdiri. Pada yang buruk atau pada yang baik ?"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya, "Pertanyaan Pangeran memang sangat sulit untuk dijawab. Tetapi setiap orang memang harus berbuat sesuatu sesuai dengan niat yang terpahat didinding jantungnya. Sementara penilaian akan hasilnya memang tergantung kepada banyak masalah yang kadang-kadang berada di luar kuasanya." Agung Sedayu berhenti sejenak, lalu. "Pangeran. Aku mempunyai landasan sikap dan perbuatanku pada petunjuk-petunjuk guruku. Disamping itu akupun telah mendapat banyak nasehat dari Ki Waskita. Aku kira Pangeran tahu maksudku. Sudah tentu bahwa aku berniat berbuat baik. Dan aku tentu tidak akan dapat menjawab apabila Pangeran bertanya kepadaku, apakah aku orang baik yang pantas menjadi pelindung menghadapi orang-orang yang kurang baik. Namun sebenarnyalah, aku berkeyakinan seperti yang selalu dikatakan oleh guruku, bahwa sebaiknya kita menyerahkan segala yang ada pada diri kita bagi kebesaran nama Yang Maha Pencipta. Termasuk kemampuan lahir dan batin."
Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Bagus. Pergilah Agung Sedayu. Kau dapat melihat lubang goa itu dari depan wajah dinding Kelir. Kau akan dapat mencapai puncak bukit dijajaran Pegunungan Menoreh itu. Kau akan dapat turun dengan seutas tali. Tiga hari tiga malam kau tinggal didalam goa itu. Maka kau akan mendapatkan khasiat dari air yang mengalir didalam goa itu." Pangeran Benawa berhenti sejenak, lalu. "tetapi ingat, pada hari-hari pertama, kau harus menjaga dirimu agar kau tidak terluka oleh benda apapun juga yang terdapat didalam goa itu. Jika terjadi demikian, maka kau harus berusaha merendam luka itu kedalam air yang mengalir itu, meskipun airnya tidak terlalu banyak."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Satu laku yang cukup berat. Namun jika benar dengan demikian maka ia akan kebal dari segala macam bisa, maka hal itu akan bermanfaat bagi hidupnya kelak. Meskipun kekebalan itu hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri.
"Nah, aku kira aku tidak dapat memberikan petunjuk lebih banyak lagi, sebagaimana aku menerima petunjuk sebelum aku memasuki goa itu. Karena itu, maka biarlah aku kembali ke Pajang atau kemanapun yang aku inginkan," berkata Pangeran Benawa itu kemudian.
"Jangan Pangeran," cegah Agung Sedayu, "masih ada yang harus Pangeran beritahukan kepadaku. Bagaimana aku dapat meyakini bahwa aku telah berhasil."
"O," jawab Pangeran Benawa, "mudah sekali. Kau tangkap seekor ular berbisa. Jangan kau trapkan ilmu kebalmu. Biarkan ular itu menggigitmu. Atau kau tampung getah beracun dari satu jenis pepohonan. Minum racun itu."
"Suatu pengamatan yang berbahaya," berkata Agung Sedayu.
"Memang berbahaya. Ketika aku melakukannya, aku masih ditunggui oleh dukun tua itu. Jika terjadi sesuatu, maka dukun tua itu telah menyediakan obat penawar racun itu," jawab Pangeran Benawa. "Karena itu, untuk meyakinkan kebenarannya, kau dapat berhubungan dengan gurumu. Jika seekor ular menggigit ujung jarimu, dan ternyata kau tidak kebal terhadap bisanya, biarlah gurumu mengobatinya."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Untuk beberapa saat ia merenungi kemungkinan itu. Dan Agung Sedayupun yakin bahwa gurunya tidak akan berkeberatan.
Namun dalam pada itu, ketika Pangeran Benawa sekali lagi minta diri. Agung Sedayu mencegahnya. Katanya, "Pangeran, aku mohon dengan sangat. Pangeran singgah barang sebentar di barak itu."
"Ah, jangan begitu Agung Sedayu," berkata Pangeran Benawa, "aku sama sekali tidak ingin singgah ke barak itu. Aku hanya ingin menemuimu justru diluar barak. Sekarang aku sudah menemui dan mengatakan maksudku. Bukankah aku dapat bebas pergi kemanapun. Bahkan akupun dapat mengambil sikap lain. Sama sekali tidak singgah kemari dan sama sekali tidak memberitahukan kepadamu."
"Tetapi aku mohon dengan sangat Pangeran," minta Agung Sedayu.
"Apakah kau ingin memaksaku " " Pangeran Benawa.
"Tidak Pangeran sama kali tidak. Bagaimana mungkin aku akan memaksa Pangeran. Bahkan seisi barak itupun tidak akan mampu memaksa Pangeran," jawab Agung Sedayu.
"Jangan berputar-putar. Apa maksudnya sebenarnya ?" bertanya Pangeran Benawa.
"Seperti yang sudah aku katakan, bahwa anak-anak muda di barak itu menumpukan kepercayaannya kepada para pembina dan pelatihnya," berkata Agung Sedayu, Namun tiba-tiba ia bertanya, "Tetapi sebelumnya perkenankan aku bertanya, bukankah Pangeran tidak berkeberatan dengan terbentuknya pasukan khusus di Tanah Perdikan ini ?"
"Kau tidak memerlukan jawab," desis Pangeran Benawa.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian katanya, "Pangeran. Jika Pangeran bersedia singgah, maka Pangeran akan memperoleh kepercayaan anak-anak muda itu kepada para pembimbingnya. Tetapi jika aku kembali tanpa Pangeran, maka mereka akan sangat kecewa. Apa yang pernah mereka dengar bahwa aku telah berhasil mengalahkan Ajar Tal Pitu, akan mereka pertanyakan kembali."
"Agung Sedayu," Pangeran Benawa menjadi heran, "jadi ternyata bahwa kaupun telah dihinggapi sikap yang terlalu mementingkan diri sendiri seperti itu " Aku sama sekali tidak menyangka, bahwa kau sekarang telah dibayangi oleh kecemasan bahwa orang lain tidak akan memujimu. Bahwa orang lain akan kecewa, dan menganggapmu bukan orang terkuat diseluruh dunia. Bahwa orang lain mengetahui, bahwa kau tidak dapat memaksa Pangeran Benawa untuk dihadapkan kepada anak-anak muda itu."
Wajah Agung Sedayu menjadi tegang. Namun kemudian katanya, "Pangeran salah mengerti. Jika aku memohon Pangeran singgah, sama sekali bukan untuk kepentinganku. Seandainya bukan aku yang menemui Pangeran sekarang ini, maka akupun akan tetap memohon agar Pangeran bersedia singgah. Bagiku, kesediaan Pangeran akan sangat berpengaruh bukan bagi kepentinganku, tetapi semata-mata untuk memberikan kemantapan kepada anak-anak itu. Mereka akan menganggap bahwa mereka benar-benar diasuh oleh orang-orang yang memiliki kemampuan yang pantas bagi seorang pengasuh dalam olah kanuragan."
"Dan dengan demikian kau akan mengorbankan aku untuk menjadi pangewan-ewan didalam barak itu ?" bertanya Pangeran Benawa.
"Tentu bukan Pangeran. Tetapi seorang pencari ikan yang bersikap aneh dan mengandung rahasia," jawab Agung Sedayu, "kecuali jika aku harus bersikap lain. Silahkan Pangeran meninggalkan tempat ini tanpa singgah di barak itu, tetapi aku akan mengatakan kepada mereka, bahwa aku telah bertemu dengan Pangeran Benawa."
"Jangan. Bukankah kau belum kehilangan kesadaranmu ?" bertanya Pangeran Benawa.
"Tentu belum Pangeran," jawab Agung Sedayu, "jika aku tidak menyadari sepenuhnya apa yang terjadi, tentu aku tidak akan mohon belas kasihan Pangeran. Sementara tidak seorangpun yang akan mengetahui, bahwa yang aku hadapi sekarang ini adalah Pangeran Benawa. Atau jika Pangeran tidak bersedia, maka orang yang dianggap terbaik di barak ini akan sangat mengecewakan. Ternyata orang itu tidak mampu membawa seorang pencari ikan kedalam barak. Dalam keadaan yang pahit itu, mungkin aku tidak dapat lagi menahan diri untuk tidak menyebut mana Pangeran."
"Kau telah melakukan pemerasan," berkata Pangeran Benawa, "atau dengan istilah lain, kau telah menjual belas kasihan."
"Pangeran Benawa benar," jawab Agung Sedayu.
"Kau memang anak iblis," geram Pangeran Benawa. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Aku terpaksa singgah. Tetapi apakah aku harus percaya bahwa hal ini sama sekali bukan karena kau telah mementingkan dirimu sendiri, tetapi sekedar untuk menjaga kemantapan anak-anak muda yang berada didalam barak itu ?"
"Pangeran akan mengetahuinya," berkata Agung Sedayu.
De Buron 1 Candika Dewi Penyebar Maut I V Sembilan Bintang Biru 2

Cari Blog Ini