Ceritasilat Novel Online

Dendam Puncak Singgalang 2

Wiro Sableng 074 Dendam Di Puncak Singgalang Bagian 2


"Tuhan Maha Besar. Senjata itu memang berjodoh denganmu Andana. Rupanya hanya
orang-orang yang bertali darah dengan nenek moyangmu yang bisa mencabut senjata sakti ini
dari sarungnya."
Andana memperhatikan senjata itu dengan penuh kagum lalu dengan hati-hati
dimasukkannya kembali ke dalam sarungnya.
* * * sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening TUJUH DI PINTU pondok Datuk Alis Merah memegang bahu muridnya. "Kau pergi bersama
doaku, Andana. Jaga dirimu baik-baik. Ingat segala pelajaran yang telah kau terima dariku walau
hanya kau dapat seumur
jagung. Ilmu kepandaian bukan untuk menyusahkan orang lain. Apalagi kalau sampai
digunakan untuk
mencelakai dan bunuh membunuh."
"Terima kasih atas petuah itu Datuk. Sebenarnya kalau tidak menimbang pesan
Ayah, saya tidak akan
meninggalkan Datuk. Datuk memang sahabat Ayah saya. Tapi bagi saya Datuk sudah
saya anggap sebagai
orang tua sendiri." Andana membungkuk lalu menyalami tangan orang tua itu dan
menciumnya. "Ingat baik-baik Andana. Perjalanan ke kampung halamanmu di Pagaruyung mungkin
bukan satu perjalanan pulang kampung yang menyenangkan. Pasti banyak orang yang suka
padamu, tetapi banyak pula
yang dengki dan jahat. Masih banyak orang yang akan terus melancarkan fitnah
keji padamu. Apalagi kau
telah dicap sebagai pelarian. Buronan dari penjara Batusangkar. Karenanya hatihatilah dalam setiap tindak
dan langkahmu. Walau kau asli orang Minang namun tetap harus kau ingat pada
kata-kata bertubah. Dimana
bumi dipijak, di situ langit dijunjung."
Dengan tangan kirinya orang tua itu mengusap kepala Andana lalu berkata. "Jika
kau sampai di puncak Singgalang sampaikan salamku pada adik ayahmu Uning Ramalah. Katakan
bahwa aku ada baik-baik
saja. Aku berharap dia begitu juga."
"Salam dan kata-kata guru akan saya sampaikan."
Datuk Alis Merah mengangguk. "Sebelum kau pergi temui dulu adikmu. Hibur
hatinya. Dia tampak
gelisah sejak dia tahu kau akan meninggalkan tanah Asahan ini."
"Saya memang akan menemuinya guru," kata Andana pula.
Tak berapa jauh dari pondok ada sebuah jalan menurun di antara semak belukar dan
pepohonan. Andana melangkah mengikuti jalan ini yang pada akhirnya membawanya pada sebuah
telaga kecil. Begitu
jernihnya air telaga hingga dasar telaga yang dangkal dan penuh dengan batu-batu
dapat terlihat dengan jelas.
Di sebelah kiri telaga ada sebuah pancuran. Di bagian kanan terdapat saluran
yang mengalirkan air telaga ke
pedataran rendah.
Sejarak enam langkah dari telaga itu terdapat sebuah batu rata. Di atas batu
inilah duduk membelakangi sosok seorang dara berbaju kurung. Sehelai selendang putih
tergulung di atas kepalanya.
Di atas batu di samping sang dara terletak satu bungkusan kecil. Tangannya
memegang beberapa batu
kecil. Satu demi satu batu itu dilemparkannya ke dalam telaga. Ketika dia hendak
melemparkan batu terakhir,
dari belakang seseorang tiba-tiba memegang lengannya. Gadis ini tergagu dan
cepat berpaling. Dia melihat
satu wajah gagah yang tersenyum padanya.
"Kau terkejut Halidah?"
"Abang rupanya. Saya kira siapa...." kata gadis itu sambil balas tersenyum.
Namun di balik senyum itu
tersembunyi rasa pedih. Kedua matanya dengan sayu menatap wajah Andana,
memperhatikan kain mereka
yang dikenakan pemuda itu.
"Gagah sekali Abang berpakaian seperti ini. Rupanya jadi juga Abang pergi
meninggalkan Asahan,
sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening kembali ke Pagaruyung?"
"Kalau diturut kata hati mana mau Abang pergi dari sini. Datuk sudah Abang
anggap sebagai Ayah
sendiri. Kau saya sayangi sebagai Adik sendiri. Namun saya terpaksa pergi
Halidah...."
Gadis di atas batu itu menundukkan kepalanya. Jari-jari tangannya mempermainkan
batu kecil yang
dipegangnya. Angin bertiup lembut. Dalam hatinya gadis ini berkata. "Dia
menyayangiku sebagai adik sendiri.
Ya Tuhan. Apakah dia tidak tahu bagaimana sebenarnya perasaanku terhadapnya?"
"Kenapa kau diam saja Halidah" Tak senang rupanya melihat Abang pergi?"
"Gadis mana yang tidak sedih ditinggal pemuda yang dicintainya?" Kata-kata itu
hanya menggema dalam hati Halidah.
"Abang tahu perasaanmu terhadap Abang. Tapi Abang sangat menghormati Ayahmu. Dia
guru Abang. Dia menolong Abang di kala susah. Banyak budi yang sudah Abang terima
dari beliau. Abang tidak
mau dianggap sebagai seorang yang menggunting dalam lipatan...."
"Kalau Abang tahu perasaan saya mengapa Abang..." Halidah tidak meneruskan
ucapannya itu. Dia
mengalihkan pembicaraan dengan bertanya. "Akan lamakah Abang di Pagaruyung"
Apakah akan kembali ke
sini?" "Abang tidak tahu berapa lama Abang di sana. Sebelum Abang harus menjenguk adik
perempuan Abang di Singgalang. Perihal kembali ke sini tentu saja dengan izin Tuhan Abang
akan kembali lagi kemari."
"Saya dengar gadis-gadis di tanah Minang cantik-cantik. Berkulit halus, bagus
tutur katanya, elok budi
perangainya...."
Andana tertawa lebar mendengar kata-kata si gadis. Dipegangnya bahu Halidah lalu
berkata. "Di
negeri Asahan ini tak kalah banyak gadis yang cantik-cantik, elok budi
perangainya. Salah seorang yang
Abang kenal adalah Adik sendiri..."
"Ah, Abang terlalu memuji," paras Halidah kelihatan kemerahan. "Jadi benar Abang
nanti akan kembali lagi kesini?"
"Abang berjanji. Selama gunung masih biru, selama air sungai masih mengalir ke
laut Abang pasti
akan kembali."
"Senang saya mendengar kata-kata bersajak itu. Ingatlah selalu, ada seorang
gadis buruk di negeri
Asahan ini yang mengharapkan Abang cepat kembali."
"Abang akan selalu ingat padamu Halidah. Selama Abang pergi jaga dirimu baikbaik...." Andana
membungkuk lalu mencium kening Halidah.
"Doa saya akan ikut kemana Abang pergi..." bisik Halidah seraya mengusap pipi
pemuda itu dengan
penuh cinta kasih. Lalu diambilnya bungkusan kecil di atas batu. "Ini saya
bungkuskan nasi dan sedikit lauk
untuk bekal Abang di jalan."
Andana menerima pemberian itu dengan hati terharu biru. "Saya tidak tahu harus
mengatakan apa lagi
Halidah. Kau baik sekali...."
Si gadis melepas selendang putih yang menutupi kepalanya lalu diserahkannya pada
Andana. "Hanya
ini yang bisa saya berikan sebagai pengganti diri saya."
Andana bimbang sesaat. Akhirnya diambilnya juga selendang putih itu. Dari dalam
sakunya sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening dikeluarkannya sehelai sapu tangan lalu diserahkannya pada Halidah seraya
berkata. "Jika kau rindu pada
Abang, letakkan sapu tangan ini di dadamu. Kalau malam kau tidur, letakkan di
bawah bantalmu. Abang pergi
sekarang. Jaga dirimu baik-baik...."
Halidah memegang wajah pemuda itu dengan kedua tangannya. Lalu dia berjingkat
untuk dapat mengecup Andana. Sepasang matanya berkaca-kaca. Andana merangkul gadis itu eraterat ke tubuhnya seolah
tidak akan dilepaskannya lagi.
* * * sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening DELAPAN DUA HARI dua malam diazab berdiri seperti itu membuat bagaimanapun sabarnya
seseorang lama-lama akan meledak kemarahannya. Demikian juga dengan Pendekar 212 Wiro
Sableng. Walaupun setiap
malam ketika dia tak dapat lagi menahan kantuk Uning Ramalah selalu meletakkan
bungkusan makanan
secara diam-diam di dekatnya namun kejengkelannya tidak dapat dikendalikan lagi.
Anehnya selama dua hari
ini perempuan tua itu tidak pernah keluar dari dalam gubuknya.
Pagi hari ke tiga ketika sang surya mulai naik, Wiro sudah siap untuk mengambil
keputusan. Bagaimana kalau aku pura-pura mengancam hendak menghantam hancur jenazah Datuk
Bandaro Sati kakaknya itu. Mungkin dia mau membebaskan diriku. Tapi mayat itu tidak berdosa.
Lebih baik aku hantam
saja gubuknya hingga hancur berantakan. Gila seumur hidup baru kali ini aku
disiksa orang begini rupa.
Tidak tanggung-tanggung murid Sinto Gendeng ini siapkan pukulan "Sinar matahari"
pada kedua tangannya kiri kanan. Cahaya putih berkilauan seolah memapas sinar matahari pagi
memancar dari kedua
tangan sang pendekar. Tepat pada saat dia menggerakkan kedua tangan untuk
menghantam ke arah gubuk,
tiba-tiba terdengar derap kaki kuda. Seorang pemuda berpakaian merah bercelana
hitam dan ada sapu tangan
merah terikat di keningnya muncul menunggang kuda. Dia sama sekali tidak
memperdulikan Wiro ataupun
sesuatu yang terbujur tertutup kain putih di halaman gubuk. Kudanya dipacu ke
arah gubuk seraya berseru.
"Uning Ramalah, saya datang!"
Pintu gubuk terbuka. Perempuan tua berselendang kain putih itu keluar
menyongsong si pemuda.
Pemuda ini cepat turun dari kudanya lalu menyalami dan mencium tangan perempuan
itu. "Tuhan Maha Besar. Syukur kau datang anakku. Terlambat sedikit saja mungkin
keadaan sudah berubah!" Diam-diam rupanya Uning Ramalah sudah mengetahui maksud Pendekar 212
yang hendak menghancur leburkan gubuknya.
"Uning, sepanjang perjalanan dari Asahan saya merasa tidak enak. Ada firasat
buruk yang saya tidak
tahu artinya. Menurut Datuk Alis Merah, dua kali dia bermimpi bertemu dengan
Uning. Apakah Uning ada
baik-baik saja?"
"Andana, aku memang baik-baik saja anakku. Tapi...."
Perempuan tua ini segera saja berubah air mukanya. Wajah keriputan itu mendadak
menjadi kuyu sedih. Dan kedua matanya tampak berkaca-kaca.
"Uning, ada apakah?" tanya Andana. Pemuda ini memandang ke halaman. Dilihatnya
seorang pemuda berdiri di ujung sana. Agaknya dia tidak bisa beranjak sama sekali dari
tempatnya berdiri. Memandang pada
wajah pemuda berambut gondrong itu Andana seolah melihat bayangannya di dalam
kaca. "Pemuda tak
dikenal itu. Mengapa wajahnya mirip wajahku. Apa yang dilakukannya di tempat
ini?" Lalu mata Andana berpindah pada sosok yang terbujur di halaman berbatu merah.
"Uning, saya melihat pemandangan aneh. Siapa pemuda itu. Lalu apa pula yang
terbujur di halaman
sana?" "Itu jenazah ayahmu Andana. Ayahmu mati dibunuh orang...." Kalau ada petir
menyambar di depan
hidungnya saat itu tidak demikian terkejutnya Andana mendengar kata-kata Uning
Ramalah. sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening "Ayah mati dibunuh orang?" suara Andana menyentak. Matanya memandang membeliak
pada sosok tubuh yang terbujur dan tertutup kain putih itu. Dari mulut pemuda ini kemudian
keluar suara teriakan dahsyat.
Lalu dia melompat ke halaman berbatu merah. Sekali tarik saja disingkapkannya
kain putih penutup jenazah
Datuk Bandaro Sati.
"Ayah!" teriak Andana lalu menubruk dan memeluki jenazah ayahnya. Di tempatnya
berdiri di depan
gubuk Uning Ramalah tegak tertunduk dengan mata berkaca-kaca.
"Ya Tuhan! Jadi ini arti firasat itu! Ini arti hatiku yang tidak enak itu!
Ayahhh!" Seperti anak kecil
Andana menggerung menangisi jenazah ayahnya. Sampai satu tangan memegang bahunya
dan terdengar suara
Uning Ramalah. "Siapa yang melakukan ini Uning" Siapa yang membunuh Ayah"!" tanya Andana pada
Uning Ra- malah. Perempuan tua itu hanya menjawab dengan gelengan kepala dan air mata yang jatuh
meleleh ke pipinya. "Pasti dia!" teriak Andana seraya menunjuk ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng
yang memperhatikan
dirinya. "Jahanam! Kuhabisi kau sekarang juga!"
Pemuda murid Datuk Alis Merah itu melompat ke arah Wiro. Beberapa langkah dari
hadapan Pendekar 212 Andana angkat tangan kanannya. Tangan ini dimiringkan sedikit lalu
dihantamkannya ke arah
Wiro. Satu lidah api yang dahsyat menderu ke arah Pendekar 212. Inilah pukulan "inti
api" yang dipelajari


Wiro Sableng 074 Dendam Di Puncak Singgalang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selama dua tahun dari Datuk Alis Merah. Kehebatannya luar biasa. Jangankan
manusia, batu karang pun akan
hangus dan hancur berantakan kena hantamannya.
Murid Eyang Sinto Gendeng yang sejak tadi memang sudah mengkal malah sudah siapsiap untuk melepas pukulan "sinar matahari" melihat pemuda di hadapannya menyerangnya
dengan pukulan maut begitu
rupa, tanpa banyak pikir lagi serta merta hantamkan tangan kanannya menyambuti
pukulan lawan. Lidah api yang merah legam dan panas saling beradu dengan sinar putih perak
menyilaukan. Bummm! Satu ledakan keras seperti hendak meruntuhkan puncak gunung Singgalang dan
merobek langit.
Tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng terguncang hebat tapi kedua kakinya tetap saja
terpaku ke tanah. Mukanya
tampak pucat dan di sela bibirnya ada sebersit darah keluar.
Di pihak lain Andana terpental satu tombak lalu terbanting keras ke halaman
berbatu merah. Dia
merasakan dadanya seperti remuk dan kepalanya seperti tanggal. Kedua matanya
untuk beberapa saat lamanya
seperti buta. Darah mengucur dari mulutnya. Menyangka pemuda itu telah menemui
ajalnya Uning Ramalah
menjerit keras lalu memburu dan menubruk tubuh Andana.
"Saya masih hidup Uning...." kata Andana perlahan.
"Siapa pemuda yang punya tampang sama dengan saya itu" Ilmunya tinggi
sekali...." Ternyata dalam
keadaan seperti itu Andana masih bisa bicara polos dan jujur. "Saya mengira dia
pembunuh ayah. Mungkin
saya kurang menyelidik dan ketelepasan tangan!"
"Dia bukan pembunuh Ayahmu Andana. Justru dia yang membawa jenazah ayahmu ke
mari. Hanya sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening saja aku belum sepenuhnya yakin bahwa dia tidak terlibat dalam kematian Ayahmu.
Dia mengaku bernama
Wiro Sableng. Berasal dari tanah Jawa...."'
"Jauh-jauh datang kemari apa keperluannya" Agaknya dia patut dicurigai."
"Katanya dia mencari seorang bernama Tua Gila...."
"Tua Gila...." Bukankah itu kakek sakti mandraguna yang masih sahabat para
sesepuh kita?" Ujar
Andana pula. "Dia berkata begitu tapi bagaimana bisa mempercayainya?" jawab Uning Ramalah.
"Waktu jenazah
ayahmu sampai di sini, keris sakti bertuah Tuanku Ameh Nan Sabatang tidak ada
pada Ayahmu. Aku coba
menyelidik dengan ilmu "tembus pandang". Ternyata dia memang tidak
menyembunyikan keris itu...."
"Tuanku Ameh Nan Sabatang ada pada saya Uning," menerangkan Andana. Lalu
diceritakannya kejadian aneh di tempat kediaman Datuk Alis Merah.
Uning Ramalah jadi terperangah. "Kalau bukan kau yang mengatakan mana mungkin
aku bisa percaya
ada kejadian seaneh itu." Lalu dia memandang Wiro. "Walaupun kini kecurigaanku
pada pemuda itu semakin
berkurang namun tetap saja aku belum bisa mempercayainya sepenuhnya. Itu
sebabnya aku menjeratnya
dengan ilmu "paku bumi" hingga dia tidak bisa lari kemana-mana sebelum kau
datang. "Sebaiknya kita bebaskan saja dia Uning. Saya punya dugaan dia tidak bersalah.
Dia bukan orang
jahat...."
"Kau meminta aku melepaskan ilmu paku bumi itu Andana?" tanya Uning Ramalah.
"Kalau Uning tidak keberatan...."
"Baiklah. Kalau nanti dia ternyata memang manusia jahat, aku tidak akan
memberinya ampun!"
Perlahan-lahan perempuan tua itu berdiri. Kedua matanya memandang tepat-tepat ke
arah Wiro. Kaki
kanannya diajukan satu langkah.
"Apa lagi yang hendak dilakukan perempuan tua ini?" Pikir Wiro seraya balas
memperhatikan Uning
Ramalah. "Mau mengajak aku menari?" Memikir sampai di situ Wiro jadi senyum-senyum
sendiri. Tentu saja
sikapnya ini menimbulkan rasa heran dan tanda tanya pada Uning Ramalah dan
Andana. Lalu tanpa perdulikan
lagi sikap Wiro Uning Ramalah membuat guratan tanda x di atas tanah dengan ujung
ibu jari kaki kanannya.
Begitu tanda silang itu diinjaknya maka Wiro serta merta merasakan kekuatan yang
selama ini memaku kedua
kakinya ke tanah menjadi punah. Dia sanggup menggerakkan kakinya kiri dan kanan.
"Orang tua, terima kasih kau bersedia membebaskan diriku!" kata Wiro. Dari dalam
sakunya dikeluarkannya sebuah benda berbentuk bulat sebesar kuku ibu jari. Benda ini
dipotesnya hingga patah dua.
Sepotong segera ditelannya, sisanya dilemparkannya ke arah Andana.
"Apa ini"!" tanya murid Datuk Alis Merah dengan curiga walaupun dia menyambuti
juga benda yang
dilemparkan Wiro itu.
"Obat untuk luka dalam. Bentrokan tadi telah membuat kita sama-sama cidera.
Terserah kau mau
menelannya atau tidak. Yang jelas aku tidak punya kepentingan apa-apa lagi di
sini...." "Tunggu! Jangan pergi dulu!" kata Andana seraya bangkit berdiri. Obat yang dalam
tangannya dimasukkannya ke dalam mulut. Dikunyahnya lalu ditelannya. Dia merasakan ada
hawa hangat menjalar di
sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening dadanya sampai ke perut.
"Mungkin ada sedikit salah paham di antara kita. Kurasa itu wajar saja karena
kita tidak saling
mengenal. Uning Ramalah mengatakan kau yang membawa jenazah ayahku ke sini...."'
"Aku menemukannya di tepi Ngarai Sianok."
"Kau tidak melihat orang lain di tempat itu" Atau mungkin juga kau tahu siapa
pembunuhnya?"
Pendekar 212 gelengkan kepala.
"Ada satu pertanyaan lagi...."
Wiro memotong ucapan Andana. "Dari pada bicara panjang lebar lebih baik kau
menyiapkan kubur
untuk Ayahmu. Mengapa dia dibiarkan tersiksa seperti itu?"
Andana memandang pada sosok tubuh Datuk Bandaro Sati.
"Kau betul. Aku akan menggali kuburnya, memandikannya lalu menyembahyanginya.
Setelah itu memakamkannya."
"Aku akan membantu!" jawab Wiro.
Uning Ramalah memperhatikan kedua pemuda itu yang kemudian saling berjabatan
tangan. "Wajah
mereka begitu sama satu dengan lainnya. Mudah-mudahan mereka bisa menjadi dua
orang sahabat. "
Ketika sang surya menggelincir ke barat di puncak gunung Singgalang kini tampak
satu pemandangan
baru. Sebuah makam terlihat di depan halaman berbatu merah. Inilah kuburan Datuk
Bandaro Sati, Ayah
kandung Andana. Untuk beberapa saat lamanya tiga orang itu yakni Uning Ramalah,
Andana dan Wiro
Sableng tegak di depan makam tanpa ada satupun yang berkata-kata.
Akhirnya Uning Ramalah memecah kesunyian dengan mengajukan pertanyaan pada
Andana. "Anakku, apakah yang akan kau lakukan sesudah ini?" Sesaat Andana masih menatapi
tanah merah makam Ayahnya. Dalam hati dia berkata. "Apakah hal itu masih perlu
dipertanyakan" Ayahku mati dibunuh
orang. Jelas aku harus mencari siapa pembunuhnya dan membuat perhitungan!"
Andana berpaling pada adik Ayahnya itu. "Saya mohon petunjuk Uning," katanya.
Perempuan tua berwajah putih itu betulkan letak selendangnya lalu berkata.
"Ketahuilah anakku,
kebencian melahirkan kebencian. Dendam menurunkan dendam. Lalu nyawa manusia
tidak ada harganya lagi.
Membunuh bukan lagi dianggap sebagai satu dosa besar yang neraka tantangannya.
Kalau sudah begitu rasanya tidak ada lagi gunanya hidup di dunia ini...."
Andana terdiam mendengar kata-kata Uning Ramalah itu. Dia melirik pada sahabat
barunya Wiro Sableng. Sang sahabat dilihatnya justru sedang menggaruk-garuk kepala, memandang
padanya dengan menyeringai. "Apa yang ditertawakan anak ini!" Kata Ananda dalam hati setengah
jengkel. "Uning, apakah Uning bermaksud bahwa saya tidak boleh membalas dendam kematian
Ayah?" Tiba-tiba Andana ajukan pertanyaan pada perempuan tua di sebelahnya.
"Aku tidak mengatakan demikian anakku. Kalau kita sudah melangkah, apapun yang
terjadi langkah
itu harus diteruskan tanpa ragu, dengan semangat dan jiwa besar. Kita namanya
manusia yang hidup di dunia
tidak pernah terlepas dari pada pengaruh hati. Kalau saja aku tidak mempunyai
pantangan membunuh, saat ini
aku sudah turun gunung mencari pembunuh Datuk Bandaro Sati!"
"Kewajiban itu ada di pundak saya Uning," kata Andana tegas.
sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening Perempuan tua itu mengangguk. "Tapi kau harus berhati-hati Andana. Aku punya
firasat kematian
Ayahmu ada sangkut pautnya dengan kejadian-kejadian di masa lalu. Antaranya yang
menyebabkan sampai
terpaksa melarikan diri dari penjara di Batusangkar."
"Saya sudah tahu siapa orang yang memfitnah saya itu. Namanya Udin Burik. Hanya
tinggal mencari
siapa dalangnya saja..."
"Hati-hati dengan Tumenggung Rajo Langit. Dia mati-matian untuk dapat
memenjarakanmu kembali.
Bahkan membunuhmu kalau bisa!"
"Saya sudah perhitungkan semua itu Uning. Saya hanya minta doa Uning agar saya
selamat dalam menjalankan tugas berat ini. Mencari pembunuh Ayah dan sesuai dengan pesannya
menyelamatkan rumah
gadang kita."
"Doaku akan selalu bersamaanmu, nak!" kata Uning Ramalah pula.
Andana maju selangkah ke hadapan makam Ayahnya.
Suaranya tersendat ketika berkata. "Ayah, saya anakmu Andana bersumpah dihadapan
makammu bahwa saya akan mencari pembunuh Ayah. Dunia ini terlalu sesak untuk manusia
keji itu dan saya. Dendam
ini tak akan lunas sebelum saya dapat membunuhnya dengan tangan saya sendiri!
Tuhan mendengar sumpah
saya ini dan gunung Singgalang menjadi saksi!"
Pendekar 212 yang tegak termangu di samping Andana teringat pula pada kejadian
belasan tahun lalu.
Ketika Ayahnya menemui kematian di tangan musuh-musuhnya. "Kau masih beruntung
Andana. Kau pernah
melihat Ayahmu, pernah dibesarkan olehnya. Aku bernasib lebih malang. Ayahku
dibunuh orang ketika aku
masih bayi..."
Andana memegang bahu Pendekar 212 dan berkata. "Nasib kita tidak jauh berbeda
Wiro. Karena itu
kita pantas menjadi dua sahabat...."
Wiro menganggukkan kepalanya. Matanya memandang sesaat pada kedua kakinya. Lalu
melirik pada Uning Ramalah. Perempuan tua ini tahu apa yang ada di benak Pendekar 212. Maka
diapun berkata. "Kalau
tidak kupaku kakimu ke tanah, kau tak akan pernah bertemu dengan sahabat barumu
ini." Wiro garuk-garuk kepalanya. "Uning, mungkin suatu saat saya perlu mempelajari
ilmu memaku kaki
orang itu...."
"Aku khawatir anak muda. Yang kau paku ke tanah bukan cuma orang-orang jahat
tetapi juga gadis-gadis cantik!"
Tanpa sadar bahwa mereka masih menghadapi saat-saat berkabung, ketiga orang itu
sama-sama tertawa bergelak.
* * * sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening SEMBILAN TELAGA dan pancuran berair jernih itu terletak di tanah rendah berbentuk lembah
kecil. Pohon-pohon besar yang mengelilinginya membuat udara di situ terasa sejuk jauh
dari sengatan sinar matahari
musim panas. Selain tempat mandi telaga itu dipergunakan juga sebagai tempat
mencuci pakaian sekaligus
tempat bertemu dan bersenda gurau di kalangan gadis-gadis remaja di Pagaralam.
Pagi itu seperti biasanya di telaga kelihatan beberapa orang anak gadis mencuci
pakaian sambil bercakap-cakap. Sesekali terdengar gelak tawa mereka. Yang jahil menyemburkan
air kepada kawannya
hingga terjadi berbalas sembur. Selain itu, umumnya kalau para gadis sudah
berkumpul seperti itu yang masuk
dalam bahan pembicaraan mereka antara lain pastilah membicarakan ihwal pemuda.
"Hai, sudahkah kalian mendengar berita yang dibawakan angin dari jauh?" berkata
salah seorang di
antara para gadis itu.
"Berita apa?" kawan di sebelahnya bertanya.
"Kabarnya pemuda gagah bernama Andana itu akan kembali ke Pagaralam."
"Dari mana kau dengar kabar burung itu Saleha?"
"Dari mana saya dapat berita tak usah jadi persoalan. Saya tahu itu bukan kabar
burung." Jawab anak
perempuan bernama Saleha.
"Pemuda itu hebat dan gagah. Ingat cerita waktu dia menjebol penjara di
Batusangkar lalu menghajar
dua pengawal penjara bahkan menggebuk Kepala Penjara kaki tangan Tumenggung Rajo
Langit"!"
"Dia seorang pemuda pemberani, seorang pandeka!" kata gadis yang lain. "Buktinya
dia tidak takut
kembali ke Pagaralam. Padahal kalau Tumenggung Rajo Langit di Pagaruyung sampai
tahu pasti dia akan
ditangkap lagi dan dijatuhi hukuman lebih berat!"
"Waktu Andana pergi tiga tahun lalu, dia masih bujangan. Apakah kini dia masih
juga bujangan?" ujar
seorang gadis bernama Sariatun.
"Jangan-jangan, kalau dia kembali membawa anak dan istri, semua gadis di


Wiro Sableng 074 Dendam Di Puncak Singgalang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pagaralam sampai di
Pagaruyung akan menggigit jari!" menyahuti gadis lain hingga suasana di telaga
itu menjadi ramai.
"Saya berharap dia masih bujangan. Hingga salah seorang di antara kita kelak
bisa beruntung menjadi
jodohnya!"
Semua gadis itu kembali tertawa riuh.
"Kawan! Hati-hati kalau bicara. Nanti ada yang marah!" kata Saleha setengah
berseru. Dia lalu
menggoyangkan kepalanya ke arah seorang gadis yang duduk di sebuah batu datar.
Kelihatannya dia sibuk
mencuci padahal sebenarnya apa yang dibicarakan kawan-kawannya tidak luput dari
perhatian dan pendengarannya, gadis yang satu ini berkulit putih bersih. Kecantikan alami yang
dimilikinya jauh melebihi
kecantikan kawan-kawannya. Melihat Saleha menggoyangkan kepala pada gadis itu,
seorang anak perempuan
lalu bertanya pada gadis tersebut.
"Sahabatku Bunga, apakah kau tidak senang mendengar Andana kembali ke kampung
kita ini"''
Gadis cantik yang bernama Bunga mengangkat kepalanya.
"Saya tidak tahu. Saya rasa tentu banyak yang senang, tapi pasti ada juga yang
tidak senang."
sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening "Kau di pihak yang mana?" tanya Saleha pula. Ketika Bunga tak bisa menjawab dan
wajahnya tampak
kemerahan kawan-kawannya kembali tertawa.
BUNGA ingat, terakhir sekali dia bertemu dengan Andana sebelum pemuda itu
dijebloskan masuk
penjara. Waktu itu siang hari sehabis ba'dal Zuhur. Dia baru saja pulang dari
telaga mengambil air bersih untuk
minum. Di persimpangan jalan dia bertemu dengan Andana yang baru saja pulang
sembahyang di surau.
Mereka bertegur sapa bertukar senyuman. Tiada kata terucapkan dan tahu-tahu
mereka sudah seiring sejalan.
Bunga merasakan dadanya berdebar oleh rasa suka cita berjalan berduaan seperti
itu. Lalu tiba-tiba saja langit
menjadi gelap. Awan hitam menutupi bumi dan hujan turun dengan derasnya. Andana
cepat mencarikan daun
pisang yang lebar, memayungi Bunga dengan daun itu tanpa memperhatikan dirinya
sendiri basah tidak
terlindung. "Kakak memayungi saya tapi pakaian Kakak sendiri basah kuyup," kata Bunga saat
itu. "Tidak mengapa. Adik yang lebih penting. Jangan sampai kebasahan. Kata orang
hujan kadang-kadang membawa penyakit. Saya tidak ingin Adik menjadi sakit...."
Suara pemuda itu terdengar begitu merdu di telinga Bunga. Lalu dilihatnya Andana
tersenyum dan bahunya dipegang lembut, menariknya ke bawah daun pisang agar tidak kejatuhan
air hujan. Debaran jantung
Bunga semakin keras. Hangatnya tangan pemuda itu ketika memegang bahunya seolah
tak pernah pupus, tak
pernah dilupakannya.
Seorang pemuda tiba-tiba melintas cepat di hadapan mereka. Dia memperhatikan
sepasang muda mudi
itu sesaat lalu bergegas pergi.
Andana mengantarkan Bunga sampai ke depan tangga rumahnya. Keesokan harinya
tersebar kabar di
Pagaralam bahwa Andana dan Bunga diam-diam rupanya telah menjalin hubungan
asmara. Mereka berkasih-kasihan. Ada orang yang melihat mereka berpayung daun pisang berduaduaan di bawah hujan lebat.
Dan seperti biasanya yang namanya gunjingan itu dari satu mulut ke lain mulut
selalu bertambah dengan
hal-hal yang tidak benar. Bunga dan Andana berpayung bersama sambil berdekapan,
berpelukan dan berciuman. "Bunga! Hai Bunga!"
"Bunga!"
Suara yang memanggil-manggil itu menyadarkan Bunga dari lamunannya. Dia
memandang berkeliling dan coba tersenyum. Dilihatnya semua kawan-kawannya berdiri di tepi
telaga. Masing-masing memegang bakul berisi cucian, siap untuk meninggalkan telaga. Mereka masih
menunggu kalau-kalau Bunga
hendak pulang bersama-sama.
"Kami sudah selesai mencuci dan mandi!" berseru Saleha. "Matahari sudah tinggi.
Kami tak bisa menunggumu!"
"Tak apa. Pergilah lebih dahulu. Sebentar lagi cucian saya selesai," jawab
Bunga. "Jadi kami pulang saja duluan?"
"Ya, pulang sajalah!"
"Tidak takut awak sendirian?" tanya salah seorang teman Bunga.
"Mengapa musti takut" Tak ada hantu di telaga ini!" jawab Bunga pula.
sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening "Kalau Andana yang jadi hantunya kamipun tidak takut!" teriak Saleha yang
membuat kembali
kawan-kawannya bersorak riuh.
Bunga meneruskan mencuci. Tiba-tiba dalam kesepian itu dia mendengar suara
langkah kaki-kaki
kuda mendatangi. Bunga mengangkat kepalanya ke arah jalan menurun. Wajah gadis
ini menjadi pucat.
"Dia lagi...," katanya dengan lidah kelu karena takut. Diambilnya kebayanya dari
dalam bakul lalu
cepat-cepat dikenakannya.
Seorang lelaki tua berpakaian bagus menghentikan kudanya tak jauh dari tepi
telaga. Rambutnya yang
putih tersembul dari destar kuning emas di kepalanya. Kumis di atas bibirnya
juga sudah berwarna putih. Dia
berpaling pada seorang lelaki berkuda di belakangnya yang agaknya jadi
pengawalnya. "Tinggalkan aku di sini. Kalau tidak kupanggil jangan berani datang!"
Orang yang diperintah mengangguk lalu cepat-cepat berlalu. Sambil tersenyumsenyum lelaki berpakaian bagus tadi turun dari kudanya.
Bunga bergegas mencapai tepian telaga tapi langkahnya segera terhadang oleh
lelaki tadi. "Bunga... Bunga... Dunia terasa sepi jika tidak melihatmu sehari saja. Apakah
kau ada baik-baik saja
Bunga?" Orang lelaki itu menegur dengan sikap ramah dan tak pupus senyum di
bibirnya. Namun justru
sikapnya ini membuat Bunga muak di samping takut.
"Hai, mengapa begitu terburu-buru Bunga" Apakah tidak ada waktu bagi kita untuk
bercengkrama barang sebentar?"
"Maafkan saya. Saya harus segera pulang. Hari sudah siang. Matahari sudah
tinggi." Sehabis berkata
begitu Bunga cepat-cepat melangkah pergi.
Lelaki tadi mendongak ke langit. "Masih pagi begini dikatakan sudah siang. Tak
usah terburu-buru
Bunga. Urusan rumah tangga di rumah tak ada habisnya. Lagi pula saya merasa
kasihan kalau dirimu yang
cantik, tubuhmu yang bagus terlalu banyak bekerja...."
"Maafkan saya Tumenggung. Saya harus segera pulang."
"Jangan begitu Bunga. Kau tahu betapa aku menyukai dirimu. Bukan sekedar suka.
Tapi cinta!"
Ingin sekali Bunga meludahi muka lelaki gaek yang dianggapnya tidak tahu diri
itu. Gadis ini memutar
langkahnya. Tapi orang yang dipanggilkan dengan sebutan tumenggung itu kembali
menghadangnya. "Dengar Bunga, gadis cantik sepertimu.tidak layak tinggal di kampung sunyi dan
kotor ini. Kau lebih
pantas tinggal di Pangaruyung atau di Batusangkar. Aku ada rumah di dua kota itu
yang bisa kau tempati. Jika
kau takut tinggal sendirian, Robiah boleh kau ajak serta...."
"Maafkan saya Tumenggung. Beri saya jalan...."
"Ah, kalau kau memang hendak pulang, kau boleh naik kudaku. Akan kuantar kau
sampai ke rumah.
Tapi jika kau suka ikut aku barang sebentar akan kuberikan hadiah kain cita yang
bagus. Kau tentu mau
bukan?" Sambil berkata begitu Tumenggung itu ulurkan tangannya hendak memegang
lengan si gadis. Bunga
cepat menghindar. Sang Tumenggung jadi kalap. Dengan nekad dilompatinya gadis
itu lalu dipeluknya
kuat-kuat. Bunga menjerit keras berusaha melepaskan diri sambil memukuli dada
Tumenggung itu sekuat
yang bisa dilakukannya.
Tubuh tua itu rupanya kesakitan juga kena dihantam pukulan. Selagi sang
Tumenggung terjajar ke
sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening belakang Bunga pergunakan kesempatan untuk melarikan diri. Tapi lelaki itu masih
sempat menggapai
pinggang kebayanya. Ketika dia hendak merangkul Bunga sekali lagi gadis ini
mendorong tubuh sang
Tumenggung kuat-kuat. Tubuh tua itu terjajar. Kakinya terpeleset di batu licin.
Tak ampun lagi tubuhnya jatuh
masuk ke dalam telaga. Bunga segera berlari meninggalkan tempat itu. Namun
langkahnya tertahan ketika di
depannya melintas seorang pemuda berpakaian serba putih, berambut menjela bahu.
"Andana...". kata Bunga begitu dia mengenali wajah pemuda itu.
Orang yang ditegur berpaling padanya. "Adik memanggil saya?" Bunga merasa
terkejut sekali.
"Hanya berpisah tiga tahun dia sudah lupa pada diriku?"
"Kau... kau tidak mengenali saya lagi Andana?"
"Ah, adik salah sangka. Saya bukan Andana. Saya kebetulan cuma sahabatnya. Nama
saya Wiro..."
Bunga jadi terperangah. Wajah sama, potongan badan sama. Tapi suara dan logat
bicara pemuda ini
menunjukkan bahwa dia memang bukan Andana pemuda Pagaralam yang meninggalkan
kampung tiga tahun
lalu. "Tapi... saya mendengar kabar Andana sudah kembali ke sini. Maafkan kalau saya
mengira...."
Pendekar 212 Wiro Sableng tertawa lebar. "Kata orang wajah kami memang mirip.
Tidak salah kalau
adik sampai keliru."
"Kalau kakak sahabatnya, apa kakak tahu dimana Andana sekarang berada?"
"Kami berpisah di satu tempat. Katanya dia ada satu keperluan. Tak lama lagi
tentu dia akan muncul di
sini," menjelaskan Wiro.
Tiba-tiba Wiro melihat ada seorang lelaki tua berpakaian basah kuyup melangkah
cepat ke arah mereka. "Bunga! Perbuatanmu sudah keterlaluan. Kalau kau tidak suka aku, masih ada
seribu cara untuk
mendapatkanmu! Tapi mendorong aku hingga masuk ke dalam telaga adalah perbuatan
kurang ajar yang tidak
bisa kumaafkan!"
Bunga berpaling. Wajahnya ketakutan. Dia cepat hendak tinggalkan tempat itu.
"Kemana kau hendak lari hah" Perawan tak tahu diuntung!" Tumenggung yang basah
kuyup itu cepat
mencekal lengan Bunga. Tapi belum kesampaian Wiro Sableng sudah menahan dadanya
seraya menegur.
"Apa-apaan ini Bapak tua"!"
"Kerbau sialan! Jangan campuri urusanku!" bentak Tumenggung itu seraya hendak
memukul Wiro. Tiba-tiba dilihatnya paras pemuda itu. "Kurang ajar! Kau rupanya Andana!"
"Aku bukan Andana!" jawab Wiro.
"Bangsat! Hendak kau sembunyikan ke mana mukamu manusia buronan"! Pelarian
buronan penjara
Batusangkar! Nyalimu sungguh besar berani muncul lagi di tempat ini! Lekas
serahkan dirimu untuk
kutangkap!"
"Eh, kau rupanya habis kecebur orang tua" Mungkin otakmu tiba-tiba menjadi
gendeng akibat kecebur
itu!" "Pemuda keparat! Dulu aku yang menjebloskanmu ke dalam penjara! Kini akan
kuulangi lagi! Aku
bersumpah sekali ini kau tak bakal keluar lagi! Kau akan meringkuk sampai mampus
dalam penjara itu!"
sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening Selagi kedua orang itu berperang mulut kesempatan dipergunakan oleh Bunga untuk
melarikan diri.
Lelaki di hadapan Wiro tiba-tiba menggerakkan kedua tangannya ke arah leher.
Wiro tidak menduga
kalau gerakan orang tua ini bisa secepat itu. Lehernya seperti dijapit. Percuma
berontak untuk melepaskan diri.
Karena Pendekar 212 hantamkan kedua tinjunya bertubi-tubi ke perut dan dada
orang yang mencekiknya itu.
Sang Tumenggung berteriak setinggi langit. Cekikannya di leher Wiro terlepas.
Tubuhnya terjengkang di
tanah, menggeliat-geliat beberapa kali sebelum dia muntah darah dan jatuh
pingsan. Sementara itu Bunga yang tengah melarikan diri dengan nafas sesak sampai di
tangga rumahnya.
Bakul berisi kain cucian dibuangnya begitu saja. Lalu diterjangnya pintu rumah
dan menghambur masuk ke
dalam seraya berteriak memanggil-manggil.
Seorang perempuan berambut putih berlari dari dapur. "Astagfirullah! Bungat Ada
apa nak"! Apa
yang terjadi"!"
Bunga tak bisa menjawab. Dadanya turun naik. Perempuan tua itu segera mengambil
segelas air putih.
Setelah meneguk air si gadis agak tenang sedikit. "Saya diganggu orang Mak. Dia
lagi... Dia lagi!"
"Kau diganggu orang. Dia lagi"! Maksudmu Tumenggung Rajo Langit"!" tanya Mamak
Rabiah, ibu asuh si gadis. Bunga anggukkan kepalanya berulang kali.
"Manusia jahanam. Tua bangka tak tahu diri itu! Tak habis-habisnya dia
mengganggumu! Ya Tuhan,
kapan kau akan memberi hukuman pada tua bangka itu"!" Mamak Rabiah seperti
hendak menangis. Sambil
membelai kepala anaknya dia berkata. "Kalau begitu mulai hari ini kau tak usah


Wiro Sableng 074 Dendam Di Puncak Singgalang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pergi mencuci ke telaga. Biar
Mamak yang kesana."
"Mamak sudah tua. Tubuh Mamak tak tahan dengan air dan udara dingin. Bunga tidak
mau melihat Mamak jatuh sakit."
Kedua mata Mamak Rabiah tampak berkaca-kaca.
"Mak, tadi saya bertemu dengan seorang anak muda. Wajahnya mirip sekali dengan
Andana. Ternyata
dia bukan Andana...."
"Dimana dia sekarang?"
"Saya tak tahu lagi Mak. Waktu saya tinggalkan dia tengah bertengkar dengan
Tumenggung Rajo
Langit. Lalu sayup-sayup saya dengar jeritan Tumenggung itu...." Sampai di situ
Bunga menghentikan
kata-katanya. Gadis ini memegang kepalanya. "Sakit kepala saya datang lagi Mak.
Izinkan saya masuk ke
dalam. Saya ingin tidur...."
"Masuklah nak, masuklah..." kata Mamak Rabiah pula. Ketika gadis itu masuk ke
dalam kamarnya Mamak Rabiah terduduk di sebuah kursi. Sambil menutupi wajahnya dengan sehelai
selendang, dalam hati
perempuan tua ini berkata. "Ya Tuhan, beri saya petunjuk apa yang harus saya
lakukan. Saya kasihan pada
anak itu. Sembilan belas tahun saya mengasuhnya seperti anak sendiri. Saya tidak
tega, tak sampai hati saya
melihat penderitaannya. Hati dan jiwa ini tak sanggup lagi menahan rahasia ini.
Tapi kau tahu Tuhan, saya
harus telah berjanji dengan ibunya. Ya Tuhan, tolong saya. Tolong kami orangorang yang malang ini."
* * * sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening SEPULUH PACUAN kuda di Batusangkar kali ini jauh lebih ramai dari yang sudah-sudah. Hal
ini antara lain
disebabkan ada beberapa ekor kuda datang dari jauh untuk ikut berpacu. Di
barisan penonton sebelah depan
tampak duduk orang-orang penting dari Pagaruyung, Batusangkar, Kota Gadang dan
kota-kota besar lainnya.
Di barisan depan itu juga duduk para tokoh masyarakat setempat yang terdiri dari
pada para Datuk serta
Penghulu. Seperti biasanya di tempat-tempat seperti itu mereka yang suka berjudi
tidak mau ketinggalan.
Mereka datang bukan sekedar menonton saja tetapi juga bertaruh, terkadang dalam
jumlah yang besar.
Pekik sorak penonton terdengar gegap gempita menyambut kemenangan kuda bernama
Panah Agam yang keluar sebagai juara pertama dalam perlombaan kedua.
"Panah Agam menang! Panah Agam menang!" teriak orang banyak. Yang menang
bertaruh melompat-lompat sambil mengacung-acungkan tangannya.
Pada saat itu seorang lelaki berpakaian kuning, berdestar hitam melangkah
mendekati seorang
penonton yang duduk di barisan depan. Penonton ini berusia sekitar setengah
abad, berpakaian bagus termasuk
saluak atau destar yang ada di kepalanya dan kain songket yang terselempang di
pinggangnya. Sebentar-sebentar dia tampak menyentak-nyentakkan lehernya ke kiri atau ke
kakan. Mukanya yang cekung
serta dagunya yang persegi senantiasa membentuk air muka yang kaku dingin. Orang
ini bukan lain adalah
Datuk Gampo Alam, tokoh terkemuka yang disegani orang se-Pagaruyung. Konon dia
mempunyai hubungan
dekat dengan para pejabat tinggi dan orang-orang penting di Batusangkar serta
Pagaruyung. Orang lelaki berpakaian kuning tadi menyerahkan sebuah kantong kain pada Datuk
Gampo Alam seraya berkata. "Tak salah Datuk memegang Panah Agam. Lihat kini bagaimana dia
mendatangkan rejeki
kemenangan pada Datuk." Sang Datuk tidak menjawab. Kantong kain berisi uang itu
amblas dimasukkannya
ke balik kain songket yang melilit pinggangnya.
Dia berpaling pada pesuruhnya lelaki berpakaian kuning tadi ketika dilihatnya
orang ini masih berdiri
di sampingnya. "Palindih! Ada apa kau masih tegak di sini"! Jangan harapkan upah bagian dariku,
setan!" "Maafkan saya Datuk, mana berani saya mengharapkan upah," jawab orang bernama
Palindih. Mukanya cekung dan tubuhnya tinggi kurus. Dia memelihara kumis jarang meranggas.
"Kalau kau tidak mengharapkan sesuatu lalu mengapa tidak segera lindang dari
hadapanku"!" bentak
Datuk Gampo Alam. (lindang = minggat)
Palindih membungkuk sedikit. Mukanya didekatkan ke telinga Datuk Gampo Alam. Dia
hendak mengatakan sesuatu tetapi sang Datuk sudah menyemprot.
"Setan! Kalau bicara jangan dekat-dekat ke mukaku! Mulutmu bau jariang tahu!"
( jariang = jengkol).
Terpaksa Palindih menjauhkan mukanya. Setengah berbisik dia berkata. "Kabar
angin yang Datuk
dengar itu sudah saya selidiki. Ternyata benar."
"Kabar angin yang mana" Kentut juga angin! Bicara langsung pada pokoknya! Jangan
membuat aku marah di tempat ini!" bentak Datuk Gampo Alam. Lalu kembali lehernya disentakkan
dua kali berturut-turut.
"Dua hari lalu, Andana anak Datuk Bandaro Sati terlihat di sebuah kedai di
pesisir." sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening Sepasang mata Datuk Gampo Alam tampak membesar. Bibirnya membentuk senyum tapi
keseluruhan wajahnya tidak menunjukkan rasa senang walaupun kemudian dia berkata. "Aku
gembira! Kemenakanku itu
akhirnya ingat pulang juga. Katakan siapa yang melihat anak itu?"
"Sati, pedagang keliling itu. Dia ada di belakang sana. Kalau Datuk mau bicara
sendiri akan saya suruh
dia kemari."
Datuk Gampo Alam berdiri. "Biar aku sendiri yang akan menemuinya," kata Datuk
Gampo Alam lalu
dia melangkah mengikuti Palindih.
Orang bernama Sati rupanya memang sudah menunggu di belakang barisan penonton
pacuan kuda itu.
Dia mengenakan baju putih model gunting Cina dan mengenakan kopiah hitam. Dia
berdiri sambil mengunyah
jagung rebus. "Kau yang bernama Sati"!" tanya Datuk Gampo Alam.
Yang ditanya angguk-anggukkan kepala sambil terus mengunyah jagung rebus dalam
mulutnya. "Betul kau melihat anak Datuk Bandaro Sati di pesisir?" tanya Datuk Gampo Alam
lagi. Kembali Sati menganggukkan kepalanya. Melihat kelakukan orang ini marahlah Datuk
Gampo Alam. Dirampasnya jagung yang ada di tangan Sati lalu di bantingkannya ke tanah.
"Setan! Sopan kalau bicara padaku! Jangan sambil makan!" bentak Datuk Gampo Alam
marah sekali lalu menyentakkan lehernya ke kiri. "Jawab pertanyaanku tadi!"
Yang ditanya menyeringai lalu ulurkan tangannya. "Kalau Datuk mau keterangan,
saya minta upah
satu ringgit perak!"'
"Kurang ajar!! Berani kau memeras aku! Benar-benar setan kau!"' hardik Datuk
Gampo Alam. "Saya orang dagang Datuk. Segala urusan saya ukur dengan uang. Satu ringgit
perak tak ada artinya
bagi Datuk. Apalagi barusan Datuk menang bertaruh. Tapi keterangan yang saya
berikan nilainya jauh lebih
tinggi dari satu ringgit perak itu!"
"Mandeang! Sialan kau Sati! Setan!'' maki Datuk Gampo Alam. Lehernya
disentakkan. Dia tampak
marah sekali. Tapi tiba-tiba tampak senyum tersungging di mulutnya. Dari dalam
sakunya dikeluarkannya
uang yang diminta Sati tadi lalu langsung dimasukkannya ke kantong baju putih
Sati. "Sekarang lekas berikan
keterangan!" (Mandeang = moyangmu)
"Andana anak Datuk Bandaro Sati saya lihat dua hari lalu di sebuah kedai di
pesisir. Dari arah yang
ditempuhnya jelas dia akan datang ke Pagaralam. Gerak geriknya tidak seperti
dulu lagi. Agaknya dia kini
membekal ilmu yang lebih tinggi dari dulu."
"Dia datang seorang diri?" tanya Datuk Gampo Alam.
"Berdua. Kawannya memiliki perawakan dan wajah yang sama. Jangan-jangan pemuda
satu itu kembarannya!"
"Setan! Andana adalah anak tunggal! Ceritamu bohong!"
"Keterangan saya sudah cukup. Saya harus pergi sekarang!" kata Sati pula.
"Keteranganmu tidak senilai uang yang kuberikan. Kembalikan uang itu atau akan
kukeluarkan larangan bahwa kau tidak boleh berdagang di Pagaruyung!"
Wajah Sati jadi berubah. Jengkel dan juga takut. "Kalau Datuk tidak ikhlas
dengan uang satu ringgit
sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening ini ambillah kembali!" Ringgit perak yang ada di saku bajunya itu dikeluarkannya
lalu dibantingkannya ke
tanah. Uang itu jatuh dua langkah di depan kaki sang Datuk. Marahnya Datuk Gampo
Alam bukan kepalang.
Belum pernah dia dihina orang seperti itu. Jangankan menghina, menatap wajahnya
saja tak ada orang yang
berani. "Setan! Kau akan menyesal seumur hidup!" kata Datuk Gampo Alam sambil
mengepalkan tinjunya.
Dia berpaling pada Palindih. "Temui anak buahku. Suruh mereka menghajar Sati
sampai setengah mati! Biar
dia tahu rasa! Setan!"
Palindih cepat berlalu. Empat orang anak buah Datuk Gampo Alam ditemuinya di
sebuah kedai minuman. Di sebuah tikungan Sati yang merasa dirinya diikuti berpaling ke belakang. Ada
empat orang berseragam hitam mendekatinya dengan cepat. Dia tahu siapa keempat orang itu.
Anak buah merangkap
tukang pukul Datuk Gampo Alam. Tanpa pikir panjang lagi Sati segera melarikan
diri. Tapi percuma saja.
Empat orang berpakaian hitam itu lebih kencang larinya hingga dalam waktu dekat
Sati segera terkejar. Lalu
terjadilah penganiayaan itu. Sati terjelapak di tanah dalam keadaan tidak
sadarkan diri, mukanya babak belur.
Beberapa giginya tanggal. Mata kirinya bengkak lebam. Bibirnya pecah dan dua
tulang iganya patah kena
tendangan. * * * sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening SEBELAS SUASANA di pekuburan itu diselimuti kesunyian. Hal ini mendatangkan rasa
tenteram di hati Bunga
yang saat itu tengah duduk bersimpuh di hadapan sebuah makam. Kedua matanya
untuk beberapa lama tidak
berkesip memandangi makam itu sampai akhirnya kedua matanya tampak berkaca-kaca.
Diambilnya selendang yang tergelung di atas kepala lalu ditutupkannya ke wajahnya yang
cantik. Di antara isak
sesenggukannya terdengar ucapan gadis ini terputus-putus.
"Bunda. Bunga datang Bunda... Saat-saat seperti ini... Bunga ingin dekat dan
satu dengan Bunda.
Bunda... adakah Bunda mendengar ratap hati anakmu ini" Adakah Bunda tahu derita
sengsara Ananda, anak
yang tidak pernah melihat wajah Bunda, anak yang tidak pernah... menunjukkan
bakti pada Bunda. Anak yang
tidak tahu siapa dan dimana Ayahnya. Kalau masih hidup dimana dia gerangan,
kalau sudah mati dimana
kuburnya...."
Sampai di situ tangis si gadis mengeras. Bahunya bergetar. Selendang yang
didekapkan ke wajahnya
terlepas jatuh ke pangkuannya. Direbahkan tubuhnya ke atas makam. Salah satu
pipinya diletakkan di atas
tanah kubur. "Bunda... siapa tempat Bunga bertanya. Siapa tempat Bunga mencari tahu dimana
dan siapa Ayah.
Gunung diam membisu. Lembah sepi tak mau bercerita. Sungai berdiam diri. Angin
tak mau memberi tahu.
Kincir air mendesau tanpa petunjuk. Kicau burungpun hanya mendatangkan keraguan.
Bunda... mengapa
malang benar nasib anakmu ini..."
Bunga menyeka air mata yang berderai membasahi pipinya dengan jari-jari
tangannya yang halus.
"Bunda... kata orang Bunda berpulang ketika melahirkan Bunga. Bunda oh Bunda...
Mengapa tidak Bunda
bawa serta Bunga saat itu... Kalau saja Bunga bisa ikut bersamamu, tak akan ada
derita ini. Tak akan ada air
mata. Bunda... adakah Bunda mendengar ratap hati anakmu ini Bunda...?" Suara
tangis si gadis meninggi.
Tiba-tiba ada suara langkah kaki-kaki kuda mendatangi.
Tersirap darah Bunga. Suara isak dan rapat tangis gadis malang ini serta meria
lenyap. Dia berpaling
ke arah datangnya suara derap kaki kuda. Wajahnya yang tadi merah karena
menangis kini tampak pucat.
"Bunga," satu suara memanggil namanya. "Aneh, kau terkejut melihat saya. Mukamu
pucat. Apa saya
telah menjadi mahluk yang menakutkanmu Bunga?"
Kedua mata Bunga membesar. Rasa takut pada wajahnya lenyap, perlahan-lahan
berganti dengan
senyuman secerah mentari pagi.
"Astaga, maafkan saya Kak. Saya kira Kakak ini...."
"Kau kira saya ini siapa Bunga?" tanya Andana lalu melompat turun dari kudanya.
Ketika Bunga tak menjawab, Andana berkata. "Saya tahu, pasti yang kau maksudkan
adalah Tumenggung mata keranjang itu. Jadi dia masih mengganggumu terus rupanya.
Disusunnya fitnah untuk dapat
memenjarakanku. Sekaligus mencari peluang bisa mendekatimu..."
"Sudahlah Kak. Tak perlu kita bicarakan orang itu. Saya senang melihat Kakak


Wiro Sableng 074 Dendam Di Puncak Singgalang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali..."
"Saya juga gembira melihatmu lagi Bunga," kata Andana. Diluruskannya papan nisan
kuburan yang agak miring lalu berkata. "Kalau Kakak tidak salah, Ibumu meninggal sama lamanya
dengan usiamu. Saya
sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening lihat kau habis menangis. Apakah masih harus ditangisi juga makam tua ini
Bunga?" Bunga merunduk. "Yang saya tangisi bukan mendiang Ibu. Tapi saya menangis nasib
buruk diri ini.
Saya lahir ke dunia tanpa mengenal Ibu. Tidak mengetahui siapa Ayah saya...."
"Hidup tak boleh dijalani dengan penyesalan Bunga. Nasib diri Kakak jauh lebih
menyedihkan. Ibu
tak ada, Ayahpun baru saja berpulang..."
"Kak, maksud Kakak Ayah Kakak meninggal dunia?"
"Beliau tewas dibunuh orang!" Lalu Andana menceritakan apa yang telah terjadi
dengan Ayahnya.
Andana mengakhiri penuturannya dengan menarik nafas dalam. "Nasib peruntungan
kita boleh dikatakan
tidak berbeda..."
"Kakak, kemarin saja bertemu dengan seorang pemuda. Wajahnya mirip benar dengan
Kakak. Dia mengakui bernama Wiro. Katanya dia sahabat Kakak. Betulkah?"
Andana mengangguk. "Saya tidak tahu dimana dia sekarang..."
"Dia yang menolong saya dari kekurang ajaran Tumenggung Rajo Langit..."
Andana tampak terkejut. "Ada sesuatu yang terjadi rupanya Bunga?"
Bunga lalu menceritakan kejadian kemarin pagi sehabis dia pulang mencuci di
telaga. "Tua bangka hidung belang! Jadi manusia gaek tak tahu diri itu masih saja
mengganggumu. Saya akan
membuat perhitungan dengannya. Dendam saya terhadap fitnah yang diaturnya hingga
saya masuk penjara
masih berakar di dada ini. Dia akan menerima bagian dari saya..."
"Orang berpangkat seperti dia sebaiknya jangan dilawan Kak. Nanti Kakak
ditangkapnya lagi..."
Setelah terdiam sesaat Andana akhirnya berkata. "Saya mau menjenguk makam Ibu
sebentar. Kalau
kau mau menunggu nanti kita pulang sama-sama..."
Bunga tampak bimbang. "Kalau kita jalan berduaan lagi seperti dulu, saya
khawatir kita akan jadi
pergunjingan orang sekampung. Biar saya pulang saja lebih dulu."
Andana mengangkat bahu. "Saya mencintai kampung ini. Tapi mulut orang-orang di
sini, pergunjingan mereka terkadang melewati batas. Kalau kau ingin pulang lebih dulu
terserah. Kakak tidak bisa
memaksa..."
Andana memegang tangan Bunga, membantu gadis itu bangkit berdiri.
Pada saat itulah tiba-tiba datang enam orang penunggang kuda. Orang ke tujuh
yang rupanya menjadi
pimpinan mereka berada di sebelah depan. Dia bukan lain adalah Tumenggung Rajo
Langit, lelaki gaek yang
tergila-gila dan ingin memperistrikan Bunga.
"Ha... ha! Anak Datuk Bandaro Sati bercinta-cinta dengan seorang gadis baik-baik
di pekuburanl! Sungguh satu hal yang tidak pantas dan memalukan! Apa kau anggap sudah tak ada
lagi adat istiadat di negeri
ini"!"
Andana meskipun kaget masih bisa berlaku tenang. Sebaliknya Bunga tampak
ketakutan sekali. "Apa
yang hendak dilakukannya Kak" Pasti dia hendak menangkap Kakak..."
"Bunga! Menjauh dari pembunuh itu!" berkata Tumenggung Rajo Langit sementara
enam orang anak
buahnya yang rata-rata bertampang kasar beringas memperhatikan Bunga seperti
hendak menelanjangi gadis
ini dengan mata mereka. Ketika Bunga tidak beranjak malah sengaja merapatkan
tubuhnya kepada Andana,
sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening Tumenggung Rajo Langit jadi mendidih amarahnya. "Manusia buronan! Kau kutangkap
saat ini juga! Kau
ingin menyerahkan diri secara baik-baik atau hendak melawan. Aku sarankan agar
kau melawan saja hingga
aku punya alasan untuk menambas batang lehermu!"
"Hebat sekali!" tiba-tiba ada satu suara keras menimpali ucapan Tumenggung Rajo
Langit tadi. Rajo Langit berpaling. Begitu juga enam anak buahnya. Tak ketinggalan Andana dan
Bunga. Langsung saja Rajo Langit dan orang-orangnya jadi terperangah. Di sebelah sana
di atas sebuah tumbangan
batang pohon yang sudah mengering dan tercampak di tanah tegak seorang pemuda.
Kecuali pakaian dan ikat
kepalanya yang serba putih, wajah, warna kulit dan potongan tubuhnya mirip
sekali dengan Andana.
"Eh, kenapa jadi dua?" Kata Tumenggung Rajo Langit terheran-heran dalam hati.
"Benar rupanya
yang dikatakan Sati pedagang keliling itu. Tapi aku tahu betul anak Datuk
Bandaro Sati itu tidak punya adik
tidak punya kakak, saudara kembar. Apapun namanya! Tidak bisa tidak dia pasti
pemuda yang kemarin pagi
memukulku tak jauh dari telaga!"
"Kakak..." bisik Bunga. "Ini pemuda yang menolong saya itu..."
"Siapa kau berani mencampuri urusan orang"!" sentak Tumenggung Rajo Langit.
"Aku sahabat anak muda yang hendak kau tabas batang lehernya itu. Kalau aku
boleh meminta, tolong
tabas sekalian leherku. Ingin aku merasakan bagaimana rasanya kepala terpisah
dengan badan. Ha... ha...
ha...!" "Kakak," bisik Bunga. "Dalam keadaan seperti ini bagaimana orang itu masih bisa
bergurau seenaknya..."
Andana menahan senyumnya. "Tenang saja Bunga. Sifat pemuda Jawa ini memang
begitu. Itu yang
membuat saya suka bersahabat dengannya...."
Seorang anak buah Tumenggung Rajo Langit menyentakkan tali kekang kudanya,
melompat ke hadapan Pendekar 212 Wiro Sableng yang tegak di atas batang kayu kering.
"Bangsat! Apa tak tahu kau berhadapan dengan Tumenggung Rajo Langit"! Kau orang
asing rupanya nah"!" bentak anak buah sang Tumenggung dengan suara keras dan tampang ganas.
"Ah... ah! Aku berhadapan dengan seorang Tumenggung dan enam ekor pengawalnya
rupanya!" "Keparat busuk!" anak buah Tumenggung yang ada di hadapan Wiro mencabut
goloknya. "Biar
kubelah batok kepalamu! Ingin kulihat apa isi otakmu!"
Wiro tertawa gelak-gelak. "Kawan...." katanya pada orang di depannya itu. Lalu
enak saja dia mengarang. "Kau tahu, di kampungku Tumenggung itu artinya biji kemaluan yang
peot! Ha... ha... ha...!"
Wuuuttt! Anak buah Tumenggung Rajo Langit melompat dari kudanya seraya membacokkan golok
besarnya ke batok kepala Pendekar 212. Gerakannya boleh juga dan jika goloknya mencapai
sasaran pasti apa yang
dikatakannya yaitu membelah kepala pemuda itu benar- benar bisa terjadi.
Semua orang yang ada di tempat itu, kecuali Andana dan Tumenggung Rajo Langit
tidak melihat jelas
apa yang terjadi. Tahu-tahu tubuh si penyerang berputar di udara, di lain kejap
tubuh itu terbanting keras
tertelungkup di tanah. Tangannya masih memegang golok tapi tubuhnya tak berkutik
lagi. Ketika dagunya
menghantam tanah dengan keras, orang ini langsung pingsan dengan mata mendelik.
Hebatnya ketika
sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening menangkap lengan dan membanting orang itu ke tanah Pendekar 212 sedikit pun
tidak beranjak dari atas
batang pohon kering yang diinjaknya.
"Kurang ajar! Anak-anak! Lekas tangkap bangsat itu!" teriak Tumenggung Rajo
Langit memerintah.
Lima anak buahnya serta meria melompat turun dari kuda masing-masing. "Jangan
ragu-ragu mencincang
tubuhnya!" teriak sang Tumenggung lagi. Mendengar ucapan itu lima orang melompat
dari punggung kuda
masing-masing, begitu menjejakkan kaki di tanah langsung menghunus senjata. Dua
mencekal parang
berkeluk, tiga membekal golok berkilat.
Melihat hal ini Andana cepat bergerak. Tapi, sambil turun dari atas batang kayu
tempatnya berdiri,
Pendekar 212 mengangkat tangan seraya berkata. "Sahabat, kalau aku perlu
bantuanmu nanti aku bilang! Lagi
pula kau harus melindungi gadis itu. Aku lihat ada kucing dapur berhidung belang
tapi bisa naik kuda dan
berpakaian bagus di sini!" Mau tak mau Andana terpaksa tak beranjak dari
tempatnya. "Sahabat aneh! Dalam
keadaan seperti ini dia masih juga sempat melawak!" Kata Andana dalam hati.
Saat itu lima anak buah Tumenggung Rajo Langit sudah menyerbu ke arah Wiro.
Dengan tenang murid Sinto Gendeng dari gunung Gede ini menyorongkan kaki kanannya ke bawah
lekukan batang pohon
kering. Begitu lima lawan melompat ke arahnya, dengan cepat Pendekar 212 angkat
kakinya. Batang pohon
kering yang besar itu melesat ke depan. Lima anak buah Tumenggung Rajo Langit
berseru kaget. Hanya dua
yang mampu menyelamatkan diri. Tiga kawan mereka menggeletak roboh begitu batang
kayu menghantam
kepala mereka dengan keras.
Amarah Tumenggung Rajo Langit bukan alang kepalang. Apalagi kemarin diapun sudah
lebih dulu kena dihajar oleh Wiro. Namun otaknya masih bisa bekerja menyadari bahwa dengan
ilmunya yang begitu
tinggi, pemuda berambut gondrong itu bukan lawan mudah untuk dihadapi. Apalagi
saat itu Andana belum
ikut turun tangan. Memikir sampai di situ Tumenggung Rajo Langit tarik tali
kekang kudanya. Matanya
memandang garang ke arah Andana. "Aku memberi kesempatan tiga hari padamu. Jika
kau tidak datang ke
Pagaruyung untuk menyerahkan diri, aku akan membawa pasukan dari Batusangkar
untuk menangkapmu!"
"Tua bangka buruk!" balas Andana. "Jika kau berani lagi muncul di Pagaralam ini,
apalagi berani mengganggu gadis ini, aku bersumpah untuk membunuhmu!"
"Ah!" Tumenggung Rajo langit menggoyang-goyangkan tangan kanannya. "Soal gadis
itu jangan kau jadikan satu dengan urusan dirimu yang pelarian penjara! Kau dengar baik-baik
ucapanku ini anak muda
pembunuh! Bunga tak akan pernah kau miliki.... Aku sudah ditakdirkan untuk
mendapatkannya,
menjadikannya sebagai istriku! Ha... ha... ha...!"
"Siapa sudi jadi istrimu! Tua bangka tak tahu diuntung!" teriak Bunga.
Sang Tumenggung terus mengumbar tawa dan kembali dia goyang-goyangkan tangan
kanannya. "Kau belum tahu siapa Tumenggung Rajo Langit. Aku memang sudah gaek. Tapi sekali
kau tidur denganku,
seumur hidup kau akan menjadi hamba sahaya minta kulayani siang malam!"
"Manusia mesum bermulut kotori" teriak Andana. Sekali lompat saja dia berhasil
menarik pinggang
pakaian Tumenggung itu lalu membetotnya kuat-kuat. Kuda sang Tumenggung
meringkik keras. Tumenggung
itu sendiri jatuh berdebam ke tanah. Begitu dia mencoba bangkit Andana siap
melayangkan jotosan keras ke
mukanya. Tapi tiba-tiba sekali lelaki tua itu menyorokan sebilah pisau berkeluk
ke perut si pemuda. Bunga
sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening berteriak. Andana masih sempat melihat serangan itu. Kaki kirinya bergerak.
Sekali tendang saja pisau
berbentuk aneh itu mencelat mental dan menancap di batang pohon Kemboja.
Tumenggung Rajo Langit berteriak kesakitan sambil pegangi lengan kanannya yang
serasa hancur kena tendangan. Lelaki tua ini cepat berdiri ketika dilihatnya Andana
mendatangi, siap menghajarnya kembali.
Tanpa pikir panjang lagi dia segera ambil langkah seribu. Dua orang anak buahnya
segera pula menghambur
lari, meninggalkan empat kawan mereka yang pingsan berkaparan.
Wiro melangkah ke arah pohon Kemboja. Batang pohon yang ditancapi pisau berkeluk
milik Tumenggung Rajo Langit tadi tampak menghitam. Warna hitam ini dalam waktu
singkat menjalar ke seluruh
cabang dan ranting. Daun-daun pohon yang tadinya hijau juga tampak menghitam.
Lalu bunga-bunga
Kemboja yang kuning putih itu kelihatan layu berubah warna menjadi kelabu.
"Racun jahat luar biasa! Tak pernah aku melihat racun senjata sedahsyat ini!"
kata Pendekar 212 lalu
dicabutnya pisau berkeluk dari batang pohon dan diperlihatkannya pada Andana
yang saat itu melangkah
bersama Bunga ke arahnya.
Andana memperhatikan senjata itu sejenak lalu berkata. "Aku menaruh syak
sasangka. Jangan-jangan
Tumenggung keparat itu yang telah membunuh Ayahku!"
"Bisa jadi. Cuma saja kita harus mendapatkan bukti-bukti. Hati-hati terhadapnya
sahabat. Ancamannya akan mendatangkan pasukan dari Batusangkar tadi kurasa tidak mainmain... Kudengar di sana
ada senjata panjang yang bisa meletus. Aku tak tahu namanya..."
"Senapan..." kata Andana.
"Bedil!" ucap Bunga.
Pendekar 212 tersenyum. "Kalian berdua seperti pinang dibelah dua. Yang seorang
kuntum Bunga indah dan harum di seluruh negeri. Yang satunya Harimau Singgalang..."
"Harimau Singgalang..." Kak, dari mana kau dapat julukan itu?" tanya Bunga
seraya berpaling pada
Andana. "Aku sendiri tidak tahu. Itu pasti bisa-bisanya saja mengarang!" jawab Andana.
Sewaktu dua remaja itu memandang ke samping, Pendekar 212 tak ada lagi di tempat
itu. Dia sudah berada jauh di depan sana. Melangkah cepat sambil sekali-sekali menoleh ke
belakang dan melambai-lambaikan tangannya.
* * *

Wiro Sableng 074 Dendam Di Puncak Singgalang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening DUA BELAS HARI memasuki senja kita Andana sampai di depan rumah kayu yang terletak di
kawasan kebun yang
tak begitu terpelihara. Dari celah-celah dinding papan menyeruak cahaya lampu
minyak tanda penghuninya
ada di dalam. Kesunyian yang hanya dibisingi suara jengkerik membuat Andana
merasa kurang enak. Setiap
gerakan yang dilakukannya penuh kewaspadaan. Di satu tempat pemuda ini turun
dari kudanya. Dia
melangkah cepat namun hati-hati menuju bagian depan rumah kayu. Tak lama
kemudian dia mulai mengetuk.
Pada ketukan ke empat terdengar suara orang bertanya dari dalam. Suara
perempuan. "Siapa di luar?"
"Seorang sahabat ingin bertemu dengan Udin Burik," jawab Andana.
Diam sesaat. Lalu terdengar suara perempuan tadi bertanya. "Tamu baik-baik tentu
mempunyai nama.
Harap memberitahu."
"Nama saya, Andana. Katakan pada Udin Burik agar keluar menemui saya."
Tak ada jawaban dari dalam. Malah tiba-tiba lampu minyak di dalam rumah
Darah Perawan Suci 1 Pendekar Mabuk 080 Pusaka Jarum Surga Misteri Serigala Berkaki Tiga 2

Cari Blog Ini