01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 20
untuk melanjutkan perlawanan yang bertujuan mencari
keadilan kebenaran itu. Mahapatih Nambi terharu mendengar ikrar mereka, ujarnya,
"Bukan aku sudah kehilangan semangat, adi-adi sekalian.
Tetapi aku benar-benar amat menyesal dan bersedih atas
peperangan ini. Namun karena tiada lain jalan yang harus
ditempuh, terpaksa kita harus melanjutkannya. Tujuan kita
makin jelas, kita mengangkat senjata untuk menuntut
penyerahan Aluyuda. Aluyuda harus kita paksa untuk
mengakui semua perbuatannya lalu kita bawa ke hadapan
baginda untuk mohon keputusan."
Demikian secara singkat, Lumajang mengirim pasukan
untuk menggempur Pajarakan dan serempak dengan itu,
Ganding pun mengirim lasykar untuk menyerang. Karena
terjepit oleh dua musuh, akhirnya pasukan Majapahit yang
menduduki benteng Pajarakan itu terpaksa lari meninggalkan
desa. Memang selama peperangan itu, banyak prajurit
Majapahit yang menderita luka tetapi hanya sedikit yang
binasa. Hal itu disebabkan karena seluruh anakbuah
Lumajang. Pajarakan dan Ganding mentaati pesan mahapatih
agar menghindarkan pertumpahan darah.
Senopati-senopati Lembu Peteng yang memimpin penyerangan ke Lumajang, tumenggung Ikal-ikalan Bang yang
mendapat perintah menyerang Pajarakan dan Jaran Lejong
yang bertugas menyerang Ganding, terpaksa pulang ke
Majapahit dangan membawa kekalahan.
0odwo0 II "Prajurit adalah untuk membela negara, menjaga
keselamatan dan keamanan negara. Jika tak mampu
menumpas pemberontak, lalu apakah guna kalian menjadi
prajurit?" baginda Jayanagara melontarkan kemurkaan kepada
para senopati yang menderita kekalahan dari Lumajang itu.
Tumenggung Ikal-ikalan Bang, Jaran Lejong, Lembu Peteng
dan lain2, menundukkan kepala, menjenjang sembah
memohon ampun. Mereka memohon agar, baginda berkenan
meluluskan mereka membawa pasukan menyerang Lumajang
lagi. "Hm, sebelum kuputuskan hal itu, aku ingin mendengar
pernyataan kalian!" Senopati-senopati yang menderita kekalahan dari Lumajang
itu serempak mengucapkan ikrar di hadapan baginda. Bahwa
mereka takkan kembali ke pura Majapahit sebelum
menghaturkan batang kepala dari para pemberontak di
Lumajang. Baginda mengangguk dan titahkan mereka menunggu titah.
Kemudian baginda berkata kepada patih Aluyuda. "Paman
patih, sungguh mengherankan apabila para tumenggung yang
kutitahkan menumpas Lumajang sampai menderita kekalahan.
Bukankah mereka senopati-senopati yang termasyhur gagah
berani" Apakah tak mungkin mereka bersekutu dengan para
pemberontak?" Patih Aluyuda tergagap mendengar pertanyaan baginda
karena merasa dialah yang mengusulkan para tumenggung itu
untuk memimpin penumpasan ke Lumajang. "Gusti junjungan
hamba," sembahnya, "menurut hemat hamba. perang itu
suatu ilmu yang membutuhkan pengalaman dan kecerdikan.
Perang tidak selalu ditentukan oleh besarnya pasukan,
lengkapnya peralatan. Tetapi dari pucuk pimpinannya serta
ketaatan dan kesetyaan para prajurit akan perintah
pimpinannya. Bahwa yang memimpin pemberontakan di
Lumajang itu adalah senopati-senopati ulung macam
mahapatih Nambi, Pamandana, Mahesa Pawagal, Panji
Anengah. Panji Wiranagari dan lain2, sungguh amat berat bagi
para tumenggung kerajaan untuk menghadapinya."
"Ho, Aluyuda" bentak baginda dalam nada masih murka,
"engkau maksudkan kaum pemberontak itu jauh lebih kuat
dari pasukan Majapahit " Jika demikian, apa perlunya kita
mengirim pasukan kesana " Bukan kah lebih baik kita
serahkan pura kerajaan ini kepada mereka !"
Patih Aluyuda tersipu-sipu mengunjuk sembah, "Ampun,
gusti, Bukan demikian yang hamba maksudkan. Hamba hanya
mengunjuk ulasan keadaan mereka agar kita dapat
memperhitungkan kekuatan mereka dan pembasminya."
Baginda Jayanagara mendesuh, "Hm, lalu bagaina menurut
pandanganmu cara untuk menumpas pemberontak itu?"
"Gusti," sembah patih Aluyuda, "para memberontak di
Lumajang itu terdiri dari mahapatih amangkubumi Nambi dan
mentri narapraja serta senopati yang terkenal dan
berpengaruh. Sukar rasanya senopati-senopati
yang berpangkat tumenggung, demang, demung dan lain yang
lebih rendah kedudukan dari mereka, akan dapat berhasil
menumpas mereka. Hanya orang yang lebih besar kedudukan
dan kawibawaannya, akan mampu menumpas mereka."
"Engkau maksudkan ketiga mahamentri Hino, Sirikan dan
Halu atau para tanda itu?"
"Bukan, gusti. Beliau itu tergolong mentri praja. bukan
mentri yuddha." "Lalu," baginda menegas.
"Kiranya apabila bersalah mohon gusti melimpahkan ampun
sebesar-besarnya," Aluyuda menyertakan sembah pula,
"hamba maksudkan paduka sendiri."
"Aku yang memimpin pasukan sendiri ?"
"Ampun gusti," wajah patih Aluyuda pucat
memperhatikan wajah baginda mengerut tegang.
tatkala "Bagus, Aluyuda," diluar dugaan baginda berseru memuji,
"memang hal itu sesuai dengan maksud hatiku. Aku adalah
keturunan dari raja ksatrya raden Wijaya yang termasyhur
kegagahannya di medan perang. Aku hendak menyatakan
kepada seluruh kawula Majapahit bahwa Jayanagara seorang
junjungan yang mampu menjaga kawibawaan kerajaan dan
mengayomi keselamatan kawulanya."
"Gusti," longgarlah kesesakan dada Aluyuda, "keluhuran
nama paduka pasti akan lebih bersemarak dan kewibawaan
Majapahit tentu akan makin menjulang tinggi, musuh kerajaan
akan rontok nyali dan seluruh kawula Majapahit akan
bersyukur gembira apabila paduka berkenan memimpin
pasukan untuk metenyapkan pemberontakan di Lumajang itu.
Ibarat lelatu, apabila dibiarkan tentu akan menjadi api yang
dapat membakar. Maka sebelum kaum pemberontak itu
bertambah besar, seyogyanya harus lekas2 ditumpas."
Maka keluarlah keputusan baginda untuk mempersiapkan
pasukan perang yang kuat dan baginda akan memimpinnya
sendiri. Patih Aluyuda diangkat sebagai mentri hulubalang,
membawahi para tumenggung yang menderita kekalahan itu.
Demikian setelah segenap persiapan selesai maka pada hari
yang ditentukan, berangkatlah baginda Jayanagara memimpin
pasukan perang menuju ke Lumajang. Gegap gempita soraksorai seluruh rakyat pura kerajaan mengantar keberangkatan
pasukan kerajaan. Bumi seolah-olah tergetar didera bende dan
genderang yang berkumandang menggetar jantung lapisan
rakyat yang memenuhi sepanjang jalan. Sangkakala meraungraung mengimbau irama keprajuritan agar bangkitlah
semangat para prajurit jangan terlelap oleh kesayuan suasana,
di mana para anak2 melambai-lambaikan tangan kepada
ayahnya, para isteri mengantar keberangkatan suami dengan
pandang mata berlinang-linang ......
Keberangkatan pasukan Majapahit itu amat memilukan.
Jarang suatu gerakan pasukan dipimpin oleh baginda raja
sendiri. Maka kesediaan baginda Jayanagara memimpin
pasukan itu, menimbulkan kesan bahwa negara sedang
terancam penyerangan musuh dari luar. Pada hal yang akan
digempur itu adalah seorang mahapatih amangkubumi
kerajaan dan mentri-mentri serta senopati-senopati Majapahit
sendiri. Rakyat bingung, gelisah memikirkan peperangan itu.
Walau pun mereka sudah mendapat penerangan dari
natapraja setempat bahwa di Lumajang telah timbul
pemberontakan itu dipimpin oleh mahapatih Nambi dan
beberapa mentri, senopati kerajaan, bahwa itulah sebabnya
baginda murka dan langsung memimpin pasukan sendiri untuk
menumpasnya, namun rakyat masih bertanya-tanya, dalam
hati. Rakyat sudah lama mengenal mahapatih Nambi dan para
mantri senopati itu. Mereka meragu dan agak tak percaya
kalau mentri-mentri kerajaan yang setya itu akan
memberontak. Namun para kawula itu tak dapat berbuat apa2
kecuali menghela napas, mengurut dada .......
Menjelang petang hari, tibalah pasukan kerajaan itu di desa
Rabut Carat dan baginda menitahkan bermalam di desa itu.
Buyut desa sibuk menyambut kunjungan tamu agung itu.
Seluruh rakyat desa dikerahkan untuk menjaga keamanan dan
mempersiapkan perjamuan. Keesokan harinya pasukan melanjutkan perjalanan
bermalam di desa Kapulungan. Selama dua hari itu, tiada
suatu peristiwa panting yang terjadi. Tetapi pada hari ketiga
ketika pasukan tiba di desa Kedung-peluk dan beristirahat di
kabuyutan, tiba-tiba baginda dikejutkan oleh dua orang prajuri
pengawal yang membawa seorang gadis ke hadapan baginda.
"Hai, engkau, Dhyani ....",seru baginda agak kejut.
Gadis itu memang Dhyani, putri patih A luyuda. Serta merta
ia duduk bersimpuh dan mengunjuk sembah. "Daulat tuanku,
hamba Dhyani menghaturkan sembah ke bawah duli paduka."
"Mengapa engkau menyusul kemari, Dhyani?"
"Hamba hendak mencari rama patih."
"Mengapa" Dhyani?" Adakah terjadi sesuatu dalam rumahmu, Dhyani tak lekas menjawab. Kedatangannya ke desa itu
memang perlu hendak menemui ayahnya untuk memberitahukan suatu peristiwa yang penting. Tetapi ketika
tiba di muka pesanggrahan, ia telah disambut oleh prajurit
penjaga dan langsung dibawa menghadap baginda. Kini
baginda menegurnya, apabila ia tak mengatakan terus terang,
ia takut mendapat hukuman. Namun kalau berterus terang,
iapun kuatir ayahnya akan mendapat murka baginda.
"Dhyani, mengapa engkau diam saja ?" tegur baginda pula.
"Di manakah rama patih, gusti?" Dhyani berusaha mengalih
pembicaraan. "Mungkin dia sedang beristirahat di tempat peristirahatannya di belakang pesanggrahan. Eh, apakah itu
suatu rahasia sehingga engkau enggan memberitahu
keperluanmu inenyusul ayahmu ke mari?"
Dhyani mengutuk prajurit yang membawanya kepada
baginda. Namun karena baginda mendesak, terpaksa ia
mengatakan. "Ampun gusti, sekiranya berita yang hamba
hendak haturkan kepada rama patih itu, tak berkenan pada
paduka." "Katakanlah." Dengan nada gemetar dan agak tersekat-sekat berkatalah
Dhyani, "Gusti, gedung kepatihan telah kecurian ....."
"O, hanya soal kecurian, Dhyani" Tak apalah, kelak akan
kuganti semua kerugian yang diderita paman patih," tukas
baginda tersenyum, "dan apakah para penjaga tak mampu
menangkap pencuri itu?"
"Mohon diampunkan, gusti ....." Dhyani menghatur sembah.
"Adakah milikmu ikut terbawa pencuri itu?"
"Tak ada, gusti."
"Lalu?" baginda mengerut heran "benda apakah yang
sedemikian berharga sehingga engkau perlu menyusul ayahmu
?" "Amat berharga sekali, gusti ......"
Baginda kernyitkan dahi. "Dhyani, berkatalah yang jelas,"
titah baginda agak bernada keras.
Dhyani gemetar, katanya tersendat, "Gusti ..... yang hilang
itu bukan benda, bukan pusaka ..... melainkan melainkan ?""
"Hai, Dhyani, mengapa engkau begitu ketakutan bicara"
Bukankah engkau seorang gadis yang lincah" Hayo, bilanglah,
tak usah takut." "Duh, gusti Dhyani menyembah pula," lalu dengan menunduk ia berkata sarat, "yang hilang
itu .... Damayanti ....."
Seperti mendengar petir berbunyi di tengah hari bolong, serentak melonjaklah baginda dari kursi, "Damayanti hilang"
...." Dhyani menunduk tak berani mengangkat muka beradu pandang. Ia mengunjuk sembah dengan
01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kedua tangannya. "Keparat !" baginda menghentakkan kakinya ke lantai
dengan murka, "siapa yang mencurinya!"
Dengan masih menunduk, Dhyani menjawab, "Kakang Kebo
Taruna, gusti ...." "Terkutuk si jahanam Kebo Taruna! Berani benar dia
mencabut kumis harimau," nada haginda bergetar-getar,
memantulkan hawa amarah yang meluap-luap, "bilakah
peristiwa itu terjadi?"
"Sehari setelah paduka meninggalkan pura kerajaan,
keesokan harinya Damayanti lenyap bersama Kebo Taruna."
"Prajurit," serentak baginda memanagil prajurit penjaga,
"tangkap patih Aluyuda dan bawa lah ke mari!"
Prajurit bergegas melakukan titah.
Dhyani pucat, gemetar. Mulut hendak berseru, hati
ketakutan melihat raja sedang murka. Tak berapa lama, patih
Aluyuda masuk diiring prajurit. Kedua tangan patih itu
dipegang erat oleh prajurit. "Rama ....." Dhyani menjerit dan
bangun menubruk kaki ayahnya, "rama, Damayanti .......
hilang ......." ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena
baginda memberi perintah agar prajurit menyingkirkan gadis
itu ke samping. "Aluyuda sudah tahu dosamu!" seru baginda.
Sesungguhnya waktu dibawa prajurit menghadap baginda,
Aluyuda terkejut heran. Ia tak berhasil mencari apa
kesalahannya namun ia yakin tentu timbul suatu masalah
besar sehingga baginda sedemikian murka kepada dirinya. Ia
terkejut ketika puterinya berada di tempat peristirahatan
baginda dan lebih terkejut pula ketika mendengar kata2
Dhyani. Cepat ia dapat merangkai apa yang telah terjadi
sehingga dirinya ditangkap. Dengan tenang ia menjawab,
"Kalau kata2 Dhyani itu yang menjadi pangkal kesalahan
hamba, hamba sudah tahu tetapi belum jelas."
"Damayanti hilang dibawa lari Kebo Taruna!" teriak baginda
makin murka, "perintahkan pasukan ini kembali ke pura Tikta
Sripala. Kerahkan seluruh prajurit Majapahit mencari Kebo
Taruna dan Damayanti. Bila gagal engkau akan kupancung
kepalamu, Aluyuda!" seru baginda. Betapa murka baginda
Jayanagara saat itu dapatlah ditilik dari seri wajahnya yang
merah padam dan sinar matanya yang seolah memancarkan
kilat berapi api! Namun patih Aluyuda tenang2 saja. Tampaknya ia sudah
kenal akan watak junjungannya. "Gila masakan seorang
Damayanti lebih penting dari menumpas pemberontakan
Lumajang" gumamnya dalam hati. Sejenak kemudian
berkatalah ia dengan nada tenang, "Gusti, hamba mohon saat
ini juga paduka suka menitahkan pelaksanaan hukuman
penggal kepala itu kepada hamba."
"Ho, engkau menantang Aluyuda?"
"Ampun gusti, serambut dibelah tujuh, tiada hati hamba
mengandung pelasaan semacam itu."
"Bukankah engkau minta dihukum sekarang?"
"Agar hamba tak menumpuk lebih banyak dosa pada
kerajaan Majapahit yang hamba cintai dan mengabdi selama
berpuluh tahun. Walaupun dalam peristiwa Kebo Taruna
melarikan Damayanti itu hamba tiada di rumah dan berada
dengan pasukan paduka di sini, namun hamba mohon gusti
jangan memperingan hukuman hamba."
"Hm," baginda Jayanagara mendesuh. Api kemarahan
tepercik setitik air bening. Ia menyadari alasan pembelaan diri
Aluyuda yang tak langsung itu memang dapat diterima.
Bagaimana mungkin patih yang sedang berangkat perang itu
dapat mencegah perbuatan Kebo Taruna. Akhirnya baginda
berkata pula, "memang secara langsung, engkau tak salah,
Aluyuda. Tetapi engkau tak luput dari kesalahan tanggung
jawab. Hitam putihnya perbuatan Kebo Taruna itu adalah
tanggung jawabmu. Demikian pula keselamatan Damayanti,
telah kuletakkan pada bahumu."
Aluyuda terperanjat dalam hati. Bermula dengan rangkaian
kata yang garang, ia hendak meruntuhkan kemarahan
baginda. Tetapi setelah baginda mengemukakan soal
tanggung jawab, maka menyempitlah nyali Aluyuda bagaikan
anjing bercawat ekor. Namun ia seorang patih yang banyak
akal. Walau dalam hati gemetar tetap ia bersikap tenang.
"Gusti, sekali-kali hamba takkan menghindari tanggung jawab
kesalahan itu. Dan hamba berjanji akan mencari Kebo Taruna
dan membawa Damayanti kembali ke gedung kepatihan.
Apabila gagal, hamba pun bersedia menerima hukuman
paduka. Tetapi hamba mohon, hendaknya paduka jangan
menarik pulang pasukan ke pura kerajaan. Hamba tak
menghendaki keluhuran nama paduka akan tersinggung oleh
cemooh mereka2 yang tak suka kepada paduka. Mareka dapat
melontarkan kata2 bersifat ejek yang tajam, bahwa paduka
lebih mementingkan seorang dara ayu daripada keselamatan
negara yang terancam oleh kaum pemberontak. Aluyuda
bersedia mati asal keluhuran nama paduka jangan sampai
tersinggung." "Hm," raja Jayanegara mendesuh pula, tiada menjawab.
Namun ketegangan wajahnya saat itu bukan lagi tersaput
awan kemarahan melainkan kerut2 pertimbangan hati.
Kesemuanya itu tak lepas dari mata patih Aluyuda yang
mengintai tajam2. Diam2 giranglah hati patih itu.
"Gusti," Aluyuda memanfaatkan lebih lanjut iklim
pembicaraan yang makin baik itu, "sesungguhnya hamba pasti
dapat mengamankan tanggung jawab terhadap diri
Damayanti, sesungguh pula peristiwa itu tak mungkin terjadi
apabila tiada gara2 para mentri narapraja yang bertingkah
ulah hendak memberontak ini! Pemberontakan itulah pangkal
dari malapetaka. Kerajaan paduka terancam dan dara ayu
yang paduka kehendaki, dilarikan orang. Maka apabila paduka
tercemooh, pun pemberontak2 Lumajang itu akan bersuka ria.
Kemungkinan lain yang lebih berbahaya adalah apabila kaum
pemberontak dapat memanfaatkan dikala pasukan kerajaan
sedang paduka titahkan ke luar dari pura mencari jejak Kebo
Taruna, mereka akan menyerbu pura Tikta Sripala. Bukankah
hal itu amat berbahaya sekali, gusti?"
"Cukup !" teriak raja Jayanagara "jangan membicarakan
soal itu lagi." Aluyuda tertawa dalam hati. Ia tahu bahwa raja telah
terdesak namun malu untuk mengakui kebenaran ucapan
Aluyuda. Patih itu berdatang sembah pula, "Untuk menebus
kesalahan hamba, mohon gusti perkenankan hamba kembali
ke pura untuk mengejar si keparat Kebo Taruna itu."
Raja Jayanagara kernyitkan dahi. Tenaga patih itu,
dibutuhkan dalam penumpasan kaum pemberontak di
Lumajang. "Tidak ...... tidak perlu. Engkau tetap ikut serta
dalam pasukan ini. Penangkapan Kebo Taruna akan kutitahkan
pada mentri-mentri Dharmaputera."
"Dengan demikian pasukan tetap menuju ke Lumajang,
gusti?" "Prajurit, antarkanlah patih Aluyuda kembali ke tempat
peristirahataiinya," baginda tiada menjawab penegasan
Aluyuda melainkan menitahkan seorang prajurit.
Dhyani menyertai ramanya yang ke luar dari hadapan
baginda dengan dada lapang.
0odwo0 III Pasukan Majapahit melanjutkan perjalanan ke daerah
Lumajang yang terletak di sebelah selatan. Selama dalam
perjalanan itu tampak baginda Jayanagara bermuram durja
dan cepat naik darah. Rupanya peristiwa hilangnya Damayanti
itu, menimbulkan kegoncangan besar dalam sanubari baginda.
Baginda pernah merasa luka hati sejak kehilangan Rara
Sindura. Dan hampir saja luka itu sembuh karena melihat
adanya persamaan wajah dan ulah Rara Sindura pada diri dara
Damayanti. Tetapi kini terjadilah peristiwa pula. Untuk yang
kedua kalinya, wanita yang berkenan dalam hatinya telah
dibawa kabur orang. Baginda Jayanagara merasa dirinya seorang raja diraja
yang besar kekuasaan dan luas telatah kerajaannya. Baginda
belum pula berkenan mempunyai permaisuri walaupun usia
baginda sesungguhnya sudah layak untuk menjenjang
mahligai pernikahan. Baginda memang amat gemar dengan
wanita ayu, paras cantik. Tetapi selama itu belum ada seorang
puteri atau wanita yang berkenan bersemayam dalam tahkta
hatinya. Hanya Rara Sindura seorang yang beruntung akan
dipersunting baginda. Tetapi jelita itu bernasib malang.
Menolak pinangan raja, melarikan diri dari keraton dan
terlunta-lunta dalam hutan. Akhirnya mati di ujung keris
suaminya, Kuda Lampeyan ........
Kini hatinya tertambat pada Damayanti namun dara itupun
telah dilarikan Kebo Taruna. Seketika tersinggung perasaan
agung Jayanagara dan brak .... karena tak kuasa menahan
luapan amarahnya, baginda Jayanagara yang saat itu duduk di
dalam ratha perang menghunjamkan tinjunya ke jendela
kereta. Jendela yang terbuat daripada kaca hancur
berhamburan keluar. Sais terkejut dan cepat hentikan ratha
sang nata. Tumenggung Tunggulyuda yang bertugas
mengepalai prajurit bhayangkara penjaga keselamatan
baginda, serentak memacu kudanya menghampiri ratha.
Betapa kejutnya ketika melihat kaca jendela ratha hancur.
Serentak ia meluncur turun dari kuda dan membuka pintu
ratha. Tetapi betapalah kejutnya ketika baginda menghardiknya dengan murka, "Mengapa berhenti ! Jalan
terus ... !" Tumenggung Tunggulyuda tersipu- sipu menyembah, naik
kuda dan memerintahkan sais mencongklangkan kuda. Sais
dan tumenggung Tunggulyuda melanjutkan perjalanan dengan
hati penuh rasa heran. Mengapa baginda murka pula"
Demikianlah pasukan kerajaan itu menempuh perjalanan
dengan sunyi dan hati-hati. Mereka menyadari bahwa
junjungan mereka sedang murka tetapi mereka tak tahu apa
yang sebenarnya menyebabkan baginda murka itu, Maka
merekapun berbaris dengan rapi, teratur dan penuh
keperihatinan karena takut kena murka raja.
Beberapa hari kemudian ketika pasukan kerajaan itu melalui
candi makam Pancasara, baginda menitahkan berhenti.
Baginda berkenan untuk mengunjungi candi makam itu karena
menurut perasaan baginda, seolah-olah baginda telah melihat
sepercik cahaya terang memancar dari puncak candi itu.
Namun baginda tak memberitahukan hal itu kepada para
pengiringnya. Sudah tentu langkah baginda menimbulkan
keheranan dan kehebohan pada rombongan pengiring raja.
Pada hal ketika lalu di Ratnapangkaya yang merupakan
asrama raja, baginda tak mau singgah.
Baginda menitahkan supaya para pengiringnya menunggu
di luar. Setelah itu baginda masuk seorang diri. Candi itu sunyi
senyap, seolah tiada berpenghuni. Namun ketika baginda
melangkahkan kaki ke pintu candi, segera baginda tertumbuk
pandang pada seorang resi yang amat tua renta. Rambut, alis,
kumis dan janggutnya yang putih menjulai ke bawah menutupi
dada. Sepintas pandang resi tua itu seperti mengenakan baju
putih. Pada hal dia bertelanjang dada dan hanya mengenakan
kain cawat. Resi tua itu pejamkan mata, duduk dalam sikap
Dhyanamudra, telapak tangan kanan di atas telapak tangan
kiri di pangkuan. Suatu sikap mudra untuk melepaskan seluruh
gangguan pikiran, memusatkan pengheningan cipta.
Baginda Jayanagara sejenak berhenti lalu melanjutkan pula
langkah menghampiri ke muka pandita tua itu. Ia berhenti dan
memandang lurus kepada pandita itu, meneliti keadaannya.
"Namo Seri Maharaja Wilwa-Tikta yang bertahta di pura
Sripala-Tikta ..." tiba-tiba kedengaran mulut pertapa itu
berkomat-kamit mengucapkan kata2 penyanjung hormat
kepada baginda. Baginda Jayanagara terkesiap, "Selamat sejahtera bagi sang
Resi penunggu candi makam Pancasara," ucap baginda
membalas hormat. "Resi buta Manokamma mohon ampun apabila kurang
susila menyambut kedatangan raja Wilwa-Tikta yang agung
dan berkuasa. Karena kedua mata resi Manokamma telah buta
dilapuk usia." Baginda makin terbeliak. Kiranya resi tua itu telah buta
matanya. Tetapi mengapa dia tahu akan kedatangannya,
bahkan tahu pula bila yang datang itu seorang raja" Baginda
terlongong heran. "Resi Manokamma, bagaimana engkau
mengetahui tentang diriku?"
Resi Manokamma menjawab, "Sudah sejak kehilangan indra
penglihatan, resi tua Manokamma melihat, merasa dan
mengetahui dengan. indra Manokamma"
Baginda terkesiap pula. Manokamma yalah Pikiran. Hanya
seorang wiku yang telah mencapai taraf kesempurnaan bathin
tingkat Krtyasnustana, dapat memperhatikan segala kegiatan
dari serba ada dari tiada serta gerak gerik badan. Dan
teringatlah baginda akan cahaya mencorong yang memancar
ke luar dari puncak candi tadi. "Duh, sang Resi, mengapa tuan
berada dalam candi makam yang serusak ini?"
"Aduhai, tak lama lagi tubuh tua ini akan terbujur di tanah,
menjijikkan, tiada berguna ibarat sebatang kayu bakar yang
telah habis dimakan api. Apa guna kita bermanja mara atau
nafsu2 kesenangan apabila kita menyadari bahwa hidup itu
suatu samskara, suatu derita. Hidup bukan ditentukan
tercapainya mara2 yang memuaskan hati kita tetapi dari nilai
hidup Benar yang telah dijalankannya."
Jayanagara tertegun. Walaupun belum meresapi secara
mendalam tetapi ia tahu bahwa kata2 yang diucapkan resi tua
itu merupakan untaian mutiara kata2 yang berhamburan dari
ikatannya. "Sang resi, kelak akan kutitahkan untuk
membangun candi makam ini."
"Kurasa tak perlu," sahut resi tua itu, "yang mati hanyalah
tinggal tumpukan tulang2 rapuh. Pergunakan dana kebajikan
untuk kesejahteraan yang hidup dan pengembangan
Kebenaran." Jayanagara mengangguk. Hanya beberapa kejab bertukar
ucap dengan resi tua itu, seolah olah ia telah mendapat
01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sesuatu yang menerangi meredakan amarahnya. Tiba-tiba
timbultah pada pikiran baginda untuk bertanyakan sesuatu.
"Sang Resi, dapatkah engkau menerangkan bagaimana
perjalanan hidup yang akan kutempuh kelak?"
"Wahai, mengapa mengenangkan yang lampau, memikirkan
yang kelak datang" Yang penting adalah masa sekarang. Yang
lampau sudah mati, yang kelak datang adalah hasil dari apa
yang kita tanam sekarang," tiba-tiba resi tua itu pejamkan
kelopak mata. "Aparek tekang hayu ri kita. Siddhayoga tayassate,
samangkanaikang kasiddhyan abhimuka ika kabeh, agya
kapangguha denta" tiba-tiba resi tua itu bersuara seperti
orang mengingau, "ah, demikianlah seperti yang kulihat dalam
perjalanan hidup tuan. Telah mendekat kebahagiaan demikian
pula tentang kesempurnaan itu, semuanya ada di depan
paduka. Segera akan paduka jumpai ...."
"Apakah artinya itu, sang resi?"
"Ah, kodrat alam tak dapat dihindarkan dan rahasia alam
tak dapat kuterangkan. Yang penting, ingatlah bahwa akan
terjadi peristiwa yang penting dan menggempar, yakni
membasmi bhuta menangani ratu ..."
"Ah" Jayanagara teriesiap heran, "membasmi bhuta"
Bukankah bhuta yang berarti raksasa" Mengapa pula
menangani ratu?" "Itulah kegaiban alam, baginda. Manusia berbuat, Kodrat
mengerat ....." Setelah beberapa jenak berdiam di candi makam, akhirnya
raja Jayanagara pun mengucap selamat tinggat dan
melanjutkan perjatanan pula. Menjelang petang rombongan
prajurit Majapahit bermalam di Kedungpeluk.
Selama terjadi percakapan antara baginda dengan resi tua
Manokamma dari candi tua, diam2 patih Aluyuda menyelinap
ke pintu belakang dan mendangarkan pembicaraan mereka.
Ketika malam, ia segera kembali menuju ke candi tua yang tak
berapa jauh letaknya. "Ah. mengapa tuan kembali seorang
diri" Bukankah tuan sudah mendengar semua pembicaraanku
dengan baginda siang tadi?" tegur resi Manokamma.
Aluyuda terkejut sekali. Mengapa resi tua itu tahu akan
perbuatannya mendengar pembicaraan baginda dari pintu
belakarig candi. "Bagaimana engkau tahu hal itu, sang resi?"
tanyanya. "Hidungku peka sekali akan setiap angin yang membawa
bau manusia. Tubuhmu adalah tubuh yang bersembunyi di
pintu belakang candi tadi siang."
Aluyuda makin terbelalak. Resi tua itu benar2 sakti tiada
taranya. Seketika timbullah suatu pikiran patih itu. "Resi
Manokamma, aku patih Aluyuda yang mendapat kepercayaan
besar dari baginda raja Jayanagara. Kemungkinan baginda
akan mengangkatku sebagai patih amangkubhumi setelah
patih amangkubhumi yang lama dapat dibinasakan karena
memberontak." "Maksudmu ?" "Tuan adalah seorang resi yang sudah mensucikan diri dari
debu kotoran dunia. Sedang aku masih mendapat beban untuk
mengurus negara ....."
"Karena engkau sendiri yang menginginkan" tukas resi tua
Manokamma, "engkau berhamba pada Mara."
"Aku seorang narapraja, tak mungkin aku lari dari tugas
kewajiban negara," bantah patih Aluyuda, "karena itu sang
Resi, kumohon ilmu kesaktian agar kelak aku dapat
menanggulangi beban kewajiban yang berat."
Resi Manokamma mendesuh, "Ah, maksudmu ilmu
kesaktian yang berupa aji mantra dan ilmu kedigdayaan ?"
Patih Aluyuda mengiakan. "Ah, engkau salah jalan, ki patih. Aku tak mempunyai suatu
ilmu kesaktian apa2. Ilmuku ilmu Kebenaran, kesaktianku
kesaktian Bathin yang sadar. Senjataku adalah Kesucian hati.
Jika engkau menghendaki itu, dapatlah ....."
"Bukan itu yang kumaksud, resi," buru2 patih Aluyuda
berseru, "yang kuminta memang ilmu aji kesaktian atau
pusaka bertuah." "Aku tak mempunyainya," seru resi tua, "dan memang
kuanggap tak perlu. Karena hanya manusia yang masih
dikuasai oleh Mara jahat. tamak akan kemenangan, rakus
benda2 keduniawian, memerlukan ilmu dan pusaka semacam
itu." Patih Aluyula tersinggung. Diam2 ia mengkal dalam hati
namun ditahannya. "Baiklah, sang Resi, jika engkau tak
memiliki, cobalah sekarang engkau terangkan nasib hidupku."
Di luar persangkaan, resi tua itu segera menyambut, "Baik,
cobalah berikan tangan kirimu." Patih A luyuda mengangsurkan
telapak tangan kirinya dan resi itu mendekatkan ke hidungnya
dan membaunya, "Ah ........." desuhnya sesaat kemudian.
"Mengapa ?" seru patih A luyuda.
"Aku membau tubuh seekor ular besar yang anyir. Darah
....... ya, dia sedang hendak menelan seekor harimau yang
luka berlumuran darah. Di sekeliling ular itu berserak bangkai2
binatang, kelinci, domba, kerbau, bahkan ayam pun ada .....
Akhirnya ular itu berhasil menelan harimau ke dalam perutnya.
Tetapi ular itu amat rakus sekali. Seekor harimau masih belum
puas. Ia melalap juga seekor kerbau. Kerakusannya itu
menimbulkan celaka. Setelah kerbau ditelannya, perut ular
menjadi mekar besar sekali dan akhirnya pecahlah".. Anjing,
kucing, burung dan berpuluh binatang kecd berhamburan
datang menerkam tubuh ular. Ular itupun mati dengan tubuh
cineleng neleng, dicabik-cabik oleh ratusan ekor binatang ..."
"Huh" cepat patih Aluyuda menarik tangannya, "apa yang
engkau ocehkan itu?" Ia marah sekali atas kata2 yang
diucapkan resi tua tentang nasibnya. Ia memang pintar dan
berpengalaman. Cepat ia dapat menyelami arti dari kata2
kiasan resi itu. "Aku hanya mengatakan apa yang kudapatkan pada telapak
tanganmu" resi Manokamma menyahut tenang.
"Bohong!" teriak patih Aluyuda, "engkau bukan dewa,
bagaimana mungkin engkau dapat mengetahui nasib orang.
Yang jelas, nasib orang itu berada tangan orang itu sendiri!"
"Benar," sahut resi tua pula, "karena sudah malam, silahkan
tuan kembali. Akupun hendak beristirahat."
Aluyuda geram sekali kepada resi tua itu. Meramalkan
nasibnya jelek dan tak menghormatinya.
"Resi tua, aku tak percaya kalau engkau tak mempunyai
ilmu atau pusaka. Berikanlah kepadaku!"
Resi tua Manokamma tak menyahut. Ia duduk pejamkan
mata laksana sebuah patung. Melihat itu tak kuasa pula patih
Aluyuda menahan amarahnya. Ia menerima keterangan
nasibnya yang buruk, ditolak permintaannya dan saat itu tak
diacuhkan sama sekali oleh seorang yang walaupun derajatnya
seorang resi pandita tetapi kedudukannya hanyalah sebagai
penunggu sebuah candi makam. Dimana seseorang masih
dilekati dengan rasa ke Aku-an yang angkuh, perasaannyapun
mudah tersinggung dan nafiu amarahnyapun cepat
merangsang. Tambahan pula baru saja berapa hari yang lalu
ia kena murka baginda. Maka meletuslah hawa amarah,
mengoyak kepundan hati, mengalir keseluruh tubuh. "Resi
tua" ia mencabut keris dan diacungkan kemuka resi
Manokamma, "bila engkau menolak, keris ini akan bersarang
kedadamu ....." Tubuh resi tua Manokamma tetap mematung.
"Resi tua, engkau... engkau benar2 tak memandang mata
padaku. Bukan Aluyuda peribadi yang berdiri dihadapanmu
tetapi seorang patih kerajaan Majapahit, hayo bicaralah."
Namun resi itu tak bergerak sama sekali. Melihat itu patih
Aluyuda menjadi mata gelap. Ia benar2 merasa diremehkan
oleh seorang resi tua lagi buta.
"Resi tua, terimalah pusakaku!" Cret ia menusukkan keris ke
dada sang resi. Tetapi alangkah kejutnya ketika keris serasa
membentur keping baja, "oh, setan laknat engkau! Engkau
mengatakan tak punya ilmu kesaktian tetapi nyatanya engkau
mengunjuk kesaktian!"
"Kejahatan selalu kalah oleh Kesucian!" tiba-tiba resi
Manokamma membuka mulut pelahan.
"Bohong, engkau pengecut. Kalau engkau benar2 suci,
berikan patimu!" "Engkau akan menambah
menganak bukit itu?"
tumpukan dosamu yang "Dosa" Ha, ha, hanya manusia yang takut mati seperti
engkau berselimut kata2 dosa! Kalau takut berberdosa, jangan
hidup!" "Baik, aku memang takut dosa dan kasihan kepada hamba
mara yang memenuhi mayapada ini."
"Hm, engkau terlalu sombong! Tetapi nyatanya engkau
masih tamak hidup, masih tak merelakan patimu, masih
mengunjuk keangkuhan bicara!"
"Dari alam sunyi kita lahir. Setelah mati kita pulang ke alam
sunyi itu. Mati adalah tak beda dengan pulang ke tempat asal.
Tempat asal itu Kehidupan yang sebenarnya. Maka hidup itu
sebenarnya mati dan mati itu sesungguhnya hidup ....."
"Sudahlah, jangan bicara tak keruan. Aku bukan minta
ajaran tentang hidup dan mati tetapi minta bukti bahwa
engkau benar2 tak takut mati. Tunjukkanlah jalan patimu, hai
resi tua." "Baik, jika engkau benar2 menghendaki demikian,
hunjamkan kerismu ke tubuhku lagi," sahut resi Manokamma
dengan tenang. "Resi, akan kusempurnakan jiwamu," seru patih Aluyuda
seraya menikamkan kerisnya ke dada. Cret ".. ujung keris
menembus dada dan ketika dicabut, darah pun mengalir
deras. Namun sepatahpun resi tua itu tak mengerang
kesakitan. Dengan pandang mata penuh kasih sayang, ia
menatap patih Aluyuda "Terima kasib Aluyada, aku segera
akan berangkat. Aku tak mendendam kepadamu. Hanya
pesanku. ingatlah ....... harimau itu akan dicabik cabik
tubuhnya oleh berpuluh ekor binatang kecil!"
Habis mengucap, kepala resi tua itu terkulai dan jiwanya
pun melayang. Ia masih tetap duduk dalam sikap mudra.
Aluyuda terpukau ketika melihat sepercik cahaya kemilau
meluncur ke luar dari ubun2 kepala resi Manokamma dan
membumbung ke puncak candi lalu lenyap. Sesaat kemudian
ia terlepas dari cengkaman hawa amarah dan timbullah rasa
sesalnya, Mengapa ia harus membunuh resi tua itu" Apakah
faedah dan kepentingannya" Ia tak dapat menemukan
jawaban kecuali melihat kenyataan yang dihadapinya. Resi tua
itu sudah mati dan yang mati tak mungkin dapat hidup
kembali. Segera ia menyarungkan keris, setelah memberi
hormat kepada jenazah sang resi, ia melangkah pergi.
Demikian peristiwa pertama yang dijumpai pasukan
kerajaan sepanjang perjalanan menuju ke Lumajang. Dan
peristiwa kedua terjadi ketika pasukan yang dipimpin raja
Jayanagara sendiri itu hampir tiba di desa Ganding. Saat itu
menjelang tengah hari tetapi terik matahari tak terasa
membakar karena rombongan prajurit-prajurit tengah
memasuki sebuah hutan di lereng gunung Bromo.
Tiba-tiba barisan di muka berhenti. Seorang tamtama
menghadap patih Aluyuda memberi laporan, "Gusti patih, di
tepi hutan terdapat seorang yang sedang bertapa di bawah
pohon beringin tua."
Patih Aluyuda kerutkan dahi, tegurnya, "Apa hubungan
pertapa itu dengan barisan kita maka engkau tergopoh
melapor kepadaku ?" Tamtama itu mengujuk sembah hormat, "Ada sesuatu yang
tak wajar dan mengganggu perjalanan pasukan ini, gusti."
"O" desuh patih Aluyuda mengernyit kening, "apakah itu?"
Ketika barisan berkuda pelopor pasukan melalui pohon
tempat pertapa itu duduk, kuda meringkik-ringkik dan
malonjak-lonjak binal. Demikianpun ketika prajurit-prajurit
berjalan lewat di tempat pertapa itu, bulu tengkuk mereka
serasa tegak meremang dan berdebar-debar. Bahkan ada
beberapa prajurit yang tiba-tiba seperti tercekik lehernya ....."
"0," kembali patih Aluyuda mendesuh lebih keras, "menurut
pendapatmu, adakah hubungan antara pertapa itu dengan
peristiwa2 kuda meliar dan prajurit kita yang merasa tercekik
lehernya itu?" "Tumenggung Ikal ikalan Bang menitahkan supaya pasukan
berhenti dan hamba pun dititahkan melapor kepada gusti
patih." "Apakah tumenggung Ikal ikalan Bang tak dapat mengatasi
soal itu?" "Sudah, gusti. Tetapi tampaknya tumenggung pun
kewalahan. Ketika beliau hendak menghampiri, beliau seperti
terdorong oleh tenaga kuat yang tak kelihatan sehingga
tersurut mundur." Patih Aluyuda merenung. Memang ia percaya bahwa di
bumi Majapahit itu masih banyak terdapat orang2 yang
memiliki ilmu sakti. Peristiwa dengan resi tua Manokamma
merupakan salah satu pengataman. "Tentulah pertapa itu
seorang orang tua, bukan ?"
"Tidak, gusti," sahut tamtama "menilik usianya, dia masih
muda, disekitar umur tigapuluh tahun. Rambut dan
janggutnya masih hitam kelam tetapi tubuhnya amat kurus."
Mendapat jawaban itu terkejutlah patih Aluyuda.
Perhatiannya cepat tertarik akan keterangan bahwa pertapa
sakti itu seorang muda usia. "Tunjukkanlah aku ke sana."
Ketika tiba di tempat pohon beringin tua, patih Aluyuda
dapatkan apa yang dilaporkan tamtama tadi memang benar.
Seorang pertapa yang masih muda tampak duduk bersila di
bawah pohon. Kedua tangannya terbuka dan diangkat ke
muka dada, menengadah ke atas, seolah seperti sedang
memohon berkah kepada Hyang Widhi. Lebih terkejut pula
hati patih itu demi habis meruntuhkan pandang mata meneliti
keadaan pertapa itu. Ia serasa sudah pernah melihatnya.
Namun karena rambut pertapa itu terurai lepas hampir
menutupi mukanya, ia masih meragu.
"Pertapa, siapakah nama tuan yang mulia?" tegur patih
Aluyuda seraya maju menghampiri lebih dekat.
Pertapa itu tak menyahut melainkan mangangguk. Suatu
isyarat bahwa ia mandengar kata2 patih Aluyuda tetapi tak
mau menerangkan namanya. Patih Aluyuda mempunyai kesan
01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendalam kepada resi tua Manokamma. Maka dalam
menghadapi seorang pertapa di bawah pohon beringin itu,
Aluyuda tak berani bertindak kasar.
"Pertapa, kami tak sekali-kali bermaksud mengganggu
ketenanganmu. Tetapi hendaknya tuan pun jangan mengusik
perjalanan anak prajurit pasukan Majapahit yang sedang
melalui hutan ini." Mendengar ucapan patih Aluyuda, tiba-tiba pertapa itu
membuka mata dan memandang patih Aluyuda
"Siapakah tuan ?"
"Patih Aluyuda dari kerajaan Majapahit."
"Majapahit?" pertapa muda itu mengulang kejut, "0, dewa,
dewa adakah ketentuan ini yang harus kuterima?"
Aluyuda terkesiap heran. Ia tak mengerti apa yang
diucapkan pertapa itu. "Pertapa, apakah maksud ucapanmu?"
"Pada satu saat aku bingung karena kehilangan pegangan
hidup, arah pijakan. Aku bertawakal memohon petunjuk
dewata. Aku mendapat wangsit halus supaya bertapa. Kelak
apabila datang priagung utusan kerajaan kehadapanku,
disitulah aku bakal menemukan jalan hidupku."
"Tentulah utusan kerajaan Majapahit yang di maksudkan
dewata." "Bukan" tukas pertapa muda "utusan dari fihak kerajaan
manapun, pokok yang pertama-tama tiba dihadapanku, itulah
yang wajib kuturut."
"Bagus sang pertapa," seru patih Aluyuda, "bahwa ternyata
yang berhadapan dengan engkau ini patih dari kerajaan
Majapahit, cukup menandakan bahwa kerajaan Majapahit
memang direstui Dewata menjadi negara besar dan jaya.
Pertapa, baginda pasti akan menyambut than dengan amat
gembira. Mari kuantar tuan menghadap sang nata."
"Siapakah raja Majapahit dewasa ini?" tanya pertapa.
"Baginda Jayanagara yang mulia ...."
"Ah ....." pertapa itu mendesuh kejut, "tidak, ki patih, aku
tak mau mengabdi kepada baginda."
Patih Aluyuda tak kurang kejutnya, "Mengapa?"
"Ki patih, cobalah engkau seksamakan siapakah diriku ini,"
tiba-tiba pertapa itu menggelung rambutnya yang terurai dan
mengorak kedua kakinya yang duduk bersimpuh lalu
berbangkit pelahan-lahan, menghadapkan wajahnya ke muka
patih Aluyuda. Sejenak mencurahkan pandang mata meneliti, berteriaklah
patih Aluyuda "Hai, engkau .... raden Kuda Lampeyan."
Pertapa mengangguk. "0" desuh pertapa?" patih Aluyuda, "mengapa raden menjadi
"Telah kukatakan tadi bahwa sejak peristiwa terbunuhnya
Sindura, aku seperti orang gila. Pikiranku merana, perasaanku
seperti dikejar dosa. Aku tak mau kembali ke pura kerajaan
tetapi masuk ke dalam hutan mencari jalan kematianku.
Berulang kali kucoba untuk bunuh diri tetapi selalu gagal. Aku
pernah membuang diri ke dalam jurang yang curam, aku
pernah menggantung diri, pernah membaringkan diri di depan
sarang harimau dan ular berbisa. Tetapi tetap tak mati. Selalu
ada orang yang melihat aku sedang melakukan bunuh diri dan
ditolongnya. Harimau bahkan menyingkir melihat aku terbujur
di dekat sarangnya dan ular berbisa pun menyelinap pergi
membau tubuhku. Entah, aku sendiripun heran. Akhirnya aku
mengambil keputusan, mengasingkan diri ke sebuah guha
yang tak pernah dikunjungi orang, di situ aku takkan makan
dan minum agar aku lekas mati ..... "
Patih Aluyuda mendecak-decak "Ih, segelap itu pikiranmu,
raden. Memang hidup itu sukar tetapi mencari jalan
kematianpun tak mudah ...."
"Benar, ki patih" sahut Kuda Lampeyan, "beberapa hari
setelah tak makan dan minum, pikiranku hampa, semangatku
serasa terbang dan pandang mataku pun gelap. Aku tak tahu
apa yang terjadi. Hanya ketika pikiranku sadar, aku seperti
mendengar suara semu yang lapat2, menyuruh aku bertapa di
bawah pohon beringin dan menantikan kedatangan priagung
dari suatu kerajaan. Pada saat itulah aku bakal mendapat jalan
hidup yang terang"."
"Itulah wangsit dewata, raden," kata patih Aluyuda,
"mengapa raden meragu dan takut menghadap baginda ?"
"Ki patih, aku merasa telah bersalah kepada baginda karena
dahulu aku tak kembali lagi ke pura kerajaan ....."
"Itu peristiwa yang sudah lampau. Yang penting sekarang
raden sudah insyaf dan rela mengabdi kepada kerajaan
Majapahit." "Itu titah ki patih, bukan titah baginda."
"Akulah yang menjamin keselamatan raden. Baginda tentu
gembira sekali menerima pengabdian raden karena tenaga
raden amat dibutuhkan oleh negara."
"Dibutuhkan" Dalam soal apakah tenagaku dibutuhkan?"
Kuda Lampeyan agak heran, "dan mengapa pula ki patih
membawa pasukan kemari?"
Patih Aluyuda menghela napas, "Ah, ketahuilah raden. Saat
ini baginda sedang menggerakkan pasukan untuk menumpas
pemberontakan di Lumajang!"
"Pemberontakan?" sambut Kuda Lampeyan makin terkesiap,
"siapakah yang memberontak?"
Patih Aluyuda tak lekas menjawah. Ia tahu bahwa Kuda
Lampeyan itu masih anak kemanakan mahapatih Nambi. Bila
dengan serentak ia mengatakan terus terang, dikuatirkan
raden itu akan terkejut dan membatalkan maksudnya untuk
mengabdi kerajaan. Maka ia harus menggunakan siasat. Ia
tahu bahwa pemuda ini sudah bertahun-tahun mengasingkan
diri dari masyarakat ramai, tentulah tak tahu apa yang terjadi
didalam negara. "Yang memberontak itu adalah sekelompok mentri dan
senopati-senopati tua. Mereka memang sudah lama tak paas
dengan duduknya baginda Jayanagara ditahta kerajaan dan
menghendaki supaya puteri Tribuanatunggadewi yang menjadi
ratu" "0," desuh Kuda Lampeyan.
"Dengan ilmu kesaktian yang raden miliki selama bertapa
ini, bukan melainkan raden akan menebus kesalahan yang
lampau pun tentulah baginda akan menganugerahi pangkat
dan harta kepada raden."
Kuda Lampeyan termenung. Sekilas ia teringat akan
wangsit yang diterimanya di guha tempat ia bertapa.
"Mungkinkah ini yang dimaksud wangsit itu sebagai jalan
gemilang dari kehidupanku?" demikian ia bertanya dalam hati.
"Tetapi aku masih meragukan apakah baginda "..."
"Sudahlah, raden, harap jangan berbanyak hati,"
patih Aluyuda menukas, "segala sesuatu akulah
menanggung. Mari kuantar raden menghadap baginda.
alangkah baiknya apabila sebelum menghadap raja,
suka membersihkan diri lebih dulu."
cepat yang Tetapi raden "Tidak, ki patih. Sebelum pemberontakan itu dapat
ditumpas, aku tak akan berganti pakaian dan membersihkan
tubuh," Kuda Lampeyan menolak.
Terpaksa Aluyuda menuruti kehendak Kuda Lampeyan. Ia
memanggil seorang tamtama dan membisikinya. "Perintahkan
kepada seluruh anak prajurit supaya jangan sekali-kali
mengatakan kepada pertapa itu kalau pemberontakan
Lumajang itu dipimpin oleh mahapatih Nambi."
Ketika berjalan menuju kebarisan tengah, lebih dahulu patih
Aluyuda menghadap baginda yang bersemayam dalam ratha
dan melaporkan tentang diketemukan seorang pertapa sakti
yang ternyata raden Kuda Lampeyan. Kuda Lampeyan
mendapat wangsit supaya mengabdi lagi kepada kerajaan
Majapahit. Tetapi patih Aluyuda mohon agar baginda pun
jangan menerangkan bahwa pemberontakan Lumajang itu
dipimpin mahapatih Nambi.
Baginda Jayanagara girang mendengar laporan itu. Ia
segera titahkan Kuda Lampeyan dibawa menghadap. Setelah
mendengarkan kissah penuturan Kuda Lampeyan, baginda
menerima raden itu, menjadi senopati dengan pangkat
tumenggung pula. Kelak apabila berjasa dalam penumpasan
kaum pemberontak itu, baginda menjanjikan kenaikan pangkat
yang lebih tinggi. Namun untuk menyakinkan bahwa Kuda Lampeyan kini
jauh lebih sakti dari dahulu, baginda menitahkan supaya
pemuda itu mengunjukkan kesaktian dihadapannya. Ternyata
dalam ujian itu, Kuda Lampeyan telah lulus. Ia mampu
memukul hancur batu karang, berlari sekencang angin dan
berlincahan segesit burung sikatan. Bagindapun puas.
Sebagai langkah pertama, baginda menitahkan supaya
menyerang Ganding. Kuda Lampeyan diangkat sebagai
senopati. Ujian pertama telah ditempuh dengan hasil gemilang
oleh Kuda Lampeyan. Pertahanan Ganding dengan mudah
dapat direbut dan Panji Samara, tumenggung Jaran Bangkal;
patih Lasem yang ditugaskan mempertahankan desa itu
terpaksa lari membawa anakbuahnya ke dalam hutan.
Kejatuhan desa Ganding itu sebenarnya memang telah
direncanakan oleh mahapatih Nambi. Ketika mendengar
baginda Jayanagara sendiri, yang memimpin pasukan untuk
menggempur Lumajang, tergetarlah hati mahapatih dan para
mentri di Lumajang. Mahapatih mengeluh asa dan sedianya
hendak menyerah saja kepada baginda. Tetapi para senopati
yang keras seperti Panji Wiranagari, Jaran Bangkal dan lain2
membujuk supaya mahapatih melanjutkan perjuangan. Ibarat
orang mandi sudah terlanjur basah kuyup, menyerah berarti
mati, melawan masih ada kemungkinan selamat. Mereka tetap
taat pada peringatan mahapatih, yang dilawan itu bukan
baginda tetapi patih Aluyuda. Oleh karena baginda sudah
terbius oleh mulut berbisa dari patih itu, maka perlawanan
harus tetap dilanjutkan sampai berhasil menangkap patih
Aluyuda baru kemudian beramai-ramai menghaturkan segala
kedosaan patih itu ke hadapan baginda.
Mahapatih Nambi masih termenung-menung memikirkan
pesistiwa yang dihadapinya. Tiba-tiba datanglah adipati
Wiraraja, ayah Rangga Lawe, dengan sejumlah besar
pengikut. Wiraraja menyatakan hendak menggabungkan diri
dengan mahapatih Nambi untuk melawan serangan pasukan
Majapahit. Dengan dalih bahwa peperangan itu bukan untuk
menghancurkan Majapahit bahkan kebalikannya hendak
menegakkan kembali kewibawaan dan susunan kerajaan
Majapahit sesuai seperti yang dicita-citakan rahyang ramuhun
baginda Kertarajasa. Untuk membersihkan pura kerajaan dari
mentri-mentri hianat yang selalu menimbulkan suasana
pemerintahan menjadi kacau, maka mentri-mentri tua yang
merasa ikut berjuang mendirikan kerajaan Majapahit, harus
berani bertindak. Demikian pendirian yang dikemukakan
adipati Wiraraja yang juga masih sakit hati karena kematian
puteranya, Rangga Lawe. Akhirnya mahapatih Nambi menyerah. Perlawanan tetap
dilanjutkan. Siasat pun segera diatur. Ganding terpaksa harus
dilepas agar semua kekuatan dapat dipusatkan di Lumajang
dan Pajarakan. Itulah sebabnya maka dengan mudah pasukan
Majapahit dapat inendudukinya.
Kemenangan pertama itu amat menggembirakan hati
baginda. Kuda Lampeyan dianugerahi seperangkat busana
senopati dan seekor kuda, kemudian dititahkan memimpin
penyerangan ke Pajarakan. Sedang baginda bersama patih
Aluyuda, menuju ke Lumajang. Tumenggung Ikal-ikalan Bang
dititahkan ikut pada Kuda Lampeyan yang oleh baginda telah
dikukuhkan pengangkatannya sebagai tumenggung.
"Penyerangan kali ini harus berhasil. Apabila gagal tentu
menyedihkan akibatnya. Baginda telah mempertaruhkan
keluhuran nama dan kewibawaannya untuk memimpin
pasukan sendiri," kata tumenggung Ikal-ikalan Bang dikala
menempuh perjalanan bersama Kuda Lampeyan.
"Benar," Kuda Lampeyan mengiakan.
"Menurut pengalaman yang lalu, pimpinan pemberontak
pandai mengatur gelar barisan dan memasang perangkap.
Maka kali ini kita harus hati-hati. Sebaiknya, desa itu kita
kurung, jangan sampai dapat mengadakan hubungan dengan
Lumajang." "Siapakah yang memimpin pertahanan di Pajarakan itu?"
tanya Kuda Lampeyan. "Menurut laporan, ayah Rangga Lawe, adipati tua Wiraraja
menggabung dengan kaum pemberontak dan berada di
Pajarakan. Mungkin dia yang menjadi pimpinan. Adipati tua itu
banyak pengalaman dan licin. Sebaiknya kita serang dari dua
arah, muka dan belakang," kata Ikal-ikalan Bang pula.
"Ah, kukira tak perlu. Berhadapan seorang harimau tua
yang sudah tak bergigi itu, mengapa kita harus bersusah
payah menggunakan siasat. Kita hadapi saya secara terang
terangan. Aku masih sanggup menangkap macan tua itu,"
kata Kuda Lampeyan dengan nada angkuh.
"Uh," Ikal-ikalan Bang mendesuh agak kurang senang
namun ia tak berani membantah. Pertama, karena ia tahu
tumenggung muda itu memang memiliki ilmu kesaktian yang
hebat. Dan kedua. ia merasa kalah kekuasaannya. Kuda
Lampeyan senopati yang memimpin pasukan dan ia hanya
pembantunya. "Sekalipun begitu, tiada jeleknya kita selalu
waspada dan hati-hati," katanya pula.
Kuda Lampeyan hanya mendengus. Saat itu surya sudah
mulai menurun ke barat. Langit berkabut awan hitam, angin
mulai bertiup kencang. Dan pasukan Majapahit yang dipimpin
Kuda Lampeyan itu tengah melintasi sebuah hutan.
"Masih jauhkah Lampeyan. Pajarakan dari sini ?" tanya Kuda "Apabila kita percepat langkah, kira-kira sepengunyah sirih
tentu sudah raencapai desa itu," jawab Ikal-ikalan Bang.
"Perintahkan kepada anak pasukan kita supaya berjalan
01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cepat agar jangan tertahan hujan. Kita nanti dirikan
pesanggrahan di muka desa itu," kata Kuda Lampeyan
sembari larikan kuda ke muka barisan. Ikal-ikalan Bang pun
segera melakukan perintah dan hentikan kudanya menunggu
sampai barisan belakang tiba, baru ia mengawal di belakang.
Belum berapa lama barisan berjalan, Kuda Lampeyan mengacungkan tangan ke atas, memberi isyarat supaya barisan berhenti. Senopati itu terkejut ketika melihat sesosok tubuh berpakaian seperti seorang brahmana tegak menghadang di tengah jalan. "Hai, brahmana, menyingkirlah kesamping,"
seru Kuda Lampeyan ketika ia ayunkan kudanya
ke dekat brahmana itu. Brahmana menyahut, pun tak bergerak dari tempatnya.
itu tak "Hai, brahmana, engkau dengar tidak" Menyisihlah ke tepi
agar jangan terlanda barisan!" Namun brahmana itu tetap
terpaku diam. Karena dua kali peringatannya tidak dihiraukan,
tersinggunglah perasaan Kuda Lampeyan. Ia ajukan kuda
maju mendekat dan mengangkat cambuk hendak mendera.
Tetapi ketika pandang matanya runtuh ke wajah brahmana,
cambuk berhenti di atas dan berserulah ia melengking kejut,
"Engkau, brahmana ..."
"Engkau terkejut melihat aku" Mengapa?" tiba-tiba pula
brahmana itu membuka mulut, "adakah engkau seperti
melihat setan di wajahku?"
"Brahmana, mengapa engkau di sini!"
"Dosa adalah semacam cermin yang senantiasa
memantulkan bayangan. Darah dari isteri yang dibunuh tanpa
dosa, akan melekat sepanjang hidup."
Kecemasan hati Kuda Lampeyan berbalik meluapkan
kemarahan. "Sindura adalah isteriku. Aku tak bermaksud
membunuhnya, dia sendiri yang menyongsong kerisku. Dan
andai dia kubunuh, akupun berhak untuk menghukum isteri
yang bersalah. Apa pedulimu, hai brahmana Anuraga!"
"Engkau menganggapnya bersalah karena dia tak mau
menurut kemauanmu, seorang suami yang lebih mengutamakan pangkat dan harta daripada kasih seorang
isteri ....." "Tutup mulutmu, brahmana," hardik Kuda Lampeyan
"engkau tak berhak mengurus isteri orang!"
"Hm, adakah engkau berwewenang untuk membunuh
orang, isterimu sekalipun dia itu?" balas Anuraga.
"Lebih baik kusirnakan daripada mempunyai seorang isteri
yang berhati serong. Dan lebih baik engkau copot jubah
kebrahmanaanmu daripada menjadi pemikat isteri orang."
Kuda Lampeyan mengejek. "Sindura seorang wanita utama isteri sejati. Ia rela mati
daripada ternoda kehormatannya. Ia kecewa melihat peribadi
suaminya yang gila pangkat. Salahkah kalau ia niemberikan
jiwanya kepada orang lain yang lebih sesuai baginya" Aku
memujanya, bukan raganya bukan kecantikannya tetapi
keluhuran jiwanya." "Carilah dia, mengapa engkau di sini?"
Anuraga mendengus, "ada dua hal yang mempertegak
kakiku di hutan ini. Pertama, aku hendak mencari titisan Rara
Sindura ......." "Keparat!" teriak Kuda
mengejar-ngejar isteriku?"
Lampeyan "engkau, berani "Rara Sindura dalam penitisan yang lalu, memang isterimu,
tetapi dia sudah meninggal. Dan penitisannya bukanlah
isterimu lagi tetapi seorang gadis yang bebas."
"Yang kedua" tukas Kuda Lampeyan.
"Mencegah agar jangan terjadi pertumpahan darah di
Pajarakan." "Apakah kepentinganmu dengan para pemberontak di
Pajarakan itu?" "Mereka tidak memberontak!" sahut Anuraga dan tahukah
engkau siapa yang memimpin pertahanan di Pajarakan itu?"
"Kudengar adipati tua Wiraraja."
"Benar, tahukah engkau siapa beliau?"
"Dahulu dia bekas adipati Madura, ayah dari adipati Tuban
Rangga Lawe." "Dia eyangku!" sambut Anuraga.
"Apa ?" Kuda Lampeyan berteriak kaget dan menyurutkan
kudanya ke belakang ......
0odwo0 Bersambung Jilid 16 MANGGALA MAJAPAHIT Gajah Kencana Oleh : S. Djatilaksana (SD. Liong)
Sumber DJVU : Koleksi Ismoyo
http://cersilindonesia.wordpress.com/
Convert, Edit & Ebook : MCH & Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://kang-zusi.info http://cerita-silat.co.cc/
JILID 16 I DALAM perkelanaan di daerah selatan, Anuraga mendengar
kabar tentang peperangan yang akan terjadi di Pajarakan.
Sepanjang jalan, disaksikan juga kesibukan2 rombongan2
pemuda dan kesatuan2 kecil dari lasykar rakyat yang
membawa beraneka ragam senjata, berbondong-bondoig
menuju ke Pajarakan. Wajah dan gerak-gerik mereka
menampilkan suatu suasana gawat dari persiapan perang.
Anuraga heran dan terkejut. Lebih terkejut pula setelah ia
mendapat keterangan dari penduduk, bahwa pasukan
Majapahit hendak menggempur Pajarakan. "Pasukan
Majapahit hendak menggempur Pajarakan" Mengapa ?"
tanyanya. Namun orang yang diharapkan keterengan itu, tak
dapat memberi jawaban tegas.
"Ki sanak, mengapa engkau tampak amat sibuk dan
setegang itu?" tanya Anuraga pula kepada seorang anggauta
rombongan pemuda yang menuju ke Pajarakan.
Orang itu tertegun, memandang Anuraga. Demi tahu
berhadapan dengan seorang brahmana, ia menjawab, "Ki
brahmana, kami hendak menuju ke Pajarakan untuk
menghadapi serangan prajurit Majapahit."
"Berperang ?" Anuraga terkesiap.
"Tidak," sahut orang itu "kami hanya membela diri
mempertahankan tanah Pajarakan dari serangan Majapahit
yang sewenang-wenang."
Anuraga makin bingung mendengar uraian orang itu.
Bukankah Pajarakan itu termasuk telatah Majapahit " Mengapa
orang2 itu hendak mempertahankan tanah Pajarakan " "Ki
sanak, aku kurang jelas," katanya meminta penjelasan.
"Ki brahmana, di Pajarakan akan terjadi peperangan antara
pasukan Majapahit dengan rakyat Pajarakan. Peperangan itu
kejam dan ganas. Sebaiknya ki brahmana lekas menyingkir ke
lain tempat agar jangan menderita akibat yang tak
diharapkan." Anuraga diam2 geli mendengar nasehat itu namun ia dapat
menghargai maksud baik orang "Terima kasih, ki sanak. Tapi
mengapa kerajaan perlu memerangi Pajarakan?"
"Mentri2 kerajaan yang ikut serta melayat ke Lumajang
telah dituduh hendak memberontak kepada kerajaan."
"Siapakah yang meninggal di Lumajang itu ?"
"Rakryan Pranaraj ayahanda mahapatih Nambi."
"0, bukankah mahapatih Nambi itu seorang mentri tua yang
sudah berpuluh tahun mengabdi kepada kerajaan "
Bagaimana mungkin dia hendak memberontak ?"
"Itulah sebabnya maka para mentri dan senopati itu tak
puas dan hendak melawan. Bahkan gusti adipati Wiraraja yang
sepuh pun ikut menggabung diri ....."
"Apa"," Anuraga terkejut, "adipati Wiraraja juga ikut?"
"Benar, beliaulah yang akan memimpin pertahanan di
Pajarakan!" kata orang itu sambil berjalan. Ketika ia berpaling
ke samping ternyata brahmana yang berjalan di sebelahnya
sudah tak tampak. Berpaling ke belakang, dilihatnya brahmana
itu tegak termenung-menung. Orang itupun tak menghiraukan
dan lanjutkan perjalanan bersama rombongannya.
Timbul suatu masalah dalam hati Anuraga setelah
mendengar keterangan itu. Adipati Wiraraja adalah eyangnya.
Menurut cerita eyangnya yang seorang yalah Kiageng
Palandongan, dulu ketika almarhum ayahnya Rangga Lawe
akan memberontak, eyang Wiraraja tak setuju. Tapi mengapa
ia ikut menggabung pada Ra Nambi " Bukankah karena Nambi
maka mendiang ayahandanya dahulu membrontak" "Aneh,
mengapa timbul perobahan dalam alam pikiran eyang?" ia
menggumam kesan. Serentak bangkitlah pikirannya untuk
menemui adipati Wiraraja untuk meminta penjelasan.
Setelah melalui berbagai kesulitan dari para penjaga pos
pertahanan benteng Pajarakan yang menghujaninya dengan
pertanyaan2, akhirnya Anuraga dibawa penjaga masuk
kedalam benteng menghadap adipati sepuh Wiraraja.
Agak terkejut adipati Wiraraja melihat munculnya seorang
brahmana muda. Memandang suasana perang yang penuh
debar ketegangan, sesuatu yang tampak mudah menimbulkan
rasa kejut dan heran. Apa lagi setelah duapuluh tahun
lamanya, Anuraga jarang bertemu dengan eyangnya Wiraraja
karena sejak Rangga Lawe gugur, ia masih kecil dan diasuh
oleh eyangnya Kiageng Palandongan sehingga sampai dewasa.
Wiraraja makin tua, makin surut penglihatannya.
"Siapa engkau! "tegur adipati tua itu dengan nada suara
yang masih melantang kewibawaan.
"Duh, eyang, adakah eyang lupa kepada diriku ?" sambut
Anuraga. Karena disebut `eyang`, adipati tua itu menjalangkan
pandang matanya dan dan memandang lebar2 "Hai, engkau
....... engkau ....."
"Benar, eyang, aku memang Kuda Anjampiani, cucu eyang
sendiri." Anuraga serta merta berjongkok mencium kaki
eyangnya. "Oh, Anjampiani," Wiraraja memeluk cucunya dengan
kemesraan. Beberapa butir airmata menitik turun dari kelopak
matanya yang sudah kering. Seketika terbayanglah wajah
Rangga Lawe, putera yang dikasihinya itu.
Anuraga terkejut ketika dahinya tercurah dua butir airmata
eyangnya. Hampir ia turut terhanyat dalam gelombang
keharuan. Untunglah ia dapat menguasai diri. "Eyang, Kuda
Anjampiani menghaturkan sembah bakti ke hadapan eyang."
"Anjampiani ....." adipati tua itu makin tak kuat menahan
deras air matanya, "betapa gembira hati ayahmu apabila
melihat puteranya sudah sedemikian besar. Tetapi ayahmu
sudah keburu meninggalkan engkau ..."
"Benar eyang," sahut Anuraga sambil berusaha keras untuk
membajakan rerasaannya, "ayah memang telah berangkat
mendahului kita. Kurasa dia pun tetap gembira di alam
Kelanggengan, eyang."
"Ah, Anjampiani ....." Wiraraja mengeluh.
"Benar, eyang, Anjampiani dapat menghayati hal itu.
Bukankah ayah gugur sebagai prajurit yang membela
pandirian yang adil " Tiada hal yang lebih bahagia bagi
seorang prajurit dari gugur di medan laga. Tempatnya di
Nirwana." "Ah, Anjampiani, engkau pandai menghibur hati orang tua,"
kata Wiraraja. "Tidak, eyang, memang demikianlah janji Dewata agung
melalui ajaran2 dalam veda. Ayah sudah bahagia mendapat
tempat yang layak. Kebalikannya ayah tentu masih
mencemaskan perjalanan hidup kita yang belum berketentuan
arahnya. Maka bukan kita yang kasihan atas kematian ayah
melainkan ayahlah yang kasihan karena kita hidup."
"Eh, Anjampiani, rupanya engkau telah digembleng dengan
falsafah2 ajaran Brahma oleh eyangmu Kiageng Palandongan."
"Eyang Palandongan hanya menunjukkan jalan. dan aku
sendiri yang harus menempuh perjalanan itu. Yang
menunjukkan tak dapat mengantar. Yang dapat mengantar
kita hanyalah kita sendiri juga."
"Nada dan iramamu berkata-kata, tak ubah seperti
mendiang ayahmu. Bedanya, ayahmu keras kepala dalam
soal2 keprajuritan dan keduniawian. engkau keras kepala
dalam soal2 ajaran agama," seru Wiraraja.
"Mengapa harus berbeda?" sanggah Kuda Anjampiani pula,
"keduniawian adalah soal lahiriyah dan ajaran agama soal
batiniah. Tetapi keduanya mempunyai hakekat yang sama.
Baik soal keduniawian maupun kebatinan, sama2 merupakan
suatu medan perang dimana kita tiap hari harus berjuang.
Yang mengurus soal keduniawian, berjuang untuk 'mangayu
hayuning bawa na'. Yang mencurahkan ke arah kebatinan dan
01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
agama, berjuang untuk mencapai Kamokshan, melepaskan diri
dari samsara. Perjuangan itu tak kenal berhenti. Setiap kejap
mata, setiap debar jantung, kita selalu mengalami
'peperangan'. Peperangan untuk mengalahkan mara atau
nafsu dalam bawana peribadi, peperangan untuk melenyapkan
kekotoran2 dan kejahatan dalam bawana alam kehidupan.
Demikianlah eyang, tiada bedanya sifat dan hakiki perjuangan
ayah dengan yang kulakukan saat ini !"
Adipati tua Wiraraja melongo. Sama sekali ia tak pernah
menduga bahwa cucunya yang masih muda itu dapat
menguraikan ilmu ajaran yang bermutu. "Ya, ya, Anjampiani,
memang menurut ramalan prabu Jayabaya, sekarang ini kita
sudah menginjak dalam jaman Kalawisesa. Jaman usreg,
jaman serba aneh. Bukan kebo yang menyusui anaknya tetapi
kebo menyusu gudel..."
Anuraga tertawa, "Tidak, eyang, kodrat Prakitri sukar
dirobah. Kebo akan tetap menyusui gudel dan bukan
kebalikannya, apabila kebo itu mau mengerti akan
kedudukannya sebagai seorang induk, tahu caranya untuk
membuat gudelnya menurut dan mengindahkan. Hanya kebo
yang tak tahu tanggung jawab, hanya kebo yang bodoh, akan
menyusu pada gudelnya."
Mendengar itu tertawakan adipati Wiraraja. Dahulu dialah
yang memberikan rencana kepada raden Wijaya sehingga
raden itu berhasil merdirikan kerajaan Majapahit. Dahulu ia
pula yang memberi petunjuk kepada prabu Jayakatwang dari
Daha sehingga raja Daha itu dapat menghancurkan kerajaan
Singasari. Dahulu daya pikirnya masih gesit dan terang. Tetapi
setelah makin menua usia, ia merasa kehilangan daya pikir,
cita pertimbangan. Ia merasa dan tumpul sehingga dalam
menghadapi peristiwa pemberontakan Rangga Lawe, ia tak
mampu mencegah puteranya. Dan ia merasa ikut bertanggung
jawab juga atas kehilangan puteranya itu.
"Sudahlah, eyang, hari kemarin sudah lalu, esok pun belum
datang. Yang penting adalah hari ini. Mari kita hadapi hari ini
dengan baik," kata Anuraga menghibur kedukaan eyangnya.
Adipati Wiraraja mengangguk "Benar, angger. Yang mati
takkan hidup tetapi yang hidup akan mati. Lalu apakah
keperluanmu menghadap eyang " Adakah hanya hendak
melepas kerinduanmu kepada eyang atau hanya ingin
menjenguk keadaan eyang ?"
"Kesemuanya eyang," sahut Anuraga, "selain melepas
rindu, menjenguk keadaan pun juga hendak menjaga keadaan
eyang." Adipati Wiraraja kerutkan kening "Maksudmu?" ia menegas.
"Perkenankanlah cucu eyang untuk memohon keterangan,"
kata Anuraga, "apa sebab eyang bersedia membantu
mahapatih Nambi untuk mempertahan desa Pajarakan ini?"
"0" Wiraraja mendesuh, "soal itu memang sudah eyang
pikir masak2. Pertama, eyang anggap tindakan baginda
Jayanagara terhadap rakryan Nambi dan beberapa mentri
kerajaan, tidak bjaksana. Tuduhan bahwa rakryan Nambi dan
mentri2 itu hendak memberontak, adalah tidak benar. Berpijak
pada landasan membela yang terfitnah dan tertindas maka
eyang pun sekalian hendak menuntut balas atas kematian
ayahandamu, A njampiani."
"Ah," Anuraga mendesah napas "maaf eyang, berkenankah
eyang mendengarkan buah pikiran hamba?"
Wiraraja mengangguk. Setelah mendengar cara Kuda
Anjampiani berbicara tadi, Wiraraja mempunyai kesan
kepercayaan kepada cucunya itu. Ia mempersilahkan Kuda
Anjapiani mengutarakan pendapatnya.
"Eyang," Anuraga pun mulai "pertama, hamba ingin
bertanya, siapakah rakryan Nambi yang eyang bantu itu"
Bukankah karena dia maka mendiang rama Lawe sampai
berontak ?" "Tetapi Anjampiani, itu tuntutan ramamu sendiri terhadap
baginda dahulu. Rakryan Nambi tidak menyalahi ramamu,
angger," bantah Wiraraja.
"Ada seorang pencari kayu yang pulang dengan membawa
hasil pencariannya. Ketika lewat di sebuah pancuran, ia
merasa haus. Maklum hari amat panas. Tetapi ketika ia minum
air pancuran itu, tiba2 ia menggelepar rubuh binasa. Ternyata
pancuran itu mengandung bisa dari seekor bangkai ular
berbisa yang mati terjepit batu. Eyang, siapakah yang harus
dipersalahkan membunuh pencari kayu itu " A ir pancuran atau
ular berbisa itu ?" Adipati Wiraraja terbelalak mendengar pertanyaan Anuraga.
Setelah termenung beberapa jenak, ia menjawab, "Yang salah
pencari kayu itu sendiri mengapa ia minum air pancuran."
"Mengapa pencari kayu itu bersalah " Bukankah air itu
memang untuk minuman manusia " Bukankah kalau tiada
bangkai ular berbisa, air pancuran itu takkan melenyapkan
jiwa pencari kayu ?"
"Tetapi ular itu tak bermaksud meracuni pencari kayu."
Bantah Anuraga pula, "Walaupun tidak bermaksud hendak
meracuni orang tetapi secara tak langsung binatang itulah
yang yang menyebabkan kematian pencari kayu."
"Hm, dalam peristiwa ayahmu berontak dahulu, engkau
anggap Nambi itu bersalah."
"Demikianlah eyang," sahut Anuraga, "walaupun kesalahannya itu secara tak langsung, walaupun dia hanya
sebagai sasaran dari tujuan rama, memberontak. Pencari kayu
meminum air pancuran karena merasa haus dan menganggap
bahwa air itu memang diminum. Demikian pula halnya dengan
rama dahulu. Rama menginginkan kedudukan mahapatih
karena merasa bahwa kedudukan itu memang rama yang
layak menjabat. Apabila tiada bangkai ular beracun, pencari
kayu tentu tak mati. Apabila tiada Nambi, ramapun tentu tak
binasa karena kedudukan itu tentu akan diluluskan kepadanya
oleh baginda. Walaupun ular itu tak merasa dan tak sengaja
hendak membunuh pencari kayu tetapi secara tak langsung
dialah penyebab kematian pencari kayu. Walaupun Nambi
tidak merasa tidak pula sengaja hendak membunuh rama,
tetapi secara tak langsung dialah yang menyebabkan rama
gugur." Wiraraja menghela napas dan menggeleng-geleng kepala.
"Eyang, apabila eyang membantu rakryan Nambi, apakah
tidak beda halnya seperti eyang memberikan ular beracun itu
mambinasakan pencari kayu ?"
"Anjampiani ..... !" Wiraraja tiba2 berteriak gemetar. Melihat
diam2 Anuraga merasa kelepasan bicara sehingga
menggoncangkan perasaan hati eyangnya yang sudah tua.
Buru2 ia menyembah, "Eyang, maafkanlah Anjampiani yang
kurang tata lantang ucap."
Wiraraja menghela napas panjang.
"Kemudian yang kedua, eyang" Anuraga melanjut pula,
"mengapa baru saat ini eyang bertindak hendak menuntut
balas atas kematian rama ?"
Sepasang mata adipati tua itu menyalang gairah, serunya,
"Anjampiani, pertanyaanmu itu memang tepat. Tentu dalam
lubuk pikiranmu terkandung suatu keraguan terhadap diriku.
Tetapi ketahuilah, wahai cucuku, setiap perjuangan baik hal
itu mengenai tujuan berperang maupun membalas dendam.
haruslah diperhitungkan menurut kekuatan dan keadaan.
Kesalahan ramamu hanyalah menurut luapan hati tidak
menggunakan pertimbangan pikiran. Hanya mengandalkan
kegagahan dan keberanian tanpa memperhitungkan kekuatan.
Tetapi aku tak demikian, Anjampiani. Coba engkau bayangkan,
apabila saat itu juga aku berontak menuntut kematian Lawe,
bukankah aku tentu sudah ditumpas baginda" Oleh karena itu
aku terpaksa harus bersabar menunggu kesempatan yang
baik. Dan kini kesempatan itupun sudah terbentang. Kekuatan
kerajaan sudah berkurang karena banyak mentri2 dan
senopati yang berfiltak pada rakryan Nambi. Apabila aku ikut
bergerak, bukankah aku akan berhasil membalaskan kematian
ramamu?" Anuraga terdiam. "Anjampiani," seru Wiraraja makin nyaring, "eyang sakit
hati sekali atas tindakan baginda membunuh anakku. Padahal,
dulu, akulah yang memohon kepada raja Jayakatwang agar
raden Wijaya dapat diterima pengabdiannya. Siapa pula yang
menganjurkan raden Wijaya supaya meminta kepada raja
Daha untuk membuka hutan Terik " Siapa pula yang memberi
narehat kepada raden Wijaya agar kedatargan pasukan Tartar
untuk menghukum baginda Kertanegara yang sudah wafat itu,
disalurkan untuk menggempur Daha" Ya, siapakah yang
banyak memberi bantuan tenaga dan pikiran kepada raden
Wijaya kecuali si tua Wiraraja ini beserta puteranya Rangga
Lawe" Mengapa sedemikian tipis budi nurani raja Majapahit
sehingga sampai hati untuk membunuh puteraku" A njampiani,
engkau pandai bicara, coba katakanlah kepada eyang,
layakkah eyang harus berdiam diri karena puteranya terbunuh
itu?" "Eyang...." "Anjampiani, jawablah," teriak Wiraraja makin kalap, "kalau
engkau sebagai putera Rangga Lawe menganggap tak perlu
menuntut balas atas kematian ramamu, akupun juga rela
melepaskan dendam keinginan itu."
"Eyang, kita harus bertindak dengan kesadaran pikiran,
bukan dengan luapan perasaan ......."
"Anjampiani, aku tak butuh dengan segala ilmu ajaran
kebatinan dan fasafah agama. Aku hanya ingin meminta
jawabanmu. Apakah engkau merelakan bapakmu terbunuh
begitu saja ?" Anuraga melihat bahwa eyang Wiraraja sudah tercengkeram dalam marah dari dendam dan kebencian.
Apabila menentang, pastilah orang tua itu akan makin marah.
"Eyang, aku tak merelakan ...... " katanya lemah.
Wiraraja mendengus, "Anjampiani, mulut adalah cermin
hati. Suaramu sumbang, hatimu merambang. Engkau
menjawab hanya sekedar memenuhi desakanku, bukan suara
hatimu!" Anuraga terbeliak. "Anjampiani " cepat Wiraraja berseru pula, "memang beda
perasaan hati seorang ayah kepada pateranya dengan
perasaan hati seorang anak terhadap ayahnya. Seorang ayah
adalah sebagai mata dan anak seperti kaki atau tangan.
Apabila kaki atau tangan menderita sakit maka sang matapun
menangis. Tetapi kebalikannya apabila mata yang sakit, kaki
atau tangan tetap bergerak sebebas-bebasnya. Rangga Lawe
mati, ayahnya bernama Wiraraja menangis dan berbuat tekad
hendak menuntut balas. Rangga Lawe mati, puteranya yang
bernama Kuda Anjampiani berkecimpung dalam lautan
falsafah, bercengkerama menikmati keindahan hutan dan
gunung".." "Eyang ..... " Anuraga menjerit tetapi secepat itu pula
Wiraraja pun mengerat, "Jangan membantah dan jangan pula
coba membohongi batinmu, Anjampiani. Dengan sisa kekuatan
hidupku, Wiraraja tetap hendak membalas atas kematian
puteranya. Wiraraja sudah tua. matipun tak kecewa. Tetapi
engkau Anjampiani, masih muda. Silahkan engkau menyingkir
dari tempat peperangan ini. Pergilah engkau ketempat yang
aman." "Eyang ....." "Pergilah, brahmana. Tempatmu bukan di medan laga
tetapi di asrama dan rumah suci !" teriak Wiraraja.
"Duh, eyang, perkenankanlah Anjampiani bicara."
"Prajurit, bawalah brahmana itu keluar !" cepat pula
Wiraraja memerintahkan dua orang pengawal untuk menyeret
Anuraga keluar dari pesanggrahan.
Karena mendengar pembicaraan antara adipati dengan
brahmana muda itu, tahulah kedua prajurit bahwa brahmana
muda itu adalah cucu dari adipati. Maka waktu membawa
Anuraga, keduanya menarik dengan pelahan. Tetapi mereka
agak terkejut ketika mendapatkan tubuh brahmana muda itu
amat berat. Terpaksa mereka memakai tenaga untuk
menyeret namun tetap sia2. Mereka tak sungkan lagi. Dengan
kerahkan seluruh tenaga, keduanya pun menarik. "Uh, uh ....."
serempak mulut kedua prajurit itu mendesuh kejut mereka
serambut pun mereka tak mampu mengisar tubuh Anuraga.
Wajah Anuraga tenang, kedua prajurit itu merah padam.
Melihat kawannya menderita kesukaran, dua orang prajurit
maju pula untuk membantu. Tetapi sekalipun keempat prajurit
itu menyeret dengan sekuat tenaga, mereka tetap tak mampu
menggoyahkan tubuh Anuraga.
Wiraraja tahu hal itu. Ia hendak marah tetapi terlintaslah
dalam benaknya bahwa Anuraga itu adalah cucunya. "Hm,
Anjampiani, engkau hendak unjuk kesaktian dihadapan
eyangmu?" terpaksa ia menahan kemarahan.
"Tidak eyang" sahut Anuraga.
"Lalu mengapa bondowasa?" engkau mengeluarkan aji Bandung "Karena hamba masih kepada eyang." ingin mempersembahkan kata
Wiraraja mendesuh, "Hm, apa maksudmu?"
"Eyang, saat ini hamba menyatakan bahwa yang
menghadap eyang adalah cucu eyang, putera Rangga Lawe
yang bernama Kuda Anjampiani. Lepas dari liku2 Sebab dan
Akibat, Anjampiani akan menunaikan bakti sebagai seorang
putera kepada ayah, seorang prajurit kepada senopati. Karena
rama sudah meninggal maka Anjampiani hendak mewakili
kewajiban rama untuk membela ayahnya, adipati Wiraraja."
Wiraraja terbeliak, "Anjampiani ......."
"Eyang, Anjampiani prajurit2 Majapahit."
01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan berjoang untuk menempur "Anjampiani ....."
"Hutang jiwa bayar jiwa," Anuraga tak memberi
kesempatan kepada Wiraraja untuk bicara seperti yang
dilakukan Wiraraja kepadanya tadi, "janganlah eyang ikut
campur, cukup Anjampiani seorang diri yang akan menghadapi
serangan prajurit Majapahit."
"Anjampiani ......"
"Bukan hanya eyang yang bangga karena mempunyai
putera seperti Rangga Lawe tetapi akupun bangga karena
mempunyai ayah seperti Adipati Tuban itu. Dan bukan hanya
eyang sendiri yang merasa wajib membalas kematian Rangga
Lawe tetapipun Anjampiani juga mempunyai kewajiban
melakukan pembalasan itu."
"Anjampiani?"."
"Eyang mengandalkan tenaga prajurit untuk membalas
dendam kepada Majapahit tetapi Kuda Anjampiani dengan
sepasang tangan sendiri akan melakukan hal itu........"
Wiraraja benar2 terpukau seperti patung ketika dilanda
hujan kata2 tajam dari cucunya. Dan lebih2 ketika habis
berkata, Kuda Arjampiani atau Anuraga berputar tubuh terus
melangkah keluar, adipati Wiraraja seperti gunung berapi yang
mencapai detik2 peledakan, "Anjampiani," serentak ia bangkit
tetapi pemuda itu sudah keluar dari pintu pesanggrahan.
"Prajurit, tahanlah raden itu ..."
Beberapa prajurit pengawal adipati itu serempak
berhamburan memburu keluar, menghadang perjalanan
Anuraga. Namun Anuraga tak terkejut, tidak pula ia hentikan
langkah. "Berhenti, raden" seru salah seorang prajurit seraya
songsongk"n tangan ke muka membeti isyarat. Namun
Anuraga tetap melangkah lanjut ke muka. Prajurit itu
ketakutan sendiri dan menyurut mundur.
Sepintas pandang tampaklah suatu pemandangan yang
lucu. Enam orang prajurit menyongsongkan tangan ke muka
untuk meminta Anuraga berhenti tetapi karena brahmana
muda itu tetap ayunkan langkah, keenam prajurit itulah yang
mundur sendiri. Rupanya mereka gentar dan sungkan karena
tahu bahwa brahmana muda itu adalah cucu dari adipati
Wiraraja. Tetapi rasa sungkan itu tiba2 lenyap ketika mereka
melihat adipati sepuh muncul diambang pintu. Takut akan
mendapat marah adipati Wiraraja, keenam prajurit itu
hentikan langkah lalu serempak menubruk Anuraga. Mereka
tak mau melepaskan pukulan karena kuatir melukai brahmana
muda itu. Duk, duk .... terdengar tulang2 kepala saling berbentur, lalu
teriakan mengaduh dan bunyi berdebuk-debuk dari tubuh
yang rubuh ke tanah macam batang pisang ditabas. Mereka
bergeliatan bangun dan dengan mata yang berbinar-binar
mereka masih sempat melihat brahmana muda itu berjalan
pesat keluar dari benteng Pajarakan ....
Demikian sekeluarnya dari desa Pajarakan, Anuraga terus
ayunkan langkah. Pembicaraannya dengan adipati Wiraraja,
masih terngiang ngiang di telinganya. Pikirannya hanyut
dilanda ucapan sang eyang yang mengusirnya dan
mencemoohkannya sebagai seorang putera yang tak tahu
membalas budi orangtua. Ia lupa diri. Darah mudanya yang
selama ini sudah mengandap dalam alam bawah sadar yang
tenang, tiba2 seperti disimak, bergolak-golak pula bahkan
meluap dan mendampar dahsyat bagai gelombang pasang
menghempas karang ...... la marah tetapi tak tahu apa sebab ia marah dan kepada
siapa ia harus menumpahkan kemarahan itu. Tetapi pokoknya,
ia marah. Marah kepada apa yang dilihat dengan mata, apa
yang dirasa dalam hati dan apa yang dikenyam dalam pikiran.
Dalam keadaan ibarat parahu kehilangan arah kemudi itulah ia
berpapasan dengan Kuda Lampeyan dan rombongan prajurit
Majapahit. Sesungguhnya Anuraga sudah ingin melabuhkan kemarahannya kepada Kuda Lampeyan. Tetapi serta
pembicaraan mereka meningkat pada diri Rara Sindura,
hanyutlah kemarahannya terbawa oleh bayang2 dari sebuah
kenangan lampau yang indah .......
"Kuda Lampeyan, herankah engkau apabila adipati Wiraraja
itu eyangku ?" tegurnya sesaat melihat Kuda Lampeyan
tersertak kaget dan menyurutkan kudanya ke belakang.
"Kalau begitu engkau anak adipati Tuban Rangga Lawe
yang memberontak itu?" seru Kuda Lampeyan setelah
menghentikan kudanya. "Kuda Lampeyan, pernah engkau memaki diriku sebagai
brahmana cabul, brahmana pengganggu isteri orang,
brahmana kotor, hina dan lain. Tetapi aku tak marah," kata
Anuraga "karena kuanggap yang memaki itu orang rendah
budi seperti engkau. Tetapi kalau engkau menghina ramaku
sebagai pemberontak, hanya dua hal yang kuminta engkau
memilih. A nuraga yang jadi mayat atau Kuda Lampeyan yang
kehilangan kepala!" Tiba2 Kuda Lampeyan tertawa nyaring. Nadanya
berkumandang membubung menggetarkan daun2 di puncak
pohon. Diam2 Anuraga terkejut mengetahui aji Senggoro, ilmu
memancarkan suara, yang dimiliki Kuda Lampeyan saat itu.
Dalam pada itu setelah puas melantangkan tertawa,
berserulah Kuda Lampeyan, "Brahmana, rupanya Karma
kehidupan kita menakdirkan kita saling berhadapan sebagai
lawan. Dalam peristiwa Sindura, engkau berada di fihak
berlawanan. Dan kini dalam peristiwa penumpasan
pemberontak oleh pasukan kerajaan, engkau pun tegak
berhadapan dengan aku. Baik, brahmana. Kita sama2 terikat
beban kewajiban. Engkau hendak membela eyangmu Wiraraja
dan aku melakukan titah baginda untuk menumpasnya.
Marilah kita tunaikan tugas kita dan siapapun diantara kita
berdua yang tak mampu melaksanakan tugas masing2, harus
rela menyerahkan nyawa."
"Adakah engkau sudah meringankan nyawamu?" seru
Anuraga. Kuda Lampeyan tertawa datar "Sudah beberapa tahun yang
lalu sejak aku menyadari kesalahanku membunuh Sindura,
ingin nyawaku meninggalkan raga yang kotor ini. Tetapi
rupanya Dewata belum meluluskan kematianku. Rupanya pula
aku masih diharuskan menyelesaikan tugas menegakkan
kesejahteraan negara Majapahit."
Diam2 Anuraga terkesiap dalam hati. Tak pernah ia
menyangka bahwa Kuda Lampeyan dapat menyadari
kesalahannya yang lampau. Ia menilai pemuda itu masih
mempunyai setitik nurani yang baik. Cepat ia menjawab,
"Adakah perang itu jalan yang utama untuk melaksanakan
tugasmu ?" "Laksana jamu yang pahit, perangpun akan mengembalikan
kejernihan pikiran orang dari nafsu yang jahat, walaupun
perang itu sesungguhnya jahat dan kejam. Bukankah dahulu
para dewa juga menentukan terjadinya perang Baratayuda
untuk membersihkan batin kaum Korawa yang kotor dan
jahat?" Anuraga tertawa gembira, "Suatu tamsil yang tepat sekali,
Kuda Lampeyan. Tetapi sayang penempatannya salah arah.
Karena para mentri yang berada di Lumajang dan Pajarakan
itu sesungguhnya bukan bermaksud memberontak tetapi
dituduh memberontak oleh kerajaan. Perang antara yang
difitnah dengan yang memfitnah, beda dengan perang antara
kaum Pandawa lawan Korawa yang memperebutkan hak
kerajaan." "Walaupun sasaran berbeda tetapi sifatnya sama. Pada
hakekatnya perang ini untuk menumpas kejahatan."
"Siapa fihak yang jahat?" cepat Anuraga menukas.
"Sudah tentu fihak yang meaentang kerajaan Majapahit"
"Tetapi mereka tidak menentang
membela diri" bantah Anuraga.
melainkan hendak Kuda Lampeyan mendengus "Sudahlah, brahmana,
kedatanganku ke Pajarakan ini bukan untuk adu mulut tetapi
melaksanakan tugas kerajaan menggempur Pajarakan yang
menjadi sarang pemberontak. Masih belum terlambat bagimu
untuk menarik diri dari kancah peperangan ini dan kembalitah
engkau ke asrama para brahmana."
"Kuda Lampeyan," seru Anuraga "kitab veda kaum
brahmana mengajarkan supaya kita berpikir yang balk dan
berbuat yang baik. Pikiran dan amal perbuatan harus sekata.
Memperdalam isi ajaran dalam kitab veda, melakukan
peraturan2 yang termaktub dalam kitab itu, termasuk berpikir
baik. Memberi penerangan kepada yang gelap, menolong
kepada yang menderita berbuat baik. Mencegah pertumpahan
darah dalam perang yang kejam, pun kuanggap suatu amal
perbuatan yang baik. Oleh karena itu jika engkau
menghendaki aku kembali ke asrama, terlebih dulu bawalah
anak pasukanmu pulang ke Majapahit"
"Hm, rupanya sampai kering lidahku, akhirnya kita tetap
harus berhadapan. Baiklah, brahmana, marl kita selesaikan."
Kuda Lampeyan loncat turun dari kudanya dart tegak
menggagah di hadapan Anuraga, "silahkan engkau memilih,
memukul atau dipukul lebih dulu."
"Sesuai dengan pendirian dari para mentri dan eyangku
yang hendak membela diri, maka akupun berpijak pada sikap
membela diri. Silahkan engkau menyerang."
Sejak peristiwa Sindura dahulu, Kuda Lampeyan memang
merasa geram kepada Anuraga. Namun dalam hati diam2 ia
mengagumi sikap yang tenang dari brahmana muda itu. Dan
sikap tenang itu menandakan suatu ciri kekuatan dan
kewibawaan. Namun selama itu belum mendapat kesempatan
untuk menjajaki kesaktian brahmana Anuraga. Kemudian
setelah ia bertapa dan memperoleh ilmu kesaktian, timbullah
keinginan untuk menguji kepandaian brahmana itu.
"Baik," sahutnya ringkas, melangkah maju kehadapan
Anuraga, ia mengangkat tangan dan menghunjamkan ke dada
orang. Namun karena masih hendak menjajaki, ia tak mau
menggunakan tenaga penuh.
Anuraga hanya mengisar kakinya sedikit seraya berseru,
"Kuda Lampeyan, mengapa engkau hanya menggunakan
sepertiga bagian tenagamu ?"
Kuda Lampeyan terkejut. Brahmana itu ternyata dapat
mengukur nilai pukulannya "Baik, akan kupenuhi permintaanmu, brahmana."
Ketika tangan Kuda Lampeyan berayun terdengarlah deru
hembusan angin yang keras. Sebelum pukulan tiba, angin
gerakan pukulan itu sudah lebih dulu melanda dada A nuraga.
Brahmana itu mengisar ke samping, berseru pula, "Nah, yang
ini cukup untuk merobohkan pohon sebesar paha anak kecil."
Kejut Kuda Lampeyan kali ini lebih besar dari yang tadi.
Sudah dua pertiga dari tenaganya telah dilancarkan pukulan
itu, namun lawan tetap tegak sekokoh karang.
Kuda Lampeyan makin gelisah dan makin penasaran.
Adakah ilmu kesaktian yang diperolehnya bertapa selama
bertahun-tahun itu masih kalah sakti dengan ilmu kepandaian
brahmana lawannya" Sesungguhnya selama mendapat petunjuk gaib dalam
tapanya itu, Kuda Lampeyan diperingatkan agar ilmu kesaktian
itu dipergunakan untuk tujuan yang benar dan suci. Namun
karena terangsang oleh nafsu dendam kemarahan, lupalah ia
akan pesan itu. "Brahmana, sambutlah seranganku yang terakhir ini," ia
segera mengheningkan cipta memusatkan seluruh semangat
dan menghentikan segenap gerak indera. Bergumpal-gumpal
aliran tenaga dalam tubuh berpusat ke arah Cakram Manipura.
Dari Cakram Manipura disalurkan ke arah Cakram Ana Gata,
lalu meluncur ke arah lengan tangan kanannya. Desss .....
berayunlah tangan kanannya dalam gerak menampar
brahmana Anuraga. Anuraga terkejut ketika dirinya serasa dilanda angin prahara
yang buas dahsyat. Ia hendak menyingkir namun tak mampu.
Pancaran angin dari tangan Kuda Lampeyan itu telah
mencengkam dan menyelubungi tubuh Anuraga ke arah
keadaan beku. "Ah, dia berhasil meyakinkan aji kesaktian Bayumandala.
Apabila aku tak dapat bergerak dalam beberapa kejab saja,
jantung darah tentu akan membeku," ia menimbang dalam
hati. Dalam ilmu samadhi, Anuraga pun berhasil meningkatkan
kepandaiannya pada tataran mengembangkan empat macam
kekuatan jasmani. Bayumandala yang dilancarkan Kuda
Lampeyan itu termasuk salah satu dari empat macam
kekuatan jasmani hasil daya pengembangan nafas. Anuraga
pun mengimbanginya dengan aji Mahendra mandala.
Sesungguhnya aji Bkyumandala dan Mahendra mandala itu
setingkat. Tetapi karena dalam latihan, ternyata Anuraga lebih
tinggi kemajuannya maka dapatlah ia bertahan diri dari
serangan aji Bayu mandala.
Kuda Lampeyan benar2 diamuk badai kemarahan yang
menyesatkan pikirannya. Setelah tamparan aji Bayumandala
gagal, ia maju merapat dan menghantam lawan dengan
sekuat tenaga, duk ..... karena jarak keduanya amat rapat,
Anuraga tak sempat menghindar. Dadanya tertimpa tinju dan
terlemparlah ia ke belakang, berjungkir balik beberapa langkah
jauhnya. Sekalian anak prajurit rombongannya bersorak gegap
gempita mengantar gerak tubuh Anuraga yang jatuh bangun
bagai ikan lele bergeleparan dintas pasir. Tetapi kegembiraan
prajurit itu tiba2 terganggu oleh sebuah suara orang menguak
keras, huak ..... Serempak mereka berpaling dan berobahlah
wajah prajurit2 itu demi melihat mulut Kuda Lampeyan
berlumur darah.
01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Raden ..... " serempak mereka berseru kaget amat.
Ketika tinju Kuda Lampeyan mendarat di dada Anuraga, ia
rasakan tubuh brahmana itu amat lunak sekali. Dan ketika
tubuh Anuraga terlempar kebelakang tiba2 Kuda Lampeyan
rasakan tenaga pukulan yang dihunjamkan itu tertolak oleh
suatu tenaga dahsyat sehingga tenaga yang memancar ke
lengan kanannya itu berhamburan kembali ke atas dan
melanda dadanya. Kuda Lampeyan seperti terhantam sebuah
gada dan tak kuasa lagi ia menahan gumpalan darah yang
meluap dan menyembur keluar dari mulutnya"..
Kuda Lampeyan pejamkan mata, menenangkan darahnya
yang bergolak-golak. Beberapa saat kemudian barulah ia
membuka mata dan memandang ke muka. Dilihatnya Anuraga
sudah tegak tak kurang suatu dan tengah menatapnya
tenang. Andai saat itu Kuda Lampeyan mau menyadari bahwa
Anuraga telah berlaku murah dalam menantikan tenagabalasan sehingga ia hanya muntah darah dan tak sampai
binasa, tentulah Kuda Lampeyan akan menghentikan
permusuhan. Tetapi rupanya watak keangkuhan dari pemuda
itu masih belum menyurut walaupun ia sudah mengasingkan
diri bertapa selama bertahun-tahun. Darah Kuda Lampeyan
menindih pula. Ia sudah terlanjur menyanggupi titah raja
untuk merebut benteng Pajarakan. Ia pun sudah terlanjur
dimanjakan oleh sanjung pujian oleh prajurit2 Majapahit yang
menyaksikan kesaktiannya. Adakah sekarang ia harus
menundukkan kepala menyerah pada lawan " Tidak, tidak !
Lebih baik berkalang bangkai daripada bercermin malu.
Serentak ia hendak bangkit tetapi sebelum berdiri tegak,
tumenggung Ikal-ikalan Bang pun sudah menggagah
dihadapan Anuraga. "Hai, brahmana, mengapa engkau tak
menyadari bahwa senopati kami telah memberi kemurahan
kepadamu ?" Anuraga tertawa, "Dalam hal apa?"
"Huh, bukankan engkau hanya jungkir balik saja " Apabila
senopati kami bertindak kejam, mungkin dadamu sudah
tercerai berai," seru Ikal-ikalan Bang.
Sesungguhnya Kuda Lampeyan agak kurang senang karena
Ikal-ikalan Bang maju ke gelanggang tanpa mendapat idinnya.
Dengan begitu tumenggung itu menganggap ia sudah kalah
dengan brahmana. Tetapi serta mendengar kata2 tumenggung
Ikal ikalan, agak redalah kemengkalan hatinya.
"Menilik pakaiannya, engkau tentu seorang senopati juga"
Siapakah namamu ?" tanya Anuraga.
"Aku tumenggung Ikal-ikalan Bang "
"0" desah Anuraga "rasanya pernah kudengar juga nama
itu. Tumenggung, dapatkan kuminta sesuatu kepadamu ?"
Tumenggung Ikal ikalan Bang tertawa, "Tak perlu,
permintaanmu itu tak mungkin kululuskan. Bukankah engkau
hendak minta supaya aku membawa pulang pasukan
Majapahit " Ha, ha, brahmana, seharusnya permintaan itu
engkau tujukan kepada dirimu sendiri. Tumenggung Kuda
Lampeyan dan aku serta pasukan Majapahit prajurit yang
hidup di medan perang dan bernafas udara peperangan.
Tetapi engkau, brahmana, bukan tempatmulah medan perang
itu. Selayaknya engkau berdiam di candi atau asrama atau
rumah2 suci. Bukankah suatu pengingkaran ikrar, apabila
seorang brahmana ikut berperang, ikut mengucurkan darah?"
Anuraga tertawa "Benar, memang tepat sekali ucapanmu, ki
tumenggung. Tetapi ketahuilah tumenggung Ikal-ikalan Bang,
yang saat ini engkau hadapi bukanlah sekedar seorang
brahmana melainkan insan yang menjadi tetesan darah Adipati
Rangga Lawe. Adipati Tuban yang telah dibunuh oleh kerajaan
Majapahit." "0, engkau hendak menuntut balas kematian ayahmu ?"
tumenggung Ikal ikalan Bang menegas.
"Aku ingin menunaikan permintaan eyang untuk membalas
budi ayahku." "Engkau hendak membela ayahmu yang memberontak itu
?" "Tumenggung Ikal-ikalan Bang, kuperingatkan kepadamu,
jangan menyebut lagi ayahku itu seorang pemberontak !"
"Tetapi itu suatu kenyataan bahwa adipati Tuban memang
memberontak. Adakah aku harus mengatakan lain ?"
"Tidak perlu, tetapi engkau pun harus menghadapi lain
kenyataan lagi bahwa tumenggung yang bernama Ikal ikalan
Bang, seorang senopati yang hilang kepalanya."
Ikal ikalan Bang tertawa mengejek, "Hm, besar nian katakatamu brahmana. Sudah berapa puluh kali Ikal ikalan Bang
berhadapan dengan musuh di medan pertempuran tetapi baru
engkau seorang yang berani lantang menghina aku."
"Tumenggung, berikanlah keputusanmu. Engkau tetap
hendak menyerang Pajarakan atau menurut nasehatku supaya
pulang ke pura Majapahit ?"
"Apabila engkau mampu menghadapi senjataku ini," Ikal
ikalan Bang mencabut sebuah gada dari pinggangnya "aku
pun pasti akan meluluskan permintaanmu."
Anuraga mendesuh, "Silahkan engkau timpahkan senjatamu
itu kepadaku." Wut, wut ..... terdengar angin menderu-deru ketika Ikal
ikalan Bang membolang balingkan gada ke udara lalu tiba2
menghantam kepada Anuraga. Anuraga tidak menyingkir
mundur atau menghindar ke samping tetapi bahkan
menyongsong maju merapat ke muka Ikal-ikalan seraya
dorongkan tangan kanannya ke dada orang.
"Uh ......." Ikal ikalan Bang mendesuh tertahan dan
tubuhnya terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang.
Kuda Lampeyan terkejut, sekalian prajurit terganga dan
yang paling tercengang adalah Ikal ikalan Bang sendiri. Ia
tidak menyangka bahwa brahmana yang gerak geriknya begitu
tenang lamban ternyata dapat bergerak cepat dan tepat. Pada
saat gada masih terangkat diatas, Anuraga pun sudah merapat
maju dan mendorong dadanya. Beberapa prajurit gopoh
menyanggapi tubuh Ikal-ikalan Bang agar tumenggung itu
jangan sampai jatuh terjerembab.
"Keparat!" Ikal-ikalan Bang mendamprat, menyiak prajurit
yang memeganginya lalu hendak maju lagi.
"Tumenggung Ikal- ikalan Bang, silahkan beristirahat. Aku
yang akan menghadapi brahmana itu," tiba2 Kuda Lampeyan
berseru mencegah seraya melangkah maju. Ketika melalui
rombongan prajurit ia minta sebatang tombak.
"Brahmana," sera Kuda Lampeyan "itulah sebabnva engkau
tak memandang mata kepada orang" Dengan ilmu kesaktian,
engkau berani mengganggu istriku, berani menghadang
pasukan kerajaan." "Aku tak merasa mempunyai ilmu kesaktian suatu apa,"
sahut Anuraga. "Tetapi ketahuilah hai brahmana bahwa Kuda Lampeyan
belum kalah." "Aku tak merasa menang dari engkau. Engkau memukul
dan aku hanya bertahan diri," sahut Anuraga pula.
"Dan tombak inilah yang akan menyempurnakan engkau ke
alam baka." "Mudah-mudahan," jawab Anuraga "agar aku segera
terlepas dari samsara dan klesa."
"Brahmana, cabutlah senjatamu juga!"
Anuraga gelengkan kepala, "Tidak, aku takkan memakai
senjata karena memang aku tak mempunyai."
"Hm, sombong benar," guman Kuda Lampeyan, "katakanlah
engkau menghendaki senjata apa, nanti kusediakan."
"Tidak perlu," jawab Anuraga "senjataku hanya tekad,
perisaiku kesucian hati. Bila tekad menyurut dan kesucian hati
merana. hancurlah tubuhku."
"Baiklah," kata Kuda Lampeyan, "aku seorang manusia
biasa, manusia prajurit yang hanya kenal bahasa menghadapi
musuh, dibunuh atau membunuh. Jika engkau tak mau
memakai senjata, itu keputusanmu sendiri. Tetapi aku sudah
berlaku seperti lazimnya seorang ksatrya, menawarkan senjata
yang engkau kehendaki. Brahmana, hari ini kita harus
mendapat keputusan, engkau atau aku yang mati."
"Jika memang demikian keharusan tugas yang engkau
lakukan, silahkan segera mulai," tantang brahmana Anuraga.
Dalam pada berkata-kata itu sesungguhnya diam-diam
Kuda Lampeyan sudah memusatkan tenaga ke arah tangannya
yang mencekal tombak. Maka tepat pada saat Anuraga
mengucapkan kata2 yang terakhir, Kuda Lampeyan pun sudah
menusuk dengan tombak ke perut lawan.
Anuraga menyadari bahwa Kuda Lampeyan dengan
bersenjata tombak amat beda dengan Kuda Lampeyan
bertangan kosong. Cara ia menghadapinya pun harus
berlainan. Cepat ia menyurut dua langkah kebelakang. Tetapi
ternyata tusukan tombak itu hanya suatu gerak tipuan. Tiba di
tengah jalan, tombak pun sudah ditarik kembali oleh Kuda
Lampeyan. Sambil loncat maju, ia menusuk lagi dada orang.
Dan ketika. Anuraga menghindar mundur, Kuda Lampeyan
pun mengejar maju. Sampai dua tiga kali tusukan tombak itu
hanya berhenti setengah jalan. Untuk yang keempat kali,
Anuraga tak mau mundur lagi. Ia tetap tegak di tempat.
Maksudnya apabila Kuda Lampeyan menarik pulang tombak, ia
hendak menyerempaki dengan sebuah serangan balasan.
Dengan begitu Kuda Lampeyan tentu tak sempat
menggerakkan tombaknya untuk menyerang.
Pada saat melancarkan tusukan yang keempat kali, cepat
sekali Kuda Lampeyan mengetahui bahwa lawan tak mau
menyingkir. Maka tombak pun tak ditarik kembali melainkan
dilanjutkan menusuk dada. Anuraga terkejut. Cepat ia
miringkan tubuh lalu menggelincir ke samping. Tetapi sebelum
ia dapat memperbaiki kakinya, ujung tombak lawan pun sudah
mengejar, hendak bersarang ke lambung. Anuraga cepat
tiarapkan tubuh ke belakang. Suatu gerak penghindaran yang
manis, indah dan mengejutkan lawan. Harapan Kuda
Lampeyan yang sudah memastikan akan dapat membobolkan
lambung lawan, ternyata berantakan hanya terpisah seujung
rambut dari sasarannya. Namun Kuda Lampeyan bukanlah ksatrya sembarang
ksatrya. Dia seorang pemuda yang pilih tanding, sakti
mandraguna dan mahir dalam ilmu tataraga. Melihat
kedudukan lawan sedemikian lemah karena tubuh merebah ke
belakang, ia segera gerakkan kakinya menyapu kaki orang.
Perhitungan Kuda Lampeyan itu memang tepat. Saat itu kaki
Anuraga harus menjaga agar tubuhnya yang merebah ke
belakang itu jangan sampai rubuh. Oleh karenanya ia
pusatkan kekuatan pada tumit kaki. Bahwa tiba2 Kuda
Lampeyan menyapu dengan dahsyat, memang tak disangka
oleh Anuraga. Bluk, rubuhlah tubuh brahmana itu bagai
terbanting ...... Setelah berhasil merubuhkan lawan, Kuda Lampeyan tak
mau memberi kesempatan lagi. Secepat ia berputar tubuh,
dilihatnya brahmana itu sedang bergeliatan hendak bangun.
Laksana harimau melihat kambing, loncatlah Kuda Lampeyan
menombak sekuat-kuatnya. Saat itu Anuraga sedang menggeliat hendak bangun. Tiba2
ia rasakan setiup angin dingin menyambar tubuhnya. Ia dapat
mengenali mana angin yang timbul dari pukulan dan mana
yang memancar dari gerak senjata. Diketahuinya pula bahwa
Kuda Lampeyan bersenjata tombak maka dapat dipastikan
bahwa angin itu tentu berasal dari serangan tombak. Anuraga
tak hanyut dicengkam kegugupan. Cepat ia menekankan
tangannya ke tanah untuk meminjam tenaga tekanan itu
melambungkan tubuhnya ke udara lalu meluncur kesamping
Kuda Lampeyan. Luput menombak tubuh Anuraga, tombak
Kuda Lampeyan itu bersarang ke sebatang pohon yang
tumbuh di dekat tempat itu. Karena menggunakan seluruh
tenaga, ujung tombak tembus keluar dari batang pohon.
Demikian dendam kemarahan yang membakar manusia Kuda
Lampeyan. Andai mengenai sasarannya, dapat dipastikan
tubuh Anuraga pasti hancur !
Anuraga terkejut menyaksikan keganasan senopati itu. Serentak timbul
keinginannya untuk memberi
peringatan. Sebelum Kuda Lampeyan berhasil menarik
keluar tombaknya, secepat
kilat Anuraga pun sudah meluncur di belakangnya dan mencengkeram kedua bahu Kuda Lampeyan. Seketika Kuda Lampeyan merasa lumpuh tenaganya. "Kuda Lampeyan, apabila
kuremas tulang bahumu, bukankah seluruh tenagamu
akan lenyap ?" seru Anuraga.
"Bunuhlah saja Kuda Lampeyan, brahmana!"
"Apa perlunya ?"
"Aku seorang ksatrya, lebih baik mati daripada engkau
hina." "Aku tak menghinamu, Kuda Lampeyan."
"Membikin cacad tubuhku berarti menghina Kuda
Lampeyan. Sekalipun engkau tak mau membunuh, aku pun
akan bunuh diri sendiri. Lebih baik mati daripada malu
bercacad." "Ksatrya Lampeyan, sebagaimana yang dahulu, aku tak
berhak menjabut nyawa seseorang. Aku hanya ingin
memperingatkan kepadamu. Jangan engkau lanjutkan juga
penyerangan ini karena engkau menyerang mentri kerajaan
yang tak bersalah." "Hm, Kuda Lampeyan sudah berjanji kepada raja. Lebih
baik mati daripada ingkar janji."
"Apa titah baginda ?"
"Bahwa mentri2 yang berada di Lumajang dan Pajarakan itu
melakukan makar hendak memberontak."
"Engkau percaya ?"
"Jika tak percaya pada titah raja, lalu kepada siapa aku
harus memberikan kepercayaanku ?"
Anuraga merenung. Ia berusaha mencari akal untuk
menyadarkan senopati itu. Tiba2 terlintas sesuatu dalam
01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
benaknya "Kuda Lampeyan, adakah baginda menerangkan
nama mentri2 yang hendak memberontak itu?"
"Tidak" "Dan engkau tahu siapa yang dianggap
pemberontakan itu ?" tanya Anuraga pula.
memimpin "Aku hanya dititahkan menggempur Pajarakan."
"0" desuh Anuraga dan cepat membayangkan suatu
kemungkinan "dengarkanlah, Kuda Lampeyan, yang dituduh
baginda sebagai kepala pemberontak di Lumajang itu adalah
pamanmu sendiri?" Kuda Lampeyan menyalang mata, "Siapa?"
"Rakryan mahapatih Nambi," sahut Anuraga "bukankah
beliau itu pamanmu sendiri?"
Kuda Lampeyan terkesiap tetapi pada lain kejab ia
mencemooh, "Jangan coba membohongi aku. Paman
mahapatih masih berada di pura Majapahit."
Anuraga tersenyum, senyum menikam. "Hm, nyata benar
kalau engkau buta keadaan di sekelilingmu. Mahapatih Nambi
beserta beberapa mentri dan senopati, berkunjung ke
Lumajang untuk merawat ayahnya, rakryan Pranaraja yang
sakit keras. Walaupun sampai beberapa waktu yang lama
rakryan mahapatih tinggal di Lumajang, namun akhirnya ayah
beliau menutup mata juga. Karena terlalu lama tak kembali ke
pura kerajaan, baginda menuduh rakryan mahapatih hendak
memberontak." "Apa " Eyang Pranaraja meninggal" " Kuda Lampeyan
makin terkejut walaupun nadanya masih setengah kurang
percaya. Anuraga tiba2 lepaskan cengkeramannya lalu berkata,
"Kuda Lampeyan, tanyakanlah kepada prajuritmu, apabila
Anuraga bohong, penggallah kepalaku ini."
Kuda Lampeyan melambai, memanggil seorang prajurit.
Atas pertanyaannya, prajurit itupun menerangkan sama
seperti yang dikatakan Anuraga. Seketika berobahlah wajah
Kuda Lampeyan "Haruskah aku melawan paman mahapatih
yang telah banyak melepas budi kepadaku itu" Dalam
peristiwa Sindura, paman mahapatih pun terus menderita
tekanan batin karena baginda tak puas kepadanya. Belum aku
sempat memohon maaf kepada paman, kini aku hendak
menyeranghya, ah....."
Tiba2 Kuda Lampeyan memberingas. Sepasang matanya
memancar bara merah, wajahnya merah nyala. "Kuda
Lampeyan, engkau bukan manusia, apa guna engkau hidup!"
sekonyong konyong ia ayunkan tinju hendak menghantam
ubun2 kepalanya sendiri. "Kuda Lampeyan, engkau gila!" Anuraga terkejut dan cepat
menyambar tangan Kuda Lampeyan. Karena sejak tadi ia
memperhatikan gerak gerik pemuda itu maka dapatlah ia
bertindak tepat pada saat Kuda Lampeyan hendak
menghancurkan kepalanya sandiri.
"Brahmana, bunuhlah aku!" Kuda Lampeyan berteriak teriak
seperti orang gila "aku manusia yang hina, kotoran dunia!"
Namun Anuraga tak mau melepaskan cekalannya. Tangan
Kuda Lampeyan tetap dipegangnya erat2. la tahu pemuda itu
sedang bingung dan kalap. Apabila dilepas tentu akan nekad
bunuh diri. "Raden Lampeyan" seru Anuraga dengan nada setengah
berbisik "setiap manusia tentu tak luput dari kesalahan dan
kekhilafan. Tetapi barangsiapa menyadari kesalahannya,
berarti dia sudah bertolak ke arah jalan yang benar ......."
"Brahmana ......."
"Bunuh diri adalah sikap orang yang tak bertanggung
jawab. Orang yang takut menghadap kenyataan, menghindari
akibat2 dari sebab yang dibuatnya. Pada hakekatnya akibat2
yang kita hadapi ini, adalah buah dari tindak perbuatan kita
sendiri. Raden seorang ksatrya, mengapa talk berani
menghadapi akibat akibat itu ?"
"Brahmana, tunjukkan jalan kepadaku ......."
"Sesungguhnya raden sudah memiliki pengetahuan akan
jalan2 yang selayaknya raden tempuh. Tetapi karena
kejernihan pikiran raden terkabut oleh rasa bingung, oleh
nafsu kemilikan dan keinginan maka raden tak melihat jalan
itu." "Aku bingung dan gelisah. Berikanlah penerangan agar aku
dapat menuju ke jalan yang benar."
Anuraga mengangguk, "Aku hanya dapat memberi
keterangan tentang jalan2 yang terbentang di hadapan raden.
Aku tak berani menganjurkan, tak berani pula memaksa
raden. Apa yang kuketahui, sudah dua kali ini raden mendapat
kesulitan dari baginda. Pertama raden sampai kehilangan isteri
raden yang terkasih. Dan yang kedua yalah sekarang ini di
mana raden dititahkan untuk berperang melawan paman
raden sendiri. Bukan soal mahapatih Nambi itu paman raden,
sekalipun paman dan saudara, apabila memang bersalah, kita
harus mementingkan kepentirgan negara dan menindaknya.
Tetapi nyata2 rakryan mahapatih itu tidak bersalah, ia difitnah
dan baginda percaya bahwa beliau hendak memberontak.
Akhirnya baginda mengirim pasukan besar-besaran, bahkan
baginda sendiri yang memimpinnya, untuk menunipas rakryan
mahapatih dan menteri kerajaan yang setya itu ...."
"Oh" Kuda Lampeyan mendesah.
"Dalam peristiwa Rara Sindura, rakryan mahapatih telah
menderita kesulitan. Baginda mulai tak senang kepada
mahapatih dan rasa tak puas baginda ini dimanfaatkan orang
untuk memfitnah mahapatih."
"Siapakah manusia yang memfitnah paman mahapatih itu
?" Kuda Lampeyan mulai bangkit perasaannya.
"Ah, masakan raden tak tahu. Orang itu tak lain tak bukan
adalah patih A luyuda"
"Aluyuda?" "Dalam peristiwa Rara Sindura yang lalu, pun patih itu yang
menjadi miang jelatangnya, mengatur siasat agar baginda
merebut Rara Sindura dari tangan raden."
"Brahmana ......."
"Sayang saat itu raden terkuasai oleh nafsu keinginan akan
pangkat dan harta sehingga raden tak menaruh kecurigaan
apa2. Kemudian setelah Rara Sindura meloloskan diri dari
keraton, rakryan mahapatih lah yang menjadi sasaran amarah
baginda. Buyut Mandana, pun ....."
Tiba2 Kuda Lampeyan berputar tubuh lalu ayunkan langkah
"Hai, hendak ke mana engkau raden!" cepat Anuraga
menyambar lengan pemuda itu dan mencegahnya pergi.
Kuda Lampeyan melirik tajam, "Mencari patih Aluyuda!"
sahutnya ringkas. "Mengapa?" "Mencekik lehernya !"
Anuraga tertawa kecil, "Ah, engkau sungguh berani, raden.
Sayang penyalurannya tidak terarah. Cobalah engkau
bayangkan, bagaimana engkau mampu mencekik patih itu,
bukankah patih itu selalu dikelilingi oleh pengawal2 yang
bersenjata lengkap " Bukankah andaikata engkau mampu
membunuhnya, engkau sendiripun tentu akan dibunuh?"
"Asal dapat membunuhnya, matipun aku puas."
"Ah, raden Lampeyan," Anuraga menghela napas,
"darahmu kelewat panas, nafsumu cepat meluap. Bukan
begitu caranya," nada Anuraga bernada tegas, "masih banyak
yang dapat engkau lakukan untuk menebus kesalahanmu.
Bawalah anak pasukanmu kembali ke pura kerajaan."
Kuda Lampeyan gelengkan kepala, "Tidak, tumenggung Ikal
ikalan Bang tentu akan menentang."
"Kalau begitu tinggalkan mereka dan pergilah raden bertapa
lagi mencari ilmu yang lebih tinggi. Kelak apabila tiba saatnya,
raden boleh keluar lagi."
"Ttdak" Kuda Lampeyan menolak "aku hendak menggabung
padamu, brahmana, untuk mengusir pasukan Majapahit itu."
"Jangan!" Anuraga pun menolak juga, "urusan di Pajarakan
sini, serahkan padaku sendiri. Aku masih sanggup
mengundurkan mereka."
"Kalau begitu baiklah" tiba2 Kuda Lampeyan loncat ke
punggung kudanya dan terus mencongklang sepesat angin.
"Hai, hendak kemana engkau," teriak Anuraga terkejut dan
memburu. Tetapi kalah cepat. Sambil melambaikan tangan,
Kuda Lampeyan menyahut ringkas, "Ke Lumajang ......." dan
lenyaplah senopati itu bersama kudanya ke dalam hutan.
Peristiwa itu benar2 mengejutkan tumenggung Ikal-ikalan
Bang dan seluruh pasukan Majapahit. Apa yang berlangsung
antara Kuda Lampeyan dan Anuraga telah mereka saksikan
semua. Hanya karena jaraknya agak jauh apa yang kedua
orang itu percakapkan, tumenggung Ikal-ikalan Bang tak jelas
mendengarnya. Terakhir yang dilihatnya, Kuda Lampeyan
loncat ke atas kuda dan lari tinggalkan pasukan, masuk ke
dalam hutan ..... Timbul dalam lintasan benak tumenggung Ikal-ikalan Bang
bahwa brahmana itu telah menggunakan ilmu sihir untuk
merobah pendirian Kuda Lampeyan atau sekurang-kurangnya
membujuk senopati itu dengan. Kata-kata yang manis.
Pedang Pusaka Dewa Matahari 2 Boma Gendeng Triping The Bridesmaids Story 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama