Ceritasilat Novel Online

Dewi Selaksa Racun 1

Walet Emas 05 Dewi Selaksa Racun Bagian 1


DEWI SELAKSA RACUN http://cerita-silat.mywapblog.com Daftar Judul Cersil Bag 15 :841 Wiro Sableng Gerhana Di Gajahmungkur842 Wiro Sableng - Bola Bola Iblis843 Wiro Sableng Hantu Bara Kaliatus844 Wiro Sableng - Peri Angsa Putih845 Wiro Sableng - Hantu
Jatilandak846 Wiro Sableng - Rahasia Bayi Tergantung847 Wiro Sableng - Hantu
Tangan Empat848 Wiro Sableng - Hantu Muka Dua849 Wiro Sableng - Rahasia Kincir
Hantu850 Wiro Sableng - Rahasia Patung Menangis851 Wiro Sableng - Hantu Langit
Terjungkir852 Wiro Sableng - Rahasia Mawar Beracun853 Wiro Sableng - Hantu
Santet Laknat854 Wiro Sableng - Badai Fitnah Latanahsilam855 Wiro Sableng Rahasia Perkawinan Wiro856 Pendekar Rajawali Sakti - Sepasang Rajawali857
Pendekar Rajawali Sakti - Sabuk PenawarRacun858 Pendekar Rajawali Sakti - Jago
dari Mongol859 Pendekar Rajawali Sakti - Kemelut PusakaLeluhur860 Pendekar
Rajawali Sakti - Bangkitnya PandanWangi861 Pendekar Rajawali Sakti - Hantu
Karang Bolong862 Pendekar Rajawali Sakti - Dendam AnakPengemis863 Pendekar
Rajawali Sakti - Macan GunungSumbing864 Pendekar Rajawali Sakti - Mutiara dari
Selatan865 Pendekar Rajawali Sakti - Warisan Berdarah866 Pendekar Rajawali Sakti
- Kaum Pemuja Setan867 Pendekar Rajawali Sakti - Permainan di UjungMaut868
Pendekar Rajawali Sakti - Manusia Beracun869 Pendekar Rajawali Sakti - Jari
Malaikat870 Pendekar Rajawali Sakti - Seruling Perak871 Pendekar Rajawali Sakti
- Penari BerdarahDingin872 Pendekar Rajawali Sakti - Sang Penakluk873 Pendekar
Rajawali Sakti - Dewa Iblis874 Pendekar Rajawali Sakti - Dendam Rara Anting875
Pendekar Rajawali Sakti - Pemburu Kepala876 Pendekar Pulau Neraka - Cakar
Harimau877 Pendekar Pulau Neraka - Pergolakan di IstanaLangkat878 Pendekar Pulau
Neraka - Selir Raja879 Pendekar Pulau Neraka - Prahara Di PantaiSelatan880
Pendekar Pulau Neraka - Perawan PembawaMaut881 Pendekar Pulau Neraka - Ratu
Lembah Mayat882 Pendekar Pulau Neraka - Keris Kala Muyeng883 Pendekar Pulau
Neraka - Misteri PenunggangKuda Bertopeng884 Pendekar Pulau Neraka - Dewi Asmara
Darah885 Pendekar Pulau Neraka - Lima Setan dari Barat886 Pendekar Pulau Neraka
- Raja Kera Iblis887 Pendekar Pulau Neraka - Tiga Pengemis Sakti888 Pendekar
Pulau Neraka - Nyi Roro SekarMayang889 Pendekar Pulau Neraka - Setan Mata
Satu890 Pendekar Pulau Neraka - Sepasang BangauPutih891 Pendekar Pulau Neraka Perisai Kulit Naga892 Pendekar Pulau Neraka - Sengketa SepasangPendekar893
Pendekar Pulau Neraka - Dewi Beruang Putih894 Pendekar Pulau Neraka - Pewaris
Keris NagaEmas895 Pendekar Pulau Neraka - Titisan SilumanHarimau896 Pendekar
Pulau Neraka - Hantu Bukit Angsa897 Pendekar Pulau Neraka - Iblis Pulau Hitam898
Pendekar Pulau Neraka - Warisan Iblis899 Pendekar Pulau Neraka - Irama
PencabutNyawa900 Pendekar Pulau Neraka - Hantu Rimba Larangan
Oleh TEGUH SANTOSA
Cetakan pertama tahun 1991
Penerbit BINTANG USAHA JAYA
Gambar sampul oleh TEGUH SANTOSA
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
TEGUH SANTOSA Serial Walet Emas
dalam episode :
Dewi Selaksa Racun
128 hal. : 12 x 18
SATU Pergumulan itu membuat si wanita menjerit-jerit.
Tetapi apa daya seorang wanita seperti dia menghadapi sosok tubuh laki-laki
dempal yang kini menindih tubuhnya" Laki-laki itu bertindak dengan ganas. Kemben penutup dada si wanita telah dicampakkan secara liar, dan bagian tubuh yang
membukit itu diterkam
dengan pagutan bibirnya. Si wanita menjerit. Tetapi suara itu mendadak
dikalahkan oleh suara jeritan
yang mengaduh dari mulut laki-laki itu ketika tanpa diduga sebuah tendangan
melanda pelipisnya. Disusul dengan sebuah tendangan lagi pada arah lambung,
membuat laki-laki itu mencelat melanda dinding kamar sehingga jebol berantakan.
Laki-laki itu mengumpat selangit. Ucapan kotor dari tahi kucing sampai kerbau
meluncur dari mulutnya
yang dilingkari kumis dan brewok setengah ubanan.
Ketika matanya mampu melihat dengan nyata, di
hadapannya telah berdiri seorang wanita berkemben
kuning dengan menyandang pedang di punggungnya.
"Kalau wanita itu tidak berteriak minta tolong, pasti aku tidak datang kemari,"
kata wanita yang baru muncul ini. "Jadi maaf saja kalau aku terpaksa bertindak.
Tugasku memang menolong kaum yang lemah dan tertindas. Dan tindakanmu termasuk perbuatan sewenang-wenang yang aku sangat tidak suka!"
"Jangan berkhotbah seperti pendeta. Kau pantas
jadi anakku begitu berani mengumbar omongan seperti itu?" seru laki-laki itu
dengan membenahi kainnya
yang kedodoran.
Wanita berkemben kuning memberi isyarat kepada
wanita di atas ranjang agar keluar dari ruangan itu.
Begitu beranjak melangkah, maka laki-laki itu menco-ba menerkamnya. Tetapi
tindakan itu tak pernah kesampaian. Wanita berkemben kuning dengan gesit
mencegat dengan jegalan kaki sehingga laki-laki itu terjerembab menghantam
amben. Untuk kedua kalinya dia misah-misuh sampai lu-dahnya nyemprot dari mulutnya.
Lalu, tanpa basa-basi lagi menyambar goloknya yang menggeletak di sampingnya.
Dia menyerang si wanita berkemben kuning.
Tetapi wanita itu cepat melesat ke luar halaman menerobos jendela.
Baru saja dia menginjak tanah, wanita berkemben
kuning merasakan tendangan dari belakang. Ada seseorang yang membokongnya. Tendangan yang tak
terduga ini begitu kerasnya dan 'berisi' sampai membuat wanita berkemben kuning
harus mengatur posisi
dirinya dengan tiga kali bergulir jempalitan ke belakang. Begitu merasa aman,
dia langsung pasang kudakuda. Matanya mengawasi dengan tajam ke arah si
pembokong. Lalu kepada laki-laki lawannya pertama
yang kini memburunya keluar. Rupanya mereka satu
komplotan. "Rupanya kau kedodoran menghadapi wanita cilik
ini, Srenggi," kata laki-laki yang telah membokong wanita berkemben kuning.
Laki-laki yang dipanggil dengan nama Srenggi mengusap mulutnya. "Dia kira bisa berbuat seenaknya.
Tambi, minggir saja kau! Rasanya perutku masih se-nep kalau tidak bisa
menandangi begejil betina cilik ini."
Laki-laki bernama Tambi mundur untuk memberi
kesempatan kepada Srenggi. Langsung dia menerjang
ke arah wanita berkemben kuning. Goloknya membabat dengan gencar, tetapi wanita lawannya itu dengan
gesit melesat pula dengan lincah bagai burung walet.
Burung walet" Ya, siapa lagi kalau bukan Pusparini
yang mempunyai gelar kependekaran Walet Emas" Dalam pengembaraannya, ternyata dia telah sampai di
pesisir utara. Di daerah pesisir ini dia berada di per-kampungan nelayan. Tempat
itu disebut Desa Tengiri.
Rupanya Srenggi begitu penasaran untuk bisa
membunuh Pusparini sampai-sampai temannya bernama Tambi hanya bisa menahan geram melihat kebodohannya. "Mengapa kau jadi banci berhadapan dengan si pre-cil itu" Biar kaupandangi saja.
Aku ingin menunduk-kannya," kata Tambi dengan mengambil alih pertarungan. Walaupun agak sengol, Srenggi terpaksa memberi kesempatan kepada temannya.
Tambi mempergunakan senjata terbuat dari tulang
rusuk ikan hiu yang dipungut dari tempat sampah.
Dengan tertawa terkekeh-kekeh matanya jlalatan menyapu ke sekujur tubuh
Pusparini. Memang benar,
Pusparini yang berumur menjelang duapuluh tahun
itu pantas jadi anaknya. Tetapi kejalangan laki-laki urakan yang kerjanya hanya
berjudi, mabuk-mabukan
serta main perempuan, tidak mengindahkan kaidah
tersebut. Wanita dianggapnya cuma alat pelampiasan
nafsu. Memandang lekuk tubuh Pusparini yang sintal
itu memang menimbulkan birahinya. Pikirannya dipenuhi bagaimana bisa memeluk lawannya, dan apabila
bisa ditundukkan akan digagahi sekali!
"Ayo! Katanya kau akan mewakili temanmu bernama Srenggi itu. Mengapa termenung saja di situ?" seru Pusparini.
Tentu saja seruan ini sempat menggugah lamunannya. Dengan menahan malu karena teguran itu, Tambi
menerjang ke depan. Senjatanya menyambar ke arah
Pusparini, tetapi si Walet Emas ini melesat ke atas dan turun lagi sambil
mengirimkan tendangan. Rahang
Tambi jadi sasaran. Tidak seperti Srenggi, ternyata dia mampu bertahan dengan
tendangan seperti itu. Sebenarnya Pusparini tidak tahu, bahwa laki-laki bernama
Tambi di tempat itu mendapat sebutan 'Si Rahang
Hiu'. Pusparini tak habis pikir mengapa ada orang
yang baru kali ini dapat bertahan terhadap tendangan kakinya. Bergeming pun
tidak. Bahkan yang terdengar adalah suara tawa si Tambi mencemoohkan tindakan
Pusparini. "Kurang keras, Cah Ayu. Ayo ulangi lagi. Rasanya
seperti kau elus-elus saja," sumbar si Tambi dengan bersiap menyerang.
Pusparini siap menghadapi serangan itu. Dia tak
mau terkecoh dengan olok-olok yang merupakan pancingan emosi. Tetapi di sisi lain si Tambi memang te-ramat sulit untuk
membabatkan senjatanya berupa tulang rusuk ikan hiu. Kelincahan gadis pendekar yang memiliki gelar Walet Emas
ini gerakannya memperlihatkan gerak jurus walet.
Ketika Tambi terkuras tenaganya, barulah Pusparini
mencoba menyerang ke tenggorokan lawan dengan
sentilan dua jari tangannya. Pertimbangannya, di situ biasanya kelemahan paling
rawan yang tak pernah di-perhatikan oleh lawan. Dugaan ini benar. Mendapat
serangan pada bagian itu, kontan si Tambi mendelik.
Tetapi serangan itu tidak mematikan, hanya mampu
membuat daya tahan lawan tidak prima lagi. Dalam
keadaan sempoyongan, Tambi mencoba menangani lawannya lagi. Kali ini dia menyerang tidak langsung, tetapi melemparkan rusuk
tulang hiu senjatanya ke arah Walet Emas.
Sasarannya memang tepat. Itu kalau Pusparini tidak berkelit dan menampel tulang itu dengan tendangan kakinya. Tulang melesat balik. Tetapi ternyata tidak ke arah Tambi. Seperti
yang diperhitungkan Pusparini, maka tulang itu melesat ke arah Srenggi yang
rupanya mencoba masuk ke rumah untuk melanjutkan niatnya menggagahi wanita
tadi... dan menghunjam ke arah betisnya!
Kontan jeritannya meledak. Tetapi baru saja Pusparini hendak melanjutkan menangani Tambi, tiba-tiba
sebuah jaring menebar ke arahnya. Pusparini tak sempat mengelak, sebab keadaan
ini benar-benar di luar perhitungannya. Dan yang menebar jala pun muncul
secara tiba-tiba dari balik rumah nelayan.
Pusparini berhasil diringkus! Melihat hal ini Tambi dan Srenggi hendak
mengadakan pembalasan. Tetapi
keduanya diurungkan niatnya ketika menyaksikan
siapa di belakang penebar jala tersebut. Si penebar jala terdiri dari dua orang,
sedangkan yang seorang lagi muncul menyusul. Orang inilah yang membuat Srenggi
dan Tambi menghaturkan hormat.
"Apa pun alasan kalian, dia telah menjadi tawananku!" kata orang itu. Dia adalah seorang lelaki yang umur-umurannya sekitar
tigapuluhan. Pakaian yang
dikenakan menunjukkan bahwa dirinya bukan rakyat
biasa, tetapi seorang pejabat pemerintahan. Dialah
Rangga Lurukan, putra syahbandar pelabuhan. Kemudian pandangannya ditujukan kepada Pusparini.
"Kalau kau berjanji tidak membuat keributan lagi,
aku akan melepaskanmu," kata Rangga Lurukan.
"Yang membuat keributan bukan aku. Tetapi mereka!" jawab Pusparini tanpa unggah-ungguh walaupun tahu yang sedang dihadapi
adalah pejabat. "Apakah
sudah menjadi kebiasaan di sini bahwa lelaki begitu
kurang-ajarnya memperlakukan wanita dengan seenaknya padahal wanita itu bukan istrinya?"
Ucapan itu sangat menyengat perasaan Rangga Lurukan. Tidak biasanya ada orang yang berani berkata semacam itu terhadap
dirinya. Seolah-olah dia harus ikut tanggung jawab terhadap perbuatan Srenggi
dan Tambi yang memang dikenal sebagai 'pembuat keonaran'. "Karena aku tidak biasa menyelesaikan urusan di
jalanan, kau harus kubawa ke balai syahbandar. Juga kalian berdua, Srenggi dan
Tambi!" perintah Rangga
Lurukan dengan tegas.
Untuk tidak mempersulit, Pusparini menuruti perintah itu walaupun tubuhnya masih diringkus dengan jala. Sejenak pikirannya
melayang kepada kuda dan
perbekalannya, termasuk Pedang Merapi Dahana yang
dibungkus rapi, yang dititipkan kepada pemilik penginapan ketika tiba di pesisir
Desa Tengiri. Saat ini dia hanya bersenjata pedang kecil untuk kelengkapan saja. Memang tak terduga kalau keberadaannya di sini
ketanggor masalah seperti itu. Di sini timbullah pertanyaan dalam hati tentang
peranan laki-laki yang tampaknya dihormati oleh Srenggi dan Tambi. Yang jelas,
laki-laki itu seorang pejabat. Tetapi bagaimana perangai dalam masyarakat,
apakah berperan baik atau tidak, belum diketahui.
Pusparini melirik ke arah laki-laki yang berjalan di sampingnya, yaitu dua
pengawal yang telah mering-kusnya. Sebenarnya dengan kepandaiannya, Pusparini
bisa melepaskan diri dari jaring jala itu. Saat ini diperkirakan tangannya akan
dengan mudah menjangkau
golok yang disandang orang itu. Dengan senjata yang berada di luar jaring, dia
mampu bertindak. Tetapi niat itu diurungkan. Jiwa petualangannya berkembang ingin tahu peranan laki-laki pejabat pelabuhan itu.
Setelah berjalan beberapa saat lamanya, mereka tiba di pemukiman di mana bangunan-bangunan yang
lebih besar terlihat bercokol di sana. Tak jauh dari tempat itu terlihat
pelabuhan dengan banyak perahu
sedang berlabuh di sana.
Rangga Lurukan memerintahkan agar Pusparini,
Srenggi dan Tambi dibawa ke tempat penyekapan.
"Sialan! Mengapa begini jadinya?" pikir Pusparini.
Srenggi dan Tambi terlihat ogah-ogahan ketika diperintahkan masuk ke ruang kerangkeng. Hanya untungnya, Pusparini mendapat tempat terpisah.
Kemudian tempat itu sepi. Dua ruangan kerangkeng
yang kini dihuni oleh Pusparini serta Srenggi dan
Tambi tidak lengang lagi.
"Kau yang bikin gara-gara sehingga kami harus berada di kandang tikus ini!" seru Srenggi dengan prin-gas-pringis menahan sakit
karena betisnya luka tertu-suk tulang tusuk hiu. "Kita bisa melanjutkan kalau


Walet Emas 05 Dewi Selaksa Racun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nanti sudah lepas dari sini!"
"Hei, Pak! Pakai akal sehatmu!" kata Pusparini.
"Yang bikin gara-gara itu kan kamu!"
"Sudah! Jangan diterus-teruskan," sela Tambi, yang
ucapan ini tentu saja mengundang perhatian Pusparini. Bukan karena apa, tetapi agaknya ucapan itu mengandung penyesalan. Apakah
orang semacam mereka
punya rasa menyesal" Tetapi tampaknya hanya Srenggi yang terlihat bersungut-sungut. Maklum, dalam peristiwa itu dirinyalah yang
mendapat ganjaran rasa sakit. "Hei, Nduk! Kau ini dari mana" Tampaknya aku belum
pernah melihatmu klayapan di kawasan ini,"
tanya Tambi kemudian.
Pusparini tak cepat menjawab. Dia masih mempertimbangkan apakah pembicaraan itu akan menjurus
ke arah pertentangan atau tidak.
"Aku orang ' kabur kanginan'!" jawab Pusparini. "Tak punya tujuan ke mana aku
harus pergi, dan asalku...
Padepokan Canggal, di kaki Gunung Merapi," jawab
Pusparini. "Apa" Padepokan Canggal di kaki Gunung Merapi?"
ucapan ini meluncur hampir serentak dari mulut Tambi dan Srenggi dengan menancapkan pandangan ke
arah Pusparini.
Gelagat ini tentu saja mengundang perhatian Pusparini. "Ada apa?" tanya Pusparini. "Kau mengenal tempat
itu" Pernah ke sana?"
"Astaga...! Jadi kau gemblengan Padepokan Canggal" Murid Ki Suswara?" tanya Tambi.
"Rupanya kalian mengenal tempat itu," jawab Pusparini. "Tidak saja kenal. Tetapi... sudah njamur! Ki Suswara itu... paman kami!" ucapan ini meluncur dari
mulut Tambi dengan mata berbinar-binar. Siapa sangka kalau akhirnya mereka berdua, Tambi dan Srenggi, bisa bertemu dengan orang
yang mengenal Padepokan
Canggal bahkan berguru di sana"
"Hei! Kalian jangan gaduh! Den Rangga Lurukan
sedang menuju kemari!" seru seorang penjaga yang ti-ba-tiba nongol dari balik
tembok. Pusparini, Tambi dan Srenggi, bungkam seketika.
Seperti ada kesepakatan, mereka tidak akan berbicara tentang Padepokan Canggal
apabila Rangga Lurukan
menanyakan hal-hal yang menyangkut daerah asal
dan masa lampau.
Akhirnya tokoh itu muncul.
"Aku bisa memberi pelajaran yang lebih menyakitkan kalau kalian bertiga tetap melanjutkan bentrokan seandainya kulepaskan,"
kata Rangga Lurukan.
"Oh, tidak! Tidak, Den!" sela Srenggi yang tampaknya tak mengindahkan lagi rasa sakitnya.
Rangga Lurukan mengalihkan pandang ke arah
Pusparini. "Kalau begitu, aku hanya perlu bertanya tentang dirimu," katanya kemudian. "Siapa namamu?"
"Pusparini!"
"Asal?"
"Kadipaten Rejodani."
"Hm. Masih dalam wilayah Kerajaan Medang," kata
Rangga Lurukan. "Bagaimana kau bisa sampai di Desa
Tengiri?" "Ya... hanya sepembawa kaki saja."
"Mengembara"!"
"Begitulah," jawab Pusparini singkat.
"Apakah kau bersedia bekerja di bawah perintah seseorang?" "Melihat dulu siapa dan apa kepentingannya."
Rangga Lurukan diam. Ada sesuatu yang dipikirkan. Tetapi matanya tak lepas menatap wajah Pusparini. "Aku membutuhkan tenaga bantuanmu," katanya
kemudian. "Sebagai... ' jago kepruk'?" terdengar ucapan Pusparini yang seperti mengandung
sindiran. "Nanti kukatakan kalau kedua orang itu telah kukeluarkan dari kerangkeng," kata Rangga Lurukan dengan melempar pandang ke arah Tambi dan Srenggi
yang mengikuti pembicaraan itu.
"Apakah kami tidak boleh mendengarkan, Den?"
tanya Tambi yang melancangkan diri memancing perhatian. "Begini, sebenarnya kedatanganku ke Desa Tengiri
memang mencari kalian berdua," sambut Rangga Lurukan. "Mungkin ini seperti sudah ditakdirkan bahwa aku bisa bertemu dengan...
eenghm... Pusparini. Sebenarnya lewat kalian aku juga akan minta tolong. Tetapi
setelah kujumpai Pusparini, masalah kalian jadi nomer dua."
"Tetapi... kalau demikian halnya, mengapa kami tidak boleh ikut mendengarkan pembicaraan ini?" sela
Srenggi. "Ada hal-hal yang tidak boleh kalian ketahui," jawab Rangga Lurukan.
Tambi dan Srenggi menyapu pandang ke arah Pusparini. Tambi melempar kerlingan mata.
"Baik, kalau hal itu di luar hak kami," jawabnya
kemudian. Rangga Lurukan memanggil penjaga agar mengeluarkan Tambi dan Srenggi dari kerangkeng. Menyusul
kemudian Pusparini.
"Kalian berdua menunggu di luar. Aku akan berbicara empat mata dengan Pusparini," kata Rangga Lurukan kepada Tambi dan Srenggi.
Kedua orang itu menurut perintah.
"Kau tentu tidak menduga bahwa perkembangan
perkenalan kita akan berbuntut seperti ini," kata
Rangga Lurukan kepada Pusparini yang meneguk minuman yang disediakan di sana. "Aku... putra Ki Keka-tang, syahbandar Tanjung
Penyu ini," sambungnya.
"Saat ini aku sedang mengemban tugas dari ayahandaku untuk menjemput kedatangan seorang tamu dari
mancanegara."
"Tamu dari mancanegara?" sahut Pusparini.
"Benar. Dari Sriwijaya!" jawab Rangga Lurukan.
Tentang Sriwijaya, Pusparini memang pernah mendengar dari obrolan orang-orang yang pernah ditemui dalam pengembaraannya. Konon
Kerajaan Sriwijaya
menguasai lalu-lintas perdagangan di lautan.
"Lalu apa yang harus kukerjakan dengan kedatangan tamu tersebut?" tanya Pusparini.
"Tamu itu harus kita selamatkan dari incaran sekelompok pembunuh," jawab Rangga Lurukan.
"Wah, soal nyawa lagi!" sela Pusparini.
"Kalau sampai terbunuh, maka hubungan antara
Kerajaan Medang dan Sriwijaya bisa gawat. Itu bisa berarti... perang!" jawab
Rangga Lurukan.
"Perang?" Pusparini mengulangi kalimat itu seolah
tidak yakin apa yang didengar dari penjelasan Rangga Lurukan. Perang antara
Sriwijaya dengan Medang" Belum pernah Pusparini merasakan datangnya persoalan
yang. menyangkut tentang perang. Selama ini dia memang tak pernah kering dengan baku hantam, tetapi
kalau itu menyangkut soal perang yang akan meliputi wahana yang sangat besar,
baru kali ini didengarnya.
"Bagaimana" Sanggup?" tanya Rangga Lurukan.
Pusparini masih membisu.
"Mengapa justru aku yang kau pilih?" akhirnya
ucapannya terdengar setelah dengan sabar Rangga Lurukan menunggu jawaban.
"Karena kau... seorang wanita. Dan itu sangat cocok untuk menjaga
keselamatannya," jawab Rangga Lurukan.
Pusparini ketawa sinis. "Jadi begitu" Aku akan kau
suruh menjaga seorang tamu agung yang mungkin...
tugasku ada sampingannya yang lain?"
"Tugas sampingan yang lain" Apa yang kau maksudkan?" tanya Rangga Lurukan.
"Kau berniat menjual diriku bukan?" jawab Pusparini dengan ketus.
Rangga Lurukan mengerinyutkan dahi. Wajahnya serius menatap mata Pusparini.
Belum pernah ada
orang yang berani blak-blakan seperti itu. Tampaknya Pusparini tidak segan-segan
mendobrak unggah-ungguh yang seharusnya menaruh hormat kepadanya.
Boleh dikata Pusparini kelewat kurang ajar membicarakan hal itu. "Menjual dirimu" Mengapa prasangkamu seburuk
itu?" kata Rangga Lurukan.
"Pada setiap kesempatan tugas luar, biasanya pejabat tinggi akan mudah kesepian. Dan aku kau tugaskan mendampingi demi keselamatannya" Siang malam?" kata Pusparini dengan melempar pandang ke
luar jendela. "Hei, mengapa pikiranmu lari ke arah itu?"
"Aku sekedar menghubungkan cerita orang-orang
yang pernah kudengar," jawab Pusparini.
"Yang harus kau jaga keselamatannya adalah seorang wanita!" sela Rangga Lurukan.
Pusparini menoleh mengawasi Rangga Lurukan.
Tampaknya dia telah salah sangka terhadap tugas
yang ditawarkan.
"Seorang wanita?" katanya kemudian.
"Ya. Seorang wanita yang harus kau jaga keselamatannya," jawab Rangga Lurukan.
Pusparini menundukkan wajahnya menekuri lantai
yang dipijaknya. Seperti dia ingin menutupi rasa malu dengan prasangkanya tadi.
"Kuharap kau setuju dan bisa membantu aku," kata
Rangga Lurukan. "Tentu saja imbalan yang akan kau
terima lebih dari pantas."
"Berapa banyak yang bisa kuterima"!" sahut Pusparini. Aneh rasanya ketika hal ini dikemukakan. Selama
ini dia tak pernah berhubungan dengan imbalan jasa
pada setiap sumbangan tenaga yang dilakukan. Semua
tanpa pamrih. Baru kali ini ada pihak yang membicarakan hal itu. Dan ucapannya tadi hanya sekedar meladeni omongan Rangga Lurukan.
"Mungkin sebanyak ini!" kata Rangga Lurukan dengan mengeluarkan sebuah pundi-pundi berisi uang
emas, dan diletakkan di atas meja. Melihat bungkusannya saja, orang bisa tahu apa dan bagaimana nilai yang ada di dalamnya.
"Tampaknya kau tahu kemampuanku. Apakah hal
itu kau ukur ketika aku menghadapi Tambi dan
Srenggi?" kata Pusparini yang tidak menghiraukan
pundi-pundi di hadapannya.
"Sejak kau masuk ke Desa Tengiri yang kemudian
menitipkan kuda dan barang-barangmu di penginapan
'Baruna', dirimu telah menjadi perhatian kami," jawab Rangga Lurukan.
"Dan sebagai penguasa wilayah ini kemudian kau
memeriksa barang-barangku tanpa seijinku?"
"Tidak! Aku tidak bertindak sejauh itu."
"Bisa kupercaya omonganmu?"
"Sumpah demi Sang Hyang Widhi!" jawab Rangga
Lurukan dengan mengangkat kedua tapak tangannya
dengan sikap menyembah.
"Aku heran, mengapa justru aku yang kau pilih.
Bukankah masih banyak para pendekar wanita yang
lain yang mungkin bisa menjaga keselamatan tamu
agung itu?" kata Pusparini.
"Aku telah mencari banyak pendekar wanita. Mereka tidak memenuhi syarat."
"Tentang ketangkasannya, maksudmu?"
"Tentang wajahnya!" jawab Rangga Lurukan. "Kau
hampir mirip dengannya."
"Oh, jadi kau pernah bertemu dengan tamu agung
itu sebelumnya?"
"Aku pernah ke Sriwijaya, dan bertemu dengan dia
dalam suatu perjamuan."
"Aku mengerti sekarang. Aku mendapat tugas tidak
saja menjaga keselamatannya, tetapi... bisa menyamar seperti dia, bukan?" sahut
Pusparini. Rangga Lurukan manggut-manggut mengagumi jalan pikiran Pusparini.
"Dan para pembunuh itu mengincar diriku"!" kata
Pusparini lagi.
Rangga Lurukan berdebar mendengar ucapan yang
terakhir ini. Apa yang diduga oleh Pusparini benar adanya. Lalu timbul
kekhawatiran bahwa Pusparini
akan menolak tawaran tugas itu.
"Aku senang dengan tugas ini...!" jawab Pusparini.
"Puji sukur kepada Sang Hyang Widhi! Kau tak
usah khawatir, pihak kami pun akan menjaga keselamatanmu," kata Rangga Lurukan dengan memberikan
pundi-pundi berisi uang emas kepada Pusparini. "Kau akan menerima sepundi lagi
kalau tugas ini selesai...!"
*** DUA Rangga Lurukan memberi pengarahan kepada Pusparini, Tambi dan Srenggi pada saat berikutnya. Kedatangan tamu agung dari
Sriwijaya itu diperkirakan paling cepat tiga hari lagi kapal yang membawanya
berlabuh di Tanjung Penyu. Karena Pusparini telah mengemban tugas dari syahbandar setempat, maka dia diharuskan berada di perumahan yang telah disediakan.
Tentu saja hal ini membuat Pusparini mengambil barang-barangnya di penginapan 'Baruna'. Ketika mengambil barang-barangnya, Tambi dan Srenggi membuntuti. Terhadap dua orang itu, kini Pusparini terpaksa memanggil 'Paman',
karena mereka adalah keponakan gurunya, Ki Suswara di Padepokan Canggal.
"Hei, mengapa paman berdua mengikuti aku" Nanti
bisa-bisa Rangga mencari kalian," kata Pusparini. Dia tetap tidak menganggap
Rangga Lurukan sebagai atasannya. Oleh sebab itu memanggil namanya pun, tak
memakai sebutan 'Den'.
"Kami masih kangen dengan ceritamu tentang Padepokan Canggal," kata Tambi.
"Ah, mengapa paman berdua tidak sambang ke sa

Walet Emas 05 Dewi Selaksa Racun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

na saja" Lagian mengapa kalian bisa jadi urakan di
tempat ini?" sahut Pusparini sambil terus berjalan diiringi Tambi dan Srenggi.
"Ya... itu karena nasib saja. Aku dan Srenggi ini
adalah para keponakan Paman Suswara paling bandel.
Nyantrik di Padepokan Canggal tidak sampai selesai.
Maunya ngadu nasib jadi pedagang saja. Kau tahu, kami berdua ini sebenarnya
saudara sepupu. Kedua
orang tua kami telah meninggal semua. Harta benda
kami jual dan kami pergunakan berdagang di Tanjung
Penyu ini. Tetapi malah ludes. Nggak bakat. Yah, memang nasib."
"Saya kira itu bukan nasib. Tetapi salah jalan. Sebab kemarin ada punggawa syahbandar yang menceritakan kepada saya, bahwa paman berdua senang judi,
mabuk-mabukkan, dan... main perempuan. Betul?"
kata Pusparini tanpa segan membeberkan keterangan
yang didapat. Ucapan Pusparini membuat kedua orang itu ' klejingan', merasa malu. Dari sini
Pusparini tahu betapa memelas nasib kedua orang 'paman' itu.
Obrolan itu berkembang membangkitkan kenangan
di benak Tambi dan Srenggi. Kelihatannya mereka bertiga terlihat akrab. Terlupa
sudah bentrokan yang pernah terjadi di antara mereka beberapa saat lalu. Kalau
saja nama Padepokan Canggal tidak dijelaskan oleh
Pusparini, jelas bahwa permusuhan akan berkembang.
Selagi mereka mengobrol sambil berjalan, tiba-tiba
mendesing sebuah benda ke arah mereka. Pusparini
yang indranya lebih terlatih dari Tambi dan Srenggi, cepat menangkap gejala
tersebut. Dengan tangkas dia mencabut senjatanya untuk menangkis benda yang
melesat ke arah mereka. Entah siapa yang dituju. Yang jelas dengan tangkisan
pedangnya, Pusparini berhasil menggagalkan serangan tersebut. Ternyata sebuah
serangan senjata rahasia.
Merasa serangan pertama digagalkan, maka serangan berikutnya dilancarkan lagi. Pusparini dengan
tangkas menangkisnya. Serangan berikutnya memang
lebih gencar. Ini yang membuat mereka bertiga mengambil posisi menyebar untuk membuyarkan perhatian lawan yang terlihat bergerak cepat dari balik perahu-perahu rusak yang
berjajar di atas pasir.
Pusparini memperhatikan bahwa si penyerang terdiri dari satu orang dan kini bersembunyi di balik sebuah perahu. Ditunggu
beberapa saat. Tak ada serangan senjata rahasia lagi. Pusparini memperhitungkan serangan yang akan
dilancarkan. Maunya perahu itu
akan didobrak dengan tendangan. Tetapi sebelum dia
bertindak, orang itu telah melesat keluar dari persembunyiannya. Langkah
Pusparini sudah terlanjur berkembang. Akhirnya dua-duanya secara tidak diduga
telah saling menyerang. Satu-satunya cara untuk
mengatasi jurus yang berubah mendadak ini hanya
dengan mempergunakan kekuatan tangan. Dua pasang anggota tangan saling berbenturan cukup keras.
Akibatnya masing-masing terpental ke belakang. Kare-na hal semacam ini sudah
diperhitungkan, maka Pusparini dengan cepat berhasil menguasai keadaan. Demikian pula sang lawan. Ternyata dia seorang pemuda dengan bandu menghias ikatan
rambutnya yang panjang sampai sebatas punggung. Rompinya terbuat dari kulit
dengan manik-manik sepanjang belahan tengah-nya. Lalu sebilah golok terselip di
pinggang kiri. Matanya tajam mengawasi Pusparini.
"Aku bisa melakukan sekarang. Tetapi aku ingin tahu alasanmu mengapa kau menyerang kami," kata
Pusparini dengan menjaga segala kemungkinan serangan. "Karena kau antek si Rangga! Kalian anak buahnya
yang disewa untuk menjaga keselamatannya?" seru laki-laki itu dengan pandangan mata beringas.
"Aku memang bekerja untuk dia. Tetapi aku tidak
bertugas untuk menjaga keselamatannya," jawab Pusparini. "Itu sama saja!" seru laki-laki itu dengan menghentakkan kaki dan menerjang ke arah Pusparini.
Pusparini waspada. Serangan bisa ditangkis dengan
mudah. Tetapi serangan berikut nyaris membuat matanya jadi sasaran serangan kalau tidak dengan lincah meliukkan kepalanya ke
samping. Melihat cara berke-lahi, laki-laki itu menguasai betul jurus bangau.
Dari totolan ujung jari yang mencari sasaran sampai gaya kepakan sayap bangau
untuk menjebak serangan, terlihat dengan jelas tentang penguasaan jurus yang dikuasai oleh lawan Pusparini.
Untuk mengimbangi, tentu saja Pusparini mempertunjukkan jurus burung walet yang sangat dia kuasai.
Kegesitannya membuat jurus bangau kedodoran sikap.
Bahkan tidak jarang Pusparini berhasil menghunjamkan serangannya ke bagian tubuh lawan. Ajang pertarungan melebar ke segenap penjuru. Ketika bentrokan dengan tangan kosong merasa
tak tertandingi, barulah laki-laki itu mencabut goloknya.
Pusparini tetap bertahan tanpa senjata. Hal inilah
yang membuat Tambi dan Srenggi terkagum-kagum
terhadap ketangkasan Pusparini. Mereka merasa
bangga bahwa jebolan Padepokan Canggal bisa unjuk
gigi dalam bentrokan seperti itu.
Serangan-serangan golok untuk sementara berhasil
diatasi oleh Pusparini dengan menangkis mempergunakan kayu-kayu yang banyak berserakan di sana. Hal ini semakin membuat sang
lawan penasaran. Sikap inilah yang kiranya menimbulkan serangannya semakin
sulit dilancarkan dengan seksama. Tindakannya telah tertimbun oleh emosi. Sampai
akhirnya pada suatu kesempatan Pusparini berhasil menggampar tangan lawannya. Golok mencelat. Pusparini berhasil menyambar. Lalu melesat, yang kemudian dengan meliuk cepat berhasil menikung ke arah
lawan yang belum siap
mengubah posisinya. Dengan gebrakan kilat ini dia
berhasil menyambar. Lalu melesat, yang kemudian
dengan meliuk cepat berhasil menikung ke arah lawan yang belum siap mengubah
posisinya. Dengan gebrakan kilat ini dia berhasil menodongkan golok itu ke leher
lawannya. "Nah! Bagaimana" Diteruskan atau tidak?" kata
Pusparini sambil melempar senyum kemenangan.
"Kuharap lidahmu masih bisa bergerak untuk bercerita. Tetapi pertama kali sebut siapa namamu."
Laki-laki itu belum mau menjawab.
"Jangan memaksaku merobekkan golok ini ke lehermu," ancam Pusparini.
Tambi dan Srenggi ikut campur, "Kalau tindakanmu
ada yang mendalangi, lebih baik kau mengatakannya,"
kata Srenggi yang sudah melupakan luka di betisnya.
"Atau lebih baik kita serahkan saja kepada Rangga
Lurukan," kata Pusparini.
"Baik! Aku akan berbicara. Asal kalian tidak menyerahkan aku kepada si Rangga," akhirnya terdengar ju-ga suara laki-laki itu.
"Ah, rupanya kau bisa 'berkokok' akhirnya," sahut
Tambi sambil menthowel pipi laki-laki itu. "Sebut namamu dulu sebelum bercerita
lebih lanjut."
"Sebaiknya kalian mempercayai aku. Lepaskan todongan ini," pinta laki-laki itu.
Pusparini tanpa ragu meluluskan permintaan itu.
Tetapi kalau hal itu merupakan siasat, dia sudah siap untuk bertindak lebih
lanjut. "Ayo, ngomonglah!" kata Tambi.
"Namaku Tunggul Randi, dari Pedukuhan Watu Dakon," jawab laki-laki itu.
"Tunggul Randi?" ulang Pusparini.
Laki-laki itu mengangguk. "Aku memang bermusuhan dengan Rangga Lurukan."
"Itu bukan urusanku. Tetapi kalau kau menganggap
kami sebagai anteknya, kau keliru. Kami bekerja demi Kerajaan Medang," kata
Pusparini. "Aku lebih tahu siapa Rangga Lurukan. Tadi aku
menyerang kalian hanya ingin tahu sampai berapa
tinggi ilmu kalian yang ingin diandalkan oleh Rangga Lurukan," sahut Tunggul
Randi. "Dan kau telah tahu bukan?" jawab Tambi. "Itu baru dia. Belum kami berdua."
"Kalian akan diperalat!" sahut Tunggul Randi.
"Memang! Itu demi Kerajaan Medang. Kami bersedia
menerima karena kami semua warga Kerajaan Medang!" kata Pusparini.
"Justru dialah musuh dalam selimut itu!" kata
Tunggul Randi. "Hei! Bicara apa kau ini?" sela Srenggi yang sejak
tadi banyak berdiam diri.
"Rangga Lurukan musuh dalam selimut!" ulang
Tunggul Randi tanpa takut.
"Kuharap kau tidak mabuk mengatakan hal ini!" kata Pusparini. "Demi Sang Hyang Widhi!" tukas Tunggul Randi.
"Mudahnya kau bersumpah. Lidah memang tak bertulang," sahut Pusparini.
"Apakah kalian ingin bukti" Aku bisa membawa kalian kepada Ki Jalak Jenar," Tunggul Randy mengumbar omongannya tanpa takut lagi. Agaknya semua keterangan itu telah memancing perhatian lawan bicaranya. Dan dia tak khawatir lagi seandainya mereka
terpaksa memotong lidahnya karena mengumbar
omongan seperti itu.
Ucapan terakhir Tunggul Randi membuat Pusparini
berpikir. Demikian juga Tambi dan Srenggi. Ketiga
orang ini mencoba meresapkan keterangan yang didengarnya. Betulkah Rangga Lurukan musuh dalam
selimut" Dari berbagai peristiwa yang pernah dialami, maka masalah pemerintahan
sangat jarang melibatkan
diri. Tetapi agaknya masalah tersebut akan menyeret dirinya terlibat di
dalamnya. "Bagaimana, Paman" Apakah kita perlu bertemu
dengan orang bernama Ki Jalak Jenar itu sebelum ke
penginapan 'Baruna'?" tanya Pusparini.
"Terserah kau saja," jawab Srenggi dengan mengelus kumisnya. Akhirnya Pusparini memutuskan untuk bertemu
dengan orang bernama Ki Jalak Jenar.
"Asal tidak jauh tempatnya, kami akan ke sana saat
ini juga," katanya.
"Tidak jauh," jawab Tunggul Randi. "Di perbatasan
Tanjung Penyu."
"Kau tak punya niat menjebak kami di sana, bukan?" sahut Tambi, yang sebenarnya ucapan ini hampir dikatakan oleh Pusparini.
"Aku telah berkata dengan jujur. Terserah kalian
percaya atau tidak," jawab Tunggul Randi mencoba
meyakinkan. Karena merasa tak ada yang perlu diperdebatkan
lagi, mereka berempat menuju ke tempat perbatasan
Tanjung Penyu dengan Desa Tengiri. Tempatnya memang tidak melelahkan ketika ditempuh dengan jalan
kaki. Sebuah rumah terlihat di sana, terpisah dengan rumah yang lain.
Beberapa orang tampak berdiri di tempat-tempat
tertentu seolah-olah mewaspadai semua orang yang
bersliweran di sana. Dan memang hal itu benar
adanya. Mereka mengawasi kedatangan Tunggul Randi
yang diiringi Pusparini, Tambi dan Srenggi. Kemudian Tanggul Randi mengawali
memasuki rumah itu.
Begitu masuk rumah, Pusparini sesaat dibuat kagum dengan keadaan di dalamnya. Rumah yang tampaknya seperti rumah nelayan di luarnya itu, dan
berkesan dihuni oleh orang yang tidak berada, ternyata lain. Di dalamnya, orang
bisa menyaksikan keadaan-nya cukup berada.
Seorang lelaki berusia enampuluhan terlihat duduk
di amben. Tiga orang duduk di bawah. Rupanya mereka sedang merundingkan sesuatu ketika Pusparini
sampai di sana. Tunggul Randi menghaturkan sembah. Dengan cara ini terlihat bahwa orang tersebut cukup dihormati oleh orangorang di sana. "Ki Jalak Jenar, inilah orang-orang yang kini sedang dirangkul oleh Rangga
Lurukan," kata Tunggul Randi.
"Mereka ingin membicarakan sesuatu dengan Ki Jalak.
Saya mohon maaf apabila telah membeberkan semua
masalah kita terhadap mereka."
Laki-laki yang dipanggil dengan nama Ki Jalak Jenar mengawasi Pusparini dan kedua 'pamannya'.
"Apa benar kalian telah memperoleh penjelasan dari
Tunggul Randi?" tanya Ki Jalak Jenar dengan mata tetap menyelidik kepada ketiga
tamunya. Ada semacam
kecurigaan. Tetapi kalau hal itu telah dipilih Tunggul Randi membawa mereka
menghadap, pasti telah ada
pembicaraan yang telah dibeberkan. Dan itu memang
tidak mudah kalau sampai ada orang luar bisa dibawa Tunggul Randi menghadap Ki
Jalak Jenar. "Tentunya Tunggul Randi telah mempersulit kalian.
Aku ingin tahu sampai berapa jauh kesulitan itu bisa terjadi," ucap Ki Jalak
Jenar dengan melempar sebuah cawan di sampingnya ke arah Pusparini.
Bagi orang biasa, pastilah hal itu akan membuat celaka orang yang jadi sasaran. Tetapi ini adalah Pusparini, pendekar yang punya
gelar Walet Emas. Begitu
cawan tersebut sampai pada arah lehernya, maka tangannya cepat menangkap benda itu. Cawan tersebut
berisi air. Dan tak ada sepercik air pun yang nyiprat keluar.
"Maaf, Ki. Sebelum berangkat kemari, aku telah minum di sebuah warung," kata Pusparini dengan melempar cawan itu kembali kepada Ki Jalak Jenar.
Dan orang itu berhasil menangkap pula dengan
tangannya. Sejenak dia tersenyum sambil mengawasi
Pusparini dengan pandangan mata menyipit. Pandang
yang penuh selidik. Nalurinya mengatakan bahwa dari ketiga tamunya ini, hanya si
wanitalah yang punya ke-lebihan ilmu beladiri kalau dibanding dengan dua lakilaki lainnya. Di pihak lain, bagi Pusparini tokoh bernama Ki Jalak Jenar ini memang bukan orang sembarangan. Melempar cawan berisi air tanpa bergoyang, apalagi nyiprat keluar, sungguh orang
yang punya ilmu lumayan
walaupun dia bisa bertindak serupa.
"Kalau kau telah minum, kalau begitu kita tinggal
bicara saja," sahut Ki Jalak Jenar dengan memberi
isyarat agar Pusparini duduk di tempat yang tersedia.
"Nah, kini sampai berapa jauh Tunggul Randi bercerita tentang kelompok kami,"


Walet Emas 05 Dewi Selaksa Racun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lanjutnya setelah Pusparini dengan kedua pamannya duduk bersila.
"Ada musuh dalam selimut. Dan orang itu adalah
Rangga Lurukan. Apakah hal itu bisa dipercaya?" kata Pusparini.
"Kami tidak akan memaksa kalian untuk bisa percaya. Yang jelas, kalau Rangga Lurukan akan mengambil tenaga orang lain untuk membantu menyelesaikan masalahnya sendiri, kami tidak bisa tinggal di-am. Maksudku...
memperingatkan kalian agar tidak
bertindak bodoh dan ceroboh," kata Ki Jalak Jenar
dengan menyisipkan ramuan kinang ke dalam mulutnya. "Semua masih perlu dibuktikan," sahut Tambi.
"Itu adalah hak kalian," ucap Ki Jalak Jenar dengan meludahkan cairan kinang
yang dikunyah ke dalam
paidon sampingnya.
"Kalau begitu, kami menyampaikan terima kasih
kalau hal ini dianggap sebagai suatu peringatan. Tetapi... apakah boleh aku tahu
apa yang melatarbelakangi kelompok yang Ki Jalak Jenar pimpin ini?"
tanya Pusparini.
Ki Jalak Jenar tidak cepat menjawab. Baginya pertemuan itu bisa menguntungkan kelompoknya, juga
bisa tidak. Menguntungkan apabila tamu yang datang
itu bisa diajak kerja sama. Merugikan, kalau sampai ketiga orang itu menjadi
mata pisau yang akan membeberkan kegiatannya sebagai 'gerakan bawah tanah'
kepada kelompok Rangga Lurukan.
"Kami adalah orang-orang yang menjaga keselamatan Kerajaan Medang tanpa melewati keputusan Sang
Raja karena beliau dikelilingi oleh para penjilat!" kata Ki Jalak Jenar dengan
suara mantap. "Boleh dikata,
kami adalah kelompok orang yang disingkirkan. Tetapi tanggung jawab kami
terhadap kerajaan ini tak kalah hebatnya dengan para pejuang lain yang sepaham."
"Pejuang lain yang sepaham?" tanya Pusparini.
"Benar. Kami tahu bahwa banyak orang lain yang
sepaham dengan kelompok kami, tetapi sulit mengakrabkan diri. Kami khawatir adanya pisau bermata
dua," jawab Ki Jalak Jenar.
"Pisau bermata dua yang bagaimana?" tanya Pusparini. "Mungkin mereka akan mengkhianati kalau ambang
keberhasilan untuk menyingkirkan para penjilat tercapai. Itu sebabnya lebih baik
kami berjuang dengan
orang-orang yang telah kami kenal dengan baik," kata Ki Jalak Jenar.
"Hm. Aku jadi semakin tahu kiprahnya orang-orang
yang terlibat dalam kancah pemerintahan. Benarbenar tak kuduga bahwa Kerajaan Medang yang aman
tentram ini ternyata banyak pihak yang saling menjadi srigala. Yang satu, tega
memakan yang lain," ucap
Pusparini sambil berdiri yang kemudian diikuti oleh Tambi dan Srenggi. "Kalau
begitu, kami akan mohon
diri." "Mudah-mudahan kami bisa mempercayai kamu
bertiga bahwa tidak akan menceritakan keberadaan
kami di sini," kata Ki Jalak Jenar.
"Aku menganggap pertemuan ini tak pernah terjadi,
Ki Jalak Jenar," jawab Pusparini.
Ki Jalak Jenar mengantar kepergian Pusparini dengan pandangan mata penuh keyakinan. Jarang dia bisa bersikap seperti itu. Dia sulit mempercayai orang yang baru dikenalnya.
Tetapi ketika berhadapan dengan Pusparini, rasanya dia melihat seseorang yang
mampu mengerti dirinya. Sebelum Pusparini sampai di pintu keluar, Ki Jalak Jenar
berseru, "Kau belum menyebutkan namamu!"
Pusparini menghentikan langkah. "Nama saya Pusparini!" katanya terus berlalu dari sana.
"Pusparini"!" terdengar suara Ki Jalak Jenar mengulangi ucapan dengan lirih.
Sedangkan Tunggul Randi tidak bersikap apa-apa
kecuali patuh bersila di tempatnya.
"Jadi kau bisa dikalahkan olehnya?" terdengar pertanyaan yang ditujukan kepada Tunggul Randi.
"Hanya kehilangan kesempatan ketika dia dengan
tiba-tiba merubah arah serangan setelah berhasil me-rampas golok saya," jawab
Tunggul Randi. "Karena matamu sejak awal telah dipengaruhi kecantikannya?" sela Ki Jalak Jenar.
Tunggul Randi menunduk malu.
"Sekarang lanjutkan memata-matai mereka. Mudah-mudahan semua yang kujelaskan bisa membuatnya waspada berkenalan dengan Rangga Lurukan.
Apakah orang-orang kita telah memperoleh persenjataan yang kita butuhkan?" kata Ki Jalak Jenar.
"Setiap tukang pande-besi yang saya hubungi kebanyakan mengeluh kekurangan bahan logam," jawab
Tunggul Randi. Ki Jalak Jenar manggut-manggut sambil mengelus
jenggotnya mendengar laporan tersebut. Pikirannya
bergolak mencari jalan keluar bagaimana mendapatkan persenjataan untuk memperkuat barisan kelompoknya. Lalu pandangannya menatap pada lambang yang melukiskan seekor burung laut berwarna
putih yang menempel di dinding sebelah kanannya.
Lambang "Camar Putih"!
*** TIGA "Kau mempercayai semua omongan Ki Jalak Jenar
itu?" kata Srenggi sesampai di perumahan syahbandar setelah mengambil
perlengkapan Pusparini di penginapan 'Baruna'.
"Perlu dikaji kebenarannya. Dan itu tugas kita untuk membuktikan," jawab Pusparini dengan memperbaiki bungkusan pedangnya.
Di dalam bungkusan itu tersimpan Pedang Merapi
Dahana. Sejak banyak orang yang tahu tentang pedang tersebut, Pusparini selalu menyimpan pedangnya dalam bungkusan yang rapi
sehingga tak ada seorang
pun menyangka berisi pedang ampuh. Sedangkan pedangnya yang lain adalah sebuah pedang biasa. Inilah yang dibawa kemana dia
pergi apabila berada di suatu tempat dan mendapatkan tempat menginap.
Dalam hari berikutnya sambil menunggu kedatangan tamu agung dari Sriwijaya, Pusparini sering memikirkan penjelasan yang
didapat dari Ki Jalak Jenar.
Semua merupakan gambaran peristiwa yang harus dihadapi. Kini tinggal mengkaji, siapa pihak yang benar dan perlu dibela. Kalau
ditinjau dari pandangan Rangga Lurukan, apakah mungkin pihak Ki Jalak Jenar
yang akan membunuh tamu agung itu" Tetapi mengapa Ki Jalak Jenar memberitahu bahwa Rangga Lurukan adalah musuh dalam selimut"
Berpikir tentang masalah ini, semakin membuat
bingung saja. Maka untuk mengawali tugasnya, dia
akan mengikuti arus peristiwa dari perintah Rangga
Lurukan dulu. "Besok diperkirakan tamu itu datang," pikir Pusparini di pembaringannya.
Hari telah larut malam. Dan seperti biasanya, kalau ada persoalan yang menjadi
beban pikirannya, maka
Pusparini sulit tidur. Seperti halnya malam ini. Karena dia diserahi perihal
keamanan, maka kebiasaannya
untuk mengamati suasana pada waktu malam tak
pernah dilewatkan.
Pusparini melesat keluar ruangan dan nangkring di
wuwungan rumah. Bulan sabit menggantung di langit.
Lampu-lampu oncor menerangi di berbagai tempat.
Rupanya Rangga Lurukan telah memerintahkan untuk
memasang oncor-oncor minyak jarak secara menyeluruh di tempat-tempat yang harus dijaga keselamatannya. Terutama gudang pelabuhan serta tempat yang
nantinya dipakai untuk menjemput tamu agung.
Tengah termenung di wuwungan rumah, tiba-tiba
Pusparini melihat seseorang melesat dari sudut bangunan di kejauhan sana, seakan-akan takut diketahui oleh orang lain. Tampak
jelas di mata Pusparini bahwa sosok tubuh itu adalah seorang wanita. Kecurigaan
Pusparini mendorong dirinya untuk menyelidiki.
Dia segera melesat dengan perhitungan dapat mencegat orang itu. Tetapi baru saja dia bergerak, tanpa diduga ada pihak pembokong
yang menyerang dirinya.
Serangannya diperhitungkan sekali untuk dapat melumpuhkannya. Pusparini terlambat mengelak. Serangan yang mengunjam ke tengkuknya itu membuat kesadarannya buntu seketika. Tubuh Pusparini limbung
ke bawah. Tetapi dengan cepat si pembokong menangkapnya. Sedangkan sosok tubuh wanita yang semula
diintip Pusparini, segera menghampiri.
"Apa yang kau lakukan" Siapa wanita ini?" tanya si
wanita yang wajahnya ditutup cadar sebatas di bawah mata.
"Dia mengintipmu di wuwungan itu. Aku berhasil
melumpuhkannya," kata si pembokong yang wajahnya
juga bercadar, yang ternyata seorang lelaki.
"Mengapa dia tetap kau bopong" Lempar saja dia!"
ujar si wanita.
"Dia akan jadi saksi kehadiran kita," jawab si lelaki.
"Kalau begitu bunuh saja," kata si wanita yang sikapnya tidak sabar lagi.
"Dialah yang ditunjuk oleh Rangga Lurukan untuk
menyamar tamu agung itu!" kata si lelaki.
"Dia?" ujar si wanita seakan tak percaya. "Kalau begitu kerja kita tak banyak
susah. Wanita muda ini bisa
mempersingkat urusan kita. Ayoh kita bawa dia untuk dipertontonkan kepada Sang
Putri kelak. Dia pasti su-ka."
"Katanya yang harus kita culik Rangga Lurukan!"
tanya si lelaki dengan membuntuti si wanita melesat meninggalkan tempat itu.
Si wanita tak menjawab karena geraknya terlebih
dulu meninggalkan kawan lelakinya yang membopong
Pusparini. Dan laki-laki ini baru saja menjangkah untuk melesat, ketika tibatiba tubuhnya terasa digerogoti kekuatan yang menghisap tenaganya. Dia roboh.
Dan seketika itu juga Pusparini melompat dari bopongannya.
"Kerja yang ceroboh!" sahut Pusparini yang tampak
segar bugar menyaksikan. "Untung aku cepat bisa
menguasai keadaan. Rupanya menotok jalan darah
pada tubuhmu tak begitu sulit sehingga kau bisa kulumpuhkan."
Pusparini mengawasi tubuh lawannya yang menggeletak dengan mata tetap terbuka. Totokan jalan darah yang dilakukan memang untuk
melumpuhkan tenaga
gerak anggota badan saja.
"Kau pakai cadar segala seperti mau main pentas.
Apakah kau tidak mempunyai hidung sehingga harus
kau tutup wajahmu ini?" kata Pusparini dengan bergerak untuk merenggut cadar
yang menutup wajah lawannya. Begitu berhasil dibuka, betapa kaget dia.
"Tunggul Randi"!" seru Pusparini dengan pandangan melotot. Tunggul Randi yang kini tak bisa menggerakkan tubuhnya selain memandang dan berbicara, merasa malu dengan keadaan itu.
"Apa maksud semua ini?" tanya Pusparini.
"Siapa wanita itu tadi?"
"Maafkan aku!" hanya ini yang diucapkan oleh
Tunggul Randi. Tak ada jawaban lagi untuk menjelaskan atas pertanyaan Pusparini.
"Jangan memaksaku bertindak yang lebih menyakitkan," ancam Pusparini. "Jadi pihakmu yang berniat jahat. Bukan Rangga
Lurukan!" "Maafkan aku. Aku tak dapat menjelaskan. Lebih
baik kau bunuh saja aku sekarang!" kata Tunggul
Randi. "Sebut saja nama wanita itu. Dan itu tidak akan
mencelakakanmu," kata Pusparini.
"Kau tidak mengerti. Aku terikat sumpah mantera
untuk kesetiaan pengabdianku kepadanya," jawab
Tanggul Randi dengan suara gemetar.
"Sumpah mantera?" tanya Pusparini. "Sumpah macam apa itu?"
"Di tubuhku telah ditulis ranjau mantera. Apabila
kubeberkan tentang kelompok ini, maka mantera itu
akan membunuhku!" jawab Tunggul Randi dengan napas tersengal. "Bukankah kau terlibat dalam kelompok Ki Jalak
Jenar?" tanya Pusparini yang semakin ingin tahu.
"Aku... telik sandi, mata-mata, ganda...!"
"Astaga! Sikapmu ini benar-benar iblis. Kau tak
punya sikap dalam pengabdian. Siapa yang lebih menguntungkan, itu yang kau patuhi. Dan itu akan berbalik lagi kalau pihak lain
bisa menguntungkan," kata Pusparini dengan nada menggebu-gebu.
Dan ucapan ini tak berlanjut lagi, sebab tiba-tiba
inderanya menangkap serangan jarak jauh yang terdiri dari lemparan senjata
rahasia. Pusparini melompat
menghindari logam-logam tajam yang menuju ke arahnya. Begitu gencarnya serangan itu bertubi-tubi sehingga tak sempat memperhatikan Tunggul Randi yang
disrobot oleh sesosok tubuh lain dan dibawa pergi dari sana.
Pusparini baru bisa menguasai diri ketika serangan
senjata rahasia itu surut. Dia cepat melesat ke tempat Tunggul Randi yang
terkapar. Tetapi sesampai di sana orang yang dicari tidak diketemukan lagi.
Pusparini mengumpat dalam hati. Pada saat itu
muncullah Srenggi yang didampingi Tambi karena merasa terganggu tidurnya oleh suara dekat kamarnya.
"Pusparini, apa yang terjadi?" tanya Srenggi.
"Tempat ini telah disatroni musuh. Ada yang hendak menculik Rangga Lurukan," jawab Pusparini sambil membenahi pakaiannya. "Tentu paman tidak percaya kalau kuberitahu bahwa Tunggul Randi terlibat
pula dalam urusan malam ini. Dia adalah mata-mata
ganda, yang bersedia bekerja sama dengan pihak manapun asal imbalannya memuaskan."
"Bukankah dia anak buah Ki Jalak Jenar?" kata
Tambi. "Ternyata dia tidak hanya bekerja untuk Ki Jalak
Jenar. Rupanya kita akan berhadapan dengan kekuatan adikodrati," kata Pusparini.
"Kekuatan adikodrati?" tanya Srenggi.


Walet Emas 05 Dewi Selaksa Racun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tunggul Randi sempat menjelaskan bahwa dirinya
dikungkung dengan tulisan ranjau mantera pada tubuhnya. Apabila dia membeberkan siapa wanita bercadar yang bersamanya barusan tadi, dia akan mampus
direjam kekuatan mantera yang tertulis pada tubuhnya." "Wah. Maut kalau begitu," sahut Srenggi. "Lalu apa
tindakan kita?"
"Untuk sementara sebaiknya kita berdiri di luar pihak-pihak yang berkepentingan walaupun kita secara
resmi bekerja di pihak Rangga Lurukan," jawab Pusparini dengan memberi isyarat
agar pembicaraan itu di-lanjutkan di dalam ruangan.
Tentu saja penjelasan Pusparini mulanya sulit dimengerti oleh kedua paman itu. Tetapi setelah mereka membicarakan lebih tuntas,
barulah hal itu dipahami.
"Kekuatan adikodrati itu sulit ditandingi oleh ilmu kanuragan yang biasa kita
pelajari. Biasanya ilmu semacam itu ada sangkut pautnya dengan kekuatan iblis," sambung Tambi yang sebenarnya banyak tertarik dengan hal-hal semacam itu.
Dulu dia pernah berguru kepada seseorang untuk memperdalam ilmu semacam
itu. Tetapi ketika diketahui sarana imbalannya adalah tumbal nyawa manusia, dia
mengundurkan diri.
"Besok diperkirakan tamu agung itu datang," sela
Pusparini. "Paman berdua tentu sudah tahu tugas
masing-masing. Masih ada waktu untuk beristirahat.
Saya akan masuk kamar dulu. Kalau paman berdua
bersedia begadang, terserah."
"Beristirahatlah. Kami akan begadang di sini," sela Srenggi dengan meneliti
keadaan di sekitarnya.
Dia khawatir ada orang yang tak dikehendaki kehadirannya bersembunyi di dekat-dekat situ untuk mencuri dengar pembicaraan mereka. Yang jelas, agaknya mereka dihadapkan pada
masalah pelik untuk mengetahui siapa kawan, dan siapa lawan.
Tambi melesat ke atas wuwungan. Dari tempat itu
bisa terlihat pelabuhan yang diterangi oncor-oncor ra-tusan banyaknya. Dan kirakira sepuluh rumah dari
situ terletak bangunan yang ditempati Rangga Lurukan. Ketika melayangkan pandang ke bangunan itu,
perasaan Tambi terusik. Sepertinya dia melihat berke-lebatnya beberapa sosok
tubuh yang menyelinap dari
wuwungan yang satu ke wuwungan yang lain.
"Srenggi, panggillah Pusparini, cepat!" seru Tambi
dengan nada tertahan.
Seperti telah terbiasa dengan keadaan tersebut,
Srenggi beranjak cepat menuju kamar Pusparini. Didapati pintu kamar terbuka. Ketika menjenguk ke dalam, Pusparini tak terlihat di kamarnya. Srenggi sece-patnya kembali menemui
Tambi, yang ternyata sudah
tidak terlihat lagi di wuwungan rumah. Srenggi melesat ke atas wuwungan untuk
memeriksa keadaan di sekitarnya. Dia tak mungkin berteriak memanggil nama
Tambi dengan pertimbangan akan mengundang kegaduhan. Srenggi pun melesat dari wuwungan yang satu ke
wuwungan rumah yang lain. Senjata telah digenggam
di tangannya. Perasaannya terusik bahwa marabahaya
sedang mengancam di sekitarnya. Sayang, Srenggi terlambat menyadari ketika
dengan tiba-tiba sebuah han-taman menggodam tengkuknya yang disertai pengerahan tenaga dalam secara prima. Srenggi roboh!
*** EMPAT Ketika Srenggi siuman, yang dilihat pertama kali
adalah wajah Pusparini. Kagetnya bukan main. Tetapi untuk bangun secepat itu
rasa pusing kepalanya masih menggrogoti pelipisnya.
"Apa yang telah terjadi?" tanya Srenggi dengan pandangan menatap nanar ke sekelilingnya.
"Semua telah beres. Ternyata peristiwa munculnya
Tunggul Randi masih ada buntutnya. Ketika aku memasuki kamar, kulihat ada bayangan berkelebat. Aku
buru dia, yang akhirnya ketanggor bentrokan di pelabuhan sana. Kemudian muncul
paman Tambi membantu. Tak bisa disangsikan lagi, bahwa mereka adalah anak buah wanita bercadar yang muncul bersamasama Tunggul Randi," kata Pusparini didampingi Tambi. Terasa benar udara subuh menggigit kulit. Ketiga orang itu masuk ke dalam
ruangan. Srenggi baru menyadari bahwa buntut bentrokan yang tidak diketahui
rupanya lebih seru tatkala dirinya tidak sadarkan diri.
Kelihatannya bentrokan yang tidak diketahui itu melibatkan pula para penjaga
syahbandar. Sedangkan
Rangga Lurukan yang diberitahu bahwa dirinya akan
diculik oleh kelompok orang-orang bercadar, telah
memperkuat penjagaan tempat tinggalnya.
Saat ini Rangga Lurukan termenung di tempat kediamannya. Kelompok orang-orang bercadar nyaris
menculik dirinya. Berkat tindakan Pusparini dan Tam-bi mereka berhasil dihalau.
Tetapi Rangga Lurukan tidak mengetahui peristiwa keseluruhan bahwa Pusparini telah berhasil menyingkap salah seorang pelakunya, yakni Tunggul Randi.
Rangga Lurukan masih termenung ketika tanpa diduga pintu kamarnya diketuk dari luar. Dia agak penasaran, sebab telah berpesan kepada abdinya saat itu dirinya tak mau diganggu.
Nyaris dia mengomel untuk membentak orang yang melanggar perintahnya ketika
pintu itu terbuka, Pusparini telah berdiri di sana.
"Oh, kukira siapa. Masuklah," sambut Rangga Lurukan dengan mengumbar senyum. "Tak salah aku
memilihmu untuk bergabung dengan kelompokku."
Pusparini menghampiri Rangga Lurukan, seakan
ingin mengatakan sesuatu yang tak boleh didengar
orang lain. "Saya ingin tahu pihak-pihak yang memusuhi dirimu!" kata Pusparini dengan nada tegas.
"Hei, bicara apa kau ini?" tukas Rangga Lurukan
seraya bangkit dari duduknya.
"Kau tentu punya banyak musuh!" kata Pusparini.
"Aku orang pemerintah. Tentu saja musuhku adalah mereka yang tidak senang pada pemerintah," jawab Rangga Lurukan.
"Maksudku... yang tidak ada sangkut pautnya dengan pemerintah Kerajaan Medang," sela Pusparini karena nadanya Rangga Lurukan ingin mengelakkan jawaban atas pertanyaannya.
"Maksudmu... musuh pribadi?"
"Ya. Entah apa namanya..., yang jelas ada pihak
lain yang kau tak mengatakan padaku bahwa mereka
adalah musuhmu."
"Dari mana kau tahu?"
"Dari mata dan telingaku sendiri!" jawab Pusparini
tegas. Rangga Lurukan terdiam. Otaknya mencoba menebak sejauh mana Pusparini telah melangkah sehingga
bisa menyodorkan omongan seperti itu.
"Kau pasti telah bertemu dengan orang-orang yang
tidak menyukai diriku," jawab Rangga Lurukan.
"Aku hanya menghendaki kejujuranmu. Kau tahu,
aku warga Kerajaan Medang yang diperintah oleh Prabu Dharmawangsa. Sebagai kawula Medang, aku mematuhi dan setia kepada pemerintahan Sang Baginda
Raja. Dia kuanggap dapat membimbing rakyat untuk
menanjak pada kehidupan yang lebih baik. Oleh sebab itu apabila ada pihak yang
mencoba merongrong kewi-bawaannya, tentu saja aku tak akan tinggal diam," ka-ta
Pusparini bernada patriotis.
Rangga Lurukan memandang tajam ke mata Pusparini yang sejak awal bicaranya juga menatap tajam kepadanya.
"Mereka telah meracuni sikapmu agar mencurigaiku," kata Rangga Lurukan. "Katakan, siapa mereka
itu!" "Jawabannya ada dalam hatimu kalau kau sadar
siapa mereka," kata Pusparini sambil beranjak pergi.
"Tunggu!" sergap Rangga Lurukan dengan mencekal
lengan Pusparini. "Apakah ini keputusanmu untuk tidak menerima tugas yang kubebankan kepadamu?"
"Aku masih patuh dengan tugas yang kau berikan.
Hanya saja kau jangan mencoba mempergunakan diriku sebagai alat untuk kepentingan pribadimu," jawab Pusparini sambil
menghentakkan tangan Rangga Lurukan yang mencekal lengannya.
Rangga Lurukan merasa terpukul dengan sikap dan
ucapan Pusparini. Belum pernah ada seorang pun berani bertindak seperti itu terhadap dirinya. Tetapi en-tahlah, meskipun sikap
Pusparini yang begitu dinilai kurang ajar sebagai bawahan, dia tetapi merasa
membutuhkan kehadiran Pusparini di sampingnya. Ada sesuatu yang dia tak bisa mengatakan, mengapa keberadaan Pusparini di dekatnya membuatnya merasa krasan untuk berbincang-bincang, walaupun hal seperti
yang baru saja terjadi sangat menyinggung perasaannya. Sampai begitu jauh Rangga Lurukan belum bertindak tegas untuk membendung sikap Pusparini yang
dipandang telah tahu begitu banyak terhadap hal-hal yang menyangkut
kepentingannya. Dia yakin masih bi-sa mengendalikan Pusparini. Itu harapannya.
Sebab hanya Pusparini yang bisa menyamar sebagai tamu
agung dari Sriwijaya. Dan itu merupakan kunci dari
rencananya. "Karena kau masih di sini, aku tak akan pernah
khawatir dengan rencana ini, Pusparini. Kau akan terkejut dari sikap-sikapmu
yang kini mulai mencurigai-ku," pikir Rangga Lurukan yang kemudian memanggil
seorang abdi untuk mempersiapkan sarana mandi.
Hari semakin cerah dengan bias sinar matahari mulai mengintip dari ufuk timur. Hari itu, diperkirakan tamu agung tersebut sudah
bisa sampai di pelabuhan
Tanjung Penyu. Matahari telah membakar ubun-ubun setiap orang
yang sejak pagi mulai mempersiapkan diri untuk menyambut kedatangan tamu agung dari Sriwijaya.
"Kau pikir perjalanan mereka terganggu oleh cuaca
buruk di laut?" kata Tambi membuka percakapan ketika berbicara soal keterlambatan itu sudah semakin basi.
Orang sudah mulai jenuh dan bosan karena telah
setengah hari merasa dipajang untuk menunggu kedatangan tamu tersebut. Terlihat di sebelah sana sekelompok laskar kerajaan yang
baru datang ketika matahari sepenggalah tingginya. Sebenarnya laskar tersebut
sudah harus datang sejak kemarin. Tetapi perwira
tamtama, bernama Jalu Rangkah, mengatakan bahwa
perjalanannya terganggu oleh hadangan sekelompok
pengacau yang terdiri dari para begal. Mungkin para begal memperkirakan bahwa
iring-iringan laskar tersebut membawa barang-barang berharga sarana perdagangan untuk dikirim ke mancanegara. Tetapi nyatanya tidak. Mereka hanya untuk menjemput tamu
agung dari Sriwijaya yang akan menghadap Sang Baginda Raja Prabu Dharmawangsa.
"Mereka berhasil kami halau," kata Perwira Tamtama Jalu Rangkah yang berbincang-bincang dengan
Rangga Lurukan.
Pusparini pun tak ketinggalan nimbrung dalam percakapan itu. Tetapi sejak Jalu Rangkah membicarakan tentang gangguan perjalanan,
pikiran Pusparini menghubungkan dengan peristiwa adanya kelompok yang
hendak mengacaukan kedatangan tamu agung tersebut. Rangga Lurukan sendiri sempat melirik ke arah
Pusparini ketika hal itu dibeberkan oleh Jalu Rangkah, tetapi pendekar wanita
yang bergelar Walet Emas ini pura-pura tidak mengerti.
Tentu saja berita itu memperkaya Pusparini dengan
bahan pertimbangan sampai di mana kebenaran
omongan-omongan tentang 'musuh dalam selimut'
yang akan menghancurkan Kerajaan Medang.
"Saya akan ke belakang sebentar," pamit Pusparini
dengan meninggalkan tempatnya.
Kepergian Pusparini diawasi Rangga Lurukan.
"Cantik juga dia," tanggapan Perwira Tamtama Jalu
Rangkah. "Tak kuduga kau bisa mendapat anak buah
seperti itu. Sudah berapa lama dia berada di sini?"
"Enghm... cukup lama," dalih Rangga Lurukan.
"Bagaimana kalau setelah tugas ini dia diangkat dalam kesatuan laskar istana" Ketika melihat dia, timbul rencanaku untuk
mengusulkan kepada Panglima Mapatih, agar dibentuk satuan laskar yang terdiri
dari pendekar wanita," kata Jalu Rangkah.
"Kalau yang kau cari ukuran seperti dia, akan sulit.
Mungkin di kawasan Kerajaan Medang jumlahnya tak
lebih dari jumlah ibu jari tangan," jawab Rangga Lurukan dengan nada tidak
senang dengan omongan Jalu
Rangkah. Perwira muda yang telah menduduki jabatan tinggi
ini hanya manggut-manggut. Penampilan Pusparini telah menggigit benaknya ketika pertama kali bertemu
dalam acara penyambutan kedatangan tadi.
"Gusti, ada laporan pengawas bahwa mereka telah
melihat sebuah kapal sedang menuju kemari," ucapan
ini menyadarkan Jalu Rangkah dari lamunannya.
Tak kurang terkejutnya adalah Rangga Lurukan
sendiri. Seharusnya yang memberi laporan adalah
anak buahnya. Mengapa justru anak buah Jalu Rangkah yang datang melapor" Terasa wibawa kekuasaannya dilangkahi oleh pihak Jalu Rangkah. Untuk mengatasi hal ini Rangga Lurukan segera menuju ke bangunan pengawas. Ternyata tempat itu telah ditempati anak buah Jalu Rangkah.
"Apa wewenang kalian berada di anjungan pengawas pantai ini?" kata Rangga Lurukan dengan nada
berang. Tak seorang pun terlihat anak buahnya berada di tempat itu.
"Aku yang memerintahkan mereka menempati anjungan pengawas itu, Rangga!" terdengar suara di belakangnya, yang ketika
ditoleh Perwira Tamtama Jalu Rangkah telah mengikuti langkahnya. "Aku punya
wewenang atas perintah Mapatih untuk bertindak tanpa
harus berembug denganmu. Aku membawa surat perintah dari beliau."
"Seharusnya kau menunjukkannya begitu kita bertemu," sanggah Rangga Lurukan.
"Itu caraku. Dan aku senang dengan kejutan. Apabila tidak percaya, inilah surat perintah dari Mapatih di Medang, Dewan
Penasihat Kerajaan. Apakah kau
akan menyanggah?" kata Jalu Rangkah sambil mengeluarkan gulungan kulit dari balik rompinya.
Sekilas Rangga Lurukan melihat bentuknya, bahwa
itu memang dari pejabat atas di Kerajaan Medang. Untuk tetap menjaga wibawanya,
dengan cepat dia me

Walet Emas 05 Dewi Selaksa Racun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

renggut surat itu dari tangan Jalu Rangkah. Lalu diba-canya. Hanya sekilas,
tidak seluruhnya. Tetapi kesimpulannya sudah dipahami. Mapatih memang menugaskan kepada Perwira Tamtama Jalu Rangkah untuk
mengambil alih sarana tugas di Tanjung Penyu selama kedatangan tamu agung dari
Kerajaan Sriwijaya.
"Masih ada waktu untuk membenahi sarana penjemputan sampai kapal yang datang itu merapat kemari," kata Jalu Rangkah dengan mengawasi Rangga Lurukan yang wajahnya tegang menghadapi hal di luar
dugaannya. "Mulai saat ini kau menjadi bawahanku.
Termasuk pendekar wanita bernama Pusparini itu."
Rangga Lurukan mengatupkan geraham. Tidak diduga bahwa perkembangan keadaan di Tanjung Penyu
sangat menyudutkan dirinya. Ketika dia akan meninggalkan tempat itu, dilihatnya Pusparini berdiri tak jauh darinya, di bawah
bayangan atap anjungan pengawas.
Tentu saja Pusparini mendengar pula pembicaraan tadi. Lalu Rangga Lurukan melanjutkan langkahnya meninggalkan tempat itu.
*** LIMA Kapal yang terlihat dari jauh itu benar-benar kapal dari Kerajaan Sriwijaya.
Bentuknya perpaduan dari jenis 'jung' dan 'pinisi'. Pada layar utama tergambar
lambang Kerajaan Sriwijaya dengan warna merah dan
kuning, menggambarkan bunga dan sejenis bentuk
'makara'. Kapal itu menunjukkan kebesaran Kerajaan
Sriwijaya. Panji-panji kebesaran berkibar di berbagai sudut kapal.
Dengan berdesak orang-orang yang menyambut tamu agung itu berpajang di tepian dermaga. Kapal kian
merapat. Sauh diturunkan. Pagar samping kapal yang
merupakan pintu, dibuka. Tangga penghubung dijulurkan mencapai tepi dermaga. Beberapa orang laskar mengawali turun. Kemudian
orang yang ditunggu
muncul. Dia seorang wanita yang berpakaian serba mewah.
Menurut zamannya, dia berpakaian dengan gaya terakhir, dan sulit untuk dikembari. Pakaiannya perpaduan dari gaya Cina dan
Sriwijaya setempat. Semua
orang berdecak kagum menyaksikannya.
Tak luput pula adalah Pusparini. Bayangan tentang
keindahan pakaian yang disaksikan itu melambungkan khayalnya tentang kehidupan istana yang penuh
gemerlapan. Tidak seperti dirinya yang serba acakacakan dengan kemben kuning, jarit, dan celana pendek. Rambutnya pun hanya
dikuncir ekor kuda. Tetapi walaupun begitu Pusparini tidak sadar, justru
penampilan macam itu yang membuat sebagian lelaki
' nggendhengi', atau tergila-gila. Apalagi kalau mata lelaki yang 'ahli' sudah
menilai sosok tubuhnya, dari da-da, pinggang, pinggul sampai betis tumit kaki
Pusparini. Maka semua itu tak membuat bosan bagi mereka
yang kranjingan bentuk keindahan makhluk yang tercipta dari tulang rusuk lelaki.
"Kami semua mengucapkan selamat datang kepada
Putri. Salam sejahtera kami, atas nama Sang Baginda Raja Prabu Dharmawangsa,"
sambut Perwira Tamtama
Jalu Rangkah dengan sopan,
"Atas nama Sang Baginda di Sriwijaya, kami berkunjung untuk mengulas satu masalah yang selama
ini menjadi kendala antara Sriwijaya dan Medang. Ka-mi menginjak kaki di bumi
Medang dengan menabur
salam dari Sang Baginda di Sriwijaya," kata wanita
yang dipanggil dengan sebutan 'Putri' itu.
Setelah tegur sapa secara duta kenegaraan itu berakhir, kemudian Jalu Rangkah mempersilahkan tamu-tamunya untuk menuju ke balai peristirahatan.
Pusparini mengawal dari samping. Sejenak utusan
wanita itu menatap ke arah Pusparini. Ada semacam
tanda tanya yang bercokol dalam benaknya. Pusparini mencoba tersenyum, tetapi
utusan itu tetap membekukan bibirnya.
Jodoh Rajawali 13 Kelelawar Hijau Lanjutan Payung Sengkala Karya S D Liong Api Di Karang Setra 2

Cari Blog Ini