Ceritasilat Novel Online

Gajah Kencana 3

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 3


Kuti mengajukan pertanyaan. Ada suatu kecurigaan yang
melintas dalam pikirannya. Agak menyengat mata apabila
seorang dara secantik itu, hanya seorang dayang belaka.
"Benar, gusti" dayang itu menyahut gemetar.
Tiba2 ra Kuti menyadari bahwa tak layaklah dalam
kedudukan sebagai dirinya, ia terlibat dalam pembicaraan
yang berkepanjangan dengan seorang dayang muda.
"Baiklah, engkau boleh pergi" katanya.
Tiba2 dayang itu menghaturkan sembah. "Mohon
diampunkan kesalahan hamba, gusti. Hamba diperintahkan
untuk melayani paduka"
Ra Kuti terkejut "Siapa yang memberi perintah itu?"
"Gusti puteri" jawab dayang itu "dan setiap priagung yang
berkunjung, para dayang kepatihan harus menanti di luar
pintu, siap menerima segala titah"
"Hm" desuh ra Kuti "tunggulah di luar" Agak terganggu
pikiran ra Kuti sehabis menyuruh dayang muda itu ke luar.
Ada sesuatu yang melayang dalam pikirannya. Namun
sukarlah ia mengatakan. Ingin ia menghapus gangguan pikiran
itu namun mulutnya masih berbisik sendiri. "Mengapa perawan
secantik itu rela bekerja sebagai dayang disini?"
Memang demikian keadaan pikiran orang. Apabila ada
sesuatu yang dipikirkan, tentu akan tetap melekat, sekalipun
ia berusaha hendak menghapusnya. Tetapi apabila setelah
ditumpahkan dengan kata2, mengendaplah pikiran itu lalu
lenyap. Demikian pula halnya dengan ra Kuti. Setelah
mengutarakan kandungan hatinya, barulah ia berhasil
menenangkan pikirannya. Ia mengangkat piala di dalam talam dan menuangkannya
ke dalam cawan yang terbuat dari keramik berhias lukisan
bunga2. Sepercik bau harum, berhamburan mengiring tuak
yang menumpah ke dalam cawan. Setelah beberapa tegukan,
ia meletakkan cawan lalu mulai mengambil sirih. Sambil
menikmati sirih, ia mulai menenangkan diri, memikirkan apa
yang akan dibicarakan dengan Aluyuda nanti.
"Akan kuberitahukan kepadanya peristiwa yang terjadi di
gedung kediamanku. Akan kuperhatikan bagaimana tanggapannya. Apabila dalam wawasanku dia bersih dari
peristiwa itu, akan kutanyakan kepadanya adakah ia
mengetahui tindakan demung Samaya itu " Benarkah tindakan
demung itu dalam rangka melaksanakan titah baginda" Dalam
pembicaraan2 itu nanti, akan dapat kuteliti sampai di mana
keterlibatannya dalam peristiwa itu ......"
Demikian terjadi pembicaraan dalam hati ra Kuti di kala
menanti kepulangan patih Aluyuda. Setelah mendapat bahan2
untuk menghadapi Aluyuda, ra Kuti menghela napas longgar
dan mulai memperistirahatkan pikirannya.
Duduk termenung acapkali mengundang berbagai ingatan
dan lamunan. Terlebih pula duduk bermenung dalam sebuah
ruang peranginan yang indah dan nyaman suasananya seperti
yang tengah dialami rakryan Kuti saat itu.
Dalam kemenungan itu, ra Kuti hendak merangkai susunan
peristiwa2 yang telah dialaminya agar dapat memperoleh
suatu gambaran yang mencerminkan kesan ke arah
kesimpulan. Ingin pula ia menembus kabut yang
menyelubungi gerak gerik patih A luyuda selama ini. Terutama
gerak-gerik yang ditujukan terhadap Dharmaputera.
Tiba2 ada suatu perasaan aneh yang dirasakan oleh kepala
Dharmaputera itu. Di kala daya pemikirannya meregang
mencapai puncak ketegangan, sekonyong-konyong benaknya
serasa memercik sinar kilat lalu berhamburan merekah bunga
api. Sesaat kemudian percikan bunga api itupun lenyap dan
lenyap pula ketegangan yang mencengkam pikirannya.
Pikirannya terasa tenang, lunglai dan senyap. Hatinya pun
teduh, perasaan nyaman. Saat itu timbul rasa keinginan untuk
mengenangkan sesuatu yang indah, membayangkan sesuatu
yang merangsang. Pelahan-lahan darahnya mulai hangat dan
makin hangat. Hatinya pun mulai berdebar keras, keinginan
meluap, nafsu pun merangsang, terbang mencari sasaran.
Sesaat mulai terbayang akan peristiwa2 yang pernah
dinikmati di rumah kediamannya. Sebagai seorang kepala
Dharmaputera, ia telah menikmati suatu kehidupan y"ng
mewah. Berpuluh dayang sahaya dipeliharanya, beratus orang
pengalam bekerja di kediamannya. Baik sebagai pengawal
gedung, pengalasan maupun tukang kebun, tukang kuda dan
lain2. Sebagai priagung yang berkuasa setelah baginda, ra
Kutipun menikmati kehidupan yang hanya di bawah
kemewahan kehidupan baginda. Isteri-nya seorang wanita
yang bijaksana, sabar dan setya bakti kepada suami. Apapun
yang dilakukan suaminya, tidaklah nyi Kuti marah ataupun
menentang. Sebagai seorang wanita yang telah menginjak usia hampir
setengah abad, nyi Kuti tahu akan kedudukannya sebagai
seorang isteri. Maka diperintahkannya dayang2 yang masih
muda dan cantik untuk melayani kebutuhan ra Kuti. Ra Kuti
amat berterima kasih atas pengertian isterinya. Ia menjunjung
nyi Kuti sebagai isteri utama.
Kenangan kenikmatan yang diperoleh dari tubuh dayang2
muda itu, mulai menyibak perasaan ra Kuti saat itu. Ia tak
tahu apa sebab tiba2 ia amat terangsang sekali nafsunya. Ia
benar2 tak menyadari hal itu dan tak menyadari pula bahwa
saat itu ia sedang berada di ruang peranginan gedung
kepatihan. Yang dirasakan hanyalah desir darah-mudanya
bergejolak keras. Seketika teringatlah ia akan dayang muda yang
mempersembahkan hidangan miaum tadi. Ah, betapa cantik
dayang itu. Kulitnya yang kuning bersih menebar lapang pada
dada. Ah .... . sepasang buah dada yang menggelembung
tertutup kain, tentulah merupakan bukit daging yang ....
Menggelinjanglah tubuh kepala Dharmaputera itu di kala
membayangkan sepasang benda yang menggunduk di dada
dayang tadi. Walaupun entah berapa puluh kali ia telah
menikmati benda2 semacam itu dari para dayang muda di
gedung kediamannya, namun tidaklah sekeras saat itu
keinginannya untuk menikmati milik dayang tadi.
"Dayang ..." karena tak kuat menahan luapan hatinya, ra
Kuti berteriak. Dayang muda tadipun bergegas masuk. Ia
terkejut melihat wajah kepala Dharmaputera itu merah
padam. Sepasang matanya memancar sinar berapi
"Apakah yang gusti hendak titahkan kepada hamba"
sesaat kemudian dayang muda itu memberanikan diri
bertanya. "Apakah gustimu belum pulang?"
"Belum, gusti" "Sudah lamakah engkau bekerja di sini?"
"Baru setahun, gusti"
"Ah, sayang" ra Kuti menghela napas "andaikata engkau
bekerja di gedung kediamanku, engkau tentu kuhadiahi
pakaian yang indah dan permata yang mahal"
Dayang muda itu terkesiap "Terima kasih gusti" ucapnya
dengan agak gemetar. "Cobalah engkau tuangkan minuman lagi untukku, aku
haus saja" perintah ra Kuti. Setelah menerima cawan, ra
Kutipun meneguknya "Coba tuangkan lagi"
Setelah cawan diisi tuak, ra Kuti berkata "Engkau minum
juga" "Gusti ..." dayang muda itu menggigil "hamba .... ....
hamba tak berani ...."
Ra Kuti tertawa "Jangan takut, aku yang menyuruhmu"
"Bukan, gusti. Tetapi hamba tak biasa minum, takut
muntah" "Tak apa, sedikit saja" desak ra Kuti. Tetapi dayang itu
tetap tak berani. "Hm, apakah engkau berani menolak permintaanku?" tiba2
ra Kuti rentangkan pandang.
Dayang itu ketakutan dan terpaksa meneguknya. Sesaat
kemudian tampak merahlah selebar wajah dayang perawan
itu. "Hm, makin cantik ..." gumam ra Kuti setengah berbisik
"kakiku terasa letih, cobalah engkau pijatkan."
Setelah minum tuak, dayang itu merasa pening. Namun
karena takut, terpaksa ia melakukan perintah rakryan Kuti. Ia
segera duduk bersimpuh, dekat di hadapan ra Kuti. Makin
menyalanglah mata ra Kuti ketika menyaksikan dengan jelas
kecantikan dayang itu. Lebih berdebur keras darahnya ketika
tertumbuk akan liuk lipatan yang membelah dada dayang itu.
Tiada pernah puas mata kepala Dharmaputera itu
berkemanjaan menelusuri bagian2 tubuh si dayang yang padat
dan ranum. convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
"Baiklah" katanya sesaat kemudian "sekarang engkau pijati
tanganku" Pada waktu dipanggil, disuruh menuangkan tuak, dayang
muda itu tampak ketakutan. Tetapi setelah beberapa saat
meneguk tuak, dayang itu tampak agak berani. Serentak ia
menjulang tubuh ke atas, berdiri dengan lutut melekat pada
lantai dan mulai memijat tangan ra Kuti.
Karena wajah dayang itu menyongsong rapat ke
hadapannya, ra Kuti makin terangsang. Di luar kehendaknya,
tangan kanannya cepat mendekap kepala dayang itu dan
membelai-belai rambutnya "Engkau cantik benar ..."
Dayang itu tidak takut bahkan tersenyum. Sekonyong
konyong ia mengaduh "Ih, kepala hamba .... pening sekali ..."
dan rubuhlah seketika dayang itu ke pangkuan ra Kuti.
Dalam keadaan seperti saat itu, nafsu ra Kuti pun meluap
bagai air bah. Didekapnya dayang itu dan dihujamnya dengan
kecupan yang amat bernafsu. Bibir dayang itu dilumatnya
seperti orang kehausan yang tak pernah merasa puas
meminum air .... ." Ra Kuti telah lupa diri, lupa keadaan, lupa tempat dan lupa
segala galanya. Yang tampak dan terasa dalam pikirannya,
hanya nafsu kepriaannya yang meluap-luap menuntut
kepuasan. Serentak tangannyapun mulai menelusuri tubuh
dayang itu. Dari kepala, turun ke dada lalu ke bawah dan
makin ke bawah .... Pada detik2 yang gawat di mana iblis2 bersukaria
mendendangkan bisik rayuannya, sekonyong-konyong pintu
ruang merentang dan muncullah dua sosok tubuh.
"Wahai, maaf rakryan Kuti .... . hai, apakah gerangan yang
tuan lakukan?" tiba2 pendatang yang melangkah masuk lebih
dahulu serentak berseru kejut.
"Aluyuda.... . !" ra Kuti memekik kaget. Dikatakan bahwa
halilintar yang berbunyi dimusim kemarau akan menggemparkan orang. Tetapi kejut yang diderita ra Kuti
pada saat itu, rasanya jauh lebih hebat dari halilintar berbunyi
di musim kemarau itu. Brak ... ia melonjak dan loncat dari
tempat duduknya. Kursi berhamburan jatuh membawa tubuh
dayang muda terpelanting ke lantai.
Pendatang itu memang patih Aluyuda diiring oleh seorang
pengawal. "Kakang rakryan" Aluyuda tertawa ringan, "mengapa
kakang rakryan sedemikian kejut" Maaf bila aku mengganggu
kesenangan tuan" Merah padam selebar wajah ra Kuti saat itu. Ingin rasanya
ia menyembunyikan mukanya ke dalam liang lantai.
Kemunculan secara tiba2 dari Aluyuda itu telah menghapus
pengaruh tuak yang telah merangsang dirinya.
"Aluyuda, aku ..."
"Ah, mengapa tuan masih membawa sikap sebagai orang
luar terhadap Aluyuda?" patih itu tertawa, "kita bukan orang
luar tetapi sahabat yang karib. Mengapa kakang rakryan masih
bersikap malu kepadaku?"
Ra Kuti tegak seperi patung
"Pengawal, keluarlah" patih Aluyuda memberi perintah.
Pengawal itupun memberi hormat dan melangkah ke luar.
Dalam pada itu dayang muda tadipun berbangkit lalu
menyembah kaki Aluyuda "Hamba mohon ampun, gusti"
"Ah, engkau tak bersalah" seru Aluyuda "bahkan engkau
akan kuberi ganjaran karena telah melayani dengan baik
seorang gusti mentri kerajaan"
Dayang muda itu terlongong-longong. Kemudian Aluyuda
menitahkan supaya dayang itu membawa talam dengan isinya
ke belakang "Gantilah dengan yang baru"
"Tunggu" tiba2 ra Kuti berteriak mencegah. Tampak wajah
kepala Dharmaputera itu sudah kembali pada kesadarannya
semula. Aluyuda terkesiap "Mengapa, rakryan?"
"Ada sesuatu yang hendak kuperiksa" kata ra Kuti seraya
menghampiri ke meja tempat tilam minuman itu. Ia
menyambar piala tuak lalu membaunya.
"Oh" patih Aluyuda tertawa "kiranya rakryan hendak
menyelidiki adakah minuman tuak itu berisi sesuatu"
"Ya" sahut ra Kuti dengan nada sarat, "aku tak percaya
apa yang terjadi tadi, berlangsung menurut kesadaran
pikiranku" Kembali Aluyuda tertawa. "Mengapa kakang rakryan tak percaya hal itu akan terjadi"
Bukankah kita kaum lelaki sama harkat alam jasmaninya"
Lihatlah baginda junjungan kita, bahkan aku sendiripun tak
mengingkari hal itu. Kebutuhan kodrat jasmani kita kaum
lelaki terhadap wanita, sudahlah jamak"
Masih ra Kuti melanjutkan penciumannya, kepada tuak
dalam piala itu. "Tuak hanya dapat menambah perangsang. Tak mungkin
dapat menimbulkan perangsang apabila kita memang tak
memiliki rangsang kenafsuan" ujar Aluyuda pula "dan
mengapa kakang rakryan tampak begitu bersungguh
sungguh" Bukankah hal ini hanya kita berdua yang tahu?"
"Aluyuda, minumlah!" tiba2 ra Kuti mengangsurkan cawan


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang telah diisi tuak kepada patih itu.
Aluyuda terkesiap tetapi sesaat kemudian ia tertawa, "Ah,
kakang rakryan hendak mengujikan kecurigaan kakang kepada
diri Aluyuda?" "Minum" seru ra Kuti dalam nada agak membentak.
"O, terima kasih, rakryan Kuti" seru Aluyuda seraya
menyambuti cawan, "semoga keraguan tuan hilang"
Dua kali tegukan habislah tuak dalam cawan itu.
Sementara Aluyuda masih tetap berseri tawa pada wajahnya,
mengangsurkan cawan kepada ra Kuti. "Sukalah rakryan
menambahkan secawan lagi"
Setelah diisi, Aluyudapun
secawan, rakryan" meneguknya habis. "Lagi Untuk yang ketiga kalinya, A luyuda menghabiskan tuak itu.
"Lagi ..." ia songsongkan cawan.
"Cukup" seru ra Kuti. Bagaimanapun ia seorang yang
diluhurkan dalam kedudukan sebagai Dharmaputera.
Walaupun ia harus bercuriga apabila tuak itu telah dicampur
dengan obat perangsang, namun tidaklah ia harus
merendahkan kewibawaan dirinya dengan memaksa orang
harus minum sampai empat lima cawan. Dan tadi iapun hanya
minum dua cawan saja. "Rakryan Kuti, mari kita duduk untuk bercakap-cakap
dengan tenang, apakah keperluan tuan mengunjungi rumah
Aluyuda ini?" Karena ingin menunggu bagaimana perkembangan
Aluyuda setelah minum tiga cawan tuak itu, ra Kutipun
mengambil tempat duduk. Sebelumnya, Aluyuda menitahkan
dayang tadi supaya keluar.
Walaupun masih diliputi rasa geram dan curiga namun ra
Kuti dapat menyelubungi kerut wajahnya dengan ketenangan
"Ki patih, pernahkan tuan mendengar bahwa baginda telah
menitahkan ki demung Samaya untuk menyelidiki diri ra
Semi?" Dahi Aluyuda tampak meregang "Aneh ....,. ".
"Apakah yang. engkau rasakan aneh itu?" tegur ra Kuli.
"Dua hal sahut Aluyuda, "pertama, apabila, memang hal
itu benar, kiranya tuan sebagai pimpinan Dharmaputera tentu
lebih mengetahui dari Aluyuda. Kedua, suatu hal yang langka
apabila baginda langsung memberi titah kepada ki demung
tanpa melalui! Mentri2 hino, sirikan."
"Tidak aneh" bantah ra Kuti "karena, titah itu tentu bersifat
rahasia. Dan bukankah beberapa, waktu yang lalu pernah juga
engkau membisikkan hal itu kepadaku. Bahwasanya baginda,
mulai menaruh kecurigaan kepada diri ra Semi ?"
"Benar" jawab Aluyuda, "memang hal itu baginda langsung
mengatakan kepadaku. Tetapi soal titah baginda kepada ki
demang Samaya, aku benar2 tak tahu, rakryan".."
"Tidakkah ki demung pernah, membicarakan hal itu
kepada tuan ?" Aluyuda gelengkan kepala "Tidak"
"Tahukah ki patih tentang peristiwa nyi Tanca menghadap
baginda ke dalam keraton ?" tanya ra Kuti dengan nada
menyelidik. "Peristiwa itu kuterima laporan dari prajurit yang menjaga
keraton" sahut. Aluyuda "dan bukankah tiada sesuatu yang
terjadi dalam peristiwa itu?"
Ra. Kuti mendesuh, "Hm, lupakah ki patih akan. peristiwa
Rara Sindura yang lampau?"
"O, wanita, cantik dari Mandana itu" Bukankah peristiwa
itu telah lampau?" "Benar," kata ra Kuti, "tetapi bayang-bayangnya masih
membekas jelas. Adakah akan terulang pula pada diri nyi
Tanca ?" "Itu tergantung pada baginda, rakryan Kuti. Kita hanya
orang sebawahan yang harus taat pada titah junjungan kita."
"Tetapi sebagai mentri kerajaan, layaklah apabila kita
dapat mengusahakan agar peristiwa Mandana takkan terulang
lagi?" "Adakah ra Tanca mempunyai kawula sebagaimana halnya
buyut Mandana ?" tiba2 Aluyuda melontarkan pertanyaan
tajam. "Bukan soal mempunyai kawula atau tidak. Bukan pula
soal mempunyai pengaruh atau tidak. Melainkan soal akibat
dari peristiwa itu" kata ra Kuti "telah cukup kita kenyam akibat
yang pahit pada peristiwa Mandana itu. Adakah ki patih
menginginkan hal semacam itu akan dilakukan oleh ra Tanca?"
"Rakryan Kuti" kata Aluyuda dengan nada bersungguhsungguh, "aku menyadari bagaimana dan siapa diri Aluyuda
itu. Dalam hal2 urusan pemerintahan, memang Aluyuda
menyingsingkan lengan baju untuk mengatasi. Karena hal itu
menjadi tugas kewajiban yang dipercayakan baginda pada diri
Aluyuda. Tetapi dalam soal kegemaran baginda peribadi,
bagaimana kuasa Aluyuda hendak melarang ?"
"Pernyataan yang bagus ataukah suatu pembelaan yang
gigih untuk melaksanakan ...." tiba2 ra Kuti hentikan
ucapannya. "Apa maksud rakryan Kuti?" tegur Aluyuda.
"Kumaksudkan, bahwa baik di kalangan mentri nara-praja
kerajaan sampai pada lapisan rakyat, sama mendapat kesan
bahwa dalam peristiwa Mandana itu, tuanlah yang menjadi
gara2-nya" "Termasuk rakryan juga memiliki kesan demikian?" tukas
Aluyuda lalu tertawa "hm, rakryan tentu sependirian dengan
aku bahwa yang kita abdi di negara Majapahit ini adalah
baginda Jayanagara. Bukan kaum brahmana, ksatrya, waesya
lebih2 kaum sudra. Untuk memenuhi kehendak raja, kuanggap
termasuk dalam rangka tugas kewajibanku sebagai seorang
narapraja. demikian pendirianku dalam peristiwa Mandana
yang lalu" "Tidakkah ki patih kuatir bahwa kesan semacam Rara
Sindura itu akan membayang pula dalam hati para mentri dan
kawula Majapahit apabila mendengar berita tentang nyi
Tanca?" Aluyuda tertawa gemerutuk.
"Setiap perbuatan, baik atau buruk, tentu akan dikata
orang. Dan orangpun memang bebas untuk menilai atau
mengambil kesimpulan. Tetapi seribu kesimpulan kalah oleh
sebuah kenyataan. Kenyataan bahwa baginda Jayanagara itu
adalah raja yang berkuasa di singgasana kerajaan Majapahit.
Adakah rakyat akan membenarkan ra Tanca dan membenci
baginda apabila memang terjadi hal2 yang bersifat hubungan
antara pria dan wanita. Antara seorang raja dengan isteri
seorang narapraja?" Berhenti sejenak, patih itu melanjutkan dengan sebuah
pertanyaan "Adakah rakryan Kuti juga akan tegak di atas
pendirian mereka yang akan membenci baginda apabila
mengetahui peristiwa nyi Tanca itu ?"
Ra Kuti terkesiap. Pertanyaan itu terlalu tiba2
dirasakannya, sehingga untuk sesaat ia tak dapat cepat2
menjawab. "Kurasa tidak" kata Aluyuda pula "karena rakryan seorang
pria yang memiliki sifat wajar dari seorang pria. Rakryan
membenci baginda karena peristiwa nyi Tanca sama halnya
rakryan membenci diri sendiri karena peristiwa yang serupa
..." Merah padam wajah kepala Dharmaputera itu ketika dapat
menangkap arah perkataan Aluyuda.
"Ah, sudahlah rakryan" kata Aluyuda sesaat kemudian
"baiklah kita serahkan saja soal itu kepada baginda. Yang
penting kita harus melakukan tugas2 keprajaan yang telah
dipercayakan pada diri kita. Baginda masih muda belia, di
belakang tahta kerajaan sesungguhnya terdapat suatu tampuk
kekuasaan yang amat berpengaruh kepada baginda. Banyak
titah dan keputusan yang berbau pengaruh tersembunyi itu"
Ra Kuti mulai tertarik perhatiannya. Namun ia amat
berhati-hati sekali untuk mengekang diri. Dan tak maulah ia
menyatakan pendapat melainkan lebih baik menggali
pertanyaan. "Lalu apa maksud ki patih?"
"Sejak kembali dari Lumajang, baginda telah mengadakan
pembersihan dan perobahan besar di kalangan prajurit
bhayangkara penjaga keraton. Demikian pula pada sementara
mentri dan senopati. Tetapi rasanya hal itu masih belum
menyeluruh. Dan tentulah karena baginda dipengaruhi oleh
kekuasaan yang tersembunyi itu. Maka apabila rakryan
berkenan mempercayai Aluyuda, ingin benar Aluyuda
membantu Dharmaputera untuk membersihkan mereka yang
menjadi kaki tangan kekuasaan tersembunyi itu"
"Siapakah yang ki patih maksudkan sebagai kekuasaan
tersembunyi itu?" "Keluarga raja, terutama ibusuri gusti puteri Indreswari"
jawab Aluyuda. Ra Kuti terkejut dalam hati mengapa Aluyuda
tanpa tedeng aling2 bersikap memusuhi ibunda raja. Ia makin
berhati-hati dan memagar lidah agar jangan terperosok dalam
perangkap. Ra Kuti hanya mengangguk-angguk.
"Bagaimanakah pandangan rakryan dengan
suasana pura dewasa ini ?" tanya Aluyuda.
"Setenang dahulu" kata ra Kuti "masih
mengandung bara" keadaan sekam itu "Ah" desuh Aluyuda "artinya masih penuh dengan
golongan2 yang saling bertentangan, saling berebut
kekuasaan?" Ra Kuti mengiakan "Setelah kejatuhan mahapatih Nambi
dan beberapa mentri tua, tidaklah mengurangkan ketegangan
yang mencengkam suasana pura kerajaan"
"Siapa kiranya golongan yang rakryan anggap paling
berbahaya?" tanya Aluyuda.
"Belum ki patih jelaskan, paling berbahaya bagi siapa ?"
"Dharmaputera dan Aluyuda!"
"Jika berbicara golongan yang merupakan ancaman bagi
golongan2 lain, kita harus menyebut nama Gajah Kencana.
Golongan inilah yang paling sukar kita hadapi. Golongan gusti
ratu Indreswari, golongan Aluyuda, Dharmaputera dan lain2,
dapat terlihat dan dihadapi. Tetapi Gajah Kencana itu benar2
seperti bayangan setan. Tidak tampak tetapi terasa"
"Hm, benar rakryan" kata Aluyuda "memang golongan itu
paling menjengkelkan. Sejauh penyelidikan yang kulakukan,
golongan itu dipimpin oleh kaum brahmana dan pandita.
Mereka tak keberatan siapapun yang duduk di atas
singgasana, asal darah keturunan rahyang ramuhun Kertarajasa. Mereka hendak mempertahankan hal itu demi
keselamatan kedudukan kaum mereka"
Ra Kuti mengangguk. Beda dengan adat kebiasaan hari2
yang lalu. Dalam setiap pembicaraan dengan Aluyuda, tentu ra
Kuti lah yang memegang kewibawaan. Tetapi kali ini, kepala
Dharmaputera itu seolah-olah kehilangan wibawanya.
"Oleh karena itu, Dharmaputera dan Aluyuda harus
bekerja sama untuk memberantas golongan2 itu"
Kembali ra Kuti hanya anggukkan kepala.
"Rakryan Kuti, bagaimana dengan keadaan rakryan Semi
yang sebenarnya?" tiba2 Aluyuda lontarkan pertanyaan
dengan nada yang lembut "akupun juga perihatin sekali agar
kesatuan Dharmaputera jangan sampai terganggu"
Walaupun pertanyaan itu diselubungi dengan nada
semanis madu, namun tidaklah ra Kuti terkecoh dalam
jawaban tergesa. Sejenak merenung, ia menyahut. "Ra Semi
masih tetap berada di rumahnya. Adakah baginda menaruh
perhatian atas dirinya?"
Aluyuda menghela napas, "Sukar untuk mengatakan
dengan pasti. Hanya dalam waktu beberapa hari terakhir ini
baginda memang telah menanyakan ra Semi yang sudah lama
tak menghadap ke keraton"
"Adakah sesuatu yang diinginkan baginda pada ra Semi" ra
Kuti memancing mancing penyelidikan.
"Baginda menyinggung-nyinggung soal Lumajang tetapi
apa yang diucapkan tidaklah jelas" kata Aluyuda "maka sekali
lagi kuperingatkan agar rakryan2 Dharmaputera bersiap-siap
menghadapi pertanyaan dari baginda"
Walaupun dalam hati ra Kuti menyambut peringatan patih
itu dengan kemarahan, namun mulutnya masih dapat
menerimanya dengan ucapan yang baik. Kemudian karena
tiada pembicaraan penting yang dirundingkan lagi, ra Kuti pun
segera pamit. "Bagaimanakah pandangan rakryan dengan
suasana pura dewasa ini ?" tanya Aluyuda.
keadaan "Rakryan, apabila rakryan berkenan meminatkan dayang
tadi, Aluyuda segera akan mengirimkannya ke gedung rakryan
pada saat mengantar salam, kepada sang tetamu, Aluyuda
menyusupkan kesediaannya.
Wajah ra Kuti merah. Sahutnya "Ah, tak perlu, ki patih"
"Jangan kuatir rakryan, peristiwa tadi tentu kusimpan
baik2" Merah padam wajah ra Kuti ketika ia pulang dan menuju
ke tempat persembunyian ra Semi dan menuturkan peristiwa
yang telah dialaminya di gedung kepatihan.
Ra Semipun terkejut "Jelas kakang tentu termakan jerat si
bedebah itu" serunya sesaat kemudian "tak mungkin secara
tiba2 saja dan tak sadar, kakang melakukan perbuatan itu"
Tentulah tuak itu berisi obat perangsang."
"Tetapi telah kusuruh Aluyuda minum dan dia tak
menampakkan tanda apa-apa" kata ra Kuti.
"Ah, itulah permainan yang hebat dari patih bedebah itu"
seru ra Semi "sebelumnya ia tentu sudah bersiap minum obat
penawar. Adakah kakang membawa tuak itu pulang?"
Terbelalak sepasang mata ra Kuti mendengar kata2 ra
Semi. "Tidak ra Semi. Ah, celaka memang aku ini. Mengapa
tak kusuruh penjaga minum pula" Ah".."
Ra Semi pun menghentak-hentakkan kakinya ke lantai
karena kesal hati dan marah. "Dengan peristiwa itu, Aluyuda
bertambah pula dengan sebuah senjata untuk menghantam
Dharmaputera." "Hm" dengus ra Kuti. Keduanya berdiam diri, beberapa
jenak. "Kakang Kuti" tiba-tiba ra Semi membuka suara "apakah


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tuak dalam piala itu sudah habis tiada bersisa?"
Ra Kuti kerutkan dahi mengingat-ingat, "Rasa-masih sisa
sedikit. Maksudmu ?"
"Kita harus berusaha untuk mengambil piala tuak itu agar
dapat kita periksa apakah tuak itu tidak mengandung obat
perangsang" "Benar, adi" sambut ra Kuti "tetapi gedung kepatihan tentu
dijaga ketat. Bagaimana kita mampu mengambilnya?"
Ra Semi mengisar tubuh maju merapat dan membisiki ke
dekat telinga ra Kuti. Ra Kuti mengangguk-angguk "Baik, aku setuju rencana
itu..." 0k-dwkz-mch-k0 JILID 28 I MIMPI adalah kembang orang tidur. Disebut kembang
karena tumbuh dari batang
peristiwa yang dialaminya pada
hari itu atau masa yang lalu.
Benih pohon dari peristiwa itu,
bertanam dalam pikiran, tumbuh
dalam hati, bersemi dalam
perasaan dan mekarlah sang
kembang dalam alam mimpi.
Bagai benih yang tertimbun,
merekah ke luar dari tanah
demikian pula getaran2 perasaan dari peristiwa atau
pikiran, akan memancar di alam keheningan tidur.
Tetapi mimpi itu tentu suatu bentara dari alam gaib yang
menghayati kehidupan manusia. Demikian kepercayaan yang
dianut orang termasuk patih Aluyuda yang kini telah menjadi
mahapatih kerajaan Majapahit. Bahkan Aluyuda pun lebih
cenderung akan suatu kepercayaan, bahwa mimpi itu
sesungguhnya suatu firasat yang diamanatkan oleh Hyang
Widdi. Lepas dari kesibukan2 untuk mengejar cita2 dan
keinginannya sebagai seorang manusia yang besar nafsu
keinginan dan tinggi cita citanya, Aluyuda pun seorang
penganut agama Syiwa yang patuh.
Di dalam memperdalam pengetahuan agama itu, selain
membaca weda, pun Aluyuda gemar sekali menggali mutiara2
yang terpendam dalam kitab Bhagawad Gita.
"Segala apa yang ada dalam alam dunia ini, Akulah bijinya.
O, Arjuna, tak ada wujud apapun juga, baik yang dapat
bergerak, maupun yang tidak dapat bergerak, yang jadinya
tidak dengan Aku" demikian sabda Sri Kresna memedarkan
pelajaran Brahma-Jana-Yoga kepada Arjuna.
Segala apa yang terjadi dan timbul di mayapada dan
kehidupan ini, semuanya berasal dari kekuasaan sang Hyang
Iswara. Dalam rangka itulah maka timbul suatu jalinan gaib
antara yang Hidup dan Yang Menghidupkan. Yang menerima
hidup dan yang memberi hidup. Yang menjalankan hidup
dengan yang Menguasai hidup. Jalinan yang melalui bentara
gaib berupa wangsit, petunjuk, penerangan ilham dan firasat2
antaranya mimpi. Pernah dialami oleh patih Aluyuda ketika pada suatu
malam ia terjaga dari tidurnya karena mengalami suatu impian
yang aneh. Dalam mimpi itu, ia melihat Rembulan tiba2
meluncur turun dari langit. Makin turun dan turun ke bawah
dan ah ...... akhirnya rembulan itu menimpa gedung
kediamannya. Rasa kejut yang tak terhingga menyebabkan patih itu
terjaga seketika dari tidurnya. Ia lari keluar untuk memeriksa
rumahnya. "Gusti patih ...." tegur penjaga kepatihan yang heran
melihat mengapa tiba2 saja patih Aluyuda keluar ke halaman
dan berjalan mengelilingi gedung kepatihan.
"Apakah tak terjadi suatu apa malam ini?" ia balai
menegur penjaga. "Tiada terjadi apa2, gusti" sahut penjaga itu "malam ini
tenang sekali" Aluyuda masuk kembali ke dalam gedung dan masih
termangu-mangu memikirkan mimpinya itu. Ia tak mau
mengatakan hal itu kepada siapapun juga. bahkan tidak juga
kepada nyi patih. Beberapa waktu kemudian setelah peperangan di
Lumajang, ia telah berhasil mendapat kepercayaan penuh dari
baginda dan dititahkan untuk mengganti mahapatih Nambi.
Tidakkah hal itu sesuai dengan firasat yang telah diterimanya
dari mimpi kejatuhan rembulan"
Dan Aluyuda makin percaya pada firasat mimpi.
Demikian pada malam itu, tiba2 pula ia terjaga dari
tidurnya. Ia bermimpi lagi. Sebuah mimpi yang aneh.
Dilihatnya rembulan sedang dadari dalam bentuk purnama
siddi. Terang gemilang di seluruh jagad raya. Tiba2 terjadi
suatu peristiwa yang ajaib. Terdengar ledakan keras dan
rembulan itupun sigar atau terbelah dua dan warnapun
berobah hitam .... Dan tanpa disadari pula, ia terus bergegas lari ke halaman
untuk memandang rembulan. Ah, rembulan masih utuh
mcnjenjang di angkasa barat. Suatu pertanda bahwa malam
sudah larut. Aluyuda termangu mangu memandang langit kelam.
Bintang kemintang bertaburan bagai intan permata
berhamburan di atas permadani biru. Indah tak terlukiskan.
Tetapi entah bagaimana pandang mata patih itu mempunyai
perasaan lain. Bahwa kelap kelip bintang2 itu menyerupai
sinar mata manusia yang menyalang, penuh geram dan
gerang. Tiba2 angin malam berhembus. Dan Aluyuda pun
merasa tulang-tulangnya tergigit hawa dingin. Patih itu
gemetar hati, menggigil tubuh.
Diam2 heran patih itu. Seburuk impian, seburuk suasana
malam dan seburuk pula perasaan hatinya malam itu.
Entahlah, entah karena apa ....
"Malingng .... malingng....."
Bagai halilintar berbunyi di tengah malam, melonjaklah
kelenaan pikiran Aluyuda. Serentak ia bergegas menghampiri
ke dalam gedung, arah teriakan itu. Dan makin gopohlah ia
pesatkan langkah ketika terdengar suara hiruk menggema di
ruang belakang. Serentak tiba di tempat itu, ia menyaksikan beberapa
penjaga kepatihan tengah bertempur dengan seorang lelaki
berpakaian serba hitam. Bahkan hidung dan mulutnya tertutup
oleh sehelai kain hitam. "Bunuh penjahat!" teriak para penjaga itu memberi
semangat kepada kawan-kawannya untuk menyergap. Susul
menyusul datang pula beberapa penjaga untuk membantu
menangkap penjahat itu. Tetapi rupanya penjahat itu cukup sakti. Walaupun
menghadapi kerubutan dari sepuluh orang penjaga kepatihan,
namun ia masih mampu untuk bertahan. Bahkan dalam
sebuah kesempatan, penjahat itu menerjang seorang penjaga
yang agak lamban geraknya.
"Aduh......" penjaga menjerit dan terpelanting jatuh ketika
kakinya dikait oleh kaki penjahat itu. Sebuah gerak siasat
uutuk memancing perhatian dengan memukul dada, telah
menyebabkan penjaga itu sibuk menangkis. Setitikpun dia tak
menduga bahwa kakinya akan dikait oleh penjahat itu.
Lubang itu cepat dimanfaatkan oleh penjahat dengan
sebuah gerak loncatan menerjang keluar dari kepungan.
"Hai, hendak lari ke mana engkau .... !"
"Kejar! Bunuh penjahat itu ...... !"
Demikian hiruk piknk para penjaga berteriak-teriak seraya
mengejar. Rupanya penjahat itu menuju ke kebun belakang.
Aluyuda menyaksikan peristiwa itu dengan kesima. Baru
pertama ini gedung kepatihan telah dimasuki seorang
penjahat. Apakah tujuan penjahat itu"
"Hm, menilik dia seorang penjahat sakti, kemungkinan
tentu bukan harta benda yang akan ditujunya .....eh, apakah
dia hendak membunuh aku ?" tiba2 tergetar hati Aluyuda di
kala mencapai pemikiran sedemikian.
Sesaat merahlah wajah patih itu karena marah. Cepat ia
melangkah gesa menuju ke bilik peraduannya untuk
mengambil keris pusaka. Tiba2 pandang matanya tertumbuk akan sebuah benda
yang menyerupai tubuh manusia. Benda hitam itu dengan
gerak yang hampir tak mengeluarkan suara menyusup ke
dapur. Tetapi rupanya orang itupun tajam sekali nalurinya.
Kesiur angin yang dibawa langkah Aluyuda cukup
membangkitkan kejutnya. Orang itupun hentikan langkah,
tegak bersiap. Aluyuda makin yakin bahwa sosok hitam itu tentulah
seorang manusia. Dan cepat pula ia menduga bahwa orang itu
bukanlah pengawal kepatihan melainkan seorang luar.
"Hai, siapa itu ...." tegur Aluyuda penuh kecurigaan.
Namun tak sempat ia melanjutkan kata-katanya karena orang
itupun sudah menyelinap lari ke luar.
"Maling .......... !"serentak tanpa ragu2 lagi berteriaklah
Aluyuda. Dan teriakan itu segera bersambut dengan derap
langkah kaki para pengawal bagian dalam, berhamburan
mengejar orang itu. "Tangkap penjahat!" teriak para pengawal.
Orang itupun hampir berhasil mencapai pintu. Tiba2
muncul Supa, kepala penjaga gedung kepatihan yang
bertubuh tinggi besar gagah perkasa, "Berhenti!" hardik Supa
seraya ayunkan bindi ke arah penjahat itu.
Penjahat itu cukup waspada. Ia mengendap ke bawah.
Setelah bindi melayang di atas kepalanya, iapun meninju perut
Supa, duk..... "Ah .........." terdengar dua buah suara yang hampir
serempak waktunya. Yang pertama, mendaratnya tinju ke
perut Supa. Yang kedua turunnya hujan pukulan ke punggung
orang itu. Supa terhuyung-huyung mundur sambil mendekap
perut. Tetapi orang itupun terdorong menyusur ke muka.
Apabila Supa masih dapat berdiri tegak setelah terhuyung lima
enam langkah, tidaklah demikian dengan orang itu. Sebelum
ia sempat memperbaiki diri, empat buah tangan penjaga
dalam telah menyikapnya. "Plak ..." Supa ayunkan tangan menampar muka penjahat
itu. Darah mengucur dari hidung dan mulut penjahat yang tak
dapat bergerak itu. "Pengecut!" damprat orang itu dengan mata memancar
dendam. "Apa?" bentak Supa seraya menampar muka orang itu
pula. Makin deras hidungnya mengucur darah namun orang itu
tak sepatahpun mengerang kesakitan. Bahkan sepasang
matanya makin menyalang, makin merah. "Bunuhlah aku.
Memang beginilah nasib yang akan kuhadapi. Berhasil,
mendapat pangkat. Gagal, menjadi mayat"
"Siapa engkau !" hardik Supa pula.
"Hadapkan aku kepada gustimu" seru orang itu.
"Penjahat, jangan bermanja kesombongan. Engkau ibarat
ikan dalam jaring. Nasibmu berada ditanganku"
Orang itu mendengus, "Jangan mengharap keterangan
dari mulutku. Jika engkau tak mau membawa aku ke hadapan
gusti patih, bunuhlah aku !"
"Membunuh engkau masih lebih mudah dari membunuh
seekor nyamuk" "Hm, memang karena aku telah tertangkap. Andaikata aku
bebas, tak mungkin engkau mampu mengalahkan aku" sahut
orang itu sambil busungkan dada.
Setelah dua orang penjaga dapat menyikap tubuh
penjahat itu, beberapa penjaga segera mengikat tubuh orang
itu dengan tali yang kuat.
Tantangan orang itu membuat dada Supa mengembang
kempis. Ia tahu penjahat itu berisi. Apabila berkelahi satu
lawan satu secara bebas, memang belum tentu ia menang.
Namun kalau membunuhnya dalam keadaan seperti saat itu
tentu akan diejek. "Aku bukan seorang anak kecil yang mudah
engkau bakar kemarahanku. Gila apabila seorang yang
berhasil menangkap harimau akan melepaskannya lagi hanya
karena akan diajak bertempur lagi"
Sesaat muncullah seorang penjaga yang meminta supaya
penjahat itu dibawa menghadap patih.
Aluyuda hendak memburu ke luar tetapi seorang penjaga
telah menyongsong dengan membawa laporan bahwa
penjahat yang masuk ke dalam gedung kepatihan telah
tertangkap. "Dan yang di luar itu ?" tanya Aluyuda.
"Berhasil lolos dan melukai beberapa penjaga, gusti."
"Bawa penjahat yang tertangkap itu ke pendapa" seru
Aluyuda. Dan setelah penjahat itu dibawa menghadap maka
Aluyuda segera menitahkan supaya membuka kain penutup
muka penjahat itu. "Siapa engkau" tegur patih Aluyuda. Patih itu duduk di
sebuah kursi, di kanan kiri di jaga oleh prajurit penjaga
kepatihan yang bersenjata tombak.
Saat itu tangan dan kaki penjahat diikat dengan rantai.
Masih pula beberapa penjaga kepatihan memagarinya dengan
tombak dan pedang terhunus. Tak ubah seperti orang
menjaga harimau. Walaupun sudah dalam kerangkeng besi
namun masih dikawal dengan penjaga bersenjata.
"Hamba seorang pencuri" sahut orang itu, "hamba merasa
bersalah dan terserah gusti hendak menjatuhkan hukuman
apa kepada hamba" "Siapa yang menyuruh engkau?"
"Kehendak hamba sendiri, gusti. Memang pekerjaan
hamba mencuri dan menyamun"
Aluyuda mendengus, "Engkau berani mati benar. Tetapi
engkau lupa, apakah kematianmu itu sepadan dengan
pengorbananmu, apakah pengorbananmu itu selayak dengan
imbalan yang engkau terima ?"


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Gusti, setiap pekerjaan tentu mengandung tanggungjawab. Demikian pula dengan pekerjaan mencuri.
Mati atau mukti" "Engkau tetap tak mau mengaku ?"
"Hamba telah memberi keterangan, gusti"
"Supa, ujilah kejantanannya" patih Aluyuda memberi
perintah kepada kepala penjaga kepatihan.
"Baik, gusti" Supa terus maju ke hadapan penjahat itu, "ki
sanak, untuk terakhir kali aku memberi kesempatan. Jawablah
pertanyaan gusti kami dengan sejujurnya"
"Hm, apa yang harus kukatakan lagi?" sahut orang itu.
"Hm" Supa mendengus lalu melolos sebatang cambuk
yang dililitkan pada pinggangnya. Cambuk itu terbuat daripada
kulit ekor buaya. Selain keras pun berduri.
"Cambuk ekor buaya ini, alat yang paling ampuh untuk
memecahkan daging manusia" kata Supa, "dia akan kusimpan
lagi apabila engkau mau merobah pikiranmu"
"Bunuhlah aku!" seru orang itu.
"Suatu berkah apabila engkau segera mati. Tetapi engkau
takkan mati hanya akan kusuruh menikmati apa yang disebut
kesakitan itu" kata Supa sembari menutup kata-katanya
dengan ayunkan cambuk, tar .... tar tar .......
Supa hanya mencambuk lima kali tetapi penjahat itu sudah
mandi darah. Muka, dada dan punggungnya, berhias dengan
lubang2 merah yang mengumur darah.
Orang itu benar2 amat perkasa. Dia masih kuat tegak di
tempatnya. Gerahamnya mengencang. cuping hidungnya
mengembang air seperti hidung kerbau. Jelas dia mendendam
kesakitan yang hebat. Sakit tubuh dan sakit hati.
"Bagaimana, apakah engkau tetap mengunci mulutmu
rapat2?" seru Supa. Orang itu mendengus penuh geram.
"Kawan, ambil air pembasuh darah" tiba2 Supa berseru
kepada salah seorang anakbuahnya. Cepat orang itu pergi dan
kembali dengan membawa setuah kendi, diterimakan kepada
Supa. "Akan kucuci darah di tubuhmu, supaya isterimu jangan
terkejut ..." Supa segera menyiramkan air kendi ke tubuh
penjahat itu. "Auuhhh ..." penjahat itu menjerit keras dan kepala pun
segera terkulai, dibawa rubuh sang badan.
"Gusti, dia pingsan" Supa melapor kepada patih Aluyuda.
Patih itu mengangguk "Tinggalkan dia di sini, kalian boleh
ke luar" Kendi itu memang berisi air, tetapi bukan air biasa
melainkan dicampur dengan garam. Luka berdarah tersiram
air garam, benar2 luar biasa sakitnya. Dan penjahat itupun tak
kuat menahan penderitaannya. Dia rubuh dan pingsan.
Ketika sadar, ia rasakan tulang belulangnya kaku sekali.
Digerakkan sedikit saja, sudah terasa sakit. Namun
dipaksakannya juga untuk duduk ketika matanya terbentur
akan dua buah kaki manusia yang memancang beberapa
langkah di hadapannya. Menyusurkan pandang matanya merayapi kaki itu ke atas,
segera ia mengetahui kalau pemilik kaki itu adalah ki patih
Aluyuda. Pandang matanyapun terhenti pada penatapan
pandang mata Aluyuda. Mata patih itu tenang. Setenang
seorang penguasa yang tengah menunggu hambanya
memberi sembah di bawah kakinya.
"Engkau keliru ..." ucap Aluyuda dan tak melanjutkan lagi
sehingga orang itu terpancing untuk bertanya "Apakah
maksud gusti ...." "Daripada orang yang menderita cacat, masih lebih
kasihan orang yang bodoh" ujar patih itu pula, "seorang cacat
hanya tak mampu melakukan apa yang orang biasa dapat
melakukan. Tetapi orang bodoh melakukan apa yang orang
biasa tidak melakukan."
Orang itu gelengkan kepala, "Aku masih tak mengerti
ucapan gusti ..." "Orang yang cacad tentu tak dapat melakukan pekerjaan
sebagai seorang pembunuh gelap. Tetapi seorang bodoh tentu
mau melakukan pekerjaan semacam itu, walaupun telah
diketahuinya bahwa pekerjaan menjual jiwa semacam itu,
tidaklah pantas dilakukan oleh orang2 yang mempunyai
pikiran waras" "Sebenarnya kutahu siapa yang menyuruhmu. Oleh karena
itu aku takkan menitahkan orangku supaya membunuh
engkau. Karena membunuh engkau hanya membunuh sebuah
alat belaka, bukan manusia yang menggerakkan engkau" kata
patih Aluyuda lebih lanjut.
"Hm, Pratikta" dengus patih Aluyuda, "jika kerbau itu
disebut bodoh, masih dapat kita maklumi. Karena dia seekor
binatang. Tetapi apabila manusia juga bodoh seperti kerbau,
dia adalah manusia yang paling menderita di dunia"
Kali ini penjahat itu terbeliak. Pertama-tama demi
mendengar patih Aluyuda menyebut namanya dengan tepat.
Dan kedua kali, ketika ia dikatakan sebodoh kerbau.
Sekuat baja kekerasan hati orang itu, namun semudah
pikiran dirangsang keinginan tahu. Demikian halnya dengan
orang itu. "Gusti patih, hamba adalah seorang penjahat yang
tertangkap. Silahkan gusti menjatuhkan hukuman apa saja
kepada diri hamba" Patih Aluyuda tertawa kecil. "Undang-undang kerajaan
Majapahit dibentuk untuk melindungi yang tak bersalah,
menghukum yang bersalah. Oleh karena itu, undang-undang
harus diletakkan di mahligai Keadilan yang berlandaskan
Kebenaran dan bermahkotakan Kesucian. Di tangan penguasa
yang bijaksana, hukum merupakan pengayoman yang
membahagiakan. Tetapi di tangan manusia yang kotor, hukum
menjadi momok yang membawa malapetaka"
Berhenti sejenak, patih Aluyuda melanjutkan pula,
"Menghukum engkau, mendatangkan dua akibat. Pertama,
salah sasaran. Engkau hanya sebagai alat, bukan
penggeraknya. Kedua, menambah malapetaka bagi seorang
yang sudah menderita. Ibarat menindihkan tangga pada orang
yang sudah jatuh" Makin heran orang itu makin cairlah kekerasan tekadnya
untuk bersikap membisu. "Gusti patih. Bagaimana gusti tahu
akan nama hamba?" Aluyuda tertawa renyah. "Ketahuilah, Pratikta, kemahapatihan mempunyai alat yang sempurna untuk
mengetahui apa saja yang terjadi di pura kerajaan ini.
Janganlah hanya mengetahui namamu, bahwa siapa yang
menyuruhmu dan apa tujuan yang engkau lakukan, pun telah
kuketahui semua. Maka kusebut engkau sebodoh kerbau kalau
mengunci mulutmu serapat itu"
"Dan mengapa gusti merasa iba terhadap diri hamba ?"
tanya Pratikta pula. "Pratikta," seru patih Aluyuda, "sebagai seorang yang
menjabat pekerjaan pembunuh, engkau harus tahu cara2
tentang membunuh itu. Sudahkah hal itu engkau maklumi "
Misalnya, tahukah engkau berapa macam cara untuk
membunuh itu ?" "Ah, gusti, mengapa terdapat banyak macam cara lagi
kecuali langsung kita bunuh orang itu ?"
"Bodoh" seru Aluyuda, "membunuh cara begitu, termasuk
cara yang biasa. Ada lagi cara lain untuk membunuh"
Pratikta kerutkan alis. Ia hampir melupakan rasa nyeri
pada badannya. "Mohon gusti sudi menjelaskan hal itu"
"Meracuni, menyuruh orang, termasuk di antara cara
untuk membunuh," kata Aluyuda, "ada pula yang disebut
meminjam tangan untuk membunuh. Dan hal ini telah
dikenakan pada dirimu, tanpa engkau menyadari. Bahkan
kebalikannya, engkau malah membela kemati-matian kepada
orang yang hendak mencelakai dirimu itu. Lucu bukan ?"
Pratikta terbelalak. Nyalang matanya penuh memancarkan
pertanyaan hatinya. "Menyuruh masuk ke dalam gedung kepatihan sama
dengan menyorongkan kayu bakar ke dalam api. Suatu hal
yang mustahil apabila orang yang menyuruh engkau itu tidak
mengetahui bahwa gedung kepatihan itu berdinding perisai,
berpagarkan tombak dan berlampu sinar pedang. Jangankan
manusia, nyamukpun sukar untuk memasuki ruang gedung
ini." Walaupun tak mengatakan apa2, tapi diam2 Pratikta
mengakui kebenaran ucapan patih itu.
"Dengan begitu jelas orang yang menyuruh engkau itu,
memang sengaja hendak meminjam tanganku untuk
membunuhmu" seru Aityuda pula.
"Tidak, gusti ...."
Namun Aluyuda cepat mengetahui bahwa jawaban Pratikta
itu bernada keraguan. Ia tertawa. "Bagaimanapun aku harus
memuji kepada orang yang menyuruhmu itu karena telah
berhasil mempengaruhi pikiranmu sehingga sedemikian buta
kepercayaanmu tercurah kepadanya"
"Bagaimana gusti dapat mengatakan demikian" Apa alasan
beliau hendak mencelakai hamba ?"
"Pratikta" kata patih Aluyuda, "lingkar keinginan untuk
mencelakai orang, hanya berkisar pada beberapa hal. Iri,
dendam dan menginginkan apa yang dimiliki orang itu. Iri
karena kalah kedudukan, pangkat, keberuntungan. Dendam,
karena marah, sakit hati. Menginginkan apa yang dimiliki
orang itu, harta kekayaan, benda2 pusaka ataupun wanita.
Nah, cobalah engkau teliti dalam hatimu, diantara alasan
mana yang menjadi landasan orang yang menyuruhmu itu ?"
Pratikta merenung. "Apabila engkau masih bingung" kata Aluyuda pula
"cobalah engkau jawab pertanyaanku ini. Apakah orang itu
mengiri karena pangkat dan kedudukanmu ?"
"Jauh dari itu, gusti"
"Apakah dia mendendam kepadamu ?"
"Sekali-kali tidak, gusti. Karena beliau selalu melimpahkan
budi kebaikan kepada hamba"
"Jika demikian, dia tentu tergolong yang ketiga. Adakah
orang itu menginginkan harta bendamu" Tidak bukan?"
Pratikta terbawa mengangguk. oleh pertanyaan Aluyuda dan "Adakah engkau mempunyai benda2 pusaka?"
"Tidak, gusti" "Jika harta tidak, pusakapun bukan, jelas kita harus
mencenderungkan dugaan pada wanita. Adakah engkau
mempunyai saudara perempuan yang cantik?"
"Tidak" "Adakah engkau mempunyai anak perempuan?"
"Hamba baru saja menikah ...."
Tiba2 A luyuda tertawa, "Ah, di situlah letak persoalannya,
ha, ha. Jelas sekarang, apa tujuannya dia hendak meminjam
tanganku untuk membunuhmu"
Seketika pucatlah wajah Pratikta. Sesaat kemudian ia
berseru, "Tidak mungkin gusti, gusti ra Kuti ..."
Berkata sampai di situ, timbullah rasa kejut pada kedua
orang itu. Pratikta terkejut karena menyadari telah kelepasan
omong. Sedang patih Aluyuda pun terkejut juga mendengar
pengakuan itu. Pengakuan yang amat dinanti-nantikan.
Namun patih itu cukup berpengalaman untuk tidak cepatcepat memancarkan rasa kejut pada wajahnya. Ia cepat
menutupi dengan tertawanya. Tertawa yang bernada
kemenangan. "Pratikta, jangan mudah percaya pada seseorang, Jika
engkau tak percaya, akan kutunjukkan bukti tentang peribadi
ra Kuti itu." Aluyuda segera memerintahkan seorang penjaga
pintu untuk memanggil dayang perawan yang pernah
menghidangkan tuak kepada rakryan Kuti beberapa hari yang
lalu. "Coba engkau ceritakan bagaimana tingkah laku rakryan
Kuti ketika berkunjung ke mari itu" segera Aluyuda memberi
perintah kepada dayang yang tampak gemetar ketakutan.
Segera dayang perawan itu menceritakan peristiwa yang
telah dialaminya dengan ra Kuti. Selama mendengarkan,
Pratikta tampak terlongong-longong.
Kemudian Aluyuda menyuruh dayang itu ke luar lalu
berkata pula kepada Pratikta. "Nah, engkau telah mendengar
sendiri cerita dayang tadi. Apabila engkau masih kurang
percaya, tanyakanlah kepada rakryan Kuti sendiri. Jika sepatah
saja perkataanku itu bohong, datanglah ke mari dan
katakanlah aku seorang pembohong pemfitnah orang.
Pratikta benar2 termangu-mangu. Kini ia mendapat
gambaran jelas mengapa ra Kuti menyuruhnya masuk ke
gedung kepatihan untuk mengambil simpanan tuak. Bermula
ia heran mengapa ra Kuti memberi perintah semacam itu.
Pikiran Pratikta mulai melayang-layang digelut pertanyaan
dalam hati. Apakah ia harus tetap setya pada janji yang
diucapkan di hadapan rakryan Kuti bahwa ia bersedia mati
tetapi tak akan membocorkan siapa yang menyuruhnya. Atau
apakah ia harus mengaku terus terang.
"Pratikta" kata Aluyuda "engkau mau memberi keterangan
sejujurnya atau tidak, bagiku sama saja. Aku tetap tahu
tentang persoalan dirimu. Tetapi bagi dirimu, memang lain"
Pratikta mengangkat muka, mencurah pandang tanya.
"Jika engkau tak mau mengaku terus terang, engkau akan
kubawa menghadap baginda. Akibatnya, engkau dihukum
bunuh, ra Kuti pun akan dihukum baginda. Dua duanya akan
menerima akibat" patih A luyuda berhenti sejenak "tetapi kalau
engkau mau mengatakan sejujurnya, aku bersedia untuk
melindungi dirimu. Dan yang menderita hanya seorang, yalah
rakryan Kuti" Tampak Pratikta mengernyit dahi.
dirundung kesangsian. Pikirannya masih "Kutahu engkau masih memberatkan akan janji atau


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mungkin sumpah dikala engkau menerima perintah untuk
melakukan pekerjaan ini. Tetapi cobalah engkau pikir
semasak- masaknya. Dharmaputera telah menunjukkan
beberapa hal yang tak berkenan pada baginda. Engkau tahu,
Pratikta, bahwa ra Semi itu pernah ikut dalam rombongan
mendiang mahapatih Nambi ke Lumajang"
Aluyuda berhenti sejenak untuk memperhatikan tanggapan
Pratikta. Memang liuk kerut pada dahinya makin dalam.
"Dan rupanya pada waktu akhir2 ini baginda sudah
mendengar peristiwa itu. Entah esok entah lusa, rakryan Semi
tentu akan dipanggil ke keraton. Pengakuan rakryan Semi
akan memerosotkan penilaian baginda terhadap Dharmaputera. Kemudian tersusul pula oleh tingkah laku
rakryan Kuti ketika berkunjung ke mari. Apabila hal itu
kulaporkan, baginda tentu akan lebih murka lagi kepada
Dharmaputera. Belum kesegaran peristiwa itu melayu, eh,
malam ini engkau disuruh ra Kuti untuk membunuh aku ...."
"Tidak, gusti patih, hamba tidak dititahkan membunuh
paduka" seru Pratikta terhanyut oleh keinginan hendak
membersihkan diri. "Hm, siapa mau percaya pada keteranganmu, Pratikta?"
Aluyuda mendengus. "Benar, gusti patih, hamba hanya disuruh untuk mencuri
simpanan tuak paduka"
Aluyuda tertawa hina, "Mencuri tuak maupun membunuh
aku, sama halnya. Karena baginda tentu lebih percaya akan
bukti dirimu masuk ke dalam gedung kepatihan ini daripada
alasan2 yang engkau haturkan"
"Ah, untuk kesalahan itu hamba rela menerima hukuman
mati, gusti" "Bodoh engkau !" hardik Aluyuda, "aku tak muu menjadi
tumpuan penasaranmu untuk hal yang dilakukan oleh ra Kuti.
Jika engkau seorang pencuri, begitu tertangkap tentu
kutitahkan orangku membunuhmu. Mungkin suksmamu akan
penasaran tetapi perbuatanmu akan mengatakan bahwa hal
itu memang salah. Tetapi kalau sekarang engkau kubunuh
engkau tentu penasaran, akupun merasa salah arah. Dan
tertawalah orang yang menyuruhmu itu karena kebodohon
kita. Terserah kalau engkau memang bodoh dan tak
menyadari bahwa engkau memang sengaja diumpan ke dalam
api kematian karena dia hendak mengambil isterimu. Tetapi
aku tak mau sebodoh itu untuk diperalat oleh tuanmu itu!"
Pratikta sesungguhnya orang kepercayaan yang dikasihi ra
Kuti. Dia telah mengangkat sumpah untuk melaksanakan
perintah itu. Semua tanggungjawab apabila sampai
tertangkap, akan diakuinya sendiri. Tetapi berhadapan dengan
seorang yang pandai dan licin bicara seperti Aluyuda, goyahlah
pendiriannya. Memang cerdik benar Aluyuda. Sebenarnya ia tak pernah
menduga bahwa Pratikta itu diperintah oleh ra Kuti. Untuk
mengenal diri Pratikta ia telah menitahkan seluruh penjaga
kepatihan untuk meneliti, Akhirnya salah seorang kenal diri
Pratikta itu. Itupun secara kebetulan saja. Karena penjaga
itupun tak tahu apa sebenarnya pekerjaan Pratikta. Namun hal
itu sudah cukup bagi Aluyuda untuk memukul dan
merubuhkan Pratikta pada pengakuan.
Kata orang, orang yang sesabar-sabarnya tetap akan naik
darah apabila anaknya diganggu atau isterinya diminatkan
orang. Demikian memang terjadi pada diri Pratikta. Sumpah
dan janji yang diucapkan di hadapan ra Kuti seolah hilang
lenyap manakala pikirannya tercengkam oleh ucapan Aluyuda
bahwa sebenarnya ra Kuti itu hendak menginginkan istarinya.
Hampir ia tak percaya karena ia sudah beberapa tahun bekerja
pada ra Kuti. Tetapi setelah mendengar pengakuan dayang
perawan kepatihan, pandangannya terhadap ra Kuti pun
goyah. "Gusti patih, apakah yang akan paduka limpahkan kepada
diri hamba untuk keterangan yang akan hamba haturkan"
tiba2 meluncurlah kata2 dari mulut pengalasan yang sudah
kehilangan pegangan itu. Patih Aluyuda tertawa dalam hati. Jangankan seorang
pengalasan biasa, bahkan seorang mahapatih sepengalaman
luas seperti Nambi, bahkan seorang raja seperti Jayanagara,
dapat ia tekuk lututnya dengan kesaktian lidahnya yang tajam.
"Sabda pandita ratu" sahut patih Aluyuda "menjadi ucap
seorang mahapatih pula. Akan kulindungi jiwamu apabila
engkau menunjukkan kesetyaan kepadaku"
"Baik, gusti, hamba akan mengatakan yang sebenarnya"
kata Pratikta. Kemudian ia menuturkan apakah tugas yang
sebenarnya telah diperintahkan oleh rakryan Kuti. Yalah untuk
mencuri tuak yang pernah dihidangkan kepada rakryan itu
dikala berkunjung ke gedung kepatihan.
"Hm, rupanya dia hendak memeriksa apakah tuak itu
mengandung obat perangsang" dengus patih Aluyuda "tetapi
dia lupa untuk memperhitungkan lain2 kemungkinan yang
akan dideritanya" Beberapa saat kemudian patih Aluyuda duduk termenung
mencari siasat. Ia merasakan sesuatu yang lebih bermanfaat
dalam diri pengalasan itu daripada membunuh ataupun
menyerahkan ke hadapan baginda. Maka dicobanya untuk
merangkai suatu bayang2 siasat.
"Berbahaya .... tetapi akan kucoba juga" gumamnya
seorang diri dikala angan2 yang dirangkai itu sudah mulai
memperlihatkan bentuk-bentuknya.
Tiba2 ia memanggil penjaga pintu dan memberi perintah.
Tak lama penjaga itu datang dengan membawa senampan
minuman. Patih suruh memberikan kepada Pratikta,
"Minumlah, jamu minuman itu akan memulihkan tenaga dan
semangatmu" seru A luyuda.
Setelah minum, Aluyuda pun memerintahkan supaya rantai
pada tangan dan kaki Pratikta dilepas. "Engkau tak harus
mendendam karena sedikit penderitaan yang engkau alami ini.
Itu sudah menjadi tanggungjawab tugasmu"
"Sama sekali hamba tak mengingat hal sekecil itu. Karena
apa yang gusti limpahkan kepada diri hamba, jauh lebih
berharga" sahut Pratikta.
"Pratikta, duduklah di hadapanku" kata Aluyuda setelah
menyuruh penjaga keluar "aku hendak merundingkan sebuah
masalah penting dengan engkau. Entah apakah engkau
bersedia untuk melakukan hal itu?"
Tersipu-sipu Pratikta menyatakan kesediaannya.
"Setelah mendengar keterangan dan bukti2 yang
kuhadapkan, kiranya engkau tentu percaya bahwa ra Kuti itu
memang sengaja hendak mempedaya engkau, meminjam
tanganku untuk membunuhmu"
Pratikta mengiakan. "Apabila kuberimu kesempatan, apakah engkau mau
melakukan balas dendam kepada ra Kuti?"
Kali ini agak lama Pratikta belum memberi jawaban.
Betapapun ia sudah bekerja bertahun-tahun pada ra Kuti.
Kesetyaannya kepada kepala Dharmaputera itu sudah berakar.
"Ketahuilah Pratikta" kata Aluyuda pula "seorang lelaki
yang ingin melaksanakan cita-citanya, harus membuang jauh2
segala rasa perasaan sungkan, takut, bimbang. Harus pula
dapat mempertimbangkan kesempatan yang meratakan jalan
ke arah cita-citanya itu. Bahkan kalau perlu, tinggalkan juga
ikatan2 batin di antara sanak keluarga, kawula dan gusti serta
persahabatan ..." Kesempatan berhenti sekejab itu digunakan Aluyuda untuk
mencuri pandang kerut wajah Pratikta. Nyata pengalasan itu
terpikat perhatiannya. "Kutahu, Pratikta" lanjut patih Aluyuda "bahwa hatimu
masih terasa berat akan kesetyaan terhadap rakryan Kuti.
Akan tetapi seberat-berat mata memandung, masih berat
bahu memikul. Seberat berat rasa kesetyaanmu terhadap ra
Kuti, masih berat engkau harus memikirkan nasib hidupmu,
hari depanmu" "Ketahuilah, Pratikta" kata Aluyuda lebih jauh "bahwa
kedudukan Dharmaputera sudah goyah, sudah mendapat
penilaian yang buruk dari baginda. Lihat saja, besok atau lusa,
mereka tentu akan ditangkap dan dihukum. Bukankah amat
bodoh apabila engkau hinggap pada dahan yang sudah rapuh
itu" Apa yang ra Kuti dapat memberi engkau, akupun dapat
juga bahkan lebih besar nilainya. Ra Kuti percaya kepadamu,
akupun dapat melimpahkan kepercayaan penuh kepadamu.
Bahkan bukan percaya saja, pun akan kuusahakan supaya
engkau mendapat pangkat dan kedudukan di negara
Majapahit" Memang apa yang dikatakan Aluyuda itu benar. Walaupun
Pratikta menjadi orang kepercayaan ra Kuti tetapi dia tak lebih
dan tak kurang hanya sebagai pengawal. Tidak pernah
diangkat dalam kedudukan sebagai ponggawa kerajaan. Dan
kini Aluyuda, mahapatih kerajaan Majapahit yang amat besar
pengaruhnya, telah menjanjikan hal itu kepadanya.
Keinginan manusia tak pernah berlabuh pada pantai
kepuasan. Keinginan mempunyai pangkal permulaan tetapi
tiada berujung keakhiran. Demikian pula dengan manusia
Pratikta. Panas setahun dihapus hujan sehari. Kesetyaan
Pratikta yang dipupuknya selama bertahun-tahun, karena janji
manis dari Aluyuda, telah hapus.
"Gusti, apakah yang gusti inginkan dari hamba?" akhirnya
ia berkata. "Lakukan perintahku" kata Aluyuda "dan akan kuberimu
imbalan balas jasa yang setimpal. Akan kuangkat engkau
sebagai demang" Bukan terperikan rasa gembira hati Pratikta sehingga luka2
berdarah pada tubuhnya tak terasa lagi.
"Mohon gusti segera memberi titah kepada hamba" kata
Pratikta serentak. Patih Aluyuda berdeham-deham untuk menghanyutkan
ludah yang menyekat kerongkongannya.
"Gantilah pakaianmu dengan pakaian salah seorang
penjaga kepatihan ini dan segera engkau boleh kembali ke
kediaman rakryan Kuti. Katakan kalau engkau tertangkap
tetapi dalam kesempatan di mana penjaga lena, engkau dapat
merubuhkan mereka lalu menyamar sebagai penjaga
kepatihan dan meloloskan diri."
"O" desuh Pratikta "adakah gusti Kuti mau mempercayai
keterangan hamba?" "Luka yang engkau derita dan pakaian yang engkau
kenakan dapat menghilangkan setengah dari kecurigaan ra
Kuti. Dan yang setengah lagi dapat engkau hapus manakala
engkau menceritakan kepadanya apa yang kukatakan tentang
dirinya. Katakan bahwa dalam rangka membujuk engkau
supaya mau bekerja padaku, aku telah membongkar semua
rahasia Dharmaputera, termasuk rahasia ra Semi di Lumajang
dan peribadi ra Kuti sendiri. Begitu pula tentang rencanaku
untuk melaporkan peristiwa maiam ini kepada baginda, harus
juga engkau beritahukan. Jangan ada sepatahpun yang
ketinggalan ..." Hampir sejam lebih berbicara empat mata dengan patih
Aluyuda, segera Pratikta mendapat kesan bahwa Aluyuda itu
memang seorang yang cerdik, penuh akal siasat dan tajam
pandangannya. Bahkan lebih cerdas dari rakryan Kuti. Hal itu
menambah besar harapannya kepada patih itu dan
mengurangkan kesetyaannya terhadap ra Kuti.
"Hamba akan melakukan semua titah gusti" serentak
Pratikta memberi jaminan.
"Pratikta, akan kuangkat engkau sebadai tumenggung
apabila......." tiba2 Aluyuda ajukan tubuh mendekati ke
samping telinga Pratikta lalu membisiki beberapa patah kata.
Pratikta mengangguk angguk.
Penjahat di taman belakang yang terkepung prajurit2
penjaga kepatihan, dapat meloloskan diri. Nyata beberapa
prajurit kepatihan yang bersenjata tombak dan pedang, tak
mampu menangkap penjahat itu.
Dan apabila demikian, kiranya memang bukan salah
mereka karena penjahat itu bukanlah sembarang penjahat
melainkan seorang pengalasan dari ra Kuti yang terpercaya.
Singa Galung, demikian nama pengalasan itu, seorang
lelaki bcrumur empatpuluhan tahun, bertubuh agak bungkuk
tetapi memiliki tenaga yang sepadan dengan lima orang.
Menurut keterangannya, dia berasai dari Bali. Pandai menari,
pandai pula berkelahi. Singa Galung dipilih ra Kuti bersama dengan Pratikta untuk
menyelundup ke gedung kepatihan. Apabila Singa Galung
ditugaskan untuk memikat perhatian para penjaga kepatihan
supaya ke luar diri lingkungan kepatihan, adalah Pratikta
diperintahkan untuk menyusup ke dalam gedung, mengambil
semua piala berisi tuak. ra Kuti masih penasaran, ia ingin
memeriksa luak yang dihidangkan kepadanya itu.
Singa Galung tiada mengalami kesulitan suatu apa untuk
memancing prajurit2 penjaga kepatihan ke luar lalu
meloloskan diri. Tidak demikian dengan Pratikta yang
menderita nasib sial karena tertangkap.
Singa Galung langsung menghadap ra Kuti untuk memberi
laporan. Kepala Dharmaputera itu menggentak-gentakkan
kakinya ke lantai karena geram, "Ah, celaka, mengapa Pratikta
sampai tertangkap" Bukankah penjaga kepatihan sudah
berhamburan ke luar mengejar engkau ?"
Singa Galung membenarkan "Ataukah mungkin kepatihan
itu memelihara banyak sekali penjaga2 yang ditugaskan
menjaga keamanan gedung itu?"
Ra Kuti tak memberi tanggapan apa2, melainkan diam
termenung. Diam2 dia cenderung untuk menerima apa yang
dikemukakan pengalasan itu. Sudah wajar apabila seorang
manusia semacam patih Aluyuda harus memperkuat
penjagaan rumahnya. Dia mempunyai banyak musuh. Yang
kelihatan dan yang tersembunyi.
Sampai lama tampak kepala Dharmaputera itu mengerut
dahi sambil meremas-remas telapak tangannya. Rupanya dia
sedang berusaha memeras otak untuk memecahkan persoalan
berat yang dihadapi berhubung tertangkapnya Pratikta.
"Singa Galung" tiba2 ra Kuti berseru memanggil orang
kepercayaannya itu. Setelah lelaki bungkuk itu menghadap, ra
Kuti menyusuli kata2 "apakah engkau berani menyerbu


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gedung kepatihan untuk membebaskan Pratikta?"
"Setiap saat, hamba bersedia menyabung nyawa untuk
paduka" sahut Singa Galung.
"Bagus, Singa Galung, kesetyaanmu tentu akan kubalas
yang sepadan" puji ra Kuti "kita nantikan saja sampai ayam
berkokok. Apabila tiada berita tentang Pratikta, cepat engkau
pimpin beberapa orang pilihanmu untuk menyerbu kepatihan"
"Gusti, setitikpun tiada rasa gentar dalam hati hamba
untuk melaksanakan titah gusti. Namun hamba kuatir, usaha
hamba itu akan mengalami kegagalan"
"Lebih baik berusaha walaupun gagal daripada hanya
berpeluk tangan" seru ra Kati.
"Tetapi gusti" sanggah Singa Galung "bukankah kegagalan
itu akan menambah jatuhnya korban orang2 paduka?"
"Apa maksudmu" Takut?"
"Tidak, gusti. Melainkan hamba mohon petunjuk
bagaimana cara yang baik untuk memperkecil kemungkinan
usaha itu akan gagal"
Ra Kuti kerutkan kening, digelut pemikiran.
"Bakar!" tiba2 ra Kuti kepalkan tinju dan menyerempakkan
ke atas untuk mengiring gelora kata-katanya "ya, Singa
Galung, bakarlah gedung kepatihan. Timbulkan kekacauan
untuk memudahkan engkau menolong Pratikta"
Singa Galung terkesiap tetapi sesaat iapun dapat
membenarkan siasat itu. Setelah memberi hormat ia segera
undurkan diri hendak mempersiapkan orang-orangnya.
"Tunggu" tiba2 ra Kuti berseru pula. Dan ketika Singa
Galung berhenti, ra Kuti dengan tandas memberi sebuah
perintah "apabila Pratikta masih selamat, bawalah ia kabur
dari kepatihan. Tetapi apabila dia sudah menderita luka parah,
tinggalkan saja" "Tinggalkan dia ?" Singa Galung mengulang.
"Ya, tinggalkan pulang!" tubuhnya, nyawanya engkau bawa "Dibunuh ?" Ra Kuti mengangguk tanpa menjawab.
Waktu merayap dengan cepat. Beberapa lama kemudian
terdengarlah suara ayam berkokok. Dan Singa Galung pun
masuk menghadap rakryan Kuti pula.
"Hamba mohon perkenan gusti untuk berangkat bersama
enam orang yang hamba pilih"
"Hanya enam ?" ra Kuti agak sangsi.
"Enam orang tenaga pilihan, lebih berguna dari sebuah
kelompok barisan bersenjata, gusti. Harap gusti berkenan
melimpahkan kepercayaan kepada hamba?"
"Baik ...." baru ra Kuti memberi persetujuan tiba2 seorang
penjaga masuk bergegas-gegas, "Gusti, pengalasan Pratikta
pulang" Ra Kuti terkejut "Suruh dia menghadap ke mari"
Tiga orang masuk. Pratikta berjalan dengan ditopang oleh
dua orang pengawal "Gusti, hamba mohon ampun ...." Pratikta
terus mendumprah di lantai, mencium kaki rakryan Kuti.
Ra Kuti terbelalak demi melihat keadaan pengalasan yang
disuruhnya itu. Muka dan dada Pratikta berlumur darah kental,
pakaiannya pun bukan yang dipakai semula. Ra Kuti menduga
Pratikta tentu terluka. Ia segera menitahkan penjaga untuk
membawa air. Setelah minum tampak Pratikta agak sadar. Dia dapat
duduk bersila menghadap ra Kuti.
"Gusti, mohon paduka jatuhkan hukuman kepada hamba
karena hamba gagal melaksanakan titah paduka" kata
Pratikta. "Ceritakan dari mula"
Pratikta pun menuturkan tentang peristiwa yang
dialaminya ketika masuk ke dalam gedung kepatihan. Dia
ditangkap, dirantai dan disiksa lalu di hadapkan patih Aluyuda.
"Adakah engkau mengaku kepada patih itu ?" seru ra Kuti
dengan nada tergetar tegang.
"Gusti, Pratikta bukanlah orang yang takut mati. Sampai
pun hamba di dera dengan cambuk ekor buaya oleh kepala
penjaga kepatihan, namun hamba tetap mengunci mulut
hamba rapat2. "Hm, bagus" desuh ra Kuti.
"Kemudian hamba dihadapkan kepada patih Aluyuda.
Dengan berbagai cara dari halus sampai kasar telah
dilancarkan patih itu untuk membuka mulut hamba namun
hamba tetap menutup rapat2 dengan baju kesetyaan hamba
terhadap paduka" "Itu baik sekali" seru ra Kuti. Namun sampai dua kali
belum sopatahpun kata pujian meluncur dari mulutnya.
"Akhirnya patih Aluyuda geram. Dia memanggil seluruh
prajurit, penjaga dan orang2 gajihannya untuk mengenali
hamba. Ah ...." "Bagaimana ?" "Sebelum itu, patih Aluyuda telah memerintahkan seorang
kepala prajurit kepatihan untuk menyiram air garam ke tubuh
hamba. Karena tak kuat menderita sakit, hambapun pingsan
...." "Kekejaman akan berbalas dengan kekejaman!" seru ra
Kuti. "Setelah hamba siuman, patih Aluyuda segera memanggil
nama hamba dan membujuk hamba supaya bekerja
kepadanya karena dia sudah tahu bahwa gustilah yang
mengutus hamba ini. Dengan nada keras dan geram, patih
Aluyuda telah menyatakan ancamannya bahwa entah esok
entah lusa akan mengadukan gusti Semi kepada baginda dan
akan mohon baginda untuk menangkap para gusti
Dharmaputera sekalian"
Mendengar keterangan itu, gemetarlah tubuh ra Kuti.
Karena marah dan tegang sekali. Kali ini ia hampir tak
meragukan lagi keterangan pengalasan itu. Dua kali dalam
dua hari, ia telah menderita kekalahan dari patih Aluyuda. Dan
esok atau lusa..... Serentak tersentaklah hati ra Kuti bagai sebuah perahu
yang membentur karang. Ia menderita kegoncangan hebat,
kejut yang dahsyat. "Dia. akan melaporkan ra Semi dan akan
mohon baginda untuk menangkap para Dharmaputera ...."
"Pratikta !" tiba2 ia teringat sesuatu "bagaimana engkau
mampu lolos dari kepatihan !"
"Karena segala bujuk gusti patih tak hamba terima,
kemudian dia memberi waktu kepada hamba. Apabila sampai
esok hari. hamba tetap tak mau mengaku, hamba akan
dibunuh" kata Pratikta "kemudian hamba ditaruhkan dalam
sebuah ruarg tutupan dan dijaga. Dalam sebuah kesempatan
yang hamba peroleh pada kelalaian penjaga, hamba dapat
mencekik lehernya dan melepaskan diri dari tempat tutupan
itu. Untuk melancarkan perjalanan meloloskan diri, hamba
berganti dengan pakaian penjaga itu"
Setelah mendengar keterangan Pratikta, ra Kuti suruh
pengalasan itu mundur. Singa Galung pun diperintahkan untuk
membatalkan rencana penyerbuan ke gedung kepatihan.
Kepada Singa Galung, ra Kuti memerintahkan supaya
disiapkan penjagaan yang kuat. Semua prajurit penjaga,
pengalasan dalam gedung kepala Dharmaputera harus
bersiap-siap untuk menerima perintah setiap saat.
Hampir tak tidur ra Kuti malam itu. Pikiran terus menerus
bergelut dengan kecemasan dan kegelisahan. Hampir2 ia
bingung mencari akal bagaimana mencegah Aluyuda supaya
esok hari tidak menghadap ke istana.
"Ah, sukar" timangnya dalam hati "jika aku mengunjungi
kepatihan, kemungkinan dia akan menindak aku lebih dahulu.
Namun apabila aku tak kesana, diapun tentu menghadap ke
istana ....... hm, ya, hanya begitu. Dia harus dihadang di
tengah jalan oleh orang2 yang tak diketahuinya. Jika perlu
dibunuh" tiba2 ia mendapat pikiran demikian. Tetapi pada lain
kilas, lain pertimbangan menyanggahnya, "ah, dia seorang
manusia yang licin. Kemungkinan ia tentu membawa pengawal
yang kuat untuk mengiringnya ke keraton. Jika pencegatan itu
gagal, bukankah akan menimbulkan kegemparan. Dan apabila
ada salah seorang dari orang2 yang kuperintahkan untuk
mencegat itu tertangkap, bukankah akan makin lebih mudah
baginya untuk mengadukan diriku kepada baginda, ah ......."
Kepala Dharmaputera itu menghela napas. Ia merasa
bingung. Dan makin bingung, makin gelaplah pikirannya untuk
memecahkan persoalan yang dihadapinya.
Saat itu fajar hampir merekah. Ra Kuti duduk sandarkan
diri di kursi ruang tidurnya. Karena pikirannya bekerja keras,
urat2 syarafnya pun mengejang tegang menghalau rasa
kantuk. Tetapi betapapun halnya, akhirnya letih juga rakryan
Dharmaputera itu. Selekas ketegangan mengendap, secepat
itu pula rasa kantuk segera mencengkamnya. Kepala
Dharmaputera itu terlena disengat kantuk ....
Pelita yang mendekati kehabisan minyak, akan
memancarkan sinar yang terang secara mendadak. Dan secara
mendadak pula percik sinar itu akan padam seketika. Demikian
halnya dengan ra Kuti. Sisa getaran urat syarafnya pun tiba2
mengejang lagi, menyibak kelelapan tidurnya. "Ah, iblis laknat
itu harus disirnakan .........." mulutnya tiba2 mengingau
disertai pula oleh sebuah gerakan tubuhnya untuk berkisar.
Sesungguhnya ingau yang meluncur dari mulut kepala
Dharmaputera itu merupakan ledakan dari kemarahan hatinya
kepada Aluyuda. Karena sampai sekian lama belum juga ia
mendapat akal daya untuk menghadapi Aluyuda maka
kemarahan hatinya masih membara terus. Dan karena ia
sudah menghentikan segala kegiatan daya pikirnya, sisa2
kemarahan yang masih mengendap dalam hatinya itupun
segera meledak. Demikian sesungguhnya gerak yang dilakukan ra Kuti di
atas kursi. Tetapi secara tak sengaja ia telah membuat suatu
gerakan yang menyelamatkan jiwanya. Karena pada saat itu
sebilah parang yang berkilat-kilat tajam tengah melayang ke
arah kepalanya. Andai dia tak mengisar tubuh, kepalanya
tentu terbelah. Tetapi karena tubuhnya menggeliat ke
samping, sandaran kursi yang didudukinya itulah yang menjadi
tumpuan, terbelah dan menimbulkan suara yang keras. Karena
sandaran terbelah, ra Kutipun terhempas jatuh ke lantai.
"Hai ...."secepat terkejut dan membuka mata, ia segera
melihat seorang lelaki tengah ayunkan parang menusuk
dadanya. Cepat ia membalikkan tubuh ke samping. Sekalipun
demikian, sekelumit daging bahunya telah terkupas. Ia
rasakan lengannya basah dan sakit. Ra Kuti cepat dapat
menyadari bahwa yang basah itu tentulah darah "Tangkap
pembunuh .......... !" serentak ia berterik sekuat-kuatnya.
Memang pada saat ra Kuti tengah terlena dalam
tidur serentak di atas kursi,
sesosok tubuh dalam gerak
seringan kueing meloncat,
telah menyelinap masuk dan
ayunkan parangnya ke arah
kepala ra Kuti. Tetapi orang
itu terkejut ketika ra Kuti
menggeliat ke samping dan
terperosok jatuh ke lantai.
Cepat ia tusukkan ujung parang ke dada ra Kuti tetapi
kembali ra Kuti masih mampu menggeliatkan tubuh menghindar. Dan gelombang kejut yang paling
dirasakan seperti menghilangkan semangatnya yalah Dharmaputera itu berteriak minta tolong.
ketika kepala Sepasang mata orang itu tampak menyalang dan menyala.
Dia harus mati, demikian keputusannya. Cepat ia loncat
menginjak tangan ra Kuti yang masih belum sempat bangun,
lalu ayunkan parangnya ke dada ....
"Auuhhhh..... Terdengar sebuah jeritan yang ngeri, mengantar sosok
tubuh yang terhempas ke lantai, menimbulkan suara benda
berat yang jatuh ke lantai sehingga lantai dan dinding serasa
bergetar-getar. Yang rubuh dengan punggung berhias sebatang belati itu
ternyata pembunuh yang hendak mengambil nyawa ra Kuti.
Ketika ra Kuti sudah tak berdaya kecuali menunggu tibanya
parang yang akan merenggut jiwanya, sekonyong-konyong
Singa Galung menerobos masuk. Dan secepat melihat apa
yang terjadi di dalam ruang itu, secepat itu pula ia sudah
lontarkan belati ke punggung pembunuh gelap itu.
Mendengar teriakan ra Kuti, Singa Galung yang kebetulan
menjaga di luar, cepat menerobos masuk dan dengan
ketangkasan yang luar biasa, ia dapat menyelamatkan jiwa
tuannya. "Hai, Pratikta .......... !" Singa Galung menjerit kejut ketika
membalikkan tubuh pembunuh itu dan mengenali mukanya.
Ra Kuti merah padam wajahnya demi melihat penyerang
itu Pratikta. Menyambar pedang milik Singa Galung, ia terus
ayunkan pedang itu ke leher Pratikta. Geram, marah dan malu
meledak dan terjadilah gempa dalam bumi hati ra Kuti.
Tetapi tiba2 ia hentikan pedang di tengah jalan. "Ah ...." ia
menghamburkan napas sepanjang mungkin untuk menyalurkan kesesakan yang menghimpit dadanya.
"Gusti ...." seru Singa Galung lalu hentikan kata-katanya.
Rupanya ia tak berani melanjutkan pertanyaan.


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tampak cahaya wajah kepala Dharmaputera itu mulai
tenang "Singa Galung, aku telah kalah habis-habisan dengan
Aluyuda ...." "Gusti" kata kepala pengawal itu "hamba tak mengerti
mengapa gusti mengatakan demikian"
"Singa Galung, singkirkan mayat Pratikta dari sini dan
kuburlah ia" lebih dahulu ra Kuti memberi perintah "setelah itu
engkau datang lagi ke mari"
Ketika Singa Galung menghadap lagi, ternyata ra Kuti
sudah berganti pakaian dan duduk di pendapa.
"Singa Gdung, tahukah apa sebab kuhentikan menabas
leher Pratikta ?" tegur ra Kuti.
Singa Galung mengatakan tak tahu dan mohon diberi
penjelasan. "Dia telah menjadi korban lidah Aluyuda yang bermadu
bisa. Bukan sebulan, setahun dua tahun tetapi sudah
bertahun-tahun Pratikta mengabdi kepadaku. Kesetyaannya
tak kuragukan lagi. Tak mungkin dia akan berhianat apalila
tiada dihasut orang. Dan tak mungkin pula hasutan itu akan
termakan olehnya apabila tiada keterangan fitnah yang
menghancurkan kesetyaan Pratikta. Hm ...." ra Kuti tak
melanjutkan ucapannya karena ia segera membayangkan
kemungkinan fitrah yang dilancarkan Aluyuda itu tentulah
berkisar pada soal wanita. Betapapun ra Kuti masih malu
untuk menceritakan pengalamannya ketika berkunjung ke
gedung kepatihan. "Setelah memfitnah, Aluyuda tentu menjanjikan sesuatu
yang amat berharga bagi Pratikta. Mungkin harta, mungkin
pangkat. Dan itulah yang beihasil menggoyahkan pendirian
Pratikta dan menghapus kesetyaannya kepadaku"
"Pratikta memang layak dicincang mayatnya" menambahkan pula kepala Dharmaputera itu "tetapi dengan
memperlakukannya begitu, Aluyuda akan makin gembira
menggelagakkan tawanya. Maka dapatlah kuampuni kesalahan
Pratikta, mengingat pula dia telah mengabdi kepadaku selama
bertahun-tahun itu."
Singa Galung memuji keluhuran budi ra Kuti.
"Singa Galung, keadaan makin gawat" kata ra Kuti "kurasa
Aluyuda tentu akan bertindak mengadukan peristiwa Pratikta
kepada baginda. Sekalian pula akan membongkar rahasia ra
Semi di hadapan baginda. Maka sebelum hal itu terjadi, aku
akan mendahului langkah Aluyuda"
"Hamba akan mempersembahkan jiwa
pengabdian kesetyaan hamba kepada paduka"
raga untuk "Setulus penyerahan kesetyaanmu kepadaku, setulus itu
pula penerimaanku, Singa Galung. Apabila cita-citaku
terlaksana, engkau akan kuberi pangkat kedudukan yang
tinggi" Dalam pada bercakap cakap itu, mentari pagipun mulai
memerah cakrawala timur. Sejenak memandang cuaca pagi,
ra Kuti berkata pula "Singa Galung, aku hendak ke luar.
Apabila datang utusan dari siapapun juga, katakan bahwa aku
tiada di rumah. Siap-siagakan anakbuahmu dalam sehari ini"
Setelah memberi pesan, ra Kuti segera ke luar dari gedung
kediamannya. Ia hendak mencari ra Semi. Sejak terjadi
peristiwa rombongan prajurit dari kademungan hendak
mencari ra Semi, maka demi keselamatan ra Semi dan
keamanan kediaman ra Kuti, maka diaturlah ra Semi supaya
berpindah-pindah ke rumah para Dharmaputera.
Saat itu ra Kuti bergegas menuju ke gedung kediaman ra
Pangsa. Hari masih amat pagi benar ketika penjaga terbeliak
dari cengkaman kantuk manakala ra Kuti tegak di muka pintu
regol. Kedua penjaga itu tersipu2 harus membungkukkan
pinggangnya yang kaku dari gigitan angin malam yang dingin.
"Aku hendak menemui rakryan Pangsa" kata ra Kuti. Dan
penjaga itupun segera mengiringkan kepala Dharmaputera itu
ke dalam. Ketika berhadapan dengan ra Pangsa dan ra Semi dalam
sebuah ruang yang khusus diperuntukkan tempat tinggal ra
Semi, maka berceritalah ra Kuti tentang peristiwa yang telah
terjadi semalam. "Rencana kita gagal, aku kehilangan seorang pengalasan
yang setya dan Aluyuda bertambah dengan sebuah
kemenangan pula" ra Kuti mengakhiri penuturannya.
Ra Semi berobah agak pucat.
"Jika demikian" katanya kemudian "kemungkinan hari ini
Aluyuda akan menghadap baginda ......."
"Untuk melaporkan peristiwa semalam
membuka rahasia diri adi Semi" tukas ra Kuti.
dan sekalian "Dan turunlah titah baginda untuk menangkap para
Dharmaputera" teriak ra Kuti.
"Tiada akan lari jauh kiranya dugaan adi itu dengan
kenyataannya" sambut ra Kuti.
"Jika begitu, kita harus mendahului bertindak" balas ra
Semi. "Itulah sebabnya mengapa hari sepagi ini kuperlukan
mencari adi berdua" jawab ra Kuti "kita sepakatkan kata,
bulatkan langkah untuk menghadapi keadaan yang sudah
teramat gawat ini" Ra Pangsa yang sejak tadi hanya diam mendengarkan
saja, saat itupun membuka suara, "Kita telah disepakatkan,
langkahpun telah dibulatkan, hanya tinggal menunggu titah
kakang Kuti saja" "Adakah para Dharmaputera sudah lengkap berada di
pura?" tanya ra Kuti.
"Ra Tanca masih belum pulang. Demikian pula dengan ra
Banyak, masih belum kembali" kata ra Pangsa.
"Dan ra Yuyu?" "Juga belum kembali"
"Hm, aneh" gumam ra Kuti "sudah dua hari ra Yuyu
menyusul ra Tanca ke Daha, mengapa belum juga pulang"
Adakah terjadi sesuatu pada diri mereka?"
"Benar, kakang Kuti" seru ra Semi "akupun mencemaskan
hal itu. Kita harus menyadari bagaimana manusia Aluyuda
dengan segala reka daya tipu muslihat yang jahat itu. Apakah
kemungkinan ..." Ra Kuti terkesiap lalu menukas, "Maksud adi, Aluyuda telah
mempersiapkan orang untuk menghadang perjalanan ra
Yuyu?" "Demikian yang kucemaskan"
"Jika demikian" tiba2 ra Pangsa ikut bicara pula "baiklah
kita susul mereka ke Daha agar kita lebih kuat dalam
melaksanakan langkah yang akan kita lakukan. Ra Tanca
seorang ahli pemikir yang tajam. Pendapat dan saransarannya amat penting"
Ra Kuti gelengkan kepala "Terlambat adi Pangsa. Hari ini
merupakan hari penentuan. Telah kuperintahkan orang untuk
mengawasi gerak gerik Aluyuda, adakah hari ini dia
menghadap baginda. Dan telah kupesan kepada para penjaga
rumah kediamanku, siapapun yang datang supaya
diberitahukan bahwa aku tak berada di rumah"
"O, kakang rakryan menduga bahwa hari ini baginda akan
menurunkan titah memanggil para Dharmaputera karena telah
mendapat laporan dari Aluyuda?" tanya ra Pangsa.
"Ya" sahut ra Kuti "karena itu maka pagi2 ini aku
mendahului ke luar dari rumah untuk berunding dengan adi di
sini. Apabila kita harus menyusul ra Tanca dan ra Banyak ke
Daha, kemungkinan kita sudah tiada sempat lagi untuk
menyusun rencana" Baik ra Semi maupun ra Pangsa segera dapat menyadari
akan kegawatan yang menyelubungi hari itu. Dugaan ra Kuti
bahwa Aluyuda tentu akan melapor pada baginda, memang
paling besar kemungkinannya. Dan bahwasanya baginda akan
menitahkan penangkapan terhadap Dharmaputera, pun bukan
suatu kemustahilan yang mustahil.
"Kakang rakryan, mari kita mencari ra Wedeng" tiba2 ra
Semi berkata "makin cepat kita mengambil keputusan, makin
selamatlah kita dari bencana"
Ra Kuti dan ra Pangsa setuju. Mereka bertiga segera
menuju ke tempat kediaman ra Wedeng yang terletak di ujung
lingkungan kediaman para mentri kerajaan. Hampir mendekati
batas pura dengan luar pura.
Mereka terkejut ketika mendapat keterangan bahwa ra
Wedeng tak berada di rumah.
"Ah, masa kan hari sepagi ini rakryan Wedeng sudah ke
luar dari rumah?" tegur ra Kuti kepada penjaga
"Benar gusti" kata penjaga itu dengan nada bersungguh2,
"apabila hamba bohong, silahkan paduka memberi hukuman."
Ketiga Dharmaputera itu hampir putus asa ketika tiba2
penjaga itu mempersilahkan mereka masuk ke dalam
pendapa. "Hm, jangan berolok-olok, penjaga" hardik rakryan Kuti
"engkau mengatakan gustimu ra Wedeng tiada di rumah.
Mengapa pula engkau mempersilahkan kami masuk ?"
"Mohon maaf, gusti" sahut penjaga itu "sebelum ke luar,
gusti Wedeng telah meninggalkan pesan, apabila para gusti
Dharmaputera berkunjung supaya dipersilahkan menunggu.
Tak lama gusti hamba tentu pulang."
Sambil menunggu, ra Kuti melanjutkan pembicaraan untuk
mengatur langkah seperlunya, "mendahului kehadiran adi
Wedeng, rasanya kita sudah didesak pada sebuah ujung
piiihan. Menyerah atau melawan. Dihukum atau menghukum
...." Ra Semi dan ra Pangsa mengangguk sarat.
"Jika kita menyerah, yang jelas Dharmaputera tentu akan
dibubarkan. Kemungkinan lebih jauh, kita akan menerima
hukuman pula" "Dan itupun masih tak mengapa" lanjut pula ra Kuti
"apabila melalui suatu peradilan yang layak. Celakanya,
hukuman itu akan dijatuhkan berdasarkan fitnah yang
dihembuskan mulut Aluyuda. Kita akan mati konjol"
Ra Semi mendengus geram. "Jika demikian, lebih baik kita melawan" serunya. Dan ra
Pangsapun mendukung. "Tetapi untuk menggerakkan suatu perlawanan dalam
waktu sehari, memang sukar" ra Kuti memberi ulasan "kecuali
...." "Kecuali bagaimana, kakang rakryan?" tanya ra Semi
gopoh. Ra Kuti berusaha menenangkan ketegangan hatinya,
kemudian baru berkata, "Perlawanan yang akan kita cetuskan
ini, di mata kerajaan tentulah dianggap sebagai suatu
pemberontakan. Dan memang aku setuju dengan nama itu.
Kita memang akan memberontak tetapi yang kita berontak
adalah Aluyuda si bedebah itu"
"Tidakkah dalam pemberontakan itu baginda
tergelincir dalam lingkungan sasaran yang kita tuju?"
akan "Tergantung pada perkembangan suasana nanti. Tetapi
rasanya pemberontakan yang bertujuan menurunkan baginda
dari tahta, tentu tak bersambut dalam hati rakyat. Bahkan
kebalikannya malah dapat menimbulkan rasa tak senang
dalam hati mereka. Tetapi apabila pemberontakan itu
bertujuan melenyapkan Aluyuda, patih yang selalu mengacau
kerajaan, tentulah rakyat bersyukur hati dan mau memberi
bantuan ...." "Benar kakang rakryan" sambut ra Semi serentak "kita
sebarkan keterangan bahwa gerakan kita ini untuk menuntut
balas atas kematian mahapatih Nambi yang ternyata difitnah
oleh Aluyuda. Ya, kiranya para kawula pura Majapahit masih
mencintai mendiang mahapatih Nambi"
"Tepat" seru ra Pangsa pula "hal itu ......." Baru
Dharmaputera yang satu itu berkata, tiba-tiba mereka
bergegas berdiri untuk menyambut kedatangan ra Wedeng.
"Ah, maaf, kiranya kakang dan adi rakryan sudah lama
menunggu di sini" ra Wedeng memberi salam dan permintaan
maaf. "Kami memang beramai-ramai datang ke mari hendak
merundingkan suatu masalah yang amat gawat dengan adi"
kata ra Kuti. "O" ra Wedeng agak terkesiap, "jika begitu mari kita
masuk ke dalam" Mereka diajak masuk ke dalam ruang peribadi dari ra
Wedeng. Sebuah tempat yang cukup aman dari pengintaian
dan pendengaran orang. "Ke manakah sepagi hari ini adi ke luar rumah" ra Kuti
memulai pembicaraan dengan sebuah pertanyaan.
Ra Wedeng tersenyum kecil "Melakukan penyelidikan ke
kademungan" Ra Kuti, Semi dan Pangsa terbeliak "Apa yang adi selidiki?"
tegur ra Kuti. "Peristiwa penyerbuan sekelompok prajurit kademungan
ke rumah kediaman kakang Kuti, masih menyebabkan aku
penasaran. Aku agak sangsi apakah demung Samaya yang kita
kenal baik mau bertindak secara sedemikian cerobohnya"
"Ya" ra Pangsa memberi dukungan "dalam pengamatanku
selama ini, demung Samaya tak begitu menyukai patih
Aluyuda" "Lalu bagaimana hasil penyelidikan adi ke kademungan
itu?" tanya ra Kuti.
"Yang hendak kuselidiki yalah kelompok prajurit itu.
Benarkah mereka prajurit2 dari kademungan atau bukan.
Hasilnya ternyata sesuai dengan dugaanku. Mereka bukan
prajurit kademungan"
Ra Kuti terkejut, serunya "Bagaimana adi tahu kalau
mereka bukan prajurit kademungan?"
"Ah, mengapa kakang rakryan amat pelupa ?" balas ra
Wedeng "bukankah kakang rakryan mengatakan bahwa
kelompok prajurit yang menyerbu ke gedung kediaman
kakang itu telah kakang potong sebelah daun telinganya ?"
"O" "Berdasarkan ciri itulah maka kubuktikan laporan dari
pengalasanku yang sebelumnya telah kuperintahkan untuk
mencari keterangan pada prajurit2 kademungan. Pengalasan


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melaporkan bahwa kademungan tak mempunyai prajurit yang
kehilangan sebelah daun telinganya. Dan pagi ini kubuktikan
untuk melihat dari dekat di-kala prajurit2 itu berlatih baris di
lapangan. Memang tiada seorang prajuritpun yang hanya
mempunyai sebelah daun telinga"
"Penting benar keterangan adi ini" seru ra Kuti "jika
demikian kemungkinan besar tentulah siasat dari Aluyuda"
"Kita serbu kepatihan !" serentak ra Semi memberi
tanggapan. Ra Wedeng terkejut "Adakah keadaan sudah sedemikian
gawat sehingga kita harus melakukan tindakan semacam itu ?"
Ra Kuti segera mulai menceritakan lagi peristiwa yang
telah terjadi dengan Pratikta "Hari ini kemungkinan Aluyuda
akan bertindak. Apabila kita tak cepat2 mengatur langkah,
tentulah kita akan celaka"
"Ditangkap?" ra Wedeng menegas.
Ra Kuti mengangguk, "Kita kenal bagaimana ketajaman
lidah Aluyuda. Baginda tentu mudah terhasut. Itulah sebabnya
maka pagi2 aku ke luar untuk menemui adi sekalian. Sekalian
juga menghindari utusan keraton yang hendak memanggil kita
menghadap baginda" "Tetapi ra Tanca dan ra Banyak serta ra Yuyu tiada di
pura, apakah kita akan memutuskan sendiri?" masih ra
Wedeng meragu. Ra Kuti menghela napas "Tadipun adi Pangsa juga
mengemukakan hal itu tetapi kujawab, sia2 apabila kita harus
menunggu mereka datang. Sudah terlambat. Hari ini mungkin
akan terjadi peristiwa besar"
"Adi Wedeng" ra Semi membuka suara "apa yang
dikemukakan kakang rakryan Kuti memang benar. Keadaan
sudah makin mendesak dan makin gawat. Apabila kita tak
lekas bertindak, Aluyuda pasti akan menindak kita"
Sejenak merenung akhirnya ra Wedeng menyerah,
"Baiklah, aku hanya menurut saja apa yang kakang rakryan
anggap baik. Tetapi yang penting kita harus bertindak secara
teratur. Jangan sampai gagal karena kegagalan berarti
kehancuran bagi Dharmaputera"
Ra Kuti mengangguk, "Benar. Tadi kitapun telah
merundingkan bagaimana kita harus memberi keterangan
kepada para narapraji dan kawula. Kepada para kawula, kita
jelaskan bahwa gerakan ini bertujuan untuk mengadili patih
Aluyuda karena telah memfitnah mendiang mahapatih Nambi"
"Landaian yang baik sekali. Rakyat masih gelap dan masih
mendendam rasa sctya kepada mendiang mahapatih Nambi"
"Suatu tindakan untuk membuka rahasia peristiwa
Lumajang tentu akan mendapat sambutan yang hangat dari
para kawula" seru ra Wedeng "lalu bagaimana keterangan kita
kepada para mentri nayaka kerajaan?"
"Gerakan ini harus dilakukan dengan cara serempak dan
tak terduga-duga" kata ra Kuti "rintangan yang sulit akan
timbul dari fihak pimpinan prajurit kerajaan ...."
"Demung Samaya?" ra Wedeng menegas.
"Demung Samaya memegang pucuk pimpinan prajurit
pertahanan pura kerajaan" kata ra Kuti "dia merupakan orang
penting yang harus kita lumpuhkan. Syukur kalau dapat kita
tarik ke fihak kita"
"Aku kenal baik dengan demung Samaya" seru ra Pangsa
serentak. "Baiklah" jawab ra Kuti "adi Pangsa dapat mengurungnya
supaya dia jangan sempat memanggil pasukan!"
"Adakah aku harus membawa anak buah
mengurung tempat kediamannya?" tanya ra Pangsa.
untuk "Orang2 adi Pangsa hanya sebagai pengawal saja. Suruh
mereka tinggal di pintu regol kademungan. Dan adi langsung
masuk menemui demung Samaya. Ikatlah dia dalam
pembicaraan yang asyik sehingga ia terlena perhatiannya akan
keadaan di luar. Tanpa perintahnya, prajurit2 kerajaan tentu
takkan bergerak" "Rencana yang bagus, kakang rakryan" seru ra Pangsa
"aku bersedia menjalankan tugas itu"
"Di samping demung Samaya, masih terdapat pula
beberapa senopati yang perlu dijaga jangan sampai ikut
bergerak. Bagaimana kakang hendak mengatasi mereka?"
tiba2 ra Wedeng bertanya "bukankah akan memerlukan
banyak tenaga ?" Ra Kuti termenung diam. Rupanya ia belum mempunyai
daya untuk memecahkan persoalan itu.
"Kakang rakryan" tiba2 ra Semi berseru "aku mendapat
akal untuk mengatasi soal itu"
"Benar?" ra Kuti
mengutarakan. menegas, lalu minta rakryan itu "Yang dapat mengatasi hal itu hanyalah kakang Kuti
sendiri" kata ra Semi "sebagai kepala Dharmaputera, kakang
dapat mengunjungi para mentri nayaka yang berpengaruh.
Katakan kepada mereka bahwa atas titah baginda, para mentri
dan nayaka itu diminta supaya ikut perihatin atas kemunculan
bintang sapu. Supaya malam ini mereka serempak
memanjatkan doa di rumah masing2, agar kerajaan Majapahit
terhindar dari malapetaka. Dapat dipastikan mereka tentu
akan patuh akan larangan keluar rumah itu"
"Akal yang bagus, adi Semi" seru ra Kuti memuji, "ya, itu
memang suatu cara yang baik dan dapat dilakukan. Apabila
aku yang datang sendiri, mereka tentu percaya"
"Tanpa menggunakan tenaga seorangpun, dapatlah kita
menahan mereka di rumah masing2" kata ra Semi pula.
"Baiklah" kata ra Kuti menyimpulkan pembicaraan
"jelasnya begini. Kita putuskan, nanti petang aku akan
mengunjungi kediaman para mentri dan senopati yang
kuanggap berkuasa. Dan adi Pangsa mengunjungi demung
Samaya. Malamnya kita segera mengadakan gerakan untuk
meyergap kepatihan" Ra Semi, Pangsa dan Wedeng mengangguk setuju.
Kemudian mereka merundingkan soal prajurit yang akan
dikerahkan untuk melaksanakan gerakan itu.
=o-dwkz-mch-o= II Tiada tanda apa2 pada malam itu. Tenang di cakrawala,
damai di bumi. Langit berkabut awan putih. Bulan taram
temaram berselaputkan tebaran awan hitam. Bintang
kemintang tampak pudar. Di kala lepas senja, setelah lampu2 menyala, penghuni2
rumahpun berkemas menghadapi makan malam. Kemudian
melepas lelah duduk bercakap-cakap dengan anak isteri. Atau
duduk seorang diri, mengemasi pikiran akan pekerjaan yang
dilakukan hari itu dan rencana hari esok.
Senja hanya satu warna, gelap. Satu ciri, tenang. Tetapi
tidaklah kesatuan itu merata dirasakan dan dikenyam oleh
setiap keluarga. Senja bagi kaum berada, atau kaum ksatrya seperti yang
terdapat pada susunan masyarakat jaman Majapahit kala itu,
merupakan detik2 suasana yang menyenangkan. Hidangan
lezat yang diantar dengan tuak manis, selalu menghias di meja
makan keluarga ksatrya, yakni di istana raja, di gedung
kediaman para mentri, senopati dan pembesar2 tinggi.
Senja hari di keluarga kaum waesya atau kaum pedagang,
juga nikmat walaupun tidak senikmat keluarga kaum ksatrya.
Hidangan dan minuman, cukup membangkitkan selera makan,
menggoyangkan lidah yang dilanda kelezatan.
Lain halnya dengan senja di rumah kaum Sudra. Suatu
berkah yang nikmat apabila di meja tersedia makanan yang
bersahaja. Karena kadang kali, mereka harus mengikat ikat
pinggang kencang2 karena hidangan malam lowong.
Begitu pula bahan percakapan malam, hanyalah berkisar
pada pencarian nafkah untuk pengisi perut anak isteri dan
keluarganya. Tidak pernah mereka sanggup membicarakan
soal2 keprajaan, keamanannja, pembangunan ataupun soal2
perkembangan suasana kerajaan. Mereka terlalu sibuk untuk
memikirkan nafkah semata. Ataupun mungkin mereka
beranggapan bahwa soal2 itu adalah urusan para mentri dan
narapraja yang berwewenang. Pikir mereka, apa guna mereka
ikut memikirkan soal2 keprajaan" Siapakah yang mau
menerima dan mendengar keluh kesah mereka"
Satu-satunya hal yang mereka merasa telah memikirkan
dalam hubungan dengan kepentingan kerajaan, yalah
membayar cukai atau pajak. Apabila telah melunasi, mereka
pun merasa telah menunaikan kewajiban terhadap kerajaan.
Seluruh kawula kerajaan Majaphit tahu bahwa raja yang
duduk di tahta singgasana Tikta Sripala yalah baginda
Jayanagara. Tahu pula mereka akan nama2 beberapa mentri
dan senopati, misalnya mahapatih Nambi, demung Samaya,
patih A luyuda dan beberapa mentri tua yang bergelar rakryan.
Tetapi mereka tak tahu apa yang telah terjadi dan sedang
berlangsung dalam pimpinan kerajaan.
Misalnya, mereka mendengar bahwa mahapatih Nambi
dan beberapa mentri memberontak di Lumajang. Merekapun
tahu pula bahwa baginda Jayanagara sendiri terpaksa
memimpin pasukan untuk menindas pemberontakan di
Lumajang itu. Tetapi kaburlah pengertian mereka, mengapa
mahapatih Nambi dan beberapa mentri tua itu harus
memberontak" Gelaplah mereka akan peristiwa yang
sebenarnya dari pemberontakan Lumajang itu. Yang
diketahuinya, kerajaan telah mengumumkan bahwa mahapatih
Nambi dan sejumlah mentri telah memberontak maka
ditumpas. Dan para kawula Mijapahit pun hampir melupakan
peristiwa yang telah berlangsung lebih dari dua tahun itu.
Apapun yang diumumkan oleh kerajaan, harus mereka terima.
Walaupun dalam hati kecil mereka masih membara keinginan
tahu akan peristiwa itu. Percakapan dalam keluarga para kawula pura Majapahit
pada malam itu, agak berbeda dengan malam2 yang telah
lama berlalu. Malam itu pembicaraan mereka berkisar pada
berita2 yang didengar dari kenalan, kawan, tetangga ataupun
orang2 yang berada di jalan2. Berita itu benar2
membangkitkan pula bara yang sudah lama tersimpan dalam
hati mereka. Berita itu mengabarkan bahwa sesungguhnya mahapatih
Nambi dan beberapa mentri di Lumajang itu tidak berniat
hendak memberontak melainkan telah di-fitnah oleh patih
Aluyuda. Setiap bisik2 atau kabar angin, tentu cepat terbawa oleh
mulut orang. Dari satu mulut berpindah ke lain mulut, cepat
sekali berita2 yang tak diketahui pasti dari mana sumbernya
itu, telah tersiar luas di kalangan para kawula. Yang diketahui,
hanyalah berita angin itu sejak siang hari tadi.
"Jika demikian halnya, patih Aluyuda harus dilaporkan
pada baginda supaya diberi hukuman" kata seorang lelaki
yang tengah berkumpul dengan tetangga sekampung dan
membicarakan kabar angin itu.
"Tetapi siapa yang berani mengadukan hal itu kepada
baginda?" tanya lelaki tetangganya.
"Ya, memang tiada seorang mentri dan nayaka yang
berani" sahut pula seorang lain "karena sekarang konon patih
Aluyuda telah diserahi tugas2 pekerjaan mahapatih"
"Uh, itulah" sambut seorang pula "tentunya kedudukan
mahapatih itulah yang diinginkan patih Aluyuda"
"Apa ?" serempak beberapa orang berteriak "baginda
tunduk pada patih Aluyuda?"
"Uh, bukan begitu maksudku" kata orang pertama
"maksudku baginda telah terlena dalam kepercayaan kepada
patih yang pandai mengambil muka itu"
Demikian kelompok tetangga sehalaman itu hiruk
membicarakan soal keadaan kerajaan, tewasnya mahapatih
Nambi, berkuasanya patih Aluyuda dalam pemerintahan dan
lain2. Mereka jarang mempercakapkan soal2 kerajaan. Adalah
karena berita2 gunjing itulah ntaka mereka berkumpul dan
berbincang bincang. Sudah tentu nada dan arah pembicaraan
bersimpang siur asal buka suara, menurutkan sepanjang
pendengarannya, sejauh luap perasaannya.
Rakyat golongan kaum Sudra membicarakan soal
keprajaan adalah semisal seorang pandita mengerjakan
sawah. Tak keruan. Tengah pembicaraan berlarut makin kehilangan arah, tiba2
mereka dikejutkan oleh gemuruh derap langkah berpuluh
orang yang berjalan membawa obor. Tak berapa lama
rombongan orang itupun tiba. Semua orang lelaki,
mengenakan baju kutang, ada pula yang bertelanjang dada.
Mereka berhenti dan memandang ke arah orang yang
sedang berkerumun di halaman itu. "Hai, mengapa kalian
bersantai santai saja di rumah?"
"Ya, memang" sahut salah seorang yang berkumpul
dengan para tetangga itu "habis mau kemana?"
"Ah" seru lelaki tegap yang rupanya menjadi pelopor
rombongan pendatang itu "malam ini di dalam pura akan
terjadi ramai2" "Ramai2 apa?" "Seluruh kawula Majapahit akan berkumpul di alun2 untuk
mohon kepada baginda supaya mengadili patih Aluyuda yang
telah memfitnah gusti mahapatih Nambi"
"Benarkah?" orang itu menegas.
"Sudahlah, hayo, ikut kami beramai-ramai ke dalam pura"
Orang kampung yang tengah berkumpul dan baru saja
mereka memperbincangkan kabar angin tentang terfitnahnya
rakryan Nambi oleh Aluyuda, serentak tergugah semangatnya
demi mendengar ajakan rombongan pendatang yang berasal
dari lain kampung itu. "Benarkah malam ini akan terjadi gerakan untuk mengadili
patih Aluyuda?" "Apa engkau tak mendengar kabar yang tersiar luas siang
tadi?" pelopor pendatang itu balas bertanya.
"Gerakan apakah itu dan siapa pemimpinnya?"
"Sudahlah kawan, jangan banyak tanya" tukas pelopor
rombongan pendatang itu "hayo ikut dan kalian tentu akan
menyaksikan sendiri apa yang akan terjadi!"
Suatu gerakan yang diikuti oleh rakyat banyak, mudah
menimbulkan perangsang orang. Apalagi gerakan itu justeru


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merupakan sesuatu yang menjadikan rasa tidak puas dalam
hati. Mudah terpikat. Bagai katak tertimpa kemarau, maka riuh rendahlah
lorong2 yang menghias pura Tikta Sripala malam itu. Rakyat
berbondong-bondong bagai lebah di onggok dari sarang.
Berkelompok-kelompok, beriring-iring menyemut dari perkampungan masing2 lalu menggabungkan diri pada
kelompok2 besar sehingga menyerupai barisan panjang.
Sesungguhnya mereka tak tahu jelas apa yang akan terjadi
dan apa yang akan disaksikan. Mereka hanya mendengar
kabar angin pada siang hari, lalu melihat iring-iringan rakyat
berduyun-duyun menuju ke dalam pura. Dan ikutlah rakyat
dari setiap rumah pada perkampungan yang dilalui rombongan
itu. Memang pada setiap rombongan tentu terdapat seorang
atau dua orang yang menjadi pelopor, merangkap jurubicara
dan pemimpin. Dan kepada rakyat, pelopor itu hanya memberi
keterangan ringkas hendak menuntut keadilan pada patih
Aluyuda dan baginda. Dari empat arah delapan penjuru, bermunculan
rombongan2, kelompok2 dan barisan2 rakyat. Mereka hilir
mudik bagai anak ayam kehilangan induk. Berteriak-teriak
menurut perintah kepala rombongan. Sesaat meneriakkan
nama patih Aluyuda, sesaat meneriakkan nama mahaputih
Nambi dan mentri2 yang tewas dalam peperangan di
Lumajang. Pura Majapahit seolah dilanda oleh gempa. Keadaan makin
lama makin gempar. Di sana sini terdengar derap langkah
rombongan2 berjalan seraya mengumandangkan pekik
teriakan yang gegap gempita.
Dan suasana mencapai puncak ketegangan ketika
ternengar suara kentungan titir. Kentungan yang ditabuh
sebagai tanda terjadinya kerusuhan, pembunuhan dan
kekacauan. Bahkan menyerupai dengan kentung pertanda
dikala musuh datang menyerang.
Patih Aluyuda amat terperanjat ketika mendengar suara
teriakan riuh rendah di halaman gedung kepatihan. Sayup2 ia
mendengar teriakan menyebut-nyebut namanya. Cepat ia
turun dari pembaringan dan bergegas hendak meninjau
keadaan di luar. Sekonyong-konyong pengalasan yang bertugas menjaga
ruang dalam, tergopoh-gopoh lari menyongsongnya "Gusti
patih ...." "Mengapa" Apakah yang terjadi?" tegur Aluyuda.
"Gusti" seru pengalasan itu berusaha untuk menekan
engah napasnya "beratus-ratus rakyat menyerbu masuk ke
dalam halaman kepatihan. Prajurit penjaga pintu regoi tak
kuasa menahan arus sekian banyak manusia. Pintu rego! telah
bobol dan mereka kini berkerumun di halaman"
"Gila" gumam patih Aluyuda "mau apa mereka ?"
"Mereka berteriak-teriak
menangkap tuan ...."
dengan gempar hendak "Keparat!" teriak patih Aluyuda "siapakah yang memimpin
mereka" Lekas suruh menghadap aku !"
Pengawal itu termangu heran. Dan Aluyuda tak menyadari
suasana saat itu, menghardik pula "Mengapa engkau tak lekas
melakukan perintahku ! ?"
Pengawal itu tersentak kaget. Sadar dari kemanguan dan
sadar harus memberi jawaban "Gusti, kelompok dan barisan
rakyat itu banyak sekali jumlahnya sehingga tak tertampung
dalam halaman. Sukar diketahui siapa pemimpinnya dan sukar
dikendalikan lagi" "Lakukan perintahku !" bentak Aluyuda dengan marah
sehingga pengawal itu gemetar lalu terbirit-birit ke luar.
Aluyuda tak mau ke luar melainkan berjalan mandar
mandir sambil berteliku tangan.
"Aneh, mengapa terjadi peristiwa semacam ini " Apakah
kehendak mereka" Siapakah yang mengatur ?" tak hentihentinya pikiran patih Aluyuda bergelut dalam pertanyaan.
Berbagai fihak telah dibayang kemungkinannya sebagai
penggerak dari kekacauan itu. Tetapi belumlah ia menemukan
suatu kepastian pada fihak2 itu. Hanya ketika membayangkan
penilaiannya ke arah Dharmaputera, terpukaulah perhatiannya. "Adakah ra Kuti ketakutan karena mendengar
keterangan Pratikta maka ia bertindak turun tangan lebih dulu
untuk menangkap aku .... dan jelas gerakan ini akan menjalar
makin besar. Kemungkinan setelah berhasil menangkap aku,
mereka tentu akan melanjutkan sasarannya ke keraton .... ah,
sungguh berbahaya....."
Apabila membayangkan hal itu maka bercucuran peluh
membasahi kepala dan tubuh patih itu sehingga basah kuyup.
Namun peluh yang dingin. Tiba2 ia tersentak kaget dari renungan ketika beberapa
prajurit kepatihan lari menghampiri dengan gopoh.
"Mengapa?" seru patih Aluyuda. Kali ini berlainan dengan
ketika menegur pengawal tadi, nadanya mengandung
kecemasan. "Gusti patih ...." seru bekel yang memimpin sekelompok
prajurit kepatihan "pengalasan yang paduka titahkan ke luar
tadi telah ditangkap oleh rombongan rakyat"
"Hah ?" patih A luyuda terperanjat "lalu bagaimana dia?"
"Dilempar ke sana sini untuk pemuas kemarahan rakyat!"
Cahaya wajah patih Aluyuda pucat lalu cepat memberi
perintah "Siapkan prajurit2 kepatihan dan hancurkan
gerombolan pengacau itu"
"Ampun gusti" sembah bekel prajurit itu "asrama prajurit
di kepatihan telah diserbu oleh mereka. Banyak prajurit
kepatihan yang dipukuli sampai berlumuran darah ..."
"Keparat, pemberontakan ini namanya!" teriak Aluyuda
"lekas engkau lari meminta bantuan kepada ki demung
Samaya supaya mengirim pasukan ke mari"
"Gusti" bekel itu memberi sembah pula sambil memandang
Aluyuda dengan sikap rawan "gedung kepatihan telah
dikepung rapat oleh gerombolan2 itu. Setiap penjaga maupun
pengalaman kepatihan yang ke luar, terus ditangkap dan
dijadikan bulatkan penyalur kemarahan mereka"
"Lalu?" "Gerombolan rakyat itu masih membatasi diri di dalam
halaman. Saat ini mereka hanya berteriak teriak menyebut
nama gusti. Hamba berhasil mengumpulkan sisa2 prajurit
kepatihan dan bergegas mencari gusti. Hamba rasa baiklah
gusti meloloskan diri ..."
"Tidak!" patih Aluyuda menolak "siapakah pemimpin
gerombolan itu?" "Sukar dikata, gusti" jawib bekel prajurit itu "setiap orang
kepatihan yang keluar tentu ditangkap. Sulit untuk
mengadakan pembicaraan dengan mereka. Kecuali gusti
tampil menghadapi mereka ..."
"Aku?" patih Aluyuda terkejut.
"Ya, paduka sendiri" kata bekel itu "tetapi hamba rasa
berbahaya sekali. Hamba kuatir tak mampu melindungi
paduka. Mereka berjumlah besar sekali. Lebih baik gusti
meloloskan diri dulu. Keadaan di luar, gelap bagi kita. Kita tak
tahu apa sesungguhnya yang tejadi malam ini"
Aluyuda berdiam merenung. Akhirnya ia mau menerima
saran bekel itu. "Baik, mari kita ambil jalan dari pintu rahasia"
katanya kemudian. Karena sampai sekian saat, patih Aluyuda tak ke luar
memenuhi tuntutan rakyat, pemimpin rombongan segera
memberi perintah untuk menyerbu.
Bagaikan air bah, ratusan rakyat yang berkumpul di
halaman itu segera berhamburan menyerbu ke dalam gedung
kepatihan. "Tangkap Aluyuda!"
"Bunuh patih hianat Aluyuda"
"Cincang ....... !"
Demikian pekik teriakan dari ratusan orang yang menyerbu
ke gedung kepatihan. Mereka memasuki setiap ruang dan
bilik. Bujang dan orang2 gajihan yang diketemukan, tentu
dihajar dan dipaksa untuk menunjukkan tuannya.
"Gusti patih ....... lari dari pintu tembusan....." karena tak
tahan menderita pukulan, seorang bujang telah memberi
keterangan. "Kejar ....... !" serentak beberapa orang berteriak dan lari
ke kebun belakang. Tetapi mereka tak mendapatkan patih itu.
Beberapa orang yang panas hatinya, mengajak kawankawannya untuk mengobrak abrik apa saja yang terdapat
dalam kebun. Setelah itu mereka masuk ke dalam untuk
mencari bujang yang memberi keterangan tadi. Tetapi
ternyata bujang itu sudah rebah berlumuran darah di lantai.
Tentulah dia dipukuli oleh lain2 rombongan yang masuk.
Karena tak dapat menemukan patih Aluyuda, rombongan
rakyat itu mengamuk. Mereka menghancurkan semua perabot
dan hiasan gedung. Bahkan sampai pintu dan jendela diporakporandakan.
Seorang lelaki bertubuh tegap yang berdiri mengawasi
peristiwa itu, membiarkan saja rakyat melampiaskan
kemarahannya Setelah keadaan gedung hancur berantakan,
orang itupun segera melantangkan perintah, "Kawan2, mari
kita menuju ke keraton!"
Barisan segera tinggalkan kepatihan.
Kekacauan dalam pura Majapahit itu, segera terdengar
oleh keraton. Terutama pekik teriakan dari rakyat yang
Tiga Naga Sakti 8 Pendekar Bayangan Sukma 4 Dewi Cantik Penyebar Maut Eng Djiauw Ong 31

Cari Blog Ini