Wiro Sableng 074 Dendam Di Puncak Singgalang Bagian 1
sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening Dendam Di Puncak Singgalang
http://cerita-silat.mywapblog.com tempat baca cersil mandarin & indo via HP
Dendam Di Puncak Singgalang
sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening SATU DUA gunung tinggi menjulang menyapu awan, terlihat jelas dari kejauhan di bawah
langit yang biru
bersih. Kehadiran gunung Singgalang dan Merapi di daratan tengah pulau Andalas seperti
yang selalu diperumpamakan oleh penduduk memang benar yaitu seolah dua raksasa penjaga
negeri. Saat itu menjelang tengah hari. Dari arah danau Maninjau di jurusan kaki gunung
Singgalang tampak
seorang penunggang kuda memacu tunggangannya menuju ke timur.
Orang ini berusia sekitar setengah abad, berkumis tipis rapi, mengenakan destar
tinggi berwarna hitam
yang pinggirannya dirajut dengan benang emas. Pakaiannya terbuat dari kain
bludru warna hijau yang juga ada
renda benang emasnya. Di pinggangnya, di balik ikat pinggang besar terselip
sebilah keris. Baik gagang
maupun sarung senjata ini terbuat dari emas sedang badannya terbuat dari sejenis
besi putih yang dilapisi
emas. Setiap sinar matahari jatuh pada gagang dan sarung senjata itu, kelihatan
cahaya kuning memantul
menyilaukan. Pada waktu yang hampir bersamaan dari arah kaki gunung Merapi meluncur cepat
sebuah kereta terbuka ditarik dua ekor kuda besar. Di sebelah kanan duduk sais kereta, seorang
lelaki, bertampang seram.
Wajahnya tertutup oleh kumis dan cambang bawuk lebat. Rambutnya yang gondrong di
ikat menjulai ke
belakang. Matanya yang sebelah kiri picak sedang telinganya sebelah kanan
sumplung. Di lehernya yang
mengenakan pakaian serba hitam ini melingkar sebuah kalung terbuat dari akar
bahar. Pada kedua lengannya
juga kelihatan melingkar dua gelang hitam dari akar bahar.
"Kenapa Datuk tidak membawa senjata?" bertanya sais kereta pada orang yang duduk
di sampingnya. Orang ini mengenakan pakaian bagus berwarna merah penuh dengan sulaman-sulaman
benang emas. Destarnya juga merah. Wajahnya klimis pucat dan agak cekung di bagian pipi.
Dagunya nyaris berbentuk
empat persegi sedang bibirnya tipis dan selalu terkancing rapat. Sekali lihat
saja wajah orang yang dipanggil
dengan sebutan Datuk ini membayangkan sifat angkuh dingin kalau tidak mau
dikatakan kejam. Orang ini
mempunyai kebiasaan aneh. Yaitu sebentar-sebentar menyentak-nyentakan lehernya
ke kiri atau ke kanan
seperti ayam tertelan karet.
"Mengapa kita tidak membawa senjata katamu, Daud?" orang berpakaian merah
membuka mulutnya
yang sejak tadi tertutup. Lalu terdengar dia mendengus. Menyusul kemudian suara
tawanya bergelak.
Sais kereta sesaat jadi terdiam. Lalu dia ikut-ikutan tertawa.
"Setan! Kenapa kau tertawa"!" sang Datuk membentak.
Sais kereta bernama Daud itu cepat tutup mulutnya. "Maafkan saya Datuk,"
katanya. "Saya cuma
ikut-ikutan saja. Bukankah Datuk sering berkata agar saya lebih banyak mengikuti
sifat dan kebiasaan Datuk?"
"Aku tidak suka kau tertawa lebar-lebar di hadapanku! Mulutmu bau! Tahu?"
"Maafkan saya Datuk," kata Daud sekali lagi. Lalu dengan suara perlahan dia
menyambung. "Saya
masih ingin tahu mengapa Datuk tidak membawa senjata."
"Kau takut?"
"Tentu saja tidak Datuk," jawab Daud.
sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening "Mulutmu berkata tidak tapi suaramu bergetar. Percuma kau dijuluki orang Daud si
Hantu Mata Picak! Momok nomor satu di seluruh nagari!"
"Maafkan saya. Kalau begitu saya tidak akan bertanya lagi!" Lelaki bermuka
angker yang mata
kirinya buta picak itu mencambuk kuda-kuda penarik kereta keras-keras seolah
melampiaskan rasa kesalnya
pada kedua binatang itu. Dicambuk bertubi-tubi demikian rupa, kedua kuda berlari
kencang seperti kesetanan.
"Bangsat kau Daud!'' bentak lelaki bermuka cekung. Kalau bicara sang Datuk biasa
memaki dan menyebut orang dengan kata-kata kasar seperti setan atau bangsat.
"Apa lagi salah saya Datuk?"
"Kau melarikan kereta seperti dikejar iblis! Kau hendak membuat aku celaka
huh"!"
Daud menahan tali kekang dua ekor kuda.
Binatang-binatang itu mengangkat kepalanya ke atas dan serta merta memperlambat
larinya. "Nah sekencang begini saja sudah cukup. Kenapa harus terburu-buru....?"
"Bukankah kita hendak menemui...."
Sang Datuk cepat memotong kata-kata Daud. "Kita tidak menemui siapapun. Tapi
justru dia yang
mendatangi kita untuk mengantar nyawa anjingnya!" Untuk pertama kalinya orang
ini berpaling pada sais
kereta. "Aku melihat bayangan rasa takut di wajahmu yang buruk. Kalau betul
begitu hentikan kereta. Biar aku
melanjutkan perjalanan seorang diri. Dan kau boleh kembali ke Silungkang! Jalan
kaki!" "Saya bersumpah saya tidak takut Datuk. Tapi apa yang hendak kita lakukan ini
bukan pekerjaan
main-main. Datuk Bandaro Sati sudah dikenal di tujuh penjuru angin nagari
sebagai Pandekar kelas wahid!"
"Dia boleh punya nama besar. Tapi usianya pendek. Lagi pula ilmu kepandaian apa
yang dimilikinya"
Apa setinggi gunung Merapi sedalam danau Maninjau" Kau khawatir aku akan kalah
olehnya" Kalau
seandainya aku terdesak, lalu apakah kau akan berpangku tangan saja" Duduk di
atas kereta sambil
mencungkil hidungmu"!"
"Tentu saja saya tidak akan tinggal diam Datuk. Saya pasti akan membantu Datuk.
Kalau tidak apa
perlunya kita pergi bersama-sama," jawab Daud si Hantu Mata Picak. "Cuma saya
ada sedikit rasa waswas
Datuk. Bukankah Datuk Bandaro Sati memiliki Tuanku Ameh Nan Sabatang,... ?"
Orang di sebelah Daud si Hantu Mata Picak menyeringai. Setelah mengusap dagunya
yang licin dan menyentakkan lehernya dua kali ke kiri dia berkata.
"Tuanku Ameh Nan Sabatang memang merupakan sebilah keris langka. Mengandung
kesaktian dan tuah luar biasa. Kata orang kalau sudah keluar dari sarungnya harus ada nyawa
yang melayang! Itu kata orang!
Sampai dimana kehebatan keris itu perlu kita saksikan sendiri Daud!"
"Seorang pandekar sesat di Bukit Siguntang yang kabarnya kebal segala macam
senjata, dua bulan
lalu menemui ajalnya di ujung keris itu ketika coba menantang Datuk Bandaro
Sati. Kejadiannya di pesisir
Pariaman."
"Aku memang mendengar cerita itu. Lalu apakah aku manusia yang bergelar Datuk
Gampo Alam harus menjadi ciut nyalinya menghadapi seorang calon bangkai bergerak Datuk
Bandaro Sati itu"!" Habis
bicara begitu orang ini meludah ke tanah. "Setan!"
"Saya yakin bagaimanapun juga Datuk lebih hebat dari Bandaro Sati..."
sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening "Yakin bukan hanya sekedar yakin, Daud. Tapi yakin yang hakkul yakin!" kata
Datuk Gampo Alam
pula. Lehernya disentakkannya ke kanan.
Kereta itu meluncur terus menempuh kawasan sunyi berbukit-bukit. Setelah
melewati sebuah desa
kecil, dari jalan yang kini menurun, di kejauhan kelihatan sebuah lembah yang
keindahan merupakan seolah
satu keajaiban dipandang mata.
"Ngarai Sianok sudah kelihatan di bawah sana Datuk," memberi tahu Daud alias
Hantu Mata Picak.
Datuk Gampo Alam yang sejak tadi terkantuk-kantuk membuka kedua matanya lebarlebar. Sepasang
mata orang ini kelihatan nyalang besar dan ada kilatan menggidikkan.
"Kita sampai lebih cepat Daud. Berarti apa yang akan kita lakukan akan lebih
cepat pula selesainya."
"Kalau Datuk Bandaro Sati benar-benar datang memenuhi janjinya," sahut Daud.
"Setan! Sialan kau Daud!" bentak Datuk Gampo Alam tiba-tiba.
"Astaga! Apa lagi salah saya kali ini?" tanya Daud. Nada suaranya menyatakan
rasa takut namun
ketakutan itu tidak terbayang di tampangnya yang angker.
"Pada saat-saat tegang kau selalu mengeluarkan ucapan yang membuat aku tidak
enak! Keparat itu
pasti datang Daud! Pasti! Jangan kau berani berucap yang membuat aku jadi ikut
was-was!" Hantu Mata Picak tidak menyahut. Dalam hatinya timbul rasa jengkel terhadap
Datuk Gampo Alam.
"Manusia satu ini begitu bernafsu agar cepat bisa melaksanakan niatnya. Tapi
segala kemungkinan tidak
diperhitungnkannya!"
Ngarai Sianok terbentang dengan segala keindahannya. Di langit sebelah timur
sekawanan burung
terbang di langit biru.
Mata kanan Hantu Mata Picak memandang jauh ke depan. Lalu dia berdiri di atas
kereta. "Datuk, saya
melihat ada penunggang kuda datang dari arah barat!" katanya lalu kembali duduk.
Datuk Gampo Alam menyeringai. "Calon bangkai itu datang memenuhi janjinya! Coba
perhatikan. Apa memang betul dia yang datang"!"
Hantu Mata Picak kembali berdiri lalu duduk lagi dan berpaling pada Datuk Gampo
Alam. "Kudanya
kuda coklat. Destarnya hitam dan pakaiannya hijau. Siapa lagi kalau bukan Datuk
Bandaro Sati!"
"Hentikan kereta!" perintah Datuk Gampo Alam. "Aku berbaik hati memberi
kesempatan padanya
untuk meregang nyawa di tempat yang indah ini."
Hantu Mata Picak hentikan kereta.
Sementara itu dari arah barat penunggang kuda coklat berpakaian hijau datang
semakin dekat. Tak
lama kemudian orang inipun sampai di hadapan kereta. Dia membawa kudanya ke
samping hingga bersisi-sisian dengan bagian depan dimana Datuk Gampo Alam duduk.
"Datuk Gampo Alam, kau datang tepat pada waktunya. Malah lebih dulu dari aku!"
Orang di atas kuda
coklat menyapa.
Datuk Gampo Alam menyeringai. "Aku Datuk Gampo Alam selalu tepat waktu. Apalagi
untuk urusan penting seperti ini!"
"Urusan penting katamu. Apakah tidak bisa kita bicarakan di rumah gadang"
Mengapa harus memilih
tempat ini seperti orang menagih hutang piutang saja"!"
sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening Mendengar kata-kata Datuk Bandaro Sati itu, Datuk Gampo Alam tertawa mengekeh.
Disentakkannya lehernya beberapa kali lalu dia berkata. "Coba kau lihat berkeliling. Bukankah
tempat ini sangat indah
pemandangannya" Jadi tak ada buruknya kita bicara di sini!"
Datuk Bandaro Sati memandang berkeliling lalu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Aku setuju
dengan ucapanmu. Ngarai Sianok memang indah. Lalu urusan penting apakah yang kau
maksudkan itu, Datuk
Gampo Alam?"
"Ah! Setan ini berpura-pura tidak tahu rupanya!" Maki Datuk Gampo Alam dalam
hati. Lalu dia menjawab. "Ini menyangkut urusan rumah gadang warisan nenek moyang kita. Jangan
kau berpura-pura
Datuk Bandaro Sati!"
Wajah Datuk di atas kuda coklat itu sesaat tampak berubah. "Kalau itu masalahnya
aku tak akan mau
membicarakan. Bukankah hal ini sudah aku tegaskan berulang kali padamu" Soal
rumah gadang tidak ada
tawar-menawar!"
Datuk Gampo Alam menyeringai lalu menyetakkan lehernya. "Kau selalu bersikap
seperti ini Datuk.
Keras kepala dan tolol!"
"Terserah padamu! Terserah kau mau mengatakan apa diriku! Banyak urusan penting
lain menungguku di Batusangkar! Aku harus pergi sekarang!"
"Tunggu!" seru Datuk Gampo Alam lalu berdiri di atas kereta. Kedua tangannya
berkacak pinggang
sedang sepasang matanya memandang berapi-api pada orang yang duduk di atas kuda
di hadapannya. "Apapun alasanmu aku tidak mau tahu. Urusan rumah gadang harus selesai saat ini
juga, di tempat ini juga!"
"Kau sudah gila Datuk Gampo Alam!" bentak Datuk Bandaro Sati.
"Kau membuat aku marah Datuk Bandaro Sati!" bafas membentak Datuk Gampo Alam.
"Kau rupanya sengaja mencari lantai terjungkat!"
"Setan kau!" teriak Datuk Gampo Alam.
"Eh, iblis apa yang masuk ke dalam tubuhmu hingga kau berani berucap sekasar itu
pada kakak kandungmu sendiri" Aku ingatkan padamu! Sekali lagi kau bicara kotor dihadapanku
kupatahkan batang
lehermu!" * * * sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening DUA DI ATAS kereta Datuk Gampo Alam yang masih tegak bertolak pinggang tertawa
bergelak. "Soal
patah mematahkan batang leher bisa nanti kita lakukan!" katanya. "Aku hanya
ingin memberi kesempatan
padamu sekali lagi. Apakah kau tetap tidak mau menjual rumah gadang berikut
isinya pada Tumenggung
Wiro Sableng 074 Dendam Di Puncak Singgalang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rajo Langit"!"
"Satu kali kubilang tidak, sampai matipun tetap tidak!" jawab Datuk Bandaro Sati
tegas dan dengan
mimik wajah menjadi garang.
Datuk Gampo Alam menyeringai. Lehernya disentakkan dua kali berturut-turut. Dari
balik pakaian merahnya dikeluarkannya segulung kertas. Perlahan-lahan gulungan kertas itu
dibukanya lalu disodorkannya
pada kakaknya. "Aku telah menandatangani persetujuan penjualan rumah gadang itu. Kau juga harus
menyetujui dan menandatanganinya.
Tak usah sekarang. Kuberi waktu dua hari. Antarkan sendiri kerumahku! Atau kau
kirimkan saja orang suruhanmu!"
Datuk Bandaro Sati jadi mengkelap. Kertas yang disodorkan adiknya diambilnya
dengan sebat lalu
tanpa membaca apa yang tertulis di atas kertas itu langsung saja dirobekrobeknya. "Rumah gadang adalah rumah pusaka nenek moyang turun-temurun. Tidak boleh dijual
sekalipun dunia ini akan terbalik!" kata Datuk Bandaro Sati dengan rahang menggembung dan
pelipis bergerak-gerak.
"Setan jahanam!" teriak Datuk Gampo Alam marah bukan main. Setelah menyentakkan
lehernya, didahului oleh suara menggembor seperti harimau lapar tubuh Datuk ini melesat ke
depan. Kaki kanannya
berkelebat menendang ke arah dada kakaknya.
Datuk Bandaro Sati balas berteriak marah. Dengan satu gerakan cepat luar biasa
dia melompat turun
dari punggung kuda. Bersamaan dengan itu tangan kanannya dipukulkan ke atas.
Wuuuttt! Gagal menyerang dada kakaknya, Datuk Gampo Alam menyambar tangan kanan yang
berusaha memukul ke arah selangkangannya. Tapi luput karena Datuk Bandaro Sati cepat
merunduk sambil tarik pulang
serangannya. "Datuk Bandaro Sati pandekar tujuh nagari! Kau memilih mati dari pada
mendapatkan rejeki. Otakmu
yang konon cerdik bijaksana ternyata kosong melompong! Kau kemari hanya mencari
mati!" "Hemm, rupanya niat jahat itu sudah ada dalam hati dan darahmu sejak lama! Aku
tahu kau yang memfitnah anakku. Kini kau hendak bersutan di mata beraja di hati terhadapku
huh! Dengar, bukan aku yang
akan mati tapi kau yang akan berkubur di Ngarai Sianok ini! Itupun kalau masih
ada orang yang mau
menguburmu. Kalau tidak bangkaimu akan jadi santapan anjing-anjing ngarai!"
"Datuk setan! Bicaramu sombong sekali. Boleh kau berkata begitu kalau kau punya
dua nyawa!" kata
Datuk Gampo Alam dengan pandangan mata berkilat-kilat. "Nama besarmu bagiku
hanya kentut busuk
belaka! Atau kau mengandalkan keberanianmu pada keris Tuanku Ameh Nan Sabatang
yang tersepi di
pinggangmu itu" Ha... ha... ha...! Keris itu sendiri yang akan kupakai
menghabisi dirimu!"
sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening "Datuk keparat manusia jahat!" bentak Datuk Bandaro Sati. "Hari ini putus
hubungan darah antara
kita! Aku tidak akan berdosa membunuh manusia sepertimu!"
"Bagus! Kalau begitu kau makanlah bekas tanganku ini!" kata Datuk Gampo Alam.
Dia menyergap dengan satu lompatan garang. Tinju kirinya menghunjam ke dada sedang dua jari
tangan kirinya laksana dua
potong besi menusuk ke arah sepasang mata Datuk Bandaro Sati.
"Ilmu silat picisan tidak laku di hadapanku Datuk!" ejek Datuk Bandaro Sati.
Tangannya kiri kanan
bergerak laksana silangan gunting.
Bukkk! Dukkk! Tubuh Datuk Bandaro Sati tergontai-gontai sesaat ketika lengan kirinya beradu
dengan lengan kanan
Datuk Gampo Alam. Di saat yang sama, sambil memiringkan kepalanya untuk
menghindari tusukan dua jari
lawan pada kedua matanya sang Datuk susupkan tinju kanannya ke dada Datuk Gampo
Alam. Orang ini cepat
mengelak namun jotosan kakaknya masih sempat mampir di bahu kirinya hingga Datuk
Gampo Alam terpelanting dan pasti jatuh kalau tubuhnya tidak tertahan gerobak.
"Setan alas setan keparat!" rutuk Datuk Gampo Alam menahan sakit dan marah.
Kepala dan lehernya
digoyang-goyangkan beberapa kali. Mukanya yang pucat tampak semakin tidak
berdarah. Tapi dia cepat tegak
memasang kuda-kuda.
Di atas kereta, Daud alias Hantu Mata Picak berseru. "Datuk Gampo Alam, biar
saya yang menghajar
manusia keparat itu!" Habis berseru begitu dengan satu gerakan enteng dia
melompat turun dan tahu-tahu
sudah berada di samping kiri Datuk Bandaro Sati.
"Aku masih sanggup mempersiangi setan alas ini Daud! Tetap di tempatmu!" bentak
Datuk Gampo Alam. Lalu dia menerjang. Kini terjadi perkelahian seru antara kakak dan adik
sedarah sekandung itu.
Masing-masing bukan saja mengeluarkan kekuatan luar tetapi juga mengandalkan
tenaga dalam mengandung
hawa sakti yang mengeluarkan siuran angin dan sesekali sinar menggidikkan.
Meskipun Datuk Gampo Alam memiliki kegesitan luar biasa namun karena dirinya
diselimuti nafsu
membunuh yang tidak terkendalikan maka beberapa kali serangan mautnya luput.
Sebaliknya dua kali
serangan Datuk Bandaro Sati berhasil menemui sasarannya. Yang pertama berupa
satu jotosan yang mendarat
dengan telak di ulu hati lawannya hingga Datuk Gampo Alam terlipat ke depan dan
mengeluarkan suara seperti
orang mau muntah. Serangan kedua berupa hantaman telapak tangan pada pangkal
lengan yang mendarat
keras di dagunya.
Inilah ilmu Pukulan Sterlak yang sanggup membuat hidung tanggal atau daging muka
terkelupas. Pukulan Sterlak yang menghantam dagunya terasa seperti menanggalkan kepalanya
dari leher. Datuk Gampo
Alam terpelanting keras lalu terjengkang di tanah. Pemandangannya sesaat
berkunang-kunang.
"Datuk Gampo Alam, pulanglah! Saat ini dengan ikhlas aku bersedia mengampuni
segala kesalahan
dan perbuatanmu!" kata Datuk Bandaro Sati yang jadi tidak tega dan hiba melihat
keadaan adiknya
menjepelok di tanah seperti itu.
Perlahan-lahan Datuk Gampo Alam berdiri. Mulutnya dibuka dan dikatupkannya
beberapa kali. Rahangnya seperti tanggal akibat Pukulan Sterlak tadi.
sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening "Terima kasih, kau berbaik hati menyuruh aku pulang. Ketahuilah aku akan pulang
setelah kau jadi
bangkai di tempat ini! Setan!" Datuk Gempo Alam menutup kata-katanya dengan
makian. Kedua kakinya
dikembang. Kedua lutut menekuk. Sepasang tangannya diacungkan ke atas dengan
jari-jari tangan menekuk
seperti hendak meremas. Dari tenggorokannya keluar suara mencicit halus.
Datuk Bandaro Sati terkejut, Ilmu Silat Tupai Pesisir. Dari mana dan kapan dia
mempelajarinya"
Begitu Datuk Bandaro Sati membatin dalam hati. Baru saja dia bersiap-siap
menghadapi serangan lawan tubuh
Datuk Gampo Alam melompat ke depan. Selanjutnya tubuhnya tampak bergerak sebat
kian kemari, melenting-lenting seperti bola. Tangan dan kakinya berkelebat aneh dalam
gerakan-gerakan yang tidak
terduga. Inilah ilmu silat "tupai pesisir" yang kabarnya diciptakan seorang
sakti puluhan tahun silam
kemudian lenyap tanpa bekas. Kalau kini ilmu itu muncul dan dapat dikenali oleh
Datuk Bandaro Sati, tidak
heran dia merasa terkejut.
Untuk mengimbangi serangan lawan yang datang bertubi-tubi, Datuk Bandaro Sati
terpaksa membuat
gerakan-gerakan cepat. Dengan pengalamannya yang segudang dia bertahan dan
sesekali memotong serangan
lawan lalu melancarkan serangan balasan. Setelah menghadapi lawannya lebih dari
sepuluh jurus ternyata ilmu
silat tupai pesisir itu tak bisa ditembus. Tekanan-tekanan dahsyat mulai dialami
Datuk Bandaro Sati. Orang ini
mulai kacau pertahanannya ketika destar hitam dikepalanya berhasil disambar
tangan lawan. Kalau tidak cepat
dia membungkuk pasti rambutnya kena dijambak Datuk Gampo Alam.
"Agaknya aku terpaksa mengeluarkan pukulan sakti andalanku. Tuhan, ampuni diriku
kalau pukulan ini akan membunuh adikku sendiri!" Datuk Bandaro Sati angkat tangan kanannya
lurus-lurus ke atas. Jari
telunjuk menunjuk ke atas lagit.
"Telunjuk penembus raga!" teriak Datuk Gampo Alam ketika dia mengenali ilmu
pukulan sakti yang
hendak dikeluarkan kakaknya. Parasnya menjadi tambah pucat. Dia memberi isyarat
dengan gerakan tangan
pada Hantu Mata Picak yang saat itu berada tepat di belakang Datuk Bandaro Sati.
Melihat isyarat ini Hantu Mata Picak segera melompat. Lengan kirinya yang kokoh
memiting leher Datuk Bandaro Sati dengan keras sedang tangan kanannya mencekal pergelangan
tangan sang Datuk.
"Pengecut kurang ajar! Menyerang dari belakang!" teriak Datuk Bandaro Sati
marah. Siku tangan
kirinya dihantamkan ke belakang sekuat yang biasa dilakukannya.
Kraaakkk! Terdengar suara tulang iga patah.
Si Hantu Mata Picak menjerit keras. Walau sakit setengah mati tapi orang
bertubuh tinggi besar dan
bertampang angker ini tidak melepaskan cekalannya dari leher Datuk Bandaro Sati
malah seperti dibantu setan
kekuatannya jadi berlipat ganda hingga Datuk Bandaro Sati sulit bernafas
sementara tangan kanannya yang
hendak melepas pukulan telunjuk penembus raga tak dapat dibebaskannya. Dengan
tersengal-sengal Datuk
Bandaro Sati mengerahkan seluruh kekuatannya. Justru pada saat itu dari depan
datang Datuk Gampo Alam
menyergap. Dengan gerakan kilat dia menyambar keris Tuanku Ameh Nan Sabatang
yang tersisip di pinggang
Datuk Bandaro Sati.
sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening Begitu senjata itu berada di tangannya segera dicabut lalu seperti kesetanan
keris bertuah itu
dihunjamkannya keperut dan dada Datuk Bandaro Sati berulang-ulang. Setiap keris
itu menusuk tubuh Datuk
Bandaro Sati kelihatan asap mengepul. Darah membasahi pakaian hijaunya.
Datuk Bandaro Sati meraung keras. Dengan sisa kekuatan yang ada dia kerahkan
tenaga dalam. Tangan kanannya bergetar keras. Satu sinar biru melesat menjulang ke langit.
Hantu Mata Picak berteriak dan
lepaskan cekalannya pada lengan kanan sang Datuk. Tangannya terasa panas. Ketika
dilihatnya ternyata
tangan itu menjadi hitam laksana hangus. Sakitnya bukan kepalang.
Di sebelah depan Datuk Gampo Alam masih terus menghujani tubuh kakak kandungnya
dengan tusukan-tusukan keris Tuanku Ameh Nan Sabatang. Terakhir sekati keris itu
ditusukkannya dan dibiarkannya
menancap dipertengahan dada Datuk Bandaro Sati.
Hantu Mata Picak lepaskan pitingannya di leher Datuk Bandaro Sati. Tak ampun
lagi Datuk ini segera
jatuh tertelentang di tepi Ngarai Sianok.
"Biar saya tendang bangsat ini ke dalam ngarai!" kata Hantu Mata Picak, sambil
meringis menahan
sakit pada tulang iganya.
"Tak usah Daud! Biarkan saja! Lekas tinggalkan tempat ini sebelum ada orang
datang dan melihat kita
disini!" kata Datuk Gampo Alam sambil membuang sarung keris emas ke tanah.
Mendengar hal itu Daud alias Hantu Mata Picak segera naik ke atas kereta. Datuk
Gampo Alam melompat pula ke atas kereta dan sesaat kemudian kereta itu berputar lalu
meluncur kencang ke arah kaki
gunung Merapi tanpa satupun dari kedua penumpangnya mengetahui kalau saat itu,
di balik sebuah batu besar
di antara kerapatan semak belukar sepasang mata menyaksikan apa yang telah
terjadi di tempat itu dengan
tubuh menggigil. Karena tak sanggup menahan takut, orang ini segera hendak
melarikan diri namun satu
keajaiban yang hampir tak dapat dipercayanya membuat kedua kakinya seolah dipaku
ke tanah. Mulutnya
terkancing, wajahnya pucat. Hanya kedua matanya saja membeliak menyaksikan apa
yang terjadi. Dari dasar Ngarai Sianok tiba-tiba melesat satu bayangan putih ke arah tubuh
Datuk Bandaro Sati
yang tergeletak di tanah. Sulit dipastikan apakah sosok tubuh ini sosok manusia
atau setan. Sosok itu lebih
merupakan satu bayangan orang berjubah tembus pandang. Sosok ini sesaat tegak di
samping tubuh Datuk
Bandaro Sati lalu membungkuk. Tangannya bergerak mencabut keris yang menancap di
dada Datuk Bandaro
Sati. Kemudian bayangan ini memungut sarung keris yang tercampak di tanah.
Sesaat setelah itu bayangan ini
melesat ke udara. Seolah terbang ke arah matahari. Silaunya cahaya matahari
membuat orang di balik batu tak
dapat lagi melihat bagaimana lenyapnya bayangan aneh itu. Rasa takut yang tak
dapat ditahannya lagi
menyebabkan orang ini segera menghambur lari meninggalkan tempat itu.
* * * sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening TIGA HANYA beberapa saat setelah orang yang tadi lari lenyap di kejauhan, seorang
penunggang kuda
Wiro Sableng 074 Dendam Di Puncak Singgalang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berpakaian dan berikat kepala putih-putih tampak mendatangi dari arah barat.
Rambutnya gondrong menjela
bahu melambai-lambai ditiup angin. Sambil memacu kuda tunggangannya orang ini
yang ternyata masih muda
dan bertubuh kekar memperhatikan pemandangan yang sangat indah di sekitarnya.
"Luar biasa, belum pernah aku melihat lembah seindah ini," kata pemuda ini dalam
hati. Baru saja dia
membatin begitu tiba-tiba kuda tunggangannya meringkik keras, menaikkan kedua
kaki depannya tinggi-tinggi dan tak mau lagi berlari.
"Heh... ada apa sobatku" Ada sesuatu yang mengganggumu?" Pemuda itu mengusapusap leher kudanya sambil kedua matanya memandang berkeliling. Di kejauhan, di tepi Ngarai
Sianok sebelah timur di
lihatnya ada seekor kuda melangkah mondar-mandir. Tiba-tiba binatang di kejauhan
itu meringkik keras
seolah membalas ringkikan kuda yang ditunggangi si pemuda.
"Hemmm... Kau menemukan seorang sahabat. Baik, larilah ke arah sahabatmu
disebelah sana!"
Seperti mengerti kuda tunggangan si pemuda berlari cepat ke arah kuda coklat di
tepi ngarai. "Ada kuda tak ada penunggang adalah mustahil!" kata pemuda gondrong begitu
sampai di samping
kuda coklat. Kepala binatang itu dibelainya beberapa kali. Gerakan tangannya
terhenti ketika kedua matanya
melihat sesosok tubuh bergelimang darah tergeletak di tanah. Pemuda ini serta
merta melompat turun dan
mendekati sosok tubuh itu. Dengan sangat hati-hati tubuh itu dibalikannya. Wajah
si pemuda mengerenyit
melihat begitu banyak luka di sekujur tubuh orang berpakaian hijau itu. Kedua
mata orang ini terpejam. Si
pemuda memegang lengannya. Masih terasa hangat.
"Tubuhnya masih hangat. Berarti kejadiannya belum lama...." Pemuda itu lalu
membungkuk, meletakkan telinganya di dada orang "Ada detakan jantung. Perlahan sekali.
Semoga Tuhan mengizinkan aku
menolongnya...." Lalu si pemuda menempelkan kedua telapak tangannya di atas dada
orang yang sekarat itu.
Perlahan-lahan dia mengalirkan tenaga dalam yang mengandung hawa sakti dingin.
Orang yang ditolong tidak
memberikan reaksi apa-apa. Kedua matanya masih terpejam sedang tubuhnya tidak
bergerak sedikitpun.
Pemuda itu mencoba sekali lagi. Kali ini dia mengerahkan seluruh kekuatan tenaga
dalam yang dimilikinya. Tenggorokan orang yang sekarat tampak bergerak turun naik. Lalu perlahan-lahan
kedua matanya yang sejak tadi tertutup membuka. Tiba-tiba seperti mendapat satu kekuatan,
dalam keadaan seperti itu orang
ini berusaha bangkit namun hal itu tak mampu dilakukannya. Punggungnya
terbanting ke tanah. Kedua
matanya kembali terpejam namun sebelumnya dia sempat melihat wajah orang yang
menolongnya itu.
"Andana.... Tuhan Maha Besar. Syukur kau datang nak. Sebelum ajal datang
menjemput... bawa aku
ke puncak Singgalang. Aku... aku ingin mati di sana. Di hadapan kakakku....
Uning Ramalah...."
"Andana, siapa yang dimaksudkannya dengan Andana" Diriku" Kasihan, Pandangan
matanya pasti sudah kabur. Umurnya tak akan lama." Pemuda berambut gondrong itu berdiri,
memandang ke arah kejauhan
dimana tampak berdiri gunung Singgalang.
sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening "Andana... Jangan kau tinggalkan aku di sini. Jangan biarkan aku menemui ajal di
tempat ini. Bawa
aku ke puncak Singgalang. Andana anakku...." Suara orang yang tubuhnya penuh
tusukan dan gelimang darah
itu terputus. Si pemuda cepat memeriksa. Lalu gelengkan kepala. " Nyawanya putus
sudah. Kini aku
menyandang kewajiban yang tak bisa kutolak." Sesaat si pemuda menatap wajah
orang yang malang itu lalu
menghela nafas panjang dan garuk-garuk kepala.
SEPERTI biasanya keadaan di setiap gunung, jalan mencapai puncaknya tidak mudah
untuk dicapai. Demikian juga dengan gunung Singgalang. Demikian yang dialami oleh pemuda
berambut gondrong itu.
Hanya saja dia merasa beruntung karena kuda coklat yang membawa mayat lelaki
berpakaian hijau seolah
sudah mengetahui seluk beluk gunung itu. Binatang ini berjalan di sebelah depan,
bergerak dengan cepat
menuju puncak gunung. Si pemuda hanya tinggal mengikuti dari belakang.
Ketika sang surya tenggelam puncak gunung Singgalang masih jauh di atas sana.
Waktu malam turun
keadaan jadi gelap gulita, tangan di depan mata pun tidak kelihatan. Pemuda
berambut gondrong memutuskan
untuk menghentikan perjalanan. Dia mencari tempat yang haik lalu bermalam di
situ dalam dinginnya udara
yang bukan olah-olah.
Tengah malam dalam keadaan susah memicingkan mata pemuda ini tiba-tiba melihat
ada sesosok bayangan berkelebat dalam gelap. Dia cepat berdiri dan bertanya. "Siapa di
sana"!"
Tak ada jawaban. Tak ada gerakan. Dan bayangan yang tadi terlihat mendadak
sontak lenyap ditelan
kegelapan. Pemuda itu menggosok-gosok kedua matanya. " Aneh, tangan di depan
mata tidak kelihatan tapi
mengapa bayangan tadi biasa terlihat" Jangan-jangan aku bermimpi! Tapi tidurpun
aku belum masakan bisa
mimpi"!" Diam-diam pemuda itu merasa merinding. Dengan perasaan tidak enak dia
kembali ke tempatnya
semula. Kicau burung dan sinar matahari pagi yang menembus lewat kerimbunan daun-daun
pepohonan membuat pemuda yang baru bisa lelap menjelang dini hari itu terbangun. Begitu
bangun yang dilakukannya
pertama kali adalah memandang berkeliling, Astaga. Terkejutlah pemuda ini. Sosok
mayat orang berpakaian
hijau yang sebelumnya berada di atas kuda coklat kini tak kelihatan lagi. Pemuda
itu memeriksa kian kemari.
Tetap saja dia tak berhasil menemukan mayat itu.
"Jangan-jangan dilarikan binatang buas." Berpikir si pemuda. " Tapi tak mungkin
aku tidak mengetahuinya. Lagi puia tak ada tanda-tanda bekas seretan di tanah. Tak ada
semak belukar yang rambas."
Pemuda ini berpikir keras. Tetap saja dia tidak dapat menduga apa yang telah
terjadi dengan mayat itu. Pemuda
ini akhirnya duduk di akar pohon. Tiba-tiba dia ingat kejadian malam tadi. Ada
satu bayangan yang muncul
secara mendadak dan lenyap secara aneh. " Jangan-jangan tempat ini banyak
dedemitnya!" Katanya dalam
hati. Memikir sampai di situ dia segera berdiri. Tapi sesaat dia termangu.
Apakah akan meneruskan perjalan
menuju puncak Singgalang atau berbalik menuju kaki gunung. Setelah menimbangnimbang dalam hati
beberapa lama akhirnya pemuda ini mengambil keputusan untuk meneruskan
perjalanan menuju puncak
gunung. "Aku ketitipan kewajiban untuk membawa mayat itu kepuncak gunung dan
menyerahkannya pada
seorang bernama Uning Ramalah. Jika ada seseorang tinggal di puncak gunung
pastilah dia bukan orang
sembarangan. Ada baiknya aku menemui orang itu. Siapa tahu dia bisa memberi
petunjuk tentang lenyapnya
sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening mayat itu. Juga siapa tahu dia kenal dengan Tua Gila yang tengah kucari-cari dan
belum bertemu sampai saat
ini." Maka dengan menunggangi kuda coklat pemuda gondrong itu melanjutkan perjalanan
menuju puncak gunung Singgalang. Kudanya sendiri mengikuti dari belakang.
* * * sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening EMPAT PEMUDA berambut gondrong itu hentikan kudanya di bawah sebatang pohon besar di
puncak Singgalang. Di hadapannya ada sebuah gubuk kayu beratap rumbia. Di halaman gubuk
terhampar halaman
luas yang sebagiannya tertutup oleh batu-batu merah. Di tengah halaman inilah,
di bawah siraman sinar
matahari pagi, di atas sehelai tikar kulit berbentuk bulat duduk seorang
berjubah putih. Kepalanya yang
tertutup selendang kain sutera putih menunduk hingga si pemuda tidak dapat
melihat wajahnya. Rambutnya
yang tersembul keluar tampak putih semua.
Di hadapan orang berselendang, di atas sehelai tikar jerami tebal terbujur tubuh
manusia yang ditutupi
dengan kain putih mulai dari kepala sampai ke kaki hingga pemuda itu tidak dapat
mengetahui siapa adanya
manusia yang berada di bawah kain itu. Namun hatinya menaruh syak wasangka bahwa
itu adalah mayat orang
berbaju hijau yang ditolongnya yang lenyap secara aneh tadi malam.
Bau kemenyan memenuhi tempat itu yang keluar dari sebuah perasapan tanah dan
terletak di samping
kiri orang berjubah putih.
Perlahan-lahan pemuda di atas kuda turun ke tanah. Dia tidak segera melangkah
mendekati halaman
berbatu merah namun tetap berdiri di situ karena tidak berani menganggu orang
berselendang yang diduganya
mungkin tengah melakukan semedi.
Setelah menunggu cukup lama akhirnya perlahan-lahan kelihatan orang berjubah dan
berselendang putih mengangkat kepalanya. Si pemuda melihat satu wajah perempuan tua berkulit
putih keriputan.
Pandangan mata yang dingin dan seperti menembus dari perempuan tua itu membuat
pemuda berambut
gondrong tercekat. Dia hendak menegur namun entah mengapa mulutnya seolah
terkancing. "Wajah pemuda ini mirip-mirip wajah murid saudaraku." Perempuan tua itu
membatin. Lalu dia
menegur. "Siapa kau" Apa keperluanmu berada di tempat ini?" Tiba-tiba perempuan itu
bertanya. Suaranya
perlahan dan penuh kelembutan tetapi mengandung wibawa yang sangat tinggi.
"Maafkan saya. Saya tidak bermaksud menganggu...."
"Jawab saja pertanyaanku!" memotong perempuan tua itu.
Sorotan mata dan ucapan orang membuat si gondrong menjawab seperti yang tidak
dimintakan. "Saya... saya kehilangan sesuatu," katanya.
"Uang, harta benda....?" tanya perempuan yang duduk bersimpuh di atas tikar
kulit. "Bukan, bukan uang atau harta benda. Saya kehilangan sesosok mayat. Saya
rasa...." "Itu sebabnya kau datang kemari karena menyangka mayat itu ada di sini?"
"Tidak sepenuhnya seperti itu. Saya punya kewajiban untuk mengantarkan jenazah
itu ke puncak Singgalang. Untuk diserahkan pada seorang...."
"Siapa yang meminta kau melakukan itu"!"
"Mayat itu...." jawab si gondrong.
Kedua mata perempuan yang duduk di atas tikar kulit tampak mengeluarkan kilatan
aneh, membuat si
gondrong jadi kembali tercekat!"
sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening "Mayat mana bisa bicara. Apalagi memberikan perintah!"
Si gondrong garuk-garuk kepalanya. "Maksud saya, orang itu meminta saya
menolongnya sebelum
dia menghembuskan nafas terakhir. Malam tadi dia lenyap begitu saja. Tanggung
jawab saya untuk
menemukannya dan menyerahkannya pada orang yang disebutnya."
Kedua mata perempuan itu bergerak aneh. Tiba-tiba saja pandangan matanya dapat
menembus pakaian yang dikenakan pemuda di hadapannya. Dia bisa melihat semua benda yang
terlindung di balik
pakaian itu. Dia mampu melihat sebuah kapak bermata dua di pinggang kiri. Lalu
sebuah batu hitam di
pinggang kanan dan sekuntum bunga kering pada saku baju sebelah kiri. "Dia
bersenjatakan kapak. Jadi bukan
dia yang membunuh saudaraku." Kata perempuan tua berwajah putih itu.
"Jadi sebelum mati orang itu meminta kau mengantarkan dirinya pada seseorang di
puncak gunung ini?" "Betul sekali."
"Orang itu menyebutkan nama?"
"Benar. Dia menyebut nama Uning Ramalah...."
"Aku Uning Ramalah!" kata perempuan berselendang putih dengan sepasang mata tak
berkesip. Si gondrong cepat membungkuk. "Maafkan saya. Saya tidak tahu kalau Uning Ramalah
adalah seorang perempuan."
"Kau bukan orang sini"!" perempuan tua itu bertanya penuh selidik.
"Saya datang dari tanah Jawa," jawab si gondrong.
"Siapa namamu?"
"Saya Wiro. Wiro Sableng...."
"Apa tujuanmu datang kemari?"
"Saya dalam perjalanan mencari seorang tua bernama Tua Gila...."
"Apa hubunganmu dengan orang itu?"
"Dia... dia sudah menganggap diri saya seperti anak sendiri. Saya pernah
mendapatkan pelajaran silat
sejurus dua jurus dari dia...."
"Kalau kau mencari orang bernama Tua Gila itu, lalu bagaimana kemudian kau
bilang punya kewajiban untuk mengantarkan sesosok mayat ke puncak Singgalang?"
"Saya menemukan orang itu di tepi Ngarai Sianok. Dalam keadaan sekarat dia
meminta saya mengantarkannya ke sini. Hanya saja malam tadi mayat itu lenyap. Saya tidak
dapat memastikan apakah dicuri
setan atau dilarikan binatang buas."
Wiro Sableng 074 Dendam Di Puncak Singgalang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Perempuan tua bernama Uning Ramatah itu memandang ke arah sosok tubuh yang
terbujur di bawah
kain putih. Lalu dia berpaling pada Wiro. "Coba kau singkapkan kain putih itu.
Apa dia orang yang kau
maksudkan?"
Wiro melangkah mendekati sosok yang tertutup kain putih. Dia berjongkok lalu
perlahan-lahan menyingkapkan kain putih di bagian kepala. Wiro mengenali wajah itu lalu
memandang pada Uning Ramalah
seraya berkata. "Memang dia orangnya."
sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening "Dia adalah Datuk Bandaro Sati. Adik kandungku. Dia mati dibunuh orang. Kau tahu
siapa pembunuhnya?"
Wiro menggeleng. "Ketika saya menemukannya dia hanya sendirian dalam keadaan
sekarat. Tapi di
tanah saya melihat jejak-jejak kaki kuda banyak sekali dan bekas gilasan roda
kereta." "Setahuku adikku memiliki sebilah keris sakti bertuah. Senjata itu tidak ada
padanya. Kau melihat
keris itu" Terbuat dari emas...."
Wiro menggeleng.
Mata perempuan tua itu mengeluarkan kilatan aneh. Kembali dia mampu melihat
menembus ke balik
pakaian Wiro. Dia tidak melihat benda yang dimaksudkannya. " Pemuda ini tidak
berdusta. Dia tidak
mengambil dan menyembunyikan keris itu."
"Malam tadi, aku sengaja menjemput jenazah adikku. Aku tak ingin dia lama-lama
tersiksa...."
"Ah. jadi dia rupanya yang membawa lari mayat orang ini," kata Wiro dalam hati.
"Jenazah itu harus dikubur. Saya bersedia menolong menggalikan kuburnya," kata
Wiro kemudian. "Tidak sekarang anak muda. Paling cepat dua hari lagi. Ada seseorang yang harus
melihatnya sebelum
dimakamkan."
"Tapi kalau menunggu sampai dua hari, jenazah ini bisa busuk."
"Aku sudah mengawetkannya dengan sejenis bubuk."
Wiro hanya bisa mengangguk-angguk mendengar ucapan orang. "Saya rasa, kewajiban
saya sudah saya jalankan walau tidak dengan baik. Saya mohon diri meninggalkan tempat ini."
"Aku belum sepenuhnya yakin kalau kau tidak ada sangkut pautnya dengan kematian
adikku. Karena itu kau tidak boleh meninggalkan tempat ini sampai orang yang kutunggu datang."
Pendekar 212 Wiro Sableng tentu saja jadi terkejut mendengar kata-kata itu.
Tentu saja dia merasa
keberatan. Namun pandangan mata perempuan di hadapannya membuat hatinya
tergetar. Maka murid Eyang
Sinto Gendeng dari gunung Gede inipun berkata. "Menunggu dua hari rasanya tidak
mungkin bagi saya.
Apalagi kalau orang itu ternyata datang seminggu atau dua minggu kemudian...."
"Aku lebih tahu dirimu anak muda...!"
"Saya menyesalkan mengapa kau seperti mencurigai diriku!" kata Wiro. "Semula
saya hanya punya
maksud menolong semata. Mengapa kini seolah hendak dijadikan kambing hitam?"
Perempuan tua bernama Uning Ramalah itu tidak menyahut apa-apa. Wajahnyapun
tampak tidak berubah. Perlahan-lahan kepalanya ditundukkan kembali. Melihat hal ini Wiro
Sableng segera putar tubuhnya
dan melangkah meninggalkan tempat itu. Namun dia hanya mampu bergerak satu
langkah. * * * sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening LIMA PENDEKAR 212 Wiro Sableng merasakan kedua kakinya seperti dipantek ke tanah.
Bagaimanapun dia mengerahkan tenaga luarnya dia tak mampu menggerakkan kakinya. Wiro menoleh
ke belakang. Dilihatnya perempuan bernama Uning Ramalah itu masih tetap duduk di tempatnya
dengan mendudukkan
kepala. "Apa sebenarnya maunya orang ini" Aku tidak mengharapkan dia berterima kasih.
Tapi kalau begini
balas budinya kurasa keterlaluan!" Wiro lalu salurkan tenaga dalam pada kedua
kakinya. Lututnya sampai
bergetar karena dia sengaja mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam yang ada.
Tanah gunung yang
dipijaknya ikut bergetar lalu tampak tanah di sekitar situ retak merengkah.
Bahkan tiba-tiba ada kepulan asap
keluar dari celah tanah yang retak itu.
Wiro kembali berpaling. Dilihatnya Uning Ramalah masih bersimpuh di atas tikar
kulit itu. Kepalanya
masih tertunduk namun kini kelihatan ada getaran-getaran yang menjalari
tubuhnya. Ini satu pertanda adanya
kekuatan yang mencoba menerobos memasuki tubuhnya untuk menantang kekuatan
tenaga dalamnya.
Menyadari apa yang terjadi perempuan tua itu perlahan-lahan gerakkan tangan
kanannya ke samping.
Jari telunjuk dan jari tengah diluruskan. Lalu kedua jari itu ditusukannya ke
dalam tanah hingga amblas sampai
ke pangkalnya. Bersamaan dengan itu Wiro merasakan seolah ada benda panas
menusuk kedua telapak
kakinya dengan keras hingga dia berteriak akibat kejut dan kesakitan.
"Orang tua! Aku tidak mengira kau berhati culas!" kata Wiro dengan suara keras
mulai kasar. Uning Ramalah yang ditegur tetap saja diam membisu.
Wiro sendiri meski kedua kakinya terpaku ke tanah namun dia masih bisa
menggerakkan auratnya
yang lain. Murid Sinto Gendeng ini keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212-nya. Sinar
menyilaukan menghampar di tempat itu. Uning Ramalah tetap saja tidak bergerak. Perlahanlahan Wiro membungkuk.
Dengan salah satu mata kapak dia menggurat tanah di sekitar kakinya dalam bentuk
lingkaran. Senjata mustika
itu kemudian disimpannya kembali.
Di tempatnya bersimpuh Uning Ramalah cabut kedua jarinya yang menancap di tanah.
Lalu kedua jari
itu dihujamkannya kembali ke bagian tanah yang lain. Di tempatnya terpaku
Pendekar 212 tidak merasakan
apa-apa. Guratan Kapak Maut Naga Geni 212 ternyata mampu melindunginya, tidak bisa
ditembus lagi oleh
ilmu kesaktian Uning Ramalah. Perlahan-lahan perempuan berwajah putih itu cabut
kedua jarinya dari dalam
tanah. Dia terkejut ketika melihat dua jarinya itu berwarna kemerahan dan
mengepulkan asap. Dalam hatinya
perempuan ini membatin. " Ilmunya ternyata tinggi sekali, pasti dia mampu
membantu anak adikku. Itu
sebabnya aku ingin dia berada di sini sampai anak itu datang. Sayangnya dia
salah sangka."
Di atas tikar kulit di halaman berbatu-batu merah itu kembali Uning Ramalah
duduk menundukkan
kepala seperti orang tengah merenung. Tiba-tiba dia mendengar pemuda di seberang
sana berseru. "Orang tua, saya mohon sekali lagi agar kau melepaskkan kedua kakiku!"
Uning Ramalah diam saja.
Wiro menggerendeng dalam hati.
sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening "Kau tak mau menjawab baik! Kau tak mau membebaskan kedua kakiku bagus! Jangan
salahkan kalau aku terpaksa berlaku kurang ajar! Lihat saja apa yang akan kulakukan!"
"Eh, apa yang hendak dilakukan pemuda Jawa ini?" Tanya Uning Ramalah dalam hati.
Kepalanya diangkat sedikit. Kedua matanya memperhatikan apa yang hendak diperbuat pemuda
bernama Wiro Sableng
itu. Mendadak sontak kedua mata perempuan tua itu jadi mendelik. Wajahnya yang
putih berubah merah
laksana saga. Di tempatnya terpantek ke tanah, Pendekar 212 membuka tali pengikat pinggang
celananya. Lalu enak
saja celana itu dimerosotkannya ke bawah hingga jatuh tergulung di tanah di
kedua kakinya. Kini dia berdiri
membelakangi Uning Ramalah dengan tubuh sebatas pinggang ke bawah melompong
bugil. Sambil menyeringai Pendekar 212 berkata. " Rasakan olehmu sekarang!" Lalu tidak
tanggung-tanggung dia membalikkan badannya. Berarti auratnya sebelah bawah yang
telanjang itu akan
menghadap Uning Ramalah.
Tetapi ketika dia berpaling, ternyata dilihatnya perempuan tua itu tak ada lagi
ditempatnya semula.
Wiro memandang ke arah pintu gubuk. Dia masih sempat melihat Uning Ramalah
membantingkan pintu
gubuk dengan keras.
"Sialan dia malah pergi. Tapi apa tadi dia sempat melihat bokongku?" Wiro
bertanya dalam hati. Wiro
mengomel dalam hati. Kalau mengikuti amarahnya mau saja dia saat itu menghantam
gubuk itu dengan
pukulan "sinar matahari".
Di dalam gubuk Uning Ramalah tertegun beberapa saat. Dia coba menenteramkan
degup jantung dan
aliran darahnya. Bagaimanapun tadi dia cepat-cepat memalingkan kepala dan
berdiri pergi namun kedua
matanya masih sempat melihat apa yang dilakukan pemuda bernama Wiro Sableng itu.
Untuk lebih menenangkan hatinya Uning Ramalah mengambil mukenah lalu membentang
selembar tikar di lantai gubuk yang terbuat dari papan dan sangat bersih itu.
Dengan kekhusukan penuh perempuan ini lalu melakukan sembahyang hajat. Selesai
sembahyang dia tetap duduk di tikar itu, memejamkan kedua matanya, mengambil sikap seperti
orang tengah mengheningkan
cipta rasa. Sesaat kemudian, perlahan-lahan dalam pelupuk matanya muncul
bayangan dari suatu tempat yang
terletak jauh di sebelah utara pulau Andalas. Dia melihat sebuah bangunan kecil.
Lalu sebuah air terjun. Lalu
muncul satu wajah lelaki tua bersorban hitam yang memiliki sepasang alis
berwarna merah.
Dari mulut Uning Ramalah kemudian terdengar suara perlahan. "Sahabatku Datuk
Alis Merah masuklah ke dalam alamku. Aku perlu bertemu denganmu...."
* * * sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening ENAM SANG SURYA belum lama menyembul di ufuk timur. Udara masih terasa dingin. Angin
pagi berhembus kencang. Namun desaunya dan suara daun-daun pepohonan yang
bergemerisik terkena sapuannya
tidak terdengar karena lenyap ditelan oleh suara air terjun yang mencurah pada
ketinggian dua puluh kaki. Air
terjun ini terletak di dasar sebuah lembah batu cadas, tak berapa jauh dari
aliran anak sungai Asahan.
Di atas batu cadas hitam, di bawah curahan air terjun tampak sesosok tubuh
tinggi kekar bergerak
bergerak gesit-gesit kian kemari. Sepasang tangan dan kedua kakinya melesat
membuat pukulan dan
tendangan yang sesaat mampu menyibak curahan air terjun. Dari gerakan yang
dibuat pemuda ini jelas dia
tengah melakukan gerak jurus-jurus ilmu silat.
Tak jauh dari situ, di lamping sebuah bukit batu, tanpa diketahui oleh pemuda
tadi, berdiri seorang tua
berjubah putih mengenakan sorban berwarna hitam. Kedua alis matanya berwarna
sangat merah laksana darah.
Janggutnya yang putih panjang melambai-lambai ditiup angin pagi. Di tangan
kanannya orang bersorban
hitam ini memegang sebatang tongkat kayu yang ujungnya dilapisi besi tajam
hampir menyerupai sebuah
lembing. Sesekali tampak kening orang tua ini berkerut. Di lain saat ada sesungging
senyum muncul di
bibirnya. Tak jarang pula dia menggangguk-anggukkan kepala sambil mengusap
janggut putihnya. Di bawah
air terjun pemuda yang berlatih silat kelihatan membuat gerakan memukul dan
menendang. Gerakannya
demikian cepat hingga tubuhnya seolah-olah satu bayangan yang berkelebat di
bawah curahan air terjun.
Tiba-tiba gerakan itu berubah lambat seperti gerakan orang menari. Di
pertengahan batu cadas hitam yang
dipijaknya pemuda itu hentikan gerakan lalu kedua kakinya membentuk kuda-kuda
yang kokoh. Rahangnya
mengembung, mulutnya terkatup rapat. Perlahan-lahan perutnya yang berotot tampak
mengempis. Sebaliknya
dadanya membusung. Otot-ototnya bertonjolan. Bersamaan dengan itu pemuda ini
angkat kedua tangannya ke
atas. Masing-masing telapak tangan dikembangkan. Tubuhnya bergetar tanda dia
mengerahkan tenaga dalam
yang hebat. Hawa panas membungkus seluruh permukaan kulitnya, membuat keluarnya
asap tipis ketika
tubuhnya tersentuh air terjun.
Ketika dua telapak tangan yang diangkat melewati bahu tiba-tiba terjadilah satu
hal yang sulit dipercaya. Air terjun yang jatuh ke bawah dengan deras itu mendadak terhenti
curahnya laksana ditahan oleh
satu tembok batu yang tidak kelihatan. Keanehan ini bukan sampai di situ saja.
Ketika si pemuda membuat
gerakan mendorong ke atas, curahan air terjun kelihatan ikut naik, terdorong ke
atas sampai sejauh satu tombak
lebih. Di lamping bukit orang tua bersorban hitam sesaat tampak tercekat menyaksikan
kejadian itu. Hatinya
berkata. "Selama dunia terkembang baru ada dua orang yang sanggup menahan dan
mendorong curahan air
terjun seperti itu. Guruku dan aku. Kini dia menjadi orang ke tiga yang sanggup
melakukannya!"
Di bawah curahan air terjun, si pemuda keluarkan teriakan keras lalu perlahanlahan turunkan kedua
tangannya. Air terjun kembali mencurah ke bawah. Diam-diam si pemuda merasa
puas. Sebelumnya dia telah
mencoba beberapa kali melakukan hal itu. Baru sekarang dia sanggup membuat
Wiro Sableng 074 Dendam Di Puncak Singgalang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gerakan sempurna hingga
mampu menahan bahkan mendorong curahan air terjun ke atas.
sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening Penuh rasa bangga dan percaya diri si pemuda kembali melanjutkan gerakan-gerakan
silatnya di bawah curahan air terjun. Pada saat itulah mendadak tampak melayang sebuah
lembing. Benda ini melesat ke
arah belakang kepala si pemuda. Sekali lembing itu menancap di batok kepalanya
sebelah belakang jangan
harap dia bisa lolos dari maut.
Si pemuda memang sama sekali tidak melihat datangnya lembing maut tersebut.
Namun sepasang telinganya yang tajam tidak bisa ditipu walau curahan air terjun begitu keras.
Hanya dua jengkal ujung
lembing akan menembus batok kepalanya, pemuda ini tiba-tiba sekali merunduk
sambil membuat gerakan
berputar. Bersamaan dengan itu dari mulutnya keluar bentakan keras. Tangan
kanannya menghantam ke atas.
Kraakk! Lembing yang lewat di atas kepalanya mental setelah terlebih dulu patah dua
dihantam pukulannya.
Baru saja dia lolos dari bokongan tadi tiba-tiba satu bayangan putih berkelebat.
Satu tendangan menderu ke
arah perutnya. Si pemuda berteriak keras. Dia cepat menyingkir ke samping sambil menepis kaki
yang menendang.
Namun saat itu pula satu gebukan menghantam ke arah kepalanya. Mau tak mau
terpaksa pemuda ini batalkan
niat memukul kaki lawan lalu dengan cepat jatuhkan diri ke bawah. Begitu
serangan lawan gelap itu lewat dia
cepat menghantam ke atas dengan tangan kanan. Inilah jurus yang dinamakan
"membantai matahari".
Selain gerakan memukul dilakukan secara kilat, pukulan itu juga disertai aliran
tenaga dalam. Tapi
ternyata tidak mudah untuk menghajar si penyerang yang rupanya juga memiliki
gerakan cepat laksana
berkelebatnya setan. Malah satu jotosan balasan tiba-tiba menderu lagi ke arah
kepala si pemuda. Meski agak
terperangah namun pemuda ini masih sempat mengelak. Jotosan lawan menghantam
dinding batu di
belakangnya. Dinding ini retak besar bahkan bagian yang kena hantaman langsung
kelihatan hancur
berlobang. Belum sempat pemuda ini menarik nafas lega mendadak datang lagi satu serangan.
Lima jari tangan
kanan yang ditekuk ke dalam mencari sasaran di batang lehernya. Si pemuda
berteriak keras. Kedua lututnya
menekuk tajam. Kedua tangan laksana kilat menyambar lengan yang melancarkan
pukulan. Si penyerang
berseru kaget ketika lengannya kena dicekal. Selagi dia berusaha melepaskan
cekalan itu, si pemuda telah
lebih dulu menarik lengan itu kuat-kuat ke bawah hingga lawan ikut terseret
dengan keras. Pada saat tubuh
lawan terjerembab si pemuda susupkan kaki kanannya ke perut orang lalu dibarengi
bentakan keras tubuh
lawan dilemparkan ke dinding batu cadas di belakangnya.
Saat itulah terdengar suara tawa bergelak. Tubuh yang dilempar mental tadi
sesaat mengapung di
udara lalu membalik turun dengan cepat. Sambil melayang ke bawah orang ini
gerakkan tangan kanannya.
Dari tangan yang dimiringkan itu tiba-tiba berkiblat sinar merah laksana
sambaran lidah api disertai suara deru
yang menggidikkan.
"Pukulan Inti Api!" teriak si pemuda begitu dia mengenali pukulan sakti itu. Si
penyerang masih
tampak samar-samar dalam gerakannya yang laksana kilat, namun kini si pemuda
sudah dapat menduga siapa
adanya orang itu. Dengan cepat dia menjatuhkan diri, bergulingan di atas batu
cadas terus menceburkan diri ke
dalam air. Ujung lidah api menyambar batu cadas sejarak lima langkah di depan
pemuda itu. Batu itu hancur
berantakan. Si pemuda merasakan kuduknya sedingin es. Kalau terlambat sedikit
saja tadi dia menyelamatkan
sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening diri, pasti nyawanya tidak tertolong.
Dengan cepat si pemuda keluar dari dalam air. Begitu sampai di hadapan si
penyerang dia langsung
jatuhkan diri, berlutut seraya berseru. "Guru!"
Si penyerang tanpa ampun tadi ternyata adalah orang tua bersorban hitam berjubah
putih yang punya
sepasang alis mata berwarna semerah darah. Orang tua ini pegang rambut gondrong
muridnya yang basah
kuyup lalu berkata. "Kepandaianmu telah maju pesat muridku. Aku gembira. Berarti
kalau aku mati sudah ada
seseorang yang mewarisi seluruh kepandaianku. Sekarang kembalilah ke pondok.
Tukar pakaianmu. Tunggu
aku di sana. Ada sesuatu yang akan kubicarakan denganmu Andana."
Sang murid yang bernama Andana itu anggukkan kepala. Ketika dia baru bergerak
satu langkah tiba-tiba terdengar seruan sang guru. "Andana, tunggu! Aku melihat satu keanehan
di tempat ini!"
Andana cepat berpaling. "Apa maksud Datuk Alis Merah?"
"Lihat ke depan sana," jawab orang tua yang dipanggil dengan nama Datuk Alis
Merah seraya menunjuk ke arah ketinggian dimana terletak sebuah batu cadas besar rata sejarak
dua puluh langkah di depan
mereka. "Puluhan tahun aku hidup di tempat ini. Tak pernah kejadian ada kabut di
sini!" Andana memandang ke jurusan yang ditunjuk gurunya. Memang benar. Di depan sana
dia melihat kabut menutupi bagian lembah seluas seratus kaki persegi, tetapi di atas batu
cadas besar dan rata itu.
"Agaknya itu bukan kabut biasa Datuk. Coba perhatikan," kata Andana pula.
"Demi Tuhan kau benar muridku! Itu memang bukan kabut biasa!" kata Datuk Alis
Merah dengan air
muka berubah. Baru saja orang tua ini berkata begitu tiba-tiba terdengar suara
mengaum yang dahsyat. Batu
yang mereka injak terasa bergerak. Air yang tergenang di antara bebatuan tampak
bergelombang. Memandang
ke depan tanpa berkesip guru dan murid melihat samar-samar munculnya satu sosok
seekor harimau besar di
balik ketebalan kabut. Binatang ini memandang lurus-lurus ke arah Datuk Alis
Merah dan Andana. Ekornya
bergerak-gerak. Binatang ini mengaum sekali lagi, membuat lembah batu itu
kembali bergetar.
"Hemmmm. Tunggangannya telah muncul. Tapi tamunya sendiri belum kelihatan."
Terdengar Datuk
Alis Merah berkata perlahan seolah-olah pada dirinya sendiri.
"Datuk, siapa gerangan tamu yang Datuk maksudkan?" bertanya Ananda.
"Yang aku tahu hanya ada satu orang yang memiliki tunggangan seekor harimau.
Ayahmu, Datuk Bandaro Sati."
Paras Andana berubah. "Ayah saya Datuk ..." Tak biasanya, bahkan tak pernah
beliau muncul seperti
ini. Kecuali kalau beliau...." Andana tidak meneruskan ucapannya. Hatinya
berdetak tidak enak.
"Aku tidak tahu keajaiban apa yang tengah terjadi di hadapan kita saat ini
Andana. Kita harus
bersiap-siap. Agaknya ada satu hal luar biasa telah atau akan terjadi di luar
kemampuan kita untuk
mencegahnya...."
Samar-samar di dalam kabut tiba-tiba tampak menyeruak sosok tubuh lelaki
berwajah gagah dihiasi
kumis tipis, berusia sekitar setengah abad. Dia mengenakan destar hitam dan
pakaian hijau. Pakaiannya ini
tampak penuh dengan lobang-lobang bekas tusukan dan darah membasahi hampir
sekujur pakaian itu. Di
pinggangnya tersisip sebilah keris terbuat dari emas.
Datuk Alis Merah ternganga melihat kemunculan sosok tubuh yang laksana bayangbayang itu. sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening Bibirnya bergetar ketika dia berkata. "Sahabatku Datuk Bandoro Sati. Kau muncul
seperti ini.... Apakah yang
telah terjadi?"
Andana sendiri yang tegak di samping Datuk Alis Merah sudah sejak tadi terkesiap
dengan mata melotot. Sosok samar-samar di dalam kabut itu dikenalinya memang sosok ayahnya.
Tapi mengapa dia bisa
muncul seperti ini dan dengan pakaian berlumuran darah begitu rupa" Dipenuhi
oleh rasa tidak percaya dia
menjatuhkan diri berlutut. Lidahnya kelu ketika dia memanggil. "Ayah...."
Lelaki di dalam kabut yang merupakan penjelmaan Datuk Bandoro Sati menyapu wajah
kedua orang di depan air terjun itu dengan pandangan matanya yang aneh. Lalu terdengar
suaranya berucap seolah datang
dari dasar lobang yang jauh namun jelas dan bergema.
"Sahabatku Datuk Alis Merah, anakku Andana. Hanya kuasa Tuhan yang membuat hal
ini bisa terjadi.
Aku datang hanya sebentar. Untuk menyampaikan pesan. Andana, kembalilah segera
ke Pagaralam tanah
kelahiranmu di Pagaruyung. Selamatkan rumah gadang milik kita yang hendak
dirampas oleh manusia culas
berotak kotor serakah. Selamatkan semua harta pusaka yang ada di situ. Harta
pusaka itu adalah warisan
leluhur kita sejak zaman Yang Dipertuan Sri Baginda Adityawarman. Selamatkan
tanah kelahiranmu dari
manusia tamak serakah yang hendak menguasai negeri, menghancurkan budaya
kita.... Namun sebelum kau
pergi ke Pagaralam, naiklah dulu ke puncak Singgalang. Temui adikku Uning
Ramalah. Aku juga akan
menunggumu di sana."
Habis berkata begitu bayangan orang di balik kabut menggerakkan tangannya ke
pinggang. Lalu tampak dia membungkuk meletakkan sesuatu di atas batu cadas. Benda itu
memancarkan sinar kuning
berkilauan terkena sinar matahari pagi.
"Aku pergi sekarang. Selamat tinggal anakku. Selamat tinggal sahabatku Datuk
Alis Merah. Tuhan
Maha Besar. Kalian akan mendapatkan perlindungan dari-Nya."
"Ayah!" seru Andana seraya berdiri dan hendak mengejar. Namun auman harimau di
atas batu sana membuat dia terperangah dan seolah terpaku di tempatnya.
Perlahan-lahan sosok binatang buas ini, disusul sosok Datuk Bandoro Sati menjadi
pudar dan samar.
Akhirnya keduanya lenyap sama sekali. Tapi lama kemudian kabut yang tadi muncul
secara aneh juga ikut
sirna. "Datuk, apakah kita tidak bermimpi?" bertanya Andana pada Datuk Alis Merah.
"Kita tidak bermimpi muridku. Yang datang tadi benar-benar bayangan ayahmu.
Hanya saja ada keanehan yang tidak bisa kupecahkan. Dia datang dengan pakaian berlumuran darah.
Sekujur tubuhnya penuh
lobang-lobang bekas tusukan."
"Lalu apakah saya harus mengikuti apa yang tadi dikatakan beliau?" tanya Andana.
"Kembali ke
Pa-garalam di Pagaruyung?"
"Mari kita kembali ke pondok. Kita bicara di sana. Tapi kita periksa dulu apa
yang tadi diletakkan
Ayahmu di atas batu sana."
Datuk Alis Merah berkelebat ke atas batu cadas. Andana mengikuti. Guru dan murid
itu sampai di atas
batu cadas hitam di tempat ketinggian. Di sini mereka menemukan sebilah keris
berhulu dan bersarung emas.
"Tuhan Maha Besar!" seru Datuk Alis Merah. "Andana, ambillah keris itu. Itu
adalah senjata sakti
sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening bertuah, bernama Tuanku Ameh Nan Sabatang. Keris itu adalah salah satu senjata
dari sekian banyak pusaka
warisan nenek moyangmu. Ayahmu sengaja meninggalkannya untukmu...."
"Aneh guru. Kalau Ayah memang hendak memberikannya pada saya mengapa harus
dengan cara ini"
Mengapa tidak menunggu sampai saya berada di Pagaruyung?"
Datuk Alis Merah tidak menjawab. Di balik semua keanehan ini, si orang tua yang
arif telah punya
firasat bahwa sesuatu telah terjadi dengan diri Datuk Bandaro Sati. Namun takut
kesalahan dia tak mau
mengatakan apa-apa pada muridnya selain berucap. "Ambil keris itu Andana.
Pelihara baik-baik...."
Sesaat Andana tampak meragu. Dia memandang pada Datuk Alis Merah. Orang tua ini
anggukkan kepala. Akhirnya Andana membungkuk mengambil keris emas itu dengan tangan
gemetar. Begitu dia
menyentuh senjata bertuah ini ada hawa aneh keluar dari keris, mengalir masuk ke
dalam lengannya terus ke
sekujur tubuhnya. Saat itu juga dia merasa satu kelainan terjadi pada dirinya.
Tubuhnya terasa jadi lebih
ringan. Andana mengulurkan keris itu pada gurunya. Datuk Alis Merah menyambuti.
Sesaat ditimbang-timbangnya keris itu sambil memperhatikan dengan seksama. "Keris bagus
ukiran indah," kata
sang Datuk. Lalu dia menggerakkan tangan hendak mencabutnya. Ketika ditarik hulu
dan badan keris ternyata
tidak bisa dipisahkan dari sarungnya. Datuk Alis Merah kerahkan tenaganya dan
mencoba sekali lagi. Tetap
saja keris itu tidak bisa tercabut dari sarungnya. Penasaran orang tua ini
kerahkan tenaga dalam lalu kembali
berusaha mencabut senjata itu dari sarungnya. Sampai sekujur tubuhnya gemetaran
dan keringat memericik di
wajahnya Datuk Alis Merah masih tidak dapat mencabut keris sakti bertuah itu.
"Aneh," kata Datuk Alis Merah sambil mengembalikan keris Tuanku Ameh Nan
Sabatang pada Andana. "Muridku, coba kau yang mencabutnya."
Andana mengambil senjata itu kembali. Tangan kiri memegang sarung dan tangan
kanan memegang hulu. Mulutnya mengucapkan Bismillahir rohma nir-rohim. Dua tangan bergerak ke
arah yang berlawanan.
Wiro Sableng 074 Dendam Di Puncak Singgalang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sret! Keris Tuanku Ameh Nan Sabatang tercabut dari sarungnya. Sinar kuning
menyilaukan memancar dari
badan senjata yang juga terbuat dari lapisan emas berukir huruf-huruf Arab.
Iblis Sungai Telaga 5 Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Mempelai Liang Kubur 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama