Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 4

08 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 4


Agung Sedayu itu. Jika terjadi demikian, maka terbayang angan angannya, apa yang
telah terjadi atas murid-murid Kiai Jayaraga. Ki Tumenggung Prabadaru yang memusuhi
ketiga saudara seperguruannya yang mendorong ketiganya untuk kembali kedunianya
yang lama. Dunia yang kelam.
"Alangkah sedihnya melihat anak-anaknya saling bermusuhan"berkata Kiai Gringsing
didalam hatinya. Karena itu, maka niatnya itupun diurungkannya.
"Biarlah ada kesempatan yang paling baik kelak untuk menyampaikan kepada
Swandaru, siapa sebenarnya Agung Sedayu dalam dunia olah kanuragan."
Demikianlah Kiai Gringsing justru telah menganjurkan kepada Swandaru untuk
semakin bersungguh-sungguh. Katanya"Jika kau berhasil, maka akupun berharap
Agung Sedayu akan berhasil."
"Mudah-mudahan, guru"jawab Swandaru"akupun berharap."
Kiai Gringsing tidak menyahut. Tetapi ia telah berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya
sebagai seorang guru dari dua orang anak muda yang telah tumbuh dengan pesatnya.
Dalam pada itu, Kiai Jayaraga ternyata merasa semakin kesepian di Kademangan
Sangkal Putung. Meskipun kadang-kadang ia ikut juga berada didalam sanggar
bersama Swandaru dan Kiai Gringsing, tetapi pada dasarnya ia merasa sendiri.
Untuk menghilangkan kesepiannya, kadang-kadang kiai Jayaraga telah berada
diserambi, menunggu dua orang pengawal Ki Sudagar yang masih belum sembuh benar
dari luka-lukanya. Berbicara dengan mereka tentang banyak hal yang kadang-kadang
sekedar untuk menghilangkan kejemuan saja.
Namun Kiai Gringsing selalu memperingatkan jangan tergoda untuk memberikan ilmu
setitikpun kepada kedua orang itu sebelum Kiai Jayaraga tahu pasti, bahwa keduanya
tidak akan mengecewakannya seperti murid-muridnya yang terdahulu.
Kiai Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya"Aku pernah tinggal di tengahtengah
hutan tanpa orang lain kecuali muridku yang terbunuh di Tanah Perdikan
.Menoreh itu. Tetapi aku tidak pernah merasa sendiri justru ditengah-tengah banyak
orang seperti sekarang ini.
"Bukankah sudah aku katakan"berkata Kiai Gringsing"pergilah ke Tanah Perdikan
Menoreh. Kau akan mendapatkan kesibukan baru yang membuatmu tidak merasa
kesepian seperti sekarang ini."
"Ya"Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Tetapi iapun bertanya"Kapan kau sendiri
akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh?"
"Kau jangan terikat kepadaku. Dan kau jangan merajuk seperti itu. Dahulu aku
memang berprasangka. Tetapi bukankah itu wajar?"Cobalah mengenangkan peristiwa
itu. Dan katakan, apakah sikapku waktu itu berlebihan?"sahut Kiai Gringsing.
Kiai Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya"Baiklah Kiai. Al u akan
mendahului pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi sebenarnya bukan hanya kau
sajalah yang telah menghambatkan. Aku juga berpikir tentang Agung Sedayu. Apakah ia
dapat mempercayaiku. Juga Ki Waskita dan Ki Gede. Jika mereka bersikap dingin
terhadapku, apakah itu bukan berarti bahwa aku hanya sekedar berpindah tempat
dalam kesepianku" Dan apakah hal itu tidak akan mendorongku untuk kembali tinggal
dihutan tidak berpenghuni" Disini mungkin kau mendapatkan satu keyakinan untuk
mempercayaiku. Tetapi orang-orang di Tanah Perdikan Menoreh mungkin masih
bersikap sama terhadapku seperti saat aku meninggalkan Tanah Perdikan itu."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Iapun dapat mengerti perasaan itu. Karena itu,
maka katanya"Jika demikian, terserahlah kepadamu. Mungkin kau memang perlu
menunggu aku. Sementara itu, kau akan dapat mengisi waktumu dengan kerja disawah
atau diladang sebagaimana kebiasaan orang-orang Sangkal Putung. Kebiasaanmu
menyendiri itulah yang membuatmu kesepian justru ditempat yang ramai. Tetapi jika kau
mencoba dan mencoba, akhirnya kau akan menemukan satu kebiasaan lain daripada
hidup dalam kesepian itu."
Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya"Baiklah Kiai. Aku akan melihat
kemungkinan yang paling baik: Untuk sementara biarlah aku berusaha menyesuaikan
diri jika aku mampu."
Kiai Gringsing mengangguk. Katanya"Kau mempunyai kesempatan itu."
Dengan demikian, maka dihari-hari berikutnya, Kiai Jayaraga benar-benar berusaha
untuk menyesuaikan dirinya dengan kehidupan orang-orang Sangkal Putung. Bahkan
pada saat-saat Kiai Gringsing sibuk dengan Swandaru di Sanggar. Kiai Jayaraga
kadang-kadang berada di sawah atau di ladang bersama para pembantu Ki Demang.
"Kiai aneh"berkata salah seorang pembantu Ki Demang"sebaiknya Kiai tetap saja
duduk di Kade-mangan sambil mendengarkan burung perkutut dan minum air sere
dengan gula kelapa. Kiai Jayaraga tersenyum. Katanya"Ternyata hidup dengan cara seperti ini adalah
sangat menyenangkan. Kerja adalah sesuatu yang bukan saja menghasilkan, tetapi
memberikan kepuasan tersendiri. Jika sawah kita berhasil, maka kita mendapatkan hasil
ganda. Keuntungan kebendaan dan kepuasan batin atas keberhasilan itu."
"Ya"jawab salah seorang pembantu Ki Demang"tetapi kerja kasar adalah tugas kami
yang hanya mampu menjual tenaga. Bukankah berbeda dengan Kiai yang memiliki
banyak kemampuan?" "Akupun hanya mampu menjual tenaga seperti kalian karena aku sejak semula tidak
pernah berusaha untuk bersawah. Baru sekarang aku merasa betapa aku
menyesal."jawab Kiai Jayaraga.
Para pembantu Ki Demangpun mengangguk-angguk. Sikap Kiai Jayaraga memang
sangat meyakinkan bahwa ia memang ingin berbuat sesuatu sebagaimana dilakukan
oleh orang-orang kebanyakan.
Namun dalam pada itu, hatinya masih selalu tergelitik oleh satu keinginan untuk
berbuat sesuatu didalam dunia kanuragan. Hampir diluar sadarnya, bahwa
sasarannya"yang kemudian adalah Pandan Wangi. Kiai Jayaraga sendiri tidak dengan
sengaja melakukannya.Tetapi setiap kali ia berbicara dengan Pandan Wangi dimanapun
juga, kadang-kadang ditempat Pandan Wangi menumbuk Padi, kadang-kadang dipendapa atau di tangga serambi atau bahkan di luar sanggar selagi Swandaru dan Kiai Gringsing berada didalamnya, maka yang disebut-sebutnya adalah kemampuan yang sudah dimiliki oleh Pandan Wangu yang akan dapat menjadi alas peningkatannya lebih jauh.
"Kau mempunyai kesempatan yang sama dengan Swandaru"berkata Kiai
Jayaraga"bukan maksudku untuk membuatmu menyaingi kemampuan Swandaru, tetapi
dengan kemampuanmu kau akan dapat membantu tugas -tugasnya. Bahkan dalam
kesulitan seperti yang kau alami ditepian, maka kau akan dapat mengatasinya sendiri."
"Aku sudah berusaha Kiai"jawab Pandan Wangi.
"Kau memang telah berusaha"berkata Kiai Jayaraga"tetapi untuk memberikan
tekanan atas usahamu itu, maka kau dapat menempuhnya dengan laku."
"Laku"ulang Pandan Wangi,
"Ya. Selama ini kau belum mencobanya"berkata Kiai Jayaraga"misalnya, kau harus
mengurangi makan makanan pokokmu sehari-hari.
Pandan Wangi mengangguk-angguk. Namun kemudian dengan nada rendah ia
berkata"Apakah latihan-latihan, pemusatan nalar budi dan kerja keras yang selama ini
aku lakukan dalam peningkatan kemampuanku bukannya satu laku?"
"Benar"jawab Kiai Jayaraga"tetapi selama ini, kau belum pernah melakukannya
dengan bersungguh-sungguh. Pandan Wangi. Cobalah memperhitungkan hasil kerjamu
selama ini. Segalanya seakan-akan kaulakukan sambil lalu. Hanya dalam waktu
senggang: Meskipun bukan berarti bahwa dalam waktu senggang itu kau tidak dapat
melakukannya dengan bersungguh-sungguh."
"Jadi, apa yang harus kau lakukan?"bertanya Pandan Wangi.
"Pandan Wangi. Memang sulit bagimu untuk dapat melaksanakan. Soalnya swandaru
mempunyai sikap yang berbeda dengan laku yang kau katakan. Swandaru
meningkatkan kemampuannya dengan cara yang wantah dan lebih condong pada
penggarapan ujud kewadagan, meskipun bukan berarti tidak merambah kekedalaman
sama sekali. Namun titik berat garapannya adalah pada yang nampak
dihadapannya."jawab Kiai Jayaraga"Ia mampu meningkatkan kekuatan tubuhnya dan
tenaga cadangan yang mungkin diungkapkannya berlipat. Ia menjadi sangat trampil
mempermainkan cambuknya, dan bahkan kekuatannya yang tersalur pada ujung
cambuknya itu benar-benar nggegirisi.Bahkan mungkin akan mampu menembus perisai
ilmu kebal yang masih belum masak dan sampai kepuncak kemampuan. Iapun mampu
meningkatkan kecepatan geraknya, sehingga tubuhnya yang gemuk itu seakan-akan
telah kehilangan bobotnya.
"Jadi apa yang kurang?"bertanya Pandan Wangi.
"Tetapi Swandaru tidak memiliki kemampuan untuk melepaskan serangan dari jarak
tertentu, meskipun hanya setapak tangan sekalipun. Sementara itu, dalam
kesungguahnmu mendalami ilmumu, maka kau telah sampai pada satu daerah, yang
boleh dikatakan tersesat, kekedalaman untuk menyadap tenaga selain dari dalam dirimu
sendiri juga yang ada disekitarmu"berkata Kiai Jayaraga.
"Kenapa Kiai menganggap bahwa aku telah tersesat?"bertanya Pandan Wangi.
"Bukan dalam pengertian yang tidak baik. Bukankah semula kau tidak menyadari,
bahwa kemampuan itu datang kepadamu seperti yang kau katakan" Bukankah kau
menjadi bimbang ketika kau mulai melihat gejalanya?"bertanya Kiai Jayaraga pula.
"Ya, Kiai. Agaknya memang demikian"jawab Pandan Wangi.
"Nah, jika demikian, maka segalanya yang pernah kau lakukan adalah semacam
kerja sambilan saja. Sekali lagi aku katakan, bahwa kau tentu akan mengalami kesulitan
jika kau ingin bersungguh-sungguuh, karena kau seorang isteri. Apalagi suamimu tidak
sependapat dengan laku yang sebaiknya kau tempuh"berkata Kiai Jayaraga.
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Namun yang dikatakan oleh Kiai Jayaraga itu selalu dipikirkannya. Bahkan dari hari kehari keinginan itu terasa justru semakin mendesaknya, sehingga Pandan Wangi bagaikan terbelenggu oleh satu pikiran yang tidak dapat dilakukannya dan bahkan dikatakanpun tidak kepada suaminya.
Namun oleh kegelisahan itu, maka pada suatu saat, ketika Pandan Wangi dan Kiai Jayaraga berada di depan sanggar yang tertutup karena Kiai Gringsing dan Swandaru sedang berada didalamnya menjelang matahari menyusup dibalik bukit, maka Pandan Wangipun telah bertanya"Kiai, laku apakah sebenarnya yang harus aku lakukan jika aku memang ingin bersungguh-sungguh."
Kiai Jayaraga mengerutkan keningnya. Namun kemudian sambil tersenyum ia
berkata"Sudahlah. Lakukan saja seperti yang selalu kau lakuukan sekarang di waktu
senggang, bukan saja dari pekerjaanmu sebagai seorang isteri, tetapi juga jika
sanggarmu tidak sedang dipergunakan oleh suamimu, maka kau dapat memperdalam
latihan-latihan yang sudah kau lakukan sebelumnya."
"Aku mengerti Kiai"jawab Pandan Wangi"karena aku adalah seorang isteri, maka aku
terikat oleh tugas-tugasku sebagai seorang isteri. Tetapi aku ingin mengetahui, laku
apakah yang sebaiknya aku lakukan untuk memperdalam ilmuku dengan sungguhsungguh.
Sudah tentu dengan satu pengertian, bahwa aku tidak akan melakukannya
jika hal itu tidak sesuai dengan kedudukanku sebagai"seorang isteri."
Kiai Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Ada keragu-raguan didalam hatinya.
Namun akhirnya ia berkata"Pandan Wangi. Jika aku mengatakan, itu hanya sekedar
contoh dari sekian banyak laku yang dapat kau jalani. Sudah tentu berbeda dengan cara
aku mengatakannya kepada murid-muridku. Kepada murid-muridku aku menentukan
cara yang paling tepat bagi mereka. Mereka harus tunduk. Berat atau ringan, aku tidak
pernah mempersoalkan. Yang penting, mereka dapat melakukannya sehingga akhirnya
mereka dapat mencapai satu tataran ilmu sebagaimana aku kehendaki. Tetapi kau
bukan muridku. Aku tidak akan dapat mengatakan sesuatu yang harus kau lakukan.
Apalagi tanpa aku, kau sudah mulai, meskipun semula hal itu kurang kau sadari sendiri."
"Benar Kiai"jawab Pandan wangi"karena itu, Kiai hanya aku mohon untuk
mengatakannya. Segala sesuatu tergantung kepadaku sendiri. Tidak kepada Kiai.
Memang tidak ada ikatan antara aku dan Kiai sebagaimana guru dan murid."
Kiai Jayaraga termangu-mangu. Namun kemudian katanya"Pandan Wangi. Baiklah
aku akan mengatakan salah satu laku yang dapat kau tempuh. Mungkin yang aku
katakan ini tidak begitu sesuai menurut tinjauan nalarmu. Tetapi tentu ada laku lain yang
lebih baik dari yang dapat aku katakan kepadamu itu."
"Apa yang Kiai maksudkan?"bertanya Pandan Wangi.
"Seperti sudah aku katakan. Satu saja diantara seribu laku yang memungkinkan."jawab Kiai Jayaraga.
Pandan Wangi mengangguk-angguk. Katanya "Katakan Kiai. Segalanya akan tergantung kepada keadaan."
Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya"Salah satu dari banyak lakuu itu adalah mengurangi makan sebagaimana selalu kau makan setiap hari seperti yang sudah aku katakan. Kau dapat menentukan jangka waktu tertentu, sesuai dengan niat didalam hatimu."
Pandan Wangi mendengarkan keterangan Kiai Jayaraga itu dengan sungguhsungguh.
Dalam pada itu, Kiai Jayaragapun berkata selanjutnya"Sementara itu, kau
dengan segenap hati mohon kepada Yang Menitahkan Bumi Dan Langit, agar
menolongmu untuk melaksanakan satu usaha yang ingin kau lakukan itu. Namun dalam
ulah kanuragan, kau tidak dapat sekedar melakukan hal seperti itu. Tetapi kaupun harus
berada dalam sanggar. Sambil memusatkan; nalar budi dalam laku yang kau tempuh,
serta permohonan yang tulus dan percaya, maka kau akan meningkatkah ilmumu
setapak demi setapak. Sehingga akhirnya pada akhir jangka waktumu, kau akan
berpacu antara kesungguhan hatimu, dengan yang menentukan, apakah
permohonanmu untuk mencapai sesuatu itu diperkenankan. Jika diperkenankan, maka
pada saat-saat kau menutup laku yang kau tempuh itu, pertanda dikabulkannya
permohonanmu itu, sebagian kecil, sebagian besar atau bahkan seluruhnya tentu sudah
akan nampak. Namun kau tidak akan berbuat sesuatu yang berada di luar lingkaran
kemurahannya. Kau tidak dapat menyadap kekuatan bukan yang memang dilimpahkan
bagimu. Jika kau menyebut isi alam ini dalam kewajarannya, maka hal itu memang
disediakan bagi kita semuanya."
"Apakah yang Kiai maksudkan dengan kekuatan di-luar lingkaran kewajaran itu
?"berkata Kiai Jayaraga"didalam alam ini ada kekuatan yang disebut kekuatan putih dan
sebaliknya ada kekuatan hitam. Kau tentu sudah mendengarnya. Dan kaupun tentu
sudah memakluminya, bahwa kekuatan diluar kewajaran alam yang dikur-niakan
kepada kita adalah kekuatan hitam. Namun jangan salah menilai. Ada semacam
kekuatan yang sebenarnya adalah kekuatan putih, namun adalah jantung pemilik
kekuatan itu bersemayam iblis yang telah menguasai dirinya, sehingga kekuatan putih
itupun kemudian dipergunakan untuk kepentingan yang bertentangan dengan kasih
sumbernya. Sehingga dengan demikian, maka kekuatan itupun akan menjadi kekuatan hitam pula."
Pandang Wangi mengangguk-angguk. Ia memang sudah mendengar tentang hal
seperti yang dikatakan oleh Kiai Jayaraga itu. Ayahnya yang juga sebagai gurunya
pernah mengatakannya seperti itu juga. Namun tentang laku yang dapat ditempuhnya.
Pandan Wangi masih mengenalinya sebagai sesuatu yang harus dipelajari. Ia memang
pernah mendengar Pangeran Benawa, Senapati Ing Ngalaga di Mataran, dan orangorang
yang memiliki kemampuan yang seakan-akan tidak terbatas itu telah
memperdalam ilmunya dengan laku. Bahkan iapun pernah mendengar tentang kekuatan
yang mencapai puncaknya pada saat bulan purnama.. Atau kekuatan-kekuatan lain
yang wajar dan tidak wajar.
Namun dalam pada itu, Jayaragapun berkata"Tetapi jangan terlalu kau renungi. Kau
sendiri sudah mengatakannya, bahwa jika ada yang sesuai dapat kau lakukan, jika
tidak, apaboleh buat. Sebenarnyalah bahwa laku itu adalah hanya penekanan niat yang
tumbuh didalam hati dan yang dengan sungguh-sungguh dilakukan satu usaha untuk
mencapainya dalam pasrah."
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Petujuk itu sangat berharga baginya.
Rasa-rasanya ia tiba-tiba saja telah berdiri diujung sebuah jalan yang sangat panjang. Ia
mengenali jalan itu dan arah yang dituju. Tetapi ia tidak tahu dengan pasti, apakah ia
akan dapat turun kejalan itu dan menempuh satu perjalanan sampai keujung.
"Segalanya tergantung pada keadaan"berkata Pandan Wangi didalam hatinya.
Hampir diluar sadarnya iapun telah memandang pintu sanggarnya. Pintu yang jarangjarang
terbuka. Namun yang pada saat-saat terakhir, suaminya menjadi semakin tekun.
Sudah beberapa lama, Swandaru lebih banyak berada disanggarnya daripada berada di
padukuhan-padu-kuhan dan gardu-gardu. Meskipun Swandaru tidak melupakan tugastugasnya,
tetapi ia menjadi lebih tekun berada didalam sanggar.
Namun dalam pada itu, Pandan Wangi berkata didalam hatinya"Tetapi yang lebih
mendekati pencapaian tingkat ilmu yang dikehendaki memerlukan laku yang jauh lebih
berat. Berendam didalam air sampai tiga hari tiga malam." Mengurung diri dalam satu
goa untuk waktu yang cukup lama sambil memperdalam ilmunya. Atau berada ditempat
terpisah dari kesibukan duniawi, menekuni ilmu yang ingin dicapainya. Namun
kesemuanya dengan menerawang kekedalam kekuatan yang disadapnya.
Selebihnya, segala sesuatu memang kurnia semata-mata. Betapapun seseorang
mengusahakan, jika Yang Menitahkan Bumi Dan Langit tidak memperkenankan, maka
semuanya akan gagal. Tetapi pada saatnya kurnia itu datang, maka Pandan Wangi
telah tersesat menyentuh gejala ilmu yang belum dikenal sebelumnya, tanpa
dimohonnya. Tetapi seperti yang dikatakannya, jika ada yang dapat dilakukannya, maka hal itu
akan dilakukannya. Jika tidak, maka biarlah tidak, karena ia akan tetap berbangga jika
suaminya kelak memiliki ilmu yang tiada taranya.
Demikianlah, Swandaru sendiri memang mengalami satu kemajuan yang pesat.
Dengan sepenuh hati ia berusaha meningkatkan kekuatannya yang sudah sulit untuk
dicari bandingnya. Ungkapan kekuatan cadangannya yang bagaikan tanpa tanding.
Sementara itu, kakinya menjadi semakin cekatan meloncat-loncat seakan-akan
tubuhnya yang gemuk itu tidak memiliki bobot lagi.
Dalam pada itu, maka dari hari kehari, waktupun merayap terus Kiai Jayaraga
ternyata masih juga belum meninggalkan Sangkal Putung. Sementara dua orang
pengawal Ki Sudagar yang sudah sembuh itupun telah dilepaskannya kembali setelah
keduanya sembuh benar. Bagi keduanya, yang terjadi atasnya itu benar-benar . satu peristiwa yang tidak
masuk akal. Keduanya sudah mengira, bahwa hukuman yang paling baik bagi mereka
adalah hukuman mati. Namun orang-orang yang berkuasa atas dirinya masih tetap
membiarkannya hidup. Namun agaknya kedua orang itu tidak beranjak jauh dari Sangkal Putung. Mungkin
mereka justru takut kepada orang-orang lain yang bekerja bagi Ki Sudagar itu dengan
sebenarnya. Bahkan kedua orang itu kadang kadang masih datang kerumah Ki Demang dan
tinggal hampir sehari-harian.
Kiai Gringsing yang melihat sikap kedua orang itupun menjadi heran. Kedua orang itu
nampaknya mempunyai hubungan yang semakin rapat dengan Kiai Jayaraga.
Namun dalam pada itu, Kiai Jayaragapun kemudian memanggil keduanya duduk
berbicara bersama Kiai Gringsing.
"Kiai"berkata Kiai Jayaraga"aku merasa sangat kasihan kepada keduanya."
"Kenapa?"bertanya Kiai Gringsing.
"Bertanyalah langsung kepada keduanya"jawab Kiai Jayaraga.
Kiai Gringsing memandang keduanya berganti-ganti. Lalu iapun bertanya"Kenapa


08 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kiai Jayaraga merasa sangat kasihan kepadamu" Bukankah kalian telah mendapat
perlakukan yang sangat baik selama kalian berada di Sangkal Putung. Apalagi kalian
telah mendapat kebebasan kalian setelah sembuh dari luka-luka kalian. Satu
kesempatan yang sulit kau dapatkan ditempat lain."
"Kami merasa sangat berterima kasih Kiai"jawab salah seorang dari keduanya"tetapi
justru karena itu, kami merasa terikat oleh Kademangan ini. Kami telah berhutang budi
dan kami sebenarnyalah merasa takut kepada para pengikut Ki Sudagar yang kaya itu.
Mungkin mereka justru mempunyai prasangka buruk terhadapku dan kemudian mereka
berusaha untuk menangkap aku. Dengan demikian maka cara yang sudah aku kenal.
Cara yang sangat mengerikan.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian bertanya"Kenapa Ki
Sudagar memerlukan orang orang itu" Orang-orang yang menjadi pengikutnya dan
melakukan apa yang diperintahkannya" Dan apakah kalian berdua juga menjadi garang
sebagaimana kau katakan jika kalian berada diantara kawan kawan kalian?"
"Ya, Kiai,. Kami memang menjadi buas."jawab salah seorang dari keduanya"tetapi Ki
Sudagar memang menghendaki demikian."
"Apakah sebenarnya yang diperdagangkan Ki Sudagar ?"bertanya Kiai Jayaraga.
"Nampaknya Ki Sudagar adalah saudagar yang berdagang ternak. Tetapi
sebenarnya ia sering mengelabuhi langganannya, bahkan kadang kadang menipu dan
merampas. Ia memang seorang yang kaya raya. Dan yang membuatnya sangat kaya
adalah, bahwa ia memperdagangkan alat alat untuk mendapatkan kekayaan."jawab
salah seorang dari mereka.
"Apakah yang dimaksud dengan alat alat untuk mencari kekayaan itu?"bertanya Kiai
Gringsing. "Beberapa jenis jimat yang dapat membuat pemiliknya menjadi kaya. Kepala orang
yang mati pada hari hari tertentu. Tulang belulang dan benda benda lain."jawab, salah
seorang dari bekas pengawalnya itu.
Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Memang mendebarkan sekali.
Yang paling mengerikan adalah, bahwa Ki Sudagar itu telah memperdagangkan kepala
orang yang mati pada hari hari tertentu.
"Apakah Ki Sudagar selalu mendapatkan kepala orang yang mati pada hari:hari
tertentu itu?"tiba tiba saja Kiai Jayaraga bertanya,.
"Tentu tidak. Kepala siapa saja dipenggalnya dan dijualnya setelah dijadikan
tengkorak. Ia tidak peduli apakah pemiliknya akan menjadi kaya atau tidak. ?"jawab
salah seorang dari keduanya"tetapi yang mengherankan, ada saja orang yang
mempercayainya bahwa barang barang yang dijual Ki Sudagar itu dapat membuat
seseorang kaya raya. Dan yang paling gila adalah bahwa diri Ki Sudagar sendiri
dijadikannya sebagai contoh. Disebutnya bahwa barang barang yang dijualnya itulah
yang membuatnya menjadi kaya. Dan orang yang membeli itu percaya saja, sehingga
telah membelinya dengan harga yang sangat tinggi. Mereka sama sekali tidak berpikir,
bahwa Ki Sudagar menjadi kaya raya bukan karena benda-benda yang
dikeramatkannya itu, tetapi justru karena kebodohan orang orang yang mempercayainya
itu sendiri." Kiai Gringsing menarik nafas dalam dalam. Ternyata bahwa pekerjaannya sebagai
seorang saudagar itu adalah sekedar untuk menutupi noda noda yang adapadadirinya.
Dibalik usaha dagangnya, ternyata Ki Sudagar adalah seorang penipu dan bahkan
pembunuh. Sementara itu, Kiai Gringsingpun telah bertanya pula"Jadi, bagaimana dengan
niatmu sendiri?" Keduanya termangu-mangu. Baru sejenak kemudian
Salah seorang dari mereka menjawab"Kiai, apabila Kiai mengijinkan, apakah kami
berdua boleh tinggal di sini. Kami akan bersedia untuk bekerja apa saja. Disini kami
akan menemukan satu kehidupan sebagaimana orang hidup sewajarnya. Makan dari
hasil kerja. Mungkin diperlukan orang untuk bekerja disawah atau pekerjaan-pekerjaan
lain yang mungkin dapat kami lakukan."
Kiai Gringsing termangu-mangu. Kedua orang itu bukan orang kebanyakan.
Keduanya memiliki ilmu kanuragan meskipun tidak setinggi Ki Sudagar itu sendiri. Ilmu
yang mereka miliki itu mungkin dapat dimanfaatkan. Tetapi mungkin akan dapat
mengganggu. Karena itu, maka Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga tidak dapat mengambil keputusan.
Semuanya akan tergantung kepada Swandaru. Namun keduanya meragukan, apakah
Swandaru akan dapat menerima mereka.
Sebenarnyalah ketika hal itu disampaikan kepada Swandaru dengan serta merta ia
berkata"Mana mungkin guru. Kedua orang itu telah melakukan kesalahan yang besar
terhadap Sangkal Putung. Bahkan keduanya pantas dihukum mati. Jika mereka
mendapat kesempatan yang terlalu baik, maka orang orang Sangkal Putung sendiri
tidak akan mentaati paugeran. Setiap orang yang bersalah, yang mengaku bertobat
akan mendapat tempat. Apakah itu adil" Mungkin atas dasar pertimbangan tertentu hal
itu dapat dimengerti. Tetapi tidak semua orang Sangkal Putung akan dapat mengerti "
Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Tetapi mereka memang tidak
terlalu terkejut akan hal itu. Memang kedudukan Swandaru sebagai pemimpin di
Kademangan Sangkal Putung jauh berbeda dengan kedudukan seorang pemimpin dari
sebuah padepokan. Dalam pada itu, maka Swandarupun berkata pula"Guru. Akupun mohon pengertian
dari guru dan Kiai Jayaraga. Kita dapat saja menjadi seorang pengampun. Tetapi kita
tidak dapat meninggalkan langkah langkah yang dianggap adil."
Kiai Gringsing masih mengangguk-angguk. Katanya"Aku mengerti Swandaru.
Memang kedudukanmu lain dengan kedudukanku atau Kiai Jayaraga. Aku dan Kiai
Jayaraga lebih bebas menentukan sikap. Tetapi sikapmu harus kau pertanggung
jawabkan terhadap rakyat Kademangan Sangkal Putung."
"Agaknya memang demikian guru"jawab Swandaru.
"Baiklah. Jika demikian, biarlah aku mengambil sikap lain. Aku mengerti
keberatanmu. Tetapi aku juga mengerti perasaan kedua orang yang selalu dibayangi
oleh kecemasan, bahwa pada suatu saat akan datang kawan kawan atau mungkin
saudara seperguruan Ki Sudagar untuk membunuh keduanya. Jika mereka tidak dapat
melepaskan dendamnya kepada sasaran yang dikehendaki, maka mereka akan berbuat
terhadap siapa saja yang dapat mereka jadikan sasaran sekedar melepaskan luapan
dendam yang tidak dapat mereka lakukan."berkata Kiai Gringsing.
"Jadi apa yang akan guru lakukan?"bertanya Swandaru.
"Biarlah keduanya mengikuti Kiai Jayaraga ke Tanah Perdikan Menoreh kelak pada
saatnya" berkata Kiai Gringsing.
Swandaru mengerutkan keningnya. Dengan cemas ia bertanya"Apakah guru tidak
memikirkan keadaan kakang Agung Sedayu?"
"Maksudmu?"bertanya Kiai Gringsing.
"Kedua orang itu akan dapat melepaskan dendamnya di Tanah Perdikan Menoreh.
Disini keduanya tidak dapat mengalahkan aku. Tetapi apakah guru yakin, bahwa kakang
Agung Sedayu akan dapat melindungi dirinya sendiri terhadap kedua orang
itu?"bertanya Swandaru.
"Ah"desah Kiai Gringsing"bukankah keduanya bukan termasuk orang yang
berbahaya" Ingat, Agung Sedayu pernah mengalahkan Ki Tumenggung Prabadaru."
"Ya, ya" Swandaru mengangguk-angguk "aku mengerti. Kedua pengikut Ki Sudagar
itu memang tidak berarti"jawab Swandaru. Hampir diluar sadarnya, Swandarupun telah
berpaling kepada Kiai Jayaraga. Hanya sekejap tanpa disadari oleh Kiai Jayaraga
sendiri. Tetapi yang sekejap itu tertangkap pada penglihatan Kiai Gringsing. Sehingga
dengan demikian maka Kiai Gringsingpun mengetahui, bahwa yang dicemaskan oleh
Swandaru bukannya kedua orang itu. Tetapi adalah Kiai Jayaraga. Guru Ki
Tumenggung Prabadaru itu. Karena pada saat saat terakhir, Kiai Jayaraga itu
nampaknya terlalu akrab dengan kedua orang pengikut Ki Sudagar itu. Mungkin kedua
orang itu mampu mempengaruhi, sehingga Kiai jayaraga yang sudah hampir melupakan
segala peristiwa yang terjadi, akan terungkit lagi hatinya. Sehingga orang tua itu akan
dapat mengambil langkah-langkah yang menyulitkan Agung Sedayu. Mungkin tidak
dengan tangannya sendiri, tetapi dengan mempergunakan kedua orang itu.
Tetapi Kiai Gringsing benar benar telah mempercayai Kiai Jayaraga. Karena itu,
maka Kiai Gringsing tidak mencemaskannya lagi. Apalagi di Tanah Perdikan Menoreh
ada Ki Waskita. Sekar Mirah dan Ki Gede. Bei sama-sama, maka mereka akan dapat
menghadapi Kiai Jayaraga seandainya orang itu akan melakukan satu langkah yang
kurang baik atas Agung Sedayu. Sementara itu, ilmu Agung Sedayu sendiri sudah
menjadi semakin meningkat, sehingga ia akan dapat berusaha untuk melindungi dirinya
sendiri. Dalam pada itu, maka agaknya Swandaru tidak mempunyai alasan apapun lagi untuk
menolak kedua orang itu ikut pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Namun demikian ia
masih berharap, bahwa Kiai Jayaraga tidak akan mendahului gurunya pergi ke Tanah
Perdikan itu. Jika waktu yang diberikan kepada Swandaru sudah selesai, maka
Swandaru tidak berkeberatan, justru berharap, bahwu gurunyapun akan pergi ke Tanah
Perdikan pula untuk memberikan kitab dan sekaligus memberikan bimbingan kepada
Agung Sedayu. "Tanpa bimbingan guru, kakang Agung Sedayu tidak akan mencapai hasil yang
diharapkan" berkata Swandaru didalam hatinya.
Agaknya pada kesempatan lain, tanpa dihadiri oleh Kiai Jayaraga hal itu telah
dikemukakan kepada Kiai Gringsing.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk dengan penuh pengertian. Bukan saja mengerti
akan maksud Swandaru, tetapi juga satu pengertian tentang penilaian Swandaru a-tas
Agung Sedayu yang masih saja keliru.
Namun seperti yang sudah terjadi, Kiai Gringsing tidak segera dapat memberikan
pengertian yang segera diperlukan oleh Swandaru, karena Kiai Gringsing mencemaskan
bahwa justru karena itu Swandaru ingin menjaja-gi kemampuan Agung Sedayu.
Karena itu, maka kegelisahanpun telah mencengkam jantung Kiai Gringsing semakin
dalam. Namun ia berusaha untuk menguasainya.
"Pada saatnya aku harus memberitahukan kepada Swandaru keadaan yang
sebenarnya atau memberinya kesempatan menyaksikan kemampuan Agung Sedayu itu
secara langsung"berkata Kiai Gringsing didalam hatinya. Dengan menyesal ia berkata
kepada diri sendiri"Adalah kebetulan sekali, bahwa pada saat saat yang gawat yang
dengan demikian Agung Sedayu harus mengerahkan segenap kemampuannya,
Swandaru tidak dapat menyaksikannya, sehingga Swandaru tidak mempunyai penilaian
yang benar terhadap Agung Sedayu."
Kiai Gringsingpun merasa gelisah pula, bahwa pada suatu saat ia dianggap bersalah
oleh Swandaru, seakan akan dengan sembunyi sembunyi ia memberikan kesempatan
lebih baik bagi Agung Sedayu.
Karena itulah, maka persoalan itu menjadi perhatian yang sungguh-sungguh bagi Kiai
Gringsing, untuk pada suatu saat diketemukan satu pemecahan yang tidak mengganggu
segala pihak. Dalam pada itu, maka Swandarupun masih saja dengan sangat tekun memperdalam
ilmunya sesuai dengan petunjuk gurunya.
Sehingga dengan demikian, maka kemampuan Swandarupun telah menjadi semakin
meningkat. Kekuatannya menjadi semakin berlipat, ketrampilannya mem-. permainkan
cambuknyapun menjadi semakin nggegirisi, sementara kecepatannya bergerak menjadi
semakin mengagumkan, sehingga tubuhnya yang gemuk itu seakan akan tidak
mempunyai bobot. Dalam pada itu, selagi Swandaru tenggelam kedalam peningkatan ilmunya, maka
Pandan Wangipun telah menekuni kemampuannya pula. Ia tidak mau mengganggu
suaminya, sehingga karena itu, maka Pandan Wangi tidak minta untukidapat
mempergunakan sanggar secara khusus. Hanya jika Swandaru tidak mempergunakan,
dan ia mempunyai waktu senggang, maka itupun telah berada didalam sanggar.
Terutama pada saat saat Swandaru sedang menunaikan tugasnya bagi
Kademangannya di padukuhan-padukuhan.
Namun dalam pada itu, Pandan Wangi telah mencoba untuk melakukan usahanya
dengan laku yang dapat memperdalam usahanya itu menempa diri. Pandan Wangi pada
hari-hari pertama telah mengurangi makan nasi. Ia dengan sengaja dan sadar,
mempergunakan jenis makanan lain untuk mengganti nasi sebagai makanan pokoknya.
Mula-mula ia mempergunakan krowodan dan buah-buahan. Namun semakin lama
menjadi semakin sedikit. Ia mulai makan boros dedaunan serta akar-akaran.
Swandaru bukannya tidak memperhatikan perubahan itu. Ketika mereka makan
bersama, maka Swandaru langsung menebak"Kau berusaha memperdalam ilmumu
dengan cara yang cengeng itu?"
Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Tetapi ia menjawab"Aku tidak mempunyai
kemampuan tenaga sebagaimana kakang Swandaru. Aku mencoba mengembangkan
cara lain yang dapat membantuku, meskipun tidak akan banyak berarti."
Swandaru mengangguk-angguk. Katanya"Terserahlah kepadamu. Tetapi kau jangan
menyiksa wadagmu. Makan dan minum justru memberikan kekuatan kepada tubuhmu.
Betapapun tinggi ilmu seseorang, jika keadaan tubuhnya lemah, maka kemampuannya
itupun akan terganggu. Bukankah kita bersama-sama menyaksikan, bahwa Kangjeng
Sultan Hadiwijaya yang memiliki ilmu tidak terlawan itu, pada saat wadagnya sakit, tidak
banyak yang dapat dilakukan di Prambanan."
Pandan Wangi mengangguk. Tetapi ia masih menjawab"Aku masih tetap
memperhatikan wadagku kakang. Aku bukannya tidak makan. Tetapi aku hanya
menukar jenis makananku. Bukankah boros laos, kencur dan jejamuan yang lain akan
memberikan manfaat bagi tubuh kita. Akar akaran yang tidak kalah nilainya bagi tubuh
dengan beras dan buah-buahan yang memberikan kesegaran."
"Jika hal itu sudah kau kehendaki, maka hal itu tidak akan mengganggumu. Aku
sependapat. Namun aku kurang memahami gunanya. Meskipun demikian, kau dapat
mencobanya untuk satu waktu."berkata Swandaru kemudian.
Pandan Wangi merasa bersukur,. Meskipun suaminya tidak membantunya, tetapi ia
tidak melarangnya. Karena itu, maka iapun telah meneruskan laku yang telah
dimulainya. Bahkan semakin lama ia menjalani laku yang semakin berat. Dimalam hari
Pandan Wangi telah keluar dan turun kehalaman. Diamatinya bintang dilangit, seakanakan
bintang itu telah dihitungnya. Ia berjalan mengelilingi rumahnya dengan tidak
mengenal lelah. Sejak tengah malam, sampai ayam jantan berkokok di pagi hari.
Para peronda mula-mula merasa heran melihat sikap Pandan Wangi. Disangkanya ia sedang marah terhadap suaminya. Tetapi karena Pandan Wangi melakukannya hampir setiap malam, maka para peronda dan anak anak muda Banyu Biru mengetahui, bahwa yang dilakukan oleh Pandan Wangi adalah salah satu laku dari pendalaman ilmunya.
Bahkan kemudian, disetiap tengah malam Pandan Wangi berada di pakiwan dan mandi dengan air dingin.
Swandaru yang baru menekuni ilmunya pula, tidak mencegah laku isterinya itu.
Sebagaimana Pandan Wangi berusaha untuk mendorong Swandaru dalam menempa
diri, maka Swandarupun setidak-tidaknya tidak ingin menghambatnya.
Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga yang melihat kesungguhan Pandan Wangipun
menjadi kagum pula. Ternyata Pandan Wangi benar benar pewaris darah Kepala Tanah
Perdikan Menoreh yang tidak mengecewakan. Sebagaimana Ki Gede yang tidak jemujemunya
menyesuaikan dirinya dengan perkembangan ilmu, meskipun tubuhnya telah
menjadi cacat. Ternyata bahwa usaha Pandan Wangi tidak sia-sia. Dalam kesungguhannya, maka ia
telah memperdalam kemampuannya yang semula kurang dikenalnya. Lewat tengah
malam, hampir, setiap malam, sebelum berjalan mengelilingi rumahnya, untuk beberapa
saat, Pandan Wangi telah berada di halaman belakang yang sepi. Ia berusaha untuk
lebih mengenali ilmunya sampai ke intinya. Kemudian mengungkapkannya dengan lebih
mapan, sadar dan benar-benar terlontar dari dalam dirinya sesuai dengan keinginannya.
Dengan demikian, maka ilmunya itupun bukan saja menjadi semakin dahsyat, tetapi
Pandan Wangi mampu menguasainya dan mengendalikannya sepenuhnya, karena ia
telah dengan sadar memilikinya.
Dengan tidak diketahui oleh orang lain, maka Pandan Wangi telah meningkatkan
ilmunya dalam segala unsurnya. Untuk menyesuaikan bentuk ilmunya, maka Pandan
Wangipun kemudian tidak lagi mempergunakan sanggar meskipun sanggar itu sedang
kosong. Pukulan-pukulannya berjarak telah ditrapkannya dengan kendali yang mantap.
Karena itu, maka setiap kali Pandan Wangi telah berlatih dengan pepohonan. Ia mampu
mengguncang pepohonan dengan angin prahara tanpa menyentuhnya. Tetapi iapun
mampu mengelus batang batang perdu dengan sentuhan bagaikan sentuhan angin
semilir. Ternyata laku yang telah dijalaninya, benar-benar memberikan pengaruh terhadap
ilmunya. Pada saat yang termasuk pendek, maka peningkatan ilmunya telah dapat
dilihat dengan jelas, sebagaimana peningkatan, ilmu pada Swandaru.
Sementara itu, Kiai Jayaragapun menjadi semakin kagum terhadap perempuan itu.
Agaknya Pandan Wangi benar benar telah memanfaatkan petunjuknya. Ia telah
menjalani laku, sesuai dengan kedudukannya.
Tanpa meninggalkan tugas-tugasnya, tanpa meninggalkan kampung halaman dan
tempat tinggalnya dan tanpa memberikan kesan perubahan apapun juga dalam tata
kehidupannya sehari-hari, Pandan Wangi benar-benar telah menjalani laku sebagai
seorang yang mendalami olah kanuragan dengan sungguh-sungguh.
Karena itu, maka darinari ke hari, kedua orang suami isteri itu telah berhasil
mengembangkan ilmu mereka dengan cara yang berbeda. Swandaru lebih banyak
memperhatikan dan menggarap yang bersifat kewadagan. Tetapi bukan berarti bahwa
Swandaru tidak menggarap laku batiniah. Sebaliknya Pandan Wangi lebih condong
untuk mendalami ilmunya dengan caranya, meskipun Pandan Wangipun tidak
mengabaikan kemampuan dan kekuatan jasmaniahnya.
Dalam pada itu, selagi Sangkal Putung diwarnai oleh kegiatan Swandaru dan Pandan
Wangi untuk meningkatkan kemampuannya, maka di Tanah Perdikan Menoreh,
keadaannya hampir serupa. Agung Sedayu yang sudah menjadi pulih kembali, setiap
hari meskipun hanya dalam waktu yang singkat, diperlukannya menilik tingkat ilmunya.
Yang paling banyak memerlukan waktu untuk berada didalam sanggar adalah justru
Glagah Putih. Dengan sungguh-sungguh Glagah Putih mesu diri dalam olah kanuragan.
Bukan saja mengandalkan kemampuan wadagnya, tetapi ia mempunyai perhatian
sebagaimana Agung Sedayu. Jika malam hari ia pergi ke sungai sebagaimana masih
saja dilakukan bersama pembantu rumahnya, maka kadang-kadang Glagah Putih
sempat menyusuri sungai, meloncat dari batu kebatu, kemudian berendam dalam air


08 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang dalam, sehingga kadang-kadang pembantu rumahnya itu tidak telaten dan
mendahuluinya pulang, Agung Sedayu melihat cara Glagah Putih mengembangkan ilmu yang diterima
daripadanya, atas ilmu dalam jalur perguruan Ki Sadewa. namun yang telah saling
melengkapi dengan ilmu dari jalur perguruan lain yang dikuasai oleh Agung sedayu.
Dengan demikian,, maka perkembangan ilmu Glagah Putih perlahan-lahan telah
memasuki jalur perkembangan ilmu sebagaimana terjadi atas Agung Sedayu. Bahkan
karena sifat pribadi yang berbeda pada langkah-langkah pertamanya. Glagah Putih
memeliki ketegasan yang lebih pasti dari Agung Sedayu. Anak itu tidak terlalu banyak
diganggu oleh keragu-raguan dan seribu macam pertimbangan. Meskipun atas petunjuk
dan tuntunan Agung Sedayu, Glagah Putih agaknya telah terarah kepada tata cara,
sikap dan pandangan hidup yang sesuai dengan keinginan Agung Sedayu.
Yang tidak kalah tekunnya dalam meningkatkan ilmunya adalah Sekar Mirah. Dengan
bekal ilmu yang diterima dari Ki Sumangkar, maka Sekar Mirah adalah seorang
perempuan yang luar biasa. Dalam saat-saat tertentu, Agung Sedayu telah meluangkan
waktu untuk berlatih bersama dalam usahanya untuk meningkatkan ilmu Sekar Mirah.
Namun seperti Swandaru maka Sekar Mirah lebih berat pada peningkatan kemampuan
kewadagan. Tetapi karena sekali-kali ia berada didalam bimbingan A-gung Sedayu,
maka iapun telah memasuki ke kedalam ilmunya pula.
Dalam pada itu, ternyata waktu telah berjalan terus tanpa berhenti barang sesaatpun.
Dari hari kehari, baik di Sangkal Putung, maupun di Tanah Perdikan Menoreh, ilmu
mereka yang dengan tekun berlatih itu telah semakin meningkat. Sehingga akhirnya
waktu yang semula dijanjikan oleh Kiai Gringsing kepada Swandaru telah sampai pada
akhirnya. Dengan berat hati Swandaru menerima kenyataan itu meskipun sebenarnya ia masih
ingin mempelajari beberapa bagian lagi. Namun Kiai Gringsing itupun
berkata"Kesempatanmu tidak hanya kali ini Swandaru. Pada saat lain kau akan
mendapat kesempatan lagi setelah Agung Sedayu. Demikian berturut-turut. Maksudku,
agar kalian mendapat kesempatan yang adil dan bersama-sama meningkat."
"Aku mengerti guru"jawab Swandaru.
"Karena itu, maka untuk sementara, selagi kitab ini ada pada kakangmu Agung
Sedayu, kau dapat memperdalam apa yang telah kau kuasai. Agaknya kau akan
menjadi seorang anak muda yang memiliki ilmu yang luar biasa. Kekuatanmu tentu akan
jarang mendapat tandingan"berkata Kiai Gringsing.
"Baiklah guru"berkata Swandaru"agaknya kakang Agung Sedayu juga sangat
memerlukan kehadiran guru. Selama itu aku akan dapat berlatih sendiri. Mungkin
dengan Pandan Wangi pada tataran-tataran tertentu yang akan dapat memberikan
peningkatan kepada kedua belah pihak."
"Ya"Kiai Gringsing mengangguk-angguk"kau dapat berlatih bersama isterimu, asal
kalian berdua mencari kemungkinan dalam usaha saling menyesuaikan diri. Tidak
mustahil bahwa ilmu dan kemampuan kalian akan saling mengisi dan bersama sama
akan semakin meningkat."
Namun dalam pada itu, sebelum Kiai Gringsing benar-benar meninggalkan Sangkal
Putung, telah terbetik satu berita yang menggelisahkan. Seseorang telah
memberitahukan, bahwa telah didengar berita bahwa Senopati Ing Nagalaga telah
diwisuda, memegang kekuasaan mengganti Kangjeng Sultan Hadiwijaya.
"Benar katamu?"bertanya Swandaru kepada orang itu.
"Ya. Kami mendengar. Para ulama telah menyatakan dan melantik Raden Sutawijaya
yang bergelar Panembahan Senapati di Mataram."jawab orang itu.
"Tidak mungkin"jawab Swandaru. "Mungkin itu baru rencana, atau semacam latihan
wisuda. Jika benar wisuda itu dilakukan, kenapa Senapati Ing Ngalaga tidak
mengundang kami." Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Katanya"Swandaru. Mungkin wisuda itu
dilakukan dengan sederhana, sesuai dengan keadaan yang sedang kita jalani sekarang.
Mereka masih belum meninggalkan masa berkabung atas wafatnya Kangjeng Sultan
Hadiwijaya di Pajang, sehingga segala-galanya disesuaikan dengan keadaan itu.
Bukankah saat wafatnya itu seolah-olah baru terjadi kemarin.?"
"Tetapi guru, tanpa aku, tanpa kakang Agung Sedayu dan tanpa guru sendiri,
Mataram tidak akan mampu berbuat banyak. Pasukan Tanah Perdikan Menoreh,
pasukan Sangkal Putung dan orang orang berilmu tinggi itu, merupakan hambatan yang
tidak mungkin diatasi oleh Mataram sendiri."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia mengakui kebenaran keterangan
Swandaru. Tanpa pasukan dari Tanah Perdikan Menoreh, Sangkal Putung dan lainlainnya,
maka Mataram tentu akan banyak mengalami kesulitan. Tetapi bahwa Tanah
Perdikan Menoreh, Sangkal Putung dan lain lainnya telah menentukan pilihan itu bukan
sekedar karena mereka adalah kawan kawan Senapati Ing Ngalaga.
Karena itu, maka Kiai Gringsing itupun kemudian berkata"Swandaru. Apa yang kita
lakukan itu adalah karena satu keyakinan bahwa Mataram akan dapat mengangkat
martabat kita di masa datang, sehingga keadaan kita akan menjadi lebih baik lahiriah
dan batiniah. Bukankah tujuan itu yang harus kita pegang teguh untuk seterusnya" Jika
kita tidak diundang dalam satu upacara wisuda, maka itu tidak akan menjadi persoalan
bagi kita. Mungkin yang hadir dalam wisuda itu memang hanya beberapa orang kadang
sentana saja. Sehingga dengan demikian, maka kita tidak dianggap perlu untuk
diundang." "Guru"jawab Swandaru"yang penting bagi kita bukannya kesempatan untuk ikut
bujana andrawina. Bagi kita, Sangkal Putung dan mungkin juga Tanah Perdikan
Menoreh tidak akan kekurangan makanan jenis apapun juga. Makanan yang paling
enak yang dapat dibuat di Mataram akan dapat dibuat juga di Sangkal Putung. Tetapi
yang penting bagiku adalah, bahwa setelah perang selesai, maka kita dengan begitu
saja telah dilupakan. Kita menjadi tidak berarti sama sekali dihadapan Senapati Ing
Ngalaga." "Kau menanggapinya terlalu dalam."berkata Kiai Gringsing"tentu tidak akan ada
maksud yang demikian. Seperti yang sudah aku katakan, bahwa wisuda itu tentu hanya
dilakukan dengan sederhana. Hanya kadang sentana terdekat sajalah yang diundang
untuk menghadirinya, menyaksikan dan mereka yang tua-tua, memberikan restunya dan
yang muda mendoakannya."
"Tetapi langkah ini sangat menyinggung perasaan. Berapa orang anak Sangkal
Putung yang terbaik sudah dikorbankan. Seandainya upacara wisuda itu dilakukan
dengan sangat sederhana sekalipun, namun untuk menambah tamu dengan sepuluh
atau lima belas orang diantara kita yang ikut berperang di Prambanan, tentu tidak akan
mengganggu. Mungkin dua orang dari Sangkal Putung, Tanah Perdikan Menoreh,
Mangir, Pasantenan dan barangkali Jati Anom, dan tempat tempat lain yang
terlibat."sahut Swandaru.
Kiai Gringsing hanya dapat menarik nafas panjang. Ia tidak dapat berbuat banyak
untuk mengatasi perasaan Swandaru yang bergejolak. Bahkan kemudian katanya
didalam hati"Biarlah ia mendapat kesempatan merenungi peristiwa itu. Pada saatnya, ia
tentu akan mengerti. Jika hatinya tidak lagi bergejolak, maka biarlah aku memberikan
sedikit ulasan tentang peristiwa yang sudah terjadi itu. Atau barangkali aku akan
mendapat kesempatan untuk meyakinkan, apakah berita itu benar."
Karena itu, maka Kiai Gringsingpun tidak membicarakan lagi persoalan wisuda di
Mataram, meskipun agaknya Swandaru benar benar merasa tersinggung.
Yang dibicarakannya kemudian adalah rencananya untuk pergi ke Tanah Perdikan
Menoreh. Menyampaikan kitab yang berisi ilmu yang perlu dipelajari oleh Agung
Sedayu, bersama Kiai Jayaraga dan dua orang pengawal Ki Sudagar yang tidak berani
kembali kedalam lingkungannya.
Dengan demikian, maka ketika sudah sampai saatnya, maka Kiai Gringsingpun telah
minta diri kepada Ki Demang dan seluruh keluarga di Sangkal Putung untuk pergi ke
Tanah Perdikan Menoreh. "Mungkin aku tidak akan terlalu lama"berkata Kiai Gringsing.
Tetapi Swandarulah yang menyahut"Kakang Agung Sedayu tentu sangat
memerlukan guru. Meskipun mungkin hanya sekedar perasaanku saja, tetapi kakang
Agung Sedayu akan dapat merasairi jika pada suatu saat diketahui, kemajuan ilmuku
melampaui kemajuan ilmunya. Seakan akan guru tidak begitu memperhatikannya dan
karena itu guru lebih sering berada di Sangkal Putung."
"Swandaru"berkata Kiai Gringsing "bukankah disinipun aku tidak banyak berbuat apaapa.
Aku memang sering menunggui kau berlatih. Memberikan sedikit petunjuk dan
barangkali laku yang paling baik. Tetapi tanpa akupun sebenarnya kau dapat
melakukannya. Aku berharap, demikian pula dengan Agung Sedayu. Seharusnya kau
dan Agung Sedayu itu sudah harus dapat melangkah sendiri tanpa aku. Bukankah aku
pernah berkata, bahwa sudah sampai waktunya bagiku untuk beristirahat. Aku sudah
terlalu tua untuk berbuat terlalu banyak."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Mungkin guru dapat bersikap
demikian terhadapku. Mungkin guru dapat melepaskan aku didalam sanggar tanpa
membantu sama sekali. Tetapi guru harus mempertimbangkan, apakah demikian juga
dengan kakang Agung Sedayu. Meskipun isi kitab itu pada dasarnya semua beralasankan
ilmu yang telah guru berikan, tetapi mungkin seseorang masih memerlukan
petunjuk hubungan antara alas dan bangunan yang akan dibuat diatasnya. Mungkin
guru masih perlu membuka pintu yang kemudian akan dapat ditelusuri oleh kakang
Agung Sedayu." Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya"Baiklah Swandaru. Tetapi seharusnya,
Agung Sedayu sudah harus dapat berjalan sendiri tanpa dibimbing lagi. Meskipun
demikian seperti yang kau katakan aku akan melihat kemungkinannya."
Dengan demikian, maka datanglah saatnya, Kiai Gringsing, Kiai Jayaraga dan dua
orang pengikut Ki Sudagar meninggalkan Sangkal Putung. Swandaru, Sekar Mirah, dan
Ki Demang telah melepas mereka sampai keregol.
Namun dalam pada itu, ketika mereka siap untuk berangkat, Swandarupun
berpesan"Pada saatnya, guru akan membawa kitab itu kembali kepadaku."
"Ya Swandaru. Berganti-ganti"jawab gurunya."Pada saatnya aku akan kembali
membawa kitab itu. Tetapi mungkin aku akan melepas kalian untuk menelaah isinya dan
mencari artinya. Aku benar benar ingin beristirahat."
Swandaru tidak menyahut lagi. Sementara itu, maka Kiai Gringsing, Kiai Jayaraga
dan dua orang bekas pengikut Ki Sudagar itupun mulai bergerak. Mereka telah
mempergunakan kuda dari Sangkal Putung langsung menuju ke Tanah Perdikan
Menoreh. Dalam pada itu, mereka telah sepakat untuk langsung menuju ketujuan tanpa
singgah di Mataram. Namun mereka ingin mendapatkan satu kepastian, apakah benar
Senapati Ing Ngalaga sudah di wisuda dan kemudian bergelar Panembahan Senapati.
Perjalanan mereka sama sekali tidak mengalami hambatan apapun juga. Mereka
memang mengambil jalan yang tidak terlalu dekat dengan pusat pemerintahan di
Mataram, sehingga kemungkinan untuk bertemu dengan peronda yang dapat
mencurigai mereka menjadi kecil.
Namun demikian, dalam satu kesempatan, mereka berempat telah berhenti di
sebuah warung. Didalam warung itulah mereka mendapatkan satu kepastian, bahwa
memang Senapati Ing Ngalaga telah dinobatkan dan bergelar Panembahan Senapati
dan berkedudukan di Mataram, serta memegang kekuasaan atas daerah Pajang
seluruhnya. "Kita ikut bergembira"berkata Kiai Gringsing"mudah-mudahan dibawah pimpinan
Panembahan Senapati, semuanya akan berjalan lebih baik dari saat kekuasaan masih
berada di Pajang." Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Tetapi akhirnya iapun bergumam"Ya. Mudahmudahan
semuanya akan menjadi semakin baik. Aku telah ikut serta membuat
pemerintahan di Pajang retak dan kehilangan wibawanya."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Dengan ragu ia bertanya."Apa yang pernah
kau lakukan?" "Prabadaru"jawab Kiai Jayaraga.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam dalam. Agaknya Kiai Jayaraga merasa bersalah
karena ia telah menempat Ki Tumenggung Prabadaru menjadi seorang yang memiliki
ilmu yang luar biasa. Namun untunglah bahwa di peperangan Prabadanu bertemu
dengan lawan yang sebanding, yang justru telah dapat mengalahkannya.
Demikianlah maka merekapun kemudian telah meneruskan perjalanan tanpa ada
hambatan apapun juga disepanjang jalan. Sekali-sekali mereka berhenti untuk memberi
kesempatan kepada kuda-kuda mereka untuk meneguk air bening dari parit dipinggir
jalan, atau sungai sungai kecil yang menyilang perjalanan mereka. Memberi
kesempatan kuda kuda itu untuk sekedar merenggut rerumputan segar yang tumbuh
dipinggir-pinggir parit, sementara penunggangnya dapat duduk beristirahat dibawah
rimbunnya pepohonan. Akhirnya, iring-iringan itupun memasuki Tanah Perdikan dengan selamat. Mereka
menyeberangi Kali Praga dengan rakit yang semakin banyak hilir mudik membawa
orang orang yang menyeberang dan beberapa macam barang dagangan yang dibawa
oleh para pedagang. Kedatangan Kiai Gringsing ke Tanah Perdikan Menoreh telah disambut dengan
gembira oleh para pemimpin Tanah Perdikan itu. Ketika dua orang pengawal berkuda
Tanah Perdikan itu mendahului perjalanan Kiai Gringsing untuk melaporkan
kedatangannya, maka dengan tergopoh-gopoh Ki Gede menyiapkan menyambutan
yang sebaik-baiknya bagi tamunya.
"Panggil Agung Sedayu dan isterinya"berkata Ki Gede kepada kedua orang itu.
Sejenak kemudian, maka kedua orang pengawal berkuda itu telah berpacu menuju
kerumah Agung Sedayu. Namun yang ada dirumah ternyata hanya Sekar Mirah saja,
karena Agung Sedayu dan Glagah Putih sedang berada di padukuhan sebelah
menunggui usaha anak anak muda yang sedang memperbaiki bendungan.
"Sebentar lagi mereka tentu akan datang"berkata Sekar Mirah kepada anak anak
muda itu"sebelum matahari terbenam pekerjaan itu tentu susah selesai. Tetapi jika perlu
sekali, pergilah ke bendungan yang sedang diperbaiki itu."
"Bagaimana menurut pertimbanganmu?"bertanya pengawal itu.
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya. Pergilah
kebendungan. Katakan kepada kakang Agung Sedayu bahwa Kiai Gringsing datang.
Agaknya anak anak muda yang memperbaiki bendungan itu sudah dapat
ditinggalkannya, karena tentu sudah sampai pada kerja terakhir. Katakan bahwa aku
menunggu dirumah. Kita akan pergi bersama-sama."
Kedua orang pengawal berkuda itupun langsung pergi kebendungan untuk
menyampaikan pesan Sekar Mirah kepada Agung Sedayu.
"Jadi guru berada disini sekarang?"bertanya Agung Sedayu.
"Ya, bersama beberapa orang yang kurang kami kenal"jawab pengawal itu.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ia tidak tahu, siapakah yang dimaksud dengan beberapa orang yang kurang dikenal itu.
Buku 179 Karena itu, maka Agung Sedayupun kemudian minta diri kepada anak-anak muda itu. Pekerjaan mereka di bendungan Itu sudah hampir selesai, sehingga kepergiannya sama sekali tidak akan mengganggu.
Meskipun demikian, Agung Sedayu itu berkata juga kepada Prastawa yang ada di bendungan itu pula, "Terserahlah kepadamu. Aku akan pergi menemui guru yang datang kemari."
"Pergilah," jawab Prastawa, "pekerjaan ini hampir selesai."
Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Glagah Putihpun telah meninggalkan kerja itu. Tetapi pekerjaan itu memang sudah hampir selesai. Karena itu, maka kepergian mereka sama sekali tidak mengganggu pekerjaan anak-anak muda itu.
Seperti pesan Sekar Mirah, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih telah singgah sejenak di rumah mereka. Kemudian bersama-sama dengan Sekar Mirah, mereka telah pergi ke rumah Ki Gede untuk menemui Kiai Gringsing dan beberapa orang yang belum dikenal oleh para pengawal.
Ketika mereka memasuki halaman rumah Ki Gede, maka merekapun segera melihat Kiai Gringsing yang memang sudah berada di pendapa. Sementara itu, Agung Sedayu melihat Kiai Jayaraga bersama dua orang yang belum dikenalnya duduk di pendapa itu pula.
Kehadiran Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih telah membuat suasana menjadi semakin ramai. Mereka saling mempertanyakan keselamatan dan keadaan masing-masing. Sudah beberapa lama mereka tidak bertemu, sehingga pertemuan itu nampak sebagai pertemuan yang sangat akrab antara seorang guru dengan muridnya beserta keluarganya.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu menjadi agak segan menghadapi kedua orang yang belum dikenalnya. Meskipun menurut ujud lahiriahnya keduanya adalah orang kebanyakan tetapi mungkin keduanya adalah orang orang yang memiliki tempat yang terhormat.
Kiai Gringsing yang melihat sikap Agung Sedayupun kemudian telah memperkenalkan kedua orang itu. Ia mengatakan berterus terang tentang keduanya agar tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari.
"Swandaru berkeberatan jika keduanya tetap berada di Sangkal Putung dan sekitarnya, meskipun keduanya pada dasarnya mencari perlindungan," berkata Kiai Gringsing, "karena itu, keduanya ikut bersama kami. Mudah-mudahan dapat bersembunyi di sini tanpa menimbulkan keributan. Bukan saja oleh kawan-kawan mereka yang akan mencarinya, tetapi oleh mereka berdua itu sendiri."
Agung Sedayu mengangguk-angguk, sementara kedua orang itu hanya menundukkan kepalanya saja.
"Nah terserah kepada kalian di sini. Apakah kalian akan menerima. Tetapi keduanya sudah berjanji untuk tidak berbuat apa-apa lagi di sini," berkata Kiai Gringsing.
Agung Sedayu berpaling ke arah Ki Gede yang sudah menemui Kiai Gringsing lebih dahulu. Namun Ki Gede itu pun tersenyum sambil berkata, "Apa salahnya keduanya berada di sini Tetapi sudah tentu dengan permintaan, bahwa keduanya tidak akan berbuat apa-apa Keduanya akan menjadi penduduk yang baik dan berbuat wajar sebagaimana orang lain."
"Nah, apakah kalian mendengar Ki Sanak?" berkata Kiai Gringsing kepada kedua orang itu.
Keduanya mengangguk dalam-dalam. Salah seorang diantara mereka berkata, "Kami memang ingin menjalani sisa hidup kami dengan kehidupan yang wajar."
"Apakah kalian tidak mempunyai sanak keluarga?" bertanya Ki Gede kemudian.
Hampir berbareng keduanya menggeleng. Jawab salah seorang dari mereka, "Kami telah menyesali cara hidup kami. Kami tidak mempunyai sanak keluarga. Karena itulah, maka hidup kamipun akan terbatas sampai sepanjang umur kami, karena kami tidak mempunyai keturunan."
"Baiklah," berkata Ki Gede, "jika kalian benar-benar telah menyesal, maka aku akan mengusahakan sekotak tanah untuk dapat kalian kerjakan. Dari tanah itu kalian akan dapat makan asal kalian mau bekerja keras."
"Kami akan berbuat sebaik-baiknya bagi masa akhir dari hidup kami. Kami sudah bertekad untuk menempuh jalan yang paling baik yang dapat kami lakukan Sebenarnyalah bahwa apa yang kami lakukan semula memang bukan atas dasar keinginan kami. Kami berdua sudah terlanjur terjerat memasuki lingkungan Ki Sudagar. Tidak ada jalan keluar." jawah salah seorang dari mereka.
"Dan kalian telah hanyut dengan cara hidup Ki Sudagar itu?" bertanya Agung Sedayu.
"Ya, tetapi semula aku mengira bahwa ia memang seorang saudagar yang bekerja dengan wajar. Namun ternyata di dalam liku-liku usahanya, kami telah terperosok ke dalam satu kehidupan yang suram," jawab seorang yang lain.
Ki Gedepun agaknya mempercayai kedua orang itu. Karena itu maka iapun tidak berkeberatan sebagaimana Agung Sedayu.
Demikianlah maka pembicaraan merekapun terputus ketika hidangan mulai mengalir. Minuman panas, beberapa jenis makanan dan bahkan kemudian makanpun lelah dihidangkan.
Namun dalam pada itu, dalam satu kesempatan, Ki Gedepun bertanya kepada Kiai Gringsing, bagaimana dengan. Kiai Jayaraga.
"Apakah ia akan mengikuti Kiai kemana Kiai pergi?" bertanya Ki Gede.
"Ki Gede," berkata Kiai Gringsing, "aku memang tidak mempersoalkan Kiai Jayaraga di hadapan kedua orang bekas pengikut KiSudagar itu dan dihadapan Kiai Jayaraga itu sendiri. Sebenarnyalah bahwa Kiai Jayaraga adalah seseorang yang tidak ingin jalur ilmunya terputus Ia tidak ingin membawa ilmunya ke dalam kuburnya tanpa mewariskannya kepada seseorang. Namun dengan demikian, ia kurang teliti mengambil murid, sehingga akhirnya murid-muridnya telah mengecewakannya."
Dengan hati-hati Kiai Gringsing memberikan penjelasan tentang Kiai Jayaraga dan niatnya untuk memberikan kesempatan kepada Glagah Putih untuk meningkatkan ilmunya, meskipun masih harus tetap dibawah bimbingan Agung Sedayu.
Ki Gede mengangguk angguk. Namun ia masih juga bertanya, "Bagaimana pendapat Kiai, jika Glagah Putih benar-benar menjadi muridnya Apakah sifat dan watak Kiai Jayaraga tidak akan terpercik kepada Glagah Putih?"
"Sebenarnya Kiai Jnyaraga adalah orang yang baik Ki Gede," jawab Kiai Gringsing. "Ia justru telah dikecewakan oleh mund-rnuridnya. Termasuk Ki Tumenggung Prabadaru, yang semula menjadi tumpuan kebanggaannya, bahwa salah seorang muridnya telah mendapat kepercayaan di Pajang, Justru menjadi Panglima pasukan khusus yang dianggap memiliki kemampuan terbaik."
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, "Terserahlah kepada Kiai Tetapi bukankah Kiai sudah membuat penga matan yang cermat atas sifat dan watak Kiai Jayaraga?"
"Aku sudah berusaha untuk mendalami wataknya Ki Gede. Mudah-mudahan aku tidak keliru Menung pengenalanku, iapun termasuk seseorang yang taat mengabdi kepada Yang Maha Agung," jawab Kiai Gringjting.
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Kita kadang-kadang memang dihadapkan kepada keadan yang kurang kita mengerti. Seorang guru yang baik, kadang-kadang harus melihat satu kenyataan bahwa murid-muridnya menjadi orang tercela. Tetapi seorang guru yang jelek, muridnya dapat menjadi seorang yang baik. Tetapi pada umumnya apa yang tersirat pada watak gurunya akan tercerrnin juga pada muridnya."
"Ki Gede benar. Bahkan seorang guru akan dapat mempunyai dua orang murid yang wataknya jauh berbeda, bahkan berlawanan," berkata Kiai Gringsing, "tetapi itu adalah wajar. Itu adalah pertanda hidup. Memang agak berbeda dengan seorang pande besi yang membuat sabit. Kadang-kadang kita dapat melihat ciri dan salah seorang pande besi. Kadang-kadang kita dapat langsung mengenali atas satu hasil kerja, siapakah yang telah membuatnya, karena pada umumnya hasilnya akan sama. Tetapi seseorang tidak akandapat digarap sebagaimana kita menghasilkan barang, karena mereka memiliki alas sifat dan watak serta kemaunn dan kepentingan yang berbeda-beda."
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Namun demikian ia masih juga berkata, "Kiai, bagaimanapun juga Agung Sedayu harus-tetap mengawasinya. Biarlah Kiai Jayaraga memberikan ilmu kanuragan. Tetapi perkembangan sifat dan watak Glagah Putih harus tetap dalam pengawasan."
"Aku sependapat Ki Gede. Apalagi Glagah Putih agaknya memang sudah mempunyai alas sifat dan watak, karena itu, meskipun masih muda. tetapi aku sudah melihat kepribadiannya dengan jelas." jawab Kiai G ringsing.
Dengan demikian maka Ki Gede itupun tidak menjadi ragu-ragu lagi . Meskipun ia tidak berkepentingan langsung dengan Glagah Putih, tetapi Glagah Putih berada di Tanah Perdikannya. Di daerah kekuasaannya dan langsung ikut menangani perkembangan Tanah Perdikan itu bersama Agung Sedayu.
Demikianlah, sejak berada di Tanah Perdikan Menoreh, maka Kiai Jayaraga telah berada di rumah Agung Sedayu pula bersama Ki Waskita yang pada saat kedatangannya tidak dapat ikut menerima-nya di pendapa rumah Ki Gede, karena Ki Waskita sedang menengok keluarganya. Namun setelah sepekan maka Ki Waskita itu telah berada kembali di Tanah Perdikan Menoreh.
Sebenarnya Ki Waskita tidak akan tinggal lebih dari sepekan di Tanah Perdikan karena ia ingi beristirahat di rumah. Tetapi atas permintaan Ki Gede, maka ia terpaksa untuk tinggal lebih lama lagi.
"Kiai Jayaraga memerlukan kawan," desis Ki Gede yang didengar oleh Kiai Gringsing.
"Kawan dan barangkali pengawasan," sahut Kiai Gringsing sambil tersenyum.
Ki Waskitapun tersenyum juga. Jawabnya, "Baiklah. Aku akan tinggal untuk beberapa lama. Tetapi pada aaatnya. aku akan benstirahat dengan keluarga di rumah."
"Dan tamu Ki Waskita akan berdatangan lagi untuk melihat isyarat bagi masa depan mereka," berkata Ki Gede.
Ki Waskita tersenyum. Katanya, "Mereka sudah jemu datang kie rumah setelah beberapa kali mereka tidak menjumpai aku. Pada saat terakhir aku telah terlibat ke dalam satu langkah yang memaksa aku jarang sekali berada di rumah."
Dengan demikian rumah Agung Sedayu yang tidak terlalu besar itupun telah terisi oleh beberapa orang. Selain keluarga Agung Sedayu sendiri, maka telah hadir di rumah Itu Ki Waskita dan Kiai Jayaraga. Sedangkan dua orang yang ikut bersama Kiai Gringsing, bekas pengikut Ki Sudagar, berada di rumah Ki Gede, sehingga dengan demikian mereka telah mendapat pengawasan langsung dari Ki Gede Sendiri. Sementara itu, beberapaorang pengawal telah diberi tahu untuk ikut mengawasi mereka.
"Tetapi jangan semata-mata," berkata Ki Gede, "dan jangan kau sebar luaskan siapa mereka. Hanya kalian sajalah yang mengetahui. Biarlah mereka mendapat kesempatan jika mereka menyadari bahwa mereka mendapat pengawasan terlalu ketat, maka mereka akan kecewa. Mungkin mereka akan kehilangan kepercayaan terhadap diri sendiri. Tetapi mungkin dendamnya terhadap orang lain akan semakin menggunung di dalam hatinya, pada saatnya orang lain akan memberikan sebidang tanah bagi mereka berdua. Sementara ini biarlah mereka ikut bekerja saja di rumah ini seperti orang-orang lain. Mungkin menjemur kayu mungkin ikut ke sawah membajak dan mencangkul atau kerja-kerja lainnya seperti kawan-kawannya yang berada di rumah ini. Baru kemudian aku akan mengambil keputusan, kapan tanah itu akan aku berikan kepada mereka namun keduanya telah berjanji untuk hidup dengan cara sebagaimana kebanyakan orang lain yang hidup dengan wajar."


08 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Para pengawal itu terangguk-angguk Namun untuk menjaga segala sesuatu, para pengawal yang jumlahnya terbatas itu juga diberi tahu oleh Ki Gede, bahwa kedua orang itu memiliki kemampuan dalam olah kanuragan.
"Karena itu berhati-hatilah, meskipun kalian tidak perlu terlalu mencurigai mereka," berkata Ki Gede.
Namun ternyata bahwa kedua orang itu dengan sungguh-sungguh ingin menunjukkan bahwa mereka telah benar-benar berusaha untuk menempuh jalan hidup sewajarnya. Mereka tidak ingin lagi terseret dalam arus yang dapat membuat dunia mereka menjadi kelam dan tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi di hari kemudian.
Sementara itu, Kiai Gringsigpun telah memperkenalkan Ilmu Glagah Putih kepada Kiai Jayaraga. Bersama Agung Sedayu, Glagah Putih menunjukkan tingkat kemampuannya yang tertinggi. Tanpa ragu-ragu ia bertempur melawan Agung Sedayu dalam ilmu puncaknya, karena Glagah Putih sadar, bahwa Agung Sedayu tentu tidak akan mengalami kesulitan apapun juga.
Dengan memperhatikan pertempuran itu, maka Kiai Jayaragapun telah melihat seluruh kemampuan Glagah Putih dari dasar-dasar ilmunya sampai ke puncaknya.
"Ilmu Ki Sadewa memang luar biasa," desis Kiai Jnyaraga, " seandainya Ki Sadewa masih ada, maka ia adalah orang yang sulit dicari bandingnya pada saat sekarang ini."
Namun Ki Sadewa itu sudah tidak ada lagi. Agung Sedayu mendapatkan ilmu itu selengkapnya bukan dan ayahnya atau bukan dart Untara, tetapi Ia menemukannya di dalam sebuah goa yang tersembunyi.
Dalam pada itu, menurut pengamatan Agung Sedayu, ilmu yang tersirat oleh lukisan pada dinding goa itu telah sepenuhnya dikuasai oleh Glagah Putih. Bahkan yang karena kekhilafan Agung Sedayu, ada bagian yang terhapus dari dinding goa justru bagian puncaknya, dasar-dasarnya telah dikuasai pula oleh Glagah Putih.
Karena itu maka Kiai Jayaraga yang telah mendapat kepercayan untuk membantu Agung Sedayu, membentuk Glagah Putih menjadi seorang yang memiliki kemampuan olah kanuragan yang mumpuni telah melihat dasar dari mana ia harus mulai.
Atas persetujuan dari semua pihak yang berkepentingan, maka Glagah Putihpun telah dinyatakan menjadi murid Kiai Jayaraga. Namun untuk tidak terjadi salah paham dan salah langkah, maka dengan terus terang Kiai Gringsing memberitahukan kepada Glagah Putih, bahwa Kiai Jayaraga adalah guru dari Ki Tumenggung Prabadaru dan guru dari tiga orang bajak laut yang terbunuh serta orang yang terakhir akan membalas dendam dengan menebarkan ilmu sirep yang sangat tajam di atas rumah Ki Gede.
"Semua orang telah memaafkan aku," berkata kiai Jayaraga, "aku mengucapkan terima kasih. Aku sebenarnya tidak ingin melihat murid-muridku terjerumus ke dalam dunia yang kelam. Semula aku berbangga bahwa ada seorang muridku telah menjadi Tumenggung. Namun ternyata bahwa, semuanya telah membuat hatiku terluka. Sekarang aku ingin melihat, bahwa muridku yang terakhir bukan termasuk orang-orang seperti yang pernah berada dalam asuhanku. Apalagi muridku yang terakhir ini bukannya menggantungkan diri semata-rnata dari ilmuku. Glagah Putih telah mempunyai dasar kemampuan yang tinggi, sehingga sebenarnyalah apa yang akan aku berikan hanya sekedar menumpang beberapa unsur dari ilmuku agar tidak punah bersama saat-saat aku dikuburkan kelak."
Glagah Putih hanya menunduk saja. Ia sadar bahwa Ia akan menjadi saudara seperguruan Ki Tumenggung Prabadaru, tiga orang bajak laut dan seorang yang datang dengan licik berusaha untuk membunuh Agung Sedayu. Namun dengan demikian, imannya justru akan teruji. Jika ia berhasil maka ia adalah seorang yang memang memiliki iman yang teguh.
"Aku akan selalu berada bersamamu," berkata Agung Sedayu, "selama kau berguru, maka kau merupakan bagian dari diriku sendiri. Karena itu, maka jangan merasa dirimu terjerumus ke dalam saluran yang kotor. Kiai Jayaraga sendiri bukan bermaksud menjerumuskan murid-muridnya. Tetapi mund-muridnya itu sendirilah yang telah memilih jalan sesat.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Dengan penuh kesabaran, maka iapun kemudian mulai dengan menempa diri bukan saja bersama dengan Agung Sedayu, tetapi juga dengan Kiai Jayaraga.
Menghadapi Glagah Putih, Kiai Jayaraga tidak perlu memulainya dari permulaan. Dasar-dasar umum dalam olah kanuragan telah dikuasai dengan baik oleh Glagah Putih, sebelum ia memaasuki ilmu dari jalur perguruan Ki Sadewa.
Namun demikian. Kiai Jayaragalah yang masih berusaha untuk mengetahui unsur unsur gerak yang dikuasai oleh Glagah Putih lebih banyak lagi. Kemudian kemampuannya mempergunakan tenaga cadangannya dan menyelipkan kekuatan lain yang mengisi ilmunya.
Dengan pengenalan itu, maka Kiai Jayaraga akan berusaha untuk menyesuaikan diri, dari mana ia harus mulai dan di bagian manakah maka ilmunya akan dapat luluh dengan ilmu yang sudah dimiliki oleh Glagah Putih, agar tidak terjadi sebaliknya bahwa ilmu yang diberikannya akan Justru saling menolak dan mempengaruhi bagian dalam tubuh Glagah Putih sehingga Justru akan merugikannya.
Tetapi sebagaimana Agung Sedayu yang memiliki sumber ilmu dari beberapa jalur perguruan, namun dengan serasi akan dapat saling mengisi dan bahkan luruh menjadi satu.
Sementara itu, ketika Glagah Putih lebih banyak berada di tangan Kiai Jayaraga bukan saja di dalam sanggar, tetapi juga di luar sanggar, bahkan di sepanjang sungai dan hutan-hutan di sekitar Tanah Perdikan Menoreh, maka Agung Sedayu telah mendapat lebih banyak kesempatan bagi dirinya sendiri.
Di mata pembantu keluarga Agung Sedayu, maka ia telah mendapat seorang kawan lagi yang sering berada di sungai di malam hari. Ki Jayaraga kadang-kadang memang ikut bersama Glagah Putih memasang perangkap dan membuka pliridanu untuk mencari ikan. Namun Glagah Putih dan Kiai Jayaraga tidak meninggalkan pliridannya dan pulang sambil menunggu dini hari untuk menutup pliridanaya dan menangkap ikannya. Tetapi demikian mereka membuka pliridan maka mereka telah membiarkan pembantunya pulang dan keduanya telah menyusuri sungai sebagai laku untuk memperdalam ilmu Glagah Putih.
Di bagian-bagian yang justru jarang dikunjungi orang maka Kiai Jayaraga telah menuntun Glagah Putih untuk mengenali ilmunya semakin dalam. Kemudian belajar mengenali watak kekuatan yang ada di sekitarnya.
Glagah Putih pernah mendengar, bahwa baik Ki Tumenggung Prabadaru maupun ketiga bajak laut yang terbunuh itu mempunyai kemampuan untuk menyerap kekuatan bumi, air, api dan udara. Karena itulah, maka iapun menyadari, bahwa Kiai Jayaraga akan mulai memperkenalkannya dengan unsur-unsur itu.
Dalam pada itu, maka Kiai Gringsing yang datang ke Tanah Perdikan Menoreh dengan membawa kitabnya, telah menyerahkan kitab itu kepada Agung Sedayu. Sebagaimana Swandaru, maka Agung Sedayu akan menelaah isi kitab itu, kemudian memilih bagian yang paling sesuai baginya dalam usaha peningkatan ilmu di tahap pertama ini.
Demikianlah, maka Agung Sedayu tidak langsung memasuki sanggar untuk menempa diri bersama gurunya. Tetapi ia memperoleh kesempatan untuk mempelajari kitab itu terlebih dahulu.
Sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu mempunyai satu kelebihan dan kebanyakan orang tentang apa yang pernah dikenalnya.
Seseatu yang diperhatikannya sungguh-sungguh dan dengan segera dipahatkanya pada dinding hatinya, maka untuk seterusnya Agung Sedayu akan dapat mengingatnya sebagaimana ia selalu teringat seakan-akan membaca kembali isi kitab Ki Waskita.
Karen a itu, maka ketika ia mendapat kesempatan untuk mengetahui isi kitab Kiai Gringsing, maka Agung Sedayupan telah minta diri untuk tetap berada di dalam sanggarnya selama tiga atau empat hari, selama ia membaca isi kitab itu.
Sekar Mirah yang sudah semakin mengenal sifat-sifat suaminya sama sekali tidak berkeberatan. Sebagai seorang istri, ia memang berkewajiban untuk mendorong dan memberikan gairah setiap usaha yang dilakukan suaminya.
Sementara itu Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga segera melihat, alangkah jauh bedanya tanggapan Agung Sedayu atas kitab itu dengan cara Swandaru menanggapinya. Swandaru Membaca kitab itu sebagaimana ia membaca. Kemudian menentukan pilihan dan baru memasuki tahap latihan-latihanuntuk memperdalam ilmunya atas pengarahan gurunya pada jenis ilmu yang dipilihnya.
Tetapi Agung Sedayu sudah menunjukkan kesungguhannya sejak ia mempelajari isi kitab itu. Ia telah mempergunakan laku tersendiri. Ia akan berada di dalam sanggarnya selama ia membaca kitab gurunya. Meskipun Agung Sedayu tidak melakukan pati geni, namun dengan mengurung diri ia akan dapat melihat isi kitab gurunya lebih kedalaman dan menangkap maknanya.
Demikianlah, maka untuk beberapa hari, Agung Sedayu telah berada di dalam sanggarnya. Sementara itu Glagah Putih melakukan latihan-latihan yang berat di bawah bimbingan Kiai Jayaraga yang didera oleh suatu keinginan untuk cepat-cepat mewariskan ilmunya kepada seorang murid yang akan dapat memberikan kebanggaan kepadanya.
Namun dalam pada itu, karena Kiai Gringsing yang masih harus menunggu Agung Sedayu yang berada di dalam sanggarnya, maka iapun telah ikut mengawasi perkembangan Glagah Putih bersama Ki Waskita. Karena bagaimanapun juga, Kiai Gringsing ikut bertanggung jawab, apabila ada salah langkah yang dilakukan oleh Kiai Jayaraga, sengaja atau tidak sengaja.
Demikianlah, maka dari hari ke hari Agung Sedayu telah menekuni isi kitab gurunya. Ia hanya berhenti pada saat ia meneguk minuman dan makan sesuap makanan. Dengan teliti ia membaca kata demi kata, mendalami isinya dan berusaha menangkap maknanya.
Namun seperti yang pernah dilakukannya, ia telah memahatkan seluruh isi kitab yang dibacanya itu di dinding ingatannya, sehingga pada saatnyakitab itu diminta kembali oleh gurunya, maka ia telah menguasai seluruh isinya dalam arti dapat mengingatnya kembali sebagaimana isi kitab Ki Waskita.
Di dalam kitab itu ia memang menjumpai laku yang hampir tidak mungkin dapat dijalani dan kemampuan-kemampuan yang sama sekali tidak masuk akal. Namun Agung Sedayu tidak menutup mata, bahwa Kiai Gringsing telah mampu melakukan sesuatu yang nampaknya memang tidak masuk akal.
Dengan sermat Agung Sedayu membaca tanpa ada yang dilampauinya, karena setiap kata di dalam kitab itu rasa-rasanya sangat penting artinya dalam hubungannya dengan keseluruhan isi kitab itu. Bahkan di dalam kitab itu bukan saja dapat dibaca tentang laku dan kemampuan ilmu, tetapi juga kalimat-kalimat yang terselip yang memberikan bimbingan jiwani kepada siapa saja yang mempelajari isi kitab itu. Denga demikian, maka setiap kemampuan yang akan dapat diungkapkan dari ilmi yang tercantum di dalam isi kitab itu tidak akan terlepas dari hubungan antara ilmu itu sebagai satu kurnia dengan yang memberikan kurnia. Dalam hal yang demikian maka akan tetap terjalinlah hubungan antara mereka yang mempelajari isi kitab itu dengan Yang Maha Agung yang memiliki kuasa tidak ada batasnya. Sehin gga betapapun tingginya ilmu yang dapat dicapai dengan mempelajari isi kitab itu, namun ia akan tetap bagaikan debu di hadapan Yang Maha Agung itu.
Kesadaran yang demikian itu menjadi semakin tertanam di dalam hati Agung Sedaytu. Karena itu, yang kemudian terpahat di dalam hatinya, bukan saja laku dan kemampuan ilmu, tetapi juga hubungan yang terasa menjadi lebih dekat antara dirinya dengan Penciptanya.
Sementara Agung Sedayu berada di dalam sanggarnya untuk beberapa hari, maka Tanah Perdikan Menoreh telah kedatangan seorang tamu dari Mataram. Seorang Senapati yang diiringi oleh beberapa pengawal langsung menemui Ki Gede Menoreh.
Ternyata utusan itu telah membawa wara-wara, yang memberitahukan bahwa Senapati Ing Ngalaga telah dikukuhkan kedudukannya, memegang kendali pemerintahan atas Pajang yang berkedudukan di Mataram dengan gelar Panembahan Senapati.
"Terima kasih," berkata Ki Gede kepada utusan itu. "Kami bergembira sekali atas pengukuhan itu. Memang tidak akan dapat terjadi yang lain kecuali pengukuhan seperti itu."
"Terima kasih Ki Gede," berkata utusan itu, "mudah-mudahan kerja sama antara Mataram dan Tanah Perdikan ini menjadi semakin baik."
"Kami akan bekerja sebaik-baiknya bagi Tanah Perdikan ini, yang berarti bagi Mataram pula," jawab Ki Gede.
"Semoga Ki Gede berhasil," berkata utusan itu yang kemudian segera minta diri.
"Begitu tergesa-gesa?" bertanya Ki Gede.
"Kami masih akan singgah di barak pasukan khusus itu. Meskipun seperti Ki Gede yang agaknya sudah mendengar tentang persoalan ini, tetapi dengan resmi kami akan menyampaikan wara-wara yang sama," jawab utusan itu. "Sementara kawan kami yang lain telah pergi ke Mangir, Pasantenan dan Sangkal Putung serta Jati Anom. Mungkin masih ada utusan-utusan lain yang pergi ke tempat yang lebih jauh lagi, seperti ke Bang Wetan dan Pesisir.
Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Namun ia masih sempat bertanya, "Kenapa harus dengan wara-wara" Apakah mereka tidak hadir pada saat pengukuhan itu?"
"Senapati Ing Ngalaga tidak mengundang para Adipati dan pemimpin-pemimpin dari daerah-daerah lain, kecuali kadang sentana yang terdekat. Karena itu, maka setelah segalanya selesai, Panembahan Senapati telah menyebarkan wara-wara untuk diketahui oleh para pemimpin di daerah-daerah itu serta masyarakat seluas-luasnya di daerah Pajang yang kemudian disebut Mataram," jawab utusan itu.
Ki Gede mengangguk-angguk pula. Katanya, "Baiklah. Segala tugas yang kemudian akan dilimpahkan kepada Tanah Perdikan ini akan kami terima dengan baik."
"Terima kasih Ki Gede. Kami akan menemui Ki Lurah Branjangan di baraknya," berkata utusan itu.
Demikianlah, maka wara-wara itupun telah disebar luaskan pula oleh Ki Gede. Sementara itu Kiai Gringsing telah teringat kepada Swandaru yang merasa kecewa bahwa ia tidak diundang pada saat Senapati Ing Ngalaga dikukuhkan memimpin Mataram.
Ketika ia sempat berbincang dengan Ki Gede tentang pengukuhan itu, maka jelas bagi Kiai Gringsing, bahwa memang tidak banyak orang yang hadir pada saat pengukuhan itu. Para Adipatipun tidak diundang. Apalagi para pemimpin kademangan.
"Swandaru mudah sekali merasa tersinggung," berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya yang menjadi cemas, "dengan ilmunya yang tinggi, maka ia akan berbahaya. Setiap kali tersinggung, maka ia akan mengandalkan ilmunya yang tinggi itu."
Namun Kiai Gringsing telah berusaha sejauh-jauhnya untuk mengekang tingkah laku Swandaru. Dalam saat-saat yang memungkinkan, Kiai Gringsing masih selalu memberinya petunjuk-petunjuk yang berarti bagi bekal hidupnya, karena bekal itu bukan saja sekedar ilmu kanuragan, tetapi juga kematangan jiwa dan kemantapan sikap.
Kiai Gringsingpun juga menyadari, bahwa pada saat yang hampir bersamaan Sangkal Putung tentu juga menerima wara-wara seperti itu. Karena itu Kiai Gringsing berharap agar yang menerima wara-wara itu bukan langsung Swandaru yang akan dapat mengucapkan kata-kata yang kurang mapan, tetapi sebaiknya diterima oleh Ki Demang.
Dalam pada itu Agung Sedayu masih saja berada di dalam sanggar. Ia masih belum selesai dengan penelaahan isi kitab gurunya. Banyak sekali bagian-bagian yang telah langsung dipahatkannya di dinding hatinya, sehingga Agung Sedayu tidak pernah akan lupa setiap kata yang tertulis dalam kitab itu. Agung Sedayu masih belum mendalami makna isi kitab itu dalam rangkuman peningkatan ilmunya. Ia baru berusaha untuk tetap mengingat bunyi dari kata-kata itu, yang pada kesempatan lain akan dapat didalaminya maknanya.
Sementara itu Glagah Putihpun dengan tekun melakukan latihan-latihan. Tetapi yang dilakukan Glagah Putih tidak akan selesai dalam waktu empat atau lima hari. Tetapi ia akan melakukan latihan-latihan dan juga laku-laku untuk memperdalam ilmunya, dan sebagau pertanda kesungguhannya bukan hanya beberapa pekan atau beberapa bulan, tetapi ia akan melakukannya bertahun-tahun meskipun dalam tahap-tahap yang berbeda.
Dalam perkenalan pertama dengan ilmu Kiai Jayaraga, maka dalam waktu satu dua pekan Glagah Putih memang harus benar-benar menempa diri. Dalam saat-saat terjadi usaha untuk menyelaraskan ilmu Kiai Jayaraga dengan dasar ilmu yang telah ada pada Glagah Putih, benar-benar diperlukan suatu pemusatan perhatian, siang dan malam.
Itulah sebabnya, maka Glagah Putih telah lebih banyak berada di luar rumahnya bersama Kiai Jayaraga. Bukan saja di malam hari, menyusuri sungai dan hutan-hutan, tetapi kadang-kadang di siang hari mereka berada di celah-celah pegunungan Menoreh. Dengan pemusatan nalar dan budi, maka Glagah Putih berusaha menerima segala macam petunjuk ujud dan isi dari ilmu Kiai Jayaraga dalam hubungan denga ilmunya sendiri.
Dalam pada itu, ternyata Agung Sedayu telah memerlukan waktu sepekan untuk berada di dalam sanggar yang tertutup tanpa beranjak kecuali pada saat-saat khusus. Agung Sedayu mempergunakan segala waktunya untuk kepentingan pengenalan atas isi kitab gurunya dan memahatkannya pada dinding hatinya, sehingga la tidak akan dapat melupakannya.
Demikian setelah sepekan berakhir Agung Sedayupun keluar dari sanggarnya. Wajahnya nampak pucat dan tubuhnyapun terasa lemah, namun sorot matanya nampak lebih cerah dari saat-saat ia memasuki sanggarnya.
Demikian keluar dan sanggarnya maka AgungSedayupun telah mandi dan sekaligus keramas dengan rendaman abu merang. Dengan demikian ia telah mengakhiri satu masa penelaahan isi kitab gurunya yang sangat berharga, sebagaimana isi kitab Ki Waskita.
Namun dengan demikian terasa beban Agung Sedayu menjadi semakin berat. Ia telah memahatkan isi kitab yang belum seluruhnya dipahami itu di dalam hatinya. Dengan demikian, maka seakan-akan in telah dikejar oleh satu kewajiban untuk mempelajarinya selangkah demi selangkah, namun langkah-langkah itu akan menjadi sangat panjang dan seakan-akan tidak berujung.
Tetapi Agung Sedayu bukannya orang yang tamak yang ingin terlalu banyak memiliki. Ia akan bekerja keras untuk berusaha memahami makna isi kitab itu. Tetapi dengan kesadaran, bahwa ia memiliki keterbatasan. Karena itu, rnaka sejauh mana ia dapat mencapai kemampuan ilmu kanuragan, maka ia sudah harus mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya alas kurnia itu.
Namun justru karena itu, Agung Sedayu dapat bekerja keras dan bersungguh-sungguh, tetapi dengan hati yang tenang. Ia tidak merasa dikejar-kejar oleh kekecewaan bahwa ia masih belum mencapai satu tataran tertentu yang dikehendaki.
Sekar Mirah yang melihat bahwa suaminya telah selesai dengan menekuni kitab Kiai Gringsing, telah rnembantu menyiapkan keperluannya. Sekar Mirah sadar, bahwa keadaan Agung Sedayu tentu berbeda dengan keadaannya sehari-hari karena ia baru saja melakukan satu tugas yang berat. Bukan saja secara lahir, tetapi juga secara jiwani.
Sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu yang lemah itu merasa dirinya menjadi segar setelah mandi keramas, minum minuman panas dan kemudian makan seperti kebiasaannya, tidak membatasi dari sebagaimana dilakukan di dalam sanggar.
Ternyata kemudian bahwa Agung Sedayu memerlukan beristirahat dua tiga hari sebelum ia mulai dengan latihan-latihan untuk meningkatkan imunya berlandaskan kepada isi kitab gurunya, yang memuat beberapa jenis laku dan kemampuan ilmu yang pada dasarnya telah dipelajarinya dari Kiai Gringsing.
Untuk melayani Agung Sedayu dan Swandaru agaknya memang memerlukan sikap yang berbeda, Kiai Gringsing yang sudah mengenal watak dan sikap kedua muridnya itu tidak terlalu sulit untuk menyesuaikan dirinya. Jika di Sangkal Putung ia menunggui sikap yang keras dan lebih cenderung dalam penguasaan kewadagan, maka di Tanah Perdikan ia harus bersikap lain. Kiai Gringsing harus lebih tajam menukik ke kedalaman ilmunya dengan laku berat dan titis. Berhubungan dengan kekuatang yang ada di dalam dirinya serta pemanfaatan kemungkinan yang ada di sekitarnya.
Sementara itu, Glagah Putih masih menempa diri dengan segenap hati di bawah tuntunan Kiai Jayaraga. Siang dan malam, meskipun kadang-kadang Glagah Putih masih juga berada di antara anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh.
Dalam pada itu, setelah Agung Sedayu menyelesaikan penelaahannya atas kitab Kiai Gringsing, maka Sekar Mirah yang tidak mau tertinggal terlalu jauh, telah menyempatkan diri pada saat-saat tertentu untuk berlatih pula di dalam sanggar. Meskipun ia tidak lagi ditunggu orang gurunya itu seakan-akan masih tetap merupakan pendorong yang kuat baginya sebagaimana gurunya sendiri masih menungguinya.
Sementara murid-murid Kiai Gringsing dan orang-orang di sekitarnya sedang menempa diri, maka wara-wara yang dikeluarkan oleh Mataram telah tersebar semakin luas. Para Adipati di pesisir dan BangWetan telah menerima pula. Meskipun pada umumnya mereka telah mendengar, namun merekapun telah mendapat pemberitahuan bahwa pimpinan pemerintahan kemudian berada di tangan Panembahan Senapati yang berkedudukan di Mataram.
Ada berbagai tanggapan terhadap wara-wara itu. Namun di bagian sebelah Timur Pajang, agaknya suasana bagaikan disaput oleh mendung Sementura di Pajang sendiri masih bergejolak beberapa macam sikap terhadap kekuasaan Mataram.
Beberapa orang Adipati mulai berbicara tentang susunan pemerintahan yang baru. Adipati Madura mulai mempersoalkannya bersama kadang-kadangnya. Namun demikian, masih belum nampak ada sikap yang dengan terang-terangan menentang kekuasaan Mataram, meskipun benih-benih yang demikian memang sudah ada.
Sementara itu, sekelompok prajurit Pajang, terutama mereka yang semula berada di antara pasukan khusus, yang oleh Mataram berharap tidak akan menimbulkan masalah-masalah baru, namun yang terjadi adalah lain dari yang dimaksudkan itu. Meskipun sebagian dari mereka menyadari, bahwa perbuatan-perbuatan tercela berikutnya hanya akan menambah kesulitan bagi mereka sendiri, tetapi sebagian dari mereka masih belum dapat melupakan kesetiaan terhadap Tumenggung Prabadaru.
Adipati Pajang kemudian merasa sangat sulit untuk mengendalikan sekelompok prajurit yang mempunyai sikap yang keras menghadapi Mataram, sehingga karena itu maka Adipati Wirabumipun telah mengambil sikap yang tegas menghadap mereka.
"Lucuti mereka!" perintah Adipati Wirabumi, menantu Kengjeng Sultan Pajang yang telah wafat, yang oleh Panembahan Senapati telah ditunjuk untuk memimpin Pajang, sementara Pangeran Benawa telah mendapatkan tugasnya sebagai Adipati di Jipang.
Benturan kekerasan tidak dapat dihindarkan lagi. Namun ternyata bahwa kekuatan Adipati Wirabumi berhasil memaksa mereka untuk menyerah. Namun tidak semua orang di antara mereka menyerah. Sebagian dari mereka berhasil meloloskan diri dan meninggalkan Pajang dengan membawa dendam di hati.
Seorang perwira yung menyingkir bersama mereka adalah seorang Tumenggung pula. Tumenggung Purbarana yang bersumpah di dalam hati tidak akan tunduk kepada pemerintah Panembahan Senapati apapun yang akan terjadi atas dirinya.
"Buat apa aku menyembah kepada anak Pemanahan. Seorang keturunan rakyat kecil yang berhasil menjilat kaki Karebet dan kemudian diakui sebagai anaknya," geram Purbarana.
Seorang bekas prajurit yang berusia lanjut berusaha untuk memberinya peringatan, "Anakmas, bagaimanapun juga kau harus menyadari bahwa Panembahan Senapati adalah orang yang memiliki ilmu yang tidak dapat dijajagi. Hampir seperti ayahanda angkatnya Kangjeng Sultan Hadiwijaya."
"Tidak. Tentu terpaut banyak sekali Anak dari Tingkir itu memang memiliki kemampuan tidak terbatas. Tetapi Loring Pasar, yang sekarang menyebut dirinya Panembahan Senapati itu bukan imbangannya bahkan sama sekali tidak akan dapat diperbandingkannya," jawab Purbarana.
"Tetapi apakah sebenarnya yang anakmas kehendaki" Bukankah sebaiknya anakmas membantu agar suasana menjadi lebih cepat terasa damai," berkata bekas prajurit yang tua itu. Lalu, "Bagaimanapun juga Mataram sekarang merupakan satu kekuatan yang sulit untuk dilawan. Karena itu, apa yang akan anakmas lakukan adalah kerja yang sia sia."
Dalam pada itu perwira yang telah meninggalkan Pajang itu menjawab, "Aku tidak menginginkan apa-apa. Aku hanya ingin bebas dari kewajiban untuk menyembah kepada Loring Pasar yang menyebut dinnya Panembahan Senopati."
"Anakmas," berkata bekas prajurit tua itu, "Kangjeng Sultan Hadiwijaya sendiri agaknya sudah merestui, bahwa Senapati Ing Ngalagalah yang akan meneruskan tugasnya, memimpin Pajang untuk mencapai cita-cita yang pada masa pemerintahan Kangjeng Sultan Hadiwijaya masih belum dapat diwujudkan."
"Aku sam a sekali tidak terikat kepada segala macam keputusan dan tingkah laku Sultan Hadiwijaya. Aku berhak menentukan niatku sendiri berlandaskan kepada cita-cita yang lebih mantap dan berarti bagi rakyat Pajang dan bahkan rakyat Majapahit," jawab perwira itu.
"Tetapi apakah anakmas merasa, bahwa cita-cita itu pada suatu saat akan tercapai?" bertanya bekas prajurit tua itu.
"Aku akan memperjuangkannya," jawab perwira itu.
"Dalam keadaan anakmas sekarang, ingat anakmas, semasa Pajang masih tegak, semasa kekuatan orang yang disebut Kakang Panji itu masih dapat membayangi kekuatan Pajang, sehingga terjadi benturan kekuatan di Prambanan, Kakang Panji tidak berhasil mengalahkan Mataram. Apalagi anakmas sekarang," berkata bekas prajurit itu.
"Aku tidak peduli. Semua orang yang berpihak kepada Panembahan Senapati adalah musuhku. Semua itu harus dihancurkan," berkata perwira itu.
"Dengan demikian maka anakmas dan kawan-kawan anakmas sudah menyimpang dari darma seorang ksatria, bahkan sudah menyimpang dari peradaban manusia," berkata bekas prajurit tua itu. "Anakmas hanya mendambakan kekisruhan, keributan dan pertentangan. Anakmas hanya ingin melihat korban yang berjatuhan tanpa arti." Orang tua itu berhenti sejenak, lalu, "Kenapa anakmas justru berbuat sebaliknya, berasalkan kepada kenyataan sekarang ini. Boleh saja anakmas tidak sependapat dengan Panembahan Senapati. Aku kira perbedaan pendapat akan justru berguna untuk mengambil langkah-langkah apabila perbedaan itu dinyatakan dan diungkapkan sebagaimana seharusnya. Tetapi bukan dengan cara yang anakmas sebutkan. Asal saja terjadi keributan dan kekisruhan. Apalagi sikap anakmas itu tidak beralaskan pada perbedaan pendapat dan pandangan tentang satu persoalan yang jelas dan bermanfaat, tetapi sekedar penolakan secara mutlak karena Panembahan Senapati adalah keturunan orang kebanyakan. Apakah menurut anakmas keturunan orang kebanyakan itu tidak akan dapat berbuat sesuatu yang berarti dan bermanfaat bagi kehidupan sesama?"
"Yang dilakukan oleh Panembahan Senapati tidak lebih dan kerakusan pribadi. Ia ingin menjadi orang yang paling berkuasa setelah ia adalah gurunya sendiri," jawab perwira itu.
"Memang kita dapat mengambil arti yang berbeda dan peristiwa yang sama. Kita memang dapat mengartikan satu peristiwa menurut sudut pandangan masing-masing, tetapi kita akan dapat memilah manakah yang paling baik bagi kita semuanya. Bukan hanya bagi kita masing-masing," berkata bekas prajurit tua itu.
"Aku tidak peduli," jawab perwira itu, "
"Aku tidak peduli," jawab perwira itu, "Aku sudah melangkah dengan satu ketetapan hati. Aku tidak akan mundur. Aku akan menghancurkan pemerintahan Mataram lewat segala cara. Lewat unsur-unsur kekuatannya, lewat wibawanya dan menghancurkan kepercayaan orang terhadap Panembahan Senapati yang tamak itu."
"Anakmas salah memilih jalan," berkata prajurit tua itu. "Sebenarnya anakmas akan dapat tetap pada kedudukan anakmas. Lewat kedudukan anakmas, maka anakmas akan dapat menentukan sikap dan mengungkapkan perbedaan sikap itu dengan wajar. Dengan demikian maka pendapat anakmas tentu akan didengar."
"Omong kosong," geram perwira itu. "Pendapatku tentu akan terhenti pada penjilat-penjilat yang tidak ingin melihat satu perubahan apapunterjadi pada saat seperti ini."
Bekas prajurit tua itu menarik nafas dalam-dalam. Perwira itu agaknya tidak lagi mempergunakan nalarnya, tetapi sekedar perasaannya. Kekecewaan dan penyesalan serta ketidakpuasan bercampur baur di dalam hatinya, sehingga menumbuhkan sikap yang keras dan kasar.
Karena itu, maka bekas prajurit tua itu tidak dapat mencegahnya lagi. Dilepaskannya perwira itu mulai dengan pengembaraannya untuk melakukan sebagaimana dikatakannya.
"Kita akan menghancurkan Mataram dari sedikit," berkata Tumenggung Purbarana.
"Ki Tumenggung," bertanya salah seorang pengikutnya, "apakah kita tidak dapat bergeser ka Timur" Kita akan menghubungi beberapa Adipati yang nampaknya mempunyai sikap yang ragu pula terhadap Panembahan Senapati."
"Buat apa kita menghubungi mereka?" geram Tumenggung Purbarana. "Mereka tidak lebih dari orang-orang rakus dan tamak seperti Panembahan Senapati sendiri. Menurut perhitunganku, sebentar lagi akan terjadi benturan kekuatan antara para Adipati dengan Panembahan Senapati. Mereka akan berebut kekuasaan dan berebut kamukten."
"Dan kita?" bertanya pengikutnya yang lain.
"Kita berdiri pada satu alasan. Kita akan menegakkan satu pemerintahan yang kuat dan besar di atas Tanah ini, sebagaimana pernah terjadi atas Majapahit. Bukan justru untuk mengangkat diri kita masing-masing untuk menjadi penguasa," jawab perwira itu.
Tetapi penjelasan ini masih tetap kabur di telinga pengikutnya.
Beberapa orang pengikutnya masih melihat beberapa pengertian yang saling bertentangan pada keterangan Tumenggung Purbarana. Namun setiap kali mereka berusaha untuk mernbayangi perasaan itu dengan merendahkan diri, " Mungkin aku memang terlalu bodoh untuk mengerti. Tetapi Ki Tumenggung bukannya orang dungu. Sebagaimana dikatakan, lebih baik hancur menjadi debu daripada harus tunduk dan menyembah anak Pemanahan."
Dengan demikian para pengikutnya tidak lagi, mau berpikir. Mereka hanya melakukan saja segala perintah Ki Tumenggung Purbarana, dengan tekad yang membakar jantung mereka. Lebih baik mati daripada harus tunduk kepada Mataram.
Ternyata tekad itu telah mendorong mereka untuk melakukan perbuatan yang kadang-kadang sulit dimengerti oleh orang lain. Namun sesuai dengan garis perjuangan Ki Tumenggung Purbarana, rnereka harus meruntuhkan wibawa Panembahan Senapati, rnemperlemah kedudukannya dan membuat kekisruhan yang terus-menerus.
Tetapi Ki Tumenggung Purbarana tidak mau bergerak ke Timur. Ia memang sudah mendengar mendung yang mulai menghitam diatas Madiun dan Lasem.
"Biarlah api itu menyala di sebelah Timur Aku akan bergerak ke Barat," berkata Ki Tumenggung. Sebab Ki Tumenggung itu tidak pula mau k Jipang, karena di Jipang yang memegang pimpinan sebagai Adipati adalah Pangeran Benavra. Seperti Panernbahan Senapati maka Pangeran Benawa adalah seorang yang memiliki kemampuan yeng sulit dijajagi.
Dengan bergerak ke Barat, maka yang harus diperhitungkan oleh Ki Tumenggung adalah kekuatan di Sangkal Putung. Tetapi Ki Tumenggungpun tidak dapat mengingkari kekuatan pasukan Untara di Jati Anom yang, dapat bergerak dengan cepat. Pasukan berkuda dari Jati Anom akan dapat mencapai Sangkal Pulung dalam waktu pendek.
"Manakah yang lebih kuat," bertanya Purbarana kepada salah seorang pengikutnya, "pasukan Untara di Jati Anom atau pasukan khusus Mataram yang ada di Tanah Perdikan?"
"Seharusnya pasukan khusus itu lebih kuat," jawab pengikutnya, "tetapi jumlahya tidak sebanyak jumlah pasukan Untara dan yang telah mendapat latihan-latihan keprajuritan. Di bawah pimpinan Senapati muda yang bernama Sabungsari, sebagian dari pasukan Untara mernpunyai kekuatan yang tidak kalah dengan pasukan khusus di Tanah Perdikan itu."
"Bagaimana pertimbanganmu jika aku bergerak ke Sangkal Putung?" bertanya Ki Tumenggung Purbarana.
Namun pendapat pengikutnya itu sama seperti yang diperhitungkannya Pasukan Sangkal Putung akan sempat bertahan sampai pasukan berkuda Untara datang membantu.
"Kekuatan para pengawal di Sangkal Putung juga cukup tinggi," berkata pengikutnya.
"Bagaimana dengan pengawal Tanah Perdikan Menoreh?" bertanya Ki Tumenggung Purbarana.
Pengikutnya itu tidak segera dapat menjawab. Namun akhirnya ia berkata, "Keduanya memiliki kekuatan yang cukup. Keduanya dibayangi oleh kekuatan prajurit Mataram. Jika Sangkal Putung dibayangi oleh kekuatan Untara di Jati Anom, maka di Tanah Perdikan Menoreh ada Ki Lurah Branjangan dengan pasukan khususnya. Karena itu, maka nampaknya kedua daerah itu memiliki kekuatan yung seimbang."
"Bagaimana dengan para pemimpinnya" Apakah orang orang berilmu tinggi di Tanah Perdikan Menoreh sama atau lebih kuat dari orang-orang berilmu tinggi di Sangkal Putung?" bertanya Ki Purbarana itu pula.
Pengikutnya masih juga merasa bimbang. Katanya, "Di Sangkal Putung pimpinan tertinggi dari pasukan pengawal adalah Swandaru, murid Kiai Gringsing. Sementara itu Kiai Gringsing sendiri lebih banyak berada di Sangkal Putung daripada di Tanah Perdikan Menoreh."
"Siapa yang berada, di Tanah Perdikan Menoreh?" bertanyaKi Tumenggung itu pula.
"Ki Gede Menoreh dan Agung Sedayu. Pemimpin yang disegani," desis pengikutnya itu.
Ki Tumenggung Purbarana itu mengangguk-angguk. Ia sudah mendengar tentang semuanya itu. Tetapi ia memang ingin meyakinkan pendegarannya. Bahkan Ki Tumenggung itupun telah rnendengar pula bahwa baik di Sangkal Putung, maupun di Tanah Perdikan Menoreh, terdapat seorang perempuan yang berilmu tinggi. Di Sangkal Putung ada Pandan Wangi dan di Tanah Perdikan Menoreh ada Sekar Mirah.
Namun Ki Tumenggung itupun kemudian berkata, "Kita harus mengetahui lebih banyak tentang Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh. Aku akan menghadap guru. Mudah-mudahan guru mengerti kesulitanku. Aku kira guru memiliki kemampuan tidak kalah dengan kukang Panji yang dapat dibunuh oleh Kiai Gringsing di Prambanan."
Pengikutnya mengangguk-angguk. Tetapi tiba-tiba ia bertanya, "Apakah Ki Tumenggung tidak memperhatikan satu kemungkinan untuk mengguncangkan Pasantenan atau Mangir?"
"Pasantenan tidak akan terlalu sulit. Jika hubungannya dengan Mataram diputuskan, maka Pasantenan akan menjadi lemah. Dengan demikian kita akan dengan mudah menundukkannya," berkata Ki Tumenggung Purbarana.
"Jangan salah menilai kemampuan putera Ki Gede Pasantenan. Putera Ki Gede Pasantenan itu memiliki kemampuan hampir seperti Raden Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senapati." jawah pengikutnya.
"Omong kosong," gerarn Purbarana. "Aku tidak percaya. Seperti kata orang, bahwa Mangir anak Wanabaya itu memiliki kekuatan yang tidak mungkin dipatahkan, karena di Mangir terdapat pusaka sebatang tombak yang bernama Kiai Baru. Tetapi aku tidak akan tergesa-gesa bergerak ke Mangir. Aku akan mulai dari Barat. Dari Tanah Perdikan Menoreh. Jika ternyata kemungkinan itu dapat aku lakukan. Aku memang tidak akan menduduki Tanah Perdikan itu. Tetapi sekedar menghancurkannya. Kemudian merambat ke Bagelen. Jika Bagelen sudah menjadi kisruh aku akan berputar ke Utara."
Pengikutnya hanya mengangguk-angguk saja. Agaknya Ki Tumenggung Purbarana akan mengadakan pengembaraan yang panjang. Namun demikian pengikutnya itu tidak dapat menahan diri untuk bertanya, "Jika demikian apakah tujuan akhir dari Ki Tumenggung?"
"Kau memang bodoh," jawab Ki Tumenggung. "Jika kewibawaan Panembahan Senapati sudah goyah, maka kita akan dapat mulai dengan sungguh-sungguh untuk menghancurkannya dan kemudian memimpin satu pemerintahan yang besar bersama beberapa orang yang akan dapat ditunjuk kemudian."
"Ki Tumenggung," berkata pengikutnya, "aku memang orang yang bodoh. Tetapi ada keinginanku untuk mengerti, apakah Ki tumenggung sudah memperhitungkan, bahwa kitalah yang menghancurkan kewibawaan Panembahan Senapati. Tetapi tiba-tiba saja Adipati Bang Wetan atau siapapun juga bangkit untuk menghancurkan Mataram dalam arti kewadagan tanpa menoleh kepada kita."
"Kekuatan itu akan kita hancurkan pula," geram Ki Tumenggung Purbarana. "Aku yakin bahwa aku akan dapat menyusun satu kekuatan yang besar dan merata. Sepanjang perjalananku, aku akan meyakinkan kekuatan-kekuatan yang ada, bahwa pada satu saat kita akan bersama-sama bangkit."
"Apakah kekuatan itu akan dapat rnengimbangi kekuatan Madiun misalnya?" bertanya pengikutnya.
"Kenapa tidak," jawab Purbarana, "kekuatanku akan berlipat dari kekuatan setiap Adipati yang ada. Mereka hanya mernpercayakan diri pada kekuatan di satu tempat tertentu. Tetapi aku akan mempunyai kekuatan di seluruh tlatah yang aku sentuh dalam pengembaraanku yang memang mungkin memerlukan waktu lama. Tetapi Madiun pun memerlukan waktu yang lama. Juga Adipati Pesisir atau bang Wetan yang bila seandainya mereka akan menentang kuasa Panembahan Senapati."
Pengikutnya mengangguk-angguk. Tetapi Ia sudah tidak bertany a lagi.
Sementara itu Ki Tumenggung Purbarana masih belum bergerak. Dengan para pengikutnya merekaberusaha menjauhi Pajang. Namun perjalanan mereka Justru ke Utara, menyusup diantara pedukuhan-pedukuhan dan hutan-hutan yang lebat menuju ke sebuah padepokan terpencil Randu Pitu. Daerah yang cukup jauh, selelah menyeberangi Kali Regunung, melintasi daerah Ngandong, menyusuri Kail Uter dan akhirnya sampai ke padepekan Randu Pitu, dekat dengan tempuran antara Kali Uter dan Kali Gandu.
Kedatangan pasukan Tumenggung Purbarana memang menge jutkan seisi padepokan itu. Bahkan beberapa orang cantrik telah berlari-lari mengambil senjata. Meskipun jumlah mereka tidak terlalu banyak, tetapi mereka wajib bersiaga, apabila pasukan yang datung itu memang bermaksud buruk.
Namun ternyata yang berdiri di paling depan adalah Purbarana. Seorang yang pernah menjadi murid di padepokan itu pula beberapa tahun yang lalu. Cantrik-cantrik yang telah cukup lama berada di padepokan itu masih dapat mengenalinya.
Seorang pulut yang sudah separo baya kemudian menyongsongnya di regol. Sambil menganguk hormat, putut itupun kemudian bertanya, "Bukankah aku berhadapan dengan Ki Tumenggung Purbarana?"
"Ya, Aku adalah Purbarana. Bukankah kau masih mengenali aku?" jawab Ki Tumenggung Purbarana.
"Tentu Ki Tumenggung," berkata putut itu pula. Lalu, "Tetapi kali ini kedatangan Ki Tumenggung bersama sepasukan prajurit telah mengejutkan para cantrik."
Ki Tumenggung tertawa. Katanya, "Apakah guru ada?"
"Marilah Ki Tumenggung. Guru ada di dalam sanggar," jawab putut itu.
Ki Tumenggung Purbarana mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Katakan kepada guru, bahwa aku datang bersama para prajuritku. Hanya sekedar singgah saja."
"Marilah. Silahkan masuk. Tetapi sebagaimana Ki Tumenggung mengenal padepokan ini, kami tidak akan dapat menerima semuanya sebagaimana seharusnya. Tempatnya terlalu sempit," putut itu rnempersilahkan.
Sumpah Palapa 2 Pendekar Rajawali Sakti 80 Istana Maut Asmara Putri Racun 1

Cari Blog Ini