Ceritasilat Novel Online

Gajah Kencana 30

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 30


kekotoran dunia dan kekejaman manusia maka dia akan hidup
mengasingkan diri. Duh, Batara Agung, lindungilah Indu dari
segala mara bahayi dan ampunilah segala kesalahannya ...."
Dari pura Majapahit patih Dipa membekal beberapa benda
yang berharga. Bahan pakaian yang indah yang dibelinya dari
bandar Canggu. Tusuk kundai dan tubang permata yang
dipesannya dari seorang pandai besi ternama, serta sekantong
uang mas. Ia hendak membantu agar lndu terlepas dari derita
hidup. Tetapi apa yang ditemuinya hanyalah sebuah rumah
pondok yang kosong. Ia malu dan menyesal karena telah menilai peribadi Indu
tentu gembira menerimanya. Ia tak menyangka bahwa Indu
seorang wanita yang keras hati. Seorang pahlawan hidup yang
tabah. Seorang insan yang mempunyai pendirian teguh.
"Andaikata bertemu dengan Indu" patih Dipa merenung
lebih lanjut "pun belum tentu dia mau menerima
pemberianku" Patih Dipa berangkat dengan penuh rasa gembira tetapi dia
pulang dengan rasa hampa. Tiba2 ia mendapat pikiran.
Dipanggilnya lurah desa. Betapa kejut lurah itu ketika
mengetahui bahwa yang berkunjung ke desa itu adalah patih
Daha. "Ki lurah" kata patih Dipa "aku hendak menyampaikan
pesan dari wanita yang tinggal di pondok ini. Dia menyerahkan
uang dan emas dalam kantong ini kepadamu"
"Oh ..." lurah .itu terkejut "tetapi gusti patih ..."
"Inilah uang simpanannya selama ini" patih Dipa
menukasnya "diberikan bukan kepadamu, ki lurah tetapi
kepada desa ini. Agar uang ini dipergunakan untuk
membangun desa ini sebaik baiknya sehingga tiap penduduk
desa disini akan dapat mengenyam kehidupan yang lebih baik.
Usahakan membuka sawah, mengadakan perairan, meningkatkan hasil bumi, mendirikan rumah suci. Undanglah
pendeta untuk memberi pelajaran menulis pada anak2,
disarnping untuk mengajarkan agama kepada semua
penduduk desa" Gemetar tangan lurah itu ketika menyambut kantong yang
diserahkan patih Dipa. Ia berjanji akan melaksanakan perintah
patih Dipa. Setelah selesai menyerahkan kantong itu maka patih
Dipapun kembali ke Daha lagi. Tetapi entah bagaimana,
hatinya masih terasa hampa. Ia masih tak bersemangat untuk
melakukan tugas pemerintahan. Apalagi pergi ke pura
Majapahit. Jauh rasa hatinya.
Kepada pengiringnya ia mengatakan bahwa untuk
sementara waktu ia belum mempunyai keinginan untuk
kembali ke Daha. Disuruhnya pengiringnya itu pulang ke Daha
sendiri. Tetapi pengiringnya, prajurit Wita, menyatakan tetap
akan mengikuti perjalanan patih Dipa.
"Aku hendak lelana brata, entah sampai berapa lama aku
baru kembali ke Daha"
"Hamba tetap akan menyertai gusti patih barang
kemanapun gusti patih pergi" prajurit itu tetap hendak ikut.
Akhirnya patih Dipa meluluskan. Dia melakukan perjalanan
dengan berkuda tetapi jalannya pelahan sekali. Ia hendak
mencari sesuatu tetapi ia tak tahu apa yang hendak di carinya
itu. Ia sendiri tak tahu apakah ia hendak mencari ketenangan
atau kedamaian atau hanya sekedar menghibur diri,
menikmati keindahan pemandangan dan kebesaran alam.
Mencari, tentu sudah pernah melihat atau mengetahui.
Tetapi pencarian patih Dipa itu memang aneh dan sukar di
terima aksi. Dia mencari sesuatu tetapi tak tahu apakah
sesuatu yang hendak di carinya itu.
Ber-tahun2 dia terbenam dalam kesibukan tugas di
pemerintahan dan timbullah rasa jemu akan segala pekerjaan
itu. Masih ada pula suatu perasaan ganjil yang menghuni
dalam pikirannya "Mengapa dia harus ber-juang mati2an"
Apakah yang ingin dicapainya" Kemewahan" Pangkat tinggi"
Ah, ia telah menikmati semua itu.
perasaannya, tak lain hanya begitu saja"
Tetapi menurut Ada pula semacam kesan, bahwa oleh karena terlalu lama
tiap hari bergelut dengan tugas2 pekerjaan di kerajaan, ia tak
sempat lagi mengetahui keadaan di luar, makin terpisah
dengan para kawula, jauh dari alam. Ketegangan dari tugas2
pekerjaan itu hampir mengejangkan alam pikirannya sehingga
ia tak tahu lagi akan keindahan bumi negerinya dan kebesaran
alam ini. Memang patih Dipa telah mengalami sesuatu dalam
batinnya. Sesuatu yang cenderung disebut keletihan.
Kemudian timbul kelesuan dan terakhir rasa jemu.
Apa yang di alaminya di pondok Indu yang sudah kosong
itu, merupakan letusan dari lapisan keletihan pikiran yang
selama ini mengendap dalam hatinya. Dan sekali meletus
maka berteharanlah semua rasa letih, lesu dan jemu dalam
hatinya. Kini hatinya serasa kosong hampa. Ia mengalami
suatu kekalutan batin, ia kehilangan faham. Maka dia hendak
lelana-brata, mencari sesuatu yang tak di ketahui.
Kuda yang membawa patih Dipa itu rupanya kuda
kesayangannya. Seekor kuda yang mempunyai naluri tajam.
Kuda itu seperti dapat mengetahui kemurungan wajah
tuannya. Biasanya apabila dinaiki patih Dipa, kuda itu tentu di
pacunya supaya lari kencang. Tetapi kali ini tidak.
Dibiarkannya saja tali kendali melongsor seolah tuannya
memberi kebebasan penuh kemana saja kuda itu hendak
berjalan. Patih Dipa mengendara kuda tanpa memegang
kendali. Tetapi kuda itupun cukup tinggi nalurinya. Dia tak
mau lari keras karena kuatir tuannya akan terkejut dan
terjatuh. Kuda itu membawa tuannya berjalan sepanjang jalan
pegunungan. Agar tuannya dapat terhibur dengan alam
pegunungan dan pedesaan. Tetapi rupanya patih Dipa melihat
tetapi tak menghiraukan. Dan kuda itu-pun dapat merasakan
hal itu. Buktinya, tuannya belum juga mau memegang tali
kendali. Prajurit Wita yang mengiring perjalanan patih Dipa, pun
heran mengapa tiba2 saja patih itu berobah pendiam. Pada hal
waktu berangkat dari Daha, patih itu tampak bersemangat dan
tak putus2nya mengajaknya bicara.
"Siapakah wanita yang dicari gusti patih itu" Mengapa gusti
patih tampak begitu kecewa ketika rumah wanita itu kosong"
ia ber-tanya2 dalam hati.
Patih Dipa melanjutkan perjalanan yang tiada bertujuan itu.
Sejak Hyang Baskara memancarkan sinarnya dari ufuk timur
hingga saat itu sudah mulai rebah ke barat dan tengah
beristirahat sejenak di puncak gunung. Tak berapa lama
haripun mulai rembang petang.
"Gusti patih" tiba2 prajurit Wita melajukan kudanya ke sisi
patih Dipa "hari sudah petang dan langit pun berkabut awan.
Mungkin malam akan tuiun hujan. Hamba seyogyakan mencari
pedesaan untuk meneduh"
Patih Dipa terperangah. Ia kesal karena pengiring itu
mengganggu ketenangannya. Ia hendak mendamprat dan
menyuruh Wita kembali ke Daha. Tetapi pada lain saat ia
sadar bahwa prajurit itu bermaksud baik kepadanya. Sebagai
seorang pengiring yang setya, haruslah Wita memperhatikan
kepentingan junjungannya. Dan iapun teringat ketika
mengawal baginda Jayanagara lolos dari keraton dahulu. Ia
tak menjawab melainkan mengangguk.
Agaknya kuda patih Dipapun mengerti akan suasana saat
itu. Dia lari agak cepat dan tak berapa lama melihat sebuah
gerumbul pohon dari sebuah desa. Patih Dipa dan prajurit
Wita segera berhenti pada sebuah rumah pondok. Rumah itu
gelap dan sunyi. Patih Dipa perintahkan Wita untuk mengetuk
pintu. Tetapi ternyata pintu tak terkunci. Wita melongok
kedalam. sunyi dan gelap. Patih Dipapun menghampiri dan
suruh Wita nyalakan api. "Ah ..." prajurit Wita hampir menjerit kaget ketika melihat
sesosok tubuh terbaring diatas sebuah balai2 bambu "gusti
patih, ada penghuninya"
Wita menghampiri dan menyuluhi "Nenek .. " Wita menjerit
dan menyurut mundur ketika orang itu membuka mata lalu
mengerang. "Nenek, maaf, kami hendak meneduh di rumah ini. Apakah
nenek sakit?" patih Dipa menghampiri dan berkata.
Dengan suara lemah dan parau nenek tua itu mengiakan. Ia
mengatakan kalau tak sedia apa2 untuk menjamu kedua
tetamunya. "Tak apa, nenek" kata patih Dipa "tetapi apakah nenek
sakit?" Nenek tua itu mengiakan. Ia mengatakan tulang-tulangnya
sakit dan napas sesak. "Di mana anak dan cucu nenek?"
"Nenek tak punya sanak keluarga hanya hidup seorang diri,
nak" "O" patih Dipa terkejut "lalu siapakah yang menyediakan
makanan dan merawat nenek?"
Nenek itu gelengkan kepalanya yang bergemetaran "Nenek
mencari makan sendiri, cari kayu di hutan dan memelihara
ayam. Hasilnya nenek jual untuk makan"
Melihat keadaan nenek itu lemas dan gemetar patih Dipa
segera suruh Wita membeli makanan. Tak berapa lama
berhasillah Wita membawa sebungkus nasi dan minuman.
Dipa kasihan sekali atas nasib nenek itu. Disuruhnya nenek itu
makan. Ia mengatakan sudah dua hari tak menelan nasi.
Setelah makan walaupun masih sesak dan batuk2 tetapi
keadaannya sudah agak baik. Nenek itu menghaturkan terima
kasih atas pertolongan patih Dipa.
Beberapa waktu kemudian, atas pertanyaan patih Dipa
nenek itu menuturkan kisah hidupnya yang penuh derita.
Dahulu Kenek itu juga bersuami dan mempunyai dua orang
anak, lelaki dan perempuan. Suaminya meninggal karena
terserang penyakit demam. Anak lelakinya jatuh waktu
memanjat pohon kelapa dan mati. Tinggal anak
perempuannya. Tetapi rupanya dewata juga tak meluluskan.
Anak perempuannya itu telah hanyut dalam sungai ketika
sedang mandi. Kini dia hanya tinggal seorang diri.
Nenek itu mengatakan bahwa sebenarnya ia hendak bunuh
diri menyusul suami dan anak-anaknya tetapi dia bermimpi
menerima kedatangan seorang kakek berambut putih yang
marah kepadanya "Jika engkau bunuh diri, engkau
menghindari karmamu yang sekarang. Kelak dalam
penitisanmu engkau akan menerima karma yang lebih berat
lagi" "Itulah nak, mengapa nenek tetap bertahan hidup
walaupun sebenarnya tak layak hidup" wanita tua itu
mengakhiri penuturannya. Dipa terkesan. Ada suatu hal yang menusuk perasaannya.
Kiranya di dunia ini masih terdapat manusia yang nasibnya
lebih menderita dari dirinya.
Keesokan harinya patih Dipa mengunjungi lurah dan
menyerahkan perawatan dan penghidupan nenek itu kepada
lurah. Ia memberi uang kepada lurah itu untuk ongkos hidup
nenek itu sampai meninggal.
Kemudian patih Dipa melanjutkan pula perjalanannya.
Perjalanan tanpa arah dan tujuan. Selama itu bertemu pula dia
dengan beberapa peristiwa yang ganjil dalam penghidupan.
Peristiwa sedih yang terjadi dalam rurnahtangga. Antara
lain, anak yang sudah yatim piatu, orang2 tua yang sudah
jompo yang terlantar, janda yang harus menghidupi beberapa
anak-anaknya yang masih kecil, orang yang cacat buta mata,
buntung kaki yang terpaksa harus menuntut kehidupan
meminta sedekah dari satu rumah ke lain rumah dan lain2.
Demikian pula ditemuinya beberapa peristiwa kejahatan
misalnya, pencurian, pembunuhan, garong dan kecu.
Kesemuanya itu menambah bahan pengetahuan dan
pengalaman, betapalah keadaan yang sebenarnya kehidupan
di kalangan rakyat bawah itu.
Yang paling menarik dan memberi kesan pada patih Dipa
adalah peristiwa ketika di sebuah hutan dia bertemu dengan
seorang lelaki tua yang tengah duduk bersila bersandar pada
batang pohon. Dia bukan pertapa melainkan seorang lelaki yang yang
sudah berubah rambutnya. Tertarik patih Dipa dalam tanya
jawab dengan orang itu. "Aku hendak mencari jalannya kematian, nak" kata lelaki
tua itu "Mengapa kakek mengatakan begitu?"
"Karena aku sudah tak memenuhi syarat sebagai manusia.
Mataku buta, ragakupun rusak. Siang malam aku hanya
memohon kepada dewata agar lekas mencabut nyawaku"
"Tetapi bagaimana dengan keluarga kakek ?"
"Keluarga?" kakek itu mendesuh "aku tak punya keluarga
lagi" "Mengapa ..." patih Dipa hendak mengatakan mengapa
kakek itu mencari mati tetapi tak mau bunuh diri. Tetapi dia
merasa kata2 itu kelewat kasar dan menyinggung perasaan
orang maka dia tak mau melanjutkan.
"Kutahu apa yang hendak engkau katakan" tiba2 kakek itu
berkata "bukankah engkau hendak mengatakan mengapa aku
tak mau bunuh diri?"
"Ah" patih Dipa menghela napas kemalu-maluan.
"Jika engkau mengetahui sejarah hidupku, mungkin engkau
dapat mengetahui tindakanku sekarang"
"O, apakah kakek mau menuturkan ?"
"Hm, apakah engkau mau mendengarkan ?" balas kakek
itu. Dan ketika patih Dipa menyatakan bersedia, kakek itu
gembira "o, baru kali ini aku bertemu dengan orang yang mau
memberi perhatian kepadaku. Biasanya orang muak melihat
aku" Kakek itu menceritakan riwayat hidupnya yang lalu. Dia
anak seorang demang yang kaya. Waktu muda dia gemar
sekali mempermainkan wanita. Ayahnya kewalahan dan
akhirnya membawanya ke Kahuripan, dihambakan pada


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang tumenggung. Tumenggung itu mempunyai seorang
puteri yang cantik. Kakek itu dulu seorang pemuda yang
tampan. Dia berhasil memikat hati puteri tumenggung.
Tumenggung mengawinkan puterinya dengan seorang putera
senopati. Tetapi ternyata puteri tumenggung itu tak setya
kepada suaminya. Dia masih tetap mencintai pemuda itu.
Akhirnya keduanya melarikan diri.
Tumenggung dan senopati marah. Demang dan keluarga
pemuda itu dihukum bunuh. Pemuda dan puteri tumenggung
itu bersembunyi di hutan. Mereka mempunyai seorang anak
perempuan. Ternyata pemuda itu amat malas. Dia rnemaksa
puteri tumenggung itu yang bekerja, menanam dan berkebun.
Pemuda itu makin rusak. Selain malas diapun suka minum
tuak dan berjudi. Karena ketagihan minum dan kalah judi
akhirnya puteri trrnenggung dan anaknya dijual. Tetapi dia
tetap mengunjungi bekas isterinya untuk meminta uang.
Suami dari bekas isterinya itu marah, mereka berkelahi dan
dapatlah pemuda itu membunuhnya. Dia mengajak lari
isterinya lagi tetapi puteri tumenggung itu tak mau lagi
dengan lelaki semacam itu. Karena marah puteri tumenggung
itupun dibunuhnya. Ia hendak mencari anaknya tetapi anak itu
telah melarikan diri. Sejak itu makin tenggelam pemuda itu. Dia menjadi pencuri
dan perampok. Merampas wanita2 cantik dan isteri orang.
Rakyat marah dan ramai2 hendak membunuhnya. Dia
terpaksa melarikan diri ke dalam hutan.
"Aku lepas dari hukuman mereka tetapi tak lepas dari
hukuman dewata. Ketika berada di hutan mataku disembur
ular berbisa sehingga buta. Sejak itu aku hidup menderita.
Tubuhku penuh kudis yang membusuk. Aku mengemis nasi
tetapi kemana aku datang, hanya makian yang kuperoleh
bahkan ada kalanya gebukan"
Berhenti sejenak kakek itu melanjutkan pula "Begitulah
riwayatku yang penuh berlumuran dosa. Kusadar bahwa setiap
dosa itu tentu harus dibayar. Manusia takkan lepas dari karma.
Aku tak mau bunuh diri karena aku hendak menebus dosa.
Hidup hanyalah sebentar tetapi karma memanjang
disepanjang hidup sampai penitisan yang akan datang. Aku
menyesal, aku bertobat, tetapi apa guna. Aku telah terlanjur
menghitamkan lembaran hidupku, maka aku harus
memulihkannya dengan derita karma. Aku hanya mohon
kepala dewata agar lekas mencabut nyawaku, tetapi sampai
saat ini aku masih tetap bernapas. Tentulah dewata
menghendaki agar aku menderita siksaan. Ya, memang. Aku
tak memohon ampun melainkan memohon agar dewata
menghukumku, sesuai dengan dosa yang telah kulakukan"
Patih terkesan akan ucapan orang itu. Baru pertama kali itu
dia bertemu dengan orang yang memohon hukuman kepada
dewata daripada ampun atas yang telah dilakukannya.
Diapun terkesan ketika hendak memberi pertolongan tetapi
ditolak kakek itu bahwa pertolongan ifiu hanya memberatkan
padanya. Dia harus menerima karma, suatu pertolongan yang
akan meringankan penderitaannya hanya akan memperpanjang penderitaannya.
Patih Dipa membawa renungan pembicaraan orang itu
dalam perjalanan lebih lanjut. Selama melakukan perjalanan
tanpa tujuan itu, pelanan-lahan dan tanpa disadarinya, ia
memperoleh kesan bahwa hidup manusia itu penuh dengan
berbagai peristiwa dan derita. Bahwa segala penderitaan itu
merupakan udara kehidupan yang menghidupkan manusia.
Tiada manusia hidup tanpa penderitaan.
"Adakah hidup itu suatu penderitaan?" bertanya patih Dipa
kepada segala yang dilaluinya dalam perjalanan. Kepada
angin, kepada kehijauan pohon keperkasaan gunung,
kebesaran alam, surya, bulan, bintang kemintang dan semesta
alam. Tiada jawaban, tiada penyahutan. Namun ia mengerti
jawaban mereka, angin yang berkesiur, hutan2 yang lebat
menghijau, gunung yang tegak membisu perkasa, air yang tak
henti2nya mengalir, awan yang berarak dan langit yang biru.
Bahkan iapun menghayati jawaban dari kicau burung,
margasatwa bahkan sampai pada cacing2 yang tengah
bergeliatan di tanah, semut2 yang tengah ber iring2 dan
rama2 yang tengah beterbangan diantara bunga2.
Dari mereka ia memperoleh kesan bahwa hidup itu adalah
gerak, adalah kewajiban. Karena gerak maka timbullah akibat.
Dan akibat itu luas, seluas pikiran manusia yang
menerimanya. Adakah hidup itu suatu derita atau berkah,
tergantung dari manusia sendiri dari perasaan dan pikiran
mereka sendiri. Sanghyang Widdhi telah menciptakan bumi langit dan
semesta alam dengan seluruh isinya. Menciptakan pula
manusia untuk 'mengayu hayuning bawana', menenteramkan
dan menyejahterakan jagad pemberian sang Maha Pencipta.
Adakah manusia dijelmakan ke arcapada karena berdosa,
karena karma ataupun karena diwajibkan untuk memelihara
dan mangayujagad, yang jelas manusia itu telah ada di dunia,
telah diciptakan. Bukan untuk mengenang mengapa dia
dilahirkan melainkan untuk melakukan wajib daripada
.kelahirannya di dunia ini. Wajib dari manusia yang terikat oleh
kodrat hidup. Hidup bukan mati, tetapi hidup yang bergerak.
Dan gerak yang mempunyai arti dan nilai melakukan dharma.
Dharma kepada yang menghidupkan, sang Maha Pencipta.
"Lihatlah betapa pohon2 itu tetap menghijau, angin
berkesiur, burung2 beterbangan, gunung tegak perkasa, air
bergemercik mengelir. Mereka tak menghiraukan mengapa
mereka diciptakan, tetapi mereka tahu akan wajib hidup
mereka. Mereka tak mengeluh derita. Mereka tak tahu apa
yang di sebut hidup tetapi mereka menjalankan hidup sesuai
dengan kodrat hidupnya demikian jawaban2 yang terhambur
dari kesan-kesan patih Dipa selama dalam perjalanan yang tak
menentu arah dan tujuannya.
"Merekapun mangayu hayuning bawana menurut kemampuan dan kodrat mereka masing-masing. Mereka hidup
dan menghidupi alam dengan seisinya termasuk manusia.
Suatu dharma indah yang murni" kata patih Dipa dalam hati
pula. Bagaikan awan berarak-arak di hembus angin maka
mulailah surya menampakkan sinarnya pula. Kehampaan hati
patih Dipapun mulai terisi dergan sesuatu yang mulai hangat
dan makin hangat. Ia mulai dapat merasakan kebesaran alam,
kesegaran pohon-pohon yang menghijau, kesuburan bumi
kesejukan kesiur angin semilir.
"Manusia Dipa, dikau adalah manusia, titah dewata yang
lebih unggul dari segala mahluk. Dan engkau adaiah salah
seorang dari manusia-manusia itu. Tidakkah engkau dapat
melihat kenyataan dari kodrat dharma mahluk-mahluk yang
telah memberi kesan kepadamu itu?" tiba tiba terpancarlah
suatu suara halus yang menyentuh dan menggetarkan serabut
halus sanubarinya. Serasa terpagutlah perasaan patih Dipa oleh suatu sengatan
sinar yang memancar dalatn hatinya. Ia tersipu-sipu. Ia
menderita karena memikirkan nasib Indu tetapi ternyata di
dunia ini masih banyak manusia yang jauh lebih menderita
dari apa yang di rasakannya itu. Ia menganggap wajib harus
menderita atas nasip yang di alami Indu tetapi ternyata wajib
itu hanya kecil, hanya wajib atas diri peribadi.
Padahal masih banyak wajib yang disertakan dalam
kelahiran setiap manusia. Bukan hanya wajib terhadap diri
peribadi tetapipun wajib terhadap yang menciptakan, wajib
terhadap negara, wajib terhadap sesama titah manusia dan
lain2. "Walaupun aku tak dapat melupakan nasib Indu, tetapi
mungkin hal itu sudah digariskan oleh dewata. Dan akan
kuserahkan segala apa yang akan terjadi pada dirinya kepada
keadilan dan keagungan Hyang Widdhi" katanya lebih lanjut.
-Kemudian perhatiannya mulai mengalih kepada wajib atau
dharma hidupnya yang lain. Baginya sesuai dengan
kesanggupan pertanggungan jawab terhadap kepercayaan
warga Gajah Kencana dan pertanggungan jawabnya sebagai
seoiaug narapraja, ia harus membaktikan dharma-hidupnya
kepada negara dan para kawula. Dengan jalan itu pula ia
dapat meluaskan dharma-bhaktinya keoada kepentingan
sesama titah manusia, kepada kesadaran mengagungkan
keagungan sang Maha Pencipta melalui keyakinan masing2
orang, baik dalam agama maupun kepercayaan.
"Tiada dharma yang lebih agung kecuali dharma-bhakti
kepada negara dan manusia" demikian suara yang memancar
dalam hati patih Dipa. Dan suara itu bagaikan genta yang
berdenting-denting mengetuk putik hatinya.
"Wita, apakah itu!" tiba2 ia berteriak kepada prajurit Wita
seraya menunjuk pada gunduk pohon yang menggerumbul
disebelah depan. Saat itu memang sudah malam hari. Mereka masih berada
ditengah perjalanan dalam usaha untuk mencari pedesaan.
"Mana gusti patih" sahut Wita seraya memandang kearah
yang ditunjuk patih Dipa "gerumbul pohon, gusti patih.
Mungkin, ah, tetapi hamba rasa bukan perumahan penduduk,
gusti patih" "Adakah engkau tak melihat sinar merah memancar?" tanya
patih Dipa. "Tidak gusti patih" sahut Wita.
"Eh, Wita" patih Dipa kerutkan dahi "adakah engkau tak
mendengar suara hiruk pikuk macam orang tengah berpesta?"
Wita mengerahkan pendengarannya kemudian gelengkan
kepala "Tidak, gusti patih"
Patih Dipa terus melarikan kudanya. Ketika dekat dengan
gerumbul itu, ia segera turun
"Sebuah kuburan gusti patih" teriak Wita terkejut ketika
mengetahui tempat itu. "Ya, kutahu" sahut patih Dipa "kuburan manakah yang
sedemikian besar dan menyeramkan ini?"
"Maaf, gusti patih, hamba tak tahu apa nama kuburan ini"
kata Wita pula. Patih Dipa memerintahkan supaya prajurit Wita menunggu
kedua kuda yang ditambaikan pada pohon, kemudian dia
ayunkan langkah menuju ke kuburan itu.
Rasanya dia seperti pernah melibat dan mengunjungi
tempat itu "Kalau tak salah, inilah kuburan Wurare, tempat
mendiang empu Bharada memancarkan tenaga-sakti"
Tiba2 ia teringat akan seseorang "Mana eyang Panangkar?"
ia segera mencari kesekeliling. Empu Panangkar, orangtua
yang dititahkan prabu Kertanegara dari kerajaan Singasari
dahulu untuk menjaga kuburan itu agar tenaga sakti dari
empu Bharada yang menghamburkan bala dan bencana
kepada negara dapat diawasi dan ditindas.
Tetapi dia tak mendapatkan empu yang tua renta itu.
Kemungkinan eyang Panangkar tentu sudah meninggal.
Setelah pengenalannya akan tempat itu makin jelas, patih
Dipa segera memasuki makam. Ia terkejut karena merasakan
suasana di sekelilinng makam itu panas sekali. Padahal saat
itu malam dingin. Ia tak melihat suatu apa kecuali rasa seram
yang makin menyelimuti suasana dan makin mencengkam
perasaannya. Patih Dipa teringat akan peristiwa beberapa tahun yang
lampau ketika bersama eyang Panangkar ia memasuki
kuburan itu. Ia akan menemui kawanan jin lelembut penjaga
kuburan Wurare. Mereka adalah para lelembut yang
menjalankan usaha mengacau, mengadu domba manusia
yang memegang tampuk pemerintahan kerajaan Daha dan
Singasari. Agar mereka selalu bernafsu untuk saling
menguasai dan saling berperang. Mereka melaksanakan
amanat sesuai yang dipancarkan dari tulah sakti empu
Bharada. Patih Dipa segera duduk bersila dihadapan makam itu lalu
bersemedhi mengheningkan cipta, menghentikan segala gerak
indera dan menyatukan pikiran dan perasaan pada kehampaan
menunggal. Lama benar keadaan itu berlangsung. Akhirnya seiring
dengan kebeningan malam yang makin larut makin hening dan
hening, kemudian hilanglah segala rasa perasaan aku dalam
diri Dipa. Sepercik api bersinar, menggelembung makin besar, pecah
berhamburan meajadi berpuluh, beratus percik api, makin
lama makin mendekati ketempat patih Dipa. Beratus ratus
percik api itu membayangkan bentuk sosok keremangan
dalam berbagai wujut2 yang mengerikan. Yang satu lebih
menyeramkan dari yang lain. Tiba2 sepercik api meletus,
menggumpalkan asap biru yang mengemelut, makin lama
makin membentuk suatu wajah yang mengerikan sekali.
Sepasang matanya sebesar kelapa, lidah menjulur panjang
diatas gigi2 yang tajam runcing.
"Engkau . . . . !" teriak makhluk seram itu dengan nada
sekeras guruh di angkasa.
"Ho, engkau Baureksa raja jin penunggu kuburan ini,
bukan" Engkau masih kenal aku?"
"Engkau setan cilik yang merampas pusaka Gada Intan dari
kuburan ini. Apa maksudmu" Sekalipun engkau sudah besar
dan mengenakan busana priagung tetapi aku tetap
mengenalmu. Perbawa dari pusaka Gada Intan itu tetap akan
menggigilkan kami" "Aku takkan mengganggu kalian" sahut patih Dipa "hanya
secara kebetulan saja aku tiba di daerah ini dan kulihat sinar
merah dan suara hiruk memancar dari kuburan ini. Apakah
maknanya?" Tampaknya mahluk mengerikan itu terkejut. Tetapi pada
lain saat dia mengangguk angguk. Entah apa yang di
maksudkan "Kami sedang berpesta" sahutnya beberapa saat
kemudian. "Berpesta?" patih Dipa terkesiap "adakah bangsa mahluk
seperti engkau dan kawan2mu sempat juga mengadakan
pesta" Adakah kamu juga mengadakan pesta seperti bangsa


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

manusia?" Mahluk mengerikan itu tertawa "Aku, raja Baureksa, raja
sekalian jin, demit dan lelembut di kawasan ini, telah
menitahkan rakyatku untuk berpesta. Pesta besar-besaran"
"Dengan hidangan?"
"Ha, ha" mahluk aneh yang menyebut dirinya sebagai raja
Baureksa itu tertawa "kami bangsa jin lelembut tidak makan
hidangan seperti kamu manusia. Makanan kami hanya sari2 isi
bumi dan sari2 hawa. Oleh karena sifatnya pesta, maka sari2
yang kami makan itupun terdiri dari sari2 pilihan"
"Mengapa kalian mengadakan pesta"
peristiwa yang layak kalian rayakan?"
Adakah suatu "Engkau memang pintar, manusia" seru raja Baureksa
"sesungguhnya hak kami untuk tidak memberi keterangan
kepadamu. Tetapi karena engkau adalah pemilik pusaka Gada
Intan dan karena tindakan kami ini tidak melanggar janji kami
kepadamu dahulu, maka tiadalah hal2 yang perlu
kurahasiakan kepadamu. Kami berpesta untuk merayakan
suatu peristiwa yang sesuai dengan sifat tujuan kami sebagai
pelaksana dari amanat tenaga-sakti Empu Bharada"
"Aku kurang jelas"
"Sebagaimana engkau pasti mengetahui bahwa pancaran
tenaga-sakti dari empu Bharada ketika melaksanakan titah
raja Panjalu untuk membelah kerajaan Panjalu menjadi dua,
telah mengakibatkan perpecahan abadi dari kedua kerajaan,
Daha dan Singasari" "Hm" desuh patih Dipa.
"Dan kini karena kedua kerajaan itu telah dipersatukan
dalam sebuah kerajaan Majapahit, maka sasaran kamipun
beralih juga" "Majapahit?" teriak patih Dipa terbelalak seraya merabah
Gada Intan. "Heh, heh" raja Baureksa tertawa mengekeh "jangan
cepat2 terangsang, manusia. Memang kami takkan
menyangkal bahwa sasaran kami adalah Majapahit
sebagaimana engkaupun tak menolak pengakuan bahwa
engkau seorang pembela kerajaan itu. Kita sama2 mempunyai
beban tugas. Bahwa ternyata, engkau dapat menguasai Gada
Intan dan menguasai pula gerak gerik kami, itu memang telah
diwenangkan oleh kodrat Hyang Widdhi. Tetapi hal itu tidaklah
menghapus sifat tugas yang kusandang dulu, kini dan kelak.
Walaupun karena telah engkau kuasai kami tak dapat berbuat
apa2 untuk melaksanakan tugas kami, tetapi ternyata tanpa
kami bertindak, kerajaan Majapahit akan tertimpa suatu
malapetaka besar. Tidakkah hal itu sangat menggembirakan
hati kami dan layak kami rayakan dengan gembira ria?"
Patih Dipa makin terkejut "Apa katamu " Kerajaan akan
tertimpa malapetaka besar?"
"Ha, ha" raja Baureksa tertawa "tidakkah engkau melihat
bahwa keraton Majapahit telah memancarkan sinar merah?"
"Tidak" sahut patih Dipa "apakah artinya itu?"
"Sinar merah merupakan pertanda darah. Sudah dua kali ini
aku menyaksikan tanda-tanda itu. Yang pertama ternyata di
pura Majapahit telah timbul pemberontakan. Raja Majapahit
melarikan diri. Adalah berkat wahyu gaib yang dilimpahkan
kepadamu oleh dewata, maka engkau berhasil membasmi
kaum pemberontak dan mengembalikan raja itu ke tahtanya.
Tetapi baru2 ini kulihat sinar merah itu memancar pula dari
keraton Majapahit. Bahkan kali ini warna merah sekali, jauh
lebih keras dari yang pertama"
Patih Dipa diam. "Dan kusaksikan di atas dirgantara telah tampak kesibukan2
yang aneh. Angin bertebaran membawa bau harum, sayup2
terdengar kumandang nyanyian suci yang menyambut
kedatangan seorang arwah besar ..."
"Apa artinya itu!" teriak patih Dipa makin tegang.
"Itulah pertanda dari mangkatnya seorang pri-agung besar
dari keraton Majapahit. Dan kalau menurut kebesaran tanda2
itu, hanyalah arwah dari seorang raja atau manusia unggul"
"Ngacau!" bentak patih Dipa seraya menggenggam pusaka
Gada Intan "iblis laknat, jangan engkau mengatakan hal2 yang
tak layak. Bukankah engkau hendak meruntuhkan
semangatku" Ingat, Gada Intan kuasa untuk menghancurkan
rakyatmu dan tempat ini !
Raja Baureksa tertawa mcloroh membatu roboh "Ho, ho,
ho! Manusia, jangan engkau bersikap sombong karena engkau
dikasihi dewata. Pada suatu waktu, hari naasmu pasti tiba dan
engkaupun akan...." "Setan laknat!" serentak patih Dipa mengangkat pusaka
Gada Intan "jika engkau tetap mengoceh yang tak layak, pasti
takkan kuampuni lagi!"
"Manusia" sahut raja Baureksa "memang pusaka Gada
Intan kuasa untuk mengobrak-abrik tempat ini dan
memporak-porandakan rakyatku. Tetapi ketahuilah, bahwa
kami bangsa jin, lelembut tak dapat mati. Kami tunduk pada
kekuasaanmu tetapi tak mungkin engkau dapat membinasakan kami. Engkau manusia, takut akan kenyataan.
Padahal takut atau tidak, kenyataan itu tetap nyata!"
Patih Dipa terkesiap pula "Adakah hal itu sudah nyata maka
engkau berani mengatakan suatu kenyataan" Tidakkah
engkau terlalu mengagungkan diri seolah sudah tahu pasti
akan apa yang bakal terjadi!"
"Engkau manusia, tentu tak mengerti keadaan dan sifat
kami bangsa jin lelembut. Sukar untuk menerangkan" kata
raja Baureksa "pokok, aku telah memberitahukan hal itu
kepadamu. Dan saat ini aku dan rakyatku sedang berpesta ria
untuk merayakan peristiwa yang menggembirakan kami.
Bukankah setiap malapetaka dalam kerajaan Majapahit
seirama dengan sifat tulah sakti dari Empu Bharada" Ha, ha,
ha .." "Setan laknat!" teriak patih Dipa murka sekali.
"Manusia" teriak raja Baureksa "mengapa engkau marah"
Adakah tindakanku memerintahkan rakyatku untuk berpesta
merayakan peristiwa malapetaka yang mungkin akan
menghancurkan kerajaan Majapahit itu menyalahi janji kami
kepadamu" Tidakkah engkau menghayati bahwa memang
begitulah sifat tugas kami disini, semisal akupun menghayati
bahwa tugasmu di pura kerajaan itu adalah mengabdi kepada
kerajaan" Bukan kami yang melakukan tetapi memang sudah
di gariskan oleh kodrat kuasa dewata bahwa kerajaan
Majapahit akan mengalami kegoncangan yang hebat!"
Patih Dipa terhenyak. Diam2 dia mengakui bahwa
pembelaan diri raja jin itu memang benar. Jin sekalipun, kalau
memang benar, dia harus berani mengakui kebenarannya.
"Manusia" teriak raja Baureksa pula "mengapa engkau
masih termenung-menung disarang kami" Apakah engkau
hendak ikut serta dalam pesta kami?"
"Hm" gerem patih Dipa.
"Jika engkau tak sudi campur dengan kami" seru raja
Baureksa pula "lekaslah ergkau tinggalkan tempat ini. Pusaka
Gada Intan itu menggigilkan sekalian rakyatku. Sebagai
imbalan, kuberitahu kepadamu suatu rahasia penting"
"Katakan." teriak patih Dipa.
"Malam ini kulihat yang cahaya memancar dari keraton
Majapahit itu rnakin merah. Hal itu berarti bahwa dalam
beberapa hari lagi, peristiwa besar itu tentu akan terjadi. Jika
engkau mau percaya, lekaslah engkau bergegas menuju ke
pura kerajaan, mungkin dengan kewibawaan wahyu yang
berada dalam dirimu, engkau dapat mencegah peristiwa
malapetaka itu. Tetapi kalau engkau tak percaya, terserah
saja. Hanya jangan engkau menyesal kemudian"
"Apakah yang dapat engkau berikan kepadaku agar aku
percaya keterangan mu itu?"
"Setan" seru raja Baureksa "demi keamanan rakyatku yang
sudah berkumpul disini semua, terpaksa aku memberi jaminan
kepadamu. Apabila keteranganku itu bohong, datanglah
kemari dan hancurkan kuburan tempat kami ini!"
Patih Dipa terbeliak. Tiba2 ia merasa melihat ratusan percik
sinar api itu berkobar dan menyala besar, melanda kearah
dirinya "Hai .... setan laknat!" patih Dipa menjerit dan loncat
keluar dari makam. "Gusti patih" prajurit Wita terkejut ketika melihat patih Dipa
terlempar dari dalam makam dan jatuh terguling ke tanah. Dia
tergopoh lari metolonginya "gusti patih, mengapa paduka"
Apakah paduka terluka?"
Patih Dipa bangun dan gelengkan kepala "Tidak apa2, Wita.
Mari kita cepat kembali ke pura Majapahit!"
Keduanya loncat keatas mencongklang dengan pesat.
punggung kuda dan terus (OodwoO) III Adakah karena mendengar kata2 yang diterima dalam
semedhi di kuburan Wurare, ataukah memang ada sesuatu
firasat, namun saat patih Dipa dan prajurit Wita melarikan
kuda menuju ke pura Majapahit, hati patih Dipa terasa
berdebar keras. Ia merasa tak enak dalam hati. Ia harus cepat
tiba di pura kerajaan menjelang pagi.
Tiba2 kuda hitam yang dinaiki patih Dipa meringkik sekeraskerasnya. Kuda itu berhenti seketika, mengangkat kedua kaki
depan keatas tinggi-tinggi sehingga patih Dipa hampir
terlempar. Bluk .... bahkan prajurit Witapun sudah terpelanting jatuh
ketika kudanya juga melonjak sekuat kuat2 nya keatas.
Kemudian kuda lari kembali ke belakang. Tetapi baru
beberapa tombak kuda itu terjungkal ke tanah.
Patih Dipa loncat turun membiarkan kudanya lari kedalam
hutan. Kini patih itu dapat melihat apa sebab kedua ekor kuda
mereka terkejut dan lari ketakutan. Sementara prajurit Wita
lari menghampiri kudanya yang rubuh.
"Ular . . . " teriak patih Dipa melihat benda yang sebesar
paha orang tengah me-lingkar2 di tengah jalan. Kepalanya
meregang tegak ke atas dan terus hendak menyambar patih
Dipa. Patih Dipa tengah mencurahkan segenap perhatiannya,
membayangkan suasana keraton Majapahit. Ia ingat se
jelas2nya bahwa ketika meninggalkan pura Majapahit, baginda
Jayanagara dalam keadaan sehat tak tak kurang suatu apa.
Namun mengapa raja Baureksa yang menguasai para jin
lelembut, mengatakan bahwa di pura kerajaan akan terjadi
peristiwa yang menggemparkan. Seorang priagung besar yang
sederajat dengan raja akan berpulang ke Suralaya.
Memang ia tak menaruh kepercayaan sepenuhnya terhadap
keterangan raja jin itu, tetapi diapun tak mengabaikan
peringatan mereka yang dibawakan dengan sikap
bersungguh2. Yang penting dia harus lekas mencapai pura
kerajaan agar dapat mengetahui bagaimana keadaan yang
sebenarnya. Sedemikian keras perhatian patih Dipa terserap akan
.renungan itu hingga ia tak mengetahui bahwa dari sebatang
pohon tua yang tak jauh dari jalan tiba2 telah meluncur seekor
ular besar yang menyambar kuda patih Dipa. Kuda patih Dipa
terkejut tetapi sempal melonjak sehingga terlepas dari
sambaran ular. Tetapi ular itu teramat cepatnya. Luput
menyambar kuda patih Dipa dia menyambar kuda prajurit
Wita. Kuda itu terkejut dan melonjak tetapi kakinya sempat
tersambar gigi ular maka belum berapa jauh berlari, kuda itu
rubuh pula akibat racun ular yang amat berbisa.
Makin meningkat rasa seram hati patih Dipa. Kata orang
ular merupakan lambang buruk. Mungkin suatu petaka,
mungkin peristiwa yang buruk. Tetapi patih Dipa tak sempat
merenung pula apa makna munculnya gangguan ular itu.
Ular serentak menyambarnya. Buas dan cepat sekali
sehingga patih Dipa harus mengerahkan segenap ilmu
kedigdayaannya untuk menghindar. Namun ular itu luar biasa
ganas dan cepatnya sehingga gagallah patih Dipa untuk
mengembangkan aji Lembu-sekilan. Dia agak bingung
menghadapi serangan ular itu.
"Ular lakna !" tiba2 prajurit Wita ber-lari2 mendatangi dan
terus langsung menyerang ular itu dengan pedang. Patih Dipa
tak sempat lagi untuk mencegah.
Tabasan pedang prajurit Wita tepat mengenai leher ular itu
tetapi rasa gembira prajurit itu cepat be-robah menjadi teriak
kejut yang gempar sekali ketika pedangnya terpental. Ular itu
menggeliat kesakitan tetapi tak mempan ditabas pedang.
Rupanya ular marah sekali. Sesaat prajurit Wita masih
tercengkam dalam longong kejutan, ular itupun meluncur
dalam kecepatan tinggi dan dalam kejab yang lebih cepat dari
pejaman mata, tubuh Wita telah di lilitnya.
Terdengar jeritan yang keras. Jeritan yang merupakan
segenap sisa napas prajurit Wita. Dan pada lain saat, jeritan
itupun lenyap seperti pelita yang padam karena kehabisan
minyak. Tulang belulang tubuh Wita telah hancur lebur.
Peristiwa itu berlangsung amat cepat sekali sehingga patih
Dipa tak sempat berbuat apa2. Tetapi secepat ia menyadari
apa yang telah terjadi, meluaplah amarahnya. Ular itu teramat
ganas. Wita, prajurit pengiringnya yang setyapun telah mati.
Serentak patih Dipa mencabut pusaka Gada Intan, loncat ke
muka dan menghantam kepala ular itu se kuat2nya pyurrr.. .
Patih Dipa menampilkan kemarahan yang menyala keras
dan pusaka Gada Intan telah mengunjuk kesaktiannya yang
maha dahsyat. Kepala ular yang sebesar buah kelapa hancur
berkeping keping, di susul pula dengan suatu keajaiban. Lilitan
ular itu rnelongsor ke tanah, makin lama makin merah dan
pada akhirnya lenyaplah ular itu berganti dengan sebuah
kubangan darah. Patih Dipa terbeliak. Saat itu baru dia menyadari akan
kesaktian pusaka Gada Intan. Ular yang terhantam pusaka itu,
tubuhnya leleh menjadi cairan darah. Diam2 patih Dipa
merasa ngeri. Ia berjanji dalam hati, selanjutnya takkan


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggunakan pusaka Gada Intan apabila tidak sangat perlu
sekali. Ia menghampiri dan memeriksa tubuh Wita tetapi prajurit
itu sudah tak bernyawa lagi. Ia teringat akan kudanya yang
lari kedalam hutan. Mayat Wita akan dibawanya ke pura agar
dikubur sesoal sebagai seorang prajurit yang gugur dalam
medan laga. Segera ia bersuit nyaring dan tak lama kemudian
terdengar derap kuda mencongklang dari dalam hutan. Pada
lain kejab kuda itu muncul dan menghampiri ketempat patih
Dipa. Patih Dipa membawa mayat prajurit Wita keatas kuda
dan terus mencongklang menuju ke pura.
Adalah karena gangguan itu, dia tiba di pura Majapahit
ketika hari sudah menjelang petang. Lebih dulu dia pulang ke
tempat kediamannya. Memang baginda telah berkenan
menganugerahkan rumah kediaman untuk patih Dipa apabila
berada di pura Majapahit. Setelah menitahkan pengatasan
untuk merawat mayat Wka, dia bergegas menuju ke keraton
hendak menghadap baginda.
"O, baik ku singgah dulu ke rumah ra Tanca" katanya ketika
melalui rumah kediaman tabib itu. Dan selama dalam
perjalanan mengenangkan kata2 gaib dari kuburan Wurare,
entah karena apa, timbul keinginan yang keras untuk bertemu
ra Tanca. Ada suatu hal yang melintas dalam pikirannya untuk
merangkai ucapan2 bernada dendam dari ra Tanca dengan
kata-kata gaib dari kuburan Wurare. Dia mempunyai
prasangka bahwa hanya tabib keraton semacam ra Tanca yarg
mempunyai peluang lebih besar untuk melakukan pembunuhan terhadap baginda, apabila tabib itu terangsang
oleh nafsu dendam yang membara dalam hatinya.
"Mana rakryan ?" tegurnya ketika seorang penjaga pintu
menyambut kedatangannya. Penjaga pintu terkejut ketika berhadapan dengan patih Dipa
yang dikenalnya. Ia segera memberi hormat dan menerangkan
bahwa rakryan Tanca berada di dalam keraton.
"Ke keraton" Mengapa?" patih Dipa terkejut.
"Seorang utusan keraton menitahkan gusti rakryan supaya
menghadap baginda" "Baginda gering ?" patih Dipa makin tegang. Tetapi penjaga
pintu itu menyatakan tak tahu. Patih Dipa tak dapat menahan
nafsu, ia masuk menemui nyi rakryan.
Juga keterangan nyi Tanca sama. Bahwa siang tadi, ra
Tanca dipanggil ke keraton oleh baginda karena baginda
gering. "Tahukah nyi rakryan, penyakit apakah yang diderita
baginda ?" Nyi Tanca kerutkan dahi menderita penyakit bisul"
"Kalau tak salah, baginda
"Bisul ?" ulang patih Dipa "apakah membengkak?"
"Bagaimana aku tahu ki patih" nyi Tanca gelengkan kepala
"eh, mengapa ki patih amat tegang?"
"Hm" desuh patih Dipa.
"Bagaimana keadaan nyi patih?"
"Nyi Tanca, aku hendak ke keraton menghadap baginda"
patih Dipa tak menghiraukan pertanyaan nyi Tanca. Dia terus
melangkah ke luar. Entah bagaimana, patih Dipa merasa risau dan gelisah. Ia
seperti mendapat suatu firasat buruk. Ia harus berada di
samping baginda pada saat ra Tanca melakukan pengobatan.
Bergegas langkah ia menuju ke keraton.
Ooo-dwkz-ooO BASMI BHUTANANGANI RATU. Pagi itu ra Tanca duduk termenung-menung di pendapa. Ia
memikirkan mimpinya semalam. Suatu impian yang aneh
sekali. Ia seperti sedang mencari daun obat di hutan, bertemu
dengan seekor harimau gembong yang sedang terkapar di
tanah. Harimau itu dapat bicara seperti manusia. Binatang itu
minta tolong kepadanya supaya mencabut anakpanah yang
menancap di dadanya. Akan kuberimu ganjaran yang
sempurna, kata harimau itu.
Ra Tanca kasihan lalu mencabut anakpanah dan mengobati
luka si harimau. Tiba2 harimau itu menerkamnya "Jangan
kepalang tanggung memberi pertolongan. Aku amat lapar
sekali. Berikanlah tubuhmu untuk pengisi perutku" kata
harimau itu. Ra Tanca pucat. Harimau tetap binatang yang buas.
Betapapun ditolong tentu akan makan orang jua. Ia mendapat
akal. Ia mengatakan sanggup menjadi pengisi perut harimau
tetapi hendaknya harimau itu bersabar dulu. Racun yang
dibawa anakpanah ke dalam tubuh harimau itu harus
dihilangkan dulu sebelum harimau itu makan dirinya. Melihat
kepandaian ra Tanca mengobati, harimau itu percaya dan mau
minum ramuan yang diberikan ra Tanca. Tak berapa lama
perut harimau itupun pecah dan matilah binatang raja hutan
itu. Demikian impian itu. Tiba2 ia dikejutkan oleh kedatangan
seorang bekel bhayangkara yang membawa titah baginda agar
dia menghadap ke keraton.
Ra Tanca terkejut "Apakah baginda gering?" tegurnya.
Bekel bhayangkara itu mengangguk "Benar, gusti rakryan.
Baginda mengidap penyakit bisul"
Bisul?" ulang ra Tanca "apakah bengkak?"
"Kemungkinan demikian" sahut bekel bhayangkara itu pula
"karena sudah beberapa hari ini baginda tak berkenan keluar
dari peraduan" "Hem" desuh ra Tanca. Dia suruh bekel itu menunggu
kemudian dia masuk mempersiapkan peralatannya.
"Bisul membengkak" katanya dalam hati "mungkin di
belakang pangkal paha. Itulah buah dari kegemarannya
mengumbar nafsu kepada wanita"
Pada saat hatinya menyebut kata2 wanita, serentak
terbayanglah akan peibiatan baginda selama ini terhadap
beberapa wanita. Dan cepat sekali benaknya terlintas akan
peristiwa yang diderita isterinya sendiri, nyi Tanca. Seketika
menggigillah tubuhnya. Ada suatu perasaan yang terasa
meluap dari dasar hatinya, berhamburan keseluruh persendian
tulang. Darahnya ber-golak2 makin lama makin panas
membara. "Engkau . . . harus menerimanya" serentak ia masuk ke
dalam sebuah ruang pemujaan yang biasa digunakan apabila
dia tengah bersemedhi. Ia mengambil sebuah peti dan
mengeluarkan sebuah arca Bathara Syiwa. Arca itu kecil
terbuat dari perunggu merah. Setelah diletakkan di atas meja
dia lalu bersila dihadap-annya dan menghaturkan sembah.
"Duh Hyang Batara Syiwa, hamba Tanca mohon ampun
atas segala kedosaan hamba. Kami bertujuh yang tergabung
dalam Dharmaputera telah bersumpah dihadapan paduka,
Hyang Syiwa. Akan setya dalam duka dan gembira, hidup dan
mati ..." "Kami telah memateri sumpah kami dengan darah kami
bertujuh. Dan darah itu kami campur dalam bahan pembuatan
arca paduka sebagai sumpah mati. Ternyata kawan2 kami
yang enam sudah binasa dibunuh raja Majapahit. Seharusnya
hambapun akan bela-pati. Tetapi hamba pertahankan hidup
agar mendapat kesempatan untuk membalas dendam. Duh
Hyang Syiwa yang Agung. Paduka telah melimpahkan berkah
kepada hamba bahwa hari ini hamba mendapat kesempatan
untuk melaksanakan sumpah hamba yang kami persembahkan
kehadapan paduka. Hamba mohon Hyang Syiwa, semoga
paduka melimpahkan restu agar hamba dapat melaksanakan
sumpah hamba .." Ia mengambil sebuah peti lain, mengeluarkan sebuah
cundrik. Cundrik itu dipersembahkan dihadapan Hyang arca
Syiwa "Hyang Batara Syiwa yang maha agung, mohon paduka
melimpahkan keramat kesaktian pada cundrik pusaka ini agar
dapat melaksanakan tugasnya"
Setelah sampai beberapa saat melakukan upacara
penghormatan yang khidmat, barulah ra Tanca menyimpan
pula arca itu ke dalam peti. Sedang cundrik segera dibawanya
keluar dan dimasukkan kedalam kantong yang berisi alat2 dan
ramuan obat. Tiba2 ia teringat akan nyi Tanca. Segera ia menuju ke
belakang "Nyai, baginda menitahkan aku ke istana untuk
mengobati penyakit bisul baginda. Tetapi aku lapar, nyai.
Marilah kita makan" Nyi Tanca agak heran. Karena biasanya ra Tanca itu jarang
sekali makan pada saat sepagi itu. Namun ia melakukan
permintaan suaminya. "Nyai" kata ra Tanca sambil menyantap hidangan bersama
nyi Tanca "sudah berapa lama kita terangkap sebagai suami
isteri ?" "Sudah lebih dari duapuluh tahun. Mengapa kakang
bertanya hal itu ?" "Ah, tak apa2, nyai. Sudah jamak apabila kita kadang
terkenang akan kehidupan kita selama menjadi suami isteri.
Apakah engkau bahagia menjadi isteriku, nyai?"
Nyi Tanca terkesiap. Aneh, mengapa suaminya begitu.
Selama berpuluh tahun hidup sebagai suami isteri belum
pernah ra Tanca bertanya semacam itu "Ah, mengapa kakang
bertanya begitu" Duapuluh tahun kupersembahkan jiwa
ragaku kepada kakang, sudah merupakan pernyataan yang
menjawab pertanyaan kakang itu"
"Jiwa dan raga tetapi belum
kebahagiaan itu perasaan hati, nyai"
tentu hati. Pada hal "Rakryan, mengapa engkau meragukan hatiku" Aku merasa
bahagia menjadi isterimu. Sekarang dan semoga dalam
penitisan yang mendatang"
"Jangan tergesa-gesa menjatuhkan ikrar, nyai. Bukankah
aku tak dapat memberi anak keturunan kepadamu?"
Nyi Tanca hentikan suapan tangannya dan memandang
suaminya dengan tajam "Rakryan, adakah engkau menikahi
aku karena engkau menginginkan anak keturunan ?"
"Tentu saja aku ingin"
"Dan apabila ternyata keinginanmu gagal?"
"Kuserahkan saja kepada kekuasaan Hyang Batara Syiwa.
Aku hanya seorang titahNYA, wajib menerima apa yang
diberikan NYA" "Dengan begitu rakryan tentu kurang menyayang diriku ?"
"Tidak, nyai. Engkau adalah aku dan aku adalah engkau.
Suami isteri itu dua jiwa satu raga. Apa yang diberikan oleh
Hyang Maha Agung, bukan kepadaku atau kepadamu, tetapi
kepada kita berdua" "Rakryan, perasaankupun demikian"
"Dan" kata ra Tanca pu'a "jika kita renungkan pada suatu
alam kegaiban dari Asal. dan Mula kehidupan ini, maka
tiadalah sesungguhnya yang disebut tali hubungan antara
orangtua dan anak, sanak dan saudara. Yang ada disana
hanya unsur-unsur Hidup yang disebut atma. Tanpa ikatan
satu sama lain, secara terpisah-pisah tersendiri. Di arcapada
menurut kodrat yang digariskan oleh Hyang Maha Agung,
mereka dijelmakan sebagai anak dari suami isteri anu. Orang2
tua itu hanya dipercaya oleh Hyang Maha Agung untuk
melahirkan dan merawat atma2 yang menjadi anaknya.
Setelah masing2 kembali pada asalnya, maka ikatan itupun
tiada lagi. Orang yang mempunyai anak, dia dipercaya oleh
Hyang Maha Agung. Sedang yang tak mempunyai anak, dia
disayang olehNYA " Nyi Tanca diam. "Oleh karena itu, nyai. Janganlah engkau bersedih karena
tak punya putera. Kita hanya menurut apa yang diberikanNYA,
karena kita ini adalah milikNYA Ketahuilah bahwa rasa
kekecewaan dan kesedihan hatimu itu adalah karena timbul
dari pikiranmu. Pikiran yang telah diwarnai oleh pengaruh
lingkungan hidup manusia. Engkau tentu tersinggung apabila
mendengar orang membanggakan tentang jumlah anak2nya.
Pada hal kebanggaan itu timbul dari kekhilafan dan lebih
banyak dipengaruhi oleh kepentingan pamrih perbadinya.
Mereka menginginkan balas dari anak2nya, membayangkan
kenikmatan hidup di hari tuanya dan lain2 pamrih diri
peribadinya. Sehingga pada saat2 mereka harus menetapi
janjinya kepada Yang Maha Agung, karena nafsu2 keinginan
masih membelenggu jiwanya maka timbullah sekarat maut
yang menyedihkan. Di alam kelanggengan, merekapun takkan
dapat mencapai tingkat alam kesempurnaan"
Nyai Tanca mengangguk. Kemudian ia menyatakan
keheranannya mengapa secara tiba2 saja ra Tanca
menguraikan persoalan itu.
"Begini nyai" kata ra Tanca "hidup manusia itu tak
menentu. Apa lagi aku sudah tua. Setiap waktu Batara
Yamadipati dapat menjemput aku. Oleh karena itu, aku
hendak bertanya kepadamu. Apakah yang hendak engkau
lakukan apabila aku mati?"
"Kesetyaan seorang isteri hanya pada suami-guru lakinya
seorang. Jika rakryan mati, akupun akan ikut bela-pati"
"Tidak, nyai" teriak ra Tanca "jangan engkau bela-pati
begitu. Aku tak menghendakinya. Sebagaimana telah ku
uraikan tadi, kita adalah titah yang disayang dewata. Oleh
karena itu kita harus mengabdikan diri pada dharma2 yang
suci agar tidak mengecewakan berkah dari dewata. Jika aku
mati, nyai, engkau harus dapat melanjutkan amal hidupku
selama ini. Semua ramuan obat-obatan telah kutulis dalam
sebuah kitab. Pelajari dan gunakanlah ilmu itu demi
keselamatan dan kebahagiaan seluruh titah manusia"
Demikian percakapan pada waktu makan bersama yang
amat singkat itu. Nyi Tanca tak merasakan sesuatu kecuali
hanya rasa heran atas sikap dan ucapan suaminya.
Ra Tanca sejera berangkat ke keraton Tikta-Sripala. Ia
terkejut ketika melihat baginda berbaring di peraduan. Samar2
terdengar suara baginda mengerang pelahan. Ra Tancapun
segera menghadap dan menghaturkan sembah.
"O, engkau Tanca" seru baginda "lekaslah obati sakitku ini"
Setelah memohon perkenan, baru ra Tanca memeriksa
tubuh baginda. Ia rasakan tubuh baginda amat panas.
Kemudian dia bertanya dibagian manakah yang terasa sakit.
"Di cepit selangkang pahaku, timbul bisul besar" ujar


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baginda. "Apakah paduka memperkenankan hamba memeriksa bisul
itu ?" Baginda mengangguk. Ia segera mengorak bundelan kain
sarungnya. "Ah, bisul yang ganas" seru ra Tanca terkejut setelah
memeriksa "tidakah paduka merasa panas sekali, pening dan
sakit sekali apabila bergerak?"
"Ya" ujir baginda "bisul apakah itu?"
"Bisul ganas, gusti" kata ra Tanca "bisul sebesar genggam
tangan itu harus cepat dilenyapkan, agar jangan mengganggu
debar jantung" "Lekas engkau buatkan ramuan obatnya!" teriak baginda
geram. Ra Tanca gelengkan kepala "Gusti, mohon diampunkan
kebodohan dan kepicikan hamba. Tetapi hamba memang tiada
tahu ramuannya. Yang hamba ketahui hanya cara lain yang
amat manjur dan cepat melenyapkan bisul itu"
"O" desuh baginda "cara bagaimana?"
"Dibelek agar darah hitam dan nanah kotor dalam bisul itu
dapat keluar, kemudian baru hamba lumuri obat pengering
lukanya" "Apakah tiada obat yang diminum atau dilumurkan saja?"
"Dalam ilmu pengetahuan ramuan yang hamba miliki, tiada
obat minum dan obat lumur yang dapat menghilangkan bisul
seganas itu" "Apakah tidak sakit apabila dibelek?"
Ra Tanca tertawa kecil "Tidak, gusti. Sebelumnya akan
hamba haturkan ramuan untuk minum dan untuk dilumurkan
dulu, agar paduka takkan merasa sakit sedikitpun apabila bisul
itu hamba belek" Baginda termenung. Baginda sudah terlanjur percaya penuh
kepada tabib itu karena sudah berulang kali ra Tanca
membuktikan kepandaiannya menyembuhkan sakit baginda
dan keluarga keraton. Dimana lain tabib gagal, ra Tanca selalu
berhasil. Bagindapun merasa geram, sedih dan muak karena
beberapa hari harus berbaring diperaduan. Jangankan duduk,
berdiri atau berjalan, bahkan hanya bergerak sedikit saja,
sudah sakit. Juga tubuhnya panas seperti dibakar rasanya.
Baginda ingin lekas sembuh.
"Baiklah, ra Tanca" akhirnya baginda meluluskan
"kuserahkan bagaimana engkau hendak menyembuhkan
penyakitku itu. A pabila sembuh, kelak akan kuberimu ganjaran
besar" "Ah, bagaimana hamba layak mengharapkan hal itu. Apa
yang hamba lakukan hanya suatu wajib dari pengabdian
hamba kepada paduka, gusti"
Ra Tanca bertindak cepat. Setelah membuatkan ramuan
minum dan melumuri bisul, maka ia mohon perkenan dan
restu baginda untuk memulai pembedahan. Bagindapun
meluluskan. Betapa tegang dan kacau perasaan ra Tanca ketika tangan
mencekal cundrik dan mata menyalang memandang
selangkang baginda. Belum pernah seumur hidup ia
mengalami ketegangan batin seperti saat itu "Hyang Batara
Syiwa, hamba mohon restu untuk melaksanakan sumpah
hamba ..." Cret . . . . ra Tanca terbelalak. Mata menyalang lebar2 dan
mukanya merah padarn ketika cundrik itu tak mempan
menusuk kulit selangkang baginda.
"Apakah sudah selesai, Tanca " Eh, mengapa wajahmu
sedemikian menyeramkan ?" tiba2 baginda menegur.
Ra Tanca terkejut sekali.
"Mohon paduka berkenan melimpahkan ampun, gusti.
Apabila paduka tak berkenan, bagaimana mungkin hamba
dapat melakukan pembedahan. Cundrik hamba tak kuasa
menyentuh kulit paduka ..."
"O" baginda tertawa "ya, aku lupa menanggalkan azimatku.
Jangankan cundrikmu, Tanca, bahkan semua pusaka di
Majapahit tak mungkin dapat melecetkan kulitku"
Baginda mendekap pinggang kanannya. Sesaat kemudian
baginda mengatakan kalau azimatnya telah dilepaskan. Ra
Tanca heran karena walaupun ia mengikuti gerak gerik
baginda dengan seksama namun ia tak melihat sesuatu
"Engkau heran" Lihatlah ini" ujar baginda seraya
mengangkat tangannya. Saat itu Ra Tanca baru melihat
bahwa tangan baginda menggenggam seutas tali hitam
sehalus dan sebesar rambut.
"Lekaslah, ra Tanca!" titah baginda.
Ra Tanca menyadari bahwa saat itu dia harus tak boleh
gugup dan tegang karena hal itu akan mengakibatkan
kegagalan "Terimakasih, gusti" serunya terus membelek bisul
secepatnya. "Aduh, Tanca, sakit sekali ...."
"O, jangan kuatir Jayanagara, inilah yang
melenyapkan semua kesakitan dan penderitaanmu .."
akan Bagaikan kilat menyambar dari dirgantara, cundrik segera
dihunjamkan ke perut baginda.
"Aduh . . . mati aku . . .
engkau . . Tanca!?" baginda
menjerit, merentang rriata
dan menuding Tanca, kemudian terkulai rebah untuk selama-lamanya. Ra Tanca bergegas meninggalkan ruang peraduan baginda. Ia masih
sempat mendengar jerit tangis dayang2 di peraduan
baginda. "Berhenti !" tiba2 sebuah
bentakan meledak dahsyat dan penuh kemarahan. "Ki patih Dipa" teriak ra Tanca tak kurang kejutnya.
Seketika wajahnya pucat lesi.
"Engkau telah membunuh baginda !"
"Benar" sahut ra Tanca dengan nada gemetar "tetapi
tidakkah tindakanku itu sesuai seperti yang engkau kehendaki
.." "Penghianat, mampuslah engkau . . . !" patih Dipa loncat
menusukkan pedang ke dada ra Tanca.
Ra Tanca terkejut sekali menerima serangan yang
sedemikian dahsyat dan cepat. Ia hendak menghindar tetapi
tak sempat. Dalam detik2 cengkeraman maut, ia masih
berusaha untuk menangkis dengan cundrik. Tetapi baru ia
mengangkat cundrik dadanya sudah tertanam ujung pedang
"Auh .." ia menjerit, terkulai bermandikan darah. Namun ia
masih sempat pula menuding paiih Dipa.
"Patih Dipa .... engkau mengingkari suara hatimu . . . kelak
. . . suara hatimu . . . pun akan . . . mengingkari engkau .."
"Penghianat Tanca !" patih Dipa loncat dan ayunkan pedang
tetapi tiba2 ia hentikan tangannya demi melihat ra Tanca
sudah tak bernyawa lagi. Ia tegak terlongong-longong
memandang mayat ra Tanca yang bergelimangan dalam
kubangan darah. "Ra Tanca, akhirnya engkau membunuh juga.. " sayup2
meletup suara halus dalam hatinya.
Seluruh keraton Majapahit berdukacita atas kematian
baginda Jayanagara. Upacara pemakaman berlangsung
dengan besar-besaran. Mentri2, senopati, nayaka, adipati,
demang, buyut, lurah dari seluruh telatah kerajaan Majapahit
ikut hadir dalam upacara pemakaman yang diadakan di candi
makam Srenggapura di Kapopongan. Diatas makam didirikan
arca Wisnu untuk mengagungkan beliau.
Patih Dipa masih berada dicandi makam itu walaupun
upacara pemakaman sudah usai dan sekalian pengiringpengiring sudah pulang. Dipa tegak seorang diri menundukkan
kepala dihadapan makam. "Kakang patih" tiba2 terdengar suara jernih mengumandang
dari belakang. Patih Dipa cepat berpaling "O, raden Prapanca"
"Kodrat prakitri tak mungkin dihindari.
nangani-ratu, masih ingat kakang patih?"
Bhasmi-buta- "O, ya" serantak patih Dipa teringat akan ucapan pertapa
Gede Pabanyu "apakah maksudnya?"
"Bhasmi-buta-nangani-ratu merupakan sengkala tahun Saka
yang berarti 1 2 5 0. Tahun ini memang tahun Saka 1 2 5 0"
"O" patih Dipa tersengat kejut "benar, raden"
"Baginda Jayanagara telah kembali ke Haripada untuk
memenuhi titah Hyang Widdhi. Mari kitapun kembali ke pura
untuk memenuhi tugas kita"
Patih Dipa mengangguk. Kedua anakmuda itu berjalan
beriring menuju ke pura Wilwatikta.
Sekian convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Petualang Asmara 1 Hantu Pegunungan Batu Karya Karl May Linggang Si Bunian 3

Cari Blog Ini