01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 29
penjelasan Parandiman, bekel itupun terharu dan gembira.
Bekel Asadha segera membawa ketiga tetamunya itu masuk
ke dalam agar dapat bicara tenang dan terhindar dari
pengetahuan orang. Ketika pembicaraan meningkat pada keadaan pura
Majapahit, bekel itu menerangkan bahwa sejak baginda
Jayanagara berangkat ke Lumajang memimpin pasukan untuk
menindas pemberontakan patih amangkubumi Nambi,
keadaan dalam pura makin gawat.
"Berita yang belum pasti telah sampai pada pendengaranku" kata bekel itu "bahwa ada kasak kusuk dari
fihak Dharmaputera untuk merebut tahta selagi baginda masih
berada di Lumajang ..."
Anuraga, Hesthidono dan Parandiman terkejut. Berita itu
penting sekali, harus diselidiki dengan jelas. "Lepas dari benar
tidaknya berita itu, ki Asadha harus lebih memperkuat
penjagaan dalam pura" kata Anuraga.
Bekel Asadha mengiakan "Memang kami telah memasang
orang khusus untuk mengamat amati gerak-gerik ketujuh
Dharmaputera itu" Dalam penutup pembicaraan bekel Asadha meminta agar
Anuraga, Hesthidono dan Parandiman suka tinggal di pura
kerajaan agar dapat membantu pekerjaan bekel itu,
menghadapi suasana yang gawat.
Anuraga bertiga pun meluluskan.
0odwomcho0 JILID 23 I PADA gunduk karang bersimbah
belukar subur dan rumput liar itu,
tampak sebuah benda aneh bentuknya. Mirip tubuh manusia
tetapi kurang tinggi. Mirip batu tetapi
berjalur kerangka manusia.
Namun belukar dan rumput yang
merindang di sekeliling bawah batu
karang itu tak menghiraukan apa dan
siapa yang menggunduk di atas
karang itu. Ke dua jenis tumbuhan itu
lebih mencurahkan semangat untuk memenangkan perlombaan mereka. Perlombaan yang menyerupai persaingan
menentukan siapa yang lebih berhak bersimaharajalela di
tempat itu. Sejengkal tanah dan sejari bumi di antara
pegunungan padas yang gersang.
Hidup itu gerak dan gerak pun menimbulkan hayat juang.
Demikian hayat yang di serapi seluruh makhluk hidup, dari
insan manusia, khewan, tumbuh tumbuhan bahkan pada
kuman-kuman yang betapa lembut pun juga.
Demikian pada tanah yang bertimbun di celah dan bengkah
permukaan padas di kaki bukit itu, dua jenis tumbuhan yang
mempunyai daya hidup kuat, sedang bersaing gigih.
Belukar ingin mengunjukkan kekuatan daya hidup yang
besar. Sebagaimana yang telah dimiliki oleh kaum jenisnya di
hutan, rimba, padang belantara bahkan di tanah padas
ataupun di tanah yang jaraag disinggahi hujan, dijenguk
embun, disengat sinar surya.
Rumput, pun merupakan jenis tumbuhan yang mempunyai
daya hidup hebat. Sejengkal, sejari bahkan se-cubit tanah
cukuplah sudah menjadi daerah hidup. Dia hidup karena
hidup. Tanpa menghayati apakah tujuan hidupnya. Tanpa
menghiraukan adakah kehidupannya itu menimbulkan
kebencian manusia, merugikan tumbuhan lainnya. Maka tak
dapatlah ia mengerti akan ulah manusia. Ada yang mencabut
dan mencampakkannya dari taman kediam-diaman orang
berada. Ada yang memeliharanya di kebun-kebun. Ada
kalanya dimakan kambing, kuda, kerbau ataupun diinjak injak
kaki manusia. Tetapi ada kalanya ia ikut menerima sembah
dan sesaji karena tumbuh di gunduk tanah yang berpenghuni
tulang kerangka manusia. Demikianlah di tanah pegunungan yang penuh padas
berlangsunglah persaingan hebat di antara dua jenis
tumbuhan yang memiliki daya hidup sekuat raksasa.
Pertarungan seru antara dua naga yang hendak menguasai
bumi pegunungan. "Ah ..." tiba-tiba terdengar helaan napas panjang. Helaan
napas yang cepat terbawa hembus angin pegunungan dan
bertebaran membahana ke seluruh penjuru alam.
Ah, helaan napas itu jelas dari dada seorang manusia. Pada
hal tiada lain insan yang berada di sekeliling tempat itu kecuali
benda yang tegak tak bergerak di atas batu karang itu.
"Ah, ternyata bukan hanya di pura yang ramai saja terjadi
pertentangan. Bahkan di pegunungan yang sesepi inipun
timbul peraingan hebat antara rumput dan belukar ....."
Tiba-tiba terdengar pula suara manusia berkata dalam
serangkaian kata yang panjang.
"Adakah ilham yang kuterima dari Hyang Jagadnata itu
takkan terjadi?" kata suara itu pula dalam nada yang parau.
Tiba-tiba tampak Benda di atas batu karang itu, beringsut
dan bergerak-gerak lalu tiba-tiba berputar ke belakang. Ah,
benda itu ternyata sebuah wajah manusia. Manusia lelaki yang
berwajah bersahaja dan tua.
Sukar untuk menentukan umurnya karena wajahnya itu tak
berhias keriput-keriput kulit sebagaimana lazimnya seorang
tua. Kulitnya masih datar dan segar. Hanya rambutnya yang
tak tahan di larut keusangan, usia tua.
Wajah orang itu tampak sunyi dan hampa. Cenderung pada
pencerminan wajah yang tolol. Sepasang gundu matanya yang
redup seperti menyembunyikan sumber sinar yang tajam.
Rupanya sejak tadi ia sedang terlelap dalam memperhatikan
keadaan alam sekelilingnya. Terutama pada pertumbuhan
belukar yang subur dan rumput yang meliar. Merenungkan
persaingan hidup antara kedua jenis tumbuhan itu,
terlontarlah serangkai kata-kata dari mulutnya. Ucapan
sekedar luapan isi hatinya walaupun ia tahu bahwa ucapan itu
takkan dihiraukan oleh belukar dan semak.
Sejenak berpaling ke belakang, pandang matanya
berkeliaran menjangkau ke jalur jalan yang merentang di
sepanjang kaki Bukit. Rupanya ia sedang menunggu dan
mencari sesuatu. Namun yang dicari itu tak juga tersembul
pada pandang matanya. Ia tak berkata apa-apa kecuali kerutkan dahi lalu mengisar
muka menghadap ke arah semula, pejamkan mata. Dari silap
duduknya, jelaslah bahwa punggungnya agak bungkuk.
Ia mulai menggali-gali apa yang dialami selama ini. Pada
hari itu ia merasa terganggu oleh kedut mata dan ngiang
telinga yang tak henti-hentinya. Walaupun sudah diusahakan
untuk menghilangkannya namun tetap tak hilang juga.
Akhirnya ia menyerah pada kesimpulan bahwa gangguan itu
bukanlah suatu gejala sakit melainkan suatu firasat. Sebagai
seorang pertapa iapun percaya pada apa yang disebut firasat,
lambang akan sesuatu yang akan terjadi pada dirinya. Segera
ia membenam diri dalam sanggar pamujan di dalam sebuah
guha yang diperuntukkan tempat bersemedhi mengheningkan
cipta. Tujuh hari lamanya ia menempuh alam keheningan untuk
mencapai titik manunggalnya atma dan peribadi ketika tibatiba ia mendengar suara lapat-lapat yang halus mengiang di
telinganya..... "Kadipara, sudahilah persemedianmu dan segera engkau
menuju ke tanah Terik. Di dalam kebun sebuah rumah besar,
engkau akan menemukan sebuah kitab pusaka berisi ilmu
kesaktian dan pengobatan. Pergunakanlah ilmu itu untuk
tujuan yang baik. Dalam perjalanan ke Terik, engkaupun akan
menolong seorang yang kelak akan menjadi orang besar....."
Demikian suara gaib itu dan segera ia turun gunung. Tiba di
kaki gunung hari pun sudah petang. Ia berhenti di atas batu
padas duduk bersemedhi pula untuk meyakinkan apa yang
diterima dari suara gaib itu. Betapapun sesungguhnya ia masih
enggan untuk meninggalkan, kehidupan tenang di gubuk
pertapaannya. Di alam kesunyian itulah ia dapat menemukan
suatu kelepasan jiwa dari segala rangsang keinginan. Di dalam
guha pemujaan itulah ia dapat mempersatukan diri dengan
alam. Di alam penyatuan itulah ia mempunyai kesempatan
untuk berkelana dalam cipta dan rasa.
Namun jelas suara gaib itu menghendaki ia turun dari
pertapaan, mengakhiri penyepian untuk kembali ke alam
kehidupan ramai pula. Jelas ia telah diperintahkan untuk
menunaikan dharma kebaikan, menyebarkan ilmu pengobatan
untuk menolong manusia dan memberi pertolongan kepada
seorang iman yang akan menjadi manusia besar.
Setelah menemukan kembali keyakinan hatinya, ia pun
segera menyerahkan diri dalam keheningan semedhi.
Malam makin larut dan makin larut. Makin pekat dan makin
senyap. Senyap dalam dunia alam luar, senyap pula dalam
dunia peribadinya. Tengah ia terbenam dalam keteduhan alam dunianya, tibatiba ia mendengar suara berderap-derap dan getaran halus di
bumi. Sayup-sayup antara hilang-hilang terdengar tetapi lama
kelamaan makin terdengar agak jelas dan makin jelas.
Alam teduh yang sedang membenam segenap indera
pikirannya, tersibak oleh bunyi derap yang riuh itu. Dengan
penuh keengganan ia terkuak dari keheningan ciptarasanya.
Dan segera indera pendengarannya dapat menangkap jelas
bahwa derap riuh itu berasal dari kaki kuda yang
mencongklang pesat menembus kegelapan malam. Bahkan
ketajaman telinganya dapat menentukan bahwa yang berlari
datang itu terdiri dari dua ekor kuda.
Rembulan rupanya masih enggan menampakkan diri.
Untunglah beribu bintang menyediakan diri untuk memerangi
angkasa malam sehingga bumipun terang. Bahkan makin
terang dikala malam makin larut.
Derap kuda itu makin terdengar dekat dan tak lama
kemudian murcullah dua ekor kuda membawa dua orang
lelaki. Kuda hitam membawa seorang yang berpakaian hitam.
Kepala sampai pada mukanya tertutup selubung kain hitam.
Sedang yang seekor, kuda berbulu merah, mengangkut
seorang lelaki bertubuh tegap.
Ketika tiba di jalan yang tepat kira-kira sepuluh tombak
jauhnya dari batu tempat Kadipara duduk bersemedhi itu,
sekonyong-konyong kedua kuda itu berhenti.
Kadipara terkesiap kejut. Bagaimana mungkin kedua
penunggang kuda itu berhenti apabila tak mempunyai
maksud. Adakah mereka mengetahui bahwa ia sedang duduk
diatas batu karang itu" Siapakah mereka"
"Bajang, mengapa mereka belum menyusul?" tiba-tiba
penunggang kuda hitam yang berselubung muka itu berseru.
Mendengar itu lepaslah ketegangan hati Kadipara. Dengan
mengheningkan segenap indera dan memusatkan telinganya,
dapatlah ia menangkap kata-kata orang itu dari jarak sepuluh
tombak. Malam sunyi, pun tak mengira bahwa di atas batu
padas yang terpisah beberapa tombak di kaki bukit terdapat
seorang manusia, orang itupun berkata dengan suara lepas.
"Ah, anak-anak itu memang suka berlambat-lambat" sahut
penunggang kuda merah yang disebut dengan nama Bajang
itu "tetapi mereka tentu menyusul"
"Bajang" seru penunggang kuda hitam pula "adakah yang
diperoleh anakbuahmu itu dapat dipercaya?"
"Rasanya tak mungkin salah, bapak" sahut Bajang si
penunggang kuda merah "ada seorang anakbuah kita yang
berhasil menjadi prajurit Daha. Dia telah diperintahkan oleh
lurah prajurit untuk bersiap-siap mengikuti perjalanan patih
Dyah Purusa Iswara ke pura Majapahit"
"O" desuh penunggang kuda hitam itu "apa tujuan patih
Iswara diutus ke pura Majapahit?"
"Untuk ikut dalam penyambutan baginda Jayanagara yang
kembali dari medan perang di Lumajang"
Penunggang kuda bulu hitam itu berdiam-diam diri. Sesaat
kemudian ia berkata pula "Lalu bagaimana rencana yang telah
kalian siapkan?" Bajang tak lekas menjawab melainkan mengedarkan
pandang mata meneliti ke sekeliling pegunungan. Rupanya ia
hendak memastikan bahwa di sekeliling tempat itu tiada orang
lain lagi. "Rencana yang telah kami persiapkan, agak berani" kata
Bajang "karena kami berpendapat bahwa kesempatan ini
harus kami manfaatkan benar-benar untuk kepentingan
perjuangan Wukir Polaman"
"Cobalah engkau katakan bagaimana rencana itu" kata si
penunggang kuda hitam. "Apabila rombongan patih Dyah Purusa Iswara itu tiba di
candi Tigawangi" kata Bajang "mereka tentu akan disambut
oleh para pandita candi itu dan dipersilahkan beristirahat"
"Hm, memang sudah selayaknya para pandita itu
menghormat seorang mentri besar dari negeri yang
membawahi candi mereka. Tetapi belum tentu patih Iswara
akan mau menerima permintaan mereka apabila perlu hendak
mengejar perjalanan"
"Patih itu harus mau, bapak"
Penunggang kuda hitam mengangkat muka, memandang
Bajang "Mengapa harus mau " A pakah para pandita itu berani
memaksa?" "Ya" sahut Bajang "mereka tentu akan memaksa patih Daha
itu untuk singgah di dalam candi"
Makin menyalang mata penunggang kuda bulu hitam itu
mendengar kata-kata Bajang "Mereka berani memaksa
seorarg patih ?" "Benar" sahut Bajang.
"Bajang" tiba-tiba penunggang kuda hitam itu berseru agak
01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keras "dalam urusan sepenting ini, janganlah engkau berolokolok"
"Tidak, bapak" jawab Bajang "aku memang tak berolokolok, para pandita candi Tigawangi itu tentu memaksa patih
Iswara untuk singgah ke candi"
"Mengapa" Apakah tujuan mereka hendak memaksa patih
Daha masuk ke dalam candi?"
"Agar patih itu tak melanjutkan perjalanan ke pura
Majapahit ...." Penunggang kuda hitam terbeliak "Bajang, jangan main
merahasiakan kata. Katakan terus terang apa yang telah
terjadi" "Para pandita candi Tigawangi itu sesungguhnya adalah
anak-anak kita. Mereka hendak menghadang perjalanan patih
Iswara. Dengan menyaru sebagai pandita, pengiring
rombongan patih Daha itu tentu tak curiga dan mudahlah juga
untuk mempedayakan mereka"
"Lalu kemana gerangan para pandita yang sesungguhnya?"
"Mereka telah kami tawan dan singkirkan ke lain tempat"
menerangkan Bajang. "Lalu apa rencana kalian setelah dapat menawan patih
Iswara?" "Ada dua tujuan, bapak" kata Bajang "pertama, dengan
hilangnya patih Iswara, Rani Daha tentu akan bingung dan
mengerahkan pasukan Daha untuk mencari ke segenap
penjuru. Dengan demikian kekuatan Daha tentu kosong. Dan
pada saat itu kami akan mohon perintah dari pimpinan
bagaimana langkah selanjutnya. Adakah kita serbu kraton
menawan sang Rani atau kita rebut pimpinan pemerintahan
Daha. Terserah kepada bapak dan pimpinan Wukir Polaman
..." "Hm" desuh penunggang kuda hitam "lalu tujuan yang
kedua?" "Apabila Rani Daha mendapat laporan bahwa patih Iswara
ditangkap oleh para pandita candi Tigawangi, Rani tentu akan
menyerbu candi itu dan menangkap pandita-pandita disitu.
Apabila patih Iswara tak dapat diketemukan, Rani Daha tentu
akan murka dan menitahkan untuk menangkap semua pandita
dan brahmana dalam telatah Daha. Di situlah nanti kaum
pandita dan brahmana akan gelisah. Apabila kita keluar untuk
menolong mereka, mereka tentu akan berterima kasih dan
mendukung perjuangan kita"
"Hm, peristiwa prabu Kertajaya dari Daha terhadap kaum
pandita akan terulang" kata penunggang kuda hitam.
"Benar" tanggap Bajang "hanya bedanya, jika dahulu Daha
yang berbuat menindas kaum pandita dan Singasari yang
menampung, sekarang terbalik. Pemerintahan Majapahit di
Daha yang berbuat, kita rakyat Daha yang akan menampung.
Tindakan Rani Daha itu pasti akan menggoncangkan
kedudukannya di Daha"
"Hm" desuh penunggang kuda hitam itu, "tetapi bagaimana
andai Rani Daha tak bertindak seperti yang engkau angankan
itu ?" "Kami masih mempunyai siasat untuk memaksa Rani Daha
bertindak begitu, bapak"
Penunggung kuda hitam kerutkan sepasang alis. Walaupun
perobahan airmukanya tak tampak tetapi pancaran matanya
menampak suatu sinar yang berkilat. Suatu tanda dari
pantulan hati yang terkejut. Ditatapnya Bajang atau
lengkapnya Bajangkara dengan pandang menuntut penjelasan. "Akan kami bentuk sebuah gerombolan pemuda yang akan
menghasut rakyat supaya menuntut pada Rani Daha bertindak
keras untuk mencari patih Dyah Purusa Iswara itu. Dan
menghukum berat pelaku-pelaku yang menganiaya patih itu.
Dengan desakan rakyat itu, masakan Rani takkan bertindak?"
Bajangkara segera memenuhi permintaan penunggang kuda
hitam yang menjadi salah seorang pemimpin Wukir Polaman.
Penunggang kuda hitam itu mengangguk pelahan. Diamdiam-diam-diam ia memuji kecerdikan Bajangkara.
"Lalu apa tujuan kalian mengundang aku ke sana?"
tanyanya sesaat kemudian.
"Pertama untuk meminta persetujuan bapak. Dan kedua
agar kehadiran bapak itu dapat memberi dorongan semangat
kepada anak-anak kita untuk menyelesaikan rencana itu"
Penunggung kuda hitam itu mengangguk, "Kurasa tak
keberatan dengan rencana itu. Asal yang penting harus dapat
menjaga jangan sampai menimbulkan kerugian jiwa kepada
anak-anak kita" Bajangkara mengiakan. Sesaat kemudian tiba-tiba
terdengar derap kuda lari memecah kesunyian malam.
"Nah, mereka perjalanan" kata hitam dan merah lama hilang dalam sudah menyusul, mari kita lanjutkan
Bajangkara. Kemudian kedua ekor kuda
itupun mencongklang pula dan tak berapa
kegelapan malam. Walaupun terpisah berpuluh langkah jauhnya, namun
Kadipara dapat menangkap semua pembicaraan dari kedua
orang itu. Diam-diam-diam-diam ia terkejut mendengar
rencana penculikan itu. Ia tahu bahwa Dyah Purusa Iswara
atau Arya Tilam itu seorang patih tua yang setia dan jujur.
Selama patih itu menjabat pekerjaannya, memang rakyat
Daha dapat hidup dengan tenang dan sejahtera. Patih itu tidak
memperlakukan rakyat Daha sebagai kawula terjajah,
melainkan sebagai kawula Majapahit yang bersatu. Patih itu
bercita-citakan suatu negara kesatuan. Tidak ada Daha,
Singasari atau Majapahit. Melainkan sebuah negara Majapahit.
Kadipara kenal baik dengan sifat dan peribadi Dyah Purusa
Iswara. Walaupun resi Kadipara itu lahir di bumi yang
termasuk telatah Daha, namun ia dapat menerima kehadiran
Dyah Purusa Iswara sebagai pengemudi pemerintahan Daha.
Dan diapun dapat merasakan kebijaksanaan serta keadilan
patih itu terhadap kepentingan kawula Daha.
"Aku seorang kawula Daha. Jika kuhalangi gerakan orangorang Wukir Polaman itu, tentulah mereka akan mengatakan
aku seorang penghianat. Namun kalau kubiarkan saja mereka
melangsungkan rencananya, bukan melainkan Dyah Purusa
Iswara yang akan menjadi korban pembunuhan, pun
ketenangan negeri Daha tentu akan terganggu ...."
Merenungkan hal itu terhentaklah resi Kadipara dalam
kemanguan. Pikirannya jauh merana mencari-cari jawaban.
Beberapa saat kemudian, ia tersentak dari renungan dikala
mendengar derap lari kuda yang riuh. Dan tak berapa kejab
pula, belasan penunggang kuda melintas dengan pesat. Di
bawah cahaya bintang kemintang, pandang matanya yang
tajam dapat melihat bahwa penunggang-penunggang kuda itu
terdiri dari lelaki muda yang tegap perkasa. "Ah, mereka tentu
anak-buah dari kedua orang tadi" resi Kadipara cepat menarik
kesimpulan. Setelah mereka berlalu dan menghilang dalam kepekatan
malam, kembalilah resi Kadipara terbenam dalam keheningan.
Dan cepat pula keheningan itu mulai membentuk lingkarlingkar keraguan yang makin lama makin menjerat pikirannya.
Masalah yang telah menghuni benaknya tadi, mulai
mencengkam pula. Ia mulai resah dan makin gelisah. Namun
belum juga bersua pada pemecahan yang diinginkan. Akhirnya
teridaplah ia dalam keheningan cipta yang sunyi ....
Kepekatan malam mulai dikuak percik-percik cahaya terang.
Dan beberapa saat kemudian, terdengarlah ayam hutan
berkokok menyambut kehadiran fajar pagi. Seluruh isi hutan
dan pegunungan mulai berkemas kemas. Burung-burung mulai
mengepak-ngepak bulunya dan lain-lain margasatwa serta
unggas pun bersibuk mempersiapkan diri. Suasana kesibukan
dalam hutan tak kalah dengan insan manusia yang berdiamdiam di pedukuhan maupun di kota-kota.
Pergantian suasana itu rupanya menyengat kelelapan
menung resi Kadipara. Ia mulai menyadari bahwa hari sudah
menjelang terang. Dan ia harus melanjutkan perjalanan
menuju ke pura Wilwatikta. Untuk masalah yang meresahkan
pikirannya semalam, ia telah merangkai suatu keputusan.
Tidak akan membantu patih Purusa Iswara maupun orangorang Wukir Polaman. Ia menyerahkan hal itu kepada garis
ketentuan perjalanan hidup mereka sendiri.
Fajar makin mendatang, cuaca pun makin cerah. Dikala ia
hendak turun dari atas batu itu, tiba-tiba telinganya
menangkap suatu bunyi dari langkah kaki kuda yang sedang
berjalan mendatangi. Timbullah keheranannya. Mengapa
derap itu amat pelahan dan tidak mencongklang. Bukankah
pada umumnya kuda itu tentu berjalan dengan lari"
Dan rasa heran itu makin menyengat hatinya ketika seekor
kuda muncul dari ujung jalan dengan langkah yang tenang.
Namun bukan kuda itu yang menarik perhatian resi Kadipara
melainkan muatan yang berada pada punggung binatang itu.
Sepintas pandang menyerupai sebuah pelana tetapi mata resi
yang tajam itu melihat suatu kelainan pada pelana itu.
Benda yang menggunduk di atas punggung kuda itu jelas
bukan sebuah pelana melainkan sesosok tubuh manusia yang
rebah menelungkup. Ah ..... kembali pandang mata resi yang
setengah bungkuk itu terbelalak ketika memperhatikan bahwa
tubuh, kedua tangan dan kaki orang itu terikat pada perut
kuda. Dan tampaknya orang itu terkulai tak bergerak.
Tergugahlah nurani keresiannya. Ia lupa untuk
merenungkan adakah orang di atas punggung kuda itu yang
diam-diamanatkan suara gaib supaya ditolongnya. Ia pun tak
menghiraukan siapa orang itu. Yang penting ia harus
menolong orang yang sedang tertimpah musibah. Karena
seorang yang rebah dengan kaki dan tangan diikat pada
punggung kuda, tentulah seorang korban dari tindak
penganiayaan. Ah .... sekali berayun, resi Kadipara sudah melayang sampai
beberapa tombak dan meluncur turun ke kaki bukit. Dan
dalam dua tiga ayunan, iapun sudah berada di tepi jalan
menunggu kedatangan kuda itu.
Ternyata resi itu memiliki gerak yang luar biasa tangkasnya.
Andaikata orang biasa, tentulah harus memerlukan waktu
beberapa saat untuk menuruni lereng bukit itu.
Rupanya resi tua itu tak sabar menunggu kedatangan kuda
yang berjalan lambat itu. Segera ia lari menyongsongnya.
Kuda terkejut melihat seorang manusia berlarian menghampiri. Tetapi sebelum binatang itu sempat berkisar
arah sedikit pun, resi Kadipara sudah tiba dan menyambar tali
kendali kuda. Binatang itu tak dapat bergerak lagi. Setelah
menundukkan kuda, dengan cekatan pula Kadipara segera
melepaskan tali ikatan orang itu lalu memondongnya ke tepi
jalan. "Ah, seorang anak muda" katanya seorang diri setelah
melihat wajah orang itu "rupanya dia pingsan"
Memang sejak bertapa di gunung, resi Kadipara tekun
mempelajari khasiat daun-daun obat. Ia memang gemar akan
ilmu pengobatan. Diperiksanya tubuh anak-muda itu dan
diketahuinya bahwa tengkuk anakmuda itu telah menderita
pukulan benda keras. Segera ia memberi pertolongan.
Mengurut-urut punggung anakmuda itu agar darahnya
melancar. Kemudian ia meletakkan tubuh anak itu di bawah
pohon dan ia terus masuk ke dalam hutan untuk memetik
daun obat. Tak berapa lama ia keluar dari hutan dan menuju kembali
ke tempat anakmuda itu. Ah, ternyata pemuda itu sudah sadar
dan duduk bersila pejamkan mata. Resi Kadipara tertegun. Ia
tak menyangka bahwa anak yang semuda itu ternyata
menjalankan juga ilmu bersemedhi. Ia tak mau mengganggu
dan menunggu. "Paman" tiba-tiba anakmuda itu berseru "adakah paman
yang menolong aku ?"
Resi Kadipara terkesiap ketika melihat wajah anakmuda itu.
Seorang anakmuda yang memiliki jidat lebar, telinga, hidung
dan mata yang besar. Walaupun tidak cakap, tetapi wajah itu
menampilkan suatu hati dan kemauan yang keras serta
bijaksana. Jidat lebar merupakan penampung pertimbangan
yang luas. Terutama sepasang gundu matanya yang bundar
dan bersinar sinar itu, memantulkan suatu wibawa yang
memaksa orang mentaati. Resi Kadipara mengangguk pelahan.
"Terima kasih paman" seru anakmuda itu pula.
"Ah, sudah jamak adat manusia tolong menolong" ujar resi
tua itu "janganlah memikirkan hal itu tetapi pikirkanlah
keadaan tubuhmu yang menderita luka itu" Bagaimana
engkau rasakan saat ini?"
Anakmuda itu mengatakan bahwa semangatnya sudah
bertambah baik. Pun rasa sakit pada tengkuknya mulai
berkurang. "Tulang tengkukmu hampir patah" kata resi Kadipara "kalau
patah engkau tentu menjadi seorang bungkuk seperti aku.
Kejam benar orang yang memukulmu itu. Lumurilah dengan
remasan daun ini, dua tiga hari luka itu tentu sembuh"
Anakmuda itu bukan lain yalah Dipa. Setelah dipukul
pingsan oleh anak-anak Wukir Polaman, ia segera diikat pada
punggung kuda dan dilepaskan lari. Bermula kuda itu
mencongklang pesat. Tetapi setelah malam gelap, binatang
itupun berhenti masuk ke sebuah hutan. Rupanya cukup penat
kuda itu pada siang harinya. Ia pun ingin mengasoh dan
makan rumput yang tumbuh dalam hutan itu. Maka walaupun
kuda itu berlari lebih dulu tetapi yang lewat di kaki bukit
tempat resi Kadipara beristirahat, bukanlah kuda itu melainkan
rombongan orang-orang Wukir Polanan.
Dipa bersyukur dalam hati atas kebaikan hati seorang tua
yang belum dikenalnya tetapi telah memberi pertolongan
dengan penuh perhatian. Sekali lagi ia menghaturkan terima
kasih kepada resi Kadipara. Tetapi sekali lagi itu pula resi
bungkuk itu menolak persembahan terima kasih itu.
Resi Kadipara tertawa tawar ketika Dipa menanyakan
namanya "Ah, untuk apa engkau ingin mengetahui namaku"
Hendak engkau kenang" Tak perlu, anakmuda"
Dipa tercengang. Ia heran tetapi diam-diam pun memuji
01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan kejujuran hati orang itu. Ia pun heran juga mengapa
orang tua itu tak menanyakan nama dirinya. Dan bahkan
sehabis memberi pertolongan orang tua itupun berkemas
hendak pergi. "Tunggu paman" serunya gopoh seraya maju menghampiri
ke hadapan orang tua itu, "ke manakah paman hendak pergi?"
"Perlukah engkau ingin tahu?" jawab resi Kadipara dengan
nada tak mengasih. Dipa tertegun mendengar jawaban itu. Andai tak mengingat
bahwa orang tua itu telah menolong dirinya, tentulah Dipa
akan berpaling diri dan tak menghiraukannya lagi.
"Ah, bukan soal ke mana paman hendak pergi itu yang
kuperlukan" jawab Dipa "melainkan ingin kupersembahkan
serangkai kata sekedar pengantar rasa terima kasih, eh, untuk
sekedar pengantar perkenalan diri dari orang yang paman
tolong ...." "Ah, tak perlu, anakmuda" kata resi Kadipara "janganlah
engkau mengikat dirimu dengan rasa berhutang budi. Karena
sekali-kali aku tak merasa telah melepas budi kepadamu"
Habis berkata resi bungkuk itu terus berputar tubuh dan
hendak melangkah. Tetapi secepat itu pula Dipapun sudah
loncat ke hadapannya pula. "Paman, maukah paman
mendengar namaku ?" "Ah, tak usah" kata resi Kadipara sembari lanjutkan
langkah. Dipa benar-benar heran dan mengkal melihat sikap orang
yang begitu dingin. Namun demikian sifat manusia, makin
ditolak makin bernafsulah.
"Paman, namaku Dipa tetapi orang menyebutku si Gajah
...." Dipa terpaksa agak pesatkan langkah untuk mengikuti
langkah resi Kadipara yang mulai melaju.
"O" desuh resi tua itu seraya berjalan "biarlah engkau pakai
saja nama itu. Gajah, Lembu, Mahisa, Kuda, Bango dan lainlain memang banyak dipakai sebagai nama orang"
Dipa tetap mengikuti di belakang resi itu seraya berkata
"Aku seorang anak desa ...."
"Hm, anak desa, anak hutan, anak gunung, anak raja,
semua sejenis manusia" sahut resi itu tanpa berpaling muka.
"Paman, lalu setelah besar aku bekerja sebagai prajurit
Kahuripan" "Baik saja" sahut resi Kadipara "semua pekerjaan itu baik
saja, asal jangan pekerjaan yang jahat"
"Aku diutus gusti Rani untuk menemui seseorang di pura
Majapahit ...." "Junjunglah setiap perintah dari raja atau pemimpinmu atau
gurumu. Dan laksanakanlah dengan setulus hatimu"
"Akupun bertemu dengan seorang yang pernah menolong
diriku. Namanya demang Suryanata, kenalkah paman dengan
dia?" "Entahlah, aku sudah lupa" sahut resi Kadipara singkat.
"Cucu demang Surya yang telah menikah dengan buyut
Lodaya tetapi gusti Ratu Indreswari menitahkan supaya cucu
demang Surya itu dibunuh"
"O" desuh Kadipara tak tergerak setitikpun juga
"barangsiapa bersalah kepada raja tentu dapat dihukum mati"
"Ah ...." Dipa menghela napas. Benar-benar ia hampir
kehilangan faham bagaimana dapat menggerakkan hati resi
bungkuk itu. Sebenarnya mudah saja ia hentikan langkah
mengikuti orang tua itu. Tetapi entah bagaimana hatinya
meraba geram-geram mengkal terhadap sikap orang itu. Dan
makin besarlah nafsunya untuk menundukkan hati resi
Kadipara. "Lalu aku bersama demang Surya menuju ke Blitar untuk
menyelamatkan jiwa cucunya. Demang Surya telah berangkat
lebih dulu. Dan ketika aku menyusul, di tengah jalan aku telah
dihadang oleh seorang ..."
"Memang jalan antara Majapahit dan Daha itu masih sering
terjadi pencegatan dan pembegalan" kata Kadipara.
"Tetapi bukan begal sembarang begal, paman. Melainkan
seorang anak buah dari gerombolan. Untunglah penghadang
itu dapat kuhalau" "Ya, seorang yang gemar berkelana, harus dapat menjaga
diri" resi Kadipara menanggapi ringkas.
"Kemudian aku bertemu dengan paman brahmana. Paman
brahmana di tipu oleh orang itu sehingga menyanggupi untuk
menangkap lawan dari begal itu. Tetapi serta melihat diriku,
paman brahmana girang sekali. Pada waktu kami sedang asyik
bicara, begal itu pun melarikan diri"
"Memang dunia ini penuh dengan kebohongan dan penipu.
Hati-hatilah dan jangan mudah percaya kepada omongan
orang yang belum engkau kenal" kata Kadipara pula.
Dipa benar-benar mendongkol sekali. Sengaja ia hanya
menyebut paman brahmana untuk memancing perhatian resi
tua itu agar menanyakan siapa nama brahmana itu. Tetapi
ternyata resi bungkuk itu tak menanyakan soal nama itu "Gila,
belum pernah aku bertemu dengan seorang yang berhati
sedingin begini ..." gumamnya dalam hati.
"Paman, tidakkah engkau ingin mengetahui nama paman
brahmana itu?" karena tak kuat menahan luapan hati, Dipa
berseru. "Ah, makin banyak nama yang kukenal, makin sesaklah
pikiranku untuk mengingatnya. Pada hal pikiran itu jauh lebih
diperlukan untuk memikirkan hal-hal yang perlu daripada
harus mengingat nama orang ..."
"Hm, kurang ajar benar orang ini" gumam Dipa dalam hati
"rupanya ia lebih mementingkan dirinya sendiri daripada
segala apa di dunia"
Akhirnya ia mendapat akal untuk mengolok sekalian
memancing perhatian resi itu. "Paman, maafkan kalau aku
berkata agak menyinggung hati paman"
"Hm" resi bungkuk itu hanya mendesuh.
"Paman brahmana mengatakan bahwa ia mempunyai
seorang kenalan, seorang resi yang bungkuk ..."
"Biarkanlah" "Apakah orang itu bukan paman sendiri?"
"Tentu bukan" sahut Kadipara "aku tak pernah turun
gunung dan tak merasa mempunyai sahabat seorang
brahmana" Sambil mengikuti berjalan di belakang resi itu, Dipa gelenggeleng kepala. Ia benar-benar kehilangan faham menghadapi
resi tua yang aneh itu. "Aku dan paman brahmana mengejar begal tadi tetapi kami
di kepung oleh gerombolannya dan akhirnya di tangkap"
"O, memang demikian tingkah kaum gerombolan pengacau
itu" datar-datar saja Kadipara memberi tanggapan.
"Kemudian kami dipukul dengan benda berat dan pingsan.
Untunglah paman menolongku"
"Itu pertanda nyawamu masih panjang" seru Kadipara.
"Tidakkah paman melihat seorang brahmana yang lalu di
jalan ini?" tanya Dipa.
"Tidak" "Hm, gerombolan itu memang kejam. Harus dibasmi" kata,
Dipa. Resi Kadipara diam-diam. "Gerombolan itu menyebut dirinya Wukir Polaman ..."
Resi Kadipara tak mengacuhkan bahkan mempercepat
langkahnya. Melihat itu, Dipapun hentikan kakinya. Ia anggap
sia-sia untuk berbicara dengan orang yang berhati sedingin
itu. "Aku akan ke Daha untuk membasmi gerombolan Wukir
Poiaman itu" Dipa berputar tubuh lalu berlari.
"Hai, tunggu dulu!" tiba-tiba terdengar resi Kadipara
berseru. Dipa lambatkan larinya tetapi ia tak mau berhenti melainkan
berjalan terus. "Engkau hendak ke Daha?" tanya Kadipara yang menyusul
di belakang. "Benar" sahut Dipa.
"Engkau hendak mencari orang-orang Wukir Polaman?"
Dipa mengiakan "Mengapa?" "Untuk meminta pertanggungan jawab mereka atas diri
paman brahmana" "Engkau seorang diri?" Kadipara menegas.
"Aku memang selalu seorang diri. Bukankah hal itu sesuai
dengan nasihat paman tadi supaya jangan mudah
mempercayai orang?" "Tahukah engkau di mana tempat orang-orang Wukir
Polaman itu?" tanya Kadipara pula.
"Untuk mencari seseorang tentu saja aku belum tahu.
Tetapi dapatlah hal itu kutanyakan pada orang yang mau
memberi keterangan" "Ho, anakmuda, jangan tekebur" dengus Kadipara "orangorang Wukir Polaman itu berjumlah ratusan banyaknya.
Bagaimana mungkin hendak engkau hadapi seorang diri"
Bukankah tak ubah seperti telur beradu dengan ujung
tanduk?" "Berbanggalah telur yang berani beradu dengan tanduk itu.
Karena walaupun lemah tetapi ia mempunyai keberanian
besar" "Anakmuda, berhentilah
kepadamu" seru Kadipara.
dahulu. Aku hendak bicara "Apa bedanya bicara sambil berjalan dengan berhenti dan
bicara?" kali ini Dipa sengaja hendak membalas sikap orang
yang tadi begitu dingin. "Hm, engkau seorang pemuda yang kurang tata" tiba-tiba
resi itu loncat maju dan ulurkan tangan kanannya untuk
mencengkeram bahu Dipa "Uh ...." tiba-tiba ia mendesuh kejut ketika tangan yang
hampir menyentuh bahu si anakmuda, ternyata hanya
menerpa angin. Resi Kadipara terkejut. Untuk memastikan dugaannya ia
loncat dan menubruk punggung Dipa. Tetapi untuk yang
kedua kalinya ia harus menubruk angin lagi. Tanpa disadari,
bangkitlah kegeraman hati resi bungkuk itu terhadap Dipa.
Disusulinya pula dengan gerakan menerkam dan menubruk.
Namun sampai empat lima kali tetap ia tak berhasil mencapai
maksudnya. Tiba-tiba resi itu berhenti lalu berteriak kuat-kuat "Hm,
bocah kemarin sore, engkau berani mempermainkan resi
Kadipara, sambutlah pukulanku ini!"
Bum ..... terdengar letupan keras ketika segunduk karang
yang mengonggok di dekat jalan pecah berhamburan dan
debu-debu halus bertebaran menyelubungi pandang mata.
Selekas tebaran debu menipis tampak resi itu memandang
kian kemari untuk mencari Dipa.
"Resi Kadipara, harap tuan jangan marah...." tiba-tiba resi
itu terkejut ketika mendengar suara dari arah belakangnya.
Capat ia berpaling dan dapatkan Dipa duduk menelungkupkan
kedua tangan ke muka selaku memberi hormat.
Betapapun panasnya hati Kadipara namun nurani
keresiannya tetap memancarkan sumber welas asih yang
jernih dan teduh. Amarahnya pun hilang lenyap bagai awan
dihembus angin ketika melihat sikap Dipa yang paserah.
"Apa maksudmu?" tegurnya.
"Aku telah mencapai apa yang kuinginkan yalah nama tuan.
Hanya itu saja yang kuinginkan, sama sekali bukan hendak
menghina atau mempermainkan tuan" kata Dipa.
"Kurang ajar" desuh resi Kadipara "mengapa engkau tak
mengatakan dengan baik-baik. Hm, jangan engkau ulang lagi
perbuatan semacam itu terhadap orang tua!"
Dipa hanya mengiakan saja.
"Sekarang engkau harus memberi keterangan yang jujur
kepadaku" kata resi itu pula "apakah yang engkau ceritakan
tadi benar semua?" "Memang benar begitu"
"Siapa nama paman brahmana itu?"
"Anuraga" Kadipara kerutkan dahi "Aku tak merasa pernah bertemu
dengan seorang brahmana yang bernama begitu. Apakah dia
juga menderita nasib seperti engkau ?"
"Ya, kami berdua dibawa ke luar dari guha, tiba-tiba mereka
memukul tengkuk kami. Dan setelah itu aku tak tahu lagi apa
yang terjadi selanjutnya"
Kadipara mengangguk "Kemungkinan pamanmu itu tentu
dinaikkan ke atas kuda yang berlainan arah dengan engkau.
Karena jelas yang kulihat lalu di sini hanya rombongan orangorang Wukir Polaman dan pagi ini baru kuda yang membawa
dirimu" "Rombongan orang-orang Wukir Polaman juga lalu di sini?"
teriak Dipa agak terkejut.
Kadipara lalu menuturkan apa yang dilihat dan di dengarkan
semalam. Dipa mendengarkan dengan penuh perhatian. Ketika
mendengar tentang rencana orang-orang Wukir Polaman
untuk menghadang perjalanan patih Daha Dyah Purusa
Iswara, terkejutlah Dipa.
"O" serunya "itulah sebabnya maka penunggang kuda hitam
buru-buru tinggalkan guha. Kiranya mereka hendak
melaksanakan rencana itu. Aku harus menggagalkan rencana
jahat itu !" "Mengapa ?" tanya Kadipara. Resi itu ingin menguji sampai
di mana pandangan Dipa. "Majapahit adalah negara kesatuan yang nyata dapat
memberi kehidupan tenang dan kemakmuran kepada rakyat
dan kejayaan padi negara" kata Dipa "orang-orang Wukir
Polaman hendak mengembalikan lagi kerajaan Daha. Tindakan
mereka itu hanya dipengaruhi oleh rasa kedaerahan. Pada hal
jelas, sebelum timbul Majapahit, Daha dan Singasari selalu
pecah dan perang. Rakyat menderita dan negara pun lemah"
"Adakah engkau mencintai negara Majapahit?"
"Ya, aku ingin mengabdi dan mempersembahkan jiwa
ragaku untuk kejayaan Majapahit" seru Dipa.
Resi Kadipara terkesiap dikala melihat Dipa mengucapkan kata katanya itu. Betapa perkasa nada itu
diucapkannya, betapa jantan
sikap
01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tegaknya, betapa khidmat mimik wajahnya dan betapa gemilang sinar
yang memancar dari kedua gundu matanya. Sekilas dalam pandangan Kadipara,
bukan lagi Dipa si Gajah yang menggagah di hadapannya, melainkan sebuah wajah yang perkasa
jaya .... "Ganesya ...." tiba-tiba meluncurlah sebuah ucapan dari
mulut resi Kadipara. Diluar kesadaran meluncurlah ucapan itu,
serempak dan di luar kekuasaan pikirannya.
"Resi ..." Dipa terkejut mendengar ucapan itu. Tetapi resi
Kadipara sendiripun juga terkesiap dari sentakan kesadarannya "resi, apa kata tuan tadi?"
"Apa kataku?" resi itu menegas agak bingung.
"Tadi resi maksudkan?" mengucapkan Ganesya. Apa yang resi Kadipara pejamkan mata, menyelubungkan diri dalam
lingkaran menung dan renung. Beberapa saat kemudian baru
ia membuka suara "Anakmuda, ada sebuah peristiwa aneh
yang kulihat tadi. Pada waktu engkau menegakkan dada
menengadahkan kepala mengucapkan prasetyamu untuk
mengabdi kepada Majapahit, entah bagaimana kulihat
wajahmu telah berobah seperti.....batara Ganesya"
"O, dewa Gajah itu?" Dipa menegas "ah, ketika aku masih
anak-anak, aku pernah mengangkat sebuah patung dewa
Ganesya di sebuah candi kecil. Dan sejak itu makin lekatlah
gelar nama yang diberikan orang-orang di desaku. Mereka
menyebut aku si Gajah. Tetapi ah, mungkin tadi resi hanya
berkhayal belaka." "Mungkin begitu" kata resi Kadipara "tetapi mungkin tidak.
Karena aku merasa tak pernah memikirkan dewa itu. Tetapi
apa yang kusaksikan pada wajahmu tadi memang benar
begitu" "Ah, tuan mengolok diriku" Dipa tersipu-sipu.
"Sesungguhnya memang begitu, nak" kata resi Kadipara
"Tetapi biarlah dan mari kita merundingkan soal Wukir
Polaman. Bukankah engkau hendak berusaha mencegah
rencana mereka?" Dipa mengiakan. "Begini, nak. Aku sedia membantumu ..."
"Terima kasih, resi"
"Jangan menukas pembicaraanku dulu. Dan simpanlah
segala macam terima kasih itu, sebelum usahamu berhasil!"
"Baiklah" Kadipara mengendapkan perasaan hatinya, baru berkata
dengan tenang. "Dipa, cara yang terbaik untuk mencegah
tindakan orang Wukir Polaman itu tak lain yalah engkau harus
menghadap Rani Daha atau patih Dyah Purusa Iswara. Mohon
kepada mereka supaya membatalkan atau mempertangguhkan keberangkatannya ke Majapahit. Siarkan
berita bahwa patih Dyah Purusa Iswara tiba-tiba jatuh sakit
sehingga membatalkan rencananya ke Majapahit. Kemudian
supaya mengirim sebuah pasukan untuk menyergap anakbuah
Wukir Polaman yang menyaru sebagai pandita-pandita di
candi Tigawangi. Setelah melakukan pembersihan barulah
patih Purusa Iswara melaksanakan perjalanan ke Majapahit
lagi" Dipa mengerutkan dahi, berpikir.
"Lain cara lagi yalah langsung menyerang anakbuah Wukir
Polaman. Tetapi kekuatan mereka cukup besar. Engkau
seorang diri, pun bahkan bersama aku, rasanya sukar untuk
menggempur mereka. Cara ini kurang aman dan lebih besar
kemungkinannya gagal daripada berhasil"
Dipa mengangguk. Memang dalam hatinya ia hendak
mempertimbangkan cara kedua itu. Akan tetapi karena isi
hatinya telah di uraikan dan telah di jawab oleh resi Kadipara
maka Dipa pun segera menghapus pertimbangan untuk
mengambil langkah semacam itu.
"Tetapi bagaimana dengan diri paman Anuraga ?" tanyanya
agak cemas. "Serahkan hai itu kepadaku. Aku akan mencari seorang
anakbuah Wukir-Polaman dan meminta keterangan tentang
brahmana itu" "Apakah anakbuah Wukir
keterangan kepada resi?"
Polaman mau memberi Resi Kadipara tersenyum sendat "Sudah tentu akan kupaksa
dia bercerita" Dipa mengangguk. Yang dimaksudkan oleh resi itu tentulah
akan menggunakan kekerasan untuk memaksa anakbuah
Wukir Polaman itu memberi keterangan.
"Baik, resi" kata Dipa "aku setuju untuk melaksanakan usul
tuan. Tetapi di manakah kita akan bertemu lagi agar aku
dapat menerima kabar dari tuan tentang paman brahmana
itu?" Sejenak berpikir, resi Kadipara menjawab, "Tiga hari lagi,
kita bertemu di sini pula. Kutunggu engkau di batu padas itu"
ia menunjuk pada batu besar tempat ia duduk tadi.
Demikian setelah mencapai kesepakatan, keduanya lalu
berpisah. Dipa melanjutkan perjalanan ke Daha untuk
menghadap Rani atau patih Purusa Iswara. Dan resi Kadipara
menuju ke candi Tigawangi untuk mencari seorang anakbuah
Wukir Polaman. Dalam perjalanan Dipa telah merancang rencana
bagaimana ia harus memberi laporan apabila menghadap Rani
Daha. Ia harus dapat mempengaruhi sang Rani ataupun patih
Pirusa Iswara agar membatalkan pemberangkatan ke
Majapahit itu. Besar pula harapannya untuk diterima menghadap Rani
Daha karena ia akan memberitahukan dirinya sebagai prajurit
Kahuripan. Dan iapun sudah pernah bertemu Rani Daha di
Kahuripan. (oodw.kz:mchoo) II Walaupun harus mengalami beberapa liku pemeriksaan dan
pertanyaan dari para petugas keamanan kraton Daha, namun
akhirnya dibawa juga Dipa menghadap Rani Daha, Rajadewi
Maharajasa. Setelah mempersembahkan keterangan tentang dirinya
yang diutus Rani Kahuripan untuk menghadap raden
Adityawarman, kemudian Dipa menuturkan semua peristiwa
yang dialaminya selama ini.
"O, berani benar orang-orang Wukir Polaman itu hendak
mengganggu paman patih Iswara" seru Rani Daha demi
mendengar laporan tentang komplotan yang hendak menculik
patih Daha itu. "Demikianlah, gusti" Dipa menghatur sembah. Rajadewi
Maharajasa berdiam-diam diri. Apabila ayundanya puteri
Tribuanatunggadewi, Rani Kahuripan, memiliki sifat-sifat
tenang, bijaksana dan cerdas. Adalah puteri bungsu dari
baginda Kertarajasa atau raden Wijaya itu mempunyai sifat
yang tangkas, lincah dan cerdik.
Rani Daha segera menitahkan supaya memanggil patih
Dyah Purusa Iswara. Ketika patih itu menghadap, Dipa sempat
memperhatikannya. Seorang patih yang sudah berusia lanjut,
namun masih tampak segar. Memiliki rona muka yang
memberi kesan menyenangkan kepada orang. Pandang
matanya yang tenang menunjukkan patih sepuh itu seorang
yaug masak akan pengalaman dalam tata keprajaan dan
memiliki keyakinan dalam pandangan hidup.
Rani segera menceritakan apa yang dilaporkan Dipa.
Namun beda dengan tanggapan Rani Daha, patih itu tak
cepat-cepat terangsang oleh ketegangan. Tenang-tenang ia
beralih memandang Dipa. "Prajurit Dipa" serunya dengan nada sarat "adakah engkau
prajurit Kahuripan yang sedang diutus gusti Rani ke
Majapahit?" "Benar, gusti" "Dan benarkah engkau telah mengetahui
komplotan orang-orang Wukir Polaman itu?"
rencana "Benar, gusti" "Prajurit" kata patih Iswara pula "laporan yang engkau
persembahkan, amat penting sekali artinya. Tetapi justeru
karena sifatnya yang amat penting itu maka kepercayaan
kamipun takkan semudah itu kami berikan. Ketahuilah,
mempersembahkan laporan ke hadapan sang Rani, bukanlah
seperti orang bercerita kepada kawan atau tetangga. Laporan
itu harus resmi dan memiliki bukti-bukti yang kuat"
Dipa terkesiap. "Tahukah engkau apa yang kumaksudkan?" seru patih tua
itu pula. "Hamba menguatirkan kepicikan pikiran hamba maka
mohon gusti suka menjelaskan" kata Dipa.
"Suatu laporan kepada raja atau penguasa pemerintahan,
mempunyai dua macam nilai. Besar ganjarannya apabila
laporan itu sungguh benar. Tetapi berat hukumannya apabila
palsu" "Apa yang hamba persembahkan itu memang benar
adanya. Hamba berani bersumpah demi Dewa Agung"
Patih Iswara cepat menanggapi "Bagi penguasa atau
petugas negara, bukanlah sumpah yang diperlukan tetapi
bukti. Nah, jawablah dua buah pertanyaanku ini. Pertama,
dapatkah engkau membuktikan bahwa engkau benar seorang
prajurit Kahuripan yang diutus gusti Rani Kahuripan ke
Majapahit" Kedua, apakah bukti yang engkau bawa mengenai
rencana komplotan orang-orang Wukir Polaman itu?"
Dipa terbelalak. Rani Daha tertegun. Diam-diam
mengakui pertanyaan patih itu memang tepat.
ia "Kesangsian pada tugas yang engkau lakukan itu bukan
tiada dasarnya" kata patih Iswara pula "karena apakah
alasannya gusti Rani Kahuripan memilih engkau, seorang
prajurit biasa, daripada seorang bekel ataupun senopati.
Cobalah engkau jawab, prajurit"
Sejenak terdiam-diam, Dipa pun menjawab "Maaf, gusti
patih, kiranya tuanku Rani Daha pun tahu bahwa hamba ini
prajurit dari Kahuripan"
"Pengetahuan itu belum menjamin sebagai bukti bahwa
engkau benar prajurit Kahuripan" kata patih Iswara "setiap
prajurit tentu mempunyai tanda pengenal. Manakah tanda
pengcnalmu sebagai prajurit"
"Hamba membawa sepucuk surat dari gusti Rani Kahuripan
dan surat itu pun sudah hamba serahkan kepada gusti
Adityawarman" "Ah, mudah-mudahan hal itu benar. Tetapi sayang tiada
buktinya" desuh patih Iswara.
Melihat Dipa pucat dicengkam ketegangan, tiba-tiba Rani
Daha berseru, "Paman patih, dahulu anakmuda itu telah
mengunjukkan kekuatannya yang luar biasa untuk
menundukkan seekor banteng yang diadu dalam sayembara di
alun-alun Kahuripan. Tentulah ayunda Rani Kahuripan tertarik
dan mengangkatnya sebagai bhayangkara keraton. Masih
dapat dipercaya kiranya dia mengaku sebagai prajurit
Kahuripan. Dan bukan mustahil bila ayunda Rani Kahuripan
mempercayakan tugas menghadap paman Adityawarman itu
di Majapahit" Purusa Iswara terkejut mendengar ucapan sang Rani yang
seolah menjamin tentang pengakuan Dipa sebagai prajurit
Kahuripan. Namun ia sungkan untuk membantah junjungannya. "Baiklah, prajurit" seru patih Iswara kepada Dipa "kami
percaya bahwa engkau memang prajurit Kahuripan walaupun
masih ada sedikit kesangsian apakah pada detik ini engkaupun
masih menjabat pekerjaan itu. Memang demikianlah tugas
kami untuk meneliti setiap orang yang membawa laporan.
Karena menjaga sesuatu yang tak kami inginkan"
Dipa hanya mengangguk. "Lalu pertanyaanku yang kedua, cobalah engkau katakan
bukti-bukti yang ada padamu" kata patih tua itu pula.
Dipa menghela napas. Entah geram entah putus asa atau
kecewa. "Keterangan itu hamba peroleh dari seorang resi tua yang
bernama Kadipara. Kiranya tak mungkin seorang resi akan
berkata bohong, gusti" kata Dipa.
"Berapa lama engkau kenal dengan resi itu?" tiba-tiba patih
Iswara bertanya. "Baru pagi itu ketika dia menolong hamba"
"Dan engkau terus percaya penuh?" patih Iswara menegas.
Dipa terkesiap pula. Memang diam-diam-diam-diam ia harus
01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengakui bahwa ia percaya pada keterangan resi Kadipara itu
hanya berdasar karena resi itu telah menolong dirinya dan dia
anggap resi itu tentu seorang baik yang jujur.
"Ketahuilah, prajurit muda" kata patih Purusa Iswara
"bahwa himpunan Wukir Polaman itu memang sudah lama
kami ketahui, Mereka mempunyai anggauta dan pengaruh
yang tersebar luas. Dan merekapun pandai mengatur siasat
yang licin. Bukan suatu kemungkinan yang tak mungkin
apabila mereka sengaja menyuruh resi itu mengabarkan
kepadamu tentang rencana orang-orang Wukir Polaman.
Engkau masih muda, betapapun tak mungkin usiamu itu akan
membuahkan pengalaman yang banyak. Ingat, sekarang ini
suasana negara sedang bergolak. Di pura Majapahit, di
Kahuripan, di Daha dan di mana tempat, banyak tumbuh
mata-mata dan pengacau. Hendaknya jangan lekas-lekas
engkau menerima keterangan dari seseorang yang belum
engkau ketahui peribadinya."
Dipa terkejut. Ucapan patih tua itu jelas hendak
meniadakan sifat penting dari laporannya. "Gusti" katanya
dengan suara lantang dan tegas "hamba mempercayai
keterangan resi Kadipara itu berdasarkan sesuatu yang hamba
saksikan sendiri. Yalah pemimpin gerombolan Wukir Polaman,
ketika sedang menahan hamba dalam guha, tiba-tiba
tinggalkan guha itu. Tampaknya ada suatu hal penting yang
harus dikerjakannya. Dan resi Kadiparapun mengatakan telah
melihat pemimpin Wukir Polaman itu bergegas menuju ke
candi Tigawangi" Semula Dipa mengira bahwa pembelaan itu akan dapat
mempengaruhi pikiran Dyah Purusa Iswara. Di luar dugaan
patih tua itu tetap menolak. "Telah kukatakan bahwa orang
Wukir Polaman itu pandai mengatur siasat licin. Untuk
mengatur keterangan-keterangan semacam itu, tentulah dapat
mereka jangkau juga. Terus terang, prajurit muda, aku masih
menyangsikan keterangan resi itu. Kecuali ...."
"Kecuali bagaimana, gusti" karena dirangsang ketegangan,
Dipa memberanikan diri untuk mendesak.
"Kecuali engkau dapat membawa resi itu menghadap
kemari" kata patih Iswara.
"Dapat, gusti" serentak Dipa menyanggupi tetapi pada lain
kejab ia teringat sesuatu "tetapi nanti tiga hari lagi. Karena
hamba telah berjanji kepadanya untuk bertemu di kaki bukit
nanti tiga hari pula"
"Kemanakah dia sekarang ?"
"Mencari seorang anakbuah Wukir Polaman untuk
mendapatkan keterangan tentang diri paman brahmana itu"
"Ah" desuh patih Iswara.
"Tetapi gusti" seru Dipa makin tegang "bilakah gusti hendak
berangkat ke Majapahit " Tidak berkenankah gusti untuk
menunda pemberangkatan itu barang sehari lagi?"
Patih Iswara tersenyum hambar "Segala persiapan sudah
selesai, hanya tinggal besok pagi kami akan berangkat. Bila
perlu akan kutambah rombongan pengiring dengan prajuritprajurit pilihan agar apabila laporan itu benar, dapatlah kami
menghadapi orang-orang Wukir Polaman di candi Tigawangi"
"Tetapi gusti patih" seru Dipa makin tegang "mereka telah
mengerahkan seluruh anakbuah untuk menghasilkan rencana
penghadangan itu. Hamba kira, kurang layak apabila gusti
harus menempuh bahaya itu"
Patih Purusa Iswara tertawa "Jangan engkau memandang
kecil kekuatan pasukan Daha. Dan belum tentu pencegatan itu
akan terjadi karena aku masih tak percaya pada laporanmu"
Dipa, gemetar mendengar kata-kata patih itu. Dengan
semangat menyala nyala ia menempuh perjalanan. Dengan
menahan berbagai perasaan, ia menerima hardik bentakan
para penjaga keamanan. Namun akhirnya ia tetap tak
dipercaya. Dipa geram, kecewa sehingga menitikkan airmata.
Namun pada lain kilas, kesadaran pikirannya pun memancar
pula. Memang demikianlah seorang patih yang bertanggung
jawab atas kewajibannya. Apa yang dikatakan oleh patih itu
bahwa jangan lekas menjatuhkan kepercayaan pada seorang
yang baru dikenal, memang pernah diterimanya dari nasehat
para orangtua yang pernah dijumpahinya.
Seharusnya ia bersikap dan bertindak sebagaimana
dinasehatkan oleh para orangtua dan patih Daha itu. Tetapi
entah bagaimana, ia merasa ada suatu kekuatan ajaib yang
mendorongnya untuk menaruh kepercayaan kepada resi
Kadipara. Setitikpun ia tak meragukan kesungguhan hati resi
tua itu. Ia harus melaksanakan anjuran resi itu untuk
menyelamatkan patih Purusa Iswara. Tetapi ah, patih itu tak
mau percaya kepadanya. "Ah, mengapa aku harus bersitegang leher untuk memberi
anjuran kepada orang yang memandang rendah kepada diriku
" Andai bukan aku Dipa si prajurit rendah ini melainkan
senopati atau mentri terkemuka yang memberi laporan,
pastilah patih itu akan mempercayai ...." pikirannya yang
kecewa mulai memberontak dan menganjurkan supaya ia
tinggalkan keraton Daha dan pulang ke Kahuripan.
"Terima kasih, gusti" kata Dipa sembari memberi hormat
"hamba telah menunaikan apa yang hamba anggap sebagai
kewajiban hamba. Namun hamba tak berani memaksa gusti
harus menerima anjuran hamba. Karena sudah tak ada yang
perlu hamba persembahkan, perkenankan hamba untuk
mohon diri kembali ke Kahuripan"
Patih Purusa Iswara mengiakan. Dan setelah mohon diri
pula kepada sang Rani, maka Dipa pun diperkenankan keluar.
Tiba di bawah titian sasana bagian depan dari keraton, tibatiba Dipa berhenti "Ah, aku salah. Seorang prajurit tak
dibenarkan untuk putus asa, kecewa dan patah hati karena
laporannya tak diterima oleh pimpinan atas. Betapapun
halnya, aku harus berusaha untuk mencegah pemberangkatan
gusti patih ke Majapahit. Mungkin cara yang kulakukan tadi
kurang tepat dan tegas. Aku harus mencobanya lagi"
Maka berhentilah Dipa di kaki titian. Ia hendak menunggu
patih Iswara turun dari balairung. Ia berpikir keras untuk
mencari akal. Tak berapa lama patih Dyah Purusa Iswara pun turun ke
sasana bawah. Betapa kejutnya ketika Dipa duduk bersimpuh
di hadapannya dan menghaturkan hormat.
"Hai, prajurit, mengapa engkau masih berada di sini?"
"Mohon diampunkan kesalahan hamba, gusti. Perkenankanlah kiranya hamba untuk menghaturkan seuntai
sembah kata ke hadapan gusti patih"
"O, apakah engkau masih hendak melanjutkan pembicaraan
di dalam keraton tadi?"
"Demikianlah, gusti patih. Karena hamba merasa terbeban
kewajiban sebagai seorang prajurit maupun seorang kawula"
"Hm" desuh patih Iswara "apa yang hendak engkau
haturkan lagi kepadaku ?"
"Gusti" kata Dipa dengan tegas "hamba yakin bahwa
laporan hamba itu, benar-benar akan terjadi. Karena itu
hamba mohon sudilah kiranya gusti mempertangguhkan
keberangkatan ke Majapahit"
"Hm, itu itu lagi?"
"Hamba bersedia menerima hukuman yang seberat
beratnya apabila laporan hamba itu tak benar. Bahkan
hambapun merelakan kepala hamba dipancung sebagai
penebus dosa" Patih Iswara terkesiap. Untuk yang kedua kalinya, ia
menatap wajah Dipa lekat-lekat. Masih saja seperti tadi waktu
berada dalam keraton, ia mendapat kesan bahwa wajah
prajurit itu mencerminkan kejujuran hatinya.
"Prajurit" serunya sesaat kemudian "aku harus menjaga
martabat diriku dan mengagungkan kewibawaan gusti Rani
Daha. Tidakkah akan menjadi buah tertawaan orang terutama
fihak Wukir Polaman apabila patih Daha harus membatalkan
perjalanannya ke pura Majapahit hanya karena takut pada
ancaman gerombolan pengacau itu ?"
Dipa tertegun. Ia menghela napas dalam hati. Ia memang
lupa akan hal itu. Bahwa di kalangan orang besar, orang
berpangkat tinggi, masih rasa harga diri, rasa martabat dan
gengsi itu, disemayamkan dalam pendambaan yang tinggi.
Hanya karena hendak menjaga martabatlah maka patih
Purusa Iswara tak mau undur dari rencana perjalanannya ke
Majapahit. Sekalipun Dipa sudah mempertaruhkan jiwanya
untuk menjamin kebenaran laporannya.
Setelah tersentak dari menung, Dipa memberanikan diri
untuk menghaturkan rencananya. "Gusti, hamba mempunyai
sebuah rencana yang hamba kira dapat menyelamatkan dua
hal. Keselamatan jiwa gusti dan martabat gusti"
Melihat kesungguhan Dipa untuk memperkuat anjurannya,
tergerak juga hati patih Purusa Iswara.
"Baik, cobalah engkau katakan rencanamu itu"
Oleh karena sejak menjadi prajurit bhayaiigkara di keraton
Kahuripan, sering bertemu dan berhadapan dengan para
priagung, maka sikap dan ucapan Dipa tak lagi canggung
menghadapi patih Purusa Iswara.
"Gusti, rencana hamba adalah begini. Idinkan lah hamba
yang mengganti paduka duduk dalam kereta yang akan
membawa gusti ke Majapahit. Sedangkan gusti dengan diiring
oleh sebuah pasukan pilihan, berangkat menyusul. Apabila
orang-orang Wukir Polaman itu menyergap, hambalah yang
akan menghadapi. Sedang paduka pun dapat menggempur
mereka. Dengan demikian keselamatan dan martabat gusti
akan terlindung dengan baik"
Mendengar rencana itu, terkesiaplah patih Purusa Iswara.
Pandangannya terhadap prajurit muda itu mulai goyah.
Apabila laporannya bohong, tentulah Dipa takkan seberani itu
untuk melakukan rencana itu. "Prajurit, apakah engkau
bersungguh hati untuk menyelamatkan jiwa kami?"
"Hamba serahkan jiwa raga hamba kepada paduka" kata
Dipa. Tegas dan paserah. Tertarik juga hati patih Purusa Iswara. Memang ia harus
mengakui kekuatan, pengaruh dan keberanian orang Wukir
Polaman bertindak. Apabila terjadi seperti yang dilaporkan
Dipa, jiwanya tentu terancam. Akhirnya ia menyetujui.
"Baiklah, prajurit muda. Tetapi engkau harus menjaga rahasia
ini supaya jangan sampai diketahui mereka. Ingat, mereka
mempunyai kaki tangan yang tersebar luas"
Tiba-tiba Dipa teringat sesuatu. "Benar, gusti patih. Dalam
pembicaraan kedua pemimpin Wukir Polaman itu, mereka
mengatakan bahwa mereka berhasil menanam orang di dalam
pasukan yang akan mengiring gusti ke Majapahit"
"Hm, jika demikian, kita harus mengatur rencana lain ..." ia
maju menghampiri dan membisiki ke dekat telinga Dipa. Dipa
pun mengangguk. Patih Iswara lalu membawa Dipa pulang ke kepatihan.
Malam itu prajurit-prajurit yang telah ditetapkan menjadi
pengiring rombongan patih ke Majapatih, terkejut karena
mendapat perintah supaya lekas bersiap di kepatihan. Malam
itu juga patih Purusa Iswara akan berangkat.
Demikian pada malam itu, di jalanan yang merentang dari
pura Daha menuju ke luar kota sebelah timur laut, tampak
sebuah kereta meluncur dengan dikawal oleh duapuluh
prajurit berkuda. Keberangkatan itu seolah dilakukan secara
diam-diam sehingga rakyat tak mengetahui.
Setelah tiba di suatu tempat, jalanpun mulai lurus menuju
ke utara. Walau pun bekel Madraka yang mengepalai pasukan
pengiring itu agak heran atas tindakan rakryan patih yang
berangkat pada hari semalam itu, namun ia tak berani
bertanya. Diam-diam-diam-diam ia memperhatikan bahwa
anakbuahnya itu tampak lesu karena dicengkam rasa kantuk.
Timbul pula suatu rasa keheranan dalam hati bekel itu atas
sikap rakryan patih. Biasanya apabila bercengkerama atau
melakukan peninjauan ke daerah-daerah, patih Iswara selalu
memperhatikan sekali keadaan pengiringnya. Pada setiap desa
atau asrama kebudhaan atau kesyiwaan, selalu singgah. Untuk
beramah tamah dengan para pandita dan brahmana, sekalian
untuk memberi istirahat kepada para pengiringnya. Dan
apabila dijamu oleh para ketua desa, buyut, lurah ataupun
rakyat, selalu rakryan patih itu membagi-bagikan hidangan
kepada para pengiringnya.
Tetapi kali ini agak aneh. Sudah tiga desa dilalui namun
belum juga terdengar patih itu menitahkan supaya
beristirahat. Dan selama menempuh perjalanan itu tenda
keretapun diperintahkan supaya ditutup rapat.
"Gubar" bekel Madraka menghampiri seorang prajurit
anakbuahnya yang menjadi orang kepercayaannya "adakah
engkau tak melihat sesuatu yang aneh pada gusti patih kali
ini?" "Maksud kakang bekel?" kata Gubar, seorang prajurit yang
bertubuh kekar, bercambang bauk, gagah perkasa.
"Biasanya rakryan patih tentu beristirahat apabila tiba di
sebuah pedukuhan. Mengapa sudah tiga buah pedukuan telah
kita lalui, tetap saja rakryan patih berjalan terus?"
"Ya, benar" sahut Gubar "memang agak aneh gusti patih
kali ini. Misalnya, rencana perjalanan ini akan dilakukan besok
pagi, tahu-tahu tengah malam kita diperintahkan berangkat"
"Hm" desuh bekel Mairaka "rupanya ada sesuatu yang tak
kita ketahui. Eh, Gubar, adakah waktu berangkat dari gedung
kepatihan, engkau pernah melihat rakryan patih naik ke dalam
kereta?" Gusar terkesiap "Justeru hal itulah yang hendak kutanyakan
kepada kakang bekel. Karena semalam aku agak terlambat.
Begitu tiba di kepatihan, kulihat gusti patih sudah berada
dalam kereta" "Ah, akupun tak melihat beliau keluar dan naik ke dalam
kereta" kata bekel Madraka lalu berdiam-diam diri. Sesaat
kemudian ia berkata "Akan kujenguk rakryan patih di dalam
kereta. Ada suatu rasa kekuatiranku bahwa beliau terganggu
kesehatannya" Saat itu kabut malam hampir menipis dan tak lama fajar
akan tiba. Bekel Madraka ajukan kudanya untuk menghampiri
ke samping kereta. "Gusti ..." baru bekel itu mengucap sepatah kata tiba-tiba
sais kereta menggeletarkan cambuknya ke udara, tar ...
"Hayo, minggir ..... !" teriaknya keras-keras cemas.
Bekel Madraka terkejut. Didapatinya kereta rakryan patih
01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Iswara berkurang lajunya dan makin lambat. Dan terdengar
pula sais kereta berteriak marah "Hai, mengapa engkau tak
mau menyingkir" Apakah engkau ingin mati!"
Mendengar itu mulai jelaslah gambaran yang diperoleh
bekel Madraka akan peristiwa yang dihadapi sais kereta. Cepat
ia songsongkan kuda ke muka kereta. Dan apa yang diduga,
memang benar. Lebih kurang dua tombak di muka kereta,
tampak sesosok tubuh seorang lelaki dengan kepala
merunduk. Kepergian malam masih ditandai dengan kabut
pagi yang menyelubungi sekeliling alam. Dengan begitu masih
belum tampak jelas bagaimana wajah sosok tubuh yang tegak
di tengah jalan itu. Bekel Madraka memberi isyarat kepada sais supaya
hentikan kereta dan siap-siap menjaga rakryan patih. Setelah
itu ia ajukan kudanya menghampiri orang itu. Ia berhenti pada
jarak lima langkah dari orang itu. Dan barulah ia dapat
mengamati jelas akan perwujutannya. Seorang lelaki setengah
tua yang berwajah hampa dan agak bungkuk.
"Siapa engkau!" tegur bekel Madraka.
"Adakah tuan kepala pengiring rombongan rakryan patih?"
rupanya orang itu dapat membedakan pakaian keprajuritan
yang dikenakan bekel Madraka berbeda dengan prajurit yang
lain. "Benar" sahut bekel itu "siapa engkau" Mengapa engkau tak
mau menyingkir ke tepi jalan?"
"Aku hendak mohon menghadap gusti patih Dyah Purusa
Iswara" sahut orang itu.
"Siapa engkau !" bentak bekel Madraka karena sampai
mengulang tiga kali belum juga mendapat jawaban.
"Aku bukan orang penting maka namaku pun tak penting ki
bekel ketahui. Tetapi aku hendak menghaturkan berita penting
ke hadapan rakryan patih"
"Hm" desuh bekel Madraka "menilik dandananmu, engkau
seorang resi. Mengapa engkau tak mau mengatakan
namamu?" Orang itu menyahut "Soal nama tidak penting. Sudahlah ki
bekel, harap menghadapkan aku kepada gusti patih"
"Hm, engkau harus memberitahukan dahulu apa maksudmu
hendak menghadap gusti kami"
Orang itu mengerut dahi lalu berkata "Akan kumohon
kepada rakryan patih agar jangan melanjutkan perjalanan ...."
"Mengapa?" tukas bekel Madraka.
"Sepanjang jalan yang merentang ke Tigawangi telah
dipagari orang-orang Wukir Polaman"
"Apa maksud mereka?"
"Hendak menghadang rakryan patih"
Bekel Madraka terdiam-diam sejenak lalu berseru "Tidak,
aku tak percaya keteranganmu. Sekalipun andaikata
keteranganmu itu benar, kami rombongan pengawal gusti
patih, tak gentar menghadapi mereka"
Orang bungkuk itu menbelalakkan mata tetapi cepat pala
sinar matanya yang berkilat kilat itupun meredup lagi. "Ki
bekel, soal ini memang tiada kepentingannya dengan
kepercayaanmu. Bawalah aku menghadap rakryan patih"
"Tidak! Pergilah!" bentak bekel Madraka.
"Engkau tak berhak mengusir aku" sahut orang itu.
"Mengapa?" "Karena engkau jelas hendak mencelakai junjunganmu.
Biarlah gusti patih yang memberi keputusan sendiri, jangan
engkau menjegal di tengah jalan"
Dalam pada itu prajurit Gubar pun juga maju menghampiri
dan mendengar pembicaraan orang itu.
"Ki sanak" kata bekel Madraka "mengingat engkau seorang
tua, aku masih mau memteri kelonggaran. Sekali lagi
kukatakan, menyingkirlah, jangan menghadang jalan. Apabila
engkau tak menurut, terpaksa akan kuperintahkan
anakbuahku memaksamu."
"Ki bekel" jawab orang bungkuk itu "demikian pun
pendirianku. Apabila ki bekel tak mau membawa aku ke
hadapan rakryan patih, akupun terpaksa akan menghadap
sendiri" "Orang bungkuk, engkau memang keras kepala!" tiba-tiba
Gubar ajukan kuda dan ayunkan cambuknya ke arah orang
itu. Tar .... Tetapi prajurit perkasa itu terkejut ketika cambuknya hanya
mengenai angin dan orang bungkuk itu menyurut mundur.
Gubar makin panas. Cambuk menggelegar bagai kilat
menyambar namun tahu-tahu orang itu sudah berada di
samping. Tar..... kali ini Gubar ayunkan cambuk pula. Makin
keras dan deras. Bum ..... pecahan tanah karang bercampur debu tersibak
berhamburan ke sekeliling ketika ujung cambuk menghantam
tanah. Gubar benar-benar merah mukanya karena malu dan
geram. Cepat ia menarik kembali ujung cambuk untuk
menyerang lagi. Tetapi alangkah kejutnya ketika ujung
cambuk terasa amat berat sekali, seolah tertindih batu besar.
Karena debu masih berhamburan maka sesaat ia tak tahu apa
yang terjadi dengan ujung cambuknya. Mengira kalau ujung
cambuk terkait pada sebuah benda berat maka ia kerahkan
tenaga dan menarik sekuat-kuatnya. Uh ..... merah padam
wajah prajurit bertenaga besar itu bahkan hampir-hampir
tubuhnya terjungkal dari kudanya karena ketegangan yang
meledak dari luapan tenaganya.
Gubar tetap tak mampu menarik ujung
betapapun ia telah kerahkan seluruh tenaganya.
cambuknya Tebaran kabut yang makin digelapkan dengan hamburan
debu dan pasir mulai menyurut tipis. Saat itu barulah Gubar
dapat mengetahui apa yang terjadi pada ujung cambuknya.
Ujung cambuk berada di bawah telapak kaki orang tua itu.
Dan cepat pula Gubar dapat mereka dugaan bahwa orang itu
memang sengaja menginjak ujung cambuknya. Seketika
meluaplah kemarahan Gubar. Namun pada lain kilas
kemarahannya itu cepat berganti dengan rasa kejut yang
menggetarkan dinding hatinya. Injakan kaki orang bungkuk itu
seberat gunduk batu yang sebesar rumah. Gubar yang
memiliki tenaga raksasa ternyata tak mampu menarik ujung
cambuk dari kaki orang itu.
"Keparat, lepaskan cambukku!" teriak Gubar tanpa
menyadari bahwa permintaan itu sesungguhnya amat
menggelikan. Dan merahlah mukanya manakala orang
bungkuk itu menjawab setengah mengejek, "Tariklah
cambukmu, apa engkau tak kuat?"
Gubar mencabut pedang yang terselip pada pelana kuda
lalu majukan kuda dan menahas. Tetapi tepat pada saat
pedang akan berayun, tiba-tiba ia berteriak kaget karena
tubuhnya tertarik jatuh dari kuda. Untunglah ia cepat lepaskan
cambuk dan berguling-guling di tanah lalu melenting bangun
.... Ternyata pada saat Gubar hendak menabas, orang
bungkukpun itu membungkukkan tubuhnya, mencekal ujung
cambuk lalu menyentakkannya sehingga Gubar terjungkal dari
kuda. Sesaat prajurit gagah perkasa itu tegakkan kaki, ia
terkejut karena setiup angin tajam menyambarnya. Cepat ia
hendak menghindar ke samping. Namun sebelum sempat sang
kaki berkisar, pedangnya terasa mengencang dan tanpa dapat
dikuasai, pedang itupun tercabut, mencelat ke udara dan jatuh
ke tanah..... Saat itu barulah Gubar menyadari apa yang terjadi. Setiup
angin itu berasal dari ayunan ujung cambuk yang telah
dikuasai orang bungkuk dan ditujukan untuk menyabat batang
pedang Gubar, melibat lalu menyentakkannya lepas. Hanya
tangan yang memiliki kepandaian luar biasa, dapat melakukan
hal itu. Pada saat Gubar terpelanting dari kuda tadi, sesungguhnya
bekel Madraka sudah bergerak hendak menerjang orang
bungkuk itu. Ia tertegun karena menyaksikan kesaktian orang
mencabut pedang Gubar dengan ujung cambuk. Namun
sesaat kemudian ia segera sadar dan terus lanjutkan
serangannya. Bekel Madraka bersenjata tombak trisula. Sebuah senjata
yang menjadi kegemarannya sejak ia memulai kehidupannya
dalam kalangan keprajuritan hingga sampai menanjak menjadi
bekel. Berpuluh tahun melatih diri dalam ilmu permainan
tombak, menjadi dia seorang penguasa yang mahir dalam
bermain tombak. Kemahiran ilmu bermain tombak dari bekel
itu telah diakui oleh lawan maupun kawan.
Gerakan pertama dari trisula bekel Madraka tertuju pada
dada orang bungkuk. Dan apabila lawan berani menangkis
maka ditariknyalah tombak itu ke belakang. Senjata lawan
tentu akan terkait jatuh trisula.
Tetapi lain halnya yang dia jumpai pada orang bungkuk
lawannya itu. Sambil berkelit ke samping, orang bungkuk
itupun mengayunkan cambuk untuk untuk balas menghajar.
Bekel Midraka tak menduga sama sekali bahwa orang
bungkuk itu dapat bergerak sedemikian cepat, tangkas. Jarak
keduanya hanya terpisah lima enam langkah dan tombak
Madraka sedang menusuk ke muka. Dengan demikian ia tak
sempat lagi akan menarik kembali tombaknya untuk
digunakan menangkis. Pada hal saat itu ujung cambuk sudah
melayang ke arah kepalanya. Betapapun, memang sukar bagi
bekel Madraka untuk menghindari.
Untunglah kuda tunggangan bekel itu, seekor kuda yang
terlatih. Sudah belasan tahun dengan setya kuda itu mengabdi
kepada tuannya. Sudah beberapa kali kuda. itu mengantarkan
tuannya ke medan laga. Dan kuda itupun seolah tahu setiap
keadaan yang membahayakan keselamatan tuannya.
Demikianpun selama dalam medan laga, demikian pula pada
saat itu. Ketika melihat bekel Madraka terancam ujung
cambuk, kuda itu cepat melompat ke muka. Tetapi seperti
halnya dengan bekel Madraka, kuda itupun tak pernah
menyangka bahwa ayunan cambuk si bungkuk sedemikian
cepat bahkan secepat kilat menyambar. Sekalipun kuda itu
dapat bergerak maju sedikit dan dapat menyelamatkan
tuannya dari hajaran cambuk, tetapi ujung cambuk tetap
mendera pantat, tar .... Sebagai binatang kesayangan bekel Madraka, kuda itu
menikmati perawatan yang manja. Setiap hari bulunya
dimandikan oleh pekatik atau tukang kuda, diberi makan
rumput dan dedak. Sedemikian manja kuda itu menikmati
pemeliharaan sehingga hampir ia lupa bagaimana rasa
kesakitan dari cambuk itu. Andaikta yang mencambuk pekatik
yang menjadi pawangnya, pun tentu ia masih dapat bertahan.
Tetapi apa yang dirasakan dari ujung cambuk orang bungkuk
itu, benar-benar membuatnya terkejut sekali.
Kulitnya pecah dan tulang pantatnyapsn serasa patah. Kuda
yang sudah lupa akan penderitaan cambuk, saat itu tiba-tiba
merasakan kesakitan yang hebat. Dan melonjaklah ia
mengangkat kedua kaki depannya ke atas, meringkik keras.
Tar, tar ...... Kuda itu tak menghiraukan lagi apakah dengan gerakannya
itu tuannya akan terluncur ke tanah, pokok dia melonjak
keatas untuk menghaburkan rasa sakit dan kemarahannya.
Namun tidaklah rasa sakit itu berkurang, bahkan malah
bertambah pula ketika dua buah lecutan cambuk telah
mendera pantatnya lagi. Rasa sakit dan marah menyebabkan kuda itu memberingas
dan binal. Serempak dengan ringkikan yang memekakkan
telinga, kuda itu terus ayunkan tubuh loncat ke muka dan lari
membinal. Bekel Madraka terkejut. Untuk menahan keseimbangan
tubuhnya agar jangan terguling jatuh, ia cepitkan kedua
kakinya pada perut kuda. Namun ia tak mau menarik tali
kendali keras-keras dan tetap membiarkan dirinya dibawa lari
kuda itu. Ia tahu akan perangai kuda itu. Makin di keras makin
binal. Gemparlah para prajurit pengiring kereta patih Iswara
menyaksikan tandang seorang tua yang agak bungkuk. Tak
pernah mereka menyangka bahwa dalam waktu yang amat
singkat, orang itu mampu merubuhkan prajurit Gubar yang
gagah perkasa dan menghalau kuda bekel Madraka lari entah
kemama. Sesaat pafa prajurit itu terlongong.
"Serang!" kawannya. longongnya. berharu biru tiba-tiba Gubar berteriak keras kepada kawan
Dan tersentaklah prajurit-prajurit itu dari
Mereka bagai lebah dionggok dari sarang,
menyerbu orang bungkuk itu.
Tar, tar ..... terdengar cambuk melecut dan menggelegar di
udara lalu disusul dengan pekik kejut dan jerit kesakitan dari
prajurit-prajurit yang terkena.
"Gentong nasi yang tak berguna!" teriak Gubar makin
marah "mengapa sekian banyak orang tak mampu
menghancurkan seorang bungkuk!"
Prajurit gagah perkasa itu marah sekali. Tetapi hanya
mulutnya yang berhambur teriak, tetapi orangnya tak berani
bergerak maju. Pedangnya masih menggeletak di tanah,
beberapa langkah dari tempat si bungkuk.
Sesungguhnya tanpa dihardik oleh Gubar, para prajurit
itupun penasaran dan panas hatinya karena tak mampu
menghajar seorang tua yang bungkuk. Namun betapapun
mereka telah berusaha untuk menerjang dan menyerbu,
menahaskan pedang dan menusukkan tombak, namun orang
bungkuk itu selalu lebih cepat untuk mendahului melecutkan
cambuknya. Lecutan itu apabila tak mengenai orang, tentu
kuda yang menderita. Dan serupa dengan kuda bekel Madraka
tadi, kuda dari prajurit-prajurit itupun meringkik-ringkik dan
melonjak-lonjak kesakitan. Dengan demikian prajurit-prajurit
itu lebih banyak mencurahkan perhatiannya untuk menguasai
kudanya daripada mengarahkan serangan.
Hingar bingar yang terdengar di pagi buta itu rupanya
mengejutkan perhatian patih Iswara yang berada dalam
kereta tertutup. Sebuah wajah tersembul dari pintu kereta.
Tampak wajah patih itu terkejut ketika menyaksikan
pertempuran itu. Dan lebih besar pula rasa kejut itu manakala
ia telah memperhatikan wajah orang bungkuk itu
"Sais" serunya gegas "perintahkan kepada para prajurit
supaya hentikan serangannya dan titahkan orang itu
01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghadap ke sini" "Berhenti!" teriak sais dengan nyaring "gusti
menitahkan orang itu supaya dibawa menghadap"
patih Mendengar seruan itu, para prajurit yarg masih asyik
melakukan serangan, segera berhenti. Salah seorang pun
segera berseru "Ki sanak, gusti patih memanggilmu
menghadap" Tanpa menyahut orang bungkuk itupun melangkah ke
samping kereta dan berdiri di muka pintu "Masuklah ki resi ..."
tiba-tiba patih Iswara berseru mempersilahkan seraya
membuka pintu tenda. Si Bungkuk tertegun. Setitikpun ia tak mengira akan
dipersilahkan masuk ke dalam kereta.
"Silahkan masuk" patih Iswara mengulang ucapannya. Dan
resi itu tersentak dari menung lalu melangkah ke dalam
kereta. "Sais" seru patih Iswara pula "perintahkan kepada para
prajurit supaya beristirahat"
Saispun segera menyampaikan perintah rakryan patih itu
kepada rombongan prajurit. Walau pun heran melihat tindakan
patih Iswara yang lain dari biasanya, namun prajurit-prajurit
itu tak berani membantah. Mereka turun dari kuda dan
melepaskan kuda ke semak rumput, sedang mereka
sendiripun berkerumun duduk di bawah pohon.
"Paman resi Kadipara" tiba-tiba patih Iswara membuka
pembicaraan ketika resi itu duduk di hadapannya "kenalkah
paman resi kepadaku ?"
Orang bungkuk itu ternyata memang resi Kadipara. Resi itu
terkejut demi melihat sebuah iring-iringan kereta dengan
duapuluh prajurit sedang meluncur di sepanjang jalan yang
menuju ke Tigawangi. Ia menduga rombongan patih Iswara
yang hendak menuju ke Majapahit. Maka dengan tak
menghiraukan suatu apa lagi, resi itupun segera menghadang
di tengah jalan. Mendengar pertanyaan patih Iswara, terkesiaplah resi
bungkuk itu "Bukankah tuan gusti patih Dyah Purusa Iswara
dari Daha" "Cobalah paman seksamakan aku" kata patih Iswara seraya
mencabut janggut dan kumisnya.
"Ah, engkau ..... !" seru resi Kadipara terbeliak.
"St, harap jangan keras-keras, paman resi" kata patih
Iswara yang saat itu telah menjelma menjadi Dipa "kita harus
menjaga jangan sampai prajurit-prajurit itu mendengar
pembicaraan kita" Kemudian Dipa lalu menuturkan apa yang dialaminya
selama menghadap Rani Daha dan patih Dyah Purusa Iswara.
Akhirnya patih Iswara menyetujui rencana yang dilaksanakan
saat itu yalah ia menyaru sebagai patih itu untuk mengumpan
orang-orang Wukir Polaman. Sedang patih Iswara akan
menyusul kemudian dengan membawa pasukan pilihan.
Resi Kadipara tertegun mendengar keterangan itu. Setelah
merenung beberapa saat ia berkata, "Tetapi Dipa, hal ini
berbahaya bagimu. Orang-orang Wukir Polaman telah
mempersiapkan diri dengan ketat. Bagaimana nasibmu apabila
mereka mengetahui bahwa engkau telah memalsu sebagai
patih Iswara?" "Paman resi" kata Dipa "betapa sukar untuk meyakinkan
patih Iswara agar mempercayai keteranganku. Apabila tidak
berani menempuh jalan ini, jelas laporanku tentu ditolak. Tak
ada lain pilihan lagi paman, kecuali aku harus bertindak begini
sekalipun kutahu bagaimana akibat yang akan kuderita apabila
sampai mengalami kegagalan"
"Ah" resi Kadipara mendesah. Tergeraklah hatinya melihat
keberanian seorang anakmuda untuk menyelamatkan seorang
menteri. Jelas anakmuda itu memang memiliki jiwa ksatrya,
rela berkorban. "Dipa, baiklah kugantikan tempatmu. Aku
sajalah yang menyaru jadi patih Iswara"
Dipa terbeliak "Mengapa paman resi mengatakan begitu"
Apa bedanya paman dengan aku?"
Resi Kadipara menghela napas. "Engkau masih muda.
Walaupun penyamaranmu sebagai patih Iswara mungkin
mendekati persamaan, tetapi nada suaramu misih belum
memadai sebagai seorang tua. Kedua kali, sebagai anakmuda
hidupmu masih panjang, harapanmu masih luas. Pekerjaan ini
jelas mengandung bahaya besar. Aku benar-benar
menyayangkan keselamatanmu, Dipa"
"Paman resi" sahut Dipa dengan nada tegas "bukan muda
tuanya usia, bukan pula pendek panjangnya hidup kita.
Melainkan amal perbuatanlah yang menentukan nilai hidup
manusia. Lebih baik hidup pendek umur tetapi melakukan
sesuatu yang berguna untuk kepentingan negara, bangsa dan
manusia. Dari-pada hidup berkepanjangan menghabiskan
makanan dan tuak belaka"
Resi Kadipara tertegun. Tak disangkanya sama sekali bahwa
dari mulut seorang anak yang semuda itu usianya, dapat
meluncurkan ucapan yang tinggi nilainya.
"Dipa" katanya sesaat kemudian "jangan engkau terlelap
dalam angan-angan yang melangit. Tetapi bercerminlah pada
kenyataan" "Maksud paman resi ?"
"Memang beda apabila aku yang menyaru sebagai patih
Iswara dengan engkau yang menyaru. Pertama, umurku akan
mendekatkan penyaruanku dengan patih Iswara. Dan kedua,
aku lebih dapat menjaga keselamatan diri dikala menghadapi
ancaman orang-orang Wukir Polaman"
Dipa dapat menangkap maksud resi itu. Jelasnya resi itu
hendak mengatakan bahwa ia memiliki ilmu kepandaian yang
lebih sakti dari Dipa di dalam menghadapi bahaya gagalnya
penyamaran itu. "Paman resi" kata Dipa "marilah kita perbincangkan
persoalan ini di atas pijakan kepentingan negara. Benarkah
paman resi rela untuk melaksanakan tugas menyelamatkan
rakryan patih ini?" "Jika engkau seorang anak yang semuda usia itu berani
menyediakan pengorbanan diri, mengapa aku seorang tua
yang sudah hampir mendekati liang kubur, masih segan mati
dan masih ternaha hidup" Tidak, Dipa. Berbicara soal
pengorbanan, orang tua semacam aku inilah yang harus
menjadi pelopor" Dipa memandang lekat pada wajah resi bungkuk itu,
seolah-olah hendak menyelam ke dalam lubuk sinar matanya.
Mata yang menjadi pancaran hati.
"Baiklah, paman resi" kata Dipa akhirnya
mengenakan pakaian dan janggut palsu ini....."
"silahkan Karena hampir semalam suntuk tak tidur maka ketika
matahari makin menjulang, para prajurit itu segera terlena
dalam serangan kantuk dan tidurlah mereka dalam kelelapan.
Bekel Madrakapun terpaksa membiarkan saja. Karena patih
Iswara tak memberi perintah melanjutkan perjalanan, bekel
itupun juga ikut beristirahat. Lewat tengah hari, barulah para
prajurit itu terjaga. Setelah mengisi perut dengan bekal
ransum yang dibawa, kemudian patih Iswara menitahkan
supaya berangkat lagi. Dalam sepanjang perjalanan tak terjadi suatu peristiwa apaapa. Para prajurit itupun tampak segar semangatnya.
Merekapun tak memperbincangkan soal orang bungkuk yang
mengganggu perjalanan lagi. Menurut keterangan sais,
rakryan patih telah mengatakan bahwa orang bungkuk itu
telah pergi. Dan tiada seorang prajuritpun yang berani tak
mempercayai keterangan itu. Mereka menduga, kepergian
orang bungkuk itu tentu terjadi dikala mereka sedang terlena
tidur. Perjalanan di kala itu memang masih kurang lancar. Jalanjalan yang dilalui, sunyi senyap. Kanan kiri, muka belakang
seolah-olah hanya bulak kosong, tegal-tegal dan hutan-hutan
yang memancang pandang. Menjelang rembang petang, pandang mereka mulai
tertumbuk pada puncak ketinggian dari sebuah candi yang di
kelilingi oleh pohon-pohon rimbun. Memang pohon-pohon,
merupakan pertanda dari sebuah pedukuhan atau sebuah
candi atau sebuah kelompok perumahan rakyat.
Roda kereta berderak-derak menggilas jalanan yang tak
rata, penuh batu dan debu. Derap injakan kedua puluh ekor
kuda yang mengiringkan kereta rakryan patih Iswara,
menimbulkan tebaran debu yang membumbung tinggi. Makin
lama gerumbul pohon itu makin dekat dan bangunan candi
yang puncaknya menyembul tinggi ke atas itupun makin
tampak jelas. Seperti apabila tiba di sebuah pedukuhan atau tempat
tempat yang di huni orang, maka bekel Madraka segera
menitahkan prajurit Gubar dan seorang prajurit untuk
mendahului menghampiri tempat itu.
Tak berapa lama Gubar dan kawannya muncul kembali
dengan memberi laporan bahwa rombongan patih Iswara akan
tiba di candi Tigawangi dan bahwa para pandita asrama candi
itu telah siap menyambut, rakryan patih.
Bekel Madraka segera menghadap ke kereta patih Iswara
dan melaporkan. Tanpa menyingkap tenda, dari dalam
kedengaran patih itu memberi perintah agar perjalanan
dilanjutkan. Tepat pida saat surya terbenam maka tibalah rombongan
patih Iswara di candi Tigawangi. Tampak berpuluh pandita
tegak berjajar-jajar untuk menyambut kedatangan rakryan
patih. "Dhirgahayu, semoga dewata melimpahkan berkah panjang
usia kepada tuanku rakryan patih Dyah Purusa Iswara yang
mulia" seorang pandita setengah tua yang rupanya menjadi
kepala para pandita candi itu tampil ke hadapan kereta dan
berseru menghaturkan doa penyambutan.
"Resi Mangala beserta seluruh pandita papa dari candi
Tigawangi amat mengharapkan keberkahan gusti patih
singgah di candi kami" seru pandita setengah tua itu.
Tenda kereta tersingkap dan muncullah patih Iswara turun
dari kereta. Sebelumnya ia menghampiri ke tempat sais,
memberi isyarat supaya sais mendekatkan telinganya.
Kemudian patih itu membisiki "Jagalah kereta, jangan dibuka.
Di dalam berisi benda berharga"
Selesai memberi pesan, patih Iswara ayunkan langkah
menghampiri pandita setengah tua "Resi Mangalakah nama
tuan pandita ini ?" Resi itu mengiakan. "Ah" desuh patih Iswara "Mangala berarti kemenangan.
Sesuaikah arti nama itu bagi seorang resi?"
"Kiranya sesuai, rakryan patih" sahut resi itu.
"Kemenangan?" ulang patih Iswara "kemenangan atas
siapakah yang tuan maksudkan?"
"Kemenangan atas bathin kita dari gangguan nafsu" sahut
resi Mangala. "Bagus" seru patih Iswara "tentunya nafsu yang tuan
maksudkan termasuk nafsu dendam kemarahan, angkara,
kejahatan dan pembunuhan, bukan?"
"Demikian hendaknya" sahut resi itu "marilah, rakryan patih
segera kami iringkan masuk ke dalam asrama kami. Hari
sudah makin gelap" "Bijaksanalah para pandita candi Tigawangi dalam
penyambutan kepada kami" seru patih Iswara seraya ayunkan
langkah masuk ke halaman candi.
Bekel Madraka dan rombongan prajurit segera mengiringkan patih itu. Patih Iswara masuk ke dalam candi
untuk memberi hormat kepada dewa yang menjadi lambang
persujutan di candi itu. Kemudian keluar dan mengikuti resi
Mangala ke asrama tempat kediam-diaman para pandita candi
itu. Di sebuah ruang yang di terangi dengan lampu minyak
damar, telah disiapkan meja perjamuan untuk menyambut
kedatangan ronbongan tamu agung dari Daha itu. Tempat
duduk telah di atur sedemikian rupa, untuk rakryan patih dan
para prajurit pengiring rombongannya.
Sejenak setelah patih Iswara mengambil tempat duduk di
sebuah kursi yang beralas beludru warna merah bersalut
benang kuning emas, demikian pula prajurit pengiring itu
sudah mengambil tempat duduk yang telah disediakan maka
muncullah beberapa pandita muda membawa sepenampan
sirih. Sekapur sirih merupakan lambang peradatan menyambut
kedatangan tetamu agung. "Silahkan duduk resi Mangala" seru patih Iswara
"bebaskanlah diri tuan dari segala kerikuhan. Kami hanya
tetamu dan tuan-tuan sekalian tuan rumah"
"Sambil mengambil tempat duduk di hadapan rakryan patih,
berserulah resi Mangara "Konon bukan suatu sanjung yang
berkelebihan apabila rakyat memuja yang mulia rakryan patih
Dyah Purusa Iswara itu, seorang rakryan menteri yang agung,
bijak bestari dan ramah budi. Berbahagialah rakyat Daha
didalam berkah pimpinan gusti patih" seru resi Mangala.
"Ah, sanjung tuan itu bukan bersungguh melainkan suatu
olok-olok bagi diriku" kata patih Iswara.
"Gusti patih!" teriak resi Mangala terbeliak.
"Ha, ha" patih Iswara tertawa "kukatakan suatu olok-olok
karena hal itu tak sesuai dengan kenyataan"
"Kenyataan yang bagaimana, tuan ?" seru resi Mangala
menegas "bukankah di bawah pimpinan tuan, negara Daha
makin makmur dan rakyatpun makin sejahtera?"
"Tidak" sanggah patih Iswara "tidak seluruh rakyat merasa
berbahagia. A da sebagian pula yang. mendendam kepadaku"
Resi Mangala terbelalak makin tegang "Siapakah mereka
itu?" "Adakah tuan belum mendengar?"
"Belum, gusti patih"
"Ah, mungkin tuan asyik bertekun mencurahkan waktu dan
pengabdian untuk mencapai kesempurnaan ilmu ajaran
agama, resi Mangala. Itulah sebabnya maka tuan tak sempat
memperhatikan gejolak dalam negeri Daha"
"Demikian dapat dibenarkan ucapan gusti patih, tetapi
hamba memang tak mengetahui hal itu. Mohon gusti patih
berkenan menjelaskan"
01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mereka yalah orang-orang Wukir Polaman, ki resi" seru
patih Iswara tiba-tiba. Dan rupanya resi Mangala tak menduga
akan mendengar penjelasan semacam itu. Tampak wajah resi
itu pucat. "Siapakah orang-orang Wukir Polaman itu, gusti patih ?"
tanya resi Mangala penuh ketegangan.
"Wukir Polaman adalah himpunan dari putera-putera
menteri senopati pada jaman pemerintahan baginda
Jayakatwang. Mereka berjuang untuk mengembalikan
kejayaan Daha" "O" resi Mangala mendesuh panjang "dimahkotai oleh
rambut yang sama hitamnya, tidaklah sama pikiran dan citacita manusia itu. Satu dengan lain berbeda pandangan hidup
dan cital mereka. Pemuda-pemuda dalam Wukir Polaman
tentulah mempunyai cita-cita untuk berjuang mengembalikan
kerajaan Daha yang bebas dari, kekuasaan Majapahit"
"Benar" tanggap patih Iswara "setiap orang bebas memiliki
cita-cita dan selera hidup masing-masing. Pemuda-pemuda itu
memang luhur cita-citanya karena hendak berjuang membela
bumi kelahirannya. Namun perjuangan mereka itu, tidak
bersandar pada kenyataan. Bukankah dewasa ini hanya ada
sebuah kerajaan yakni Majapahit " Bukankah di bawah
pemerintahan Majapahit, Daha dan Kahuripan telah dilebur
dalam kesatuan sebuah kerajaan Majapahit yang besar dan
jaya?" Sahut resi Mangala bergairah "Benarkah hal itu sesuai
dengan yang tuan ucapkan" Bukankah sejak raja Majapahit
pertama yakni raden Wijaya wafat, kerajaan Majapahit selalu
dilanda oleh prahara pemberontakan dan pertentangan?"
"Justeru itulah termasuk kewajiban kita, tanpa memandang
adakah dia seorang mentri, senopati, narapraja ataupun
seorang rakyat sudra, kita seluruh kawula Majapahit harus
bangkit dan bersatu untuk melenyapkan kekacauan itu"
"Benar, gusti patih" jawab resi Mangala "pemberontakan
dapat dipadamkan, pengacauan dapat dilenyapkan. Tetapi
mungkinkah kita mampu melenyapkan darah yang menghayat
pada tubuh baginda Jayanagara yang menjadi junjungan
seluruh rakyat Majapahit?"
Patih Iswara terkesiap "Darah apa yang ki resi maksudkan
sehingga tuan kaitkan pada diri biginda Jayanagara"
Resi Mangala tertawa pelahan "Gusti, hamba kira sebagai
seorang patih, tentulah tuan mengetahui silsilah daripada
baginda Jayanagara itu ....."
"Oh" desuh patih Iswara yang secepat itu dapat
mengetahui kemana tujuan kata-kata resi Mangala,
"maksudmu hendak mengatakan bahwa ibunda baginda yakni
gusti Ratu Indreswari itu, seorang puteri dari tanah Malayu?"
"Itu suatu kenyataan, gusti" kata resi Mangala, "kata-kata
hamba itu bukan reka dari pikiran hamba sendiri"
"Lalu maksudmu?" tanya patih Iswara.
"Bahwa tanah Malayu atau Sriwijaya itu bukanlah
Majapahit, Daha, Kahuripan, bukan pula telatah Jawadwipa.
Haruskah kita mempertahankan kesetyaan kita terhadap
seorang junjungan yang bukan berdarah keturunan
Majapahit?" "Mangala ..." teriak patih Iswara. Tetapi sebelum sempat
patih itu melanjutkan ucapannya, resi Mangala pun sudah
mendahului berkata lagi "Hamba hanya berbicara soal
kenyataan, gusti patih. Dan kenyataan itu harus kita hadapi,
sekalipun kita berbeda pandangan dan tafsiran. Dan berbicara
soal kenyataan, kiranya gusti Rani Kahuripan dan gusti Rani
Daha, lebih sesuai menerima kesetyaan para kawula
Majapahit" Patih Iswara tertegun karena desakan kata-kata resi itu.
Namun secepat itu pula ia sudah beralih ke lain pijakan.
Serunya "Benar, benar, resi. Apa yang engkau kemukakan itu
memang benar. Tetapi ingin kudengar perjelasanmu. Engkau
menyebut kesetyaan para kawula Majapapit. Adakah di
dalamnya juga mengandung maksud kawula Kahuripan dan
Daha pula" Ataukah hanya terbatas pada kawula Majapahit
belaka?" Tersentak resi Mangala dari keterkejutan dikala mendengar
pertanyaan yang tak pernah disangkanya itu. Namun cepat ia
mengulas kerut liuk dahinya dengan tertawa tenang "Hamba
hendak mengingatkan akan ucapan gusti tadi bahwa
Majapahit, Daha, Kahuripan itu sebuah kesatuan. Perlu
penjelasan pula?" Patih Iswara tertawa renyah. "Itu kenyataannya, resi.
Tetapi dalam kenyataan itu terdapat pula kenyataan bahwa
orang-orang Daha yang membentuk himpunan Wukir Polaman
itu tetap akan mengingkari hal itu. Bukankah demikian resi?"
Sambil berkata patih. Iswara menyelinapkan pandang
memperhatikan wajah resi. Tampak resi Mangala tersipu sipu.
"Bagaimana resi Mangala, keadaan candi Tigawangi selama
ini" Adakah sesuatu yang perlu mendapat perhatian kami?"
patih Iswara beralih pertanyaan.
"Berkat restu sang Rani dan kebijaksanaan pimpinan tuan,
kami pandita-pandita dapat hidup tenang dan dapat
menunaikan ibadah kami sebagaimana layaknya. Tiap
perayaan dan hari-hari sesaji, banyaklah rakyat sekitar daerah
ini yang datang untuk mempersembahkan sujudnya"
"Bagus, resi Mangala" seru patih Iswara "memang
demikianlah hendaknya kehidupan agama di tanah kita ini
tumbuh. Para kawula harus memeluk agama sesuai
kepercayaan masing-masing, para pandita dan brahmana
mempunyai kesempatan luas untuk mengembangkan
agamanya. Janganlah hendaknya kita mengulang kesalahan
raja Daha yang terdahulu mula, yani raja Dandang Gendis,
yang telah bertindak menindas para pandita dan brahmana"
Resi Mangala ditafsirkan. mengiakan dalam nada yang sukar "Resi Mangala" tiba-tiba pula patih Iswara berkata "patung
apakah yang berada disebelah patung batara Brahma di ruang
besar itu?" Resi Mangala terbeliak "Yang mana gusti maksudkan?"
"Berapa banyakkah patung-patung yang dipuja di candi
ini?" Resi Mangala gugup terengah engah "Banyak ..... gusti
patih" "O" desuh patih Iswara. Dalam hati ia makin menumpuk
keraguan "dan berapa banyakkah patung yang di puja dalam
ruang agung candi ini?"
Kembali wajah resi itu tampak gugup. Namun cepat pula ia
dapat menyahut "Hanya beberapa yang penting ..."
"Ya, memang yang menjadi pusat persembahan dalam
candi ini yalah patung batara Brahma. Yang kutanyakan yalah
sebuah patung lain yang berada di sebelahnya itu"
"Batara Wisnu, gusti patih"
"Ah, mustahil resi Mangala" kata patih Iswara membantah
"tak selayaknya Batara Wisnu di tempatkan pada tempat yang
begitu tak mendapat perhatian. Dan mengapa tiada patung
Syiwa dalam candi ini?"
"Ah, sedang rusak maka kami angkut keluar untuk di
perbaiki" kata resi Mangala yang kali ini agak lancar.
Patih Iswara mengangguk namun hatinya tertawa. Jelas
yang ditaruh di tempat pemujaan agung dalam candi itu yalah
Batara Syiwa. Tetapi resi itu hanya mengiakan saja ketika ia
mengatakan patung Brahma. Hal itu makin jelas bagi patih
Iswara, dengan siapa sebenarnya ia berhadapan saat itu.
Setelah bertukar percakapan untuk menanyakan sesuatu
yang tak penting maka resi Mangala pun minta diri untuk
mempersiapkan perjamuan malam.
Ketika pada hidangan yang di suguhkan itu terdapat pula
minuman tuak maka bertanyalah patih Iswara dengan heran
"Ki pandita, mengapa di asrama tuan terdapat persediaan
tuak" Bukankah para pandita itu pantang minum tuak?"
Pandita yang bertugas menyajikan hidangan itu terkesiap.
Tetapi ia masih dapat memberi keterangan "Tuak dalam
asrama kami hanya di peruntukkan apabila kami menyambut
kunjungan tetamu agung"
"O" desuh patih Iswara "seharusnya seorang tetamu tahu
bagaimana keadaan yang dikunjunginya itu. Masakan di
asrama kepanditaan, harus minum tuak"
"Gusti patih" kata pandita itu "tuak sudah menjadi hidangan
lazim pada tiap perjamuan. Baik di kalangan rakyat maupun
priagung. Kami sebagai tuan rumah tentu berusaha untuk
menyempurnakan penghormatan kami kepada tetamu"
Patih Iswara tak menanggapi pembicaraan itu lagi. Dan
setelah hidangan lengkap di sajikan maka rombongan patih
Daha itu segera dipersilahkan minum. Agak aneh tindakan
patih Daha itu. Dia tak mau makan di tempat tersendiri
melainkan ikut dalam meja perjamuan yang disediakan untuk
para prajurit pengiringnya. Dalam pada itu resi Mangala pun
minta maaf karena tak dapat menghadiri perjamuan itu.
Dengan alasan bahwa ia hendak memimpin upacara
pemanjatan doa untuk keselamatan patih Dyah Purusa Iswara.
Dengan demikian maka patih Iswara dan para pengiringnya
dapat leluasa untuk menikmati hidangan dan minuman.
"Bekel Madraka" kata patih itu kepada kepala rombongan
pengiring yang duduk di hadapannya "malam ini para prajurit
boleh makan sepuasnya tetapi tak boleh minum tuak"
Ketika bekel Madraka menyampaikan titah patih kepada
orang sebawahannya, prajurit-prajurit itupun hanya mengiakan tetapi dalam hati bersungut-sungut. Bagaimana
mungkin makan tanpa berkawan tuak. Bukankah tuak itu
penyegar semangat, pengobat keletihan" Bukankah tuak itu
pengantar tidur nyenyak yang mujarab" Malam tidur pulas,
esok hari semangat dan tenaga akan pulih segar kembali.
Demikian rangsang dan keluh hati para prajurit. Sekalipun
mulutnya tak berani mengutarakan tetapi pada wajah meseka
mengerut kekecewaan. Hal itu di perhatikan juga oleh bekel
Madraka. "Kakang bekel" tiba-tiba prajurit Gubar yang tinggi besar
berseru "dapatkah kami mohon keterangan,, alasan apakah
maka kawan-kawan tak diperkenankan gusti patih untuk
minum tuak?" Pertanyaan prajurit tinggi besar itu mengejutkan bekel
Madraka. Ia pun sempat memperhatikan pula betapa pandang
mata keduapuluh prajurit itu tertumpah ruah kepadanya.
Pandang mata yang mendukung pertanyaan Gubar.
"Kita sedang menempuh perjalanan jauh dan melaksanakan
tugas negara yang penting. Dengan demikian beratlah beban
kewajiban yang terletak di bahu kita. Kita harus mampu
menjaga keselamatan gusti patih selama dalam perjalanan ini"
sahutnya sesaat kemudian.
"Kakang bekel" balas Gubar pula "apakah hubungan tugas
kewajiban kita dengan tuak itu" Adakah kakang bekel
menguatirkan kita akan bermabuk-mabukan hingga melalaikan
kewajiban" Bukankah kita bermalam di asrama para brahmana
yang suci" A pakah kita harus menguatirkan keselamatan gusti
patih?" "Pertanyaan itu telah engkau jawab sendiri, Gubar" kata
Madraka "tuak akan menyebabkan mabuk dan kemabukan
akan menelantarkan tugas kewajiban kita pada malam ini. Ini
sudah jelas" "Ah, kakang bekel" sanggah Gubar "minum sampai mabuk
memang berbahaya. Tetapi bagaimana kalau kita berjanji
hanya minum sekedarnya saja. Bukankah kalian setuju
membatasi minum, kawan-kawan" serunya kepada para
prajurit. "Kami berjanji" seru sekalian prajurit "takkan minum sampai
mabuk" "Hm" desuh bekel Madraka mulai meragu. Memang dalam
hati kecil bekel itu sendiri, juga setuju dengan pernyataan
Gubar. Akan tetapi ia tak berani menentang perintah rakryan
patih. Segera ia menghadap patih Iswara dan menyampaikan
permohonan para prajurit.
"Hm, mereka tak tahu ..."
desuh patih Iswara "bukan
soal mabuk tetapi sebaiknya
harus menjaga setiap kemungkinan yang tak diinginkan" Bekel Madraka menyampaikan titah rakryan
patih bahwa lebih baik menghindari sesuatu daripada menderita sesuatu.
"Betapalah kepuasan minum
tuak itu" Gusti patih berjanji
akan membebaskan kalian minum sepuas-puasnya apabila sudah tiba di pura
Majapahit" "Ah" desah prajurit Gubar yang tampak masih bersitegang
untuk mendapatkan tuak "apakah kakang bekel menguatirkan
tuak itu akan tercampur sesuatu yang dapat melemahkan
tenaga kita" Tidak, kakang bekel. Kalau kakang tak percaya,
akulah yang akan minum lebih dulu. Silahkan lihat apakah aku
sampai mendapat apa-apa"
Habis berkata prajurit itu terus menyambar sebuah guci
tuak, dibuka sumbatnya lalu meminumnya beberapa teguk.
"Cobalah kakang bekel saksikan, adakah aku rubuh karena
minum tuak itu. Dan karena aku sudah meneguk, akupun tak
mau minum lagi" kata Gubar "demikianpun dengan lain-lain
01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kawan. Hanya boleh minum beberapa teguk sajalah"
Ketika Gubar meneguk tuak itu maka terdengarlah kerongkongan meliuk-liuk mengantarkan tuak. Dan ,setiap hawa tuak
yang harum dan menyegarkan semangat segera bertebaran
menusuk hidung mereka. Terdengar kerongkongan prajuritprajurit berkerucukan menelan air liur.
Madraka memperhatikan suasana itu. Ia mendapat kesan
bahwa para prajurit itu memang sudah ingin sekali meneguk
tuak. Ah, kalau dibatasi kiranya mereka tentu tak sampai
mabuk. Dan tuak yang dihidangkan oleh para brahmana di sini
tak mungkin mengandung sesuatu. Pikirnya.
Dengan memberanikan diri bekel Madraka menghadap
rakryan patih Iswara untuk memohon idin memberi
kesempatan kepada para prajurit itu minum beberapa tegup
tuak. Karena bekel itu menyanggupkan menjamin para prajurit
pasti takkan berani melanggar perintah, akhirnya patih Iswara
memberikan idin jaga. Memang setiap prajurit hanya minum beberapa teguk saja.
Dan hal itu sudah menambah kegembiraan semangat mereka.
Demikian perjamuan telah berjalan selesai amat menggembirakan. Dua orang pandita muncul pula dan
mempersilahkan rakryan patih beristirahat dalam sebuah
ruang yang khusus telah disediakan untuknya. Sedang para
prajurit itupun diberi tempat di sebuah ruang lain.
"Aduh, mengapa kepalaku terasa pening sekali" tiba-tiba
seorang prajurit berseru seraya menekan kepalanya.
"Ya, akupun merasa puyeng juga. Semua benda yang
kulihat seperti berputar-putar" seru. seorang prajurit lain.
Habis berkata kedua prajurit itupun rubuh. Yang lain-lain
tanpa mengeluarkan kata-kata, menyusul rubuh juga.
Termasuk bekel Madraka. Tiba-tiba Gubar yang semula juga ikut menggeletak rebah,
saat itu menggeliat bangun. Memandang ke sekeliling,
memperhatikan kawan-kawannya yang masih tertelentang di
lantai. Ia berjalan ke sebuah ruang lain, mengetuk pintunya
beberapa kali. Karena tiada suara jawaban, Gubar terus pergi
lagi. Melangkah keluar dari pintu ia bertepuk tangan dua tiga
kali. Seorang brahmana muncul, menghampiri.
"Lekas beritahukan kepada pemimpin kita bahwa prajuritprajurit itu sudah rubuh" kata Gubar. Dan setelah brahmana
itu pergi, Gubar masuk pula ke dalam ruang dan rebah diri di
tempatnya tadi. Serempak pada saat itu, muncullah sesosok tubuh agak
pendek. Dengan tangkas dan lincah sekali, orang itu cepat
menghampiri ke tempat Gubar dan plak ..... ia memukul
tengkuk Gubar sekerasnya sehingga pingsanlah Gubar
seketika. Cepat pula orang itu terus mengangkat tubuh Gubar
lalu diangkutnya ke ruang sebelah.
"Bukalah pintu paman resi" orang itu mendebur pintu "aku
Dipa yang datang, cepatlah paman"
Pintupun dibuka dan dari dalam ruang itu menyembul
wajah patih Iswara "Engkau Dipa ...." patih Iswara terperanjat
ketika melihat Dipa tegak di ambang pintu dengan menjinjing
sesosok tubuh orang "siapa yang engkau bawa itu ?"
"Inilah Gubar, paman resi" kata orang pendek itu yang
ternyata Dipa "dia seorang kaki tangan Wukir Polaman. Lekas
paman, mari kita bekerja, agar jangan mereka keburu datang"
Habis berkata Dipa terus menerobos masuk. "Kita ciptakan
dia menjadi patih Iswara. Mereka tentu akan membawanya ke
lain tempat" Patih Iswara mendesuh kejut. Kini ia tahu apa yang akan
direncanakan Dipa. Dan ia menyetujui. Maka cepatlah ia
mencabut janggutnya dan menanggalkan pakaian. Bersama
Dipa, keduanya segera memasang janggut yang ternyata
janggut palsu itu kedagu Gubar lalu diberinya pakaian patih
Iswara. Ah, setelah tak mengenakan janggut dan pakaian, ternyata
patih Iswara itu bersalin rupa menjadi resi Kadipara. "Dipa,
mari kita cepat bersembunyi di luar dan mengintai bagaimana
gerak gerik orang-orang Wukir Polaman itu nanti"
"Tunggu dulu, paman resi" tiba-tiba Dipa mencegah resi itu
ke luar "Gubar ini harus dibuat pingsan, jangan sampai ia
sadarkan diri. Tadi telah kupukul tengkuknya. Adakah paman
resi dapat membuatnya pingsan sampai beberapa waktu yang
lama ?" Tanpa menjawab, resi Kadipara masuk lagi, menghampiri
Gubar yang sudah bersalin wajah seperti patih Iswara lalu
mengurut ngurut punggung dan kepalanya. "Dia akan tidur
pulas malam ini" katanya lalu menyambar tangan Dipa
diajaknya ke luar. Dipa dan resi Kadipara membiarkan para prajurit itu masih
menggeletak tak sadarkan diri. Karena untuk menyadarkan
mereka membutuhkan waktu yang cukup lama. Dan hal itu
berbahaya karena tak lama lagi tentulah resi Mangala dan
anakbuahnya akan datang. Tak berapa lama Dipa dan resi Kadipara menyembunyikan
diri di balik sebatang pohon kamal yang besar tak berapa jauh
dari asrama maka berbondong-bondonglah resi Mangala
diiring beberapa pandita ke luar dari candi. Mereka menuju ke
asrama. "Mereka tentu akan menawan para prajurit itu" kata Dipa.
"Ya" kata resi Kadipara "sesekali mereka harus menderita
juga agar lain kali mereka tak berani merengek-rengek minta
tuak. Pada hal sudah kuperingatkan akan bahaya yang
mungkin timbul. Bahaya apa, aku tak berani menjelaskan
kepada mereka" Dipa mengiakan "Tetapi apakah Gubar takkan bangun?"
"Rasanya tak mungkin" kata resi Kadipara, "paling tidak
esok menjelang surya terbit baru dia dapat sadar"
Tak berapa lama tampak berpuluh-puluh pandita itu ke luar
dari asrama. Setiap orang memanggul sesosok tubuh. Dipa
dan resi Kadipara cepat dapat menduga bahwa tubuh yang
dipanggul para pandita itu tentulah tubuh para prajurit
pengiring patih Iswara. Dan terakhir tampak resi Mangala ke luar dan memanggul
sesosok tubuh pula. "Itulah Gubar si patih Iswara yang diangkut resi Mangala"
bisik resi Kadipira. Dipa mengiakan "Mari kita ikuti langkah mereka"
Dilindungi kegelapan cuaca cakrawala yang belum berbulan
dan berbintang, Dipa dan resi Kadipara melakukan ilmu Prana
untuk memperingan langkah kaki agar jangan mengeluarkan
bunyi. Mereka mengambil jarak duapuluhan tombak dari
rombongan resi Mangala. Lebih kurang sejam kemudian, tampak rombongan resi
Mangala musuk ke dalam hutan dari sebuah pegunungan
padas. Resi Mangala dan rombongannya masuk ke dalam
sebuah guha. "Apakah kita akan ikut masuk?" tanya Dipa berbisik.
"Tunggu beberapa saat lagi" kata resi Kadipara "mereka
tentu akan keluar." Beberapa waktu kemudian, apa yang. diduga resi Kadipara
memang benar. Berpuluh lelaki tegap keluar dari guha itu.
Setiap orang memanggul sesosok tubuh.
Didalam keremangan malam, sinar mata resi Kadipara
dapat melihat bahwa yang dipanggul gerombolan lelaki-lelaki
tegap itu ternyata tubuh pandita.
"Paman resi, mengapa resi Mangala dan pandita-pandita
tadi kini dipanggul oleh berpuluh orang lelaki tegap?" seru
Dipa terkejut. "Ya, kutahu" sahut resi Kadipara singkat.
"Apakah tidak lebih baik kita serbu mereka dan lepaskan
resi Mangala dan pandita-pandita palsu itu?"
"Apa perlunya?"
"Jangan sampai orang-orang Wukir Polaman itu ditawan
lain tangan. Kita harus menawan mereka untuk dihaturkan
kepada patih Iswara"
"Tak perlu!" "Mengapa" Apakah kita akan membiarkan orang-orang
Wukir Polaman itu lolos?"
"Sama sekali tidak" sahut resi Kadipara "cobalah engkau
seksamakan pandang, siapa sesungguhnya yang memanggul
dan yang dipanggul itu"
Dipa menajamkan pandang matanya untuk memperhatikan
wajah lelaki-lelaki yang memanggul tubuh pandita itu. Namun
ia tak dapat menemukan sesuatu yang menyangkal bahwa
lelaki-lelaki itu pernah dikenalnya. "Aku tak pernah melihat
orang itu, paman. Kecuali makin tegas kulihat bahwa yang
mereka panggul itu memang para pandita"
Resi Kadipara tertawa tertahan "Benar, memang yang
dipanggul itu para pandita candi Tigawangi"
"Dan siapa yang memanggul itu?" Dipa makin heran.
"Pandita-pandita yang menyambut aku di candi Tigawangi
tadi" "O, paman maksudkan orang-orang Wukir Polaman yang
menyaru jadi pandita-pandita candi Tigawangi itu?"
"Tepat ulasanmu" puji resi Kadipara "memang bermula
Kencan Di Ujung Maut 1 Goosebumps - Kembali Ke Horrorland Golok Bulan Sabit 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama