Pendekar Rajawali Sakti 14 Api Di Karang Setra Bagian 2
Merah padam muka Retna Nawangsih jadinya.
Kata-kata Rangga barusan memang tidak bisa dipungkiri lagi. Dia memang baru
berusia sembilan belas tahun. Dan dia belum pernah sekali pun bertemu dengan
Rangga Pati Permadi. Apalagi dengan Gusti Adipati Arya Permadi, ayahnya!
Namun kalau gadis itu menyerah begitu saja, bukan Retna Nawangsih namanya! Tanpa
ragu-ragu lagi dia segera
mengambil sebuah cincin yang berbentuk segitiga dengan beberapa lingkaran di
tengahnya. Tentu saja Pendekar Rajawali Sakti langsung terbeliak matanya. Dan
tanpa disadarinya, Rangga pun merogoh saku yang menempel pada ikat pinggangnya.
Tapi dia keburu sadar kembali dan tidak jadi mengeluarkan sesuatu dari dalam
sakunya. "Darimana kau peroleh cincin itu?" tanya Rangga.
"Kau tertarik?" Retna Nawangsih sengaja menggoda. Dia lalu mengenakan cincin itu
di jari manisnya.
"Jawab dulu pertanyaanku, darimana kau dapatkan cincin itu?" desak Rangga gemas.
"Jelaskan dulu juga, darimana kau peroleh kuda Dewa Bayu itu" Baru aku akan
menjelaskan tentang cincin ini," balas Retna Nawangsih tenang.
"Sial!" rungut Rangga
"Bagaimana, setuju?"
Rangga tidak segera menjawab. Dia tampak menimbangnimbang dulu tawaran Retna Nawangsih itu. Masalahnya, kalaupun dia mengatakan
yang sebenarnya, pasti gadis itu pun tentu tidak akan mau percaya begitu saja.
Tapi kalau dia membuka diri siapa dirinya sebenarnya.... Ah! Itu sih nanti dulu
Dia tidak ingin dirinya diketahui dengan cepat. Tapi....
"Baiklah, aku akan mengatakan yang sebenarnya. Tapi kau juga harus berjanji
bahwa kau tidak akan mengatakannya pada siapa pun juga. Tidak pada Ki Lintuk,
Paman Bayan Sudira, Paman Rakatala, atau pada siapa saja!" Rangga mengajukan
syarat. "Juga pada pemilik cincin itu, bagaimana?"
"Kenapa mesti pakai syarat segala?" Retna Nawangsih keberatan.
"Kalau tidak mau, ya sudah!"
Tampak Retna Nawangsih berpikir sebentar. Tak lama
kemudian dia pun mengangguk dan tersenyum. Dan tanpa banyak bicara lagi, gadis
itu segera mencabut sebilah pisau dari balik ikat pinggangnya. Pisau kecil
berwarna keperakan.
Tentu saja Rangga terkejut ketika tiba-tiba Retna
Nawangsih menggoreskan pisau itu ke telapak tangannya.
Darah langsung merembes ke luar dari luka gores yang tidak begitu dalam dan
lebar. Setelah itu Retna Nawangsih memberikan pisau itu pada Rangga. Dan dengan
ragu-ragu, Pendekar Rajawali Sakti itu menerimanya.
"Penyatuan darah akan membuat perjanjian kita semakin kuat," kata Retna
Nawangsih. Lagi-lagi Rangga dibuat terkejut. Suatu perjanjian dengan disertai
penyatuan darah memang sudah menjadi tradisi dari keluarga bangsawan Kadipaten
Karang Setra. Dan dia jadi ingat ketika ayahnya mengadakan perjanjian dengan
paman Bayan Sudira. Waktu itu Paman Bayan Sudira berjanji akan selalu setia pada
pengabdiannya Dan bukan itu saja, Rangga pun sudah sering menyaksikan upacara
perjanjian dengan penyatuan darah para bangsawan kadipaten.
Kemudian dengan kepala yang masih diliputi oleh berbagai macam pertanyaan,
Rangga pun segera menggoreskan ujung pisau itu ke telapak tangannya. Seketika
itu juga darah mengucur dari luka gores itu. Sejenak Rangga mengangkat
tangannya tinggi-tinggi. Sementara Retna Nawangsih juga segera melakukan hal
yang sama. Maka kedua telapak tangan itu pun langsung menyatu rapat.
Tepat pada saat itu, tiba-tiba kilat menyambar-nyambar dengan suaranya yang
menggelegar dan memekakkan telinga.
Aneh! Pada saat itu juga darah yang ke luar dari telapak tangan mereka langsung
berhenti. Kemudian mereka segera melepaskan telapak tangan masing-masing.
Sejenak Rangga mengamati telapak tangannya yang kini terdapat goresan biru
kehitaman. Dan tampaknya goresan itu tidak akan hilang seumur hidup, dan akan
menjadi tanda bahwa dia telah mengikat suatu perjanjian dengan seorang gadis
yang mengaku bernama Retna Nawangsih. Seorang gadis yang baru dikenalnya
beberapa saat, dan bertingkah laku aneh penuh tanda tanya.
*** 4 "Sebelum kita saling membuka diri, ada sesuatu yang ingin kuketahui darimu,"
kata Rangga. 'Tentang apa?" tanya Retna Nawangsih.
"Kau tadi bilang, bahwa kau tahu persis tentang keluarga Adipati Karang Setra.
Apa kau bisa menunjukkan sesuatu agar aku dapat percaya?"
"Semua putra-putra Gusti Adipati Arya Permadi dibekali dengan seuntai kalung
yang bentuknya sama dengan cincin ini," sahut Retna Nawangsih sambil menunjukkan
cincin di jari manisnya.
"Ada berapa orang putra dari adipati itu?" pancing Rangga.
"Persisnya aku tidak tahu, tapi putra syah hanya satu yaitu Kanda Rangga Pati
Permadi." "Kau selalu menyebut-nyebut Rangga dengan panggilan Kanda," dengus Rangga.
"Maaf, Bibi Guru Dewi Purmita memang membiasakan aku untuk menyebutnya begitu."
Rangga terdiam sesaat. Masih banyak yang belum dia
ketahui tentang gadis ini, juga gurunya yang seringkah disebut-sebut. Kini
Rangga sudah bisa menebak bahwa guru Retna Nawangsih pasti tahu banyak tentang
keluarga adipati.
Tapi siapa sebenarnya Dewi Purmita itu..." Pertanyaan itulah yang selalu
mengganggu benak Pendekar Rajawali Sakti.
"Retna, apakah kau tahu tanda lain yang ada pada putra Adipati Karang Setra?"
tanya Rangga lagi.
"Ya," sahut Retna Nawangsih. "Pada punggung Adipati Arya permadi ada gambar
segitiga dengan beberapa lingkaran di tengah-tengahnya. Gambar itu bentuknya
kecil dan hampir menyerupai andeng-andeng. Dan tanda itu adalah merupakan
anugerah dari dewa untuk adipati, dan akan menurun pada putranya."
"Kalau begitu, adipati yang sekarang ini punya tanda seperti itu?"
"Tidak!".
"Lho, kenapa?"
"Gusti Wira Permadi hanyalah putra dari selir, jadi tidak memiliki tanda itu
pada punggungnya. Soalnya hanya
keturunan yang syah saja yang mempunyai tanda itu. Dan aku tidak tahu pasti,
berapa putra adipati dari selir-selirnya. Yang aku tahu, hanya satu putra yang
syah." Rangga tampak mengangguk-anggukkan
kepalanya. Memang bukan hal yang aneh kalau seorang adipati
mempunyai banyak selir di samping istri yang syah. Begitu juga dengan kebanyakan
raja-raja. Jadi tidak heran kalau banyak putra keturunannya. Tapi menurut tata
krama, hanya putra yang syah saja yang berhak untuk menggantikan kedudukannya
"Kalau kau mau lebih jelas tentang keluarga adipati, sebaiknya tanyakan saja
pada guruku, atau pada Ki Lintuk, Paman Bayan Sudira atau yang lainnya. Mereka
adalah orang-orang yang setia pada Gusti Adipati Arya Permadi. Dan mereka
mengundurkan diri dari pemerintahan saat adik tiri dari Gusti Arya Permadi
mengangkat dirinya sebagai adipati ketika berita tentang musibah di Bukit Cubung
tersiar. Tapi kini kedudukannya sudah digantikan oleh Arya Permadi yang berhasil
menggulingkannya.
Namun keadaan bukannya
bertambah baik, malah sebaliknya bertambah buruk," lanjut Retna Nawangsih.
"Di mana gurumu tinggal?" tanya Rangga.
"Di Gunung Batur Kuring."
Kembali Rangga menganggukkan kepalanya.
"Rasanya aku sudah cukup banyak membuka diri. Dan sekarang giliranmu, Kakang,"
kata Retna Nawangsih menagih.
Rangga tampak tersenyum. Sejenak dia hanya berdiam diri.
Kemudian dia mulai menceritakan perihal dirinya yang sebenarnya. Sementara Retna
Nawangsih hampir tidak
percaya dengan keterangan Rangga. Dia memang sudah
menduga sebelumnya, tapi belum sampai untuk mengutarakannya. Kini dia buru-buru berlutut dan memberi hormat begitu
mengetahui bahwa Rangga adalah putra
tunggal dari Adipati Karang Setra yang hilang dua puluh tahun yang lalu di Bukit
Cubung. Dan Retna Nawangsih bertambah yakin setelah Rangga
memperlihatkan kalung segitiga dengan beberapa lingkaran di tengahnya, juga di
punggungnya ber gambar sama dengan kalung itu. Sementara Rangga yang tidak ingin
dirinya dianggap
lebih dari manusia kebanyakan, segera membangunkan Retna Nawang-sih.
"Maafkan hamba, Gusti. Sikap hamba tidak pantas selama ini," kata Retna
Nawangsih masih tertunduk.
"Sudahlah, kau tidak perlu bersikap sungkan begitu.
Ingatlah akan janji kita! Kau harus bersikap wajar dan jangan membocorkan
rahasia ini pada siapa pun juga," kata Rangga mengingatkan.
"Hamba berjanji, Gusti."
"Ah, sebaiknya kau tetap saja memanggilku Kakang,"
jengah juga Rangga dengan sikap gadis ini.
"Hamba, Gusti."
"Retna, maukah kau mengantarkan aku untuk menemui gurumu?" pinta Rangga.
"Dengan senang hati, Gusti."
"Wah..., wah! Kalau kau tetap saja memanggilku dengan sebutan itu, bisa celaka
nanti!" gurau Rangga.
"Maaf. Hamba..., eh aku...," Retna Nawangsih tiba-tiba jadi gugup.
"Sudahlah, Retna. Sebaiknya kita segera berangkat sekarang menuju Gunung Hatur
Kuring untuk menemui
gurumu," ajak Rangga sedikit tak sabar.
Retna Nawangsih hanya mengangguk saja. Kini dia jadi rikuh sendiri setelah
mengetahui siapa sebenarnya pemuda itu. Kemudian kembali melanjutkan langkahnya.
Tapi kali ini tujuannya sudah pasti, yaitu ke Gunung Batur Kuring!
Rangga tampak sedikit terkejut ketika sampai di puncak Gunung Batur Kuring. Di
puncak gunung itu terdapat suatu bangunan besar yang dikelilingi dengan beberapa
bangunan kecil. Dan yang membuat Pendekar Rajawali Sakti itu makin keheranan, di
sini banyak remaja-remaja baik laki-laki maupun perempuan yang giat berlatih
ilmu olah kanuragan.
Dan keterkejutannya semakin bertambah-tambah saat dia melihat bahwa di sini juga
ada Paman Bayan Sudira, Batara Yoga dan Rakatala. Mereka tampak tengah melatih
puluhan orang yang berlatih ilmu olah kanuragan. Sedangkan Retna Nawangsih
segera mengajaknya untuk memasuki sebuah
rumah yang paling besar.
"Guru...!"
Tampak seorang perempuan setengah baya yang tengah
berdiri di depan jendela, segera berbalik ketika mendengar suara panggilan Retna
Nawangsih. Gadis itu pun segera berlutut
memberi hormat. Sedangkan Rangga hanya membungkukkan badannya sedikit. Sementara perempuan setengah baya itu hanya
menganggukkan kepalanya.
"Silakan duduk, aku memang tengah menunggu kedatanganmu," kata Dewi Purmita.
"Terima kasih," ucap Rangga sopan
Rangga pun segera mengambil tempat di kursi yang
menghadap langsung ke pintu ruangan depan. Sedangkan Dewi Purmita duduk di kursi
dekat jendela. Sementara Retna Nawangsih segera mohon diri. Dan gadis itu sempat
melirik pada Rangga sebelum meninggalkan ruangan itu. Dalam beberapa saat
kesunyian masih menyelimuti mereka berdua.
Rangga tampak kikuk mendapat tatapan mata yang penuh selidik dari perempuan
setengah baya itu.
"Sayang sekali kau datang tidak membawa serta kuda itu,"
kata Dewi Purmita memecah kesunyian.
"Mungkin kau sudah tahu bahwa kudaku hilang diculik orang," sahut Rangga.
"Ya, Kakang Bayan Sudira memang sudah menceritakan semuanya padaku," sahut Dewi
Purmita. "Kenapa kau begitu tertarik dengan kuda itu?" tanya Rangga menyelidik.
"Semua orang juga pasti tertarik untuk memilikinya. Tapi sampai saat ini belum
ada seorang pun yang mampu
mengendalikannya. Terus terang, aku merasa sedikit heran ketika melihatmu
mengendarai kuda Dewa Bayu di pintu gerbang kadipaten."
"Dan kau telah menugaskan muridmu yang cantik untuk membujukku menyerahkan kuda
itu," potong Rangga cepat.
"Bukan membujuk, tapi merampas," ralat Dewi Purmita.
"O...!" kening Rangga berkerenyut dalam.
"Memang kasar kedengarannya, tapi hal itu terpaksa harus dilakukan. Asal kau
tahu saja, kuda Dewa Bayu adalah milik seseorang yang paling aku sayangi di
dunia ini. Tapi sayang, dia begitu cepat dipanggil oleh Sang Pencipta. Dan
harapanku satu-satunya juga pupus. Aku semakin dimakan usia, dan aku
merasa khawatir tidak akan bisa lagi melihat keponakanku satu-satunya. Sedangkan
warisan yang tertinggal juga sudah lepas lagi. Sebenarnya aku berhak menuntutmu
untuk bertanggung jawab atas hilangnya kuda Dewa Bayu itu hingga sampai jatuh ke
tangan orang yang tidak berhak!" suara Dewi Purmita bernada gusar.
Rangga jadi terdiam. Ada rasa pilu yang terselip di hatinya setelah mendengar
kata-kata Dewi Purmita barusan. Namun dengan sekuat tenaga dia masih terus
berusaha untuk tetap merahasiakan siapa dirinya sebenarnya. Sampai kini satusatunya orang yang sudah tahu tentang dirinya yang
sebenarnya hanyalah Retna Nawangsih, dan Rangga percaya penuh bahwa gadis itu
bisa memegang kuat akan janjinya.
"Sebentar lagi akan diadakan perayaan tahunan kadipaten.
Dan dengan kuda Dewa Bayu tersebut, anak durhaka itu pasti akan semakin kuat.
Hal ini tidak boleh sampai terjadi!
Bagaimanapun juga kuda Dewa Bayu itu harus segera berada di tangan orang yang
berhak!" lanjut Dewi Purmita.
"Siapa orang yang berhak atas kuda itu?" tanya Rangga memancing.
"Putra Kanda Arya Permadi."
"Bukankah dia sudah hilang dua puluh tahun lalu?"
"Benar. Tapi aku tidak pernah putus asa Untuk terus mencarinya. Kadipaten Karang
Setra harus kembali pada ahli warisnya yang syah! Pihak kerajaan sudah
mengumumkan, kalau Rangga masih hidup dan kembali lagi dalam keadaan sehat, maka
Kadipaten Karang Setra boleh memisahkan diri dan menjadi sebuah kerajaan! Hal
itulah yang di nginkan oleh anak durhaka Wira Permadi. Dan dia tidak segan-segan
menggunakan kekerasan untuk mencapai ambisinya itu. Aku sangat khawatir, dengan
adanya kuda Dewa Bayu di
tangannya, cita-cita buruknya akan dapat terlaksana."
Pendekar Rajawali Sakti 14 Api Di Karang Setra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa sebenarnya kehebatan dari kuda Dewa Bayu itu?"
pancing Rangga.
"Barang siapa yang mampu mengendalikan kuda Dewa Bayu akan memiliki kekuatan
yang berlipat ganda. Hal itu dikarenakan, bahwa kuda itu memiliki daya kekuatan
yang bisa merasuk ke dalam diri penunggangnya. Dan tak ada satu senjata pun yang
dapat melukai tubuh kuda itu atau pun penunggangnya. Kau tahu, bahwa kuda itu
tadinya adalah tunggangan para dewa!" Dewi Purmita menjelaskan.
"Hebat sekali...," gumam Rangga sambil menggelengkan kepalanya.
"Rangga, aku ingin bertanya padamu," kata Dewi Purmita kemudian
"Silakan, dengan senang hati aku akan menjawabnya."
"Dari mana kau memperoleh kuda Dewa Bayu itu?" tanya Dewi Purmita
"Aku menemukannya di hutan," sahut Rangga se-kenanya.
"Ilmu apa yang telah kau gunakan untuk menjinakkannya"
Kau tahu kuda Dewa Bayu tidak akan bisa jinak selain oleh keturunan yang syah
dari Arya Permadi, atau orang yang pernah memiliki hubungan batin dengannya
serta orang yang benar-benar disukainya.
Kuda Dewa Bayu juga bisa
membedakan seseorang. "
"Aku tidak menggunakan ilmu apa-apa. Kuda itu datang menghampiriku dengan
sendirinya. Dia begitu jinak namun perkasa, aku sangat suka dan sayang padanya.
" "Hm...," Dewi Purmita mengamati Rangga dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
Sepertinya dia sedang
menyelidik dan mencari tahu kebenaran setiap jawaban Rangga.
"Namamu sama
persis dengan keponakanku. Dan seandainya dia masih hidup pasti...," gumaman Dewi Purmita terhenti
Rangga hanya diam saja. Kini dia merasakan bahwa detak jantungnya semakin
bertambah cepat. Sudah beberapa kali Dewi Purmita menyebut Rangga sebagai
keponakannya. Siapa sebenarnya perempuan setengah baya itu" Rasanya Rangga
memang pernah mengenal wajahnya, tapi dia tidak tahu di mana dan kapan
bertemunya. Otaknya terus berputar untuk mencoba mengingat-ingat.
"Siapa kau sebenarnya, Anak Muda?" tanya Dewi Purmita tegas dan tajam.
Tentu saja Rangga tersentak mendengar pertanyaan itu Dia sampai tidak bisa
segera menjawab pertanyaan itu. Sungguh mati, dia tidak mengerti maksud
pandangan yang tajam dari perempuan setengah baya itu. Sampai beberapa saat
lamanya Rangga masih terdiam. Dia kebingungan untuk mencari jawaban yang tepat
tanpa harus membuka rahasia dirinya sendiri.
"Namaku Rangga, sedangkan nama julukanku adalah Pendekar Rajawali Sakti. Pasti
Paman Bayan Sudira sudah menceritakan hal ini padamu," jawab Rangga setelah lama
berpikir. "Nama panjangmu?" desak Dewi Purmita.
"Tidak ada!" '
"Aku menangkap ada kebohongan di matamu, Anak Muda,"
dingin suara Dewi Purmita.
Lagi-lagi Rangga merasa terdesak. Suara Dewi Purmita dan tatapan matanya seperti
mengingatkannya pada seseorang yang pernah dekat dengannya. Tapi Rangga tidak
bisa untuk mengingatnya dengan jelas. Terlalu sulit untuk mengetahui dengan
pasti, siapa sebenarnya Dewi Purmita. Perasaan yang
sama juga menyelimuti perempuan setengah baya itu. Dia merasa kesulitan untuk
mendesak Rangga supaya berkata jujur.
*** Dua hari Rangga berada di Puncak Gunung Batur Kuring.
Dan dalam waktu yang singkat itu, dia sudah tahu banyak tentang keadaan di
Kadipaten Karang Setra yang sekarang dikuasai oleh orang-orang serakah dan
tamak. Dia juga sudah tahu, ternyata di puncak gunung ini para abdi setia dari
mendiang Adipati Arya Permadi sedang menyusun kekuatan untuk menggulingkan
adipati yang sekarang. Seorang adipati yang dikendalikan oleh tokoh-tokoh
golongan hitam.
Untunglah selama dua hari itu Rangga masih tetap mampu merahasiakan siapa
dirinya yang sebenarnya. Sedangkan Retna Nawangsih juga memegang kuat akan
janjinya. Tapi ada sesuatu yang membuat Rangga tidak bisa mengerti, yakni dengan
kelakuan adik tirinya yang sekarang menjadi adipati di Karang Setra. Ternyata
dia telah membuat seluruh rakyat kadipaten jadi sengsara.
Hari ini Rangga sudah bersiap-siap hendak meninggalkan Puncak Gunung Batur
Kuring. Setelah merapikan diri dan berpamitan pada Dewi Purmita, Pendekar
Rajawali Sakti itu pun segera meninggalkan tempat itu. Tapi belum lagi dia jauh
berjalan, Bayan Sudira, Batara Yoga dan Rakatala tiba-tiba menghampirinya.
"Kau jadi juga berangkat hari ini, Anak Muda?" tanya Bayan Sudira.
"Iya," sahut Rangga mantap.
"Kami mengharapkan sekali akan bantuanmu da lam perjuangan ini," kata Batara
Yoga. "Setiap saat aku pasti bersedia untuk membantu. Tapi aku tidak mau ikut campur
dalam urusan pribadi keluarga adipati.
Aku hanya akan menghadapi orang orang rimba persilatan yang berada di belakang
Adipati Wira Permadi."
"Aku mengerti, dan.., terima kasih," sahut Bayan Sudira.
"Cara seorang pendekar memerangi kezaliman memang tidak sama dengan cara yang
kami tempuh."
"Silakan jika kau ingin melanjutkan perjalanan," kata Rakatala mempersilakan.
"Terima kasih, mudah-mudahan kita semua bisa bertemu lagi dalam suasana yang
lain," sambung Rangga.
"Silakan, Anak Muda."
Setelah Rangga menganggukkan kepalanya sedikit, dia kemudian kembali melangkah
dan melanjutkan perjalanannya.
Beberapa saat kemudian Pendekar Rajawali Sakti itu
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya agar lebih cepat sampai di kota kadipaten.
Rasanya dia berjalan biasa saja, tapi yang terlihat hanyalah bayangannya yang
berkelebatan dan menyeruak pepohonan yang ada di sepanjang lereng Gunung Batur
Kuring. "Heh...!"
Tiba-tiba Rangga menghentikan langkahnya. Tampak di depannya sudah berdiri Retna
Nawangsih. Dan kelihatannya gadis itu memang sengaja menunggunya di kaki Gunung
Batur Kuring ini. Rangga pun segera menghampirinya dengan kening sedikit
berkerut. "Apakah aku mengganggu perjalananmu, Ka-kang?" Retna Nawangsih membuka suara
lebih dulu "Ada perlu apa kau menungguku?" tanya Rangga langsung.
"Aku ingin ikut serta bersamamu, Kakang," sahut Retna Nawangsih.
"Retna, kau sangat dibutuhkan oleh mereka Aku yakin, kalau niatmu itu tidak
diketahui oleh gurumu," Rangga sulit menolak.
"Bibi Guru Dewi Purmita sudah tahu, Kakang."
"O...!"
"Beliau mengijinkan aku untuk ikut dalam perjalananmu. "
Kini Rangga tidak bisa lagi menolak. Dia hanya mengangkat pundaknya saja, lalu
kembali meneruskan langkahnya menuju ke perbatasan kadipaten Karang Setra dengan
Gunung Batur Kuring ini. Sementara Retna Nawangsih mensejajarkan langkahnya di
samping Pendekar Rajawali Sakti itu. Di atas sana matahari tampak bersinar
terik. Sedangkan langit pun kelihatan cerah tanpa ada sedikit pun awan hitam
yang menggantung.
*** Kedai Ki Lintuk suasananya tidak begitu ramai seperti
biasanya. Dari tadi Ki Lintuk dan istrinya banyak menganggur karena tamu-tamu
yang datang tidak banyak. Tampak suami istri itu tengah duduk di bagian belakang
kedai sambil berbincang-bincang ringan. Pembicaraan mereka bermula dari keadaan
anak mereka yang sampai saat ini masih meringkuk di dalam tahanan kadipaten. Dan
Ki Lintuk tidak bisa berbuat apa-apa, karena Singo Lodoya selalu mengancam akan
menggantung anaknya jika terlihat adanya gerakan lagi untuk memberontak.
Tapi lama kelamaan pembicaraan mereka meluas. Kini
pembicaraan mereka sampai kepada seorang pendekar muda yang namanya sama persis
dengan nama junjungan mereka dulu Sedangkan sikap, cara bicara dan segala yang
di nginkan membuat kedua orang tua itu selalu teringat dengan adipati yang dulu.
Rangga memang sangat mirip dengan ayahnya, sepertinya mendiang Adipati Arya
Permadi menyusup ke dalam diri anaknya itu.
"Aku yakin, Nyi. Pemuda itu adalah Gusti Rangga yang hilang dua puluh tahun yang
lalu," kata Ki Lintuk.
"Yang merasakan itu kan aku duluan, Ki," Nyi Lintuk tidak mau kalah
"Iya..., iya." Ki Lintuk mengalah.
"Dua hari ini dia tidak kelihatan. Kau tahu, di mana dia, Ki?"
tanya Nyi Lintuk.
"Mana aku tahu, Nyi. Dia itu kan seorang pendekar kelana.
Jadi tidak mungkin menetap terlalu lama pada suatu tempat."
"Apakah dia tidak kabur, Ki?"
"Kabur juga tidak apa-apa, Nyi Dia sudah bayar semuanya.
Bahkan pembayarannya melebihi untuk satu purnama."
"Aneh, ya...?" gumam Nyi Lintuk
"Apanya yang aneh?"
"Iya, dia memberikan uang lebih untuk satu purnama. Apa kau tidak merasakan
adanya keanehan, Ki" Aku yakin, pasti ada sesuatu yang dicarinya di sini. Oh,
Tuhan.... Mudah-mudahan saja pemuda itu benar-benar junjunganku, Gusti Rangga
Pati Permadi..."
"Kalau memang benar dia itu adalah Gusti Rangga, si pewaris tunggal kadipaten
ini, bisa terjadi perang saudara nanti," kata Ki Lintuk setengah bergumam.
"Perang saudara bagaimana?"
"Aku tahu betul siapa Gusti Arya Permadi Beliau selirnya banyak, dan yang
sekarang jadi adipati adalah salah satu putranya dari selir. Wira Permadi memang
gila! Lebih-lebih pamannya si Cebol Tangan Baja...! Huh, rasanya aku sudah tidak
sabar lagi...!"
"Hush! Jangan bicara keras-keras, nanti ada yang dengar bisa celaka kita!"
sentak Nyi Lintuk ketakutan.
"Kalau saja Gusti Rangga masih hidup, aku pasti mau bergabung dengan teman-teman
untuk mengangkat senjata dan menggulingkan adipati bejat itu!" Ki Lintuk tidak
peduli. "Kau sudah tua, Ki. Mana mungkin mampu memanggul senjata lagi" Ingat, Ki. Anak
kita belum ketahuan nasibnya..., kau ingin kehilangan satu-satunya anak kita?"
"Huh! Aku tidak percaya kalau anak kita masih hidup. Coba kau lihat
kenyataannya, hampir semua teman-teman Patungga dihukum pancung! Bodoh! Aku
benar-benar bodoh, mau saja dijadikan boneka oleh orang-orang bejat!" Ki Lintuk
jadi bersungut-sungut tidak karuan.
"Sudah, Ki. Sudah.... Nanti ada yang dengar...!" Nyi Lintuk jadi semakin cemas.
"Biar! Biar semua orang tahu kebejatan mereka!" Ki Lintuk malah memperkeras
suaranya. "Ki...!"
"Semua telah kudengar, pengkhianat!" tiba-tiba terdengar suara keras.
Suami istri itu segera menoleh ke arah suara itu
Tampak Nyi Lintuk langsung memucat wajahnya begitu
melihat Singo Lodoya tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu kedai. Kini seluruh
tubuh wanita tua itu bergetar, sedangkan Ki Lintuk kelihatan lebih tenang.
Tampak matanya malah tajam menatap Singo Lodoya.
*** 5 "Orang tua yang tidak tahu diuntung! Ternyata kecurigaanku selama ini benar-benar terbukti...!" sentak Singo Lodoya sambil
tersenyum sinis.
Tampak Ki Lintuk diam saja. Namun matanya tetap tajam menatap lurus ke bola mata
Singo Lodoya. Sedangkan Nyi Lintuk sudah mengkeret dan berlindung di balik
lemari. "Gusti Adipati Wira Permadi sudah begitu bermu-rah hati padamu. Huh! Anak dan
bapak sama saja, pengkhianat!"
dengus Singo Lodoya
Ki Lintuk masih tetap diam
"Tidak kusangka, ternyata hatimu begitu kotor...!"
"Tapi tidak lebih kotor dari hatimu, Singo Lodoya!" balas Ki Lintuk tak kalah
tajam. "Kurang ajar" geram Singo Lodoya
Dan dengati cepzt sekali tangan Singo Lodoya melayang hendak menyampok kepala Ki
Lintuk. Namun hanya dengan merunduk sedikit saja, Ki Lintuk berhasil menghindari
sampokan tangan Singo Lodoya. Bahkan tanpa diduga sama sekali sikutnya bergerak
dan menghantam iga orang
kepercayaan adipati itu.
"Hugh!' Singo Lodoya mengeluh pendek
Masih dengan tubuhnya yang membungkuk. Ki Lintuk
segera melayangkan sebuah pukulan yang keras ke bagian rahang Singo Lodoya. Dan
tidak ampun lagi, tubuh Singo Lodoya langsung terpental ke belakang dan menabrak
meja kursi hingga patah berantakan. Sementara orang-orang yang tadi ada di kedai
itu, langsung berlarian ke luar untuk menyelamatkan diri.
"Grrr...! Bedebah!" geram Singo Lodoya seraya bangkit dengan cepat.
Sret! Singo Lodoya langsung mencabut senjatanya yang berupa golok hitam dan bergerigi
pada salah satu sisinya. Sedangkan Ki Lintuk segera bergerak mundur dua tindak
begitu melihat lawannya mengeluarkan senjatanya.
Kemudian dengan
senjata golok hitam bergerigi itu, Singo Lodoya menyerang bagaikan malaikat maut
yang siap untuk mencabut nyawanya.
Dia terus menggereng bagaikan singa lapar yang melihat daging segar.
Sementara itu Nyi Lintuk mencoba lari dari ruangan itu lewat pintu belakang
kedai Tapi baru saia dia melewati pintu, tiba-tiba Singo Lodoya mengebutkan
tangan kirinya ke arah Nyi Li ntuk.
"Akh!" Nyi Lintuk langsung terpekik tertahan.
Sebuah pisau kecil yang dilemparkan Singo Lodoya tepat menancap di dada
perempuan tua itu. Seketika itu juga Nyi Lintuk ambruk ke tanah!
"Keparat! Kejam...!" geram Ki Lintuk melihat istrinya ambruk seketika.
"Ha ha ha...!" Singo Lodoya teitawa terbahak-bahak.
"Itulah upahnya bagi seorang pengkhianat!"
"Phuih! Kubunuh kau, keparat...!"
Ki Lintuk tidak lagi menghiraukan siapa orang yang sedang dihadapinya. Dia tahu
kalau Singo Lodo-ya memiliki tingkat kepandaian yang berada jauh di atasnya.
Tapi menyaksikan istrinya tewas, Ki Lintuk tidak bisa menahan amarahnya lagi.
Saat itu juga dia langsung melentingkan tubuhnya ke atas sambil berteriak
nyaring dan menerjang Singo Lodoya.
Dan pertarungan sengit di dalam kedai itu tidak bisa terhindarkan lagi. Tampak
serangan-serangan Ki Lintuk benar-benar cepat dan berbahaya. Sementara meja,
kursi dan barang-barang lainnya sudah porak-poranda terkena terjangan dan babatan golok dari kedua orang itu.
"Huh! Ternyata tua bangka ini punya simpanan juga!"
dengus Singo Lodoya dalam hati
Tampak Ki Lintuk bertarung dengan dipenuhi oleh hawa marah. Dia tidak lagi
mengindahkan pertahanan dirinya. Dia terus menyerang dengan membabi buta sambil
mengeluarkan jurus-jurus andalannya. Kesemrawutan serangan-serangan Ki Lintuk
itu dimanfaatkan oleh Singo Lodoya dengan tepat. Pada satu saat, ketika Ki
Lintuk sedang menyarangkan pukulannya ke arah kepala Singo Lodoya, orang
kepercayaan adipati itu langsung merundukkan kepalanya, dan dengan Ikecepatan
kilat dia segera memutar tubuhnya sambil melayangkan kaki kanannya ke arah perut
Ki Lintuk. "Hugh!" Ki Lintuk mengeluh tertahan begitu merasakan nyeri pada perutnya.
Dan pada saat tubuh Ki Lintuk itu membungkuk menahan sepakan kaki lawannya, tiba
tiba Singo Lodoya sudah menghantamkan pukulan mautnya ke kepala laki-laki tua
Pendekar Rajawali Sakti 14 Api Di Karang Setra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu. Untunglah, dengan cepat Ki Lintuk berhasil mengelakkannya.
Tapi tanpa diduga sama sekali, pukulan Singo Lodoya telah berubah arah. Dan....
Buk! "Akh!"
Ki Lintuk langsung terjerembab ke belakang. Tampak
dadanya memar dan berwarna biru kemerahan kena
hantaman telak Singo Lodoya Sedangkan dari sudut bibirnya mengucur darah kental
berwarna kehitaman. Kini Singo Lodoya tidak memberi kesempatan lagi. Dia segera
melompat cepat seraya mengayunkan golok hitam bergeriginya ke arah dada Ki
Lintuk. Sungguh di luar dugaan, pada saat yang kritis itu, tiba-tiba sebuah bayangan
putih berkelebat cepat dan memapak
serangan Singo Lodoya.
Tring! "Heh!"
Tentu saja Singo Lodoya terkejut bukan main! Buru-buru dia melompat mundur dua
tombak. Kini tangan kanannya dirasanya seperti terserang jutaan semut. Pedih dan
panas Tampak kedua matanya membeliak lebar, begitu melihat Ki Lintuk sudah
berada di pundak seorang pemuda tampan.
"Kurang ajar...!" geram Smqo I odoya.
*** "Memalukan, menganiaya orang tua yang sudah tidak berdaya!" dengus Rangga sambil
menurunkan tubuh Ki Lintuk dari pondongannya.
"Anak muda, aku peringatkan kau! Jangan campuri urusanku!" bentak Singo Lodoya.
"Aku tidak akan mencampuri urusanmu kalau kau tidak menganiaya orang tua!" sahut
Rangga dingin. "Alasan! Kau memang mau cari mampus di sini!" geram Singo Lodoya.
"Ki, sebaiknya segera selamatkan istrimu. Dia belum tewas, mungkin masih bisa
diselamatkan," kata Rangga tidak mempedulikan umpatan Singo Lodoya.
"Hiya..., hiya!"
Singo Lodoya langsung mengebutkan tangan larinya ketika Ki Lintuk bergerak
menghampiri istrinya yang menggeletak di tanah. Tentu saja Rangga terkesiap
melihat dua berkas cahaya keperakan meluncur deras ke arah Ki Lintuk.
"Hup!"
Bagaikan seekor burung rajawali, tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu segera
melenting bagai kilat ke arah dua sinar keperakan itu. Dua kali Rangga memutar
di udara untuk menangkap senjata itu. Dan begitu kakinya mendarat kembali di
tanah, tampak di tangannya sudah tergenggam dua bilah pisau perak yang
dilepaskan oleh Singo Lodoya.
"Licik...!" dengus Rangga menggeram.
"Hati-hati, Rangga," Ki Lintuk memperingatkan.
"Cepatlah kau bawa istrimu ke luar. Retna Nawangsih sudah menunggu," perintah
Rangga. Kini Ki Lintuk tidak membuang-buang waktu lagi, dia segera membopong tubuh
istrinya, dan melangkah cepat ke luar dari kedai. Tapi rupanya Singo Lodoya
tidak mau membiarkan begitu saja, maka ketika kaki Ki Lintuk hampir mencapai
pintu ke luar, seketika itu juga dia melentingkan tubuhnya dengan ujung golok
yang mengarah punggung Ki Lintuk.
"Awas, Ki...!" seru Rangga tersentak.
Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti itu melompat. Dan tangannya sempat
menyambar beberapa keping kayu yang berserakan di kedai itu. Maka dengan
mengerahkan tenaga dalam yang sempurna. Rangga langsung melemparkan
potongan-potongan kayu itu ke arah Singo Lodoya.
"Uts!"
Singo Lodoya terpaksa mengurungkan niatnya hendak
membokong Ki Lintuk. Dia jadi sibuk menghindari kayu-kayu yang dilemparkan oleh
Rangga dengan cepat dan beruntun.
Sementara itu Ki Lintuk tampak sudah berhasil ke luar dari kedai Di luar sana
tampak Retna Nawangsih sudah
menunggunya di atas kereta kuda.
"Kurang ajar! Kau benat benar cari mampus, Bocah Edan!"
geram Singo Lodoya sengit.
"Aku muak melihat kecuranganmu, Singo Lodoya!" balas Rangga ttdak kalah
dinginnya. "Phuih! Kau harus mampus, Bocah!"
Singo Lodoya tidak lagi mempedulikan Ki Lintuk dan
istrinya. Kini dia langsung menyerang Rangga dengan jurus-jurus mautnya!
Sementara Pendekar Rajawali Sakti itu segera melentingkan tubuhnya ke atas
menjebol atap. Dan Singo Lodoya pun segera mengikutinya dengan cepat. Sesaat
kemudian tampak pertarungan langsung terjadi di atas atap.
Saat itu Ki Lintuk sudah berada di atas kereta kuda. Sebuah kereta yang selalu
siap di depan kedai. Ki Lintuk biasa menggunakan kereta kuda itu untuk segala
keperluannya. Tampak Retna Nawangsih juga sudah siap dengan tali kekang di tangan. Sejenak dia
mengamati Rangga yang sedang bertarung di atas atap melawan Singo Lodoya.
"Ki...," terdengar suara lemah yang lirih.
"Oh, Nyi...." Ki Lintuk yang tengah memperhatikan pertarungan di atas atap itu
langsung menoleh ke arah istrinya.
"Aku..., aku sudah tahu kalau anak kita sudah dihukum pancung, Ki...," lemah
suara Nyi Lintuk.
Tampak Retna Nawangsih juga mengalihkan perhatiannya pada perempuan tua itu.
"Aku.... Aku merasa tidak kuat lagi, Ki.... Oh! Dengarkan pesanku, jangan turuti
hawa nafsumu Bagaimanapun juga Gusti Wira Permadi adalah junjungan kita. Ki...,
aku.... Akh...!"
"Nyi...! Nyi...!"
Ki Lintuk menggoyang goyangkan tubuh istrinya. Tapi Nyi Lintuk sudah terkulai
lemas tak bernyawa lagi. Darah yang ke luar dari lukanya terlalu banyak. Dan
pisau yang menembus dadanya langsung menusuk ke jantung. Kini Ki Lintuk hanya
bisa memeluk tubuh istrinya dengan air mata berderai membasahi pipinya yang
sudah keriput. Sementara Retna Nawangsih tampak hanya menggigit bibirnya untuk
menahan air matanya. Gadis itu jadi teringat ketika kedua orang tuanya tewas
dibunuh oleh orang-orangnya Wira Permadi.
Sementara itu pertarungan antara Rangga dan Singo
Lodoya masih berlangsung dengan sengit. Kini pertarungan itu tidak lagi
berlangsung di atas atap, tapi sudah di depan kedai Ki Lintuk. Entah sudah
berapa jurus yang mereka kerahkan.
Tapi belum ada juga yang kelihatan terdesak.
"Retna! Cepat bawa Ki Lintuk dan istrinya pergi, nanti aku menyusul!" seru
Rangga. "Baik, Kakang...!" sahut Retna Nawangsih tersentak. "Hus, hus! Hiya...!"
Begitu tali kekang kuda itu dihentak dengan kuat, kuda coklat itu segera berlari
kencang membawa kereta. Rangga sempat melirik kepergian kereta kuda itu.
"Setan belang!
Monyet buntung! Kau benar-benar mempermainkanku, Bocah Edan!" dengus Singo Lodoya geram.
Rangga memang melayani Singo Lodoya dengan setengah hati. Dia sengaja mengulurulur waktu untuk memberi kesempatan pada Retna Nawangsih untuk pergi jauh
membawa Ki Lintuk dan istrinya. Dan saat kereta kuda tersebut sudah tidak
kelihatan lagi, Rangga langsung melompat meninggalkan Singo Lodoya.
"Hey! Mau lari ke mana kau, Bocah!?" seru Singo Lodoya geram.
"Maaf, belum saatnya kita bertarung!" sahut Rangga.
Singo Lodoya pun segera melompat mengejar, tapi pada saat itu juga bayangan
Pendekar Rajawali Sakti itu sudah
lenyap dari pandangan. Dan Singo Lodoya hanya bisa
mengumpat dan memaki-maki habis-habisan.
*** Rangga mencoba untuk tidak larut dalam suasana duka di Puncak Gunung Batur
Kuring. Maka setelah upacara
penguburan Nyi Lintuk, dia segera meninggalkan puncak gunung itu. Tujuannya
sudah jelas, dia ingin mengambil kembali kuda hitam Dewa Bayu yang sempat dicuri
oleh Singo Lodoya untuk dipersembahkan pada Adipati Karang Setra.
Untuk kedua kalinya Retna Nawangsih mencegat Pendekar Rajawali Sakti di batas
Kaki Gunung Batur Kuring. Dan untuk kedua kalinya pula Rangga tidak mampu untuk
menolak keinginan Retna Nawangsih. Bahkan kali ini bukan hanya Retna Nawangsih
yang ikut, tapi juga Jaladara, seorang putra tunggal dari Bayan Sudira.
Rangga sebenarnya enggan di kuti, tapi dia tidak ingin mengecewakan kedua anak
muda itu yang \bersikeras ingin mengembalikan Karang Setra pada masa jayanya
dulu. Dan Pendekar Rajawali Sakti itu juga tidak menyangsikan kalau Retna
Nawangsih dan Jaladara telah memiliki ilmu olah kanuragan yang cukup tinggi.
"Sebenarnya aku tidak ingin kalian ikut serta menempuh bahaya," kata Rangga
sambil terus melangkah menuju Kadipaten Karang Setra.
"Kau tidak akan tahu seluk-beluk istana kadipaten, Pendekar Rajawali Sakti. Maka
dari itu Ayah menugaskan aku untuk mendampingimu," kata Jaladara.
"Tapi kalian harus hati-hati. Terutama pada Singo Lodoya, dia sangat tangguh!"
pesan Rangga memperingatkan.
"Tapi masih ada yang lebih tangguh lagi daripada Singo Lodoya," celetuk Retna
Nawangsih. "O..., siapa dia?" Rangga tertegun.
"Pendeta Gurusinga, Si Cebol Tangan Baja," sahut Retna Nawangsih menjelaskan.
"Dan yang paling penting adalah Pendeta Pohaji. Dia seorang pendekar yang sulit
dicari tandingannya. Bahkan Bibi Dewi Purmita saja belum tentu bisa
menandinginya," selak Jaladara.
Rangga tampak semakin dalam mengerutkan keningnya.
Dia tidak menduga sama sekali kalau Wira Permadi ternyata dikelilingi oleh
tokoh-tokoh sakti.
Pendeta Pohaji adalah orang yang paling disegani sejak masa Kadipatan Karang
Setra diperintah oleh Adipati Arya Permadi dua puluh tahun yang lalu Dan Rangga
sudah mendengar tentang kehebatan pendeta itu dari Dewi Purmita.
Meskipun Rangga agak lupa dengan wajah pendeta itu, tapi sedikit banyak dia
masih bisa ingat. Pendeta Pohaji adalah salah seorang kepercayaan ayahnya.
Rangga tidak menyangka kalau pendeta itu memihak Wira Permadi. Demikian pula
dengan Dewi Purmita, Bayan Sudira, Rakatala dan bekas abdi setia almarhum
Adipati Arya Permadi lainnya. Mereka semua tidak mengerti kenapa Pendeta Pohaji
sampai berpihak pada Wira Permadi.
"Kalian yakin kalau Pendeta Pohaji berpihak pada Wira Permadi?" tanya Rangga.
"Entahlah," desah Retna Nawangsih.
'Tapi kenyataannya memang begitu," sambung Jaladara.
"Hm..., selama aku berada di Kadipaten Karang Setra ini, hanya nama Singo Lodoya
saja yang kudengar. Belum pernah sekali pun aku mendengar nama Pendeta Pohaji,
kecuali oleh Dewi Purmita," kata Rangga setengah bergumam.
'Terus terang, aku sendiri juga heran. Kenapa setiap kali ada perayaan tahunan,
Pendeta Pohaji tidak pernah muncul?"
kata Jaladara lagi.
"Kau kenal dengan Pendeta Pohaji?" tanya Rangga.
"Waktu aku berusia sepuluh tahun, sebelum terjadi musibah yang menimpa Gusti
Adipati Arya Permadi, aku sering dilatih dasar-dasar ilmu olah kanuragan
olehnya. Aku kenal betul siapa Pendeta Pohaji, dia adalah seorang yang arif dan
bijaksana. Memang rasanya tidak mungkin kalau dia sampai berpihak pada orangorang durhaka seperti Gusti Wira Permadi!" sahut Jaladara sedikit emosi.
"Hm...," Rangga menggumam tidak jelas.
"Kalau aku sih belum pernah melihat orangnya, tapi sering mendengar cerita
tentang pendeta itu," Retna Nawangsih mengakui.
Rangga masih tetap diam membisu. Pikirannya terus
berputar keras, mencerna setiap keterangan yang diperolehnya tentang keadaan Kadipaten Karang Setra setelah kematian ayahnya.
Dan dari semua yang didapat, memang tidak semua abdi setia mendiang Adipati Arya
Permadi mengundurkan diri. Dan tidak sedikit pula yang kemudian melarikan diri
ke luar dari kadipaten. Bahkan banyak juga yang tewas di ujung pedang algojo,
karena menentang orang-orang yang pernah ada hubungan persaudaraan dengan
mendiang adipati. Terutama para selir yang memiliki anak.
Mereka berlomba-lomba adu kekuatan untuk mencalonkan anaknya menggantikan
kedudukan sebagai adipati. Dan yang beruntung adalah Wira Permadi, karena dia
memiliki paman dan bibi dari ibunya yang memiliki tingkat kepandaian yang cukup
tinggi. Baru tiga tahun Wira Permadi menduduki jabatan sebagai adipati, tapi sepak
terjangnya benar-benar sudah terasa, Di sekeliling Wira Permadi berdiri tokohtokoh sakti yang berwatak kejam, licik dan serakah! Tidak heran kalau kemudian
rakyatlah yang menjadi korban keserakahan
mereka. Rangga masih saja berdiam diri dengan otak yang berputar keras. Di sepanjang
perjalanan hanya Retna Nawangsih dan Jaladara yang bicara. Sedikit pun Pendekar
Rajawali Sakti tidak mendengarkan percakapan mereka. Dan setiap kali ditanya,
jawabannya hanya gumaman dan dengusan pelan Dan pada saat mereka akan melewati
pintu gerbang yang tidak dijaga. Rangga segera memerintahkan pada Retna
Nawangsih dan Jaladara untuk berhenti. Tiba-tiba telinga Pendekar Rajawali Sakti
yang tajam dapat mendengar suara halus yang mencurigakan. Dan belum sempat
Rangga bisa berbuat sesuatu, tiba-tiba....
Zing, zing...! "Awas...!" seru Rangga.
*** Puluhan anak panah tampak bertebaran bagai hujan
meluruk ke arah Rangga, Retna Nawangsih dan Jaladara Ketiga orang muda itu
segera bergerak dengan cara sendiri-sendiri.
Rangga yang menyadari keadaan tidak menguntungkan ini, segera mengerahkan jurus
'Sayap Raja-wali Membelah Mega'.
"Hiaaat...!" teriak Rangga melengking.
Dan ia segera melentingkan tubuhnya berputar-putar di angkasa sambil menyampok
anak-anak panah yang mengarah pada dirinya. Dan di sekitar tempat itu
terciptalah angin keras menderu-deru yang membuat anak-anak panah yang datang
bagai hujan itu, bertaburan tak tentu arah sebelum mengenai tubuh Rangga. Retna
Nawangsih dan Jaladara yang melihat itu langsung melompat ke belakang Rangga.
Sedangkan beberapa tubuh tampak bergeletakan di tanah disertai dengan jeritan
yang menyayat karena anak-anak panah yang
meluncur ke segala arah itu berbalik kembali ke penyerangnya! "Hebat...!" desah Jaladara kagum.
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba saja terdengar suara tawa yang menggelegar dan memekakkan telinga.
Jelas sekali kalau suara tawa itu disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang
cukup tinggi. Sejenak Rangga menghentikan gerakannya. Dan bersamaan dengan itu,
muncullah seorang laki-laki yang berkepala gundul dan mengenakan jubah bagai
pendeta. Dia berdiri di atas sebongkah batu besar. Sesaat kemudian muncul juga
puluhan orang yang mengenakan seragam prajurit kadipaten. Mereka langsung
mengepung dari segala arah.
"Pendeta Gurusinga...," gurnam Jaladara yang mengenali laki-laki gundul dan
berjubah seperti pendeta itu.
"Hati-hati, tampaknya, mereka tidak bermaksud baik," kata Rangga berbisik.
Tampak Rangga memandang tajam pada Singo Lodoya
yang berdiri di samping Pendeta Gurusinga. Rupanya Singo Lodoya tidak puas, dan
mengadukan pertarungannya dengan Pendekar Rajawali Sakti pada Pendeta Gurusinga.
"Yang mana orangnya, Singo Lodoya?" tanya Pendeta Gurusinga.
"Itu, Paman Pendeta Yang pakai baju rompi putih," tunjuk Singo Lodoya
"Kau tidak salah?"
Pendekar Rajawali Sakti 14 Api Di Karang Setra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak! Kenapa memangnya?"
"Jelas kalau kau tidak bisa menandinginya. Dia adalah Pendekar Rajawali Sakti.
Apa kau tidak melihat pedang yang ada di punggungnya" Tidak ada seorang pendekar
pun yang memiliki pedang seperti itu selain Pendekar Rajawali Sakti."
"Dari mana kau tahu, Paman Pendeta?" tanya Singo Lodoya.
"Semua tokoh rimba persilatan pasti tahu."
Singo Lodoya terdiam. Dia memang pernah mendengar
tentang sepak terjang Pendekar Rajawali Sakti. Tapi dia belum pernah bertemu
langsung dengan orangnya. Tidak disangka kalau dia sempat bertarung dengan
pendekar ternama saat ini. Pantas saja kalau pendekar itu melayaninya tidak
sungguh-sungguh.
"Kau masih penasaran, Singo Lodoya?" tanya Pendeta Gurusinga.
"Siapapun dia, aku tidak akan puas kalau belum mengoyak dadanya!" jawab Singo
Lodoya mantap. "Bagus! Kau hadapi dia, biar yang dua lagi bagian para prajurit."
"Lihat saja nanti, aku akan persembahkan kepalanya untukmu, Paman Pendeta!"
Seketika itu juga Singo Lodoya langsung melompat ke arah Rangga. Indah sekali
gerakannya, ringan, dan tanpa
menimbulkan suara sedikit pun. Dan begitu kakinya menjejak tanah, dia langsung
mencabut senjata andalannya yang berupa golok hitam dengan satu sisi bergerigi.
"Sekarang kau tidak bisa kabur lagi, Bocah!" kata Singo Lodoya garang.
"Hm...," Rangga hanya tersenyum saja.
Pendekar Rajawali Sakti itu sudah mengukur sampai di mana tingkat kepandaian
Singo Lodoya. Namun demikian, dia tidak mau menganggapnya enteng. Dia tahu bahwa
orang-orang rimba persilatan dari golongan hitam tidak pernah berlaku jujur
dalam pertarungan. Sejenak Rangga menggeser kakinya ke kanan. Sementara matanya
yang tajam terus mengawasi gerak-gerik Singo Lodoya yang sudah mulai membuka
jurus-jurus andalannya.
"Tahan seranganku! Hiyaaa...!" seru Singo Lodoya.
Secepat kilat, Singo Lodoya langsung menyerang dengan jurus-jurus andalannya
yang dahsyat, terutama dengan golok hitamnya! Sedangkan Rangga segera
melayaninya dengan berkelit ke kiri dan ke kanan tanpa menggeser kakinya setapak
pun. Pada saat itu, Pendeta Gurusinga juga segera memerintahkan kepada para prajuritnya untuk menyerang Retna Nawangsih dan
Jaladara. Tak pelak lagi, pertarungan terbuka langsung terjadi dengan sengitnya.
Tampak Retna Nawangsih dan Jaladara segera mencabut pedangnya untuk menghadapi
mereka. Sementara Rangga masih terus melayani Singo Lodoya tanpa menggeser
posisi kakinya. Hal itu tentu saja membuat Singo Lodoya jadi semakin berang. Dia
merasa diremehkan!
"Sombong! Cabut senjatamu, keparat!" bentak Singo Lodoya menggeram sengit.
"Tanpa senjata pun aku mampu menghadapimu, Singo Edan!" ejek Rangga sengit.
"Monyet buduk...! Terimalah jurus 'Golok Maut' andalanku!"
Dan kali ini serangan Singo Lodoya benar-benar luar biasa.
Sampai-sampai Rangga berlompatan ke sana kemari menghindarinya. Tebasan golok hitam Singo Lodoya terus mengepung ruang gerak
Pendekar Rajawali Sakti Sedikikit pun dia tidalTmemberi
kesempatan pada lawannya untuk
mengambil napas.
"Huh! Kalau begini terus, bisa mati konyol! " dengus Rangga. "Orang ini tidak
bisa diremehkan!"
Rangga yang semula tidak bermaksud melukai atau
membunuh Singo Lodoya, jadi hilang kesabarannya melihat Singo Lodoya begitu
bernafsu ingin membunuhnya. Dan saat
itu juga Rangga segera mengubah jurusnya dengan jurus
'Pukulan Maut Paruh Rajawali'
"Heh!"
Betapa terkejutnya Singo Lodoya begitu melihat kedua tangan Rangga tiba-tiba
berubah menjadi merah membara bagai terbakar. Dan belum lagi hilang rasa
kagetnya itu, mendadak Pendekar Rajawali Sakti mengibaskan tangannya ke arah
golok hitam yang bergerigi itu
"Uts!"
Buru-buru Singo Lodoya menarik kembali senjatanya. Tapi gerakannya kalah cepat.
Ujung goloknya berhasil disentil oleh ujung jari Pendekar Rajawali Sakti.
Trak! Seketika itu juga Singo Lodoya terperanjat setengah mati.
Tampak ujung goloknya sudah terpotong kena sentilan jari tangan Pendekar
Rajawali Sakti itu. Dan pada saat Singo Lodoya kehilangan kontrol diri, secepat
kilat Rangga menerjang sambil melancarkan pukulannya dengan bertubi-tubi
Sedangkan Singo Lodoya tidak sempat lagi untuk mengelak. Kini dadanya menjadi
sasaran empuk pukulan yang beruntun itu.
Tak sedikit pun terdengar suara dari mulut Singo Lodoya.
Tubuhnya langsung terpental deras dan membentur batu.
Sementara dadanya remuk dan terbakar. Seketika itu juga Singo Lodoya tewas!
"Kakang...!" tiba-tiba Retna Nawangsih memekik tertahan.
"Retna...!" Rangga tersentak kaget
*** 6 Rangga tersentak kaget ketika melihat Pendeta Gurusinga meluncur deras dan
menyambar tubuh Retna Nawangsih.
Gadis itu tidak menyangka sama sekali karena tengah sibuk menghadapi keroyokan
puluhan prajurit. Gerakan Pendeta Gurusinga benar-benar luar biasa cepatnya,
sehingga Retna Nawangsih tidak sempat melakukan apa-apa. Tahu-tahu kini dia
sudah terpondong di pundak.
"Licik! Lepaskan dia...!" bentak Rangga gusar
"Ha ha ha...! Jemput dia di istana, Pendekar Rajawali Sakti...!"
Baru saja Rangga mau mengejar, puluhan prajurit sudah mengepung dan
menerjangnya. Rangga yang menjadi gusar karena menghadapi kelicikan pendeta
murtad itu, langsung dia tumpahkan pada prajurit-prajurit kadipaten itu. Dia
mengamuk dengan mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'
yang amat dahsyat. Setiap prajurit kadipaten yang mencoba mendekat, langsung
tewas hanya dengan sekali pukulan!
"Suit...!"
Tiba-tiba saja terdengar siulan nyaring, dan seketika itu juga para prajurit
Kadipaten Karang Setra yang masih hidup berlompatan kabur.
"Jangan dikejar!" cegah Rangga ketika melihat Jaladara hendak mengejar.
Jaladara terpaksa mengurungkan niatnya. Dia memasukkan kembali pedangnya ke
dalam sarungnya di punggung. Tampak dadanya bergerak turun naik, dan napasnya
tersengal. Sementara keringat mengucur deras membasahi wajah dan tubuhnya.
"Sebaiknya kau segera kembali ke Gunung Batur Kuring, Jaladara," kata Rangga
menyarankan. "Bagaimana
dengan Adik Retna?" Jaladara mengkhawatirkan Retna Nawangsih yang dibawa kabur oleh Pendeta Gurusinga.
"Biar aku yang membebaskannya," sahut Rangga tegas.
Sejenak Jaladara mengamari Pendekar Rajawali Sakti itu.
Dia sudah melihat sendiri kehebatan Rangga, tapi untuk menyusup ke dalam istana
kadipaten..." Rasanya sama saja dengan menyerahkan nyawa! Istana kadipaten itu
dijaga ketat oleh ratusan prajurit, belum lagi tokoh-tokoh rimba persilatan yang
berada di sekeliling Adipati Wira Permadi.
Jaladara bukannya menyangsikan kemampuan Pendekar
Rajawali Sakti, tapi ada sesuatu yang terselip di hatinya dan sulit untuk
diungkapkan. Perasaan itu sudah ada sejak pertama kali dia melihatnya di Gunung
Batur Kuring. Setiap kali Jaladara memandang mata Rangga, dia merasakan
melihat temannya waktu kecil, di mana mereka selalu berlatih bersama-sama dalam
ilmu olah kanuragan.
"Kenapa kau memandangku seperti itu, Jaladara?" tegur Rangga merasa risih.
"Oh, tidak.... Tidak apa-apa," Jaladara jadi gugup.
"Sebaiknya kau cepat kembali ke Gunung Batur Kuring.
Katakan semua yang telah terjadi di sini," kata Rangga lagi.
"Kenapa kita tidak sama-sama saja membebaskan Adik Retna?" Jaladara menolak
halus. "Dewi Purmita dan yang lainnya harus tahu kejadian ini.
Percayalah, aku berjanji akan membawa kembali Retna Nawangsih," Rangga tersenyum
penuh arti. "Aku percaya pada kemampuanmu, tapi...."
"Sudahlah, kita harus bergerak cepat sebelum terjadi sesuatu pada Retna
Nawangsih. Kau tidak ingin kehilangan dia, kan?"
Wajah Jaladara langsung memerah mendengar kata-kata penuh sindiran itu. Lebihlebih melihat senyum Rangga yang sulit untuk diartikan. Dalam hatinya, Jaladara
memang menyukai Retna Nawangsih, tapi dia tidak punya keberanian untuk
mengungkapkan isi hatinya itu. Dia benar-benar tidak menyangka kalau Rangga bisa
mengetahuinya begitu cepat.
Apakah karena sikapnya yang terlalu menyolok mengkhawatirkan keadaan Retna Nawangsih" Atau mungkin juga ftangga selalu
memperhatikannya kalau dia memandang gadis itu. Entahlah, yang jelas Jaladara
sulit untuk menyembunyikan perasaannya itu.
"Rangga...."
Rangga tidak jadi berbalik. Dia kembali menatap Jaladara yang jadi kikuk dengan
wajah bersemu merah dadu.
"Ada apa?" tanya Rangga.
"Hati-hati..," hanya itu yang mampu terucapkan dari mulut Jaladara.
Kembali Rangga tersenyum dan menepuk-nepuk pundak
pemuda itu. Kemudian dia segera berlari cepat meninggalkan tempat itu. Sejenak
Jaladara masih berdiri sambil memandangi kepergian Pendekar Rajawali Sakti itu.
Kemudian dia pun segera berlalu dengan mengerahkan ilmu lari cepat menuju Gunung
Batur Kuring. *** Retna Nawangsih langsung tersuruk jatuh ketika Pendeta Gurusinga mendorongnya
masuk ke kamar khusus Adipati Karang Setra. Tampak Adipati Wira Permadi dan
seorang wanita setengah baya, duduk di kursi besar berukir. Wanita itu adalah
bekas selir mendiang Adipati Arya Permadi yang bernama Ratih Komala. Sedangkan
di depan mereka duduk bersila para punggawa kadipaten.
"Retna Nawangsih..., rupanya kau masih hidup," gumam Ratih Komala.
"Tuhan belum berkenan mencabut nyawaku!" dengus Retna Nawangsih sambil berusaha
bangkit. Sejenak dia tersentak ketika merasakan bahwa seluruh tubuhnya sulit
untuk digerakkan. Retna Nawangsih segera sadar bahwa Pendeta
Gurusinga telah menotok jalan darahnya.
"Wira! Kau pernah bilang
bahwa dia sudah tewas.
Tapi buktinya masih hidup!"
Ratih Komala memandang
putranya. "Aku memang telah membunuhnya, Bu. Waktu
itu ia jatuh ke jurang yang
dalam setelah pedangku berhasil merobek jantungnya,"
sahut Wira Permadi juga kaget melihat
Retna Nawangsih masih hidup. "Ampun, Gusti Ayu. Hamba menemukannya bersama-sama dengan putra Bayan Sudira dan
Pendekar Rajawali Sakti,"
selak Pendeta Gurusinga.
"Mereka memang berencana untuk memberontak, Gusti Ayu," sambung si Cebol Tangan
Baja, salah seorang tokoh hitam yang berpihak pada Adipati Wira Permadi.
"Memberontak..." Ha ha ha...!" tiba-tiba Wira Permadi tertawa terbahak-bahak.
"Tidak ada yang lucu, Wira!" dengus Ratih Komala.
"Maaf, Bu," Wira Permadi segera menghentikan tawanya.
"Pendekar Rajawali Sakti...," Ratih Komala menggumamkan nama itu beberapa kali.
Tampak semua mata tertuju pada perempuan setengah
baya yang masih kelihatan cantik itu.
"Apa kau tidak salah lihat, Pendeta Gurusinga?" tanya Ratih Komala ingin
ketegasan. "Tidak, Gusti Ayu. Bahkan Singo Lodoya sempat bertarung dengannya. Tapi...."
"Kenapa?" desak Wira Permadi.
"Singo Lodoya tewas."
"Kurang ajar!" Wira Permadi menggeram marah.
'Tenang, Anakku," Ratih Komala menenangkan putranya.
"Tidak, Bu. Orang yang telah membunuh Singo Lodoya juga harus mampus!" dengus
Wira Permadi "Kau tidak akan mampu menghadapinya, Wira. Aku pernah mendengar sepak terjang
Pendekar Rajawali Sakti. Hm..., rupanya dia ada di sini dan membantu para
pemberontak itu.
Pendekar Rajawali Sakti...."
"Ibu, ijinkanlah aku untuk membalas kematian Singo Lodoya," pinta Wira Permadi.
"Sudah kukatakan, kau bukan tandingannya, Wira!" sentak Ratih Komala
"Tapi..."
"Kau mau membantah kata-kataku, Wira?"
Wira Permadi langsung diam. Dia memang seorang adipati di Karang Setra ini, tapi
menghadapi ibunya, belum pernah sekali pun Wira Permadi berari membantah katakatanya. "Kakang, cari Pendekar Rajawali Sakti dan bunuh dia. Aku ingin kepalanya!"
perintah Ratih Komala pada si Cebol Tangan Baja.
"Hamba laksanakan, Gusti Ayu," sahut si Cebol Tangan Baja seraya membungkuk
memberi hormat "Laksanakan, segera!"
Si Cebol Tangan Baja pun bergegas ke luar dari kamar khusus itu. Sementara Ratih
Komala kembali menatap Retna Nawangsih yang masih menggeletak tengkurap di
lantai tanpa daya. Kemudian dia berjalan pelan menghampiri gadis itu.
"Aku akan menjadikanmu sebagai umpan, Retna Nawangsih," kata Ratih Komala dengan senyum merekah.
"Pengecut!" dengus Retna Nawangsih geram.
Pendekar Rajawali Sakti 14 Api Di Karang Setra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Paman Pendeta! Masukkan dia ke dalam kurungan!"
perintah Ratih Komala.
"Hamba laksanakan, Gusti Ayu."
"Tunggu!" cegah Wira Permadi ketika Pendeta Gurusinga mau mengangkat tubuh Retna
Nawangsih. Sejenak Pendeta Gurusinga
mengurungkan niatnya.
Sedangkan Wira Permadi segera bangkit dari duduknya dan melangkah menghampiri.
"Biarkan dia berada di sini dulu, aku ingin mengorek keterangan tentang
pemberontak-pemberontak keparat itu!"
kata Wira Permadi.
Pendeta Gurusinga menoleh pada Ratih Komala. Tampak perempuan setengah baya itu
hanya nr^ng-anggukkan
kepalanya saja.
Kemudian Pendeta Gurusinga segera
membungkuk memberi hormat, dan berlalu meninggalkan kamar khusus itu.
"Bisa Ibu tinggalkan aku sebentar?" pinta Wira Permadi.
"Wira, dia adalah tawanan yang sangat berharga. Aku tidak suka Kalau kau
memperlakukannya seperti tawanan iain," kata Ratih Komala mengerti maksud
anaknya ini. "Percayalah, Bu."
Ratih Komala hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
Dia bisa membaca keinginan Wira Permadi dari sorot matanya.
Sejenak perempuan setengah baya itu memandang Retna Nawangsih. Dalam hatinya dia
mengakui kalau gadis itu sungguh cantik. Tidak heran kalau putranya tertarik,
dan kebiasaan buruknya timbul seketika.
"Baiklah, Wira. Tapi aku tidak mau tahu kalau kau perlakukan dia sama dengan
tawanan wanita lainnya," kata Ratih Komala menyerah.
"Kalaupun itu terjadi, aku yang akan bertanggung jawab, Bu," sahut Wira Permadi
tersenyum penuh arti.
Ratih Komala hanya menggeleng-gelengkan kepalanya
seraya mendesah panjang.
Kemudian dia melangkah meninggalkan kamar khusus ini. Sedangkan Wira Permadi segera bergegas mengunci
pintu. Sejenak dia memandangi tubuh Retna Nawangsih yang tergolek di lantai
tanpa daya. Jakunnya tampak turun naik, sedangkan bola matanya liar merayap tubuh ramping
itu. Beberapa kali Wira Permadi menelan ludahnya untuk membasahi tenggorokan
yang mendadak kering.
*** Pelan-pelan Wira Permadi mengangkat tubuh Retna
Nawangsih. Kemudian dia segera membawanya ke pembaringan besar yang ada di tengah-tengah ruangan khusus ini. Retna Nawangsih
mendesis geram melihat sinar mata yang liar begitu dekat berada di atasnya.
"Kau dengar apa yang dicemaskan oleh ibuku, Retna?"
suara Wira Permadi agak tersengal menahan sesuatu yang menggelora di dalam
dadanya. "Huh!" Retna Nawangsih hanya mendengus saja.
"Aku bisa melakukan apa saja padamu, tapi itu tidak akan terjadi kalau kau mau
menunjukkan di mana letak sarang gerombolan pemberontak itu," Wira Permadi
menawarkan pilihan.
"Aku tawananmu, kau boleh melakukan apa saja. Tapi jangan harap kau akan tahu
tempat teman-temanku!" jawab Retna Nawangsih ketus.
"Ah..., kau tambah cantik saja kalau cemberut begitu,"
desah Wira Permadi.
Retna Nawangsih segera memalingkan mukanya ketika
tangan Wira Permadi mulai menjalar di wajahnya Kalau saja dirinya tidak dalam
keadaan tertotok jalan darahnya, pasti sudah dia penggal tangan kurang ajar itu.
Dan gadis itu makin bergidik saat merasakan jari-jari tangan Wira Permadi mulai
menjalari dadanya.
"Chuih!"
Retna Nawangsih langsung menyemburkan ludahnya begitu Wira Permadi merunduk
hendak mencium nya. Ludah kental yang disemburkan dengan kuat itu tampak
menemplok di wajah Adipati Karang Setia itu.
"Kurang ajar...!" geram Wira Permadi sengit.
Plak! "Auh!"
Merah padam seluruh wajah Retna Nawangsih begitu
tangan Wira Permadi mendarat di pipinya. Kemudian Wira Permadi segera melompat
naik ke pembaringan Dan dengan
pahanya dia mengempit pinggang ramping gadis itu. Lalu dengan berang dia
menggerakkan tangannya, dan....
Bret! "Ah...!" Retna Nawangsih langsung memekik kaget.
Wira Permadi merobek baju bagian dada gadis itu dengan kasar. Kedua matanya
langsung membeliak lebar begitu melihat dua bukit kembar yang putih mulus
mengembung terbuka lebar. Kini Retna Nawangsih benar-benar merasa geram dan
terhina dengan perlakuan tersebut. Tapi dia tidak mampu untuk berbuat apa-apa.
Seluruh aliran jalan darahnya masih tertotok. Hanya hatinya saja yang mampu
merutuk mencaci maki.
"Aku akan membuatmu bertekuk lutut, Perempuan Liar!"
geram Wira Permadi mendengus.
"Ih...! Au...!" Retna Nawangsih tetap hanya mampu memekik.
Lalu dengan kasar dan liar Wira Permadi menggumuli tubuh gadis itu. Sementara
Retna Nawangsih hanya bisa memekik dan mengumpat dengan kepala menggeleng ke
kanan dan ke kiri, menghindari sergapan ciuman-ciuman liar pemuda itu pada
wajahnya. Bret! "Akh!"
Lagi-lagi Retna Nawangsih memekik tertahan ketika
pakaian bagian bawahnya dikoyak dengan paksa. Seketika sepasang paha yang putih
mulus tampak menyembul ke luar.
Dan tanpa disadarinya, setitik air bening menggulir dari sudut matanya. Kini
mata Retna Nawangsih terpejam rapat-rapat.
Dia tidak sanggup lagi untuk membayangkan kalau sampai terjadi....
"He he he..., memang sebaiknya kau diam, Manis," Wira Permadi terkekeh penuh
kemenangan. Retna Nawangsih terus merintih dalam hati. Diam-diam dia berusaha menyalurkan
hawa murni ke seluruh tubuhnya. Dia berusaha untuk melepaskan pengaruh totokan
Pendeta Gurusinga pada jalan darahnya. Retna Nawangsih sadar kalau totokan itu sulit
untuk dihilangkan. Tapi keinginan untuk terlepas
dari kebuasan Wira Permadi, membuatnya memaksakan diri mengerahkan hawa murni.
Pelahan-lahan Retna Nawangsih merasakan kehangatan
mulai menjalari tubuhnya Sementara Wira Permadi sudah tidak bisa lagi
mengendalikan diri. Napasnya sudah memburu penuh nafsu. Dia tidak sadar kalau
diamnya gadis itu bukannya pasrah, tapi sedang berusaha melepaskan diri dari
pengaruh totokan.
"Hup, hih!" "Heh...!"
Kontan saja Wira Permadi tersentak kaget ketika tubuhnya terlontar ke atas.
Rupanya Retna Nawangsih telah berhasil membebaskan diri dari pengaruh totokan
pada jalan darahnya.
Begitu dia terlepas dari rangkulan Wira Permadi, buru-buru gadis itu meraih kain
dan membelitkan ke tubuhnya yang hampir polos. Lalu bergegas dia melompat turun
dari pembaringan.
"Setan alas!" geram Wira Permadi yang terjatuh akibat lontaran tenaga Retna
Panji Tengkorak Darah 7 Pendekar Naga Putih 38 Tewasnya Raja Racun Merah Pendekar Binal 12
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama