02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 21
mengambil keris pusaka. Sesaat baginda keluar lagi, dilihatnya lelaki bertubuh kekar
itu sudah berhasil merobohkan I Ktut Patra dan saat itu tengah
menginjak dada I Ktut Patra. Baginda tak kuasa menahan
kemurkaan. Serentak ia loncat dan menikam punggung lelaki
itu. Tetapi rupanya lelaki itu cukup waspada. Ketika
mendengar angin berhembus dari belakang, cepat ia berputar
tubuh. Tetapi terlambat untuk menangkis ataupun loncat
menghindar. Dan kerispun bersarang ke perut, crek ....
Baginda tersurut mundur, tegak termangu-mangu.
Ditangannya masih menggenggam keris pusaka. Baginda
memandang keris pusakanya dengan wajah pucat. Keris itu
bengkok ujungnya. Lelaki bertubuh kekar itu memandang sikap baginda,
kemudian menegur, "Hamba tak menyangka bahwa paduka,
raja Bedulu, berkenan juga untuk bertindak curang"
"Engkau ..... !" teriak raja Pasung Rigih terbelalak.
"Ya, hamba adalah patih yang mengepalai perutusan
Majapahit yang paduka tangkap itu" sahut lelaki bertubuh
kekar atau patih Dipa. Melihat baginda hadir, karena kuatir akan keselamatannya,
I Made Prana segera loncat ke samping baginda. "Baginda ..."
Raja Pasung Rigih mengangguk, "Jangan kuatir akan
keselamatanku" kemudian ia melanjutkan bicara kepada patih
Dipa. "Mengapa engkau berada disini ?" seru baginda "bukankah
engkau ditawan di gua Gajah?"
"Benar" sahut patih Dipa "dewa2 dari gua Gajah lah yang
menolong hamba karena dewa2 itu tahu bahwa hamba tak
bersalah." "Hm, " desus raja Pasung Rigih, "besar sekali nyalimu,
patih Majapahit. Tahukah engkau bahwa penjagaan keraton
kami ini sekokoh dinding baja" Dan tahukah engkau orang
Majapahit, bahwa saat ini patih Kebo Warung sudah
menyerang induk pasukanmu yang berpusat di Gianyar?"
"Hamba tahu, gusti, seperti hamba tahu pula bahwa
tumenggung Werda dan pasukan yang bertugas menjaga pura
paduka, sudah hamba kuasai"
Raja Pasung Rigih terbeliak
"Dan hamba pun tahu tentang penyerangan patih paduka
ke Gianyar itu hanya akan mengorbankan ribuan prajurit
Bedulu karena hamba mempunyai dua induk pasukan. Satu di
Gianyar dan satu di Sanur. Mereka-pun telah kami pesan,
apabila sampai besok hamba tak kembali, supaya segera
menggerakkan pasukan untuk menyerang pura Bedulu"
"Patih Majapahit" teriak raja Pasung Rigih "rajamu benar2
bermaksud hendak menjajah negeri kami"
"Paduka salah faham" sahut patih Dipa "hamba membawa
salam persahabatan dari baginda hamba di Majapahit kepada
tuanku di Bedulu. Raja hamba hanya ingin menyambung pula
hubungan baik antara Bedulu dengan kerajaan di Jawadwipa.
Oleh karena sekarang Singasari dan Daha sudah
dipersatukan oleh Majapahit maka hendaknya paduka
melanjutkan pula kelangsungan dari hubungan kerajaan
paduka dengan Majapahit"
"Hm, pandai benar engkau merangkai kata2 yang indah,
patih" seru raja Pasung Rigih "tidakkah dalam kata2 manis itu
mengandung suatu tuba di mana secara halus junjunganmu
menghendaki supaya aku tunduk dibawah kekuasaannya "
Tidakkah hal itu menunjukkan sifat2 keangkaraan raja
Majapahit yang tak merelakan kerajaan Bedulu berdiri dengan
bebas dan aman?" Patih Dipa tenang2 menyahut, "Tidak, gusti. Hamba
misalkan dalam sebuah keluarga. Adakah seluruh anggauta
keluarga itu bebas hidup dan bertindak sendiri2 tanpa ada
yang menjadi kepala keluarga ?"
Raja Pasung Rigih tertegun.
"Demikian pula dengan persatuan negara nuswantara itu"
patih Dipa menambah keterangan "tidakkah layak bahwa ada
kerajaan yang menjadi pemuka" Dapatkah kerajaan lain di
segenap nuswantara rela tunduk pada pimpinan kerajaan
Bedulu andai paduka menginginkan hal demikian?"
"Bedulu tak ingin menguasai kerajaan lain tetapi pun
menolak dikuasai lain kerajaan," seru raja Pasung Rigih "dan
mengapa harus kuasa menguasai " Bukankah lebih baik kita
berdiri dan hidup sendiri2 tanpa harus saling ganggu
mengganggu ?" Patih Dipa mendengus, "Pandangan paduka kurang luas"
bantahnya, "dengan faham yang sempit itu nuswantara takkan
kuat karena tiada kesatuan dan persatuan. Orang Bali, orang
Majapahit, orang Madura, orang Pasundan, orang Sriwijaya,
Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Tumasik dan
lain2, adalah orang nuswantara. Walaupun daerahnya
berbeda tetapi satu nuswantara. Seharusnya harus hanya ada
satu kerajaan dan untuk menjadi satu, harus dipersatukan.
Dengan kesatuan itu, kita akan kuat dan jaya."
Terkesiap raja Pasung Rigih ketika melihat betapa berapiapi patih Dipa dikala melantangkan kesatuan dan persatuan
nuswantara itu. Wajahnya memancarkan cahaya yang tegas
dan penuh keyakinan. Genggamnya yang diacungkan dan
dikepalkan kencang2, menggelorakan suatu kekuatan yang
dahsyat. "Inilah paduka" seru patih itu "kelima jari tangan ini,
apabila dinilai satu demi satu, tiada arti dalam kekuatannya.
Tetapi apabila dikepalkan menjadi sebuah tinju, akan kuasalah
menghantam seperti ini" ia menghampiri sebuah arca batu
berbentuk raksasa penunggu dan menghantamnya, pyuuur....
kepala arca itupun hancur berkeping-keping.
Gemetar serasa tubuh raja Pasung Rigih menyaksikan
kedigdayaan patih Majapahit itu. Ada beberapa kejutan yang
melanda hatinya. Pertama, ketika keris pusaka yang
ditusukkan ke perut patih itu tak mempan bahkan bengkok.
Pada hal keris itu adalah pusaka kerajaan yang amat bertuah.
Kedua, ketika mencanangkan persatuan nuswantara ia
melihat wajah patih itu berubah memancarkan cahaya yang
bersinar-sinar bagai penjelmaan dewa Ganesya. Dan ketiga,
ketika patih itu dapat menghantam hancur sebuah arca batu.
Namun diantara ketiga kejutan itu, kejutan pertamalah yang
benar2 menghanyutkan segenap nyalinya. Ia tak tahu bahwa
secara kebetulan sekali, ujung keris telah menusuk pusaka
Gada Inten yang disimpan dalam pinggang baju patih itu. Ia
mengira bahwa patih Majapahit itu sakti mandraguna dan tak
mungkin dilawannya. "Maaf, gusti" tiba2 tenang kembali nada patih Majapahit
memohon maaf atas tindakannya merusak arca penghias
balairung. Raja Pasung Rigih tersadar dari layang renungan. Iapun
mulai merenungkan kata2 patih tentang persatuan nuswantara
dan merasakan sesuatu yang sukar untuk menyangkal
kebenaran ucapan patih itu.
"Baginda" seru patih Dipa pula "bukankah disekeliling luar
Bali ini terdapat beberapa kerajaan yang sering mengganggu
rakyat paduka" Atau sekurang-kurangnya paduka menganggap bahwa tindakan raja2 itu kurang layak?"
Raja Pasung Rigih terkejut. Memang apa yang dikatakan
patih Majapahit itu, dialaminya. "Ya, Dedela Nata atau
Werdamurti raja dari Sumbawa sering mengganggu dan
menunjukkan sikap bermusuhan kepada Bedulu."
"Baginda Jayanagara dari Majapahit sudah cukup sibuk
untuk memerintah telatah Majapahit yang luas. Namun
baginda tak kunjung menghentikan cita-citanya untuk
mempersatukan seluruh nuswantara" kata patih Dipa, "dalam
keluarga besar di bawah naungan Majapahit itu, bukanlah
berarti bahwa Majapahit akan langsung menguasai setiap
daerah atau kerajaan dari anggauta persatuan itu melainkan
diserahkan kepada raja masing2 untuk memerintah
kerajaannya sendiri. Majapahit sebagai pelindung hanya
mengawasi dan melindungi mereka, terutama akan memberi
peradilan yang adil apabila terjadi sengketa diantara kerajaankerajaan yang bernaung di bawah lindungan Majapahit itu.
Misalnya, raja Dedela Nata dari Sumbawa, apabila ternyata
memang bersalah, Majapahit akan menindak sendiri atau
mungkin menyerahkan dan membantu kepada kerajaan yang
diganggu, yalah kerajaan paduka, untuk menghukum
Sumbawa. Demikian wujut daripada cita2 persatuan yang
dicita-citakan baginda Majapahit."
Raja Pasung Rigih termenung. Rupanya mulailah
perhatiannya bergetaran mempertimbangkan ucapan patih
Majapahit itu. Dahulu Bedulu pun tunduk dan mengakui
kekuasaan Singasari ketika masih berdiri dan diperintah oleh
raja Kertanagara. Sekarang berdiri Majapahit, sebuah
kerajaan yang lebi h besar dan lebih kuat. Wilayahnya meliputi
dua buah kerajaan Singasari Daha jauh sampai ke Wengker,
Matahun dan Pajang. Kerajaan2 Sriwijaya dan kerajaan2 di
Malayu pun gentar bahkan raja Tartar dari negara Cina, tak
berani pula mengirim pasukan untuk memaksa Majapahit
mengakui kekuasaannya. Majapahit bagaikan surya yang
sedang terbit, sinarnya akan memancar keseluruh
nuswantara. Menerangi dan memberi kehangatan kepada
seluruh kawula nuswantara. Majapahit memiliki seorang patih
yang digdaya mandraguna dan senopati2 yang gagah
perkasa. "Ah, raja Jayanagara juga bijaksana dalam mengembangkan agama Syiwa, agama Budda dan Brahma.
Mendirikan candi-candi, kuil dan rumah-rumah suci untuk
kaum pandita dan brahmana. Kehidupan rakyat pun makmur,
aman dan sejahtera. Tidakkah hal itu menunjukkan bahwa
Majapahit sebuah kerajaan yang layak memberi pengayoman
kepada nuswantara ?" makin jauh dan jauh renungan baginda
raja Pasung Rigih. Kemudian pikirannya tertumbuk akan
kenyataan yang dihadapi saat itu. Bahwa Majapahit telah,
mengirim armada besar ke Bedulu. Dapatkah Bedulu
menghadapi kekuatan yang sedahsyat itu"
"Gusti" rupanya patih Dipa dapat menyerap kandungan
hati raja Bedulu itu "hamba mohon untuk mengulangi lagi titah
dari junjungan hamba yang hamba haturkan kebawah duli
paduka. Baginda junjungan hamba sangat mengharap akan
kunjungan paduka ke pura Majapahit. Hamba mohon
hendaknya paduka berkenan meluluskan harapan baginda
raja hamba itu agar hubungan lama antara kedua kerajaan
yang sudah terjalin lama itu, dapat dipererat kembali. Demi
kehormatan hamba peribadi, hamba jamin bahwa kunjungan
paduka ke pura Majapahit itu pasti akan disambut dengan
segala kehormatan dan kegembiraan oleh junjungan hamba."
Bagai surya di penghujung hari. makin pudarlah cahaya
dan terik yang dipancarkannya. Demikian hati raja Pasung
Rigih. Banyak sudah yang telah didengar dari keterangan
patih utusan Majapahit itu, banyak pula yang disaksikan dari
gerakan pasukan Majapahit terutama dari patih Majapahit itu
sendiri. Ia mendapat kesan baik terhadap Majapahit. Kesan itu
makin membenih kesimpulan berkat kewibaan dan
keperibadian patih Dipa yang berhasil menanamkan benih
kepercayaan dalam hati raja Bedulu itu.
"Baiklah, ki patih" akhirnya meluncurlah kata2 dari raja
Pasung Rigih, "aku akan menurut ucapanmu tetapi dengan
syarat. Bahwa apabila sikap baginda Majapahit itu tak sesuai
dengan apa yang engkau paparkan, kecil sekalipun kerajaan
Bedulu itu, namun kami berjiwa besar mempertahankannya sampai pada titik darah
penghabisan." akan yang Berseri girang wajah patih Dipa mendengar kata-kata raja
Pasung Rigih yang mau menerima maksud kerajaan
Majapahit. Dengan nada yang tandas patih Dipa memberi
pernyataan bahwa apabila kata-katanya itu tidak sesuai
dengan kenyataan ia sanggup untuk menyerahkan jiwanya
kepada raja Pasung Rigih.
Demikian berakhirlah ketegangan2 yang menyelimuti
suasana pertempuran dan percakapan. Raja Pasung Rigih
menitahkan agar tumenggung Werda menghadap. Kemudian
ia mengajak patih Dipa duduk di balairung.
"Gusti" kata patih Dipa "perkenankanlah hamba
mempersembahkan sepatah pendapat kehadapan paduka"
Raja Pasung Rigih mempersilahkannya.
"Oleh karena kesalahan faham dari pertentangan2 ini telah
paduka hapuskan maka hamba mohon paduka melimpahkan
titah agar ki patih Kebo Warung menghentikan penyerangannya kepada pasukan Majapahit. Dengan
demikian dapatlah dicegah suatu pertumpahan darah yang tak
berguna" Pasung Rigih mengangguk, "Ya, memang akupun sedang
mempertimbangkan hal itu. Nah, tumenggung Werda sudah
menghadap." Saat itu tumenggung Werda itu muncul dan langsung
menghadap, menghaturkan sembah dan memohon ampun
atas kesalahannya karena tak mampu menjaga keselamatan
baginda. "Ah, tumenggung Werda" kata baginda "sesungguhnya hal
itu hanya karena salah faham. Dan kesemuanya itu telah
selesai. Ki patih dari Majapahit telah menghaturkan
penjelasan2 yang lengkap dari maksud baginda raja Majapahit
terhadap kerajaan kami"
"Oh" tumenggung setengah tua itu terbeliak, "adakah
baginda berkenan menerima ki patih Majapahit pula ?"
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Telah kukatakan" ujar baginda "bahwa hanya kesalahan
fahamlah yang menimbulkan pertentangan ini. Dan sekarang
hal itu sudah selesai, tak perlu dipersoalkan lagi. Sekarang
segeralah engkau menyusul patih Kebo Warung ke Gianyar
dan katakanlah bahwa kutitahkan dia menarik pulang
pasukannya dan menghadap ke keraton."
Tumenggung Werda bergegas mohon diri.
Dengan mengajak duapuluh pengiring, tumenggung
Werda segera naik kuda menuju ke Gianyar. Tetapi alangkah
kejutnya ketika ia melihat pertempuran besar telah pecah.
Saat itu tumenggung Werda tiba di Kutri. Langsung ia
bertanya kepada seorang prajurit Bedulu "Siapa pemimpin
pasukanmu?" "Tumenggung Jungkung Mada, gusti ?" sahut prajurit itu
yang cepat mengenali siapa yang bertanya itu.
"Dimana gusti patih Kebo Warung?"
"Mungkin di luar kota Gianyar" sahut prajurit itu.
"Lekas antarkan aku menghadap tumenggung Jungkung
Mada" perintah tumenggung Werda.
Jungkung Mada terkejut ketika bertemu dan mendengar
titah baginda yang dibawa tumenggung Werda. "Ah, mengapa
baginda mengambil keputusan itu" Tidakkah hal itu berarti
Bedulu menyerah kepada Majapahit " Kurasa, patih Kebo
Warung tentu menolak"
Tumenggung Werda terkesiap. Apa yang dinyatakan oleh
tumenggung Jungkung Mada itu memang suatu kenyataan
dan menilik sifat patih Kebo Warung, kemungkinan besar tentu
akan menolak titah itu. Tumenggung Werda termenung-menung membayangkan
bagaimana akibatnya apabila patih Kebo Warung benar2 tak
tunduk pada perintah raja.
0o-dwkz-mch-ismo-o0 JILID 43 I TAAT merupakan syarat pertama dan utama yang harus tertanam dalam hati
sanubari setiap prajurit. Taat
pada perintah dan tugas dari
atasannya. Apabila rasa dan
pengertian Taat itu sudah
dihayati dan diresapi maka
tumbuhlah cita rasa terhadap
kewibawaan tata peraturan
keprajuritan yang menjadi
sumber hidup jiwa dan semangat prajurit. Tumbuhnya
peresapan dan penghayatan
citarasa itu akan melahirkan
suatu sikap hidup, tindak
tanduk dan amal budi prajurit luhur.
Mantriwira, sifat seorang pembela negara yang selalu
berani tak berhingga. Satya bhakty aprabu, bersifat setya, tulus ikhlas kepada
negara dan kepala negara.
Matanggwan, menjadi kepercayaan, dapat dipercaya dan
menjaga kepercayaan dari Rakyat dan Negara.
Anayaken musuh, yaitu selalu bertindak memusnakan
musuh negara. Sumantri, sifat sebagai seorang alat negara yang senonoh
dan penuh kesempurnaan kelakuan.
Kebo Warung pun tahu akan hal itu. Ia sudah teruji akan
keberanian, kesetyaan dan mendapat kepercayaan penuh dari
raja Pasung Rigih sehingga diangkat sebagai patih dan
senopati agung pasukan Bedulu.
Namun ia masih kurang dalam sifat Sumantri, tingkah laku
dan budi pekerti yang baik. Ia berwatak pemberang berhati
tinggi. Disanjung oleh pangkat dan kekuasaan yang besar dan
makin besar, akhirnya ia melalap semua kekuasaan dalam
kerajaan Bedulu. Raja Pasung Rigih hampir tiada mempunyai
kekuasaan langsung karena disekitarnya dipagari oleh mentri
dan hulubalang yang menjadi bawahan patih Kebo Warung.
Kebo Warung, dibalik sifat-sifatnya yang kurang baik itu,
memang seorang patih yang cerdik dan luas pandangan.
Walaupun sudah hampir menguasai kekuasaan pemerintahan
Bedulu, namun ia tetap menghormat kepada baginda. Dia tak
mau melakukan tindakan2 yang melampaui batas, antara lain
mengandung cita2 untuk merebut tahta dan lain2. Karena
baginya, raja Bedulu itu hanya sebagai lambang dan
kekuasaan sudah ada padanya, mengapa ia harus melangkah
lebih jauh yang akibatnya mungkin akan menimbulkan
penumpahan darah yang berupa perang dalam negeri diantara
rakyat atau golongan yang tetap setya kepada raja dengan
golongan yang mendukung dirinya. Apalagi raja Pasung Rigih
cukup banyak melimpahkan kebaikan dan kepercayaan
kepadanya. Tetapi ketika tumenggung Werda menghadap di
markasnya bukan kepalang marah Kebo Warung demi
mendengar titah raja yang dibawa tumenggung itu. "Baginda
benar hendak menitahkan aku supaya menarik pulang prajurit
kita ?" "Ya, benar, ki patih" kata tumenggung Werda.
"Karena bagi nda telah mencapai kesepakatan damai
dengan utusan Majapahit ?"
"Benar, ki patih"
"Dan karena baginda menerima undangan raja Majapahit
untuk menghadap ke pura Majapahit"
"Demikian kiranya" kata tumenggung Werda.
"Demikianlah kiranya?" ulang patih Kebo Warung "tidak
pastikah ki tumenggung dalam hal itu?"
"Tidak, ki patih. Aku hanya menerima titah baginda saja."
"Mengapa ki tumenggung tak pasti" Adakah ki
tumenggung tak hadir dalam pembicaraan antara baginda
dengan utusan Majapahit itu?"
"Tidak." "Dimana ki tumenggung saat itu?" makin tajamlah
pertanyaan yang dilancarkan patih Kebo Warung.
Merah padam muka tumenggung tua itu ketika menderita
pertanyaan dari patih Kebo Warung. "Aku berada dalam
kekuasaan orang Majapahit."
"Hai!" patih Kebo Warung serentak berteriak, "apa artinya
dikuasai orang Majapahit " Apakah bukan ditawan ?"
"Ya" sahut tumenggung
menundukkan kepala. Werda tersendat dan Wajah patih Kebo Warung pun serentak memberingas
marah. Dengan mata berkilat-kilat ia berteriak memberi
perintah kepada beberapa penjaga. "Hai, penjaga, tangkaplah
tumenggung ini !" Beberapa penjaga terkesiap. Mereka sangsi dan masih
meragukan pendengaran telinganya. "Hai, penjaga, apa kamu
tak dengar" Lekas tangkap tumenggung ini!"
Mendengar itu empat orang penjaga yang bertubuh tinggi
besar segera maju menangkap tumenggung Werda. Keempat
orang itu adalah pengawal dari patih Kebo Warung. Karena
tahu akan sia2 saja apabila hendak melawan, tumenggung tua
itu pun menyerah. Ia menolak ketika kedua tangannya hendak
dipegang oleh keempat penjaga itu, "jangan menyentuh
tanganku, prajurit! Aku seorang tumenggung yang tahu
peraturan. Jika ki patih hendak menangkap diriku, aku pun
menyerah sendiri" katanya seraya melolos keris dan
dilemparkan ke tanah sebagai tanda penyerahan diri.
"Tumenggung Werda" seru patih Kebo Warung pula,
"tahukah engkau sebabnya
mengapa kuperintahkan menangkapmu?" Tumenggung Werda hanya gelengkan kepala dan
menjawab, "Terserah ki patih. Jika mau membunuh,
tumenggung Werda pun siap menyerahkan jiwanya."
"Hm" Kebo Warung menggeram dalam hati atas sikap
tumenggung tua itu. Pikirnya, "Seharusnya dia tentu sudah
mengerti. Tetapi ah, mungkin memang benar2 tak tahu karena
usianya yang sudah tua."
"Baik, akan kuterangkan" katanya "jika diteliti dan ditelusur
sebab musabab dari perobahan sikap dan keputusan baginda,
akhirnya kesemuanya itu bersumber pada dirimu. Engkau
sebagai tumenggung yang telah kuangkat sebagai senopati
untuk menjaga keselamatan pura Bedulu, ternyata gagal
melakukan tugas bahkan engkau dapat ditawan orang
Majapahit. Kegagalan itu mengakibatkan utusan Majapahit
dapat menyusup kedalam keraton dan memaksa baginda
untuk menerima syarat2 perdamaian yang mereka ajukan. Di
bawah tekanan akhirnya baginda terpaksa memutuskan
mengeluarkan titah untuk memanggil aku bersama seluruh
pasukan, pulang ke Bedulu."
"Ki patih" tiba2 tumenggung Werda berseru, "jika engkau
menuduh bahwa aku, tumenggung Werda, tak mampu
melaksanakan tugas sehingga mengakibatkan kekalahan ini,
aku rela menerima apa pun hukuman yang akan engkau
jatuhkan. Tetapi janganlah engkau menghina baginda raja.
Baginda seorang junjungan yang berani, bijaksana dan cakap
mengatur pemerintahan kerajaan Bedulu. Jika hanya
menghadapi tekanan dan ancaman dari orang Majapahit dan
baginda tak melihat suatu alasan yang berguna demi
kepentingan kerajaan Bedulu, aku percaya dan yakin baginda
tentu akan mengentengkan kematiannya daripada menerima
perundingan yang akan membawa kehancuran bagi kerajaan
Bedulu." "Tidak!" teriak Kebo Warung, "walau pun baginda adalah
junjungan dan raja Bedulu, tetapi kekuasaan pemerintahan
telah dipercayakan kepadaku. Dalam memutuskan soal
segawat ini, soal yang menyangkut kepentingan seluruh
kerajaan Bedulu, selayaknya kalau aku diajak berunding.
Maka kesanku, baginda tentu dibawah tekanan orang
Majapahit. Sumbernya terletak dalam kegagalanmu mengemban tugas sebagai seorang senopati yang
dipercayakan untuk menjaga keselamatan pura kerajaan. Jika
engkau mampu menjaga tawanan itu tak sampai terlepas, jika
engkau tak semudah itu tertipu oleh muslihat lawan, jika
engkau seorang senopati yang tahu harga diri, tidaklah
baginda akan menderita hinaan senista mi, tidaklah engkau
masih mempunyai muka untuk menemui aku saat ini ....."
"Ki patih, bunuhlah aku!" teriak tumenggung Werda "kuakui
segala tuduhan dan dosa yang engkau lontarkan kepada
diriku. Aku takkan menyangkal, takkan membantah, takkan
membantah, takkan mengingkari. Tetapi hanya sepatah yang
hendak kukatakan disini. Dan kata2 itu bukan berisi harapan
atau pun permintaan supaya ki patih merobah penilaian
terhadap diriku." Patih Kebo Warung kerutkan dahi, serunya, "Katakanlah.
Engkau berhak mendapat kesempatan untuk bicara."
"Yang datang kepadaku itu adalah raden Arya Lacana atau
seorang pemuda yang berwajah seperti pinang dibelah dua
dengan raden Lacana. Orang itu pun mengenakan busana
dari raden Lacana dan tahu jelas bahwa saat ini ki patih
sedang memimpin pasukan untuk menyerang orang Majapahit
di Gianyar. Jika tiada peristiwa yang luar biasa itu, takkan
mungkin walau pun tumenggung Werda yang setua ini, akan
tertipu oleh mereka."
Diam2 patih Kebo Warung terkejut dalam hati. Pada lain
saat ia berseru, "Menurut keterangan dari prajurit2 yang
engkau kirim ke kepatihan, dimanakah Arya Lacana" Apakah
dia tak berada di kepatihan?"
Tumenggung Werda gelengkan kepala, "Tidak ada.
Gedung kepatihan tiada bertuan, melainkan para hamba
sahaya saja. Mereka pun bingung karena raden Lacana dan
ibu ki patih, lenyap."
Dahi patih Kebo Warung makin melipat dalam. "Adakah
sesuatu yang terjadi di kepatihan," pikirnya. Kemudian dia
memanggil seorang pengawal, "I Patra, lekas engkau berkuda
dan periksa kepatihan selekas pula engkau kembali"
I Patra, pengawal itu pun segera memberi hormat dan
melangkah ke luar. Tak berapa lama masuk pula seorang
perwira, "Hamba I Bagus Kanta, perwira pasukan kesatu dari
tumenggung Kebo Puring, menghadap gusti patih," seru
perwira itu dengan disertai penghormatan.
"Apa yang hendak engkau haturkan?" seru patih Kebo
Warung. "Pasukan tumenggung Kebo Puring telah berhasil
mencerai-beraikan pasukan Majapahit di Gianyar. Dengan
membawa kerusakan besar mereka melarikan diri ke pantai.
Mohon perintah, apakah pasukan tetap diperkenankan
mengejar musuh ?" Cahaya muka patih Kebo Warung yang bermula sarat,
seketika tampak cerah. "Apakah pasukan sayap kiri
tumenggung Sukanda dan sayap kanan tumenggung Ardadali
belum tiba?" "Pasukan kami langsung menghantam pemusatan prajurit
Majapahit di Gianyar. Sebagian besar mengundurkan diri ke
pantai. Tetapi ada pula yang tercerai berai kehilangan
hubungan dengan induk pasukan mereka. Tentulah mereka
akan dibersihkan oleh sayap kanan dan sayap kiri barisan kita,
gusti" "Baik," kata patih Kebo Warung
keputusanku ini. Kejar sampai ke pantai."
"lekas sampaikan Perwira I Bagus Kanta segera memberi hormat. Tetapi
ketika ia hendak pergi, patih Kebo Warung mencegahnya,
"Tunggu! Apabila musuh sempat naik ke kapal mereka,
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lepaskan serangan panah api ke arah kapal2 mereka."
Setelah perwira itu pergi, maka patih Kebo Warung
mengalihkan perhatian kepada tumenggung Werda pula.
Tiba2 ia mendapat pikiran, "Tumenggung Werda, engkau
dengar dan menyaksikan sendiri betapa laporan dari perwira
pasukan terdepan. Ternyata kita mampu menghalau orang
Majapahit. Prajurit2 Bedulu lebih unggul dari Majapahit. Ini
sudah jelas." Ia berhenti sejenak memandang perobahan cahaya muka
tumenggung Werda. "Apakah engkau sendiri masih
menyangsikan kekuatan kita?"
"Jika menyangsikan, tentu aku takkan mengabdikan diri ke
dalam pasukan kerajaan Bedulu," sahut tumenggung Werda,
"demikian pula keadaan yang kita hadapi saat ini. Entah
pengunduran diri orang Majapahit itu hanya sebagai suatu
siasat atau memang sungguh2 tak mampu menghadapi
kekuatan prajurit kita, bagiku takkan menggoyahkan
kepercayaanku terhadap kemampuan dan kekuatan pasukan
kita." "Kepercayaan yang buta sebelah" seru patih, "yang buta,
bagaikan suatu penyerahan yang bulat suatu kepercayaan
yang gelap. Sedang mata yang sebelah yang dapat melihat
itu, masih berdebar melihat kekuatan lawan, masih
membayangkan akan keunggulan lawan. Bukankah demikian
isi hatimu, tumenggung?"
Tumenggung Werda terbeliak. "Ki patih bertanya dan aku
pun telah menjawab. Memang demikianlah besarnya
kepercayaanku terhadap kekuatan pasukan kita. Salahkah
itu.?" "Salah" seru patih Kebo Warung "bukankah engkau masih
menyangsikan bahwa kekalahan orang2 Majapahit itu
mungkin hanya suatu siasat belaka?"
"Jangan mengabaikan segala kemungkinan karena dunia
ini penuh dengan segala kemungkinan yang tak mungkin.
Demikian pula dalam peperangan. Orang2 Majapahit itu
rupanya telah terlatih sekali dalam ilmu siasat sehingga aku
pun menjadi korban mereka."
Kebo Warung tertawa mencemoh. "Mungkin mereka dapat
menyiasati tumenggung Werda tetapi jangan mereka mimpi
dapat menyiasati aku," kemudian tiba-tiba ia berganti nada
yang lebi h bengis, "tumenggung Werda, kali ini janganlah
engkau membayangkan lain-lain hal pada fihak orang
Majapahit kecuali bahwa mereka memang kalah sungguh
akibat tak menduga atas serangan kita ini. Bukankah
demikian?" Ada dua perasaan yang mencengkam batin tumenggung
Werda. Pertama, ia malu dan putus asa karena tak dapat
melaksanakan tugas menjaga keselamatan pura. Kedua, ia
tahu betapa perangai patih Bedulu itu. Maka daripada
berbanyak kata, ia pun menganggukkan kepala.
Tetapi lain pula penerimaan patih Kebo Warung. Seketika
meluaplah rasa kebanggaan hatinya karena tumenggung tua
itu mau mengakui kepandaiannya memimpi n pasukan
sehingga dapat menghalau orang Majapahit. Maka dengan
tertawa ia berseru. "Baik, jika demikian akan kuberimu sebuah
kesempatan lagi. Apabila engkau berhasil menunaikan tugas
ini, jasamu dapat diperuntukkan menebus kedosaanmu."
"Ki patih" seru tumenggung Werda, "apabila tugas itu demi
menyelamatkan Kerajaan Bedulu, mati pun kurelakan jiwaku.
Soal jasa atau dosa, tak terlintas dalam angan-anganku. Aku,
tumenggung Werda, sudah cukup lama hidup di dunia. Apa
artinya jasa atau dosa bagiku lagi" Aku hanya menginginkan
dalam akhir hidupku ini, aku dapat menunaikan darmaku
sebagai seorang prajurit tua."
Patih Kebo Warung mengangguk. "Baik. Kembalilah ke
pura, siapkan prajurit2 di sekeliling keraton, kemudian baru
menghadap baginda. Haturkanlah jawabanku ke hadapan
baginda. Bahwa kita pasti menang. Pasukan Majapahit di
Gianyar sudah berantakan dan mereka lari pontang panting
menuju ke pantai. Tentu mereka akan tinggalkan bumi Bedulu.
Mohonlah kepada baginda supaya menurunkan titah untuk
menangkap patih kepala utusan Majapahit yang berada di
keraton Bedulu." "Tetapi "...." sebenarnya tumenggung Werda hendak
menyatakan sesuatu tetapi secepat itu pula, patih Kebo
Warung segera berseru, "Pengawal, antarkan tumenggung
Werda keluar." Dua orang pengawal segera membawa tnmenggung
Werda keluar. Terpaksa tumenggung itu pun naik kuda
kembali ke Bedulu pula. Kota Gianyar digegap gempita sorak sorai prajurit2 Bedulu
yang menang perang. Mereka tengah menari-nari dan
menyanyi-nyanyi dikala perwira I Bagus Kanta muncul
mengacungkan obor tinggi2 ke atas kepalanya. "Kawankawan," serunya sepenuh tenaga. Ia tahu, kemabukan para
prajurit dalam tuak kegirangan menang perang itu harus
disiram dengan lengking teriak yang menggelegar. Seketika
beratus-ratus prajurit yang lepas dari penguasaan diri itu, sirap
dan hentikan tari dan nyanyinya.
"Lekas berkumpul dalam barisanmu masing2" seru perwira
muda itu pula. Sesaat prajurit2 itu selesai bersiap dalam
kelompok barisan masing2, muncullah pimpinan pasukan,
tumenggung Kebo Puring diiring dua orang pengawal. Setiba
di muka barisan, tumenggung itu pun segera berseru,
"Prajurit2 sekalian, pertempuran masih belum selesai. Orang
Majapahit melarikan diri ke pantai. Siapkan pula senjatamu
dan juga anakpanah berapi. Kita akan mengejar mereka
sampai ke laut." Perintah itu disambut dengan sorak gegap gempita.
Bagaikan api, semangat mereka sedang menyala karena
kemenangan yang mereka peroleh. Kemudian bergeraklah
pasukan tumenggung Kebo Puring itu menuju kc selatan.
Memang tumenggung Gajah Para pimpinan pasukan
Majapahit yang berpusat di Gianyar, menderita kejut besar
ketika malam itu diserang pasukan Bedulu. Sebenarnya Gajah
Para pun sudah merencanakan persiapan hendak menuju ke
Bedulu. Sesuai dengan titah patih Dipa, apabila sampai esok
pagi patih itu belum kembali maka tumenggung Gajah Para
supaya membawa pasukan menyerang Bedulu. Tetapi
tumenggung itu tak menduga setitik pun juga bahwa ia telah
didahului oleh pasukan Bedulu yang menyerangnya malam itu.
Karena sudah siap dengan segala kelengkapan dan
rencana maka pada umumnya fihak yang menyerang tentu
lebih unggul daripada fihak yang diserang. Demikian pulakeadaan yang diderita pasukan Majapahit. Untunglah
tumenggung Gajah Para tidak membawa seluruh pasukannya
ke Gianyar. Sebagian masih diperintahkan berada di kapal.
Pula ia pun pada siang ini sempat memerintahkan Danapati,
seorang perwiratama yang menjadi pembantunya yang paling
dapat dipercaya, untuk memimpin seribu prajurit mengambil
jalan melingkar ke timur, menuju ke Bedulu. "Engkau harus
menyembunyikan gerakan pasukanmu di sebelah timur pura
Bedulu. Selidikilah lebih dulu keadaan pura dan baru engkau
boleh bertindak menurut suasana keadaannya," pesan
tumenggung Gajah Para kepada perwiratama yang masih
muda itu. Gajah Para mempunyai empat orang pembantu yang
masing2 berpangkat lurah prajurit. Keempat orang itu yalah
Saroja, Malwa, Bajang Denta dan Danapati. Ia tahu akan
watak dan keahlian keempat pembantunya itu. Dengan
pengetahuan itu dapatlah ia menempatkan mereka pada
tempat2 dan tugas2 yang tepat. Lurah Saroja diperintahkan
tetap berada di kapal bersama sebagian anak pasukan.
Sedang lurah Danapati diperintahkan untuk menyergap pura
Bedulu menurut gelar yang telah digariskan oleh patih Dipa
yalah gelar Emprit Neba. Pada saat pasukan Bedulu menyerang Gianyar,
tumenggung Gajah Para hanya disertai seribu prajurit dan
dua-orang lurah, Malwa dan Bajang Denta. Ia tak tahu berapa
besar kekuatan fihak musuh karena serangan pasukan Bedulu
itu dilakukan pada malam hari. Dan secara tiba2 pula,
tumenggung Gajah Para segera memberi perintah untuk
melakukan perlawanan. Pertempuran berlangsung seru dan
sengit. Sesungguhnya tumenggung itu masih dapat memberi
perlawanan yang gigih, sekiranya dari dalam tak terjadi suatu
peristiwa yang melemahkan kedudukannya.
Tuha Gianyar atau lurah Gianyar serentak bertindak untuk
membantu pasukan kerajaan Bedulu. Ia memimpin rakyat
Gianyar untuk menyerbu dan mengepung tempat yang
disediakan sebagai penginapan tumenggung Gajah Para dan
pasukannya. Bekel Malwa marah sekali. Serentak ia menyambar
tombak dan melangkah keluar hendak membunuh tuha
Gianyar itu. "Jangan engkau dirangsang nafsu kemarahan,
Malwa," seru tumenggung Gajah Para memberi peringatan,
"tuha itu bertindak sesuai dengan tugasnya sebagai kepala
daerah Gianyar dan sebagai seorang kawula Bedulu."
"Apakah ki tumenggung tak mengidinkan hamba
membunuhnya?" setu Malwa lurah yang pemberang itu.
"Jika tidak terlalu terdesak, bila masih terdapat
kemungkinan, jangan mengganggu jiwanya. Betapa pun tuha
itu telah memperlakukan kita dengan baik," kata Gajah Para.
Pasukan Majapahit di Gianyar memang sibuk dan makin
tampak kacau menghadapi dua serangan dari luar dan dalam.
Perintah tumenggung Gajah Para untuk sekecil mungkin tak
membunuh rakyat Gianyar, menjadi salah satu sebab dari
kebingungan prajurit2 Majapahit. "Kita tidak bermusuhan
dengan rakyat Gianyar atau pun Bedulu, tetapi dengan prajurit
mereka" demikian perintah tumenggung Gajah Para. Perintah
yang tak dimengerti oleh prajurit2 Majapahit di Gianyar.
Puncak dari kekacauan terjadi ketika tuha Gianyar
memerintahkan rakyat supaya melakukan pembakaran.
Malam serasa terang benderang ketika api melanda tempat
penginapan tumenggung Gajah Para dan pasukannya.
Disamping itu tekanan2 prajurit Bedulu makin terasa dahsyat.
Akhirnya tumenggung Gajah Para memanggil lurah Bajang
Denta. "Bajang Denta, bawalah dua ratus prajurit mundur ke
sebelah barat. Bawalah obor sebanyak-banyaknya agar
musuh mengira pasukanmu itu berjumlah besar. Pikatlah
mereka supaya mengejar barisanmu dan menujulah engkau
ke Sanur. Disana Arya Damar tentu segera menggerakkan
pasukannya untuk menghantam musuh."
"Baik, gusti," kata Bajang Denta.
"Jangan engkau menganggap ringan tugas ini, ki lurah
Bajang Denta" tumenggung Gajah Para memberi peringatan
"kemungkinan dari arah barat, terdapat juga pasukan Bedulu
yang akan mengancammu. Yang penting, hindarilah
pertempuran dengan mereka tetapi pikatlah perhatian mereka
agar mengejarmu. Apabila engkau berhasil, bukan saja
engkau dapat meringankan tekanan musuh pada pasukan kita
di Gianyar, pun dapat juga menggerakkan pasukan Arya
Damar untuk membantu kita."
Lurah Bajang Denta yang bertubuh agak pendek itu
terkesiap. Namun cepat ia memberi hormat lalu bergegas
keluar ketempat anakbuahnya. Dengan susah payah akhirnya
ia dapat menghimpun kekuatan sejumlah duaratus prajurit.
"Mari kita terjang kepungan musuh dan terus lolos ke barat"
serunya. Tindakan lurah Bajang Denta itu memberi kejutan besar
kepada barisan Bedulu. Pertempuran pecah. Seru dan hebat.
Berpuluh-puluh prajurit, baik dari Majapahit mau pun dari
Bedulu, yang bergelimpangan jatuh mandi darah. Sampai
pada saat lurah Bajang Denta berhasil membobol kekuatan
musuh di sebelah barat, ia hanya diikuti oleh seratus limapuluh
prajurit. Ia tak sempat lagi untuk mengurus anak prajuritnya
yang rubuh di medan tempur. Entah mereka mati entah hanya
menderita luka. Setelah lolos, ia segera memimpin
pasukannya mundur ke barat menuju Sanur, Ia sengaja
memberi perintah kepada pasukannya untuk bersorak-sorak
dan berteriak-teriak menantang musuh. Begitu pula supaya
memasang obor sebanyak mungkin agar musuh mengira
pasukan Majapahit yang mundur itu berjumlah besar.
Dan memang tumenggung Kebo Puring telah memerintahkan pengejaran. Perwira yang ditugaskan untuk
melakukan pengejaran itu dipesan, setelah sayap kanan dari
tumenggung Ardadali muncul, agar cepat kembali lagi.
Tumenggung Ardadali pasti dapat membereskan mereka dan
jangan melanggar kehormatan masing2 pasukan. Demikian
tumenggung Kebo Puring berpesan.
Kemudian tumenggung Kebo Puring melancarkan tekanan
lagi kepada pasukan tumenggung Gajah Para. Dalam
keadaan seperti yang dihadapinya, tiada lain jalan bagi
tumenggung Gajah Para kecuali hanya mengundurkan diri ke
pantai. Segera disusunnya suatu siasat untuk pengunduran
pasukan itu. Mempersiapkan serangan lebih mudah daripada
merencanakan pengunduran. Pengunduran yang terikat syarat
harus utuh, jangan sampai menderita kehilangan banyak
prajurit. Segera ia memanggil Malwa. "Ki lurah," kata tumenggung
Gajah Para, "kita hanya mempunyai tujuh ratusan prajurit.
Beberapa anakbuah pasukan kita yang berada di Gianyar
telah gugur. Tak boleh ada yang berkorban lagi"
"Baik" sahut lurah Malwa.
"Kita susun gelar Supit Urang" kata tumenggung Gajah
Para pula "tetapi tujuan barisan kita bukan menyerang
melainkan menuju ke pantai. Oleh karena itu, kita pakai siasat
begini. Jika musuh mengejar, kita berhenti. Jika mereka
berhenti, kita lari"
Lurah Malwa mengiakan. "Aku membutuhkan tiga orang untuk mengepalai barisan.
Aku yang memimpi n induk barisan, mengambil tempat di
tengah. Engkau, ki lurah, mengepalai seratus prajurit
bertempat di sisi kanan, menjadi supit kanan. Lalu ada pula
seratus prajurit yang harus menjadi supit kiri. Apabila musuh
menyerang induk pasukan, supit kanan dan supit kiri harus
menghantam mereka dari kedua samping. Dan setelah induk
barisan berhasil lolos mundur, supit kanan dan supit kiri harus
lekas2 menyusul mundur. Nah, sekarang siapakah yang harus
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memimpin supit kiri itu?"
"Lukita," seru lurah Malwa "dia seorang pembantu
pimpinan prajurit yang berani. Masih muda dan gesit
bertindak." "Panggil dia kemari" perintah tumenggung Gajah Para.
Tumenggung itu memang lincah berpikir dan gesit bertindak.
Ketika seorang prajurit muda yang bertubuh tegap
menghadapnya, segera ia memberi perintah. "Engkau
kutugaskan mengepalai seratus prajurit yang akan menjadi
supit kiri dari barisan ini. Tetapi ingat, keadaan memaksa kita
harus mundur ke pantai dan menggabung diri dengan induk
pasukan di kapal. Jangan engkau terperangsang nafsu
kemarahan untuk menyerang mereka. Cukup engkau ganggu
mereka agar menghentikan serangan terhadap pasukan kita di
tengah. Mengerti ?" "Baik, gusti" Lukita memberi hormat lalu mengundurkan
diri. Pengunduran segera dimulai. Gajah Para mempelopori
maju di muka barisan untuk menerobos kepungan rakyat
Gianyar. Ia menggunakan tombak tetapi di balik, ujungnya di
belakang, tangkai nya yang disongsongkan ke muka. Dengan
demikian beberapa rakyat Gianyar yang terkena pun hanya
rubuh pingsan tanpa menderita luka. Atau dengan lain
keadaan yang mememaksa, ia pun hanya menyapukan
tangkai tombak itu ke kaki orang.
Tumenggung Gajah Para yang gagah perkasa itu berhasil
membuka sebuah jalan maka bagaikan lebah dionggok dari
sarangnya, pasukan Majapahit menerjang mereka dan terus
bergerak mundur ke selatan.
Beberapa saat kemudian tiba2 tumenggung Gajah Para
terkejut karena mendengar suara hiruk pikuk di bagian
belakang pasukan Majapahit. Serentak ia lari menghampiri.
"Gusti tumenggung, prajurit kita di bagian belakang, diamuk
seorang lelaki. Beberapa prajurit dilukai keris orang itu,"
seorang prajurit segera menyongsong dan melapor.
Ketika tiba di barisan belakang, tumenggung Gajah Para
terbeliak. Seorang lelaki setengah tua tengah mengamuk
dengan bersenjata keris. Rupanya prajurit2 Majapahit jeri
menghadapi keris orang itu karena beberapa kawannya telah
terluka. Kejut Gajah Para bukan karena jeri menyaksikan
tandang orang itu atau pun ngeri akan keris yang diduganya
tentu sebuah pusaka, melainkan karena melihat pengamuk itu
bukan lain adalah tuha Gianyar. Hampir tumenggung itu
kehilangan faham untuk mengatasi peristiwa itu. Ia
menganggap tuha itu seorang yang ramah budi, seorang tuan
rumah yang baik. Adakah ia harus berhadapan dengan tuha
itu" Bukankah ia tak mempunyai ikatan dendam suatu apa
dengan tuha itu" Dalam kepukauan pertimbangan yang tiada menentu itu,
tiba2 ia mendengar teriak gegap gempita dari pasukan Bedulu
yang menyerang, la harus cepat menyelesaikan rintangan itu
agar dapat menarik mundur anak pasukannya. Akhirnya
teringat tumenggung itu akan kedudukannya saat itu. Dia
sebagai seorang senopati yang bertanggung jawab atas jiwa
beratus-ratus prajurit Majapahit. Mengapa ia harus bimbang
menghadapi seorang tuha dari Gianyar" Bukankah tuha itu
juga sedang menunaikan kewajibannya sebagai seorang
narapraja dan prajurit Bedulu.
"Tuha Gianyar" cepat ia loncat ke hadapan tuha itu dan
memberi perintah kepada prajurit-prajuritnya supaya mundur,
"lekas bergerak ke selatan. Aku segera menyusul setelah
menyelesaikan tuha ini" kemudian setelah prajurit2 Majapahit
mulai bergerak ke selatan, berseru pula tumenggung Gajah
Para. "Maaf tuha. Bukan aku seorang manusia yang tak kenal
budi, bukan pula karena kita saling mendendam, tetapi ...."
"Ya, kutahu ki tumenggung" tukas tuha Gianyar, "kita
sama2 melakukan tugas. Aku tak menyesalkan tindakanmu."
"Tuha" seru tumenggung Gajah Para pula, "tidakkah hal ini
dapat kita hindari ?"
"Apa maksud ki tumenggung?" seru tuha Gianyar.
"Secara peribadi, kita tak saling bermusuhan. Demikian
amanat yang dititahkan baginda Majapahit kepada kami, tak
lain hanyalah suatu persahabatan dan kedamaian untuk rakyat
Bedulu. Apabila pasukan Bedulu menyerang kami, hal itu
mungkin dititahkan oleh pimpinannya. Tetapi kita berdua ini,
tuha, bukankah bersahabat" Maksudku, sukalah tuha hentikan
serangan agar aku dapat membawa pasukanku kembali ke
kapal" "Ki tumenggung" seru tuha Gianyar, "rakyat Bedulu telah
dididik untuk mencintai bumi kelahirannya. Mati berperang,
menurut faham ajaran agama rakyat Bedulu, akan diterima
para dewa2 di Nirwana. Aku pun telah disadarkan oleh suatu
pengertian bahwa pertempuran yang terjadi di Gianyar ini
bukan antara tumenggung Gajah Para dengan tuha Gianyar,
melainkan antara yang benar dengan yang salah, yang jahat
dengan yang baik, yang suci dengan yang angkara. Oleh
karena itu, ki tumenggung,
marilah kita selesaikan pertempuran ini sebagaimana layaknya. Karena siapa pun diantara
kita yang mati, tidaklah akan
menderita sesuatu karena kita telah bertindak menurut
apa yang harus kita tindakkan." Tumenggung Gajah Para tertegun mendengar uraian
kata tuha itu. Pekik teriak
pasukan Bedulu makin menggelegar. Ia tak sempat
merangkai pertimbangan lebih jauh. "Baik, tuha, mari
kita mulai," serunya seraya
mulai mainkan tombak. Betapa pun keadaan tak meluangkan kesempatan kepadanya namun tumenggung
Gajah Para tetap bersikap takkan melukai tuha itu. Ia tetap
menggunakan tangkai tombak untuk menyerang.
Tuha Gianyar terkejut ketika menderita serangan dari
tumenggung Gajah Para. Jika dalam pertempuran tadi, dia
dapat mengembangkan keris pusakanya dalam suatu
permainan yang meruntuhkan nyali prajurit-prajurit Majapahit,
kini ia berbalik terkurung dalam ancaman tombak tumenggung
yang mencurah laksana hujan. Tuha itu baru merasakan akan
kekurangan air hujan. Kini tuha Gianyar baru menyadari akan
kekurangan dari senjata kerisnya. Keris lebih pandak sehingga
sukar untuk balas menikam lawan. Pada hal ia terus sibuk
menangkis sambaran tombak tumenggung Gajah Para.
Sesungguhnya Gajah Para amat mudah untuk membunuh
tuha itu tetapi ia tak mau. Cukup asal dapat merobohkannya
agar ia dapat menyusul pasukannya.
Beberapa saat kemudian, tangkai tombak tumenggung
Gajah Para berhasil membentur lutut lawan dan tuha Gianyar
pun terhuyung-huyung hendak roboh namun rupanya dia
berkeras untuk bertahan. Diam2 tumenggung Gajah Para
memuji kekerasan hati tuha itu. Duk ...... tangkai tombaknya
berhasil lagi membentur lutut kaki lawan yang sebelah pula.
Karena kedua lutut kakinya terbentur tangkai tombak yang
terbuat daripada besi, gemetarlah tubuh tuha itu. Betapa pun
ia menghimpun tenaganya namun tetap tak berdaya untuk
menyangga tubuhnya, bluk, . ia jatuh terduduk "Tumenggung
Majapahit, engkau terlalu menghina aku ...." karena malu dan
geram, tuha Gianyar nekad hendak menusukkan keris ke
dadanya sendiri. "Tuha," teriak tumenggung Gajah Para seraya loncat
menepis lengan orang. Keris terlempar ke tanah dan tuha itu
pun rubuh pingsan. Gajah Para tak menghiraukan lagi
keadaan tuha itu. Yang pasti tuha itu tak mati. Maka cepat ia
lari tinggalkan tempat itu.
"Menyerahlah!" tiba2 empat batang tombak berhamburan
menjulur kearah tubuhnya dari empat penjuru. Tumenggung
itu menyadari bahwa karena keterlambatannya menghadapi
tuha Gianyar, pasukan Bedulu keburu sempat datang dan
mengepungnya. Gajah Para merupakan tumenggung yang mendapat
kepercayaan dari baginda Jayanagara. Baginda melihat suatu
sumber kecakapan dan keperkasaan sifat prajurit dalam diri
tumenggung itu. Sebagai seorang junjungan yang muda usia,
baginda pun senang akan senopati2, perwira2 yang masih
muda. Bahkan tidak saja menyangkut urusan keprajuritan, pun
dalam kalangan pemerintahan, ia juga ingin meremajakan
tenaga-tenaga mentri dan narapraja.
Pilihan bagi nda terhadap diri Gajah Para untuk menjadi
pembantu patih Dipa, memang tak salah. Patih Dipa menaruh
kepercayaan kepada tumenggung Gajah Para, tumenggung
itu pun menaruh perindahan kepada patih Dipa. Keduanya
dapat bekerja sama dengan, baik.
Menghadapi empat prajurit Bedulu yang telah mengancamkan ujung tombak kepadanya, tidaklah tumenggung Gajah Para gugup atau bingung. Dalam hal
kanuragan, ia pun memiliki ilmu kepandaian yang berisi. Tiba2
ia menggelegarkan pekik yang keras, menyerupai orang
menggembor tetapi dahsyatnya hampir serupa dengan raung
harimau. Memang saat itu tumenggung Gajah Para sedang
melancarkan aji Senggoro-macan, suatu ilmu untuk
mengejutkan dan merontokkan nyali lawan. Dan memang
keempat prajurit Bedulu itu terbeliak ketika mendengar gembor
pekikan yang sedemikian dahsyat. Hanya sekejab mata
keempat prajurit itu termangu, namun cukup memberi
kesempatan bagi tumenggung Gajah Para untuk menyapukan
tombaknya, tring, tring, tring. Berdenting-denting ketika susul
menyusul tombak tumenggung Gajah Para menghantam
tombak keempat lawannya. Prajurit yang pertama terhantam
tombak Gajah Para, menjerembab ke belakang dan
tombaknya terlempar jatuh. Prajurit kedua, masih dapat
mempertahankan tombaknya walau pun ia harus ikut berputar
tubuh karena tombaknya tersiak ke samping. Prajurit yang
ketiga, pun masih dapat mempertahankan tombak sambil ikut
terlempar ke belakang. Sedang prajurit yang keempat,
terpelanting jatuh bersama tombaknya ketika tersapu tombak
tumenggung Gajah Para. Dan ketika tumenggung itu mengulang balik gerakan
tombaknya, terdengar dua orang prajurit Bedulu menjerit dan
terjungkal rubuh. Saat itu beberapa prajurit Bedulu lari hendak
membantu tetapi mereka tertegun menyaksikan keperkasaan
tumenggung dari Majapahit itu.
"Bunuh!" teriak salah seorang prajurit mengajak kawankawannya. Tetapi serempak pada saat itu, di barisan belakang
terdengar jerit pekik yang gemuruh. Rupanya dibagian
belakang barisan pasukan Bedulu, terjadi pertempuran.
Setelah berhasil merobohkan empat prajurit, tumenggung
Gajah Para cepat lari menyusul pasukannya. Beberapa prajurit
Bedulu hendak mengejar tetapi mereka terpengaruh oleh
kehirukan yang berasal dari pasukannya. Memang pasukan
Bedulu telah diserang secara tiba2 oleh pasukan lurah Malwa.
Lurah itu terkejut ketika melihat tumenggung Gajah Para
seorang diri dikepung oleh beberapa prajurit musuh. Maka ia
segera menyerbu. Lukita pun juga hendak menyerbu tetapi dihadang oleh
pasukan sayap kanan dari musuh yang dipimpin oleh perwira I
Bagus Kanta. Lukita dan I Bagus Kanta keduanya sama2
muda, sama2 digdaya dan sama2 berani. Pertempuran antara
kedua prajurit muda itu berlangsung seru. Lukita memakai
senjata pedang, I Bagus Kanta pakai keris. Sebenarnya Lukita
teringat akan perintah tumenggung Gajah Para bahwa jangan
menyerang sungguh dan terlibat lama dalam pertempuran,
selekas terdapat peluang harus cepat mundur. Memang ia
merencanakan demikian, tetapi lain keinginan dengan
kenyataan. Betapa pun ia hendak berusaha melepaskan diri
namun terjangan dan ancaman I Bagus Kanta bertubi-tubi
datangnya. Betapa pun Lukita seorang prajurit muda. Didesak
sedemikian gencar, karena merasa mampu untuk melawan,
akhirnya timbullah darah mudanya. Daripada mundur,
mengapa tak ia bunuh dulu perwira Bedulu itu baru kemudian
mundur" Dengan keputusan itu, segera ia merobah siasat
tempurnya. Bukan hanya bertahan dan menghindar melainkan
juga mulai melancarkan serangan balasan.
Tindakan Lukita itu menimbulkan kemarahan perwira I
Bagus Kanta. Ia memerintahkan supaya pasukannya
menyerang pasukan Lukita dan mengepung prajurit Majapahit
itu rapat2. Karena kalah besar jumlahnya, anakbuah Lukita
terdesak mundur. Mereka tak berdaya untuk membantu Lukita
yang terjaring dalam kepungan prajurit2 Bedulu. Lukita pun
menyadari hal itu. Diam2 ia menyesal karena tak mematuhi
perintah tumenggung Gajah Para. Namun sesal kemudian
tiada berguna. Saat itu ia harus berjuang menghadapi mati
atau hidup. Tetapi beberapa saat kemudian ia mulai
menyadari bahwa kemungkinan untuk menyelamatkan diri
sudah tertutup. Prajurit2 Bedulu makin berdatangan melimpah
ruah dan anakbuah Lukita sudah lari dikejar mereka.
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jika aku harus mati, aku pun harus dapat membunuh
perwira Bedulu ini" akhirnya ia membulatkan tekad.
"Bunuh! Cincang! Gantung orang Majapahit ini!" demikian
prajurit2 yang mengepung disekeliling gelanggang pertempuran itu berteriak mengancam Lukita.
Tiba2 seorang prajurit menyelinap dari kerumun kawankawannya dan terus menusukkan tombaknya ke punggung
Lukita. Lukita terkejut. Cepat ia berputar ke belakang seraya
menangkis lalu menggelincirkan tombaknya ke perut prajurit
itu. Cret .... prajurit itu menjerit dan rubuh mandi darah.
Gerakan Lukita terlalu cepat dan tak terduga oleh prajurit itu.
Tetapi tepat pada saat itu, I Bagus Kanta pun loncat menikam
lambung. "Huh ...." Lukita menjerit, mendekap lambungnya.
Melihat kerisnya berhasil menembus lambung lawan, I
Bagus Kanta segera mencabut dan hendak membenamkan ke
punggung lawan lagi. Tetapi pada saat itu, dengan
menghimpun seluruh sisa tenaganya yang masih dimiliki, tibatiba Lukita menusukkan tombaknya ke perut I Bagus Kanta,
"Huh ....." perwira Bedulu itu mengaum dan rubuh.
Namun dia juga digdaya dan bertenaga kuat. Dalam
percik2 sisa kesadaran pikirannya, ia tahu bahwa dirinya tentu
mati. Namun sebelum mati, ia pun harus membunuh
lawannya. Saat itu tenaganya sudah lunglai, darah mengalir
deras dari perut dan pandang matanya pun makin terasa
gelap. Namun sepercik sisa nafsu dendam itu mampu juga
membangkitkan kekuatannya. Ia mengatup gerahamnya
kencang2 untuk menahan sakit dan membangkitkan
kepudaran tenaganya. Kemudian mulai menghim pun dan
mengerahkan sisa tenaga itu ke arah lengannya dan sambil
merentang mata lebar2 ia loncat menikam lawan. Terdengar
dua buah jerit merobek kegelapan malam, kemudian dua
sosok tubuh bergelimpangan jatuh ke tanah yang bergenang
darah merah. Lukita dan I Bagus Kanta, dua orang prajurit yang berasal
dari dua negara, sama2 rubuh dan sama2 pula gugur
menunaikan bakti di medan laga. Mereka adalah ksatrya yang
telah melaksanakan kodrat keksatryaannya.
Sementara pada saat itu lurah Malwa yang sedang
mengamuk untuk membasmi prajurit2 Bedulu yang
mengurungnya, terkejut mendengar suara seorang lelaki yang
menggelegarkan nada seorang penguasa, "Menyingkirlah !"
Prajurit2 Bedulu menyisih memberi sebuah jalan kepada
seorang lelaki bertubuh kekar, mengenakan busana indah.
"Orang Majapahit, engkau sakti benar, tentu bukan prajurit
biasa, bukan?" tegur orang itu sesaat berhadapan dengan
bekel Malwa. Malwa sempat memperhatikan sikap prajurit2 yang amat
menghormat kepada pendatang itu. Ia duga dia tentu pimpinan
pasukan, sekurang-kurangnya tentu seorang yang berpangkat.
"Ya, aku lurah prajurit. Apa maksudmu ?"
"Konon kudengar prajurit2 Majapahit itu gagah perkasa
semua. Apa yang kusaksikan pada dirimu saat ini memang
demikian. Tetapi kami prajurit-prajurit Bedulu, juga bukan
prajurl kapuk, yang mudah digertak, mudah diinjak. Maka
marilah kita bukukan, adakah prajurit Majapahit itu memang
unggul atau pun prajurit Bedulu itu memang kapuk"
"Siapa engkau?" seru lurah Walwa.
"Apa guna namaku bagimu, ki lurah?" sahut orang itu,
"bukankah sebentar lagi salah seorang diantara kita berdua
akan melayang ke Suralaya?"
"Untuk kukenang apabila aku masih hidup, akan kubawa
dalam perjalanan pulang ke arcapada"
"Kebo Puring" sahut orang itu "hanya sebuah nama yang
tak berarti di antara tumpukan bangkai2 telah bernama lebih
bagus di medan laga ini."
"Oh, terima kasih, ki tumenggung karena engkau telah
memberi kehormatan sedemikian besar kepada diriku, hanya
seorang lurah prajurit" seru lurah Walwa. Sesungguhnya kata2
lurah itu mengandung ejek yang tajam bahwa Kebo Puring
sebagai seorang tumenggung mau merendahkan diri untuk
bertempur melawan seorang lurah prajurit.
"Kutahu apa maksud ucapanmu." Kebo Puring tertawa,
"tetapi sebagaimana pedang tak memilih adakah lawan itu
seorang manusia yang baik atau manusia jahat, pun dalam
peperangan ini, kita sukar untuk mencari lawan yang sesuai.
Bukankah senopatimu sudah lari terbirit birit menyelamatkan
diri" Engkau ternyata lebih gagah dari senopatimu maka aku
pun akan menghormati engkau sebagai seorang ksatrya."
Lurah Malwa tak dapat membalas kata2. Dan ia pun
menganggap percuma saja untuk banyak membuang lidah.
Akhirnya ia pun harus bertempur, lebih baik ia curahkan
perhatian dan semangatnya untuk menghadapi tumenggung
itu. Ia tak membayangkan bahwa akan dapat lolos dari
kepungan prajurit2 Bedulu, namun ia pun tak kecewa karena
hal itu. Bahkan ia merasa gembira karena berhadapan dengan
seorang tumenggung yang lebi h tinggi pangkatnya. Walau pun
ia harus mati tetapi kematian itu berharga apabila ia dapat
membunuh seorang tumenggung.
Segera ia bersiap. Keduanya menggunakan keris. Walau pun sebelumnya
lurah Walwa memakai pedang untuk menghadapi serangan
prajuri2 Bedulu, namun kini ia mengimbangi tumenggung
Kebo Puring yang menggunakan keris. Pertarungan itu cukup
seru dan menarik perhatian prajurit2 Bedulu. Walwa gagah
perkasa namun rupanya ia agak tak leluasa menggunakan
keris. Biasanya ia selalu memakai pedang. Akhirnya ia dapat
menikam bahu kiri tumenggung itu tetapi tumenggung Kebo
Puring dapat menyarangkan kerisnya ke dada Walwa.
Gugurnya lurah prajurit Majapahit itu diiring dengan tampik
sorak yang menggetarkan bumi oleh ratusan prajurit Bedulu.
"Dia seorang gagah, wajib kita hormati," seru tumenggung
Kebo Puring yang menitahkan supaya mayat lurah Walwa
ditaruhkan ditempat yang sesuai agar kelak dapat dibakar
supaya sempurna. Beberapa saat kemudian tumenggung Kebo Puring
mendapat laporan bahwa pasukan sayap kiri yang dipimpin
tumenggung Sukanda telah tiba. Tetapi pasukan kanan dari
tumenggung Ardadali belum muncul. Kemudian mendapat
pula laporan dari seorang prajurit yang dikjrim tumenggung
Ardadali, bahwa pasukan sayap kanan tak dapat bergabung
ke Gianyar karena mengejar sekelompok pasukan kecil dari
Majapahit yang hendak mencari bala bantuan ke Sanur.
Diantara beberapa laporan, hanya sebuah hal yang
mengejutkan hati tumenggung itu. Yalah berita tentang
gugurnya perwira kesayangannya I Bagus Kanta. Ia sedih
kemudian marah. Segera ia memerintahkan untuk mengejar
orang2 Majapahit ke pantai. "Setiap bertemu prajurit
Majapahit, harus dibunuh. Jiwa I Bagus Kanta harus ditebus
dengan seribu jiwa prajurit Majapahit" demikian perintah yang
diwajibkan kepada setiap anak pasukannya.
Ternyata Gajah Para dan pasukannya sudah dapat
mencapai pantai dan naik ke kapal ketika pasukan
tumenggung Kebo Puring tiba. Ia memerintahkan untuk
melancarkan serangan panah berapi.
Oo-dwkz-mch-ismo-oO II Sementara pertempuran berkobar di Gianyar, tumenggung
Werda pun tiba di pura Bedulu dan menghadap baginda. Ia
menghaturkan laporan semua pembicaraan dengan patih
Kebo Warung dan apa yang disaksikan di medan
pertempuran. Hanya tentang dirinya hendak ditangkap dan
dihukum patih Kebo Warung ia tak mau melaporkan. Ia
merasa tindakan patih Kebo Warung itu memang tepat. Dan
dengan rela hati ia menerima perlakuan patih itu.
Baginda Pasung Rigih termangu mendengar laporan itu.
Rupanya dalam hati, raja itu menyesal atas tindakannya.
Diam2 pula ia memuji akan sikap dan pendirian patih Kebo
Warung yang tegas dan pantang menyerah.
Rupanya patih Dipa sempat memperhatikan cahaya wajah
raja Bedulu itu. Ia duga tentu ada sesuatu yang dibawa
tumenggung Werda. Kemudian ia mohon keterangan dari
baginda. Raja Pasung Rigih menghela napas. Diperhatikan pula
oleh patih Dipa bahwa sikap raja itu bersifat suatu penyesalan
daripada kemarahan. Adakah patih Kebo Warung menolak
titah rajanya" Adakah terjadi sesuatu pada pasukan Majapahit
di Gianyar" Namun ia tak perlu menduga-duga lebi h lama
karena saat itu pula raja Pasung Rigih memberi jawaban.
"Dalam peperangan, senopati agung yang telah kuserahi
kewajiban untuk memimpin pasukan kerajaan, mempunyai
tanggung jawab dan hak penuh atas keadaan dan
penyelesaian peperangan itu," kata raja Pasung Rigih,
"demikian titah yang kuberikan kepada patih Kebo Warung
waktu memimpin pasukan kerajaan Bedulu ke Gianyar."
Patih diam-diam mendengarkan. Dugaannya
meningkat tentang sikap patih Kebo Warung.
makin "Tumenggung Werda yang kutitahkan menemui patih Kebo
Warung telah kembali dengan membawa laporan bahwa patih
Kebo Warung takkan menghentikan pertempuran sebelum ia
selesai melaksanakan tugasnya sebagai seorang senopati
yang telah kuserahi memimpin pasukan Bedulu"
Patih Dipa terkejut dalam hati. Namun karena ia sudah
terisi dengan prasangka demikian, cepat pula ia dapat
menguasai diri. "Jika demikian, pertempuran di Gianyar itu
tetap masih berlangsung ?"
"Ya" sahut baginda.
"Baginda" patih Dipa hendak mengatakan bahwa tidak
layaklah seorang patih berani membangkang titah raja. Namun
ia menimbang, dengan melancarkan ucapan itu ia hanya
mampu menumpahkan uneg2 atau sesuatu yang memberatkan hatinya, namun takkan dapat menolong
keadaan. Patih Kebo Warung jelas melanjutkan serangannya
ke Gianyar, "rupanya ki patih belum menghayati apa tujuan
dari. perutusan yang hamba haturkan kepada paduka. Hamba
tak dapat menyesali sikapnya sebagai seorang senopati tetapi
hamba patut menyayangkan kepicikan pandangannya sebagai
seorang patih." Raja Pasung Rigih diam. "Kewajiban seorang senopati yang mengepalai seluruh
pasukan kerajaan, harus menjaga dan menyelamatkan negara
dan rakyat. Patih Kebo Warung hanya menitikkan perhatian
kepada hal pertama yakni menyelamatkan negara tetapi
kurang memikirkan hal yang kedua yakni menyelamatkan
rakyat. Karena betapa pun keadaannya, andaikata kali ini
pasukan yang menyertai perutusan Majapahit kalah, tentulah
baginda Majapahit akan mengirimkan pula suatu pasukan
yang jauh lebi h besar dan lebih kuat untuk menggempur
Bedulu. Peperangan akan menimbulkan malapetaka besar,
mengalirkan darah dan mengorbankan jiwa, harta benda
rakyat," kata patih Dipa lebih lanjut.
"Sebagai seorang patih, Kebo Warung tidak memiliki suatu
pandangan jauh dan luas. Pandangannya hanya terpancang
pada sekelumit bumi telatah Bedulu. Pada hal telatah
nuswantara itu amat luas sekali dan tersebar di beberapa
lautan. Oleh karena itu wajiblah dipersatukan agar kuat dan
jaya. Agar tidak hanya rakyat Bedulu atau Majapahit, tetapi
seluruh rakyat nuswantara akan mengenyam kehidupan yang
bahagia dan sejahtera"
Tampak raja Pasung Rigih mengedipkan mata tetapi tak
mengucap sepatah kata. Pada saat patih Dipa hendak melanjutkan pula, tiba2
masuklah seorang prajurit menghadap bagi nda menghaturkan
laporan bahwa alun-alun Bedulu telah diserbu oleh sebuah
pasukan mancanagara. "Prajurit2 Bedulu telah dikuasai
mereka, gusti" prajurit itu mengakhiri laporannya.
"Apakah pasukan itu dari Majapahit?" tanya baginda.
"Hamba tak sempat menyelidiki karena saat ini mereka
sudah mengurung keraton paduka, gusti"
Raja Pasung Rigih beralih pandang kearah patih Dipa.
"Adakah engkau memerintahkan pasukanmu untuk menyerang pura kami?"
"Sebelum menghadap ke keraton paduka, hamba telah
meninggalkan pesan kepada tumenggung wakil pimpinan
pasukan Majapahit, apabila selama tiga hari hamba tak
kembali, supaya mereka menyusul hamba ke Bedulu," jawab
patih Dipa. "Jika demikian kemungkinan tentulah pasukan Majapahit
yang berada di alun-alun itu," ujar baginda pula.
Baginda segera mengajak patih Dipa dan rombongannya
keluar ke pendapa keraton. "Ya, benar, gusti. Memang yang
datang itu pasukan Majapahit," kata patih Dipa setelah
mengamati prajurit2 yang mengepung keraton. Kemudian ia
mohon idin hendak menemui pimpinan pasukan itu.
Sorak sorai menggelegar tanah alun2 ketika prajurit2 itu
melihat patih Dipa turun dari paseban pura. Seorang lurah
prajurit bergegas menyongsong dan memberi hormat.
"Hamba, bekel Danapati telah melaksanakan perintah
tumenggung Gajah Para untuk menyerbu pura Bedulu," lurah
prajurit itu memberi laporan.
"Apakah engkau mempunyai alasan untuk mengadakan
penyerbuan ke pura itu ?" tanya patih Dipa pula.
"Hamba lihat sepanjang jalan antara Bedulu sampai ke
Gianyar telah dijaga oleh prajurit2 Bedulu. Itulah sebabnya
tumenggung Gajah Para menitahkan hamba mengambil jalan
melingkar dari timur untuk mencapai Bedulu," lurah Danapati
memberi keterangan lebih jelas.
"Bagaimana keadaan Gianyar?""
"Pada saat hamba berangkat, Gianyar masih tenang tak
terjadi apa2. Tetapi malam hari hamba mendapat berita bahwa
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pasukan Bedulu telah menyerbu Gianyar."
"Engkau mendengar hal itu?"
"Ya, gusti patih."
"Mengapa engkau tak kembali untuk membantu pasukan ki
tumenggung Gajah Para?"
"Hamba dititahkan tumenggung untuk menyerbu pura
Bedulu, hamba harus mentaati perintah itu, gusti."
"Tidakkah engkau mempunyai rasa kuatir akan keadaan
pasukan tumenggung Gajah Para yang mungkin akan
menderita kekalahan ?"
"Dalam tata keprajuritan, hamba hanya
mentaati dan patuh akan perintah atasan, gusti."
diwajibkan Diam2 patih Dipa terkesiap mendengar jawaban itu. "Siapa
namamu, ki lurah?" "Danapati, gusti"
"Baik, engkau telah melakukan tugasmu dengan baik" kata
patih Dipa, "kembalilah kepada pasukanmu dan tunggu
perintah selanjutnya"
Walau pun tidak langsung ikut turun ke alun-alun tetapi
raja Pasung Rigih dapat juga mendengar pembicaraan antara
patih Dipa dan lurah Danapati. Memang patih Dipa sengaja
melangsungkan pembicaraan itu dengan nada yang keras.
Timbul kesan dalam hati raja Pasung Rigih bahwa pasukan
Majapahit memiliki tata peraturan yang keras dan tertib. Dan
serentak ia teringat akan peristiwa patih Kebo Warung. Walau
pun tindakan patih Kebo Warung itu benar dalam pendiriannya
sebagai seorang putera Bedulu yang mencintai tanah airnya,
namun sikapnya yang menolak titah raja itu menunjukkan
suatu tingkah yang tidak dibenarkan. Jika dalam lain2 hal,
terjadi pula peristiwa semacam itu, karena patih Kebo Warung
sudah terbiasa menunjukkan sikap membangkang, bukankah
hal itu akan menurunkan martabat kewibawaannya sebagai
raja yang berkuasa "
Dari pemikiran itu bertolaklah renungan raja Pasung Rigih
akan keadaan pemerintahan Bedulu. Patih Kebo Warung telah
memegang kekuasaan yang besar bahkan terlampau besar
sehingga semua pusat pemerintahan kerajaan Bedulu sampai
pada kekuasaan balatentara berada di tangan patih itu.
"Ah, bukan kesalahannya tetapi karena kelalaianku yang
telah melimpahkan kepercayaan penuh dan kekuasaan
besar," akhirnya raja Bedulu itu menyadari akan tindakannya
selama ini. Dan sesungguhnya karena selama ini kerajaan
Bedulu aman tenteram maka raja lebih mencurahkan
perhatian dan waktunya untuk mengembangkan agama dan
membangun candi2. Raja Pasung Rigih tersadar dari renungan tatkala patih
Dipa menghadapnya. "Pasukan itu benar pasukan Majapahit.
Mereka diutus tumenggung Gajah Para untuk menjaga
keselamatan hamba dan menjemput hamba kembali ke
Gianyar" "Apakah engkau hendak kembali ke Gianyar?" raja Pasung
Rigih terkejut. "Hamba telah menghadap baginda dan kewajiban hamba
sebagai kepala perutusan baginda Majapahit telah hamba
selesaikan. Selekas kemungkinan, hamba akan kembali ke
pura Majapahit dan menghaturkan laporan kehadapan gusti
junjungan hamba." "Tetapi ki patih" ujar raja Pasung Rigih "saat ini perjalanan
Bedulu ke Gianyar berbahaya sekali. Di Gianyar sedang
berkobar pertempuran. Bagaimana engkau akan kembali
kesana ?" "Terima kasih, gusti" kata patih Dipa, "sebagai kepala
perutusan, hamba pun dilimpahkan kepercayaan dari baginda
Majapahit atas pimpinan pasukan yang mengiring perjalanan
hamba. Apalagi pasukan Majapahit sedang terancam bahaya,
hamba lebih harus berkewajiban untuk menolong mereka."
Raja Pasung Rigih menghela napas.
"Hamba mohon maaf sebesar-besarnya, gusti" kata patih
Dipa seraya menghaturkan hormat "jauh dari maksud hamba
untuk berperang dengan prajurit kerajaan paduka, lebih2
kepada rakyat Bedulu. Karena kedatangan hamba ini hanya
membawa amanat persahabatan dan kedamaian dari baginda
Majapahit. Tetapi keadan telah menunjukkan kenyataan yang
lain dari apa yang hamba harapkan. Dalam hal inilah, gusti,
perasaan hamba teramat sedi h dan telah berdosa kepada
paduka dan seluruh rakyat Bedulu apabila sampai terjadi
pertumpahan darah yang tak diinginkan."
Raja Pasung Rigih merenung. Ia tahu bahwa sudah dua
kali patih Majapahit itu hendak menegurnya karena tak mampu
mencegah pertempuran. Tetapi patih itu mengunjukkan sikap
yang halus dan sopan dalam kata2 yang dirangkainya. Sekali
pun begitu raja Pasung Rigih menyadari dan malu dalam hati
sendiri. "Baiklah, ki patih. Aku akan menyertaimu ke medan
pertempuran untuk menghentikan peperangan ini."
Patih Dipa terkejut girang. Dengan keputusan raja Bedulu
itu, pertumpahan darah tentu dapat dicegah meluasnya.
Demikian setelah bersiap, maka raja Pasung Rigih bersama
patih Dipa segera tinggalkan pura Bedulu, diiring oleh pasukan
Majapahit yang dipimpin oleh lurah Danapati. Raja Bedulu
disertai beberapa pengawal. Sedang tumenggung Werda tetap
diperintahkan menjaga keselamatan pura.
Cepat sekali rombongan patih Dipa dan raja Bedulu itu
bertemu dengan pasukan tumenggung Jungkung Mada yang
menjadi ekor dari barisan Garuda Nglayang. Tumenggung
Jungkung Mada tergopoh-gopoh menyambut kedatangan
baginda dan memberi hormat. Tumenggung itu sudah
mendapat keterangan dari tumenggung Werda akan
keputusan baginda untuk berdamai dengan utusan Majapahit.
Tetapi setitik pun ia tak menduga bahwa baginda akan turun
ke medan pertempuran bersama patih Majapahit.
"Tumenggung Jungkung Mada" seru raja Pasung Rigih
"hentikan pertempuran ini. Dan kembalilah ke pura, aku akan
memberi amanat tentang persoalan kerajaan Bedulu dengan
Majapahit" Tumenggung Jungkung Mada terkejut. Cepat ia
menghaturkan sembah dan mohon ampun. "Keadaan sudah
tak mengidinkan hamba menyampaikan titah paduka ke
medan pertempuran, gusti."
"Mengapa ?" raja Pasung Rigih terkejut.
"Sejak menjelang fajar tadi, pasukan Majapahit telah
melakukan serangan balasan yang hebat. Pasukan Majapahit
yang berada di Sanur telah berhasil memukul sayap kanan
pasukan Bedulu yang dipimpin tumenggung Ardadali. Saat ini
mereka sudah menyerang pasukan tengah yang dipimpin gusti
patih sendiri. Demikian pula, secara tiba2 prajurit2 Majapahit
yang berada di-atas kapal, berhasil menyelundup ke darat dan
memutus pasukan tumenggung Kebo Puri dengan pasukan
tumenggung Putut Oka"
"Dan engkau diam saja?" teriak baginda terangsang oleh
perasaan kejut dan geram.
"Hamba pun sedang bersiap hendak membantu gusti
patih" kata tumenggung itu.
Tiba2 seorang prajurit tergopoh-gopoh lari menghadap
tumenggung Jungkung Mada. "Gusti tumenggung, pasukan
gusti patih telah terpukul pecah dan lari cerai berai. Saat ini
gusti patih sedang bertempur melawan senopati Majapahit."
Raja Pasung Rigih terkejut.
"Gusti, harus dicegah jangan sampai ki patih Kebo Warung
menderita akibat yang tak diinginkan," patih Dipa cepat
memohon idin untuk menuju ke tempat pertempuran. Raja
Pasung Rigih pun menyetujui.
Dengan dikawal Banyak Ladrang dan Banyak Kawekas,
patih Dipa bergegas menerobos pasukan Bedulu yang
berjajar-jajar memenuhi jalan. Oleh karena disertai dengan
tumenggung Jungkung Mada, maka prajurit2 Bedulu pun
menyingkir ke tepi jalan.
"Menyisihlah" teriak Banyak Ladrang kepada prajurit2
Majapahit yang tengah mengerumuni melingkari sebuah tanah
lapang. Mereka terkejut tetapi demi melihat kehadiran patih
Dipa, serentak mereka menyisih dan memberi hormat.
"Jangan" tiba2 patih Dipa berteriak keras ketika melihat
Arya Lembang tiba2 loncat dan menombak punggung patih
Kebo Warung yang saat itu sedang menangkis tabasan
pedang Arya Damar. Dan sesaat patih Dipa berteriak, Banyak
Ladrang pun sudah loncat menerkam bahu Arya Lembang
terus disentakkan ke belakang sehingga Arya Lembang
terhuyung-huyung beberapa langkah, hampir jatuh.
Namun tombak masih tetap bersarang di punggung Kebo
Warung. Melihat itu Banyak Ladrang membentak Arya Damar.
"Berhenti" lalu menerjang senopati pasukan Sriwijaya itu.
Karena melihat Banyak Ladrang sedemikian nekad hendak
menerjang dengan pukulan terpaksa Arya Damar loncat
mundur. "Gusti patih Kebo Warung" seru Banyak Ladrang seraya
menyambar tubuh Kebo Warung yang terhuyung hendak
rubuh. "Enyah engkau pengecut!" teriak patih Kebo Warung
seraya menolak tubuh Banyak Ladrang sehingga pemuda itu
tersurut selangkah ke belakang. Kemudian patih itu
menjatuhkan diri duduk di tanah.
"Gusti patih, jangan salah faham" seru Banyak Ladrang
dengan nada cemas, "bukan hamba yang menyerang paduka
dengan tombak itu. Bahkan hamba berusaha hendak
menolong tetapi terlambat, gusti" pemuda itu serta merta terus
duduk di hadapan patih Kebo Warung.
Patih Kebo Warung merentang mata, memandang Banyak
Ladrang. "Siapa engkau " Bukankah engkau orang
Majapahit?" "Benar, gusti patih. Hamba kawula Majapahit dari telatah
Singasari. Hamba cucu dari eyang empu Kapakisan"
"Empu Kapakisan?" ulang patih itu. Ia merenung seperti
mengingat-ingat sesuatu. Namun ingatannya terganggu oleh
rasa sakit dari punggungnya yang masih menampung tombak
Arya Lembang. Rupanya Banyak Ladrang menyadari akan keadaan jiwa
patih Kebo Warung yang gawat. "Hamba telah melaksanakan
permintaan dari kakangmas Arya Lacana"
"Arya Lacana?" "Ya, putera paduka, gusti patih" kata Banyak Ladrang lalu
dengan singkat dan jelas ia segera menuturkan semua yang
terjadi pada dirinya. Dari berangkat dengan membawa pesan
eyang Kapakisan sampai tiba di Bedulu dan bertemu dengan
eyang puteri nyi Linggah Siring"
"Itulah ibuku ...."
"Benar, gusti patih dan juga eyang puteri hamba." Patih
Kebo Warung terbeliak. Sesaat ia lupa akan tombak yang
masih terbenam dipunggungnya. Ia bergerak hendak
menegakkan tubuh tetapi seketika itu ia harus menggigit bibir
kencang2 untuk menahan sakit. Darah mengalir deras dari
punggungnya. Melihat itu Banyak Ladrang mohon idin.
"Hamba akan menghaturkan semua peristiwa yang
menyangkut diri hamba tetapi lebih dulu hamba mohon agar
paduka memperkenankan hamba untuk mencabut tombak
yang melukai punggung paduka itu, gusti"
"Jangan" tiba2 patih Dipa yang tengah menghampiri dan
mendengar permintaan Banyak Ladrang itu cepat berseru
mencegah, "jika engkau cabut tombak itu, darah akan
mengalir lebi h banyak dan jiwa ki patih pasti takkan tertolong."
Sejenak patih Kebo Warung melirik. Seketika merah
padam wajahnya ketika melihat kehadiran patih Dipa di tempat
itu. "Baik, cabutlah" serunya kepada Banyak Ladrang.
Banyak Ladrang menyesal karena mengajukan permintaan
itu. Ia mengakui keterangan patih Dipa memang benar. Tetapi
karena tak disangkanya apabila patih Kebo Warung
menyetujui, terpaksa ia melakukan juga.
"Ah .....". patih Kebo Warung mengaduh tetapi ditahannya
sedapat mungkin sehingga suaranya hanya seperti orang
mendesuh. Nyata Kebo Warung seorang senopati yang
digdaya. Walau pun wajahnya pucat lesi tetapi sikapnya masih
berwibawa sebagai seorang senopati. "Baik .... apa pesan
puteraku kepadamu?" "Kakangmas Arya menitipkan paduka kepada hamba, gusti
patih" kata Banyak Ladrang.
Patih Kebo Warung mengangguk.
menombak aku dari belakang itu?"
"Siapakah yang Patih Dipa hendak mencegah Banyak Ladrang
memberitahukan nama Arya Lembang kepada patih Kebo
Warung karena hal itu hanya akan menimbulkan dendam
kesumat dalam kematiannya. Tetapi sebelum ia membuka
mulut, Banyak Ladrang sudah lebih dahulu menyahut. "Arya
Lembang, senopati dari Sriwijaya, gusti."
Mendengar itu Arya Lembang tak dapat menguasai diri
lagi, serentak ia berteriak. "Banyak Ladrang, engkau
menghianat!" Banyak Ladrang terbeliak mendengar umpat itu. Serentak
ia berbangkit dan memandang Arya Lembang dengan
memberingas. "Arya Lembang, tindakanmu tadi bukan laku
seorang ksatrya." "Apakah engkau hendak belapati kepada patih Bedulu ?"
teriak Arya Lembang makin geram.
"Aku benci kepada seorang pengecut" seru Banyak
Ladrang, "aku ......."
"Ladrang, sudahlah" tiba2 patih Kebo Warung berseru
dengan terengah-engah2, "waktuku sempit sekali, aku segera
mati. Dengarkanlah ...."
Banyak Ladrang terkejut dan serta merta berjongkok
kemuka patih itu. "Baik, gusti, silahkan meninggalkan pesan
kepada hamba." "Ramaku telah berhutang sakithati kepada eyangmu empu
Kapakisan. Dengan kematian ini aku telah menghimpaskan
hutang karma ramaku ...."
"Tidak, gusti. Paduka gugur sebagai seorang senopati
yang ksatrya. Paduka telah memenuhi kewajiban paduka
sebagai seorang prajurit utama. Eyang sudah lama melupakan
peristiwa itu." "Karma adalah suatu bayangan hidup. Jika hidup kita
terang, bayangan itu pun lenyap. Jika hidup gelap, bayangan
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu pun menggunduk gelap. Eyangmu Kapakisan rela
menghapus kenangan pahit itu, tetapi karma tetap karma. Dia
tetap akan membayangi kehidupan ramaku karena dia adalah
bayangan perjalanan hidup seseorang. Maka ..." patih Kebo
Warung tak dapat melanjutkan kata-katanya karena napasnya
terasa tersumbat. Darah yang mengalir terlalu banyak dari
tubuhnya, menyebabkan dia makin payah. Jika lain orang,
mungkin sudah tak kuat bertahan seperti dia.
Setelah pejamkan mata dan menenangkan diri
memulihkan napas, patih itu berkata pula, "Maka aku hendak
minta pertolonganmu. Pertama, sampaikan permohonan
ampun ke bawah duli baginda Bedulu bahwa Kebo Warung
tak dapat menunaikan tugas yang dilimpahkan baginda.
Kedua .... apabila engkau pulang sampaikan permintaan
maafku kepada eyangmu Kapakisan atas perbuatan ramaku.
Dan ketiga .... apabila engkau sempat bertemu dengan Arya,
puteraku ..... katakan kepadanya bahwa aku sayang sekali
kepadanya ...." "Baik, gusti" kata Banyak Ladrang menyatakan janjinya.
Sejenak pejamkan mata, patih Kebo Warung membuka
mata dan berkata pula, "Terakhir, kuberikan keris pusaka yang
terselip di pinggangku ini kepadamu ...."
"Gusti patih" teriak Banyak Ladrang terkejut tetapi patih itu
gelengkan kepala, menukas, "Ladrang, saatku sudah tiba.
Kulihat batara Yamadipati beserta pengiringnya sudah
melayang di udara untuk menjemput aku .... Sebelum aku
mati, Ladrang, aku ingin mengecup setitik air. Kerongkonganku terasa panas dibakar kehausan ...."
Banyak Ladrang terkejut. Ia memandang kian kemari tetapi
tak melihat suatu tempat dimana ia dapat memperoleh air pun
prajurit2 yang mengelilingi tempat itu tiada yang tampak
membawa perbekalan air. "Kemanakah aku harus mencari air?" ia mulai gelisah..
Tiba2 ia teringat akan sebuah cerita yang dibawakan
eyangnya, empu Kapakisan, tentang peperangan Bharatayuda. Peperangan antara kerabat Pandawa lawan
Korawa. Dalam peperangan itu gugurlah resi Bisma karena
terpanah oleh dewi Srikandi, isteri raden Arjuna. Bahwa Bisma
maharesi yang sakti mandraguna mati terpanah oleh seorang
prajurit wanita adalah karena kutuk yang dijatuhkan oleh dewi
Amba, seorang puteri yang mencintai Dewabrata, nama
sewaktu resi Bisma masih muda, tetapi oleh Dewabrata
ditolak. Untuk menakut-nakuti maka Dewabrata mengacungkan busur kearah puteri itu. Tiada disangka, tiada
disengaja, anakpanah terlepas dari busur dan merenggut jiwa
dewi Amba. Saat itu puteri segera menjatuhkan tulah. Kelak
dalam peperangan Bharatayuda apabila Dewabrata berhadapan dengan seorang prajurit wanita, disitulah dewi
Amba akan menjemputnya untuk bersama-sama naik ke
kahyangan. Tulah itu berbukti, roh dewi Amba menyusup
kedalam tubuh Srikandi dan akhirnya sang resi harus
menemui ajalnya diujung panah prajurit puteri itu.
Tetapi bukan soal mati karena hutang karma itu yang dititik
beratkan pada ajaran eyang Kapakisan kepada ketiga
cucunya. Melainkan cara kematian dari resi Bisma yang
mengharukan tetapi penuh sifat dan kejiwaan ksatrya luhur.
Pertama, ia meminta bantal agar dapat menampung
kepalanya yang rebah di tanah. Korawa segera menyediakan
bantal yang empuk dari kain berudru yang indah dan harum
baunya. Pemberian itu pun ditolak oleh sang resi. Kemudian
Arjuna segera mengumpulkan kutung2 senjata, diikat dan
dihaturkan kehadapan eyang Bisma. Maka dengan sukacita
berkatalah resi sakti itu, "Duh, cucuku sekalian, ketahuilah,
bahwa inilah sesungguhnya bantal dari seorang ksatrya yang
gugur di medan laga ...."
Kemudian sang resi, menyatakan haus dan minta minum.
Para Korawa segera menghaturkan minuman yang lezat
citarasanya, tetapi ditolak sang Maharesi. Kemudian sang
Parta yang dapat menanggapi permintaan eyangnya itu. Ia
mengambil bokor berisi air pembasuh senjata. Bokor itu
dihaturkan dan resi Bisma segera meneguknya dengan
gembira, "Beginilah cucuku sekalian, minuman yang layak
bagi seorang ksatrya di tengah2 medan laga ..."
Teringat akan peristiwa dalam cerita itu segera Banyak
Ladrang mengambil keputusan. Ia menghampiri maju merapat
ketempat patih Kebo Warung. Sesungguhnya ia berdebardebar juga hatinya. Karena betapa pun ia baru pertama kali itu
bertemu dan berhadapan dengan Kebo Warung. Kini Kebo
Warung tahu siapa dirinya dan bagaimana kaitan hubungan
dirinya dengan nyi Linggah Siring. Adakah Kebo Warung
benar-benar telah sadar dan hendak menebus dosa ataukah
dia masih mendendam kepadanya.
"Ah, hati manusia sukar diduga. Tidakkah dia akan
menganggap diriku sebagai anak dari seorang eyang yang
pernah bermusuhan dengan ayahnya, Linggah Siring?"
berdenyut-denyut perasaannya. pertanyaan yang menggelora dalam "Ah, jangan menaruh prasangka buruk terhadap orang.
Prasangka itu jahat. Bukalah hatimu seterang surya disiang
hari. Dunia akan gilang gemilang karena sinarmu. Engkau
harus membekal hati yang suci, pikiran yang bersih. Jika dia
memang hendak mencelakai engkau, terserah ..." pada lain
saat kesadaran pikirannya menolak dan membantah hal2 yang
mencemaskan perasaan hatinya itu.
Pertarungan dalam batin itu, telah menggelorakan darah
dan ketegangan-ketegangan yang hebat sehingga dahi
Banyak Ladrang bercucuran keringat. Akhirnya ia mengambil
keputusan menghampiri, "Gusti patih Kebo Warung, hamba
tiada membekal air. Air yang ada pada hamba adalah air di
dahi hamba ini." Ia segera songsongkan kepalanya kehadapan
Kebo Warung. Sekalian prajurit yang mengelilingi tempat itu terkejut. Tak
terkecuali patih Dipa. Mereka merasa heran atas perbuatan
Banyak Ladrang yang seganjil itu. Patih Kebo Warung minta
minum mengapa Banyak Ladrang memberikan kepalanya"
"O, ternyata engkau seorang muda yang tahu akan sifat2
seorang prajurit utama," diluar dugaan patih Kebo Warung
berseru cerah seraya mengajukan mulutnya mengecup dahi
Banyak Ladrang .... "Beginilah laku seorang prajurit yang kehausan di medan
laga. Darah atau keringat yang layak diminumnya. Keringat
dari seorang prajurit muda seperti engkau, Ladrang, yang tahu
akan kesusilaan dan keutamaan, bhakti pada janji dan tugas,
berani membela sifat laku seorang ksatrya, akan menyejukkan
tubuhku dikala nyawaku akan mengikuti Batara Jamadipati
menuju ke Suralaya .... Ladrang, selamat ...."
"Gusti patih!" Banyak Ladrang berteriak dan mendekap
tubuh patih Bedulu. Digolek-golekkannya namun mata patih
yang memejam rapat dan sepasang bibirnya yang terkancing
erat, takkan terbuka lagi untuk selama-lamanya. Dia telah
tiada. Nyawanya telah melepaskan raga yang berlumuran
darah dan klesa .... "Banyak Ladrang" seru patih Dipa seraya menghampiri, "ki
patih Kebo Warung sudah meninggal. Jangan engkau tangisi
karena airmatamu itu hanya merintangi perjalanannya menuju
ke alam kelanggengan. Lepas dari segala kekurangannya, dia
adalah seorang ksatrya utama, seorang senopati yang
menyerahkan jiwa raganya untuk mengabdi kepada bumi yang
dicintainya. Rawatlah dia baik2, selesai pertempuran ini kita
nanti adakan upacara pembakaran suci untuk menyempurnakan jenasahnya"
Rupanya Arya Lembang masih penasaran karena dimaki
sebagai pengecut oleh Banyak Ladrang. Maka ia pun segera
menyeiutuk, "Aneh, mengapa seorang putera Majapahit
menangisi kematian seorang patih Bedulu" Tidakkah karena
ia mempunyai hubungan dengan musuh ?"
Patih Dipa juga belum mendengar keterangan Banyak
Ladrang yang jelas tentang hubungan antara empu
Kapakisan, nyi Linggah Siring dan Linggah Siring. Ia pun
belum mendengar tentang penyerahan Arya Lacana yang
menitipkan keselamatan patih Kebo Warung kepada Banyak
Ladrang. Hampir ia terpengaruh oleh kata2 Arya Lembang itu.
Tetapi pada lain saat itu, ia teringat pernah mendengar
penuturan empu Kapakisan tentang kissah perjalanan
hidupnya selama tinggal di Bedulu...... Teringat pula bahwa
berhasilnya Banyak Ladrang untuk membebaskan dia dari
tawanan di gua Gajah adalah juga berkat bantuan Arya
Lacana, putera patih Kebo Warung. Dan kesimpulan pun
segera bertebar dalam hatinya bahwa tindakan Banyak
Ladrang itu menunjukkan suatu sikap dan perilaku yang luhur
budi. Tidak mendendam kepada patih Kebo Warung, putera
dari Linggah Siring yang pernah menghancurkan kebahagiaan
hidup eyang Kapakisan. "Banyak Ladrang tidak melakukan sesuatu yang dapat
menggoyahkan kepercayaanku kepadanya. Dia tetap seorang
putera Majapahit yang setya kepada negaranya" sahut patih
Dipa seketika. Arya Lembang terkejut. Jelas kata2 patih Dipa bernada
membela Banyak Ladrang. "Ki patih" serunya tak puas,
"jika dia tuan perkenankan
untuk meratapi kematian seorang senopati musuh, tidakkah aku lebih berhak
dan lebih wajib untuk membunuh seorang senopati musuh?" "Benar" jawab patih Dipa, "memang besar jasamu sebagai seorang senopati dapat membunuh senopati musuh." Cahaya muka Arya Lembang merekah cerah. "Tetapi caramu membunuh musuh itu bukan cara seorang ksatrya yang perwira," tiba2 patih Dipa
menambahkan kata2 yang tajam, "dan tuduhan Banyak
Ladrang memang tak salah."
Seketika pucatlah wajah Arya Lembang.
"Jangan engkau campurkan jasa
dengan nilai keksatryaan," kata patih Dipa pula, "kedua hal itu dapat satu
tetapi ada kalanya terpisah. Engkau berjasa karena dapat
membunuh seorang senopati agung musuh. Tetapi menurut
nilai keksatryaan, caramu membunuh senopati itu, bukan laku
seorang ksatrya yang utama."
"Perang adalah untuk merebut kemenangan. Kemenangan
meluluskan cara apa pun juga," bantah Arya Lembang
"Perang terjadi antar manusia dengan manusia. Bukan
antar manusia lawan binatang. Dan kita manusia telah
meningkatkan haikat dan kodrat kita dalam dua tingkat sifat.
Yang baik dan yang buruk, yang suci dan yang jahat, yang
luhur dan yang hina. yang mulia dan yang rendah budi.
Ksatrya tergolong berkodrat luhur dan mulia. Manusia2 yang
tak memiliki kodrat luhur budi dan mulia, dapat digolongkan
sebagai jenis raksasa. Raksasa berkodrat angkara murka,
mengumbar nafsu2 maya, berulah tingkah semena-mena,
hadigang hadigung. Dalam peperangan pun menggunakan
segala macam cara untuk merebut kemenangan. Tanpa
menghiraukan bahwa yang menjadi lawan kita itu juga
manusia. Seorang ksatrya menghormat ksatrya lain, betapa
pun dia itu seorang musuh. Tetapi seorang raksasa memusuhi
raksasa lain, betapa pun dia itu seorang kawannya. Inilah
uraian tentang kodrat seorang ksatrya, baik dalam kehidupan
mau pun di medan perang. Adakah engkau masih merasa
bahwa tindakanmu membunuh patih Kebo Warung itu bersifat
ksatrya?" Ulasan yang menguntum bunga indah itu, kemudian
berbuah dalam sebuah pertanyaan yang menimpa Arya
Lembang. Arya dari Palembang itu tersentak dalam ketegunan
yang bertebar-tebar menghanyutkan akal budinya.
"Ki patih" melihat perbantahan yang berkelarutan tiada
putusnya itu, Arya Damar segera berseru. "Pertempuran
masih belum selesai. Dalam peperangan memang sukar
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dihindari hal2 yang tak layak. Patih Kebo Warung gugur tetapi
Majapahit pun kehilangan lurah prajurit Walwa dan beratus
prajurit. Mereka berperang dengan sudah menyadari segala
akibatnya, mati atau menang. Ki patih, mari kita selesaikan
tugas yang belum rampung. Pasukan yang dipimpin
tumenggung Ardadali telah kami hancurkan dan tumenggung
itu pun telah kami bunuh."
"Oh" seru patih Dipa terkejut, "adakah tumenggung itu
pantang menyerah ?" "Karena anak prajuritnya porak poranda, tumenggung itu
dapat kami kepung dan menyerah."
"Jika sudah menyerah mengapa tuan bunuh?" tegur patih
Dipa pula. "Mereka telah menghabiskan anakbuah lurah Bajang
Denta yang diperintah tumenggung Gajah Para untuk meminta
bantuan ke Sanur. Untuk membalaskan kematian lurah Bajang
Denta dan anakbuahnya, aku pun tak dapat memberi ampun
kepada tumenggung Ardadali" jawab Arya Damar.
Patih Dipa kerutkan dahi. Sejenak kemudian ia segera
berkata, "Kuminta tuan berdua" katanya kepada Arya Damar
dan Arya Lembang, "agar menuju ke pantai selatan untuk
menghentikan pertempuran. Perintahkan kepada kedua
pimpinan pasukan, tumenggung Gajah Para dan tumenggung
Kebo Puri dari pasukan Bedulu, supaya berhenti bertempur."
Kemudian patih Dipa berpaling kepada Banyak Ladrang,
"Ladrang, engkau pun menyertai kedua Arya itu agar
tumenggung Gajah Para lebi h yakin."
Setelah memberi perintah, patih Dipa segera kembali
menghadap raja Pasung Rigih dan menghaturkan laporan
bahwa pertempuran sudah hampir selesai, hanya tinggal di
pantai yang ia menghentikan. pun sudah mengirim utusan untuk Tiada berita yang lebih mengejutkan raja Pasung Rigih
daripada berita tentang gugurnya patih Kebo Warung. Dia
segera mengeluarkan titah agar jenasah patih itu dibawa ke
pura. Akan diadakan upacara pembakaran yang besar
sebagai penghormatan atas jasa dan pengabdian patih itu
kepada kerajaan Bedulu. Juga baginda menitahkan agar
pertempuran dihentikan dan seluruh pasukan Bedulu
mengiringkan jenasah Kebo Warung. Betapa pun sikap patih
itu terhadap titah raja, namun baginda tetap menghargai
jasanya. Baginda kembali ke pura sementara patih Dipa tak ikut
karena harus memeriksa keadaan pasukan Majapahit. Dia
masih tetap berada di Gianyar untuk menunggu kedatangan
tumenggung Gajah Para. Tak berapa lama tumenggung Gajah
Para dan pasukannya menghadap patih Dipa dan melaporkan
tentang pertempuran di pantai. Pertempuran telah berhenti
dan prajurit2 Bedulu pun menggabungkan diri dengan
pasukan tumenggung Putut Oka yang berkemas-kemas untuk
membawa jenasah patih Kebo Warung ke pura."
"Bagaimana keadaan pasukan kita, ki tumenggung?" patih
Dipa meminta keteranang. "Di Gianyar dan di pantai, pasukan kita hanya menderita
kerusakan dan korban sedikit. Tetapi menurut keterangan
Arya Damar, bekel Bajang Denta dan pasukannya yang
kusuruh meminta bantuan ke Sanur telah dibasmi oleh
pasukan Bedulu di bawah pimpinan tumenggung Ardadali"
"Siapakah pemimpin pasukan Bedulu yang menyerang
pantai?" tanya patih Dipa pula.
"Tumenggung Kebo Puring"
"Dimana dia sekarang?"
Tumenggung Gajah Para menghela napas, "Dia pun
terbunuh" "Terbunuh?" patih Dipa terkejut, "bukankah sudah
kuperintahkan Arya Damar dan Arya Lembang untuk
menghentikan pertempuran?"
Tumenggung Gajah Para beranjak dada.
"Saat itu kami sudah dapat menguasai pasukan
tumenggung Kebo Puring. Namun tumenggung itu masih
melakukan perlawanan yang gigih. Dan pada kesempatan
yang terakhir, berhadapanlah tumenggung Kebo Puring
dengan aku. Dia memang digdaya sehingga sukar bagiku
untuk mengalahkannya. Pada saat pertempuran berlangsung
seru, tiba2 datanglah kedua Arya yang berteriak
mengumumkan perintah ki patih agar pertempuran di
hentikan." "Aku taat" kata tumenggung Gajah Para "dan
mengundurkan diri. Tetapi tumenggung Kebo Puring masih
menyerang. Sekonyong-konyong Arya Damar lari menghampiri dan terus menombak Kebo Puring. Mungkin
karena habis tenaganya bertempur melawan aku, tumenggung
Kebo Puring tak tahan menghadapi terjangan Arya Damar. Dia
rubuh tertombak pahanya. Entah bagaimana, apabila Arya
Damar mau menyudahi serangannya, tentulah Kebo Puring
masih hidup. Dia hanya menderita luka pada pahanya. Tetapi
entah bagaimana, mungkin karena marah maka Arya Damar
lalu menombak tumenggung Kebo Puring yang sudah terluka
itu. Seketika itu matilah tumenggung kerajaan Bedulu"
tumenggung Gajah Para mengakhiri laporannya.
Patih Dipa terkejut. Segera ia memerintahkan supaya Arya
Damar menghadap. Beberapa saat kemudian pengalasan
masuk dan memberi laporan, "Gusti patih, raden Arya Damar
dan Arya Lembang sudah kembali ke Sanur"
Saat itu putih Dipa marah. Ia hendak mengirim orang
memanggil kedua Arya itu. Tetapi pada lain saat, ia
mempunyai pemikiran lain. Ditundanya persoalan itu sampai
pada lain kesempatan. Kemudian ia memerintahkan supaya
tumenggung Gajah Para memeriksa keadaan pasukan
Majapahit dan menyusunnya kembali. Juga ia memerintahkan
agar rumah kediaman tuha Gianyar yang dijadikan
penginapan tumenggung Gajah Para dan anak buahnya
selama berada di Gianyar, di perbaiki kembali.
Pertempuran telah berhenti. Prajurit2 Majapahit diperintahkan patih Dipa untuk membantu prajurit Bedulu yang
mati dan terluka dalam pertempuran. Kepada rakyat Gianyar
telah dibagikan barang2 hadiah, kain dan uang. Dianjurkan
supaya kehidupan kota Gianyar berjalan seperti biasa lagi.
Dengan ancaman hukuman berat bahkan kalau perlu
hukuman mati, patih Dipa melarang prajurit2 Majapahit
bertingkah dan bertindak tak senonoh dan tak sopan terhadap
rakyat. Selama mengikuti tindakan dan keputusan patih Dipa
dalam memulihkan kembali kesejahteraan dan kepercayaan
rakyat Gianyar, diam2 Banyak Ladrang dan kedua saudaranya
merasa kagum. Ternyata patih yang masih semuda usia itu
dapat bertindak tegas dan bijaksana.
"Paman patih" tiba2 Banyak Ladrang menghadap patih
Dipa, "termasuk anakbuah hamba, masih ada berpuluh prajurit
Majapahit yang ditawan seorang manusia raksasa bernama
Kebo Yuwo di desa Blahbatu. Mereka dipekerjakan sebagai
tenaga-paksa untuk membangun pura. Maka idinkan hamba
kesana untuk membebaskan kawan2 kita"
Patih Dipa berpikir sejenak lalu menyahut, "Baik, aku akan
ikut engkau ke Blahbatu"
Banyak Ladrang terkejut, "Tetapi paman ....."
"Jika engkau mencemaskan diriku, tidakkah aku juga
meresahkan keselamatanmu?" patih Dipa cepat menukas.
"Tetapi aku hanya seorang biasa dan paman seorang patih
yang mengepalai perutusan kerajaan. Apabila sampai terjadi
sesuatu pada diri paman, tidakkah ..."
"Mari kita berangkat" kembali patih Dipa menukas
pembicaraan pemuda itu. Ia memanggil Banyak Wukir dan
Banyak Kawekas supaya tetap berada di Gianyar mengamatamati tingkah laku prajurit2.
Patih Dipa dan Banyak Ladrang hanya diiring dua puluh
prajurit. Hal itu keputusan patih Dipa sendiri dan tak ada orang
yang berani membantah. 0o-dwkz-mch-ismo-o0 III Seorang manusia yang tinggi besar tengah memandang
beberapa orang yang sedang bekerja. Ada yang menggotong
batu besar dari sungai Pakerisan ke desa Pliatan, Blahbatu.
Ada yang sedang memecah batu dengan palu besi, ada yang
sedang melumat batu berwarna kelabu, ada pula yang sedang
memasang keping2 batu sebagai dinding sebuah pura yang
sedang dibangun. Dari sebagian bangunan yang sudah jadi,
ternyata semua dinding mau pun lantai terbuat dari batu yang
dibelah. Tak ada sebuah batu pun yang utuh.
Manusia raksasa itu sendiri dengan sebuah kapak besar
sedang membelah segunduk batu besar setinggi dirinya. Dari
Bentuk batu yang ditabasnya itu, rupanya dia sedang
membuat sebuah patung. Mungkin untuk pengisi pura yang
didirikannya itu. Tiba2 ia letakkan kapak dan lari menghampiri beberapa
orang yang tengah mengangkat segunduk batu besar, "Hm,
masakan kalian berenam tak mampu mengangkat batu ini"
Letakkan" serunya lalu menghampiri batu besar.
Ia membungkuk, memegang batu dan mengangkatnya lalu
dibawa ke tempat jajaran batu. Terdengar hiruk desah dan
desuh dari para pekerja yang kagum atas kekuatan manusia
raksasa itu. Tetapi kehirukan itu segera sirap seketika, pada
saat patih Dipa dan rombongannya tiba.
"Paman" kata Banyak Ladrang pelahan, "lihatlah, betapa
menderita prajurit2 kita yang dipekerjakan secara paksa oleh
Kebo Yuwo" "Eh, hendak kemana engkau?" tiba2 patih Dipa menegur
Banyak Ladrang yang hendak menuju ke tempat pekerja2 itu.
"Hendak kubawa kawan2 kita menghadap paman" sahut
Banyak Ladrang. "Jangan" cegah patih Dipa, "kita harus minta idin kepada ki
Kebo Yuwo. Dan kalau membebaskan, harus semua, jangan
hanya prajurit2 kita saja."
Banyak Ladrang terkesiap. Ia memandang ke arah
pekerja2 itu. Hatinya serasa tersayat melihat kaki pekerjapekerja itu diberi gelang besi berantai. Tiap gelang kaki dari
seorang pekerja, diikat pada gelang kaki lain pekerja. Dangan
rantai yang mengikat seorang pekerja pada lain pekerja itu,
sukarlah bagi mereka untuk melarikan diri.
"Tetapi paman ..."
"Kutahu" tukas patih Dipa "tetapi kita wajib bertindak sopan
untuk meminta kebebasan mereka."
"Kalau Kebo Yuwo menolak?"
"Kita pertimbangkan langkah lagi" kata patih Dipa seraya
melangkah ke tempat Kebo Yuwo bekerja.
Rupanya Kebo Yuwo tahu juga akan kedatangan
serombongan orang yang mengenakan pakaian keprajuritan.
Namun ia tak menghiraukan mereka dan melanjutkan
pekerjaannya. "Ki Kebo Yuwo" patih Dipa memberi sapa, "maaf jika
kedatanganku mengganggu pekerjaanmu."
"Siapa engkau?"
menggelegar. tegur Kebo Yuwo dengan nada "Aku orang Majapahit"
"O" desuh Kebo Yuwo "sama dengan prajurit yang
membantu pekerjaan disini."
Patih Dipa tertegun. Kini ia menyaksikan sendiri betapa
besar tubuh orang itu. Luar dari ukuran orang biasa, baik tinggi
mau pun besarnya, ia memapas batu yang akan dibentuk
sebuah patung itu seperti orang memapas kayu. Mungkin
kapaknya memang tajam sekali tetapi yang jelas tenaga orang
itu memang luar biasa kuatnya.
"Apa maksudmu?" tegur Kebo Yuwo pula, "apakah engkau
juga hendak menantang adu kekuatan dengan aku ?"
Patih Dipa terkesiap, "Apa maksud ki Kebo Yuwo?"
"Biasa" sahut orang itu, "biasanya orang akan minta
bertanding adu kekuatan dengan aku karena menginginkan
hadiah kemenangan yang kusediakan. Tetapi ada kalanya
akulah yang mencari orang, jika aku memerlukan tenaga untuk
mengerjakan pembuatan pura disini."
"Apakah tuan sudah tak kekurangan tenaga lagi?" seru
patih Dipa. "Pura sudah separoh bagian selesai" jawab Kebo Yuwo,
"untuk pekerjaan mengangkut batu dan membuat dinding,
sudah tak perlu. Patung2 aku sendiri dapat mengerjakan tetapi
ukir-ukiran dinding aku tak dapat. Benar, memang aku perlu
juru ukir dinding pura ini. Apakah engkau dapat mengukir ?"
Sebenarnya patih Dipa memang menunggu kesempatan
untuk menyatakan maksudnya. Menerima pertanyaan Kebo
Yuwo, ia tak canggung lagi menjawab,
"Ya. Dulu ketika di Majapahit aku pernah menjadi
pembantu seorang juru ukir yang pandai."
Kebo Yuwo letakkan kapak dan mulai bangkit menghadap
patih Dipa. "Jika demikian, dewa-dewa telah mengirim engkau
kemari" serunya "katakan apa yang engkau kehendaki?"
Patih Dipa terbeliak, "Maksud tuan?"
"Masih bertanya lagi!" hardik Kebo Yuwo, "engkau harus
bertanding adu kekuatan dengan aku. Jika aku menang,
engkau dan kawan-kawanmu harus tinggal disini mengerjakan
pengukiran dinding pura. Tetapi kalau aku kalah, akan
kuberimu sekantong emas dan ratna mutu manikam yang tak
ternilai harganya." "Aku datang kemari bukan hendak bertanding adu
kekuatan dengan tuan,"seru patih Dipa.
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya" sahut Kebo Yuwo, "tetapi setelah engkau berada
disini, engkau harus melakukan pertandingan itu"
"Jika aku tak mau?"
"Aku tak dapat memberi jawaban karena yang ada pada
peraturanku disini hanyalah orang harus melakukan
pertandingan itu." "Engkau memaksa"
"Itu sudah menjadi peraturanku."
"Ya, tetapi bukan peraturanku," balas patih Dipa.
"Ho, engkau juga mempunyai peraturan" Jika engkau
menolak bertanding adu kekuatan, kubebaskan. Tetapi
engkau pun harus tinggal disini melakukan pekerjaan itu."
"Jangan bersikap seliar itu, Kebo Yuwo" karena tak tahan
hatinya, Banyak Ladrang serentak hendak maju.
Tetapi dicegah patih Dipa, "Jangan menuruti nafsumu,
Ladrang." "Ki Kebo Yuwo," kata patih Dipa "engkau salah faham.
Kedatanganku kemari bukan hendak membantu pekerjaanmu
bahkan kebalikannya hendak meminta kembali beberapa
kawan kami yang engkau jadikan pekerja disini."
Kebo Yuwo tertawa membatu roboh. Puas tertawa lantas
ia berseru, "Baru pertama kali ini aku menerima kedatangan
orang yang luar biasa seperti engkau. Pada umumnya, orang
datang kemari, suka tak suka, harus bekerja padaku. Tetapi
engkau, bukan saja menolak peraturanku, pun hendak
meminta kebebasan orang yang sudah bekerja disini. Gila,"
tiba2 Kebo Yuwo menghardik sekeras halilintar meledak.
Prajurit2 pengiring patih Dipa melonjak kaget, Banyak
Ladrang berdebar-debar tetapi patih Dipa hanya mengedipkan
mata. Suara bentakan manusia raksasa itu benar2 kuasa
memecahkan anak telinga. "Aku menerima peraturanmu" seru patih Dipa sesaat
kemudian, "dengan syarat kebebasan dari beberapa kawan2
itu. Setuju?" "Belum cukup" seru Kebo Yuwo "bagaimana kalau engkau
kalah ?" "Kuserahkan diriku untuk membantu pekerjaanmu di sini."
"Paman!" teriak Banyak Ladrang terkejut mendengar
ucapan patih itu, "bagaimana mungkin paman akan tinggal
disini " Jangan dengarkan ocehan manusia yang tak kenal
tata itu, paman" "Setan" teriak Kebo Yuwo "engkau berani mendamprat
aku" Hayo majulah engkau. Aku ingin sekali merobek
dadamu." Banyak Ladrang merah mukanya. Ia marah sekali
sehingga lupa akan pertimbangan adakah ia mampu
menghadapi raksasa yang bertenaga kuat itu. Ia terus hendak
maju tetapi secepat itu pula patih Dipa menyambar lengannya,
"Banyak Ladrang, jangan melanggar perintahku."
Terpaksa pemuda itu pun menurut.
"Ki Yuwo, engkau setuju dengan permintaanku itu?" seru
patih Dipa mengulang. "Setuju sekali" jawab Kebo Yuwo.
"Baik" sahut patih Dipa "sekarang bagaimana cara adu
kekuatan itu kita lakukan?"
Tanpa banyak berpikir, Kebo Yuwo lalu memberi
keterangan bahwa biasanya orang akan disuruh menarik tali
yang diikat pada paha Kebo Yuwo. Jika mampu menarik, dia
menang. "Kurang menarik" seru patih Dipa "ganti saja dengan lain
cara." Kebo Yuwo terkejut, "Apa maksudmu " Hendak bertanding
berkelahi ?" Patih Dipa tersenyum, "Tidak. Berkelahi dapat merusak
persahabatan kita. Lebih baik begini. Kita bergantian
mengangkat tubuh masing2. Ki Yuwo mengangkat tubuhku,
boleh diputar-putar atau pun dibawa lari, bahkan boleh
dilontarkan ke udara asal disanggapi lagi, jangan sampai jatuh
terluka. Setelah itu, akulah yang berganti mengangkat tubuh ki
Yuwo. Siapa yang dapat mengangkat lebih tinggi dan lebih
lama, dialah yang menang. Setuju ?"
Kebo Yuwo serentak mengangguk setuju. Kemudian
mereka bersiap. Betapa cemas perasaan hati Banyak Ladrang
dan berpuluh prajurit Majapahit ketika melihat Kebo Yuwo
mulai bersiap mengangkat tubuh patih Dipa. Walau pun tidak
diperintah, namun diam2 Banyak Ladrang sudah mempersiapkan keris. Apabila Kebo Yuwo bertindak curang
tidak menetapi peraturan ia akan menikam manusia raksasa
itu. Tak banyak mengalami kesulitan ketika Kebo Yuwo
mengangkat tubuh patih Dipa lalu menjulangkan tinggi2 ke
atas kepalanya. Tangan kanan manusia raksasa itu
memegang leher patih Dipa dan tangan kirinya mencekal
paha. Banyak Ladrang dan prajurit2 Majapahit menahan napas
mengikuti tubuh patih Dipa yang terangkat ke atas kepala
Kebo Yuwo. Diam2 Banyak Ladrang dan prajurit2 itu heran di
dalam hati. Mengapa patih Dipa mengajukan pertandingan
sedemikian. Sudah jelas manusia raksasa Kebo Yuwo tentu
akan menang. Mereka pun meragukan pula kekuatan patih
Dipa pada waktu tiba gilirannya mengangkat tubuh Kebo
Yuwo. Bukankah perawakan manusia raksasa itu dua kali
lebih besar dari patih Dipa "
Belum putus Banyak Ladrang dan prajurit2 itu
membayang-bayangkan kecemasan, tiba2 suatu peristiwa
yang tak terduga-duga telah terjadi. Selekas kedua tangan
raksasa Kebo Yuwo mengangkat tubuh patih Dipa ke atas
kepalanya, selekas itu pula tangannya terkulai lagi sehingga
patih Dipa terbanting ke tanah. Banyak Ladrang terkejut dan
gugup hendak lari menghampiri. Tetapi sebelum ia sempat
bergerak, patih Dipa pun sudah bangkit.
"Ki Yuwo, mengapa tidak pelahan-lahan engkau letakkan
tubuhku?" serunya sambil tersenyum melihat manusia itu
terlongong-longong. Karena masih juga Kebo Yuwo terpukau
dalam ketegangan kejut, patih Dipa berkata pula, "sekarang
tiba giliranku, harap ki Yuwo bersiap"
Kebo Yuwo masih terpukau ketika tubuhnya diangkat patih
Dipa keatas kepala dan diputar-putar. Seketika gemparlah
suasana di tempat itu. Bukan bersorak sorai, bukan pula
bertepuk tangan, tetapi Banyak Ladrang dan prajurit2
Majapahit itu mendesuh suatu rasa kejut yang besar. Dalam
pandangan mereka wajah patih Dipa itu tiba2 berobah
cahayanya. Bukan seperti patih Dipa yang mereka lihat pada
hari biasanya. Melainkan memancarkan cahaya yang
membentuk suatu wajah lain. Wajah yang mereka kenal
sebagai bentuk wajah dewa Ganesya. Dewa yang berhidung
seperti belalai gajah sebagaimana mereka melihat di candi2.
Tiada sorak menggempar, tiada tepuk menggelegar, tetapi
yang terdengar hanya desuh kejut yang menggetar. Berpuluhpasang mata seolah terpukau pada pandangan yang penuh
pesona. Dalam suasana yang sedemikian itu maka tiada tepuk
sorak yang menyongsong ketika tubuh Kebo Yuwo pelahanlahan diturunkan ke tanah oleh patih Dipa. Suasana hening
lelap. "Ki Yuwo" tiba2 patih Dipa berseru, "pertandingan sudah
selesai. Apa katamu?"
Banyak Ladrang dan prajurit Majapahit tersentak bagaikan
terjaga dari mimpi. Ada yang mengebas kepala, yang
mengusap mata dengan tangan, ada pula yang merentang
kelopak mata lebar2 "Tak salah, memang gusti patih" kata
mereka dalam hati. "Aneh" seru Kebo Yuwo masih memandang patih Dipa
seperti orang yang tengah mengamati sesuatu yang belum
pernah dilihatnya. Habis sekujur tubuh patih Dipa, dari ujung
kaki sampai ke ubun kepala, dijelajahi pandang mata Kebo
Yuwo. "Bagaimana maksud ki Yuwo?" patih Dipa mengulang
serunya. "Siapakah engkau sebenarnya?" seru Kebo Yuwo sambil
tak melepaskan lekatan pandang mata.
"Aku Dipa, patih dari Majapahit, ki Yuwo"
"Aneh" seru Kebo Yuwo.
"Mengapa ki Yuwo?" tegur patih Dipa pula.
"Namamu benar Dipa, ki patih?" Kebo Yuwo menegas.
Dan patih Dipa pun mengiakan.
"Aneh" gumam pula manusia raksasa itu "jika demikian
apakah dia bukan gajah sakti yang memberi pesan kepadaku
itu?" Makin aneh patih Dipa melihat sikap dan ucap Kebo Yuwo,
"Siapa gajah sakti itu?"
"Jelas dia mengatakan bernama Gajah, bukan Dipa, jika
demikian" tiba2 Kebo Yuwo memberingas "patih Dipa, mari
kita bertanding adu kesaktian. Engkau menyiasati aku"
"Ki Yuwo" seru patih Dipa "bukankah engkau sudah kalah
...." belum sempat patih Dipa melanjutkan kata-katanya, Kebo
Yuwo sudah mendaratkan sebuah pukulan kearah kepalanya.
Terpaksa patih Dipa loncat menghindar ke samping. Tetapi
Kebo Yuwo sudah menyambar bahu. Patih Dipa menghindar
lagi. Kebo Yuwo benar2 seperti kalap. Dia menyerang makin
cepat dan dahsyat. Patih Dipa berulang kali hampir tersambar
Pendekar Pengejar Nyawa 11 Patung Emas Kaki Tunggal ( Unta Sakti ) Karya Gan K H Pembunuh Dari Jepang 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama