Ceritasilat Novel Online

Lima Iblis Dari Nangking 1

Wiro Sableng 017 Lima Iblis Dari Nangking Bagian 1


1 DI BAWAH pemerintahan Cu Goan Ciang yang
berhasil mengusir kaum penjajah Mongol didirikanlah
kerajaan Tiongkok baru yang diberi nama Kerajaan
Beng. Sebagai raja Cu Goan Ciang lebih dikenal
dengan sebutan Kaisar Thaycu.
Ibukota kerajaan yang dulu terletak di Peking
(Ibukota Utara) dipindahkan ke Nanking (Ibukota
Selatan). Hal ini dimaksudkan untuk mencegah segala
kemungkinan serangan tak terduga dari bangsa
Mongol. Di samping itu sejumlah balatentara besar
ditempatkan di Peking dan sebagai panglima tertinggi
di Peking merangkap wakil langsung Kaisar di
Nanking, oleh Kaisar Thaycu diangkatlah putera
kandungnya yang bernama Cu Yung Lo.
Sebelum meninggal dunia Kaisar Thaycu yang bertahta di istana Nanking mengangkat
Hui Ti sebagai penggantinya. Hui Ti adalah cucu yang amat disayangi Kaisar,
merupakan putera dari anak sulungnya, jadi adalah keponakan langsung Pangeran
Yung Lo. Pengangkatan Hui Ti sebagai Kaisar baru inilah yang kemudian menjadi pangkal
silang sengketa dan malapetaka dalam Kerajaan Beng. Sebagai anak kandung atau
putera Kaisar Thaycu, Pangeran Yung Lo merasa lebih berhak untuk menjadi Kaisar
dibanding dengan Hui Ti yang hanya seorang cucu. Hal ini kemudian berubah
menjadi pertentangan dan perpecahan dan pada puncaknya mengakibatkan perang
saudara yang hebat.
Pangeran Yung Lo dengan sejumlah balatentara besar menyerbu Nanking. Peperangan
tak dapat dihindar dan peperangan ini bertambah dahsyat karena tidak saja
melibatkan balatentara kedua belah pihak tetapi juga melibatkan banyak tokohtokoh dunia kangouw (persilatan) Pihak Selatan dengan mati-matian berusaha
mempertahankan diri dari serbuan yang hebat itu.
Namun segala upaya sia-sia belaka. Balatentara Pangeran Yung Lo laksana air bah.
Selatan kalah, Nanking jatuh dan Kaisar Hui Ti tertawan hidup-hidup. Dia
dijebloskan ke dalam penjara, masih untung tidak dijatuhi hukuman gantung atau
pancung. Meskipun kemudian perang sudah lama berakhir, tetapi keamanan negeri tidak
keseluruhannya dapat ditanggulangi. Di mana-mana sisa-sisa pasukan yang masih
setia pada Kaisar Hui Ti mengadakan kekacauan, menimbulkan kerusuhan-kerusuhan,
perampokan dan pembunuhan. Pos-pos tentara yang tak begitu kuat dan terutama
yang terletak di tempat terpencil menjadi korban penyerbuan.
Dalam suasana Kerajaan Beng seperti scat itulah terjalinnya kisah silat ini.
*** SUATU HARI, sebulan setelah Kaisar Hui Ti ditumbangkan, serombongan pasukan
Kerajaan di bawah pimpinan seorang perwira muda berkepandaian tinggi tampak
bergerak meninggalkan Nanking. Mereka tengah mengawal sebuah kereta berisi emas
milik bekas Kaisar Hui Ti untuk di bawa ke Peking atas perintah Kaisar Yung Lo.
Dua hari berlalu. Rombongan telah jauh meninggalkan Nanking namun Peking yang
menjadi tujuan masih amat jauh di sebelah Utara.
Karena matahari tidak bersinar terlalu terik dan angin sejuk bertiup sepanjang
perjalanan, kusir kereta memegang tali les sambil bernyanyi kecil. Di sebelahnya
duduk seorang, pengawal berusia agak lanjut tetapi memiliki ilmu silat bukan
sembarangan, bahkan kepandaiannya setingkat lebih tinggi dari perwira muda yang
menjadi pimpinan rombongan itu. Pengawal tua ini bernama Thian Gay dan dikenal
dengan julukan Thian Gay Si Tangan Baja.
Di sebelah depan kereta yang membawa emas dan juga di sebelah belakang terdapat
masing-masing enam orang pengawal hingga keseluruhan rombongan berjumlah 15
orang. Karena mereka membawa emas yang tak ternilai harganya maka keberangkatan
rombongan ini sangat dirahasiakan.
Sampai hari ke tiga perjalanan berjalan lancar tanpa suatu halangan. Akan tetapi
pada hari ke empat, sewaktu rombongan mengambil jalan memotong terdekat memasuki
sebuah hutan di kaki bukit terjadilah hal yang mengejutkan. Jalan di hadapan
perwira muda pemimpin rombongan tiba-tiba saja runtuh amblas! Ternyata di situ
telah digali sebuah lobang besar yang diganjal dengan ranting-ranting kecil dan
kemudian ditutup kembali baik-baik dengan tanah serta dedaunan.
Tak ampun lagi kuda yang ditunggangi sang perwira, termasuk enam pengawal di
belakangnya terperosok dan terjebak masuk ke dalam lobang yang dalamnya hampir
lima kaki. Jika enam pengawal berseru kaget kalang kabut maka perwira muda tadi
masih dapat menguasai diri. Dengan sikap tenang tapi gesit danmengandalkan
gingkangnya (ilmu meringankan tubuh) yang lihay dia melesat dari punggung kuda.
Sebelum kedua kakinya menginjak tanah, tiba-tiba telinganya menangkap suara
berdesing. Menyusul kemudian terdengar jerit kematian yang mengerikan!
Enam pengawal yang barusan berhamburan masuk lobang bersama beberapa ekor kuda
tunggangan mereka, menggapai-gapai mencoba keluar dari lobang tersebut. Ada yang
patah tulang bahu, tulang kaki atau tangan. Dalam keadaan seperti itu, belum
mampu mereka keluar dari lobang, selusin golok terbang menderu, menancap di
dada, ada yang di leher atau perut, bahkan ada yang menancap di kening, membuat
ke enam pengawal itu roboh, mengerang sebentar lalu mati!
Kuda-kuda yang meringkik hingar bingar juga ikut menjadi korban golok-golok
terbang yang ganas itu.
Akan keadaan kereta pembawa emas, bila saja kusir tidak cepat menahan tali
kekang, pastilah kereta itu akan ikut menghambur terperosok masuk ke dalam
lobang. Orang tua di samping kusir kelihatan kerenyitkan kulit kening. Lalu dia
keluarkan seruan keras.
"Semua siap sedia! Ada tangan-tangan jahat yang menjebak kita di tempat ini!"
Selesai berteriak tangan kanannya lalu dihantamkan ke atas, ke arah sebatang
pohon besar. "Bangsat yang berani berlaku kurang ajar tunjukkan tampang-tampang kalian!"
Serangkum angin menderu keluar dari tangan Thian Gay Si Tangan Baja dan krak!
Batang pohon di sebelah atas patah. Cabang dan ranting-ranting serta dedaunan
melayang gugur. Detik itu pula terdengar suara tertawa bekakakan yang
menggetarkan seantero hutan dan membuat bergemetarnya mereka yang mendengar.
Lima sosok tubuh berkelebat dari atas pohon yang tumbang dan serentak dengan itu
enam batang golok terbang bersiuran ke arah Thian Gay!
Karena tidak menduga akan mendapat serangan mendadak begitu rupa sedangkan dia
baru saja melepas pukulan, Thian Gay menjadi cukup kaget. Dua golok terbang
dihantamnya dengan tangan kanan. Begitu tangan kanannya beradu dengan golokgolok olah dua golok tadi melabrak baja dan patah. Tak percuma dia mendapat
julukan Si Tangan Baja.
Dengan menjatuhkan diri ke samping dua buah golok lainnya berhasil dielakkan.
Golok kelima dapat ditangkis dengan tendangan tepat pada gagang golok. Namun
serangan golok ke enam agak terlambat dikelitnya. Bret! Bagian tajam golok
merobek bahu pakaiannya, melukai daging tubuh di bagian itu. Paras Thian Gay
berubah. Jika dia masih dapat dihantam oleh senjata lawan yang keenam sudah
dapat dipastikannya bahwa penyerang bukan manusia tingkat rendahan.
Mengingat tanggung jawabnya dalam pengawalan kereta Thian Gay tak mau berlaku
ayal. Dia melirik pada perwira muda di sampingnya yang saat itu sudah cabut
pedang dan tengah menghadapi lima manusia yang baru saja melayang turun dari
atas pohon. Kelimanya berjubah hitam. Empat berambut gondrong awut-awutan Sedang
yang kelima berkepala botak berkilat. Tampang mereka buas seperti singa lapar,
penuh berewok dan menyeramkan. Pandangan mata mereka membersitkan kegarangan,
haus darah dan maut!
Lelaki gondrong yang tegak paling ujung sebelah kanan keluarkan suara tertawa.
Tubuhnya tinggi kurus. Seputar pinggang jubahnya melilit belasan golok terbang.
Bila dia bergerak senjata-senjata itu bergesekan dan mengeluarkan suara
gemerisik menggidikkan. Manusia ini dikenal dengan panggilan Gui-kun Kui-to
alias Gui Kun Si Golok Iblis. Dialah tadi yang telah melemparkan golok-golok
terbang merenggut nyawa enam pengawal dan juga menyerang Thian Gay.
Di sebelah Gui-kun Kui-to berdiri kambratnya yang memiliki rambut merah gondrong
paling panjang menyela sampai ke punggung. Rambut ini bukan sembarang rambut
karena bisa dipergunakan sebagai senjata maut! Rambutnya inilah yang membuat dia
mendapat julukan Iblis Rambut Merah atau Ang-mo It-kui.
Orang yang ketiga berdiri sambil rangkapkan tangan di depan dada. Kepalanya
botak licin dan berkilat. Tubuhnya pendek gemuk. Dia terkenal dengan panggilan
Tiat-thou-kui atau Iblis Kepala Besi. Kalau kawannya tadi mengandalkan rambut
sebagai senjata maka yang satu ini mengandalkan kepalanya sebagai senjata maut.
Boleh dikatakan sebagian besar musuhnya menemui kematian di tanduk atau disodok
dengan kepalanya yang botak keras laksana bola besi itu!
Manusia berjubah hitam yang keempat tegak dengan sikap angker, lebih seram dari
yang lain-lainnya. Tubuhnya paling tinggi dan paling besar. Dialah yang dikenal
dengan gelaran Nan-king Kui-ong atau Raja Iblis dari Nanking. Dan dialah yang
menjadi pimpinan dari semua manusia-manusia seram itu.
Orang terakhir berdiri di ujung kiri. Dia bertubuh katai. Sepuluh kuku tangannya
panjang-panjang dan berwarna hitam. Inilah Tui-hun Hui-mo alias Iblis Pengejar
Maut! Thian Gay Si Tangan Baja memandang dengan mata terpentang lebar pada kelima
manusia berjubah itu. Dia berusaha menekan debaran jantungnya.
"Nan-king Ngo-kui ... " desisnya membisiki perwira muda yang tegak di
sebelahnya. Mendengar bisikan itu berubahlan paras si perwira yang bernama Ex Cu Liong.
Sedang enam pengawal lainnya begitu mendengar siapa manusia-manusia yang ada di
depan mereka jadi bergetar lutut masing-masing dan paras mereka laksana kain
kafan. Siapa yang tidak kenal dengan Nan-king Ngo-kui atau Lima Iblis dari Nanking.
Lima datuk iblis golongan hitam yang berkepandaian tinggi. Pada masa perang
saudara dulu mereka dikenal sebagai pembantu utama Kaisar Hui Ti. Begitu perang
berakhir dan Hui Ti ditawan, kelimanya melenyapkan diri. Tahu-tahu kini muncul
dalam keadaan begitu rupa. Melihat cara mereka muncul dengan menyebar maut,
jelas kelimanya mempunyai maksud jahat dan keji.
Diam-diam Thian Gay mengeluh. Meskipun perwira Cu Liong berkepandaian tidak
rendah akan tetapi menghadapi lima manusia iblis itu sama saja dengan usaha
hendak lolos dari lubang jarum. Jago tua Thian Gay sudah mencium maut
kematiannya sendiri!
*** 2 KALAU tadi perwira muda Cu Liong hendak naik pitam melihat kematian enam anak
buahnya, kini setelah mengetahui siapa adanya lawan yang dihadapi mau tak mau
dia harus menekan amarah dan tidak boleh bertindak gegabah. Cu Liong membuka
mulut. "Sungguh tidak disangka hari ini kami akan bertemu dengan Nan-king Ngo-Kui yang
terkenal. Mengingat perang telah lama usai dan pihak Pemerintah juga tidak pernah
mengutik-utik diri ngo-wi locianpwe sekalian meskipun dulu diketahui ngo-wi
membantu pemberontak Hui Ti, maka adalah menjadi tanda tanya bagi kami mengapa
hari ini begitu muncul ngo-wi langsung menjatuhkan tangan maut pada anak-anak
buahku yang tidak berdosa?"
Gui-kun Kui-to, orang ke lima dalam urutan lima manusia iblis itu batuk-batuk
beberapa kali lalu menyahuti.
"Perwira anjing peliharaan Yung Lo! Kau dengarlah baik-baik. Perang memang sudah
lama sele-sai tetapi akibatnya masih tetap akan terasa, malah mungkin lebih
hebat dari peperangan itu sendiri!
Kau menyebut Kaisar Hui Ti sebagai pemberontak. Kotor dan lancang sekali
mulutmu. Kaisar Thaycu sendiri yang mengangkatnya untuk menduduki tahta kerajaan
Beng. Dan si Yung Lo yang temahak busuk itulah yang telah melakukan
pengkhianatan, memberontak! Sekarang kalian sebagai kaki tangan Yung Lo keparat
itu boleh merasa menang. Tapi ingat, akan datang harinya kalian akan menerima
pembalasan!"
Merah paras perwira Cu Liong yang dimaki anjing.
"Memandang nama besar ngo-wi sekalian aku masih mau memberi maaf atas kata-kata
yang bersifat menghina diriku. Tapi penghinaan kurang ajar terhadap Kaisar Yung
Lo benar-benar tak bisa diberi ampun!"
"Oh begitu?" ujar Gui-kun Kui-to.
Si botak Tiat-thou-kui menimpali. "Kalau tak bisa diberi ampun, lalu apakah kau
akan menangkap kami berlima?" Habis bertanya begitu si botak lantas tertawa
mengejek. "Rasanya belum terlambat bagi kalian berlima untuk kembali ke jalan benar. Bila
kalian bersedia ikut ke Kotaraja menghadap Kaisar Yung Lo, aku bersedia
memintakan ampun bagi kalian dan bukan mustahil Kaisar mau mengambil kaliankalian sebagai pembantu-pembantunya... "
"Dijadikan anjing peliharaannya seperti dirimu?" tukas Tiat-thou-kui pula dan
bersama kawan-kawannya dia tertawa gelak-gelak.
Thian Gay Si Tangan Baja yang sejak tadi bungkam mendehem beberapa kali lalu
berkata, "Memang tak mungkin bagi kami memaksa ngo-wi ikut ke Kotaraja. Sebaiknya lupakan
saja apa yang barusan kita perbincangkan dan sekarang masing-masing kita sama
meninggalkan tempat ini dengan aman."
Cu Liong hendak membuka mulut membantah ucapan Thian Gay itu. Mana mungkin
kematian enam anak buahnya dapat dilupakan begitu saja. Bagaimana
pertanggunganjawabnya nanti terhadap atasannya di Kotaraja" Namun ketika melihat
isyarat mata yang diberikan Thian Gay terpaksalah perwira muda ini membatalkan
niatnya. "Tua bangka Thian Gay, kau memang pandai bicara," berkata Nan-king Kui-ong,
pentolan kepala lima manusia iblis itu. "Tetapi kenapa kau dan orang-orangmu
buru-buru hendak pergi?"
Saat itu Thian Gay sudah membalikkan diri melangkah mendekati kereta. Langkahnya
tertahan. Dalam batin dia bertanya apakah manusia-manusia iblis itu sudah mengetahui apa
isi kereta" Di dengarnya suara Nan-king Kui-ong kembali, "Bagus kalau kau mau
melupakan apa yang telah terjadi.
Sekarang bagaimana kalau kau dan perwira muda ini masuk saja ke pihak kami"!"
"Siapa sudi!" bentak Cu Liong dengan keras.
Sebaliknya Thian Gay menjawab dengan bijaksana. "Tawaranmu itu biarlah
kupertimbangkan dulu. Nanti kukirim orang untuk menemui kalian berlima."
"Eh, mana bisa begitu aturannya," kata Ang-mo It-kui, orang keempat dari Lima
Iblis. "Tanya sekarang harus jawab sekarang!"
Thian Gay jadi serba salah. "Maaf, kalau kalian keliwat memaksa, mana
mungkin ... "
Ang-mo It-kui berpaling pada Nan-king Kui-ong. "Kalau begitu kita tak perlu
bicara panjang lebar lagi dengan cecunguk-cecunguk ini!"
Nan-king Kui-ong menyeringai lalu mengangguk dan berkata:
"Bunuh mereka. Semua!"
Maka Ang-mo It-kui lantas maju menerjang Cu Liong sedang Gui-kun Kui-to menyerbu
ke arah Thian Gay Si Tangan Baja.
"Hai apakah kalian tidak akan membantu tuan-tuan besar kalian?" berteriak Tui
hun Hui mo pada enam pengawal yang masih tegak tertegun di depan kereta.
Para pengawal mengerti kalau mereka tak bakal hidup lama. Memikir sampai di situ
rasanya saat itu mereka mau ambil langkah seribu. Namun mengingat tugas dan
pengabdian terhadap Kaisar, keenamnya memutuskan untuk cabut senjata dan
bergerak maju membantu Cu Liong serta Thian Gay.
Sambil tertawa mengekeh Tui-hun Hui-mo jentikkan kuku-kuku jarinya yang panjang
dan berwarna hitam. Lima pengawal menjerit lalu roboh bergelimpangan kena
sambaran lima larik sinar hitam yang keluar dari ujung-ujung kuku Tui-hun Hui-mo
alias Iblis Pengejar Maut. Pengawal yang keenam bernasib lebih buruk. Tubuhnya
mencelat dimakan tendangan manusia iblis itu hingga dadanya hancur. Sementara
itu perkelahian antara Gui-kun Kui-to Si Golok Iblis berkecamuk melawan Thian
Gay dengan hebatnya. Satu kali lengan mereka saling beradu keras. Thian Gay Si
Tangan Baja tersurut empat langkah sedang Gui-kun Kui-to terpental tiga langkah
dan lengannya terasa seperti hancur. Daging lengan di bagian yang beradu
kelihatan membengkak merah kebiruan.
Nyatanya julukan Si Tangan Baja yang dimiliki Thian Gay bukan julukan kosong.
Pukulannya datang bertubi-tubi membuat Gui-kun Kui-to jago kelima dari Nan-king
Ngo-kui harus mengeluarkan kegesitannya berkelebat kian kemari untuk mengelakkan
serangan lawan. Menangkis kini dia tak berani. Sekali salah satu bagian tubuhnya
kena dihantam tangan lawan pasti celaka.
Setelah dua puluh jurus masih saja dia menjadi bulan-bulanan serangan lawan,
Gui-kun Kui-to jadi penasaran. Tanpa malu-malu dia menghunus golok besar yang
terselip di pinggang kirinya. Sekali dia memutar senjata itu, anginnya saja
membuat Thian Gay harus bertindak waspada.
Dengan golok di tangan tampaknya Gui-kun Kui-to berhasil menahan serangan tangan


Wiro Sableng 017 Lima Iblis Dari Nangking di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kosong lawan. Merasa mulai berada di atas angin manusia iblis ini lancarkan
serangan-serangan ganas.
Namun satu kali sewaktu tubuhnya kehilangan keseimbangan karena begitu bernafsu
membacok dan ternyata hanya menghantam tempat kosong, dari samping Thian Gay
memukul badan golok hingga senjata itu terlepas mental dan patah dua!
Gui-kun Kui-to bersurut mundur.
Melihat hal ini Nan-king Kui-ong segera berteriak, "Tiat-thou-kui! Kau bantulah
Gui Kun!" Tiat-thou-kui, orang ketiga dari Nan-king Ngo-kui yang berkepala botak itu
menggerang. Dia usap-usap botaknya sambil bergerak memasuki kalangan
perkelahian. Di saat yang sama Gui-kun Kui-to kembali maju. Dan kini terjadilah
perkelahian dua lawan satu. Dikeroyok begitu rupa mula-mula Thian Gay bisa
bertahan beberapa jurus. Namun kemudian dia mulai tampak terdesak.
Selain memiliki pukulan-pukulan tangan kosong yang deras Iblis Kepala Besi itu
ternyata amat berbahaya kepalanya yang botak. Thian Gay sudah pasang tekad.
Kalaupun dia menemui ajal di tangan pengeroyok, paling tidak salah satu lawannya
harus ikut mati bersamanya. Namun tekadnya itu sama sekali tidak menjadi
kenyataan. Karena beberapa saat kemudian, dalam satu jurus yang hebat, selagi
dia berusaha mengelakkan pukulan dan tendangan Gui-kun Kui-to, tahu-tahu dari
samping Tiat-thou-kui kirimkan satu serangan ganas. Kepalanya yang lebih keras
dari besi melesat ke dada Thian Gay. Jago Kaisar ini berusaha mengelak sambil
memukul kepala lawan dengan tangan kanannya. Dia begitu yakin bahwa tangannya
yang atos akan sanggup menghancurkan kepala lawan.
Mana mungkin besi bisa menang lawan baja!
Tetapi sesaat lagi ubun-ubun Tiat-thou-kui akan kena digeprak, seperti seekor
ular kobra tahu-tahu kepala manusia iblis itu melesat ke bawah, menyelusup
menghantam perut Thian Gay.
Thian Gay Si Tangan Baja terdengar menjerit. Tubuhnya mencelat jauh. Terhampar
di tanah tanpa bergerak dan tak bernyawa lagi. Mati dengan perut pecah!
Sambil bersihkan darah yang mengotori kepala botaknya Tiat thou kui tertawa
gelak-gelak. Sementara itu perkelahian antara Iblis Rambut Merah alias Ang-mo It-kui melawan
perwira muda Cu Liong telah memasuki jurus ke 29. Meski sang perwira memegang
pedang dan mengurung lawan dengan serangan menderu-deru namun sebegitu jauh
pedangnya masih belum mampu menyentuh tubuh lawan. Sebaliknya setiap kali Ang-mo
It-kui menggoyangkan rambutnya maka menghamburlah angin serangan yang berbahaya
dan rambut panjang manusia iblis ini seolah-olah berubah menjadi pedang yang
memapas atau menusuk dan membuat Cu Liong terkesiap.
"Ang-mo It-kui!" terdengar seruan Nan-king Kui-ong, pimpinan dari lima manusia
iblis itu. "Jangan beri malu nama besar Nan-king Ngo-kui. Masakan menghadapi cacing tanah
yang masih ingusan begitu saja kau tak sanggup membereskannya dengan cepat?"
Mendengar teguran itu Ang-mo It-kui menjawab, "Harap maafkan pangcu. Bukan
maksudku untuk main-main. Tapi tubuh ini sudah lama tidak bergerak badan. Aku
ingin mencari sedikit kesegaran. Tapi baiklah. Kau lihatlah ini!" (pangcu =
ketua/pemimpin) Habis berkata begitu Ang-mo It-kui mengeluarkan suara tertawa
aneh. Kepalanya digoyangkan.
Sebagian rambutnya yang menyela bahu melesat ke depan membelit pedang Cu Liong
yang datang menyambar. Perwira Kerajaan ini coba menarik pedangnya. Dia jadi
terkejut. Karena semakin ditarik, semakin kuat libatan rambut merah itu!
Ang-mo It-kui menyentakkan rambutnya. Cu Liong berusaha mempertahankan pedang.
Tapi dia kalah kuat. Tubuhnya terbetot ke depan. Detik itu pula gerombolan
rambut yang lain dari Ang-mo It-kui menyambar ke depan, menghantam tepat kening
perwira muda itu.
Cu Liong hanya dapat keluarkan rintihan pendek. Di keningnya kelihatan lobang
besar yang mengeluarkan darah dari kepalanya yang rengkah!
*** 3 BUKIT kecil itu terletak dua hari perjalanan kuda dari Hankouw. Di sebuah
peladangan gandum yang subur seorang lelaki berusia 40 tahun sibuk menyiapkan
hasil ladangnya karena dua hari di muka seorang pembeli dari Hankouw bakal
datang memborong seluruh gandumnya.
Di tepi ladang seorang anak lelaki berumur 8 tahun asyik membuat puput dari
gulungan daun kelapa. Dia adalah Sun Bi anak pemilik ladang gandum itu sedang
sang ayah adalah Ki Hok Bun.
Tiba-tiba Hok Bun menghentikan pekerjaannya. Dia berdiri tenang-tenang. Sepasang
telinganya yang tajam mendengar derap kaki kuda di kejauhan. Dia berpaling ke
arah bukit. Di lereng tampak lima orang penunggang kuda bergerak menuruni bukit,
diikuti oleh tiga ekor kuda yang membawa barang.
"Ada orang datang ayah," kata Sun Bi seraya berlari mendapatkan ayahnya.
Ki Hok Bun mengangguk. Hatinya tiba-tiba saja merasa tidak enak. Makin dekat
rombongan ke lima orang itu makin tidak enak perasaannya. Kelima penunggang kuda
berseragam jubah hitam.
Di hadapan rumah Ki Hok Bun lima penunggang kuda berhenti dan turun dari kuda
masing-masing. Ingat akan istrinya yang ada di rumah. Ki Hok Bun cepat-cepat
keluar dari balik kerimbunan pohon-pohon gandum. Sun Bi berlari kecil
mengikutinya dari belakang.
Sepuluh langkah dari langkan rumah, orang berjubah hitam yang tubuhnya paling
tinggi dan paling besar mengangkat kedua tangannya, tertawa bergelak dan
berseru, "Hok Bun ciangkun!"
Sesaat Ki Hok Bun tertegun dan kaget. Sudah sekian lama tak seorang pun pernah
lagi memanggilnya dengan sebutan ciangkun itu. Sebuah sebutan terhormat yang
hanya diberikan pada perwira tinggi Kaisar. Dan kini ada orang yang memanggilnya
dengan sebutan itu. Namun ketika dia mengenali siapa adanya si tinggi besar itu
maka diapun berseru gembira.
"Bu ceng enghiong! Kukira siapa. Sungguh pertemuan yang tidak disangka!"
Keduanya kemudian saling rangkul.
Ki Hok Bun lalu berpaling pada empat orang berjubah lainnya dansatu demi satu
mereka merangkul pemilik ladang gandum itu.
"Lima sahabat lama berada di sini. Benar-benar membuat aku gembira."
Karena suara ribut-ribut di luar, The Cun Giok, istri Ki Hok Bun meninggalkan
masakannya di dapur dan menjenguk keluar.
"Ini anak ciangkun ...?" orang berjubah tinggi besar yang bukan lain adalah Nanking Kui-ong bertanya sambil memandang pada Sun Bi.
"Betul."
"Dan gadis itu ... ?" lelaki berambut merah Ang-mo It-kui menunjuk ke arah
pintu. Mendengar disebutnya "gadis" yang lain-lain ikut berpaling.
"Dia istriku," menerangkan Ki Hok Bun. "Waktu perang ibunya Sun Bi meninggal
dunia. Hidup sendirian di peladangan begini sepi sekali. Aku lalu mencari
pengganti ibunya Sun Bi."
Bola mata lima manusia iblis itu bersinar-sinar seolah-olah hendak menelanjangi
sekujur tubuh Cun Giok. Perempuan yang cantik jelita yang tadinya mereka sangka
adalah seorang gadis itu ternyata adalah istrinya Hok Bun.
Nan-king Kui-ong basahi bibir dengan ujung lidah lalu berkata,
"Ah, sungguh nasibmu jauh lebih beruntung dari kami, ciangkun. Kau kini hidup
tenteram, punya anak, punya ladang luas dan punya istri muda cantik sekali!"
Kui-ong basahi bibirnya kembali dengan uiung lidah dantenggorokannya tampak
turun naik. Diam-diam Hok Bun merasa tidak senang melihat sikap dan cara memandang kelima
orang itu terhadap istrinya.
Cepat-cepat dia berkata, "Cun Giok masuklah. Hidangkan anggur harum. Lalu atur
meja. Sahabatsahabatku ini tentu dahaga dan lapar."
Cun Giok segera masuk ke dalam sementara Hok Bun mempersilahkan kelima orang itu
masuk ke rumah danmengambil tempat duduk. Sambil berkipas-kipas sesekali Nanking Kui-ong yang nama aslinya adalah Bu Ceng melirik ke ruang dalam mengintai
istri Hok Bun. "Kau beruntung sekali ciangkun. Beruntung sekali ... " ujar Nanking Kui-ong. Hok Bun tersenyum. "Antara kita tak ada lagi ikatan atau hubungan ketentaraan.
Karenanya tak usah menyebutku dengan panggilan ciangkun itu ... "
"Ah, kau terlalu merendah. Kau tahu dalam waktu singkat kau akan dikembalikan
pada jabatan lamamu sebagai perwira tinggi. Bahkan mungkin sebagai seorang
jenderal. Dan orang-orang kembali akan memanggilmu dengan sebutan ciangkun. Kau
tak usah sungkan-sungkan. Bukankah begitu sahabatku?"
Empat orang yang ditanyai sama mengangguk menanggapi ucapan Nan-king Kui-ong
itu. "Bu Ceng enghiong," kata Hok Bun, "kulihat kau habis mengadakan perjalanan jauh
bersama teman-teman. Di luar sana ada tiga kuda membawa peti-peti besar. Apa isi
peti-peti itu kalau aku boleh tahu?"
"Begini ciangkun. Eh, kalau kau tak sudi dengan sebutan itu bagaimana jika kami
panggil dengan sebutan twako saja?" yang berkata adalah si gundul Tiat-thou-kui.
Twako artinya kakak dan memang di antara mereka Hok Bun berusia paling tua.
"Kami berlima beberapa hari lalu telah menghadang anjing-anjing Kaisar Yung Lo
di luar kota Nanking. Memang sedang hoki, rombongan anjing Kaisar itu ternyata
membawa sebuah kereta berisi tiga peti emas. Semua anggota rombongan kami bunuh.
Dan kini tiga peti emas itu menjadi milik kita bersama!"
"Kita?" ujar Hok Bun tak mengerti. "Kita siapa maksudmu?"
"Ya kita! Kami dan kau twako!" yang menjawab adalah Ang-mo It-kui.
Hok Bun berpaling pada Bu Ceng alias Nan-king Kui-ong. Sesaat kemudian dia
berkata, "Bu Ceng enghiong, sakit hati kita terhadap mereka yang kini berkuasa
memang tak mungkin bisa dihapus lenyap untuk selama-lamanya. Namun adalah
terlalu berbahaya bagi kau dan teman-teman melakukan perampokan. Apalagi
disertai membunuh prajurit Kerajaan dan dua orang perwira. Tokoh-tokoh silat
yang berpihak pada pemerintah sekarang, dibantu ratusan perajurit Kerajaan pasti
akan mencari cuwi sekalian. Kita semua bisa celaka. Termasuk istri dan anakku."
"Siapa takutkan mereka?" tukas Gui-kun Kui-to seraya betulkan letak golok-golok
terbangnya yang berisikan seputar pinggang.
"Memang aku tahu betul para enghiong di sini tidak menaruh takut terhadap
mereka. Tetapi alat-alat Kerajaan bisa bikin susah kita semua dan membuat hidup
jadi tidak tenterarn. Perlu diingat, keadaan sekarang sudah berbeda Bu Ceng
enghiong."
"Berbeda bagaimana?" tanya Nanking Kui Ong.
Hok Bun tak menjawab. Setelah menghela nafas panjang dia kemudian bertanya, "Apa
gunanya para enghiong di sini melakukan perampokan itu?"
"Karena perang sebenarnya belum berakhir twako dan kita perlu biaya untuk
meneruskan peperangan," sahut Bu Ceng pula.
"Ah, lagi-lagi aku tidak mengerti jalan pikiranmu," ujar Hok Bun. "Perang sudah
lama berakhir. Sejak lebih dari satu bulan lalu. Sejak jatuhnya Nanking ke tangan orang-orang
Kaisar Yung Lo. Sejak Kaisar Hui Ti yang kita hormati dijebloskan dalam penjara.
Apakah kau dan kawan-kawan tidak melihat kenyataan ini, sobatku?"
Bu Ceng memandang pada keempat kawannya. Sesaat kemudian kelimanya sama tertawa
gelak-- gelak. Bu Ceng geleng-gelengkan kepala.
"Kau salah twako. Salah besar. Apakah kau tidak melihat kenyataan bahwa di manamana sisa-sisa prajurit Kaisar Hui Ti kini tengah melakukan perang gerilya di
bawah pimpinan perwira-perwira yang masih setia. Mereka berusaha menumbangkan
kekuasaan Kasiar Yung Lo yang kini mengangkat diri sebagai Kaisar Kerajaan Beng,
di atas darah dan nyawa, di atas pengkhianatan keji. Inilah yang disebut
kenyataan, twako."
"Memang itu adalah kenyataan," jawab Hok Bun pula. "Tapi kenyataan yang tak
mungkin bertahan lama. Jumlah mereka yang bergerilya terlalu sedikit dan
kekuatan mereka terpencar-pencar, tak mungkin menghadapi balatentara Kerajaan,
apalagi hendak menumbangkan Kaisar Yung Lo. Mereka semua akan mati konyol dan
perjuangan akan sia-sia. Saat ini di mana musuh berada dalam puncak kekuatan,
adalah bunuh diri kalau kita berani angkat senjata."
"Lantas apakah akan dibiarkan begitu saja anjing besar bernama Yung Lo itu
bertahta sebagai Kaisar yang bukan haknya" Dirampas secara keji?" ujar orang
kedua dari Nan-king Ngo-kui yakni Tui-hun Hui-mo.
"Sudah barang tentu tak dapat dibiarkan. Tetapi juga tidak mungkin untuk
menumbangkan kekuasaannya pada saat sekarang ini. Mereka terlalu kuat.
Perajurit-perajuritnya saja berjumlah jutaan, belum terhitung perwira-perwira
tinggi dan pembantu-pembantu dari kalangan kangouw."
(kangouw=dunia persilatan)
Bu Ceng kelihatan beringas. Dia bangkit dari kursinya danmelangkah mundar
mandir. Cun Giok saat itu keluar membawa enam gelas berikut beberapa guci kecil
anggur, lalu masuk kembali ke dalam diikuti sorot mata liar Nan-king Ngo-kui.
Tiat-thou-kui menelan liurnya melihat telapak kaki nyonya rumah yang begitu
putih. "Apa yang aku katakan semuanya benar twako, "terdengar suara Bu Ceng. "Dan
justru karena keadaan yang demikianlah membuat kami datang kemari. Orang-orang
terlalu sedikit dan terpencar.
Senjata kurang pula. Di samping itu rakyat kurang membantu karena takut terhadap
pemerintah. Namun walau bagaimanapun perjuangan ini harus dilanjutkan. Menumbangkan Yung Lo
dan mengangkat kembali Kaisar Hui Ti. Perjuangan ini bukan saja memerlukan
tenaga tetapi juga biaya.
Dan biaya itu rasanya sudah mulai kita dapatkan. Yakni dengan adanya tiga peti
besar berisi emas yang tak ternilai harganya itu. Ini baru sebagian kecil saja
dari modal kita untuk menghimpun orang-orang yang masih setia terhadap Kaisar
Hui Ti. Kita akan mempersenjatai mereka, melatih mereka untuk perang. Dengan
kekayaan yang kita miliki bahkan kita dapat membeli orang-orang berkepandaian
tinggi untuk menyingkirkan Yung Lo, kaki-kaki tangannya serta cecungukcecungguknya!"
"Semua rencanamu itu sama saja dengan mimpi siang bolong, Bu Ceng enghiong. Jika
kau terbangun musnahlah mimpi itu. Jika kau nekad untuk meneruskannya maka
celaka akan menghadang."
"Setiap perjuangan harus dengan pengorbanan. Kami berlima tidak takut mati,
entah twako,"
tukas Ang- mo It-kui dengan nada pedas.
"Kau betul sekali," menyahuti Hok Bun. "Perjuangan harus dengan pengorbanan.
Tapi pengorbanan yang sia-sia apa gunanya" Harap kalian merenungkan hal itu
baik-baik."
Nanking Kui Ong menghentikan langkah mundar-mandir. Nadanya agak geram ketika
berkata, "Aku dan kawan-kawan datang kernari bukan membawa persoalan untuk direnungkan.
Kami datang membawa rencana guna dilaksanakan. Dan kau harus ikut bersama kami
twako!" Hok Bun usap-usap dagunya.
"Maafkan aku. Itu tidak mungkin kulakukan. Aku tidak mau melibatkan diri dengan
kalian. Aku sudah muak dengan peperangan."
Nan-king Kui-ong danempat kawannya terkejut mendengar ucapan Hok Bun itu dan
saling pandang. Mereka tidak menyangka kalau kata-kata seperti itu bakal keluar
dari mulut Ki Hok Bun.
Seorang bekas perwira tinggi yang semasa perang dulu menjadi atasan dan pimpinan
mereka. "Ki Hok Bun twako," kata Nanking Kui Ong dengan suara bergetar. "Kau yang dulu
dijuluki Kim-hong Kiam-khek atau Pendekar Pedang Pelangi, terkenal dimana-mana,
ditakuti lawan di segala penjuru dandisegani serta dihormati teman seperjuangan,
apakah kini telah berubah menjadi macan kertas yang paling pengecut di muka bumi
ini" Tinggal nama belaka?"
Wajah Hok Bun tampak menjadi merah kelam mendengar kata-kata bekas anak buahnya
itu. Lalu dengan menahan emosi dia berkata, "Aku tak akan bicara panjang lebar
mengenai rencana ataupun perjuangan kalian. Jika kalian berlima masih
menghormatiku sebagai bekas pimpinan maka dengarlah nasihatku. Untuk sementara
lupakan segala sesuatu yang berbau perjuangan. Jauhkan keterlibatan dengan
perang. Cobalah menempuh hidup yang damai tenteram. Dengan bermodalkan tiga peti
emas itu kalian bisa memulai hidup baru yang bahagia bahkan mewah. Bukankah itu
lebih baik dari harus mengorbankan diri menantang bahaya api peperangan?"
Ang-mo It-kui geleng-geleng kepala dan menoleh pada Nan-king Kui-Ong. "Pangcu,
percuma saja. Ki Hok Bun yang di depan kita ini agaknya sudah bukan lagi manusia
gagah yang berjuluk Kim-hong Kiam-khek seperti dulu. Sekarang dia telah berubah
menjadi manusia pengecut, banci bahkan mungkin sudah jadi tikus!"
"Tutup mulutmu Ang-mo It-kui! Jangan kurang ajar!" hardik Ki Hok Bun dan plak!
Tamparannya dengan keras mendarat di pipi Ang-mo It-Kui. Demikian kerasnya
hingga orang keempat dari Nan-king Ngo-kui ini terjajar beberapa langkah,
menyeringai kesakitan.
Sebenarnya rasa sakit itu tidak begitu dirasakan oleh Ang-mo It-kui. Namun marah
dan malu membuat dia jadi kalap mata gelap. Dia berteriak garang. Lalu sambil


Wiro Sableng 017 Lima Iblis Dari Nangking di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggembor seperti harimau luka dia melompat ke depan, menyerang Ki Hok Bun
bekas perwira tinggi Kerajaan itu dengan satu jotosan maut ke arah dada di
bagian jantung!
*** 4 SEBAGAI orang yang pernah menjadi atasan Ang-mo It-Kui dan empat manusia iblis
lainnya itu Ki Hok Bun tahu betul sampai di mana tingkat kepandaian mereka.
Namun saat itu dia jadi terkejut menyaksikan angin pukulan Ang-mo It-kui. Jelas
mengandung satu kekuatan luar biasa. Yang berarti manusia ini telah jauh maju
tenaga dalamnya dalam waktu singkat. Dan melihat Ang-mo It-kui dalam melancarkan
serangan sengaja mengarah bagian yang berbahaya nyatalah bahwa orang ini tidak
main-main bahkan ingin membunuhnya!
Tanpa berlaku ayal Ki Hok Bun cepat berkelit ke samping. Namun sekonyong-konyong
Ang-mo It-kui susul serangannya yang gagal itu dengan serangan baru berupa
tendangan dan hantaman tangan kiri.
Ki Hok Bun berseru keras. Melompat ke udara. Pukulan tangan kiri lawan lewat di
sampingnya sedangkan tendanyan yang juga berhasil dielakkannya menghantam meja
kayu hingga berantakan.
Kendi anggur serta gelas yang ada di atasnya berhamburan dan pecah berantakan.
"Ang-mo It-Kui!" hardik Ki Hok Bun. "Jangan kau berani kurang ajar di rumahku!
Tinggalkan tempat ini atau kau akan menyesal!"
Habis berkata begitu Ki Hok Bun dorongkan tangan kanannya ke arah dada lawan.
Ang-mo It-kui menjadi kaget ketika merasakan bagaimana dari telapak tangan itu
keluar satu dorongan kuat laksana sebuah batu besar ratusan kati, mendorongnya
dengan hebat. Ang-mo It-kui berusaha pertahankan diri dengan memperkuat kudakuda kedua kakinya. Namun ketika Ki Hok Bun datang lebih dekat tak ampun
tubuhnya terjengkang dan jatuh terguling di halaman depan rumah.
Dengan pelipis bergerak-gerak menahan amarah Ki Hok Bun berpaling pada Nan-king
Kui-ong. "Bu Ceng enghiong," katanya. "Kau bawalah kawan-kawanmu dari sini sebelum aku
jadi kalap dan menurunkan tangan salah!"
Nan-king Kui-ong tidak senang melihat kejadian ini. Sepasang matanya membeliak
garang. "Terhadap Kerajaan dan Kaisar Yung Lo laknat itu kau menunjukkan kepengecutan.
Tetapi terhadap kawan sendiri, bekas anak buahmu, kau memiliki nyali luar biasa
besar bahkan tega memukulnya!"
"Aku telah menerima kalian dengan baik. Tapi kalau kalian berlaku memaksa dan
kurang ajar, jangan salahkan kalau aku memberi sedikit peringatan..."
"Sedikit peringatan" Memukul Ang-mo It-kui sampai begitu rupa kau sebut sebagai
sedikit peringatan...?" ujar Nan-king Kui-ong berang sementara Ang-mo It-kui
bangkit dari tanah.
"Sudahlah Bu Ceng, jangan banyak mulut. Lekas pergi dari sini. Bawa anak buahmu.
Aku tak ingin melihat tampang-tampang kalian lagi!"
Iblis Kepala Besi Tiat-thou-kui yang sejak tadi sudah tidak sabaran maju ke
hadapan Ki Hok Bun dan membuka mulut,
"Ki Hok Bun, lagakmu keren amat! Apa ilmumu sudah setinggi langit sedalam lautan
hingga berani berkata dan bertindak seenaknya terhadap kami" Dulu kami memang
anak-anak buahmu, tapi sekarang keadaan berbeda. Kau tidak lebih tinggi dari
kami. Tadi-tadi kami sengaja untuk tetap menghormatimu, tapi nyatanya kau keras
kepala ... "
"Diam!" sentak Ki Hok Bun. "Sekali aku bilang pergi dari sini ya pergi! Jangan
banyak cingcong!"
"Oho ... hebatnya! Sombong, keras kepala tapi pengecut!" ejek Gui-Kun Si Golok
Iblis sambil menggerakkan tangan seperti orang hendak bertolak pinggang. Tapi
tiba-tiba tangan kanan itu mencabut golok besar yang ada di sisi kirinya. Begitu
golok keluar dari sarung Gui Kun lantas kirimkan satu serangan ganas.
"Bagus Gui Kun! Kaupun minta digebuk!" teriak Ki Hok Bun marah. Cepat dia
membebaskan diri dari serangan golok. Marah karena serangannya dapat dielak
begitu mudah, Gui Kun putar senjatanya dan membabat membalik untuk membacok
putus tangan Hok Bun. Tapi bekas perwira yang berpengalaman ini sudah dapat
membaca maksud lawan. Sambil merunduk Hok Bun menghantamkan tangan kanarinya ke
atas. "Krak!"
Bersamaan dengan terdengarnya suara patahan lengan, terdengar pekik kesakitan Si
Golok Iblis Gui Kun. Dia melompat menjauhi lawan dan masih lindungi diri sambil
pergunakan tangan kiri untuk lemparkan golok terbang. Namun Hok Bun sudah lebih
dulu melompat ke samping hingga tiga golok terbang hanya mengenai tempat kosong
lalu menancap di dinding rumah.
Nan-king Kui-ong melengak marah. Dua anak buahnya telah dihajar. Tapi untuk maju
sendiri melakukan pembalasan dia merasa bimbang. Bagaimanapun tingkat kepandaian
Hok Bun tidak bisa dibuat main. Kalau tidak maju berbarengan sulit untuk
menghadapi orang ini. Memikir sampai ke situ lalu diapun berteriak,
"Keroyok bangsat ini!"
Maka Tui-hun Hui-mo Iblis Pengejar Maut dan Ang-mo It-kui serta Tiat-thou-kui
dan juga Gui Kun yang kini hanya mengandalkan tangan kiri memegang golok
serentak menyerbu ke depan.
Sedang Nan-king Kui-ong sendiri membantu dari belakang dengan kiriman pukulanpukulan tangan kosong jarak jauh yang sangat berbahaya.
Ki Hok Bun kertakkan rahang.
"Main keroyok! Nyatanya kalianlah yang pengecut! Majulah lebih dekat biar
kucincang kalian lebih cepat!" teriak Hok Bun.
"Maut sudah di depan mata! Kau masih saja bicara sombong dan ngaco! Kawan-kawan
mari kita jagal manusia ini cepat-cepat!" balas berteriak Nan-king Kui-ong.
Ki Hok Bun selain memiliki kepandaian silat yang tinggi jelas bukan seorang
berjiwa kecil dan pengecut. Pengalamannya amat luas dalam perkelahian ataupun
medan peperangan. Karenanya tidak salah dia mendapat julukan Pendekar Pedang
Pelangi Kim-hong Kiam-khek, ditakuti lawan disegani kawan. Dibanding dengan
kelima pengeroyoknya secara satu-satu lima orang itu bukan apa-apa baginya.
Namun jika Nan-king Ngo-kui bergabung jadi satu dia harus bertindak hati-hati.
Dia tahu betul orang-orang itu bukan saja rata-rata memiliki ilmu silat lihay
tetapi juga licik penuh tipu muslihat. Kalaupun dia harus mati menghadapi mereka
dia tidak takut, namun yang dicemaskannya ialah kalau-kalau terjadi sesuatu
dengan anak istrinya.
Rambut merah Ang-mo It-kui berkelebat ganas kian kemari. Terkadang rambut ini
laksana seutas cambuk. Namun terkadang dapat berubah seperti sebilah golok atau
pedang yang datang membabat atau menusuk atau menotok. Sepuluh jari tangan Tuihun Hui-mo yang berkuku-kuku panjang hitam laksana cakar burung garuda,
berkelebat ganas kian kemari. Sekali bagian tubuh sempat kena digaruk pastilah
akan berbusaian dagingnya. Ditambah dengan golok di tangan kiri Gui-kun Kui-to
yang tak kalah berbahayanya serta kepala besi maut dari Tiat- thou-kui lalu
serangan tangan kosong jarak jauh dari Nan-king Kui-ong yang datang bertubitubi, maka kedudukan Ki Hok Bun benar-benar berbahaya. Apalagi saat itu dia
hanya bertangan kosong, hanya mengandalkan ginkang dan Iwekang belaka.
Lima belas jurus berlalu. Dalam keadaan cukup kepepet Ki Hok Bun masih berhasil
menunjukkan kehebatannya yaitu memukul dada Gui-kun Kui-to hingga iblis satu ini
muntah darah dan terpaksa keluar dari kalangan pertempuran. Namun sebaliknya Hok
Bun juga mengalami cidera yang berbahaya.
Bahunya sebelah kiri telah terkena sambaran kuku tangan Tui-hun Hui-mo.
Pelipisnya terluka dan mengucurkan darah akibat hantaman rambut Ang-mo It-kui
sedang serudukan kepalaTiat-thou-kui sempat satu kali melabrak sisinya hingga
dua tulangnya menjadi patah.
Ki Hok Bun sadar kalau dirinya dalam bencana besar. Namun untuk menyerah tentu
saja tak ada dalam kamus hidupnya. Dia keluarkan seluruh kepandaiannya namun
sia-sia belaka. Tiga lawan mengurung dengan rapat hingga sulit baginya untuk
mencapai Nan-king Kui-ong yang secara licik selalu melancarkan pukulan-pukulan
jarak jauh dengan berlindung di belakang anak buahnya.
Setelah dua puluh jurus lebih bertahan mati-matian, Ki Hok Bun mulai terdesak.
Pukulan demi pukulan, tendangan demi tendangan, sodokan kepala besi, cakaran
kuku dan hantaman rambut maut bertubi-ttibi melabraknya. Saat-saat terakhir
sebelum roboh Hok Bun berhasil menjambak rambut Ang-mo It-kui dan siap untuk
memuntir patah leher lawan yang satu ini. Namun sebelum hal itu dapat
dilakukannya satu pukulan Nan-king Kui-ong melanda dari samping. Dia merasakan
bahunya seperti remuk. Didahului satu jeritan keras Ki Hok Bun terlempar dan
roboh. Tubuhnya penuh darah yang keluar dari bekas luka yang menguak di manamana. Dia sudah pasrah untuk mati. Karenanya dia berteriak, "Manusia-manusia
iblis keparat! Aku tidak takut mati! Bahkan kalau kalian tidak membunuhku saat
ini juga, kalian akan menyesal seumur hidup karena pembalasanku lebih mengerikan
dari apa yang kalian lakukan hari ini terhadapku!"
Nan-king Kui-ong menyeringai. Dia melangkah mendekati Hok Bun yang tidak
berdaya. Sambil injak kepala orang ini dia berkata,
"Mula-mula kami memang berpikiran bahwa manusia pengecut dan keras kepala
sepertimu ini perlu disingkirkan dari muka bumi. Tapi mana kami puas kalau belum
menyiksamu lebih dulu. Kau akan segera merasakannya dan..."
Belum habis kata-kata itu tiba-tiba terdengar suara berteriak,
"Ayah...! Ayah ... apa yang terjadi. Manusia-manusia jahat itu...oh!"
Yang berteriak adalah Sun Bi, putera Hok Bun yang berusia 8 tahun. Anak ini
datang berlari-lari dan menjatuhkan diri di tanah memeluk tubuh ayahnya.
Tiba-tiba satu tangan besar kasar dan keras menjambak rambutnya dan
menyentakkannya hingga Sun Bi terpekik kesakitan dan tubuhnya terangkat ke atas.
Dia coba meronta melepaskan diri bahkan menendang Nan-king Kui-ong yang
menjambaknya namun mana anak kecil ini sanggup melawan kekuatan manusia iblis
seperti Bu Ceng.
"Ki Hok Bun!" seru Bu Ceng. "Manusia pengecut dan pengkhianat teman sepertimu
tak layak punya turunan. Karena pasti turunan itu akan menjadi manusia sepertimu
pula!" "Keparat Bu Ceng!" Hok Bun coba bangun tapi rebah kembali ke tanah. "Kau hendak
apakan anakku. Lepaskan dia!" Nafas Hok Bun menyengal dan dari mulutnya keluar
darah. "Kau lihat sendiri apa yang bakal terjadi dengan anakmu. Ini pelajaran bagus
untukmu yang telah berani melawan Nan-king Ngo-kui." Lalu Bu Ceng angkat tinggitinggi tubuh Sun Bie.
"Jangan ganggu anakku!" satu jeritan perempuan terdengar. Yang berteriak adalah
The Cun Giok, istri Hok Bun, ibu tiri Sun Bi. Bagi Cun Giok, meski Sun Bi hanya
seorang anak tiri namun dia sangat mengasihi anak ini seperti putera k.andung
sendiri. Cun Giok coba menarik dan merampas Sun Bi dari tangan kepala gerombolan manusia
iblis itu. Namun Ang-mo It-Ku memegang bahunya dan merangkulnya dan belakang. Nan-king Kuiong sendiri kembali mengangkat tubuh Sun Bi tinggi-tinggi lalu dengan kekejaman
luar biasa anak itu dibantingkannya keras-keras ke tanah. Terdengar suara
mengerikan ketika kepala Sun Bi membentur tanah. Tanpa suara anak yang malang
ini menghembuskan nafas penghabisan diiringi pekik Cun Giok dan seruan tanpa
daya Hok Bun. Nan-king Kui-ong alias Bu Ceng tertawa mengekeh, memandang pada Hok Bun yang
hanya bisa mengutuk dan mengutuk. Tiba-tiba dia hentikan tawanya dan berpaling
pada Ang-mo It-kui yang saat itu masih merangkuli tubuh Cun Giok. Ang-mo It-kui
bukan hanya merangkul agar perempuan itu tidak lepas namun kini rangkulannya
menjadi kurang ajar. Bahkan salah satu tangannya bergerak meraba bagian tubuh
sebelah atas Cun G iok.
Sepasang mata Bu Ceng kelihatan membesar. Sambil menyeringai dia mendekati kedua
orang itu. "Ang-mo It-kui, enak benar kau mendekap tubuh bagus itu. Serahkan dia padaku!"'
Ang-mo It-kui tertawa ha-ha-hehe dan mendorong tubuh Cun Giok ke hadapan Nanking Kui-ong. *** 5 SEJAK pertama kali melihat istri Hok Bun yang muda dan cantik jelita itu, nafsu
kotor telah merasuk Bu Ceng. Namun karena saat itu Hok Bun masih dipandangnya
sebagai atasan dan diperlukan tenaganya maka dia berusaha bersikap hormat. Namun
kini setelah terjadi perkelahian maka rasa hormat itu dengan sendirinya lenyap.
Nafsu kotor kembali bersarang dalam dirinya.
Tubuh Cun Giok yang terdorong ke hadapannya segera ditangkapnya. Ciuman beringas
di daratkannya bertubi-tubi ke wajah perempuan itu. Cun Giok meronta dan
menjerit coba melepaskan diri. Namun sambil tertawa-tawa disaksikan oleh kawankawannya Bu Ceng merobek pakaian Cun Giok hingga perempuan ini akhirnya berada
dalam keadaan hampir telanjang. Cun Giok merasakan tubuhnya didukung.
"Bu Ceng manusia iblis! Kau hendak apakan istriku! Lepaskan dia! Cun Giok
larilah. Selamatkan dirimu!" Hok Bun berteriak. Dia sudah dapat membayangkan apa
yang bakal menimpa istrinya.
Namun tidak mungkin bagi Cun Giok untuk melepaskan diri.
"Hok Bun, kau dapat melihat sendiri apa yang bakal kulakukan. Masakan hanya kau
saja yang dapat menikmati perempuan secantik ini. Ha ... ha ... ha ...!" Bu Ceng
gulingkan tubuh Cun Giok di atas lantai rumah. "Pegangi dia!" perintahnya pada
anak buahnya. Ang-mo It-kui dan Tiat-thou-kui membungkuk memegangi tangan Cun
Giok. Bu Ceng kemudian tanpa malu-malu lepaskan pakaian dalamnya dan singsingkan
jubahnya lalu jatuhkan diri di atas tubuh Cun Giok yang tak mampu membebaskan
diri dan menolak penghinaan keji itu.
Hok Bun pejamkan mata. Tak sanggup dia menyaksikan hal itu, darahnya
menggelegak. Namun tak satupun yang bisa dilakukannya.
"Bu Ceng, jangan terlalu temahak! Berikan giliran padaku!" Tui-hun Hui-mo
berteriak dan tegak di belakang Bu Ceng sambil menyingkapkan jubahnya.
Bu Ceng menyeringai. Dia berdiri sambil seka keringat dan rapikan pakaiannya.
"Jangan takut sobat. Kau segera dapat giliran. Tapi jangan lupa pada kawankawan." Begitulah, satu persatu kelima manusia iblis itu melakukan perbuatan terkutuk
atas diri The Cun Giok hingga akhirnya perempuan ini pingsan tak sadarkan diri.
"Apa yang kita lakukan sekarang?" tanya Tiat-thou-kui sambil usap kepala
botaknya yang basah oleh keringat.
"Bunuh saja perempuan itu. Juga lakinya!" jawab Golok Iblis Gui Kun.
"Ya, memang Hok Bun harus dibunuh. Kalau tidak bisa bikin urusan berabe di
kemudian hari,"
menyetujui Ang-mo It-kui.
"Betul ... " sahut Nan-king Kui-ong manggut-manggut. "Tapi setahuku dia memiliki
sebilah pedang mustika. Kim-hong-kiam. Aku harus dapatkan dulu senjata itu ...."
Bu Ceng alias Nan-king Kui-ong lantas melangkah mendekati Hok Bun. Dia
membungkuk dan menjambak rambut bekas perwira tinggi itu.
"Hok Bun, mungkin aku bisa membatalkan niat untuk menghabisi nyawamu saat ini.
Asal saja kau mau memberi tahu di mana kau simpan Kim hong kiam ... "
Sepasang mata Ki Hok Bun terbuka sedikit.
"Kau inginkan pedang itu ... ?" desisnya.
"Betul. Dan nyawamu kuampuni. Bahkan mungkin akan kuberi beberapa batang emas
untukmu..."
"Kau ambillah pedang itu di neraka kelak ..." kata Ki Hok Bun lalu diludahinya
muka Bu Ceng. Air ludah bercampur darah berlepotan di muka Bu Ceng.
"Bangsat haram jadah!" teriak Bu Ceng marah. Kepala Hok Bun dibantingkannya ke
tanah hingga lelaki ini pingsan. "Seret dia ke dalam rumah dan bakar hidup-hidup
bersama istri dan bangkai anaknya!"
Hok Bun di gotong ke langkan rumah, terpisah beberapa meter dari istri
dananaknya. Ang-mo It-kui kemudian mencari minyak pembakar di dapur lalu
menyulut api. Dalam keadaan api berkobar semakin besar kalima manusia iblis itu
tinggalkan tempat tersebut.
*** KI HOK BUN siuman dari pingsannya sewaktu sebagian rumahnya telah dimakan api.
Bagian yang dimakan api itu roboh. Tiang-tiang serta palung-palung kayu berapi
jatuh di atas tubuh anak dan istrinya langsung menembus perempuan yang pingsan
ini tanpa dapat diselamatkan. Api kemudian mulai menjilati kaki Hok Bun.
Lelaki ini sebenarnya sudah pasrah untuk dilamun api dan menyusul anak istrinya.
Baginya tak guna lagi hidup tanpa kedua orang yang dicintainya itu. Namun bila
dia ingat kekejaman perbuatan Nan-king Ngo-kui, terutama Bu Ceng yang menjadi
pimpinan maka dendam kesumat yang amat besar membuat hati kecilnya berontak.
Tidak, dia tidak boleh mati saat itu! Dia harus hidup.
Kemudian mencari Nan-king Ngo-kui dan membunuh mereka satu per satu guna
membalaskan dendam kesumat. Hutang nyawa dan darah harus mereka bayar dengan
darah dan nyawa pula!
Memikir sampai ke situ Ki Hok Bun kumpulkan sisa-sisa tenaga yang ada. Dia coba
beringsut menjauhi jilatan api. Namun keadaannya saat itu sudah sangat lemah.
Sama sekali tiada daya. Tulang belulangnya serasa hancur luluh. Darahnya tertalu
banyak keluar. Pemandangan matanya makin lama makin guram.


Wiro Sableng 017 Lima Iblis Dari Nangking di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lelaki ini sama sekali tidak mampu untuk menyelamatkan dirinya. Saat itu satusatunya yang dianggapnya bisa menolong adalah Tuhan. Karenanya dalam hati Hok
Bun membathin :
"Thian, berikan kekuatan pada hambaMu ini. Biarkan aku hidup terus agar dapat
membalas kejahatan dan kebiadaban lima manusia iblis itu. Jangan biarkan aku
mati mengenaskan begini rupa ... "
Sementara itu kobaran api semakin mengganas. Palang kayu yang membelintang di
bagian atap rumah dan tepat di atas kepala Ki Hok Bun berderak patah sewaktu api
membakar loteng.
Bersamaan dengan bagian loteng palang kayu itu runtuh tepat mengarah tubuh Ki
Hok Bun yang menggeletak tiada daya di lantai. Hok Bun sendiri tidak menyadari
hal ini karena sesaat sesudah dia berdoa menyebut nama Tuhan, dia langsung jatuh
pingsan. Agaknya akan segera tamatlah riwayat bekas perwira ini dandendam
kesumatnya tak akan pernah dapat dibalasnya.
Namun sebelum ajal berpantang mati. Maut anak manusia berada dalam tangan Yang
Maha Kuasa. Di saat yang sangat kritis itu tiba-tiba terdengar satu siulan aneh
dan nyaring, menyusul berkelebatnya sesosok bayangan putih yang disertai
sambaran angin yang luar biasa derasnya. Balok kayu dan loteng yang tadinya akan
menimpa dan menimbun tubuh Ki Hok Bun laksana dihantam badai mental jauh. Bahkan
sebagian dari rumah yang sudah dilamun api itu ikut ambruk akibat hantaman angin
yang entah dari mana datangnya.
Di lain kejap bayanyan putih tadi bekelebat cepat menyambar Ki Hok Bun dan
membawanya lari dari tempat itu.
Siapa gerangan yang menyelamatkan Ki Hok Bun" Manusia atau malaikatkah dia
karena demikian cepat gerakannya hingga cuma bayangannya saja yang kelihatan" Di
puncak bukit dia memperlambat larinya. Nyatanya dia adalah manusia biasa juga.
Masih muda, berambut gondrong menyala bahu. Kepalanya diikat dengan sehelai kain
putih. Dari mulutnya terus menerus membersit siulan lagu tak menentu. Larinya
seperti gerabak gerubuk tetapi laksana kilat. Mukanya seperti wajah seorang
tolol, cengar cengir tak tentu juntrungan.
Setiup angin berhembus melawan arah larinya. Rambut gondrong pemuda ini
melambai-lambai ditiup angin. Pakaian di bagian dada yang tak terkancing
tersibarlebar. Pada dada yang penuh otot itu kelihatan tertera tiga buah angka
aneh yakni : 212.
Pada waktu itu dalam dunia kangouw Tiongkok tersebar berita tentang munculnya
seorang pemuda asing bertampang tolol tetapi memiliki kepandaian tinggi luar
biasa Demikian tingginya hingga sulit untuk mengetahui apakah para datuk atau
tokoh silat yang terkenal masa itu dapat disejajarkan dengan tingkat
kepandaiannya. Banyak tokoh-tokoh silat golongan hitam yang telah rubuh bahkan
terbunuh di tangan pendekar asing itu. Akibatnya dia menjadi momok nomor satu
bagi kaum sesat. Sebaliknya para jago silat golongan putih merasa gembira dan
banyak yang ingin berkenalan dengan pemuda itu. Namun sulit sekali untuk
menemukannya. Dia muncul secara mendadak. Membasmi manusia-manusia jahat secara
tak terduga lalu melenyapkan diri hampir tanpa bekas untuk kemudian muncul lagi
di tempat lain dan membuat kegemparan.
Pendekar yang menjadi buah tutur di Tionggoan bukan lain adalah Pendekar Kapak
Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng, murid Eyang Sinto Gendeng yang tengah melakukan
pengembaraan di daratan Tiongkok. Dan dialah yang saat itu menyelamatkan Ki Hok
Bun alias Pendekar Pedang Pelangi dari kematian.
Sebenarnya bukan satu kebetulan Wiro Sableng berada di tempat itu danberhasil
menyelamatkan Hok Bun. Sudah sejak satu bulan lalu dia mendengar nama Nan-king
Ngo-kui yang menggetarkan dan ditakuti. Mereka melakukan pembunuhan dan
perampokan di mana-mana. Menculik anak gadis atau istri orang. Sekalipun dulu
mereka dikenal sebagai pembantu-pembantu Kaisar Hui Ti dan berjuang menghadapi
balatentara Yung Lo, namun kejahatan dan kebiadaban yang kini mereka lakukan
benar-benar sudah melewati batas.
Dua hari lalu Wiro berada di Hankouw danmendengar berita tentang dirampoknya
tiga peti emas milik Kaisar Yung Lo. Dua perwira dan selusin prajurit pengawal
menemui kematian. Dari tanda-tanda yang ditemukan di tempat kejadian sudah dapat
ditebak bahwa pelaku perampokan dan pernbunuhan yang sangat berani itu adalah
Nan-king Ngo-kui. Sebelum Kaisar Yung Lo mengirimkan orang-orangnya untuk
melakukan pengejaran, Wiro Sableng sudah mendahului menuju utara. Dia berhasil
mengetahui ke jurusan mana kelima manusia iblis itu membawa lari barang
rampokannya. Namun di sebuah daerah luas yang berbukit-bukit Wiro kehilangan
jejak mereka. Sebagai pendekar yang ingin menumpas kejahatan dan membela mereka yang lemah dan
tertindas Wiro tidak akan mencampuri urusan peperangan ataupun mempersoalkan
tiga peti emas yang dirampok Nan-king Ngo-kui. Dia mencari kelima manusia iblis
itu karena telah mendengar kejahatan dan kemesuman yang mereka lakukan sejak
satu bulan terakhir ini. Sudah barang tentu perbuatan seperti itu tidak dapat
dibiarkan berlarut-larut.
Wiro juga mengetahui bahwa telah banyak tokoh-tokoh silat golongan putih di
Tionggoan yang turun tangan terhadap kelima iblis itu. Namun sebegitu jauh belum
ada hasilnya. Bukan saja karena mereka memang memiliki kepandaian tinggi dan
selalu berkelompok dalam setiap saat, tetapi mereka juga licik dan dapat
melenyapkan diri dengan cepat setiap habis melakukan kejahatan.
Sadar kalau untuk kesekian kalinya dia kehilangan jejak orang-orang yang
dikejarnya Wiro mengomel dalam hati dan garuk-garuk kepala. Tapi dia tidak
berputus asa. Di bukit di mana dia berada banyak tumbuh pohon-pohon tinggi. Dia
memilih yang paling tinggi lalu memanjatnya. Dari atas pohon ini dia dapat
memandang ke segala penjuru sejauh mungkin. Dia mengeluarkan suara bersiul
sewaktu di arah selatan dilihatnya kepulan asap hitam bergulung-gulung
membumbung ke udara.
"Kebakaran biasa atau ... ?" Wiro bertanya pada dirinya sendiri.
Setelah berpikir sejenak sambil meneliti keadaan di bagian lain akhirnya Wiro
memutuskan untuk mendatangi sumber kebakaran itu. Bukan mustahi kebakaran itu
ditimbulkan oleh iblis-iblis yang tengah dikuntitnya. Dia cepat-cepat turun dari
atas pohon dan dengan pergunakan ilmu larinya dia lari ke arah selatan. Namun
kedatangannya terlambat. Yang ditemuinya hanya bekas kebiadaban yang dilakukan
oleh Nan-king Ngo-kui. Kelima manusia jahat itu tak ditemuinya, pasti sudah
menghilang jauh. Masih untung dia sempat menyelamatkan seorang lelaki yang dia
tidak kenal dan tubuhnya penuh dengan luka-luka.
*** 6 PENDEKAR 212 Wiro Sableng membawa Ki Hok Bun ke sebuah telaga kecil berair
jernih. Bekas perwira kerajaan itu masih berada dalam keadaan pingsan. Wiro
mengagumi kekuatannya. Manusia biasa dengan menderita luka-luka seperti itu
pasti sudah tidak tertolong nyawanya.
Wiro membersihkan sedapatnya luka yang terdapat di tubuh Ki Hok Bun, lalu pada
luka itu dita-burinya sedikit obat bubuk. Setelah menunggu beberapa saat dia
telungkupkan tubuh Ki Hok Bun dan tempelkan telapak tangannya di punggung
telanjang orang itu dan salurkan hawa dingin sakti ke tubuh Ki Hok Bun. Setengah
jam kemudian dia ganti mengalirkan hawa panas lewat dada.
Tak berapa lama menjelang matahari akan tenggelam Ki Hok Bun sadar. Mula-mula
dia merasakan denyutan sakit pada kepala dan dadanya. Ternyata rasa sakit tidak
hanya di tempat itu saja namun boleh dikata di setiap bagian tubuhnya. Perlahanlahan dia membuka kedua matanya. Yang dilihatnya adalah langit luas berwarna
merah kekuningan akibat tersapu sinar sang surya yang hendak tenggelam. Sesaat
matanya tak berkesip. Jalan pikirannya masih belum jernih.
"Di mana aku ini ... " pikirnya. Dia coba menggerakkan kepala sedikit dan
memandang berkeliling. Tiba-tiba dia ingat pada anak dan istrinya. Langsung
berteriak memanggil, "Cun Giok, Sun Bi ... kalian di mana"!" Seperti ada satu
kekuatan yang memasuki tubuhnya dia melompat duduk namun kemudian roboh kembali
dengan pemandangan berkunang-kunang. Bila kedua matanya mulai jernih kembali
maka pemandangannya membentur sosok tubuh Wiro Sableng yang duduk di dekatnya.
"Kau ... kau siapa" Mana istriku" Mana Sun Bi ... Apa yang terjadi?"
'Twako sebaiknya kau jangan banyak bicara dan bertanya. Atur jalan darah dan
pernafasan. Kau terluka berat. Coba kendalikan tenaga dalammu ..."
"Kau orang asing ... Logat bicaramu aneh ..."
Wiro garuk-garuk kepala dan tersenyum. Dari balik pakaiannya dia keluarkan dua
buah pil. Satu berwarna merah dan satunya lagi hitam.
"Telan obat ini ..." Wiro hendak masukkan dua butir pil itu ke dalam mulut Hok
Bun, tetapi orang ini menjauhkan mulutnya. Pandangan mata dan wajahnya
menunjukkan keraguan kalau tidak mau dikatakan curiga. Tentu saja Hok Bun
berperasaan demikian karena dia belum pernah kenal atau melihat Wiro sebelumnya.
"Tak usah takut. Percayalah, obat ini akan menolongmu," kata Wiro. Akhirnya Hok
Bun membuka mulut dan menelan juga obat itu walaupun dengan agak susah payah.
Wiro kemudian urut pelipis lelaki itu. Perlahan-lahan Hok Bun pulas dan tertidur
sampai keesokan harinya. Ketika dia bangun yang dirasakannya bukan lagi sakit
tetapi lapar dan haus. Wiro mendudukkannya bersandar pada sebatang pohon di tepi
telaga. Lalu menyodorkan dua buah apel, makanan yang dimilikinya.
Buah ini cepat sekali dihabisi Hok Bun. Selesai makan pemandangan dan jalan
pikiran lelaki ini menjadi lebih jernih. Dia menatap Wiro Sableng beberapa lama.
Kemudian dia ingat apa yang telah menimpa keluarganya. Hok Bun menangis dan
tiada henti memanggil- manggil nama istri dan anaknya. Wiro maklum malapetaka
besar telah menimpa orang ini karenanya dia membiarkan saja Hok Bun hanyut dalam
perasaannya. Hok Bun akhirnya sadar bahwa menangis tidak akan mendatangkan hasil apa-apa
padanya. Karena belum sanggup berjalan, dia merangkak ke tepi telaga dan mencuci mukanya
lalu kembali ke tempat semula.
"Twako, apa yang telah terjadi. Aku menemukanmu di rumah yang terbakar ... "
Wiro membuka mulut bertanya.
Ki Hok Bun menatap ke langit di atasnya. Lalu menghela nafas. "Kau sendiri siapa
orang muda"
Kulihat jelas kau bukan orang sini," balik bertanya Hok Bun.
"Namaku Wiro Sableng Aku memang orang asing di Tionggoan ini."
Ki Hok Bun kerenyitkan kening. "Wiro Sableng ... Aku rasa pernah dengar namamu
akhir-akhir ini. Kau seorang pendekar asing yang membuat gempar dunia kangouw.
Nyatanya kau adalah in-kong tuan penolongku. Tai-hiap aku berhutang nyawa
padamu. Biar aku menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya." Habis berkata
begitu Hok Bun merangkak ke hadapan Wiro dan membuat gerakan hendak berlutut.
Tetapi Wiro cepat-cepat mencegah.
"Jangan panggil aku dengan sebutan pendekar besar itu twako," ujar Wiro. "Kalau
aku boleh tahu apakah sebenarnya yang telah terjadi. Mengapa kau kutemui dalam
rumah yang terbakar itu?"
"Mereka yang melakukannya?"
"Mereka siapa?"
"Manusia-manusia iblis itu. Nan-king Ngo-kui!"
"Ah, aku sudah menduga. Aku memang sudah sejak lama mencarinya. Aku berhasil
menguntit mereka dari Han-kouw, tetapi kehilangan jejak dan terlambat ... "
Ki Hok Bun lalu menceritakan apa yang telah terjadi dan juga tak lupa
menerangkan sedikit mengenai riwayat hidupnya.
"Aku tidak mengira kalau berhadapan dengan seorang bekas perwira tinggi
kerajaan," kata Wiro dengan sikap hormat.
Hok Bun tersenyum pahit. "Dulu ... sekarang aku bukan apa-apa. Sekarang aku
seorang lelaki yang sengsara." Hok Bun terdiam sejenak. Kemudian. "Orang muda,
seumur hidup mungkin aku tak dapat membalas semua pertolongan dan jasamu.
Biarlah hari ini aku menganggapmu sebagai saudara.
Sebagai adik..."
"Betul-betul satu kehormatan besar bagiku twako. Terima kasih."
"Satu dua hari di muka aku akan mulai mencari lima manusia iblis itu!" kata Hok
Bun dengan nada penuh dendam.
Wiro tersenyum dan gelengkan kepalanya.
"Twako, kau masih jauh dari sembuh. Sebelum kesehatanmu luar dalam pulih kembali
untuk sementara sebaiknya lupakan soal dendam kesumat itu."
"Lebih cepat aku dapat memenggal kepala manusia-manusia jahanam itu lebih baik
rasanya. Pembalasan harus dilakukan dalam waktu cepatl"
"Kau tengah menghadapi persoalan besar twako. Karenanya tak boleh bertindak
sembarangan. Sekali salah langkah bisa besar akibatnya, Lima manusia iblis itu bukan saja
berkepandaian tinggi tetapi juga licik ... "
Hok Bun terdiam. Apa yang dikatakan Wiro itu betul. Akhirnya dia berkata,:
"Besok aku akan kembali ke tempat kediamanku."
"Sebaiknya jangan. Itu hanya akan mendatangkan pukulan berat pada batinmu,"
menasihatkan Wiro.
"Tapi aku harus mengurus jenazah dan abu anak istriku."
"Aku sudah membayar orang desa untuk mengurus jenazah mereka," menerangkan Wiro.
Hok Bun menatap wajah pendekar itu lama-lama. Kedua matanya berkaca-kaca. "Kau
baik sekali Wiro. Aku benar-benar berhutang budi dan-nyawa terhadapmu ..."
"Sudahlah, jangan sebut hal itu. Besok pagi sebaiknya kita pergi ke kota
terdekat. Mencari peng-inapan. Di situ kau bisa dirawat lebih baik."
Ki Hok Bun mengangguk. Namun keesokan paginya ketika Wiro bangun didapatkannya
lelaki itu tak ada lagi di situ.
*** APAKAH yang telah dilakukan oleh Ki Hok Bun" Ke manakah bekas perwira tinggi
kerajaan ini pergi meninggalkan Wiro Sableng yang telah menolongnya"
Malam itu sewaktu Wiro sedang tidur nyenyak dekat perapian di tepi telaga diamdiam Ki Hok Bun bangun. Diperhatikannya pendekar asing itu sesaat. Meskipun dia
telah mengangkat saudara terhadap Wiro dan pernah mendengar hal-hal
menggemparkan yang dilakukan pendekar itu namun dia masih belum tahu banyak
tentang si pemuda. Hal ini disebabkan karena Wiro lebih banyak muncul di utara
sedang Ki Hok Bun tinggal di selatan.
Sebetulnya Hok Bun tak ingin meninggalkan Wiro secara diam-diam seperti itu
karena ini satu perbuatan danperadatan yang tidak baik. Namun dia terpaksa
melakukan hal itu. Dia harus kembali ke rumahnya yang telah musnah, betapapun
hancur hatinya kelak menyaksikan rumah yang telah jadi puing-puing hitam itu.
Dia merasa tidak tenteram seumur hidup bahkan sampai ke liang kubur kalau tidak
dapat membunuh habis ke lima musuh besarnya itu.
Malam berganti siang. Ketika matahari sudah naik tinggi barulah Hok Bun sampai
di lereng bukit. Tubuhnya terasa letih sekali. Tetapi tekad dan semangat balas
dendam atas kematian istri dan anaknya membuatnya tidak merasakan semua itu. Dia
berlari menuruni lereng bukit. Untuk beberapa lamanya dia tegak termenung di
hadapan rumahnya yang kini hanya tinggal puing-puing hitam.
Sebagian ladang gandumnya juga terbakar. Air mata Ki Hok Bun sukar dibendung.
Dia menggigit bibir menahan sakit batin.
Selagi dia tegak begitu rupa seorang penduduk mendatanginya. Dengan pandangan
wajah haru orang ini berkata, "Saudara Ki, aku datang memberi tahu bahwa jenazah
istri dan anakmu telah kami perabukan. Jika kau ingin melihat abunya, ada di
rumah abu Thian-an-tang."
Ki Hok Bun mengucapkan terima kasih sambil menganggukkap kepala. Karena tak
ingin mengganggu lebih lama orang tadi minta diri dan cepat-cepat berlalu.
Beberapa saat kemudian Ki Hok Bun melangkah dari hadapan reruntuhan rumahnva
menuju ke sebatang pohon Yang-liu yang tumbuh seratus meter dari bekas rumahnya.
Dekat pohon ini terdapat sebuah pilar batu. Dengan sepotong besi pendek Ki Hok
Bun menggali tanah di sebelah kanan pilar.
Kira-kira menggali sedalam satu meter ditemuilah sebuah kotak terbuat dari kayu
besi yang tahan air dan rayap. Dari dalam kotak ini Ki Hok Bun kemudian
mengeluarkan sebilah pedang yang ketika dicabut serta merta memancarkan sinar
tujuh warna. Inilah Kim-hong-kiam atau Pedang Pelangi.
Sebuah senjata mustika sakti yang kehebatannya telah membuat Ki Hok Bun mendapat
julukan Pendekar Pedang Pelangi atau Kim-hong kiam-khek.
Sesaat Ki Hok Bun mendongak ke langit sambil pejamkan mata. Selama perang
saudara, sebagai seorang perwira kerajaan yang taat pada atasannya yakni Kaisar
Hui Ti dia telah berjuang mati-matian membela kehormatan dan tahta Kaisarnya
tanpa parnrih ataupun memikirkan apakah Kaisar Hui Ti berada di pihak yang benar
atau bukan. Ketaatannya adalah sama dengan disiplin militer dan jiwa satria.
Sebenarnya sebelum pecah perang nama Ki Hok Bun telah dikenal dan kepadanya
telah lama melekat gelar Pendekar Pedang Pelangi. Namun di masa perang saudara
itulah justru dia membuktikan kehebatan dan jiwa besarnya. Dalam setiap
pertempuran Ki Hok Bun bukannya menghadapi perajurit-prajurit atau para perwira
yang pada dasarnya adalah saudara satu bangsanya dan bertempur karena tugas
menjalankan perintah atasan. Justru yang dicari dan dihajarnya habis-habisan
adalah mereka yang berperang untuk maksud tertentu, mencari keuntungan sendiri
atau memancing di air keruh. Orang-orang itu biasanya adalah tokoh-tokoh silat
golongan hitam.
Lantas mengapa Ki Hok Bun membasmi tokoh-tokoh silat lawan dari golongan hitam
sementara dipihaknya sendiri juga terdapat tokoh-tokoh silat culas golongan
hitam seperti Nan-king Ngo-kui"


Wiro Sableng 017 Lima Iblis Dari Nangking di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebenarnya Ki Hok Bun tidak suka terhadap Nan-king Ngo-kui yang pada masa perang
adalah bawahannya langsung. Namun kalau Kaisar Hui Ti sendiri yang mengangkat
dan mengambil mereka sebagai pembantu, mana bisa dia menolak" Lagi pula saat itu
kedudukan Kotaraja Selatan (Nan-king) dalam keadaan gawat. Serangan balatentara
utara demikian dahsyatrnya hingga mau tak mau orang-orang semacam Nan-king Ngokui terpaksa dimanfaatkan tenaganya.
Pada saat Ki Hok Bun memegang pedang pelangi itu bukan semua peristiwa dimasa
perang saudara itu yang terbayang di matanya, melainkan adalah tampang-tampang
lima manusia iblis yang telah membunuh anak istri dan menghancurkan
kehidupannya. "Mereka harus mati di tanganku!" desis Ki Hok Bun. Perlahan-lahan kepalanya yang
mendongak langit di turunkan dan kedua matanya dibuka kembali. Pedang pelangi
dimasukkannya ke dalam sarung lalu disusupkannya di balik punggung pakaian.
Dengan hati berat dia meninggalkan tempat itu. Tujuannya adalah rumah abu Thianan-tang. Ketika sampai di rumah abu, didapatinyaa banyak orang berkumpul di pintu masuk.
Mereka adalah penduduk setempat dan kebanyakan para petani seperti Hok Bun.
Melihat Hok Bun datang, salah seorang dari mereka yang agaknya menjadi wakil
orang-orang itu maju mendatangi dan menyampaikan rasa berlasungkawa sedalamdalamnya atas musibah yang telah menimpa lelaki itu.
Kemudian dijelaskan pula bahwa para pemuda desa sudah bermufakat untuk membantu
Hok Bun guna mencari Nan-king Ngo-kui.
Hok Bun terharu sekali mendengar kata-kata itu. Dipegangnya bahu petani itu dan
berkata, "Lo-pek, aku menghaturkan terima kasih padamu dan juga pada semua
saudara-saudara di sini. Soal dendam kesumat terhadap lima manusia iblis itu
adalah urusan pribadiku. Aku akan mencari mereka sekalipun ke neraka. Dengan
tanganku sendiri akan kuhabisi nyawa mereka satu persatu. Sekali lagi terima
kasih. Thian akan membalas kebaikan dan ketulusan budi kalian."
Selesai berkata demikian Ki Hok Bun langsung masuk ke dalam rumah abu. Seorang
pegawai mengantarkannya ke tempat di mana dua buah peti kecil berisi abu anak
dan istrinya disimpan.
Di hadapan peti-peti kecil itu Ki Hok Bun bersembahyang. Selesai sembahyang,
sambil bercucuran air mata dia tak dapat lagi menahan diri. Tiba-tiba sret! Hok
Bun cabut Kim-hong-kiam.
Tujuh sinar pelangi berkilauan. Pegawai rumah abu sampai tersurut saking kaget
dantakutnya karena disangkanya tiba-tiba saja Ki Hok Bun menjadi mata gelap dan
hendak mengamuk.
"Istriku The Cun Giok dan anakku Sun Bie. Kalian dengarlah baik-baik. Aku Ki Hok
Bun, suami dan ayahmu bersumpah untuk mencari dan membunuh lima manusia biadab
yang telah berlaku keji dan membunuh kalian. Percayalah, kematian mereka akan
jauh lebih sengsara dari penderitaan yang telah kalian terima dari mereka.
Semoga Thian memberikan tempat yang sebaik-baiknya bagi kalian di alam baka!" Ki
Hok Bun sarungkan pedangnya kembali, putar tubuh dan tinggalkan rumah abu itu.
*** 7 SAAT itu telah memasuki musim semi. Pohonpohon yang tadinya hanya merupakan
cabang-cabang gundul dan rerantingan kini mulai ditumbuhi dedaunan hijau segar.
Bunga-bunga kemudian mulai bermekaran dari kuncupnya. Kemanapun mata dilayangkan
kehijauan segarlah yang kelihatan menyedapkan mata.
Di tikungan sebuah sungai berair jernih dan dangkal dan dasarnya ditebari batubatu kecil, lima orang berjubah hitam asyik membersihkan wajah masing-masing.
Sekalipun telah dicuci tetap saja tampang-tampang mereka tampak kotor liar
berangasan, penuh ditumbuhi cambang bawuk, kumis dan jenggot tak terurus.
Mereka bukan lain adalah Tui-hun Hui-mo, Tiat-thouw-kui, Ang-mo It-kui, Gui-kun
Kui-to dan pangcu (pimpinan) mereka biang iblis bernama Bu Ceng bergelar Nanking Kui-ong. Setelah mencuci muka masing-masing mereka mencari tempat duduk di sekitar
perapian yang telah padam untuk menikmati kelinci panggang. Ang-mo It-kui dari
tadi tampak tidak tenang.
Sebentar-sebentar dipeganginya perutnya.
"Ada apa dengan kau?" bertanya Bu Ceng.
"Perutku sakit," sahut Ang-mo It-kui seraya mengunyah daging kelinci dengan muka
berkerenyit. Perutnya mulas. Entah apa sebabnya. Sejak tadi malam hal ini dirasakannya. Tadi
telah dicobanya untuk buang hajat besar tapi tak mau keluar. Berulang kali dia
kentut di dalam jubahnya yang hitam dan bau apak itu. Mulas perutnya semakin
tidak tertahankan. Agaknya sekali ini dia betul-betul akan buang air besar.
Daging kelinci yang belum habis dimakannya dibuangnya ke tanah. Lalu dia berdiri
menuju bagian tikungan sungai yang tertutup rapat oleh pohon-pohon dansemak
belukar lebat. "Eh, kau mau kemana lagi?"tanya Gui-kun Kui-to.
"Buang hajat besar!" jawab Ang-mo It-kui tanpa menoleh. Sesaat kemudian dia
sudah lenyap di balik pepohonan dan semak belukar kira-kira sepuluh tombak dari
tempat dimana kawan-kawannya berada.
Sementara Ang-mo It-kui mendekam di sebelah sana dan kawan-kawannya asyik
menyantap daging kelinci panggang, Si Golok Iblis Gui Kun membuka mulut.
"Aku kawatir kalau-kalau tiga peti emas yang kita sembunyikan itu diketahui
orang dan digasak habis!"
Sebelumnya, beberapa hari yang lalu, untuk mempercepat perjalanan Bu Ceng telah
memutuskan menyembunyikan tiga peti emas rampokan di satu tempat rahasia.
Sambil mengunyah daging kelinci panggang dalam mulutnya, Bu Ceng alias Nan-king
Kui-ong berkata, "Kalau tak ada di antara kita yang berkhianat, sampai kiamat
tak ada orang lain yang bakal tahu rahasia itu."
Tiai-thou-kui mengunyah daging kelinci dalam mulutnya dengan segan-seganan.
"Lama-lama aku jadi jemu juga dengan kehidupan macam begini ..."
Sepasang mata Nan-king Kui-ong membeliak. Dia semburkan makanan dalam mulutnya,
meneguk tuak dari buli-buli kecil, menyeka mulut lalu bertanya dengan nada
garang. "Kau bilang apa tadi Tiat-thou-kui?"
Sesaat Tiat-thou-kui jadi kuncup juga nyalinya melihat pandangan mata dan wajah
pangcunya itu. Dia tahu Nan-king Kui-ong sangat tersinggung bahkan marah sekali
mendengar kata-katanya tadi. Sambill usap-usap kepala botaknya dia berkata,
"Kau jangan buru-buru marah dulu pangcu. Tapi coba kau pikir dengan hati dingin
dan otak tenang. Sepanjang hari kita selalu di rongrong oleh kawatir karena
alat-alat kerajaan senantiasa melakukan pengejaran dan mencari kita dimana-mana.
Belum lagi tokoh-tokoh silat golongan putih atau yang bekerja untuk Yung Lo.
Dalam pada itu sampai saat ini sisa-sisa pasukan yang terpecah dan berhasil kita
kumpulkan masih sangat kecil. Bahkan kita banyak mendapat tantangan dari orangorang sendiri. Seperti si Ki Hok Bun itu misalnya..." Tiat-thou-kui menghentikan katakatanya dan sejenak memandang pada pangcunya.
"Terus . . . teruskan pidatomu Tiat-thou-kui!" kata Bu Ceng.
"Bukan pidato pangcu. Maafkan aku. Ini Cuma sekedar untuk dipikirkan,
Kuperhitungkan, sampai setengah tahun dimuka belum tentu kita dapat mewujudkan
apa yang menjadi rencana kita.
Kalau kurenungkan dalam-dalam bukankah lebih baik bila emas rampasan yang tiga
peti itu kita bagi lima, lalu mencari jalan sendiri-sendiri untuk menempuh hidup
baru..." Nan-king Kui-ong menyeringai aneh.
Tiba-tiba dia melompat dan mencekal leher jubah Tiat-thou-kui, sekaligus
menyentakkannya hingga si kepala botak itu terangkat tegak.
"Tiat-thou-kui keparat! Dengar baik-baik. Jangan kau berani bicara seperti itu
lagi di hadapanku, bahkan jangan kau berani punya jalan pikiran seperti itu.
Jangan coba pengaruhi teman-temanmu dengan mulut manis. Atau kau akan kubunuh
detik ini juga!"
Sesaat kedua orang itu saling pandang. Nan-king Kui-ong dengan mulut komat kamit
entah mengucapkan apa lalu mendorong keras keras dada Tiat-thou-kui hingga si
botak ini jatuh terjengkang di tanah.
Untuk beberapa lamanya tak satu orangpun yang membuka mulut. Sunyi bahkan
siliran tiupan anginpun tidak kedengaran. Namun mendadak sontak kesunyian itu
dirobek oleh satu jeritan amat menggidikkan. Suara jeritan Ang-mo It-kui!
Keempat orang itu tersentak kaget. Saling pandang sesaat.
"Itu jeritan Ang-mo It-kui ..." kata Si Golok Iblis Gui Kun.
Kontan keempat mereka melompat ke arah semak-semak dan pepohonan rapat di ujung
kanan dari mana datangnya jeritan itu.
Beberapa langkah lagi mereka akan sampai pada deretan pohon-pohon tersebut tibatiba dari balik kerimbunan semak belukar melesat sebuah benda merah kehitaman,
menyambar deras ke jurusan Nan-king Kui-ong dan tiga kawannya.
Dalam keterkejutan ke empatnya cepat berkelit menghindarkan diri. Benda merah
tadi jatuh ke tanah. Begitu mereka perhatikan maka masing-masing empat manusia
iblis itu keluarkan seruan keras.
Tampang mereka kontan menjadi pucat pasi laksana kain kafan. Betapakan tidak.
Kelelawar Hijau 5 Dewa Linglung 8 Pertarungan Dua Naga Utusan Lembah Kubur 1

Cari Blog Ini