Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pengejar Nyawa 11

Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung Bagian 11


"Kau sudah berjaga setengah malam, sisa setengah malam menjadi giliranku," kata Coh Liu-hiang.
Lewat setengah malam hawa semakin dingin, Coh Liu-hiang pun sudah duduk cukup lama, bergemingpun tidak, kalau Ki Ping-yan bisa duduk seperti itu, tak perlu dibuat heran, bahwa Coh Liu-hiang bisa duduk begitu lama tanpa bergerak, sungguh siapapun takkan pernah menduganya.
Tempat itu amat gelap, api lilin didalam perkemahan kelihatannya seperti berjarak amat jauh, tiada orang yang melihatnya, namun dengan jelas Coh Liu-hiang bisa mengamati setiap orang.
Kini suasana dalam perkemahanpun mulai reda, dua tiga orang saling payang dan papah bergoyang gontai keluar, ada yang nyanyi-nyanyi kecil, ada yang menggerundel.
Suara nyanyian akhirnya berhenti dan sirap, deru angin yang berhembus di gurun pasir berubah laksana nyanyian duka cita yang memilukan hati, membuat orang bergidik seram dan hambar! Tabir malam yang tak berujung pangkal, bintang-bintang bertebaran mulai lenyap, ditengah gurun pasir seluas ini tinggal Coh Liu-hiang seorang saja yang masih segar dan sadar.
Lambat laun sanubarinya memikirkan banyak kejadian, urusan dan banyak orang.
Soh Yong-yong, Song Thiam-ji dan Li Ang-siu dimanakah mereka kini" Sampai detik ini Coh Liu-hiang masih belum berhasil menemukan jejak atau mendapat kabar mereka! Tapi musuh yang berada di sekelilingnya justru semakin banyak, Ciok-koan-im yang misterius dan menakutkan itu, jejaknya tak menentu, gerak-geriknya serba tersembunyi, pembunuh yang tak terukur kepandaian silatnya.........apakah dirinya harus terbenam di tengah gurun pasir yang tak kenal kasihan ini"
Coh Liu-hiang tenggak lagi araknya, teringat akan Oh Thi-hoa, serta merta tersungging senyuman kecil di ujung bibirnya, "Bocah itu, sungguh bahagia dan besar rejekinya."
Tiba-tiba ia mendapati seseorang sedang datang ke arahnya, badannya terbungkus oleh selembar kemul besar yang terbuat dari bulu angsa, selintas pandang seperti sebuah kemah kecil sedang bergerak berjalan.
"Siapa?" tegur Coh Liu-hiang.
Tidak menjawab malah terdengar suara cekikikan tawanya. Ternyata pendatang ini adalah Pipop-kongcu, mempelai perempuan membolos keluar dari kamar pengantin.
Senyuman yang tersungging di bibir Coh Liu-hiang seketika membeku, serunya perlahan :
"Untuk apa kau kemari?"
Sambil menyeret kemul bulu angsa yang besar itu, Pipop-kongcu melangkah mendatangi, tawanya semakin riang, sahutnya : "Kau boleh datang kemari, memang aku tidak?"
"Tidak pantas kau datang ke tempat ini!"
"Kenapa?" berkedip-kedip biji mata Pipop-kongcu.
Coh Liu-hiang menarik muka, katanya kandas : "Jikalau tak segera kembali ke kamar pengantinmu, biarku........." kata-katanya terputus oleh tawa cekikikan Pipop-kongcu semerdu kelintingan.
Katanya dengan tertawa riang : "Kau.......kau ingin pergi.........untuk apa masuk ke kamar pengantin?"
Ke kamar pengantin sudah tentu untuk.......untuk........suara Coh Liu-hiang yang sirap seketika, sungguh tak tega ia melanjutkan kata-katanya di depan seorang gadis, terpaksa ia gosok-gosok hidung sendiri.
Kata Pipop-kongcu sambil mengerling penuh daya tarik : "Katakanlah, sudah tentu melakukan apa?"
Sungguh Coh Liu-hiang tidak tahu apa yang harus dikatakan, selama hidup boleh dikata belum pernah ia berhadapan dengan gadis secentil dan seberani ini, Pipop-kongcu malah semakin riang melihat sikap kikuk dan malu-malunya, katanya lincah : "Kalau aku masuk kedalam kamar pengantin, jangan kau heran kalau aku dilabrak oleh mempelai perempuan!"
Coh Liu-hiang benar-benar menjublek, katanya tersendat: "Mempelai perempuan?"....memangnya bukan kau?"
"Siapa bilang aku mempelai perempuan?"
"Ta..........tapi jelas sekali.........."
"Putri raja kan bukan hanya aku saja dalam negeri Kui-je kita, yang menikah dengan Oh Thi-hoa adalah kakakku! Orang pikun............
"Kakakmu.......kenapa tidak sejak semula kau jelaskan?"
Bersinar cemerlang bintang kejora biji mata Pipop-kongcu, katanya sambil gigit bibir: "Kenapa harus ku jelaskan, memang sengaja hendak kubuat kau marah-marah, supaya kau gelisah,"
karena tawa cekikikannya badannya bergetar, dari dalam kemulnya juga terdengar suara berdering yang ramai, waktu dia julurkan sebelah lengannya dari dalam kemul yang membungkus badannya, ternyata tangannya menjinjing dua botol arak. Dengan mengacungkan kedua botol arak ini, dia tertawa riang, serunya : "Pikun kau lekas sambut kedua botol arak ini, jangan sibuk mainkan hidung saja, nanti copot dari mukamu!"
Mengawasi orang perlahan-lahan Coh Liu-hiang berkata: "Kau memang setan kecil yang nakal, lincah dan cerewet, sembari bicara pelan-pelan ia bangkit berdiri seraya ulur sebelah tangannya.
"Kau.........apa yang kau inginkan?"
"Coba kau terka?"
"Aku tidak takut, aku tidak takut padamu, aku tidak............" seperti hendak mundur tapi tidak bergerak, tiba-tiba mulutnya menjerit lirih, tahu-tahu sebelah tangannya dicekal oleh Coh Liu-hiang, tak kuasa badannya tersungkur masuk ke dalam pelukan Coh Liu-hiang.
Kemul bulu angsa di atas badannya seperti hampir melorot kebawah, pelan-pelan kelihatan pundaknya tampak jelas, kulit badannya yang halus putih merah selicin kain sutera, lambat-lambat pasti kemul itu melorot turun lagi, kembali tampak sepasang bukit tandus yang menjulang, montok dan kenyal. Ternyata badannya telanjang bulat, tak terbungkus selembar benangpun, kemul itu terus melorot ke bawah .
Kembali Coh Liu-hiang terkesima dan mematung di tempatnya, tangannyapun tak bergerak lagi. Terdengar suara Pipop-kongcu bergetar: "Pikun, kau hendak bikin aku kaku kedinginan?"
kedua tangannya terpentang mengembangkan kemul bulu angsa itu.
Tampak oleh Coh Liu-hiang bentuk badan polos seorang gadis yang masih perawan dan belum terjamah oleh tangan siapapun jua, begitu sempurna dengan lekak-lekuk yang jelas , sepasang dada yang putih dan menantang, kaki atau sepasang paha yang mempesonakan, lambat laun pandangan Coh Liu-hiang menjadi gelap dan tak terlihat apa-apa lagi. Seluruh badannya tahu-tahu sudah terbungkus masuk ke dalam kemul bulu angsa yang lebar dan besar.
Kedua orang itu sama-sama roboh bergelundungan jatuh di atas selimut tempat duduknya tadi, kemul bulu angsa yang merah menyolok itu kini benar-benar sesuai menjadi fungsinya sebagai kemah mini yang terkecil diseluruh dunia.
Sesuatu sedang bergerak-gerak didalam kemah mini itu, lalu segalanya berhenti.
Cekikikan Pipop-kongcu kembali terdengar dari dalam : "Aku tidak takut padamu, masakan kau malah takut kepadaku?"
Agaknya Coh Liu-hiang menghela napas, , katanya : "Kau memang binal!"
"Pernahkah kau melihat si binal yang begitu cantik dalam dunia ini?"
"Belum pernah."
"Akupun belum pernah melihat si pikun yang gagah mungil dalam dunia ini.......si pikun......pikun..." suaranya semakin lirih dan akhirnya tak terdengar lagi. Tak lama kemudian sebuah botol melayang keluar dari dalam kemah mini, disusul sebuah botol lainnya yang masih berisi setengah arak.
Sesaat kemudian sebuah kaki putih yang halus mulus dan indah terjulur keluar dari dalam kemah dengan gemetar, tapi cepat-cepat menyurut lagi, perlahan-lahan dan pasti terdengar suara napas mulai menderu, semakin cepat dan cepat lagi. Apakah mereka kedinginan" Kenapa seluruh kemah mini itu serasa bergetar"
Sang surya akhirnya merambat naik perlahan-lahan. Sinar surya yang baru saja terbit serasa lembut san hangat seperti dengus napas seorang bayi.
Terdengar suara lagi dari dalam kemah mini.
Itulah suara Coh Liu-hiang : "Agaknya hari sudah terang tanah."
"Belum, belum......umpama sudah terang tanah juga tidak menjadi soal, semua orang disini semalam sudah rebah semua karena terlalu banyak minum arak, mana mereka bisa bangun begini cepat?" kata Pipop-kongcu, suaranya kedengarannya seperti merintih penuh kenikmatan.
Coh Liu-hiang tidak bicara lagi, agaknya dia setuju orang tetap mengeram didalam kemah mini itu.
Tiba-tiba Pipop-kongcu bersuara lagi: "Aku berbuat begini baik kepadamu, tahukah kau apa maksudku?"
"Meskipun aku ini bukan laki-laki yang suka iseng, tapi sungguh tak habis aku mengerti kecuali si gadis mencintai laki-laki itu sampai dia rela menyerahkan dirinya, memangnya masih ada sebab lainnya?"
"sudah tentu aku menyukai kau, tapi jikalau tiada lain tujuan, akupun takkan.....takkan demikian."
"Masih lantaran apa kau?"
Sesaat Pipop-kongcu termenung, lalu menjawab pelan-pelan : "Karena aku takkan menikah sama kau."
"O?" Coh Liu-hiang bersuara heran.
"Bukan saja aku tidak bakal menikah dengan kau, malah kelak......pertemuan kita kelakpun mungkin amat terbatas."
"O?" "O, o, o,.....," mendadak Pipop-kongcu berteriak sengit : "Memangnya kau bisu dan hanya bisa menjawab "O" saja, memangnya kau tidak punya komentar?"
"Komentar apa yang harus kuberikan?"
"Kau, kau, sedikitnya kau harus tanya kepadaku, kenapa aku tak bisa menikah dengan kau?"
"Kalau kutanyakan, apakah kau sudi menjawab!"
Agaknya Pipop-kongcu tertegun, lama juga berdiam diri, katanya kemudian sambil menghela napas : "Aku takkan jelaskan."
"Justru aku tahu kau takkan menjelaskan maka aku tidak bertanya."
"Kau.......masakan sedikitpun tidak sedih atau mendelu" Seumpama hatimu tidak perih pantasnya kau berujar beberapa kata."
Sejak semula sudah kuberitahu kau, aku selamanya tak pernah berbohong.
"Kau..........kau bergajul, benar-benar tidak merasa rawan?"
"Bicara terus terang, seumpama kau pasti harus menikah sama aku, apakah aku bakal mempersunting kau, bagi aku masih merupakan tanda tanya?"
"Plak," sekonyong-konyong terdengar suara gamparan keras, sesosok badan orang menerobos keluar dari kemah itu, dari pakaian kelihatannya seperti Coh Liu-hiang.............Eh! Coh Liu-hiang mana bisa memelihara rambut sepanjang itu" Apakah dia Pipop-kongcu yang mengenakan pakaian Coh Liu-hiang"
Bagai terbang kakinya melangkah terbirit-birit, mulutnya masih mencaci maki kalang kabut :
"Kau dasar bergajul, laki-laki hidung belang, kau......kau ulat busuk, seumpama seluruh laki-laki dalam dunia ini pada mampus, aku tidak sudi menikah sama kau !"
Suasana masih hening gelap, memang belum ada seorangpun yang bangun.
Dengan tangan terbungkus kemul bulu angsa merah itu, dengan merunduk-runduk Coh Liu-hiang lekas berlari masuk ke dalam kemahnya seperti pencuri yang sedang beroperasi, untung Ki Ping-yan masih tertidur lelap.
Dari kepala sampai kekaki seluruh badannya mengkeret ke dalam selimut, sampai bernapaspun kelihatannya amat susah, lekas Coh Liu-hiang mencari pakaian dan mengenakannya, tapi orang tetap tidur nyenyak tanpa bergerak setengah mati.
Coh Liu-hiang tiba-tiba tertawa, katanya : "Aku tahu sejak tadi kau sudah siuman, tak perlu kau pura-pura tidur, memangnya apa yang barusan kulakukan tidak perlu main sembunyi di depan matamu, toh soal mau sama mau bukan suatu yang memalukan."
Ki Ping-yan tetap memeluk lutut, tanpa memberi reaksi, tidak bergerak!
"Seorang laki-laki yang normal, berhadapan dengan gadis yang ketagihan, ditengah malam buta yang dingin dan sepi ini, coba kau katakan, apa pula salahnya?"
Coh Liu-hiang sendiri jadi bingung, apakah dia sedang memberi penjelasan kepada orang lain atau penjelasan untuk membela perbuatan diri sendiri. Yang terang Ki Ping-yan tetap tidak pedulikan ocehannya.
Coh Liu-hiang membetulkan letak pakaiannya, sambil menghela napas, ujarnya : "Dihitung-hitung, Siau Oh lah yang serba menderita, boleh dikata suatu penipuan perkawinan, calon istrinya itu, ternyata dari kepala sampai ujung kakinya tak pernah berani mengunjukkan diri, aku akan keheranan kalau istrinya itu bukan perempuan jelek."
Mendadak dilihatnya seseorang menerobos masuk, kiranya Oh Thi-hoa.
Coh Liu-hiang kira mendengar kata-katanya ini, seumpama tidak berjingkrak marah marah tentulah raut muka Oh Thi-hoa membesi buruk, siapa tahu Oh Thi-hoa justru melangkah maju dengan berseri tawa puas dan terhibur, bukan saja tidak marah, malah kelihatan amat riang.
Coh Liu-hiang sendiri yang melongo marah.
Dilihatnya Oh Thi-hoa tertawa cengar-cengir duduk dihadapannya, cengar-cengir mengawasi dirinya, seperti baru saja dia mendapatkan sekeping uang emas besar dari tanah.
Coh Liu-hiang mendengus hidung, tanyanya memancing : "Kau.........apa kau baik-baik?"
"Baik sekali!"
"Kau.........sudahkah kau melihat mempelai perempuan!"
"Memangnya kau kira aku menantu pikun" Tanpa melihat istrinya lantas membolos keluar dari kamar pengantin?"
"Jadi kau....kau.......kau tidak marah?"
"Kenapa aku harus marah" Boleh dikata selama hidupku belum pernah hatiku seriang ini."
Apa kau sudah sadar dari mabuk"
"Selamanya belum pernah aku sesadar sekarang ini."
Coh Liu-hiang malah menjublek.
"Tentunya kau sudah tahu bahwa istri baruku itu bukan Pipop-kongcu."
"Em!"
"Maka kau pikir, kalau calon istriku semula tak berani unjuk muka didepan umum, tentulah dia bermuka burik, bertampang jelek seperti setan, kalau tidak kenapa dia tak berani unjuk muka......benar tidak?"
Coh Liu-hiang bersungut-sungut: "Ya, mungkin tidak terlalu jelek, cuma...."
"Tak perlu kau ikut prihatin bagi aku, tak perlu membujuk dan menghiburku. Ketahuilah bukan saja istriku tidak jelek, malah berani kukatakan kecantikannya sepuluh kali lipat lebih elok, rupawan dan jelita dari Pipop-kongcu."
Kini Coh Liu-hiang benar-benar melongo, kalau tuan putri yang tua itu begitu cantik, kenapa sebelum ini tidak berani berhadapan muka dengan orang lain" sungguh ia kurang percaya.
"Apa kau tidak percaya?" teriak Oh Thi-hoa keras.
Coh Liu-hiang mengelus hidung, sahutnya tertawa geli: "Ini, mungkin....!"
Oh Thi-hoa berjingkrak berdiri, serunya : "Baik! Kau tidak percaya, mari kuajak kau menemuinya." Belum Coh Liu-hiang sempat buka suara, Oh Thi-hoa sudah menyeretnya.
Keadaan di luar masih sunyi senyap, bayangan seorangpun tak kelihatan.
"Sepagi ini, kau lantas menyeretku membuat geger di kamar pengantin, apa tidak lucu?" kata Coh Liu-hiang.
"Ah, saudara sendiri, memangnya ada persoalan apa?"
Seumpama kau sendiri merasa tiada apa-apa tapi istrimu"
"Ketahuilah bukan saja istriku itu teramat cantik, malah wataknya baik, sikapnya lemah lembut penuh kasih sayang, pandai meladeni dan.............dan..........sungguh aku tak bisa bilang apa yang harus kupujikan padanya."
Mendengar kata-kata orang, mau tidak mau Coh Liu-hiang ikut girang, katanya tertawa:
"Agaknya orang bodoh mempunyai rejekinya sendiri yang lain dan jauh artinya, "belum habis kata-katanya Oh Thi-hoa sudah menariknya menerobos masuk ke dalam kamar pengantin.
Kamar pengantin yang dimaksud adalah sebuah kemah tersendiri yang baru saja dibangun, keadaan didalam tak ubahnya seperti sebuah istana raja, segala sesuatunya serba baru, mewah dan megah, mungkin baru saja mengalami perjuangan atau kerja berat sampai mempelai perempuan malas bangun, kelihatan masih rebah di atas ranjang, hanya rambutnya saja yang kelihatan terurai di luar kemul yang tebal itu.
Begitu berada didalam kamar Oh Thi-hoa lantas berkaok-kaok: "Ada tamu datang lekaslah bangun! Inilah sahabatku yang paling akrab, seumpama saudara sepupuku, tidak perlu kau malu-malu kucing dihadapannya."
Orang lain setelah menikah tiga bulan, suami istri setiap beradu muka sang istri masih sering menunjukkan rasa malu, tapi Oh Thi-hoa menikah belum setengah hari, tingkah dan sikapnya sudah seperti suami istri lanjut usia.
Sudah tentu Coh Liu-hiang hampir terloroh-loroh geli namun iapun ikut senang bagi perkawinan Oh Thi-hoa kali ini, jikalau mempelai perempuan tidak mencocoki seleranya mana mungkin orang bersikap begitu wajar dan terbuka.
Tapi mempelai perempuan tetap meringkuk dalam kemul, malah tidak bergerak. Dengan langkah lebar Oh Thi-hoa memburu maju, katanya sambil tertawa : "Cepat atau lambat kau toh pasti akan menemui dia, kenapa........" kata-katanya mendadak berhenti seperti mulutnya tiba-tiba disumbat sesuatu benda, rona mukanyapun seketika berubah kaku kering.
Darah! Kemul beludru yang masih baru itu tampak berlepotan darah. Dengan tangan gemetar Oh Thi-hoa menyingkap kemul itu dengan sekali hentakan. Jelas kelihatan perempuan yang meringkuk didalam kemul itu ternyata sudah mati.
Serasa terguling jatuh dari atas loteng tinggi, seketika lemas lunglai sekujur badan Oh Thi-hoa.
Lekas Coh Liu-hiang memburu maju, memayang badannya : "Kapan kau meninggalkan kamar ini?"
"Aku.........aku..........baru saja keluar mencari kau..........."
"Dalam waktu sesingkat itu ada orang lain masuk dan menurunkan tangan jahat! Siapakah dia" Ada dendam atau permusuhan apa kau dengan dia" Kenapa setengah hari setelah pernikahan dia membunuh........"
Tiba-tiba Oh Thi-hoa berjingkrak berdiri, teriaknya : "Kau kira dia inikah mempelai perempuannya?"
"Memangnya bukan dia?" Coh Liu-hiang kaget.
"Sudah tentu bukan, siapa perempuan ini seumur hidup aku tak pernah melihatnya."
"Jadi........jadi, dimana mempelai perempuan yang tulen?"
"Iya! Dimanakah dia" Terang tadi dia masih rebah didalam selimut." Sembari berteriak-teriak ia sibuk mencari kian kemari dan melongok kolong ranjangnya. Siapa perempuan ini" Bagaimana bisa berada di kamar pengantin ini" Siapa pula pembunuhnya" Kemana sebenarnya mempelai perempuan yang tulen"
Oh Thi-hoa hanya keluar sebentar saja tapi kenyataannya pembunuhan sudah terjadi begitu cepat dan besar didalam kamar pengantinnya! Sungguh seumur hidup Coh Liu-hiangpun belum pernah mengalami peristiwa seaneh ini.
Tampak mayat perempuan ini dibagian mukanya sudah melembung besar, dapatlah dibayangkan diwaktu masih hidup raut mukanya tentu teramat jelek, kini di dadanya yang telanjang itu ternyata telah berlubang oleh jari-jari yang kuat, sungguh bukan buatan ngeri dan seram keadaannya.
Sebetulnya apakah yang telah terjadi" gerutu Oh Thi-hoa membanting kaki. Perempuan ini kenapa bisa rebah telanjang bulat di atas ranjangku" Kapan dia masuk kemari" Masakah istriku itu tidak mengetahuinya"
"Yang terang perempuan ini tentu bukan masuk kemari sendiri," kata Coh Liu-hiang dengan suara berat.
"Dari mana kau bisa tahu?"
Walau darah berlepotan di atas kemul, sedikitpun kasur dan seprai tidak kotor, dari sini dapat kita simpulkan bahwa perempuan ini dibunuh lebih dulu, baru dipindahkan ke atas ranjang.
"Kalau begitu lebih aneh lagi, setelah orang itu membunuhnya, kenapa harus dipindahkan lagi ke atas ranjang?"
Bersambung ke Jilid 19
Jilid 19 "Waktu kau keluar tadi apakah benar istrimu masih rebah di atas ranjang?"
"Tidak salah, jelas sekali dia mendengkur nyenyak, kini kenapa menghilang?"
Coh Liu-hiang mengerut kening, sungguh diapun bingung dan belum bisa mengambil gambaran dari kejadian misterius ini, apa pula latar belakang didalam kejadian serba aneh dan rahasia ini.
Oh Thi-hoa berlari dan berkaok-kaok : "Tolong! Tolong! Ada orang mati didalam kamarku, lekas kalian kemari, periksalah siapa dia?"
Orang yang memburu datang pertama kali adalah Pipop-kongcu, disusul Kui-je-ong yang kelihatan masih ngantuk, dengan mata sepat berlari terhuyung-huyung. Begitu mereka melihat mayat di atas ranjang, seketika berdiri menjublek berubah hebat air mukanya.
Seru Oh Thi-hoa : "Siapa perempuan ini", kalian..."
Belum habis kata-katanya Kui-je-ong tahu-tahu merenggut bajunya, serunya menggembor :
"Kenapa kau membunuhnya?"
"Aku membunuhnya?" seru Oh Thi-hoa naik pitam, "Apa kau melihat setan" Selamanya aku tak kenal dia, kenapa harus membunuhnya?"
"Meskipun tampangnya rada jelek, jelek-jelek dia sudah menjadi istrimu, kenapa kau turun tangan begitu keji" kau, kau bukan manusia, kau binatang!"
Oh Thi-hoa berjingkrak kaget, serunya: "Apa katamu" Perempuan ini......adalah.........adalah istriku?"
Merah padam biji mata Kui-je-ong, serasa hampir gila, dia mendamprat: "Seandainya dia bermuka rada jelek, betapapun dia putri raja yang masih suci bersih, memangnya dia tidak setimpal menjadi istri bajingan seperti tampangmu" Kau......umpama kau tidak sudi mengawini, tidak seharusnya......."
Sekali ayun tangannya Oh Thi-hoa dorong orang jatuh duduk di atas tanah, serunya terbelalak kaget: "Orang ini gila, orang ini sudah gila!"
Kaulah yang gila! damprat Kui-je-ong.
Heran, bingung dan curiga menyelimuti sanubari Coh Liu-hiang, lekas ia bantu memayang Kui-je-ong berdiri, katanya berat : "Siapa sebenarnya perempuan diatas ranjang ini" Apa Ongya mengenalnya?"
Putriku sendiri, kenapa aku tidak mengenalnya"
"Jadi yang kawin dengan Oh Thi-hoa semalam adalah nona ini?"
"Sudah tentu putriku ini."
Oh Thi-hoa menyelutuk hampir berteriak: "Bukan dia, pasti bukan dia, aku melihat jelas sekali dengan mata kepalaku sendiri, calon istriku itu adalah gadis rupawan yang cantik jelita, terang bukan si buruk rupa ini!"
"Aku sendiri yang kawinkan putriku kepadamu, memangnya aku tidak tahu!"
Mempelai laki-laki bilang si korban pasti bukan istrinya, sebaliknya sang mertua secara kukuh mengakui si korban sebagai putrinya. Kejadian seaneh ini sungguh jarang terjadi di dunia ini, Coh Liu-hiang seperti tergencet ditengah-tengah, ia jadi sukar berketetapan pihak mana yang harus ia percayai omongannya"
Oh Thi-hoa membanting kaki, serunya : "Kalau perempuan jelek ini adalah mempelai perempuan, lalu siapa perempuan cantik yang bergaul sama aku semalam" Memangnya ada orang lain yang memalsu calon istriku ini?"
"Kau sudah membunuhnya, kini kau mengarang cerita bohong untuk mendustai orang lain?"
"Kenapa aku harus menipu kau" Memangnya semalam aku bertemu dengan setan?"
"Coba kutanya," tiba-tiba Pipop-kongcu menyela bicara, "Kalau kau katakan dia bukan istrimu, memangnya kemana perempuan yang semalam bergaul dengan kau" Asal kau bisa menyeretnya keluar, kita akan percaya padamu."
"Aku.........aku.........." bahwasanya dia memang tidak tahu kemana perempuan cantik yang dia anggap sebagai istrinya dan gaul sama dirinya semalam, dia hanya keluar sebentar, kenyataan istri cantik bak bidadari itu tahu-tahu hilang tak karuan rimbanya.
Pipop-kongcu tertawa dingin, katanya : "Seumpama semalam perempuan yang kau hadapi bukan kakakku, kenapa kakakku tahu-tahu sudah ajal di atas ranjangmu" Kalau bukan kau yang membunuhnya, siapa pembunuhnya?"
Tentu kalian sengaja mengganti yang tulen dengan yang palsu, tapi akulah yang menjadi korban dan difitnah semena-mena.
"Kentut!" maki Kui-je-ong, masakah aku tega membunuh putri kandungku sendiri?"
Bukti dan kenyataan, Oh Thi-hoa sendiri menyadari apa yang dia katakan bahwasannya sukar bisa membuat orang lain percaya, terpaksa dia memburu kedepan Coh Liu-hiang, serunya gugup :
"Kau,............kenapa kau tidak bantu aku bicara" Memangnya kaupun tidak percaya padaku?"
Coh Liu-hiang menghela napas, ujarnya : "Apa yang harus kukatakan?"
"Baik! Kalian sama tak percaya kepadaku, sampai kaupun bantu orang lain memfitnah aku, sungguh penasaran! Seumpama memang aku yang membunuhnya, mau apa" Siapa suruh kalian menipuku untuk mempersunting perempuan jelek ini?"
"Kau sudah membunuh jiwa orang, harus menebus dengan jiwamu pula." Damprat Pipop-kongcu. ditengah gerungannya, kesepuluh kuku jarinya tahu-tahu mencengkeram ke leher Oh Thi-hoa.
Gerak serangannya ini sungguh cepat dan gesit. Tapi orang macam apa Oh Thi-hoa, masakan gampang kecundang" Sudah tentu ia tidak pandang sebelah mata ilmu silat lawan. Bentaknya gusar: "Minggir! Aku belum ingin melukai kau, tapi jangan kau ganggu dan membuatku gusar!"
cukup ia gerakkan sebelah tangan tahu-tahu badan Pipop-kongcu tertolak mundur seperti diterjang angin badai.
"Kau.........kau hendak lari?" Seru Kui-je-ong.
Oh Thi-hoa tertawa terloroh-loroh, "Mau pergi kenapa" Siapa yang mampu merintangi aku?"
"Kau takkan lolos!" teriak Kui-je-ong. Ditengah gerungan kemurkaannya, tujuh delapan tombak gantolan tahu-tahu menusuk kedalam dari luar kemah.
Melirikpun tidak, tahu-tahu sebelah tangan Oh Thi-hoa menyambar dua ujung tombak gantolan diantaranya, tahu-tahu sudah terenggut olehnya, sedikit sendal dan tarik kedepan, dua orang tahu-tahu terseret maju tersungkur ke dalam kemah. Serempak beberapa busu yang lain menghardik murka, delapan tombak terbagi ke berbagai sasaran kembali menusuk datang lagi.
Gerakan Oh Thi-hoa laksana angin puyuh, maka terdengar jeritan kesakitan saling susul, delapan busu sama terjungkal roboh diiringi senjata masing-masing yang jatuh kerontangan tiada satupun yang utuh.
Kui-je-ong belum pernah saksikan kegagahan yang luar biasa seperti ini, seketika ia terkesima mematung di tempatnya.
Tampak dengan langkah lebar Oh Thi-hoa beranjak keluar sambil angkat dada, serunya bengis: "Siapa pula yang berani maju, biar kugencet batok kepalanya sampai hancur luluh."
Serombongan busu yang bersenjata lengkap di luar sana sama berdiri melongo, tiada seorangpun yang berani maju. Sekonyong-konyong sesosok bayangan orang berkelebat, tahu-tahu seseorang menghadang di depan Oh Thi-hoa.
Berubah muka Oh Thi-hoa, tiba-tiba ia terkial-kial: "Bagus! Kaupun turut mencegatku! Biarlah hari ini kita menentukan siapa yang lebih unggul di sini."
Coh Liu-hiang menarik napas dengan geleng kepala, ujarnya : "Masakah aku mau bergebrak dengan kau?"
"Kalau demikian, marilah kita pergi bersama."
"Kau tidak boleh pergi."
"Kenapa?"
"Kalau kau tinggal pergi begitu saja, penasaranmu takkan tercuci bersih."
"Memangnya kenapa kalau tidak bisa mencuci penasaranku" Yang terang dalam hatiku, aku tak pernah berbuat kejahatan seperti ini, persetan apa yang dikatakan orang lain, biar ku anggap kentut melulu."
"Persoalan lain tak menjadi soal, tapi peristiwa ini harus dibikin jelas!"
"Aku sudah tahu kau memang berat untuk meninggalkan tempat ini, baiklah! kau tidak mau, biar aku pergi sendiri, "belum habis kata-katanya kembali Coh Liu-hiang merintangi, "Kau berhak menghalangiku?"
"Kemana kau hendak pergi?"
"Ke tempat mana aku bisa pergi?"
"Gurun pasir jangan kau anggap Tionggoan, seorang diri kemanapun kau tidak bisa pergi."
"Kalau kau tidak mau ikut, walau aku mampus tak perlu kau kuatirkan diriku."
"Tahukah kau, si pembunuh memang sengaja menyudutkan kau sehingga kau pergi demikian saja, kalau kau pergi berarti terlaksana keinginan dan maksud-maksud jahat selanjutnya."
"Memangnya apa kehendakmu?"
"Kau harus tetap di sini, dalam tiga hari pasti aku bantu kau menemukan si pembunuh, jikalau sekarang kau berkeras mau tinggal pergi, meski harus adu jiwa aku akan berusaha merintangimu."
"Jikalau orang lain bicara begini rupa terhadapku, jangan heran kalau aku melabrakmu, tapi kau ..kau ulat busuk ini, menghadapimu sungguh aku kehilangan akal." Mendadak Oh Thi-hoa membanting kaki, serunya. " Baik! Kuterima usulmu, tinggal di sini, kalau toh kau ingin batok kepalaku, terpaksa secara sukarela biar kugorok dan persembahkan kepadamu dengan kedua tanganku."
Dari kejauhan Kui-je-ong mendengar percakapan mereka, timbul pula nyalinya, bentaknya:
"Mana orangku! Lekas ringkus dia!"
Para busu bertombak itu bangkit pula keberaniannya, beramai-ramai mereka menerjang maju pula.
Maka terdengarlah suara jeritan gemerantang dan gedebukan, puluhan batang tombak entah bagaimana, tahu-tahu sudah berada ditangan Coh Liu-hiang, enteng sekali kedua tangannya bekerja sekaligus terdengar pula suara peletak-peletok batang-batang pedang itu sama-sama kutung dan tercecer di tanah.
Berubah roman muka Kui-je-ong, serunya: "Kau........kenapa kau?"
Kata Coh Liu-hiang : "Kalau dia bilang mau tinggal di sini, pasti takkan pergi, dalam tiga hari lagi aku pasti dapat meringkus pembunuhnya, tapi jangan sekali kali diantara kalian ada yang berani mengganggu seujung rambutnya."
"Dia....jikalau dia lari?"
"Kalau dia pergi, aku yang menebus jiwa putrimu."
"Kalau kau tidak berhasil membekuk si pembunuh dalam tiga hari?"
"Dalam tiga hari kalau dia tak berhasil meringkus pembunuhnya, biar akupun menebus jiwa putrimu," sela Oh Thi-hoa aseran.
Kedua orang ini sama menyerahkan jiwa sendiri sebagai pertanggungan kepada orang lain, sahabat macam ini memang jarang diketemukan dalam dunia ini.
Lama Kui-je-ong melongo, katanya kemudian : "Baik, aku percaya padamu."
Coh Liu-hiang tarik Oh Thi-hoa masuk ke dalam kemahnya sendiri.
Pipop-kongcu menghirup hawa, katanya menggumam : "Kedua orang ini jelas bisa tinggal pergi dengan mudah, namun mereka justru tak mau pergi, malah bersumpah segala, untuk apakah mereka sebenarnya" Apakah benar kakakku bukan mereka yang membunuhnya?"
Kui-je-ong berkata : "Bukan dia, siapa yang membunuh" Masakah benar-benar terjadi dalam dunia ini ada perempuan yang memalsu istri orang lain"
Oh Thi-hoa sedang menggumam : "Bicara terus terang aku sendiripun tidak berkukuh hendak pergi, sebelum peristiwa ini dibikin terang sungguh penasaran benar hatiku. Kalau yang mati itu benar putri Kui-je-ong, lalu siapakah perempuan yang kuhadapi semalam" Kenapa dia memalsu mempelai perempuan" Adakah manfaatnya bagi dia?"
"Masakah kau tidak mengerti?"
"Memang aku tak habis mengerti."
"Pertama kau harus percaya, nona yang mati itu memang putri Kui-je-ong, atau istrimu!"
"Kenapa aku harus percaya ?" sentak Oh Thi-hoa.
Coh Liu-hiang tertawa getir, ujarnya : "Lantaran putrinya yang satu ini buruk rupa, maka Kui-je-ong selalu kelabui kau, kalau tidak mana Pipop-kongcu berani main trobosan kian kemari, kenapa dia selalu menyembunyikan diri?"
Oh Thi-hoa menarik napas, mulutnya terkancing.
Kau harus tahu pula, bukan pagi hari ini dia dibunuh, barusan kuperiksa sedikitnya dia sudah mati empat lima jam sebelumnya.
"Empat lima jam" Jadi sebelum aku masuk ke kamar pengantin, dia sudah dibunuh?"
"Ya, begitulah kejadiannya."
"Tapi mayatnya........."
"Dikolong ranjang ada noda-noda darah, setelah membunuhnya, tentu mayatnya disembunyikan di bawah ranjang, lalu dia sendiri menyaru sebagai mempelai perempuan tidur di atas ranjang."
"Maksudmu......waktu semalam kami gaul di atas ranjang, ada mayat dikolong ranjang?"
"Tidak akan salah."
Bergidik dan merinding Oh Thi-hoa dibuatnya, "Dia.......dia tahu bahwa dikolong ranjang ada mayat, masih begitu asyik main dengan aku........bergaul sama aku di atas......!" Serasa hampir saja muntah-muntah, sampai kata-katanyapun tenggelam dalam tenggorokan.
"Tadi waktu kau keluar mencariku, segera ia pindah mayat di bawah itu ke atas ranjang, tujuannya adalah untuk menjebak kau, supaya Kui-je-ong menuduh kaulah pembunuhnya."
"Kenapa dia berbuat demikian?"
"Karena jikalau kita berserikat dengan Kui-je-ong, terang tidak menguntungkan bagi gerakannya, perbuatannya ini ditujukan untuk mengadu domba hubungan kita dengan Kui-je-ong, diapun sudah perhitungkan apapun yang kau katakan pasti tak dipercaya oleh mereka, kalau murka kau tinggal pergi, mungkin dia hendak bikin kau mampus ditengah gurun pasir."
Oh Thi-hoa menyeka keringat dingin di atas jidatnya, katanya : "Masakah dia itu.......adalah..........adalah"
"Orang yang menyamar mempelai perempuan kemungkinan adalah Ciok-kwan-im sendiri."
tutur Coh Liu-hiang.
Gemetar dingin sekujur badan Oh Thi-hoa.
"Konon khabarnya Ciok-kwan-im adalah perempuan cantik yang jarang terlihat di kalangan Kangouw, meski usianya rada lanjut, tapi tentulah dia pandai merawat badan, disamping dia pandai merias diri, apalagi ditengah malam kaupun sedang mabok."
Oh Thi-hoa tutup mukanya, teriaknya keras : "Oh Thian!" badannya roboh terlentang menggeletak di atas ranjang, tapi Ki Ping-yan yang tidur di atas ranjang masih meringkel nyenyak, seperti tidak merasa ada orang menindih ke atas badannya.
Sedikit berubah air muka Coh Liu-hiang, sekali raih ia tarik badan Oh Thi-hoa, mulutnya memonyong ke atas ranjang, begitu beradu pandangan, terasa dingin hati mereka.
Biasanya Ki Ping-yan cukup cerdik, cekatan dan waspada, seumpama dirumah sendiri diapun takkan tidur begini lelap, jikalau diapun mengalami sesuatu...
Oh Thi-hoa tiba-tiba mengerung, terus menubruk ke arah ranjang, sekali sentak ia tarik kemul beludru itu.
Orang yang meringkel didalam selimut ternyata bukan Ki Ping-yan, tapi seorang busu Kui-je, pakaian yang dia kenakan masih seragam untuk pesta pora semalam, sampaipun sepatunya tidak dicopot.
Oh Thi-hoa cengkeram rambut orang, terus dijinjingnya dari atas ranjang, bentaknya bengis:
"Bagaimana kau bisa tidur di atas ranjang ini" Katakan! Lekas katakan!"
Busu itu seperti tidak bertulang badannya, lemas lunglai tergantung oleh jinjingan tangan Oh Thi-hoa yang kokoh kuat.
Coh Liu-hiang mengerut alis, katanya: "Orang ini tertotok jalan darahnya."
Belum habis kata-katanya Oh Thi-hoa sudah bergerak secepat angin membuka totokan Hiat-to orang, baru saja dia hendak ulang pertanyaan tadi. Tak nyana baru saja busu ini membuka mata, dia sudah menjerit terlebih dahulu, serunya: "Lho, aku kok berada di sini" Apakah yang telah terjadi?"
"Apa yang telah terjadi, memang aku hendak tanya kau," damprat Oh Thi-hoa.
Sekeras-kerasnya si Busu gelengkan kepalanya, kiranya mabuknya belum hilang, kepala masih pening, dengan kedua tangan ia ketuk kepala sendiri berulang kali, mendadak ia berseru keras : "Sudah kuingat, semalam aku minum terlalu banyak, aku keluar mau kencing, waktu aku membalikkan badan entah bagaimana tahu-tahu aku direnggut dan diseret ke dalam sini, selanjutnya apapun aku tidak tahu."
"Siapa yang menyeretmu kemari?" tanya Oh Thi-hoa.
"Cepat sekali gerakan orang itu, aku........seumpama aku dalam keadaan sadar juga takkan bisa melihatnya."
"Biar kuhajar kau, nanti kau akan bisa melihatnya." Begitu membalik punggung, tangannya melayang hendak menggampar muka orang, untuk Coh Liu-hiang lekas menariknya, selanya :
"Lepaskan dia pergi!"
Sudah tentu Oh Thi-hoa kurang senang, baru saja jarinya terlepas, Busu itu lantas berlari keluar dengan langkah sempoyongan. Oh Thi-hoa membanting kaki : "Keparat ini tentu komplotannya, entah kemana............" dia hendak katakan poyokan jago mampus, tapi setiba di ujung mulut, terasa diwaktu seperti ini tidak enak dia bicara soal mampus, segera ia ganti haluan :
"Lo-ki juga tentu terjatuh ke tangan mereka, keparat ini yang disuruh........"
"Begitu Hiat-to orang ini terbuka, dia lantas siuman, ilmu totokan yang tidak melukai badan dan menghilangkan daya ingatan seperti ini memang ilmu tunggal Lo-ki, tak mungkin orang lain menirunya."


Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maksudmu keparat ini tertotok dan dibekuk kemari oleh Lo-ki?"
"Tentu begitulah kejadiannya."
"Kenapa jago mampus harus menggunakan permainan ini" Saat ini ditempat ini masih punya hati dia main guyon-guyon dengan kita, kemana pula dia pergi seorang diri?" Begitu bernapsu bicara, tanpa sadar ia gunakan juga poyokan jago mampus.
Coh Liu-hiang menghela napas, katanya tertawa getir: "Orang lain sering menyangka Lo-ki seorang yang tahan uji dan sabar, bahwasannya dia dingin dimuka panas didalam, seperti pula kau dan aku, semalam aku bilang supaya musuh tangguh itu serahkan kepadaku saja, mulutnya diam saja, hatinya tentu kurang senang, maka menurut rekaanku, ia sekarang pergi cari musuh tangguh itu untuk bertanding."
"Darimana ia bisa tahu dimana musuh tangguh itu berada?"
"Sutou Liu-che sudah menunjukkan arah dimana kemah mereka, masakah Lo-ki takkan bisa mencarinya?"
Oh Thi-hoa berpikir sebentar, mendadak ia lari menerjang keluar. Lekas Coh Liu-hiang menahannya, tanyanya : "Apa yang hendak kau lakukan?"
"Belum tentu Lo-ki menjadi tandingan orang itu, sudah tentu aku harus susul dia memberi bantuan."
"Kau sudah lupa akan sumpah janjimu kepada mereka?"
Saking gugup Oh Thi-hoa membanting kaki serunya: "Lalu bagaimana baiknya?"
Kau tinggal disini, biar aku pergi mencarinya!
"Kini kita bertiga harus berpencar, Ciok....Ciok-kwan-im itu bila..."
Semalam jadi suami istri dikenang seratus hari, masakah dia tega melukai kau.
Merah muka Oh Thi-hoa, lehernya seperti melepuh besar, serunya menggerung : "Ulat busuk, sekali lagi kau mengolok dan mencemooh diriku, kulabrak kau."
Aku hanya ingin mengatakan bahwa Ciok-kwan-im sudah terlanjur berbuat demikian untuk mengadu domba hubungan kita dengan Kui-je-ong, terang untuk sementara dia tidak akan mau unjuk diri berhadapan langsung dengan kita, sudah tentu diapun tahu bahwa kita tidak boleh dibuat main-main.
"Hm!" Oh Thi-hoa mendengus geram.
Coh Liu-hiang menepuk pundaknya, katanya : "Duduklah dan minum dua cawan arak untuk menghilangkan kerisauan hatimu, aku tidak akan lama pergi."
Belum lama Coh Liu-hiang keluar, laki-laki raksasa itu melangkah masuk ke dalam kemah, kontan Oh Thi-hoa mendelik kepadanya, tanyanya aseran : "Untuk apa kau kemari?"
Dengan kedua lengannya yang berotot kekar, Ganial memeluk dada, diapun balas melotot tanpa buka suara.
"Jadi kau hendak mengawasiku?"
"Hm!" Ganial mengejek.
Oh Thi-hoa tiba-tiba tertawa besar, serunya : "tuan besarmu bilang tak pergi, ya tidak akan minggat, jikalau tuan besarmu mau pergi, memangnya kau kepala dogol ini bisa merintangi aku?"
mulut bicara tiba-tiba kepalannya menjotos.
Ganial ulurkan tapak tangannya yang segede kipas, pundak kiri Oh Thi-hoa menjadi sasaran cengkeraman jarinya. Tak nyana pergelangan tangan Oh Thi-hoa berputar dengan enteng dan lincah, dengan nakal ia gelitikkan ketiak orang.
Laki-laki raksasa ini memang berbadan kekar laksana baja dan berotot kawat, ternyata paling takut digelitik, begitu jari-jari Oh Thi-hoa menyontek ketiaknya, seketika dia terbahak-bahak geli, saking geli sampai terpingkal-pingkal memeluk perut.
Sedikit memiringkan badan, badan Oh Thi-hoa menerjang dengan pundaknya, badan Ganial yang kokoh besar seberat dua ratus kati lebih itu, seketika keterjang terbang terguling-guling.
Dengan menepuk-nepuk tapak tangan, mulut Oh Thi-hoa berkaok-kaok : "Bawa arak kemari, kalian hendak menahan tuan besarmu disini, kalian harus sediakan makan minum tuan besarmu."
Rasa gemas dan kedongkolan hatinya dia lampiaskan kepada orang-orang rendahan ini.
Kalau lahirnya Coh Liu-hiang bersikap tenang dan kelakar, bahwasanya hatinya amat prihatin.
Memang untuk kesekian kalinya dia membongkar muslihat Ciok-kwan-im, tapi dia tak kuasa memberikan bukti-bukti di hadapan Kui-je-ong, walau dia memperhitungkan bahwa Ciok-kwan-im berada di sekeliling tempat itu, namun sulit juga dia meraba dimana tempat persembunyian Ciok-kwan-im. Apalagi sekali gagal, pasti Ciok-kwan-im akan mengatur perangkap lain, musuh ditempat gelap, pihaknya ditempat terang, betapapun serangan gelap musuh susah dijaga.
Kini Siau-phoa sudah gugur, Ciok Tho tak keruan rimbanya, Oh Thi-hoa terfitnah dan susah mencuci bersih tuduhan, Ki Ping-yanpun sedang menghadapi mara bahaya, lima orang yang berangkat bersama kegurun pasir, kini sudah berantakan dan bercerai-berai, jejak Soh Yong-yong, Li Ang-siu dan Song Thiam-ji masih belum diketemukan.
Keadaan dan situasi yang begini tidak menguntungkan, betapa hati Coh Liu-hiang tidak akan gundah dan was-was.
Apalagi sekarang dia harus melindungi orang-orang ini, terpaksa harus melindungi Kui-je-ong ayah beranak, betapapun ia tidak akan membiarkan kedua ayah beranak ini mengalami kekejian tangan kejam musuh.
Tapi kenapa semalam Pipop-kongcu mencari dirinya" Apakah perbuatannya mengandung suatu muslihat" Bukankah hendak menahan dan mengelabui mata dan pendengarannya, sehingga tak sempat hiraukan urusan lain"
Coh Liu-hiang menghela napas dengan geleng-geleng. Ia berkeputusan takkan pikirkan persoalan ini lagi, lebih penting temukan dulu Ki Ping-yan.
Apa yang pernah dikatakan sikera hitam Sun Khong dan Sutou Liu-che kalau tak terlalu dibesar-besarkan, maka Ki Ping-yan sekarang sedang menghadapi situasi gawat dan genting, dinilai dari kecerdikan, ketabahan dan keberanian, serta banyak akal muslihat nya dalam menghadapi segala perubahan, tiada orang lain yang sebanding dengan Ki Ping-yan. Tapi kalau dinilai kepandaian silatnya yang sejati, belum tentu Ki Ping-yan bisa mengungguli Oh Thi-hoa.
Tapi gurun pasir seluas ini, selayang pandang ribuan li tanpa kelihatan jejak manusia, ditempat seluas seperti ini, asal sedikit selisih perjalanan saja bakal kesasar dan terpaut ribuan li jauhnya.
Untunglah sang surya baru saja terbit, sinar cahayanya yang terik dan kekuatannya belum unjuk gigi, belum begitu panas namun hawa dingin semalam mulai menguap dan menghilang, saat inilah waktu ternyaman di padang pasir didalam bilangan sehari.
Dengan mengembangkan Ginkang tinggi yang tiada bandingan di seluruh kolong langit, Coh Liu-hiang berlari-lari sekaligus beberapa puluh li sudah dicapainya, kakinya masih belum kelihatan kendor, pandangan matanya yang tajam laksana burung elang tidak menyia-nyiakan setiap benda yang dilihatnya, meski itu hanya sebatang pohon atau selembar daun.
Sekonyong-konyong didengarnya suara gemuruh yang ramai, bergulung-gulung ikut terhembus angin ke arahnya, baru saja hati Coh liu-hiang kaget, matanya sudah melihat jelas, itulah sebuah wajan besar dari besi. Tapi di gurun pasir yang tak kelihatan jejak manusia, darimana datangnya wajan gede ini"
Tampak wajan besar itu terguling-guling dihembus angin puyuh, cepat sekali menggelinding datang, sekali melesat Coh Liu-hiang setombak lebih, dengan ringan ujung kakinya menutul dan menjungkit, sebat sekali ia raih di tangannya, setelah diawasi sekian lamanya, tahu-tahu badannya melambung tinggi melesat ke arah datangnya angin dari mana wajan itu menggelundung datang.
Kali ini matanya dipasang lebih tajam, kira-kira setanakan nasi, di depan dilihatnya pula batu cadas yang sudah kering berubah bentuknya lantaran hembusan angin berpasir, beberapa pucuk pohon Sian-jin-ciang.
Memang Coh liu-hiang belum pernah kelana di padang rumput, tapi setelah mengalami penderitaan dan pahit getirnya kebesaran gurun pasir, tempat ini adalah daerah yang paling baik untuk bercokol dan membuat perkemahan.
Apakah para menteri yang berontak di negeri Kui-je dan pembunuh-pembunuh itu semalam berkemah ditempat ini" Selepas pandang matanya tak kelihatan adanya perkemahan. Sebentar Coh Liu-hiang menerawang, lalu ia berjongkok seperti anjing pemburu yang mengendus-endus jejak buruannya, mendadak ia kerahkan jari-jarinya sekeras baja dan mengeduk serta menggali pasir.
Meskipun bertangan kosong, tetapi dengan kekuatan Lwekangnya, kesepuluh jarinya laksana sepuluh batang garuk besi, beberapa kali galian saja dari tumpukan pasir berhasil dikeduknya kayu-kayu hangus bekas terbakar.
Terang disinilah letak perkemahan atau pos sementara dari para pemberontak negeri Kui-je, mungkin tahu bahwa jejak mereka sudah konangan, maka malam-malam itu juga mereka mengundurkan diri.
Begitu cermat dan hati-hati benar gerak-gerik orang-orang ini, setelah perkemahan dicopot dan mengundurkan diri tanpa meninggalkan jejak yang mencurigakan. Cepat sekali otak Coh Liu-hiang bekerja, ia duga diantara rombongan pemberontak itu pasti terdapat satu dua orang cerdik pandai yang banyak akal muslihatnya sebagai penasehat atau perancang segala langkah-langkah mereka.
Tapi apakah Ki Ping-yan sudah berhasil menemukan tempat ini ataukah sudah menemui orang-orang ini" Jikalau sampai bentrok, pihak lawan banyak, apakah dia sudah mengalami bencana oleh kekejian musuh"
Semakin gundah hati Coh Liu-hiang, dengan cermat matanya menjelajah keadaan sekelilingnya, tiba-tiba dilihatnya di atas permukaan batu cadas itu, bekas-bekas tapak kaki manusia yang ditinggalkan, melesak setengah dim ke dalam batu.
Di gurun pasir, tapak kaki yang ditinggalkan manusia sebentar saja sudah tidak membekas dihembus angin, sebaliknya kedua tapak kaki ini membekas dalam permukaan batu, kalau dikata batu cadas di padang pasir sudah terlalu kering dan keropos menjadi lunak, tapi kalau tidak mengerahkan Lwekang di ujung kaki, tidak mungkin kaki manusia bisa melesak masuk setengah dim, dari sini dapat disimpulkan bahwa tapak kaki ini memang sengaja ditinggalkan di sini.
Diam-diam Coh Liu-hiang menerawang, mungkin Ki Ping-yan sengaja meninggalkan bekas tapak kakinya" Dia sudah tiba di sini dan sembunyi di belakang batu ini mengintip gerak gerik musuh, sungguh di luar dugaannya pihak musuhpun ada seorang yang kosen, jejaknya konangan, maka tokoh kosen dari rombongan pembunuh itu lantas turun tangan melabraknya, baru sekarang dia menyadari kekerdilan tenaganya seorang diri, maka sengaja meninggalkan bekas tapak kakinya di ermukaan batu ini, supaya aku tahu kemana jejaknya.
Karena rekaannya ini, seenteng burung walet, badannya melambung naik ke atas batu cadas, maka segera didapatkannya pula dua bekas tapak kaki lainnya, kedua tapak kaki ini tak begitu dalam ujung kakinya, tertuju ke arah barat.
Coh Liu-hiang membatin pula : "Kedua tapak kaki ini tentu peninggalan Ki Ping-yan, sebelum berlalu dengan tergesa-gesa, saat itu ia bergebrakan antara mati dan hidup dengan tokoh kosen dari rombongan pembunuh itu. Tak urung hatinya jadi gugup dan tegang, maka bekas tapak kakinya tak begitu dalam, dilihat dari jurusan yang tertuju oleh tapak kakinya, jelas bahwa tujuan mereka adalah tepat ke barat. Karena kesimpulan ini, tanpa banyak sangsi Coh Liu-hiang segera kembangkan Ginkangnya pula, berlari menuju ke barat. Tapi baru lari puluhan tombak tiba-tiba ia hentikan langkahnya pula seraya membatin : "Tidak benar!"
Biasanya kalau Ki Ping-yan sudah mengumbar adatnya, dableknya melebihi Oh Thi-hoa.
Jikalau dia sudah kukuh bertanding sampai ajal dengan pembunuh itu, pasti melarang orang lain mencampuri urusannya. Oleh karena itu dia ringkus busu itu untuk mengelabui pandangan orang lain, tujuannya ialah tak suka Coh Liu-hiang mencampuri urusannya dan kemana arah tujuannya, masa mungkin dia mau meninggalkan tapak kakinya, hingga Coh Liu-hiang lebih gampang menemukan jejaknya"
Coh Liu-hiang menghela napas, sebat sekali ia sudah melesat kembali ke atas batu cadas itu.
Kedua kaki tepat berdiri di atas bekas tapak kaki itu, muka menghadap ke barat sementara otaknya sedang diperas untuk berpikir.
Ki Ping-yan tahu cepat atau lambat aku pasti dapat mencarinya sampai di sini, maka sengaja dia meninggalkan bekas tapak kaki ini, supaya aku tahu bahwa dia benar-benar sudah pernah berada di sini tapi ia tidak suka aku mencampuri urusannya, maka sengaja hendak mengaburkan pandangan dan menyesatkan kesimpulanku, lalu ke jurusan mana ia pergi bersama tokoh kosen dari rombongan pembunuh itu" Jurusan selatan jelas ia takkan kesana karena dari arah sana tadi Coh Liu-hiang datang, kalau toh barat juga tidak, jadi tinggal timur dan utara. disaat Coh Liu-hiang bimbang dan kusut pikirannya tiba-tiba terlintas pikirannya.
Sejak kecil Ki ping-yan paling benci sorot matahari yang menyilaukan mata, bila dirumah sering ia tidur sampai lewat lohor baru mau bangun, sebelum hari terang tanah ia takkan tidur.
Karena kebiasaan ini, sudah terang Ki Ping-yan tak akan menuju kearah timur menyongsong matahari yang baru terbit, jadi kesimpulan akhirnya bahwa ia menuju ke utara, meski hal ini tak bisa diputuskan dengan meyakinkan terpaksa harus dicoba dan mengadu untung.
Maka Coh Liu-hiang segera merubah arah berlari ke arah utara. Selama pengalaman beberapa hari ditengah gurun pasir ini, sedikit banyak Coh Liu-hiang sudah menyadari bahwa air merupakan mustika yang lebih berharga dari permata, maka tak luput iapun membawa kantong air yang terbuat dari kulit kambing.
Setelah menenggak beberapa tegukan air, sekaligus ia berlari-lari dua li, tampak tidak jauh di depan sana dilihatnya beberapa pucuk Sian-jin-ciang, tapi seluruhnya sudah gundul terbabat kutung.
Coh Liu-hiang hentikan larinya, dari atas pasir ia jemput setengah potong dahan Sian-jin-ciang, dengan cermat ia awasi bekas papasan dari bagian yang kutung. Jikalau ada orang lain melihat tingkah lakunya ini, tentu orang merasa heran, entah apa sih yang menarik perhatian dari potongan dahan pohon itu, memangnya kutungan dahan pohon itu bisa tumbuh kembang"
Sekian saat Coh Liu-hiang membolak balik dengan teliti, semakin lama alisnya berkerut semakin dalam, mulutnyapun menggumam seorang diri: "Tebasan pedang yang teramat cepat!
Ilmu pedang yang bagus sekali."
Jadi dari bekas kutungan dahan pohon itu dia dapat menilai betapa tinggi tingkat kepandaian ilmu pedang orang yang menebas dahan Sian-jin-ciang ini. Senjata Ki Ping-yan bukanlah pedang, melihat pedang yang dipakai lawannya sedemikian tajam dan ganas, mau tak mau kuatir juga hati Coh Liu-hiang, demi keselamatan Ki Ping-yan kembali ia mondar mandir di sekelilingnya mencari-cari dan menemukan setengah potongan dahan Sian-jin-ciam.
Bekas kutungan Sian-jin-ciang yang ini terang tidak selicin dan serata yang diambilnya semula, terang seperti dipukul kutung dengan semacam senjata berat yang tumpul, justru senjata Ki Ping-yan adalah Boan-koan-pit, Potlot Baja.
Coh Liu-hiang mengamatinya lagi sekian lama, kedua alisnya yang berkerut lambat-lambat mengembang, gumamnya: "Berkutet melawan musuh tangguh ini setengah harian, tenaganya sedikitpun tidak kelihatan menjadi lemah, tak nyana selama beberapa tahun belakangan ini ilmu silatnya ternyata maju begini pesat."
Semula ia menyangka karena kehidupan yang foya-foya dan berlebihan itu, tenggelam dalam pelukan perempuan ayu dan kebanyakan air kata-kata, tentu Lwekang dan kepandaian silatnya sudah terlantar, begitupun tenaganya tentu jauh berkurang, baru sekarang setelah dia memeriksa bekas kutungan dahan itu baru lega hatinya.
Tapi kedua orang itu sedang berkelahi dengan sengitnya, tanpa sebab masakah memukul dan menebas kutung dahan-dahan Sian-jin-ciang ini, apa sih maksudnya" Kesimpulannya adalah lantaran didalam pohon Sian-jin-ciang ini mengandung air, setelah bertanding setengah hari, sedikit banyak mereka sudah menguras tenaga sehingga tenggorokan kering dan bibir gatal, jadi mereka berhenti sebentar untuk mengisap air secukupnya, mereka lalu melanjutkan pertempuran.
Dari kesimpulan dan kenyataan yang dilihatnya, terang jurusan yang ditempuh Coh Liu-hiang tidak salah. Lekas diapun meneguk setegak air, setelah menentramkan hati dan mengatur pernapasan, bukan lantaran dia terlalu letih dalam perjalanan adalah dia memperhitungkan dengan tepat bila dia berhasil menemukan jejak mereka, kemungkinan dia sendiripun harus mengalami suatu pertempuran sengit, maka dia perlu menghimpun semangat dan mengumpulkan tenaga, siap sedia.
Setelah beranjak beberapa kejap lagi tampak di depan menghalang segundukan pasir tinggi, kira-kira puluhan tombak! Perubahan alam di gurun pasir memang aneh dan cepat sekali, semalam mungkin tempat ini masih merupakan tanah datar, pagi ini sudah berubah menjadi gundukan bukit pasir yang menjulang ke atas.
Sudah tentu gundukan pasir ini tidak kokoh, meski kebanyakan orang juga bisa memanjat naik ke atas, asal sedikit lengah, bila pasir gugur mungkin manusia bisa terkubur hidup-hidup di bawah pasir yang ribuan kati beratnya.
Coh Liu-hiang menghirup napas panjang, sekali tutul badannya melambung tinggi seenteng kapas seperti daun melayang terhembus angin, dengan ringan ia tancapkan kaki di puncak bukit pasir. Selepas mata memandang tampak beberapa li sekitarnya cuma gundukan-gundukan pasir melulu yang tersebar dimana-mana, malah terdapat batu-batu cadas dan rumpun semak-semak pohon berduri.
Memang tumbuhan ada pula yang bisa tumbuh di padang pasir, memang sementara tumbuhan ada yang tidak memerlukan air untuk pertumbuhan, namun bisa tetap subur, cuma selamanya tidak bisa tumbuh tinggi.
Sekonyong-konyong terdengar suara Trang! selarik sinar pedang laksana lembayung berkelebat ditengah angkasa, berkelebat di belakang gundukan-gundukan pasir dikejauhan sana, cepat sekali tahu-tahu sudah menghilang, betapa cepat dan hebat sambaran kilat pedang itu, sungguh luar biasa.
Bagai burung camar, cepat Coh Liu-hiang meluncur ke bawah, laksana burung walet badannya melesat ke depan. Dia tak berani bersuara atau memanggil, soalnya pertempuran tokoh-tokoh silat kelas tinggi paling pantang perhatiannya terpecah, kalau Ki Ping-yan mendengar suaranya, sedikit banyak konsentrasinya tentu terganggu, kemungkinan bisa mengalami bencana.
Tapi waktu Coh Liu-hiang melesat tiba di gundukan pasir tadi, bayangan manusiapun tidak terlihat olehnya, semak-semak berduri di pinggir batu cadas memang terbabat runtuh oleh tebasan pedang tajam.
Dari kenyataan yang dihadapinya ini Coh Liu-hiang beranggapan dan semakin tebal keyakinannya bahwa ilmu pedang orang itu teramat ganas dan telengas, sungguh mengejutkan.
Jadi apa yang diuraikan oleh si kera hitam Sun Khong dan Sutou Liu-che mengenai kehebatan orang memang bukan bualan belaka.
"Sreng" sekonyong-konyong terdengar pula suara benturan senjata keras yang nyaring. Bagai terbang Coh Liu-hiang memburu ke arah datangnya suara, lagi-lagi ia menubruk tempat kosong.
Tapi batu cadas di sini banyak yang runtuh menjadi bubuk lembut bertaburan kemana-mana.
Terang reruntuhan batu cadas ini lantaran disapu hancur oleh potlot baja Ki Ping-yan, karena pukulan keras seperti ini tak mungkin dilakukan dengan pedang. Dari sini dapatlah dibayangkan bahwa kekuatan Ki Ping-yan masih cukup hebat, masih kuat bertahan untuk adu jiwa.
Coh Liu-hiang menghirup napas panjang, sampai detik ini, meski dia belum menyaksikan secara langsung pertempuran kedua orang yang sedang berhantam sengit ini, tapi betapa dahsyat dan hebat pertandingan adu kekuatan kedua orang ini, dapatlah dibayangkan. Dari tempat beberapa li kedua orang bertempur terus sambil jalan dan bergeser kedudukan sampai sini, dari pagi sampai sore menjelang malam, dari malam sampai pagi adu kekuatan seperti ini sungguh jarang terjadi.
Walau kelihatannya kedua orang sampai sekarang masih setanding alias seri, Coh Liu-hiang pun tak perlu gelisah lagi karena gelisahpun tak berguna, didalam situasi seperti ini untuk segera menemukan mereka sungguh betapa sulitnya. Apalagi jikalau Ki Ping-yan tahu dirinya sudah datang kuatir dirinya turut campur, mungkin orang sengaja hendak main petak umpet dan membuat dirinya kecele.
Oleh karena itu terpaksa Coh Liu-hiang menahan sabar dan menekan gejolak perasaannya dengan cermat ia pasang kuping, sesaat kemudian betul juga, terdengar pula suara benturan senjata keras yang nyaring, kali ini kumandang dari arah kiri sana.
Tapi kali ini Coh Liu-hiang tidak langsung menubruk ke tempat itu, namun dari arah kiri dia berputar setengah lingkaran, pikirnya hendak berputar mendahului mereka kesebelah depan memapak dan menghalangi mereka.
Lagi-lagi dia tetap menubruk tempat kosong, kedua orang itu kiranya bertempur ke arah lain yang berlawanan. Coh Liu-hiang hanya geleng-geleng kepala dengan tertawa getir, tapi sekonyong-konyong rona mukanya berubah hebat.
Di atas pasir kuning yang merata didepan sana tampak beberapa tetes noda darah yang masih segar. Kalau Oh Thi-hoa yang melihat noda darah ini, mungkin dia tidak akan gugup karena dia sangka noda darah ini menetes keluar dari luka-luka badan musuh. Tapi Coh Liu-hiang cukup tahu bila mana potlot baja Ki Ping-yan sampai berhasil menutuk lawannya, pasti musuh sudah menggeletak dan tak berkutik, bukan saja takkan mengeluarkan darah, pertempuranpun takkan dilanjutkan pula.
Semakin gelisah hatinya, dia semakin tak bersuara, kini Ki Ping-yan sudah terluka bukan mustahil luka-lukanya tidak ringan, jikalau konsentrasinya sampai pecah bukankah badannya bakal menjadi sasaran empuk lawannya dan terbanglah jiwanya. Maklumlah meski sepak terjang Coh Liu-hiang amat gagah perwira dan tidak kenal kesopanan tapi demi keselamatan sahabat baiknya, tindakan dan gerak geriknya ternyata jauh lebih cermat dan hati-hati dari kaum hawa.
Tak jauh dari noda-noda darah itu terdapat juga sebongkah batu cadas, sekali enjot badan Coh Liu-hiang lompat ke atasnya, dari sini ia hendak menunggu suara benturan senjata keras dan berkelebatnya sinar pedang yang mungkin terlihat diantara semak-semak pohon dan sela batu.
Tak nyana pada saat itu juga dari balik gundukan pasir di depan sana tiba-tiba muncul dua orang, senjata ditangan kedua orang ini dimainkan kencang, seumpama hujan badaipun takkan tembus membasahi badan mereka, sekencang itu mereka mainkan senjatanya, tapi tak terdengar suara benturan senjata, mungkin setelah berhantam setengah hari ini, masing-masing sudah apal dan tahu jelas seluk beluk permainan silat lawannya, sebelum suatu jurus serangan dilancarkan ditengah jalan sudah berubah pula dengan tipu serangan yang lain.
Cara tempur seperti ini, sudah tentu kedua pihak harus bergerak teramat cepat, ganas dan keji, sedikit meleng atau serangannya meleset setengah mili umpamanya, senjata lawan pasti akan segera menerjang masuk ke dalam titik kelemahan ini.
Akan tetapi cara serang menyerang mereka memang cukup seru dan menarik, namun keadaan mereka sudah runyam benar. Baju yang dipakai kedua orang ini sudah sama tak karuan, sekujur badan, kepala, rambut dan alis penuh pasir, laksana dua setan gentayangan yang baru nongol keluar dari liang pasir. Untunglah Coh Liu-hiang tahu benar senjata yang digunakan Ki Ping-yan, kalau tidak sungguh sukar dia membedakan yang mana Ki Ping-yan dari kedua orang berpasir ini.
Tampak pundak kiri Ki Ping-yan dibalut kencang dengan sobekan kain baju, darah masih kelihatan merembes keluar, terang bahwa pundaknya cidera oleh tusukan pedang. Tapi kedua orang sedang bertempur begitu sengit, cara bagaimana dia sempat membalut luka-lukanya dulu"
Memangnya setelah lawan melukainya, lantas memberi peluang dan menunggu dia membalut luka-lukanya baru melanjutkan pertempuran pula.
Mereka sudah berkelahi sekian lamanya, memangnya masing-masing sudah timbul rasa simpatik terhadap musuh sendiri, maka setelah salah seorang terluka, seorang yang lain tidak merangsak terus memanfaatkan kesempatan yang ada. Tapi jurus-jurus permainan mereka terang merupakan serangan ganas yang mematikan, perkelahian adu jiwa, seolah-olah tiada maksud membiarkan musuhnya hidup, serangannya tak mengenal kasihan.
Sungguh heran dan tak habis mengerti Coh Liu-hiang menghadapi tontonan pertempuran yang lucu ini, ia tahu sementara Ki Ping-yan masih kuat bertahan, ia sadar bila dirinya ikut turun tangan, Ki Ping-yan pasti akan marah.
Tapi setelah menyaksikan sekian lamanya, terasa pula oleh Coh Liu-hiang bahwa jurus permainan pedang lawan Ki Ping-yan itu seperti sudah dikenalnya.
Gerak pedang orang ini laksana putaran angin, betapa cepat jurus serangannya, sungguh sukar dibayangkan, tapi lengan bagian sikut ke atas sedikitpun tidak bergeming, jadi setiap jurus tipu serangannya dilancarkan hanya dengan kekuatan pergelangan tangan saja.
Orang yang mampu memainkan ilmu pedang semacam ini setahu Coh Liu-hiang cuma satu saja dikolong langit ini, yaitu Tionggoan It-tiam-ang. Tapi ilmu pedang yang disaksikan sekarang sedikit banyak rada berbeda dengan kepandaian It-tiam-ang. Secara keseluruhannya ilmu pedang ini lebih mantap, tenang dan rapat, tapi tidak seganas dan sekeji tusukan pedang It-tiam-ang yang telak mengincar tenggorokan musuh.
Hati Coh Liu-hiang sedang menimang-nimang, entah apa hubungan orang ini dengan It-tiam-ang, Setitik Merah dari Tionggoan itu, agaknya kalau bukan saudara seperguruan, tentu keduanya punya sangkut paut yang dekat dan erat.
Kebetulan sekilas terlihat oleh Coh Liu-hiang pancaran sorot mata orang ini. Itulah sepasang biji mata yang dingin seperti es, buas laksana serigala , memutih merah seperti salju di puncak gunung, teguh kukuh laksana gunung. Mata seperti itu kecuali Setitik Merah dari Tionggoan tiada orang lain lagi.
Sungguh kaget, girang pula hati Coh Liu-hiang, tak tertahan hampir saja dia bersorak memanggil. Tiba-tiba dilihatnya pedang panjang It-tiam-ang menusuk lurus mengarah dada, lekas kedua tangan Ki Ping-yan ditekan turun, sepasang potlot bajanya bersilang menyongsong serangan lawan, inilah jurus Cap-ci-bong-bun atau palang melintang menutup pintu. Cuma biasanya kalau orang lain meluncurkan jurus ini tujuannya khusus hanya bertahan dan melindungi badan, lain dengan Ki Ping-yan, disamping bertahan rapat, diapun bisa balas menyerang, laksana gunting tajam, kedua potlot menggunting senjata lawan. Kombinasi permainan antara menjaga diri sekaligus menyerang ini sungguh amat hebat dan menakjubkan.
Tapi begitu Coh Liu-hiang melihat dia melancarkan jurus ini, seketika mencelos dingin hati dan sekujur badannya.
Ternyata Setitik Merah memang sengaja pancing dirinya menggunakan jurus ini, soalnya permainan pedangnya jauh berlainan dengan semua perguruan ilmu pedang dari aliran manapun, pedang menyerang mengandalkan kekuatan pergelangan, sudah tentu gerak perubahan dan variasinya jauh lebih banyak dan cepat.
Sebaliknya jurus Ki Ping-yan ini disamping menyerang mengandung pertahanan, sudah tentu kekuatan pertahanannya sedikit banyak terganggu, bila menghadapi musuh lain serangan lawan akan kehabisan tenaga dan berhenti sampai titik yang tertentu saja, maka dengan mudah bisa saja dia mengunci senjata lawan dengan kedua potlotnya.
Tapi lengan Setitik Merah masih mengandung kekuatan yang tak terukur besarnya, kalau tenaga pergelangan terkuras habis, gampang saja ia kerahkan kekuatan lengannya untuk melandasi serangan itu lebih lanjut, begitu pedangnya menyendal disurung maju, sebelum Ki Ping-yan berhasil mengunci pedangnya, ujung pedangnya tentu sudah menusuk tenggorokan Ki Ping-yan.
Hebat memang Setitik Merah dari Tionggoan, tadi berulang kali dia sudah menyaksikan Ki Ping-yan menggunakan jurus ini, dalam hati sudah berhasil mencapai suatu pikiran cara memecahkannya, kini kembali dia pancing lawan menggunakan jurus ini lagi.
Sebagai penonton yang lebih jelas, paham dan tahu benar jalan liku-liku permainan pedang Setitik Merah, sudah tentu Coh Liu-hiang paling jelas. Meskipun hatinya melonjak kaget, tapi dia tak mampu berbuat apa-apa.
Serangan pedang It-tiam-ang laksana terjangan angin puyuh, dalam kolong langit ini siapa mampu menghadapinya" Siapa tahu tepat pada saat itu juga pedang panjang Setitik Merah tiba-tiba menggores sebuah lingkaran membundar, tahu-tahu berputar diantara batang potlot Ki Ping-yan, "Sret" entah bagaimana pedang ini menukik turun mengiris ke paha Ki Ping-yan malah.
Terang tusukan pedangnya itu bakal berhasil, kenapa berubah ditengah jalan" Meski hati Coh Liu-hiang bersorak girang, tapi terkejut pula. Selamanya Setitik Merah takkan menyia-nyiakan kesempatan setiap lubang, kenapa kali ini berubah begitu bodoh"
Tujuan Ki Ping-yan melulu hanya melukai atau membekuk musuh, tak pernah terpikir persoalan lain dalam benaknya, sehingga ia sendiri tak menyadari keanehan perubahan yang dilakukan lawannya, kalau musuh menggunakan cara sebodoh ini, justru kesempatan paling baik bagi dirinya.
Begitu kedua potlotnya terkembang, dengan jurus Tok-coa-jut-hiat " Ular racun keluar liang"
maka terdengar dua kali suara " Trap, trap," Jiah-kin-hiat dikedua pundak Setitik Merah tertutuk telak, kontan badannya terjengkang roboh.
Setelah berjuang sekian lama menghabiskan segala kemampuan dan tenaganya, baru sekarang Ki Ping-yan berhasil merobohkan lawan, saking senangnya dia terloroh-loroh.
Tapi sepasang biji mata orang yang dingin membeku itu masih menatap mukanya dengan kaku, sedikitpun tidak kentara rasa penyesalan atau mengakui kekalahan ini, dari sorot matanya sikapnya malah tetap angkuh dan jumawa.
Ki Ping-yan tertawa, ujarnya : "Ilmu pedangmu memang jarang bandingannya dikolong langit, tapi jurus tadi kau lancarkan dengan gerakan yang salah, siapapun bila dia melancarkan jurus serangan seperti itu dia harus mengaku kalah, kau...." mendadak kata-katanya seperti tersumbat didalam tenggorokannya, rona mukanyapun berubah seketika.
Tiba-tiba dilihatnya di ujung pedang lawan yang runcing tipis itu, tertancap seekor kalajengking.
Ditengah gurun pasir dan berhawa panas, Kalajengking begitu besar dan beracun jahat, siapapun bila sampai tersengat sekali saja mungkin jiwanya takkan tertolong lagi, jadi tadi Setitik Merah melihat seekor Kalajengking merambat di pahanya, barulah ditengah jalan dia merubah gerakan pedangnya, gerakan bodoh permainan Setitik Merah ini ternyata telah berhasil menolong jiwanya.
Pucat pias lalu merah padam muka Ki Ping-yan, mulutnya terkancing.
Sudah tentu Coh Liu-hiangpun sudah melihat hal ini, tanpa terasa mencelos pula hatinya.
Setitik Merah memang tidak malu sebagai laki-laki sejati, ksatria yang patut dipuji akan kebesaran jiwa dan keluhuran hatinya, tapi memangnya Ki Ping-yan tidak begitu" Apakah lantaran kekalahan yang memalukan ini dia lantas hendak bunuh Setitik Merah untuk menutup mulutnya"
Ingin Coh Liu-hiang menyaksikan lebih lanjut kejadian seterusnya, apa yang akan dilakukan oleh Ki Ping-yan, maka diam-diam ia meremas beberapa batu kerikil, jikalau Ki Ping-yan hendak bertindak keji terhadap Setitik Merah, diapun takkan berpeluk tangan menonton saja.
Setelah melongo sekian saat, terdengar Ki Ping-yan berkata pelan-pelan: "Kenapa kau berbuat demikian, memangnya kau tak ingin membunuhku?"
Badan Setitik Merah tak bisa bergerak, namun mulutnya masih bebas bicara, katanya dingin :
"Aku hendak membunuhmu, maka jiwamu takkan kubiarkan mampus dimulut kalajengking."
Ki Ping-yan menengadah dan terloroh-loroh panjang, serunya: "Bagus! Bagus! Bagus!"
Beruntun dia mengucapkan " Bagus!" tujuh delapan kali, mendadak ia cungkil pedang lawan terus diraihnya, sekali ayun ia tebaskan pedang itu ke arah pahanya.
Secara keras kepala dia tak sudi menerima kemurahan ini, secara langsung dia hendak tebas paha sendiri untuk dikembalikan kepada Setitik Merah. Begitu besar tekadnya, sehingga sorot mata Setitik Merah yang membeku dingin itu menyorotkan cahaya aneh, tak tahan mulutpun menjerit kaget: "Gila kau!"
"Trang!" ditengah jeritannya, segulung angin yang keras menerpa datang dengan telak memukul jatuh pedang ditangan Ki Ping-yan.
Kembang api muncrat kemana-mana, pedang ditangan Ki Ping-yan terpental lepas dari cekalannya.
Dengan muka berubah, lekas Ki Ping-yan menyurut mundur delapan kaki, kedua batang potlotnya yang dia rangkap dalam cekalan pada tangan kiri, segera dibagi ke kanan kiri pula, mulut segera membentak beringas: "Siapa itu?"
Terdengar seseorang berkata dengan kalem: "Watak dan adat kalian berdua memang terlalu aseran." Ditengah kumandangnya gelak tawa, sesosok bayangan orang melambung ke angkasa meluncur datang, sigap sekali. Sekali raih ia jemput pedang panjang itu sekaligus membuka totokan jalan darah Setitik Merah. Kontan Ki Ping-yan membanting kaki serta berseru penuh kegusaran: "Akhirnya kau datang juga!"
Ternyata Setitik Merahpun berseru keras : "Akhirnya kau datang juga!"
Kedua orang mengucapkan kata-kata yang sama, cuma kalau Ki Ping-yan mengucapkan kata-kata ini adalah jamak, karena sejak semula dia sudah menduga cepat atau lambat Coh Liu-hiang pasti akan menyusul datang, gegetun dan gemas pula lantaran kedatangan Coh Liu-hiang begini kebetulan.
Namun kenapa Setitik Merah juga mengucapkan kata-kata yang sama" Memangnya dia juga tahu bahwa Coh Liu-hiang sudah berada disekitar daerah pertempuran" Masakah diapun sudah memperhitungkan bahwa Coh Liu-hiang pasti akan menyusul tiba"
Disaat Coh Liu-hiang merasa heran, Ki ping-yan sudah berseru tertahan. Kau kenal orang ini"
hampir pada waktu yang sama Setitik Merahpun berteriak: "Kau kenal orang ini?"
Coh Liu-hiang tertawa, ujarnya: "Kalian berdua aku kenal semuanya, malah masing-masing adalah sahabat baikku, maka kaupun tak perlu bersedih hati karena merasa berhutang budi kepadanya, yang terang kelak masih banyak kesempatan jiwanya bakal digorok oleh orang lain, bolehlah kau berusaha menolong jiwanya saja." Sudah tentu kata-katanya ini ditujukan pada Ki Ping-yan.
Lama juga Ki Ping-yan berdiam diri memikirkan kata-kata ini, akhirnya mendengus .
"Tapi cara bagaimana pula kau bisa sampai ditempat ini?" Tanya Coh Liu-hiang, kata-kata ini dia tujukan kepada Setitik Merah.
Tak nyana mendengar pertanyaan ini Setitik Merah malah semakin keheranan, serunya tak mengerti: "Kenapa kemari" Bukankah kau yang mencari dan mengundangku?"
Balasan pertanyaan ini lebih mengejutkan Coh Liu-hiang dan Ki Ping-yan. Setelah mengelus hidung berkata Coh Liu-hiang : "Aku yang mencari dan mengundang kau kemari" Untuk apa aku undang kau kemari?"
"Sudah tentu kau mengundangku untuk membunuh Kui-je-ong itu." sahut Setitik Merah.
Mendengar kata-kata ini, kembali Coh Liu-hiang merasa prihatin dan urusan semakin ganjil, karena dia merasakan kejadian ini bukan hanya merupakan salah paham, dibalik persoalan ini tentu ada latar belakang dan muslihat keji.
Segera ia menghampiri sebuah batu cadas lalu duduk, katanya: "Persoalan ini mempunyai seluk beluk dan liku-liku, marilah silahkan kalian duduk saja, mari kita bicarakan kejadian ini perlahan-lahan." Dengan tertawa menunggu reaksi orang ia menambahkan : "Aku tahu kau tidak suka bicara, biarlah aku yang bertanya padamu."
Muka Setitik Merah yang kaku dingin itu sudah berubah, katanya: "Lika-liku" Menanyai aku"........memangnya aku............"
"Tahan dulu gejolak hatimu, coba kutanya siapa yang mencarimu, dikatakan bahwa aku mengundangmu untuk membunuh Kui-je-ong itu?"
"Setelah aku berpisah dengan kau hari itu?" Demikian Setitik Merah yang biasanya tak suka banyak bicara mulai dengan pengalamannya.
"Terasa bahwa Tionggoan sudah tiada arti dan tiada sesuatu yang kubuat kenangan abadi, memang sejak lama aku sudah dengar betapa luas dan kebesaran alam yang menyenangkan kehidupan di padang pasir ini, maka aku berkeputusan menempuh perjalanan keluar dari perbatasan."
Coh Liu-hiang tahu orang ini berhati tinggi dan jumawa, setelah dua kali dikalahkan dalam adu pedang, tak urung menjadi kecewa dan dingin hati, maka terpikir olehnya kelana keluar perbatasan untuk mengecap kehidupan baru. Walau hati berpikir demikian, mulutnya malah berkata : "Kalau begitu, jadi kau lebih dulu menempuh perjalanan keluar perbatasan ini daripada aku?"
"Tapi beberapa lama kemudian, ditengah jalan kudapati seseorang yang selalu memperhatikan gerak-gerik dan jejakku, kemanapun aku pergi dia selalu menguntit di belakangku.
"Jikalau orang mengincar sesuatu atas dirimu, anggap saja orang pasti ketiban pulung, mungkin matanya picak, entah orang macam apakah dia?" Perlu dimaklumi keahlian dan kebolehan Coh Liu-hiang adalah betapapun persoalan yang dihadapi amat sulit dan berbahaya, dia masih bisa berlaku tenang, mantap dan wajar. Tapi ia tahu orang lain belum tentu bisa berlaku seperti dirinya, maka begitu melihat roman muka Setitik Merah semakin tegang, maka sengaja dia ucapkan kata-katanya tadi supaya rasa tegang yang merasuki hati Setitik Merah menjadi kendur, menyusul dia lantas mengajukan pertanyaan yang pertama.
Betul juga tanpa merasa Setitik Merah tertawa geli, katanya: "Orang itu memang bukan manusia biasa, sedikitpun tidak menunjukkan gejala-gejala yang luar biasa, seumpama kau pernah melihatnya berulang kali, belum tentu kau bisa mengingatnya selalu, karena orang macam demikian dimana dan kapan saja kaupun bisa melihatnya."
Coh Liu-hiang menghela napas, ujarnya: "Semakin biasa raut muka seseorang, semakin leluasa dia melakukan kejahatan, bila mana aku hendak mencari pion-pion untuk melaksanakan tipu dayaku, akupun bisa mencari orang-orang seperti ini."
"Waktu itu sebetulnya aku tidak mau terlibat banyak urusan, tapi dua hari setelah dia menguntit aku, akhirnya aku tak tahan lagi, baru saja aku hendak menghadapinya dan tanya apa maksudnya menguntit aku, siapa tahu dia malah mencariku lebih dulu."
"Oh!"
Dia bertanya kepadaku: "Apakah tuan ini adalah Setitik Merah dari Tionggoan?" dalam waktu dekat aku belum bisa menangkap apa maksud tujuannya, terpaksa hanya manggut-manggut saja, maka dia lantas memperkenalkan diri sebagai teman baikmu, sengaja memburu kemari untuk mencari aku."
Coh Liu-hiang tertawa, katanya: "dia lantas mengatakan bahwa aku minta kau kemari untuk membunuh Kui-je-ong?"
Benar, katanya: "Kui-je-ong mengganas menindas rakyat, sudah lama Coh Liu-hiang bermaksud melenyapkan dia, tapi dalam waktu dekat ini dia tak dapat meluangkan waktu, maka dia ingin mohon bantuanmu!"
"Kau lantas percaya begitu saja?"
"Sebetulnya akupun tidak segera percaya akan obrolannya, tapi dia ada mengucapkan beberapa patah kata-kata yang mau tidak mau aku harus percaya kepadanya."
"Apa yang dia katakan?"
Sebentar Setitik merah berpikir, lalu katanya perlahan: "Katanya Si Maling Sakti pandang tuan sebagai sahabat karibnya, kalau tidak diapun takkan minta bantuanmu, apalagi seorang laki-laki sejati harus bisa membedakan antara dendam dan budi, masakah tuan lupa budi kebaikannya yang tidak membunuh jiwamu?"
Coh Liu-hiang tertawa getir, katanya: "Kau pikir benarkah aku bisa dan sampai hati mengucapkan kata-kata seperti itu?"
Bersambung ke Jilid 20
Jilid 20 "Justru aku tahu kau takkan mungkin membeber kejadian macam itu kepada khalayak ramai, maka aku berpendapat bahwa kata-kata itu mungkin saja kau yang mengucapkan, kalau tidak darimana orang ini bisa tahu?"
"Benar." kata Coh Liu-hiang dengan hati mendelu. "Dalam kolong langit ini, cuma beberapa orang saja yang tahu akan kejadian itu, juga tiada orang tahu tanpa berkelahi, kau dan aku takkan berkenalan dan bersahabat dan kini sudah jadi kawan baik."
"Sampai akupun tidak tahu," timbrung Ki Ping-yan dingin.
"Apalagi pekerjaanku memang membunuh orang, jikalau dia ingin supaya aku membunuh orang, sebetulnya bisa saja membayarku dengan uang mas atau perak, kecuali dia sudah tahu bila aku sudah ganti obyek, tapi........"
Tapi dalam kolong langit ini cuma beberapa orang saja yang tahu bahwa kau kini sudah ganti obyek.
"Begitulah!"
Coh Liu-hiang menghela napas, ujarnya: "Jikalau aku menjadi kau, mungkin akupun akan percaya omongan itu."
Tiba-tiba Ki Ping-yan menyentak: "Sebetulnya ada berapa orang yang tahu akan hubungan kalian?"
"Hitung-hitung hanya Lamkiong Ling, Bu Hoa, Yong-ji dan Mutiara Hitam."
"Tapi Lamkiong Ling dan Bu Hoa sudah mati, Yong-ji tak mungkin melakukan hal ini, maka..........." kata-katanya terhenti, dengan nanar ia awasi Coh Liu-hiang.
Coh Liu-hiang menghirup napas panjang, katanya: "Kemudian hanya Mutiara hitam, ia kah yang menjadi biang keladi di belakang layar yang kendalikan pemberontakan dinegeri Kui-je?"
Berkata Ki Ping-yan kalem: "Kitakan sudah tahu didalam pemberontakan negeri Kui-je itu ada orang bangsa Han yang ikut bekerja, tapi betapa gampang seorang Han untuk dapat melakukan pekerjaan besar ini di negeri orang, kecuali jika orang Han ini memang sudah memiliki kekuasaan besar di sana, kalau tidak seumpama dia berhasil baik dengan aksi pemberontakannya itu, sekali-kali dia takkan bisa bercokol di negeri ini." Sampai di sini kembali ia berhenti, karena siapakah orang ini, tanpa dia katakan orang lainpun bisa menduganya.
Hanya putra raja padang pasir saja yang mampu mengerahkan suatu pemberontakan besar-besaran seperti ini, hal ini jelas dan dapat dimengerti, sampaipun Setitik Merahpun sudah bisa menduganya.
Sesaat Coh Liu-hiang merenung, katanya kemudian: "Dimana orang itu sekarang?"
"Setelah orang itu menemani aku sampai di luar perbatasan lalu berpisah dengan aku," tutur Setitik merah lebih lanjut," Katanya hendak berputar mencari kau, tapi sepanjang jalan aku lantas disambut dan diantar oleh utusan Kui-je sampai di sini."
"Disini siapa pula yang pernah kau temui?" tanya Coh Liu-hiang.
"Aku bertemu dua orang pembesar tinggi dari Kui-je, agaknya kedudukan mereka amat tinggi dan berkuasa, sejak Kui-je-ong terusir dari negerinya, kedua orang inilah yang pegang tampuk pimpinan tertinggi negeri ini."
"Tapi masih ada seorang bangsa Han, bukan?"
"Benar, tapi yang terang orang itu pasti bukan Mutiara hitam."
"Siapa dia" bagaimana bentuk dan tampang mukanya?"
"Orang itu bernama Gi-kiok-han, konon adalah seorang tokoh kenamaan yang pandai ilmu silat dan satria, malah otaknya cerdik dan banyak akalnya, di depan pandanganku tidak lebih hanya musang berbulu ayam, sikap dan polahnya tengik dan menyebalkan."
Coh Liu-hiang menghela napas, ujarnya: "Justru lantaran dia tak suka orang lain mendekati dirinya, maka sengaja dia bertingkah seperti itu, supaya orang tidak membongkar kedoknya, maka polah dan tingkahnya yang menyebalkan itu malah sebagai kedoknya yang utama."
"Benar," timbrung Ki Ping-yan pula, "Jikalau orang lain marah dan tak sudi melihat tampangnya, sudah tentu orang sukar melihat apakah dirinya samaran atau tulen."
"Perkemahan mereka semalam sudah pindah ke lain tempat bukan?"
Kini Setitik merah dan Ki Ping-yan menjawab bersama: "Benar!"
"Mereka pindah kemana?" tanya Coh Liu-hiang.
"Konon tidak jauh dari sini, ada sebuah penginapan ditengah padang pasir, disanalah hotel gelap yang didirikan oleh begal besar di gurun pasir, Pan-thian-hong, agaknya mereka ada sekongkol dengan Pan-thian-hong ini, kini mereka menuju kesana."
Coh Liu-hiang merenung sebentar, katanya: "Dalam dua tiga hari ini, kukira mereka takkan meninggalkan tempat itu, ya bukan?"
"Benar, sekarang kita bisa luruk kesana dan gorok leher mereka," kata Setitik merah.
"Bunuh mereka sih gampang," sela Ki Ping-yan, "Tapi jikalau ketiga orang itu bukan pentolannya, bunuh mereka bukankah malah membabat rumput mengejutkan ular."
"Apalagi mereka jelas sudah tahu, begitu kau bertemu dengan aku maka urusan bakal dibuat terang, tapi mereka masih melegakan hati meluruk kemari. Itulah karena mereka mempunyai pegangan dan latar belakang yang cukup membuat kita gentar."
"Maksudmu mereka punya pegangan sesuatu untuk mengancam atau menggertak kita!"
"Benar, karena aku masih ada tiga teman yang kini terjatuh ke tangan mereka," kata Coh Liu-hiang tertawa getir, lalu menyambung: "Kedatanganku kali ini adalah untuk mencari ketiga temanku itu, tak nyana secara serampangan di sini aku mendapat berita tentang jejak mereka, tapi lebih baik kalau aku tak tahu akan hal ini, setelah tahu gerak-gerikku mau tak mau harus hati-hati."
Ki Ping-yan berkata dingin: "Bukan mustahil orang itu mengundang saudara ini kemari tujuannya untuk memberi tahu kepadamu secara tidak langsung mengenai persoalan ini, sekaligus memberi peringatan kepada kau, dengan sendirinya mau tak mau harus bertindak ragu-ragu dan kuatir itu, berarti mereka lebih leluasa dan berani bertindak."
Kata Coh Liu-hiang: "Kalau mereka hendak memperingati aku, kenapa tidak suruh Yong-ji menulis surat kepadaku, kenapa harus memeras keringat dan menguras tenaga yang tiada gunanya ini?"
Lama Ki Ping-yan termenung, sahutnya: "Omonganmu memang tidak salah, sungguh akupun tidak mengerti, kenapa mereka harus berbuat demikian, mereka toh sudah tahu bila kalian berdua beradu muka, bualannya tentu terbongkar, bukankah sia-sia belaka usaha mereka."
Mungkin karena mereka tidak menduga aku bakal melindungi Kui-je-ong, dua tiga hari yang lalu kita sendiripun takkan pernah berpikir hendak melindungi Kui-je-ong bukan?" Coh Liu-hiang utarakan pikirannya.
Ki Ping-yan berpikir-pikir, mulutnya tak bersuara lagi.
Berkata Coh Liu-hiang lebih lanjut: "Pepatah ada bilang, naga sakti takkan ungkulan melawan ular setempat. Jikalau musuh mendapatkan keuntungan mengenai cuaca, keadaan bumi dan berbagai syarat yang lebih baik, tapi kitapun memiliki keunggulan yang tak mereka dapatkan, yaitu....."
Tak tahan Ki ping-yan menukas: "Yaitu mereka tidak kenal siapa kita, sebaliknya kita tahu betul seluk beluk mereka."
"Tepat" ujar Coh Liu-hiang: "Justru mereka tidak tahu siapa kita, maka mereka salah sangka.
Kini kita bisa menggunakan titik kelemahan mereka ini, jikalau harus menunggu kedatangan Mutiara hitam tentu sudah terlambat!"
"Jadi maksudmu sebelum Mutiara hitam tiba, kita pergi ke penginapan ditengah padang pasir itu untuk menyelidiki dan mencari berita?"
"Ya, begitulah maksudku."
Berkilauan biji mata Setitik merah, katanya: "Sekarang juga berangkat?"
"Tempo berjalan amat cepat, kalau mau berangkat tentunya lebih cepat lebih baik, cuma...."
Coh Liu-hiang geleng-geleng sambil menghela napas, katanya lebih lanjut: "Kini bukan saja kita harus menghadapi mereka, kitapun harus melawan Ciok-kwan-im, berarti kita menghadapi musuh dari dua muka, jikalau sedikit lalai, kita bisa tergencet dari dua sasaran, jikalau sampai terjebak dan kalah tentu konyol."
Sebagai sahabat lamanya, jalan pikiran Ki Ping-yan juga sama, mendengar kata-katanya ini ia manggut-manggut, Setitik merah sebaliknya mengajukan pertanyaan: "Maksudmu....."
Walau mereka tidak kenal siapa kami, tapi mendadak dua orang asing tiba-tiba berkunjung ke tempat pangkalan mereka, mau tak mau harus lebih hati-hati, bukan mustahil kita bakal dihadapi sebagai kambing gemuk, tapi jikalau kedua orang itu adalah...."
Tak sabar Setitik merah menukas pula: "Jikalau kedua orang itu adalah temanku, masakah mereka berani turun tangan?"
"Tapi sepak terjang Setitik merah dari Tionggoan selama ini tetap sendiri, hal ini diketahui siapapun, memangnya ditengah gurun pasir yang tak pernah dihuni orang mendadak bersua dengan kedua sahabat baiknya?"
Lama Setitik merah berpikir, katanya: "Seumpama dimanapun tempat keramaian yang penuh sesak, akupun takkan bisa kebetulan bersua dengan setengah temanku, "tawar dan dingin ucapannya, seolah-olah ia hendak melimpahkan kesunyian sanubarinya.
Sekilas Ki Ping-yan melirik padanya, katanya tiba-tiba: "Semakin sedikit punya teman semakin baik, seumpama tiada punya teman juga tak perlu dibuat sedih!"
Setitik merah balas melirik kepadanya, sorot matanya menampilkan senyuman hatinya.
Berkata Coh Liu-hiang sambil bertepuk tangan: "Tapi kalian sama-sama punya watak yang aneh, cepat atau lambat harus mengikat persahabatan, laripun takkan berpisah lagi, "ia pegang pundak kedua orang serta menambahkan dengan suara prihatin: "Kini kami tidak bisa kesana secara terang-terangan, juga tak mungkin menyamar sebagai teman karib, cara yang paling sempurna hanya....." suaranya semakin lirih dan akhirnya tak terdengar.
Lohor! Seluas mayapada tersorot di bawah pancaran sinar matahari yang terik. Di bawah terik matahari yang membakar kulit ini, tampak serombongan unta sedang berjalan pelan-pelan.
Unta yang biasanya dijuluki kapal pasir ini, kinipun sudah keletihan dan hampir tak kuasa berjalan lagi, orang-orang yang bercokol di punggung unta lebih-lebih mengenaskan lagi, mereka sudah kempas kempis menunggu saatnya untuk mangkat menghadap raja akhirat.
Tampak bibir orang-orang ini sudah sama pecah, biji matanya diliputi genangan darah, badannya seperti sudah kejang dan pikiranpun sudah setengah sadar, dalam benak mereka hanya terpikir satu huruf saja "Air......air............air........"
Tiba-tiba tampak dikejauhan perpaduan langit dan pasir di depan sana, asap api mengepul ke angkasa, roman muka orang-orang ini seketika mengunjuk rasa kegirangan yang luar biasa.
Tempat dimana ada asap api, tentu terdapat air pula" Dengan bersorak kegirangan, orang-orang itu sudah siap berlomba-lomba mati-matian memburu kesana.
Tak nyana seorang kakek tua sepertinya pemimpin rombongan mereka tiba-tiba berteriak-teriak: "Jangan! jangan kesana, tempat itu tak boleh didatangi manusia." Meski suaranya rendah serak tapi syukur masih punya kewibawaan yang cukup menundukkan orang-orang itu. Serempak setiap orang menghentikan langkahnya, dengan pandangan meminta belas kasihan dan cemas-cemas harap mereka berpaling muka kepada si kakek tua.
Kulit muka si kakek yang sudah kerut kemerut diliputi bayangan ketakutan, katanya sember:
"Tahukah kalian tempat apakah itu?"
Semua sama geleng-geleng kepala. Kata salah seorang: "Persetan tempat apa itu, asal disana ada air..........."
"Agaknya air mempunyai pengaruh yang amat besar bagi mereka, seketika terbangkit semangat mereka, tenggorokan mereka seperti mengeluarkan suara kerak kerok, tiba-tiba terdengar jerit dan lengking seram seperti binatang buas yang meregang jiwa: "Air......air.......air...."
Dengan ujung lidahnya si kakek menjilat bibirnya, tapi lama sekali lidahnya menjilat-jilat bibirnya tetap kering dan pecah serasa perih. Lantaran lidahnya sendiripun sudah kering sekali dan hampir pecah pula. Katanya menghela napas: "Air.....air, memang ada air ditempat itu, tapi ada pula golok baja senjata pembunuh manusia, sekarang kalian masih punya kesempatan untuk hidup, bila tiba di sana jiwa kalian bakal segera melayang dengan mengenaskan."
Semua orang saling pandang, tanya mereka: "Ke....kenapa?"
"Karena tempat itu adalah sarang Pan-thian-hong." Mendengar " Pan-thian-hong" disebut oleh si kakek tua kontan ada dua orang terperosok jatuh dari atas unta, begitu terjungkal di atas pasir mereka tak kuasa bergerak pula.
Sekonyong-konyong seorang menjerit serak dengan nekad: "Aku tidak perduli, aku tetap akan kesana, lebih baik aku dibunuh daripada menderita dan mampus pelan-pelan dengan siksaan semacam ini." Sekuat sisa tenaganya ia gebrak unta tunggangannya mencongklang lari ke arah sana, muka semua orang seketika mengunjuk rasa ketakutan dan membayangkan adegan seram yang bakal menimpa semua yang takkan kembali lagi.
Ditengah deburan angin berpasir, tiba-tiba muncul bayangan tiga sosok orang, seorang bertubuh kurus tinggi, berbaju hitam, bermuka kaku seperti patung kayu, tangannya menyeret dua utas tali panjang seperti menarik anjing dia seret dua orang lainnya, kedua orang yang terbelenggu tali adalah seorang laki-laki kurus lancip, namun mukanya yang jelek ini membuat setiap orang yang melihatnya merasa mual.
Seorang tawanan yang lainpun tidak lebih bagus, karena dia seorang bungkuk, tangan kedua orang ini sama terbelenggu kencang, langkahnya sempoyongan jatuh bangun terseret di belakangnya.
Sikap laki-laki baju hitam ini amat angkuh dan membusungkan dada, langkahnya enteng, padang pasir yang terserang hujan badai berpasir ini dipandang sebagai tanah datar berumput layaknya.
Pelancong atau para pedagang yang sudah putus asa kehabisan air itu seketika sama-sama melongo melihat ketiga orang ini, entah siapa diantara mereka, tiba-tiba berteriak keras: "Pan-thian-hong...........Pan-thian-hong...."
Siapa pula orang yang berkuasa ditengah padang pasir yang menyeret manusia bagai binatang kalau bukan Pan-thian-hong dan anak buahnya, saking ketakutan sekejap mata saja orang-orang ini sudah lari terbirit-birit tak diketahui pula bayangannya.
Si bongkok itu malah menghela napas, katanya tertawa getir: "Tak nyana orang-orang itu begitu ketakutan terhadap Pan-thian-hong, lebih baik mati kering dan kehausan daripada pergi ke tempat itu!"
Si burik menanggapi: "kalau begitu, tempat itu tentu amat berbahaya," suara orang ini ternyata mirip benar dengan suara Ki Ping-yan.
Ternyata untuk menyelidiki keadaan pihak musuh, supaya tidak dicurigai, terpaksa Coh Liu-hiang dan Ki Ping-yan menyamar menjadi tawanan Setitik merah, cuma seutas tambang masakah bisa membelenggu mereka, seumpama samaran mereka ketahuan musuh, mereka tetap bisa membebaskan diri dengan leluasa, bukankah cara ini jauh lebih baik daripada menyaru sebagai teman Setitik merah.
Sesaat kemudian berkata pula Coh Liu-hiang: "Aku masih membawa setengah kantong air, lekaslah kau berikan kepada mereka."
Memang hebat orang ini, menyaru jadi naga seperti naga, menyamar jadi harimau persis harimau, bersolek jadi seorang bungkuk sungguh tindak tanduknya mirip benar, kalau tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri, mimpipun Setitik merah tak mau percaya, sungguh sukar dibayangkan si Maling kampium yang bermuka ganteng dan romantis ini dalam jangka setengah jam bisa berubah sedemikian rupa.
Ki Ping-yan malah tersenyum, katanya: "Ada kakek tua itu sebagai penunjuk jalan, orang-orang itu pasti takkan mati kehausan."
"Kau kenal kakek tua itu?" tanya Coh Liu-hiang.
"Orang ini boleh terhitung serigala padang pasir, kepandaian lain sih tak punya, tapi entah sudah berapa lama dan berapa kali dia bolak balik di gurun pasir, hidup seolah-olah bisa mencium dimana ada bahaya dan dimana bisa selamat, bila kaum pelancong atau pedagang bisa mengundang dia sebagai penunjuk jalan, seumpama mendapat cahaya dibadan sendiri." Tertawa geli, ia melanjutkan: "Sepuluh tahun yang lalu aku pernah bertemu dengan orang ini, waktu itu tabungannya cukup untuk hidup anak cucunya sampai beberapa turunan dengan senang, kukira sejak lama dia sudah cuci tangan hidup dirumah mengenyam hari tua, siapa tahu sampai sekarang dia masih melakukan pekerjaan itu, agaknya dia masih anggap pekerjaan ini masih tetap segar dan menarik hatinya."


Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Coh Liu-hiang tertawa, katanya: "Seumpama kuda jempolan yang bisa lari ribuan li, mana mau dia tunduk ditengah jalan, orang macam demikian bila kau ingin dia hidup senang di rumahnya, malah terasa badan letih dan perasaan seperti disiksa."
Dua li sebelah depan, tiba-tiba kelihatan sebuah bukit batu yang menjulang tinggi ke angkasa, memang tidak setinggi gunung umumnya, tapi ditengah padang pasir yang serba kering tak berujung pangkal ini kelihatannya amat menyolok mata.
Bentuk batu-batu aneh di atas gunung laksana gigi serigala atau taring harimau, tandus menguning tak kelihatan rumput tumbuh di sini.
Selintas pandang, jelas keadaan di sana terlalu bahaya, penginapan padang pasir yang didirikan Pan-thian-hong memang dibangun membelakangi bukit batu ini.
Meski bukit batu ini bisa melindungi dari pusaran angin pasir, tapi bangunan penginapan juga tetap dibangun dengan kokoh kuat, dinding di sekelilingnya disanggah pilar besar dari dahan pohon besar yang cukup dipeluk dua orang, sepertiga dari batang pohon itu terpendam didalam tanah, dindingnya terbuat dari batu gunung, maka dapatlah dibayangkan kekuatannya takkan kalah dari dinding baja, jikalau ada orang terkurung didalamnya untuk lolos keluar laksana mendaki langit sukarnya.
Memang tidak kecil bangunan rumah ini, tapi pintu dan jendelanya kecil dan sempit, kain gordyn yang dipasang diambang pintu kelihatan mengkilat laksana berminyak, seperti lebih berat dari lempengan besi bobotnya.
Tak ada nama atau papan pengenal, cuma di atas dinding yang menghadap keluar ditulis huruf dengan tinta hitam berbunyi: "air jernih di padang pasir, ranjang kering, api unggun hangat."
Duri Bunga Ju 12 Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Jodoh Rajawali 11

Cari Blog Ini