Ceritasilat Novel Online

Gajah Kencana 6

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 6


terdapat dua orang bekel lain kecuali Dipa. Kedua orang itu
yalah bekel Prathama dan bekel Patunjung. Keduanya bekel
prajurit bagian jaga-luar yalah pasukan bhayangkara yang
bertugas menjaga di balai maupun paseban di luar keratondalam. Kedudukan mereka sesungguhnya sama dengan bekel
Dipa. Tetapi dalam keadaan yang gawat dan tegang dikala
terjadi huru hara, bekel Dipa telah mengambil alih seluruh
pimpinan penjagaan keraton hingga sampai membentuk regu
pengiring baginda lolos dari keraton.
Selama itu kedua bekel jaga-luar harus menyerahkan diri
pada pimpinan bekel Dipa. Selama itu mereka menurut segala
perintah bekel muda itu karena ternyata selama dalam
memimpin pengawalan baginda ke desa Bedander, tiada hal
yang layak disanggah. Bekel Dipa yang masih muda itu telah
bertindak tepat dan tegas.
Bekel Prathama yang lebih tua, rupanya tiada mempunyai
pikiran apa2. Berbeda jauh dengan bekel Patunjung, bekel
yang masih muda usia, kuat tenaga dan besar pula
keinginannya. Diam-diam bekel itu memiliki rasa kurang puas
dalam hati. Hanya tempat tugasnya yang berbeda tetapi
pangkatnya sama dengan bekel Dipa. Mengapa pimpinan
harus dipegang oleh bekel yang lebih muda usia itu "
Kemudian terlintas pula dalam penimangan Patunjung
bahwa apabila tugas menyelamatkan baginda itu berhasil dan
apabila kelak baginda kembali ke pura pula, bukankah bekel
Dipa yang akan mendapat ganjaran lebih besar " Dan
kenaikan pangkat tinggi "
Namun perasaan tak puas itu tetap terbeku dalam hati
karena tiada kesempatan meletus ke luar. Selama itu, belum ia
menemukan suatu kelemahan atau kesalahan bekel Dipa
dalam memegang pimpinan. Hal itu makin merangsang
kegeraman dalam hatinya. Karena diketahuinya dengan jelas
bahwa hubungan bekel Dipa dengan baginda makin erat,
kepercayaan baginda makin tertumpah kepada bekel itu. Dan
memang hanya pimpinan pasukan pengawal itu yang
mendapat kesempatan untuk menghadap baginda, menerima
titah dari baginda. Prajurit2 yang lain, termasuk dirinya dan
Prathama, walaupun berpangkat bekel, tetapi tak mendapat
kesempatan menghadap baginda.
Sejak berada di Bedander, bekel Petunjungpun tak pernah
menghentikan pikirannya untuk mencari upaya. Bagaimanakah
ia dapat memperoleh kesempatan mengunjukkan suatu
tindakan yang akan dinilai baginda sebagai pahala. Bahkan
semalam ia hampir tak tidur karena memikirkan hal itu.
Akhirnya bertemu jualah ia dengan sebuah cara. Maka petang
hari itu dicarinya bekel Dipa. Ia hendak bicara dengan bekel
muda itu. "Ki bekel" tiba2 Patunjung berkata.
"Ya" "Berapa lamakah keadaan yang kita derita ini akan
berlangsung ?" tanya Patunjung.
Agak terkesiap bekel Dipa menerima pertanyaan itu.
Namun ia tak suka berprasangka buruk terhadap orang. Sejak
memegang pimpinan pengawal baginda, ia selalu membawa
diri dan sikap dengan hati2. Dalam pergaulan dengan prajurit
sebawahannya, ia selalu bersikap ramah, memperhatikan
kepentingan mereka. Tetapi dikala menjalankan tugas atau
memberikan perintah, ia bersikap tegas. Yang salah,
dipersalahkan. Yang benar, dibenarkan.
"Huru hara itu digerakkan orang secara besar-besaran
hingga menyerupai kraman" Dipa memberi tanggapan "setiap
gerakan sebesar itu tentu takkan cepat padam. Mudahmudahan keadaan akan segera berobah"
Bekel Patunjung mendengus, "Hm, pikiran itu tidak benar.
Engkau hanya mengharap saja tetapi tak bertindak"
Bekel Dipa terbeliak. Pada hal ia memang sudah
merencanakan menghadap baginda untuk mohon perkenan
meninjau keadaan pura. Tetapi rencana itu harus
dirahasiakan. Tiada seorang anak prajurit yang boleh
mengetahui. "Kakang bekel" sahutnya "tugas kita di sini
adalah menjaga keselamatan baginda. Kekuatan kita hanya
terdiri dari limabelas orang. Bagaimana mungkin kita akan
bertindak merobah keadaan?"
Bekel Patunjung tertawa hambar. "Suatu pembelaan yang
baik untuk menutupi kelemahan, bekel Dipa."
Bekel Dipa terbeliak, "Lalu
Patunjung?" ujarnya menanya.
apa maksud kakang "Jawablah pertanyaanku, ki bekel. Sudahkah engkau tahu
akan keadaan dalam pura kerajaan" Apa sesungguhnya di
balik huru hara itu dan bagaimana keadaan pura saat ini ?"
Bekel Dipa terkejut. Nyata buah pikiran belel Patunjung itu
sama dengan angan-angan Dipa. Memang hal itulah yang
sedang dipertimbangkan untuk dimohonkan perkenan baginda
agar ia dapat meninjau ke pura.
"Adakah bekel Patunjung juga mempunyai keinginan yang
sama dengan aku ?" ia menimang-nimang.
Untuk memperoleh gambaran yang jelas, bekel Dipa
hendak menguji bekel itu. Ia tertawa datar. "Ah, pertanyaan
kakang bekel itu tentu kakang sendiri dapat menjawabnya.
Kalau kakang mengatakan tahu keadaan di pura, sudah tentu
akupun tahu. Bukankah selama ini kita berada bersama-sama
mengiringkan baginda" ?"
"Memang aku tak tahu" sahut bekel Patunjung, "tetapi
bedalah kedudukanku dengan engkau di sini daripada di dalam
keraton. Walaupun bekel, tetapi saat ini aku menjadi
anakbuahmu. Sebagai seorang pucuk pimpinan, tentulah
engkau mengetahui lebih banyak dari aku"
Agak tersipu merah wajah bekel Dipa mendengar ucapan
bekel Patunjung yang bernada mencemoh itu.
"Telah kukatakan kakang Patunjung. Bahwa tugas kita
yang utama adalah menjaga keselamatan baginda. Yang lain2
belum sempat kupikir dan kutindakkan"
"Dengan demikian engkau masih gelap akan peristiwa dan
keadaan di pura, bukan?"
Bekel Dipa mengangguk. "Jika demikian, aku akan berusaha untuk memperoleh
pengetahuan itu, bekel Dipa"
"Maksud kakang ?" bekel Dipa kerutkan dahi.
"Idinkanlah aku kembali ke pura"
Bekel Dipa terbelalak. "Di samping akan kuselidiki keadaan dalam pura dan
peristiwa2 yang berkait dengan huru hara beberapa hari yang
lalu. Pun sekalian aku hendak menjenguk keadaan keluargaku"
"Hah ?" bekel keluargamu ?" Dipa nyalangkan mata "mengapa "Ketika kutinggal bertugas malam itu, anakku sedang sakit
keras dan isteriku hamil tua. Aku harus menjenguk keadaan
mereka, ki bekel !" "Ah" bekel Dipa mendesuh "aku ikut perihatin atas
keadaan keluargamu, kakang Patunjung ...?"
"Terima kasih, adi" cepat bekel Patunjung mengucap
terima kasih" jadi adi meluluskan bukan?"
Sejenak bekel Dipa lekatkan pandang mata kearah bekel
yang bertubuh tinggi besar itu. Bekel Patunjung terkesiap
ketika beradu pandang. Wajah bekel Dipa tampak membeku,
sinar matanya memancar kekerasan hati.
"Adi ..." "Aku peribadi merasa ikut cemas atas keadaan keluarga
kakang. Tetapi saat ini, peribadi Dipa itu tak kuhayati lagi.
Yang ada hanyalah Dipa dalam peribadi sebagai seorang bekel
prajurit bhayangkara"
"Adi ..." "Pasukan bhayangkara yang sedang mengemban tugas
maha berat untuk melindungi keselamatan sang nata
junjungan seluruh kawula Majapahit. Dapatkah kakang
Patunjung mencamkan maksud kata-kataku ini?"
"Engkau ... engkau maksudkan, menolak permintaanku?"
"Di mana kepentingan negara terletak di bahu kita,
hilanglah segala kepentingan keluarga dan kepentingan
peribadi. Seorang prajurit wajib menjunjung kepentingan
negera di atas segala kepentingan peribadi"
"Tetapi, ki bekel, anakku baru satu itu dan terserang
penyakit berat. Bagaimana tidak cemas hatiku sebagai
seorang bapak?" "Kutahu" jawab bekel Dipa dengan nada tegas "tetapi apa
mau dikata lagi. Demikianlah hidup dan pendirian hidup dari
seorang bhayangkara negara itu. Bahkan bila perlu, jiwa
ragapun kita serahkan"
"Engkau masih seorang bujang, belum dapat menyelami
perasaan seorang ayah!"
"Untuk memiliki perasaan semacam itu, tidak mutlak orang
harus menjadi seorang ayah dahulu. Seorang anak sakit keras,
seorang isteri hamil tua dan seorang ibu sudah tua. Memang
suatu keadaan yang harus dikasihani. Setiap orang yang
memiliki setitik hati nurani, tentu dapat merasakannya. Bukan
hanya seorang ayah" sahut bekel Dipa.
Bekel Patunjung tertawa mengkal "Tetapi kenyataan
berbicara lain. Engkau menyatakan kasihan tetapi engkau
menolak permintaanku, hm ...."
"Kakang Patunjung" tiba2 bekel Dipa berkata dengan nada
beriak "telah kukatakan tadi bahwa manusia Dipa merasa
tersayat hatinya mendengar keadaan keluargamu. Tetapi
bekel Dipa dituntut oleh tugas kewajibannya untuk tak
mengidinkan setiap orang keluar dari desa ini. A palagi seorang
prajurit bhayangkara hendak pulang ke pura"
"Apa sebab?" "Kakang Patunjung, engkau seorang bekel bhayangkara
yang dikenal orang. Terutama para abdi keraton dan
narapraja. Bukankah kedatanganmu ke pura itu akan
menimbulkan bahaya bagi dirimu ?"
"Bahaya ?" "Dalam suasana huru hara, pura tentu penuh dengan
manusia2 yang hendak memancing di air keruh. Mencari
keuntungan dari setiap kesempatan yang diperolehnya. Di
samping itu, pimpinan pemberontak pun tentu menyebar
mata2 ke seluruh pelosok pura. Kedua jenis manusia itu, tentu
tumbuh subur di pura, sesubur cendawan di musim hujan.
Kedatanganmu di pura, tentu cepat diketahui mereka. Engkau
tentu akan ditangkap dan dihukum atau mungkin dibunuh"
Patunjung tertawa "Aku bukan anak kecil, ki bekel. Sudah
tentu aku dapat menjaga diri sebaik-baiknya. Dan andaikata
sampai tertangkap, akupun rela asal sudah melihat anak dan
isteriku" "Ah, benar2 seorang suami yang sangat mencintai isteri,
seorang ayah yang sangat sayang puteranya. Tetapi
sesungguhnya engkau seorang suami yang tak bertanggung
jawab, seorang ayah yang tak memikirkan kepentingan
anaknya" "Bekel Dipa!" teriak Patunjung membelalak.
"Karena terdorong oleh rasa cinta yang kalap dan buta,
engkau ditangkap dan dibunuh. Tidakkah sama halnya engkau
melepaskan diri dari tanggung jawabmu sebagai suami dan
ayah" Bukankah anak dan isterimu akan menderita hidupnya"
Apa artinya melihat sejenak, apabila hal itu akan
mendatangkan kesengsaraan sepanjang hidup?"
Patunjung tertegun. Kata2 bekel Dipa itu memang tepat.
Ia menerima dalam hati tetapi menolak dalam pikiran.
Pikirnya, Dipa seorang bekel muda, mengapa secongkak itu
sikapnya hendak menasehati aku"
Demikian memang menjadi gejala di kalangan orang2 tua.
Mereka menganggap tingkatan sebagai orang yang lebih tua
itu, menjadi suatu perisai yang kebal kesalahan. Mereka malu
hati menerima sesuatu yang benar dari orang yang lebih
muda. Tua harus dihormati. Dan hormat itu mereka kacaukan
dengan arti Benar. Pada hal antara Hormat dan Benar itu, dua
buah kata yang mempunyai arti sendiri2.
Demikian pula bekel Patunjung. Perasaan tak puas yang
selama ini terkandung dalam hati kepada Dipa yang lebih
muda, saat itu meletup pula. "Bekel Dipa, aku yang bertindak,
aku yang memikul akibat sendiri. Aku tak menyesal karena itu"
Bekel Dipa menyeringai. "Bekel Patunjung" kata Dipa "engkau berkata seolah
engkau seorang diri, seolah engkau seorang yang bernama
Patunjung. Tetapi engkau lupa, bahwa engkau berkata
kepadaku yang kebetulan bernama Dipa dan menjabat sebagai
bekel bhayangkara dan yang kebetulan pula saat ini sedang
memimpin sekelompok prajurit bhayangkara untuk mengawal
keselamatan baginda nata Majapahit. Engkaupun lupa bahwa
Patunjung itu salah seorang prajurit yang tergabung dalam
kesatuan pengiring raja itu. Oleh karena itu maka engkaupun
terikat oleh peraturan kesatuanmu. Engkau tak dibenarkan
bertindak menurut sekehendak hatimu sendiri"
Bekel Patunjung terkesiap.
"Omong kosong kalau engkau bertindak dan engkau
sendiri yang memikul akibatnya. Arti daripada kesatuan itu
adalah satu walaupun terdiri dari beberapa. Engkau celaka,
kesatuan kitapun pasti celaka. Engkau akan disiksa oleh kaum
pemberontak untuk menunjukkan tempat kesatuanmu. Dan
yang paling celaka, keselamatan baginda tentu terancam.
Dengan demikian, berarti engkaulah manusia yang mencelakai
baginda, engkaulah prajurit hianat yang memberi penunjuk
kepada musuh. Engkau seorang prajurit yang melanggar
sumpah prajurit. Bagi prajurit semacam itu, matilah
hukumannya !" Sesaat pucat, sesaat pula merah padam muka Patunjung
mendengar kata2 yang tajam dari bekel Dipa.
"Bekel Dipa, engkau bekel prajurit Jaga-dalam dan aku
bekel prajurit Jaga luar. Adakah engkau merasa kedudukanmu
lebih tinggi dari aku?"
"Aku tak mempunyai anggapan demikian. Kita sama2
memangku beban berat menjaga keselamatan baginda" sahut
Dipa. "Hm, pengakuanmu itu menunjukkan sifat ksatrya dan
kejujuranmu" seru bekel Patunjung "oleh karena itu, akupun


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak terikat dengan kewajiban untuk meminta idin kepadamu.
Aku akan menghadap baginda sendiri"
Merah wajah bekel Dipa mendengar pernyataan itu.
Hampir ia tak kuasa menahan luap amarahnya. Tetapi
untunglah ia masih dapat mengendapkan perasaan hatinya
"Silahkan, bekel Patunjung"
Patunjung terkejut. Ia tak menyangka bahwa semudah itu
bekel Dipa akan memberi kesempatan. Bermula ia duga bekel
muda itu tentu berkeras menghalangi "Terima kasih, bekel
Dipa" ia terus beranjak dari tempatnya dan ayunkan langkah
hendak menuju ke belakang balai desa.
"Bekel Patunjung" tiba2 ia terkejut ketika bekel Dipa
berseru. Ia hentikan langkah, berpaling "silahkan engkau
memohon tetapi jangan mengharap pasti akan diluluskan.
Lebih jangan pula menganggap, apa yang pasti itu tentu pasti
..." "Apa maksudmu?" seru bekel Patunjung karena tak dapat
menangkap makna ucapan bekel Dipa. Namun bekel muda itu
sudah beranjak dari duduknya dan melangkah pergi.
"Hm, dia tentu tak senang dan iri karena aku hendak
menghadap baginda" desuh Patunjung dalam hati. Ia
mengukur perasaan bekel Dipa seukur perasaannya sendiri.
Bekel Dipa melangkah ke luar halaman. Ia hendak
berangin-angin untuk melonggarkan kesesakan dadanya.
Namun tak lepas juga persoalan diri Patunjung itu merisaukan
pikirannya. "Gejala yang berbahaya" pikirnya "apabila Patunjung
berhasil diperkenankan baginda kembali ke pura, prajurit2
yang lain tentu akan menyusul tindakan itu. Patunjung tentu
tak luput dari perhatian kaum pemberontak. Dia tentu
ditangkap dan rahasia persemayaman baginda tentu bocor"
Menyusur pula renungan bekel Dipa kepada diri bekel
Patunjung. Ucapannya diteliti, sikapnya pun dititi. Dan
akhirnya bertemulah ia pada sinar mata orang itu. Mata adalah
cermin hati. Sinar mata bekel Patunjung memancarkan bara
kemarahan dan penasaran. Mengapa" Ah, serentak ia teringat
pula akan kata2 yang ditandaskan bekel itu bahwa pangkat
mereka sama tingginya, kedudukan mereka sama rendahnya.
Ucapan itu dipantulkan pula oleh sikapnya yang hendak
langsung menghadap baginda sendiri.
"Ah, bahaya tambahan yang ketiga" bekel Dipa menarik
kesimpulan lebih lanjut "iri merupakan salah satu sifat yang
jahat. Rasa itu akan menimbulkan nafsu yang menyala-nyala.
Membangkitkan pikiran untuk menciptakan rencana buruk"
Bekel Dipa pejamkan mata, bertanya dalam hati, "Hai,
Dipa, engkau mempunyai prasangka bahwa Patunjung itu iri
kepadamu. Mengapa engkau tak mau menunjukkan
ksatryaanmu, menyerahkan pimpinan pengawal baginda
kepadanya" Bukankah engkau sendiri memang senang akan
kedudukan itu" Bukankah engkau juga memiliki keinginan agar
kelak engkau akan mendapat ganjaran pangkat yang lebih
tinggi?" Demikian muncullah sang Aku dalam peribadi Dipa, yang
melancarkan tuduhan2. "Ah, benar. Aku juga masih dikuasai nafsu" hatinya
mengakui. Semangatnya mulai mengendap dan menyilam.
"Ah, salah" tiba2 pikirannya membantah, "bagaimana
mungkin engkau hendak membuang nafsu itu apabila engkau
sedang dicengkam dalam lingkungan nafsu. Bukankah saat ini
engkau sedang menghadapi huru hara yang merupakan
cetusan nafsu manusia-manusia budak nafsu" Saat ini ibarat
engkau sedang berjalan dilanda hujan. Engkau dapat
melepaskan diri dengan meneduh. Tetapi engkau harus
hentikan perjalananmu. Demikian pula, kalau ingin bebas dari
cengkeraman nafsu, minggirlah dan jangan lanjutkan
perjuanganmu saat ini ...."
"Tetapi nafsu itu jahat, Dipa" sanggah sang Aku dalam
peribadi. "Benar, nafsu itu memang buruk maka harus diberantas.
Apabila engkau menyingkir saja, nafsu itu tetap akan
membayangimu. Nafsu memang bermacam-macam jenis
coraknya. Di antaranya terdapat Nafsu untuk memberantas
Nafsu. Nafsu demikian, bukanlah Nafsu yang buruk" sang
pikiran membela pendiriannya.
Serempak beranjaklah bekel Dipa dari cengkerama di alam
batinnya. Dan serentak pula teringatlah ia akan suatu cerita
yang didengar semasa ia masih kanak2 di desa. Bahwa prabu
Rama terpaksa harus mengangkat senjata, melangsungkan
perang untuk menumpas sang Rahwanaraja, raja-di-raja
Nafsu. "Huru hara di pura itu jelas bersumber dari nafsu
manusia2 yang haus akan kekuasaan. Gerakan itu
melemahkan kekuatan kerajaan, membahayakan kelangsungan hidup Majapahit. Haruskah kuserahkan
pimpinan pengawal baginda itu kepada bekel Patunjung?"
bertanya pula ia kepada dirinya. "Patunjung jelas seorang
hamba Nafsu yang buruk. Dia memiliki rasa iri, dengki
terhadap sesama kawan. Ini merupakan unsur berbahaya
apabila ia memimpin perjuangan. Bukankah sifat dan hakiki
dari perjuangan itu harus luhur, harus sepi dari pamrih?"
"Perjuangan mengawal dan menjaga keselamatan
baginda, bukan sekedar perjuangan untuk melindungi seorang
nata. Lebih2 bukan pula perjuangan untuk merebut jasa,
meraih pangkat, memburu kedudukan. Tetapi suatu
perjuangan besar untuk menyelamatkan kelangsungan
tegaknya negara Majapahit! Tidak! Patunjung tidak boleh
memegang pimpinan pengawal baginda. Bukan karena aku
menginginkan kedudukan, mengharapkan jasa. Tetapi aku tak
percaya kepadanya, seorang prajurit yang telah menyerah
pada nafsu buruk. Iri pada sesama kawan pejuang, terikat
pada kepentingan peribadi dan keluarga diatas kepentingan
tugas ...." "Ki bekel" tiba2 bekel Dipa terkejut ketika seseorang
memanggil namanya. Cepat ia berpaling "Mengapa ?"
Seorang prajurit telah tegak di belakang tempat ia berdiri.
Mungkin karena dicengkam dalam perbantahan batin, bekel
Dipa sampai tak mendengar bahwa seorang prajurit
menghampiri di belakangnya. "ki bekel dititahkan baginda
supaya menghadap" "O" bekel Dipa segera bergopoh gapah menuju ke tempat
persemayaman baginda. Saat itu baginda sedang duduk di sebuah kursi beralas
kain beludru biru. Di muka pintu, empat prajurit bhayangkara
sedang tegak dengan menyanggul tombak. Setelah membalas
hormat dari keempat penjaga itu, langsung bekel Dipa masuk.
Ternyata bekel Patunjung berada di ruang2 itu juga, duduk
bersila di hadapan sang nata.
"Bekel Dipa" titah baginda manakala bekel itu sudah duduk
bersila memberi sembah "bekel Patunjung menghadap ke mari
dan mohon kepadaku supaya berkenan meluluskan dia pulang
ke pura" "O" kata bekel Dipa "lalu bagaimanakah yang paduka
hendak titahkan kepada hamba"
"Engkau pimpinan bhayangkara yang mengiring aku. Akan
kuserahkan keputusan itu kepadaku"
Dipa terkesiap. Ia tak menyangka bahwa baginda telah
menaruh kepercayaan sebesar itu kepada dirinya. Hal itu
makin memperbesar pula rasa tanggung jawabnya. Serta
merta bekel Dipa mengunjuk sembah terima kasih. "Menurut
hemat hamba, tidak dapat dibenarkan apabila seorang prajurit
rombongan hamba, akan pulang ke pura"
"Hm, benar" ujar baginda "tetapi dia mempunyai alasan
yang kuat. Anaknya sakit keras, isterinya menjelang kelahiran,
ibunya sudah tua berpenyakitan. Tidakkah kita harus memberi
kelonggaran kepadanya?"
"Perjuangan itu hidup seorang prajurit. Tugas itu
napasnya. Kewajiban, darahnya dan Taat itu jiwanya. Kurang
salah satu dari sifat itu, dia bukan prajurit sejati, gusti" bekel
Dipa menyertakan sebuah sembah.
Baginda Jayanagara terkesiap mendengar rangkaian kata
yang berhamburan dari mulut bekel yang masih muda usia itu.
Baginda pun seorang junjungan yang masih muda. Di samping
lain2 kegemarannya yang kurang baik, baginda menjunjung
keutamaan laku keprajuritan. Jiwa keprajuritan yang berhayat
dalam hati baginda, menyebabkan baginda menjalankan
pemerintahan dengan tangan besi atau Gitik-pentung.
"Hm, seorang prajurit yang sesuai dengan seleraku. Tetapi
biarlah kuujinya sampai di manakah kejiwaan bekel muda ini"
diam2 baginda menimang dalam hati.
"Bekel" ujar baginda pula "prajurit itupun seorang
manusia. Harus pula memiliki rasa peri kemanusiaan, terutama
terhadap anakbuah kita. Tidakkah engkau kasihan akan
keadaan bekel Patunjung itu?"
Bekel Dipa terkesiap. Sejak menjadi prajurit bhayangkara
di keraton Tikta-Sripala, ia telah membuktikan cerita orang
bahwa baginda Jayanagara itu seorang raja yang keras. Diam2
ia heran mengapa saat itu baginda berkenan mengucapkan
kata2 yang bernada lain dari peribadinya. Namun bekel Dipa
harus mengesampingkan penilaian2 itu. Ia harus memberi
jawaban menurut pendirian hatinya sendiri.
"Menurut hemat hamba, gusti" Dipa berdatang sembah
"peperangan itu suatu peri-kemanusiaan yang tidak berperikemanusiaan. Atau tidak berperi-kemanusiaan yang berperikemanusiaan. Huru hara di pura kerajaan paduka, menurut
landasan pikiran kaum perusuh, suatu langkah peri
kemanusiaan yang tidak berperi kemanusiaan. Dengan
bermacam dalih mereka akan menindakkan suatu gerakan
tidak berperi-kemanusiaan untuk melindungi peri kemanusiaan
yalah kepentingan rakyat, terutama kepentingan tujuan
mereka sendiri" "Hm" baginda mendesuh.
"Tetapi kita anggap huru hara itu menimbulkan kekacauan,
kerusuhan dan korban. Maka kita harus menumpasnya. Kita
harus melakukan gerakan tidak berperi kemanusiaan untuk
melindungi peri-kemanusiaan"
Baginda mendesah pula "Adalah karena hamba mempunyai rasa perikemanusiaan
kepada bekel Patunjnng maka hamba terpaksa menggunakan
keputusan tidak berperi-kemanusiaan kepadanya. Menolak
permohonannya untuk pulang ke pura adalah demi
rrenyelamatkan dia dan anak isteri-nya. Karena apabila dia
tiba di pura, dia pasti akan ditangkap oleh kaki tangan kaum
pemberontak" Walaupun baginda sendiri sudah memiliki pengertian hal
itu namun beliau diam2 girang mendengar pandangan bekel
Dipa. "Ki bekel" tiba2 Patunjung berseru "diam lah aku bicara.
Patunjung bukan seorang prajurit yang baru setahun dua
tahun tetapi sudah belasan tahun sehingga sampai menjadi
bekel. Sudah tentu kepentingan negara, keselamatan baginda
junjungan kita merupakan jiwa pengabdianku. Sudah tentu
pada waktu kembali ke pura, aku takkan gegabah
menonjolkan diri melainkan akan bertindak hati2 dan secara
rahasia sekali. Selekas menjenguk keadaan keluargaku,
akupun segera bergegas kembali ke mari lagi"
Sahut bekel Dipa secepat kumandang kata2 terakhir dari
Patunjung masih bergema "Untuk mendapatkan sesuatu,
wajar kalau orang mengemukakan janji yang baik2. Dan pada
umumnya janji itu tentu bertolak dari segi yang indah, yang
meyakinkan menurut alam pikiran. Tetapi penilaian yang
tepat, bukanlah dari pandangan sepihak saja melainkan harus
dari dua atau beberapa pihak. Dalam kewajaran itulah maka
boleh saja engkau mengatakan dalih seperti itu. Tetapi dalam
kedudukan sebagai pemimpin pengawal yang bertanggungjawab penuh atas keselamatan sri paduka nata
Majapahit, aku tetap bertahan pada penolakan tadi!"
"Ki bekel" seru Patunjung "kekuasaan itu sesungguhnya
suatu kebijaksanaan yang terselubung. Tergantung dari orang
yang menyelubunginya. Kekuasaan akan merupakan berkah
apabila berselubung kebijaksanaan yang mengayomi. Tetapi
dia akan menjadi momok yang menyeramkan apabila
diselubungi kebijaksanaan yang sewenang-wenang"
"Wajar bagi orang yang kecewa mengungkapkan
perasaannya melalui bermacam dalih" sambut bekel Dipa
"tetapi, aku hendak bertanya kepadamu bekel Patunjung"
"O, silahkan" "Sudahkah engkau yakin bahwa kembalimu ke pura itu
tentu selamat dari perhatian orang terutama kaum perusuh"
Apabila engkau yakin, apa alasanmu. A pakah engkau ini kenal
baik dengan mereka atau bahkan sebelumnya telah ikut dalam
perundingan dengan kaum perusuh ?"
"Bekel Dipa, jangan memfitnah!"
"Jika engkau tak berani atau tak dapat menyatakan
keyakinanmu, berarti engkau masih belum pasti, bukan?"
"Hm" desuh Patunjung.
"Huru hara itu suatu peristiwa yang pasti. Menjaga
keselamatan seri paduka baginda Jayanagara itupun pasti.
Sepasti anggapan kita bahwa huru hara itu suatu gerakan
kraman yang membahayakan kerajaan dan keselamatan seri
paduka itu mempunyai arti penting bagi kerajaan Majapahit.
Adakah engkau hendak mempertaruhkan beberapa hal yang
pasti itu dengan sebuah tindakanmu kembali ke pura yang
belum pasti berhasil itu" Adakah engkau hendak
mempermainkan keselamatan seri paduka baginda dengan
tindakan yang tidak pasti itu" Adakah engkau hendak
mempertaruhkan pula keselamatan negara Majapahit itu
dengan langkahmu yang tidak pasti" Jawablah, Patunjung !"
Terkesiap baginda Jayanagara menyaksikan sikap bekel
Dipa pada saat itu. Wajah bekel yang memiliki dahi lebar itu
memantulkan cahaya kewibawaan yang menyala-nyala.
Mulutnya yang berdaun bibir tebal, melantangkan kata2 yang
semantap hunjaman palu besi. Baginda mulai menaruh
perhatian kepada bekel muda itu.
Patunjung pun tertegun. Habislah seluruh persediaan kata
yang hendak diucapkan untuk menghantam pendirian bekel


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dipa yang dianggapnya hendak mempersukar dirinya.
Sebelumnya ia memang sudah bersiap-siap dengan berbagai
kata dan dalih untuk menjatuhkan bekel Dipa di hadapan
baginda. Tetapi hamburan bekel Dipa yang tepat, tajam dan
tegas itu telah menyapu lenyap rencana kata-katanya. Ia
termangu-mangu dalam kelongongan.
"Bekel Patunjung, camkanlah. Saat ini kita bukan sedang
pesiar atau berburu tetapi kita sedang memikul beban yang
maha berat dan gawat. Segala langkah dan tindakan kita
harus berdasar perhitungan yang pasti. Tidak boleh hanya
setengah pasti, lebih tidak boleh pula masih suatu
kemungkinan yang belum pasti!"
Kemudian bekel Dipa memberi sembah ke hadapan
baginda dan mempersembahkan pendiriannya terhadap
permohonan bekel Patunjung.
Baginda menyetujui sikap pendirian Dipa dan menitahkan
bekel Patunjung ke luar. Setelah berada berdua dengan Dipa
maka baginda pun berkata, "Bekel Dipa, engkau lulus dalam
ujian" Dipa terkesiap lalu tersipu-sipu menghaturkan sembah,
"Mohon paduka melimpahkan titah kepada hamba, gusti"
"Keputusanmu tadi sesuai dengan pendirianku. Sesungguhnya dapatlah seketika kutolak permohonan
Patunjung. Tetapi aku tak mau mengurangi kewibawaanmu
dalam kesatuan prajurit yang mengiring aku. Agar mereka taat
kepadamu" "Hamba menghaturkan terima kasih yang tak terhingga.
Titah paduka selalu akan hamba junjung di atas kepala
hamba" "Taat adalah jiwa dari peraturan. Terutama dalam
peraturan keprajuritan. Tiada rasa taat, bubarlah peraturan.
Tanpa peraturan, lepaslah ikatan tata keprajuritan, Tanpa
ikatan itu, hilang sifat keprajuritannya. Dan prajurit yang
hilang sifat keprajuritannya akan menjadi manusia yang
membahayakan keamanan"
Dipa menghaturkan sembah pula.
"Dan kedua kalinya akupun hendak menguji kebijaksanaan
dan ketahananmu dalam menghadapi peristiwa semacam itu
atau bahkan peristiwa yang lebih gawat dari itu yang
dicetuskan oleh anakbuahmu. Sikap dan pendirianmu tadi,
berkenan dalam hatiku, bekel"
Kembali Dipa menghaturkan sembah terima kasihnya
kepada sang nata. "Bekel Dipa" kata baginda pula "kulihat engkau masih
muda belia. Heran, mengapa pandanganmu, bicaramu sudah
lebih masak dari umurmu" Adakah engkau pernah berguru
pada seorang bijaksana?"
"Gusti" kata bekel Dipa dengan penyertaan sembah
"hamba berasal dari desa, bodoh dan kurang pengalaman.
Hamba tak pernah berguru. Guru hamba adalah Kesalahan,
gusti" Baginda terkesiap "Gurumu Kesalahan" Apa maksudmu,
bekel" "Apa yang hamba peroleh sekarang, apa yang menjadikan
diri hamba sekarang, tak lain adalah Kesalahan. Tiada
pengetahuan, tiada pengalaman, hamba banyak berbuat
kesalahan. Dari kesalahan2 itulah hamba berguru. Dia
mengajar hamba, pengetahuan apa saja yang hamba dengar
dan saksikan. Mengajar hamba pengalaman dari setiap
peristiwa yang hamba alami. Dia tak mengajar hamba apa
yang benar, tetapi dia menunjukkan hamba apa yang salah"
Baginda mengangguk "Aneh kata-katamu tetapi memang
benar dalam kenyataan. Biasanya orang takut salah, ingin
yang benar. Tetapi sesungguhnya kesalahan2 itulah yang akan
menuntun kita ke arah yang benar"
Suasana perang, pemberontakan, huru hara maupun
kerusuhan sering menggambarkan watak2 yang aseli dari
setiap insan. Alam pikirannya, alam kemanusiaannya dan
seluruh keadaan diri orang itu. Dalam keadaan senang,
bahagia dan jaya, watak dan keperibadian seseorang mudah
terhanyut dalam gemerlap harta, kekuasaan dan keangkuhan.
Pikiran dan batin, terbaur dalam Sikap dan Rasa dari berbagai
corak warna. Secara sadar dan tak sadar, dia diharuskan dan
mengharuskan diri untuk mewarnai sikap dan perasaannya
menurut keadaan kejayaannya.
Dalam suasana yang menderita, dimana kejayaan lari
bersama harta, pangkat dan kekuasaannya, warna2 itupun
lenyap dan tinggallah orang itu dalam warna yang aseli.
Suasana percakapan antara baginda Jayanagara dengan
bekel Dipa di desa Bedander itu, berlangsung dalam suasana
yang berbeda dengan di keraton.
Baginda merasa, Dipa pun menghayati. Dan kesan dalam
pembicaraan itu takkan dilupakan baginda, takkan hilang dari
ingatan Dipa. Demikian setelah mohon diri dari hadapan baginda, Dipa
pun kembali duduk di halaman. Ia tak mau lagi memikirkan
diri Patunjung. Ia percaya, keputusan yang direstui baginda
itu, tentu akan diterima Patunjung dengan ketaatan. Maka
iapun mencurahkan segenap pikiran, merenungkan keadaan
yang dihadapinya. Diam2 timbullah suatu keinginan untuk meninjau ke pura.
Tetapi keinginan itupun segera disanggahnya sendiri. "Jika
demikian mengapa tak memberikan Patunjung saja yang
pulang ke pura.... Mengapa harus engkau sendiri?"
Sejenak merenung, ia menjawab sendiri " Patunjung lama
tinggal di pura, dia banyak dikenal orang. Terutama ia hendak
menjenguk keluarganya. Kawan dan tetangganya tentu akan
mengetahui dan bertanya kepadanya. Sedangkan aku, sejak
menjadi bhayangkara dan tinggal di asrama, jarang aku keluar
dari lingkungan keraton. Sedikit orang yang kenal padaku"
"Tetapipun aku tak dapat mempercayai orang seperti
mempercayai diriku sendiri. Dalam hal2 yang lain, tak boleh
aku berprasangka terhadap orang. Tetapi yang kita hadapi ini
benar2 suatu peristiwa yang gawat dan penting sekali.
Mungkin dalam sepanjang hidupku hanya sekali ini aku
menghadapi peristiwa penting semacam ini. Salah langkah,
akan membawa akibat yang tak mungkin kuperbaiki lagi. Aku
akan dinista sekalipun sudah menjadi mayat"
Renungan telah mencapai titik kesimpulan. Dan lahirlah
suatu keputusan yang mantap. Dipa akan dan harus
melakukan peninjauan ke pura itu sendiri. Ia tak dapat dan tak
mau menyerahkan hal itu kepada orang lain. Sebagai tekad
dari keputusan itu, apabila ia nanti sampai tertangkap, maka
nyawanyalah tebusannya. Andai ia harus mati, matilah ia dengan tenang. Tiada
airmata yang akan mengantar kematian seorang pemuda
sebatang kara. Dan memang tak perlulah airmata untuk
mengantar keberangkatan seorang ksatrya yang gugur dalam
melaksanakan tugas. Dewa2 dan para bidadarilah yang akan
menyelenggarakan peralatan itu.
Langit cerah, bunga2 bertaburan dari dirgantara. Lagu puji
syahdu, berkumandang diiring gamelan Lokananta. Dia akan
dijemput dengan sebuah ratha. Bukan kereta mati, tetapi
kereta kencana yang gilang gemilang cahayanya. Kereta yang
ditarik oleh delapan ekor kuda terbang, diiring oleh sedomas
bidadari dan melayang naik ke sorgaloka. Tempat
peristirahatan yang tenang dan damai ...
Tidaklah demikian dengan bekel Patunjung. Apabila bekel
itu yang mati, dia masih akan melayang-layang dan
mengembara dalam alam Niraya, alam yang menyedihkan
keadaannya. Karena dia masih sarat menanggung beban
pemikiran keluarganya, anak dan isterinya dan nafsu2 yang
menyelubungi tubuhnya. Demikian pikiran bekel Dipa melayang layang menjelajahi
cakrawala batin dalam buana alit atau dirinya. Dan bertemulah
ia dengan sebuah pancaran sinar yang terbungkus dalam
gumpalan kabut. Sinar terang itu, sinar dari kesadaran hati
dan penerangan batin, kemantapan tekad.
Selama menjaga baginda di Bedander, bekel Dipa telah
mengatur penjagaan yang keras. Terutama pada malam hari
di mana segala kemungkinan dapat terjadi, ia selalu
mewajibkan diri untuk berkeliling melakukan ronda.
Saat itu bulan menjenlang di tengah angkara. Menandakan
waktu tengah malam. Bekel Dipa pun beranjak dari tempatnya
dan mulai ayunkan langkah memulai ronda yang pertama.
Walaupun sejak beberapa malam tak terjadi sesuatu,
namun tidaklah bekel muda itu cepat merasa terhibur bahwa
sesuatu takkan terjadi. Peristiwa sering muncul dikala
perhatian dan penjagaan menyurut.
Desa Bedander sunyi senyap. Rumah2 penduduk seperti
rumah2 kosong tiada penghuni. Jika terdengar suara,
hanyalah suara si penghuni yang mendengkur ataupun suara
teriakan pclahan karena bermimpi buruk. Dan suara2 yang
agak keras lagi, hanya bunyi bergerodakan dari kawanan tikus
yang berkeliaran mencari makan.
Berbicara soal tikus maka teringatlah bekel Dipa tentang
peristiwa semasa ia masih kanak2 di desa. Penduduk desanya
menaruh kepercayaan pada setiap benda yang dianggapnya
mempunyai penjaga2 halus. Pohon2 besar, batu2 yang aneh
bentuknya, diberi sesaji pada hari2 tertentu. Terutama
menjelang2 musim panen dan mulai tanam, sesaji2 itu makin
kerap dan makin lengkap jenisnya.
Tidak terbatas pada benda, pun binatang kebagian juga
rejeki karena dipandang keramat dan memiliki kesaktian oleh
penduduk desanya. Diantaranya kawanan tikus. Binatang itu
disediakan makanan, baik di rumah2 maupun di sawah. Agar
janganlah kawanan tikus itu marah dan mengamuk, merusak
pakaian, makanan dan hasil tanaman di sawah dan kebun.
Dan untuk mengambil hati kawanan tikus, pendudukpun
menyebut binatang itu dengan sebutan yang menghormat
'raden bagus'. Acap kali Dipa mengkal. Jika ia yang jelas
bernama Dipa, orang di desanya tak mau memanggil nama itu
melainkan memberi nama parapan Gajah. Tikus yang binatang
dan yang tak punya nama telah disanjung dengan nama
'raden bagus'. Sebuah nama gelar ke-bangsawanan. "Adakah
tikus itu memang tergolong kasta ksatrya?"pernah ia bertanya
kepada seorang lelaki di desanya. Dan lelaki itu tentu akan
menghardiknya. "Anak gila, jangan bicara tak keruan. Kalau
mereka mengamuk habislah padi2 di sawah dan kita akan mati
kelaparan semua." Demikian setiap kali, Dipa harus dan diharuskan menelan
peristiwa2 dalam kehidupan yang sesungguhnya ia tak
mengerti. Setiap pertanyaan yang berisi kejutan tentu akan
ditindas dengan jawaban, bahwa itu sudah menjadi naluri
warisan nenek moyang. Jangan ditanyakan lagi.
Tiba2 pandang matanya tertumbuk pada segunduk benda
yang berada di tepi jalan. "Ah, gardu penjagaan desa" segera
ia dapat menduga. Agar jangan mengejutkan penduduk yang
tiba giliran menjaga, iapun berhenti duduk di bawah sebatang
pohon kamal yang besar dan rindang.
Duduk seorang diri di tengah malam, mudah menimbulkan
bayang2 lamunan. Dan bekel Dipa yang selalu memikirkan
keselamatan baginda, pun segera tenggelam dalam berbagai
lamunan. Untuk menghindari perhatian penduduk, ia telah mercapai
sepakat dengan buyut, bahwa di mulut desa supaya didirikan
sebuah gardu penjagaan yang diperlengkapi sebuah
kentungan besar. Untuk mengumandangkan pertandaan
waktu dan pertandaan bahaya apabila melihat orang jahat
atau binatang buas hendak memain ki desa.
Memang setelah beberapa hari dari kehadiran baginda dan
rombongan pengiring di desa Bedander, ada beberapa
penduduk yang tahu dan curiga melihat gerak gerik serta
kesibukan di rumah buyut mereka. Buyut segera memanggil
mereka. Dengan tandas, diberinya penjelasan tentang seorang
menteri kerajaan yang sedang berada di desa itu. Dan atas
permintaan mentri itu, hendaknya rahasia tentang kehadiran
mereka di Bedander, jangan sampai disiarkan kepada lain
orang. Keterangan itu di sertai peringatan, siapa yang
melanggar akan dihukum. Tengah bekel Dipa berkelana dalam alam renungan dan
menungan sepi, tiba2 ia dikejutkan oleh talu kentungan yang
meraung raung amat nyaring, menguak kesunyian malam.
"Ah, hampir menjelang fajar" ia menengadah ke langit. Bulan
mulai merebah ke barat. Bintang kemintang pun mulai kuyu
cahayanya. Hanya angin yang mulai bersemarak menebarkan
hawa dingin yang menyengat tulang.
Bekel Dipa hendak beranjak dari tempatnya. Ia hendak
melanjutkan perjalanan mengelilingi desa. Tetapi baru ia
berbangkit, tiba2 telinganya menangkap suatu suara yang
aneh. Suara semacam langkah kaki tetapi langkahnya tidak
teratur. Dan ketika berpaling ke arah pusat desa, ia makin
terkejut. Tampak sebuah benda hitam bergerak-gerak ke luar
dari tengah desa. Sebentar-bentar benda itu menyelinap ke
samping jalan, menghilang dalam gerumbul semak atau
gerumbul pohon. Tetapi tak lama kemudian muncul pula dan
melanjutkan perjalanan. Benda itu jelas hendak menuju ke
mulut desa. Makin lama makin dekat.
Indera penglihatan yang telah dipertajam dengan
kewaspadaan, cepat dapat menarik kesimpulan bahwa benda
yang bergerak gerak itu adalah sesosok tubuh manusia. Dan
serentak timbullah pertanyaan dalam
"Siapakah gerangan orang itu?"
hati bekel Dipa, Namun bekel Dipa tak sempat lagi melanjutkan penilaian
karena orang itu makin menghampiri dekat. Cepat ia
menyelinap di balik pokok pohon kamal yang sebesar dua
pemeluk tangan orang, merupakan tempat aling yang baik
untuk bersembunyi. Tak lama kemudian sosok tubuh itupun tiba beberapa
langkah dari pohon kamal tempat bekel Dipa bersembunyi.
Tak peduli siapapun pendatang itu, dia harus dicurigai dan
harus disergap. "Berhenti" cepat Dipa mengiring gerak loncatan ke muka
dengan sebuah bentakan. Orang itu melonjak kaget dan serempak sudah mencabut


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pedang lalu menyerang. Bekel Dipa baru saja menginjakkan
kaki ke tanah. Serangan yang dilancarkan orang itu cepat dan
dahsyat sekali. Bekel Dipa tak sempat berbuat apa2 kecuali
loncat ke samping. Bret .. kain kepalanya tertabas jatuh.
Segumpal rambut berhamburan ke dada.
Bekel Dipa serasa terbang semangatnya. Serta diketahui
bahwa kain kepala dan rambutnya terbabat jatuh, tubuhnya
bersimbah peluh dingin. Walaupun kepalanya tak ikut
terbelah, namun tabasan itu sangat menggoncangkan
nyalinya. Mulut orang itu menggeram. Setangkas gerak harimau
menerkam, ia menerjang bekel Dipa pula dengan melayanglayangkan pedangnya. Dalam kepekatan cuaca malam,
pedang itu makin memancarkan sinar yang berkilat kilat.
Tubuh bekel Dipa yang dicengkam hawa dingin serentak
menggelora panas dirangsang alir darah yang mengarus
deras. Serentak lenyaplah pesona kejut yang menghinggapi
perasaan bekel muda itu. Dia harus menyelamatkan diri dari
serangan maut. Diapun harus merubuhkan orang itu. Maka
berloncatan ia menghindar dalam tata langkah seperti yang
pernah diajarkan brahmana Anuraga.
"Berhenti!" beberapa saat kemudian, bekel Dipa loncat
mundur agak jauh. Tetapi orang itu tak menghiraukan. Ia
bersiap-siap membuat sebuah loncatan menerjang. "Patunjung, engkau!" bekel Dipa cepat berteriak lantang.
Orang itu terhentak dan gerak loncatannya dihentikan.
"Hm" sesaat kemudian ia mendegus geram lalu menerjang.
"Patunjung, engkau berkhianat ..." belum bekel Dipa
sempat menyelesaikan kata-katanya Patunjungpun sudah
ayunkan pedangnya ke arah kepala. Namun bekel Dipa masih
mampu lolos. Sambil merundukkan kepala ke bawah ia
menyelinap ke samping lalu dengan sebuah gerak yang cepat
sekali, ia menerpa lengan kanan Patunjung.
"Auh ..." Patunjung mengerang tertahan. Tulang
lengannya serasa patah dan melayanglah pedangnya
terlempar ke muka dan jatuh ke tanah.
Bekel Dipa tak berhenti sampai di situ. Setelah berhasil
mementalkan pedang lawan, ia segera menyusuli menerkam
lengan lawan lalu hendak dikuasainya dengan memutarnya
keras2. Tetapi sebelum ia dapat melaksanakan rencananya,
sekoyong-konyong kaki Patunjung berayun menendang
perutnya. Jarak yang dekat, cuaca yang gelap dan gerakan
yang tak terduga dari kaki Patunjung itu menyebabkan Dipa
termakan tendangan yang keras. Tubuh bekel muda itu serasa
dilempar ke udara dan terhempas ke tanah.
"Hm, engkau harus mati" Patunjung mencabut cundrik
yang terselip di pinggangnya. Wajah bekel itu memberingas
buas. Bekel Dipa adalah perintang besar. Dia harus mati.
Gerak loncatannya maju ke tempat Dipa rebah terlentang,
ditutup dengan sebuah gerak tikaman cundrik yang dahsyat.
Sekali tikam ia hendak mengoyak dada Dipa.
"Huh ..." kembali mulut bekel yang sudah dirangsang
bujukan setan itu terdengar mendesus penuh kegeraman
karena cundrik tak berhasil bersarang di dada Dipa. Bekel
musuhnya itu sudah bergelimpangan ke samping.
Patunjung pun cepat memburu dan menikam. Tetapi pada saat cundrik sedang diangkat, sekonyong-konyong bekel Dipa melenting dan menusuk perut orang itu. Terdengar jeritan ngeri dan darah yang menyembur dari perut Patunjung. Cepat
ia mendekap perut,' terhuyung-huyung dua tiga
langkah lalu rubuh ke tanah.
Ternyata pada saat bekel Dipa berguling-guling ke samping, tangannya telah menyentuh sebuah benda. Ah,
pedang Patunjung yang terlempar ke tanah tadi. Ia sengaja
rebah di tanah menunggu kedatangan Patunjung. Di saat
Patunjung hendak menikamkan cundrik, bekel muda itu
melenting bangun dan membenamkan ujung pedang ke perut
Patunjung. Ngeri mendengar jerit yang ngeri dan darah yang
menyembur dari perut Patunjung, bekel Dipa lepaskan tangkai
pedang dan rubuhlah Patunjung dalam kubangan darah.
Bekel Dipa terlongong longong. Ia menyadari Patunjung
tentu mati. Suatu hal yang sebenarnya belum perlu ia lakukan.
Ia hendak menangkap Patunjung untuk dibawa ke hadapan
baginda. Tetapi karena jiwanya terancam, terpaksa ia
menusuk perut Patunjung. "Maafkan, bekel Patunjung" ia menghampiri ke muka
mayat Patunjung dan menyatakan penyesalannya.
Betapapun buruknya, Patunjung itu seorang kawan,
seorang prajurit yang menggabungkan diri dalam rombongan
pengiring baginda. Namun apa yang terjadi telah terjadi. Kini
Patunjung celah mati. Suatu kematian yang layak diterimanya.
Untuk menjaga kegemparan penduduk pada esok hari, bekel
Dipa lalu mengangkat mayat Patunjung ke rumah kediaman
buyut. Keesokan harinya gemparlah seluruh prajurit bhayangkara
ketika mendapatkan sesosok mayat di serambi rumah buyut
Bedander. Lebih gempar pula mereka ketika mengetahui
bahwa mayat itu ternyata mayat bekel Patunjung.
"Benar, memang bekel Patunjung telah dibunuh orang"
tiba2 terdengar sebuah seruan diiring langkah kaki seseorang.
Ketika sekalian prajurit berpaling ternyata bekel Dipa lah
yang muncul. Wajah bekel muda itu tampak agak lesi. Setelah
tiba di dalam ruang, ia tegak di hadapan mayat Patunjung.
"Akulah yang membunuh Patunjung ini" seru Dipa sambil
memandang ke wajah sekalian prajurit "kalian hendak
menanyakan apa sebab aku membunuh bekel Patunjung"
"Ah, tak mungkin tiada sebab ki bekel membunuhnya. Aku
percaya" seru bekel Prathama.
"Pikiranmu itu kurang benar, kakang Prathama" sambut
Dipa "setiap peristiwa hebat semacam pembunuhan yang
terjadi pada salah seorang anakbuah rombongan, tentu harus
kita tanggapi dengan perhatian yang besar. Ingat, jumlah
rombongan kita hanya lima belas dan sekarang harus
berkurang seorang lagi. Ini berarti merugikan kekuatan kita.
Dan matinya bekel Patunjung bukanlah dari sebab bertempur
dengan musuh tetapi karena tanganku. Ah, sesungguhnya aku
malu, mengapa peristiwa itu sampai terjadi"
Empat belas prajurit bhayangkara yang berada di dalam
pendapa, termangu heran. Dan bekel Prathama-lah yang
berani mencetuskan rasa heran itu. "Kami sekalian tahu akan
kebijakianaanmu ki bekel. Tak mungkin engkau melakukan
suatu hal tanpa suatu landasan yang benar"
"Terima kasih atas kepercayaanmu, kakang Prathama"
seru bekel Dipa pula "tetapi hendaknya janganlah kakang
mudah menaruh kepercayaan sebelum kakang mengetahui
keadaannya dengan jelas. Dan walaupun aku bersyukur
karena kepercayaan dari kakang itu, tetapi aku tak mau
menerima suatu kepercayaan yang membuta. Aku ingin
kepercayaan itu sudah lulus dari ujian, sudah melalui
pengawasan dan pembuktian yang meyakinkan. Kepercayan
tanpa suatu pengawasan, akan mudah menjerumuskan kita
dalam penyelewengan."
Bekel Prathama terdiam. "Telah kukatakan bahwa aku merasa menyesal dan malu
atas peristiwa kematian bekel Patunjung. Menyesal karena dia
adalah kawan seperjuangan dalam perjalanan mengiring
baginda ini. Dia adalah sahabat yang baik. Malu, karena
peristiwa itu menunjukkan bahwa dalam tubuh kesatuan kita
masih belum bersatu. Dan hal itu menunjukkan bahwa aku
sebagai pimpinan, masih kurang cakap sehingga sampai
terjadi seorang anakbuahku melanggar peraturan"
"Ki bekel" seru seorang prajurit lain "bagaimana dan
apakah yang telah terjadi, sukalah ki bekel memberitahukan
kepada kami" Bekel Dipa mengangguk. "Baiklah" kemudian ia
menuturkan semua peristiwa yang terjadi pada bekel
Patunjung, percakapan di hadapan baginda dan kemudian
peristiwa perkelahian di dekat mulut desa, "demikianlah
ceritanya. Aku merasa malu dan bersalah karena peristiwa itu.
Jika aku pandai memimpin, tak mungkin Patunjung akan
melakukan tindakan semacam itu. Maka akupun hendak
meletakkan pimpinan itu. Silahkan kalian mengangkat seorang
pemimpin lagi yang kalian pandang cakap untuk memimpin
rombongan yang akan menyelamatkan sang prabu"
"Tidak ! Tidak !" serempak keempat belas prajurit
bhayangkara itu berteriak dan mengacungkan tangannya
keatas, "kami tetap menghendaki tuan sebagai pimpinan
kami!" "Tidakkah saudara2 gelisah atas kematian Patunjung di
tanganku?" seru bekel Dipa.
"Sama sekali tidak, ki bekel" seru mereka, "dia telah
menyalahi peraturan. Dan demikian hukuman seorang prajurit
yang tidak taat. Apapula dia bermaksud hendak membunuh
pemimpinnya. Wajiblah dia mati!"
Bekel Dipa menganggukkan kepala.
"Hendaknya peristiwa ini menjadi pelajaran dan peringatan
kepada kita sekalian agar lebih meresapkan kesadaran kita
sekalian akan sifat keprajuritan dan jiwa kesatuan. Sifat
prajurit hanya menjunjung kepentingan tugas. Tugas
mengabdi kepada raja, negara dan rakyat. Makna dari
kesatuan harus berjiwa satu. Satu untuk semua, semua untuk
satu. Bekel Patunjung melanggar sifat keprajuritannya,
mengingkari jiwa kesatuannya. Dia mengutamakan kepentingan keluarga daripada kepentingan tugas. Dia
menganggap tindakannya itu sebagai tanggung jawab dirinya
sendiri, lupa bahwa dalam kesatuan, hilanglah ke Aku an diri"
Demikian bekel Dipa memanfaatkan peristiwa itu untuk
meresapkan sifat hakiki dari perjuangan seorang prajurit dan
makna dari jiwa kesatuan. Dalam saat dan keadaan seperti
yang dialami saat itu, memang kemungkinan timbul hal2 yang
semacam dilakukan bekel Patunjung akan timbul pula. Lebih
baik mencegah dari pada mengobati.
"Jika aku melanggar kesalahan, baik dalam peraturan
maupun tindakan, bunuhlah aku" bekel Dipa memberikan
napas pada uraiannya. Agar uraiannya itu dapat hidup dalam
hati anakbuahnya. Tiap kesalahan, bersumber pada kurangnya pengertian
dan kesadaran. Selama pengertian dan kesadaran itu belum
menyerap ke dalam hati, kesalahan itu tetap akan berulang
walaupun corak dan bentuknya berbeda.
Sejahat-jahat manusia, seburuk-buruk sifat perangainya,
setinggi-tinggi kekuasaan yang disewenangkan dan segala
macam keadaan yang berukuran se atau paling dalam
lingkungan hidupnya, namun ia adalah manusia. Manusia yang
terbuat daripada darah dan daging dan nyawa. Darah sebagai
air, daging sebagai sendang dan nyawa sebagai sumber atau
mata air. Sumber Tirta Amerta, sumber air suci. Kotor dan
jorok sekalipun air dan sendang itu, namun tetap mempunyai
sumber Tirta Amerta. Demikian manusia.
=o-dwkz-mch-o= II Lima hari dari peristiwa bekel Patunjung, bekel Dipa tak
dapat menahan gejolak hatinya lagi. Tiap hari ia selalu
menghitung-hitung hari yang tiba dan yang akan datang.
Sebulan dibagi dua. Tanggal satu sampai dengan tanggal
limabelas, disebut Cuklapaksa. Tanggal enam-belas sampai
dengan tanggal tiga puluh, disebut Kresna-paksa. Orang
mengatakan tanggal lima Cuklapaksa dan tanggal duapuluh
Kresnapaksa. Bekel Dipa telah menghitung hitung, bahwa hampir se
cuklapaksa baginda bersemayam di desa Bedander. Suatu
jangka waktu yang cukup panjang bagi kerajaan yang
ditinggalkan seorang raja. Pada hal yang disebut kerajaan itu,
negara yang mempunyai raja. Jika tiada raja, bukankah
kerajaan itu akan goyah" Tetapi bukan soal goyahnya
kerajaan tanpa raja itu yang merisaukan pikiran Dipa.
Melainkan pemerintahan dari kerajaan itu. Tanpa raja sebagai
pimpinan pemerintahan, pemerintahan Majapahit akan
terganggu kelancarannya dan rakyat akan gelisah.
Dalam lingkup pemikiran keadaan negara dan para kawula
Majapahit itulah bekel Dipa merasa gelisah. Sekalipun sumber
biangkeladi kekacauan itu terletak pada kaum pemberontak,
tetapi iapun merasa ikut bertanggung jawab juga. Ia
memohon agar baginda meninggalkan keraton. Bukankah hal
itu berarti dia juga menjadi salah satu dari penyebabnya tiada
raja dalam kerajaan Majapahit" Bukankah dia juga menjadi
salah satu dari manusia yang membuat rakyat gelisah"
Bekel Dipa mendesuh sendiri. Makin meluas rasa
tanggungjawabnya pada peristiwa mengiringkan baginda lolos
dari keraton. Ternyata bukan hanya terbatas mengiringkan
pergi dari keraton, tetapi pun mempunyai kewajiban untuk
mengiringkan pulang ke pura kerajaan. Pulang dalam suasana
yang aman dan penuh kebesaran serta kewibawaan sebagai
seorang nata. Untuk melaksanakan hal itu, haruslah cepat2
dirintis usaha untuk meratakan jalannya. Terus menerus
berada di desa Bedander hanya memperpanjang kekacauan
pemerintahan kerajaan. Membahayakan kewibawaan baginda.
Tujuan terakhir dari tugas kewajibannya, adalah untuk
mengiring sri paduka raja Jayanagara kembali ke pura


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Majapahit. Sebelumnya harus diketahui bahwa benar2 iklim
dan suasana dalam pura kerajaan itu sudah memenuhi syarat,
baik keamanan maupun kesetyaan para kawula. Namun
sampai detik itu, bekel Dipa masih gelap akan keadaan pura.
Dan kegelapan itu akan terus berkelarutan apabila ia tak
berusaha untuk menyingkap. Dan usaha itu harus dilakukan ke
pura kerajaan. Hanya tinggal di desa Bedander, sama dengan
menyekap diri dalam kegelapan. Kegelapan di tengah hari.
Karena peristiwa huru-hara itu segempar halilintar meletus di
siang hari. Semua mentri, nayaka, dan narapraja
pemerintahan tahu. Seluruh kawula pura Majapahit pun tahu.
Hanya Dipa seorang yang tak tahu.
Dalam usia yang masih muda belia, sukar untuk
mempercayai bahwa bekel Dipa mempunyai pemikiran yang
sedemikian jauh. Pada hal dia tak pernah mempunyai
kesempatan untuk belajar atau berguru pada orang pandai.
Telah diakuinya di hadapan seri baginda, bahwa gurunya
adalah Kesalahan. Kesalahan itu merupakan sumber dari hal2
yang Benar. Di antaranya termasuk kekurangan dan
kelemahan. Setelah meniti lapis2 kekurangan dan kelemahan
itu maka dapatlah ia memperbaiki diri untuk berpijak tegak di
atas landasan yang tak salah lagi.
Meniti dan mencari kekurangan serta kesalahan dalam diri,
diperlukan suatu pemikiran dan renungan. Pada hal pikiran itu
maha binal. Pikiran dapat menimbulkan pikiran lain. Dan
pikiran lain itu dapat menimbulkan pikiran lain pula. Bagai
manusia berkembang biak, anak beranak, cucu bercicih, piat
berpiut. Tetapi Dipa tak mau memanjakan pikirannya berkeliaran
dalam hutan belantara yang penuh dengan segala macam
penghuni. Ia membatasi pemikirannya dalam suatu ujung.
Ujung yang bertonggak kepentingan negara dan rakyat.
Segala pemikiran yang berada di samping dan simpang ujung
itu, dilepaskannya. Dengan demikian ia mempunyai landasan
berpijak, tujuan bertindak.
"Tentu engkau mempunyai soal yang penting hendak
engkau haturkan kepadaku, bukan?" tegur baginda di kala
malam itu menerima bekel Dipa menghadap.
Bekel Dipa tak kuasa menahan diri lagi. Ia menghadap
baginda dan mempersembahkan permohonannya. Permohonan itu suatu langkah yang baik tujuannya. Andaikata
baginda tak meluluskan, ia tak memaksa. Ia menganggap
tujuannya itu yang kurang tepat sasarannya. Ataupun tentu
masih mempunyai kekurangan dan kelemahan. Andaikata
baginda murka dan mempersalahkannya, ia akan menerimanya dengan lapang hati. Karena ia merasa akan
berhadapan dengan guru Kesalahan pula yang akan
menunjukkan di mana letak kesalahan itu.
Titah baginda itu segera disambut dengan sembah
seorang prajurit terhadap raja "Hamba mohon ampun sekira
hamba mengganggu ketenangan paduka, gusti"
"Jangan menyebut ketenangan, bekel Dipa" ujar baginda
"ketenangan itu bukan terletak di tempat kita berada atau
keadaan yang kita kenyam, melainkan di dalam hati kita.
Adakah engkau menganggap bahwa aku sudah merasa tenang
di desa yang sepi ini?"
Tersipu-sipu bekel Dipa menghaturkan sembah pu-la
"Setitik pun hamba tak mengandung perasaan demikian, gusti.
Bahkan tujuan hamba menghadap paduka ini, adalah demi
kepentingan itu" "O, katakanlah"
"Sesungguhnya permohonan hamba itu hanya suatu
pengulangan dari apa yang pernah dipersembahkan bekel
Patunjung ke bawah duli paduka"
"O, engkau hendak meninjau ke pura?" cepat baginda
dapat memberi tanggapan. "Demikianlah gusti, permohonan yang hendak hamba
haturkan ke hadapan paduka. Agar paduka berkenan
mengidinkan hamba melakukan tugas penyelidikan ke pura"
Baginda merenung. Dan Dipapun diam dalam penantian.
"Engkau seorang diri?" sesaat kemudian baginda bertanya,
"Demikianlah, gusti. Karena hamba menganggap,
beberapa orang akan mudah menarik perhatian orang2 di
pura. Lebih baik hamba seorang diri"
Baginda mengangguk. "Ya, itu cara yang baik. Tetapi bekel
Dipa, sebelum aku memberi keputusan, jelaskan dahulu
mengapa dan apakah yang menjadi dasar tujuanmu ke pura?"
Lantang dan tegas bekel Dipa mempersembahkan renung
pemikirannya selama beberapa hari. Tentang tanggungjawabnya sebagai prajurit bhayangkara, yang setelah
mengiring baginda bercengkerama, pun harus sanggup pula
mengiring baginda pulang ke keraton
"Bahwa tiada kehadiran paduka di atas tahta singgasana,
akan menggoncangkan sendi2 pemerintahan kerajaan paduka
gusti" "Apa sebab bekel ?" tegur baginda yang diam2 hendak
menjajagi alam pikiran bekel Dipa.
"Ada tiga sebab, gusti" sembah bekel Dipa, "pertama,
kekosongan pemerintahan dari rajanya, akan mengganggu
kelancaran roda pemerintahan. Akibatnya para kawula tentu
bingung seperti anak ayam kehilangan induk. Kedua, akan
mengurangi kewibawaan paduka dalam pandangan mereka.
Kedua hal itu mengakibatkan timbulnya akibat yang ketiga,
kaum pemberontak itu akan makin kuat kedudukannya dan
makin memperoleh kepercayaan dari para kawula"
"Apa masih ada yang keempat, kelima dan selanjutnya?"
tanya baginda pula. "Hanya tinggal satu, gusti. Yalah bagaimana kita harus
bertindak untuk memberantas keadaan2 itu. Dan langkah
pertama dari tindakan itu, kita harus mengetahui keadaan di
pura. A pa yang telah dan sedang terjadi saat ini. Menentukan
rencana dengan dasar pengetahuan, keadaan pura yang telah
kita peroleh, merupakan langkah kelanjutan. Langkah yang
menentukan. Dan mudah mudahan hamba harap sebagai
langkah yang terakhir dalam menyelesaikan peristiwa ini"
Sesungguhnya baginda pun mengandung pemikiran
seperti itu. Namun ia hendak menguji pandangan bekel Dipa.
Ternyata uraian bekel muda itu lebih luas dan menyeluruh.
Diam2 baginda berkenan dalam hati
"Baik, bekel" ujar baginda "tujuanmu cukup beralasan.
Tujuan akan tercapai apabila dilaksanakan dengan rencana
yang baik pula. Rencana yang baik harus disertai sarana dan
cara yang baik pula. Nah, bagaimanakah rencana
pelaksanaannya?" Bekel Dipa sudah siap dengan rencana itu. Ia menyadari
bahwa berhadapan dengan baginda Jayanagara harus dapat
bicara yang tepat, memberi jawaban yang cepat dan
menguraikan penjelasan yang lengkap. Maka sebelum
menghadap iapun sudah mengemasi diri dengan jawaban dan
penjelasan yang lengkap. "Hamba akan menyamar sebagai rakyat biasa dan
memasuki pura pada saat rembang petang. Yang penting,
hamba akan meninjau keadaan para mentri dan senopati2
kerajaan paduka" "Tidakkah hal itu berbahaya pada dirimu" Bukankah para
mentri dan nayaka kerajaan itu akan menangkapmu kalau dia
sudah bersekutu dengan kaum pemberontak" Dan apabila
tidak, sekurang-kurangnya mereka tentu akan gempar
menyambut kedatanganmu" Tidakkah hal itu sama hal dengan
kekuatiran yang engkau jatuhkan pada diri bekel Patunjung?"
"Pura Wilwatikta pada saat ini sedang berada dalam
lingkungan berbahaya. Masuk ke pura, berarti menempuh
bahaya. Soal bahaya, memang setiap saat akan mengintai diri
hamba. Tetapi karena hamba sudah memberanikan diri untuk
menempuh bahaya itu maka langkah hamba pun akan hamba
atur serahasia dan sehati hati mungkin. Hamba kenal baik
dengan paman Asadha, bekel prajurit jaga gapura pura.
Hamba percaya akan kesetyaannya kepada paduka, gusti.
Dengan bantuan paman Asadha, rasanya langkah hamba
tentu berkurang bahayanya"
"O, lalu setelah masuk pura, apakah tindakanmu?" baginda
melanjut tanya. "Hamba akan minta petunjuk pada paman Asadha tentang
langkah untuk menghubungi mentri ataupun gusti senopati
yang menurut wawasan paman Asadha masih tetap setya
kepada paduka" Dalam keterangan itu sesungguhnya bekel Dipa masih
menyelimpatkan suatu hal. Ia berpendapat hal itu masih
belum perlu dihaturkan kepada baginda. Yalah bahwasannya,
di tempat bekel Asadha itu, ia akan dapat bertemu dengan
beberapa warga Gajah Kencana. Dan ia harap dapat berjumpa
dengan paman Anuraga. Apabila brahmana Anuraga masih di
dalam pura, tentu langkahnya itu akan lancar.
"Bekel" tegur baginda pula "bagaimana andai bekel Asadha
itu telah menyeberang ikut kepada pemberontak ?"
Terkejut bekel Dipa menerima pertanyaan itu. Menerangkan dengan sebenarnya berarti akan membuka
rahasia dari kawan2 Gajah Kencana. Syukurlah ia masih dapat
menemukan akal untuk menjawab, "Hamba rasa tak mungkin,
gusti. Paman bekel Asadha telah terikat sumpah bersama
dengan hamba, akan tetap setya pada kerajaan Majapahit.
Apabila terdapat salah seorang yang melanggar sumpah, maka
dia akan dibunuh dan harus rela menyerahkan jiwanya"
"Hai" teriak baginda "adakah hal itu terjadi di kalangan
para bekel2 kerajaan?"
"Entahlah gusti" sembah Dipa "karena sumpah itu hamba
adakan secara peribadi dengan paman Asadha"
"Ah, sungguh suatu hal yang menggirangkan apabila
prakarsa semacam itu dapat merata di kalangan para bekel"
tiba2 baginda kerutkan dahi "tetapi rasanya tak mungkin.
Karena bila hal itu terlaksana merata, tentu tak mungkin akan
timbul huru hara kraman"
"Tetapi hamba akan menjamin diri Asadha"
Melihat kesungguhan sikap bekel Dipa, bagindapun
tergerak hatinya. Selama, dalam perjalanan meninggalkan
pura, baginda mendapat kesempatan untuk memperhatikan
dan mengenal peribadi bekel Dipa. Ia mendapat kesan baik.
"Baiklah bekel Dipa" akhirnya baginda berkenan titah
"kuidinkan engkau berangkat ke pura. Tetapi bukankah
engkau masih setya pada ikrarmu beberapa hari yang lalu ?"
"Sumpah prajurit adalah kehormatannya. Apabila hamba
gagal dalam melaksanakan tugas ini hamba rela menghabisi
nyawa hamba sendiri daripada memberi keterangan kepada
mereka, gusti" Baginda Jayanagara mengangguk.
"Untuk kesetyaanmu itu, bekel, akupun takkan merelakan
engkau menderita kegagalan dalam tugasmu itu" ujar baginda.
Tiba2 sang nata mengambil sebuah benda dari baju "bekel
Dipa, tahukah engkau apa benda ini ?"
Bekel Dipa mengangkat muka memandang benda yang
berada dalam genggam sang nata. Bekel itu terbeliak. Sebuah
benda macam lempengan daripada emas yang memancarkan
cahaya berkilau-kilauan menyilaukan mata. Di tengah keping
emas itu, pandang mata Dipa masih dapat melihat gurat-gurat
seperti sebuah lukisan. Tetapi karena jaraknya cukup jauh, ia
tak dapat melihat apa yang tertera pada lukisan itu.
Tersipu-sipu bekel Dipa menghaturkan sembah "Mohon
diampunkan atas kebodohan Dipa, gusti. Hamba seorang
prajurit rendah, belum pernah hamba melihat benda pusaka
paduka itu" Baginda tertawa, "Jika engkau tak tahu, itu sudah
sewajarnya. Benda ini bukan pusaka, tetapi kesaktian dan
kekuasaannya, jauh melebihi pusaka, bekel"
Bekel Dipa makin terbeliak. Sabda raja itu tak mungkin
salah. Walaupun merasa heran, namun ia percaya akan sabda
sang nata. "Apapun titah paduka, pasti menjadi mahkota
pengabdian hamba" "Benda ini, bekel" titah baginda pula "adalah lencana
kebesaran raja Jayanagara dari kerajaan Wilwatikta. Lambang
kekuasaan yang berlukiskan Mina-dvaya atau sepasang ikan.
Dalam sejarah raja2 sejak Panjalu hingga sampai Majapahit,
hanya dua raja yang memiliki lencana lambang kekuasaan itu.
Pertama adalah eyang prabu Airlangga, pendiri kerajaan
Panjalu. Eyang prabu Airlangga memilih lencana lambang
kekuasaan berlukis Garudamukha. Sedang aku peribadi,
memilih lencana Minadvaya"
"Oh" karena terkejut atas pengetahuan itu sampai mulut
bekel Dipa meluncur desuh.
"Tahukah engkau, bekel, mengapa aku memilih lencana
Minadvaya?" ujar baginda pula.
Bekel Dipa cepat menghaturkan sembah, "Hamba mohon
ampun, gusti" "Eyang prabu Airlangga ingin memperlambangkan diri
sebagai seekor burung Garuda. Burung yang amat sakti
perkasa. Melalang dan menguasai dirgantara sebagai
penguasa dari bumi kerajaan Panjalu yang besar. Batara
Wisynu mengendarai burung Garuda, raja burung yang
berjamang dan dapat bertutur kata sebagai manusia. Eyang
prabu Airlangga dianggap sebagai titisan Hyang Wisynu"
Berhenti sejenak baginda Jayanagara melanjutkan pula
"Dirgantara telah dikuasai oleh prabu Airlangga, kini aku
berganti dengan lambang Minadvaya. Tahukah engkau apa
sebabnya?" Bekel Dipa terlongong pula. Tetapi sebelum longong itu
meningkat pada pesona, bagindapun sudah mendahului
bertitah "Bekel Dipa, entah bagaimana, di kala aku
mengenangkan lambang-lambang kebesaran itu, timbullah


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gairah semangatku. Sebagai doa restu kepadamu, aku
berkenan menceritakan kepadamu tendang makna daripada
lambang kebesaran itu. Semoga kesaktian dari lencana
Minadvaya itu akan memberi berkah bagi usahamu di pura
kerajaan nanti" Kembali bekel Dipa menghaturkan sembah terima kasih
yang khidmat. "Dalam kitab Regvada, batara Wisynu masih disebut
sebagai dewa yang tidak berarti dan belum banyak mendapat
perhatian. Di dalam buku2 Veda yang muda, Wisynu disebut
pula Acyuta, Narayana dan Hari. Menurut kepercayaan
mereka, di dalam musim hujan batara Wisynu tidur di atas
naga besar bernama Cestha. Kendaraannya burung Garuda.
Isterinya dewi Laksmi atau Sri, lambang seri dan kekayaan.
Sebagai pemelihara dunia, batara Wisynu selalu siap sedia
merubah wajahnya. Hal itu dilakukan apabila bahaya
mengancam ketertiban dunia. Wujut atau wajah yang diambil
oleh batara itu, mula2 tak terbatas banyaknya. Tetapi
kemudian hanya tinggal sepuluh atau yang disebut sepuluh
Avatara. MATSYA VATARA, Wisynu dalam bentuk penjelmaan
sebagai matsya atau ikan yang besar. KARMA-VATARA,
sebagai Kurma atau kura2 raksasa. VA RA-HAVVlARA, sebagai
Varaha atau babi hutan. MARASIM HAVATARA, sebagai Singa
berbadan manusia. VAMANAVATARA, sebagai Vamana atau
orang kerdil. PARASURAMAVATARA, sebagai Rama yang
bersenjata parasu atau kapak. RAMAVATARA, sebagai Rama.
KRESHNAVATARA, sebagai Kreshna. BUDDHA-VATARA;
sebagai batara Buddha. Dan KALKIAVA-TARA, penjelmaan ini
masih harus terjadi. Kalau Kaliyuda sudah habis, dunia sudah
kiamat, maka Wisynu akan turun sebagai Kaiki, membunuh
semua orang yang biadab, memperbaiki dharma dan
membangun kala baru yang bahagia.
"Itulah sebabnya maka aku menggunakan lambang Matsa,
salah satu dari bentuk penjelmaan Hyang Wisynu, untuk
memerintah Majapahit"
Setelah sctesai bercerita maka baginda segera
menyerahkan lencana itu kepada bekel Dipa "Bekel, terimalah
lencana ini sebagai restu kepercayaanku kepadamu. Apabila
engkau berhadapan dengan mentri, senopati, nayaka dan
narapraja kerajaan, tunjukkanlah lencana ini. Mereka tentu
akan tunduk kepada perintahmu. Berundinglah dengan
mereka untuk menumpas kaum pemberontak itu"
Dengan luap airmata keharuan, bekel Dipa menerima
anugerah yang tak terperikan itu. Gemetar keras tubuh bekel
muda itu. Tak pernah setitik pun dalam sepanjang hidupnya,
ia bakal menghadapi peristiwa besar seperti saat itu dengan
penyerahan seluruh jiwa raganya.
Keesokan harinya, berangkatlah bekel Dipa menuju ke
pura Wilwatikta. Perjalanan itu dirasakan jauh lebih berat
daripada perjalanan mengiring baginda lolos dari keraton.
Pada dirinya, kini baginda meletakkan kepercayaan untuk
melakukan suatu tugas yang maha berat.
Ia tak tahu apakah tugas yang dititahkan baginda itu
dapat ia laksanakan dengan berhasil. Namun langkah telah
diayun. Baginya tiada jalan kembali lagi. Berhasil atau mati.
Berpaling ke timur, Batara Surya memancarkan sinar yang
gilang-gemilang. Seolah ikut mengantar dan merestuinya.
0o-dw-o0 KE JILID 31 convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
MANGGALA MAJAPAHIT Gajah Kencana Oleh : S. Djatilaksana (SD. Liong)
Sumber DJVU : Koleksi Ismoyo
http://cersilindonesia.wordpress.com/
Convert, Edit & Ebook : MCH & Dewi KZ
http://kangzusi.com/ JILID 31 I SENGATAN surya senjakala masih menguam kehangatan
pada jalan2, lorong2 dan genteng2 rumah yang bertebaran
memenuhi pura Wilwatikta. Cakrawalapun masih seriah.
Serpih sinar surya terbenam masih berkemas2.
Namun suasana dalam pura kerajaan sudah mulai lengang.
Kehidupan mulai kelam. Kemeriahan malam dalam pura
kerajaan hampir pudar. Sejak timbul peristiwa huru-hara beberapa hari yang lalu,
para kawula masih dicengkam kecemasan. Kecemasan dari
perasaan yang tiada menentu. Gelap akan keadaan yang
sebenarnya dan yang akan terjadi. Akan kemungkinan yang
mungkin dan tak mungkin. Keadaan itulah yang menyebabkan kehidupan malam di
pura kerajaan kehilangan gairah. Kecemasan bertebar,
kegelisahan mengembang. Malam tiba, malam pula hati para kawula.
Huru hara pada malam itu telah bubar. Rakyat yang ikut
dalam peristiwa itupun sudah diperintahkan pulang. Ra Kuti
sebagai kepala Dharmaputera telah menghadap ke istana,
memberi laporan kepada Sapta Prabu atau Dewan Mahkota.
Tentang lenyapnya patih Aluyuda karena diserbu rakyat dan
lolosnya baginda Jayanagara dari keraton.
Dewan Mahkota telah merestukan kepercayaan dan
kekuasaan penuh kepada ra Kuti untuk menyelesaikan
peristiwa itu. Ra Kuti pun segera mengambil langkah pula untuk
memanggil Panca ri Wilwatikta atau lima mentri utama dari
kerajaan yakni patih Aluyuda, demung Samaya, kanuruhan
Anekakan, rangga Jalu dan tumenggung Nala. Oleh karena
patih Aluyuda menghilang tiada beritanya, maka hanya
keempat mentri itu yang hadir.
Ada suatu keanehan yang menghuni dalam benak keempat
mentri itu. Dalam rapat itu rakryan Kuti tak menyinggung
pertanyaan mengapa dalam peristiwa huru-hara semalam
mereka berempat tiada muncul untuk mengatasi keadaan dan
melindungi baginda. Pada hal jelas keempat mentri itu masing2 mengalami
peristiwa. Malam itu demung Samaya telah menerima
kunjungan rakryan Semi yang hendak meminta keterangan
tentang tindakan demung Samaya memerintahkan sekelompok
prajurit untuk mencarinya.
"Bila ki demung hendak merangkap aku sekarang Semi
sudah menghadap" Demung Samaya tertegun. Ucapan ra Semi itu
menimbulkan rasa kejut yang amat tiba2 sekali. Bagaikan
letupan halilintar yang menerbangkan semangat dan
menyerap daya kesadaran. "Tidak, rakryan Semi!" serentak menghamburlah kata2
sederas percikan menumpah dari air terjun. Suara demung
Samaya bergetar keras "sama sekali aku tidak memerintahkan
prajurit itu!" Merah wajah ra Semi karena tebaran darah yang
menggelorakan kejut. Namun dia seorang yang tenang dan
cepat2 dapat menghadapi sesuatu. "Ki demung, bukankah
tuan memegang kekuasaan atas seluruh tentara Majapahit.
Adakah sebuah kelompok prajurit dapat bergerak sendiri tanpa
perintah tuan?" Ditatapnya wajah demung Samaya dengan pandang
menyelidik dan menuntut jawab.
"Rakryan" rupanya demung Samaya tahu akan curahan
pandang tetamunya "Samaya seorang tua, seorang demung
yang ditaati berlaksa prajurit Majapahit, seorang sahabat tuan.
Adakah dalam persoalan yang segawat itu, aku harus
berbohong kepada tuan" Bila memang baginda menitahkan
demikian, bukankah dengan secara terang terangan akan
kulakukan perintah itu" Mengapa aku harus menyangkal
apabila hal itu memang benar?"
Kilatan sinar mata rakryan Semi dengan tajam dapat
meneropong hati tuan rumah. Ia mendapat kesan bahwa
demung Samaya memang bersungguh memberi keterangan.
Hal itu bahkan menimbulkan kegoncangan dalam hatinya.
Jelas bahwa dalam peristiwa kelompok prajurit yang hendak
menangkap dirinya itu, terselip tangan kotor yang digerakkan
oleh manusia licik. "Ki demung, terima kasih atas pernyataan tuan. Kiranya
apabila tuan berada pada kedudukanku, tentulah tuan akan
bertindak seperti yang kulakukan ini, bukan?" katanya.
Demung Samaya mengiakan, "Benar, rakryan, apabila tak
salah, penangkapan atas diri narapraja yang berpangkat
mentri, hanya dikeluarkan oleh. baginda. Apabila rakryan
adalah anggauta Dharmaputera. Adakah rakryan Kuti tidak
bertanyakan juga hal itu kepada kepala kelompok prajurit itu?"
Ra Semi agak tertegun. Memang hal itu tak pernah
terpikirkan untuk bertanya kepada rakryan Kuti. Tetapi ia
percaya bahwa rakryan Kuti adalah seorang tokoh yang
cermat dan cerdik. Persoalan itu tentu sudah melalui ujiannya
yang teliti. "Rasanya rakryan Kuti tentu sudah memeriksanya. Tetapi
aku lupa untuk menanyakan hal itu" tiba2 ra Semi hentikan
kata-katanya. Ia teringat sesuatu, "ki demung, ada sebuah hal
lagi yang ingin kutanyakan kepada tuan"
"O, silahkan" "Adakah prajurit2 kademungan itu tiada yang cacat
telinganya?" tanya ra Semi.
Demung Samaya tercengang. Suatu pertanyaan yang
bukan saja aneh tetapi menyimpang dari kewajaran. "Kurasa
mereka rata2 mempunyai daun telinga yang lengkap"
"Dulu" tukas ra Semi "adakah sekarang masih demikian"
Demung Samaya tak dapat menahan keheranan yang
makin meningkat. "Mengapa rakryan bertanya soal itu?"
"Dari hal itu, dapat diketahui prajurit mana yang hendak
menangkap diriku itu"
"O, adakah prajurit2 yang menuju ke tempat kediaman
rakryan Kuti itu cacat daun telinganya?"
Ra Semi mengangguk "Benar, ki demung"
Sejenak merenung, demung Samaya mengangguk.
"Baiklah, rakryan. Mari kita periksa mereka. Apabila di antara
mereka terdapat prajurit2 yang berani melakukan tindakan itu
tanpa sepengetahuanku, tentu akan kuhukum seberat
beratnya" Demung Saruaya segera menitahkan supaya semua
prajurit, pengalasan dan para abdi kademungan ke luar
berjajar di halaman. "Rakryan, mari kita periksa" demung Samaya mempersiiahkan tetamu. Hasil dari pemeriksaan itu ternyata
tiada seorangpun dari orang2 kademungan yang kehilangan
daun telinganya. Ra Semi minta maaf. Mereka melanjutkan percakapan pula
mengenai peristiwa pasukan yang hendak menangkap ra Semi
itu. Dengan terus terang ra Semi pun menceritakan tentang
tindakan ra Kuti yang menyergap kawanan prajurit itu lalu
memotong sebelah daun telinga.
Demung Samaya memuji tindakan ra Kuti. "Memang
dengan tindakan itu dapatlah kiranya rakryan Kuti dan tuan
untuk meneliti jejak mereka."
Kemudian percakapan beralih untuk menelusuri jejak
orang yang cenderung untuk diduga, menyuruh kawanan
prajurit untuk menangkap ra Semi. Demung Samaya terlalu
hati2 sekali untuk mengutarakan pendapat. Ia tak berani
menduga dengan pasti. Demikian pula, iapun berusaha untuk
menghindarkan diri agar jangan terlibat dalam peristiwi itu.
Sebagai seorang demung yang diserahi tugas untuk mengurus
soal2 keprajuritan, dia hanya bertindak menurut apa yang
dititahkan baginda atau dari kerajaan. Walaupun tahu bahwa
Dharmaputera itu merupakan orang2 kepercayaan dari
baginda, besar pengaruh dan kekuasaannya, namun ia tetap
menempatkan diri di luar dari golongan2 yang saling
bertentangan. Sukar bagi ra Semi untuk menggali keterangan dari mulut
demung Samaya. Sesukar itu pula ia hendak memperoleh
dukungan dari demung itu. Bahkan ketika ia hendak
memancing pendapat adakah demung itu mengetahui bahwa
ia ikut dalam rombongan mahapatih Nambi ke Lumajang, pun
gagal. Demung itu secara mclinglar memberi jawaban bahwa
ia hanya seorang mentri ketentaraan. Tugasnya hanya
mengurus prajurit sebagai alat negara. Setiap hal yang tak
dititahkan oleh baginda ataupun dari mentri yang
berwewenang, ia tak mau bertindak.
Diam2 ra Semi mengeluh dalam hati. Keluh yang
mengandung rasa mengkal tetapi pun puji. Mengkal karena ki
demung Samaya tak mau memberi dukungan tetapi memuji
bahwa demung itu seorang yang memiliki sifat seorang
prajurit. Prajurit yang hanya tunduk pada perintah atasan dan
kepentingan negara. Baginya soal ketata-prajaan bukan
menjadi bidang tugasnya karena sudah diurus oleh mentri
yang berwewenang. "Sebelum ra Semi meninggalkan kediamanku, datanglah
sebuah satuan bhayangkara yang terdiri dari beberapa orang.
Mengundang aku supaya segera menghadap baginda. Akupun
segera bergegas mengikuti mereka. Tetapi di tengah jalan,
secara tak terduga-duga, mereka telah menyergap dan
memukul aku sehingga pingsan. Apa yang terjadi selanjutnya,
tidak kuketahui. Aku ditempatkan di sebuah ruang yang tak
kuketahui letaknya. Dan baru hari ini, aku diiring sekelompok
prajurit ke balai Manguntur" demikian demung Samaya
mengakhiri keterangannya, ketika ra Kuti mempersilahkan ia
bicara "Ki demung" kata rakryan Kuti "sekarang kesemuanya
telah jelas. Yang mengirim kelompok prajurit untuk
menangkap ra Semi, bukan lain adalah patih Aluyuda"
Demung Samaya menyalang mata.
"Ra Semi telah mendapatkan bukti bahwa di tempat
kediaman patih Aluyuda terdapat beberapa prajurit penjaga
yang hilang sebelah telinganya. Karena rahasia telah
diketahui, patih Aluyuda nekad. Ia hendak menangkap ra Semi


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tetapi untunglah ra Semi dapat meloloskan diri. Kemudian ia
menyangka bahwa tuanlah yang membocorkan rahasia itu
kepada ra Semi. Maka dia pun segera mengirim prajurit untuk
pura2 mengundang tuan ke istana tetapi di tengah jalan
menahan tuan" Demung Samaya terkesiap. Namun tak mau ia cepat2
percaya. "Rakryan Kuti, bagaimana tuan tahu hal itu dilakukan
oleh patih Aluyuda?"
"Dalam huru-hara itu, rakyat menyerbu kepatihan. Mereka
marah sekali kepada patih Aluyuda"
"Lalu siapa yang menggerakkan huru-hara itu?" cepat
demung Samaya melontar pertanyaan.
"Beberapa hari sebelum timbul huru-hara, memang di
kalangan rakyat telah tersiar suatu berita bahwa patih A luyuda
hendak merebut kedudukan mahapatih Nambi. Dan bahwa
mahapatih Nambi itu sesungguhnya tiada berniat hendak
memberontak tetapi telah difitnah oleh Aluyuda. Harus diakui
bahwa sudah belasan tahun rakryan Nambi menjadi
mahapatih Majapahit. Betapapun rakryan Nambi itu seorang
mentri tua yang setya Pengabdiannya kepada kerajaan dimulai
sejak rahyang ramuhun Kertarajasa berjuang mendirikan
kerajaan Majapahit sampai pada baginda Jayanagara. Jasajasanya tak mungkin dilupakan rakyat. Rakyat tetap
mengenang dan menyayangi"
"Siapakah yang menghasut rakyat supaya mengadakan
huru-hara itu?" tanya demung Samaya pula.
"Ki demung" jawab ra Kuti, "walaupun tuan sebagai mentri
yang mengepalai bidang ketentaraan, namun kupercaya tuan
tentu mengetahui adanya golongan2 yang saling berebut
kekuasaan di pura kerajaaan. Ada dua golongan yang harus
diduga paling keras. Pertama, golongan yang menamakan diri
sebagai Wukir Polaman. Mereka adalah orang2 Daha yang
hendak membalas sakit hati kepada Majapahit. Mereka
berusaha untuk mengacau kerajaan, mengadu domba,
memfitnah dan lain2 siasat. Golongan kedua, yang menyebut
dirinya sebagai Gajah Kencana. Mereka adalah putera2 dari
bekas kadehan raden Wijaya dan mentri2 baginda Kertarajasa.
Mereka mencanangkan tujuannya sebagai pejuang yang
hendak melindungi tegaknya kerajaan Majapahit"
"Jika gerombolan Wukir Polaman, itu mungkin. Karena
sesuai dengan tujuannya, mereka hendak mengacau dan
merobohkan kerajaan. Tetapi bagaimana gerombolan Gajah
Kencana yang hendak melindungi kerajaan dari setiap
gangguan, mungkin diduga menggerakkan huru hara itu,
rakryan?" tanya demung Samaya.
"Kemungkinan itu mungkin terjadi, ki demung" kata ra Kuti
"kita mendengar bahwa ada suatu himpunan bernama Gajah
Kencana yang membayangi kerajaan. Tetapi tak pernah
seorang yang tahu dan melihat siapakah warga Gajah Kencana
itu. Lebih tak pernah tahu pula, siapakah pemimpin mereka.
Gajah Kencana merupakan sebuah himpunan rahasia,
bergerak secara rahasia dan bertindak secara rahasia pula.
Sudah barang tentu mereka pun mengetahui sepak terjang
patih Aluyuda dan peristiwa yang sebenarnya di Lumajang"
Demung Samaya mengangguk-angguk "Benar, tetapi
mengapa mereka baru bergerak sekarang dan tidak dua tahun
yang lalu setelah belum lama peristiwa Lumajang itu selesai?"
"Tentang hal itu, lebih dahulu kita harus menilai Gajah
Kencana itu. Bahwa sebuah himpunan yang dapat bergerak
selama bertahun-tahun tanpa dapat diketahui siapa mereka
itu, menunjukkan bahwa pimpinan mereka itu tentu orang
yang cerdik dan cermat sekali. Mereka belum bertindak
apabila belum yakin akan kebenaran suatu hal. Mungkin
mereka belum mempunyai bukti2 yang meyakinkan tentang
perbuatan patih Aluyuda terhadap mahapatih Nambi. Dan
kiranya ki demung pasti mengetahui bahwa patih Aluyuda
itupun seorang yang cerdik dan licin"
Ra Kuti berhenti sejenak untuk mengambil napas, lalu
melanjutkan pula "Adalah karena sudah memperoleh bukti dan
melihat makin meningkatkan kegiatan patih Aluyuda untuk
menguasai bertindak" pemerintahan maka Gajah Kencana segera "Dapatkah tuan memberi gambaran barang satu dua buah
hal yang menyatakan bahwa Gajah Kencana bertindak karena
melihat patih Aluyuda makin membahayakan?"
"O, adakah ki demung belum merasakan hal itu?" ra Kuti
balas bertanya. "Mohon rakryan memberi petunjuk"
"Patih Aluyuda telah mengirim prajurit mengundang tuan
ke istana tetapi kemudian di tengah jalan tuan lalu ditangkap!"
"Rakryan," teriak demung Samaya membelalak kejut.
"Sudah kuduga bahwa ki demung tentu tak percaya
keteranganku itu" kata ra Kuti, "tetapi bukti menyatakan
bahwa memang demikianlah keadaannya. Setelah mendengar
timbulnya huru hara aku segera bertindak. Pertama, kukirim
orang untuk menghubungi ki demung agar tuan segera
mengambil langkah yang perlu. Tetapi pengalasan yang
kukirim itu tak kunjung kembali. Terpaksa aku bertindak
sendiri. Tiba di kademungan, kademungan telah dijaga oleh
kaum perusuh. Dan menurut keterangan, ki demung
dititahkan menghadap ke istana ...."
Ra Kuti berhenti sejenak untuk mengulangkan napas
sekalian menyempatkan pandang menyelidik kesan pada
wajah demung Samaya. "Segera aku menuju ke istana. Tetapi jalan2 telah penuh
sesak dengan kaum perusuh sehingga untuk menyelamatkan
diri terpaksa aku tak melanjutkan ke istana. Aku terus
langsung menuju ke markas prajurit tetapi di situpun telah
dijaga ketat oleh kaum perusuh yang bersenjata lengkap.
Secara diam2 aku mencari keterangan. Hasilnya baru
kuketahui bahwa selama tiada perintah dari ki demung
Samaya, seluruh pasukan tak boleh mengadakan gerakan
apa2" "Hai!" demung Samaya berteriak kejut "siapakah yang
memberi perintah itu?"
Jawab ra Kuti tenang "Ki demung, janganlah tuan heran
akan hal itu. Rencana huru hara yang mengandung tujuan
besar itu tentu digerakkan oleh pimpinan yang hebat.
Janganlah tuan tumenggung merasa heran apabila mereka
menculik tuan dan melumpuhkan tenaga, bukanlah Suatu hal
yang mustahil. Dapat saja mereka menciptakan prajurit2
utusan tuan untuk menyampaikan perintah kepada anak
pasukan." "Siapakah orang itu, rakryan?" akhirnya tak kuasa lagi
demung Samaya ingin mengetahui.
"Aluyuda!" "Tetapi bukankah kepatihan juga diserbu kaum perusuh"
Bukankah tuan tadi menyebut-nyebut Wukir Polaman dan
Gajah Kencana sebagai mereka yang kemungkinan besar
menjadi penggerak huru hara itu?"
"Benar" sahut ra Kuti "tetapi ki demung harus tahu
siapakah Aluyuda itu. Harus kita akui bahwa dia adalah
manusia yang paling cerdik dan licin di Majapahit. Apabila
Wukir Polaman atau Gajah Kencana terlibat dalam peristiwa
huru-hara itu, tentulah mereka telah terpancing dalam siasat
Aluyuda" "Rakryan," kata demung Samaya mengernyit dahi "Samaya
benar2 tak mengerti apa yang tuan memberi penjelasan."
"Begini, ki demung" kata ra Kuti "menilik jalannya
peristiwa, penilaianku adalah agak lain. Menurut penelitianku,
Aluyuda sendirilah yang sengaja menyebar desas desus
tentang peristiwa mahapatih Nambi difitnah oleh patih
Aluyuda. Tentang kegiatan Aluyuda untuk merebut kekuasaan
di pucuk pemerintahan. Ia telah memperhitungkan bahwa
Wukir Polaman tentu akan mendukung suatu gerakan huruhara. Kebalikannya Gajah Kencana tentu akan menentang.
Kedua duanya telah dipancirg untuk bergerak, mengerahkan
rakyat untuk mengadakan huru-hara. Setelah timbul huruhara, dia akan menggunakan kesempatan untuk menculik dan
membunuh mentri2 dan senopati yang menentang kepadanya,
antara lain Dharmaputera. Agar gerakan itu lancar, maka dia
menggunakan perintah tuan untuk menindas tentara supaya
tidak bergerak." "Tetapi bukankah dia sendiri juga menjadi korban serbuan
kaum perusuh?" tanya demung Samaya.
"Sepandai pandai tupai melompat, sesekali jatuh juga"
kata ra Kuti "memang rapi dan licin sekali Aluyuda mengatur
siasatnya. Tetapi dia lupa memperhitungkan kekuatan
Dharmaputera. Aku dan ra Semi segera bertindak,
mengalihkan kemarahan kaum perusuh kepada Aluyuda.
Gedung kepatihan telah diserbu tetapi dia masih berhasil
meloloskan diri. Tetapi Gajah Kencana memang hebat sekali.
Mereka pun seirama dengan langkah kami. Sebelum
anakbuahku tiba, gedung kepatihan sudah diserbu dan diobrak
abrik. Untung aku masih menolong ki demung dari tahanan
dalam kepatihan" Demung Samaya mendesuh penuh bermacam perasaan.
Ia tak menyangka bahwa ibarat api dalam sekam akhirnya
keadaan tegang dalam pura kerajaan itu, meletus juga. Dan
yang paling menusuk perasaan demung itu adalah dalam
peristiwa besar yang menggoncangkan kerajaan, dia telah
dijadikan tawanan sehingga tak dapat berbuat apa2. Rasa
malu menebar dalam kalbu demung Samaya dan rasa itu
kemudian mengemelutkan bara kemarahan. Wajah demung
itu merah padam. Kemudian ra Kuti beralih kepada kanuruhan Anekakan,
rangga Jalu dan tumenggung Nala. "Kiranya tuan2 tentu juga
mengalami hal2 yang luar biasa pada malam itu, bukan?"
Ketiga pembesar tinggi dari kerajaan Majapahit hampir
menderita pergalaman yang sama. Pertama, turunnya titah
dari baginda melalui ra Kuti, bahwa pada malam itu semua
mentri diharuskan berdiam dalam rumah untuk bersemedhi
memanjatkan doa kepada Hyang Widdhi agar kerajaan
Majapahit terhindar dari malapetaka yang ditandai pada
kemunculan bintang berekor.
Kedua kali, datangnya pengalasan dari istana yang
membawa antaran nira dan buah-buahan. Baginda berkenan
menghadiahkan minuman itu untuk menghibur para mentri
agar malam itu benar2 dapat berjaga sampai pagi. Agar
pemanjatan doa mereka dapat diterima oleh Hyang Widdhi.
Ketiga kali, datanglah sekawan prajurit bersenjata lengkap
untuk menjaga tempat kediaman mereka.
"Selanjutnya apa lagi?" tegur ra Kuti demi ketiga mentri itu
hentikan keterangannya. "Selanjutnya aku tak ingat apa2 lagi dan baru terjaga pada
keesokan harinya" kata kanuruhan Anekakan.
"Mengapa?" ra Kuti terbeliak.
"Karena aku tertidur nyenyak sekali"
"Tertidur" Bukankah tuan dititahkan untuk berjaga
semalam suntuk agar memanjatkan doa keselamatan kepada
Hyang Widdhi ?" "Ah" kanuruhan Anekakan menghela napas dan tersipusipu merah wajahnya.
"Mengapa?" ra Kuti makin heran.
"Aku merasa bangga dan gembira sekali karena baginda
telah berkenan mengirim minuman itu. Maka untuk
menghormat kemurahan baginda, segera kuminum nira itu.
Ah, nikmat sekali, sehingga tak terasa kuminum sampai habis.
Setelah itu akupun segera masuk ke dalam ruang semedhi.
Sebelumnya, telah kupesan kepada isteri dan seluruh isi
rumah, tak boleh mengganggu persemedhianku"
"O, kutahu" seru ra Kuti "tuan tentu tertidur dalam ruang
semedhi itu karena meminum nira itu"
"Ya" "Tahukah tuan apa sebabnya?"
"Nira itu tentu mengandung daya yang keras"
"Benar" seru ra Kuti, "memang mengandung daya keras
untuk menidurkan orang"
"Hai!" kanuruhan Anekakan berteriak kejut.
Ra Kuti tertawa, "Jangan ki kanuruhan terkejut apabila nira
itu memang mengandung ramuan penidur"
"Tetapi" teriak kanuruhan Anekakan "minuman itu dari
istana. Masakan baginda bermaksud hendak mencelakai diri
kami?" "Sama sekali tidak" sahut ra Kuti "baginda menitahkan
tuan2 supaya berjaga, bukan menitahkan tidur"
Kanuruhan Anekakan kerutkan dahi "Rakryan Kuti, ucapan
tuan janggal sekali .... eh, apakah tuan maksudkan bahwa
antara nira itu bukan dari istana?"
Ra Kuti tersenyum "Yang mengatakan begitu adalah orang
pengalasan itu. Tetapi janganlah ki kanuruhan percaya. Jelas
barang itu bukan dari baginda"
"Bagaimana rakryan dapat mengatakan demikian" Dan
siapakah yang mengantar minuman itu?" seru kanuruhan
Anekakan pula. "Selama tuan menjabat kanuruhan, pernahkah baginda
berkenan mengirim barang minuman semacam itu kepada
tuan?" "Tidak" sejenak tertegun, kanuruhan Anekakan menyahut.
"Mengapa pada malam itu baginda harus mengirimkan
minuman kepada tuan" Bukankah bersemedhi memanjatkan
doa kepada Hyang Widdhi itu orang harus sesuci, mandi
keramas, membersihkan tubuh dan batin" Tidakkah tuan
menyadari bahwa suatu hal yang luar biasa kalau tak dapat
dikata suatu keganjilan apabila keraton mengirim minuman
itu?" Kanuruhan Anekakan terdiam.
"Ah" tiba2 terdengar suara helaan napas dalam dan
panjang. Ketika ra Kuti berpaling ternyata wajah kedua mentri,
rangga Jalu dan tumenggung Nala, tersipu-sipu merah.
"Ki rangga Jalu dan ki tumenggung Nala, mengapa tuan
tuan menghela napas?"
"Rakryan" kata kedua mentri itu serempak, "kami merasa
malu hati karena apa yang dialami kakang kanuruhan
Anekakan, pun kami alami juga."
Ra Kuti tersenyum, "Ah, janganlah ki rangga dan ki
tumenggung mengandung perasaan demikian. Karena
memang orang yang melakukan siasat itu, adalah manusia


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang paling julig di Majapahit"
"Aluyuda ?" "Ya" jawab, ra Kuti "dia yang paling besar
kemungkinannya. Kemungkinan lain, orang-orang Wukir
Polaman, Gajah Kencana dan golongan2 yang tak menyukai
baginda" "Demikian pula dengan ki kanuruhan" berkata ra Kuti
kepada Kanuruhan Anekakan "karena tuan bertiga ini
dianggap mentri yang mempunyai kekuasaan besar untuk
menentang rencana mereka"
"Dimanakah patih Aluyuda saat ini?" tanya kanuruhan
Anekakan. "Dia menghilang ketika malam itu gedung kepatihan
diserbu kaum perusuh. Sehingga sampai saat ini belum juga
dia menampakkan diri"
"O, kemungkinan dia hendak menunggu apabila baginda
kembali ke pura pula" tiba2 rangga Jalu mengemukakan
pendapat Tiba-tiba wijah rakryan Kuti yang sejak pada awal
pertemuan tampak cerah, saat itu berkabut gelap " "Tuantuan" katanya dengan suara sarat pula "memang apa yang
dikatakan ki rangga tadi benar. Kemungkinan patih Aluyuda
akan muncul pada saat baginda kembali ke pura."
Berhenti sejenak, kepala Dharmaputera itu berkata pula
"Tetapi apabila hal itu terjadi, tuan2 tentu akan menjadi
korban!" Kanuruhan Anekakan, rangga Jalu dan tumenggung Nala
terbeliak. "Aluyuda tentu akan mengadu kepada baginda bahwa
tuan-tuan melalaikan kewajiban. Mungkin juga dia akan
memfitnah tuan-tuan berfihak kepada kaum perusuh atau
yang lebih berat lagi, tuan2 dituduh bersekutu dengan
mereka" "Tidak!" teriak rangga Jalu.
"Di antara Panca ri Wilwatikta, hanya patih Aluyuda
seorang yang diserbu kaum perusuh. Sedangkan yang empat
orang, bebas tak kurang suatu apa dan tak bertindak menurut
tugas masing2. Dapatkah tuan2 mengira bahwa alasan yang
tuan kemukakan itu akan dapat diterima baginda" Bahwa
tuan2 telah menerima kiriman minuman dari istana, bahwa
tuan2 tertidur, itu dapat tuan kemukakan ke hadapan baginda.
Tetapi baginda tentu hanya melihat kenyataan bahwa
kanuruhan Anekakan, demung Samaya, rangga Jalu dan
tumenggung Nala, tak menampakkan diri dalam huru hara itu.
Dapatkah tuan2 mengira bahwa baginda akan mau memberi
ampun kepada tuan2?"
Sebagai warna pelangi yang memancar di cakrawala,
demikianlah warna cahaya wajah keempat mentri utama dari
Majapahit pada saat itu. "Jika patih Aluyuda benar2 berbuat seperti itu, demung
Samaya akan mengadu jiwa dengan dia!" serempak
meluncurlah pernyataan dari mulut demung Samaya.
"Kerajaan Majapahit akan kehilangan lagi seorang
kanuruhan dan seorang patih!" seru kanuruhan Anekakan
menanggapi. "Daripada dianggap penghianat, biarlah rangga Jalu mati
bersama Aluyuda!" Tumenggung Nala tak melainkan menghela napas.
memberi pernyataan apa2 "Mengapa ki tumenggung menghela napas ?" tegur ra
Kuti. "Aku memang telah mengalami peristiwa yang tak
terduga-duga. Dan peristiwa itu
memang sengaja direncanakan orang. Apabila baginda menganggap aku
bersalah dan wajib dihukum, akupun akan menerimanya
dengan lapang hati. Tetapi bilamana Batara Agung
mengetahui bahwa aku telah bekerja dengan jujur, bahwa aku
telah mengabdi kepada kerajaan dengan seluruh jiwa ragaku"
"Ki tumenggung hendak paserah nasib?"
"Bukan demikian, rakryan" sahut tumenggung Nala "yang
kumaksudkan, kita harus berpijak pada landasan kejujuran.
Apabila dengan landasan itu masih harus menerima hukuman,
bukan kita yang harus merasa hina tetapi mereka yang
menghukum itulah yang harus malu hati"
"Kejujuran memang sifat yang utama. Tetapi orang yang
bijaksana harus mengetahui saat dan tempat untuk
menempatkan kejujuran itu. Kejujuran yang di tempatkan
pada kalangan yang salah, akan menyerupai seekor domba
tak berdosa di antara sekawan serigala buas"
"Kejujuran itu merupakan cermin daripada Kesucian batin.
Bima yang jujur, mentaati perintah gurunya, pandita Drona,
untuk mencari 'sarang angin' di pusar laut. Karena
kejujurannya yang teguh, akhirnya Bima bertemu pula dengan
gurunya sang Dewa Ruci. Segala kejahatan dan keculasan
memang akan menang pada tingkat awal. Tetapi sebagaimana
air keruh tentu akan mengendap, demikian pula dengan
kejujuran. Pada akhirnya Kejujuranlah yang menang."
"Ah" ra Kuti mendesuh "alangkah bahagianya patih
Aluyuda itu karena mendapat lawan yang sejujur ki
tumenggung" "Rakryan" sanggah tumenggung Nala "marilah kita
saksikan. Bagaimanakah keakbaran dari peristiwa yang kita
hadapi ini. Rasanya, fihak yang menjunjung kejujuran itulah
yang akan direstui Batara Agung"
Sejenak mengernyit kening, ra Kuti berkata pula, "Baiklah,
ki tumenggung. Jika ki tumenggung memang berpendirian
demikian, akupun tak dapat memaksa tuan. Tetapi cobalah ki
tumenggung menjawab pertanyaanku ini. Bagaimanakah sikap
ki tumenggung terhadap diri baginda yang meloloikan diri dari
pura ?" Tumenggung Nala merenung sejenak lalu menyahut,
"Keadaan pada waktu itu masih gelap bagiku. Mungkin, karena
terpencil dan dikepung kaum perusuh, demi menyelamatkan
jiwa maka baginda lalu lolos dari pura. Sebelum berhadapan
dengan baginda, sukarlah untuk menentukan sikap kita.
Menurut pendapatku, bukan penentuan sikap terhadap
baginda yang diperlukan saat ini, melainkan yang penting kita
harus mencari di manakah baginda saat ini agar kita dapat
mengiringkan baginda pulang ke pura."
"Hm, tuan memang seorang tumenggung yang setya.
Itulah sebabnya maka baru2 ini baginda berkenan
mengangkat tuan sebagai patih amancanagara"
"Ah, bukan soal pengangkatan kedudukan yang
kuutamakan, rakryan" sahut tumenggung Nala "melainkan
pengabdian. Tidaklah akan berkurang ataupun berkelebihan
pengabdianku sebagai seorang tumenggung maupun sebagai
penjabat patih amancanagara. Bahkan suatu pengangkatan ke
arah kedudukan yang terselubung tanggungjawab yang lebih
besar." Ra Kuti melepas sebuah kilatan sorot mata yang tajam ke
arah tumenggung itu. Seolah suatu pancaran kilat yang
menyambar dan ingin menghanguskan tubuh tumenggung itu.
Namun secepat kilat merekah dan lenyap, demikianpun sorot
mata kepala Dharnaaputera itu. Pada lain saat, padamlah
kilatan sinar mata ra Kuti.
"Ki demung Samaya, kanuruhan Anekakan, rangga Jalu
dan tumenggung Nala" kata ra Kuti dalam nada sarat, "huru
hara telah sirap tetapi ibarat air yang keruh, masih belum
tampak ikannya, demikian pula keadaan yang kita hadapi saat
ini. Kita masih belum dapat mengetahui siapakah biangkeladi
dari huru hara ini" Keempat mentri utama yang tergolong sebagai Panca dari
Wiiwatikta, serempak mengangguk.
"Tuan2" kata ra Kuti pula "ada tiga hal yang hendak
kusampaikan dalam pertemuan ini. Pertama, Sapta Prabu
telah menyerahkan kepercayaan dan kekuasaan kepada
Dharmaputera Kuti untuk menanggulangi dan menyelesaikan
peristiwa huru hara ini. Kekuasaan kerajaan sepenuhnya
berada di tangan Kuti"
Kepala Dharmaputera itu berhenti sejenak untuk
menyelidik kesan dari tanggapan kerut wajah keempat mentri
utama itu. Dari ketiga mentri yang menyerahkan kepaserahan
dan ketaatan pada kerut Wajah mereka, hanya tumenggung
Nala seorang yang tampak mengernyit dahi.
"Yang kedua" lanjut ra Kuti "kita harus berusaha untuk
mendapatkan baginda dan mengiringkannya kembali ke pura.
Karena kerajaan tak boleh sehari pun tiada beraja. Dan yang
ketiga, kita harus menangkap patih Aluyuda untuk diadili.
Demikian tugas pokok utama yang telah diserahkan kepadaku.
Adakah tuan2 masih mempunyai pendapat lain yang dapat
membantu melancarkan usaha kearah pemulihan keamanan
kerajaan?" "Rakryan" sambut kanuruhan Anekakan "apa yang rakryan
sebutkan itu memang suatu kebijaksanaan yang tepat dalam
mengatasi suasana kerajaan yang kacau ini. Aku akan
mendukung sepenuhnya tindakan rakryan"
Demikian ketiga mentri yang lain termasuk tumenggung
Nala, memberikan dukungan.
"Pemerintahan harus tetap berjalan sebagaimana biasa.
Yang penting, keamanan harus cepat diputihkan tak boleh
berkelarutan kacau. Keamanan merupakan sendi utama dari
roda pemerintahan. Keamanan terganggu, macetlah jalannya
pemerintahan dan goyahlah seluruh tata kehidupan negara" ra
Kuti memberi penegasan pula.
"Rakryan Kuti" seru demung Samaya "bagaimanakah
rencana rakryan untuk melaksanakan tugas yang kedua itu
yakni mencari baginda?"
"Soal itu, serahkan kepadaku" kata ra Kuti, "ki demung
tetap saja memelihara kekuatan pasukan kerajaan. Jangan
sampai mereka ikut terhanyut dalam hasutan2 yang
mengombang-ambingkan pendirian mereka sebagai prajurit"
"Kanuruhan Anekakan, kuminta supaya menjaga
keamanan keraton" kata ra Kuti pula "dan rangga Jalu supaya
memelihara ketertiban para narapraja dalam melakukan tugas
masing2. Sedangkan tumenggung Nala supaya memelihara
keamanan pura di samping mencari jejak patih Aluyuda yang
kuduga tentu masih bersembunyi dalam pura ini"
Keempat mentri utama itu mengiakan.
"Dan yang terakhir, perlu kutandaskan pula bahwa karena
kekuasaan telah diserahkan kepada Dharmaputera Kuti, maka
segala keputusan yang penting harus melalui pertimbanganku
dan harus taat pada segala perintah yang kukeluarkan.
Barangsiapa melanggar, akan dijatuhi hukuman berat ataupun
hukuman mati" Demikian setelah memberikan pengumuman dan
penetapan2 maka rakryan Kuti pun segera membubarkan
sidang. Dalam sidang darurat itu, ra Kuti telah mendapat kesan
bahwa di antara Panca ri Wilwatikta, hanya tumenggung Nala
seorang yang tampaknya kurang puas atas kekuasaan yang
diberikan kepada ra Kuti. Sejenak merenung, merekahlah
senyum pada mulut kepala Dharmaputera itu.
"Hm, ada sebuah jalan untuk menjerumuskan Nala ke
lembah kesulitan" diam2 ia berkata dalam hati. Diam2 ia
tertawa pula "sampai sejauh saat ini, semua rencana telah
berjalan lancar. Sapta Prabu telah menyerahkan kekuasaan
dan keempat mentri utama itu pun sudah tunduk kepadaku.
Hanya tinggal selangkah lagi....."
Dalam gedung kediamannya yang kini dijaga ketat oleh
prajurit bersenjata lengkap, malam itu rakryan Kuti
melepaskan lelah, menikmati rembulan menyembul dari balik
awan. Saat itu, daun jendela dibuka agar dapat melepaskan
pandang ke taman bunga yang dibangun di halaman tengah.
Di tengah taman, dibuatnya sebuah kolam berhias beberapa
patung dan bunga2 teratai.
Malam sunyi, angin pun berhembus lembut bagai sentuhan
jari jemari dara cantik. Keharuman bunga2 yang teruar dibawa
angin malam nan lembut, menimbulkan suatu suasana yang
anggun. Membawa hati melayang, pikiran terbang. Terbang
jauh melalang. Duduk seorang diri menghadapi keheningan malam dan
keindahan taman bunga, mudah membawa orang ke alam
kenangan. Kenangan dari masa muda yang telah lampau.
Walaupun kenangan dari masa lampau itu tak mungkin tiba
kembali, walau segala duka dan suka dalam kenangau lama
itu tak mungkin menjelang pula. Namun kenangan, duka atau
suka, bahagia atau celaka, meriah atau ngeri, merupakan
sesuatu yang membekas dalam sanubari. Dan sesuatu bekas
sukar dihapus bahkan kadang kala timbul membayang pula.
Ra Kuti tak luput dari keadaan itu. Dan memang ia sengaja
hendak membangunkan kenangan itu. Kenangan yang selalu
menjadi sumber hidup yang memancarkan keinginan dan cita2
kehidupannya, Kenangan yang selalu membayang dalam kalbu
hatinya, melekat pada pelupuk matanya. Kenangan yang
mendorongnya menumpahkan ikrar menjadi seorang
'brahmacarya'. Orang yang tak menikah seumur hidup. Namun
brahmacarya dari ra Kuti agak berbeda daripada brahmacarya
seorang brahmana. Layang pikiran kepala Dharmaputera itu, berkelana jauh ke
masa beberapa puluh tahun yang lampau. Yang telah silam
tetapi yang selalu temaram. Yang membubung tinggi tetapi
selalu mencuri hati. Untuk membendung pengaruh Kubilai Khan yang hendak
meluaskan pengaruhnya ke selatan, maka baginda
Kertanagara telah mengirim pasukan Singasari untuk
menduduki tanah Malaya. Pasukan Pamalayu itu dipimpin oleh
senopati Kebo Anabrang. Sebuah pasukan besar yang hampir
menghisap kekuatan dalam negeri Singasari.
Baginda Kertanagara amat. murka menerima rombongan
utusan dari Kubilai Khan yang menyerahkan surat bahwa
Singasari supaya tunduk di bawah naungan Kubilai Khan, raja
Tartar yang menguasai benua Cina. Meng Ki, kepala utusan
Kubilai Khan, diusir setelah mukanya dicacah.
Membayangkan akan ancaman2 dari Kubilai Khan maka
baginda Kertanagara menitahkan membuka sayembara untuk
mencari seorang senopati yang sanggup membangunkan
pasukan untuk menjaga keselamatan Singasari.


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dari berbagai penjuru, berdatangan ksatrya2 yang ingin
memasuki sayembara itu. Pemilihan senopati itu mempunyai
ganjaran yang tiada ternilai harganya, berupa dua orang
puteri cantik dari baginda yakni puteri Tribuana dan putri
Gayatri. Selama beberapa hari rakyat Singasari menyaksikan
pertandingan adu kesaktian dari para ksatrya di gelanggang
yang khusus dititahkan baginda dibangun di alun2. Dan
akhirnya pada hari terakhir hanya muncul dua calon, raden
Wijaya dan Kuti. Seorang senopati pendamping atau pengawal peribadi
baginda yang bernama Bandupoyo, merasa cemas apabila Kuti
yang menang. Memang Kuti lebih digdaya, tetapi raden Wijaya
lebih memiliki kewibawaan yang besar sebagai seorang
pemimpin negara. Ia lebih cenderung kepada Wijaya, bukan
karena dia itu keturunan bangsawan, putera Dyah Lembu Tal.
Bukan pula karena raden Wijaya itu berparas cakap dan luhur
budi. Tetapi ada sebuah hal yang menyalakan kesadaran
pikiran Bandupojo yang tajam. Bahwa Raden Wijaya itu
memancarkan peribadi yang agung dan wibawa. Memiliki sifat
kepemimpinan yang mengundang rasa taat dan mengindahkan diri kawan maupun lawan. Dan yang lebih
penting pula, selama bersahabat dengan raden Wijaya itu,
Bandupoyo mendapat kesan bahwa raden itu mahir akan soal2
tata keprajaan dan memiliki pandangan jauh akan soal2
kenegaraan. Sifat2 itulah yang tak dimilki Kuti walaupun dalam ilmu
kedigjayaan, sesungguhnya Kuti lebih unggul dari raden
Wijaya. Itulah yang menjadi pemikiran Bandupoyo. Singasari
memang membutuhkan seorang senopati tetapi bukan
sekedar senopati yang gagah berani pandai memimpin
pasukan belaka. Melainkan senopati yang memiliki
kewibawaan sebagai seorang pemimpin. Bandupoyo pun telah
mencium bau tentang usaha patih Aragani untuk merebut
kedudukan empu Raganata sehingga empu itu telah dilorot
kedudukannya oleh baginda dan dijadikan adhyaksa Tumapel.
Betapa kepercayaan baginda yang makin mencurah kepada
patih A ragani pun tak terlepas dari pengawasan Baadupoyo. Ia
menguatirkan baginda akan terjerumus makin dalam oleh
patih A ragani yang bermulut manis.
Sesungguhnya Bandupoyo pun terkejut dan tak setuju
dalam hati atas tindakan baginda Kertanegara yang telah
mengambil raden Ardaraja, putera akuwu Jayakatwang dari
Daha. sebagai putera menantu. Karena menurut perasaan
Bandupoyo, tak mungkin akuwu Jayakatwang benar2 tunduk
pada Singasari. Beberapa pertimbangan itulah yang mendorong Bandupoyo untuk mengharap senopati yang baru itu benar
benar seorang ksatrya yang mampu membela Singasari dalam
kemelut 'api dalam sekam' yang tengah membara di persada
singgasana Singasari. Pilihan Bindupoyo yang terakhir jatuh pada diri raden
Wijaya. Raden itu harus memenangkan sayembara. Raden itu
harus mengalahkan Kuti. Dan pergilah ia mendapatkan raden
Wijaya. "Raden" katanya, pertandingan esok hari"
"raden harus memenangkan Raden Wijaya terkejut, "Ah, Kuti amat, sakti mungkin aku
tak dapat mengalahkannya."
"Tidak, raden" kata Bandupoyo "raden harus menang?"
Raden Wijaya makin terbeliak heran, "Mengapa engkau
mengharuskan demikian" Dan bagaimana mungkin aku dapat
memenuhi keharusan itu?"
Dengan singkat dan jelas Bandupoyo segera mencurahkan
isi hatinya. Tentang kegelisahan akan nasib kerajaan Singasari
dan tentang harapannya supaya raden Wijaya menjadi
senopati yang akan mengatasi bahaya bahaya yang mungkin
melanda kerajaan Singasari itu.
"Tentang diri Kuti, janganlah raden cemas" kata
Bandupoyo "aku tahu letak kelemahan ilmu kedigdayaan Kuti.
Apabila raden dapat menerkam atau mencengkeram paha
kanannya, dia pasti akan lumpuh"
Raden Wijaya menghaturkan terima kasih atas bantuan
Bandupoyo. Dan pada pertandingan keesokan harinya
berhasillah ia menguasai paha kanan Kuti sebagaimana
petunjuk Bandupoyo. Kuti pucat seketika. Tenaganya serasa merana, urat2 bayu
lumpuh. Disaksikan oleh beribu-ribu rakyat dan para menteri
bahkan baginda dan puteri2 baginda yang cantik, ia harus
menderita kekalahan yang memalukan sekali.
"Raden Wijaya, bunuhlah
songsongkan dadanya ke muka.
aku!" seru Kuti sambil "Mengapa aku harus membunuhmu?" sahut raden Wijaya
"tidak, kakang Kuti, engkau seorang ksatrya yang perkasa"
"Seorang ksatrya lebih baik mati daripada menanggung
malu !" "Mengapa malu, Kuti?" kata Wijaya pula "bukankah
berpuluh puluh ksatrya telah engkau kalahkan sebelumnya"
Medali Wasiat 5 Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pedang Pelangi 3

Cari Blog Ini