Ceritasilat Novel Online

Badai Di Parangtritis 1

Wiro Sableng 042 Badai Di Parangtritis Bagian 1


1 SIANG ITU laut selatan tampak
cerah. Ombak memecah tenang
di pantai Parangtritis. Burungburung laut terbang
berkelompok-kelompok dan
angin bertiup membendung
teriknya sinar sang surya.
Belasan perahu tampak
berjejer di tepi pasir. Para
nelayan sibuk memperbaiki dan
membenahi jaring masingmasing untuk persiapan turun
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
WEB, http://hanaoki.wordpress.com
ke laut malam nanti. Di tepi
pantai, dibawah jejeran pohonpohon kelapa anak-anak ramai bermain-main. Baik nelayan-nelayan maupun anak-anak
itu semuanya serta merta memalingkan kepala ketika telinga mereka menangkap
suara tiupan seruling yang keras dan merdu. Yang meniup seruling ternyata adalah
seorang bocah bertelanjang dada. Anak ini meniup suling bambunya sambil duduk di
atas punggung seekor kerbau yang melangkah di sepanjang jalan di teluk.
"Anak si Kantolo itu pandai sekali meniup suling. Mengalahi kepandaian
ayahnya...." berkata salah seorang nelayan lalu menyedot rokok kawungnya dalamdalam. Ketika anak dan kerbau bergerak menjauhi tepi pasir seorang nelayan berseru,
"Bocah pintar! Berhenti saja di bawah pohon kelapa sana! Teruskan meniup
sulingmu agar kami terhibur!"
Anak di atas punggung kerbau tertawa lebar. Dia mengacung-acungkan suling di
tangan kanannya dan terus berlalu, tidak mengacuhkan permintaan orang.
Saat itu tiba-tiba terdengar suara ringkik kuda keras dan berkepanjangan. Dari
arah berlawanan jalannya kerbau, muncul sebuah delman ditarik seekor kuda coklat
yang lari kencang seperti dikejar setan sambil tiada hentinya meringkik dan
melejang-lejangkan kaki. Anak yang tadi meniup suling cepat-cepat membawa
kerbaunya ke tepi jalan. Ketika delman itu lewat di depannya si anak tiba-tiba
keluarkan pekik ketakutan, melompat turun dari punggung kerbau dan lari
sekencang-kencangnya ke arah nelayan-nelayan yang ada di sepanjang jejeran
perahu. Mukanya pucat dan nafasnya memburu.
"Ada apa Kambali"!" bertanya seorang nelayan.
"Del.... delman itu " bocah bernama Kambali menunjuk dengan muka masih pucat dan
tangan gemetar ke arah delman yang saat itu hampir lenyap di kelokan teluk.
Semua orang memandang ke jurusan yang ditunjuk. Memang ada keanehan. Di atas
delman, dari kejauhan para nelayan sama sekali tidak melihat kusir ataupun
penumpang. Tetapi Kambali yang tadi sempat dilewati kendaraan itu melihat jelas tiga sosok
tubuh bersimbah darah malang melintang di atas delman!
"Kenapa delman itu Kambali?" tanya nelayan yang lain.
Nelayan Satunya ikut bicara, "Bukankah itu delman milik Ageng Lontar, juragan
kita?" "Eh, kau betul! Kambali katakan lekas! Kau melihat sesuatu!
Mengapa wajahmu pucat dan tubuhmu menggigil anak"!"
"Ada tiga orang.... ada tiga orang di atas delman itu,"
menerangkan Kambali. "Semuanya rebah malang melintang. Tubuh mereka penuh luka
bergelimang darah.... Saya takut ...."
"Anak ini tidak dusta! Sesuatu telah terjadi!"
"Jangan-jangan...."
"lebih baik kita berlari mengejar delman! Kuda itu tampaknya lari ke jurusan
rumah kediaman Ageng Lontar!"
Tanpa diberi aba-aba lagi, semua nelayan yang ada di teluk serta merta lari
berhamburan ke arah lenyapnya kuda penarik delman tadi.
Mereka lari menuju rumah kediaman Ageng Lontar, juragan ikan yang memiliki
belasan perahu sekaligus juragan ternak yang mempunyai puluhan kerbau dan sapi,
belum lagi kambing itik dan ayam. Di kaki bukit sebelah timur sawahnya puluhan
petak. Ageng Lontar memang dikenal sebagal orang kaya raya di pantai selatan.
Dia terkenal bukan saja karena kekayaannya tetapi karena sikap pemurahnya kepada
orang-orang yang bekerja untuknya, juga orang-orang lain yang sewaktu-waktu
membutuhkan pertolongan apa saja. Karena itulah penduduk setempat telah samasama bersepakat umuk memilihnya sebagal Kepala Desa pada pergantian jabatan
bulan di muka. Ketika nelayan-nelayan teluk Parangtritis itu sampai di rumah kediaman Ageng
Lontar, halaman rumah itu telah penuh dengan kerumunan manusia. Selusin lelaki
tampak menjirat leher dan empat kaki kuda coklat hingga binatang yang tadi
seperti gila ini kini angsrok ke tanah tak berkutik. Dan di dalam delman yang
tersungkur miring ke tanah, tampaklah pemandangan yang mengerikan.
Seperti yang sebelumnya dilihat dan diterangkan bocah bernama Kambali, di dalam
delman menggeletak tiga sosok tubuh bersimbah luka dan darah mulai dari kepala
hingga ke tubuh. Meskipun wajah-wajah itu rusak mengerikan namun semua orang
masih dapat mengenali dengan jelas siapa adanya ketiga orang itu.
Yang pertama, yang menggeletak paling bawah lantal delman adalah Ageng Lontar
sendiri. Pakaiannya yang berwana kelabu tampak merah dan basah oleh darah.
Pakaian itu robek-robek di beberapa tempat menyingkapkan luka-luka mengerikan.
Muka Ageng Lontar seperti dicincang. Hancur mengerikan. Hidungnya hampir
sumplung dan salah sebuah dari matanya tak ada lagi di rongganya!
Orang kedua yang bernasib malang di atas delman adalah istri Ageng Lontar. Lukaluka pada wajahnya tidak seberapa dan tubuhnya hampir seperti tidak berpakaian
lagi. Mungkin dirobek sebelum atau sesudah dia dibunuh. Dan berat dugaan orang
banyak, perempuan yang jauh lebih mudah dari Ageng Lontar ini telah diperkosa
karena pakaiannya di sebelah bawah tersingkap menusuk mata!
Korban ketiga yang menggeletak di lantai delman sebelah depan adalah pemuda yang
dikenal dengan nama Jajamat, orang yang telah bekerja lebih dari lima tahun
sebagai kusir kereta keluarga Ageng Lontar.
Semua orang yang berkerumun di tempat itu merasakan kuduk merinding dan tubuh
menggeletar. Siapa yang telah melakukan pembunuhan keji biadab seperti ini" Dan
hampir tak dapat dipercaya ada orang yang mau membunuh orang sebaik Ageng
Lontar, bahkan juga istri serta kusir delman! Siapa pelaku jahanam itu"
Gerombolan rampok" Tak ada rampok malang melintang di teluk Parangtritis bahkan
di pantal selatan waktu itu. Musuh" Semua orang tahu Ageng Lontar tak pernah
punya musuh! Lalu siapa "!
Pertanyaan itu belum lagi terjawab. Tiba-tiba dari arah rumah besar terdengar
pekik perempuan. Seorang gadis menghambur lari ke arah delman sambil tiada henti
berseru memanggil. "Ayah.... ayah!"
Tapi begitu sampai di depan delman dan menyaksikan pemandangan di dalam kereta,
si gadis langsung pingsan dan rubuh setelah lebih dahulu memekik dahsyat!
Beberapa orang segera menggotongnya ke dalam rumah.
"Mayat-mayat ini harus diurus! Ambil usungan dan bawa ke dalam rumah!" terdengar
seorang berbicara. Namun belum ada yang bergerak, satu suara laln terdengar
lantang. "Menyingkir! Apa yang terjadi disini?"
Orang banyak yang berkerumun di sekitar delman palingkan kepala. Mereka melihat
munculnya seorang laki-laki bertubuh kekar, berambut kelabu dan memegang sebuah
tongkat sepanjang tiga jengkal. Orang ini adalah Ki Demang Wesi, Kepala Desa
Parangtritis. "Ki Demang! Untung sampean datang!" seorang nelayan membuka mulut.
"Juragan Ageng Lontar dan istrinya dibunuh orang. Juga kusir Jajamat!"
Ki Demang Wesi mendorong dan menyeruak diantara kerumunan orang. Langkahnya
terhenti didepan delman. Parasnya berubah dan rahangnya menggembung.
"Hanya iblis yang bisa melakukan kekajaman seperti ini!" desis Kepala Desa itu.
"Kalian semua harus membantu atau menemukan si pembunuh!"
"Kami akan membantumu Kepala Desa!" jawab orang banyak.
Ki Demang memandang berkeliling. Sepasang matanya berhenti bergerak dan
pandangannya tertancap pada seorang pemuda bertampang tolol, berambut awutawutan dan tegak memandang ke arah delman sambil tiada henti geleng-gelengkan
kepala. Pakaian putihnya yang lusuh di bagian dada lampak ada warna merah.
Percikan darah.
"Kurasa kalian tidak perlu bersusah payah membantuku! Aku sudah tahu siapa
pembunuhnya!" ujar Ki Demang yang membuat semua orang terkejut dan memandang tak
berkesip pada Kepala Desa mereka itu. Ki Demang angkat tangan kanannya, menunjuk
tepat-tepat pada pemuda berpakaian putih lalu berseru, "Tangkap pemuda gondrong
itu!" Beberapa orang dengan cepat mencekal kedua tangan si pemuda.
Ada yang menelikung lehernya, ada pula yang menjambak rambutnya.
"Hai! Apa-apaan in"!" teriak si pemuda sambil coba meronta untuk lepaskan
pegangan orang banyak. Tapi tidak bisa, dan saat itu semakin banyak orang yang
ikut mencekalnya.
"Kepala Desa! Apa-apaan ini"!" pemuda itu kembali bertanya.
"Jangan banyak tanya! Kaulah pembunuh suami istri Ageng Lontar dan juga kusir
delman!" "Tuduhan gendeng!" teriak si pemuda tampak marah. "Aku barusan saja sampai di
tempat ini! Bagaimana enak saja kau menuduhku"!"
"Kau orang asing di sini! Siapa kau akan segera aku usut. Noda darah di
pakaianmu menjadi bukti bahwa kau ada sangkut pautnya dengan kematian ketiga
orang dalam delman!"
Si pemuda memperhatikan percikan darah di pakaiannya. Lalu berkata, "Darah ini
memang darah..."
"Nah apalagi! Kau sudah mengaku!" ujar Ki Demang.
"Kata-kataku belum habis! Darah ini memercik dari lantai delman, tepat ketika
delman rubuh dan aku sampal didekatnya! Lihat saja, saat inipun masih ada darah
yang menetes dari lantai delman!"
"Siapa percaya ucapanmu!" sahut Ki Demang ketus. "Sebagian dari kalian bawa
pembunuh itu ke Balai Desa. Selebihnya segera mengurus jenazah-jenazah ini!"
Melihat orang tetap menuduh, si pemuda jadi penasaran. Kaki kanannya bergerak.
Dua orang yang mencekalnya jatuh tergelimpang.
"Pembunuh biadab! Sekali lagi kau berani melawan akan kusuruh semua orang di
sini mencingcangmu!" Ki Demang Wesi berteriak marah dan mengancam.
"Aku tidak bersalah! Aku bukan pembunuh! Siapa yang berani melarang aku membela
diri!" Mendengar ucapan itu KI Demang Wesi jadi beringas. Lalu berteriak, "Bunuh pemuda
itu!" Orang banyak berteriak ikut terangsang marah. Berbagai senjata dihunus.
"Kepala Desa, kalau kau tidak menyuruh orang-orang ini melepaskanku, jangan
salahkan aku apa akibat yang terjadi!"
Ki Demang menyeringai. "Manusia biadab! Lagakmu hebat sekali! Biar aku yang
pertama sekali menghajarmu!" Habis berkata begitu Ki Demang Wesi tusukan tongkat
di tangan kanannya ke arah mata kiri pemuda yang berada dalam keadaan dicekal
orang banyak. Jauh sebelum menjadi Kepala Desa, Ki Demang Wesi adalah murid keempat seorang
guru silat di Bukit Tunggul. Kabarnya guru silat itu juga memiliki berbagai
kesaktian yang kemudian diturunkan pada Ki Demang Wesi. Lalu ada pula kabar
bahwa Ageng Lontar masih punya kaitan atau hubungan dengan guru silat tersebut
karena Ageng Lontar pernah pula berguru pada adik guru di Bukit Tunggul.
Dengan kata lain antara Ageng Lontar dan KI Demang Wesi ada hubungan dekat lewat
guru masing-masing.
Pemuda yang diserang dengan tongkat ke arah mata kirinya tentu saja terkejut
melihat bahaya yang mengancamnya. Apalagi dia dapat merasakan adanya sambaran
angin mendahului tusukan itu.
Gerahamnya bergemelatakan menahan marah namun marah itu akhirnya meledak juga.
Didahului satu bentakan si pemuda menyikutkan kedua tangannya. Bersamaan dengan
itu tubuhnya dia jatuhkan ke belakang. Kaki kanannya menendang ke depan.
Empat orang mencekal si pemuda terpelanting dan jatuh bergelimpangan di tanah.
Meskipun mereka tidak cidera namun masing-masing mereka merasakan mereka seperti
diserang demam panas.
Untuk beberapa lamanya ke empatnya terhampar ke liangan.
Ki Demang Wesi sendiri yang tidak menyangka si pemuda dapat loloskan diri dari
begitu banyak orang yang mencekalnya jadi lebih terkejut ketika tusukan
tongkatnya yang sanggup menembus mata dan batok kepala si pemuda dapat dielakan
bahkan kini satu tendangan mematikan menghantam ke arah selangkangannya!
Maklumlah kini Kepala Desa itu bahwa pemuda yang dituduhnya sebagai pembunuh
suaml istri Ageng Lontar dan kusir delman Jajatma bukanlah seorang pemuda
sembarangan, tapi pasti sekali memiliki
"isi".
"Bagus! Rupanya kau mengusal ilmu silat! Jangan harap dengan kepandaianmu itu
kau bisa lolos dari tempat ini!" Lalu KI Demang Wesi susul ucapannya itu dengan
teriakan agar semua orang yang ada di tempat itu melakukan pengurungan, jangan
sampai si pembunuh lolos.
"Kepala Desa, aku bilang sekali lagi padamu!" sentak pemuda berpakaian putih
itu. "Aku tidak melakukan pembunuhan!"
"Siapa percaya padamu!" tukas Ki Demang Wesi. Tongkat di tangan kanannya diputar
seperti titiran dan mengeluarkan suara menderu. Dengan senjata ini kembali dia
menyerang pemuda itu.
Yang diserang tak tinggal diam. Dia berkelebat beberapa kali.
Memasuki jurus kedua terdengar pemuda ini berseru, "Lihat tongkat!"
Ki Demang Wesi tidak perdulikan bentakan orang. Sebagai orang silat yang
berpengalaman dia tidak mau tertipu oleh berbagai gerak ataupun ucapan lawan.
Tongkatnya menderu ke arah dada lalu menusuk ke arah leher. Tapi Kepala desa ini
jadi kaget ketika dirasakan dan dilihatnya sendiri tangan kiri lawan tahu-tahu
sudah memegang ujung tongkatnya padahal ujung senjata itu hanya tinggal seujung
kuku dari tenggorakan lawan!
Kepala Desa Parangtritis coba selamatkan senjatanya dari rampasan lawan, tetapi
si pemuda telah lebih dulu membetot! Kini giliran si pemuda yang jadi kaget.
Karena ketika dia merasa sudah berhasil merampas senjata lawan, ternyata yang
dipegangnya hanyalah bagian tongkat yang berupa sarung belaka. Sedang di tangan
kanan Ki Demang saat itu tampak bagian lain dari tongkat yang berbentuk hulu
lengkap dengan mata pisaunya yang panjang. Ternyata tongkat itu adalah sebuah
golok pendek yang tajam berkilauan!
Ki Demang Wesi menyeringai mengejek.
"Pembunuh, kau telah tolong membukakan sarung senjataku.
Berarti kau memang sudah siap untuk menerima kematian sesuai dosamu!"
Si pemuda balas mengejek. "Lagakmu seperti malaikat maut saja!
Aku tidak mau meneruskan perkelahian ini karena aku memang bukan pembunuh!"
Habis berkata begitu pemuda ini bantingkan sarung golok ke tanah. Benda itu
menancap di tanah sampai setengahnya.
"Kau kira aku takut dengan pertunjukanmu! Di tempat lain kau boleh pamer ilmu
anak muda! Tapi di hadapanku kau harus serahkan nyawa!" Ki Demang Wesi lalu
menyerbu dengan golok pendeknya.
Senjata ini mengeluarkan angin deras menebar hawa dingin. Pastilah ini sebuah
senjata mustika andalan.
Lima jurus Kepaia Desa itu menyerbu dengan ganas. Goloknya menyambar dan menusuk
ke sana ke mari. Tetapi dia seolah-olah berkelahi sendiri karena setiap
serangannya hanya mengenai tempat kosong. Lawannya ternyata gesit sekali dan
seperti dapat membaca serangannya, dia mendahului bergerak untuk menghindari
tusukan atau sambaran golok. Kepala Desa itu jadi marah dan juga malu. Dia
merasa dipermainkan di sekian banyak mata penduduk Parangtritis.
Didahului oleh bentakan garang dia rubah permainan silatnya.
Tubuhnya kini melompat-lompat ke udara seperti bola karet yang membal. Golok di
tangan kanannya berkiblat secara aneh. Dua jurus berlalu terdengar suara brettt!
Dada pakaian si pemuda robek besar.
Pemuda ini berseru kaget dan melompat mundur! Golok Ki Demang Wesi bukan saja
merobek pakaiannya di bagian dada, tapi kulit dadanya juga ada yang ikut
tergurat! "Kepala Desa sialan..." maki sipemuda. "Kau merobek pakaianku! Kau harus
menelannya sekalian!" Lalu semua orang melihat pemuda itu merobek sendiri
pakaiannya di bagian depan.
Robekan kain pakaian dibuntalnya lalu dia melangkah mendekati Kepala Desa itu.
Tentu saja Ki Demang Wesi kembali menyambutnya dengan serangan golok dalam
gerakan melompat-lompat yang aneh seperti tadi. Hanya saja kali ini dia kecele.
Kehebatan dan keanehan ilmu silatnya itu menjadi tidak berguna karena pemuda
lawannya kini telah pula mengeluarkan jurus dan gerakan aneh. Tubuhnya sepertl
orang mabuk sempoyangan kian kemari. Bagi Ki Demang keadaan tubuh lawan seperli
itu merupakan sasaran serangan yang ernpuk.


Wiro Sableng 042 Badai Di Parangtritis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi sungguh aneh, setiap dia menyerang, tubuh atau kepala lawan sudah bergerak
ke jurusan lain sementara tangannya yang memegang buntalan kain bergerak-gerak
berusaha menggapai ke arah mulutnya!
Ki Demang merangsak sekali lagi. Inilah kali terakhir dia mampu menyerang.
Karena sesudah itu terdengar suaranya seperti tercekik.
Sesaat kemudian halaman rumah Ageng Lontar jadi ramai oleh suara tawa orang
banyak, padahal di situ masih tergelimpang tiga jenazah yang belum sempat
diurus! Apa yang terjadi dan apa yang kini disaksikan penduduk desa" Di depan mereka
tampak Ki Demang Wesi berdiri dengan mata melotot dan mulut tersumpal potongan
kain. Lalu celana luar dan celana dalamnya kelihatan merosot sampai ke lutut
hingga aurat terlarangnya tersingkap dengan jelas. Kepala Desa ini sadar penuh
apa yang terjadi dengan dirinya, tapi dia tak bisa menggerakan tangan untuk
menarik buntalan kain yang menyumpal mulutnya, juga tidak mampu untuk menarik
celananya ke atas. Kepala Desa ini ternyata berada dalam keadaan kaku tegang
akibat satu totokan yang bersarang di pangkal lehernya. Karena perhatian orang
banyak hampir semuanya tertuju pada sang Kepala Desa, tidak satupun menyadari
kalau pemuda berpakaian putih dan berambut gondrong awut-awutan tadi tak ada
lagi di tempat itu.
*** 2 MESKIPUN HATINYA kini lega dapat meninggalkan desa di Parangiritis itu namun
masih ada satu tanda tanya yang mengganjal hati si pemuda. Siapa yang telah
membunuh Ageng Lontar dan istrinya serta kusir delman secara biadab seperti itu.
Ingin sekali ia menyingkap tabir rahasia pembunuhan itu. Namun selama orang desa
masih mencurigainya sebagai pembunuh akan sulit baginya untuk bergerak. Apalagi
dia masih ada satu keperluan penting di timur.
"Kepala Desa sialan! Enak saja dia menuduhku!" Si pernuda memaki sendirian.
Diperhatikannya pakaian putihnya yang robek besar di bagian dada, kotor bernoda
debu dan darah sambil jalan akhirnya pakaian itu dibuka lalu dilemparkannya ke
semak-semak di tepi jalan. Pada saat itu pula tiba-tiba terdengar suara orang
mendamprat. "Manusia sial dangkalan! Siapa kau yang berani melemparkan pakaian busuk ke atas
kepala orang!"
Sf pemuda yang telah berjalan beberapa langkah serta merta berhenti dan
palingkan kepalanya. Astaga! Di pinggir jalan yang barusan dilewatinya tampak
berjongkok seorang berpakaian serba hitam. Tak dapat dia duga apakah orang ilu
lelaki atau perempuan karena sekujur kepalanya sampai ke wajah tertutup oleh
pakaian putih yang tadi dilemparkannya!
"Aneh! Tadi waktu lewat di situ tak kulihat ada orang sama sekali! Mengapa tahutahu dia muncul di situ dan gila betul! Masakan aku mau-mauan mencampakkan
bajuku menutupi kepalanya begitu rupa!"
Buru-buru pemuda yang kini bertelanjanq dada itu melangkah mendekati orang yang
jongkok di tepi jalan, lalu mengambil pakaiannya. Begitu pakaian diangkat
tampaklah wajah orang itu.
Ternyata dia seorang nenek bermuka hitam yang ketika menyeringai tampaklah
deretan gigi-giginya yang terbuat dari emas berwarna kuning berkilat-kilat.
"Hai! Pendekar 212 Wiro Sableng rupanya!" si nenek menegur, membuat si pemuda
yang memang Wiro Sableng menjadi terkejut karena tidak menyangka nenek itu
mengenal dirinya sedang ia sendiri tidak pernah bertemu perempuan tua itu
sebelumnya. "Aku sudah lama mendengar kekonyolanmu pendekar muda. Hanya saja
tidak menduga kalau begini kurang ajar perilakunya terhadap orang tua!
Berani melemparkan pakalan busuk sampai-sampai menutupi muka dan kepalaku!
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. Dia cepat-cepat duduk di hadapan si nenek,
memberi hormat membungkukkan tubuh lalu berkata, "Aku terima salah nek! Bukan
maksudku berlaku kurang ajar.
Tapi waktu lewat tadi sama sekali tidak melihatmu di sini. Kalau kau memang ada
di sini masakan aku berani berlaku sekurang ajar itu!"
Si nenek tertawa tergelak-gelak. Gigi-gigi emasnya kembali tampak berkilat-kilat
terkena sinar matahari. Wiro sendiri tak habis pikir bagaimana hal tersebut bisa
terjadi. Jangan-jangan si nenek sengaja mempermainkannya dan tampaknya dia
memang bukan sembarang orang tua.
"Pendekar utama tidak memiliki mata tajam! Sungguh tak bisa kupercaya!" berkata
si nenek sambil geleng-geleng kepala. Ucapannya bernada keras tapi wajahnya yang
keriput terus saja mengumbar senyum. "Kalau golok terbang atau panah beracun
yang menyambar dari balik semak belukar dan kau tidak sempat melihatnya berarti
kau akan mati konyol anak muda."
Wiro yang tak mau berdebat dengan si nenek dan menganggap diri merasa salah
hanya manggut-manggut saja lalu berkata, "Harap maafkan diriku..."
Si nenek balas mengangguk. "Aku terima maafmu, kulihat kau tidak berbaju, apa
sengaja hendak memamerkan senjata mustika Kapak Maut Naga Geni 212 itu.... ?"
Astaga! Wiro baru sadar. Dengan membuang pakaian dan setengah telanjang seperti
itu dia tidak menyadari senjata saktinya Kapak Maut Naga Geni tersembul dari
balik pinggang celana. Karena tidak membawa bekal pakaian mau tak mau dia harus
mengenakan kembali pakaiannya yang sudah kotor dan robek besar. Ketika dia
hendak mengambil pakaian itu dari tanah, si nenek tertawa lalu berkata,
"Aku memiliki sehelai pakaian putih. Masih baru. Ukurannya kurasa pasti cocok
dengan tubuhmu!" lalu perempuan tua itu menggerakkan tangan kanannya ke balik
punggung. Sesaat kemudian dia menarik sehelai pakaian putih yang memang ternyata
masih sangat baru. Pakaian itu dilemparkannya ke pangkuan Wiro. "Pakailah!"
"Ah, pakaian bagus!" seru Wiro sambil mengembangkan pakaian putih berlengan
panjang dengan potongan kerah yang menarik. "Kau baik sekali nek. Terima kasih...
" Wiro segera berdiri dan kenakan pakaian putih itu. Ternyata memang cocok
sekali dengan tubuhnya.
Pakaian putih itu terasa enak dipakai. Pada bagian dada sebelah kiri tampak
sulaman benang merah bergambarkan mahkota dan keris silang.
"Kau senang mengenakan pakaian itu pendekar muda?" si nenek bergigi emas
bertanya. "Senang sekali nek, sedap dipakainya. Tapi kalau aku boleh bertanya apa arti
sulaman gambar mahkota dan keris bersilang ini?"
"Ah, itu hanya sekedar gambar yang disukai pembuatnya. Apakah mahkota, keris
atau gambar ular tak ada bedanya..." Sambil bicara si nenek mematahkan sepotong
belukar kering di samping jalan lalu dengan potongan kayu itu dia mengguratgurat di tanah. Ada garis panjang, ada yang berbentuk bola, garis bersilang dan
terakhir sekali si nenek membuat garis panjang mulai dari tepi jalan di sebelah
depannya sampai tepi jalan di dekat dia duduk.
"Lukisan apa yang kau buat nek?" Wiro bertanya.
"Ah, hanya iseng saja. Orang sepertiku mana pandai melukis.
Aih kulihat kau benar-bener gagah dengan pakaian itu pendekar muda.
Aku jadi teringat pada Suto Engging. Wajah dan potongan tubuhmu banyak
kesamaannya dengan dirinya di masa muda."
"Siapa orang bernama Suto Engging itu nek?"
"Kekasihku di masa muda, Lima tahun yang lalu kami berpisah.
Dia ke barat aku ke timur. Tak pernah kudengar lagi kabar tentang dirinya. Tapi
aku yakin dia masih hidup!"
"Ah, pengalaman hidupmu tentu banyak sekali nek. Dan aku yakin di masa muda kau
pasti memiliki paras cantik jelita.
Sekarangpun kau masih kulihat cantik."
Si nenek tampak merah mukanya. Tapi hatinya berbunga-bunga mendapat pujian itu
dan tertawalah dia mengekeh. "Pendekar muda, kau pandai menyenangkan hati orang.
Pangalaman hidup jadi bekal pelajaran masa depan bagi setiap orang. Pengalaman
hidup itu pula yang mengajarku agar tidak melakukan perkawinan dengan siapapun!
Dan percaya atau tidak anak muda sampai hari ini aku yang tua renta masih
seorang perawan sejati! Hik... hik... hik...!"
Wiro merasa tenggorokannya seperti tercekik dengan keterangan si nenek. Dia
cepat-cepat mengangguk dan berkata, "Aku percaya nek.
Dan aku melihat buktinya. Meskipun tua kulihat tubuhmu masih kencang, tak banyak
guratan di wajahmu..."
Si nenek tertawa panjang sampai keluar air mata.
"Nek, aku harus melanjutkan perjalanan. Kau tahu namaku dan pasti tahu banyak
tentang diriku. Sebelum kita berpisah maukah kau mengatakan siapa dirimu ini?"
"Waktu kecil aku diberi nama Tuwini Jenti. Sudah tua begini orang-orang
memanggilku Nenek Hitam Bergigi Emas.
Hik...hik..hik..."
"Terima kasih kau telah menerangkan siapa dirimu. Juga terima kasih lagi atas
pemberian pakaian ini. Aku minta diri sekarang!" Wiro menjura dua kali berturutturut. Ketika dia hendak melangkah pergi dan pada saat kaki kanannya mendekati
garis panjang yang tadi dibuat si nenek dengan belukar kering, mendadak Wino
merasakan seperti ada satu kekuatan yang mendorong kaki kanan itu hingga dia
tidak bisa meneruskan langkah, malah kakinya terbanting ke belakang.
Dicobanya sekali lagi, sekali lagi, sekali lagi lalu dengan mengerahkan seluruh
tenaga tetapi tetap saja dia tidak mampu melewati garis di tanah itu! Maka
diapun berpaling pada nenek yang saat itu masih tetap jongkok di tepi jalan
sambil senyum-senyum.
"Kau memiliki ilmu kesaktian yang mengagumkan, mataku jadi terbuka betapa luas
dan tingginya ilmu kepandaian dan kesaktian di atas dunia ini. Dan apa yang aku
miliki sekarang hanya merupakan satu tetesan kecil belaka! Nek, aku mau jalan.
Mohon diberikan petunjuk...."
Si nenek tersenyum. Dalam hati dia berkata, "Pemuda ini begitu sopan penuh
peradatan. Mengapa banyak orang mengatakannya kurang ajar, konyol dan bersifat
seenaknya" Ah, lama-lama aku bisa jatuh hati padanya"
"Nek, kau seperti melamun. Aku minta petunjuk bagaimana harus melewati garis
aneh yang kau gurat di tanah ini..."
"Oh itu! Mudah saja anak muda. Pergunakan tangan kirimu menghapus garis itu.
Setelah garis hapus kau bisa lewat.... " menjawab Nenek Hitam Bergigi Emas.
Wiro lakukan apa yang dikatakan si nenek. Dia membungkuk.
Dengan telapak tangan kirinya dihapusnya guratan garis yang memanjang di tanah
jalanan. Setelah hapus dia coba melangkah.
Ternyata dia kini bisa melangkah. Kekuatan aneh yang tadi mendorong tak ada
lagi. "Kau luar biasa nek!" memuji Wiro.
Si nenek tertawa. Dia gerakkan tangan kanannya ke mulut.
terdengar suara kraak. Apa pula yang dilakukan perempuan ini, pikir Wiro. Tibatiba si nenek ulurkan tangannya seraya berkata,
"Ambillah! Mungkin ada gunanya di saat kau kesusahan..."
Wiro ulurkan tangannya. Si nenek letakkan sesuatu ke telapak tangan si pemuda.
Ketika diteliti ternyata sebuah gigi emas yang masih basah oleh ludah! Wiro
kerenyitkan kening.
"Aku tidak berani menerima pemberianmu ini nek," kata Pendekar 212.
"Kau jijik"!"
"Tidak..." jawab Wiro agak gagap karena memang walau gigi palsu itu terbuat dari
emas namun ada rasa jijik dalam dirinya. "Jika ini kau berikan berarti kau akan
kehilangan salah satu gigimu!"
"Ambil saja! Aku punya banyak persediaan gigi seperti itu!"
berkata si nenek. "Lihatlah!"
Lalu dari dalam sebuah kantung perempuan tua ini mengeluarkan beberapa potong
gigi emas. Dia mengambil tiga buah lalu mecocokkannya dengan baglan giginya yang
ompong. Gigi kedua ternyata bisa menempel dengan baik. Dia tersenyum sambil
menunjukkan barisan gigi emasnya. "Lihat, gigi-gigiku utuh kembali."'
Wiro garuk-garuk kepala. "Terima kasih atas pemberian gigi emas ini nek. Aku
minta diri sekarang!" Wiro menjura lalu melangkah pergi sambil menggenggam gigi
emas di tangan kanannya.
*** TIGA HARI setelah suami isrti Ageng Lontar dimakamkan, Kepala Desa Parangtritis
Ki Demang Wesi mendatangi rumah kediaman orang kaya di daerah selatan itu
bertemu dan bicara dengan puteri yang merupakan anak tunggal mendiang suami
istri yang Malang itu, yakni Winayu Tindi.
"Anakku Winayu...." Begitu Ki Demang Wesi memulai pembicaraan. Dia memang biasa
memanggil gadis itu dengan sebutan anak mengingat hubungannya dengan Ageng
Lontar yang terkait pada hubungan guru mereka masing-masing. "Kedatanganku malam
ini guna menyambung pembicaraan kita dua hari lalu."
"Apakah pakde Wesi sudah mengetahui siapa pembunuh ayah dan ibu saya?" Winayu
langsung ajukan pertanyaan. Dan gadis ini terbiasa memanggil Kepala Desa dengan
sebutan pakde begitu.
"Belum Winayu. Tapi kita akan mengetahuinya. Ada orang atau kelompok yang akan
dapat membongkar rahasia pembunuhan ayah dan ibumu. Namun kita harus berlaku
hati-hati serta bersedia memberikan sesuatu sumbangan untuk menunjang perjuangan
kelompok tersebut..."
Sulit bagi Winayu untuk mencerna ucapan Ki Demang Wesi itu.
Maka diapun bertanya, "Apa maksud Pakde" Kelompok mana yang pakde katakan tadi"
Lalu sumbangan bagaimana. Pakde juga menyebut-nyebut perjuangan. Saya tidak
mengerti. Kepala saya pusing...."
"Jika kau merasa kurang sehat, pembicaraan ini bisa kita tunda sampai beberapa
hari di muka."
"Tapi saya ingin mengetahui pembunuh biadab itu pakde! Malam ini juga! Bahkan
saat ini juga kalau bisa!"
"Itu tidak mungkin aku lakukan, anakku. Kelihatannya ada masalah besar di balik
kematian kedua orang tuamu. Dan satu-satunya yang bisa membongkar tabir rahasia
ini lalu membekuk pembunuh itu adalah kelompok yang aku katakan tadi. Aku akan
menerangkan siapa-siapa yang ada dalam kelompok itu...."
"Tunggu dulu pakde. Hari ketika ayah dan ibu ditemukan tewas di atas delman
bukankah pakde telah mencurigai seorang pemuda. Pakde menyuruh tangkapnya tapi
gagal. Orang itu berhasil melarikan diri..."
"Memang berat dugaanku saat itu bahwa pemuda tersebutlah yang melakukan
pembunuhan. Kepandaiannya terlalu tinggi hingga aku tidak berdaya menghadapinya.
Namun aku yakin dia tidak bekerja seorang diri. Aku telah menyebar mata-mata
untuk mencari tahu di mana pemuda itu berada. Pimpinan pasukan wilayah juga
telah bersedia untuk mengirimkan sejumlah pasukan guna membantu menangkap pemuda
itu." Winayu Tindi menyeka peluh di keningnya. "Sekarang ceritakan kelompok yang pakde
katakan tadi!"
Ki Demang Wesi mengangguk. "Aku akan terangkan Winayu, asal kau mau berjanji
untuk merahasiakan apa-apa yang kita bicarakan selanjutnya. Ini menyangkut
masalah Kerajaan...."
Bertambah tidak mengerti jadinya gadis itu. Namun karena ingin mendapatkan
keterangan dan lebih dari itu ingin mengetahul siapa pembunuh kedua orang tuanya
maka Winayu anggukkan kepala dan berkata, "Saya berjanji akan merahasiakan apaapa yang bakal kita bicarakan."
"Baik kalau begitu. Aku akan mulai. Dengar baik-baik dan jangan bertanya sebelum
keteranganku selesai," kata Ki Demang Wesi pula.
"Seperti kau sendiri mengetahui anakku, saat ini Baginda terbaring sakit. Raja
kita sedang gering. Di dalam keraton tersiar kabar bahwa ada kemungkinan orangorang tertentu tengah menyiapkan calon pengganti yang sebenarnya belum sampai
haknya atau tidak syah menurut jenjang usia maupun kedudukan ibunya.
Dikawatirkan Sri Baginda telah membuat surat wasiat. Sebelum baginda wafat,
sebelum orang yang tidak berhak menduduki tahta kerajaan, maka sekelompok
pejabat Kerajaan yang didukung oleh enam orang Adipati bermaksud mencalonkan
pangeran Adi Bintang Sasoko sebagai pewaris tahta.
Menurut silsilah saat ini dialah yang berhak memegang tampuk kerajaan karena dia
putera tertua meskipun bukan dari istri pertama Sri Baginda
"Tetapi bukankah Pangeran itu diketahui menderita penyakit kurang ingatan sejak
dia berusia empat belas tahun..?" ujar Winayu pula.
"Itu hanya titnah yang sengaja disebar ke mana-mana dan perjuangan kelompok yang
mendukung Pangeran Adi Bintang ini mendapat dukungan pula dari Keraton Sura,
ditambah oleh banyak sekali tokoh-tokoh rimba persilatan. Jika semua rencana
berjalan baik, kelompok itu bersama ribuan rakyat yang menjadi pendukungnya akan
masuk ke Kotaraja. Begitu tahta jatuh ke tangan Pangeran Adi, semua para
pendukungnya termasuk aku dan kau tidak akan dilupakan. Jabatan tinggi apa saja
bisa kau minta pada Sri Baginda nanti..."
"Saya tidak menginginkan jabatan tinggi pakde. Saya hanya ingin mengetahui siapa
pembunuh ayah dan ibu. Lalu menuntuk balas. Itu saja!" Kata Winayu Tindi.
"Betul, betul... Aku juga tidak melupakan hal itu anakku. Justru itulah sebabnya
kuterangkan panjang lebar mengenai kelompok orang-orang penting ini. Hanya
mereka yang bisa membongkar rahasia pembunuh orang tuamu!"
"Jadi pakde adalah salah seorang anggota kelompok tersebut?"
"Ya, juga ayahmu. Begitu rencananya. Tapi dia tewas sebelum masuk. Kini kaulah
yang menjadi penggantinya. Kau harus bergabung dengan kelompok kami, Winayu!"
"Harus katamu pakde?"
"Harus. Demi meneruskan cita-cita ayahmu. Jika kau sudah masuk kelompok banyak
yang akan membantu mencari tahu siapa pembunuh ayah dan ibumu! Sebaliknya saat


Wiro Sableng 042 Badai Di Parangtritis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini kelompok sangat membutuhkan bantuan dana. Baik dalam bentuk uang, senjata
dan makanan! Kau bisa menyumbangkan dua hal. Uang dan makanan!"
Winayu tegak dari duduknya. Setelah melangkah mundar-mandir gadis yang berusia
delapan belas tahun ini berkata, "Saya tidak mau ikut campur urusan kelompok
pakde itu. Soal bantuan saya tidak keberatan...."
"Terima kasih anakku. Kalau kau bersedia membantu kelompok kami sudah sama
artinya kau telah bergabung dengan kami...." Ki Demang Wesi ikut berdiri. Dia
menyerahkan sebuah bungkusan pada Winayu.
"Apa ini pakde?"
"Kebaya dalam berwarna biru muda polos. Budemu sendiri yang menjahitkannya
untukmu. Aku pergi sekarang Winayu. Jaga dirimu baik-baik..."
Sesaat setelah Kepala Desa itu meninggalkan rumahnya Winayu Tindi membuka
Wungkusan yang tadi diserahkan Ki Demang. Ketika dibuka ternyata memang sehelai
kebaya panjang berwarna biru muda, polos dengan renda-renda di bagian dadanya.
Lalu ketika kebaya itu dibentang, Winayu melihat sulaman gambar mahkota dan
keris bersilang dari benang merah, terletak di bagian dada kiri kebaya itu
*** 3 PENDEKAR 212 Wlro Sableng terheran-heran sejak dia mulai memasuki pinggiran
Wonosari. Semua orang yang ditemuinya dan dipapasinya pasti menjura hormat,
paling tidak menganggukkan kepala atau merendahkan bahu.
"Eh, jadi siapa aku hari ini rupanya! Semua orang memberi hormat. Seolah-olah
aku ini seorang pangeran!" begitu murid Sinto Gendeng tak habis pikir dalam
hati. Ketika perutnya terasa lapar dan pendekar ini memasuki sebuah kedai makanan,
penyambutan orang kedai dan tamu-tamu yang ada di situ membuat Wiro jadi salah
tingkah. Semua orang yang sedang makan langsung tegak berdiri begitu dia muncul
di pintu kedai.
Pemilik kedai bersama istri dan seorang pelayannya buru-buru datang menyambut
dan mempersilahkannya duduk di kursi paling bagus, di ujung meja besar.
"Raden, maafkan keadaan kedai yang sangat sederhana ini. Orang seperti raden
tidak pantas makan di sini. Ini satu kehormatan besar bagi kami suami istri
mendapat kunjungan raden..." begitu pemilik kedai berkata.
"Raden...Aku dipanggil raden ...." ujar Wiro dalam hati sambil garuk-garuk
kepala dan tertawa lebar. "Bintang apa yang jatuh di kepalaku hari ini..."
"Raden, silahkan duduk menunggu. Tidak lama. Kami akan hadiahkan makanan paling
enak dan segar. Apakah raden ingin minum tuak nomor satu...?" bertanya istri
pemilik kedai. "Terima kasih. Beri aku air putih biasa saja. Uangku tak cukup banyak untuk
membeli tuak nomor satu..." Jawab Wiro polos.
"Ah, jangan berkata begitu raden, " kata pemilik kedai. "Kami mana berani
memungut bayaran untuk orang seperti dan sepenting raden. Semua demi perjuangan
raden..." Lalu suami istri pemilik kedal itu masuk ke dalam menyiapkan hidangan. Wiro
memandang berkeliling. Setiap orang yang kebetulan melihat kejurusannya buruburu menganggukkan kepala.
"Aku ini dikatakan orang penting...Gila! Apa sebenarnya yang terjadi di kota
ini. Jangan-jangan mereka salah sangka. Jangan-jangan ada seorang terhormat yang
tampangnya mirip wajahku yang jelek ini.
Ha..ha..Eh, tadi orang kedai itu mengatakan perjuangan! Perjuangan apa..." Ah
perduli setanlah! Perutku lapar, makan dan bayar lalu pergi.
Tapi orang kedai itu bilang aku tak usah bayar! Rejeki besar kalau begitu! Tapi
bagaimana semua ini bisa terjadi..."!"
Tak lama menunggu hidanganpun diletakkan di atas meja. Mulai dari sebakul nasi
putih harum mengepul, dua potong ikan mas bakar, satu panggang ayam, sayur
semangkuk besar lalu masih ada kerupuk tempe dan sayur segar lengkap dengan
sambal terasi di cobek besar.
"Silahkan makan raden, silahkan..." Kata pemilik kedai berulang kali sambil
membungkuk-bungkuk sementara istrinya meletakkan sebuah cangkir tanah dan bulibuli berisi tuak harum.
Tanpa tunggu lebih lama Wiro menyantap makanan yang dihidangkan. Selesai makan
dia meneguk tuak nikmat dan harum, lalu duduk terperangah kekenyangan. Kedua
matanya setengah terpejam saking enaknya tapi juga mengantuk.
Istri pemilik kedai mendatangi dan berkata, "Raden, jika kau mengantuk dan ingin
istirahat, kami sudah menyiapkan kamar untukmu... "
Wiro menguap lebar-lebar, tersenyum dan menjawab, "Terima kasih, aku harus
melanjutkan perjalanan saat ini juga." Lalu Wiro mengeruk saku celananya dan
meletakkan sejumlah uang di atas meja untuk membayar makanan dan minuman yang
telah disantapnya.
Melihat hal ini suami istri pemllik kedai cepat mendatangi dan berkata, "Raden,
jangan! Ambil kembali uang itu. Semua yang kau telah makan dan minum tidak usah
dibayar..."
Wiro geleng-geleng kepala. "Aneh...aneh..." katanya dalam hati.
"Tidak usah bayar demi perjuangan. Begitu..."
"Betul sekali raden."
"Kalian keliru. Justru demi perjuangan aku harus bayar!" Lalu Wiro cepat-cepat
tinggalkan kedai itu. Ketika dia pergi semua orang berdiri dan membungkuk
memberi hormat.
Suami istri pemilik kedai saling pandang satu sama lain. Sang suami berkata,
"Baru sekali ini aku menemui yang seperti dia. Benar-benar pejuang yang tidak
mau memberatkan rakyat. Simpan baik-baik uang itu istriku. Jangan sampai
terlihat dan diketahui oleh orang-orang Pangeran Adi Bintang Sasoko. Bisa-bisa
kita dituduh menghambat perjuangan!"
Di luar Wonosari terdapat sebuah bukit kecil. Di sini tumbuh pohon-pohon jati
muda. Karena ingin mengambil jalan pintas agar lebih cepat, Wiro sengaja mendaki
bukit. Perjalanan ini menarik sekali karena semakin tinggi ke atas semakin bagus
pemandangan tampak di bawah bukit. Wiro berlari-lari kecil sambil bersiul-siul.
Suara siulannya bergema di hutan jati itu. Tiba-tiba pendekar kita hentikan
siulannya. Ada suara derap kaki kuda di belakangnya. Ketika berpaling, Wiro
melihat ada delapan penunggang kuda mendaki bukit jati dengan cepat. Dalam waktu
singkat delapan orang itu sudah berada di sekelilingnya. Dari sikap mereka jelas
mereka sengaja mengurung Wiro. Dan ternyata mereka adalah tujuh orang prajurit
kerajaan, dipimpin oleh seorang perwira muda
Perwira itu memperhatikan Wiro sesaat. matanya tertuju pada sulaman mahkota dan
keris bersilang di dada kiri pakaian putih sang pendekar lalu diapun berkata,
"Kami tidak ingin membunuhmu, kecuali jika kau tidak mau menyerah secara baikbaik'" Seorang prajurit bersenjatakan kelewang maju mendekati perwira Itu dan berkata,
"Kenapa tidak dibunuh saja bangsat yang satu ini?"
"Kelihatannya dia mempunyai kedudukan yang tinggi. Kita bisa menguras banyak
keterangan darinya. Kembali ke tempatmu prajurit!"
Jawab sang perwira dengan suara agak berbisik.
"Kalian ini mau mengapakan aku?" Wiro bertanya sambil garuk-garuk kepala. Baru
saja beberapa waktu lalu mendapatkan penghormatan dan perlakuan yang membuatnya
merasa seperti seorang pangeran, kini tahu-tahu dia menghadapi perlakuan yang
jauh berlainan. Agaknya bintang terangnya sedang redup!
"Karena kau masih bertanya dengan baik maka aku akan menjawab dengan baik pula,"
menyahuti si perwira muda. "Kau kami tangkap dan akan dibawa ke Kotaraja!"
"Eh, apa salahku sampai ditangkap" Aku tidak membunuh, tidak mencuri dan
merampok!"
Perwira di atas kuda tertawa lalu keluarkan suara mendengus.
"Jangan berpura-pura tolol!" dia mulai keluarkan suara keras.
"Perbuatanmu lebih jahat dari membunuh, merampok atau mencuri!
Kau mau menyerah secara baik-baik atau terpaksa aku menurunkan tangan kasar"!"
"Gila! Tidak bersalah tidak apa-apa disuruh menyerah! Apa-apaan ini!"
"Kalau begitu kau minta digebuk dulu!" Perwira muda itu tampak marah lalu
berterlak pada anak buahnya untuk menangkap Wiro.
Tujuh prajurit melompat turun dari kuda masing-masing. Tiga orang menghunus
senjata untuk melindungi empat kawannya yang ingin meringkus Wiro.
Pendekar 212 tegak tak bergerak sambil bertolak pinggang.
"Perwira, suruh prajurit-prajurit ini mundur! Kalian mungkin keliru
menangkapku!"
"Tidak! Gerak-gerikmu sudah kami kuntit sejak di Wonosari!
Dan dari pakaianmu itu jelas kau adalah salah seorang pentolan berbahaya yang
tengah dicari-cari!"
"Pentolan" Aku pentolan" Pentolan apa...?"
"Masih berani berpura-pura!" gertak perwira muda tadi lalu sekali laqi dia
berteriak memberi perintah anak buahnya agar segera menangkap Wiro. Maka tujuh
prajurit itu kembali bergerak. Kali ini mereka bergerak dengan cepat. Empat
orang berusaha mencekalnya sementara yang tiga todongkan senjata masing-masing.
"Gila!" Wiro mulai jengkel. Prajurit terdekat yang hendak mencekal lehernya
dihantamnya dengan satu jotosan sehingga orang ini terpental dan menjerit
kesakitan. Dua kawannya balas menggebuk, tapi mengalami nasib sama karena lebih
dahulu diterjang jotosan pendekar 212. Melihat ini prajurit-prajurit yang
memegang senjata tanpa menunggu perintah lagi langsung tusukkan senjata masingmasing ke tubuh dan muka Wiro!
Saat itu Wiro sudah mencekal tubuh salah seorang prajurit yang tadi dihantamnya
dan kini mengerang kesakitan sambil pegangi perutnya yang kena tonjok. Ketika
tiga senjata datang menusuk Wiro lemparkan prajurit yang dicekalnya ke arah tiga
prajurit bersenjata.
Melihat hal ini tentu saja mereka yang menyerang dengan senjata terpaksa menarik
pulang serangan masing-masing agar tidak melukai kawan sendiri.
"Kurang ajar! Kau berani melawan dengan mengandalkan kepandaianmu!" Perwira muda
di atas kuda marah sekali. Dia melompat turun dari atas kuda sambil menghunus
sebilah golok pendek yang menjadi senjatanya. Belum lagi kakinya menjejak tanah,
senjata di tangan kanannya itu sudah berkesiuran membabat ke arah kepala
Pendekar 212 Wiro Sableng. Ini satu pertanda bahwa perwira ini memang terlatih
dan memiliki ilmu bela diri yang tinggi.
Begitu kedua kakinya menjejak tanah, perwira itu kirimkan serangan susulan yang
sangat ganas tanda dia memang ingin membunuh lawannya saat itu juga. Wiro
berkelebat mengelak dengan cepat. Lima jurus menempur habis-habisan sang perwira
hanya menghantam tempat kosong.
"Perwira! Sebaiknya lekas pergi dari sini. Bawa semua anak buahmu! Aku tidak ada
silang sengketa denganmu!"
"Kau memang tidak ada silang sengketa denganku secara pribadi!
Tapi kau punya silang sengketa besar dengan Kerajaan!" Menyahuti perwira itu
lalu kembali memburu dengan serangan-serangan gencar.
"Gila! Silang sengketa apa maksudmu"!" tanya Wiro.
"Kau yang gila! Berkomplot menjatuhkan Raja kini bertanya pura-pura tidak tahu!"
Kagetlah murid Sinto Gendeng dari gunung Gede itu. Dia hendak berseru ajukan
satu pertanyaan lagi namun terpaksa bungkam karena di depannya kembali perwira
muda itu menyerbu. Gerakan goloknya tampak berubah dan serangan senjata itu
benar-benar berbahaya kini.
Wiro sadar dia tak bisa bertahan dan mengelak terus-terusan. Satu kali senjata
lawan pasti akan mencelakai dirinya. Ketika dia bersiap untuk kirimkan serangan
balasan tiba-tiba seorang prajurit muncul menunggang kuda dan berteriak.
"Perwira! Bahaya mengancam di bawah bukit!"
Perwira muda itu melompat mundur, melintangkan golok di depan dada dan berpaling
pada prajurit yang barusan datang. "Ada apa"!"tanyanya.
"Serombongan pasukan musuh bersenjata lengkap, berjumlah sekitar lima puluh
orang tengah menuju kemari. Mereka dipimpin oleh dua orang tokoh silat dari
timur. Kita harus menyingkir dari sini.
Kekuatan sangat tidak berimbang!" Begitu prajurit yang datang memberikan
laporan. "Kalian semua lekas menghadang di lereng bukit. Aku akan bergabung dengan kalian
setelah menamatkan riwayat pemberontak yang satu ini!" jawab Perwira muda itu.
"Perwira! Kita semua akan mati konyol jika berani menghadapi kekuatan lawan yang
begitu besar!" jawab prajurit yang datang melapor.
"Aku yang memerintah di tempat ini! Kalian jangan berani menampik!"
Mendengar itu delapan prajurit yang ada di tempat itu tidak berani membuka mulut
lagi. Mereka segera naik ke atas kuda masing-masing, padahal beberapa di
antaranya berada dalam keadaan terluka di dalam akibat gebukan Wiro tadi.
Kedelapan prajurit itu segera menuruni buklt, menyongsong gerakan pasukan basar
yang datang dari bawah.
"Perwira tolol! Kau menyuruh anak buahmu bunuh diri!"
"Mereka memang pantas untuk mampus! Kau! Mari hadapi golokku beberapa jurus
lagi!" "Edan! Perwira macam apa kau ini!" teriak Wiro penasaran.
Da1am hatinya kini muncul niat untuk menghajar perwira itu habis-habisan. Tapi
sebelum menghajarnya dia ingin mempermainkan lebih dulu agar si perwira benarbenar tahu rasa.
Dengan tangan kirinya Wiro patahkan sebatang ranting. Lalu ranting ini dia
pergunakan sebagai senjata untuk menghadapi golok lawan.
"Jika kau punya senjata sebaiknya dikeluarkan saja agar kau tidak mati percuma!"
Wiro menyeringai mendengar ucapan perwra itu dan menjawab:
"Menghadapi perwira tolol sepertimu mengapa harus pakai segala macam senjata.
Ranting ini sudah lebih dari cukup!"
"Bangsat! Kau akan menyesal sampai ke liang kubur!"
"Mulutmu terlalu besar. Jangan menganggap rendah semua orang!" sahut Wiro.
Ranting di tangan kirinya diputar berlawanan arah dengan putaran golok si
perwira. Perwira ini merasakan adanya sambaran angin deras mengepung gerakannya.
Angin yang keluar dari ranting bukan saja membuat goloknya terbendung, tapi
tubuhnya sampai bergoyang keras.
"Lepas!" tiba-tiba Wiro membentak. Ranting di tangan kirinya menusuk ke arah
tenggorokan lawan. Sewaktu si perwira berkelit ke samping rnurtd Sinto Gendeng
cepat pukulkan ranting ke kiri.
Terdengar suara sang perwira terpekik kesakitan ketika ranting itu menghantam
belakang tangannya yang memegang golok. Senjatanya benar-benar lepas mental. Dia
coba melompat untuk menyambar golok itu, tapi kakinya tiba-tiba dihantam
ranting. Untuk kedua kalinya perwira itu menjerit kesakitan. Sewaktu dia turun
ke tanah kembali dilihatnya Wiro sudali tegak dengan senyum mengejek sambil
bolang-bolangkan golok milik si perwira yang kini berada di tangan kanannya.
"Memalukan! Perwira totol! Kalau aku jadi Raja, manusia macammu tak akan
terpakai! Ini, ambil kembali golokmu!"
Habis berkata begitu Wiro lemparkan golok di tangan kanannya ke tanah. Senjata
ini menancap satu jengkal di depan kaki sang perwira dan menghujam tanah sampai
setengahnya. Merasa malu dan marah karena dipermainkan dan diejek begitu rupa, perwira muda
itu cabut goloknya dari tanah. Dengan senjata itu dia hendak menyerbu lawannya
habis-habisan. Tetapi alangkah kagetnya dia ketika golok yang menancap di tanah
itu tak sanggup dicabutnya. Dia kerahkan tenaga dalam sekuat-kuatnya, lalu
pergunakan pula tenaga dalam. Sekujur tubuhnya mandi keringat.
Golok di tanah sama sekali tak bergeming! Tak sanggup dicabutnya.
"Memalukan! Benar-benar memalukan! Ayo kerahkan tenagamu lebih besar perwira
muda! Kalau mencabut golok saja tidak sanggup bagaimana mau berperang melawan
musuh!" "Keparat kurang ajar!" maki si perwira. Dia kerahkan seluruh tenaganya untuk
mencabut golok. Ternyata senjata itu kini mudah sekali dicabut. Hingga tak dapat
dicegah, begitu golok tercabut perwira itu langsung jatuh terjengkang di tanah.
Wiro tertawa tergelak-gelak. Merah padam muka si perwira. Golok yang ada dalam
pegangannya dilemparkannya ke arah Wiro. Senjata ini menderu dengan ujungnya
yang runcing tajam menyambar ke arah dada sang pendekar. Murid Sinto Gendeng
angkat tangan kirinya yang memegang ranting. Begitu golok dan ranting menempel,
Wiro putar tangannya. Golok membalik ke kanan, berputar di pertengahan ranting
seperti sebuah titiran.
"Manusia keparat, jangan kira aku sudah kalah! Mari kita berkelahi dengan tangan
kosong!" teriak perwira muda itu lalu sekali lompat dia sudah menerjang dengan
tendangan dan jotosan.
Untuk sesaat Wiro masih asyik memutar-mutar golok di ujung ranting. Tiba-tiba
pendekar ini tarik ranting dari badan golok. Senjata ini mental ke bawah,
gagangnya menghantam kening si perwira dengan keras. Sang perwira menjerit
kesakitan, mundur terhuyung-huyung sambil pegangi keningnya yang mengucurkan
darah! Pada saat itulah dua orang berpakaian hitam menunggang kuda muncul di tempat itu
diikuti oleh hampir lima puluh penunggang kuda lainnya yang kebanyakan
berpakaian kelabu.
Dua penunggang kuda di sebelah depan adalah dua orang kakek berwajah hampir
mirip satu sama lain. Pada dada pakaian hitam yang mereka kenakan tampak ada
gambar mahkota dan keris bersilang yang disulam dengan benang merah. Anggota
rombongan lainnya juga memiliki gambar itu pada pakaian masing-masing tetapi


Wiro Sableng 042 Badai Di Parangtritis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbuat dari sulaman benang berwarna biru.
Dua kakek berpakaian hitam yang membekal sebitah senjata berbentuk tombak pendek
di pinggangnya masing-masing, tampak sama manggut-manggutkan kepala. Yang di
sebelah kanan keluarkan ucapan" "Ah..ah..ah...! Kalian berdua baru saja selesai
berlatih!"
Kakek yang satu menimpali, "Latihan kalian pasti berat dan keras! Buktinya
kulihat salah satu dari kalian sampai-sampai mengucurkan darah di kening!"
Perwira muda itu hanya berdiam diri. Sesaat dia tampak masih sibuk menyeka luka
darah yang masih mengucur dari luka di keningnya. Sementara Wiro bertanya-tanya
dalam hati siapa pula dua kakek yang datang membawa rumbongan manusia begini
banyak. Tadi jelas dia mendengar sendiri bahwa orang-orang yang baru datang ini adalah
serombongan pasukan musuh. Tetapi kini setelah berhadapan satu sama lain dengan
perwira muda itu, mereka sama sekali tidak nampak sebagai bermusuhan. Wiro
memandang berkeliling. Dia tidak melihat delapan prajurit yang tadi dikirimkan
untuk melakukan penghadangan.
"Saudara-saudara, kita tidak punya waktu banyak. Malam ini ada pertemuan
penting. Pangeran tidak ingin melihat ada yang datang terlambat! Mari...."
"Eh, apakah kau bicara denganku juga"!" tanya Wiro pada si kakek yang barusan
bicara. "Apa kau kira aku bicara dengan penghuni gaib bukit Jati ini"!"
sahut si kakek.
Wiro perhatikan gambar mahkota dan keris bersilang di dada pakalan si kakek.
Untuk pertama kali dia ingat akan gambar yang sama di dada pakaiannya sebelah
kiri. "Eh ...apa artinya gambar-gambar itu. Mengapa sulaman di dadaku sama dengan
sulaman di dada pakalan mereka. Apakah mereka juga mendapat pakaian itu dari
Nenek Hitam bergigi Emas...?"
Wiro tak dapat menjawab pertanyaannya sendiri. Untuk bertanyapun dia merasa tak
enak. Lalu mengapa kakek tadi mengajaknya ikut serta" Melihat gambar-gambar yang
sama di dada pakaian mereka dan di dada pakaiannya sendiri apakah ini berarti
mereka berada dalam satu kelompok yang sama" Selagi Pendekar 212 Wiro Sableng
berpikir-pikir seperti itu dilihatnya perwira muda tadi membuka pakaian seragam
Kerajaannya. Ketika pakaian itu dibuka dan dilemparkannya ke tanah ternyata di
balik pakalan itu kini tampak sehelai pakaian biasa, berwarna hitam yang juga
ada sulaman benang merah bergambar dan keris bersilang di dada kirinya! Wiro
jadi memandang lagi pada gambar yang sama yang ada di dada pakaiannya.
"Berikan dua kuda pada sahabat-sahabat ini!" Salah seorang kakek berseru. Dua
orang lalu maju menuntun dua kuda besar. Satu diserahkan pada si perwira, satu
lagi pada Wiro. Sesaat Wiro dan si perwira saling pandang.
"Kita berangkat!" terdengar kakek tadi berteriak memberi aba-aba.
Si perwira muda langsung melompat ke atas punggung kuda.
Wiro masih tegak terheran-heran.
"Eh, kenapa kau tampak seperti orang bingung, sahabat"!"
bertanya si kakek hitman di samping kiri.
"Kalian mau mengajakku kemana"!" tanya Wiro sambil garuk-garuk kepala.
"Kemana lagi kalau bukan ke Parangtritis, markas Pangeran Adi Bintang Sasoko.
Apakah kau masih mau bertanya" Kita orang-orang satu golongan! Aku sudah
melupakan kejadian tadi! Anggap benar-benar sebagal latihan!" Yang bicara adalah
perwira muda itu
"Gila!" desis Wiro sambil meinandang berkeliling. "Apa yang sebenarnya terjadi
saat ini! Apa arti semua ini! Dan sulaman gambar mahkota serta keris bersilang
ini...! Gila ! Hanya ada satu cara mencari jawaban. Aku harus ikut dengan mereka!"
Wiro lalu melompat ke atas kuda. Rombongan bergerak menuruni bukit Jati. Di satu
lereng bukit Who melihat delapan sosok tubuh berseragam prajurit kerajaan
menggeletak di tanah. Semuanya sudah meregang nyawa dengan tubuh penuh luka.
Wiro melirik ke arah perwira muda yang kini mengenakan pakaian hitam, yang
menunggang kuda tak jauh di sampingnya. Di saat yang sama perwira itu juga
berpaling ke arahnya, tersenyum kecil dan kedipkan mata!
*** 4 DALAM perjalanan ke Parangtritis tak satupun anggota rombongan ada yang membuka
mulut atau bicara. Tampaknya mereka dipe-rintahkan untuk membungkam diri. Dua
kakek berpakaian serba hitam bergerak di sebelah depan lalu menyusul perwira
muda yang ternyata adalah seorang pembelot. Di belakang ke tiga orang ini
bergerak puluhan penunggang kuda berpakaian kelabu. Dan Pendekar 212 Wiro
Sableng sengaja menyatu di tengah-tengah mereka. Walau ada hasrat untuk
menyelinap dan kabur dari rombongan itu, namun lebih besar lagi niatnya untuk
ikut terus guna mengetahui siapa sebenarnya orang-orang itu. Siapa pula Pangeran
Adi Bintang Sasoko. Lalu apakah dia akan bertemu lagi dengan Nenek Hitam Bergigi
Emas yang memberikan pakalan putih bersulam mahkota dan keris bersilang itu"
Karena rombongan tidak mau menempuh jalan umum maka perjalanan menjadi satu
setengah kali lebih panjang dan lama. Maka menjelang matahari tenggelam mereka
baru sampal di tujuan yakni bagian teluk Parangtritis yang agak terpencil dan
jarang didatangi orang. Disini ternyata sudah terdapat ratusan orang yang
kebanyakan berpakaian kelabu. Banyak pula yang berseragam perajurit Kerajaan.
Kelompok ini tangsung memberi hormat ketika melihat kemunculan perwira muda yang
mereka kenal. Semua kuda ditambatkan, ada yang dibawa ke kandang darurat untuk
diberi makan dan minum. Angin laut bertiup kencang.
Salah seorang dari dua kakek berpakalan hitam memandang berkeliling, mencaricari Wiro Sableng yang saat itu duduk memencilkan diri di bawah sebatang pohon
kelapa. Kakek ini segera menghampirinya lalu memberi isyarat untuk mengikuti.
Bersama-sama dengan perwira muda dan kakek yang satu lagi, Wiro melangkah
mengikuti orang tua itu. Mereka bergerak ke bagian teluk yang penuh ditumbuhl
pohon-pohon bakau. Setelah merancah air laut sebatas mata kaki dan menyibak
kelebatan pohon-pohon bakau keempat orang itu sampai di sebuah gundukan tanah
keras bercampur batu yang di bagian tengahnya merupakan sebuah lobang besar atau
mulut goa selebar dan setinggi tiga tombak. Kakek yang memimpin memandang sesaat
pada perwira muda itu, lalu pada Wiro dan akhirnya memberi isyarat agar
mengikutinya memasuki goa.
Bagian dalam goa merupakan satu tanjakan yang terbuat dari batu, mulai dari
bagian bawah sampai dinding dan langit-langitnya.
Kira-kira sepeminuman teh berjalan Wiro melihat ada cahaya terang di sebelah
depan. Tak lama kemudian mereka sampai pada ujung goa yang ternyata tertetak
pada sebuah bukit kecil yang penuh ditumbuhi semak belukar dan pepohonan rapat.
Sinar matahari yang hendak tenggetam masih sempat menyeruak di antara dedaunan.
Beberapa belas tombak dari luas bukit kecil itu sengaja dirambas dan di situ
dibangun sebuah gubuk panjang tanpa dinding.
Sepanjang gubuk terdapat meja papan kasar yang diapit oleh bangku-bangku panjang
yang juga terbuat dari kayu hutan, setiap sisi meja memiliki dua lapis bangku.
Dan di situ Wiro melihat kira-kira selusin orang duduk memandang ke arah mereka
sementara di kepala meja sebelah kanan tampak duduk seorang pemuda berpakaian
sangat mewah, bermuka agak pucat dan setiap saat selalu tersenyum-senyum
menyunggingkan gigi-giginya yang tonggos.
Di samping pemuda itu duduk seorang lelaki gemuk yang terus menerus menyedot
sebatang pipa panjang. Bau tembakau yang terbakar memenuhi tempat itu. Di atas
meja, terutama di kepala meja terdapat banyak makanan. Kendi-kendi tanah berisi
tuak tak terbilang banyaknya. Tampaknya makanan dan tuak itu belum disentuh sama
sekali. Mungkin masih menunggu sesuatu.
Wiro memandang berkeliling, mencari-cari. Namun orang yang dicarinya yakni si
Nenek Hitam Bergigi Emas tak tampak hadir di tempat itu. Kakek berpakaian hitam
memberi isyarat pada Wiro dan perwira muda itu. Lalu keempat orang yanog baru
datang ini mengambil tempat duduk. Dua kakek di kepala meja sebelah kiri sedang
Wiro dan si perwira di bangku panjang lapis belakang bagian tengah.
Lelaki gemuk yang menghisap pipa, sesaat memangdang berkeliling lalu lepas
pipanya, berpaling pada pemuda berpakaian mewah yang sebentar-bentar tertawa dan
berkata, "Semua yang ditunggu sudah hadti. Apakah pertemuan penting ini bisa
kita mulai Pangeran Adi?"
Pemuda berpakaian mewah yang rupanya adalah Pangeran Adi Bintang Sasoko
mengangguk lalu tertawa gelak-gelak. "Aku sudah lama menunggu. Kalian juga!
Sudah lapar dan haus! Sebelum memulai pembicaraan kita makan dan minum dulu
sekenyang-kenyangnya! Ha...ha...ha...! Eh, kau setuju calon patih Kerajaan"!"
Si gemuk yang disebut sebagal calon patih membuka mulut dan setengah berteriak
menjawab, "Setuju!"
Maka semua orang yang ada di situ langsung menyambar hidangan dan meneguk
minuman yang ada di atas meja.
"Hai! Sampean tidak lapar dan haus" Mengapa melongo seperti patung tolol"!"
seorang lelaki berpakaian penuh tambalan menegur Wiro yang sampal saat itu masih
duduk berdiam diri.
"Atau mungkin dia menunggu sampai calon patih kita marah"!"
seseorang berseru. Lalu orang itu tertawa gelak-gelak, diikuti tawa beberapa
orang lainnya. Wiro akhirnya mengulurkan tangan juga menjangkau piring besar berisi ketan
kunlng yang dihiasi goreng paha ayam. Sebentar saja makanan itu sudah berpindah
ke dalam perutnya. Ketika dia hendak mengambil cangkir dan menuang tuak ke
dalamnya tiba-tiba dia mendengar suara halus seperti nyamuk mengiang di
telinganya. "Pendekar muda.... Kau boleh sumpal perutmu dengan semua makanan yang ada di
atas meja! Tapi jangan sekali-kali kau minum tuak itu! Minuman yang nikmat itu
telah berubah menjadi minuman celaka! Minuman itu beracun!"
Wiro tersentak kaget. Kedua matanya berputar memandang berkeliling. Siapa
gerangan yang barusan bicara jarak jauh dengannya itu" Satu persatu
dipandanginya wajah orang-orang yang ada di tempat itu. Semua mereka, termasuk
Pangeran Adi Bintang Sasoko sibuk menyantap makanan masing-masing. Wiro
memperhatikan terus sambil melahap paha ayam. Semua orang termasuk Pangeran Adi
meneguk tuak yang dihidangkan, malah ada yang begitu lahap hingga berceceran
menumpahi dagu dan pakaiannya. Wiro melihat bahwa ada dua di antara orang-orang
yang ada di situ hanya berpura-pura minum.
Tuak yang diteguknya hanya dilelehkan ke bawah dagu!
"Semua sudah kenyang dan puas mlnum"!" tiba-tiba si gemuk yang disebut calon
patih berseru. "Kenyang! Puas!" orang banyak menyahuti. Si gemuk berpaling pada Pangeran Adi.
"Pangeran, saatnya kita mulai melakukan pembicaraan!"
Pangeran Adi mengangguk, matanya berputar-putar lalu Pangeran yang berotak tidak
waras ini tertawa gelak-gelak.
Si gemuk berdiri dari bangkunya. Ujung pipa diselipkannya ke sela bibir. Dia
memandang berkeliling dengan sepasang matanya yang sipit lalu berkata, "Sebelum
pembicaraan penting dimulai, tempat pertemuan ini harus benar-benar dijaga
kerahasiaannya! Pohon di sekitar sini bisa jadi telinga musuh! Apalagi manusia
penyusup!"
Sekali lagi si gemuk memandang berkeliling. Tatapan kedua matanya sesaat tak
berkedip ke arah Pendekar 212 membuat murid Sinto Gendeng jadi menahan nafas.
"Sebelum pembicaraan dimulai setiap yang hadir harus memperkenalkan diri agar
kita saling kenal satu sama lain!" Si gemuk berteriak. "Pertama akan
kuperkenalkan dulu Pangeran Adi Bintang Sasoko. Beliau adalah calon Raja kita
semua, calon pemimpin tunggal Kerajaan! Pangganti satu-satunya Raja yang saat
ini sedang gering!
Bukan begitu Pangeran Adi"!"
Pangeran Adi berdiri dari duduknya, menjura dan berteriak.
"Betul! Aku yang bakal memegang kekuasaan dan menduduki tahta Kerajaan! Hanya
aku! Ha... ha...hal...!"
Si gemuk kembali membuka mulut. "Aku sendiri adalah Suto Gunoto, bergelar Si
Tapak Api. Sesuai dengan kehendak Pangeran Adi, bakal menduduki jabatan Patih
Kerajaan!" Habis berkata begitu si gemuk usap-usapkan kedua telapak tangannya
satu sama lain.
Terdengar suara meletup dan lidah api mencuat keluar dari celah dua telapak
tangan itu. Semua orang berdecak kagum melihat hal itu dan sambil tertawa mengakeh Suto
Gunoto kembali duduk. Dia memberi isyarat pada orang di sebelahnya. Orang ini
berdiri dari duduknya, menjura lalu memperkenaikan diri.
"Aku Jaliteng Teguh, Adipati Klaten, siap berjuang di pihak Pangeran Adi.
Seratus orang perajuritku siap sedia di timur Patrangtritis!"
Orang ketiga tegak pula dari bangku kayu. Seperti Adipati Klaten tadi dia juga
menjura, mendongak sebentar lalu membuka mulut.
"Namaku jelek, tampangku jelek, pakaianku jelek dan pekerjaanku juga jelek. Haha-ha...! Aku Sumo Kandil, diberi julukan Pengemis Kaki Kayu! Aku berjuang bersama
Pangeran Adi! Di usia tua ini aku ingin menghabiskan sisa hidup dengan tenang
menjadi pejabat Kerajaan!" Habis berkata begitu Pengemis Kaki Kayu melompat ke
atas meja. Ternyata kaki kanannya memang terbuat dari kayu. Dengan satu gerakan
seperti asal-asalan saja orang ini hantamkan kaki kayunya ke meja. Papan meja
yang terbuat dari kayu hutan yang tebal dan kasar itu langsung hancur dan
berlobang besar! Orang banyak bertepuk tangan. Sumo Kandil kembali ke tempat
duduknya. Orang keempat berdiri dari bangkunya. Dia seorang kakek bermuka cekung,
mengenakan baju hijau yang kebesaran dengan sulaman mahkota dan keris bersilang
di dada kiri. Sulaman seperti ini juga terdapat pada semua pakaian para yang
hadir di tempat itu, termasuk Wiro Sableng sendiri. Ketika orang ini meletakkan
kedua tangannya di atas meja, tampaklah sepuluh jari tangan yang memiliki kukukuku panjang berbentuk aneh seperti seperti pisau-pisau kecil!
"Aku tua bangka jelek ini sudah lama lupa nama sendiri. Tapi orang memanggilku.
Si Pengupas Kepala! Itu saja. Aku tidak mau banyak cerita. Kelak kalian akan
melihat sendiri siapa aku ini adanya!" dengan tenang lalu si kuku panjang ini
duduk kembali ke bangkunya.
Orang kelima sampai ke sembilan ternyata adalah Adipati dari daerah utara dan
barat. Setelah menyebutkan nama masing-naasing dan berasal dari Kadipaten mana,
sambil tak lupa mengatakan bahwa desekia puluh atau sekian ratus perajuritnya
sudah bersiap sedia, maka masing-masing kembali duduk di bangku panjang.
Orang yang ke sepeluh adalah satu dari dua kakek berpakaian hitam. "Aku juga
ikut-ikutan pikun. Lupa nama. Bersama adikku ini..." Si kakek menunjuk pada kakek
satunya yang duduk di sebelahnya, "Kami dikenal dengan julukan Sepasang Tombak
Dewa! Aku mendapat kepercayaan menjadi Panglima Pasukan Kerajaan dan adikku menjadi
wakilnya. Panggil saja aku ini Tombak Dewa! Kesatu dan adikku Tombak Dewa Kedua!
Soal kepandaian kami pernah merajai rimba persilatan di pantai selatan ini. Tapi
saat ini kami tidak enak badan, tak mau pamer kepandaian! Ha-ha-ha!"
Orang kedua belas adalah perwira muda yeng duduk di samping Wiro Sableng.
Setelah mengerling sesaat pada Wiro, orang ini berdiri dan memperkenalkan diri.
"Namaku Aryo Ladam. Jabatan terakhir Perwira Muda pada pasukan kerajaan. Tapi
mulai detik ini jabatan itu tidak kupakai lagi karena ingin menyumbangkan bakti
pada calon Raja kita yang baru yaitu Pangeran Adi Bintang Sasoko. Soal
kepandaian mungkin banyak di antara para hadirin memiliki kepandaian jauh lebih
tinggi dariku. Sebelum berangkat ke mari aku telah berhasii membina sekitar enam puluh
perajurit dan dua perwira muda untuk berjuang di pihak kita.
Mereka semua berada di Kotaraja. Mereka akan melakukan gerakan menyusup dan
menghantaan lawan di pusat Kota. Mereka siap menunggu perintah!"
Suto Gunoro mengangguk-anggukkan kepala sementara Pangeran Adi Bintang Sasoko
tersenyum-senyum sambil meneguk tuak.
Sambil mengangkat kendi tuak Pangeran itu berkata, "Sesuai janji, kau akan aku
angkat sebagal Kepala Pengawal Raja. Pangkatmu dinaikkan dua tingkat!"
"Terima kasih Pangeran," kata Aryo Ladam dengan senang hati seraya menjura lalu
duduk ke tempatnya kembali.
Kini giliran Pendekar 212 Wiro Sableng memperkenalkan diri.
Setelah menggaruk kepala lebih dulu, pendekar ini berdiri dan menjura ke arah
Pangeran Adi serta Si Tapak Api. Sikap ini membuat kedua orang itu merasa senang
karena sebelumnya tidak ada seorangpun yang memberikan penghormatan ketika
memperkenalkan diri.
"Mohon dimaaafkan kalau namaku jelek didengar. Aku Wiro Sableng! Pendekar
pengangguran yang dicap berotak kurang waras.
Apa yang menjadi tujuan para tokoh yang hadir di sini menjadi tujuanku pula!
Kita bersama-sama berjuang!" Wiro lalu duduk kembali. Dalam hati dia menyumpah.
"Persetan dengan perjuangan gila ini" Aku ingin buru-buru pergi dari sini! Edan,
mengapa aku sampai terdampar di antara para pengkhianat ini!"
Terdengar suara batuk-batuk beberapa kali, lalu disusul suara orang bicara. Yang
bicara adalah Sumo Kandil alias Pengemis Kaki Kayu. "Sungguh luar biasa! Tidak
disangka-sangka kalau tokoh silat muda terkenal sepertimu ikut berada di antara
kita Pendekar 212, apakah keikutsertaanmu bersama kami mendapat restu dari
gurumu di puncak Gunung Gede..."!"
"Ah, si kaki kayu ini rupanya tahu banyak tentang diriku dan guruku," membatin
Wiro. Pendekar ini agak gugup mendapat pertanyaan itu tapi cepat kuasai diri dan


Wiro Sableng 042 Badai Di Parangtritis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjawab, "Ketika aku melapor, guru sedang tidak di tempat. Aku hanya
meninggalkan pesan tertulis memberitahu apa yang aku lakukan..." Wiro berdusta.
"Bagus...bagus... Sebetulnya kau bisa mengajak beberapa tokoh utama lainnya
menyertai kita. Tapi yang ada sekarangpun sudah cukup!" kata Pengemis Kaki Kayu
pula. Orang ke empat belas yang duduk di samping kiri Wiro memperkenalkan diri sebagai
Tumenggung Gandana Jipang. Seperti Aryo Ladam dia juga menerangkan bahwa ada
sejurnlah besar pasukan kawal Istana yang berhasil ditariknya.
Orang terakhir atau yang ke lima belas adalah yang paling lucu, paling konyol
gerak-geriknya. Dia mengenakan baju merah menyala yang sangat besar tetapi
seperti yang lainnya di dada pakaiannya juga tersulam gambar mahkota dan keris
bersilang. Rambutnya yang panjang digulung ke atas dan pada ujung gulungan
diberi pita merah.
Mukanya dirias secara seronok yaitu bedak tebal bertotol-totol, lalu gincu
berlepotan dari bibir sampai ke pipi dan dagu sedang alis mata diberi jelaga
hitam bercelemongan. Orang ini berdiri dengan sikap malu-malu seperti perempuan.
Suaranya kecil ketika memperkenalkan diri,
"Namaku Tatata Tititi. Aku tidak bergelar tidak berjuluk! Tidak punya kepandaian
silat! Tapi pandai bermain sulap, kalau perlu menyihir. Lihaat!" Orang itu
menunjuk pada sepiring makanan di atas meja. "Saat ini kalian melihat ada
makanan di alas piring itu! Tapi coba pejamkan mata kalian sekejapan! Lalu buka
dan lihat lagi ke arah piring! Kalian tidak akan melihat makanan lagi! Nah
lakukanlah!"
Karena tertarik, hampir semua orang yang ada di tempat itu termasuk Wiro
pejamkan matanya. Ketika kedua mata dibuka dan mereka memandang ke arah piring!
Astaga! Memang diatas piring itu kini yang mereka lihat bukan lagi makanan, tapi
seonggok tahi kerbau! Semua orang mengerenyit jijik. Tak percaya pada
pemandangan masing-masing dan banyak yang mengusap-usap kedua matanya!
"Jadi tadi kalian bukan bersantap enak. Tapi makan tahi kerbau...hik...hik..hik!"
orang bermuka celemongan itu tertawa cekikikan. "Aku hanya bergurau! Hanya
bergurau. Lihat sekali lagi.
Apa yang ada di piring memang makanan!"
Dan ketika semua orang memandang lagi ke arah piring, memang di situ kini tampak
makanan seperti semula. Terdengar orang tadi berkata, "Jika aku bisa merubah
makanan jadi tahi kerbau, aku juga bisa merubah wajah Sri Baginda menjadi tahi
kerbau! Hik...hik...hik!"
"Tukang sulap!" tiba-tiba Suto Gunoro alias Si Tapak Api berseru. "Coba
terangkan, kau ini lelaki atau perempuan!"
"Hik..hik..hik! Aku bukan lelaki bukan perempuan!" jawabnya Tatata Tititi.
"Maksudmu...."!" Pangeran Adi Bintang yang kini ajukan pertanyaan.
"Aku banci! Hik..hik..hik!"
"Jangan melantur! Kau berhadapan dengan calon Sri Baglnda!"
Membentak SI Tapak Api.
"Hik..hik..hik! Aku tidak melantur. Aku memang banci. Jika tidak percaya akan
kusingkapkan pakaianku! Mau melihat..."!"
Pangeran Adi Bintang tertawa gelak-gelak dan goyang-goyangkan tangannya ketika
Tatata Tititi hendak menyingkapkan pakalannya yang lebar.
"Sudah! Kami percaya padamu siapapun kau adanya. Kau telah menjadi satu kelompok
dengan kami!" ujar Pangeran Adi sambil senyum-senyum. "Silahkan duduk
Tatiti...."
"Maaf, namaku Tatata Tititi, Pangeran. Bukan Tatiti .... !"
"Oh, ya aku kesalahan!" Pangeran Adi tertawa gelak-gelak. Lalu dia berpaling
pada Suto Gunoro dan berbisik, "Saatnya untuk melakukan pembersihan, patih!"
Suto Gunoro mengangguk lalu cabut pipanya dan berdiri.
Sepasang matanya yang sipit tampak tambah sipit ketika dia memandangi satu
persatu semua orang yang ada di tempat Itu.
"Saudara-saudara satu perjuangan. Sebelum pembicaraan amat rahasia kita mulai,
tempat ini harus dibersihkan darl penyusup mata-mata musuh!"
"Eh...! Apakah ada mata-mata kerajaan disini"!" angkat bicara Pengemis Kaki Kayu
alias Sumo Kandil.
Suto Gunoro menyeringal buruk. Dia berpaling pada kakek bermuka cekung yang tadi
memperkenalkan diri dengan juiukan Si Pengupas Kepala. Lalu Suto anggukkan
kepalanya. Melihat isyarat ini Si Pengupas Kepala bangkit dart kursinya.
Kedua matanya memandang menyorot satu persatu pada orang-orang yang ada di
sekitar meja. Kedua tangannya sailing digosok-gosokkan.
Kuku-kukunya yang beradu satu sama lain mengeluarkan suara bergemericik, tidak
beda seperti pisau-pisau saling bergesekan, menggidikkan kedengarannya. Orang
ini melangkah memutari meja, mengitari lima belas orang yang duduk laksana
terpaku. Wiro merasakan tengkuknya dingin ketika menyadari bahwa Si Pengupas
Kepala berhenti melangkah dan tegak tepat dibelakangnya.
"Jangan-jangan orang ini mencurigaiku. Pasti aku yang dimaksudkannya dengan
mata-mata musuh tadi! Celaka!" Wiro segera pusatkan tenaga dalam ke tangan
kanan, diam-diam menyiapkan pukulan sakti "sinar matahari". Kedua telinganya
dipasang tajam-tajam. Begitu terdengar orang bergerak maka serta merta dia akan
menghantam. Dibelakangnya Si Pengupas Kepala dengan gerakan sebat dan tiba- tiba mengangkat
Laron Pengisap Darah 6 Dewa Arak 59 Titipan Berdarah Nurseta Satria Karang Tirta 5

Cari Blog Ini