Goran Sembilan Bintang Biru Karya Imelda A. Sanjaya Bagian 2
Tubuh Panglima Sam terangkat ke udara. Kakinya yang bergantung menendang-nendang panik. Seluruh bawahannya ikut panik.
"Gu ... ru, hentikan!" Sisa suara dari lehernya keluar
juga. Tubuhnya langsung terbanting ke tanah. Lumayan sakit. Panglima Sam memegang lengannya yang ngilu, beringsut dan memaksakan diri berlutut. Kali ini, mata si tua bangka itu terbuka. Bola matanya putih bersih, tanpa pupil.
Dalam keadaan normal, pemandangan itu akan sangat mengerikan. Tapi, Panglima Sam berusaha menenangkan hatinya bahwa mungkin warna putih memang sedang mode di kalangan orang sakti.
"Maaf, sudah membuat Guru Besar repot-repot datang kemari. Kami mohon bantuannya." "Bintang biru itu ada di sini."
Semua anggota pasukan celingukan mencaricari. Panglima Sam sudah nyaris lega karena tugasnya hampir berakhir.
"Maaf, Guru besar, di mana tepatnya"" "Um ... maksudku di Cina ... lima ratus li jauhnya dari sini ..." Lima ratus li. Baiklah. Akan aku tempuh jarak itu. "... dekat Kota Terlarang." "Kota ... apa""
"Kota Terlarang. Sekarang sih belum ada ..."
Belum ada" Bagaimana aku pergi ke kota yang bahkan belum ada"
"Jadi, kapan kota itu akan ada""
"Oh, sekitar tiga ratus tahun dari sekarang."
Apakah tugas ini akan diteruskan oieh anak-cucuku" Panglima Sam mulai merasa semua yang berkaitan dengan tugas ini semakin tidak masuk akal. Kesabarannya mulai habis.
"Berarti aku tidak bisa pergi ke kota tak dikenal itu, kan" Daerahnya saja mungkin belum ada."
"Tempat itu ada di Peiping (Beijing). Bukankah rajamu sedang mendirikan ibukota Mongol di sana" Sesuatu bernama buluk ..."
Menghina sekali. Nama ibukota yang dibangun oleh Yang Mulia Kubilai Khan dan Yang Mulia Juan adalah Cambuluc bukan buluk. Dahi Panglima Sam berkerut. Masa iya Kota Terlarang itu akan berada di Cambuluc" Tapi, kakek tua ini sendiri yang berkata bahwa kota itu baru akan ada tiga ratus tahun lagi. Jadi mungkin saja ...
Panglima Sam baru saja akan bertanya lebih lanjut
saat mata Guru Besar mendadak tertutup dan napasnya menghilang. Kali ini Panglima Sam tidak berani mendekat sekadar untuk memeriksa.
Matahari terbenam dan gelap mulai datang.Ia memerintahkan bawahannya melanjutkan membuat tenda dan api unggun. Mereka akan berjaga bergantian kalau-kalau orang sakti yang aneh itu tiba-tiba membuka matanya lagi d
an memberitahu bagaimana mereka pergi ke Kota Terlarang tiga ratus tahun yang akan datang.
Malam berganti pagi. Sudah dua hari, tapi belum ada perkembangan. Panglima Sam masih sabar menunggu di depan Guru Besar untuk instruksi selanjutnya.
Kamuchuk datang menggantikan giliran jaganya. Panglima Sam masuk ke tendanya dan langsung tertidur begitu menyentuh bantal. Ini lebih melelahkan dibandingkan perang.
Tiba-tiba ia merasa bahunya diguncang-guncang. Ia terbangun dan tidak melihat siapa pun di dalam tendanya. Panglima Sam melanjutkan tidurnya lagi, tapi dalam sedetik terlonjak bangun. Sebuah tangan telah menampar pipinya cukup kuat. Tangan ajaib si Guru lagi"
Suara si Guru memenuhi tenda.
"Pergi dan carilah gadis pemilik bintang biru itu di antara para rase lima ratus tahun dari sekarang."
Setengah sadar Panglima Sam menjawab,
"Kemarin Guru bilang tiga ratus tahun lagi ..."
"Kota Terlarangnya memang akan didirikan tiga ratus tahun dari sekarang, bodoh! Tapi gadis itu hidup lima ratus tahun yang akan datang. Lagi pula, siapa bilang dia tinggal di Kota Terlarang! Aku tadi bilang ia tinggal di dekat Kota Terlarang. Hong Zhou Fu!"
"Begini, Guru, paling tua aku akan berumur seratus tahun, dan itu tujuh puluh tahun dari sekarang. Tidak mungkin aku ke sana ..."
"Aku akan mengirimmu ke sana ... tapi ingat, gadis itu bukan satu-satunya pemilik bintang biru. Selain dia, setidaknya ada tiga orang lagi yang harus kaucari ..."
Orang ini membicarakan 'mengirim' seolah-olah Panglima Sam adalah sepucuk surat atau undangan. Ia membuatnya kelihatan gampang sekali.
"Apakah mereka ada di Cina juga""
"Sayangnya tidak. Satu hidup di Jepang, tujuh ratus tahun dari sekarang. Satu lagi hidup di masa yang sama dengan orang Jepang ini ..." Panglima Sam mulai lega. Setidaknya dua orang berikutnya hidup di masa yang sama.
"... tapi dia ada di dunia yang berbeda dengan kita, dan orang terakhir akan kautemukan setelah kau menemukan ketiga orang pertama. Saat itulah aku akan membawamu kembali kepada Rajamu." Suara guru lalu menghilang.
Panglima Sam mengangguk. Pura-pura mengerti. Ia mengambil pedangnya, menyarungkannya dengan baik, dan bersiap-siap mengajak pasukannya berangkat.
Tiba-tiba ...wuuuz angin kencang bertiup menerbangkan semua isi tenda kecuali dirinya. Panglima Sam tidak mampu bergerak dan hanya terdiam pasrah.
Ia merasa tubuhnya melayang jauh dalam pusaran angin entah ke mana. Pemandangan Danau Dalay, tenda, gurun semua menghilang. Yang ada hanya dirinya dan terowongan angin yang panjang.
Di perkemahannya kini terjadi keributan. Seluruh pasukan sedang mencari tubuh Guru Besar yang sudah
tiga hari ini bertapa di luar-dan Panglima Sam. Tendanya ditemukan dalam keadaaan berantakan. Tidak ada tanda-tanda keberadaan mereka berdua. Kamuchuk cemas. Ia tidak tahu harus bagaimana melapor kepada Yang Mulia Khan.
* * * PANGLIMA SAM terlempar jatuh di tepi Danau Dalay. Waktu itu panas matahari sangat menyengat. Seorang penggembala kambing memerhatikannya dari kejauhan. Panglima Sam celingukan mencari pasukan dan tendanya. Tidak ada. Gawat! Apakah mereka dimakan harimau atau serigala" Ia harus kembali ke Ibukota untuk melapor.
Ia bangkit dan menghampiri si penggembala kambing, bertanya.
"Tahukah, kau, jalan terdekat ke tukang kuda" Aku harus pergi ke Cambuluc menemui Yang Mulia Khan."
"Cam ... apa"" si penggembala bingung.
"Cambuluc. Ibukota Mongol Raya."
Si Pengembala menatap Panglima Sam seolah-olah ia adalah orang gila.
"Tuan. Ini Cina. Jika ingin bertemu Yang Mulia Kaisar kau harus pergi ke Beijing."
Panglima Sam melongo cukup lama. Apakah ia benar-benar sudah berada di masa depan" Tiba-tiba terasa sentilan keras di belakang daun telinganya. Pasti kakek tua usil itu yang berulah. "Panglima Sam ..."
"Baik Guru Besar." Panglima Sam berlutut lagi pada sesuatu yang tidak terlihat. Kali ini si penggembala kambing yakin Panglima benar-benar gila. Ia langsung
kabur meninggalkan kambing-kambingnya.
"Pergi ke kota Hong Zhou Fu. Gadis itu sendiri yang akan membawamu kepada orang kedua, ketiga dan terakhir."
"Baik, Guru." "Oh, ya. Satu lagi."
"Ya, Guru""
"Janga n pernah lagi-bahkan di dalam hatimu mengatai aku kakek tua yang usil!"
Angin kencang muncul dan suara Guru Besar menghilang. Siapa bilang semua Guru Besar itu bijak dan bukan pendendam"
* * * PANGLIMA SAM berhasil memerah susu salah seekor kambing betina si penggembala yang ketinggalan. 'Perjalanan' melalui terowongan angin tadi sangat melelahkannya dan susu dari kambing yang sempat menendangnya itu cukup membantu memulihkan tenaganya.
Seandainya ia seorang pencuri, pasti seekor kambing sudah disembelihnya untuk makan siang. Tapi, ia Panglima Kerajaan Mongol. Mencuri adalah sesuatu yang sangat hina. Jadi, Panglima Sam memutuskan untuk berjalan sampai desa terdekat untuk membeli makanan.
Itu tidak mudah. Sampai di desa terdekat, semua o-rang desa memandanginya seolah-olah ia makhluk jenis baru. Mereka menilainya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Mereka berbisik-bisik seru sampai Panglima merasa tersinggung.
Penghinaan ini tidak boleh dibiarkan. Semula, ia berniat mengamuk. Tapi bagaimanapun-jika ini memang benar masa depan-ia tidak akan bertemu dengan orang-orang yang ia kenal apalagi untuk meminta bantuan. Jadi, ia bersabar dan mengalah,
"Di mana aku bisa menemui kepala desa kalian""
* * * KEPALA DESA desa itu mengizinkan ia menginap beberapa hari di situ. Darinya, Panglima Sam mendapat kepastian bahwa Mongol Raya tidak lagi berkuasa di Cina dan seumur hidupnya Pak Kepala Desa tidak pernah mendengar nama kota Cambuluc.
"Bagaimana dengan Hong Zhou Fu""
"Kaumau ke sana""
"Begitulah." "Jauh. Harus naik kuda."
"Tidak masalah. Tunjukkan saja di mana tempat tukang kuda. Aku akan membeli kuda."
Panglima Sam mengeluarkan pundi-pundi uang dari kantongnya, kemudian menyadari bahwa uangnya tidak laku di situ. Untunglah uangnya terbuat dari perak. Seorang penduduk desa menyarankan agar ia menjualnya di kota terdekat. Mereka akan membekalinya dengan makanan sampai kota terdekat, tapi tidak akan ada kuda untuknya. Ia bisa menumpang gerobak sampai ke perbatasan dan seterusnya harus meneruskan perjalanan sendiri bagaimanapun caranya.
Sebagai pengganti, ia membantu pelayan kepala desa mengambil air di sungai, menggosok lantai dapur dan memberi makan kambing-kambing kepala desa. Untuk makan siang (merangkap makan malam), ia diberi ransum
semangkuk bubur dan sayuran asin. Menyedihkan. Tapi, ini jauh lebih baik daripada makan daun-daunan atau akar pohon di hutan.
Gerobak yang bisa ditumpangi baru berangkat dua hari kemudian. Panglima Sam mengenakan baju perang yang dibanggakannya, membawa pedang dan pundi-pundi peraknya, menumpang duduk di belakang gerobak menghadap ke luar dengan kaki terjuntai ke bawah. Ia tidak mendapat kesempatan duduk di sebelah kusir sekaligus pemilik gerobak walaupun ada kursi kosong di sebelahnya. Kusir tidak mengizinkannya. Anjingnya sudah lebih dulu duduk di situ.
PANGLIMA SAM berdiri di depan pintu gerbang Wisma Delapan Phoenix. Wisma itu-seperti namanya- memiliki gerbang dengan hiasan ukiran delapan burung phoenix di segala penjuru.
Seharusnya ini tempat yang benar. Ia sudah setahun berkelana di Hong Zhou Fu. Ia sudah dihina habis-habisan. Mulai dari bahasanya yang ditertawakan penduduk setempat, pakaiannya yang dianggap aneh, belum lagi ia harus menjalani berbagai pekerjaan untuk mencari bintang biru yang sampai sekarang belum juga tampak keberadaannya.
Ia pernah menjadi penyanyi di tempat hiburan (dan tidak laku), menjadi pendekar di sirkus keliling, dan menjadi pengemis. Setelah setahun mencari, dianggap sebagai orang gila dari Mongol, dan kehabisan uang, ia kini benar-benar menjadi pengemis. Saking putus asanya, ia sempat berniat bunuh diri. Untung saja, seorang biksu datang menolongnya.
Biksu budiman itu memberinya tumpangan tempat
tinggal di kuil selama berbulan-bulan. Panglima boleh makan dan tidur gratis asal bekerja untuk kuil. Itu sih bukan masalah, tapi peraturan kuil juga mensyaratkan Panglima Sam harus menggunduli rambutnya dan memakai pakaian biksu selama berada di sana. Panglima Sam harus merelakan kepang panjang kebanggaannya lenyap.
Kemudian, Kepala Kuil mengatakan kepada Panglima Sam bahwa
keluarga bangsawan kaya yang tinggal di Wisma Delapan Phoenix pasti bisa memberinya pekerjaan yang lumayan.
Panglima Sam mendekat ke gerbang dan mengetuk pintu anjing, yaitu pintu yang diperuntukkan untuk pelayan dan tamu yang tidak penting. Seorang pelayan membuka pintu sedikit dan mengintip, ia heran ada biksu kumuh berdiri di depan pintunya.
"Mau apa kau""
"Apakah Tuanmu bisa memberiku pekerjaan"" "Tidak ada pekerjaan untukmu!" Pelayan itu ketus sekali.
"Aku bisa melatih dan merawat kuda, membersihkan senjata, melatih kungfu ..." Panglima Sam melirik untuk melihat reaksi si pelayan. Pelayan itu tampaknya cuek, tidak tertarik. Ia melanjutkan.
"... aku bisa menyikat lantai, menyiram bunga, mengangkut air ..."
Wajah si pelayan tiba-tiba berseri-seri,
"Bagus! Pengangkut air upahan kami sedang pulang kampung! Kau diterima!"
Panglima Sam jengkel. Dari sekian banyak keahliannya, ia diizinkan masuk hanya karena bisa mengangkut air! Dunia benar-benar tidak adil! Tapi, ia berusaha memasang senyum termanisnya dan melangkahkan
kakinya masuk ke dalam. Di saat bersamaan, dari pintu utama yang besar keluarlah kereta kuda mewah yang menyebarkan debu ke mana-mana. Kereta itu bergerak menuju pusat kota, tempat pasar malam akan berlangsung.
Di dalamnya dua orang gadis bangsawan duduk berdampingan ditemani dua orang pelayan wanita. Gadis bangsawan yang satu tampak gembira sekali sedangkan yang satunya tampak bosan setengah mati.
Yang gembira mencolek lengan rekannya,
"Jangan cemberut begitu. Pipimu jadi makin tembam."
Yang cemberut jadi makin cemberut. Ia menyingkapkan tirai dan melongok ke luar jendela. Melamun di bibir jendela.
"Jangan menunjukkan wajah keluar. Tidak baik."
"Oh" Di pasar malam juga kita akan keluyuran, bukan""
"Benar. Tapi dengan tandu."
"Mengapa keluarga tidak mengizinkan kita melihat-lihat keramaian dengan berjalan kaki dan wajah terlihat"" "Karena kita putri bangsawan, Xin Ai!" Yang dipanggil Xin Ai memasukkan kembali kepalanya ke dalam kereta sambil tersenyum pahit.
"Benar. Menyenangkan sekali bukan""
si tudung merah ANIKI MEMAKSAKAN diri menelan bubur buatan ibunya. Sejak pulang ke Tokyo, ia tidak bernafsu menelan apa pun. Tapi sekarang, mata tajam ibunya sedang mengawasinya tanpa berkedip. Bubur ini bahkan lebih payah dari sup ikan yamame yang pernah dihirupnya sedikit di puncak Asahi. Aniki mencoba menahan mualnya yang timbul saat hidungnya menangkap aroma bubur dan berhasil. Sekarang, ibunya tampak lebih senang.
"Kata temanku, bubur hati ikan tongkol sangat baik untuk memulihkan kesehatan." Onatsu mengangguk angguk puas.
Mungkin bubur buatan temannya memang berkhasiat, tapi buatan Ibu" Seharusnya Ibu memberiku bubur hati fugu (ikan buntal) saja. Biar aku mati sekalian. Buru-buru Aniki menyesali pikirannya. Ia tidak punya alasan untuk mati. Apalagi setelah ia tahu bahwa orang berjubah hitam itu adalah ayahnya.
"Bu, apakah kau tidak ingin menceritakan sesuatu tentang Ayah""
Onatsu menatap Aniki dengan hampa. Sejenak.
"Kami bertemu pertama kali di Universitas Sapporo..."
"... yang kumaksud Ayah kandungku ..."
"Yang kumaksud memang ayah kandungmu. Jangan pernah lagi memotong ucapan orang yang lebih tua!"
Aniki terdiam dan menunggu. Onatsu bangkit dari duduknya setelah mengambil mangkuk bubur yang sudah kosong dari meja lampu Aniki.
Ia membawanya ke luar kamar, kemudian terdengar suara-suara orang sedang mencuci piring di dapur. Aniki bangkit dan beringsut ke dapur. Dadanya terasa nyeri saat bergerak, tapi ia berhasil juga mencapai dapur. Ibu masih berkonsentrasi pada cucian di bak pencuci tapi ia tahu Aniki sudah berada di dekatnya.
"Aku bertemu lagi dengannya lima tahun kemudian, di Tokyo saat aku baru bekerja. Ia menyelamatkan jiwaku dan aku jatuh cinta padanya. Aku rasa aku benar-benar bahagia saat itu sehingga aku menikah dengannya bukan dengan Jiro, tunanganku."
Aniki terhenyak. Lalu, mengapa perkawinan bahagia itu lenyap" Dan, Ibu segera menjawab kebingungannya.
"Ayah kandungmu menghilang saat kau masih di dalam kandunganku. Menyakitkan rasanya harus mengurusmu sendirian di Gunung Asahi yang liar dan dingin.
Kita berada di sana sampai usiamu setahun. Jiro-lah yang kemudian merawat dan mengasuhmu dengan baik. Kuharap kau mengerti mengapa aku tidak ingin mengingat-ingat ayah kandungmu lagi, Aniki."
Aniki mengangguk. Ia paham tapi sulit untuk menerimanya. Ia kembali ke kamarnya dengan langkah diseret.
Onatsu memerhatikannya dengan sedih. Ia berbohong lagi pada Aniki. Tidak mungkin ia tidak mengingatnya. Aniki mirip dengannya. Terlalu mirip.
* * * ANIKI MEMBACA dengan serius di perpustakaan. Bukan buku berat sebenarnya. Cuma Kenshin. Betapa menyenangkannya punya kekuatan seperti tokohtokoh
dalam komik itu. Tapi, Aniki bingung karena ia sendiri tidak merasa begitu.
Hanya di kantor Ibu dan di Gunung Asahi ia bisa mengendalikan kekuatannya. Sekarang tidak lagi. Ia pernah meledakkan komputer saat mengetik keyboard-nya dan kemarin ia membuat pot bunga tanah liat menjadi lumpur becek saat sedang merentangkan tangan di depan pot malang itu. Aniki tidak bermaksud apa-apa. Ia hanya berolahraga dan sedang melakukan peregangan saat itu. Menyedihkan. Kini, ia bahkan tidak berani mengangkat tangan saat diabsen guru di kelas atau menunjuk sesuatu atau seseorang lagi.
Aniki merasa mengantuk dan ingin tidur. Tapi, sebentar lagi pelajaran matematika akan dimulai. Setidaknya ia harus masuk untuk mengumpulkan PR-nya.
Aniki bangkit dan hendak mengembalikan Kenshin ke meja administrasi. Sepi. Perpustakaan yang semula penuh dengan siswa sekarang benar-benar sepi. Aniki berjalan menuju meja administrasi dengan bunyi langkah yang memantul di dinding-dinding kosong. Ia bahkan tidak menemukan pengurus di situ.
Aniki mengedarkan pandangan ke sekeliling, menunduk untuk melihat kolong-kolong dan tetap tidak menemukan siapa pun di sana. Ini terlalu aneh. Pasti ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi di sini.
Aniki meletakkan Kenshin di atas meja administrasi dengan perlahan dan bersiap untuk sesuatu yang mungkin saja menakutkan. Tiba-tiba-seolah muncul dari dimensi lain-terdengar suara lengkingan keras. Lengkingan yang pernah didengarnya dalam mimpi.
Aniki menoleh dan mendapati seseorang berpakaian merah dengan tudung merah dan wajah bertopeng hitam
sudah berada di belakangnya. Aniki berbalik dan menghadapinya dengan badan penuh. Orang itu maju ke depan dengan yakin dan memberikan pukulan lurus tepat ke dada Aniki. Aniki terjengkang ke belakang. Dadanya semakin nyeri sekarang.
Orang itu sudah berdiri di ujung kaki Aniki, mengeluarkan pedang pendek dari balik punggungnya, dan mengayunkannya. Aniki menghindar dan berguling ke samping. Ia luput.
Tapi bagaimanapun, orang itu berada pada posisi yang lebih menguntungkan. Ia kembali mengayunkan pedang kepada Aniki. Aniki menangkisnya dengan pergelangan tangannya.
Seharusnya lengannya sudah putus sekarang, tapi ternyata tidak. Pedang pendek itu melengkung dan meledak menimbulkan suara keras di udara. Butiran-butiran logamnya sekecil cokelat meises berpencar di udara dan sebagian menghantam tubuh Aniki. Sakit sekali.
Si merah itu tampaknya tidak terkejut dengan kemampuan Aniki. Ia bersalto ke belakang dan menghilang di dinding udara. Aniki baru akan mencoba bangkit saat orang itu muncul kembali di depannya.
Aniki bergeser ke belakang dan terbentur sesuatu. Ia mendongak dan mendapati sembilan orang berbaju merah lainnya sudah berada tepat di belakangnya. Sekarang ia sedang bersimpuh di kaki mereka!
Sembilan pedang pendek sedang diayunkan ke arahnya. Aniki menutupi wajahnya dengan telapak tangannya dan mencoba berkonsentrasi. Sembilan pedang terkumpul di udara menjadi satu, seolah- olah ditarik oleh daya magnet yang kuat. Pedang-pedang itu melengkung, saling
menarik, dan membentuk gumpalan yang berputar dan bergetar keras.
Aniki tahu kelanjutannya. Ia buru-buru berguling ke samping lima kali, tengkurap, dan menutupi kepalanya dengan tangan sedapat mungkin.
Pedang itu pecah dan berhamburan di udara menjadi pasir besi. Serpihannya melesat menembus kaca-kaca jendela perpustakaan sehingga berlubang- lubang.
Aniki membalikkan badannya dan mendongak. Tidak ada satu pun dari sembilan orang bermantel merah itu di sana. Ani
ki bangkit dan berlari ke luar perpustakaan dengan napas memburu. Perpustakaan tidak akan menjadi tempat favoritnya lagi kini.
Sementara itu, di dalam perpustakaan yang sama dan ramai sedang terjadi kehebohan. Para siswa yang sedang membaca buku barusan dikejutkan dengan ledakan keras berkali-kali yang terjadi di tengah ruangan. Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tahu-tahu semua kaca jendela berlubang- lubang ditembus sesuatu yang tampak seperti pasir besi.
Pengurus perpustakaan tidak kalah pusingnya. Tiba-tiba sebuah komik sudah diletakkan di atas mejanya. Padahal, ia yakin sekali tidak ada seorang pun murid yang melewatinya sejak setengah jam yang lalu. Dan satu-satunya orang yang meminjam komik itu hari ini adalah Aniki Kodama.
Ia bangkit dari mejanya dan melongok ke arah para murid yang sedang mengerumuni kaca. Tampaknya, Kodama tidak ada di sana, tapi ia akan memastikannya. Ia berjalan melewati dua buah lemari menuju kerumunan siswa.
Di belakang pengurus perpustakaan, tepat di celah di
antara dua buah lemari yang dilewati pengurus perpustakaan tadi tampak berdiri seseorang yang mengawasi segala sesuatu di dalam ruangan itu dengan sikap tenang dan mata menyala. Ia mengenakan baju dan tudung kepala merah.
* * * ANIKI MENCUCI mukanya di wastafel. Saat mengangkat wajah dan menatap cermin, ia melihat bayangan seseorang di dalamnya. Seharusnya, orang itu ada di belakangnya jadi Aniki berbalik dengan cepat. Topengnya tidak menunjukkan ekspresi apa pun tapi kelihatannya ia sedang marah. Aniki mendesis, "Kau ..."
"Kau sudah tidak punya banyak waktu lagi. Kau harus segera pergi ke Planet Vida."
"Planet Vi ... apa"" Aniki benar-benar tidak mengerti apa yang dibicarakan olehnya.
"Cari temanmu di sana. Kalian berdua masih harus mencari bantuan-bantuan lain di berbagai tempat sebelum berperang," bicaranya datar-datar saja.
"Perang"" Aniki tersenyum sinis. Hal paling konyol yang pernah didengarnya. Bukankah PBB ada karena sebagian besar manusia membenci perang"
"Tidak semuanya ... beberapa sangat menyukai perang," seolah bisa membaca pikiran Aniki, ia menjelaskan. Aniki terkejut, tapi berusaha untuk tidak menunjukkannya.
Ia menunjuk ke cermin dan sesaat cermin seperti berkabut di dalam. Tampak wajah Hitler, Napoleon, seseorang berpakaian perang kuno dan berjanggut yang tak dikenalnya muncul bergantian pada cermin. George
Bush Junior muncul terakhir kali.
"Aku tidak. Aku membenci perang."
"Aku tahu. Tapi kau harus."
"Tidak ada alasan bagiku untuk berperang."
"Apakah kejadian di perpustakaan sepuluh menit yang lalu tidak cukup menjadi alasan""
"Itu perkelahian bukan peperangan."
"Suatu hari nanti hal itu bisa menimpa semua orang di dunia dan tidak semua orang bisa meledakkan benda-benda."
Aniki merasa tersindir, tapi tidak tertarik.
"Bukan urusanku." Ia bersiap pergi.
"Orang-orang tadi juga akan mendatangi ibumu, nenekmu, teman-temanmu ..."
"Aku akan menjaga Ibu dan Nenekku." Hanya Nenek Eri tentu saja, pikir Aniki pahit.
"Dan salah satu orang yang bayangannya ada di dalam cermin itu akan memburu kalian." Bukankah Hitler dan Napoleon sudah mati"
"Aku tidak dendam pada George Bush."
Orang itu terdiam sejenak. Mungkin sedang tersenyum geli di balik topengnya.
"Jika saatnya tiba, dan itu tak akan lama lagi, bahkan kau dan kekuatanmu bukan apa-apa." "Aku tidak peduli."
"Kau juga tidak akan peduli jika kukatakan bahwa jutaan orang akan mati dalam waktu dekat jika kau tidak bergerak""
"Aku ..." "Aku termasuk dalam jutaan orang itu." "Mengapa aku harus peduli dengan nyawamu"" "Kautahu mengapa."
Aniki menelan ludah. Ingin bicara tapi lidahnya kelu. Seharusnya ia sempat menanyakan sesuatu pada orang itu.
Orang itu mengibaskan jubah hitamnya dan menghilang.
Aniki kembali berbalik menghadap wastafel. Melamun. Terdengar suara langkah-langkah kaki pelan mendekat dan masuk ke dalam toilet. Aniki menoleh.
Yuki Asano rupanya. Ia melihat Aniki dan memekik terkejut,
"Astaga, Kodama! Mengapa kausuka sekali masuk ke
toilet wanita!" pertarungan si nomor satu
TUBUH ORPHANN terlempar ke dinding gua. Setelah punggungnya membentur dinding dengan
keras tubuh itu melorot jatuh ke lantai.
Ratusan kelelawar terbang karena terkejut, belasan stalaktit dan stalagmit bergetar hebat.
Orphann mencoba bangkit, tapi jatuh lagi. Ujung bibirnya mengeluarkan darah segar. Sue dan Soil yang berada di dalam gua hanya memandanginya sambil membisu, tidak berbuat apa-apa.
Ogrey mendekat. Langkahnya berdebam karena berat tubuhnya. Matanya menyimpan kemarahan yang besar. Jarak antara dirinya dan Orphann hanya beberapa kaki saat Orphann berhasil bangkit dan menyandarkan tubuhnya ke dinding. Posisi setengah berdirinya menjadikan ia sasaran empuk bagi Ogrey.
Ogrey mencengkeram baju Orphann, membuatnya terangkat satu meter dari lantai gua.
"Kubilang minta ampun, ha""
Orphann menggeleng keras.
"Kau bukan Tuhanku. Aku tidak akan minta ampun."
"Sombong sekali." Setelah bicara, Ogrey melemparkan tubuh Orphann ke sudut gua yang lain. Beberapa Theft Ryder bayi yang sedang tidur menjerit keras karena terkejut. Orphann memukul tiang tempat tidur mereka dengan keras sehingga bayi-bayi itu seketika terdiam.
Takut. "Bagaimana rasanya, si kecil yang sombong"" ledek Ogrey.
Sue tertawa kecil karena geli. Soil diam saja, ia tampak sedang menilai.
Ogrey memicingkan mata untuk melihat reaksi Orphann. Bocah itu jelas-jelas kesakitan, tapi sepertinya tidak sedang ketakutan. Amarah Ogrey makin berkobar.
Orphann menegakkan tubuhnya dan menatap Ogrey tajam.
"Kau mungkin yang paling kuat di sini, tapi kau bukan maling paling hebat. Kau terlalu lamban. Orang kuat yang bodoh dan lamban tidak akan pernah menjadi maling yang hebat. Kau cuma rampok."
Ogrey mengerang keras sambil berlari ke arah Orphann. Kepala botaknya yang penuh bekas luka dihantamkannya pada perut Orphann. Orphan terlambung lagi di udara dan kepalanya menghantam salah satu stalaktit. Baik ia dan stalaktitnya sama-sama menderita. Orphann masih bisa tersenyum sinis.
"Benar, kan" Kau hanya bisa marah dengan menyiksa orang lain. Kau tidak mampu melakukan hal lain selain mengamuk!"
Ogrey mengangkat tubuh Orphann dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya memukuli dada dan wajah Orphann berkali-kali. Orphann cuma samsak tinju sekarang. Darahnya sendiri berlumuran di seluruh tubuhnya.
Sementara itu, diam-diam Soil beringsut keluar dari gua. Di depan air terjun hitam yang mengucur deras ia berdiri. Ia mengeluarkan bandul kalung-yang terbuat dari rumah siput-yang tergantung pada lehernya. Bandul itu
tersembunyi di balik bajunya yang longgar dan kumal.
Soil mendekatkan bandul itu ke mulutnya dan meniupnya. Lambat tapi tajam. Suara yang keluar dari rumah siput itu pilu dan panjang. Suasana menjadi hening sejenak. Kecuali suara air terjun hitam, rasanya tidak ada makhluk hidup di sekitar gua dan hutan bambu yang berani bernapas.
Soil menghentikan tiupannya, menyembunyikan kembali bandul ke dalam bajunya dan menunggu. Ia tetap pada posisinya di depan air terjun hitam selama lima menit saat terdengar suara desingan yang ramai mendekati gua.
Dalam beberapa detik tampak ratusan ladakh carp melayang di udara-mendekat dengan kecepatan tinggi seolah-olah akan menabrak gua. Soil merentangkan tangannya dan semua ladakh carp berhenti, lalu mengapung di sekitarnya. Theft Ryder di atasnya menunggu Soil mengucapkan sesuatu. Soil tersenyum tipis,
"Maaf sudah mengganggu acara makan siang kalian. Kurasa kita harus menyingkirkan si Nomor Dua, sekarang."
* * * PERTARUNGAN MASIH berlangsung seru. Sebenarnya sama sekali tidak pantas disebut pertempuran sebab Orphann hanya menjadi sarana latihan jurus-jurus kacau Ogrey.
Orphann sudah terjerembab entah yang ke berapa kalinya ke lantai gua. Hanya harga dirinya yang bisa membuatnya bertahan untuk menerima pukulan dan tendangan.
Ogrey semakin bernafsu melihat kekalahan Orphann
yang sudah di depan mata. Ia mendekatkan wajah abu-abunya yang menjijikkan ke dekat wajah Orphann, memasang seringai yang paling menyeramkan yang ia punya. Menunjukkan kekuasaannya.
Ia benar-benar murka saat Orphann tadi pagi terang-terangan menantangnya. Memang pengkhianat cilik itu sekarang adalah pencuri paling sukses di Vida, tapi tetap saja Ogrey me
rasa dirinyalah yang memiliki Theft Ryder. Sesekali tidak bekerja mencari makan tidak apa-apa bukan"
Tapi, rupanya Orphann keberatan. Ia menolak membagi ransumnya dengan Ogrey yang rakus dan menghinanya berkali-kali. Ogrey tidak peduli. Saling mengatai sudah biasa di kalangan mereka, tapi tadi pagi kesabarannya habis karena sesumbar Orphann bahwa ia akan menjadi Nomor Satu.
"Hei, dengar, Orph. Kau yang tidak akan bisa menjadi Nomor Satu. Kau terlalu lemah. Kudengar kau menyelamatkan seorang borguic dari Kootz kemarin. Itu tidak ada dalam kamusku. Semua borguic yang kemari adalah musuh Theft Ryder dan harus mati. Kelemahanmu adalah mengampuninya. Dasar bodoh!"
Ogrey menendang Orphann sekali lagi. Dalam pikirannya yang kacau, Orphann mengingat-ingat borguic yang dimaksud Ogrey. Payahnya, ia sama sekali tidak bisa mengingat borguic yang mana yang dimaksud.
Ingatannya hanya tertuju pada pelacak mini berwarna abu-abu yang bagus. Pasti mahal. Ia lalu teringat mengapa ia tertarik pada benda itu. Bukan harganya, tapi mata pelacak mini itu yang berkedip-kedip lucu.
Bentuknya seperti bintang berwarna biru.
Orphann tiba-tiba merasa marah. Jurang magnet yang
menelan pelacak mini itu juga telah menelan Sholto. Ogrey yang licik telah menanamkan logam pada baterai ladakh carp Sholto, orang yang paling dihormati Orphann.
Selama ini semua Theft Ryder merasa aman karena adanya jurang magnet. Beck tidak akan berani mengejar walaupun seandainya mereka melepaskan seragam konyol mereka dan terbang di atas ladakh carp dari plastik seperti Theft Ryder.
Beck tidak tahu apa saja yang dimiliki para Theft Ryder di balik air terjun hitamnya. Semua Beck yang pernah berhasil tiba di gua juga berakhir di jurang seperti ratusan teman-teman dan begitu banyak jet cyclo mereka.
Orphann merasa bodoh. Yang harus ditakuti bukan Beck, tapi orang licik dan ambisius di antara mereka sendiri. Ogrey tega membunuh kakaknya sendiri, jadi nyawa Orphann pasti bukanlah apa-apa baginya.
Ogrey melayangkan tinju ke wajah Orphann, namun Orphann secepat kilat menepis serangan itu. Tangannya terasa ringan dan hampa saat ia menahan tangan Ogrey dengan pergelangan tangannya, memutar pergelangannya dan mendorong tangan Ogrey keluar.
Ogrey terkejut. Satu tangannya bahkan lebih berat dari seluruh tubuh Orphann, tapi Orphann dapat dengan mudah mendorong tangannya. Orphann bahkan sudah tampak berdiri walau masih terhuyung-huyung.
Ogrey melompat sambil menendang lurus ke arah Orphann. Orphann seperti terbimbing untuk meletakkan kedua telapak tangannya terbuka ke arah kaki Ogrey. Tepat saat telapak kaki Ogrey menyentuh tangannya, Orphann menahan napasnya.
Ogrey terjatuh begitu saja. Seperti anjing jatuh dari atas pohon. Ia takjub. Kekuatannya mendadak lenyap
saat tubuh mereka bersentuhan.
Ogrey tidak menyerah. Ia berlari hendak menabrak Orphann dan Orphann berhasil mengelak. Ogrey jadi keterusan terbawa larinya sendiri sampai menembus air terjun dan kini berada di luar gua.
Di luar tampak semua Theft Ryder sudah berkumpul. Mereka berdiri di atas tanah, memegang ladakh carp masing-masing dan hening. Soil tampak duduk di atas sebuah batu dekat air terjun hitam. Sue menyusul keluar dan duduk di dekatnya.
Orphann menyusul keluar. Langkahnya gontai dan napasnya sudah hampir habis. Ia menatap Ogrey dengan penuh kebencian.
Ogrey melengos, mengejek.
"Jangan macam-macam, Orph. Kautahu mereka berkumpul di sini untuk melihat kematianmu." Orphann melempar pandang ke sekeliling. Semua membisu. Soil juga. Orphann menatapnya agak lama, minta penjelasan, tapi Soil seperti biasanya hanya mematung.
"Hei! Apa kau sedang minta dukungan Soil" Kau sendiri tahu bahwa ia adalah sainganmu sejak kalian masih sama-sama balita!" Ogrey lalu tertawa menghina.
"Hei, Soil! Minta minuman!"
Soil mengeluarkan sebuah botol dari balik tas selempang kecilnya. Botol itu dilemparkannya kepada Ogrey. Ogrey meminumnya dengan cepat. Sekarang tenaganya sudah pulih lagi.
Ia berlari lagi hendak menyeruduk. Kali ini Orphann tidak menghindar. Anehnya saat kepala Ogrey menyentuh perut Orphann, perut itu terasa seperti menonjol kelu
ar mendorong kepala Ogrey menjauh. Ogrey tidak gentar. Ia meninju wajah Orphann. Tangan Orphann menahan tinju
Ogrey dan tiba-tiba tubuh Ogrey bergetar hebat. Ia merasa seluruh tenaganya lenyap. Orphann telah menyerapnya!
Ogrey jatuh terduduk lemas. Orphann menghampirinya dan ganti menendangnya. Tubuh Ogrey yang tiga kali besarnya dari tubuh Orphann terpental jauh ke tepi air terjun. Ogrey benar-benar terkejut. Bagaimana mungkin dalam waktu singkat Orphann bisa berbalik kuat" Sihirkah"
Selanjutnya keadaan berbalik. Ogrey ganti menjadi bulan-bulanan Orphann. Ia dipermalukan sedemikian rupa di antara semua Theft Ryder yang menonton tanpa ekspresi. Cukup sudah.
Ogrey merasa tidak ada gunanya terus berada di sini tanpa bisa melawan. Terpikir bahwa ia bisa kabur ke Kootz atau kota Zsersya sementara waktu untuk memulihkan kekuatannya. Ia menoleh ke sekeliling, berbicara pada pengikutnya.
"Hei! Beri aku tumpangan untuk ke Kootz!"
"Ini, Ogrey! Pakai punyaku!"
Seseorang melemparkan ladakh carp-nya ke arah Ogrey. Ogrey menangkapnya dan melayang kabur tanpa bisa dicegah oleh Orphann. Ia sempat meleletkan lidahnya pada Orphann. Tepat saat ia berada di tengah Jurang Magnet, Ogrey mendadak jatuh tersedot ke dalam jurang. Lengkingannya panjang dan menyayat hati.
Orphann terkejut. Ia menoleh pada Theft Ryder yang memberi ladakh carp pada Ogrey dengan bingung.
"Apakah kau memberinya ladakh carp yang dipasangi logam""
Theft Ryder itu tidak langsung menjawab, malah menoleh ke arah jurang seperti menanti sesuatu. Terdengar suara desingan dan ladakh carp-nya terbang
kembali sendirian ke atas, mengapung dan baik-baik saja.
"Tidak. Tuh, ladakh carp-ku bisa naik sendiri."
Orphann masih belum mengerti mengapa Ogrey bisa jatuh ke dalam jurang sampai saat Sue menepuk pundaknya.
"Sudah tiga hari ini Soil memberinya minum dan makan dengan campuran air terjun hitam."
Sue beranjak ke dalam gua. Sebelumnya, ia menyempatkan diri menggores garis tambahan penanda jumlah korban jurang magnet pada batu. Ratusan ladakh carp kembali berdesing dan terbang ke atas siap beraksi. Berbarengan mereka meninggalkan gua dan air terjun pergi kembali ke Kootz dan kota-kota lainnya di Planet Vida. Kejadian barusan memang berarti, tapi makan lebih penting.
Tinggal Orphann dan Soil berdua tersisa di depan air terjun hitam yang gemuruh. Orphann menunduk malu. Ia segan karena sudah sempat menganggap Soil sebagai musuhnya.
Goran Sembilan Bintang Biru Karya Imelda A. Sanjaya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hei, mengapa menolongku""
Soil menatapnya dingin. "Aku tidak menolongmu. Alasanku melakukannya itu adalah karena aku selalu menganggap Sholto sebagai nomor satu." Ia beringsut hendak masuk ke gua. Orphann berseru padanya.
"Apa pun alasanmu, aku berterima kasih!" Soil berhenti dan menatap Orphann heran, "Terima kasih, Orph" Sekarang kau bertingkah seperti seorang borguic. Kita tidak pernah diajarkan tentang itu,
bukan"" xin ai PUTRI XIN Ai dan Putri Xin Mei berada di dalam tandu masing-masing mengelilingi pasar malam. Gadis pelayan mereka masing-masing mengikuti dengan berjalan di belakang tandu.
Beberapa gadis-gadis kaya yang pergi diiringi pelayan memandang iri kepada rombongan mereka. Bagaimanapun kayanya gadis-gadis itu, mereka bukan bangsawan sehingga perlakuan khusus seperti ditandu dan diiringi pengawal seperti itu sulit untuk didapatkan.
Xin Ai melongok ke luar tandu dan terpukau oleh betapa ramainya pasar malam. Sebuah grup acrobat kecil mempertunjukkan keahlian mereka. Si peniup api menyembur-nyemburkan api yang keluar bagai napas naga dari mulutnya. Temannya ganti beratraksi berdiri dengan satu kaki dan menahan sepuluh piring yang berputar di atas kepalanya. Xin Ai tertarik. Ia meminta pembawa tandu menurunkan tandu sejenak tidak jauh dari rombongan akrobat itu, lalu mengintip dari balik tirai.
Tiba-tiba, ia melihat sesuatu yang aneh. Seorang gadis kecil anggota grup akrobat sedang berkeliling mengedarkan kantong uang kepada penonton. Sekilas ia terlihat biasa saja. Tapi, entah mengapa Xin Ai bisa melihat dua tulang rusuk gadis itu patah dan bagian bawah tulang punggungnya membengkok dengan tidak normal.
Xin Ai gelisah. Ia ingin turun dan menanyak
an hal tersebut pada gadis kecil itu, tapi ia tidak berani. Apa
kuasanya menanyakan hal yang tidak bisa dilihat oleh semua orang"
Xin Ai tidak tahan lagi. Ia membisiki salah satu pembawa tandunya.
"Tanyakan pada pimpinan grup akrobat itu apakah gadis itu diperbolehkan ikut denganku menjadi pelayan."
Penandu mengangguk dan segera melaksanakan perintah Xin Ai. Ia tampak berbicara serius sambil menunjuk-nunjuk tandu. Xin Ai menunggu dengan tegang sampai pemimpin grup itu diiringi pembawa tandunya mendekati tandunya. Xin Ai tetap menutup tirainya.
"Maaf, Nona besar ..."
"Aku putri." "Maaf, Putri. Kalau boleh hamba bertanya mengapa Yang Mulia ingin membawa putri kami pergi""
"Dia bukan putrimu," tiba-tiba saja Xin Ai terpikir untuk bicara begitu. Baik penandu maupun pimpinan akrobat terkejut.
"Bagaimana Yang Mulia ..."
"Maaf. Aku cuma menebak. Bolehkah kubawa dia serta"" Pimpinan grup akrobat menoleh ke arah gadis kecil dan kurus itu sejenak.
"Kami harus memikirkannya dulu, bagaimanapun dia adalah calon penerus grup kami."
"Aku akan menunggu kalian sampai sore di Wisma Delapan Phoenix jika kalian menyetujuinya."
Xin Ai memberi tanda dan tandu dibawa pergi. Xin Ai berulang-ulang mengutuki kelancangannya sendiri mencampuri urusan pribadi orang lain.
* * * XIN AI dan Xin Mei sedang duduk di teras lantai atas Wisma Delapan Phoenix. Mereka duduk santai meminum teh sambil mendengar alunan music yang dimainkan oleh grup pemusik Wisma Delapan Phoenix.
"Kudengar kau baru saja berniat membawa orang tak dikenal ke rumah." Xin Mei menyingkirkan daun-daun teh di dalam cangkirnya dengan lembut.
"Ya. Aku bodoh. Aku tiba-tiba merasa gadis kecil itu sangat menderita mengikuti rombongan acrobat itu."
"Menderita bagaimana""
"Mmm, aku melihat gerakan tubuhnya tidak normal. Mungkin tulangnya patah atau rusak."
"Mungkin" Kau harus memeriksakannya ke tabib dulu sebelum tahu seseorang itu patah tulang atau tidak."
"Doakan saja aku salah. Tapi-kau pasti tidak akan percaya-aku ... bisa melihat ke dalam tubuhnya, Xin Mei."
Xin Mei tersedak cukup keras. Pemusik berhenti sejenak, tapi Xin Mei menyuruh mereka terus bermain.
"Wah! Kejutan! Kalau kau memang bisa melihat tembus pandang jangan-jangan kau bisa melihat apa yang Pangeran Xiu sedang lakukan sekarang"" Wajah Xin Mei memerah setelah bicara begitu.
"Hei! Kalian kan akan menikah tiga bulan lagi, mengapa kau begitu genit" Bagaimana jika ia sedang mandi sekarang""
Mata Xin Mei membulat. Ia meletakkan cangkir tehnya, lalu berbisik pada Xin Ai.
"Apakah dia benar-benar sedang mandi sekarang"" Xin Ai melengos kesal. Ia menoleh ke arah utara ke arah rumah Pangeran Xiu. Atap rumahnya samarsamar kelihatan dari tempat dia berdiri. Ia bahkan tahu di kamar mana Pangeran Xiu tidur. Xin Ai berkonsentrasi ke sana
dengan serius. "Mandi"" Xin Mei bertanya dengan penuh minat.
Xin Ai cemberut. Sepupunya ini benar-benar tidak punya kesopanan. Xin Mei merasa tidak enak dengan reaksi Xin Ai terhadap pertanyaannya. Ia buru-buru meralatnya.
"Mmmm ... tidur atau makan mungkin""
Xin Ai menggeleng. "Maaf, tidak kelihatan. Mungkin ia sedang tidak berada di rumah."
Xin Mei langsung cemberut dan kembali berkonsentrasi pada tehnya.
"Eh, apakah kaupikir gadis kecil itu akan diizinkan rombongannya ikut denganmu""
Xin Ai mengangguk dan menunjuk ke jalanan yang jauh dan berliku. Xin Mei menoleh dan tidak melihat apa pun di sana.
"Apa" Ada apa"" "Mereka sedang menuju kemari. Enam orang, satu ekor kuda dan sebuah kereta yang gerobak yang ditarik kerbau."
"Kau bohong!" Xin Mei mencibir.
Xin Ai tersenyum kecil. Ia jelas melihat mereka sejelas ia melihat Pangeran Xiu yang tampan sedang berlatih memanah di halaman rumahnya.
* * * XIN AI memberi grup akrobat itu sejumlah uang sebagai pengganti kehadiran gadis itu. Jelas-jelas, gadis itu bukan putri mereka karena mereka memperlakukannya seperti budak belian. Tidak ada orangtua yang tega menjual putri
mereka sendiri kecuali mereka terlalu kejam.
Pelayan segera membawa gadis itu ke dalam agar ia bisa mandi dan makan. Dengan segera, rombongan akrobat pulang berpulaskan senyum puas.
Xin Ai menemu i gadis kecil yang bernama Bao Qui itu. Ia tidak berminat mengajaknya mengobrol, tapi ia harus membahas beberapa hal dengan gadis itu.
Bao Qui berterima kasih tapi juga ketakutan. Ia tidak tahu mengapa ia tiba-tiba dibawa kemari. Ia juga sering mendengar bahwa pelayan-pelayan lama di rumah besar sering kejam terhadap pelayan baru.
"Kau bisa menjadi pelayan pribadiku. Jangan takut dengan pelayan lama. Aku akan berpesan agar mereka memperlakukanmu dengan baik."
"Terima kasih, Yang Mulia."
"Kau harus bekerja dengan sebaik-baiknya-setidaknya sampai kau cukup dewasa untuk menikah atau pergi dari tempat ini."
Bao Qui mengangguk. Xin Ai melanjutkan.
"Sebelumnya kita harus pergi ke tabib keluargaku dulu untuk menyembuhkan patah tulangmu."
Bao Qui terkejut dan Xin Ai bisa melihat bahwa mata gadis itu sekarang penuh dengan air mata.
"Kau takut pada tabib" Maaf, tapi kau harus melakukannya karena dengan tulang punggung seperti itu kau mungkin saja bisa lumpuh."
"Ba ... bagaimana Yang Mulia bisa tahu""
Xin Ai menghela napas. Seharusnya, ia bukan jenis orang yang peduli pada kesusahan orang lain, tapi kali ini ia tidak mampu mengelak untuk menolong Bao Qiu. Seperti ada sesuatu yang menakdirkan mereka untuk bertemu.
"Apakah mereka terus memaksamu melakukan akrobat walaupun kau tidak bisa""
Tangis Bao Qui meledak seketika. Xin Ai memutuskan untuk pergi menghindar dari segala air mata dan kesedihan seperti itu. Lagi pula, sekarang jadwalnya berlatih kungfu.
* * * GURU KUNGFUNYA marah-marah karena Xin Ai dating terlambat. Ia adalah guru kungfu ketiga yang mengajar Sang Putri (dua yang lain dipecat tanpa alasan jelas). Sang guru menganggap Xin Ai benar-benar menyebalkan. Gadis tomboy itu tidak mau belajar jurus baru dan lebih suka mengulang-ulang jurus-jurus yang diajarkan guru-guru sebelumnya. Ia juga tidak menurut jika dimarahi, mengomel jika ditegur padahal kemampuannya payah. Kemarin, saat mereka sedang mempelajari kungfu Cho, Xin Ai malah ribut minta diajari gulat ala Mongol.
"Jadi, Tetua belum menguasai gulat Mongol sampai sekarang""
Sang guru berusaha menahan geram. Jika saja gadis ini bukan putri Pangeran Kuang ...
"Putri, bela diri itu adalah sesuatu yang harus dipelajari dalam waktu yang lama. Putri baru memintanya kemarin bagaimana bisa aku ..."
"Berarti kau tidak bisa. Aku heran, mengapa untuk kakak-kakak lelakiku Ayahanda memberikan guru-guru kungfu terbaik sedangkan untukku malah Tetua yang hanya bisa beberapa jurus dari kungfu Cho."
"Putri! Ini benar-benar penghinaan! Kungfu Choku juga tidak kalah dengan gulat Mongol!" Pertengkaran itu
didengar oleh seorang pengangkut air. Ia meletakkan gerobak berisi emberember kayunya dan menghampiri guru dan murid yang tidak akur itu.
"Maaf, saya dengar ada yang membicarakan tentang gulat Mongol""
Guru kungfu itu geram karena urusannya dicampuri oleh seorang pengangkut air. Xin Ai juga merasa orang itu lancang tapi ... hei bukankah logatnya barusan adalah logat Mongol"
"Kau bisa gulat Mongol""
"Bisa, Yang Mulia."
Xin Ai berpikir sejenak, lalu tersenyum jahil.
"Begini, kau akan kuangkat sebagai guruku jika kau bisa mengalahkan guru kungfuku ini. Bagaimana""
Ini kesempatan emas untuk naik pangkat! Tentu saja, pengangkut air itu menyambutnya dengan gembira. Guru Xin Ai berang dan ia langsung menyerang si pengangkut air dengan gerakan kungfunya yang memukau.
Hasilnya bisa ditebak. Sang Guru roboh dalam dua terjangan. Guru yang terhina itu pergi sambil mengumpat-umpat dan berjanji akan mengadukan Xin Ai pada Ayahandanya. Xin Ai cuek. Ia mendekati si pengangkut air dengan kagum.
"Kau hebat. Sudah lama aku ingin mempelajari gulat Mongol yang asli. Ngomong-ngomong siapa namamu""
"Nama hamba Sam, Yang Mulia."
aniki dan kaze "BUKAN BEGITU caranya!"
Aniki menoleh. Si jubah hitam sudah berada di belakangnya. Aniki sedang berada di halaman belakang, melatih satu-satunya kemampuan bertarung yang ia punya: meledakkan sesuatu.
"Maksudmu"" Aniki benar-benar ingin tahu.
"Konsentrasimu bagus. Masalahnya, kau tidak bisa menggunakan kekuatanmu dengan benar selain di saat terjepit."
Itu benar, pikir Aniki. "K au tidak tahu bagaimana dan dengan cara apa kau mengeluarkan dan mengarahkan kekuatanmu sesuai dengan keinginanmu."
"Bisa ajari aku""
Jubah hitam menggeleng, "Jika aku bisa melakukannya sendiri aku tidak perlu kembali ke Bumi untuk memohon-mohon bantuanmu."
"Tapi kau memiliki kekuatan ... um menghilang atau mungkin yang lain."
"Setiap orang 'yan9 disinari1 memiliki kemampuan berbeda-beda. Sejak ribuan tahun yang lalu, setidaknya ada ribuan manusia Bumi yang membawa kekuatan istimewa sejak mereka lahir. Kekuatanku bukan
menghilang tapi menguasai pikiran, mimpi."
"'Yang disinari'" Maksudmu oleh bintang biru"" Jubah hitam mengangguk.
"Ribuan orang" Mengapa tidak meminta bantuan mereka""
"Sebagian besar hidup di masa yang lalu dan sudah meninggal dunia, tidak semua terhubung satu sama lain, dan tidak mungkin semuanya mau membantuku."
"Mengapa kau yakin sekali aku mau membantumu""
"Aku tidak yakin. Hanya kau, dan seorang lainnya yang sekarang bisa kumintai tolong. Jika kalian tidak bersedia maka semuanya akan sia-sia."
"Kenapa tidak memengaruhi pikiranku saja" Seharusnya kau mampu melakukan itu tanpa harus memohon-mohon padaku."
"Pikiran yang dipengaruhi hanya akan bertahan sebentar saja, sementara perang mungkin akan berlangsung bertahun-tahun. Tanpa keinginan dari dalam hatimu sendiri, kemungkinan besar kau akan melarikan diri dari perang bahkan sebelum perang dimulai. Lagi pula ..."
Aniki menunggu kelanjutannya. Ia merasa jubah hitam sedang menatapnya dengan pandangan berbeda. Tapi itu mungkin saja hanya perasaannya sendiri.
"Tidak semua orang bisa dipengaruhi pikirannya. Misalnya seperti ibumu." Suara si jubah hitam terasa melembut saat mengucapkan kalimat terakhir. Tidak sedatar biasanya.
"Aaa ..."Aniki tidak tahu harus bicara apa, tapi ia ingin mempertahankan kebersamaannya lebih lama lagi dengan si jubah hitam. Jubah hitam menoleh.
"Apa yang harus kulakukan agar bisa mengarahkan kekuatanku""
"Yang membedakan manusia dan hal lainnya di dunia ini adalah pikiran dan hati nurani. Berpeganglah pada keduanya, maka kau akan menemukan apa pun yang kaucari."
Jubah hitam melangkah menjauh, tampaknya ia akan pergi. Aniki menelan ludahnya, galau. Bagaimana menanyakannya"
"Apakah kauingin mengetahui namaku""
Aniki mengangguk. "Ibumu memanggilku Kaze."
Setelah bicara ia benar-benar hilang, tanpa mengibaskan jubah, tanpa pamit. Aniki merasa tenggorokannya tercekat. Ia belum selesai bertanya. Ia ingin tahu mengapa Kaze meninggalkan mereka.
Terdengar suara Ibunya berteriak memanggilnya. Ia pasti baru pulang kerja. Aniki melangkah masuk.
Di belakangnya semua rumput dan bunga dalam pot berubah menjadi biru dan putih.
orphann dan soil ORPHANN SEDANG mabuk kesenangan. Kekuatan baru yang dimilikinya membuat ia sibuk berlatih di mana-mana. Terakhir kali, ia mampu mendorong air terjun mengalir ke atas. Menyenangkan sekali!
Hari ini Orphann sedang berlatih memukul bambu terbesar di hutan merah. Bambu malang yang tidak bisa melawan itu ditinjui dari segala arah. Orphann merasa ada seseorang yang mengintipnya.
"Hei! Keluar!" Perlahan, Soil keluar dari balik sebuah bamboo besar. Baju kumal cokelatnya melambai-lambai tertiup angin. Kelihatannya ia sedang marah. Tatapan matanya lebih dingin dari biasanya.
"Apa yang kaulakukan di sini"" Orphann menantangnya.
"Seharusnya aku yang bertanya, apa yang kaulakukan di sini. Kau sudah meninggalkan kewajibanmu mencari makan. Jika kau berulah akan kubuat kau mati di jurang yang sama dengan Ogrey."
Orphann kesal. "Eh, Soil. Jangan kejam begitu. Jika aku kuat maka akan lebih mudah bagiku untuk mencuri, bukan""
Soil menggeleng. "Jika kau lebih kuat maka kau akan sok berkuasa seperti raksasa abu abu itu. Kita maling. Tidak perlu kuat, yang penting adalah kepintaran."
"Aku berjanji akan bekerja besok. Nah, daripada mengoceh, lebih baik kau membantu aku berlatih."
Soil melangkah mundur sambil tetap menatap Orphann. Mendadak, kedua tangannya menarik ke belakang batang-batang bambu di kanan-kirinya. Soil lalu melepaskan bambu-bambu muda yang ramping dan lentur itu ke arah Orphann.
Betotan yang tiba-tiba itu membuat O
rphann tidak sempat bertindak. Tubuhnya terpukul dengan keras. Terlempar beberapa meter ke belakang.
Soil berlari mengitari Orphann dan membetot bambu-bambu lainnya di sekitar Orphann. Bergantian bambu-bambu itu menyakitinya. Orphann menjerit keras. Gerakan Soil semakin cepat dan bamboo-bambu merah yang menghajar Orphann semakin banyak. Orphann jatuh terduduk. Kesakitan. Tubuhnya penuh dengan bilur-bilur merah gelap.
Soil berhenti dan menghampiri Orphann.
"Lihat. Kau bisa menang melawan Ogrey, tapi tidak bisa menang melawanku karena aku lebih pintar darimu."
"Sialan, kau Soil," Orphann menggeram. Wajahnya tertunduk.
"Kalau masih ingin berlatih besok hubungi aku. Aku akan dengan senang hati 'membantumu1. " Soil memungut ladakh carp-nya yang tergeletak di atas tanah, lalu sempat menoleh kepada Orphann.
"Oh, ya lain kali jangan pakai menangis. Aku benci air mata."
Soil melemparkan ladakh carp-nya ke udara dan melompat ke atasnya. Papan itu berdesing, pergi dan menghilang. Perlahan Orphann mengangkat wajahnya, lalu mengusap air yang masih mengalir dari pelupuk matanya. Ia selalu kalah pintar dan kalah dewasa dari Soil. Kekalahan yang pahit mengingat dialah yang dulu
mengajari Soil segalanya.
* * * SOIL BERJALAN tenang di sela-sela ratusan orang Kootz. Ia tidak peduli tatapan jijik atau dengusan angkuh orang-orang borguic kepadanya. Ia sudah terbiasa.
Ia merasa lebih nyaman berada di kota ini dibandingkan di Zsersya atau kota-kota lainnya. Mungkin karena letak Kootz yang lebih dekat dengan gua hitam dan jurang magnit atau mungkin karena ia dilahirkan di sini.
Soil masih bisa mengingat ayahnya yang hilang entah ke mana dan ibunya yang mati membeku sambil memeluk dirinya di luar rumah mereka sendiri. Mereka kehilangan segalanya karena utang.
Penagih utang yang kejam itu bahkan tidak mengizinkan ia dan ibunya tinggal sampai musim dingin berakhir. Mereka menyegel rumah jelek itu dan mengusir ia dan ibunya.
Planet Vida tidak mengizinkan gelandangan tinggal di dalam kota. Gelandangan adalah sampah masyarakat, orang-orang yang tidak berhasil meraih hidup layak di dalam planet. Sebagian gelandangan berkeliaran siang hari dan tinggal entah di mana di malam hari.
Jika para gelandangan bersikeras untuk tidur di depan toko, rumah-rumah penduduk, atau di bawah pohon kota, mereka akan langsung disingkirkan oleh para beck. Hanya Tuhan yang tahu ke mana orangorang malang itu dibawa pergi tanpa diberi kesempatan kedua.
Setelah penyegelan rumah, selama berhari-hari Ibu menggendongnya ke mana-mana, berlari dari kejaran beck. Mereka makan apa saja dan tidur sembunyi sembunyi di mana saja.
Malam itu adalah puncak musim dingin. Salju merah jambu sudah menumpuk setinggi tiga kali tubuhnya di mana-mana. Ibu tidak tahu lagi ke mana harus berlari. Ia membawanya kembali ke bekas rumah mereka. Rumah itu bahkan tidak ditempati oleh pemilik barunya, tapi tentu saja terkunci.
Ibu bertahan meringkuk di teras sambil memeluknya dan ia mendapatinya terus begitu sampai pagi. Tubuh ibu kaku bahkan saat ia mengguncang-guncangkannya sambil menangis.
Orang-orang mulai berdatangan dan semua hanya melihat. Petugas kota berbisik-bisik tentang peng-kremasian jenazah ibu dan penempatan dirinya di planet lain agar tidak merepotkan pemerintah Vida. Ia ketakutan, tapi tidak berdaya.
Sebuah senyum hangat tiba-tiba menyeruak di antara puluhan orang yang tidak punya belas kasih itu.
"Hei, itu putriku yang kucari-cari. Ayo, Nak ikut dengan Ayah." Sebuah tangan besar diulurkan kepadanya. Bukan tangan Ayahnya, tapi ia memilih untuk menyambutnya. Orang-orang berbisik-bisik mengatakan bahwa laki-laki itu adalah Theft Ryder. Setahunya Theft Ryder adalah penjahat.
Tangan kokoh itu menggendongnya, membawanya pergi dengan ladakh carp butut melalui Danau Vaes dan hutan bambu mencapai gua hitam. Ratusan anak kecil lain sudah menunggu di sana. Semua kumuh dan kacau, tapi mereka hidup.
Tak peduli Apa pun yang dikatakan orang tentang komunitasnya, Soil berjanji di dalam hati tidak akan pernah meninggalkan mereka. Mereka 'para penjahat' itu yang menyelamatkannya dari kematian, melindunginya
dan memberinya rumah. Orang itu menurunkannya dengan lembut, lalu memanggil seorang anak seusianya-yang rambut pirangnya berdiri ke atas-untuk mendekat. Orang itu berlutut dan menepuk punggungnya.
"Aku lupa menanyakan namamu, gadis kecil. Siapa namamu""
"Soolea." "Soo ... ah susah sekali. Bagaimana kalau kupanggil Soil saja" Aku Sholto. Mereka semua adalah anak-anakku yang lain."
Bocah berambut jabrik yang tadi dipanggil itu mendekat dengan ragu-ragu, menatapnya curiga. Sholto menegur bocah itu.
"Hei, jangan melotot begitu. Dia saudara kalian yang baru. Mulai sekarang, kau harus mengajarinya segala hal, termasuk mengerjai kaum borguic. Benar, kan, Soil"" Sholto mengedipkan mata dengan Jenaka kepada Soil. Soil tertawa geli lalu menyapa bocah itu.
"Hai. Kau akan mengajariku apa""
Bocah itu membuang mukanya dengan angkuh.
"Pertama, berkelahi dulu," katanya dan langsung meninju wajah Soil, tapi Soil tidak ingat kalau ia menangis.
Ia bahkan ingat kali kedua, ketiga, dan seterusnya berkelahi dengan anak laki-laki itu, ia justru selalu menang telak. Biasanya, bocah itu akan berlari ke dalam gua dengan wajah basah penuh air mata.
"Soil, kau memang lebih kuat, tapi kau harus mengerti mengapa aku menyuruh kalian berteman. Agar kau bisa belajar darinya dan kelak kau bisa menjaganya. Karena dia istimewa, Soil. Orphann adalah Putra Mahkota Planet Vida yang sesungguhnya."
xin ai dan master sam MASTER SAM-DEMIKIAN Xin Ai memanggilnya telah membuktikan bahwa pekerjaan mengangkut air ternyata jauh lebih menyenangkan ketimbang mengajari seorang putri bangsawan yang manja.
Saat mengangkut air, ia hanya akan merasa lelah dan bosan, tapi tidak ada keinginan untuk bunuh diri seperti yang timbul saat mengajar Xin Ai.
Xin Ai minta diajari gulat Mongol, tapi ia tidak membolehkan tubuhnya disentuh sedikit pun. "Aku kan putri. Mana boleh sembarang orang menyentuhku"" katanya. BAGAIMANA MENGAJARI GULAT TANPA BERSENTUHAN!!! Master Sam menjerit dalam hati.
Tapi Xin Ai memiliki metode spesial. Ia meminta seorang pelayan lelaki menggantikan posisinya sebagai lawan tanding Master Sam. Pelayan itu pasti mengalami bengkak-bengkak dan keseleo setiap latihan usai. Xin Ai sendiri hanya duduk di kursi berkipas-kipas sambil mengobrol dengan sepupunya yang sama menyebal-kannya, lalu berpura-pura menyimak.
Setiap Master Sam menanyakan apakah ia mengerti yang diajarkan, Xin Ai hanya diam dan membuang muka. Yang menentukan apakah pelajaran harus dimulai atau diakhiri juga bukan sang guru, tapi si murid yang sering bangun kesiangan itu.
Menurut Master Sam, Xin Ai hanya bertingkah karena
tidak mau kalah dengan kedua kakak lelaki dan seorang adik laki-lakinya. Mereka mendapatkan guru-guru terbaik dalam politik, strategi perang, dan bela diri, sedangkan Xin Ai yang dalam waktu dekat akan dijodohkan 'hanya' diajari sastra ringan, tata krama, menjahit, dan bermain musik. Semua pelajaran untuk mengesankan calon mertua kelak.
Dengan kelakuan seperti itu, Master Sam tidak yakin ada yang b erminat menjadikan putri itu sebagai menantu. Hari ini ia bahkan menanyakan apakah jurus-jurus gulat Master Sam hanya sampai di situ saja.
"Kenapa" Kausuka mengoleksi jurus, ya"" Master Sam benar-benar jengkel, tapi sekarang ia sudah ahli tersenyum palsu. Seperti biasa Xin Ai hanya membisu, menyudahi pelajaran seenaknya sendiri, lalu pergi bergosip dengan Xin Mei.
Yang membuat Master Sam bertahan adalah gajinya yang tinggi sebagai guru bela diri sang putri. Ia juga sekarang sudah memiliki kamar sendiri dan keluar-masuk melalui pintu utama. Gaji itu akan digunakannya bertahan hidup sampai ia mendapat petunjuk baru tentang bintang biru. Yang menjadi masalah adalah bagaimana agar ia tidak keburu dipecat sebelum tabungannya cukup. Tiba-tiba ia mendapat ide cemerlang!
* * * "APA"! KAU pasti bohong!" "Tentu tidak."
"Ajari aku sekarang juga!" Itu perintah sang putri, tapi Master Sam senang karena itu berarti ia punya waktu lebih lama untuk mengumpulkan uang dan informasi.
"Beres, Yang Mulia."
"Bagaimana mungkin orang biasa sepertimu mengetahui ilmu strategi perang""
Karena aku panglima perang M
ongol, bodoh1. Master Sam mengerang dalam hati, tapi tentu saja jawaban yang diberikan berbeda.
"Ayah hamba dulu adalah asisten panglima perang Mongol, Yang Mulia." Kening Xin Ai berkerut, ia tidak percaya.
"Setua apa ayahmu" Bukankah sejak lama kekuatan perang Mongol melemah" Mongol sekarang milik Cina."
"Oh, ya"" ganti Master Sam yang terkejut. Ia tidak mengira negaranya akan mengalami nasib seperti itu. Mungkin gara-gara aku pergi...katanya sendiri dalam hati dengan penuh percaya diri.
"Maksudku leluhur keluargaku adalah anggota pasukan militer Yang Mulia Kubilai Khan."
Mata Xin Ai menyipit dengan curiga.
"Apa tidak terlalu kuno" Aku tidak yakin ilmu strategi perang keluargamu masih bisa dipakai di masa sekarang."
"Pada dasarnya strategi dasar yang dipakai adalah sama saja. Kadang-kadang diperlukan pengembangan di beberapa bagian, tapi dasarnya tetaplah filosofi perang."
"Aku harus mengujimu dulu." Gadis itu masih belum percaya.
"Silakan." "Pasukan lawan mengepung dari delapan penjuru. Sedangkan pasukanmu lemah. Bagaimana kau mengatasinya""
"Ada dua cara Master Sam melihat reaksi Xin Ai terlebih dahulu. Gadis itu seperti biasa selalu berpura-pura tidak tertarik
pada hal-hal yang justru menarik hatinya. Ia sedang berlagak menguap sekarang.
"Yang pertama, menyerah untuk sementara sampai pasukan musuh lengah ... tapi ini kurang baik karena senjata kita akan dilucuti dan para pemimpin pasukan akan ditawan lebih dulu. Itu berarti kekuatan pasukan akan jauh berkurang dari semula, tidak mungkin melakukan serangan balik dalam waktu singkat sebelum membangun kekuatan pasukan kembali."
Master Sam mondar-mandir di ruang belajar putrid dengan gaya sok serius. Kembali melihat reaksi sang putri.
"Yang kedua"" Wah asyik, dia penasaran!
"Yang kedua adalah ... kau sebut delapan penjuru tadi" Mata angin memang delapan penjuru, tapi sudut ada tiga ratus enam puluh derajat. Setiap derajat, bahkan setengah derajat yang tersisa merupakan celah pasukan untuk melarikan diri."
"Lari"" Xin Ai kurang menyukai pilihan tersebut rupanya.
"Lari merupakan pilihan terbaik karena pasukan kita lemah. Kita bisa melarikan diri secara terpencar penuh-yang berarti kekuatan jadi kecil, tapi lawan jadi ikut terberai-atau terpencar separuh di mana lawan di suatu bagian ikut terberai tapi lawan di bagian lain akan menjadi terlalu jauh untuk melakukan pengejaran. 11
Kening putri berkerut. Rupanya ia terkesan juga, karena akhirnya ia mengajukan pertanyaan lain.
"Formasi yang tepat untuk melawan kepungan penuh dari depan dan samping kiri dan kanan""
"Formasi tombak. Tombak di bagian depan untuk menembus pertahanan depan. Perisai samping kiri dan kanan untuk menahan serbuan pasukan lawan di sisi kiri
dan kanan." "Wah! Kau benar-benar hebat! Apa itu kaudapatkan dari buku leluhurmu""
"Begitulah, Putri." Master menelan ludahnya dengan pahit. Ia pernah mengalami sendiri pengepungan di delapan penjuru mata angin dan berkali-kali melakukan formasi tombak untuk memecah pertahanan lawan. Pilihannya saat itu adalah hidup atau mati. Buku leluhur" Oh!
"Bagus! Kau akan kuangkat menjadi guru strategi perangku." Putri benar-benar terkesan sekarang.
"Berarti hamba akan menerima gaji dua kali, Yang Mulia"" Master Sam cengengesan.
"Siapa bilang" Aku sudah selesai belajar gulat Mongol
denganmu, kok." hati dan pikiran ANIKI MENARIK napas pelan. Sudah tiga menit ia berhasil melambungkan bola basket ke udara, tapi bola itu hanya berputar lembut seperti sedang berada di ujung jari Michael Jordan.
Sudah berkali-kali ia berkonsentrasi untuk meledakkan bola, tapi bola itu bahkan tidak bergetar. Apa yang salah"
Aniki melepaskan konsentrasinya pada bola dan merilekskan posisi berdirinya. Bola itu langsung jatuh. Sia-sia. Keahlian memutar bola rasanya tidak akan memenangkan perang.
Mengapa Kaze menyuruhnya menggunakan hati dan pikiran" Bukankah ia sudah benar-benar memerintahkan tubuhnya mengeluarkan energi untuk meledakkan bola"
Aniki melempar bola ke udara dan kembali bola mengapung sambil berputar di udara. Kencang! Pikirnya, tapi bola itu tetap berputar seperti tadi. Meledaklah! Dan bola
itu masih baik-baik saja. Apa yang membedakannya dengan peristiwa di kantor ibu, di dapur, dan di Gunung Asahi" Mengapa bola ini tidak bisa diajak bekerjasama"
Aku tidak memikirkan bagaimana kertas-kertas itu bisa meledak, tapi kertas-kertas itu meledak. Pedangpedang itu juga meledak begitu saja. Tidak. Tidak mungkin meledak begitu saja. Tidak juga ada kekuatan gaib di dalam diriku. Ini hanyalah pemusatan pikiran ...
dan hati/ Bagaimana mengarahkan hati" Aniki terduduk putus
asa. * * * ORPHANN SEDANG mengobati luka di sekujur tubuhnya. Sudah seminggu Soil menghajarnya dengan bambu-bambu merah di hutan bambu. Pandangan Soil makin menghinanya dari hari ke hari dan itu membuatnya makin marah. Gempuran bambu- bambu itu dilawannya dengan sekuat tenaga, tapi ia selalu kalah.
Obat luka itu mulai mengering. Soil melangkah mendekati Orphann. Langkahnya gemerisik di atas daun-daun bambu kering berwarna kuning pucat.
"Jangan mulai dulu. Aku sedang mengeringkan obat
ini!" "Kau hanya memakai kemarahanmu untuk bertindak. Kau sama sekali tidak berpikir bagaimana mengeluarkan tenagamu dengan benar, terarah, dan terukur. Lihat ke sana!"
Soil menunjuk ke belakangnya. Tampak puluhan pohon bambu yang patah-patah dan hancur. Orphann menyeringai bangga.
"Bagus, kan""
"Bagus" Kau tidak ada bedanya dengan Ogrey. Kalau cuma bambu penyok lalu apa hebatnya" Aku juga bisa membuat yang seperti itu dengan kapak."
"Hei!" "Berpikirlah. Itu yang diperlukan seorang pangeran." Orphann menelan ludahnya.
"Soil, kau tidak berpikir apa yang pernah dikatakan
Sholto itu benar, kan"" Soil mengangguk.
"Tadinya aku ragu. Tapi ia bilang kau bukan hanya pangeran, tapi juga seseorang yang 'disinari1. Kekuatanmu akan muncul suatu hari nanti, dan ini buktinya."
"Mungkin ini kebetulan."
"Selain 'yang disinari' tidak ada yang memiliki kekuatan seperti itu di Vida. Kau harus segera menemukan cara mengendalikan ilmumu karena waktu eksekusi itu akan segera tiba."
"Aku ... tidak mau terlibat atau bertanggung jawab terhadap para terpidana mati itu." Orphann membuang mukanya.
Soil menarik leher baju Orphann dengan geram.
"Separuh Theft Ryder adalah anak-anak terpidana mati itu. Dan di antara calon mayat itu mungkin sekali ada ayahmu."
Orphann menunduk. Dipelototi Soil seperti itu lebih mengerikan dibandingkan dikejar-kejar Beck paling kejam sekalipun. Ia menggeram marah.
"Aku tidak mau menjadi pangeran. Dan tidak mau mendengar tentang latihan lagi!"
* * * XIN AI sedang melukis di kertas. Di sampingnya, seekor burung parkit kuning menemani di dalam sangkar. Xin Ai menghentikan kegiatan melukisnya. Melongok ke bibir teras dan ke jendela-jendela. Tidak ada siapa pun di sekitar situ.
Ia meletakkan kuasnya lalu bersiap. Ia berdiri di tengah ruangan belajarnya, mengatur kuda-kuda,
mengarahkan bahu ke samping. Mata dan leher menatap waspada dengan posisi tangan saling berurutan di depan dada. Telunjuk kanan menghadap ke atas jari-jari tangan kiri berada di bawah, menyeimbangkan.
Goran Sembilan Bintang Biru Karya Imelda A. Sanjaya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Xin Ai melangkah pelan seolah sedang berjalan di atas lumpur mengelilingi lingkaran khayal. Mata, tangan, dan hati menatap pusat lingkaran. Ia melangkah berputar dan setiap berganti arah ia menukar arah tubuhnya, harmonis dengan lingkaran. Inilah kungfu Delapan Diagram atau Pa Gua. Kungfu yang dicuri-lihat olehnya sepuluh tahun yang lalu saat diajarkan Guru Liu kepada kakak sulungnya.
* * * "KENAPA KAU tiba-tiba mendaftar ke ekskul drama""
Itsuwa ketua ekskul drama melipat tangannya di depan dadanya, menatap Aniki tidak yakin. Aniki mengacuhkannya. Ia malah asyik memerhatikan siswa siswa anggota ekskul drama yang sedang berlatih. Dua orang sedang berteriak-teriak, yang lainnya menangis tersedu-sedu. Aniki menunjuk ke arah mereka.
"Ajari aku agar bisa seperti mereka. Secepatnya."
Itsuwa menoleh mengikuti telunjuk Aniki lalu melongo.
"Sebenarnya, apa sih yang kaubutuhkan""
"Aku memerlukan sesuatu untuk mengarahkan hatiku. Emosi."
Itsuwa tersenyum sinis. "Hanya orang bodoh yang berpikir bahwa emosi adalah pengarahan hati."
"Bagaimana dengan kata 'suasana hati'""
"Tidak ada hubungannya! Hati adalah kehendak. Kau
bisa berkehendak apa saja tanpa perlu melibatkan
emosimu sama sekali. Emosi adalah reaksi yang berkaitan dengan otak, syaraf, stimulus. Sedangkan, mengarahkan hati berarti mengarahkan alam bawah sadarmu sendiri." "Aku tidak mengerti."
"Masa" Aneh sekali. Padahal, kudengar kau murid terpintar di perfektur ini. Begini, Kodama. Alam bawah sadar adalah alam termurni yang kaumiliki. Ia tidak terpengaruh oleh bujukan yang secara naluriah tidak kausetujui. Itu yang kita sebut sebagai hati nurani."
"Bagaimana mengarahkan hati nurani""
"Tidak perlu, Kodama. Hatimu sudah mengetahui sendiri apa yang kau butuhkan dan apa yang menjadi kehendakmu. Kau hanya perlu mencari tahu apa kehendakmu."
Aniki memiringkan kepalanya, masih tidak mengerti.
"Begini ... misalkan tipe gadis yang kausukai. Tidak peduli berapa kali kau naksir gadis, umumnya kau akan menyukai gadis dengan tipe yang sama. Itu terjadi karena perintah alam bawah sadarmu."
"Aku tidak naksir siapa pun," Aniki menjawab dengan dingin.
"Payah. Coba bayangkan kau pacaran dengan ... Ayumi."
"Siapa dia""
"AYUMI HAMASAKI! Penghuni tetap tangga lagu Oricon! Dia gadis tercantik dan terkaya di Jepang. Semua laki-laki Jepang pasti ingin pacaran dengannya. Masa kau tidak tahu! Atau mungkin kau lebih suka Rie Miyazawa atau Fukada Kyoko"" Itsuwa hampir kehilangan kesabarannya. "Oh."
Aniki memejamkan mata dan membayangkan dia pacaran dengan Ayumi atau Rie atau Kyoko. Aniki membuka matanya lagi.
"Bisa kaucarikan contoh lain""
* * * "ADA SESEORANG di sini!"
Soil berbisik kepada Orphann. Soil dan Orphann lalu bergerak selincah monyet memanjat masing-masing sebatang bambu merah sampai ke pucuknya. Mereka mengandalkan kuncian kaki untuk menahan tubuh mereka di atas batang bambu.
Suara gemerisik berhenti, digantikan suara dengusan seseorang.
"Menurutmu, ke mana jalan menuju air terjun hitam itu, ya" Semua bambu di sini kelihatan sama saja. Rasanya kita tersesat."
Soil langsung menatap Orphann dengan marah. Orphann ganti menatap Soil sengit seolah mengatakan bukan salahnya gadis Kootz itu kembali kemari.
Summa mengempaskan tubuhnya di tanah. Pelacak mininya mengapung di sebelahnya, menengok ke kiri dan ke kanan, seolah mencari sesuatu.
Orphann melongok ke bawah. Pelacak mini itu baru. Gadis itu membeli pelacak mini baru. Orphann memanjangkan lehernya ke bawah, ingin tahu apakah pelacak mini gadis Kootz itu juga bermata bintang biru seperti yang lama. Kunciannya mengendur dan pegangannya terlepas, tubuhnya melorot dengan kepala di bawah. Sebelum meluncur terlalu jauh, Orphann merasa kakinya ditahan oleh Soil di pohon sebelah. Orphann mengatur posisinya kembali dan nyaris memanjat saat
pelacak mini itu keburu menggonggong keras-keras. Terlambat untuk kabur, gadis berambut merah itu sudah mendongak.
"Theft Ryder! Aku mencari kalian berdua!"
Mereka duduk bertiga mengelilingi makanan yang dibawa oleh Summa. Pelacak mini Summa sedang mengendus-endus berkeliling hutan bamboo dan sesekali menyalak sok galak.
"Mengapa mencari kami"" Orphann membuka percakapan.
"Memangnya tidak boleh"" Summa mengunyah roti susu perlahan.
"Terlalu berisiko datang kemari."
"Kau sendiri yang mengatakan bahwa kau tidak takut kepada beck."
"Maksudku berisiko untukmu."
"Aku" Mengapa berisiko kemari" Aku tidak tersesat, kok."
Soil yang sedari tadi diam akhirnya bicara.
"Kau adalah borguic dan kaya. Bagi kami, kau adalah musuh. Aku dan Orphann mungkin bisa makan bersama denganmu, tapi ratusan Theft Ryder lain akan segera membunuhmu jika melihatmu berada di dekat-dekat Danau Vaes atau hutan bambu."
"Oh, ya"" Sejenak wajah Summa memucat. Tapi, ia tampak cepat mengumpulkan keberaniannya lagi.
"Aku akan mengambil risiko itu."
Soil berpandangan dengan Orphann. Orphann bertanya lagi kepada Summa.
"Apa sebenarnya maksud kedatanganmu kemari"" "Aku ingin berterima kasih kepada kalian." "Tak usah."
"Terserah mau diterima atau tidak, tapi aku membawa hadiah untukmu, eh ... siapa namamu"" "Orphann." "Yatim piatu"" "Begitulah arti namaku."
Summa jadi merasa tidak enak. Ia bersiul dan pelacak mininya datang mendekat sambil menggoyang-goyangkan
ekor dengan ceria. Matanya berkelip-kelip. Biru.
"Warna matanya biru. Itu langka." Orphann mendesis kagum.
Summa tersenyum bangga. Produk ini keluaran pabrik ayahnya yang terbaru dan diproduksi terbatas sama seperti pelacak mininya yang lama.
"Dia ... untukmu."
"Untukku"" Orphann kebingungan. Soil tertawa ter-gelak-gelak. Summa kesal melihat reaksi Soil. "Eh, apa yang lucu""
Soil bangkit dan pergi. Summa berdiri dan membersihkan pakaiannya dari daun bambu yang menempel. Pelacak mini itu sekarang sedang mengendus-endus Orphann dengan serius, lalu melonjak-lonjak senang.
"Aku pergi. Sampai jumpa lagi ... kapan-kapan!" Summa berlari menerobos hutan bambu menjauhi Orphann yang masih bengong. Pelacak mini itu kini melompat ke dalam pangkuannya.
Soil tiba-tiba muncul kembali. Senyum tipis tersisa di bibirnya.
"Hei, dari mana saja kau""
"Hmmm ... sepertinya gadis kaya itu naksir padamu, Orph."
"Naksir" Tidak usah bicara yang aneh-aneh! Sekarang, aku mau pulang dan tiduran."
Soil tak acuh, ia malah menepuk-nepuk punggung Orphann dengan lagak sok dewasa.
"Gadis sekaya dan secantik dia cuma pantas dengan seorang pangeran, bukan dengan gelandangan bau."
Orphann berpikir sejenak. "Eh, Soil""
"Hmm"" "Um .... bagaimana kalau kita latihan beberapa kali lagi""
* * * WAKTU ITU, Xin Ai sedang dihukum ayah menulis delapan ratus baris kaligrafi di kamarnya. Bukannya mengerjakan hukuman itu, ia malah menangis sampai matanya bengkak. Ia beringsut menuju pintu, tapi semua pintu dan jendela terkunci rapat. Xin Ai melihat tembok batu dan terpikir olehnya untuk menggambari tembok kosong itu agar ayahnya sekalian marah.
Ia baru akan mengambil kuas saat tiba-tiba ia merasa tembok itu memudar, lalu menghilang dan samar-samar ia melihat ruang latihan kakaknya yang berada di tepat sebelah ruangannya. Guru Liu tampak sedang membimbing kakak bergerak mengelilingi lingkaran di atas lantai yang dibuat dengan kapur. Guru Liu mengarahkan tangan kakak dengan telaten dan kebapakan. Begitulah seharusnya seorang guru sejati, pikir Xin Ai.
Xin Ai pikir ia hanya berkhayal atau hal itu disebabkan oleh matanya yang bengkak karena kebanyakan menangis. Tapi, keesokan harinya ia melihat kakak mengulangi latihannya sendirian di lapangan dan terperanjat.
Salah. Gerakan tanganmu salah. Langkah kakimu salah, Kak. Ingin ia berteriak kepada kakak, tapi bagaimana ia memberi tahu kakak bahwa ia kebetulan bisa 'melihat' latihannya"
Xin Ai mengulangi lagi melihat latihan jurus-jurus rahasia kungfu delapan diagram dan menghafalkannya dengan saksama. Di ruangan belajarnya ia membuat lingkaran yang sama: ia bergerak bersamaan dengan gerakan kakak, ia melakukan bantingan yang sama, dan belajar melakukan enam puluh empat jurus pukulan yang sama. Sekarang, ia mengetahui bahwa saat pertama peristiwa itu terjadi bukanlah khayalannya dan itu, terus-terang, menyenangkan baginya. Terdengar suara-suara di lantai bawah. Xin Ai tertarik dan meninggalkan latihannya.
Ia melongok ke bawah. Xin Mei rupanya sedang menerima tamu istimewa. Pelayan mondar-mandir menyediakan hidangan istimewa. Xin Ai memutuskan turun ke bawah dan mendapati bahwa tamu istimewa Xin Mei adalah Pangeran Xiu.
Pangeran Xiu sedang mondar-mandir dengan gelisah. Xin Ai sempat berkhayal Pangeran Xiu dating untuk membatalkan rencana pernikahannya dengan Xin Mei dan memohon cintanya. Sayang, itu bahkan terlalu mustahil untuk dikhayalkan. Xin Ai menyentil dahinya sendiri agar cepat sadar.
Pangeran Xiu menoleh dan melihat Xin Ai masuk ke ruang tamu. Lelaki itu memberi hormat. Xin Ai juga mengangguk berbasa-basi.
"Eh, Putri Xin Mei sedang berganti pakaian."
"Aku juga diberitahu begitu."
"Oh, kalau begitu silakan tunggu ....." beberapa jam
lagi, pikir Xin Ai dengan kasihan.
"Oh, ya Putri Xin Ai, kudengar kau baru saja menyelamatkan seorang gadis anggota akrobat keliling."
"Heh" Bagaimana Anda bisa tahu, Yang Mulia""
"Aku dan Putri Xin Mei sering membicarakanmu di waktu senggang." Apa mereka tidak punya topic pembicaraan lain" Pikir Xin Ai sebal. Tapi, ia merasa sedikit senang juga asalkan Xin Mei tidak bercerita yang jelek-jelek ten
tang dirinya. "Aku tidak menyebut hal itu penyelamatan. Jika itu memang bisa membantu gadis itu aku senang, tapi belum tentu, kan" Maksudku, dia bekerja di grup akrobat itu demi keluarganya."
"Bagaimana kau bisa tahu dia mengalami cedera tulang""
"Eh"" Mengapa Xin Mei bercerita tentang itu juga" "Apakah terlihat dari memar atau gerakan tubuh yang salah""
Xin Ai melirik Pangeran Xiu sekilas. Sialan! Ia bisa melihat tulang-tulang Pangeran yang kokoh dan sempurna. Tangan Pangeran sebenarnya tersembunyi di balik lengan bajunya yang panjang, tapi Xin Ai bisa melihat jari-jari sang pangeran bergerak gelisah. Lentik sekali!
"Anu ... aku rasa firasat seorang gadis. Yah, seperti itulah."
Pangeran Xiu melirik ke kanan dan kiri. Seolah takut ketahuan. Lalu mengeluarkan sebuah kotak dari balik lengan bajunya.
"Apakah firasatmu bisa memberitahu benda apakah ini"
Xin Ai mengulurkan tangannya dengan ragu. Pangeran Xiu membuka kotak dan tampak seuntai kalung dari tali hitam dengan ornamen bertingkat. Sebuah bandul
berbentuk bintang berwarna biru tergantung menghiasinya.
"Wah! Ini unik sekali! Aku baru melihat yang seperti ini!"
"Ini dari Tibet. Sepupuku yang bertugas di sana menemukannya dari sebuah biara kuno yang sudah terbengkalai. Begitu melihatnya aku langsung tahu kepada siapa benda ini harus diberikan." Xin Ai menatap ragu Pangeran Xiu.
"Apakah Xin Mei mau menerima benda ini" Maksudku... dia suka yang berkilau-kilau."
"Itu memang bukan untuknya. Untukmu." Pangeran menatapnya dalam-dalam. Xin Ai merasa salah tingkah selama beberapa detik, tapi bagaimanapun ia adalah putri yang diajari berbasa-basi dengan baik sejak lahir.
"Oh, ya benar. Sebentar lagi kita akan menjadi kerabat bukan" Terima kasih." Xin Ai memakai kalung itu di lehernya. Hatinya senang sekaligus perih apalagi melihat Pangeran Xiu menatapnya dengan sedih seperti itu.
"Hai! Kalian sudah bosan menungguku, ya"" Suara ramai Xin Mei memecah keheningan. Tumben ia agak cepat berdandan.
"Benar. Pangeranmu sudah mati bosan dan hamper pulang," jawab Xin Ai asal-asalan. Pangeran Xiu buru-buru mengubah wajah sedihnya dengan senyum memikat nomor satu di Hong Zhou Fu.
"Putri Xin Mei, aku membawakanmu oleh-oleh, titipan dari Ibuku."
Pangeran Xiu mengeluarkan kotak berlapis sutera dan membuka tutupnya. Sebuah kalung mutiara berwarna merah muda tampak di dalamnya.
"Oh! Indahnya! Tapi Wajah Xin Mei memucat sedikit.
"Apakah kurang bagus"" Pangeran Xiu tampak cemas.
"Bukan. Tapi, mutiara adalah air mata Dewi Guan In. katanya seorang gadis tidak boleh memakai mutiara sebelum menikah, jika tidak hidupnya akan penuh air mata."
Sejenak Xin Ai dan Xiu berpandangan. Ya, ampun! Kenapa masih ada yang percaya mitos kuno seperti itu"
"Ya, sudah kausimpan saja dulu. Toh, sebentar lagi kalian juga akan menikah. Kau bisa memakainya dengan segera," Xin Ai menyemangati Xin Mei. Xin Mei menatap Xiu ragu-ragu. Kelihatannya, ia sangat ingin menyenangkan hati tunangannya sehingga akhirnya ia memakainya.
"Aku tidak percaya takhayul seperti itu. Bagaimana, bagus, bukan""
Pangeran Xiu mengangguk. Xin Ai mundur perlahan, keluar ruangan. Ia tidak ingin mengganggu.
Di balik tiang di beranda, ia meraba kalungnya yang sederhana. Air mata Dewi Guan In" Rasanya ia yang sedang mengalaminya. Air matanya sendiri jatuh menimpa bandul batu besar itu. Cahaya bulan ditambah air mata membuatnya berkilau seperti bintang biru sungguhan.
Beberapa meter di belakangnya, di balik tiang lain seseorang sedang mengawasinya. Orang itu bergumam,
"Ternyata aku sudah berada di tempat yang benar. Tidak perlu mencari jauh-jauh, bintang biru itu ada di
depan mataku.'" Berangkat "APA YANG paling kauinginkan di dunia ini""
"Aku tidak ingin apa pun."
"Kau tidak ingin menjadi lebih pintar misalnya""
"IQ-ku sudah 210. Perlu lebih pintar bagaimana lagi"" Itsuwa menggerutu dalam hati, sombong sekali orang ini.
"Oke. Apakah kau tidak ingin memenangkan hadiah nobel fisika, menemukan bintang tertentu ..." Mata Aniki berkedip, garis di antara hidung dan dahinya muncul. Itsuwa bisa merasakan Aniki tersentuh dengan kata-kata terakhirnya.
"Bintang ... Kodama" Kauingin menjadi ahli astronomi""
Aniki menunduk hormat pada Itsuwa.
"Terima kasih banyak Itsuwa. Kini aku tahu apa yang paling aku inginkan." Sepertinya Aniki bukan ingin menjadi astronom.
Aniki berbalik dan pergi. Itsuwa meneriakinya. "Bolehkah aku tahu apa itu"" Aniki menjawab tanpa menoleh, "Aku hanya ingin ibuku selamat!"
* * * PIKIRAN MENYATU dengan hati, hati membuka kehendak. Kehendak bersatu dengan alam dan tenaga bumi. Tidak perlu emosi, tidak perlu mantra. Kekuatan itu ada pada
air, udara, api, dan bumi. Yang perlu ia lakukan hanya meminjamnya jika ia memerlukannya.
Aniki baru saja mengangkat pusaran air dari dalam bak mandi dan meledakkannya menjadi molekul-molekul air di udara saat terdengar suara Ibu memasuki rumah. Ia mengeringkan tubuhnya dan keluar.
"Aku membeli nasi kare untuk makan malam. Ada di dapur."
"Oh." Aniki beranjak ke dapur dan mengatur nasi kare dalam piring-piring makan. Ibu melepas mantelnya, lalu duduk berselonjor kaki di depan televisi. Matanya terpejam.
"Aniki"" Aniki mendekat, Ibu membuka matanya perlahan.
"Tolong putarkan Vivaldi, aku lelah sekali."
Aniki bergerak menuju CD player dan memasang CD Vivaldi. Musik mengalun dan Ibu tampak tertidur lelap. Aniki tahu Ibu tidak sedang tidur. Ibu hanya bisa tidur di kamarnya sendiri setelah mandi dan berganti pakaian, setelah semua pekerjaan selesai.
"Ibu"" "Ya"" "Bagaimana seandainya aku ingin pergi"" "Memangnya kaumau kuliah di mana"" "Ini bukan tentang kuliah." "Lalu mengapa kauingin pergi"" "Kaze, dia mengajakku pergi."
Sesaat, Aniki melihat rahang ibu mengencang, lalu matanya terbuka segera.
"Aku tidak akan mengizinkan."
"Ini tentang keselamatanku dan Ibu juga."
"Begitu yang dikatakannya""
"Ya." "Kau percaya"" "Ibu tidak""
"Percaya atau tidak aku tidak akan mengizinkanmu pergi. Aku tidak ingin kehilanganmu." "Aku tidak akan mati." "Semua manusia akan mati." "Kaze juga akan mati jika aku tidak pergi." "Aku tidak peduli padanya."
"Ibu tidak memasang foto Ayah di rumah Nenek Eri." "Apa hubungannya dengan semua ini"" Ibu tibatiba marah.
"Ibu tetap menunggu Kaze, karenanya Ibu tidak ingin, saat ia datang, ia melihat foto suami ibu yang lain."
Ibu bangkit dan menampar Aniki dengan keras. Aniki bergeming di tempatnya.
"Kau dan kekuatanmu yang memuakkan itu tidak menakutiku sama sekali. Tidak peduli dunia akan kiamat sekalipun, aku tidak akan mengizinkanmu pergi untuk hal-hal konyol yang terjadi di planet itu!"
Ibu dan Aniki sama-sama terdiam, menyadari sesuatu.
"Ibu ... tahu tentang planet itu""
Ibu berdiri dengan tubuh gemetar dan wajah memerah karena marah.
"Dia pergi untuk planet itu. Apakah planet itu begitu penting sehingga di musim dingin yang panjang ia harus meninggalkan istrinya yang sedang mengandung" .... Ia nyaris tidak pernah muncul dan sekarang ia ingin mengambilmu yang kujaga dengan susah payah untuk hal yang sama! Kaupikir bagaimana perasaanku"!"
Ibu berjalan ke kamar dengan tergesa. Ia pasti marah sekali. Aniki mematikan CD dan bergerak ke dapur untuk
memakan nasi kare * * * ANIKI SUDAH bersiap berangkat ke sekolah. Seragam sudah dipakai dan tas sudah disandangnya. Aniki membuka pintu belakang untuk mengambil sepedanya. Ia terhenyak.
Kaze sudah berada di situ dengan jubah dan topengnya. Kaze memberinya isyarat untuk mendekat dan Aniki menurut.
"Saatnya pergi."
Aniki merasa pijakannya melemah dan dunianya berputar cepat. Ia seperti melewati lorong pusaran air yang dalam dan tanpa ujung. Ia merasa tenaganya hilang, keinginannya hilang dan kesadarannya lenyap.
* * * ONATSU BERGEGAS. Ia bangun kesiangan hari ini. Hal yang tidak pernah dia lakukan seumur hidupnya.
Onatsu berteriak memanggil Aniki berkali-kali. Tidak ada jawaban dari kamar bocah itu. Onatsu melihat kamarnya sudah dibereskan. Onatsu bergerak ke dapur dan melihat sisa-sisa sarapan. Aniki tampaknya membuat roti bakar sendiri. Onatsu tersenyum kecil menyadari putranya lebih pintar memasak daripada dirinya. Onatsu bergerak ke halaman belakang dan melihat sepeda Aniki masih dirantai di tempatnya. Ia tiba-tiba panik.
"ANIKI!" Tidak juga ada jawaban. Ingatannya melaya ng ke belasan tahun yang lalu. Ketika itu, Kaze sedang memotong kayu di halaman belakang dan ia sedang menyelesaikan jahitan selimut kulit kelinci untuk Kaze. Ia membawa selimut itu ke belakang dan melihat kapak Kaze tergeletak begitu saja, kayu-kayu yang baru terbelah sebagian dan terompah laki-laki itu yang tertinggal sebelah. Kaze tidak tampak dan tidak pernah tampak lagi setelah itu. Kaze bahkan belum sempat melihat selimut kulit kelinci buatannya.
Onatsu mendekat ke sepeda putranya dan melihat setangkai bunga sakura berwarna ungu. Sakura ungu di musim dingin. Onatsu tersenyum pahit. Kaze telah membawa Aniki pergi.
ANIKI TERJATUH di sebuah kebun bunga mawar luas berwarna Jingga. Tas sekolahnya jatuh menyusul. Ia merasa lelah sekali dan rasanya ia sudah tersedot berhari-hari di dalam pusaran. Ia lapar.
Aniki duduk dan mengawasi tempatnya jatuh. Mawar, tapi mengapa tidak berduri" Bahkan, daun dan batangnya seempuk seledri. Wangi mawar menguar di sekelilingnya.
Aniki bangkit dan melihat sebuah bangunan aneh tidak jauh dari kebun mawar itu. Puri" Tidak. Bentuknya melingkar-lingkar aneh. Aniki mendongak dan melihat sebuah matahari berwarna Jingga. Apakah ia sedang bermimpi"
Terdengar suara-suara mendekat. Aniki buruburu tiarap dan memasang telinganya baik-baik. Ada dua orang yang bicara. Mereka bicara dalam bahasa yang mirip bahasa Inggris, tapi pengucapan dan struktur kalimatnya berbeda. Terbalik-balik. Aksen mereka juga terdengar aneh sekali, seperti tertahan di kerongkongan. Entahlah apakah itu bahasa manusia, tapi Aniki menyadari bahwa ia sudah tiba di Planet Vida.
Aniki tidak memahami sedikit pun yang diucapkan mereka, tapi lega karena suara mereka akhirnya menjauh. Ia mengangkat kepalanya dan melongok saat seseorang yang ternyata belum pergi melihatnya dan berteriak pada temannya. Tidak jelas apa yang mereka katakan, tapi sepertinya Aniki mendengar mereka mengatakan 'Theft Rider'. Apa maksudnya" Pengendara yang dicuri" Curi" Pencuri di dunia mana pun akan berarti sama, kriminal! Aniki memungut tasnya dan dengan cepat mengambil keputusan: lari.
Ia terus berlari tanpa tahu harus ke mana dan tidak sadar sudah berada di mana. Ia menoleh ke belakang dan melihat dua orang itu sudah tidak berada di belakangnya lagi. Aniki terengah dan berhenti melangkah. Ini menyebalkan. Ia benci bergerak dan sekarang ia bahkan berkeringat. Suara desingan di sekelilingnya membuatnya mendongak.
Di udara puluhan orang melayang di atas skate board. Skate board tanpa roda itu terbang berdesingan. Aniki ternganga kagum. Belum lagi mulutnya menutup ia melihat seseorang yang mengendarai jet ski di udara, lalu mobil melayang di udara. Semua orang ini benar-benar suka terbang rupanya.
Orang-orang itu berambut warna-warni dan berpakaian aneh. Mereka tampak benar-benar seperti manusia yang biasa dilihatnya di dunia. Berkulit putih kaukasoid, tapi telinga mereka tidak lancip seperti di film kartun, hidung mereka biasa dan mata mereka juga hanya ada dua. Tidak ada yang punya tonjolan aneh di dahi seperti Klingon atau memiliki tentakel di punggung. Mereka benar-benar tampak seperti manusia.
Mereka juga mengobrol, tertawa, memaki-maki, tapi
mereka berwarna-warni. Aniki baru menyadari satu hal. Tidak ada warna hijau, biru, dan ungu di tempat ini. Semua bernuansa kuning dan kemerahan. Seperti mataharinya. Aniki menyeringai kecil. Ini adalah tur terjauh yang pernah dilakukan oleh murid SMA.
* * * ANIKI LAPAR, tapi tidak tahu ke mana ia harus mencari makanan. Ia juga tidak mungkin bicara dengan orang-orang itu. Mereka homogen. Jika mereka mendapati ada yang bicara dalam bahasa yang berbeda, ia bakalan repot nantinya jadi ia berjalan terus ke mana hatinya mengajak.
Ia tiba di tepi danau berwarna merah. Duduk dan sedang berpikir apakah air danau ini bisa diminum. Jangan-jangan air ini berisi limbah beracun. Warnanya saja merah mengerikan seperti ini. Ia teringat pada bekalnya di dalam tas.
Aniki mengeluarkan onigiri dari dalam kotak dan melahapnya. Terdengar suara seseorang bicara di belakangnya.
"Luc ist deiiciouc!"
Aniki menoleh dan melihat seorang berpakaia
n cokelat kusam, dan kumal berkepala botak sedang memandanginya. Orang itu berdiri beberapa meter di belakangnya dengan menenteng skate board seperti yang dilihatnya di kota tadi, hanya saja yang ini sudah butut.
"What"" Moga-moga dia mengerti, pikir Aniki.
"Ai somm won. Gie'e ist do me!" tanpa mengulanginya orang itu merebut onigiri Aniki dan mengunyahnya. Aniki tersenyum dan apa yang diharapkannya benar-benar
terjadi. Orang itu muntah! Jangankan orang planet, Ibunya saja sering tidak tahan dengan onigiri buatannya. Tidak ada yang bisa menyaingi rasa onigiri yang diisi gurita dan udang mentah!
Orang itu memaki-maki dan tampak marah sekali. Aniki mengacuhkannya lalu duduk kembali menghadap danau. Terdengar suara suitan panjang, lalu semenit kemudian puluhan skate board aneh itu datang berkumpul, mengelilinginya dalam formasi lingkaran. Mulanya, Aniki tidak peduli tapi kemudian ia melihat kemarahan di mata semua orang-orang kumal dan kusam itu. Mereka berbisik-bisik. Si botak yang tampaknya pemimpin mereka menghentakkan kaki dengan kesal.
"Borguic!" katanya kepada Aniki.
"Borjuis"" Aniki mengulanginya dalam bahasa yang dikenalnya.
"DAMN! KILL!" Kali ini Aniki mengerti ucapannya. Terlambat untuk lari. Aniki bangkit dan berdiri dalam posisi siaga. Sepertinya, bukan ia saja yang siap bertarung, soalnya semua pengendara skate board itu mengeluarkan benda tajam semacam pisau. Bentuknya seperti kuku yang gemuk tapi padat dan tajam pada ujungnya. Mirip senjata kuku penghancur yang digunakan para samurai di zaman Muromachi.
Mereka bergerak mengelilinginya dengan waspada. Haruskah Aniki meledakkan mereka" Mereka mungkin menyebalkan, tapi Aniki tidak tertarik membunuh orang apalagi mereka tampak sebaya dengannya.
Terdengar suara desingan lain yang membuat Aniki
*Nasi kepal segitiga atau oval yang dibentuk menggunakan tangan atau cetakan. Ada yang kosong, ada juga yang berisi ikan salmon panggang atau umeboshi (asinan buahume).
dan semua gelandangan menyeramkan itu mendongak. Seorang pengendara skate board lain datang menyusul. Rambutnya jabrik dan kuning keemasan. Ia pirang. Melihatnya seperti melihat Matt Damon atau Leonardo Di Caprio. Wajah tampan yang polos kekanak-kanakan dan tampak suci, tapi
siapa yang tahu apa yang ada di dalam pikirannya" "Hei! Maaf aku terlambat! Ada apa Soil""
Aniki terperanjat. Laki-laki muda itu mengeluarkan bunyi yang sama dan menggunakan bahasa yang sama dengan orang-orang itu, tapi Aniki bisa mengerti ucapannya! Telinga Aniki seolah menangkap ucapannya seperti mendengar bahasa Jepang aksen Tokyo. Bagaimana bisa" Aniki memasang telinganya lagi mendengar orang botak itu menjawab pertanyaan si pirang.
"Suck, Orph. Borguic dis, his on won poixon me! W i suut kill him"" Kusut lagi, deh.
"Masa" Kenapa dia tidak seperti borguic"" Si pirang menjawab pertanyaan dengan pertanyaan lagi.
Sebuah alat menyembul dari punggungnya lalu melesat keluar. Alat kecil itu menggonggongi Aniki. Aniki melihat kilauan pada mata alat itu dan mengerti. Ia bisa menarik satu kesimpulan atas keanehan ini dan ia harus segera mencobanya sebelum keburu mati konyol.
"Aku Aniki Kodama. Kurasa kau adalah pemilik bintang biru juga."
Perlahan tubuh tegap si pirang berbalik dan ia menatap Aniki dengan heran. Sepertinya ia juga bingung karena tampaknya ia mengerti ucapan Aniki.
"Kau ... kau bukan orang Vida!"
Orang botak yang dipanggil Soil tadi menepuk bahu si pirang dengan bingung. Ia menanyakan sesuatu, tapi si pirang mengacuhkannya. Si pirang tampak lebih tertarik pada Aniki.
"Bagaimana kau ...T'
"Kau memiliki bintang biru. Aku melihatnya di mata anjing itu."
"Anjing" Itu pelacak mini." Yah, terserah. "Kita sama. Siapa namamu"" "Sama" ... aku ... hei aku Orphann." "Orphan""
"Orphannnnn." Orphann menekankan 'n' pada namanya dengan marah. Mungkin itu yang betul pada bahasa mereka.
"Oh." "Di mana bintang birumu""
"Aku tidak membawanya." Mendadak ia teringat ornamen natal yang diberikan Yuki kepadanya. Tenggelam di danau es bersamanya.
Mata Orphann menyipit, ia tidak percaya. Ia berbisik-bisik pada orang botak itu. Si botak mengernyit juga.
Ia bicara sesuatu pada teman-temannya.
Orphann menyeret Aniki ke atas skate board aneh itu dan membawanya terbang bersamanya. Mereka melewati danau merah itu yang sekarang sedang berangsur-angsur berubah menjadi kuning. Aniki menatapnya dengan takjub. Mereka juga melewati hutan bambu berwarna merah. Beberapa buah tampak berukuran raksasa, mereka melewati sebuah jurang dan .... KAMUCHUK DAN pasukannya tiba di Hong Zhou Fu.
Mereka dikirim oleh Guru Besar segera setelah Guru Besar mendapatkan ilham bahwa Panglima Sam sudah
menemukan bintang biru yang pertama. Mereka tidak tahu tujuan mereka, jadi sudah seharian ini mereka berputar-putar di kota. Mereka tidak begitu mengerti bahasa Cina. Parahnya lagi, tak satu pun penduduk kota itu yang mengerti bahasa Mongol.
Orang-orang memandangi mereka dengan pandangan aneh. Melihat pakaian perang mereka lalu berbisik-bisik geli. Kamuchuk nyaris tidak bisa menerima penghinaan seperti ini. Pakaian ini kan keren! Apa sih yang aneh dengan pakaian mereka lagi pula ini kan wilayah Mongol juga ... mungkin.
Kamuchuk yang sedikit-sedikit mengerti tulisan kanji melihat pengumuman kedatangan Kaisar Qian Lung ditempel di gerbang. Berarti Mongol tidak lagi berkuasa. Ini pasti gara-gara Yang Mulia Khan tidak berhasil mengumpulkan bintang biru itu di masa lalu, pikirnya geram. Pokoknya ia harus segera menemukan Panglima Sam.
* * * "AH! PAYAH sekali!"
"Kau tidak boleh menghinaku! Jika tidak, kau akan kujadikan pengangkut air lagi!"
Xin Ai baru saja mengancam Master Sam yang menang main catur perang. Sudah tiga kali raja catur Xin Ai dimakan perdana menteri Master Sam.
"Itu tidak adil, Putri. Ini kan hanya permainan."
"Kau juga melakukan kudeta!"
"Kudeta" Lho, bagaimana bisa""
"Perdana menterimu memakan rajaku. Itu kudeta!"
"Mereka dari negara yang berbeda!"
"Jangan lupa, itu negara caturmu sedangkan kau bekerja untukku. Berarti negara caturmu adalah negara jajahan raja caturku. Sudahlah, jangan macam-macam!"
"Ini kan hanya catur!" Mengerikan harus bermain catur dengan orang egois ini! Mengapa ia membawa-bawa urusan dunia nyata ke daiam permainan"
Kalau saja...Master Sam melirik kalung bintang biru Xin Ai. Apakah benar ia orangnya" Tapi mengapa ia tidak memiliki kemampuan apa pun seperti yang dikatakan Guru Xi Ben tentang para pemilik bintang biru" Xin Ai menyadari Master Sam sedang memandangi kalungnya yang menjuntai sampai ke dada. Tanpa ragu Xin Ai memukul kepala Master Sam.
"Au!" "Kurang ajar, berani memandangi dadaku!" "Tidak ada yang kurang ajar selain dirimu! Aku ini gurumu, tapi kau malah memukul kepalaku!" "Itu pantas untukmu, keparat!" "Kau itu putri. Mengapa bicara seperti itu!" "Minta maaf dulu padaku, berengsek!" "Tidak akan!"
"Akan kujadikan engkau pengangkut air lagi!" "Akan kuajari sepupumu yang cantik itu strategi perang. Gratis!" "Awas kau!"
Di kejauhan, dari jarak tiga puluh meter orangtua Xin Ai memandangi putri mereka dengan penuh cinta. Pangeran Kuang menatap istrinya.
"Istriku, lihat, tampaknya mereka benar-benar guru dan murid yang cocok. Tidak pernah Xin Ai sepenurut ini pada gurunya."
"Benar. Tapi suamiku, Xin Ai sudah dewasa. Sudah
saatnya ia berhenti belajar. Ia harus segera menikah."
"Tentu saja. Aku sudah mulai memilihkan jodoh untuknya."
"Suamiku, bukannya aku iri pada keponakanmu, tapi ... kau harus mencarikan suami yang lebih hebat daripada calon suami Xin Mei. Derajat Xin Ai kan lebih tinggi darinya."
"Itu benar. Yang Mulia Kaisar juga sudah membicarakan kemungkinan itu denganku."
Salam Terakhir Sherlock 2 Mustika Lidah Naga 6 Misteri Pedang Pusaka 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama