Ceritasilat Novel Online

Tikam Samurai 15

Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik Bagian 15


disentakkan. Meluncur dengan kecepatan tinggi menuju pulau Pesek yang kelihatan sayup sayup dalam cahaya
laut. "Jam berapa sekarang..?"
Itu kalimat pertama. Dan diucapkan oleh Miguel. Kapten Fabian membuka tutup jam tanganya yang
terbuat dari kulit hitam. Dalam gelap kelihatan angka-angkanya bersinar kebiru-biruan seperti kunangkunang.
"Jam sebelas?" katanya.
Miguel mengangkat tangannya tinggi keatas. Lalu hidungnya diarahkan ke utara. Ke arah datangnya
angin. Dia seperti mencium sesuatu.
"Angin akan berobah. Kita akan dibawa ke Timur. Kepulau Marlimau. Dan hujan segera turun.."
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 333
"Hujan..?" tanya Kapten Fabian.
"Ya. Tapi yang berbahaya adalah perputaran angin. Daerah ini adalah selat dangkal. Terletak antara dua
pulau. Angin tak begitu bebas. Pukulan angin bisa berobah karena terbentur hutan dan pulau-pulau di depan
sana. Lebih baik layar diturunkan sebelum terlambat?"
Tak ada yang membantah. Layar segera diturunkan. Si Bungsu jadi heran. Padahal angin masih bertiup
dari arah buritan dengan kencang. Tak ada tanda-tanda akan berobah. Tak pula dia lihat akan datangnya hujan.
Langit memang gelap. Tapi tak ada guruh, tak ada kilat. Hujan lebat darimana yang akan datang"
Namun dia tak usah menanti lama. Ketika layar baru saja selesai dilipat, ada suara seperti bertepuk. Dan
angin tiba-tiba menampar dari rusuk kiri. Lalu berpiuh. Menampar dari rusuk kanan.
"Rapatkan tubuh ke perahu"!" terdengar perintah Kapten Fabian. Semua mereka menunduk dalamdalam. Si Bungsu dalam tunduknya itu melayangkan pandangan pada Miguel yang duduk di kanannya.
"Kau memang hebat sobat. Ramalanmu tentang angin yang berkisar dapat ponten sembilan. Tapi
tentang hujan" Saya berani bertaruh. Kalau hujan tak"." Kalimat itu tak pernah ia ucapkan.
Dia hanya bicara dalam hatinya saja. Tapi pembicaraan dalam hati itupun tak sampai keujungnya. Sebab
ketika otaknya selesai mengucapkan kata "Bertaruh", hujan tiba-tiba saja seperti dicurahkan dari langit. Seperti
ada gergasi di atas kepala mereka yang menunggangkan air ratusan drom sekedar untuk membuktikan ucapan
Miguel yang orang Spanyol itu.
Si Bungsu tak berani menatap pada Miguel. Hanya diam-diam hatinya bicara : memang hebatlah waang,
kawan"! Begitu hujan turun dengan lebatnya, Kapten Fabian memerintahkan untuk mendayung. Meski angin
bersiut kencang, tapi tak berpiuh seperti tadi.
Dan kini mereka berkayuh melawan ombak dan hujan yang rasanya sebesar-besar tinju menerpa wajah.
Diam-diam Si Bungsu melirik lagi pada Miguel si Spanyol yang katanya ahli meteorologi itu lain daripada
intuisinya tentang alam yang amat peka. Ahli meteorologi membutuhkan peralatan untuk mengetahui
perobahan cuaca. Tapi si Spanyol ini mengetahuinya lewat inderanya.
Si Bungsu teringat lagi peristiwa sebentar ini. Yaitu saat angin utara berhembus meluncurkan sampan
layar itu dengan kencang ke arah pulau Pesek. Saat itu Miguel berkata bahwa angin segera akan merobah arah.
Dan dia meminta layar agar digulung. Begitu layar digulung, angin memang berobah. Berpiuh-piuh dengan
kencang dan tak menentu. Kalau saja layar masih terkembang, tak pelak lagi, sampan karet ini akan terbalik
oleh piuhan angin selat pulau Pesek itu.
Kini si Miguel itu tengah berdayung, tanpa mengetahui bahwa Si Bungsu sejak tadi mencuri pandang
menatapnya. Dan sampan itu melaju terus. Membelah gelombang. Membelah malam berhujan lebat.
Hampir tiga jam mereka berkayuh ketika akhirnya mereka mendekati pulau Pesek di selatan Singapura
itu. Hutan-hutan bakau yang basah menyambut mereka. Mereka harus menunduk dalam-dalam ketika lewat
dibawah dahan-dahan bakau tersebut.
Seorang terdengar turun. Kemudian berjalan bergegas mengarungi air setinggi pinggang dan kaki yang
terbenam dalam lumpur setinggi lutut. Orang itu tak dikenal oleh Si Bungsu karena gelapnya malam. Makin
lama suara langkahnya dalam air makin menjauh. Akhirnya lenyap. Tak ada yang bersuara.
Si Bungsu masih terheran-heran. Kemana orang itu" Dan kenapa tak seorangpun yang peduli" Dia tak
sempat berpikir jauh. Orang-orang disekitarnya terdengar turun. Sampan karet itu kini tak dapat lagi dikayuh.
Mereka harus mengarungi air setinggi betis untuk mencapai daratan.
Tak ada senter. Tak ada korek api yang dinyalakan. Segala sesuatu dilakukan menurut firasat dan
petunjuk alam yang amat samar-samar. Untung saja hujan tak lagi lebat.
Si Bungsu juga turun dan ikut menyeret sampan itu hingga mencapai bibir pulau.
Tiba-tiba ada getar aneh ditengkuknya. Hmm, Si Bungsu kini berada dirimba belantara sebuah pulau.
Dan dalam rimba dia seperti berada dalam rumah orang tuanya. Ah, sejak meninggalkan gunung Sago di
Payakumbuh dahulu, baru kali ini dia berada dalam hutan liar. Dia seperti kembali kerumahnya. Betapa tidak,
bukankah bertahun dia hidup di belantara kaki Gunung Sago yang tak kenal persahabatan itu"
Dan setiap dia berada dibelantara itu. Dan dia kenal setiap gerak gerik dan setiap perangai ini rimba
tersebut. Mereka menyeret sampan itu makin dekat ke bibir pulau dibawah batang bakau. Firasat aneh itu
makin mengencangkan pembuluh darah Si Bungsu.
Hutan bakau berakhir. Kini mereka mengarungi semak yang terendam di air setinggi satu kaki. Saat
itulah Si Bungsu yang tadi berjalan di belakang segera berjalan ke depan. Dia melintasi Donald si ahli senapan.
Melintasi Miguel yang ahli metrologi. Melintasi Kapten Fabian.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 334
Karena hutan bakau telah diganti oleh belukar yang tak begitu tinggi, cuaca agak terang ketimbang
dibawah pohon bakau yang gelap itu.
Mereka akan melewati sebuah pohon. Dan sedepa dari pohon itu sebuah dahan sebesar betis kaki seperti
melenting kearah mereka. "Awas"!" Kapten Fabian sempat menangkap bayangan itu. Semua anak buahnya merunduk dalam.
Namun yang paling depan, ya itu Si Bungsu tetap tegak.
Inilah firasat tak sedapnya itu. Batang kayu sebesar betis yang melenting kearah mereka itu. Di ujung
cabang kayu itu ada dua titik cahaya merah. Dan sebelum batang itu mencapai mereka, terlebih dahulu tercium
bau anyir disertai desis melinukan hati.
Seekor ular rawa berwarna merah berbelang kuning yang amat berbisa! Dan yang dituju kepala ular itu
adalah manusia yang tegak di depan sekali. Dia adalah Si Bungsu!
(95) Si Bungsu menunduk cepat begitu kepala ular itu meluncur seperti anak panah ke arah lehernya.
Begitu sasarannya luput, kepala ular itu berputar kearah pohon dimana lima meter tubuhnya melilit
sebagai pegangan. Ketujuh anggota Baret Hijau itu terkesiap. Kaget dan merasa ngeri. Mereka memang manusia-manusia
yang tak takut pada maut. Tapi keberanian mereka adalah bila bertempur melawan manusia.
Mereka memang bukan pengecut. Namun diserang ular mendadak begini, nyali mereka jadi ciut juga.
Mereka segera ingat pengalaman dua tahun lalu di India. Di Negeri ular itu, tak kurang dari sebelas anggota
baret hijau yang kesohor itu mati dipatuk ular berbisa. Tragis memang. Pasukan yang berani mati, yang ditakuti
lawan dan kawan, ternyata banyak yang mati digigit ular!
Dan kini mereka berjongkok tanpa sempat berbuat apa-apa melihat ular itu kembali melesat ke arah
orang yang paling depan. Mereka tak tahu siapa orang itu. Namun demi malaikat mereka menggigil melihat
orang itu tetap tegak seperti menanti datangnya serangan ular raksasa itu.
Dan ular itu nampaknya memang berang benar. Kalau tadi yang meluncur kedepan hanyalah kepalanya
dengan mulut menganga, diiringi mencuatnya taring yang hampir sejengkal panjangnya itu, dia juga
melepaskan lilitan tubuhnya di pohon.
Dengan demikian, dia bermaksud menyerang lawannya habis-habisan dengan mematuk dan
meremukkan tubuhnya dengan lilitan.
Tapi malangnya orang itu justru adalah Si Bungsu! Dia memang bukan Tarzan. Raja Rimba yang jadi
legenda di hutan belantara Amerika serikat. Namun, hewan buas dan binatang melata mana yang tak "kenal"
pada Si Bungsu ketika dia bertarak di Gunung Sago"
Di rimba gunung sago yang belum pernah dijamah kaki manusia itu, binatang-binatang buas lebih
senang menghindar jauh-jauh atau berdiam diri saja dipersembunyiannya bila manusia yang satu ini lewat.
Hal itu terjadi setelah setahun Si Bungsu dirimba itu. Dan selama setahun itu memang banyak coba-coba.
Maklumlah "orang baru".
Namun anak muda ini telah bertekad untuk tetap hidup. Hidupnya adalah pembalasan dendam. Dan
selama setahun itu tak terhitung ular, harimau yang ingin "mencobanya". Namun dia menghadapi dengan
samurai. Anak muda itu tak mau mengganggu kalau dia tak diganggu. Akhirnya seperti ada persepakatan
antara mereka. Antara hewan buas itu dengan Si Bungsu. Bahwa mereka akan hidup sebagai tetangga yang
rukun. Dan hal itu memang jalan terbaik bagi hewan-hewan buas itu. Sebab setelah setahun, anak muda itu
telah berobah menjadi manusia yang amat cepat mempergunakan samurai.
Nah, kini dia berhadapan dengan ular itu. Dia menunggu kepala ular itu dekat. Kemudian mengelak ke
kiri. Dan samurainya berkelabat. Sekali. Dua kali! Empat!
Pada gerakkan pertama, kepala ular itu putus tentang lehernya. Kepalanya masih terus melayang ke
belakang. Kepalanya masih terus melayang ke belakang. Mengenai tubuh Miguel. Miguel terpekik kaget.
Pada gerakkan kedua, ketiga dan keempat, tubuh ular yang tengah meluncur dengan maksud melilit
badannya itu berpotong-potong sama panjang! Semuanya jatuh dengan darah bersemuran! Lalu sepi!
Ke tujuh anggota Baret Hijau itu, termasuk Kapten Fabian, menatap dengan mulut ternganga dan bulu
tengkuk merinding. Dalam cahaya samar-samar mereka melihat anak muda itu tegak dengan tenang. Kemudian
dengan tenang pula secara perlahan dia menyarungkan samurainya!
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 335
Suasana tegang itu terpecahkan oleh suara langkah menguak semak-semak di depan mereka. Secara
reflek mereka menyiapkan bedil. Suara burung malam menggema perlahan. Mereka menarik nafas. Seorang
dari anggota rombongan itu menyahuti suara burung itu dengan nada yang sama.
Selang beberapa saat muncul sesosok tubuh. Dan Si Bungsu segera mengenalinya sebagai si Negro.
"Kapal mereka nampak tengah menuju kemari. Hanya ada sebuah kapal"." Tongky si Negro itu melapor
perlahan pada Kapten Fabian.
"Ya. Mereka mengumpulkan wanita-wanita itu ke kapal yang satu itu ditengah laut. Dan kini mereka
menuju ke markas mereka di pantai sana. Mari kita bersiap?" Kapten Fabian memberi perintah-perintah.
"Kita takkan kembali lagi kemari. Kita akan merebut kapal dan menyelamatkan wanita-wanita itu.
Jangan menembak sebelum ada komando dari saya dengan tembakan peluru sinar hijau"
Selesai perintah singkat itu merekapun bergerak. Tongky di depan sekali. Berturut-turut dalam jarak
dua depa adalah Kapten Fabian, Donald, Miguel dan yang lain-lain.
Di belakang sekali Si Bungsu.
Sebenarnya dia ingin berjalan di depan sekali. Dia ingin menjadi penunjuk jalan. Sebab meskipun belum
pernah kepulau ini, tapi dia hapal setiap lorong dan setiap jengkal tanah rimba.
Dia tahu dari bau yang dipancarkan hutan itu apakah tanah yang mereka pijak keras atau lunak. Dalam
jarak sepuluh depa, dia sudah tahu apapun di depan rawa, atau ada bahaya dalam bentuk binatang buas atau
manusia. Dia hapal segalanya itu. Ah, dia mengenali rimba raya seperti dia mengenali dirinya sendiri. Namun dia
tak jadi berjalan ke depan karena perintah Kapten Fabian. Karena dalam pasukan komando itu Tongki lah yang
ahli dalam mengenal lapangan.
Kini mereka berjalan dengan diam tanpa menyalakan lampu. Tanpa cahaya setitikpun. Rimba rendah di
pinggir laut segera saja disambut oleh belantara yang lebat dibahagian darat pulau itu.
Dan dibawah pohon raksasa di pulau Pesek itu segalanya jadi gelap gulita. Hujan lebat yang menerpa
mereka di tengah laut tadi, kini hanya tinggal titik-titik berupa hujan rintik. Namun saking rapatnya dedaunan,
rintik-rintik itu tak sampai ke bawah.
Dan Tonky nempaknya memang ahli dalam menyelusup dirimba raya. Itu diakui oleh Si Bungsu yang
berjalan di belakang sekali. Negro pendiam itu dalam gelapnya malam dengan lincah menyelinap ke sana
kemari. Menghindarkan dirinya dan rombongan dibelakangnya dari perangkap hutan belantara yang mereka
lalui. Mereka berpedoman dari bayangan di depan mereka agar tak kehilangan teman. Dan Si Bungsu
mengakui bahwa pasukan ini memang pasukan yang ahli dalam rimba. Dari cerita-cerita yang pernah dia
dengar tentang pasukan Green Barets diketahuinya bahwa pasukan ini tak hanya tangguh bertempur merebut
kota dari tangan musuh. Tapi juga tangguh dan sangat ditakuti di rimba dan di lautan.
Sebagai suatu pasukan Komando dibawah bendera pasukan sekutu yang bertempur melawan Jerman
dan Jepang, pasukan ini memang diakui musuh. Mereka biasanya didrop ke daerah musuh yang paling tangguh.
Dimana pasukan-pasukan infantri atau pasukan artileri tak kuasa menerobos pertahanan musuh., maka sudah
bisa dipastikan bahwa Jenderal Eisinhower yang menjadi panglima pasukan sekutu akan mengirim telegram
pada komando pasukan Green Barets.
"Kami kandas dalam menerobos sasaran "X" telah dicoba dengan infantri yang ribuan jumlahnya. Dan
dibantu oleh pasukan artileri serta pasukan-pasukan payung. Namun pertahanan mereka sangat tangguh. Kami
berharap dan bangga sekali kalau pasukan Green Barets dapat membantu kami. Terimakasih, Eisinhower"
Selalu demikian bunyi "perintah" jenderal berbintang empat itu. Dia tak pernah memakai kalimat
"dengan ini saya perintahkan". Dia selalu memakai kalimat "Kami bangga sekali kalau pasukan Green Barets
dapat membantu kami.."
Itu sebabnya kenapa Eisinhower jadi akrab dengan setiap prajurit yang dipimpinya. Meskipun
"perintah" dan "kepatuhan" merupakan dogma yang mutlak bagi setiap prajurit, namun Eisinhower selalu
berusaha menghindar dari sistim itu. Dia seorang jenderal yang keras, tegas dan berwibawa. Namun disamping
itu dia juga seorang jenderal yang dicintai.
Dia adalah perpaduan antara Panglima dalam arti militer, dan Pemimpin dalam arti sipil. Dan kini, Green
Barets, pasukan kebanggan tentara sekutu itu, juga kebanggan Eisinhower, sebagian anggotanya berada di
depan Si Bungsu. Berada dalam rimba pulau Pesek di selatan Singapura.
Pasukan kecil beranggotan sembilan orang itu suatu saat berkumpul di sebuah tempat gelap.
"Kita akan menyeberang rawa ini?" Tongky berkata perlahan.
"Tak ada buaya?"" terdengar pertanyaan dari mulut Donald.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 336
"Tidak. Tadi saya menyeberang disini juga. Ini jalan pintas terdekat. Disebelah sana, setelah menerobos
sedikit belukar, kita akan sampai antara rumah papan yang mereka jadikan sebagai markas dengan pelabuhan
kapal dimana mereka menurunkan perempuan-perempuan itu?"
"Engkau menyeberang disini pulang pergi tadi?" kali ini yang bertanya adalah Kapten Fabian.
"Ya. Inilah jalan saya tadi. Buktinya saya masih hidup, toh?" Tongky meyakinkan. Dan dia memang masih
hidup. Dan dia memang lewat di rawa itu tadi. Dia tak berbohong akan hal itu. Namun Si Bungsu tak sependapat
dengan Negro itu. Barangkali saja Tongky benar, bahwa rawa ini tak berbuaya. Namun firasat Si Bungsu mencium bahaya
yang jauh lebih dahsyat daripada seekor atau lima ekor buaya. Inderanya yang amat tajam tentang perilaku
rimba belantara membisikkan bahaya itu pada hatinya.
"Baik, engkau duluan. Yang lain mengikuti dalam jarak empat depa"." Kapten Fabian berkata. Mereka
berkata-kata tetap berupa bisik-bisik perlahan.
Tongky mulai masuk ke air.
Tapi langkahnya terhenti ketika terdengar ucapan "tunggu" dari belakangnya.
Dia berhenti, dan dia termasuk juga seluruh rombongan menoleh pada Si Bungsu yang mengatakan
"tunggu" itu. "Saya rasa jalan ini berbahaya?" katanya perlahan.
Anggota bekas pasukan baret hijau itu menatap padanya tepat-tepat. Mereka tak bersuara. Menanti
penjelasan dari anak muda itu.
"Saya tak dapat mengatakan apa bahayanya. Tapi firasat saya mengatakan hal itu. Barangkali bukan
buaya atau ular. Tapi kesunyian di seberang sana membuat saya curiga"." Si Bungsu berkata separoh berbisik.
Tongky mendekat lagi mendengar penjelasan itu.
"Ya diseberang sana memang sepi. Saya tadi menyelusup sampai ke dekat rumah yang mereka jadikan
markas. Disana enam lelaki. Semuanya berbedil otomatis. Dan mereka semua asik main kartu. Di pelabuhan
ada dua orang yang memberi isyarat pada kapal yang kelihatannya masih sangat jauh. Mereka memberi isyarat
dengan pelita kecil. Nah, jumlah mereka hanya delapan. Barangkali dari kapal yang akan merapat itu ada sekitar
sepuluh orang lagi. Jadi semuanya hanya delapan belas. Betapapun juga, dengan kekuatan sedemikian kita
sanggup menyikat mereka?"
Kemudian dia menatap kembali pada Kapten Fabian. Lalu tatapan matanya berpendar pada ketujuh
anggota Baret Hijau yang lain. Lalu terdengar suaranya perlahan :
"Tak dapat saya mengatakan bagaimana saya menarik kesimpulan bahwa diseberang sana ada
perangkap. Tapi saya dapat merasakannya. Jika ingin diperjelas lagi, maka diri saya adalah bahagian dari
belantara yang berbahaya tetapi sepi?"
Kapten fabian tahu, orang ini tak berbohong. Jauh dilubuk hati Kapten itu juga mengakui, bahwa dia
merasa firasat anak muda ini adalah benar.
Namun bagaimana jalan keluar"
"Kini, bagaimana kita menyebrenag ke sana jika kita dari arah ini" Jika diambil jalan memutar, rasanya
terlalu jauh" Semua terdiam mendengar ucapan Kapten tersebut.
"Bagaimana kalau saya dengan satu atau dua orang sukarelawan lainnya menyeberang terus pada jalan
ini?" yang berkata ini adalah si Tongky Negro yang ahli menyelusup itu. Dan siapa pun diantara yang hadir itu
dapat mengetahui bahwa Tongky kurang yakin pada firasat Si Bungsu. sebenarnya tidak hanya Tongky, hampir
seluruh mereka, kecuali Kapten Fabian kurang yakin akan firasat Si Bungsu itu.
Namun mereka tak berani melanggar perintah Kapten Fabian. Dalam soal-soal begini, sebuah pasukan
Komando memang ditentukan nasibnya oleh Komandan. Kecuali jika mereka telah berpencar, maka nasib
mereka berada ditangan mereka sendiri. Pada saat begitulah kemampuan pribadi sangat diandalkan. Kini,
betapapun juga kesatuan pasukan harus dipertahankan.
Dan itu pulalah sebabnya Tongky tak secara langsung mengajukan protes atas ramalan Si Bungsu. dia
hanya menawarkan suatu alternatif lain dengan mengatakan : Bagaimana kalau saya tetap menyeberang
dengan satu atau dua sukarelawan..
Artinya, dia ingin membuktikan bahwa ramalan Si Bungsu itu tak benar. Mendengar tawaran itu,
beberapa orang segera saja menyatakan akan ikut. Jumlah mereka justru enam orang.
"Saya rasa jumlahnya cukup tiga orang yang diusulkan Tongky. Dan saya masuk satu diantaranya?" yang
berkata ini adalah Si Bungsu. Dan semua mereka jadi kaget. Sebentar ini anak muda tersebut mengatakan
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 337
bahwa diseberang sana ada perangkap. Tapi dia malah menyatakan akan ikut dalam penyeberangan itu.
Apakah dia hanya sekedar ingin membuat sensasi"
"Oke. Jika demikian anda ikut dengan Tongky. Dan sebagai seorang Letnan, regu yang tiga orang ini
berada dibawah pimpinan anda. Kami akan menanti disini?"
Kapten Fabian akhirnya memutuskan.
Dan semua orang memang tak membantah. Soalnya waktu sudah semakin sempit. Untuk
mempersoalkan apakah diseberang sana ada perangkap atau tidak ini saja, mereka telah terhenti selama lima
menit. (96) Sukarelawan yang satu lagi adalah Donald. Si Bungsu menuju ke samping. Dan dia mengambil sebatang
bambu sebesar ibu jari yang beruas panjang-panjang. Memotongnya sepanjang sehasta. Memberikannya pada
Tongky dan Donald masing-masing sepotong. Untuknya sendiri sepotong.
"Barangkali ini kita perlukan. Saya lebih percaya bahwa kita akan aman jika menyelam dan
mempergunakan bambu kecil ini sebagai slang pernafasan. Dengan demikian kita tak usah muncul di
permukaan air seperti sekarang"
Si Bungsu kemudian masuk ke air rawa yang dalam malam pekat ini kelihatan seperti aspal, hitam pekat.
Dia menoleh pada Kapten Fabian dan berkata :
"Untuk menyeberang, kami butuh waktu sepuluh menit paling lama. Kami akan memberi isyarat kalau
keadaan aman, maka musuhlah yang akan memberi isyarat dengan tembakan ke arah kami.." sehabis berkata
dia memberi hormat. Kemudian mulai melangkah ke tempat dalam.


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lima meter dari pinggir dia berheti. Menoleh ke belakang ke arah Tongky dan Donald. Dia berkata
separoh berbisik. "Ini batas kita berjalan. Dari sini kita harus menyelam. Nah, kita mulai?"
Dia meletakkan bambu bengkok itu ke mulutnya. Kemudian menyelam. Dengan memakai bambu
bengkok tersebut di mulut, dia dapat menyelam telungkup.
Tubuhnya segera lenyap ke dalam air. Dan di permukaan air rawa hanya terlihat sepotong ranting kecil
bergerak perlahan ke arah seberang sana.
Donald dan Tongky berpandangan. Mereka sebenarnya tak mau menyeberang dengan cara itu. Mereka
memang tak usah khawatir dengan senjata mereka, senjata adalah senjata-senjata yang dirancang oleh para
ahli. Yang bisa ditembakkan meski senjata itu telah terendam air.
Magazine tempat pelurunya serta loop senjata otomat tersebut diluar sistim yang pelik. Sehingga air tak
bisa masuk kedalamnya meski terendam air agak dua hari.
Yang membuat mereka tak sedap adalah harus berendam lagi.
Tapi anak muda itu telah ditetapkan sebagai Komandan Regu mereka.
Dan mereka adalah orang-orang yang telah dididik dengan disiplin keras, bahwa komandan harus
dipatuhi. Maka merekapun meletakkan bambu bengkok yang dipilih oleh Si Bungsu itu ke mulut. Lalu dengan
perasaan separoh enggan mulai menelungkup dalam air.
Lalu mereka mulai berenang keseberang. Kapten Fabian dan kelima anggotanya tiba-tiba melihat ketiga
orang itu lenyap dalam rawa. Dari tempat mereka tegak, tak ada yang kelihatan. Bambu kecil yang mencuat
sejengkal lebih ke atas permukaan air itu juga tak bisa dikenali lagi diantara semak dan ranting kayu yang
berserakkan di permukaan.
Kalau benar di seberang sana ada perangkap seperti dikatakan Si Bungsu, maka Kapten Fabian harus
mengakui bahwa cara peyebrangan yang kini dilakukan anak muda itu adalah cara yang sempurna.
Dan kalaupun tak ada musuh seperti yang diduga itu, cara penyebrangan sebentar ini tetap saja
merupkan tindakan hati-hati yang memang harus dilakukan.
Mereka menanti dengan hati berdebar peyebrangan itu.
Sementara itu dalam air, Si Bungsu menyeruak diantara rumpun-rumpun rumput. Dia harus bergerak
perlahan sekali. Dan dia berharap agar hal yang sama juga dilakukan oleh kedua anggotanya di belakang. Kalu
rumput-rumput itu bergerak dengan kuat, dan geraknya menuju ke pinggir, maka penjebak tentu akan segera
curiga. Dan siapapun yang melihat pasti akan segera tahu bahwa didalam air ada penyelam yang sedang
mendekat. Sebab mustahil ada kapal selam dalam rawa sedengkal begini.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 338
Dan Si Bungsu memang beruntung. Sebab baik Tongky maupun Donald yang berada di belakangnya
memang bertindak hati-hati pula. Mereka nampaknya memang berasal dari pasukan yang disiplin. Ketiga
mereka berenang dengan lambat.
Si Bungsu merasakan air makin dangkal. Tapi dia tetap tak mau muncul. Bahkan dia telah merayap
ditanah, namun dia masih belum mau mengangkat kepalanya dari permukaan air.
Barulah ketika air telah menimbulkan rambut dikepalanya dia mendongak perlahan. Sepi. Dia masih
tiarap di air. Perlahan dia menoleh ke belakang. Dua meter dibelakangnya, dia lihat dua sosok bayangan
mendekat. Persis seperti yang dia lakukan tadi, kedua orang itu juga tetap tak mau bangkit seski air telah amat
dangkal. Mereka merayap dalam sikap hati-hati sekali. Akhirnya ketiga orang itu berada sejajar berdekatan.
Dingin menusuk kulit. "Nah, Letnan, apa lagi kini?" Donald berbisik.
"Jalan menuju ke markas mereka ada dibelah kananmu Letnan?" Tongky menyambung bisik Donald.
Si Bungsu mengangkat tangan. Memberi isyarat untuk tak berbisik. Dan tangannya masih bergoyang
memberi isyarat ketika perlahan terdengar suara dari sebelah kiri, yaitu tak jauh dari tempat Tongky
menelungkup. "Nampaknya kita disuruh menunggu nyamuk disini?" suara itu jelas dalam aksen Tionghoa.
"Tenanglah. Tadi saya melihat sesuatu bergerak di seberang sana?" suara lain menyahut perlahan.
Aksennya dalam nada Melayu.
"Ya, saya juga melihat ada yang bergerak. Barangkali ada orang menari striptis disana. Heheh" hihi"
huhu"." orang lain yang nampaknya juga sudah jengkel menanti ikut menyambung.
"Cibai! Kalian tak bisa diam"!" Cina yang lain bercarut dalam bahasanya. Dan tiga orang yang tadi
menyumpah-nyumpah kesal itu pada terdiam. Nampaknya yang bercarut terakhir ini cukup berpengaruh
diantara mereka. Suasana kembali sepi. Si Bungsu, Tongky dan Donald masih tetap tiarap. Diam. Tongky dan Donald yang
berbaring dilumpur berdekatan saling pandang.
Dan seperti bersepakat, mereka menoleh pada Si Bungsu. Namun anak muda itu tengah menatap ke arah
Cina yang bercarut terakhir. Cina itu nampak bersembunyi diatas dahan yang tingginya sekitar sedepa dari
tanah. Terlindung oleh dedaunan yang lebat.
Tongky dan Donald diam-diam mengakui ketajaman firasat anak muda itu. Coba kalau tadi mereka
menyeberang saja bersama. Tentu kini mereka telah jadi tapisan di drel oleh senapan orang-orang yang
menanti mereka ini. Si Bungsu masih menatap ke arah suara di atas dahan yang jaraknya sekitar dua puluh depa dari
tempatnya. Dia lalu menoleh pada Tongky dan Donald. Memberi isyarat. Dengan gerakkan sehalus ular, kedua
bekas anggota Baret Hijau ini merayap kearahnya.
Dan ketika jarak mereka tinggal sejengkal kedua orang itu berhenti. Si Bungsu berbisik perlahan :
"Kita tak tahu dengan pasti berapa orang yang menanti kita disini. Yang kita dengar berbicara hanya
empat. Tapi saya merasa yakin jumlahnya lebih dari itu. Barangkali sekitar sepuluh orang. Nah, tugas kita
sekarang membuat jalan aman bagi teman-teman di seberang. Caranya hanya satu. Yaitu melenyapkan segala
perangkap yang ada. Saya akan menyelesaikan Cina yang di pohon itu. Kalian pilih yang berdua yang bicara
pertama tadi?" dan Si Bungsu memberi beberapa penjelasan. Lalu dalam posisi tengkurap di lumpur itu, ketiga
mereka saling bersalaman.
Lalu Tongky dan Donald bergerak. Tongky nampaknya menuju ke arah Cina yang mula-mula bicara.
Sementara Donald ke arah Melayu yang menyahut kedua.
Si Bungsu mengagumi cara mereka merayap. Dalam lumpur dan timbunan dedaunan tebal begitu, kedua
orang itu merayap benar-benar seperti ular.
Tak bersuara. Artinya, suara desir yang mereka timbulkan hanya bisa ditangkap oleh telinga yang amat
tajam. Berarti masih ada seorang lagi di bawah yang harus diselesaikan. Yaitu yang bicara penghabisan sebelum
Cina yang diatas cabang itu bercarut menyuruh mereka diam.
Si Bungsu perlahan merangkak ke arah suara itu. Dalam jarak tiga depa, Si Bungsu merasa berada di
pasar. Orang itu membuat kegaduhan yang tak tanggung-tanggung dalam penantiannya.
Dia menguap. Dan suara kuapnya sebenarnya cukup perlahan. Tapi ditelinga Si Bungsu, suara kuap
seperti itu sama seperti mendengar suara teriakkan. Kemudian orang itu beberapa kali menyumpah-nyumpah.
Dari logatnya, Si Bungsu segera tahu, orang ini adalah orang Keling.
Kini jaraknya hanya tinggal sedepa. Dan Si Bungsu segera dapat mencium bau tubuh Keling itu.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 339
Keling itu masih menyumpah-nyumpah karena muak menanti. Si Bungsu mengukur jarak. Jarak antara
dirinya dengan orang Keling itu.
Orang itu berada agak diatasnya sekitar sehasta. Hanya karena kesal sajalah orang keling itu sampai tak
melihat dirinya dalam jarak sedepa itu. Padahal orang itu menempati tempat yang strategis. Agak di atas tebing,
Si Bungsu hanya dilindungi oleh gelapnya malam, dan sedikit semak-semak.
Perlahan Si Bungsu menoleh ke kiri. Dalam jarak empat depa, tegak pohon rimbun bercabang rendah.
Dan di pohon itulah Cina yang bercarut tadi bersembunyi.
Kalau sekarang di menyerang Keling ini, apakah Cina di atas pohon itu takkan mengetahui"
Dia mengangkat kepala sedikit. Antara tempat kaling itu berada dengan pohon si Cina ada pohon-pohon
kecil. Tak dapat tidak, keling inilah yang harus diselesaikan dahulu.
Dia merayap lagi. Dan nampaknya keling itu baru menyadari ada sesuatu yang tak beres disekitarnya.
Dia terdiam. Si Bungsu juga menghentikan gerakkannya. Orang itu menatap tajam ke depan. Ke arah air
rawa. Dia ingin memastikan apakah sesuatu yang bergerak disana.
Tak ada apa-apa. Air rawa itu tetap pekat dan gelap. Tetap tak ada riak apa-apa. Tapi ketika dia menukikkan
pandangannya agak kebawah, yaitu ke tebing yang terletak persis di bawah batang hidungnya, dia meliat
sesuatu tergeletak. Terjulur dari dalam semak-semak yang setengah depa di depannya.
Hitam dan agak besar. Nampaknya seperti pohon kayu yang lapuk. Tapi, apakah tadi pohon kayu itu ada
disitu" Dia tak begitu yakin. Rasanya tidak. Atau salah mengingatkah dia" Masakan pohon itu begitu saja ada
disana. Dia coba membuka matanya lebar-lebar. Berusaha menembus dinding gelap yang melingkup pinggir
rawa itu. Karena tak begitu yakin, dia lalu merangkak ke depan. Kepalanya dia julurkan, dan menatap. Lalu tibatiba di sadar bahwa itu bukan pohon, melainkan kaki manusia! Kaki yang lengkap dengan sepatu!
Kaget dan panik dalam waktu yang singkat melanda diri Keling itu. Dia menarik kepalanya dan
mengangkat bedil. Namun segalanya terlambat sudah. Yang berada di depannya adalah Si Bungsu. sesaat
sebelum kepalanya ditarik, samurai anak muda itu berkelabat. Masih dalam keadaan tiarap, mata samurai itu
membuat lingkaran ke udara. Dan kepala orang Keling itu putus!
Kepalanya justru jatuh menimpa punggung Si Bungsu. Dan darah yang menyembur membasahi baju
lorengnya! Tubuh keling yang tak berkepalanya itu menggelepar. Gelepar tubuhnya menimbulkan suara
berisik di semak itu. "Kani keni Pubo!! Kau tak bisa diam Keling jahanam"!" terdengar carut yang amat kasar dari mulut Cina
diatas pohon itu. Si Bungsu menanti dengan tegang. Dia tak mungkin bergerak dalam situasi begitu. Posisinya
berada dalam keadaan lemah. Cina itu bisa saja memuntahkan peluru kearahnya bila dia curiga.
Dia menanti diam. Tapi tubuh keling itu masih menggelepur. Persis seperti ayam yang disembelih.
"Kalau kau tak bisa diam, kurengkahkan kepalamu dengan pistol ini".!" Cina itu nampaknya marah
benar. Dan hanya kebetulan saja yang menolong Si Bungsu. Tubuh keling itu kehabisan darah. Darahnya telah
menyembur seperti air tumpah dari drom lewat lehernya yang putus.
Dan kini tubuh yang kehabisan darah itu terdiam.
"Kalau kau tak bisa menanti, lebih baik kau pulang saja ke markas"." Suara Cina itu terdengar lagi
perlahan. Mayat keling itu diam. Tak menyahut. Ya, apa pula yang akan disahuti oleh sesosok mayat yang tak
berkepala" Si Bungsu merasa muak oleh darah yang membasahi pakaian dan punggungnya.
Dia ingin bergulingan masuk ke air rawa. Tapi itu adalah hal yang mustahil. Kalau akan masuk rawa, dia
harus merangkak lagi enam depa ke kanan. Yaitu ketempatnya mula-mula muncul tadi. Sebab disanalah
medannya yang penuh semak. Sementara dibawahnya ini, yaitu di depan sei Keling ini mengintip, sampai ke
daerah Cina di atas pohon itu, tebing rawannya licin, tak berumput. Dan setiap benda yang bergerak akan
mudah kelihatan. Dan untuk surut ke belakang akan membuang waktu panjang. Kapten Fabian dengan pasukannya di
seberang sana pasti tak sabar lagi menanti. Maka tak ada jalan lain baginya, selain membiarkan punggungnya
berlumur darah, dan kini dia merayap ke atas. Bergulingan dan hop! Kini dia berada pada posisi si Keling tadi.
Tubuh keling itu terbaring menelentang. Dan Si Bungsu berbaring disisinya.
Pada saat Cina tadi menyuruh Keling yang telah mati itu untuk diam, Donald dan Tongky pada saat yang
hampir bersamaan terhenti. Mereka sebenarnya siap menyekap musuh mereka dari belakang. Tapi mendengar
Cina itu memerintah si Keling, kedua lelaki yang akan mereka sekap itu berpaling.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 340
Sebenarnya kedua orang itu berpaling ke arah tempat si Keling. Yaitu di dua belas depa dari lelaki yang
akan disekap Tongky dan delapan depa dari lelaki yang akan disekap Donald.
Kedua orang itu juga mendengar suar semak-semak terkuak akibat gesekan tubuh si Keling. Ke arah
itulah mereka berpaling. Meskipun mereka tak dapat melihat karena gelapnya malam, namun mereka menoleh
juga. Dan malangnya baik Donald maupun Tongky berada di arah yang toleh kedua orang itu.
(97) Kedua orang itu semula hanya melihat bayangan gelap. Dan bagi Tongky maupun Donald hal begini
mereka maklumi sangat sebagai suatu bahaya. Kalau saja sempat salah seorang diantara orang yang mereka
sekap ini berteriak, maka tamatlah riwayat penyergapan mereka. Mungkin mereka masih akan bisa
memenangkan pertarungan. Tapi korban akan berjatuhan. Sedangkan mereka tak ingin seorangpun korban
yang jatuh di pihak mereka.
Dan yang lebih penting lagi, kalau sampai terdengar tembakan, maka kapal yang sedang membongkar
muatan berupa perempuan-perempuan itu pasti akan melarikan diri.
Mengingat bahaya ini, Tongky segera menerkam lawannya yang orang Cina itu.
Dan Donald menerkam lawannya yang orang Melayu. Cara mereka memang cara khas pasukan
komando. Terlatih, cepat dan mematikan. Dan yang lebih penting, tak menimbulkan suara!
Tongky menyergap lawannya dengan pisau komando. Sergapannya dibuat sedemikian rupa. Sehingga
ujung pisau komando itu menerkam jantung Cina tersebut bersamaan dengan tangan kirinya yang menyekap
mulut Cina itu. Cina itu kaget separoh mampus. Bukan hanya separoh mampus, tapi dia kaget sampai mampus. Mulamula tubuhnya akan berkelonjotan seperti tubuh Keling yang dipancung kepalanya itu. Tapi Tongky menekan
tubuhnya rapat ke tanah. Dan menyekap mulutnya kuat-kuat. Menghujamkan pisaunya sampai tembus kehulu!
Cina itu menggigit jari Tongky. Sakitnya bukan main. Tapi Tongky membiarkan. Lebih baik jarinya
digigit. Biar saja, asal mulutnya tak terbuka. Jari tangan Tongky berdarah. Tapi akhirnya Cina itu mampus!
Tongky menarik nafas. Perlahan tubuhnya bergulingan ke samping. Menelentang diam. Dan perlahan
masih dalam berguling, mencabut pisau komandonya yang tertancap di jantung Cina itu. Cina berdegap itu
beralih jadi mayat. Akan hanya Donald, dia juga mempergunakan pisau Komando. Ya, keistimewaan pasukan Komando,
sebagaimana jamaknya pasukan komando. Ya, keistimewaan pasukan Komando, sebagaimana jamaknya
pasukan komando di negara manapun, adalah kemahirannya dalam bela diri.
Dia menyerang dengan tusukan pisau komando. Serangan dengan pisau ini terutama ditujukan agar
lawan tak bersuara. Dan serangan yang dilakukan juga tak menimbulkan suara. Namun orang Melayu yang dia
serang ternyata punya reflek yang cepat.
Tikaman pisau komando itu berhasil dia tangkis. Meski lengannya jadi luka, tapi nyawanya selamat. Dia
berusaha mengangkat bedil dan memberi ingat teman-temannya.
Tapi sergapan orang tak dikenalnya itu telah membungkam mulutnya. Tangan orang itu rapat sekali ke
mulutnya. Posisinya yang duduk menyusahkannya untuk bergerak bebas. Dia menggeliat. Tapi tangan kiri Donald
benar-benar seperti melengket dimulutnya.
Donald sendiri, merasa serangan pisau komandonya luput, segera memiting leher orang itu dengan
tangan kanannya. Dia berusaha menanamkan kedua lututnya di tanah. Orang itu menggelinjang, namun dia
makin menekankan tubuhnya ke bawah. Dia tak ingin pergulatan ini menimbulkan suara. Suara harus
dilenyapkan sedapat mungkin.
Jika suara tak bisa diredam, maka peyergapan bukan bernama penyergapan. Namanya sudah jadi
pertempuran. Dan kalau pertempuran, maka nilainya sama saja dengan pasukan-pasukan biasa. Disitulah letak
istimewanya pasukan komando.
Jika berperang dalam bentuk beregu atau Kompi, dia akan merupakan pasukan pemunah yang sangat
tangguh, ditakuti dan berbahaya. Kalau berperang secara individu, maka dia merupakan ujung-ujung tombak
yang amat berbisa. Yang setiap goresannya merupakan maut.
Begitulah yang telah dibuktikan oleh Tongky. Dan kini Donald sedang berusaha menyelesaikan
penyergapannya. Dia jadi malu kalau penyergapan ini ketahuan. Meskipun musuhnya ini bisa dia bunuh,
namun suara yang ditimbulkan akan jadi cemooh nanti.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 341
Dengan tetap mendekap mulut orang Melayu itu, Donald memiting lehernya dengan kuat. Pitingannya
makin menjepit. Dia memiting dengan sebuah pitingan Yudo yang tangguh. Tubuh orang Melayu itu mulai
menggeletar. Dan suatu saat terdengar suara berderak. Kepala orang itu terkulai. Tulang lehernya ternyata
patah! Dalam usahanya mematahkan perlawanan orang Melayu itu, Donald mendekap mulutnya dengan
tangan kiri dengan kuat. Kemudian memiting lehernya dengan lengan kanan. Yaitu setelah lengan kanannya
gagal memasukkan pisau komando.
Dia memiting dengan segenap tenaga. Kemudian dengan segenap tenaganya pula, tangan kirinya yang
masih mendekap mulut, dia tolakkan ke kanan. Akibatnya sungguh fatal bagi orang itu. Tulang lehernya patah!
Donald masih memiting leher orang itu beberapa saat. Bahkan tangan kirinya masih mendekap mulut
orang itu. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan. Berusaha mendengar reaksi. Apakah pergumulannya ini terdengar
tadi atau tidak" Tak ada suara apa-apa. Perlahan dia membaringkan tubuh orang itu ke tanah. Kemudian dia menghapus
peluh. Waktu yang termakan oleh mereka sejak mereka bersalaman tadi, sampai terbunuhnya ketiga orang itu
adalah empat menit. Jadi jika dihitung sejak mereka mulai menyebrang rawa, yaitu sejak meninggalkan Kapten
Fabian dan lima anggota lainnya di seberang sana, telah habis waktu selama enam belas menit.
Keadaan kini jadi sepi. Tak ada suara. Dan Si Bungsu yakin, sebagaimana Donald dan Tongky juga yakin,
bahwa teman-temanya telah menyelesaikan tugas mereka dengan baik.
Kini mereka menanti. Sementara Si Bungsu yang harus menyelesaikan Cina di atas pohon itu, tengah
merangkak ke pohon tersebut.
Dia merangkak mendekati tempat itu dari arah belakang. Posisi ini menguntungkan dirinya. Sebab Cina
itu pasti tetap memandang ke depan. Ke rawa yang airnya hitam dalam gelapnya malam itu.
Dia tengah merangkak, ketika dari seberang sana terdengar suara burung malam. Tak sembarang orang
bisa mengetahui bahwa suara itu sebenarnya adalah suara manusia. Isyarat yang dikirimkan oleh regu Kapten
Fabian. Si Bungsu menangkap bunyi itu. Dia berhenti merangkak. Dan tiba-tiba dia dengar suara yang sama dari
arah kanannya. Suara itu kalau tidak balasan dari Tongky pastilah balasan dari Donald. Jawabannya itu hanya
sekali. Kemudian sepi. Si Bungsu merangkak lagi. Makin dekat ke pohon rendah itu. Ah, soal merangkak dalam semak-semak
tanpa menimbulkan bunyi, dia tak usah malu pada anggota Baret Hijau itu. Pekerjaan itu sudah merupakan
mainannya ketika di Gunung Sago.
Bukankah ketika mengintai rusa atau kijang untuk persediaan makanan dia harus menanti atau
merangkak mendekati hewan itu ketika mereka sedang minum di tebat kecil di rimba belantara itu" Nah,
pekerjaan itu mula-mula amat susah benar dia lakukan. Dia masih ingat, selama sebulan dia berusaha
mendekati rusa itu, tapi dari jarak seratus meter, rusa itu sudah tahu akan kehadirannya.
Tidak saja dia lupa memperhitungkan arah angin, sehingga bau tubuhnya tercium oleh binatang itu, tapi
gerakan kakinya dia anggap sudah sangat hati-hati dan perlahan sekali, rupanya sangat hinggar binggar di
telinga binatang-binatang itu.
Dari kesulitan hidup di belantara itu dia belajar. Akhirnya di bulan kedua dia berhasil mendekati tempat
binatang tersebut tanpa diketahui.
Menginjak bulan purnama, dengan mudah dia menangkap kijang atau rusa yang tengah makan rumput.
Dia merayap dari balik alang-alang tanpa diketahui sedikitpun. Dan kini dia mengulangi lagi kaji lama itu.
Dengan mudah kini dia berada di bawah pohon tersebut. Menembus gelapnya malam dan rimbunan
daun, dia berhasil melihat sesosok tubuh duduk dengan enaknya di sebuah cabang yang benar-benar strategis
dan mirip kursi. Pantaslah Cina itu tak menimbulkan suara sedikitpun. Sebab dia tak usah susah-suah merubah
posisi. Posisi duduknya sudah sedemikian enaknya. Dahan tempat duduknya lebar. Ada dahan lain dikiri kanan
tempat kaki. Dan dibelakangnya tegak batang pohon tersebut untuk bersandar. Hm, benar-benar tempat yang enak.
Kalaupun ada suara yang ditimbulkan oleh Cina itu, hanyalah dari mulutnya. Mulutnya mengunyah
terus-terusan. Nampaknya dia seorang profesional benar.
Menanti musuh dengan senjata api siap memuntahkan peluru, dan sekantong makanan di dekatnya.
Makan itulah yang dikunyah dan dilahapnya terus selama penantian tersebut.
Pantas saja dia tak merasa bosan seperti teman-temannya yang lain.


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 342
Cina itu merogoh kantong. Mengeluarkan sebuah botol picak. Membuka tutupnya, lalu meneguk isinya.
Si Bungsu yang tiarap setengah depa dari pangkal pohon itu segera dapat mencium bau minuman keras
menyeruak dari mulut botol tersebut.
Dan saat itulah Si Bungsu menginsut tubuh. Dia tegak perlahan. Kalau sekedar ingin membunuh, maka
Cina itu sudah kehilangan kepala dia buat. Ketika Si Bungsu tegak, Cina itu persis berada sama tinggi
dengannya. Dia duduk di dahan yang tingginya hanya setengah meter dari tanah. Dan kini tanpa dia sadari
sedikitpun, seseorang dengan sebilah samurai yang sudah terlalu banyak merenggut nyawa berada persis di
balik pohon yang dia buat sebagai tempat sandaran tubuhnya.
"Psst".!" Cina itu mendengar isyarat di belakangnya. Tanpa curiga dia menoleh. Dan tiba-tiba saja
sebuah benda panjang lagi dingin dan tajam, tertekan di lehernya.
"Jangan bersuara kalau engkau masih ingin tetap memilki kepalamu ini"." Terdengar suara bisikan
perlahan dan bernada datar dirumpun telinganya.
Kalau ada seekor ular berbisa melilit tubuhnya saat itu, mungkin Cina tersebut takkan kaget dan takut
seperti yang dialami saat ini. Betapa mungkin, seseorang mendekati tempatnya tanpa dia ketahui sedikitpun"
Siapapun orang yang mengancamnya ini, meski tak dia ketahui, namun yang pasti, orang ini adalah seorang
tangguh dan amat berbahaya. Dan ancamannya pastilah tidak main-main.
Cina itu menggeleng. Gelengannya tanda persetujuan bhawa dia takkan bersuara. Tanda pengakuan
bhawa dia masih ingin memiliki kepala di atas lehernya.
"Engkau harus bicara bilamana ku perintahkan?" suara dingin dan datar itu kembali berbisik di pangkal
telinganya. Cina itu menelan ludah. Lalu mengangguk.
"Dan apa yang akan kau katakan, haruslah menurut yang kuingini.."
Cina itu tak segera mengangguk. Mata samurai menekan lehernya.
Dan dia segera merasakan bahwa mata benda yang ditekankan ke lehernya itu telah memakan daging
lehernya. Terasa pedih. Dan sesuatu yang cair lagi panas mengalir di lehernya itu. Darah! Dengan wajah pucat
dan ketakutan yang amat sangat, Cina itu mengangguk. Dia benar-benar hampir tak bernafas saking takutnya.
"Nah bagus begitu! Berapa orang anggotamu yang menanti di sekitar ini?" suara Si Bungsu terdengar
lagi berbisik. "Jangan bohong, sebab aku takkan pernah mengangkat mata samurai ini dari lehermu sebelum semua
keteranganmu kuketahui benar adanya. Sekali engkau coba berbohong, maka engkau akan duduk disini tanpa
kepala?" "Ada delapan orang.."
Delapan orang. Berarti sembilan dengan Cina ini. Tiga sudah mati. Yang satu kini dia kuasai. Jadi empat
telah dilumpuhkan. Tinggal kini lima orang. Pikiran Si Bungsu bekerja cepat.
"Suruh mereka berkumpul kemari semua.." Si Bungsu berbisik lagi. Dan Cina itu nampaknya memang
pimpinan penyergapan itu. Dia segera memberikan perintah untuk berkumpul. Dan teman-temannya yang lain,
karena merasa bosan menanti tanpa hasil sejak tadi, segera berdatangan.
Si Bungsu memberi isyarat dengan bunyi siulan yang mirip suara burung. Dan Donald serta Tongky yang
masih tiarap dalam semak belukar mendengar siulan itu. Mereka segera mengerti maksudnya. Kedua orang ini
segera menanti. Begitu anggota-anggota sindikat itu tegak dan berjalan dalam kegelapan menuju tempat Cina
itu, mereka jua ikut berdiri. Dan ikut berkumpul dekat kayu tersebut.
Cahaya gelap membantu mereka. Tak ada yang tahu bahwa diantara yang berjalan menuju tempat
berkumpul itu ada dua orang lain yang tak sama dengan mereka. Dan penyelusupan itu baru diketahui ketika
mereka semua telah berkumpul.
"Jangan ada yang bergerak. Kami pasukan Baret Hijau. Jika ada yang melakukan sedikit saja gerakkan,
akan kami siram dengan peluru" terdengar suara Tongky perlahan. Semua jadi kaget. Mereka menoleh. Dan
dalam kegelapan itu ada dua orang yang tegak hanya setengah depa dari mereka. Mengacungkan bedil dan siap
tembak. Dalam jarak begitu dekat, mana ada harapan bagi mereka untuk melakukan sesuatu" Mereka hanya
heran, mana tiga orang lagi teman mereka" Dan mana Cina yang memimpin mereka yang tadi menyuruh
mereka berkumpul" Si Bungsu membisikkan sesuatu ke pangkal telinga Cina itu. Dan terdengar suara Cina itu :
"Menyerahlah. Kita sudah terkepung".."
Terdengar sumpah serapah. Tongky dan Donald bertindak cepat. Mereka melucuti keempat orang itu.
Dan memaksanya tengkurap.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 343
"Beri isyarat pada Kapten Fabian"." Suara Si Bungsu terdengar perlahan. Tongky kemudian mengirim
isyarat itu. Suara burung malam terdengar berbunyi tiga kali dari mulutnya.
Dari seberang terdengar pula sahutan sekali.
"Mereka berhasil. Mari kita menyeberang. Cepat!!" suara Kapten Fabian memerintahkan regunya. Dan
keenam pasukan Baret Hijau ini segera memasuki rawa dan menyebranginya.
Memerlukan waktu lima menit bagi mereka untuk berjalan mengarungi rawa pekat itu.
Mereka segera saja sampai ke tempat ketiga orang itu meringkus lawannya. Keenam anggota sindikat
yang semula bermaksud menyiksa mereka kini telah tertelungkup di tanah. Keenamnya dalam keadaan terikat
tangannya kebelakang. Dan terikat kakinya satu dengan yang lainnya.
"Letnan" Bungsu menyerahkan tawanan itu pada Kapten Fabian. Dan menerangkan bahwa yang
memimpin penyergapan ini adalah Cina yang tertelungkup paling kanan. Kapten tersebut menyalakan senter
kecil. Menerangi wajah Cina itu.
(98) "Kita tak punya waktu. Kita harus menyergap mereka yang ada dipelabuhan. Ayo cepat! Donald dan
Miguel tinggal menjaga keenam orang ini di sini. Begitu mereka bergerak, sikat saja semua?"
Kapten itu mengeluarkan perintah.
Dan dipimpin oleh Tongky di depan sekali, mereka mulai mendekati markas sindikat tersebut.
Sementara Donald dan Miguel tegak dua depa dari enam anggota sindikat yang tertelungkup itu. Keenam
anggota sindikat itu benar-benar dibuat tak berkutik.
"Berteriaklah kalian, atau bangkitlah, agar kami bisa menyikat kalian semua".!" Suara Miguel terdengar
mendesis perlahan. Keenam anggota sindikat itu tak bisa bicara. Dan kalaupun bisa, mereka takkan mau bicara.
Mereka kenal benar dengan lawan mereka. Dalam dunia yang mereka cempungi ini, jika sudah tertangkap
begitu lebih baik menyerah dan dia saja. Ikuti perintah lawan. Sebab sedikit saja membuat kekeliruan, nyawa
imbalannya. Dan mereka lebih senang hidup daripada dianggap pahlawan oleh teman-teman sindikat lainnya.
Pahlawan tapi sudah mati.
Tak ada yang bergerak. Namun Cina yang tadi diancam oleh Si Bungsu masih berusaha. Yang mengikat
tangannya adalah Donald. Dan ikatan ditangannya sedikit longgar. Tubuhnya tetap tak bergerak di tanah. Tapi
secara perlahan sekali, pergelangan tangannya dia putar. Terasa pedih, namun dia berusaha terus.
Di dalam sepatunya ada pistol kecil dan pisau belati. Mereka memang digeledah satu persatu setelah
diikat tadi. Semua senjata mereka dilucuti.
Namun dua buah senjata yang ada dalam lars sepatunya luput dari pemeriksaan. Kini itulah yang tengah
diusahakan untuk diambil oleh Cina itu. Namun sebelum bisa mengambil kedua senjata itu, dia harus
membebaskan kedua tangannya terlebih dahulu.
Dia ingin minta bantuan temannya yang tertelungkup disamping kanannya. Tapi dia khawatir
gerakannya akan mencurigakan kedua anggota Baret Hijau yang tetap mengawasi mereka. Satu-satunya jalan
ialah berusaha sendiri. Dia putar terus pergelangan tangannya.
Susahnya adalah karena dia tertelungkup. Kedua tangannya yang terikat ke belakang itu kini justru
dibahagian atas. Kalau banyak benar membuat gerakan, bisa-bisa menarik perhatian salah seorang dari
pasukan yang menjaganya. Karena itu meski ditolong oleh gelapnya malam, dia tepaksa memutar kedua pergelangannya dengan
perlahan. Sementara itu pasukan Kapten Fabian telah sampai ke markas sindikat itu. Mereka menyebar di keliling
rumah tersebut. Tongky merayap mendekat. Melihat ke dalam. Lalu merayap lagi ke dekat Kapten Fabian.
"Hanya ada seorang di dalam sana"."
"Kemana yang lain?"
"Saya rasa sudah dipelabuhan sana?"
Dari kejauhan terdengar suara ombak.
"Oke. Suruh Fred menyudahi orang itu. Kita menyergap mereka di pelabuhan?"
Perintah Kapten itu disampaikan secara berbisik pada Fred. Orang Inggris yang satu ini adalah ahli
karate. Dia segera menyelusup mendekati markas itu begitu teman-temannya yang lain bergerak menuju
pelabuhan. Dia menyandarkan senjatanya di pintu luar. Kemudian mendorong pintu sampai terbuka perlahan.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 344
Orang yang di dalam itu adalah seorang kulit putih. Mungkin orang Itali. Bertubuh besar bertelanjang
dada. Senjatanya sepucuk Mauser. Terletak di atas meja. Disudut ruangan ada satu set peralatan radio.
Nampaknya orang ini adalah seorang telegrafis.
"Hallo frend?" Fred menegur perlahan. Orang itu menoleh pula perlahan. Tapi gerakkan perlahannya
segera berobah begitu menyadari bahaya. Dia tegak dan berusaha melangkah ke meja dimana bedilnya dia
letakkan. Jarak antara dia duduk dengan meja dia meletakkan bedilnya sekitar dua meter.
Namun langkahnya terpotong oleh gerakkan Fred yang selincah musang. Sebuah pukulan menghantam
rusuk orang itu. Ada pepatah berbunyi: sepandai-panda tupat melompat, sekali waktu jatuh juga!
Dan itulah yang dialami Fred malam ini. Dia memang jago karate andalan dalam pasukannya. Tapi
sebenarnya dia harus memperhitungkan waktu dan kecepatan. Dia tak boleh mengulur waktu.
Dan saat ini, kecepatan bicara banyak.
Rusuk orang itu memang kena dia hantam. Tapi orang itu punya antisipasi yang tangguh pula. Begitu
jalannya dihadang, tangannya bergerak. Dan tangan kanannya menghantam hidung Fred. Rusuk orang itu
memang kena gebrak kuat. Tapi tak cukup sampai mematahkan tulangnya seperti yang biasa diperbuat Fred
terhadap lawan-lawannya. Orang Itali itu hanya tersurut dengan wajah meringis. Tapi sebaliknya, Fred juga seperti ditendang
mundur. Hidungnya pecah dan berdarah! Orang itu ternyata juga seorang karateka! Kini mereka tegak saling
berhadapan. Menyadari bahaya, tangan Fred bergerak ke arah pisau komandonya. Namun wajah orang itu tersenyum
sinis. "Hallo boy. Beraninya hanya pakai pisau" Kenapa tak sekalian kau pakai senjataku di meja itu?"
Muka Fred jadi merah. Dia merasa dihina dengan ucapan itu. Orang itu menganggapnya takut berkelahi
dengan tangan kosong. Dia tak jadi mencabut pisau komandonya. Dia menggeser tegak. Kini mereka
berhadapan. Dari sikap tegak dan cara lelaki itu menempatkannya tangannya, Fred segera tahu, bahwa orang
ini adalah karateka seperti dirinya.
Dan Fred lagi-lagi membuat kesalahan. Yaitu dengan membiarkan dirinya terpancing oleh ejekan lawan.
Dia sedang berada dalam suatu pasukan. Berarti bukan hanya dirinya yang harus dia selamatkan. Tapi seperti
tupai yang pandai melompat tadi, dia juga bisa "gawa".
Kini mereka mengintai langkah lawan.
Fred mendahului menyerang dengan sebuah tendangan ke selangkangan orang itu. Orang itu bergerak
cepat ke samping dan mengirimkan sebuah pukulan cepat ke wajah Fred.
Fred menarik tendangannya, kemudian berputar. Kali ini kakinya menyerang dalam bentuk berputar ke
belakang. Ternyata dia berhasil. Sepatunya menggebrak wajah Itali itu. Orang itu terpelanting ke dinding. Fred
memburu. Namun seperti seekor musang. Orang yang terjajar itu tiba-tiba melompat tinggi. Dan sebelum Fred
siap benar, sepatunya telah mendarat di dada Fred. Sebuah tendangan Mae Tobigeri yang sempurna!
Akibatnya juga sempurna. Jantung Fred pecah. Dan jatuhlah korban pertama dalam pasukan Baret Hijau
malam itu. Fred mati! Sungguh menyedihkan. Fred yang ahli karate itu, justru mati ditangan karateka lainnya. Kalau saja tadi
dia tidak terlalu mengandalkan karatenya, yaitu begitu pertama hidungnya pecah, dia segera mempergunakan
pisau komando, maka keadaan akan lain jadinya.
Orang Itali ini sudah bisa dia lumpuhkan. Namun dia terlalu percaya pada diri dan kemampuannya. Dan
dia cepat panas kena sindir. Dia membiarkan dirinya terperangkap oleh ejekan orang ini. Tak tahunya orang
ini juga seorang karateka yang justru lebih tangguh darinya.
Orang Itali itu menatap pada tubuh Fred yang terlentang di lantai. Mulutnya ternganga. Wajahnya
membayangkan rasa sakit bercampur heran. Dari mulutnya darah mengalir. Tendangan sambil melompat dia
lakukan ketika terdesak tadi sebenarnya tak begitu telak mengenai lelaki ini. Artinya, lelaki itu tak usah sampai
terjajar lima depa ke belakang. Tersandar ke dinding. Itu sebenarnya hanya gerak tipu saja. Yaitu gerak mencari
ruang dan waktu untuk mempersiapkan sebuah lompatan.
Dan Fred yang ingin segera menyudahi pertarungan itu, ternyata memakan umpan yang diulurkan
lawan. Dia maju. Dan saat itulah Itali ini bertumpu dan melompat. Kaki kanannya terjulur lurus ke depan. Kaki
kirinya terlipat di bawah paha kanan. Dan tubuhnya seperti duduk melunjurkan kaki kanan ke samping kanan
di udara. Dalam posisi begitulah dia mendarat di dada Fred!
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 345
Lelaki anggota sindikat ini segera sadar bahwa bahaya besar tengah mengancam dirinya dan temantemannya. Seluruh pulau dijaga dengan ketat. Perangkap telah dipasang lewat rawa yang diduga pasti akan
dilalui oleh musuh mereka. Kini ternyata orang ini bisa menerobos kemari tanpa diketahui oleh penyergap
yang mereka pasang. Apakah yang telah terjadi dengan sembilan orang teman-temannya yang menanti
dipinggir rawa" Cepat dia menyambar Mausernya yang terletak di meja. Dia menanggalkan granat mauser itu dari ujung
Junglenya. Lalu perlahan keluar dari pintu belakang. Gelap!
Dia bersuit. Suit isyaratnya membelah malam yang dingin. Suitnya terdengar oleh ke lima temantemannya yang tertelungkup di bawah todongan bedil Donald dan Miguel. Kedua anggota Baret Hijau itu juga
mendengar suit itu. Dan kedua mereka tahu bahwa suara suitan itu bukan kode dari teman mereka.
Kelima anggota sindikat itu sebenarnya ingin membalas isarat itu. Tapi bagaimana mereka bisa, kalau
ujung bedil otomatik tetap diarahkan ketengkuk mereka" Makanya mereka memilih berdiam diri saja.
Dan orang Itali itu segera menangkap bahaya atas tak terjawabnya isarat yang dia berikan. Dia lalu
menuju ke pelabuhan! Di pelabuhan orang-orang tengah menurunkan sembilan orang perempuan. Perempuan terakhir, yaitu
seorang perempuan dari Muangthai kelihatan dipapah turun. Kemudian dibawa ke rumah kecil dipinggir
dermaga. "Kalian telah kami kepung. Menyerahlah!!"
Tiba-tiba saja sebuah suara mengoyak kesepian. Dan suara itu datang dari pangkal dermaga! Mereka
menoleh, dan disana, tegak seorang lelaki barat dalam pakaian loreng-loreng. Cahaya lampu di dermaga
memantulkan kilat senjata otomatik ditangannya.
Orang itu kelihatan sendiri. Tapi enam orang lelaki di dermaga itu mengetahui bahwa lelaki itu pasti tak
sendiri. Dan dengan kehadiran lelaki berbaju loreng itu, mereka segera pula menyadari bahwa sembilan orang
teman mereka yang memasang perangkap di tepi rawa sana telah dilumpuhkan.
"Jatuhkan senjata kalian. Semua!!" terdengar lagi perintah Kapten Fabian. Ke enam lelaki itu
menjatuhkan bedil mereka. Perempuan-perempuan yang masih di dermaga itu jadi panik. Dan kesempatan itu
dipergunakan oleh dua orang anggota sindikat tersebut yang masih ada di kapal.
Mereka mengangkat bedil. Kemudian menembak ke arah Kapten Fabian yang tegak di kepala dermaga itu! Tapi dari pinggir kanan.
Tongky dan dua orang temannya yang sejak tadi sudah merayap kesana, dan sejak tadi telah memperhatikan
kapal itu, segera meledakkan senjata!
Serentetan tembakan terdengar dimalam yang hampir disambut subuh itu.
Kedua orang itu menggeliat. Lebih dari selusin peluru menerkam tubuh mereka. Wajah mereka cabikcabik. Pekik perempuan terdengar. Dan pada saat yang sama, Kapten Fabian, terpekik dan terpental jatuh ke
dermaga. Punggungnya dilanda peluru dari belakang!
Anggota pasukan Komando itu jadi kaget. Siapa yang di belakang" Dan saat itu perang terbuka tak
terhindarkan. Keenam anggota sindikat yang tadi menjatuhkan senjata ke lantai dermaga, begitu perempuanperempuan memekik, begitu Kapten Fabian yang menodong mereka jatuh dihantam peluru, mereka serentak
menjatuhkan diri ke dekat senjata yang tadi mereka jatuhkan!
Dan begitu senjata-senjata berada di tangan mereka, para anggota sindikat penyeludup wanita ini mulai
menembak membabi buta. Ya, mereka hanya bisa menembak membabi buta. Sebab selain Kapten Fabian yang
tadi menodong mereka di tempat terbuka, maka lawan yang lain tak seorangpun yang kelihatan.
Jhonson, orang Inggris selatan yang ahli renang dan berkelahi dalam air, yang tegak tak jauh dari Kapten
Fabian, begitu melihat komandannya kena tembak, segera jadi kalap.
Dia memuntahkan pelurunya ke arah belakang. Yaitu ke arah darimana peluru tadi menyambar
punggung Kapten Fabian. Sehabis menembak ke belakang, dia menembaki anggota sindikat yang tiarap di
lantai dermaga. Lalu dia berlari ke arah Kapten Fabian.
Tapi gerakannya yang terakhir ini membawa malapetaka. Yang menembak Kapten Fabian adalah orang
Itali yang telah membunuh Fred Willianson dengan tendangan karate di markas mereka tadi.
Setelah dia menembak dia bersembunyi di balik bangunan tua tak jauh dari pangkal dermaga. Saat
Jhonson menembak dia tetap bersembunyi. Tapi begitu Jhonson berlari ke arah Kapten Fabian orang Itali ini
maju ke depan selangkah. Senapan otomatnya menyalak.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 346
Jhonson tersentak-sentak ditembus peluru. Dan tubuhnya jatuh mencebur laut di bawah dermaga!
Melihat hal ini, tiga orang sisa pasukan komando di sekitar dermaga segera menyikat sindikat yang ada dan
tiarap di dermaga. Kontan saja mereka jadi bulan-bulanan. Sebab tak ada perlindungan. Anggota sindikat itu membalas
membabi buta. Tiga orang mati segera dimakan peluru anak buah Katen Fabian. Namun tembakan yang
dilepaskan anggota sindikat itu merenggut pula dua gadis yang ada di dermaga itu. Yang dalam paniknya
berlarian tak tentu arah!
Sementara itu, orang Itali yang telah membunuh Fred Willianson dan menembak Kapten Fabian,
mengintai sisa pasukan komando itu, dia mengintai dari mana arah tembakan. Kemudian membidikan senjata
otomatiknya kesana. Pada saat Jhonson, anggota Baret Hijau dari Inggris yang mati tertembak dan jatuh ke bawah dermaga,
Si Bungsu segera menyadari bahaya yang datang dari belakang mereka.
Firasatnya mengatakan, bahwa Fred yang ditinggal dan disuruh menyelesaikan lawannya di markas itu
telah celaka. Dan kini lawannya itulah yang menembak Kapten Fabian dan Jhonson. Sadar akan bahaya ini, anak
muda dari gunung Sago itu segera meninggalkan posisinya. Seperti siluman dia menyelinap menuju tempat
tembakan yang berasal dari bedil orang Itali itu.
(99) Dan saat itu, orang Itali itu tengah membidik ke arah salah seorang anggota Baret Hijau. Namun orang
Itali ini nampaknya punya firasat yang tajam juga. Dia seperti merasa ada orang dekatnya. Dia menoleh ke kiri.
Kosong. Ke kanan. Kosong. Namun hatinya tetap tak sedap. Dia melihat ke belakang. Dan darahnya seperti
berhenti mengalir. Jantungnya seperti berhenti berdetak.
Di belakangnya, entah kapan datangnya, entah darimana asal muasalnya, telah berdiri saja seorang
anggota Baret Hijau. Dan orang yang membuat dia kaget itu tak lain dan tak bukan daripada Si Bungsu.
Namun Itali ini segera jadi lega. Sebab ditangan orang itu tak tergenggam sepucuk senjata apapun.
Ditangannya hanya ada sebuah tongkat kecil. Dia segera berbalik sambil menembakkan bedilnya setinggi
pinggang ke arah Si Bungsu.
Tapi bedilnya tak pernah menyalak. Tangannya yang memegang bedil itu terasa lumpuh. Sakit dan pedih
bukan main. Dan ketika menoleh, dilihatnya tangan kanannya telah putus!
Dia hampir tak percaya. Namun Si Bungsu juga tak memberi kesempatan pada orang Itali yang telah
membunuh Fred Willianson itu untuk percaya. Samurai ditangannya segera melibas lagi. Dan mata samurai itu
menyelusup antara dagu dan pangkal leher si Itali.
Darah segera menyembur dari luka yang menganga membelah jakun orang itu. Tubuhnya mengelupurgelupur, mati seperti babi disembelih. Dan ketika Si Bungsu menoleh ke dermaga, pertempuran telah selesai.
Semua anggota sindikat yang ada di dermaga itu, kecuali satu orang mati semua.
Ya, kecuali satu orang. Yang satu orang ini adalah orang Cina. Dan dia belum mati. Dia belum mati karena
berlindung dibalik tubuh seorang gadis Indonesia. Ditangannya cina itu memegang sebuah pistol. Pistol itu
lopnya ditekankan rapat-rapat ke pelipis gadis Indonesia itu. Sementara tangan kirinya memiting leher gadis


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu dari belakang dengan kuat.
"Jangan menembak! Kalau kalian menembak, gadis ini kubunuh. Gadis ini kupecahkan kepalanya"!"
Cina itu menggertak. Ketiga pasukan Baret Hijau disekitar dermaga itu tertegun. Si Bungsu juga tertegun. Subuh
tiba-tiba datang menguak malam yang gulita. Cahaya subuh yang kemerah-merahan. Dermaga itu sendiri telah
berkuah darah. Dengan Si Bungsu, maka pasukan Baret Hijau di sekitar dermaga itu hanya tinggal empat orang. Jumlah
mereka semua sembilan orang, dua orang yaitu Donald dan Miguel menjaga tawanan dekat rawa. Fred
Williamson gugur. Jhonson dan Kapten Fabian juga tertembak.
Cina berperut gendut bertubuh gemuk itu mulai menyeret gadis yang dia jadikan tameng itu ke ujung
dermaga. Ke arah kapal! Dia bergerak mundur dengan gadis itu di depannya.
Keempat anggota Baret Hijau itu tertegun di tempat mereka masing-masing.
Di dermaga, ada sekitar tiga orang gadis yang barangkali mati terkena peluru nyasar.
Apakah akan ditambah lagi dengan kematian gadis yang dijadikan tameng itu"
Ditempatnya tegak, Si Bungsu menoleh ke tempat Sony. Anggota Baret Hijau dari yang berasal dari
Inggris dan ahli menembak dan ahli bahan-bahan peledak itu juga tengah memandang pada Si Bungsu.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 347
Setelah kematian Kapten Fabian, maka komando kini dipegang oleh "Letnan" itu. Dia memang ahli
menembak tepat. Tapi menembak Cina itu dari jarak sejauh ini, dengan mulut pistol yang ditekankan rapat ke
pelipis gadis itu, Sony jadi khawatir juga. Makanya dia menoleh ke arah Si Bungsu meminta pendapat.
Si Bungsu mengangguk. Dan isyarat itu sudah cukup bagi Sony. Isyarat itu adalah perintah untuk
menembak. Sudah tentu dia berusaha melumpuhkan Cina itu tanpa membuat gadis yang disanderanya jadi
cidera. Tapi kalaupun akhirnya gadis itu cidera, maka dia takkan dipersalahkan. Sebab perintah langsung dari
pimpinan pasukan. Anak Inggris yang masih muda itu perlahan mengangkat bedilnya. Sepucuk Jenggel semi otomatik. Dia
membidik. Dari tempatnya tegak, Cina yang tengah mundur itu kelihatan tubuhnya sedikit dibalik tubuh gadis
yang dia jadikan sandera itu.
Cina itu nampaknya salah seorang dari pimpinan sindikat penyelundupan ini. Dan ia cukup cerdik. Dia
tetap melindungkan dirinya rapat-rapat ke tubuh gadis itu. Demikian pula kepalanya dia letakkan rapat-rapat
di belakang kepala si gadis. Dengan demikian dia memunahkan kemungkinan untuk kena tembak.
Sony juga menyadari betapa sulitnya membidik sasaran bergerak dan dalam posisi terlindung begitu.
Namun dia sudah dikenal sebagai penembak jitu yang jarang tandingannya dalam pasukannya dan salah satu
modal untuk bisa menembak jitu adalah ketenangan dan kesabaran yang luar biasa.
Tangan kirinya yang menopang laras Jenggel itu seperti dipakukan. Tak bergerak sedikitpun. Telunjuk
kanannya rapat menempel di pelatuk bedil itu. Popor bedil itu menekan bahunya dan menempel rapat dipipi
kanannya. Mata kirinya terpicing. Dan dia bernafas lewat mulut dalam jarak waktu yang teratur. Sistim
pernafasan begitu membuat dadanya tak begitu berombak ketika bernafas.
Dan dengan demikian, tubuhnya juga tak banyak bergoyang jika dibandingkan dengan kalau dia
bernafas lewat hidung seperti biasa.
Cina gemuk itu akhirnya sampai ke tepi dermaga. Nah, dia nampaknya menemui kesulitan. Untuk masuk
ke kapal, dia harus menuruni sebuah anak tangga.
Sony membidik. Yang dia bidik bukan kepala atau bagian tubuh yang lain. Yang dia bidik justru siku
kanan lelaki itu. Siku kananya menyembur keluar. Hal itu disebabkan karena tangan kanannya memegang
pistol yang ujungnya ditekankan ke pelipis gadis itu.
Kalau saja dia bisa menembak dengan tepat, maka telunjuk kanan Cina itu pasti takkan mampu menarik
pelatuk karena sikunya remuk. Urat pengatur gerakkan jari berada pada siku dan lipatan siku. Kalau siku itu
bisa dia remukkan, maka urat-urat jari itu otomatis lumpuh. Pistol ditangan lelaki itu akan jatuh dengan
sendirinya. Cina itu mundur, setapak kaki kanannya turun ke bawah anak tangga di bawah dermaga. Dan saat itulah
letusan bergegar dari loop senjata Sony. Terdengar pekik gebalau dari dermaga. Perempuan itu memekik. Cina
itu juga memekik. Persis seperti perhitungan Sony. Dia berhasil menembak dua jari dari siku Cina itu. Sikunya remuk. Dan
menghancurkan sistim kerja seluruh jari kanannya. Pistolnya jatuh tanpa meledak. Dalam takut dan rasa sakit
yang luar biasa, dia coba menarik gadis Indonesia itu dengan tangan kirinya. Namun sebuah lagi tembakkan
bergegar. Dan siku kiri Cina itu hancur pula dimakan peluru Sony.
Cina itu meraung dan terjatuh ke belakang. Untung jatuhnya ke dalam kapal dan menimpa tubuh anak
buahnya yang tadi telah mati ketika akan menembak Kapten Fabian, tapi didahului oleh pasukan Kapten itu.
Gadis itu sendiri jatuh tertelungkup. Separoh tubuhnya sudah menjulur ke bawah dermaga. Namun dia
berusaha menggapai ke atas. Tongky, si Negro yang berada tak jauh dari salah satu tepi dermaga segera
melompat dan berlari menolong gadis itu. Untung dia datang tepat pada waktunya. Gadis itu hampir tercebur
ke bawah, ketika tangannya yang menggapai disaat terakhir disambar oleh Tongky.
Ada beberapa saat tubuhnya terayun di awang-awang. Baru Tongky bisa mengangkatnya keatas dengan
sebuah tarikan kuat. Gadis itu menangis. Dan rubuh ke dalam pelukan Tongky. Dia jatuh pingsan.
Sony masih tetap tegak. Jenggel mautnya tetap pada posisi siap tembak seperti tadi. Ujung bedilnya kini
dia arahkan ke kapal. Cina gemuk yang memimpin sindikat penyelundupan wanita-wanita di Asia Tenggara itu tergolek
kesakitan di lantai kapal. Mulutnya menyumpah-nyumpah. Kemudian perlahan dia bangkit.
Merangkak. Tapi rubuh lagi, kedua tangannya tak lagi bisa dipakai. Dengan menyumpah dan bercarut
marut, dia bangkit. Dan saat itu pula, ketika dia tengah tegak, bedil Sony menyalak lagi. Senapan semi otomatik
itu memuntahkan empat peluru berturut-turut dalam jarak dua detik-dua detik.
Tubuh Cina gemuk itu seperti ditendang-tendang gergasi. Terpental-pental. Dan ketika akhirnya tubuh
gemuknya itu kecebur ke laut, kepalanya telah rengkah berserak-serak. Lalu sepi. Perlahan Sony menurunkan
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 348
bedilnya. Menoleh lagi pada Si Bungsu. "Letnan" itu tersenyum dan mengangkat jempol. Sony membalas
senyumnya dan melambai. Mereka berjalan ke arah tubuh Kapten Fabian yang tertelungkup mandi darah.
"Tongky, ambil tubuh Jhonson di bawah"!" Si Bungsu berkata.
"Siap, Let!" Mereka melangkah ke dermaga. Tapi langkah mereka terhenti ketika dari belakang terdengar derap
sepatu. Ketika mereka menoleh, kelihatan Miguel dan Donald menggiring keenam tawanannya yang mereka
tinggalkan di pinggir rawa tadi.
Dua orang diantara tawanan itu menggotong tubuh Fred Williamson. Rupanya Donald dan Miguel
mendengar tembakan-tembakan pertempuran. Mereka segera menyuruh tawanan itu bangkit. Lalu menggiring
mereka ke arah markas. Ketika Donald masuk, dia terkejut melihat mayat Fred terlantar. Dari mulut temannya
itu mengalir darah segar.
Dari markas itu terdengar suara tembakkan dua kali. Suara tembakan itu adalah suara tembakan Sony
yang menghantam siku Cina gemuk yang menyandera gadis Indonesia itu. Mereka memerintahkan dua orang
diantara tawanan itu untuk menggotong mayat Fred. Dan dengan menodong mereka dari belakang, kedua
anggota Baret Hijau itu membawa tawanan tersebut ke dermaga.
Mayat Fred dan mayat Jhonson segera di baringkan di dermaga. Ketika tubuh Kapten Fabian akan
diangkat, terdengar keluhan lemah.
"Dia masih hidup!" Si Bungsu berseru. Semua anggota Baret Hijau itu berlarian ke arahnya. Kecuali
Miguel yang tetap menodong para tawanannya yang menelungkup di tanah.
Kapten Fabian ternyata memang masih bernafas. Meski denyut jantungnya sudah melemah, tapi dia
masih hidup. Itu yang penting.
"Bob, lekas".!" Donald memanggil temannya Bob Hansen orang Irlandia yang ahli dalam obat-obatan.
Sersan itu segera membuka ransel kecil di punggungnya, mengeluarkan obat-obatan.
Donald dengan hati-hati merobek baju Kapten itu tentang luka dipunggungnya. Ada dua peluru
bersarang di pundak Kapten Itu. Untung yang kena adalah pundak belakang bahagian kanan. Kalau bahagian
kiri, Kapten itu takkan tertolong lagi.
Bob Hansen mencuci luka di bahu Kapten itu dengan cairan steril dari botol kecil di dalam ranselnya.
Kemudian kelihatan lubang peluru di pundak Kapten itu dua buah sebesar ibu jari.
"Pelurunya tertahan oleh tulang belikat. Kita memerlukan pisau yang tajam untuk operasi.." Bob Hansen
berkata. Semua anggota pasukan itu segera saja menoleh pada Si Bungsu. Memandang pada samurai
ditangannya. "Ya, saya memiliki pisau yang tajam?" Si Bungsu yang jongkok di dekat mereka berkata.
Dan tiba-tiba saja tangan kanannya mengulurkan sebuah samurai kecil. Tak seorangpun melihat
darimana Letnan itu mengambil samurai yang panjangnya sekitar sejengkal itu.
Tak ada diantara mereka yang tahu bahwa ada enam samurai semua yang tersimpan dibalik lengan baju
loreng Si Bungsu. Dan sebentar ini ketika Bob Hansen mengatakan memerlukan sebuah pisau tajam, dia
menggoyangkan tangan kanannya. Salah satu samurai kecil dilengannya itu meluncur turun. Disambut oleh
telapak tangannya. Bob Hansen yang tak sempat heran karena pikirannya tercurah ke luka Kapten Fabian menerima
samurai itu. Baru ketika samurai itu berada ditangannya, dia menatap pisau itu dengan heran.
Dia raba matanya. Dengan kaget dia merasakan betapa kulit ibu jarinya dimakan samurai itu. Bukan
main tajamnya. Padahal dia hanya menggeser sedikit saja untuk merasakan apakah pisau itu tajam atau tidak.
Tajam dan sangat runcing.
Dia menatap pada Si Bungsu. Si Bungsu mengangguk memberi isyarat agar cepat mengeluarkan peluru
di dalam daging Kapten Fabian. Bob Hansen segera mencuci samurai itu dengan cairan steril yang tadi dia
pergunakan untuk mencuci luka Kapten itu.
Kemudian dia menyuruh teman-temannya memegang tangan dan tubuh Kapten itu.
Lalu dia mulai membelah kedua luka itu. Memperbesar lobangnya. Dan dengan sebuah jepitan kecil, dia
mengeluarkan kedua peluru itu. Memberikan kedua ujung peluru itu kepada Si Bungsu. kemudian kembali
membersihkan luka tersebut. Dari salah satu botol kecil dia mengeluarkan spiritus. Menyiramkannya ke luka
yang menganga. Lalu tangannya merogoh kantong.
"ini akan sangat sakit. Tapi peganglah kuat-kuat. Hanya ini cara yang tercepat untuk menghindarkan
infeksi dan mempercepat proses penyembuhan. Lukanya akan kita bakar.."
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 349
Mereka kemudian memegangi tubuh Kapten itu bersama-sama. Bob Hansen menyulut korek api,
melekatkannya ke luka. Spiritus itu menyambar api. Dan terdengar Kapten itu mengerang. Bau daging terbakar
tercium hangit. Si Bungsu memperhatikan dengan seksama cara pengobatan militer ini.
Begitu api padam. Sersan itu mengeluarkan perban dan semacam obat penempel. Membalut luka itu
dengan seksama. Dan selesailah sudah! Si Bungsu lalu memerintahkan anak buahnya masuk ke kapal. Tawanan-tawanan diikat satu dengan
yang lain. Di kapal mereka ditempatkan didepan sekali. Diikatkan ke tempat putaran sauh. Mayat Fred
Williamson dan Jhonson atas persepakatan bersama dikubur dipulau Pesek itu.
Bagi anggota pasukan Baret Hijau itu tak susah untuk menjalankan kapal tersebut. Dalam cahaya pagi
yang cerah mereka meninggalkan pulau. Meninggalkan mayat-mayat anggota sindikat itu bergelimpangan di
pulau tersebut. Satu jam berlayar, mereka memasuki lagi sungai kecil dimana malam kemaren mereka meninggalkan
Jeep. (100) Tawanan-tawanan mereka biarkan tetap terikat di kapal. Mereka naik ke Jeep. Dan dalam waktu dekat
Jeep itu meluncur lagi ke Markas mereka. Donald hapal benar jalan mana yang harus mereka tempuh menuju
markas agar tak bertemu dengan orang banyak.
Di markas mereka segera saja menelpon Polisi Singapura. Melaporkan tentang ditemukannya sarang
penyelundupan wanita di Pulau Pesek. Mereka memberikan detail dari penangkapan. Dimana polisi bisa
menemui enam orang anggota sindikat itu yang terikat di kapal. Dan menyertakan beberapa dokumentasi.
Ketika polisi menanyakan siapa yang melaporkan, Tongky yang menelpon meletakkan teleponnya.
"Nah, Letnan. Kini anda pegang komando. Apa lagi yang akan kita lakukan?" Donald berkata pada Si
Bungsu yang sejak tadi duduk menatap pada Kapten Fabian yang masih belum sadar.
"Sebaiknya kita tukar pakaian dulu. Kemudian mengantar Kapten Fabian ke rumah sakit.."
"Ya. Ya. Saya rasa itu jalan terbaik yang harus kita ambil saat ini?" Miguel berkata. Dan mereka semua
lantas bertukar pakaian. Kembali memakai pakaian sipil seperti sebelum mereka berangkat sore kemarin.
Sebuah taksi yang lewat mereka stop. Kemudian mereka menelpon Ambulan. Kapten Fabian dibawa
dengan ambulans. Sementara mereka naik taksi. Yang berada di Ambulans adalah Si Bungsu, Donald dan
Tongky. Dalam Ambulan itulah Kapten Fabian mulai sadar. Dia melihat keliling. Terpandang pada Donald,
Tongky dan Si Bungsu. "Bagaimana".?" Suaranya bertanya perlahan. Si Bungsu memegang tangan Kapten itu.
"Mereka kita ringkus semua, Kapten"." Lalu dia menceritakan secara singkat pertempuran di pelabuhan
pulau Pesek itu setelah si Kapten rubuh kena tembak. Dia menceritakan tentang Fred Williamson yang mati
dan Jhonson yang kena tembak. Lalu menceritakan pula tentang pemberitahuan kepada polisi Singapura
tentang sindikat tersebut.
Kapten Fabian menarik nafas.
"Terimakasih Bungsu. Anda telah menyelamatkan pasukan kami. Kalau anda tak mencegah kami
menyebrang kemaren di rawa itu, maka korban pasti akan lebih banyak. Mungkin semua kita sudah mati.
"Itu tugas saya Kapten. Bukankah saya adalah bagian dari pasukan anda?"
Kapten Fabian menggenggam tangan Si Bungsu.
"Betapaun jua, terimakasih, kawan. Anda sangat layak menjadi seorang anggota Baret Hijau. Kami
bangga anda berada satu pasukan dengan kami.."
"Terimakasih. Saya benar-benar mendapat kehormatan memakai Baret Hijau itu?"
Kapten Fabian memejamkan mata. Nyata dia masih lelah akibat terlalu banyak kehilangan darah. Kalau
saja pertempuran itu berjalan lebih lama lagi, dan pertolongan terlambat sedikit saja diberikan padanya, maka
nyawanya tak tertolong. "Ada sesuatu yang ingin kusampaikan?" bisik Kapten Fabian perlahan.
"Ini mengenai Letnan robert. Saya tak mungkin bisa menyertai jenazahnya ke Australia. Saya ingin
engkau mengiringkan jenazah itu bersama donald kesana?" Kapten Fabian berhenti, mengatur nafasnya yang
sesak. Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 350
Si Bungsu kaget mendengar permintaan ini. Namun dia tetap berdiam diri. Donald dan Tongky juga diam
mendengarkannya. Kapten itu membuka matanya kembali.
"Pergilah. Dia punya seorang ibu dan seorang tunangan. Sedianya dia akan menikah akhir bulan ini. Dia
butuh sedikit uang untuk perongkosan pernikahannya. Uang itu telah kami dapatkan. Sayang dia keburu mati.
Engkaulah menggantikan diri saya menyampaikan hal ini pada ibunya, pada tunangannya?"
Kapten itu berhenti lagi bicara, Donald, Tongky dan Si Bungsu bertukar pandang.
"Jangan menolak Bungsu. Tongky dan Donald akan mengatur perjalanan ini. Engkau dan Donald
bawakan pula uang untuk pernikahan itu. Serahkan pada ibunya separoh, pada tunangannya separoh?"
"Tongky?" "Saya Kapten?" "Jika Bungsu sudah siap, urus perjalanannya dengan Donald dan pengiriman jenazah Robert, jika bisa
besok atau lusa?" "Saya akan menyiapkannya, Kapten?"
"Bungsu?" "Saya, Kapten?"
"Saya tidak memaksamu untuk ikut terus bergabung dengan kami dalam pasukan veteran ini. Tapi untuk
mengantarkan jenazah Robert, kumintakan benar bantuanmu?"
Tak ada alasan bagi Si Bungsu untuk menolaknya. Dia ingat bahwa Robert mati karena menyelamatkan
nyawanya. Kalau saja tidak didorong oleh Robert hingga dia jatuh di jalan di depan hotelnya dulu, maka
dirinyalah yang kena sasaran peluru otomatik itu. Bukan Letnan Robert. Sudah sepantasnya dia mengiringkan
jenazah Robert dan menyampaikan duka pada keluarganya.
"Saya mendapat kehormatan untuk mengiringkan jenazahnya ke Australia, Kapten?" dia berkata
perlahan. Kapten itu menarik nafas lega. Benar-benar lega.
"Letnan, setelah engkau kembali dari Australia, engkau bisa langsung ke Jakarta. Kemudian ke
kampungmu. Atau kemana saja engkau suka. Jika engkau mau ke Singapura ini, bergabung dengan kami, maka
kami benar-benar mendapat kehormatan atas hal itu. Kami yakin, banyak tugas besar yang bisa kita selesaikan
jika engkau berada dalam pasukan kami. Kita akan menghantam kaum penghianat, penculik, penipu dan
bandit-bandit di seluruh dunia. Kami punya rencana ke Amerika setelah ini.
Namun jika engkau tak lagi kembali pada kami, kami mengaturkan banyak terimakasih atas bantuanmu.
Jika engkau memerlukan bantuan kami, dimanapun engkau berada, dan bilapun saatnya, selagi kami masih
hidup, meski agak seseorang, kami akan datang membantu. Kirim saja telegram. Meski diujung dunia sekalipun,
kami akan datang membantu. Alamat kami di eropah, di Amerika, di Afrika, di Singapura ini, dapat kau terima
dari donald. Kami akan merasa bahagia kalau engkau mengirim kabar pada kami?"
Si Bungsu menunduk. Diam. Perkenalannya dengan bekas pasukan Baret Hijau Inggris yang tersohor ini
benar-benar luar biasa baginya.
---000--Siang itu Overste Nurdin yang tengah duduk disertai isteri dan anaknya kedatangan seorang tamu. Staf
Konsulat memberitahukan kedatangan tamu itu ke kamarnya di tingkat atas gedung konsulat.
"Ada tamu untuk bapak dan ibu?" staf itu berkata.
"Tamu?"" "Ya.." "Silahkan masuk.."
Staf konsulat itu berjalan ke sebelah. Cukup lama Nurdin dan isterinya menanti. Kemudian pintu terbuka
perlahan-lahan. Dan di pintu, dengan keheranan baik Nurdin maupun Salma menatap, seorang gadis cantik
tegak disana. Mirip gadis Jepang.
"Selamat siang, apakah saya berhadapan dengan tuan Overste Nurdin..?" gadis itu bicara dalam bahasa
Indonesia yang fasih. "Ya. Sayalah orangnya. Silahkan masuk. Ini isteri saya. Maaf, saya tak bisa bangkit?"
Gadis itu melangkah masuk. Salma berdiri menyambutnya. Kedua perempuan cantik itu bersalaman dan
saling pandang. Gadis itu mengambil tempat duduk di depan Salma.
"Nampaknya anda baru dari Indonesia. Apakah yang bisa saya perbuat?" Nurdin bertanya.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 351
Gadis cantik itu sekali lagi melayangkan pandangannya pada Salma. Kemudian pada Overste Nurdin.
"Tidak. Saya tidak dari Indonesia. Saya dari Kyoto, Jepang" suara gadis itu bergetar perlahan. Ada rasa
heran dan kaget menyelinap dihati Nurdin dan Salma.
"O, alangkah jauhnya perjalanan nona, adakah yang bisa saya bantu?"
"Nama saya Michiko. Saya mencari seseorang yang barangkali tuan dan nyonya mengenalnya"
Salma dan Nurdin bertukar pandang. Hati Salma berdetak. Jantungnya berdegup kencang. Si Bungsu,
pikirnya. Pastilah gadis cantik ini mencari Si Bungsu. hati perempuannya berbisik. Dia tatap gadis itu. O,
alangkah cantiknya. "Saya mencari,"seorang lelaki bernama Bungsu. Apakah saya bisa menemuinya?"
Overste Nurdin tercengang benar. Dia menatap pada isterinya. Namun saat itu Salma masih menatap
pada Michiko. Sadar bahwa nyonya Overste itu menatap terus padanya, Michiko menoleh pula. Kedua wanita
itu kembali saling pandang. O, inikah perempuan yang memberikan cincin pada Bungsu-san itu" Alangkah
cantiknya, pikir Michiko. Namun hatinya sedikit lega. Sebab ternyata perempuan cantik itu telah menikah. Ya,
pastilah nyonya ini yang bernama Salma, bisik hati Michiko pula.
Akhirnya Nurdin bicara : "Ya. Kami mengenalnya. Anak muda itu adalah sahabat saya. Sahabat keluarga kami. Dahulu dia tinggal


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersama kami ketika kami masih di Brash Basah. Tapi kini tidak lagi. Kalau kami boleh tahu, apakah anda
temannya ketika dia ke Jepang dahulu?"
"Ya. Saya adalah bekas sahabatnya?"
Nurdin mengerutkan kening.
"Maaf, saya kurang mengerti dengan ucapan nona. Kenapa harus memakai kalimat "bekas"
sahabatnya"...apakah?"
"Ya"saya memang bekas sahabatnya dalam arti sesungguhnya. Saya malah banyak berhutang budi
padanya. Dia telah menolong saya dari cemar dan aib yang tak terhingga"."
Nurdin menatap pada isterinya. Salma menatap pula padanya.
"Lalu, kalau kini nona tidak bersahabat lagi dengannya, ada keperluan apakah kiranya, hingga jauh-jauh
mencarinya. Atau barangkali anda kebetulan singgah di kota ini?"
"Tidak. Saya memang datang dari Jepang khusus untuk mencarinya. Jika dia tak disini, saya akan
mencarinya sampai bertemu"."
"Alangkah pentingnya urusan itu. Tapi, baiklah, itu urusan anda nona. Hanya sayang, anda datang
terlambat?" Michiko menatap Overste itu. Terlambat, apa maksudnya, pikir gadis itu.
"Maksud tuan?" "Dia tak di kota ini lagi?"
"Tak di kota ini?"
"Tidak. Dia sudah berangkat seminggu yang lalu?"
Wajah Michiko tiba-tiba jadi sangat murung. Dia kelihatan sangat kecewa. Dan perobahan air mukanya
diperhatikan dengan seksama oleh Salma.
Hati wanitanya mulai menghitung dan mereka-reka. Hubungan apakah sebenarnya yang terjalin antara
Si Bungsu dengan gadis cantik ini, pikirnya. Apakah mereka telah bertunangan, atau baru berkasih-kasihan,
lalu Si Bungsu pergi, dan gadis ini mencarinya untuk menikah" Semuanya mungkin saja, pikir Salma.
"Saya mendengar tuan adalah sahabat Si Bungsu. Begitu pula dengan nyonya?"
"Hmm. Darimana anda tahu. Bukankah anda baru tiba di kota ini?" Nurdin bertanya heran.
"Saya mendapat informasi dari staf konsulat?"
"Hmm begitu. Ya. Kami adalah sahabatnya. Tapi apa yang saya sampaikan pada nona adalah hal yang
sebenarnya. Dia telah pergi seminggu yang lalu?"
"Dia kembali ke kampungnya" Ke Situjuh Ladang Laweh di kaki Gunung Sago itu?"
Salma dan Nurdin bertukar pandang.
Situjuh Ladang Laweh! Gadis Jepang ini tahu dengan pasti tentang Situjuh Ladang Laweh. Alangkah banyaknya yang
diketahuinya tentang Si Bungsu.
Nurdin kemudian menatap pada Michiko. Alangkah cantiknya gadis Jepang ini, pikirnya. Dan sebagai
seorang lelaki, dia juga punya dugaan, bahwa antara Si Bungsu dengan gadis cantik ini pastilah ada hubungan
selain sekedar teman biasa.
"Tidak nona. Dia tak kembali ke sana"
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 352
"Lalu, kemana dia" Apakah ke Jakarta?"
"Juga tidak.." "Maksud tuan?" "Dia ke Australia"
"Ke Australia?"
"Ya. Ke Australia"
"Alangkah jauhnya. Saya tak mengerti kenapa dia harus pergi sejauh itu?"
"Dia mengantarkan mayat seseorang"
"Mayat?" "Ya. Mayat seorang sahabatnya.."
Michiko masih tak mengerti. Dia menatap pada Salma. Salma masih tetap menatap pada Michiko. Dia
tengah mematut-matut. Sejauh mana hubungan antara Si Bungsu dengan gadis Jepang ini"
Pastilah ada sesuatu yang istimewa dalam hubungan itu. Jika tak ada yang istimewa, mustahil gadis ini
akan mencarinya sejauh itu.
"Ada seorang anak muda Australia?" suara Overste Nurdin mengejutkan Michiko yang tengah
bertatapan dengan Salma, " dia berteman dengan Si Bungsu. Dan anak Australia itu mati tertembak.
Dia minta agar jenazahnya diantarkan pada ibunya di Australia. Nah, itulah yang dilakukan oleh Si
Bungsu. mengantarkan jenazah temannya itu kesana?"
"Apakah dia lama disana?"
Overste Nurdin menarik nafas.
"Kami tak tahu nona. Tak ada yang bisa menebak apakah dia akan berada lama disuatu tempat atau tidak.
Barangkali nona tahu bahwa dia adalah seorang pengembara. Seorang lelaki sunyi dan hidup sebatang kara?"
"Ya. Saya tahu"." Suara Michiko terdengar perlahan.
(101) "Dan dia pergi dari suatu kota ke kota lain untuk membunuh rasa sepinya?"
"Ya".." suara Michiko makin perlahan.
Setelah ucapan Michiko yang terakhir itu, suasana lalu jadi sepi. Michiko menunduk. Salma masih
menatapnya. Begitu pula Overste Nurdin. Mereka sama-sama diam. Lalu :
"Apakah dia mengatakan kemana dia akan pergi setelah mengantarkan jenazah temannya itu?"
Michiko masih berusaha untuk mengetahui rencana perjalanan Si Bungsu.
Kali ini tidak Nurdin yang bicara. Dia memberi isyarat pada isterinya untuk menjelaskan.
"Ada. Dia memang mengatakan kemana dia akan pergi. Yaitu kalau dia bisa cepat meninggalkan
Australia. Katanya dia ingin pulang ke kampungnya?"
"Ke kampungnya?"
"Ya. Ke Situjuh Ladang Laweh. Ke kaki Gunung Sago di Payakumbuh seperti yang nona katakan tadi?"
Salma berkata dan tersenyum lembut. Wajah Michiko jadi berseri. Dan itu semua tak luput dari amatan Salma.
Tapi tiba-tiba wajah Michiko jadi murung lagi.
"Apakah"apakah disana ada"." Dia terhenti. Nurdin dan Salma saling pandang dan menanti apa yang
ingin ditanyakan gadis itu. Tapi Michiko tak kunjung mengucapkan apa yang tersirat dihatinya. Salma segera
saja bisa menebak. "Nona maksudkan, apakah dikampungnya dia punya seorang kekasih atau tunangan?""
Wajah Michiko terangkat cepat. Separoh kaget. Namun begitu matanya bertemu dengan tatapan Salma,
cepat-cepat dia menundukkan kepala. Wajahnya segera menjadi murung.
"Ya. Bukankah dia mempunyai seorang kekasih disana?" gadis itu akhirnya berkata setelah lama
berdiam diri. "Tidak. Dia tak punya siapa-siapa dikampungnya itu"." Salma menjelaskan.
"Ah, kalau begitu nyonya belum mengenal Si Bungsu seperti saya mengenalnya"." Suara Michiko
terdengar perlahan. Muka Salma jadi berona merah. Entah kenapa, hatinya jadi tak sedap dikatakan gadis
Jepang ini "belum mengenal Si Bungsu sebagaimana Michiko mengenalnya..!." ini keterlaluan. Sampai dimana
benar gadis Jepang ini mengenalnya, pikir Salma.
Namun dia ingin tahu juga, makanya dia memancing.
"Barangkali kami memang tak begitu mengenalnya. Apakah nona mengetahui ada seorang gadis yang
menantinya di kampung?" Michiko mengangguk. Salma dan Nurdin berpandangan.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 353
"Ini baru berita. Ini berita baru?" Nurdin berkata dengan jujur dan takjub. Sebab dia memang tak pernah
mengetahui akan hal itu. Michiko memandang padanya separoh heran.
"Benar, ini berita baru bagi kami nona. Siapa gadis yang menantinya itu?" Nurdin bertanya antusias.
Sebab dia tahu dengan pasti, atau katakanlah, bahwa dia hanya tahu Si Bungsu hanya mencintai Salma, yang
secara tak diduga menjadi isterinya. Bila kini ada orang lain yang mengatakan bahwa ada kekasih Si Bungsu
dikampungnya, bukankah itu berita menarik baginya"
Sedang bagi Salma sendiri berita itu tak kurang mengejutkannya.
Sebab dia sendiri selama ini tahu dan menduga bahwa anak muda yang pernah dia cintai itu, hanya
punya seorang kekasih. Dan gadis itu, yang jadi kekasih Si Bungsu itu, juga membalas cinta Si Bungsu dengan
sepenuh hati. Gadis itu adalah dirinya sendiri. Tapi itu dulu.
Lalu kini ada saja gadis lain, yang dia duga punya hubungan dengan Si Bungsu, yang mengatakan bahwa
ada lagi gadis lain dihati Si Bungsu. Nah, diam-diam perasaan cemburunya muncul.
Perasaan bahwa selama ini dia dibohongi Si Bungsu.
"Ya?" kata Michiko menyambung penjelasannya.. "Saya tahu hal itu dengan pasti. Karena dia
menceritakannya pada saya?"
"Apakah dia sebutkan nama gadis itu pada nona?" Overste Nurdin bertanya ingin tahu.
"Ya. Dia sebutkan".namanya, kalau saya tak salah adalah Salma"." Jantung Salma seperti akan meledak.
Dia menunduk. Malu, bangga dan khawatir berbaur menjadi satu.
Dia kawatir akan perasaan suaminya yang akan jadi tersinggung. Namun Overste itu tersenyum. Bahkan
dari mulutnya kemudian terdengar tertawa renyai.
"Kenapa tuan jadi tertawa?" Michiko heran. Salma makin menunduk.
"Apakah benar itu gadis yang jadi kekasih Si Bungsu, yang menantinya dikampungnya?"
"Ya. Itulah nama yang dia sebutkan?"
"Nona, kalau begitu nona tak usah khawatir. Kekasihnya itu sudah menikah?" kata Nurdin sambil
tersenyum. Michiko heran dan menatapnya dengan perasaan ingin tahu.
"Ya. Gadis yang nona sebutkan itu telah menikah. Apakah tadi nona tak mendengarkan ketika saya
memperkenalkan nama isteri saya ini?""
Michiko menatap makin heran.
"Saya mendengarnya. Nama nyonya ini"Salma.."
"Ya. Namanya Salma?"
"Apa hubungannya dengan Salma yang saya sebutkan tadi?"
Michiko balas bertanya heran.
Nurdin dan Salma saling pandang. Tapi Nurdin masih coba tersenyum.
"Nona, jangan khawatir. Tak ada seorang gadispun yang menanti Si Bungsu dikampungnya. Salma yang
dia sebut pada anda itu adalah isteri saya ini?"
Michiko terngangak. Menatap pada Nurdin dan Salma bergantian. Bermain-mainkah orang ini, pikirnya.
Namun kedua orang itu memang tak sedikitpun bermain-main. Mereka memang bersungguh-sungguh. Dan
Michiko dapat membaca kesungguhan mereka itu.
Dan kalau tadi Michiko menatap Salma, dia hanya merasa betapa cantiknya isteri Overste itu. Dan dia
membandingkan, adakah Salma kekasih Si Bungsu itu secantik Salma ini pula" Sama sekali tak terlintas dalam
kepalanya bahwa inilah Salma yang kekasih Si Bungsu itu.
Dia tak menduga karena masih berfikir pola Jepang. Di Jepang memang tak sedikit orang yang senama.
Yang senama dengannya, yaitu nama Michiko, di Universitas Tokyo dimana dia kuliah dulu, ada sekitar seratus
orang. Tapi nama depan tak jadi soal disana. Seorang lebih dikenal dengan nama keluarganya. Seperti dirinya
adalah anak Saburo Matsuyama. Maka dia lebih dikenal dengan sebutan nona Matsuyama. Persamaan nama
dinegerinya tak ada persoalan. Dan bukan hal yang aneh.
Nah, tadipun ketika Nurdin mengenalkan Salma padanya, dia hanya menyangka bahwa Salma yang
senama dengan Salma yang kekasih Si Bungsu. Siapa nyana, bahwa Salma yang kekasih Si Bungsu dengan Salma
yang ini orangnya adalah satu.
"Oh, maaf. Saya tak tahu. Maaf?" katanya gugup.
"Tak ada yang harus dimaafkan nona. Saya sendiri ketika menikah dahulu, tak tahu sama sekali bahwa
calon isteri saya ini adalah kekasih teman saya. Dan isteri saya juga tak pernah menduga bahwa calon suaminya
adalah sahabat kekasihnya. Semua baru jadi jelas tatkala Si Bungsu muncul di kota ini lima bulan yang lalu.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 354
Dan tak seorang pun diantara kami yang harus dipersalahkan. Nasib yang diatur oleh Yang Maha Kuasa
telah menyebabkan hal ini. Begitu bukan?"
Michiko mengangguk perlahan. Dan Salma dapat membaca pada air muka gadis itu bahwa gadis Jepang
ini jadi lega hatinya. Ketika tak ada lagi yang akan dibicarakan, dan Minchiko sudah merasa cukup mendapat informasi, dia
lalu pamitan. Dia diantar ke ruang bawah oleh Salma.
Dan di ruang bawah, kesempatan bagi Salma untuk bicara dengan Michiko. Mereka berhenti, dan saling
pandang. Seperti ada persepakatan antara kedua perempuan cantik itu untuk saling bertanya. Salma lah yang
terlebih dahulu membuka suara :
"Apakah Si Bungsu bercerita tentang hubungan kami?""
Michiko menatap Salma. Kemudian mengangguk.
"Dia memang tak bercerita banyak tentang nyonya?"
"Panggil saja nama saya, Salma. Tak usah pakai sebutan nyonya?"
"Ya, dia hanya bercerita tentang seorang gadis yang dia cintai. Tapi dia mengatakan bahwa gadis itu,
maksud saya anda, mencintai dirinya. Saya melihat cincin dijarinya. Dan ketika saya tanyakan dia akui cincin
itu pemberian anda?"
Salma menarik nafas. Ada kebahagian menyelundup dihatinya. Si Bungsu bercerita pada gadis secantik
ini, bahwa dia mencintai dirinya. Oh".alangkah!
"Apakah anda mencintainya?" tiba-tiba Michiko dikagetkan oleh pertanyaan Salma. Dia tatap nyonya
atase militer itu. Dia ingin menyelidik, apakah dalam pertanyaan itu ada nada cemburu. Namun mata
perempuan itu alangkah beningnya. Dan yang terlihat didalam pancaran matanya hanyalah keikhlasan.
"Saya tak tahu"."
"Tak tahu" Alangkah ganjilnya. Engkau telah menurutnya sekian jauh. Mencarinya kemana-mana, tanpa
engkau ketahui apakah engkau mencintainya atau tidak. Jika bukan karena cinta untuk apa engkau mencarinya
sejauh ini, Michiko?"
"Dia berhutang padaku"." Suara Michiko perlahan. Kepalanya menunduk. Salma mengerutkan kening.
"Hutang?" "Ya. Dia berhutang padaku"!"
"Alangkah ganjilnya terasa. Engkau mencarinya hanya untuk meminta piutang saja. Berapa kah piutang
yang dia buat sehingga engkau menghabiskan waktu dan biaya sebesar ini.."
"Terlalu besar untuk disebutkan?"
"Maaf. Saya masih tak bisa mengerti, hutang yang telah dia perbuat padamu?"
"Hutang nyawa?" suara Michiko masih perlahan dan kepalanya masih menunduk.
Salma yang jadi kaget. Terkejut bukan main. Demikian kagetnya dia, hingga buat sesaat dia tak bisa buka
suara. "Ya, untuk itulah dia saya cari, Salma. Dia telah membunuh ayah saya. Meski secara tak langsung. Tapi
dialah penyebabnya. Dan saya akan menuntut kematian itu padanya?"
Buat sesaat Salma masih belum bisa bicara. Lama kemudian, ketika Michiko masih menunduk, Salma
kembali bertanya. "Hutang nyawa secara tak langsung. Apa yang anda maksud Michiko?"
Michiko menatap pada Salma. Sudut matanya basah.
"Apakah dahulu Bungsu-san tak pernah bercerita pada anda untuk apa dia datang ke Jepang?"
Salma mengalihkan pandangan ke luar. Ke pohon-pohon Akasia yang berjajar disepanjang tepi jalan. Dan
ingatannya surut kembali kemasa lalunya. Kewaktu dia masih merawat Si Bungsu di Panorama Bukittinggi.
Dan suatu hari, ketika lukanya telah sembuh, Si Bungsu pernah mengatakan padanya bahwa dia akan ke Jepang.
"Saya akan mencari opsir yang telah membunuh ayah dan ibu saya. Yang telah menodai dan sekaligus
juga membunuh kakak saya. Perjalanan saya mungkin akan jauh dan lama sekali, Salma.."
Bayangan itu melintas. Kemudian dia menatap pada Michiko.
"Ya. Saya ingat, Michiko. Dia kenegrimu untuk mencari seorang opsir yang membunuh keluarganya?"
Michiko menarik nafas panjang. Kemudian menunduk lagi. Lalu suaranya trdengar perlahan.
"Ya, itulah persoalannya Salma. Ah, saya sudah terlalu lama mengganggu anda. Saya harus pergi?"
Salma tertegun, dia ingin mendengar banyak tentang Si Bungsu dari gadis cantik ini.
"Kenapa buru-buru?""
"Saya, saya harus kembali ke penginapan?"
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 355
"Anda sendirian?"
Michiko mengangguk. "Si Bungsu berjanji pada kami, bahwa dia akan menyurati kami bila dia telah kembali dari Australia.
Barangkali engkau bisa menanti. Bila suratnya datang nanti, engkau akan mengetahui dengan jelas dimana dia
berada. Apakah dia telah kembali ke kampungnya atau belum?"
Michiko menatap Salma. Ada benarnya juga pendapat nyonya ini, pikirnya.
"Ya, saya rasa juga demikian yang baik. Tak mungkin saya menurutnya ke Australia. Terlalu jauh?"
"Kalau anda tak keberatan, saya ingin menemani anda selama di kota ini?" Salma menawarkan jasa
baiknya. Wajah Michiko berseri.
"Benar?" "Ya. Kenapa tidak?"
"Ah, saya amat berterimakasih sekali jika anda mau menemani saya?"
"Saya juga akan merasa gembira dapat menemani anda Michiko?"
"Terimakasih, saya memang merasa asing dan sepi di kota ini.."
---ooo--Dan esok sorenya, Salma memang datang ke hotel dimana Michiko menginap. Tak lama kemudian, kedua
wanita itu sudah berada dalam taksi.
"Anda pernah makan sate?" Salma bertanya ketika mereka telah duduk dalam taksi.
"Sate?" "Ya, makanan spesifik Indonesia. Tapi di kampung kami makanan itu lebih terkenal lagi karena pedas
dan enak. Anda suka makanan pedas?"
Michiko mengangguk dan tersenyum.
"Negeri kami setiap tahun ada musim dingin dan setiap musim dingin, jika lelaki suka minuman keras,
maka kami kaum perempuan membuat makanan yang pedas-pedas?"
"Kalau begitu anda pasti suka makan sate. Disini ada orang jual Sate Pariaman"."
"Sate Pariaman?"
"Ya. Pariaman nama sebuah negeri dan sekaligus nama sebuah kota kecil dinegeri kami. Orang-orang
dinegeri itu pembuat sate yang gurih rasanya?"
(102) Salma lau meminta pada sopir taksi menuju ke Taman Wonderland Amusemen yang terletak dipinggir
pantai. Taksi segera berlari kencang ke taman itu. Taman itu dahulunya adalah sebuah teluk. Karena
kekurangan tanah makin lama makin mendesak, maka pemerintah kota Singapura, yang saat itu masih berada
dalam bahagian dari Negara Malaya, mengambil prakarsa untuk menimbun teluk yang penuh lumpur itu.
Sebagai gantinya, kini teluk itu telah berobah jadi taman yang sangat indah. Dihadapan taman itu,
diseberang sungai, disebuah tanah yang menjorok ke laut, berdiri patung kepala singa dengan ekor ikan sebagai
lambang kota Singapura. Patung itu berwarna putih setinggi lebih kurang tiga meter. Menghadap ke laut lepas. Seperti
mengucapkan selamat datang pada kapal-kapal yang memasuki pelabuhan Singapura. Atau seperti penjaga
yang mengawasi laut sepanjang selat.
Taman itu kini setiap sore ramai dikunjungi orang.
Disana, mereka menikmati matahari tenggelam. Melihat kapal-kapal membuang sauh. Dan bila malam,
cahaya lampu dari kapal-kapal itu mirip lampu dari sebuah kota terapung. Atau seperti sejuta kunang-kunang
yang berkelap-kelip. Cahayanya terpantul kelaut yang biasanya sangat tenang dimalam hari.
Ditaman itu, disepanjang pinggir pantai yang dibeton, dibuat kursi-kursi batu. Dan, dibawah pohonpohon mahoni berderet penjual bermacam makanan. Orang bisa membeli makanan hampir segala macam
bangsa disana. Mulai dari sate Padang seperti yang dipesan Salma, sampai pada goreng ular kesukaan orang
Jepang dan Cina.

Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan disanalah sore itu Salma duduk bersama Michiko.
Salma adalah "tuan rumah", maka dialah yang banyak bercerita. Dialah yang mulai setiap pembicaraan.
Ketika mereka sedang bicara, pesanan sate yang diminta oleh Salma diantarkan.
"Nah, silahkan coba?" kata Salma mengambil setusuk sate.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 356
"Daging apa ini?"
"Kerbau.." "Hmm"enak sekali" Michiko berkata dan mulai makan porsi yang tersedia untuknya. Dan dia memang
tak hanya sekedar berbasa-basi untuk menyenangkan hati Salma saja makanya dia mengatakan sate itu enak.
Dia memang menikmati penganan khas Pariaman itu dengan nikmat.
Ketika mereka selesai menikmati makanan itu, Salma lalu membawa Michiko duduk di kursi batu yang
menghadap ke laut. Bagi Salma, ada sesuatu yang "belum selesai" terasa dalam pembicaraan kemaren di
gedung konsulta. Yang masalah "hutang nyawa" yang dikatakan Michiko itu.
Dan kini, pada kesempatan duduk di pantai itu, Salma hati-hati kembali menanyakan persoalan itu.
Michiko belum menjawab. Terlebih dahulu dia menatap pada Salma. Lama sekali. Kemudian dia menunduk.
Lalu ketika dia bicara, ucapannya membuat salma keget :
"Ternyata engkau juga tak bisa melupakannya, bukan?" suara gadis itu perlahan saja. Namun cukup
mengirimkan getar yang gemuruh ke dada Salma. Kini Salma pula yang tak bisa segera menjawab. Michiko
menatapnya. Salma coba untuk tersenyum.
"Barangkali engkau benar, Michiko. Saya tak bisa melupakannya. Dia tetap berada dihati saya, namun
demikian, dia kini tak lagi saya kenang seperti dahulu. Seperti saat-saat saya merindukannya. Tidak. Kini dia
tinggal dalam hati saya sebagai seorang adik mengenang abangnya. Saya sudah bersuami. Sudah punya seorang
puteri. Kedua mereka telah menggantikannya dalam hati saya"
Michiko menatap Salma. Dan dia harus mengakui, bahwa wanita cantik didepannya itu tak berkata
bohong. "Engkau membencinya. Tapi sekaligus mencintainya, Michiko. Yang manakah diantara kedua hal itu
yang lebih kuat dalam hatimu?"
Michiko menunduk. Salma menebak amat tepat.
"Aku tak usah menjawab Salma. Engkau tahu yang mana lebih kuat dalam hatiku. Tentang maksudnya
ke Jepang itu, seperti yang engkau katakan kemaren, dia memang pergi mencari opsir yang membunuh
keluarganya?" "Ya. Apakah dia menceritakan padamu" Maksud saya, apakah dia bertemu dengan opsir itu?"
"Ya. Dia bertemu dengannya"
"Oh. Dulu dia bersumpah akan menjalankan sumpah ayahnya sesaat sebelum mati. Ayahnya bersumpah,
dan sumpah itu didengar oleh opsir itu. Bahwa Datuk Berbangsa itu, ayah Si Bungsu, akan menuntut balas atas
perbuatan opsir itu. Dia bersumpah akan membunuh opsir itu dengan senjatanya sendiri. Dan sumpah itu
didengar oleh Si Bungsu. Apakah dia berhasil membunuh opsir itu?"
Michiko tak segera menjawab. Dia membayangkan lagi pertemuannya dengan anak muda itu di kereta
api. Dan dia membayangkan lagi pertemuan anak muda itu dengan ayahnya di kuil Shimogamo.
"Kedua orang itu, Si Bungsu dan opsir itu memang bertemu. Dan mereka berkelahi. Opsir itu dikalahkan
oleh Si Bungsu. Tapi dia tak membunuhnya?"
"Tak membunuhnya?"
"Ya. Namun opsir itu memang mati oleh senjatanya sendiri. Persis seperti sumpah ayah Si Bungsu.
Sumpah itu nampkanya memang makbul"."suara Michiko terdengar getir.
"Makbul" Bagaimana sumpah itu bisa makbul kalau Si Bungsu tidak membunuhnya?"
"Opsir itu bunuh diri. Disana disebut Harakiri.."
"Bunuh diri?" "Ya. Justru disitulah letak makbulnya sumpah ayah Si Bungsu. Bukankah tadi engkau katakan bahwa
Datuk Berbangsa itu bersumpah bahwa opsir itu akan mati oleh senjatanya sendiri?"
"Ya. Tapi menurut hemat saya sumpah itu bermaksud bahwa opsir itu akan dibunuh oleh samurai yang
dia tinggalkan tertancap di dada Datuk Berbangsa itu?"
"Tidak mutlak harus begitu. Yang jelas opsir itu mati karena senjatanya sendiri. Dan itulah yang benar
akan takwil sumpah itu?" Michiko menjelaskan dengan kepala tetap menunduk. Salma menarik nafas.
Kemudian teringat pada diri Michiko.
"Tadi engkau katakan, bahwa di kuil Shimogamo itu terjadi perkelahian antara beberapa pendeta
dengan Si Bungsu. Si Bungsu berhasil membunuh beberapa orang diantaranya sebelum dia mengalahkan
opsir"siapa namanya opsir itu?"
"Saburo. Saburo Matsuyama" suara Michiko masih perlahan.
"Ya. Dia telah membunuh beberapa orang pendeta sebelum mengalahkan Saburo Matsuyama. Apakah
ayahmu yang meninggal itu adalah seorang diantara para pendeta yang mati itu?"
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 357
Michiko menggeleng. "Lalu, dalam peritiwa mana ayahmu meninggal oleh Si Bungsu?"
"Dalam peristiwa itu juga?"
Salma mengerutkan kening. Sulit baginya untuk mencari logika cerita gadis cantik ini.
"Ya, ayah saya mati dalam peristiwa itulah?"
"Saya tak bisa mengerti. Apakah ada orang lain yang terbunuh selain para pendeta itu?"
"Ada. Ayah saya?"
"Kenapa ayahmu bisa berada disana?"
"Karena ayah saya adalah Saburo Matsuyama?"
Kalau saja ada petir, barangkali Salma takkan terkejut benar. Tapi kali ini, dia memang tertegun.
Wajahnya jadi pucat. Lama dia terdiam. Akhirnya Michiko memandangnya.
"Maafkan saya, Michiko. Kenyataan itu benar-benar luar biasa bagi saya. Saya tak tahu harus mengatakan
apa padamu?" Salma memegang bahu gadis itu.
Tiga Mutiara Mustika 4 Pendekar Rajawali Sakti 183 Jahanam Bermuka Dua Rahasia Kapak Merah 2

Cari Blog Ini