Ceritasilat Novel Online

Gajah Kencana 11

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 11


"Setan! Aku diberi kekuasaan penuh oleh baginda untuk
menindak dan membunuh orang yang menolak titah raja dan
orang yang melarikan Sindura. Sebenarnya aku tak mau
menggunakan kekuasaan itu dan hanya hendak membawa
kalian menghadap baginda. Terserah bagaimana baginda
hendak mengadili kalian. Tetapi ternyata itikad baik yang
kuberikan itu, engkau campakkan. Baik, sekarang aku hendak
menggunakan kekuasaan itu untuk menindakmu, brahmana!"
Anuraga hendak membuka mulut, tetapi Kuda Lampeyan
sudah tak mau memberi kesempatan lagi. Memang andai
bekel Banyak Sakurung tak menampilkan diri, tentulah tadi ia
sudah menghajar brahmana itu.
"Sambutlah seranganku ini, brahmana" seru Kuda
Lampeyan seraya beranjak mendaratkan tinju ke dada
Anuraga. Ketika Anuraga menyurut selangkah ke belakang,
Kuda Lampeyanpun maju pula dengan sebuah tendangan
yang mengarah perut. Dan pada waktu Anuraga menghindar
ke samping, Kuda Lampeyan mengejar lagi dengan sebuah
pukulan tangan kiri ke arah lambung. Ketika Anuraga berkisar
menyingkir, Kuda Lampeyan loncat menampar mukanya.
Masih Anuraga dapat mengendap ke bawah tetapi Kuda
Lampeyan sudah siap menyambut dengan sebuah terkaman
ke bahu. Bret .... terdengar bunyi kain robek dan tubuh
Anuraga melenting beberapa langkah ke belakang.
Serangkaian serangan bertubi-tubi yang dilancarkan oleh
Kuda Lampeyan itu, benar-benar menyerupai hujan keras
yang melanda Anuraga. Anuraga tidak diberi kesempatan
untuk bernapas dan mengatur kedudukan diri lagi. Untuk
menghindari terkaman Kuda Lampeyan, Anuraga mengerahkan seluruh inti tenaga dalam Gikram Manipura dan
ayunkan tubuh ke belakang. Namun karena jarak terlampau
rapat dan gerak terkaman Kuda Lampeyan itu teramat
cepatnya, kain penyarung bahunya kena tertekan. Untunglah
Anuraga cepat loncat ke belakang sehingga hanya kain sarung
bahunya itu yang robek. "Hm, hebat benar engkau brahmana ...." Kuda Lampeyan
menggeram puji sambil mengepal-ngepal robekan kain dalam
genggamannya. "Ah, jangan mengolok diriku, raden. Lihatlah seranganmu
yang sederas hujan mencurah tadi, telah menelanjangi tubuh
seorang brahmana" sahut Anuraga tersenyum tenang sambil
mengikatkan kain yang putus itu ke pinggangnya.
Sesungguhnya kedua anakmuda itu sama memiliki rasa
kejut2 kagum. Anuraga terkejut menyaksikan ilmu serangan
berantai yang dilancarkan Kuda Lan.peyan. Kuda Lampeyanpun kagum akan ketangkasan Anuraga yang dapat
menghindar dari serangannya. Walaupun berhasil dapat
menerkam robek baju lawan, tetapi hasil itu jauh memadai
dari tenaga yang telah dicurahkan. Dahulu semasa memasuki
sayembara tanding memperebutkan Rara Sindura, ia berhasil
menyapu semua lawan dengan ilmu serangan yang istimewa
itu. Palirg banyak ia hanya melakukan tiga-gerak serangan dan
lawan sudah jatuh. Tetapi kini berhadapan dengan Anuraga,
sampai gerak yang kelima, ia hanya berhasil menerkam
secabik baju brahmana itu.
"Brahmana, mengapa engkau tak menangkis atau
membalas seranganku dan melainkan hanya menghindar
saja?" tegur Kuda Lampeyan pula.
"Tak sempat" Anuraga
terlampau cepat sekali"
tersenyum "serangan raden "Hm, jawaban yang engkau sertai senyum itu, menusuk
perasaanku" gumam Kuda Lampeyan "sebagai penghormatanku kepada seorang biabnana, kupersilahkan
engkau menyerang aku sampai lima kali juga. Dan aku takkan
membalas seperti yang engkau lakukan tadi"
"Ah, janganlah raden merendah diri"
"Walaupun aku hendak menangkapmu bahkan bila perlu
membunuhmu, tetapi aku seorang senopati kerajaan. Aku tak
sudi menerima pemberianmu tadi maka kupersilahkan engkau
menyerang aku, selaku pemberianmu tadi!"
Anuraga mendesuh "Kalau raden menghendaki demikian,
akupun hanya menurut saja"
Keduanyapun segera bersiap. Kuda Lampeyan kerutkan
dahi ketika melihat serangan brahmana itu amat datar dan
bersahaja. Dengan kisarkan kaki, dapatlah ia menghindar.
Demikian berturut-turut serangan yang kedua, ketiga dan
keempat. Tanpa banyak kesulitan, Kuda Lampeyan berhasil
mengelak. "Gila, mengapa serangan yang terakhir, dia tetap selamban
itu gerakannya?" diam2 Kuda Lampeyan bersungut dalam hati,
seraya beringsut kesamping. Tetapi alangkah kejutnya ketika
tiba2 tangan brahmana yang menjulur kemuka itu terhenti
setengah jalan dan berganti sebuah cengkeraman ketenggorokan. Cepat dan tepatnya bukan kepalang. Kuda
Lampeyan gugup. Ia endapkan tubuh kebawah lalu
menggelincir ke samping "Ah . . ." ia menghela napas longgar
"hampir saja aku termakan siasatnya ..."
Kini ia berdiri tegak lalu memandang kearah brahmana.
Tiba2 ia membelalakkan mata ketika melihat tangan brahmana
itu menggenggam sehelai kain panjang "Huh ..." seketika ia
mendesus kaget ketika menyadari bahwa kain yang
digenggam brahmana itu bukan lain adalah kain pengikat
kepalanya! "Engkau ..." "Maaf, raden, kain ikat kepala raden telah terlepas" kata
Anuraga seraya mengangsurkan kain itu kehadapan Kuda
Lampeyan. Kuda Lampeyan tak mau menyambuti, melainkan berseru
nyaring "Ambillah atau buanglah!"
"Tetapi kain ikat kepala ini adalah milik raden" kata
Anuraga. Melantang penyahutan Kuda Lampeyan "Setiap benda
milikku yang telah dijamah orang, tabu kupakainya lagi.
Termasuk dia wanita itu" ia menunjuk kearah Sindura "karena
tubuhnya pernah engkau jamah, aku tak mau menerimanya
lagi" "Jangan menuduh semena-mena!" seru Anuraga.
"Brahmana, rasanya akan tiada berkeputusan apabila kita
terus menerus begini saja " seru Kuda Lampeyan "marilah kita
bertanding adu jiwa. Aku akan memakai keris ini" ia mencabut
keris dari belakang pinggang "keris Pasopati pemberian
baginda Jayanagara. Keris ini berhikmah, membunuh semua
manusia yang berani menentang titah raja, termasuk engkau
dan wanita itu. Tetapi aku peribadi akan menjunjung sifat2 keksatryaan. Apabila engkau dapat mengalahkan aku, bukan
saja kuberimu kebebasan untuk tinggalkan tempat ini, pun
ambillah wanita itu !"
Bertebaranlah warna merah pada wajah Anuraga "Raden
Kuda Lampeyan, engkau terlalu menghina isterimu dan
memandang rendah martabat seorang brahmana. Ketahuilah,
bahwa sifat tindakanku mencampuri urusan ini, hanyalah
untuk melindungi keselamatan seorang isteri dari perbuatan
sewenang-wenang suaminya. Seorang wanita lemah yarg
menjadi korban kekuasaan sewenang-wenang dari raja. Jauh
maksudku dari rasa pamrih ingin memiliki wanita itu. Pun tiada
setitik terlintas dalam hatiku, untuk mengalahkan engkau.
Maka sebelum persoalan ini berlarut lebih panjang, sekali lagi
kumohon raden suka melanjutkan perjalanan pulang ke pura
kerajaan dan lepaskanlah isteri raden itu pulang ke tempat
orangtuanya" "Aku seorang senopati, pun seorang lelaki. Apa yang
kuucapkan takkan kujilat kembali. Senopati menjunjung
keperwiraan, seorang lelaki mengutamakan kejantanan, Hayo,
hunuslah senjatamu, karena keris Pasopati segera akan
meminum darahmu!" Mendengar ucapan ku, tertegunlah Anuraga. Rupanya Kuda
Lampeyan sudah tak mungkin disadarkan dengan kata2 lagi.
Diam2 iapun mengakui bahwa pemuda itu memang sakti
mandraguna. Lain dengan bekel Banyak Sakurung. Apabila ia
melayani dengan tangan kosong, memang berbahaya. Keris
Pasopati pemberian baginda itu tentulah sebuah pusaka yang
bertuah. Ia harus menggunakan senjata juga untuk
menghadapinya. Bukan untuk membunuh, melainkan kalau
dapat menghalau serangan lawan dan dapat memaksa lawan
lepaskan senjatanya. Sejenak setelah menentukan pilihan, pelahan-lahan ia
mengorak kalung tasbih "Aku tak membekal senjata. Mudah
mudahan kalung ini dapat memenuhi selera raden"
"Hm, bersiaplah menerima seranganku" seru
Lampeyan. Kuda Suasana ketegangan pecah berhamburan mencapai
peledakan ketika kedua orang muda itu terlibat dalam
pertempuran yang seru. Banyak Sakurung dan rombongan
prajurit Majapahit terbelalak mengikuti pertempuran itu.
Banyak sudah mereka menyaksikan pertempuran baik di
medan peperangan maupun pertempuran antar rombongan
bahkan seorang lawan seorang. Tetapi baru pertama kali itu
rasanya mereka menikmati suatu pertempuran yang bermutu.
Cepat lawan tangkas, gesit bersambut lincah, tipu berbalas
siasat, tusuk disongsong tikam. Kuda Lampeyan gagah
perkasa laksana seekor harimau. Anuraga gesit tangkas bagai
seekor rusa. Keris Pasopati menusuk-nusuk macam pagutan
seratus ekor ular. Kalung berputar-putar mengembang
lingkaran sinar hitam yang membendung hujan tusukan keris.
Diantara yang dicengkam rasa tegang, adalah Sindura yang
paling tegang. Diantara yang merasa cemas, adalah jelita itu
yang paling oemas. Di dalam lubuk hatinya serasa diamuk
oleh badai prahara. Ia hilang faham, lepas pegangan, kabur
pula arah pujinya. Untuk siapakah ia harus memanjatkan doa
keselamatan, Kuda Lampeyan atau Anuraga"
Kuda Lampeyan adalah suaminya. Seorang suami yang
pernah ia dambakan dengan penyerahan seluruh kesucian
tubuh dan kesetyaan hati. Anuraga seorang brahmana yang ia
mintai perlindungan. Jika Kuda Lampeyan kalah, ia kehilangan
suami. Jika Anuraga kalah, ia kehilangan pelindung. Sejahat
jahat Kuda Lampeyan sekarang, namun dia adalah lelaki yang
pertama kali menerima penyerahan dirinya. Penyerahan
jasmaniah secara tulus, rela dan paserah. Dia adalah lelaki
yang pertama-tama membawanya ke alam indah dari seribu
mimpi dan kenyataan. Penuh kemasyukan, kenikmatan dan
kesyahduan .... "Ah ...." serentak ia menutup muka dengan kedua
tangannya sesaat membayangkan lelaki yang menjadi
suaminya itu terkapar di tanah dengan tubuh berlumuran
darah "jangan, jangan terjadi ...."
Tampak ia mengusap-usap mukanya dengan tangan seolaholah hendak menghapus bayang2 keseraman itu. Namun pada
lain jenak, tiba2 ia mendekap pula mukanya "ih, tidak,
tidak......" ia berusaha menghalau khayalannya yang
melukiskan brahmana muda Anuraga merintih-rintih di tanah
karena dadanya tertikam keris pasopati.
Dihutan yang bersuasanakan kelayuan cuaca dijenjang
petang hari, berlangsunglah dua macam pertempuran yang
seru. Pertempuran yang kesatu, berlangsung di tanah datar
berpagar rombongan prajurit yalah antara Kuda Lampeyan
lawan Anuraga. Pertempuran kedua, terjadi di bumi sanubari
Sindura. Pertempuran bathin si jelita yang saling bertentangan
sediri. Ia merasa kehilangan apabila salah seorang dari
anakmuda yang sedang bertempur itu, ada saiah satu yang
kalah. Ia menginginkan kedua-duanya tak ada yang kalah.
Suatu kemungkinan dalam kemungkinan yang tak mungkin
..... "Lepaskanlah ...." sekonyong-konyong terdengar teriakan
Anuraga. Sindura tersentak kaget dan lamunan dan serentak
memandang ke tengah gelanggang.
Tampak saat itu Kuda Lampeyan dan Anuraga sedang adu
kekuatan. Dalam suatu gerakan, Kuda Lampeyan tiba2 melihat
sebuah lubang kelemahan dalam pertahanan lawan. Ia tak
mau mensia-siakan peluang bagus itu. Serentak keris
ditusukkan ke leher Anuraga. Tetapi di luar dugaan ternyata
peluang yang diberikan itu memang suatu perangkap yang
dipasang Anuraga untuk menjerat lawan. Pada saat keris
meluncur, secepat kilat Anuraga menerkam dengan tamparan
kalung. Kalung tepat mengenai keris dan melibat batangnya
kencang2. Dengan kerahkan tenaga-inti, ia terus menariknya
kuat2 agar keris itu lepas dari tangan Kuda Lampeyan.
Tetapi cepat pula Kuda Lampeyan menyadari maksud
lawan. Iapun buru2 kerahkan tenaga untuk menahan kerisnya
jangan sampai terlepas. Maka terjadilah adu kekuatan, tarik
menarik kalung dengan keris. Namun karena Anuraga sudah
lebih dahulu yang mempersiapkan rencana, iapun yang lebih
dapat menguasai lawan. Dan sesungguhnya, memang dalam
tenaga inti dari sumber Cakram Manipura, Anuraga lebih
unggul. Memang tampaknya Kuda Lampeyan lebih perkasa
dan kuat. Tetapi kekuatannya itu hanyalah dalam soal tenaga
kasar. Tampak wajah Kuda Lampeyan yang semula cerah, makin
lama makin pucat, kedua bola matanyapun makin terentang
lebar. Anuraga telah mergetahui bahwa lawan sudah hampir
menyerah. Apabila ia menambah tenaga lagi untuk menarik,
keris Kuda Lampeyan tentu jatuh. Setelah kehilangan senjata,


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kuda Lampeyan-tentu mudah diatasi. Tetapi Anuraga tak
bermaksud membunuhnya. Cukuplah sudah asal Kuda
Lampeyan dapat dihalau pergi
dari tempat itu agar Sindura bebas dari gangguan.
Anuraga memperhitungkan bahwa dalam beberapa saat
lagi, Kuda Lampeyan tentu terpaksa harus lepaskan kerisnya.
Tetapi sungguh tak disangkanya, bahwa saat itu juga, tiba2 ia
dapat menarik keris itu jatuh ke tanah. Tetapi serempak
dengan itu, iapun tak menduga sama sekali bahwa kaki Kuda
Lampeyan akan mendupak perutnya. Karena perhatiannya
tercurah pada usaha merebut keris, pula karena jaraknya
sedemikian rapat, tak mungkin Anuraga dapat menghindar
lagi. Duk ....!! perut Anuraga termakan ujung kaki Kuda
Lampeyan. Ketika Anuraga terhuyung dua langkah ke
belakang, Kuda Lampeyan cepat hendak menjemput keris
Pasopati yang jatuh di tanah. Tetapi sebelum tangan
menjamah keris, Anuragapun sudah loncat menerkam bahu
lawan. Gerakan itu tak terduga oleh Kuda Lampeyan. Ia
menjerit tertahan ketika kedua bahunya serasa dicengkeram
oleh tangan besi. "Jangan melukainya, kakang brahmana ...." tiba2 Sindura
berteriak. Ia berada beberapa langkah dari kedua anakmuda
yang sedang bergumul Rasa kegelisahan yang mencengkam
hatinya, mudah sekali mengaburkan pandang matanya.
Anuraga yang tengah mencengkeram kedua bahu Kuda
Lampeyan, disangkanya sedang mencekik leher Kuda
Lampeyan. Sesaat Sindura lupa akan perlakuan kasar dari
Kuda Lampeyan. Dalam benaknya hanya terhuni bayang2
kenangan lama. Kenangan saat2 yang paling bahagia dalam
lembaran sejarah hidupnya dimana untuk yang pertama kali
dalam hidupnya ia merasakan kehangatan dekapan mesra dari
tangan suaminya. Tanpa disadari, ia serentak berteriak
meminta agar A nuraga jangan menyakiti Kuda Lampeyan.
Anuraga terkejut mendengar teriakan Rara Sindura.
Perhatiannya terpecah dan berpalinglah ia kearah Sindura.
Pada saat ia menganggukkan kepala sebagai isyarat dapat
mengerti maksud Sindura, sekonyong-konyong Kuda
Lampeyan menggeliat mengendap ke bawah dan secepat kilat
menghunjam dada A nuraga dengan sebuah pukulan. Duk ....
darah Anuraga serasa membeku di dada, napas sesak, mata
berbinar dan kakipun tak kuasa lagi mempertahankan
tubuhnya yang terdampar ke belakang dan rubuh tertelentang
..... Di antara sorak sorai rombongan prajurit yang menyambut
kemenangan Kuda Lampeyan, tersusuplah Sebuah lengking
jeritan tertahan dari seorang wanita "Kakang brahmana,
engkau . . ...." sesosok tubuh pun segera lari menghampiri
brahmana yang masih terkapar di tanah itu.
Sindura menyadari bahwa karena jeritannya meminta
brahmana itu jangan melukai Kuda Lampeyan, telah
menyebabkan terjadinya malapetaka pada diri brahmana itu.
Sindura tak menyangka bahwa Kuda Lampeyan akan
menggunakan kesempatan itu untuk menghantam Anuraga.
Sindura terkejut. Merasa bahwa ia telah mencelakai
penolongnya, tanpa menghireukan suatu apa lagi, serentak ia
lari memburu ke tempat Anuraga untuk menolongnya.
Di fihak Kuda Lampeyan, setelah berhasil menghantam
rubuh lawannya, tetap melanjutkan meraih keris Pasopati lalu
melenting bangun dan loncat menikam Anuraga.
Dua peristiwa telah terjadi pada saat yang sama dan
serempak. Sindura memburu ke tempat Anuraga untuk
memberi pertolongan. Kuda Lampeyan loncat ke arah Anuraga
untuk menikamnya. Rupanya karena menderita kekalahan
kerisnya tertarik jatuh dan bahunya tercengkam, malulah Kuda
Lampeyan. Ia benar2 merasa terhina karena kekalahan itu
disaksikan oleh rombongan prajurit anakbuahnya. Rasa
keangkuhan sebagai seorang senopati, cepat mengundang
kemarahan. Brahmana itu harus dilenyapkan dari permukaan
bumi! Mungkin ia tak menyadari bahwa dendam kesumat yang
membakar hatinya itu telah menghanguskan cahaya mukanya
sehingga wajahnya yang tampan saat itu berobah buas dan
seseram Batara Kala. Sindura yang lebih dulu tiba di tempat
Anuraga, terkejut mendengar suara gerak tubuh orang loncat
ke tempat brahmana Anuraga. Ia berpaling dan ketika melihat
betapa saat itu wajah Kuda Lampeyan amat mengerikan, mata
berwarna merah dan tangan menjulurkan keris, terbanglah
semangat Sindura. Ia tahu apa yang akan dilakukan Kuda
Lampeyan kepada Anuraga. Untuk mencegah tindakan
suaminya itu, rasanya tiada mungkin. Tidak sempat lagi. Dan
andaikata sempat, pun belum tentu Kuda Lampeyan yarg
sudah membuas itu mau menurut. Sedang t:ntuk
menyingkirkan lubuh Anuraga dari ancaman maut itu, juga tak
sempat. Pun andaikan sempat, rasanya ia tak kuat
mengangkat tubuh brahmana itu.
Sindura tercengkam dalam kepukauan. Ia bingung sekali.
Debar kegugupan yang menggetar ruang hatinya, menggempa
bumi alam bawah sadarnya. Seketika runtuhlah dinding2 akal
pikirannya. Hapuslah segala pertimbangan untung rugi, dera
bahaya, mati hidup. Yang memancar pada sanubarinya
hanyalah untuk menolong brahmana muda itu. Brahmana
yang telah beberapa kali menolong dirinya tetapi saat itu
menderita ancaman maut akibat terganggu oleh teriakannya
tadi. Sindura tiada mempunyai waktu
untuk berbanyak pikiran. Pada saat
Kuda Lampeyan tiba dan menghunjamkan keris Pasopati ke
tubuh Anuraga, Sindura cepat
menubruk ujung keris itu "Duh,
kakang ...." Keris Pasopati tepat menyusup
ke dada Rara Sindura. Darah
menyembur ke luar dan dengan
sebuah jerit rintihan yang menyayat hati, terkulailah jelita itu
ke tanah..... Kuda Lampeyan kesima. Wajahnya yang membara merah padam, seketika berobah
pucat lesi. Tubuhnya gemetar, tangan lunglai tak kuasa
mencekal kerisnya lagi. Wajahnya yang berkabut hawa
pembunuhan kengerian. berganti dengan bayang2 ketakutan dan Sudah berpuluh kali Kuda Lampeyan melihat darah
bercucuran di tanah lawan-lawannya di medan laga. Dan
setiap kali melihat darah itu, ia tentu tertawa gembira. Tetapi
pada saat melihat darah menyembur dari dada Sindura,
pucatlah wajahnya. Matanya berbinar-binar. Sayup2 ia seperti
melihat darah itu membeku, merah membara lalu menguap.
Uap bergumpal-gempal memutih dan tiba2 membentuk
sesosok tubuh, berwujut Batara Kala sebagaimana yang
pernah dilihatnya dalam candi2 yang sering dikunjungin)a
dahulu. "Hai, Kuda Lampeyan, engkau seorang manusia yang
terbalik kiblatmu. Perbuatanmu membunuh isterimu yang setia
itu, kelak akan engkau kenyam apabila tiba saatnya
kulontarkan engkau dalam kawah Jonggring Saloka....."
terdengar suara mengiaing jelas kata demi kata.
"Oh, tidak, tidak ...." tiba2 Kuda Lampeyan mendekap muka
dengan kedua belah tangannya lalu berputar tubuh dan lari
sekencang kencangnya. "Hai, hendak ke mana raden . . . . !" Banyak Sakurung
terkejut melihat ulah pemimpinnya itu. Tetapi Kuda Lampeyan
tak mengacuhkan dan tetap lari bagai dikejar setan. Banyak
Sakurung memberi isyarat kepada anakbuahnya lalu lari
mengejar Kuda Lampeyan. Beberapa kejab kemudian, lenyaplah mereka dari pandang
mata. Kini di hutan situ hanya tinggal Anuraga dan Sindura.
Sesungguhnya Anuraga tidak pingsan. Pukulan Kuda
Lampeyan membuat debur jantungnya serasa berhenti dan
pandang matanya gelap. Namun pikirannya masih sadar.
Ketika Sindura terkulai, ia rubuh di samping brahmana
Anuiaga. Sepercik darah jelita itu mencurah ke muka
brahmana Anuraga. Jeritan dan darah Sindura yang memercik
ke mukanya, menyentakkan brahmana itu dari rasa limbung
antara sadar tak sadar. Rasa kejut telah membangkitkan
gelora kekuatannya. Serentak ia melenting bangun dan
mendekap tubuh Sindura "Sindura, engkau ...." dengan
gemetar ia segera mengangkat tubuh jelita itu ke atas
pangkuannya. Betapa hancur hatinya melihat tangkai keris
terbenam di dada jelita itu. Segera ia ulurkan tangan hendak
mencabutnya. Tetapi ketika tangkai tersentuh tangan,
darahpun mengucur makin deras "Ah ..." cepat2 ia menarik
pulang tangannya. Ia menyadari apabila keris itu dicabut,
darah Sindura tentu makin banyak mencurah keluar.
"Nini, nini Sindura....."dijamahnya pipi jelita itu dan
digolekkannya pelahan-lahan agar sadarkan diri. Tetapi
Sindura tetap pejamkan mata.
"Duh, nini, nini Sindura .... mengapa engkau mengorbankan
dirimu....." Anuraga kehilangan kata2 untuk menumpahkan
perasaannya. Ia bingung, sedih dan hilang pegangan jiwanya,
lemah lunglai seluruh sendi2 tulangnya. Darah dalam
tubuhnya serasa membeku, menghentikan detak jantungnya.
Hatinya, pikirannya, jiwa dan semangatnya seperti hancur
porak poranda. Tak tahu ia akan faham yang harus dilakukan
dan, dan .... meledaklah rongga dadanya, pecah berhamburan
bagai letusan gunung yang mengaliikan lahar.....
Anuraga menangis. Menangis terisak-isak seperti seorang
anak kecil. Benteng pertahanan hatinya yang jantan perkasa,
tak kuasa menahan gelombang kesedihan dan bobol
berantakan. Gelombang itu terus mengalir deras dan akhirnya
ketika tiba diperbatasan Netra, bercucuranlah airmatanya
mencurah ke bumi. Anuraga tak kuat menahan luapan kesedihannya dan
akhirnya menyerahlah ia dimanja airmata. Ya, hanya dengan
curahan airmata itu, ia merasa agak longgar dari himpitan
dada dan kesesakan napas......
Tanpa disadari, airmatanya yang berderai-derai bercucuran
ke bawah itu, tepat menetes ke bibir Sindura. Tiba2 bibir si
jelita bergerak pelahan dan mulai mengecap. Sesaat kemudian
kelopak matanyapun terbuka .... "Ah, engkau .... kakang ....
brahmana ...". serunya lemah sayu.
Anuraga terbeliak "Nini. . . engkau ...."
"Kakang ... di manakah kita sekarang ini....?"
"Di dalam hutan, nini"
Bibir Sindura berkomat-kamit sejenak, lalu berkata pula "Di
mana .... kakang Lampeyan ....?"
"Dia lari ketakutan !"
"Ah ..." Sindura menghela napas lemah "semoga dia . . .
menyadari . . . kesalahannya ..."
"Tetapi Sindura, dia telah mencelakai dirimu. Akan
kucarinya untuk menuntut balas sakit hatimu !"
Sejenak kelopak mata jelita itu mengatup lalu merentang
lagi "Ah, jangan . . . kakang ... dia tentu sudah akan tersiksa
oleh bathin . . . nya. Dendam takkan kunjung. . . habis . . .
selama kita masih . . . mengandung perasaan itu . . . dan . . .
dan Karma . . . kakang ... tak mungkin kita . . . manusia dapat
menghindari . . . maka jangan, kakang . . . jangan engkau
menanam . . . bibit Karma yang akan . . . membuahkan
penderitaan....." Tersentuh hati nurani Anuraga mendengar ucapan Sindura
yang mengandung keluhuran budi agung itu. Diam2 ia malu
dalam hati. Ia sebagai seorang brahmana masih kalah tinggi
tingkat bathinnya dengan si jelita "Nind . . . akan kuukir
pesanmu itu dalam liang hatiku" sahutnya serta merta.
"Kakang ..." tiba2 Sindura berkata pula setelah berdiam diri
beberapa jenak "mengapa engkau . . . mengucurkan . . .
airmata ...." Mendengar pertanyaan itu, semangat Anuraga yang sudah
hampir bangun, runtuh pula dilanda haru kepiluan. Hampir
saja ia tak dapat menahan mengalirnya airmata "Nini . . .
akulah yang bersalah nini. . . ampunilah . . ." ia meratap pilu.
Sindura paksakan, tersenyum sayu "Engkau . . . . tak
bersalah .... dan tiada yang bersalah semua . . . . kita
hanyalah tiiah Hyang Widdhi. . . . kita hanya menjalankan apa
yang digariskan dalam Karma hidup kita. . . . ah, kakang
Anjampiani . . . .jangan menangis. . . . karena airmaiamu tadi .
. . ..telah menghambat perjalananku ke . . . alam
kelanggengan ...." "Duh, nini . . ." Anuraga mendesah sesal "kuatkan hatimu,
tabahkan imanmu. Berdoalah kepada Hyang Jagadnata, agar
aku diberi petunjuk mendapatkan obat untuk menyembuhkan
lukamu. Usiamu masih muda. Ibarat bunga, engkau masih
sedang mekar-mekarnya. Jangan engkau berputus asa,
berkeeil hati. Engkau pasti sembuh, nini...."
Sindura mengulum senyum layu "Kutahu kakang, engkau
hendak menghibur aku .... tetapi . . . tetapi jangan
mengingkari kenyataan . . . menentang kodrat. . .
sesungguhnya keadaanku sudah parah . . . tak mungkiri
tertolong lagi . . . hanya karena tetesan airmatamu tadi
kakang .... arwahku kembali menyusup ke dalam ragaku yang
sudah tak memungkinkan. . . . menerima kehadiran arwah itu
.... "Nini'. "Kakang . . . berilah aku kesempatan . . . selama aku masjh


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat bicara .... waktuku amat terbatas ...."
"Baik, nini ...."
"Dari tiada, kita diadakan. Setelah ada, kita harus kembali
ke asal ketiadaan lagi. Lahir, hidup dan mati, adalah kodrat
Prakitri. Jangan kita tamak akan kehidupan panjang. Karena
makin berkepanjangan hidup, makin berkepanjangan pula
penderitaan. Dan mengapa kita takut mati .... bukankah kita
akan kembali ke asal mula kita berasal .... Kakang Anjampiani
. . . jangan engkau bersedih . . . Aku merasa amat bahagia.
Kepulanganku ke alam Kelanggengan diantar oleh keris
Pasopati pusaka kerajaan yang amat bertuah . . . . disongsong
oleh tangan kakang Kuda Lampeyan, pria yang menjadi
suamiku dalam penitisan kehidupanku masa ini . . . . ... pada
detik detik menjelang saat keberangkatanku, akupun rebah
diatas pangkuanmu . . . ah, betapa bahagia hatiku, kakang
...." Anuraga tak mau mengganggu pembicaraan jelita itu.
Karena iapun sedang berjuang keras untuk membendung
luapan airmata yang akan membanjir keluar.
"Kakang. . ." tiba2 Sindura berseru agak cerah "waktu
apakah saat ini . . ."
Sejenak Anuraga menengadah memandang cakrawala lalu
menjawab "Waktu senja menjelang mentari silam dan
margasatwa berkemas pulang . ."
"Tepat ..." seru Sindura "inilah saat yang di sebut 'sirna
kertaning bumi. Apabila surya kehidupan silam, maka
hilanglah daya kehidupan dan pulanglah sang Atma ketempat
asalnya . . ." tiba2 jelita itu meramkan mata lalu berseru
lemah "kakang . . . kudengar sayup2 kumandang nyanyian . . .
cobalah engkau pejamkan indera pendengaranmu ...."
Anuraga terkesiap heran. Namun ia menurut juga. Segera ia
heningkan cipta bersamadhi. Antara terdengar dan tiada,
sayup2 telinganya mengiang kumandang lagu yang syahdu ....
Anicea vata sankhara Uppada vaya dhamtnino Uppajjitya niruijhanti Tesang vupa ano sukho Semua benda tidak kekal adanya
Mereka dilahirkan dan rusak kembali
Mereka timbul dan lenyap kembali
Kebahagiaan timbul jika gelisah lenyap.
"Kakang. . . ." tiba2 Sindura berseru makin lemah "hatiku
terang, jiwaku tenang .... jumpa dan pisah . . . akhirnya tiba
juga .... aku sudah tak kuat lagi, kakang ..."
"Sindura . . . . !" Anuraga menjerit.
"Kakang .. . lihatlah . . . para bidadari itu sudah
menjemputku... . aku harus lekas ikut mereka..... Sebelum
berangkat . . . aku hendak prasetya kepadamu. .... Kakang
Anjampiani, walaupun dalam kehidupan sekarang ini, kita
terpisahkan oleh lain garis Kodrat hidup . . . tetapi .... dalam
penitisan mendatang .... aku pasti menjadi ... is . . te . . ri. .
mu . ." Dalam mengucap kata mu yang terakhir itu, nadanya
hampir tak kedengaran lagi dan setelah itu kepalanyapun
menunduk terkulai tenang dipangkuan sang brahmana muda
.... "Sindura . . . !" Anuraga menjerit dan memeluknya "Sindura
. . . Sindura . . . jangan pergi Sindura . . . engkau tak boleh
mati, Sindura . . ."
Anuraga meraung-raung bagai singa kelaparan. Memekikmekik bagai kuda meringkik. Kumandangnya menggetarkan
pohon2 di hutan nan sunyi. Margasatwa berhamburan keluar
karena cabang pohon tempat sarang mereka bertengger,
bergetaran laksana ditimpah angin prahara. Suasana hutan
dilenggang kesunyian petang hari, tiba2 berobah gegap
gempita laksana genderang mencanang di medan perang . . .
Digolek-golekkan kepala Sindura. Dicubit-cubitnya pipi si
jelita agar merintih. Disiak-siakkannya kelopak mata wanita itu
agar terbuka. Digamit-gamitnya sepasang bibir yang
mengatup agar merekah pula. Dibelai belainya kening dan
rambut sijuwita agar sadar. Tetapi kesemuanya itu sia2
belaka. Sindura telah dijemput oleh para bidadari dan
berangkat menempuh perjalanan terakhir, menuju ke alam
kelanggengsn . . . Anuraga ingin menangis tetapi airmatanya telah kering
dijerang kegersangan hatinya. Ia ingin menjerit memekik dan
meraung sepuas-puasnya, namun suaranya telah parau. Ia
ingin . . . ah, segala yang diinginkan selalu tertumbuk pada
serba ketidak-mungkinan. Puas bermanja dalam kedukaan, kegelisahan dan
kebingungan, akhirnya keletihan jasmani dan kelesuhan
pikirannya, telah menghentikan seluruh golak-gejolak hatinya.
Kini ia terkulai lesuh, paserah diri. Beberapa saat kemudian,
pikirannya mulai tenang, perasaan mengendap teduh. Dalam
keheningan dan keteduhan pikiran itulah sayup2 ia teringat
akan peristiwa ketika ia terluka dan diobati Sindura dahulu.
Sindura membasuh lukanya dengan air lalu dilumuri dengan
jamur. Ah, mengapa ia tak mencontoh tindakan itu"
Serentak ia letakkan dengan hati2 kepala Sindura ketanah
lalu ia berbangkit dan ayunkan langkah hendak mencari air
dan obat. Tetapi baru dua tiga langkah, ia terhenti "Ah,
kasihan Sindura, jika kutinggal sendirian, mungkin akan
diganggu binatang buas ..." akhirnya kembali ketempat
Sindura. Diangkat tubuh jelita itu lalu dipondongnya, dibawa
mencari sumber air. Suasana hutan mulai gelap ditelan kepekatan malam. Tak
mudah untuk mencari jalan dalam hutan itu, apalagi mencari
saluran air. Namun Anuraga tak menghiraukan suatu apa.
Tujuannya hanya satu, mencari air. Tetapi ia tak faham
keadaan hutan itu. Walaupun hampir setengah malam ia
menjelajahi hutan, belum juga ia bersua dengan sebuah
sumber atau saluran air. Menjelang terang tanah, barulah ia tiba disebuah pematang
yang mengalirkan air jernih. Ia letakkan tubuh Sindura
dibawah sebatang pohon. Sejenak ia menghela napas longgar.
Setelah itu ia menghampiri pematang. Dengan kedua belah
telapak tangan ia menampung air lalu kembali ketempat
Sindura. Pertama, di-siramnya dahi dan rambut jelita itu.
Kemudian ia meneteskan air kemulut si jelita. Ia menunggu
dengan penuh harap akan kesadaran Sindura. Namun sampai
fajar telah menyingsing, yang diharap tak kunjung tiba.
Sindura tetap nyenyak dalam tidurnya yang abadi . . .
"Ah, aku harus mencari jamur obat itu" timbul lain pikiran
pada Anuraga. Dan segera ia menyusur pematang untuk
mencari jamur itu. Setengah jam kemudian barulah ia melihat
segerumbul jamur tumbuh di celah2 gunduk batu. Namun
ketika hendak mencabut jamur itu, timbullah keraguan hatinya
"Ah, adakah jamur ini serupa dengan jamur yang dipetik
Sindura dahulu ..." ia mulai bimbang. Beberapa saat kemudian
ia memutuskan untuk memetiknya juga "Baiklah, kucobanya.
Apabila tak berhasil, akan kucari jenis yang lain lagi"
Setelah menyediakan jamur yang dilumat halus dan air,
dengan berdebar debar ia mencabut keris Pasopati yang masih
terbenam di dada Sindura. Keris itu dapat dicabutnya dan
darah tak mengucur karena sudah membeku. Dengan hati2 ia
membasuh luka. Setelah bersih lalu dilumuri dengan jamur
"Ah, kali ini Sindura tentu akan siuman dari pingsannya ..."
Memang peristiwa yang menimpa diri Sindura itu, telah
menyelubungi seluruh hayat Anuraga. Belum pernah
sepanjang kehidupannya, Anuraga menderita kedukaan dan
kegoncangan hati seperti saat itu. Ia seorang brahmana yang
telah menghisap sari2 pelajaran agama dan falsafah
Kemanusiaan. Iapun telah mengalami gelombang penghidupan yang beraneka ragam. Namun belum pernah
hatinya terkoyak hancur lebur se-seperti kala menghadapi
peristiwa kematian Sindura. Ia benar2 sudah kehilangan diri
peribadi, pegangan hidup dan semua faham2 ajaran keberahmanaan. Dalam alam pikirannya, ia tak percaya Sindura
itu sudah mati. Ia yakin Sindura itu masih hidup dan pasti
akan hidup lagi. Itulah sebab musabab terjadinya tingkah laku
yang aneh dari brahmana muda itu untuk membawa jenazah
si jelita menjelajahi hutan belantara, mencari air dan obat ....
Demikian setelah selesai melumuri ramuan jamur,
Anuragapun segera beristirahat, duduk sandarkan kepala pada
batang pohon disamping Sindura. Saat itu surya makin
menjenjang tinggi, angin berhembus silir. Penderitaan yang
hebat, keletihan jasmani dan rohani, ditambah pula hampir
sehari semalam tak makan. Setelah beberapa saat duduk
melepaskan lelah, tanpa disadari tertidurlah ia diayun semilir
angin. '". . . , .ia tak percaya bahwa Sindura telah meninggal. Tak
mungkin di mayapada ini tiada obat yang tak dapat
menghidupkan Sindura. Tak mungkin di seluruh jagad ini tiada
orang sakti yang tak mampu menyembuhkan Sindura.
Diangkatnya tubuh si jelita dan di-pondongnya. Berangkatlah
ia menjelajah seluruh buana untuk mencari orang sakti dan
tuha Nambi atau dukun obat . . . ."
Tak dihiraukannya terik matahari yang membakar tubuh.
Tak dihiraukan kepekaun malam. Tak dihiraukan curahan
hujan lebat. Tak dihiraukan pula gigil angin menderu di malam
dingin. Ia berjalan tanpa berhenti. Melintasi hutan belantara,
mendaki puncak gunung, menuruni lembah dan ngarai,
menjelajah dari sebuah desa ke lain desa. Namun dari sekian
puluh brahmana, wiku, wipra, pendeta, resi dari keempat
asrama: Beramacari, Gerhasta, Wanaprasta, Biksuka, sampai
pada berbagai rumah suci dan pertapaan, tak berhasil ia
bersua dengan orang sakti yarg dapat menghidupkan Sindura.
Akhirnya ia kesal dan putus asa. Ia menuju ke sebuah
bengawan yang deras arusnya. Bulat sudah keputusannya. Ia
bersama jenazah Sindura hendak terjun ke dalam bengawan
itu, agar sempurna berdua.
Tiba2 ia melihat seorang lelaki amat tua renta tengah
duduk di bawah sebatang pohon yang tumbuh di tepi
bengawan. Kakek yang rambut dan janggutnya yang
menjulang panjang sudah putih semua itu, tampak menunggu
sebatang tangkai bambu. Ujung bambu terikat seutas tali.
ujung tali yang menjulur ke permukaan air, diikat dergsn
sebentuk kail. Tetapi kail itu tidak berbentuk melengkung
sebagaimana lazimnya, melainkan lurus. Dan lebih
mengherankan pula, pada kail lurus itu sama sekali tak diberi
benda untuk umpan. Anuraga menghampiri kakek itu dan menegur "Kakek,
adakah kakek sedang mengail ikan?"
Kakek itu tak terkejut dan tak berpaling. Dengan nada
tenang ia mengiakan. "Aneh" guman Anuraga "mungkinkah ada ikan yang sekalap
mau mencaplok kail itu" Andaikata ada pun mustahil ikan itu
akan terpancang pada kail yang tak terkait itu"
"Ha, ha" kakek itu tertawa meloroh "engkau heran melihat
orang menangkap ikan tanpa kait dan umpan. Tetapi engkau
tak merasa diherankan orang karena memondong sesosok
tubuh wanita yang sudah tak bernyawa!"
"Kakek, engkau tahu?" Anuraga terkejut. Jelas selama ia
berjalan menghampiri tadi, kakek itu tak pernah memalingkan
muka kearahnya "ah, kakek, ku-percaya wanita ini pasti dapat
ditolong. Soalnya karena belum bertemu dengan orang sakti
yang dapat memberi obat. Kakek, tahukah engkau dimanakah
terdapat orang sakti yang pandai memberi obat" Telah kujelajahi seluruh penjuru jagad, namun tiada orang sakti maupun
tuha nambi yang mampu menghidupkannya"
"Sudahkah engkau pergi pada Tanca?"
"Rakryan Tanca yang termasyhur pandai mengobati itu"
Sudah, sudah. Tetapi beliaupun tak sanggup. Bahkan dia
menertawakan aku sebagai orang yang tak waras pikiran ..."
Kakek itu tertawa gersang "Memang sukar untuk melakukan
hal itu. Tetapi sebenarnya bukan tak mungkin ..."
"Kakek, engkau dapat melakukan hal itu?" Anuraga
berteriak kaget2 penuh harap "tolonglah kakek. Hidupkanlah
wanita ini. Apapun keinginanmu, aku pasti sanggup
melaksanakan, sekalipun menjadi hambamu seumur hidup ..."
"Ah, tak perlu" jawab kakek itu "aku hanya sekedar hendak
menolong saja. Tetapi berhasil atau tidak, tergantung pada
kehendak Hyang Widdhi"
"Baiklah" jawab Anuraga gopoh "silahkan kakek memberi
petunjuk" "Mudah tetapi sukar, sukar tetapi mudah" si kakek mulai
menerangkan "tungggulah disini. Apabila ada ikan bader yang
bersisik kuning emas mencaplok kail ini, tumbuklah ikan itu
dan minumkan kcmulut wanita itu. Ia pasti hidup lagi"
"Ah, beroiok-olokkah kakek?" sambut Anuraga serempak
"manakah ada ikan bader yang begitu kalap mau mencaplok
kail itu" Dan andaikata ada, pun belum tentu yang bersisik
kuning emas. Berapa lamakah aku harus menunggu ikan itu?"
"Telah kukatakan, mudah tetapi sukar, sukar tetapi mudah.
Tergantung dari kodrat wanita itu. Mungkin sehari dua hari,
sepekan dua pekan, sebulan, setahun, sewindhu, seabad ..."
"Ah, jangan engkau berolok-olok" tukas Anuraga mulai
geram "masakan mayatnya dapat tahan sampai sekian lama.
Pada waktu mendapatkan ikan itu, mayatnya tentu sudah
rusak. Tetapi yang jelas, harapan untuk mendapat ikan
semacam itu, adalah seperti si pungguk merindukan bulan ..."
Sikakek tertawa meloroh "Ho, tidakkah engkau ini seperti si
pungguk merindukan bulan, juga?"
"Hm" Anuraga menggeram terus ayunkan langkah
tinggalkan kakek itu. Tetapi baru selangkah ia bertindak, tiba2
kakek itu berseru menghentikannya.
"Mengapa?" seru Anuraga.
"Jika engkau menolak cara yang tadi, masih ada sebuah
jalan lain" kata si kakek "dan jalan itu mudah sekali"
"Katakanlah" "Tinggalkan jenazah wanita itu disini. Dan pergilah engkau
meminta ketumbar kepada wanita ibu rumah tangga. Tetapi
ibu itu harus kau cari dari keluarga yang belum pernah
kematian salah seorang anggauta keluarganya. Mudah,
bukan?" "Apakah ketumbar itu dapat menghidupkan wanita ini?"
tanya Anuraga harap2 sangsi.
"PASTI!" sahut si kakek tegas.
Anuraga segera berangkat. Dari satu kelain rumah ia


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menemui ibu-ibu rumah tangga. Desa, kota dan seluruh
pelosok nuswantara telah habis dijelajahinya, namun tak
pernah ia berjumpa dengan wanita yang tak pernah
kehilangan salah seorang anggauta keluarganya.
Entah orangtua, paman, saudara, anak, kemanakan dan
kerabat keluarganya, tentu ada yang meninggal.
Kesal hati dan letih berlanglang buana tanpa hasil, akhirnya
Anuraga kembali mendapatkan kakek di tepi bengawan
"Kakek, aku tak berhasil menemukan wanita semacam itu....."
"Demikianlah hai brahmana muda " seru si kakek "bahwa di
dunia ini memang tiada seorang manusia yang tak pernah
kehilangan salah seorang keluarganya. Maka kematian
seorang keluarga atau kawan atau orang yang dikasihinya itu,
bukanlah engkau seorang yang menderita. Tetapi setiap
manusia hidup tentu pernah mengalami. Karena hal itu sudah
lazim bagi manusia maka keinginanmu untuk menghidupkan
wanita yang sudah mati itu, tak mungkin direstui Dewata. Dan
cobalah engkau lihat keadaan wanita yang engkau bawa
itu....." Anuraga herpaling. Ia hampir menjerit ketika melihat
keadaan jenazah Sindura yang masih terbaring di bawah
pohon. Bukan lagi Rara Sindura yang cantik ba' bidadari turun
dari kahyangan, melainkan sesosok kerangka tulang belulang,
ah ... . Anuraga pejamkan mata tak berani memandang ....
"Anuraga ...." tiba2 kakek itu berseru dari belakang
"ketahuilah. Janganlah dikau terlekat pada yang menyenangkan atau yang tak menyenangkan. Melihat apa
yang menyenangkan adalah penderitaan, seperti halnya
melihat yang tak menyenangkan. Karena dari rasa sayang,
akan timbul kesedihan dan kekhawatiran. Bagi orang yang
terbebas dari rasa sayang, tiada .kesedihan dan kekhawatiran
lagi. Seorang brahmana yaitu yang mengetahui timbul
lenyapnya segala benda2 yang hidup. Yang telah memutuskan
belenggu2 kebencian, kesenangan, keinginan, keragu-raguan
dan kebodohan serta mencapai penerangan sempurna ....."
Anuraga tersentak dan membuka mata.
"Anuraga, apabila bathinmu sudah bersih dari noda dan
terlepas dari belenggu-belenggu Nafsu, janganlah engkau
takut melihat Kenyataan. Tegakkanlah kepalamu dan berpaling
ke belakang. Lihatlah siapa aku . . . ."
Anuraga serentak berpaling "Hai. . . . !" ia menjerit kaget
dan tersentak bangun dari.....mimpinya.
Ia termenung-menung memikirkan mimpinya itu. Beberapa
saat kemudian, mulailah pikirannya jernih, hatinya terang. Ia
sadar akan apa yang dihadapinya. Sindura telah meninggal
dunia. Tak mungkin dapat hidup kembali. Apabila ia membawa
mayat jelita itu menjelajah ke mana2, tentulah mayat itu akan
rusak dan membusuk. Seketika ngerilah hatinya ketika teringat
akan sosok kerangka tulang belulang dalam impiannya
tadi...... "Ah, kasihan kalau tubuh Sindura sampai menderita
kerusakan. Aku harus cepat2 mengantarkan kepada
orangtuanya agar diurus dan ditanam dengan baik2 "demikian
keputusan Anuraga ia menimang-nimang beberapa saat.
Mimpi aneh di tepi bengawan, telah menyadarkan pikiran
Anuraga dari kegelapan. Ia merasa malu pada dirinya. Betapa
kalap dan limbunglah pikirannya selama ini. Dibawanya
jenazah Sindura kemana-mana untuk mencari obat yang dapat
untuk menghidupkannya lagi. Kesemuanya itu jelas karena
dorongan rasa sayang. Dan tepatlah seperti yang diucapkan
kakek dalam mimpinya itu. Rasa sayang, menimbulkan
kesedihan. Karena kehilangan yang disayangi, maka ia sedih
dan gelap pikiran, putus asa. Dan hampirlah ia melakukan
tindakan yang nekad untuk menenggelamkan diri dalam
bengawan. Demikian Anuraga segera memondong tubuh Sindura lalu
mulai melakukan perjalanan menuju ke tanah Mandana.
Terngiang pula ucapan Sindura yang terakhir .... 'dalam
penitipan yang mendatang, aku pasti akan menjadi
isterimu'..... Anuraga berbulat tekad. Setelah menyerahkan jenazah
Sindura kepada orangtuanya, ia akan mengembara mencari t
i t i s a n Rara Sindura ........
0oo-dw-oo0 II TIGA lembar daun Wilwa atau maja, Demikianlah lukisan
bentuk daerah aseli negara Majapahit atau Wilwatikta. Ketiga
daerah yang merupakan daerah pusat perumahan negara
Majapahit yalah Tumapel atau Singosari, Kediri atau Daha dan
Kahuripan atau Jiwana. JENGGALA atau Jenggala-Tumapel terletak disebelah utara
kota Malang sekarang. Sejarahnya dimulai pada abad ke VIII
dibawah pemerintahan raja2 keturunan Dewasinga. Sampai
pada Ken Arok membunuh Tunggul Ametung, akuwu Tumapel,
lalu mengangkat diri sebagai raja Singosari dengan gelar
abhistka Prabu Sri Rajasa Amurwabhumi. Peperangan antara
Daha dengan Singosari dan berakhir dengan hancurnya raja
Daha yakni prabu Kertajaya atau Dandang Gendis, makin
mengukuhkan kekuasaan Prabu Sri Rajasa Amurwabhumi dan
pamor kerajaan Tumapel-Singosari.
DAHA atau Kediri yang batas telatahnya di sebelah barat
gunung Kawi, juga mempunyai sejarah yang cukup tua.
Sebagai kelanjutan kekuasaan kerajaan Jawa Tengah, sejarah
kerajaan Daha pun dimulai sejak abad ke VIII.
Daerah ketiga, tanah KAHURIPAN atau Jiwcna terletak di
sebelah utara pegunungan Welirang-A njasmara. Kahuripan
merupakan pucuk pemerintahan yang tertinggi dari kerajaan
Majapahit. Di situlah letak pura TIKTA SRIPALA atau keraton
raja bersemayam. Jika ketiga daerah aseli atau watek b h u m i negara
Majapahit itu bagaikan tiga lembar daun maja, maka
Kahuripan merupakan daun yang menggelantung di atas atau
di sebelah utara. Sedang di sebelah bawahnya, di kiri atau
sebelah timur, adalah daerah Tumapel-Singosari.
Di tengah ketiga daerah itu, merupakan daerah
pegunungan yang lebat, luas dan subur. Lima buah gunung
berjajar-jajar membujur dari selatan ke utara, ya-ni gunung
Kelud, gunung Kawi, gunung Arjuna, g"-nung Anjasmara dan
gunung Welirang. Keindahan a-lam.pegunungan yang permai,
menimbulkan ketenteraman kehidupan desa2 Kebuda-an, desa
Kesyiwa-an, desa Keresi-an, asrama2 dan rumah2 suci.
Kesuburan bumi di lembah2 sepanjang perairan sungai
Bengawan, menambah kemakmuran rakyat.
"Indah benar bumi Majapahit ini ... ." demikian seorang
anak lelaki kecil berkata seorang diri dikala kakinya berayun
setapak demi setapak, menuruni tanah pegunungan yang
termasuk telatah kaki gunung Anjasmara.
Ia terpaksa harus berkata seorang diri karena tiada kawan
seperjalanan di sampingnya. Anak yang lebih kurang berumur
duabclas tahun itu, rupanya tersengsam juga menikmati
keindahan alam pegunungan yang tenang dan indah.
Hatinya lepas bebas, selepas burung terbang di angkasa.
Hanya bedanya, burung2 itu terbang dengan tujuan tertentu
yalah mencari makan lalu kembali ke sarangnya. Tetapi tidak
demikian dengan anak itu. Ia berjalan kearah yang torte itu
tetapi tiada tertentu tujuannya. Arahnya hendak ke daerah
Kahuripan yang menurut cerita orang, merupakan pura tempat
pusat kerajaan Majapahit. Pun pula di manakah kiranya letak
sesungguhnya dari pura kerajaan itu, ia tak tahu. Ia
menurutkan saja keterangan dari orang yang dijumpai
sepanjang perjalanan. A dakah ia nanti dapat mencapai tempat
tujuannya itu, bukanlah hal yang merisaukan hatinya. Karena
perjalanan itu, perjalanan yang tak memungkinkan ia pulang.
Bukan karena tak mau pulang melainkan karena tiada rumah
atau pondok yang dapat menerima kepulangannya. Atau ia
memang seorang anak yang sudah sebatang kara, tiada
rumah dan tempat menetap.
Dan adakah ia nanti akan berjumpa dengan orang yang
dicarinya itu, juga bukan suatu persoalan yang mencegah
langkahnya. Ia tetap tengadahkan harapan "Dia seorang
demang kerajaan. Orang tentu dapat menunjukkan siapa
demang Suryanata itu" demikian tekadnya.
Anak itu bukan lain adalah Dipa yang didesanya lebih
terkenal dengan sebutan Gajah. Setelah menunggu berbulanbulan di pondok dalam hutan, belum juga kakek tua atau
demang Surya pulang, akhirnya Dipa mengambil keputusan.
Untuk pulang kembali kepada buyut Madan-Teda, jelas tak
mungkin. Sekalipun ia tak merasa mencuri arca Dewa Ganesya
di candi kebuyutan itu, namun seluruh penduduk desa itu
menganggap dialah yang mengambil patung itu. Jika tiada
ditolong kakek demang Surya serta cucunya, kemungkinan
saat itu ia sudah menjadi mayat. Maka untuk kembali ke
Madan-Teda, tak ubah hanya seperti "ular menghampiri gebug'
belaka. Pun apabila ia tetap tinggal di pondok dalam hutan itu,
amatlah berbahaya. Pada suatu malam, ketika ia habis pulang dari mencari kayu
di hutan, ia terkejut ketika melihat dua ekor kuda tertambat
pada pohon Nagapuspa yang tumbuh di halaman muka
pondok. Ia curiga. Dengan berendap-endap langkah, ia
menghampiri kepintu belakang. Dari cela daun pintu ia
mengintai ke dalam pondok. Apa yang disaksikannya saat itu,
hampir meluncurkan jeritan terkejut pada mulutnya. Dua
orang lelaki bermuka bengis dan masing2 menyelip pedang di
pinggang, tengah mengobrak-abrik isi pondok. Balai2, meja
dan kursi disungsang-balikkan. Bilik tempat tidur demang
Surya, habis dikacau balau. Rupanya kedua orang itu hendak
mencari demang Surya. Karena tak berjumpa mereka
menggeledah seisi pondok. Pun karena tak menemukan suatu
apa, marahlah mereka. Untunglah Dipa cepat dapat menduga gerak gerik kedua
orang yang tak dikenal itu. Dan cepat pula ia dapat menyadari
bahwa apabila mereka melihat dirinya, tentulah ia akan
ditangkap dan disiksa. Sesungguhnya amatlah geram dan
marah hati Dipa melihat perbuatan kedua orang itu, namun ia
menyadari bahwa dengan kekerasan, tak mungkin ia dapat
melawan kedua orang itu. Namun iapun merasa bertanggung
jawab atas pondok demang Surya yang dipaserahkan
kepadanya itu. Ia harus berdaya untuk menghalau kedua
orang itu. Dipa dengan hati2 menyurut keluar dan bersembunyi di
balik sebatang pohon. Sejenak berpikir, cepatlah ia mendapat
akal. Dengan langkah ringan2, ia menghampiri kedua ekor
kuda. Tali kendali dilepas dari pohon. Kemudian ia cepat2
menyelinap ke dalam gerumbul pohon, tak jauh dari kuda itu.
Diambilnya dua butir batu. Setelah mengambil arah, dengan
sekuat tenaga, ia lemparkan batu itu ke arah kedua ekor kuda.
Kuda terkejut dan lari meringkik ringkik.....
"Hai, kuda kita lepas, hayo kita buru" cepat sekali salah
seorang tetamu tak dikenal itu lari ke ambang pintu pondok
dan terus lari mengejar. Kawannya-pun muncul dan menyusul.
Selang beberapa jam setelah kedua orang itu tak muncul
lagi, barulah Dipa masuk ke dalam pondok. Ia merasa sedih,
menyesal dan geram melihat keadaan pondok yang kacau
balau "Siapakah gerangan kedua orang itu?" tanyanya seorang
diri "ah, tentulah mereka musuh2 kakek demang yang hendak
mencarinya" Peristiwa itu menjadikan renungan pikirannye. Bukan
mustahil akan berdatangan pula beberapa orang yang hendak
mencari kakek demang itu. Apabila ia tetap tinggal dipondok
situ, kemungkinan akan menjadi sasaran mereka. Bukan
karena ia takut membela kakek demang tetapi sesungguhnya
ia tak tahu menahu akan urusan mereka. Dan bukankah
demang tua itu telah menasehatinya pula, supaya ia
tinggalkan pondok itu apabila dalam waktu sebulan ia tak
pulang" Demikian setelah menimang-nimang, akhirnya ia tinggalkan
pondok dan menuju ke desa Mada. Ia hendak menjenguk
neneknya yang sudah amat tua. Tetapi alangkah kejut dan
sedihnya ketika mendapat keterangan diri penduduk disitu
bahwa neneknya itu sudah meninggal dunia beberapa waktu
yang lalu. Kini hampalah harapan Dipa. Hidupnya bagai awan
yang berarak-arak tiada menentu di cakrawala yang luang,
tiada berujung tiada bertepi . . .
Pelahan-lahan ia bersujud dimuka pusara neneknya.
Persembahan hormat yang terakhir kalinya. Karena setelah itu
ia akan mengembara jauh. Dengan langkah sarat, diavunkan
sang kaki dari gunduk tanah yang berisi tulang2 rapuh dari
neneknya. Makin lama makin jauh dan akhirnya lenyap ditelan
kelebatan hutan. "Baiklah kupergi ke pura Majapahit" akhirnya bersualah
kesimpulan dalam hatinya "ada dua orang yang akan kucari
disana. Demang Surya dan paman brahmana yang mulia itu.
Kedua duanya menetap di pura kerajaan"
Sepercik harapan itu, bagaikan sekerat lelatu yang
menghangatkan semangatnya dari kelayuan hidup. Ada suatu
bisikan halus dalam hati kecilnya bahwa perjalanan itu akan
membuka lembaran baru dari kehidupannya. Namun ia tak
pernah mengerti apakah maknanya dari bisikan halus itu. Yang
dirasakan hanyalah getar-getar sanubarinya yang menggelorakan semangatnya. Seakan-akan ada suatu
dorongan yang halus bahwa di Majapahitlah ia bakal melihat
sinar surya yang gilang gemilang. Itupun hanyalah perasaan,
bukannya suatu keyakinan. Karena setitikpun ia tak berani
mengharap atau memimpikan bahwa kelak dikemudian hari
ia bakal menjadi soko-guru yang termasyhur dalam sejarah
kerajaan Majapahit menjenjang ke puncak kejayaan yang
gilang gemilang. Dan segala keresahan, kecemasan dan keraguan serta
reka2 dalam benaknya, serasa hilang ketika perhatiannya
terbawa hanyut dalam alam pegunungan nan semesta indah
dan tenang. Betapa tidak! Seyojana mata memandang hanya
warna hijau sejuk yang banglas lepas. Gunung Anjasmara


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seolah-olah raksasa yang bersalut warna hijau riyo2 dan
bermahkotakan gumpal2 awan putih. Gemercik air mandesir,
desah angin semilir, membawa imbauan kicau burung riuh
gembira. Bunga warna warni bertaburan di atas permadani
rumput dan belukar. Dicipta dan tercipta oleh Sanghyang
Pencipta alam semesta. Hanya kekuasaanNYA lah yang kuasa
mewarnai kehijauan yang serasi dari daun, pupus dan pucuk
pohon. Aneka warna merah, kuning, ungu, biru dari bunga2
yang tumbuh bebas di hutan pegunungan. Kesemuanya itu
tercipta dalam bentuk yang wajar dan mesra.
Sesaat terhentilah langkah Dipa. Ia tegak termangu-mangu
dalam dekapan pesona. Timbul berbagai pertanyaan dalam
benak anak itu. Dari manakah asal mula gunduk tanah yang
menjulang tinggi mencapai awan itu" Siapa pula yang
menanam rimba pohon2 belantara, bunga2 yang beraneka
warna itu .... " Lama nian Dipa melepaskan diri terbenam dalam lautan
pertanyaan yang berarus keheramn. Setelah tak menemukan
jawaban tentang rasa herannya terhrdap alam pegunungan
yang berada di sekelilingnya, pikirannya makin merana
berkelanjutan. Terkenang ia akan nasibnya yang merana.
Akari keadaan penduduk desa Madan-Teda yang hendak
membunuhnya. Akan diri kakek demang Surya dan cucu
perempuannya si Indu dan akan kedua orang lelaki berwajah
bengis yang mengobrak-abrik pondok demang Surya.
"Mengapa manusia2 itu selalu tak tenang kehidupannya.
Mengapa mereka saling bermusuhan, saling bunuh
membunuh. Mengapa tidak seperti suasana dalam alam
pegaau.agan yang tenang tenteram . . " demikian timbul pula
pertanyaan yang tak kunjung menemukan jawaban. Karena
umurnya, alam pikirannyapun masih singkat. Segala sesuatu
hanya dipandang dari sudut kenyataan yang dilihatnya. Dia
tak dapat menyadari bahwa manusia itu adalah titah Hyang
Widdhi yang terkasih. Yang diberkahi kelebihan berupa
kecerdasan berpikir. Dan yang diridloi untuk menikmati
kekayaan bumi alam ciptaanNYA. Tetapi adalah karena rasa
nikmat akan keduniawian itulah yang menjadi belenggu
bathinnya. Belenggu yang berupa nafsu Keinginan. A-pabila
belenggu nafsu Keinginan itu sudah menjeiat kencang, maka
timbullah pikiran Angkara itulah yang melahirkan gerak
langkah tindakan yarg gelap sesat. Mencuri, menipu,
membunuh dan segala perbuatan jahat .....
Dipa tersentak dari lamunan, ketika mendengar kicau
burung kutilang yang riuh riang. Sesaat tampak sepasang bu
ung kutilang terbang melayang turun dari udara dan hinggap
pada sebuah dahan yang lebat daunnya. Ah, sepasang
kutilang itu pulang ke sarangnya, mendapatkan anak2nya.
Anak2 kutilang itu masih kecil, belum tumbuh sayapnya.
Mereka menyambut kedatangan induknya dengan berkicau
riang gembira. Dengan kebanggaan dan kemesraan,
induknyapun seigera melolohkan makanan yang dibawanya,
kemulut anak2nya. "Ah, betapa mesra dan kasih sayang kutilang itu kepada
anak-anaknya . . ." gumam Dipa seorarg diri. Seketika
tersentuhlah hatinya. Anak2 kutilang itu jauh lebih berbahagia
dari dirinya. Ia sudah sebatang kara. Satu-satunya keluarga,
yalah neneknya di desa Mada, itupun sudah menutup mata
tanpa sempat memberitahu tentang kedua orang tuanya. Jika
sudah meninggal, di-mana alas kuburnya. Kalau masih hidup,
dimana rimbanya. Anak2 di desa Madan Teda semua
mempunyai ibu-bapak. Bahkan anak burung kutilang yang
bersarang didahan pohon itu, pun mempunyai induk. Bagi
anak2, mempunyai ibu-bapak itu sudah wajar. Tetapi bagi
Dipa hal yang wajar dan lumrah itu, terasa amat mahal dan
sesukar keinginannya untuk mengetahui siapakah yang
menciptakan gunung dan hutan belantara itu!
Airmata Dipa berderai-derai membasahi kedua celah pipinya
.... Demikian selama menempuh perjalanan ke pura kerajaan
itu, banyak ragam peristiwa dan manusia yang dijumpainya.
Setiap peristiwa ia jadikan sebagai pengalaman. Setiap
peribadi manusia, ia jadikan cermin. Pengalaman sebagai
pengatur perbuatan. Cermin keperibadian manusia sebagai
pembina watak dan tingkat kemanusiaannya. Makin lama
makin merekahlah alam pikirannya, makin meluas pula
pandangannya dan makin bertambah pengalamannya..Tanpa
disadari, ia telah menyelami berbagai lapisan masyarakat
bawah, ikut merasakan alam kehidupan mereka dan ikut pula
maneguk derita kepahitan hidup mereka.
Diketahuinya pula bahwa di dalam alam masyarakat
terdapat empat warna atau kasta: Brahmana, Ksatrya, Waisya
dan Sudra. Tetapi kenyataannya dalam kehidupan masyarakat
negara Majapahit itu hanya dibagi atas tiga tingkat golongan.
Tingkatan atas, tingkatan tengah dan tingkatan bawah atau
yang keseluruhannya dinamai dengan kata paduan:
Madhyamot-tamakaaista. Tingkatan tengah : M a d h y a m a.
Tingkatan bawah : Nista. Golongan Uttamaka, baik di pusat maupun di daerah, yalah
anggtuta keluarga sang Prabu dan para ratu, anggauta
kementerian dan badan Upapati;
Golongan Nista, meliputi segala orang biasa di desa-desa,
biasanya yalah kaum tani. Lapisan nista atau rendah ini,
dinamai juga dengan istilah KANAKTHAN-YAN (ke-anaktanian).
Yang selebihnya masuk Golongan Madhyama dan meliputi
orang keraton, abdidhalem dan para tukang.
Pengetahuan itu makin menambah luas pandangan Dipa
akan keadaan masyarakat. Setiap kali ia tiba di desa, tak mau
ia minta makan dengan cuma-cuma. Tetapi selalu ia
memberikan tenaga membantu pekerjaan tuan rumah yang
didatanginya. Sekalipun di tempat sudharmma atau rumah
suci, di desa ke-buda-an, ke-resi-an, asrama2 pendeta dan
brahmana, walaupun disediakan makan untuk tetamu2 yang
datang dari jauh, namun Dipa sekali-kali tak mau mendapat
makanan dengan cuma2. Ia selalu memberikan jasa
tenaganya, mengambil air, menyapu, mencari kayu dan apa
saja yang diperlukan tenaganya. Ada kalanya, ia tinggal
sampai beberapa hari di suatu asrama, agar ia diberi
kesempatan untuk belajar menulis dan membaca.
Pada hari itu, ia masih berada dalam sebuah hutan ketika
sang Surya sudah mulai condong ke balik gunung. Tak tahu ia
berapa jauh lagi akan berjumpa dengan pedesaan atau rumah
orang. Pikirnya, daripada kemalaman di tengah jalan, baiklah
ia bermalam di hutan situ. Dan bermalam di hutan, baginya
sudah biasa. Dia tak takut.
Begitulah setelah memilih sebuah tempat yang bersih di
balik segunduk batu besar, ia segera rebahkan diri
beristirahat. Tidur beralas rumput, beratap langit, pun sudah
biasa dilakukannya. Ia tak kaget atau kikuk. Bahkan ia merasa
gembira karena apabila malam tiba, ia dapat tidur sambil
memandang ke cakrawala dan menghitung-hitung bintang2
bertaburan di atas langit.
Malam itu bulan bersinar terang. Langitpun cerah. Sambil
berbaring, Dipa memandang rembulan. Dipa memang seorang
anak yang gemar bertanya dan selalu ingin tahu apa yang
dilihatnya. Rembulan di langit itupun tak lepas menjadi
sasaran keheranannya. Mengapa rembulan hanya keluar pada
malam hari" Dan ke manakah perginya pada siang hari" Dan
makhluk apakah gerangan yang tinggal di bula.n itu" Berkelanjutan pula pertanyaan dalam hati anak itu untuk
mengetahui keadaan rembulan yang menggelantung di
angkasa itu. Bila banyak pertanyaan yang keluar dari
benaknya tanpa memperoleh jawaban suatu apa, mulailah
timbul rasa jemu dan letih. Setelah merasa jemu dan lelah,
rasa kantukpun mulai berayun-ayun melelapkan mata.
Kantukpun mulai berayun-ayun melelap mata.
Sesaat mata hampir terlena, tiba2 ia mendengar derap kuda
lari memecah kesunyian malam. Serentak buyarlah rasa
kantuknya dan cepat2 ia berbangkit menempatkan diri dibalik
gerumbul yang teraling. Cepat sekali kuda itu makin dekat.
Tiba2 berhenti dan terdengar salah seorang penunggang kuda
berseru "Patra, kita berhenti disini" orang itu turun dari
kudanya lalu menghampiri ke gunduk batu.
Ternyata yang berkuda itu terdiri dari dua orang lelaki.
Mereka duduk dikaki batu yang datar dan lepaskan kudanya
makan rumput yang banyak tumbuh di-sekeliling tempat itu.
Dari sela gerumbul tempat persembunyiannya, Dipa dapat
melihat jelas kedua lelaki itu. Mereka mengeluarkan kantong
kulit tempat minum dan mulai meneguk. Serangkum bau tuak,
membaur sampai ketempat Dipa.
"Kakang Wicana, dua kali sudah kita lakukan tugas dengan
berhasil. Kali ini kiranya gusti patih Aluyuda tentu takkan
menunda pemberian hadiah itu" terdengar lelaki yang
dipanggil Patra tadi mulai membuka mulut.
Kawannya yang disebut Wicana itu, seorang lelaki agak tua,
bermuka kuning bersih dan memelihara kumis yang teratur.
Dibawah sinar rembulan, tampak ia seorang yang cukup
mempunyai wibawa. Sahutnya "Kurasa gusti patih tentu
takkan menunda-nunda lagi hadiah itu. Patra jangan kuatir.
Gusti patih pernah menjanjikan kepadaku, apabila kelak beliau
berhasil menduduki jabatan mahapatih, kita akan diangkat
menjadi demang" Sambil meneguk pula minuman tuaknya, Patra yang
bertubuh kokoh kekar, tertawa riang "Mudah-mudahan gusti
patih tak menyia-nyiakan jasa kita. Karena sesungguhnya, tak
mudah untuk meyakinkan seorang yang cerdik macam buyut
Mandana itu. Engkau memang hebat sekali, kakang ...."
"Ah, pujian itu seyogyanya engkau jelangkan kepada gusti
patih. Karena semua rencana yang kita lakukan itu adalah
gusti patih yang mengatur. Tetapi memang harus diakui
bahwa yang paling sukar yalah waktu kita pertama kali
berhadapan, dengan buyut Mandana. Andaikata rombongan
raden Kuda Lampeyan tak datang, tentulah kita sudah ditawan
buyut itu" "Hem, buyut itu memang keras kepala" sambut Patra.
"Hal itu dapat dimengerti, Patra" kata Wicana "karena raden
Kuda Lampeyan adalah anak menantu buyut Mandana. Sudah
tentu dia tak mudah mempercayai keterangan kita, sebelum
terbukti bahwa raden Kuda Lampeyan benar2 datang untuk
memanggil buyut itu menghadap baginda"
"Tetapi apakah kakang yakin anjuran kita kali ini akan
diterima bulat oleh buyut itu ?" tanya Patra pula.
"Buyut itu memang seorang yang luas pengetahuan, cerdik
dan bijaksana. Tetapi sayang dia masih mempunyai
kelemahan yalah angkuh dan tinggi hati. Kita gunakan
kelemahan itu untuk menghapus daya pikirannya yang
cerdas!" "Benar, kakang" seru Patra "pada waktu kakang
mengatakan bahwa raden Kuda Lampeyan bersumpah hendak
membawa pasukan besar untuk meratakan Mandana, buyut
itu merah padam mukanya dan serentak iapun bersumpah
untuk membela bumi Mandana sampai pada titik darah yang
penghabisan" "Demikianlah watak seorang yang tinggi hati, Patra" sambut
Wicana "sekalipun tahu bahwa yang akan dihadapinya itu
yalah pasukan kerajaan Majapahit, namun ia tetap tak gentar"
"Tetapi rasanya kesanggupan gusti patih untuk memberi
bantuan dari belakang, juga menambah keberaniannya
melawan kerajaan" kata Patra. Kemudian tiba2 ia meragu
"tetapi kurasa betapapun besar tekad orang2 Mandana itu,
namun mereka pasti akan hancur menghadapi serangan
pasukan Majapahit. Dalam hal ini apakah tidak berarti gusti
patih menjerumuskan buyut itu ke jurang kehancuran ?"
"Tidak, gusti patih akan membantu sungguh2 agar buyut
Mandana mencapai kemenangan"
"Ha ?" Patra ternganga, tuak yang hendak diteguk,
dihentikan setengah jalan "apakah gusti patih hendak ....
berhianat ?" Wicana tertawa kecil "Tidak, gusti patih tidak berhianat
tetapi benar2 memang hendak menghancurkan pasukan
Majapahit" Patra membelalakkan mata "Kakang, aku benar2 bingung
mendengar keteranganmu !"
"Itulah kelebihan dari gusti patih Aluyuda, Patra" kata
Wicana tertawa "setiap siasat yang dilakukan tentu tak
mungkin dapat disangka orang. Dan setiap perhitungannya
tentu tak pernah gagal"
"Kakang, lekas beritahukan bagaimana siasat gusti patih
dalam menghadapi osang Mandana itu ?" rupanya Patra tak
sabar lagi. "Begini" kata Wicana "dalam surat yang kuberikan kepada
buyut Mandana tadi pagi, gusti patih telah memberi petunjuk
bagaimana buyut itu harus mengatur barisannya. Apabila
buyut itu mau menurut, gusti patih menjamin rakyat Mandana
tentu akan menang" "Bagaimana mungkin itu kakang ! Bukankah pimpinan
penyerangan ke Mandana ini oleh baginda diserahkan kepada
gusti Rangga Pu Jalu ?"
"Itulah, Patra!" seru Wicana "dengan cara yang rahasia,
gusti patih A luyuda dapat mengetahui tentang rencana barisan
Majapahit yang akan menyerang Mandana itu. Dengan
pengetahuan itu, mudahlah gusti, patih membertahukan
kepada buyut Mandana cara2 untuk menghancurkan pasukan
Majapahit" "O" Patra mendesuh kejut "apakah keuntungan gusti patih
melakukan hal itu ?"
Sejenak Wicana meneguk tuak, setelah mengusap mulut ia
berkata "Sasaran utama dari gusti patih Aluyuda yalah gusti
mahapatih Nambi. Rangga Pu Jalu termasuk pengikut gusti
mahapatih Nambi. Gusti mahapatih pulalah yang mengusulkan
kepada baginda supaya Rangga Pu Jalu diangkat menjadi
panglima penumpasan tanah Mandana. Gagalnya penyerangan
kali ini tentu akan merupakan tamparan keras bagi gusti
mahapatih Nambi. Kesempatan itu tentu segera akan diisi oleh
gusti patih Aluyuda untuk menampilkan diri memimpin
penyerangan ke Mandana" "
"O" kembali Patra mendcsuh "tetapi .... bukankah nanti
gusti patih akan berhadapan dengan buyut Mandana yang
dijanjikan bantuan itu?"
Wicana tertawa "Ah, bagi gusti patih Aluyuda, hal itu mudah
saja dilakukan. Misalnya, dia akan mengangkat salah seorang
senopatinya untuk mengepalai pasukan, lalu diam2 gusti patih


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan menyuruh kita menemui buyut Mandana lagi dan
memberi petunjuk bagaimana buyut itu harus mengatur
barisan" "Hai" Patra beranjak seru "karena kali ini buyut Mandana
dapat memperoleh kemenangan, untuk yang kedua kalinya dia
pasti akan menurut petunjuk gusti patih. Dia tentu menaruh
kepercayaan penuh kepada gusti patih. Tetapi untuk yang
kedua kalinya, buyut itu pasti akan termakan duri. Apabila dia
menurut petunjuk gusti patih, dengan mudah dia pasti akan
dihancurkan gusti patih!"
"Ho, kiranya engkau sudah dapat menerka kelanjutannya.
Patra" kata Wicara tertawa kecil "begitulah kalau engkau mau
tahu bagaimana kelicinan gusti patih Aluyuda itu"
Patra mengangguk angguk, Tiba2 ia bertanya pula "Hasil
apakah yang diperoleh gusti patih dengan tindakan itu?"
"Sudah tentu makin mendapat kepercayaan baginda.
Gagalnya Pu Jalu yang diusulkan gusti mahapatih itu, gusti
lebih menyudutkan kedudukan gusti patih Aluyuda. Jalan
makin terentang lebar bagi gusti patih Aluyuda untuk
menyingkirkan gusti mahapatih Nambi dari pucuk pimpinan
kerajaan. Engkau boleh buktikan, Patra, bahwa kelak tentu
terjadi seiuatu dalam kalangan mentri2 kerajaan, terutama
pada gusti mahapatih Nambi"
Dipa mendengar jelas semua pembicaraan itu. Namun ia
tak tahu persoalannya. Yang jelas, pasukan Majapahit akan
menyerang tanah Mandana dan beberapa nama menteri
kerajaan yalah mahapatih Nambi, patih Aluyuda, rangga Pu
Jalu. Memang ia masih ingat akan cerita kakek demang
Suryanata tentang kekeruhan sua sana dalam kerajaan.
Tentang mentri2 yang saling berebut pengaruh. Tentang
golongan2 yang mendukung dan menentang raja. Tentang
pertentangan golongan agama Syiwa dan Buddha. Dan
tentang awan mendung yang selalu menutup kecerahan
kerajaan Majapahit. Kini matanya makin terbuka, pikirannya berkembang.
Bahwa dunia ini ternyata tak seindah alam pegunungan yang
tenang. Bahwa kehidupan manusia itu ternyata jauh lebih
ruwet dan keruh daripada yang dibayangkan.
Hingga sampai kedua orang utusan dari patih Aluyuda itu
melanjutkan perjalanan pula, Dipa masih tetap bermanja
kemenungan. Tibalah pikirannya dipersimpangan jalan.
Adakah ia lebih baik melanjutkan kehidupannya di tengah
alam pedesaan yang sunyi tenang. Atau tetap meneruskan
langkah mencari deman Suryanata ke pura kerajaan.
Ada suatu bisikan halus dalam sanubarinya. Hidup di
pedesaan memang jauh lebih tenang dan tenteram tetapi
tiada suatu pengalaman hidup yang akan merobah nasibnya.
Di pura kerajaan memang penuh golak gejolak peristiwa dan
perobahan. Tetapi justeru pergolakan dan perobahan2 itulah
yang akan memberinya banyak pelajaran dan pengalaman
hidup. "Dipa, akan kubawamu ke pura kerajaan agar engkau dapat
melihat dunia yang luas. Siapa tahu kelak nasibmu akan
berobah........." tiba2 terngiang
ucapan paman brahmana Anuraga kepadanya dahulu. Dan
serentak teringatlah Dipa akan diri brahmana muda yang baik
bali kepadanya itu. "Aku harus ke pura kerajvan. Untuk
mencari kakek demang dan paman brahmana itu!" akhirnya
putuslah ketetapan dalam hatinya.
Entah sampai berapa lama ia dapat bertahan kantuk. Tetapi
ternyata ia tak dapat mendengar kokok ayam hutan
menyambut sang pagi. Bahkan sampai mentari naik
sepenggalah tingginya, barulah ia terjaga dari tidurnya yang
nyenyak. Iapun melanjutkan perjalanan lagi. Pada suatu hari ketika
memasuki sebuah desa, ia terkejut melihat suasana desa itu.
Rumah2 penduduk tertutup iapat, jalan-pun sunyi senyap.
Sepintas pandang seperti sebuah desa mati. Biasanya apabila
tiba discbuah pedesaan, ia tentu mendatangi salah seorang
rumah penduduk dan menawarkan tenaganya untuk
membantu pekerjaan yang dibutuhkan tuan rumah. Dan
sebagai upah, ia hanya minta nasi pengisi perut. Dan biasanya
orangpun kasihan kepada anak itu. Mereka suruh Dipa
mengerjakan beberapa pekerjaan rumahtargga, entah mencari
air atau membelah kayu atau membersihkan halaman. Orang
cepat mendapat kesan baik terhadap wajah Dipa yang jujur
dan sehat. Heran saat itu Dipa melihat keadaan desa. Harapannya
untuk mencari makan, terpaksa ditanggalkan. Ketika ia
menyusur di ujung desa, tiba2 ia melihat sebuah pondok yang
masih terbuka pintunya. Dihampirinya pondok itu. Seorang
lelaki tua tengah duduk di atas balai2 sambil memahat mahat
sehuah arca kayu. "Kakek....." seru Dipa sambil melangkah ke ambang pintu.
Agak terkejut lelaki tua itu ketika memalingkan muka "O,
engkau anak kecil. Kurasa engkau bukan penduduk desa ini,
bukan?" Dipa mengiakan "Benar, kakek. Aku datang dari lain daerah
dan kebetulan lalu di desa ini. Tetapi mengapa desa ini sunyi
sekali" Pintu2 penghuninya?" rumah tertutup, ke-manakah para Kakek itu mempersilahkan Dipa masuk. Setelah suruh anak
itu duduk disampingnya, kakek itu menerangkan "Penduduk
desa ini mengungsi ke daerah pedalaman karena mereka takut
dilanda peperangan yang segera akan terjadi. Kerajaan
Majapahit telah mengirim pasukan untuk menindas
pemberontakan rakyat Mandana. Oleh 'karena itu desa ini
terletak di tengah perjalanan mereka, maka siapapun yang
menang atau kalah, desa ini pasti akan menderita kerusakan.
Engkau tahu, bagaimana tingkah laku prajurit2 itu " Kalah
perang sekalipun mereka tetap melakukan perbuatan2 yang
merugikan rakyat. Apalagi kalau menang. Wah, harta benda
bahkan wanita, tentu akan menjadi sasaran kegembiraan
mereka....." "O" desuh Dipa "mengapa rakyat Mandana memberontak
terhadap kerajaan ?"
"Kata orang, karena buyut Mandana tak setuju akan
pengangkatan baginda Jayanagara sebagai raja Majapahit.
Ada pula yang mengatakan, buyut itu menolak dipanggil
menghadap raja. Ada juga yang menceritakan, baginda murka
kepada buyut Mandana karena anak perempuan buyut itu lari
dari keraton. Juga ada yang menyiarkan tentang seorang
putera menantu buyut itu, menceritakan kepada baginda
tentang sikap buyut Mandana yang menentang raja. Ah,
banyak nian kabar2 yang tak sama satu dengan lain. Entah
manakah yang benar" kata kakek itu dengan nada tak acuh.
"Tetapi mengapa kakek tetap tinggal di sini" Adakah kakek
tak takut akan tingkah prajurit2 itu ?" tanya Dipa.
Kakek itu tertawa ringan "Aku sudah tua. Pekerjaankupun
hanya sebagai juru jalir, membuat ukir-ukiran arca dan hiasan
rumah. Nih, cobalah engkau lihat. Apakah arca lembu yang
kuukir ini menyerupai lembu atau tidak ?"
Terpaksa Dipa mtnurut. Sejenak dipandangnya arca yang
sedang diukir oleh juru jalir itu. Namun tak ada perhatiannya
akan arca itu. Maka dijawab dengan sekenanya "Ya, memang
menyerupai benar . . . :" lalu cepat2 mengulang pertanyaan
pula "apakah kakek tak takut tetap tinggal di sini ?"
Kakek juru jalir atau tukang ukir itu tertawa ringan "Apa
yang harus kutakutkan" Apa yang mereka dapat peroleh dari
diriku" A ku sudah tua, tiada mempunyai apa2, kecuali sebuah
pondok tiris ini. Pun andaikata aku mempunyai uang, akupun
takkan kecewa apabila diambil mereka. Selama hayat masih
kukandung dalam badan, selama tangan ini masih dapat
bergerak, aku tak kuatir tak dapat makan. Aku tak mau
terbelenggu oleh rasa sayang dan kekecewaan. Uang,
perabot, pondok bahkan jiwaku sekalipun, kurelakan apabila
mereka menganggap perlu untuk mengambilnya. Akupun
merasa tak bersalah kepada kerajaan Majapahit, kepada orang
Mandana dan kepada prajurit2 itu. Mengapa aku harus takut
dan menyingkir?" Dipa terkesiap. Sejauh pengalaman yang pernah
ditempuhnya, belum pernah ia berjumpa dengan seorang
kakek yang berpendirian sedemikian tenang, bebas dan
lapang. Diam2 ia mengakui bahwa ucapan kakek itu memang
tepat. Rasa lapar yang sudah merintih-rintih sejak tadi, tiba2
mengendap reda. "Hari sudah petang, kalau engkau membutuhkan tempat,
tidurlah disini. Dan kalau engkau lapar, pergilah ke dapur.
Tanaklah nasi sendiri" tiba2 kakek itu berkata.
Dipa terbeliak "Terima kasih, kakek. Adakah kakek tinggal
seorang diri" Siapakah yang menanakkan nasi untuk kakek?"
"Bodoh!" tiba2 kakek itu berseru "mengapa harus suruh
orang menanak nasi" Yasya b u d d h i r b a l a m tasya,
artinya Kepintaran itu adalah kekuatan. Jika engkau ingin
menjadi manusia kuat, engkau harus pintar dalam segala hal.
Engkau hidup, engkau perlu makan, mengapa engkau tak
mampu membuat makanan " Engkau hendak mengandalkan
isteri atau anak. Tetapi kalau engkau seperti diriku, tiada anak
isteri, adakah engkau tak dapat makan" Lekas, pergilah ke
dapur " Entah bagaimana, ucapan kakek itu dapat membangkitkan
semangat Dipa. Terutama kata2 'Kepandaian itu adalah
kekuatan' amat mengesan dalam hatinya. Ia ingin belajar
segala apa. Menggembala, mencari kayu, mencari air,
membersihkan halamsn, menanak nasi, menjalankan latihan
prana atau pernapasan, semedhi, membaca, menulis dan
mendengarkan cerita tentang senopati perang ternama,
Pentang weda2 ajaran agama Syiwa, tentang pitaka2 ajaran
Buddha dan lain2 .... Selesai menanak nasi, ia makan bersama kakek itu. Hanya
beberapa saat meletakkan ukirannya, sehabis makan, kakek
itupun kembali melanjutkan pekerjaannya "Tahukah engkau
lembu apa yang sedang kuukir ini?"tanyanya.
Ketika Dipa mengatakan tak tahu, kakek itupun
menerangkan "Lembu ini disebut Lembu A ndini, seekor lembu
betina, anak seorang raja jin bernama Pata-nam. Ia ingin
menguasai alam ini maka bertapalah ia dan dipuja puja oleh
penduduk sekitarnya serta dianggap sebagai dewa. Hal itu
diketahui oleh Batara Guru. Lembu Andini ditaklukkan,
kemudian dijadikan kendaraannya. Tetapi Lembu Andini tak
senang. Tak henti-hentinya ia mencari upaya untuk membalas
dendam. Akhirnya ia mendapat akal untuk mengadu domba
Batara Guru dengan permaisurinya sehingga keduanya
berperang. Setelah permaisurinya ku dikalahkan barulah
Batara Guru mengetahui bahwa Lembu Andinilah yang
menjadi gara-garanya. Batara Guru murka. Lembu Andini
disumpahi dan berobah menjadi pelangi. Nah, apabila engkau
melihat pelangi dicakrawala, itulah Lembu Andini sedang
minum air laut ...."
Senang hati Dipa mendengar cerita kakek itu. Sampai larut
malam, barulah keduanya tidur. Beberapa hari Dipa tinggal
bersama kakek itu. Ia mendapat pelajaran, tentang ilmu
mengukir arca dari kayu. Dipa seperti anak yang haus
pengetahuan. Dan memang Dipa berotak cerdas, pun rajin
pula. Memang pada hari ketiga, lalulah serombongan prajurit
Majapahit dalam perjalanan ke Mandana. Tetapi mereka tak
mengganggu kakek juru jalir itu. Setelah beberapa hari tinggal
di pondok kakek itu, maka Dipapun segera minta diri hendak
melanjutkan perjalanan. "Tujuanmu memang baik sekali" kata juru jalir itu dikala
mendengar tentang niat Dipa menuju ke pura kerajaan "di
sana memang letak perputaran roda pemerintahan yang
menjalankan kehidupan negara. Engkau dapat bertemu
dengan orang2 besar, dapat melihat peristiwa2 besar dan
dapat memperoleh pergalian2 besar. A ku tak punya apa2 yang
dapat kuberikan kepadamu selaku bekal perjalanan"
"Ah. kakek baik sekali kepadaku. Aku sudah merasa amat
berterima kasih sekali" kata Dipa.
"Ah, karena tak dapat memberi apa2, sekurang-kurangnya
aku hendak menyampaikan beberapa patah kata selaku
pengantar perjalananmu" kakek juru jalir berhenti sejenak
untuk menyusun kata "Dipa, hidup itu adalah gerak. Oleh
karena bergerak maka harus mempunyai tujuan. Tercapainya
tujuan karena dilambari pendirian. Pendirian menjadi kokoh
karena bersenyawakan tekad dan keyakinan. Keyakinan tak
mudah goyah karena memiliki iman yang tebal. Dan iman
akan sentausa apabila bathin kita sudah menghayati
kesadaran akan Kebenaran ...."
Juru jalir itu berhenti sejenak pula lalu melanjutkan "Ada
sebuah pepatah yang masih kuingat jelas : Yatha ekena
cakrena rthasya na gatir bnavet. Evam purusa karena vina
daivam na sidhyati'. Artinya, 'seperti tanpa roda, perjalanan
kereta takkan mungkin, demikian pula tanpa usaha nasibpun
takkan berhasil' . Dipa, engkau memiliki cita2, itulah baik.
Tetapilebih baik lagi apabila engkau berusaha untuk
mewujutkan cita cita itu. Dan yang paling baik, adalah bila
engkau berhasil mencapai cita-cita itu. Tiada yang dapat
merobah nasibmu kecuali dirimu sendiri....."
Demikian juru jalir tua melepas kepergian Dipa dengan
bekal untaian kata2 mutiara. Dan kata2 itu bersambut dalam
hati Dipa, tumbuh, bersemi dan membuahkan pembentukan
peribadinya dikelak kemudian hari.
Kembali anak itu berada ditengah-tengah alam pegunungan
yang indah, sunyi dan tenang. Sepanjang perjalanan yang
ditempuhnya, ia selalu mempeihatikan keadaan alam di
sekelilingnya. Makin lama makin dekat ia akan alam dan makin
menghayati kebesarannya. Penghayatan itu makin menumbuhkan rasa cintanya kepada bumi tanah air. Ia tak
tahu betapalah luas telatah Majapahit itu. Namun pendekatan
diri dengan alam itu, telah melahirkan suatu perasaan baru


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam hati sanubarinya. Entah apakah itu yang disebut cita2
atau tujuan. Tetapi ia memang mempunyai suatu perasaan
cinta kepada bumi negaranya. Ia ingin bumi Majapahit tumbuh
makmur dan berkembang menjadi negara besar. Rakyat hidup
sejahtera dan sentausa.....
Lamunan waktu berjalan itu tiba2 pecah berhamburan
ketika tiba2 ia mendengar suara sorak sorai yang gegap
gempita. Saat itu ia sedang berada di sebuah tanjakan yang
cukup tinggi dan suara hiruk pikuk itu datang dari arah muka
sebelah bawah. Buru2 ia lari menghampiri. Tiba di ujung jalan,
ternyata jalan itu menurun ke bawah dan tiba di sebuah tanah
lapang. Apa yang disaksilan di tanah lapang yang merupakan
sebuah lembah sebelah bawah itu, mengejutkan hatinya.
Di tanah lembah itu sedang berlangsung pertempuran yang
dahsyat antara berpuluh puluh prajurit melawan beratus ratus
rakyat. Kedua belah fihak sama menggunakan pelbagai
senjata tajam. Tusuk menusuk, tikam menikam, pedang
memedang, tombak menombak, cengkam mencengkam dan
ada pula yang bergumul. Walaupun kalah besar jumlahnya
tetapi fihak prajurit2 itu rupanya lebih terlatih dalam
pertempuran. Banyak korban yang berjatuhan di fihak
lawannya yang berpakaian rakyat biasa.
Dari balik gunduk batu. Dipa melihat di lembah b.wah,
sedang berlangsung pertempuran dahsyat. Pertempuran
antara pasukan Majapahit lawan lasykar rakyat Mandana.
Sorak sorai, pekik hardik, lengking teriakan dari manusia2
yang saling bunuh membunuh itu, riuh gemuruh memenuhi
leaibah, seakan akan membelah angkasa.....
Ia menghela napas kejut "Ih, mengapa manusia saling
bunuh membunuh dengan manusia " Betapalah kejamnya ..."
serentak terlintas dalam benaknya akan kebuasan harimau
yang gemar menerkam kerbau, kambing, kelinci dan lain2
binatang. Juga bangsa ular. Dahulu ketika mencari jamur
Brahmacahya untuk mengobati brahmana Anuraga, pernah
hampir saja mati dililit ular penunggu jamur itu. Harimau, ular,
adalah binatang yang buas ganas. Tetapi ah, apa yang
disaksikan saat itu benar2 meremangkan bulu kuduknya
"adakah manusia itu lebih buas dari harimau atau ular . .. . ?"
Dipa tak berani melanjutkan keraguan hatinya karena ia
merasa dirinya juga seorang anak manusia. Dan ia merasa tak
sebuas harimau dan ular "Ah, tidak, tidak ! Manusia tentu tak
sebuas harimau atau ular. Karena kita manusia dapat berpikir,
mempunyai perasaan kasihan. Bukankah ajaran weda dan
pitaka itu membimbing supaya kita manusia berbudi luhur dan
memiliki welas asih serta cinta kasih terhadap sesama manusia
.... ?" Renungan Dipa kandas pula akan kenyataan yang dilihatnya
tengah berlangsung di lembah sebelah bawah. Walaupun
mempunyai perasaan kasihan, mengenal rasa perikemanusiaan, meneguk ajaran2 luhur dari weda dan pitaka,
namun nyatanya manusia2 itu masih tetap bunuh membunuh
dengan sesama manusia. Pikiran Dipa pantang berhenti merenung sebelum
menemukan jawaban. Tiba2 ia teringat akan keterangan kakek
juru jalir bahwa raja Majapahit murka kepada buyut Mandana
yang dianggapnya hendak memberontak maka diserangnyalah
Mandana sebagai hukuman "Ah, mungkin begitulah" akhirnya
ia mulai meraba-raba "untuk mengatur negara, diadakan
undang2 dan hukuman. Siapa bersalah tentu dihukum.
Memberontak adalah menentang kekuasaan raja, maka harus
ditindas. Karena rakyat Mandana melawan lalu terjadi
pertempuran yang mengalirkan darah....."
Adakah demikian jawabannya, Dipa masih belum yakin
sepenuhnya. Ia masih tetap ngeri melihat pembunuhan besarbesaran yang berlangsung dilembah. Darah mengalir memerah
bumi, tubuh2 manusia bergelimpangan malang melintang,
rintih erang menyayat nyayat hati....
"Tiadakah lain jalan yang dapat ditempuh, kecuali harus
berperang?" masih berselam-selam pikiran Dipa dalam lautan
keraguan "adakah undang2 menghalalkan orang berperang"
Adakah kitab2 weda dan pitaka itu membenarkan orang saling
bunuh membunuh dalam peperangan . . . . ?"
Benak Drpa serasa padat dengan pertanyaan2. Apa yang
dihadapi saat itu, benar2 merupakan sebuah masalah baru.
Betapapun keinginannya untuk memperoleh pengetahuan
dalam masalah itu, namun karena umurnya yang masih muda,
pengetahuannya yang sempit dan pengalamannya yang amat
terbatas, menyebabkan keinginannya tetap terkatung-katung
dalam kekecewaan. Ia tak mavi melihat pertempuran itu lebih lama. Cepat ia
menyurut mundur lalu menjurus kelain arah. Dibawanya pula
renungan masalah yang belum terpecahkan itu menyertai
ayun kakinya. Setiap peristiwa tentu menimbulkan suatu masalah
persoalan. Setiap persoalan melahirkan pemikiran dan setiap
pemikiran tentu menuntut pemecahan. Demikian peristiwa
pertempuran dilembah gunung itu menimbulkan suatu
masalah baru dalam bathin Dipa. Ia pantang berhenti sebelum
memperoleh pemecahan. Demikian watak Dipa yang keras
hati dan keras kemauan. Walaupun saat itu belum berhasil,
namun dalam hati diam2 ia berjanji hendak menyelidiki hal itu
kepada orang yang pandai. Dan merekahlah sebuah cita2
dalam ladang hatinya. Bahwa kelak dikemudian hari, ia pasti
akan mempelajari hukum undang2 negara.
Perhatiannya mulai bersemi, hatinya mulai tertarik. Ia
melihat suatu dunia baru. Dunia yang tidak sesempit
pandangannya, tetapi dunia yang luas dan belum pernah
dikenalnya. Ia merasa seperti seekor katak yang lepas dan
tempurung. Dan iapun merasa bahwa langkahnya ke pura
Majapahit itu akan menjenjang sebuah dunia baru ....
Dua hari kemudian ketika sedang melintas sebuah hutan,
tiba2 ia terkejut melihat dua orang lelaki menyeret-nyeret
seorang wanita. Kedua lelaki itu bertubuh tegap, menyandang
senjata. Dandanannya menyerupai prajurit yang dilihatnya
bertempur di lembah gunung dua hari yang lalu. Dipa takkan
menghiraukan mereka apabila tidak melihat apa yang
dilakukan kedua prajurit itu.
Wanita yang kedua tangannya dicengkeram oleh kedua
prajurit itu, seperti menjerit-jerit dan merintih-rintih. Bajunya
koyak2, demikianpun kainnya. Wanita itu masih muda dan
cantik. Ia meronta-ronta hendak melepaskan diri tetapi tak
berhasil. "Kurang ajar, engkau berani mencakar perutku!" seru salah
seorang prajurit yang tak mengenakan kain' kepala, seraya
mencengkeram bahu wanita itu kencang2.
"Aduh ..." kembali prajurit itu memekik kesakitan "setan,
engkau berani menggigit jariku!" cepat ia mencengkeram
rambut wanita itu lalu direbahkan kebelakang.
Sementara kawannya, prajurit yang memakai kain kepala
diirik, membelalakkan mata "Ya, benar, Suta, tengadahkan
kepalanya, sementara akan kutarik bajunya"
"Bret . . ." sekali menarik, robeklah baju wanita itu sehingga
punggung dan dadanya hampir terbuka seluruhnya.
"Hah" prajurit berkain.kepala lurik itu membelalak "halus
benar kulit punggungnya ... uh . . ." ia mendesuh dan
matanya makin merentang lebar-lebar "masih seperti buah
jambu yang ranum, Suta ...."
"Apanya?" sambut prajurit Suta. Karena tengah
menengadahkan kepala wanita, sedang tubuh wanita itu
menjulai kemuka, maka ia tak dapat melihat tubuh wanita itu
dengan jelas. "Buah dadanya ..." sahut prajurit itu.
"O, itu." desus Suta lalu mendesuh kejut pula "bukan
jambu, kakang Arga tetapi pepaya ranum ..."
"Hah!" Arga membelalak "setan, jangan engkau merabarabanya, Suta. Ingat, aku dulu yang akan menikmati!"
"Puouk dicinta ulam tiba" seru Suta tak menghiraukan
peringatan kawannya. "Apa maksudmu?"
"Yang kita cari asal wanitanya masih muda saja. Tetapi
yang ini bukan saja muda, tetapi pun cantik dan masih
perawan ...." "Mengapa engkau tahu?" tanya Arga.
"Tubuhnya masih singset dan semuanya masih serba
ranum....." Terdengar kerongkongan Arga berkerucukan menelan air
liurnya "Hm, sudah sebulan aku tak pulang rumah....."
"Hah?" Suta mendesah kejut "celaka, engkau tentu seperti
singa kelaparan. Kakang Arga, sebaiknya wanita ini untukku
saja dan engkau kucarikan wanita lain yang sudah pernah
bersuami" "Mengapa?" "Ah, kasihan dia. Ergkau bertubuh kuat dan kelaparan, dia
tentu sudah lunglai apabila jatuh pada giliranku" kata Suta.
"Hm" Arga mendengus. Wajahnya makin membara "lain2
hal aku dapat mengagah kepadamu. Tetapi untuk yang ini,
aku tak mau mengalah!"
Habis berkata Arga terus memeluk tubuh wanita itu lalu
diangkatnya. Karena sejak tadi diseret dan dicengkeram oleh
kedua prajurit bertenaga kuat, wanita-pun itu tampaknya
kehabisan tenaga. Tetapi pada saat Arga melangkah setindak, se-konyong2
dari dalam hutan muncul seorang anak lelaki yang lari
berloncatan dan berteriak "Hai, jangan mengangggu wanita itu
. . . . !" Itulah Dipa. Rupanya ia sudah tak kuasa menahan hatinya
melihat perbuatan tak senonoh dari kedua prajurit itu. Ia
nekad keluar. Suta berpaling dan Argapun berhenti. Keduanya terbeliak
melihat seorang anak lelaki tiba dihadapan mereka "Eh, mau
apa engkau " Enyahlah" seru Suta seraya maju menghampiri
Dipa. "Suta, hajarlah anak itu. Aku akan masuk ke da* lam
gerumbul semak sana" kata Arga seraya lanjutkan langkahnya
yang terhalang tadi. "Berhenti.....!" teriak Dipa kepada Arga. Ia hendak maju
menghampiri tetapi Suta cepat menyongsongnya dengan
sebuah tamparan "Setan, engkau berani mengganggu
kesenangan kami!" Walaupun perhatiannya tertumpah pada Arga, na" mun
Dipa tak pernah lengah akan ancaman Suta. Dengan sebuah
gerak yang pernah diajarkan oleh brahmana Anuraga dahulu,
ia menghindar ke samping.
"Ho, engkau berani kepadaku!" Suta makin marah karena
tamparannya luput. Ia melompat menerkam anak itu.
Dipa menyelinap kesamping lagi lalu memburu Arga. Arga
terpaksa berhenti. Cepat ia berpaling seraya ayunkan kaki
menendang anak itu. Tetapi Dipapun cepat menyurut mundur.
"Hai, setan kecil, kupecah kepalamu!" tiba2 Suta loncat pula
dengan sebuah gerak menerkam.
Serangan Suta itu terpaksa harus diperhatikan. Dipapun
loncat ke samping. Dan karenanya, Argapun mempunyai
kesempatan untuk melanjutkan langkah lagi
"Hai, lepaskan wanita itu !" Dipa tetap tak mau lepaskan
prajurit itu membawa si wanita ke dalam semak pohon.
Diburunya lagi prajurit itu.
Arga geram dan kesal hatinya. Sambil berputar tubuh dan
menendang, ia mendamprat Suta "Suta, mengapa engkau tak
mampu menghajar anak kecil saja?"
Merah muka Suta, serunya "Pergilah engkau, kakang.
Serahkan setan kecil ini kepadaku.....!" dengan sebuah gerak
terjangan, kedua tangannya serempak menghantam Dipa.
Dipa terpaksa loncat menyingkir. Kemudian ia melompat
pula untuk mengejar A rga yang tengah lari kedalam semak. Ia
tak mau berjalan melainkan berlari agar terhindar dari
gangguan Dipa. Iapun percaya Suta tentu dapat menghantam
remuk anak itu. Maka kali ini ia tak mau menghiraukan Dipa
yang mengejarnya dari belakang.
Dipa pun nekad, betapapun akibatnya, ia harus
menyelamatkan wanita itu dari tangan kedua prajurit itu.
Dengan gunakan gerak langkah ajaran Anuraga, ia
menghindar lalu menyelinap dan terus loncat mengejar. Masih
kurang tiga langkah dari tempat Arga, Dipa kerahkan tenaga
dan loncat menubruk pinggang prajurit itu. Ia berhasil
mencengkeram kain sarung Arga. Dan prajurit itu tak berdaya
menghalaunya karena kedua, tangannya tengah memondong
tubuh si wanita.... Sekonyong-konyong Sutapun loncat menghantam punggung Dipa. Kali ini gerakannya memang amat cepat
sekali. Sebelum Dipa sempat merancang langkah punggungnyapun sudah terhunjam tinju Suta, duk.!!
Braattt.....Dipa jatuh. Tetapi karena ia masih mencengkeram kain A rga sekuatnya, kain prajurit itupun robek
dan masih tergenggam di tangan Dipa ketika anak itu
terguling guling di tanah.
"Huh ...." Arga memekik kejut karena celananya melorot ke
bawah. Terpaksa ia letakkan tubuh wanita itu ke tanah.
Setelah memperbaiki celana, ia berputar tubuh, mencabut
kapak trisula dan terus loncat membelah tubuh Dipa.
Dipa tak sempat bergerak. Hantaman Suta tadi membuat
kepalanya pening, mata berbinar-binar.....
0oo-dw-oo0 MANGGALA MAJAPAHIT Gajah Kencana Oleh : S. Djatilaksana (SD. Liong)
Sumber DJVU : Koleksi Ismoyo
http://cersilindonesia.wordpress.com/
Convert, Edit & Ebook : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://kang-zusi.info http://cerita-silat.co.cc/


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jilid 10 I "HAI.... dimanakah aku!" teriak Dipa sesaat membuka mata
daa mendapatkan dirinya terbaring dalam sebuah ruang
karang macam guha. Tetapi tiada penyahutan dan ia cepat beranjak bangun.
Setelah mengelilingkan pandang mata, makin tandas kesannya
bahwa tempat itu memang sebuah guha karang. Ia heran dan
meremm, menyelami lubuk ingatannya. Jelai semalam ia
berkelahi dengan dua orang prajurit yang hendak berbuat tak
senonoh terhadap seorang wanita. Tetapi mengapa taat itu ia
berada dalam sebuah guha" Kemanakah gerangan kedua
prajurit dan wanita itu....."
Ia berbangkit dan terus melangkah ke mulut guha. Ah,
hampir terbelalak matanya melihat pemandangan di luar.
Empat penjuru tanah yang luas itu penuh berhias gunduk
tanah kuburan. Semacam rimba kecil dari pohon2 semboja
yang tengah berbunga manja.
Ia tertegun. Pada lain kilas, cepat benaknya terhuni oleh
suatu rangkaian pemikiran. Ya, tak mungkin ia dapat berada
dalam guha di situ apabila tiada dibawa orang. Dan
penolongnya itu tentulah yang menyelamatkan jiwanya dari
penganiayaan kedua prajurit ganas itu ..,..
Sejak mendapat pertolongan brahmana Anuraga, kemudian
kakek demang Suryanata, Dipa sudah memiliki kesadaran
bahwa ia harus menghaturkan sembah terima kasih kepada
orang yang menolongnya. Meninggalkan guha sebelum
bertemu dengan orang yang menolongnya itu, bukan laku
orang yang mengenal budi.
Niatnya untuk melangkah ke luar guha, dibatalkan. Ia
kembali masuk ke dalam guha, menunggu orang yang
menolongnya itu. Untuk melewatkan waktu maka ia duduk bersila,
menjalankan ilmu pernapasan dan memusatkan pikirenmemandang ke arah batang hidung. Baru mulai hendak
menarik napas, tiba2 telinganya menangkap suatu suara orang
menghela napas pelahan. Dipa terkejut dan bubarkan pemusatan pikirannya,
memandang ke sekeliling sudut. Dan secepat itu pula hampir
ia beranjak dari tempat duduk karena dirangsang kejut. Jelas
dilihatnya pada ujurg sudut guha terdapat seorang kakek tua
yang sedang duduk bersemedhi.
Seorang kakek yang berkepala gundul. Kumis dan
janggutnya sudah putih, menjulai bertebaran menutup
belahan kedua bibirnya. Matanya terkatup, kaki ber-teliku sila,
tangan memancang dalam sikap mudra.
Dipa benar2 heran sekali. Ia malu dalam hati sendiri
mengapa sejak tadi ia tak dapat melihat kakek itu. Tetapi
diam2 iapun bersyukur bahwa ia tak jadi tinggalkan guha itu.
Timbul segera keinginannya untuk bersambung cakap
dengan kakek itu. Namun ia menyadari bahwa kakek itu
sedang bersemedhi. Mengganggu orang yang tengah
bersemedhi, tidak sopan dan berdosa.
Akhirnya setelah beberapa lama kakek itu belum juga
membuka mata, terpaksa Dipa memberanikan diri mengucap
sapa "Kakek .... maafkan aku ...."
Kakek itu tiba2 tertawa parau "Engkau tak bersalah, tak
perlu minta maaf ...."
Makin besar nyali keberanian Dipa setelah mendengar
ucapan si kakek yang bernada ramah itu, serunya "Kakek
tentu yang menolong aku ...."
"Karena aku kasihan padamu"
"Lalu ke manakah kedua prajurit dan wanita itu ?" tanya
Dipa pula. "Kedua prajurit itu lari. Mungkin karena malu tak dapat
menahas batang lidiku ini" kata kakek tak dikenal itu seraya
menunjuk sebatang lidi yang tertancap di sampingnya.
"O . . . ." Dipa mendengus kejut bercampur heran.
Diselinapkan pandang matanya ke arah benda yang dimaksud
kakek itu. Memang benar. Hanya sebatang lidi yang
terpancang di tanah dekat tempat duduk kakek itu. Timbul
seketika keheranan Dipa. Sebatang lidi dari pelapah daun
kelapa biasa. Tetapi dapat tertancap dalam tanah dari batu
padas. Namun timbul pula setitik keraguan hatinya. Masakan
kapak trisula si prajurit yang terbuat dari baja tajam tak
mampu memapas kutung lidi itu.
Sekalipun tak bertanya namun agaknya kakek itu dapat
membaca kerut wajah Dipa "Memang sukar memaksa
kepercayaan sebelum membuktikan sendiri. Kemarilah
engkau...." Entah bagaimana, perintah kakek itu memiliki daya wibawa
yang memaksa Dipa menurut. Ia maju ke hadapan kakek itu
"Lidi ini memang bukan sembarang lidi. Lidi ini disebut 'Sodo
lanang', pusaka dari Empu Barada. Cobalah engkau cabut lidi
yang tertancap di tanah itu! Apabila mampu, engkau memang
berjodoh dengan lidi itu dan ambilah pusaka itu"
Timbul semangat Dipa. Matanyapun tampak berminyak. Ia
merasa bahwa sejak kecil telah memiliki tenaga besar. Karena
bertenaga besar itu maka orang memberinya gelar nama si
Gajah. Dan teringatlah ia, pada waktu beberapa tahun yang
lalu pernah mengangkat patung dewa Ganesya yang berat. Ia
mempunyai kepercayaan akan dapat mencabut lidi yang
tertancap itu. Sekalipun begitu, ia tak mau bersombong kata
dan dengan penuh kerendahan hati ia berkcta "Akan
kucobanya, mudah-mudahan berhasil ...."
Dengan kerahkan tenaga, mulai Dipa mencekal batang lidi
itu dengan sebelah tangan lalu disentaknya sekuat tenaga. Ah
.... ia kemalu maluan sendiri. Batang lidi itu sedikitpun tak
bergerak. Kakek tak dikenal itu tertawa "Pakailah kedua tanganmu"
Dipa menurut. Kini ia mencekal lidi dengan kedua
tangannya dan setelah kerahkan seluruh tenaga, mulai ia
menarik sekuat-kuatnya "Uh . . . uh . . . uh ... ." Sampai dua
tiga kali ia berusaha untuk menarik, namun tak berhasil.
Mukanya merah padam. Kakek itu tertawa ringan "Tak petlu engkau malu. Karena
kedua prajurit itupun tak mampu juga mencabut lidi yang
kutancapkan ke tanah. Karena kalah janji, akhirnya mereka
angkat kaki dan tak mei g-ganggu wanita itu lagi"
"O . . . ." dengus Dipa "jadi kedua prajurit itu sudah pergi"
Lalu ke manakah wanita itu?"
"Wanita itupun pulang ke desanya"
"Apakah kedua prajurit itu dapat dipercaya takkan mengejar
wanita itu lagi?" Dipa nyatakan keraguannya.
"Mungkin tidak dan mudah mudahan tidak" sahut si kakek
"karena dua kali ia menderita peristiwa yang mengejutkan.
Pertama, ketika mereka menabas dengan senjatanya, kusabat
dengan lidi itu dan rompang-lah senjata mereka. Lalu kusuruh
mencabut lidi yang kutancapkan pada tanah dan merekapun
tak mampu. Akhirnya mereka meminta ampun dan pergi"
"Kakek tak menghajar mereka?" tanya Dipa.
Kakek itu tersenyum "Mereka belum melakukan perbuatan
yang patut dihukum. Gagal hendak membunuhmu dan gagal
pula hendak memaksa wanita itu. Kemudian merekapun sudah
menyadari kesalahan-nya. Kesadaran ini lebih penting dari
hukum. Kesadaran akan mengembalikan pikiran mereka ke
jalan yang benar. Tetapi hukuman hanya akan menimbulkan
dendam kebencian mereka. Dan memang harus dimaklumi
bahwa suasana itu sering merobah pikiran orang.
Lebih2 suasana perang. Nafsu bersimaharaja, kebebasan
tanpa terkendali, hukum tak dianggap. Mereka menganggap
bahwa kemenangan adalah suatu kesempatan untuk
memanjakan nafsu. Suatu kebanggaan yang menuntut
kesenangan dan kenikmatan. Tetapi itu keliru ....."
Kakek itu pejamkan mata dan menghela napas kecil "Tetapi
kemenangan itu menimbulkan bermacam akibat. Kemenangan
akan menimbulkan kebencian, yang kalah tinggal dalam
kesedihan. Dan kesedihan itu akan menimbulkan kebencian.
Pada hal tiada penyakit yang menyamai kebencian....."
Dipa terpukau dalam pengertian semu. la mendengar jelas
apa yang diucapkan si kakek. Tetapi tak mengerti makna yang
tersimpul dalam kata-katanya itu. Siapa yang menang, siapa
yang kalah dan siapa pula yang bermanjakan kesenangan
serta siapa yang berundung dalam nestapa kebencian itu"
Ia pernah mendengar dari kakek juru jalir tentang
peperangan yang akan terjadi antara pasukan kerajaan
Majapahit dengan orang Mandana. Ia duga peperangan itu
tentu dimenangkan oleh pasukan kerajaan dan kedua prajurit
Majapahit itu berpesta pora dalam pemanjaan nafsunya
kepada kaum wanita dari tanah Mandana yang kalah. Untuk
meyakinkan dugaannya, ia bertanya "Kakek, apakah
peperangan antara Majapahit dan tanah Mandana sudah
selesai" Apakah pasukan kerajaan yang menang?"
"Benar" kakek itu mengiakan "secara lahiri-yah, kerajaan
Majapahit telah dapat mengalahkan rakyat Mandana yang
dituduh hendak memberontak. Tetapi kusangsi, apakah
keharcuran bumi Mandana dan gugurnya beribu rakyat
Madana itu berarti tunduknya daerah Mandana kepada
kerajaan Majapahit?"
"Setiap orang yang kalah tentu tunduk pada yang menang.
Setiap daerah yang kalah pun tentu harus taat pada yang
mengalahkan" Dipa menyanggah.
Kakek itu tertawa "Telah kukatakan, menang secara
lahiriyah, benar demikian. Tetapi kemenangan yang
cemerlang, bukankah sekedar kemenangan atas kekuatan
dan kekerasan. Melainkan kemenangan yang tulus lahir
bathin, paserah dan murni. Itulah yang paling indah ...."
Dipa makin terlongong. Tak mengerti ia apa yang disebut
kemenangan seperti yang diucapkan kakek itu. Ia masih
terlampau kecil untuk menerima pelajaian yang berat.
"Aku tak mengerti, kakek" katanya terus terang.
"Ha, ha" kakek itu tertawa "tidak mudah untuk mengerti itu.
Ada tiga lapis tingkat pengertian itu. Pertama, mencari
pengertian. Kedua tahu pengertian itu dan ketiga mengerti
pengertian itu" Melihat Dipa terlongong, kakek itu cepat menyadari bahwa
ia terlalu menyusup jauh kedalam alam kesadaran pikiran anak
itu. Dan hal itu tiada gunanya. Karena belum tiba masanya
anak sekecil itu mengungkap sesuatu yang belum dicapainya.
"Begini, nak" akhirnya ia merobah cara memberi
penerangan "menaklukkan seseorang, bukan hanya menaklukkan jasmani dan daya kekuatannya saja, tetapipun
harus menaklukkan bathirmya. Dan penaklukan bathin itu
bukan dengan kekerasan melainkan dengan hathin juga yang
diwujudi an dengen sikap, perbuatan dan ucapan2 yang
dLertai contoh kenyataan. Misalnya begini. Seorang anak kecil
tak mungkin akan menurut sungguh2 apabila kita larang dia
jangan bermain api. Ia tentu tak percaya. Tetapi setelah kita
tunjukkan dengan perbuatan yang nyata bahwa api itu dapat
membakar kulit sehingga dapat menimbulkan luka yang sakit,
barulah ia mau menurut lahir baihin. . ."
Kakek itu berhenti sejenak, lalu "Demikianpun dengan
peristiwa rakyat Mandana. Memang pasukan Majapahit dapat
mengalahkan mereka, tetapi adakah mereka benar2 tunduk
dalam hati " Kurasa tidak. Mengapa" Karena mereka masih
merasa bahwa mereka difihak yang benar. Dan selama
perasaan benar itu masih bersemayam dalam hati sanulari
rakyat Mandana, tak mungkin mereka akan jatuh dan setya
kepada kerajaan Majapahit!"
"Lalu dengan cara bagaimana kerajaan dapat menaklukkan
rakyat Mandana itu ?" tanya Dipa.
"Sandaran dari perjuangan rakyat Mandana adalah rasa
Kebenaran. Untuk membobolkan sandaran itu, tiada lain
senjata ampuh kecuali dengan senjata Kebenaran juga ...."
"Tetapi kakek" Dipa membantah "apakah hal itu tak sukar "
Karena rakyat Mandana mempunyai perasaan benar dan
kerajaan Majapahitpun memiliki perasaan benar. Masing2
mempunyai pandangan sendiri akan rasa Kebenaran itu ?"
"Bagus, nak. pertanyaanmu itu" si kakek berseru sambil
memuji "setiap orang tentu merasa mempunyai Kebenaran.
Tetapi kebenaran yang mereka anggap benar itu, sebenarnya
hanya Kebenaran semu. Kebenaran yang berlambar alasan
dan kepentingan. Tetapi Kebenaran sejati itu hanya satu. Dan
tempatnya bukan di mana-mana melainkan dalam diri
peribadinya sendiri. Mereka yang melihat kejahatan sebagai
kejahatan dan melihat apa yang bukan kejahatan sebagai
bukan kejahatan, maka dia telah menemukan jalan yang
benar. Untuk mencari pengertian itu, lalu tahu akan
pengertian itu dan kemudian mengerti akan pengertian itu,
harus berlandas pada penaklukan diri peribadi. Atau mawas
diri. Orang yang dapat menaklukkan diri peribadi, jauh lebih
terpuji dari yang dapat menaklukkan seribu musuh. Karena
yang barangsiapa dapat menaklukkan diri peribadi, dia
sesungguhnya seorang penakluk terbesar di antara segala
penakluk ...." Tiba2 kakek itu hentikan ucapannya pula. Untuk yang
kedua kalinya ia menyadari bahwa ucapannya itu terlalu
mengawang tinggi laksana pancaran bintang di angkasa. Ia
menyadari bahwa yang menjadi lawan bicaranya itu adalah
seorang anak. "Jelasnya begini, nak" katanya kemudian "kalau kerajaan
Majapahit ingin menaklukkan hati rakyat Mandana, kerajaan
harus berusaha keras untuk membangun dan membimbing
rakyat dan tanah Mandana ke arah kemakmuran dan
kesejahteraan" Dipa mengangguk-angguk. Dalam lubuk sanubarinya yang
masih banyak ruang kekosongannya, tambah pula dengan
untaian petuah dan petunjuk yang berharga.
"Maaf, kakek" tiba2 ia berkata "walaupun sudah beberapa
lama kita bercakap-cakap, tetapi sesungguhnya aku belum
tahu siapakah sebenarnya diri kakek ini. Dan mengapa kakek
menolong diriku?" "Mengapa engkau ingin tahu namaku?" kakek itu balas
bertanya. "Agar dapat kukenang nama kakek"
"Dan?" "Apabila aku mendapat kesempatan, kelak tentu akan


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kubalas budi kebaikan kakek"
Kakek gundul, beralis dan janggut putih itu tertawa ringan
"Demikianlah manusia. Budi, dendam. Dendam, budi. Balas
budi, balas dendam. Suatu lingkaran hidup yang tiada ujung
pangkal. Suatu rantai yang membelenggu hati manusia. Suatu
kesudahan yang tiada berkesudahan. Pada hal kesemuanya itu
sebenarnya sudah teratur dalam purwa-karma manusia ...."
tiba2 kakek gundul itu hentikan kata-katanya. Kembali ia
teringat siapa kawan bicaranya itu.
"Anak, apabila kehendakmu untuk mengetahui namaku itu
karena hendak membalas budi, aku tak mau memberitahu.
Tetapi kalau engkau bertanya karena ingin berkenalan, akan
kuberitahu" katanya.
Dipa terlongong pula. Ia merasa heran dengan kakek juru
jalir. Tetapi ia lebih heran pula berhadapan dengan kakek
dalam guha ini. Sama sekali ia tak mengerti arti daripada
ucapan-ucapannya yarg aneh. Akhirnya ia manjawab "Ya, aku
ingin tahu nama kakek saja"
"Tanpa mempunyai keinginan apa2?"
"Tanpa" "Bagus, nak. Engkau seorang anak yang cerdas. Camkanlah
segala apa yang kukatakan kepadamu saat ini. Walaupun saat
ini engkau belum mengetti, tetapi kelak, kupercaya engkau
tentu dapat menghayati dan menjadi pegangan dharma
hidupmu kelak" "Aku seorang pendeta. Namaku Padapaduka. Tempatku
jauh diatas angin. Aku berkelana kenegara Majapahit karena
kudengar patung Aksobya dicandi Kagenengan telah hilang
secara tak diketahui. Pada waktu kukunjungi candi itu,
memang benar patung Aksobya telah hilang....." ia berhenti
sejenak untuk mengenangkan peristiwa itu.
"Ketika aku melangkah kedalam candi, penjaga candi itu
heran mengapa aku seorang pendeta Budha masuk kedalam
sebuah candi Syiwa-Budha dan dengan khidmat aku
menyembah kearah tempat patung pemujaan. Penjaga candi
itu menegur heran "Bagaimana mungkin tuan seoang pendeta
Budha menyembah arca Syiwa?"
"Nak, tahukah engkau perbedaan antara agama Syiwa
dengan Budha?" tiba2 kakek gundul itu bertanya kepada Dipa.
Memanah Burung Rajawali 34 Hancurnya Sian Thian San Seri Pengelana Tangan Sakti Seri Ke Iv Karya Lovelydear Pendekar Asmara Tangan Iblis 1

Cari Blog Ini