Wiro Sableng 023 Cincin Warisan Setan Bagian 1
WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 1 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Episode : Cincin Warisan Setan
SATU Hujan turun menggila malam itu. Bunyi derunya menegakkan bulu roma. Apalagi
angin bertiup kencang, memukul daun pepohonan, menambah seramnya pendengaran.
Sesekali kilat menyambar seperti hendak membelah bumi di malam gelap gulita itu.
Kemudian menggelegar suara guntur. Bumi bergoncang seperti mau amblas, langit
seolah-olah hendak runtuh!
"Hujan keparat!" maki pemuda berpakaian putih yang lari di bawah hujan lebat
itu. Sekujur tubuh dan pakaiannya basah kuyup. Karenanya dia tak merasa perlu
lagi mencari tempat untuk berteduh. Lagi pula di mana akan ditemukan tempat
berlindung di dalam rimba belantara lebat itu. Daun-daun pepohonan besar tidak
kuasa membendung curahan air hujan. Kilat menyambar, membuat orang ini terkejut.
Sesaat wajahnya tampak jelas dalam terangnya sambaran kilat. Kembali dia
menyumpah dalam hati. Baru saja menyumpah geledek kembali menggelegar.
"Benar-benar gila!" makinya kembali.
Mendadak orang ini hentikan larinya. Lapat-lapat, di kejauhan sepasang
telinganya yang tajam luar biasa mendengar suara aneh. Suara hiruk pikuk seperti
teriakan manusia. Dia pejamkan kedua matanya dan mendongak ke langit.
"Setan atau ibliskah yang menjerit di malam gila ini?" tanyanya pada diri
sendiri. "Kalau memang itu jeritan manusia mengapa mereka menjerit. Dan manusia macam
mana pula yang hujan lebat begini, berada dalam rimba belantara pada malam
buta.....?" Orang ini tidak menyadari, dia sendiri secara aneh berada di tempat
itu! Dia membalikkan tubuh, lalu lari ke jurusan datangnya suara jeritan yang sangat
ramai itu. Beberapa pohon kecil yang melintang di hadapannya dihantamnya dengan
tangan kiri atau tangan kanan.
"Krak.....!
Krak.....!"
Batang-batang pohon itu patah bertumbangan!
Makin cepat dia berlari makin keras suara jeritan itu tanda dia semakin dekat ke
sumber suara. Mendadak suara jeritan lenyap. Orang yang tadi berlari hentikan
gerakannya, memandang berkeliling, lalu menatap tajam ke samping kanan. Samarsamar dalam gelapnya malam dan lebatnya curahan air hujan, sekitar sepuluh
tombak dari tempatnya berdiri dia melihat sesosok tubuh tegak berkacak pinggang
di bawah hujan lebat. Hati-hati sekali, hampir tidak mengeluarkan suara pemuda
tadi menyelinap di balik pepohonan dan semak belukar, berusaha mendekati sosok
tubuh yang ada di depannya. Ketika hanya tinggal empat tombak saja lagi dari
orang yang tegak berkacak pinggang itu, tiba-tiba orang itu keluarkan suara
tertawa bergelak.
Lelaki berpakaian putih yang coba mengintai tersentak kaget dan cepat-cepat
berlindung ke balik sebatang pohon. Dari sini dia meneruskan pengintaiannya.
Orang yang tertawa bergelak sambil bertolak pinggang itu mengenakan pakaian
serba hitam yang basah kuyup. Rambutnya terjurah panjang, semula disangka
soerang perempuan. Tapi setelah jelas kelihatan raut wajahnya ternyata dia
seorang lelaki bermuka cekung, berjanggut dan berkumis lebat. Pada masing-masing
lengannya terdapat tiga buah gelang akar bahar.
Kilat menyambar dan! Orang yang mengintai dari balik pohon merasakan jantungnya
seperti copot! Betapakan tidak. Ketika rimba belantara itu menjadi terang
BASTIAN TITO 2 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
benderang sekilas, pada saat itulah dia menyaksikan puluhan tubuh manusia
berkaparan di tanah, di atas semak belukar, di antara pohon-pohon. Semua
tergelimpang tak bergerak. Kepala atau wajah masing-masing telah hancur
mengerikan. Rambut dan potongan-potongan kepala serta otak berhamburan di manamana. Air hujan yang tergenang tampak merah kehitaman.
"Pembunuhan masal! Siapa yang melakukannya"!" membatin pemuda yang mengintai.
Tubuhnya terasa dingin sekali, sepasang lututnya terasa goyah. Selama hidupnya
dia telah melihat kematian, pembunuhan bahkan dia juga telah berulang kali
melakukan pembunuhan. Tapi kematian orang seperti itu dengan kepala atau muka
hancur, benar-benar satu hal luar biasa. Dari pakaian yang dikenakan manusiamanusia malang itu, dari tombak, pedang dan perisai yang bergelimpangan di selasela tubuh manusia, jelas yang menemui kematian itu adalah serombongan pasukan.
Entah pasukan dari kadipaten atau keraton mana.
Di tengah tumpukan mayat itu, orang yang tertawa semakin keras tawanya.
Sambil tertawa kepalanya yang berambut panjang digoyang-goyangkan hingga air
hujan yang membasahi rambutnya berdesing melesat, menghantam pohon-pohon dan
dedaunan. Orang yang bersembunyi di balik pohon melengak kaget ketika
menyaksikan begaimana tetesan-tetesan air hujan yang dilesatkan rambut itu
menghantam rontok kulit pohon di hadapannya dan meninggalkan lobang dalam pada
batang pohon! "Dua puluh sembilan hari menguntit dan mengurung!" Tiba-tiba orang berpakaian
hitam berambut panjang itu hentikan tawa dan keluarkan ucapan. "Semua berakhir
pada kematian! Manusia-manusia tolol! Pangeran kalian hanya menyuruh kalian
mengantar nyawa di dalam rimba belantara ini! Ha....ha.....ha...."
Orang di tengah gelimpangan mayat itu kemudian tampak tundukkan kepala.
Seperti tengah memperhatikan sesuatu yang ada di tangan kanannya. Lalu kembali
dia tertawa gelak-gelak. Mendadak suara tawanya lenyap, tubuhnya diputar ke
kiri. Tangan kanannya diangkat ke depan, sama rata dengan bahu. Dari jari telunjuknya
yang diacungkan lurus ke muka tiba-tiba melesat tiga cahaya putih. Dua cahaya
sebesar batang lidi, satunya lagi sebesar batang padi. Ketiga cahaya putih itu
mengeluarkan suara seperti lengkingan seruling yang ditiup pada nada tinggi
dengan kekuatan tiupan dahsyat.
"Siut....siut....siut!
Brak!" Batang pohon di depan hidung pemuda yang mengintai hancur lebur. Pohon besar itu
roboh dengan suara bergemuruh!
"Keparat setan alas!" maki lelaki berpakaian putih yang sembunyi di balik pohon
besar itu. "Bangsat berjangut itu tahu kalau aku mengintai di sini! Gila, ilmu
pukulan sakti apa yang dilepaskannya itu!" Secepat kilat orang itu jatuhkan diri
ke tanah, menyusup ke dalam semak belukar lalu melompat satu tombak ke samping
kanan dan berguling. Sepasang telinganya kembali mendengar suara melengking.
Tanda orang berpakaian hitam itu melepaskan lagi pukulan yang memancarkan tiga
garis cahaya putih itu. Setumpuk semak belukar rambas, sebatang pohon lagi
hancur dan tumbang. Tapi pemuda yang tadi berhasil menyelamatkan diri saat itu
sudah berada jauh di tempat yang cukup aman, yakni melesat ke atas dan
bersembunyi di atas cabang pohon, di antara kerimbunan daun-daun. Ternyata
manusia yang menyerangnya tidak mengetahui kalau kini dia ada di atas pohon.
Sebaliknya dari atas pohon dia dapat melihat jelas gerak gerik orang di bawah
sana. Sesaat lelaki di atas pohon ini berpikir-pikir, apakah dia akan membalas
serangan maut tadi dengan pukulan sakti yang dimilikinya. Tetapi setelah
menimbang akhirnya dia memutuskan untuk menunda.
BASTIAN TITO 3 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Di bawah pohon orang tadi kembali tertawa gelak-gelak. Lalu berteriak "Ada yang
lolos rupanya! Tidak apa.... Biar dia lari dan memberitahu pada pangerannya!
Ha.....ha.....ha.....!" Suara tawa itu sirap. Orang di atas pohon memutuskan inilah
saatnya dia harus melepaskan pukulan untuk melumpuhkan orang di bawah sana.
Tetapi. Astaga! Ketika memandang lagi ke bawah sambil siapkan pukulan, orang
berambut panjang berpakaian hitam itu sudah lenyap entah ke mana!
"Sialan! Aku terlambat!" maki pemuda di atas pohon.
Setelah meneliti keadaan di bawah pohon sekali lagi sementara hujan lebat masih
terus turu maka diapun melompat turun. Ketika masih melayang di udara itulah
mendadak telinganya mendengar suara seperti tiupan seruling. Tiga larik cahaya
putih yang sangat terang menyilaukan berkiblat, menyambar ke arahnya.
"Celaka! Bangsat itu belum pergi rupanya. Dan kini dia kembali menyerangku!"
Orang yang melompat turun terkejut dan memaki. Secepat kilat dia jungkir balik
di udara lalu membuang diri ke samping kanan. Namun sambaran tiga cahaya
datangnya cepat luar biasa. Berkiblat deras dan menghantam perutnya dengan
telak. Orang ini keluarkan seruan keras, mencelat ke atas lalu jatuh ke tanah,
di antara gelimpangan mayat-mayat dan genangan air hujan campur darah!
"Ha...ha....ha....!" Terdengar tawa bergelak dari belakang batang pohon besar.
"Pengintai tolol! Kalau saja kau tadi terus lari tentu tak akan mampus percuma!
Sayang! Kini tak ada yang akan memberi laporan pada sang pangeran!
Ha...ha....ha....!"
Suara tawa lwnyap. Keadaan di tempat itu kini hanya dihantui oleh deru air
hujan, desau angin dan gemerisik daun-daun pepohonan.
Tak selang berapa lama, sosok tubuh yang tadi dihantam tiga larik sinar dan
terhempas ke tanah, perlahan-lahan tapak bergerak bahkan kini coba berdiri
sambil pegangi perutnya. Ternyata manusia satu ini tidak mati. Dia tidak sampai
menjadi korban tiga larik sinar maut yang dilepaskan oleh orang berpakaian serba
hitam tadi. Bagaimana hal ini bisa terjadi" Jangankan tubuh manusia. Btang pohon yang besar
dan keras hancur tumbang berantakan oleh hantaman sinar itu.
Pemuda itu pegangi pakaiannya di bagian perut yang tampak bolong besasr.
Baigan tepi yang bolong itu seperti hangus terbakar berwarna kehitaman. Pada
bagian pakaian yang berlubang itu tampak tersembul sebuah benda putih yang
berkilauan setiap sinar kilat menyambar terang. Mukanya yang tadi pucat seperti
kain kafan berangsur-angsur berdarah kembali dan dari mulutnya pemdua ini tak
henti-hentinya memaki. Dia pegangi benda putih berkilat yang tersembul di depan
perutnya, garuk-garuk kepalanya dengan tangan yang lain lalu cepat menyelinap ke
balik semak belukar. Ada rasa kawatir kalau-kalau orang yang tadi menyerangnya
masih berada di tempat itu atau muncul kembali.
"Kapak ini telah menyelamatkan nyawaku....." kata lelaki berakaian putih yang kini
pakaiannya penuh lumpur bercampur darah. Tengkuknya masih terasa dingin. Bukan
oleh karena dinginnya udara atau dinginnya air hujan, tapi karena baru saja
menyadari, kalau senjata mustikanya itu tidak tersisip melindungi perutnya,
pastilah perutnya akan bobol amblas dihantam sinar ganas tadi. Dia segera pula
menyadari bahwa senjatanya itu memiliki keampuhan yang tinggi dan tak sanggup
dihantam pukulan sinar aneh dan mematikan itu.
Ketika dipastikannya keadaaan di tempat itu benar-benar telah aman maka diapun
segera keluar dari balik rerimbunan semak belukar. Dia coba meneliti sekian
puluh mayat yang terkapar mengerikan.
"Pasukan yang malang..... Pangeran dari mana yang mengutus kalian mencari mati di
tempat ini....?" Orang itu geleng-geleng kepala. "Tak habis pikir bagaimana
BASTIAN TITO 4 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
orang berjanggut tadi sanggup membunuh puluhan manusia ini. dengan sinar mautnya
itu....." Sinar maut hebat luar biasa, tapi ganas mengerikan..... Heh, apa yang
harus aku lakukan" Tolol!" Orang itu memaki dirinya sendiri. Lalu menjaab
pertanyaan sendiri. "Yang paling baik aku harus pergi dari sini. Rimba belantara
ini lebih seram dari neraka! Tempat celaka apa ini! Gila!"
Maka diapun bergerak pergi.
Namun baru dua kali menindak melangkahi mayat-mayat di tanah, mendadak terdengar
bentakan garang.
"Berhenti!"
BASTIAN TITO 5 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DUA Bangsat! Siapa pula yang membentak! Setan rimba belantara"! Eh, mungkin orang
berjanggut tadi....."!" Dengan sikap waspada dan mengerahkan tenaga dalam ke
tangan kanan siap untuk mengahantam, dia memandang ke arah kegelapan dari mana
suara bentakan tadi datang. Dia melihat sesosok tubuh dalam kegelapan. Lalu
sosok tubuh kedua. Ketiga ....keempat. Ketika dia memandang berkeliling, ternyata
dia telah dikurung oleh enam orang berbadan besar. Masing-masing memegang
kelewang panjang.
"Siapa kalian"!" Lelaki berpakaian serba putih balik membentak.
"Randu Ireng! Dua kali bulan pernama kami menguntitmu! Sekarang tak mungkin
lepas!" terdengar jawaban dari kegelapan.
"Randu Ireng....?" Desis orang yang dikurung. "Siapa yang kalian maksudkan....."
Terdengar suara batuk-batuk di sebelah kanan, menyusul suara berkata "Kami tahu
kelicikanmu. Kau bisa menyamar seribu kali dalam semalam. Tapi kami berenam tak
mungkin kau tipu!"
"Gila! Malam-malam buta, hujan lebat begini rupa dan disaksikan puluhan mayat
celaka kalian ini bicara apa sebenarnya"!"
"Dengar Randu Ireng...."
"Setan alas! Namaku bukan Randu Ireng....!" Hardik orang yang dikurung.
Keluar jawaban. "Terserah kau mau memakai nama apa. Tapi yang jelas kau sudah
kami kurung. Tak mungkin lolos walaupun kau bisa merubah diri menjadi seekor
tuma! Kawan-kawan, apakah kalian lihat benda itu di jari telunjuk kanannya.....?"
Lima suara menyahut.
"Kami tidak melihatnya!"
"Dia a pasti menyembunyikannya di balik pakaiannya!"
"Keparat! Benda apa yang dimaksudkan enam jahanam gila ini?" ujar pemuda yang
dikurung lalu meneliti jari telunjuk tangannya sendiri. Jari telunjuk tangan
kanan itu memang tidak ada apa-apanya. Mengapa orang-orang itu sengaja
memperhatikan jari telunjuk tangan kanannya" Siapa mereka sebenarnya dan siapa
pula orang bernama Randu Ireng itu" Selagi dia bertanya-tanya seperti itu,
kembali orang yang tegak di hadapannya dalam kegelapan membuka suara sementara
hujan masih terus turun walau sekarang mulai mereda.
"Radu Ireng! Serahkan cincin itu pada kami!"
"Betul! Serahkan lekas. Dan kami akan mengampuni selembar nyawamu!"
Orang di samping kiri ikut bersuara.
Pemuda yang tegak di antara tebaran mayat kembali memaki dalam hati.
Kemudian dia tertawa gelak-gelak. Namun hatinya tetap saja jengkel.
"Kalian orang-orang gila kesasar! Buka telinga kalian baik-baik dan dengar
ucapanku. Aku bukan Randu Ireng! Aku tidak tahu menahu, tidak mengerti cincin
apa yang kalian minta. Aku sama sekali tidak memiliki cinicn, atau kalung atau
gelang. Ha...ha....ha....!"
"Dusta!"
"Bohong besar!" "Rupanya dia tidak sayang nyawa!"
"Kalau begitu tunggu apa lagi" Kita bantai saja!"
BASTIAN TITO 6 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Enam sosok tubuh bergerak maju, mendekar dan memperapat pengurungan.
Enam batang kelewang panjang tergenggam erat dalan enam tangan kukuh, melintang
di depan dada. Sejarak lima langkah, keenam orang itu berhenti. Orang yang dikurung memandangi
wajah mereka satu persatu. Tak seroangpun yang dikenalnya.
"Kami masih memberi kesempatan terakhir!" kata orang di samping kanan.
"Lekas serahkan cincin itu!"
"Cincin apa"!" tanya lelaki yang pakaiannya basah kuyup, penuh belepotan lumpur
dan darah. "Jangan pura-pura tidak tahu!"
"Cincin apa lagi kalau bukan Cincin Kepala Ular Kobra Baja!" jawab orang yang
tepat berdiri di depan lelaki tadi.
Kini berubahlah paras pemuda ini. dia pernah mendengar tentang benda itu, tapi
Wiro Sableng 023 Cincin Warisan Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tak pernah melihatnya. Cincin baja yang merupakan senjata mustika ganas. Tibatiba dia ingat pada orang berpakaian serba hitam yang tadi menyerangnya.
"Kalau begitu....." desisnya.
"Kalau begitu apa"!" ucapannya langsung dipotong.
"Kalau begitu orang berjanggut dan berkumis lebat tadi yang kalian maksudkan....."
"Jangan coba mengalihkan pembicaraan. Siapa yang kau maksud dengan manusia
berjanggut dan berkumis itu"!"
"Manusia yang membunuh puluhan perajurit ini! Kalau dia tidak memiliki senjata
ampuh luar biasa mana mungkin dia sanggup membunuh lawan sebegini banyak...."
"Dusta! Bukankah kau sendiri yang telah membunuh balatentara dari Demak ini" Dan
tentunya dengan mempergunakan cincin keramat itu!"
"Aku tidak memiliki benda itu. bahkan aku sendiri tadi diserang bangsat itu.
lihat pakaianku yang hangus dan berlubang besar di bagian perut ini....."
Enam orang di depannya menyeringai mengejek. Tak percaya tentunya. Yang di
samping kiri berkata. "Kalau diserang dengan cincin sakti itu, saat ini kau
bukan manusia lagi. Tapi sudah jadi bangkai dengan perut bobol!"
"Mungkin! Tapi...... Ah, percuma saja aku menerangkan. Kalian tentu tak akan
percaya....." kata pemuda yang tegak di antara tebaran mayat. Dia merasa tak perlu
menjelaskan bahwa senjata sakti yang dimilikinya telah menyelamatkannya dari
hantaman tiga cahaya putih yang melesat keluar dari jari telunjuk orang
berpakaian serba hitam itu.
"Ayo, mana cincin itu. Lekas serahkan!"
"Aku tak mau lagi bicara dengan kalian orang-orang gila! Aku bukan Randu Ireng.
Aku tidak memiliki benda yang kalian cari! Sekarang beri jalan, kau mau lewat.
Aku mau pergi dari tempat celaka ini!"
"Ragamu boleh pergi tapi nyawamu tinggalkan di sini!"
Enam kelewang. Bergerak naik ke atas.
"Kau akan mampus percuma! Cincin itu akan kami ambil dari tubuhmu yang
tercincang!"
Orang yang terkurung dan hendak dibantai menyeringai lalu keluarkan suara
bersiul. Tangan kanannya bergerak ke pinggang. Enam lelaki bertubuh besar dan
bermuka garang serentak mundur dua langkah ketika menyaksikan senjata berbentuk
kapak yang memiliki dua buah mata terlihat tergenggam di tangan kanan orang yang
mereka sangka Randu Ireng itu. yang membuat mereka jadi terkesiap ialah melihat
BASTIAN TITO 7 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
sinar menggetarkan yang keluar dari badan dan mata kapak, padahal keadaan di
situ gelap sama sekali tak ada kilatan sinar yang memantul ke permukaan kapak.
"Siapa kau sebenarnya"!" Salah seorang dari enam pengurung bertanya.
"Kau pasti tuli! Tadi-tadi aku sudah bilang aku ini bukan Randu Ireng!"
"Kalau begitu coba katakan siapa kau adanya!"
"Kau tidak perlu tahu!"
"Jika tak berani memperkenalkan diri berarti kau memang Randu Ireng!"
"Kentut busuk!" "Senjata apa yang ada di tanganmu itu"!"
"Kapak Naga Geni 212!"
Enam pengurung tersentak kaget. Mereka saling pandang.
"Kalau begitu kau adalah pendekar muda Wiro Sableng, murid Sinto Gendeng nenek
sakti dari Gunung Gede!"
Orang yang memegang kapak tidak menjawab meskipun apa yang diucapkan orang di
depannya memang benar adanya.
"Kalau begitu kami telah salah sangka. Harap dimaafkan keteledoran ini.
hanya saja, apakah kau dapat menjelaskan apa yang terjadi di tempat ini.....?"
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, orang yang tadi hendak dikeroyok sebenarnya
ingin lekas-lekas meninggalkan tempat itu. Namun diam-diam diapun ingin
mengetahui siapa adanya manusia bernama Randu Ireng dan apa sebenarnya cincin
baja berkepala ular itu.
"Aku bersedia menerangkan apa yang kulihat di sini walaupun tak banyak, tapi
harap kalian mau mengatakan siapa kalian adanya...."
"Kami berenam kakak beradik. Aku yang tertua. Namaku Sebrang Lor. Kami dikenal
dengan julukan Enam Kelewang Maut...."
Wiro Sableng kernyitkan kening. Kapak Naga Geni 212 disisipkannya kembali ke
pinggang lalu berkata "Setahuku kalian adalah para pendekar dari golongan putih.
Tapi gerak gerik kalian malam ini tidka beda dengan bangsa gerombolan rampok
atau rombongan maling. Tidak disangka kalian selama ini disenangi ternyata
bertindak tanduk memalukan...."
"Kami mengakui telah kesalahan tangan," kata Sebrang Lor. "Semua terjadi karena
kejengkelan kami sudah sampai di puncaknya. Kami telah menguntit manusia bernama
Randu Ireng itu hampir selama enam puluh hari. Malam ini ternyata kami menemui
kegagalan lagi..... Nah, apakah kau mau menerangkan apa yang kau ketahui....?"
Wiro menjelaskan tidak banyak. Mulai dari dia mendengarkan suara jeritanjeritan, sampai dia mendapat serangan, lalu lenyapnya si penyerang yakni lelaki
berpakaian serba hitam, berjanggut dan berkumis.
"Mungkin manusia yang menyerangku itulah Randu Ireng, orang yang kalian cari......"
"Barangkali..... Manusia bernama Randu Ireng ini sebenarnya dia tidak memiliki
kepandaian silat tinggi, apalagi ilmu kesaktian. Namun ada satu kehebatannya.
Yaitu dapat menyamar secara lihay dan cepat. Lalu karena cincin keramat itu
berada di tangannya, maka tak ada satu orangpun yang mampu mengahadapinya.
Jangankan satu orang, seluruh pasukan kerajaan sanggup dihancurkannya dengan
benda keramat itu...... "
"Kau berulang kali menyebut cincin. Benda bagaimanakah sebenarnya cincin
itu.....?"
Sebrang Lor lalu memberi penuturan.
BASTIAN TITO 8 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Dua belas tahun silam, seorang nelayan muda yang diam di sebuah desa di pantai
selatan bermimpi. Dalam mimpinya itu dia bertemu dengan sesosok mahluk tinggi
besar berjubah putih yang berjalan tanpa menjejak bumi. Wajah mahluk ini seram
sekali. Memiliki sepasang kuping panjang mencuat ke atas, berambut gondrong dan
bermata cekung dengan sepasang bola mata putih sedang bagian mayang seharusnya
putih tampak sangat merah seperti api. Bagian hidungnya hanya merupakan sebuah
lobang menjijikkan. Bibirnya mencuat oleh barisan gigi yang besar serta
bertaring panjang. Semua gigi ini tampak basah oleh cairan berwarna merah darah.
Lidahnya juga panjang dan selalu terjulur. Mahluk ini menuding dengan jari
tangannya yang ternyata hanya merupakan tulang belulang tapi berkuku panjang.
"Nelayan muda....." kata mahluk dalam mimpi itu. suaranya membahana, bumi seolaholah bergetar. "Besok malam kau harus turun ke laut!"
"Mana mungkin." Sahut nelayan itu ketakutan. "Sudah sejak seminggu ini hujan
turun terus setiap malam. Tak mungkin menangkap ikan dalam hujan dan angin
kencang......"
"Aku memerintahkan kau turun ke laut bukan untuk menangkap ikan!"
"La.....lalu.....?"
Mahluk itu menyeringai. Saat demi saat tubuhnya tampak bertambah besar dan
tinggi. Ketika si nelayan mendongak mahluk itu sudah stinggi pohon kelapa!
"Turun ke laut. Kayuh perahumu ke pulau Pangiri dan berhenti di sebelah timur,
kira-kira seratus kayuhan dari pulau. Kau sama sekali tidak boleh membawa jala.
Hanya membawa sebuah pancingan dan umpan tunggal seekor ikan teri basah.
Lemparkan kalimu ke dalam laut dan tunggu sampai ada yang menyentuh. Jika sudah
terasa ada sentuhan, sentak kail itu dan kau akan mendapatkan seekor ikan aneh
berwarna hitam. Ikan itu kau belah perutnya. Di dalam perut ikan akan kau temui
sebuah cincin terbuat dari baja putih, berbentuk kepala ular kobra. Jika cincin
itu kau kenakan di jari telunjukmu lalu jarimu kau acungkan ke depan sambil
menggigit bibirmu sebelah bawah maka tiga cahaya putih menyilaukan akan melesat
keluar dari sepasang mata dan mulut cincin kepala ular. Tapi cahaya halus itu
merupakan kekuatan dahsyat yang sanggup menghancurkan gunung dan rimba
belantara. Kau boleh menyimpan dan memiliki cincin itu sampai aku datang lagi
memberi petunjuk lebih lanjut. Cincin itu sekali-kali tak boleh kau jual. Karena
selain merupakan warisan, tujuh kerajaan dikumpulkan bersama tak sanggup
membayar nilainya! Kau dengar itu nelayan muda......?"
"Kudengar tapi....."
"Tidak ada tetapi-tetapian. Besok malam turun ke laut. Ada satu hal harus kau
ingat. Setelah cincin kau dapatkan dari perut ikan, bakar ikan itu sampai hancur
dan cemplungkan abu serta tulang belulangnya ke dalam laut. Jika kau sampai
melupakan hal itu maka penjaga dan pemilik lau selatan akan menelanmu lumatlumat. Kau tahu siapa penjaga dan penguasa laut selatan itu.....?"
"Tahu..... Nyi Roro Kidul....."
"Hemmm....." Mahluk setan dalam mimpi menyeringai. Lalu sosoknya lenyap.
Begitu mimpinya berakhir, nelayan muda itu terbangun dari tidurnya lalu terduduk
di tepi balai-balai. Sesaat dia duduk termangu. Apakah akan dibangunkannya
istrinya dan menceritakan mimpinya pada perempuan yang tengah hamil muda itu"
Akhirnya setelah menganggap mimpi itu hanya mimpi biasa saja yang bisa terjadi
pada diri setiap orang, nelayan itu kembali tidur. Keesokan harinya dia memang
teringat kembali pada mimpi itu, namun karena tak mau memperdulikan maka
menjelang siang segera saja dilupakannya. Dan pada malan harinya dia sama
BASTIAN TITO 9 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
sekali tidak turun ke laut melainkan merangkuli tubuh mulus istrinya dan
tertidur sambil berpelukan.
Lewat tengah malam dama kenyenyakan tidur mendadak mahluk berjubah putih
berwajah setan itu muncul kembali. Kedua matanya berapi-api, taringnya mencuat,
lidahnya terjulur dan meneteskan cairan merah darah. Lima jari tangannya
menggapai ke depan seperti hendak merobek muka nelayan muda itu, membuat si
nelayan menjerit dalam tidurnya hingga istrinya terbangun dan mengguncang
tubuhnya. "Ada apa......?" tanya sang istri. "Kau bermimpi......"'
"Entahlah..... Mungkin. Tapi aku tak ingat mimpi apa..... Ah sudahlah. Tidur saja
kembali. Besok aku harus bangun pagi-pagi. Sudah janji dengan paklikmu untuk
membantunya mengolah ladang....."
Kedua suami istri itu tidur kembali.
Hampir menjelang pagi nelayan muda tadi mimpi lagi. Mahluk setan itu muncul
lagi. Kali ini wajahnya tampak tambah mengerikan. Dengan penuh amarah mahluk ini
bertanya "Malam ini sesuai perintahku kau harus turun ke laut. Mengapa tidak kau
laksanakan.....?"
"Aku....aku lup.....lupa....." jawab si nelayan.
"Dengar, aku memberi kesempatan sekali lagi padamu. Kesempatan terakhir.
Malam besok kau turun ke laut. Jika tidak kau laksanakan maka anakmu kelak akan
lahir cacat. Wajahnya akan seburuk wajahku...." Habis berkata begitu mahluk
berwajah setan itupun lenyap. Kembali si nelayan terbangun dan tak dapat tidur
sampai keesokan paginya. Sepanjang hari sampai sore dia lebih banyak duduk
melamun sambil menghisap rokok, duduk di bawah cucuran atap pondoknya dan
memandang ke tengah laut sementara hujan turun gerimis. Ada rasa takut dan ngeri
kini dalam hati nelayan ini. takut kalau dia tidak mengikuti perintah mahluk
seram itu, kelak anaknya lahir benar-benar akan cacat. Akhirnya malam itu,
meskipun istrinya bertanya tak kunjung henti mengapa dia menyiapkan perahu dan
turun ke laut, nelayan itu meninggalkan tepi pantai. Para tetangganya juga
tampak keheranan menyaksikan. Tanpa peduli dia mengayuhkan perahunya ke tengah
laut. Pulau Pangiri cukup jauh. Ombak agak besar dan hujan rintik-rintik yang
turun saat itu setiap saat bisa berubah menjadi hujan besar lalu kalau sudah
begitu badaipun datang menyongsong!
Makin jauh ke tengah laut ombak terasa makin besar dan laut menjadi ganas.
Perahu kecil itu laksana sebuah sabut yang dipermainkan dan dihantam gelombang
tiada henti. Air laut memenuhi lantai perahu dan harus cepat ditimba keluar
kalau tak mau tenggelam. Rasa takut menyamaki diri nelayan muda itu. Dia mulai
berpikir-pikir apakah tidak sebaiknya kembali saja sebelum dia tenggelam di
lanun ombak dan mati jadi santapan ikan-ikan buas. Namun rasa takut melihat
kenyataan kalau anaknya benar-benar lahir cacat kemudian hari, membuat nelayan
ini lebih baik meneruskan merancah laut menuju pulau Pangiri.
Hampir menjelang tengah malam, dalam keadaan basah kuyup dan tubuh letih
kehabisan tenaga akhirnya dia sampai juga ke pulau tujuan. Sesuai pesan mahluk
setan itu dia hentikan perahu sekitar seratus kayuhan dari pulau Pangiri.
Anehnya saat itu laut di tempat dia berhenti tampak tenang sekali, tak ada ombak
apalagi gelombang. Sedang hujanpun tiba-tiba saja berhenti. Dengan tanagn
gemetar nelayan itu mengambil kailnya lalu memasang umpan pada mata kali yakni
seekor teri basah.
Lalu kail dilemparkannya ke dalam laut. Tali pancingan diulur sampai habis. Dan
dia menunggu dengan hati berdebar.
BASTIAN TITO 10 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
TIGA Nelayan muda itu tidak tahu entah sudah berapa lama dia duduk di atas perahunya
memegangi pancing. Tapi sampai tubuhnya jadi tambah letih dan tanagnnya pegal
serta matanya terkantuk-kantuk masih belum terasa ikan atau apapun yang
menyentuh mata kailnya. Dia mulai berpikir mungkin mimpi yang dialaminya itu
benar-benar hanya mimpi biasa atau mimpi gila! Dia memutuskan untuk menunggu
beberapa lama lagi dan berusaha mempersabar diri. Jika sampai sekian lama tak
ada juga terjadi apa-apa maka dia akan kembali pulang.
Tak lama kemudian selagi kesabarannya hampir habis dan dia siap untuk pulang
saja, mendadak nelayan ini merasakan sesuatu menyambar mata kailnya, keras
sekali. Secepat kilat kayu pancingannya disentakkan lalu dibetot ke atas dengan
hati berdebar. Seekor ikan berbentuk aneh berwarna hitam yang tak pernah dilihatnya sebelumnya
menggelepar di mata kailnya. Cepat ikan ini dijatuhkannya ke dalam perahu,
ditangkapnya dengan tangan kiri agar jangan sampai mencemplung lagi ke dalam
laut. Diperhatikan dekat-dekat, binatang ini memiliki kepala yang seram.
Kedua matanya menonjol lebar, ada sebentuk taring yang menonjol keluar. Lalu
pada bagian atas depan di antara kedua mata terdapat lobang aneh. Di kedua sisi
kiri kanan di bawah mata terdapat sirip tebal yang mencuat ke atas. Kepala ikan
hitam ini mengingatkan nelayan itu pada kepala dan wajah mahluk seram dalam
mimpinya. Jangan-jangan binatang ini penjelmaan mahluk itu.
Ingat apa yang kemudian harus dilakukannya maka dari balik pinggang celananya
dikeluarkannya sebilah pisau. Dengan tangan gemetar ditorehnya perut ikan itu.
aneh, ternyata badan ikan itu atos sekali. Dengan susah payah bahkan sampai
keringatan baru dia akhirnya dapat memotong bagian perutnya. Dengan ujung pisau
dikoreknya isi perut binatang itu. Di antara isi perut yang berbusaian terlihat
sebuah benda putih. Ternyata sebentuk cincin dengan ukiran kepala ular sendok.
Tangannya gemetar ketika menyentuh cincin itu. Sesuatu yang aneh tiba-tiba
terjadi. Si nelayan merasakan tubuhnya menjadi sangat enteng. Pemandangannya
menjadi tajam dan pendengarannyapun demikian pula. Cepat-cepat cincin itu
dimasukkannya ke dalam saku celana dan saku itu diikatnya dengan seutas tali.
Sesuai perintah dalam mimpi, ikan hitam itu dibakarnya sampai hancur. Sisa
pembakarannya dibuangnya ke dalam laut. Saat itu tiba-tiba kilat menyambar,
guntur menggelegar dan hujan lebat turun. Laut mengganas, ombak menggila.
Ketakutan nelayan itu segera kayuh perahunya meninggalkan tempat tersebut.
Menjelang pagi dia sampai ke pantai. Di pantai dilihatnya istrinya sudah
menunggu dengan cemas.
Beberapa tetangga dan teman-temannya ikut menjemput ke pantai. Mereka semula
heran ketika melihat perahu miliki nelayan muda muda itu penuh dengan ikan-ikan
besar. Padahal si nelayan sama sekali tidak membawa jala. Tentu saja semuanya
bertanya bagaimana dia bisa melakukan hal itu. Menangkap ikan demikian
banyaknya! Selain itu bukankah udara sangat buruk dan hujan lebat turun terus
menerus sepanjang malam" Yang lain memperbincangkan keberaniannya pergi melaut
seorang diri. Nelayan itu sama sekali tak bisa menjawab apa-apa. Dia juga merasa
heran bagaimana tahu-tahu dalam perahunya ada sekian banyak ikan" Tanpa berniat
untuk memunggah isi perahunya, nelayan itu memegang lengan istrinya langsung
mengajaknya pulang ke rumah.
BASTIAN TITO 11 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Wiro Sableng 023 Cincin Warisan Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Selama tiga hari tiga malam nelayan itu jatuh sakit. Diserang demam panas yang
membuatnya mengigau dan meracau sepanjang saat. Hari keempat baru sakitnya
lenyap dan sepanjang hari dia duduk di depan rumah, memandang jauh ke tengah
laut. Cincin baja putih berkepala ular yang ada dalam saku pakaiannya senantiasa
digenggamnya erat-erat. Dia menjenguk ke dalam rumah. Istrinya sibuk di
belakang. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan, memandang berkeliling. Takut ada seseorang
atau istrinya tiba-tiba muncul. Setelah pasti dia hanya sendirian maka cincin
ular kobra itu dimasukkannya ke jari telunjuk tangan kanannya. Jari ini
diacungkannya lurus-lurus ke depan. Lalu dicobanya menggigit bibirnya sebelah
bawah. Mendadak terdengar suara bersuit, seperti suara seruling, kencang dan
menusuk liang telinga. Suara aneh itu disusul dengan melesatnya tiga cahaya
putih, dua kecil, satu agak besar. Cahaya ini menyambar ujung atap rumahnya.
Langsung atap rumah itu hancur berantakan.
Membuat bukan saja si nelayan menjadi terkejut dan pucat wajahnya tapi sang
istri yang sedang bekerja di belakang bergegas lari ke depan rumah untuk melihar
apa yang terjadi.
Sore harinya dengan alasan hendak memeriksa perahu, nelaayn itu meninggalkan
rumah. Diam-diam dia pergi ke bukit yang terletak tak jauh di selatan
perkampungan. Di hadapan sebuah pohon besar dia berhenti dan mengeluarkan cincin
kepala ular kobra itu. Cincin dimasukkannya ke jari telunjuk. Jari ini
diluruskannya, diarahkan ke batang pohon besar. Bersamaaan dengan itu digigitnya
bibinya. Terdengar suara bersuit. Tiga cahaya putih berkiblat. Cahaya ini mengahantam
batang pohon. Batang yang dua kali pemeluk manusia itu hancur berantakan dan
pohon tumbang dengan suara gemuruh. Nelayan itu melompat ketakutan saking rasa
tidak percayanya. Dengan perasaan campur aduk, setangah berlari nelayan itu
menuruni bukit. Di tengah jalan dilihatnya sebuah batu gunung besar hitam. Dia
ingin mencoba dan membuktikan keampuhan cincin sakti itu kembali. Cincin
dikeluarkannya dipakainya lagi pada jari telunjuk. Ketika diacungkan ke arah
batu sambil menggigit bibir, melengking suara seruling lalu sinar yang melesat
keluar menghancur leburkan batu besar itu
Sejak dia memiliki cincin sakti tersebut si nelayan menunjukkan perubahan sikap.
Hampir setiap hari dia selalu mengurung diri dalam rumah atau duduk termenung di
bawah atap memandang ke tengah laut. Perubahan dirinya ini bukan saja
mengherankan istrinya, tetapi juga para tetangga dan kawan-kawan. Namun sampai
sebegitu jauh tak seorangpun mengetahui apa sebenarnya telah terjadi dengan
dirinya, termasuk istrinya.
Pada masa itu umumnya kampung-kampung nelayan dan desa-desa di sekitar pantai
banyak yang berada dalam keadaan tidak aman. Para perompak atau bajak laut, jika
tidak mendapatkan hasil jarahan di laut banyak yang turun ke darat melakukan
perampokan, merampas harta benda penduduk termasuk bahan makanan serta melakukan
penculikan. Kampung di mana nelayan muda tadi tinggal tak bebas dari bencana
itu. Sejak setahun belakangan ini sudah dua kali bajak laut mendarat melakukan
perampokan, perampasan penculikan dan pembunuhan.
Sore itu, menjelang malam hujan baru saja mulai berhenti setelah turun seharian.
Laut tampak tenang tak seorangpun nelayanpun berani turun menangkap ikan.
Menurut pengalaman meskipun laut tampak tenang namun sewaktu-waktu udara atau
cuaca bisa berubah mendadak. Selewatnya tengah malam kampung yang diselimuti
kesunyian dan dibungkus udara dingin berembun yang mengandung garam itu tibatiba diramaikan oleh suara kentongan. Mula-mula suara kentongan ini terdengar
dari pantai sebelah timur. Lalu merambat ke barat dan bersahut-sahutan BASTIAN
TITO 12 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
dengan kentongan di dalam kampung sampai ke kaki bukit. Di mana-mana terdengar
teriakan-teriakan "Perompak.....perompak!"
"Bajak laut datang! Bajak laut datang!"
"Semua orang lekas lari! Tinggalkan rumah kalian!"
"Selamatkan
diri!" Serta merta kampung nelayan itu menjadi hiruk pikuk. Orang-orang perempuan
berpekikan. Anak-anak bertangisan. Orang-orang lelaki segera mengumpulkan anak
istri mereka dan melarikannya ke tempat yang aman jauh di balik bukit. Beberapa
pemuda bersenjatakan golok, kelewang dan tombak berkumpul membentuk barisan
pertahanan, siap berjibaku. Tapi kepala kampung segera menemui mereka.
"Tak ada gunanya melawan perompak itu. Jumlah mereka jauh lebih banyak dari
kita! Di samping itu mereka banyak memilki senjata-senjata hebat. Mungkin juga
meriam besar! Kalian semua ikut kami menyelamatkan diri!"
Salah seorang pemuda menjawab. "Kami tahu mereka lebih banyak. Tapi kami tidak
takut! Kami rela mati demi kampung halaman.kalau bajak itu tidak diberi
perlawanan, mereka akan selalu datang mengganggu!"
"Soal perlawanan kita bicarakan nanti! Sekarang lekas angkat kaki dari sini!
Tak ada artinya jadi pahlawan sia-sia....!"
Baru saja kepala kampung itu berkata begitu, dari tengah laut tampak kilatan
api. Sesaat kemudian didahului oleh letusan menggelegar sebuah benda bulat
bercahaya melayang menuju perkampungan.
"Mereka menembakkan meriam!" teriak kepala kampung. "Lekas menyingkir!"
"Bajak laut keparat! Dari mana mereka mendapatkan senjata pemusnah itu!"
maki seorang pemuda. Tapi saat itu nyalinya sudah lumer dan buru-buru dia
melarikan diri mengikuti kawan-kawannya yang telah menyingkir lebih dahulu
bersama kepala kampung.
Di tengah laut tampak sebuah kapal kayu besar menurunkan lebih dari selusin
perahu kecil yang masing-masing berisi empat sampai lima orang. Bajak laut itu
serentak mulai mengayuh menuju pantai perkampungan nelayan yang kini telah sunyi
senyap ditinggalkan seluruh penduduknya.
BASTIAN TITO 13 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
EMPAT Soma, nelayan muda itu memegang lengan istrinya erat-erat. Perempuan yang hamil
muda ini tak bisa berlari cepat karena takut jabang bayi dalam kandungannya
mengalami cidera. Sekali dia terjatuh bayi itu bisa cacat. Hal itu juga yang
dikhawatirkan Soma. Karenanya mereka tertinggal jauh dari penduduk kampung yang
telah lari lebih dulu. Pada saat mencapai kaki bukit mendadak Soma ingat akan
cincin sakti baja putih berkapal ular sendok yang ada dalam saku celananya. Jika
cincin itu sanggup menghancurkan batang kayu dan batu besar, berarti terlalu
mudah baginya untuk menghantam lumat tubuh manusia. Selintas pikiran muncul
dalam benak Soma.
Maka diapun berkata pada istrinya. "Istriku, aku akan antarkan kau sampai ke
balik bukit itu bergabung dengan orang-orang sekampung....."
"Lalu, kau sendiri hendak ke mana.....?" tanya sang istri heran.
"Aku akan kembali ke kampung....."
"Kembali ke kampung" Perompak-perompak itu akan membunuhmu!"
"Aku harus kembali. Ada sesuatu yang akan kulakuan. Aku berjanji akan menemuimu
lagi dalam waktu cepat. Kau tak usah kawatir....."
"Tentu saja aku sangat kawatir. Apa yang hendak kau lakukan, Kakak Soma?"
"Tidak.....tidak apa-apa. Aku hanya sebentar."
Sang istri tetap tak mau ditinggal. Sebaliknya Soma bersikeras untuk kembali.
Begitu sampai di bali bukit, nelayan muda ini tinggalkan istrinya. Telinganya
seperti tidak perduli akan jeritan sang istri yang tiada henti memanggil.
Ketika Soma sampai di kampungnya kembali dilihatnya puluhan bajak tengah
menjarah isi rumah penduduk. Mereka membawa apa saja yang dianggap berharga
termasuk ternak. Bajak-bajak laut ini tampaknya marah sekali tidak menemukan
seorang pendudukpun di perkampungan itu. Padahal sebelumnya mereka sudah berniat
untuk menculik anak gadis dan istri orang. Kemarahan kini ditumpahkan pada
rumah-rumah penduduk yang segera mereka bakar dan hancurkan.
Soma bersembunyi di balik sebtang pohon yang bagian bawahnya penuh dengan semak
belukar. Cincin baja putih dikeluarkan dari saku dan cepat dikenakan ke telunjuk
tangan kanan. Perompak yang terdekat berada sekitar delapan tombak di
seberangnya, tengah melangkah sambil menggiring seekor kambing.
Soma kertakkan rahang. Dia tahu betul kambing itu adalah kambing mertuanya.
Nelayan muda ini gigit bibir sebelah bawah. Suara seperti seruling melengking
tinggi. Tiga cahaya putih melesat dari cincin baja berkepala ular kobra itu.
anggota bajak yang tengah menggiring kambing tidak sempat mengetahui apa yang
terjadi dalam dirinya. Tubuhnya terbanting ke tanah. Dia mati tanpa mengeluarkan
jeritan dengan kepala hancur. Kambing yang barusan dicurinya mengembik tiada
henti dan lari dalam kegelapan malam.
Nelayan muda itu tegak dengan lutut goyah tubuh gemetar serta tengkuk dingin.
Keringat mericik di keningnya. Wajahnya seputih kertas. Seumur hidup dia tak
pernah membunuh manusia. Malam itu dia melakukannya. Dan dia menyaksikan
kematian perompak itu begitu mengerikan. Semula hendak ditinggalkannya tempat
itu dan lari ke bukit saking takutnya. Namun ketika di bagian lain dia
menyaksikan para anggota bajak menghancurkan dan membakar rumah-rumah penduduk,
darahnya terbakar kembali. Soma menyelinap dalam kegelapan. Dua bajak ditemuinya
dekat surau kampung, siap membakar bangunan itu. Soma angkat tangan kanannya,
BASTIAN TITO 14 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
diacungkan lurus-lurus ke arah punggung bajak yang siap melemparkan obor ke atap
surau yang terbuat dari rumbia. Soma gigit bibirnya. Dan suara seruling
melengking. Tiga cahaya putih berkiblat. Bajak itu keluarkan pekikan maut. Tubuhnya
terpental menghantam dinding surau lalu terkapar di tanah tak berkutik lagi.
Bajak yang satu lagi tentu saja kaget bukan kepalang.
"Hai! Kau kenapa"!" tanyanya berseru lalu membungkuk meneliti keadaan kawannya
ini. Mukanya kontan mengerenyit ngeri ketika melihat punggung kawannya yang
berlobang hancur dan darah menyembur! Dia berdiri kembali sambil memandang
berkeliling. Pada saat itulah ada tiga larik cahaya putih menyilaukan menderu ke
arahnya. Cepat dia melompat ke samping, tapi terlambat. Cahaya itu menghantam
lebih cepat, tepat pada keningnya. Separuh kepalanya sebelah atas hancur.
Tubuhnya tergelimpang tanpa nyawa!
Tiga orang kawannya yang kemudian muncul di tempat itu sangat terkejut serta
merta melakukan pemeriksaan. Salah seorang menyuruh kawannya memberi tahu
pemimpin mereka.
"Dia dibokong dari belakang. Punggungnya hancur! Tapi lukanya aneh. Ini bukan
seperti bekas tusukan pisau atau pedang. Mungkin ditusuk dengan tombak
besar.....gila! Siapa yang melakukan."
Bajak yang satu berdiri dengan muka tegang. Tiba-tiba dia mendengar suara aneh.
Seperti tiupan suling yang sangat nyaring. Dia berpaling ke kiri, arah datangnya
suara itu. Justru saat itu pula tiga larik sinar putih menghantam perutnya.
Anggota bajak ini menjerit dan terlipat ke depan. Perutnya ambrol. Darah dan
usus memberurai keluar. Kawannya yang satu lagi berteriak tegang dan melompat.
Dia melihat jelas ada cahaya putih yang menyambar, menghantam perut kawannya.
Namun dia tidak tahu pasti cahaya apa. Dia memandang ke arah kegelapan. Rasa
takut menggerayangi dirinya. Serta merta dia putar tubuh tinggalkan tempat itu.
Namun dia baru lari tiga langkah ketika suara seruling kembali menggema dan
sinar putih menghantam pinggangnya sampai putus!
Soma kepalkan tangan kirinya. Lima bajak laut yang ganas-ganas telah dibunuhnya.
Seperti kesetanan dia menyelinap ke jurusan lain untuk mencari anggota-anggota
bajak lainnya. Siap untuk membunuh mereka dengan kekuatan sakti cincin baja ular
kobra yang ada di jari telunjuk tangan kanannya.
Ketika Boga Damar, pemimpin bajak laut sampai di tempat tersebut bersama dua
orang anak buahnya, membeliak matanya.
"Mereka..... Gila! Mereka mati.... Mereka dibunuh!" teriaknya marah.
Baru saja dia berteriak, di kejauhan terdengar jeritan beberapa kali berturutturut. "Hai! Ada cahaya putih berkelebat di sebelah sana!" seru salah seorang bajak.
"Mungkin sambaran petir.....!" kawannya menduga.
"Jangan ngacok!" sentak Boga Damar, marah dalam keterkejutannya. "Malam ini
memang mendung, tapi tak ada hujan yang akan turun. Lagi pula mana ada peitr
tanpa geledek"!"
Si anak buah terdiam tak berani menyahuti. Namun dalam hatinya tetap saja dia
heran dan bertanya-tanya.
"Dengar..... Ada jeritan lagi! Susul menyusul!" kata bajak satunya lagi.
"Setan alas! Apa yang sebenarnya terjadi!" Boga Damar mendadak menjadi tegang.
Dia memberi isyarat agar dua anak buahnya mengikuti. Ketiganya meninggalkan
empat bajak yang telah menemui kematian itu tanpa melakukan pemeriksaan. Mereka
lari ke jurusan timur kampung, dari arah mana jeritan-jeritan itu tadi terdengar
dan cahaya-cahaya aneh tampak berkiblat.
BASTIAN TITO 15 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Sampai di sebuah lapangan kecil di mana para anggota bajak mengumpulkan barangbarang jarahannya sebelum diangkat ke atas kapal, Boga Damar menyaksikan
pemandangan yang sangat mengejutkan dan hampir tak dapat dipercayainya. Bulu
kuduknya merinding.
Sembilan anak buahnya menggeletak malang melintang di tanah. Mereka menemui ajal
dengan salah satu bagian tubuh atau kepala hancur. Lalu dua orang lagi terlihat
mati dengan cara sama dekat reruntuhan sebuah rumah. Empat lainnya di bawah
pohon dan dua lagi di antara tumpukan barang-barang rampasan.
Rahang menggelembung, pelipis bergerak-gerak dan kedua tangan terkepal serta
merta mendelik Boga Damar membentak. "Siapa yang melakukan ini semua"
Apa yang sebenarnya terjadi"!"
Tentu saja tak seorangpun anak buahnya dapat memberikan jawaban.
"Ada yang tak beres di tempat ini.....!" sentaknya lagi.
"Mungkin......mungkin ada setan atau jin......!"
"Aku tak percaya segala macam setan ataupun jin!" memotong kepala bajak ketika
anak buahnya coba membuka mulut.
"Tapi Boga, kau tahu sendiri. Tak seorang pendudukpun kelihatan di tempat ini.
atau mungkin seorang sakti....."
"Kalau memang ada akan kupatahkan batang lehernya!" tukas Boga Damar garang.
Mendadak terdengar suara melengking.
"Hai! Tiupan seruling itu!" seru salah seorang bajak. "Tadi kudengar berulang
kali sebelum disusul jeritan. Ada cahaya menyambar ke mari......!" bajak itu cepat
melompat ke samping. Tiga larik sinar putih melesat dan di belakang sana seorang
perompak tubuhnya terpental jauh lalu tergelimpang mati dengan dada berlubang
hancur! Boga Damar dan yang lain-lainnya lari memburu namun gerakan mereka tertahan dan
semuanya terpaksa selamatkan diri cerai berai ketika sinar puih aneh kembali
berkiblat dan dua orang di antara mereka terdengar menjerit lalu roboh
tergelimpang. Satu menemui ajal dengan leher hampir putus, satunya lagi merintih
sesaat sambil pegangi perutnya yang memburai lalu kaku tak bergerak lagi!
"Bangsat! Siapa yang melancarkan serangan gelap ini!" rutuk Boga Damar sambil
bertiarap. Namun mulutnya serta merta terkancing dan lidahnya menjadi kaku
ketika anak buahnya yang ikut bertiarap di sebelah kanannya kembali menemui
kematian dengan cara mengerikan, batok kepala hancur disambar tiga larik sinar
putih mengerikan itu!
Boga Damar adalah seorang kepala bajak berhati ganas dan tidak kenal takut.
Membunuh manusia sama mudahnya baginya dengan membalikkan telapak tangan.
Berbagai lawan telah dihadapinya tanpa rasa takut. Tapi saat itu rasa takutnya
tak dapat lagi dikendalikan. Dia tidak tahu dengan lawan atau kekuatan apa
sebenarnya dia tengah berhadapan. Dan musuh tanpa kelihatan seperti itu, mana
mungkin dia menghadapinya.
"Kalian semua lari ke perahu!" kata Boga Damar masih tetap tiarap. "Kembali ke
kapal! Bawa barang rampasan yang bisa dibawa! Lekas!"
Enam anggota bajak yang tadi sama-sama bertiarap di tanah cepat berdiri.
Namun dua di antaranya segera roboh kembali ketika sinar putih aneh tiba-tiba
muncul lagi dan menyambar tubuh mereka. Yang empat terus kabur sementara Boga
Damar yang melihat kejadian itu dan semula hendak merangkak bangun cepat
jatuhkan diri lalu berguling beberapa kali sampai akhirnya dia dapat berlindung
di balik reruntuhan rumah. Dari sini dia memandang tajam menembus kegelapan di
arah BASTIAN TITO
16 WIRO SABLENG
Wiro Sableng 023 Cincin Warisan Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
sederetan pohon waru di ujung timur lapangan. Suara lengkingan aneh seperti
seruling serta sambaran cahaya putih yang menyebar maut itu datangnya dari balik
deretan pohon-pohon waru itu. Kepala bajak ini hunus golok besarnya lalu
berkelebat cepat ke balik rumah-rumah penduduk, melompat ke arah semak belukar
hingga akhirnya dia sampai ke dekat pepohonan waru. Sejak saat dia mulai
melakukan penyelinapan itu sampai akhirnya mencapai deretan pohon-pohon waru
lima anak buahnya telah menemui ajal pula dihantam tiga larik sinar maut.
"Ini pasti biang keparatnya!" serapah Boga Damar ketika dia melihat sesosok
tubuh tegak di balik pohon waru paling ujung kanan sambil mengangkat tangan dan
acungkan jari telunjuk. Dari jari telunjuk inilah kepala bajak itu mendengar ada
suara seruling aneh melengking menusuk telinga yang disusul oleh semburan tiga
larik sinar terang. Lalu di kajauhan sana terdengar suara anak buahnya menjerit
meregang nyawa.
Dengan golok besar di tangan, Boga Damar melompati orang yang tengah melakukan
pembataian itu. Goloknya berdesing, langsung menyambar batang leher!
Seperti diketahui Soma adalah seorang nelayan yang sama sekali tidak memiliki
ilmu kepandaian silat apalagi kesaktian dan tenaga dalam. Namun dengan adanya
cincin keramat baja putih erbentuk kepala ular kobra atau ular sendok itu maka
dia berubah menjadi seorang luar biasa. Matanya dan pendengarannya menjadi
sangat tajam. Karenanya, sebelum Boga Damar membabatkan goloknya, Soma telah
mendengar kedatangan kepala bajak itu. Cepat dia membalikkan tubuh lalu jatuhkan
diri ke tanah ketika golok menyambar, mengenai tempat kosong dan menghantam
pohon waru hingga batang pohon ini hampir terbabat putus.
"Bangsat! Manusia atau jin! Kau tak akan bisa lolos dari golokku!" teriak Boga
Damar. Dia menyergap ke arah Soma. Golok besarnya meluncur lebih dulu.
Senjata ini seperti buntut ikan yang menggelepar, bergetar kian ke mari seolaholah berubah menjadi banyak. Jelas kepala bajak laut ini sengaja mengeluarkan
kepandaiannya memainkan golok karena ingin mencincang Soma saat itu juga.
Melihat golok datang menderu sedemikian rupa, kecut juga hati nelayan muda itu.
tetapi cincin keramat yang ada dalam jari telunjuknya membuat Soma percaya diri
sendiri dan tidak memandang sebelah mata pada lawan. Ujung golok hanya tinggal
tiga jengkal dari kepala Soma ketika nelayan ini acungkan jari telunjuknya ke
arah Boga Damar, lalu menggigit bibirnya kuat-kuat.
Boga Damar seperti mendengar angin puting beliung melabrak kedua telinganya.
Selagi serangan goloknya mengendur karena terkejut dan terpengaruh oleh bunyi
yang nyaring tadi, saat itu pula tiga sinar halus menyilaukan datan menyambar
dari depan. Boga Damar tahu betul, sinar aneh inilah yang telah membunuh lebih
dari dua lusin anak buahnya. Maka kepala bajak ini lemparkan goloknya ke arah
dada Soma. Di saat yang sama serentak dia menghantam dengan tangan kiri.
Ternyata golok Boga Damar tidak cukup ampuh. Senjata ini terpental berantakan
disambar tiga larik sinar putih. Lalu sebelum pukulan tangan kirinya sempat
mengenai Soma, tiga sinar yang keluar dari dua mata dan mulur cincin ular kobra
menghantam mukanya dengan telak. Kepala bajak ini hanya sempat keluarkan pekik
pendek. Tubuhnya mental ke balakang. Ketika tergelimpang di tanah, tubuh itu
tampak tanpa kepala lagi!
Puluhan anggota bajak yang masih hidup menjadi gempar ketika mengetahui pimpinan
mereka telah menemui ajal. Enam orang di antara mereka dengan marah dan kalap,
emmegang berbagai macam senjata segera mengurung dan menyerbu Soma. Namun mereka
semuah hanya menjadi sasaran empuk sambaran tiga larik sinar putih, mati
bergelimpangan dengan badan dan kepala hancur!
BASTIAN TITO 17 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Melihat hal ini anggota bajak yang masih hidup menjadi lumer nyali masing-masing
dan mereka bersirebut cepat lari ke pantai memasuki perahu-perahu kecil.
Soma yang sudah sejak lama mendendam oleh keganasan para bajak itu mengejar
sampai ke tepi pasir. Dari sini, dengan sinar putih yang keluar dari cincin baja
keramat itu dihancurkannya satu persatu perahu-perahu itu hingga tak ada satupun
yang tinggal utuh. Para bajak terjun berhamburan ke dalam laut. Namun mereka
tidak menemukan selamat karena sinar putih yang datang menghantam mereka semua
terjengkang mati dalam air!
BASTIAN TITO 18 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
LIMA Ketika Soma kembali ke balik bukit di ujung kampung, istrinya masih menangis
ditemani oleh kepala kampung bersama istrinya. Begitu Soma datang sang istri
langsung memeluknya.
"Soma......! Dari mana kau"!" Kepala kampung nelayan bertanya.
"Sa.....saya barusan dari kampung kita....."
"Kau mencari mampus Soma! Masih untung kau bisa kembali selamat. Apa yang kau
lakukan di tempat itu....."!"
"Melihat perampok itu mati terbunuh."
"Mati dibunuh" Jangan melantur Soma! Siapa yang membunuh mereka.....?"
"Saya tidak tahu....." sahut Soma sementara penduduk kampung nelayan itu semakin
banyak mengelilingi Soma dan kepala kampung, mereka ikut mendengarkan
pembicaraan. "Perahu-perahu mereka hancur. Saya lihat juga banyak bajak itu yang
menemui ajal di laut. Kapal kayu milik mereka melarikan diri dengan sisa-sisa
bajak yang tidak seberapa jumlahnya....."
Kepala kampung memandang berkeliling pada penduduk yang mengungsi itu.
semua jelas menunjukkan rasa tidak percaya. Soma memegang tangan istrinya. Lalu
berkata "Jika kalian tidak percaya, lihat saja ke kampung. Mayat-mayat perompak
itu harus disingkirkan sebelum menjadi busuk. Aku dan istriku akan kembali ke
kampung...."
Sesaat setelah Soma dan istrinya pergi, kepala kampung kembali memandang
berkeliling. "Bagaimana menurut kalian....?" Tanyanya.
"Kami rasa Soma tidak berdusta....." seorang nelayan menjawab. "Kalau bajak masih
gentayangan di kampung kita masakan ia mau kembali bersama istrinya...."
"Kalau begitu...." Kepala Kampung itu berpikir-pikir sejenak. "Kita kembali.
Aku dan lima orang di atara kalian pergi lebih dahulu. Yang lain-lain mengikuti
agak jauh di belakang. Hingga kalau terjadi apa-apa yang di belakang bisa cepat
menyelamatkan diri...."
Ketika kepala kampung dan lima orang penduduk yang kemudian disusul oleh seluruh
pengungsi itu sampai dan kembali ke kampung mereka, selain sedih melihat rumah
mereka banyak yang dirusak serta dibakari sedang harta benda juga banyak rusak
dan hanyut di laut, penduduk juga heran bercampur gembira menyaksikan puluhan
anggota bajak menemui kematiannya. Gembira karena kini manusia-manusia jahat
penimbul malapetaka itu mendapat balasan dan ganjaran. Heran karena sulit
menerka siapa yang telah melakukan itu semua. Membunuh sekian banyak anggota
bajak laut bahkan pemimpinnya sendiri. Lalu menghancurkan belasan perahu. Di
antara penduduk ada yang menaruh wasangka bahwa Somalah yang melakukan itu
semua. Tetapi tentu saja lebih banyak yang tidak bisa mempercayainya. Soma,
seoerang nelayan muda yang masih harus banyak belajar tentang bagaimana
menangkap ikan dengan segala kesederhanaannya itu, mana mungkin dia mampu
melakukann itu. Seorang diri pula" Ilmu silat dan kesaktian apa yang pernah
dimilikinya"
Sewaktu ditanyai dan didesak terus menerus Soma akhirnya menjawab.
"Ketika saya kembali ke kampung, pemimpin bajak dan anak buahnya itu sudah
bergelimpangan mati. Saya tidak tahu siapa yang membunuh mereka. Mungkin Tuhan
BASTIAN TITO 19 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
telah mengirimkan uluran tanganNya untuk menolong kita yang selama ini selalu
ditimpa bencana...."
Adapun Soma sendiri sejak kejadian itu hampir selalu mengurung diri dalam rumah.
Cincin keramat baja putih senantiasa disimpannya dalam saku celanaya dan
diikatnya erat-erat. Setiap saat peristiwa mala itu seolah-olah terbayang terus
di ruang kepalanya, membuatnya sulit tidur dan sukar makan. Membunuh sekian
puluh manusia menimbulkan kegoncangan hebat dalam jiwa nelayan muda ini. Dia
lebih banyak bermenung dan jarang bicara dengan istrinya sendiri, apalagi dengan
para tetangga. Perobahan sikap tabiat Soma ini tentu saja membuat heran sang istri dan juga
tetangga-tetangga. Hingga mau tak mau kembali penduduk kampung berkesimpulan
bahwa pasti ada hubungan tertentu antara Soma dengan peristiwa yang
menggemparkan malam itu.
Peristiwa tersebut akhirnya tersiar pula ke desa-desa dan kampung-kampung
terdekat. Banyak di antara penduduk yang sengaja datang untuk melihat sendiri
sisa-sisa kejadian itu. dan karena desas-desus yang dipergunjingkan selalu
membawa-bawa nama Soma maka tentu saja banyak orang datang mengunjunginya. Lamalama hal ini membuat nelayan itu merasa sangat terganggu. Selain itu dia
khawatir rahasianya akan terbongkar. Maka setiap hari dia lebih banyak
mengucilkan diri ke dalam rimba belantara di balik bukit. Menjelang malam dia
baru kembali ke rumah.
Apa yang telah terjadi di kampung nelayan itu sampai pula ke telinga seorang
abdi dalam keraton yang dia di Bantul. Bersama beberapa orang sahabatnya abdi
dalem ini mendatangi kampung nelayan guna mencari keterangan lebih jelas. Atas
saran penduduk mereka juga berusaha menemui Soma, tapi nelayan ini telah lebih
dulu melenyapkan diri ke tempat persembunyiannya dalam hutan.
Selama berada dalam tempat persembunyiannya di hutan, setiap saat Soma merenung.
Dengan memiliki cincin keramat dan sakti itu kini dia telah menjadi seorang
berkepandaian tinggi, berkemampuan luar biasa. Kepandaian dan kemampuan seperti
itu mungkin tak satu orang lainpun memilikinya. Bukan saja para adipati atau
tumenggung, atau patih kerajaan, bahkan Sultan sendiripun mungkin tidak
mempunyai kehebatan seperti itu. Kemudian memikir kalau dia jadi nelayan terus
menerus, apa yang bakal didapatnya dalam masa hidup mendatang" Apa salahnya
kalau dia kini berusaha mencari kedudukan di kotaraja, menjadi pasukan pengawal
raja atau kepala pengawal istana. Atau mungkin juga kepala balatentara kerajaan"
Jadi tumenggung atau adipati atau mapatih kerajaan" Membayangkan kedudukan yang
tinggi itu serta kemampuan luar biasa yang dimilikinya, bulatlah tekad Soma
untuk pergi ke kotaraja. Di sana dia kenal seorang tumenggung yang ketika
ayahnya masih hidup mempunyai hubungan baik dengan sang tumenggung.
Malam harinya begitu sampai di rumah Soma segeramengatakan pada istrinya bahwa
besok dia akan berangkat ke ktoaraja. Apa tujuannya sama sekali tidak
diceritakannya pada perempuan itu. Tentu saja sang istri terheran-heran
mendengar maksud suaminya. Namun menyadari bahwa Soma tak bisa dicegah maka sang
istri hanya bisa meminta agar Soma lekas kembali. Yang penting kalau dia
melahirkan beberapa bulan di muka Soma harus ada di sampingnya. Soma berjanji
akan kembali sebelum istrinya melahirkan.
Tumenggung Cokro Buwono tentu saja gembira mendapat kunjungan anak bekas
sahabatnya di masa muda. Namun dia jadi terkejut ketika mendengar permintaan
Soma agar dia membantu mendapatkan pekerjaan sebagai kepala pengawal istana di
kotaraja. BASTIAN TITO 20 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Soma," kata sang tumenggung. "Hidup dan bekerja sebagai nelayan hampir tidak
ada bedanya dengan seorang anggota pasukan keraton. Malah bagiku yang sudah tua
ini jika harus memilih, aku akan lebih suka jadi soerang nelayan. Hidup lebih
tenang, dekat dengan alam ciptaan Tuhan dan tidak memiliki tanggung jawab yang
besar....."
Ketika Soma mendesak agar Cokro Buwono membantunya mendapatkan kedudukan yang
diinginkannya itu, sebenarnya tumenggung ini ingin mengatakan bahwa untuk jadi
kepala pengawal, jangankan kepala pengawal, kepala regu pengawal sajapun sangat
berat ujiannya. Dan dia tahu sebagai seorang nelayan di sebuah kampung pantai
selatan Soma tidak memiliki kepandaian apa-apa yang dapat dijadikan dasar
keprajuritan. Dan jadi kepala pengawal bukan main-main karena harus
mempertanggung jawabkan keselamatan raja beserta keluarganya.
"Jika kau memang sudah tidak suka jadi nelayan, dan ingin merubah jalan hidup,
aku bisa memberikan pekerjaan padamu di sini Soma. Asalkan jangan jadi
perajurit....."
"Terima kasih tumenggung. Saya tak ingin cari pekerjaan lain, selain jabatan
seorang perwira di istana. Kalau tumenggung tak bisa menolong tak jadi apa.
Hanya bisakah tumenggung membuat sepucuk surat untuk memperkenalkan saya pada
mapatih kerajaan.....?"
Tentu saja Cokro Buwono tidak mau meluluskan permintaan Soma itu. dia tahu siapa
adanya Soma dan tak mau mendapat malu mengirimkan soerang pemuda yang mungkin
bisa dianggap "kurang waras" menemui patih kerajaan.
"Kau pulang sajalah Soma. Aku akan memikirkan permintaanmu itu dan memberi tahu
kalau memang ada kemungkinan satu jabatan bagimu dalam lingkungan istana...." Kata
Cokro Buwono akhirnya.
"Saya tahu....." kata Soma dengan nada kecewa sambil tundukkan kepala.
"Saya memang tidak memiliki kepandaian apa-apa untuk jadi bekal seorang
perajurit. Tetapi jika saja tumenggung dapat memberikan satu ujian, niscaya saya akan dapat
melakukannya...."
"Ujian untuk jadi seorang perajurit, apalagi yang bertugas dalam lingkungan
istana tidak ringan. Salah-salah bisa membawa celaka diri sendiri bahkan
kematian!"
"Apapun akibatnya akan saya tanggung," jawab Soma dengan masih terus menundukkan
kepala. Tumenggung Cokro Buwono tak tahu apa lagi yang harus diucapkannya.
"Apakah kau sanggup berkelahi empat puluh jurus melawan perwira penguji"
Apakah kau sanggup menunggang kuda dan membalap binatang ini ke puncak bukit
sambil melemparkan tombak ke sasaran yang sudah ditentukan dan harus kembali ke
kaki bukit pada hitungan ke seratus" Apakah kau berani diuji mengahadapi seekor
raja hutan.....?"
"Menurut hemat saya yang bodoh ini, cara menguji seorang kesatria seperti itu
sudah kuno......"
Terbelalak Tumenggung Cokro Buwono mendengar ucapan Soma itu. "Lantas ujian mana
yang menurutmu lebih pantas"!" Tumenggung ini mulai kehilangan kesabaran.
Apalagi saat itu dia harus menghadiri satu pertemuan penting.
"Mohon maafkan saya tumenggung," ujar Soma yang melihat kekesalan orang. "Kalau
saya tidak salah dengar saat ini para pemberontak yang datang dari utara semakin
menunjukkan gerakan-gerakan yang berbahaya. Terlebih setelah mereka merasa
mendapat dukungan dari beberapa adipati di timur. Bagaimana kalau menghancurkan
sarang-sarang pemberontak itu dipergunakan sebagai batu ujian bagi saya......?"
BASTIAN TITO 21 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Maksudmu kau akan memimpin sejumlah pasukan untuk menumpas mereka....?"
Soma menggeleng. "Saya hanya perlu petunjuk di mana letak sarang mereka, siapasiapa pemimpin mereka. Lalu saya akan menumpasnya seorang diri!"
Tumenggung Cokor Buwono tertawa gelak-gelak sampai kedua matanya berair. Ingin
sekali dia menampar mulut pemuda yang lancang itu. Kalau tidak ingat dia adalah
putera almarhum sahabatnya di masa muda pasti itu sudah tadi-tadi dilakukannya.
Apa yang diucapkan Soma tentu saja sangat menghina dan merendahkan kewibawaan
apra perwira istana, para adipati dan tumenggung dan mapatih kerajaan!
Empat Setan Goa Mayat 1 Pendekar Mata Keranjang 7 Persekutuan Para Iblis Manusia Dari Pusat Bumi 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama