Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 11

09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 11


kedalam hutan. " Anak muda itu masih belum berkata sepatah katapun.
Mulutnya masih saja bagaikan tersumbat oleh ketakutan yang
mencengkam jantungnya. Namun melihat sikap Glagah Putih yang seakan-akan tidak
menghiraukan sekali kawannya yang berhadapan dengan
harimau yang mulai menggeram itu, maka anak muda itupun
menjadi semakin tenang pula.
" Ia akan berbuat sebaik-baiknya untuk melindungi dirinya
sendiri " berkata Glagah Putih. Namun kemudian ia bertanya
pula " kenapa kau berada disini! "
Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam, seakan-akan
ingin menghirup udara sebanyak-banyaknya untuk
Keduanya meletakkan telapak tangan masing-masing yang
satu dengan yang lain. Dengan kemampuan yang ada dalam
diri mereka, maka mereka telah berusaha untuk menyalurkan
pengalaman Raden Rangga dalam................................
mengendapkan kegelisahannya. Namun ia masih belum
menjawab. Sementara itu,RadenRangga masih berhadapan dengan
harimau yang mulai menggeram. Namun ia sama sekali tidak
nampak gelisah apalagi gentar.
Anak muda yang ketakutan itu ketika melihat harimau itu
mulai merunduk tiba-tiba saja berdesah.
Wajahnya nampak semakin tegang. Matanya bagaikan tak
berkedip dan kemudian dengan gagap ia berkata " Harimau
itu. " Tetapi Glagah Putih masih tetap tenang. Ditepuknya bahu
anak muda itu sambil berkata " Jangan gelisah. Tenang
sajalah. Harimau itu akan menjadi jinak seperti seekor kucing."
" Bagaimana mungkin " desis anak muda itu.
Sementara itu ia melihat harimau itu sama sekali tidak
menjadi jinak. Dalam keremangan senja ia melihat harimau itu
merunduk sambil mengaum. Tetapi Glagah Putih justru berkata " Kita menonton satu
permainan yang menarik. "
Anak muda itu tidak tahu apa yang sebenarnya dilihat dan
didengar dari mulut Glagah Putih. Satu penglihatan yang
mengerikan namun didengarnya nada yang tenang dan sama
sekali tidak mengandung kegelisahan, sehingga dengan
demikian, apa yang ditangkap oleh matanya berlawanan
dengan apa yang didengarnya oleh telinganya.
Namun dalam pada itu, Raden Rangga telah bersiap
menghadapi segala kemungkinan. Dengan serta merta ia
telah menarik tongkat yang terselip dipunggungnya.
Demikian harimau itu meloncat menerkamnya, maka
Raden Rangga telah melenting menghindar. Kemudian
diayunkannya tongkatnya dan dipukulnya harimau itu pada
punggungnya. Terdengar harimau itu mengaum keras sekali. Kemudian
meloncat dan jatuh berguling-guling. Seolah-olah harimau itu menjadi kesakitan yang parah, Sejenak kemudian harimau itu berhasil bangkit. Namun nampaknya
menjadi ragu-ragu. Perlahan-lahan harimau itu berjalan
mengintari Raden Rangga. Tetapi harimau itu tidak lagi
nampak terlalu garang. " Nah, kau lihat " berkata Glagah Putih " harimau itu mulai
menjadi jinak. Sementara itu Raden Ranggalah yang melangkah
mendekat. Tongkatnya terjulur lurus kedepan. Sementara itu
harimau itupun kemudian berhenti sambil menggeram. Tibatiba
saja harimau itu meloncat pendek menerkam Raden
Rangga yang semakin dekat.
Sekali lagi Raden Rangga meloncat. Dan sekali lagi Raden
Rangga mengayunkan tongkatnya mengenai tengkuk harimau
itu. Anak muda yang berada disisi Glagah Putih terkejut.
Harimau itu melonjak sambil meraung kesakitan. Kemudian
jatuh berguling-guling. Baru sesaat kemudian harimau itupun
berhasil bangkit meskipun terhuyung-huyung, i Namun dengan
ketakutan harimau itu berlari masuk ke-dalam hutan.
" Anak itu terkenal sebagai seorang pembunuh hari-' mau "
desis Glagah Putih " tetapi aku yakin, bahwa ia tidak lagi ingin
membunuh Anak muda yang ketakutan itu masih gemetar. Tetapi ia
melihat anak muda yang membawa tongkat itu kemudian
melangkah mendekatinya. " Nah, kau percaya bahwa harimau itu akan menjadi jinak
seperti kucing" " bertanya Glagah Putih.
Anak muda itu tidak menjawab. Sementara itu Raden
Ranggapun melangkah semakin dekat. Sambil tersenyum ia
berkata kepada Glagah Putih " Aku berhasil menahan diri
untuk tidak membunuhnya. "
" Aku sudah mengira " berkata Glagah Putih " Raden sudah
mampu berbuat demikian. " "
Raden Rangga tertawa. Namun kemudian iapun bertanya
kepada anak muda itu " Kenapa kau berada disini menjelang senja."
Anak itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya "
Bukan niatku sendiri. "
" Lalu siapa yang membawamu kemari" " bertanya Raden
Rangga. " Aku kemari bersama paman untuk mencari daun turi ungu
" jawab anak itu. " Untuk apa" " bertanya Glagah Putih.
" Untuk obat. Ayahku sedang sakit keras " jawab anak
muda itu. " Siapa ayahmu" " bertanya Raden Rangga.
" Demang Sempulur. Kelompok padukuhan disebelah
Timur dari hutan ini. " berkata anak muda itu.
" Lalu dimana pamanmu sekarang" " Raden Rangga
menjadi cemas " ternyata hutan ini masih dihuni binatang
buas. " " Paman pergi bersama dua orang pengawal Kade
mangan. " jawab anak muda itu.
" Kenapa kau tinggal sendiri disini" " bertanya Glagah Putih
kemudian. " Paman minta aku tinggal disini. Sangat berbahaya untuk
memasuki hutan itu " jawab anak muda itu.
" Tetapi ternyata disinipun cukup berbahaya. Hampir saja
kau diterkam harimau itu " berkata Glagah Putih
" Ya. Dan akupun mencemaskan nasib paman dan kedua
pengawal itu. Aku sudah terlalu lama menunggu disini. Sejak
matahari mulai turun sehingga menjelang senja. Bahkan kini
langit menjadi semakin suram " berkata anak muda itu.
" Apakah kita akan mencarinya" " bertanya Raden Rangga.
" Kemana" " bertanya anak itu.
" Kedalam hutan " jawab Raden Rangga.
Anak muda itu termangu-mangu. Ia sudah melihat
bagaimana anak muda itu berhasil mengusir seekor harimau.
Iapun menduga bahwa yang seorang lagi akan mampu pula
berbuat demikian. Tetapi ia kemudian menjawab " Aku takut.
Hari sudah menjadi malam. "
"Tidak apa-apa. Sebentar saja. Jika kita tidak
menemukannya maka kita akan segera kembali. " berkata Raden Rangga.
Wajah anak muda itu menjadi pucat. Namun sambil
mengayunkan tongkatnya Raden Rangga berkata " Tongkatku
adalah tongkat penjinak binatang buas dan sekaligus binatang
apa saja, termasuk binatang melata. "
Anak muda itu masih saja ragu-ragu. Harimau baginya
adalah seekor binatang yang menakutkan. Nyawanya
memang sudah berada di ujung rambut. Namun anak-anak
muda yang sebayanya itu nampaknya menganggap harimau
dan binatang-binatang buas itu sebagai mainan saja. Mereka
sama sekali tidak menjadi takut dan bahkan ketika malam
sudah turun, anak-anak muda itu masih akan memasuki hutan
tanpa rasa takut. Sebelum anak itu menjawab, Glagah Putih berkata " Aku
akan pergi bersamanya. Jika kau ingin berada disini, silahkan."
"Tidak. Jangan tinggalkan aku " minta anak muda
itu. " Lalu bagaimana" " bertanya Glagah Putih.
" Aku ikut bersama kalian " berkata anak muda itu.
Demikianlah, maka mereka bertigapun kemudian
memasuki hutan yang sebenarnya tidak terlalu lebat.
Namun meskipun demikian mereka harus menyibak gerumbulgerumbul
liar dan bahkan kadang-kadang berduri.
" Anak muda yang ketakutan itu tidak mau melepaskan
pegangannya pada lengan Glagah Putih. Bahkan semakin
lama terasa tangannya itu menjadi semakin gemetar.
" Aku takut " desisnya.
Glagah Putih tidak menyahut. Namun kemudian
langkahnya justru tertegun ketika Raden Rangga memberinya
isyarat untuk berhenti. Keduanya kemudian sempat mengamati gerumbulgerumbul
perdu di sekitarnya. Meskipun malam gelap, namun
ketajaman penglihatan kedua anak muda itu sempat melihat
sesuatu yang kurang wajar. Mereka menemukan ranting
gerumbul-gerumbul perdu itu berpatahan. Seakan-akan baru
saja ditembus oleh beberapa orang yang berjalan berjajar.
" Memang agak aneh " berkata Raden Rangga.
" Beberapa orang telah lewat melalui tempat ini " berkata
Glagah Putih. Raden Rangga mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia
bertanya kepada anak muda yang hampir saja diterkam
harimau itu " Dengan siapa pamanmu memasuki hutan ini" "
Bertiga dengan pengawal Kademangan " berkata anak
muda itu. Raden Rangga mengangguk-angguk. Namun menilik bekas
yang mereka ketemukan, tentu tidak hanya tiga orang saja
yang telah lewat tempat itu.
Karena itu, maka Raden Rangga berkata " Apakah
pamanmu mempunyai musuh atau orang-orang yang
mendendamnya" "
" Sepengetahuanku tidak " jawab anak muda itu. Namun
bekas yang nampak tentu bukan bekas
perkelahian antara ketiga orang itu melawan seekor
harimau. Karena itu, maka merekapun telah tertarik untuk memasuki
hutan itu lebih dalam. Namun ternyata anak muda itu menjadi
semakin ketakutan. " Kita kembali saja " ajaknya " didalam hutan gelap sekali.
Aku tidak melihat sesuatu. "
Raden Rangga dan Glagah Putih akhirnya menjadi kasihan
juga terhadap anak muda itu. Dengan penglihatan wajarnya,
maka hutan itu tentu terasa sangat gelap. Apalagi untuk
melihat bekas beberapa orang yang lewat pada ranting-ranting
perdu yang patah. Sedangkan untuk melihat Glagah Putih
yang dipeganginya saja rasa-rasanya anak muda itu tidak
mampu lagi. Demikianlah maka mereka bertigapun kemudian telah
keluar lagi dari hutan yang dianggap terlalu pepat oleh anak
muda itu. Demikian mereka menguak gerumbul terakhir dan
keluar dari hutan itu, maka rasa-rasanya anak muda itu
mampu bernafas lagi. Ketika ia menengadahkan wajahnya,
maka nampak bintang berhamburan dilangit yang tanpa batas.
Namun dalam pada itu, maka mereka bertiga terkejut ketika
merekamendengar suarabeberapaorang yang datang
ketempat itu. Dengan serta merta Glagah Putih telah menarik
anak muda itu surut dan kembali memasuki gerumbul perdu
dipinggir hutan itu. " Sst " desis Glagah Putih " diamlah. Aku mendengar suara
beberapa orang datang. "
Sebenarnyalah suara orang-orang itupun menjadi semakin
jelas. Beberapa orang muncul dari kegelapan malam
mendekati hutan itu. Seorang diantara merekapun kemudian memandang
berkeliling sambil berkata " Anak itu tentu sudah diterkam
harimau. Kita berhasil menggiring harimau itu sehingga
harimau itu menemukan anak itu.
Tidak seorangpun yang menjawab. Sementara orang itu
berkata " Baiklah. Kita akan pulang. Kita akan melaporkan
bahwa kita tidak menemukan anak itu lagi. Ingat, yang pergi
bersamaku hanya dua diantara kalian semua. Besok kita akan
mencari anak itu masuk kedalam hutan. Mudah-mudahan kita
menemukan bangkainya dikoyak-koyak harimau liar itu,
sehingga tidak menimbulkan kesan yang lain kecuali
kecelakaan. " Wajah Raden Rangga dan Glagah Putih menjadi tegang.
Sementara Glagah Putih berbisik " Siapakah orang-orang itu. "
" Paman " desis anak itu.
Tetapi suaranya agak terlalu keras diucapkan, sehingga
ternyata yang disebutnya paman itu mendengarnya.
" Aku mendengar suara seseorang " berkata orang
itu. Glagah Putih dan Raden Rangga saling berpandangan.
Terdengar Raden Rangga berdesis " Tajam juga telinga orang
itu. " Glagah Putih tidak menjawab. Namun orang yang datang
itulah yang berteriak " He, siapa kalian" "
" Harimau " jawab Raden Rangga.
Jawaban itu membuat jantung orang itu berdebar semakin
cepat. Dengan serta merta ia melangkah mendekat sambil
berteriak " Keluar kalian dari persembunyian itu. "
Raden Rangga dan Glagah Putih tidak menunggu lebih
lama. Merekapun kemudian mengajak anak muda itu untuk
keluar dari persembunyian mereka.
Orang-orang itu menjadi tegang. Lebih-lebih orang yang
disebut paman oleh anak muda itu. Anak Demang Sempulur.
" Kau " desis pamannya.
Anak muda itu menggeretakkan giginya. Dengan suara
bergetar ia berkata " Jadi sengaja paman meninggalkan aku
untuk dimakan harimau" Bahkan pamanlah yang telah
menggiring harimau itu kemari" "
Pamannya.termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
jawabnya " Baiklah aku berterus terang. Kau tentu sudah
mendengar pembicaraanku dengan orang-orangku. " orang itu
berhenti sejenak, lalu aku memang sudah menyiapkan
perangkap bagimu. Aku sudah menyiapkan seekor harimau
yang akan menerkammu. Tetapi ternyata kau selamat,
sehingga kau masih tetap hidup. Tetapi kami akan
menyelesaikan kalian semuanya disini. Tiga orang sekaligus. "


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Tetapi kenapa kau akan membinasakan kemanakan-mu
sendiri" " bertanya Raden Rangga.
- " Siapa kau" " bertanya orang itu.
" Kami berdua adalah kawan-kawan kemanakanmu.
Kebetulan kami menemukan kemanakanmu itu sendiri disini
menunggumu yang sedang mencari obat buat ayahnya, Ki
Demang Sempulur, " jawab Raden Rangga.
" Persetan " geram orang itu " kenapa harimau itu tidak
menerkam kalian bertiga. "
" Kau belum menjawab pertanyaanku " berkata Raden
Rangga. Orang itu menggeram. Namun kemudian katanya " Baiklah.
Aku akan berterus terang, agar kalian tidak mati dengan
kecewa. " ia berhenti sejenak, lalu " sebagaimana kau ketahui,
aku adalah saudara muda ayahmu. Sekarang ayahmu sakit
keras. Tidak ada obat yang dapat menyembuhkannya lagi.
Jika ayahmu mati, maka kau adalah satu-satunya ahli
warisnya. Tetapi jika kau tidak ada, maka akulah waris satusatunya
ayahmu itu, karena aku adalah satu-satunya
saudaranya. " " Gila " teriak anak muda itu " jadi paman ingin membunuh
aku karena warisan itu" "
" Ya. Jangan mengeluh atas nasibmu yang buruk. Kau
akan mati dan kedua orang kawanmu itupun akan mati, agar
mereka tidak dapat membuka rahasia ini kepada siapa-pun
juga. " berkata orang itu.
Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba
ia mulai merengek " Jangan bunuh aku paman. Ambil apa saja
yang paman kehendaki. "
" Aku bukan orang dungu. Jika kau bertiga belum mati,
maka setiap saat rahasiaku dapat terbongkar " berkata orang
itu. Sekali lagi Raden Rangga meloncat. Dan sekali lagi Raden
Rangga mengayunkan tongkatnya mengenai tengkuk harimau
itu. Anak muda yang ada disisi Glagah Putih terkejut. Harimau
melonjak sambil meraung kesakitan.
Anak muda itu menjadi semakin ketakutan. Ia merasa
terlepas dari mulut harimau, namun kini ia akan berhadapan
dengan pamannya dan para pengikutnya yang siap untuk
membunuhnya. Namun dalam pada itu, Raden Rangga telah menyela "
Bagaimana kalau Ki Demang itu kemudian sembuh dan
kembali memegang pimpinan" "
" Kakang Demang tidak akan dapat sembuh. Ia akan mati
sebagaimana kalian bertiga. Bedanya, kakang Demang akan
mati dipembaringan, sedangkan kalian akan mati disini,
dipinggir hutan. " " Tetapi kami tidak diterkam harimau " jawab Raden
Rangga. " Bukan soal yang sulit. Bangkai kalian akan kami
lemparkan ketengah hutan. Dua tiga hari lagi, maka yang akan
kami ketemukan adalan bangkai yang telah disayat oleh
binatang buas. " Tetapi adik Demang Sempulur itu terkejut. Anak muda yang
mengaku kawan kemanakannya itu justru tertawa. Katanya "
Jangan main-main Ki Sanak. Nyawa kami tidak selunak nyawa
cacing. Bahkan cacingpun menggeliat jika terinjak kaki.
Apalagi kami. " " Persetan " geram adik Demang Sempulur itu " kaulah
yang paling banyak berbicara. Kaulah yang akan mati lebih
dahulu. Kemudian kawanmu itu dan yang terakhir adalah
kemanakanku yang sangat aku kasihi. Namun ternyata aku
tidak mempunyai pilihan lain. "
" Jangan bunuh aku paman " minta anak itu. Tetapi yang
menjawab adalah Glagah Putih " Bukan
kau yang akan dibunuh" "
" Ya. Paman mengatakan demikian " jawab anak muda itu.
" Tidak ada yang akan dibunuh disini. Tidak ada yang akan
mati malam ini " berkata Glagah Putih.
Tetapi ternyata Raden Ranggalah yang menyahut "
Tergantung kepada keadaan. "
" Ah, jangan begitu " desis Glagah Putih " bukankah kita
tidak mempunyai persoalan dengan mereka. Dan bukankah
yang kita lakukan ini sekedar laku ngrame" "
Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Namun adik
Demang Sempulur itu membentak " Kalian mengigau sepert
orang gila. Sekarang, kalian tidak mempunyai pilihan lain
kecuali mati. Namun aku masih mempunyai belas kasihan
kepada kalian, bahwa kami akan mempergunakan cara yang
paling baik untuk melakukannya. Tusukan langsung kejantung
adalah cara yang paling terhormat yang dapat aku lakukan
Sekarang. " " Setuju " jawab Raden Rangga.
" Apa maksudmu" " bertanya adik Demang Sempulur
itu. " Aku akan menikam dadamu diarah jantung. Kau akan
mati, dan semua persoalan,: akan selesai. Ki Demang itupun
akan sembuh karena kaulah yang memperberat sakitnya
dengan sejenis racun yajng lunak " berkata Raden Rangga
kemudian " dengan demikian maka Ki Demang akan mati
perlahan-lahan. Semeritara kau membunuh anaknya yang
akan menggantikannya. He, bukankah itu laku biadab yang
pantas dihukum m^ti. "
" Ya " Glagah Putih menyahut " kalau semua itu sudah
terjadi. " " Bagiku nilainya tidak berbeda. Tetapi didalam hatinya
telah tumbuh keinginan untuk melakukannya. Jika mereka
mampu, maka mereka tentu akan melaksanakan rencana
biadab itu. " " Setan " geram orang itu " kalian mengigau tentang apa
he" " Raden Rangga memandang orang itu dengan tajamnya.
Meskipun malam gelap, tetapi semuanya nampak jelas dimata
anak muda itu. Adik Demang Sempulur itu kemudian memberikan isyarat
kepada orang-orangnya untuk bersiap. Baginya, anak-anak
muda itu memang harus dibinasakan. Jika seorang saja
diantar a mereka hidup, maka segala rahasianya akan
terbuka. Anak muda, anak Demang Sempulur itu menjadi semakin
ketakutan. Apalagi ketika pamannya membentak " Jangan
banyak tingkah anak-anak. Jika kalian membuat kami marah,
maka sikap kami akan menjadi semakin kasar.
" Paman " minta anak Ki Demang Sempulur " jangan bunuh
kami paman. Kami tidak akan membuka rahasia paman
apapun yang telah paman lakukan. "
" Persetan " geram orang itu " semuanya sudah terlambat.
Kenapa kau tidak melarikan diri saja sebelum aku datang. "
" Aku tidak tahu apa yang akan paman lakukan " jawab
anak Demang Sempulur itu.
" Jangan merengek lagi. Berdoa sajalah agar kema-tianmu
berlangsung dengan baik dan mendapat jalan terang. "
berkata pamannya. Anak muda itu benar-benar ketakutan. Sementara Glagah
Putih berkata kepada anak itu " Jangan seperti kerbau
membiarkan hidungnya dilubangi, sementara tanduknya
panjang dan kuat. Betapa lemahnya kita, tetapi kita
mempunyai tenaga untuk menyelamatkan diri kita sendiri.
" Tetapi aku takut " anak muda itu hampir menangis.
" Baik. Berusahalah berlindung dibelakang kami berdua "
berkata Glagah Putih " mudah-mudahan kau selamat.
Anak muda itu tidak menyahut, sementara pamannya
berteriak " Sekarang. Jangan menunggu lebih lama lagi.
Tusuk dadanya diarah jantung. Kemudian kita seret mayatnya
ketengah hutan. " Raden Rangga dan Glagah Putihpun kemudian harus
segera mempersiapkan diri. Beberapa orang yang ingin
membunuh mereka itupun telah berpencar dan mengepung
ketiga anak muda itu dari segela penjuru. Bahkan mereka-pun
telah menggenggam pedang ditangan masing-masing.
Dalam keadaan yang tegang itu Raden Rangga masih
sempat menghitung orang-orang yang mengepungnya itu.
" Tujuh orang ditambah dengan seorang. Semuanya ada
delapan " katanya. Sikap Raden Rangga dan Glagah Putih itu memang sangat
mengherankan bagi kedelapan orang yang mengepung
mereka. Nampaknya kedua orang anak muda itu sama sekali
tidak, takut menghadapi|delapan orang bersenjata pedang.
Namun untuk melindungi anak Demang Sempulur ituGlagah Putih dan Raden Rangga tidak memencar dan menghadapi lawan masing-masing. Tetapi mereka telah berdiri dan menghadap kearah yang berlawanan, sementara anak Demang Sempulur itu ada diantara mereka.
" Sesuaikan dirimu jika lehermu tidak mau mereka putuskan " berkata Raden Rangga.
Anak muda itu menjadi gemetar. Tetapi melihat sikap Glagah Putih dan Raden Rangga tiba-tiba saja ia telah terpengaruh. Kedua anak muda yang sebayanya itu sama sekali tidak gentar melihat ancaman maut. Mereka bahkan berusaha untuk melindungi diri mereka.
Karena itu, maka betapapun lemahnya, namun pengaruh sikap kedua anak muda yang menolongnya itu membuat Anak Demang Sempulur itu berusaha untuk menyelamatkan dirinya.
Sejenak kemudian maka tujuh orang pengikut adik Demang Sempulur itu telah mulai bergerak. Perlahan-lahan kepungan itu menjadi semakin sempit. Delapan ujung pedang teracu kearah ketiga orang anak muda yang ada didalam kepungan.
Raden Rangga yang berdiri saling membelakangi dengan Glagah Putih sebelah menyebelah anak Demang Sempulur itupun kemudian berkata " Glagah Putih, berilah kesempatan mereka bermain-main. Biarlah mereka menunjukkan kemampuan mereka agar mereka menjadi sedikit berbangga dengan diri mereka. "
"Aku setuju Raden " jawab Glagah Putih " kemudian mereka akan kita bawa menghadap Ki Demang itu sendiri.
Hanya Ki Demang sajalah yang berhak mengadili mereka. "
" Bukankah Ki Demang sedang sakit" " bertanya Raden Rangga.
"Tetapi tentu ada bebahu yang lain yang dapat melakukan tugasnya " jawab Glagah Putih.
Tiba-tiba Raden Rangga tertawa. Katanya " Kau takut aku membunuh lagi" "
Glagah Putih tidak menjawab.
Namun orang-orang yang mengepung semakin rapat itu benar-benar bingung mendengar percakapan itu. Agaknya kedua orang anak muda itu sama: sekali tidak menghiraukan ujung-ujung pedang yang teracu kepada mereka.
Tetapi dalam pada itu Raden Rangga berkata " Kita bermain-main dengan senjata. Itu akan lebih aman bagi mereka. Tanpa senjata maka kita akan menjadi sangat berbahaya. Jika kita terdesak, maka kita akan dapat melakukan sesuatu yang dapat menyulitkan mereka. Bahkan mungkin diluar sadar, membunuh mereka. "
" He, apakah kalian orang-orang gila " geram adik Demang Sempulur itu " tetapi siapapun kalian, maka kalian akan mati. "
Raden Rangga dan Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi mereka ternyata telah memegang senjata masing-masing.
Raden Rangga telah menggenggam tongkatnya sementara Glagah Putih telah mengurai ikat pinggangnya.
Dengan senjata mereka itulah, maka Raden Rangga dan Glagah Putih telah bertempur melawan delapan orang.
Namun ternyata bahwa delapan orang itu tidak memiliki bekal cukup untuk bertempur melawan mereka yang memiliki kemampuan dalam dan kanuragan. Karena itu, maka mereka bukan orang-orang yang berbahaya bagi Raden Rangga dan Glagah Putih. Tetapi justru sebaliknya bagi anak Demang Sempulur yang ketakutan itu.
Karena itulah maka Raden Rangga dan Glagah Putih harus berusaha untuk melindunginya. Apalagi anak muda itu sendiri agaknya tidak mampu berbuat sesuatu bagi dirinya sendiri.
Ketika pertempuran menjadi semakin seru, anak itu menjadi gemetar dan bahkan seolah-olah telah kehilangan kemampuan untuk menguasai dirinya sendiri.
" Berusahalah menyesuaikan dirinya " teriak Glagah Putih.
Tetapi anak itu justru semakin menjadi bingung.
Namun dalam pada itu, delapan orang yang berusaha untuk membunuh anak-anak muda itu menjadi heran. Apapun yang mereka lakukan, ternyata anak-anak muda yang mengaku kawan anak Ki Demang Sempulur itu mampu menangkisnya. Bukan hanya sepasang pedang, tetapi delapan ujung pedang.
" Apakah kalian anak iblis yang menunggu hutan ini" "
geram salah seorang diantara lawan-lawannya.
Raden Rangga tertawa. Tongkatnya berputar-putar disekitar dirinya, dan sekali-sekali menyambar pedang yang teracu kearah anak Demang Sempulur yang ketakutan itu.
Namun kadang-kadang ikat pinggang Glagah Putihlah yang menangkis pedang yang menebas kearah leher anak Ki Demang itu.
Kedelapan orang itu benar-benar tidak tahu, apa yang sebenarnya dihadapinya. Mereka tidak dapat mengerti, bagaimana dua orang anak muda mampu melawan mereka, delapan orang yang dianggap orang-orang terkuat di Kade-mangannya.
Tetapi seperti yang dikatakan oleh. Raden Rangga, maka kedua anak muda itu memang ingin bermain-main.
(Mereka tidak ingin segera mengalahkan lawan-lawan mereka.
Namun masalahnya adalah anak Ki Demang yang Semakin
lama menjadi semakin lemah karena ketakutan yang
mencengkam dirinya. '" Biarkan anak itu menjadi pingsan " berkata Raden Rangga " mudah-mudahan justru tidak mengganggu perlawanan kita. "
Glagah Putih tidak menyahut. Tetapi ketakutan yang sangat telah membuat anak itu terduduk gemetar, meskipun tidak pingsan.
Namun dengan demikian, maka anak muda itu tidak bergeser lagi kemana-mana yang justru dapat menyulitkan Raden Rangga dan Glagah Putih.
" Nah, duduklah dengan tenang " berkata Glagah Putih yang berloncatan menangkis ujung pedang yang menyambarnya dan sekali-sekali berusaha menyambar anak Ki Demang itu.
Demikianlah pertempuran semakin lama menjadi semakin cepat. Bagi kedelapan orang itu, maka pertempuran-pun terasa menjadi semakin sengit. Mereka berusaha untuk mempercepat tata gerak mereka. Berganti-ganti mereka menyerang dari segala penjuru. Namun serangan mereka tidak pernah mengenai sasaran yang manapun juga di-antara ketiga anak muda itu.
Tetapi Raden Rangga dan Glagah Putih tidak mengambil langkah-langkah untuk segera mengalahkan mereka.
Keduanya seakan-akan sekedar bertahan dan melindungi anak Demang Sempulur itu.
Kemarahan adik Ki Demang itupun semakin menjadi-jadi.
Dikerahkannya segenap kemampuannya. Namun kedelapan orang itu sama sekali tidak dapat menembus perisai putaran senjata Raden Rangga dan Glagah Putih.
Jilid 209 "Anak setan " geram adik Ki Demang " darimana kalian mendapatkan ilmu sehingga kalian dapat bertahan sekian
lama?" Raden Ranggalah yang menyahut " Kaulah anak setan yang sudah sampai hati berusaha membunuh kemenakan sendiri, kakak sendiri dan orang-orang lain yang dianggapnya akan membuka rahasiamu. Jika bukan orang berhati setan,
maka kau tentu tidak akan membuat rencana yang begitu gila."
" Persetan " geram adik Ki Demang " mengigaulah.
Sebentar lagi kau akan mati. "
Raden Rangga tertawa. Katanya " Jangan main-main dengan nyawa. Urungkan niatmu membunuh, agar tidak mendorongku untuk membunuh pula. "
" Anak iblis " adik- Ki Demang itupun kemudian menyerang dengan garangnya. Namun serangan-serangannya kandas ditongkat pring gading Raden Rangga.
Keheranan yang sangat memang mencengkam jantungnya.
Ketika adik Ki Demang itu mengayunkan pedangnya sepenuh tenaga, maka pedangnya telah membentur pring gading ditangan anak yang justru masih sangat muda itu. Namun pedangnyalah yang mental seakan-akan telah menghantam sekeping baja pilihan.
" Tongkat itu tentu tongkat tukang sihir " berkata adik "Ki Demang itu didalam hatinya.
Namun ia melihat bahwa pedang seorang pengikutnya yang tajam berkilat-kilat ternyata tidak mampu menebas putus ikat pinggang anak muda yang lain yang tentu terbuat dari kulit, karena lentur. Bukan dari kepingan baja.
Demikianlah pertempuran berjalan terus. Kedelapan orang itu sekali-sekali telah berputar untuk menyesuaikan diri dan berusaha untuk mencoba lawan yang lain. Namun usaha mereka tidak pernah berhasil.
Dalam pada itu, ketika keringat semakin terperas dari tubuh mereka, maka mulailah tenaga kedelapan orang itu menjadi susut. Meskipun perlahan-lahan, tetapi mulai terasa. Sementara kedua- orang anak muda yang mempergunakan senjata aneh itu masih tetap segar dan seolah-olah sama sekali tidak terpengaruh oleh serangan-serangan kedelapan orang lawannya.
Menyadari hal itu, maka adik Ki Demangpun berteriak nyaring " Cepat, binasakan mereka.
Tidak seorangpun yang membantah. Semuanya memang berniat demikian. Tetapi ternyata kemampuan mereka sangat terbatas dibandingkan dengan kedua orang anak muda yang mengaku kawan dari anak Ki Demang Sempulur itu.
Dengan demikian, maka apapun yang mereka lakukan, maka orang-orang itu sama sekali tidak mampu menyentuh tubuh kedua anak muda yang bersenjata tongkat dan ikat pinggang itu. Bahkan merekapun tidak berhasil melukai dan apalagi membunuh anak Demang Sempulur itu.
Betapapun mereka berusaha, tetapi kedua anak muda itu mampu melawannya, bahkan seperti laku anak-anak muda yang sedang bermain-main.
Seorang diantara mereka mengayunkan tongkatnya seperti mengayunkan lidi, namun setiap benturan membuat senjata lawannya hampir terpental. Sementara ikat pinggang yang seorang lagi berputaran seolah-olah menyelubungi dirinya dan anak Ki Demang yang ketakutan.
Dalam pada itu, kedelapan orang itu semakin lama menjadi semakin letih. Mereka telah mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan mereka. Namun lawan mereka seakan-akan bukan orang sewajarnya.
Dalam pada itu, Raden Rariggapun berkata " Marilah.
Kerahkan segenap kemampuanmu. Bukankah kalian akan membunuh kami agar rahasia kalian tidak terbongkar?"
"Anak setan" geram adik Ki Demang. Dihentakkannya senjatanya. Namun ia tidak berdaya untuk melaksanakan rencananya.
Dalam pada itu, tenaga mereka benar-benar telah terkuras
habis. Karena tidak ada harapan lagi untuk meme-/ nangkan
perkelahian itu, maka adik Ki Demang itu telah mengambil
langkah yang dengan cepat dapat dilakukan. /
" Kami harus melarikan diri " berkata adik Ki Demang
didalam hatinya " entahlah langkah apa yang harus diambil
kemudian, karena dengan kegagalan ini rahasia kami tentu
akan terbongkar. " Sejenak adik Ki Demang itu mengamati keadaan. Tidak
ada pilihan lain kecuali melarikan diri meskipun ia tidak tahu
langkah apakah yang harus diambilnya selanjutnya karena
rahasia itu tentu akan segera didengar oleh Ki Demang.
Dengan memperhatikan keadaan, maka adik Ki Demang itu
telah berusaha untuk bergeser. Ia justru membiarkan orangorangnya
untuk bertempur terus, agar ia berhasil melarikan
diri lebih dahulu. Baru kemudian orang-orang itulah yang tentu
juga akan melarikan diri sehingga kedua orang anak muda itu
tidak akan dapat mengejar dah menangkap mereka
seluruhnya, terutama ia sendiri.
Namun agaknya Raden Rangga dan bahkan Glagah Putih
mengetahui niatnya untuk melarikan diri. Karena itu, maka
keduanya justru Itelah mengawasinya dengan sungguhsungguh
karena orang itulah sumber dari peristiwa yang
mendebarkan itu. Balikan hampir merenggut nyawa anak Ki
Demang Sempulur. Sebenarnyalah, adik Ki Demang yang putus asa itupun
tiba-tiba saja telah meloncat berlari meninggalkan arena.
Tanpa menghiraukan apapun juga dan tanpa berpaling, ia
berlari menuju ke pinggir hutan dan selanjutnya ingin
melenyapkan diri kedalam hutan itu.
Namun orang itu terkejut bukan kepalang. Tiba-tiba saja
segerumbul pohon perdu dipinggir hutan itu bagaikan
meledak, tepat dihadapannya sehingga orang itu terkejut
bukan buatan. Bahkan terpental jsurut dan jatuh terlen-tang.
Terdengar suara tertawa mengumandang. Bersamaan


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan itu beberapa orang pengikut adik Ki Demang itupun
terlempar jatuh. Mereka benar-benar sudah tidak berdaya lagi.
Bahkan untuk melarikan diri sekalipun.
Yang tersisatidak mampu lagi untuk berbuat sesuatu, selain
terduduk sambil terengah-engah. Tiba-tiba saja segala
persendian mereka bagaikan telah terlepas yang satu dengan
yang lain. " Awasi anak itu " berkata Raden Rangga " aku akan
mengurusi orang itu. "
" Tetapi " Glagah Putih termangu-mangu.
Raden Rangga tertawa. Katanya " Jangan takut. Aku
adalah pemburu harimau, bukan pemburu kelinci. Karena itu,
maka aku tidak akan membunuh kelinci. "
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu
Raden Ranggapun telah berjalan mendekati adik Ki Demang
yang dengan susah payah berusaha untuk bangun. Seperti
mimpi ia melihat gerumbul yang menyala sejenak. Namun
kemudian hanya asapnya sajalah yang nampak mengepul dan
hilang ditiup angin, sementara gerumbul itu telah hangus
menjadi abu. " Bagaimana" " bertanya Raden Rangga kepada orang itu.
Orang itu benar-benar tidak tahu lagi apa yang harus
dilakukan. Ia tidak berhasil melarikan diri, sehingga dengan
demikian maka ia tentu akan dibawa menghadap Ki Demang
dengan segala rahasianya.
Namun adik Ki Demang itupun diliputi oleh seribu
pertanyaan tentang dua orang anak muda yahg mengaku
kawan kemenakannya itu. Apalagi ketika tiba-tiba saja sebuah
gerumbul perdu dipinggir hutan itu bagaikan meledak dan
melemparkannya jatuh. " Marilah Ki Sanak " Raden Rangga telah berusaha
menolong orang itu untuk bangkit " berdirilah. "
Orang itu berdiri tertatih-tatih. Kemudian dibimbing
Tiba-tiba saja segerumbul pohon perdu ditepi hutan itu
bagaikan meledak, tepat dihadapannya sehingga orang itu
terkejut bukan buatan. Bahkan terpental surut dan jatuh 1
terlentang. oleh Raden Rangga, adik Ki Demang itu telah dibawa
mendekati anak muda yang gemetar karena ketakutan itu.
" Itulah kemanakanmu " berkata Raden Rangga. Glagah
Putihlah yang kemudian menarik anak muda
itu untuk bangkit. Katanya " Berdirilah seperti seorang lakilaki.
Kau aman sekarang. Itulah pamanmu. "
Anak muda itupun berusaha untuk dapat berdiri tegak.
Namun jantungnya terasa masih berdegup tidak teratur,
sedangkan kakinya masih terasa gemetar.
Raden Rangga dan Glagah Putih yang kemudian mengatur
orang-orang yang tidak dapat mengelak itu. Delapan orang
digiring oleh kedua anak muda yang mengaku kawan dari
anak Ki Demang itu menuju ke Kademangan Sempulur.
Untunglah bahwa mereka berjalan dimalam hari, sehingga di
padukuhan-padukuhan yang mereka lewati, tidak terlalu
banyak orang yang melihatnya. Selain orang yang sedang
meronda di gardu-gardu, hanya orang yang kebetulan keluar
dari rumah mereka sajalah yang melihat iring-iringan kecil itu.
Namun demikian, meskipun yang melihat langsung hanya
beberapa orang, tetapi berita tentang adik Ki Demang dan
tujuh orang pengikutnya telah digiring oleh dua orang pemuda
bersama anak Ki Demang Sempulur menuju ke Kademangan
itu, dengan cepat telah menjalar dari pintu kepintu rumah.
Bahkan kadang-kadang seseorang telah mengetuk pintu
rumah tetangganya untuk mengatakan tentang berita yang
didengarnya itu. Apalagi mereka yang melihat langsung.
" Apa yang telah terjadi" " bertanya seseorang.
" Entahlah " jawab yang lain " ketika salah seorang peronda
mencoba bertanya, adik Ki Demang itu sama sekali tidak
menjawab. Sedang anak Ki Demang itupun tidak memberikan
keterangan apapun juga. "
Dengan demikian maka orang-orang di Kademangan
Sempulur itu mulai menjadi gelisah. Malam yang semula sepi
itupun menjadi bagaikan terbangun. Anak-anak muda telah
berkumpul digardu-gardu untuk berbicara tentang adik Ki
Demang. Demikianlah maka adik Ki Demang dan tujuh orang
pengikutnya itupun telah dibawa ke Kademangan. Iring-iringan
itu memang sangat mengejutkan. Para peronda telah
mendapat pesan dari Raden Rangga agar mereka memanggil
Ki Jagabaya atau para bebahu lain, kepercayaan Ki Demang.
" Apa yang telah terjadi" " bertanya para peronda itu.
" Nanti) sajalah " jawab Raden Rangga " setelah Ki
Jagabaya datang, maka aku akan menceriterakan
persoalannya. " Para peronda itupun menjadi heran, sebagaimana orangorang
lain yang melihat peristiwa itu. Seolah-olah delapan
orang yang bertubuh besar dan kekar telah dikuasai oleh
anak-anak muda. " Mungkin karena seorang diantara mereka adalah anak Ki
Demang, sehingga mereka menjadi takut melawan " berkata
seorang diantara para peronda itu.
" Tetapi sikapnya lain sekali " sahut yang lain " Nampaknya
yang menguasai mereka justru bukan anak Ki Demang itu.
Tetapi kedua anak muda yang lain, "
Kademangan Sempulur benar-benar dicengkam oleh satu
teki-teki yang mendebarkan.
Sementara itu, Ki Jagabaya yang dibangunkan
chijumahnya, dengan tergesa-gesa telah pergi ke
Kademangan. Sementara beberapa orang bebahu yang
lainpun telah berdatangan pula.
Beberapa saat kemudian, di Kademangan telah menjadi
ramai. Bukan saja para bebahu dan peronda yang sibuk,
tetapi beberapa orang penghuni padukuhan induk
Kademangan Sempulur yang terbangun telah pergi pula ke
Kademangan. Mereka ingin tahu apa yang.telah terjadi
sementara Ki Demang sendiri sedang sakit keras.
Ketika Ki Jagabaya dan beberapa orang bebahu telah
duduk di pendapa, sementara orang-orang di padukuhan
induk itu berkumpul di halaman, maka Raden Ranggapun
segera menyampaikan persoalan yang baru saja terjadi
kepada Ki Jagabaya. Ki Jagabaya dan para bebahu Kademangan itu terkejut
bukan buatan, Selama ini mereka menganggap bahwa adik Ki
Demang itu adalah seorang yang sangat baik. Yang bekerja
keras untuk kesembuhan Ki Demang. Hampir siang dan
malam adik Ki Demang itu menunggui kakaknya yang sedang
sakit. Karena itu, maka dengan ragu-ragu Ki Jagabaya bertanya
dengan ragu-ragu " Apakah yang dikatakannya benar"
Adik Ki Demang itu tidak dapat membantah lagi. Dua anak
muda yang mempunyai ilmu diluar jangkauan nalarnya itu
masih tetap menunggui mereka, sementara itu saksi utama,
anak Ki Demang itu ada pula diantara mereka.
Sambil menundukkan kepalanya adik Ki Demang itupun
mengangguk kecil. Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
datar ia berkata " Sungguh diluar dugaan. Aku tidak mengerti,
bagaimana kita semuanya harus mengatasi persoalan ini.
Selama ini kita menganggap bahwa adik Ki Demang itu adalah
seorang yang baik hati, yang telah mengorbankan waktu,
uang dan segala-galanya bagi kesembuhan kakaknya. Tetapi
yang terjadi sebenarnya justru sebaliknya. "
Orang-orang yang berada di pendapa itu menjadi gelisah.
Bahkan orang-orang yang berkerumun dihalaman-pun
menjadi gelisah pula. Sebagian besar dari mereka menjadi
sangat marah terhadap sikap adik Ki Demang itu.
Bahkan anak-anak muda yang tidak dapat menahan diri
telah berteriak " Berikan orang itu kepada kami. "
" Ya " sahut1 yang lain " kami akan menghakimi mereka "
Tetapi Ki Jagabaya kemudian berkata " Kita tidak dapat
bertindak sendiri. Bagaimanapun juga kita harus menghubungi
Ki Demang. Meskipun Ki Demang sedang sakit, namun
keputusannya kita perlukan. Apalagi yang melakukan
kesalahan adalah adiknya sendiri yang ditujukan kepada Ki
Demang itu pula. " Meskipun anak-anak muda itu tidak puas, tetapi mereka
memang tidak dapat memaksa Ki Jagabaya menyerahkan
adik Ki Demang itu kepada mereka. Apalagi mereka yang
berada di halaman masih belum pasti, apa yang sebenarnya
terjadi dan siapakah kedua orang anak muda itu, yang
bersama anak Ki Demang telah menggiring adik Ki Demang
ke Kademangan. Karena itu, maka Ki Jagabayapun telah minta kepada para
bebahu yang lain untuk mengawasi adik Ki Demang itu serta
orang-orang Kademangan yang marah. Ia sendiri akan
berusaha untuk menemui Ki Demang yang sedang sakit.
Namun ternyata Ki Jagabaya telah minta agar anak Ki
Demang itu menyertainya untuk memberikan penjelasanpenjelasan
tentang peristiwa yang menimpa dirinya.
Anak Ki Demang itu memandang Raden Rangga dan
Glagah Putih berganti-ganti, seakan-akan minta
pertimbangannya, apakah ia akan ikut menemui ayahnya atau
tidak. Hampir berbareng Raden Rangga dan Glagah Putih
mengangguk kecil, sehingga anak muda itupun kemudian
bersama Ki Jagabaya menghadap ayahnya yang sedang
sakit. Dalam pada itu, Ki Demang terbaring di dalam biliknya
ditunggui oleh Nyi Demang dan beberapa orang lain.
Meskipun ingatan Ki Demang masih utuh dan masih cukup
cerah, namun tubuhnya nampaknya menjadi sangat lemah.
Seakan-akan untuk bangkit dan dudukpun rasa-rasanya
sudah tidak sanggup lagi. Hanya dalam keadaan yang
terpaksa dan penting sekali sajalah Ki Demang bangkit dan
duduk dibibir ambennya dijagai oleh Nyi Demang atau orang
lain.Orang yang terbiasa menunggui Ki Demang selain Nyi
Demang adalah adiknya. Adiknya itulah yang berbuat segalasegalanya.
Tanpa mengenal lelah, adiknya telah berusaha
untuk mencari kesembuhan dari Ki Demang. Siang malam,
jika ia mendengar seorang yang memiliki kemampuan
pengobatan, maka ia telah pergi menemuinya.
Namun ternyata sesuatu telah terjadi dengan adik Ki
Demang itu, Ki Jagabaya yang datang bersama anak Ki
Demang ke bilik itu telah menarik perhatian dari orang-" orang
yang menungguinya. Namun dengan berat hati Ki Jagabaya
minta agar orang-orang lain keluar dari bilik itu. i Ia dan anak
Ki Demang itu akan memberikan laporan khu- -. sus kepada Ki
Demang tentang keadaannya.
" Apakah aku tidak boleh mendengarkannya" " bertanya
Nyi Demang. Ki Jagabaya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya " Nanti saja Nyi Demang( akan mendapat
pemberitahuan yang khusus tentang hal iqi. "
Nyi Demang memang menjadi heran. Namun Ki
Demangpun berkata. Baiklah Nyi. Biarlah Ki Jagabaya
meyampaikan persoalannya lebih dahulu. "
Nyi Demang tidak membantah: Iapun kemudian
meninggalkan Ki Demang yang terbaring di biliknya.
Sepeninggal orang-orang yang menungguinya, maka Ki
Jagabayapun telah mendekati Ki Demang sambil berkata " Ki
Demang. Kami minta maaf, bahwa justru dalam keadaan
seperti ini kami akan menyampaikan persoalan yang cukup
berat. Tetapi kami berharap bahwa untuk selanjutnya
persoalannya menjadi jelas bagi Ki Demang dapat mengambil
langkah-langkah untuk mengatasinya.
Ki Demang yang sakit itu mengerutkan keningnya. Dengan
wajah yang berkerut ia mendengarkan keterangan Ki
Jagabaya. Namun ketika ia akan bangkit dan duduk, Ki
Jagabaya mencegahnya. " Silahkan berbaring saja Ki Demang. Kesehatan Ki
Demang memang sedang terganggu. " berkata Ki Jagabaya.
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian
katanya " Apakah sebenarnya yang ingin kau katakan" "
" Satu hal yang tidak terduga sama sekali telah terjadi pada
putera Ki Demang. Putera Ki Demang ini sudah bukan anakanak
lagi. Ia akan dapat berceritera tentang dirinya dan
tentang sesuatu yang bersangkut paut dengan kesehatan Ki
Demang. " Ki Demang memandangi anak laki-lakinya. Kemudian
dengan nada lemah ia berkata " Katakanlah, apa yang telah
terjadi. " Anak Ki Demang itu memang menjadi ragu-ragu. Tetapi Ki
Jagabaya berkata " Sebaiknya Ki Demang segera mengetahui
segala-galanya. Memang mungkin mengejutkan. Namun
kemudian segalanya tentu akan menjadi lebih baik. "
" Kau membuat aku berdebar-debar Ki Jagabaya " berkata
Ki Demang. " Mungkin memang mendebarkan Ki Demang. Tetapi aku
minta Ki Demang dapat mempertimbangkan dengan sebaikbaiknya.
Dan Ki Demang justru harus merasa beruntung,
bahwa hal itu dapat segera diketahui sekarang. Jika terlambat
sepekan saja, maka segalanya tentu akan lain jadinya. Dan
kita semuanya hanya akan dapat menyesal
Atau tidak tahu sama sekali tentang apa yang sebenarnya
terjadi. " " Baiklah Ki Jagabaya " berkata Ki Demang " aku
menyadari, bahwa untuk mendengarkannya ceritera anakku,
maka aku harus mempersiapkan batinku sebaik-baiknya. "
Ki Jagabaya mengangguk kecil. Lalu katanya " Nah,
ceriterakanlah tentang peristiwa yang kau alami. Jangan ada
yang terlampui sehingga semuanya akan menjadi jelas.
Anak Ki Demang itu termangu-mangu sejenak. Namun
iapun kemudian mulai berceritera tentang dirinya. Dari
permulaan sampai dengan saat ia menghadap ayahnya itu.
Tidak ada persoalan yang terlampui meskipun segalanya
diceriterakannya dengan singkat.
Ki Demang memang terkejut. Namun sebelumnya ia sudah
menyiapkan diri untuk mendengar ceritera yang mengejutkan,
sehingga karena itu, maka Ki Demang masih mampu
mengatur perasaannya yang bergejolak.
Sambil menarik nafas dalam-dalam ia bertanya kepada
anaknya setelah ia selesai berceritera " Apakah kau sudah


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengalami semua itu atau kau baru menduga akan terjadi
peristiwa seperti itu" "
" Aku sudah mengalaminya ayah. Dua orang anak muda
yang menolongku itu sekarang ada disini. Mereka memiliki
kemampuan dan ilmu yang tidak dapat disebut dan
digambarkan dengan kata-kata.
" Apakah aku dapat bertemu dengan mereka" " berkata Ki
Demang. " Tentu ayah. Mereka berada di pendapa. " jawab anaknya.
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Namun
kesehatannya memang terasa semakin menurun pada harihari
terakhir. Ternyata bahwa obat yang selalu diminumnya,
bukannya dapat menyembuhkannya, tetapi justru membuat
sakitnya bertambah parah.
Dalam pada itu maka anaknyapun berkata " Apakah kedua
anak muda itu diperkenankan masuk kemari ayah. Anak-anak
muda itu akan dapat memberikan beberapa keterangan yang
barangkali ayah perlukan. "
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Ki
Jagabaya sejenak. Kemudian iapun bertanya dengan nada
rendah " Apakah anak-anak itu baik jika mereka masuk
kedalam bilik ini" "
" Ki Jagabaya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya " Aku kira ada juga baiknya anak-anak itu dapat
langsung berbicara dengan Ki Demang. "
" Baiklah " berkata Ki Demang " bawalah mereka kemari. "
Sebelum Ki Jagabaya bangkit dan melangkah ,keluar,;
anak Ki Demang sudah lebih dahulu menghambur keluar
untuk j memanggil Raden Rangga dan Glagah Putih.
Namun Ki Jagabayapun kemudian menyusulnya. Ia harus
mengawasi adik Ki Demang itu agar tidak berusaha untuk
melarikan diri karena banyak persoalan yang harus
diselesaikan dengannya. Sementara itu, maka anak Ki Demang telah mengajak
Raden Rangga dan Glagah Putih untuk menemui ayahnya.
Karena kedua anak muda itu ragu-ragu, maka Ki Jagabaya
yang kemudian keluar dari bilik Ki Demang telah mengangguk
sambil berkata " Masuklah. Ki Demang ingin berbicara dengan
kalian. " Raden Rangga dan Glagah Putihpun kemudian mengikuti
anak Ki Demang itu masuk kedalam biliknya. Kedua anak
muda itu melihat bahwa Ki Demang memang nampak sangat
lemah. Perlahan-lahan adiknya memang telah berusaha
membunuhnya dengan obat-obat yang diberikannya, yang
sama sekali bukan untuk menyembuhkannya.
"Anak-anak muda " berkata Ki Demang dengan suara
lemah " aku telah mendengar ceritera tentang anakku. Anakku
juga telah berceritera siapakah sebenarnya yang telah
membuat diriku menjadi sakit-sakitan seperti ini. Namun
agaknya segalanya sudah terlambat. Aku sudah menjadi
terlalu lemah dan barangkali aku benar-benar akan mati. "
Raden Rangga menggeleng. Katanya " Tidak Ki Demang.
Meskipun tidak dengan serta merta, namun aku berharap
bahwa ada obat yang dapat menyembuhkan Ki Demang. "
" Keadaanku sudah sangat lemah " berkata _Ki Demang.
" Tetapi menurut pendapatku, belum terlambat.
Barangkali Ki Demang dapat mencoba menyembuhkan
sakit Ki Demang melalui beberapa jenis obat. Namun yang
utama, Ki Demang harus menawarkan racun yang sudah ada
didalam tubuh Ki Demang. Racun itu adalah racun yang
lemah. Tetapi cukup berbahaya. Perlahan-lahan racun itu
merusakkan jaringan tubuh Ki Demang, sehingga tubuh Ki
Demang menjadi sangat parah seperti sekarang ini. " berkata
Raden Rangga. " Tetapi rasa-rasanya sulit bagiku untuk mendapatkan
penyembuhan. Rasa-rasanya tidak ada lagi obat yang dapat
menolongku " berkata Ki Demang.
Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Menurut
pendapatnya, jika racun didalam tubuh Ki Demang jtu sudah
tawar, maka penyembuhan berikutnya tidak akan terlalu sulit.
Sekedar untuk memulihkan kekuatannya dan memperbaiki
jaringan tubuhnya yang rusak.
Karena itu, maka Raden Ranggapun telah mengambil obat
penawar racun yang dibawanya. Katanya " Ki Demang, aku
mempunyai obat penawar racun. Mudah-mudahan akan dapat
menolong Ki Demang menawarkan racun didalam tubuh Ki
Demang. Selanjutnya, akan dapat diusahakan pengobatan
sewajarnya atas keadaan tubuh Ki Demang yang lemah itu. "
"Ki Demang mengerutkan keningnya. Namun kemudian
katanya " Aku sudah tidak berharap untuk dapat sembuh.
Karena itu, maka apapun yang sebaiknya aku lakukan akan
aku lakukan. Jika benar-benar aku dapat sembuh, itu adalah
karena satu keajaiban. "
" Berdoalah kepada Yang Maha Tinggi " berkata Raden
Rangga " jika hal itu dapat disebut keajaiban, maka keajaiban
itu .datangnya dari Yang Maha Agung pula. "
Ki Demang mengangguk kecil.
Kepada anak Ki Demang itu Raden Rangga minta
disediakan air bersih semangkuk kecil untuk mencairkan
obatnya yang berupa serbuk. Kemudian obat itu telah
diberikan kepada Ki Demang untuk diminum.
Tidak terasa akibat apapun juga pada tubuh Ki Demang.
Namun Raden Rangga berkata " Mudah-mudahan racun
didalam tubuh Ki Demang menjadi tawar dan tidak lagi
merusak perlahan-lahan. "
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Kalian
telah menolong anakku. Kemudian berusaha menolong aku.
Demikian besar kebaikan hatimu bagi keluargaku.
Raden Rangga tersenyum. Katanya " Itu adalah kewajiban
setiap orang untuk menolong sesama. Nah, tunggu sampai
esok. Mudah-mudahan terjadi perubahan didalam diri Ki
Demang. Sementara itu, Ki Demang dapat minum obat yang
lain untuk memulihkan kesehatan Ki Demang. Barangkali di
Kademangan ini ada juga orang yang mampu; membantu Ki
Demang dengan obat-obatan itu. "
Sementara itu, Ki Jagabaya yang menganggap anak-anak
muda itu terlalu lama berada didalam bilik Ki Demang, telah
menyusul pula dan menyerahkan pengawasan atas adik Ki
Demang kepada bebahu yang lain:
Namun, demikian ia memasuki bilik itu, Ki Demang sedang
bertanya " Siapakah sebenarnya anak-anak muda ini" "
Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Tetapi kepada Ki
Demang ia tidak ingin berbohong. Karena itu, maka iapun
berpesan kepada Ki Demang, Ki Jagabaya dan anak Ki
Demang " Jangan sebarkan kepada orang lain, siapa aku,
untuk kepentingan tugasku. " ia berhenti sejenak, lalu " Aku
adalah Rangga dari Mataram. "
Jilid 210 KI DEMANG mengerutkan keningnya, sementara Ki Jagabaya dan anak Ki Demang itu termangu-mangu. Dengan nada datar Ki Demang itupun bertanya, "Anak muda, menurut pengertianku, Rangga adalah satu kedudukan atau pangkat. Apakah pengertianku itu benar?"
"Tidak Ki Demang." Glagah Putihlah yang menyahut. "Yang disebut adalah sebuah nama. Namanya memang Rangga. Utuhnya Raden Rangga, putera Panembahan Senopati di Mataram."
"Putera Panembahan Senopati?" Ki Demang terkejut. Ia berusaha untuk bangkit.
Tetapi Raden Rangga menahannya sambil berkata, "Sudahlah Ki Demang. Berbaring sajalah. Siapapun aku, sebaiknya Ki Demang jangan memaksa diri untuk bangkit dan duduk. Ki Demang masih terlalu lemah."
"Ampun Raden." berkata Ki Demang justru dengan nafas terengah-engah, "kami sama sekali tidak tahu, bahwa tamu kami sekarang ini adalah putera Panembahan Senopati dr Mataram."
"Sudahlah." berkata Raden Rangga, "sudah aku katakan siapapun aku, Ki Demang jangan menghiraukan. Yang penting, seperti sudah aku katakan, Ki Demang jangan mengatakan kepada orang lain. Kami sedang mengemban satu tugas. Jika banyak orang yang mengenal kami maka hal itu akan dapat mengganggu tugas kami."
"Tentu Raden." berkata Ki Demang, "kami tidak akan mengatakan kepada siapapun. Ki Jagabayapun tidak akan mengatakan kepada orang lain. Demikian pula anakku itu."
"Nah Ki Demang." berkata Raden Rangga, "Yang penting Ki Demang memulihkan kekuatan Ki Demang setelah obat itu menghentikan dan menawarkan racun yang ada didalam tubuh Ki Demang. Dengan demikian maka Ki Demang akan dapat kembali memegang pimpinan pemerintahan. Terserah kepada Ki Demang, keputusan apakah yang akan Ki Demang jatuhkan kepada adik Ki Demang yang telah berkhianat itu."
"Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-sebesarnya Raden." berkata Ki Demang, "tetapi bagaimana jika aku menyerahkan persoalan adikku itu kepada Raden. Aku kira lebih baik orang lain mengambil keputusan daripada aku sendiri."
Raden Rangga menggeleng. Katanya, "Aku tidak mempunyai wewenang untuk itu. Jika aku melakukannya dan ayahanda Panembahan Senopati mengetahuinya, maka aku akan mendapat hukuman pula."
"O." Ki Demang menarik nafas dalam-dalam, "jadi, apakah aku harus mengadili adikku sendiri?"
"Ya. Itu adalah kewajiban Ki Demang." berkata Raden Rangga, "adalah kebetulan saja bahwa yang melakukan kesalahan itu adalah adik Ki Demang sendiri."
"Baiklah Raden." berkata Ki Demang, "seandainya Yang Maha Agung memperkenankan aku sembuh kembali, aku akan mengadilinya. Tetapi sudah tentu aku mohon Raden menjadi saksi."
Raden Rangga tersenyum. Katanya, "aku minta maaf Ki Demang, bahwa aku tidak akan dapat tinggal terlalu lama di Kademangan ini."
"Kami akan memohon Raden tinggal disini bersama anak muda yang seorang itu." berkata Ki Demang.
"Anak muda ini adalah Glagah Putih Ki Demang. la adalah adik sepupu Agung Sedayu dari Jati Anom, namun yang sekarang berada di Tanah Perdikan Menoreh." jawab Raden Rangga, "la akan pergi bersamaku, melakukan tugas yang berat."
"Jati Anom." desis Ki Demang, "tempat itu tidak terlalu jauh. Aku pernah pergi ke Jati Anom."
"Ya. Kami berdua akan mengemban satu tugas, sehingga dengan demikian, maka kami berdua tidak akan dapat terlalu lama tinggal di Kademangan ini. Mungkin kami dapat tinggal sehari. Akupun ingin melihat akibat dari obat yang telah Ki Demang minum. Tetapi tidak lebih dari itu." berkata Raden Rangga.
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Kami mohon Raden dapat berada ditempat ini tidak hanya untuk sehari."
Raden Rangga tersenyum. Katanya, " Sudahlah. Sebaiknya Ki Demang beristirahat. Untuk selanjutnya Ki
Demang dapat minum obat untuk menyembuhkan sakit Ki Demang dan memulihkan kesehatan. Ki Demang. Yang penting racun itu sudah tidak bekerja lagi didalam tubuh Ki Demang."
Ki Demang mengangguk. Namun terdengar ia berdesis, "Raden telah melakukan satu langkah yang sangat penting artinya bagi keluarga kami dan Kademangan kami, Karena itu, maka kami mohon, jika tugas Raden sudah selesai, hendaknya Raden dan angger Glagah Putih sudi singgah lagi di Kademangan ini."
Raden Rangga mengangguk. Namun tiba-tiba wajahnya menjadi muram. Hanya sekilas. Iapun kemudian berusaha untuk dengan segera menekan perasaannya. Raden Rangga telah memaksakan sebuah senyum bergerak dibibirnya.
"Tentu Ki Demang." berkata Raden Rangga, "Aku akan singgah kelak jika tugasku sudah selesai."
"Terima kasih Raden. Semoga tugas Raden cepat Raden selesaikan berdua."
Raden Rangga kemudian menepuk lengan Ki Demang sambil berkata, "Sudahlah Ki Demang. Beristirahatlah. Aku akan berada di pendapa. Malam besok aku masih akan bermalam di Kademangan ini. Karena itu, maka besok sehari aku akan berada disini."
Ki Demang mengangguk kecil. Katanya, "Silahkan Raden juga berisirahat, "Lalu Ki Demangpun berkata kepada Ki Jagabaya. "Sebelum aku dapat berbuat banyak, terserah kepadamu Ki Jagabaya. Tetapi jaga agar adikku itu tidak dapat melepaskan diri dengan alasan apapun."
"Baik Ki Demang. Aku akan menjaganya bersama para bebahu dan anak-anak muda Kademangan ini." jawab Ki Jagabaya.
"Ki Jagabaya." berkata Ki Demang pula, "persilahkan tamu-tamu kita ini beristirahat."
"Aku akan membersihkan gandok ayah." berkata anak Ki Demang.
Sebelum Ki Demang menjawab, maka anak Ki Demang itu sudah berlari ke gandok. Tetapi ternyata ia tidak melakukan sendiri. Ia hanya berteriak-teriak saja memanggil pembantu Kademangan itu yang terkejut karenanya. Sam"bil mengusap matanya ia keluar dari biliknya dan pergi ke gandok sambil bergeremang.
"Anak itu terlalu manja."
Demikian ia sampai ke gandok, maka anak Ki Demang itupun telah meneriakkan perintah-perintah.
"He, jangan tidur saja." berkata anak Ki Demang itu lantang, "kau tahu kalau ada tamu he" Semua orang se Ka"demangan datang kemari, kau tidur saja mendekur."
"Siapa yang datang kemari?" bertanya pembantunya itu.
"Lihat itu dihalaman." berkata anak Ki Demang.
Pembantunya sama sekali tidak berniat untuk melihat ke halaman. Semen tara itu, anak Ki Demangpun telah memerintahkan membersihkan bilik gandok itu.
Dalam pada itu, maka Ki Jagabayapun telah mempersilahkan kedua anak muda itu untuk sementara duduk dipendapa karena bilik bagi mereka digandok baru dibersihkan.
"Rumah Ki Demang cukup besar." berkata Ki Jagabaya, "sedangkan keluarganya tidak terlalu banyak sehingga ada bilik-bilik yang kosong. Namun agaknya bilik-bilik yang kosong itupun jarang dibersihkan sebagaimana bilik yang selalu dipergunakan."
Raden Rangga dan Glagah Putih mengangguk-angguk. Merekapun kemudian telah duduk kembali di pendapa sam"bil menunggu tempat yang disediakan bagi mereka. Semen"tara itu, Nyi Demanglah yang telah berada kembali di bilik Ki Demang untuk menungguinya.
Dalam pada itu, Ki Jagabayapun kemudian telah sibuk dengan para tawanannya. Para pengawal yang terdiri dari anak-anak muda telah mendapat tugas untuk membawa para tawanan itu ke banjar dan diawasi langsung oleh dua orang bebahu, pembantu Ki Jagabaya.
"Jangan sampai lepas." berkata Ki Jagabaya, "taruhannya adalah leher kalian."
Demikianlah, maka disisa malam itu, Raden Rangga dan Glagah Putih telah tidur di gandok. Anak Ki Demang yang sebaya dengan Raden Rangga itu ternyata ingin pula tidur bersama mereka. Kekagumannya kepada kedua anak muda yang mengembara itu membuatnya selalu ingin dekat dengan mereka.
Memang ada banyak hal yang ditanyakan. Sesuai de"ngan umurnya maka pertanyaan berkisar pada kemampuan kedua pengembara itu. Bagaimana mereka dapat mengalahkan seekor harimau dan mengusirnya kedalam hutan dan bagaimana mereka mampu melawan delapan orang sekaligus.
Glagah Putih yang lebih banyak mendengarkan percakapan itu tiba-tiba hampir diluar sadarnya telah memperbandingkan dua orang anak muda yang sebaya. Glagah Putih memperhatikan landasan berpikir mereka, ungkapan perasaan mereka dan perhatian mereka terhadap sasaran pengamatan mereka.
Memang jauh berbeda. Namun kadang-kadang tataran perhatian mereka bertemu, tetapi hanya pada titik silang yang kemudian berpisah lagi, sebagaimana dua buah garis yang saling berpotongan. Namun pada pembicaraan berikutnya, jarak antara keduanya menjadi semakin jauh dan bahkan keduanya sama sekali tidak mempunyai arah singgungan sama sekali. Namun dalam pada itu akhirnya mereka bertigapun sempat beristirahat dan tidur barang sejenak.
Ketika fajar menyingsing, maka mereka telah terbangun. Adalah kebiasaan Glagah Putih untuk segera pergi kesumur untuk menimba air.
"Aku mandi dahulu." berkata Raden Rangga, "nanti, kau ganti mandi dan aku yang mengisi jambangan."
Glagah Putih mengangguk. Ialah yang lebih dahulu Raden Rangga mandi.
Ketika kemudian seisi rumah itu telah terbangun, maka kedua anak muda itu pergi menengok Ki Demang didalam biliknya. Ternyata bahwa sudah mulai terasa perubahan didalam dirinya. Racun yang sudah tidak bekerja lagi itu tidak lagi merambat, merusakkan jaringan-jaringan tubuh Ki Demang. Apalagi ketika Ki Demang kemudia telah mendapat sejenis obat yang dapat memulihkan kekuatannya dari seorang yang memiliki pengetahuan obat-obatan.
Namun semula orang itu tidak berani memberikan obatnya, karena sebelumnya ia pernah mengobati Ki Demang tanpa membawa hasil. Bahkan semakin lama menjadi semakin parah.
"Racun itu sudah tidak bekerja lagi." berkata Ki Demang, "karena itu aku berharap obatmu akan berarti bagi kesehatanku."
Sebenarnyalah, obat yang diminumnya itu memberikan kesegaran pada tubuh Ki Demang yang masih sangat lemah. Tetapi Raden Rangga yakin, bahwa meskipun agak lambat, namun Ki Demang tentu akan dapat pulih kembali.
"Sebenarnya kami hanya ingin melihat akibat obat yang telah diberikan kepada Ki Demang" berkata Raden Rangga, "agaknya kita sudah yakin bahwa keadaan Ki Demang akan berangsur baik. Karena itu, tugasku di Kade"mangan ini agaknya sudah selesai."
"Tetapi kau berjanji untuk tinggal di Kademangan ini sampai besok." berkata anak Ki Demang.
Raden Rangga tersenyum. Ketika ia berpaling kearah Glagah Putih maka Glagah Putih itupun berkata, "Terserah kepada Raden. Tetapi pekerjaan kita sudah selesai disini."
"Belum." potong anak Ki Demang, "masih ada satu tugas yang harus kalian lakukan. Menepati janji."
Raden Rangga tertawa. Namun kemudian iapun men"jawab, "baiklah. Tetapi dengan satu permintaan."
"Apa?" bertanya anak Ki Demang.
"Siang nanti kita membuat rujak cengkir dan babal." jawab Raden Rangga.
"Jangan takut jawab anak itu, disini ada berpuluh batang pohon kelapa dan berpuluh batang pohon nangka."
Dengan demikian maka Raden Rangga dan Glagah Pu"tih telah menunda keberangkatan mereka. Sehari itu mere"ka sempat mengamati perkembangan kesehatan Ki Demang yang nampaknya menjadi semakin baik betapa lambatnya. Setelah racun didalam tubuhnya yang bekerja perlahan-lahan telah menjadi tawar, maka obat lain yang diberikan telah mampu bekerja untuk meningkatkan kesehatannya.
Ternyata dalam waktu singkat, perubahan kecil telah mulai nampak. Tubuh Ki Demang tidak lagi merasa nyeri di semua sendi-sendinya. Tanda-tanda perbaikan mulai nampak, sehingga Nyi Demang yang dalam saat-saat terakhir selalu dicengkam oleh kecemasan mulai berpengharapan, bahwa suaminya akan dapat sembuh lagi meskipun tidak dengan serta merta.
Karena itu, maka kedua anak muda yang telah menolong anaknya dan kemudian memberi obat kepada Ki Demang itu, baginya adalah tamu-tamu yang sangat terhormat.
Dalam pada itu, Ki Jagabaya sibuk mengawasi adik Ki Demang yang sedang ditahan. Tidak seorangpun yang menduga, bahwa adik Ki Demang itu telah sampai hati mengorbankan kakak kandungnya untuk mendapatkan kedudukan tertinggi di Kademangan Sempulur.
Yang masih belum diberi tahu tentang rencana adik Ki Demang itu adalah ibu kandung Ki Demang sendiri. Ki Demang memang berpesan, agar ibunya yang sudah tua jangan mendengarnya. Tetapi ternyata bahwa karena setiap orang di Ka"demangan Sempulur telah membicarakannya, maka akhirnya ibu Ki Demang itupun mendengar juga meskipun tidak jelas, bahwa anaknya yang muda telah ditangkap.
Hatinya yang lemah oleh umurnya yang tua, benar-benar telah terguncang. Dipanggilnya pembantunya, seorang perempuan yang juga sudah mendekati umurnya, meskipun masih agak lebih muda.
"Apa yang telah terjadi?" bertanya ibu Ki Demang itu, "menurut pendengaranku, Piyah telah mengatakan kepada Semi bahwa anakku yang muda telah ditangkap atas perintah anakku yang tua."
"Demikian kata orang Nyai." jawab pembantunya yang juga sudah tua itu, "tetapi aku tidak tahu, apa sebabnya."
"Betapa sakitnya hati orang tua ini Tumi. Anakku hanya dua orang. Tetapi mereka tidak dapat hidup rukun sampai dihari tuanya." berkata perempuan tua itu.
"Tetapi tentu ada sebabnya." berkata pembantunya, seorang perempuan lugu yang bernama Tumi.
Perempuan tua, ibu Ki Demang itu kemudian berkata, "tolong, bawa aku kepada anakku yang tua."
"Ki Demang masih sakit Nyai." berkata pembantu"nya itu, "tentu masih belum dapat diajak berbicara tentang hal yang rumit-rumit seperti itu. Sebaiknya Nyai menunggu sampai keadaan menjadi jelas. Kecuali jika Nyai sekedar menengok atau bahkan membesarkan hatinya."
"Tetapi aku tidak dapat menunggu sampai pertengkaran itu menjadi-jadi. Demang itu agaknya merasa dirinya berkuasa, sehingga ia berbuat sewenang-wenang terhadap adiknya yang seharusnya dilindunginya."
"Ada orang yang mengatakan, bahwa adik Ki Demang itulah yang bersalah." berkata Tumi.
"Karena itu, aku harus mendapat kejelasan." berkata perempuan tua itu.
Tumi menjadi ragu-ragu untuk melakukan perintah perempuan itu. Ia tahu bahwa Ki Demang sedang sakit. Tetepi perempuan tua itu telah memaksanya.
Karena itu, maka katanya, "Nyai, coba biarlah aku menghubungi Nyi Demang, apakah Ki Demang yang sakit agak parah itu dapat menerima Nyai untuk membicarakan masalah itu."
"Aku ibunya." jawab perempuan itu, "sakit atau tidak sakit aku berhak untuk datang kepadanya. Kemarin aku juga menengoknya. Ia dapat menjadi Demang karena ayahnya seorang Demang. Sepeninggal ayahnya, maka ia mendapatkan kedudukan itu, karena ia adalah anakku yang tua. Tetapi jika adiknya tidak menjadi Demang maka ia tidak boleh berbuat sewenang-wenang seperti itu."
Tumi tidak dapat berbuat lain. Karena itu, maka iapun telah mengantarkan perempuan tua itu menemui Demang Sempulur yang sedang sakit.
Rumah ibu Ki Demang itu hanya berbatasan dinding saja dengan Kademangan. Semula ia juga berada di Ka"demangan. Tetapi ia ingin melupakan kematian suaminya, Ki Demang yang lama. Karena itu, maka ia telah memotong halaman rumah Kademangan itu dan membangun rumah sendiri untuk mendapatkan suasana yang baru.
Kedatangan ibu Ki Demang dengan niat khusus itu memang mengejutkan. Anak Ki Demang berusaha untuk menjelaskan kepada neneknya bahwa ayahnya masih sangat lemah. Katanya, "Kecuali jika nenek sekedar menengoknya."
"Ayahmu memang maunya selalu menang." berkata neneknya. "Aku akan minta penjelasan kepada ayahmu, apa yang sebenarnya telah terjadi."
"Nek." berkata anak Ki Demang itu, "besok atau lusa barangkali ayah sudah dapat menjelaskan kepada nenek."
"Kau anak nakal." desis neneknya, "ayahmu itu ada"lah anakku."
Anak Ki Demang itu tidak dapat menahan neneknya, sementara itu ia tidak berani mengatakan apa yang telah terjadi dengan ayah dan pamannya, karena ayahnya memang melarang untuk mengatakan hal itu. Tetapi diluar dugaan, ternyata neneknya telah mendengar peristiwa itu, tetapi hanya sebagian.
Ketika Nyi Demang menyatakan kesediaannya untuk menjelaskan persoalannya, perempuan tua itu mendorongnya kesamping, "Aku akan berbicara dengan anakku."
Memang tidak ada yang dapat mencegahnya, sehingga akhirnya perempuan tua itu telah berdiri disisi pembaringan Ki Demang. Untunglah bahwa keadaan Ki Demang sudah membaik meskipun baru setapak kecil, sementara racunpun telah menjadi tawar.
Ki Demang yang tidak menyadari persoalan yang dibawa oleh ibunya tersenyum menerima kedatangannya. Dengan suara lemah Ki Demang mempersilahkan, "Silahkan duduk ibu."
Ibu Ki Demang termangu-mangu sejenak. Ketika ia sudah berdiri dihadapan anaknya yang sedang sakit, maka tumbuh perubahan didalam hatinya. Ia tidak lagi ingin menyumpah dan mengutuk anaknya yang tua. Meskipun sejak kecil anaknya yang muda yang seakan-akan lebih dekat dihatinya, namun wajah Ki Demang yang pucat, suaranya yang lemah, dapat sedikit mengendapkan perasaannya. Karena itu, maka ibunya itupun segera duduk di sebelahnya.
Sementara itu Nyi Demang berdiri dengan bayangan wajah yang sangat cemas. Diluar pintu anak Ki
Demang telah mengajak Raden Rangga dan Glagah Putih mengikuti neneknya yang marah. Namun mereka menarik nafas dalam-dalam melihat perubahan sikap ibu Ki Demang itu.
Ki Demang sendiri tidak segera bertanya sesuatu. Ia mengira ibunya seperti hari-hari yang lewat, sekedar menengoknya. Menanyakan kesehatannya, kemudian kembali kerumahnya disebelah. Namun ia memang melihat wajah ibunya agak berbeda dengan kemarin.
"Demange." berkata ibunya itu, "aku mempunyai se"dikit persoalan yang ingin aku tanyakan kepadamu."
"O" Ki Demang mulai berdebar-debar. Ia mengira bahwa ibunya tentu sudah mendengar tentang adiknya yang ditangkap itu meskipun ia sudah berpesan agar tidak seorangpun yang memberitahukan kepadanya. Tetapi agak"nya mulut memang sulit untuk dipagari. Namun Ki Demang masih berpura-pura tidak mengetahuinya. Karena itu maka iapun bertanya, "Apa yang ibu maksudkan?"
"Jangan berpura-pura." berkata ibunya, "menurut ceritera banyak orang, kau sudah menangkap adikmu sendiri."
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Tetapi karena sebelumnya ia memang sudah menduga, maka ia tidak menjadi sangat terkejut mendengar pertanyaan itu. Bah"kan iapun kemudian menjawab, "Aku terpaksa melakukannya ibu." Namun kemudian dibetulkannya, "Tentu bukan aku yang melakukannya, karena aku sedang sakit."
"Tetapi tentu atas perintahrnu." berkata ibunya pula.
"Bukan ibu. Atas persoalan yang dilakukannya, maka Ki Jagabaya menganggap perlu untuk menahannya. Memang atas persetujuanku." jawab Ki Demang.
"Jadi, apakah kau merasa masih kurang, bahwa kaulah yang telah mewarisi pangkat, derajad dan sebagian dari peninggalan ayahmu meskipun aku, isteri ayahmu dan sekaligus ibumu masih hidup?"
"Ibu." berkata Ki Demang dengan nada yang berat, "aku mengerti maksud ibu. Ibu tentu menganggap bahwa aku telah berbuat sewenang-wenang terhadap adikku sendiri dan karena ibu menyinggung peninggalan ayah, seakan-akan aku ingin mendapat lebih banyak lagi dari yang aku dapatkan sekarang."
"Aku tidak asal saja menuduhmu. Kau telah sampai hati menangkap adikmu sendiri." berkata ibunya selanjutnya, "tentu saja kau dapat meminjam tangan Ki Jagabaya atau para pengawal Kademangan. Kau dapat memberikan tuduhan apa saja kepada adikmu sesuka hatimu."
Ki Demang yang sedang sakit itu menarik nafas dalam dalam. Sementara itu Nyi Demang mencoba untuk sedikit menurunkan kemarahan mertuanya, "Ibu, kakak Demang masih sangat lemah."
"Aku tidak apa-apa. Aku hanya bertanya saja kepada"nya, apa maksudnya menangkap adiknya sendiri." jawab ibunya.
"Ibu." berkata Ki Demang kemudian, "sebaiknya ibu menghubungi Ki Jagabaya."
"Jagabaya itu tentu sudah kau pesan." jawab ibunya, "ia adalah Jagabaya yang baik sebelumnya. Sejak ia diangkat menggantikan ayahnya oleh ayahmu dahulu, ia sudah menunjukkan kelebihannya dari ayahnya. Tetapi se"karang ternyata ia telah dapat kau pergunakan untuk kepentinganmu pribadi, bukan kepentingan Kademangan ini."
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam beberapa kali untuk menahan perasaannya yang bergolak.Ia menghormati ibunya sebagai mana seseorang menghormati ibunya. Na"mun dalam keadaan sakit, ia tidak banyak kesempatan un"tuk berbicara panjang. Dadanya yang sudah terasa lapang itu menjadi sesak pula.
Dalam pada itu, anak Ki Demang yang tidak tahan melihat keadaan ayahnya berkata, "Nenek, jika ayah berkenan, aku dapat menjelaskan persoalannya."
"Apa tahumu." bentak neneknya.
Ayahnyalah yang menyahut, "Ibu, sebenarnya aku memerintahkan semua orang untuk tidak menyampaikan persoalan ini kepada ibu, agar ibu tidak terkejut karenanya. Tetapi ternyata aku telah memilih langkah yang salah. Seharusnya sejak semula aku harus lansung memberita"hukan kepada ibu agar ibu tidak mendengar justru dari orang lain yang dapat menyesatkan."
"Siapapun yang mengatakan kepadaku, tetapi satu kenyataan bahwa adikmu sudah kau tangkap." berkata ibunya.
Ketika Nyi Demang menyatakan kesediaannya untuk menjelaskan persoalannya, perempuan tua itu mendorongnya kesamping. "Aku akan berbicara dengan anakku."
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Raden Rangga yang tidak sabarlah yang justru menjawab, "Aku yang menangkapnya nek."
Ibu Ki Demang itu berpaling. Dipandanginya seorang anak muda yang berdiri dimuka pintu disebelah cucunya. Anak muda yang belum dikenalnya.
"Kau siapa?" bertanya ibu Ki Demang itu.
Raden Rangga tiba-tiba saja menjadi ragu-ragu. Tetapi ia sudah terlanjur mengatakannya. Karena itu, maka jawabnya kemudian, "Aku adalah sahabat cucu nenek ini."
"Apa hubunganmu dengan kedua anakku dalam persengketaan ini?" bertanya ibu Ki Demang pula.
"Nek." berkata Raden Rangga kemudian, "bukankah cucu nenek hanya seorang?"
"Tidak." jawab nenek itu. "anak Demange inilah yang hanya satu."
Raden Rangga mengangguk-angguk. Dengan demikian maka ia mengetahui bahwa anak adik Ki Demang yang te"lah ditangkap itu agaknya lebih dari seorang.
Sebenarnyalah ibu Ki Demang itupun kemudian meneruskan, "Anak adik Ki Demang ini ada tiga."
Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sudah terlanjur melibatkan dirinya karena ia merasa kasihan kepada Ki Demang. Karena itu maka katanya, "Baiklah Nek. Jika nenek ingin penjelasan, biarlah aku menje"laskan, kenapa anak nenek yang muda itu telah ditangkap."
"Siapa kau dan apa urusanmu dengan anak-anakku?" bertanya ibu Ki Demang itu.
Ki Demang yang sakit itu dengan suara lemah menyahut, "Ibu. Sebenarnya kami tidak ingin memberitahukan persoalannya kepada ibu. Aku tahu, anak ibu yang bungsu itu terlalu manja. Jika ibu mengetahui persoalannya yang sebenarnya, maka ibu tentu akan terkejut. Ada dua kemungkinan dapat terjadi. Ibu tidak percaya, atau ibu akan menjadi sangat kecewa terhadap si bungsu itu."
Ibunya mengerutkan keningnya. Dipandanginya anak"nya yang masih nampak sangat lemah itu. Kemudian diedarkannya pandangan matanya kearah Nyi Demang, anak Ki Demang dan dua orang anak muda yang mengaku kawan-kawan cucunya itu.
"Apa yang telah terjadi sebenarnya?" bertanya ibu Ki Demang itu.
Raden Rangga masih juga ragu-ragu. Namun Ki De"mang itupun kemudian berkata kepada anaknya, "Ceriterakan kepada nenekmu. Ternyata usahaku untuk tidak memberitahukan kepada nenekmu, akibatnya justru sebaliknya. Nenekmu mendengar dari orang lain, tetapi ti"dak lengkap sehingga timbul prasangka yang bukan-bukan."
Anak Ki Demang itu menjadi ragu-ragu. Tetapi ia su"dah remaja bahkan mendekati dewasa, sehingga karena itu, ia sudah dapat membuat pertimbangan-pertimbangan, sehingga karena itu, maka iapun setuju dengan ayahnya. Neneknya harus mendengar langsung dari orang yang berkepentingan agar tidak mendapat kesan yang salah.
"Jika nenek tidak percaya itu persoalan lain." ber"kata anak Ki Demang itu didalam hatinya.
"Nek." berkata anak Ki Demang itu kemudian sambil mendekat. Namun hatinya menjadi berdebar-debar juga melihat kerut didahi neneknya. Sementara itu Nyi Demang menjadi tegang. Tetapi ia tidak berani mencampurinya.
Demikianlah maka anak Ki Demang itupun kemudian telah menceriterakan apa yang telah dialaminya. Sejak awal sampai akhir. Juga tentang sakit ayahnya yang semakin lams semakin parah. Perlahan-lahan namun pasti penyakit itu akan membunuh Ki Demang jika ia tidak segera men"dapat pertolongan dari anak-anak muda itu.
Ibu Ki Demang itu mendengarkan dengan saksama. Se"tiap kata yang diucapkan oleh cucunya itu membuat denyut jantungnya serasa menjadi semakin cepat. Ketika cucunya selesai berceritera tentang peristiwa yang dialaminya itu, maka neneknya menyahut, namun kata-katanya tidak lagi mantap, sehingga terdengar ragu-ragu, "Kau berbohong."


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak nek." jawab cucunya, "kedua orang kawanku ini menjadi saksi. Merekalah yang menolongku dari terkaman harimau itu dan merekalah yang telah mencegah paman membunuhku."
"Kau katakan bahwa orang yang akan membunuhmu bersama pamanmu itu berjumlah delapan orang. Sudah tentu delapan orang dewasa seperti pamanmu." bertanya neneknya.
"Ya nek, memang delapan orang." jawab cucunya.
"Jadi bagaimana" Delapan orang itu dapat dikalahkan oleh dua orang kawan-kawanmu yang masih ingusan itu?" bertanya neneknya.
Anak Ki Demang itu berpaling kearah Raden Rangga dan Glagah Putih. Memang sulit dipercaya bahwa kedua orang anak muda itu mampu mengalahkan pamannya dengan tujuh orang kawannya. Tetapi itu memang sudah terjadi.
Karena itu, maka anak itupun berkata, "Itulah kelebihan kedua orang kawanku ini. Sebenarnyalah mereka mampu mengalahkan paman bersama tujuh orang kawan"nya. Jika nenek tidak percaya, marilah kita ajak kedua orang anak muda itu menemui paman. Jika paman ingkar, biarlah paman dan tujuh orang itu diadu dihalaman disaksikan oleh nenek. Tetapi jika kemudian terjadi kematian, maka neneklah yang bertanggung jawab."
"Kenapa aku?" bertanya neneknya, "jika keduanya memang pernah memenangkan perkelahian melawan delapan orang itu, kenapa mereka akan mati?"
"Bukan kawan-kawanku itu yang akan mati. Tetupi lawan mereka. Termasuk paman." berkata anak Ki Demang itu.
Ibu Ki Demang itu mulai ragu-ragu. Namun kemudian Ki Demang itu berkata, "Ibu, jika ibu tidak percaya, silahkan ibu menemui anak ibu yang bungsu. Ajak kedua anak muda itu, agar ia tidak dapat berbohong."
Perempuan tua itu agaknya ragu-ragu. Agaknya ia benar-benar ingin membuktikan. Karena itu, maka katanya, "Bawa aku kepada si Bungsu. Aku ingin membuktikan apakah kalian tidak membohongi aku dengan fitnah yang kotor."
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun berdesis. Untunglah bahwa kedua anak muda itu masih tinggal disini untuk sehari ini, sehingga dengan demikian maka mereka akan dapat membantu menjernihkan dugaan ibuku terdahapku."
Demikianlah maka anak Ki Demang itupun kemudian telah mengantar neneknya ketempat pamannya ditahan bersama Raden Rangga dan Glagah Putih. Tanpa kedua anak muda itu, maka adik Ki Demang itu akan dapat ingkar. Dan ibunya tentu lebih percaya kepada anaknya yang muda daripada Ki Demang, meskipun Ki Demang dalam keadaan yang sangat lemah karena sakit.
Sepeninggal anaknya, maka Nyi Demangpun telah berjongkok disisi suaminya berbaring sambil menangis. Dadanya benar-benar dicengkam oleh kategangan yang sangat. Ia mengenal sifat dan watak mertuanya yang keras. Agaknya disaat mertua laki-lakinya masih hidup, maka kedudukannya sebagai Nyi Demang telah menempanya. Namun demikian ia sendiri agaknya tidak akan menjadi sekeras mertua perempuannya itu.
"Sudahlah Nyai." berkata Ki Demang, "segalanya akan selesai dengan baik. Memang kita beruntung sekali karena kehadiran kedua orang anak muda itu. Kecuali mereka telah menyelamatkan anak kita, memberikan obat kepadaku dan sekarang mereka akan membantu menjernihkan kekalutan didalam keluarga kita."
Nyi Demang itu mengangguk kecil sambil mengusap matanya.
Demikianlah maka ibu Ki Demang itu telah diantar oleh cucunya menemui anaknya yang bungsu. Raden Rangga dari Glagah Putih dengan sengaja tidak ikut mereka masuk ke dalam biliknya. Katanya, "Kami menunggu diluar. Jika perlu saja, panggil aku."
"Tetapi penjelasanmu sangat diperlukan." berkata anak Ki Demang.
"Biarlah nenekmu yakin akan sifat-sifat anaknya yang bungsu itu jika ia melihat sendiri kecurangannya." berkata Raden Rangga.
Anak Ki Demang itu tidak tahu maksud Raden Rang"ga. Namun iapun kemudian mengikuti neneknya memasuki sebuah bilik untuk menemui anaknya yang bungsu, sementara Raden Rangga dan Glagah Putih berada diluar pintu.
Sebenarnya perempuan itu memang lebih dekat dengan anaknya yang bungsu daripada dengan Ki Demang. Namun demikian, ternyata bahwa pertanyaanpun diberikan dengan nada keras kepada anaknya yang bungsu itu, "He, kenapa kau berada disini?"
"Aku tidak tahu." jawab adik Ki Demang itu, "aku tidak mengira bahwa kakang Demang akan menangkap aku."
"Menurut kakangmu, kaulah yang bersalah. Anak inilah yang telah menceriterakannya kepadaku." berkata ibu Ki Demang itu.
"O, ceritera apa saja yang sudah dikatakannya?" bertanya adik Ki Demang itu.
Ibunya mengerutkan keningnya. Katanya, "Kau telah berusaha membunuhnya dan sekaligus membunuh anaknya ini."
"O" adik Ki Demang mengangguk-angguk, "jadi itukah tuduhannya sehingga aku telah ditahan disini?"
"Jadi, kau melakukannya atau tidak?" desak ibunya.
"Aku belum gila, ibu." jawab adik Ki Demang itu, "selama ini aku telah berusaha dengan susah payah merawat dan mengusahakan pengobatan baginya. Agaknya kakang Demang telah berkhayal, seolah-olah aku telah berusaha membunuhnya dan membunuh anaknya. Hal itu tentu terjadi karena kecemasan Ki Demang sendiri. Ia sendiri menderita sakit, sementara itu anaknya hanya seorang dan agaknya belum dewasa penuh. Kakang Demang takut se"kali kehilangan kedudukannya, sehingga bayangan itu telah tergurat diangan-angannya. Atau kakang Demang memang dengan sengaja ingin menghancurkan keluargaku."
"Jadi kau tidak melakukannya?" bertanya ibunya.
"Tidak." jawab adik Ki Demang, "sudah aku kata, aku belum gila. Kakang Demanglah yang sudah gila. Kare"na itu, maka bayangan kegilaannya didalam sakitnya itulah yang telah mengejarnya. Aku adalah korban dari kejaran bayangan kegilaannya itu."
"Tetapi anak inilah yang mengatakannya kepadaku, bahwa kau telah berusaha untuk membunuhnya dan mem"bunuh ayahnya." berkata ibu Ki Demang itu.
Adik Ki Demang itu mengerutkan keningnya. Kemu"dian dengan tajamnya dipandanginya kemenakannya sam"bil berkata, "Jadi kau yang selama ini sangat aku manjakan itu juga telah membantu ayahmu memfitnah aku?"
"Paman. Aku mengatakan yang sebenarnya terjadi atas diriku dan ayahku sebagaimana paman katakan sendiri dipinggir hutan itu." jawab anak Ki Demang.
"Aku tidak mengira, bahwa kau telah ikut dengan ayahmu dalam usahanya menyingkirkan aku. Sebenarnya apa salahku sehingga kakang Demang sangat membenciku." berkata adik Ki Demang.
"Nah." berkata ibu Ki Demang, "aku memang sudah mengira bahwa kakangmu telah menjadi gila didalam sakit"nya. Untunglah aku telah mendengar berita tentang hal ini, sehingga aku dapat mengusutnya. Dengan demikian maka aku harus segera bertindak agar kegilaan ini segera dihentikan."
"Tidak nek." anak Ki Demang itu hampir berteriak, "paman telah melakukannya."
"Tenanglah anak manis." berkata pamannya. "Ibu sebaiknya bawa aku bertemu dengan kakang Demang. Siapakah diantara kami yang dapat memberikan penjelasan yang meyakinkan kepada ibu. Dengan demikian akan diketahui siapakah diantara kita yang bersalah."
"Aku sependapat." berkata ibunya, "aku akan memerintahkan para pengawal untuk membawamu kepada Demange."
"Nek" minta cucunya, "dengarkan aku. Paman sa"ngat berbahaya."
"Kau tidak tahu apa-apa. Kau masih terlalu muda untuk ikut berbicara dalam hal ini."
Namun tiba-tiba ibu Ki Demang itu bertanya, "dimana kedua kawan-kawanmu yang ikut dalam komplotan fitnah ini?"
"Ia ada diiuar." jawab anak Ki Demang. Namun bersamaan dengan itu, maka pintupun telah terbuka. Dua orang anak muda telah melangkah memasuki bilik itu.
"Selamat bertemu kembali Ki Sanak." desis Raden Rangga.
Tiba-tiba saja wajah adik Ki Demang itu menjadi pucat. Dipandanginya Raden Rangga dan Glagah Putih itu dengan tanpa berkedip.
"Mereka juga pemfitnah. Mereka berdua." suara adik Ki Demang itu menjadi gagap.
"Ternyata kau tidak lupa kepada kami, Ki Sanak." suara Raden Rangga bernada berat.
Adik Ki Demang itu memandang kedua anak mudu itu dengan sorot mata yang bagaikan menyala. Namun kemu"dian hampir berteriak ia berkata, "Pergi kau anak-anak gila."
Ibu Ki Demang itu termangu-mangu sejenak. Namun Raden Rangga yang tersenyum itu melangkah mendekat. Katanya, "Tenanglah. Kami tidak akan berbuat apa-apa. Kami hanya ingin menjelaskan persoalan yang telah terjadi agar ibumu mendapat gambaran yang benar dari peristiwa yang sebenarnya."
Wajah adik Ki Demang itu menjadi semakin pucat. Sementara itu ibunya bertanya dengan ragu, "Kau kenal kedua anak muda itu?"
"Mereka adalah anak-anak jahat yang ikut berusaha untuk membunuhku." berkata adik Ki Demang itu.
"Tenanglah." berkata Raden Rangga kemudian, "kenapa kau akan dibunuh" Tidak ada orang yang akan membunuhmu. Ki Demang hanya menangkapmu. Jika Ki Demang ingin membunuhmu, maka kau tentu sudah mati dipinggir hutan itu" Nah, apakah aku harus membuktikan, bahwa aku mampu melakukannya seandainya aku memang ingin membunuhmu?"
Tubuh adik Ki Demang itu menjadi gemetar. Semen"tara ibu Ki Demang yang melihat sikap anak muda itu tiba-tiba berteriak, "Keluar kau. Jika kau tidak mau keluar, aku perintahkan para pengawal menangkapmu."
"Menurut tuduhan adik Ki Demang ini, kami berdua tidak hanya cukup diperintahkan untuk keluar denga ancaman akan ditangkap. Tetapi jika benar tuduhan adik Ki Demang ini, kami memang harus ditangkap. Tetapi tidak ada orang yang dapat menangkap kami di Kademangan ini. Sementara itu Ki Jagabaya berpihak kepada Ki Demang. Bahkan semua bebahu Kademangan ini, karena mereka mengetahui kenyataan yang terjadi." berkata Raden Rangga.
"Anak gila." geram ibu Ki Demang itu, "kau berani menentang aku" Aku adalah isteri Ki Demang yang dahulu. Sedangkan anakku sekarang menjadi demang disini."
"Tetapi Nyai justru berusaha untuk menyudutkan Ki Demang yang sedang sakit itu." berkata Raden Rangga, "maaf Nyai. Aku tidak akan menyakiti hati seorang perem"puan tua. Tetapi aku ingin Nyai juga dapat melihat kenya"taan. Namun yang lebih jahat dari segala-galanya yang telah dilakukan oleh anak Nyai yang bungsu itu adalah bahwa ia sampai hati menyesatkan pandangan ibunya un"tuk membunuh kakak dan kemenakannya."
Ibu Ki Demang itu menjadi sangat tegang. Namun ter"nyata bahwa kata-kata Raden Rangga itu memang menyentuh hati adik Ki Demang. Ketika ia melihat ibunya menjadi sangat bingung dan bahkan bagaikan kehilangan keseimbangan nalar, tiba-tiba saja si Bungsu yang manja itu terbuka hatinya.
Dengan lemahnya adik Ki Demang itupun kemudian berjongkok dihadapan ibunya sambil berkata, "Ampun ibu. Aku memang bersalah."
Ibunya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian sambil mengusap kepala anaknya yang bungsu itu ia ber"tanya dengan suara sendat, "Jadi benar apa yang dikatakan oleh kemanakanmu itu bahwa kau memang berusaha untuk menyingkirkan kakakmu dan sekaligus membunuh anak itu?"
Adik Ki Demang itu tidak dapat menahan gejolak perasaannya. Perasaannya bersalah tiba-tiba telah mendera hatinya, sehingga orang yang bertubuh tegap kekar itu tiba-tiba telah menangis sambil memeluk kaki ibunya. "Ia benar ibu. Aku memang telah merencanakannya. Untunglah bahwa aku tidak berhasil melakukan rencana itu, sehingga tanganku masih belum dikotori dengan darah saudaraku sendiri."
Perempuan tua itu termangu-mangu sejenak. Dengan nada datar ia bergumam, "Ya Tuhan. Aku serahkan sega"lanya ditanganmu."
Perempuan itu sekali lagi mengusap kepala anaknya yang bungsu sambil berkata, "Aku harus minta maaf kepada kakangmu. Aku sudah menyangkanya melakukan kesalahan. Aku mengira hatinya dibakar oleh kedengkian."
"Aku mohon ampun ibu. Jangan jatuhkan kutuk atasku. Biarlah aku menjalani hukuman apapun yang akan dijatuhkan oleh kakang Demang." tangis adik Ki Demang itu.
Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Ketabahan se"orang ibu membayang dimatanya yang tidak basah, betapapun jantungnya berdegup. Ketabahan seorang isteri Demang yang ditempa oleh keadaan sejak masa mudanya. Sejanak ia berdiri mematung. Namun kemudian kata"nya kepada cucunya, "Bawa aku kepada ayahmu."
Anak Ki Demang itupun kemudian menggandengnya, namun terasa ditangan anak muda itu, neneknya gemetar.
"Sudahlah." berkata perempuan tua itu kepada anak"nya yang bungsu. Lalu, "Hadapi persoalanmu sebagaimana seorang laki-laki. Kau adalah anak Demang Sempulur almarhum. Jangan menjadi cengeng."
Adik Ki Demang itu berusaha untuk mengatur perasaannya. Sambil mengangguk ia berkata terbata-bata, "Aku akan berusaha ibu."
"Berdirilah dengan tegak. Tatap mataku yang tidak basah." berkata perempuan itu.
Adik Ki Demang itu mengangguk.
Demikianlah maka perempuan tua itupun kemudian berjalan meninggalkan tempat itu dibimbing oleh cucunya, kembali ke Kademangan. Sementara Raden Rangga dan Glagah Putih mengikutinya beberapa langkah dibelakang mereka.
Meskipun perempuan tua itu mengerti apa yang telah terjadi, tetapi ia masih tetap tidak mengacuhkan kedua anak muda yang mengaku kawan dari cucunya itu. Raden Rangga dan Glagah Putih merasakan juga sikap ibu Ki Demang itu terhadap mereka. Namun keduanya agaknya tidak merasa tersinggung karenanya.
Dengan demikian maka Raden Rangga dan Glagah Putih itu sama sekali tidak ingin berbuat sesuatu karena sikap ibu Ki Demang itu. Mereka mengerti, kekecewaan yang sangat telah membuat ibu Ki Demang itu kehilangan pengamatan atas sikapnya sendiri. Mereka tidak sempat mengenali kedua anak muda itu dengan cermat bahkan keduanyalah yang telah ikut membantu menentukan kegagalan rencana anaknya yang bungsu untuk melakukan pembunuhan.
"Pada saatnya ia akan menyadari kekeliruannya." berkata Raden Rangga.
"Tetapi perempuan itu sangat tabah." berkata Glagah Putih.
"Ia memang tidak menangis." sahut Raden Rangga, "tetapi aku yakin bahwa hatinya hancur sebagaimana hati seorang ibu yang melihat anaknya yang hanya dua itu bertengkar. Bahkan dengan sungguh-sungguh."
"Tidak bertengkar." jawab Glagah Putih, "tetapi kejahatan yang dilakukan oleh sepihak."
Raden Rangga mengerutkan keningnya. Tetapi ia menjawab, "Itu adalah sebabnya. Tetapi kemudian mereka bertengkar juga, karena Ki Demang kemudian setuju menahan adiknya."
Glagah Putih tersenyum. Sambil mengangguk ia ber"kata, "Raden benar."
Raden Ranggapun kemudian tersenyum juga. Tetapi ia tidak berkata sesuatu.
Demikianlah, ketika ibu Ki Demang itu sampai kebilik Ki Demang yang sedang sakit, dua orang perempuan sedang menungguinya. Isterinya dan isteri orang bebahu Kademangan. Ketika mereka melihat ibu Ki Demang itu datang, maka isteri bebahu yang ikut menunggui Ki Demang itupun segera keluar.
Nyi Demang telah menjadi gemetar. Banyak kemungkinan dapat terjadi. Sementara itu Ki Demang masih sangat lemah dan tidak dapat berbuat banyak. Namun Nyi Demang masih juga bersyukur bahwa keadaan Ki Demang sudah berangsur baik.
Ibu Ki Demang itu ketika memasuki bilik itu, matanya masih tetap kering. Ia menatap Nyi Demang dan Ki Demang berganti-ganti. Kemudian perlahan-lahan perem"puan tua itu mendekati pembaringan Ki Demang.
Sejenak perempuan tua itu termangu-mangu, sementa"ra cucunya berdiri tegak dibelakangnya, sedangkan Raden Rangga dan Glagah Putih masih juga berada dipintu.
Perempuan tua itu tiba-tiba saja telah meraba tangan Ki Demang. Perlahan-lahan ia berdesis, "Maafkan aku Demange. Kau tidak bersalah. Ternyata aku salah menilai sikapmu selama ini."
Ki Demang masih akan menjawab. Tetapi tidak sempat, karena perempuan tua itu tiba-tiba terhuyung-huyung. Untunglah cucunya cepat menangkapnya. Demikian pula Nyi Demang.
"Ibu." desis Ki Demang yang hampir saja meloncat bangkit.
Tetapi Raden Rangga cepat pula mencegahnya. "Jangan bangkit." berkata Raden Rangga, "Ki Demang masih dalam keadaan sakit."
Ki Demang menjadi terengah-engah. Sementara itu Glagah Putih telah, membantu menahan ibu Ki Demang yang ternyata menjadi pingsan. Tubuh yang berkeriput karena umurnya itupun ke"mudian telah diangkat dan dibawa ke bilik sebelah. Beberapa orang kemudian menjadi sibuk. Berbagai usaha telah dilakukan oleh Nyi Demang, sehingga akhirnya perlahan-lahan perempuan tua itu telah membuka matanya.
"Aku berada dimana?" suaranya sangat lemah.
"Di Kademangan ibu" jawab Nyi Demang.
Perempuan tua itu menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba mengumpulkan ingatannya, sehingga akhirnya ia menyadari seluruhnya apa yang telah terjadi. Ternyata usahanya untuk menahan gejolak hatinya se"hingga matanya tidak menitikkan air mata, telah berakibat sangat berat bagi perasaannya. Pada saat tekanan itu sam"pai kepuncak, maka ia telah menjadi pingsan.
"Nyai." berkata Glagah Putih yang datang pula kebilik itu, "Nyai sebaiknya membesarkan hati Nyai. Beruntunglah bahwa segala sesuatunya belum terjadi. Anak Nyai kedua-duanya masih selamat. Cucu Nyai itupun kini masih ada disamping Nyai. Karena itu anggap saja semuanya sebagai satu rnimpi yang buruk didalam tidur Nyai. Setelah Nyai bangun, maka tidak ada apapun yang telah terjadi."
Perempun tua itu memandangi wajah Glagah Putih se"jenak. Namun akhirnya iapun berkata dengan suara lunak, "Terima kasih anak muda. Bukankah kau dan kawanmu yang seorang itulah yang telah menyelamatkan keluarga ini dari kehancuran?"
"Ya." jawab cucu perempuan itu, "kedua orang kawanku inilah yang telah menolong bukan hanya aku saja. Tetapi seluruh keluarga kita."
Perempuan tua itu mengangguk-angguk. Sementara itu Nyi Demang telah menyiapkan minuman hangat bagi mertuanya. Ketika ia singgah dibilik suaminya, Ki Demang masih ditunggui oleh Raden Rangga.
"Bagaimana dengan ibu?" bertanya Ki Demang.
"Ibu sudah sadar sepenuhnya." jawab Nyi Demang, "nampaknya tidak ada akibat yang sungguh-sungguh. Agaknya ibu hanya penahan gejolak perasaannya saja sehingga ia menjadi pingsan."
Ki Demang mengangguk kecil. Namun kemudian ia berdesis, "Sokurlah."
Dalam pada itu, maka perempuan tua itupun kemudian berusaha untuk bangkit. Diminumnya air hangat yang disiapkan oleh menantunya. Ketika tubuhnya terasa men"jadi segar, maka mulail ah air matanya mengambang dipepuluk matanya. Namun air mata itu tidak mengalir sebagaimana seseorang yang sedang menangis.
Dalam pada itu, ketika semuanya sudah menjadi jernih, maka Raden Rangga dan Glagah Putihpun telah meninggalkan ruangan itu. Ternyata anak Ki Demang mengikutinya ketika kedua"nya kembali ke bilik yang disediakan bagi mereka.
"Syukurlah bahwa Raden masih berada disini bersama Glagah Putih." berkata anak Ki Demang itu, "segala salah faham dapat diatasinya."
Raden Rangga mengangguk-langguk. Katanya, "Mudah-mudahan Ki Demang dapat mengambil, keputusan yang bijaksana. Yang bersalah itu adalah adiknya sendiri."
Anak Ki Demang itu mengangguk-angguk.
"Namun agaknya kami sudah tidak banyak diperlukan lagi disini. Menurut pengamatan kami, Ki Demang akan sembuh meskipun perlahan-lahan. Sementara itu per"soalan baru yang timbul karena sikap nenekmu agaknya sudah dapat di atasi pula. Karena itu, maka sudah waktunya kami meninggalkan tempat ini." berkata Raden Rangga.
"Jangan tergesa-gesa." minta anak Ki Demang, "ter"nyata banyak kemungkinan dapat terjadi."
"Tetapi pamanmu sudah menyadari kesalahannya." berkata Raden Rangga, "itu adalah permulaan dari penyelesaian yang nampaknya akan lancar dan tidak berakibat buruk bagi Kademangan ini."
Anak muda itu mengangguk kecil. Namun ia masih berkata, "Baiklah. Tetapi aku berharap bahwa kalian tidak berangkat sekarang. Tetapi biarlah besok jika nenek sudah tidak lagi diguncang oleh perasaannya. Dengan demikian maka pertolongan kalian akan tuntas."
Raden Rangga dan Glagah Putih saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Raden Rangga berkata, "tidak ada yang dicemaskan. Besok kami terpaksa minta diri."
Anak Ki Demang itu tidak dapat menahannya lagi. Be"sok pagi-pagi sekali kedua anak muda itu akan meninggalkan Kademangan Sempulur.
Namun menjelang senja, Raden Rangga dan Glagah Putih memang masih berada di bilik Ki Demang. Kemudian mereka menyempatkan diri untuk menengok ibu Ki Demang yang ternyata juga masih saja berbaring di sebuah bilik dirumah Ki Demang. Goncangan perasaannya telah membuatnya merasa dirinya lemah sehingga ia harus ber"baring saja di pembaringan.
Dari bilik pembaringan ibu Ki Demang, Raden Rangga dan Glagah Putih telah dibawa oleh anak Ki Demang itu un"tuk melihat-lihat padukuhan induk Kademangan Sempulur menjelang senja. Mereka berjalan menyusuri jalan padukuhan sampai keregol yang menghadap kearah matahari terbenam. Ketiganya tertegun ketika mereka melihat matahari yang merah perlahan-lahan mulai tenggelam sehingga langitpun menjadi buram karenanya.
Namun perhatian Raden Rangga dan Glagah Putih segera beralih kepada dua orang yang berjalan mendekati regol itu. Beberapa langkah dihadapan mereka bertiga, kedua orang itu berhenti. Sejenak keduanya nampak ragu-ragu. Namun kemudian seorang diantara mereka bertanya, "Anak-anak muda, apakah yang kalian lakukan disini" Apakah kalian sedang bertugas berjaga-jaga atau tugas yang lain?"
Anak Ki Demang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, "Aku tidak tahu maksud Ki Sanak berdua."
"Kenapa kalian bertiga ada disini?" berkata orang itu menegaskan.
"Kami adalah penghuni padukuhan ini." jawab anak Ki Demang, "apa yang aneh jika kami berada disini?"
Kedua orang itu mengangguk-angguk. Namun seorang diantara mereka kemudian berkata, "Apakah anak-anak muda di padukuhan ini memang sedang berjaga-jaga?"
"Setiap hari mereka berjaga-jaga." jawab anak Ki Demang, "di malam hari mereka berada di gardu-gardu."
"Tetapi sudah tentu tidak disaat-saat senja seperti ini. Biasanya mereka turun ronda setelah waktunya Sepi uwong." berkata seorang diantara kedua orang itu.
"Ya. Memang mereka belum turun ke gardu saat ini." : jawab anak Ki Demang.
"Lalu kenapa kalian berada disini" Bukankah bukan saatnya untuk berdiri dan merenungi sawah kalian disaat seperti ini." berkata orang itu, "biasanya disaat seperti ini anak-anak muda justru berada dirumah. Memasukkan ternak ke kandang atau barangkali menyiapkan lampu minyak atau kerja yang lain. Tetapi kalian bertiga nampaknya tidak mempunyai kerja lain kecuali merenungi langit." berkata orang itu pula.
Anak Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kerjaku sudah selesai. Kami bertiga memang ingin me"lihat matahari terbenam senja ini. Tetapi bukan itu yang sebenarnya penting. Kami akan pergi ke sawah. Sawah kami mendapat giliran air senja ini."
"Memang masuk akal." jawab orang itu, "tetapi baiklah, sebelum kalian pergi kesawah, aku ingin bertanya serba sedikit tentang keadaan Kademanganmu ini. Menurut keterangan yang lain yang aku dengar, terjadi perselisihan antara Ki Demang dengan adiknya, sehingga adik"nya sekarang ditahan."
"O" anak Ki Demang itu mengangguk-angguk, "aku tidak tahu pasti. Tetapi aku juga mengetahui bahwa hal itu memang terjadi."
"Nampaknya sebab penahanan itu tidak masuk akal." berkata orang itu, dimana adik Ki Demang itu di tahan. Kami ingin bertemu dan berbicara dengan adik Ki Demang untuk meyakinkan, apakah ia bersalah atau tidak."
Anak Ki Demang itu mengerutkan keningnya, Katanya, "Apakah kalian akan mencampuri persoalan itu" Per"soalan itu adalah persoalan Ki Demang dengan adiknya. Orang-orang Kademangan inipun tidak dibenarkannya un"tuk ikut mencampurinya."
"Aku hanya ingin meyakinkan diri, apakah hal itu benar. Aku sama sekali tidak akan mencampuri persoalannya." jawab orang itu.
Anak Ki Demang itu menjadi ragu-ragu. Justru karena itu ia tidak segera menjawab. Raden Rangga dan Glagah Putihpun menjadi ter"mangu-mangu. Tetapi mereka tidak segera mencampuri pembicaraan itu. Agaknya anak Ki Demang yang masih muda itupun telah mampu mempertimbangkan banyak per"soalan.
Dalam pada itu, karena anak Ki Demang itu tidak segera menjawab, maka salah seorang diantara kedua orang itu mendesak, "Tunjukkan saja dimana adik Ki Demang itu ditahan. Cukup. Kau tidak usah berbuat apa-apa."
Namun anak Ki Demang itu menjawab, "Aku tidak tahu. Yang aku tahu, adik Ki Demang itu dibawa oleh Ki Jagabaya. Itupun aku tidak melihat sendiri. Aku hanya mendengar dari kawan-kawanku yang kebetulan melihatnya."
"Kau jangan berbelit-belit begitu anak muda. Kau tinggal di Padukuhan Induk Kademangan ini. Kau tentu tahu, dimana adik Ki Demang itu disimpan." desak orang itu.
"Memang ada beberapa tempat yang mungkin dipergunakan." berkata anak Ki Demang, "tetapi aku tidak tahu pasti."
"Sebutkan." desis orang itu.
"Mungkin di Banjar. Mungkin dirumah Ki Jagabaya atau mungkin dirumah adik Ki Demang itu sendiri." jawab anak Ki Demang.
Kedua orang itu termangu-mangu. Namun kemudian mereka berbincang sejenak. Tetapi seorang diantara mereka kemudian berkata, "Aku tidak percaya jika anak muda di Padukuhan Induk itu tidak tahu dimana adik Ki Demang itu di simpan."
"Mereka memang merahasiakannya." tiba-tiba saja Raden Rangga menyahut, "Ki Demang meskipun sedang sakit, ternyata mampu memperhitungkan, bahwa kemungkinan yang tidak diduga akan dapat terjadi."
"Kemungkinan apa?" bertanya salah seorang di"antara kedua orang itu.
"Kemungkinan bahwa adik Ki Demang itu tidak ber"diri sendiri." jawab Raden Rangga, "kemungkinan campur tangan orang luar yang ingin mendapat keuntungan dari perselisihan antara Ki Demang dan adiknya itu."
Wajah orang itu menegang. Sesama mereka justru saling berpandangan. Namun mereka masih belum menunjukkan sikap yang kasar.
"Anak muda." berkata orang itu kemudian, "dugan Ki Demang itu memang mungkin terjadi. Jika. kalian memberi kesempatan kepadaku untuk menemuinya, maka kalian akan dapat mengetahuinya, apakah kecurigaan Ki Demang itu benar atau tidak."
"Ki Sanak." berkata Raden Rangga kemudian, "seandainya kami dapat menunjukkan tempat itu, maka apa"kah para penjaga akan memberimu kesempatan?"
"Kami akan menjelaskan maksud kedatangan kami." berkata salah seorang diantara mereka.
Yang kemudian tidak diketahui maksudnya oleh anak Ki Demang justru Raden Rangga itu berkata, "Baiklah. Jika kau berjanji tidak akan membuat keributan, kami bersedia mengantarkan kalian."
Anak Ki Demang memandang Raden Rangga dengan sorot mata keheranan. Namun Glagah Putih telah menggamitnya sehingga anak Ki Demang itu tidak bertanya sesuatu.
"Bagus." berkata kedua orang itu hampir bersamaan. Kemudian seorang diantara mereka berkata, "marilah. Mumpung belum terlalu malam. Kemudian kau masih sempat pergi kesawah dan membuka pematang untuk menampung air."
Raden Ranggalah yang berjalan dipaling depan. Kemu"dian baru kedua orang itu. Dibelakang mereka Glagah Putih berjalan bersama anak Ki Demang.
"Apa maksud Raden Rangga itu?" bertanya anak Ki Demang.
"Percayakan. Ia memiliki ketajaman penalaran yang luar biasa." bisik Glagah Putih.
Anak Ki Demang itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia yakin bahwa Raden Rangga itu tentu mempunyai maksud baik bagi Kademangan itu. Apalagi ketika Glagah Putih kemudian berbisik pula, "Raden Rangga sudah me"ngatakan, bahwa ada kemungkinan adik Ki Demang itu mempunyai hubungan dengan orang luar yang mendukung tingkahnya, namun sudah tentu bermaksud mencari keuntungan karena peristiwa itu."
Anak Ki Demang yang ternyata cukup cerdas itu mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Raden Rangga membawa orang itu kepada pamannya. Sejenak kemudian, maka mereka telah memasuki halaman tempat adik Ki Demang itu ditahan. Beberapa orang penjaga segera berdiri menyongsong mereka. Namun kemudian anak Ki Demanglah yang mendahului mereka sambil berdesis, "Akulah yang membawa mereka."
"Siapakah mereka?" bertanya pemimpin pengawal yang bertugas.
"Aku tidak tahu. Kau dapat bertanya sendiri. Tetapi jika mereka bermaksud mengunjungi paman, berilah kesempatan." berkata anak Ki Demang itu perlahan-lahan, "tetapi jangan terlalu mudah."
"Aku tidak tahu maksudmu." desis pemimpin pengawal itu.
Anak Ki Demang itu termangu-mangu. Namun Raden Rangga dan Glagah Putih ternyata berhenti pada jarak yang tidak terlalu dekat bersama kedua orang itu. Karena itu anak Ki Demang itu sempat menjelaskan, "Kalian harus berpura-pura mencegah mereka menemui paman. Namun setelah mereka lama memberikan penjelasan, barulah kalian memberikan kesempatan itu atas tanggung jawabku."
Pemimpin pengawal itu mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Baiklah."
Demikianlah, maka kedua orang itu telah dibawa kepada pemimpin pengawal itu, sementara anak Ki Demang berkata, "Aku sudah mengatakan kepada pemimpin penga"wal itu tentang maksudmu. Tetapi terserah kepada mereka, apakah mereka mengijinkan atau tidak."
"Kami akan berbicara langsung dengan para penga"wal itu." berkata salah seorang dari mereka.
Raden Rangga memberi isyarat kepada anak Ki Demang, agar membiarkan kedua orang itu untuk berbicara. Namun mereka harus tetap mengawasinya dari jarak yang tidak terlalu dekat.
Namun demikian pemimpin pengawal itupun menjadi berdebar-debar. Bagaimanapun juga sikap kedua orang itu dan tanggapan anak Ki Demang telah menimbulkan per"soalan didalam hatinya. Tetapi ketika ia melihat beberapa pengawal ada di halaman dan apalagi anak Ki Demang dan kedua orang kawannya yang dianggap memiliki kelebihan itu, hatinya menjadi tenang.
"Silahkan Ki Sanak." berkata pemimpin pengawal itu.
Kedua orang itupun kemudian duduk dihadapan pemimpin pengawal itu. Sejenak mereka masih sempat memperhatikan halaman rumah itu dan melihat beberapa orang pengawal yang mengawasi tempat itu dengan ketat. Dengan demikian maka kedua itu mendapat kesan, bah"wa adik Ki Demang itu merupakan tawanan yang penting sekali.
"Apakah maksud Ki Sanak berdua datang kemari?" bertanya pemimpin pengawal itu kemudian.
Dengan singkat salah seorang dari kedua orang itu ber"kata, "Aku ingin bertemu dengan adik Ki Demang Sem"pulur."
Pemimpin pengawal itu mengerutkan keningnya. Lalu katanya, "Adik Ki Demang adalah seorang tawanan. Tidak ada orang yang diperkenankan menemuinya. Kecuali jika ia mendapat ijin Ki Demang sendiri."
"Ki Sanak." berkata orang itu, "aku mempunyai kepentingan yang barangkali juga akan memberikan manfaat kepada Kademangan ini. Aku akan dapat mengorek keterangan adik Ki Demang itu, apakah yang telah terjadi sesungguhnya dan siapa saja yang berdiri di belakangnya."
"Terima kasih Ki Sanak." berkata pemimpin pengawal itu, "nampaknya segala sesuatunya telah diang"gap jelas. Ki Demang sudah mendapat gambaran pasti apa"kah yang telah terjadi."
"Apa yang sebenarnya terjadi?" bertanya orang itu.
"Tentu tidak semua orang mengetahuinya termasuk aku. Aku tidak tahu apa yang telah terjadi sebenarnya karena aku tidak lebih dari seorang pengawal biasa." jawab pemimpin pengawal itu.
Tangled 2 Wiro Sableng 008 Dewi Siluman Bukit Tunggul Pendekar Laknat 3

Cari Blog Ini