08 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 29
" Itu bukan satu permainan " berkata Kiai Jayaraga te"tapi itu adalah satu penyiksaan. Adalah tidak wajar bahwa ka"lian akan mempergunakan kami sebagai alat untuk ber"main."
" Aku dapat mengoyak mulutmu sekarang - jawab anak muda yang bertubuh tinggi kekar itu " karena itu jangan ba"nyak bicara. Paman Sura Wedung tidak akan marah kepada"ku, jika kau besok tidak dapat berbicara karena mulutmu ko yak. Sementara orang tua yang satu lagi itu dapat saja kami patahkan tulang-tulangnya, asal mulutnya masih dapat berbi"cara, sehingga ia akan dapat menjawab pertanyaan-perta"nyaan paman Sura Wedung."
Adalah diluar dugaan, bahwa tiba-tiba saja Kiai Jaya"raga itu tertawa. Suara tertawanya meninggi dan bagi anak-anak muda itu terdengar sangat menyakitkan hati.
Kenapa kau tertawa he" " orang bertubuh tinggi kekar itu membentaknya " apakah kau benar benar ingin mati."
" Kalian memang lucu. Kalian agaknya ingin berkelakar saja untuk menghilangkan kejemuan dan mengusir rasa kan"tuk. " berkata Kiai Jayaraga.
Wajah-wajah anak muda itu menjadi tegang. Mereka ti"dak menyangka bahwasalah seorang dari kedua orang tua itu menganggap bahwa mereka sedang berkelakar.
Anak muda yang bertubuh tinggi kekar itu tidak dapat menahan dirinya lagi. Tiba-tiba saja ia sudah melangkah ma"ju dan tangannya terayun tepat diwajah Kiai Jayaraga.
" Kau harus yakin, bahwa aku tidak hanya sekedar ingin berkelakar " berkata anak muda bertubuh tinggi kekar itu.
" Ah " desak Kiai Jayaraga " kau menyakiti aku anak muda."
" Aku memang ingin menyakiti kalian berdua. Bukan hanya aku. Tetapi semua kawan-kawanku yang malam ini ada disini. Kami mempunyai upet yang menyala. Kami mem"punyai duri-duri ikan yang tajam. Duri kemarung yang besar dan kami juga mempunyai beberapa ekor lembu yang dapat menyeret tubuh kalian yang terikat didalam lumpur sawah."
Namun Kiai Jayaraga masih tertawa. Bahkan semakin keras. Katanya " Menyenangkan sekali berkelakar dengan kalian. Angan-angan kalian memang hidup. Kalian mampu membayangkan sesuatu yang sangat mengerikan."
Kemarahan benar-benar telah menghentak jantung anak-anak muda itu. Karena itu, maka anak muda yang pa"ling berpengaruh diantara mereka itupun berkata " kita da"pat mulai dengan permainan kita. Apa yang pertama-tama in"gin kita lakukan."
" Siapakah diantara kita yang akan mulai " bertanya anak muda yang bertubuh tinggi kekar itu.
Beberapa orang anak muda yang kebetulan malam itu bertugas di banjar telah beringsut maju kecuali dua orang yang bertugas di regoL Menurut anak muda yang paling ber"pengaruh itu, keduanya diminta untuk tetap pada tugasnya mengawasi keadaan.
" Siapa tahu, kawan-kawannya akan datang untuk me-lonongnya " berkata anak muda itu " nanti kalian akan mendapat kesempatan tersendiri."
Namun dalam pada itu, seorang anak muda yang bertu"buh kurus menjadi gemetar melihat Kiai Jayaraga. Tidak seorangpun yang semula memperhatikan, apa yang telah dilakukan oleh orang tua itu.
Dengan jari-jari gemetar anak muda bertubuh kurus itu menggamit kawannya yang bertubuh kekar itu sambil berbi"sik ditelinganya " He, apakah kau memperhatikan orang tua itu. "
Anak muda yang bertubuh kekar itu mengerutkan keningnya. Sementara itu, anak muda yang bertubuh kurus itu menariknya mundur.
" Ada apa" " bertanya anak muda yang bertubuh kekar.
" Bukankah orang tua itu keduanya terikat tangannya" " bertanya anak muda bertubuh kurus.
" Ya, kenapa" " bertanya kawannya yang bertubuh kekar.
" Perhatikan tangan itu " berkata yang bertubuh kurus. Untuk beberapa saat anak muda yang bertubuh tinggi
kekar itu memperhatikan Kiai Jayaraga. Sebenarnyalah ia melihat tangan Kiai Jayaraga kadang-kadang telah mengu"sap bagian-bagian tubuhnya yang lain. Kemudian tangan itu kembali diletakkannya dibelakang punggungnya.
" Gila " geram yang bertubuh tinggi kekar itu " jadi tali itu sebenarnya sudah terlepas. "
" Ya. Tetapi soalnya, bagaimana tali itu dapat ter"lepas. " sahut yang bertubuh kurus " bukankah ketika orang-orang tua kita mengikat tangan mereka, ikatan itu cukup kuat" Bahkan kemudian tangan itu telah diikat pula dengan tiang di halaman. "
Sejenak keduanya termangu-mangu. Namun orang bertubuh tinggi kekar itu berteriak " He, orang tua berilmu iblis. Apakah kau berhasil melepaskan ikatan tanganmu"
Kiai Jayaraga termangu-mangu. Namun kemudian ia berbisik " Bagaimana jawabnya Kiai "
" Terserahlah kepadamu. Bukankah kau sudah memutuskan tali pengikat itu" " sahut Kiai Gringsing.
" Jangan begitu Kiai " berkata Kiai Jayaraga " aku sebenarnya memang tidak tahan mengalami perlakuan seper"ti ini. "
" Bukankah sudah aku katakan, dengan demikian kita telah mendapatkan satu pengalaman yang sangat menarik" " jawab Kiai Gringsing.
" Tetapi bagaimana aku menjawab sekarang" " berta"nya Kiai Jayaraga.
" Kiai Gringsingpun menarik nafas dalam-dalam. Namun sejenak kemudian terdengar suara lembut ditiang itu. Ternyata Kiai Gringsing perlahan-lahan juga telah memutus"kan tali pengikatnya tanpa mendapat kesulitan sama sekali.
" Baiklah " berkata Kiai Gringsing " marilah, kita akan bergerak. "
Sementara itu anak muda yang paling berpengaruh itu"pun menjadi heran. Ia tidak melihat sesuatu. Namun anak muda yang bertubuh kekar itu berkata " Cepat bergerak jika ikatan kalian memang sudah lepas. "
" Apa yang terjadi" " bertanya anak muda yang paling berpengaruh itu.
" Orang tua itu sudah tidak terikat lagi tangannya " berkata orang bertubuh kekar itu.
" Omong kosong " berkata kawannya yang paling berpengaruh.
Namun kemudian beberapa orang memang telah meli"hat, Kiai Jayaraga yang dengan sengaja menunjukkan tangannya yang terikat.
" Ya. Tangannya sudah terlepas " desis beberapa orang anak muda.
" Bagaimana mungkin " geram yang lain.
Tetapi Kiai Jayaraga memang sudah menunjukkan dengan sengaja kepada anak-anak itu.
Dengan demikian, maka anak-anak muda itu justru telah bersiaga mengepungnya. Mereka telah mencabut senjata mereka dan anak muda yang paling berpengaruh itupun telah meneriakkan aba-aba " Jangan sampai lolos. Pukul kento-ngan, agar orang-orang tua kita datang secepatnya.
Sejenak kemudian telah terdengar suara kentongan dipu"kul. Namun sementara itu, seorang anak muda berkata "
Kita bakar saja mereka. Itu lebih baik daripada mereka melarikan diri. Kita akan mempertanggung jawabkannya kepada orang-orang tua kita. "
" Ya. Bakar mereka hidup-hidup " teriak yang lain.
" Ambil kayu bakar. Mereka tidak mempunyai pilihan. Jika mereka bergeser dari tempatnya, maka ujung senjata kita akan mengoyak kulit mereka arang kranjang. " teriak anak yang lain.
Beberapa orang tiba-tiba telah berlari-larian. Mereka pergi ke bagian belakang banjar dan mengambil setumpuk kayu bakar yang memang tersedia di banjar itu, yang dipergunakan untuk kepentingan tertentu.
" Anak-anak itu memang gila " desis Kiai Jayaraga " kita akan dibakar hidup-hidup. "
" Dinginnya malam ini. " sahut Kiai Gringsing " agak"nya anak-anak itu tahu bahwa kita kedinginan disini.
" Kiai " tiba-tiba saja Kiai Jayaraga bertanya " Apa"kah Kiai pernah nonton wayang dengan cerita Anoman Obong" "
Kiai Gringsing tertawa. Katanya " Ya. Aku memang pernah melihatnya. Menyenangkan sekali.
" Dan kita akan membakar seisi padukuhan ini" " bertanya Kiai Jayaraga.
" Ah, bukankah kita bukan Anoman" " sahut Kiai Gringsing " itu tidak perlu. Marilah kita tinggalkan saja halaman ini sebelum anak-anak itu bermain-main dengan api. " Bukankah dengan demikian kita akan mendapat pengalaman yang menarik" Kiai, bukankah kita belum per"nah dibakar" Agaknya Kiai menyenangi pengalaman-pengalaman baru seperti itu " berkata Kiai Jayaraga.
Kiai Gringsing tertawa. Namun katanya " Marilah, sebentar lagi dihalaman ini akan berkerumun seisi padukuh"an. "
Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Namun sebenar"nyalah, bahwa isi padukuhan itu mulai berdatangan.
Beberapa orang yang mendengar suara kentongan itu te"lah dengan tergesa-gesa pergi ke banjar. Mereka memang su"dah menduga, bahwa tentu karena kedua orang yang terikat di tiang itulah maka para penjaga telah membunyikan kento"ngan.
Pada saat yang demikian, maka Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga mulai melangkah. Namun anak-anak yang bersen"jata berusaha menahan mereka dengan ujung-ujung senjata. Bahkan sejenak kemudian beberapa orang telah datang pula dengan kayu bakar dipundak mereka.
" Lemparkan ke tengah-tengah arena " teriak anak muda yang bertubuh tinggi kekar.
Beberapa onggok kayu bakar dan ranting-ranting yang kering telah dilemparkan kearah Kiai Jayaraga dan Kiai Gringsing. Bahkan beberapa orang yang lain telah menyusul pula.
" Jangan meninggalkan tempat itu " ancam anak-anak muda yang bersenjata telanjang.
Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya ujung-ujung senjata yang berkilat-ki"lat memantulkan cahaya lampu minyak dan obor di regol.
Sementara itu, beberapa orang anak muda telah memba"wa beberapa onggok belarak kering. Bahkan dua tiga dian"tara mereka telah membawa obor belarak untuk menyala -kan onggokan kayu bakar, ranting-ranting kering dan bebera"pa ikat belarak disekitar Kiai Jayaraga dan Kiai Gringsing.
Namun Kiai Gringsing itu telah melangkahi onggokan kayu dan ranting-ranting kering itu. Seakan-akan ia tidak me"lihat ujung senjata yang siap mematuknya.
" Jangan bergerak " teriak anak-anak muda itu.
Tetapi Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga melangkah ma"ju, sementara anak-anak muda itu justru melangkah surut meskipun senjata mereka tetap teracu.
Beberapa orang dari orang-orang tua di padukuhan itu telah berdatangan pula. Sura Wedungpun telah berada di ha"laman itu. Ia mengerti niat anak-anak muda untuk membakar kedua orang itu, karena kedua orang tua itu mampu melepas"kan ikatan tangan mereka yang sangat kuat.
Tetapi ketika kedua orang itu maju lagi selangkah, maka anak-anak muda yang membawa senjata itupun telah me"langkah pula surut meskipun mereka berteriak-teriak " Ja"ngan bergerak. Jangan bergerak."
Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga sama sekali tidak menghiraukannya. Karena itu. maka mereka masih saja me"langkah maju.
Namun dalam pada itu tiba-tiba halaman itu telah dige"tarkan oleh suara yang lain. Kiai Jayaraga dan Kiai Gringsing yang mula-mula mendengar desir dedaunan telah berpaling.
Alangkah terkejut mereka, ketika mereka melihat seseo"rang bertengger diatas dinding halaman banjar. Bahkan de"ngan suara lantang ia berkata " jangan pergi Kiai. Aku su"dah sejak lama menunggu tontonan yang tentu mengasyik"kan. Kiai berdua akan dibakar, dan Kiai berdua tentu akan marah dan apipun akan bertebaran."
Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan kepalanya. Kata"nya " Kenapa Raden Masih disitu ?"
" Aku ingin melihat bukan Anoman Obong, tetapi Kiai berdua obong. Tentu lebih menarik. " berkata Raden Rang"ga yang masih berada diatas dinding itu.
Dalam pada itu justru karena perhatian Kiai Jayaraga dan Kiai Gringsing tertuju kepada Raden Rangga, maka kesempatan itu dipergunakan oleh beberapa orang anak mu"da yang membawa obor untuk melemparkan obor mereka ter"masuk obor belarak keonggokan kayu bakar, ranting-ranting kering dan bahkan beberapa ikat belarak kering pula.
Dengan cepat belarak kering itupun telah terbakar. Api"nya menjilat pula ranting ranting kering yang bertumpuk dise-kitar Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga.
Namun kedua orang tua itu ternyata mampu bergerak ce"pat. Mereka tiba-tiba saja sudah melangkahi kayu bakar dan ranting-ranting. Dengan demikian maka mereka telah berada diluar kemungkinan untuk terbakar ditengah-tengah nyala api.
Meskipun demikian, orang-orang padukuhan itu tergetar hatinya ketika mereka melihat api yang meryala itu bagaikan dihembus angin kencang dari arah kedua orang itu, sehingga nyala apinya justru menjilat kearah yang berlawanan. Bah"kan api itu seakan-akan tidak mampu menjalar kearah ong-gokan kayu dan ranting-ranting kering yang berada dipaling dekat dengan Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga.
" Permainan yang kurang baik " berkata Kiai Gring"sing " marilah kita pergi saja,"
Kedua orang itu telah siap untuk meninggalkan api yang menyala semakin besar, sementara orang-orang yang menge"pung justru bagaikan membeku. Mereka menyadari, bahwa kedua orang itu bukan orang kebanyakan, yang menurut per"hitungan mereka akan mempunyai kemampuan dan ilmu me"lampaui anak yang mereka kejar-kejar dan yang ternyata te"lah bertengger diatas dinding halaman itu.
Karena itulah, maka orang-orang padukuhan itu menjadi bingung. Bahkan Sura Wedung dan gegedug yang paling dita"kuti itupun tidak segera berbuat sesuatu.
Namun dalam pada itu, yang menjadi sangat kecewa adalah justru Raden Rangga. Dari atas dinding ia berteriak " Kiai berdua mengecewakan aku. Aku ingin tontonan yang pa"ling menarik malam ini."
" Raden " berkata Kiai Gringsing " sampai kemarin Raden mampu mengendalikan diri. Jangan terjerumus keda-lam kenakalan lagi."
Tetapi ternyata Raden Rangga tidak mau lagi mende"ngarkan nasehat itu. Ia benar-benar kecewa karena Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga tidak berbuat apa-apa.
" Jika Kiai berdua berbuat sesuatu, aku tidak akan na"kal lagi. " berkata Raden Rangga itu.
Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga menjadi bingung se"saat. Namun kemudian Kiai Gringsing berkata " Bukankah Raden telah meninggalkan padukuhan ini dan berhasil lolos dari bujukan keinginan Raden untuk berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kehendak ayahanda. "
Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Namun tiba-ti"ba saja ia menjawab " Ayahanda melarang aku membunuh.
Aku tidak ingin membunuh. Aku hanya ingin bermain-main saja. "
Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga tidak sempat menye-gah, ketika tiba-tiba saja Raden Rangga telah meloncat tu"run. Dengan mempergunakan kekuatan tenaga ilmunya, ma"ka tiba-tiba saja Raden Rangga itu telah menendang onggo-kan api dihalaman kearah banjar."
kekuatan Raden Rangga memang luar biasa. Api itupun telah memercik dan melontar kearah banjar, ketika onggo-kan-onggokan kayu, ranting-ranting kering, yang terbakar, yang ditendang oleh Raden Rangga terlempar bertebaran ke-arah banjar padukuhan itu.
Lidah api yang menjilat-jilat itu berloncatan diudara. Orang-orang yang menyaksikan hatinya tergetar. Bahkan beberapa orang telah berlari-larian karena api itu terbang di"atas kepala mereka. Percikan-percikan baranya telah jauh ketubuh mereka dan melubangi pakaian mereka.
" Raden " cegah Kiai Gringsing.
Tetapi yang terdengar adalah suara Raden Rangga " permainan yang menyenangkan. Banjar itu akan terbakar. " Raden tidak hanya membakar banjar itu " sahut Kiai Gring"sing " tetapi Raden dapat membunuh orang orang yang ada didalamnya, terutama orang-orang yang sedang terluka itu."
" Itu bukan salahku Kiai " jawab Raden Rangga " itu adalah salah mereka sendiri."
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun kemu"dian katanya kepada Kiai Jayaraga " Mereka harus disela"matkan."
" Kita usahakan untuk memadamkan apinya " berkata Kiai Jayaraga.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya " Aku akan mengusahakan, tetapi bahwa orang-orang padukuhan itu untuk menyelamatkan kawan-kawan mereka.
Kiai Jayaraga yang tua itupun kemudian dengan tang"kasnya meloncat mendekati banjar sambil berteriak " To"longlah kawan-kawan kalian. Jangan biarkan mereka mati terbakar."
Beberapa orang termangu-mangu. Namun ketika mere"ka melihat Kiai Jayaraga memasuki pendapa yang memang sudah mulai terbakar, maka beberapa orangpun telah me"nyusulnya, termasuk Sura Wedung. Mereka telah berusaha mengangkat orang-orang yang terluka itu diatas pundak mereka.
Sementara itu, Kiai Gringsing tengah berusaha -untuk mengurangi kobaran api yang telah membakar banjar itu. Dengan kekuatan ilmunya, maka udara yang dingin telah ber"hembus kearah api yang menyala semakin lama semakin be"sar. Beberapa onggok kayu dan ranting-ranting kering yang menyala telah jatuh justru diatas pendapa banjar itu.
Sementara itu, disamping menyelamatkan orang-orang yang terluka maka Ki Jayaragapun telah meneriakkan isya"rat, agar orang-orang yang berada dihalaman itu berusaha ikut memadamkan api. " Air dan batang-batang pisang. Ce"pat, kerjakan apa saja."
Orang-orang yang ada ditempat itupun kemudian telah berlari-larian untuk mencari air. Sebagian dari mereka telah menebangi batang-batang pisang dan melemparkannya kedalam api.
*** Buku 198 NAMUN dalam pada itu, Raden Rangga yang ingin melihat kebakaran yang lebih besar lagi, telah memusatkan nalar budinya pula. Dari dalam dirinyapun telah memancar udara panas yang menghembus kearah banjar yang terbakar. Bahkan beberapa orang tiba-tiba saja telah merasa dipanggang diatas api. Namun kemudian telah berhembus pula angin yang sejuk dan meluncurkan udara dingin, sehingga orang-orang yang bagaikan terpanggang itu rasa-rasanya telah mendapatkan perlindungan.
Tetapi Raden Rangga tidak tinggal diam. Kenakalannya telah membakar jantungnya. Karena itu, maka iapun telah berusaha untuk mempertajam ilmunya, menghebuskan udara panas.
Dengan demikian maka telah terjadi benturan antara dua kekuatan. Kekuatan Raden Rangga yang memancarkan udara panas dengan kekuatan Kiai Gringsing yang memancarkah udara dingin. Sementara itu, Kiai Jayaraga telah sibuk menggerakkan orang-orang padukuhan itu untuk membantu memadamkan api.
Beberapa saat Raden Rangga mengerahkan kemampuannya. Keringat mulai membasahi seluruh tubuhnya. Bahkan kemudian dari ubun-ubun Raden Rangga telah mulai nampak asap yang putih samar-samar.
Namun akhirnya, terdengar Raden Rangga itu berdesah. Dilepaskannya pancaran udara panas dari dalam dirinya lewat kekuatan ilmunya. Sambil berdesah ia berkata " Kiai telah mengganggu permainanku malam ini."
Kiai Gringsingpun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Aku hanya ingin mencegah Raden melaku kan kenakalan lagi yang akan dapat membuat ayahanda Raden semakin marah."
Raden Rangga tidak menjawab. Tetapi ia melihat apipun semakin lama menjadi semakin kecil sebelum menjalar ke pringgitan dan bagian dalam banjar. Tetapi pendapa banjar itu telah hampir seluruhnya menjadi arang.
" Raden " berkata Kiai Gringsing " aku mohon Raden meninggalkan tempat ini sekarang sebelum timbul persoalan baru. Jika Raden tidak lagi mampu mengendalikan diri, maka akan dapat timbul persoalan-persoalan yang tidak kita duga sebelumnya,"
" Kiai mengusir aku" " bertanya Raden Rangga.
" Tidak mengusir Raden. Hanya sekedar berusaha untuk menghindarkan Raden dari tindakan yang tidak terkendali " jawab Kiai Gringsing.
Wajah Raden Rangga menegang. Api yang membakar banjar itu telah hampir padam. Sementara Kiai Gringsing berkata pula " Sebentar lagi api itu padam, sehingga perhatian orang-orang padukuhan ini akan tertuju kepada Raden. Sebenarnya Raden sudah mengambil jalan yang paling bijaksana dengan menyingkir dari padukuhan ini. Tetapi sekarang kenapa Raden kembali dan justru telah menimbulkan persoalan baru di padukuhan ini. "
" Aku tidak takut menghadapi semua isi padukuhan ini " geram Raden Rangga.
" Tetapi kenapa Raden menyingkir" " bertanya Kiai Gringsing.
" Aku hanya menghindari pembunuhan. Bukan karena aku takut terbunuh disini. Justru akulah yang mungkin akan membunuh " jawab Raden Rangga.
" Nah, alasan itu pulalah yang harus Raden pakai sekarang jika Raden menyingkir " berkata Kiai Gringsing kemudian.
" Aku tidak akan pergi Kiai " berkata Raden Rangga
" jika mereka akan membuat persolan baru, biarlah aku akan menghadapinya. "
" Itu bukan sikap yang bijaksana. Raden adalah pute-ra seorang yang memiliki kekuasaan tidak terbatas di Mataram. Raden telah mengambil satu keputusan yang sangat berarti bukan saja bagi nama Raden sendiri, tetapi juga nama ayahanda. " berkata Kiai Gringsing " jika Raden bukan putera Panembahan Senapati, mungkin tanggung jawab Raden tidak akan seberat seperti sekarang ini. Tetapi Raden adalah putera Panembahan Senapati" Apakah justru karena Raden adalah putera Panembahan Senapati dan memiliki ilmu yang tidak terlawan, Raden akan berbuat sewenang-wenang. "
" Tetapi Kiai harus tahu, siapa sajakah yang menghuni padukuhan ini " jawab Raden Rangga.
" Aku tahu Raden " sahut Kiai Gringsing " Raden ingin mengatakan bahwa penghuni padukuhan ini adalah para penjahat. Karena itu, maka Raden dapat berbuat apa saja terhadap mereka. Begitu" Juga kesewenang-we-nangan" " Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu " Raden. Raden harus ingat pesan ayahanda. "
Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Apipun telah benar-benar padam. Beberapa orang sedang sibuk menempatkan kawan-kawan mereka yang disiang harinya telah dilukai oleh Raden Rangga. Namun yang kemudian masih terdengar adalah derak-derak pendapa yang terbakar itu runtuh sebagian demi sebagian.
Namun akhirnya Raden Rangga itupun berkata hampir kepada diri sendiri " Baiklah. Aku akan pergi. Seandainya saja Kiai tidak ada disini, sehingga tidak akan ada yang dapat melaporkan kehadiranku, maka aku akan berbuat jauh lebih banyak. "
" Tentu pada suatu saat ayahanda akan mendengarnya
" berkata Kiai Gringsing " karena itu langkah yang Raden ambil siang tadi adalah langkah yang sebenarnya sangat bijaksana. "
Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Numun sejenak kemudian iapun telah meloncat tanpa minta diri, menghilang dari halaman banjar sebelum perhatian orang-orang yang ada di dalam banjar itu tertuju kepadanya.
Kiai Gringsing melihat Raden Rangga itu terbang dan hingap di atas dinding halaman. Sekali ia berpaling. Namun kemudian anak muda itupun segera hilang dikegelapan, dibalik dinding halaman.
Baru sejenak kemudian, beberapa orang mulai menyebutnya. Sura Wedung yang kemudian berteriak " Anak itu telah hilang lagi. "
" Ya. Ia telah pergi " sahut yang lain.
" Tetapi kedua orang tua itu masih berada disini " berkata salah seorang diantara mereka " ternyata dugaan kita benar. Masih ada hubungan antara kedua orang tua itu dengan anak muda yang melarikan diri itu. "
" Jika demikian kedua orang tua itu jangan diberi kesempatan melarikan diri pula " berkata yang lain lagi.
Namun dalam pada itu, Kiai Jayaraga yang telah menjadi muak melihat sikap orang-orang padukuhan itu berdiri diatas lantai pendapa yang sudah hangus terbakar itu. Dibawah cahaya obor di regol yang lamat-lamat, nampak orang itu berdiri tegak. Disebelah menyebelahnya arang kayu dan reruntuhan pendapa yang terbakar itu silang menyilang dan saling bertumpuk.
Dalam pada itu terdengar suara Kiai Jayaraya itu menggelegar " Kalian jangan berbuat gila lagi. Menghadapi seorang anak-anak saja kalian telah kehilangan akal. Apalagi jika kalian benar-benar harus menghadapi kami berdua. Agaknya kalian adalah orang-orang yang berhati tumpul dan tidak dapat menyadap pengalaman dari peristiwa yang baru saja terjadi. Seandainya kami adalah orangorang yang keras kepala seperti kalian, maka kami akan dapat membuat seluruh banjar ini terbakar. Bahkan bukan hanya banjar ini, tetapi rumah-rumah disekitarnyapun akan dapat kami jadikan karang abang. Nah, katakanlah jika kalian tidak percaya. Maka kami tidak akan lagi berbuat baik atas kalian. Kami akan membakar sisa banjar ini dan rumah-rumah disekitar tempat ini tanpa beranjak dari tempat kami berpijak sekarang. Sementara itu, anak muda yang kalian cari itu akan menjadi bertambah senang melihat permainan yang mengasikkan. Bahkan jika ia kembali kehilangan kendali, maka bukan hanya beberapa rumah, tetapi seisi padukuhan ini akan dapat dibakarnya menjadi abu. "
Beberapa orang yang berada di halaman itu dan siap untuk menangkap Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga menjadi termangu-mangu. Sementara orang-orang seisi padukuhan itu seakan-akan telah berada disekitar banjar itu pula.
" Nah " Kiai Jayaraga meneruskan " siapa yang akan mencoba menangkap aku. Aku tidak akan berlaku seperti siang tadi, menyerah tanpa perlawanan. Sekarang aku akan melawan dan membunuh semua laki-laki yang akan menyakiti aku lagi. Bukan tubuhku, karena apapun yang kalian lakukan tidak akan dapat menyakiti tubuhku, tetapi hatiku-lah yang menjadi sangat sakit karena perlakuan kalian,
Beberapa orang yang merasa dirinya orang-orang yang paling kuat di padukuhan itu termangu-mangu. Mereka memang menyadari bahwa orang itu tentu memiliki kelebihan. Tetapi apakah mungkin ia berbuat sebagaimana dikatakannya.
Namun dalam pada itu, anak-anak muda yang malam itu bertugas berjaga-jaga dibanjar berbicara diantara kawan-kawannya, bahwa kedua orang tua itu mampu memutuskan tali pengikat tangan mereka, sekaligus pengikat tangan mereka dengan tonggak yang ada dihalaman.
" Bagaimana hal itu dapat mereka lakukan" " bertanya seseorang.
" Tidak seorangpun diantara kami yang mengetahui " berkata anak muda itu " memang suatu yang luar biasa dan tidak masuk dalam nalar kami. "
" Seperti anak muda yang dapat terbang dengan pelepah kelapa itu " desis yang lain.
" Ya. Seperti itulah. Diluar kuasa nalar kita. " sahut anak muda yang pertama.
Namun orang-orang yang datang kemudian tidak sempat melihat atau mendengar ceritera tentang kelebihan kedua orang itu. Karena itu ada diantara mereka yang menganggap bahwa yang dikatakan oleh Kiai Jayaraga itu tidak lebih dari satu bualan yang menyakitkan hati bagi mereka.
Meskipun demikian, mereka terpaksa juga menghubungkan kedua orang tua itu dengan anak muda yang menyebut dirinya Demung, yang mampu terbang dengan pelepah kelapa.
" Jika kedua orang itu gurunya atau pengawalnya yang memiliki ilmu yang melampaui dari ilmu anak muda itu, maka ia memang akan dapat berbuat sesuatu yang sangat mengejutkan. "
Beberapa saat kemudian suasana memang menjadi tegang. Namun sebenarnyalah bahwa Kiai Jayaraga mempunyai kemampuan untuk menyedap kekuatan yang ada sebagai isi alam ini. Kiai Jayaraga mampu menyadap kekuatan api, angin, air dan bumi.
Dengan sadar Kiai Jayaraga menguasai ilmunya dengan pernyataan terima kasih atas Kurnia kemampuan yang tinggi itu. Meskipun ia pernah terbanting dan dihempaskan pada perasaan kecewa dan menyesal, bahwa murid-muridnya yang terdahulu justru menyalah gunakan kemampuan yang pernah diberikannya kepada mereka.
Namun dalam pada itu, salah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi diantara para gegedug yang ada telah melangkah maju sambil berkata " Apakah kau akan memamerkan ilmumu dihadapan kami orang-orang yang merupakan lumbung penga-laman dalam ilmu kanuragan. "
" Aku sama sekali tidak ingin memamerkan ilmu apapun juga " berkata Kiai Jayaraga " tetapi adalah hakku untuk membela diri dan berbuat sesuatu yang mungkin dapat mencegah tingkah laku kalian. Bukan hanya untuk saat ini, tetapi untuk masa-masa mendatang. Karena menurut pendengaranku, padukuhan ini adalah padukuhan para perampok, perompak dan penyamun. Yang tidak berani merampok dan menyamun telah menjadi pencuri ayam dipadukuhan-padukuhan sebelah, atau menyambar jemuran di halaman-halaman. "
" Persetan " geram gegedug itu " kau kira kata-katamu itu dapat menggetarkan bulu pada kulitku. "
" Jangan banyak bicara " geram Kiai Jayaraga " bertindaklah jika kau akan berbuat sesuatu. Aku disini. "
Kiai Gringsing yang berada dihalaman menjadi tegang. Tetapi orang-orang padukuhan itu memang sangat memuakkan. Meskipun demikian Kiai Gringsing masih menunggu perkembangan yang mungkin terjadi.
Namun ternyata gegedug itu menjadi ragu-ragu juga melihat sikap Kiai Jayaraga yang nampak terlalu yakin, karena ia sama sekali tidak bergeser dari tempatnya.
Untuk meyakinkan dirinya sendiri, serta karena semua mata telah memandang kepadanya, maka gegedug itupun telah maju selangkah maju mendekati Kiai Jayaraga. Dengan geram ia berkata " Aku akan membuktikan, bahwa kami, orang-orang padukuhan ini dapat menangkapmu. "
" Cepat, lakukan apa yang ingin kau lakukan " berkata Kiai Jayaraga.
Gegedug itu melangkah semakin dekat. Namun tiba-tiba saja ia tertegun. Bahkan ia bergeser mundur selangkah.
" Cepat, tangkap aku " bentak Kiai Jayaraga " atau aku yang akan menangkapmu dan menyeretmu keliling padukuhan sendiri" "
Orang itu termangu-mangu. Tetapi ia tidak dapat maju lagi meskipun nampaknya Kiai Jayaraga sama sekali tidak bergerak.
Ternyata bahwa di seputar Kiai Jayaraga seakan-akan udara menjadi panas. Yang ditunjukkan Kiai Jayaraga adalah sebagian kecil saja dari ilmunya. Ia hanya ingin mencegah orangorang itu mendekatinya, sekaligus menunjukkan kepadanya, bahwa yang dikatakan oleh Kiai Jayaraga itu bukan sekedar bualan yang tidak terbukti.
" Ayo, tangkap dan ikat kembali tanganku " berkata Kiai Jayaraga sambil menjulurkan kedua belah tangannya.
Tetapi gegedug itu sama sekali tidak dapat maju lagi.
Orang-orang yang menyaksikan hal itu menjadi heran. Masih ada jarak beberapa langkah antara gegedug itu dengan Kiai Jayaraga. Sementara itu, Kiai Jayaraga menjulurkan kedua belah tangannya. Namun gegedug itu justru berhenti ditempatnya Bahkan kadang-kadang nampak kebingungan dan sekali-sekali ia telah berpaling kepada kawan-kawannya.
Dua tiga orang gegedug yang lain telah mendekatinya pula. Mereka ingin tahu, apa yang telah terjadi, sehingga gegedug yang dianggap memiliki ilmu tertinggi itu justru tertegun diam kebingungan.
Namun para gegedug itupun akhirnya tertegun juga. Mereka berhenti beberapa langkah dari Kiai Jayaraga sebagaimana orang yang mereka anggap memiliki ilmu tertinggi itu. Dari jarak yang demikian mereka mulai merasa udara panas menyentuh tubuh mereka.
Sesaat mereka saling berpandangan. Namun kemudian merekapun meyakini, bahwa orang tua itu memang bukan orang kebanyakan. Ia tidak sekedar mempercayakan kemampuannya pada olah kanuragan dengan mengadakan kekuatan wadag dan ketrampilan gerak. Ternyata betapapun kuatnya dan tangkasnya para gegedug itu, tetapi mereka tidak akan mungkin dapat mendekati lawannya yang mampu memancarkan udara panas dari dirinya itu.
Karena orang-orang yang mendekat itu berhenti, maka Kiai Jayaraga telah mengulangi kata-katanya " Ayo, ikat aku pada tiang dihalaman itu. "
Gegedug yang memiliki kemampuan tertinggi diantara kawan-kawannya itu akhirnya tidak dapat mengelakkan diri dari kenyataan yang dihadapinya. Karena itu, maka iapun kemudian berkata " Baiklah Ki Sanak. Kami memang tidak dapat menolak, bahwa Ki Sanak memiliki kemampuan yang tidak akan mungkin dapat kami atasi. "
Kiai Jayaraga mengerutkan keningnya. Lalu katanya " Jadi kalian mengakui, bahwa kalian tidak akan dapat berbuat apa-apa atas kami berdua" Ketahuilah, bahwa saudaraku yang tua itu memiliki ilmu yang jauh lebih baik dari ilmuku. Dengan pandangan matanya, ia akan dapat membakar seisi padukuhan ini. "
" Orang gila " berkata Kiai Gringsing didalam hatinya " ia mulai membual. "
Sementara itu, Kiai Jayaraga berkata selanjutnya " Apakah kalian tidak percaya" Aku memperingatkanmu, orang tua sulit untuk menjadi marah. Tetapi jika ia sudah marah, maka tidak akan ada seorangpun yang dapat mencegahnya. Jangan seisi padukuhan kecil itu. Bahkan seisi Matarampun akan sulit mengendalikannya. "
Orang-orang padukuhan itu termangu-mangu menyaksikannya. Mereka tidak tahu pasti, apakah sebabnya orang-orang yang dianggap memiliki ilmu yang tidak terbatas dan tidak ada bandingnya di padukuhan itu, begitu mudahnya menyerah. Tetapi merekapun yakin bahwa jika tidak ada sesuatu yang luar biasa, maka mereka tentu sudah bertindak.
" Sudahlah Ki Sanak " berkata gegedug yang di -anggap memiliki ilmu tertinggi itu " kami akan menganggap persoalan itu sudah selesai. Kami persilahkan Ki Sanak meninggalkan tempat ini dan tidak kembali lagi. Demikian anak muda yang telah membakar pendapa banjar ini. "
" Maaf Ki Sanak. " jawab Kiai Jayaraga " aku memang akan segera meninggalkan tempat ini. Tetapi jangan menganggap bahwa yang telah terjadi ini tidak mempunyai bekas apapun juga. Kami telah mencatat didalam hati kami, bahwa di padukuhan ini telah tinggal para perampok, perompak dan penyamun. "
" Apa artinya itu Kiai" " bertanya gegedug yang
mempunyai kemampuan tertinggi itu.
" Daerah ini akan menjadi daerah yang selalu diawasi. Mungkin oleh Pajang, tetapi mungkin oleh Mataram " jawab Kiai Jayaraga " dengan demikian maka dituntut sikap yang berubah dari para penghuninya, karena jika kalian masih saja bersikap seperti sekarang, maka kalian akan diperlakukan sebagaimana memperlakukan para penjahat. Ingat, Mataram yang sedang membangun diri tidak mau diganggu oleh tingkah laku kalian. "
" Kau akan melaporkannya kepada Pajang atau Mataram Ki Sanak" " bertanya gegedug itu.
" Tentu, kami akan menghadap Panembahan Senapati dan melaporkannya " jawab Kiai Jayaraga " tidak ada orang yang merasa senang melihat tingkah laku kalian. "
Gegedug itu mengerutkan keningnya. Sementara itu Kiai Jayaraga berkata selanjutnya " Jika bukan aku dan saudaraku itu, mungkin kalian dapat mengambil langkah penyelamatan. Mungkin kalian dapat membunuh kami berdua agar rahasia kalian tidak didengar oleh Panembahan Senapati. Namun kalian tidak akan dapat melakukannya, atau justru kalian semuanya yang terbunuh. " Kiai Jayaraga berhenti sejenak, lalu " Tetapi seandainya kalian berhasil membunuh kami sekalipun, maka rahasia kalian tentu akan didengar pula oleh Panembahan Senapati itu.
" Bagaimana hal itu dapat terjadi" " bertanya gegedug yang memiliki ilmu tertinggi itu.
" Anak muda itu " jawab Kiai Jayaraga.
" Apakah Panembahan Senapati akan mempercayainya" " bertanya gegedug itu " ia masih terlalu kanak-kanak untuk menghadap- dan memberikan laporan yang dapat dianggap wajar. "
" Tetapi dugaan kalian keliru. Anak itu adalah salah seorang diantara orang-orang terdekat dengan Panembahan Senapati " jawab Kiai Jayaraga.
Orang-orang padukuhan itu termangu-mangu. Gegedug itupun kemudian bertanya " Siapakah anak itu sebenarnya" "
" Ia adalah putera Panembahan Senapati itu sendiri " jawab Kiai Jayaraga.
" Putera Panembahan Senapati" " beberapa mulut telah mengulang.
" Namanya Raden Rangga " Kiai Jayaraga menjelaskan " ia adalah seorang anak muda yang luar biasa. Ia memiliki kemampuan yang tidak dapat kalian ukur. Jika anak itu tidak membunuh disini, adalah karena ia baru saja mendapat marah dari ayahndanya. Beberapa kali ia mendapat peringatan dan hukuman karena anak itu telah terlanjur membunuh meskipun tidak sengaja. "
Wajah-wajah menjadi tegang. Beberapa orang saling berpandangan.
Sementara itu Kiai Jayaraga itupun berkata " Nah, dengan demikian kalian mendapat sedikit gambaran, dengan siapa kalian berhadapan. Kami adalah orang-orang Mataram yang baru kembali dari Pajang.
Ketegangan benar benar telah mencengkam. Orang-orang yang berada dihalaman banjar itu bagaikan membeku. Jika benar kata orang tua itu, maka nasib mereka akan dapat menjadi sangat buruk.
Namun dalam pada itu, Kiai Jayaraga itupun berkata " Tetapi masih ada kesempatan bagi kalian. Jika sejak hari ini kalian merubah cara hidup kalian, maka padukuhan dengan segala isinya akan dapat diselamatkan. "
Gegedug yang mempunyai ilmu tinggi, yang berdiri beberapa langkah dihadapan Kiai Jayaraga termangu-mangu. Ia mulai membayangkan, apa yang dapat mereka lakukan jika mereka harus menghentikan pekerjaan yang sudah bertahun-tahun mereka lakukan itu. Mereka tidak mempunyai kepandaian lain yang akan dapat mereka jadikan sumber penghidupan mereka dengan anak isteri. Dengan demikian maka seisi padukuhan itu akan bersama-sama mengalami kesulitan. Selama ini sawah, dan ladang mereka tidak terpelihara dengan baik, karena mereka malas mengerjakannya. Mereka lebih senang bertualang dengan kerja mereka yang berbahaya. Namun agaknya kerja yang paling mungkin dan paling mudah mereka lakukan dengan hasil yang jauh lebih baik dari hasil panen disawah, betapapun baiknya musim.
Namun iapun tidak akan dapat menentang kehendak orang tua yang menyebut dirinya orang Mataram itu. Apalagi jika benar anak muda yang memiliki ilmu yang luar biasa itu memang putera Panembahan Senapati.
Karena itu, betapapun jantung mereka bergejolak, maka seisi padukuhan itu harus menyatakan kesediaan mereka untuk melakukan sebagaimana dikatakan oleh Kiai Jayaraga itu.
Sejenak kemudian, maka gegedug yang memiliki ilmu tertinggi itupun berkata mewakili kawan-kawannya " Ki Sanak. Baiklah. Kami seisi padukuhan ini berjanji untuk merubah tingkah laku kami. Sawah ladang kami masih ada, serta hutan di seterang sungai masih menyimpan berbagai macam binatang liar yang akan dapat menjadi sasaran buruan kami. "
Kiai Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Kiai Gringsingpun mengangguk-angguk. Sejenak Kiai Jayaraga merenung. Namun kemudian katanya " Mudah-mudahan yang kau katakan itu benar-benar tersirat dari dalam hati. Jangan menganggap bahwa setelah esok kami kembali ke Mataram, maka janji kalian itu sudah tidak berlaku lagi. "
Gegedug itu mengerutkan keningnya. Namun didalam hati iapun menggeram " Persetan esok. Jika datang saatnya, maka kami akan menganggap tidak pernah terjadi seperti ini di padukuhan ini. "
Meskipun demikian bibirnya berkata " Kami akan tetap menjunjung tinggi segala perintah apalagi yang datang dari Mataram. "
" Terima kasih " berkata Kiai Jayaraga " daerah ini akan menjadi daerah yang selalu akan mendapat perhatian dari para pemimpin keprajuritan di Mataram. Atau setidak-tidaknya para pemimpin prajurit Mataram yang berada di Jati Anom atau Pajang. "
Gegedug itu tidak menjawab. Namun ada juga kecemasan bahwa mereka untuk selanjutnya benar-benar tidak mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu.
Sementara itu maka Kiai Jayaragapun berkata " Baiklah. Aku kira kami tidak akan terlalu lama tinggal disini. Kami saat ini juga akan melanjutkan perjalanan kembali ke Mataram. Sebentar lagi langit akan menjadi merah oleh cahaya pagi. Tidak ada kesempatan lagi untuk tidur barang sekejappun. "
" Apakah Ki Sanak tidak akan beristirahat barang sehari dipadepokan ini" " bertanya gegedug itu, meskipun didalam hatinya ia mengumpat " Semakin cepat kalian pergi, akan semakin baik bagi isi padukuhan ini "
Demikianlah maka Kiai Jayaragapun telah minta diri. Bersama Kiai Gringsing keduanya telah meninggalkan banjar padukuhan itu, meskipun sisa malam masih gelap.
" Sayang " berkata Kiai Jayaraga itu " Kami tidak dapat tinggal lebih lama lagi. "
Dalam pada itu sepeninggal Kiai Jayaraga dan Kiai Gringsing maka orang-orang padukuhan itupun sebagian tidak segera pulang kerumah masing-masing. Terutama orang-orang yang dianggap penting di padukuhan itu. Dengan nada dalam Sura Wedung mengumpat " Iblis itu benar-benar mengerikan. "
" Sayang " berkata gegedug yang memiliki ilmu tertinggi " jika keduanya mau tinggal barang sehari, kami dapat meracunnya "
" Ya. Kenapa kita tidak menemukan cara itu sebelumnya, sehingga kita dapat melakukannya" Kita dapat berpura-pura baik hati dan tunduk kepada mereka, sementara itu kita berikan minuman yang telah dicampur dengan racun. " sahut Sura Wedung.
Namun seorang gegedug yang lain berdesis " Apakah kau kira racun itu tentu akan membunuh mereka" Kita telah mengetahui bahwa ada orang-orang yang kebal segala macam racun. Siapa tahu, bahwa orang itupun telah menjadi kebal racun. "
Sura Wedung mengangguk-angguk. Katanya " Ya. Apalagi jika mereka mengetahui bahwa kita telah meracunnya. Maka mereka akan menjadi marah dan padukuhan kita akan
dihancurkan tanpa ampun sama sekali. "
Orang-orang yang ada diantara merekapun mengangguk-angguk. Namun seorang diantara mereka akhirnya bertanya " Apakah dengan demikian berarti bahwa kita harus benar-benar melakukan sebagaimana dikatakan oleh orang tua itu" "
" Untuk sementara " berkata gegedug itu " kita telah terjebak oleh permainan kita sendiri. Jika kita tidak menyeret anak itu kedalam lingkungan ini, maka kita tidak akan mengalami persoalan yang membuat kepala kita menjadi pening seperti ini. "
" Aku tidak mengira sama sekali " sahut Sura Wedung " ketika anak-anak bermain-main dengan anak muda itu, aku memang melihat sesuatu pada anak muda itu. Tetapi aku tidak menduga sama sekali, bahwa kelebihannya melampaui jangkauan kita. Apalagi anak itu ternyata anak Panembahan Senapati.
Orang-orang padukuhan yang masih berkumpul itupun mengangguk. Memang tidak seorangpun yang mengira bahwa anak yang menjadi sasaran permainan itu adalah anak muda yang memiliki kelebihan dan bahkan aoalah putera Panembahan Senapati.
Sementara itu gegedug yang memiliki ilmu tertinggi itupun berkata " Sudahlah. Jangan hiraukan lagi. Mereka sudah pergi. Mungkin untuk dua tiga bulan padukuhan ini akan mendapat pengawasan dari para petugas sandi. Tetapi sesudah itu, mereka akan melupakannya. Karena itu, kita semuanya harus ikut bertanggung jawab, bahwa daJam waktu dekat, tidak seorangpun diantara kita yang boleh melakukan pekerjaan kita sehari-hari sebagaimana yang selalu kita lakukan. Aku kira kita masih cukup mempunyai persediaan untuk tiga bulan, sementara tanah kita, sawah dan ladang juga masih menghasilkan meskipun tidak terlalu banyak. Jika ada diantara kita yang melakukan pekerjaan terlarang untuk waktu dekat itu, maka ia akan kita adili dan kita jatuhkan hukuman atas mereka, karena tingkah lakunya akan dapat membunuh seisi padukuhan ini. "
Sura Wedung mengangguk-angguk. Katanya " Tentu tidak ada diantara kita yang akan dengan sadar mencelakakan seluruh padukuhan. Karena itu, maka tentu tidak ada diantara kita yang melanggar ketentuan yang kita buat bersama untuk menanggapi sikap orang-orang Mataram yang tentu akan dapat berbuat apa saja atas padukuhan kita ini. "
Orang-orang padukuhan itupun mengangguk-angguk. Mereka menyadari akibat yang dapat menimpa padukuhan mereka, jika mereka melanggar ketentuan yang telah mereka sepakati dalam hubungan dengan sikap Kiai Jayaraga yang mengaku sebagai orang Mataram.
" Namun tidak akan lama " setiap orang dipadukuhan itu bergumam didalam hati. Namun waktu yang tidak lama itu harus mereka taati dengan baik.
Dalam pada itu, maka Kiai Jayaraga dan Kiai Gringsing benar-benar telah meninggalkan padukuhan itu. Dengan yakin Kiai Jayaraga berkata " Aku kira, orang-orang padukuhan itu akan menghentikan kegiatan mereka. Kita akan dapat menghubungi angger Untara. Dalam waktu-waktu tertentu, angger Untara dapat mengirimkan sepasukan kecil prajurit untuk meronda didaerah itu dan setiap kali memperingatkan agar orang-orang padukuhan itu tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat menjerumuskan mereka ketiang gantungan. "
Kiai Gringsingpun mengangguk-angguk. Iapun sependapat, jika hal itu tidak akan sangat merepotkan tugas Untara, karena dalam masa-masa tenang, para prajurit itu akan dapat memperhatikan dengan saksama perlindungan mereka terhadap rakyat Mataram.
Namun dalam pada itu, keduanya telah menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa seorang anak muda telah berjalan bersama mereka sambil berkata " Yang Kiai lakukan berdua benar-benar tidak menarik. "
" Apanya yang tidak menarik menurut Raden" " bertanya Kiai Gringsing.
" Penyelesaian yang sangat lunak " jawab Raden Rangga.
" Raden memang aneh " jawab Kiai Gringsing " Raden sendiri berusaha untuk mencapai penyelesaian yang lunak. Kenapa Raden menganggap bahwa penyelesaian
yang kami lakukan tidak menarik. "
" Yang dilakukan oleh orang-orang padukuhan itu sudah keterlaluan. Sementara itu Kiai berdua masih saja dengan rendah hati minta diri sambil terbongkok-bongkok " berkata anak muda itu " dalam pada itu, sebenarnya Kiai dapat membakar rumah-rumah dipadukuhan itu sebagai hukuman atas tingkah laku mereka. "
" Apakah hal itu perlu dilakukan" " bertanya Kiai Gringsing.
" Menyenangkan sekali. Kita akan melihat lautan api yang akan membuat langit menjadi merah " berkata Raden Rangga.
Sementara itu Panembahan Senapati tidak akan marah kepada Raden karena yang melakukannya bukan Raden " jawab Kiai Gringsing.
Wajah Raden Rangga menjadi merah padam. Namun kemudian iapun tertawa. Katanya " Kiai memang memiliki ketajaman penglihatan batin. Kiai dapat menebak kata hatiku. Tetapi tidak mengapa. Sebenarnyalah memang demikian. Aku ingin melihat sesuatu yang menarik tetapi diluar tanggung jawabku. "
" Sudahlah Raden " berkata Kiai Gringsing " kita tinggalkan padukuhan itu. Biarlah para prajurit Mataram, khususnya yang berada di Jati Anom atau Pajang mengawasi mereka. "
Raden Rangga termangu-mangu. Namun ia tidak menjawab.
Sementara itu Kiai Jayaragapun berkata " Usaha Raden mengendalikan diri sebelumnya sangat terpuji. Bahkan seolah-olah Raden telah melarikan diri dengan pelepah kelapa itu. "
" Aku memang akan memberikan kesan yang baik bagi diriku. Karena itu aku berharap Kiai berdua yang melakukannya. Membakar padukuhan itu " jawab Raden Rangga " sebenarnya aku sudah mulai membakar pendapa banjar itu. "
" Angger berdiri disimpang jalan, antara perilaku dan sifat-sifat Raden yang sebenarnya dengan satu kesadaran untuk mentaati perintah ayahanda Raden " berkata Kiai Jayaraga selanjutnya.
Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk. Katanya " Ya. Kiai telah menebak dengan tepat. "
" Cobalah Raden melatih diri. Akhirnya Raden akan terbiasa untuk memilih mengikuti perintah ayahanda. Dengan demikian Raden sudah ikut menegakkan kewibawaan ayahanda dan Mataram " berkata Kiai Jayaraga kemudian.
Raden Rangga mengangguk-angguk. Katanya " Aku mengerti. Tetapi kadang-kadang gejolak perasaan ini tidak terbendung. Apakah Kiai berdua menyangka bahwa tidak ada sama sekali kesadaran didalam diriku untuk berlaku baik" " Tidak. Bukan begitu. Aku tahu, bahwa ada niat didalam hati Raden untuk bertingkah laku baik. " jawab Kiai Gringsing.
Raden Rangga justru menjadi termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja ia tertawa " Kiai memang lucu. Terima kasih atas tanggapan Kiai terhadap sikapku. "
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Lalu katanya
" Aku tidak main-main Raden. "
" Aku mengerti Kiai " Raden Rangga masih tertawa
" tetapi baiklah. Kita berbicara tentang yang lain. "
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Sementara itu mereka berjalan semakin jauh meninggalkan padepokan yang dihuni oleh orang-orang yang mempunyai cara hidup yang tidak sewajarnya.
Namun tiba-tiba saja Raden Rangga bertanya " Apakah Kiai percaya kepada orang-orang itu" " Mudah-mudahan mereka dapat dipercaya. Sementara itu, pengawasan dapat saja dilakukan terus-menerus. " jawab Kiai Gringsing.
" Kita bertaruh, siapakah yang jemu lebih dahulu. Kita yang akan mengawasi mereka, atau mereka yang kita awasi" " bertanya Raden Rangga.
08 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tersenyum sambil menjawab " Para prajurit Mataram tidak boleh menjadi jemu mengamati ketenteraman hidup di negeri ini. "
Raden Rangga mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba katanya " Tetapi aku tidak dapat berjalan lamban seperti ini. Terima kasih atas segala kebaikan Kiai berdua. Aku akan berjalan mendahului. "
" Apakah Raden masih akan singgah" " bertanya Kiai Gringsing.
" Tidak Kiai. " jawab Raden Rangga.
" Sebenarnya Raden tidak perlu mendahului. Raden sebaiknya mengajak kami untuk berjalan lebih cepat "-berkata Kiai Gringsing " mungkin kami berdua juga mampu berjalan secepat Raden. "
Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian sambil tersenyum ia berkata " Ya. Kiai berdua dapat mengikuti aku. Tetapi barangkali lebih baik bagiku untuk berjalan sendiri. Jika Kiai ingin mengikuti aku, silahkan. "
Raden Rangga tidak menunggu kedua orang tua-tua itu menjawab. Namun tiba-tiba saja anak itu sudah berjalan terlalu cepat mendahului Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga.
Sebenarnya Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga dapat saja berjalan secepat itu. Tetapi keduanya menganggap bahwa hal itu tidak perlu dilakukannya. Menurut dugaan mereka, Raden Rangga tentu tidak akan berbuat aneh-aneh lagi diperjalanan.
Sebenarnyalah bahwa Raden Rangga ingin cepat sampai keistana. Jika Ki Juru datang, ia berharap sudah lebih dahulu berada di Mataram. Dengan demikian maka tidak akan timbul kesan yang kurang baik atas dirinya.
Sementara itu, Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga berjalan dengan langkah-langkah wajar. Mereka tidak langsung kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi mereka singgah di Jati Anom. Di padepokan kecil Kiai Gringsing.
" Aku kira pada saatnya nanti, pasukan Untara akan kembali ke Jati Anom " berkata Kiai Gringsing " Jika demikian, maka orang-orang Tanah Perdikan Menorehpun kembali pula ke daerah mereka. "
" Kita akan pergi ke Tanah Perdikan " berkata Kiai Jayaraga.
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Lalu katanya " Mungkin aku tidak akan pergi ke Tanah Perdikan. Tetapi jika Kiai Jayaraga tidak berani pergi sendiri, maka biarlah aku mengantarkan sampai ketempat, baru aku kembali lagi ke padepokan ini. "
Kiai Jayaraga tertawa. Katanya " Mungkin Kiai juga tidak akan berani kembali sendiri ke padepokan ini, sehingga aku harus mengantarkan Kiai pula. "
Kiai Gringsingpun tersenyum pula. Namun kemudian katanya " Kiai dapat menunggu disini. Jika pasukan Tanah Perdikan sudah kembali, maka Kiaipun dapat kembali pula ke Tanah Perdikan. "
" Baiklah " berkata Kiai Jayaraga " jika aku mendahului kembali ke Tanah Perdikan, maka aku kira aku akan kesepian. Aku akan tinggal di padepokan Kiai sampai pasukan Mataram di Jati Anom atau pasukan Kademangan Sangkal Putung kembali. "
" Aku akan sangat berterima kasih " berkata Kiai
Gringsing " aku akan mendapat kawan untuk beberapa hari. Selama itu kita akan dapat menikmati hidup kita yang tersisa dalam ketenangan dan ketenteraman. Namun dengan kesadaran, bahwa ketenangan dan ketenteraman itu hanya kita dapati dalam lingkungan yang sangat terbatas, dalam waktu yang terbatas pula, karena kita sendiri masih dengan senang hati melibatkan diri kedalam ketidak tenangan dan ketidak tenteraman. "
Kiai Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Memang sulit untuk membatasi diri dalam lingkungan tertutup untuk mendapatkan kedamaian hati. Karena kedamaian yang demikian adalah kedamaian yang sangat terbatas dalam mementingkan diri sendiri.
" Sedangkan damai yang sebenarnya masih saja bagaikan tergantung di awang-awang " berkata Kiai Jayaraga didalam hatinya " namun yang menjadi idaman semua manusia dibumi. "
Sebenarnyalah -kedua orang tua-tua itu sadar, bahwa mereka tidak akan berarti sama sekali, jika mereka benar-benar menutup diri dalam kemampuan dan kesadaran yang tinggi dengan kedamaian itu. Seandainya lampu, maka dengan menutup diri, mereka adalah lampu-lampu yang rapat tertutup didalam kerudung. Sementara yang diperlukan adalah lampu yang menyala dan menerangi kegelapan dise-kitarnya, karena lampu baru berarti jika terangnya memberikan arti.
Demikianlah, maka untuk sementara Kiai Jayaraga itu telah berada di padepokan kecil Kiai Gringsing di Jati Anom. Padepokan kecil yang sering ditinggalkannya. Namun beberapa orang cantrik telah dengan tekun merawat padepokan itu, memelihara sawah dan ladang yang menjadi lumbung makan padepokan kecil itu.
" Kadang-kadang aku merasa bersalah terhadap para cantrik " berkata Kiai Gringsing.
Kiai Jayaraga mengerutkan keningnya. Kemudian dengan nada datar ia bertanya " Kenapa Kiai merasa bersalah" "
" Mereka telah menyerahkan segala-galanya yang mereka punya bagi padepokan ini. Karena mereka hanya memiliki kesetiaan, tenaga dan wadag mereka, maka semuanya itulah yang telah diberikan kepada padepokan kecil ini. "
" Kenapa Kiai justru merasa bersalah" " bertanya Kiai Jayaraga.
" Yang aku berikan kepada mereka sama sekali tidak seimbang " jawab Kiai Gringsing " aku hanya memberikan sedikit ilmu kepada mereka, baik dalam olah kanuragan maupun ilmu kepandaian. Aku hanya sekedar memperkenalkan mereka dengan huruf dan angka. Tetapi aku kurang mengasah ketajaman nalar mereka untuk mencerdaskan pikiran mereka. "
" Apakah kemampuan mereka untuk menyerap ilmu cukup tinggi" " bertanya Kiai Jayaraga.
" Itulah yang membuat aku prihatin " jawab Kiai Gringsing " nampaknya mereka tidak mudah untuk menerima pengetahuan, sehingga kemajuan mereka memang sangat lamban. Tetapi justru karena itu, seharusnya aku lebih tekun menuntun mereka sehingga mereka dapat menerima lebih banyak dari yang mereka terima sekarang. "
" Apakah Kiai akan membentuk mereka sebagai adik-adik Agung Sedayu dan Swandaru" " bertanya Kiai Jayaraga.
" Tidak Kiai " jawab Kiai Gringsing " aku sudah tidak akan mampu melakukannya. Selebihnya, Agung Sedayu dan Swandaru sendiri memang memiliki kemampuan untuk mengangkat dirinya sendiri menjadi orang yang berilmu tinggi. Sementara anak-anak itu sulit untuk dapat berbuat meskipun hanya sekuku ireng. Kurnia yang diterima Agung Sedayu dan Swandaru memang berbeda dengan kurnia yang diterima oleh anak-anak itu. Namun untuk menggarap sawah dan memilih benih padi yang paling baik, Agung Sedayu dan Swandaru tidak akan menang dari mereka. "
Kiai Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Dalam menuntun murid-muridnya Kiai Jayaragapun memiliki pengalaman. Memang kemampuan menangkap dan mengembangkan ilmu didalam diri seseorang agak berbeda dan bahkan ada yang jauh berbeda. Sementara itu, ketekunan dan kemauan menempa diri untuk menembangkan yang telah disadapnya itupun berbeda pula.
Namun sementara itu Kiai Gringsing berkata - Tetapi untuk menutup kekurangan-kekurangan itu, aku telah memberikan ilmu yang lain kepada mereka. Mereka mampu menangkap dan mengembangkannya melampaui Agung Sedayu. Sebagai petani mereka adalah pahlawan-pahlawan karena mereka dapat berbuat sangat banyak. Mereka mampu mengembangkan bibit menjadi jenis-jenis yang lebih baik dan telah bekerja keras untuk menyiapkan tanah menjadi sawah, ladang dan pategalan. Namun dengan keseimbangan dengan nafas kehidupan lingkungannya, sehingga mereka tidak berbuat semena-mena atas alam. "
Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Menurut penglihatannya padepokan kecil itu memang berkembang. Para cantrik yang sedikit itu telah bekerja keras tanpa mengenal lelah untuk kepentingan padepokan mereka.
Dalam pada itu, untuk beberapa hari Kiai Jayaraga memang berada dipadepokan kecil itu. Ia memang menunggu prajurit Mataram di Jati Anom atau para pengawal di Sangkal Putung kembali sebelum ia kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.
Ternyata beberapa hari kemudian, yang ditunggu itupun datang. Untara telah kembali dengan pasukannya ke Jati Anom. Ternyata luka-lukanya telah menjadi baik meskipun masih belum pulih kembali.
"- Apakah semua pasukan Mataram telah ditarik" " bertanya Kiai Gringsing ketika bersama Kiai Jayaraga menemui Untara dirumahnya untuk mendengar berita tentang Pajang.
" Sudah Kiai " jawab Untara " semua pasukan Mataram dan Jipang telah ditarik. Nampaknya akan ada pergantian pimpinan pemerintahan di Pajang, Jipang dan Demak. "
Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Sementara itu Untara menceriterakan keputusan Panembahan Senopati untuk memindahkan Adipati Pajang ke Demak, dan memindahkan Pangeran Benawa ke Pajang dan dilaksanakan segera.
Kiai Gringsing menarik nafas sambil berkata " Pangeran
Benawa telah mendapat tempat yang paling baik baginya. Seharusnya mereka memang berada di Pajang. Meskipun Adipati Pajang lebih tua daripadanya, Tetapi ia adalah menantu Kang-jeng Sultan Hadiwijaya yang memerintah di Pajang pada waktu itu. "
" Apakah Panembahan Senopati masih berada di Pajang"
" bertanya Kiai Jayaraga.
" Tidak ! Panembahan Senopati telah kembali ke Mataram. Pengawasan pelaksanaan perintahnya dilakukan oleh Pangeran Benawa sendiri. " berkata Untara.
" Bagaimana dengan Ki Juru" " bertanya Kiai Gringsing pula.
" Ki Mandaraka telah kembali pula ke Mataram. Ia mempunyai tugas untuk mengawasi Raden Rangga. " jawab Untara.
Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga menarik nafas berbareng. Namun kemudian mereka hanya saling berpandangan, karena mereka berdua tidak mengatakan sesuatu tentang Raden Rangga pada saat itu. Dalam kesempatan lain, Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga ingin berbicara tentang sebuah padukuhan yang memiliki penghuni yang khusus, agar mendapat pengawasan dari para prajurit di Jati Anom. Tetapi keduanya ingin sedikit mendengar berita- tentang Raden Rangga lebih dahulu.
Karena itu, Kiai Gringsing itupun telah bertanya " Apakah angger dalam waktu dekat tidak menghadap ke Mataram" "
Ya. Beberapa hari lagi aku harus memberikan laporan ke Mataram bahwa pasukanku telah selamat sampai kebaraknya
" jawab Untara. Namun iapun kemudian bertanya " Apakah ada pesan dari Kiai berdua atau salah seorang dari Kiai berdua" "
Kiai Gringsing termangu-mangu. Ketika ia memandang Kiai Jayaraga, maka Kiai Jayaraga itupun sedang memandanginya.
Keduanya menarik nafas dalam-dalam. Namun Kiai Gring-singlah yang kemudian berkata " Baiklah ngger. Jika pada sua-tu saat kau pergi ke Mataram, maka seandainya ada waktu dan kesempatan, maka usahakan untuk dapat bertemu dengan Ki Juru. Bertanyalah kepadanya tentang anak muda yang bernama
Raden Rangga. " " Putera Panembahan Senopati yang mendapat marah dari ayahandanya di Pajang itu" " bertanya Untara.
" Ya. " jawab Kiai Gringsing " apakah ia sudah kembali berada dibawah pengawasannya. "
Untara yang telah mengetahui serba sedikit tentang Raden Rangga itupun mengangguk-angguk. Katanya " Baiklah " Aku akan berusaha untuk bertemu dengan Ki Juru. " ia berhenti sejenak, lalu tiba-tiba " tetapi kenapa tiba-tiba saja peristiwa Kiai berdua tertuju kepada Raden Rangga." "
"Tidak apa-apa " jawab Kiai Gringsing " tetapi aku bertemu dengan anak muda itu ketika kami berdua kembali dari Pajang. "
Untara termangu-mangu sejenak. Namun iapun tidak bertanya lebih lanjut tentang Raden Rangga.
Dengan demikian, maka Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga itupun kemudian minta diri. Sekali lagi Kiai Gringsing berpesan, agar di Mataram Untara berusaha untuk dapat bertemu dengan Ki Mandaraka yang mendapat tanggung jawab atas Raden Rangga yang dianggap sangat nakal itu.
Demikianlah, beberapa hari kemudian Untara memang pergi ke Mataram, sementara Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga justru sedang pergi ke Sangkal Putung.
Di Sangkal Putung Kiai Gringsing disambut dengan gembira oleh Swandaru, Pandan Wangi dan para pemimpin di Sangkal Putung. Setelah duduk sebentar dan saling mempertanyakan keselamatan, maka Kiai Gringsingpun telah bertanya " Apakah Agung sedayu dan isterinya langsung pergi ke Tanah Perdikan" "
" Ya, mereka bersama pasukan Tanah Perdikan telah kembali langsung ke Tanah Perdikan " jawab Swandaru.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Sementara Swandaru minta agar gurunya untuk sementara berada saja di Sangkal Putung.
Dalam pada itu, Untara yang berada di Mataram telah menghadap Panembahan Senopati untuk melaporkan bahwa pasukannya telah berada kembali dengan selamat di Jati Anom.
Memang tidak ada pesan khusus dari Panembahan Senopati.
Namun sebagai pernyataan terima kasih, maka Untara dan pasukannya telah menerima tunggul dan panji-panji yang menjadi pertanda atas jasa-jasa yang pernah diberikan kepada Mataram.
Sementara di Mataram, maka Untara telah mencari kesempatan untuk bertemu dengan Ki Mandaraka. Secara khusus Untara telah bertanya, apakah Raden Rangga telah berada kembali di Mataram.
Ki Mandaraka mengangguk-angguk. Katanya " Begitu besar perhatianmu atas Raden Rangga, Untara "
Untara tersenyum. Jawabnya " Tingkah laku Raden Rangga sangat menarik perhatian. Tetapi sebenarnyalah pertanyaan ini datang dari Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga. "
Ki Juru itupun tersenyum pula. " Jadi kau mendapat pesan dari Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga untuk mendapat keterangan tentang Raden Rangga" "
" Ya Ki Juru " jawab Untara.
Ki Mandaraka itupun kemudian berkata " Katakan kepada Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga, bahwa Raden Rangga telah kembali kepadaku. Ketika aku sampai di Mataram, ternyata anak itu sudah berada kembali di Kasatrian. "
" Sokurlah " desis Untara " kedua orang itu mempertanyakan Raden Rangga karena keduanya mengerti, tingkah laku yang aneh dari Raden Rangga. "
" Ya. Aku mengerti. Tetapi sekarang anak itu ada di-rumahku. Sejak dua hari lalu ia sudah berada di Kasatrian. Ternyata Raden Rangga kerasan tinggal bersamaku tanpa merasa disisihkan dari lingkungan keluarga istana. "- jawab Ki Juru.
" Baiklah Ki Juru, aku akan menyampaikan kepada Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga. Mudah-mudahan setelah Raden Rangga berada disini akan terjadi perubahan atas anak itu " gumam Untara.
"Perubahan itu tentu akan terjadi. Tetapi apakah peru bahan itu mengarah kepada perbaikan tingkah laku sebagaimana kita inginkan atau justru sebaliknya " sahut Ki Juru sambil tersenyum.
Untarapun tersenyum pula. Katanya " Apa kekurangan Ki Juru. Aku yakin bahwa Ki Juru akan berhasil. " Mudah-mudahan " jawab Ki Juru " agaknya anak itu mulai tertarik kepada peternakan. "
" Untara mengangguk-angguk. Katanya " Sokurlah. Mudah-mudahan kesenangannya itu akan mengurangi kenakalannya. "
Dengan sedikit keterangan tentang Raden Rangga itu, maka Untara meninggalkan Mataram. Tunggul dan Panji-panji itu memberikan kebanggaan yang besar bagi pasukan Untara yang telah dianggap berjasa besar dalam perang di Pajang. Namun disamping kebanggaan itu, Jati Anom memang telah berkabung atas gugurnya beberapa orang pahlawannya yang terbaik di Pajang. "
Ketika Untara kemudian menemui Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga di Sangkal Putung, maka iapun telah menceriterakan segala sesuatunya tentang Raden Rangga.
" Sokurlah " berkata Kiai Gringsing " mudah-mudahan hal itu tidak hanya berlaku untuk satu dua bulan. Jika Raden Rangga memang tertarik pada peternakan, maka satu kemungkinan, bahwa ia akan menekuni kesenangannya itu sehingga tidak lagi mempunyai kesempatan untuk berbuat aneh-aneh. "
Untara mengangguk-angguk. Iapun berharap demikian.
Meskipun ia belum pernah mengalami langsung, namun anak muda seperti Raden Rangga itu akan dapat berbuat sesuatu diluar dugaan.
Namun sementara itu Kiai Gringsing berkata " Tetapi sebenarnyalah bahwa Raden Rangga bukan seorang yang hatinya buruk. Ia memang nakal seperti kebanyakan anak-anak muda. Tetapi ia memiliki sesuatu yang lain yang diluar kehendaknya sendiri ada padanya, pada mulanya. Yaitu kemampuan yang sangat tinggi. Karena itu kenakalannya yang sebenarnya wajar, didukung oleh ilmu yang tinggi membuatnya menjadi seorang anak muda yang sulit dikendalikan. Kadang-kadang Raden Rangga hanya ingin sekedar bergurau dengan tingkah lakunya. Namun akibatnya jauh lebih besar dari sebuah kelakar saja. "
Untara mengangguk-angguk. Iapun mengerti bahwa pembunuhan atas Wiladipa dilandasi dengan niat yang sebenarnya baik. Tetapi anak itu belum dapat mengetrapkan pertimbangan-pertimbangan yang luas dalam memilih langkah-langkah, terutama yang berhubungan dengan soal-soal yang besar, yang memang belum waktunya dipikirkannya. Namun didalam dirinya ternyata telah terdapat kemampuan ilmu yang sangat tinggi.
Dalam kesempatan itu, maka Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga telah menceriterakan apa yang telah terjadi pada saat Raden Rangga kembali dari Pajang.
" Sebenarnya Raden Rangga telah berusaha menghindari kemungkinan yang lebih buruk dengan menyingkir dari padukuhan itu " berkata Kiai Gringsing " tetapi kami berdua tidak mengira, bahwa justru kehadiran kami berdua hampir saja membuat padukuhan itu menjadi abu. "
" Sokurlah bahwa hal itu tidak terjadi " berkata Untara sambil mengangguk-angguk.
Sementara itu Kiai Gringsingpun telah menyerahkan pengawasan padukuhan itu kepada Untara, karena Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga tidak yakin, bahwa tanpa pengawasan, tingkah laku orang-orang padukuhan itu akan tetap baik sebagaimana mereka janjikan.
Namun Kiai Gringsing itupun berkata lebih jauh " Tetapi ngger, persoalannya bukan hanya sekedar mengawasi orang-orang padukuhan itu sendiri. Tetapi petugas yang angger kirimkan harus juga mengawasi kemungkinan Raden Rangga kembali lagi ke padukuhan itu. Jika pada suatu saat, Raden Rangga tidak mempunyai kesibukan apapun juga, maka mungkin sekali ia akan ingat kepada padukuhan yang pernah diajaknya bergurau itu, namun yang hampir saja benar-benar menyeretnya kedalam satu gejolak perasaan, sehingga berniat untuk membuat padukuhan itu benar-benar menjadi abu. "
Untara mengangguk-angguk. Katanya " Baiklah. Kami akan melakukannya. Kami akan mencoba mengawasi lingkungan itu sebaik-baiknya. Namun apakah kami mampu mengawasi Raden Rangga itulah yang masih merupakan teka-teki bagi kami. "
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Memang sesuatu yang sulit untuk dilakukan. Tetapi jika benar bahwa Raden Rangga telah mempunyai satu kegemaran sesuai dengan keterangan Ki Juru Martani, maka setidak-tidaknya untuk sementara anak itu tidak akan berkeliaran ke padukuhan itu. "
Untara mengangguk-angguk. Ia memang merasa mempunyai wewenang untuk melakukannya, karena padukuhan itu berada itu didalam lingkup pengawasannya, Mataram disisi yang berhadapan dengan Pajang.
Demikianlah, Untara tidak terlalu lama berada di Sangkal Putung. Sejenak kemudian iapun minta diri pula kepada Swandaru dan Ki Demang Sangkal Putung.
Sepeninggal Untara, maka Swandaru itupun bergumam " Kenapa guru tidak memerintahkan kepadaku untuk menyelesaikan persoalan yang guru katakan kepada Ki Untara. "
"Tentang apa Swandaru" " bertanya Kiai Gringsing.
"Tentang padukuhan itu. Sebenarnya guru tidak usah menyerahkan persoalan itu kepada kakang Untara, karena aku, murid gurupun dapat menyelesaikannya " jawab Swandaru.
Soalnya bukan dapat atau tidak dapat " berkata Kiai Gringsing " tetapi Untara mempunyai wewenang untuk melakukannya. "
" Bukan hanya kakang Untara " sahut Swandaru " setiap orang mempunyai hak untuk menghancurkan kejahatan. Meskipun aku bukan prajurit, namun aku juga berhak untuk melindungi orang-orang yang lemah. "
" Kau benar Swandaru " jawab Kiai Gringsing " tetapi yang harus dilakukan bukan memerangi kejahatan itu dengan langsung. Tetapi pencegahan. Dan itu lebih baik dilakukan oleh prajurit-prajurit Mataram meskipun mereka harus bertugas sandi. Namun dalam keadaan tertentu mereka dapat bertindak atas nama Mataram karena mereka memang prajurit-prajurit yang bertugas. "
Swandaru mengerutkan keningnya. Dengan nada rendah ia berkata " Tetapi itu bukan keharusan. Meskipun aku bukan prajurit, namun jika aku berhasil, justru aku akan mendapat nilai lebih baik dari kakang Untara yang memang prajurit. "
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Ketika ia berpaling kearah Kiai Jayaraga, maka dilihatnya orang tua itu menjadi agak tegang. Tetapi Kiai Jayaraga tidak mengucapkan sepatah katapun juga.
Namun demikian Kiai Gringsing dapat menangkap perasaan orang tua itu, bahwa ia tidak sependapat dengan Swandaru. Namun orang tua itu merasa tidak berhak untuk menjawab pernyataan murid kepada gurunya itu.
Sejenak kemudian Kiai Gringsinglah yang memang telah menjawab " Swandaru. Aku mengerti jalan pikiranmu. Tetapi aku memang mempunyai banyak pertimbangan. Bagiku, tugas itu memang tugas seorang atau sekelompok prajurit. Sementara itu, kau masih letih setelah kau terlibat dalam perang di Pajang. Demikian juga para pengawal. Karena itu, sebaiknya kita tidak usah mempersulit diri. Biarlah hari ini kita serahkan saja kepada prajurit Mataram.
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia mengangguk-angguk. Katanya " Terima kasih guru. Tetapi sebenarnya guru tidak usah mempertimbangkan bahwa aku masih letih. Seorang prajurit atau orang yang bertugas sebagai prajurit, tidak akan pernah merasakan demikian. "
"Aku mengerti " jawab gurunya. " Tetapi apa artinya padukuhan itu buatmu. Kau tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali permusuhan. Memang kedudukanmu agak berbeda dengan kedudukan seorang prajurit.
Swandaru tidak membantah lagi meskipun sebenarnya ia tidak begitu puas mendengar keterangan gurunya itu. Namun demikian, ia menempatkan dirinya dalam kedudukan seorang murid.
Sementara Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga untuk satu dua hari masih berada di Sangkal Putung, maka Untara memang telah mempersiapkan sekelompok petugas sandi untuk dibebani tugas mengamati padukuhan itu. Untara mengerti bahwa tugas itu bukan tugas untuk satu dua hari, tetapi justru untuk waktu yang lama. Namun para petugas tidak perlu setiap hari mengamati keadaan padukuhan itu. Mungkin dalam waktu beberapa hari sekali, dua atau tiga orang petugas melihat-lihat keadaan. Bertanya kepada tetangga-tetangga padukuhan dan mengamati para penjahat yang tertangkap justru didaerah lain. Mungkin penjahat itu berasal dari padukuhan yang sedang diamati.
Namun seperti dikatakan oleh Kiai Gringsing, bahwa Untara tidak hanya harus mengawasi padukuhan itu, tetapi juga kemungkinan Raden Rangga datang lagi ke padukuhan itu untuk bermain-main dengan gaya Raden Rangga yang nakal itu.
Tetapi sebenarnyalah pada saat itu Raden Rangga sedang menekuni satu kegemaran baru. Oleh Ki Juru Raden Rangga didorong untuk bermain-main dengan ternak. Satu hal yang tidak pernah mendapat perhatiannya. Namun yang ternyata kemudian memang menarik perhatiannya.
Karena itu, maka tidak ada minatnya untuk pergi kepadukuhan yang semula memang menarik untuk dikunjungi, karena di padukuhan itu ia merasa mendapat permainan yang dapat diperlakukan sekehendaknya.
" Tidak akan ada seorangpun yang melindungi para penjahat " berkata Raden Rangga didalam hatinya.
Namun untunglah bahwa Ki Juru telah mengikatnya dengan sebuah kegemaran baru.
Dalam pada itu, pergeseran di Pajangpun telah terjadi. Pangeran Benawalah yang kemudian menjadi Adipati di Pajang sesuai dengan keinginan Panembahan Senapati. Dengan demikian maka Pangeran Benawa yang menolak menjadi seorang Raja menggantikan ayahanda Sultan Hadiwijaya, telah berada di istana ayahandanya meskipun dalam kedudukan seorang Adipati.
Sementara itu sebagaimana di kehendaki oleh Panembahan Senapati beberapa jenis pusaka telah dibawa serta ke Mataram. Pusaka yang dianggap milik pimpinan tertinggi Tanah yang terbentang seluas Mataram yang semakin besar.
Pusaka-pusaka yang kemudian dibawa ke Mataram adalah Gong Kiai Sekar Dalima, kendali Kiai Macan Guguh, cekatakan Kiai Gatayu dan beberapa pusaka yang lain pula.
Namun bukan berarti bahwa Gedung Pusaka di Pajang menjadi kosong. Masih banyak pusaka yang ditinggalkan oleh Panembahan Senapati dan diserahkan kepada Adipati Pajang yang baru, Pangeran Benawa.
Dalam saat-saat terakhir, Mataram memang nampak menjadi tenang. Bukan hanya Mataram itu sendiri. Tetapi juga sampai ke daerah Kadipaten yang berada dibawah pimpinan Mataram.
Sementara itu, Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga sudah tidak berada di Sangkal Putung lagi. Kiai Gringsing sebagaimana dikehendaki berada di padepokan kecilnya. Sementara Kiai Jayaraga telah berada di Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi Ki Widura telah berada kembali di Banyu Asri sedangkan Glagah Putih masih tetap berada di Tanah Perdikan Menoreh.
Dibawah bimbingan Kiai Jayaraga Glagab Putih memang maju pesat. Sementara itu Glagah Putih sendiri mempunyai kemauan yang sangat keras untuk melatih dan menempa diri.
Namun dalam pada itu, ternyata Raden Rangga tidak melupakannya. Disamping kesibukannya menggemari ter-nak-ternaknya, maka Raden Rangga kadang-kadang masih muncul di Tanah Perdikan Menoreh. Nampaknya anak muda itu memang senang sekali bermain dan berlatih dengan Glagah Putih, meskipun bagi Raden Rangga, Glagah Putih masih berada di tataran dibawahnya. Namun tidak ada anak muda yang dekat sebaya dengan umurnya yang dapat diajak bermain-main seperti Glagah Putih itu.
Sementara Raden Rangga menekuni ternak-ternaknya, akhirnya ia sampai juga kepada satu pilihan. Ternyata Raden Rangga sangat menggemari kuda. Perhatiannya sebagian besar tercurah kepada kuda-kudanya yang dipeliharanya dengan cermat.
Seorang pekatik yang melayani Raden Rangga itupun berkata kepada kawannya " Kegemaran berkuda ayahanda Raden Rangga ternyata temurun kepadanya. "
Kawannya mengangguk-angguk. Katanya " Ya. Panembahan Senapati sejak masih disebut Ngabehi Loring Pasar sudah senang sekali bermain-main dengan kuda. Dalam usianya yang masih muda, Panembahan Senapati telah berhasil mengalahkan Arya Penangsang, meskipun Arya Penangsang adalah seorang Adipati yang pilih tanding. "
Pekatik itu menyahut " Jika Sutawijaya yang bergelar waktu itu Mas Ngabehi Loring Pasar tidak memiliki kemampuan berkuda, maka ia tidak akan mampu mengimbangi ketangkasan Arya Penangsang diatas punggung kudanya yang bernama Gagak Rimang. "
" Itu memang ikut menentukan " jawab kawannya " tetapi saat itu Raden Sutawijaya membawa pusaka terbesar Pajang, Kangjeng Kiai Pleret. Dengan Kangjeng Kiai
Pleret itu ia mengakhiri perlawanan Arya Penangsang yang jarang ada tandingnya itu. "
Pekatik itu mengangguk-angguk. Memang pada waktu itu, Panembahan Senapati membawa pusaka Kangjeng Kiai Pleret. Namun demikian pekatik itu berkata " Aku tahu, betapa dahsyatnya tombak Kangjeng Kiai Pleret. Namun seandainya Raden Sutawijaya itu tidak memiliki kemampuan yang tinggi bermain dengan kuda, maka ia tentu sudah terlempar dan bahkan mungkin terinjak oleh kuda Arya Penangsang yang bernama Gagak Rimang yang sangat garang itu. "
Kawannya kemudian berdesis " Ya. Tanpa memiliki kemampuan berkuda maka Raden Sutawijaya tidak akan mampu mempermainkan tombak pusaka terbesar Pajang pada waktu itu. "
Sementara itu, kegemaran Raden Rangga bermain dengan kuda membuat Ki Mandaraka menjadi sedikit tenang. Sehari-hari pekerjaan Raden Rangga menekuni beberapa ekor kuda pilihannya.
" Anak ini memang luar biasa " berkata Ki Mandaraka didalam hatinya " ketajaman penglihatannya atas kudapun melebihi orang lain. Apalagi seumurnya. Ia mampu menilai seekor kuda dengan cermat sebagaimana Panembahan Senapati sendiri. "
Sehingga dengan demikian, maka Ki Mandaraka mempunyai harapan bahwa Raden Rangga akan menjadi anak muda yang tidak terlalu bergejolak jiwanya, sehingga tidak akan banyak menimbulkan kesulitan bagi orang lain.
Ki Mandarakapun tahu, bahwa dimalam hari Raden Rangga masih sering meninggalkan kasatrian untuk melihat-lihat keadaan Mataram dan sekitarnya. Bahkan Ki Mandarakapun pernah dengan diam-diam mengikutinya, kemana anak itu pergi.
Namun pada satu kali Ki Mandaraka melihat, anak itu telah pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.
Dengan heran Ki Mandaraka melihat, kemampuan Raden Rangga untuk berlari dengan kecepatan yang sangat tinggi. Hanya karena dorongan tenaga cadangannya yang tinggilah, maka Ki Mandaraka mampu mengikutinya.
Namun Ki Mandaraka itu akhirnya menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Raden Rangga telah menemui Glagah Putih yang sedang berlatih di tempuran sebuah sungai yang tidak begitu besar, tetapi terdapat tepian yang agak luas penuh dengan batu-batu besar dan kecil.
Dengan tekun Ki Mandaraka justru menunggui Raden Rangga yang sedang berlatih bersama Glagah Putih. Sebenarnyalah bahwa Ki Mandaraka juga heran melihat kemampuan anak muda yang bernama Glagah Putih itu. Ia memiliki dasar ilmu yang rumit dan dilandasi oleh unsur gerak yang banyak ragamnya. Meskipun Glagah Putih belum sampai kepada tingkat kemampuan Raden Rangga yang memang termasuk aneh itu, namun ternyata bahwa dihari depannya Glagah Putih tentu akan menjadi seorang yang luar biasa.
Namun dalam pada itu, Ki Mandaraka tiba-tiba saja menjadi berdebar-debar. Ia melihat desir lembut dedaunan. Namun untuk sementara ia tidak berbuat sesuatu. Ia tetap berada ditempatnya, namun dengan kewaspadaanya yang tinggi.
Untuk beberapa saat tidak terjadi sesuatu. Namun Ki Mandaraka yakin bahwa seseorang berada diantara semak-semak, meskipun Ki Mandaraka tidak mengerti maksudnya. Menilik gerak yang lembut, maka Ki Mandaraka mengetahui bahwa orang itu tentu memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Keinginan Ki Mandaraka untuk mengetahui orang itu ternyata sulit untuk dikendalikannya. Karena itu, maka dengan kemampuannya yang jarang ada bandingnya, Ki Mandaraka telah bergeser mendekat.
Sebenarnyalah bahwa yang dilihat dalam gelapnya malam oleh Ki Mandaraka yang memiliki penglihatan lahir dan batin yang sangat tajam itu benar-benar seseorang yang sedang memperhatikan latihan antara Glagah Putih dan Raden Rangga. Demikian asyiknya ia menekuni setiap tata gerak kedua anak muda itu, hampir saja ia kehilangan kewaspadaan. Namun kemudian orang itupun mendengar langkah yang lembut mendekati tempatnya berlindung.
Orang itu bergeser. Namun kemampuannya yang tinggi membuat geraknya sama sekali tidak menimbulkan bunyi apapun juga.
Untuk sesaat, suasana menjadi beku. Namun akhirnya, kemampuan keduanyapun bersentuhan. Ki Mandaraka merasakan udara yang seakan-akan membawa isyarat, bahwa didalam gerumbul itu memang bersembunyi seseorang. Melampaui ketajaman hidung seekor binatang dihu-tan, pendengaran batin Ki Mandaraka bagaikan mendengar detak jantung seseorang yang sedang diamatinya itu.
Sementara itu, dibalik gerumbul ketajaman penglihatan seseorang yang memiliki Aji Sapta Pandulu telah melihat menembus gelapnya malam dan bayangan dedaunan, seseorang bergeser mendekatinya.
Namun akhirnya ketajaman penglihatan itupun telah menangkap wajah orang yang mendekati itu, sehingga karena itu, maka orang yang berada dibalik gerumbul itupun menarik nafas dalam-dalam.
Dengan hati-hati orang itu justru bergeser keluar gerumbul. Namun orang itu masih berusaha, agar kehadirannya tidak diketahui oleh Raden Rangga dan Glagah Putih.
Ki Mandaraka terkejut melihat orang itu. Ternyata orang itu adalah Agung Sedayu.
Ki Mandaraka tersenyum. Namun iapun sadar, bahwa Agung Sedayu masih tidak ingin diketahui kehadirannya. Karena itu, Ki Mandaraka tidak berkata sesuatu.
Meskipun keduanya tetap berdiam diri, namun rasa-rasanya keduanya telah saling memberikan salam. Karena itu, maka keduanyapun kemudian justru bersama-sama menyaksikan apa yang sedang dilakukan oleh Raden Rangga dan Glagah Putih.
Latihan-latihan yang dilakukan oleh kedua anak muda itu memang mendebarkan. Seakan-akan mereka tidak lagi membatasi kemampuan mereka. Yang mereka lakukan seakan-akan benar-benar satu perkelahian yang dahsyat.
Bahkan keduanya telah melepaskan beberapa segi ilmu mereka yang paling berbahaya. Meskipun mereka masih tetap menyadari dan mengendalikan diri, karena bagaimanapun juga, yang mereka lakukan adalah sekedar latihan.
Namun akhirnya latihan itupun sampai juga kepada akhirnya. Ketika Glagah Putih menjadi semakin terdesak, sehingga akhirnya nafasnya menjadi terengah-engah, Raden Rangga mengurangi tekanannya. Tetapi ternyata bahwa Raden Ranggapun telah menjadi sangat letih.
" Luar biasa " desis Raden Rangga ketika ia justru meloncat mundur " kau mampu memeras tenagaku sehingga nafasku hampir putus. "
Glagah Putih tidak segera menjawab. Beberapa langkah ia berjalan berputar-putar sambil menarik nafas dalam-dalam. Dengan kemampuan yang ada pada dirinya ia berusaha untuk memperbaiki pernafasannya yang berkejaran lewat lubang hidungnya. Sejenak kemudian Glagah Putih itupun duduk diatas sebongkah batu dengan tangan bersilang didada.
Raden Rangga tertawa pendek. Tetapi iapun menjatuhkan dirinya ditepian. Ia sama sekali tidak berbuat sebagaimana dilakukan oleh Glagah Putih meskipun nafasnya juga terengah-engah. Tetapi ia justru membaringkan dirinya diatas pasir.
Untuk beberapa saat keduanya saling berdiam diri. Dengan caranya masing-masing keduanya berusaha untuk memperbaiki pernafasan mereka.
Pada saat yang demikian Agung Sedayu memberi isyarat kepada Ki Mandaraka untuk mendekat. Tetapi Ki Mandaraka menggeleng. Dengan isyarat pula ia menyatakan, bahwa ia tidak akan menampakkan diri. Bahkan akan segera meninggalkan tempat itu.
" Aku akan kembali ke Mataram segera " desis Ki Mandaraka " anak itu jangan mengetahui bahwa aku sering mengikutinya. "
Agung Sedayu mengangguk sambil tersenyum.
Demikianlah, maka Ki Mandaraka itupun segera bergeser menjauh.
Kemudian menghilang dibalik gerumbul-gerumbul perdu yang bertebaran ditempat itu.
Sepeninggal Ki Mandaraka yang juga disebut Ki Juru Martani, maka Agung Sedayupun telah bangkit berdiri. Perlahan-lahan ia melangkah ketebing dan bahkan iapun segera menuruni tebing itu pula.
Ternyata kedua anak muda yang berada ditepian mempunyai pendengaran yang sangat tajam. Merekapun dengan serta merta telah meloncat bangkit dan siap menghadapi segala kemungkinan.
" Aku " desis Agung Sedayu.
" Kakang Agung Sedayu " sahut Glagah Putih.
" Ya " jawab Agung Sedayau.
" Kenapa kakang berada disini" " bertanya Glagah Putih pula.
Namun yang terdengar adalah suara tertawa Raden Rangga. Katanya " Pertanyaan yang bodoh. Kau tentu sudah tahu jawabnya. "
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia menjawab " Ya. Aku memang sudah tahu jawabnya. "
Namun dalam pada itu, dari tebing diseberang, mereka telah melihat pula seseorang yang turun perlahan-lahan.
Dengan segera merekapun mengetahui, bahwa orang itu adalah Kiai Jayaraga.
" Apakah kau juga akan bertanya kenapa ia berada di-sini" " bertanya Raden Rangga kepada Glagah Putih.
Glagah Putih tersenyum sambil menggeleng. Jawabnya " Tidak. Aku sudah tahu jawabnya. "
Sejenak kemudian Kiai Jayaraga telah berada ditepian pula. Raden Rangga yang memiliki ilmu yang luar biasa itu tiba-tiba saja bertanya " Apa yang kurang Kiai" "
" Pada Raden tidak ada yang kurang. Tetapi banyak terdapat kekurangan pada Glagah Putih. " jawab Kiai Jayaraga.
" Ia memiliki landasan ilmu yang dapat menyadap kekuatan api, air, udara dan bumi. Tentu Kiai yang memberinya. Bukan Agung Sedayu. Jika Glagah Putih berhasil mengembangkannya, maka ia akan menjadi orang yang tidak ada tandingnya pada umurnya " berkata Raden Rangga.
" Tentu hal itu tidak berlaku bagi Raden Rangga " potong Agung Sedayu " Raden Rangga mempunyai ilmu apa saja. Sentuhan tangan Raden Rangga rasa-rasanya dapat melemahkan kekuatan lawan. Sementara itu, Raden Rangga mampu juga mengendalikan kekuatan api, air, udara dan bumi bagi kepentingan Raden pada saat tertentu. "
" Kadang-kadang aku tidak menyadari apa yang aku miliki. Ia datang begitu saja dalam mimpi-mimpi. Tetapi mimpi itu seakan-akan benar-benar telah terjadi pada satu saat yang tidak aku kenali. " jawab Raden Rangga.
" Asal saja Raden sadari. Kadang-kadang Raden lupa bahwa Raden memiliki ilmu yang dahsyat " berkata Agung Sedayu kemudian " sehingga Raden masih saja berada dalam masa kanak-kanak dengan kenakalan-kenakalan yang akibatnya sangat menyulitkan orang lain.
" Apakah begitu" " bertanya Raden Rangga.
" Sebagian memang begitu " jawab Agung Sedayu " namun kadang-kadang ada juga yang mempunyai akibat yang tidak Raden kehendaki meskipun dengan sengaja Raden berbuat dengan maksud baik. Tetapi pertimbangan Radenlah yang tidak sesuai dengan kepentingan yang sebenarnya. "
" Aku tidak mengerti " desis Raden Rangga.
" Satu contoh pada saat Reden membunuh Ki Wiladipa " jawab Agung Sedayu.
" Aku bermaksud baik " jawab Raden Rangga.
" Ya. Semua orang percaya bahwa Raden bermaksud baik. Tetapi akibatnya tidak sebagaimana Raden duga " jawab Agung Sedayu.
Raden Rangga mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja ia berkata kepada Glagah Putih " Kau dengar hal itu" Jangan terjadi atasmu. Aku sadar bahwa ada perbedaan diantara kita.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia melihat Raden Rangga menundukkan kepalanya. Dengan lemah ia duduk di atas sebongkak batu.
" Kenapa Raden " bertanya Glagah Putih.
" Kau menyadap ilmu dengan laku yang wajar, Perkembangan ilmumu meningkat sejalan dengan peningkatan dan perkembangan nalarmu. Aku tidak. Kadang-kadang aku tidak tahu apa yang terjadi atasku. " desis Raden Rangga.
" Raden " Agung Sedayulah yang menyahut " ternyata Raden mampu menjangkau penalaran yang jauh. Raden mampu mengurai keadaan Raden sendiri dengan sadar. Raden melihat apa yang terjadi didalam diri Raden, sehingga dengan demikian maka Raden mengetahui apa yang tidak Raden ketahui. "
" Kadang-kadang " jawab Raden Rangga " tetapi kadang-kadang aku tidak melihatnya. "
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandangi Raden Rangga yang duduk dengan lesu itu, seakan-akan ia melihat seseorang yang hidup dalam dua lingkungan yang berbeda tanpa dikenalinya. Sekali-sekali Raden Rangga mampu berpikir jernih sebagai mana seorang yang dewasa melampaui batas umurnya. Namun pada saat yang lain, kekanak-kanakannya telah timbul kembali sehingga ia berbuat sesuatu yang tidak dipikirkannya lebih dahulu.
Keadaan itulah yang kadang-kadang telah menyulitkan kedudukan Raden Rangga, bahkan kadang-kadang ia berdiri ditengah-tengah dan terombang-ambing tanpa dapat berbuat sesuatu, Kadang-kadang ia didorong oleh satu sikap untuk melakukan sesuatu yang dianggapnya baik, namun yang terjadi justru sebaliknya.
" Raden " berkata Agung Sedayu kemudian " yang perlu Raden lakukan kemudian adalah berusaha untuk tetap mengenali diri sendiri. "
" Aku akan berusaha " jawab Raden Rangga.
Namun tiba-tiba saja Raden Rangga mengangkat wajahnya. Dilihatnya langit yang hitam. Kemudian katanya " Aku harus segera kembali. Aku tidak boleh terlalu lama berada disini. "
Raden Ranggapun kemudian segera bangkit dan berkata " Selamat malam. Pada kesempatan lain, aku akan datang. "
" Aku menunggu Raden " sahut Glagah Putih.
Raden Rangga tersenyum. Kemudian iapun melangkah meninggalkan tempat itu. Sambil melambaikan tangannya ia berkata " Aku harus sampai dirumah sebelum pagi. "
Demikian kata-kata itu lenyap, maka Raden Ranggapun meloncat dan bagaikan terbang memasuki kegelapan.
Glagah Putih berdiri termangu-mangu. Raden Rangga itu tentu lebih muda daripadanya. Namun anak itu memiliki kemampuan yang luar biasa.
Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat Kiai Jayaraga berkata " Tetapi dengan perkembangan umur dan pengalaman, ia akan menemukan keseimbangan. "
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya " Pengalaman akan mendorongnya untuk berada disatu daerah yang akan dikenalnya dengan baik, sehingga ia tidak akan terlepas lagi dari kendali nalarnya. "
" Dan nalar itu sendiri akan berkembang " sahut Kiai Jayaraga pula.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Desisnya " Tetapi Raden Rangga bersikap baik terhadap Glagah Putih. Ia dengan sengaja telah memberikan pengalaman pada Glagah Putih dalam olah kanuragan. Satu keuntungan bagi Glagah Putih. Sementara itu, Raden Rangga sama sekali tidak membawa Glagah Putih kedalam arus kekanak-kanakannya. Meskipun Glagah Putih lebih dewasa, tetapi mungkin ia akan dapat terseret kedalam kenakalan yang menyulitkan orang lain. "
Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya " Ya. Seakan-akan anak itu mengerti, bahwa hal-hal yang kurang disenangi oleh orang lain itu sebaiknya dilakukannya sendiri, tanpa membawa siapapun kedalam kesulitan. "
Dalam pada itu, Agung Sedayupun kemudian menceriterakan bahwa sebenarnyalah Ki Mandaraka ada ditepi sungai itu pula. Untuk beberapa saat lamanya Ki Mandaraka menunggui Raden Rangga dan Glagah Putih berlatih. Namun Ki Mandaraka ternyata tidak bersedia untuk diketahui kehadirannya oleh Raden Rangga.
Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya " aku tidak melihatnya. "
" Kiai Jayaraga berada diatas tebing diseberang " berkata Agung Sedayu " aku justru kebetulan berada tidak terlalu jauh dari tempat Ki Mandaraka menunggui Raden Rangga berlatih dengan Glagah Putih. Meskipun pada saat-saat terakhir Raden Rangga telah menjadi lebih baik karena kegemarannya bermain-main dengan kuda, namun kadang-kadang Ki Mandaraka menjadi cemas, apa saja yang dilakukan anak itu jika ia tidak berada di ista na "
" Satu tugas yang berat bagi Ki Mandaraka. Disam ping tugasnya mengemban pemerintahan disamping Panembahan Senopati, maka masih ada tugas yang sulit untuk dilakukannya sambil lalu. " gumam Kiai Jayaraga.
" Tetapi tidak ada orang lain yang mempunyai pengaruh yang cukup kuat atas Raden Rangga kecuali Ki Mandaraka " berkata Agung Sedayu.
Kiai Jayaragapun mengangguk-angguk. Lalu katanya kepada Glagah Putih " Glagah Putih. Kau dapat bercermin kepada Raden Rangga. Kau harus memiliki keseimbangan antara nalar dan budimu sesuai dengan bekal yang ada didalam dirimu. Tingkah lakumu dan sikapmu jangan terlepas dari kendali nalarmu. "
Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu Kiai Jayaraga berkata selanjutnya " Itulah sebabnya kau harus selalu menyadari dirimu dalam hubungan dengan kehadiranmu. "
Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab sama sekali.
Demikianlah, maka sejenak kemudian merekapun telah meninggalkan tempat itu dan kembali kerumah Agung Sedayu. Namun Glagah Putih itupun kemudian memisahkan diri sambil berkata " Aku akan singgah memasang wuwu dan menutup pliridan, kakang. "
" Baiklah " berkata Agung Sedayu " besok kami akan ikut makan urip-urip lele. "
Glagah Putih tidak menjawab. Ia hanya tersenyum saja.
Seperti setiap kali dilakukan, maka Glagah Putihpun telah pergi menutup pliridannya. Ketika ia sampai disungai dimana ia membuat pliridan, maka dilihatnya pembantu Agung Sedayu sudah ada di sana pula.
" He, dari mana kau" " bertanya anak itu " aku tidak melihatmu dirumah. Karena itu, aku berangkat sendiri. Kemarin seperti sudah aku katakan, kita agak terlambat. Dan ikan kita telah diambil oleh anak nakal. "
" Tetapi tentu bukan anak Tanah Perdikan ini " berkata Glagah Putih " anak-anak Tanah Perdikan ini tentu tahu, bahwa ikan ini adalah milik kita. Dan pliridan ini adalah pliridan yang kita buat. "
" Mungkin bukan " jawab anak itu " disungai ini kadang-kadang terdapat orang-orang yang menelusuri alirannya sambil membawa jala. Bukan orang Tanah Perdikan ini. "
" Kita tidak berkeberatan siapapun mencari ikan disungai ini " jawab Glagah Putih " tetapi jangan mengambil milik orang lain. Jangan menutup pliridan atau membuka rumpon yang dibuat oleh orang lain. "
Anak itu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja Glagah Putih berdesis " Aku dengar orang berjalan didalam air. Marilah kita bersembunyi. "
" Aku tidak mendengar apa-apa " jawab anak itu.
" Cepatlah " ajak Glagah Putih sambil menarik anak itu.
Keduanyapun segera bersembunyi. Beberapa lama keduanya menunggu. Sementara pembantu dirumah Agung Sedayu itu berdesis " Tidak ada apa-apa. "
" Langkah itu sudah dekat " jawab Glagah Putih.
Sejenak lagi mereka menunggu. Sebenarnyalah ternyata dua orang anak yang masih sangat muda berjalan menyusuri air sambil membawa sebuah jala. Tetapi mereka jarang sekali menebarkan jalannya. Bahkan sepanjang penglihatan Glagah Putih sekalipun mereka belum pernah menebarkan jala itu.
Tetapi ketika mereka sampai didekat pliridan Glagah Putih, maka kedua anak itu sudah berhenti.
" Itulah anak nakal itu " bisik Glagah Putih.
" Aku ajar mereka " desis pembantu dirumah Agung Sedayu itu.
" Kau berani" " bertanya Glagah Putih.
" Kenapa tidak. Mereka berdua dan kita juga berdua " jawab anak itu.
" Aku tidak berani berkelahi " jawab Glagah Putih.
" Jangan membuat seperti itu " jawab pembantu dirumah Agung Sedayu itu " anak-anak di Tanah Perdikan tahu, kau berani berperang. "
" Tetapi tidak berkelahi " jawab Glagah Putih.
" Biarlah aku menyelesaikan mereka berdua " berkata anak itu sambil mengembangkan dadanya.
Glagah Putih tidak menjawab. Kedua orang anak muda itu mulai mengamati pliridan itu dan memandang kese-kelilingnya.
" Sepi " terdengar salah seorang diantara mereka berdesis.
" Cepat, kita tutup pliridan ini. Seperti kemarin, kita ambil ikan didalam pliridan itu. " desis yang lain.
Keduanya berdiam diri. Tetapi ternyata dibawah jala mereka telah membawa wuwu.
Glagah Putih dan pembantu dirumah Agung Sedayu itu masih menunggu sejenak. Namun demikian keduanya selesai memasang wuwu dan menutup pliridan itu, maka anak itupun telah meloncat keluar dari persembunyiannya.
" Nah " geram anak itu " sekarang aku dapat menangkap kalian. "
Kedua orang anak muda itu menjadi tegang. Tetapi sebelum mereka melarikan diri, pembantu dirumah Agung Sedayu itu berkata " Jangan lari. Aku akan menangkapmu. Aku tidak akan berteriak memanggil kawan-kawanku. Mungkin teriakanku tidak akan didengar orang. Karena itu jika kalian memang laki-laki, maka aku tantang kalian berkelahi. "
Kedua anak muda itu termangu-mangu sejenak. Mere-kapun kemudian melihat Glagah Putih berjalan mendekat. Tetapi tiba-tiba saja Glagah Putih berkata " Aku tidak ikut campur. Pliridan itu memang pliridan kami. Tetapi aku tidak ingin berkelahi. "
Kedua anak muda itu saling berpandangan. Dengan demikian jika mereka harus berkelahi, maka mereka hanya akan berkelahi melawan seorang. Yang seorang itupun ternyata masih sangat muda. "
Dalam keragu-raguan itu pembantu dirumah Agung Sedayu itu membentak " Nah, jika kalian ketakutan, pergi sekarang. Tetapi kalian harus meninggalkan wuwu dan jala kalian disini. "
" Ini jala ayahku " jawab anak itu.
" Aku tidak peduli " jawab pembantu dirumah Agung Sedayu.
08 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sejenak kedua orang anak muda itu termangu-mangu. Namun kemudian yang terbesar diantara keduanya berkata " Jangan. Aku tidak akan memberikan jalaku. "
" Aku akan memaksa " berkata pembantu dirumah Agung Sedayu.
Glagah Putih tersenyum. Namun kemudian iapun menghampiri pembantu dirumah Agung Sedayu itu sambil berkata " Sudahlah. Biarlah mereka pergi membawa jala mereka. "
" O, begitu enaknya. Dan kemarin tentu kalian juga yang telah mengambil ikan di pliridan ini. " geram pembantu dirumah Agung Sedayu.
" Aku kira, pliridan ini sudah tidak pernah diambil ikannya " jawab anak itu.
Pembantu rumah Agung Sedayu itu menjadi semakin marah. Katanya " Kau jangan berbicara seenakmu sendiri. Kau tahu, bahwa pliridan ini sudah dibuka. Bagaimana mungkin kau mengira bahwa pliridan ini sudah tidak pernah diambil ikannya" "
Kedua anak muda itupun kemudian semakin marah juga. Tiba-tiba saja salah seorang diantara keduanya berkata " Aku memang akan mengambil ikan di pliridanmu. Kau mau apa" "
" Tidak boleh " bentak pembantu Agung Sedayu itu " aku mau merampas jala dan wuwu yang kau bawa. "
" Tidak boleh " anak muda yang lain dari kedua anak muda yang akan menutup pliridan itu menjawab.
Pembantu rumah Agung Sedayu itu berpaling kepada Glagah Putih. Tetapi Glagah Putih justru duduk diatas sebuah batu yang besar. Nampaknya ia memang tidak berminat untuk berkelahi.
Meskipun demikian pembantu rumah Agung Sedayu itu sama sekali tidak gentar meskipun ia harus berhadapan dengan dua orang sekaligus.
Bahkan dengan lantang ia membentak " Letakkan jala itu dan tinggalkan disitu. "
" Tidak " kedua anak muda itu menjawab hampir berbareng.
Pembantu rumah Agung Sedayu itu maju selangkah. Ia sudah siap untuk berkelahi. Sementara itu kedua anak yang akan mengambil ikan di pliridan itupun telah siap pula. Mereka telah meletakkan jala bukan karena mereka bersedia meninggalkan jala itu, tetapi mereka bersiap-siap untuk berkelahi.
Pembantu rumah Agung Sedayu itu ternyata memang berani. Tiba-tiba saja ia telah menyerang.
Dengan demikian maka telah terjadi perkelahian yang ramai. Pembantu rumah Agung Sedayu itu telah berkelahi dengan berani. Ia meninju, menendang dan sekali-sekali mempergunakan sisi telapak tangannya.
Glagah Putih tersenyum melihat tingkah laku anak itu. Ia memang pernah mempelajari unsur-unsur gerak dalam tata perkelahian. Ternyata ia dapat mempergunakannya dengan baik, meskipun yang dilakukan oleh anak-anak itu sekedar saling memukul.
Ternyata bahwa untuk melawan kedua orang yang memang agak lebih besar dari dirinya, pembantu rumah tangga Agung Sedayu itu menjadi agak kesulitan. Beberapa kali wajahnya terkena tinju lawannya. Namun anak itu sama sekali tidak berniat untuk mengalah. Semakin lama ia justru menjadi semakin garang.
Namun bagaimanapun juga, pembantu rumah Agung Sedayu itu semakin lama menjadi semakin terdesak. Dua orang lawannya berkelahi dengan keras. Bahkan kasar.
Dalam keadaan terdesak, pembantu rumah tangga Agung Sedayu itu berusaha mengerahkan tenaganya. Namun justru karena itu, maka ia menjadi semakin cepat letih.
Glagah Putih masih memperhatikan perkelahian itu. Namun ketika pembantu rumah Agung Sedayu itu benar-benar telah kehabisan tenaga, maka Glagah Putihpun berdiri dan melangkah mendekat.
" Sudahlah " berkata Glagah Putih " kalian menang.
" Persetan " geram salah seorang dari kedua orang anak muda itu " anak itu sudah menghina kami. Ia harus merasakan akibatnya. "
" Bukankah kalian telah menang" Kalian berdua telah memenangkan perkelahian melawan seorang anak " berkata Glagah Putih " bukankah begitu" "
" Omong kosong " bentak seorang yang lain " kenapa kau tidak ikut serta" "
" Aku tidak terbiasa berkelahi " jawab Glagah Putih " tetapi aku harus menolongnya agar keadaannya tidak
menjadi parah. " " Kau akan menolongnya dan berkelahi melawan kami" " bertanya anak muda itu.
" Bukan " jawab Glagah Putih " aku tidak akan berkelahi. Aku hanya akan menolong anak itu. Ia kawanku yang baik. Setiap malam kami berdua turun ke sungai ini untuk membuka pliridan. "
" Aku akan memukulinya sampai puas. Ia telah menghina kami " berkata anak muda yang lain.
" Itu tidak perlu " jawab Glagah Putih " ia sudah kalah. Kalian boleh pergi. "
Kedua anak muda itu termangu-mangu. Namun tiba-tiba seorang diantara mereka berkata " Kau juga pantas dipukuli karena kau adalah kawannya. Apalagi kalian tentu seorang yang licik. Bahwa kawanmu telah berkelahi, kau sama sekali tidak membantunya. "
" Justru aku tidak ingin ikut campur " jawab Glagah Putih.
" Kami tidak peduli " jawab salah seorang diantara mereka " kami memang ingin memukulimu. Memukuli kalian berdua. "
" Itu tidak pantas " jawab Glagah Putih " bukankah aku tidak berbuat apa-apa. "
" Kau pengecut. Seorang pengecut pantas untuk dipukuli sampai pingsan " geram yang lain.
Glagah Putih tidak menghiraukannya. Bahkan ia telah melangkah semakin dekat. Pembantu rumah Agung Sedayu yang keletihan dan kesakitan itu sudah terduduk ditanah.
" Bangkit " ajak Glagah Putih. Ditariknya tangan anak itu untuk berdiri.
Kedua anak muda yang akan mengambil ikan di pliridan itu tidak menunggu lebih lama lagi. Seorang diantara mereka tiba-tiba saja telah menyerang Glagah Putih. Dengan tinjunya ia telah memukul kening Glagah Putih dari samping.
Glagah Putih bukan seorang yang kebal. Tetapi ia telah mengerahkan daya tahannya. Ia telah berlatih menghadapi perkelahian yang jauh lebih keras dan kasar dari yang sedang terjadi itu.
Karena itu, maka pukulan dikeningnya itu tidak terlalu menyakitinya. Bahkan Glagah Putih seakan-akan tidak merasakan pukulan itu. Tanpa berpaling ia masih menarik tangan pembantu rumah Agung Sedayu itu. Katanya " Marilah. Bangkitlah. Kita pulang. "
Anak-anak muda itu merasa heran melihat sikap Glagah Putih. Untuk sesaat mereka termangu-mangu.
Pembantu rumah Agung Sedayu itu berusaha untuk berdiri tegak. Namun dalam pada itu, kedua orang anak muda itu telah mengulangi lagi memukul Glagah Putih. Lebih keras lagi. Bahkan keduanya telah melakukan bersama-sama.
Glagah Putih memang mengatupkan giginya rapat-rapat untuk menahan perasaan sakit yang menyengatnya. Tetapi anak itu seakan-akan tidak merasa sesuatu sehingga karena itu, Glagah Putih sama sekali tidak menghiraukannya.
Demikian terjadi beberapa kali, sementara Glagah Putih masih tetap berdiri tegak bahkan membantu pembantu rumah Agung Sedayu itu untuk tegak.
Kedua anak muda itu benar-benar menjadi bingung menghadapi satu kenyataan. Glagah Putih sama sekali tidak mengalami akibat apapun juga dengan pukulan-pukulan mereka.
Dalam pada itu, ketika pembantu rumah Agung Sedayu itu sudah mampu berdiri sendiri, maka Glagah Putih tiba-tiba saja sudah memutar diri. Tiba-tiba saja ia sudah menghadap kearah kedua anak muda itu sambil memandangi mereka berganti-ganti.
Ternyata pandangan mata Glagah Putih itu benar-benar telah mengguncang jantung kedua anak muda itu. Tanpa berjanji, maka tiba-tiba saja keduanya telah meloncat berlari secepat dapat mereka lakukan. Jala dan wuwu yang mereka bawa telah mereka tinggalkan, karena mereka tidak sempat memungutnya.
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Sementara pembantu rumah Agung Sedayu itu berteriak-teriak " Kejar. Kejarlah Glagah Putih. Tangkap mereka. "
Kitab Ilmu Silat Kupu Kupu Hitam 2 Jodoh Rajawali 06 Sumur Perut Setan Musuh Dalam Selimut 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama