Ceritasilat Novel Online

Geger Pusaka Matsuri 2

Suro Bodong 12 Geger Pusaka Matsuri Bagian 2


Mereka berteriak histeris. Racun pedang Ginan Sukma menempel pada kulit tubuh
mereka, dan akibatnya kulit tubuh mereka mulai mengelupas, lalu berkerut-kerut.
Daging mereka hangus sedikit demi sedikit. Bahkan ada yang berlari ke pantai
lalu menceburkan diri ke laut. Namun, cara itu ternyata malah semakin parah.
Bagai batu kapur yang direndam dalam air. Mendidih seketika tubuh lawan yang
mencebur ke air laut.
"Aaah. .!" Ginan Sukma memekik. Betisnya nyaris terpotong oleh senjata yang
mirip piring bertepian tajam itu. Senjata tersebut dilemparkan oleh salah
seorang lawan dari bawah, Ginan Sukma terlambat melompat. Betisnya robek. Cukup
dalam. Ginan Sukma menyeringai kesakitan sambil bersalto dari dahan pohon yang
satu ke dahan pohon yang lain. Ia sempat melihat Dodot Pamasar dikeroyok tujuh
orang. Akhirnya Ginan kembali melompat dengan menahan sakit pada betisnya.
Lompatan itu berupa gerakan salto beberapa kali dengan pedang dikibaskan ke arah
orang-orang yang mengeroyok Dodot Pamasar. Tiga orang melengking karena tergores
punggung dan bagian kepalanya oleh pedang Ginan. Kemudian kaki Ginan yang tidak
terluka menendang bagai kaki belakang. Tepat mengenai telinga lawan hingga orang
itu menjerit kesakitan. Dodot Pamasar pun segera meloloskan diri dari keroyokan
mereka, dan melejitkan tubuh ke atas, tepat berada di atap sebuah rumah yang
dipakai berdiri Baderi Darus.
"Mereka benar-benar iblis yang ganas!", kata Dodot.
"Kita harus lebih ganas lagi!!" Baderi membidikkan anak panahnya yang berujung
merah. Ketika anak panah itu melesat dan menancap pada sebuah pohon yang tak
jauh dari sekelompok lawan yang menyerang Ginan, panah itu meledak. Lima orang
lawan yang paling dekat dengan pohon terpental dalam keadaananggauta tubuhnya
pecah ke mana-mana.
"Mundur semua. .!" Ada suara yang di dengar oleh Arya Somar. Maka segera Arya
Somar mencari kesempatan untuk meloloskan diri dari kepungan lawan. Suara itu
jelas suara Suro Bodong. Dan Arya Somar tak bisa membantah sebab ia benar-benar
dalam keadaan terpepet. Ia melejit ke atas, tapi ia disambut oleh pukulan jarak
jauh dari salah seorang yang berdiri tak jauh dari pantai. Pukulan itu berupa
sinar kuning bening melesat dan menghantam dahan pohon. Kalau saja Arya Somar
tidak segera bersalto ke belakang dan segera berguling ke samping, maka tubuhnya
itulah yang akan meledak dihantam pukulan jarak jauh. Bumi berguncang saat
ledakan itu terdengar. Bahkan air laut bagai mengamuk. Ombaknya bergulung-gulung
dari pantai menuju ke tengah laut. Debur ombak bagai irama ledakan gunung yang
menggema. Orang-orang Gupolo pun mundur semua begitu mendengar ledakan yang mengguncangkan
bumi. Pambudi Tulus terpental jatuh karena tanah tempatnya berdiri dengan lutut
bagai diguncangkan dari bawah.
Orang-orang Gupolo mundur ke pantai, sementara itu, seorang berbadan kekar dan
tegap, namun berkulit sawo matang, lebih bersih dari yang lainnya, melangkah ke depan.
Ia mengenakan topi berbentuk cula badak. Bagian telinga tertutup topi, namun
rambutnya yang panjang sepundak terurai lepas pada bagian bawahnya. Ia
mengenakan celana ketat sebatas betis berwarna hijau dalam bentuk sisik ular
dari benang kuning. Gelang kulit beruang melilit di pergelangan tangan kanan
kirinya. Suro Bodong sudah menebak, orang itu pasti yang bernama Gupolo. Pukulan jarak
jauhnya sungguh hebat, mampu mengguncangkan bumi dan membuat lautan mengamuk. Pohon yang
terkena pukulannya itu bukan hancur, tapi hilang musnah tanpa bekas sedikit pun.
Suro Bodong merasa sudah saatnya untuk maju ke depan, berhadapan dengan Gupolo.
"Kau yang bernama Gupolo"!" seru Suro Bodong dengan tenang.
"Benar. .! Aku tak perduli siapa kalian, tapi kuminta cukup kali ini kalian
mengganggu kami.
Jangan pancing kemarahan kami di lain tempat. Sekarang, kalian kuampuni!" Gupolo
memberi aba-aba kepada anak buahnya agar naik ke kapal, sementara Suro Bodong
malah terbengong-bengong keb-ngungan. Ia merasa tidak minta ampun!
4 Ginan Sukma bersungut-sungut ketika Suro Bodong melarangnya untuk mengejar
orang-orang Gupolo.
"Mereka meremehkan kita! Mereka mengira kita takut dan minta ampun kepada
mereka! Padahal kita masih sanggup bertarung melawan congor mereka, kan"!"
Suro Bodong bicara dengan tenang, "Yang penting mereka telah pergi. Korban tak
bertambah banyak. Hanya tiga orang penduduk yang menjadi korban."
"Tapi mereka mengampuni kita, itu berarti kita dianggap takut kepada mereka. .!"
bantah Ginan Sukma.
"Itu cara Gupolo untuk mundur. Biarkan saja," kata Suro Bodong sambil mengobati
luka di dada Baderi Darus. "Gupolo memang orang hebat. Tetapi, ia khawatir kalau
kehebatannya mampu kita kalahkan. Maka, sebelum mereka tahu di mana kelemahan
kita, mereka menjalankan cara seperti tadi.
Berlagak mengampuni dan pergi. Padahal tujuannya hanya untuk melarikan diri dari
kita. Lihat saja, berapa anak buahnya yang mati oleh tangan kalian" Banyak juga,
kan" Gupolo telah memperhitungkan, kalau pertarungan diteruskan, ia akan
kehilangan banyak anak buah. Mungkin kalau dia sendiri yang maju menghadapiaku,
bisa-bisa ia akan kehilangan nyawanya sendiri."
"Tapi, bagaimana dengan Emandanu" Ia mati!" kata Baderi.
"Tidak. Ia belum mati. Lukanya terlalu parah, sehingga butuh waktu untuk
memulihkan keadaannya. Aku telah memeriksa dan mengobatinya. Ia masih hidup,
hanya saja.. parah. Ia harus beristirahat lama, karena empedunya tergores
senjata itu," kata Suro Bodong dengan tenang.
Kedua tangan Suro Bodong diludahi tujuh kali, kemudian digosokkan tujuh kali
pula, dan ditempelkan pada luka itu. Telapak tangan merayap dalam tekanan keras
sehingga Baderi Darus menyeringai kesakitan. Namun, ketika telapak tangan itu
bergeser terus melewati luka, ternyata luka itu sudah tak ada lagi. Dada Baderi
Darus mulus tanpa sedikit pun bekas luka.
Itulah kehebatan Suro Bodong dalam mengobati seseorang. Bukan hanya Arya Somar,
Ginan dan yang lainnya yang terbengong terheran-heran, melainkan kepala desa
nelayan itu pun ikut menyaksikan cara pengobatan Suro yang unik dan mengagumkan
itu. Dan bukan luka di dada Baderi saja yang bisa disembuhkan dengan cara
begitu, melainkan semua luka temannya kembali seperti biasa. Diludahi tangannya, dan setelah telapak tangan
saling gosok, maka telapak tangan itu bagai menyapu luka. Luka pun hilang tanpa
bekas, rasa nyeri berangsur-angsur pudar.
"Mengapa Emandanu tidak kau sembuhkan dengan cara seperti ini juga?" kata Ginan
Sukma. "Aku tidak sanggup meraba Emandanu, Tolol! Geli! Meraba wajahnya saja geli
apalagi meraba Emandanu.. " jawab Suro Bodong sambil berkelakar. Mau tak mau
yang lain terpaksa menyunggingkan senyum pahit.
Ki Lurah Mangunresa kebingungan ketika ditanya tentang Lembah Matsuri.
"Saya malah baru mendengar nama Matsuri sekarang ini," katanya. "Kalau pulau
Pocong saya tahu." "PulauPocong"!" SuroBodongberkerut dahi. "Saya tidakbutuh
poconganmayat,Ki Lurah. Saya butuh perempuan-perempuan Matsuri."
"PulauPocong itu apa?" timpal Dodot Pamasar.
"PulauPocong itu.. pulau yang sekarang, menurut kabar para nelayan, pulau itu
menjadi tempat bermukimnya orang-orang Gupolo. Pembajak-pembajak yang haus darah
dan doyan daging manusia itu belakangan ini kabarnya menduduki Pulau Pocong.
Bentuknya memang mirip pocongan mayat, jadi kita sebut pulau Pocong."
Semua mata tertuju pada Ki Mangunresa. Mereka manggut-manggut sambil
membayangkan keganasan orang-orang Gupolo yang bertubuh tinggi besar, seperti raksasa.
"Apakah mereka sering ke mari, Ki Lurah?" tanya Arya Somar.
"Baru sekali ini," jawab Ki Lurah Mangunresa. "Kami sendiri tidak menduga kalau
keganasan orang-orangnya Gupolo akan menyebar sampai ke desa Srondol ini. Sebab,
pulau Pocong terletak jauh dari sini. Den.. ."
Suro Bodong manggut-manggut. Ia garuk-garuk kumis sebentar. Lalu seorang
perempuan muda membawakan jagung bakar kesukaan Suro Bodong. Namun, Arya Somar
dan yang lainnya pun
menyantap pula jagung bakar itu.
"Yang penting, mereka pasti tidak akan ke mari lagi," ujar Suro Bodong kepada Ki
Lurah Mangunresa. Kepada teman-temannya, Suro Bodong berkata:
"Kita lanjutkan perjalanan kita, mencari Lembah Matsuri. Bagaimana" Setuju?"
"Setuju!" jawab yang lain.
"Gin. ." Bagaimana, setuju?" Suro bertanya pada Ginan yang sejak tadi ternyata
ada main dengan perempuan muda pembawa jagung bakar. Ia terbengong ketika
ditanya Suro, "Setujuapa tidak"!"
"Apanya?"
Suro Bodong menggeram jengkel. Dodot Pamasar berkata:
"Makanya kalau melihat perempuan matanya jangan cepat-cepat berubah jadi hijau!
Perempuan cantik sedikit mau dilalap saja!"
"Perempuan cantik, itu benar. Tapi kalau soal mau dilalap. . ah, itu juga
benar." Arya Somar geram dan hendak menghantamnya dengan siku.
"Jangan bercanda!"
"Aku tidak bercanda. Aku katakan bahwa perempuan itu tadi memang cantik! Nyata!"
"Itu anak saya. Den.. " sahut Ki Lurah Mangunresa dengan menghormat dan
merendahkan diri.
"Ooo. . anak Ki Lurah" Maaf, saya bicara dengan terang-terangan tadi. Maaf, Ki
Lurah. ." Ginan tersipu malu. Namun, dasar mata keranjang, tetap saja meliriklirik mencari anak Ki Lurah yang menghilang di balik penyekat kamar.
Tak ada waktu untuk beristirahat di desa Srondol. Mereka melanjutkan perjalanan
ke arah Barat setelah menitipkan Emandanu kepada keluarga Ki Lurah Mangunresa.
"Saya akan rawat Raden Emandanu ini sebaik mungkin. Den Suro," kata Ki Lurah
Mangunresa ketika Suro Bodong menitipkan Emandanu yang perlu perawatan beberapa
waktu. Dan mereka pun mulai maju, memacu kuda menyusuri pantai, mencari tempat yang
dikatakan Begawan Bayanpati. Beberapa saat kemudian, timbul perkiraan lain di
dada Dodot Pamasar:
"Jangan-jangan Begawan Bayanpati membohongi kita."
"Tidak mungkin. Dia tahusiapa aku," kata Suro.
"Dan kau mempercayainya?"
"Ya. Aku mempercayainya!"
"Mengapa kau tidak curiga"!"
"Karena antara aku dan dia ada hubungan saudara yang tak perlu kubeberkan di
sini. Terlalu panjang ceritanya." (lihat kisah: TUMBAL MAHKOTA RATU).
Kaki kuda bagai tak kenal lelah, melaju dan berpacu seirama debur qmbak di
pantai. Sampai menjelang senja, mereka masih memacu kuda menuju Barat. Namun,
tiba-tiba Arya Somar berseru:
"Hei, berhenti! Kita berhenti dulu! Kita salah arah!"
Tali kekang kuda ditarik. Mereka mulai berhenti dan berkumpul sambil tetap duduk
di punggung kuda. "Dari mana kau tahu kalau kita salaharah"!" tanya Ginan Sukma.
"Lihat, matahari tenggelam di cakrawala. Kalau dia muncul, pasti dari Timur.
Kalau dia tenggelam, pasti tenggelam di Barat. Dan sekarang lihatlah. . matahari
mau tenggelam. Ia berada di batas cakrawala, antara langit dengan laut yang ada
di sisi kiri kita itu. Berarti arah Barat ada di sana. ." Arya Somar menuding ke
arah matahari yang memerah di tengah lautan.
Hal itu membuat semua terbungkam dan memandang dalam keraguan. Tetapi, Pambudi
Tulus sempat menggumam:
"Kalau begitu kita harus menyeberangi lautan. Karena di sanalah arah Barat
sebenarnya."
"Kita beristirahat saja dulu, sambil mencari jalan terbaik," usul Dodot Pamasar.
Lalu, Baderi menyetujui, dan yang lain pun setuju dengan usul Dodot Pamasar.
Suro Bodong mengambil bekal dari kantong pelana kuda. Jagung bakar. la memetikmetik biji jagung bakar sambil berdiri memandang matahari senja. Ia sempat
mengingat-ingat kata-kata Begawan Bayanpati tentang arah Barat yang harus
dituju. Rasa-rasanya, tak mungkin Begawan Bayanpati menipunya.
"Atau, kita bermalam saja di sini sambil menunggu gagasan lebih lanjut,"
usulPambudi Tulus.
"Bisa juga," kata Arya Somar. "Kurasa, kalau kita harus menyeberangi lautan,
kuda-kuda ini tak mungkin bisa diajak berenang ke sana."
"Dan lagi, belum tentu Lembah Matsuri memang ada di sana," timpal Baderi Darus
yang berkumis tipis dan bertubuh kurus.
"Ssst.. ! Ada binatang yang bergerak-gerak di balik rimbunan pohon itu," bisik
Dodot Pamasar. "Kita sikat saja untuk santapan nanti malam," bisik Ginan Sukma. Pambudi Tulus
menyahut: "Jangan! Itu seekor kelinci hutan. Aku bisa bicara dengannya."
"Kalau begitu tanyakan pada kelinci hutan, di mana arah Lembah Matsuri," Suro
Bodong jadi tertarik dengan kelinci hutan itu. Ia tahu, Pambudi Tulus dapat
menguasai bahasa binatang dengan ilmunya.
Maka dia dan yang lainnya membiarkan Pambudi Tulus bergerak mendekati rimbunan
pohon peredu. Ia mengendap-endap dengan hati-hati, lalu berjongkok di depan gerumbulan
dedaunan. Tangannya terulur dari rimbunan pohon itu.
Pambudi Tulus mengusap-usap dengan lembut. Seakan ia sedang bicara dengan hewan
sebesar betis perawan itu. Beberapa saat kemudian, ia pun berdiri, kelinci itu
dilepaskan, berlari masuk ke hutan.
Pambudi Tulus mendekati teman-temannya yang kini mereka tinggal berenam.
"Astaga.. benarjuga apa kata kelinci itu," ujar Pambudi Tulus.
"Benar, bagaimana?" desak Ginan Sukma.
"Kelinci bilang sebentar lagi akan ada pelangi. Dan ternyata.. benar juga katakatanya. Lihatlah ke arah matahari terbenam itu. .!"
Mereka yang semula menghadap ke hutan, kini sama-sama berpaling menghadap ke
matahari terbenam. Mata mereka terperangah. Tubuh mereka berdiam kaku. Suro Bodong
berhenti mengunyah jagung bakar.
Warna-warna pelangi terlihat membias samar-samar. Letaknya bukan di arah Barat,
melainkan di sebelah Utara, yaitu pada arah yang mereka tuju semula. Pantai itu
membujur dari Selatan ke Utara.
Kalau mereka mene-ruskan perjalanan, maka mereka akan tiba di Utara. Dan di
sanalah, di langit Utara itu terlihat lengkung pelangi yang kian lama kian
jelas. "Lengkung pelangi telah terlihat jelas.. " gumam Baderi tak dilanjutkan, karena
mulutnya terperangah lagi ketika samar-samar ia melihat sesuatu di antara
lengkung pelangi itu. Bahkan semua mata pun tak mau berkedip memandang sebentuk
pepohonan, rumah dan kesibukan orang yang tergambar di atas lengkungan pelangi.
Makin lama, suasana kehidupan diatas lengkungan semakin jelas.
Ada anak kecil menggiring kambing. Ada beberapa perempuan menapih beras. Ada
beberapa orang menimba di sumur. Dan semua itu terjadi diatas lengkung pelangi.
Lama sekali keenam kesatria dari Kesultanan Praja itu terbengong-bengong melihat
keadaan seperti itu. Mereka ingin tidak percaya, namun setelah mengedipkan mata
berulangkali, mereka dipaksa untuk percaya melihat suatu keajaiban di atas
lengkung pelangi.
"Kita dihadapkan oleh suatu kenyataan, Suro. Dan kita tak tahu apa yang harus
kita lakukan jika begini.?"Memang begitu keadaannya, Ginan. Ada kalanya manusia
tidak bisa berbuat banyak, jika dihadapkan oleh suatu kenyataan yang semula
disangsikan," kata Suro Bodong.
"Apakah kita harus membuat tangga untuk mencapai tempat itu?" tanya Dodot
Pamasar. Tetapi, Arya Somar yang menjawab dengan tenang, seperti bicara pada
dirisendiri: "Suatu hal yang tidak masuk akal adalah membuat jalan menuju ke langit,
sekalipun menggunakan tangga panjang."
Mereka sama-sama terbungkam, sekalipun sama-sama memperhatikan kehidupan di
Lembah Matsuri yang terlihat di lengkung pelangi. Keheranan yang terlihat menjadi suatu
kebingungan yang memusingkan otak. Suro Bodong termangu-mangu mencari cara untuk
sampai ke Lembah Matsuri.
"Ini suatu tantangan," katanya dalam gumam, entah ditujukan kepada siapa.
"Tantangan bagi ilmu kita untuk mencapai ke tempat yang sangat ajaib itu."
"Ilmu apa kira-kira yang harus kita pakai untuk ke sana?"tanya Baderi Darus.
Suro Bodong garuk-garuk kumisnya, sepertinya ia sedang bingung tujuh keliling
menghadapi pertanyaan Baderi. Memang ia sendiri sedang kebingungan; ilmu apa
yang harus dipakai untuk meniti pelangi" Ah, mana ada sepanjang sejarah manusia,
pelangi bisa mempunyai tangga untuk dilewati"
Terlalu khayal untuk dapat mencapai ke ujung pelangi sekalipun. Apalagi harus


Suro Bodong 12 Geger Pusaka Matsuri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sampai ke batas lengkung pelangi yang kira-kira berada sepertiga dari panjang
lengkungnya, wah.. biar botak kepala Suro yang berambut panjang itu juga tidak
akan menemukan jalan menuju ke sana.
"Kesungguhan.. !" Suro tiba-tiba menggumam sendiri dalam renungannya. Ia
teringat kata-kata Begawan Bayanpati, bahwa untuk mencapai Lembah Matsuri, yang
dibutuhkan adalah kesungguhan.
Kesungguhan seperti apa" Yah.. kesungguhan mencari cara untuk sampai ke sana.
Apakah bisa ada cara ke sana sekali pun kita sudah menguras semua kesungguhan"
Apakah ada ilmu yang menuju ke sana, walau kita telah memusatkan perhatian"
"Ada.. !" tiba-tiba Arya Somar berkata jelas, seakan ia mendengar apa kata hati
Suro Bodong. Maka, tak perlu di komando, semua orang berpaling memandang Arya Somar.
Sedangkan, Arya Somar sendiri sengaja memperlihatkan senyum tipis, sebagai
senyum kelegaan atas gagasan yang ditemukannya baru beberapa detik tadi.
"Ada jalan menuju ke sana: ke Lembah Matsuri!" jelasnya kepada yang lain.
"Kau mengigau, Somar," kata Suro Bodong.
"Justru orang mengigau kadang-kadang ia punya kejujuran yang benar," kilah Arya
Somar. Pambudi Tulus mendekat, dan berbisik, "Bagaimana caranya?"
Arya Somar tersenyum tipis sambil memperhatikan suasana lembah Matsuri di
lengkung pelangi. Kemudian dengan tanpa berpaling kepada rekan-rekannya, ia berkata:
"Kalau Lembah Matsuri yang kita lihat itu lama-lama akan hilang, maka aku tahu
jalan menuju ke sana."
"Aku kurang jelas dengan maksudmu," kata Suro pelan.
"Kita tunggu saja sampai beberapa saat, apakah Lembah Matsuri yang ada di sana
itu tetap, atau hilang?"Mulut mereka tak ada yang bersuara sekalipun ternganga
memandang Lembah Matsuri. Suro Bodong berjalan mondar mandir dalam kegelisahan,
sambil sesekali memetik-metik jagung bakar dan memakannya. Juga, sesekali ia
menggaruk kumisnya yang tebal itu. Langkahnya yang mondar mandir itu selaras
dengan gerak pikirannya antara mencari pengertian yang dimaksud Arya Somar, dan
mencari jalannya sendiri untuk menuju ke sana.
Tetapi, sampai matahari kian tenggelam, Suro Bodong belum bisa menemukan apa-apa
dalam otaknya, kecuali hanya menemukan segenggam kebingungan. Hanya saja, tibatiba Dodot Pamasar terdengar berkata kepada siapa saja:
"Kelihatannya semakin pudar."
"Karena hariakan gelap, maka Lembah Matsuri tidak kelihatan," sahut Baderi
Darus. "Kalau begitu, Lembah Matsuri hanya akan muncul bila ada matahari," Pambudi
Tulus menyambung kata.
Ginan berseru, "Hei.. semakin pudar! Betul, pemandangan di atas pelangi itu
semakin membayang dan. . dan kurasa sebentar lagi akan hilang!"
"Naah.. " Arya Somar berseru kegirangan. "Benar apa dugaanku. Pemandangan di
Lembah Matsuri pastiakan pudar."
"Bicaralah dulu yang jelas, baru bersorak! Jangan bicara sambil bersorak, otakku
semakin kusut!"
kata Suro Bodong yang sudah berhenti dari mondar mandirnya.
"Somar, pemandangan itu kini makin tipis. Tidak sejelas tadi. Jadi apa
kesimpulanmu, hah?"
tanya Ginan Sukma. Arya Somar berkata dengan wajah ceria.
"Tipuan mata, bagaimana?" desak Baderi. "Sebenarnya Lembah Malsuri tidak berada
di lengkung pelangi," kata Arya Somar. "Lembah Matsuri bukan negeri atau tempat
yang ajaib. Hanya secara kebetulansaja letaknya memungkinkan untuk terlihat di
atas lengkung pelangi."
Karena Suro Bodong masih bingung, ia jadi jengkel, dan berkata kepada Arya
Somar: "Ngomonglah yang enak di dengar! Jangan seperti penjual jamu gendong!"
"Begini maksudku.. ." Mereka mengerumuni Arya Somar, dan masing-masing siap
menjadi pendengar, yang baik. Arya Somar menjelaskan:
."Lembah Matsuriada di suatu tempat, di bumi ini. Entah di mana, yang jelas
bukan di lengkung pelangi. Pelangi ada di langit, dan Lembah Matsuri bukan di
langit "Nyatanya yang kita saksikan bersama Lembah Matsuri ada di langit, di atas
lengkungan pelangi," bantah Ginan.
"Itu hanya tipuan. Dalam keadaan tertentu, pelangi akan muncul di langit. Konon,
itu akibat ada hujan di suatu tempat. Sinar matahari menembus butiran hujan.
Sinar itu beru bah menjadi aneka warna karena menembus butiran hujan. Maka,
jadilah pelangi. Itu menurut penjelasan dari seorang Resi yang pernah datang
dari Sriwijaya. Aku sempat mendengarkan ajaran-ajaran darinya ketika aku belum
menjadi prajurit Kesultanan Praja.
"Aku juga pernah mendengar keterangan seperti itu dari Eyang Panembahan
Purbadipa," celetuk Dodot Pamasar.
"Lalu, apa hubungannya dengan Lembah Matsuri?" desak Ginan lagi. Suro garukgaruk kumis sambil menyimak keterangan dari Arya Somar.
"Menurut dugaanku, lapisan udara di sekeliling kita ini dalam keadaan panas atau
kelembaban tertentu dapat berubah menjadi cermin. Cermin itu memantulkan suatu
kehidupan di dasar bumi, maksudku kehidupan di suatu tempat. Misalnya kehidupan
di sekitar kita ini, mungkin pada suatu saat, atau pada keadaan tertentu, kita
bisa terlihat oleh orang di daerah lain. Kita seolah-olah sedang berdiri di
langit. Padahal udara di langit yang berubah menjadi cermin itulah yang
memantulkan sosok kehidupan kita berenam ini."
Arya Somar diam sebentar, mencoba menunggu kata-kata dari temannya, tapi yang
lain hanya bungkam dan termenung. Dahi-dahi mereka berkerut mencerna keterangan
Somar. Kemudian, Arya Somar melanjutkan lagi:
"Hal kecil yang pernah kita temui dan sering, ialah bayangan air di tengah
perjalanan. Kadang-kadang kita seperti melihat genangan air di tengah jalan pada
saat panas terik matahari menghajar kita.
Begitu kita dekati, bayangan air itu tidak ada. Hilang. Nah, itu menandakan
adanya percobaan pada udara atau hawa di daerah itu. Seperti perubahan cermin.
Bisa memantulkan tempat lain yang bisa dijangkau oleh cermin itu. Jelas. ."!"
Semua terbungkam. Bengong tapi berpikir. Lalu, Baderi Darus berkata:
"Dulu, kakekku punya cerita turun-temurun tentang seorang Pangeran yang
menunggang kuda keliling jagad untuk mencari kekasihnya. Konon, sang Pangeran
sering terlihat berganti-ganti bentuk dan rupa, menunggang kuda sampai ke
langit. Mencari kekasihnya, katanya. Mungkin seperti itulah kenyataan yang
dilihat angkatan kakek buyutku, sampai terjadilan Cerita Sang Pangeran dan
kekasihnya. Mungkin pantulan udara yang berubah menjadi cermin itulah yang dilihat oleh
orang zaman dulu.
Dan.. kebetulan yang mereka lihat di langit adalah seorang lelaki menunggang
kuda di suatu tempat, yang tempat itu sendiri dapat terpantul melalui cermin
udara." "Nah.. begitulah asal cerita leluhur kita," sahut Arya Somar. "Jadi, yang
penting bagi kita adalah mencari, di mana daerah yang bisa terpantul lewat
cermin" Di mana wilayah yang dapat dilihat melalui cermin udara itu" Yang jelas,
menurut dugaanku bukan berada di daerah Barat, sebab matahari sendiri waktu itu,
bahkansekarang ini ada di Barat. . "
Semua memandang matahari yang kian tenggelam. Dodot Pamasar sempat berseru,
"Lihat.. pemandangan itu kian tipis. Sepertinya turun ke kaki pelangi."
"Benar. .! Benar dia turun ke kaki pelangi. Jadi, di sanalah. . di arah Utara
itulah tempat Lembah Matsuri!" kata Baderi Darus dengan penuh semangat dan
keyakinan. "Kita bergerak ke Utara! Ayo.. !" Suro melompat ke punggung kuda, diikuti oleh
mereka dengan semangat.
Mereka bagai berhasil menemukan suatu teka-teki yang teramat rumit. Begitu
terpecahkan, ada rasa gembira dan lega di hati mereka. Lalu, semangat dan
kesungguhan mereka mencari Lembah Matsuri begitu berkobar di dalam dada. Kuda
dipacu menembus malam. Mereka takperduli dingin mencekam. Mereka terus menyusuri
pantai, melacak daerah demi daerah yang disinggahi. Tanpa terasa, mereka telah
melakukan perjalanan pantai selama lima hari, terhitung sejak ditemukannya teori
udara berubah menjadi cermin.
Seorang nelayan dari desa lain mengatakan ketika mereka bertanya tentang Lembah
Matsuri: "Perjalanan ke sana memakan waktu dua hari dengan mengendarai kuda. Dengan jalan
kaki, bisa lima hari baru sampai ke Lembah Matsuri. Dan.. pada hari ke lima
orang akan mati memasuki wilayah Lembah Matsuri."
"Kenapa?"
"Perempuan Matsuri ganas-ganas."
Sekalipun mendengar berita menyeramkan seperti itu, namun semangat mereka
semakin berkobar. Pambudi Tulus, mulanya hampir patah semangat. Namun, begitu mendengar
keterangan seorang nelayan, maka semangatnya berkobar lagi.
Apa kata nelayan itu memang benar. Pada hari kedua sejak ia bertanya kepada
nelayan, batas Lembah Matsuri terlihat, yaitu sebuah perbukitan yang memanjang,
dari darat menuju pantai. Itulah ciri-ciri wilayah Lembah Matsuri yang dikatakan
oleh seorang nelayan dua hari yang lalu.
Senyum dan kebanggaan mereka saling bermekaran. Ginan Sukma sempat berteriak
ketika kudanya sampai ke puncak perbukitan dansiap menuruni lereng bukit tandus itu.
"Kita berhasil.. !!" teriak Ginan Sukma.
Di sekitar perbukitan itu memang tandus. Tak ada tanaman. Mungkin terpengaruh
karang laut. Tetapi di kedalaman sana, jauh di bawah kaki perbukitan yang panjang itu,
terlihat serumpun kehijauan daun menggerombol dan menjalar terus ke dalam.
Hutan. Ya, ada hutan, tapi bukan hutan yang ganas.
Suro Bodong menunjuk ke arah hutan itu, lalu mereka pun meyerbu masuk ke hutan
tersebut. Sampai akhirnya ia menemukan sebuah sungai kecil berair bening.
"Susuri sungai ini, pasli ada kehidupan di sana! Di hulu sungai ini! Ayo.. !"
kata Suro dengan gagahnya.
Kuda berpacu melaju mengikuti tepian sungai, menyongsong arus sungai kecil itu.
Enam kesatria dari KesultananPraja berwajah ceria merasa bangga, apa yang dicarinya
sudah mereka temukan.
Lembah Matsuri.
Sungai itu kian melebar. Semakin dalam semakin melebar, dan mereka tidak
menyadari, bahwa mereka telah masuk wilayah terlarang bagi mereka berenam.
Mereka tak sadar kalauada sepasang mata yang mengikuti gerakan mereka dari balik
persembunyiannya. Sehingga, pada suatu kesempatan lain mereka dikejutkan oleh
pekikan Dodot Pamasar yang mengerang sambil meringis kesakitan, karena sebuah
pisau menancap di lengannya. Ia terjatuh dari punggung kuda, dan hal itu membuat
yang lain menjadi tegang. Panik.
"Menyebar.. ! Semua menyebar.. ! Periksa atas pohon dan setiap semak-semak.. !"
perintah Suro Bodong sambil melompat turun dari punggung kuda. Baderi dan Ginan
juga melompat dari punggung kuda. Pambudi Tulus segera menolong Dodot Pamasar
setelah ia melompat turun dari punggung kuda.
Ia kelihatan cemas setelah mengetahui lengan kiri Dodot Pamasar menjadi biru
legam. "Ginan.. ! Racun telah meresap dalam tubuh Dodot!" teriak Pambudi Tulus. Maka,
Ginan Sukma segera berlari mendekati tubuh Dodot Pamasar yang terkapar di
rerumputan. Mata Ginan jadi terbelalak melihat lengan kiri Dodot Pamasar menjadi
biru legamseluruhnya.
"Gawat! Ini racun ganas yang terbuat dari bisa ular! Ular Sanca Welang!" kata
Ginan sebagai seorang yang ahli di bidang racun-meracun.
Sementara yang lain sibuk mencari penyerang gelap, Ginan dan Pambudi sibuk
menolong Dodot Pamasar. Kata Ginan kepada Pambudi Tulus:
"Ikat kuat-kuat pangkal lengannya! Lekas.. !"
Pambudi Tulus melepas ikat kepalanya yang terbuat dari kain warna biru. Kemudian
mengikat pangkal lengan Dodot dengan kain itu kuat-kuat. Sementara, Ginan Sukma
mencabut pisau beracun ukuran satu jengkal. Ia mengamati pisau itu sebentar,
lalu menancapkan pisau pada tanah. Terlihat tanah itu berubah warna, dari merah
lempung menjadi kehitam-hitaman. Maka, dengan tergesa-gesa Ginan Sukma berkata:
"Ambil tanah, balurkan ke sekujur lengan dan dada. Jangan lupa lehernya juga
harus ditutup dengan tanah.. !"
Pambudi Tulus mengikuti saran Ginan Sukma sekalipun ia bertanya, "Mengapa dengan
cara begini?"
"Tanah ini ternyata mampu menyedot racun! Lihat pisau yang tadi menancap di
lengan Dodot, sekarang kutancapkan ke tanah, dan tanah disekelilingnya menjadi
hitamkan" "Itu berarti tanah ini telah menghisap racun pada pisau itu. Maka, tubuh Dodot
pun harus dilumuri tanah hingga tertutup semua, terutama pada bagian luka dan
sekitarnya."
Dodot Pamasar mengerang dengan nafas berat. Keringatnya bercucuran. Ia tak mampu
bergerak, menjadi kaku sekujur tubuhnya. Arya Somar berteriak:
"Mampus kau, Bangsat.. ! Hiaaat.. !!" Suaranya bagai menggugah teman-teman
lainnya, termasuk Suro Bodong. Semuanya bergerak ke arah Arya Somar, kecuali
Ginan. Pambudi sendiri diizinkan Ginan untuk ikut menangkap penyerang gelap yang
sudah berhasil ditemukan Arya Somar. Dengan cambuknya, Pambudi segera menyerang
seorang lelaki berbaju kuning tua dan bercelana coklat tanah yang hendak berlari
melintasi depannya. Cambuk itu membuat lelaki yang menyandang trisula di
pinggangnya segera melompat bersalto di udara. Cambukan pertama meleset.
Cambukan kedua, lelaki itu berguling ke tanah. Cambukan ketiga meleset juga. Dan
cambukan keempat. . barulah benar-benar melesetjauh.
Diperkirakan, lelaki berbaju kuning itu berusia di atas 40 tahun. Bertubuh
sedang dengan kumis tipis dan rambut pendek namun diikat dengan tali dari bahan
serai sutra. Gerakannya cukup gesit, lincah. Baderi dan Arya Somar sempat
terkena tendangannya ketika hendak menangkap lelaki berbaju kuning itu. Baderi
dan Arya mulanya mengejar dari belakang lelaki itu. Namun, di luar dugaan,
lelaki itu justru melompat ke depan dan bersalto ke belakang. Kedua kakinya
menghentak dalam gerakan merenggang. Tak dapat dielakkan lagi, masing-masing
kakinya itu mengenai mulut Arya Somar yang bibirnya tebal dan Baderi terkena
pipinya yang kiri. Hampir saja Baderi dan Arya Somar terpelanting saling
bertabrakan. Laki-laki berbaju kuning itu dengan lincah melompat ke atas pohon, dan tahu-tahu
kakinya sudah berada disalah satu dahan pohon.
"Jangan lari kau, Bangsat!" teriak Baderi.
"Kalian memasuki wilayah kami! Tak seorang pun boleh masuk daerah Lembah Matsuri
tanpa izin dan perundingan terlebih dulu!" teriak lelaki berbr;u kuning dari
atas pohon. Kemudian, ia mengibaskan tangannya ke arah Baderi dan Somar.
Melesatlah pisau kecil dua arah, yang satu ke arah Baderi, yang satu lagi ke
arah Somar. Namun Baderi mampu menangkisnya dengan busur panahnya, dan Arya
Somar bersalto ke belakang menghindari lemparan pisau tersebut.
Pambudi Tulus mencambuk ke atas, lelaki berbaju kuning hanya mengangkat salah
satu kakinya untuk menghindari ujung cambuk. Sedangkan Baderi siap dengan anak
panah dan busur yang telah direntangkan. Lelaki itu mencabut trisulanya yang
berujung tajam dan pipih seperti ujung pisau.
Ia merasa heran, karena Baderi tidak jadi meluncurkan anak panahnya, kecuali
hanya memandang. Demikian Pambudi yang hendak melecutkan cambuknya, tiba-tiba
berhenti, tak jadi melecut cambuk. Padahal lelaki itu sudah siap menangkis
segala serangan, tetapi mengapa musuh-musuhnya tak jadi menyerang.
"Turunsaja, kita berunding.. !"
Lelaki itu terkejut mendengar suara orang yang berada di dahan sampingnya. Ia
berpaling, dan membelalakkan mata. Suro Bodong telah berdiri di sana, tepat
dalam satu jangkauan dengannya. Suro Bodong menyeringai sinis, menggaruk
kumisnya sejenak, dan berkata dengan sikap tenang.
"Aku ingin berembuk denganmu."
"Hiaaat. .!!" Lelaki itumenusukkan trisulanya.
"Bandel. .!" Suro Bodong menepak tangan lelaki itu, kemudian tangan kirinya
menghentak ke depan. Telapak tangan kiri itu mengenai dada lelaki berbaju
kuning. Maka, hilanglah keseimbangan lelaki itu, karena hentakan telapak tangan
Suro Bodong cukup keras. Dan ia pun terjatuh ke tanah. Baderi serta Arya Somar
segera mengacungkan senjata ke leher dan perut lelaki itu, hingga lelaki itu pun
tertawan oleh mereka. Ia tak berani bergerak sedikit pun.
5 Ki Pradoto, nama lelaki berbaju kuning. Jabatannya sebagai penjaga pintu masuk
Puri Lembah Matsuri. Ia berhasil ditawan oleh anak buah Suro Bodong. Lalu,
dipaksa menunjukkan di mana tombak pusaka Jatayu milik Sultan Jurujagad itu
disembunyikan. Ki Pradoto mengaku tidak tahu menahu tentang tombak pusaka
tersebut, namun demi menjaga keselamatan hidupnya, ia bersedia mengantar mereka


Suro Bodong 12 Geger Pusaka Matsuri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sampai ke Puri Lembah Matsuri.
"Siapa penguasa Matsuri?" tanya Arya Somar. Ki Pradoto yang merasa tidak akan
bisa melawan mereka segera berkata dengan sedikit gemetar:
"Penguasa Matsuri, adalah Resi Mahermandika!"
"Hadapkan kami kepada Resi Mahermandika. Kami ingin bicara baik-baik. Tapi,
kalau keadaan memaksa, kami akan bicara tidak baik-baik. Mungkin kaki, tangan
atau pedang kami yang bicara!"
gertak Arya Somar.
Dodot Pamasar tertatih-tatih dengan lemas. Racun yang mengganas di tubuhnya
telah berhasil dikeluarkan oleh Ginan melalui lumpur tanah merah itu. Darah
sudah tawarakan racun yang berbahaya.
Kini tinggal lemasnya saja. Namun demikian, Dodot Pamasar menolak ketika Pambudi
Tulus hendak membantunya berjalan.
"Sebentar lagi kekuatanku akan pulih. Tenanglah saja!" kata Dodot kepada Pambudi
Tulus. Kemudian, mereka melangkah mengikuti langkah kaki Ki Pradoto. Baderi masih
menodongkan pedangnya, sementara Ginan, dan Suro Bodong menuntun kuda mereka.
Dodot menolak untuk naik di atas kuda. Ia tidak ingin terlihat lemah diantara
teman-temannya.
Puri Lembah Matsuri, sesungguhnya sebuah istana megah di lereng perbukitan. Jauh
dari pintu gerbangnya, terdapat pintu gerbang utama yang berupa gapura batu
berbentuk candi. Dua orang penjaga gapura itu adalah dua orang perempuan cantik
yang bibirnya sangat menggiurkan Ginan Sukma. Bahkan yang lainnya pun ikut
berdecak mengagumi kecantikan prajurit wanita yang memandang curiga kepada Ki
Pradoto. Arya Somar mengancam dengan pedang tersembunyi di balik punggung Ki
Pradoto. Mereka tersenyum-senyum ramah, sedikit bernada menggoda, dan terlihat
bagai teman baik Ki Pradoto.
"Maaf, kuda dilarang masuk ke halaman Puri," ujar penjaga gapura. "Silahkan
ditambatkan di ujung sana."
Pambudi, Ginan dan Suro Bodong menambatkan kuda-kuda mereka di tempat yang sudah
disediakan. Kemudian mereka memasuki halaman Puri, melewati gerbang utama yang
berbentuk belahan candi itu.
Dodot Pamasar merasa mengalami kesegaran. Kelesuan tubuhnya itu menjadi bergas,
waras. Matanya memandang sekeliling, di mana banyak perempuan cantik berlalu lalang,
sesuai dengan kesibukannya masing-masing. Dodot Pamasar berbisik kepada Arya
Somar, dan Arya Somar pun segera menyingkir. Dodot Pamasar yang menggandeng Ki
Pradoto dengan pisau kecil terselip di ketiak Ki Pradoto. Dengan begitu, maka
penjaga pintu gerbang Puri, yaitu pintu kedua itu, tidak mencurigai permusuhan
apa pun. Mereka mengira Ki Pradoto sedang mengantar tamu baik-baik. Dan sekali
lagi, Ginan Sukma nyaris tertinggal karena bergurau sebentar dengan dua penjaga
perempuan yang cantik-cantik itu. Suro Bodong jadi kesal, segera menarik baju
Ginan Sukma dan berkata dalam bisik yang menggeram:
"Lupakan dulu soal perempuan. Selesaikan tugas, baru mengurus perempuan. Kau
pikir aku juga tidak gelisah melihat kecantikannya?"
"Benar-benar hebat. Perempuan di sini banyak, dan wajah mereka mempunyai nilai
kecantikan yang berbeda," bisik Ginansambil melangkah.
"Ssst.. jangan bilang orang rumah, ya.. " Aku juga naksir tinggal di sini!"
bisik Suro Bodong berlagak serius. Ginan Sukma hanya tersenyum geli, tapi ia
juga tetap memasang kewaspadaan.
Resi Mahermandika ternyata seorang yang ramah dan menyukai senyum. Ia menerima
Suro Bodong dan kawan-kawannya dengan baik, tanpa menunjukkan sikap permusuhan.
Tetapi, sayang sekali, Ginan Sukma mengambil sikap yang gegabah. Ia segera
meloncat dan menyerang Resi Mahermandika begitu lelaki tua itu memperkenalkan
diri sebagai penguasa Matsuri.
Resi Mahermandika menangkis tendangan Ginan Sukma dengan wajah memerah, kaget
dan marah. "Kau pimpinan pencuri itu, hah"! Hiaaat.. !" Kembali Ginan Sukma menyerang Resi
Mahermandika dengan pukulan gandanya. Tanpa berpikir panjang, Resi Mahermandika
meliuk-liukkan badannya dan sekali ia mengibaskan tangannya yang terselubung
jubah putih itu, Ginan Sukma terpental dan jatuh terguling-guling di lantai
berubin marmer itu.
"Kalau kalian sengaja mencari permusuhan di sini, bukan aku lawan kalian, tetapi
anak-anakku itu...!" Resi Mahermandika menuding ke suatu tempat, di mana di sana
terdapat sebuah kamar berkaca tebal. Di dalam ruangan berdinding kaca putih
bening itu, terlihat oleh Suro dan kawan-kawannya enam perempuan cantik sedang
melakukan semadi di atas sebuah papan berduri. Mereka duduk di ujung-ujung duri
dengan tenang, tanpa takut akan tertusuk duri tajam.
Suro Bodong bingung untuk memejamkan mata, seakan ia lupa bagaimana caranya
mengedipkan mata. Keenam perempuan itu can-tik-cantik semua. Wajah dan potongan
tubuh mereka sungguh mengagumkan. Apalagi mereka saat ini bersemedi dalam
pakaian serba putih, seakan mereka itu bunga-bunga melati dibentangan salju
kutub. Segar dan memikat hati.
Resi Mahermandika sedikit membusungkan dada ketika ia menyadari bahwa keenam
tamunya yang bermaksud menyerang itu, terkesima melihat kecantikan enam putrinya. Ia
masih menampakkan rasa kecewa atas perlakuan Ginan Sukma yang tadi tahu-tahu
menyerangnya. Ia sempat berkata kepada Suro Bodong:
"Kalau kalian ingin melawanku, lawan dulu anak-anakku. Belum tentu kalian bisa
memenangkan pertarungan kalian. Belum lagi keempat putriku yang sedang pergi.
Kalau mereka tahu kau menyerangku, mereka berempat tak akan mau mengampuni
kaliansemua, tahu"!"
"Bolehaku mencoba salahsatu?" kata Arya Somar dengan hati-hati.
"Silahkan, tapi mati tanggung sendiri! Kau ingin bertarung dengan yang mana"!"
"Yang di sudut sana. .!"
"O, itu anakku yang bernama Ira Lembayung...!"
Arya Somar terkejut. Ia ingat, waktu pertama kali ia diserang oleh orang-orang
Matsuri, Ira Lembayung itulah nama yang sempat di dengarnya ketika itu, namun
mata Somar tidak sempat melihat betapa cantiknya mereka.
"Aku ingin melawan yang itu," kata Baderi Darus dengan berani.
"Baik. Dia anakku yang bernama Susinda Murti. Silahkan pergi ke arena di samping
Puri ini. Tunggulah di sana, di tempat pertarungan yang kamisediakan!"
Ginan Sukma berbisik dalam hati kepada Suro Bodong:
?"Kita harus melawan satu lawan satu, Suro. Kalau dengan cara keroyokan, kita
tak akan berhasil.?"Aku setuju,"jawabPambudiTulus yangrupanya juga
mendengarsuara hati Ginan Sukma.Suro sendiri menganggukkan kepala. Kemudian ia
mendengar DodotPamasar berkata:
"Aku ingin bertarung dengansalah satu anakmu, Resi. Pilihlah yang mana saja!"
"Baik. Bertarunglah dengan putriku yang kecil manis itu: Susandita Asmoro. Biar
kecil tapi belum tentu kau mampu mengalahkannya," ujar Resi Mahermandika.
"Kalau kau ingin bertarung dengan yang mana," kata Ginan Sukma.
"Berangkatlah ke arena samping, kauakan berhadapan dengan Nitaningtyas, putri
manjaku. Dan kau, Pak kumis. .?" Resi Mahermandika bertanya kepada Suro Bodong.
"Apakah kau ingin melawan putriku yang nomor sepuluh itu?"
Suro Bodong garuk-garuk kumis dengan santai. Ia bicara dengansikap tenang
setelah mendekati Resi Mahermandika:
"Aku tidak berani. Aku takut.. ."
"Agaknya kau paling penakut dari teman-temanmu, ya?"
"Mungkin," jawab Suro seenaknya. "Aku takut kalau aku sampai melukai putrimu
itu. Aku tidak berani menyakitinya," bisik Suro yang membuat Resi Mahermandika
tercengang sedikit, kemudian segera menyunggingkan senyum sinisnya.
"Dewi Laut, putriku itu, tidak mungkin akan dapat kau sentuh. Tapi, besar
kemungkinan ia akan memenggalmu!"
"Wow.. "!" Suro Bodong melirik dalam senyum meremehkan. "Menarik sekali
kedengarannya. Sudah lama belum ada orang yang mau memenggal kepalaku. Kalau begitu, baiklah. .
akuakan melawan putrimu itu, Resi Mahermandika. ." Suro sengaja tersenyum untuk
menunjukkan ketenangannya.
"Pergilah ke arena samping, Dewi Laut akan menemuimu di sana. . "
"Dewi. ." gumam Suro Bodong seraya melangkah pergi. Ia masih sempat berseru
kepada Resi Mahermandika, "Dewi sebuah nama yang cantik seperti orangnya. Hei,
terus terang, aku bangga kalau mati di tangan perempuan cantik!"
Resi Mahermandika hanya tersenyum sinis, dan menatap kepergian tamunya yang
aneh-aneh itu. Datang-datang bukannya memperkenalkan diri, tapi malahan menyerang, bahkan
getol disuruh bertarung. Hemm. . dari mana mereka" Resi belum mengetahui asalusul mereka. Tetapi, dari pertarungannya nanti, Resi Mahermanakan mengetahui
siapa mereka sebenarnya.
Suro dan yang lainnya berjajar di tengah arena yang agaknya sengaja dibangun
untuk acara khusus, pertemuan, atau latihan ilmu kanuragan. Arena itu tanpa
atap, dan mempunyai tempat duduk melingkar seperti layaknya sebuah stadion.
Letaknya di bawah bangunan Puri yang menyerupai istana itu. Lewat sebuah balkon
model kelopak bunga, Resi Mahermandika berdiri memandang ke arah keenam
tamunya.Suro berdiri dengan tenang,seperti yanglainnya. Mereka berjajar cukup
jauh dari satuorangke yang satunya. Mereka menggerak-gerakkan tangan, kaki dan
anggauta tubuh seakan sedang
melemaskan persendian untuk bertanding. Sampai beberapa lama mereka menunggu,
namun lawan mereka belumjuga muncul.
Resi Mahermandika berseru dari balkon istana:
"Hei, mengapa kalian diam saja"! Musuh-musuh kalian sudah ada di depan kalian
masing-masing sejak tadi. Mengapa tidak segera menyerang, hah"!"
Maka, Suro dan teman-temannya pun jadi terkejut seketika. Musuh sudah di depan
mereka sejak tadi, namun mereka tidak melihat siapa-siapa di sana. Mereka tidak
melihat perempuan-perempuan calon lawannya, kecuali hanya udara kosong dan
rerumputan menghijau. Suro Bodong segera teringat pengalaman Somar tentang
pukulan-pukulan tak terlihat. Maka, hatinya segera berkata kepada yang lain:
"Pejamkan mata dalam melawan mereka. Ikuti naluri dan kata hati. Pusatkan
pikiran pada gerak, hembusan angin dan penciuman. Perempuan-perempuan itu pasti
berbau wangi. Aku mencium aroma wangi di sini.. ."
Suara itu di dengar oleh hati nurani mereka. Malahan Dodot Pamasar berkata:
"Aku juga mencium bau wangi yang menggairahkan."
Hati Pambudi Tulus mengatakan, "Pasti perempuan yang akan kita hadapi sedang
memperhatikan kita dari segala sisi. Cuma sayang, aku tidak tahu siapa nama
perempuan yang menjadi lawanku.. ."
"Hei, hei.. Pambudi," hati Ginan berkata, "Aku mendengar seseorang bicara dengan
perempuan yang menjadi lawanmu. Ia memanggil perempuan itu: Anjanglisi. . "
"Huug...!" tiba-tiba Arya Somar terpelanting jatuh. Ia bagai terkena serangan
dari lawan berupa pukulan kuat. Baderi melirik, tak ada manusia lain kecuali
mereka berenam. Tetapi, mengapa Arya Somar terjengkang ke belakang" Wan, benarbenar kali ini mereka berhadapan dengan lawan yang tidak kelihatan.
Baderi Darus segera memejamkan mata, memusatkan pikiran dan mengendalikan hati
nuraninya. Hembusan angin datang dari arah samping. Pasti sebuah serangan, entah
berupa tendangan atau pukulan, yang jelas, Baderisegera menangkisnya dengan mata
terpejam. "Plak. .!" Terasa tangkisannya tepat mengenai lengan yang lembut. Lengan Susinda
Murti. Baderi salto ke belakang menjaga jarak dengan mata masih terpejam.
Demikian juga Ginan dan yang lainnya.
Mereka bergerak, memainkan jurus dengan mata terpejam, merasakan gerakan naluri
dan hembusan angin. Dodot Pamasar melompat ke samping, waktu itu ia merasa desau
angin menyerang di bagian perutnya. Ketika ia melompat, kakinya menjejak ke
bawah, dan ia seperti menendang kepala manusia berambut panjang.
Sementara itu, ilmu Serap Hati Suro Bodong lebih tinggi dari yang lainnya,
sehingga dialah yang dapat bermain dengan lincah, bertahan dan menyerang
lawannya: Dewi Laut. Pukulan Dewi Laut begitu cepat, dan Suro Bodong hampirsaja
keteter menangkisnya dalam keadaan mata terpejam.
"Haap. .!" Suro Bodong bagai menangkap kaki lawannya.
"Aauw.. !"
Terdengar suara seseorang menjerit kaget ketika Suro Bodong merayapkan kaki yang
dipegang makin ke atas. Saat itu terdengar pula teriakan Resi Mahermandika dari
atas: "Kuminta kalian bertarung secara kesatria, jangan memegang bagian-bagian menjadi
kehormatan wanita!"
Suro Bodong dan Ginan tertawa, mengerti maksud Resi Mahermandika. Kemudian, tak
sengaja Suro Bodong mengibaskan tangannya ke samping, karena ia bermaksud
menangkis pukulan Dewi Laut.
Tetapi, ternyata kedua jarinya menyentuh bagian tertentu dengan kuat dan membuat
sesuatu yang tak sengaja itu menjadi bahanandalan Suro Bodong. Ia telah menotok
peredaran darah Dewi Laut di bagian punggung. Dan totokan itu membuat Dewi Laut
menampakkan ujudnya dalam posisi kaku, setengah meliuk ke belakang, dadanya maju
ke depan. Suro Bodong terperangah waktu membuka matanya, ia memandang musuhnya
dengan girang hati.
"Aku berhasil membuatnya tampak.. ! Wwow.. ! Cantik sekali," teriak Suro Bodong
kegirangan. Tapi, kemudian ia segera memejamkan mata, karena ia merasakan desiran angin
datang dari belakangnya. Sebuah serangan terarah padanya. Entah siapa yang
menyerang. Namun dalam keadaan tertentu, ia dengan cepat menggerakkan jurus
Totok Bangaunya. Jurus itu juga mengenai sasaran. Dan sebentuk sosok perempuan
cantik terlihat oleh mata telanjang. Rupanya perempuan cantik itu adalah lawan
Arya Somar yang bernama Ira Lembayung. Perempuan itu diam terpaku karena totokan
dalam keadaan kedua tangannya terangkat ke atas.
Untuk selanjutnya, Suro Bodong bergerak cepat. Melompat ke samping dengan mata
terpejam, dan berhasil menotok perempuan lain. Namun ia juga sempat jatuh
tersungkur karena sebuah tendangan lawan yang belum sempat menampakkan diri.
Suro segera berguling ke tanah. Mengibaskan jurus Totok Bangaunya, dan berhasil
mengenai tubuh Susandita. DodotPamasar berteriak:
"Naah.. ini dia ujud Susandita musuhku!"
Dengan gerakan cepat, akhirnya semua perempuan berhasil terkena jurus Totok
Bangau Suro Bodong. Semua yang tidak tampak, kini menjadi tampak jelas.
Mewujudkan bentuk tubuh dan kecantikannya yang mengagumkan enam pendekar dari
Praja itu. "Resi Mahermandika. .!" teriak Suro Bodong dengan bangga. "Kau telah kalah! Aku
bisa membunuh semua anakmu ini. Tetapi, sekarang sebaiknya kita berdamai saja!
Serahkan tombak pusaka Jatayu, milik junjungan kami yang dicuri oleh anak-anakmu
yang nakal ini! Jika kau tidak mau menyerahkan tombak pusaka Jatayu, maka
keenamanakmu iniakan kubunuh.. !"
Tak di duga-duga, Resi Mahermandika berkata:
"Bunuhlah. .! Bunuhlah mereka! Dan tombak Jatayu tetap akan menjadi milik kami!"
Dalam gerutunya Suro Bodong berkata sambil garuk-garuk kumis, "Wah. . celaka.. !
Membunuhnya memang gampang. Tapi hati ini yang tidak tega untuk melukainya.
Perempuan cantik-cantik disuruh membunuh, mendingan dibawa pulang sebagai istri
simpanan. .!"
Suro Bodong tidak perduli semua temannya menggoda dan tersenyum-senyum di depan
perempuan-perempuan cantik yang mematung akibat jurus Totok Bangau. Suro segera
membebaskan pengaruh totokannya pada diri Dewi Laut, sehingga perempuan itu
dapat bergerak dan bicara seperti wajarnya manusia.
"Kenapa kau tidak membunuhku"!" ketus Dewi Laut yang suaranya sedikit serak
menggairahkan birahi itu.
"Aku ingin membunuhmu, tapi tidak sekarang."
"Hiaaaat. .!" Dewi Laut menendang Suro Bodong. Namun, dengan tangkas Suro Bodong
menangkis tendangan itu dengan kibasan samping tangan kanannya, lalu tangan
kirinya segera menangkap tangan Dewi Laut yang hendak memukul ke arah telinga
Suro. Kaki Suro Bodong
menyengkat kaki Dewi, dan Dewi pun jatuh terguling. Suro menyusulnya dengan
menggulingkan tubuh dan menjerat kaki Dewi dengan melilitkan kedua kakinya.
Dengan gerakan cepat, Suro Bodong berhasil mengunci tangan Dewi Laut hingga
wajah mereka saling berhadapan.
"Aku hanya mencari tombak Jatayu. Serahkan tombak pusaka itu, maka kau dan
saudaramu itu akan kubebaskan!"
"Tidak mungkin. Tombak itu harus kami gunakan untuk membunuh Gupolo, lawan kami.
Tanpa tombak itu, Gupolo tidak bisa mati oleh senjata apa pun."
Suro Bodong diam. Memandang wajah Dewi yang cantik, bermata bulat dan berhidung
mancung. Bibirnya ranum, tidak terlalu mungil, namun tidak juga tebal. Tipis,
tapi menarik. Deburan kuat terjadi di dalam dada Suro.
"Kenapa Gupolo harus dibunuh dengan tombak itu?" Suro berkata pelan.
"Karena menurut petunjuk dari Hyang Widi, hanya ada satu pusaka yang bisa untuk
membunuh Gupolo, yaitu sebuah pusaka yang ada di Kesultanan Praja, dan yang ada
pada diri Suro Bodong, Pendekar Tujuh Keliling. . "


Suro Bodong 12 Geger Pusaka Matsuri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Brengsek.. !" Suro menggeram dan melepaskan Dewi tiba-tiba. Dewi tidak segera
lari, melainkan justru memandang heran kepada Suro Bodong yang menjadi jengkel
sendiri itu. "Kau tahu siapa aku?" Suro Bodong bertanya dengan keras, dan membuat semua mata
memperhatikannya. Dewi hanya menggeleng. Lalu, Suro Bodong melanjutkan katakatanya dengan suara keras pula:
"Aku Suro Bodong! Aku...! Dan kalian telah salah ambil! Tombak itu adalah pusaka
milik Sultanku! Bukan milikku!"
Resi Mahermandika berlari-lari menuruni tangga. Ia segera menemui Suro Bodong
dengan wajah tegang. Suro Bodong masih melanjutkan kata-katanya kepada Dewi
Laut: "Aku yang bernama Suro Bodong, Dewi.. ! Dan.. dan kau telah mencari penyakit,
mencuri tombak pusaka milik Sultan Jurujagad! Seharusnya kau mencuri pusakaku!"
"Aku tidak tahu seperti apa tombak pusakamu!" kata Dewi. "Aku hanya mendengar
kabar, bahwa di KesultananPraja ada pusaka yang bernama tombak Jatayu!"
"Tapi pusakaku bukan tombak! Bukan! Kau ingin melihatnya" Sekarang. ."!"
Resi Mahermandika buru-buru mencegah, "Jangan. . jangan! Jangan di sini. .!"
Arya Somar menertawakan kegugupan Resi Mahermandika. Resi itu jadi tambah gugup.
Ia berkata kepada Dewi,
"Galih Padma dan Kidung Rati telah kembali. Sedangkan kedua kakakmu. . mati di
tangan Gupolo."
Dewi Laut memekik, "Harmi dan Wasti.. "! Ooh.. " Dewi limbung dan jatuh terkulai
mendengar kedua kakaknya: Hermi dan Westi mati di tangan Gupolo. Untung saja
Suro Bodong segera menyahut tubuh perempuan bermata bening itu, hingga tubuh
yang hangat itu jatuh dalam pelukan Suro Bodong.
"Somar. . bebaskan anak-anak Resi Mahermandika dari pengaruh totokan. Keadaan
menjadi kacau, jerit dan tangis mengharu. Sebagian dari mereka melesat
meninggalkan a rena.
Dodot Pamasar ikut melesat mendampingi Susandita yang marah atas kematian kedua
kakaknya. Juga, Ginan ikut melompat ketika Nitaningtyas berteriak:
"Kubunuh kau, Gupolo.. !!"
Ginan tak tega jika harus membiarkan perempuan yang menjadi pasangan
bertarungnya pergi melawan Gupolo sendirian. Ginan telah tahu masalah
sebenarnya; suatu kesalah pahaman, atau tindakan gegabah yang tidak bermaksud
jahat dari orang-orang Lembah Matsuri. Mereka melakukan pencurian tombak Jatayu,
karena salah mengartikan petunjuk Hyang Widi. Mereka memerlukan tombak atau
pusaka itu, karena Gupolo sukar dibunuh. Tanpa mendengar cerita yang sebenarnya,
Ginan dan lainnya cepat mengerti, bahwa Gupolo pernah mengamuk di Lembah
Matsuri, atau setidaknya mereka ikut prihatin atas kekejaman Gupolo yang
menewaskan banyak manusia tak berdosa. Tujuannya baik, tapi mereka salah
langkah. Sebab itu, Suro Bodong pun memberi perintah kepada teman-temannya:
"Cegat Gupolo, bunah mereka semua. .!"
Kedatangan Gupolo ternyata merupakan kedatangan kedua setelah beberapa waktu
yang lalu orang-orang Gupolo meminta cukup banyak korban dari Matsuri. Resi
Mahermandika menjelaskan kepada Suro Bodong:
"Semua orang kami menjadi incaran Gupolo. Mereka tingggal di pulau Pocong yang
terdekat dengan kami. Dan.. kekejaman mereka sudah pernah kami rasakan, jadi
kami memerlukan pusaka dari Kesulatanan Praja."
"Orang Matsuri cukup hebat, bukan" Anak-anakmu ini bisa bertarung tanpa
menampakkan jasadnya."
"Tapi Gupolo tidak bisa mati, selain dengan pusaka dari daerah Praja. ." sahut
Dewi Laut yang mulaisiuman.
"Kami membutuhkan bantuanmu, Suro Bodong. Kalau benar, kau Suro Bodong, maka
kaulah yang dapat membunuh Gupolo, tokohsakti dariseberang itu."
Suro Bodong diam. Berdiri di depan pintu istana bersama Resi Mahermandika dan
Dewi Laut. Karena Suro Bodong tidak memberikan jawaban pasti, Dewi Laut masuk, dan tak lama
kemudian keluar sambil membawa tombak pusaka Jatayu. Kemudian ia pergi
menyongsong Gupolo tanpa menghiraukan panggilan Suro Bodong. Wajah Resi
Mahermandika begitu cemas,ia serba bingung. Suro paham akan hal itu, maka ia pun
segera melesat menyusul Dewi.
Orang-orang Gupolo yang berkulit hitam dan bertubuh kekar dengan otot-otot
dilengan dan dada saling bertonjolan itu semakin mengganas. Namun, Arya Somar
dan teman-temannya mampu menandingi kekuatan mereka. Anak-anak Resi Mahermandika
juga berhasil membunuh beberapa orangnya Gupolo. Bahkan ketika mereka bertarung
di luar gerbang utama yang merupakan gerpang pertama itu, tiba-tiba beberapa
orangnya Gupolo memekik kesakitan lalu rubuh.
"Ziing.. zingg... ziiing..."
"Aaaoow.. !!"
Beberapa orang berteriak, ketika itu Ginan Sukma nyaris menjadi santapan pedang
pembokong. Juga, lelaki bertopi tanduk kerbau itu, menggeliatkan tubuhnya sehabis ditendang
Susandita. Tepat di ubun-ubunnya tertancapsebuah senjata rahasia bintang
bersudut delapan.
Dodot Pamasar yang selalu mendampingi Susandita menjadi terbengong. Ia segera
berpaling ke arah datangnya senjata rahasia itu. Dan ternyata, Emandanu sudah
berdiri di atas sebuah tembok yang menjadi batas halaman Puri Lembah Matsuri.
"Kau. ."!" teriak DodotPamasar kepada Emandanu.
Emandanu tersenyum, "Kaget. ."! Ah, tentu. Kau memang orang yang gampang kaget.
Dot!" "Bagaimana kau bisa mencapai ke sini"!"
"Seorang pemburu kijang memberitahukan padaku tempat ini. Ternyata letaknya di
sebelah Utara desa Srondol. Tak begitu jauh dari desa tempatku dirawat. .! Hei,
awas.. !" "Hiaat. .!" Dodot Pamasar melompat ketika seorang berkulit hitam hendak menebas
punggung Susandita. Tendangan Dodot mengenai tengkuk kepala orang itu. Ketika
orang itu limbung, sebuah sinar merah keluar dari siku Susandita. Sinar itu
menembus dada orang hitam bertopi tanduk, lalu tubuh tersebut terbakar
seluruhnya. Ia menjerit-jerit, dan yang lain pun ikut terbakar, karena anak-anak
Resi Mahermandika mengeluarkan ilmu Brama Yudha, yaitu seberkas sinar yang
keluar dari siku masing-masing.Ginan Sukma berguling ketika ia menebaskan
pedangnya ke udara. Pedang itu mengenai pedang lawan yang hendak merobek dada
Nitaningtyas. Dalam keadaan seperti itu, Nitaningtyas melancarkan ilmu Brama
Yudhanya. Sinar merah menghunjam dada orang tersebut hingga orang itu terbakar
tanpa ampun lagi.
Pambudi Tulus pun mencoba menandingi lawan yang menghajar Anjanglisi. Ia
menggunakan cambuk, melecut tubuh lawan yang kekar itu. Tetapi pada satu kesempatan, cambuk
tersebut berhasil dipegang dan mereka pun saling tarik-menarik dengan kuat.
Sementara itu, tangan lawan yang satu memegangi pedang. Tangan itu sibuk
membabat Anjanglisi yang berjumpalitan di udara.
"Wess.. ! Jub.. !"
Panah Baderi mengenai orang yang memegangi cambuk Pambudi Tulus. Panah itu
menembus bagian punggung sampai ke dada. Kemudian, teman orang itu mengamuk melihat
kematian rekannya.
Ia melompat dan melayangkan pedangnya ke arah Anjanglisi. Pedang itu lurus ke
punggung Anjanglisi, namun tiba-tiba: "Trang, trang.. !" Dua kali senjata
rahasia Emandanu menghantam pedang tersebut, sehingga arah pedang menjadi
meleset, bahkan menancap di tubuh teman pemiliknya. Sedangkan, Anjanglisi segera
menggerakkan kedua tangannya, terangkat ke atas, menekuk ke belakang, dan dari
sikunya keluar sinar merah yang menembus perut serta leher lawan yang tadi
melemparkan pedang. Tak ayal lagi, orang itu pun terbakarseketika dan berteriak
berguling-guling.
Seseorang berhasil lolos hendak melompat ke dalam halaman Puri Matsuri. Tetapi
panah Baderi lebih dulu melesat dan mengenai pinggang orang itu, hingga jatuhlah
ia. Juga, seseorang yang sedang mengeroyok Susinda Murti dengan dua pedang besar
itu, segera melengking dan kejengkang setelah Baderi memanahnya tepat di leher,
yang satu mengenai matanya. Susinda Murti segera mengakhiri nyawa orang yang
terkena panah matanya dengan mengambil pedang lawan, lalu menebaskan ke leher
memakai kedua tangan. Dan kepala itu pun copot seketika, menggelinding mirip
bola. Sedangkan, pada saat itu, Baderi tidak sadar kalau seseorang merunduknya
dari belakang siap dengan pedangnya.
Namun begitu pedang terangkat, orang itu mengejang sambil berteriak mengagetkan.
Baderi melihat kilatan senjata rahasia Emandanu yang melesat dan mengenai dada
orang itu. Ia mengacungkan jempol kepada Emandanu, dan Emandanu hanya tersenyum
sambil beralih pandang ke pertarungan seru yang terjadi di depan gerbang Puri
Matsuri itu. "Mundurrr...! Mundur semua. .!!" geriak Gupolo yang membuat semua anak buahnya
menepi, lalu ia sendiri maju ke tengah arena pertempuran itu. Baderi tak mau
menyia-nyiakan waktu, ia segera memanah Gupolo dan Emandanu segera mengirim
leher Gupolo, dan senjata beracun mengenai dada Gupolo. Tetapi tanpa darah
sedikit pun, Gupolo mencabut panah dan senjata rahasia Emandanu. la tertawa
ketika melihat Arya Somar dan yang lainnya terbengong melihat tubuhnya tak mampu
dibunuh oleh kedua senjata itu.
Ginan Sukma maju dengan lompatan bersalto. Begitu tiba di depan Gupolo, ia
mengibaskan pedangnya tanpa menyentuh kulit tubuh Gupolo. Pedang itu menaburkan
racun berkerlip-kerlip.
Namun tubuh Gupolo tetap utuh, tidak menjadi hangus seperti yang lainnya bila
terkena racun pedang Ginan.
"Siapa lagi yang masih mau membandel, hiaat.. !!" Tiba-tiba Gupolo memukul Ginan
dengan hentakan kedua tangannya ke depan. Ginan sempat menangkis, namun ia
terpental juga karenanya.
Tulang lengannya terasa linu semua.
Dodot Pamasar hendak maju bersama Arya Somar, tetapi Dewi Laut segera berseru:
"Aku yang menghadapi Gupolo. .!" Dewi maju ke tengah arena berhadapan dengan
Gupolo. Yang lain mundur, sebab Dewi memegang tombak pusaka Jatayu.
"Sebaiknya melawanku diranjang saja, anak manis! Kau tidak akan kami makan
dengan lahap, karena dagingmu sangat sayang jika dilahapnya dengan mulut, he,
he, he. .!"
"Kau bebas berkoar, Gupolo, karena sebentar lagi ajalmuakan tiba. Lihat, apa
yang kupegang ini, hah?"
"O, sebatang palang pintu, bukan" Ah, buat apa palang pintu seperti itu?" Gupolo
tersenyum sinis penuh hinaan.
Dewi Laut tak sabar, ia segera menyerang dengan sebuah tendangan kaki kanannya.
Gupolo mengelak ke kanan seraya tertawa-tawa. Lalu, Dewi mengibaskan tombak ke
arah wajah Gupolo. "Wess.. !" Ujung tombak yang tajam tidak berhasil menggores
wajah Gupolo, karena kepala Gupolo meliuk ke belakang. Pada saat itu, Dewi Laut
segera menghunjamkan tombak Kiai Jatayu ke perut Gupolo. "Bless. .!"
"Hiaaaat. .!!" Dewi mendorongnya terus sampai tembus. Tapi Gupolo malah
tersenyum, lalu menertawakan tombak itu.
Dewi mencabut tombak itu. Gupolo tetap tenang. Tak ada bekas luka tusukan tombak
di perutnya. Lalu, Gupolo segera melancarkan pukulan tenaga dalamnya. Dari telapak
tangan bagian bawah keluar nyala api yang melesat ke arah Dewi Laut. Suro Bodong
segera menerjang Dewi Laut hingga berguling-guling. Sinar merah itu menghantam
gapura batu. "Duaaarr. .! " Ledakan terjadi begitu hebat, mengguncangkan tanah di sekitar,
dan mengakibatkan salah satu gapura bentuk candi itu hilang begitu saja tanpa
bekas. Suro Bodong segera bangkit, namun ia buru-buru mengangkat tubuh Dewi
Laut, karena Gupolo menghantamnya dengan sinar merah dari tangannya. Kecepatan
lompat Suro Bodong tak dapat diikuti mata biasa, yang jelas ia berhasil membawa
lari tubuh Dewi bertetapan dengan meluncurnya sinar merah itu. Dan yang menjadi
sasaran adalah gapura yang tinggalsebelah itu.
"Blaar.. !" Gapura itu pun hilang juga tanpa bekas dan mencengangkan setiap
orang. Suro Bodong segera meraba tangan kirinya. "Sreet. .!" Ia bagai menghentakkan
tangan kanan dari rabaan tangan kiri, dan tahu-tahu ia telah menggenggam sebilah
pedang yang memancarkan sinar ungu bening. Semua mata terpana, mulut ternganga
melihat pedang Suro Bodong yang bagai tersimpan di lengan kirinya. Pedang Urat
Petir mulai beraksi. Ketika itu, Gupolo menghantamkan kembali pukulan jarak
jauhnya dengan memancarkan sinar kuning dari telapak tangan. Tetapi, Suro Bodong
mengangkat pedangnya, menyilang di atas kepala, dan sinar itu menghantam Pedang
Urat Petir. Maka, meledaklah pertemuan dua tenaga tersebut. Gupolo terpental
beberapa langkah, bunyi petir menyambar-nyambar diangkasa. Langit menjadi merah
bagai terbakar, dan bumi pun berguncang. Lalu, ketika Gupolo berdiri lagi, Suro
Bodong bersalto ke arahnya. Secara otomatis, ia berarti tengah menggunakan jurus
Luing Ayan-7, karena ia bersalto tujuh kali di udara. Dan hal itu membuat diri
Suro Bodong berubah ujud menjadi seorang pendekar tampan berpakaian serba kuning
emas. Wajahnya begitu lembut, gerak matanya mengagumkan, dan rambutnya yang
panjang terurai rapi itu diikat dengan tali emas. Ia begitu tegap, berotot dan
mengagumkan anak-anak Resi Mahermandika. Pedang Ural Petir yang memancarkan
cahaya ungu bening itu bagai menambah ketegaran penampilan Suro Bodong yang
sudah berubah menjadi Panji Bagus.
"Gupolo. .! Kau boleh bangga karena tidak sanggup dimusnahkan oleh senjata apa
pun, tapi cobalah jurus Tarian Karangku ini. Hiaaat. .!" Suro Bodong yang sudah
berubah pendekar tampan itu menggenggam dengan kedua tangan pedangnya, bagai
benar-benar merapat dengan pinggang
kanannya. Lalu, ia bergerak berputar tujuh kali mengelilingi Gupolo. Setelah
tujuh kali berkeliling dengan gerakan cepat seperti pedangnya ke arah atas,
melesat ke kiri. "Wess.. !"
Maka, terpancarlah cahaya kemilauan yang menyilaukan. Gupolo bermandikan cahaya
kemilau. Terang sekali hingga beberapa orang yang memandangnya menyipitkan mata atau
menahan cemerlangnya cahaya dengan tangan diangkat ke atas mata. Mereka sama-sama
menggumam dalam keheranan.
Beberapa saat, cahaya itu tiba-tiba padam. Dan mulut mereka serempak berseru:
"Wooow.. "! "
Tubuh Gupolo telah menjadi patung batu berwarna hitam dalam keadaan mengangkat
salah satu tangannya dan mulutnya ternganga. Semua orang bingung, semua orang bagai
ingin tidak mempercayai penglihatannya. Tapi semua orang akhimya meraba patung
Gupolo yang tinggi besar itu, dan mereka mulai percaya bahwa Gupolo telah
menjadi patung. Semua anak buah Gupolo berlutut di depan patung itu dengan
menampakkan tangis dan kesedihan atas petaka yang menimpa pimpinan mereka itu.
Suro Bodong dalam sosok Panji Bagus menjauh dari kerumunan orang pada patung.
Saat itu, Dewi memberanikan diri mendekati Suro Bodong dan berkata dengan
lembut: "Terima kasih atas bantuanmu. ."
Suara Dewi yang serak-serak menggairahkan itu sempat membuat Suro kelu sesaat,
tak bisa bicara apa-apa. Namun, kemudian ia pun berusaha untuk berkata:
"Pedang inilah yang harusnya kau curi. Bukan tombak Kiai Jatayu. . "
"Aku minta maaf, dan.. dan.. ."
"Dan sekarang curilah pedang ini bersama pemiliknya.. "
Dewi tersenyum mesra. Ginan dan yang lainnya terperanjat melihat Suro Bodong
berhasil memeluk Dewi, lalu mereka hampir serempak berseru:
"Huuuuh.. !!" Suro tersenyum geli.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor Fuji Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewikz.byethost22.com/
http://kangzusianfo/ http://ebook-dewikz.com/
Pertemuan Di Kotaraja 1 Pendekar Slebor 09 Manusia Dari Pusat Bumi Hong Lui Bun 9

Cari Blog Ini