Walet Emas 03 Dewi Kelelawar Bagian 2
"Bagaimana tentang berita Dewi Kelelawar"!" tanya
Ki Catradana kepada sang pertapa.
"Saya tak pernah tahu cerita yang sebenarnya. Yang
pasti, kalian harus berhati-hati sejak memasuki
kawasan di sini. Sering saya lihat sekelompok orang datang melewati tempat ini,
tapi kemudian tak saya
ketahui kembalinya. Entah kalau mereka pulang
melewati jalur lain. Yang jelas saya banyak mencium bau maut yang bertebaran di
kawasan sekitar Gunung
Katong sebelah utara sana," kata sang pertapa
menjelaskan. Keterangan itu menambah kewaspadaan mereka.
Dan masih berhari-hari lagi mereka menembus hutan
belantara. Akhirnya pada hari ke tujuh, tibalah mereka di suatu tempat yang agak
lapang. Suatu hamparan
padang rumput dengan semak belukar menggunung di
sana-sini, telah memberi pemandangan lain yang
selama berhari-hari disuguhi suasana hutan yang
penuh pohon-pohon besar.
"Lihat di atas itu," seru Sancaka sambil menunjuk
ke angkasa dengan langit biru tak berawan.
Sekelompok burung gagak terbang mengitar di
angkasa. Orang yang paham hal ini segera tahu bahwa di bawah sana ada mayat atau
bangkai yang tergeletak, atau mereka yang sedang sekarat!
"Mari kita lihat," kata Sancaka.
Mereka segera bergegas ke sana. Dan tak berapa
lama kemudian...
"Astaga!" Pusparini melepaskan ucapan tanpa
sadar. Perasaannya tersirap.
Bahkan semua orang yang melihat hal itu
berperasaan serupa. Betapa tidak, sebab di hadapan
mereka terpampang beberapa sosok tubuh yang telah
menjadi mayat. Dan ketika angin bertiup ke arah
mereka, maka bau busuk mengusik penciuman
mereka. Mayat-mayat itu mengalami cedera serupa.
Dada mereka bolong. Rupanya jantung mereka telah
sengaja diambil!
Setelah memeriksa sejenak keadaan mayat-mayat
itu, Ki Catradana menyarankan untuk melanjutkan
perjalanan. Tapi baru saja bertindak beberapa
langkah, mendadak muncul sekelompok orang-orang
cebol dari balik semak-semak. Kemunculan mereka
segera diwaspadai oleh Pusparini sebagai munculnya
mara bahaya, sebab dengan sikap garang orang-orang
cebol itu langsung menyerang mereka. Tak ayal lagi, baku hantam terjadi di sana.
Orang-orang cebol itu punya gerak lincah bagaikan
kera. Pakaian mereka hanya selembar kain yang
menutup aurat mereka. Rambut mereka berwarna
coklat dan panjang sebatas bahu. Kuku-kuku mereka
tajam dan dijadikan senjata andalan untuk
menghadapi lawan. Menghadapi manusia cebol
semacam itu Pusparini tak ambil resiko lagi. Cuaca
cerah dengan sinar matahari bersinar terang di langit membuat dia terangsang
untuk menggunakan Pedang
Merapi Dahana. Sekejap kemudian pedang itu telah
dikeluarkan dari sarungnya.
Shhrriinngg! Dan berpijarlah bilah pedang itu tertimpa cahaya
matahari. Cahaya merah membias menyilaukan mata
siapa saja yang melihatnya.
Orang-orang cebol itu dibuat kaget sejenak karena
keadaan ini. Beberapa orang di antaranya mundur
dengan menutup mata mereka. Tapi ada yang nekad
untuk melompat ke arah Pusparini dengan ganas.
Maunya untuk merebut pedang itu. Tapi Pusparini
dengan trengginas mengayunkan pedangnya. Yang
terjadi kemudian adalah darah muncrat, dan tubuh
yang jadi korban mencelat jadi dua.
Sungguh mengerikan! Tapi bagaimana lagi. Kali ini
persoalannya adalah dibunuh atau membunuh.
Dihadapi dengan tangan kosong hanya menambah
bengisnya sikap orang-orang cebol itu. Sebab mereka
mengira Pusparini dan kawan-kawannya tak lebih dari manusia seperti mereka yang
telah jadi korbannya.
Orang-orang cebol itu pemakan jantung manusia.
Entah bagaimana ada kelompok manusia semacam itu
di sekitar Gunung Katong atau Lawu itu.
Korban yang diakibatkan sabetan pedang Pusparini
semula membuat jera yang lain. Tapi kemudian
mereka beringas lagi tanpa mempedulikan maut yang
menyeringai di ujung Pedang Merapi Dahana. Orangorang cebol itu sepertinya mendapat perintah oleh
suatu kekuatan dari jauh. Ini terbukti dari mereka
yang semula mengundurkan diri karena melihat
Pedang Merapi Dahana, yang kemudian maju lagi
dengan sikap lebih beringas. Dan jumlah mereka sulit diduga, sebab begitu yang
satu jadi korban, maka yang lain muncul lagi entah dari mana datangnya.
Sancaka memperhatikan sekali hal itu. Bahkan dia
mencurigai bahwa di sana ada tempat yang menjadi
sarang berkumpulnya orang-orang cebol itu. Senjata
Sancaka pun sudah beberapa kali menewaskan
musuh. Bahkan suatu saat dia sempat melihat seorang pengikutnya jadi korban
orang-orang cebol itu. Orang ini diterkam dari belakang. Yang lain dari depan,
dan langsung menerkam dada. Sungguh terkaman yang
mengerikan. Sekali terjang, maka dada orang itu jebol.
Ketika tangannya ditarik, sudah tergenggam jantung
korbannya. Jantung itu dibawa lari entah kemana.
Hal itulah yang membuat Sancaka harus berjuang
mati-matian. Termasuk Pusparini yang terlihat
dihinggapi rasa ngeri melihat kebuasan orang-orang
cebol itu. Di sisi lain, Ki Catradana mengandalkan
tongkat di tangannya. Kiranya tubuhnya yang ceking
itu memiliki kelincahan gerak menggunakan tongkat
tersebut. Terlintas dalam benaknya untuk merapal
mantera di kulit sapi yang disimpannya. Tapi
kesempatan tidak ada.
Manusia cebol di sekelilingnya seolah tak memberi
kesempatan pada lawannya untuk santai sejenak.
Bahkan bernapas untuk menghimpun tenaga. Tapi
kalau diamati, orang cebol itu tak akan bisa dihadapi dengan mantera. Mereka
bukan makhluk siluman atau
jadi-jadian. Lain halnya dengan kalong yang beberapa waktu lalu menyerang
Pusparini. Tapi kalau dikaitkan, antara orang-orang cebol ini dengan kalong yang
pernah dihadapi Pusparini, pasti ada sangkut pautnya.
Hanya jalurnya bagaimana, itu yang harus mereka
selidiki. Tengah berlangsung baku hantam yang belum ada
titik terang cepat terselesaikan, tiba-tiba muncul
seseorang dengan dibarengi teriakan nyaring...
"Hiieeeaaaahhhh...!"
Tentu saja ini menyengat perhatian Pusparini. Dan
perasaannya terusik. Sebab yang dilihat adalah
munculnya Jlitheng Kasongan, kepala begal yang
pernah dihadapi tempo hari. Kecurigaan Pusparini
mencuat. Jlitheng Kasongan yang berakhlak bejat itu pasti yang mendalangi orangorang cebol. Sejenak
perhatian Pusparini tertuju kepada kehadiran Jlitheng Kasongan. Tapi apa yang
dilihat sangat mengherankan. Ternyata Jlitheng Kasongan memerangi orang-orang cebol itu. Senjata di tangannya
ditebaskan ke arah mereka yang tiba-tiba
menyerangnya. "Ternyata Jlitheng bukan sekutu orang-orang cebol
ini," pikir Pusparini sambil mengayunkan pedangnya
ke arah lawan yang nyaris membokong. Lengah sedikit saja, pasti punggungnya
tercengkeram lawan.
Untunglah semua terlihat mengendor. Seperti ada
suara seruling dari kejauhan yang memberi isyarat,
maka orang-orang cebol itu mengundurkan diri.
Mereka lari dengan gesit menerobos semak belukar.
Gerak mereka berpencar. Jadi sulit bagi Pusparini
untuk memburu jejak lari agar dapat mengendus ke
sarang mereka. Dan tak berapa lama kemudian,
tempat itu sunyi senyap. Pusparini dan kawankawannya menunggu perkembangan lebih lanjut.
Ternyata sepi. Tak ada apa-apa. Satu-satunya
perhatian akhirnya tertuju kepada Jlitheng Kasongan yang tiba-tiba muncul di
sana membantu mereka.
"Jlitheng, bagaimana kau bisa sampai di tempat
ini?" tegur Pusparini setelah menyarungkan
pedangnya. "Justru aku yang harus bertanya mengapa kau dan
kawan-kawanmu sampai di sini," jawab Jlitheng
Kasongan yang terlihat sangat payah.
"Aku akan menuju Goa Mulut Naga," jawab
Pusparini dengan pandangan menyelidik ke arah
penampilan kepala begal yang pernah ditundukkan
tempo hari. "Tampaknya ada sesuatu yang
menimpamu. Boleh aku tahu, Theng?"
"Kau lihat mayat-mayat dengan dada bolong karena
jantungnya diambil oleh orang-orang cebol itu" Mereka adalah anak buahku," kata
Jlitheng. "Oh," hanya ini yang keluar dari bibir Pusparini.
"Banyak orang berbicara tentang Dewi Kelelawar.
Banyak pemuda dalam usia pancaroba jadi korban
penculikannya. Itulah kabar yang kudengar. Banyak
putra kaum bangsawan yang hilang dan akhirnya
keluar berbagai sayembara temuan. Hadiahnya
menggiurkan. Itu sebabnya aku dan kawan-kawanku
terjun ke masalah ini. Boleh dikata, ganti haluan kerja.
Kalau dulu begal, sekarang pemburu hadiah temuan,"
kata Jlitheng Kasongan dengan menyeka keringatnya
yang bercucuran di dahi.
"Lalu sampai berapa jauh hasil usahamu?" tanya
Pusparini. "Seperti yang kau lihat, anak buahku semua jadi
korban." "Bagaimana kau bisa selamat dari keganasan
mereka?" "Saat itu aku berada di Dukuh Gondolayu."
"Dukuh Gondolayu" Di mana itu?"
"Di seberang curah sebelah barat itu," jawab
Jlitheng Kasongan dengan melempar pandang ke arah
yang dimaksud. Pusparini termenung sejenak. "Bagaimana kalau
kau tunjukkan tempat itu kepada kami" Rasanya aku
ingin tahu tempat itu."
"Itu tempat sangar! Angker! Pedukuhan itu ibarat
kuburan saja walaupun dihuni oleh penduduk," jawab
Jlitheng Kasongan membayangkan tempat yang
pernah didatangi. "Tapi kalau kalian ingin ke sana, aku bisa mengantarkan."
*** TUJUH JLITHENG KASONGAN menjadi penunjuk jalan
untuk menuju Dukuh Gondolayu. Tempat yang
mereka tuju merambah dataran rendah berbatu-batu.
Ada anak sungai yang jernih airnya mengalir deras
yang harus mereka lewati. Karena di tengah banyak
batu-batu, maka penyeberangannya bisa dilakukan
tanpa hambatan.
"Itu dukuhnya," kata Jlitheng Kasongan setelah
sampai di tempat ketinggian sambil menunjuk ke arah lembah. "Aku ke sana sewaktu
mengejar seseorang
yang kulihat, sementara anak buahku kutinggalkan di tempat kejadian tadi."
"Dan kau datang lagi tapi anak buahmu telah jadi
mayat?" tanya Sancaka menggarami pembicaraan.
"Ya. Sempat kulihat seorang manusia cebol merogoh
jantung anak buahku. Tak tahan melihat peristiwa itu, kemudian aku lari kemari
lagi." "Tentunya penduduk di sana bisa memberi
keterangan tentang orang-orang cebol itu," Pusparini menimpali.
"Mereka tak mau berbicara apa-apa kalau diminta
menjelaskan tentang orang-orang cebol itu. Sepertinya mereka ketakutan kalau
berbicara tentang hal itu,"
kata Jlitheng Kasongan sambil mengawali langkahnya.
Mereka mengekor langkah bekas kepala begal itu.
Dukuh yang punya nama Gondolayu itu terlihat sepi.
Satu-satunya pertanda adanya kehidupan di sana
hanya kepulan asap dapur yang tampak dari beberapa
rumah yang atapnya terbuat dari alang-alang. Sesekali ada anjing melintas.
Menyalak sebentar karena melihat kehadiran orang asing, lalu lari menghindar.
Tak terlihat seorang pun.
"Kemana penduduknya?" tanya Ki Catradana.
"Penduduk di sini hanya wanita! Tak kulihat kaum
lakinya," jawab Jlitheng Kasongan sambil melangkah
menuju ke sebuah rumah. Langkahnya segera diikuti
yang lain. "Hanya wanita?" sela Pusparini sambil melayangkan
pandang ke tempat sekitarnya. Dia melihat beberapa
sosok wajah yang mengintip dari ambang pintu rumah
masing-masing, lalu menenggelamkan diri dengan
menutup pintu. "Kau tentu telah mengenal penghuni rumah ini
ketika pertama kali mendatanginya," kata Ki
Catradana ditujukan kepada Jlitheng yang mencoba
membuka daun pintu rumah itu.
"Dia yang mencoba menyembunyikan aku. Berharihari aku bersembunyi di tempat ini atas
kehendaknya," jawab Jlitheng.
Pintu terbuka. "Sruti!" Jlitheng Kasongan memanggil seseorang.
Seseorang wanita muncul. Berkain hanya sebatas
lutut. Dibiarkan perutnya di atas pusarnya terbuka.
Lalu buah dadanya hanya ditutup dengan semacam
tempurung kecil entah terbuat dari buah apa.
Wajahnya biasa saja. Tapi dada yang putingnya diberi tutup tempurung kecil
semacam itu mengundang
Walet Emas 03 Dewi Kelelawar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perhatian mata lelaki. Buah dada yang membukit
kenyal. Pantas kalau Jlitheng Kasongan yang bekas
begal itu krasan bersembunyi di sini walaupun marabahaya mengancam di
sekitarnya. Bahaya dari
keganasan orang-orang cebol.
"Sruti, kenalkan ini kawan-kawanku," kata Jlitheng
memperkenalkan wanita itu.
Wanita bernama Sruti hanya mengangguk.
Tercermin rasa tidak gembira dengan kedatangan
Jlitheng Kasongan yang disertai Pusparini dan orang-orang lain.
"Ni Sruti, saya ingin bertanya. Bisa memberi
penjelasan?" tanya Pusparini.
"Dia tak akan banyak memberi jawaban kalau yang
kau tanyakan tentang orang cebol dan Dewi Kelelawar.
Bertanyalah yang lain," saran Jlitheng.
"Hm. Baik. Rupanya kita harus sabar menghadapi
penduduk di sini," kata Pusparini. "Ni Sruti, apakah
kau bisa menjelaskan siapa penduduk di sini yang
pandai bermain seruling?"
Pertanyaan yang aneh! Tapi tidak aneh sebenarnya.
Semua orang yang berada di sana tidak mengerti
mengapa Pusparini bertanya seperti itu. Alasannya
hanya Pusparini yang tahu.
Sruti masih membisu. Hanya matanya yang tajam
mengawasi Pusparini.
"Yang kau maksud... kau ingin bertemu dengan
Kakek Werti Kandayun?" tanya Sruti berbalik
menebak. "Iii... iya!" jawab Pusparini tiba-tiba. Pikirannya cepat mengambil kesimpulan.
"Kakek Werti Kandayun!
Di mana aku bisa menjumpainya?"
"Dia tak mau ditemui banyak orang. Kalau ingin
ketemu, kukira hanya kau yang diperbolehkan," jawab Sruti.
"Baiklah. Aku saja yang akan menghadap beliau,"
jawab Pusparini menunjukkan rasa sopannya. Paling
tidak ini hanya untuk memberi kesan agar tak banyak menghadapi kesulitan dalam
memecahkan teka-teki
yang dihadapi. Terutama dengan suara seruling yang
pernah didengar sewaktu menghadapi orang-orang
cebol itu. Kemudian atas kesepakatan, Pusparini yang
diijinkan mengikuti Sruti untuk menemui seseorang
yang dipanggil Kakek Wreti Kandayun. Lain-lainnya
tinggal di pondok itu. Sruti dan Pusparini menuju ke suatu tempat. Arahnya
menyusuri jalan di tengah
pedukuhan. Kemudian dari sini menyimpang ke jalan
setapak yang rupanya jarang dilalui orang. Makin lama makin mendaki ke atas,
menembus alang-alang
setinggi dada. "Masih jauh?" tanya Pusparini.
"Tidak. Lihat di balik alang-alang berbunga itu,"
tunjuk Sruti. Hampir saja Pusparini terpekik gembira. Sebab
ketika mereka menengok di balik alang-alang
berbunga, di sana terlihat sebuah mulut goa. Dan goa itu dipahat membentuk mulut
seekor naga. "Goa Mulut Naga!" kata Pusparini lirih.
"Apa kau bilang?" tanya Sruti.
"Goa Mulut Naga! Betulkah ini yang disebut Goa
Mulut Naga?" tanya Pusparini ingin meyakinkan. Tapi jawaban yang diperoleh di
luar dugaan... Dhieg!!! Pusparini menerima hantaman dari Sruti. Tentu
saja tindakan yang tak terduga ini membuat Pusparini mencelat. Tidak saja karena
di luar dugaan, tapi
pukulan Sruti benar-benar berisi. Pusparini segera
membenahi diri begitu tegak kembali.
"Sruti, apa maksudmu?" tanya Pusparini dengan
harapan kejadian itu bukan awal dari petaka yang
harus dihadapi. "Apakah ini tindakan jebakan?"
"Kau tahu nama tempat ini. Berarti kedatanganmu
tidak saja ingin ketemu dengan Kakek Wreti
Kandayun. Kau musuh yang harus kucegah memasuki
tempat ini. Karena sudah terlanjur, terpaksa aku
bertindak keras kepadamu."
"Tunggu! Kukira kau tahu lebih banyak dengan
keadaan di sini. Tidak sekedar penduduk pedukuhan
terpencil. Kalau ini gara-gara karena aku tahu nama tempat ini, pasti kau tahu
tentang Dewi Kelelawar.
Pasti tahu dengan Lowo Brangah! Bukan begitu?" kata Pusparini memancing sikap
Sruti. "Kau benar-benar tahu lebih banyak!" kata Sruti
dengan menerjang ke arah Pusparini.
Tentu saja Pendekar Walet Emas tak tinggal diam.
Terjangan Sruti disambut dengan tangkisan tangan
kanan, lalu mengadakan imbangan serangan dengan
ayunan tangan kiri yang melanda betis. Sruti
menyeringai kesakitan sambil meliukkan tubuh untuk
menerjang dengan kaki satunya. Tapi peluang ini
segera dikunci oleh Pusparini dengan tangkisan kaki.
Sruti menggeliat di udara yang akhirnya terjerembab ke tanah. Pusparini tidak
cepat bertindak lagi. Dia memberi kesempatan pada Sruti agar menyerang
terlebih dulu. Rencananya, dengan serangan dari
pihak lawan, dia akan meringkusnya, kalau serangan
yang dilakukan semacam tadi. Ternyata Sruti tidak
menyerang. Dia tetap pada sikapnya yang berjongkok
di tanah sambil mengawasi Pusparini.
"Kukira kau memiliki ilmu bela diri melebihi diriku.
Maaf, aku tadi hanya menjajal apakah kau seorang
wanita yang bisa diajak kerja sama," kata Sruti sambil beranjak berdiri.
"Maafkan sikapku tadi. Penduduk
Pedukuhan Gondolayu sudah lama ingin lepas dari
kebengisan Lowo Brangah."
"Sruti, kau sungguh-sungguh" Jadi semua ini biang
keladinya Lowo Brangah" Bagaimana dengan Dewi
Kelelawar?" tanya Pusparini dengan harapan bahwa
semua ini menjadi jalan peluang untuk menuntaskan
masalah. Sruti memberi isyarat kepada Pusparini agar
mengikutinya. Lalu keduanya mengambil tempat
sembunyi di sisi batu dekat mulut goa. Tak berapa
lama kemudian terlihat tiga orang cebol melintas
masuk ke dalam goa.
"Jadi sarang mereka di sini?" tanya Pusparini.
"Tidak. Pasti ada suruhan dari Lowo Brangah untuk
mengirim pesan bagi Kakek Wreti Kandayun. Kita
tunggu sampai mereka keluar lagi," saran Sruti.
Mereka menunggu. Tampaknya Sruti juga tak bebas
memasuki tempat itu kalau ada orang-orang cebol di
sana. Dalam kesempatan ini, Pusparini mengajukan
saran untuk masuk ke dalam goa dengan menyelinap.
Dia ingin tahu pesan apa yang disampaikan Lowo
Brangah kepada Kakek Wreti Kandayun.
"Jangan sembrono! Keteledoran akan mencelakakan
kau dan kawan-kawanmu!" kata Sruti.
"Aku biasa menghadapi bahaya," bisik Pusparini
sambil mengawasi pintu goa.
"Aku sudah memberi saran. Sekali teledor, semua
akan binasa," kata Sruti dengan tajam.
"Baik! Baik, Sruti. Tapi harap kau tahu, kita tak
bisa sampai malam berada di tempat ini. Lihat, hari semakin sore saja.
Keadaannya akan sulit kalau
sampai malam kita menyelidiki hal ini. Yang kita
hadapi adalah kekuatan yang berpeluang jaya kalau
mereka bergerak di waktu malam."
Sruti termenung. Ada sesuatu yang dipikirkan
dengan ucapan Pusparini.
"Baik! Yang kau katakan itu memang benar. Ayo
kita terus masuk. Ada tempat sembunyi di dalam goa
di mana kita bisa menyelinap tanpa diketahui siapa
pun," ucap Sruti sambil terus beranjak dari sana.
Tapi begitu mereka keluar dari persembunyian,
mendadak tiga orang cebol tadi telah keluar dari dalam goa. Mereka memergoki
Pusparini dan Sruti.
"Celaka!" seru Sruti.
Tapi Pusparini cepat tanggap dengan keadaan yang
di luar dugaan ini. Dengan ayunan Pedang Merapi
Dahana, dia berhasil membereskan ketiga lawannya.
Cuma dengan sekali tebas!
"Oh!" hanya ini yang keluar dari bibir Sruti. Betapa tercengangnya dia
menyaksikan gerak kilat dalam
menangani tiga orang cebol itu.
"Cepat, kita singkirkan mereka," kata Pusparini
sambil menyeret korbannya ke dalam semak-semak.
Sruti membantu menangani. Kemudian mereka
masuk ke dalam goa.
Sruti menarik tangan Pusparini. "Ke sini!"
Pusparini mengekor langkah Sruti.
"Di situ ada jebakan."
Pusparini melihat ke arah yang ditunjuk Sruti. Tak
ada terlihat sesuatu pun yang mencurigakan di sana.
Tentu saja. Kalau di sana ada jebakan, pasti segalanya diatur sedemikian rupa
sehingga tidak menimbulkan
kecurigaan. Di sana hanya terlihat tanah datar seperti tak ada apa-apanya.
Keduanya melewati jalan samping yang makin menjorok ke atas. Lalu menikung, dan
mengarah ke bawah lagi. Di sini ternyata terdapat
tempat luas dengan penerangan obor di dindingdindingnya. "Itu Kakek Werti Kandayun," Sruti memberi
petunjuk ketika dilihatnya seorang laki-laki muncul dari sebuah ruangan.
"Kita bisa menemuinya tanpa mengundang
bahaya?" tanya Pusparini.
Sruti mengangguk. Kemudian mereka berdua
muncul terang-terangan.
"Kakek!" sapa Sruti dengan suara hati-hati.
Laki-laki bernama Kakek Wreti Kandayun menoleh.
Pandangannya dipertajam dengan mengerutkan dahi.
"Sruti"!"
"Ya, Kek! Saya Sruti... dengan seorang teman,"
jawab Sruti dengan perasaan berdebar. "Namanya
Pusparini!"
"Mengapa kau datang bersama dia?" tanya Kakek
Wreti Kandayun.
"Saya telah mendapat seorang teman yang bisa
dipercaya. Dia tahu nama tempat ini. Dia punya
urusan dengan Lowo Brangah, dan ingin bertemu
dengan Dewi Kelelawar...," Sruti menjelaskan dengan perkataan hati-hati agar
laki-laki tua itu
mendengarkan dengan seksama.
"Seperti ramalan yang membisik hatiku, bahwa
akan ada seseorang yang datang ke tempat ini dengan menyandang pedang api
bumi...," ucap Kakek Wreti
Kandayun sambil mendekat ke arah Pusparini.
Pusparini segera dapat mengambil kesimpulan,
bahwa yang dimaksud oleh orang tua itu pastilah
senjata Pedang Merapi Dahana. Bukankah pedang
tersebut salah satu unsur logamnya terdiri dari lahar gunung berapi" Dan lahar
asalnya dari dalam bumi"
"Namamu.. Pusparini?" tanya Kakek Wreti
Kandayun lagi. "Benar, Kek. Saya pernah bertemu dengan seorang
wanita bertubuh kelelawar. Dia tampak tersiksa, dan minta pertolongan kepadaku.
Siapakah wanita
kelelawar itu" Apakah dia yang dipanggil sebagai Dewi Kelelawar?" Pusparini
menjelaskan. "Ya! Kau telah bertemu dengan wanita yang disebut
Dewi Kelelawar. Inderanya tahu bahwa orang yang
diajaknya berbicara waktu itu adalah orang yang
sudah diramalkan bisa melepaskan dia dari
penderitaannya. Kaulah wanita itu!" kata Kakek Wreti Kandayun dengan
mempersilakan Pusparini duduk di
hadapannya. "Dewi Kelelawar adalah saudara si Sruti.
Semua ini karena ilmu hitam yang sedang ditempuh
oleh Lowo Brangah."
"Dia... saudara Sruti?" tanya Pusparini yang
semakin ingin tahu lebih banyak tentang rahasia yang semua terselubung bagi
orang luar. "Semua bertumpu pada nafsu iblis Lowo Brangah.
Dia ingin menciptakan pedang ampuh tak tertandingi.
Banyak syarat untuk mewujudkan impiannya itu.
Pertama, dia harus bisa memberi wujud badan kasar
dari siluman kelelawar. Kedua, mencari jantung para jejaka. Kedua syarat itu
telah diwujudkan oleh Lowo Brangah. Setiap bulan purnama pedang itu harus
digosok dengan jantung para jejaka untuk
mempertebal pamor ampuhnya. Itu sebabnya banyak
para jejaka di sekitar kawasan ini yang telah menjadi korban. Dan saudara si
Sruti bernama Kendit, oleh
Lowo Brangah dikorbankan kepada iblis Siluman
Kelelawar. Siluman itu menyatu dengan tubuh si
Kendit sehingga terwujud jasad seperti yang kau lihat, dan gelarnya menjadi Dewi
Kelelawar...!" ucapan Kakek Wreti Kandayun terhenti sejenak. Rupanya dia
mengharapkan agar Pusparini dapat memahami
dengan seksama peristiwa itu.
"Tapi ketika bertemu dengan saya, Dewi Kelelawar
minta pertolongan kepada saya. Ucapannya terdengar
memelas sekali," kata Pusparini.
"Itu adalah dorongan pribadi si Kendit! Dalam
penampilan Dewi Kelelawar ada dua pribadi di
dalamnya. Satu adalah Siluman Kelelawar, dan
satunya adalah si Kendit. Tapi akhir-akhir ini kulihat pribadi si Kendit banyak
tampil menguasai jasmani itu sehingga kesempatan ini dipergunakan untuk lolos
dari pengawasan Lowo Brangah," kata Kakek Wreti
Kandayun dengan memperlihatkan seruling kepada
Pusparini. "Inderamu benar-benar tajam. Kau mencari peniup seruling sehingga
terkuak pertemuan ini."
"Benar. Saya mendengar suara seruling ketika
berhadapan dengan orang-orang cebol itu. Mereka
kemudian mengundurkan diri. Lalu apa hubungannya
Kakek Wreti Kandayun dengan mereka?" kata
Pusparini dengan mengawasi seruling di tangan orang tua itu. Batang seruling itu
Walet Emas 03 Dewi Kelelawar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diukir indah dan diberi warna merah dan kuning. Ada kuncir dan manik-maniknya.
"Seruling ini memang alat mengendalikan mereka
dari jarak jauh. Jiwa mereka tak ubahnya seperti
boneka. Tapi harap kau ketahui, Lowo Brangah yang
menguasai semuanya. Termasuk aku di bawah
kekuasaannya."
"Mengapa tidak berusaha melawan, tapi malah
bersekutu dengan iblis itu?" tanya Pusparini.
"Si Kendit dan si Sruti itu adalah cucu-cucuku!
Orang tua mereka telah binasa di tangan Lowo
Brangah. Mereka telah jadi sandera," ujar si Kakek.
"Enghmmm... ada sesuatu yang ingin saya
tanyakan. Apakah Kakek Wreti tahu tentang seseorang bernama Ki Sudamala" Dia
adalah korban penculikan
Lowo Brangah."
Pusparini menanti jawaban atas pertanyaan ini.
Tapi agaknya Kakek Wreti Kandayun enggan
menjawab. "Saya tahu Lowo Brangah telah menculiknya.
Tahukah Kakek di mana dia disekap?" tanya Pusparini lebih lanjut.
Masih belum ada jawaban. Suasana hening. Sampai
akhirnya... "Dia telah senasib dengan si Kendit... menjadi
manusia kelelawar," jawab Kakek Wreti Kandayun
dengan suara serak.
"Siapa saja yang dijelmakan menjadi manusia
kelelawar?" tanya Pusparini penasaran setelah
perasaannya terguncang karena mengetahui nasib Ki
Sudamala. "Ada beberapa orang lain. Aku tak tahu siapa saja
mereka," jawab Kakek Wreti dengan tarikan napas
berat. "Baru kemarin kuketahui bahwa Lowo Brangah
akan menciptakan pasukan kelelawar. Dia akan
membentuk suatu kerajaan di kaki Gunung Katong
ini." Perasaan Pusparini bergidik. Sekilas dia
membayangkan rencana Lowo Brangah. Besar
kemungkinan bisa terwujud kalau tidak cepat-cepat
ditangani dengan tuntas. Dan kuncinya kini berada di tangan Ki Catradana, yaitu
tongkat dan rapalan
mantera dari Hindustan itu.
"Kita tak boleh membuang waktu lagi. Tiga orang
cebol tadi kubinasakan karena memergoki kami," kata Pusparini dengan beranjak
berdiri. "Apa" Kau telah membunuh mereka?" ucap Kakek
Wreti seakan tak percaya tentang ucapan Pusparini.
"Lowo Brangah pasti cepat kemari kalau ketiga
utusannya tidak kembali lagi kepadanya."
"Apa yang Kakek terima dari ketiga utusan tadi?"
tanya Pusparini dengan sikap waspada.
"Besok bulan purnama tiba. Itu saatnya untuk
mempertebal pamor Pedang Kelelawarnya dengan
gosokan jantung jejaka. Korban yang akan diambil
jantungnya tinggal seorang, yaitu jejaka bernama
Sikatan." "Sikatan" Putra Ki Braja Amparan?" ucap Pusparini
dengan nada cemas.
"Aku tak tahu siapa dia. Yang jelas anak muda itu
bernama Sikatan. Menurut Lowo Brangah, kalau
gosokan pamor ini belum juga mewujudkan Pedang
Kelelawarnya seperti yang diharapkan, maka akan
dilakukan penyempurnaan dengan cara lain," Kakek
Wreti berkata dengan pandangan sayu. Jelas ada
tekanan batin dalam diri orang tua itu. Penderitaannya tak lain adalah
kebengisan si Lowo Brangah.
"Cara lain yang bagaimana?" tanya Pusparini tidak
srantan. "Akan diganti dengan korban dari golongan anak
perawan!" jawab Kakek Wreti menandaskan.
"Benar-benar iblis laknat!" keluh Pusparini dengan
lirih yang semakin menyadari tentang kekuatan iblis kian mencaplok keberadaan
manusia. Belum tuntas sikap ini, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh gema teriakan.
"Apa itu?" Pusparini terjengah.
"Ada yang terperosok perangkap," jawab Sruti.
"Orang yang tak tahu tentang liku-liku goa ini pasti terperosok perangkap yang
nyaris kau lewati tadi."
"Hah" Itu pasti kawan-kawanku," kata Pusparini
dengan terus beranjak dari sana.
Sruti membuntuti. Sesaat kemudian mereka tiba di
sana. Pusparini melihat hamparan lantai goa berpasir yang semula rata kini
terlihat mencekung seakan ada sesuatu yang terperosok ke dalamnya. Dan tanah
berpasir itu dengan pelan merata kembali.
"Hah" Jebakan macam apa ini, Sruti?" tanya
Pusparini dengan nada cemas.
"Jebakan undur-undur!" jawab Sruti dengan
menyeret Pusparini untuk berlalu dari sana. "Kita
masih bisa menolong mereka lewat terowongan lain.
Kalau tidak terlambat!"
Diberi gambaran semacam itu Pusparini semakin
cepat melarikan langkahnya mengikuti Sruti. Mereka
memasuki lorong bawah tanah.
Udara pengap dan gelap. Tapi Sruti yang agaknya
sering melewati tempat itu membuat langkah terasa
lancar menerobos jalan yang ditempuh. Beberapa saat
kemudian, mereka sampai di tempat yang dituju.
Rongga goa di sana rupanya mengandung zat fosfor
sehingga ada cahaya remang yang menerangi. Suatu
keajaiban alam yang pertama dilihat oleh Pusparini.
"Dimana mereka?" tanya Pusparini.
Sruti tidak menjawab pertanyaan itu. Dia terus
melangkah menuju ke arah lubang yang bergaris
tengah sekitar satu setengah meter yang menjorok ke atas. Di sekitar tempat itu
terdiri dari pasir.
Terowongan tersebut menganga ke permukaan
genangan air yang merupakan sungai bawah tanah
berarus deras. Bisa dibayangkan, siapa yang
kecemplung ke sana, kalau tidak sigap pasti terseret arus yang menghilang di
tepian dinding goa.
"Mereka pasti telah kecebur air selepas dari lorong itu," kata Sruti
menjelaskan. Apa pun yang terjadi di sana, bagi Pusparini goa itu penuh hal-hal yang
menganehkan. "Ini sungai bawah tanah yang sangat deras
arusnya," lanjutnya. "Tak ada yang pernah selamat
siapa pun yang tercebur ke sini."
"Jadi mereka telah tercebur di sini dan terseret arus tanpa sempat meraih
tepian?" tanya Pusparini dengan nada ingin kepastian. "Kau pasti tahu arus ini
menuju ke mana."
"Tentu saja menuju ke sungai di luar sana. Tapi
sebelum itu, arus sungai bawah tanah ini melewati
tempat kediaman Lowo Brangah," jawab Sruti.
Ini yang membuat perasaan Pusparini semakin
terguncang. Kalau benar, berarti tamat sudah
harapan-harapan yang diandalkan. Sruti
memperhatikan wajah Pusparini yang tampak
kehilangan semangat.
"Aku tak tahu apakah mampu berjuang sendirian
menghadapi kekuatan iblis yang menggerakkan tindak
angkara Lowo Brangah," keluh Pusparini.
Dengan rasa putus asa dia mengawasi arus deras
yang diperkirakan telah menyeret Ki Catradana,
Jlitheng Kasongan, dan Sancaka, serta beberapa orang pengikut yang masih hidup
sejak mereka memasuki
Dukuh Gondolayu.
Tengah termenung begitu, tiba-tiba perhatian
Pusparini terseret pada butir-butir pasir yang jatuh dari lubang terowongan
tempat lepasan genangan pasir yang menjadi jebakan bagi pendatang ke Goa Mulut
Naga. Diperhatikan, butir-butir pasir yang berjatuhan itu semakin deras. Lalu
tak terjadi lagi.
Pusparini segera menyelidiki untuk mengetahui
keadaan lubang terowongan. Tiba-tiba terdengar suara dari sana, yang nadanya
sedang berupaya untuk turun melewati terowongan tersebut.
"Itu suara Ki Catradana!" seru Pusparini yang
mencoba menengok ke lubang terowongan dengan
kemiringan hampir tegak lurus menjorok ke atas di
atas permukaan sungai.
"Ki Catradana!" teriak Pusparini. "Hati-hati jangan tercebur ke dalam air!
Sungai ini deras arusnya!"
"Hooii...! Pusparinikah itu?" terdengar suara
bergema dari dalam terowongan. Suara Ki Catradana.
"Kami berhimpitan di dalam terowongan ini sejak
terjerumus ke dalam pasir terapung ketika memasuki
mulut goa!"
"Hati-hati kalau merayap turun!" seru Pusparini
dengan perasaan berdebar. Dia tak tahu bagaimana
keadaan terowongan itu sebab letaknya persis di atas permukaan air yang deras
arusnya. "Mudah-mudahan mereka bisa turun dengan
berpegangan pada bibir batu yang agak menonjol itu,"
katanya lirih yang ditujukan kepada Sruti. "Kita harus berupaya membantu
mereka." Pusparini melihat keadaan sekelilingnya. Tak ada
sesuatu yang dapat dipakai untuk membantu Ki
Catradana yang berusaha menuruni terowongan.
Akhirnya terlihat ujung kaki yang menjulur ke luar
terowongan. Kaki Ki Catradana, yang dengan pelan
mencoba mencari tempat berpijak. Karena sudah
diperingatkan oleh Pusparini, maka dengan hati-hati dia mencoba keluar dari
sana. Terlihat kini Ki
Catradana keluar dengan menggelantung berpegangan
di bibir terowongan yang sebelumnya melempar
tongkat di tangannya ke arah Pusparini. Tongkat
berhasil ditangkap. Setelah itu dengan gaya manis, Ki Catradana berayun melompat
ke tanah. Kemudian muncul lagi seseorang. Ternyata Jlitheng
Kasongan. Dengan gerak serupa dia berhasil keluar
dari sana. Pusparini menunggu. Tak ada lagi yang
keluar dari sana.
"Di mana yang lain?" tanya Pusparini.
"Sancaka dan tiga orang lainnya tak bisa bertahan
di terowongan itu. Mereka terus meluncur jatuh!"
keluh Ki Catradana.
"Oh!" hanya ini yang keluar dari bibir Pusparini.
Bayangannya tentang Sancaka dan tiga orang anak
buahnya yang tercebur di sungai yang berarus deras
itu tergambar sekilas sesuai dengan keterangan yang diberikan Sruti. Lalu
bagaimana nasib mereka kalau
kepergok Lowo Brangah"
Dalam kesempatan itu, kemudian Pusparini
menceritakan kepada Ki Catradana tentang
pertemuannya dengan Kakek Wreti Kandayun.
Kesimpulannya kini hanya satu tindakan cepat.
Menyerbu ke tempat Lowo Brangah sebelum yang
bersangkutan bertindak lebih lanjut! Sruti adalah
tenaga andalan untuk menuju tempat Lowo Brangah.
Semua harus dilakukan dengan cermat dan hati-hati.
Sementara mereka mulai beranjak dari sana, maka
kegelapan malam telah semakin merayap. Di ufuk
timur telah bertengger bulan purnama yang semakin
merayap ke atas langit.
*** DELAPAN LOWO BRANGAH tertawa terbahak-bahak. Gema
suaranya memantul di dinding-dinding goa
pemukimannya. Goa ini ternyata punya hubungan
jalur dengan Goa Mulut Naga, lewat lorong rahasia.
Tidak sembarang orang boleh ke sana kecuali orangorang atas seijinnya. Kalau tidak, orang harus lewat jalan di luar goa kalau
hendak ke tempat tinggal Lowo Brangah yang merangkap istananya itu. Dia pun
sudah mempersiapkan sebuah bangunan di puncak
Goa Mulut Naga dengan latar belakang Gunung Katong
atau Lawu. Ketika Lowo Brangah tertawa terbahak-bahak itu
karena dia melihat beberapa sosok tubuh terhanyut
oleh arus deras sungai bawah tanah yang melintas di Taman Sarinya. Empat orang
kini dalam keadaan
pingsan menggeletak di hadapannya setelah berhasil
diangkat dari dalam sungai. Beberapa orang anak
buahnya terdiri dari campuran orang cebol dan orang normal bertubuh jangkung,
berjajar mengelilinginya.
"Rupanya sudah ada orang luar yang berani
klayapan kemari," ujar Lowo Brangah. "Ikat mereka di
ruang penyiksaan. Kebetulan malam ini saat kita
melaksanakan upacara. Kita akan meramaikannya
dengan 'sate jantung'. Ha ha ha ha ha...! Sate jantung mereka... ha ha hah...!"
Kemudian Lowo Brangah memberi perintah kepada
para pengawal andalan untuk memperketat penjagaan
di sana. Tempat-tempat yang selama ini luput dari
perhatian, disebar dengan para penjaga. Dan orangorang cebol yang punya gerak gesit itu ditugaskan
untuk selalu mengadakan patroli tanpa henti.
Kelihatannya Lowo Brangah seperti menguasai
keadaan. Tapi di hati kecilnya dia merasa khawatir
kalau yang menyusup ke dalam sarangnya ini ada
orang-orang yang membawa sarana penangkal iblis.
Untuk itu dia perlu mengorek keterangan dari orangorang yang berhasil ditangkap.
"Hm. Yang satu ini tampaknya aku pernah lihat.
Tapi di mana, ya?" kata Lowo Brangah dengan
mengawasi dengan cermat wajah Sancaka. "Ah, ya!
Aku ingat sekarang. Desa Jumpolo! Ya, Desa Jumpolo
tempat Ki Sudamala. Den bagus ini pernah kita kejar dan menghilang!"
Sancaka dan ketiga orang lainnya telah siuman dan
mendapati dirinya dipasung pada jepitan balok kayu
pada kaki dan tangannya.
"Kau pasti kerabat Ki Sudamala!" kata Lowo
Brangah dengan menatap tajam. "Kau pasti datang
dengan teman-temanmu yang lain. Dimana pendekar
Walet Emas 03 Dewi Kelelawar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
wanita yang memiliki Pedang Merapi Dahana itu, hah"!
Apakah dia kemari dan klayapan untuk menyatroni
aku"! Harap jangan mimpi. Pedang Merapi Dahana tak
akan ada apa-apanya kalau diandalkan di sini! Saat ini tak ada cahaya matahari.
Sedangkan ada cahaya
matahari saja pedang itu tidak mampu
menghancurkan Pedang Kelelawar milikku!"
"Nasibmu sebentar lagi usai, Lowo Brangah. Kami
berhasil menembus kemari dengan sarana kekuatan
yang tak akan kau duga!" gertak Sancaka
memberanikan diri walaupun dipasung dengan ketat.
"Mereka akan membebaskan pamanku, Ki Sudamala!"
"Bagus! Itu bagus! Kau telah mengatakan rencana
mereka. Dan aku akan merencanakan penyambutan
untuk mereka. Penyambutan yang hangat. Ha hah ha
ha ha..!" ketawa nyekakak
Lowo Brangah berkumandang, bergema memantul ke dinding-dinding
goa. Kemudian Lowo Brangah memberi isyarat. Sancaka
menunggu apa yang bakal terjadi. Ternyata dua orang cebol muncul dengan menyeret
tali yang mengikat
seseorang di belakangnya. Dan orang itu tiada lain
adalah Ki Sudamala.
"Kumpulkan dengan mereka," perintah Lowo
Brangah. Ki Sudamala diseret dengan kasar dan dijadikan
satu dengan kelompok Sancaka.
"San... caka.."!" ucap Ki Sudamala lirih dengan
semangat loyo. Tampaknya dia mendapat siksaan
bertubi-tubi. Darah telah menghitam mewarnai
tubuhnya di sana-sini. Kemudian muncul lagi tawanan lain. Dia adalah Sikatan,
putra Ki Braja Amparan.
Hanya saja tawanan yang ini tidak dikumpulkan
dengan lain-lainnya. Dia dipisah dan diikat pada tiang utama yang tampaknya
dipersiapkan untuk acara
khusus. "Ha ha ha hah...! Tampaknya semua umpan telah
kita pasang. Sekarang tinggal menjebak mangsa saja!"
sumbar Lowo Brangah dengan memandangi satupersatu para tawanannya.
Akhirnya puncak penampilan adalah muncul sosok
tubuh yang melayang dari atas rongga goa. Wanita
kelelawar yang digelari Dewi Kelelawar! Dia
mengepakkan sayap dengan tenang, dan meluncur
turun bagai pesawat gantole. Tepat di hadapan Lowo
Brangah. "Ooww, Dewiku..!" sapa Lowo Brangah dengan
melangkah maju.
Tanpa segan terhadap orang-orang di sekitarnya,
kedua tangannya memegang pipi Dewi Kelelawar dan
mencium keningnya, kemudian merambat ke pucuk
hidung, dan pada klimaksnya merenggut bibir yang
merona merah alami. Perlakuan ini disambut dengan
dingin oleh Dewi Kelelawar, tapi justru ini yang
membuat sikap Lowo Brangah kian beringas. Sesaat
tindakan itu berlangsung, lalu ciuman yang bernafsu itu dilepaskan. Lowo Brangah
menatap tajam ke arah
mata Dewi Kelelawar.
"Mengapa kau belum muncul pada saat upacara
yang sebentar lagi dilaksanakan?" tanyanya kepada
Dewi Kelelawar yang berpenampilan dingin itu.
Tak banyak orang yang paham dengan keadaan ini
kecuali Lowo Brangah sendiri. Seperti yang telah kita ketahui bahwa dalam tubuh
wanita kelelawar ini ada
dua pribadi yang bersemayam. Satu pribadi si Kendit, dan yang lain adalah iblis
Siluman Kelelawar sendiri.
Dengan penampilan Dewi Kelelawar yang tampak
dingin, Lowo Brangah tahu bahwa pribadi Kendit yang tampil disini.
"Baik! Aku mengerti. Kau tak menghendaki laki-laki
bernama Ki Sudamala itu dikembalikan ke dalam
bentuk asalnya. Beberapa hari lalu dia telah kau seret menjadi makhluk jenismu,
yakni manusia kelelawar.
Harap kau tahu, malam ini aku menghendaki dia
dalam wujud aslinya. Menjadi manusia Ki Sudamala
yang utuh! Dia akan kupergunakan untuk memancing
mangsa. Ada pihak yang telah menyusup kemari
untuk menghancurkan kita...!" kata-kata Lowo
Brangah ini diucapkan dengan nada sabar dan kasih
sayang, seakan memberi pengertian kepada orang yang paling dia cintai. "Aku tahu
kau menyukai laki-laki bernama Ki Sudamala itu. Laki-laki macam dia
ternyata idamanmu. Perawakannya yang lebih tinggi
dariku itu yang mungkin kau sukai. Hidungnya
mancung lagi. Semua penampilannya mencerminkan
pemuas birahi untuk kaum betina!" kata Lowo
Brangah melanjutkan wawasannya. "Aku tidak
cemburu. Akan kupersilakan kau bercinta dengan dia
seperti sewaktu Ki Sudamala kita ubah wujudnya
menjadi manusia kelelawar, dan kalian menggalang
cinta yang penuh gejolak nafsu birahi. Tapi setelah malam ini! Rupanya nafsunafsumu terpuaskan
olehnya bukan?"
Kata-kata Lowo Brangah terhenti lagi. Dia menanti
reaksi ucapannya yang ditujukan kepada Iblis Siluman Kelelawar yang saat ini
masih belum muncul dalam
penampilan lewat Dewi Kelelawar.
Di lain pihak, Sancaka yang mendengar omongan
Lowo Brangah, sempat bergidik perasaannya karena
tahu apa yang telah menimpa diri pamannya. Tak
kurang sedihnya adalah Ki Sudamala sendiri.
Omongan Lowo Brangah membuatnya merasa menjadi
manusia yang tak berharga lagi. Dia dibuat semacam
boneka untuk melampiaskan nafsu iblis Siluman
Kelelawar. Dan itu mungkin akan berlanjut lagi...!
Tengah hening beberapa saat ini, tiba-tiba perangai Dewi Kelelawar berubah. Dia
tampak beringas. Terlihat
lewat tanda pada penampilan matanya yang semula
seperti manusia biasa, kini berubah seperti orang sakit mata. Merah! Sedangkan
bulatan hitamnya kian
mengecil sehingga tampak bengis. Itupun disusul lagi dengan taring yang mencuat,
dan tampak sewaktu
menyeringai. "Aku telah datang Lowo Brangah!"
Suara tawa Lowo Brangah berkumandang
keriangan. "Aku tahu kau telah datang, Dewiku! Kau
harus belajar mengendapkan perangai ngambekmu
dalam menghadapi masalah semacam ini. Itu namanya
muslihat, sebab lawan lawan-kita cukup cerdik untuk mengalahkan kita."
"Bulan purnama hampir tinggi. Kini lakukan
tugasmu," kata Dewi Kelelawar.
Lowo Brangah terlihat bersemangat menanggapi
ucapan Dewi Kelelawar. Dia melangkah menuju ke
arah tawanannya yang terikat di tiang utama. Di sana terikat seorang pemuda
bernama Sikatan.
"Malam ini adalah giliranmu, Den Bagus! Relakan
jantungmu untuk kuambil demi keampuhan
pedangku. Pedang Kelelawar!" kata Lowo Brangah
dengan napas kembang kempis menahan kegembiraan
yang meluap. Lowo Brangah menandai dada Sikatan dengan
goresan kukunya dengan tanda silang, tepat di arah
jantungnya. Goresan kuku tersebut mengeluarkan
darah merah segar.
Darah ini menimbulkan selera Dewi Kelelawar. Dia
terlihat menyeringai beringas. Seperti upacara-upacara terdahulu, rentetan
adegan ini akan diikuti dengan
terbangnya Dewi Kelelawar berputar-putar di rongga
ruangan goa itu dengan tujuh kali putaran. Kemudian dia akan turun di hadapan
korbannya yang terikat di
tiang utama. Lalu dengan gerak pancingan yang lemah gemulai, dia akan
membangkitkan birahi jejaka
tersebut. Kemudian dengan tegak mereka berdua akan
bermain cinta. Pada puncaknya, maka tangan Dewi
Kelelawar akan menghunjam ke dada korbannya
untuk diambil jantungnya...! Itulah yang akan terjadi pada Sikatan malam ini!
Sikatan sendiri berdebar menanti peristiwa yang
bakal dialami. Dia sudah pasrah, bahwa ajalnya akan tiba dengan cara yang
mengerikan, menjadi tumbal
upacara. Peristiwa yang akan dialami sudah pernah
disaksikan sewaktu Lowo Brangah mengadakan
upacara serupa sebelum dirinya sekarang ini. Hanya
saja waktu itu tidak bertepatan dengan saat bulan
purnama. Lowo Brangah melaksanakan setelah tidak
mampu menandingi pedang milik Pusparini alias Walet Emas. Sekedar untuk
menangkal kesialan yang baru
dialami. Sikatan kini melihat Dewi Kelelawar telah turun di
hadapannya setelah berputar-putar di udara. Pada
tahap kedua, perwujudan siluman kelelawar itu akan
merangsang birahinya. Tangan Dewi Kelelawar mulai
beraksi. Rabaan yang sensual menggrayangi seluruh
tubuhnya yang hanya selembar kain menutupi
auratnya. Darah yang meleleh di dadanya akibat
goresan kuku Lowo Brangah dijilati oleh Dewi
Kelelawar dengan permainan lidahnya yang
menggelitik. Sikatan hanya memejamkan mata. Napasnya mulai
berpacu. Bagaimanapun usahanya untuk mengalihkan
perhatian dari tindakan Dewi Kelelawar yang liar ini, ternyata tak berhasil.
Sikatan kini benar-benar terseret arus. Dia membiarkan dirinya jadi bulanbulanan birahi makhluk iblis itu.
Para tawanan tak ada yang tahan melihat peristiwa
ini. Mereka berpaling sambil memejamkan mata. Ki
Sudamala menitikkan air matanya. Sancaka bergidik
ngeri. Dia membayangkan akan mengalami nasib
serupa. Tempat itu dirasa sebagai neraka kengerian...!
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar jeritan Dewi
Kelelawar. Jeritan yang nyaring. Lowo Brangah
tersenyum. Perangai seperti itu biasanya Dewi
Kelelawar mengalami kepuasan puncak.
Tapi rupanya Lowo Brangah terpedaya!
Itu bukan jeritan kepuasan puncak. Tapi jeritan
kesakitan. Jeritan ini disusul raungan bagai suara seribu serigala bergema dalam
goa itu. Dewi Kelelawar menggeliat dan terpental dari hadapan Sikatan.
Lowo Brangah mengumbar mata ke sekelilingnya.
Dia mencari penyebab peristiwa itu. Ada sesuatu yang telah menggagalkan upacara
yang sedang dilaksanakan. "Jahanam! Kita kebobolan!" seru Lowo Brangah. Dia
merasakan pula adanya hawa yang menyelinap dalam
raungan itu. Hawa perbawa yang tersalur dari luar
untuk mengalahkan kekuatan magisnya.
"Cari siapa pun yang menyelinap kemari!"
Serentak segenap anak buahnya menyebar sesuai
dengan perintah. Belum jauh mereka bergerak, maka
Pusparini dengan Pedang Merapi Dahananya telah
melesat menerjang mereka.
Pusparini, Ki Catradana, Jlitheng Kasongan dan
Sruti tampil dengan semangat meluap.
"Jadi kalian, hah"!" seru Lowo Brangah.
Pusparini didampingi Jlitheng Kasongan segera
melabrak ke arah lawan yang berbondong-bondong ke
arahnya. Lawan mereka terdiri dari orang cebol dan
jangkung. Sedangkan Ki Catradana didampingi Sruti
mencari peluang untuk mendekati para tawanan. Tapi
niat mereka tidak bisa berjalan dengan mulus. Banyak lawan menghadang jalanan.
"Aku akan melakukan dari sini saja," kata Ki
Catradana, sementara Sruti membentengi agar tidak
ada lawan yang mendekati.
Ki Catradana membuka lembaran mantera yang
tertulis di kulit sapi, sedangkan tongkat logam itu dibawa oleh Sruti. Dengan
senjata ini Sruti menghalau lawan-lawannya. Memang ada semacam daya aneh
dari tongkat logam tersebut. Dengan tebasan tongkat itu banyak lawan mampu
disingkirkan. Sementara itu Dewi Kelelawar yang semula
terjerembab karena kekuatan aneh, mulai berusaha
bangkit dari tempatnya. Sedangkan Lowo Brangah
dengan langkah gontai mencari sumber petaka yang
membuat dirinya kehilangan tenaga. Dan akhirnya
mata Lowo Brangah melihat tongkat di tangan Sruti.
Inderanya segera memantau kekuatan yang terpancar
dari tongkat tersebut.
"Tongkat itu... seperti yang kulihat dalam mimpi,
harus kuhancurkan," gumam Lowo Brangah dengan
suara tertahan. "Dewi Kelelawar, himpun kekuatanmu
untuk merampas tongkat itu...!"
Suara itu memang tak begitu keras terdengar,
apalagi suara hiruk-pikuk keributan baku hantam dari anak buah Lowo Brangah yang
mengeroyok Pusparini
dan Jlitheng Kasongan. Tapi seruan Lowo Brangah
mempunyai jalur khusus yang hanya bisa didengar
oleh Dewi Kelelawar.
Mendengar seruan ini, maka Dewi Kelelawar
mempertajam matanya. Mata itu tiba-tiba bagaikan
menyimpan bara api di dalamnya. Terlihat menyala.
Itu adalah pancaran tenaga dalam yang ditujukan ke
arah sasaran. Dan sasarannya adalah Sruti!
Sruti sendiri baru sadar bahwa ada kekuatan aneh
yang seolah membisikkan agar dia menyerahkan
tongkat itu. Sruti telah tersihir! Maka dengan langkah pelan dia menuju ke arah
Dewi Kelelawar berada...!
Hal itu tentu saja sangat mengejutkan Ki Catradana
yang sedang merapal mantera berdasar tulisan-tulisan yang tertera di atas kulit
sapi. Rapalannya terhenti dan kini harus bertindak menghadapi lawan-lawan yang
mulai mengeroyoknya. Agak kuwalahan dia.
Dan para pengroyok itu rupanya tahu apa yang
harus didapatkan dari Ki Catradana. Mereka
mengincar tulisan mantera tersebut. Jelas semua telah terperintah dari satu
Walet Emas 03 Dewi Kelelawar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sumber. Yang tiada lain dari Lowo Brangah yang berada di puncak patung batu
berbentuk kepala kelelawar yang diukir dengan wujud menyeringai ganas. Di sini
Lowo Brangah duduk
bersila dengan sikap semedi.
Kalau diamati dengan teliti selama dia berada di
tempat itu untuk mengendalikan semua anak buahnya
lewat jalan pikiran, maka terjadi perubahan pada
jasmaninya. Sekujur tubuhnya dengan pelan telah
ditumbuhi bulu-bulu halus. Lalu wajahnya mulai
berubah pula. Telinganya tumbuh lebih lebar, seperti telinga kelelawar...!
Sementara Pusparini alias Walet Emas dengan
semangat meluap tak memberi kesempatan pada
lawan-lawannya untuk mempertahankan diri. Keadaan
di sana tidak memungkinkan berpikir memberi
pertimbangan tentang belas kasihan. Sebab disadari, dia berhadapan dengan
kekuatan iblis. Dan iblis tak pernah kompromi!
Akhirnya dari sepak terjang Pusparini dan Jlitheng
Kasongan telah dua pertiga kekuatan anak buah Lowo
Brangah berhasil dilumpuhkan. Dan kekuatan di
pihak Pusparini bertambah ketika Jlitheng Kasongan
berhasil membebaskan para tawanan, kecuali Sikatan
yang masih terikat di tiang utama. Pemuda ini sulit didekati karena Dewi
Kelelawar berada tak jauh
darinya. Terlihat dalam kesempatan ini Dewi Kelelawar
masih disibukkan mencoba mempengaruhi dengan
kekuatan sihirnya terhadap Sruti yang membawa
tongkat logam tersebut. Sruti semakin dekat dengan
Dewi Kelelawar. Makhluk jelmaan iblis ini merasa
yakin akan dapat merebut tongkat yang diincar dari
tangan Sruti. Ketika tangannya akan menjangkau tongkat
tersebut, tiba-tiba dadanya terasa sesak dibarengi
dengan tubuhnya yang menggeliat dan roboh ke
samping. Itu karena sebuah tendangan. Dan pembuat
kegagalannya untuk meraih tongkat tersebut adalah
Pusparini. Dewi Kelelawar menyeringai bengis. Matanya tertuju
ke arah lawan yang baru saja mengecohnya dengan
tendangan. Pusparini berhasil membebaskan pengaruh
sihir yang membelenggu Sruti.
"Jauhi dia!" seru Pusparini kepada Sruti.
Sruti menghindari Dewi Kelelawar yang berusaha
bertindak merebut tongkat tersebut. Tapi agaknya
Sruti kurang cepat bertindak. Tongkat berhasil
terpegang ujungnya oleh Dewi Kelelawar. Terjadi tarik-menarik sebentar.
Mendadak tubuh Sruti terangkat ke atas. Hal itu
karena Dewi Kelelawar menarik tongkat dengan gerak
melambung ke atas. Dia terbang. Dalam keadaan
tergantung Sruti berusaha mempertahankan diri.
Sedangkan Pusparini tak sempat bertindak menolong
karena harus menghadapi lawan yang tiba-tiba
menyerang dirinya.
Setelah lawan ini berhasil dibereskan, Pusparini
segera bertindak untuk membantu Sruti. Dia mencari
peluang untuk bisa menjebak Dewi Kelelawar.
Akhirnya peluang untuk itu didapatinya. Dia harus
melesat ke atas sana dengan berpijak pada tonjolan
dinding-dinding goa. Dengan gerak beranting Pusparini dapat memperoleh peluang
yang dikehendaki. Dia
berhasil melesat ke arah Dewi Kelelawar. Dengan
pedang terhunus maka ditebasnya sayap Siluman
Kelelawar itu. Shrrakkh!!! Maka sayap itu terbelah.
Karena peluang di udara masih memungkinkan
bertindak lagi, maka tebasan kedua membabat tangan
yang memegangi ujung tongkat tersebut.
Chraassh!!! Tangan Dewi Kelelawar terpenggal. Semua
berlangsung cepat sekali dan sulit diikuti mata. Yang terlihat hanya gerakan
Dewi Kelelawar menjadi oleng disertai jeritannya yang menggema. Sruti
terpelanting, tapi berhasil mempertahankan tongkat itu. Tubuh
Dewi Kelelawar terhempas ke bawah!
Lowo Brangah njenggirat kaget. Pandangannya diarahkan kepada tubuh Dewi
Kelelawar yang luka
parah di bawah sana. Tanpa membuang waktu dia
segera bertindak. Raut wajahnya yang telah ditumbuhi bulu-bulu itu menyeringai
bengis. Dengan mencabut
pedangnya dia melesat memburu Sruti.
Untunglah hal ini sempat dilihat Pusparini.
Pendekar Walet Emas ini melesat untuk membendung
gerak Lowo Brangah. Terjadi benturan dan itu
merupakan beradunya Pedang Merapi Dahana dengan
Pedang Kelelawar. Bunga-bunga api berpijar dari dua senjata yang saling beradu.
Kini perhatian Lowo
Brangah tersita untuk meladeni Pusparini.
Perang tanding kedua tokoh ini memporakporandakan apapun yang berada di sana. Semua
menyingkir menghindar. Ada kalanya anak buah Lowo
Brangah mencoba membokong Pusparini. Tapi dengan
tangkas Pendekar Walet Emas ini berhasil menindak si pembokong.
Untuk memberi pelajaran pada
pembokong yang lain, sengaja Pusparini memberi
perlawanan dengan menebas leher lawan sehingga
kepala mereka terpental dari tubuhnya. Sungguh
mengerikan. Nilai perikemanusiaan telah sirna.
Keadaan telah membuat Pusparini terseret kekejaman
tanpa ampun. Sebab kalau tidak begitu, maka dirinya yang akan menjadi korban.
Dalam kekacauan itu Dewi Kelelawar mencoba
menghimpun tenaganya. Tapi tindakan itu kiranya
akan sulit dilakukan. Sebab dia melihat seseorang
telah datang ke arahnya. Orang itu tiada lain adalah Ki Sudamala yang di
tangannya terpegang tongkat logam.
Semua telah terjadi peralihan dengan cepat.
Ki Sudamala kini yang tampil setelah tongkat itu
oleh Sruti diberikan kepadanya. Bukan itu saja.
Lembaran mantera yang sejak semula berada di
tangan Ki Catradana, kini telah diberikan kepada Ki Sudamala...!
"Hanya aku yang tahu bagaimana mempergunakan
perpaduan senjata ini!" kata Ki Sudamala ditujukan
kepada Dewi Kelelawar yang berusaha menghindar.
Tapi rasanya otot-ototnya lunglai tak berdaya untuk bergerak.
"Tidak! Ampuni akuuu...!" terdengar suara Dewi
Kelelawar meratap.
"Musafir dari tanah Hindustan itu berasal dari
Kerajaan Karnataka. Dia datang sampai ke Jawadwipa
ini hanya untuk mengejarmu. Kau iblis Siluman
Kelelawar telah menimbulkan malapetaka di sana.
Sayang musafir itu meninggal karena sakit ketika aku menjumpainya. Dan tongkat
logam beserta rapalan
mantera yang ditulis di kulit sapi itu diberikan
kepadaku. Kini aku mengambil alih tugasnya...!" kata Ki Sudamala dengan penuh
wibawa. Luka-luka di
tubuhnya tak dihiraukan lagi. Rasanya dia mendapat
kekuatan dengan memegang senjata ampuh yang
selama ini diincar oleh Lowo Brangah. Tentu saja
untuk dihancurkan atas perintah Siluman Kelelawar
yang perwujudannya menjadi Dewi Kelelawar.
Bagaimana rahasia perpaduan tongkat logam dan
tulisan mantera pada kulit sapi itu" Sebelum Ki
Sudamala tampil untuk memerangi Dewi Kelelawar,
dia telah memadukan dua benda itu agar
menimbulkan kekuatan ampuh. Semua itu berkat
rahasia yang telah dibeberkan oleh musafir Hindustan.
Ternyata tongkat logam itu berongga dan di dalamnya terdapat air. Konon air itu
diambil dari kuil suci di Kerajaan Karnataka. Kemudian kulit sapi bertuliskan
mantera tersebut dimasukkan ke dalam rongga
tongkat yang berisi air suci. Lalu terjadi proses kimiawi kekuatan alam yang tak
akan bisa dipecahkan oleh
nalar manusia. Di dalam rongga tongkat itu, kulit sapi tersebut lebur larut jadi
satu. Dan anehnya, ketika tutup tongkat itu dipasang kembali, maka di ujung
tongkat satunya mencuat sebilah benda runcing.
Benda itu mencuat sekitar empat jengkal dan
bertuliskan mantera-mantera yang terukir. Itulah
senjata yang ditakuti Siluman Kelelawar yang
bertahun-tahun meloloskan diri dari kawasan
Kerajaan Karnataka di Hindustan Selatan.
"Sekarang terimalah ajalmu!" seru Ki Sudamala
dengan mengarahkan ujung tongkat yang runcing itu.
Dan... "Aahhh...!"
Suara ini bukan dari jeritan Dewi Kelelawar, tapi
dari mulut Ki Sudamala sendiri. Kiranya dia lengah.
Sewaktu mengancam Dewi Kelelawar, maka tangan
wanita siluman ini berhasil menjangkau sebilah golok di sampingnya dengan
tangannya yang masih utuh.
Pedang tersebut dilempar ke arah Ki Sudamala dan
menancap di dada. Tapi dengan menahan rasa sakit,
Ki Sudamala masih berusaha untuk melanjutkan
tugasnya. Semua memang tidak semudah yang dibayangkan
walaupun tinggal melancarkan serangan satu jurus
saja untuk membinasakan Dewi Kelelawar. Ternyata
Lowo Brangah yang sedang terlibat perang tanding
dengan Pusparini berhasil meninggalkan gelanggang
untuk menolong Dewi Kelelawar. Dia melesat untuk
merebut tongkat itu di tangan Ki Sudamala yang
terlihat gontai karena serangan lawan yang tak
terduga. Tinggal satu depa lagi Lowo Brangah di
pastikan bisa merebut tongkat itu.
Tapi mendadak tubuh Lowo Brangah njenggirat
meliuk ke belakang dengan meledakkan jeritan. Hal itu karena sebuah pedang telah
meluncur dan menancap
di punggungnya, dan tembus dada tepat pada
jantungnya. Ternyata Pedang Merapi Dahana milik
Walet Emas berhasil mengirim nyawa Lowo Brangah ke
akherat! Tubuh Lowo Brangah terjerembab ke bawah.
Kesempatan yang serba cepat ini maunya
dipergunakan oleh Dewi Kelelawar untuk menjauhi Ki
Sudamala yang tampaknya bertahan untuk
membunuhnya. Dewi Kelelawar mencoba berkelit
melesat sekuat tenaga. Tapi hal itu tak berhasil karena kaki Ki Sudamala dengan
cepat menginjak sayapnya.
Gerak Dewi Kelelawar tersendat, dan kesempatan ini
tidak disia-siakan oleh Ki Sudamala. Dengan cepat dia menghunjamkan ujung
tongkatnya ke dada lawan!
Jhheebbh!!! Darah muncrat. Jeritan Dewi
Kelelawar berkumandang memekakkan telinga. Ujung tongkat
yang runcing itu amblas menembus jantung, dan kian
tertanam di sana karena dibebani berat badan Ki
Sudamala yang juga ambruk. Dia tewas pada puncak
tugasnya. Dewi Kelelawar tak bergerak lagi setelah
meregang nyawa dengan gerak sekarat.
Semua itu disaksikan oleh mereka yang masih
hidup. Mereka tercekam rasa ngeri. Apalagi ketika
dilihatnya tubuh Dewi Kelelawar itu berangsur-angsur membusuk di bawah tindihan
badan Ki Sudamala.
Dan yang lebih mengherankan adalah munculnya
cahaya hijau dari kepala Dewi Kelelawar yang berubah menjadi tengkorak itu.
Cahaya tersebut melesat keluar dan berputar-putar dalam rongga goa diikuti
dengan terdengarnya suara tawa nyekakak. Suara Siluman
Iblis Kelelawar yang tanpa wujud badan kasar...!
Sekejap setelah peristiwa itu terjadi getaran dalam goa tersebut.
"Gempa!!!" seru Pusparini dengan cemas. Dia tahu
Siluman Iblis Kelelawar itu akan mengadakan
pembalasan dengan cara lain. "Cepat tinggalkan
tempat ini...!"
Semua orang berlarian keluar. Pusparini masih
sempat melepaskan Sikatan yang ketika itu tetap
terikat di tiang utama tempat upacara. Lalu keduanya
mengikuti jejak orang-orang yang telah terlebih dulu keluar dari sana.
Suara gemuruh kian dahsyat. Seakan-akan Gunung
Katong sendiri yang akan meletus, padahal gunung itu sudah bertahun-tahun sudah
lelap 'tidur'. Mereka semua dengan selamat telah sampai di luar
goa. Goa tempat pemukiman Lowo Brangah telah
runtuh. Semua hancur lebur.
*** Dengan peristiwa itu maka tuntas sudah peristiwa
yang bersumber dari keganasan Siluman Iblis
Kelelawar yang konon datang melarikan diri dari
Hindustan dan berhasil bersekutu dengan Lowo
Brangah, seorang tokoh hitam yang mengidamkan
pedang ampuh. "Saya ikut berduka atas meninggalnya Kendit," kata
Pusparini kepada Kakek Wreti Kandayun. Kendit,
mbakyunya Sruti, telah jadi korban dalam penjelmaan menjadi perwujudan Dewi
Kelelawar. "Setiap perjuangan pasti ada korban. Aku rela atas
kepergiannya," ujar orang tua itu.
"Kami akan membangun Pedukuhan Gondolayu
lagi. Para penduduk laki-lakinya selama ini
bersembunyi ke tempat lain karena ancaman
keselamatan dari Lowo Brangah. Aku yakin mereka
akan kembali lagi kemari."
"Kalau begitu... Sruti sudah bersuami?" tanya
Pusparini karena dia teringat hubungan Sruti dengan Jlitheng Kasongan.
"Suami si Sruti telah tewas karena kekejaman Lowo
Brangah. Mengapa kau tanyakan hal itu?" jawab
Kakek Wreti sambil berjalan di samping Pusparini.
Mereka menyaksikan penduduk Gondolayu
membenahi rumah masing-masing yang tak pernah
terurus karena dicekam ketakutan selama kekuasaan
Lowo Brangah. Kakek Wreti Kandayun segera mengerti maksud
pertanyaan Pusparini tadi. Pandangannya terpaku
Walet Emas 03 Dewi Kelelawar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pada Sruti dan Jlitheng Kasongan yang tampak rukun
membenahi pekarangan rumah.
"Jlitheng Kasongan telah memutuskan untuk
tinggal disini," kata Pusparini. "Dia memang bekas
seorang begal. Tapi saya yakin dengan keberadaan
Sruti di sampingnya akan merubah pandangan
hidupnya."
"Aku mengerti. Mudah-Mudahan Sruti dapat
memperoleh harapannya kembali," ujar orang tua itu.
*** Hari berikutnya, terjadilah perpisahan itu.
Pusparini, Ki Catradana, Sikatan dan Sancaka serta
dua orang pengikut yang selamat, kembali ke
Wonoboyo. Tak ada peristiwa penting lagi yang bisa
diceritakan di sini. Yang jelas Pusparini tak bisa
ditahan lagi dengan niatnya yang melanjutkan
perjalanan menurut sepembawa kakinya.
"Apakah kita bisa berjumpa lagi?" tanya Sancaka
yang harus tinggal di Jumpolo mewarisi peninggalan
pamannya. "Rasanya sulit. Untuk sementara ini aku tak ingin
terpaku pada suatu tempat. Petualanganku hanya
untuk melupakan semua keluargaku yang telah
binasa. Justru setiap kejahatan itu yang harus
kuperangi...!" kata Pusparini dengan menghentakkan
tali kekang kudanya menuju arah timur.
Sancaka mengawasinya sampai gadis berkemben
kuning itu lenyap dari pandangan.
"Aku tak akan melupakanmu, Walet Emas," bisik
Sancaka. SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Jan Tenan
Document Outline
SATU *** DUA *** *** *** TIGA *** *** EMPAT *** *** LIMA *** ENAM *** TUJUH *** DELAPAN *** *** SELESAI Kisah Pedang Bersatu Padu 17 Gento Guyon 19 Dewa Sinting Pedang Sinar Emas 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama