Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 15

07 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 15


"Dimana rumah nenekmu?" bertanya tukang satang itu.
"Agak jauh. Sapu Angin," jawab Raden Sutawijaya.
"Tetapi jika tidak ada seorangpun yang dapat menolongmu menyeberang ke Barat, bukan salahku, karena kau menolak tawaranku," gumam tukang satang itu.
"Terima kasih. Jika terpaksa sekali, aku akan memberimu isyarat agar kau jemput aku kesebelah Timur. Aku akan bersuit memanggilmu jika tidak ada tukang satang yang dapat menolongku dari seberang Timur," berkata Raden Sutawijaya.
"Tetapi kau harus membayar lipat," tukang satang itu bersungut.
Raden Sutawijaya tersenyum. Tetapi ia tidak sampai hati melihat tukang satang itu kecewa. Karena itu, maka katanya, "Baiklah. Sekarang aku akan memberi upah yang lipat itu."
Tukang satang itu menjadi heran ketika Raden Sutawijaya benar-benar memberinya upah sebesar upah yang telah diberikannya sebelumnya.
"Apa maksud Ki Sanak?" bertanya tukang satang itu.
"Karena kau tidak mempunyai penumpang untuk kembali keseberang. Ambillah," berkata Raden Sutawijaya.
Raden Sutawijaya tidak menunggu jawaban. Iapun segera melangkah pergi meneruskan perjalanannya, sementara tukang satang itu termangu-mangu. Upah yang diberikan semula sudah lebih besar dari upah sewajarnya. Apalagi kemudian upah itu menjadi lipat.
Namun dalam pada itu. Raden Sutawijaya masih juga berpaling sambil berkata, "Doakan agar isteriku selamat."
Tukang satang itu tidak menjawab. Tetapi ia hanya mengangguk saja meskipun ia tahu, bahwa Raden Sutawijaya yang tidak dikenalnya itu tidak melihatnya lagi.
Namun akhirnya tukang satang itu ragu-ragu. Ia pernah mendengar sesosok hantu perempuan yang akan beranak.
"Apakah laki-laki ini suami sesosok hantu perempuan?" desisnya, sehingga bulu-bulunya meremang. Tetapi karena uang yang digenggamnya tidak menjadi daun, maka iapun kemudian yakin, bahwa laki-laki itu adalah orang kebanyakan.
Dalam pada itu, maka Raden Sutawijayapun telah melanjutkan perjalanannya. Namun disepanjang jalan ia sudah melupakan tukang satang itu, karena angan-angannya diliputi oleh persoalan yang besar. Hubungan antara Pajang dan Mataram.
Demikianlah, maka sejak saat itu, di beberapa daerah telah terjadi persiapan-persiapan yang lebih bersungguh-sungguh. Di Tanah Perdikan Menoreh, bukan saja anak-anak muda yang berada di barak yang telah mempergunakan kesempatan yang semakin sempit untuk mematangkan diri. Tetapi anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh yang berada diluar barakpun telah bekerja keras untuk meningkatkan kemampuan mereka. Ternyata bukan saja Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih yang mempergunakan saat-saat yang ada untuk berlatih bersama anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh, tetapi ternyata Ki Waskita dan Ki Gede sendiri telah turun ke padukuhan-padukuhan.
Mereka mulai membentuk kelompok-kelompok yang dapat digerakkan dengan cepat, dengan tataran umur dan kemampuan. Dalam keadaan yang gawat, bukan saja anak-anak muda yang belum berkeluarga yang ikut serta menyatakan dirinya bersedia berjuang bagi Mataram. Tetapi juga mereka yang telah hidup berumah tangga, namun masih memiliki gejolak perjuangan dan kemampuan yang cukup untuk ikut serta dalam perjuangan yang berat.
Tetapi Ki Gedepun telah menentukan tahap-tahap kewajiban bagi kelompok-kelompok yang berbeda tingkat kemampuan dan umurnya.
Meskipun demikian, mereka telah mempergunakan kesempatan yang ada untuk berlatih sebaik-baiknya, agar mereka setidak-tidaknya mengenal bagaimana harus berusaha melindungi diri mereka sendiri.
Dengan demikian, maka kesibukan telah mencengkam Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun Ki Gede selalu memperingatkan, agar anak-anak muda itu tidak membuat seisi Tanah Perdikan menjadi gelisah, namun yang terjadi itu tidak lepas dari perhatian setiap penghuni Tanah Perdikan Menoreh. Apalagi yang diantara keluarga mereka telah menyatakan ikut pula didalam pasukan yang disusun oleh Tanah Perdikan Menoreh itu, yang hampir setiap saat telah berlatih dengan sungguh-sungguh sehingga tidak mengenal waktu.
Prastawapun sibuk melakukan perintah-perintah Ki Gede. Iapun tampil pula sebagai pemimpin anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh meskipun ia tidak dapat menyingkirkan perasaan tidak senangnya terhadap Glagah Putih yang lebih banyak mendapat perhatian anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh daripada Prastawa sendiri.
Dalam pada itu, bukan saja Tanah Perdikan Menoreh yang telah mempersiapkan diri. Ternyata Sangkal Putungpun telah menyusun pula kelompok-kelompok dengan tataran sebagaimana dilakukan di Tanah Perdikan Menoreh. Sebuah kelompok yang terpilih telah tersusun pula, sebagaimana sebuah Kesatuan Khusus di Pajang dan Mataram yang terdiri dari anak-anak muda yang memiliki kelebihan dari kawan-kawannya.
Kesiagaan Sangkal Putung memang berpengaruh pula atas Kademangan-kademangan disekitarnya. Bahkan Swandaru telah berhasil mempengaruhi anak-anak muda di Kademangan-kademangan itu untuk bersikap. Meskipun yang diberitahukan kepada anak-anak muda di Kademangan-kademangan disekitarnya itu tidak sebagaimana yang diketahuinya, namun dengan telaten dan lambat laun, maka anak-anak muda di Kademangan-kademangan itupun telah berpihak sebagaimana sikap Sangkal Putung.
Karena itulah, maka meskipun tidak seberat anak-anak muda Sangkal Putung, anak-anak muda di Kademamgan-kademangan disekitarnya itupun telah melatih diri. Mereka merasa ikut bertanggung jawab sebagaimana pernah terjadi disaat pasukan Tohpati ada disekitar Kademangan mereka. Tanpa Sangkal Putung, agaknya mereka tidak akan dapat bertahan terhadap pasukan Tohpati.
Tidak terlalu jauh dari Sangkal Putung, Untarapun telah menempa pasukannya. Dengan tanpa mengenal lelah, maka sebagian besar pasukan Untara tidak jauh berbeda dengan pasukan khusus Pajang yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Prabadaru.
Dalam keadan yang gawat itu, Untara telah melakukan satu keputusan yang jarang terjadi dalam keadaan yang wajar. Meskipun Sabungsari termasuk seorang prajurit biasa, namun tiba-tiba ia mendapat perintah untuk memimpin satu kelompok pasukan pilihan yang mempunyai kewajiban terberat dalam setiap keadaan. Khususnya menghadapi kemelut antara Pajang dan Mataram.
"Memang agak kurang sesuai dengan paugeran," berkata Untara, "tetapi aku memerlukanmu. Aku percaya kepadamu, bahwa kau akan dapat melakukannya. Aku tidak minta seorang perwira untuk memimpin kelompok itu. Tetapi aku minta seorang yang memiliki kemampuan yang memadai. Terutama kemampuan olah kanuragan."
Sabungsari tidak dapat membantah. Ia merasa wajib menerima tugas itu betapapun beratnya, karena didalam kelompok itu terdapat pemimpin-pemimpin kelompok-kelompok kecil bagian dari kelompoknya dalam keseluruhannya yang memiliki jenjang kepangkatan yang lebih tinggi.
Tetapi dengan penjelasan yang wajar dari Untara, maka para perwira itu sama sekali tidak merasa iri hati. Mereka telah pernah mendengar betapa Sabungsari memiliki kemampuan yang luar biasa. Bahkan beberapa diantara mereka tahu pula, bahwa Sabungsari memiliki senjata yang tidak dimiliki oleh orang kebanyakan. Bahkan dimasa ia masih mendendam Agung Sedayu, ia pernah mempertunjukkan dengan sengaja kemampuannya itu kepada seorang prajurit yang sudah barang tentu hal itu akan segera tersebar, bahwa Sabungsari mampu membunuh seekor kambing hanya dengan sorot matanya yang dilontarkan dari kejauhan. Dan yang ternyata kemudian, bukan saja seekor kambing, tetapi juga orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi, sulit untuk dapat mengimbanggi ilmu anak muda itu.
Namun yang kemudian ternyata menggembirakan Sabungsari adalah, bahwa prajurit yang kemudian disatukan didalam kelompoknya adalah prajurit-prajurit muda yang memiliki gairah perjuangan yang sangat tinggi. Sehingga dengan demikian, maka ia akan dapat berangkat dengan pasukannya itu.
Pasukan yang dipimpin oleh Sabungsari itulah yang kemudian setelah dipertimbangkan dari segala segi oleh Untara dan para perwira yang sejalan dengan sikapnya, seakan-akan telah dijadikan sebuah kesatuan khusus yang mempunyai kemampuan gerak dan kemampuan tempur yang lebih tinggi dari kesatuan-kesatuan yang lain yang ada didalam lingkungan pasukan Untara.
Pasukan ini akan mempunyai bobot yang tidak kalah dari pasukan khusus yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Prabadaru di Pajang dan pasukan yang disiapkan oleh Mataram di Tanah Perdikan Menoreh, meskipun jumlahnya tidak sebanyak pasukan-pasukan itu.
Namun bukan berarti bahwa para prajurit Pajang di Jati Anom yang lain tidak memiliki kemampuan tempur yang tinggi. Hampir setiap orang didalam lingkungan prajurit Pajang di bawah pimpinan Untara telah menempa diri menghadapi saat-saat yang paling gawat itu.
Selain daerah-daerah yang dengan pasti telah menempatkan diri dalam pergolakan yang terjadi itu, maka Raden Sutawijaya juga telah menghubungi Pasantenan, Mangir dan beberapa daerah yang menurut pendapatnya telah hampir pasti akan dapat bekerja bersama dalam kemelut yang terjadi. Dalam waktu dekat. Raden Sutawijaya telah mengirim utusan untuk mengundang pemimpin-pemimpin dari daerah-daerah itu untuk berbincang menghadapi keadaan yang semakin panas.
Ternyata daerah-daerah itupun telah menyatakan diri bersiap menghadapi setiap kemungkinan. Bukan saja dengan mengirimkan anak-anak muda ke barak pasukan khusus di Tanah Perdikan Menoreh, tetapi mereka telah bersiap untuk memasuki satu masa perang yang menentukan. Bukan sekedar didorong oleh perasaan semata-mata. Tetapi mereka telah memperhitungkan dengan cermat, lumbung-lumbung yang ada dan persediaan yang lain apabila didalam masa perang para petani tidak sempat turun kesawah, tetapi mereka terpaksa meletakkan cangkul mereka dan menggantikannya dengan tombak dan pedang.
Dalam pada itu, persiapan-persiapan yang meningkat itu ternyata tidak terlepas dari pengamatan orang-orang Pajang. Mereka menganggap bahwa semakin lama Mataram tentu akan menjadi semakin kuat. Sehingga karena itu, maka tidak ada pertimbangan lain kecuali mempercepat benturan yang harus terjadi antara Pajang dan Mataram.
"Jika Mataram menjadi sangat kuat, maka mereka akan memenangkan perang ini," berkata salah seorang diantara mereka yang ikut menentukan jalan pikiran para pemimpin di Pajang.
"Kita harus mempunyai kesempatan untuk berdiri diatas reruntuhan Pajang dan Mataram. Karena itu, maka Mataram tidak boleh terlalu kuat. Tetapi juga jangan terlalu lemah. Jika Pajang menang dengan mudah, maka orang-orang Pajang yang tidak berpijak pada jalan pikiran yang sama akan sempat menghimpun diri dan membentuk Pajang yang lain. Bukan Pajang yang kita cita-citakan." berkata yang lain.
Tetapi kawannya tertawa. Jawabnya, "Kau terlalu cemas menghadapi orang-orang yang kebingungan menghadapi keadaan ini. Mereka tidak banyak jumlahnya, dan mereka tidak akan sempat menyusun satu kerangka pemikiran yang mantap untuk menentukan satu sikap setelah perang berakhir. Karena itu, jangan cemas seperti itu. Mataram sekarang justru sudah menjadi terlalu kuat. Karena itu, kita harus segera bertindak. Harus ada penjelasan yang meyakinkan bagi Kangjeng Sultan, bahwa Mataram benar-benar telah memberontak. Karena itu, maka Kangjeng Sultan harus, mau tidak mau, menjatuhkan perintah untuk menyerang Mataram segera. Rencana kita untuk menghancurkan sebagian orang-orang yang akan dapat membuat Mataram terlalu kuat selalu saja mengalami kegagalan. Tetapi Mataram belum terlalu berbahaya jika kita bertindak sekarang."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Salah seorang berdesis, "Kakang Panji harus mengambil sikap segera."
Demikianlah, maka para pemimpin di Pajang yang menjadi bayangan kekuasaan Kangjeng Sultan itu telah mengambil satu keputusan. Dengan demikian, maka keputusan itulah yang kemudian dihadapkan kepada Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang lebih banyak terbaring di pembaringannya.
Dengan berbagai cara, beberapa orang berusaha untuk meyakinkan Kangjeng Sultan, bahwa putera angkat kinasih Kangjeng Sultan yang berada di Mataram dengan gelar Senapati Ing Ngalaga itu telah dengan terang-terangan memberontak.
Kangjeng Sultan yang berbaring dengan lemah, tiba-tiba bangkit dan duduk dibibir pembaringannya. Wajahnya menjadi merah mengatasi kepucatannya selama masa sakitnya.
"Kalian yakin bahwa Sutawijaya telah benar-benar memberontak" Bukankah kalian telah mengatakannya kepadaku seribu kali. Tetapi kalian tidak dapat membuktikannya. Aku pernah memerintahkan Benawa untuk melihat sendiri, langsung memasuki Mataram. Ternyata bahwa di Mataram tidak ada persiapan apapun juga," berkata Kangjeng Sultan.
"Tetapi kali ini, benar-benar telah terbukti," jawab salah seorang diantara mereka yang menghadap, "Kangjeng Sultan dapat bertanya kepada setiap orang yang pernah melewati daerah Sangkal Putung, Mataram dan persiapan yang mantap di Tanah Perdikan Menoreh. Semuanya akan meyakinkan Kangjeng Sultan, bahwa Raden Sutawijaya. putera yang sangat Tuanku kasihi itu telah memberontak."
Sejenak Kangjeng Sultan justru terdiam. Wajahnya menjadi semakin tegang. Nafasnya terasa berdesakan didada. Sementara tubuhnya menjadi gemetar.
"Kalian tidak sekedar berkicau seperti masa-masa sebelumnya" " suara Kangjeng Sultan menjadi sanggat dalam.
"Ampun Tuanku," jawab orang itu, "hamba sendiri telah menyaksikannya."
"Jika demikian, jika demikian," nafas Kangjeng Sultan itu menjadi terengah-engah, "Sutawijaya benar-benar tidak tahu diri. Aku memeliharanya sejak kanak-kanaknya. Aku kasihi ia seperti aku mengasihi anakku sendiri. Tetapi tiba-tiba ia sudah berkhianat terhadap ayah angkatnya, terhadap gurunya, terhadap rajanya. Jika aku tahu, maka aku tidak akan memberikan ilmu apapun juga kepadanya sebagaimana aku berikan kepada Benawa."
Orang-orang yang menghadap Kangjeng Sultan itu menjadi berdebar-debar. Mereka berharap, bahwa usaha mereka akan berhasil. Kangjeng Sultan akan menjatuhkan perintah untuk menyerang Mataram dan menghancurkannya. Dengan perintah Kangjeng Sultan, maka semua kekuatan yang ada dapat dikerahkan. Mereka yang tidak terlibat dalam kegiatan orang-orang yang mempunyai rencana tersendiri itu, tidak akan bertanya-tanya. Apapun perintah Kangjeng Sultan adalah kewajiban setiap prajurit, bahkan setiap orang yang tidak ingin disebut memberontak. Meskipun ada beberapa pihak yang tidak mengerti persoalan yang sebenarnya, namun dengan perintah Sultan, mereka akan melakukannya.
"Merekalah yang harus menjadi umpan benturan kekuatan antara Pajang dan Mataram," berkata orang-orang itu didalam hatinya.
Dengan demikian, maka rencana merekapun akan berjalan. Diatas mayat para prajurit dan rakyat Pajang yang setia kepada Kangjeng Sultan dan bertempur tanpa menghiraukan gejolak yang terjadi di Pajang serta rakyat Mataram yang setia kepada Sutawijaya, akan tumbuh satu kelompok orang yang mempunyai angan-angan tersendiri atas Citra Pajang dimasa depan, dengan apa yang mereka sebut Majapahit lama yang akan bangkit kembali.
Karena itu, maka dengan berdebar-debar mereka menunggu. Kangjeng Sultan nampaknya sudah berhasil mereka jebak dan bahkan menjadi marah sekali. Perintah itu tentu sudah berada di ujung bibirnya, sehingga sekejap kemudian perintah itu akan jatuh.
Dengan jantung yang berdebar-debar merekapun kemudian mendengar perintah itu diucapkan, "Para Senapati Pajang yang setia. Jika benar demikian, maka akupun tidak mempunyai pilihan lain. Mataram harus digempur."
Orang-orang yang menghadap Kangjeng Sultan itu bersorak. Kangjeng Sultan tentu akan memberikan pertanda perintahnya. Mungkin dengan tunggul kerajaan, atau dengan perintah yang tercantum didalam pernyataan yang dibubuhi dengan pertanda Sultan di Pajang, atau dengan ganti pribadi Kangjeng Sultan sendiri yang berujud pusaka yang paling dekat dengan Kangjeng Sultan.
Dengan pertanda itu, maka seluruh Pajang akan bergerak menggempur Mataram dan perang besarpun tidak akan dapat dihindarkan. Korban akan berjatuhan dan harus diperhitungkan, yang akan mati adalah orang-orang Mataram dan mereka yang tidak berdiri didalam barisan mereka untuk mendukung berdirinya Majapahit lama yang akan bangkit kembali.
Meskipun sebenarnyalah yang membayang di mata hati mereka bukannya watak dari Majapahit lama yang merangkum persatuan dan kesatuan seluruh Nusantara, tetapi sekedar sebuah mimpi tentang kemukten para pemimpin dari sebuah Kerajaan besar yang disebut Majapahit, yang akan disembah oleh rakyat yang bertebaran di beribu pulau beser dan kecil yang berhamburan di katulistiwa.
Namun dalam pada itu, ternyata perintah Kangjeng Sultan di Pajang itu belum, selesai. Betapa terkejut orang-orang yang menghadap itu ketika kemarahan Kangjeng Sultan itu tidak terkekang lagi, yang justru melampaui perhitungan mereka.
"Para Senapati," suara Kangjeng Sultan menggelegar sebagaimana suaranya dimasa muda, "aku adalah Sultan Pajang yang memiliki kewibawaan seorang Senapati Agung. Karena itu, maka untuk menggempur Mataram, aku sendiri akan memimpin seluruh kekuatan yang ada di Pajang."
Perintah itu bukan saja bagaikan suara guruh yang menggelegar, tetapi seperti suara petir yang meledak diatas kepala mereka. Sehingga dengan demikian, maka orang-orang itu beberapa saat menjadi bingung. Mereka sama sekali tidak mengharap, bahwa Kangjeng Sultan akan turun ke medan, apalagi akan memimpin seluruh kekuatan yang ada di Pajang. Dengan demikian, maka tidak ada orang lain yang akan dapat mengatur kekuatan itu sesuai dengan rencana mereka. Siapa yang harus menjadi banten dan mati sebagai landasan keinginan mereka yang bercita-cita untuk dapat menjadi orang yang berkuasa sebagaimana para pemimpin pada masa Kejayaan Majapahit.
Dalam pada itu, Kangjeng Sultan itupun melanjutkan, "Dalam keadaan seperti ini, maka aku tidak akan merasa terganggu oleh keadaan tubuhku. Aku merasa akan dapat melakukan tugas ini sebaik-baiknya."
Dalam pada itu, satu dua orang yang menghadap itu sudah berhasil mengatur gejolak perasaan mereka, sehingga seorang diantara mereka berkata, "Ampun Tuanku. Sebenarnyalah Tuanku dalam keadaan sakit. Biarlah hamba dan para Senapati sajalah yang akan menyelesaikan persoalan ini tanpa menyentuh ujung kain Kangjeng Sultan. Mataram akan dapat kami tundukkan. Kami berjanji sepenuhnya bahwa hal itu akan terjadi, tanpa mengulangi hormat hamba kepada putera angkat Tuanku. Bahkan jika mungkin kami akan memohon kepada Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga untuk tunduk tanpa mengorbankan satu orangpun diantara kita di Pajang dan Mataram."
Orang-orang itu menjadi tegang. Apalagi ketika Kangjeng Sultan berkata, "Aku akan menentukan, siapa yang akan menjadi perwira dan Senapati pengapitku, karena akulah Panglima dari gelar yang akan aku pasang di medan. Kita akan menyerang pasukan Mataram dimanapun mereka membangunkan pertahanan. Siapkan kendaraan kinasih pertanda kebesaran Pajang."
Jantung orang-orang yang menghadap itu berdentang semakin cepat. Seorang diantara mereka berdesis, "Kendaraan apakah yang Tuanku maksud?"
"Aku bukan orang cengeng," jawab Kangjeng Sultan, "aku sekarang sudah sehat dan bahkan aku merasa menjadi muda kembali sebagaimana Sutawijaya. Aku yakin, bahwa Karebet tidak akan kalah dalam segala hal dari Sutawijaya, karena akupun telah menempa diri jauh lebih dalam dari yang dilakukan oleh Sutawijaya yang terlalu banyak bermanja-manja. Karena itu, jangan cegah aku. Aku akan turun ke medan sebagaimana aku katakan. Sekarang, dengar perintahku. Setiap kekuatan di Pajang harus dikerahkan. Yang melawan perintahku, akan aku ikut sertakan dalam kesalahan Sutawijaya."
Wajah wajah menjadi tegang ketika Kangjeng Sultan itu memandang orang-orang yang menghadapnya. Dengan suara datar Kangjeng Sultan justru bertanya, "Kenapa kau masih bertanya tentang kendaraan" Kau kira aku akan naik kereta atau pedati ataupun berkuda?"
Orang-orang yang menghadap menjadi semakin tegang. Sementara itu Kangjeng Sultanpun berkata, "Aku akan berada diatas Gajah. Aku adalah Kangjeng Sultan Pajang yang berkuasa atas tanah ini."
Sejenak ruangan itu menjadi senyap. Ketegangan terasa mencengkam setiap jantung. Mereka sama sekali tidak menyangka, bahwa Kangjeng Sultan justru telah mengambil satu sikap yang tidak terduga-duga.
Bahkan beberapa orang telah menyesal, bahwa mereka telah terdorong terlalu jauh untuk membuat Kangjeng Sultan marah, sehingga justru kemarahan yang tidak terkendali itu telah mengacaukan rencana mereka.
Mereka memang menghendaki Kangjeng Sultan marah. Tetapi tidak sedemikian jauh, sehingga Kangjeng Sultan sendiri akan maju kemedan perang dalam puncak kebesaran seorang Panglima berkendaraan seekor Gajah.
Tetapi Kangjeng Sultan telah terlanjur menjatuhkan perintah. Tidak seorangpun diantara mereka yang menghadap dapat merubah keputusan itu. Bagaimanapun juga, mereka mengerti, Kangjeng Sultan yang masa muda nya bernama Mas Karebet dan yang juga disebut Jaka Tingkir itu adalah seorang yang keras hati.
Dalam kebekuan itu terdengar perintah Kangjeng Sultan, "Mundurlah. Persiapkan segala sesuatunya. Aku memerlukan waktu dua hari dua malam untuk mesu diri menghadapi peperangan besar ini. Pada hari yang ketiga, aku akan turun kemedan. Sementara itu aku ingin mendengar keterangan selama dua hari dua malam itu, kalian harus sudah mengetahui, dimana garis pertahanan yang akan di bangun oleh Sutawijaya. Apakah ia akan bertahan di Sangkal Putung, di Prambanan atau di Tambak Baya."
Para Senapati yang menghadap itu tidak membantah. Merekapun kemudian beringsut surut dan kemudian meninggalkan bilik itu.
Demikian orang yang terakhir keluar dan pintu kemudian ditutup, Kangjeng Sultan itupun menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia membaringkan dirinya. Terasa nafasnya menjadi terengah-engah, sementara jantungnya serasa berhenti berdetak.
"O," Kangjeng Sultan berdesah. Ia sadar, bahwa sebenarnyalah ia tengah dicengkam oleh keadaan sakitnya. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain, kecuali melakukan rencananya, sebagaimana pihak-pihak lain melakukan rencana mereka pula. Karena bagaimanapun juga, Kangjeng Sultan bukannya tidak tahu sama sekali apa yang sedang bergejolak di istana Pajang itu.
Dalam pada itu, orang-orang yang keluar dari ruang peraduan Kangjeng Sultan itupun telah saling bergeremang. Mereka menyesal bahwa mereka telah membuat Kangjeng Sultan terlalu marah, sehingga kemarahan Kangjeng Sultan itu telah membuat rencana mereka menjadi kabur.
"Tetapi kita tidak akan kekurangan akal," berkata salah seorang dari mereka. Lalu, "Kita akan menunggu perintah, siapakah yang akan mendapat perintah untuk menjadi Senapati Pengapit. Kemudian siapa pula yang akan menjadi Panglima disayap gelar."
"Kita belum tahu, jika perang ini akan menjadi perang gelar dengan mengerahkan pasukan yang besar, maka gelar apakah yang akan dipergunakan. Dan apakah Kangjeng Sultan akan menyerang Mataram hanya dari satu jurusan, atau Kangjeng Sultan akan mengambil siasat yang lain," sahut Senapati yang lain.
Dalam pada itu seorang diantara mereka berkata, "Sekarang segalanya tergantung kepada Kangjeng Sultan, karena Kangjeng Sultan sendiri telah menentukan dirinya sendiri menjadi Panglima."
Kawan-kawannya hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala. Tetapi keputusan Sultan itu benar-benar telah mengecewakan.
Dalam pada itu, lewat jalurnya sendiri, Kangjeng Sultan telah memberitahukan yang akan terjadi itu kepada Raden Sutawijaya. Dua hari lagi. Pajang akan mempersiapkan diri menyerang Mataram.
Kepada Raden Sutawiyaya ternyata Sultan telah memberitahukan, bahwa Kangjeng Sultan akan menghadapi pasukan Mataram di Prambanan. Kangjeng Sultan memerintahkan agar pasukan Mataram benar-benar bersiap untuk berperang.
"Aku akan memerintahkan para Senapati dan prajurit yang setia kepadaku menurut penilaianku, untuk berada dekat dengan aku dimedan. Sementara itu, mereka yang selama ini telah membayangi kekuasaanku di Pajang, akan bertempur jauh dari pusat gelar yang akan aku tentukan kemudian. Mereka akan berada di ujung-ujung sayap. Tetapi kekuatan mereka terlalu besar, sehingga Mataram benar-benar harus bersiap. Aku akan menyerang Mataram dalam perang gelar di satu arah, sehingga akan terbangun satu garis perang yang panjang. Aku akan menghindari serangan dari beberapa arah untuk menuju ke Mataram. Karena itu, menurut pendapatku, garis pertahanan yang paling baik bagi Mataram adalah jalur Kali Opak. Kelemahan sepasukan prajurit, diantaranya adalah yang pada saat-saat pasukan itu sedang menyeberangi sungai."
Ketika Raden Sutawijaya membawa nawala dari Kangjeng Sultan yang disampaikan kepadanya, terasa jantungnya berdentang dan serasa matanya menjadi panas. Terasa betapa dalam pandangan masa depan Kangjeng Sultan dan betapa besar kasihnya kepada putera angkatnya itu.
"Betapa besar dosaku," desis Raden Sutawijaya didalam hatinya.
Namun semuanya sudah terlanjur. Dan Kangjeng Sultan sendiri sudah menentukan satu acara bagi hari depan Pajang dengan mempercayakannya kepada Raden Sutawijaya.
Tetapi Raden Sutawijaya sadar, bahwa tidak seharusnya ia tenggelam dalam perasaannya. Ia harus menghadapi kenyataan yang tidak dapat di putar kembali kemasa lampau. Sehingga karena itu. ia harus segera bertindak dan mengambil sikap.
Namun Raden Sutawijaya masih juga membayangkan, apakah kira-kira sikap yang akan diambil oleh ayahandanya Ki Gede Pemanahan seandainya ayahandanya masih hidup menghadapi ayahanda angkatnya.
"Ayahanda Ki Gede tidak akan menghadapi Kangjeng Sultan Pajang di medan perang," berkata Raden Sutawijaya. Namun kemudian, "Tetapi jika aku mengelak, maka berarti aku tidak memenuhi perintah ayahanda Kangjeng Sultan di Pajang untuk membangunkan masa depan Pajang dengan citra sebagaimana diharapkan oleh ayahanda Kangjeng Sultan, karena Pajang akan menjadi satu negara yang lain dari yang di cita-citakan oleh ayahanda Sultan. Dengan landasan mimpi masa kejayaan Majapahit hanya pada kulitnya saja, maka sekelompok pemimpin di Pajang akan merubah citra masa depan Pajang dari yang dikehendeki oleh Kangjeng Sultan Hadiwijaya beralaskan pengamatannya atas kehendak rakyat Demak pada masa mudanya, selagi ia masih berkeliaran di padepokan-padepokan, di padukuhan-padukuhan dan hidup diantara para petani dan gembala di padang rumput yang luas."
Karena itulah maka Raden Sutawijayapun kemudian berketetapan hati untuk menyiapkan pasukan yang kuat sebagaimana dipesankan oleh ayahanda Sultan.
Tetapi Raden Sutawijaya tidak meninggalkan nasehat dari orang tua yang banyak memberikan petunjuk kepadanya. Ki Juru Martani.
Namun, terasa betapa beratnya hati Ki Juru menghadapi peristiwa yang bakal terjadi. Meskipun Raden Sutawijaya sudah memberikan penjelasan, namun Ki Juru itu masih juga berkata, "Dalam keadaan yang bagaimanapun juga, pertempuran selamanya akan berakibat buruk bagi rakyat. Seandainya angger Senapati Ing Ngalaga mau melunakkan sedikit kekerasan hatimu, maka persoalannya akan berbeda."
Raden Sutawijaya menundukkan kepalanya. Dengan suara parau ia berkata, "Aku merasa bersalah paman. Tetapi yang aku pikirkan sekarang, bagaimana aku dapat memperbaiki kesalahan itu."
Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Angger. Jika Kangjeng Sultan mengatakan, bahwa orang-orang yang sebenarnya musuh didalam selimut itu akan bertempur melawan Mataram di ujung-ujung gelar, tentu bukannya tanpa maksud. Ayahanda ingin mengatakan bahwa merekalah yang harus kalian hadapi dengan sungguh-sungguh."
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Aku mengerti paman. Karena itu, maka aku akan berada di sayap kiri atau kanan. Sementara itu, aku mohon paman berada di ujung gelar, memegang perintah tertinggi sebagai Panglima pasukan Mataram dalam keseluruhan."
Tetapi Ki Juru menggelengkan kepalanya. Katanya, "Bagaimana mungkin aku akan berhadapan dengan Kangjeng Sultan meskipun dalam keadaan yang kita sadari sepenuhnya arah penyelesaiannya."
"Jadi, maksud paman?" bertanya Raden Sutawijaya.
Ki Juru termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya, "Angger, aku adalah seorang prajurit. Setidak-tidaknya aku menganggap diriku sendiri seorang prajurit Mataram, karena itu, biarlah aku bertempur menghadapi lawan yang sebenarnya. Menurut pendapatku, tidak ada orang lain yang sebaiknya berada di pusat gelar, selain Raden Sutawijaya sendiri."
"Bagaimana mungkin paman," jawab Raden Sutawijaya, "apa yang harus aku lakukan dihadapan ayahanda Kangjeng Sultan dimedan perang. Apakah aku akan berani menengadahkan kepala. Jika seorang saja diantara para Senapati yang berada diseputar ayahanda kurang dapat menanggapi keadaan, maka persoalannya akan menjadi sangat sulit bagiku."
Ki Juru mengangguk-angguk. Ia mengerti kesulitan Raden Sutawijaya. Namun ia sendiri, sama sekali tidak bermimpi unmtuk berhadapan dengan Kangjeng Sultan di medan perang, dengan persetujuan apapun yang telah dibuat sebelumnya.
Namun keragu-raguan itu, Ki Jurupun berkata, "Angger Senapati Ing Ngalaga. Baiklah kita akan berbicara kemudian tentang Panglima yang akan berada di pusat gelar. Yang penting angger herus memberikan perintah dan memberitahukan kepada segala pihak, bahwa perang akan terjadi dua hari mendatang. Semua kekuatan harus sudah berada di sepanjang sungai Opak sebagaimana di kehendaki oleh ayahanda Kangjeng Sultan."
"Baiklah paman," jawab Raden Sutawijaya, "aku akan mengirimkan utusan ke segala arah dalam waktu yang bersamaan."
Ternyata bahwa waktu Raden Sutawijaya memang sudah terlalu sempit. Karena itulah, maka iapun segera memanggil beberapa orang Senapati kepercayaan. Mereka serentak harus pergi ke beberapa arah untuk menyampaikan perintah yang sama dan pemberitahuan yang sama pula.
"Dua hari dua malam," desis Raden Sutawijaya, "menjelang hari ketiga, sebelum ayam jantan berkokok untuk ketiga kalinya, maka semua kekuatan harus sudah siap di sepanjang jalur Kali Opak. Di sore hari di akhir hari kedua, semua pemimpin dan Senapati harus sudah berkumpul di bayangan candi. Kita akan berbicara dan menentukan langkah-langkah yang paling baik menghadapi keadaan. Selanjutnya malam itu gelar akan di pasang dalam garis yang memanjang di sepanjang Kali Opak."
Para Senapati yang terpercaya itupun segera meninggalkan Mataram dengan segala macam pesan yang harus mereka sampaikan kepada para pemimpin di beberapa daerah menghadapi perkembangan keadaan sebagaimana di beritahukan oleh Kangjeng Sultan sendiri.
Diantara para Senapati itu, dua diantaranya telah pergi ke Jati Anom untuk menghubungi Untara, seorang Senapati Pajang yang disegani. Bukan karena Untara memiliki kemampuan olah kanuragan yang tidak terkalahkan. Tetapi ia adalah seorang Senapati yang mempunyai perhitungan yang cermat sehingga gerak pasukannya sangat menentukan.
Sementara dua orang Senapati yang lain telah pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Mereka bertugas untuk menghubungi Ki Lurah Branjangan dan sekaligus menghadap Ki Gede di Tanah Perdikan Menoreh.
Perintah Raden Sutawijaya itu memang sudah ditunggu oleh Ki Lurah Branjangan. Menilik keadaan yang berkembang serta kehadiran Raden Sutawijaya di Tanah Perdikan Menoreh beberapa saat lewat, maka suasana memang sudah menjadi semakin panas.
Karena itu, maka Kesatuan Khusus yang dipimpin oleh Ki Lurah itupun telah berada dalam kesiagaan tertinggi. Demikian perintah itu datang, maka merekapun siap untuk berangkat.
Sementara itu, dua orang Senapati dari Mataram itu, langsung menuju ke rumah Ki Gede Menoreh setelah mereka berada di barak pasukan Khusus itu beberapa lama. Dengan pesan yang sama, kedua Senapati itu menghadap Ki Gede Menoreh yang juga sudah menduga, bahwa keadaan akan cepat menjadi semakin gawat.
Sementara kedua Senapati itu berada di rumah Ki Gede, maka Ki Lurah Branjangan telah berbicara dengan Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Bagaimanapun juga, dalam keadaan yang paling gawat, mereka wajib menyatukan diri didalam pasukan khusus itu.
"Bagaimana dengan anak-anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh?" bertanya Agung Sedayu.
"Mereka akan dipimpin oleh Ki Gede sendiri," jawab Ki Lurah.
"Ki Gede sudah terlalu tua," sahut Agung Sedayu. Kemudian, "apalagi Ki Gede mempunyai cacat kaki. Dalam keadaan tertentu, maka cacat kakinya akan kambuh."
"Bukankah di Tanah Perdikan Menoreh ada kemanakan Ki Gede yang bernama Prastawa?" bertanya Ki Lurah Branjangan.
"Tetapi anak muda itu masih belum dapat di lepaskan di medan. Apalagi menghadapi pasukan Mataram." jawab Agung Sedayu. Lalu, "sebenarnyalah di Tanah Perdikan Menoreh harus ada seseorang yang dapat memimpin pasukan yang terdiri dari anak-anak muda dan sebagian para pengawal Tanah Perdikan, karena bagaimanapun juga Tanah Perdikan ini tidak boleh dikosongkan sama sekali."
"Agung Sedayu," berkata Ki Lurah, "kau tidak usah merisaukan pasukan-pasukan lain diluar Kesatuan Khusus ini. Biarlah orang orang yang berkepentingan dengan daerah masing-masing mempertanggungjawabkannya. Kau adalah salah seorang diantara warga pasukan khusus ini, sehingga dengan demikian kau terikat didalamnya."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Katanya, "Ki Lurah memandang persoalannya dengan sudut pandangan yang terlalu khusus. Dimanapun aku berdiri, maka aku sudah berbuat bagi Mataram. Apakah Ki Lurah tidak akan berpaling seandainya pasukan khusus ini berhasil mendesak pasukan lawan tetapi pasukan dari Tanah Perdikan Menoreh mengalami kesulitan yang parah" Jika pasukan Pajang berhasil memasuki garis pertahanan Tanah Perdikan Menoreh, akan berarti satu kelemahan dari seluruh garis pertahanan Mataram yang akan menghadapi Pajang dalam satu garis perang yang panjang. Bukankah pada garis perang yang panjang itu diperlukan kekuatan yang rampak dari ujung sampai keujung?"
Ki Lurah Branjangan termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Agung Sedayu dengan tajamnya. Rasa-rasanya ia sulit untuk mengerti sikap Agung Sedayu itu menghadapi perkembangan keadaan.
Namun dalam pada itu. Sekar Mirah ternyata telah berkata kepada Agung Sedayu, "Kakang, nampaknya kakang tidak sependapat dengan Ki Lurah. Kakang sebaiknya berada didalam lingkungan pasukan khusus ini. Tidak berada di dalam pasukan yang akan disusun oleh Tanah Perdikan Menoreh. Hal itu merupakan keterikatan kita dengan pasukan khusus ini. Sementara itu, dimedan pertempuran, maka setiap pasukan akan saling membantu dan mengisi."
Jantung Agung Sedayu merasa menjadi berdebar-debar. Nampaknya Sekar Mirah lebih senang berada didalam lingkungan Kesatuan Khusus itu daripada berada diantara anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh. Sebagaimana Sekar Mirah, Agung Sedayupun mengerti, bahwa pasukan di peperangan tentu akan saling mengisi. Tetapi bagaimanapun juga ketahanan setiap pasukan akan berpengaruh.
Tetapi akhirnya Ki Lurah berkata, "Agung Sedayu. Aku mencoba mengerti apa yang kau maksudkan. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Sekar Mirah, maka Kesatuan Khusus ini akan dapat mengisi semua pasukan yang ada di peperangan. Kelemahan lain tentu terdapat pula diantara pasukan-pasukan yang akan berkumpul dari beberapa daerah. Mungkin dari Mangir, mungkin dari Pasantenan atau daerah-daerah lain. Tetapi Mataram dalam keseluruhan tidak akan dapat saling melepaskan di dalam pertempuran yang gawat. Dan agaknya pasukan khusus ini memang akan diperlukan di sepanjang garis peperangan."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia akan berusaha untuk menyesuaikan diri. Katanya, "Baiklah Ki Lurah. Tetapi aku mohon bahwa susunan pasukan harus diusahakan, agar aku dapat berada diantara pasukan Tanah Perdikan Menoreh. Jika aku berada diantara pasukan khusus, maka pasukan khusus itu akan mengisi kekosongan yang tentu terdapat pada pasukan Tanah Perdikan Menoreh. Dengan demikian, maka aku akan dapat langsung ikut mengamati keadaan pasukan Tanah Perdikan Menoreh."
Ki Lurah mengangguk-angguk. Namun katanya, "Segala sesuatunya akan diputuskan malam sebelum hari yang ditentukan itu. Tetapi hal itu akan dapat aku sampaikan kepada Senapati Ing Ngalaga yang akan memimpin semua kekuatan dari Mataram menghadapi pasukan Pajang. Namun Senapati Ing Ngalaga masih akan berbicara dengan para pemimpin dari daerah-daerah dan pemimpin pasukan-pasukan yang akan berada di bawah kalebet perang Mataram." Ki Lurah berhenti sejenak, lalu, "Agung Sedayu. Selain Prastawa, bukankah di Tanah Perdikan ada Ki Waskita, sebagaimana di Sangkal Putung akan ada Kiai Gringsing."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Mudah-mudahan Ki Waskita akan langsung berada diantara pasukan Tanah Perdikan Menoreh bersama Ki Gede yang kadang-kadang terganggu oleh cacat kakinya yang kambuh."
Sementara itu, dirumah Ki Gede Menoreh, dua orang Senapati dari Mataram tengah berbincang dengan Ki Gede dan Ki Waskita. Seperti Ki Lurah Branjangan, maka Ki Gede menerima semua pesan Raden Sutawijaya dengan baik. Tanah Perdikan Menoreh sudah siap untuk ikut serta menegakkan Mataram sebagaimana kesediaan Tanah Perdikan untuk melibatkan diri sejak semula.
"Para pengawal dan anak-anak muda di Tanah Perdikan sudah siap," berkata Ki Gede. Lalu, "Tetapi sudah tentu bahwa kemampuan anak-anak muda tanah Perdikan tidak dapat disejajarkan dengan anak-anak muda yang berada di Kesatuan Khusus itu."
"Tetapi tekad anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang benar untuk ikut berjuang bagi masa depan tanah ini dalam keseluruhan adalah modal utama," jawab Senapati itu.
Buku 163 "KAMI menyadari arti perjuangan Raden Sutawijaya," berkata Ki Gede kemudian.
"Kami mengharap kehadiran Ki Gede dan Ki Waskita, malam sebelum hari yang ditentukan itu datang," berkata Senapati itu, "Senapati Ing Ngalaga akan membicarakan segala sesuatunya tentang perjuangan yang nampaknya harus meningkatkan menjadi benturan kekuatan itu."
"Baiklah," jawab Ki Gede, "kami akan hadir, aku akan berbicara pula dengan angger Agung Sedayu dan Sekar Mirah."
"Mereka ada didalam Kesatuan Khusus itu sesuai dengan tugas-tugas mereka," jawab Senapati itu.
Wajah Ki Gede menegang sejenak. Kemudian katanya, "Bukankah didalam pasukan itu terdapat banyak Senapati, sehingga dapat melepaskan Agung Sedayu dan Sekar Mirah untuk memimpin anak-anak muda Tanah Perdikan ini?"
"Segalanya terserah kepada Ki Lurah Branjangan," jawab Senapati itu, "namun sepengetahuanku, Agung Sedayu dan Sekar Mirah dianggap bagian dari pasukan itu dalam keseluruhan."
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Baiklah aku menunggu. Untunglah disini ada Ki Waskita yang kebetulan tidak sedang pulang kerumahnya. Aku dapat minta agar Ki Waskita menemani aku memimpin anak-anak Tanah Perdikan ini jika Agung Sedayu dan Sekar Mirah harus berada didalam pasukan khusus itu."
"Mungkin Glagah Putih dapat berada diantara kita," berkata Ki Waskita.
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, "Ia akan menemani Prastawa dan para pemimpin pasukan pengawal. Sebaliknya orang-orang yang sudah berpengalaman, meskipun mereka sudah mendekati separo bahaya, akan kami ikut sertakan. Mereka akan mengendalikan ledakan perasaan anak-anak muda dan para pengawal."
"Segalanya terserah kepada Ki Gede," berkata Senapati itu, "kami percaya bahwa Ki Gede memiliki pengalaman dan pandangan jauh tentang kemungkinan yang bakal terjadi. Selebihnya segala sesuatu akan dapat dibicarakan pada pertemuan di malam menjelang saat yang menentukan itu."
Dengan demikian, maka Senapati dari Mataram itu-pun kemudian minta diri. Masih banyak yang harus dikerjakan di mataram menghadapi benturan kekuatan yang akan dapat menentukan masa depan, baik bagi Pajang maupun Mataram.
Kedua Senapati itu masih singgah sejenak di barak Kesatuan Khusus. Namun merekapun segera meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh.
Dalam pada itu, dua orang Senapati yang lain telah berada di sangkal Putung untuk menemui para pemimpin di Klademangan itu. Ki Demang, Swandaru dan Pandan Wangi serta Kiai Gringsing yang sedang berada di Sangkal Putung, telah menerima mereka dengan hati yang berdebar-debar.
"Saatnya akhirnya datang juga," berkata Senapati yang datang menemui Ki Demang.
"Kami memang sudah memperhitungkannya," jawab Ki demang. Namun kemudian ia melanjutkan, "Tetapi katakanlah selengkapnya, apa yang akan terjadi."
Senapati itupun kemudian menyampaikan seluruh pesan Raden Sutawijaya dengan segala rencananya untuk menghadapi pasukan Pajang.
Namun dalam pada itu, wajah Swandaru menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia berkata, "jadi Raden Sutawijaya akan menarik garis pertahanan di Prambanan?"
"Ya. Raden Sutawijaya akan mempergunakan jalur Kali Opak sebagai batas. Kelemahan pasukan Pajang pada saat menyeberangi sungai itu akan dipergunakan sebagai alas perlawanan Raden Sutawijaya, karena bagaimanapun juga Mataram menyadari, bahwa pasukan Pajang tentu akan lebih besar dan lebih kuat," jawab Senapati dari mataram itu.
"Tetapi," sahut Swandaru, "apakah aku harus melepaskan Kademangan ini" Kau dapat membayangkan, apa yang akan terjadi di Kademangan ini. Dendam orang-orang Pajang akan membuat seisi Kademangan ini menderita. Jika pertahanan itu di tarik di sebelah Barat Kali Opak, berarti bahwa kami harus mengosongkan Kademangan ini dari setiap pengawal dan membiarkan Kademangan ini menjadi landasan kekuatan pasukan Pajang."
"Semuanya sudah diperhitungkan," berkata Senapati itu, "mungkin memang harus ada yang dikorbankan untuk satu kepentingan yang lebih besar. Tetapi seandainya Sangkal Putung akan dipertahankan, tetapi dengan demikian kerusakan pasukan Mataram akan menjadi lebih parah, maka garis perang itupun tentu akan bergeser. Jika sangkal Putung kemudian harus dikosongkan setelah pertempuran yang menentukan, maka sikap para prajurit Pajang tentu akan lebih keras terhadap rakyat Sangkal Putung. Tetapi jika tidak ada perlawanan ketika mereka melewati Kademangan ini, maka sikap mereka akan berbeda. Sementara itu, Sangkal Putung memang dapat dikosongkan dengan mengungsikan para penghuninya ke tempat-tempat yang lebih aman."
Namun Swandaru masih menjawab, "Kami mempertahankan Kademangan ini dengan segenap kemampuan yang ada pada saat Tohpati berusaha Untuk merebut lumbung padi yang melimpah ini. Tentu tidak mungkin bagi kami untuk melepaskan begitu saja tanpa mempertahankannya terhadap orang-orang Pajang."
Kedua Senapati yang datang ke Kademangan Sangkal Putung itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Kiai Gringsing untuk mendapatkan pertimbangannya Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat ia berkata, "Aku dapat mengerti perasaanmu Swandaru. Tetapi marilah kita mencoba berpikir dengan nalar dan sedikit melihat satu kepentingan yang besar dalam keseluruhan. Seandainya kita mempertahankan Sangkal Putung, maka pada akhirnya kitapun harus bergeser meninggalkan Kademangan ini. Jika demikian, akibatnya memang akan jauh lebih parah daripada membiarkan orang-orang Pajang itu lewat."
"Tetapi mereka akan mempergunakan Kademangan ini sebagai landasan. Setidak-tidaknya mereka akan mempergunakan segala isinya untuk kepentingan mereka," jawab swandaru.
"Swandaru," berkata Kiai Gringsing dengan nada sareh, "pasukan Pajang tidak akan mempergunakan Kademangan ini sebagai landasan. Kademangan ini masih terlalu jauh dari Kali Opak bagi sebuah pasanggrahan. Pasukan Pajang tentu akan mengambil tempat yang lebih dekat. Mungkin justru Kademangan Prambanan sendiri."
Swandaru mengerutkan keningnya. Sementara itu kedua Senapati itupun berharap, bahwa keterangan gurunya akan dapat mempengaruhi sikap Swandaru.
Dalam pada itu, Ki Demang sangkal Putunglah yang bertanya, "Tetapi apakah tidak akan terjadi sesuatu yang parah bagi Kademangan ini, apabila kita meninggalkannya dan ikut serta membangun sebuah pertahanan di Prambanan?"
"Menurut pendapatku, keadaannya akan lebih baik daripada kita mempertahankannya tetapi kemudian harus meninggalkannya," jawab salah seorang dari kedua Senapati itu, "karena menurut perhitungan para pemimpin di Mataram, Mataram tentu akan karoban lawan. Karena itu Mataram akan bertahan di seberang Kali Opak Pada saat pasukan Pajang menyeberangi sungai itu, maka Mataram akan dapat mempergunakannya untuk memperlemah pasukan Pajang itu."
Ki Demang mengangguk-angguk. Sementara itu Senapati yang lain berkata, "Kita tidak dapat membayangkan, apa yang akan dilakukan oleh para prajurit yang marah atas Sangkal Putung. Apalagi jika diantara mereka sudah banyak yang terbunuh. Sementara itu, pasukan M atar ampun tentu akan susut terlalu banyak untuk mempertahankan Kademangan ini terutama para pengawal Sangkal Putung sendiri. Sedangkan perlawanan yang demikian dapat dihindari, sehingga kematian yang tidak berarti itupun dapat dihindari pula."
Swandaru terdiam sejenak. Namun agaknya masih terasa sesuatu bergejolak didalam hatinya.
Sehingga dalam pada itu. Kiai Gringsingpun berkata, "Kita harus mampu memperhitungkan keadaan berlandaskan kepada kenyataan. Bukan atas dasar perasaan semata-mata. Dengan demikian kita akan mendapatkan hasil yang sebaik-baiknya. Perang memang bukan satu keadaan yang menyenangkan. Setiap peperangan akan membawa pengorbanan. Siapapun yang akan menang dan kalah. Karena perang bukanlah satu penyelesaian yang paling baik."
Swandaru tidak menjawab meskipun sebenarnya ia masih belum sepenuhnya menerima keadaan yang akan berlaku atas Sangkal Putung.
Tetapi agaknya ia tidak mempunyai pilihan lain. Jika Mataram memang ingin bertahan di seberang Kali Opak, maka jika ia memaksa untuk mempertahankan Sangkal Putung tidak akan dapat berbuat apa-apa menghadapi pasukan Pajang itu sendiri.
Karena itu, maka ia memang tidak mempunyai pilihan lain.
Dengan demikian, maka para pemimpin di Kademangan Sangkal Putung itupun harus menerima satu kenyataan, bahwa mereka tidak akan dapat mempertahankan Kademangan mereka seperti yang pernah mereka lakukan atas pasukan Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan, karena suasana dan keadaan yang berbeda.
Sepeninggal kedua Senapati itu, maka Sangkal Putungpun mulai membenahi diri. Ki Demang menyadari, bahwa dengan demikian akan terjadi pengungsian besar-besaran. Sangkal Putung memang harus dikosongkan untuk menghindari korban yang tidak berarti.
"Beberapa pengawal akan tinggal," berkata Swandaru, "aku akan memimpin mereka."
"Untuk apa?" bertanya Ki Demang.
"Kita tidak akan membiarkan para perampok mempergunakan segala macam kesempatan untuk keuntungan mereka. Sementara itu, jika pasukan Pajang datang, kami akan segena meninggalkan tempat ini.langsung memasuki pertahanan di seberang Kali Opak," jawab Swandaru.
"Berbahaya sekali," jawab Ki Demang, "bagaimana keadaan kalian jika kalian dapat disergap oleh para prajurit Pajang?"
"Kami akan berhati-hati. tetapi kami tidak dapat membiarkan Kademangan ini kosong dan menjadi sasaran para perampok yang tidak menghiraukan keadaan apapun yang terjadi."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Satu tanggung jawab yang besar. Tetapi kalian harus sangat berhati-hati. Kalian harus tahu pasti, dimanakah daerah pertahanan para pengawal Kademangan Sangkal Putung."
Ki Demang tidak dapat melarang anaknya untuk melakukannya. Karena itu, maka iapun hanya dapat berpesan dengan sungguh-sungguh agar para pengawal yang akan tinggal itu tidak lengah. Setiap kelengahan akan dapat berarti kesulitan yang gawat bagi mereka.
Dalam pada itu, maka Kademangan Sangkal Putung harus mulai berbuat sesuatu. Swandarulah yang kemudian memanggil para pemimpin kelompok, sementara Ki Demang memanggil semua bebahu di Kademangan Sangkal Putung.
Sementara Sangkal Putung sibuk mempersiapkan diri, maka dua orang Senapati yang lain telah meninggalkan Jati Anom. Mereka telah menyampaikan segala pesan Raden Sutawijaya kepada Untara, karena menurut perhitungan Raden sutawijaya, Untara yang menerima pesan langsung dari Kangjeng Sultan itu berdiri di pihaknya.
Sebenarnyalah dengan sikap seorang prajurit, Untarapun segera mempersiapkan diri pula.
Seperti yang sudah di katakan oleh Raden Sutawijaya kepada setiap pemimpin pasukan lewat para penghubung, maka malam sebelum hari yang mendebarkan itu, mereka telah mengadakan sebuah pertemuan khusus bagi para pemimpin.
Raden Sutawijaya sendirilah yang memimpin pertemuan itu yang dilaksanakan disebuah banjar padukuhan yang cukup besar di sebelah Barat Kali Opak.
Hadir dalam pertemuan itu para pemimpin dari berbagai daerah. Termasuk Swandaru yang mewakili Sangkal Putung. Namun malam itu juga Swandaru akan kembali ke Sangkal Putung untuk menghubungi beberapa orang pengawal yang tinggal untuk tetap mengamati Kademangan itu agar tidak menjadi korban para perampok yang tidak mau mengerti, gejolak perjuangan yang lebih besar daripada kepentingan diri sendiri
Namun rasa-rasanya Raden Sutawijaya masih menganggap pertemuan itu belum lengkap. Dengan nada rendah ia bertanya, "Apakah wakil dari pasukan khusus sudah hadir?"
"Aku sudah ada Raden," jawab Ki Lurah Branjangan.
"Apakah Ki Lurah sendiri?" bertanya Raden Sutawijaya pula.
"Tidak. Aku disertai seorang perwira yang bersamaku mengendalikan Kesatuan Khusus itu," jawab Ki Lurah Branjangan.
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Kemudian di pandanginya Ki Gede sambil bertanya, "Apakah Ki Gede hanya berdua dengan Ki Waskita?"
"Ya Raden," jawab Ki Gede.
"Dimana Agung Sedayu?" bertanya Raden Suta wijaya pula
"Agung Sedayu dan Sekar Mirah berangkat bersama Pasukan Khusus," jawab Ki Gede.
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk Kemudian katanya kepada Ki Lurah Branjangan, "Panggil anak itu Meskipun barangkali ia bukan pemimpin dari pasukan khusus itu, tetapi aku memerlukannya."
Wajah Ki Lurah menegang. Namun iapun kemudian menggamit perwira yang menyertai sambil berkata, "Panggil anak itu."
Ternyata bahwa Raden Sutawijaya masih menunggu. Baru sejenak kemudian Agung Sedayu hadir di pertemuan itu tidak bersama Sekar Mirah.
"Dimana isterimu Agung Sedayu?" bertanya Raden Sutawijaya.
"Ia berada di ujung padukuhan bersama Pandan Wangi," jawab Agung Sedayu
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Namun ia merasa bahwa kehadiran Agung Sedayu sudah cukup melengkapi pertemuan itu.
Dengan demikian, maka Raden Sutawijayapun kemudian mulai membuka pertemuan dengan menguraikan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di keesokan harinya
"Yang penting harus kita hadapi adalah justru sayap pasukan Pajang," berkata Raden Sutawijaya, "karena kekuatan yang dengan sepenuh hati oleh dendam dan kebencian akan menghancurkan Mataram adalah kekuatan yang berada di kedua ujung sayap pasukan Pajang."
Para pemimpin pasukan yang tergabung dalam pasukan Mataram itu mengangguk-angguk. Sementara itu Raden Sutawijaya melanjutkan, "Karena itu, aku ingin meletakkan kekuatan yang terpenting dari pasukan kita juga di ujung-ujung sayap pasukan. Aku hanya memerlukan pasukan yang kecil saja di badan dan pusat gelar. Aku akan tetap memohon kepada pamanda Ki Juru untuk menjadi Panglima seluruh pasukan Mataram. Aku akan berada di sayap gelar, karena sesuai dengan pesan ayahanda, bahwa kekuatan yang harus di hadapi oleh Mataram adalah justru pasukan yang paling jauh dari ayahanda Kangjeng Sultan. Sementara aku akan mengangkat Pang-hma di sayap yang lain untuk mengimbangi sayap yang akan aku pimpin sendiri."
Ki Juru Martani menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sebagaimana penglihatannya, tidak ada orang lain yang akan dapat dipercaya untuk melakukannya.
Karena itu, maka dengan berat Ki Juru menjawab, "Apaboleh buat ngger. Jika tidak ada orang lain, maka aku dengan terpaksa sekali akan menerima pengangkatan ini dengan keterangan, bahwa aku akan menghadap Kangjeng Sultan di Pajang dengan kepala tunduk."
"Paman memang tidak akan berbuat banyak di ujung dan pusat gelar, karena aku tahu, ayahanda Kangjeng Sultan juga tidak akan berbuat banyak," jawab Raden Sutawijaya.
Ki Juru mengangguk-angguk. Ia tidak dapat mengelak lagi. Namun iapun mengerti, bahwa tidak akan terlalu berat tugasnya sesuai dengan pesan Kangjeng Sultan.
"Tetapi jika pesan itu ternyata tidak terujud dalam kenyataan maka justru tugaskulah yang akan menjadi paling berat," gumam Ki Juru.
"Memang mungkin terjadi paman," jawab Raden Sutawijaya, "jika ada pihak yang memotong perintah Kangjeng Sultan, maka mungkin sekali kekuatan lawan akan berpindah. Tetapi dengan demikian, maka kitapun harus cukup cekatan untuk menggeser kekuatan kita diantara gelar yang akan kita pasang."
Ki Juru mengangguk-angguk. Meskipun masih juga ada kebimbangan di hatinya.
Sementara itu, maka Raden Sutawijayapun berkata, "dalam pada itu, maka aku akan berada diujung kanan dari pertahanan ini bersama pasukan dari Mataram. Namun aku akan meletakkan pokok kekuatan pada pasukan yang dipimpin oleh Untara. Aku mempunyai perhitungan, bahwa pasukan Untara akan dapat mengimbangi kekuatan pasukan Pajang yang manapun juga. Sementara itu, aku akan meletakkan pasukan khusus dari Tanah Perdikan Menoreh bersama pasukan Tanah Perdikan Menoreh itu sendiri di ujung lain. Dalam pada itu pasukan Sangkal Putung akan berada di sayap sebelah kiri pula, sedang yang lain di sayap kanan."
Para pemimpin yang berkumpul itu mendengarkan penjelasan Raden Sutawijaya dengan sungguh-sungguh, karena persoalan yang mereka hadapi itu adalah persoalan yang cukup besar. Setiap pemimpin mulai dapat membayangkan ujud pertahanan yang akan dibangun oleh pasukan Mataram.
Namun dalam pada itu. Raden Sutawijaya masih belum menjelaskan pasukan yang akan berada di induk pasukan. Justru yang akan berhadapan langsung dengan pasukan induk pasukan Pajang.
Baru kemudian Raden Sutawijaya berkata, "Dengan demikian maka kita akan meletakkan kekuatan kita pada sayap pasukan kita. Sementara yang akan berada di induk pasukan adalah pamanda Ki Juru dengan pasukan Mataram yang berasal dari prajurit Pajang yang bersama aku membuka Mataram atas perkenan ayahanda Kangjeng Sultan. Pasukan yang semula adalah pasukan di Pajang.
Ki Juru mengangguk-angguk. Ia mengerti, pasukan itu adalah pasukan yang berpengalaman dan memiliki kemampuan yang cukup tinggi, meskipun pada umumnya bukan lagi dapat disebut muda. Pasukan itu adalah pasukan yang dipimpin oleh Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabei Loring Pasar. Yang kemudian di ijinkan untuk membantu Raden SIutawijaya membuka Mataram disamping beberapa kelompok prajurit yang atas permohonan mereka sendiri telah berada di Mataram pula.
"Tetapi pasukan itu terlalu kecil," berkata Ki Juru.
"Aku yakin, bahwa dengan pasukan yang kecil itu, Ki Juru akan dapat menahan pasukan Pajang yang dipimpin langsung oleh ayahanda Kangjeng Sultan," jawab Raden Sutawijaya.
Ki Juru termangu-mangu sejenak. Tetapi akhirnya iapun mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Tetapi jika aku mengalami kesulitan, aku akan minta bantuan beberapa kelompok pasukan yang berada di sayap."
"Tentu paman," jawab Raden Sutawijaya," sayap pasukan ini tidak akan berada terlalu jauh. Paman akan dapat mempergunakan isyarat panah sendaren."
"Aku akan mencoba berbuat sebaik-baiknya," berkata Ki Juru.
Dalam pada itu, Raden Sutawijaya berkata, "Karena aku dan Untara akan berada di satu sisi, maka di sisi yang landandasan kekuatan ada pada pasukan khusus yang dipimpin oleh Ki Lurah Branjangan Meskipun pimpinan berada di tangan Ki Lurah, namun aku akan minta Agung Sedayu untuk berada di sayap itu untuk menghadapi orang-orang terpenting dalam pasukan lawan. Aku percayakan pimpinan gelar pada Ki Lurah. Tetapi dalam benturan perang Senapati, maka aku menempatkan Agung Sedayu dan Sekar Mirah disamping Ki Gede dan Ki Waskita. Sementara itu Swandaru dan Pandan Wangi dibawah pengawasan Kiai Gringsing akan berada di bagian dalam sayap itu pula. Adapun yang akan berada bersamaku, Untara dan Ki Widura adalah pimpinan pasukan dari Pasantenan dan Mangir serta seorang prajurit muda yang diserahi kelompok khusus dari pasukan Untara, Sabungsari."
Demikianlah untuk beberapa saat, para pimpinan itu masih berbincang ketika Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga membari kesempatan kepada mereka untuk berpendapat Namun yang kemudian mereka tentukan adalah tebaran pasukan masing-masing dipinggir kali Opak.
"Kita akan menentukan kemudian," berkata Raden Sutawijaya, "tetapi kita mempergunakan pegangan jarak masing-masing dari paruh pasukan yang dipimpin oleh paman Juru Martani. Paruh pasukan itu akan berada di hadapan induk pasukan Pajang yang dipimpin oleh ayahanda Kangjeng Sultan, Sementara tanda-tanda kebesaran akan berada di pasukan paman Juru. Umbul-umbul, ron-tek dan tunggul. Namun di sayap pasukanpun akan terdapat pula beberapa rontek dan tunggul."
Demikianlah, setelah semuanya jelas, meskipun para pemimpin itu masih berbincang lebih dalam lagi, Swandaru telah meninggalkan pertemuan itu. Ia sudah tahu, dimanakah pasukan| Sangkal Putung kira-kira akan membangun pertahanan. Sementara itu, ia berpacu dengan beberapa orang pengawal menuju ke Sangkal Putung. Jarak yang cukup panjang. Tetapi ia masih akan memberikan beberapa pesan kepada para pengawal. Namun dengan perhitungan, bahwa ia harus berada di Prambanan lagi sebelum pasukan Pajang berada di Prambanan pula.
Dalam pada itu, malam itu juga, pasukan Mataram telah menempatkan diri. Mereka memperhitungkan, bahwa induk pasukan Pajang akan berada disekitar jalan menuju ke Mataram. Karena itu, maka mereka untuk sementara menempatkan induk pasukan mereka di sebelah jalur jalan itu pula. Namun jika induk pasukan lawan bergeser, induk pasukan Mataram akan bergeser pula.
Tetapi Raden Sutawijaya tidak sekedar mempercayakan pertahanannya pada kekuatan pasukannya. Karena itu, ia telah memerintahkan beberapa orang untuk pergi kebendungan yang terletak beberapa puluh tonggak di sebelah atas dari Prambanan. Dengan isyarat, maka mereka mempunyai tugas untuk memecahkan sebuah bendungan, sehingga air dari kedung yang terbendung itu akan meluap disepanjang sungai.
"Bagaimana dengan rakyat yang memerlukan air itu Raden?" bertanya Kiai Gringsing ketika ia mendengar rencana itu.
"Setelah perang ini selesai, maka kita akan memperbaiki bendungan itu seperti semula," jawab Raden Suta wijaya.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam Tetapi la tidak mencegahnya.
Dalam pada itu, setelah masing-masing menempatkan diri serta menentukan hubungan dan isyarat maka pasukan dari Mataram itu masih sempat benstira hat beberapa saat, karena malam masih panjang. Namun dalam pada itu, beberapa orang yang bertugas tetap berjaga-jaga dan mengawasi keadaan dengan saksama. Mereka berusaha agar tidak seorangpun yang akan mengamati garis pertahanan mereka. Sehingga dengan demikian, para prajurit Pajang tidak akan mengetahuinya, bahwa Raden Sutawijaya telah menempatkan sebagian terbesar kekuatannya justru di sayap pasukan. Justru karena pesan Kangjeng Sultan akan memisahkan para prajurit yang benar-benar setia kepada Sultan, serta mereka yang berpura-pura setia namun telah membuat rencana mereka sendiri.
Dalam pada itu, swandaru dan para pengawalnya telah mendekati Sangkal Putung. Terasa betapa sepinya malam. Agaknya orang-orang Sangkal Putung yang mengungsi telah menuimibuhkan kegelisahan pula bagi Kademangan-kademangan di sekitarnya, sehingga para penghuninyapun sebagian telah mengungsi pula.
"Tetapi Pajang tidak menganggap mereka terlibat langsung," berkata Swandaru kepada para pengawal " karena itu, maka para prajurit Pajang tidak akan mendendam mereka sebagaimana mereka mendendam orang-orang Sangkal Putung."
Kekelaman yang semakin lengang terasa ketika Swandaru mulai memasuki padukuhan-padukuhan yang termasuk ke dalam Kademangan Sangkal Putung. Seolah-olah tidak ada lampu dirumah-rumah dan tidak ada obor di gardu-gardu yang menyala.
Meskipun demikian, sekelompok pengawal telah menghentikan Swandaru yang melintasi jalan yang gelap.
"Swandaru," desis seorang pengawal.
"Ya, aku," jawab Swandaru.
"Bagaimana dengan para pengawal dari Mataram?" bertanya pengawal itu.
"Kita sudah menentukan sebuah garis pertahanan," jawab Swandaru, "menjelang fajar menyingsing, kita akan meninggalkan Kademangan ini dengan diam-diam, agar Kademangan ini tidak menjadi sasaran para perampok. Sementara sebagian kecil dari kita akan menunggu pasukan Pajang mendekati Kademangan ini. Yang sebagian kecil itu akan segera bergeser menyingkir jika pasukan Pajang tel^h nampak di ujung bulak di batas Kademangan ini. Kalian dapat menempuh jalan menuju ke hutan dan melintasi hutan yang tidak begitu lebat menyamping lereng di sebelah Selatan Gunung dan langsung mencapai Prambanan. Kalian akan menyeberangi Kali Opak sebelum Kali Opak memasuki Kademangan Prambanan."
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Namun seorang diantara mereka bertanya, "Siapa diantara kita yang akan tinggal dan baru nyingkir kemudian?"
"Nama-nama itu akan ditentukan kemudian," jawab Swandaru. Lalu, "Aku akan keinduk Kademangan. Disana aku akan menentukan."
Para pengawal itu mengangguk-angguk. Sementara itu swandarupun telah meninggalkan mereka dan langsung menuju ke induk Kademangan. Disetiap padukuhan. ia memang harus berhenti sejenak untuk memberikan penjelasan.
Beberapa orang yang kebetulan mendapat giliran untuk beristirahat menguap di bibir gardu sambil bertanya, "Ada apa?"
"Swandaru," jawab kawannya.
"Ada apa dengan Swandaru," bertanya anak itu lagi.
Kawan-kawannya yang ikut berbincang dengan Swandaru itupun kemudian memberikan penjelasan kepada kawan-kawannya, sementara Swandaru sendiri telah sampai ke padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung.
Sambil memberi kesempatan kudanya untuk beristirahat Swandaru memberikan beberapa penjelasan kepada seorang pengawal yang telah mendapat kepercayaannya untuk memimpin kawan-kawannya yang tinggal di Sangkal Putung sebelum pasukan Pajang datang.
"Aku akan melakukannya sebaik-baiknya," berkata anak muda itu.
Sementara itu, menunggu fajar, Swandarupun masih sempat membaringkan dirinya di pendapa rumahnya. Rasa-rasanya ia tidak ingin meninggalkan tempat itu lagi, meskipun pasukan Pajang akan datang dan membuat Kademangan itu menjadi karang abang.
Tetapi baru saja ia sempat memejamkan matanya, ayam jantan telah berkokok untuk ketiga kalinya. Tanpa dibangunkan, Swandaru telah membuka matanya. Perlahan-lahan ia bangkit dan menggeliat. Kemudian ketika ia turun dari tangga Kademangan, maka beberapa orang pengawal itu bersiap-siap pula.
Swandaru tidak sempat mandi. Ia hanya mencuci mukanya. Kemudian iapun siap untuk kembali ke Prambanan.
Meskipun demikian, untuk memberi kesempatan kudanya beristirahat lebih lama, maka iapun telah mempergunakan seekor kuda yang lain, sementara kudanya akan dipergunakan oleh kawannya yang baru akan meninggalkan Sangkal Putung kemudian, apabila pasukan Pajang telah nampak diujung bulak.
Sejenak kemudian, Swandaru dan sebagian besar dari para pengawal yang tinggal telah berpacu diatas punggung kudanya. Tetapi masih ada beberapa orang yang tinggal di setiap Padukuhan. Pengawal yang berada di paling ujung harus mengawasi bulak panjang dihadapan padukuhan. Jika pasukan Pajang muncul, maka mereka akan meninggalkan padukuhan itu melewati jalur jalan yang telah ditentukan sambil mengajak kawan-kawan mereka di padukuhan-padukuhan yang akan dilewatinya menuju ke Prambanan lewat jalan yang telah ditunjuk oleh swandaru.
Sementara itu Swandaru sendiri berpacu melalui jalan memintas. Menurut pendapatnya, jalur jalan yang terbiasa dilalui untuk menuju ke Mataram tentu sudah diawasi oleh orang-orang Pajang. Meskipun memreka mungkin tidak akan berbuat apa-apa, tetapi keterangan mereka mungkin akan dapat merugikan Mataram.
Sementara itu, sebenarnyalah bahwa pasukan Pajang telah bersiap Tetapi ternyata bahwa Kangjeng Sultan tidak tergesa-gesa Kangjeng sultan tidak meninggalkan istana menjelang dini hari. Tetapi Kangjeng Sultan baru bersiap ketika matahari sudah terbit di ujung Timur
Ketika seseorang mengusulkan untuk membagi pasukannya dan melingkari daerah pertahanan yang mungkin akan di pergunakan oleh Mataram, untuk langsung menusuk jantung Mataram dari arah lain, Kangjeng sultan tidak setuju.
"Aku akan melihat, apakah sutawijaya benar-benar seorang laki-laki dimedan perang. Aku akan memecahkan pertahanan Mataram langsung beradu dada," berkata Kangjeng Sultan
Tidak seorang Senapatipun yang membantah. Sementara itu Kangjeng Sultan telah siap dengan kadang sen-tana, para Senapati dan gegedug Pajang yang memiliki nama menggetarkan di medan perang.
Diantara mereka adalah Adipati Tuban. Adipati yang dengan ikhlas telah bertempur dipihak Kangjeng Sultan tanpa mengetahui persoalan yang sedang berkembang di Pajang


07 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena itu, maka Kangjeng Sultan telah menunjuk Adipati Tuban dan pasukan yang dibawanya untuk berada di induk pasukan bersama putera kinasih yang telah dipisahkan oleh satu jarak dengan Kangjeng Sultan, Pangeran Benawa.
"Kalian adalah Senapati Pengapit kiri dan kanan. Tetapi kalian jangan renggang dari aku lebih dari panjang tombak kalian perintah Kangjeng Sultan. Lalu, "Biarlah para Panglima dan Senapati berada di sayap pasukan kiri dan kanan."
Perintah itu telah disambut dengan senang hati oleh Ki Tumenggung Prabadaru dengan kawan-kawannya. Tanpa mengetahui latar belakang perintah Kangjeng Sultan itu, mereka merasa bahwa dengan jarak yang cukup, mereka akan dapat berbuat apa saja diluar pengamatan langsung Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Apalagi Pangeran Benawa sudah mendapat perintah untuk tidak terpisah dari ayahandanya itu.
"Adipati Tuban memang akan dapat mengganggu," berkata Ki Tumenggung Prabadaru, "untunglah, bahwa ia berada dekat dengan Kangjeng Sultan dan Pangeran Benawa Sementara Adipati Demak tidak akan banyak menentukan sikap. Ia akan hanyut saja dalam arus peperangan yang akan terjadi disekitarnya. Karena itu, maka kita akan menghancurkan lewat sayap pasukan ini. Kita tidak mempercayakan kemenangan pasukan Pajang pada induk pasukan. Bahkan kita akan membiarkan kedua pasukan itu hancur. Pasukan Mataram dan induk pasukan Pajang. Kita akan berdiri diatas bangkai mereka. Akan bangkit kemudian satu pemerintahan yang besar sebagaimana pemerintahan Majapahit lama. Kita akan menjalankan tugas kakang Panji sebaik-baiknya."
Demikianlah, maka Tumenggung Prabadaru dengan Kesatuan khususnya yang sangat kuat berada di sayap kanan, sementara para perwira yang lain, yang mendapat kepercayaan sebagaimana Ki Tumenggung Prabadaru berada di sayap kiri. Namun dalam pada itu, disamping para perwira dari pasukan Pajang yang telah terpengaruh oleh mimpi buruk Kakang Panji, maka sebenarnyalah didalam pasukan itu, telah tersisip pula orang-orang yang telah menyatakan diri bergabung dengan mereka. Karena itulah, maka pasukan-pasukan yang berada di sayap itupun merupakan pasukan yang cukup kuat dan memiliki kemampuan yang tinggi. Diluar tugas keprajuritannya yang sudah ditanggalkan, sejak ia dinyatakan mati, maka Pringgajaya ternyata sempat juga berada di pasukan Pajang dengan nama yang berbeda. Sementara itu orang-orang yang datang dari beberapa padepokan yang ikut pula bermimpi sebagaimana Ki Tumenggung Prabadaru, telah hadir pula di pertempuran itu diluar pengetahuan Kangjeng Sultan. Namun sebenarnyalah Kangjeng Sultan yang bernama Mas Karebet di masa mudanya itu, bukan orang yang terlampau dungu, sehingga apa yang terjadi di pasukannya itu akhirnya diketahuinya juga.
Tetapi Kangjeng Sultan tidak berbuat sesuatu. Ketajaman nalarnya telah membuatnya dengan sengaia membiarkan apa yang terjadi, karena menurut perhitungannya yang cermat, maka Sutawijaya tentu telah menerima pesannya dan meletakkan kekuatannya di sayap pasukannya pula.
"Mudah-mudahan Sutawijaya tidak salah hitung," berkata Kangjeng Sultan didalam hatinya.
Demikianlah, maka pasukan Pajang yang besar telah bergerak langsung menuju ke Prambanan. Kangjeng Sultan telah memerintahkan kepada seluruh pasukannya, bahwa menurut laporan yang diterima oleh para petugas sandi, bahwa pasukan Mataram justru telah bergerak lebih dahulu menuju ke Prambanan Karena itu, maka Kangjeng Sultan akan menghadapi pasukan Mataram itu di tempat mereka bertahan.
"Satu cara yang kurang bijaksana," berkata seorang Senapati kepada Ki Tumenggung Prabadaru, "sebenarnya Kangjeng Sultan dapat membagi pasukan ini. Sebagian dari kita akan menyerang dari arah lain menuju langsung ke Mataram. Kita sudah mengetahui daerah pertahanan yang paling kuat disekitar Mataram. Namun dengan cara ini kita akan berhadapan langsung dengan benturan yang dahsyat."
"Bukankah kita akan mendapatkan keuntungan dari benturan ini?" bertanya Ki Tumenggung Prabadaru, "kemarahan Sultan yang tidak tertahankan telah membuatnya bernafsu untuk menghukum langsung Raden Sutawijaya. Namun dengan demikian, bukankah berarti bahwa kedua orang ayah dan anak angkat itu akan bersama-sama hancur" Jika kita menembus Mataram dengan cara lain, maka korban tidak akan jatuh dari kedua belah pihak. Mungkin Kangjeng Sultan akan mampu menghimpun pengikutnya untuk menegakkan kekuatannya kembali. Pengalaman pahit karena pemberontakan putera angkatnya yang sangat dikasihinya ini akan dapat meru-bah keadaannya, sehingga ia akan bangkit kiagi dari kelemahannya lahir dan batin sekarang ini."
Senapati itu mengangguk-angguk. Nampaknya Ki Tumenggung Prabadaru telah memperhitungkannya dengan cermat. Bahkan mungkin telah dibicarakan pula dengan orang yang menyebut dirinya Kakang Panji.
Iring-iringan pasukan Pajang itu telah membuat rakyat padukuhan yang dilaluinya menjadi sangat cemas. Mereka membayangkan, bahwa akan terjadi perang yang sangat dahsyat menilik kekuatan Pajang yang besar telah dikerahkan menuju ke Mataram.
"Mataram akan menjadi karang abang," desis orang-orang padukuhan yang dilalui oleh pasukan itu
"Kangjeng Sultan telah mempergunakan titihan kinasihnya," berkata yang lain, "pertanda bahwa Kangjeng Sultan benar-benar telah berada dalam puncak kemampuannya sebagai seorang Raja, Panglima dan Pangayoman. Dengan kendaraan Gajah, Kangjeng Sultan adalah Panglima perang yang mampu berbuat apa saja dimedan."
Sebenarnyalah, iring-iringan itu merupakan campur baur antara kebanggaan dan kecemasan rakyat Pajang sendiri. Jika Mataram juga mengerahkan kekuatan yang sama, maka tentu akan terjadi perang yang maha dahsyat. Sebagian dari ereka yang berangkat ke medan itu. untuk selamanya tidak akan pernah kembali lagi kepada anak isterinya, kepada orang tuanya dan tidak akan pernah melihat lagi kampung halamannya.
Sebenarnya Pajang telah menunjukkan kekuatan yang besar. Dengan melihat pasukan yang dengan kesiagaan perang menuju ke Mataram itu sebenarnya Pajang adalah satu kekuatan yang luar biasa. Apalagi jika kekuatan Pajang itu bergabung dengan kekuatan Mataram Maka Pajang tentu akan menjadi satu negara yang disegani. Bukan saja oleh sanak kadang di satu lingkungan, tetapi juga oleh kekuasaan asing yang berkeliaran di sekitar bumi Nusantara.
Tetapi dalam barisan yang panjang dengan kesiagaan tempur yang tinggi itu terdapat beberapa pihak yang hanya nampak satu dalam ujud lahiriahnya. Namun yang terbelah di jantungnya. Sehingga dengan demikian, maka yang nampak satu itu adalah gejolak pertentangan yang dahsyat dan mengakar. Dalam ujud yang satu itu telah tersimpan kutukan dan harapan yang kelam dalam doa kematian.
Namun demikian umbul-umbul, rontek dan kelebet di ujung pasukan mengiringi seekor gajah yang berwarna kelabu dengan kelengkapan yang cemerlang dan berbinar di sinar matahari pagi, telah menggetarkan setiap jantung. Di sebelah menyebelah dua orang Senapati pengapit diatas pungggung kuda yang tegar. Adipati Tuban dan Pangeran Benawa sendiri. Sementara itu, beberapa lapis di belakangnya adalah Adipati Demak. Baru kemudian, para prajurit dan pengawal dari Pajang, Tuban dan Demak mengiringi di belakang. Sementara itu, diujung belakang adalah para prajurit dan pasukan yang kemudian akan menebar di sayap kanan dan kiri.
Dalam pada itu, ternyata iring-iringan pasukan Pajang itu sama sekali tidak tergesa-gesa. Meskipun dengan langkah yang mantap dalam irama yang berderap dijiwai oleh nafas peperangan, namun pasukan itu maju secepat langkah-langkah kaki mereka.
Kangjeng Sultan Hadiwijaya tidak banyak memperhatikan padukuhan-padukuhan yang dilaluinya. Dengan sadar, Kangjeng Sultan sudah memperhitungkan, bahwa padukuhan-padukuhan akan menjadi sepi. Para penghuni tentu akan menghindarkan diri dari sentuhan pasukan yang sudah siap untuk membunuh atau dibunuh itu.
Seperti yang diperhitungkan oleh Mataram, maka tentu ada petugas sandi yang akan mendahului perjalanan pasukan Pajang. Dalam ujud orang kebanyakan, mereka benar-benar telah mengamati jalan yang akan dilalui oleh pasukan itu, untuk meyakinkan, dimana Mataram membangunkan pertahanan.
Meskipun telah ada laporan sebelumnya, bahwa sebagian pasukan Mataram telah membangunkan pasranggahan di sebelah Barat Kali Opak, namun petugas sandi yang mendahului perjalanan pasukan itu masih harus meyakinkan apa yang telah mereka dengar dari laporan sebelumnya.
Dengan menghindari jalan yang mungkin mendapat pengawasan, maka para petugas itu akhirnya dapat melihat, bahwa di seberang Kali Opak, Mataram benar-benar telah membangun sebuah pasanggrahan. Mereka melihat rontek, umbul-umbul dan panji-panji yang terpasang. Rasa-rasanya dengan sengaja Mataram telah menantang untuk membenturkan kekuatannya.
"Orang-orang Matara'hi memang gila desis petugas sandi itu, "apakah mereka sudah kehilangan kiblat. Bagaimanapun juga, mereka tidak akan dapat mengimbangi kekuatan dari Pajang. Meskipun mereka mengerahkan semua laki-laki dari mereka yang baru dapat berjalan sampai mereka yang sudah siap dibawa keliang kubur dari Mataram sendiri, Mangir, Tanah Perdikan Menoreh, Pasantenan di Gunung Kidul dan Sangkal Putung, bahkan dari daerah asal Senapati Ing Ngalaga di Sela atauseling-kar Gunung Merapi dan Merbabu, namun Mataram tidak akan dapat mengimbangi, bahkan sekuku ireng, dari kekuatan Pajang yang dikerahkan sekarang ini."
Tetapi kawannya tiba-tiba berdesis, "Kita tidak boleh tekebur. Kau lihat bahwa Mataram memiliki kekuatan di luar perhitungan nalar. Tentu kau pernah mendengar, bahwa kakek Raden Sutawijaya adalah seorang yang dianggap mampu menangkap petir."
Kawannya tertawa. Katanya, "Seandainya benar, kau kira ia akan bangkit lagi dari kuburnya" Lihat, langit cerah sekarang ini. Tidak ada petir yang berkeliaran yang barangkali akan ditangkap oleh kakek Senapati Ing Ngalaga dan diberikan kepadanya untuk senjata melawan Pajang."
"Dengar," geram kawannya, "marilah kita melihat arti methoknya dan arti miringnya. Jika benar Ki Ageng Sela itu mampu menangkap petir dilangit, itu pertanda bahwa ia memiliki kemampuan yang tidak ada duanya didunia ini. Tetapi seandainya kita ambil arti miringnya, maka petir itu tentu satu sanepa tentang kekuatan yang maha besar."
Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Kau masih belum yakin akan kemampuan Kanjeng Sultan Hadiwijaya yang dimasa mudanya bernama Karebet dan disebut Jaka Tingkir itu" Kemudian ilmunya yang sudah tumurun kepada Pangeran Benawa. Meskipun Pangeran Benawa itu kurang dapat dijajagi jalan pikirannya, tetapi sekarang ia berada disisi ayahandanya disebelah Adipati Tuban. Kau pernah mendengar kemampuan Adipati Tuban" Nah, kemudian kau harus memperhitungkan kemampuan Adipati Demak. Terle-bih-lebih lagi. kekuatan yang ada di sayap. Meskipun diantara mereka tidak ada orang yang memiliki kemampuan setinggi Pangeran Benawa, namun kemampuan mereka adalah kemampuan yang terpadu, seperti janget tinatelon. Mungkin seutas janget akan putus oleh kekuatan seekor lembu jantan, tetapi tiga ganda maka kekuatan itu tidak akan terputuskan."
"Hatiku berkata lain," desis kawannya, "tetapi baiklah. Kita akan melaporkan apa yang kita lihat. Kita sudah pasti, bahwa pertahanan Mataram tidak berada di Hutan Tambak Baya atau di tebing Kali Kuning atau di Sangkal Putung. Tetapi di seberang Kali Opak. Dengan demikian, maka pasukan Pajang akan dapat mengatur diri sebelum benturan yang sebenarnya terjadi."
Demikianlah maka petugas-petugas sandi itupun kemudian kembali menyongsong pasukan Pajang. Merekapun tahu, bahwa di Sangkal Putung masih ada beberapa orang pengawal, tetapi jumlahnya sama sekali tidak berarti, sehingga merekapun mengambil kesimpulan bahwa pengawal yang ada di Sangkal Putung tentu tidak dimaksudkan untuk menghambat kemajuan pasukan Pajang, selain sekedar untuk melindungi harta benda yang ada di Kademangan itu dari tangan-tangan hitam para perampok.
Dengan hasil pengamatan mereka itulah, maka para petugas sandi itupun kemudian kembali keinduk pasukan mereka. Mereka melaporkan secara terperinci, dimana pasukan Mataram membangunkan pertahanan. Bahkan seolah-olah Mataram telah menantang dengan dada tengadah.
"Mereka telah memasang pertanda kebesaran pasukan mereka di seberang Kali Opak. Nampaknya mereka telah membangunkan pasanggrahan dan siap menunggu kedatangan pasukan Pajang yang agaknya telah mereka ketahui, bergerak menuju ke Mataram," lapor para petugas sandi itu.
Kangjeng Sultan yang mendengar laporan itu mengangguk-angguk. Katanya, "Mataram memang mempunyai telinga dan mata di segala tempat di Pajang ini."
Adipati Tubanpun menyahut, "Tentu ada orang yang telah berkhianat. Tetapi bukankah pasukan Pajang cukup kuat untuk menghancurkan pasukan Mataram meskipun mereka telah bersiap di sebelah Barat Kali Opak" Betapapun banyak pengikutnya, tetapi pasukan mereka tidak akan sekuat pasukan Pajang yang terdiri dari para prajurit terlatih. Sementara itu agaknya Mataram telah mengerahkan setiap orang laki-laki yang masih pantas untuk menggenggam pedang. Mengerti atau tidak mengerti cara mempergunakannya."
Kangjeng Sultan mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Kita akan melihat, apa yang sudah dipersiapkan oleh Mataram. Sepasukan prajurit yang tangguh di medan perang, atau sekelompok laki-laki yang siap untuk mengusir burung di sawah."
Pangeran Benawa sama sekali tidak menyahut. Wajahnya nampak berkerut. Tetapi tidak seorangpun yang tahu, apa yang bergejolak didalam hatinya.
Dalam pada itu, pasukan Pajang itupun perlahan-lahan bergerak maju menuju ke Prambanan. Sementara itu, di bagian belakang dari iring-iringan yang panjang itu, Ki Tumenggung Prabadaru berkata, "Kita akan melihat, bahwa pasukan Pajang yang dibanggakan dan ditempatkan di Jati Anom itu sudah berkhianat."
"Sudah dapat diduga," jawab seorang kawannya, "tetapi pasukan itu tidak akan berarti apa-apa."
"Jika pasukan itu berdiri sendiri memang tidak akan berarti apa-apa. Tetapi bersama orang-orang Mataram, maka pasukan itu akan dapat menghambat kehancuran Mataram. Tetapi jika itu berarti bahwa pasukan Pajang harus mengorbankan jauh lebih banyak orang-orangnya dan kemudian sampyuh di peperangan, akan membawa arti yang lebih baik bagi kita," jawab Ki Tumenggung Prabadaru.
"Tetapi jika pasukan Untara itu diletakkan disayap, rasa-rasanya akan membumbui pertempuran ini dengan rasa asam yang agak tajam," jawab kawannya.
"Jangan cemas. Kesatuan khusus kita akan menggilasnya sampai orang terakhir," jawab Ki Tumenggung Prabadaru.
Kawannya tidak menjawab lagi. Iring-iringan itupun semakin lama menjadi semakin maju. Meskipun lambat, tetapi pasukan itu akhirnya mendekati sasaran. Namun sementara itu terik mataharipun telah membakar tubuh.
Ketika pasukan itu melewati Sangkal Putung, maka seperti yang sudah diperhitungkan, tidak ada hambatan apapun yang berarti. Para pengawal yang sudah memperhitungkan kehadiran pasukan Pajang telah menyingkir. Sebagian dari mereka langsung menuju ke Prambanan lewat jalan memintas di lambung Gunung Merapi, namun ada beberapa orang yang tinggal dan akan tetap mengawasi Kademangan Sangkal Putung. Mereka hanya sekedar bergeser keluar Kademangan dan bersembunyi di hutan yang tidak terlalu lebat. Untuk kemudian memasuki Kademangan terdekat atas ijin para penghuninya. Dari tempat itu mereka mengamati kampung halaman mereka yang sepi, agar tidak menjadi sasaran kejahatan.
Dalam terik panasnya matahari, maka sekali-sekaU iring-iringan pasukan Pajang yang panjang itupun harus berhenti. Pasukan itu nampaknya memang tidak tergesa-gesa. Dengan perlahan-lahan tetapi penuh keyakinan, pasukan itu mendekati garis pertahanan Mataram.
Para pengamat dari Mataram akhirnya menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat ujung dari rontek, umbul-umbul dan kelebet yang mulai nampak muncul dari ujung bulak panjang disebelah padukuhan. Para pengamat yang menyeberangi Kali Opak itu meUhat, betapa pasukan yang sangat besar itu bergerak maju, seperti seekor ular raksasa yang menelusuri jalurnya dengan sorot mata yang memancarkan api kemarahan.
"Kita akan melaporkan kepada Senapati Ing Ngalaga," berkata seorang diantara para pengamat itu.
"Baiklah. Kita harus bersiap," jawab yang lain.
Ketiak para pengamat itu melaporkan apa yang mereka lihat, maka sama sekali tidak nampak kegelisahan di wajah Raden Sutawijaya. Bahkan ia berkata, "Aku hampir tidak sabar menunggu kedatangan mereka. Alangkah lambatnya."
"Kami melihat seekor gajah di ujung pasukan," berkata pengamat itu.
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Sementara itu Ki Juru berkata, "Kangjeng Sultan ada dalam puncak kebesaran seorang Panglima."
"Ya paman. Kita akan melihat, apa yang akan mereka lakukan setelah mereka berada di seberang sungai," jawab Raden Sutawijaya.
Ki Juru mengangguk-angguk. Tetapi kemudian ia berdesis perlahan, "menempatkan dirinya dalam sebuah pasanggrahan lebih dahulu."
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Iapun sependapat dengan Ki Juru. Tetapi ia tidak mengatakannya kepada siapapun juga. Sehingga karena itu, maka para pemimpin pasukan di lingkungan pasukan Mataram itu segera mempersiapkan diri Mereka telah berada di lingkungannya masing-masing. Beberapa orang penghubung berkuda hiUr mudik dibelakang garis pertahanan.
Apalagi sejenak kemudian mulai terdengar bunyi bende dan genderang perang yang mengumandang. Pasukan Pajang mulai mempercepat irama langkah pasukan mereka mendekati pertahanan Mataram.
Raden Sutawijaya yang masih berada di induk pasukan menjadi ragu-ragu. Rasa-rasanya irama yang semakin cepat dan meninggi itu telah mewarnai pasukan Pajang dengan langkah-langkah pasti
Tetapi sekali lagi Ki Juru menggeleng. Katanya, "Aku tetap berpendirian, pasukan Pajang tidak akan turun ke medan."
"Tetapi kita harus bersiaga sepenuhnya paman," berkata Raden Sutawijaya.
"Bukankah kekuatan Mataram yang berada di sayap pasukan sudah siap untuk bertempur?" bertanya Ki Juru.
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, "Aku menyerahkan pimpinan sayap kanan kepada Untara. Meskipun sebenarnya aku bimbang, tetapi aku condong untuk berpendapat, bahwa pasukan Pajang memang tidak akan menyerang hari ini."
Ki Juru mengangguk-angguk. Sementara itu, tiba-tiba saja suara bende dan genderang pasukan Pajang menurun cepat. Kemudian justru telah berhenti.
Raden Sutawijaya dan Ki Jurupun kemudian tampil diatas tanggul Kali Opak, dibayangan sebuah gerumbul. Bagaimanapun juga, rasa-rasanya Raden Sutawijaya tidak ingin langsung menampakkan diri dihadapan ayahanda.
Pasukan Pajang ternyata berhenti di padukuhan di Delakang bulak disebelah Timur Kali Opak.
"Paman benar," desis Raden Sutawijaya.
"Matahari telah mulai turun," berkata Ki Juru," besok pagi mereka akan mulai dengan serangan mereka."
Raden Sutawijaya tidak menyahut. Namun dari kejauhan ia melihat kesibukan pasukan Pajang untuk menyiapkan sebuah pasanggrahan. Mereka memasang rontek, umbul-umbul dan panji-panji sebagaimana Mataram memasang di pasanggrahannya.
Dalam pada itu, maka atas perintah Kangjeng Sultan, maka pasukan Pajang itupun mulai menebar. Mereka menempati sebuah padukuhan yang luas. Bahkan kemudian sayap dari pasukan itu telah memencar ke sebelah menyebelah, menempati pasukan-pasukan di seberang bulak-bulak yang tidak begitu panjang.
Sambil menarik nafas dalam-dalam Ki Juru berkata, "satu pasukan raksasa."
Raden Sutawijaya mengangguk kecil. Namun ketegangan di jantungnya nampak di kerut wajahnya. Bagaimanapun juga. Raden Sutawijaya melihat pasukan Pajang itu benar-benar satu pasukan yang sangat kuat. Sementara itu, di ujung pasukan Kangjeng Sultan sendiri memimpin seluruh pasukannya diatas seekor gajah.
Ketika raden Sutawijaya kemudian kembali ke pasanggrahannya, beberapa orang pengawas bertugas untuk selalu mengamati gerak pasukan-pasukan Pajang. Dalam waktu-waktu tertentu mereka harus membuat laporan kepada setiap pemimpin kesatuan yang ada di sebelah Barat Kali Opak.
Dalam pada itu, para pemimpin pasukan di lingkungan pasukan Mataram itupun sempat memperhatikan pasukan Pajang yang besar itu. Bagaimanapun juga mereka harus membuat perhitungan yang sangat cermat. Pasukan lawan memang terlalu kuat.
Tetapi yang mendebarkan adalah justru induk pasukan Mataram yang hanya terdiri dari sebagian pasukan Mataram yang dilimpahkan oleh Pajang pada saat Raden Sutawijaya membuka Alas Mentaok, kemudian mendapat gelar Senapati Ing Ngalaga. Padahal pasukan Pajang di induk pasukan itu terdiri dari beberapa pasukan yang kuat. Pasukan pengawal khusus, pasukan dari Tuban dan Demak, serta beberapa kesatuan yang terpercaya.
"Apa yang dapat dilakukan oleh Ki Juru menghadapi pasukan itu," berkata beberapa orang pemimpin pasukan disayap.
"Ada yang tidak kita mengerti dari sikap Raden Sutawijaya," sahut yang lain. Lalu, "Tetapi kekuatan disayap pasukan, tidak akan terlalu jauh berimbang. Jika kita dapat memanfaatkan kali Opak dengan tebingnya, maka mungkin kita dapat mengurangi kekuatan mereka dalam jumlah yang berarti."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Namun mereka benar-benar harus memperhitungkan kemungkinan yang dapat mereka lakukan di tebing Kali Opak pada saat pasukan lawan menyeberang.
Pada umumnya para pemimpin pasukan di sayap pasukan Mataram itu cenderung untuk mempergunakan busur dan anak panah disaat pasukan Pajang menyerang. Mulai saat mereka menuruni tebing, kemudian menyeberang sungai dan berusaha memanjat tebing sebelah Barat.
"Kita tidak dapat mulai pada saat mereka menuruni tebmg berkata seorang diantara mereka " jika hal itu kita kerjakan, maka justru akan mendorong orang-orang Pajang untuk melindungi pasukannya dengan senjata serupa yang dilontarkan ke tebing sebelah Barat."
"Lalu," bertanya yang lain.
Kita biarkan mereka mendekati tebing Barat. Baru kemudian kita akan menyerang mereka Dengan anak panah atau lembing. Jika sebagian dari mereka sudah mencapai tebing disebelah Barat, maka kawan-kawannya tidak akan dapat melepaskan anak panah dari jarak yang cukup di belakang kawan-kawan mereka untuk menyerang pasukan kita diatas tebing, karena dengan demikian kemungkinan anak panah mereka akan dapat mengenai kawan mereka sendiri pada punggung," jawab kawannya.
Ternyata cara itu perlu mendapat pemecahan segera. Tetapi menilik sikap pasukan Pajang, maka akhirnya para pemimpin pasukan Matarampun mengerti, bahwa Pajang baru akan membangunkan sebuah pasanggrahan.
"Malam nanti kita sempat membicarakannya dengan Raden Sutawijaya," berkata seorang pemimpin dari Pasantenan.
Dalam pada itu, mataharipun kemudian turun semakin rendah di sebelah Barat. Sementara itu, kedua belah pihak masih sempat saling mengawasi sebelum mereka akan turun ke medan yang akan sangat menggetarkan jantung.
Dalam pada itu. ternyata Kangjeng Sultanpun telah mengamati pertanda kebesaran yang dipasang oleh orang-orang Mataram dari mulut lorong padukuhan disebelah bulak di seberang Timur Kali Opak. Dengan nada rendah ia berkata, "Kita akan menghadapkan induk pasukan kita di seberang induk pasukan Mataram."
Para Senapati di Pajang menganggap bahwa Kangjeng Sultan lebih banyak menyesuaikan diri kepada gelar yang telah di siapkan oleh Mataram. Karena itu, Adipati Demakpun kemudian berkata, "Ayahanda Sultan. Kenapa kita harus menghadapkan induk pasukan kita kehadapan induk pasukan Kakangmas Sutawijaya. Apakah tidak lebih baik kita menentukan sesuai dengan keadaan medan, sehingga paling menguntungkan bagi kita. Jika Mataram ingin menyesuaikan, biarlah mereka merubah gelar yang akan dipasangnya esok pagi."
Kangjeng Sultap memandang Adipati Demak dengan wajah yang buram. Katanya, "Aku menganggap bahwa aku sendiri harus menghadapi induk pasukan Mataram. Tidak ada orang yang dapat melawan Sutawijaya atau Ki Juru Martani, selain aku sendiri. Seandainya kita menentukan letak induk pasukan kita, sementara Mataram tidak mau merubah gelar yang sudah dipersiapkan, maka sayap atau lambung yang akan berhadapan dengan induk pasukan Mataram akan dihancurkan sampai lumat. Justru sebelum kita berhasil mencapai tepi Barat Kali Opak.
Adipati Demak mengerutkan keningnya. Dengan nada ragu ia berkata, "Aku percaya betapa tingginya ilmu Kakangmas Sutawijaya. Karena ilmunya adalah Ulmu ayahanda Sultan sendiri. Tetapi disini ada Kakangmas Pangeran Benawa."
Kangjeng Sultan memandang Pangeran Benawa yang tunduk. Adalah diluar dugaan, bahwa tiba-tiba saja Kangjeng Sultan bertanya kepada Pangeran Benawa, "benawa. Apakah kau merasa mampu untuk menghadapi Kakangmasmu Senapati Ing Ngalaga?"
Pangeran Benawa menarik nafas daiam-dalam. Seperti juga pertanyaan itu diucapkan diluar dugaan, maka jawab Pangeran Benawapun diluar dugaan, "Aku merasa terlalu kecil dihadapan Kakangmas Sutawijaya."
Adipati Tuban tiba-tiba saja berkata, "Hamba tidak tahu, apakah ilmuku akan mampu mengimbangi ilmu Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga. Tetapi jika Kangjeng Sultan memerintahkan, hamba akan bersedia menghadapinya."
Kangjeng Sultan tersenyum. Katanya, "Bukan maksudku memperkecil arti kehadiranmu. Tetapi aku tidak mau melihat korban yang sia-sia. Yang sebenarnya dapat dihindari. Karena itu, biarlah aku menghadapi Sutawijaya. Ia adalah pemimpin tertinggi Mataram. Tentu ia berada di induk pasukan. Bagaimanapun juga, aku adalah gurunya."
Tidak seorangpun yang membantah. Mereka mengerti, bahwa betapa tinggi ilmu Raden Sutawijaya, tetapi jika ia berhadapan dengan Kangjeng Sultan Pajang, maka ia tidak akan banyak dapat berbuat. Meskipun Kangjeng Sultan itu sebenarnya baru sakit.
Dalam pada itu, Tumenggung Prabadaru berkata, "Kita menyalakan api dengan baik. Tetapi kita menyiram dengan minyak yang terlalu banyak, sehingga nyala kemarahan Kangjeng Sultan melampaui yang kita harapkan. Meskipun dengan demikian, akibatnya akan menguntungkan bagi kita. He, apakah kita dapat berharap bahwa Kangjeng Sultan mengalami sesuatu di peperangan?"
"Maksudmu, gugur atau terluka parah dan tidak dapat di tolong lagi?" bertanya yang lain.
Tumenggung Prabadaru mengangguk.
Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kangjeng Sultan adalah orang yang memiliki ilmu tidak ada duanya. Tetapi setidak-tidaknya kelelahan akan menaMbah penyakitnya menjadi semakin gawat. Nampaknya jiwanya memang sudah semakin dekat dengan batas maut."
Tumenggung Prabadaru menarik keningnya. Namun kemudian ia berkata, "Mataram telah bersiap. Besok kita akan menghancurkan mereka bersama dengan hancurnya orang-orang Pajang diinduk pasukan. Kekuatan kita semuanya berada di sayap sebagaimana di kehendaki oleh Sultan sendiri."
"Satu pertanda kemenangan yang gemilang. Agaknya usaha kita mendapat jalan cerah, seolah-olah alam ikut bersama kita mengatur segala rencana sehingga dapat berlangsung sebaik-baiknya," sahut seorang kawannya.
Ketika langit menjadi gelap, maka kedua belah pihak telah mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya untuk beristirahat. Hanya beberapa kelompok kecil sajalah yang bertugas untuk mengamati keadaan. Berganti-ganti. Dengan demikian esok pagi mereka akan mendapat kesegaran yang setinggi-tingginya saat mereka tampil di medan perang.
Dalam pada itu, di malam yang semakin larut, terasa kesepian menjadi semakin mencengkam. Yang terdengar adalah arus Kali Opak yang tidak terlalu deras, di iringi derik cengkerik dan desir angin lembut didaunan.
Di seberang menyeberang nampak perapian yang menyala. Selain untuk menghangatkan tubuh, beberapa orang prajurit yang bertugas telah memanasi air di belanga bagi minum mereka jika dingin malam terasa terlalu menghunjam sampai ketulang.
Dalam pada itu, seorang dianiara para Senapati di Pajang telah bangkit dari pembaringannya, seonggok jerami di serambi sebuah rumah yang tidak terlalu besar di sebuah padukuhan diseberang Timur Kali Opak. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian disentuhnya kawannya yang tidur nyenyak disebelahnya.
"O," desis orang yang dibangunkan.
"Aku akan pergi sebentar," berkata orang yang pertama.
"Kenapa ?" bertanya kawannya.
"Aku akan melihat, apakah kita besok benar-benar akan dapat menghancurkan orang-orang Mataram," jawab orang yang pertama.
"Tetapi itu sangat berbahaya Kakang Panji. Bukan saja karena orang-orang Mataram yang berjaga-jaga dengan tertib, tetapi mungkin para pengawal pasanggrahan dari Pajang sendiri akan dapat melihat Kakang Panji yang selama ini tidak banyak dikenal orang," jawab kawannya.
Tetapi yang disebut Kakang Panji itu tersenyum. Katanya, "Kau tidak yakin akan kemampuanku" Aku tidak tahu, apakah Sultan Hadiwijaya itu akan mampu mengimbangi kemampuanku."
Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku percaya. Tetapi di seberang-menyeberang Kali Opak sekarang ini terdapat banyak orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Sebut saja Kangjeng Sultan Hadiwijaya, Pangeran Benawa, Adipati Tuban dan Adipati Demak, kemudian meskipun di tingkat yang lebih rendah Tumenggung Prabadaru dan orang kepercayaannya yang baru dari Bergota yang berkumis jarang tetapi panjang itu. Kehadiran Kakang Panji akan mungkin sekali diketahui satu dua orang pengawal yang akan sempat memanggil orang-orang itu untuk menangkap Kakang Panji. Jika di seberang Kali Opak terdapat Raden Sutawijaya, Ki Juru Martani dan mungkin Gegedug dari Mangir dan Pasantenan itu. Satu isyarat dapat memanggil mereka untuk mengikuti jejak Kakang Panji."
"Kau sudah mengigau," jawab orang yang disebut Kakang Panji itu, "tidak akan ada seorang pengawalpun yang akan sempat melihat aku. Aku akan berada di ruang yang luput dari tatapan mata mereka."
Tetapi kawannya nampaknya masih juga cemas, sehingga Kakang Panji itu meyakinkan, "Bahkan seandainya tidak seorangpun prajurit Pajang dan para Pengawal Mataram yang tertidur, aku akan dapat menembus penjagaan mereka tanpa perasaan cemas. Bahkan jika demikian aku akan dapat melihat dengan jelas, kekuatan yang sebenarnya dari Mataram. Karena sebenarnyalah aku curiga, apakah kekuatan Mataram benar-benar seimbang. Jika tidak, maka aku harus mengatur, bahwa Mataram tidak dengan serta merta ditumpas. Pasukan di sayap akan mencegah diri dan sekedar bertahan. Biarlah prajurit Pajang di induk pasukan hancur lebih dahulu."
Kawannya mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak dapat mencegah orang yang disebut Kakang Panji itu.
Sejenak kemudian, orang yang disebut Kakang Panji itu telah siap. Ia mengenakan baju lurik ketan ireng, kain panjang kelengan yang berwarna biru kelam dan ikat kepala berwarna gelap.
Perlahan-lahan Kakang Panji itu melangkah turun ke halaman samping. Namun demikian ia memasuki kegelapan, kawannya mengerutkan keningnya. Kakang Panji itu seolah-olah benar-benar telah hilang.
Dalam pada itu, orang yang disebut Kakang Panji itupun menelusuri pagar halaman. Kemudian meloncat ke halaman sebelah dan memasuki kebun yang rimbun.
Sebenarnyalah orang yang disebut Kakang Panji itu memiliki ilmu yang luar biasa. Ia bukan seorang yang besar dilingkungan prajurit Pajang. Tetapi jika ia dalam ujudnya sebagai Kakang Panji yang tidak banyak dikenal orang, maka ia mempunyai wibawa yang luar biasa. Bahkan satu dua orang yang mendapat kepercayaan untuk berbicara dengan Kakang Panji telah menyebut ujud dan wajahnya dengan keterangan yang berbeda-beda. Bahkan ciri-ciri tubuhnyapun terdapat beberapa ceritera yang berlainan.
Dalam kelamnya malam Kakang Panji telah bergerak bagaikan terbang, keluar dari padukuhannya. Memang tidak seorangpun yang dapat melihatnya. Para prajurit dalam kelompok-kelompok kecil yang berjaga-jaga tidak melihat, seseorang telah meninggalkan padukuhan itu.
Bahkan kemudian, orang yang disebut Kakang Panji itu telah meninggalkan pasanggrahan.
Meskipun demikian, Kakang Panji itu masih sempat melihat kesiagaan para prajurit Pajang yang berjaga-jaga di pasanggrahan yang dipergunakan oleh pasukan induk dibawah pimpinan Kangjeng Sultan Hadiwijaya sendiri.
"Penjagaan yang kuat," desis orang yang disebut Kakang Panji itu. Lalu, "besok kau harus berkelahi melawan anak angkatmu sendiri, Karebet. Adalah salahmu, bahwa kemuktenmu kau habisi sampai batas umurmu. Kau tidak mensisakan untuk anak cucumu."
Orang yang disebut Kakang Panji itu tersenyum. Namun iapun kemudian melintas dengan cepat meninggalkan pasanggrahan pasukan induk itu menuju ke Kali Opak.
Sejenak orang itu berhenti diatas tanggul, melekat pada sebatang pohon, sehingga seolah-olah tubuhnya merupakan bagian dari batang pohon itu sendiri.
Sambil memandang beberapa perapian di pasanggrahan Raden Sutawijaya orang itu bergumam kepada diri sendiri, "satu garis pertahanan yang panjang. Tetapi apakah umbul-umbul, rontek-panji-panji dan kelebet itu benar-benar menggambarkan kekuatan Mataram yang sebenarnya atau sekedar sebuah permainan yang bodoh. Seolah-olah orang-orang Pajang tidak akan dapat membedakan, satu bentangan pertahanan yang kuat atau sekedar garis tipis yang tidak berarti."
Tetapi orang yang disebut Kakang Panji itu masih tetap berdiri ditempatnya. Dipandanginya daerah pertahanan Mataram yang membentang. Umbul-umbul, rontek dan kelebet yang bergerak disentuh angin malam yang dingin.
Betapa tajamnya penglihatan orang yang disebut Kakang Panji itu. Ia melihat tebaran pertanda kebesaran itu dari ujung sampai keujung. Namun agaknya orang yang disebut Kakang Panji itu tidak percaya bahwa pertahanan Mataram sekuat pertanda kebesarannya yang menggetarkan itu.
Gemercik air Kali Opak yang mengisi kesenyapan terdengar dalam irama yang ajeg, terus-menerus tanpa berkeputusan. Sekali-sekali nampak air berkilat memantulkan cahaya bintang-bintang yang bergayutan di langit.
Orang yang disebut Kakang Panji itu menarik nafas panjang. Kemudian diamatinya dengan tatapan matanya yang tajam, bebatuan yang bertebaran di Kali Opak.
Tiba-tiba saja orang itu melenting turun dari tebing. Bagaikan tidak berjejak di tanah ia melintasi Kali Opak. Dalam waktu yang pendek, maka orang itu telah berdiri di barak tebing seberang.
Sejenak ia berhenti. Dipergunakan pula telinganya yang tajam Ternyata bahwa ia tidak mendengar sesuatu. Tidak ada pengawal Mataram yang nganglang dan lewat diatas tebing.
Karena itu, maka iapun kemudian bergeser tiga langkah mundur untuk mengambil ancang-ancang. Dengan satu loncatan yang ringan, maka orang itu telah berada di atas tebing sebelah Barat Kali Opak.
Sejenak orang yang disebut Kakang Panji itu berdiri diam di belakang sebuah gerumbul untuk meyakinkan, apakah tidak ada seorangpun yang akan melihatnya, apabila ia mendekati daerah pertahanan Mataram.
Orang itu kemudian justru berjongkok ketika ia lamat-lamat mendengar dari arah Utara beberapa orang yang berjalan menuju ke arahnya.
Tetapi beberapa orang itu ternyata tidak melihatnya. Justru Kakang Panji itulah yang melihat tiga orang pengawal Mataram yang sedang bertugas berjaga-jaga.
"Ternyata penjagaan di daerah pertahanan Mataram cukup tertib," berkata orang itu didalam hatinya. Namun ia masih tetap berada ditempatnya dan sama sekali tidak bergerak.
Baru ketika ketiga orang pengawal itu menjauh, maka orang itupun bangkit berdiri dan sekali lagi mengamati keadaan.
Malam terasa sangat sepi. Angin malam menjadi semakin lembut, dan dedaunanpun seolah-olah telah tertidur nyenyak pada tangkainya yang diam.
Namun dalam pada itu, terasa sesuatu yang aneh pada orang yang disebut Kakang Panji Telinganya yang tajam mendengar satu desir lembut. Tetapi ia merasa ragu, apakah getar yang lembut itu sentuhan kaki seseorang di rerumputan, atau sentuhan tubuh seekor binatang melata.
Sejenak orang yang disebut Kakang Panji itu seakan-akan membeku. Dicobanya untuk semakin mempertajam pendengarannya, sehingga suara lembut itu terdengar semakin keras. Namun ia masih tetap tidak segera mengetahui, suara apakah yang didengarnya itu.
Si Rase Kumala 6 Ramalan Malapetaka The Prophecy Karya David Seltzer Petaka Cinta Berdarah 1

Cari Blog Ini