Ceritasilat Novel Online

Perhitungan Terakhir Nyi Peri 1

Si Tolol 6 Perhitungan Terakhir Bagi Nyi Peri Bagian 1


PERHITUNGAN TERAKHIR BAGI NYI PERI Oleh Djair Warni
@) Penerbit Rosita, Jakarta
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit
Djair Warni Serial Si Tolol
dalam kisah Perhitungan Terakhir Bagi Nyi Peri
1 Matahari mulai condong ke Barat. Hamparan
awan di langit tampak putih bersih, tak ubahnya gumpalan sutra tanpa noda. Makin lama dipandang makin
terasa keindahannya. Sementara di lereng gunung Muria tampak pepohonan hijau, pucuk-pucuknya merunduk dihembus angin, tak ubahnya serombongan pasukan perang yang sedang memberikan hormat kepada
pimpinan. Di sela-sela dedaunan, tersembul putikputik kembang yang kelak akan mekar bersemi.
Hidup terasa berbinar-binar, semarak bagaikan
lidah api di malam hari. Suara langkah kaki di jalan
kecil, memecah kesunyian di pinggir hutan. Seorang
pemuda sedang berjalan sambil menggendong lelaki
berkepala botak, sudah berusia remaja. Namun
pemuda itu kelihatan sangat tenang terdengar jelas
bagaikan menderu-deru.
Itulah si Tolol! Sedang pemuda yang menggendongnya adalah Jaka, ahli ukir kayu jati yang terkenal di Jepara. Keduanya baru
saja pulang dari puncak gunung Muria, dari dalam sebuah gua. Sambil tidur dalam gendongan, tangan kanan si Tolol menggenggam
erat patung emas yang sangat mirip dengan patung
Ratu Shima. Jaka sebenarnya sudah kelelahan, tubuhnya
pun terasa pegal, karena menuruni lereng gunung
sambil membawa beban yang cukup berat. Akan tetapi
bukan itu yang menghantui perasaannya sekarang.
Entah mengapa, tiba-tiba saja muncul perasaan tak
enak dalam hatinya, yang membuatnya seolah-olah tidak merasakan beban berat di punggungnya.
Naluri Jaka membisikkan sesuatu yang tidak
diinginkan akan terjadi, tapi entah apa. Ia merasa beberapa pasang mata sedang mengintai dari balik semak-semak. Tetapi ketika ia melirik ke sekelilingnya,
tak ada yang mencurigakan. Semuanya tampak biasabiasa saja. Tapi perasaannya kenapa mendadak tidak
tenang" Pemuda itu meneruskan langkah sambil berusaha meyakinkan dirinya bahwa di sekelilingnya tidak
ada yang patut dicurigai. Tanpa ia sadari, firasatnya
memang benar. Di sekelilingnya, dari balik semaksemak, beberapa pasang mata memang sedang mengintai. Senjata sudah dihunus, siap diayunkan untuk
merobohkan setiap orang yang dianggap saingan atau
musuh. Sekonyong-konyong, lelaki yang sejak tadi
mengintip meloncat dari balik semak-semak dan langsung menghadang Jaka. Pria itu mengayun-ayunkan
senjata di tangannya berupa samurai, sehingga tampak berkilau-kilau ditimpa sinar matahari. Sepasang
matanya mencorong tajam dan merah laksana memancarkan api. Melihat penampilannya, Jaka segera
dapat menyimpulkan bahwa pria itu bukan penduduk
pribumi, melainkan orang yang datang dari negeri seberang. Ya, lelaki itu adalah Gahito, pendekar samurai dari negeri matahari
terbit. Sambil menudingkan senjatanya ke arah wajah Jaka, pendekar itu berkata
den- gan suara dingin namun penuh ancaman:
"Serahkan patung itu kalau tak ingin kutebas
batang lehermu, juga bocah yang kau gendong itu!"
Jaka menjadi gemetar ketakutan, sebab ia sudah dapat merasakan bahwa lelaki asing itu tidak sedang main-main. Namun sambil memberanikan diri, ia
masih men-coba bersikap lebih tenang.
"Maaf, sobat. Siapakah sebenarnya kau dan
kenapa meminta patung dariku" Patung ini milik si Tolol. Kalau diambil, dia pasti menangis lagi. Aku yang
repot. Karena itu kuharap engkau mau mengerti."
"Persetan! Pokoknya serahkan, cepat!"
Gahito melangkah lebih dekat sembari mengangkat samurainya tinggi-tinggi, sudah siap menghabisi nyawa Jaka jika masih berani menolak. Akan tetapi ketika masih berada sekitar tiga meter dari hadapan Jaka, tiba-tiba dua
bayangan berkelebat bagaikan kilat, menghadang Gahito.
Jaka tidak sempat memperhatikan dari sebelah
mana kedua orang itu datang. Sepasang remaja berwajah tampan dan cantik. Di tangan mereka terhunus
masing-masing sebatang pedang berwarna keperakperakan. Kedua pendekar itu pun bukan penduduk
pribumi, melainkan dari daratan Tiongkok.
Hong Lie dan Giok Nio, pendekar kakak beradik, dari balik pepohonan juga sudah cukup lama
mengintai Jaka tadi. Dada mereka jadi berdebar-debar
melihat patung emas di tangan si Tolol. Giok Nio malah sudah ingin segera
meloncat keluar merampas patung
itu, tetapi Hong Lie menyuruhnya bersabar menunggu
saat yang paling tepat. Dan ketika melihat ada seseorang meloncat dari balik semak-semak menghadang
Jaka, kedua pendekar Tiongkok itu pun segera berbuat
hal yang sama. "Kita bertemu lagi, sobat. Saya harap kalian
berdua baik-baik saja," ujar Gahito sambil tersenyum.
Sikapnya tampak tenang, namun sebetulnya ia merasa
was-was juga. Karena dulu ia sudah pernah merasakan kehebatan Hong Lie dan Giok Nio, yang bahkan
nyaris mencelakakan dirinya.
"Kami baik-baik saja, pendekar samurai. Engkau pun tentunya demikian juga, bukan" Ternyata dalam waktu yang tidak terlalu lama kita sudah bertemu
kembali." "Kenapa harus banyak omong sama tikus ini?"
bentak Giok Nio yang kurang sabaran dibandingkan
Hong Lie. Gadis dengan rambut berkepang dua itu sudah memasang kuda-kuda, siap mengadu nyawa dengan Gahito. "Barangkali kau masih besar kepala karena hari itu kami memberimu
kesempatan hidup lebih
lama. Tapi sekarang, jangan harap. Berdoalah demi
arwah nenek moyangmu sebelum tewas di ujung pedangku!" "Aku tahu kalian berdua hebat dan hari itu
hampir saja mengalahkan diriku yang bodoh. Tetapi
jangan kira aku mau menyerah begitu saja. Kalah menang bagiku adalah hal biasa dan mati dalam pertarungan merupakan salah satu tujuan mulia bagiku.
Majulah, aku (pun sudah siap!"
"Bangsat! Rupanya kau masih keras kepala juga!" bentak Giok Nio sambil menerjang Gahito dengan dahsyat. Hong Lie pun tidak
tinggal diam, segera men-gikuti serangan adiknya. Tubuh kedua pendekar
Tiongkok itu melayang tinggi ke udara dan sewaktu
meluncur turun, ujung pedang mereka diayunkan ke
arah dada Gahito.
Gahito yang sejak tadi sudah bersiap-siap, segera mengangkat kedua belah samurainya menangkis
serangan lawan. Terdengar suara berdentang nyaring
disertai percikan bunga api. Dengan gerakan yang cukup meyakinkan, Gahito dapat menangkis serangan
lawan. Namun tanpa diduga-duga, ujung pedang kedua pendekar Tiongkok itu langsung menukik menyambar ke arah lehernya.
Pendekar samurai sangat terkejut melihat kecepatan serangan lawan. Untunglah dia sudah hatihati karena telah mengetahui kehebatan kedua lawan.
Sewaktu ujung senjata lawan hampir menyentuh kulit
tubuhnya, ia segera meloncat mundur.
Kembali serangan kedua kakak beradik itu tidak mengenai sasaran. Akan tetapi begitu menginjakkan kaki di tanah, Hong Lie dan Giok Nio kembali menerjang dengan kecepatan luar biasa. Tubuh mereka
berkelebat, sedangkan senjata di tangan diputar membentuk gulungan sinar mata pedang, mengincar tubuh
Gahito dari segala arah.
Gahito terpaksa harus mengerahkan segenap
kemampuannya untuk bertahan. Kedua samurai di
tangannya diputar laksana kitiran guna melindungi diri. Setelah lewat sepuluh jurus, pendekar samurai itu
mulai terdesak hingga tak mempunyai kesempatan lagi
memberikan serangan balas.
Hong Lie dan Giok Nio memang merupakan sepasang pendekar yang sangat serasi. Kedua pedang di
tangan mereka seperti digerakkan seorang ahli pedang
saja, saling melindungi dan jika seorang berusaha
membuka pertahanan lawan, yang lainnya langsung
menyerang. Ilmu pedang sepasang pendekar Tiongkok
itu terlihat sudah mencapai tingkat sempurna yang didukung Ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang sangat tinggi pula.
Melihat ketiga tokoh silat itu bertarung matimatian, Jaka bermaksud melarikan diri dari tempat
itu. Ia mulai membuktikan kebenaran ucapan Dewi Tatoo bahwa memiliki patung Ratu Shima sangatlah berbahaya, karena banyak sekali pendekar yang ingin merebutnya. Padahal para jagoan yang sedang bertempur
itu sama sekali tidak menyadari bahwa patung emas di
tangan si Tolol bukan patung Ratu Shima asli.
Jaka mempercepat langkahnya sambil sekalisekali melirik ke belakang, takut kalau-kalau pendekar asing itu mengejarnya.
Tanpa ia sadari, pendekar Irak, Husein telah mengintainya dari balik pepohonan.
Laki-laki bersorban itu merasa heran juga melihat patung
emas di tangan si Tolol. Sebab beberapa waktu lalu,
patung itu jatuh ke tangan Dewi Tatoo. Saat itu Husein bermaksud melarikannya
setelah dirampas dari tangan
si Tolol dengan bantuan ilmu sihirnya. Namun di tengah jalan, ia dihadang pendekar Betawi Mat Caplang,
hingga terjadilah pertarungan hebat. Saat itulah Setyatun yang dijuluki Dewi
Tatoo muncul dan membawa
kabur patung Ratu Shima.
Husein sendiri sudah merasakan dan melihat
kehebatan Setyatun hingga ia sendiri belum tentu
mampu mengalahkannya. Tetapi sekarang patung
emas itu berada di tangan si Tolol. Apakah bocah tolol itu mampu bertarung dan
merebutnya dari Dewi Tatoo" Pikir Husein.
Ketika Jaka lewat di dekatnya, Husein segera
menyambar patung emas di tangan si Tolol dengan
menggunakan permadani yang selama ini jadi senjata
andalan baginya. Dengan menyalurkan tenaga dalamnya, permadani itu jadi lemas sekali dan ujungnya
membelit patung, lalu dihentakkan hingga terlepas dari genggaman si Tolol.
"Hah" Patung itu lenyap!" kata Jaka ter kejut.
Ketika ia berpaling, tampaklah olehnya Husein sedang
tersenyum sinis sambil menimang-nimang patung.
"Jangan! Jangan ambil patung itu. Anak ini
nanti akan menangis sambil berguling-gulingan," kata Jaka ketakutan.
"Persetan!"
"Tolonglah, tuan! Nanti kalau bocah ini bangun
akan menyusahkan aku karena boneka kesayangannya tidak ada lagi. Kasihanilah aku, tuan!"
"Kau boleh ambil patung ini kalau kau tidak
sayang nyawa lagi!"
"Jangan, tuan! Masya tuan tega merampas
mainan anak-anak?"
"Bangsat! Kupecahkan kepalamu sekarang!"
Husein hendak menyambar kepala Jaka dengan permadaninya. Tetapi tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat. Lelaki itu berkumis panjang dan melingkar menyeramkan sampai ke pipinya. Itulah dia pendekar dari
Betawi, Mat Caplang. Ia telah menghunus goloknya
dan sambil menudingkannya ke arah Husein, ia berkata: "Hei, Bulbul! Serahkan patung itu padaku!"
"Oh, kau?"
"Ya, gue! Lu masih ingat, bukan" Sini patungnya, atau golok ini yang akan bicara!"
"Bangsat! Jangan besar kepala karena hari itu
masih bisa selamat dari tanganku. Sekarang aku tidak
akan mengampunimu lagi!"
"Anjing lu! Berani ngomong gitu ame gua.
Ciyaaat!" Mat Caplang menerjang dengan jurus mautnya. Goloknya menyambar leher
Husein yang ditangkis
dengan permadani. Pada saat yang hampir bersamaan,
tangan kiri Mat Caplang meluncur cepat mencengkeram patung di tangan Husein. Secepat yang bisa dilakukan, pendekar Irak itu mundur, namun cengkeraman tangan Mat Caplang masih mengenai lengannya,
sehingga patung emas terlempar tinggi ke udara.
Patung itu meluncur, tetapi bukan ke bawah,
melainkan ke tangan si Tolol yang masih pulas di gendongan Jaka, seolah-olah ada kekuatan gaib menariknya. Tentu saja Jaka sangat terkejut melihat patung
itu tiba-tiba saja sudah ada kembali dalam tangan si
Tolol. Ia tak habis pikir bagaimana hal itu bisa terjadi.
Ahli ukir kayu jati itu hendak melarikan diri lagi. Namun rupanya Husein dan Mat Caplang segera
menghentikan pertarungan dan langsung menerjang
Jaka. "Serahkan patung itu padaku!" bentak Mat Caplang.
"Tidak! Serahkan padaku!" teriak Husein pula.
Jaka hampir jatuh lemas melihat golok Mat
Caplang menyambar dari sebelah kiri, sedang dari sebelah kanan Husein pun menyerang dengan permada

Si Tolol 6 Perhitungan Terakhir Bagi Nyi Peri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ninya. Serangan kedua pendekar itu sangat cepat, sehingga sangat tipislah harapan Jaka menyelamatkan
diri. Kedua senjata itu meluncur cepat ke arah tubuh Jaka, membuat pemuda itu memejamkan mata
karena ketakutan dan sudah pasrah menerima apa
pun yang akan terjadi. Tetapi tiba-tiba tubuhnya terangkat ke atas seolah-olah diderek sampai ke atap
rumah penduduk. Loloslah serangan kedua tokoh persilatan itu. Jaka merasa lega, tetapi wajahnya pun berubah pucat, karena tak habis pikir bagaimana ia dan
si Tolol bisa melambung setinggi itu.
"Busyet! Gue kira dia pemuda goblok!" teriak Mat Caplang kaget.
"Dia memang betul-betul pemuda yang kosong.
Tetapi pasti ada kekuatan luar yang menggerakkan!"
sahut Husein sambil memperhatikan tubuh Jaka yang
meloncat dari atap rumah yang satu ke rumah lainnya.
Di tempat lain, dari balik semak-semak, Raden
Bei Kiduling Pasar juga sangat terkejut. Betapa tidak, Jaka bisa meloncat sangat
ringannya menggendong si
Tolol. Hampir tak masuk di akal, karena setahu Raden
Bei, Jaka hanyalah anak kemarin sore yang polos dan
belum pernah berguru kepada siapa pun. Raden Bei
tahu betul akan hal itu. Lalu apa gerangan penyebab
ahli ukir kayu itu bisa berbuat demikian"
* * * 2 Raden Bei terus berpikir-pikir di tempat persembunyiannya. Ia memang sengaja datang ke tempat
itu karena ingin mendapatkan patung Ratu Shima,
yang selanjutnya nanti akan diserahkan kepada Nyi
Peri sebagai tebusan obat mujarab penakluk gadisgadis, terutama Ronahyatun, kekasih Jaka sendiri
yang membuat lelaki kaya raya itu tergila-gila.
Pendekar samurai Gahito, Hong Lie dan Giok
Nio yang tadi terlibat pertengkaran seru juga telah ikut mengejar Jaka. Dengan
gerakan yang sangat cepat dan
ringan, ketiga pendekar asing itu meloncat ke atap rumah dan mengepung Jaka dengan senjata siap di tangan. "Jangan harap bisa lolos! Serahkan patung itu padaku!" bentak Gahito.
"Tidak bisa! Harus diserahkan padaku!" bentak Giok Nio tidak kalah bengisnya,
diikuti oleh Hong Lie.
Keringat dingin semakin banyak bercucuran
membasahi wajah Jaka. Tadi ia memang bisa merasa
lega karena dapat menyelamatkan diri, tetapi sekarang
menghadapi tiga orang pendekar sekaligus, rasanya
tak mungkin lagi baginya maupun si Tolol yang masih
tidur mendengkur untuk menyelamatkan diri.
Ketiga pendekar itu menyerang secara berbarengan. Hong Lie dari sebelah kiri, Giok Nio dari kanan, sedangkan Gahito dari tengah sambil meloncat
tinggi. Para tokoh saling berlomba menghabisi nyawa
Jaka dan si Tolol.
"Mati aku...!" kata Jaka tanpa sadar.
Pemuda itu menutupi wajah dengan kedua tangan. Namun tiba-tiba terasa olehnya tubuhnya berputar cepat sekali. Hampir bersamaan dengan itu terdengar suara jeritan ketiga pendekar yang melakukan serangan maut. Hampir tak terlihat oleh mata saking cepatnya,
kedua kaki si Tolol menangkis serangan Hong Lie dan
Giok Nio, sedangkan tangan kirinya memukul pergelangan tangan Gahito. Sangat cepat, tetapi juga sangat kuat, sehingga tiga
senjata di tangan lawan sama-sama
terlempar jatuh dari atas atap ke tanah.
"Bagero! Kurang ajar! Tanganku kesemutan!"
teriak Gahito tanpa sadar. Hampir ia tak percaya kalau tidak merasakan sendiri,
pergelangan tangannya bergetar hebat karena kuatnya tenaga tangkisan si Tolol.
Hong Lie dan Giok Nio juga sangat terkejut. Keduanya sebenarnya sudah memiliki ilmu silat tinggi.
Namun mereka hampir tak melihat bagaimana caranya
si Tolol menangkis serangannya. Bahkan kedua pendekar berusia muda itu juga harus mengaku tenaga
Gingkang mereka masih kalah, sehingga mereka tadi
nyaris terjungkal.
"Bagero! Kubunuh kau!" bentak Gahito geram.
Ia mencabut senjatanya yang satu lagi. Dan sambil
berteriak nyaring, pendekar itu kembali menerjang Jaka. Tubuhnya bagaikan terbang, samurai di tangannya
diayunkan cepat sekali ke arah si Tolol.
Tatkala senjata itu menyambar dahsyat, tibatiba tubuh Jaka bergeser dua langkah sehingga berada
persis di bawah tubuh Gahito. Bersamaan dengan itu,
kaki kiri si Tolol menyambar perut Gahito disusul pukulan tangan kiri menghantam pergelangan tangan
kanan lawan hingga senjatanya terlempar.
Demikian kuatnya hantaman si Tolol sehingga
tubuh Gahito terlempar jauh, lalu terhempas ke bawah
dengan posisi punggung mengarah ke bumi. Kebetulan
sekali, samurainya terjatuh ke tanah. Dan sebelum
senjata itu rebah ke tanah, tubuh Gahito menimpanya.
Tak ayal lagi, samurai itu menghunjam punggung Gahito hingga tembus sampai ke bagian dada.
Disertai jeritan panjang, tubuh pendekar samurai itu menggelepar-gelepar dengan darah mengucur
deras dari bagian tubuhnya yang tertembus senjata
sendiri. Beberapa saat kemudian, tubuh itu diam tak
bergerak-gerak lagi. Nyawa Gahito telah melayang meninggalkan raga. Maka berakhirlah sudah riwayat pendekar dari negeri matahari terbit itu, tewas secara
mengenaskan di negeri asing tanpa sempat berhasil
merebut patung Ratu Shima.
Pendekar Tiongkok Hong Lie dan Giok Nio tertegun menyaksikan pemandangan tragis itu. Sungguh
tidak disangka seorang pendekar berilmu tinggi seperti Gahito akan menemui
ajalnya dengan cara seperti itu.
Jaka sendiri merasa sangat ngeri, karena selama hidupnya belum pernah melihat orang mati mengenaskan begitu. Belum habis rasa terkejut di hati Jaka, tiba-tiba
tubuhnya kembali melayang tinggi ke udara kemudian
mendarat di tanah. Dan sebelum sempat menarik napas, tubuhnya kembali meloncat masuk semaksemak, sehingga dalam sekejap telah hilang dari pandangan dua pendekar Tiongkok itu.
"Luar biasa! Sulit dipercaya kejadian seperti
ini!" kata Giok Nio.
"Kembali kita menemukan pendekar yang sangat aneh dan hebat," sahut Hong Lie.
"Tapi apakah memang betul bocah berkepala
botak itu yang melakukannya" Dia kelihatan masih
tertidur pulas. Sedangkan pemuda itu tampaknya hanyalah orang biasa-biasa saja. Aneh!"
"Bocah berkepala botak itulah yang melakukannya, bukan pemuda itu. Di dunia persilatan memang sering kita temui pendekar aneh. Tampaknya sulit bagi kita untuk merebut patung Ratu Shima dari
tangannya. Tapi itu bukan berarti tidak bisa! Mari kita tinggalkan tempat ini.
Peristiwa tadi hanya sebagai pelajaran bagi kita agar lebih hati-hati untuk hari
men- datang!" Dalam sekejap, Jaka sudah tiba di halaman
rumahnya. Dengan tergopoh-gopoh, pemuda itu melangkah masuk sambil berdoa dalam hati agar tidak
menemui peristiwa-peristiwa seram lagi. Bagaimanapun juga, peristiwa tadi masih membuatnya merasa tidak tenang. Bahkan selama hidupnya belum pernah
membayangkan akan mengalami peristiwa seperti itu.
Tiba-tiba Jaka kembali menghentikan langkahnya, karena mendadak seseorang lelaki bertubuh kate
menghadang. "Hah" Den Mas Bei?" kata Jaka terkejut.
Raden Bei tertawa terkekeh-kekeh, membuat
Jaka semakin gugup.
"Den Bei... anu... ukiran pesanan Raden sudah
selesai. Jadi maksud saya..."
"He-he-he, itu sih urusan kedua. Gampang,
tinggal mengambil saja, bukan" Eh, ngomong-ngomong
kau dari mana gini hari baru pulang?" tanya Raden Bei
seolah-olah belum mengetahui apa yang baru saja terjadi. "Dari... dari eh, habis jalan-jalan, Den!"
"Aduh, jalan-jalan kok sampai lama begitu"
Mana nih badan masih bau keringat. Apa ibumu nggak
uring-uringan" Kasihan. Ingat, Jaka, ibumu sudah
tua. Harus sering-sering kau temani."
"Ya, Den!"
"Besok aku datang mengambil gambar ukir
yang ku pesan. Sekalian akan ku bawakan oleh-oleh
buat ibumu yang sudah tua itu. Orang tua harus bisa
kita bikin senang, bukan?"
"Terimakasih, Den!" sahut Jaka. Tetapi hatinya agak curiga juga, karena tidak
biasanya Raden Bei
bersikap baik dan murah hati. Pasti ada apa-apanya,
sebab orang seperti Raden Bei mana bisa dipercaya
mau berbuat baik tanpa pamrih"
"Hei, patung apa ini" Bagus sekali, ya" Coba,
lihat dulu!"
"Ja... jangan!"
"Alaa, cuma lihat sebentar saja. Boleh, kan?"
Lalu setelah patung itu berpindah tangan, Raden Bei
berkata penuh kagum:
"Ini benar-benar patung peninggalan zaman
purbakala, Jaka!"
"Itu punya bocah ini, Den!"
"He-he, kau tahu, Jaka. Aku suka mengumpulkan benda-benda kuno seperti ini. Aku pengagum
karya seni. Nah, bagaimana kalau patung ini kubeli saja, Jaka?"
"Anu... Den, patung itu seperti yang kukatakan
tadi bukan punya saya, melainkan milik bocah yang
kugendong ini. Dia sangat menyayanginya."
"Siapa dia?"
"Saudara saya, Den!"
"Oh, kalau itu sih kan gampang. Kau tahu kan,
duit lebih berarti daripada benda ini. Dengan uang itu nanti kau bisa kawin
dengan gadis paling cantik di Jepara ini. Bisa menjamin hari tua ibumu."
"Anu... Den...."
"Dan yang penting," sela Raden Bei cepat, "Kau tidak akan lagi jadi kuli ukir si
Cokro tua itu. Kau bisa membuka pabrik-pabrik dengan modal sendiri. Enak,
bukan?" "Tapi...."
"Tapi apa" Kalau ngomong sama aku jangan
pakai tapi-tapian. Pokoknya beres! Oh, ya, aku tahu
kau hendak berkata mau pikir-pikir dulu soal harganya. Tak apa, aku tak mau buru-buru. Nah, simpanlah patung ini, jangan jual kepada siap pun. Besok aku akan datang ke rumah mu
sambil membawa uang se-pundi kontan. He-he, selamat jadi orang kaya, Jaka!"
"Ya, Den!"
"Sampai ketemu lagi!" kata Raden Bei lalu meninggalkan tempat itu. Sambil
berjalan, ia bersiul-siul menyanyikan lagu "Dendang Gulo" yang kadang-kadang
dicampur dengan "Asmarandono Lombok".
"Tak!" Tiba-tiba sebuah tongkat bengkok menghantam kepala Raden Bei, membuat
lelaki itu terkejut.
Ia hampir saja memaki, namun tatkala menyadari siapa yang berbuat begitu, sikapnya jadi berubah hormat.
"Oh, Nyi... Nyi Peri..." katanya gugup.
"Mana patung itu, hah" Apa kau tak sanggup
mendapatkannya" Apa saja kerjamu" Sejak tadi kuperhatikan kau sangat girang. Tapi patung itu belum
ada. Lelaki dungu kau!"
Wanita tua Nyi Peri bertubuh kurus itu membentak-bentak dengan mata melotot, sehingga Raden
Bei jadi ketakutan.
"Pasti, pasti, Nyi. Sebentar lagi! Tolong beri aku waktu sampai waktu beduk
lohor besok. Pokoknya
beres, Nyi!"
"Jangan coba-coba plintat plintut! Ku hajar
tengkok mu, Lodos!" Nyi Peri mengangkat tongkatnya, seolah-olah hendak
menghantamkan kepala Raden
Bei, sehingga lelaki kaya raya itu segera duduk menyembah. Lalu dengan suara gemetar, ia berkata:
"Ampun! Ampun, Nyi. Segera, segera akan kuberikan patung itu. Percayalah, Nyi!"
"Awas kalau besok kau belum mendapatkan
patung itu. Kepalamu akan kupecahkan!" Tanpa menunggu jawaban Raden Bei, wanita tua itu segera pergi. Hanya sekejap saja, tubuhnya sudah lenyap dari
pandangan mata Raden Bei.
Sementara itu, hari sudah malam. Si Tolol masih tetap tertidur pulas di rumah Jaka. Suara dengkurnya yang keras dan mirip deru angin badai memenuhi ruangan itu. Sepertinya ia mengidap penyakit tidur hingga bisa pulas selama itu.
Akan tetapi tiba-tiba saja si Tolol dikejutkan
kedatangan seorang wanita cantik. Entah dari mana
munculnya, si Tolol sendiri tidak tahu, mendadak saja
wanita itu sudah berada di hadapannya. Wanita berjalan sambil membawa tongkat kerajaan, sementara seorang dayang-dayang mengiringinya sambil memegang
payung. Wanita itu masih muda, mungkin baru berusia tiga puluh tahun, atau barangkali lebih tua lagi,
namun karena sangat cantik terlihat lebih muda dari
umur yang sebenarnya.
Kepala wanita itu dihiasi mahkota kerajaan terbuat dari emas dan intan permata. Kulit tubuhnya putih bersih. Wajahnya yang bulat telur dihiasi bibir yang
merah tipis merekah. Hidungnya mancung dan tampak
sangat serasi dengan sepasang matanya yang selalu
berbinar-binar bagaikan bintang kejora. Alis matanya
tebal dan bulu matanya lentik, menandakan ia seorang


Si Tolol 6 Perhitungan Terakhir Bagi Nyi Peri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang keras hati penuh kejujuran dan kebijaksanaan.
Cukup lama juga si Tolol memperhatikan wajah
itu, sehingga akhirnya yakin pada dirinya sendiri bahwa selama ini ia belum pernah bertemu dengan wanita
secantik itu. Tetapi ada satu hal yang membuat si Tolol terheran-heran yakni
karena wajah wanita itu mirip
sekali dengan patung Ratu Shima.
"Si Tolol, dengarkanlah..." ujar wanita itu dengan suara yang sangat merdu,
namun memiliki wibawa
yang sangat kuat.
"Hei, kau tahu namaku" Siapakah kau?" tanya
si Tolol terkejut.
"Aku adalah Ratu Shima dari kerajaan Kalingga
pada abad ketujuh."
"Oh, jadi kau seorang ratu" Pantas saja sangat
cantik." "Aku datang menemuimu untuk menyelamatkan patung dan surat wasiat ku
yang sekarang jadi
rebutan banyak pendekar. Aku tak menghendaki patung itu jatuh ke tangan orang-orang yang angkara
murka. Oleh karena itu, aku mohon pertolonganmu...!
"Apa yang harus kulakukan?"
"Coba kau tanyakan kepada mereka untuk
maksud apa mereka memperebutkan patung wasiat
ku?" kata Ratu Shima sambil menunjuk ke sebelah ki-ri. Di tempat itu ternyata
telah berdiri para pendekar yang selama ini saling memperebutkan patung Ratu
Shima. Si Tolol melangkah lebih dekat, lalu menanyakan maksud para pendekar itu sehingga memperebutkan patung. Satu per satu, para pendekar itu mengutarakan maksudnya.
Tokoh silat yang pertama memberikan jawaban
adalah pendekar samurai Gahito:
"Aku adalah utusan dari Shogun Tokugawa
yang berkedudukan di Yedo, dengan maksud untuk
mendapatkan rahasia kelanggengan tahta demi kekalnya kekuasaan Wangsa Tokugawa."
Setelah Gahito mengutarakan maksudnya, kini
giliran Husein melangkah maju memberikan penjelasan: "Aku dari Baghdad, Irak. Dengan maksud untuk menjual surat wasiat itu kepada Raja Ranjit Singh
dari India, yang saat ini sedang bertempur melawan
penjajah Inggris."
Sepasang pendekar Tiongkok Kwan Hong Lie
dan Kwan Giok Nio juga mengungkapkan maksud hati
mereka sehingga dari jauh datang ke Jepara untuk
merebut patung Ratu Shima:
"Kami berdua datang dari daratan Tiongkok
dengan maksud yang sama pula, yakni mencari rahasia kelanggengan tahta untuk memulihkan kembali
kekuasaan Hung Hsin Tjuan, pemimpin pergerakan Tai
Ping Tien Kua melawan bangsa Manchu."
Si Tolol kemudian bertanya kepada Mat Caplang, yang dijawab dengan suara lebih keras dan tegas:
"Aku datang dari Betawi atas perintah seorang
tuan tanah yang ingin memiliki rahasia kelanggengan
tahta demi penghidupannya turun temurun menguasai
tanah-tanah di daerah Betawi."
"Aku punya kelainan," ujar Nyi Peri kemudian,
"Aku ingin memiliki rahasia kecantikan yang dimiliki Ratu Shima agar aku dapat
awet muda dan kawin
dengan setiap jejaka."
* * * 3 Sekarang muncullah tokoh yang sangat aneh
sekaligus memiliki kesaktian luar biasa. Si wanita telanjang sekujur tubuhnya dihiasi tatoo bergaris-garis
dengan warna yang sangat kontras. Dialah Setyatun,
yang dijuluki Dewi Tatoo. Di tangan pendekar wanita
itulah sekarang patung Ratu Shima berada. Tidak seperti pendekar lainnya, wanita itu justru berkata dengan maksud yang bertolak belakang.
"Maksudku justru kebalikan dari orang lain.
Aku bermaksud mengenyahkan surat wasiat itu dari
muka bumi agar tak seorang pun mengambilnya untuk
maksud-maksud pribadi atau golongan. Aku sangat
benci terhadap orang yang begitu berambisi mencapai
sesuatu tetapi menghancurkan orang lain. Aku benci
kepada orang-orang yang bersenang-senang di atas
penderitaan orang lain!"
Setelah semuanya memberikan penjelasan, si
Tolol menghadap Ratu Shima, lalu berkata:
"Nah, engkau sudah mendengar pengakuan
mereka, Baginda Ratu!"
"Aku cukup puas! Tetapi di sebelah sana masih
ada satu lagi. Dia orang kulit putih!"
Si Tolol berpaling. Benar, di sana masih ada
seorang tokoh lainnya, seorang pendekar tua dan mengenakan kaca mata tebal. Dengan suara serak, lelaki
itu berkata: "Aku adalah seorang ahli sejarah dari Nederland yang khusus didatangkan oleh pemerintah Kerajaan Belanda untuk mencari peninggalan Ratu Shima
di daerah gunung Muria. Benda-benda bersejarah itu
sangat pentingnya bagi umat manusia umumnya dan
bagi bangsa Belanda khususnya. Kami bekerja demi
ilmu pengetahuan. Patung itu akan kami simpan dalam museum di Batavia yang dibangun oleh pemerintah Kerajaan Belanda."
Setelah itu, si Tolol kembali menghadap Ratu
Shima. "Selesai sudah!" ujarnya.
"Terima kasih! Aku senang dengan maksud
baik orang Belanda itu. Oleh karena itu, berikan patung asli padanya!" ujar Ratu Shima sambil menatap si Tolol diam-diam. Lalu
dengan wajah yang berubah jadi
keras, ia melanjutkan: "Untuk mereka yang bertujuan lain, harus kau berikan
patung palsu!"
"Baik, Baginda Ratu."
"Tapi masih ada satu lagi. Aku minta tolong padamu untuk menulis wasiat ku."
Masih dalam mimpinya, si Tolol bertanya apa
yang selanjutnya harus ia lakukan. Kebetulan, saat itu Jaka masuk ke ruangan
itu, lalu mengomel melihat si
Tolol masih tertidur pulas.
"Huh, kebluk betul tuh anak. Dari tadi belum
bangun!" "Siapa dia?" tanya Ratu Shima dalam mimpi si Tolol. "Dia bernama Jaka. Biarlah
dia yang kusuruh!"
kata si Tolol. Lalu dia berkata: "Jaka, dengarlah!"
Jaka yang saat itu mengomel karena si Tolol
masih mendengkur, tiba-tiba mendengar bisikan gaib
yang membuatnya tersentak kaget. Dengan jelas ia
mendengar seseorang memanggilnya, tetapi suara itu
terasa datang dari dunia lain. Siapa gerangan itu"
Tanya hati pemuda itu. Namun sebelum sempat berpikir lebih jauh, kembali ia mendengar suara bisikan:
"Ambil beberapa lembar daun yang mirip dengan daun lontar! Daun apa saja, Jaka! Kelapa, aren,
palem atau pisang... boleh saja. Coba cari di halaman
belakang!"
Seperti dalam mimpi saja, Jaka melangkah ke
luar rumah dan pergi ke halaman belakang. Di sana
ada sebatang pohon nyiur yang cukup tinggi, sehingga
Jaka beberapa saat tertegun tidak tahu cara terbaik
agar bisa secepatnya mengambil daunnya.
"Tunggu apa lagi, Jaka" Loncat saja! Jangan
ragu-ragu. Lihat! Lihat caraku membuat kuda-kuda
loncatan. Perhatikan, Jaka!" Tanpa sadar Jaka memasang kuda-kuda, dengan posisi
kedua kaki dibuka lebar dan ditekuk, sedangkan kedua tangannya ditarik
ke belakang, sehingga mirip orang bagaikan hendak
terbang. "Ya! Sekarang hentakkan kakimu kuat-kuat
dan jambretlah daun-daun kering itu!"
Jaka menarik napas dalam-dalam. Dan ketika
bisikan gaib itu terdengar lagi memberikan perintah,
tiba-tiba ia meloncat ringan dan sempat bersalto beberapa kali hingga sampai ke puncak pohon kelapa. Kedua tangannya kemudian menarik beberapa helai
daun kelapa kering. Setelah itu, tubuhnya meluncur
turun dan mendarat di tanah dengan sangat ringannya. Gerakan Jaka tak ubahnya pendekar yang memiliki kesaktian yang sangat tinggi.
"Bagus!" terdengar suara gaib itu memuji, "Cukup! Sekarang bawa ke dalam!"
Setelah Jaka berada kembali di dalam, di ruangan si Tolol tidur, terdengar lagi perintah yang sama
sekali tidak bisa ditolak olehnya:
"Sekarang kau potong-potong daun itu menjadi
bagian-bagian yang sama panjangnya dan kira-kira bisa dimasukkan ke dalam rongga patung!"
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Jaka segera
mengambil pisau dari dapur dan memotong daun-daun
kelapa kering itu. Setelah itu ia diperintah mengambil dawat (tinta) dan menulis
di atas daun-daun itu. Suara gaib itu menyuruhnya menulis dalam huruf-huruf Jawa dan bahasa Sansekerta.
Dengan sangat patuhnya, Jaka menuruti, sementara si Tolol masih tetap mendengkur di tempat tidur. Usai menulis kalimat-kalimat yang dibisikkan,
Jaka selanjutnya disuruh memasukkan daun-daun itu
ke dalam patung Ratu Shima tiruan setelah terlebih
dulu membuang rerumputan kering yang dulu dimasukkan Dewi Tatoo.
"Sekarang kau tentunya sudah lelah, Jaka. Sebaiknya kau istirahat saja dulu, tidur!"
Jaka memang sudah merasa sangat lelah. Tenaganya serasa terkuras habis. Otot-ototnya terasa kejang semua, sehingga untuk berdiri pun seakan-akan
tak kuat lagi. Ia pun merebahkan tubuh di dekat si Tolol. Pengalaman luar biasa sehari ini membuatnya seakan-akan bermimpi. Betapa tidak, ia bersama si Tolol
bisa lolos dari keroyokan para pendekar, bahkan bisa
meloncat bagaikan terbang. Setelah itu, ia kemudian
mendengar bisikan gaib, yang bukan saja membuatnya
tak mampu menolak, tetapi juga memberikan kekuatan luar biasa sehingga mampu meloncat tinggi sekali
mengambil daun pohon kelapa. Jika yakin bahwa semua itu bukan hanya karena kebetulan saja, tetapi justru merupakan suatu kejadian yang sudah direncanakan secara matang.
Tetapi entah siapa yang membisikkan kata-kata
perintah itu. Bisa jadi makhluk halus, atau siapa tahu adalah si Tolol sendiri.
Bukankah bocah itu sering me-nunjukkan hal-hal yang luar biasa" Bocah itu memang
tolol, tetapi di balik itu tersimpan pula kesaktian ter-sembunyi yang sangat di
luar perhitungan akal.
Tatkala Jaka hendak tertidur pulas, si Tolol justru terbangun dari tidurnya. Ia merasa perutnya perih melilit-lilit karena
sangat kelaparan. Maka terdorong
oleh sikap tololnya, ia bukannya membangunkan Jaka
pelan-pelan, tetapi malah berteriak sekuat tenaga, sehingga membuat Jaka tersentak bangun.
"Kang Jaka, aku lapar!"
"Astaga! Aku baru hendak tidur, tetapi kenapa
justru kau baru bangun?"
"Aku lapar, Kang. Aku ingin makan. Perutku
melilit!" Oh, Jaka baru ingat sekarang. Ia dan si Tolol hampir seharian tidak
makan. Pantas si Tolol berteriak-teriak seperti itu, sebab ia sendiri pun sudah
sangat lapar. "Aku baru ingat sekarang. Aku pun sudah lapar. Ayo kita makan di dapur. Ibu tentunya menyediakan makanan untuk kita."
Begitu makanan dihidangkan di meja, si Tolol
langsung melahap dengan sangat rakusnya. Dua tiga
kali kunyah saja, langsung ditelan. Lalu seperti dikejar-kejar setan, ia memasukkan nasi ke mulutnya, sehingga tampak selalu penuh. Sewaktu mengunyah,
terdengar suara berdecap-decap dan beberapa butir
nasi meloncat dari mulut si Tolol, membuat Jaka merasa iba. "Kalau makan tenang-tenang saja. Nasi kita
banyak. Kau boleh menghabiskan semuanya," kata
pemuda itu. "Habisnya aku sudah lapar sekali, Kang! Heh,
Kang Jaka! Mana bonekanya?"
"Ah, boneka itu melulu yang kau pikirkan. Ayo,
makan dulu. Itu ada di atas meja!"
"Aku ingin lihat dulu, ah. Siapa tahu sudah diambil orang jahat lagi." Si Tolol beranjak dari meja makan, lalu masuk ke ruang
tengah. Ia tampak tersenyum girang setelah melihat patung emas itu terletak
di meja. Diambilnya patung itu dan ditimangtimangnya penuh kasih sayang. Lalu ia balik ke dapur,
melanjutkan makannya.
Jaka menghela napas panjang melihat tingkah
laku bocah berkepala gundul itu. Terasa olehnya betapa sangat sayangnya si Tolol terhadap patung itu. Dan
ia pun menyadari bahwa benda itu sedang diincar para
pendekar. Entah apa yang akan terjadi nanti jika patung itu kembali dirampas orang. Jaka cuma berdoa
dalam hati agar patung itu selamanya aman di tangan
si Tolol. Esok harinya, pagi-pagi benar Raden Bei Kiduling Pasar sudah muncul di
bengkel ukir Pak Cokro.
Sambil tersenyum-senyum, lelaki kaya itu menghampiri Jaka yang sedang menekuni ukiran kayu jatinya di
belakang. "He-he-he... rajin betul kau, Tole. Selamat pagi!"
ujar Raden Bei dengan keramahan yang terasa dibuatbuat. "Selamat pagi, Ndoro Bei."
"Nih, lihat Jaka! Aku menepati janji ku," kata Raden Bei sambil memperlihatkan
satu pundi berisi
uang. Jaka melirik sebentar, lalu tersenyum masam.
Sebab sebenarnya ia tidak pernah senang berurusan


Si Tolol 6 Perhitungan Terakhir Bagi Nyi Peri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan lelaki itu.
"Ini hadiah untuk ibumu, Jaka. Harganya sih
tidak seberapa," kata Raden Bei lagi sambil mengulurkan bungkusan kain sutra
yang sangat mahal.
Dengan hati terpaksa, sebab takut menyinggung perasaan Raden Bei, Jaka menerima bungkusan
itu. Lalu sekedar menyenangkan hati pria itu, ia berka-ta:
"Bagaimana aku harus mengucapkan terimakasih, Ndoro" Aku telah merepotkan Ndoro."
"Ah, kau jangan berkata begitu, Jaka. Sebagai
manusia apalagi sudah lama bersahabat, kita wajib
saling menolong, bukan" Seandainya nanti aku mendapatkan kesulitan, bukankah kepadamu aku meminta tolong" Sekarang pada saat aku mempunyai kesempatan, apa salahnya berbuat sedikit kebaikan padamu" Jadi kau tak perlu berterima kasih seperti itu.
Mudah mudahan saja di hari-hari mendatang kita masih tetap bisa bekerjasama."
"Terimakasih, Ndoro."
Raden Bei berjalan mondar-mandir di ruangan
itu. Ia tampak beberapa kali
manggut-manggut, seolah-olah sedang memikirkan sesuatu yang sangat penting. Sekali-sekali
sambil melirik Jaka, ia mengernyitkan kening, sehingga dahinya penuh kerut-kerut. Dan seperti yang telah
diduga Jaka, ia kembali membicarakan masalah patung emas itu. "Eh, Jaka. Ngomong-ngomong apa kau sudah
memikirkan hasil pembicara kita kemarin?"
"Tentang apa ya, Ndoro?" tanya Jaka pura-pura belum mengerti arah pembicaraan
Raden Bei. "Itu, masalah patung. Aku kan sudah bilang ingin membelinya karena aku sangat gemar mengumpulkan barang-barang purbakala yang mengandung
nilai seni tinggi. Makanya selama ini aku kan sering
memesan ukiran kayu ke sini."
"Ya, Ya! Aku mengetahuinya, Ndoro."
"Nah, bagus kalau begitu. Aku memang tahu
patung itu terbuat dari emas. Tetapi harga emasnya
aku bayar empat atau lima kali lipat, atau berapa pun
yang kau minta. Tapi... yah, jangan terlalu mencekik
kantong. Kasihanlah kepadaku orang susah ini."
"Bagaimana ya, Ndoro..." ujar Jaka bingung.
"Tentunya sudah kau pikir, bukan?" "Be... belum, Ndoro." "Apa" Belum?" Raden Bei
berkata kesal. Tetapi karena pada dasarnya memang sudah sangat
berpengalaman dan licik pula, ia segera menyadari sikap yang terbalik baginya saat ini. Kalau wajahnya tadi terlihat kurang sedap
dipandang mata, maka kini telah
berubah seperti sedia kala, penuh senyum biar pun
senyum dibuat-buat.
"Tidak apa-apa, Jaka. Yang penting kau mau
berterus terang. Itu saja. Percayalah, aku tidak akan
bakalan marah. Besok pun tidak apa-apa. Boleh saja.
Sebetulnya semua ini demi kebaikanmu juga. Aku melihat nasibmu kurang beruntung selama ini. Padahal
kalau dipikir-pikir, apa kurangnya kau sebagai ahli
ukir" Aku pun dulunya adalah orang susah, bahkan
lebih susah daripada kau sendiri. Yang penting, kita
jujur, tidak menipu, tidak berbuat jahat, tidak berbuat... yah, pokoknya berbuat baik saja."
"Terimakasih, Ndoro. Saya akan selalu ingat
nasehat Ndoro itu baik-baik."
"Kau sudah dewasa, Jaka. Pergunakan kesempatan ini. Atau kalau pun misalnya kau tidak mau
menjual patung itu padaku... ah, itu terserah kau sendiri. Aku cuma menawarkan jasa baik. Tapi cobalah
bersikap lebih bijaksana. Carilah jalan keluar guna
memperbaiki nasibmu, terutama ibumu yang sudah
tua. Kasihan kalau sampai akhir hidupnya engkau tidak pernah berbuat baik padanya."
"Ya, Ndoro."
"Bagus, kau mulai mengerti maksud baikku.
Selama ini barangkali sikapku memang kurang simpatik padamu atau kepada siapa pun. Tapi semua itu
hanyalah karena sifat pembawaan lahir ku. Sikapku
kasar kadang-kadang, tetapi hatiku... ah, itu tak perlu ku jelaskan. Kau sendiri
pun tentunya sudah tahu.
Jadi cobalah, sekali lagi kukatakan, cobalah memperbaiki nasibmu. Ingat, tak ada yang bisa merubah nasibmu kalau tidak kau rubah sendiri. Semuanya tergantung padamu. Yah, sama halnya seperti patung itu.
Mau kau jual atau kau simpan selamanya terserah.
Kau tentunya sudah memikirkannya baik-baik."
"Ndoro yang baik, saya sebenarnya bukan tidak
mau menjual," ujar Jaka yang tampaknya mulai termakan rayuan Raden Bei. Lelaki
itu memang pintar bicara, dan kalanya berpura-pura tak perduli seakanakan hanya iseng saja menyatakan keinginannya. Namun kadangkala, ia tampak sangat serius dan bersemangat sehingga kalau bicara kedua matanya yang besar itu tampak melotot bagaikan hendak meloncat ke
luar. "Ya, saya mengerti itu. Tapi masalah itu nanti saja kita bicarakan. Yang
penting kau sudah mulai
menyadari bahwa saat ini kau harus memperbaiki nasibmu. Itu saja. Patung itu soal kedua. Kalau nanti misalnya kita sudah samasama berhasil, jangankan masalah patung, urusan yang jauh lebih besar pun dapat
kita selesaikan. Itu harapanku, Jaka."
Jaka manggut-manggut makin terpengaruh kata-kata Raden Bei.
"Eh, ngomong-ngomong ke mana si Cokro pergi" Ah, biarlah aku ke dalam dulu menemuinya. Baikbaik bekerja ya, Jaka!"
"Ya, Ndoro!"
Ketika Raden Bei masuk ke rumah Pak Cokro,
Jaka jadi termenung. Rasa-rasanya ucapan lelaki kate
itu ada juga benarnya.
Betapa tidak, Jaka sendiri sudah bertahuntahun jadi kuli ukir Pak Cokro. Nasibnya masih tetap
begitu-begitu saja. Memang untuk menutupi biaya sehari-hari cukup. Tetapi apakah ia tidak punya keinginan jadi kaya, atau sedikitnya hidup lebih layak lagi"
Sungguh mati, Jaka bukannya benci kepada
Pak Cokro, ayah Ronahyatun kekasih yang teramat dicintainya. Akan tetapi Jaka pun ingin berdiri sendiri, seperti yang dinasehatkan
Raden Bei. Ia pun ingin me-nunjukkan bahwa dirinya mampu mengelola usaha
ukiran kayu jati, seperti halnya Pak Cokro.
* * * 4 Akhirnya Jaka berniat menjual patung itu kepada Raden Bei. Berbagai pertimbangan telah dipikirkannya. Pertama karena patung itu sebenarnya hanyalah patung emas, bukan patung Ratu Shima seperti
yang dikira para pendekar dan Raden Bei sendiri. Jadi
tak ada salahnya jika misalnya dijual. Kedua, Jaka
pun ingin kaya seperti yang dikatakan Raden Bei. Tetapi karena patung itu sangat disayangi si Tolol, maka
Jaka bermaksud merundingkannya terlebih dahulu. Ia
akan membujuk-bujuk bocah berkepala botak itu. Kalau misalnya tidak mau, apa boleh buat. Jaka terpaksa
harus menolak usul Raden Bei. Sebab ia merasa lebih
baik mengecewakan Raden Bei daripada si Tolol.
Maka Jaka segera keluar dari ruang kerjanya
untuk mencari si Tolol. Tetapi anak itu tak kelihatan
lagi di tempatnya semula bermain-main. Ke mana bocah itu pergi" Tanya hati Jaka sambil melangkah sampai ke dekat pepohonan di belakang rumah Pak Cokro.
Astaga! Si Tolol ternyata sudah tidur bersandar pada
batang pohon. Suara dengkurnya terdengar sampai jarak belasan meter. Patung emas itu dipeluknya di bagian dada. Jaka segera melupakan kekecewaannya karena
pagi-pagi begitu si Tolol sudah tidur. Hatinya sekarang jadi bimbang, melihat si
Tolol kelihatan sangat menyayangi patung itu, sehingga dalam keadaan tidur
pun selalu dipeluk. Akan sampai hatikah ia menjualnya" Ah, biarlah! Biarlah Raden Bei nanti kecewa
atau marah. Biarlah ia nanti tetap miskin. Itu lebih
baik daripada menyakiti hati si Tolol. Maka Jaka bermaksud meninggalkan tempat itu dan membiarkan si
Tolol tidur sepuasnya.
Tapi tiba-tiba si Tolol berteriak keras-keras, sehingga membuat Jaka tersentak kaget.
"He-he-he, Kang Jaka kaget. Tadi aku cuma pura-pura tidur saja," kata si Tolol sambil terkekeh-kekeh girang. "Anak nakal
kau," kata Jaka pura-pura marah, padahal dalam hati ia merasa kasihan juga
melihat keadaan si Tolol, dari segi usia sebenarnya sudah patut dikatakan dewasa namun sikapnya masih kekanak-kanakan. "Aku tahu Kang Jaka pasti sudah lama mencari-cariku. Tapi aku diam saja."
Jaka tidak mengatakan apa-apa lagi, karena
matanya sekarang tertuju pada patung di tangan si Tolol. Wajahnya sedikit murung dan mencerminkan kegelisahan, karena sudah bisa membayangkan perasaan
si Tolol pasti sangat sedih nanti jika patungnya dijual.
"Ada apa, Kang Jaka?" tanya si Tolol agak heran melihat perubahan Jaka.
"Ah, tidak apa-apa. Aku cuma heran melihat
kau sangat menyayangi boneka mu itu. Sampaisampai kalau sedang tidur kau peluk seperti ibu terhadap anaknya."
"Ya, Kang. Boneka bagus ya, Kang Jaka!"
"Eh, Tong! Bagaimana kalau kita menjualnya?"
tanya Jaka pura-pura hanya iseng. "Oh, tidak bisa!"
"Tapi duitnya banyak, lho! Bisa beli apa saja
yang kita inginkan nanti."
"Jadi boneka ini bakalan punya orang lain, begitu?" kata si Tolol sambil mendekap patung itu erat-erat, seolah-olah ingin
mempertahankannya biarpun
apa yang terjadi. Jaka menjadi bimbang. Tetapi ia masih mencoba membujuk, siapa tahu si Tolol pun bisa
dipengaruhi. "Ya, begitulah kira-kira. Tapi ini tidak dipaksa.
Ditukar dengan uang. Banyak sekali."
"Uang" Uang itu kan sama dengan duit yang bisa dibuat jajan, beli pecel, beli getuk."
"Betul. Tapi yang ini duitnya banyak sekali. Tidak saja bisa dibuat beli pecel, tetapi juga bisa rumah, sawah atau kebon serta
yang lainnya."
"Wah, kaya dong namanya. Persis seperti bapak
Tolol di Sumedang. Orang bilang bapakku kaya, namanya juragan."
"Nah, enak jadi orang kaya, bukan" Makanya
aku mengatakan patung itu dijual saja. Biar kita jadi kaya seperti bapakmu
dulu." "Iya, deh! Jual saja boneka ini. Aku juga sudah
bosan. Habis boneka nggak bisa buat beli pecel sih.
Tapi... Kang Jaka harus janji dulu sama aku. Mau
kan?" "Janji apa?"
"Pokoknya mau janji nggak?"
"Ya, ya!"
"Sumpah?"
"Sumpah!"
"Baik! Aku cuma minta dibelikan pecel dan getuk. Rumah dan sawahnya buat Kang Jaka saja. Dalam rumah itu Kang Jaka harus tinggal bersama dengan..." "Dengan ibu."
"Bukan."
"Dengan kau?"
"Juga bukan."
"Lalu dengan siapa lagi?"
"Tentu saja dengan... Mbak Atun. Mbak Ronahyatun. Sebab aku tahu setiap kali Kang Jaka berpandangan mata dengan Mbak Atun ada bunyi gledukgleduk dalam dada kalian yang kedengaran oleh kuping ku. Aku sering mendengarnya, Kang Jaka!"
"Akh...!" Jaka berseru dengan wajah yang tiba-tiba saja bersemu merah. Karena
ucapan si Tolol memang benar adanya, pemuda itu tak sempat lagi memikirkan keanehan kata-kata itu. Sebab rasanya adalah mustahil seseorang bisa mendengar debaran hati
orang lain. Tetapi karena si Tolol memang memiliki
keistimewaan dalam hal naluri, selama ini ia dapat
menangkap getaran-getaran dalam hati Jaka dan Ronahyatun setiap kali beradu pandang.
"Hei, Kang Jaka kok diam saja" Ayo ngaku,
dong! Ngaku nggak?"
"Ah, kau ada-ada saja, Tong."
"Kata Kang Jaka bohong itu dosa. Iya, kan?"
"Ya! Ya!"
"Nah begitu, dong! Kang Jaka boleh menjual
boneka itu sekarang. Biar jadi kaya, banyak duit kayak bapakku dulu. Aku sih
cukup dibelikan pecel dan getuk saja."
Tentu saja Jaka sangat girang melihat sikap si
Tolol. Sejak tadi ia sudah sangat khawatir kalau-kalau si Tolol bukan hanya
sekedar menolak tetapi malah
marah-marah lalu menangis berguling-gulingan di tanah. Ia tahu persis perangai bocah berkepala gundul
itu. Tetapi sepertinya semuanya sudah diatur, si Tolol tidak menolak patung itu
dijual kepada Raden Bei.
Maka ketika besok harinya Raden Bei Kiduling
Pasar datang ke rumah Jaka, patung emas itu pun
berpindah tangan. Sebagai gantinya Jaka menerima
satu pundi uang kontan. Jaka menimang-nimang
pundi uang itu dan tertawa sendirian bagaikan orang
gila. Lalu tanpa henti-hentinya tersenyum, ia menghitung uang itu berulang-ulang. Dalam benaknya segera
timbul berbagai rencana, beli rumah, beli sawah, beli


Si Tolol 6 Perhitungan Terakhir Bagi Nyi Peri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kebon, beli hewan ternak dan... menikah.
Ia segera teringat kepada Ronah, putri Pak Cokro. Alangkah bahagianya jika ia sudah mempersunting gadis cantik itu. Sebab gadis itu pun sangat mencintainya. Keduanya saling mencintai dan uang yang
banyak pun sudah tersedia. Apa lagi yang kurang"
Dan jika kelak ia dan Ronah sudah membangun mahligai rumah tangga, lalu dikaruniai anak, oh... sungguh merupakan hari-hari yang
sangat membahagiakan.
Rumah tangga mereka kelak akan penuh keceriaan
dan senantiasa diwarnai kebahagiaan. Kalau misalnya
Ronah marah-marah, Jaka akan mengalah, sebab seperti yang sering dikatakan orang, dalam keluarga itu, salah satu harus mau
mengalah demi keutuhan dan
kebaikan mereka bersama.
Lalu kalau mereka punya anak perempuan
nanti, ia dan Ronah akan merundingkan nama yang
paling bagus untuknya. Demikian juga jika anak lakilaki. Ah, ah! Membayangkan dirinya punya anak, wajah Jaka jadi bersemu merah. Dan ia menjadi malu
pada dirinya sendiri karena belum apa-apa sudah terbayang sejauh itu.
Sementara itu, Raden Bei Kiduling Pasar juga
sangat gembira sekarang, karena berhasil membujuk
Jaka hingga mau menjual patung emas itu. Memang
mahal, bahkan selama ini Raden Bei belum pernah
mau serugi itu. Tetapi itu hanyalah masalah uang.
Dengan usahanya yang maju ditambah akal bulusnya
yang sangat licin, dalam waktu yang tidak terlalu lama tentu akan bisa mencari
uang sebanyak itu. Yang
penting hasrat hatinya untuk mempersunting Ronahyatun semakin dekat kepada kenyataan.
Patung itu sudah diberikan Raden Bei kepada
Nyi Peri. Dan ia pun mendapatkan obat mujarab penakluk gadis. Lelaki itu tak henti-hentinya bersenandung dengan suaranya yang serak karena sangat gembira. Ia pun selalu terbayang-bayang kepada Ronah.
Sejak siang hari, ia sudah mulai bersolek karena sore
nanti ia bermaksud menemui Ronah.
"Cihuuu! Setelah minum obat mujarab itu rasanya aku semakin ganteng saja. Si Ronah pasti akan
tergila-gila melihatku nanti. Aku akan memilikinya,
menikmati keindahan tubuhnya yang luar biasa itu,"
kata Raden Bei sambil mematut-matut diri di depan
cermin. Setelah merasa penampilannya meyakinkan, ia
melangkah ke ruang tengah. Matanya yang besar mirip
mata burung hantu itu melirik jam dinding, baru pukul tiga. Aduh, waktu rasanya kok lama sekali berputar. Raden Bei jadi kesal!
Lalu untuk menghabiskan waktu yang rasanya
sangat tidak bersahabat, ia memperhatikan gambar
ukir yang dipesannya dari Pak Cokro. Dewi khayangan
sujud di hadapan Raden Arjuna sebagai tanda takluk.
Demikianlah kira-kira nanti Ronahyatun yang cantik
jelita itu akan bertekuk lutut di hadapan Raden Bei.
Sayang sekali Raden Bei tidak punya alasan untuk
menyamakan dirinya dengan Arjuna yang tampan dan
perkasa. Sedangkan dirinya tergolong kurang beruntung dalam hal kegantengan. Tetapi ia sudah minum
obat mujarab pemberian Nyi Peri, jadi hatinya cukup
terhibur dan optimis hasrat hatinya akan tercapai.
"Nanti sore si Ronah pasti bertekuk lutut di hadapanku, persis seperti Dewi Njunggring Saloko yang
menyembah di kaki Arjuna Lananging Jagat dalam
ukiran ini," kata Raden Bei.
Perlahan namun pasti, matahari mulai condong
ke Barat. Jaka dan si Tolol sudah bersiap-siap pulang
dari pekerjaannya. Tetapi si Tolol tampak tidak tenang karena tukang pecel
langganan mereka belum juga
muncul. "Kok gini hari tukang pecel yang sering kemari
belum lewat," katanya tidak sabaran.
"Sabarlah, Tong. Sebentar lagi pasti datang!"
"Nanti beli yang banyak ya, Kang." "Jangan
khawatir. Semuanya pun tak apa, asal kau bisa menghabiskannya."
Dari kejauhan terdengar suara wanita penjual
pecel. Si Tolol melonjak kegirangan, lalu berseru-seru memanggil tukang pecel
itu. Tetapi ketika sudah dekat, ia dan Jaka menjadi heran karena ternyata tukang
pecelnya bukan yang kemarin, melainkan wanita lain.
"Lho, kok yang dagangnya sekarang lain" Ke
mana Mbakyu yang biasa ke sini?" tanya Jaka.
"Dia sedang kawin, Mas. Jadi pengantin baru.
Makanya aku yang menggantikannya. Sama saja kan,
mas?" kata penjual pecel itu dengan suara merdu. Ja-ka memperhatikan wajah
wanita itu, sangat cantik
dengan kulit tubuh yang putih bersih. Tetapi bukan
kecantikannya itu yang membuat Jaka tertarik, melainkan karena rasa-rasanya ia sudah pernah melihat
wajah itu. Dan suara merdunya pun sepertinya sudah
pernah di dengar Jaka. Tetapi kapan dan di mana, Jaka sendiri tidak bisa ingat.
Sekilas penjual pecel itu melirik Jaka, lalu segera menunduk melihat sinar mata yang penuh selidik
itu. "Pecelnya berapa bungkus, Mas?"
"Banyak, banyak! Berapa bungkus pun bisa.
Tapi... rasanya aku pernah melihatmu.
Dari manakah asalmu, Mbakyu?"
"Dari desa seberang, Mas!"
"Bolehkan aku tahu namanya" Nama saya Jaka
dan ini si Tolol. Orang yang paling kuat makan pecel di sini." "Terimakasih,
Mas. Tapi... maaf, aku tak bisa menyebutkan nama. Kapan-kapan saja, Mas."
Saat itu Ronahyatun muncul dan sempat memperhatikan wajah si penjual pecel. Lalu sambil tersenyum manis, ia menghampiri Jaka.
"Aih, lagi memborong pecel nih" Aku kebagian
nggak, Mas?"
"Oh, tentu. Sudah kupesankan sekalian buat
romo dan ibumu."
Sementara itu, si Tolol sudah melahap pecelnya. Bocah itu tampak kepedasan hingga ari matanya
hampir keluar. Tetapi karena pecel itu sangat enak, ia terus melahapnya.
"Sambelnya jangan banyak-banyak, Yu. Huah,
aku jadi kepedasan. Tapi enak sekali. Aku ingin nambah lagi. Boleh kan, Mbakyu?"
Setelah selesai melayani pesanan Jaka, penjual
pecel itu pamitan untuk melanjutkan perjalanan :
"Nun inggih! Matur nuwun. Pareng den ajeng. Kulo
pamit, Kang Mas!"
"Ya, ya. Terimakasih. Besok sore mampir lagi ke
sini ya, Mbak! Pecelnya enak," kata Jaka.
"Eh, Mbakyu cakep. Nggak usah jualan pecel.
Tinggal saja sama kami di rumah Kang Jaka. Nanti biar bisa bikin pecel terus," seru si Tolol karena wanita itu hendak melanjutkan
perjalanan. Wanita itu cuma
tersenyum, lalu mengangguk-angguk.
Tepat ketika Jaka dan si Tolol sudah pulang,
Raden Bei datang berkunjung ke rumah Pak Cokro
Sumarmo, ahli ukir nomor satu di Jepara. Sambil menunduk-nunduk hormat, Raden Bei mengatakan kedatangannya hanya sekedar ngobrol saja. Pak Cokro segera mempersilahkan masuk.
"Silahkan duduk Ndoro Bei. Selamat datang di
rumah kami yang buruk ini," kata Pak Cokro didampingi istrinya.
"Ah, jangan panggil aku Ndoro. Itu terlalu berlebihan. Saya ini kan lebih muda dari Bapak," sahut Raden Bei untuk menarik rasa
simpatik orang tua itu.
Bu Cokro kemudian masuk ke dapur, lalu tak
lama berselang masuk lagi ke ruang tamu sambil
membawa minuman. Dengan sikap hormat ia menghidangkan minuman itu di hadapan Raden Bei.
"Ah, saya jadi merepotkan saja, Bu!" kata Raden Bei. Tetapi diminumnya juga air
yang disediakan
Bu Cokro. Wajahnya berseri-seri dan seulas senyum
tersungging di bibirnya yang tebal.
"Enak betul teh ini, segar lagi. Ini pasti Ronahyatun yang membuatnya."
"Dugaan Raden memang betul. Anak saya yang
membuatnya," kata Pak Cokro.
Tak lama setelah Raden Bei bercakap-cakap
dengan kedua orang tua Ronahyatun, hari pun mulai
gelap. Penduduk telah pulang dari sawah serta ladangnya. Penggembala pun sudah membawa pulang
hewan ternaknya. Berakhir sudah kerja keras para petani dan pengrajin kayu ukir serta penduduk lainnya.
Tanpa sepengetahuan siapa pun, sesosok tubuh berjalan mengendap-endap mendekati rumah Pak
Cokro. Gerakan wanita itu sangat ringan, sehingga walaupun berjalan cepat tidak menimbulkan suara mencurigakan. Dengan sekali loncatan, tubuhnya melayang dan mendarat di samping rumah Pak Cokro, lalu mencoba mengintip ke dalam.
"Begini Pak Cokro," kata Raden Bei kemudian,
"Maksud kedatangan saya ke mari selain kunjungan
kekeluargaan dan melepas rasa kangen, juga saya
membawa sekedar hadiah untuk anakmu Ronah. Yah,
cuma hadiah murahan, Pak!" katanya lagi sambil me-nunjukkan sebuah bungkusan
kecil berisi perhiasan
emas bermatakan intan permata. Lelaki itu memang
sengaja agak merendah, mengatakan benda di tangannya hanya hadiah murahan. Padahal ia pun tentunya
tahu Pak Cokro belum tentu mampu membeli perhiasan seperti itu.
* * * 5 Melihat perhiasan itu, Pak Cokro menjadi terkejut. Sepasang matanya terbelalak. Sebagai orang yang
hidupnya pas-pasan, ia tentu sangat mengharapkan
perhiasan seperti itu. Tetapi ia bukan pula orang bodoh, sebab rasanya tidak mungkin ada lelaki mau berbuat sebaik itu tanpa maksud tertentu.
Sama seperti halnya Pak Cokro, penduduk
lainnya di Jepara juga tidak mau percaya begitu saja
kepada Raden Bei. Sebab lelaki kaya raya itu bukan
hanya sekali dua kali saja melaksanakan tipu muslihat atau memperdayai penduduk. Dengan caranya
yang sangat halus ia bisa mempengaruhi seseorang,
terutama yang sedang dalam kesusahan. Dalam arti
pintar memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan,
bahkan tidak hanya memanfaatkan, menciptakan kesempatan pun ia sangat lihai.
Semua itu masih didukung sikapnya yang seperti bunglon, bisa menangis walaupun hatinya tertawa dan sebaliknya. Tidak mengherankan jika penduduk Jepara sudah banyak yang menjadi korban tipu
muslihatnya. Dan rasa kepercayaan penduduk pun
makin lama makin tipis pula. Sebelum menuruti katakatanya, orang-orang selalu terlebih dulu berfikir beberapa kali, sebab tak
ingin jadi korban. Akan tetapi Raden Bei memang sangat licin bagaikan belut dan
ulet bagaikan kulit, sehingga sampai saat ini masih adaada saja yang termakan oleh bujuk rayunya yang berbisa. Sekarang Pak Cokro pun tidak mau percaya begitu saja akan kebaikan Raden Bei. Perhiasan yang katanya hendak diberikan kepada Ronah termasuk mahal. Sedangkan untuk memberikan satu genggam beras
saja, selama ini Raden Bei sangat sulitnya. Akan tetapi karena Pak Cokro pun
sangat segan bahkan takut kepada pria kaya itu, ia tidak berani bicara macammacam. Walau hatinya mendongkol, bibirnya terpaksa
tersenyum, sehingga kelihatan sangat janggal.
"Ah, tak usah repot-repot begini, Den Mas!
Pemberian semacam itu tak patut kami terima. Sebab
seperti Den Mas ketahui, kami ini hanyalah orang susah, orang kecil. Jadi..."
"Alaaa, Bapak jangan berkata begitu," Raden
Bei menyela ucapan Pak Cokro dengan cepat, "Kita kan dilahirkan sama. Jadi kita
harus sama rata sama rasa.
Pemberian seperti ini boleh dikatakan sangat kecil artinya daripada sebuah persahabatan dan kekeluargaan. Kalau misalnya nanti Pak Cokro punya sedikit
kelebihan uang atau yang lainnya, tentunya mau
memberikannya kepadaku, bukan" Atau sedikitnya
pasti mau beramal kepada orang yang sedang kesusahan. Jadi saya memberikan hadiah ini hanya sematamata terdorong rasa persahabatan dan kekeluargaan.
Memang sih saya ingin berteman juga sama si Ronah,
tapi itu kan wajar?"
"Ya, Den Mas!" sahut Pak Cokro dengan perasaan yang semakin tak enak.
"Nah, dengan demikian berarti Bapak mau
menghormati ketulusan hati saya. Se karang Bapak
dan Ibu tolong panggilkan Ronah ke mari. Aku ingin
bicara sebentar dengannya!"
"Ba... baik, Den!"
Bu Cokro segera beranjak dari duduknya, yang
segera diikuti suaminya. Kedua orang tua itu masuk
ke kamar Ronahyatun. Melihat kedatangan ayah dan
ibunya, perasaan gadis itu menjadi tak menentu, sebab tadi secara samar-samar ia mendengar Raden Bei
hendak berbicara dengannya.
"Ronah, kau dipanggil Ndoro Bei," kata Pak Cokro terdengar jelas di telinga
Raden Bei. Ia sedang me-rapikan dandanannya sekarang, letak blangkon di kepalanya dirapikan. Kumis tompelnya pun dielus-elus
agar tampak lebih meyakinkan.
"Ada apa. Romo?" tanya Ronah setelah kedua
orang tuanya berdiri di ambang pintu kamar.
"Kau dipanggil Ndoro Bei."
"Untuk apa" Aku tak suka meladeni orang tua


Si Tolol 6 Perhitungan Terakhir Bagi Nyi Peri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang genit itu."
"Jangan berkata begitu, Cah Ayu! Ingat, dia
adalah orang yang ditakuti di daerah ini. Kita tidak boleh mengecewakan hatinya.
Kalau misalnya dia bilang
apa-apa dan kau tidak senang, katakan saja terus terang," bujuk Pak Cokro sambil menepuk-nepuk bahu
putrinya. "Tapi aku...."
"Jangan begitu! Sudah kubilang kau hanya
menemuinya saja. Setelah itu, katakanlah dengan terus terang bahwa kau sudah mengantuk misalnya. Tidak apa-apa, bukan?"
Akhirnya dengan rasa enggan, Ronahyatun melangkah menuju pendopo untuk menemui raja kecil
dari Jepara itu. Langkah dara jelita itu terlihat sangat berat, wajahnya pun
keruh. Rambutnya yang panjang
dibiarkan awut-awutan, pertanda bahwa ia mau menemui Raden Bei hanyalah karena terpaksa.
"Selamat malam, Ndoro!" ujar Ronahyatun keti-ka melangkah memasuki ruang
pendopo. Kepalanya
setengah menunduk, setengah mengangguk seperti
hendak memberikan hormat namun tiba-tiba merasakan itu tidak perlu, sehingga gerakan lehernya terlihat sangat kaku, Sewaktu
belum mengangkat wajah, dara
ayu itu melirik Raden Bei dengan sinar mata mencorong tajam. Tetapi setelah duduk di hadapan Raden
Bei, wajahnya terlihat sedikit ramah.
"Welah, Cah Ayu. Duduklah lebih dekat ke mari. Jangan malu-malu."
"Ah, di sini saja, Ndoro!"
Raden Bei menggeser duduknya hingga lebih
dekat kepada Ronah. Sambil berbuat begitu, ia tak
henti-hentinya tersenyum dengan sikap yang tidak wajar sehingga senyumnya lebih mirip seringaian buas.
Diam-diam Ronah merasa jijik melihat lelaki itu.
"Duduk saja dekat Kang Mas. Jangan malumalu. Aku bermaksud baik," kata Raden Bei sambil
menarik tangan Ronah.
"Ya, Ndoro. Tapi jangan tarik tangan saya. Dan
mundurlah sedikit. Tidak baik berbicara terlalu dekat
seperti itu."
Raden Bei menggeser duduknya sedikit. Setelah
itu, ia mengeluarkan kotak berisi perhiasan yang tadi
dibungkus dengan selembar kain. Senyum laki-laki itu
semakin lebar, hingga gigi-giginya yang besar bagaikan kampak tampak jelas di
mata Ronah. "He-he-he, coba lihat, Nduk! Giwang emas bermatakan berlian ini sebagai persembahan ku untukmu." "Aduh, bagus sekali. Tapi apakah Ndoro merasa sebagai raja taklukan hingga
harus memberikan semacam upeti kepada saya?" tanya Ronah yang tiba-tiba
saja tidak dapat menahan rasa kesalnya.
Sumpah Palapa 22 Joko Sableng 42 Rahasia Darah Kutukan Pertarungan Dua Naga 1

Cari Blog Ini