Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik Bagian 6
Bungsu telah mendengar cerita itu semua. Semuanya. Termasuk cerita yang mengatakan bahwa gua itu dibuat
Jepang untuk melawan ekspansi balatentara Sekutu yang akan menuntut balas atas kekalahan mereka di
Pilipina dan di Samudera pasifik, Di Pearl Harbour, di daratan cina, di Malaysia, dan di Indonesia Kini ketiga
Kempetai itu melangkah masuk ke ruangan dimana mereka tertahan.
"Hmmm, kamu orang sudah sadar he Bungsu ?"
Seorang dari mereka yang berpangkat Syo-I (Letda) bersuara. Si Bungsu menatapnya dengan diam. SyoI menyeringai menatapnya. Kemudian mereka berbicara dalam bahasa mereka sesamanya.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 110
Lalu menatap kepada Kari Basa yang masih terikat. Yang berpangkat prajurit segera mengambil air dari
sebuah tong besar yang terletak di sudut ruangan. Tempat dia ditahan nampaknya merupakan sebuah kamar
penyiksaan. Sebab beberapa alat pemukul, bedil, samurai dan alat-alat penyiksa bergantungan di sebuah kayu
yang dipakukan ke dinding. Air itu disiramkan ke muka Kari Basa. Kari Basa tetap saja pura-pura pingsan. Yang
seorang lagi, yang berpangkat Kopral, tiba-tiba dengan sebuah pekik panjang melambung. Lalu kakinya
mendarat diperut Kari Basa. Itu adalah sebuah serangan karate bernama Mae Tubigeri. Sebuah tendangan yang
dihunjamkan melompat, dan amat tangguh. Kari Basa segera saja melenguh dan muntah. Ketiga Kempetai itu
menyengir. Lambat-lambat, wajah Si Bungsu menegang melihat penyiksaan tersebut.
"Nah, Kari, atau siapapun namamu. Sebelum pagi datang, kau harus sudah mengatakan dimana saja
markas kalian. Kemudian siapa-siapa saja yang melibatkan diri dalam gerakan melawan Balatentara Teno
Haika. Baik dari kalangan penduduk maupun dari kalangan Gyugun. Jangan kalian kira bahwa kami tak tahu,
bahwa di antara Gyugun ada yang terlibat. Hehe. Beberapa orang diantara mereka telah kami tangkap. Kini
kami inginkan kepastian. Nah, katakanlah. . . Bicaralah. Lebih baik bicara sebelum disakiti, daripada terlanjur
disakiti dan akhirnya bicara juga. . ."
Syo-i itu bicara perlahan dari atas kursi kayu tua yang dia pergunakan sebagai tempat duduk. Namun
Kari Basa tak membuka mata sedikit pun. Syo-i itu memberi isyarat kepada si kopral yang tadi melancarkan
tendangan Mae Tubigeri. Kopral bertubuh bulat ini nyengir. Sambil memandang dengan tatapan licik pada Si
Bungsu, dia melangkah ke dinding. Mengambil sebuah kayu sebesar lengan orang dewasa dan panjangnya dua
depa. Dia tegak sedepa dari Kari Basa. Kemudian dengan sebuah ayunan kuat sekali, kayu itu dihantamkan
keperut Kari Basa. Tubuh Kari Basa seperti akan terlipat dua. Tapi ikatan pada tangan dan kakinya membuat
tubuhnya terguncang kuat. Dan sekali lagi . . .
Kari Basa melenguh. Ludahnya berbuih di mulut. Seluruh bulu tengkuk Si Bungsu merinding melihat hal
ini. (25) "Nah, Kari. Kini jawab pertanyaanku. Kau kenal anak muda ini bukan ?"
Letnan dua itu bertanya sambil menunjuk pada Si Bungsu. Kari Basa berusaha mengangkat kepala.
Menatap Letnan itu. Namun kepalanya terkulai lagi, tapi kemudian perlahan dia menggeleng.
"Tak Kenal, ya?"
Seiring pertanyaan itu, letnan tersebut memberi isyarat pada si Kopral. Kayu sebesar lengan itu kembali
dihantamkan keperut Kari Basa. Kari Basa itu tak menjerit. Hanya suara lenguhannya terdengar menyayat hati
Si Bungsu. "Jawablah, kau kenal padanya bukan?"
Kari Basa dalam keadaan terkulai kembali menggeleng perlahan. Letnan itu menyumpah-nyumpah
dalam bahasa nenek moyangnya.
"Baiklah"baiklah. Kalau kau tak kenal dengan mereka. Kini kau cukup mengangguk saja. Akan
kubacakan beberapa nama anggota Gyugun yang kami ketahui terlibat dalam gerakkan kalian ini. Kalau ada di
antara mereka yang kau kenali, kau cukup mengangguk saja. Jika ada satu orang saja yang kau kenali, maka
malam ini juga kau kami bebaskan." Usai bicara si letnan lalu memberi isyarat pada si Kopral. Kopral tersebut
membuka ransel. Mengeluarkan sebuah buku hitam. Mengambil sehelai kertas dan memberikannya pada si
Letnan. "Nah, Kari Basa dengarkanlah baik-baik. Saya akan mulai dari yang berpangkat Nito Hei (Prajurit Dua)"
ujarnya. Lalu dia mulai membaca daftar yang terdiri dari tak kurang enam puluh nama dengan mengeja perlahan.
Namun sampai akhir enam puluh nama itu dibacakan kepala Kari Basa tetap menggeleng. Muka Letnan yang
sejak tadi tersenyum-senyum dan nyengir-nyengir kuda, kini berobah jadi keras. Dia memberi isyarat pada si
kopral. Kopral itu berjalan ke dinding. Dari sana dia mengambil sebuah sebuah tang.
"Kau memang tak mengenali salah seorang pun dari mereka?" Letnan itu bertanya. Kari Basa
menggeleng. Letnan itu menggertakkan gigi.
"Selain tak mengenali mereka, tapi kamu orang ikut dalam gerakkan melawan Jepang, apakah juga kamu
tak mengenali mereka sebagai orang kampungmu?"
Kari Basa menggeleng. Si letnan memberi isyarat lagi. Kopral yang memegang tang itu maju. Dia
membungkuk. sebelum Si Bungsu sadar apa yang akan dilakukan Jepang itu, terdengar Kari Basa memekik. Dan
dengan terkejut Si Bungsu melihat betapa di mulut tang itu terjepit sesuatu. Kuku. Ya Tuhan, kuku empu kaki
Kari Basa dicabut dengan tang Darah meleleh diempu kakinya itu.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 111
"Jawablah Kau mengenali salah satu dari mereka ?"
Kari Basa menggeleng dengan gerakan keras.
"Baik. Kini saya baca yang berpangkat Itto-f Hei. (Prajurit Satu)."
Karena disetiap akhir mendengar nama yang dibacakan Kari Basa tetap menggeleng, maka dia memekik
lagi karena sebuah kukunya dicabut lagi. Dan. Lagi. Lagi Nama-nama Gyugun itu disebut terus setelah Nitto f
Hei, ftto f Hei, Tjo f Hei, Hei cho, Go cho, Go-n syo, Syo cho, Djun-I, Syo-I, dan sampai ke Tai-I (Kapten) yang
berpangkat tertinggi bagi para Gyugun yang berasal dari putera Indonesia waktu itu.
Entah berapa kali Kari Basa memekik. Pingsan, Memekik, pingsan. Menggeleng, memekik, pingsan.
Menggeleng, memekik, pingsan. Disiram air. Begitu terus berulang-ulang. Yang tak kurang menderitanya
adalah Si Bungsu. Tubuhnya bersimbah peluh. Beberapa kali dia memejamkan mata. Ia menggigit bibir.
Menahan pendengaran agar tak tertangkap suara pekik Kari Basa yang hanya beberapa depa di depannya.
Namun bagaimana dia akan menahan pendengarannya" Tiap pekik Kari Basa menyebabkan hatinya seperti
tertikam. Dan kesepuluh kuku jari Kari Basa ini habis tercabut Ya Tuhan, alangkah menderitanya lelaki itu.
Namun Tuhan jualah Yang Maha Kuasa, karena lelaki itu tetap saja berkeras untuk menggeleng. Tubuhnya
tergantung saja di rantai. Tergantung tak sadarkan diri.
"Jahannam.." Letnan itu bersuara lagi.
Kopral dan prajurit bawahannya mengambil ember besar berisi air. Kemudian menyiramkan pada Kari
Basa. Kari Basa membuka mata, mengangkat kepala perlahan, kemudian terkulai lagi. Letnan itu meninggalkan
kursinya. Berjalan mendekati Kari Basa. Dengan kasar dia mencekal rambut Kari Basa. Menyentakkan hingga
kepalanya tertegak. Bicaralah Letnan itu mengeram.
Tapi di wajah Kari Basa hanya tergurat kebencian, dan tangan Letnan itupun bergerak. Sebuah pukulan
karate jarak dekat menghajar mulut Kari Basa. Terdengar bunyi tak sedap ketika pukulannya beradu dengan
bibir Kari Basa. "Nah, bicaralah syetan" Letnan itu berkata lagi sambil menegakkan kepala Kari Basa. Dan tibatiba"Tuih!!!! Kari Basa meludahi muka Letnan yang berjarak sejengkal di hadapannya itu. Ludahnya
bercampur darah dan gigi. Ya, pukulan tidak hanya memecahkan bibirnya. Tapi juga merontokkan empat buah
gigi depannya. Letnan itu menyumpah-nyumpah dan muntah kena ludahnya. Dan tiba-tiba dia berbalik.
Menghantam Kari Basa dengan tendangan, pukulan-Tendangan-Pukul Tendang Pukul Lalu terhenti
terengah-engah. Tubuh Kari Basa tergantung tak bergerak. Dan mata Si Bungsu berkunang-kunang. Tubuhnya
basah oleh peluh. Dia jadi malu pada dirinya. Teringat olehnya betapa cepatnya dia menyerah ketika di Koto
Baru itu. Kenapa dia turuti perintah Mayor itu untuk menyerah membuang samurai" Kenapa " Bukankah dia
bisa melawan" Secepat itukah dia harus menyerah" Kini lihatlah Kari Basa ini. Tak segeming pun dia beranjak
dari pendiriannya. Dia jadi malu pada dirinya sendiri. Dan dia mengagumi lelaki yang barangkali usianya telah melampaui
empat puluh lima ini. Dia tatap tubuh lelaki yang terkulai dalam ikatannya itu. Kelihatannya lemah dan tak
berdaya. Tapi di dalam tubuhnya yang kini tak berdaya itu, alangkah besarnya kehormatan yang dia miliki.
Alangkah mulia pribadinya. Alangkah banyaknya. pejuang-pejuang lainnya berhutang nyawa padanya. Sekali
saja dia buka mulut, mengatakan salah seorang di antara Gyugun itu ikut dalam gerakkan mereka, bisa
dipastikan bahwa Gyugun yang lain akan bisa digulung dan dihukum tembak Si Bungsu berani bertaruh, jarang
satu diantara seratus ribu bangsanya yang akan tahan menutup rahasia jika telah disiksa seperti Kari Basa ini.
Kini dia melihat betapa teguhnya lelaki tua ini memegang rahasia. Betapa teguhnya. Tak tergoyahkan oleh
pukulan kayu. Tak tercabikkan meski oleh cabutan kuku. Dan tak beranjak meski bibir dan giginya rontok. "Hari
sudah pagi. Mari kita tinggalkan dia ".." letnan itu berkata. Mereka bersiap untuk pergi. Letnan itu berhenti,
kemudian menoleh pada Si Bungsu.
"Beberapa saat lagi giliranmu Bungsu. Engkau telah banyak menimbulkan korban diantara balatentara
Tenno Heika. Apa yang akan kau terima jauh lebih nikmat daripada yang diterima Kari Basa. Nah, bersiaplah
menjelang kami datang. . . he . .he. . .he"
Dan Kempetai itu kembali lenyap di balik pintu kayu betulang besi dan berbingkai beton diujung kamar
tersebut. Tinggallah kini Si Bungsu dan Kari Basa Sunyi cahaya lampu listrik yang menggantung tinggi di langitlangit terowongan bersinar suram. Menerangi kamar tahanan mereka yang berukuran empat kali meter
tersebut. Si Bungsu meneliti ruangan itu. Meneliti kalau-kalau dia bisa menyelamatkan diri. Ya, inilah saatnya
untuk berusaha lepas. Sementara Kempetai-kempetai keparat itu pergi. Kalau saja dia lepas, dan di dinding
sana ada dua bilah samurai, oh alangkah akan jahanamnya Jepang-Jepang itu dia perbuat. Dan matanya
meneliti. Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 112
Kamar itu sengaja dibuat untuk kamar penyiksaan tawanan itu terlihat dari gelang-gelang perantai kaki
dan perantai tangan yang tersebar di lantai dan di langit-langit. Kemudian perkakas penyiksaan. Bau ruangan
ini juga pengap. amis. Tak syak lagi, disini telah cukup banyak darah tertumpah. Telah cukup banyak nyawa
direnggutkan. Kini bagaimana dia harus membebaskan diri " Dia tengok tangannya. Keduanya terantai ke atas.
Dia coba merenggut rantai itu. Tapi terlalu kukuh. Nampaknya rantai itu ditanamkan dan dicor dengan
semen ke loteng Goa yang terbuat dari batu itu. Tangannya tak mungkin lepas. Kecuali kalau dipotong sebatas
pergelangan. Dia mau saja memotongnya sebatas pergelangan asal bebas. Tapi tanpa jari-jemari, apakah
artinya lagi" Dan kalau dia ingin bebas, dia harus memotong kedua pergelangan tangannya. Lantas dengan apa
lagi dia harus membalas " Dia teringat pada bayangan tatkala Datuk Penghulu akan rubuh. Ya, dia ingat kini.
Ekspresi dan sinar mata orang tua itu seakan akan berkata :
"Jaga dirimu baik-baik nak. Tetaplah bertahan untuk hidup.Jangan menyerah pada penjajah. Tuhan
bersamamu. . ." Itulah ucapan yang tak terucapkan, tapi sempat dia baca dari wajah orang tua itu. Tetaplah bertahan
untuk hidup. Jangan menyerah . .
Kalimat ini seperti sebuah sumpah yang dipegang teguh oleh pejuang-pejuang ini. Matanya melirik pada
Kari Basa. Ke tubuhnya yang terkulai. Tapi jelas dadanya beralun perlahan. Dia masih hidup. Sekurangkurangnya dia kini tengah bertahan untuk tetap hidup. Dan dia tak menyerah pada penjajah. Betapapun siksaan
yang dia terima. Dia tak menyerah Ya, betapapun penderitaannya, namun Kari Basa tak pernah menyerah
untuk membuka rahasia. Dan dia juga tengah bertahan untuk hidup, Perlahan-lahan, semangat untuk takkan
menyerah, semangat untuk berusaha agar tetap hidup muncul menguat pada dirinya. Berhasil atau tidak dia
melepaskan diri dari belenggu ini, batapapun jua dia harus bertahan untuk tetap hidup. Harus"
Tapi di samping itu dia juga harus berusaha untuk membebaskan diri. Harus. Dia tak boleh menyerah.
Tak boleh menanti sampai Jepang-Jepang itu datang menyiksa dirinya. Dia harus bergerak. Dia menatap
kekakinya. Kakinya dimasukkan ke sebuah gelang yang dikunci. Gelang itu dihubungkan dengan dua buah mata
rantai yang kukuh, ditanamkan ke lantai yang juga dicor dengan beton. Dia menarik nafas. Menggoyangkan
kaki. Menggoyangkan tangan. Tak ada harapan pikirnya.
"Ya. Tak ada harapan ".."
Sebuah suara yang amat perlahan mengejutkannya. Dia menoleh pada Kari Basa. Tapi lelaki itu masih
terkulai. Diakah yang bicara" Tak ada harapan untuk dapat melepaskan diri "..
"Kembali ada suara, dan suara itu jelas suara Kari Basa.
"Pak Kari . ." katanya heran.
"Ya. Sayalah yang bersuara Bungsu. Saya memang tak melihat engkau, mata saya kabur. Bahkan untuk
bernafas pun saya susah. Namun telinga saya dapat menangkap bunyi gemerincing rantai karena engkau
goyang. Dan saya bisa menduga, engkau pastilah tengah mencari-cari jalan untuk membebaskan diri. Saya tahu
itu dengan pasti, sebab saya juga telah melakukan sebelum engkau dimasukkan kemari. Dan seperti yang
engkau lihat, usaha saya sia-sia .. ." Kari Basa terdiam. Si Bungsu juga terdiam. Dia terdiam karena
kekagumannya pada daya tahan lelaki di depannya itu.
"Rantai ini terlalu besar Bungsu. Dan ditanamkan dalam-dalam di lantai serta di loteng. Sebelum dicor
dengan semen, diberi bertulang besi. Tak ada harapan memang .. " Kari Basa bicara lagi.
Si Bungsu tak bicara. Sebenarnya banyak yang ingin dia katakan. Tapi dia tak mau mengatakannya. Dia
tak mau melawan Kari Basa bicara. Dia ingin agar orang tua itu istirahat. Dia sangat mengasihani lelaki tersebut.
Dan Kari Basa akhirnya memang terkulai diam. Pingsan lagi. Penderitaannya benar-benar sempurna. Kakinya
berlumur darah setelah sepuluh kuku jarinya dicabuti. Dia muntah beberapa kali setelah perutnya dihantam
dengan potongan kayu sebesar lengan. Dan mulutnya berdarah, giginya copot dihantam pukulan karate.
Namun pejuang yang tak banyak dikenal ini, alangkah teguhnya pada pendiriannya.
Dan memang tak ada jalan untuk melepaskan diri dari belenggu dikaki dan ditangan Si Bungsu. Kari Basa
memang berkata benar. Meski segala usaha telah dia jalankan, namun itu hanya menambah penderitaannya
saja. Pergelangan tangannya lecet dan berdarah karena usahanya itu.
Dan ketika ketiga Kempetai yang menyiksa Kari Basa itu muncul lagi dengan menyeringai si Letnan
berkata. "HHmmmmm ".. .ingin lari ya. He. .hee. .ingin lari he.. he . ." Seringainya amat buruk. Tapi yang lebih
buruk lagi adalah perlakuan setelah itu. Si Bungsu, seperti halnya Kari Basa, dipaksa untuk mengatakan siapasiapa saja yang diketahuinya mengorganisir perlawanan terhadap Jepang.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 113
Siapa saja teman Datuk Penghulu. Siapa saja yang telah dihubungi mereka dalam Gyugun. Apakah Engku
Syafei di Kayu Tanam, Encik Rahman El Yunussiyah di Padang Panjang termasuk ke dalam orang-orang yang
menyusun kekuatan ini. Kemudian kepadanya dibacakan pula sederet nama Gyugun seperti yang dibacakan pada Kari Basa.
Berlain dengan Kari Basa yang selalu menggeleng, maka Si Bungsu hanya menatap dengan pandangan dingin
pada ketiga Kempetai itu. Tak pernah menggeleng sekalipun. Tak pernah mengangguk sedikitpun.
Dan ketiga Kempetai itu mengerjakannya dengan sempurna pula. Ketiga mereka nampaknya dilatih
untuk menjadi orang-orang yang tak mepunyai kemanusiaan. Dalam ketentaraan nampaknya memang dididik
orang-orang seperti mereka. Gunanya untuk bahagian interogasi.
Dan ketiganya spesialis penyiksaan ini sambil tertawa gembira, sambil menyeringai buruk, mempermak
tubuh Si Bungsu. Tahap pertama, si Kopral mempergunakan tubuh Si Bungsu yang terikat itu sebagai sebuah
karung latihan. Yaitu karung yang diikatkan dan diisi dengan pasir. Bagi siswa-siswa beladiri, karung seperti
ini dinamakan sansak dalam dunia tinju atau makiwara dalam dunia karate, dipergunakan untuk melatih
tendangan dan pukulan. (26) Nah, itulah kini fungsi tubuh Si Bungsu. Kopral itu beberapa kali melambung yang diakhiri dengan
mendaratnya tendangannya di perut dan didada Si Bungsu. Letnan itu mepergunakan buku tangannya untuk
menghajar wajah anak muda tersebut. Si Bungsu berusaha untuk tak memekik. Kendati terpaksa mengeluh
beberapa kali saking amat sakitnya. Kemudian muntah. Isi perutnya keluar bersama darah kental. Tubuhnya
kemudian diguyur dengan air. Ketika sadar, dia lihat Letnan itu sudah memegang samurai.
"He .. he kau kabarnya mahir dengan samurai. Kini kau lihat pula permainan samuraiku".
Sehabis ucapannya, samurai itu berkelebat cepat. Si Bungsu menggigit bibir agar tak memekik kesakitan.
Pakaiannya segera saja cabik-cabik disambar ujung samurai si letnan. Dan bersamaan dengan itu, dadanya.
Wajahnya, perutnya robek-robek. Darah mengalir dengan deras dari bekas lukanya.
"Siram..!" perintah si Letnan.
Kopral yang sama-sama sadisnya dengan si letnan itu mengambil air bekas pengacau semen. Kemudian
menyiramkannya pada tubuh Si Bungsu yang penuh luka itu. Ya, Tuhan, benar-benar Tuhan saja yang
mengetahui betapa menderitanya anak muda tersebut.
Bayangkan, tubuh yang penuh luka di siram dengan air pengacau semen. Pedih dan sakit sekali. Sakitnya
mencucuk-cucuk ke hulu jantung yang paling dalam. Menyelusup ke seluruh pembuluh darah. Ke seluruh
sumsum. Namun siksaan itu berlanjut terus, menyebabkan Si Bungsu harus menggigit bibir sampai berdarah. Dia
tak ingin menjerit. Tak ingin. Ada dua hal yang dia jaga. Pertama dia tak mau Kari Basa sampai terbangun dari
pingsannya mendengar jeritannya. Dia ingin memberi istirahat pada orang tua yang dia hormati itu.
Dan sebab kedua kenapa dia tak mau menjerit adalah karena malu pada Kari Basa. Kalau orang tua itu
sendiri tak menyerah, kenapa dia harus menunjukkan kelemahannya dengan menjerit" Meskipun dengan siksa
yang dia terima sebenarnya dia ingin menjerit setinggi langit, namun dia paksa untuk menahannya. Padahal
setiap orang tahu, jika kesakitan, maka tangis pekik merupakan salah satu faktor yang dapat mengurangi sakit
dan derita yang ditanggung.
Rasa sakit dan derita itu berkurang bukan dari segi fisiknya. Melainkan dari segi psikologisnya. Rasa
sakit tetap sama. Menjerit atau tak menjerit. Tetapi secara ilmu kejiwaan, menjerit atau menangis bagi seorang
penderita merupakan penyaluran. Dan sebuah penyaluran merupakan pengurangan bagi penderitaan. Itu
teorinya. Tetapi Si Bungsu tak mau memakai teori ini. Baginya lebih baik dan lebih terhormat untuk tetap diam.
Meskipun bibirnya berdarah dia gigit dalam usahanya menahan sakit yang tak tertanggungkan itu.
Selesai upacara penyayatan dengan samurai itu, maka letnan tersebut istirahat sejenak. Namun itu
bukan berarti istirahat pula bagi penderitaan Si Bungsu. Sebab begitu si Letnan duduk. si prajurit tegak. Dengan
tang di tangan, dia maju melangkah mendekati Si Bungsu.
"Katakan siapa-siapa yang ikut dalam gerakkan kalian Siapa pula diantara Gyugun yang terlibat . .?" Ujar
si Letnan dari tempat duduknya.
Si Bungsu tetap diam. Dia tengah membayangkan kesakitan yang akan dia derita. Dia tahu, tang ditangan
prajurit sadis itu akan dipakai untuk mencabut kuku-kukunya seperti yang telah dilakukan pada Kari Basa.
Karena dia diam, Letnan itu memberi isyarat.
Si Prajurit meraih sebuah tong. Meletakkan disisi kiri Si Bungsu.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 114
Kemudian dia naik ke atas. Sebelum Si Bungsu sadar apa yang akan terjadi Jepang itu menjepit telunjuk
Si Bungsu dengan tangnya. Letnan itu mengangguk. Dan Si Bungsu kali ini tak bisa menahan pekik
kesakitannya. Tak bisa! Betapa dia akan mampu menahan rasa sakit, kalau tulang telunjuknya itu dipatahkan
dengan jepitan tang"
" Mengakulah . .!"
Si Bungsu hanya mengerang kecil. Dan kali ini jari tengahnya dapat giliran dipatahkan. Dan kembali dia
memekik. "Mengakulah . .!"
Si Bungsu hanya mengeluh dan mengerang. Air matanya membasahi pipinya. Dan jari manisnya
mendapat giliran. Dia kembali memekik. Pada pekik yang ketiga ini. Kari Basa mengangkat kepala. Dan dia
melihat betapa tubuh anak muda itu berlumur darah. Pakaian dan sebahagian dagingnya robek-robek. Persis
kerbau yang selesai dikerjakan di rumah jagal.
"Mengakulah..!"
Si Bungsu tetap bungkam. Dan kembali kelingkingnya dipatahkan. Si Bungsu memekik. Namun dia tetap
diam, tak mau membuka rahasia.
"Tahan . ." tiba-tiba ada suara. Dan yang bersuara tak lain daripada Kari Basa. Letnan itu menoleh
padanya. "Kau mau mengaku?"
"Baik saya mengaku, tapi lepaskan anak muda itu. Dia tak bersalah . . ."
"Ooo. Kau kenal padanya ya " ?"
"Justru karena saya tak kenallah makanya dia harus dibebaskan. Dia tak ada sangkut pautnya dengan
perjuangan kami. Kami tak mengenalnya." Si Bungsu menatap Kari Basa. Apakah ini semacam penyingkirannya
dari kalangan pejuang-pejuang ini" Apakah Kari Basa berkata begitu karena Si Bungsu juga pernah berkata
begitu ketika rapat di Birugo dahulu"
Ketika pertanyaan begitu berkecamuk dalam fikiran Si Bungsu, Kari Basa sekilas menatap padanya. Dan
dari cahaya mata lelaki tua itu, dia dapat menangkap. Bahwa Kari Basa hanya membuat siasat.
Namun kelegaan hatinya segera lenyap ketika letnan itu berkata :
"He..he tak ada sangkut paut kalian" Kalian saling tak mengenal" He. .he Bukankah kalian sama-sama
hadir ketika rapat di Birugo dahulu" Bukankah kau punya hubungan dengan Datuk Penghulu" Nah, dari situ
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dapat ditarik kesimpulan bahwa kalian punya hubungan. Jangan kami pula hendak kalian bohongi." Dan kali
ini penyiksaan dilakukan berbarengan.
Si prajurit mengerjakan tubuh Si Bungsu, si Sersan mengerjakan Kari Basa. Kedua serdadu sadis ini lihai
dalam pekerjaannya. Meskipun korbannya sudah remuk redam, sudah cabik-cabik tapi mereka jaga agar si
korban tak segera mati. Mereka amat ahli dalam hal ini. Bagaimana menyiksa tawanan sampai separoh mampus, bahkan
terkadang sampai tiga perempat mampus, tapi tetap saja tak sampai mampus. Dan itulah penderitaan yang
ditanggung oleh kedua orang itu.
Si Bungsu sudah hampir mampus ketika dia dengar suara letusan.
Letusan sekali. Dua kali. Tiga kali!
Dia merasa dirinya amat luluh. Dirinyakah yang kena tembak" Kari Basa kah" Dia tak merasakan sakit
karena seluruh tubuhnya adalah sakit itu sendiri. Dia tak merasa menderita karena tembakan itu karena
dirinya adalah puncak dari penderitaan itu sendiri.
Dan diapun terkulai. Sampai disini ajalku"..bisiknya. Dan dia juga yakin, bahwa bersama ajalnya, orang
tua yang bernama Kari Basa itupun tamat pulalah riwayat hidupnya.
Namun tak demikian terjadi.
Teman-teman Datuk Penghulu dan Kari Basa mengetahui penangkapan terhadap kedua orang itu.
Perintah langsung dari Engku Syafei menyuruh membebaskan mereka. Sebuah "pasukan khusus" yang
beruniform beranggotakan sebelas orang segera diberangkatkan. Mereka mempergunakan beberapa bedil dan
pistol yang selama ini secara diam-diam dicuri atau dibeli dengan sangat rahasia. Bahkan ada beberapa bedil
peninggalan Belanda. Tugas untuk mengetahui dimana kedua orang ini ditahan dierahkan pada Tai-I (Kapten) Dakhlan
Djambek. Namun untuk menemui Kapten ini bukan main sulitnya. Jepang memang telah mencium adanya
gerakan pribumi yang akan menentang penjajahan.
Karena itu setiap Anggota Gyugun, mulai dari prajurit sampai para perwira diawasi dengan ketat. Hanya
dengan sangat susah payahlah Tai-I Dakhlan Djambek bisa berhubungan dengan teman-temannya. Namun
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 115
setelah dua hari berusaha, Dakhlan Djambek masih belum berhasil mengetahui dimana kedua orang itu
ditawan. Para pimpinan tentara Jepang nampaknya memang telah waspada sejak semula pertama menjejakkan
kakinya di Indonesia. Mereka sudah menduga bahwa lambat laun perlawanan dari penduduk-penduduk
setempat kepada para penjajah pastilah akan timbul.
Karena itu para Gyugun yang berasal dari pemuda-pemudi Indonesia tak pernah ditugaskan di proyekproyek militer yang vital. Dan di Bukittinggi mereka tak pernah ditugaskan di bawah kota yang sedang digali
itu. Yang bertugas mengawasi pekerjaan atau mengawasi pemasukan amunisi hanyalah balatentara Jepang
asli. Karena itu Dakhlan Djambek dan kawan-kawannya para Gyugun yang lain tak pernah mengetahui secara
mendetail tentang situasi terowongan itu.
Dia berusaha keras untuk mengetahui ruangan-ruangannya, tapi akhirnya dia menyerah. Tak mungkin
untuk mengetahui secara terperinci, apalagi dengan pengawasan yang ketat dari Kempetai terhadap Gyugun.
Pada hari kedua, yaitu pada batas waktu yang diberikan, Kapten ini memberikan laporan akhir tentang
penyelidikannya. Isi laporan itu : "Tak mungkin untuk menyelediki terowongan itu dengan cara intelijen. Tapi saya yakin, kedua mereka
ditawan dalam salah satu kamar di dalam terowongan tersebut. Sebab beberapa tawanan sekutu juga dibawa
kesana. Untuk mengetahui dimana mereka ditahan, satu-satunya jalan adalah menangkap dan memaksa salah
seorang Kempetai yang pernah membawa tawanan kesana. Saya akan mengatur jebakan. Sediakan orang yang
akan menanyainya." Dan surat yang disampaikan melalui kurir beranting itu akhirnya dilaksanakan. Seorang
Sersan Kempetai dengan cara yang sangat halus berhasil dijebak di Kampung Cina ketika sedang minumminum sake dan memeluk seorang perempuan.
Perempuan itu dia bawa ke hotel. Di tangga hotel yang teram-temaram keduanya dipukul hingga
pingsan. Si perempuan yang berkulit hitam manis dibiarkan tergolek di sana. Si Sersan dibawa dengan sebuah
truk ke sebuah tempat. Dari mulut Sersan inilah diketahui detail kamar tawanan tersebut. Semula si Sersan tak mau mengaku,
tapi ketika sebuah jari tangannya dipatahkan meniru kekejaman Kempetai, Sersan itu menyerah. Lalu
membuka rahasia kamar tawanan itu.
Dan ketika pengakuannya selesai, dia terkejut takkala melihat seorang perwira Gyugun masuk rumah
itu. Dia segera tegak dan memberi hormat dengan sikap sempurna. Dia jadi gembira, karena denga kehadiran
perwiranya itu berarti kebebasan baginya dari tangkapan ekstrimis ini.
Namun dia segera terkejut takkala melihat perwira itu menatapnya. Orang yang mematahkan jarinya itu
mengambil sebilah samurai. Memberikan kepada Sersan itu. Sersan itu terheran-heran. Rasa herannya berobah
jadi rasa terkejut ketika perwira Gyugun itu berkata dengan nada memerintah :
"Harakiri".!"
Sersan Kempetai itu melongo.
"Harakiri..!!" lagi-lagi perintah perwira itu bergema. Dan kini sama-sama jadi jelas soalnya oleh si Sersan.
Dia diperintahkan harakiri (bunuh diri) pastilah salah satu sari dua sebab. Pertama karena dia telah
membocorkan rahasia militer. Kedua karena perwiranya ini berada dipihak orang yang menangkap dan
mematahkan jari tangannya. Dan dia menduga , bahwa sebab kedualah yang paling besar kemungkinannya.
"Tai-i?"..?" katanya lagi.
"Saya orang Indonesia. Jepang sudah terlalu banyak membunuh bangsa saya. Kini kau harakiri atau
gunakan samurai itu untuk melawan"membebaskan diri".," Perintah Tai-I yang tak lain daripada Dakhlan
Djambek itu membuat tubuh si Sersan menggigil.
Dia sudah tentu memilih yang kedua. Yaitu mempergunakan samurai itu untuk melawan. Sebab baginya
tak ada harapan untuk hidup. Demikian putusan Dakhlan Djambek. Kalau Jepang ini tak dibunuh, maka rahasia
penangkapannya akan bocor. Dan kebocoran itu membahayakan perjuangan.
Sersan itu menebaskan samurainya. Orang pertama yang dia serang dengan samurainya adalah orang
yang paling dekat dengannya. Orang itu adalah Tai-I Dakhlan Djambek. Tebasan samurainya amat cepat
mengarah pada leher Kapten itu.
Namun Dakhlan Djambek adalah seorang perwira yang dididik dengan kekerasan disiplin militer Jepang.
Karena dia perwira, maka kepadanya juga diajarkan cara menggunakan samurai. Dan kemana-mana, perwira
Jepang umumnya membawa samurai. Demikian juga dengan Kapten ini.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 116
Begitu sabetan samurai si Sersan terayun, sesuai dengan latihan dasar yang diterima, dia mundur
dengan cepat dua langkah ke belakang. Kemudian ketika serangan berikutnya datang, dia menggeser tegak dua
langkah. Dan si Sersan lewat disampingnya.
Dengan cepat Sersan itu memutar tegak dan kembali mengayunkan samurainya. Namun saat itu pula
samurai di pinggang Tai-I Dakhlan Djambek keluar dari sarungnya. Putaran tubuh si Sersan di silang oleh
tebasan samurai Dakhlan Djambek. Bahu kanan Sersan itu hampir putus. Sabetan kedua membuat kepalanya
hampir putus. Dia jatuh. Tapi kematian datang sebelum tubuhnya mencapai lantai rumah. Perlahan-lahan
Kapten itu memasukkan samurainya kesarangnya setelah melapnya ke baju Sersan yang rubuh itu
"Kuburkan dia malam ini. Dan malam ini juga kedua kawan-kawan itu harus dibebaskan. Mulai hari ini
kontak antara teman-teman dengan kami para Gyugun harus diputuskan buat sementara waktu. Situasi
tambah panas. Kabarnya di Jakarta telah terjadi sesuatu. Saya yakin saatnya untuk kemerdekaan sudah dekat.
Karena itu, tunggu perkembangan selanjutnya. Salam saya untuk para pimpinan yang lain. Juga buat kedua
teman-teman yang ditawan itu"." Dan Kapten ini lenyap ke dalam gelapnya malam.
(27) Kejadian pembunuhan terhadap Sersan Kempetai itu tepatnya berlangsung pada tanggal 5 Agustus
1945. Dua belas hari setelah itu, Kemerdekaan Indonesia di proklamirkan di Jakarta.
Kembali pada saat-saat letusan bergema dalam gua sesaat sebelum Si Bungsu jatuh pingsan. Letusan itu
ternyata bukan ditujukan pada dirinya atau pada diri Kari Basa. Letusan itu adalah letusan bedil dan pistol
"pasukan khusus" yang membebaskannya.
Pejuang-pejuang bawah tanah itu berhasil bergerak cepat dan menemukan tempatnya sebelum
terlambat sangat. Letusan pertama adalah letusan yang ditujukan ke kepala penjaga di luar pintu kamar
tahanan. Begitu penjaga itu mati, pintu diterjang. Dan letusan-letusan berikutnya ditujukan pada si Letnan, si
Sersan dan prajurit yang ada dalam ruangan itu.
Ketiga Kempetai sadis ini mati saat itu juga. Mereka tak sedikitpun menyangka akan ada perlawanan
begitu dahsyat. Ketiga mereka mati dengan kepala rengkah kena tembak.
Dan enam orang "pasukan khusus" yang masuk keruangan itu pada mengucap istigfar takkala melihat
keadaan tubuh kedua teman mereka yang tergantung itu. Yang tergantung itu bukan lagi tubuh manusia. Tapi
lebih tepat untuk dikatakan sebagai manusia yang telah dijagal.
Namun harapan kembali timbul ketika mereka melihat bahwa kedua orang itu masih bernafas. Dengan
gerakkan cepat, kedua mereka dilepaskan dari belenggunya. Kunci belenggu berada dalam kantong si letnan.
Dan tengah malam itu juga, kedua mereka dibawa ke rumah orang yang telah menyiapkan penampungan
dan pengobatan. Pengobatan disediakan sesuai dengan pesan Kapten Dakhlan Djambek. Bahwa setiap tawanan
Jepang yang dibawa ke terowongan di bawah kota itu, bila sempat keluar hanya akan mengalami dua hal.
Pertama mati. Dan kedua tubuh mereka lumat. Maka yang kedua hampir-hampir menemui kenyataan.
Makanya obat-obatan telah disediakan. Kedua mereka dirawat di rumah yang berlainan.
Setelah tubuh kedua orang itu sampai di rumah yang dimaksud, pasukan khusus itu lenyap. Dan jejaknya
tak pernah tercium sedikitpun!.
Pihak militer Jepang bukan main kagetnya atas serbuan dan penculikan tersebut. Mereka memeriksa
setiap rumah penduduk untuk mencari jejak para penculik dan kedua tawanan itu.
Ada delapan orang yang jadi korban dipihak mereka dalam peristiwa itu. Yang pertama Sersan pengawas
bahagian peta penggalian terowongan. Sersan ini yang mati di tebas Tai-I Dakhlan Djambek tak pernah
ditemukan mayatnya. Tiga orang lagi adalah penyiksa sadis yang mati dalam kamar tahanan. Yang satu mati di
pintu bahagian luar kamar tahanan tersebut. Sedangkan tiga orang lainnya mati di sepanjang terowongan
menuju ke kamar tahanan. Pihak Jepang segara dapat menduga, bahwa kamar tahanan itu diketahui melalui mulut si Sersan
pengawas bahagian peta penggalian terowongan. Mereka menyangka bahwa seluruh jaringan dan
penyimpanan amunisi vital dalam terowongan itu telah diketahui oleh pejuang-pejuang pribumi. Makanya
mereka memasang perangkap untuk menjebak kalau-kalau pejuang-pejuang itu muncul lagi.
Namun pejuang-pejuang itu tak pernah mengorek keterangan tentang hal-hal lain mengenai
terowongan tersebut. Tugas mereka hanya mengetahui dimana Si Bungsu dan Kari Basa ditahan. Kemudian
membebaskan kedua orang itu. Dari segi ini, para pejuang itu memang alpa. Kalau saja mereka bisa sedikit
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 117
sabar dalam menghadapi si Sersan, kemudian merencanakan masak-masak akan banyak sekali rahasia tentang
terowongan itu yang akan terungkapkan.
Itulah sebabnya kenapa sampai puluhan tahun kelak, yaitu sampai turunan demi turunan, terowongan
di bawah kota itu tetap saja merupakan suatu misteri yang tak kunjung terungkapkan. Tak seorangpun di kota
itu yang tahu dengan pasti, berapa panjang terowongan di bawah kota mereka.
Misteri itu tetap tak terungkapkan, karena selama puluhan tahun tak ada yang berminat untuk
menyelidikinya. Baik menyelidiki dengan mencari peta rencana pembuatan terowongan tersebut. Peta itu pasti
ada pada pihak militer Jepang.
Akibat dari peristiwa itu, pihak Kempetai makin curiga pada anggota Gyugun. Namun mereka tak pernah
mendapatkan bukti akan keterlibatan para Gyugun itu. Seluruh anggota Gyugun yang ada di Bukittinggi
diinterogasi. Dimana dan kemana mereka dimalam lenyapnya si Sersan yang memegang rahasia terowongan
itu. Semua anggota Gyugun mempunyai alibi. Punya bukti-bukti bahwa mereka berada disuatu tempat,
dimana banyak orang jadi saksi. Tai-I Dakhlan Djambek sendiri yang ikut diinterogasi pihak Kempetai,
mempunyai alibi (alasan) yang kuat. Bahwa dia tak ikut dalam gerakan itu.
Malam itu dia justru bertugas disalah satu markas Kempetai bersama enam orang tentara Jepang asli
lainnya. Dan keenam tentara Jepang yang sama-sama bertugas malam itu dengannya menerangkan bahwa TaiI itu tak pernah meninggalkan markas malam itu.
Lalu bagaimana Dakhlan Djambek sampai bisa hadir dan justru membunuh Sersan itu dihadapan para
pejuang malam itu" Ceritanya sangat sederhana. Peristiwa dia membunuh Sersan itu dengan samurai hanya
berjarak sejangkau tangan dari markas Kempetai itu. Tepatnya, rumah tempat si Sersan dibunuh terletak persis
di belakang markas Kempetai itu. Dan antara markas dengan rumah itu hanya dibatasi dengan sebuah pagar
batu setinggi pinggang. Rumah itu sebuah rumah batu yang sudah lam ditinggal penghuninya. Pemiliknya merantau ke Jawa.
Tapi kuncinya ada pada seorang adiknya di Mandiangin. Nah rumah inilah yang dipilih Dakhlan Djambek untuk
menanyai Sersan. Keputusan itu memang berbahaya. Tapi tak ada jalan lain, justru jalan itu pula paling aman. Kempetai
pasti takkan pernah mencurigai kalau rumah di belakang markas mereka itu justru dipergunakan oleh pihak
pejuang. Disamping tak mencurigai, Dakhlan Djambek bisa hadir disana tanpa menimbulkan kecurigaan.
Tinggal kini waktu diperhitungkan dengan cermat. Harus pas waktunya antara dibekuknya si Sersan di
hotel dengan tibanya di di rumah tersebut. Setelah si Sersan dibekuk lalu dibawa ke rumah itu dengan truk.
Dakhlan Djambek yang tegak di depan melihat mereka lewat.
Dia masih tegak di depan beberapa saat. Lalu masuk ke markas. Memerintahkan pada tiga orang Gyugun
asal Indonesia untuk mengadakan patroli sekeliling markas. Ketiga Gyugun itu keluar setelah memberi hormat.
Kemudian Dakhlan Djambek duduk di depan Komandan Piket malam itu. Yaitu seorang Jepang berpangkat
Mayor. Tiba-tiba dia bangkit. "Sakit perut"." Katanya menyeringai.
"Ha"banyak makan duren sore tadi. Bisa mencret Tai-i?" Si Mayor berkata sambil tertawa.
Dakhlan Djambek juga ikut tertawa. Empat orang Kempetai yang ada dalam ruangan itu juga tertawa.
Sebab mereka giliran piket setiap 24 jam. Dan mereka telah mulai piket sejak tadi pagi. Dan sore tadi ada yang
mentraktir makan durian. Mereka membeli durian lima belas buah. Lalu mereka makan bersama di kantin
disebelah kantor. Dakhlan Djambek dengan memegang perut lalu berlari ke belakang. Menutup pintu kakus. Menguncinya.
Dan kakus ini juga sudah dia perhitungkan. Kakus ini mempunyai jendela besar di belakangnya.
Sekali hayun dia sudah membuka jendela. Kemudian terjun ke belakang. Berlari empat langkah, tiba di
pagar. Meloncati pagar itu. Duduk dibaliknya. Dia bersiul menirukan bunyi burung malam. Terdengar sahutan.
Dia bergegas tegak dan melangkah memasuki rumah itu dari belakang.
Tiga orang Gyugun yang tadi dia perintahkan untuk patroli menantinya di pintu. Dan mereka masuk.
Kisah bagaimana si Sersan mati, sudah diuraikan terdahulu. Dakhlan Djambek memberi kesempatan kepada
Sersan itu untuk membela diri. Sebenarnya dia bisa saja membunuih Sersan itu tanpa perlawanan. Tapi sebagai
seorang pejuang, seperti umumnya pejuang-pejuang Indonesia, dia tak mau membunuh lawan yang tak
berdaya. Apalagi dia seorang perwira.
Makanya dia memberi kesempatan kepada Sersan itu untuk membela diri. Sebenarnya bisa saja keadaan
berbalik jadi berbahaya. Yaitu kalau si Sersan justru yang menang dalam perkelahian itu. Mungkin si Sersan
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 118
bisa juga dibunuh oleh pejuang-pejuang yang ada dalam ruangan itu. Namun kalau sudah jatuh korban, apalagi
korban itu seorang Dakhlan Djambek, perwira Gyugun yang diandalkan untuk memimpin anggotanya kelak
dalam revolusi, bukankah akan sia-sia jadinya"
Namun Dakhlan Djambek tetap pada sikap satrianya. Disamping juga dia punya keyakinan pada dirinya,
dan terutama pada Tuhannya. Setelah Sersan itu mati, jejak perkelahian di ruangan belakang rumah itu
dilenyapkan. Dan Dakhlan Djambek kembali melompati jendela kakus. Kemudian pura-pura batuk dalam
kakus. Pura-pura menyiramkan air. Lalu keluar dari kakus setelah yakin jejaknya tak ada di dinding. Dengan
pura-pura melekatkan celana dan merapikan baju, dia membuka pintu.
Masuk kembali keruangan dimana si Mayor tengah mendengarkan siaran radio yang dipancarkan oleh
Markas Besar tentara Jepang. Dengan menarik nafas lega, dia duduk. Seperti orang yang baru saja lepas dari
siksaan. "Hmmm, keluar semua?" Mayor itu bertanya sambil tersenyum.
"Tidak. Ususku masih tinggal di dalam?"".?" Jawab Dakhlan Djambek. Mayor itu dan keempat Kempetai
tertawa terkekeh. Waktu yang terpakai baginya untuk "buang air" itu tidak lebih dari sepuluh menit. Benarbenar perhitungan seorang militer yang teliti.
Dan ketika interogasi, seluruh prajurit dan sang Mayor yang piket malam itu jadi saksi, bahwa dia tidak
pernah keluar sesaatpun pada malam lenyapnya si Sersan. Dan Kempetai tak pula pernah menyelidiki rumah
kosong yang telah lama tak dihuni yang terletak persis dibelakang markas mereka. Kekhilafan-kekhilafan kecil
begini biasanya memang terjadi satu dalam seribu peristiwa penting dipihak kemiliteran.
Dan kekhilafan kecil itulah yang menyelamatkan Dakhlan Djambek serta para Gyugun yang tugas di
Bukittinggi malam itu dari pembantaian Kempetai.
-000Si Bungsu membuka mata. Silau sekali. Tapi selain silau yang amat sangat, yang paling dia rasakan adalah
lapar yang menusuk-nusuk perut. Lapar sekali. Dia Kembali membuka mata. Sedikit demi sedikit. Dari balik
bulu-bulu matanya dia mencoba melihat dan membiasakan dengan sinar terang.
Dia tak tahu dimana dia. Tak tahu apa yang terjadi. Rasanya kini dia tengah berbaring. Tapi dimana"
Berbaring" Kenapa bisa berbaring" Dia coba merekat kembali sisa-sisa ingatannya. Yaitu tentang situasi
terakhir yang pernah dia alami.
Terowongan Rantai di kaki Rantai di tangan Rantai yang dicorkan dengan semen
Dicor ke lantai Dicor ke langit-langit terowongan
Penyiksaan! Ah, bukankah dia disiksa oleh tiga orang serdadu Jepang yang sadisnya melebihi hewan"
Kari Basa! Tiba-tiba dia ingat pada orang tua itu. Bukankah orang tua itu terbelenggu pula empat depa di depannya
dalam terowongan itu"
Dimana dia kini" Ingatan pada orang tua itu membuat dia membuka matanya lebar-lebar. Menoleh ke kiri. Tak ada.
Menoleh kekanan. Tak ada!
"Pak Kari"..!" dia memanggil perlahan.
Tak ada sahutan. Di luar ada suara ayam betina berkotek. Dia memperhatikan tempatnya. Benar, dia
memang tengah berbaring di tempat tidur. Tempat tidur berkelambu. Berseprai kain setirimin merah jambu.
Berkelambu juga dengan kain seterimin merah jambu. Seperti tempat tidur penganten baru.
Bau harum kembang melati merembes kehidungnya dengan lembut. Benarkah dia masih hidup" Atau
ini hanya sebuah mimpi"
Mimpi dari sebuah siksa yang tak tertangguhkan ditangan ketiga Kempetai sadis itu"
Ya, dia ingat lagi kini. Tubuhnya dijadikan tempat pelampiasan kekejaman ketiga serdadu itu. Lalu suara tembakkan. Apakah
tembakkan itu bukan untuk dirinya" Kalau dia kini masih hidup, pastilah tembakkan itu ditujukan pada Kari
Basa. Kari Basa meninggal! Ya Tuhan.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 119
"Pak Kari"." Dia memanggil lagi dan berusaha untuk duduk.
"Tetaplah berbaring..!" tiba-tiba suara mencegahnya. Lembut sekali. Rasa sakit dikepalanya karena
berusaha bangkit itu lenyap ketika mendengar suara lembut itu.
"Mana Pak Kari?" tanya nya pada orang yang masih belum kelihatan wajahnya itu.
"Pak Kari..?" suara itu menjawab.
"Ya pak Kari, dimana dia dikuburkan?"
Tak ada jawaban. Tapi orang yang menjawab ucapannya itu kini kelihatan. Seorang gadis! Berwajah
bundar. Bermata hitam. Berkulit kuning. Berambut hitam dengan mata yang bersinar lembut. Cantik adalah
kata-kata yang tepat untuknya.
Si Bungsu mengerutkan kening. Siapakah gadis ini"
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dimana saya?"" tanyanya gugup.
Gadis itu tersenyum. Senyumnya amat teduh. Matanya yang bersinar lembut menatap Si Bungsu dengan
tatapan gemerlap. "Abang berada disini?" jawabnya dengan masih tersenyum.
"Di sini" Di sini dimana?""
(28) "Di rumah kamii"."
"Siapa kalian".maaf, saya maksudkan, saya rasa saya tak mengenal rumah ini. Juga orangnya. Kenapa
saya bisa berada di sini. Sejak bila dan?"
Gadis itu lagi-lagi tersenyum mendengar pertanyaan yang tak hentinya itu. Dia tak segera menjawab
pertanyaan Si Bungsu. Melainkan berjalan ke arah kepala pembaringan. Mengambil sebuah gelas. Kemudian
duduk dekat Si Bungsu. "Minumlah. Ini obat dari akar kayu. Nanti saya jawab pertanyaan abang itu satu persatu?"
Dia ingin bangkit. Tapi uluran tangan gadis itu untuk membantunya duduk tak bisa dia elakkan. Gadis
itu membantunya meminum obat yang terasa pahit. Kemudia membantunya berbaring lagi dengan perlahan.
Dalam keadaan demikian, wajah gadis itu berada dekat sekali dengan wajahnya. Gadis itu bersemu
merah mukanya. Mukanya sendiri juga terasa panas. Kemudia gadis itu mengambil sebuah kursi di tepi dinding.
Duduk dekat pembaringan. "Ini rumah pak Kari?" gadis itu mulai bicara. Si Bungsu tertegun.
"Rumah pak Kari?"
"Ya" "Pak Kari Basa?"
"Ya, pak Kari Basa"
"Yang tertangkap dan disiksa dalam terowongan Jepang itu?"
"Ya. Yang disiksa bersama abang juga bukan?"
"Mana beliau?""
"Di kamar sebelah?"
"Masih hidup?" "Insya Allah sampai saat ini masih?"
"Alhamdulillah?"
"Saya adalah anaknya.."
Si Bungsu hampir terduduk. Tapi gadis itu menggeleng dengan senyum lembut dibibirnya.
"Kenapa harus kaget"tetaplah berbaring?"
"sejak kapan saya berada di rumah ini?"
"Sejak sebulan yang lalu" Si Bungsu kali ini benar-benar tertunduk. Matanya berkunang-kunang.
Namun dia tatap gadis di depannya itu. Gadis itu menunduk. Malu, Mukanya merah.
"Sebulan?" "Ya. Sudah sebulan Uda di rumah ini?"
"Dan selama itu saya tak pernah sadar?" Gadis itu mengangkat wajahnya. Menatap Si Bungsu. Lalu
menggeleng. Si Bungsu menjilat bibirnya yang terasa kering.
"Pernah. Tapi barangkali abang tak pernah bisa berfikir dengan baik. Sebab ketika mula pertama dibawa
kemari, tubuh abang seperti baru keluar dari rumah jagal. Tersayat-sayat berlumur darah" saya tak tahu
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 120
bahwa ayah juga sama keadaan dengan abang. Hanya ayah dibawa ketempat lain untuk dirawat. Ayah baru
dibawa kemari sejak lima belas hari yang lalu"."
Si Bungsu kembali berbaring. Sudah sebulan di rumah ini. Pakaiannya bersih. Siapa yang memakaikan
pakaiannya" Selama itu dia pasti buang air. Nah, kalau dia tak sadar, siapa yang membereskan semua ini"
"Ada adik lelakiku, saya menukarkan pakaian abang sekali tiga hari. Saya hanya menyuapkan bubur
untuk abang?" suara gadis itu seperti menjawab kata hatinya. Dia melihat padanya. Dan gadis itu lagi-lagi
menunduk. "Terimakasih atas kebaikan kalian"." Katanya perlahan.
"Abang akan makan?"
Si Bungsu tak segara menjawab. Dia merasakan perutnya kenyang. Aneh, tadi mula-mula sadar laparnya
serasa tak tertahankan. Tapi kini perutnya terasa kenyang. Apakah itu karena obat yang barusan dia minum.
"Tidak, saya kenyang"." Jawabnya.
"Tapi sejak kemaren abang belum makan?"
"Terimakasih. Sebentar lagilah".apakah Jepang tak pernah memeriksa rumah ini untuk mencari saya"
Oh ya, siapa yang membawa saya kemari?"
" Yang membawa abang kemari adalah pejuang-pejuang teman ayah, teman Datuk Penghulu. Dan teman
abang juga bukan?" Si Bungsu menggelang. "Saya tak punya teman di kota ini Upik. Oh maaf, saya harus memanggilmu dengan sebutan apa?"
Gadis itu menunduk. Si Bungsu menatapnya.
"Nama saya Salma"." Katanya perlahan.
"Salma?" "Ya, Salma.." "Terimakasih atas bantuanmu pada saya selama di rumah ini"nah, apakah Jepang tak pernah
menggeledah di rumah ini?"
"Tidak, adik ayah bekerja dibahagian penerangan pemerintahan Jepang. Rumah ini rumah tua kami.
Sebelumnya saya, ayah dan yang lain-lain tak tinggal di sini?" Rumah kami di Mandiangin. Tapi sejak malam
itu, kami disuruh pindah kemari. Dan Jepang tak pernah mencurigai rumah ini, karena abang ditempatkan
dibilik ini. Dibilik saya?"
"Bilikmu?" "Ya. Ini bilik saya. Dan Jepang itu sering main kartu disini. Kamar tamu disebelah kamar ini. Dan mereka
tentu saja tak pernah menduga dalam bilik ini ada abang sebab selama mereka di ruang tamu, saya selalu
dikamar ini. Dan saya" saya juga tidur dikamar ini?"
Si Bungsu terbelalak. Gadis itu menunduk, mukanya merah. Malu dia.
"Ya. Saya tidur disini. Di bawah dengan sebuah kasur cadangan, ayah yang menyuruh. Untungnya setiap
mereka kemari abang tak pernah mengigau. Dan ayah dibawa kemari dua hari setelah proklamasi
kemerdekaan"." Si Bungsu terlonjak duduk"
"Proklamasi kemerdekaan?"!"
"Ya. Oh ya. Saya lupa bahwa abang tak mengetahui hal ini. Kita telah merdeka sejak tanggal 17 Agustus.
Dan sekarang sudah tanggal dua puluh lima?"
Muka Si Bungsu berseri. "Merdeka. Alhamdulillah" Tuhan Maha Besar"." bisiknya perlahan.
Dan Salma melihat betapa di sudut mata anak muda itu kelihatan air menggenang. Kemudian dia
berbaring lagi perlahan. "Akhirnya kita merdeka juga".." bisiknya. Dan pikirannya berlari kemasa yang lalu. Kekampung
halamannya. Pada ayahnya. Ayahnya yang dulu mengorganisir sebuah organisasi melawan penjajahan. Dan
ayahnya mati ditangan penjajah. Pikirannya melayang kepada ibunya. Pada kakaknya. Pada peristiwa berdarah
dan pembakaran kampungnya oleh Jepang. Dan dia kembali tak sadar diri.
Diperlukan waktu yang cukup panjang bagi Si Bungsu untuk sembuh secara sempurna di rumah itu. Dan
dalam waktu yang panjang itu, Salma selalu merawatnya.
Kari Basa lah yang menyuruh antarkan anak muda itu kerumahnya. Agar dirawat disana. Dia sangat
merasa kasihan pada anak muda tersebut. Salma, anak gadisnya kebetulan adalah murid Diniyah Putri Padang
Panjang. Dia dipanggil untuk pulang sejak Jepang setahun menjajah. Dirumah rasanya lebih aman bagi gadisgadis daripada jauh dari orang tua.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 121
Dan tentu saja Salma bisa merawat ayahnya dan Si Bungsu dengan baik. Sebab di Diniyah pelajaran P3K
diajarkan secara intensif. Dan ketika Jepang masuk, Diniyah mengorganisir sebuah peleton P3K disekolahnya.
Membantu pejuang-pejuang yang terluka. Kini jari-jari tangan Si Bungsu yang patah telah sembuh kembali.
Demikian juga seluruh tubuhnya yang cabik-cabik dimakan samurai. Kari Basa juga telah sembuh. Meski
telah dikalahkan Sekutu, namun Jepang belum angkat kaki dati tanah Indonesia. Dan Si Bungsu suatu malam
menyatakan niatnya untuk pergi.
"Kemana engkau akan pergi Bungsu" tanya Kari Basa.
"Ke Jepang?" Si Bungsu berkata perlahan. Namun nada suaranya sangat pasti. Kari Basa dan Salma
terbelalak mendengar ucapan itu.
"Ke Jepang".?" suara Kari Basa mengandung ketidak yakinan.
"Ya. Saya berniat akan ke Jepang?"
"Sejauh itu. Mengapa engkau kesana?"
"Mencari seorang serdadu bernama Saburo Matsuyama.."
Kari Basa menarik nafas panjang. Dia segera mengetahui untuk apa anak muda itu pergi. Menuntut balas.
Pastilah itu niatnya. Dia sudah mendengar dari Datuk Penghulu, bahwa anak muda ini berdendam pada
pembunuh keluarganya. Seorang bernama Saburo Matsuyama.
Salma perlahan kembali melanjutkan sulamannya. Meski berkali-kali penjahitnya menyasar entah
kemana. Namun dia menyulam juga. Hingga suatu saat telunjuknya tertusuk jarum.
Pikiranmu sedang tidak tenang Salma. Lebih baik tak usah menyulam" Kari Basa memperingatkan
anaknya. Dan muka Salma segera saja jadi bersemu merah. Dan saat itu seorang lelaki masuk. Salma segera
beranjak ke belakang begitu lelaki itu masuk. Lelaki itu seorang kurir.
"Alhamdulillah, pak Kari ada dirumah. Saya sudah kemana-mana"." katanya sambil menyalami Kari
Basa dan Si Bungsu. "Saya disini selalu?" jawab Kari Basa sambil memperhatikan lelaki itu. Dia dapat membaca ada sesuatu
yang penting dibawa lelaki tersebut. Si Bungsu juga melihat hal itu. Barangkali sesuatu yang rahasia. Makanya,
dia juga berniat untuk menghindar, agar kedua orang itu bebas bicara. Namun Kari Basa mencegahnya.
"Tak ada yang tak boleh kau ketahui Bungsu. Duduklah. Nah, Husin sampaikan apa yang terjadi"
"Malam tadi terjadi lagi bentrokan antara pejuang-pejuang kita dengan tentara Jepang di Sungai Buluh.."
"Lalu?"" "Seharusnya kita berhasil mendapatkan belasan pucuk bedil. Tapi keburu datang pasukan Akiyama.
Pejuang-pejuang kita mereka pukul mundur. Dipihak kita dua orang luka-luka. Tak parah. Tapi lenyapnya
harapan untuk memiliki bedil itu membuat pimpinan merasa tak sedap hati?"
"Lagi-lagi Akiyama?" Kari Basa berguman.
"Ya. Dengan itu sudah empat kali dia menggagalkan sergapan kita"."
"Bagaimana dengan perundingan-perundingan resmi?"
"Saya tak tahu dengan pasti. Itu permainan tingkat atas?"
Mereka sama-sama terdiam. Saat itu saat-saat setelah hari Proklamasi adalah saat-saat transisi
diseluruh Indonesia. Jepang telah bertekuk lutut pada Sekutu. Bom Atom telah dijatuhkan di Nagasaki dan Hirosima. Meski
Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya, namun tak berarti segala sesuatu berjalan lancar dan
mudah. Jepang ternyata tak mau begitu saja menyerahkan pemerintahan pada bangsa Indonesia. Mereka juga
tak mau begitu saja menyerahkan persenjataan mereka pada pejuang-pejuang Indonesia.
Ada dua hal yang menyebabkan mereka tak mau segera menyerahkan kekuasaan ataupun
persenjataannya pada Bangsa Indonesia. Pertama mereka menyerah pada Sekutu. Bukan pada bangsa
Indonesia. Karena itu, menurut peraturan maka pada tentara Sekutu lah persenjataan mereka harus
diserahkan. Jika hal ini tidak mereka lakukan maka mereka bisa mendapat kesulitan.
Sebab kedua adalah, mereka takut akan pembalasan pejuang-pejuang Indonesia. Sebab pembalasan
yang paling menakutkan pastilah datang dari penduduk yang terjajah. Dan Jepang maklum sangat, bahwa
selama tiga setengah tahun di Minangkabau ini, merekla sudah membuat kekejaman yang tak tanggungtanggung. Karenanya mereka takut pada pembalasan penduduk kalau senjata mereka serahkan.
Ada lagi sebab lain. Yaitu sedikit harapan untuk tetap bertahan. Mereka berharap agar pimpinan tinggi
angkatan bersenjata memerintahkan untuk tetap berjuang sampai tetes darah terakhir.
Dan seluruh balatentara Jepang siap untuk berjibaku kalau perintah itu datang. Dan di Minangkabau,
serta seluruh Sumatera umumnya, mereka menumpahkan harapan pertahanan di kota Bukittinggi. Bukankah
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 122
mereka sudah menggali ribuan meter terowongan yang simpang siur. Yang bisa dijadikan pertahanan.
Bukankah mereka telah mengisi terowongan itu dengan bahan makanan dan amunisi yang cukup untuk
bertahan bagi satu resimen pasukan selama dua tahun.
Kini hanya soal perintah tetap bertempur. Itu lah yang mereka tunggu. Dan karena itu, mereka tetap
mempertahankan senjata mereka. Mereka tetap memegang kendali Pemerintahan. Meski mereka tak lagi
menjalankan aksi-aksi kekerasan seperti sebelum ditundukkan Sekutu, namun mereka tetap membalas
serangan yang datang dari pejuang-pejuang.
Alasan mereka adalah menjaga ketertiban menjelang datangnya Tentara Sekutu. Dan bila Sekutu datang
mereka akan menyerah dengan baik-baik. Itu yang mereka permaklumkan pada pemuka-pemuka Indonesia.
Namun pihak Indonesia sendiri bukannya tak berusaha secara baik-baik untuk mendapatkan
persenjataan dari Jepang. Engku Syafei yang di Sumatera Tengah menjadi salah seorang tokoh Indonesia yang
punya kontak langsung dengan Soekarno, Hatta dan Panglima Sudirman di Jawa, berusaha mengajak pihak
Jepang berunding. Beberapa kali pertemuan dengan Mayor Jenderal Fujiyama telah dilakukan. Namun usahanya
nampaknya belum menunjukkan hasil. Sementara itu, pejuang-pejuang yang lebih radikal banyak yang tidak
peduli dengan perundingan itu. Bagi mereka perang jauh lebih efektif untuk merebut senjata daripada
berunding. Beberapa pengalaman berunding dengan Belanda dahulu sudah memberikan pengalaman pahit pada
mereka. Itulah sebabnya kenapa telah terjadi beberapa kali bentrokan senjata antara pejuang-pejuang itu
dengan tentara Jepang. Kontak-kontak senjata yang sering menjatuhkan korban itu, semata-mata dimaksudkan oleh pejuangpejuang Indonesia untuk mendapatkan persenjataan dari Jepang. Mereka bukannya tak berhasil. Dari
pertempuran di Biaro, pejuang-pejuang itu berhasil merampas sebelas bedil. Dua senapan mesin. Satu pistol
dan beberapa ratus butir peluru.
Dan dari penghadangan di Gadut, Kabupaten Agam, mereka juga mendapat setengah lusin bedil.
Selebihnya, beberapa kali penyergapan gagal karena Jepang mendatangkan bala bantuannya. Dan kini berita
itulah yang dibawa kurir tersebut kerumah Kari Basa.
"Lalu apa kabar lagi dari Sutan Baheramsyah?" Kari Basa bertanya.
(29) "Dia menyampaikan akan ada rapat malam ini, ditempat biasa"
"Baiklah saya akan kesana"."
Kurir itu pergi. Kini kembali mereka tinggal berdua. Kari Basa dan Si Bungsu.
"Akiyama lagi?" Kari Basa mendesis perlahan.
"Siapa dia": Si Bungsu bertanya. Kari Basa menatapnya.
"Engkau tak tahu siapa dia?"
Si Bungsu menggelang. Kari Basa menarik nafas panjang.
"Dalam tentara Jepang ada beberapa serdadu yang kejamnya bukan main. Masih ingat perlakuan yang
kita terima dalam tawanan di terowongan itu?"
Si Bungsu mengangguk. Bagaimana dia akan melupakannya" Masih dia ingat betapa kuku jari Kari Basa
dicabuti satu demi satu. Dan saat ini dia lirik jari-jari kaki Kari Basa tak berkuku sebuahpun. Dan dia juga masih
ingat betapa tubuhnya disayat-sayat dengan samurai. Kemudian jarinya dipatahkan.
"Nah, cukup banyak tentara Jepang yang sadis begitu. Dan tukang ciptanya hanya seorang. Yaitu
Akiyama!" "Lalu Akiyama itu siapa?" Si Bungsu kembali bertanya.
"Pangkatnya kini Letnan Kolonel. Dulu Mayor. Masih ingat Mayor yang engkau ancam dengan Samurai
ketika mereka menyergap rapat di Birugo?"
Tubuh Si Bungsu tiba-tiba menegang mengingat Mayor itu.
"Masih ingat bukan?" Kari Basa bertanya lagi. Dengan perasaan sumbang Si Bungsu mengangguk.
"Nah, dialah Akiyama!"
"Akiyama"!" Si Bungsu berkata perlahan.
"Ya. Dialah orangnya?"
Pikiran Si Bungsu segera merekam kembali saat penangkapannya di Koto Baru. Betapa Mayor itu
memerintahkan mereka untuk keluar dari rumah Tabib tempat dia berobat.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 123
Kemudian ketika dia keluar bersama Kari Basa, Mayor itu menyuruh melemparkan samurainya ketanah.
Ketika samurainya telah dia lemparkan, dan telah dipungut oleh seorang Kempetai. Mayor itu maju. Kemudian
dengan tusukan jari-jari tangannya dia menghantam luka dibahunya. Dua kali. Dan dia jatuh ketanah dalam
sakit yang tak terkira. Dan saat itu dia lihat Datuk Penghulu melayang. Menendang Mayor itu" dan Datuk
Penghulu mati dicabik samurai Mayor tersebut. Dia ingat lagi semuanya itu. Ingat benar.
Kiranya Mayor itu masih hidup.
"Hei, kami ada oleh-oleh untukmu"." Kari Basa tiba-tiba ingat sesuatu.
"Salma, bawa kemari yang ayah suruh simpan kemarin"." Kari Basa berseru tanpa memberi kesempatan
pada Si Bungsu untuk bicara. Tak lama kemudian anak gadis Kari Basa itu muncul dengan sebuah kayu
ditangannya. Si Bungsu segera saja tertegak melihat oleh-oleh yang berada di tangan gadis itu.
"Samurai"." Katanya begitu dia mengenali benda itu sebagai samurai miliknya.
"Ya. Itu samurai milikmu?" kata Kari Basa.
"Ya. Ini milikku, dimana bapat dapat?"
"Bukan saya yang mendapatkannya. Dua malam yang lalu ada pejuang yang mencoba memasuki rumah
Akiyama. Maksudnya ingin membunuhnya. Sebab sudah banyak kekejaman yang dilakukan Akiyama di negeri
ini. Namun Akiyama tak dirumah. Yang ditemuinya hanya seorang Kopral. Kopral itu dibunuh. Dan di dinding,
dia melihat samurai ini. Dia segera mengenalinya sebagai samuari milikmu. Karena dia ikut dalam penjagaan
rapat di Birugo yang digerebek Jepang itu. Dia melihat engkau yang memakai samurai ini. Dia ambil, dan dia
berikan kepada kami?"
"Ah, terima kasih. Terima kasih?" Si Bungsu menerima dan mencabut samurainya. Melihat matanya.
Menjamahnya dengan ibu jari. Kemudian tanpa dia sadari matanya terpejam. Dan tiba-tiba tangannya
berkelabat. Amat cepat, dan samurai itu masuk kembali kesarangnya. Dan di meja, seekor lalat mati dengan
tubuh terbelah dua. Kari Basa menatap pada anaknya. Salma tegak terpaku melihat kecepatan anak muda itu.
"Ah"sudah lama sekali rasanya tak mempergunakan samurai. Saya harus berlatih lagi dari awal. Sudah
kaku sekali,,,," dia berkata sambil menimbang-nimbang samurainya.
"Lambat" Lihatlah, engkau berhasil membelah seekor lalat yang sedang terbang. Persis belah dua?" Kari
Basa menunjuk pada lalat yang terhantar di meja itu.
Si Bungsu tersenyum tipis.
"Hanya seekor" Bapak tahu berapa ekor yang ingin saya bunuh tadi" Ada empat ekor mereka terbang.
Dan ternyata hanya seekor yang kena. Dahulu keempatnya pasti mati. Tapi kini, lihatlah, saya sudah terlalu
lambat"." Dia berkata.
Kari Basa menggeleng-geleng. Takjub. Kagum.
Dan siang itu Si Bungsu memang mulai berlatih mempergunakan samurainya. Dia berlatih dihalaman
belakang. Mula-mula dia berlatih mencabut samurai itu. Sekali-dua, tiga kali, empat kali, sebelas".tiga puluh,
delapan puluh, seratus dua puluh. Dan peluh membasahi tubuhnya.
Tangan kananya yang mencabut samuari itu rasa kesemutan. Sebab kecepatannya mencabut samurai
sudah agak lumayan. Dia sadar sepenuhnya, dalam pertarungan dengan samurai kecepatan mencabut samurai
sangat menentukan. Apalagi kalau perkelahian dilakukan dalam jarak sejangkauan tangan.
Dan perkelahian antara pesilat-pesilat yang tangguh dan perkelahian satria, memang dilakukan dalam
jarak jangkau samurai. Namun tak kalah pentingnya dari kecepatan adalah faktor kecepatan. Cepat dalam mencabut samurai,
dan tepat dalam tekhnik menyerang. Itulah yang sempurna. Kecepatan saja tanpa ketepatan serangan, percuma
saja. Setelah samurai dicabut, lalu diapakan" Maka ketepatan yang menentukan.
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Makanlah, nasi telah saya letakkan?" tiba-tiba dia mendengar suara Salma. Dia mengambil handuk kecil
di jemuran. Kemudian melangkah ke bawah pohon jambu perawas.
"Apakah bapak sudah kembali?" tanyanya.
"Tidak. Bapak sudah berpesan, bahwa dia akan ke Tigo Baleh. Ada urusan di sana. Dan mungkin sampai
malam nanti dia tak kembali?"
Si Bungsu segera ingat bahwa malam nanti akan ada rapat di "tempat biasa" seperti yang dikatakan kurir
tadi pagi. Dia menatap pada Salma. Sebuah rencana muncul dikepalanya. Sebuah rencana lagi. Tapi harus dia
laksanakan. Yaitu sebelum dia pergi meninggalkan negeri ini menuju Jepang. Namun sebelum rencana itu
dilaksanakan, dia harus latihan dulu dengan baik.
"Salma, mau membantu saya ?"
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 124
Salma menatapnya. Kemudian tersenyum. Dan turun kehalaman belakang.
"Apa yang dapat saya perbuat ?"
"Tunggu sebentar?" dan Si Bungsu memanjat batang jambu perawas didekatnya. Mengambil putiknya.
Ketika dia tengah memetik putik buah perawas itu dia teringat belum minta izin. Dia menoleh lagi pada Salam.
"Boleh kuambil putiknya ini bukan ?" tanyanya. Salma hanya tersenyum.
"Boleh ndak?" tanyanya ragu melihat senyum gadis itu. Dia ragu dan berdebar melihat senyum Salma
yang memikat. Masih tetap tersenyum, gadis itu menjawab :
"Ambillah. Abang tinggal memilih mana yang abang suka untuk memetiknya?" Si Bungsu merasa
disindir. Tapi dia memetik terus.
"Tolong tampung di bawah?" katanya. Salam mengambil sebuah panci. Kemudian menampung putikputik perawas itu. Umumnya yang dipetik Si Bungsu adalah yang sebesar ibu jari. Cukup lama dia memetik.
Ketika sudah terkumpul sekitar seratus buah, dia baru turun. Salma jadi heran, untuk apa putik perawas
sebanyak ini oleh anak muda itu" Tapi keherannya dia simpan saja dihati.
"Nah, kini tetaplah tegak di sini, ambil dua buah kemudian lemparkan kearahku kuat-kuat. Mengerti?""
Salma mengangguk. Kini dia mengerti bahwa putik jambu itu akan dipergunakan sebagai alat untuk
latihan. Si Bungsu mengambil jarak sepuluh depa di depan Salma. Kemudian memandang pada gadis itu.
Samurainya dia pegang dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya tergantung lemas disisi tubuh. Dia
memusatkan konsentrasi. Menatap diam-diam pada Salma. Salma jadi gugup ditatap begitu. Kemudian
menunduk. "Hei, jangan menunduk!" Si Bungsu berseru. Salma jadi merah mukanya.
"Habis Uda tatap begitu terus-terusan. Saya jadi gugup?" katanya tersipu-sipu. Dan tiba-tiba Si Bungsu
pula yang jadi jengah. Namun dia kuat-kuatkan hatinya. Dengan muka yang juga bersemu merah, dia kembali
menatap Salma. Gadis itu juga menatapnya.
"Nah"siaplah. Engkau boleh melemparkan dua buah putik jambu itu bila saja engkau sukai. Dan jangan
berhenti. Lemparkan terus sekali dua buah. Mengerti ?"
Salma mengangguk. Dia ingin membantu anak muda ini. Membantu mengembalikan semangat dan
kepercayaan terhadap dirinya.
Dialah yang paling mengetahui, betapa anak muda ini kehilangan kepercayaan terhadap dirinya sejak
disiksa dalam terowongan itu. Dia mengetahui hal itu ketika merawatnya dibiliknya lebih dari sebulan. Dia
mendengar betapa anak muda ini merintih. Memekik. Mengeluh dan bahkan menggigil melihat jari-jari tangan
kirinya yang dipatahkan Jepang.
Dan ketika telah sembuh, dia melihat betapa setiap kali anak muda itu merenung. Menatap pada
tangannya. Mengepal-ngepalkan tangannya itu. Kemudian menggerak-gerakkannya. Kini nampaknya dia ingin
berlatih. Dan Salma berniat membantunya sekuat tenaga.
"Awas"!" gadis itu berteriak tiba-tiba sambil melemparkan dua buah putik perawas. Lemparannya
cukup cepat dan kuat. Si Bungsu terkejut, dan tangannya menggapai kehulu samurai. Tapi kedua putik perawas
itu telah mengenai tubuhnya sementara samurainya belum keluar sedikitpun!
Salma jadi kaget. Kenapa terlalu lamban anak muda itu"
"Uda, kenapa?" tanyanya sambil mendekat pada Si Bungsu. Si Bungsu menggeleng. Salma tegak disisinya.
"Kenapa. Tanganmu sakit lagi?"" tanyanya sambil memegang tangan Si Bungsu. Si Bungsu tambah
menunduk. Menarik nafas. Panjang, kemudian menatap pada Salma.
"Ya. Tidak hanya tangan, tapi tubuh saya juga terasa lumpuh?" katanya perlahan. Salma jadi pucat.
"Kenapa?"" bisiknya.
"Karena matamu.." jawab Si Bungsu. Salma membelalak. " Ya. Saya seperti lumpuh engkau tatap begitu
Salma". Dan tiba-tiba gadis itu menunduk. Hatinya berdebar kencang. Kakinya menggaris-garis tanah. Dan Si
Bungsu terkejut, ketika dilihatnya pipi gadis itu basah.
"Salma.." saya menyakitimu?"" Salma masih menggaris-garis tanah dengan ibu jari kakinya. Kemudian
menggeleng. "Lalu kenapa?" "Uda mempermainkan saya"." Jawabnya perlahan. Dia sebenarnya bahagia. Tapi sekaligus juga sedih.
Bukankah dalam mimpinya, dalam igaunya ketika sakit, dia dengar Si Bungsu puluhan kali menyebut nama
Mei-Mei" "Mempermainkan?" Sungguh mati, saya jadi gugup seperti lumpuh kau tatap seperti itu". Tapi maafkan
kalau ucapan saya itu menyinggung perasaanmu?"
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 125
Salma mengangkat kepala. Kemudian tersenyum. Betapapun dia harus membantu anak muda itu
mengembalikan kepercayaan dirinya.
"Tidak marah?" Tanya Si Bungsu. Salma menggeleng. Salma tersenyum. Si Bungsu menarik nafas. Si
Bungsu balas tersenyum. Kemudian Salma kembali ketempatnya, kesisi baskom yang berisi putik jambu di atas
meja kecil di bawah batang perawas.
"Kita mulai lagi?"" tanyanya.
"Ya, tapi jangan kau sihir dengan matamu. Tangan saya bisa tak bergerak?" jawab Si Bungsu bergurau.
Salma tertawa kecil. Tangannya mengambil dua buah putik perawas disampingnya. Kemudian tegak lurus.
"Siap..?" tanyanya.
Si Bungsu menarik nafas. Memusatkan perhatian kemudian mengangguk. Salma tak segera
melemparkan putik jambu itu. Ada beberapa saat dia berdiam, kemudia baru melemparkannya sekuat tenaga.
Samurai Si Bungsu berkelabat. Memancung kekiri dan kekanan. Kemudian samurainya masuk kembali
kesarangnya. Namun kedua putik jambu itu mengenai tubuhnya. Gagal! Salma menatapnya.
"Saya gagal?" kata Si Bungsu perlahan. Namun saat ini Salma sudah mengambil dua buah lagi putik
jambu dari dalam baskom. Dan ketika kata-kata "gagal" itu diucapkan Si Bungsu, Salma melemparkan putik
jambu tersebut. Jambu itu melayang cepat sekali. Si Bungsu tak sempat berfikir, dengan cepat mengandalkan
instingnya, tangannya bergerak. Mencabut samurai dan membabat ke depan.
Kena! Ya, sebuah dari putik-putik jambu itu kena. Meski tak tepat, tapi putik jambu itu sempat sumbing.
Mereka bertatapan lagi. "Sudah mulai sedikit"!" Salma berkata sambil mengambil lagi putik jambu tersebut. Dan tiba-tiba
melemparkannya kembali, Si Bungsu mencabut samurainya. Membabatkannya. Gagal! Dia gagal lagi.
Samurainya memang tercabut dengan cepat. Bahkan hampir-hampir tak terkejutkan oleh mata Salma.
Namun babatannya meleset. Demikian mereka ulangi berkali-kali. Sampai akhirnya Si Bungsu mulai biasa lagi.
Tangannya mulai melemas tidak kaku seperti awalnya. Beberapa kali, samurainya sempat membelah sebuah
putik jambu itu persis di tengah. Kemudian gagal lagi. Kemudian tepat lagi. Begitu silih berganti.
Tapi menjelang putik jambu itu habis dua pertiga, dia sudah bisa membelah dua putik jambu yang
dilemparkan Salma. Mereka hanya istirahat kalau tangan Salma atau tangan Si Bungsu sendiri sudah penat dan
pegal. Lalu mereka mengulangi lagi latihan itu.
Suatu saat, Salma berkata:
"Nah, itu ayah pulang?" Si Bungsu menoleh kebelakang, dan saat itulah Salma melemparkan kedua putik
jambu di tangannya ke arah Si Bungsu. Telinga Si Bungsu tajam mendengar sesuatu menuju ke arahnya. Dia
berpaling, dan saat itulah kedua putik jambu yang dilemparkan Salma menghantam dada dan kepalanya! Si
Bungsu tertegun. Dia kaget bukan main. Salma menarik nafas panjang.
"Uda tertipu, dan kurang waspada?" katanya perlahan. Si Bungsu mengangguk. Dia jadi kagum akan
kecerdasan gadis ini. "Terimakasih Salma. Engkau mengingatkan aku sesuatu"kini kita lanjutkan latihan dengan caramu itu,
engkau lelah?""
Salma menghapus peluh di wajahnya yang memerah seperti tomat. Kemudian menggeleng. Si Bungsu
membelakang kemudian berkata:
"Nah, untuk tahap pertama, engkau harus bersuara bila melemparkan putik jambu itu. Nanti kalau sudah
tebiasa, baru engkau lemparkan tanpa peringatan?"
"Awas"!!" Salma melemparkan putik jambu ditangannya tanpa memberi kesempatan jarak pada Si
Bungsu. Si Bungsu menajamkan pendengaran. Kemudian mencabut samurai dan berputar sambil menghayun
samurai ditangannya. "Tras! Tras! Tapi samurainya menerpa angin kosong! Salah satu diantara putik jambu itu mengenai
dadanya yang satu lagi terus ke belakang jatuh ke tanah.
"Gagal, kita teruskan?" katanya sambil berputar. Salma kali ini memberi kesempatan pada anak muda
itu untuk bernafas. Perlahan mengambil buah jambu di baskom. Kemudian dengan teriakkan "Awas" sekali lagi,
dia melemparkan putik jambu itu.
Si Bungsu mencabut samurai menanti sesaat kemudian berputar sambil menghayun samurainya. Kena!
Ya, kini satu diantara putik jambu itu kena persis pada pertengahannya.
Dan latihan itu mereka ulangi terus. Terus dan terus hingga Si Bungsu dengan tepat mengenai kedua
putik jambu yang dilemparkan disaat dia membelakangi itu.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 126
Hari-hari berikutnya Si Bungsu mencoba methode yang dulu pernah dia lakukan di Gunung Sago. Yaitu
mengendalikan pendengarannya sambil memicingkan mata. Dia duduk bersila di tanah kemudian
memejamkan mata. Dan Salma kembali melemparkan putik-putik jambu itu.
Seperti halnya setiap permulaan, pada awal-awalnya dia selalu gagal. Tetapi makin lama, tangannya
makin mahir. Dan pendengarannya makin terlatih. Dan kini kedua putik jambu itu senantiasa terbabat belah
dua!. Suatu saat Si Bungsu merasa ada lebih dari dua putik jambu yang menyerangnya. Dia membabat tiga
kali. Kena. Suatu saat empat, lima, enam. Dan dengan kecepat yang luar biasa, sambil tetap memicing dia
membabat terus. Dan kena!
Dan akhirnya dia mendengar tarikan nafas di kejauhan. Tak ada lagi putik jambu yang dilemparkan.
Lambat-lambat dia membuka mata. Dan dibawah pohon perawas sana, dia lihat Salma dengan tubuh berpeluh.
Gadis itu menatap padanya dengan tersenyum.
"Lelah?"" tanyanya sambil bangkit mendekati Salma.
"Penat dan kehabisan peluru"." Jawab Salma. Dan Si Bungsu melihat betapa panci di depan gadis itu
sudah kosong. Dia tersenyum.
"Bukan main, yang terakhir delapan buah sekali saya lemparkan. Lihatlah"semua kena" kata Salma.
"Lapan buah?" Si Bungsu kini balik bertanya dengan heran.
"Ya, delapan buah. Masa tak tahu..".
"Saya hanya merasa ada enam buah.."
"Ya, saya lihat hanya enam kali tebas. Tapi dengan enam kali tebas itu kedelapannya kena. Barangkali
ada yang sekali tebas dua buah?" Salma berkata perlahan. Matanya menatap ketempat Si Bungsu sejak tadi.
Dan disana, terdapat belahan-belahan putik jambu. Berserakan memenuhi halaman belakang rumah itu.
"Sudah merasa lega kini?" tanya Salma. Si Bungsu menatap dalam-dalam kemata gadis itu. Aneh, ada
suatu perasaan yang membuat hatinya jadi buncah dan tak tenteram. Perasaan yang membuat hatinya
berdebar. "Terimakasih Salma. Engkau telah bersusah payah. Merawat diriku, membantu mengembalikan
kepercayaan pada diriku. Membantu melatihku". Terimakasih, aku takkan melupakan budimu?" katanya
perlahan. Salma tersenyum, mukanya bersemu merah.
"Hari sudah sore. Tidak lapar?" tanyanya pda Si Bungsu. Si Bungsu sudah akan mengangguk, ketika
gelang-gelangnya berbunyi. Dia tersenyum malu, Salma juga tersenyum. Dan sore itu dia makan dengan lahap.
Makannya bertambuh-tambuh.
Hubungan antara keduanya berjalan makin akrab. Salma tak banyak bicara, namun tatapan matanya
yang gemerlap lebih banyak berucap. Dan suatu hari, dia menanyakan sesuatu yang sudah lama ingin dia
tanyakan pada Si Bungsu. Sesuatu yang membuat hatunya sebagai gadis yang pertama kalinya jatuh cinta jadi
luluh. Yaitu tentang perempuan lain, yang namanya selalu disebut Si Bungsu dalam igauannya ketika sakit dulu.
"Abang berkali-kali memanggil namanya"Mei-Mei!"tentulah dia seorang gadis yang cantik?" kata
Salma hari itu, sambil tangannya meneruskan sulamannya.
Si Bungsu tak segera menjawab. Salma menanti dengan berdebar. Sebagai perempuan, dia tak mau ada
perempuan lain dalam lelaki yang dia cintai. Tapi sebaliknya, dia tak pula mau merebut lelaki yang telah jadi
milik orang lain. "Ya" dia seorang yang cantik dan amat berbudi.." akhirnya Si Bungsu menjawab pelan. Salma merasa
jantungnya ditikam. Penjahit ditangannya terguncang, ibu jarinya tertusuk. Sakitnya bukan main, namun lebih
sakit lagi jantungnya. "Dia ada dikota ini?"" tanyanya dengan suara nyaris gemetar.
"Ada?" jawab Si Bungsu pelan.
Salma ingin meletakkan sulamannya. Ingin berlari ke kamar dan menangis disana. Tapi dia kuatkan
hatinya." "Kenapa tak uda bawa dia jalan-jalan kemari?" tambahnya. Dan dia jadi heran, kenapa mulutnya bisa
bicara begitu. Padahal hatinya menjerit luka.
"Dia tak mungkin datang kemari. Tapi saya ingin ketempatnya sore ini, kalau engkau mau aku ingin
membawamu kesana. Kau mau bukan?""
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 127
(30) Dan Salma mengangguk. Meskipun setelah itu dia ingin memotong kepalanya yang sudi saja
mengangguk. Padahal dia ingin menggeleng dengan keras agak sepuluh atau dua puluh kali.
Dan sore itu, mereka memang pergi ke sana. Ke "tempat" perempuan bernama Mei-Mei itu. Salam jadi
heran ketika Si Bungsu membawanya ke sebuah pemakaman kaum di Tarok. Pekuburan itu terletak dalam
palunan hutan bambu. Dan" disebuah pusara, Si Bungsu berhenti. Salma tegak disisinya.
"Mengapa kita kemari".?" Tanyanya pelan sambil menutupi kepalanya dengan kerudung.
"Engkau ingin mengenal Mei-mei bukan" Disinilah dia. Dalam pusara ini. Dia meninggal setelah
diperkosa bergantian oleh selusin tentara Jepang?"
Salma merasa tubuhnya menggigil. Dia berpegang ke tangan Si Bungsu. Dan Si Bungsu menceritakan
bagaimana dia bertemu dengan Mei-mei. Bagaimana penderitaan gadis itu semasa hidupnya. Dan dengan jujur
juga menceritakan bahwa mereka telah berniat menikah, namun maut lebih duluan menjangkaukan tangannya.
Salma menangis terisak-isak. Si Bungsu menunjukan pula tiga pusara lainnya. Masing-masing pusara
Datuk Penghulu, kusir bendi yang ternyata intel Republik itu. Kemudian pusara isteri Datuk itu dan pusara si
Upik, anak gadisnya yang meninggal malam itu ditangan kebiadaban tentara Jepang.
Lama mereka terdiam. Kemudian Salma membersihkan ke empat pusara itu bersama Si Bungsu. Gadis
itu mencari sepohon bunga kemboja. Mematahkan dahannya yang berbunga lebat, menancapkannya dipusara
Mei-mei. "Terimakasih Salma. Kau baik sekali?" kata Si Bungsu.
Salma menghapus air matanya. Si Bungsu memeluknya dalam tiupan angin sore yang semilir. Tak ada
ucapan yang keluar. Namun Salma merasakan pelukan itu alangkah membahagiakan. Kukuh dan tenteram. Dia
ingin berada disana, dalam pelukan yang membuat hatinya berbunga itu untuk selama hidupnya.
-000Suatu hari, ketika dia kembali duduk di beranda depan, dia melihat dan mendengar derap sepatu tentara.
"Salma?" katanya memanggil ketika melihat enam orang serdadu Jepang lewat di depan rumah dengan
bedil ditangan. Salma datang ke beranda depan.
"Mereka selalu lewat di jalan-jalan kota sejak kemerdekaan?"
"Ya, mereka mengadakan patroli. Setiap hari mereka patroli tiga kali. Mengitari kota. Memasuki jalanjalan kecil. Dan setiap regu patroli terdiri dari enam orang. Begitu terus tiap hari?"
Si Bungsu mengangguk-ngangguk. Dan dia berpikir lagi tentang rencananya beberapa hari yang lalu.
Rencana yang disusun untuk membuat sebuah pembalasan. Rencana gila, tapi dia berniat untuk
melaksanakannya. "Kalau bapak pulang, katakan saya pergi jalan-jalan?" Si Bungsu berkata sambil mengambil samurainya.
Salma jadi tertegun. Ada firasat tak enak menyelusup dihatinya. Katakanlah semacam rasa cemas. Dia ingin
mencegah anak muda itu untuk tak pergi. Tapi dia yakin, anak muda itu tak tercegah.
"Uda?" hanya itu yang mampu diucapkan ketika Si Bungsu sudah sampai di jenjang. Si Bungsu berhenti,
menoleh kebelakang. Gadis itu menatapnya dengan sinar mata yang sulit untuk diartikan. Lembut dan dalam.
Seperti teluk yang damai dimana kapal-kapal berlabuh.
"Hati-hatilah?" Akhirnya ucapan itulah yang terlontar dari bibirnya. Namun dari matanya banyak sekali
ucapan yang tersirat. Si Bungsu menaiki lagi anak tangga yang dia turuni sebanyak dua buah. Dia pegang tangan
Salma, menggenggamnya. "Terima kasih Salma?" kemudian dia berbalik, buru-buru menyusul serdadu Jepang tadi. Salma
menatapnya hingga lenyap dibalik tikungan.
Keenam serdadu Jepang itu sudah memutari separo kota Bukittinggi. Regu patroli jalan kaki itu dipimpin
oleh seorang Syo Cho (Sersan Mayor). Keenam mereka tak seorangpun yang memakai samurai. Syo Cho
memakai pistol dipinggangnya. Sementara lima orang lagi, yang terdiri serdadu-serdadu berpangkat Itto Hei
(Prajurit Satu) tiga orang dan berpangkat Djo to Hei (Prajurit Kepala) satu orang. Satu orang lagi adalah wakil
komandan dengan pangkat Hei Cho (Kopral). Kelima mereka memakai bedil panjang lengkap dengan sangkur
terhunus diujung bedilnya.
Mereka tengah lewat di dekat penghentian bendi tak jauh dari jenjang gantung yang melintasi jalan, yang
menghubungkan pasar teleng dengan pasar bawah, ketika tiba-tiba saja seorang anak muda menghadang
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 128
mereka. Syo Cho yang memimpin regu itu jadi gusar melihat anak muda yang tegak bertolak pinggang di
depannya. Dengan tangan kananya ia dorong anak muda itu. Sebenarnya, kalau saja mereka tidak kalah perang
dengan Sekutu, anak muda ini barangkali telah dia tampar. Atau dia tangkap dan diseret ke markas.
Tapi kini situasi sudah berbeda jauh. Mereka adalah tentara yang kalah. Makanya mereka cukup hatihati.
"Minggir.." katanya sambil mendorong. Namun saat itulah yang ditunggu anak muda yang tak lain dari
pada Si Bungsu, samurainya bekerja dan tangan yang mendorongnya tiba-tiba dibabat putus hingga kebatas
siku! Syo Cho itu memekik. Kelima anggota regunya terkejut dan siap untuk mengadakan pembalasan. Namun
keadaan sudah diperhitungkan Si Bungsu. Dia sudah mengira, bahwa rencananya itu rencana gila. Tapi dia
merasa kasihan pada pejuang-pejuang yang selalu kalah dalam tiap penyergapan di luar kota.
Begitu tangan Sersan Mayor itu putus, dia menyergap tubuhnya dari belakang. Kemudian seperti dia
mengancam Mayor Akiyama di Birugo dahulu, begitu pulalah yang dia perbuat kini. Sersan itu dia ancam
dengan melekatkan mata samurainya kelehernya.
"Letakkan seluruh bedil kalian di tanah, kalau tidak saya sembelih komandan kalian ini. Lekas!" Si
Bungsu menghardik. Kelima serdadu itu tersurut. Mereka jadi ngeri melihat darah yang menyembur dari
tangan Sersan yang putus itu. Sersan itu memekik dalam bahasa Jepang agar anak buahnya meletakkan bedil.
Dan keenam serdadu itu segera menyadari, bahwa yang menghadang mereka itu adalah Si Bungsu. Anak
muda yang ditakuti itu. Yang telah lolos dari tahanan di dalam terowongan dahulu. Menyadari bahwa yang
mencegatnya adalah Si Bungsu, keenam mereka benar-benar tak mampu berkutik.
Dan kelima serdadu itu mencampakkan bedil mereka ke tanah. Meski hari itu bukan hari balai, bukan
Sabtu dan Rabu, namun orang tetap ramai kepasar. Dan dalam waktu sebentar saja, tempat itu telah
dikerumuni orang. Penduduk melihat makin lama makain ramai dari kejauhan.
"Kalian tanggalkan pakaian kalian semua. Cepaaat!!" Si Bungsu berteriak lagi. Dan tanpa menunggu
perintah kedua, mereka berlomba menanggalkan baju dan celana dinasnya.
"Nah, kini dengarkan baik-baik. Katakanlah pada Letnan Kolonel Akiyama bahwa Si Bungsu mencarinya.
Pergilah cepat!"
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Berkata begini, dia mendorong tubuh Sersan Mayor yang dia ringkus tadi. Sersan Mayor itu terjajar.
Kemudian melangkah menjauh.
"Pergilah sebelum saya berobah niat?" kata Si Bungsu. Yang lima mundur menjauh, Sersan itu juga.
Namun si Sersan kini mempunyai niat lain. Si Bungsu ternyata lupa melucuti senjata pistol dipinggangnya. Kini
jarak mereka ada sepuluh depa. Bukankah samurai Si Bungsu tak berdaya dalam jarak begitu" Dia pasti bisa
menghajar anak muda itu. Maka dengan perhitungan begini, tiba-tiba tangan kirinya mencabut pistol dipinggang.
"Bagero! Bungsu jahanam, kubunuh kau!" teriaknya begitu pistolnya keluar dari sarangnya. Dan kelima
serdadu Jepang yang lain pada berhenti.
Mata Si Bungsu tiba-tibamenyipit.
Sepuluh depa! Dia perhitungkan jarak itu. Berapa kalikah dia harus bergulingan maka sampai ke Jepang
yang pontong tangannya itu" Atau dia lemparkan sajakah samurainya dari sini" Peluru pistol itu pasti lebih
cepat. Perhitungan ini diambil dalam waktu yang hanya dua detik. Sebab pistol itu sudah akan diangkat untuk
ditembakkan. Penduduk pada terpekik dan mundur. Dan saat itulah tubuh Si Bungsu bergulingan di tanah.
Lompat tupai! Tiga kali, empat kali bergulingan tiba-tiba dia dengar letusan. Kakinya terasa panas, luka! Saat itulah dia
bangkit. Sebuah letusan lagi, dan rusuknya terasa pedih. Luka! Jaraknya masih empat depa. Samurainya tibatiba keluar dan melayang! Creep!!
Lemparannya tepat mengenai jantung Sersan Mayor itu. Tertancap hingga kehulunya dan tembus
terjulur panjang dibahagian punggung. Sersan itu berusaha menarik pelatuk pistolnya. Namun tubuhnya
terkulai tiba-tiba. Jatuh, dan mati!
Si Bungsu cepat memburu, menyentakkan samurai itu dan menatap lima Jepang yang hanya bercelana
kolor di depannya. Kelima Jepang itu tiba-tiba balik kanan dan ambil langkah seribu! Lari.
"Jangan lupa sampaikan pada Akiyama, saya mencarinya!! Si Bungsu berteriak.
Dua orang tentara Jepang saking takutnya sambil berlari itu lalu mengiyakan. Angguk ketakutan.
Si Bungsu melihat kaki dan rusuknya yang pedih tadi. Hanya luka tergores. Tak Parah. Meski darah
mengalir cukup banyak. Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 129
"Jika ada diantara kalian pejuang bawah tanah, ambillah bedil ini dan pergi cepat sebelum Jepang tiba"."
Dia berkata. Sunyi sejenak.
Dan tiba-tiba saja empat lelaki berkain sarung dibahunya muncul ketengah. Mengambil senjata-senjata
dan pakaian yang ditinggalkan Jepang itu. Mereka menatap sejenak pada Si Bungsu.
"Kami sudah banyak mendengar tentang nama besarmu anak muda. Dan hari ini kami lihat betapa nama
besarmu itu tidak kosong semata. Terimakasih atas bantuanmu. Tuhan akan selalu melindungimu".." salah
seorang dari yang barkain dan bersebo yang berkumis dan bertubuh kekar berkata. Dan sehabis berkata begini,
keempat mereka hilang diantara palunan manusia. Menyelinap dibalik-balik rumah. Dan lenyap entah kemana.
"Kalian menghindarlah dari sini, jangan sampai didapati Kempetai nanti"." Si Bungsu memberi ingat
pada penduduk sambil berjalan cepat-cepat.
Pendudukpun pada bertebaran menghindarkan diri. Namun beberapa orang masih tegak disana
menatap pada Sersan yang mati itu. Dan saat itulah selusin lebih Kempetai telah mengepung tempat tersebut.
Ada enam orang lelaki, dan tiga orang perempuan yang tak sempat menghindarkan diri. Yang masih
terlongo-longo menatap mayat Sersan itu ketika Kempetai datang. Semua mereka ditangkap untuk
pemeriksaan dan menanyakan kemana Si Bungsu dan siapa yang mengambil bedil yang ditinggalkan tadi.
Kalau saja mereka mengikuti petunjuk Si Bungsu agar menghindar cepat dari sana, maka mereka
tentulah tak usah dapat kesusahan ditangkap Kempetai. Tapi mereka tak dapat pula disalahkan sepenuhnya.
"Pertunjukkan" seperti yang baru saja mereka lihat, dimana seorang pemuda Indonesia melawan dan
menelanjangi tentara Jepang, seorang lawan enam orang, dan pemuda Indonesia yang seorang itu menang pula,
benar-benar belum pernah bersua dalam hidup mereka.
Bahkan mungkin takkan pernah lagi mereka menemuinya. Mereka sudah banyak mendengar dari mulut
ke mulut, bahwa ada seorang anak muda yang bernama Si Bungsu, yang berasal dari Payakumbuh, dari kakai
gunung Sago, yang selalu berhasil membunuhi Jepang.
Diam-diam, nama anak muda itu menjadi macam tokoh dongeng dan legenda kehidupan mereka. Kaum
lelaki dan perempuan, tua dan muda, menganggap anak muda itu sebagai suatu tokoh pahlawan yang hanya
hidup dalam zaman dongeng.
Namun tiba-tiba saja, hari ini pahlawan dongeng mereka itu muncul. Dan kemunculannya tidak hanya
sambil lenggang kangkung. Dia muncul lengkap dengan kemahirannya melucuti dan membunuh Jepang dengan
samurainya. Dia muncul lengkap dengan kehebatannya memainkan samurai. Suatu kemunculan yang komplit
seperti didalam dongeng yang mereka dengan selama ini.
Memang tak dapat disalahkan penduduk yang masih tetap tinggal ditempat kejadian itu. Barangkali
mereka tak merasa rugi telah ditangkap Kempetai. Malah bila telah bebas, meski kena tampar sebelas dua belas
kali, kepada teman dan kenalan, kepada sanak famili, kepada anak cucu, mereka bisa menepuk dada. Bercerita
tentang kehebatan Si Bungsu. Bercerita bahwa mereka ikut dalam "aksi" membunuh dan menelanjangi enam
orang Jepang di dekat jembatan gantung itu bersama Si Bungsu. Bersama Si Bungsu!
Hm, bayangkan kebanggan yang akan mereka perdapat.
Demikian selalu rakyat kecil. Harapannya tak pula besar. Kecil saja, sekecil kehidupan mereka. Bagi
mereka, kebanggaan-kebanggan bertegur sapa atau berdekatan dengan tokoh yang dikagumi, sudah
meruapakan suatu kebahagian. Dan itu mereka perdapat hari ini.
Peristiwa di dekat jembatan gantung itu segera menyebar seperti menelan lalang. Bersambung dari satu
mulut ke mulut yang lain. Makin lama, kehebatan peritiwa itu makin menjadi-jadi. Ada yang bercerita bahwa
pakaian kelima serdadu Jepang itu tanggal hanya karena bentakkan Si Bungsu.
Artinya, bentakkan Si Bungsu mengandung tenaga dalam yang tangguh. Ada pula yang menceritakan
bahwa dia melihat benar dengan mata kepala sendiri, betapa Si Bungsu tetap saja tegak ketika ditembak
belasan kali oleh Kempetai-Kempetai itu. Setelah peluru pistol Kempetai itu habis barulah Si Bungsu beraksi
dengan samurainya. Bukan main hebatnya cerita itu bertebar dan bersambung dari mulut ke mulut. Yang
sejengkal jadi sedepa. Namun begitulah selalu rakyat kecil. Jika mereka tidak mampu memperoleh yang besar-besar, bahkan
memperoleh yang kecil sekalipun susah, maka mereka cukup merasa puas dengan hanya menceritakan sesuatu
yang besar. Atau sekurang-kurangnya membesar-besarkan peritiwa kecil. Bukankah itu termasuk juga
suatu"pekerjaan" yang besar"
Letnan Kolonel Akiyama mencak-mencak saking berangnya mendengar laporan kelima serdadu yang
ditelanjangi itu. Mukanya merah padam. Persis udang yang dibakar hidup-hidup. Kelima serdadu yang hanya
bercelana kotok itu dia biarkan terus bercelana kotok. Tak dia biarkan memakai pakaian.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 130
"Goblok! Pandir! Kalian tak punya otak. Tak mampu melawan seorang anak ingusan yang hanya pakai
samurai. Sialan" dan tangannya bekerja menampari kelima orang serdadunya itu. Puak"puak-puak"pak!
Berkatintam tangannya mendarat datar di pipi, kepala dan tengkuk kelima serdadu itu.
(31) Kelima serdadu itu hanya dapat tegak dengan diam dan sikap sempurna. Masih untung mereka ditampar
disana dan dibiarkan berserawa kotok. Bagaimana kalau mereka diseret ketahanan kemudian disiksa" Cukup
banyak serdadu Jepang yang mengalami siksaan dibawah perintah Letnan Kolonel ini. Dia memang arsitek
bidang siksa menyiksa. Tapi tiba-tiba Letnan Kolonel itu jadi terdiam pula. Dia ingat kembali kata-katanya barusan. "Goblok,
pandir, beruk. Kalian tak punya otak, tak mampu melawan anak ingusan yang hanya pakai samurai. Sialan"
begitu ucapan makiannya sebentar ini. Dan dia jadi terdiam tertegak seperti patung justru mengingat kejadian
di Birugo dahulu. Bukankah dia juga dibuat tak berkutik oleh ancaman samurai anak muda itu"
Bahkan waktu itu dia justru punya kekuatan jauh lebih besar. Dia membawa hampir tiga puluh orang
serdadu. Tapi dengan kekuatan begitu, dia justru berhasil direndam anak muda itu dalam tebat. Bahkan Letnan
Atto, ajudannya mati dibabat anak muda itu di depan matanya! Dia terdiam karena merasa malu. Dia baru saja
memaki anak buahnya. Bukankah itu juga berarti memaki dirinya sendiri"
"Jahanam. Pergi kalian dari hadapanku! Bagero, beruk semuaa!" dia membentak sambil menendangi
pantat anak buahnya yang lima orang itu. Ada yang terpancar kentutnya kena tendangan itu. Selagi ada
kesempatan, ketika diusir itu lebih cepat menghindar lebih baik pikir mereka.
Dan kini tinggallah Overste itu sendiri. Terengah-engah dengan muka sebentar pucat sebentar merah. Si
Bungsu sudah keterlaluan. Sudah melumuri kepala botakku dengan cirit, pikirnya. Dengan menelanjangi
tentara Jepang dimuka orang ramai, membunuh komandan regunya, kemudian berpesan pula agar
menyampaikan ancaman pada Akiyama, bukankah itu sebuah tantangan yang tak alang kepalang.
Oh Budha, kalau saja bom atom tak meledak di Nagasaki dan Hirosyima, kalau saja Jepang tak bertekuk
lutut pada Sekutu, dia pasti sudah menyuruh menangangkapi semua orang di Bukittinggi ini. Menangkapi
mereka sambil memaksa buka mulut untuk menunjukkan dimana Si Bungsu sembunyi. Anak setan itu pasti
dalam kota ini. Pasti, tapi dimana"
Malangnya Jepang telah menyerah. Jadi kekuatan mereka tak begitu berarti lagi. Mereka harus banyak
menekan perasaan. Tapi Akiyama bersumpah, dia harus menangkap dan membunuh Si Bungsu jahanam itu.
Harus! Sebaliknya Si Bungsu juga bersumpah pada dirinya untuk menuntut balas pada Akiyama. Masih ingat
dia betapa Letnan Kolonel itu, semasa dia masih berpangkat Mayor, menghantam luka dibahunya. Lukanya dia
tusuk dengan keempat jarinya sehingga jebol ke dalam. Bukan main sakitnya.
Tapi yang paling sakit perasaannya adalah ketika dia ketahui bahwa Datuk Penghulu mati dihantam
samurai Akiyama. Inilah dendam yang harus dia balaskan. Membalas kematian Datuk Penghulu.
Dan akhirnya kedua musuh bebuyutan yang saling membenci ini bertemu muka. Mereka bertemu dalam
saat-saat yang menguntungkan bagi posisi Si Bungsu. Waktu itu ada suatu upacara dimana selain bala tentara
Jepang, juga hadir anggota-anggota pejuang Indonesia dan anggota Gyugun.
Tentara Jepang yang hadir sekitar satu kompi (seratus orang). Pihak pejuang-pejuang Indonesia agak
kurang, namun sudah mempunyai senjata agak komplit.
Upacara itu berlangsung di depan asrama militer Birugo. Ada lapangan luas di depan markas itu. Upacara
dipimpin langsung oleh Mayor Jenderal Fujiyama.
Ketika upacara itu selesai, pasukan Indonesia sudah siap-siap untuk meninggalkan lapangan upacara.
Demikian pula pasukan Jepang siap untuk kembali ke markas mereka yang terletak di belakang lapangan
upcara itu. Saat itulah Akiyama tiba-tiba melihat seorang anak muda di antara puluhan penduduk sipil yang
tegak di tepi lapangan melihat jalannya upacara itu.
"Bungsu!!!" dia berseru dari tempat tegaknya. Semua orang terkejut. Termasuk Jenderal Fujiyama.
Akiyama saat itu tengah bertindak sebagai Komandan Upacara. Dia masih tegak dititik putih tengah lapangan
ketika dia menyebut nama Si Bungsu.
Setiap tentara Jepang, setiap anggota Gyugun mengenal nama itu dengan baik. Makanya tentara yang
sudah siap-siap untuk meninggalkan lapangan itu, segera tegak kembali ditempatnya. Jenderal Fujiyama
sendiri juga tertegak di atas podium kehormatan. Demikian pula perwira-perwira Jepang lainnya.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 131
Penduduk yang tegak diarah mana Akiyama menoleh pada surut dengan takut. Dan kini tinggalah disana
seorang anak muda. Memakai pantalon biasa. Memakai baju gunting cina dan sebuah tongkat di tangannya.
"Ya, sayalah ini, Akiyama"." Anak muda itu berkata perlahan. Seruan-seruan tertahan terdengar dari
mulut para serdadu Jepang. Sementara anggota-anggoat Heiho, Gyugun, para pejuang lainnya dan penduduk
pada berbisik. "Akhirnya kau kudapatkan Bungsu?" Akiyama berseru lagi.
"Ya, saya memang datang untuk mencarimu"." Si Bungsu tak kalah gertak. Dan sebelum Akiyama
mempergunakan kekuasaannya untuk memerintahkan menangkap dirinya, Si Bungsu cepat-cepat berkata
dengan lantang. "Sebagai seorang Samurai, saya tantang anda untuk bertarung sampai mati. Bertarung secara kesatria
dihadapan semua yang hadir sebagai saksi. Itu kalau anda memang benar-benar seorang Samurai Sejati!"
suaranya lantang. Bergema diudara yang begitu panas. Muka Akiyama jadi merah.
"Seluruh tentara Jepang jadi saksi untuk tuan. Seluruh tentara Indonesia menjadi saksi untuk saya?" Si
Bungsu berkata lagi. Suasana sepi.
Tiba-tiba Letnan Kolonel itu menghadap pada Jenderal Fujiyama kemudian melangkah mendekatinya.
Pada jarak empat depa dia berhenti. Kemudian memberi hormat dengan sikap gagah. Lalu bicara dalam bahasa
Jepang, Fujiyama kelihatan mengangguk-ngangguk. Kemudian Akiyama memberi hormat lagi. Kali ini Jenderal
Fujiyama memutar tegak menghadap Si Bungsu. Lalu terdengar suaranya bergema :
"Saya sudah lama mendengar namamu anak muda. Hari ini engkau menantang saya. Bagi samurai Jepang
adalah suatu kehormatan tertinggi untuk menerima tantangan berkelahi dengan Samurai melawan musuh.
Namun untuk engkau ketahui, baru kali ini terjadi dalam sejarah kemiliteran Jepang, ada seorang asing yang
menantang seorang Jepang untuk bertarung dengan pedang Samurai. Saya telah mendengar permintaanmu,
kemudian mendengar penjelasan Akiyama. Dia bersedia melayanimu. Dan saya merestuinya. Akiyama adalah
seorang perwira kami yang sangat mahir dengan samurainya. Saya sangat menyesalkan kalau engkau sampai
mati ditangannya. Baik, saya jadi saksi, berikut seluruh tentara Jepang. Dan segenap pejuang-pejuang Indonesia
serta masyarakat umum yang ada saat ini jadi saksi untukmu. Saya menjamin kebebasan bagimu, andainya
engkau menang. Engkau boleh pergi kemana engkau suka, jika engkau keluar dengan selamat dalam
pertarungan ini. Bagi kami, tantanganmu adalah suatu kehormatan, dan bila engkau menang adalah menjadi
kehormatan pula bagi kami untuk membiarkan engkau bebas, Bersiaplah!"
Pasukan Jepang dan Heiho serta pejuang-pejuang Indonesia itu segara saja membentuk sebuah
lingkaran yang besar. Perlahan-lahan Si Bungsu memasuki lingkaran besar itu dan lingkaran itu menutup di
belakangnya. Akiyama membuka pistolnya memberikannya pada ajudannya. Membuka penpels air dipinggang, topi
waja dikepala, dan ransel di punggung. Semua yang memberatkannya untuk bergerak leluasa ini dia lucuti dan
dia serahkan pada ajudan yang meletakkannya ke pinggir.
Akhirnya dipinggangnya hanya ada samurai yang tergantung di pinggang kanan, seperti telah
diceritakan terdahulu, ketika dia menyergap rapat di Birugo, dia adalah seorang yang kidal dalam
mempergunakan pedang samurainya.
Tapi Akiyama belum merasa cukup dengan menanggalkan benda-benda yang bergayut ditubuhnya itu.
Dia membuka bajunya dan kini dengan dada telanjang, yang meperlihatkan tubuh yang kekar, dia tegak
menghadap Si Bungsu. Jenderal Fujiyama diambilkan tempat duduknya. Dia duduk dengan perwira-perwira di belakangnya.
Kini kedua orang itu tegak berhadapan dalam jarak lima depa. Rambut Si Bungsu yang agak gondrong,
berkibar-kibar ditiup angin yang berhembus dari kaki gunung Merapi. Sementara kepala Akiyama yang botak
licin, berkilat ditimpa cahaya matahari pagi.
Akiyama berlutu ditanah. Menghadap pada Jenderal Fujiyama. Menghormati dengan membungkuk
dalam kebumi sampai tiga kali. Lalu berputar menghadap Si Bungsu. Masih dalam keadaan berlutut, dia
membungkuk memberi hormat. Si Bungsu kaget dan buru-buru membalas penghormatan itu dengan
merangkapkan kedua telapak tangannya dan meletakkan di depan wajah. Penghormatan silat seperti yang
pernah ia lihat almarhum ayahnya lakukan.
Akiyama nampaknya menjalankan semacam sembahyang dan doa akhir. Mulutnya berkomat-kamit.
Ketika tegak, seorang serdadu masuk ketengah membawa selembar kain hitam. Memberikannya kepada
Akiyama. Dan Akiyama menerimanya, lalu mengebatkannya di kepala.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 132
"Banzaaaaii!" tiba-tiba terdengar pekik gemuruh para serdadu Jepang. Demikian gemuruhnya, hingga
seluruh yang hadir, anggota-anggota Heiho, pejuang-pejuang, penduduk pada terkejut. Tak terkecuali Si
Bungsu. "Dia siap bertarung sampai mati. Pekikan Banzaaii itu adalah pekikan akhir seorang tentara Jepang yang
siap menghadapi maut?" seorang perwira Heiho berbisik pada temannya.
Dan memang demikian keadaannya. Akiyama memang bernita bertarung habis-habisan. Sebab kalau
sampai dia sampai kalah, maka jalan yang akan dia tempuh kalau tidak mati yaitu harakiri. Bunuh diri! Dia tak
mau menanggung malu. Tapi jauh lebih terhormat lagi kalau dia berhasil memenangkan perkelahian ini.
Dia memang seorang pendekar samurai kidal yang jarang tandingannya. Kalau ada tandingannya
diantara perwira Jepang, maka orangnya adalah Saburo Matsuyama. Saburo termasuk pelatihnya
mempergunakan samurai ketika diketentaraan. Kini Saburo sudah pulang ke Jepang.
Namun demikian, meski dia seorang yang amat andal dalam mempergunakan samurai, kali ini dia tak
berani main-main. Yang dia hadapi adalah Si Bungsu. Dan dia telah merasakan sendiri kehebatan anak muda
ini di Birugo dahulu. Masih dia ingat dengan jelas betapa anak muda ini bergulingan di tanah kemudian ketika
dia mencabut samurai, samurai anak muda ini menghantam samurainya, dan tangannya kesemutan. Dan
samurainya terlempar ke tanah. Dan anak muda ini meringkus dirinya dan mengancam lehernya dengan
samurai! Tindakan itu masih dia ingat. Masih dia ingat dengan jelas kehebatan Si Bungsu itu. Makanya kini dia tak
sedikitpun berani pandang enteng. Berlainan sekali halnya dengan Si Bungsu. Kalau Akiyama mengetahui
dengan pasti keadaan dirinya, maka Si Bungsu tak mengetahui keadaan diri Akiyama. Dia tidak tahu dimana
letak kemahiran Akiyama. Yang dia tahu, seperti dikatakan Jenderal Fujiyama, Akiyama ini seorang yang mahir. Itulah semua yang
diketahui. Akiyama tiba-tiba menghunus samurainya. Memegang hulu samurai itu erat-erat. Tangan yang kanan
pada bahagian bawah yaitu pada bahagian keujung gagang samurai, dan tangan kiri pada bahagian atas. Yaitu
pada bahagian yang dekat ke mata samurai.
Kaki Akiyama terpentang selebar bahu. Dia mengambil kuda-kuda Haisoku Dachi. Yaitu kaki
mengangkang selebar bahu. Lau lambat-lambat lututnya ditekik. Dan tubuhnya turun sedikit. Kuda-kudanya
kini bertukar jadi Kiba Dachi yaitu sebuah kuda-kuda tangguh dalam sikap menanti serangan.
Si Bungsu mencabut samurainya pula. Dia tegak sebagaimana adanya. Kini semua mata menatap pada
anak muda yang dianggap luar biasa ini. Para perwira Jepang pada berbisik ketika dia mencabut samurainya
dan mereka menatap dengan dia ketika melihat betapa kaki anak muda itu tegak seenaknya saja. Tak ada dasardasar seorang samurai pada sikap awalnya.
Akiyama memindahkan kaki kirinya kedepan dengan ketat menekukkan kedua lututnya. Kuda-kudanya
kini beralih menjadi kuda-kuda Neko Ashi Dashi. Kuda-kuda yang siap menerima serangan dan siap untuk
menyerang dengan cepat. Kakinya bergeser perlahan di atas rumput lapangan.
Si Bungsu masih tegak dengan diam. Namun hatinya tidak diam. Dia bicara dalam hatinya berdoa pada
Tuhan. Bicara pada almarhum ayahnya.
"Kuserahkan diriku padaMu Tuhan. Dan kuharapkan doamu dari alam barzah"ayah dan ibu. Kalau
dingin perutmu mengandungku dulu ibu, maka Tuhan akan menyelamatkan diriku dari maut ini. Kalau tidak,
maka disinilah ajalku. Aku masih ingin menuntutkan balas dendam kalian. Mencari Saburo Matsuyama jika aku
keluar dari pertarungan ini dengan selamat. Membalaskan nista yang telah dia buat untuk keluarga kita?"
(32) Pada saat itulah Akiyama menyerangnya. Babatan pertama didengar Si Bungsu suitan anginnya. Dia
menangkis! Tapi inilah kesalahannya. Tangkisannya justru mendatangkan bencana. Akiyama benar-benar
seorang yang tangguh. Kini dia menyerang dengan segenap konsentrasi dengan dukungan moril yang tak
tanggung-tanggung dari komandan dan teman-temannya.
Begitu samurai mereka beradu, begitu tangan Si Bungsu terasa pedih pada telapaknya yang memegang
hulu samurai itu. Namun dia masih menangkis serangan kedua. Dan kali ini tak tertahankan lagi, samurainya
terpental ke udara! Dan babatan berikutnya datang! Si Bungsu terkejut, namun dia segera ingat lompat tupai! Tapi tak urung
bahunya dirobek samurai begitu dia akan membungkuk.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 133
Dia bergulingan empat kali ke belakang. Dan saat itu telinganya menangkap bunyi sesuatu yang
meluncur turun. Dan crepp! Samurainya menancap sehasta disampingnya. Dia sambar dengan cepat, dan kini
dia tegak! Semua orang, tak terkecuali satupun, termasuk Fujiyama pada menarik nafas. Lalu tepuk tangan pecah
dengan gemuruh. Mereka melihat sesuatu pertarungan yang bukan main. Namun beberapa pejuang Indonesia,
yang pernah melihat makan tangan anak muda ini jadi kaget. Kenapa Si Bungsu begitu lamban dan sempat
terluka"
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Darah merah memang mengalir membasahi baju gunting cina Si Bungsu dipunggungnya. Namun luka
itu tak begitu menyakitinya. Hanya luka sayatan yang agak dalam.
Akiyama menarik nafas panjang. Menahannya pada rongga dada. Mengeluarkannya sedikit sekali
dengan bunyi yang ganjil. Kemudian menarik nafas lagi panjang-panjang lalu menahannya. Mukanya merah.
Dan dia maju lagi dalam kuda-kuda yang mantap.
Si Bungsu memutar tegak. Dia melangkah dengan langkah biasa saja. Dan tentara-tentara Jepang takjub
dan heran atas langkah yang tak menurut semestinya itu.
Tak ada yang berani bersuara. Semua pada terdiam. Si Bungsu masih melangkah melingkar. Dan
Akiyama seperti memburunya. Dan tiba-tiba kembali Akiyama menyerang. Kali ini Si Bungsu tak berani
menangkis dengan samurainya. Dia juga balas menyerang sambil mengelak.
Tapi lagi-lagi dia terlambat! Sebuah sabetan melukai dadanya. Kali ini tidak hanya sekedar luka goresan.
Tapi benar-benar luka yang dalam. Baju dan kulitnya menganga. Darah mengucur. Beberapa penduduk pada
terpekik. Para anggota Heiho, Gyugun dan pejuang pejuang-lainnya diam-diam pada berdoa untuk keselamatan
anak muda ini. Beberapa orang diantara mereka justru ada yang menitikkan air mata.
Tapi Si Bungsu masih tegak. Dua jurus berlalu sejak serangan pertama. Rasa sakit dan pedih terasa
mencucuk. Dan tiba-tiba Si Bungsu ingat lagi betapa Akiyama menghantam luka dibahunya ketika dia
tertangkap di Koto Baru dahulu. Dan dia teringat betapa sambil duduk Akiyama menghantam perut Datuk
Penghulu sampai belah dan putus ususnya.
Dia teringat latihannya beberapa hari yang lalu dibelakang rumah Salma. Betapa gadis itu melemparnya
dengan delapan putik jambu sementara matanya terpejam. Konsentrasi! Bukankah itu yang tak dia lakukan"
Bukankah selama ini dia mengandalkan kecepatan dan pendengarannya yang amat terlatih" Bukankah Salma
telah menunjukkan hal itu padanya beberapa hari yang lalu"
Dan tiba-tiba Si Bungsu mengatur pernafasan. Menggertakkan gigi. Dan tiba-tiba dia duduk bersila di
tanah. Duduk membelakangi Akiyama. Dan duduk memejamkan mata! Memusatkan konsentrasi dengan
samurai yang berada dalam sarungnya dan terpegang ditangan kiri!
Akiyama tak mau tertipu. Meski orang yang melihat jadi kaget dengan sikap anak muda ini. Apakah anak
muda ini telah menyerah" Tak mungkin. Sebab sudah ada dalam peraturan, bahwa seorang samurai yang
menyerah haruslah melemparkan samurainya kehadapan lawannya dan harus menghormat dengan
menunduk ke tanah seperti orang sujud. Dan hal ini tidak dilakukan oleh Si Bungsu, berarti dia masih melawan!
Akiyama mulai melangkah mendekat. Dia tak mau menyerang dari belakang. Sebagai seorang satria,
Malaikat Penggali Kubur 1 Pengaruh Yang Tak Tampak The Invisible Influence Karya Pouw Kioe An Mereka Datang Ke Baghdad 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama