Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 17

07 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 17


Demikianlah pertempuran di kedua sayap pasukan itupun menjadi semakin seru. Kedua belah pihak berusaha untuk dapat mendesak lawan mereka. Setiap pergeseran garis perang, telah di getarkan oleh sorak yang gemuruh dari salah satu pihak. Namun jika kemudian garis itu bergeser sebaliknya, maka yang bersorak bagaikan membelah langit adalah pihak yang lain.
Dengan demikian, maka pertempuran yang sengit itupun semakin lama menjadi semakin sengit. Kedua pasukan itu saling mendesak, saling menghentak dengan teriakan-teriakan yang menggetarkan.
Dalam pada itu, seorang Senapati Pajang dengan nada cemas berdesis di telinga seorang kawannya, "Pada hari kedua kita sudah harus melepaskan beberapa orang pasukan cadangan."
"Keadaan memaksa," jawab kawannya, "banjir yang aneh itu telah menghanyutkan sebagian dari pasukan kita. Sementara suara bende itu telah mengejutkan terutama para prajurit yang percaya bahwa bende Kiai Bicak itu mempunyai pengaruh atas pertempuran itu."
"Bukan begitu. Bukan suara Bicak dapat mempengaruhi pertempuran ini. Tetapi suara itu sebagai pertanda apa yang akan terjadi, ada atau tidak ada bunyi bende itu," jawab yang lain.
Namun Senapati yang seorang berkata, "Keseimbangan sudah tercapai. Hari ini kita tidak boleh di desak sampai naik ketebing sebelah Timur Kali Opak Jika demikian, maka kepercayaan para prajurit dan pasukan Pajang yang lain akan menjadi susut."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Ternyata bahwa pertempuran yang terjadi di Kali Opak menjadi seimbang. Keduanya menunjukkan kekuatan yang tidak berselisih terlalu banyak.
Namun bagaimanapun juga, jika setiap kali bende Kiai Bancak dibunyikan, maka rasa-rasanya hati para prajurit Pajang bagaikan tersentuh. Rasa-rasanya suara bende itu selalu memperingatkan kepada mereka, bahwa mereka tidak akan dapat memenangkan perang itu, apapun yang mereka lakukan.
Dalam pada itu, Kangjeng Sultan Hadiwijaya masih saja memperhatikan pertempuran itu dengan saksama. Meskipun matahari sudah mulai condong ke Barat, namun Kangjeng Sultan sama sekali tidak beringsut dari tempatnya, sementara srati dan gajahnyapun selalu siap apabila setiap saat akan dipergunakan.
Tetapi agaknya Kangjeng Sultan masih belum ingin turun para hari itu. Sebagaimana diperingatkan oleh Pangeran Benawa, Kangjeng Sultan harus memperhatikan setiap kemungkinan yang dapat terjadi di medan.
Namun sebenarnyalah, Kangjeng Sultan telah memaksa diri. Pada malam pertama, ia hadir di sebelah Barat tebing dalam pakaian penyamaran. Kemudian di hari pertama dan di hari kedua, ketegangan telah mencengkam jantungnya.
Sehingga karena itu, maka sebenarnyalah keadaan tubuh Kangjeng Sultan menjadi semakin lemah. Seolah-olah sakitnya mencengkamnya semakin dalam.
Tetapi Kangjeng Sultan tidak menghiraukannya. Ia masih tetap berada di dekat tebing sambil mengamati pertempuran yang mendebarkan itu. Dibawah terik matahari yang bagaikan membakar tubuh.
Namun sebenarnyalah penyesalan yang dalam atas kegagalannya selama masa pemerintahannyalah yang lebih panas membakar jantungnya. Kegagalan yang terbayang di saat-saat terakhir masa pemerintahannya, sebagaimana diujudkan dalam pertempuran yang besar di Kali Opak itu.
Tetapi semuanya itu telah terjadi. Perang itu adalah satu kenyataan yang harus di terimanya. Yang penting baginya, bagaimana ia harus mengambil satu sikap yang paling baik dalam keadaan yang buruk itu.
Dalam pada itu, perang antara kedua pasukan itu, khususnya di sayap pasukan menjadi semakin sengit. Namun garis perang itu masih belum beringsut dari jalur Kali Opak. Kadang-kadang garis perang itu memang bergeser ke Timur. Tetapi kadang-kadang ke Barat, sampai ketebing. Namun kedua belah pihak tidak berhasil mendesak lawannya untuk naik ke Tebing.
Namun dalam pada itu, arus air Kali Opak sudah mulai merah karena darah. Beberapa orang terbaring diam diantara bebatuan. Namun beberapa orang berhasil merangkak menepi dan dengan lemahnya duduk bersandar batu-batu padas di tepian.
Sementara itu, mataharipun menjadi semakin rendah. Sesaat kemudian maka cahayapun yang kemerah-merahan menjadi semakin lemah.
Dalam pada itu, maka dari arah pasanggrahan para prajurit Pajang telah terdengar suara sangkakala untuk menawarkan penghentian pertempuran pada hari itu, karena matahari sudah berada di punggung pegunungan.
Suara itupun segera disaut oleh suara sangkakala di sebelah Kali Opak. Pasukan Matarampun agaknya telah memutuskan untuk menarik pasukannya pada hari itu.
Demikianlah, maka pasukan di kedua belah pihakpun mendengar pertanda yang bersahutan dari sebelah Barat dan sebelah Timur Kali Opak. Karena itu, maka merekapun berangsur-angsur surut dari medan. Para prajurit sibuk mengamati pasukannya. Bagaimanapun juga mereka tetap menghormati sikap seorang laki-laki jantan. Mereka sama sekali tidak ingin melanggar paugeran bagi peperangan. Apabila kedua belah pihak telah memberikan pertanda, maka perang memang harus dihentikan.
Beberapa orang yang bukan prajuritpun telah mendapat beberapa petunjuk tentang hal itu. Karena itu, pasukan Mataram yang terdiri dari orang-orang yang dikumpulkan dari beberapa daerah itupun berusaha untuk menghormati pangeran itu. Bahkan orang-orang yang berada di lingkungan prajurit Pajangpun tidak berniat untuk melanggar ketentuan yang sama -sama dihormati itu, meskipun mereka bukan prajurit.
Dalam pada itu, maka kedau pasukan itupun segera ditarik dari medan kembali ke pasanggrahan masing-masing. Tubuh-tubuh yang lelah, bahkan ada diantara mereka dengan luka yang tergores ditubuh mereka, bergeser perlahan-lahan dari medan. Beberapa orang diantara mereka masih tetap memandang panji dan kelebet dengan tunggul-tunggul yang mereka hormati sebagai pertanda kebesaran pasukan mnasing-masing.
Demikian mereka sampai di pasanggrahan, maka beberapa orang segera merebahkan dirinya sambil memeluk senjata-senjata mereka. Tetapi ada pula diantara mereka yang langsung mencari air dan meneguknya hampir satu siwur penuh.
Yang kemudian berlari-lari kemedan adalah para petugas khusus yang harus merawat orang-orang yang terluka dan yang terbunuh di peperangan. Dengan tidak bersenjata, mereka melakukan tugas masing-masing, yang saling dihormati pula.
Beberapa orang Pajang dan Mataram sibuk memeriksa tubuh-tubuh yang terbujur lintang. Dengan cermat mereka mengamati seorang demi seorang. Yang terluka dikumpulkan diantara mereka, sedang yang telah menjadi banten di peperanganpun dikumpulkan mereka. Mereka akan segera dimakamkan sebagaimana seharusnya. Namun mereka tidak akan dibawa kembali ke Pajang atau ke Mataram. Tetapi mereka akan dimakamkan di Prambanan sebelah menyebelah Kali Opak dengan ciri-ciri masing-masing.
Namun dalam pada itu, ketika langit menjadi semakin buram, maka orang-orang yang masih belum selesai dengan tugas mereka itupun sebagian harus menyalakan obor. Mereka harus meneliti diantara bebatuan, di pasir tepian dan di gerumbul-gerumbul perdu di tepi Kali Opak.
Dalam kesibukan itu, seorang petugas dari Mataram sedang mengamati seorang pengawal yang terluka parah sehingga tidak lagi mampu meninggalkan tempatnya. Namun selagi petugas itu berjongkok disisinya, tiba-tiba saja tanpa diketahui mula terjadinya, ia sudah terbaring disebelah sesosok tubuh yang semula juga disangkanya salah seorang korban dari peperangan itu.
"Jangan berbuat sesuatu yang dapat mencelakakan sendiri," desis orang yang disangkanya sesosok mayat itu.
Petugas dari Mataram itu tidak dapat berbuat apa-apa. Ujung pisau belati yang runcing terasa melekat di lambungnya.
"Jawab pertanyaanku," geram orang itu, "disayap manakah Sutawijaya berada?"
Orang Mataram itu tidak segera menjawab. Tetapi ujung pisau belati itu semakin terasa menghunjam di kulitnya.
"Cepat. Waktu kita hanya sedikit," orang itu menggeretakkan giginya.
"Curang," desis petugas dari Mataram itu, "kau tidak dapat mengganggu tugasku. Aku tidak bersenjata. Jika kau jantan, beri aku kesempatan untuk melawan dan kita akan berperang tanding."
"Jangan mengigau," geram orang itu sambil menekankan pisaunya semakin lekat, "jawab pertanyaanku, atau aku akan melubangi perutmu."
Petugas dari Mataram itu memperhatikan beberapa buah obor yang hilir mudik. Apakah obor itu dibawa oleh orang Mataram atau oleh orang Pajang.
Tetapi ia tidak mendapat kesempatan memperpanjang waktu karena ujung pisau itu semakin menekan lambungnya. Bahkan mulai terasa darah meleleh dari ujung pisau itu.
"Dimana Senapati. Cepat." suara orang itu bergetar.
Tidak ada kemungkinan lain daripada menjawab pertanyaan itu. Tetapi ia bukan orang yang paling dungu dari orang-orang Mataram. Karena itu, maka jawabnya kemudian, "Sutawijaya berada di induk pasukan."
"Bohong," gigi orang itu gemeretak, "siapa di sayap jika Sutawijaya ada di induk pasukan."
Sejenak, orang Mataram itu terdiam. Namun ketika ujung belati itu semakin menekan lambungnya, maka jawabnya, "Ada sederet nama para Senapati Mataram yang mumpuni. Putera Ki Gede Pasantenan. Ki Bekel Tandon dari Mangir. Ki Lurah Branjangan dengan pasukan khususnya yang tidak akan terlawan oleh orang-orang Pajang, meskipun dari pasukan khususnya Ki Tumenggung Prabadaru sekalipun. Murid orang bercambuk dari Sangkal Putung. Ki Gede Menoreh. Kiai Gimgsing itu sendiri. Ki Waskita. Dua orang Senapati perempuan dari sangkal Putung dan jangan pura-pura tidak tahu, bahwa Agung Sedayu ada di pasukan itu juga, selain Senapati Ing Ngalaga sendiri dan Ki Juru Martani."
"Diam," geram orang yang menggenggam pisau itu, "aku bertanya dimana Sutawijaya itu berada."
"Aku sudah menjawab," jawab orang Mataram itu.
"Dan dimana Agung Sedayu?" bertanya orang itu lagi.
Sejenak orang Mataram itu merenung. Namun iapun kemudian menyeringai karena perasaan pedih di lambungnya.
"Cepat, sebelum kau mati," geram orang yang menggenggam pisau itu.
Orang Mataram itu kemudian berdesis, "Apakah kau bukan seorang Senapati Pajang?"
"Apa maksudmu?" jawab orang itu.
"Kalau kau seorang Senapati, maka kau tidak akan bertanya seperti itu. Raden Sutawijaya, yang memimpin keseluruhan pasukan Mataram tidak akan dapat di anggap berada di satu sisi dari pasukan itu. Ia dapat berada di induk pasukan. Tetapi karena sesuatu hal, ia akan dapat berada di manapun yang ia kehendaki," jawab orang Mataram itu.
Orang yang menekankan pisaunya itu menggeretakkan giginya. Jawaban itu memang masuk akal. Namun rasa-rasanya jawaban itu sama sekali tidak memuaskannya.
Karena itu, maka tiba-tiba saja orang Mataram itu mengeluh pendek. Ternyata pisau itu benar-benar telah menghunjam ke lambungnya.
Tetapi orang yang membawa pisau itu tidak sempat melihat, apakah korbannya sudah mati atau belum, karena seorang yang membawa obor telah mendekatinya.
Dengan tergesa-gesa orang itu bangkit dan meloncat meninggalkan arena yang sudah menjadi padang bebatuan tempat orang-orang sakit mengerang, dan mayat-mayat terbujur lintang.
Orang yang membawa obor itu ternyata sempat melihat orang yang meloncat berlari itu. Hampir diluar sadarnya, maka orang yang membawa obor itupun berteriak, "Berhenti."
Tetapi orang itu berlari semakin cepat, demikian cepatnya, sehingga seolah-olah orang itupun telah hilang dikegelapan. Namun untuk meyakinkan dirinya, agar tidak seorangpun yang mengejarnya, maka tiba-tiba saja, sebongkah batu padas di tebing sebelah Timur Kali Opak itu telah pecah dan berguguran. Sehingga dendam demikian, maka setiap orang yang ingin mengejarnyapun telah menghentikan langkahnya.
Tiga orang yang semula memang ingin mengejarnya karena teriakan orang Mataram yang membawa obor itu termangu-mangu. Dua diantara mereka adalah orang Mataram, sedangkan yang seorang adalah orang Pajang.
"Siapa orang itu?" bertanya salah seorang dari kedua orang Mataram itu.
"Aku tidak tahu," jawab orang Pajang.
"Tetapi menilik arah larinya, maka ia tentu orang Pajang," berkata orang Mataram itu pula.
"Belum tentu. Mungkin ia hanya sekedar ingin menyembunyikan jejak," jawab orang Pajang.
Namun dalam pada itu, orang yang membawa obor itupun tiba-tiba berkata, "Lihat. Seorang telah terluka."
Orang Pajang itu berpaling. Tetapi ia menjawab, "disini ada berpuluh puluh orang terluka."
"Maksudmu, diantara kita yang tidak bersenjata," jawab orang Mataram yang membawa obor itu.
Orang-orang itupun segera mendekati orang Mataram yang terluka di lambungnya. Pisau lawannya masih tertancap di lambung itu. Tetapi ternyata ia tidak mati.
"Cepat, bawa ke pasanggrahan," berkata orang Mataram yang mengurungkan niatnya memburu orang yang curang itu.
Kemudian orang yang terluka itu dibawa dengan hati-hati, sementara obor orang Mataram itupun telah diserahkan kepada kawannya yang tinggal bersama orang Pajang. Namun karena keributan yang terjadi itu, agaknya telah menarik perhatian beberapa orang petugas sehingga merekapun mendekatinya. Baik dari lingkungan orang-orang Mataram, maupun orang-orang Pajang.
Sejenak kemudian, maka peristiwa yang telah terjadi itupun telah diketahui oleh kedua belah pihak, sementara itu, baik orang Pajang maupun orang Mataram tidak dapat mengatakan dengan pasti, siapakah yang telah melakukan kecurangan itu.
"Tetapi tentu bukan orang Mataram," berkata salah seorang dari orang-orang Mataram.
"Tetapi juga belum pasti kalau hal itu dilakukan oleh orang Pajang," sahut salah seorang diantara orang-orang Pajang.
Orang-orang Mataram tidak membantah lagi. Merekapun menyadari, bahwa mereka tidak boleh bertengkar dan apalagi melakukan tindak kekerasan.
Karena itu, maka salah seorang diantara orang-orang Mataram itu berkata, "Baiklah, siapapun orang itu, kita masing-masing akan membuat laporan. Biarlah para pemimpin kita membuat penilaian. Sekarang, kita akan meneruskan tugas kita atas orang-orang yang terluka dan terbunuh di peperangan."
Orang-orang Pajang dan orang-orang Mataram itupun kemudian melanjutkan tugas mereka masing-masing, karena tugas mereka masih cukup banyak.
Dalam pada itu, maka peristiwa yang terjadi atas salah seorang Mataram yang tidak bersenjata itupun teluh didengar oleh para pemimpin di Mataram. Raden Sutawijaya yang mendengar langsung dari orang yang telah serta pembawa obor yang melihatnya pertama kali, mengambil kesimpulan bahwa orang itu tentu bukan orang kebanyakan.
"Aku menantangnya berperang tanding," berkata orang Mataram yang terluka.
"Bukankah kau tidak bersenjata?" bertanya Raden Sutawijaya.
"Jika ia menerimanya, di Kali Opak banyak berserakkan senjata yang terlepas dari tangan orang-orang yang terluka atau yang terbunuh," jawab orang itu.
Namun Raden Sutawijaya menggelengkan kepalanya. Katanya, "Untunglah bahwa tantanganmu perang tanding tidak diterimanya."
"Kenapa Raden?" bertanya orang itu.
"Jika kau harus berperang tanding, maka kau tidak akan dapat melawannya sepenginang. Dalam sekejap tubuhmu akan hancur seperti batu-batu padas yang berguguran itu," jawab Raden Sutawijaya.
Orang Mataram itu termangu-mangu sejenak. Sementara orang yang membawa obor dan yang kemudian membawanya ke pasanggrahan itupun berkata, "Memang mengejutkan. Batu-batu padas itu berguguran."
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak berkata apapun lagi kepada orang yang terluka dan yang kemudian mendapat perawatan sebaik-baiknya.
Namun dalam pada itu, Raden Sutawijaya berdesis kepada Ki Juru Martani " Orang itu agaknya yang telah menyerangku di pinggir Kali Opak itu."
"Ya ngger. Orang itu khusus mencari angger Sutawijaya. Mungkin orang itu ingin berhadapan dengan Raden Sutawijaya di peperangan. Tetapi mungkin ia ingin mempergunakan kesempatan yg lain. Agaknya ia bukan seseorang yang memegang teguh paugeran prajurit dan sikap kejantanan. Karena itu, angger Sutawijaya harus berhati-hati. Setiap saat orang itu dapat muncul dan menyerang. Karena itu, setiap saat, siang malam, di medan atau Raden sedang berbaring di pembaringan pasanggrahan ini, angger harus mengetrapkan segala macam perisai ilmu yang ada pada angger," berkata Ki Juru.
"Aku mengerti paman. Aku akan melakukannya. Tetapi tentu ada saatnya aku berkesempatan menemuinya. Mudah-mudahan di peperangan," sahut Raden Sutawijaya.
Tetapi Ki Juru berkata selanjutnya, "Tetapi ada juga baiknya, Agung Sedayu mendapat peringatan pula. Jika orang itu menyadari kemampuan anak muda itu, mungkin ia akan berbuat serupa atasnya, sebagaimana akan dilakukan atas angger Sutawijaya sendiri."
"Ya. Aku akan memanggilnya," berkata Raden Sutawijaya.
Tetapi ternyata yang dipanggil oleh Raden Sutawijaya bukan hanya Agung Sedayu. Para pemimpin pasukan dari daerah-daerah yang berpihak Mataram dan orang-orang yang dianggap memiliki kelebihan diantara para pemimpin Mataram, telah berkumpul. Ada beberapa penjelasan dari Raden Sutawijaya. Orang-orang Pajang telah mulai melepaskan pasukan cadangannya.
"Mereka sebagian bukan prajurit-prajurit Pajang," berkata Raden Sutawijaya lebih lanjut. "Dan mereka yang bukan prajurit itu agaknya telah melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari paugeran seorang prajurit tanpa merasa segan."
Dengan singkat Raden Sutawijaya juga menceriterakan yang telah terjadi atas salah seorang petugas Mataram yang tidak bersenjata.
"Orang itu mencari aku," berkata Raden Sutawijaya. Lalu, "Tetapi aku memang berharap dapat bertemu dengan orang itu di medan."
"Tetapi Raden belum mengenalnya," berkata Kiai Gringsing, "karena itu Raden harus sangat berhati-hati. Ia dapat saja datang mendekati Raden dengan ujud seorang prajurit Pajang. Tetapi juga dapat menantang Raden sebagai seorang Senapati atau tiba-tiba saja menyerang dengan ilmunya yang tinggi itu tanpa sangkan paran, selagi Raden sibuk bertempur dengan Senapati Pajang yang sebenarnya."
"Memang hal itu akan dapat terjadi," berkata Raden Sutawijaya, "tetapi aku tidak sendiri di sayap. Aku berharap bahwa aku akan dapat menghadapinya beradu dada."
Para pemimpin Mataram itupun mengangguk-angguk. Tetapi mereka merasa bahwa mereka berhadapan dengan lawan yang terdiri dari unsur-unsur yang beraneka. Ada diantara prajurit Pajang yang bertempur sebagaimana seorang prajurit dengan paugeran-paugeran keprajuritan dan harga diri yang tinggi. Tetapi diantara pasukan Pajang itu ada juga orang-orang yang sama sekali tidak menghormati sikap dan harga diri seorang prajurit. Mereka dapat berbuat apa saja untuk mencapai maksudnya.
"Karena itu, kalian memang harus berhati-hati. Bukan hanya aku saja," berkata Raden Sutawijaya sambil tersenyum.
Ketika para pemimpin itu kembali ke pasukan masing-masing, maka Senapati Ing Ngalaga itupun berkata kepada Untara, "Perketat penjagaan. Aku menjadi semakin curiga, bahwa unsur-unsur diluar keprajuritan Pajang akan lebih banyak menentukan dalam pertempuran ini."
"Ya Raden," jawab Untara, "sebagai seorang prajurit Pajang, aku hampir tidak mengenal lagi tata cara yang dipergunakan pasukan Pajang di medan pertempuran. Tetapi aku percaya bahwa Sabungsari akan dapat mengatasinya di sayap kami. Ia memiliki pengalaman yang luas. Sebelum ia menjadi seorang prajurit, ia adalah seorang yang ditakuti dilingkungan orang-orang yang berilmu buram itu. Mudah-mudahan ia dapat melihat cara yang dipergunakan oleh sebagian orang-orang didalam pasukan Pajang itu."
"Mudah-mudahan, ia sempat melakukannya," berkata Raden Sutawijaya.
"Aku sudah memesan agar la berhati-hati dan dengan teliti mengamati keadaan. Ia mempunyai beberapa orang pembantu yang dapat dipercayainya."
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, seluruh penjagaan di garis perang itupun menjadi semakin diperketat. Bahkan beberapa orang pemimpin langsung turun kemedan untuk meronda.
Pengamatan yang paling ketat adalah justru pada sayap pasukan. Tetapi Sutawijaya tidak mengabaikan pengamatan di induk pasukan. Orang-orang Pajangpun nampaknya mengetahui bahwa Mataram mempunyai beberapa kelemahan yang disembunyikan di induk pasukannya.
Ki Juru Martani sendiri berusaha untuk dapat mengawasi induk pasukan Mataram. Menurut pengalamannya, ternyata ada juga orang Pajang yang berhasil menyusup ke dalam garis pertahanan orang Mataram.
"Tetapi usaha itu agaknya tidak akan diulangi," berkata Ki Juru didalam hatinya. Lalu, "Ternyata para pemimpin Pajang sendiri berusaha untuk mencegahnya. Meskipun demikian, Ki Juru tidak mau mengalami kesulitan karena usaha yang serupa. Karena itu, maka ia telah mengatur penjagaan sebaik-baiknya selain Ki Juru sendiri."
Ternyata Raden Sutawijayapun telah mengamati keadaan dengan cermat. Disisi lain. Agung Sedayu dan Kiai Gringsing berada di tebing Kali Opak, sementara Ki Waskita berada di antara para prajurit yang meronda.
Namun sebagaimana diduga oleh Ki Juru, tidak seorangpun diantara orang Pajang yang menyusup ke daerah pertahanan orang-orang Mataram. Meskipun demikian, saat-saat orang-orang terpenting dari Mataram itu beristirahat, mereka telah memberikan perintah kepada para petugas untuk berhati-hati.
Ada beberapa orang yang dapat berjaga-jaga bergantian. Ki Bekel Tandan yang memiliki ilmu yang mumpuni menggantikan Untara yang harus beristirahat menjelang dini hari.
Demikianlah, seperti hari-hari sebelumnya, sebelum fajar menyingsing, orang-orang yang harus mempersiapkan makan dan minum bagi pasukan yang akan turun ke medanpun telah menjadi sibuk. Baru kemudian terdengar bunyi sangkakala dari kedua belah pihak untuk membangunkan para prajurit yang masih tertidur nyenyak, agar mereka segera mempersiapkan diri menghadapi hari-hari yang gawat bagi mereka.
Setelah kesibukan para prajurit dan pengawal mempersiapkan diri maka rontek, panji-panji, kelebet yang melekat pada tunggul-tunggulpun telah tegak. Para Senapati telah berada diantara pasukan masing-masing. Sementara setiap orang didalam pasukan itu telah memeriksa senjata mereka, agar senjata itu tidak akan mengecewakan di medan perang.
Dalam pada itu, telah jatuh perintah dari Raden Sutawijaya, bahwa para Senapati harus berada langsung di medan. Jika pada hari kedua Pajang telah menurunkan pasukan cadangannya, maka mungkin sekali pada hari ketiga, para Senapati akan turun ke medan dan akan langsung mempengaruhi pertempuran. Karena itu. adalah menjadi kewajiban setiap Senapati dari Mataram untuk mengimbanginya.
"Aku sendiri akan menunggu seseorang yang mencari aku," berkata Raden Sutawijaya, "mungkin ia akan memakai pakaian seorang prajurit biasa seperti dikatakan oleh Kiai Gringsing. Bahkan mungkin ia seolah-olah tidak mempunyai arti sama sekali di peperangan ini. Namun tiba-tiba saja ia menyerang."
Namun secara khusus Raden Sutawijaya juga memperingatkan Agung Sedayu agar ia berhati-hati.
"Ia dapat memakai cara yang licik. Ia akan menghadapi kita seorang demi seorang," berkata Raden Sutawijaya, "ia berharap untuk dapat membunuh para Senapati Mataram seorang demi seorang, sehingga pasukan Mataram akan menjadi sangat lemah."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Jawabnya, "Aku akan selalu berhati-hati. Mudah-mudahan aku dapat menghadapinya beradu dada, sehingga akhirnya akan dapat dinilai sewajarnya."
Demikianlah, maka para Senapati itupun akan langsung memimpin pasukannya menghadapi pertempuran yang tentu akan menjadi semakin dahsyat.
Dalam pada itu, pasukan Pajangpun telah bersiap pula. Menjelang dini hari, ketika Pangeran Benawa mendekati peraduan ayahandanya, ia mendengar ayahanda mengeluh tertahan. Ketika dengan tergesa-gesa ia mendekat, maka dilihatnya ayahandanya sudah duduk di bibir pembaringan.
Namun wajah Kangjeng Sultan Hadiwijaya nampaknya menjadi semakin pucat. Nafasnya agak sendat dan tatapan matanya menjadi sayu.
"Ayahanda," desis Pangeran Benawa sambil duduk dihadapan ayahandanya.
"Kemarilah Benawa," Kangjeng Sultan memanggilnya dan memberinya isyarat untuk duduk di sampingnya, dibibir pembaringannya.
Dengan jantung yang berdebaran. Pangeran Benawa mendekatinya dan duduk disebelahnya.
"Ayahanda nampak pucat sekali," desis Pangeran Benawa.
"Aku tidak apa-apa," jawab Kangjeng Sultan, "biarlah aku berkemas sejenak. Apakah gajahku sudah dipersiapkan?"
"Sudah ayahanda," jawab Pangeran Benawa ragu-ragu.
Kangjeng Sultan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "sakitku memang menjadi semakin parah. Dalam keadaan seperti ini, kita akan melihat kepada diri kita sendiri. Aku sudah menghimpun seribu macam ilmu dan aji didalam diriku. Aku dapat meruntuhkan batu-batu padas di lereng pegunungan. Aku dapat memecah batu-batu yang berserakkan di Kali Opak dan akupun akan dapat membakar hutan dengan kekuatan mataku. Tetapi segala macam kekuatan aji dan ilmu itu tidak dapat aku pergunakan untuk melawan penyakitku. Apalagi untuk melawan jantra hidupku. Disini kita merasa, betapa kecilnya kita yang sebelumnya menganggap diri kita linuwih. Diri kita pinunjul ing apak-apak. Sehingga akhirnya kita harus berkata bahwa Yang Maha Agung jualah tempat kita bersandar."
Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian tersendat-sendat, "Tetapi ayahanda harus berobat."
"Aku tidak pernah melupakan segala macam obat yang diberikan oleh para dukun dan para tabib," jawab Kangjeng Sultan, "tetapi sekali lagi, bahwa kemampuan para dukun dan tabib itupun terbatas seperti ilmu kanuragan yang aku kira akan mampu melawan batas akhir dari hidupku."
Pangeran Benawa menundukkan kepalanya. Betapapun hatinya di kecewakan oleh ayahandanya, namun dalam keadaan yang demikian, maka iapun menjadi ngeri. Pangeran Benawa yang pernah menjelajahi hutan dan leMbah, ngarai dan lereng pegunungan di sembarang waktu tanpa mengenal takut menghadapi bahaya yang manapun juga, tiba-tiba hatinya menjadi sangat kecil seperti yang dikatakan ayahandanya. Segala macam ilmu yang dimilikinya itu memang tidak akan berarti apa-apa di hadapan keputusan Yang Maha Agung.
Namun demikian, dengan nada dalam ia berkata, "Tetapi bukankah kita wajib berusaha ayahanda?"
Ayahandanya tersenyum. Sambil menepuk pundak anaknya ia berkata, "Aku sudah cukup berusaha Benawa. Karena itu, apabila saatnya datang, aku tidak akan kecewa. Karena dengan demikian aku yakin, bahwa usahaku memang sia-sia, justru karena waktu itu memang sudah tiba."
"Ayahanda," desis Pangeran Benawa.
Tetapi Kangjeng Sultan itu menggelengkan kepalanya, "Sudahlah. Sebentar lagi, peperangan akan dimulai lagi. Aku akan melihat, apa yang terjadi di medan. Aku masih berharap bahwa Adipati Tuban akan tetap patuh akan perintahku. Apapun yang aku katakan."
Pangeran Benawa mengangguk kecil.
Dalam pada itu, maka Kangjeng Sultan itupun segera berkemas. Setelah minum seteguk minuman panas, dan makan beberapa suap nasi, maka iapun berkata, "Aku sudah siap Benawa."
"Marilah ayahanda," jawab Pangeran Benawa.
Tetapi ketika Kangjeng Sultan itu melangkah, ia tertegun sejenak.
"Bagaimana ayahanda?" bertanya Pangeran Benawa.
Kangjeng Sultan memijit keningnya. Namun kemudian katanya, "Aku tidak apa-apa. Aku masih sanggup menghancurkan pebukitan itu."
Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak menjawab lagi.
Sejenak kemudian, maka Kangjeng Sultanpun keluar dari pasanggrahannya. Sementara itu, seluruh pasukannya memang sudah siap. Segala macam pertanda, rontek, umbul-umbul, panji-panji dan kelebet telah terpasang. Tunggul-tunggul yang beraneka berjajar di ujung pasukan induk yang sudah siap, meskipun belum ada perintah dari Kangjeng Sultan untuk menyerang.
Namun dalam pada itu, ketika genderang mulai menggetarkan udara di medan pertempuran itu, maka pasukan di sayaplah yang mulai bergerak.
Sementara itu, ternyata para Senapati di kedua sayap pasukan Pajang telah menerima perintah yang sambung bersambung dari mulut kemulut tanpa diketahui sumbernya. Mereka mendapat perintah untuk pada hari itu juga menghancurkan pasukan Mataram.
"Jangan hiraukan Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang ragu-ragu. Hari ini pasukan Mataram harus dihancurkan dan didesak mundur. Jika mereka meninggalkan tebing Kali Opak, maka mereka akan menjadi semakin lemah. Mungkin mereka akan menarik diri. Bahkan mungkin pasukan Mataram akan bercerai berai. Satu-satunya tempat untuk menghimpun diri adalah Alas tambak baya Atau bahkan mereka akan menarik pertahanan mereka ke dinding kota." kata perintah yang meloncat dari mulut-kemulut itu.
Namun beberapa orang pemimpin pasukan di sayap pasukan Pajang itu tidak mencari sumber perintah itu. Mereka mengerti, bahwa disamping Kangjeng Sultan Hadiwijaya, ada orang lain yang mengendalikan mereka. Terutama pasukan di sayap kiri dan kanan itu.
Dengan demikian maka pasukan di kedua sayap itu benar-benar telah melepaskan diri dari jalur perintah Kangjeng Sultan. Mereka mempunyai kepentingan sendiri. Karena sikap Kangjeng Sultan itu, maka orang-orang yang mempunyai sikap sendiri itu telah menentukan langkahnya.
"Kita tidak dapat menyaksikan pasukan Pajang itu hancur bersama pasukan Mataram. Tetapi kita akan menghancurkan pasukan Mataram. Seterusnya menduduki Mataram dan menghancurkan sisa pasukan Pajang yang tidak seberapa kuat. Sebagian para prajurit Pajang ada di lingkungan kita. Juga kesatuan Khusus dibawah Tumenggung Prabadaru itupun ada di pihak kita." berkata perintah itu lebih lanjut.
Demikianlah, maka ketika pertanda perang sudah mulai, maka pasukan sayap sebelah menyebelah, dengan serta merta telah turun ketepi Kali Opak, langsung menuju ke tebing sebelah Barat. Sedangkan induk pasukan Pajang, masih tetap berada diatas tebing. Meskipun beberapa kali Adipati Tuban mendesak, namun Kangjeng Sultan masih tetap tidak ingin langsung turun ke peperangan sebelum mendapatkan saat yang paling tepat.
"Kangjeng Sultan terlalu percaya kepada suara bende itu," berkata Adipati Tuban kepada seorang Senapatinya.
Dalam pada itu, ternyata bahwa orang-orang Mataram masih tetap mempergunakan akalnya. Mereka tidak terdorong oleh cengkaman perasaan sehingga kehilangan nalar. Mereka tetap berada diatas tebing sebelah Barat dan mempergunakan tebing itu sebagai landasan pertahanan. Mereka masih tetap menunggu orang-orang Pajang menyerang dan mengurangi jumlah mereka saat-saat orang-orang Pajang itu memanjat tebing. Orang-orang Mataram itu masih tetap bersiaga dengan busur dan anak panah serta lembing-lembing mereka.
Tetapi orang-orang Pajang masih juga bersiap dengan perisai untuk melindungi diri dari anak panah dan lembing yang akan menghujani mereka.
Sejenak kemudian, maka benturan kedua kekuatan itupun telah menggetarkan udara. Orang-orang Pajang bersorak dengan riuhnya sambil berusaha mencapai tebing. Sambil melindungi diri dengan perisai, mereka berloncatan dari batu kebatu menyeberangi sungai yang cukup luas itu. Sementara itu, dari atas tebing, anak panah dan lembingpun telah menghujani orang-orang Pajang yang menjadi semakin dekat.
Namun dalam pada itu, pada saat orang pertama mencapai tebing, maka telah terdengar lagi bende Kiai Bancak mengumandang di medan.
Betapapun juga, setiap prajurit Pajang masih juga tergetar hatinya. Meskipun beberapa orang pemimpin pasukan dari luar lingkungan keprajuritan Pajang berusaha untuk meyakinkan mereka, bahwa suara bende itu tidak akan berpengaruh apa-apa, tetapi suaranya yang bagaikan gaung kematian itu telah menggelitik jantung.
Namun suara bende itu ternyata bukan sekedar usaha Mataram untuk mempengaruhi tekad orang-orang Pajang untuk menghancurkan Mataram. Tetapi juga sebagai pertanda yang dikehendaki oleh Untara yang dalam pertempuran yang besar itu masih juga menunjukkan kelebihan nalarnya.
Atas perintah Untara, maka pasukannya yang terpilih dibawah pimpinan Sabungsari telah memisahkan diri dari ujung sayap. Demikian suara bendera itu bergema, maka pasukan itu dengan diam-diam telah menuruni tebing di sebelah kelokan Kali Opak.
Ketika pasukan Pajang membentur pertahanan orang-orang Mataram, serta dalam usaha mereka melindungi diri dari hujan anak panah dan lembing, maka pasukan Sabungsari itu telah menghantam pasukan Pajang dari lambung sayap.
Dengan sorak yang gegap gempita, pasukan itu muncul dari tikungan Kali Opak dengan senjata teracu.
Kehadiran pasukan Sabungsari itu benar-benar mengejutkan. Pasukan Pajang tidak menyangka, bahwa sekelompok prajurit Pajang terpilih yang telah berpihak kepada Senapati datang menyerang mereka dari arah lambung.
Dengan tergesa-gesa pasukan Pajang berusaha menahan serangan itu. Tetapi pasukan terpilih itu telah berhasil menusuk masuk kedalam tubuh sayap lawan yang ternyata pada sisi sayap itu lebih banyak terdiri dari orang-orang yang melibatkan diri dalam peperangan itu bukan terdiri dari prajurit-prajurit Pajang.
Benturan itu telah berhasil mengacaukan orang-orang Pajang. Sementara itu, anak panah dan lembingpun masih juga menghujani mereka. Pada saat-saat tertentu, perhatian mereka tertuju kepada pasukan terpilih yang menyerang lambung. Namun pada saat-saat yang gawat itu, sepucuk lembing telah menembus kulit daging mereka.
Namun pada hari itu, orang-orang Pajang telah bertekad untuk menghancurkan pasukan Mataram. Karena itu, dalam keadaan yang gawat, maka para Senapati tidak saja mengamati dan mengatur pasukannya, tetapi mereka turun langsung kemedan perang.
Karena itulah, maka seorang Senapati terpilih dari antara orang-orang yang melibatkan diri kedalam pasukan Pajang telah turun melawan pasukan yang datang dari lambung.
Tetapi pasukan yang datang dari lambung itupun pasukan terpilih diantara prajurit-prajurit Pajang yang berada di Jati Anom dibawah pimpinan seorang Senapati muda yang bernama Sabungsari. Dengan pedang ditangan, Sabungsaripun berteriak-teriak memerintah. Tetapi pada saat yang menentukan, Sabungsari sendiri berada di benturan antara kedua pasukan itu.
Di sayap lain, pertempuran benar-benar bagaikan membakar langit. Pasukan khusus yang dipimpin oleh Tumenggung Prabadaru yang menjadi batang kekuatan sayap itu, telah bertemu dengan pasukan khusus yang telah ditempa di Tanah Perdikan Menoreh, yang dipimpin oleh Ki Lurah Branjangan. Dua pasukan yang pilih tanding. Meskipun pasukan khusus dari Pajang memiliki pengalaman yang lebih banyak, tetapi tempaan yang berat di lereng Bukit Menoreh itu telah membuat pasukan khusus dari Mataram itu menjadi bagaikan sekeras baja.
Pertempuran yang dahsyat telah terjadi. Dengan usaha yang sangat berani, pasukan Pajang mulai memanjat tebing. Tetapi pasukan khusus dari Mataram yang ada diantara tebing telah menggeser diri, dengan sengaja menghadapi pasukan Pajang yang nggegirisi itu. Kedua bagian kecil dari pasukan itu memang pernah bertemu di pinggir Kaliprogo pada saat Agung Sedayu dan isterinya kembali Ke Tanah Perdikan Menoreh di hari-hari perkawinannya. Pada saat itu, pasukan khusus yang ditempa di Tanah Perdikan Menoreh itu masih harus berusaha untuk meningkatkan diri agar kemampuan mereka dapat mengimbangi pasukan khusus dibawah pimpinan Ki Tumenggung Prabadaru itu.
Ternyata bahwa usaha anak-anak muda yang tergabung dalam pasukan khusus yang ditempa di Tanah Perdikan Menoreh itu tidak sia-sia. Dalam keadaan yang menentukan, mereka berhasil menunjukkan, bahwa mereka memiliki kemampuan yang dapat mengimbangi pasukan khusus dari Pajang. Pasukan yang memang terdiri dari para prajurit gemblengan dari beberapa unsur kesatuan.
Sementara itu gema Kiai Bancak benar-benar telah mendorong tekad dihati pasukan Mataram. Suaranya yang bening bagaikan mengaum mengipasi api yang telah menyala disetiap hati pasukan Mataram yang tengah bertempur dengan dahsyatnya.
Kesabaran pasukan Mataram menunggu lawannya di atas tebing memang menguntungkan. Tetapi pasukan Pajang yang merasa lebih besar, menganggap bahwa menyerang lawan mereka adalah lebih baik dari sekedar bertahan. Apalagi sebagian dari orang-orang Pajangpun telah melindungi orang-orangnya yang memanjat tebing dengan anak panah, meskipun mereka harus sangat berhati-hati, agar anak panah itu tidak justru mengenai orang-orang mereka sendiri yang sedang berusaha untuk naik.
Sebagaimana diperintahkan oleh sumber yang tidak jelas, maka pasukan Pajang yang ada di sayap itu bertekad untuk benar-benar memecahkan pertahanan pasukan Mataram. Mereka harus dapat mendesak pasukan itu mundur, atau memecah mereka hingga bercerai berai. Mereka tidak lagi mempedulikan, apa yang akan dilakukan oleh Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Bahkan sebenarnyalah telah timbul satu kecurigaan dari kendali pasukan Pajang yang ada di sayap, bahwa Sultan Hadiwijaya bukan sekedar ragu-ragu. Tetapi agaknya Sultan Hadiwijaya itu telah menyadari adanya satu usaha untuk membenturkan kekuatan Pajang dibawah pengaruhnya dengan pasukan Mataram.
"Persetan dengan Hadiwijaya," geram orang yang membayangi kepemimpinan Kangjeng Sultan itu.
Karena itu, maka orang yang membayangi kekuasaan Kangjeng Sultan itu telah memberikan perintah lebih keras untuk menghancurkan orang-orang Mataram. Terlebih-lebih lagi kepada para pemimpin yang terdiri dari unsut-unsur lain dari prajurit Pajang sendiri, meskipun prajurit-prajurit Pajang yang ada disayap itupun tunduk pula kepada perintahnya. Apalagi pasukan khusus yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Prabadaru.
Beberapa orang yang memiliki nama yang menggetarkan diantara orang-orang berilmu, telah mengambil tempatnya masing-masing. Mereka sudah bersiap untuk menghancurkan siapapun yang ada dihadapannya.
Tumenggung Prabadaru sendiri, tidak lagi berada di belakang pasukannya sambil memberikan perintah-perintah. Tetapi saat itu ia sudah berada diantara pasukan khususnya yang sedang memanjat tebing.
Sementara di sisi lain, pasukan Pajang yang menghadapi pasukan Untara tengah bertempur dengan gigihnya. Beberapa unsur lain yang ada di sayap pasukan itu, tengah bertahan dari tikaman pasukan Mataram yang dipimpin oleh Senapati muda Sabungsari.
Ternyata cara yang ditempuh oleh Untara itu memang memberikan pengaruh. Setiap benturan yang tiba-tiba dan diluar dugaan, akan dapat memberikan keuntungan. Sesaat ketika pasukan Sabungsari itu menyerang dari arah lambung, maka mereka telah berhasil mengurangi jumlah lawan mereka. Namun akhirnya pasukan Pajang itupun dapat mengatur diri dan menghadapi pasukan yang dipimpin oleh Sabungsari itu dengan kekuatan yang besar. Dengan susah payah mereka berusaha untuk mendesak pasukan Sabungsari keluar dari lubang tikamannya yang berbahaya, bahkan sebagian mereka ingin memotong para prajurit pilihan itu dan menghancurkan sebagian dari mereka yang sudah ada di dalam tubuh pasukan Pajang.
Tetapi Sabungsari tidak terlalu bodoh. Ia sempat menarik orang-orangnya yang mungkin akan terkurung dengan tekanan yang besar pada sisi lambung yang lain, sehingga dengan demikian, perlahan-lahan Sabungsari berhasil menarik orang-orangnya yang sudah terlanjur memasuki tubuh pasukan lawan.
Dalam pada itu, Sabungsari memang menjadi agak kecewa. Ada kelambatan gerak dari pasukan Mataram lainnya di bagian sayap. Suara Kiai Bancak sudah diam untuk beberapa saat. Sementara orang-orangnya sudah berhasil menusuk kedalam tubuh lawan. Namun pertanda yang baru itu masih belum terdengar.
Tetapi Sabungsari tidak terlalu lama mengalami kekecewaan, bahkan hampir saja pasukannya mengalami keadaan gawat jika kelambatan itu masih berkepanjangan.
Sejenak kemudian, maka suara bende Kiai Bancakpun telah terdengar lagi. Selain untuk memberikan aba-aba bagi sayap pasukan Mataram yang sebagian terdiri dari pasukan Untara.
Dalam pada itu, tiba-tiba saja pasukan di sayap itu dibagian tengah telah mengendor. Dengan penuh kekuatan, pasukan Pajang berusaha untuk menembus bagian yang terasa mulai menjadi lemah itu.
Beberapa langkah pasukan Mataram di tengah-tengah sayap itu terdesak surut. Bahkan kemudian sayap itu bagaikan pecah, dan orang-orang yang bertahan di atas tebing itu telah menyibak ketika kekuatatn Pajang yang besar yang berhasil menggapai tebing itu menekan semakin kuat.
Sepasukan Pajang yang berhasil memecah pertahanan Mataram ditengah sayap itupun telah terdorong masuk kedalam sayap pasukan Mataram, sementara orang-orang Mataram yang bertahan telah terdesak semakin jauh kedalam.
Namun baru kemudian mereka menyadari, bahwa sayap pasukan Mataram telah memasang gelar Jurang Grawah. Dengan perhitungan yang teliti atas kekuatan lawan dan kekuatan sendiri, Untara menyusun gelar yang jarang dipergunakan itu. Selapis pasukan yang kuat berada di baris terakhir dari gelarnya. Kemudian lapis terdepan dari gelarnya itu memang harus menyibak. Tetapi demikian sepasukan lawan menusuk kedalam pasukan yang memasang gelar Jurang Grawah itu, maka dengan hentakan kekuatan yang besar, maka pasukan lapis terdepan yang dengan sengaja menyibak itu, telah menutup kembali.
Dengan demikian, maka pasukan Mataram yang telah memperhitungkan kemungkinan itu dengan cermat, telah mengurung sekelompok pasukan Pajang yang terkejut mengalami perangkap itu. Bukan karena mereka tidak mengenal gelar itu. Tetapi gelar itu memang sangat jarang dipergunakan dan kemampuan memasang yang sangat cermat, telah membuat mereka sama sekali tidak melihat kesan gelar itu pada mulanya.
Sekelompok pasukan Pajang yang ada di dalam tubuh sayap pasukan Mataram itu dengan cepat mengalami banyak kesulitan, sehingga dengan cepat pula pasukan Mataram telah melumpuhkan mereka, meskipun Mataram harus melihat, pasukannya yang mengatup kembali itupun mengalami tekanan yang sangat berat dari pasukan Pajang berikutnya, yang menyadari kesalahan yang telah dibuatnya.
Namun dengan tekad yang menyala didalam dada setiap orang dari pasukan Mataram, didorong oleh kepercayaan mereka tentang suara Kiai Bancak, maka pasukan Mataram itu berhasil mengatasi kelemahan pada lapis pertama sesudah gelar Jurang Grawah itu mengatup kembali.
Senapati Ing Ngalaga yang menyaksikan gelar itu menarik nafas dalam-dalam. Untara secara pribadi memang bukan seorang Senapati yang memiliki kemampuan olah kanuragan yang tinggi, sebagaimana adiknya Agung Sedayu. Tetapi sebagai seorang Senapati perang, maka ia adalah seorang Senapati yang memiliki nalar yang sangat cemerlang sehingga ketajaman nalarnya mempunyai nilai yang tidak kalah dengan kemampuan Senapati yang memiliki kemampuan ilmu kanuragan yang ngedab-edabi.
Tetapi sudah tentu pasukan Pajang tidak akan terperangkap untuk kedua kalinya. Meskipun demikian, serangan pada lambung pasukan oleh Sabungsari dan prajurit-prajurit pilihannya, kemudian gelar Jurang Grawah yang berhasil, benar-benar telah membuat pasukan Pajang menjadi susut. Bukan hanya jumlah orangnya, tetapi juga kekuatan dan gejolak perjuangan didalam dada setiap orang didalam pasukan itu.
Dengan demikian, maka keadaan medan di sayap yang dipimpin langsung oleh Senapati Ing Ngalaga serta Untara itu telah terjadi perubahan imbangan yang berarti. Pasukan Pajang yang susut dengan cepat itu telah membuat seluruh kekuatannya menjadi berkurang.
Dalam keadaan yang demikian, maka sisa kekuatan cadangan yang ada pada orang-orang Pajang, khususnya bukan prajurit Pajang, telah dikerahkan. Merekapun dengan serta merta turun ke Kali Opak dan bergabung dengan kawan-kawannya.
Namun, kemenangan yang berarti bagi pasukan Mataram itu bukan saja memberikan arti pada kekuatan lahiriahnya saja, tetapi gejolak perjuangan didalam dada setiap orangpun menjadi mekar. Apalagi suara bende Kiai Bancak masih saja terdengar tidak berkeputusan.
Di sayap yang lain pasukan Mataram benar-benar percaya kepada kekuatannya. Pasukan khusus yang dipimpin oleh Ki Lurah Branjangan dengan beradu dada telah menahan pasukan khusus dari Pajang yang dipimpin langsung oleh Ki Tumenggung Prabadaru. Sementara itu pasukan dari beberapa daerah yang berada di sayap itu pula, dengan keberanian yang menggetarkan, telah menahan setiap orang Pajang yang berusaha memanjat tebing.
Namun dengan kemampuan yang didukung oleh keberanian yang luar biasa, maka sedikit demi sedikit, pasukan Pajang berhasil memanjat tebing, meskipun untuk itu mereka memerlukan waktu yang panjang.
Dengan demikian, maka pasukan Mataram di sayap kiri itu telah terdesak beberapa langkah surut. Pasukan Pajang telah mendesak lawannya mundur dari tebing Kali Opak.
Dengan mengerahkan segenap kemampuan, pasukan Mataram berusaha untuk menahan dorongan lawan. Ki Lurah Branjangan telah meneriakkan aba-aba untuk mendorong para pengawal dalam kesatuan khusus, agar mereka dengan gigih bertempur mempertahankan setiap jengkal tanah.
Swandaru yang berada diantara para pengawal dari Sangkal Putung telah melibatkan diri langsung kedalam pertempuran. Seorang Senapati Pajang yang mengamuk diantara pasukannya, tiba-tiba saja telah tertahan ketika didengarnya ledakan cambuk yang dahsyat menggelepar di tebing Kali Opak.
"Orang bercambuk itu," katanya didalam hati.
Sebenarnyalah dihadapannya telah hadir seorang anak muda yang gemuk dan bersenjata cambuk.
"Anak ini agaknya yang telah bermain-main dengan cambuk itu," berkata Senapati itu didalam hatinya.
Swandaru memang berusaha untuk mendekatinya. Iapun melihat bahwa Senapati itu merupakan salah satu kekuatan yang harus dihambat. Karena agaknya para Senapati dari Pajang, dalam keseluruhan di kedua sayapnya telah berada langsung diantara pasukannya.
"Suara cambuk memekakkan telinga," berkata Senapati itu.
Swandaru tidak menjawab. Tetapi ia sudah berhadapan dengan Senapati Pajang itu. Ledakkan cambuknya justru terdengar semakin keras, bagaikan membelah langit.
Senapati Pajang itu merasa betapa getaran cambuk itu mengguncang dadanya. Tetapi ia adalah seorang prajurit. Karena itu, maka suara yang menggelegar itu sama sekali tidak menggoyahkan keberaniannya.
Karena itu, dengan tombak bertangkai pendek dengan tajam ngeri pandan, ia menghadapi cambuk Swandaru yang meledak-ledak.
"Kau masih terlalu muda untuk mati," berkata Senapati itu sambil menjulurkan ujung tombaknya.
Swandaru bergeser selangkah. Dengan ujung cambuknya ia berusaha membelit tangkai tombak lawannya. Tetapi lawannya cukup tangkas sehingga ujung cambuk itu sama sekali tidak menyentuh landean tombak itu.
Namun dalam pada itu, Swandaru itu sempat menjawab, "Karena itu aku tidak mau mati. Kau sajalah yang mati."
Senapati itu menggeram. Tombaknya berputar dan terayun mendatar. Namun sekali lagi cambuk Swandaru meledak. Bahkan ledakan berikutnya, Swandaru tidak lagi berusaha untuk membelit tangkai tombak lawannya, tetapi langsung mengarah ketubuh lawannya itu.
Senapati Pajang itu meloncat surut. Namun demikian kakinya menjejak tanah, ternyata ia sudah melenting maju. Tombaknya mematuk kearah jantung.
Namun Swandaru cukup tangkas. Ia sempat meloncat kesamping, sementara tangannya mengayunkan cambuknya mengarah keleher Senapati itu.
Tetapi Senapati itupun cukup cepat. Ia sempat merendahkan dirinya sehingga cambuk Swandaru meledak diatas ubun-ubunnya. Bahkan pada saat yang demikian, Senapati itu sempat menggerakkan tangan kanannya yang menggenggam landean tombaknya, sementara tangan kirinya mengarahkan ujung tombak itu langsung ke dada Swandaru.
Swandaru terpaksa meloncat mundur, sehingga ujung tombak itu tidak menyentuhnya.
Demikianlah, perang antara dua orang Senapati itu menjadi semakin lama semakin sengit. Dalarn pada itu, para prajurit Pajangpun harus berjuang dengan segenap kemampuan mereka menghadapi para pengawal Kademangan Sangkal Putung yang terlatih baik. Sementara itu, orang-orang yang bertempur di pihak Pajangpun berusaha semakin mendesak pula.
Tetapi pasukan Sangkal Putung bertahan dengan mantap. Yang mereka hadapi bukan prajurit dari pasukan khusus, sehingga pasukan pengawal dari Sangkal Putung itu masih mempunyai kesempatan menilai kemampuan lawannya. Apalagi diantara mereka terdapat orang orang yang bukan prajurit. Namun yang bukan prajurit itulah yang justru sama sekali tidak mengenal paugeran. Mereka dapat berbuat apa saja dengan tujuan tunggal, membunuh sebanyak-banyaknya.
Tetapi disebelah pasukan pengawal Sangkal Putung itu adalah pasukan pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh, yang mendapat tempaan yang cukup berat meskipun tidak seberat pasukan khusus. Tetapi merekapun memiliki kemampuan tempur yang harus diperhitungkan. Mereka memiliki kemampuan secara pribadi, tetapi juga dalam gelar perang.
Dalam pada itu, orang-orang Pajang berusaha dengan sepenuh tenaga bukan saja untuk mendesak pasukan mataram. Seandainya mereka berhasil mendesak pasukan Mataram itu mundur, maka jika malam datang, orang-orang Pajang itu harus meninggalkan jengkal-jengkal tanah yang direbutnya. Namun sebagaimana perintah yang mereka terima, mereka harus berhasil memecahkan dan mencabik dan menyayat pertahanan pasukan Mataram, sehingga pasukan itu menjadi pecah tercerai berai. Dengan demikian maka pasukan Pajang itu akan dapat merebut pasanggrahan dan mengusir pasukan Mataram.
Dalam keadaan yang bercerai berai, maka pasukan Mataram akan memerlukan waktu untuk menghimpunnya kembali, sementara itu pasukan Pajang akan dapat maju semakin dekat dengan pusat kedudukan pemerintahan Senapati Ing Ngalaga. Bahkan kemudian pusat pemerintahan itu akan direbut dan dihancurkannya sama sekali.
Tetapi pasukan Mataram bertahan dengan gigihnya. Setiap jengkal tanah dipertahankannya dengan sepenuh tenaga. Jika mereka bergeser juga surut, maka bukan berarti bahwa mereka meninggalkan arena dengan suka rela.
Ki Gede Menoreh yang berada di antara pasukan Tanah Perdikan Menorehpun menyadari. Seorang Senopati Pajang yang berada di ujung pasukannya telah menggelisahkan para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, agar pasukannya tidak lagi bergeser, maka Ki Gede itupun tidak dapat tinggal diam. Agaknya memang sudah sampai saatnya, para Senopati langsung turun kegelanggang. Karena jika Ki Gede membiarkan Senopati Pajang itu tidak dihambat, maka ia akan menjadi hantu yang menakutkan bagi para pengawal Tanah Perdikan, sehingga sekelompok orang Tanah Perdikan Menoreh harus terhisap untuk melawan satu orang saja.
Dengan tombak siap ditangan, Ki Gede menyusup diantara para pengawal sambil berkata lantang, "Tunjukkan kebesaran watak para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Kita berpihak bagi kecerahan hari depan."
Para pengawal yang mendengar kata-kata Ki Gede itu menggeretakkan gigi. Mereka menyadari, bahwa Ki Gedepun telah tampil pula diantara mereka.
Senopati Pajang yang sudah tidak terlalu muda lagi, melihat kehadiran Ki Gede di medan. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian pedangnya berputar dengan cepat ketika ia bergeser mendekat.
"Kau pemimpin pasukan ini?" bertanya Senopati itu.
Ki Gede memperhatikan Senopati itu dengan seksama. Namun tiba-tiba ia berdesis, "Kau bukan seorang prajurit."
"Apa pedulimu," jawab Senopati itu, "aku memang bukan prajurit dalam arti seutuhnya. Tetapi sebagaimana kau ketahui, prajurit Pajang terdiri dari beberapa tataran. Ia prajurit karena ia memang prajurit. Tetapi ada juga prajurit yang hadir dalam keadaan tertentu. Dan aku adalah prajurit pada tataran ketiga. Aku prajurit yang mengemban tugas hanya pada saat-saat Pajang dalam keadaan yang gawat. Dalam keadaan sehari-hari, aku adalah seorang pemimpin sebuah padepokan kecil."
Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, "Agaknya kekuatan pasukan Pajang kali ini sebagian besar memang tidak pada prajurit Pajang sendiri."
"Kau salah," jawab Senapati itu, "sebagian besar adalah prajurit Pajang dalam arti yang sebenarnya." Lalu katanya, "Ki Sanak. Sebaiknya kau menyadari kesalahanmu sebelum pasukanmu hancur di medan. Kau dapat menarik diri dari pertempuran ini. He, siapa kau sebenarnya?"
"Aku pengawal Mataram," jawab Ki Gede, "tidak ada jalan untuk menghindari benturan kekuatan. Aku kira cara ini adalah cara yang paling baik untuk membersihkan Pajang dari orang-orang seperti kau dan barangkali masih banyak lagi orang-orang yang ingin menghancurkan Pajang dari dalam."
"Persetan," geram orang itu, "dengan ini kau akan mengerti, bahwa kau telah salah langkah."
Ki Gede tidak sempat menjawab. Pedang orang itu terjulur lurus kedadanya.
Ki Gede sempat mengelak. Ternyata orang itu bergerak dengan cepat. Dengan loncatan panjang ia memburunya.
Tetapi langkahnya terhenti, ketika ujung tombak Ki Gede terjulur mematuk lambung Senopati berpedang itu, sehingga justru Senopati itu harus meloncat kesamping.
Sejenak kemudian, maka pertempuran diantara keduanyapun meningkat semakin sengit. Senjata kedua orang itupun berputar dan terayun dengan cepat. Saling membentur dan menyerang.
Ternyata Senopati Pajang itu menjadi heran melihat kemampuan Ki Gede Menoreh. Ada juga orang Mataram yang memiliki kemampuan yang dapat mengimbanginya, selain orang yang disebut Senapati Ing Ngalaga dan Ki Juru Martani.
Dalam pada itu, semakin lama pertempuran itupun menjadi semakin seru. Senapati Pajang yang menurut pengakuannya adalah seorang pemimpin padepokan yang terpanggil untuk ikut dalam pertempuran melawan Mataram itu ternyata kurang mendapat penjelasan tentang tugas yang dihadapinya. Karena itu, maka ia benar-benar heran melihat satu kenyataan, bahwa orang bersenjata tombak itu tidak dapat segera dikalahkannya.
"Tumenggung Prabandaru mengakui kelebihanku ketika diadakan pendadaran untuk menentukan tingkat-tingkat kemampuan para Senopati Pajang," berkata orang itu didalam hatinya, "menurut pesannya, yang harus aku lepaskan hanya Senopati Ing Ngalaga, Ki Juru Martani dan anak muda bersenjata cambuk yang bernama Agung Sedayu, karena mereka akan mendapat lawan masing-masing. Tetapi ternyata orang tua ini memiliki ilmu yang cukup tinggi."
Namun orang tua menjadi semakin terkejut, ketika pada saat-saat terakhir, telah meningkatkan ilmunya untuk mengatasi kecepatan gerak lawannya.
"Aku harus mengerahkan segenap ilmuku untuk mengalahkannya," berkata orang itu, "aku harus menyelesaikannya dengan cepat."
Dengan demikian maka Senapati itupun telah meningkatkan kecepatan geraknya. Pedangnya semakin garang menyerang Ki Gede. Kadang-kadang mendatar, kadang-kadang menebas.
Tetapi Ki Gedepun mampu mengimbanginya. Sekali-sekali tombaknya terjulur lurus. Sekali-sekali berputar. Tetapi pangkal landeannya yang berselut baja putihpun sangat berbahaya sebagaimana ujungnya yang tajam.
Dengan demikian maka Senapati Pajang itupun menjadi semakin heran. Keinginannya untuk mengetahui lawannyapun menjadi semakin mendesak. Sehingga karena itu maka sekali lagi ia bertanya, "Sebelum kau mati, sebut namamu."
Ki Gede mengerutkan keningnya. Katanya sambil menghindari serangan lawannya. "Apakah namaku penting bagimu?"
"Agar aku dapat berceritera, siapa saja yang telah aku bunuh hari ini," jawab Senapati itu.
"Baiklah," jawab Ki Gede, "namaku Argapati. Dari Tanah Perdikan Menoreh."
"Ki Gede Menoreh?" desis orang itu.
"Ya," jawab Ki Gede.
Orang itu mengambil jarak. Ia berusaha memandang wajah Ki Gede sekilas. Kemudian katanya, "Pantas. Kau memiliki ilmu yang tinggi sehingga kau dapat bertahan untuk beberapa saat."
Ki Gede tidak menjawab, sementara Senapati itupun telah menyerangnya semakin garang.
"Ternyata aku bertemu dengan pemimpin Tanah Perdikan Menoreh," berkata Senapati itu didalam hatinya.
Senapati itu memang pernah mendengar nama Ki Argapati dari Tanah Perdikan Menoreh. Iapun pernah mendengar bahwa Ki Argapati memiliki kelebihan. Namun ternyata bahwa Pemimpin Tanah Perdikan Menoreh itu benar-benar seorang yang sangat berilmu tinggi.
Karena itu, maka Senapati itu tidak lagi menahan diri. Ia sadar, bahwa untuk mengalahkan Ki Gede Menoreh, ia harus mengerahkan segenap tenaga dan pikirannya.
Dengan demikian, maka pertempuran itupun menjadi semakin dahsyat, sementara para prajurit Pajang dan para pengawal dari Tanah Perdikan Menorehpun bertempur semakin seru.


07 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam pada itu, ternyata orang-orang Pajang tidak dapat mendesak orang-orang Mataram semakin jauh. Justru orang-orang Pajang sudah berada diatas tebing, dan mendesak beberapa langkah menjauhi tebing , maka pasukan Mataram telah mengerahkan segenap kekuatan yang ada untuk menahan lawan.
Pasukan yang paling dibanggakan oleh Pajang, pasukan khusus dibawah pimpinan Ki Tumenggung Prabadaru, ternyata telah membentur pasukan khusus Mataram yang ditempa di Tanah Perdikan Menoreh. Sementara prajurit pilihan yang lain disayap sebelah, telah berhadapan dengan prajurit Pajang di Jati Anom dibawah pimpinan Untara dengan pasukan terpilih yang dipimpin oleh Sabungsari, yang justru telah berpihak kepada Mataram.
Ki Tumenggung Prabadaru sendiri masih mengamati pasukannya dengan saksama. Ia ingin melihat kekuatan dan kelemahannya. Dengan tegang ia menyaksikan, bahwa pasukan Mataram telah berhasil menahan gerak maju pasukannya. Meskipun ia mengetahui, bahwa yang telah bergeser menghadapi pasukannya itu tentu pasukan khusus yang telah dipersiapkan oleh Mataram, namun ia tidak menduga, bahwa pasukan khusus itu dalam gelar perang mampu mengimbangi.
Namun adalah satu kenyataan, bahwa pasukannya telah dihentikan oleh pasukan khusus dari Mataram.
Sementara itu di sayap yang lain, keadaan pasukan Pajang ternyata menjadi lebih buruk. Setelah sebagian dari pasukan Pajang itu dihentak oleh pasukan Sabungsari, kemudian sebagian lagi ditelan oleh gelar Jurang Grawah yang berhasil, maka jumlah pasukan Pajang itupun susut dengan-cepat.
Namun dalam pada itu, sebenarnyalah seorang Senapati yang tidak banyak dikenal, baik diantara kawan-kawannya sendiri, apalagi oleh lawannya, memperhatikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebaran. Dengan tangkasnya ia menyusup diantara pasukan Pajang untuk menemukan lawan yang dicarinya. Ia sudah berada disayap yang lain untuk beberapa lama. Namun kemudian ia telah berpindah kesayap itu. Namun ia belum menemukan orang yang harus dilawannya.
"Aku harus bertemu dengan orang yang bernama Sutawijaya," berkata orang itu, "mungkin benar kata orang di tepian itu, bahwa Sutawijaya berada di induk pasukan. Tetapi mungkin pula seperti yang dikatakannya, ia berada di seluruh medan. Ia bergeser dari satu kesatuan ke kesatuan yang lain."
Namun dalam pada itu, ia masih tetap membatasi tata geraknya. Ia masih bertempur sebagaimana para Senapati yang lain. Ia sama sekali tidak menunjukkan kelebihan yang dapat menarik perhatian.
Sementara itu, orang-orang Pajang mulai melihat satu kenyataan, bahwa pasukan Mataram memang memiliki kekuatan yang dapat dibanggakan. Orang-orang dari Mangir ternyata bukannya orang-orang padesan yang hanya mengenal cangkul dan lumpur. Diantara kekuatan yang ada dipertempuran itu, maka orang-orang Mangir memiliki kelebihan tersendiri. Mereka seolah-olah sama sekali tidak terpengaruh oleh terik matahari, yang menyengat tubuh. Meskipun mereka telah memeras keringat dengan mengerahkan segenap kemampuan, namun seolah-olah mereka tidak menjadi letih. Tenaga mereka masih tetap sebagaimana mereka mulai turun kemedan pertempuran.
Sedangkan orang-orang dari Pasantenan memiliki ketangkasan yang mengagumkan. Kaki mereka yang trampil dan bergerak dengan cepat, membuat lawan-lawan mereka bercerai-berai.
Dalam pada itu, maka matahari yang lelah, semakin lama menjadi semakin rendah. Agaknya pada hari itu, orang-orang Pajang tidak berhasil memecahkan pertahanan pasukan Mataram sebagaimana yang mereka inginkan. Bahkan di salah satu sayapnya, mereka telah mengalami kesulitan yang berat, sementara disayap yang lain, pasukan kebanggaan mereka telah bertahan oleh pasukan yang memang dipersiapkan untuk menghadapi pasukan dari Mataram.
Dalam pada itu, baik pasukan Pajang, maupun Mataram tidak lagi memaksa diri untuk menentukan satu akhir dari pertempuran itu. Mereka tinggal menunggu matahari itu terbenam.
Meskipun demikian, orang-orang di kedua belah pihak tidak mau menjadi korban menjelang suara sangkakala berbunyi. Karena itu, sebagian mereka masih juga bertahan dengan mengerahkan segenap kemampuan yang tersisa. Namun pertempuran memang sudah menjadi letih dan benturan senjata tidak lagi melontarkan bunga api.
Sejenak kemudian, memang terdengar suara sangkakala. Dengan demikian maka kedua belah pihakpun segera mengendorkan ketegangan di medan perang. Perlahan-lahan mereka menarik diri selangkah demi selangkah.
Swandaru yang masih memutar cambuknya berdesis perlahan. Sementara lawannya berkata geram, "Ternyata hari ini kau diselamatkan oleh suara sangkakala itu."
"Persetan," sahut Swandaru, "jika kau tidak puas, kita lanjutkan dengan perang tanding. Dengan beberapa saksi aku tidak berkeberatan menentukan siapa diantara kita yang akan mati sebelum tengah malam."
Wajah Senapati itu menjadi merah. Sementara Swandaru berkata selanjutnya, "Dengan demikian kita tidak akan melanggar paugeran. Kau mengambil seorang saksi, aku seorang saksi dari pimpinan pasukan kita masing-masing."
Senapati itu menggeretakkan giginya. Tetapi ia menjawab, "Kau terlalu sombong. Aku ingin membunuhmu tidak dalam perang tanding. Tetapi aku ingin membunuhmu dihadapan pasukanmu. Biarlah mereka mengetahui, bahwa pimpinannya sama sekali tidak berarti dihadapan Senapati Pajang."
"Tetapi kau tidak mampu berbuat apa-apa hari ini," jawab Swandaru.
Senapati, itu menggeram. Tetapi iapun kemudian menarik dirinya bersama pasukannya.
Untuk beberapa saat Swandaru masih berdiri di tempatnya. Dipandanginya pasukan lawan yang menjauh. Kemudian menuruni tebing dan melintas Kali Opak.
Dalam pada itu, Ki Argapati mengusap kakinya yang mulai terasa nyeri. Sebagaimana biasa, jika ia mengerahkan kemampuannya maka kelemahannya yang pertama adalah pada kakinya. Tetapi karena sangkakala itu telah berbunyi, maka Ki Argapati tidak mengalami kesulitan karena kakinya itu. Sementara lawannyapun belum mengetahui bahwa Ki Argapati mengalami kesulitan.
Namun dengan demikian, Ki Argapati mendapat kesempatan menilai dirinya sendiri. Jika besok ia harus turun lagi kemedan dan bertemu sekali lagi dengan Senapati itu, maka ia harus bertempur dengan cara yang berbeda. Sebagaimana ia sudah secara khusus mempelajari kemungkinan dengan ilmunya sesuai dengan cacat kakinya itu.
"Untunglah, bahwa aku masih mendapat kesempatan," berkata Ki Argapati didalam hatinya.
Sementara itu, seorang Senapati Pajang yang tidak banyak dikenal diantara mereka sendiri mengumpat tidak habis-habisnya. Dengan kasar ia bergumam dimulutnya, "Aku ternyata harus bekerja dengan tikus-tikus dungu. Prabadaru ternyata tidak mampu memenuhi harapan. Apalagi Pringgajaya, Kiai Talun dan Raden Laksitapun tidak mampu berbuat banyak. Bahkan pasukan Pajang disatu sayapnya telah dihancurkan oleh pasukan Mataram dengan gelar gilanya."
Tetapi tidak ada yang mendengar umpatan itu.
Bahkan kemudian katanya, "besok aku harus menemukan Sutawijaya. Aku akan menunjukkan kepada orang-orang Pajang, bahwa Sutawijaya bukan orang yang pantas dihormati. Ia akan mati terkapar diantara orang-orangnya yang dungu dan yang dengan demikian akan kehilangan keberanian mereka untuk melawan. Hadiwijayapun hanya akan dapat menangisinya, dan ia akan ditelan oleh keragu-raguannya sendiri dan jatuh kedalam lumpur kehinaan, karena aku memang akan menghinakannya."
Demikianlah, malam itu, ketika para prajurit Pajang sedang beristirahat, telah menjalar perintah, bahwa esok pasukan Pajang harus berhasil memecahkan pertahanan orang-orang Mataram.
"Jangan hiraukan Sultan Hadiwijaya. Biarkan saja apa yang dilakukannya. Ia akan mati oleh tingkahnya sendiri," berkata perintah itu. Kemudian, "Langkah orang-orang Pajang hari ini pantas disesali. Kesempatan untuk memukul pasukan Mataram disayap yang menghadapi pasukan Tumenggung Prabadaru tidak dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya. Pasukan yang telah terdorong mundur itu berhasil memperbaiki keadaannya dan bertahan dengan mantap."
Tumenggung Prabadaru sendiri sadar, bahwa perintah itu tentu datang dari Kakang Panji yang tidak mau menampakkan diri dan datang langsung menemuinya.
"Ia harus melihat kenyataan itu," berkata Ki tumenggung Prabadaru, "aku adalah prajurit yang sebenarnya. Aku mengerti dengan pasti, apa yang terjadi di medan perang seperti yang sedang aku hadapi sekarang. Aku tidak dapat menyalahkan pasukanku. Mereka telah berbuat sebaik-baiknya. Tetapi mereka membentur kekuatan yang sepadan."
Tidak ada yang menjawab. Ki Tumenggung Prabadaru sendiri tidak tahu, apakah diantara mereka yang mendengar kata-katanya itu akan dapat menyampaikan kepada orang yang disebutnya Kakang Panji, yang pernah di kenalnya, namun dengan sadar, Ki Tumenggung-pun tahu, bahwa Kakang Panji itu dapat saja hadir dalam ujud yang lain dari yang pernah dikenalnya.
Namun demikian ia memang berharap, bahwa yang dikatakannya itu dapat didengar oleh orang yang akan dapat menyampaikan kepada Kakang Panji atau bahkan orang itu sendiri. Karena bagaimanapun juga, Ki Tumenggung Prabadaru telah merasa melakukan kewajibannya dengan sebaik-baiknya.
"Sikap orang harus yakin, bahwa aku telah berbuat sebaik-baiknya yang dapat aku lakukan," berkata Ki Tumenggung Prabadaru kemudian.
T'idak ada seorangpun yang menyahut. Semuanya masih tetap berdiam diri. Sementara itu Ki Tumenggung memandangi wajah-wajah yang menegang, seolah-olah ia mencari diantara mereka, orang yang bernama Kakang Panji itu.
Tetapi Ki Tumenggung tidak dapat menemukan kesan apapun dari orang-orang yang letih itu. Karena itu, maka iapun kemudian memerintahkan orang-orangnya yang ada disekitarnya itu untuk beristirahat.
"Kalian harus beristirahat sebaik-baiknya," berkata Ki Tumenggung," besok kita akan turun lagi kemedan dengan tenaga yang utuh dan dengan cara yang sebaik-baiknya. Tetapi jangan menyalahkan diri sendiri. Kalian sudah bekerja sejauh dapat kalian lakukan. Jangan membunuh diri di peperangan, selagi masih ada kemungkinan lain."
Orang-orang yang sedang berkumpul itupun kemudian meninggalkan Ki Tumenggung Prabadaru yang murung. Ketika, seorang kepercayaannya mendekatinya, maka katanya, "duduklah. Aku akan berbicara."
Orang itupun kemudian duduk disebelah Ki Tumenggung. Dengan kening yang berkerut ia bertanya, "Apakah ada sesuatu yang penting Ki Tumenggung ?"
"Kau dengar perintah Kakang Panji ?" bertanya Ki Tumenggung.
"Ya. Lewat orang-orang kepercayaannya," jawab orang itu.
"Ia menganggap bahwa aku, bahkan seluruh pasukan di sayap kita, telah melakukan kesalahan," berkata Ki Tumenggung.
"Ya. Aku sudah dengar," jawab orang itu pula.
"Aku tidak menerima tuduhan itu," jawab Ki Tumenggung.
"Sudahlah, seharusnya Ki Tumenggung tidak usah menghiraukannya. Apa yang dikatakannya, anggap saja seperti desir angin didedaunan itu," jawab kepercayaan itu.
"Aku tidak dapat berbuat begitu," berkata Ki Tumenggung Prabadaru, "aku adalah Panglima pasukan terbaik dari Pajang. Jika pasukan terbaik itu masih dianggap terlalu buruk, maka seluruh pasukan Pajang tidak akan ada artinya. Apalgi menurut penilaianku pasukanku sudah berbuat sebaik-baiknya, bahkan paling baik yang dapat kita lakukan."
"Ya. Kita sudah berbuat sebaik-baiknya," jawab kepercayaannya itu, "karena itu, jangan hiraukan. Nampaknya orang itu melihat medan dalam keseluruhan. Menurut pendengaranku, pasukan di sayap lain mengalami keadaan yang sangat buruk. Nampaknya Senapati Pajang di Jati Anom, yang kemudian berkhianat itu, melihat kemampuan yang tinggi. Bukan kemampuan olah kanuragan secara pribadi, tetapi perhitungannya sangat cermat dan semua rencananya nampaknya berhasil dengan baik."
"Jika kegagalan itu terjadi ditempat lain, jangan menyalahkan pasukanku. Pasukan terbaik yang ada di pihak Pajang. Tanpa pasukanku. Pajang tidak akan dapat berbuat apa-apa terhadap pasukan Mataram yang ternyata memiliki kekuatan yang luar biasa. Apalagi nampaknya Kangjeng Sultan tidak berbuat apa-apa," geram Ki Tumenggung Prabadaru.
Kepercayaan Ki Tumenggung Prabadaru yang duduk disebelahnya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menyahut. Ia mengerti bahwa Ki Tumenggung Prabadaru benar-benar merasa tersinggung ketika pasukan khususnya seolah-olah dianggap kurang baik.
Bahkan Ki Tumenggung itupun kemudian berkata, "Aku mengerti, bahwa Kakang Panji adalah orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Tetapi akupun tahu, bahwa Kakang Panji belum tahu kemampuan Prabadaru yang sebenarnya. Seandainya tidak ada orang yang disebut Kakang Panji, maka aku kira kekuatan pasukan Pajang yang siap untuk membangun Pajang menjadi satu negara besar seperti Majapahit itupun tidak akan berkurang."
Kepercayaannya itu menarik nafas pula untuk menahan gejolak perasaannya. Namun kemudian katanya, "Ki Tumenggung. Peperangan ini baru mulai. Mungkin peperangan ini akan berlangsung tidak hanya sepekan saja. Tetapi lebih dari itu. Sementara itu, kita sudah mulai saling tidak percaya. Maka dalam saat-saat mendatang, dimana tubuh kita menjadi semakin letih dan kawan-kawan kita semakin banyak yang gugur, maka perasaan kita akan menjadi lebih mudah tersinggung."
Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Aku akan berjuang sampai orangku yang terakhir dan bahkan nafasku yang terakhir. Tetapi aku tidak mau orang lain menilai perjuanganku dengan sudut pandangannya yang terlalu mementingkan diri sendiri. Sementara itu, kami masih berteka-teki tentang sikap Kangjeng Sultan yang menurut beberapa orang menjadi semakin parah. Menurut pendengaranku, Kangjeng Sultan hari ini sudah berusaha naik kepunggung gajahnya. Tetapi oleh satu sebab, maka beberapa orang menasehatkan agar niat itu diurungkan. Hampir saja Kangjeng Sultan terjatuh dari punggung gajah itu."
"Ya," jawab kepercayaannya, "tetapi Kangjeng Sultan berkeras untuk maju. Mungkin besok Kangjeng Sultan akan maju langsung menghadapi orang-orang Mataram yang telah memberontak itu."
"Besok kita patahkan pertahanan orang-orang Mataram," berkata Ki Tumenggung Prabadaru, "tetapi aku tidak mau diperintah seperti budak."
Kepercayaannya sama sekali tidak menjawab. Dipandanginya saja lampu minyak yang masih menyala di beberapa tempat. Sementara dari tempatnya duduk, ia melihat malam yang semakin gelap.
"Seharusnya Ki Tumenggungpun beristirahat," berkata kepercayaannya itu.
"Aku akan beristirahat diantara anak-anak di bawah pohon nyamplung itu. Nampaknya udara terasa segar di luar daripada didalam rumah-rumah yang kita pergunakan ini," berkata Ki Tumenggung Prabadaru.
Kepercayaannya itu hanya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih juga cemas, bahwa Ki Tumenggung akan mengatakan gejolak perasaannya itu kepada setiap orang. Karena itu katanya, "Tetapi anak-anak itu sudah tidur nyenyak."
Buku 165 KI TUMENGGUNG Prabadaru memandang orang itu sejenak. Namun iapun kemudian meninggalkan kepercayaannya sambil bergumam yang hanya dapat didengarnya sendiri.
Namun sejenak kemudian, Ki Tumenggung itu sudah berbaring diatas sehelai ketepe belarak diantara para prajuritnya. Sebenarnyalah mereka memang sudah tertidur, selain yang sedang bertugas.
Namun ada diantara orang-orang Pajang yang masih mengumpat-umpat. Orang itu duduk sambil bersandar sebatang pohon sukun yang besar.
"Kau dengar sendiri Prabadaru berkata demikian?" bertanya orang itu.
"Ya, "jawab kawannya.
"Biar saja. Tetapi aku harus menilai kembali kesetiaannya itu. Pada saatnya aku memang harus membuat perhitungan," jawab orang yang bersandar pohon sukun itu.
Keduanya kemudian tidak berbicara lagi. Malam menjadi bertaMbah sepi. Namun orang-orang yang bertugas untuk melayani orang-orang yang terluka masih sibuk dengan tugas mereka. Beberapa orang yang parah mengerang kesakitan, meskipun sudah diusahakan untuk memperingan penderitaannya.
Sementara itu, diseberang Kali Opak, Raden Sutawijaya berbincang dengan Ki Juru Martani dengan wajah yang bersungguh-sungguh. Dengan nada cemas, Raden Sutawijaya bertanya, "jadi menurut pendapat paman Juru Martani, keadaan ayahanda menjadi semakin parah?"
"Ya ngger. Seorang petugas sandi mengatakan, bahwa hampir saja Kangjeng Sultan jatuh dari punggung gajahnya. Sehingga dengan demikian, maka niat Kangjeng Sultan untuk turun kemedan hari ini telah ditangguhkan," jawab Ki Juru.
Raden Sutawijaya menunduk dalam-dalam. Berbagai persoalan telah bergejolak didalam hatinya. Bagaimanapun juga ia tidak dapat melupakan kasih sayang ayahanda angkatnya itu kepadanya. Tidak ubahnya dengan kasih sayang Kangjeng Sultan itu kepada puteranya sendiri.
Terbayang di angan-angan Raden Sutawijaya, saat ia mengikuti ayahandanya Ki Gede Pemanahan untuk menundukkan perlawanan Arya Penangsang. Kangjeng Sultan itu tidak sampai hati melepaskannya tanpa perlindungan. Karena itulah, maka senjata yang paling baik yang ada di perbendaharaan pusaka Pajang telah diberikan oleh ayahanda angkatnya itu kepadanya. Kangjeng Kiai Pleret.
Memang kadang-kadang terbersit penyesalan, bahwa pada suatu saat akan terjadi benturan kekuatan antara Pajang dan Mataram. Seandainya, ya, seandainya ia tidak melakukan satu tindakan yang sekedar beralas pada harga diri, maka keadaannya memang akan berbeda. Tidak akan ada kesempatan bagi orang-orang yang sekedar mementingkan diri sendiri untuk justru telah menjadi penggerak dari pertentangan yang memuncak dan yang kemudian telah terungkap dalam satu medan yang dahsyat, yang telah mengorbankan anak-anak terbaik dari Pajang dan Mataram.
"Paman," berkata Raden Sutawijaya kemudian, "sehubungan dengan keadaan ayahanda, apakah yang sebaiknya aku lakukan?"
"Anakmas Senapati Ing Ngalaga. Perang telah pecah. Sebenarnyalah justru kita sekarang melihat, bahwa perang ini meskipun menurut ujud lahiriahnya, anakmas melawan kekuasaan ayahanda Sultan Pajang, tetapi dalam kenyataannya, anakmas telah berperang melawan orang-orang yang justru ingin menundukkan kekuasaan ayahanda Sultan untuk menyusun satu kekuasaan yang sesuai dengan keinginan mereka. Perang ini telah diketahui dengan pasti oleh ayahanda Sultan dan bahkan ayahanda Sultan telah menentukan hari esok bagi Pajang. Karena itu, hal ini merupakan pertimbangan-pertimbangan baru bagi anakmas Sutawijaya."
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba darah yang hampir membeku didalam jantungnya, telah bergejolak kembali. Dengan pasti ia kemudian berkata, "benar paman. Aku harus menghancurkan kekuatan yang membayangi kekuasaan ayahanda Sultan Pajang sekarang ini. Aku harus dapat menghancurkan kekuatan pasukan Pajang yang ada disayap sebelah menyebelah, karena demikianlah isyarat yang aku terima dari ayahanda Sultan."
Ki Juru Martani mengangguk-angguk. Kemudian katanya, "Bagus. Itu adalah tugasmu sekarang."
Raden Sutawijayapun kemudian kembali ke tempatnya. Ketika ia bertemu dengan Untara, maka iapun berkata, "Bagaimanapun keadaan ayahanda, kita bertempur terus. Kita telah berbuat sesuatu, justru untuk menegakkan kuasa ayahanda Sultan Pajang. Kita harus dapat menghancurkan kekuatan yang membayangi kekuasaan ayahanda Sultan itu sampai tuntas."
Untara mengangguk kecil. Katanya, "Baiklah Raden. Besok kita akan berbuat lebih baik lagi. Hari ini kita sudah berhasil mengurangi kekuatan lawan dalam jumlah yang cukup besar. Mungkin besok mereka akan menurunkan pasukan cadangannya."
"Apakah kita juga akan menurunkan pasukan cadangan?" bertanya Raden Sutawijaya.
"Belum. Aku masih berharap dengan kekuatan yang ada akan mendesak dan jika mungkin memecahkan pasukan lawan," jawab Untara.
"Orang-orang Pajang tentu tidak akan melakukan kebodohan itu sekali lagi," berkata Raden Sutawijaya.
"Kita akan menghadapinya langsung. Pasukan Sabungsari yang tangguh itu akan turun ketepian. Pasukan Pasantenan yang ada di bagian sayap ini akan justru berusaha menyerang pasukan Pajang besok dari belakang. Mereka akan melintas Kali Opak dan menunggu di belakang gerumbul-gerumbul perdu."
"Itu sangat berbahaya," berkata Senapati Ing Ngalaga, "jika pasukan cadangan Pajang yang tersisa kemudian dikerahkan, maka orang-orang Pasantenan itu akan terjepit antara dua kekuatan Pajang."
"Sudah diperhitungkan oleh Sabungsari," jawab Untara, "mereka akan menusuk kekuatan lawan dan memasuki daerah pertahanan mereka. Dengan demikian, apabila pasukan Sabungsari dapat berhubungan dengan orang-orang Pasantenan, maka pasukan Pajang akan terbelah."
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Ia sejak semula memang percaya bahwa Untara memiliki kemampuan seorang Senapati yang mumpuni, meskipun, secara pribadi ia bukan seorang yang memiliki kemampuan kanuragan yang pinunjul.
"Baiklah," berkata Raden Sutawijaya kemudian, "sekarang beristirahatlah. Kita semua memerlukan beristirahat. Mudah-mudahan di sayap yang lain besok akan dapat berhasil pula. Aku memang menunggu laporan jika terjadi perubahan. Jika tidak, maka Ki Lurah Branjangan masih tetap akan mempergunakan caranya yang semula. Bertempur langsung beradu dada. Nampaknya kekuatan kedua belah pihak masih tetap berimbang."
"Ya, dan agaknya pasukan khusus dari Mataram memang sudah benar-benar siap," berkata Untara.
"Tetapi nampaknya di sayap sebelah, perang Senapati akan segera terjadi. Para Senapati dari Pajang sudah turun ke medan dan langsung berada di garis pertempuran," berkata Raden Sutawijaya kemudian.
Untara menarik nafas dalam. Ia sadar, bahwa adiknya berada di sayap yang lain itu. Meskipun Untara tahu benar, bahwa kemampuan adiknya justru lebih baik dari kemampuannya, namun rasa-rasanya kebiasaannya melindungi adiknya sejak masa kanak-kanaknya, masih tetap berpengaruh atas perasaannya. Rasa-rasanya ia ingin minta kepada Senapati Ing Ngalaga agar memerintahkan adiknya untuk berada disatu sayap, agar ia dapat mengawasinya.
Tetapi Untara tidak mengatakan niatnya itu. Ia berusaha untuk mempergunakan nalarnya, bahwa adiknya akan dapat menjaga dirinya sendiri. Bahkan lebih baik dari Untara sendiri.
Dalam pada itu, maka Senapati Ing Ngalaga kemudian memasuki pasanggrahannya. Ternyata seorang utusan Ki Lurah Branjangan telah menunggunya.
"Ada sesuatu yang penting?" bertanya Raden Sutawijaya.
"Tidak Raden. Ki Lurah masih akan tetap mempergunakan cara yang ditempuh sebelumnya. Kita masih akan mampu menghadapi pasukan Pajang yang menurut penilaian kami menjadi semakin susut kekuatannya. Mereka sudah menurunkan pasukan cadangan dan mereka sudah mulai dengan mengerahkan para Senapati," berkata utusan itu.
"Aku sudah menduga bahwa perang Senapati akan segera terjadi. Apa para pemimpin pasukan Mataram sudah siap ?" bertanya Raden Sutawijaya.
"Semuanya sudah siap. Jika pada hari-hari ini para pemimpin itu berada diantara pasukan Mataram, maka mereka akan segera tampil di paling depan menghadapi para Senapati. Sementara Pandan Wangi dan Sekar Mirah masih berada diantara pasukan cadangan yang dihari-hari pertama ini membantu kegiatan di dapur. Tetapi pada saatnya, apabila keadaan memaksa, mereka tentu akan segera turun kemedan."
"Bagaimana dengan Kiai Gringsing, Ki Waskita, Ki Gede dan para Senapati yang lain?" bertanya Raden Sutawijaya.
Utusan itu menjawab, "Mereka selalu berada di medan. Sekali-sekali mereka terlibat dalam pertempuran. Tetapi mereka belum benar-benar bertempur. Baru Ki Gede dan Swandaru yang pada hari ini mendapatkan lawan yang harus dilayaninya sampai saatnya pertempuran berhenti menjelang senja."
"Perang Senapati itu benar-benar sudah mulai disayapmu," berkata Raden Sutawijaya. "baiklah. Aku berharap bahwa Agung Sedayu bersikap hati-hati."
"Ya Raden. Aku akan menyampaikannya," jawab utusan itu. Lalu iapun bertanya, "apakah ada pesan khusus bagi Ki Lurah Branjangan ?"
"Tidak ada selain harapan-harapan bagi kita semuanya. Besok Kiai Bancak masih akan mengumandang," berkata Raden Sutawijaya.
Demikianlah maka utusan itupun segera kembali ke sayap yang lain dan langsung menghadap Ki Lurah Branjangan. Semua pesan Raden Sutawijaya telah diberitahukan, sehingga dengan demikian Ki Lurahpun mendapat gambaran, apa yang akan dilakukannya esok.
"Perang disayap ini masih akan berlanjut seperti hari ini," berkata Ki Lurah, "kita akan mengerahkan segenap kemampuan."
Ki Lurah itupun kemudian menyampaikan kepada semua pemimpin dan Senapati Mataram untuk langsung menghadapi setiap lawan yang memiliki pengaruh yang besar dilingkungannya pada benturan pasukan dikeesokan harinva.
Demikianlah pasukan khusus yang kuat dari Matarampun telah dipersiapkan benar-benar. Mereka dapat kesempatan untuk sepenuhnya beristirahat. Sekelompok pasukan cadanganlah yang malam itu harus berjaga-jaga disetiap sudut garis peperangan. Sehingga dengan demikian maka setiap orang didalam pasukan Mataram itu sempat memulihkan tenaganya. Bahkan mereka yang terluka ringanpun enggan untuk tinggal di pasanggrahan. Mereka telah menyatakan, bahwa mereka akan turun ke garis perang seperti hari-hari sebelumnya.
"Lukamu akan dapat berdarah lagi," berkata seorang yang merawat orang-orang yang terluka.
"Tidak apa-apa. Hanya segores kecil di pundak. Aku masih mampu menggerakkan pedang dengan baik. Lukaku di pundak kanan. Sementara aku hanya dapat bermain pedang dengan tangan kiri. Aku memang kidal," berkata orang yang terluka itu.
Orang-orang yang merawatnya mencoba untuk mencegahnya bersama beberapa orang yang lain. Tetapi mereka justru menemui pemimpin mereka masing-masing, untuk menyatakan diri, maju kemedan perang di keesokan harinya.
"Aku mengenali orang yang melukai aku," berkata seorang diantara mereka.
"Kau tidak akan menemukannya dipeperangan," jawab pemimpinnya.
"Tetapi aku akan maju besok," desaknya.
"Baiklah. Tetapi jika pendarahan itu terjadi lagi. Kau aku perintahkan untuk menarik diri," berkata pemimpinnya.
Demikianlah, maka pasukan Matarampun benar-benar telah bersiap menghadapi hari-hari yang semakin gawat. Merekapun beristirahat ditempat yang bertebar. Ada diantara mereka yang tidur di pendapa-pendapa, tetapi ada juga yang memilih tidur di bawah pepohonan di halaman.
Seperti hari-hari yang lewat, maka menjelang dini hari, orang-orang yang bekerja di dapur sudah menjadi sibuk.Mereka menyiapkan makan dan minum sebaik-baiknya. Sementara itu, para prajurit dan orang-orang yang berada didalam pasukan yang akan bertempur, masih mendapat kesempatan untuk beristirahat beberapa saat lamanya.
Namun dalam pada itu, Untara sudah berbuat sesuatu. Ia telah menghubungi orang-orang Pasantenan. Dengan diam-diam merekapun telah mempersiapkan diri. Bahkan secara khusus mereka telah makan dan minum mendahului kawan-kawannya.
"Berhati-hatilah," pesan Untara kepada Senapati pasukan yang langsung dipegang oleh putera Ki Gede Pasantenan sendiri.
"Kami akan berbuat sebaik-baiknya. Mudah-mudahan rencana ini dapat berlangsung sebaik-baiknya," jawab putera Ki Gede Pasantenan.
"Jika kau mengalami kesulitan, berilah isyarat dengan panah sendaren. Aku akan mengambil satu sikap," berkata Untara.
"Baiklah. Mudah-mudahan segalanya berhasil baik," jawab Senapati dari Pasantenan itu.
Sementara itu, Untarapun telah memanggil Sabungsari pula. Keduanyapun kemudian dipertemukan untuk membuat pembicaraan yang terakhir.
"Ingat. Aku memakai pohon benda itu sebagai patokan," berkata Sabungsari, "jangan bergeser. Atau jika perlu, berilah isyarat sebagaimana sudah disepakati."
Putera Ki Gede Pasantenan itupun mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku akan tetap berpegangan kepada patokan itu."
Demikianlah, maka pasukan dari Pasantenan itupun kemudian meninggalkan sayap mereka dengan hati-hati.
Mereka tidak langsung menyeberangi Kali Opak. Tetapi mereka bergeser dan melingkar. Untuk beberapa saat mereka akan menunggu di Tikungan. Jika pertempuran yang terjadi, maka mereka akan dengan cepat melintasi Kali Opak di sebelah tikungan dan menyusup diantara gerumbul-gerumbul perdu. Mereka akan menikam pasukan Pajang dari punggung, sementara pasukan Sabungsari akan turun ke tepian dan menusuk dari dada. Kedua pasukan itu akan bertemu, dan pasukan Pajang itupun akan terbelah.
"Pengaruh dari sudut kekuatan pasukan Pajang memang tidak begitu besar," berkata Untara kepada Raden Sutawijaya, " tetapi dengan demikian akan terjadi pengaruh lain. Orang-orang Pajang akan merasa kekuatan Mataram melampaui kekuatan mereka sehingga dapat memecah pasukan Pajang dalam gelar di peperangan."
Demikianlah, maka segalanya telah dipersiapkan sebaik-baiknya. Pasukan Mataram yang terdiri dari para prajurit Pajang di Jati Anom selain yang dipimpin oleh Sabungsari, serta orang-orang Mangir yang memiliki ketahanan tubuh yang luar biasa terhadap teriknya matahari, akan menghadapi langsung pasukan Pajang yang akan memanjat tebing.
Demikianlah, maka setelah semuanya siap, maka pasukan sayap itupun telah menempatkan diri mereka dengan cermat sambil menunggu aba-aba lebih lanjut.
Ketika Sangkakala berbunyi, maka kedua pasukan-pun telah mengatur diri sebaik-baiknya. Ada pertanda kebesaran telah dipasang, sehingga kedua pasukan itupun benar-benar telah siap untuk bertempur.
Demikianlah, ketika pertanda berikutnya bergema di sepanjang tebing Kali Opak, maka kedua pasukan itupun telah mulai bergerak maju.
Seperti di hari-hari sebelumnya, pasukan Mataram telah menghentikan pasukannya di sebelah Barat Kali Opak, sementara pasukan Pajang yang ingin menghancurkan pertahanan Mataram itupun telah menuruni tebing dan merambat kearah pasukan Mataram.
Pasukan khusus yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Prabadarupun telah berada di paling depan. Dengan sangat berani mereka mendekati lontaran anak panah dan lembing pasukan Mataram yang berada di atas tebing. Dengan gelar yang mapan, berlindung dibalik perisai, mereka menembus hujan panah dan lembing yang dilontarkan oleh pasukan Mataram.
Seperti yang terjadi dihari sebelumnya, kedua pasukan itu telah saling berbenturan. Pasukan khusus yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Prabadaru langsung dihadapi oleh pasukan khusus dari Mataram yang dipimpin oleh Ki Lurah Branjangan, yang dibayangi oleh Agung Sedayu.
Benturan yang terjadi, benar-benar merupakan benturan dua pusaka yang memiliki kekuatan baja. Pasukan yang telah ditempa untuk satu tugas yang sangat gawat dan menentukan.
Sementara itu, pasukan Pajang disayap yang lain telah menyerang pasukan Mataram pula. Dengan keberanian yang mengagumkan, merekapun telah melintasi sungai dan berusaha memanjat tebing. Namun ternyata bahwa pasukan Mataram telah menahan mereka dengan segenap kemampuan.
Namun yang terjadi kemudian adalah jenis gelar yang lain yang dilakukan oleh Untara. Meskipun pimpinan sayap pasukan Pajang itu telah memperhitungkan segala kemungkinan, namun ketika tiba-tiba saja mereka melihat pasukan Mataram yang muncul dari balik gerumbul, mereka menjadi berdebar-debar.
Demikianlah, maka pasukan dari Pasantenan itu telah mulai dengan serangannya. Mereka menghantam punggung pasukan Pajang yang sedang berusaha memanjat tebing, sehingga serangan itu, benar-benar terasa sangat mengganggu.
"Hancurkan pasukan itu," terdengar perintah dari pimpinan pasukan Pajang.
Demikianlah, maka bagian belakang pasukan Pajang itu telah menahan diri dan berbalik menghadapi pasukan Pasantenan yang telah menyerang mereka dari punggung.
Namun dalam pada itu, selagi pertempuran berkobar semakin sengit maka bende Kiai Bancakpun mulai terdengar lagi mengumandang.
Meskipun suara bende itu telah terdengar bukan saja pagi itu, namun suaranya masih tetap mempunyai pengaruh bagi kedua pasukan yang sedang bertempur itu. Namun yang lebih penting bagi Untara, suara bende itu adalah perintah bagi Sabungsari untuk mulai dengan tugasnya yang berat.
Namun Sabungsari sudah bertekad untuk berbuat sebaik-baiknya sebagai seorang prajurit. Meskipun ia sebenarnya adalah prajurit Pajang, tetapi ia tahu benar persoalan yang dihadapinya. Ia bukan saja bergerak karena perintah Untara. Tetapi ia sudah mendapat penjelasan dari semua peristiwa yang dihadapinya.
Dengan hentakkan yang sangat mengejutkan, Sabungsari memimpin pasukannya justru menuruni tebing, pada saat pasukan Pajang berusaha naik. Namun pergolakan di punggung sayap pasukan Pajang itu terasa juga pengaruhnya di seluruh sayap pasukan itu. Apalagi ketika tiba-tiba saja pasukan yang dipimpin Sabungsari itu bagaikan tajamnya ujung tombak menusuk langsung ke jantung sayap pasukan Pajang.
Garak pasukan yang dipimpin Untara itu memang merupakan satu usaha yang sangat berani. Tetapi justru karena gerak itu diluar dugaan, maka benar-benar menggoyahkan perlawanan pasukan Pajang.
Namun dalam pada itu, Untara tidak membiarkan Sabungsari dijepit dari sebelah menyebelah. Pasukan yang berada di atas tebingpun kemudian telah bertempur dengan dahsyatnya. Mereka bukan saja menghujani lawan dengan senjata, tetapi ujung sayap itu telah berusaha pula untuk mendesak pasukan lawan. Perlahan-lahan mereka justru mulai bergeser menepi dan ujung sayap itupun akhirnya berusaha untuk mendesak sehingga mereka menuruni tebing.
Orang-orang Mangir yang tidak mengenal terik matahari, memiliki ketahanan tersendiri. Mereka seakan-akan tidak merasa perlu untuk berhemat tenaga. Tenaga mereka bagaikan tidak pernah susut, meskipun mereka sudah bertempur sehari penuh.
Dengan demikian, maka pertempuran di sayap itu menjadi sempit. Pasukan Pasantenan benar-benar menggetarkan pasukan Pajang, justru karena serangannya yang tiba-tiba. Sementara itu, prajurit Pajang terpilih yang dipimpin oleh Sabungsari, yang bertempur di pihak Mataram telah menusuk semakin dalam. Diujung sayap orang-orang Mangir mulai menuruni tebing.
Dalam pada itu, di sayap yang lain, pertempuranpun telah berlangsung dengan cara yang berbeda. Kedua pasukan berbenturan dengan dahsyatnya. Sementara orang-orang Pajang berusaha naik ke atas tebing dan mendesak pasukan Mataram.
Tetapi pasukan Mataram bertahan dengan gigihnya. Setiap jengkal tanah dipertahankannya dengan sepenuh kemampuan.
Dalam pada itu, Swandaru yang belum berhasil menyelesaikan lawannya dihari sebelumnya, seolah-olah telah mencari lawannya itu diantara pasukan lawannya. Ketika ia mulai menjadi jemu, maka tiba-tiba saja cambuknyalah yang telah meledak dengan dahsyatnya.
"Jika orang itu jantan, dengan mendengar cambuk ini, ia akan datang mencariku," berkata Swandaru didalam hatinya.
Sebenarnyalah, suara cambuk Swandaru telah menggelitik seorang Senapati Pajang untuk mencarinya. Dengan jantung yang bergejolak ia menggeram, "Aku harus membunuhnya hari ini."
Dengan tuntunan arah suara cambuk Swandaru, maka orang itupun segera dapat menemukannya. Dengan marah orang itu langsung menyerang Swandaru sambil berteriak, "Kau kira kau laki-laki sendiri di peperangan ini."
Swandaru tidak menjawab. Tetapi ia memutar cambuknya dan kemudian menghentakkannya dengan kerasnya, sehingga suaranya bagaikan meledaknya petir di udara.
Lawannya meloncat mundur. Tetapi iapun segera bersiap meloncat menyerang. Seperti Swandaru, maka kemarahannya tidak lagi dapat dikekangnya.
Sejenak kemudian keduanya telah bertempur dengan dahsyatnya. Masing-masing memiliki kelebihan yang sulit dicari tandingannya.
Yang juga bertemu dengan lawannya adalah Ki Gede Menoreh. Kedua pasukan yang dipimpin oleh kedua orang yang pernah terlibat dalam pertempuran itu telah bertemu lagi. Dengan demikian, maka kedua orang Senapatinyapun telah bertemu pula dan mengulangi pertempuran yang pernah terjadi dihari sebelumnya.
Namun dalam pada itu, ternyata Ki Tumenggung Prabadaru yang merasa dirinya mendapat penilaian yang kurang baik dari orang yang disebut Kakang Panji itu berusaha juga memperbaiki keadaannya. Ia telah memerintahkan orang-orangnya dari pasukan khusus yang tangguh itu untuk mengerahkan kekuatan mereka melampaui hari-hari sebelumnya.
"Kita harus berhasil hari ini," berkata Ki Tumenggung, "aku akan membuktikan kepada Kakang Panji, bahwa pasukanku adalah pasukan yang terbaik yang ada di medan ini. Tidak ada pasukan dari manapun juga diantara pasukan Pajang dan Mataram yang dapat mengimbangi kemampuan orang-orangnya."
Para Senapati yang ada didalam pasukan itupun telah berusaha dengan sekuat kemampuan mereka untuk mewujudkan keinginan Ki Tumenggung itu. Tetapi merekapun harus melihat satu kenyataan, bahwa mereka telah dihadapkan kepada satu pasukan khusus yang juga memiliki kelebihan dari pasukan-pasukan yang lain.
Dalam kegelisahannya, maka Ki Tumenggung Prabadaru itupun tidak lagi mengekang dirinya sendiri. Dengan tangkasnya ia bertempur diantara prajurit-prajuritnya, sehingga pasukan lawannya menjadi ngeri melihat sikapnya. Beberapa orang telah bertempur dalam satu kelompok untuk membatasi gerak Ki Tumenggung Prabadaru. Namun setiap kali ia berhasil memecahkan lingkaran orang-orang Mataram yang ingin menghambatnya.
Dalam pada itu, pasukan Pajang telah hampir seluruhnya berada diatas tebing. Bahkan beberapa langkah mereka berhasil mendesak pasukan Mataram. Pasukan khusus dari Pajang telah bertempur dengan kemampuan yang mendebarkan. Senjata mereka berputaran, terayun dan menyambar dengan dahsyatnya. Sementara Ki Tumenggung Prabadaru sendiri telah ikut langsung bertempur diantara mereka.
Dengan demikian, maka pasukan khusus dari Pajang itu benar-benar merupakan satu pasuakn yang menggetarkan. Bukan saja karena kemampuan setiap orang didalam pasukan itu, tetapi pimpinan pasukan itu sendiri telah dengan langsung diantara pasukannya.
Orang-orang yang berani mendekati Ki Tumenggung Prabadaru, akan segera terdorong menjauh. Yang mencoba untuk tetap bertahan, akan segera terlempar dengan luka ditubuhnya. Bahkan dua tiga orang yang menyerang bersama-sama akan mengaduh bersama-sama pula karena kulitnya terkoyak oleh senjata Ki Tumenggung Prabadaru.
"Orang lain tidak boleh menilai pasukanku sebagai pasukan yang tidak berarti," geram Ki Tumenggung yang merasa tersinggung oleh penilaian Kakang Panji.
Dengan hadirnya Ki Tumenggung langsung di pasukannya dan dengan tanpa ragu-ragu menghadapi setiap lawan sebagaimana harus dihadapi di peperangan, maka pasukan khusus dari Mataram itupun menjadi terdesak. Apalagi ketika para Senapati di dalam pasukan itupun telah berbuat sebagaimana dilakukan oleh Ki Tumenggung Prabadaru.
Dalam pada itu, Ki Lurah Branjangan telah merasakan tekanan yang sangat berat pada pasukannya. Karena itu, maka iapun bergeser disepanjang garis pertempuran sambil melihat, apakah yang telah membuat pasukannya mengalami tekanan yang terasa melampaui hari-hari yang lewat.
Ki Lurah Branjangan itu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ia melihat Ki Tumenggung bertempur seperti seekor harimau kelaparan.
"Bukan main," geram Ki Lurah Branjangan, "jika tidak dicegah, maka orang-orang akan benar-benar terdesak pada hari ini."
Karena itu, maka Ki Lurah itupun kemudian telah mendekati Ki Tumenggung Prabadaru dengan niat untuk menghentikan pembantaian yang telah dilakukannya.
Namun ketika Ki Tumenggung Prabadaru melihat kehadiran Ki Lurah Branjangan, maka iapun tiba-tiba tertawa sambil berkata, "Nah, inilah pemimpin teringgi pasukan khusus dari Mataram. Aku ingin melihat, apakah kau benar-benar seorang Senapati pinunjul. Adalah satu kehormatan bagi kita berdua, bahwa kita dapat bertemu di medan sebagai dua orang Panglima dari satu pasukan yang disegani."
Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa Ki Tumenggung Prabadaru adalah seorang yang memiliki ilmu yang sangat dahsyat. Tetapi adalah tanggung jawabnya untuk menghadapi Ki Tumenggung itu apapun yang akan terjadi.
Sejenak kemudian keduanya sudah berhadapan. Dengan sigapnya Ki Tumenggung langsung menyerang Ki Lurah Branjangan dengan senjatanya. Senjata Ki Tumenggung bukan senjata yang aneh. Yang digenggamnya adalah sebilah pedang yang khusus, terbuat dari baja yang kehitam-hitaman, ditaburi dengan pamor yang bagaikan menyala.
Ki Lurah Branjangan yang bersenjata tombak pendek itupun berkisar selangkah. Dengan tombaknya Ki Lurah langsung mematuk lambung. Tetapi Ki Tumenggung berputar. Dengan pedangnya ia menangkis senjata Ki Lurah Branjangan.
Ki Lurah terkejut ketika tombaknya membentur pedang Ki Tumenggung Prabadaru. Hampir saja tombaknya terlepas dari genggaman. Namun untunglah, bahwa ia masih mampu memperbaiki keadaan.
"Aku kurang berhati hati," berkata Ki Lurah Branjangan.
Namun ketika keduanya bertempur semakin cepat, maka ternyata bahwa Ki Lurah Branjangan bukannya lawan yang seimbang dari Ki Tumenggung Prabadaru. Serangan-serangan Ki Tumenggung yang semakin cepat, menjadi semakin sulit untuk dilawan.
Untunglah bahwa beberapa orang dari pasukan khusus Ki Lurah tanggap akan keadaan itu. Dua orang diantara mereka telah menempatkan diri untuk bersama-sama Ki Lurah Branjangan melawan Ki Tumenggung Prabadaru.
"Jangan hanya bertiga," berkata Ki Tumenggung Prabadaru, "semua Senapati dari Mataram aku persilahkan untuk menempatkan diri melawan Prabadaru."
Ki Lurah Branjangan menggeram. Ujung tombaknya langsung mematuk dada, sementara dua orang yang lain bersama-sama pula menyerang dengan cepatnya.
Tetapi serangan-serangan itu tidak menggetarkan jantung Ki Tumenggung Prabadaru. Ia mampu mengelakkan semua serangan itu dengan gerak yang hampir tidak dapat diikuti oleh lawan-lawannya.
Yang terjadi kemudian, benar-benar mengejutkan Ki Lurah Branjangan. Ki Tumenggung itu mampu bergerak terlalu cepat, sehingga pedangnya yang berputar dan dirinya sendiri, seakan-akan telah berubah menjadi segumpal awan yang dengan cepatnya telah melibat kedua orang kawannya. Ketika lawan itu bergeser, maka kedua orang itupun telah terkapar di tanah. Tubuhnya yang koyak memancarkan darah yang merah membasahi bumi Prambanan. Bahkan luka yang terdapat pada setiap orang yang terkapar itu bukan hanya segores, tetapi silang melintang.
"Bukan main," geram Ki Lurah didalam hatinya. Tetapi sebagai seorang Senapati ia sama sekali tidak menunjukkan kelemahannya. Ia sadar, bahwa kemampuan Ki Tumenggung itu tidak akan dapat diimbanginya. Namun ia harus memimpin pasukannya menghadapi pasukan khusus dari Pajang, termasuk panglimanya.
Karena itu, Ki Lurah justru menjadi marah. Iapun menghentakkan segenap kemampuannya menghadapi Ki Tumenggung Prabadaru.
Ketika dua orang kawannya telah tidak berdaya, maka dua orang lain telah tampil pula. Ki Lurah kembali bertiga menghadapi Ki Tumenggung Prabadaru yang memiliki ilmu yang nggegirisi itu.
"Anak iblis," geram Ki Tumenggung, "sudah aku katakan. Jangan hanya bertiga. Semakin banyak, semakin baik. Dengan demikian, tugasku akan menjadi semakin cepat. Pasukan yang disebut pasukan khusus dari Mataram ini akan cepat menjadi habis. Meskipun aku masih ingin membiarkan penglimanya untuk hidup, agar ia dapat menyaksikan kehancuran pasukannya."
Ki Lurah Branjangan menggeram. Dengan tombak pendeknya ia meloncat menyerang dengan garangnya.
Tetapi serangannya itu sama sekali tidak menyentuh Ki Tumenggung Prabadaru. Dengan tangkasnya ia mengelak. Bahkan ketika dua orang kawan Ki Lurah menyerangnya pula beruntun, maka iapun dapat mengelakkan diriya tanpa kesulitan.
Sejenak kemudian, pertempuran itupun menjadi bertaMbah cepat. Sekali lagi pedang Ki Tumenggung berputar bergulung-gulung.
Ki Lurah Branjangan yang telah mengalami satu akibat yang mengerikan dari libatan putaran pedang Ki Tumenggung itupun menjadi bersiaga. Dengan lantang ia memberi peringatan kepada kedua orang kawannya.
Kedua kawannya itupun mengetahui pula akibat yang telah terjadi atas dua orang kawannya yang terdahulu. Karena itu, maka merekapun telah merapat untuk melawan bersama-sama. Sementara Ki Lurah Branjangan dengan mempergunakan segenap kemampuan berusaha untuk menahan libatan gumpalan putaran pedang yang mengerikan itu.
Usaha ketiga orang itu untuk sementara berhasil. Ki Tumenggung mengumpat pendek. Tetapi dengan cepat putaran pedang itu berkisar. Dengan tiba-tiba saja, Ki Tumenggung telah meloncat untuk mengambil jarak.
Tetapi ketika ia meloncat lagi mendekat, maka ia telah menyerang, dengan cara yang berbeda. Pedangnya menyambar dengan cepat mengarah kelambung seorang lawannya. Ketika lawannya itu menghindar, dan lawannya yang lain menyerangnya, maka ia cepat memutar pedangnya untuk langsung membentur senjata yang mematuk dadanya. Dengan sekuat tenaga ia mengungkit senjata lawannya dan kemudian memutarnya dengan cepat.
Ternyata lawannya itu tidak berhasil mempertahankan senjatanya. Senjatanya itu bagaikan dihisap oleh satu kekuatan yang sangat besar, sehingga ketika sekali lagi Ki Tumenggung menghentakkan pedangnya, maka senjata lawannya itupun terlepas.
Hampir saja jantung lawannya itu dikoyaknya. Namun Ki Lurah Branjangan cepat datang menolongnya. Ujung tombaknya dengan cepat menukik mengarah ke perut Ki Tumenggung, sehingga ia harus memperhitungkan serangan yang datang dengan tiba-tiba itu.
Ki Tumenggung bergeser surut. Dengan sekuat tenaganya ia memukul landean tombak Ki Lurah. Tetapi ternyata Ki Lurah cepat bergerak pula. Ia berhasil menarik serangannya, sebelum pedang Ki Tumenggung merenggut tombaknya.
Pendekar Muka Buruk 16 Pendekar Rajawali Sakti 200 Bencana Tanah Kutukan Setan Harpa 14

Cari Blog Ini