Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 4

06 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 4


Agung Sedayu termenung sejenak. Ia mengerti sikap kakaknya. Dalam keadaan yang bagaimanapun juga, dihadapan siapapun juga, kakaknya adalah seorang prajurit. Karena itu, ia memang tidak mengharap sikap kakaknya itu dapat digerakkan justru karena ia adalah adiknya. Sejenak semula Agung Sedayu memang ingin membawa persoalan itu karena persoalannya menyangkut nama beberapa orang prajurit Pajang di Jati Anom.
Ketika Untara menganggap bahwa ia sudah cukup bahan untuk meneliti persoalan itu, maka iapun segera icembali ke Jati Anom diikuti oleh para pengiringnya dan Agung Sedayu. Disepanjang jalan tidak banyak yang mereka bicarakan, karena masing-masing sedang sibuk dengan angan-angan mereka sendiri.
Ketika mereka memasuki gerbang rumah Untara di Jati Anom, langit sudah menjadi semburat merah. Dipepohonan telah terdengar kicau burung-burung liar. Merdu dan riang. Seperti kanak-kanak yang bermain-main kejar-kejaran. Saling berteriak dengan lepas.
Agung Sedayu hanya sejenak duduk dipendapa. Ia melihat kakaknya menjadi murung dan merenung. Karena itu, iapun kemudian minta ijin untuk pergi menengok Sabungsari yang terluka.
"Lihatlah. Tetapi jika ia masih tidur, jangan kau bangunkan." pesan Untara.
Agung Sedayupun kemudian meninggalkan kakaknya yang duduk dipendapa dengan beberapa orang perwira terdekat. Agung Sedayu tidak tahu apa yang dibicarakannya kemudian. Namun agaknya menyangkut laporan yang telah diberikan kepada Untara.
Meskipun dugaan itu benar, tetapi ternyata Untara cukup berhati-hati. Ia tidak menyebut nama seseorang didalam lingkungannya. Ia hanya mengatakan kepada para pembantunya, apa yang dilihatnya, bahwa adiknya bersama Sabungsari mengalami peristiwa yang menimbulkan perselisihan di bulak. Tetapi mereka tidak menemukan mayat yang ditinggalkan oleh Agung Sedayu didekat arena pertempuran itu.
"Aku harus benar-benar memilih orang yang dapat dipercaya untuk mendengar bahwa Ki Pringgajaya dianggap tersangkut dalam hal ini," berkata Untara kepada diri sendiri.
Sementara itu, Agung Sedayu yang masuk kedalam gandok terkejut melihat keadaan Sabungsari. Ternyata anak muda itu menjadi sangat pucat. Sekali-sekali terdengar Sabungsari yang sudah terbangun meskipun matanya masih terpejam itu berdesis menahan sakit.
"Sabungsari," suara Agung Sedayu lemah sekali agar tidak mengejutkan Sabungsari yang sedang mengalami kesakitan.
Sabungsari membuka matanya. Dilihatnya Agung Sedayu berdiri disebelah pembaringannya.
"Bagaimana keadaanmu ?" bertanya Agung Sedayu yang kemudian duduk disebelah Sabungsari.
"Dadaku serasa semakin sakit. Lukaku menjadi panas. Dan pernafasanku kian menjadi sesak," jawab Sabungsari perlahan-lahan.
"Kau sudah diobati ?" bertanya Agung Sedayu pula.
"Ya. Tetapi nampaknya prajurit yang menjadi juru pangupakara itu tidak begitu banyak berpengharapan tentang kesehatanku."
"Ah, apa benar begitu " Aku lihat lukamu saat kau bertempur dengan Carang Waja lebih parah lagi," desis Agung Sedayu.
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia Kemudian berkata, "Aku kira semula juga begitu Agung Sedayu. Tetapi prajurit itu agaknya sangat mengenal jenis-jenis luka. Ketika ia melihat lukaku, maka iapun langsung dapat menilai, meskipun ia belum mengatakannya. Pada wajahnya aku melihat, bahwa ia sangat cemas melihat keadaanku, yang semula aku kira tidak separah lukaku saat aku telah bertempur melawan Carang Waja."
Agung Sedayu menjadi tegang. Tetapi Sabungsari benar-benar nampak pucat. Nafasnya menjadi sendat dan luka itu nampaknya terasa sangat sakit.
"Apakah prajurit itu akan datang lagi mengobatimu ?" bertanya Agung Sedayu.
"Ya. Ia akan datang, dan memberikan obat yang akan aku minum. Mudah-mudahan dengan demikian sakitku akan berkurang," berkata Sabungsari dengan menahan sakit.
Agung Sedayu menjadi gelisah. Tetapi jika prajurit itu datang lagi dan memberikan obat yang lain, mungkin sakit itu akan berkurang.
"Cobalah beristirahat sebanyak-banyaknya Sabungsari," berkata Agung Sedayu kemudian, "hari telah pagi. Mungkin sebentar lagi prajurit itu akan datang."
Sabungsari mengangguk. Tetapi iapun kemudian berkata, "Engkaupun harus beristirahat Agung Sedayu. Jika kau paksa dirimu untuk berbuat sesuatu diluar kemampuan tubuhmu, maka kaupun akan menjadi sakit."
Agung Sedayu mengangguk sambil berdesis, "Aku tidak berbuat apa-apa Sabungsari. Kaulah yang harus beristirahat."
Sabungsari mengerutkan keningnya. Namun ia mencoba tersenyum sambil berkata, "Kau memang seorang yang luar biasa. Kau tentu mempunyai daya tahan yang luar biasa pula. Meskipun kau harus berbuat seperti yang kau lakukan ini tiga hari tiga malam, kau tidak akan merasa lelah."
"Ah. Apakah kelebihanku " " gumam Agung Sedayu.
Sabungsari tidak menjawab. Tetapi ia kemudian mengatupkan giginya menahan perasaan sakit yang menyengat di lukanya. Namun ia tidak mengeluh. Dengan tabah ia menunggu prajurit yang memberinya obat, yang sanggup datang lagi dengan obat yang lain, yang harus diminumnya.
Agung Sedayu tidak meninggalkan bilik itu. Iapun kemudian berkisar dan duduk diamben bambu yang lain. Rasa-rasanya ia melihat keadaan yang sangat gawat pada Sabungsari. Meskipun Sabungsari menahan diri untuk tidak mengaduh, tetapi pada wajahnya nampak, betapa ia menahan sakit.
"Apakah senjata orang Gunung Kendeng itu mengandung racun yang khusus" " pertanyaan itu mulai mengganggunya.
Tetapi Agung Sedayu tidak dapat berbuat sesuatu. Ia hanya dapat menunggu, apa yang akan dilakukan oleh orang yang mengerti tentag keadaan Sabungsari itu.
Ketika matahari mulai naik kekaki langit, maka orang yang dimaksud oleh Sabungsari itupun benar-benar datang. Seorang prajurit yang memiliki pengetahuan tentang obat-obatan dan yang oleh Untara memang dibebani tugas memelihara dan mengobati prajurit-prajurit yang sakit dan yang terluka dipeperangan.
Orang itu termangu-mangu sejenak melihat Agung Sedayu yang berada di dalam bilik itu pula. Namun kemudian ia berkata, "Apakah kau tidak memberinya kesempatan untuk beristirahat ?"
"Aku tidak mengganggunya, "sahut Agung Sedayu, "ketika aku masuk kedalam bilik ini, Sabungsari sudah terbangun."
"Beri kesempatan ia beristirahat sebanyak-banyaknya. Luka-lukanya sangat parah dan berbahaya baginya. Karena itu, kita semuanya harus membantu agar ia mendapatkan ketenangan dan beristirahat sebanyak-banyaknya. Aku harap bahwa dengan demikian, betapapun kecil artinya, akan dapat membuat keadaannya semakin baik, setidak-tidaknya tidak menambah keadaannya menjadi semakin parah."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia bertanya dengan berhati-hati, "Bagaimana keadaannya ?"
Prajurit itu termangu-mangu sejenak. Namun iapun menggelengkan kepalanya tanpa menjawab sepatah katapun.
Agung Sedayu benar-benar menjadi cemas. Menurut Prajurit itu, keadaan Sabungsari benar-benar telah gawat. Padahal menurut pendapatnya, Sabungsari hanya terlalu banyak mengeluarkan darah, sehingga jika ia masih dapat bertahan dan mendapat kesempatan pengobatan yang baik, keadaannya akan berangsur baik. Meskipun membutuhkan waktu, namun keadaannya tidak akan membahayakan jiwanya.
Dengan ragu-ragu Agung Sedayu yang mendekati prajurit itu bertanya, "Apakah ada semacam racun didalam tubuhnya karena senjata lawan ?"
Orang itu menegang. Namun kemudian sambil menggeleng ia berkata, "Yang memberatkannya, bahwa ada beberapa jalur urat yang terpotong oleh senjata lawan. Meskipun tidak beracun, tetapi ternyata telah menumbuhkan keadaan yang sulit baginya. Tetapi sudahlah. Biarlah aku dapat mengobatinya dengan tenang. Tolong, jangan ganggu aku dengan pertanyaan-pertanyaan."
Agung Sedayu menarik nafas panjang. Iapun kemudian bergeser menjauh dan duduk diamben bambu yang lain didalam bilik itu. Sementara prajurit itu mencoba memberikan obat yang baru pada luka itu. Kemudian mempersilahkan Sabungsari untuk minum obat yang berwarna hijau kental.
"Mudah-mudahan obat-obatan ini menolongmu," berkata prajurit itu, "setidak-tidaknya akan memperingan penderitaan."
Dengan dibantu oleh prajurit itu, Sabungsari mengangkat kepalanya. Kemudian meneguk obat yang berwarna hijau itu sampai habis.
"Beristirahatlah. Tidurlah sebanyak-banyaknya dapat kau lakukan," berkata prajurit itu.
Sabungsari mengangguk kecil. Jawabnya lirih, "Aku akan mencobanya."
Prajurit itu kemudian berdiri termangu-mangu. Sekali-sekali ia berpaling kepada Agung Sedayu yang masih duduk ditempatnya. Kemudian katanya, "Lebih baik Sabungsari kau tinggalkan seorang diri."
Agung Sedayu menarik nafas panjang. Namun iapun kemudian bangkit dan melangkah keluar dari dalam bilik itu.
Agung Sedayu tertegun ketika ia melihat Glagah Putih berdiri termangu-mangu. Namun anak itupun kemudian berlari-lari menyongsongnya.
"Bagaimana keadaannya ?" bertanya Glagah Putih.
Agung Sedayu menjawab dengan nada datar, "Keadaannya sangat sulit."
Glagah Putih masih akan bertanya lagi. Tetapi suaranya terputus ketika ia mendengar sendiri suara Sabungsari mengeluh pendek dibalik dinding. Tetapi ketika ia melangkah mendekati pintu, Agung Sedayu menggamitnya sambil menggeleng, "Jangan masuk. Ia sedang diobati."
Glagah Putih mengurungkan niatnya. Bahkan kedua anak muda itupun justru turun kehalaman dan melangkah mendekati pendapa meskipun mereka tidak naik.
Pendapa itu sudah sepi. Ternyata Untara sudah tidak duduk lagi bersama beberapa orang perwiranya. Agaknya iapun merasa lelah dan beristirahat.
Untuk beberapa saat, Agung Sedayu dan Glagah Putih yang berjalan dihalaman itu tidak berkata sepatahpun.
Namun tiba-tiba saja Agung Sedayu berdesis, "Hatiku kurang mapan Glagah Putih."
"Kenapa kakang ?" bertanya Glagah Putih.
"Bukan karena aku tidak percaya kepada prajurit yang mengobati luka Sabungsari. Iapun tentu mempunyai pengalaman dan pengetahuan yang cukup tentang obat-obatan. Tetapi karena aku bergaul dan berguru kepada Kiai Gringsing, aku sangat mengaguminya. Juga tentang obat-obatan."
"Maksud kakang ?"
"Kita ke Sangkal Putung lagi," jawab Agung Sedayu.
"Sekarang " "
"Ya." Agung Sedayu mengangguk.
Glagah Putih termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Jika kakang menghendaki, marilah. Kita minta diri kepada kakang Untara."
"Tidak. Jangan berkata kepada siapapun. Juga tidak kepada kakang Untara. Aku takut, kalau perasaan kakang Untara tersinggung, karena seolah-olah aku tidak mempercayai orang yang ditugaskannya."
"Jadi bagaimana ?" bertanya Glagah Putih.
"Kita pergi dengan diam-diam. Atau kita minta diri kembali kepadepokan. Tetapi kita terus ke Sangkal Putung."
Ternyata Glagah Putihpun dapat mengerti. Karena itu, maka iapun selalu menjaga diri, agar ia tidak salah ucap ketika mereka berdua kemudian mencari Untara yang sudah berada dibiliknya.
"Sekali-sekali kau harus datang menengok Sabungsari," berkata Untara, "ia akan tetap berada disini sampai ia sembuh. Baru kemudian ia akan kembali ke baraknya."
"Ya kakang. Aku akan selalu datang. Akupun akan minta diri dahulu kepadanya sebelum aku berangkat."
"Hati-hatilah di jalan," berkata Untara kemudian, "meskipun jarak kepadepokan tidak begitu jauh, tetapi sesuatu akan dapat terjadi."
"Ya kakang," jawab Agung Sedayu, "aku akan selalu berhati-hati. Aku akan melalui jalan yang paling sibuk dilalui orang."
"Mudah-mudahan kau tidak mengalami kesulitan lagi dijalan atau dirumahmu," berkata Untara kemudian. Bahkan ia menambahkan, "Jika kau berada didalam satu lingkungan, maka keadaanmu tentu akan berbeda. Kau yang tidak menjadi poros persoalan, justru selalu mengalami gangguan dan kesulitan. Berbeda dengan mereka yang berada dalam satu lingkungan tertentu. Maka setiap usaha mencelakaimu tentu akan dipikirkan jauh lebih masak dari yang kau alami sekarang."
Agung Sedayu termangu-mangu, sementara kakaknya berkata terus, "Misalnya, kau seorang anak kepala Tanah Perdikan. Dengan pasukan pengawal Tanah Perdikan, maka orang lain tidak semudah mengambil tindakan terhadap seorang yang seakan-akan hanya sebatang kara seperti kau. Atau kau mempunyai kedudukan seperti Swandaru dengan anak-anak muda pengawal Kademangan. Lingkungannya tentu lebih aman daripada lingkungan padepokanmu. Apalagi jika kau berada dilingkungan keprajuritan. Bahwa Sabungsari saat ini mengalami, justru ia dengan sengaja menyongsong bahaya, karena ia ingin membantumu."
Agung Sedayu menundukkan kepalanya.
"Cobalah kau teliti setiap peristiwa yang telah terjadi disekitarmu, dan orang-orang yang pernah kau kenal. Siapakah yang paling banyak menjadi sasaran tindakan seperti yang baru saja terjadi. Bukan Swandaru. Bukan Raden Sutawijaya, bukan Pangeran Benawa. Tetapi justru kau. Kau yang setiap kali sengaja atau tidak sengaja terlibat dalam benturan-benturan kekerasan, sementara kau seakan-akan tidak mempunyai latar belakang kekuatan tertentu selain dirimu sendiri dan sebanyak-banyaknya guru dan saudara seperguruanmu."
Agung Sedayu tidak menjawab. Kepalanya masih tertunduk. Sementara ia tidak dapat ingkar, bahwa sebagian terbesar dari yang dikatakan oleh kakaknya itu benar.
Namun demikian, ia masih belum berhasil memantapkan sikapnya yang pecah kembali setelah beberapa saat lamanya, ia hampir-hampir mencapai kemantapan untuk menjadi seorang prajurit.
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayupun meninggalkan kakaknya yang kembali masuk kedalam biliknya untuk beristirahat meskipun matahari sudah mulai menjenguk dibalik garis cakrawala. Namun Agung Sedayu masih memerlukan singgah sejenak di bilik Sabungsari.
Kegelisahannya jadi bertambah-tambah melihat keadaan prajurit muda yang semakin gawat itu. Sekali-sekali terdengar Sabungsari berdesah menahan sakit.
"Kau tinggalkan sajalah," berkata prajurit yang merawatnya.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Iapun kemudian minta diri kepada Sabungsari untuk sesaat menengok padepokannya.
Sambil mengangguk kecil Sabungsari menjawab, "Kau nanti mau datang lagi menengokku?"
"Tentu Sabungsari. Aku tidak terlalu lama. Aku akan datang setiap kali. Mudah-mudahan keadaanmu cepat berangsur baik."
Sabungsari mencoba tersenyum. Tetapi keadaannya nampak semakin gawat.
Sebenarnya Agung Sedayu tidak sampai hati meninggalkan Sabungsari dalam keadaan seperti itu. Tetapi ia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Ia tidak tahu, bagaimana sebaiknya memperlakukan Sabungsari. Didalam bilik itu sudah ada seorang prajurit yang memang mendapat tugas karena pengetahuannya tentang obat-obatan, untuk mengobati kawan-kawannya yang terluka, atau menderita sakit. Dipeperangan atau dimanapun juga.
"Ia lebih diperlukan daripada aku pada saat-saat seperti ini," berkata Agung Sedayu didalam hatinya. Namun kemudian, "Barang kali kehadiran Kiai Gringsing akan dapat membantunya. Mungkin prajurit itu dapat memperbincangkan keadaan Sabungsari dengan Kiai Gringsing yang juga ahli didalam hal pengobatan."
Sejenak kemudian maka Agung Sedayu dan Glagah Putih telah meninggalkan rumah Untara. Mereka berkuda menyusuri jalan-jalan-jalan padukuhan. Namun ketika mereka sudah berada di bulak, maka merekapun Segera memacu kuda mereka, menuju ke Sangkal Putung.
Mereka berharap agar tidak seorangpun yang melihat mereka dan mengetahui maksud kepergian mereka yang sebenarnya, karena mereka tidak ingin menyinggung perasaan prajurit yang mendapat tugas mengobati Sabungsari dan juga Untara yang telah memerintahkan prajurit itu melakukan kewajibannya.
Tetapi terdorong oleh kegelisahannya, maka ternyata Agung Sedayu telah mengambil sikap sendiri.
Kedua ekor kuda itu berpacu semakin lama semakin cepat. Ternyata Glagah Putihpun seorang anak muda yang trampil. Ia yang justru berada didepan, telah berpacu seperti angin.
Namun Glagah Putihpun memperlambat laju kudanya ketika Agung Sedayu mencegahnya sambil berkata, "Jangan terlalu cepat, agar tidak menarik perhatian banyak orang."
Meskipun mereka, masih berpacu, tetapi tidak lagi seperti dikejar hantu. Glagah Putih yang berada didepan masih harus menguasai perasaannya. Bukan saja karena kegelisahannya, tetapi kemudaannya itulah yang mendorongnya untuk berpacu. Seolah-olah ia mendapat kesempatan untuk bermain-main dengan kudanya disepanjang bulak panjang.
Sangkal Putung memang tidak terlalu jauh. Tetapi juga bukan jarak yang terlalu dekat. Karena itu, maka merekapun memerlukan waktu untuk mencapai Kademangan itu.
Kedatangan Agung Sedayu di Sangkal Putung telah mengejutkan gurunya, Ki Demang dan penghuni-penghuni yang lain. Baru saja Agung Sedayu kembali ke Padepokannya. Tiba-tiba saja ia telah berada kembali di Sangkal Putung dengan wajah yang gelisah.
Tetapi Agung Sedayu berusaha untuk menghilangkan kesan itu dari wajahnya. Kepada Glagah Putihpun ia sudah memberikan pesan, bagaimana seharusnya mengatakan persoalan yang terjadi itu kepada Kiai Gringsing dan kepada orang-orang lain yang bertanya kepadanya.
"Ada yang harus disembunyikan," pesan Agung Sedayu. Dan agaknya Glagah Putihpun dapat mengertinya.
"Agaknya hal-hal semacam inilah yang kadang-kadang aku tidak boleh mendengarnya," berkata Glagah Putih didalam hatinya.
Meskipun kemudian Agung Sedayu mengatakan keadaan Sabungsari, tetapi Agung Sedayu tidak dengan terbuka mengatakan sebab-sebabnya. Ia hanya mengatakan, bahwa Sabungsari telah bertengkar dengan orang yang tidak dikenal, yang agaknya telah mendendamnya sejak lama.
"Apakah tidak ada orang yang mengobatinya ?" bertanya Ki Demang.
"Sudah Ki Demang," jawab Agung Sedayu, "ia kini berada dibawah perawatan seorang prajurit yang memang bertugas untuk mengobatinya dirumah kakang Untara. Tetapi keadaannya nampaknya justru menjadi semakin gawat. Karena itu, aku ingin mengharap guru dapat pergi ke Jati Anom. Mungkin guru dapat memberikan beberapa pertimbangan kepada prajurit yang merawatnya itu."
Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, "Sabungsari termasuk seorang prajurit yang memiliki kelebihan. Ia berhasil membunuh Carang Waja. Karena itu, maka orang-orang yang mendendamnya itu tentu bukan kebanyakan orang, sehingga ia berhasil melukai Sabungsari sehingga agaknya luka itu parah benar."
"Dua orang murid dari Gunung Kendeng," berkata Agung Sedayu.
"Gunung Kendeng," Kiai Gringsing mengerutkan keningnya.
"Ya guru. Dua orang yang datang dari Gunung Kendeng. Mereka telah berhasil melukai Sabungsari."
Agung Sedayu kemudian mencoba meyakinkan, bahwa prajurit yang mengobati anak muda itu agaknya menemui kesulitan.
"Prajurit yang merawatnya itu nampak gelisah," berkata Agung Sedayu kemudian, "agaknya ia melihat kegawatan pada luka itu."
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Aku akan pergi. Tetapi apakah dengan demikian, aku tidak menyinggung perasaannya ?"
"Mungkin guru. Tetapi mungkin juga tidak. Bahkan mungkin ia akan berterima kasih. Akupun tidak mengatakan kepada mereka, bahwa aku akan datang kemari menjemput guru."
Kiai gringsing mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Marilah. Aku akan pergi bersamamu."
Kiai Gringsingpun kemudian minta diri kepada Ki Demang Sangkal Putung dan anak menantunya. Ia akan pergi ke Jati Anom untuk suatu kepentingan yang khusus. Jika keadaan Sabungsari menjadi segera baik, maka iapun akan mempertimbangkan kemungkinan untuk kembali lagi ke Sangkal Putung.
Setelah Kiai Gringsing berkemas, maka mereka bertigapun meninggalkan Sangkal Putung. Meskipun mereka akan kemalaman di jalan, tetapi mereka tidak akan membuang waktu terlalu banyak. Bahkan kedatangan mereka dimalam hari, tidak akan banyak menarik perhatian orang lain.
Demikianlah, maka ketiga orang itupun berpacu menyusur jalan menuju ke Jati Anom. Mereka berpacu melalui bulak-bulak panjang, lewat jalan yang menyusuri tepi hutan, menyusup beberapa padukuhan dan menyeberangi beberapa jalur sungai.
"Apakah kedatanganku tidak akan mengejutkan ?" bertanya Kiai Gringsing.
"Mungkin," jawab Agung Sedayu, "tetapi aku mengharap bahwa kehadiran guru sangat diperlukan."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia menyadari kemungkinan yang dapat dilakukan, meskipun segala sesuatunya tergantung kepada Yang Maha Kuasa.
Perjalanan mereka bertigapun tidak mengalami gangguan diperjalanan. Jalan-jalan yang sepi dan gelap, mereka lalui tanpa hambatan. Tidak seperti yang terjadi pada Agung Sedayu di hari sebelumnya.
Glagah Putih yang berkuda dipaling depan memacu kudanya meskipun tidak dalam kecepatan penuh. Iapun mengerti, bahwa Sabungsari memerlukan pertolongan secepatnya. Mungkin kehadiran Kiai Gringsing akan dapat merubah keadaan Sabungsari, karena Kiai Gringsing akan dapat memberikan pertimbangan kepada prajurit yang merawat luka Sabungsari itu.
Demikianlah, ketika malam menjadi semakin dalam, maka mereka bertiga telah mendekati Jati Anom. Mereka lidak singgah lebih dahulu dipadepokan kecil mereka, tetapi mereka bertiga langsung pergi kerumah Untara.
Kedatangan mereka memang telah menarik perhatian. Para prajurit yang bertugas, melihat kedatangan Kiai Gringsing dengan sepercik harapan. Menurut pengamatan mereka, Sabungsari agaknya justru menjadi semakin gawat.
"Bagaimana keadaannya ?" bertanya Agung Sedayu kepada seorang prajurit yang sudah dikenalnya.
Prajurit itu menggeleng lemah. Katanya, "Harapannya sangat tipis. Aku mendengar sendiri, prajurit yang mengobatinya itu melaporkan keadaannya kepada Ki Untara, di muka gandok, ketika prajurit itu minta diri untuk beristirahat sebentar setelah sehari penuh ia berjuang untuk keselamatan Sabungsari."
"Siapa yang menunggui Sabungsari sekarang ?" bertanya Agung Sedayu.
"Tidak ada. Kami bergantian menengoknya. Mungkin ia memerlukan air atau mungkin ia ingin mengatakan sesuatu," jawab prajurit itu.
"Bagaimana dengan kakang Untara ?" bertanya Agung Sedayu pula.
"Ki Untara menunggui sampai senja. Tetapi ia sekarang masuk keruang dalam."
"Katakan kepada kakang Untara. Aku datang dengan Kiai Gringsing. Apakah Kiai Gringsing diperkenankan melihat keadaan Sabungsari."
Prajurit itupun mengangguk. Dipersilahkannya Agung Sedayu duduk dipendapa, sementara iapun menyampaikan kedatangan Agung Sedayu kepada prajurit pengawal khusus bagi Untara yang bertugas menjaga dan melayani keselamatan dan segala kepentingannya beserta keluarganya.
Prajurit itupun segera berusaha menyampaikan kedatangan Agung Sedayu kepada Untara. Prajurit itu sama sekali tidak ragu-ragu, karena ia tahu, bahwa Agung Sedayu adalah adik Untara yang datang membawa Sabungsari yang terluka parah itu.
Untara yang sudah masuk kedalam biliknya itupun sebenarnya sudah mulai memejamkan matanya. Tetapi kedatangan adiknya itupun telah menarik perhatiannya. Apalagi ketika prajurit itu mengatakan, bahwa Agung Sedayu tidak datang hanya dengan Glagah Putih.
"Dengan siapa lagi ia datang ?" bertanya Untara.
"Dengan Kiai Gringsing," jawab prajurit itu.
"Kiai Gringsing ?" Untara mengerutkan keningnya. Lalu, "Jadi Agung Sedayu menganggap bahwa perawatan yang aku berikan kurang memadai, sehingga ia telah memanggil gurunya. Aku kira ia tadi pagi tidak langsung kembali kepadepokan kecilnya, tetapi anak itu telah pergi ke Sangkal Putung."
Prajurit yang menyampaikan kabar kedatangan Agung Sedayu itu tidak menjawab.
"Baiklah. Aku akan menemuinya," geram Untara.
Setelah membenahi pakaiannya sejenak, maka Untarapun telah pergi kependapa. Seperti yang dikatakan oleh prajurit yang melaporkan kedatangan Agung Sedayu kepadanya, ternyata bahwa Agung Sedayu tidak hanya datang berdua dengan Glagah Putih.
Setelah menyampaikan salam keselamatan seperti bagaimana kebiasaan yang berlaku, maka Untarapun segera bertanya kepada Agung Sedayu, "Agung Sedayu, apakah kau memanggil Kiai Gringsing ke Sangkal Putung, atau kebetulan saja Kiai Gringsing telah kembali kepadepokan. Menurut keteranganmu. Kiai Gringsing masih berada di Sangkal Putung."
"Ya kakang. Kiai Gringsing mendengar berita tentang keadaan SabungsEiri dari aku. Aku telah datang ke Sangkal Putung bersama Glagah Putih dan minta agar Kiai Gringsing sudi datang barang sejenak untuk menengok Sabungsari."
"Sabungsari telah berada dibawah perawatan seorang yang mumpuni didalam bidangnya. Apakah kau meragukannya ?" bertanya Untara.
Pertanyaan itu telah mendebarkan jantung. Bukan saja Agung Sedayu dan Glagah Putih. Tetapi juga Kiai Gringsing.
Namun Agung Sedayu berusaha menjawab dengan hati-hati, "Kakang. Aku sama sekali tidak meragukan kemampuan prajurit itu. Tetapi apa salahnya kita berusaha. Aku melihat keadaan Sabungsari yang menjadi semakin gawat. Mungkin kedatangan Kiai Gringsing dapat diajak berbincang oleh prajurit yang merawatnya. Mungkin ada satu dua jenis obat yang semula tidak terpikir oleh prajurit itu, namun dalam pembicaraan dengan Kiai Gringsing, ia akan teringat karenanya. Atau kemungkinan-kemungkinan lain yang akan terdapat lebih banyak dari dua orang yang sama-sama mempunyai kemampuan dibidang yang sama, dari pada hanya seorang saja."
"Tetapi jika mereka berselisih pendapat, dan masing-masing berkeras hati dengan satu keyakinan bahwa ia akan dapat menyembuhkannya ?" bertanya Untara.
"Bukankah prajurit itu yang menerima tanggung jawab dari kakang Untara sebagai seorang Senapati didaerah ini " Jika Kiai Gringsing hadir disini, maka ia tidak lebih dari seorang yang sekedar dapat memberikan pertimbangan yang tidak menentukan," jawab Agung Sedayu.
Untara menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian menyadari, bahwa setiap usaha wajib dilakukan. Keadaan Sabungsari memang bertambah gawat.
Karena itu, Untarapun akhirnya tidak menyatakan keberatannya, bahwa Kiai Gringsing memberikan pendapatnya bagi kebaikan Sabungsari. Namun Untara masih berpesan, "Tetapi segala sesuatunya dibawah tanggung jawab prajurit itu. Jika Kiai Gringsing melihat satu kemungkinan yang baik bagi Sabungsari, Kiai harus membicarakannya dengan prajurit itu. Dengan demikian, maka keadaan Sabungsari tetap berada dalam tanggung jawab dari satu tangan. Tidak akan ada saling tuduh menuduh dan saling menyalahkan apabila terjadi kegagalan. Karena setiap usaha itu mengandung kemungkinan untuk gagal."
"Baik ngger," berkata Kiai Gringsing, "aku mengerti bahwa yang dapat aku lakukan tidak lebih baik dari yang dapat dilakukan oleh orang lain. Karena itu, maka aku akan mentaati segala perintah angger sebagai penanggung jawab keseluruhan didalam lingkungan keprajuritan. Memang keadaan angger Sabungsari agak berbeda dengan keadaan angger Untara dalam perjalanan ke Sangkal Putung dari Jati Anom, pada saat Tohpati masih berada disekitar Kademangan itu. Saat itu, tidak ada pilihan lain bagi angger untuk menyerahkan pengobatan luka angger kepadaku, karena tidak ada seorang petugas khusus seperti saat ini."
Untara menarik nafas dalam-dalam. Bagaimanapun juga ia harus mengakui, bahwa Kiai Gringsing pernah berusaha dengan segenap kemampuan untuk menyelamatkan nyawanya. Dan ternyata dukun tua itu berhasil mengobati lukanya yang sangat parah.
Karena itu, maka Untarapun kemudian berkata, "Jika Kiai ingin melihatnya, silahkan."
Kiai Gringsingpun kemudian diikuti oleh Agung Sedayu turun kehalaman, melintasi longkangan dan naik kegandok. Sementara Glagah Putih oleh Kiai Gringsing diminta untuk tinggal diserambi gandok agar tidak membuat udara didalam gandok itu terlalu panas.
"Nanti sajalah kau menengoknya ngger," berkata Kiai Gringsing.
Glagah Putih tidak membantah. Ia sudah cukup mengerti, bahwa sebaiknya ia memang berada diluar saja.
Seorang prajurit yang kebetulan berada disisi Sabungsaripun kemudian berdiri dan meninggalkannya.
"Bagaimana keadaannya ?" bertanya Glagah Putih yang ada diluar.
"Baru saja ia minta seteguk air. Tetapi keadaannya memang semakin parah," jawab prajurit itu.
Dalam pada itu, Kiai Gringsingpun segera melihat keadaan Sabungsari yang lemah. Namun ketika anak muda itu melihat kehadiran Kiai Gringsing, wajahnya menjadi semburat merah. Terdengar ia berdesis, "Selamat datang Kiai. Kedatangan Kiai memberikan harapan kepadaku."
"Bukankah angger telah mendapat perawatan sebaik-baiknya ?" bertanya Kiai Gringsing.
Sabungsari menyeringai menahan sakit. Jawabnya lemah, "Tetapi baginya, keadaanku tidak dapat diharapkan lagi."
Kiai Gringsing tidak menjawab. Namun kemudian dicobanya melihat luka Sabungsari. Sejenak nampak wajah Kiai Gringsing menegang. Menilik keadaannya, maka Sabungsari memang berada dalam keadaan yang dapat membahayakan jiwanya.
Sejenak Kiai Gringsing merenungi keadaan anak muda itu. Dengan hati-hati ia meraba keadaan disekitar luka yang gawat itu. Kemudian dengan saksama ia melihat warna-warna merah yang terdapat disekitar luka itu.
Kiai Gringsingpun kemudian mengagguk-angguk. Ada kesan yang meragukan jiwanya.
"Selain obat pada luka-lukanya, apakah kau juga mendapat obat yang harus kau minum ngger ?" bertanya Kiai Gringsing.
"Ya Kiai. Aku minum obat yang berwarna hijau kental."
"Rasanya " Asam, pahit atau rasa lain ?" bertanya Kiai Gringsing.
"Agak asam Kiai. Tetapi disamping rasa asam terasa juga seperti terdapat serbuk lembut yang tidak luluh kedalam cairan yang kental itu," jawab Sabungsari perlahan-lahan. Lalu. "Dan serbuk itu rasanya agak pahit dan pedas."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi kerut didahinya nampak semakin dalam. Sejenak ia masih termangu-mangu mengamati keadaan Sabungsari. Namun kemudian ipun berdiri sambil mengangguk-angguk semakin dalam.
Agung Sedayu tidak bertanya sepatah katapun. Ia melihat apa saja yang dilakukan oleh Kiai Gringsing. Iapun melihat ketegangan di wajah orang tua itu.
Agung Sedayu memandang Kiai Gringsing dengan tegang, ketika Kiai Gringsing kemudian melangkah kegeledeg sudut bilik itu. Diambilnya sebuah mangkuk kosong. Tetapi didasar mangkuk itu masih terdapat sisa cairan yang kental berwarna kehijau-hijauan.
Kiai Gringsing membawa mangkuk itu kedekat Sabungsari. Kemudian iapun bertanya, "Apakah obat semacam ini yang sudah kau minum ngger ?"
"Ya Kiai," jawab Sabungsari lambat.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk pula. Dengan jarinya ia meraba cairan itu. Dengan dahi yang berlerut ia memperhatikan dengan saksama dengan rabaan jarinya. Namun kemudian. Kiai Gringsing itupun mengambil sesuatu dari kantong ikat pinggangnya, dan menaburkan isinya berupa serbuk kedalam sisa obat Sabungsari.
Beberapa saat Kiai Gringsing menunggu. Namun Agung Sedayu melihat wajah itu semakin menegang.
Dengan isyarat Kiai Gringsing memanggil Agung Sedayu mendekat dan melihat kedalam mangkuk itu. Yang dilihat oleh Agung Sedayu, bahwa isi mangkuk itupun kemudian menjadi berbusa.
"Apa artinya Kiai ?" bertanya Agung Sedayu.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Kemudian iapun berbisik ditelinga Agung Sedayu, "Ada yang tidak wajar dengan obat ini ngger. Seperti juga keadaan luka itu sendiri."
"Maksud Kiai " " kata-kata Agung Sedayu terputus ketika ia melihat Kiai Gringsing berpaling kearah Sabungsari. Tetapi Kiai Gringsing kemudian mengangguk kecil.
"Aku sudah menduga, bahwa ada yang tidak wajar. Karena itu aku berkeras untuk pergi ke Sangkal Putung, menjemput guru," desis Agung Sedayu.
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Ketika, ia berpaling memandang Sabungsari, dilihatnya prajurit muda itu memejamkan matanya. Namun kerut-merut dikeningnya menunjukkan, betapa ia sedang menahan sakit ditubuhnya.
"Kasihan," keluh Kiai Gringsing, "apakah dalam keadaan seperti ini aku masih harus menyampaikan persoalan ini kepada prajurit yang merawatnya " Padahal menurut pendapatku, prajurit itu kurang dapat dipercaya."
Agung Sedayu menjadi tegang.
"Guru," iapun kemudian bertanya, "jika guru berbuat sesuatu, apakah prajurit itu akan mengetahuinya ?"
"Aku kira ia akan mengetahuinya. Nampaknya ia benar-benar ahli didalam bidangnya. Tetapi sayang, bahwa ia telah menyalah artikan kemampuan yang dikuasainya itu," desis Kiai Gringsing.
"Tetapi mungkin menurut perhitungannya, ia justru telah mempergunakan kemampuannya untuk satu perjuangan yang akan sangat berarti, sesuai dengan keyakinannya," sahut Agung Sedayu.
"Memang mungkin sekali Agung Sedayu. Tetapi jika kita berdiri berseberangan, aku tidak tahu, apakah yang sebaiknya aku lakukan, mengingat pesan angger Untara. Bahkan segalanya harus dilakukan sepengetahuan prajurit itu."
"Tetapi kakang Untara tidak mengetahui apa yang telah terjadi," berkata Agung Sedayu.
"Jadi bagaimana menurut pertimbanganmu ?" bertanya Kiai Gringsing.
"Guru, aku akan berterus terang kepada kakang Untara. Barangkali jalan ini dapat pula dipakai untuk sandaran pengusutan orang yang disebut-sebut oleh dua orang yang terbunuh tetapi mayatnya tidak dapat kita ketemukan itu. Orang-orang yang menyatakan dirinya dari Gunung Kendeng."
"Ki Pringgajaya ?" bertanya Kiai Gringsing.
Agung Sedayu mengangguk. "Aku sependapat Agung Sedayu. Katakan kepada kakakmu. Keadaannya memang harus segera teratasi, agar tidak terlambat. Jika keadaannya menjadi semakin parah, maka ia akan tidak lagi dapat diharapkan karena keterlambatan pengobatan."
"Baiklah guru. Aku akan menghadap kakang Untara sekali lagi. Ia harus meyakini keadaan." Agung Sedayu berhenti sejenak, lalu katanya, "tetapi jika kakang Untara sependapat, apakah guru dapat membuktikan ?"
"Aku akan mencoba. Tetapi hasilnya, kami mohon belas kasihan Yang Maha Agung," jawab gurunya.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ketika terpandang olehnya wajah Sabungsari yang pucat dengan mata terpejam, maka iapun segera melangkah keluar dari bilik itu. Diserambi Glagah Putih bangkit dan menyongsong, " Bagaimana kakang ?"
"Aku akan menghadap kakang Untara lagi. Aku harus mengatakan sesuatu tentang keadaan Sabungsari," jawab Agung Sedayu tanpa berhenti.
Glagah Putih tidak bertanya lagi. Ia tahu, Agung Sedayu tergesa-gesa dan gelisah. Karena itu, maka iapun segera kembali duduk disebuah lincak bambu. Namun iapun kemudian berbaring dengan meletakkan kepalanya pada kedua tangannya yang dilipat dibelakang.
Dalam pada itu. Agung Sedayupun menemui prajurit yang sedang bertugas. Sekali lagi ia minta untuk dapat bertemu dengan kakaknya, yang baru saja meninggalkan pendapa.
Ketika prajurit itu menyampaikan permintaan Agung Sedayu, Untara baru saja menutup pintu biliknya. Betapapun kesalnya, namun iapun melangkah kependapa menemui Agung Sedayu.
"Apa lagi yang akan kau katakan " " bertanya kakaknya.
Agung Sedayu mengerti, bahwa kakaknya menjadi kesal. Tetapi ia tidak boleh menunda waktu lagi, karena keadaan Sabungsari yang menjadi semakin parah.
"Kakang," berkata Agung Sedayu kemudian, "menurut penelitian guru, ada yang tidak wajar dengan pengobatan yang diberikan oleh prajurit itu."
"He," Untara mengerutkan keningnya, "bagaimana mungkin hal itu dapat terjadi ?"
"Menurut pengamatan Kiai Gringsing, maka sebenarnya keadaan Sabungsari akan dapat menjadi lebih baik jika ia bertindak jujur dalam bidang pengobatan yang dilakukannya."
"Apa yang diketahui oleh Kiai Gringsing ?" bertanya Untara pula.
"Kiai Gringsing sudah meneliti sisa obat yang diberikan oleh prajurit itu kepada Sabungsari. Kiai Gringsingpun telah meneliti luka-luka pada tubuh prajurit muda itu." berkata Agung Sedayu.
"Begitu mudah untuk membuktikan bahwa obat itu tidak wajar " Jadi apa menurut Kiai Gringsing, sesuai dengan pengamatannya."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Marilah kakang. Kita dapat bertemu dengan Kiai Gringsing sejenak."
"Tetapi pendapat Kiai Gringsing itupun meragukan," bantah Untara.
Agung Sedayupun kemudian menceriterakan apa yang sudah dilakukan oleh Kiai Gringsing pada mangkuk tempat sisa obat Sabungsari yang berwarna kehijau-hijauan itu.
"Busa itu sudah menunjukkan ketidak wajaran ?"
"Ya kakang. Kiai Gringsing dapat melihatnya. Mungkin aku tidak."
"Itu bukan pekerjaan yang mudah Agung Sedayu. Mungkin Kiai Gringsing sudah berprasangka. Atau barangkali hanya karena keadaan Sabungsari yang menjadi semakin parah."
"Mungkin kakang. Tetapi aku yakin, penglihatan Kiai Gringsing bukan sekedar dugaan dan prasangka. Tetapi yang terjadi sekarang ini mirip sekali apa yang pernah terjadi pada kakang Untara sendiri dalam hubungan kakang yang buruk dengan Sidanti. Ternyata Kiai Gringsing juga dapat mengenal, bahwa obat yang akan diberikan kepada kakang oleh Kiai Tambak Wedi lewat Sidanti, adalah racun yang dapat membunuh. Dan racun itu dapat dibuat keras atau lunak. Membunuh dalam sekejap, atau perlahan-lahan," desis Agung Sedayu.
Sekali lagi perasaan Untara tersentuh. Bagaimanapun juga ia tidak akan dapat ingkar. Kiai Gringsing memang bukan anak kecil yang mulai pandai mengunyah daun metir untuk mengobati luka-luka jari yang tergores pisau didapur, atau sekedar mencari sarang labah-labah hitam disudut-sudut rumah, untuk memampatkan darah tanpa perhitungan sebab dan akibatnya.
Tetapi Kiai Gringsing adalah seorang yang memiliki pengalaman yang cukup dalam bidang yang ditekuninya, disamping olah kanuragan.
Karena itu. maka sejenak Untara merenungi masa lampaunya. Dan iapun akhirnya mengakui bahwa setidak-tidaknya Kiai Gringsing tidak akan kalah pengetahuannya dalam bidang pengobatan oleh prajurit yang ditugaskannya merawat Sabungsari.
Dengan demikian, maka Untarapun kemudian berkata, "Marilah. Aku akan melihat anak muda itu."
Untarapun kemudian bangkit dan melangkah kebilik tempat Sabungsari terbaring, diikuti oleh Agung Sedayu. Glagah Putih yang duduk diserambi hanya berdiri saja tanpa bertanya sesuatu ketika Untara dan Agung Sedayu lewat. Kemudian ia duduk kembali dengan wajah yang tegang.
Didalam bilik itu. Kiai Gringsing duduk disisi Sabungsari yang pucat. Keringat mulai mengembun dikeningnya. Kiai Gringsing menyadari keadaan Sabungsari yang gawat. Namun ia tidak akan berani berbuat sesuatu sebelum Untara memberikan ijinnya.
Karena itu, maka ketika ia melihat Untara masuk, maka dengan tergopoh-gopoh ia menyongsongnya. Namun, ia menjadi ragu-ragu untuk mengatakan sesuatu ketika ia melihat wajah Untara yang buram.
Tetapi ternyata Untaralah yang bertanya lebih dahulu, "Bagaimana keadaannya Kiai ?"
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Keadaannya justru menjadi semakin gawat ngger. Tetapi seharusnya tidak sampai membahayakan jiwanya. Sabungsari telah dapat memampatkan arus darahnya dengan obat yang dibawanya, sehingga sebenarnya ia tidak mengalami kekurangan darah," jawab Kiai Gringsing.
"Jadi apa yang terjadi sebenarnya " Katakan seperti yang Kiai ketahui." minta Untara.
Kiai Gringsing menjadi ragu ragu. Tetapi ia tidak dapat membiarkan keadaan Sabungsari menjadi bertambah gawat. Karena itu, maka iapun kemudian berkata sesuai dengan tanggapannya atas keadaan Sabungsari, "Angger Untara. Biarlah aku berkata menurut pengetahuanku atas keadaan yang aku hadapi. Aku sudah bersumpah kepada diriki sendiri, bahwa aku akan berbuat sebaik-baiknya dengan kecakapanku yang tidak berarti didalam bidang ini. Aku akan berlaku jujur, siapapun yang aku hadapi. Kali ini aku menghadapi angger Sabungsari yang parah. Dan aku minta maaf, bahwa menurut tanggapanku, orang yang angger tugaskan merawat angger Sabungsari sudah berbuat satu kekeliruan."
Wajah Untara menegang sejenak. Meskipun ia sudah menduga, bahwa hal itulah yang terjadi. Namun ia masih bertanya, "Apakah Kiai dapat membuktikan ?"
"Aku sudah melihat hal itu pada sisa obat angger Sabungsari, ngger," jawab Kiai Gringsing.
"Maksudku, jika Kiai aku persilahkan mengobati, apakah keadaan Sabungsari akan bertambah baik ?" bertanya Untara pula.
"Aku hanya dapat berusaha. Tetapi aku mohon angger mengetahui, bahwa sudah ada kesulitan pada tubuh angger Sabungsari karena pengobatan yang salah. Disengaja atau tidak disengaja."
"Kiai," potong Untara, "apakah Kiai berani menuduh, bahwa ada kesengajaan dalam kesalahan ini " Tuduhan itu mempunyai akibat yang berat, karena Kiai harus membuktikannya."
"Aku akan membuktikan menurut pengetahuan yang ada padaku, ngger. Yang barangkali tidak dapat diterima dengan gamblang oleh orang lain."
"Maksud Kiai ?"
"Ada racun didalam obat yang diberikan oleh petugas yang angger perintahkan merawatnya. Aku cenderung untuk mengatakan bahwa hal itu telah disengaja. Bukan satu kesalahan, karena menurut pengamatanku, prajurit itu memang demiliki keahlian dihidang ini pula."
Sabungsari yang mendengar pula percakapan itu menggeretakkan giginya. Namun ketika ia berusaha mengangkat kepalanya. Agung Sedayu menahannya sambil berkata, "Tenanglah. Supaya keadaanmu tidak semakin buruk."
Terdengar Sabungsari mengerang. Ternyata ia memang sudah sangat lemah, sehingga seakan-akan ia sudah tidak mampu bergerak lagi.
"Angger Untara," berkata Kiai Gringsing, "waktu akan sangat berharga bagi angger Sabungsari. Jika angger berkenan, aka akan mencoba memperbaiki keadaan yang parah itu. Mudah-mudahan Yang Maha Kuasa mengijinkan pula."
Untara masih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata, "Terserah kepada Kiai. Tetapi apa yang Kiai lakukan akan menuntut akibat jika Kiai gagal, karena Kiai sudah melakukan sesuatu usaha yang dilandasi dengan satu tanggung jawab atas keselamatan jiwa seseorang."
"Aku akan berusaha apapun akibatnya, karena itu bagiku jauh lebih baik daripada aku duduk menunggu menjalarnya racun yang lemah keseluruh tubuh angger Sabungsari."
"Lakukanlah. Aku akan melihat akibatnya," berkata Untara kemudian.
Kiai Gringsing tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun segera mempersiapkan segala macam obat yang diperlukan untuk mengatasi keadaan Sabungsari. Agung Sedayulah yang kemudian sibuk membantunya. Ia harus mengambil air dingin ke sumur. Dan bahkan ia harus minta air hangat ke gardu perondan.
Kecuali obat yang harus diminum, Kiai Gringsingpun menyiapkan pula obat yang akan ditaburkan pada luka Sabungsari yang menjadi kemerah-merahan, dan bahkan disekitarnya mulai nampak bintik-bintik kebiru-biruan. Pada luka itu. Kiai Gringsing harus memusnahkan akibat racun yang perlahan-lahan telah njenjamah daging disekitarnya, seperti juga obat yang telah diminum oleh Sabungsari, yang mempunyai akibat gawat meskipun perlahan-lahan.
Dengan demikian Kiai Gringsing harus bekerja dengan hati-hati dan sangat cermat. Bukan saja karena ia harus mempertanggung jawabkan segala akibat yang dapat timbul karena usahanya, tetapi ia sudah berhadapan dengan keselamatan jiwa seseorang.
Sambil berdoa didalam hati, Kiai Gringsing mulai dengan usahanya. Dibantu oleh Agung Sedayu ia membersihkan luka Sabungsari yang nampak menjadi sangat parah. Ia tidak dapat menunda barang sekejap.
Ternyata yang dilakukan oleh Kiai Gringsing itu membuat Sabungsari menjadi sangat kesakitan. Sekali-sekali terdengar ia mengerang dan berdesis. Tetapi ditangan Kiai Gringsing Sabungsari telah merasakan tumbuhnya, harapan-harapan yang jernih didalam hatinya. Betapapun ia merasakan kesakitan, tetapi ia berjuang untuk mengatasinya.
Perjuangan dan harapan Sabungsari itu ternyata banyak membantu Kiai Gringsing. Dengan demikian Kiai Gringsing tidak banyak mengalami kesulitan. Ia harus mengorek luka itu, sehingga berdarah. Kemudian menaburkan obat yang sudah tersedia dibantu oleh Agung Sedayu. Sehingga dengan demikian, maka luka-luka itu mengalami pengobatan baru, setelah obat yang lama dan racun yang ada, hanyut bersama darah yang keluar lagi dari luka itu, sedang sisanya telah ditawarkannya.
Namun Kiai Gringsing sangat berhati-hati, agar dengan demikian Sabungsari tidak justru kehabisan darah, dan mengalami malapetaka karena sebab yang lain setelah racun ditubuhnya dapat disingkirkan, dan yang tersisa ditawarkan.
Setelah pengobatan pada luka itu selesai, maka Kiai Gringsingpun membantu Sabungsari untuk minum obat yang telah disediakan pula. Sedikit demi sedikit, namun akhirnya obat itu telah dapat ditelannya seluruhnya sesuai derngan takaran yang diberikan oleh Kiai Gringsing.
Agung Sedayu yang membantu Kiai Gringsing itu kemudian mengusap peluhnya yang meleleh dikening. Ternyata ia sudah mengalami ketegangan, selama Kiai Gringsing melakukan pengobatan.
Agung Sedayu menarik nafas ketika semuanya telah selesai. Iapun kemudian mengemasi alat-alat yang dipergunakan oleh Kiai Gringsing yang kemudian duduk diamben lain bersama Untara yang menungguinya.
"Apakah Kiai yakin, bahwa keadaannya akan bertambah baik ?" bertanya Untara yang ikut mengalami ketegangan pula.
"Demikian ngger," jawab Kiai Gringsing, "tetapi semuanya tergantung kepada belas kasihan Yang Maha Agung."
Untara menarik nafas dalam-dalam. Ia memandangi saja adiknya yang sibuk membersihkan ruang itu. Dan yang kemudian melangkah keluar sambil membawa mangkuk-mangkuk yang baru saja dipergunakan. Ia harus mencuci mangkuk-mangkuk itu dengan bersih, agar sisa-sisa obat dan keperluan-keperluan pengobatan yang lain tidak mengotori mangkuk-mangkuk itu apabila kemudian dipergunakan untuk kepentingan yang lain.
"Bantu aku," berkata Agung Sedayu kepada Glagah Putih.
Glagah Putih tidak menyahut. Iapun kemudian mengikuti Agung Sedayu ke sumur.
Beberapa saat lamanya, Agung Sedayu dan Glagah Putih berada di sumur untuk membersihkan alat-alat yang dipergunakan oleh Kiai Gringsing. Sementara itu, yang berada didalam ruang bilik Sabungsari telah dikejutkan hadirnya prajurit yang ditugaskan oleh Untara untuk mengobati Sabungsari.


06 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan tergesa-gesa prajurit itu meloncat masuk. Dengan tegang ia memandang Kiai Gringsing dan Untara yang terlonjak karena kedatangannya yang tiba-tiba.
"Ki Untara," bertanya prajurit itu, "apa yang sudah dikerjakan oleh orang tua itu " Aku mendapat laporan, bahwa orang yang disebut bernama Kiai Gringsing itu telah datang dan memasuki bilik ini. Bahkan ia telah mengganggu orang yang sedang dalam perawatanku."
Untara memandang prajurit itu sejenak. Kemudian katanya, "Aku telah mengijinkannya. Ia mencoba untuk membantu penyembuhan Sabungsari."
"Tetapi ia berbuat tanpa setahuku. Aku yang berharap Sabungsari besok pagi-pagi akan mengalami kemajuan pada kesehatannya, kini harus meragukannya, karena aku tidak yakin, bahwa orang tua itu benar-benar mengerti tentang obat-obatan."
"Sabungsari berada dibawah tanggung jawabnya. Jika ia gagal, maka ia akan menanggung segala akibatnya," jawab Untara.
"Tetapi apakah ada gunanya " Seandainya orang itu harus digantung, Sabungsari yang sudah mati akan tetap mati."
"Aku percaya kepada orang tua ini," berkata Untara kemudian, "aku sudah memerintahkannya melakukan pengobatan. Aku mengenal orang tua itu dengan baik. Dan ia mempunyai beberapa persoalan dengan obat-obat yang kau berikan. Mungkin satu kekeliruan, tetapi mungkin pula karena kau terlalu tergesa-gesa waktu itu."
"Tidak ada kesalahan apapun dalam pengobatan yang sudah aku berikan," berkata prajurit itu. "semuanya berjalan seperti yang aku kehendaki."
"Kau meragukan kesembuhannya," tiba-tiba saja Untara berkata, "dan sikap itu telah meragukan aku pula. Sekarang, biarlah Sabungsari berada dibawah pengobatan Kiai Gringsing. Besok kita akan melihat akibatnya. Dan aku perintahkan kau tetap berada disini, menunggui prajurit muda itu bersama aku dan Kiai Gringsing."
Wajah prajurit itu menjadi tegang. Ia memandang wajah Untara sejenak. Kemudian wajah Kiai Gringsing. Sekilas ia melihat bayangan yang kelam dimata itu. Namun kemudian seolah-olah mata itu menjadi menyala penuh kemarahan.
"Setan tua itu tentu mengetahui apa yang aku lakukan," berkata prajurit itu didalam hatinya, "ia tentu berhasil melakukan pengamatan atas racun yang aku berikan. Karena itulah agaknya Ki Untara memerintahkan aku tetap berada disini."
Tiba-tiba kegelisahan yang sangat telah mencengkam prajurit itu. Ia merasa bahwa yang dilakukan itu sudah diketahui. Dan ia tidak mempunyai jalan untuk menghindar. Yang berada didalam bilik itu adalah Ki Untara, Senapati yang besar dan Kiai Gringsing yang juga dikenal sebagai orang bercambuk.
Sejenak orang itu berpikir. Sikap yang manakah yang paling baik dilakukan, jika ternyata Kiai Gringsing yang juga ahli didalam pengobatan itu nengetahui, bahwa ia telah membubuhkan racun yang lemah pada obat-obatnya atas Sabungsari.
Bagi Untara, sikap prajurit itu benar-benar telah membuatnya curiga. Sebagai seorang Senapati, maka ia wajib berbuat sesuatu. Cepat Untara menghubungkan perbuatan prajurit itu dengan peristiwa yang baru saja terjadi. Perbuatan orang-orang yang telah mencegat dan melukai Sabungsari, namun yang kemudian terbunuh oleh Sabungsari dan Agung Sedayu. Tetapi ternyata bahwa mayat yang ditinggalkan Itu telah hilang.
"Prajurit ini tentu mempunyai hubungan dengan orang yang disebut sebagai penggerak dari peristiwa ini, Ki Pringgajaya," berkata Untara didalam hatinya, lalu. "dengan demikian, maka mungkin orang ini akan dapat menjadi pintu yang membuka segala persoalan yang rumit ini."
Karena itu, maka Untara akan tetap pada perintahnya, prajurit itu tidak akan diperbolehkan meninggalkan tempat.
Namun agaknya prajurit itupun telah membuat perhitungan-perhitungan tertentu. Ia harus dapat menyingkir, agar ia tidak akan tertangkap dan diperas untuk memberikan beberapa kesaksian.
Dalam ketegangan itu. Agung Sedayu dan Glagah Putih melangkah memasuki bilik tanpa prasangka apapun. Namun yang kemudian terjadi adalah peristiwa yang sangat mengejutkan.
Tiba-tiba saja prajurit yang gagal membunuh Sabungsari dengan perlahan-lahan itu telah meloncat kebelakang Glagah Putih. Secepat kilat ia telah mencabut kerisnya dan melekatkan ujungnya pada lambung anak muda itu.
Serentak semua orang yang ada didalam bilik itu telah bergerak. Tetapi mereka tidak dapat berbuat banyak. Untara jadi membeku ketika orang yang menekankan ujung kerisnya itu berkata garang, "Untara. Jika kau berbuat sesuatu yang mencurigakan, maka anak ini akan mati. Meskipun aku sadar, bahwa akupun akan mati."
Untara menggeretakkan giginya. Katanya, "Kau licik. Kau sudah meracun Sabungsari dengan racun yang lemah, agar kau dapat melepaskan kesan, bahwa seolah-olah Sabungsari mati karena luka-lukanya. Sekarang kau berperisai anak yang tidak tahu apa-apa itu."
"Persetan. Anak ini adalah saudaramu sepupumu. Aku tidak tahu, apakah nilainya lebih tinggi dari aku. Tetapi aku sudah puas seandainya aku dapat membunuhnya sebelum aku mati."
Untara menggeram. Tetapi ia tidak dapat berbuat banyak. Orang itu kemudian menarik lengan Glagah Putih bergeser mendekati pintu. Sambil melangkahkan kakinya keluar pintu, ia berkata, "Untara. Kau harus memerintahkan semua prajurit yang ada dihalaman untuk melepaskan aku pergi membawa anak ini. Jika tidak, maka ia akan mati dimuka pintu bilik ini."
Untara menjadi termangu-mangu, sementara Agung Sedayu menjadi tegang. Tidak seorangpun yang kemudian bergerak. Glagah Putihpun berdiri tegak sambil menggigit bibirnya. Ia merasa ujung keris menekan lambungnya. Sementara kedua orang kakak sepupunya hanya dapat memandanginya dengan tegak.
Ketika Agung Sedayu bergeser setapak, orang itu berteriak, "Jangan berbuat sesuatu yang dapat mempercepat kematian anak ini."
Agung Sedayupun harus menahan diri, betapapun jantungnya bergolak didalam dadanya.
"Itu sama sekali perbuatan yang tidak terpuji," berkata Untara kemudian, "apa yang sebenarnya kau kehendaki ?"
"Aku tidak menghendaki apa-apa," jawab prajurit itu, "aku hanya ingin kalian mematuhi perintahku."
"Akulah yang wenang menjatuhkan perintah disini," geram Untara.
"Terserah kepadamu. Tetapi aku menguasai anak ini."
Untara terdiam. Betapapun tegangnya wajah dan hatinya, namun ia tidak dapat berbuat banyak.
"Ki Sanak," berkata Kiai Gringsing kemudian, "apakah tidak ada cara lain yang lebih baik, yang dapat kita tempuh untuk memecahkan persoalan yang tidak jelas bagi kami. Jika Ki Sanak berkeberatan bahwa aku telah melakukan sesuatu atas orang yang sedang kau rawat, bukankah seharusnya kau menyekap anak yang tidak tahu menahu. Aku bersedia untuk membicarakan dan menunjukkan kepadamu, apa yang telah aku lakukan."
"Jangan mencoba mempengaruhi aku dengan sikap iblismu," berkata prajurit itu, "apapun yang telah kau lakukan, namun aku sudah tersudut pada suatu tuduhan yang tidak akan dapat aku elakkan. Karena itu, maka daripada aku mati seorang diri, maka lebih baik aku mati bersama anak ini."
"Ki Sanak," berkata Kiai Gringsing, "jika kau ingin melindungi dirimu, baiklah aku menyediakan diri, menggantikan anak itu, meskipun seandainya aku akan mati sekalipun."
"Persetan," berkata prajurit itu, "aku tidak memerlukan kau. Aku memerlukan anak ini."
Namun diluar dugaan, tiba-tiba saja Glagah Putih berkata, "Kakang Untara, lakukan apa yang harus kau lakukan. Jangan hiraukan aku."
"Tutup mulutmu," teriak prajurit yang mengancamnya dengan keris. Terasa keris itu semakin kuat menekan lambungnya. Tetapi ujungnya yang dilambari tebal baju Glagah Putih, masih belum melukai kulitnya. Terdengar orang itu berkata lantang, "kau jangan membuat aku marah."
"Aku tidak peduli," geram Glagah Putih.
"Tidak," berkata Agung Sedayu, "bukan salahmu Glagah Putih. Berbuatlah seperti yang dikehendakinya."
Untara menjadi tegang. Dengan suara yang berat ia berkata, "Kau sadari akibat perbuatanmu" Aku Senapati disini. Aku menentukan segala-galanya."
"Aku sudah bersedia untuk mati," teriak orang itu. Lalu ditariknya Glagah Putih sambil berkata, "Ikut perintahku. Jangan memperpendek umurmu. Jika kau tidak banyak tingkah, aku akan melepaskanmu saat aku sudah sampai kekudaku."
Ketegangan menjadi semakin memuncak. Setiap Glagah Putih ditarik mundur selangkah, maka Untara, Kiai Gringsing dan Agung Sedayu maju selangkah. Sehingga ketika Glagah Putih dihentakkannya keluar pintu, maka Untarapun segera meloncat pula. Tetapi langkahnya terhenti karena prajurit itu berteriak," berhenti ditempatmu Untara. Dan perintahkan setiap prajurit di halaman ini untuk tidak bergerak."
Untara menjadi ragu-ragu. Demikian pula Agung Sedayu dan Kiai Gringsing yang menyusulnya pula.
"Cepat," teriak prajurit itu ketika ia melihat beberapa orang prajurit dihalaman itu bergerak. Tetapi ternyata mereka masih belum mengetahui apa yang terjadi.
Merekapun kemudian tertegun ketika mereka melihat prajurit yang mendapat perintah untuk mengobati Sabungsari itu memegangi lengan Glagah Putih sambil mengancamnya dengan ujung kerisnya.
"Untara, "teriak prajurit itu, "perintahkan agar para prajurit menyingkir."
Untara termangu-mangu. "Cepat," prajurit itu berteriak lagi, "atau anak ini akan mati terkapar dihalaman."
Keringat mulai mengalir dikening Untara. Kemarahannya hampir meretakkan dadanya. Tetapi Glagah Putih tidak dapat dikorbankan. Kecuali ia adalah saudara sepupunya, maka anak itu tidak tahu menahu persoalannya.
Dalam keragu-raguan itu, ia melihat para prajurit yang berada dihalaman itu bergeser surut. Merekapun mengetahui, bahwa nasib anak muda itu benar-benar sedang berada diujung duri.
Perlahan-lahan prajurit itu bergeser mendekati kudanya. Tidak seorangpun yang dapat menghalanginya. Agung Sedayu dan Untara yang bergeser maju diluar sadarnya, terpaksa berhenti ketika sekali lagi orang itu mengancam sambil meloncat naik kepunggung kudanya, "Setiap gerak yang mencurigakan, maka nyawa anak inilah tebusannya."
"Pergilah," teriak Agung Sedayu yang menahan luapan perasaannya, "lepaskan anak itu."
"Tidak," sahut orang itu.
"Kau berjanji melepaskannya jika kau mencapai kudamu," berkata Agung Sedayu lantang.
"Tetapi keselamatanku belum terjamin sepenuhnya. Aku akan membawanya sampai keluar padukuhan ini."
Dada Agung Sedayu menjadi bergetar semakin cepat. Jantungnya bagaikan berdetak semakin keras dan semakin cepat, sementara darahnya rasa-rasanya menjadi semakin panas mengalir ditubuhnya.
Tidak seorangpun dapat mencegah orang itu menarik Glagah Putih dengan satu tangannya agar ia naik pula kepunggung kuda itu, sementara tangannya yang lain masih tetap mengancam dengan keris. Ketika Glagah Putih telah berada dipunggung kuda, maka orang itupun berkata, "Jangan salahkan aku, jika anak ini kalian dapati pingsan terlempar dari punggung kuda, atau bahkan mati terkapar dipinggir jalan."
"Kami tidak mengusikmu," jawab Agung Sedayu, "anak itu harus selamat."
"Kalian telah menggagalkan usahaku. Kalian harus menerima akibatnya. Tetapi aku masih akan mempertimbangkan kemungkinan yang lebih baik bagi anak ini."
Terdengar Untara menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Jika ia salah langkah, maka ia akan menjerumuskan Glagah Putih kedalam kesulitan, dan bahkan mungkin kematian.
"Anak itu masih terlalu muda untuk mati," katanya didalam hati.
Sementara itu, prajurit yang sudah berada dipunggung kuda bersama Glagah Putih itu berteriak, "beri aku jalan."
Tidak ada yang dapat dilakukan oleh para prajurit itu kecuali bergeser surut. Meskipun tangan mereke telah metekat dihulu pedang, namun tidak seorangpun yang dapat berbuat sesuatu. Merekapun mengerti bahwa anak yang berada dipunggung kuda adalah adik sepupu Untara.
Senopati Pajang di Jati Anom itu menjadi gemetar menahan marah. Ia merasa wajib untuk menangkap prajurit itu, tetapi ia tidak dapat melakukannya. Karena itu. rupa-rupanya jantung Untara justru hampir meledak. Ia harus berdiri diam, sementara dihadapannya, seorang yang bersalah telah berada dipunggung kuda dan siap untuk melarikan diri.
Sejenak ia niempertimbangkan kemungkinan untuk bertindak, jika Glagah Putih bernasib baik, ia tentu tidak akan mati.
Tetapi niat itupun diurungkan. Sekali lagi ia menggeram didalam hatinya, "Anak itu masih terlalu muda untuk mati."
Karena itu, yang dapat dilakukan oleh Untara hanyalah menggeram dan menggeretakkan giginya.
Kiai Gringsingpun bagaikan orang kehabisan akal. Ia adalah seorang yang mengenal beribu peristiwa dan persoalan. Ia memiliki perbendaharaan pengalaman yang tiada taranya. Namun menghadapi peristiwa ini, ia benar-benar tidak mampu untuk berbuat sesuatu.
Seperti Untara, ia mempertimbangkan keselamatan Glagah Putih. Jika ia melakukan sesuatu yang dianggap oleh prajurit dipunggung kida itu mencurigakan, maka nasib glagah Putihlah yang menjadi taruhan.
Dalam pada itu, kegelisahan benar-benar telah mencengkam halaman itu. Keadaan Sabungsari memang menjadi berangsur baik. Tetapi mereka kini menghadapi persoalan lain yang cukup gawat pula.
Sabungsari sendiri, tidak mengetahui peristiwa itu dengan jelas. Meskipun ia tidak pingsan, tetapi ia sedang digelut oleh perasaan sakit yang sangat pada luka-lukanya yang mendapat pengobatan baru. Badannya terlalu lemah dan seakan-akan ia tidak sempat memikirkan apa yang terjadi disekitarnya.
Namun demikian, sepercik kegelisahan telah mencengkamnya pula. Untunglah, bahwa kesadarannya tidak bekerja sepenuhnya, sehingga ia tidak diganggu oleh satu keinginan untuk meloncat dari pembaringannya karena keadaan Glagah Putih. Bahkan kadang-kadang ia mengerti arti pendengarannya, namun kadang-kadang seperti orang yang setengah tidur, ia tidak mengetahui, apa yang sedang terjadi.
Dalam pada itu ketegangan menjadi semakin memuncak ketika prajurit dipunggung kuda itu berteriak, "Jangan berbuat sesuatu. Aku akan meninggalkan halaman ini dan seterusnya meninggalkan padukuhan ini."
Untara berdiri tegak dengan tegangnya, sementara Kiai Gringsing dan Agung Sedayu menjadi sangat cemas.
Ketika prajurit itu mulai menggerakkan kendali kudanya, terdengar Untara berkata, "Apa yang kau kehendaki" Lepaskan anak itu. Aku akan memberi jaminan keselamatanmu."
* * * Buku 129 TERDENGAR prajurit itu tertawa tinggi. Jawabnya, "Selama ini aku percaya kepada setiap kata-katamu Ki Untara. Tetapi kali ini aku lebih senang melepaskan diri dari tanganmu. Aku tahu siapakah kau dan aku tahu sikap dan tindakanmu terhadap bawahanmu. Kau kira aku tidak akan dapat kau tangkap dan kau perlakukan sebagai seorang pengkhianat dengan alasan-alasan apapun juga yang nampaknya tidak ada sangkut pautnya dengan peristiwa ini?"
"Aku memberimu kesempatan. Tetapi jangan pergunakan anak itu sebagai perisai." kemarahan Untara membuat suaranya bergetar. Tetapi ia tidak dapat berbuat banyak. Bahkan ia tidak dapat menggerakkan prajurit yang sudah siap melakukan perintahnya. Namun yang karena keadaan, mereka justru menjahui prajurit diatas punggung kuda yang mengancam keselamatan Glagah Putih dengan kerisnya.
Yang terdengar adalah suara tertawa prajurit itu. Kerisnya masih saja melekat dilambung Glagah Putih. Setiap saat keris itu akan dapat menghunjam kelambungnya dan merampas nyawanya.
Glagah Putih sendiri hanya dapat menggeram menahan gejolak perasaannya. Tetapi iapun menyadari, bahwa keris itu benar-benar akan dapat membunuhnya.
Dalam pada itu, terdengar prajurit itu berkata lantang, "Selamat tinggal. Mudah-mudahan Sabungsari dapat sembuh. Tetapi dengan demikian, maka kalian telah melepaskan anak ini dengan penuh ketegangan. Mudah-mudahan ia masih sempat memandang matahari di esok pagi."
Yang terdengar hanyalah gemeretak gigi. Agung Sedayu yang selalu dibayangi oleh keragu-raguan dan pertimbangan, saat itu rasa-rasanya ingin meloncat menerkam prajurit yang telah mempergunakan Glagah Putih sebagai perisai. Kemarahannya bagaikan tidak tertahankan, sehingga rasa-rasanya jantungnya akan meledak.
Agung Sedayu seakan-akan telah kehilangan nalar dan pertimbangannya, ketika ia mendengar prajurit itu berkata, "Jangan sesali apa yang akan terjadi."
Orang-orang dihalaman itu melihat, kuda itupun mulai bergerak. Prajurit itu masih tertawa ketika kudanya mulai meloncat berlari, bersamaan dengan kemarahan yang tertahan disetiap dada.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu benar-benar tidak mau kehilangan Glagah Putih. Dalam keadaan yang demikian, maka perasaannya tidak lagi dapat dikendalikan. Bersamaan dengan derap kaki kuda yang membawa prajurit itu meninggalkan halaman, maka getaran kemarahannya tiba-tiba saja telah mengalir mendesak ilmunya yang tidak kasat mata.
Demikian Agung Sedayu melihat prajurit itu membelakanginya diregol halaman, maka terlepaslah ilmunya yang dahsyat lewat sorot matanya.
Tidak seorangpun yang melihat, apa yang telah dilakukannya. Yang terdengar hanyalah gemeretak giginya. Namun tiba-tiba saja terdengar jerit prajurit itu melengking. Demikian kudanya berlari memutar turun kejalan padukuhan, prajurit yang mendekap Glagah Putih sambil mengancamnya dengan keris itu telah terlempar dari kudanya. Namun agaknya Glagah Putih belum terlepas sama sekali dari tangannya, sehingga ternyata anak muda itupun ikut pula terjatuh diatas jalan yang keras.
Peristiwa itu terjadi demikian cepatnya. Karena itu, untuk sekejap orang-orang yang berada di halaman itu justru bagaikan mematung. Namun sekejap kemudian, hampir bersamaan merekapun telah meloncat memburu kejalan didepan regol.
Dengan tangkasnya Untara berlari kearah Glagah Putih. Ialah yang pertama mencapai anak yang terbaring diam. Agaknya Glagah Putih telah menjadi pingsan terbentur dinding batu diseberang jalan
"Pingsan Kiai," desis Untara ketika Kiai Gringsing mendekatinya.
"Bawa ia kependapa," desis Kiai Gringsing.
Beberapa orang telah memapah Glagah Putih masuk kehalaman dan kemudian membaringkannya dipendapa. Sementara itu Untara dan Kiai Gringsing sempat memperhatikan prajurit yang terlempar dari kudanya itu. Ditangannya masih tergenggam keris yang belum sempat dipergunakan. Namun ketika Untara meraba tangannya dan kemudian dadanya, ternyata bahwa nafasnya telah terhenti.
Untara tidak segera mengetahui apa sebabnya. Ia mengira bahwa telah terjadi kecelakaan ketika kuda itu berlari kencang sambil berbelok, sementara prajurit itu harus memegangi Glagah Putih dengan satu tangan dan kerisnya ditangan yang lain.
Namun ia tidak sempat memikirkannya lebih lama lagi. Diperintahkan beberapa orang prajuritnya untuk mengangkat orang yang telah mati itu kependapa pula.
Dengan tergesa-gesa bersama Kiai Gringsing, Untara naik kependapa. Diatas tikar pandan yang terbentang dipendapa itu, Glagah Putih terbaring diam. Namun setelah Kiai Gringsing memeriksanya, maka iapun berkata, "Ia pingsan ngger. Selain karena hentakkan tubuhnya yang menjadi kebiru-biruan diatas telinganya dan sedikit membengkak."
Untarapun kemudian mengamati keadaan Glagah Putih. Namun ia percaya kepada keterangan Kiai Gringsing yang kemudian berusaha untuk menyadarkannya.
Dalam pada itu. Agung Sedayu berdiri termangu-mangu dibawah tangga pendapa. Ia merasa sangat gelisah atas peristiwa yang baru saja terjadi. Ternyata ia telah membunuh sekali lagi. Prajurit itu telah diremasnya dengan tatapan matanya yang didorong oleh kemarahan yang tiada terkendali.
Agung Sedayu seakan-akan baru sadar dari mimpinya yang buruk, ketika ia mendengar Kiai Gringsing memanggilnya, "Agung Sedayu. Kemarilah."
Agung Sedayu menarik nafas. Perlahan-lahan ia melangkah sambil terbungkuk-bungkuk naik kependapa mendekati Glagah Putih. Setitik air telah membasahi bibir anak muda yang pingsan itu.
Sejenlak orang-orang yang mengerumuni Glagah Putih menunggu. Sementara Kiai Gringsing telah bekerja dengan tekun untuk membangunkannya. Dengan beberapa macam reramuan yang dicairkannya dengan minyak kelapa, Kiai Gringsing mengusap kaki Glagah Putih. Dari lutut sampai keujung jari-jarinya. Kemudian dengan cairan yang serupa. Kiai Gringsing mengusap pula telinga anak muda itu. Terutama diatas telinganya yang menjadi kebiru-biruan.
Ketika Kiai Gringsing memberinya setitik lagi air dibibirnya, maka Glagah Putihpun mulai bergerak. Mula-mula bibirnya, kemudian kelopak matanya.
Ketika matanya mulai terbuka, maka ia melihat bayangan yang kabur diseputarnya. Namun semakin lama menjadi semakin terang. Sehingga akhirnya ia melihat wajah Kiai Gringsing, Untara, Agung Sedayu dan beberapa orang yang lain.
"Apa yang telah terjadi ?" desisnya.
"Bagaimana keadaanmu " " Untara bertanya dengan gelisah, "minumlah."
Glagah Putih termangu-mangu. Tetapi ia mengangguk ketika ia melihat Kiai Gringsing memegang mangkuk berisi air dingin.
Setitik lagi bibirnya dibasahi, dan terasa tubuh anak muda itu menjadi semakin segar.
Perlahan-lahan Glagah Putih mulai dapat mengingat apa yang telah terjadi atasnya. Segalanya mulai jelas terbayang, seakan-akan baru terjadi. Bagaimana ia ditarik oleh prajurit yang mengancahinya dengan keris, naik kepunggung kuda Kemudian bagaimana prajurit itu sambil tertawa mulai menggerakkan kudanya. Namun ketika kuda itu meloncat berlari, dan berbelok turun kejalan dari regol halaman, tiba-tiba saja seolah-olah ia merasa dilemparkan dan jatuh membentur dinding batu.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Iapun mulai merasa, betapa punggungnya menjadi sakit. Bahkan kemudian kepalanya diarah atas telinganya sebelah kiri.
"Aku terjatuh," desisnya, "apakah prajurit itu sempat melarikan diri ?"
Untara menggeleng sambil menjawab, "Tidak Glagah Putih. Prajurit itupun terjatuh pula bersamamu."
"O," Glagah Putih mengangguk. Ia memang merasa, seolah-olah ia terseret oleh tangan prajurit itu.
"Jadi prajurit itu terlempar juga ketika kudanya berlari kencang sambil berbelok turun kejalan ?"
"Ya," jawab Untara.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun ketika ia bergerak, terasa punggungnya bagaikan patah.
"Punggungku sakit," desisnya.
"Kau terbanting diatas tanah yang keras dan membentur dinding batu. Tentu punggungmu sakit dan bengkak dikepalamu itupun dapat membuatmu pening," desis Kiai Gringsing.
"Berbaring sajalah," berkata Untara, "sejenak lagi, kau akan dipindahkan keruang dalam."
"Dimanakah prajurit itu ?" bertanya Glagah Putih.
Untara memandang Kiai Gringsing sejenak. Ketika Kiai Gringsing memberinya isyarat, maka Untarapun kemudian menjawab, "Prajurit itu telah mati."
"He " " Glagah Putih terkejut, "kenapa " Apakah keris itu telah mengenai tubuhnya sendiri ketika ia terjatuh ?"
Untara menggeleng. Jawabnya, "Ia jatuh terbanting. Mungkin kepalanya membentur batu terlalu keras, sehingga cidera karenanya. Dengan demikian, nyawanya tidak dapat tertolong lagi."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa heran bahwa prajurit itu telah terbunuh. Apakah ia terbanting demikian kerasnya dan dengan demikian tulang kepalanya menjadi retak.
Sejenak Glagah Putih sempat membayangkan apa yang pernah terjadi di pesisir Laut Selatan, ketika ia sudah dikuasai oleh orang-orang yang ingin menangkapnya bersama Agung Sedayu. Peristiwa yang hampir serupa telah terjadi. Seorang diantara mereka yang menguasainya, seperti juga prajurit yang telah terbunuh itu, untuk mematahkan perlawanan Agung Sedayu, tiba-tiba saja telah terbanting dari kudanya.
"Tetapi ia terjatuh diatas pasir, sehingga karena iu, maka agaknya ia tidak terbunuh," berkata Glagah Putih didalam hatinya, "sehingga kawan-kawannya sempat berusaha menolongnya."
Tetapi untuk seterusnya, Glagah Putih tidak mengetahuinya lagi karena ia justru berusaha melepaskan diri bersama Agung Sedayu.
Kemudian dihalaman rumah Untara itu telah terjadi pula peristiwa yang hampir sama. Prajurit itu terbanting dari kudanya yang berlari kencang sehingga ia telah mati seketika.
Kiai Gringsingpun kemudian menggerakkan tangan Glagah Putih sambil berkata kepada Untara, "Apakah tidak sebaiknya sekarang saja anak ini dibawa masuk " Nampaknya ia sudah berangsur baik."
Untara mengangguk sambil menjawab, "Baiklah Kiai. Aku akan memerintahkan beberapa orang untuk membawanya."
Sementara beberapa orang kemudian mengangkat tubuh Glagah Putih, Untara telah menyuruh isterinya untuk menyiapkan pembaringan bagi adik sepupunya.
"Kenapa anak itu ?" bertanya isterinya yang gelisah ketika ia mendengar keributan dihalaman. Tetapi ia tidak berani keluar dari ruang dalam, meskipun di pintu butulan ia melihat dua orang pengawal khusus bersiap jika terjadi sesuatu.
"Ia terjatuh dari kuda dan menjadi pingsan. Tetapi ia sudah sadar kembali," sahut Untara.
Isterinya tidak bertanya lagi. Dengan tergesa-gesa ia menyiapkan pembaringan bagi Glagah Putih yang menyeringai kesakitan ketika beberapa orang mengangkatnya.
"Punggungnya tentu merasa sakit," desis Kiai Gringsing yang mengikutinya masuk keruang dalam.
Namun sebentar kemudian Glagah Putih itu sudah berbaring disebuah amben bambu yang diatasnya terbentang tikar pandan rangkap.
"Tidurlah," pesan Untara, "dengan demikian, keadaanmu akan cepat menjadi baik."
Glagah Putih berdesis. Punggungnya memang terasa sangat sakit. Demikian juga kepalanya. Ia memang merasa pening. Tetapi ia mencoba untuk mengatasi perasaan sakit dan pening itu.
Sejenak kemudian, maka Untarapun meninggalkan Glagah Putih ditunggui oleh Kiai Gringsing. Kemudian Agung Sedayupun duduk pula diamben itu sambil mengusap kaki Glagah Putih.
"Apakah punggungmu terasa sakit sekali ?" bertanya Agung Sedayu.
"Ya kakang," jawab Glagah Putih.
"Kau terlempar dan terbanting diatas tanah yang keras. Kepalamu membentur dinding. Tetapi kau akan segera menjadi baik," berkata Kiai Gringsing mengulang sambil membesarkan hati anak muda itu, "tidak ada bagian tubuhmu yang cidera sehingga akan dapat menimbulkan bahaya yang sebenarnya. Mungkin untuk satu dua hari kau perlu beristirahat. Tetapi kau akan segera dapat keluar dari bilik ini dan kembali kepadepokan."
Glagah Putih mengangguk kecil. Sementara Kiai Gringsing berkata, "Aku akan melihat keadaan dipendapa untuk beberapa saat. Kau berbaring saja disini. Jangan banyak bergerak."
Glagah Putih mengangguk sambil menjawab, "Ya Kiai. Aku akan mencoba untuk tidur."
Kiai Gringsing mengusap dahi anak itu. Kemudian diikuti oleh Agung Sedayu iapun melangkah keluar dari bilik itu.
Tetapi Kiai Gringsing berhenti diluar pintu bilik itu sambil berbisik, "Kenapa kau bunuh orang itu Agung Sedayu. Sebenarnya kita sangat memerlukannya."
Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Ia sadar, bahwa Kiai Gringsing tentu mengetahui apa yang sudah terjadi sebenarnya. Kiai Gringsing tentu mengetahui, bahwa ia telah mempergunakan kekuatan yang terpancar lewat sorot matanya.
"Guru," desis Agung Sedayu, "sebenarnyalah bahwa aku tidak ingin membunuhnya. Aku hanya ingin membebaskan Glagah Putih. Itu saja yang terpikir olehku, sehingga aku tidak dapat mengendalikan diri lagi. Aku tidak tahu, seberapa tinggi kemampuan prajurit itu dan seberapa besar kekuatan daya tahan tubuhnya. Karena itu, aku sudah mempergunakan sebagian besar dari kekuatanku untuk membuktikannya. Ternyata bahwa yang telah mencengkamnya melampaui daya tahan tubuhnya, sehingga ia telah terlempar dan terbunuh."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam dalam. Katanya kemudian, "Agung Sedayu. Kau harus mulai mengenali kemampuanmu dengan saksama. Dengan demikian kau tidak akan kehilangan pengamatan diri dalam benturan kekuatan. Jika kau kurang memahami kemampuanmu sendiri, maka kau akan dapat terdorong dalam banyak perbuatan diluar kehendakmu, karena kau tidak mempunyai takaran yang mapan atas kekuatanmu sendiri."
Kepala Agung Sedayu menjadi semakin tunduk.
Namun masih terdengar ia berkata, "Guru. Aku akan melakukannya. Tetapi kadang-kadang aku tidak dapat mengenal kekuatan dan daya tahan orang lain, sehingga aku sudah mempergunakan kekuatan yang terlalu besar dari kemampuan yang mungkin dapat aku ungkapkan."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk pula. Katanya, "Ya aku mengerti. Apalagi jika hatimu didorong oleh kemarahan dan kecemasan seperti yang baru saja terjadi."
Agung Sedayu tidak membantah lagi. Ia memang merasa bahwa dengan demikian, Untara telah kehilangan sumber keterangan yang akan dapat mengungkapkan peristiwa yang baru saja terjadi. Mungkin lewat prajurit itu akan diketahui, apa yang telah dilakukan oleh orang yang tersembunyi dilingkungan prajurit Pajang di Jati Anom dengan rencananya yang dapat mengaburkan tugas keprajuritan mereka.
Tetapi ia sudah terlanjur melakukannya. Bahkan diluar niatnya untuk membunuh orang itu.
Sejenak kemudian keduanyapun telah melangkah kependapa. Sementara seorang pelayan telah menghidangkan minuman hangat bagi Glagah Putih. Tetapi Glagah Putih tidak dapat bangkit dan minum sendiri karena punggungnya benar-benar merasa sakit.
Dalam pada itu, dipendapa beberapa orang duduk bersama Untara. Mereka masih sibuk membicarakan peristiwa yang baru saja terjadi, sementara prajurit yang terbunuh itupun masih terbujur diam.
Atas perintah Untara maka mayat itupun segera diselenggarakan sebagaimana seharusnya. Namun karena perbuatannya, maka ia telah kehilangan haknya untuk mendapatkan kehormatan dalam lingkungan keprajuritan.
Dihari berikutnya, maka Widura telah berada dirumah itu pula. Tetapi setelah ia mendapat keterangan dari Kiai Gringsing tentang anaknya, maka iapun tidak menjadi sangat cemas. Ia percaya, bahwa yang dikatakan oleh Kiai Gringsing tentang anaknya itu tentu tidak sekedar untuk menenangkan hatinya saja.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing telah mendapatkan tugas rangkap dirumah Untara. Ia harus merawat Sabungsari dan Glagah Putih sekaligus. Untunglah bahwa keadaan Glagah Putih tidak terlalu parah, sehingga dihari berikutnya ia sudah nampak lebih tenang dan tidak lagi dicengkam oleh perasaan sakit yang sangat.
Tidak banyak yang mengetahui, bagaimana peristiwa itu terjadi. Bahkan yang menyaksikanpun tidak dapat mengatakan dengan pasti kenapa prajurit itu terbunuh. Sementara sebagian dari mereka menduga bahwa orang itu telah mengalami kecelakaan, terjatuh dari kudanya disaat kudanya yang berlari kencang itu berbelok.
"Mungkin Glagah Putih memang telah meronta," desis yang lain.
"Kemungkinan yang sangat kecil. Dilambung anak itu, ujung keris telah siap untuk menikamnya. Ia tidak mendapat kesempatan sama sekali." sahut yang lain.
Namun tidak seorangpun yang dapat memberikan jawaban yang memuaskan tentang kematian prajurit yang telah melalaikan kewajibannya itu.
Dalam pada itu, dalam pertemuan yang khusus, Untara telah membicarakan laporan yang diberikan oleh Agung Sedayu atas peristiwa yang dialaminya di perjalanan dari Sangkal Putung ke Jati Anom. Untara semakin gelisah karena peristiwa yang menyusul. Hilangnya mayat-mayat yang disembunyikan adiknya, dan peristiwa yang terjadi dirumahnya.
Yang terjadi itu memang sangat menegangkan. Beberapa orang yang terdekat dengan Untara merasa dihadapkan pada suatu teka-teki yang sangat sulit untuk dipecahkan. Hanya kepada orang yang terbatas saja Untara menyebut nama seorang perwira yang termasuk tataran atas yang terlibat dalam peristiwa itu.
Para perwira kepercayaan Untara itu tidak segera dapat menentukan apakah perwira itu memang mungkin berbuat demikian. Memang kadang-kadang nampak sesuatu yang menarik perhatian pada perwira itu. Tetapi sampai begitu jauh, tidak ada petunjuk langsung yang dapat melibatkannya pada peristiwa yang sangat disesali itu.
"Jangan didengar oleh siapapun," pesan Untara kepada tiga orang perwira kepercayaannya, "kita harus mencari jejak."
"Kematian prajurit yang membawa Glagah Putih itu patut disayangkan," berkata salah seorang dari ketiga perwira itu.
"Ya," sahut Untara, "tetapi kematiannya itu sendiri sudah sangat menarik perhatian."
Para perwira itu mengangguk-angguk. Namun mereka tidak dapat mengatakan sesuatu. Pada tubuh prajurit itu tidak nampak bekasnya sama sekali. Bekas duri yang paling lembutpun tidak, seandainya ada orang yang mampu melepaskan paser-paser lembut beracun.
"Ada kekuatan yang lain yang telah mendorongnya jatuh," berkata Untara, "aku kurang yakin bahwa hal itu sekedar kecelakaan."
Para perwira itu mengangguk-angguk. Namun mereka tidak dapat mengatakan sesuatu.
Dalam pada itu, Untarapun kemudian berkata, "Adalah tugas kita semua untuk memecahkan teka-teki ini. Aku yakin bahwa memang ada kekuatan yang menyelinap didalam tubuh kita. Jika semula aku meragukan keterangan Agung Sedayu dan Sabungsari, maka setelah aku ketahui ada seorang prajurit yang justru telah mengkhianati tugasnya, aku menjadi yakin, bahwa memang ada sesuatu yang gawat didalam lingkungan kita. Semula aku mengira, bahwa mungkin sekali nama-nama yang disebut itu sekedar untuk melepaskan tanggung jawab, atau justru bahkan sebuah fitnah. Namun aku telah melihat asapnya, sehingga aku yakin, bahwa memang ada apinya."
Para perwira itu mengagguk-angguk. Ketegangan wajah mereka menunjukkan betapa mereka dengan sungguh-sungguh mengikuti peristiwa itu. Mereka menyadari, bahwa jika hal itu tidak segera terpecahkan, maka kekalutan akan semakin menjadi-jadi.
"Awasi dengan saksama, apa yang dilakukannya sehari-hari," berkata Untara kepada para perwira, "tetapi jangan menumbuhkan kecurigaannya."
"Kami akan berusaha sebaik-baiknya," jawab salah seorang perwira itu. Namun ia kemudian bertanya, "tetapi apakah kami diperkenankan menghubungi langsung Agung Sedayu dan Sabungsari ?"
"Aku tidak berkeberatan. Carilah bahan-bahan daripadanya," jawab Untara.
Ketiga perwira kepercayaannya itupun kemudian minta diri. Mereka menghadapi satu tugas yang berat. Mereka seakan-akan harus meneliti cacat ditubuh sendiri, dan kemudian jika perlu mencukilnya. Alangkah sakitnya. Tetapi itu harus dilakukan, karena jika cacat itu kemudian menjalar kebagian tubuh yang lain, maka akibatnya akan menjadi semakin parah.
Dalam pada itu, dalam pembicaraan tersendiri, Untara menyampaikan masalahnya itu juga kepada Widura. Selain Widura adalah pamannya, juga karena Widura seorang bekas prajurit yang masih banyak bersangkut paut dengan lingkungannya. Apalagi Widura masih dapat mengenal beberapa orang bekas kawan-kawannya yang kini masih tetap berada didalam lingkungan keprajuritan.
Ketika Widura mendengar nama seorang perwira yang disebut oleh Agung Sedayu dan Sabungsari sebagai otak dari segala peristiwa itu, maka Widurapun termangu-mangu. Namun seolah-olah kepada diri sendiri ia berkata, "Ia seorang prajurit yang baik. Tetapi ia mempunyai cita-cita dan keinginan yang terlampau jauh jangkauannya."
"Apakah mungkin ia berbuat seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu paman ?" bertanya Untara kemudian.
"Sulit untuk menjawab. Tetapi aku akan membantumu sejauh dapat aku lakukan," jawab Widura.
"Tetapi persoalan ini adalah persoalan yang sangat khusus paman. Aku berharap dapat menangkap ikannya tanpa mengeruhkan airnya," pesan Untara.
Widura mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa tuduhan itu adalah tuduhan yang sangat berat akibatnya. Jika ternyata tuduhan itu tidak dapat dibuktikan, maka lontaran persoalan itu akan dapat berbalik mengenai mereka yang melemparkannya.
"Untara," berkata Widura kemudian, "tetapi kaupun harus memperhitungkan, bahwa orang itu tentu sudah menduga, bahwa Agung Sedayu dan Sabungsari yang ternyata keduanya tidak terbunuh itu sudah melaporkannya kepadamu. Dalam hal itu, orang itu tentu sudah memperhitungkan, bahwa kau sudah mendengar namanya. Orang itupun tahu bahwa kau tentu sudah memerintahkan beberapa orang untuk menyelidikinya."
Untara mengangguk-angguk. Jawabnya, "Ya paman. Karena itu, aku harus menemukan jalan, bahwa diluar tubuh keprajuritan Pajang di Jati Anom, harus ada orang yang dapat dipercaya untuk ikut serta meyelidiki persoalan ini. Tetapi tentu bukan, paman Widura yang sudah banyak diketahui sebagai pamanku dan paman Agung Sedayu. Apalagi paman adalah bekas seorang perwira Pajang pula. Dan sudah barang tentu bukan Kiai Gringsing."
"Jadi siapa menurut pendapatmu ?" bertanya Widura.
Untara menggeleng. Jawabnya, "Aku belum tahu paman. Tetapi pada suatu saat, aku akan memilih seseorang. Kecuali jika aku sudah mendapatkan beberapa bukti langsung dari orang-orangku sendiri."
Widura mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Aku mengerti maksudmu ngger. Tetapi itu bukan berarti bahwa aku dan Kiai Gringsing tidak dapat membantu mencari jejak. Jika yang kau maksud bahwa orang itu harus berhubungan langsung dengan nama yang disebut oleh Agung Sedayu dan Sabungsari, tentu orang seperti yang kau sebut itulah yang paling sesuai."
Untara mengangguk-angguk. Namun yang dihadapinya adalah kegelapan yang sangat pekat. Ia sama sekali masih belum dapat melihat, apakah yang ada didalam kegelapan itu.
Dalam pada itu, maka Widurapun bertanya, "Apakah kau bermaksud untuk menyampaikan laporan ini kepada pimpinanmu di Pajang ?"
"Belum paman. Ketika Sabungsari terluka parah setelah berhasil membunuh Carang Waja, aku langsung memberikan laporan. Tetapi kini aku menahan peristiwa ini karena persoalan ini menyangkut beberapa segi yang belum dapat aku pecahkan. Yang aku laporkan barulah peristiwanya saja. Tanpa menyebut latar belakangnya sama sekali, meskipun laporanku itu dianggap tidak lengkap," jawab Untara.
"Dan kau memberikan beberapa tekanan pada laporanmu" Misalnya hilangnya mayat-mayat yang disembunyikan oleh adikmu?" bertanya Widura.
"Aku memang melaporkannya. Tetapi segala yang aku sebutkan masih samar. Kami disini belum mengetahui alasan yang sebenarnya, selain dugaan, bahwa yang terjadi adalah dendam pribadi." sahut Untara.
"Apa ada perintah bagimu ?"
"Perintah untuk menyelidiki persoalannya lebih dalam. Pajang mengharap laporan selengkapnya."
"Dan apakah kau sudah memperhitungkan, bahwa jalur dari mereka yang melakukan hal itu atas Agung Sedayu berada pula di Pajang, bahkan apakah kau setuju jika aku sebut, pusat pergolakan itu ada di Pajang."
Untara menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Hal itu masih perlu diselidiki paman. Tetapi aku sependapat, bahwa jalur itu ada pula di Pajang."
"Dan mereka telah mendengar laporan yang kau kirimkan."
"Tetapi tanpa menyebut nama seseorang, dan alasan yang sekedar karena dendam."
Widura tersenyum. Katanya, "Dengan demikian kau sudah memperhitungkan, bahwa pada puncak pimpinan keprajuritan di Pajang, ada pula orang-orang yang dengan, sengaja telah menggoyahkan pemerintahan."
Untara tidak menjawab. Ia tidak dapat membantah tanggapan pamannya, karena sebenarnyalah memang demikian.
"Jadi, apakah yang akan kau lakukan dalam waktu dekat ?" bertanya Widura.
"Belum pasti paman. Tetapi aku akan memperhatikan orang yang telah disebut-sebut itu secara khusus, dihadapanku atau tidak dihadapanku," berkata Untara, "selebihnya, aku akan mencoba meyakinkan Kiai Gringsing yang sekarang berada disini, agar membiarkan Agung Sedayu dan Glagah Putih untuk sementara tetap berada disini bersama Sabungsari. Bahwa ada pihak yang telah gagal mencoba membunuhnya, adalah alasan yang tidak dibuat-buat untuk menahan mereka. Disini mereka akan mendapat perlindungan. Terutama Sabungsari yang sedang dalam keadaan luka parah."
Widura mengangguk-angguk. Katanya, "Aku tidak berkeberatan Untara. Tetapi aku tidak tahu, apakah Agung Sedayu sependapat."
"Aku mohon paman membantu aku agar ia menyadari keadaannya," minta Untara.
Widura mengangguk-angguk. Katanya, "Aku akan mencoba. Tetapi aku tidak tahu pasti, apakah aku berhasil."
Untara menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa adiknya yang dalam banyak hal dibayangi oleh keragu-raguan itu, kadang-kadang sulit pula untuk dicegah kemauannya.
Dalam pada itu, Widura benar-benar telah mencoba menemui Kiai Gringsing. Dengan hati-hati ia mengatakan, apakah menurut Kiai Gringsing tidak sebaiknya Agung Sedayu dan Glagah Putih untuk sementara berada dirumah Untara.
"Aku memang akan berada disini untuk sementara jika angger Untara tidak berkeberatan berkata Kiai Gringsing, "keadaan angger Sabungsari benar-benar parah. Mudah-mudahan aku masih dapat melarutkan segala racun yang bekerja perlahan-lahan pada tubuhnya.
"Kiai," bertanya Widura kemudian, "apakah Kiai dapat mengerti cara prajurit itu bekerja. Kenapa ia mempergunakan racun yang lemah sehingga akhirnya ia gagal melakukannya " Jika ia mempergunakan racun yang lebih kuat, maka ia tentu sudah berhasil membunuh Sabungsari."
"Tetapi dengan demikian, kemungkinan rahasianya terbongkar jauh lebih kecil jika ia membunuh Sabungsari dengan perlahan-lahan. Lupa memperhitungkan, bahwa orang lain akan hadir begitu cepat kedalam bilik Sabungsari."
Widura mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Kiai, Untara tentu akan senang sekali jika Kiai tinggal dirumah ini. Dengan demikian, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih dapat diharap akan berada disini pula untuk sementara."
"Glagah Putih masih perlu perawatanku, meskipun keadaannya telah menjadi baik. Ia akan berada disini untuk sementara." jawab Kiai Gringsing.
Widura mengangguk-angguk. Katanya, "Tentu Agung Sedayupun akan bersedia."
Kiai Gringsing tidak menjawab. Iapun sependapat bahwa sebaiknya Agung Sedayu dan Sabungsari berada dalam satu lingkungan yang akan dapat memberikan perlindungan kepada mereka, termasuk Glagah Putih yang diluar kehendaknya, telah terhbat pula kedalam banyak persoalan, justru karena ia dekat dengan Agung Sedayu.
Seperti yang diharap oleh Widura dan Untara, ketika Kiai Gringsing menyampaikan persoalan itu kepada Agung Sedayu, maka iapun tidak menolak. Ia sadar, bahwa Glagah Putih masih memerlukan perawatan sepenuhnya, sementara Kiai Gringsing tidak akan sampai hati untuk meninggalkan Sabungsari yang benar-benar dalam keadaan yang gawat. Namun demikian, nampaknya Kiai Gringsing berpengharapan sepenuhnya, bahwa keadaan Sabungsari akan berangsur baik.
Dengan bersungguh-sungguh Kiai Gringsing berbuat sepenuh kemampuannya untuk menyelamatkan Sabungsari sambil berdo'a kepada Yang Menguasai segala-galanya. Meskipun masih samar-samar, namun usahanya sudah mulai nampak akan berhasil.
Dalam pada itu, Widura telah berbicara pula dengan Agung sedayu. Ia tidak dengan terus terang mengemukakan kepada anak muda itu, agar ia bersedia tinggal dirumah itu untuk sementara. Tetapi Widura telah minta agar Agung Sedayu bersedia menunggui Glagah Putih untuk satu dua hari.
"Tentu aku tidak berkeberatan paman," jawab Agung Sedayu.
Widura menarik nafas panjang. Katanya, "Terima kasih Agung Sedayu. Agaknya Kiai Gringsingpun akan tinggal disini untuk sementara, karena keadaan Sabungsari yang parah."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti bahwa Kiai Gringsing harus tinggal. Ternyata bahwa didalam lingkungan keprajuritan Pajang di Jati Anom terdapat beberapa pihak yang pantas mendapat perhatian.
Tetapi Agung Sedayu tidak dapat menyatakan sesuatu sikap. Ia tidak mengerti bagaimana seharusnya berbuat diantara mereka yang mempunyai ikatan yang khusus didalam lingkungan keprajuritan. Sedangkan iapun dapat mengemukakan hal itu kepada kakaknya, karena Agung Sedayu merasa bahwa ia masih tetap berdiri diluar batas keprajuritan. Iapun merasa segan, bahwa didalam setiap pembicaraan kakaknya akan selalu mendesaknya untuk menentukan sikap bagi masa depannya. Sehingga karena itu, maka seolah-olah Agung Sedayu selalu menghindari pembicaraan yang bersungguh-sungguh dengan Untara.
Sementara itu, keadaan Glagah Putih memang sudah menjadi semakin baik. Ia tidak mengalami kesulitan yang sungguh-sungguh karena luka-lukanya yang tidak seberapa, serta bagian kepalanya yang agak membengkak diatas telinga. Dengan obat-obat yang diberikan oleh Kiai Gringsing maka, keadaannya segera menjadi baik.
Namun demikian, ketika Agung Sedayu duduk bersama anak muda itu diserambi belakang, nampak wajah Glagah Putih masih diselubungi oleh kemurungan, sehingga Agung Sedayu bertanya, "Apakah kau masih merasa sakit " Atau perasaan yang lain ?"
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Kemudian katanya, "Aku sudah sehat kakang. Aku tidak apa-apa."
"Tetapi kau tidak mencerminkan keadaanmu. Kau nampak murung, suram dan kadang-kadang nampak seperti orang sakit," berkata Agung Sedayu.
Glagah Putih memandang Agung Sedayu sejenak. Kemudian sambil melemparkan tatapan matanya kekejauhan ia berkata, "Hatikulah yang terluka parah."
"Kenapa ?" bertanya Agung Sedayu.
"Kakang," suara Glagah Putih merendah, "nasibku terlalu buruk. Mungkin karena aku tidak memiliki sesuatu yang dapat aku pergunakan untuk melindungi diriku, sehingga aku selalu menjadi pangkal kesulitan."
Agung Sedayu menjadi heran. Dengan ragu-ragu ia bertanya, "Kenapa tiba-tiba saja kau merajuk seperti itu Glagah Putih."
"Kakang, cobalah menilai diriku dengan jujur. Tidak sekedar untuk menyenangkan hatiku, atau memberikan harapan-harapan yang kabur tentang masa depanku," Glagah Putih berhenti sejenak, lalu. "apakah kakang sebenarnya masih berpengharapan untuk meningkatkan ilmuku?"
Agung Sedayu terkejut. Kemudian dengan ragu-ragu ia bertanya, "Kenapa tiba-tiba saja kau merasa dirimu sangat kecil Glagah Putih " Bukankah kau sendiri merasa, bahwa akhir-akhir ini kemajuanmu nampak semakin pesat. Kau telah bekerja dengan sungguh-sungguh, sehingga masa depanmu nampak semakin cerah didalam bidang olah kanuragan."
"Tetapi cobalah kakang menilai, bukankah aku selalu menimbulkan kesulitan " Di Sangkal Putung, aku telah ditangkap oleh dua orang Pesisir Endut tanpa berbuat sesuatu. Hanya karena kebetulan saja, maka Pangeran Benawa berhasil menolong aku. Tetapi kematian kedua orang itu telah mengundang kesulitan yang lain. Carang Waja mendendam Sangkal Putung sampai batas hidupnya."
"Kedua orang Pesisir Endut itu memang bukan imbanganmu. Kecuali kau masih sangat muda, juga mereka berdua adalah orang-orang yang memang sudah dikenal memiliki kelebihan."
"Selanjutnya, ketika kita berada di Pesisir. Aku sama sekali tidak dapat membantu kakang Agung Sedayu. Justru akulah yang hampir menjerumuskan kakang Agung Sedayu kedalam kesulitan yang tidak teratasi. Untunglah bahwa tiba-tiba salah seorang dari mereka dicengkam oleh keadaan yang sulit, sehingga kita sempat melarikan diri."
"Tetapi bukankah pengalaman-pengalaman yang demikian itulah yang kau inginkan " Bukankah kau menolak untuk berjalan melalui jalan yang rata, lebar dan ramai " Jalan yang sehari-hari dilalui orang banyak dengan kedai-kedai yang menjajakan makanan dipinggirnya?" bertanya Agung Sedayu.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk kecil ia menjawab, "Kakang benar. Tetapi dengan demikian aku telah melihat betapa aku adalah orang kerdil diantara raksasa-raksasa yang buas sekarang ini."
"Jangan memperkecil diri. Kau harus melihat sebab-sebabnya. Sejak kapan kau dengan sungguh-sungguh belajar olah kanuragan. Sekarang berapa umurmu dan pada tataran yang mana kau berada didalam tata susunan olah kanuragan. Kau harus membuat perbandingan-perbandingan yang seimbang."
"Kakang, aku melihat kenyataan. Yang terakhir, sekarang aku membuat bukan saja kakang Agung Sedayu, tetapi juga kakang Untara dan para prajurit Pajang di Jati Anom menjadi bingung, cemas dan kehilangan kesempatan bertindak, hanya karena kedunguanku."
"Kau dibayangi oleh kekecewaan. Jangan berhati kecil. Aku adalah seorang penakut yang tidak ada duanya seperti yang pernah aku katakan dimasa kanak-kanakku. Tetapi dengan tekun aku kemudian sempat memiliki ilmu setingkat demi setingkat. Akupun kadang-kadang merasa terlalu kecil pada suatu saat. Tetapi aku merasa bahwa aku tidak akan mungkin dengan tiba-tiba memiliki tataran kemampuan seperti kakang Untara, apalagi seperti Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya yang memiliki jalan yang khusus untuk mencapai tatarannya yang sekarang." sahut Agung Sedayu, kemudian, "kemauan yang keras dan latihan yang tekun akan sangat berguna. Namun kau tidak boleh melupakan barang sekejappun, bahwa kau selalu dikejar satu pertanyaan, untuk apa sebenarnya kau meningkatkan ilmu?"
Glagah Putih termangu-mangu. Dipandanginya wajah Agung Sedayu sejenak. Kemudian perlahan-lahan kepalanyapun mulai menunduk. Pertanyaan yang diucapkan Agung Sedayu itu kembali terngiang di telinganya, "Untuk apa sebenarnya ia meningkatkan ilmunya?"
Dalam pada itu, Agung Sedayupun berkata selanjutnya, "Glagah Putih. Akupun kadang-kadang berbangga didalam hati sebagaimana satu kewajaran pada setiap orang apabila ia memiliki sesuatu yang lebin baik dari orang lain. Akupun merasa bangga apabila aku dapat melihat suatu kenyataan bahwa aku menang atas orang lain dalam benturan ilmu. Tetapi apakah itu merupakan jawaban atas pertanyaan tentang peningkatan ilmu itu sendiri bagiku" Apakah aku berusaha untuk mencapai tataran yang lebih tinggi dalam olah kanuragan sekedar untuk menyatakan kelebihanku dari orang lain, dan kemudian dengan semena-mena memaksakan kehendakku kepada orang lain?"
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam, ia mengerti maksud Agung Sedayu. Katanya, "Aku dapat meraba jawaban yang kakang kehendaki. Kakang ingin selalu mengingatkan, agar peningkatan ilmu itu selalu disertai kesadaran bahwa kemampuan ilmu itu harus diamalkan untuk tujuan yang baik. Baik dalam pengertian bebrayan agung. Bukan baik bagi diri sendiri. Sebenarnyalah bahwa ada batasan-batasan yang meskipun bukan batas mati, namun berlaku bagi bebrayan dan hubungan dengan masa abadi kelak."
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Kau adalah seorang anak muda yang memiliki ketangkasan berpikir. Sebagian besar dari yang kau katakan, memang yang aku maksud."
"Apakah ada sebagian kecil yang berbeda dengan maksud kakang ?"
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Dalam hubungan dengan bebrayan agung kau benar Glagah Putih. Ada batasan-batasan mengenai kebenaran, tetapi batas-batas itu bukannya batas mati. Tetapi yang baik dalam hubungan manusia dengan Tuhannya, adalah baik dalam pengertian mutlak. Yang baik adalah baik, dan yang buruk adalah buruk."
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, "Jadi, bagaimana bagi yang buruk" Apakah ia harus kehilangan harapan untuk dapat bergeser kedaerah yang baik?"
"Bukan maksudku berbicara tentang batas baik dan buruk. Tetapi setidak-tidaknya menurut pendapatku, yang baik adalah baik dan yang buruk adalah buruk. Tetapi jika yang kau maksud, bahwa seseorang yang terperosok kedalam kesalahan, maka baginya pintu akan tetap terbuka untuk menggeser diri kedalam lingkungan yang terang, apabila ia telah bertobat. Aku pernah mengatakan, bertobat bukan sekedar mengakui kesalahan. Tetapi berjanji kepada diri sendiri, untuk tidak mengulanginya. Itu bukan berarti bahwa yang pernah dilakukan itu berubah menjadi cemerlang. Tetapi yang buruk itu tetap buruk. Namun yang buruk itu telah diampuni."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Beberapa kali ia terlibat dalam pembicaraan yang membuat keningnya berkerut-merut. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu berkata, "Jangan terlalu kau pikirkan. Jika kau tahu, bahwa ilmu itu harus kau amalkan, maka kau mempunyai landasan yang kuat."
Glagah Putih mengangguk-angguk, sementara Agung Sedayu berkata selanjutnya, "Mudahnya, kau harus berbuat baik dengan ilmu itu. Karena sebenarnyalah bahwa kemampuan dalam olah kanuragan bukannya alat yang paling baik untuk memecahkan persoalan yang dapat timbul diantara sesama. Tetapi justru alat yang paling buruk."


06 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku mengerti kakang," desis Glagah Putih.
Tetapi Agung Sedayupun mengerti, bahwa pada dada anak muda itu, masih saja bergolak keinginannya untuk meningkatkan ilmu secepat dapat dilakukan.
Meskipun demikian, ia harus menahan hati. Apalagi ketika Agung Sedayu berkata, "Kau masih harus beristirahat untuk satu dua hari agar keadaanmu dapat pulih kembali."
Glagah Putih menarik nafas dalam. Itu adalah satu isyarat, bahwa latihan-latihan berikutnya harus dimulai paling cepat dua hari lagi, setelah keadaan tubuhnya dianggap sudah menjadi baik.
"Aku sekarang sudah baik," berkata Glagah Putih didalam hatinya, "tetapi setiap orang mengatakan, aku masih lemah dan pucat. Mereka tidak merasakan, tetapi seakan-akan mereka lebih tahu dari aku sendiri."
Namun demikian, ia harus mengikuti petunjuk Agung Sedayu, karena Agung Sedayulah yang kemudian akan menuntunnya seperti yang telah dilakukannya.
Dalam pada itu, Ki Widura yang hilir mudik dari Banyu Asri ke Jati Anom, karena jaraknya memang tidak begitu jauh, masih juga menasehati agar Glagah Putih lebih banyak berada dipembaringannya.
"Kepala rasa-rasanya bertambah pening jika aku terisau lama dipembaringan, ayah," berkata Glagah Putih.
"Tetapi jangan terlalu banyak berbuat sesuatu. Kau benar-benar harus beristirahat. Untunglah bahwa benturan pada kepalamu itu tidak menumbuhkan cidera," berkata Widura kemudian.
"Menurut Kiai Gringsing, jika aku tidak merasa sangat pening dan muntah-muntah, maka keadaannya tidak berbahaya," jawab Glagah Putih.
"Tetapi jika yang tidak berbahaya itu kau abaikan, maka akhirnya akan dapat benar-benar menjadi berbahaya," jawab ayahnya.
Glagah Putih tidak menjawab. Apalagi ketika Agung Sedayu mendesaknya pula.
Sementara itu, Kiai Gringsing masih harus berjuang untuk menyelamatkan Sabungsari. Ketika sehari kemudian, prajurit muda itu sudah dapat tidur nyenyak, dan mulutnya sudah mulai mencicipi bubur cair, maka Kiai Gringsing menjadi lebih tenang.
Sambil berdoa didalam hati, ia telah memberikan obat-obat yang paling baik yang dimilikinya, dengan teliti dan hati-hati. Semakin lama ia semakin yakin, bahwa yang dilakukan itu agaknya sudah benar. Obat yang dipergunakan agaknya sesuai dengan Sabungsari, sehingga penderitaannyapun nampak menjadi semakin ringan.
Untara yang semula -merasa sangat cemas, dan kadang-kadang masih juga dihinggapi keragu-raguan, menjadi yakin pula, bahwa Sabungsari akan dapat disembuhkan.
Demikianlah, maka untuk beberapa hari, Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Glagah Putih berada dirumah Untara. Dengan demikian maka mulailah timbul kejemuan Glagah Putih, karena dirumah itu ia masih saja dianggap sebagai seorang kanak-kanak. Isteri Untara terlalu baik kepadanya. Bahkan kadang-kadang isteri Untara masih juga bertanya kepadanya, "Glagah Putih. Untuk nanti siang, aku akan membuat asem-asem kacang panjang. He, apakeh kau mempunyai pilihan lain " Jika kau ingin aku membuat yang lain, katakan."
Glagah Putih kadang-kadang merasa jengkel jika ia diperlakukan seperti kanak-kanak. Tetapi ia mengerti, bahwa isteri kakak sepupunya itu bermaksud baik sekali. Ia tahu, bahwa Glagah Putih baru sembuh dari suatu kecelakaan yang cukup gawat. Karena itu, ia ingin membuat anak itu menjadi gembira. Mempunyai nafsu makan dan kerasan tinggal di Jati Anom.
Tetapi ia tidak mengetahui perasaan Glagah Putih yang sebenarnya. Glagah Putih ingin menyatakan dirinya bukan lagi sebagai kanak-kanak, tetapi ia ingin menyebut dirinya sebagai anak muda yang sudah dewasa. Yang sudah berhak menentukan sesuatu bagi dirinya sendiri. Yang sudah wajib bertanggung jawab atas keselamatannya sendiri tanpa menggantungkan diri kepada orang lain.
Namun demikian, Glagah Putih merasa, bahwa tidak akan dapat menyampaikannya kepada Untara atau isterinya. Ia harus menerima sikap itu betapapun tidak sesuai dengan perasaannya.
Namun akhirnya ia tidak sabar lagi sehingga ia memberanikan diri berkata kepada Agung Sedayu, "Kakang, sampai kapan kita berada disini " Sabungsari sudah berangsur baik. Ia sudah mulai dapat duduk dan bahkan bergeser ketepi pembaringannya. Ia mulai nampak semakin merah diwajahnya, dan iapun mulai makan semakin banyak, meskipun masih bubur cair."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tetapi setiap saat keadaannya masih dapat berubah. Karena itu, guru masih merasa perlu untuk menungguinya."
"Jarak dari padepokan kemari sangat dekat. Apalagi jika kita berkuda. Kiai Gringsing dapat hilir mudik setiap saat dikehendaki, atau jika ia diperlukan, maka setiap saat satu atau dua orang dapat menyusulnya kepadepokan." Sungut Glagah Putih.
Agung Sedayu tersenyum. Ia mengerti kejemuan anak muda itu.
Karena itu, maka katanya, "Baiklah. Aku akan mencoba menyampaikannya kepada guru."
"Kapan " desak Glagah Putih.
"Kapan saja ada kesempatan yang baik."
"Sebulan atau tiga bulan ?"
Agung Sedayu tertawa. Katanya, "Jangan terlalu mudah kecewa. Kau harus melatih kesabaran. Kesabaran akan menjadi bagian yang ikut menentukan didalam olah kanuragan. Dalam keadaan tertentu kau akan dihadapkan pada suatu keadaan yang hanya dapat diatasi dengan kesabaran."
Glagah Putih merenung sejenak. Namun akhirnya ia mengangguk kecil. Tetapi kemudian ia bertanya, "Tetapi sampai kapan kita harus bersabar ?"
"Tentu tidak akan terlalu lama," jawab Agung Sedayu, lalu katanya kemudian, "namun Glagah Putih, kesabaran itu mengandung banyak segi kebaikannya. Orang yang sabar, biasanya tabah menghadapi sesuatu. Biasanya tekun pula dan tidak cepat putus asa. Orang yang sabar akan disukai oleh kawan-kawannya karena ia tidak cepat menjadi marah."
Glagah Putih tidak menjawab. Namun didalam hati ia berkata, "Kesabaran yang berlebih-lebihan akan menjerat diri kita sendiri. Kita tidak akan berbuat apa-apa, meskipun orang lain telah menginjak hak kita dan bahkan menghinakan kita."
Meskipun hal itu tidak dikatakannya, namun seolah-olah Agung Sedayu dapat mendengarnya dengan telinga hatinya. Maka katanya kemudian, "Glagah Putih. Ada perbedaan antara kesabaran dan kelemahan. Dan yang kita bicarakan adalah kesabaran."
Ratu Pilihan 7 Trio Detektif 02 Misteri Nuri Gagap Menjenguk Cakrawala 4

Cari Blog Ini