02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 15
lima saluran tajam yang sanggup menembus, mencuci dan
membersihkan kehidupan rasa jiwatma.
Tetapi bajrodaka bukanlah air biasa melainkan air yang
gaib, air yang memiliki dua sifat, air biasa dan air amrta. Air
yang tiada berwujut, tiada berwarna, tiada pula bersifat. Wujut,
warna dan sifatnya terbentuk oleh yang menerima alirannya.
Apabila yang menerima masih penuh dengan lumpur2 lobha,
dosa dan moha, maka air itu akan berbisa. Air neraka yang
akan menumpas jiwa dan raga. Tetapi apabila yang menerima
sudah sungguh2 menghayati sinamaya atau ketenteraman,
maka air itu akan merupakan air amrta, air kehidupan.
Demikian keadaan para pemuda putera2 senopati
kerajaan Daha dari prabu Jayakatwang. Mereka mendendam
kebencian kepada kerajaan Majapahit. Dan oleh karena
dendam kesumat itu maka mereka selalu bergolak, selalu
gelisah dan selalu cemas. Selalu pula dibakar dendam
kemarahan. Bukan tak disadari hal itu oleh para pejuang Daha yang
tergabung dalam himpunan Wukir Polaman. Namun mereka
berpendirian. Lebih baik cemas dan gelisah diamuk dendam
kebencian kepada Majapahit daripada tenteram ayem
diperintah Majapahit. Mereka tak menganggap kerajaan
Majapahit itu suatu kenyataan dari perobahan jaman, suatu
roda Cakrawati yang berputar sepanjang sejarah. Merekapun
menolak kenyataan bahwa kerajaan Majapahit merupakan
kerajaan baru yang berhasil mempersatukan Daha-Singasari
Kahuripan. Mereka masih dibuai oleh impian lampau bahwa
kerajaan Panjalu itu harus dibagi dua, Daha dan Singasari.
Mereka tak menyukai Singasari, lebih pula membenci
Majapahit. Pendirian pejuang2 Wukir Polaman itu bukan didasarkan
atas perasaan perorangan melainkan kepentingan Daha dan
rakyatnya. Daha sudah berpuluh-puluh tahun sejak Ken Arok
menjadi raja yang pertama di Singasari, telah ditundukkan dan
dikuasai Singasari. Baru saja Daha yang dipimpin prabu
Jayakatwang berhasil menghancurkan Singasari atau raden
Wijaya telah berhianat, membalas air susu pemberian raja
Jayakatwang dengan air tuba yang menewaskan raja Daha
itu. Betapa pedih, betapa geram dan betapa dendam hati para
pemuda2 itu. Lebih mengemelut kesumat mereka oleh
kenyataan lain bahwa ayah mereka telah mati dibunuh
senopati2 Majapahit yang didirikan raden Wijaya.
Jiwa adalah sumber dari kehidupan manusia. Jiwa
menggetar hati, mengungkap batin, merangsang pikir,
memerintahkan alat indera tubuh. Isi dari pada jiwa itulah yang
akan menentukan sesuatu pada orang. Menyadari akan hal itu
maka para warakawuri, para janda dan orang2 tua Daha telah
mengisi, menempa dan membentuk jiwa putera2 mereka,
terutama putera2 dari para senopati Daha yang telah gugur
dalam peperangan, menjadi seorang manusia yang berjiwa
dendam berhati kesumat. Dendam kepada orang Majapahit,
kesumat terhadap kerajaan Majapahit. Seolah diluangkan
kedalam jiwa anak2 itu, bahwa Majapahit adalah musuh
bebuyutan Daha. Bahwa Daha harus bangun dan bangkit
kembali sebagai kerajaan yang bebas dan berwibawa.
Dalam arah yang tertentu, tepatlah pendidikan yang telah
ditanamkan para orang2 tua di Daha itu kepada puteraputeranya. Tetapi pada lain lingkungan, hasil daripada
pendidikan itu telah mengembangkan suatu pertumbuhan
yang menyedi hkan. Mereka telah menjadi manusia
pendendam, memiliki prasangka yang berkelebihan, mudah
terjerumus dalam kecurigaan. Pokoknya, jiwa mereka selalu
bergolak, tak pernah mengenal tenang.
Dalam alam kejiwaan itulah mereka tumbuh, berkawan,
berbicara mengenai perjuangan, merundingkan hal2 yang
memberi kemungkinan untuk melaksanakan tujuan perjuangan. Dan tak lepas pula pembicaraan itu dari
lingkungan kehidupan remaja
pertumbuhan kedewasaan. yang tengah menjelang Apa yang terjadi di lembah Trini Panti hanya merupakan
suatu cetusan daripada hasil alam pergaulan pemuda2 Daha
itu. Suatu hasil yang beriklim pertumbuhan antara jiwa yang
menanjak dewasa dengan jiwa yang telah ditempa dalam jiwa
keksatryaan pendendam. Nagandini adalah puteri bungsu dari patih Kebo
Mundarang, patih kerajaan Daha yang telah memimpin
penyerangan kepada Singasari dan berhasil merebut
Singasari mengalahkan baginda Kertanagara. Tetapi
beberapa tahun kemudian, raden Wijaya yang menjadi
menantu baginda Kertanagara dan berusaha hendak
membalas dendam, berhasil dapat membilukkan tujuan
kedatangan pasukan Tartar yang sedianya hendak membalas
hukum kepada baginda Kertanagara, ternyata ditunjukkan ke
Daha untuk menyerang prabu Jayakatwang.
Prabu Jayakatwang memberi perlawanan tetapi akhirnya
tertangkap. Patih Kebo Mundarang lari dikejar Lembu Sora.
Sampai di lembah Trini Panti, Kebo Mundarang berhenti. Ia
bersedia manyerahkan puterinya yang sulung, Nagantrini,
kepada Lembu Sora, asal ia jangan dibunuh. Tetapi Lembu
Sora menolak. Akhirnya patih Kebo Mundarang binasa di
lembah itu. Dan ini sesuai dengan keinginannya. Memang ia
paling gemar bertapa di lembah Trini Panti itu. Dari seorang
demang akhirnya ia berhasil menjabat patih. Kemudian ia
bertapa di lembah itu lagi memohon keturunan kepada
dewata. Akhirnya ia mendapat empat orang anak, dua puteri
dua putera. Sedemikian kecintaannya kepada lembah itu
hingga dalam pesannya, kelak apabila meninggal supaya di
tanam di lembah itu. Ke lembah itulah Nagandini, puterinya
yang bungsu, sering berziarah ke makam ayahandanya.
Nagantrini marah dan malu. Marah karena ayahandanya
dibunuh Lembu Sora dan malu karena ia ditolak oleh senopati
Majapahit itu. Ia bersumpah menuntut balas. Dengan menyaru
sebagai wanita biasa, ia diterima menjadi dayang di gedung
Demung Sora. Pada suatu kesempatan ia berhasil masuk
kedalam tempat peraduan Demung Sora dan menikam
demung itu dengan sebilah patrem. Tetapi karena terburu
nafsu dan ketakutan, ia telah menusuk belikat demung Sora
yang terbuat daripada sutera lemas yang diperolehnya dari
seorang hulubalang pasukan Tartar. Ujung patrem tak kuasa
menembus belikat dan demung Sora terbangun. Karena
ketakutan, Nagantrini bunuh diri.
Kini putera puteri mendiang patih Kebo Mundarang hanya
tinggal tiga orang. Kedua puteranya bernama Nagantaka,
Nagantara dan puteri yang bungsu Nagandini. Ketiga pemuda
itupun masuk kedalam himpunan Wukir Polaman.
Pergaulan antara lain jenis dari para muda yang masih
berdarah panas dan bergelora jiwanja, mudah menimbulkan
percikan rasa. Rasa yang timbul dari naluri insan manusia, laki
atau perempuan. Demikian pula yang terjadi dikalangan
anggauta2 Wukir Polaman. Rangga Janur mencintai
Nagandini tetapi puteri Kebo Mundarang itu tidak menyambut
curahan kasihnya. Nagandini telah memberikan kepercayaan
hatinya kepada Silugangga, putera dari senopati Sagara
Winotan yang gugur dalam peperangan karena dibunuh
Rangga Lawe. Karena putus asa, ada suatu kala Windu Janur berusaha
untuk melupakan peristiwa yang menyayat hati itu dengan
menjadi pandita. Ia berusaha mengalihkan perhatian dengan
menumpahkan pikiran dan tenaga dalam perjuangan. Itulah
sebabnya maka waktu bertemu dengan brahmana Anuraga
yang pertama dan akhirnya bertempur, Windu Janur masih
mengenakan jubah ke-panditaan. Karena menderita luka yang
cukup parah, akhirnya ia kembali ke Daha dan menghentikan
semua kegiatannya. Dalam hubungan dengan kawan2 yang
sering datang berkunjung, akhirnya timbul pula semangat
Windu Janur. Dan serempak itupun karena sering bertemu
dengan Nagandini, luka hatinya yang sudah tertutup rapat,
merekah pula. Api asmara dalam hatinya tak pernah padam.
Ia berusaha pula untuk merebut hati Nagandini.
Windu Janur mempunyai seorang adik perempuan,
Kentari, seorang dara cantik yang tengah menjenjang dewasa.
Bagaikan kuntum bunga yang menjelang mekar, berbondongbondonglah kumbang terbang menghampiri. Anggauta2 Wukir
Polaman sebagian besar terdiri dari para muda yang masih
panas darahnya, lebar jangkaunya dan tinggi harapannya.
Dalam usia2 seperti mereka itulah, segala keindahan yang
paling indah, segala kegagahan yang paling gagah,
keberanian yang paling berani, petualangan yang paling
berbahaya, kemungkinan yang paling tak mungkin, tetap
terjangkau dalam khayalan mereka. Dalam segala hal, mereka
ingin menonjol. Dan pula dalam soal asmara, masa-masa
remaja merupakan masa yang menyala. Mudah terbakar,
mudah membakar. Cepat terangsang, cepat pula merangsang.
Ibarat tungku, mereka adalah tungku yang sedang membara.
Bunga yang sedang mekar, entah bunga apa, entah cantik
atau tidak, harum atau tidak, tentu selalu didatangi kumbang.
Karena kumbang memerlukan sari madu bunga itu. Suatu
kebutuhan hidup. Namun jika gadis yang sedang menjelang
remaja itu diibaratkan sebagai kuntum bunga yang sedang
mekar, kiranya tidaklah keseluruhannya sesuai.
Bahwa secara jasmaniah seorang anak perempuan dalam
masa pertumbuhannya sebagai seorang dara menjelang
remaja, menunjukkan suatu perobahan2 yang menonjol,
memang seperti kuntum bunga yang mekar. Bahwa pada
masa pertumbuhan itu, akan lebi h memperhatikan perawatan
tubuh dan wajah, memang akan bertambah cantiklah dara itu.
Tetapi karena dewata memberi karunia yang berlainan pada
wajah setiap manusia, maka tidaklah semua manusia itu tentu
berwajah tampan kalau dia seorang anak laki, dan tidak tentu
pula berwajah cantik kalau dia seorang anak perempuan.
Dalam hal ini, tentulah kecewa hati para dara yang kebetulan
tidak dikaruniai wajah yang cantik. Karena jika kumbang itu
tidak membedakan mana bunga yang cantik, harum, mana
bunga yang tidak sedap dipandang dan tidak harum, mereka
tetap akan datang untuk menghisap madunya. Tidaklah
demikian dengan para jejaka. Mereka ibarat kumbang, apabila
melihat dara remaja. Tetapi mereka bukan kumbang yang
hanya membutuhkan madu untuk hidup. Melainkan kumbang
yang memiliki selera tinggi, kadang selera lebi h diutamakan
dari kebutuhan hidup. Mereka memilih gadis2 remaja yang
berwajah cantik, mengabaikan gadis yang kurang dan tidak
cantik. Pada hal jika gadis itu diibaratkan sebagai bunga,
merekapun juga mengandung madu, sari kehidupan yang
menghidupi kumbang. Rupanya Kentari, adik Windu Janur, termasuk insan yang
dikasihi dewata. Ia seorang gadis yang memiliki kecantikan
pilih-tanding. Banyak gadis2 lain yang mengiri kepadanya,
mengira dia tentu akan dikerumuni dan dipuja-puja para muda.
Tetapi bagi Kemari sendiri, hal itu kebalikannya malah
menjemukan, meresah iran dan mengganggu ketenangan
hatinya. Ia ingin terbebas dari perhatian para jejaka muda
yang karena menjadi kawan Windu Janur maka sering
berkunjung datang. Tanpa disadari, Windu Janur makin
banyak mempunyai sahabat, bahkan banyak diantara mereka
yang ingin mengekalkan persahabatan itu, menyatakan
hendak masuk menjadi anggauta Wukir Polaman.
Karena orungtuanya sudah tiada, maka Windu Janur
sebagai putera tertua, harus menggantikan sebagai wali.
Karena seringnya menerima kunjungan para anak muda itu,
diam2 timbullah keluhan dalam hatinya. Hampir2 termakanlah
waktunya yang luang untuk mengemasi soal dirinya. Dan di
samping itu pula iapun mengeluh bahwa mempunyai saudara
perempuan itu merupakan suatu beban. Jika berwajah cantik
tentu harus menjaga dari gangguan2 para muda yang usil.
Jika berwajah tidak cantik, pun ikut perihatin.
Diantara muda2 yang paling sering berkunjung kerumah
Windu Janur adalah Kebo Angun-angun, putera mendiang
Kebo Rubuh, salah seorang senopati prabu Jayakatwang.
Kebo Angun-angun yang bertubuh kekar dan berwajah keras,
sangat mencintai Kentari. Tetapi dara itu tidak menyambutnya.
Ia telah mengikat janji dengan pemuda Nagantara, putera
Kebo Mundarang yang ketiga. Pada hal kakangnya,
Nagantaka, juga mempunyai perhatian kepada Kentari.
Demikian liku2 cinta yang tumbuh di kalangan muda mudi
keturunan para mentri dan senopati prabu Jayakatwang.
Disamping perjuangan mereka dalam Wukir Polaman, timbul
pula gejolak perjuangan dalam asmara.
Rupanya dalam usaha untuk merebut hati Kentari, pandai
juga Kebo Anjun-angun untuk mencari jalan. Ia bergaul rapat
dengan Windu Janur. Dalam usaha untuk mengharap
persetujuan Windu Janur kelak apabila ia meminang Kentari,
maka ia bersedia berbuat apa saja yang dikehendaki Windu
Janur. Windu Janur tahu pula akan hal itu. Ia dapat membatasi
diri agar jangan sampai terjerat dalam lingkar budi kebaikan
Kebo Angun angun, sehingga sukar baginya untuk menolak
sesuatu yang bukan menjadi haknya yang mutlak. Sedemikian
rasa sayang kepada adiknya, Kentari, sehingga ta tak lagi
bersikap sebagai seorang kakang melainkan sebagai seorang
ayah, yang mengalah dan memanjakan, mengemong dan
menuruti kehendaknya. Dalam lingkungan sedemikian itu,
sudah tentu tak mungkin ia dapat memaksakan kehendaknya
kepada Kentari dalam soal perjodohan. Karena ia tahu bahwa
perjodohan merupakan masalah hati dan kebahagiaan
adiknya Untuk memperlengkapi kasih sayangnya kepada
Kentari, ia akan memberi kebebasan penuh kepadanya untuk
memilih kawan hidup. Karena dalam soal itu, ia sendiripun
sedang menghadapi persoalan yang buntu dengan Nagandini.
Namun tindaklah berkurang usaha Kebo Angun-angun
untuk melaksanakan tujuannya itu. Ia tahu tentang hubungan
Windu Janur dengan Nagandini, dan tahu pula kesulitan yang
dialami Windu Janur. Diam2 ia telah membayangkan suatu
rencana. Ia hendak menawarkan jasa baik kepada Windu
Janur untuk menghilangkan 'duri dalam daging' yang diderita
Windu Janur.
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kakang Windu" kata Kebo Angun-angun pada suatu
kesempatan berbicara berdua dengan Windu Janur "ada
sesuatu yang ingin kusampaikan kepada kakang"
Windu Janur terkejut. Dalam hati ia menduga tentulah
Kebo Angun-angun akan membicarakan persoalan Kentari,
"katakanlah" sahutnya dalam nada yang ditekan.
"Sesuatu yang kurasakan akan menimbulkan gejala yang
tidak baik pada Wukir Polaman" Kebo Angun-angun memulai
kata-katanya dengan hati-hati.
Diam2 Windu Janur menghela napas longgar. Ternyata ia
terlalu terburu untuk menduga2. "Apa yang engkau maksud
dengan kata-katamu itu ?" ujarnya.
"Adakah kakang Windu tidak merasakan hal itu?" Kebo
Angun-angun balas bertanya. Rupanya ia masih ingin
menyelidiki. Windu Janur tersenyum "Jika tahu, masakan aku harus
bertanya?" "Begini, kakang" kata Kebo Angun-angun, "dalam waktu
akhir2 ini, gerakan kita selalu gagal. Setiap kali kita
merencanakan untuk mengacau suatu tempat, misalnya
rencana kita untuk membakar lumbung persediaan padi dari
pemerintah keranian Daha telah mengalami kegagalan. Kita
telah disergap oleh prajurit2 Rani Daha, beberapa kawan kita
telah gugur dan menderita luka2."
"Ah, mungkin kita sendiri yang salah hitung. Karena tempat
sepenting itu, tentulah akan dijaga keras oleh mereka" kata
Windu Janur. "Tidak, kakang" bantah Kebo Angun-angun, "aku sendiri
diikut sertakan dalam penyerbuan itu. Dan sebelumnya aku
ditugaskan oleh pimpinan kita, untuk melakukan penyelidikan
lebih dahulu. Jelas bahwa penjagaan di tampat itu tidak
berapa kuat. Tetapi tiba2 pada malam itu telah muncul beratus
prajurit Daha yang kuat"
"Engkau maksudkan, rencana kita telah tercium oleh
mereka?" tanya Windu Janur.
Kebo Angun-angun mengangguk, "Begitulah maksudku.
Tentu ada yang berhianat dalam kalangan kawan2 kita"
"Ah, jangan berprasangka yang tidak2, Angun-angun" kata
Windu Janur. "Dan yang paling terasa" kata Kebo Angun-angun lebi h
lanjut "adalah dalam peristiwa geger Majapahit yang lalu.
Waktu baginda Jayanagara melarikan diri dari keraton, kita
segera mengadakan rapat kilat menyusun rencana. Bukankah
kakang juga hadir dalam rapat itu?" tanya Kebo Angun-angun.
"Ya" sahut Windu Janur.
"Kita telah menetapkan dua buah rencana" kata Kebo
Angun- angun pula, "pertama, mengirim orang menyusup ke
pura Mijapahit untuk melakukan siasat mengadu domba,
menyebar fitnah dan memancing di air keruh. Dan kedua,
melakukan serangan kepada keraton Daha"
Kembali Windu Janur mengiakan.
"Nah" kata Kebo Angun-angun "yang memimpi n
pengacauan ke pura Majapahit itu adalah kakang Wiidu
sendiri, bukan?" "Benar" "Dan siapakah yang diserahi tugas untuk melakukan
pengacauan di wilayah Daha dan melakukan sergapan ke
keraton Rani Daha itu?"
"Silugangga" sahut Windu Janur.
"Apakah hasil sergapan yang dipimpin Silugangga i;u?"
tanya Kebo Angun-angun. "Hampir tidak ada" sahut Windu Janur "karena keranian
Daha telah mempersiapkan diri"
"Bukan hampir tetapi seluruhnya memang gagal" seru
Kebo Angun-angun "bahkan markas kita di guha Polaman
telah diobrak-abrik prajurit Daha!"
Windo Janur terkesiap, memandang Kebo Angun-angun
dengan pandang menuntut pertanyaan. "Apa maksudmu
mengemukakan hal itu, Angun-angun?"
"Kakang Windu" kata Kebo Angun angun, "supaya jangan
kakang menganggap aku memfitnah atau benci kepada
Silugangga, baiklah kuajak kakang untuk meneliti sejarah
hidup Silugangga lebih dahulu"
Windu Janur terdiam. "Silugangga adalah putra dari mendiang senopati paman
Sagara Winotan. Pernahkah kakang membayangkan apa
sebab raja kita dahulu prabu Jayakatwang sampai kalah" Apa
sebab Daha dahulu sampai hancur?"
"Diserang pasukan Tartar dan dihianati raden Wijaya"
"Benar" kata Kebo Angun-angun "tetapi tidak seluruhnya.
Kakang, jika kita sakit, apakah yang menyebabkannya" Tentu
kakang akan menjawab, karena diserang penyakit dari luar.
Tetapi tak semudah itu kita jatuh sakit apabila tubuh kita
memang sehat dan kuat. Oleh karena tubuh lemah,
penyakitpun mudah bersarang. Ganti musim, kita cepat sakit.
Kena angin sedikit, kitapun sakit"
Windu Janur tak menyatakan apa2.
"Demikian dengan hal kerajaan Daha dahulu. Di kala
serangan pasukan Tartar, penghianatan raden Wijaya yang
menyebabkan kehancurannya, tidaklah seluruhnya benar.
Karena mengapa raden Wijaya dapat berhianat" Bukankah
dia orang taklukan prabu Jayakatwang" Mengapa sang prabu
berkenan memberi hutan Terik kepada raden Wijaya"
Tidakkah sang prabu ingat bahwa raden Wijaya itu adalah
keturunan dari Ken Arok, Rajasa sang Amurwabhumi" Bahwa
raden Wijaya itu menantu dari raja Kertanagara yang baru saja
dikalahkan Daha" Tidakkah terbetik dalam pemikiran sang
prabu bahwa Wijaya itu harus tidak diberi kepercayaan yang
sedemikian besarnya?"
"Ya" Windu Janur menghela napas, "dalam hal itu sang
prabu memang lengah"
"Hutan Terik setelah dibuka, Wijaya lalu mendirikan
keraton Majapahit. Tentunya hal itu makan waktu bertahuntahun. Demikian pula tak mungkin Wijaya dapat menyusun
kekuatan dalam waktu yang singkal tentu juga dilakukan
persiapan2 beberapa tahun"
Windu Janur mengangguk. "Mengapa sang prabu Jayakatwang tidak mengetahui
gerak gerik Wijaya yang mencurigakan itu?"tanya Kebo
Angun-angun pula. "Ah, sang prabu mungkin terlena"
"Tidak kakang!" seru Kebo Angun-angun "sang prabu tidak
lena" Windu Janur terbeliak, merentang mata memandang Kebo
Angun-angun. "Sang prabu tidak lena tetapi memang dilenakan" seru
Kebo Angun-angun. Mata Windu Janur makin menyalang lebar. "Engkau
maksudkan ada suatu penghianatan dalam peristiwa itu?"
"Akan kuserahkan pada pertimbangan kakang sendiri
adalah tindakan itu dianggap penghianatan atau tidak. Tetapi
yang jelas, apabila hal itu dianggap suatu kelengahan,
bukanlah kesalahan sang prabu semata-mata, tetapi adalah
tindakan dari mentri kepercayaan baginda"
"Siapa?" seru Windu Janur.
"Pada suatu hari, sang prabu telah mengutus seorang
mentri kepercayaannya meninjau Terik, melihat bagaimana
perkembangan tempat itu dan bagaimana kiranya sikap dan
gerak gerik Wijaya terhadap kerajaan Daha. Adakah raden itu
mengandung maksud hendak memberontak dan lain2. Tetapi
mentri itu pulang dengan menghanturkan laporan bahwa
raden Wijaya memang pandai mengatur pemerintahan, halus
budi, ramah bahasa dan tahu akan budi sang prabu, sctya
kepada Daha" kata Kebo Angun-angun "dan legalah hati sang
prabu menerima laporan itu. Ia percaya penuh apa yang
dihaturkan mentri kepercayaannya itu. Tetapi apa nyatanya"
Kiranya tak perlu kuuraikan lagi, kakang tentu sudah
mengetahui" "Siapakah mentri yang diutus itu?" Windu Janur mulai
terpikat. "Sagara Winotan"
"Ayah Silugangga?"
Kebo Angun-angun mengangguk "Benar"
"Bagaimana engkau jelas
Angun"angun?" seru Windu Janur.
tentang keadaan itu, "Rama Kebo Rubuh sempat menceritakan hal itu kepada
ibu dan ibu menuturkan hal itu kepadaku setelah aku dewasa"
"Tetapi bagaimana mendiang paman Kebo Rubuh tahu
akan tindakan paman Sagara Winotan?"
"Ketika pasukan Tartar dan prajurit raden Wijaya
menyerang Daha, dalam keraton Daha timbul kegaduhan
besar. Hampir saja terjadi pertumpahan darah hebat. Saat itu
semua mentri hulubalang marah kepada paman Sagara
Winotan dan menuduhnya berhianat, bersekongkel dengan
raden Wijaya. Saat itu mendiang rama Kebo Rubuh segera
menghunus keris pusakanya terus hendak ditikamkan ke dada
Sagara Winotan. Ramaku marah sekali kepada penghianat itu.
Tetapi sang prabu mencegah. Sang prabu memperingatkan
bahwa musuh sudah diambang pintu, semua mentri dan
hulubalang harus bersatu padu menghadapi serangan musuh
itu. Jangan bertengkar sendiri karena akan melemahkan
kekuatan. Karena sang prabu yang menitahkan, terpaksa
ramaku menurut" "Tetapi, Angun-angun" kata Windu Janur "bukankah
paman Sagara Winotan akhirnya juga bertempur dan gugur
dalam peperangan?" "Ada sebabnya, mungkin kakang tak tahu" kata Kebo
Angun-angun "dalam hal ini ibulah yang menceritakan
kepadaku. Walaupun taat akan titah sang prabu, namun
ramaku tetap marah. Dengan beberapa senopati, rama telah
menangkap isteri serta putera2 paman Sagara Winotan,
ditahan disebuah tempat yang tersembunyi. Kemudian Sagara
Winotan diberi peringatan, apabila ternyata dia benar2
berhianat berfihak kepada musuh, maka keluarganya akan
dibunuh" "Dan karena paman Sagara Winotan gugur, jelas dia tidak
berhianat" seru Windu Janur.
"Tidak" sahut Kebo Angun-angun "justeru dia berhadapan
dengan senopati Rangga Lawe yang benci kepadanya,
sehingga dia tak diberi kesempatan berbuat apa2"
Windu Janur diam beberapa jenak.
"Lalu apa hubungan maksud yang hendak engkau
utarakan kepadaku dengan peristiwa mendiang paman Sagara
Winotan itu ?" "Erat sekali kaitannya, kakang" jawab Kebo Angun-angun,
"adakah harimau itu tak beranak harimau" Adakah air yang
mengalir ke atas?" "Kebo Angun-angun, jangan terlalu bengis engkau
menghukum Silugangga!" seru Windu Janur yang segera
dapat menyadari ke arah mana ucapan Kebo Angun-angun itu
tertuju. "Manusia membuat kesalahan, bukan kesalahan mencari
manusia. Kesalahan yang menentukan hukum, bukan hukum
yang menentukan kesalahan" sahut Kebo Angun-angun
serentak "bukan aku, kakang, yang menghukum Silugangga,
tetapi perbuatan Silugangga itulah yang menghukum dirinya"
Kebo Angun-angun sejenak menyelimpatkan pandang
untuk memperhatikan perobahan airmuka Windu Janur,
kemudian melanjut pula "bukan sekali, tetapi sudah berulang
kali, tugas2 yang dipercayakan Silugangga selalu mengalami
kegagalan. Tetapi heran, mengapa sampai sekarang,
pimpinan kita masih tetap mempercayainya"
Ia berhenti pula dan melirik. Ternyata Windu Janur tengah
merenung diam. Rupanya ucapan Kebo Angun-angun itu
mulai menyusup kedalam serabut pikirannya. Semula masih
terdapat kabut keraguan, tetapi lapis berlapis kabut melalang,
tergetarlah perasaannya. Serasa ia melihat sebuah kebun
bunga, remang2 tampak dua sosok tubuh yang sedang
berjalan merapat. Makin lama makin jelas dan ah .....
Sepasang muda mudi tengah berjalan bergandengan tangan.
Mesra sekali. Dan tersengatlah pula perasaan Windu Janur
ketika mengetahui bahwa sejoli yang tengah bercengkerama
menikmati bunga2 yang tengah mekar itu, tak lain adalah
Nagandini dan Silugangga.....
"Keparat ....." tiba2 Kebo Angun angun terkejut ketika
mendengar mulut Windu Janur menghambur makian.
"Mengapa, kakang?" ia segera bertanya.
Windu Janur terkesiap tertikam kejut, "Ah, tak apa2, Angun
angun" cepat ia berusaha menghapus kerut dahinya "aku
membenci manusia yang hianat"
"Bagus" seru Kebo Angun-angun.
"Tetapi apabila benar2 demikian ulah Silugangga" Windu
Janur menambahkan. "Tiada keraguan lagi, kakang" seru Kebo Angunangun"Wukir Polaman harus dibersihkan dari gurem2 yang
hendak menggerogoti tubuh kita. Dan aku benar2 tak rela
apabila keluarga paman Kebo Mundarang sampai menderita
..." Windu Janur terbeliak, memandangnya tajam
"Apa maksudmu?"
"Ah" Kebo Angun-angun menghela napas "sudah menjadi
rahasia umum di kalangan kawan2 kita bahwa Silugangga
berhasil memikat Nagandini, puteri paman Kebo Mundarang
yang cantik. Aku, sebagai putera dari rama Kebo Rubuh yang
bersahabat baik dengan paman Kebo Mundarang, merasa
mempunyai kewajiban untuk menyelamatkan keluarga paman
Kebo Mundarang dari tangan kotor yang hendak menodai
puterinya. Tidakkah kakang juga memiliki perasaan
demikian?" "Kurang ajar si Angun-angun ini, dia rupanya tahu isi
hatiku terhadap Nagandini" diam2 Windu Janur mendamprat
dalam hati. Iapun segera menjawab
"Benar, tetapi hal ini janganlah dilakukan secara grusagrusu, harus diselidiki yang jelas, harus ada bukti yang nyata,
baru dapat kita bertindak"
Kebo Angun-angun diam merenung.
"Begini, kakang" katanya beberapa saat kemudian, "soal
ini tak boleh berkelarutan terlalu lama. Bersediakah kakang
untuk membantu aku?"
"Katakan"
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sebagai orang yang dekat dengan pimpinan, dapatlah
kakang mengemukakan suatu rencana agar kepada
Silugangga diberi tugas lagi yang penting. Kali ini dapat kita
buktikan apakah dia berhasil atau gagal lagi"
"Hm" Windu Janur mendesuh seraya mengerut dahi, "lalu
tugas apa yang tepat kuajukan?"
"Kudengar dalam dua hari tiga hari lagi, rakryan Tanca,
tabib yang diutus baginda untuk mengobati patih Arya Tilam,
akan bertolak kembali ke pura Majapahit. Kakang usulkan
supaya dikirim kelompok kawan2 kita untuk membunuhnya di
tengah perjalanan. Dan biarlah Silugangga yang memimpin
rombongan itu" Sesungguhnya masih ada percik2 keraguan dalam hati
Windu Janur terhadap Silugangga. Ia kenal siapa Silugangga
itu. Banyak nian jasa perjuangannya kepada Wukir Polaman
sehingga kedudukannya makin menjalang. Ia pun kenal akan
peribadi pemuda itu, jujur, setya dan tenang. Hanya sedikit
keras kepala, mempunyai pendirian yang teguh. Tetapi bagai
awan tersapu angin, lenyaplah kabut Keraguan itu manakala
ia teringat akan Nagandini, dara jelita yang telah menambat
hatinya. Dia dihempaskan jatuh ke karang derita oleh
Nagandini karena dara itu telah tercuri hatinya oleh
Silugangga. Apabila Silugangga tiada, tentulah Nagandini
dapat diperolehnya. Diam2 ia mengharap Silugangga benar2
seorang penghianat agar dapat melenyapkannya.
"Tetapi ra Tanca tentu dikawal ketat oleh prajurit Daha"
katanya masih meragu. Kebo Angun-angun tertawa, "Dalam hal ini, tak mungkin
perhitunganku meleset. Dharmaputera telah memberontak dan
ditumpas, hanya ra Tanca yang masih selamat karena
kebetulan dia berada di Daha mengobati sakit patih arya
Tilam. Sudah tentu agak berkurang perhatian Rani Daha untuk
mengawal perjalanan pulang tabib Dharmaputera itu. Bahkan
Rani tentu mempunyai kekuatiran apabila disangka melindungi
ra Tanca. Oleh karena itu, suatu pembunuhan pada diri tabib
itu tentu akan disambut dengan rasi syukur oleh fihak Daha.
Majapahit pun takkan menarik lebih panjang peristiwa itu"
Windu Janur mengangguk-angguk. Dan setelah pembicaraan itu maka iapun menghadap pada pimpinan Wukir
Polaman, mengemukakan usulnya. Pimpinan Wukir Polaman
menyetujui dan menyerahkan tugas itu kepada pimpinan
Silugangga. Tetapi Silugangga tak setuju. "Rencana ini kurang tepat"
katanya "mengapa ra Tanca harus kita bunuh" Bukankah
hanya dia seorang dari Dharmaputera yang masih hidup"
Bukankah Dharmaputera itu menentang raja Jayanagara" Jika
ra Tanca mati, berarti sebuah bahaya bagi Majapahit
berkurang lagi" "Kita belum tahu jelas hubungan ra Tarci dengan raja
Majapahit. Kemungkinan ra Tanca masih dibutuhkan kerajaan
Majapahit sebagai tabib yang pandai, yang sering
menyembuhkan penyakit baginda. Jika dia kita bunuh,
baginda tentu murka kepada Daha. Dengan demikian kita
dapat mengadu domba Daha dengan Majapahit" kata
pimpinan Wukir Polaman. Tidak mudah untuk berhadapan dengan pimpinan Wukir
Polaman. Dan walaupun berhadapan, pun tak dapat
mengetahui jelas bagaimana sesungguhnya wajah orang itu.
Karena wajahnya selalu berganti-ganti, kadang mengenakan
topeng sebagai seorang tua berwajah ramah, kadang sebagai
seorang lelaki berwajah keras, bahkan kadang pula berwajah
sebagai Batara Yama, dewa pencabut nyawa. Topengnya dari
bahan kulit dan dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai
wajah yang hidup. "Justeru karena dia berhubungan rapat dengan raja
Majapahit, seharusnya dia disisakan supaya hidup. Kita
menggunakan cara lain untuk membujuknya supaya mau
bekerja sama dengan kita. Kita bangkitkan kebenciannya
kepada baginda. Kelak pada waktunya kita dapat
menganjurkan dia supaya membunuh raja Majapahit" kata
Silugangga yang tetap kokoh dalam pendirian.
"Soal itu masih samar, artinya masih belum pasti. Tetapi
yang nyata, dengan matinya ra Tanca, raja Majapahit tentu
marah kepada Daha. Kita dapat mengobarkan kemarahan itu
meningkat kearah penghukuman, jika mungkin supaya terjadi
permusuhan antara Majapahit dengan Daha"
"Sudah tentu Daha tak berdaya menghadapi Majapahit"
seru Silugangga pula. "Jangan menentukan yang belum tentu" seru pimpinan
Wukir Polaman. "Rani Daha cukup mendapat dukungan besar
dari para kawula Majapahit karena dia puteri mendiang raja
Kertarajasa dengan puteri Tribuana dari Singasari. Demikian
pula Rani Kahuripan tentu takkan tinggal diam apabila
Majapahit akan menyerang Daha. Silugangga, lakukan
perintah ini!" habis berkata pimpinan itu terus masuk kedalam
guha. Silugangga tak setuju tetapi ia tetap tunduk pada perintah.
Maka setelah menentukan rombongannya, segera ia
berangkat ke luar kota, bersiap mencegat perjalanan ra Tanca.
Disergapnya kereta yang hanya dikawal oleh enam orang
prajurit Daha. Tetapi alangkah kejut Silugangga ketika
mendapatkan kereta itu kosong, dan lebih terkejut pula ketika
sekelilingnya sudah dikepung oleh pasukan Daha yang
bersenjata lengkap. Silugangga pantang menyerah. Ia
menyerukan kawan-kawannya melawan. Tetapi karena kalah
banyak jumlah dan persenjataannya, akhirnya rombongan
Silugangga yang hanya terdiri lima orang itu dihancurkan.
Yang empat mati, Silugangga pingsan. Ia merasa sudah mati
tetapi ia terkejut ketika masih memiliki perasaan, masih
mempunyai kesadaran pikiran. Cepat ia membuka mata lalu
melenting bangun dan bersiap hendak menempur prajurit2
Daha. "Ah, Silugangga, mengapa engkau tergopoh-gopoh dan
memberingas sedemikian rupa?" tiba2 terdengar seseorang
berseru. "Hai, engkau Kebo Angan-angun" teriak Silugangga
terkejut ketika melihat dua orang kawannya, Kebo Angunangun dan Kuda Sempalan, tegak memandangnya tersenyum
hina. "Kemana prajurit2 Daha itu?" teriak Silugangga.
"Mereka sudah melanjutkan perjalanan" sahut Kebo
Angun-angun" mengapa?"
"Mereka menyerang rombonganku"
"Apakah engkau menerima kekalahan"
"Keempat anakbuahku telah tewas"
"Tetapi asal engkau masih hidup" sambut Kebo Angunangun, "cukuplah menggirangkan hatimu"
Silugangga terbeliak mendengar kata2 Kebo Angun-angun
yang terakhir itu. "Apa maksudmu" Bukankah engkau yang
telah menolong rombonganku?"
Kebo Angun angun gelengkan kepala, tersenyum.
"Mengapa aku harus menolongmu" Adakah engkau masih
memerlukan pertolongan?"
Silugangga benar2 tak mengerti apa yang tersembunyi di
balik senyum ejek Kebo Angun angun itu.
"Kebo Angun angun, apa yang terjadi! Mengapa sikapmu
aneh kepadaku?" "Yang terjadi" kata Kebo Angun angun dingin, "engkau
mengorbankan jiwa keempat kawan kita dan engkau pura2
pingsan" "Gilakah engkau Kebo Angun angun!" teriak Silugangga
"aku pura2 pingsan" Aku mengorbankan keempat kawanku?"
"Apakah engkau masih hendak menyangkal?"
Silugangga terbelalak marah, "Jangan berolok-olok Kebo
Angun angun. Rombonganku telah dikepung prajurit Daha dan
kami berjuang mati-matian tetapi karena mereka lebih banyak
dan lebih lengkap senjatanya, akhirnya rombonganku kalah."
"Ya, kutahu, "sahut Kebo Angun angun" keempat
kawanmu mati dan engkau sendiri masih hidup."
"Gila!" teriak Silugangga makin kalap, "aku pingsan dan tak
tahu apa yang terjadi. Akupun tak tahu mengapa mereka tak
membunuh aku?" "Sudah tentu tak membunuhmu, "seru Kebo Angun-angun
tetap mengejek, "mengapa harus membunuh seorang kawan
yang berjasa?" "Keparat engkau!" teriak Silugangga seraya menampar
muka Kebo Angun-angun. Ia tak kuasa lagi menahan
kemarahannya tetapi Kebo Angun angun pun cepat menyurut
mundur selangkah, "engkau menuduh aku menjadi kaki
tangan mereka?" "Apakah engkau masih menyangkal?" balas Kebo Angunangun.
"Kebo Angun-angun, engkau bersungguh sungguh atau
berolok-olok?" Silugangga menegas.
"Mengapa aku berolok-olok?" seru Kebo Angun-angun,
"berolok-olok atau tidak, takkan merobah keadaan yang ada
pada dirimu" "Kebo Angun angun" Silugangga berkata dengan suara
memberingas, "engkau sungguh2 menuduh aku bersekutu
dengan orang Daha ?"
"Aku tidak menuduh tetapi engkau mengatakan sendiri"
seru Kebo Angun-angun masih mengabut kata2.
Silugangga biasanya amat tenang tetapi karena sampai
sekian lama dicekam dalam lingkaran yang tiada ujung
pangkalnya, akhirnya ia marah juga. "Kebo Angun-angun,
engkau putera senopati, akupun putera senopati. Marilah kita
bicara dengan terus terang sebagaimana layak seorang
ksatrya. Engkau menuduh aku main gila dengan musuh,
sekarang tunjukkan perbuatanku itu. Jika aku menang
berhianat, saat ini juga aku akan bunuh diri di hadapanmu.
Tetapi apabila engkau hanya memfitnah, akupun akan
meminta jiwamu sebagai penebus"
"Jika engkau mau minta bukti, itu mudah sekali" seru Kebo
Angun-angun "pertama, mengapa keempat kawan kita mati
dan engkau hidup ?" "Soal itu" jawab Silugangga "aku sendiripun heran.
Ataukah musuh memang hendak menggunakan siasat untuk
memecah belah kita ?"
"Tidak mungkin !" teriak Kebo Angun-angun "jangan
mengada-ada yang tak ada, jangan meniadakan yang sudah
ada. Sekarang cobalah engkau periksa bajumu !"
Silugangga terkejut namun dilakukan juga hal itu. Betapa
kejutnya ketika ia mendapatkan sebuah pundi2 berada dalam
saku bajunya. Cepat diambilnya dibuka dan menjeritlah ia "Hai
.... apakah ini?" "Mengapa, terkejut " Bukankah emas itu sebagai imbalan
dari jasamu membantu mereka?" seru Kebo Angun-angun,
"masihkah engkau meragukan dirimu?"
Silugangga terlongong longong. Akhirnya ia menemukan
kesadarannya, menyadari bahwa dirinya sedang diancam
fitnah yang berbahaya. Serentak ia memandang Kebo Angunangun "Kebo Angun-angun, katakanlah secara ksatrya, kalau
engkau benar putera senopati. Mengapa engkau memfitnah
diriku sedemikian keji ini" Pundi2 emas ini aku tak pernah
memiliki dan apa guna aku membawanya kemana-mana?"
"Benar" seru Kebo Angun-angun "memang bukan milikmu,
tetapi milik orang Daha yang diberikan kepadamu. Engkau
berhianat kepada Wukir Polam. "..."
"Bedebah busuk!" teriak Silugangga terus menerjang Kebo
Angun-angun. Kebo Angun-angun menghindar, ketika
Silugangga hendak menerjang, dari belakang Kuda Sempalan
ayunkan bindi menghantam kepalanya. Tetapi Silugangga
cukup waspada, selekas mengendapkan tubuh ke bawah, ia
berputar tubuh dan mengirim sebuah tendangan ke perut
Kuda Sempalan. Tetapi saat itu Kebo Angun-angun pun sudah
loncat untuk menikamkan kerisnya. Ancaman itu memaksa
Silugangga harus loncat menghindar ke samping.
Makin keras dugaan Silugangga, bahwa kedua orang itu
terutama Kebo Angun-angunlah yang telah memfitnah dirinya.
Untuk membersihkan dirinya, tiada lain jalan kecuali harus
menangkap kedua kawannya itu dan memaksanya supaya
mengakui perbuatannya. Maka pecahlah pertarungan yang
cukup seru antara Silugangga dengan Kebo Angun angun dan
Kuda Sempalan. Silugangga bertangan kosong sedang kedua
kawan yang menjadi lawannya itu bersenjata keris dan bindi.
Tetapi Silugangga memang digdaya. Ia tak gentar
menghadapi sambaran keris yang hendak merobek perutnya
dan bindi yang hendak meremukkan kepalanya. Dengan
tangkas dan cepat, ia dapat menghadapi mereka bahkan
setelah beberapa saat dapat pula ia menguasai kedua
lawannya. Memang Silugangga dipilih oleh pimpinan Wukir
Polaman sebagai seorang kepercayaan karena memiliki
kelebihan dalam ilmu kedigdayaan.
Rupanya Kebo Angun angun menyadari hal itu, maka
dibawanyalah Kuda Sempalan untuk menangkap Silugangga.
Bahwa ternyata keduanya masih belum mampu menguasai
Silugangga bahkan malah dikuasai, diam2 timbullah
kekhawatiran hati Kebo Angun-angun. Namun ia teringat akan
perjanjiannya dengan Windu Janur. Apabila pada waktu surya
naik sepenggalah tingginya, ia masih belum pulang, Windu
Janur supaya segera membawa kawan2 untuk memberi
bantuan. Dalam sebuah kesempatan, Kebo Angun-angun sempat
menyelimpatkan pandang ke langit. Ternyata surya sudah
hampir sepenggalah tingginya. Jika demikian Windu Janur dan
kawan2 tentu segera datang. Yang penting ia harus mampu
bertahan sampai bala bantuan itu datang.
Sesungguhnya apabila dengan tangan kosong, tentulah
sudah sejak tadi Silugangga akan dapat merubuhkan kedua
lawannya. Atau apabila ia juga memakai senjata, tentulah
demikian juga. Dan yang terutama, ia harus dapat menangkap
kedua orang itu masih dalam keadaan tak terluka. Jika terluka
atau mati, sukarlah ia mendapat pengakuan mereka.
Rintangan2 itulah yang menyebabkan pertempuran berjalan
lama. "Hai, Silugangga" sambil menyerang, Kebo Angun-angun
berseru "ketahuilah, kedatangan kami menyelidiki gerak
gerikmu ini memang sudah diketahui oleh pimpinan kita.
Sudah lama engkau dicurigai pimpinan. Kali ini engkau
memang dicoba dan ternyata engkau memang benar
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghianati kita" Silugangga makin marah. Diserangnya Kebo Angun-angun
makin gencar. Tetapi karena Kebo Angun-angun bersenjata
keris pusaka, iapun harus hati2. Beberapa saat kemudian,
tiba2 terdengar derap kuda lari mendebur jalan, makin lama
makin jelas. "Silugangga, menyerahlah" seru Kebo Angun-angun
dengan gembira, "kawan2 kita segera datang untuk
menangkapmu!" Silugangga terkejut. Hatinya bimbang. Adakah ia harus
menyerah atau melawan. Tetapi menilik keadaan, jelas Kebo
Angun-angun sudah mengerahkan persiapan2 menghadapi
peristiwa itu. Andai mereka mau menghadapkan kepada
pimpinan, ia masih dapat memberi pertanggungan jawab
kepada pimpinan. Tetapi bagaimana kalau ia nanti dikaniaya
lebih dulu atau bahkan mungkin dibunuh mereka, kemudian
kepada pimpinan dilaporkan tentang dirinya berhianat dan
menerima pundi emas dari fihak Daha. Bukankah ia tak
sempat untuk membela diri " Mati, ia tak gentar. Tetapi mati
tanpa sempat membela diri dan dituduh sebagai penghianat,
adalah mati yang konyol. Namanya tentu akan dihina orang
untuk selama-lamanya. "Tidak, aku harus membersihkan namaku dari fitnah yang
kotor ini" akhirnya ia mengambil keputusan. Setelah memberi
desakan kepada Kebo Angun-angun dan Kuda Sempalan
sehingga kedua orang itu terpaksa harus loncat ke belakang,
tiba2 ia berputar tubuh, loncat dan melarikan diri.
Kebo Angun-angun terkejut, berteriak dan hendak
mengejar tetapi Silugangga sudah menyusup kedalam hutan
dan menghilang. Sejak itu Silugangga telah terhapus namanya
dari Wukir Polaman. Seluruh warga Wukir Polaman, semua
kawan2 seperjuangannya, menganggapnya sebagai seorang
penghianat. Bahkan atas desakan Windu Janur, pimpinan
Wukir Polaman mengeluarkan perintah kepada seluruh
anggautanya supaya menangkap Silugangga. Jika melawan,
supaya dibunuh. Silugangga bersembunyi dalam hutan dan guha yang sepi.
Ia marah, penasaran dan mendendam pada kawan2 yaug
telah memfitnah dirinya. Namun ia tetap akan berusaha untuk
membersihkan diri. Ia akan menangkap kawan yang
memfitnahnya itu. Oleh karena suasana masih berbahaya bagi
dirinya, akhirnya ia berkelana dan menyamar sebagai seorang
brahmana dengan nama brahmana Kendang Gumulung.
Setelah suasana agak reda, barulah ia kembali ke Daha,
tetapi iapun tak berani menampakkan diri. Ia bersembunyi di
lembah Trini Panti. Pada suatu hari kebetulan Nagandini
berziarah ke makam ramanya di lembah itu. Mereka bertemu.
Dan pertemuan itu diulang beberapa kali.
Windu Janur diam2 memperhatikan gerak-gerik yang aneh
dari gadis itu. Apabila menabur bunga ke makam, tidaklah
sesering itu dilakukan orang. Ada waktu tertentu. Tidak seperti
Nagandini yang sedemikian seringnya. Akhirnya Windu Janur
memutuskan untuk diam2 mengikuti gadis itu. Apa gerangan
yang dilakukan Nagandini di makam ramanya. Betapa
kejutnya ketika ia melihat Nagandini mengadakan pertemuan
dengan seorang pria dan pria itu bukan lain adalah seorang
brahmana. Keesokan harinya ia membawa beberapa kawan
untuk menyergap brahmana itu di lembah Trini Panti tetapi tak
berhasil menemukannya. Brahmana itu hilang tak berbekas.
Akhirnya pada waktu itu, ia memutuskan membawa
kawan-kawan untuk mengikuti Nagandini yang pergi lagi ke
lembah. Ia perintahkan kawan-kawannya bersembunyi,
kemudian ia melantangkan tawa keras untuk memancing
Nagandini dan brahmana itu keluar.
Demikian terpancinglah Nagandini dan brahmana itu
keluar di mulut lembah. Setelah kedua belah fihak saling
mengetahui bahwa yang teruwa lantang itu Windu Janur dan
yang menjadi brahmana itu Silugangga, terjadilah
perbantahan. Windu Janur terang-terangan mengatakan
hendak menangkap Silugangga yang kini telah menyamar
sebagai brahmana Kendang Gumulung. Nagandini marah dan
meminta bukti bahwa Windu Janur benar2 mendapat perintah
dari pimpinan Wukir Polaman untuk menangkap Silugangga.
Sebagai bukti, Windu Janur bersuit dan muncullah beberapa
kawan-kawannya antara lain Kuda Sempalan, Kebo Angunangun, Nirbada, Banyak Lindung, Liman Segara, beserta
empat orang lagi. Karena Windu Janur mengungkat- ungkat rama dari
Silugangga, Segara Winotan, sebagai seorang penghianat,
Silugangga marah dan menyerangnya. Melihat itu Kebo
Angun-angun, Banyak Lindung dan Liman Segara, segera
menyerang dari samping dan belakang. Nagandini menangkis
Liman Segara yang menyerang dari belakang, sementara
brahmana Kendang Gumulung menghalau setangan Kebo
Angun-angun dan Banyak Lindung dari samping kanan dan
kiri. "Nagandini, mengapa engkau ikut campur!" teriak Liman
Segara ketika Nagandini memakinya sebagai pengecut.
"Engkau pengecut!" ulang Nagandini dengan pandang
berkilat kemarahan, "menyerang orang dari belakang!"
"Dia penghianat!" seru Liman Segara "tak perlu harus
bersikap ksatrya kepadanya"
"Hm" desuh Nagandini "ksatrya bukan bunglon yang
berobah- robah warna menurut keadaan. Terhadap lain
ksatrya, penjahat ataupun penghianat adalah tetap ksatrya !"
"Eh, Nagandini, mengapa engkau membelanya?" seru
Liman Segara pula. "Mengapa pula engkau beramai-ramai hendak menangkap
kakang Silugangga?" Nagandini balas bertanya.
"Karena dia berhianat, aku dan kawan2 mendapat perintah
untuk menangkapnya, kalau melawan supaya dibunuh"
"Siapa yang memberi perintah itu ?"
"Sudah tentu pimpinan kita?" sahut Liman Segara.
"Bawa aku menghadap pimpinan !"
Dalam pada itu, setelah terhalau oleh tongkat brahmana
Kendang Gumulung tadi, Kebo Angun-angun dan Banyak
Lindung pun berhenti menyerang. Windu Janur dan kedua
orang itu terkejut ketika mendengar ucapan Nagandini.
"Nagandini" seru Windu Janur "baiklah engkau jangan
mencampuri urusan ini. Pimpinan dan seluruh kawan2 Wukir
Polaman sudah tahu akan penghianatan Silugangga. Tidaklah
baik apabila berkawan dengan seorang penghianat"
Nagandini yang cantik tertawa. "Tetapi kakang Silugangga,
tak berhianat kepadaku. Apakah aku harus ikut membencinya
?" "Engkau puteri paman Kebo Mundarang, patih ksatrya dari
Daha yang termasyhur, dan kini semua putera-puteri Daha
telah bergabung ke dalam Wukir Polaman. Kita semua
berjuang untuk mengembalikan kedaulatan Daha dari
penindasan Majapahit. Engkau harus ikut serta dalam
perjuangan ini, Nagandini"
"Sudah" jawab Nagandini.
"Dan engkau harus menghukum seorang penghianat
semacam dia!" seru Windu Janur pula.
Nagandini tertawa, "Dalam hal itulah maka aku perlu
menghadap pimpinan Wukir Polaman untuk meminta
penjelasan lebi h lanjut"
"Kakang Nagantaka dan Nagantara sudah tahu akan
perbuatan Silugangga"
"Akupun tahu tetapi belum yakin. Pernahkah kakang
Silugangga dihadapkan pada pimpinan untuk membersihkan
diri?" tanya Nagandin .
"Dalam peristiwa pencegatan ra Tanca tempo hari, sudah
jelas bahwa dia menjadi kaki tangan musuh, rela
mengorbankan empat jiwa kawan kita. Dia menerima pundi2
emas dari orang2 keranian Daha. Belumkah hal itu
meyakinkan engkau?" "Tidak Nagandini" seru Silugangga serentak, "aku tak
merasa memiliki pundi2 itu"
"Tak merasa memiliki" tiba2 pula Kebo Angun-angun
tertawa mengejek, "tetapi pundi2 itu berada dalam saku
bajumu" Ha, ha, setankah gerangan yang menghadiahi
kepadamu ?" Silugangga atau brahmana Kendang Gumulung tertegun
tetapi Nagandini cepat menjawab, "Ya, memang setan. Tetapi
setan yang berwajah manusia, berhati durhaka gemar
mencelakai orang" "Nagandini" tiba2 pula Banyak Lindung berseru, "jika
engkau bersikeras, aku akan mengundang kakang Nagantaka
atau Nagantara ke mari"
Gertakan hanya disambut dengan tawa oleh Nagandini.
"Silahkan, kakang Lindung"
Banyak Lindung menyeringai. Kebo Angun-angun tak puas
melihat tingkah laku Nagandini. Namun karena ingat akan
kepentingan Windu Janur kepada gadis itu, terpaksa ia hanya
berkata dengan nada yang sabar. "Nagandini, janganlah
merintangi tugas yang kami lakukan. Silugangga hendak kami
tangkap dan serahkan kepada pimpinan"
"Tidak, kakang Angun-angun" jawab Nagandini. Ia cepat
dapat mencium suatu komplotan yang bermaksud tak baik
kepada Silugangga. Ia mencemaskan keselamatan Silugangga. Kemungkinan mereka tidak menyerahkan kepada
pimpinan Wukir Polaman tetapi akan dibunuh sendiri, "tak
perlu engkau membuang tenaga berjerih payah menangkapnya. Aku akan menyertai kakang Silugangga untuk
menghadap pimpinan."
"Perintah penangkapan hanya tertuju kepada Silugangga
seorang," sahut Ktbo Angun-angun, "tak mungkin pimpinan
mau menerima engkau."
"Jika demikian, kakang Silugangga takkan menghadap,"
seru Nagandini pula. "Silugangga" rupanya Windu Janur tak dapat menahan
kesabarannya lagi, "jangan engkau berlindung pada
Nagandini. Engkau seorang lelaki, tentukanlah keputusanmu.
Kami ingin mendengar!"
Agak merah muka brahmana Kendang Gumulung
mendengar ejek itu. "Windu Janur dan kawan2 Wukir
Polaman"serunya lantang, "Silugangga, memang warga Wukir
Polaman tetapi Kendang Gumulung seorang manusia bebas.
Kini Silugangga sudah lenyap, yang ada hanyalah brahmana
Kendang Gumulung" "Licik!" teriak Kebo Angunangun marah.
"Brahmana Kendang Gumulung hanya mau menyerah
kepada pimpinan Wukir Polaman"
"Kami mendapat perintah dari pimpinan !" seru Kebo
Angun-angun pula. "Haruskah kuulang pendirianku tadi?" sambut brahmana
Kendang Gumulung. "Kakang Angunangun, tak perlu banyak bicara dengan
penghianat semacam itu, kita sergap saja!" tiba2 Liman
Segara berteriak dan terus loncat menikam Kendang
Gumulung. Tetapi Kendang Gumulung menyambut dengan
baik sekali. Setelah beringsut ke samping, ia ancamkan ujung
tongkat ke muka Liman Segara. Pemuda itu terkejut dan
tergesa-gesa loncat mundur.
Kebo Angun angun dan Banyak Lindung serentak
menerjang. Dalam pada itu Windu Janur segera menghampiri
anakbuahnya dan membisiki beberapa patah kata. Keempat
orang itu segera menghunus senjata dan menyerbu
Nagandini. Rupanya mereka mendapat perintah dari Windu
Janur supaya mengurung Nagandini dengan pesan, jangan
sampai melukai tetapi cukup dikepung saja supaya jangan
membantu Kendang Gumulung.
Kini Windu Janur dan Liman Segara pun ikut menyerang
Kendang Gumulung. Dengan demikian Kendang Gumulung
harus menghadapi empat orang lawan. Sesungguhnya dalam
ilmu kedigdayaan, Windu Janur setingkat dengan Kendang
Gumulung. Tetapi sejak ia menderita luka dilempar oleh Kebo
Lembana yang membantu brahmana Anuraga dahulu,
tenaganya berkurang. Ia menyangsikan dirinya adakah ia
mampu menghadapi lawan seberat Kendang Gamulung. Oleh
karena itu ia mengatur rencana untuk menangkap Kendang
Gumulung dengan bantuan tiga orang kawan.
Kendang Gumulung mencurahkan seluruh tenaga untuk
menghadapi lawan-lawannya. Ia memang tak tak mau mati
sebelum dapat membersihkan nama dan karena menyadari
dirinya terancam oleh orang2 Wukir Polaman, maka ia
membuat sebuah senjata. Bentuknya menyerupai tongkat
bambu, tetapi terbuat daripada baja keras.
Tetapi betapapun sakti dan gagah seseorang, namun
karena harus menghadapi empat orang lawan yang memiliki
ilmu kedigdayaan juga, makin lama Kendang Gumulung makin
terdesak. Ia lebih banyak bertahan daripada menyerang.
Namun sesungguhnya masih cukup lama ia mampu bertahan
diri andaikata tiada terjadi sesuatu yang mengejutkan
pikirannya. Tengah dia mengangkat tongkat menangkis
serangan Windu Janur, sekonyong-konyong Nagandini
menjerit. Kendang Gumulung terkejut tanpa disadari iapun
serentak berpaling. Peluang itu tak disia-siakan Windu Janur,
maju selangkah ia mengirim sebuah pukulan tangan kiri ke
dada lawan. Duk ..... Kendang Gumulung tergetar mundur,
pernapasan dadanya serasa berhenti dan pandang matanya
pun gelap. Cepat ia meregangkan semangat, menghimpun
tenaga untuk menghalau keadaan dirinya. Tetapi tiba2 sebuah
lengan kuat telah melilit lehernya. Ia tak sempat melihat siapa
yang telah melilit lehernya itu karena penyerangnya bertindak
dari belakang. Hampir ia tak dapat bernapas karena lengan
orang itu memeluk lehernya keras sekali. Masih ia dapat
merasakan bahwa tongkatnya telah direbut orang.
Kini Kendang Gumulung telah dikuasai oleh Banyak
Lindung. Dialah yang menyelimpat ke belakang dan terus
membelalai leher Kendang Gumulung lalu dikuncinya rapat2.
Saat itu Nagandini tak berdaya menolong karena masih
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dikepung oleh empat orang. Adalah karena tiba2 salah
seorang lawannya itu mengeluarkan seekor ular lalu diancamkan ke mukanya
maka tadi Nagandini menjerit kaget. Dan jeritan
itulah yang membawa Kendang Gumulung ke arah kekalahan. "Akhirnya, Silugangga,
engkau harus menyerah"
seru Windu Janur. Dalam pertempuran tadi, Kebo Angun-angun telah menderita luka pada dahinya. Ujung tongkat Kendang Gumulung memagut dan menghias sebuah benjolan pada dahi Kebo
Angun-angun. Walaupun hanya sebesar telur burung dara
tetapi berwarna biru, namun cukuplah membuat yang
empunya dahi meringis kesakitan.
Sambil tertawa menyeringai, ia menghampiri dan ayunkan
tinju, "Rasakan pembalasan ..." Dalam saat Kendang
Gumulung akan menderita pukulan dari Kebo Angun angun,
sekonyong-konyong dari balik gerumbul batu padas yang tak
berapa jauh, melayang se-sojok tubuh. Sebelum diketahui
siapa pendatang itu, dia sudah langsung tiba di belakang
Banyak Lindung, mencengkeram bahunya dan terus
disentakkan ke belakang. "Auh ...." Banyak Lindung mengerang kesakitan. Serasa
bahunya tercengkeram jari2 baja yang keras sekali sehingga
ia tak kuasa lagi memeluk leher Kendang Gumulung. Dan
sebelum sempat mengerahkan tenaga perlawanan, tubuhnya
serasa ditarik sekuat-kuatnya dan dihempaskan ke belakang.
Dalam pada itu terdengar pula Kebo Angun-angun memekik
kejut ketika pukulannya menghantam tempat kosong dan tiba2
pula lututnya termakan sebuah tendangan yang amat keras
sehingga ia tak kuasa lagi mempertahankan keseimbangan
tubuhnya. Kebo Angun-angun rubuh serempak pada saat
Banyak Lindung pun terjerembab jatuh ke tanah.
Windu Janur dan kawan2 tertegun. Mereka melihat
seorang lelaki muda bertubuh kekar tengah menyanggah
tubuh Kendang Gumulung dan saat itu dibantunya supaya
dapat berdiri tegak. "Hai, siapa engkau!" hardik
menyadari apa yang terjadi.
Liman Segara setelah "Aku Dipa" sahut orang itu sambil lepaskan cekatannya
pada tubuh Kendang Gumulung yang saat itu sudah dapat
berdiri sendiri. "Mengapa engkau melukai kawan kami?" seru Liman
Segara pula "apakah engkau kawan dari brahmana itu?"
"Jangan salah sangka, ki sanak" seru Dipa "aku belum
kenal dengan brahmana ini, sebagaimana akupun belum kenal
dengan kalian. Dalam usaha untuk menolong seorang
brahmana yang hendak kalian siksa, terpaksa kusiakkan tubuh
kawanmu itu" "Apakah engkau rakyat Daha?" tegur Windu Janur seolah
merasa pernah melihat wajah Dipa tetapi lupa entah di mana"
"Ya, sekarang aku memang orang Daha"
"Tahu engkau akan himpunan Wukir Polaman" tiba2 Liman
Segara mendahului bertanya di mana sebenarnya saat itu
Windu Janur masih berusaha untuk menggali ingatannya. Di
antara kawan-kawannya, memang Liman Segara terkenal
dengan sifatnya yang suka berterus terang, agak lamban
berpikir. Seharusnya janganlah pertanyaan semacam itu
cepat2 dilontarkan sebelum diketahui jelas siapa sesungguhnya Dipa itu. Liman Segara tak dapat menelaah
apa maksud dari kata2 jawaban Dipa.
"Tahu" sahut Dipa "Wukir Polaman adalah himpunan para
pejuang putera2 senopati kerajaan Daha dahulu"
"Nah, yang engkau tolong itu" Liman Segara tetap melanjut
tanpa dapat dicegah Windu Janur "salah seorang kawan kami,
yang karena berhianat lalu menyamar sebagai brahmana"
"O" desuh Dipa.
"Kami hendak menangkapnya" kata Liman Segara pula
"jangan engkau ikut campur urusan ini"
"Jangan percaya, ki sanak!" tiba2 Nagandini yang saat itu
juga sudah berhenti bertempur berseru, "kakang brahmana ini
telah difitnah berhianat dan mau dibawa secara paksa"
"Nagandini!" teriak Windu Janur terkejut "sudahlah, jangan
berkelarutan melindungi seorang penghianat"
"Dia belum terang kesalahannya" bantah Nagandini
"jangan menuduhnya dahulu"
Liman Segara melangkah maju menghampiri, maksudnya
hendak menerkam Kendang Gumulung tetapi Dipa
menghadangnya. "Jangan tergesa-gesa, ki sanak"
Liman Segara terkejut ketika pergelangannya dicengkeram
oleh pendatang itu. "Mundurlah dahulu jika engkau tak
menghendaki lenganmu kupatahkan"
Dan Liman Segara tak kuasa mempertahankan
keseimbangan tubuh ketika ia didorong mundur oleh Dipa.
Cengkeraman tangan Dipa pada pergelangan tangannya
menghapus seluruh daya tenaga Liman Segara. Merah padam
wajah pemuda itu karena malu dan marah. Cepat ia mencabut
pedang dan menghardik. "Rupanya engkau memang kawan
brahmana itu. Kawan2, mari kita tangkap orang itu" serunya
seraya maju menyerang. Dipa tak gentar menghadapi serangan itu. Iapun tahu
bahwa orang2 Wukir Polaman itu harus dipatahkan
semangatnya, baru mereka tunduk. Dengan tata langkah
sebagai yang diajarkan brahmana Anuraga, ia menyelinap ke
samping dan dengan suatu gerak yang tak terduga, ia sudah
mencengkeram bahu Liman Segara sekeras-kerasnya. Sesaat
Liman Segara harus membungkuk karena kesakitan, Dipa pun
sudah menyambar pinggang dan terus mengangkatnya ke
atas. "Jika kalian berani menyerang, kawanmu ini tentu
kubanting hancur!" Pada saat Liman Segara menyerukan kawan-kawannya
supaya menyerang, Windu Janur dan keempat anakbuahnya
yang mengepung Nagandini tadi serempak hendak
menerjang. Tetapi mereka terpaksa berhenti menyaksikan
ancaman Dipa. Merekapun terbeliak menyaksikan keperkasaan Dipa dalam menguasai dan mengangkat tubuh
Liman Segara. Bahkan Kendang Gumulung dan Nagandini
jaga terkesiap. "Mau apa engkau, kisanak" seru Windu Janur sesaat
setelah mendapat ketenangannya, "jika engkau melukai
kawan kami itu, kami akan pertaruhkan jiwa untuk
membunuhmu" "Orang2 Wukir Polaman" seru Dipa seraya
menjunjurg tubuh Liman Segara, "ketahuilah
sesungguhnya diriku ini"
masih siapa Ia berhenti sejenak untuk mengeliarkan pandang.
Dilihatnya Windu Janur dan keempat orang itu masih tegak
memandangnya dengan penuh perhatian. Kebo Angun angun
berusaha bangun dibantu Kuda Sempalan. Sementara
Nirbada menolong Banyak Lindung yang masih rebah. Sejak
tadi Kuda Sempalan dan Nirbada masih belum ikut dalam
pertempuran. "Aku ini patih Daha-Majapahit yang baru, pengganti patih
Arya Tilam....." Kata2 Dipa itu menimbulkan kegemparan dalam hati
orang2 Wukir Polaman. Jauh lebih hebat daripada
kehadirannya menolong brahmana Kendang Gumulung.
Benarkah seorang muda yang tak jauh beda usia dengan
mereka, patih Daha-Majapahit yang baru" Sesaat kemudian
berserulah Windu Janur. "Ki sanak, engkau berhadapan
dengan pejuang2 bumi Daha-Jayakatwang. Janganlah engkau
bicara sembarangan ataupun hendak menggertak dan
menakuti kami. Setiap saat kami dapat menghancurkan
dirimu!" Patih Dipa mencurah pandang ke arah Windu Janur. Agak
berhenti beberapa jenak pandang matanya ketika mendarat di
wajah Windu Janur. Samar2 ia pernah mendengar nada
suaranya, melihat wajahnya. Tetapi wajahnya beda sekali
dengan apa yang dilihatnya beberapa tahun yang lalu. Hanya
sinar matanya tak pernah ia lupa. "Siapakah engkau,
kisanak?" tanyanya. "Windu Janur" "O" desuh Dipa yang masih mengangkat tubuh Liman
Segara di atas kepalanya. "Windu Janur yang pernah menjadi
pandita dan bertempur dengan seorang brahmana beberapa
tahun yang lalu itu, bukan?"
Windu Janur terbeliak, "Engkau siapa!" serunya, "engkau
kawan brahmana itu" Engkau orang Majapahit?"
"Aku hanya kebetulan melihat pertempuran itu" jawab patih
Dipa, "benar, memang aku kawula Majapahit. Bukankah
engkau dan kawan-kawanmu juga demikian"
"Hm" dengus Windu Janur setelah mengetahui keadaan
diri orang, "lepaskan kawanku itu!"
Dipa mengangguk dan meletakkan tubuh Liman Segara di
tanah. "Kawanmu terlalu perangsang. Adakah orang2 Wukir
Polaman demikian semua?"
Windu Janur tak mau melayani pertanyaan itu.
"Sekarang sekali lagi engkau harus menerangkan siapa
sebenarnya dirimu!" "Telah kukatakan aku adalah patih Daha Majapahit" kata
Dipa, "dan terus terang, kedatanganku kemari adalah hendak
mencari orang2 Wukir Polaman"
Windu Janur dan kawan kawannya terbeliak. Memang
mereka mendengar tentang pergantian patih di keranian Daha.
Mendengar pula patih yang baru itu masih muda usianya,
patih dari Kahuripan. Tetapi mereka belum pernah melihat
orangnya. Diam2 mereka terkejut melihat raut wajah dan
tubuh patih muda itu. Lebih terkejut pula ketiga mendeigar
keterangannya hendak mencari orang2 Wukir Polaman.
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
"O, hendak menangkap orang Wukir Polaman?" desuh
Windu Janur. Patih Dipa gelengkan kepala. "Tidak, hanya sekedar
bertemu" "Bertemu?" Windu Janur terkesiap pula, "apa maksudmu"
"Hanya berkenalan," sahut patih Dipa, "sebagai seorang
patih baru, tidakkah layak apabila aku ingin memperkenalkan
diri kepada rakyat banyak" ia berhenti sejenak, memperhatikan
kerut wajah Windu Janur. Ketika melihat bibirnya bergetar
hendak bicara ia cepat mendahului, "Termasuk pejuang2
Wukir Polaman yang gagah berani itu."
"Hai" Bibir Windu Janur yang sedianya hendak melantang
kata2, terpaksa dikatupkan pula dengan dengus dalam
kerongkongan, "aneh, mengapa engkau menyebut kami
sebagai pejuang" Tidakkah hal itu hanya hiasan bibir untuk
menyelimuti maksud hatimu yang tersembunyi. Ki patih, lebih
tepat dan lebih puas hati kami apabila engkau sebut Wukir
Polaman itu sebagai pamberontak. Karena jelas garis
perjuangannya menentang Daha Majapahit"
Patih Dipa tertawa. "Aku menilai dari pendirian seorang
ksatrya. Bukankah demikian juga anggapanmu " Tanpa
memiliki landasan anggapan itu, tak mungkin engkau
berjuang" Windu Janur dan kawan2 terbeliak. Mereka benar2
dikejutkan oleh kehadiran dan ucapan patih yang masih muda
itu. Belum pernah mereka mendengar ucapan-ucapan
semacam itu dari mulut seorang narapraja Majapahit.
Kebanyakan narapraja dan nayaka Daha-Majapahit tentang
menganggap Wukir Polaman sebagai pemberontak yang
harus ditumpas. Dalam pada itu Kebo Angun-angun, Nirbada,
Kuda Sempalan dan Banyak Lindung menghampiri dan tegak
berjajar di samping Windu Janur. Sementara brahmana
Kendang Gumulung dan Nagandini berdiri di belakang patih
Dipa. "Patih, jangan membuai kami dengan kata2 yang manis"
tiba2 Kebo Angun-angun berseru geram "katakan saja bahwa
rombongan prajurit pengikutmu sudah mengepung tempat ini
dan menunggu perintahmu untuk menangkap kami!"
Memandang sejenak kepada pemuda yang telah
dirubuhkan dengan dupakan kaki tadi, patih Dipa tertawa,
"Jangan menilai orang menurut ukuran dirimu, ki sanak.
Ketahuilah, bahwa aku hanya seorang diri. Aku sedang
meronda kota sekalian melihat dengan mata kepala sendiri
bagaimana suasana kehidupan para kawula. Secara tak
terduga, kudengar suara orang berkelahi di tempat ini"
"Hm" dengus Kebo Angun-angun pula, "adakah engkau
mengira bahwa dirimu terlalu digdaya sehingga berani
menghadapi orang2 Wukir-Polaman seorang diri?"
"Anggapanmu itu salah" sahut patih Dipa "tetapi engkau
bebas untuk memiliki anggapan begitu. Jika aku memang
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hendak menyergap Wukir Polaman, tentu akan kupersiapkan
sebuah pasukan yang kuat. Tetapi saat ini memang belum ada
maksud begitu. Aku hendak berkenalan dengan orang2 Wukir
Polaman" "Kita bermusuhan!" seru Kebo Angun-angun.
"Benar" sahut patih Dipa, "bilamana orang2 pemerintah
Daha-Majapahit berhadapan dengan orang2 Wukir Polaman
yang sedang melakukan gerakan merugikan pemerintahan.
Tetapi saat ini kita berhadapan sebagai insan manusia"
"Kita adalah insan manusia, sama2 titah dewata" kata
patih Dipa pula. "Dewata menciptakan kita bukan untuk bunuh
membunuh saling melenyapkan tetapi untuk hidup damai
mengembangkan kehidupan. Jika engkau menganggap
bermusuhan dengan aku, adalah kebetulan engkau merasa
orang Daha dan menganggap aku orang Majapahit. Engkau
merasa berjuang untuk Daha dan aku seorang patih
Majapahit. Bukankah demikian?"
Kebo Angun-angun hanya mendengus.
"Tetapi apabila kita mau berpikir dengan kepala dingin,
sesungguhnya milik siapakah bumi Daha, bumi Majapahit dan
seluruh nuswantara ini" Milik prabu Jayakatwang" Milik prabu
Kertarajasa " Tidak, ki sanak, bumi dan seluruh jagad raya ini
adalah milik Hyang Murbawisesa, milik Hyang Maha Pencipta.
Kepada titah manusia hanya dibenarkan untuk memakai
mendiami dan merawat, tidak dibenarkan untuk merusak.
Prabu Jayakatwang dikalahkan raden Wijaya, itu sudah
menjadi ketentuan Cakrawarti sebagaimana sebelumnya pun
prabu Jayakatwang telah mengalahkan bagi nda Kertanagara.
Kalah mengalahkan antara Daha dan Singasari itu sudah
terjadi semenjak kerajaan Panjalu dibelah dua oleh empu
Barada" Patih Dipa berhenti sejenak kemudian melanjutkan pula,
"Sebagai putera Daha Jayakatwang, kalian bebas dan berhak
untuk berjuang merebut kembali negeri Daha. Walaupun
sesungguhnya, sebagai manusia sebagai kawula lebih pula
sebagai seorang ksatrya, harus tahu akan segala perobahan
yang diciptakan Hyang Widdhi. Mengapa prabu Jayanagara
menjadi raja di Daha" Mengapa tidak para senopati yang
menjadi rama dari para pejuang Wukir Polaman" Mengapa
raden Wijaya yang menjadi raja Majapahit, tidak para senopati
Majapahit yang gagah perkasa" Tahukah engkau apa
sebabnya?" Kebo Angun-angun tak mau menjawab melainkan
memandang patih muda itu dengan pandang yang sukar
diketahui maksudnya. "Tak lain karena kesemuanya itu adalah ketentuan yang
telah digariskan dewata" kata patih Dipa.
"Tidak !" seru Windu Janur dengan nada keras,
"Jayakatwang dan raden Wijaya, tidak menerima kerajaan
begitu saja. Mereka harus berjuang dengan pengorbanan jiwa
raga, keringat dan darah. Dewata tidak menganugerahi
sesuatu dengan begitu saja melainkan menganugerahi
mereka yang berjuang dan berusaha !"
Patih Dipa lontarkan pandang ke arah Windu Janur yang
kini tampak lebih tua dari beberapa belas tahun yang
dilihatnya. "Engkau maksudkan, semua kenikmatan dan
kebahagiaan itu harus diperjuangkan " Benar" katanya, "tetapi
ki sanak. Tidakkah semua mentri senopati baik dari prabu
Jayakatwang maupun dari baginda Kertarajasa itu tidak
berjuang semua " Bahkan merekalah yang menyabung nyawa
di medan perang paling muka, mereka pula yang akan gugur
lebih dulu. Tidakkah diantara mentri2 dan senopati dari prabu
Jayakatwang dan raden Wijaya tidak ada yang lebi h pandai,
lebih sakti daripada kedua junjungan itu?"
Windu Janur terdiam. Hanya wajahnya yang berbicara
melalui kerut2 dahi dan warna merah pada mukanya.
"Nah, apabila engkau bersua dengan keadaan semacam
itu, engkau tentu akan bingung," kata patih Dipa pula,
"kusebutkan contoh lagi, baginda Rajasa sang Amurwabhumi
atau yang sebelumnya terkenal sebagai Ken Arok. Bukankah
dia dari keturunan yang belum diketahui jelas " Bukankah
kissah hidupnya semasa muda penuh dengan lembaran hitam
" Bukankah tindakannya membunuh Tunggul Ametung dan
merebut isterinya suatu hal yang tak layak " Tetapi mengapa
dia dapat menjadi raja Singasari " Adakah dia amat sakti "
Tidak ! Buktinya, dia dapat dibunuh oleh Anusapati putera
Tunggul Ametung. Adakah dia seorang yang pandai sekali "
Rasanya banyak diantara mentri dan senopatinya yang lebih
pandai dalam soal pengetahuan dan ilmu. Tetapi mengapa,
ya, mengapa justeru dia yang dapat menjadi raja " Nah,
sampai disini, mau tak mau, suka tak suka, engkau harus
berani menerima kenyataan bahwa kesemuanya itu memang
sudah kehendak Dewata"
"Engkau hendak menganjurkan supaya Wukir Polman
membubarkan diri dan menerima kerajaan Majapahit sebagai
penguasa negeri Daha" dengus Windu Janur.
"Sama sekali tidak" sahut patih Dipa tenang, "jangan
menganjurkan orang lain apa yang tidak engkau anjurkan
pada dirimu sendiri. Aku tidak menganjurkan diriku untuk tidak
membela Majapahit dan memberantas setiap orang yang
menentang Majapahit. Maka akupun takkan menganjurkan
engkau dan kawan-kawanmu untuk menghentikan perjuanganmu. Kuserahkan soal itu kepadamu dan kawankawanmu. Hanya sedikit yang perlu kutekankan kepadamu
bahwa ada beberapa hal yang wajib kita perhatikan. Pertama
kita harus dapat menarik pelajaran dari sejarah. Apakah hasil
dari pada kerajaan Daha Singasari kepada rakyat" Serangmenyerang di antara kedua negeri itu hanya mengakibatkan
kemunduran dan kelemahan negara, kesengsaraan rakyat,
penderitaan batin karena tersiksa oleh dendam kesumat. Dan
bagaimana kenyataan setelah Majapahit berdiri" Bukankah
Daha-Singasati-Kahuripan dapat dipersatukan menjadi sebuah
negara Majapahit yang besar dan jaya" Bukankah wajib kira
dukung dan bela kerajaan Majapahit itu supaya berkembang
menjadi sebuah negara kesatuan yang besar, yang
wilayahnya meliputi seluruh nuswantara."
Kembali patih Dipa berhenti sejenak untuk mengamati
kesan pada wajah Windu Janur dan kawan-kawannya.
"Tidak ada kawula Daha, kawula Singasari, kawula
Kahuripan. Yang ada hanyalah kawula Majapahit. Tidakkah
kita lebih berbahagia memiliki sebuah kerajaan yang luas,
yang kekuasaannya meliputi seluruh bumi nuswantara,
daripada hanya sesempit bumi Daha atau Singasari" Orang2
Wukir Polaman, jika kalian hendak memberontak, berontaklah
tetapi luaskan tujuan kalian, lebarkan dada kalian. Jangan
memberontak hanya karena hendak membalas dendam pada
kerajaan Majapahit, hanya karena ingin membangkitkan
kerajaan Daha yang sudah membangkai. Itu pikiran ksatrya
yang berada sempit, berpikiran pandak, berpandangan picik.
Siapapun yang jadi raja, apapun nama kerajaan itu, yang
penting raja dan kerajaan itu benar2 berwibawa, dapat
mempersatukan seluruh nuswantara, mengayomi para kawula
dan mengangkat martabat seluruh bangsa!"
Seolah kena pesona Windu Janur dan para muda dari
himpunan Wukir Polaman dikala mendengar patih Dipa
mengangkat bicara. Betapa berapi-api sinar yang terpancar
dari kedua bola matanya. Betapa kokoh pendiriannya yang
terpantul pada dahinya betapa keras hatinya yang terpancar
pada mulutnya dan betapa perkasa sikap patih itu. Samar2
mereka seperti menyaksikan suatu perobahan gaib dari
airmuka patih itu. Tidak lagi berupa patih Dipa yang dilihatnya
beberapa jenak tadi, melainkan tampak cemerlang sebagai
perwujudan dari dewa Ganesya!
Suasana di sekeliling tempat itu seolah di telan oleh
keheningan yang membisu. Angin tiada berhembus, gerumbul
meregang, pohon2 tegak bagaikan kelompok prajurit yang
tengah menerima amanat. Walaupun beberapa saat tetapi
peristiwa itu benar2 menimbulkan suatu keajaiban alam yang
memukau seluruh orang di tempat itu.
Anginpun berembus, menghanyutkan kabut keajaiban dan
orang Wukir Polaman itupun menyadari keadaan lagi.
"Sudahlah, jangan berbanyak kata" seru Kebo Angunangun "sekarang katakan maksudmu yang sebenarnya. Jika
engkau ingin bertemu dengan orang2 Wukir Polaman, di
sinilah aku dan kawan2"
Patih Dipa tersenyum kecil. "Kalian muda2 yang penuh
semangat dan kesetyaan. Sampaikanlah kata2ku tadi kepada
pimpinan dan segenap kawan2mu. Terserah bagaimana
pendirian mereka. Dan sekarang, silahkan kalian pulang"
"Hai" dengus Kebo Angun-angun "enak saja engkau bicara
seolah tak memandang mata sama sekali kepada orang2
Wukir Polaman. Sekarang juga aku dapat memberi jawaban.
Wukir Polaman takkan berhenti berjuang selama Majapahit
masih menguasai bumi Daha"
"Apakah itu pendirian kawan-kawanmu yang berada di
sini?" seru patih Dipa.
"Ya" dengan lantang Kebo Angun-angun menjawab.
"Baiklah, aku tak dapat memaksa"
"Ho, memang engkau tak dapat memaksa tetapi kami
dapat memaksamu" "Memaksaku" Apa maksudmu?" seru Dipa.
"Engkau berkata apapun tetapi kenyataan engkau adalah
patih Daha-Majapahit" kata Kebo Angun-angun "oleh karena
itu engkau harus ikut kami ke tempat kediaman pimpinan
kami" "Maksudmu engkau hendak menawan aku?" patih Dipa
menegas. "Ya" Patih Dipa tertawa. "Karena engkau mengetahui bahwa
aku hanya seorang diri dan kalian berjumlah banyak?"
"Setiap mentri, narapraja dan senopati yang bekerja pada
keranian Daha, adalah musuh kami. Kami tentu akan
menangkapnya. Sudahlah, jangan banyak bicara, engkau
harus serahkan dirimu"
"Jika aku menolak?" seru patih Dipa tenang.
Semula Kebo Angun-angun bersangsi melihat ketenangan
sikap patih itu. Tak mungkin akan bersikap begitu apabila tiada
mempunyai andalan atau persiapan. Tetapi setelah
mengeliarkan pandang ke sekeliling penjuru dan tak melihat
suatu tanda2 dari rombongan pengikut patih itu, timbullah
keberanian Kebo Angun-angun pula. "Terpaksa kami akan
menggunakan kekerasan untuk memaksamu"
"O, rupanya orang2 Wukir Polaman sangat membanggakan kedigdayaan. Baiklah, aku terpaksa harus
mempertahankan diri. Silahkan maju, kalian hendak maju
serempak atau seorang lawan seorang"
Kebo Angun-angun memandang kearah Windu Janur
dengan pandang bertanya. Windu Janur mengangguk. Kebo
Angun angunpun melangkah maju ke hadapan patih Dipa dan
bersiap. Patih Dipa diam2 menimang. Diantara orang2 Wukir
Polaman itu, ia memperhatikan bahwa Windu Janur
mempunyai pengaruh yang besar sedang Kebo Angun-angun
merupakan pembantunya yang terdekat. Juga sempat
diperhitungkannya bahwa Windu Janur tampak amat
membenci brahmana Kendang Gumulung, sementara Kebo
Angun-angun amat bernafsu sekali untuk membunuh
brahmana itu. Kemudian iapun menaruh perhatian juga
kepada brahmana Kendang Gumulung dan si dara cantik
Nagandini. Tampaknya Wiudu Janur amat menaruh perhatian
kepada gadis itu tetapi Nagandini amat erat dengan si
brahmana. Adakah sesuatu yang terjadi dalam hubungan para
muda Wukir Polaman itu" Yang jelas telah terjadi perbantahan
tentang diri brahmana Kendang Gumulung. Fihak Windu Janur
dan kawan2 menuduh brahmana itu berhianat tetapi gadis itu
menolak. Makin cenderung ia untuk menduga bahwa ada
suatu lingkaran yang berliku-liku diantara anak2 muda Wukir
Polaman itu. Dan liku2 itu agaknya bersumber pada diri si
gadis. Tetapi patih Dipa tak sempat untuk merenung lebih lanjut
karena saat itu ia sudah ditantang oleh Kebo Angun-angun
yang sudah siap di hadapannya. Dalam waktu yang amat
sempit itu, ia memutuskan, bahwa untuk menyelesaikan
pertengkaran saat itu, kunci terletak pada diri Windu Janur dan
Kebo Angun-angun. Apabila ia dapat menangkap kedua orang
itu, barulah persoalan dapat dicairkan. Memang ia tak
bermaksud hendak melukai ataupun membunuh mereka. Ia
mempunyai cara sendiri untuk mengatasi mereka. Dan cara itu
memang berbahaya penuh dengan kesadaran dan
kepercayaan akan kekuatan diri sendiri.
"Ki sanak, bagaimana kehendakmu?" tegurnya.
"Serahkan dirimu!" seru Kebo Angun-angun.
"O" desuh patih Dipa, "engkau hendak menangkap aku"
Bukankah aku tak mengganggumu?"
"Engkau patih Daha Majapahit dan engkau membantu
kawan kami yang berhianat!"
Patih Daha tersenyum. "Baiklah, aku akan menurut saja
apabila engkau memang memiliki kemampuan itu"
"Sombong!" teriak Kebo Angun angun seraya maju
menyerang. Pedang ditaburkan laksana kilat menyambarnyambar. Tetapi alangkah kejutnya ketika patih yang jelas
berada di hadapannya itu, kini lenyap dan sudah berada di
samping. Cepat ia berputar tubuh menyerang lagi. Tetapi patih
Daha itupun tetap lenyap seolah seperti sesosok bayangan,
diburu menjauh, dipandang menantang.
Setelah beberapa serangan, patih Dipa segera dapat
mengintai gerak serangan pedang lawan. Ia tak mau
membuang waktu dan menghabiskan tenaga. Pertempuran itu
harus cepat diakhiri. Sebuah peluang terbuka ketika Kebo
Angun-angun menusuk dadanya. Ia menggunakan ilmu
Lembu-sekilan. Kebo Angun-angun yang percaya tusukan
pedangnya tentu kena, menjerit kejut ketika masih kurang
sekilan jari. Dengan amat bernafsu sekali, ia lanjutkan tusukan
dengan sekuat tenaga. Dipa memang menantikan gerakan itu,
selekas ujung pedang menyorong iapun berkelit le samping,
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tangan kanan mencengkeram pergelangan tangan Kebo
Angun-angun dan tangan kiri mencengkeram ketiak lawan;
sekali dipijat keras maka menjeritlah Kebo Angun-angun.
Tenaganya lenyap sampai tak kuasa lagi ia mencekal pedang.
Pada saat pedang berdenting jatuh, Kebo Angun-angun pun
mendeprok ke tanah, tangan kanannya telah diteliku melekat
pada punggungnya. Peristiwa itu benar2 mengejutkan sekalian orang2 Wukir
Polaman termasuk Windu Janur. Cepat pertempuran itu sudah
usai tanpa sempat mereka memberi pertolongan. Rencana
Windu Janur untuk menghadapi patih Daha itu dengan
seorang secara bergilir, adalah untuk menghisap tenaganya.
Selekas tenaga patih itu habis, barulah ia sendiri yang akan
maju untuk menyelesaikannya. Setitikpun ia tak pernah
menduga bahwa Kebo Angun-angun dapat diringkus secepat
itu. "Jika engkau berani, lanjutkan langkahmu, kawanmu ini
tentu akan kubunuh!" hardik Dipa kepada Liman Segara yang
tampak hendak bergerak maju.
Patih Dipa merenung sejenak kemudian melepaskan Kebo
Angun-angun. "Bangunlah dan kembali kepada kawankawanmu" kemudian ia beralih menghadap ke arah Liman
Segara. "Ki sanak, engkau benar, aku harus menuruti alam
pikiranmu. Baik, marilah kita berhadapan dalam garis2 yang
engkau inginkan. Kalian orang2 Wukir Polaman dan aku patih
Daha. Silahkan menangkap aku karena kalau tidak, akulah
yang akan menangkapmu semua!"
Windu Janur, Liman Segara, Kebo Angun-angun, Kuda
Sempalan, Nirbada, Banyak Lindung dan empat orang
anakbuah segera bersiap. Windu Janur mendapat
pengalaman menyadari bahwa rencananya semua, tak benar.
Ia harus mengajak semua kawan-kawan untuk menyergap
patih itu. Namun untuk menyelamatkan setitik gengsi dari
Wukir Polaman, ia melarang kawan-kawannya menggunakan
senjata tajam. "Sebagai kekesatryaanmu melepas adi Kebo
Angun-angun, maka kami takkan menggunakan senjata untuk
menangkapmu" serunya kepada patih Dipa.
"Terima kasih" sahut patih Dipa, "tetapi sesungguhnya aku
tak bermaksud melepas budi. Aku hanya menjunjung laku
keutamaan seorang ksatrya yang pantang mencelakai musuh
yang sudah terluka" Berhadapan dengan patih yang masih muda itu, Windu
Janur merasakan beberapa keheranan. Diantaranya tentang
ketajaman lidah yang dimiliki patih itu, selalu dapat membentur
setiap serangan kata yang dilancarkan kepadanya Maka iapun
tak mau adu lidah lebih lanjut. Segera ia memberi isyarat
kepada kawan-kawannya untuk menyerang.
"Licik!" tiba2 brahmana Kendang Gumulung loncat ke
muka patih Daha yang melindunginya. Ia membentak
beberapa kawannya yang hendak menyerang.
"Ho, mau apa engkau Silugangga ?" teriak Liman Segara,
"engkau hendak membantu patih Daha ?"
"Sudah tentu" seru Kebo Angun-angun, "dia jelas
berhamba pada Daha-Majapahit dan menghianati sumpah
perjuangan kita !" Brahmana Kendang Gamulung tertawa. Nadanya amat
aneh, sukar dirabah entah marah entah penasaran, entah
sedih entah rawan. "Liman Segara dan engkau Kebo Angunangun, sudah kenyang telingaku mendengar fitnah tuduhanmu
itu ....." "Bukan fitnah tetapi kenyataan !" teriak Kebo Angunangun.
"Fitnah" bantah brahmana Kendang Gumulung, "karena
buktinya mengapa kalian menolak permintaanku supaya
membawa aku kehadapan pimpinan. Karena takut rahasia
kalian terbongkar ?"
"Siapa mengatakan kami menolak, hayo, sekarang juga
kami antar" seru Kebo Angun-angun.
"Tidak dapat" tiba2 patih Dipa berseru tegas, "setelah
mengetahui akan sifat2 kalian, aku tak mengidinkan kalian
mengantarkan brahmana ini menghadap pimpinanmu. Kalian
tak mungkin akan menyerahkan dirinya kecuali mayatnya"
"Bukan urusanmu" bentak Kuda Sempalan, "dia adalah
kawan kami !" "Tetapi sudah engkau singkirkan
penghianat" sahut patih Dipa.
sebagai seorang "Ki patih ini berhak atas diri kakang Silugangga karena
dialah yang telah menolong jiwanya" seru Nagandini.
"Ha, ha, ha" tiba2 Liman Segara tertawa menghina
"dengan demikian jelas bahwa Silugangga sudah menjadi
hamba Daha-Majapahit !"
Brahmana Kendang Gumulung tak marah melainkan
menjawab tenang. "Betapapun yang terjadi, tak mungkin aku
menghianati Daha Jayakatwang. Tetapi seorang ksatrya harus
tahu membalas budi. Ki patih ini telah menolong jiwaku, saat
ini jiwaku adalah miliknya"
"Pengecut" bentak Windu Janur "engkau menjilat ludahmu
kembali. Layakkah engkau menjadi brahmana?"
"Layakkah seseorang menjadi brahmana atau pandita
bukan ditentukan oleh pakaian dan rambutnya, bukan pula
karena dia sudah membaca kitab veda dan hafal akan segala
ajaran kitab itu. Tetapi Dharma dan lakunyalah yang
menjadikan dia brahmana. Dia tidak menjilat ludah tetapi
memang akulah yang melarang kalian membawanya. Aku
sudah menyelamatkan jiwanya dan harus kuselamatkan
sampai selamat" "Tetapi dia anggauta Wukir Polaman yang memusuhi
Daha Majapahit" seru Kuda Sempalan.
"Itu perjuangan yang menggariskan pemisahan" kata Dipa
"tetapi kita sesama umat manusia, sesama kawula setanah air
dan sesama pejuang beda sekalipun garis perjuangannya.
Persamaan jauh lebih besar daripada perbedaan"
"Apa maksudmu menghalangi kami menindak patih itu"
seru Kebo Angun-angun pada Kendang Gumulung.
"Jika kalian hendak menangkap, akupun tak menghalangi
tetapi caranya harus sebagai ksatrya. Layakkah orang Wukir
Polaman main kerubut terhadap lawan" Jangan engkau
merendahkan martabat pejuang2 Wukir Polaman, Kebo
Angun-angun. Engkau yang mengaku sebagai warga Wukir
Polaman, yang mengaku sebagai pejuang Daha, yang
mengaku sebagai anak senopati, yang mengaku sebagai
ksatrya, ternyata rendah sekali jiwamu. Engkau menghianati
sifat perjuangan Wukir Polaman yang luhur. Engkau
penghianat!" Tajam sekali kata2 yang dilontarkan brahmana Kendang
Gumulung sehingga Kebo Angun-angun dan kawan2
termangu-mangu merah padam mukanya.
"Ki brahmana" tiba2 pula patih Dipa berseru "silahkan
menyingkir. Jangan tuan mencemaskan diriku. Aku sanggup
menghadapi mereka," habis berkata patih Dipa menyelimpat
dari samping dan terus melangkah maju ke hadapan
rombongan orang2 Wukir Polaman. "Mari segera kita
selesaikan persoalan ini"
Rupanya para muda Wukir Polaman itu sudah tak dapat
menguasai diri lagi. Serempak Liman Segara, Kebo Angunangun, Kuda Sempalan dan Banyak Lindung menerjang, lalu
keempat anakbuah mereka pun bergerak. Hanya Windu Janur
dan Nirbada yang tetap diam. Diam2 Windu Janur melihat
sikap Nirbada. Nirbada setingkat dengan yang lain2, harus
tunduk pada perintah Windu Janur. Tetapi mengapa pemuda
itu tak ikut menyerang" Dihampirinya. Nirbada dan ditegurnya,
"Mengapa engkau tak ikut kawan2 kita?"
"Aku tak setuju kita mengerubuti lawan. Aku hendak
mengajak patih itu bertempur seorang diri" sahut Nirbada.
Windu Janur tertegun. Ia tahu Nirbada putera senopati
Pangelet itu seorang pemuda pendiam tetapi berisi, jujur dan
berani menentang sesuatu yang tidak adil. Juga selama Windu
Janur dan kawan2 mengadili kesalahan Silugangga, Nirbada
tak ikut bicara. Makin membayangkan kemungkinan tentang
diri Nirbada, makin tergetarlah perasaan Windu Janur. Adakah
Nirbada tak setuju dengan tindakan mereka terhadap
Silugangga" Adakah pemuda itu mempunyai pendirian lain
atau mungkinkah dia juga .... ah, tak berani Windu Janur
membayangkan kemungkinan itu lebih lanjut.
Menghadapi delapan lawan, memang patih Dipa harus
mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian, perhatian dan
ketajaman mata serta telinga untuk meniti setiap gerak yang
dihamburkan oleh kedelapan orang itu. Bukan mudah untuk
menguasai gerak dari delapan orang yang menyerang dari
delapan arah. Namun patih Dipa berusaha juga untuk
melaksanakan latihan semedhi selama bertahun-tahun ini.
Walaupun masih jauh dari sempurna tetapi ia telah berhasil
mencapai tingkat tertentu di mana apabila ia sudah
menghampakan dan menyatukan seluruh pikirannya ke alam
keheningan dapatlah ia mendengar suara yang betapapun
lembutnya macam daun kering yang berguguran ke tanah.
Dalam beberapa jurus, ia berhasil menghadapi mereka
dengan baik, bahkan dapat juga balas menyerang, mendesak
dan merubuhkan dua orang anakbuah mereka. Kebo Angunangun yang masih menderita kesakitan pada lututnya, harus
mengerang-erang ketika patih Dipa mengulang pula,
menendang tepat ke arah mata lutut pemuda itu. Tidak terluka
yang berdarah melainkan terkilir urat tulangnya, namun
cukuplah membuat Kebo Angun-angun menyingkir sambil
berloncatan dengan sebelah kaki diangkat.
Kurangnya ketiga kawan itu tidaklah mengurangkan daya
serangan dari kelima anak2 Wukir Polaman. Liman Segara,
Kuda Sempalan dan Banyak Lindung adalah putera2 senopati
yang sejak kecil digulawentah dengan ilmu keprajuritan,
kedigdayaan dan jayakawijayan yang diperlukan selayak
putera seorang senopati. Kebalikannya, patih Dipa tidak
mendapat asuhan dari suatu guru tertentu melainkan
bimbingan dari beberapa orang sakti antara lain brahmana
Anuraga, pandita Padapaduka dan sedikit dari eyang
Wungkuk, sesepuh Gajah Kencana. Namun anak itu memiliki
kelebihan yang jarang dimiliki lain anak. Dikaruniai tenaga
pembawaan yang luar biasa kuatnya sehingga pada waktu
masih berumur belasan tahun, ia sudah mampu mengangkat
patung dewa Ganesya di candi desa Madan Teda. Memiliki
kecerdasan otak sehingga mudah untuk mempelajari sesuatu,
kemudian memiliki daya ketahanan atau keuletan dalam
belajar. Ilmu yang dimilikinya saat ini, adalah berkat ketekunan
dan keuletan serta kesungguhannya untuk berlatih menempa
diri. Misalnya dalam ilmu tata langkah yang diajarkan oleh
brahmana Anuraga, ia berhasil mencapai suatu tataran yang
mengejutkan, dimana apabila ia memainkannya maka seolah
dirinya terpecah dalam beberapa bayangan. Ilmu Lembusekilan yang dipelajarinya dari pandita Padapaduka, pun
mencapai kemajuan yang menakjubkan. Dalam ilmu Prana,
sumber yang menjadi dasar dari pemusatan pikiran dan
penghimpunan tenaga, makin meningkat tinggi jua.
Apabila ketiga putera senopati Daha- Jayakatwang itu
tidak memliki tata kelahi yang tinggi dan kelincahan yang
hebat, tentulah mereka sudah menderita kekalahan. Karena
dengan ilmu Lembu sekilan itu, pukulan anak2 Wukir Polaman
itu selalu tak mencapai sasarannya, kemudian mereka harus
loncat menghindar atau berkelit ke samping karena terancam
oleh tinju patih itu. Diantara ketiga putera senopati itu, Banyak
Lindung memiliki ilmu kebal yang tahan pukulan, bahkan
tabasan senjata tajam. Berulang kali ia seolah memberikan
tubuhnya dihunjam pukulan patih Dipa. Dalam hal itu memang
ia tak menderita luka tetapi getar2 pukulan Dipa yang
bertenaga kuat itu terasa sampai mendebur keras jantungnya.
Akhirnya kedua belah fihak sama menyadari bahwa
pertempuran telah berlangsung lama. Harus lekas ditutup
dengan suatu penyelesaian atau mereka akan menderita
kehabisan tenaga. Patih Dipa memang memiliki daya tahan
dan napas yang panjang tetapi karena harus menghadapi lima
lawan dengan tiga diantaranya merupakan lawan2 yang
tangguh, timbullah titik2 kecemasan apabila dirinya kehabisan
tenaga dan tertangkap oleh mereka. Ia menyadari bahwa
berhadapan dengan para muda Wukir Polaman dari jenis
kelompok yang dipimpin Windu Janur, ia tak boleh mengharap
kebijaksanaan mereka. Mereka tentu akan membunuhnya. Ia
heran mengapa brahmana Kendang Gumulung yang
ditolongnya itu, tetap berpeluk tangan saja. Tetapi secepat itu
pula ia harus menghapus titik2 harapan untuk mendapat
bantuan brahmana itu. Brahmana itu sudah menyarankan
pendiriannya dengan tegas.
Diam2 kecemasan patih Dipa itu makin berkembang,
menghimpun dan menggunduk menjadi suatu rasa
penyesalan terhadap dirinya. Bukan karena takut mati, bukan
pula karena jeri menghadapi siksaan dan hinaan orang2 Wukir
Polaman sebagaimana dahulu pernah ia derita ketika
tubuhnya diikat pada kuda yang dilepaskan lari membinal.
Tetapi kini keadaan dirinya berbeda. Dulu ia hanya seorang
kelana, matipun hanya suatu peristiwa macam daun kering
yang gugur ke tanah. Tiada bersuara, tiada menarik perhatian
orang. Tetapi sekarang dia seorang patih dari bagian kerajaan
Majapahit. Kematiannya akan menimbulkan kegemparan.
Mungkin kerajaan Daha-Majapahit akan merasa kehilangan
seorang narapraja yang setya, mungkin pula rakyat akan
merasa kehilangan seorang patih yang memperhatikan
kepentingan mereka. Tetapi yang jelas, ia sendiri yang
terutama menyesal dan menangis. Menyesal bukan karena
kehilangan jiwa, kehilangan pangkat dan kedudukan. Tetapi
menyesal karena tak dapat memenuhi kewajiban yang telah
dipercayakan kepada dirinya. Menangis bukan karena takut
menghadapi kematian yang penuh siksa dari orang2 Wukir
Polaman, melainkan karena tak dapat melanjutkan
pengabdiannya kepada negara dan rakyat. Menyesal dan
menangis karena kematiannya itu adalah akibat dari
perbuatannya sendiri yang mulai dihinggapi oleh rasa
kesombongan, rasa membanggakan diri, rasa memandang
rendah pada bahaya, mengagulkan kedigdayaannya.
Bukankah sebagai seorang patih, ia harus membawa
pengawal untuk perlindungan setiap kemungkinan yang
membahayakan dirinya" Tidakkah kesemuanya itu ia abaikan
sehingga seorang diri ia berani menghadapi serombongan
orang2 Wukir Polaman" Bukankah tindakan itu karena
dipengaruhi oleh rasa sombong diri dan rasa membanggakan
kedigdayaannya" "Jangan bersikap sombong, Dipa. Karena kesombongan
itu hanya mengundang musuh dan membawa kehancuran
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dirimu" demikian pesan brahmana Anuraga kepadanya.
Tetapi kesemuanya itu sudah terlanjur. Saat itu ia harus
berhadapan dengan anak2 muda Wukir Polaman. Penyesalan
tiada berguna, takkan merobah keadaan. Untuk menebus
kesalahan, ia harus bertindak memperbaiki. Dan tindakan itu
hanyalah dengan perbuatan mengalahkan lawannya. Rasa
bersalah, kesadaran untuk menebus kesalahan itu, telah
membangkitkan semangat juang Dipa. Ia harus cepat
menyelesaikan pertempuran itu.
Pikiran semacam itu kebetulan pula dimiliki juga oleh
Banyak Lindung. Ia masih muda dan besar keinginan. Apabila
ia dapat menangkap patih itu, bukankah pimpinan akan
memberi pijian dan penghargaan kepadanya " Terdorong oleh
nafsu keinginan itulah maka iapun memutuskan untuk
melakukan suatu gerak siasat agar dapat menangkap lawan.
Kesempatan itupun tiba. Setelah menghindar dari
terjangan Liman Segara, patih Dipa menyelimpat ke belakang
Banyak Lindung dan secepat kilat ayunkan tangannya. Banyak
Lindung diam2 girang dalam hati. Ia menduga lawan tentu
memukulnya. Iapun hanya mengisar sedikit seolah memberi
kesan kepada lawan bahwa ia terlambat menyambut pukulan.
Ia sudah memperhitungkan bahwa pukulan patih itu dapat
ditahan dengan ilmu kebalnya, kemudian pada saat pukulan
tiba, ia hendak menyerempaki dengan suatu gerak berputar
seraya menerkam pinggang lalu lalu mengunci tubuh lawan
dengan jepitan tangan sekencang-kencangnya. Demikian
siasat yang tengah dirancangnya.
Tetapi ternyata patih Dipa pun melakukan rencananya
juga. Setelah melancarkan pukulan beberapa kali, ia tahu
bahwa tubuh Banyak Lindung itu keras sekali. Ia duga
anakmuda itu tentu memiliki ilmu lindung. Maka tak mau ia
memukul melainkan mencengkeram leher orang, lalu
diserempaki dengan tangan kiri mencengkeram ikat pinggang
bagian belakang, dengan kerahkan segenap tenaga ia
mengangkat tubuh Banyak lindung ke atas lalu diputar-putar
bagaikan sebuah baling-baling.
Banyak Lindung terkejut namun sudah terlambat. Ia
merasa tubuhnya terangkat, hendak meronta tenaganya
serasa merana dan sebelum sempat berbuat apa2, tubuhnya
diayun dan diputar-putar deras sekali. Ia merasa darahnya
bergolak keras, sekeliling penjuru alam serasa berputar, langit
bagaikan menelungkup ke bawah dan makin ke bawah, gelap
sekeliling jagad dan akhirnya tak tahu apa yang terjadi lagi.
Windu Janur, Liman Segara, Kuda Sempalan dan bahkan
Kebo Angun-angun yang masih mendeprok agak jauh,
terbeliak menyaksikan peristiwa itu. Pecahlah nyali kedua
anakbuah mereka ketika patih Dipa dengan gagah perkasa
memutar-mutar tubuh Banyak Lindung untuk menghantam
mereka. Mereka lari pontang panting. Demikian pula Windu
Janur, Liman Segara dan Kuda Sempalan terpaksa harus
menyingkir jauh ketika patih Dipa menghampiri.
"Jangan dibunuh!" tiba2 brahmana Kendang Gumulung
loncat menghampiri seraya berseru keras. Demikian pula
Nirbada yang sejak tadi tak ikut bertempur, saat itu segera
melangkah maju dan membentak. "Turunkan!" Ia ayunkan
tangannya menghantam patih Dipa. Tetapi dengan sigap
sekali patih Dipa loncat ke samping lalu ayunkan tubuh
Banyak Lindung menghantam Nirbada. Putera senopati
Pangelet itu terkejut sekali menyaksikan tenaga patih Dipa
yang luar biasa. Terutama ketika melihat wajah patih itu
merekahkan cahaya bagai dewa Ganesya, ia menjerit dan
loncat ke belakang. "Batara Ganesya ...." gumamnya merengah napas.
Brahmana Kendang Gumulung tertegun namun pada lain
kejab, ia loncat ke hadapan patih Dipa tegak memaserahkan
diri, kedua mata dipejamkan, tangan menjulai ke bawah
"Bunuhlah aku, ki patih!"
Patih Dipa kehilangan dirinya. Ia merasa seperti tersusup
oleh suatu tenaga gaib seperti dahulu di kala ia mengangkat
patung Ganesya. Ia sendiri tak menyadari hal itu. Tetapi selalu
apabila sedang menumpahkan kemarahan yang meledakledak, maka ia tentu merasa mendapat tenaga kekuatan yang
gaib, entah apa namanya dan dari mana asalnya, ia tak tahu
dan tak sadar. Demikian seperti yang dialami saat itu. Serasa ia merasa
seperti bukan dininya, ia merasa seperti tercengkam oleh
suatu kekuatan gaib yang aneh. Tubuh Banyak Lindung itu tak
terasa berat dan benda2 di sekeliling serasa kecil dalam
pandang matanya, bahkan puncak bukit di balik lembah
tampak mengecil sehingga dapatlah ia melongok puncaknya,
serasa ia lebih tinggi dari puncak itu. Adakah dirinya berobah
menjadi seorang raksasa .....
Tiba2 keheranannya itu pecah berhamburan ketika
terlanda setiup angin tajam yang bernada kata2, "Ki patih,
bunuhlah Kendang Gumulung ...."
Ia tersentak dari segala perasaan kehilangan diri, kata2 itu
bagaikan dering gemerincing pedang saling beradu, tajam dan
menyusup selaput telinga terus membentur lubuk hati,
berdenting menebarkan kabut kehampaan, bertebaran dan
mengendap lalu akhirnya timbul percik2 terang yang menyinari
kesadaran pikirannya. Serentak ia terkejut ketika melihat
sesosok tubuh dalam pakaian brahmana berdiri tegak di
hadapannya dalam sikap yang amat paserah. Itulah brahmana
Kendang Gumulung yang ditolongnya tadi. Adakah ia akan
menghancurkan juga orang yang baru saja diselamatkan
jiwanya" Tidak! Tetapi saat itu tubuh Banyak Lindung sudah
terlanjur diayun dan jarak dengan brahmana Kendang
Gumulung sedemikian dekat sekali. "Brahmana, mengendaplah ke bawah ......." ia berteriak dan melontarkan
tubuh Banyak Lindung ke udara.
Suatu peristiwa yang mendebarkan telah berlangsung.
Brahmana Kendang Gumulung menurut perintah, cepat ia
mengendap ke bawah. Mukanya tertampar hambur angin
deras ketika tubuh Banyak Lindung melontar ke udara.
Terpaksa ia harus loncat mundur.
Demikianlah cara yang dilakukan patih Dipa untuk
menyelamatkan brahmana itu tergempur tubuh Banyak
Lindung. Setelah memperingatkan supaya brahmana itu
mengendap ke bawah, ia terus melayangkan tubuh Banyak
Lindung ke udara. Anak2 Wukir Polaman memekik kaget. Tak pernah mereka
menduga bahwa patih Daha memiliki kekuatan yang
sedemikian hebat dan tak pernah pula mereka menduga
bahwa Banyak Lindung masih dapat hidup apabila jatuh ke
tanah yang penuh batu cadas keras.
Nagandini kemati-matian membela brahmana Kendang
Gumulung, menghamburkan namun makian yang tajam
kepada anak2 Wukir Polaman, bahkan bertempur dengan
mereka. Tetapi betapapun halnya, mereka adalah kawankawannya, kawan dalam pergaulan dan perjuangan, sesama
kawan anggauta Wukir Polaman pula. Melihat Banyak Lindung
terancam kematian yang sengeri itu, serentak timbullah
kemarahannya terhadap patih Dipa. Rasa setya-kawan
serentak mencengkam pikirannya. Cepat ia mencabut patrem,
loncat menikam punggung patih Dipa. "Patih Daha, engkau
kejam sekali ...." Brahmana Kendang Gumulung terkejut. Dua kali sudah
patih Daha itu telah berusaha untuk menyelamatkan jiwanya.
Dilihatnya juga saat itu patih Dipa tengah menengadah
memandang ke atas, memperhatikan luncur tubuh Banyak
Lindung. Ia duga patih itu tentu akan berusaha untuk
menolong Banyak Lindung. Maka betapalah kejutnya ketika
melihat Nagandini menyerang dengan patrem. "Nagandini,
jangan ..." cepat ia berteriak. Ia hendak bergerak mencegah
tetapi karena jaraknya agak jauh, tak mungkin berhasil. Maka
ia hanya tegak membelalak dicengkam longong.
Saat itu patih Dipa tengah bersiap untuk menyongsong
tubuh Banyak Lindung yang meluncur ke bawah. Tiada
maksud setitikpun hendak membunuh Banyak Lindung. Dan
ketika tubuh pemuda itu makin menurun ke bawah, cepat ia
songsongkan kedua tangannya untuk menyambut. Tetapi
alangkah kejutnya ketika mendengar teriak Nagandini, lebih
terkejut pula ketika ia mendengar desir angin tajam menusuk
punggungnya. Cepat ia menyadari bahwa gadis Nagandini
tentu menyerangnya dengan senjata tajam. Namun saat itu
tubuh Banyak Lindung sudah sepenggapai tangan, apabila ia
harus menarik kembali tangannya dan loncat menghindar,
tentulah Banyak Lindung yang akan menjadi sasaran senjata
Nagandini, paling tidak pemuda itu tentu jatuh terbanting ke
tanah dengan keras. Dalam detik2 yang membahayakan jiwanya dan jiwa
banyak Lindung itu, timbullah tekad patih Dipa untuk
berkorban. Sekali ia sudah memutuskan untuk menolong
Banyak Lindung, haruslah ia laksanakan sampai selesai.
Sedangkan bagaimana dirinya ia tak menghiraukan lagi. Benar
apabila ia menghindar dan Banyak Lindung termakan senjata
Nagandini, orang Wukir Polaman tentu tidak menyalahkan
melainkan menyalahkan Nagandini. Tetapi dengan begitu,
jelas orang2 Wukir Polaman akan makin marah kepada
Nagandini, makin mendendam kepada brahmana Kendang
Gumulung. Ia tak menghendaki begitu. Walaupun orang2
Wukir Polaman itu memusuhi Daha-Majapahit. namun tidaklah
ia akan menggunakan cara yang keras dan kejam untuk
membasmi mereka. Buktinya sudah sejak bertahun-tahun
mendiang patih Arya Tilam menggunakan tangan besi untuk
menghancurkan mereka, mereka tetap tumbuh bahkan makin
bersatu kokoh untuk melanjutkan perjuangannya. Tidak, ia
akan menggunakan cara lain. Cara untuk menundukkan hati
mereka, menyadarkan pikiran mereka dan menghapus
dendam mereka. Dengan pemikiran2 itu, patih Dipa memikul keharusan
untuk menyelamatkan tiga jiwa. Jiwanya sendiri, jiwa Banyak
Lindung dan jiwa Nagandini yang tentu akan menjadi tumpuan
kemarahan kawan-kawannya dari Wukir Polaman itu.
Dia harus berkorban agar Banyak Lindung tertolong dan
Nagandini tidak dibenci kawan-kawannya. Maka selelah bulat
tekadnya, tak mau ia beringsut dari tempat ia berdiri.
Disambutinya tubuh Banyak Lindung, kemudian ia beringsut
memutar tubuh menghadapi penyerangnya. Dengan gerak itu
ia bermaksud untuk menghindari tusukan penyerangnya.
Ataupun kalau tak mungkin, sekurang-kurangnya hanya
menyerempet lambungnya. Tetapi ternyata perhitungannya itu meleset. Nagandini
sudah berada di belakangnya ketika ia menyanggapi tubuh
Banyak Lindung dan ketika ia berputar tubuh, patrem
Nagandini pun sudah meluncur ke muka, karena berputar
tubuh maka yang kena bukan punggung melainkan perutnva,
cret .... "Nagandini ..... !" serentak memekiklah brahmana Kendang
Gumulung ketika menyaksikan hal itu. Serentak iapun loncat
untuk memberi pertolongan kepada patih Dipa. Tetapi ketika
tiba di samping Nagandini brahmana itu terhenti dan tegak
seperti patung. Apa yang dilihat brahmana itu benar2 tak dapat diduganya,
hampir ia tak percaya pada pandang matanya. Nagandini
terlongong-longong seperti tercengkam pesona, tangannya
masih mengacungkan patrem ke muka tetapi patrem itu hanya
tinggal sejari tangan panjangnya. Ujungnya telah kutung dan
jatuh ke tanah. "Engkau .... engkau ...."
Saat itu patih Dipa pun sudah meletakkan tubuh Banyak
Lindung ke tanah. Dengan wajah tenang mengulum senyum
kecil, ia berkata, "Aku tak menderita apa2. Tetapi mengapa
engkau hendak membunuh aku?"
Nagandini tersipu-sipu merah mukanya. "Karena untuk
menghindarkan brahmana itu dari terbentur tubuh anakmuda
ini, terpaksa kulontarkan anak itu ke udara. Aku tidak
bermaksud membunuhnya, nini, lihatlah dia hanya pingsan.
Nanti tentu akan sadar lagi"
"O, maafkanlah kami, ki patih" tiba2 brahmana Kendang
Gumulung mendahului meminta maaf atas kekhilafannya dan
tindakan Nagandini yang terburu nafsu.
"Ah, soal sekecil itu bagaimana layak aku menerima
ucapan ki brahmana" kata patih Dipa. Tiba2 indera
pendengarannya yang tajam segera dapat menangkap suara
berisik yang menyelubungi sekeliling lembah. Cepat ia
mengangkat muka dan memandang ke sekeliling. Ternyata
Windu Janur, Kebo Angun-angun, Liman Segara, Nirbada
berdiri tegak tak jauh dari tempatnya. Bukan hanya mereka
saja, pun saat itu berpuluh lelaki muda yang membekal
senjata berjajar mengelilingi tempat itu.
Patih Dipa mengernyit dahi. Ia tak tahu mengapa telah
muncul sekian banyak orang bersama Windu Janur. Tetapi
cepatlah ia cenderung untuk menduga, menilik sikap dan
dandanan mereka, tentulah mereka kawan-kawan Windu
Janur atau anakbuah Wukir Polaman. Kemudian ia
membayangkan kemungkinan lebi h lanjut bahwa jika benar
mereka itu anak buah Wukir Polaman, tentulah bala bantuan
yang akan membantu Windu Janur untuk menangkap dirinya
dan brahmana Kendang Gumulung. Serentak patih Dipa
berkemas-kemas. Apa yang diduga patih Dipa itu memang benar. Anggora,
putera senopati Kampinis, yang sejak perbantahan dan
pertempuran berlangsung, ternyata mempunyai rencana
sendiri. Diam2 ia meloloskan diri untuk mengundang kawankawannya. Ia kuatir Windu Janur dan rombongannya tak dapat
menangkap brahmana Kendang Gumulung.
Rupanya brahmana Kendang Gumulung cepat dapat
merasakan suatu gelagat yang tak baik. Ia menghampiri ke
hadapan Windu Janur, berhenti enam langkah di hadapannya,
"Windu Janur, apakah maksudmu membawa kawan2 kemari"
Apakah hendak menangkap aku?"
"Hm" desuh Windu Janur dengan nada yang sukar
dimengerti. Bukan suatu pengakuan, bukan pula suatu
penyangkalan. Memang dalam hati kecilnya sedang tumbuh
suatu pergolakan. Bahwa Nagandini mendamprat dan
menusuk patih Dipa karena marah atas tindakan patih yang
dianggapnya kejam hendak membunuh Banyak Lindung, telah
disaksikannya sendiri. Dan dengan mata kepala sendiri
dilihatnya pula betapa patrem Nagandini yang menusuk perut
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
patih Dipa itu telah patah menjadi dua. Hal itulah yang
mengejutkan dan menggetarkan hatinya. Adakah patih Daha
itu benar2 seorang yang sakti mandraguna sehingga tak
mempan ditusuk senjata" Jika benar, tentulah tak mudah
untuk menangkapnya, sekalipun ia kerahkan seluruh kawan2
yang berada di situ. Hai itulah yang menyebabkan ia
bersangsi. "Apakah Banyak Lindung mati?" akhirnya ia bertanya juga.
"Tidak" sahut brahmana Kendang Gumulung, "sedikitpun
dia tak terluka. Dia hanya pingsan karena diputar putar oleh ki
patih" "Hm" kembali Windu Janur hanya mendesuh karena
kehilangan arah bagaimana akan mengambil keputusan.
"Windu Janur" kata brahmana Kendang Gumulung pula,
"aku hendak mengajukan permintaan kepadamu. Maukah
engkau mempertimbangkan?"
"Katakan" jawab Windu Janur singkat.
"Aku bersedia ikut engkau untuk menghadap pimpinan dan
mempertanggung jawabkan semua
yang dituduhkan kepadaku. Tetapi janganlah engkau ganggu ki patih itu.
Biarlah dia pulang ke pura"
Windu Janur mengerut dahi.
mengajukan permintaan begitu?"
"Apa sebab engkau "Pertama, aku telah ditolongnya. Dan kedua, dia tak
bermaksud memusuhi Wukir Polaman"
"Apa buktinya?"
"Ia telah melantangkan pendiriannya dengan tegas, ia
telah mencanangkan fahamnya tentang kesatuan Majapahit,
iapun telah menyatakan pandangannya tentang perjuangan
dan pejuang. Dia tak mau membunuh Banyak Lindung ..."
"Dan diapun menolong engkau" tukas Kebo Angun-angun
dengan cepat. "Dalam landasan seorang ksatrya yang benci akan sifat2
kaum buto yang suka main kerubut" jawab "brahmana
Kendang Gumulung. Kemudian ia melanjutkan kepada Windu
Janur, "Windu Janur, apakah engkau dapat meluluskan
permintaanku?" "Sudah umum bahwa harimau yang masuk perangkap
akan meraung-raung marah kepada manusia. Mengatakan
manusia itu licik karena menangkapnya dengan perangkap.
Tetapi manusia tetap mengatakan harimau itu harus dibunuh
karena membahayakan jwa manusia" sambut Kebo Angunangun dengan kata bertamsil.
"Ki brahmana" tiba2 patih Dipa berseru seraya melangkah
maju ke muka Kendang Gumulung, "terima kasih atas
kesediaan tuan membela diriku. Tetapi sia sialah tuan meratap
kasihan kepada mereka. Dan akupun tak memerlukan rasa
kasihan mereka, kebalikannya aku merasa kasihan kepada
mereka" Kemudian tanpa menunggu jawaban brahmana Kendang
Gumulung, patih Daha terus berkata kepada Windu Janur dan
orang2 Wukir Polaman, "Orang2 Wukir Polaman, tanpa tedeng
aling2 inilah aku, patih Daha yang mengemban tugas untuk
menjaga ketenangan dan keamanan telatah Daha,
mengayomi keselamatan dan kesejahteraan para kawula. Jika
kalian hendak menangkap aku, silahkan!"
Rupanya sudah habis kesabaran patih itu menghadapi
orang2 Wukir Polaman. Rupanya hanya dengan cara keras,
Kebakaran The Burning 3 Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo Naga Dari Selatan 16
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama