Ceritasilat Novel Online

Dendam Manusia Paku 2

Wiro Sableng 081 Dendam Manusia Paku Bagian 2


ampun lagi melayang jatuh ke bawah. Tapi setengah jalan dia berjungkir balik lalu
melesat dan tahutahu dia sudah duduk di atas bahu kakek bergelar Pengemis
Sinting Muka Belang yang
saat itu masih berdiri di atas cabang pohon di hadapan Anggini. Dua orang gila ini
lalu tertawa tergelak-gelak.
"Gadis cantik, jangan kesusu marah. Dengar dulu lanjutan ucapanku. Aku sudah
berniat dan memutuskan kau harus jadi suami muridku!"
"Gila! Siapa sudi!" teriak Anggini.
"Sudi atau tidak itu urusan nanti! Yang jelas aku saat ini juga akan melamarmu
agar suka jadi istri Mangar. Dan untuk mas kawinnya bukan kami yang bayar, tapi kau! Ha...
ha...ha!" "Benar-benar edan!" teriak murid Dewa Tuak. Selendang ungu yang memang menjadi
senjata andalannya kembali dihantamkan ke depan. Ujung selendang menyambar ke
arah muka belang si kakek. Walau cupa selendang terbuat dari sutera halus, namun di
tangan Anggini benda itu telah berubah menjadi sekeras pentungan besi. Sesaat lagi
ujung selendang
siap menghancurkan muka Pengemis Sinting Muka Belang, tiba-tiba pemuda yang
duduk di atas bahu si kakek gerakkan kaki kanannya.
"Wuttt!" Satu gelombang angin dengan deras menerpa ke arah Anggini. Murid Dewa
Tuak ini terkejut ketika dia merasakan laksana didorong sebuah tembok yang tidak
kelihatan. Bukan saja ujung selendangnya terhempas ke samping, tapi tubuhnya ikut bergoyang
keras hingga kedua kakinya bergetar.
Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya, gadis ini cepat mengimbangi diri
dan balas menghantam dengan tangan kanan.
Serangkum angin panas menderu ke arah dada Pengemis Sinting Muka Belang.
Setengah jalan, Anggini jentikkan telunjuk dan ibu jari tangan kanannya. Angin
serangannya secara
aneh mendadak sontak memecah dua. Satu menyambar ke perut si kakek muka belang,
dan satunya lagi menghantam ke arah tenggorokan pemuda bernama Mangar! Inilah jurus
serangan sakti yang disebut Memecah Angin Meruntuh Mentari Menghancurkan Bulan.
Kini dua lawan ganti terkejut. Anggini menyeringai. "Rasakan oleh kalian.
Masakan salah satu seranganku tak akan mengena!" kata gadis ini dalam hati. Namun apa yang
dilihatnya kemudian membuat dia tercekat. Sesaat lagi serangannya akan menghantam dada si
kakek, orang tua ini tiba-tiba jatuhkan dirinya ke kiri. Tubuh sang cucu yang ada di
atas bahunya ikut
miring ke kiri. Dua sosok tubuh mendadak kaku seolah berubah jadi kayu. Kakek
muka belang gelungkan kedua kakinya pada cabang pohon tempat dia berdiri. Sesaat
kemudian seolah berubah menjadi titiran, dua sosok tubuh kaku itu berputar dengan deras
hingga mengeluarkan deru angin yang keras.
Selagi Anggini terkesiap melihat apa yang dilakukan orang, tiba-tiba tubuh-tubuh
yang berputar kencang berpisah. Satu melesat ke kiri, satu lagi ke kanan. Sebelum
tahu apa yang terjadi Anggini merasakan tangan kiri dan kanannya dicekal orang. Dia berusaha
meronta lepaskan diri tapi lengannya seolah dibelenggu dua japitan besi.
"Kena Kek!" terdengar suara pemuda bermuka bulat berseru.
"Betul!" si kakek menjawab. "Ayo kita bawa dia ke bawah!" Anggini merasakan
tubuhnya dibawa melayang ke tanah tanpa dia sanggup berbuat sesuatu apa. Dua tangannya
yang dicekal kini terasa kaku tak bisa digerakkan. Selendangnya jatuh entah ke mana!
Satu sosok bayangan berkelebat cepat di bawah pohon. Tanpa melihat, telinga dan
nalurinya mengetahui kalau di atas pohon ada tiga orang berkelahi. Bayangan ini berlari
terus namun mendadak berhenti ketika menyadari ada sebuah benda bergelung di lehernya. Di
ambilnya benda itu. "Sehelai selendang ungu..." Orang ini berucap perlahan sambil
memainkan selendang sutera yang lembut itu dalam genggamannya. "Ada bau harumnya, pertanda
milik seorang perempuan... Mungkin salah satu dari mereka yang tengah bergulat di atas
pohon"!"
Diperhatikannya lagi selendang itu. Pada salah satu ujungnya tertera tiga buah
angka, 212. Lalu dia berpaling ke jurusan dari mana tadi dia datang. Di kejauhan dia
mendengar suara dua
orang tertawa tergelak-gelak, lalu suara ketiga suara perempuan memaki marah.
"Kek, aku ingin menelanjanginya saat ini juga! Aku sudah tidak tahan! Persetan dengan
segala upacara perkawinan! " "Boleh saja! Kau mau melakukan apa padanya aku mana mau peduli Mangar! Tapi yang
penting cari dulu benda sakti itu. Aku yakin dia selalu membawa ke mana dia
pergi! " "Bangsat kurang ajar! Angkat tanganmu dari tubuhku!
" "Waw! Waw! Tubuh begini mulus! Bukan main!
" "Bedebah jahanam! Aku bersumpah akan mematahkan lehermu!
" "Ohoi! Aku rela mati di tanganmu asal sudah bisa melihat kebagusan tubuhmu dan
menikmatinya! Ha... ha... ha...!
" Diam sejenak. Lalu, "Kek! Aku menemukan benda itu!
" "Bagus! Lekas serahkan padaku dan tinggalkan tempat ini!
" "Apa!" Bukankah...
" "Ya... ya! Terserah padamu kau mau berbuat apa! Aku sudah dapat paku sakti ini!
Aku pergi duluan! " "Aku tak bakal lama Kek! Apa kau tak mau menunggu dulu! Mungkin juga mau melihat
bagaimana aku bersenang-senang dengan gadis cantik jelita ini"!
" "Aku sudah lebih dari puas mendapatkan benda ini! Kau boleh mengurusi gadis itu
sesukamu. Tapi ingat, dua malam di muka, kau menemuiku di tempat yang sudah
ditentukan!" Yang bicara ini, Pengemis Sinting Muka Belang, balikkan tubuhnya
dan berkelebat pergi membawa kantong kain milik Anggini yang di dalamnya tersimpan
lebih dari tiga lusin senjata rahasia berupa paku perak.
Mangar putar tubuhnya lalu melangkah mendekati Anggini yang saat itu tertegak
kaku dengan kedua tangan terentang ke samping. "Pemuda keparat! Apa yang hendak kau
lakukan! Berani kau menyentuh tubuhku...!"
"Mengapa aku tidak berani!" jawab Mangar lalu tangan kanannya bergerak menarik
robek dada pakaian ungu Anggini. Gadis ini terpekik. Mangar keluarkan suara menggeru
melihat dada yang tersingkap polos itu. Kedua tangannya meremas penuh nafsu.
Namun dia tak bisa menikmati apa yang dilakukannya itu lebih lama. Dua larik
cahaya hijau menyambar ke arah kepala Mangar. Cucu yang juga murid Pengemis Sinting Muka
Belang ini tak terdengar menjerit dan tak sempat mengetahui apa yang membunuhnya. Kepalanya
hancur berkeping-keping! Darah dan kepingan tulang serta daging muncrat. Sebagian
mengenai wajah dan pakaian Anggini, membuat gadis ini menjerit ngeri setengah mati.
Mangar yang kini tanpa kepala mengepulkan asap di bagaian lehernya yang putus.
Tubuh yang kini menjadi kehijauan itu jatuh tergelimpang. Dalam keadaan kesakitan dan
muka masih pucat seperti mayat, tiba-tiba Anggini melihat sosok seorang pemuda hanya
mengenakan selembar cawat berdiri di hadapannya. Memandang tepat ke arahnya
dengan sepasang matanya yang hijau menggidikkan. Ada kilatan cahaya aneh dalam dua mata
itu, yang kemudian perlahan-lahan meredup lalu lenyap.
"Kau... kau tak apa-apa...?" pemuda bercawat bertanya. Suaranya serak bergetar.
Sepertinya dia tengah menahan gejolak yang ada dalam tubuhnya.
"Kau..." Anggini merasa lidahnya kelu. "Kau menolongku, terima kasih..." Gadis
ini diam sebentar, berpikir. "Ciri-ciri manusia ini sepertinya..."
"Apa yang ada dalam benakmu?" tiba-tiba pemuda itu bertanya. "Kau... kau...
Bukankah kau pemuda bernama Sandaka itu...?" Kilatan sinar aneh kembali membersit di sepasang
mata hijau si pemuda. "Kita tidak pernah kenal. Tidak pernah bertemu sebelumnya.
Mengapa kau bisa tahu namaku...?"
"Orang-orang rimba persilatan banyak membicarakan dirimu..."
"Aku sudah tahu hal itu..." kata pemuda bercawat yang memang adalah Sandaka Arto
Gampito, pemuda yang menjadi budak nafsu Dewi Ular itu. "Ini punyamu...?"
Sandaka ulurkan selendang ungu yang dipegangnya.
Anggini mengangguk. Dia tak bisa menggerakkan tangan untuk mengambil selendang
itu. Sandaka ulurkan tangannya lalu lingkarkan selendang ungu itu di leher Anggini.
Sepasang mata hijau si pemuda tiba-tiba menatap ke arah dada yang tersingkap. Dua bola
mata menyorotkan sinar aneh, membuat Anggini jadi bergeming. Tiba-tiba dua tangan
Sandaka bergerak ke arah dada gadis itu. Anggini semula hendak berteriak mengancam.
Namun ketika dilihatnya Sandaka hanya menarik ujung bajunya dan merapatkannya hingga dadanya
tertutup, diam-diam gadis ini menjadi lega. "Aneh, dia tidak sejahat yang
dipergunjingkan
orang..." "Apa yang ada dalam benakmu?" Sandaka bertanya yang membuat Anggini jadi
tercekat. "Tidak... tidak ada apa-apa..."
"Aku tahu kau memikirkan sesuatu..." kata si pemuda. Lalu dia berpaling pada
mayat tanpa kepala yang tergeketak di tanah. "Siapa manusia itu" Kenapa dia hendak berlaku
jahat padamu?" "Namanya Mangar. Dia cucu seorang kakek muka belang mengaku berjuluk Pengemis
Sinting Muka Belang. Dia merampas barang milikku... Kini sudah dilarikan
kakeknya."
"Barang apa?"
"Senjata rahasiaku. Sekantung paku..."
Sandaka bersurut dua langkah. Sepasang matanya kelihatan menyala hijau.
Tampangnya jadi
sangat seram yang membuat Anggini kembali bergidik. "Paku terbuat dari baja
murni"!"
Murid Dewa Tuak menggeleng. "Paku itu terbuat dari perak putih...
" Wajah Sandaka perlahan-lahan tampak berubah tenang. "Mengapa mereka merampas
benda itu darimu"
" "Aku tak tahu... Mungkin ada sangkut pautnya dengan dirimu...
" "Kau tahu banyak tentang keadaanku! Siapa namamu"
" "Anggini...
" "Kurasa aku bisa berteman denganmu. Jadi kau harus ikut kau..." Anggini
menggeleng dan cepat berkata. "Kau telah menolongku. Aku berterima kasih. Itu sudah cukup.
Jangan kau bawa diriku... " "Kau takut padaku"
" "Kau... kau mungkin orang baik. Tapi kau berada di bawah suatu kekuatan jahat...
" Dua bola mata Sandaka membesar. "Maksudmu Dewi Ular..." tanyanya dengan suara
bergetar. Anggini tak menjawab "Aku perlu teman untuk tukar pikiran. Kurasa kau
orangnya. Kau harus ikut aku Anggini!
" "Tidak, kau pergi sajalah!
" Sandaka membuka mulutnya lebar-lebar. "Kau menguap!" ujar Anggini.
"Sudah setahun aku tak pernah tidur. Kurasa waktunya sudah hampir tiba. Mungkin
satu atau dua hari di muka. Jika aku tidur, harus ada seseorang menjaga diriku...
" "Dewi Ularmu bisa melakukan itu..." kata Anggini pula.
"Ada sesuatu yang tidak beres dalam diriku. Setiap kali aku menyadari hal ini,
timbul dendam besar terhadap perempuan itu...
" "Di hadapanku kau berkata begitu. Aku mencium maksud jahat tersembunyi terhadap
diriku dalam otakmu... Bukankah kau kekasih Kunti Arimbi alias Dewi Ular"
" "Dia suka padaku. Aku memang tergila-gila padanya. Tetapi tetap saja aku merasa


Wiro Sableng 081 Dendam Manusia Paku di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada yang tidak beres. Belum selang berapa lama aku bahkan telah membunuh guruku sendiri
atas perintahnya... " "Berarti kau juga bisa membunuh siapa saja atas kemauan perempuan itu, termasuk
diriku! " Sandaka menyeringai. "Kalau itu memang terjadi, angap saja itu sudah suratan
takdirmu! " "Gila!" teriak Anggini. Sandaka kembali menyeringai. Dia rundukkan tubuhnya
sedikit. Di lain saat Anggini sudah berada di atas panggulan bahu kirinya. "Turunkan!
Lepaskan diriku!
" teriak Anggini. Sandaka tertawa lebar. Ketika dia hendak berkelebat meninggalkan
tempat itu, tiba-tiba satu bayangan berkelebat menghadangnya disusul suara membentak keras.
"Turunkan gadis itu!"
Anggini kenali suara orang yang membentak. Dia segera berseru, "Wiro!" Dua bola
mata hijau Sandaka memandang ke depan. Enam langkah di depannya berdiri seorang
pemuda berambut gondrong berpakaian serba putih. "Lepaskan gadis itu!" murid Sinto
Gendeng kembali membentak.
Sandaka menyeringai. "Kalau kau merasa sanggup mengambilnya, silakan coba!"
Sepasang mata pemuda ini mengeluarkan kilauan aneh. Dua mata itu mengedip. "Wussss!
Wussss!" Dua sinar hijau menyambar dengan dahsyat ke arah Wiro. Pendekar 212 berseru
kaget. Dia cepat menyingkir seraya menangkis dengan menghantamkan tangan kanan ke depan.
Sinar putih menyilaukan merambas menghantam dua larik sinar hijau maut yang keluar
dari sepasang mata Sandaka. "Bummmmm!"
Wiro terbanting ke tanah. Sekujur tubuhnya seperti kaku dan panas. Terhuyunghuyung dia berdiri. Dadanya berdenyut sakit. Kepalanya seperti ditusuk-tusuk. Sandaka dan
Anggini tak kelihatan lagi bayangannya. Tengkuknya merinding ketika melihat bagaimana
pakaian putihnya telah berubah menjadi kehijau-hijauan! Dia memandang berkeliling. Dan
lebih merinding lagi melihat bagaimana beberapa pohon di sekitarnya hancur rambas
mengepulkan asap kehijauan!
"Celaka... mengapa jalan nafasku mendadak menjadi sesak...?" Wiro pegang
dadanya. Dia cepat kerahkan tenaga dalam. Tapi terlambat. Dia mengeluh tinggi ketika
kepalanya serasa
dipalu. Lalu perlahan-lahan pemandangannya menjadi gelap. Bersamaan dengan itu
mukanya jadi kehijauan.
Sesaat lagi dia akan roboh tak sadarkan diri ketika tiba-tiba ada suara
berkerontang mengiang
di dua liang telinganya. Dia mengenali suara itu tapi hanya bisa berdesah. "Ah
Kek... aku yang muda terpaksa mendahuluimu..."
Murid Sinto Gendeng keluarkan suara mengerang panjang. Sebelum tubuhnya
tersungkur ke tanah, tiba-tiba ada satu bayangan berkelebat. bersamaan dengan itu ujung sebuah
tongkat butut menotok dengan telak urat besar di lehernya sebelah kanan. Lalu ada suara
orang menarik nafas panjang. "Sekejapan saja aku terlambat menotok jalan darahnya,
nyawa anak edan ini pasti tak akan ketolongan!" Lalu di tempat itu kembali menggema suara
kerontang kaleng. Sinar terang sang surya yang baru terbit membuat kelopak mata yang tertutup itu
bergerakgerak lalu perlahan membuka. "Anak setan! Kau sudah siuman rupanya!" Itu
suara pertama yang ditangkap Wiro sebelum dia mendengar suara kerontangan kaleng yang seperti hendak
merobek-robek gendang telinganya. Dia topangkan kedua sikunya ke tanah. Dengan
susah payah dia mencoba bangkit sambil buka mata. Di hadapannya terpampang wajah
keriputan di bawah caping lebar menyeringai padanya.
"Bersyukur pada Gusti Allah! Kau tak sampai mampus oleh racun mata Sandaka..."
Agak lama murid Sinto Gendeng memahami ucapan orang tua di hadapannya. Lalu dia ingat
apa yang terjadi. Sebelum dia jatuh pingsan, ada totokan melanda urat besar di
lehernya. Totokan
itulah yang menolongnya.
"Tuhan memang Maha Besar dan Maha Penolong! Tapi kalau kau tidak muncul tepat
pada saatnya dan menotok jalan darahku, mana mungkin saat ini aku masih bisa
bernafas! Aku berterima kasih padamu Kek...!"
"Kau berterima kasih padaku puah! Apa kau kira Dewa Tuak akan berterima kasih
padamu anak tolol"!" ujar orang tua bercaping berpakaian rombeng penuh tambalan. Dia
mengepit tongkat butut di ketiak kanan sedang di tangan kiri ada sebuah kaleng butut yang
selalu mengeluarkan suara berisik setiap dikerontangkan.
"Eh, apa maksudmu Kek?" tanya Pendekar 212 sambil garuk-garuk kepala. Tiba-tiba
ingatannya pulih menyeluruh. "Astaga! Anggini!" katanya setengah berseru dengan
wajah berubah. "Pemuda bercawat itu! Sandaka! Dia menculik Anggini!"
Si kakek gelengkan kepalanya dengan wajah rawan. "Bebanmu jadi tambah berat, aku
tak tahu kenapa sampai jadi begini. Tapi aku melihat ada satu ganjalan antara kau
dan gadis itu..." Wiro tarik nafas dalam. "Aku merasa bersalah. Aku minta petunjukmu Kek, apa yang
harus aku lakukan?"
"Menurut penglihatanku, untuk beberapa waktu gadis itu cukup aman..."
"Cukup aman katamu Kek" Apa kau sudah sin..." Wiro tak teruskan ucapannya. "Kau
tahu sendiri siapa Sandaka. Pembunuh edan tak pandang bulu! Aku bukan saja
mengkhawatirkan
nyawa gadis itu, tapi juga kehormatannya...!"
"Menurut apa yang aku tahu, ada hari-hari di mana Sandaka berada di luar
pengaruh bejat Dewi Ular. Mudah-mudahan saja saat ini dia dalam keadaan seperti itu. Ini bukan
berarti kita hanya berlepas tangan. Gadis itu biar aku yang mencarinya, kau tetap saja
pada apa yang menjadi tugasmu..."
"Aku tahu tugasku. Mencari Dewi Ular dan Datuk Bululawang. Tetapi sesuatu
terjadi sebelum Sandaka melarikan Anggini. Ada orang yang melarikan diri dari tempat
ini, meninggalkan satu sosok mayat tanpa kepala itu..." Wiro menunjuk pada mayat
Mangar. Kakek Segala Tahu goyang-goyangkan kaleng rombengnya. "Kau bisa melihat siapa
orang itu Kek?" tanya Wiro.
Kakek Segala TAhu kembali kerontangkan kalengnya beberapa kali lalu berkata,
"Tak dapat
kupastikan siapa orangnya. Kawannya yang satu ini tak punya kepala. Mana mungkin
aku mengenalinya. Tapi turut penglihatanku, orang yang kabur itu telah mencuri
sesuatu dari murid Dewa TUak... Mungkin kau bisa menduga-duga"
" "Maksudmu ada hubungannya dengan kejadian besar dalam rimba persilatan saat ini"
" "Tentu, ada kaitannya dengan Sandaka dan Dewi Ular...
" Wiro termenung. Garuk-garuk kepala. Dia hampir menyerah ketika tiba-tiba dia
ingat pembicaraan di tempat kediaman Dewa Tuak di puncak bukit. "Kuharap saja dugaanku
tak meleset. Orang itu merampas paku perak yang menjadi senjata rahasia Anggini."
"Kau betul anak edan. Tapi mengapa dia merampasnya?" tanya Kakek Segala Tahu
pula. "Mudah saja jawabnya Kek. Dia mengira paku itu adalah paku baja putih murni yang
bisa melumpuhkan Sandaka!"
Kakek Segala Tahu kerontangkan kalengnya. "Kita tak punya waktu banyak. Aku akan
mengejar pemuda itu. Tugasmu mencari Dewi Ular dan Datuk Bululawang. Sang datuk
yang dipanggil dengan sebutan Yang Mulia memiliki paku baja murni itu. Menurut
penglihatanku, dia memang mempunyai keinginan menguasai rimba persilatan. Tapi karena temahak,
dia juga ingin mencari untung sendiri. Berpura-pura menjual atau menukarkan paku
sakti itu dengan benda-benda berharga. Pada gilirannya baru dia akan melumpuhkan dan
menguasai Sandaka. Hanya satu yang belum aku tahu, kapan pemuda itu akan tidur. Datuk
Bululawang pasti tahu kira-kiranya..."
"Aku tak akan membuang waktu Kek. Aku akan segera mencari sang datuk dan Dewi
Ular..." "Baik, kita berpisah di sini!" kata si kakek, lalu kerontangkan kaleng bututnya.
Baru saja dia hendak putar langkah, tiba-tiba terdengar suara tawa melengking tinggi dan
panjang di kecerahan pagi. Kakek Segala Tahu tercekat, Pendekar 212 lekas bangkit berdiri.
"Aku mencium bahaya besar!" ujar si kakek. Lalu dia mengambil sebuah benda di
bawah caping bambunya. Secepat kilat benda itu dilemparkannya ke dalam mulut Wiro
seraya berbisik, "Lekas kau telan benda dalam mulutmu itu!"
"Kek..."
"Anak edan tolol! Telan saja benda yang dalam mulutmu itu kalau tidak mau
celaka!" sentak
Kakek Segala Tahu lalu kerontangkan kalengnya.
Meski tidak mengerti, namun Wiro akhirnya cepat menelan benda yang ada dalam
mulutnya. Mulut, lidah dan tenggorokannya terasa pahit. Dia hampir muntah tapi cepat
ditahan. Saat itu
suara tawa terputus dan kini di hadapan Wiro dan Kakek Segala Tahu berdiri
seorang perempuan muda cantik luar biasa.
Perempuan ini tegak di atas gundukan tanah yang agak ketinggian. Angin pagi
meniup pakaian hijau tipis yang membungkus tubuhnya. Dari tempatnya berdiri, Pendekar
212 dapat melihat sosok tubuh perempuan itu dengan jelas. Dadanya berdebar, darahnya
terasa mengalir lebih cepat dan wajahnya menjadi hangat. Terlebih lagi ketika angin pagi
menghembuskan bau harum yang keluar dari tubuh perempuan itu. Di atas kepalanya perempuan ini
memakau sebuah mahkota berbentuk kepala ular. Sepasang mata ular ini terbuat dari
sepasang permata
berwarna hijau memancarkan sinar berkilauan.
"Anak tolol, apa kau sudah tahu saat ini siapa yang berdiri di hadapan kita...?"
Kakek Segala Tahu berbisik. Meski terangsang melihat kecantikan dan aurat di balik
pakaian hijau tipis itu, namun ditanya seperti itu mau tak mau murid Sinto Gendeng jadi
bergetar juga hatinya. Dia mengangguk dan dengan lidah agak kelu serta suara tersendat dia
menjawab, "Aku sudah tahu Kek, aku..."
Ucapan Wiro terputus. Perempuan cantik bermahkota di hadapan mereka membuka
mulut. "Pemuda gagah berambut gondrong. Kudengar tadi kau berucap hendak mencariku.
Peruntunganmu lagi mujur rupanya. Kau usah susah-susah mencari. Aku Dewi Ular
sudah muncul di hadapanmu..."
Wiro berdehem beberapa kali sementara Kakek Segala Tahu mendongak memandang ke
langit. "Ada keperluan apa kau mencariku" Maksud buruk atau baik"!
" "Hmmm..." Wiro bergumam. "Bisa buruk bisa baik," jawabnya kemudian.
"Katakan dulu yang baiknya..." ujar Dewi Ular sambil tersenyum.
"Aku sudah lama mendengar nama besarmu. Selain sebagai orang berkepandaian
tinggi dengan julukan angker, kabarnya kau juga cantik jelita. Ternyata kabar itu tidak
bohong. Aku merasa untung bisa bertemu denganmu saat ini.
" Kunti Arimbi alias Dewi Ular tersenyum. "Lalu apa buruknya"
" "Nama besar dan tindakanmu telah menggegerkan rimba persilatan Tanah Jawa. Kau
melakukan pembunuhan-pembunuhan keji dengan meminjam tangan seorang pemuda yang
masuk ke dalam perangkapmu... Ini membuat repot dan marah semua orang...
" "Hmmm... apa kau juga ikut-ikutan repot?" tanya Dewi Ular sambil menatap tajam
pada Wiro namun bibirnya tersenyum.
Murid Sinto Gendeng tertawa. Di sebelahnya Kakek Segala Tahu memaki. "Anak
tolol! Mengapa pakai tertawa segala bicara dengan iblis perempuan itu!
" "Dewi Ular, aku menyirap kabar bahwa kau ingin menguasai rimba persilatan. Tapi
cara yang kau lakukan sesat dan keji... Semua orang menentang perbuatanmu itu,


Wiro Sableng 081 Dendam Manusia Paku di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

termasuk aku...
" "Kalau aku menguasai dunia persilatan secara baik-baik, apakah kau mau membantu"
" Pertanyaan ini membuat mulut Pendekar 212 terkancing sesaat. "Mungkin saja...
Hanya sayang kau telah terlanjur masuk ke jalan sesat. Tak mungkin keluar lagi..."
Dewi Ular angkat kepalanya. Lehernya tampak jenjang dan putih. Dia tertawa perlahan lalu
memandang pada Wiro sambil mengedipkan matanya dua kali.
"Anak muda, buruk dan baik, kebajikan dan kekejian di masa sekarang ini
tergantung dari
mana orang memandang. Kalaupun pandangannya benar maka batas antara keduanya
setipis kabut pagi yang akan lenyap begitu sang surya menampakkan diri. Agar kau
lebih mengenal diriku dan apa yang akan aku kerjakan, kuanggap kau perlu ikut
denganku... " "Ikut denganmu" Ke mana?" tanya Wiro berlagak bodoh.
Dewi Ular tertawa. "Banyak yang bisa kita kerjakan berdua... Kalau dunia
persilatan bisa
kukuasai, apa kau tidak merasa senang berada di sampingku, jadi orang
kepercayaanku"
" "Ah, tidak sangka kau baik sekali. Tapi aku khawatir di balik kebaikan itu ada
maksud terselubung. Lagi pula bukankah kau sudah punya pemuda gagah bernama Sandaka
Arto Gampito itu"
" "Hai, tidak sangka ternyata kau merasa cemburu pada pemuda satu itu. Hik...
hik... hik! " Tampang Wiro jadi bersemu merah. "Siapa cemburu padanya" Dia siapa, kau siapa
dan aku ini siapa"!
" Dewi Ular kembali tertawa. "Anak muda aku akan tetap membawamu. Suka atau tidak
suka. Kalau kau berlaku baik aku pasti baik padamu. Imbalan yang bakal kau dapat
berlipat ganda... Jangan kau andalkan kepandaian yang kau miliki untuk melawanku... Aku
butuh bantuanmu untuk menyingkirkan beberapa tokoh silat kawakan.
" "Coba kau tanyakan siapa saja tokoh yang dimaksudkannya itu..." bisik kakek
Segala Tahu. "Eh, siapa si tua bangka berbisik-bisik di sampingmu itu...?" tanya Dewi Ular
seolah baru melihat kehadiran Kakek Segala Tahu di tempat itu.
"Tidak usah pedulikan dia. Aku hanya ingin tahu siapa-siapa tokoh silat yang
hendak kau singkirkan itu"
" "Aku tidak keberatan mengatakannya," jawab Dewi Ular sambil tersenyum. "Pertama
kita berdua akan mencari Datuk Bululawang. Bukankah kau mengincar manusia satu itu"
Kau membantuku dan aku membantumu...
" "Tapi kita punya alasan berbeda!" jawab Wiro.
"Kau cukup cerdik!" puji Dewi Ular sambil kerdipkan mata kirinya. "Jelas alasan
kita berbeda tapi tujuan kita sama. Mengapa perlu diributkan"
" Di sampingnya, Kakek Segala Tahu berbisik. "Jangan berdebat dengan perempuan
iblis itu. Kau punya kesempatan merampas paku baja putih dari Datuk Bululawang...
" "Siapa korbanmu selanjutnya?" Wiro bertanya.
"Seorang dedengkot rimba persilatan. Berbobot lebih dari 160 kati. Tukang ngorok
namanya si Raja Penidur...
" "Kurang ajar, dia sahabatku dan sudah kuanggap sebagai guru atau kakek sendiri!"
teriak Wiro. Dewi Ular tertawa panjang. "Itu anggapanmu. Tapi menurut anggapanku dia adalah
penghalang besar untuk mencapai cita-citaku!
" "Benar-benar perempuan Iblis," teriak Wiro dalam hati. "Siapa lagi korbanmu
selanjutnya, " murid Sinto Gendeng bertanya.
"Seorang nenek jelek bernama Sinto Gendeng!
" "Perempuan iblis, Sinto Gendeng adalah guruku!" teriak Wiro.
"Kalau gurumu memangnya kenapa" Apa dia tidak boleh mati?" tukas Dewi Ular
sambil tertawa cekikikan.
"Jahanam!" Pendekar 212 tidak dapt lagi menahan kesabarannya. Dia hendak
melompati perempuan di hadapannya, tapi kakek Segala Tahu mengulurkan tongkatnya menahan.
"Aku sudah lama tidak bergerak badan!" katanya. "Biar aku meluruskan tulang reotku
dan mengendurkan urat-urat yang sudah kaku!
" Abis berkata begitu, Kakek Segala Tahu kiblatkan tongkat butut di tangan
kirinya. Benda ini
bergetar keras dan memijarkan cahaya redup. Bersamaan dengan itu tangan kanannya
kerontangkan kaleng rombeng. Suara berisik menggelegar di tempat itu.
"Tua bangka tidak tahu diri! Kau hanya merusak pemandangan dan pendengaranku
saja!" hardik Dewi Ular. Dia angkat tangan kanannya. Telapak dibuka dan dihadapkan ke
arah ujung tongkat yang datang menusuk ke bagian kepalanya.
"Crasss!" Tongkat itu jelas menembus telapak tangan Dewi Ular disertai suara
menggidikkan. Tapi tidak ada darah mengucur. Tapak tangan sama sekali tidak
terluka apa lagi berlubang.
"Ilmu Sihir" desis Wiro dalam hati sementara Kakek Segala Tahu tetap tenang
saja. Sambil kerontongkan kaleng di tangan kanannya tongkat di tangan kiri kembali
berkelebat. Tapi kali
ini tongkat tidak dipakai untuk menyerang lawan, malah ditusukkan ke perut
sendiri. "Crasss!" Tongkat menembus perut. Perut jebol berlubang. Tapi tidak ada darah.
Malah ketika ditarik ususnya muncrat! Wiro kernyitkan kening sedang Dewi Ular sempat
tergagau melihat apa yang terjadi.
"Kek!" seru Wiro.
Kakek Segala Tahu tertawa mengekeh. "Ayo serang lagi! Aku pasti bisa menirukan
apa yang kau lakukan!" kata Kakek Segala Tahu.
"Tua bangka sombong! Lihat seranganku!" teriak Dewi Ular merasa direndahkan. Dua
tanganya disorongkan ke depan.
"Wutt! Wutt!!"
"Sett! Sett!"
Sepasang tangan yang dipukulkan lurus ke depan itu berubah menjadi dua ekor
ular. Yang di kiri berwarna hijau pekat sedang yang kanan berwarna coklat kemerahan!
"Wuttt! Bettt! Bettt!" Tongkat kayu di tangan kiri Kakek Segala Tahu membabat di
udara. "Dess! Dess!
" "Traakkk! " Bagian belakang kepala ular jadi-jadian hancur dan putus dihantam tongkat.
Sebaliknya tongkat kayu Kakek Segala Tahu patah dua.
Selagi Kakek Segala Tahu terkejut melihat kejadian itu, tiba-tiba dua kepala
ular yang buntung dan jatuh ke tanah melesat ke atas, menancap di leher kiri kanan.
Wiro berteriak kaget. Kakek Segala Tahu pergunakan tangan kiri dan kanan untuk
membetot lepas kepala ular itu dari lehernya lalu meremasnya sampai hancur! Sadar bahaya
besar mengancam jiwa, kakek ini segera ambil dua butir obat dari balik capingnya dan
cepat menelannya. Tiba-tiba dia meraung. Dadanya seperti ditusuk besi panas. Dari
mulutnya keluar busa darah.
"Kek!" teriak Wiro seraya bergerak hendak merangkul orang tua itu. Namun dari
samping Dewi Ular kebutkan pakaian hijaunya. Selarik cahaya hijau menyambar membuat
Pendekar 212 terpaksa menyingkir dan melompat mundur.
"Perempuan iblis! Kau membunuh kakekku," teriak Wiro menggeledek.
"Oo, jadi dia kakekmu! Kenapa tidak bilang dari tadi" Tadi kau bilang tak usah
pedulikan. Kasihan ajalnya sudah di depan mata!"
"Perempuan jahanam! Rasakan ini" dalam marahnya, murid Sinto Gendeng mengerahkan
semua tenaga dalamnya ke tangan kanan. Serta merta lengan sebatas siku ke bawah
menjadi putih perak menyilaukan. Tangan itu kemudian dihantamkan ke arah Dewi Ular.
Pukulan Sinar Matahari!
Cahaya putih yang sangat panas menyambar ke arah Dewi Ular. Perempuan itu hanya
tercekat sesaat. Kedua lututnya menekuk. Di lain kejap tubuhnya melesat ke atas. Gerakan
perempuan ini luar biasa cepatnya. Pukulan Sinar Matahari lewat di bawah kedua kakinya.
Dari atas Dewi Ular kebutkan lengan baju hijaunya. Dua larik sinar hijau yang membawa
angin sederas topan prahara menyambar Pendekar 212. Pukulan Sinar Matahari menghantam amblas
beberapa pohon dan semak belukar yang serta merta kemudian dikobari api.
Sebaliknya, dua larik pukulan yang dilepaskan Dewi Ular membuat Pendekar 212
seperti ditindih gunung. Dia berusaha bertahan sambil berusaha membalas pukulan "Tameng
Sakti Menerpa Hujan" dan "Benteng Topan Melanda Samudra."
Akibat yang terjadi luar biasa. Di udara kelihatan dua sinar hijau mencelat ke
atas berbuntalbuntal disertai letusan-letusan keras. Kelihatannya dua pukulan
sakti yang dilepaskan Wiro
mampu memusnahkan serangan lawan. Nyatanya tidak, karena dikejapan berikutnya
ketika tubuhnya masih melayang di udara, Dewi Ular dorongkan dua telapak tangannya ke
bawah. Dua pukulan sakti yang dilepaskan Wiro berbalik menyerang dirinya sendiri.
"Celaka! Jahanam ini ternyata luar biasa ilmu dan tenaga dalamnya!" keluh Wiro
sambil menjauh cari selamat.
"Bummmm! Bummm!"
Serangan Dewi Ular menghantam. Tanah, pasir dan batu-batuan muncrat beterbangan.
Di tanah kelihatan dua buah lobang sedalam dua jengkal.
Wiro merasa kedua lututnya goyah ketika dia berusaha bangkit. Dari sela bibirnya
kelihatan ada darah keluar. Baru sempat berdiri lurus tiba-tiba Dewi Ular sudah berada dua
langkah di depannya. Wiro kertakkan rahang. Tangan kanannya bergerak ke pinggang. Siap
mencabut Kapak Maut Naga Geni 212. Tapi Dewi Ular bergerak mendahului. Kedua tangannya
dipergunakan untuk menyingkap pakaian hijaunya di bagian tengah. Perut Dewi Ular
tersingkap polos dan putih. Pusarnya menyembul. Wajahnya kelihatan menjadi kaku,
pandangan matanya menyorot mengidikkan.
Tiba-tiba dari pusar perempuan itu melesat sebuah benda yang ternyata adalah
seekor ular hitam berkepala putih. Binatang ini melesat ke arah Wiro langsung mematuk bagian
dadanya. Murid Sinto Gendeng mengeluh tinggi. Dada pakaiannya yang robek tampak basah
oleh darah. Kepalanya pening. Tubunya mendadak terasa sangat dingin hingga dia
menggigil dan akhirnya roboh tak sadarkan diri.
Letih berteriak minta diturunkan dan dilepaskan, akhirnya Anggini hanya bisa
berdiam diri. Dalam kegelapan malam menjelang pagi, Sandaka melarikannya laksana terbang.
Anggini sendiri memiliki ilmu lari cepat dan dia pernah melihat beberapa orang tokoh
silat berlari sangat cepat, namun belum pernah ia melihat ilmu lari sehebat yang dimiliki
Sandaka. Lama- lama tanpa disadarinya akhirnya gadis itu tertidur. Pemuda bercawat itu
memanggul dan melarikannya ke arah Barat.
Ketika Anggini terbangun dari tidurnya hari telah siang dan Sandaka masih terus
membawanya lari. Dalam hati murid Dewa Tuak ini membatin. "Luar biasa! Sejak
malam sampai siang begini dia masih terus lari. Tidak kelihatan lelah bahkan
kecepatannya pun tak
berkurang. Apa dia tidak haus dan lapar" Apa dia tidak akan berhenti untuk
istirahat"
Anehnya lagi, sekujur tubuhnya sama sekali tidak mengeluarkan keringat...
" "Apa yang ada dalam benakmu"!" tiba-tiba Sandaka bertanya membuat Anggini
terkejut. "Dia mempunyai kepandaian membaca pikiran orang. Sudah berapa kali kejadian
setiap aku berpikir dan membatin dia lantas bertanya." Lalu gadis itu berkata. "Kau lari
secepat setan. Hendak kau bawa ke mana aku ini" Apa kau tidak mau melepasku"
" "Sekarang ini apapun yang terjadi aku tidak akan melepaskanmu. Sudah aku katakan
aku

Wiro Sableng 081 Dendam Manusia Paku di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perlu teman untuk bicara, untuk tukar pikiran. Harap kau diam saja. Jangan
banyak bicara agar kita lekas sampai.
" "Sampai ke mana?" tanya Anggini.
"Lihat saja nanti. Perjalanan masih cukup jauh, mungkin malam hari kita baru
sampai. " Anggini terdiam. Dalam benaknya muncul berbagai pikiran. Dari yang dilihatnya
pemuda bernama Sandaka itu tak sejahat seperti kata orang. Walau dia tidak tahu mau
dibawa ke mana tapi entah mengapa dia merasa aman. Lalu tiba-tiba muncul wajah Wiro di pelupuk
matanya. Bagaimana keadaan pemuda itu sekarang" Terakhir sekali dilihatnya pemuda itu
terbanting ke tanah akibat bentrokan pukulan sakti dengan Sandaka.
"Siapa yang sedang kau pikirkan?" pertanyaan Sandaka mengejutkan Anggini.
"Lagi-lagi dia tahu aku sedang memikirkan sesuatu," kata gadis itu dalam hati.
"Aku tahu kau pasti memikirkan pemuda itu. Aku dengar kau menyebut namanya
Wiro... " "Kau telah mencelakainya!
" "Dia mencari penyakit. Memerintahkan melepaskanmu. Apa kau ini miliknya"!
" "Aku bukan miliknya, Juga bukan milikmu!" jawab Anggini.
Sandaka menyeringai dan terus berlari. "Dia memiliki pukulan sakti yang hebat.
Kalau aku lambat bertindak, bisa celaka... Sudahlah. Aku tak suka membicarakan pemuda itu.
Lebih baik kau tidak banyak bicara. Tidurlah kembali.
" Dalam hati Anggini mengumpat. Namun saat itu dia memang tidak punya daya. Kedua
tangannya masih meregang kaku. Dia coba menggerakkan kaki. Tapi Sandaka tahu
gelagat cepat mengancam. "Kalau kau berani pergunakan kaki untuk menghantamku, jangan
kira aku tidak tega mematahkan tulang keringmu!
" Dalam kesal dan tak bisa berbuat apa-apa akhirnya Anggini memilih tidur saja.
Kedua matanya dipejamkan. Untuk kedua kalinya gadis ini tertidur di atas bahu Sandaka.
Sewaktu dia bangun, didapatinya sekelilingnya dalam keadaan gelap. "Lama sekali aku
tertidur. Di mana aku berada saat ini?" Anggini berpikir-pikir sambil memandang berkeliling.
Gelap. Di kejauhan terdengar suara jangkrik dan binatang malam lainnya.
"Pemuda itu, di mana dia...?" Anggini bertanya-tanya dalam hati. Dia memandang
lagi berkeliling dan didapatinya dirinya terbaring di satu tempat. KemudiaN
disadarinya kedua
tangannya tidak meregang kaku lagi. Segera dia bangkit berdiri. Ketika
diperhatikan lebih
seksama tempat dia berbaring tadi, ternyata sebuah gundukan tanah ditumbuhi
rumput liar. Dia memperhatikan lebih seksama lagi. Astaga! Gundukan tanah itu adalah sebuah
makam! Kuburan! Dia keluarkan pekik kecil. Dengan rasa tegang dia dekati salah satu
ujung gundukan di mana terpancang sebuah papan nisan yang sudah lapuk. Di situ tertera
sebaris tulisan. Selain keadaan yang gelap, tulisan itu juga sudah tidak kentara lagi.
Anggini membungkuk mencoba membaca nama yang tertera di papan nisan itu.
Tiba-tiba satu tangan dingin memegang bahunya. Si gadis terlompat dan berseru
kaget. "Namanya Mantili..." terdengar satu suara berkata di belakangnya. Anggini putar
tubuh dengan cepat. "Ah, dia rupanya.." desis murid Dewa Tuak ini sedikit lega. "Si... siapa orang
yang bernama Mantili yang barusan kau sebutkan itu"
" "Kau ingin tahu nama di papan nisan itu bukan" Orang yang dikubur di sini
seorang gadis bernama Mantili.
" "Apa maksudmu membawa aku ke tempat ini" Kau sengaja membaringkan aku di atas
kuburan! Siapa gadis bernama Mantili itu"
" "Pertanyaanmu banyak sekali. Akan kujawab satu per satu!" sahut Sandaka.
"Pertama, maksudku membawamu ke mari karena kurasa inilah satu-satunya tempat yang paling
aman di dunia. Kedua, aku sengaja membaringkan kau di atas kubur agar kau menyadari
bahwa sebenarnya hidup manusia itu dekat sekali dengan liar kubur alias kematian!
" "Jangan-jangan dia hendak membunuhku..." pikir Anggini.
"Katakan apa yang ada dalam benakmu!" Sandaka bertanya dengan pandangan mata tak
berkedip. "Tidak, aku tidak memikirkan apa-apa. Hanya ingin tahu siapa gadis bernama
Mantili itu... " Sepasang mata Sandaka kelihatan hijau berkilat. Ketika sinar hijau meredup,
wajah pemuda ini kelihatan sedih, lalu terdengar suaranya perlahan. "Gadis itu kekasihku.
Kami sudah merencanakan kawin. Tapi dia keburu menemui ajal. Mati dibunuh orang!" wajah
Sandaka berubah tegang membesi. Dua bola matanya memancarkan kilatan sinar hijau.
"Siapa yang membunuhnya?" tanya Anggini ingin tahu.
"Aku!" jawab Sandaka keras tapi wajahnya biasa saja.
Anggini memandang membeliak pada pemuda bercawat itu. "Katamu gadis bernama
Mantili ini kekasihmu. Bahkan kau akan kawin dengan dia. Lalu mengapa kau membunuhnya"
Apa dia mengkhianatimu?"
Sandaka menggeleng. "Aku membunuhnya karena diperintah Dewi Ular!"
Kini bukan saja dua mata Anggini yang membeliak, tapi mulutnya juga terbuka
lebar mendengar ucapan Sandaka. "Gila! Kau membunuh gadis yang kau cintai hanya karena
diperintah Dewi Ular! Aku tidak mengerti manusia macam apa kau ini adanya!"
Sandaka menatap Anggini dengan pandangan angker. Kilatan sinar hijau di kedua
mata pemuda ini menggidikkan membuat si gadis tersurut dua langkah. "aku tidak gila!
Aku hanya tidak bisa melepaskan diri dari kekuasaan Dewi Ular...
" "Apa kau tidak punya niat untuk membunuh perempuan itu hingga kau terlepas dari
kekuasaannya yang keji"
" "Aku tidak melakukannya. Aku tidak mampu. Hanya hati kecilku menimbun dendam
terhadapnya! Dendam tapi juga suka!
" "Aneh! " "Apa yang aneh"!" tanya Sandaka dengan suara bergetar.
"Kini otakmu kelihatannya seperti waras. Ucapanmu menyatakan bahwa kau menyadari
membunuh kekasihmu itu...
" "Sejak beberapa waktu lalu memang ada kelainan dalam diriku. Otakku sepertinya
berubah jernih walau sangat perlahan...
" "Mungkin pengaruh jahat Dewi Ular atas dirimu mulai lenyap...
" "Itu tidak mungkin. Tidak ada yang bisa membebaskan diriku sepenuhnya dari
perempuan itu. Aku menyukainya. Dia membuat diriku benar-benar jadi lelaki perkasa...
" "Tadi kau bilang ada kelainan dalam dirimu. Apa saja yang kau rasakan saat
ini...?" tanya
Anggini. "Hmmmm... Tidak ada hal lain. Kecuali aku mulai mengantuk. Ingin tidur tapi
belum bisa. Kalau aku tidur, kau harus menjagaku...
" Murid Dewa Tuak terdiam. Dia berpikir. "Kalau dia benar-benar tidur, berarti ini
kesempatan baik bagiku untuk melumpuhkannya...
" "Apa yang ada di benakmu" Kau merancang sesuatu yang licik"!" tanya Sandaka
curiga. Anggini cepat gelengkan kepala. "Aku tidak keberatan menjagamu. Tapi aku tidak
tahu berapa lama kau tidur. Satu hari, satu minggu atau satu bulan"
" "Sekalipun aku tidur satu tahun, kau tetap harus menjagaku! Awas jika kau berani
membantah! Tanganku sudah agak lama tidak memecahkan batok kepala manusia!
" "Manusia edan!" maki Anggini dalam hati. "Bagaimana ada manusia berkeadaan
seperti dia di dunia ini"!
" "Aku tahu kau memaki dalam hatimu!" terdengar Sandak berucap. Mulutnya dibuka
lebarlebar. Dia menguap. "Mungkin saatnya aku mulai mencoba tidur...
" Lalu dia melangkah mendekati makam kekasihnya. Sesaat dia memandang pada
Anggini. Setelah itu direbahkannya tubuhnya di atas kuburan itu. "Tolong jaga diriku.
Tempat ini paling aman namun jika ada orang yang muncul dan bermaksud jahat, kau tahu apa
kewajibanmu! " "Kewajiban apa"!
" "Membunuh orang itu!
" "Gila! " Sandaka menyeringai. Sambil pejamkan kedua matanya, pemuda ini berkata. "Jangan
coba melarikan diri dari sini. Jangan coba berbuat sesuatu terhadapku. Kau akan
menyesal! " Sandaka menguap lebar-lebar. Matanya tiba-tiba terbuka. Setengah bangkit dia
lalu memandang pada gadis di dekatnya lalu berkata. "Kau tahu namaku, aku belum tahu
namamu... " "Aku sudah mengatakannya padamu. Namaku Anggini...!
" "Anggini... Oh ya... Anggini ..." Sandaka merebahkan dirinya kembali di atas
makam kekasihnya itu.
Dalam hati Anggini menduga-duga pemuda ini mulai linglung entah diserang kantuk
atau memang otaknya lagi tidak karuan. Dia palingkan kepala ketika dia dengar Sandaka
mendengkur. "Ngorok... berarti dia sudah mulai pulas..." membatin Anggini. Dia
berpikir keras tindakan apa yang harus dilakukannya. "Sebaiknya kulumpuhkan dulu dirinya
dengan totokan. Kalau dia sudah tidak berdaya, baru aku pikirkan apa yang selanjutnya
akan kulakukan. Membawanya ke tempat guru bukan pekerjaan mudah. Yang paling mudah
menghabisinya di tempat ini juga! Pekerjaan selesai dengan cepat dan dunia
persilatan terbebas dari malapetaka besar.
" Memikir sampai di situ Anggini melangkah dengan hati-hati. Tanpa suara mendekati
Sandaka. Jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya diluruskan. dipentang
sedemikian rupa
hingga memiliki kekuatan seperti dua potong besi. Sebagai murid Dewa Tuak yang
merupakan salah seorang dedengkot rimba persialatan, gadis ini membekal ilmu
totokan tingkat tinggi yang sulit dicari tandingannya karena sanggup melumpuhkan,
jangankan manusia biasa, seekor gajah pun bisa kaku tegang dibuatnya.
Sandaka ngorok terus. Anggini mendekat cepat tanpa suara. Tangan kanannya
berkelebat cepat ke arah dada kiri pemuda yang tidur nyenyak di atas kubur kekasihnya.
Anggini sengaja
melakukan totokan ke urat besar yang berada di dekat jantung pemuda itu. Ini
memang satu totokan dahsyat dan sangat berbahaya. Sekali seseorang kena ditotok di bagian
ini, pasti sekujur tubuhnya akan lumpuh dan gagu. Namun jika meleset dari titik kelumpuhan
itu, maka orang yang ditotok bisa meregang nyawa karena totokan akan membuat jantungnya
pecah! Inilah totokan yang oleh Dewa Tuak dinamakan "Seribu Lumpuh Seribu Ajal".
Hanya seujung kuku totokan dahsyat Anggini akan mendarat di dada kiri Sandaka
ketika tibatiba satu cahaya hijau pekat menyambar keluar dari dada pemuda itu.
Anggini keluarkan seruan tertahan sewaktu kedua tangan kanannya mulai dari ujung
jari sampai ke lengan terus menjalar ke siku terasa seperti disengat hawa sangat
panas. Gerakannya menotok tertahan seolah dia menusuk tembok baja. Ketika dia
mengerahkan tenaga dalam penuh untuk melawan hawa panas sinar hijau dan halangan yang tidak
terlihat, tubuhnya terpental sampai tiga langkah. Kalau dia tidak cepat mengimbangi diri,
gadis ini pasti akan jatuh terbanting ke tanah! Sesaat dia tertegun pandangi Sandaka yang
tampak masih terbaring pulas dan terus mengorok, sementara dia sendiri pergunakan
tangan kiri untuk
mengusap-usap tangan kanannya yang sakit.


Wiro Sableng 081 Dendam Manusia Paku di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cahaya hijau di atas dada Sandaka tampak meredup lalu senyap seolah amblas masuk
ke dalam dada pemuda itu. "Sulit kupercaya dalam keadaan tidur seperti itu dia bisa
melindungi diri bahkan menghantamku..." membatin Anggini. Dia berpikir sejenak. Lalu
perlahan-lahan dia tanggalkan selendang sutera ungu di lehernya. Benda ini adalah senjata
andalan murid Dewa Tuak. Pada salah satu ujungnya tertera angka 212. Angka itu dibuat Wiro
dengan ujung jarinya beberapa tahun lalu, pada suatu malam sehabis mereka memadu cinta. Mau
tak mau Anggini sekilas teringat apa yang terjadi di antara dia dengan Pendekar 212
malam itu. Mukanya berubah merah dan terasa panas.
"Gila! Mengapa dalam keadaan seperti ini aku mengingat dirinya dan kejadian
malam itu"!"
Anggini memaki sendiri dalam hati. (Untuk membaca hubungan apa yang terjadi
antara Pendekar 212 Wiro Sableng dengan gadis murid Dewa Tuak itu, harap baca serial
Wiro Sableng berjudul Maut Bernyanyi di Pajajaran)
"Aku tidak suka melakukan ini. Tapi agaknya tak ada jalan lain. Tak mungkin
dilumpuhkan. Terpaksa aku harus membunuhnya!" Anggini segera alirkan tenaga dalamnya ke
selendang yang dipegangnya. Walau masih kelihatan lembut, tapi sebenarnya selendang itu
telah berubah menjadi satu senjata sekeras dan sekuat besi!
Selangkah demi selangkah gadis itu mendekati sosok Sandaka yang mendengkur.
Tangan kanannya diangkat ke atas. Dalam jarak yang sangat dekat, Anggini lalu hantamkan
selendang suteranya ke arah kepala Sandaka.
"Wutttt!"
Sinar ungu berkelebat. Ujung selendang sekeras besi menderu ke arah kening
Sandaka. Jangankan kepala manusia, batu pun pasti akan hancur berantakan dihantam
selendang tersebut. Namun itu tidak terjadi. Dari kepala Sandaka yang menjadi sasaran,
keluar cahaya hijau terang sekali, menghantam ke atas.
Anggini terpekik. Tubuhnya mencelat. Selendang di tangannya terlepas. Bobot
berat dan kerasnya lenyap. Selendang ini melayang lembut di udara lalu jatuh ke tanah,
robek besar di ujungnya yang tadi dipakai menghantam kepala Sandaka. Anggini sendiri saat itu
tergeletak di tanah. Tangan kanannya tampak berwarna kehijauan, mendenyut sakit bukan
kepalang dan hampir tidak bisa digerakkan lagi.
Di hadapannya, di atas kuburan itu sosok Sandaka sama sekali tidak bergerak.
Suara dengkurannya menggema dalam kegelapan malam. Walau menahan sakit yang amat
sangat, saat itu mau tak mau Anggini merasa kagum akan kesaktian Sandaka meski dia
maklum kehebatan pemuda itu banyak ditentukan oleh Dewi Ular yang menguasainya.
Terhuyunghuyung Anggini bangkit. Pada saat itulah dia mendengar suara orang
tertawa mengekeh disusul berkelebatnya satu sosok berjubah merah.
Seorang kakek bermata juling tegak di depan Anggini, di seberang kuburan di mana
Sandaka masih enak-enakan tidur mendengkur. Orang tua ini bertubuh pendek dan di
punggungnya ada punuk besar. Di keningnya terikat sehelai kain merah. Tangan kirinya buntung
sebatas bahu. Di bagian ini, jubahnya tampak seperti hangus dan ada noda darah
mengering. Yang
hebatnya di atas kepalanya manusia ini menjunjung sebuah peti besi. Kedua
matanya yang juling bergerak-gerak kian ke mari, menatap pulang balik dari Anggini kepada
sosok Sandaka. Murid Dewa Tuak yang tadinya hendak memungut selendang ungunya batalkan niat dan
perhatikan orang tua di depannya dengan penuh waspada, sambil menduga-duga siapa
adanya orang tua berpunuk, bertubuh pendek dan mengenakan jubah robek berwarna merah
menyala di seberang kuburan itu.
Orang tua pendek goyangkan kepalanya sedikit. Peti besi yang ada di kepalanya
melayang ke bawah. Peti ini disambutnya dengan kaki kiri lalu dengan perlahan-lahan peti
diletakkannya di atas tanah. "Aku tidak yakin tua bangka itu pemain akrobat!" kata Anggini dalam
hati. Lalu dia ajukan pertanyaan. "Kek! siapa kau?"
Mata juling orang yang ditanya berputar cepat. Dari mulutnya keluar ledakan
tawa. "Gadis
cantik tapi tolol! Seharusnya aku yang bertanya kepadamu siapa dirimu! Bukan kau
yang punya hak menyelidiki diriku! Kau untung bertemu dengan diriku. Kalau dengan tua
bangka lain, gadis secantik kamu bisa jadi lalapannya! Ayo bilang, siapa dirimu! Apa
sangkut pautmu dengan pemuda yang sedang ngorok di atas makam sana?"
Waktu memaki dan berucap, si kakek tidak memandang ke Anggini tapi tetap
memandang ke arah Sandaka denga mata berlikat-kilat. Beberapa kali dia leletkan lidah basahi
bibir. Dalam hati dia berkata. "Luar biasa! Belum pernah aku melihat tubuh muda sekokoh ini!
Ah, bagaimana ini" Apa aku kerjai atau urusan besar ini aku selesaikan lebih
dahulu?" Si kakek
buntung melirik ke arah Anggini lalu berkata. "Aku tidak suka kau berada di
sini. Kau kubebaskan pergi. Lekas sebelum aku berubah pikiran!"
"Kau tidak punya hak mengusirku. Lagi pula aku sudah membuat perjanjian dengan
pemuda itu untuk menjaganya selama dia tidur!"
Kakek berpunuk tertawa mengekeh. "Hemmm... benar dugaanku. Jadi kau ada hubungan
apa-apa dengan pemuda di atas makam. Dengar gadis tolol! Aku tidak hanya berhak
mengusirmu tapi juga membunuhmu pun aku punya seribu hak! Sekarang terserah
kepadamu. Mau mencari selamat dan pergi cepat-cepat atau memang minta mampus dan berkubur
di tempat ini!?"
"Manusia buntung!" tiba-tiba ada suara membentak. "Gadis cantik itu biar aku
yang mengurus! Kau tua bangka buruk kenapa tidak lekas minggat dari sini sebelum dia
marah dan mematahkan batang lehermu"!"
"Kurang ajar!" teriak kakek berpunuk. "Siapa berani menghina cari perkara!" Dia
memutar tubuhnya lalu kebutkan lengan jubah tangan kanannya ke arah datangnya suara.
"Wuttt! Wusss!"
Satu sinar merah menderu. Sosok yang baru saja muncul bergerak cepat menghindari
serangan kakek berpunuk mata juling. Sambaran merah menghantam batang pohon
kamboja besar hingga patah-patah dan roboh.
Di hadapan Anggini dan kakek berpunuk, tegak seorang tua bermuka belang
celemongan mengempit sebatang tongkat terbuat dari seekor ular kuning hitam dikeringkan.
Dia mengenakan pakaian rombengan penuh tambalan. Di tanan kirinya dia memegang
sebuah kantong ungu. Mulutnya senyum tiada henti. Sikapnya menunjukkan dia berotak
kurang waras. Anggini segera kenali si kakek. Lagi pula kantong ungu adalah miliknya
yang berisi senjata rahasia paku perak.
"Pengemis sinting Muka Belang!" teriak Anggini. "Pencuri keparat! Lekas kau
kembalikan kantong itu padaku!"
Si kekek tua belang tertawa lebar. "Gadis cantik, gara-gara dirimu cucuku
menemui ajal di
tangan pemuda itu! Kau minta kantong berisi paku ini" Baik! Aku pasti
mengembalikan, malah dengan tambahan satu paku sorga yang berada di bawah perutku! Ha.. ha..
ha!" "Dajal bermulut kotor!" teriak Anggini marah sekali. Sekali dia berkelebat
serangannya berupa tendangan mencuat deras ke kepala Pengemis Sinting Muka Belang. Di tua
menunggu sesaat lalu tangannya bergerak mencabut tongkat ular dari kepitannya. Ketika
tongkat itu dikiblatkan sinar kuning hitam mencuat menyongsong serangan Anggini. Sebelum
kedua sinar menghantam kaki gadis itu dari samping selarik angin deras disertai sinar
merah menyambar. Pengemis Sinting Muka Belang, keluarkan seruan tertahan dan cepat melompat
mundur ketika dirasakannya kepala tongkat ularnya bergetar keras. Dengan wajah berubah
dipandangnya kakek berpundak punuk sambil bertanya siapa gerangan adanya orang
itu. Selama ini hampir tidak ada orang yang bisa menandingi kehebatan tongkat ular.
Maka dia pun membentak. "Tua bangka buntung berpunuk! Siapa kau?" Yang ditanya ganda tertawa, lalu
mendongak seraya berkata. "Sejak tangan kiriku buntung, banyak cecunguk dan segala macam
kecoa tidak lagi mengenali diriku. Namun aku tetap aku. Kau pernah mendengar seorang
tokoh yang dipanggil Yang Mulia?" Kakek buntung turunkan kepalanya, menatap tajam pada
Pengemis Sinting Muka Belang. Karuan saja kelihatan wajah Pengemis Sinting Muka
Belang jadi berubah. "Kau... jadi kau Datuk Bululawang dari gunung Welirang"!" Si Buntung
tertawa panjang.
Pengemis Sinting Muka Belang jadi tegetar hatinya. Lalu didengarlah orang di
hadapannya berkata. "Kau datang membawa sebuah kantong. Apa isi kantong itu?" Pengemis
Sinting Muka Belang tidak menjawab.
"Tidak menjawab pun aku sudah tahu isinya. Bukankah dalam kantung ada sejumlah
paku" Yang menurutmu bakal bisa melumpuhkan lalu bisa menguasai pemuda yang tidur di
atas makam itu?"
"Keparat! Bagaimana dia bisa tahu...!" menyumpah Pengemis Sinting Muka Belang.
Yang mulia Datuk Bululwang keluarkan kantong dari balik jubah merahnya. Benda ini
ditimangtimangnya sebentar lalu berkta. "Paku yang kau bawa itu tidak ada apaapanya, ini paku yang asli!"
"Hah!?" Pengemis Sinting Muka Belang keluarkan seruan tertahan. Dia berpaling
pada Anggini. Gadis ini tercekat dalam keadaan tegak. "Kakek sinting, jangan bermimpi
kau akan jadi raja di raja rimba persilatan! Aku muak melihat kau berada di tempat ini
lebih lama. Jika paku dalam kantong itu memang milik gadis ini, lekas kau kembalikan padanya
lalu cepat minggat dari sini!"
Pengemis Sinting Muka Belang mendengus. Walau hatinya mulai mendua namun dia
tidak mau kalah sebelum bertanding. "Datuk Bululawang, siapa tidak kenal padamu. Tapi
jangan terlalu mengagungkan diri. Dalam rimba persilatan kau dikenal sebagai momok yang
doyan menyetubuhi sesama jenis! Apa kehebatan itu yang kau banggakan di hadapanku!
Puah!" Pengemis Sinting Muka Belang lalu meludah ke tanah.
Paras Datuk Bululawang berubah sangat merah. Kerut-kerut di wajahnya meregang
sekeras batu karang. "Penghinaan sudah terucap! Kau telah memanggil malaikat maut
pemcabut nyawamu sendiri!" Sang Datuk simpan kantong kain yang dipegangnya. Di lain kejap
tubuhnya melesat ke depan. Anggini hanya sempat melihat bayangan merah
berkelebat di depannya. Sesaat kemudian terjadilah perkelahian tingkat tinggi yang menegangkan. Pengimis
Sinting Muka Belang kiblatkan tongkat ularnya dalam jurus-jurus serangan mematikan.
Sinar hitam kuning berbuntal-buntal mengepung kakek berpunuk. Sesekali terdengar suara
mendesis dan dari mulut tongkat ular keluar asap biru mengandung racun jahat.
Datuk Bululawang cepat tutup jalan pernafasannya untuk mematahkan serangan racun
tongkat ular di tangan lawan. Dua jurus pertama dia layani semua gempuran
Pengimis Sinting
Muka Belang dengan tenang. Gerakannya pelan saja dan hampir tanpa suara.
Memasuki jurus ketiga gerakan sang datuk berubah ganas. Jubahnya berkibar-kibar mengeluarkan
deru angin deras. Tangannya yang cuma satu berkelebat ke sana kemari. Setiap gerakan tangan
mengeluarkan deru angin dahsyat yang menebar hawa dingin. Jurus kelima dia mulai
membuka serangan. Pengemis Sinting Muka Belang jadi tercekat. Tangan kanan yang
menyerangnya mendadak dilihatnya berubah panjang dan membentuk bayang-bayang
lebih dari satu. "Celaka! Aku tidak dapat mengetahui mana tangan yang asli!" keluh Pengemis
Sinting Muka Belang. Di mulai gugup menghadapi lawan. Karenanya dia mulai mengeluarkan
jurusjurus mautnya. Sambil menghantam dengan tongkat ularnya dari mulutnya
keluar jerit pekik


Wiro Sableng 081 Dendam Manusia Paku di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

teriakan aneh yang bukan saja menyakitkan telinga tepi bisa membuat kacau
serangan musuh.
Namun Datuk Bululawang yang sudah sarat pengalaman itu cuma ganda tertawa.
"Orang lain bisa kacau balau oleh pekik gilamu itu! Tapi aku Yang Mulia Datuk
Bululawang mana bisa tertipu! Ha... ha... ha...! Lihat serangan!" teriak Datuk Bululawang.
Tangan kanannya untuk kesekian kalinya berubah panjang dan kelihatan berjumlah tiga
buah. Tangan pertama melesat ke bawah perut menyambar ke arah anggota rahasianya. Tangan
kedua berkelebat ke leher, laksana sebuah tali besar siap membelit tenggorokannya.
"Pesssttt!"
Pengemis Sinting Muka Belang semburkan racun dari mulut tongkat ularnya.
Bersamaan dengan itu dia melompat ke kiri sambil tangan kirinya menghantam lepaskan satu
pukulan tangan kosong mengandung kesaktian dan tenaga dalam tinggi.
Saat itu mendadak dengkur Sandaka terputus. Lalu terdengar pemuda itu terbatukbatuk beberapa kali. "Celaka kalau dia sempat bangun kacau semua urusanku!" kata Datuk
Bululawang penuh khawatir. "Aku harus bergerak cepat!"
Tetapi sesaat kemudian dia jadi lega karena dengkur Sandaka terdengar lagi.
Namun dia tidak
mau lagi membuang-buang waktu.
"Wuttt! Bettt!"
"Krakkk!"
Pengemis Sinting Muka Belang menjerit keras. Tubuhnya terpental. Tongkat ularnya
terlepas. Ujung tongkat itu masih dalam genggaman tangan tapi tangan itu sudah menjadi
kutungan patah akibat hantaman keras Datuk Bululawang. Lalu terjadilah hal mengerikan.
Selagi Pengemis Sinting Muka Belang menggigil dan mengerang kesakitan, sang datuk
mendatanginya. Tangan kanannya melesat ke depan.
"Crasss! Krakkk!"
Perut Pengemis Sinting Muka Belang jebol. Tulang-tulang iganya berpatahan.
Ketika tangan itu ditarik, isi perut Pengemis Sinting Muka Belang ikut merojol keluar. Ia
menjerit setinggi
langit. Datuk tertawa terkekeh. Tangannya yang berlumuran darah diusapkannya ke
muka Pengemis Sinting Muka Belang hingga muka belang empat warna itu kini tampak
mengerikan. Anggini sampai mengernyitkan wajahnya, merinding melihat hal itu. Dia memandang
ke jurusan lain ketika tubuh Pengemis Sinting Muka Belang jatuh berdebam ke tanah,
menggelepar beberapa kali lalu tidak bergerak lagi. Ketika gadis itu berpaling
kembali, Datuk tengah melangkah mengelilingi makam di mana Sandaka berbaring tertidur. Dari
mulutnya terdengar suara merapal seperti tengah membaca mantera.
"Apa yang tengah dilakukan orang ini...?" Bertanya Anggini dalam hati. Dia
memungut selendangnya yang tercampak di tanah lalu cepat-cepat mendekati mayat Pengemis
Sinting Muka Belang. Dari balik pakaian orang ini ditemukan kantong berisi paku perak
yang merupakan senjata rahasianya. Sambil menimang kantong itu dia memandang ke arah
sosok Sandaka di atas kuburan. Gadis ini berpikir cepat lalu dia bergerak mendekati
makam. Dari dalam kantong dikeluarkannya tujuh buah paku perak.
Melihat yang dilakukan Anggini, Datuk menghentikan langkahnya. Mulutnya berhenti
membaca mantera lalu berkata. "Kau hendak melumpuhkan pemuda itu dengan
pakupakumu" Jangan mimpi. Aku sudah bilang agar cepat kau lekas pergi dari sini!
Atau kau akan menyesal sendiri!"
Dihina senjata rahasianya sebagai paku butut dan dicap mimpi, murid Dewa Tuak
jadi marah. Dengan kertakkan rahang dia kerahkan tenaga dalam pada tangan yang memegang paku
lalu paku itu bergerak. Terdengaar suara berdesing di udara malam. Tujuh perak
melesat hampir tidak kelihatan. Tujuh bagian tubuh Sandaka menjadi sasaran mulai dari batok
kepalanya sampai pergelangan kaki.
Sesaat lagi tujuh buah paku perak itu akan menancap di kepala dan sekujur tubuh
Sandaka tiba-tiba dari dalam tubuh pemuda itu memacar cahaya hijau. Begitu ujung paku
mencapai ujung cahaya semuanya mencelat mental, ada yang menancap di pohon atau
menyangkut di semak belukar. Anggini terkejut bukan kepalang. Dia dekati paku yang mental lalu
jatuh ke tanah. Ternyata senjata rahasianya itu telah bengkok dan leleh mengepulkan asap.
Patung Dewi Kwan Im 5 Pendekar Rajawali Sakti 21 Sepasang Rajawali Perguruan Sejati 8

Cari Blog Ini