01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 15
Panangkar yang kesatu itu segera menghampiri kehadapan
lawannya. Beberapa jenak ia memandang lawannya itu.
Pandang matanya menjelajah sekujur tubuh orang, mencari
cari bagian yang terlemah. Andaikata ia dapat mengetahui
bahwa saat itu Empu Panangkar lawannya itu sudah bukan
Empu Panangkar beberapa saat yang lalu, tentulah ia akan
melonjak kegirangan. Tetapi karena hatinya sudah di kabut
rasa cemas melihat lawan tak rubuh maka Empu Panangkar
yang membawa gada itu, kurang cermat. Perhatiannya hanya
tercurah untuk mencari tempat yang lemah pada tubuh lawan.
Tempat lemah itulah yang akan di hantamnya dengan gada
untuk menghabisi nyawa orang.
"Tiga... ." tiba2 ia berseru dan ayunkan gada. Duk... . gada
melayang menimpah ke bahu lawan. Dan tampak lawan
menggeliat-geliat, terkapar-kapar rubuh. Setelah meregangregang bagai ikan lele terlempar di daratan, Empu Panangkar
yang kedua pun melenting bangun lalu berdiri.
"Hai, tidak mungkin! .... Engkau bukan manusia" teriak
Empu Panangkar yang menggenggam Gada. Intan. Wajahnya
ketakutan seperti melihat hantu, "Engkau seharusnya mati."
Empu Panangkar kedua tersenyum rawan, "Aku tak mati
dan tak mau mati sebelum menghancurkan engkau. Berikan
Gada Intan itu kepadaku dan lekas bersiap menerima tiga kali
hantaman gada itu." Empu Panangkar yang membawa gada, termangu-mangu.
Ia benar2 tak percaya bahwa lawan tetap hidup dan kuat
menerima tiga kali pukulan Gada Intan.
"Hai, engkau dengar tidak!" seru Empu Panangkar yang
kedua "berikan gada itu kepadaku, lekas!"
"Tidak," tiba2 Empu Panangkar yang membawa gada
menolak. "Hm, setan keparat," gunam Empu Panangkar yang kedua
dengan marah "engkau hendak ingkar janji."
Karena dirangsang oleh kemarahan sampai lupalah empu
tua itu bahwa saat itu ia sudah kehilangan daya kekuatan
tenaga-inti. Untunglah keadaan dirinya itu tak diketahui lawan.
"Sama sekali tidak" seru Empu Panangkar yang memegang
gada itu "karena aku sudah. menyerah kalah."
"Hm, engkau harus enyah!"
Empu Panangkar yang memegang gada tertawa, "Jangan
diburu nafsu dahulu, kakek tua. Masih ada sebuah acara adu
kesaktian lagi yang belum kita lakukan. Jika dalam
pertandingan kedua ini aku tetap kalah, aku rela menerima
perintahmu." Empu Panangkar yang menderita luka itu termangu.
Sebelum menderita pukulan Gada Intan, ia memang sanggup
untuk mengimbangi kesaktian lawan. Dengan ilmu Meraga
sukma, ia mampu masuk kedalam kendi Empu Barada. Tetapi
kini jelas tak mungkin lagi baginya.
Namun dia pantang menyerah. Apapun yang akan terjadi
tetap akan dihadapinya dengan hati besar. Pun perhitungannya andai ia kalah dalam pertandingan kedua itu,
tetap keadaan masih berimbang. Karena dalam pertandingan
pertama, ia menang. "Hm, sekarang juga kita lakukan pertandingan itu," serunya
garang untuk menutupi kecemasan hatinya.
Empu Panangkar yang memegang gada, menyelipkan
pusaka itu pada pinggangnya. Kemudian mengambil kendi
Empu Barala dan diletakkan di tengah gelanggang. "Hai, anak
laki2, pertandingan kedua yang akan berlangsung yalah masuk
kedalam kendi. Engkau harus memperhatikan dan
mengatakan yang benar, siapakah diantara kami berdua yang
sanggup melakukan hal itu."
Dipa mengangguk. "Nah, silahkan engkau yang masuk lebih dulu," berkata
Empu Panangkar yang membawa gada itu pula.
"Engkau dulu," sahut Empu Panangkar yang seorang
"mengapa harus aku dulu?"
"Ho, karena tadi aku yang dapat giliran untuk
menggunakan gada pusaka ini maka sekarang kuberikan
kebebasan padamu untuk masuk ke dalam kendi itu lebih
dulu." "Wah, engkau pandai mengulas madu pada bibirmu yang
beracun itu. Tadi aku sudah menderita harus menerima
pukulan sekarang pun harus yang masuk ke dalam kendi lebih
dulu " "Ho, rupanya engkau takut, bukan" 0, mungkin saja engkau
tak mampu melakukan hal itu," seru Empu Panangkar yang
membawa gada. Tetapi rupanya kali ini Empu Panangkar yang terluka itu tak
mau terperangkap dalam siasat membakar kemarahan yang
dilakukan lawan. Tenang2 ia menyahut "Kalau aku takut atau
tak mampu, tentu takkan kuterima tantanganmu ini. Tetapi
aku hanya menuntut Keadilan padamu. Bukankah engkau
seorang pendekar yang mengagungkan Keadilan?"
"Menurut Keadilan yang kupertimbangkan, engkaulah yang
seharusnya melakukan hal itu lebih dulu."
"Ho, rupanya engkau takut, bukan" 0, mungkin saja engkau
tak mampu melakukan hal itu." Empu Panangkar yang
menderita luka itu menirukan kata2 lawannya. Bahkan untuk
membakar hati orang, ia menyusuli kata2 pula "baiklah, kalau
engkau takut atau memang tak mampu, pertandingan ini
dihapus saja dan engkau harus enyah dari sini. Jangan berani
lagi menimbulkan kekacauan!"
Entah bagaimana Empu Panangkar yang membawa gada itu
tiba2 terangsang kemarahannya. Ia yang semula menggunakan siasat untuk membakar hati orang, ternyata
mudah terbakar sendiri ketika diejek oleh lawan.
"Hai, anak laki2," serunya kepada Dipa "saksikanlah Empu
Panangkar yang aseli ini akan unjuk kesaktian. Camkanlah,
hanya seorang sakti macam Empu Panangkar yang mampu
masuk ke dalam kendi sekecil itu. Bahkan mulut kendi itu
masih terlalu besar bagiku karena lubang semutpun dapat
kumasuki, ha, ha, ha ....."
Sejenak ia menghamburkan gelak tawa kebanggaan dan
kecongkakan. Berhenti tertawa tiba2 ia mencabut Gada Intan
lalu menghampiri ke tempat Dipa "Anak laki2, titip engkau
jaga gada ini, aku hendak masuk ke dalam kendi itu. Tetapi
ingat jangan sekali-kali engkau berikan kepada kakek tua yang
mengaku sebagai Empu Panangkar itu, mengerti" "
Dipa hanya mengangguk tak menyahut. Ia menyambut
pusaka itu. "Hai, Panangkar palsu,
lihatlah Panangkar yang aseli
ini akan unjuk kesaktian yang tiada taranya," seru
Empu Panangkar yang menitipkan gada. Ia menutup kata-katanya dengan sebuah pekik yang menyerupai suara kuda meringkik tetapi jauh lebih
dahsyat lagi. Sekonyongkonyong
mulutnya menghembus gumpalan asap putih yang membungkus tubuhnya. Dan pada lain kejab, asap itu pun
makin lama makin menipis.
Asap hilang, orangnyapun lenyap. Segulung asap kecil segera
melayang kemulut kendi dan terus menyusup masuk "..
Empu Panangkar yang menderita luka terkejut kesima.
Cepat ia segera membayangkan kekalahannya karena
menyadari bahwa tak mungkin ia dapat melakukan hal serupa
itu. Selagi kakek tua itu tengah termenung-menung dalam
keperihatinan, sekonyong-konyong Dipa loncat ketengah
gelanggang dan secepat kilat menutup Ujung kendi dengan
tangan kiri dan menyumbat mulut kendi di bagian atas dengan
tangan kanannya "Hayo, setan, jangan engkau dapat keluar
dari kendi," serunya.
Empu Panangkar yang tengah merenung itu terbeliak kaget.
Cepat ia menghampiri dan menegur, "Apa yang engkau
lakukan, Dipa?" "Anu, eyang... inilah jin penunggu kuburan ini."
Mendengar itu Empu Panangkar cepat menyadari. Secepat
kilat ia loncat mengambil gada dan diletakkan di atas tangan
Dipa yang melekat pada mulut kendi "Gunakan gada pusaka
ini, nak ".." Dipa pun melakukannya. "Bagaimana engkau dapat mengambil kesimpulan bahwa
yang masuk ke dalam kendi itu setan penunggu kuburan,"
tanya Empu Panangkar pula.
"Hanya bangsa setan dan lelembut yang mampu masuk ke
dalam kendi. Manusia tak mungkin, eyang" sahut Dipa.
"Engkau pintar, angger," puji Empu Panangkar, "lalu
bagaimana maksudmu?"
Belum Dipa menyahut, terdengar suara menjerit-jerit dan
merintih- rintih dari dalam kendi "Aduh, aduh... panas... .
panas sekali seperti tertindih gunung . . lepaskan aku .. .
lepaskan aku..." "Siapa engkau ini" " seru Dipa.
"Aku . aku . .. raja Baureksa . .. yang memerintah bangsa
dedemit .. . ." "Mengapa engkau di sini?"
"Aku ditugaskan oleh tenaga-sakti Empu Barada untuk
melaksanakan perintah empu itu. Menjaga bumi kerajaan
Panjalu yang telah dibelah menjadi dua, Daha dan Singosari
untuk putera2 prabu A irlangga. Lepaskan aku...."
"Tidak !" sahut Dipa "engkau harus tetap tinggal dalam
kendi ini agar jangan mengganggu ketenteraman kerajaan."
"Oh... aduh ampun... jangan engkau tindih diriku begini
berat.... katakanlah.... engkau hendak minta apa... . tentu
kuberikan... . . asal engkau lepaskan penindih diriku itu..."
"Hm, kalau engkau ke luar, negara tentu kacau lagi.. .."
"Aduh . .. . jangan, jangan lepaskan penindih itu . . ambillah
Gada Intan itu... . "
"Milik siapakah gada ini?" tanya Dipa. "Milik Empu Barada."
"Mengapa hendak engkau berikan kepadaku?" tanya Dipa
pula. "Karena". karena gada pusaka itu mempunyai tuah untuk
menindas setan dan lelembut."
"Hm, engkau hendak menipu aku?" seru Dipa. "Kalau gada
ini kuambil, engkau tentu dapat keluar dari kendi ini dan
mengacau lagi." "Tidak ". tidak, aku takkan mengacau lagi."
"Bagaimana katamu?" mungkin aku dapat "Aku berjanji . . "
"Tidak cukup! "Aku bersumpah... "
mempercayai kata- "Belum dapat dipercaya!"
"Lalu bagaimana percaya?" maksudmu supaya cngkau dapat "Aku harus memiliki suatu senjata yang dapat menguasai
engkau dan gerombolanmu," kata Dipa.
"Gada Intan itu, boleh engkau ambil. Dengan memiliki gada
pusaka itu, kami para setan, jin dan dedemit, akan tunduk di
bawah perintahmu." "Aku tak dapat tinggal di sini selamanya. Kalau aku pergi,
bukankah engkau dan kawan-kawanmu itu dapat keluar
mengacau lagi. Tidak! Aku harus memiliki sesuatu yang dapat
memenjarakan engkau dan seluruh kaummu di sini!"
Empu Panangkar terkejut heran melihat ketangkasan
pikiran anak itu. Diam2 ia memuji Dipa. Sedang raja Baureksa
diam sampai beberapa lama.
"Hai, mengapa diam saja?" teriak Dipa seraya menekan
Gada Intan lebih keras. Segera terdengar pekik rintihan dari
raja Baureksa "Aduh mati aku ". anak laki2 ". ampunilah aku
..... " "Katakan bagaimana caraku agar mendapat alat penjaga
dirimu dan kawan kawanmu itu?"
Akhirnya raja Baureksa itu menjawab "Ada suatu cara,
entah engkau sanggup melakukan atau tidak."
"Katakan !" "Sebagai ganti daripada dirimu, engkau harus mengucurkan
darahmu di kuburan itu... . darahmu merupakan alat untuk
menjaga aku dan kawan kawanku supaya tidak ke luar
mengacau... ." "Adakah omonganmu itu dapat dipereaya?"
"Aku bersumpah. Apabila aku bohong, semoga aku dan
semua setan, jin, dedemit di seluruh bumi kerajaan ini ludas
semua!" Dipa bersangsi. Ia berpaling kepada Empu Panangkar untuk
meminta nasehat. Tampak Empu itu mengangguk.
"Baik, mari kita ke kuburan." Dipa terus mengambil kendi
01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pusaka dan dibawa ke dalam kuburan, diletakkan di muka
nisan. Dengan tak ragu sedikit pun juga, Dipa menggigit ujung
jarinya. Darah segera bercucuran. Ia mengucurkan darah
jarinya itu di sekeliling kuburan sehingga merupakan sebuah
garis lingkaran merah. Setelah itu baru ia mengambil Gada
Intan dari atas mulut kendi "Raja baureksa, perintahkan
seluruh anakbuah dan para lelembut, supaya jangan keluar
dan mengacau, jika dilanggar, aku tentu akan menghancurkan
kalian dengan Gada Intan ini."
"Baik, anak laki2 " sahut Baureksa.
Dipa hendak mengajak Empu Panangkar tinggalkan makam
itu. Karena tanpa dijaga, kawanan setan dan dedemit itu tak
dapat ke luar mengacau lagi. Tetapi dilihatnya empu itu duduk
numprah di tanah, termenung-menung.
"Eyang, mari kita pergi dari tempat ini."
Empu Panangkar menghela napas dan gelengkan kepala
"Tidak, angger. Eyang akan tetap tinggal di sini untuk
menghabiskan sisa hari tua eyang."
"Tetapi eyang " kata Dipa "eyang harus kembali hidup di
masyarakat ramai dan menikmati sisa hari tua eyang."
"Aku sudah tua, Dipa. Dan Hidup bagiku sudah tiada
artinya. Aku tiada sanak tiada kadang. Isteri dan puteraku
yang kukasihi itupun sudah meninggal. Aku tak ingin hidup
lagi ?" "Eyang "!" Dipa menjerit ketika melihat empu tua itu
terkulai. Cepat ia lari menghampiri tetapi ah... . empu itu
ternyata sudah mati. Dipa menangis terisak-isak.
"Anak laki2," tiba terdengar raja Baureksa tadi berseru "ha,
ha, kalau engkau menangis, darahmu untuk menindas tenagasakti Empn Barada, akan luntur tuahnya"."
Dipa terkejut dan berhenti menangis, "Engkau setan laknat!
Engkaulah yang menipu dan mencelakai eyang Panangkar " "
Dipa menyambar Gada Intan dan mengamuk.
"Ha, ha, anak " seru raja Baureksa itu pula "aku dan para
jin setan dedemit, merupakan bangsa lelembut yang tak
mungkin mati. Sia-sialah engkau hendak menyerang aku. Dan
kuperingatkan kepadamu, hanya Gada Intan pusaka Empu
Barada itu tak boleh dibuat main2 dan dipergunakan secara
sembarangan".."
Dipa tertegun dan hentikan gerakannya.
"Setiap pusaka tentulah bertuah. Hanya manusia yang kuat
dan ditentukan takdirlah yang dapat menguasai Gada Intan
itu...." "Setan keparat, mengapa engkau
Panangkar !" teriak Dipa masih murka.
membunuh eyang "Anak laki2," sahut raja Baureksa "Empu Panangkar sudah
amat tua. Harus kembali ke alam asalnya. Baik karena
kubunuh atau dibunuh lain orang atau mati tua, pada waktu
tiba janjinya, dia tentu harus pulang ke alam kelanggengan.
Itu sudah kodrat, tak perlu engkau sesali."
"Pembunuh terkutuk !" teriak Dipa.
"Ha, ha, kematian berarti suatu pembebasan bagi Empu
Panangkar. Pembebasan dari penderitaan hidupnya...."
"Keparat, kuhancurkan engkau iblis laknat !" Dipa ayunkan
Gada Intan hendak menghantam makam.
"Anak laki2," teriak raja Baureksa "kalau engkau tak mau
mendengar kata-kataku, engkau tentu memikul akibatnya
sendiri. Engkau akan menerima kutukan Empu Barada yang
disenyawakan dalam tenaga sakti di sini... ."
"Persetan dengan tuah tenaga-sakti Empu Barada, pokok
engkau dan gerombolan itu harus hancur."
"Ho, ho, ho," raja Baureksa tertawa meloroh "sudah
kukatakan, memang Gada Intem itu kuasa menindih aku,
tetapi tak mungkin dapat membunuhku. Setan, jin dan
lelembut tak dapat mati selama di mayapada ini masih
terdapat manusia. Anak laki2, jangan engkau sombong karena
memiliki Gada Intan itu. Dan jangan mengira pula bahwa aku
takut kepadamu. Adalah karena sudah digaris oleh takdir,
maka aku harus tunduk padamu seorang anak. Bahkan selama
engkau masih hidup, aku dan para jin lelembut, akan tunduk
pada perintahmu dan tak berani mengacau manusia. Tetapi
ingatlah, hai anak manusia ..... "
Dipa terkesiap. "Manusia tak luput dari Kematian. Demikian pun engkau.
Pada suatu saat, engkau akan tumbuh besar, tua dan mati.
Dan kematianmu itu berarti suatu kebebasanku dan rakyatku.
Aku dan rakyatku tak terikat lagi oleh insan mangsakala lain,
ha, ha, ha ...." "Maksudmu, pada saat itu engkau bebas untuk bergerak
mengacau lagi?" seru Dipa.
"Benar," sahut raja Baureksa "aku dan kawan-kawan hanya
tunduk pada seseorang manusia yang mempunyai kodrat
hidup luar biasa... .."
"Setan laknat!" teriak Dipa marah "daripada kelak kemudian
hari engkau berani mengacau lagi, lebih baik sekarang juga
kutumpas saja !" Dipa terus hendak mengamuk lagi. Tetapi tiba2 terdengar
angin menderu-deru hebat sekali. Dan serentak terdengar raja
Baureksa itu memekik dahsyat "Anak laki-laki, apakah engkau
benar-benar tak mau mendengar kata kataku" Yang engkau
lihat tadi, aku sebagai perwujutan Empu Panangkar. Tetapi
adakah engkau sudah pernah melihat wajahku yang
sebenarnya" Cobalah engkau buka matamu lebar2, siapa aku
ini..." Dipa rentangkan mata memandang ke arah kuburan. Apa
yang disaksikannya, banar2 menyeramkan sekali. Sebuah
makhluk yang luar biasa menakutkan. Kedua matanya merah
seperti bara, giginya panjang runcing dan lidahnya menjulur
ke luar sampai ke leher. Rambutnya merupakan gumpal
kawanan ular yang melingkar-lingkar dan menggeliat-geliat.
Melihat itu Dipa hampir menjerit. Dan lebih hebat pula ketika
makhluk ngeri itu mengangakan mulutnya, segumpal asap
putih serentak bergulung-gulung menabur ke arah Dipa.
Ketika gulungan asap itu hampir tiba di muka Dipa, tiba2 pula
berobah menjadi ratusan ekor ular yang akan menyerang
muka Dipa. Dipa menjerit dan terjungkal jatuh ke belakang
dan ..... "Ah" seketika Dipa tersadar dari semedhinya di depan
makam. Terpaksa ia membuka mata karena terkejut. Dalam
semedhinya itu ia seperti disembur asap oleh sesosok makhluk
amat mengerikan. Asap itu tiba2 berobah menjadi ratusan
ekor ular yang hendak memagutnya.
Ia memandang ke Ruang makam itu gelap dan sunyi sekali.
Makhluk yang menyeramkan tadi pun lenyap. Empu
Panangkarpun tak berada dalam ruang makam di situ. Ia
terlongong-longong . .. .
Beberapa saat kemudian barulah ia menyadari apa yang
telah terjadi. Kiranya semua peristiwa yang disaksikan dan
dialami itu, hanya terjadi di alam bawah sadar, alam
pengembaraan sang atma ketika ia melakukan persemediannya. Setelah mendapat kembali kesadarannya,
iapun mulai menggeliat hendak berbangkit. Ah... . ternyata
persendian tulangnya terasa lentuk dan lemah sekali sehingga
ia tak kuat untuk berbangkit bangun.
Tiba2 ia teringat bahwa Empu Panangkar mengatakan kalau
menunggu di luar. Serentak ia kerahkan tenaga untuk bangun.
Tetapi ah, tetap ia tak mampu. Tenaganya serasa lenyap,
akhirnya ia paksakan diri untuk merangkak ke luar .....
Ah . .. Empu Panangkar masih duduk bersila pejamkan
mata. Empu itu tidak mati. Ya, masih hidup. Hati Dipa lega
sekali. Tetapi ketika memperhatikan wajah empu tua itu, ia
terkejut. Wajah Empu Panangkar pucat lesi .....
"Eyang ". Eyang?" Dipa percepatkan gerak rangkaknya
menghampiri sembari berseru memanggil. Ia masih belum
yakin kalau empu tua itu masih hidup.
Empu Panangkar membuka mata dan tersenyum. Dipa
terhenti. Diam2 ia terkejut melihat senyum Empu Panangkar
yang sayu rayu dan sinar matanya yang amat kuyu. Ia berseru
penuh kecemasan "Eyang .. . engkau tak kurang sesuatu,
bukan" " Empu Panangkar mengangguk "Ya," sahutnya ringkas "aku
gembira sekali karena engkau berhasil, angger..."
"Bagaimana... . eyang tahu .... ?" heran Dipa makin
menjadi-jadi. Empu Panangkar menghela napas "Kemarilah, angger.
Duduklah di dekat sisiku sini."
Dipa mulai merangkak, menghampiri ke tempat Empu
Panangkar lalu duduk di sampingnya "Eyang ..... benarkah
engkau... . masih hidup?"
"Apakah sangkamu aku sudah mati, nak ?" empu tua renta
itu balas bertanya dengan mengulum senyum.
"Benar eyang karena karena eyang telah dihantam dengan
Gada Intan oleh Baureksa raja dedemit penunggu kuburan
ini...." "Ya, benar, kutahu hal itu"."
"Eyang tahu ?" teriak Dipa makin terperanjat, "adakah
eyang tadi benar2 bertempur dengan kawanan iblis penunggu
kuburan ini ?" Empu Panangkar mengangguk, "Benar, angger."
"Jadi apa yang kurasakan tadi bukan suatu khayalan tetapi
benar2 terjadi "," makin melonjaklah keheranan Dipa.
"Bukan khayalan kosong, anakku, tetapi memang benar2
terjadi dalam khayalan sesungguhnya."
Dipa terbeliak lalu meminta penjelasan supaya empu tua itu
suka menjelaskan kepadanya.
"Dipa, kesemuanya itu memang benar terjadi," Empu
Panangkar mulai menerangkan "pada hari ketujuh engkau
bersemedhi pantang makan minum, bukankah engkau rasakan
jiwa dan pikiranmu merana?"
"Benar, eyang, kala itu aku seperti kehilangan diri, pikiranku
kosong melompong dan tak tahu apa yang terjadi selanjutnya
....." "Benar, saat itu engkau telah tenggelam dalam alam bawah
sadarmu. Engkau tak dapat membedakan lagi antara ada dan
tiada, kosong dan isi. Rohmu telah merana. Dan saat itulah
Dipa, dengan sebuah ilmu, aku segera meminjam ragamu... ."
"Meminjam ragaku?" Dipa mengulang dengan rasa kejut
sekali, "apakah ilmu itu, eyang ?"
"Ilmu itu disebut aji Meraga-sukma. Dengan ilmu itu rohku
pun meninggalkan jasadku lalu masuk ke dalam ragamu.
Meraga suksma itu memberi raga kepada suksma. Aku dapat
memberi raga pada suksmamu dalam bentuk apa saja, baik
raja manusia maupun biratang . .. ."
"Oh, itulah sebabnya maka dalam pertempuran dengan raja
Baureksa, eyang dapat bersalin rupa menjadi berbagai bentuk
binatang dan burung?"
"Ya " Empu Panangkar mengangguk "apa yang engkau
rasakan saat itu?" Dipa mengernyit dahi lalu menyahut "Aku selalu seperti
merasa bahwa aku sudah pernah melihat pada beberapa setan
penunggu kuburan itu. Akupun merasa dapat bersalin rupa
menjadi burung, harimau dan garuda, setelah itu aku tak ingat
apa2 lagi." "Benar Dipa," kata Empu Panangkar "pada saat itu aku
masuk ke dalam ragamu maka engkau seperti seolah olah
merasa. Tetapi setelah itu aku kembali masuk ke dalam
ragaku lagi sehingga engkau tak ingat apa2 lagi. Setelah
kukembalikan rohmu ke dalam ragamu, barulah engkau
merasa dan mengetahui apa yang terjadi antara aku dan raja
Baureksa yang menjelma sebagai diriku itu."
"0 " Dipa mendesuh kejut "jadi eyang benar2 menerima
hantaman gada pusaka sampai tiga kali oleh Baureksa itu ?"
"Ya... " Empu Panangkar menyahut lirih, "aku termakan tipu
setan itu." "Eyang tentu terluka" "
Empu Panangkar tak menyahut melainkan mengangguk.
Sepasang matanya memandang jauh ke muka.
Dipa tak mengerti apa yang dikandung dalam hati empu tua
itu. Ia bertanya pula, "Adakah gada itu benar2 pusaka milik
Empu Barada?" "Kurasa benar," sahut Empu Panangkar "karena aku tak
kuasa menahan keampuhannya."
Tiba2 Dipa teringat bahwa Gada Intan itu diberikan oleh
raja Baureksa kepadanya. la terbelalak kaget dan buru2
berputar tubuh melangkah masuk ke dalam makam pula. Tak
berapa lama ia muncul kembali membawa sebuah benda
pandak bundar, mirip sebuah gada "Benarkah ini yang disebut
Gada Intan itu, eyang?" tanyanya seraya mengangsurkan
gada itu. Empu Panangkar menyambuti, memeriksa sejenak lalu
mengangguk "Benar, memang dengan pusaka ini setan
Baureksa telah menghantamku sampai tiga kali ....."
"Oh... " Dipa mendesuhkan kabut keheranan "kalau hal itu
hanya terjadi dalam khayal, mengapa gada ini benar2 berada
di dalam makam tempat aku bersemedhi"," katanya seorang
diri. Beberapa saat kemudian ia merabah dahinya dan menjerit
kaget pula "hai... mengapa dahiku benar2 terluka... ."
Empu Panangkar menyahut tenang "Kesemuanya itu
memang dapat terjadi. Setan2 dan lelembut yang dikuasai
oleh tenaga-sakti Empu Barada itu dapat menimbulkan segala
apa. Tetapi kini hatiku lapang sekali. selapang hawa udara di
langit bebas. Engkau Dipa, telah berhasil menindas mereka.
Apa saja yang mereka katakan kepadamu, angger ?"
Dipa lalu menuturkan tentang pembicaraannya dengan raja
Baureksa yang sudah menyatakan menyerah dan tunduk pada
Dipa "Tetapi eyang, raja dedemit itu karena hendak kuamuk,
telah mengeluarkan kata-kata yang mengancam. Dia dan para
kawulanya setan, dedemit, hanya tunduk kepadaku selama
aku masih hidup. Tetapi setelah aku mati, mereka menyatakan
tak terikat lagi dan bebas ke luar untuk mengacau keamanan
negara. Saat itu aku marah. Pikirku, daripada mereka di kelak
kemudian hari akan mengacau, lebih baik saat itu
kuhancurkan sekali. Tetapi ah, mereka mengejek aku. Mereka
sesumbar bahwa bangsa setan dedemit itu tak mungkin mati
01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
selama di dunia masih terdapat manusia. Benarkah itu,
eyang?" Empu Panangkar mengangguk "Begitulah keadaan mereka,
Dipa. Mereka adalah roh2 sesat yang masih belum sempurna.
Mereka memang tak dapat mati karena tak mempunyai badan
wadag yang tertentu."
"Adakah tiada daya untuk menindas mereka, eyang?"
"Selama Kejahatan merajalela, selama itu kita manusia
selalu berdaya upaya untuk melenyapkannya. Dan hanya
manusia2 tertentu, mempunyai pengaruh gaib untuk menindas
mereka. Adalah suatu kebanggaan bagimu, angger, bahwa
mereka berjanji akan tunduk padamu ....."
"Tetapi hanya selama aku masih hidup, eyang."
Empu Panangkar mengangkat bahu menghela napas "Ya,
manusia hanya berusaha tetapi kodrat Hyang Murbeng Gesang
sudah menggariskan. Jangan berkecil hati, anakku. Engkau
harus berbahagia karena dalam hidupmu engkau telah
menunaikan suatu tugas yang luhur bagi keselamatan
negara." Dipa termangu-mangu. Beberapa saat kemudian tiba2 ia
berseru pula "Eyang, masih ada sebuah hal yang kualami
dengan raja Baureksa itu. Yalah ketika kulihat eyang terkulai,
dia mengatakan kalau eyang terluka berat dan tentu
meninggal dunia. Apakah eyang benar2 terluka berat?"
Hampir Empu Panangkar tak kuasa menahan derai
airmatanya karena terharu mendengar pertanyaan Dipa. "Nak,
aku sudah terlampau tua. Matipun sudah selayaknya.
Jangankan hanya menderita luka seperti saat ini, sekalipun
menderita cacad yang parah lagi, aku sudah merasa
bahagia..." "Apakah eyang menderita cacad?"
Empu Panangkar menghela napas kecil "Lebih hebat dari
itu, Dipa." "Eyang .... !" teriak Dipa terperanjat.
"Kalau cacad hanya sebagian anggauta tubuhku yang
menderita. Tetapi apa yang kuderita yalah cacad seumur
hidup ". eh, jangan berteriak Dipa," buru2 empu tua itu
memperingatkan Dipa yang hendak berteriak "bukan cacad
biasa tetapi cacad ilmu kepandaian. Gada Intan itu telah
menghancurkan seluruh ilmu kesaktianku sehingga saat ini
aku kembali seperti sediakala, menjadi orang yang tak
mempunyai ilmu kepandaian apa2."
"Oh," Dipa mendesuh kejat "eyang hilang lenyap seluruh
ilmu kesaktian eyang" "
"Benar, nak," sahut Empu Panangkar yang makin tampak
lebih tenang, "tetapi aku tak menyesal, Dipa. Dulu akupun tak
memiliki kepandaian suatu apa mengapa aku harus bersedih
kalau sekarang aku pula kembali seperti dulu" Jangankan ilmu
kepandaian Dipa. Bahkan nyawa dan hidup kita inipun hanya
barang pinjaman. Sewaktu-waktu tentu akan diminta kembali
oleh Yang Memberi. Kita harus ihklas."
"Tetapi yang mencelakai eyang itu adalah raja Baureksa
terkutuk itu. Kita wajib menuntut balas," bantah Dipa dengan
geram. "Dia hanya suatu perantara dari apa yang harus kuterima.
Dan memang demikianlah tuntutan suatu tugas. Tugas yang
kuterima dari sang prabu Kertanagara dengan penuh
kesadaran dan tanggung jawab. Sudahlah Dipa, tak perlu
engkau memikirkan. Aku sudah tua, entah besok entah lusa,
pasti akan mati jua. Kini yang penting aku hendak
menyumbangkan pengabdianku yang terakhir kepada negara.
Kepadamu, Dipa, wajib kutitipkan pesan2 penting agar kelak
engkau dapat teguh kokoh dalam memikul beban kewajiban
mangsakala." Dipa termangu. "Menurut kenyataan yang telah terjadi, kelak kemudian hari
engkau pasti akan menempuh suatu perjalanan hidup yang
gemilang laksana Surya menjunjang di tengah angkasa.
Bahwa raja Baureksa dengan para kawula setan jin dan
dedemit menyatakan tunduk kepadamu, itu merupakan suatu
bukti akan kecerahan perjalanan hidupmu?"
Empu Panangkar berhenti sejenak untuk mengatur napas.
Kemudian melanjutkan pula "Setelah berpuluh tahun menyepi
sebagai penunggu kuburan Wurare, aku telah menemukan
suatu kesadaran. Kesadaran itu, anakku, akan kulimpahkan
kepadamu sebagai bekal pelayaranmu menempuh gelombang
kehidupan yang sealu bergolak?"
Dipa mencurahkan perhatian sepenuhnya.
"Anakku, hidup itu sesungguhnya suatu pengabdian.
Pengabdian kepada Hyang Widdhi, pengabdian kepada
negara, pengabdian kepada sesama titah manusia dan
pengabdian kepada diri kita peribadi, baik kepada orang tua
maupun kodrat yang kita lakukan dalam karma hidup kita.
Hidup itu suatu Gerak dan Gerak itu adalah pantulan
Kehendak. Dan pada hakekatnya, Kehendak itu merupakan
pengabdian dari Hidup. Ah, rupanya terlalu dalam uraianku ini,
nak," empu tua itu melirik kepada Dipa, "kelak engkau tentu
dapat menyelami makna daripada kata-kataku itu. Ringkasnya
begini, nak. Dalam perjalanan hidupmu kelak, ada dua sifat
yang kuminta engkau harus meninggalkannya. Pertama,
congkak dan kedua, angkara. Congkak atau Sombong,
menonjolkan sikap ke Aku-an. Tidak ada lain orang yang
pandai, benar, gagah, berani, kaya dan berkuasa, kecuali aku.
Apabila engkau memakai sikap congkak itu anakku, engkau
pasti mempunyai banyak musuh untuk mempercepat
keruntuhanmu?"."
"Baik, eyang " kata Dipa serta merta.
"Dan sifat Angkara itu, pun sudah mencangkum semua
sifat2 jelek. Misalnya, iri, dengki, temaha dan angkara murka.
Hidupmu pasti akan bergolak karena engkau terbelenggu oleh
nafsu angkara yang tak kenal puas. Dalam melaksanakan
suatu pekerjaan dan kewajiban, engkau tak mungkin sepi dari
pamrih tetapi tentu berisi keinginan2 yang bersifat angkara.
Apabila engkau memakai sikap Angkara itu, anakku, engkau
pasti lekas dikunjungi brahala Kehancuran."
"Baik, eyang" kata Dipa pula. Saat itu sayup2 terdengar
kokok ayam hutan bersahut-sahutan.
"Ah, kiranya cukup sampai di sini, anakku," kata Empu
Panangkar "hari sudah menjelang terang tanah. Terimalah
pusaka Gada Intan ini. Simpanlah pusaka itu baik2. Jangan
engkau sembarang menggunakannya apabila tidak sangat
perlu." Setelah menerima kembali gada pusaka itu, Dipa lalu
menyimpannya. Kemudian bertanya "apakah eyang tetap akan
tinggal di sini?" "Sudah berpuluh tahun aku menetap di sini, Dipa. Akupun
ingin mati di sini juga," kata Empu Panangkar "dan ke
manakah engkau akan pergi, nak?"
Dipa tak segera menyahut. Rupanya empu tua itu sudah
tetap pada keputusannya untuk tetap tinggal di kuburan situ.
Dan iapun tak berani memaksanya untuk mengajak pergi.
"Eyang, aku hendak kembali mendapatkan pendeta
Padapaduka lagi " "Hm, baiklah, nak," kata Empu Panangkar, "dia tentu cemas
menanti kedatanganmu. Ah, eyang merasa sedih karena tak
dapat memberi bekal kepadamu?""
"Ah, eyang, jangan memikirkan soal itu. Aku sudah
membawa bekal," kata Dipa.
"Bukan bekal uang atau barang, nak. Tetapi bekal ilmu.
Ah"." empu tua itu menghela napas "andai aku tak menjadi
begini, tentu akan kuturunkan beberapa ilmu yang berguna
kepadamu." "Tak apalah, eyang. Bahkan kumohon eyang jangan
bersedih karena kehilangan itu."
"Sama sekali tidak, Dipa. Sudah kukatakan tadi semua
benda bahkan jiwa kita ini hanyalah suatu barang sampiran
atau pinjaman. Setiap saat tentu akan diambil oleh Yang
MemberiNya." Demikian setelah memberi pesan yang berguna, akhirnya
dengan berat hati, Dipa menyembah, mencium kaki empu tua
itu lalu minta diri. 0odwo0 III ALANGKAH kejut Dipa ketika mendapatkan tanah kuburan
Lemah Citra tempat pandita Padapaduka bersembunyi telah
kosong. Dan bahkan bukan hanya kosong belaka melainkan
meninggalkan bekas2 kekacauan. Suatu bekas yang
menunjukkan terjadinya suatu perkelahian.
"Hai, cipratan darah ". " seru Dipa ketika memeriksa
dinding liang persembunyian Padapaduka. Ia makin cemas
"Eyang pandita! Eyang Padapaduka! Dimanakah engkau" Aku
Dipa yang datang, harap eyang keluar"."
Berulang-ulang Dipa meneriaki nama pandita Padapaduka
yang dikiranya tentu masih bersembunyi di sekitar tempat itu.
Namun tetap tiada bersahut. Dipa makin gelisah "Kemanakah
gerangan pandita tua itu" Bukankah ia berjanji akan
menunggu kedatanganku di sini" "
Pertanyaan itu cepat terhantar oleh keadaan dalam tempat
itu "Adakah terjadi sesuatu pada eyang pandita Padapaduka"
Menilik keadaan tempat yang begini kacau dan terdapat
cipratan noda darah pada tanah dan dinding, kemungkinan
...." Dipa tak berani membayangkan sesuatu yang tak ingin
diharapkan. Namun keinginan hatinya terbentur dengan
kenyataan yang menghadang pandang mata.
"Ah, pandita tua itu tentu diganggu orang," akhirnya ia tak
mau menghibur hati dan mulai berani melihat kenyataan yang
dihadapinya "ya, benar, eyang Padapaduka pernah
mengatakan bahwa dirinya menjadi buronan kerajaan.
Mungkin jejak persembunyiannya telah diketahui dan musuh2
itu hendak menyergapnya. Eyang Padapaduka tentu memberi
perlawanan lalu terjadi pertempuran, ah ".. benar, benar,
tentulah begitu jalannya peristiwa di tempat ini."
Diam2 timbul rasa sesal dalam hati Dipa mengapa ia tak
lekas kembali mendapatkan pandita tua itu. Tetapi ia terhibur
juga dengan peristiwa yang telah dialami selama di desa
Palungan hingga bertemu dengan Empu Panangkar. Di
kuburan Wurare, secara tak diduga, ia melakukan suatu
peristiwa yang penting akibatnya bagi keselamatan kerajaan.
Sedang mengenai pencarian kitab suci Sanghyang
Kamahayanikan, walaupun tak berhasil menemukan, namun ia
telah memperoleh keterangan penting dari pembicaraan resi
Kalpika dan Parapara. Tetapi sayang pandita Padapaduka
sudah tak berada di tempat situ hingga ia tak dapat
menyampaikan laporan itu.
Tiba2 terngiang dalam telinganya pesan pandita
Padapaduka bahwa ia diserahi kewajiban untuk mencari kitab
suci itu "Ah, aku sudah berjanji kepada eyang pandita itu.
Janji itu harus kutepati. Tetapi ke manakah aku harus
mencarinya" A pakah aku harus menyusul jejak resi Kalpika ke
Jonggring Saloka di puncak gunung Mahameru" Atau
menyusul resi Parapara ke candi Indrakilo" Benarkah kedua
resi itu akan berhasil menemukan kitab suci itu" Andai benar,
apakah mereka mau menyerahkan kitab suci itu kepadanya?"
Makin tinggi tingkat pertanyaannya, makin bingung pikiran
Dipa untuk melihat jalan yang terang. Ia benar2 kehilangan
faham. Beberapa saat kemudian terbetiklah suatu anganangan dalam beraknya. Yang penting semoga pandita
Padapaduka itu masih selamat bersembunyi di lain tempat.
Soal kitab suci, karena sudah berjanji, ia tetap akan berusaha
mendapatkannya. Tetapi mengingat keadaan dan kemampuan
yang ada padanya saat itu amat terbatas maka ia
pertangguhkan dulu hal itu. Sekarang ia hendak tujukan
langkah ke pura kerajaan. Mencari brahmana Anuraga dan
demang Surya. Apabila berhasil menemukan mereka, ia
hendak memperbincangkan soal kitab suci itu kepada mereka.
Meminta pendapat mereka, syukur mereka mau membantu
tenaga. Demikian Dipa ayunkan langkah meninggalkan kuburan
Lemah Citra dan meninggalkan doa agar pendeta Padapaduka
selamat dari marabahaya. Dipa tak tahu di mana letak pura kerajaan Majapahit itu.
Sepanjang jalan ia bertanya kepada orang yang dijumpai.
Walaupun agak memakan waktu lama namun akhirnya
berhasil juga ia mencapai tempat yang dituju itu.
Pertama-tama pandang matanya terserang oleh pemandangan yang seumur hidup belum pernah dilihatnya.
Sebuah pintu gapura yang besar, dijaga oleh beberapa prajurit
yang bersenjata. Selama ini, belumlah pernah ia melihat pintu
gapura yang sedemikian besar, tinggi dan kokoh. Hari itu
masih pagi dan tak berapa banyak orang yang lalu di pintu
gapura itu. Dipa tertegun.
"Ah, apakah harus meminta ijin kepada para prajurit
penjaga gapura itu jika hendak masuk ke dalam pura?"
pertanyaan pertama serentak timbul dalam hati Dipa. Maklum,
baru pertama kali itu ia berkunjung ke Tikta pura, kota
kerajaan Majapahit. "Lalu bagaimana aku harus menjawab apabila mereka
bertanya keperluanku masuk ke dalam pura kerajaan?"
kembali pikiran Dipa berbincang-bincang dengan batinnya
sendiri adakah harus kukatakan hendak mencari brahmana
Anuraga, atau demang Surya... . . "
Pada saat mengucapkan kata2 terakhir, tiba-tiba ia terhenti.
Seketika teringatlah ia akan kisah hidup demang Surya. Bahwa
demang itu telah melarikan diri dari pura kerajaan karena
tidak mau ikut dalam komplotan untuk menentang baginda
"Ah, bagaimana nasib eyang demang, belum kuketahui.
Andai,demang itu ditangkap dan dihukum, jika aku
mencarinya, bukankah akan dicurigai orang " Ah, lebih baik
jangan menyinggung nama eyang demang itu. Baiklah
kukatakan saja hendak melihat keindahan pura kerajaan"."
Setelah menemukan pikiran, iapun segera ayunkan langkah
hendak melintasi pintu gerbang yang dijaga oleh beberapa
prajurit. Entah bagaimana secara kebetulan sekali, hari itu
masih pagi dan saat itu tiada orang yang lewat di pintu
gerbang. Seorang anak lelaki yang lalu di pintu itu, cepat
memikat perhatian prajurit2 itu. Dan makin lekatlah mata
01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
prajurit itu ketika melihat dandanan yang dikenakan Dipa itu
tidak menyerupai pakaian orang kota.
Karena baru pertama kali itu melintasi sebuah pintu
gerbang, hati Dipa pun tak luput dari debar ketegangan.
Langkahnya pun sarat, tersekat-sekat ketakutan. Sebentarbentar ia memandang kearah prajurit2 penjaga pintu. Andai
saat itu ada orang lain yang melintasi pintu, tentulah ia dapat
meniru bagaimana sikap orang itu terhadap penjaga pintu.
Tetapi saat itu hanya dia seorang diri. Ia bingung bagaimana
harus bertindak. "Hai, kemari engkau!" tiba2 salah seorang prajurit berkumis
tebal berseru memanggilnya.
Dipa berhenti. Jantungnya mendebur keras,
mengernyit kejut. Ia berpaling tetapi tak bergerak.
wajah "Hai, anak, mengapa engkau diam seperti patung" Hayo,
kemari ! " prajurit itu mengulang seruannya agak lebih karas.
Dipa berusaha untuk menenangkan kejutnya. Akhirnya ia
manyadari bahwa yang dihadapinya itu adalah prajurit. Dan
prajurit itu adalah manusia seperti dirinya. Kiranya tidak lebih
menakutkan dari ular besar ataupun raja Baureksa yang
pernah dihadapinya. Mengapa ia harus takut" Dan pula, ia tak
merasa bersalah, tiada guna takut. Maka cepat ia ayunkan
langkah menghampiri lalu memberi hormat.
"Hendak kemana engkau?" tegur prajurit itu pula.
"Kepura kerajaan"."
"Kepura kerajaan " Dari mana engkau."
"Dari " desa Mada". "
Prajurit itu kernyitkan dahi. "0. engkau anak desa" Mengapa
engkau datang ke pura kerjaan sini ?"
Inilah pertanyaan yang telah diduga Dipa akan diterimanya.
Dan untuk itu ia sudah siap memberi jawaban "Sudah lama
kuingin melihat pura kerajaan yang termasyhur indah ini,
tuan." "Hm, engkau bohong," hardik prajurit itu.
Dipa terkejut "Bohong " Tidak, tuan. Aku mengatakan
dengan sungguh2. Memang sudah lama terkandung dalam
hasratku untuk melihat pura kerajaan yang termasyhur itu."
"Engkau tentu seorang utusan !" kembali prajurit itu
menuduh. "Utusan?" Dipa terbelalak "utusan siapa?"
"Utusan dari orang yang menyuruhmu melakukan sesuatu.
Hayo, bilang terus terang saja, kalau tidak tentu kuhajar
engkau !" prajurit itu kepalkan tinju siap hendak memukul.
Dipa agak gemetar. Benar2 ia tak pernah menyangka akan
mendapat perlakukan sedemikian dari prajurit penjaga pintu
gapura. Untunglah ia sudah biasa menerima hardik makian
dari keluarga buyut Madan-Teda dahulu. Maka tidaklah amat
sangat rasa takut dan gugup yang dialami saat itu. Secara tak
disadari, pengalaman buruk dan derita hidup yang dikenyam
dalam masa kanak - kanaknya, menambah kokoh dan teguh
semangat serta nyalinya, "Tuan, hamba banar2 seorang anak dari desa Mada yang
ingin datang ke pura kerajaan untuk melihat-lihat keindahan
dan kemegahan pusat kerajaan ini ?"".."
"Ah, engkau memang anak keras kepala, nih...." prajurit itu
ayunkan tinyunya ke dada Dipa. Duk karena tak menduga
prajurit itu akan bertindak sedemikian kasar, dada Dipa
termakan tinju dan tersurut beberapa langkah.
"Hayo, mengaku atau tidak! "
"Bagaimana aku harus mengaku ?" Dipa menjawab agak
penasaran. "Ho, engkau bersikap menantang kepadaku ?" prajurit itu
maju memukul pula. Tetapi saat itu Dipa terpaksa
menghindar. Ia merasa tak bersalah karena sudah memberi
keterangan yang jujur. "Huh, engkau berani melawan?" prajurit itu makin kalap. Ia
loncat menerjang Dipa dengan ayunan tinju yang keras.
Dipa terpaksa tak mau menderita kesaktian. Ia teringat
akan ajaran pandita Padapaduka tentang ilmu tata langkah
kaki apabila diserang orang. Segera ia gunakan ilmu tatalangkah itu. Hasilnya, ia sendiri terkejut dan prajurit itupun
terbelalak. Serangannya yang sederas hujan mencurah,
ternyata selalu tak mengenai tubuh Dipa. Setiap tinju yang
diarahkan dan yakin tentu akan mengenai, ternyata selalu
kurang sekilan jaraknya dari tubuh anak itu.
"Setan.... geram prajurit itu, "engkau berani mempermainkan aku?" ia mencabut pedangnya dan siap
hendak menyerang. Dengan melakukan tata-langkah ajaran pandita Padapaduka
itu, Dipa telah menggunakan yang disebut ilmu Lembu sekilan.
Suatu ilmu menjaga diri yang dapat menghindari serangan
orang dalam jarak sekilan. Melihat prajurit itu melolos pedang,
Dipa makin terkejut. "Jangan .. .. jangan bunuh aku . . aku tak
berdosa... ." Namun prajurit itu sudah terlanjur dirangsang kemarahan
dan malu. Malu karena merasa dipermainkan Dipa dihadapan
kawan-kawannya. Terlebih pula jelas didengarnya betapa
kawan2 prajurit itu tertawa gelak2 setiap kali ia gagal
memukul Dipa. Gelak tawa itu diterimanya sebagai suatu
ejekan. Dan ia anggap Dipa lah yang menyebabkan dirinya
menjadi bulan2 buah tertawaan kawan-kawannya itu. Dipa
anak desa itu harus dibunuh .....
Dipa tak dapat melanjutkan kata-katanya karena melihat
pedang prajurit itu sudah berayun membacok kepalanya.
Cepat ia loncat mundur. Tetapi rupanya prajurit itu tak mau
memberi kelonggaran. Ingatannya sudah kabur bahwa yang
dihadapinya itu seorang anak desa yang tak mempunyai
kesalahan. Semula prajurit itu hanya sekedar iseng hendak
menegur Dipa. Sesungguhnya iapun sudah mengakui dalam
hati bahwa anak desa semacam Dipa itu tak mungkin menjadi
utusan dari orang atau orang2 yang akan mengadakan
hubungan dengan pembesar atau narapraja tertentu dari pura
kerajaan. Tetapi dari iseng itu berobah sungguh dan rasa
memandang rendah menjadi kemarahan, manakala ia tak
dapat melaksanakan keinginannya untuk menampar anak desa
itu. Secepat kaki Dipa tegak pada tempat ia menyurut, secepat
itu pula prajurit marah itu loncat membabat pinggang. Tring
terdengar dering benda tajam bergemerincing keras dan
serempak menjeritlah prajurit itu seperti melihat hantu di
siang hari "Hai! "
Ternyata gerakan prajurit itu lebih cepat dari pengunduran
Dipa. Sebelum Dipa sempat berbuat sesuatu, mata pedang
prajurit itu sudah memapas lambungnya. Dipa terkejut dan
merasa jiwanya pasti melayang. Tetapi rasa kejut itu berobah
menjadi rasa heran yang tak terhingga ketika terdengar bunyi
mendering keras dan pedang prajurit itupun patah menjadi
dua. Saat itu barulah Dipa menyadari bahwa pedang prajurit
itu secara kebetulan sekali telah menghantam Gada Intan
yang tersimpan dalam bajunya. Andaikata tiada pusaka Gada
Intan itu, pinggang Dipa pasti sudah kutung menjadi dua.
Prajurit2 yang lainpun kesima menyaksikan peristiwa yang
luar biasa itu. Mereka tak tahu bahwa dalam pinggang baju
Dipa tersimpan sebuah pusaka yang ampuh. Mereka
menyangka bahwa anak itu memiliki ilmu kekebalan yang
hebat. Demikian pula dengan prajurit yang marah itu. Diapun
terlongong-longong seperti patung .....
Tiba2 terdengar derap langkah beberapa orang berjalan
deras dari dalam pura. Cepat sekali orang-orang itu berjalan
menghampiri pintu gerbang. Mereka rombongan prajurit yang
turun untuk mengganti prajurit2 yang berjaga malam tadi.
Melihat kedatangan kelompok penjaga pagi, prajurit2
pengganggu Dipa itupun segera bergegas kumpul. Demikian
pula prajurit yang menyerang Dipa.
Setelah mengucap beberapa patah kata selaku penyerahan
tugas, rombongan prajurit jaga malam pun segera berderap
langkah, meninggalkan pintu gapura.
"Tunggu," tiba2 kepala rombongan prajurit jaga pagi
berseru menghentikan rombongan yang diganti itu. Setelah
mereka berhenti, kepala rombongan penjaga pagi itu berseru
pula dengan nada heran "Hai, mengapa pedangmu kutung ?"
ia menegur prajurit yang berkelahi dengan Dipa.
Prajurit itu terkesiap. Wajahnya merah padam.
"Dia habis berkelahi dengan seorang anak desa," kawankawannya segera menuturkan peristiwa tadi.
"0, hebat! Mana anak desa itu sekarang" " seru kepala
rombongan penjaga pagi itu.
"Itu di ... hai, dia menghilang!" teriak rombongan prajurit
jaga malam, diikuti dengan desuh kejut dari kawan-kawannya
yang hiruk pikuk. Hati merekapun cepat mengkhayal sesuatu
tentang diri Dipa. "Menghilang" " kepala penjaga pagi itu mengulang. Dahinya
mengerut heran "ah, jangan berolok-olok, kawan. Apakah dia
anak setan" " Segenap rombongan prajurit jaga malam memberi
kesaksian tentang peristiwa itu. Pun dengan sungguh2 mereka
mengatakan bahwa baru beberapa saat anak itu masih berada
di luar gapura. Namun karena tiada bukti, kepala penjaga pagi
itu menertawakan mereka. Karena keterangannya tak dipercaya, rombongan prajurit
jaga malam itupun segera lanjutkan langkah kembali ke
kesatuannya. Di sepanjang jalan mereka masih memperbincangkan tentang diri Dipa. Hanya dua kesimpulan
yang mereka rangkai. Dipa itu anak setan atau memang
seorang anak sakti yang dapat menghilang.
Dan yang benar adalah kesimpulan kedua itu. Dipa
memang lari meloloskan diri. Ia tak mau menderita kesulitan.
Kesempatan atas kedatangan rombongan prajurit yang hendak
bergilir jaga, dipergunakan untuk melarikan diri, masuk ke
dalam hutan. Dipa tak habis herannya mendapat perlakuan dari prajurit
penjaga pintu gapura itu. Adakah memang setiap orang yang
lcwat pintu gapura itu harus diperiksa" Ataukah hal itu hanya
terjadi pada dirinya" "Ah, mungkin karena melihat diriku
sebagai anak desa yang miskin, prajurit itu lalu menegur dan
marah" Adakah pura kerajaan itu hanya diperuntukkan kaum
brahmana dan ksatrya saja" Ah, kuingat dahulu paman
brahmana Anuraga pernah mengatakan bahwa setiap rakyat
dari golongan brahmana, ksatrya, waisya dan sudra, boleh
mengunjungi .. . . " demikian Dipa merenungkan peristiwa
yang dialaminya itu, ketika ia beristirahat dalam hutan.
Keheranannya itu memang beralasan dan tepat pula cara ia
merangkai pikirannya. Karena sesungguhnya dalam beberapa
hari yang terakhir ini, memang suasana pura kerajaan tampak
diliputi oleh kesibukan dan ketegangan. Tersiar kabar bahwa
rakryan Nambi bermaksud hendak menjenguk ayahnya
Pranaraja yang tinggal di Lumajang dan saat itu sedang
menderita sakit keras. Entah siapa yang melakukan, tetapi tampaknya berita
sakitnya Pranaraja yang pernah menjabat mentri Pakirakiran,
dalam pemerintahan Raden Wijaya atau prabu Kertarajasa,
telah tersiar luas dan santer di kalangan narapraja dan rakyat
pura kerajaan. Pranaraja karena sudah berusia lanjut telah
memohon kepada baginda Jayanagara untuk mengundurkan
diri dari jabatan pemerintahan dan pulang ke Lumajang untuk
melewatkan sisa hari tuanya. Baginda Jayanagara
mengabulkan. Pertama, karena Pranaraja itu sudah lama
sekali mergabdi kepada kerajaan, sejak ayahanda baginda
Kertarajasa hingga saat itu. Kedua, karena putera Pranaraja
yalah Nambi masih abdikan tenaganya pada kerajaan sebagai
mahapatih. "Duh sang rakryan mahapatih," demikian pada suatu hari
patih Aluyuda menghadap rakryan Nambi di gedung
kediamannya "adakah tuan tak dengar berita yang tersiar
deras di luar" "
"Apakah berita itu, adi Aluyuda?" tanya Nambi.
"Ah, janganlah tuanku memperolok Aluyuda!"
"Mengolok " Sama sekali tidak, Aluyuda !"
Patih Aluyuda sejenak menelan air liurnya, kemudian
berkata "Rakryan mahapatih, sekiranya kata-kataku tak benar,
mohon tuan suka mengampuni kelancanganku ini. Tetapi
benar2 dengan maksud hati yang tulus aku memberanikan diri
menghadap tuan untuk mempersembahkan keterangan ini."
"Katakanlah, Aluyuda. Mengapa engkau bersikap kaku dan
tak wajar seperti biasanya ?" Nambi tersenyum sambil
menatap wajah patih itu. Patih yang dikenalnya sebagai
seorang yang selicin belut.
Aluyuda agak tersipu-sipu menderita tatapan pandang
rakryan mahapatih yang seakan-akan hendak menembus isi
hatinya. Namun cepat ia dapat menenangkan hati dan
berkata, "Kupercaya tuan tentu sudah mengetahui hal itu.
Namun karena tuan mengidinkan, baiklah kuulangi pula. Berita
yang tersiar dalam kalangan narapraja dan rakyat di pura
kerajaan ini mengatakan bahwa ayahanda tuanku, gusti
wreddha mentri Pranaraja sedang menderita sakit keras ?""
"0, soal itu." Nambi tertawa ringan "benar, Aluyuda,
memang sudah kudengar tentang sakitnya rama."
"Beratkah sakit beliau, tuanku" " Aluyuda tampak mengerut
dahi cemas. "Rama sudah amat tua, memang sering sakit-sakitan."
"Tetapi kali ini tentu benar2 sakit yang mencemaskan,
tuanku. Bila tidak masakan tersiar berita sedemikian
santernya." Rakryan Nambi menghela napas "Ya, kukira demikian
mengingat kesehatan rama akhir2 ini amat mundur sekali.
Beliau sudah tua dan lemah."
"Ah, tuanku salah," kata Aluyuda "sakit itu tak kenal tua
dan muda. Lebih2 orang tua, apabila menderita sakit berat
tentu berbahaya. Wajib puteranya memperhatikan sungguh2."
"Ah, sesungguhnya memang demikian, adi "." Nambi
01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tersekat tak melanjutkan kata-katanya.
"Ah, kakang mahapatih," cepat Aluyuda dapat menyelami isi
hati mahapatih, "memang dapat kufahami perasaan kakang.
Tetapi hendaknya kita dapat menyelinapkan waktu untuk
membagi wajib. Sebagai titah kita wajib bersujud kepada
Hyang Murbeng Gesang. Sebagai kawula kita wajib membela
negara. Sebagai narapraja kita wajib mengabdi kepada
kepentingan kerajaan. Sebagai tiang keluarga, kita wajib
melindungi anak isteri dan sebagai putera kita wajib
mengunjuk sembah bakti kepada orangtua. Ah, maaf, kakang
mahapatih, sekali-kali bukan maksud Aluyuda hendak
menggurui. Karena baik dalam pengetahuan dan pengalaman,
kakang mahapatih lah yang layak menjadi kaki guruku ....."
Nambi tak berkata melainkan mengangguk.
"Tetapi aku hanya bermaksud hendak mengingatkan.
Karena maklum, kakang mahapatih, setiap manusia tentu tak
luput dari lupa dan khilaf. Aluyuda menyusuli kata2nya dengan
disertai sembah urusan kerajaan itu, tak pernah mengenal
habis. Selama kerajaan masih tegak, selama itu harus ada
pemerintahan dan selama itu urusan pun tiada habis-habisnya.
Apabila kita hanya membenam diri dalam tugas2 pekerjaan,
kiranya tak mungkin kita dapat meluangkan waktu untuk
menunaikan wajib2 yang lain, terutama kepada orangtua yang
berdiam di tempat jauh dan pula sedang menderita sakit... . ."
Nambi tetap merenung. "Kakang mahapatih, sudilah kiranya kakang mendahar
pandanganku yang picik ini." Aluyuda melanjutkan pula
"kakang mahapatih adalah seorarg putera dari paman rakryan
Pranaraja. Paman rakryan Pranaraja saat ini sedang menderita
penyakit yang gawat. Mengingat usia paman rakryan
Pranaraja sudah lanjut, apakah tak pernah kakang mahapatih
mencemaskan akan timbulnya keadaan yang buruk pada diri
paman rakryan Pranaraja" Maaf, kakang maha patih, sekali
kali bukan maksudku hendak mendoakan agar paman rakryan
Pranaraja makin buruk keadaannya. Tetapi apabila seorang
tua yang lanjut usianya itu mengidap sakit, memang layak
mendapat perhatian sepenuhnya. Karena kemanakah perginya
si orang tua yang sakit itu". Ah, setiap manusia pun takkan
luput dari perjalanan kodrat, hidup dan mati. Andai terjadi
sesuatu pada diri paman rakryan Pranaraja, bukankah kakang
mahapatih akan menyesal sekali apabila kakang mahapatih tak
berada disamping pada saat2 terakhir dari hidupnya itu" "
Nambi termangu-mangu. "Pula kakang mahapatih adalah tiang kerajaan yang
dipandang rakyat sebagai lambang pimpinan pemerintahan.
Dalam kedudukan setinggi itu, tentulah diri kakang mahapatih
selalu menjadi Ioratan dan pusat perhatian para narapraja dan
kawula Majapahit. Apabila kakang tak menjenguk ayahanda
kakang yang sedang menderita sakit gawat, apabila terjadi
sesuatu pada diri paman rakryan Pranaraja dan kakang
mahapatih tak berada disamping beliau, bagaimana
pandangan para narapraja dan seluruh kawula terhadap
peribadi kakang mahapatih" Bukankah mereka dapat mencela
kakang mahapatih sebagai seorang putera yang tak
mempedulikan orangtua"."
"Aluyuda!," serentak Nambi tak kuasa lagi menahan luapan
hatinya "tetapi aku adalah tiang kerajaan Majapahit. Tugasku
berat, beban pekerjaanku setinggi gunung. Bagaimana aku
dapat meninggalkan tugas" Bukankah baginda akan murka,
para narapraja akan bingung dan para kawula akan gelisah?"
Aluyuda tertawa ringan "Ah, kakang mahapatih masih
bersitegang membenam diri dalam laut pekerjaan yang tak
pernah kering. Menurut pandangan Aluyuda yang sempit ini,
kiranya saat inilah saat yang tepat untuk kakang mahapatih
memohon cuti kepada baginda.
Pertama, memang ayahanda kakang benar2 sakit keras.
Kedua, saat ini negara aman, tiada peperangan dan
kekacauan. Dan ketiga, ah, ruungkin kakang mahapatih belum
menyadari... " "Soal apa, Aluyuda?" rakryan Nambi terkesiap.
Aluyuda menghela napas. Ia membawa sikap seperti
seorang yang ikut perihatin "Kakang mahapatih, menurut
wawasan Aluyuda, ada sedikit perobahan pada sikap baginda
terhadap kakang mahapatih"
Rakryan Nambi mengerenyit dahi.
menuntut penjelasan kepada patih itu.
Kerut wajahnya "Aluyuda hendak menghaturkan sekedar contoh dari sikap
baginda terhadap tuanku kakang mahapatih. Namun itupun
hanya kesimpulan yang Aluyuda rangkai. Andai hal itu tak
berkenan dalam perasaan kakang mahapatih, Aluyuda pun
hanya menyerah saja. Karena dalam itu yang berkepentingan
bukan aku, melainkan kakang mahapatih ?" "
Sajenak Aluyuda menyisipkan pandang mata untuk
menyelidik kesan. Kemudian melanjutkan pula "Dalam
peristiwa penetapan desa Tuhanyaru dan Kusambian sebagai
tanah perdikan. Nyata2 baginda menerima usul rakryan Kuti
daripada kakang mahapatih. Kedua desa itu ditetapkan
baginda sebagai tanah sima perdikan dengan diberi patung
Minadvaya atau sepasang ikan, lambang peribadi baginda.
Dengan demikian kedua daerah itu merupakan daerah yang
berkuasa dan berdiri sendiri dengan penuh. Bebas dari
pengurusan pusat pemerintahan yang kakang mahapatih
pimpin. Bukankah hal itu suatu keganjilan bahwa dalam
kerajaan Majapahit, terdapat pula sebuah daerah yang
berkuasa penuh dan berdaulat sendiri ?"
Bulu mata rakryan Nambi sampai berkicup karena tergetar
oleh lontaran keterangan Aluyuda yang tajam itu "Aluyuda,
Diah Makaradwaja amat berjasa dan setya kepada kerajaan.
Bukan saja menyumbangkan tenaga2 para pemuda untuk
menjadi prajurit Majapahit, pun pembaktiannya dalam
menghaturkan persembahan bulubekti, amat menonjol dan
melampaui daerah2 lain. Selain hasil bumi yang berlimpahruah, pun hasil buah-buahan daerah itu menjamin untuk
keperluan perayaan dan upacara2 yang dilakukan kerajaan.
Bagaimana mungkin engkau mengandung prasangka yang
bukan2 kepada Diah Makaradwaja itu ?"
Aluyuda menghela papas. "Memang Diah Makaradwaja
sudah lulus dalam ujian kesetyaan dan pembaktian, sehingga
baginda berkenan memberi anugerah. Tetapi menurut hemat
Aluyuda, usul kakang mahapatih untuk menjadikan daerah
Tuhanyaru dan Kusambian itu sebagai tanah perdikan, kiranya
sudah memadai. Tak perlu sebagai daerah sima-perdikan.
Karena dalam kedudukan sebagai tanah sima-perdikan itu,
lepaslah tanah Tuhanyaru dan Kusambian dari pengawasan
narapraja kerajaan. Tanah itu tak boleh didatangi, dirampas
dan diserang oleh pesuruh2 raja dari golongan katrini sampai
yang rendah..." "Hm, memang demikian," desuh rakryan Nambi.
"Rasanya baginda tentu memahami hal itu tetapi mengapa
baginda lebih cenderung menerima usul rakryan Kuti dari pada
usul kakang mahapatih?"
"Ah, raja berkuasa, Altiyuda."
"Hamba rasa bukan itu dasarnya, kakang mahapatih,"
sanggah Aluyuda. "Lalu ?" "Tidakkah kakang mahapatih memperhatikan sikap baginda
sejak sehabis peristiwa Mandana itu ?"
"0, aku terlalu sibuk dengan tugas2 pekerjaan."
"Peristiwa Mandana itu dimanfaatkan oleh fihak rakryan Kuti
untuk lebih merapat pada baginda. Kecuali dalam hal
pemberian kedudukan tanah Tuhanyaru dan Kusambian
sebagai sima-perdikan, pun dalam susunan narapraja telah
diadakan beberapa perobahan kekuasaan. Dan kesemuanya
itu jelas2 baginda selalu cenderung menerima usul rakryan
Kuti daripada kakang mahapatih," Aluyuda makin menusukkan
jarum2 berbisa ke dalam pikiran mahapatih Nambi "baginda
tidak menggunakan pertimbangan dari segi persoalannya
melainkan dari segi orangnya. Dengan begitu tidak layakkah
kiranya bilamana Aluyuda menarik kesimpulan bahwa baginda
bersikap lain kepada kakang mahapatih?"
Nambi merenung lalu menghela napas " Ah, mungkin sudah
tua dan baginda yang masih berusia muda itu lebih berkenan
pada perobahan2 yang lebih segar dan maju."
"Oleh karena itulah maka Aluyuda memberanikan diri untuk
mempersembahkan pandangan tadi. Dengan alasan karena
paman rakryan Pranaraja sakit maka kakang mahapatih
mohon diidinkan untuk menjenguk ke Lumajang selama
beberapa waktu. Dengan permohonan itu dapatlah diharap
akan timbulnya perobahan sikap dari baginda. Apabila kakang
mahapatih pergi, tentu roda pimpinan pemerintahan akan
kurang lancar. Di situlah baru nanti baginda akan menyadari
betapa panting arti diri kakang mahapatih bagi kerejaan.
Apabila kesadaran itu sudah timbul maka sikap baginda yang
mengunjukkan rasa tak senang kepada kakang mahapatih itu,
tentulah reda. Apabila kelak kakang mahapatih kembali ke
pura kerajaan memegang jabatan lagi, tentulah suasana akan
berobah lebih baik. Dan di samping itu, kakang mahapatih
bebas dari penilaian rakyat sebagai seorang putera yang
benar2 berbakti kepada orangtua. Hati dan dukungan para
narapraja serta kawula kerajaan tentu di fihak kakang
mahapatih"." Demikian dengan ketajaman lidahnya, berbanyak-banyaklah
patih Aluyuda menganjurkan agar mahapatih Nambi suka
mohon cuti kepada baginda dan menjenguk ayahandanya
yang sedang menderita sakit keras di Lumajang.
Bermula mahapatih Nambi masih ragu tetapi satelah
mendengar uraian yang panjang lebar dari Aluyuda, akhirnya
ia mau menerima saran patih itu. Ia sendiripun merasakan
akan perobahan sikap baginda Jayanagara terhadap dirinya,
sehabis peristiwa Mandana. Namun ia tak dapat berbuat apa2
karena raja adalah junjungan yang berkuasa. Pun baginda
Jayanagara sendiri selama ini hanya membatasi diri dalam
sikap yang tak puas kepada mahapatih itu. Tetapi tak berani
bartindak lebih dari itu, misalnya memecat atau menghukum.
Karena Nambi adalah seorang mahapatih yang berkuasa dan
berpengaruh dalam pemerintahan kerajaan.
Permohonan mahapatih Nambi untuk pulang menjenguk
ayahnya di Lumajang, diluluskan baginda. Sebagai seorang
patih yang berada di bawah kekuasaan mahapatih Aluyuda
pun sibuk mengunjuk jasa2 baik, ia mengirim orang untuk
membantu perkemasan dari keberangkatan rakryan Nambi.
Dalam pada itu diam2 Aluyuda memberi perintah kepada
prajurit, agar di dalam pura diadakan kesiap-siagaan. Penjaga
pintu gapura boleh memeriksa dan menahan orang2 yang
dicurigai. Dengan tindakan itu, ia hendak mencegah timbulnya
usaha2 dari fihak dan golongan lain yang hendak menghalangi
keberangkatan mahapatih. Itulah sebabnya maka Dipa telah
ditegur oleh prajurit penjaga gapura yang hendak
memeriksanya. Keberangkatan mahapatih Nambi ke Lumajang itu telah
tersiar luas di kalangan narapraja dan rakyat pura Tiktasripala. Pada hari pemberangkatan itu banyaklah rakyat yang
berbondong-bondong memenuhi sepanjang jalan untuk
mengantar dan menghaturkan selamat jalan kepada
rombongan mahapatih. Mereka ikut perihatin atas sakitnya
rakryan Pranaraja yang dikenal sebagai seorang mentri
kerajaan yang setya dan mempunyai masa pengabdian lama,
sejak jaman baginda Kertarajasa, raja pertama yang
mendirikan kerajaan Majapahit.
Di antara para narapraja yang ikut mengantar
keberangkatan mahapatih itu, hanyalah patih Aluyuda seorang
yang amat bergembira sekali dalam hati.
"Siasat memancing harimau tinggalkan sarang, telah
berhasil. Ha, ha, setelah pergi, harimau itu sekali-kali tak boleh
kembali ke sarangnya," demikian malam itu sampai larut, patih
Aluyuda masih duduk seorang diri sambil menikmati minuman
tuak. Keberangkatan mahapatih Nambi pada pagi dianggapnya
sebagai titik-tolak dari berhasilnya cita2 yang selama ini amat
diidam-idamkan. Baginya Nambi itu merupakan saingan yang
berat. Apabila Nambi sudah dapat disingkirkan, kedudukan
mahapatih tentu akan jatuh ke dalam tangannya.
Aluyuda mengenangkan kembali usaha2 yang telah
dilakukan dalam rangka untuk menyingkirkan mahapatih
Nambi. Diciptakan peristiwa Rara Sindura dan pemberontakan
Mandana, agar timbul rasa tak senang baginda kepada Nambi.
Dirangkulnya rakryan Kuti dengan golongan Dharmaputera
agar menjauhkan baginda dari mahapatih.
"Adu domba adalah siasat yang terbaik untuk
mengancurkan lawan. Ha, ha, walaupun Kuti dan
Dharmaputeranya itu berpengaruh pada baginda, tetapi tiada
memegang jabatan pemerintahan, tiada kekuasaan pada
golongan narapraja dan balatentara. Beda dengan Nambi,
seorang mahapatih yang amat kuat kedudukannya dan
berpengaruh atas golongan mentri dan tentara. Lebih
berbahaya. Maka harus kurangkul Kuti lebih dulu menjatuhkan
Nambi. Setelah aku menjadi mahapatih, ha, ha, ha ..... Kuti
tak mungkin lepas dari genggamanku ini... ." Aluyuda
mengepal genggam tangannya erat lalu tiba2 ia menghantam
meja "lalu kujadikan begini!" darrrr.... .
Meja berderak keras. Piala dan kendi tuak berhamburan ke
lantai. Piala kering, kendipun kosong. Isinya habis
diminumnya. Kepala patih itu serasa berputar-putar, mata
berbinar dan lidah berlincahan menghamburkan isi hatinya.
"Ho, rencana yang berbahaya ..... ! " tiba2 terdengar
seruan tajam dari sesosok tubuh yang muncul dalam ruangan
secara diam2. Aluyuda serasa tersambar petir. Rasa kejut yang tak
terhingga, menghapus seluruh rasa mabuk. Mata merentang
lebar dan menjeritlah ia bagai melihat hantu.
"Engkau?"."
0odwo0 JILID 13 I "Benar," seorang muda bertubuh kekar menyambut teguran
patih Aluyuda "adakah kedatanganku ini amat mengejutkan
paman ?" Ia melangkah maju dan berdiri pada jarak tiga langkah di
hadapan patih Aluyuda. Mulutnya menyembul senyum,
sepasang mata menyongsong pancaran pandang mata patih
Aluyuda yang penuh kejut dan kemarahan.
01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mengapa engkau berani masuk ke dalam ruang
peristirahatanku tanpa kuundang !" tegur patih Aluyuda pcnuh
nada tuntutan dan dampratan. Nafas patih itupun kedengaran
menderu-deru sehingga kincup hidungnya yang pampang itu
tampak menggelembung macam katak membusung perut.
Tampaknya pemuda yang semula mengulas senyum di bibir
itu mulai tergetar perhatiannya. Senyum hapus berganti
mengernyitkan keriput dahi dan berserulah ia dengan nada
penuh alun keheranan, "Paman, bukankah aku sudah biasa
masuk keluar di gedung paman " Adakah paman membuat
peraturan baru untuk sesuatu yang telah bertahun kulakukan
?" "Kebo Taruna!" seru Aluyuda masih bernada tergetar dan
bernafas kegeraman. Kedua matanya merentang makin lebar
seakan akan hendak menyinar hangus tubuh pemuda yang
dianggap lancang itu "memang telah kumanjakan engkau
dalam kebebasan keluargaku sendiri. Lantai kepatihan ini
boleh engkau pijak setiap saat, ruang bilik boleh engkau
masuki menurut keinginanmu. Tetapi Kebo Taruna. Engkau
bukanlah seorang anak kecil. Lagi pula engkau adalah putera
dari kakang Kebo A nabrang, senopati kerajaan Majapahit yang
termasyhur putus dalam segala ilmu tata-krama dan
kedigdayaan. Layakkah perbuatanmu masuk ke dalam bilik
ruangan ini pada waktu tengah malam buta begini?"
Mata patih Aluyuda yang dihangatkan oleh panas tuak dan
bara amarah, tampak menyala macam gundu mata seekor
kucing di malam hari. Dan mulutnya yang menghambur
rangkaian kata2 tajam itu, menghembuskan bau tuak yang
menusuk hidung Kebo Taruna. Sesaat pemuda itu tak dapat
berkata-kata. Memang apa yang dilontarkan patih itu, suatu
kenyataan. Ia mendapat kebebasan penuh keluar masuk
gedung kepatihan pada saat apapun yang dikehendaki. Tetapi
kedatangannya pada saat tengah malam selarut itu, memang
Baru pertama kali itu ia melakukannya. Dan itupun karena
terdorong oleh suatu keperluan yang amat penting. Setitik pun
ia tak mengira bahwa kedatangannya itu bakal mendapat
sambutan yang sedemikian panasnya.
Kebo Taruna menyadari dan dapat memahami kemarahan
patih Aluyuda. Hampir saja ia akan meminta maaf kepada
patih itu. Tetapi baru mulut hendak mengucap, tiba2
terlintaslah suatu perasaan dalam benaknya. Cepat sekali
perasaan itu berkembang menjadi suatu pengetahuan untuk
meneropong isi hati patih Aluyuda di balik kemarahannya itu.
"Hm, tentu begitulah keadaannya ....." ia menarik kesimpulan.
Keriput2 pada dahi Kebo Taruna mulai mengendor dan
kegeraman wajahnya diserempaki pula dengan seulas senyum
datar "Paman, sekiranya paman mengangagap kedatanganku
pada malam suatu kesalahan, Kebo Taruna bersedia
menghaturkan maaf dan rela menerima hukuman." Kebo
Taruna mengantar ucapannya dengan sebuah sembah.
Agak tersipu malu patih Aluyuda melihat sikap pemuda itu
yang meminta maaf dan menyerahkan diri dengan wajah
tersenyum. "Setan, rupanya dia dapat menduga isi hatiku"
gumamnya dalam hati. Namun ia tetap tak mau mengubah
seri wajahnya yang muram agar pemuda itu jangan mandapat
angin. "Kebo Taruna, soal hukuman akan kuputuskan nanti
sesuai dengan langkah kadatanganmu. Sesungguhnya,
mambawa keperluan apakah yang hendak engkau haturkan
kehadapanku sehingga ia mengharuskan dirimu datang pada
waktu malam selarut ini?"
Senjenak Kebo Taruna menghela napas agar dapat
mempertahankan keseimbangan antara mimik wajahnya
dengan getar hatinya. "Memang tepatlah kiranya pertanyaan
paman itu. Tetapi kurasa, paman tentulah sudah dapat
menduga persoalan apa yang akan kuhaturkan kehadapan
paman itu." Kebo Taruna tak mau segera menyatakan maksud
kedatangannya karena ia hendak mengulur waktu agar
kemuraman wajah patih itu terhapus. Ketegangan seseorang,
tak mungkin dapat bertahan sampai lama karena urat2 syaraf
yang meregang tegang itu tentu memerlukan pengerahan
semangat dan pikiran. Dan rupanya walaupun belum
seluruhnya berhasil namun tampak kerut dahi patih itu agak
mulai bergeliatan mengendor juga. "Taruna, jangan
mengulum sekam dalam mulut. Aku bukan dewa, bagaimana
mungkin mengetahui isi hatimu" Katakanlah lekas!" seru
Aluyuda masih bernada geram.
"Ah, paman Aluyuda," Kebo Taruna meriangkan senyum
"peribahasa mengatakan 'kalau tak berada-ada, masakan
burung tempua terbang rendah' Kalau tiada keperluan yang
amat penting, masakan Kebo Taruna berani datang pada
malam sebuta ini?" "Hm," Aluyuda mendesuh. Ia cukup kenal akan perangai
dan kecerdasan pcmuda itu. Sejak ayahnya meninggal akibat
ditikam dari belakang oleh Lembu Sora ketika sedang
bertempur melawan Adipati Rangga Lawe di sungai Tambak
Beras, Aluyuda telah memungut Kebo Taruna, merawat dan
melindungi seolah-olah sebagai seorang sahabatnya yang
telah meninggal itu. Tetapi sesungguhnya, Aluyuda
mempunyai tujuan tertentu. Kepada Kebo Taruna telah
ditanam pengertian bahwa Lembu Sora itulah pembunuh
ayahnya maka wajiblah Lembu Sora itu diperlakukan sebagai
musuh yang harus dibinasakan.
Kemudian kepada baginda, setiap ada kesempatan tentu
diungkatkan peristiwa Lembu Sora membunuh Kebo A nabrang
itu. Dimohonkan perhatian dan kebijaksanaan baginda untuk
mengadili perbuatan Lembu Sora itu. Kepada Lembu Sora,
Aluyuda mengatakan bahwa baginda tak puas atas
perbuatannya membunuh Kebo A nabrang. Lembu Sora hendak
dipindah ke lain daerah dan kedudukannya akan diganti Kebo
Taruna. Dengan siasat mengadu domba itu akhirnya
berhasillah ia memhuat Lembu Sora kchilangan pegangan dan
akhirnya mati dibunuh sebagai pemberontak.
Sejak itu Kebo Taruna tetap menjadi anak emas dari patih
Aluyuda dalam rangka mencapai cita-citanya merebut
kedudukan mahapatih dari tangan rakryan Nambi. Sebagai
putera dari Kebo Anabrang, Kebo Taruna selalu disambut
dengan rasa simpathi oleh para tanda, gusti, narapraja dan
nayaka dalam pura kerajaan, dari tingkat tinggi sampai lapisan
bawah. Kebebasan ruang gerak Kebo Taruna itu dimanfaatkan
patih Aluyuda yang menjadikan pemuda itu sebagai alat
pencari berita di kalangan para narapraja kerajaan.
"Kedatanganku ke mari ini tak lain yalah mempunyai
hubungan dengan keberangkatan mahapatih Nambi pagi tadi."
Kebo Taruna hentikan kata-katanya untuk menyelidik
perobahan rona patih Aluyuda "oleh karena menganggap hal
itu amat penting dan tak dapat kupertanggungkan sampai
besok pagi maka terpaksa malam ini juga aku memerlukan
datang menghadap paman."
Patih Aluyuda mengangguk pelahan "Hm, lalu apa saja yang
hendak engkau haturkan mengenai hal itu ?" Walaupun hati
mulai tergerak namun sabagai seorang patih yang banyak
makan asam garam pengalaman, terutama dalam soal2 adu
kelicinan, patih itu tetap tenang.
" Perjalanan dari pura kerajaan ke Lumajang, merupakan
perjalanan jauh yang harus melintasi hutan belukar, lembah
dan ngarai yang luas dan sepi . . . . ."
"Seperti peristiwa di hutan Pandawa daerah Kahuripan yang
lalu?" cepat patih A luyuda menukas dan menatap Kebo Taruna
dengan tajam. Seolah-olah patih itu sudah dapat menembus
isi dada pemuda itu. Setitik pun Kebo Taruna tak tampak tcrkejut mendengar
ucapan patih yang dapat menebak tepat apa. yang akan
diutarakan itu. Bahkan diciptakannya sebuah senyum agak
lebar sehingga gigi gerahamnya hampir tampak. "Adakah
sesuatu yang tidak berkenan dalam hati paman?"
"Hm " Aluyuda mendesuh "engkau menanyakan isi hatiku
atau hendak membongkarnya?" nada suara patih itu mulai
bergetar keras pula "bukankah engkau sudah mencuri dengar
isi hatiku tadi"."
Sejak diasuh dan dekat dengan patih Aluyuda, Kebo Taruna
makin meningkat tinggi mutu bicaranya. Cara menekuk,
mengembalikan, menangkis dan memancing hati orang
banyak dipelajarinya dari patih itu. Selama itu diam2 ia
mangagumi kepandaian lidah Aluyuda, pengetahuan yang luas
untuk membahas persoalan, menyesuaikan keadaan dan
mengatur rencana. Sayang pemuda itu tak menyadari bahwa
segala kepintaran patih itu pada hakekatnya hanyalah untuk
memintari orang demi kepentingan dirinya. Dan ketidaksadaran Kebo Taruna menjadi alat patih itu, membuktikan,
betapa licin patih itu dapat menggenggam hati orang.
"Ah, berat nian tuduhan paman kepada diriku," ia
mendesah, dengan sikap seperti orang kecewa. "paman,"
tiba2 ia memberingaskan sikap dan nada suara, "adakah
paman masih tak pereaya penuh kepadaku?"
Patih Aluyuda mendesah, memancing kelanjutan kata2
pemuda itu "Kudengar kata orang bahwasanya dalam laut itu
mudah diukur ....." "Tetapi hati orang sukar dijajaki, bukan!" lanjut Kebo
Taruna dengan cepat, "tetapi orang seperti Kebo Taruna yang
telah menerima budi besar dari paman Aluyuda, hingga bukan
saja pembunuh almarhum ayahku, dapat terbalas, pun
membimbing Kebo Taruna ke alam dewasa dan tangga
penghidupan yang layak. Tidak layak disebut manusia, paman,
bila aku tak tahu membalas budi, tak kenal kebaikan...."
berhenti sejenak untuk mengatur napas, ia melanjutka pula
"memang secara tak sengaja, tclah kudengar apa yang paman
katakan pada saat dirangsang daya tuak tadi. Tetapi bagi
Kebo Taruna, ucapan paman itu bukanlah suatu barang baru.
Bukan pula suatu penemuan untuk senjata menekan paman.
Tetapi suatu pcgangan yang makin tegas ke arah mana aku
harus mencurahkan tenagaku untuk membantu cita- cita
paman ....." "Kebo Taruna!" Aluyuda berteriak getar "lidah itu tak
bcrtulang . ?" "Kalau paman masih kurang yakin kepada diriku, atau
masih menyangsikan kesetyaanku, sekarang ini aku hendak
mengikrarkan sumpah di hadapan paman. Ya, para dewa di
langit menjadi saksi dan para baureksa di gedung kepatihan
ini yang meneguhkan kesaksian. Bahwa aku, Kebo Taruna,
apabila sekarang dan masa2 mendatang sampai mengandung
setitik hati yang tak setya kepada paman, biarlah aku mati
dengan luka arang keranjang !"
"Cukup, Kebo Taruna, cukuplah," seru Aluyuda dengan
wajah berseri cerah laksana bulan menyembul dari gumpalan
awan, "engkau adalah putera kakang Kebo Anabrang yang
sudah tak ubah seperti saudara sinarawedhi dengan aku.
Masakan aku tak pereaya kepadamu " Ha, ha, itulah jeleknya
orang suka bermabuk tuak, Kebo Taruna. Segala isihati,
mudah dikeluarkan. Jika orang menyimpan rahasia, sungguh
berbahaya sekali. Maka anakku, janganlah sekali-kali engkau
berhamba pada kesenangan minum, kenikmatan wanita,
kekalapan main, kedurjanaan maling. Kesemuanya itu, akan
menjerumuskan engkau ke dalam lembah kehancuran ".."
"Terima kasih paman," serta merta Kebo Taruna mengiakan
walanpun dalam hati mencemoohkan patih itu sendiri juga
seorang penganut dari faham 'Tuak itu pencipta impian indah',
dan faham 'Nafiu temaha dan durjana adalah perangsang
Keinginan'. Tanpa perangsang, keinginan pun padam,
semangat pudar dan lenyaplah daya juang seseorang.
"Kebo Taruna, duduklah," kata patih
terangkan maksudmu dengan tenang."
Aluyuda, "dan Angin baru yang menghembus kesegaran, terasa oleh Kebo
Taruna atas perobahan sikap Aluyuda. Iapun mengambil
tempat duduk berhadapan dengan sang patih. Setelah
mendapat perintah untuk menguraikan maksud kedatangannya maka Kebo Taruna pun mulai membuka
pembicaraan. "Dalam penjelasanku tentang perjalanan yang
ditempuh mahapatih Nambi ke Lumajang, tadi paman dengan
serentak mengungkat peristiwa di hutan Pandawa tanah
Kahuripan yang lain. Adakah maksud paman hendak
menyatakan bahwa rencana seperti yang kita lakukan pada
rani Kahuripan di hutan Pandawa tak sesuai untuk kita ulangi
kepada rombongan paman Nambi"!"
"Hm" patih Aluyuda mendesuh bukan rencana itu tak baik,
tetapi suasananya yang berlainan, Taruna."
"Ah, Kebo Taruna benar2 tak dapat menjangkau maksud
dari pada sabda paman bahwa suasananya lain. Dimanakah
letak kelainannya, paman?"
Patih Aluyuda mendehem untuk menekan batuk yang
hendak menggema dalam kerongkongan. "Rombongan rani
Kahuripan hanya diiring oleh empat puluh prajurit yang
dikepalai Rangga Tanding. Sedang kali ini keberangkatan
rakryan Nambi ke Lumajang disertai beberapa senopati2 yang
sudah termasyhur kegagahannya, diantaranya, Panji Anengah,
Panji Samara, Panji Wiranagari, Jaran Bangkal, Jangkung dan
Teguh. Bagaimana mungkin engkau akan menjalankan siasat
seperti terhadap rombongan Kahuripan dulu ?"
Kebo Taruna tertegun. Diam2 ia mengakui ucapan patih itu
memang tepat. Senopati2 yang mengiring rombongan
mahapatih Nambi itu memang termasuk golongan senopati
pilihan. Keperwiraan mereka sudah teruji dalam beberapa
medan laga. Diam2 pula ia merasa heran mengapa mahapatih
Nambi mengajak serta sekian banyak senopati itu. "Paman,
mengapa mahapatih Nambi mengajak serta sekian banyak
senopati perang?" Patih Aluyuda tiba2 meledak tawa "Ha, ha, ha, ha, haaa,"
makin lama nadanya makin keras dan panjang.
Kebo Taruna memandang, menatap dan meneliti wajah
patih itu. Makin lama makin jelas baginya bahwa di balik dari
keriangan tawa patih itu, mengandung sesuatu pernyataan
yang setelah direnungkan dalam2, segera Kebo Taruna dapat
menghayati suatu kesan "0, paman lah... tetapi..." Kebo
Taruna terhenti, merenung lalu menghela napas, "ah, benar,
otakku terbuntal lemak. Paman," tiba2 ia berseru dalam nada
01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ketinggian "mohon paman suka memberi penjelasan agar
Kebo Taruna terlepas dari kesakitan berpikir."
"Penjelasan apa yang engkau minta, Taruna ?"
"Mengapa rakryan patih amangkubhumi membawa serta
sekian banyak senopati perang."
"Apakah engkau menuduh hal itu aku yang mengaturnya ?"
"Di dalam dan di luar lingkungan pura Sripala-tikta ini tiada
orang kedua yang kukagumi sebagai juru pemikir yang lebih
hebat daripada paman Aluyuda!"
"Bagaimana kau bisa merangkai dugaan sejauhitu?"
"Paman tertawa !"
"Adakah tertawa itu suatu pernyataan ?"
"Jika yang tertawa itu lain orang, memang suatu tawa yang
bulat wajar. Tetapi apabila paman yang tertawa, tentu
mengandung makna yang berarti. Tawa paman terlampau
mahal dan paman terlalu sibuk untuk tertawa apabila tiada
mempunyai maksud." "Ah, makin besar engkau makin pandai mengada-ada, Kebo
Taruna." Kebo Taruna tak menyahut melainkan ikut tertawa. Sekedar
untuk menopang kemengkalan hati.
" Memang Taruna, tawa itu kecuali sebagai pernyataan dari
kegirangan hati dan perasaan ringan. pun oleh orang yang
berkecimpung dalam dunia perhubungan dan kalangan
pemerintahan, mempunyai makna tertentu. Sesuai dengan
perasaan yang dikandung, nadanya pun bermacam macam.
Yang bernada kering kerontang, termasuk tawa ejek. Yang
bernada nylekit itu tawa sindir. Yang bernada hambar itu
tawa-paksa, yang bernada membatu roboh, itu tawa geli.
Yang terbersit2 itu tawa tua, yang bernada dingin itu tawa
geram...." "Tawa tua" Apakah itu, paman?"
"Tawa orang tua yang sudah tiada bergigi sehingga
ludahnya membersit keluar dari geraham yang tiada berpagar
gigi itu," Aluyuda setengah bergurau.
Kebo Taruna ikut geli. Dengan sedikit senda-gurau itu,
dapatlah ia meraba bahwa kemarahan patih itu terhadap
dirinya sudah hampir lenyap. Maka iapun segera berkata pula
"Lalu apakah yang disebut tawa kucing itu, paman " "
Rupanya malam itu hati patih Aluyuda sedang dirangsang
kegembiraan. Seloroh Kebo Taruna itu ditanggapi dengan
tawa mengekeh "Heh, heh, tawa kucing itu tawanya seperti
kucing itu tawanya kaum lelaki yang melihat wanita ayu"."
"Adakah semua prja demikian?"
"Ya, hanya ada sedikit bedanya. Kalau anakmuda. tawanya
seperti kucing kecil yang masih takut2. Tetapi kalau orang tua,
seperti kucing tua yang tertawa melihat daun muda, ha, ha,
heh, heh?" Kebo Taruna terpaksa ikut tertawa, sekedar untuk
memeriahkan kegembiraan patih itu. Kcgembiraan yang masih
berbau pengaruh tuak. Malam dingin pun terasa hangat.
"Kebo Taruna," beberapa saat kemudian patih Aluyuda
membuka suara pula "bagaimana tanggapanmu dengan ikut
sertanya beberapa senopati itu pada rombongan rakryan
mahapatih Nambi " Adakah itu suatu keuntungan?"
Kebo Taruna kerutkan kening, sahutnya, "Masih belum jelas
bagiku, fihak manakah yang akan memperoleh keuntungan"
Fihak rakryan mahapatih atau fihak ....."
"Dari fihak rakryan mahapatih maupun fihak yang mengatur
rencana itu!" "0, jadi ada fihak yang mengatur rencana rombongan itu?"
Kebo Taruna cepat tumpahkan tatapan matanya ke wajah
patih Aluyuda. Tatapan yang memancar tuduhan kepada diri
patih itu. Namun mulut tak berani mengatakan.
Patih Aluyuda tertawa "Ha, ha, ha. jangan memandang aku
sedemikian rupa, Taruna! Seolah-olah aku seorang pcsakitan.
Anggaplah hal itu sebagaimana kenyataannya. Jangan
berkelebihan, jangan berkekurangan. Lekas engkau utarakan
pendapatmu." Nada jawaban patih itu cukup menjadi pengetahuan bagi
Kebo Taruna bahwa yang mengatur kepergian beberapa
senopati kerajaan menyertai rombongan mahapatih Nambi itu,
bukan lain adalah patih A luyuda sendiri. Kini ia mulai berusaha
untuk mengungkap tujuan daripada rencana patih itu. Dan ia
yakin patih Aluyuda tentu sudah mempersiapkan rencana
tertentu dalam soal itu. Penelusurannya bertolak dari segi
keuntungan yang akan diperoleh patih itu. Dirangkainya
dengan ucapan yang secara tak sengaja didengarnya ke luar
dari mulut patih beberapa saat tadi. Setelah agak lama
termenung, akhirnya dapatlah ia mendapat suatu rangkaian
kesimpulan. Sepintas pandang, bertemulah pemberangkatan para
senopati itu sebagai pengawal keselamatan rakryan
mahapatih. Begitu pula amat sesuai dengan tata
penghormatan dari seorang mentri yang berkedudukan
sebagai patih amangkubhumi kerajaan Majapahit," kata Kebo
Taruna, "tetapi kalau diteliti lebih mendalam, para senopati itu
termasuk golongan yang barfihak kepada rakryan mahapatih
Nambi. Dan apabila tinjauan sudah tiba pada titik itu maka
sesuailah dengan yang paman ucapkan tadi setelah harimau
pergi dari sarang, tak boleh lagi dia kembali. Agar sarang itu
benar2 bersih dari pengaruh sang harimau, maka semua anak
dan gerombolan harimau itu harus ikut pergi. Mohon paman
memberi pctunjuk apabila aku salah memberi penilaian."
Bagai wedang daun jeruk yang diaduk, maka bergejolaklah
isi dada patih Aluyuda mendengar uraian putera Kebo
Anabrang itu. Ia tak sangka bahwa kini putera senopati
Pamalayu itu telah dewasa jasmani dan pikirannya. Dalam
beberapa tahun mendatang lagi, pastilah anakmuda itu akan
lebih cerdik dan licin. Andaikata anakmuda itu pada suatu
ketika berbalik pikirannya, bukankah akan membahayakan
dirinya" Bukankah seperti kata orang 'memelihara anak
macan, apabila sudah besar tentu akan memakan tuannya'
"Hm, daripada anak macan itu jadi besar dan berbahaya,
bukankah lebih baik disirnakan saat ini juga"...." rangkaian
kekuatiran hati patih Aluyuda akhirnya dihantui oleh ketakutan
yang mencengkam lalu mengambil keputusan yang ngeri.
"Paman, mengapa seri wajah paman semerah itu?" tiba2
Kebo Taruna terkejut melihat wajah patih Aluyuda. Sepasang
mata patih itu bagai memancar sinar api yang berkilat-kilat.
Aluyuda cepat berbatuk batuk lalu mendehem seperti
hendak meredakan sengau batuknya. "Ah, menahan sengat
tuak yang panas di kerongkongan, Taruna, ah?"?" kembali
ia berdehem-dehem beberapa saat, meneguk air liur dan
mengusap usap dada. "Uraianmu itu tepat benar, Taruna,"
katanya setelah dapat menguasai perobahan air mukanya,
"memang pura kerajaan harus bersih dari pengaruh rakryan
Nambi dan komplotannya. Dan hal itu sudah terlaksana?""
"Kemudian tentu ada kelanjutannya, bukan?"
"Ya " sahut Aluyuda "coba katakan
kelanjutan yang sempurna itu, Taruna."
bagaimanakah Sesungguhnya apabila Kebo Taruna mau merenungkan arti
daripada perobahan rona patih Aluyuda tadi, tentulah ia dapat
mengatur langkah untuk menghadapi patih itu. Tetapi sayang,
ia masih kurang pengalaman, pula masih berdarah muda.
Pujian patih itu mengaburkan kewaspadaannya. "Untuk
menjaga harimau kembali ke sarangnya, tiada lain jalan
kecuali harimau itu harus dilenyapkan," ujarnya.
"Hm, tiada lain jalan lagi?"
"Kalau hanya dipancing supaya meninggalkan sarangnya,
harimau itu pasti akan pulang kembali. Maka di tengah jalan,
harimau itu harus ditumpas, paman !" kata Kebo Taruna
bersemangat. Makin terkejut hati Aluyuda melihat ketepatan arah pikiran
anakmuda itu. Diam2 ia makin kuatir terhadap putera Kebo
Anabrang itu. Apabila rahasia itu sampai bocor keluar atau
dibocorkan oleh Kebo Taruna, bukankah ia akan celaka. "Hm,
benih berbahaya ini harus lekas kulenyapkan bersama
mereka," diam2 pula Aluyuda merangkai angan2.
"Pikiranmu benar sekali," agar jangan diketahui bagaimana
perobahan airmukanya, cepat pula Aluyuda berkata "tetapi
tidak mudahlah kiranya untuk menghadapi gerombolan
harimau yang begitu banyak, Taruna."
Kebo Taruna termenung diam. Suatu sikap yang mengakui
kebenaran ucapan patih itu.
"Maka cara yang hendak engkau persembahkan kepadaku
yalah dengan cara yang telah engkau lakukan terhadap
rombongan Rani Kahuripan dahulu, tidaklah mungkin karena
tak sesuai dengan keadaannya "kata patih Aluyuda "harus
menggunakan cara lain."
"Ya?".," Kebo Taruna menyahut agak sekat karena ia tak
memiliki lain cara lagi "lalu bagaimana menurut kehenclak
paman?" "Sudah kupikirkan. Tinggal tunggu pelaksanaannya."
"0 " Kebo Taruna menggeletarkan kepala "apabila paman
pereaya kepada Kebo Taruna, akulah yang akan
melaksanakan rencana paman itu."
Patih Aluyuda menatap pemuda itu tajam2, seolah-olah
hendak meninjau isi hatinya. Sehingga Kebo Tatuna merasa
kikuk. Belum sempat ia membuka mulut, patih A luyuda sudah
mendahului Kebo Taruna, pekerjaan ini bukanlah suatu
permainan yang sepele, bukan pula suatu pekerjaan iseng.
Melainkan suatu tugas yang amat berbahaya, penuh akibatakibat yang menyangkut pemerintahan kerajaan. Sudahkah
engkau camkan hal itu ?"
Kebo Taruna menyertai jawabannya dengan mengangguk
kepala "Sudah, paman. Karena ibarat perburuan, kali ini bukan
memburu bangsa kijang dan rusa tetapi memburu gerombolan
harimau perkasa." "Engkau membuat perumpamaan yang tepat, anakku," kata
Aluyuda "memang yang hendak kita buru kali ini gerombolan
harimau yang dahsyat. Salah tindak, engkau akan mati
dicabik-cabik harimau itu."
"Kebo Taruna sudah menyadari hal itu, paman. Demikian
akibat yang harus ditanggung apabila hendak berburu raja
hutan. Namun hasil dari perburuan itu, memang benar2
memadai dengan bahaya yang kita hadapi. Kebo Taruna tak
gentar menghadapi tugas itu."
"Masih ada sebuah lagi," kata patih Aluyuda, "setiap
pekerjaan, belum tentu akan memperoleh hasil seperti yang
kita rencanakan. Andai kata, ya, andai engkau gagal
melakukan tugas itu dan engkau mati dibunuh mereka, itupun
sudah tiada ceritanya karena engkau sudah mempertaruhkan
jiwamu. Tetapi andai engkau tertangkap mereka dan dipaksa
mengaku siapa yang menyuruhmu melakukan perbuatan itu,
bagaimanakah jawabmu?"
"Seorang ksatrya harus berani bertanggung jawab atas
perbuatan yang dilakukannya "."
"Tidak menyinggung lain orang?"
"Sama sekali aku takkan menyangkut diri paman. Dan
paman," kata Kebo Taruna dengan nada tegas, "apabila aku
tertangkap, aku akan bunuh diri dengan patrem ini," ia
memperlihatkan sebilah keris kecil.
"Sungguh?" "Sungguh, paman!"
"Hebat, anakku," Aluyuda menepuk-nepuk bahu Kebo
Taruna "engkau bcnar2 mewarisi sifat2 keperwiraan dari
mendiang ayahmu, kakang Kebo Anabrang. Sungguh
bcrbahagialah kakang Anabrang mempunyai putera keturunan
seperti dikau, anakku."
"Paman," sahut Kebo Taruna "sukalah paman membatasi
rangkaian pujian kcpada diriku. Karena sebclum terbukti
melaksanakan tugas itu, bagaimana mungkin hatiku tenteram
menerima sanjung puji paman yang berhamburan laksana
sungai Bengawan diluap bah itu" Mohon paman segera
mengatakan rencana paman itu."
Aluyuda mengangguk-angguk "Dasar anakmuda, engkau
tentu serba tergesa-gesa, anakku. Baiklah, buyut desa
Kedungpeluk, adalah orangku. Artinya dia telah berhutang
budi kepadaku. Kedudukannya sebagai buyut desa itu adalah
berkat bantuanku. Oleh karena itu dia tentu bersedia
membantu kesukaranku. Parjalanan rombongan rakryan
mahapatih Nambi ke Lumajang itu tentu melcwati desa
Kedungpeluk. Akan kusuruh buyut desa itu untuk meminta
romhongan mahapatih bermalam di kebuyutan. Nah, anakku,
engkau harus mendahului rombongan mahapatih, tiba di desa
itu dan mengadakan pembicaraan dengan buyut desa. Engkau
harus menyaru menjadi pelayan dari buyut itu dikala menjamu
para rombongan priagung di malam harinya. Pada saat itulah
rombongan mahapatih akan tamat riwayatnya....."
"Oh " Kebo Taruna berseru terkejut mendengar rencana
patih itu " jadi paman hendak suruh aku ....."
"Cara itu satu satunya jalan yang sempurna dan
menghasilkan," tukas patih Aluyuda "tanpa mengeluarkan
tenaga dan korban jiwa, engkau sudah dapat menumpas
mereka." "Paman ?""
"Dua pucuk surat ini," cepat Aluyuda mendahului
mengeluarkan dua pucuk surat "yang satu, berikan kepada
buyut desa Kcdungpeluk. Dan yang satu untukmu tetapi
bukalah setelah engkau tiba di desa ini, jangan sekarang.
Lakukan menurut petunjuk dalam surat itu."
Dengan berdcbar-debar Kebo Taruna menyambutinya.
Kemudian patih Aluyuda berkata pula "Malam pun sudah larut
dan pembicaraan kita sudah cukup. Pulanglah beristirahat,
bcsok segera engkau berangkat."
Kebo Taruna memberi hormat lalu hendak tinggalkan
gedung kcpatihan " Tunggu " tiba2 patih Aluyuda berseru lalu
masuk ke dalam dan ke luar pula membawa dua buah
bungkusan "Ah, hampir aku lupa, maklum orang tua," katanya
"bungkusan besar ini berisi uang untuk bekal keperluanmu dan
bungkusan kecil ini berisi alat untuk melaksanakan perintah
dalam surat itu. Simpanlah baik2."
Kebo Taruna menerima lalu bertanya adakah masih pcsan
lain. "Tidak ada," kata patih Aluyuda seraya menguap. Tetapi
ketika pcmuda itu hendak beranjak, tiba2 patih Aluyuda
berseru pula "Eh, masih ada lagi, Kebo Taruna ".."
Kebo Taruna terpaksa hentikan tubuhnya.
"Kebo Taruna," mulai patih itu bersuara dalam nada
01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersungguh "pekcrjaan ini bukan alang pentingnya, pun bukan
kepalang bahayanya. Tctapi bukan alang kepalang imbalanya,"
patih Aluyuda meningkatkan nada suaranya "apabila engkau
berhasil melakukannya, tentu kuusahakan supaya engkau
diangkat sebagai Tumeraggung. Dan apabila aku sudah
menjadi mahapatih, tentu kunaikkan kedudukanmu sebagai
senopati dengan pangkat Rangga. Dan di samping itu masih
ada lagi sebuah hadiah yang paling berharga bagimu.
Damayanti, anak kemanakanku yang ayu itu, akan kuberikan
kcpadamu ....." "Sungguh, paman ?" Kebo Taruna menegas. Ketika patih
Aluyuda mengiakan, pcmuda itu serta merta bcrlutut mencium
kaki sang patih lalu berputar tubuh, loncat dan lari ke luar ......
Kebo Taruna hampir tak tidur. Setelah beristirahat dalam
keadaan meram2 ayam, ayampun bcrkokok. Masih dinihari
namun ia terpaksa berangkat bersama Jalak Ireng, kuda
berbulu hitam mulus yang menjadi kesayangannya. Ia tak mau
kepergiannya itu diketahui orang pura kerajaan. Suatu tugas
rahasia harus dilaksanakan secara rahasia pula, pikirnya. Pada
saat sang Surya mulai menyingsing, ia sudah berada di luar
pura, membiarkan diri dibawa lari sang kuda.
Pikirannya masih melayang- layang, tertinggal di pura Tikta
Sripala. Banyak nian peristiwa yang melalu-lalang dalam
benaknya. Bukan terbatas pada pembicaraan dengan patih
Aluyuda dan tugas yang diberikannya, pun pada lain2 soal
yang meliputi kehidupannya selama tinggal di pura Tikta
Sripala. "Dahulu karena gara2 rakryan Kuti lah maka aku tak jadi
diangkat menjadi patih Kahuripan. Aku meminta pertanggungan jawab kepada paman Aluyuda atas janjinya.
Dia segera memberi suatu rencana untuk mencegat
rombongan rani Kahuripan yang sedang beranjangsana ke
daerah2. Apabila puteri Tribuanatunggadewi dapat kuculik,
tentu jatuhlah martabat patih Adityawarman. Paman Aluyuda
akan mendesak kepada baginda supaya mencopot patih
Adityawarman dan mengganti dengan aku. Tetapi ah, rencana
itu gagal. Digagalkan oleh seorang pemuda tak dikenal ..... "
Kebo Taruna menggeram dalam kenangan kini paman Aluyuda
memberi tugas lagi untuk membasmi jiwa mahapatih Nambi.
Upahnya memang besar tetapi bahayanya pun tak kecil," ia
pejamkan mata, bereengkerama lebih lanjut dalam lamunan.
Tiba2 ia tersentak. " Ah, kalau aku berhasil ...... ya, apabila aku menjadi
tumenggung masakan Damayanti akan lepas dari tanganku ....
" ia tersenyum gembira. Mulut berkomat-kamit menelan liur.
Beberapa saat kemudian tiba2 ia merentang mata, agak lebar
dan makin lebar. "Tetapi, bagaimana kalau aku gagal dan
tertangkap" Bukankah aku tentu dibunuh" Ah, tidak, tidak
kalau demi meraih pangkat tumenggung aku harus kehilangan
Damayanti, kalau demi membantu tujuan paman patih aku
harus berpisah dengan Damayanti ah, tidak, tidak ?" aku tak
mau ?".tak mau?"" ketegangan yang meluap, mengejangkan seluruh urat, menggelorakan alir darah dan
seketika meraung panjang dan nyaring. Daun pohon yang
tumbuh di sakitar tempat itu terguncang-guncang bagai
dihembus angin, menyiak dan menyisih karena diterjang oleh
desau hembusan suara ruang yang menyusup jauh ke dalam
hutan dan menggema sepanjang lembah gunung.
Sekonyong konyong kuda Jalak Ireng berhenti. Binatang itu
seolah-olah mengerti untuk memberi kesempatan pada
tuannya menumpahkan kandungan hatinya. Puas meraung,
sejenak Kebo Taruna pejamkan mata, tenangkan pikiran serta
meredakan gejolak perasaan dan mengendorkan kekejangan
urat2. Ia mendambakan diri dalam kehampaan faham dan
menghanyutkan pikiran dalam arah yang tiada tujuan. Ia
bingung, gelisah dan terdampar dalam karang persimpangan.
Antara tugas dan suara hatinya kepada seorang dara jelita. Ia
ngeri membayangkan apabila sampai gagal dalam tugas dan
kehilangan dara itu. Rasa ngeri itu jauh lebih kuat dan
menumbangkan bayang2 kcbahagiaan apabila ia berhasil
melakukan tugas ..... Setelah beberapa saat terbenam dalam kehampaan, ia
tetap merasa tak menemukan suatu pegangan tempat
bcrlabuh pikirannya. Akhirnya iapun membuka mata. Tetapi
serempak pada saat kelopak mata merentang, mulutpun
menjerit kejut "Paman ra Tanca?"."
Seorang lelaki bertubuh kurus tinggi, memiliki kumis yang
terpelihara bagus dan sepasang mata yang tajam, tegak
berdiri beberapa langkah di muka Kebo Taruna Tangan kiri
lelaki itu mencekal sebuah kantong kulit. Ketika Kebo Taruna
menjerit jerit kalap lalu pejamkan mata berdiam diri, kemudian
membuka mata dan memekik kaget, tenang2 saja lelaki itu
mengawasinya. Bahkan ketika Kebo Taruna menyebut
namanya, orang itupun hanya tersenyum simpul.
"Engkau terkejut?" ucap orang itu, tenang bagai malam
larut bintang kemintang "mengapa?"
Ketenangan orang itu tetap tak meredakan kegugupan
Kebo Taruna "Mengapa paman ra Tanca berada di sini?"
Memang lelaki yang berada di tepi hutan itu bukan lain
adalah Tanca, tabib pura Tikta-Sripala yang masyhur sakti ilmu
pengobatannya. Oleh karena menjadi tabib keraton dan
termasuk orang kepereayaan baginda maka dia mendapat
gelar kehormatan rakryan atau ra Tanca. Pertanyaan Kebo
Taruna disambut ringkas "Biasa, Kabo Taruna, aku memang
sering mencari daun2 obat ke daerah pedalaman lembah dan
gunung. Setiap kali persediaan ramuan obat habis atau karena
timbulnya penyakit baru sehingga banyak orang yang minta
tolong kepadaku, aku harus menjelajah gunung dan lembah."
"0" seru Kebo Taruna mulai mereda kegugupannya
"sungguh mulia nian pekerjaan seorang tabib seperti paman
itu." Ra Tanca tertawa kecil "Demikianlah orang yang mengabdi
kepada ilmu haruslah mendarmabhaktikan ilmu itu dengan
amal kepada kepentingan sesama manusia ?""
"Segala ilmu, paman?" agak menggetar nada pertanyaan
Kebo Taruna. "Ya " sahut ra Tanca tegas, kemudian menyusuli "kecuali
ilmu kejahatan ilmu hitam, memang bertujuan untuk berbuat
jahat kepada orang, meraih keuntungan bagi dirinya sendiri."
Kebo Taruna merah mukanya. Ucapan tabib itu patah demi
patah bagai sembilu yang menyayat hatinya. Seolah-olah tabib
itu menyindir dirinya yang mau diperalat patih Aluyuda.
Seketika timbul bayang2 kecemasan adakah tabib itu
mengetahui segala gerak gerik dan ucapannya tadi "Paman ra
Tanca, tadi paman mangatakan bahwa pada waktu akhir2 ini
banyak orang meminta obat kepada paman. Apakah benar
terdapat gejala timbulnya penyakit baru ?"
"Benar " tabib itu mengiakan "dan yang mengidap penyakit
itu, kebanyakan di kalangan narapraja kerajaan. Sebagai tabib
keraton, mereka membebankan pengobatannya kepadaku."
"Penyakit apakah itu, paman" " Kebo Taruna agak terkejut.
Ra Tanca menghela napas "Sesungguhnya malu juga untuk
mengatakan hal itu kepada kaum muda."
"Mengapa " Kcbo Taruna makin haran.
"Karena yang mengidap itu pada umumnya malah golongan
orang tua." "Oh " Kcbo Taruna makin berkobar rasa keheranannya lalu
"penyakit apakah itu?"
"Hm, pcnyakit kotor atau penyakit perempuan, nak " agak
lemah nada ra Tanca mengucapkan kata2 itu seperti ia sendiri
juga ikut malu dengan kaum sebayanya yang menderita
penyakit itu. Kcbo Taruna kerutkan dahi.
"Setelah peperangan di Mandana selesai, maka para prajurit
kerajaan banyak memboyong wanita2 cantik. Memang
Mandana kedungnya orang cantik. Engkau tentu masih ingat
akan Rara Sindura yang menggemparkan pura kerajaan itu,
bukan" " sejenak ra Tanca memandang kepada Kebo Taruna.
Setelah pemuda itu menganggukkan kepala, iapun
melanjutkan pula boyongan wanita cantik dari Mandana itu
yang membawa penyakit kotor ?"." tiba2 ra Tanca hentikan
kata-katanya "sesungguhnya bukan mereka tetapi prajurit2
kerajaan itu sendiri. Dan wanita2 Mandana itu terjangkit
penyakit lalu menjangkitkan pula kepada lain orang. Rupanya
golongan narapraja juga ingin mendapat bagian. Mereka minta
pertolongan kepada seorang mentri yang berpengaruh untuk
mengusahakan hal itu dan berhasil."
"Siapakah mentri yang berpengaruh itu?"
"Patih Aluyuda ! " sahut ra Tanca "patih itu mendapat
kepereayaan erat dari baginda."
"Paman patih Aluyuda ?" ulang Kebo Taruna terkejut
"adakah baginda meluluskan ?"
Ra Tanca tertawa datar "Betapa tidak " Baginda Jayanagara
sendiri amat gemar akan paras cantik. Peristiwa Mandana itu
sesungguhnya akibat dari gagalnya baginda meraih Rara
Sindura. Sudah tentu baginda membcri perkenan hal itu terjadi
di kalangan narapraja kerajaan."
Dahi Kebo Taruna makin mengeriput dalam. "Tetapi heran
mengapa paman patih Aluyuda malah mendukung dan mau
mengajukan permohonan itu kepada baginda."
Kembali ra Tanca tertawa menggelegak. "Sudah tentu patih
itu bertindak begitu."
"Bcrtindak begitu " Mengapa ?"
"Masakan engkau tak tahu, Kebo Taruna. Patih Aluyuda itu
seorang yang cerdik sekali. Dalam rangka untuk meluaskan
pengaruh, sudah tentu ia selalu akan mengambil hati para
narapraja. Dan kedua kalinya, dengan pengaruh dari wanita2
Mandana yang cantik itu, ia dapat menguasai para narapraja
yang jatuh di bawah pengaruh kecantikan mereka."
"Oh " Kebo Taruna mendesuh. Wajahnya seketika berobah
pucat lesi. Makin keras dugaannya bahwa tabib itu sudah
mengetahui bahwa saat itu ia sedang melakukan tugas yang
diberikan patih Aluyuda. "Anak muda, apakah engkau sakit ?" tiba2 ra Tanca
melontarkan pertanyaan tajam, sekilas melihat perobahan
rona Kebo Taruna. Kebo Taruna tergugu-gugup "Ti".. dak, paman. Aku tak
sakit." Ra Tanca tertawa, "Memang badanmu tak sakit, tetapi
hatimu yang mengidap penyakit. Engkau sakit, anakmuda!"
"Ah, paman mengada-ada belaka," Kebo Taruna berusaha
untuk mengulas senyum di bibir.
" Bukan aku yang mengada ada, Kebo Taruna. Tetapi
engkau sendiri tadi yang mengatakan Damayanti...."
Kebo Taruna terbelalak "Jadi .... paman mendengar semua
ingauku tadi," tanyanya penuh debar.
"Ya, secara tak kusengaja " ra Tanca tersenyum simpul
"dan mengapa engkau menyangkal" Malu" Ah mengapa
engkau malu kepadaku, Kebo Taruna" Bukankah aku ini salah
seorang kawan baik dari mendiang ramamu kakang Kebo
Anabrang?" Kebo Taruna terpaku menung. Beberapa saat kemudian
baru ia dapat berujar, "Adakah paman tahu juga tentang diri
Damayanti itu?" Ra Tanca tertawa menggerutuk "Aku tabib istana, juga
salah seorang Dharmaputera baginda. Walau patih Aluyuda
tak mengatakan, tetapi baginda sudah memberitahu kepadaku
tentang Damayanti itu."
"Baginda" " Kebo Taruna melengking kejut.
Ra Tanca mengekeh "Benar, baginda Jayanagara. Eh, Kebo
Taruna, mengapa engkau tampak terkcjut?"
"Apakah hubungan baginda dalam persoalan Damayanti,
puteri paman patih Aluyuda itu?" Kebo Taruna menghambur
pertanyaan dengan napas memburu.
Ra Tanca gelengkan kepala dan menghela napas "Adakah
patih Aluyuda mengatakan bahwa Damayanti itu puterinya?"
"Ya, puteri kemenakannya."
"Dan engkau pereaya, Kebo Taruna?"
"Apa kataku?" Kebo Taruna mengangkat bahu.
Ra Tanca tertawa. Tiba2 ia berganti nada sarat "Bukan,
sama sekali Damayanti itu bukan puteri kemenakannya.
Memang patih Aluyuda amat cerdik sekali. Setelah tahu
baginda menanggung duka lara kasmaran pada Rana Sindura,
patih Aluyuda mengutus orang untuk mencari wanita yang
secantik Rara Sindura. Akhirnya di daerah Wengker telah
diketemukan seorang dara ayu. Sayang dara itu masih belum
dewasa. Maka oleh patih Aluyuda disimpan dulu. Entah
disengaja atau tidak, ternyata baginda dapat mengetahui hal
itu. Namun dengan keluwesan lidahnya, dapatlah patih
Aluyuda memohon baginda suka bersabar menunggu sampai
dara itu sudah cukup waktunya. Untuk sementara dara itu
diasuh di gedung kepatihan."
"Jadi Damayanti itu melengking makin tinggi. milik baginda?" Kebo Taruna "Adakah engkau belum tahu?"
"Tetapi paman Aluyuda mengatakan bahwa Damayanti itu
adalah puteri kemanakannya dan menjanjikan dara itu akan
diberikan kepadaku sebagai isteri!"
"Mungkin dia sudah mempunyai rencana untuk membunuh
baginda sehingga dapat memberikan dara itu kepadamu, Kebo
Taruna " seru Ra Tanca agak mengejek.
"Paman, apakah paman bicara dengan sungguh2" " tiba2
Kebo Taruna menegur tajam.
Ra Tanca terkesiap. Sejenak ditatapnya wajah pemuda itu
lalu "Eh, Kebo Taruna, aku seorang tua, seorang tabib istana
yang sering memberi pengobatan kepada orang. Bagaimana
01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang akan pereaya kalau aku lancung bicara " Apapula
terhadap engkau, Kebo Taruna, putera kakang Kebo A nabrang
yang kuindahkan itu."
"Gila! Mengapa paman Aluyuda berani menjanjikan dara itu
kepadaku ! Adakah dia sangaja hendak mempermainkan diriku
" Hm, jika dia berani melakukan hal itu, Kebo Taruna pun tak
terikat suatu apa lagi?"." tiba2 ia hentikan kata-katanya
karena menyadari bahwa hampir saja ia kelepasan bicara.
Namun hal itu tak luput dari pendengaran Ra Tanca yang
tajam nalurinya. Cepat tabib itu membuka mulut, "Anakku,
ada dua hal yang kudengar dari pembicaraanmu tadi,
mempunyai jalinan kait mengait. Pertama tentang janji patih
Aluyuda untuk memberikan sidara ayu Damayanti kepadamu.
Dan kedua tentang pernyataanmu yang terakhir bahwa
engkau tak terikat suatu apa dengan patih itu. Pada hematku,
kedua ucapanmu itu senapas dan senyawa pula." Ra Tanca
berhenti sejenak untuk memperhatikan sikap Kebo Taruna.
Dilihatnya pemuda itu terpukau dalam wajah yang kemerahmerahan.
"Anakku," Ra Tanca melanjutkan pula, "bahwa Damayanti
itu sudah tereium kehadirannya di gedung kepatihan oleh
baginda, memang suatu kenyataan. Dampratlah Ra Tanca
sekehendak hatimu apabila aku berbohong. Dalam hal itu
sudah tentu patih Aluyuda menyadari bagaimana tanggung
jawabnya kepada baginda. Tetapi bahwasanya ia masih berani
menjanjikan milik baginda itu kepadamu, tentulah ada
sebabnya. Dan kurasa tentu besar sekali imbalan yang engkau
berikan kepadanya sehingga ia berani menjanjikan dara itu.
Salahkah penilaianku ini, Kebo Taruna" "
Cara Ra Tanca menggali keterangan, memang halus dan
ketat. Apabila dengan tuduhan langsung, tentulah Kebo
Taruna akan menyangkal, paling tidak tentu tak mau berterus
terang. Tetapi dengan cara setengahnya masih meragukan
kebenarannya itu, Kebo Taruna terdampar dalam rasa
kesungkanan. Maka menyahutlah pemuda itu "Ah, paman
hendak mendesak aku kesudut kesulitan?"."
"Tidak, anakku," cepat2 Ra Tanca menyusuli kata-katanya
"sama sekali aku tak bermaksud hendak mempersulit engkau
ataupun hendak melucuti rahasiamu. Tetapi sebagai seorang
tua yang engkau sebut paman, sebagai seorang kawan dari
mendiang ramamu, aku mewajibkan diri untuk menolongmu.
Dan menurut naluriku. ada sesuatu yang tersembunyi dalam
hatimu. Sekira engkau lapang hati, tumpahkan kesulitanmu itu
kepadaku, anakku. Aku bersedia menerima bagian dari
kemurungan hatimu." Kelemahan hati anak muda pada umumnya apabila
disongsong dengan kata2 lembut. Dan Ra Tanca tahu akan
kejiwaan anak muda. Demikian pun dengan Kebo Taruna.
Terpereiklah dalam kalbunya bahwa Ra Tanca itu memang
salah seorang kawan dari mendiang ayahnya. Seorang tabib
yang pandai dalam ilmu pangobatan dan luas dalam ilmu
pengetahuan. Pereikan itu cepat menggelembung dan tumbuh
sebagai kuncup harapan. "Mengapa tak kutumpahkan
keadaanku kepada paman Tanca ini " Mungkin dia dapat
memberi saran yang dapat melapangkan perjalanan hidupku,"
pikirnya. "Paman, sesungguhnya amat malulah rasa hati Kcbo Taruna
kepada paman. Memang hatiku tengah mengidap suatu
persoalan berat. Tetapi rasanya berat pula rasa hati hendak
menumpahkan kepada paman," akhirnya ia mulai membuka
pembicaraan. " Kutahu, anakku," sahut Ra Tanca yang luas pengalaman
"bahwa persoalan berat yang engkau jenjang itu tcntulah
menyangkut suatu tugas penting yang teramat rahasia. Dan
rahasia itu tentu tak boleh engkau bocorkan kepada siapapun
jua. Benar, bukan?" Kebo Taruna terdiam tak menyahut maupun membuat
isyarat gerakan anggauta tubuh.
"Tetapi aku bcrjanji kepadamu, Kebo Taruna," kata Ra
Tanca dengan nada bersungguh "bahwa rahasiamu itu akan
kusimpan sendiri dan takkan kubcritahu kepada lain orang.
Dapatkah engkau pereaya kepadaku seperti mendiang
ramamu dahulu?" Kebo Taruna tersentuh perasaannya. Benar2 ia tak dapat
menghindar lagi, "Baiklah, paman. Kuminta paman benar2
dapat menetapi janji karena hal itu menyangkut keselamatan
Sakit Hati Seorang Wanita 4 Ketlka Flamboyan Berbunga Karya Maria A. Sardjono Keris Pusaka Sang Megatantra 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama