Ceritasilat Novel Online

Dendam Puncak Singgalang 3

Wiro Sableng 074 Dendam Di Puncak Singgalang Bagian 3


dipadamkan orang. Tak
lama kemudian terdengar langkah-langkah kaki di lantai papan. Telinga tajam
Andana tahu betul ada dua
orang yang melangkah di dalam rumah. Yang pertama bergerak ke arah belakang
sedang yang kedua menuju
pintu depan. Benar saja, tak lama kemudian pintu depan terbuka. Seorang
perempuan gemuk yang mukanya
berbedak tebal, alis dan gincu bercelemotan muncul di ambang pintu.
"Ya...?"
"Saya sahabat Udin Burik. Saya ingin bertemu dengannya. Dia tentu ada di dalam."
"Saya istrinya. Suami saya sedang ke Batusangkar. Mungkin Besok baru pulang."
Andana tahu kalau si gemuk yang mengaku istri Udin Burik ini berdusta padanya.
Dusta bahwa lelaki
itu tidak ada di rumah dan mungkin juga dusta dia adalah istrinya.
"Maaf, saya tidak percaya pada Uni. Boleh saya masuk memeriksa?" (Uni = sebutan
untuk perempuan
yang lebih tua).
"Saya seorang perempuan. Seorang diri di rumah ini. Hari malam pula. Tamu tak
saya kenal ingin
masuk. Tahu diri dan tahu adatlah sedikit..." kata perempuan gemuk itu. Tapi
anehnya dia berkata begitu
sambil tersenyum dan mengedipkan mata kirinya.
"Maafkan saya. Kalau begitu biar besok siang saja saya kembali ke sini..."
"Tunggu," kata si gemuk setengah berbisik. "Hari sudah malam. Uda ini tentu
datang dari jauh. Kalau
suka masuklah sebentar. Biar saya buatkan kopi manis..." Habis berkata begitu
perempuan itu memandang ke
kiri dan ke kanan. "Tak ada orang. Jadi tak ada yang melihat kita. Asal Uda
tidak lama-lama bereslah...."
katanya sambil tersenyum dan lagi-lagi mengedipkan matanya. (Uda = panggilan
terhadap lelaki yang lebih
tua). "Terima kasih. Saya masih ada keperluan lain," jawab Andana lalu memutar tubuh
dengan cepat. Perempuan gemuk di ambang pintu nampak kecewa. Ditutupkannya pintu dengan kesal.
Di dalam gelap Andana bergerak cepat menuju bagian belakang rumah. Disini dia
mengendap di balik
serumpun belukar.
Dia tidak menunggu lama. Dari balik sebuah sumur keluar satu sosok tubuh,
melangkah cepat menuju
sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening pintu belakang rumah. Orang ini bukan lain adalah Udin Burik. Lelaki bermuka
bopeng yang beberapa tahun
lalu memberi kesaksian di hadapan Tumenggung Rajo Langit bahwa dia melihat
Andana membunuh Sarkam,
seorang pemuda sekampung di Pagaralam setelah terjadi satu perkelahian. Tentu
saja Udin Burik tergagau
kaget ketika Andana tiba-tiba muncul menghadang di depannya. Wajahnya yang
bopeng berubah sepucat
kertas. "An... Andana..."
Andana cepat mencekal leher pakaian Udin Burik. "Perempuan gemuk di dalam rumah
mengatakan kau pergi ke Batusangkar. Baru besok pulang. Rupanya kau kembali lebih cepat!"
Andana mendorong Udin
Burik hingga tersandar ke dinding belakang rumah.
"A... apa maumu Andana?"
"Ingat tiga tahun lalu waktu kau muncul di hadapan pengadilan nagari di
Pagaruyung. Di hadapan
Tumenggung Rajo Langit kau memberi kesaksian bahwa kau menyaksikan aku membunuh
Sarkam, pemuda yang menurutmu sudah sejak lama punya silang sengketa dengan diriku!"
"Dengar.... aku.... aku..."
"Siapa yang menyuruhmu memberikan kesaksian palsu" Siapa yang membayarmu"!
Tumenggung Rajo Langit sendiri"!"
"Aku... aku memang melihatmu membunuh...."
Plaakk! Andana tampar muka Udin Burik sekeras-kerasnya hingga sudut bibir orang ini
pecah dan mengucurkan darah. "Jangan kira aku tidak tega meremukkan kepalamu, bopeng!
Bicara yang benar!" sentak
Andana seraya menjambak rambut Udin Burik dengan tangan kirinya kuat-kuat.
Tangan kanannya dikepalkan
lalu dihantamkan ke dinding kayu di samping kepala Udin Burik.
Braaakk! Dinding yang.terbuat dari kayu keras itu hancur berantakan. Di dalam rumah
terdengar pekik
perempuan gemuk sedang Udin Burik sendiri menggigil sekujur tubuhnya. Kedua
matanya terbuka lebar tanda
dia dilanda rasa takut yang amat sangat.
Andana meletakkan tinju kanannya di depan hidung lelaki bermuka bopeng itu. "Mau
bicara atau kuhancurkan kepalamu saat ini juga!" Mengancam Andana.
Udin Burik putus nyalinya. "Jangan....Jangan pukul ambo. Saya akan bicara. Saya
disuruh orang. Saya
dipaksa. Kalau tidak mau saya...." (ambo = saya)
"Katakan siapa orangnya!" bentak Andana.
"Di... dia..."
Andana mendengar daun bergemerisik di belakangnya, menyusul ada suara berdesing.
Secepat kilat pemuda ini merunduk sambil membuang diri ke kiri. Saat itu terdengar Udin Burik
mengeluarkan suara seperti
orang tercekik. Ketika Andana memandang ke depan dilihatnya sebilah pisau
menancap dalam di leher Udin
Burik. Gagang senjata ini berukir tengkorak manusia. Kedua mata Udin Burik
terbeliak besar. Dia mengerang
pendek lalu tubuhnya melosoh jatuh. Terduduk sebentar akhirnya terguling roboh
tanpa nyawa lagi.
Ketika mendengar suara semak belukar bergemerisik di belakangnya, serta merta
Andana berbalik dan
lepaskan pukulan "inti api". Sinar merah menderu menebar hawa panas. Lidah api
menggebubu. Semak
sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening belukar di depan sana hancur berantakan berubah bentuk menjadi puntunganpuntungan kayu yang terbakar.
Lapat-lapat terdengar suara orang mengeluh kesakitan. Andana cepat mengejar.
Tapi terlambat. Di kejauhan
terdengar suara derap kaki kuda dipacu meninggalkan tempat itu.
"Hemmm... siapapun orang yang kabur itu, pukulanku pasti sempat menciderai
dirinya." Kata Andana
dalam hati. Pemuda ini membalik cepat ketika dari arah rumah didengarnya suara
jeritan perempuan. Pemuda
ini bergegas ke tempat Udin Burik tadi terkapar. Di situ dilihatnya perempuan
gemuk itu duduk terhantar dekat
sosok mayat Udin Burik. Begitu melihat Andana langsung saja dia berteriak.
"Pembunuh! Pembunuh!"
"Bukan saya yang membunuh Uni," kata Andana. Dengan cepat dicabutnya pisau yang
menancap di leher Udin Burik.
Darah menyembur. Perempuan gemuk itu kembali menjerit keras lalu roboh pingsan.
Andana sendiri cepat-cepat kembali ke tempat dia meninggalkan kudanya.
* * * sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening TIGA BELAS DATUK Gampo Alam duduk di anjungan rumah gadang menikmati kopi dan juadah
ditemani oleh dua dari empat orang istrinya. Ketika dia hendak meneguk kopinya kembali,
telinganya mendengar suara di
kejauhan. Sang Datuk memang memiliki ilmu kepandaian tinggi hingga tidak seperti
orang biasa dia sanggup
mendengar suara yang datang dari tempat jauh.
"Pasti dia. Tamu yang ditunggu sudah datang!" kata Datuk Gampo Alam dengan
senyum dikulum sambil mengusap-usap dagunya. "Kemenakanmu, putra Datuk Bandaro Sati sebentar
lagi akan menginjakkan
kakinya di rumah gadang ini!" Sang Datuk geleng-gelengkan kepalanya. Dia
berpaling pada kedua istrinya.
"Kalian berdua masuklah. Suruh si Atun menyiapkan minuman dan juadah tambahan
untuk keponakanku
Andana." Zubaidah, istri tertua Datuk Gampo Alam dan Rukiah istri keempat yang paling
muda sama-sama berdiri. Di ruang dalam dua istri yang saling akur di antara empat istri Datuk
Gampo Alam bicara
perlahan-lahan.
"Saya banyak mendengar cerita tentang kemenakan Datuk yang.bernama Andana itu."
kata Rukiah sang istri paling muda.
"Tapi saya belum pernah melihat orangnya. Kata orang dia masih muda, gagah dan
kekar potongan tubuhnya. Biar saya mengintai sejenak."
"Kalau sampai Datuk tahu perbuatanmu, mati kau dilecutnya!" kata Zubaidah pula.
Datuk Gampo Alam bangkit dari duduknya. Dia melangkah ke ruangan tengah dan
tegak di belakang
jendela. Seekor kuda besar memasuki halaman rumah gadang dan berhenti di bawah
tangga. Penunggangnya
seorang pemuda berikat kepala kain merah, berbaju merah dan celana hitam.
"Tuhan Maha Besar. Sampai juga akhirnya anak ini dengan selamat ke sini!" kata
sang Datuk, lalu
bergegas menuruni tangga rumah gadang. Di depan tangga paman dan kemenakan ini
saling berpandangan
sejenak lalu sama-sama berangkulan erat.
"Kedatanganmu memang sangat Mamak harapkan. Banyak hal yang perlu kita
bicarakan. Paman lihat
kau sudah jauh lebih dewasa.... Tambah gagah! Pasti banyak gadis yang akan jatuh
hati padamu!" Datuk
Gampo Alam tertawa bergelak. "Kemana saja kau menghilang selama ini, Andana?"
"Nasib membuat saya terdampar di negeri Asahan," jawab Andana.
"Negeri Asahan! Ah, itu negeri indah bertanah subur. Tunggu! Kalau kau tidak
salah di situ ada
seorang saleh berkepandaian tinggi bernama Datuk Alis Merah."
"Betul Paman. Saya beruntung diambil jadi muridnya," jawab Andana polos.
Sepasang mata Datuk Gampo Alam membesar. Kalau benar dia telah berguru dengan
orang sakti itu
"Pasti dia sudah menguasai ilmu pukulan Inti api yang hebat itu," membatin Datuk
Gampo Alam. Lalu dia
menepuk-nepuk bahu Andana dan mengajak kemenakannya ini naik ke atas rumah
gadang. Di atas rumah gadang mamak dan kemenakan ini duduk berhadap-hadapan. Datuk Gampo
Alam berteriak memanggil pembantu. "Atun! Tamu sudah datang! Mana minuman"!"
Kening Datuk Gampo Alam berkerut ketika yang keluar membawa baki berisi kopi dan
juadah sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening bukannya Atun perawan tua pembantu di rumah gadang, melainkan Rukiah, istrinya
paling muda dan paling
cantik. "Mana si Atun?" sentak Datuk Gampo Alam.
Rukiah meletakkan baki di lantai. Sekilas dia mengerling pada Andana baru
menjawab pertanyaan
suaminya. "Atun sedang ke air Datuk...."
Datuk Gampo Alam menyentakkan lehernya dua kali. "Seharusnya Zubaidah yang
membawakan kopi
dan juadah ini. Mengapa harus kau" Mana perempuan itu"!" Nada suara sang Datuk
jelas menunjukkan rasa
cemburu. "Saya atau kak Zubaidah sama saja Datuk. Saya hanya tak mau membuat tamu kita
ini menunggu terlalu lama. Nanti Datuk marah pula pada saya."
"Ah... kau memang pandai bicara!" kata Datuk Gampo Alam. "Lekas masuk ke dalam!"
Sang Datuk mempersilahkan kemenakannya mencicipi hidangan. Setelah Andana
meneguk kopinya
sang Datuk berkata. "Tadi itu Rukiah. Istriku paling muda. Jadi ibumu juga...."
Dalam hati Andana berkata. "Bagaimana aku akan memanggil Ibu padanya, Usianya
saja pasti beberapa tahun lebih muda dariku!"
"Mamak mendengar kalau kau sudah berada di Pagaralam ini kemarin. Lalu dimana
saja kau menginap malam tadi, Andana?" bertanya Datuk Gampo Alam.
"Mamak betul. Saya memang datang kemarin. Maafkan kalau saya tidak segera
menemui Paman. Saya bermalam di surau...."
"Di surau?" ujar Datuk Gampo Alam, lalu dia tertawa panjang. "Andana, rumah
gadang ini adalah
rumah warisan nenek moyang kita, warisan Ayahmu, jadi rumahmu juga. Selayaknya
kau menginap di rumah
ini. Bukankah di sini kau dilahirkan dan dibesarkan...." Aku hanya menjadi
penghuni sementara atas
persetujuan Ayahmu karena sejak Ibumu meninggal dia lebih suka mengelana ke
berbagai negeri."
Andana tak menjawab. Pemuda ini menundukkan kepala.
"Ada apa Andana?" tanya Datuk Gampo Alam.
"Ayah sudah tak ada lagi Paman...."
Dua bola mata Datuk Gampo Alam membesar. Dia tampak sangat terkejut mendengar
kata-kata kemenakannya itu. Manusia satu ini sungguh pintar berpura-pura. "Apa katamu
Andana?" "Ayah saya Datuk Bandaro Sati mati dibunuh orang secara gelap. Dalam keadaan
sekarat tubuhnya
ditemukan seseorang di tepi Ngarai Sianok." Andana lalu menceritakan apa yang
telah terjadi dengan diri
Ayahnya. "Pembunuh jahanam! Setan!" Datuk Gampo Alam menyentakkan lehernya dua kali.
"Siapa yang
nekad membunuh kakakku begitu keji"! Setahuku ayahmu tak pernah punya musuh!"
"Saya curiga pada Tumenggung Rajo Langit...."Hati-hati kalau bicara Andana. Apa alasanmu curiga pada Tumenggung itu....?"
"Saya tahu, dia yang mengatur rencana memfitnah saya hingga dijebloskan dalam
penjara. Saya tak
tahu apa yang ditujunya..."
"Kalau kau bisa mendapatkan bukti-bukti perbuatan busuknya, aku akan membantumu
membuat sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening

Wiro Sableng 074 Dendam Di Puncak Singgalang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perhitungan dengan Tumenggung itu. Tapi ingat kita harus hati-hati. Tumenggung
Rajo Langit bukan orang
berilmu, tapi dia punya kekuasaan dan sanggup menghimpun kekuatan besar untuk
mencelakaimu. Sekali lagi
kau sampai tertangkap olehnya tak bakal ampun Andana. Ingat itu baik-baik..."
"Terima kasih Mamak," kata Andana pula.
Datuk Gampo Alam mengangguk. "Ayahmu seperti orang yang sudah punya firasat,
Kali terakhir dia
bertemu dengan Paman, dia menyerahkan sebuah Surat Wasiat..."
"Surat Wasiat?" ulang Andana. "Surat Wasiat apa Paman?"
"Sudah, nanti saja kita bicarakan hal itu. Kau tahu, aku sudah menyuruh orang di
belakang untuk memotong lima ekor ayam sekaligus. Kita makan besar siang ini. Selain itu kamar
tidurmu juga sudah
disiapkan. Lantainya diberi permadani dari Turki. Tempat tidurnya besar. Bantal
dan gulingnya empuk.
Tilamnya ditaburi bunga melati hingga kamar tidur itu selalu harum siang dan
malam. Ayo, aku ingin
perlihatkan kamar tidur itu padamu...."
Sebenarnya Andana segan mengikuti Pamannya itu. Tapi sang Paman seperti memaksa.
Akhirnya pemuda ini berdiri juga dan melangkah mengikuti Datuk Gampo Alam menuju sebuah
kamar di ujung kiri
yang pintunya tertutup. Perlahan-lahan Datuk Gampo Alam mendorong daun pintu.
Kamar di balik pintu itu
tampak agak gelap karena tak satu jendelapun yang terbuka. Datuk Gampo Alam
melangkah masuk sambil
memberi isyarat pada Andana agar mengikutinya.
Andana memandang sekeliling kamar. Semua serba bersih. Ini dulu memang kamar
tidurnya. Namun
sekarang keadaannya jauh berbeda. Di lantai ada permadani tebal.
"Ini kamarmu. Kau harus tidur di sini malam ini," kata Datuk Gampo Alam.
"Saya sudah dewasa Paman. Tidak pantas lagi tidur di rumah gadang. Biar saja
saya tidur di surau."
Datuk Gampo Alam tertawa lebar. "Adat kita orang Minang memang harus dijunjung.
Tapi kalau hanya untuk semalam dua apa salahnya" Itu tandanya kau cinta pada rumah gadang
tempat kau dilahirkan dan
dibesarkan."
Andana tak menjawab.
"Agak gelap kamar ini. Andana, tolong kau bukakan jendela-jendela di samping
kanan itu. Agar udara
segar bisa masuk dan cahaya matahari dapat menerangi...."
Andana melangkah ke deretan jendela di samping kanan kamar. Ada tiga buah
jendela besar di situ.
Dua langkah lagi akan sampai di jendela Andana merasakan ada getaran aneh pada
lantai di bawah permadani
yang dipijaknya. Meskipun hatinya mendadak tidak enak namun pemuda ini
meneruskan langkahnya juga. Dia
membuka jendela sebelah tengah. Begitu daun jendela terbuka tiba-tiba ada suara
seperti benda ditarik.
Menyusul suara berdesing dari arah belakang.
"Andana! Awas pisau terbang!" teriak Datuk Gampo Alam.
Tanpa diberi ingatpun Andana sudah mengetahui adanya bahaya mengancam. Secepat
kilat dia melompati jendela dan terjun ke halaman bawah pada ketinggian hampir dua tombak.
Sebilah pisau yang panjangnya sekitar dua jengkal menancap di kayu sanding
jendela. Untuk beberapa
saat lamanya dari bawah sana Andana memperhatikan gagang pisau yang bergetar.
Wajah pemuda ini tampak
berubah tegang. Otaknya bekerja. Pisau terbang itu melesat sesaat setelah dia
menginjak bagian lantai dekat
sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening jendela kamar. "Ada orang memasang peralatan rahasia hendak membunuhku." Kata Andana dalam
hati. "Tapi
siapa" Pamanku sendiri?"
Datuk Gampo Alam bergegas menuruni tangga. "Kau tak apa-apa Andana?"
"Saya tak kurang suatu apa Paman. Ada orang hendak membunuh saya secara
pengecut... Saya yakin
jika saya memeriksa lantai di bawah sana, saya akan menemukan peralatan itu."
Wajah Datuk Gampo Alam tampak mengelam. "Ada musuh gelap di rumah gadang ini!
Kemenakanku sendiri hendak dibunuh bulat-bulat di hadapanku! Setan! Datuk Gampo Alam
menyentakkan lehernya sampai
empat kali. Lalu dia melangkah cepat ke kolong rumah gadang. Tepat di lantai
kamar dia memeriksa. "Kurang
ajar! Memang ada peralatan jahanam disusupkan orang di sini!" teriak sang Datuk
marah. Lalu tangannya
merenggutkan beberapa potong kayu dan tali serta kawat. Kemarilah! Kau lihat
sendiri benda-benda keparat
ini!" teriak Datuk Gampo Alam. Tapi sang kemenakan sudah melompat ke atas
kudanya. Datuk Gampo Alam
cepat mengejar.
"Andana aku bersumpah akan mencari siapa yang memasang peralatan rahasia ini!
Aku akan bersihkan seluruh rumah gadang ini! Dengar Andana, kalau malam ini kau tak mau
menginap di sini, tapi hari
rabu tiga hari lagi kau harus bermalam di sini. Esok paginya hari kamis aku
sudah merencanakan untuk
melakukan pesta besar menyambut kedatanganmu....''
"Apa perlu hal itu diadakan Mamak?" tanya Andana.
"Perlu! Perlu sekali. Pertama karena aku bahagia kau kembali ke Pagaralam ini.
Kedua aku ingin
menunjukkan pada Tumenggung di Pagaruyung bahwa kau adalah kemenakanku. Tidak
satu orangpun yang
layak mengganggumu, termasuk dia!"
Andana tak berkata apa-apa. Disentakkannya tali kekang kudanya hendak
meninggalkan tempat itu.
"Tunggu dulu Andana," kata Datuk Gampo Alam sambil memegang tali kekang kuda.
"Ada satu hal
yang hendak aku tanyakan. Setahuku Ayahmu memiliki sebilah keris sakti bertuah.
Tuanku Ameh Nan
Sabatang. Sewaktu mayatnya dibawa pemuda yang sekarang menjadi sahabatmu itu,
apakah senjata itu ada
pada sosok Ayahmu?"
Andana menggeleng. "Keris itu lenyap."
"Pasti pemuda Jawa itu yang mengambilnya!"
"Tidak, saya dan Uning Ramalah telah menyelidiki.
Keris itu tak ada pada sahabat saya Wiro..." kata Andana pula tanpa menceritakan
bahwa senjata tersebut sekarang berada padanya, muncul secara aneh di tempat gurunya di
Asahan. "Kakakku Uning Ramalah, apakah dia ada memesankan sesuatu padamu?" tanya Datuk
Gampo Alam lagi. "Misalnya mengenai urusan rumah gadang ini?"
"Tidak ada pesan apa-apa. Seingat saya dia sudah tidak mau mencampuri urusan
dunia lagi. Termasuk
rumah gadang ini walau sebagai anak perempuan dia mempunyai hak yang
terbesar...."
Datuk Gampo Alam usap-usap dagunya. Dia tidak berusaha menahan lagi ketika
Andana bergerak
meninggalkan tempat itu. Sesaat setelah Andana pergi Datuk Gampo Alam
menyentakkan lehernya. Kaki
kanannya dibantingkan ke tanah. Tinjunya dikepalkan.
sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening "Jahanam! Mengapa bisa gagal! Setan betul! Tapi tunggu saja. Masih ada seribu
cara untuk menyingkirkan anak itu!"
* * * sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening EMPAT BELAS PINTU depan terdengar diketuk orang. Mamak Rabiah dan Bunga sesaat saling
berpandangan. "Siapa?" bertanya Mamak Rabiah. "Ambo Etek Rabiah," terdengar jawaban orang
laki-laki. (Etek = panggilan
untuk perempuan yang jauh lebih tua).
"Ambo siapa?" "Ambo Palindih!
Bunga memandang pada Mak Rabiah. "Pembantu Datuk Gampo Alam," kata Mak Rabiah.
"Perlu apa
dia datang kemari?" Perempuan ini melangkah ke pintu dan membukanya. Di ambang
pintu orang bernama
Palindih membuka destar hitamnya lalu membungkuk memberi hormat.
"Sudah lama kau tidak kelihatan Palindih. Sudah jadi orang besar awak sekarang
ya" Masuklah...."
Palindih masuk ke dalam seraya melirik pada Bunga. "Mujur sekali saya hari ini.
Kalian berdua ada di
rumah...."
"Ceritakan maksud kujunganmu ini Palindih," kata Mamak Rabiah.
"Kalau pembantu Datuk Gampo Alam datang pasti ado barito gadang yang membawa
keberuntungan!" Palindih tertawa mengekeh.
"Keberuntungan bagimu belum tentu keberuntungan bagi kami," kata Mamak Rabiah
pula. "Lagi
siapa orangnya di Pagaralam ini yang tidak tahu kalau Datuk itu sangat
kikirnya!"
"Ah, jangan begitu. Datuk memang kikir pada orang-orang yang malas. Tidak pada
orang-orang seperti kita ini." Palindih melirik pada Bunga. Setelah membasahi bibirnya dia
melanjutkan kata-katanya.
"Begini Etek Rabiah. Etek dan Bunga tentu sudah mendengar kabar bahwa Andana,
kemenakan kontan Datuk
Gampo Alam telah pulang dari rantau. Kegembiraan Datuk bukan alang-kepalang. Dia
berniat menyelenggarakan pesta besar untuk menyambut kepulangan si anak hilang itu. Saya
dipercayai untuk
mengatur dan menyusun acara. Lima kambing dan seekor sapi rebah. Belum terhitung
ayam dan itik....
Beberapa juru masak terkenal sengaja didatangkan dari Batusangkar."
"Wah, tentu besar sekali pukulanmu sekali ini Palindih," kata Mamak Rabiah
sementara Bunga tetap
berdiam diri. "Urusan macam begini memang Palindih ahlinya," kata Palindih sambil tertawa
lebar. "Kita tak boleh
mengecewakan Datuk. Di samping itu saya rasa sudah lama Pagaralam tidak
disemarak oleh keramaian.
Karenanya sengaja saya merencanakan pertunjukan yang bagus-bagus. Tari piring di
atas kaca. Debus. Lalu
yang paling meriah tentunya Tari Gelombang tari persembahan. Nah, untuk Tari
Gelombang itu siapa lagi
pembawa sirihnya yang dapat dan pantas ditampilkan kalau bukan anak Mamak yang
cantik jelita ini..."
"Mengapa musti saya?" tanya Bunga untuk pertama kalinya bersuara.
Palindih tertawa. "Katakanlah, apa ada gadis lain yang lebih cantik dari anak
Mamak ini di Pagaralam" Pagaruyung bahkan Batusangkar sekalipun putus tembus oleh
kecantikannya!"
"Palindih, apakah Datuk Gampo Alam sendiri yang menyuruh kau memilih Bunga?"
"Ketahuilah Etek Rabiah. Sudah sejak lama Datuk tidak banyak tahu tentang
keadaan negeri ini. Apa
lagi sejak dia menikahi Rukiah, istri ke empatnya yang patut jadi anak bahkan
cucunya. Tapi kecantikan
Rukiah tidak dapat dibandingkan dengan kecantikan Adik saya ini. Bukan Mak,
bukan Datuk yang memilih
sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening Bunga, tapi saya Palindih yang cerdik ini yang tahu dan pandai memilih!"
Mamak Rabiah dan Bunga untuk beberapa saat lamanya saling pandang tak berkata
apa-apa. "Hai! Palindih tak punya waktu lama. Orang penting seperti saya ini banyak
urusannya! Bagaimana
jawaban Mamak Rabiah?"
"Lagakmu Palindih, hebat sekali. Kau tanyakan sendirilah pada anak ini."
Palindih berpaling pada Bunga. Gadis itu justru menunduk. Namun sesaat kemudian
terdengar dia berkata. "Terserah pada Mamak Rabiah. Baik kata Mamak baik pula bagi saya."
Mamak Rabiah menatap paras Bunga sesaat. Dia melihat bayangan keinginan pada
wajah gadis itu
untuk memenuhi permintaan Datuk Gampo Alam. Namun sekilas perempuan ini juga
melihat adanya rasa
kekhawatiran. Mamak Rabiah merenung sejenak. Kemudian dia berpaling pada
Palindih. "Baiklah. Kami
menerima permintaan itu."
Palindih berseru gembira dan melompat-lompat.
"Palindih! Jangan melompat-lompat. Lantai rumahku sudah lapuk. Bisa roboh rumah
ini nanti!"
"Saya gembira Etek. Benar-benar gembira...."
"Tapi ada satu hal yang harus kau ketahui Palindih..."
"Eh, apa itu Etek" Soal hadiah" Jangan khawatir!"
"Bukan. Bukan soal itu. Kami tidak mengharap hadiah apa lagi meminta bayaran.
Kami hanya ingin
kau tahu bahwa kami menerima permintaan itu bukan memandang muka Datuk Gampo
Alam, apalagi mukamu yang buruk ini!"
Palindih mengusap-usap mukanya yang memang beruntusan lalu tertawa perlahan.
"Lalu apa alasan
Etek dan bunga menerimanya" Saya jadi binggung.."
"Semata-mata karena memandang pemuda bernasib malang bernama Andana itu. Yang
menurut seorang sahabatnya mempunyai julukan Harimau Singgalang."
"Harimau Singgalang" Baru sekali ini saya dengar hal itu. Tapi sudahlah... Yang
penting saya sudah
tahu anak Mamak mau jadi pembawa sirih dalam Tari Gelombang nanti. Saya minta
diri sekarang..." Dengan
sikap lucu Palindih membungkuk di hadapan kedua perempuan itu. Lalu dia
melangkah mundur. Sampai di
pintu langsung melompat. Tapi kakinya terpeleset. Akibatnya dia jatuh terduduk
dan terbanting punggung di
tanah yang agak becek. Bunga dan Mamak Rabiah tertawa gelak-gelak. Setengah
merintih Palindih mencoba
bangkit dan melangkah pergi terbungkuk-bungkuk sambil memegangi celananya.
* * * sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening LIMA BELAS KESUNYIAN malam dirobek oleh suara derap kaki dua ekor kuda yang berlari cepat
beriringan menuju ke timur. Dua pemuda yang menunggangi binatang itu tak bisa memacu lebih


Wiro Sableng 074 Dendam Di Puncak Singgalang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cepat karena jalan yang
ditempuh hanya merupakan jalan setapak. Kiri kanan jalan ditumbuhi semak belukar
lebat dan gelapnya
malam bukan kepalang.
Tiba-tiba jauh di ujung jalan terdengar suara tiupan saluang yang sesekali
ditimpali suara nyanyian.
Andana memperlambat lari kudanya. Dia berpaling ke belakang pada Pendekar 212
Wiro Sableng. Tak lama
kemudian dalam gelapnya malam Andana dan Wiro menyaksikan satu pemandangan aneh.
(saluang = sejenis
suling berukuran besar)
Di tengah jalan setapak yang hendak mereka lewati tampak seorang kakek duduk
menjelepok di tanah,
asyik meniup saluang. Orang tua mi mengenakan destar dan pakaian serba putih.
"Orang aneh," kata Andana berbisik pada Wiro. Yang diajak bicara anggukkan
kepala sambil memandang tak berkesip pada orang tua yang duduk di tengah jalan itu. Dia tak
dapat jelas melihat wajah si
orang tua. Selain gelap orang tua ini selalu menundukkan kepala.
Orang tua hentikan tiupan saluangnya lalu terdengar dia menyanyi.
Orang Kurai pergi berlayar
Mengarung ombak ke tanah Jawa
Jangan percaya manusia ular
Mulut manis mengandung bisa
Kalau tua menanam Melur
Gali tanah tancap akarnya
Orang pandai kalau tidur
Mata nyalang telinga terbuka
"Nyanyiannya enak juga," kata Wiro. "Coba kau tanyakan mengapa malam-malam
begini dia nongkrong di sini, bernyanyi dan meniup suling. Sepertinya dia sengaja
menghadang jalan kita. Bertanyalah
dengan sopan. Dia bisa saja seorang musuh, bisa pula seorang sahabat."
Andana turun dari kudanya lalu bertanya. "Orang tua di tengah jalan. Maafkan
kami berdua. Kami
hendak lewat, mohon diberi jalan. Suara nyanyianmu bagus. Kami ingin mendengar
lebih lama. Tapi kami ada
urusan di tempat lain. Kalau boleh bertanya mengapa kau justru menyanyi di
tengah jalan dan malam-malam
seperti ini?"
Orang yang ditegur menyahut tidak, angkat kepalapun tidak. Malah dia enak saja
meniup saluangnya
lalu kembali menyanyi.
Keris emas keris pusaka bertuah
Senjata ampuh sakti mandraguna
Kalau mau selamat hidup di dunia
Pasang mata pasang telinga
sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening Pintu hati harap dibuka
Andana jadi terkesiap mendengar bunyi pantun dalam nyanyian orang tua itu yang
menyebut-nyebut
keris emas keris pusaka bertuah. Bagaimanakah tidak karena saat itu dia membekal
keris Tuanku Amen Nan
Sabatang. Senjata warisan Ayahnya yang didapatnya secara gaib di Asahan tempo
hari. " Apakah orang tua ini tahu perihal keris emas yang kubawa?" Tanya Andana dalam
hati. Lalu untuk
kedua kalinya pemuda ini meminta jalan.
Orang tua itu turunkan tangannya yang memegang saluang. Mulutnya terdengar
berucap. "Telinga tua
ini sudah tuli hingga tak mendengar orang meminta jalan." Dengan ujung
saluangnya dia lalu membuat
guratan di tanah, menggaris tanah dari tepi kiri sampai ke tepi kanan. "Dua anak
muda. Kalian minta jalan.
Silahkan lewat..." Lalu orang tua itu menggeser duduknya ke tepi jalan.
"Terima kasih..." kata Andana. Dituntunnya kudanya lalu dia melangkah. Tetapi
begitu kaki kanannya
hendak melewati guratan di tanah tiba-tiba terdengar letusan keras. Dari garis
di tanah meletup keluar
sambaran api dan kapulan asap. Andana terkejut lalu cepat-cepat menarik kakinya
sementara kuda yang
dituntunnya mengangkat kedua kaki depannya ke atas dan meringkik keras. Kuda
yang ditunggangi Wiro juga
ikut meringkik. Pemuda, ini cepat melompat turun menjaga segala kemungkinan.
Orang tua yang duduk di tengah jalan tertawa mengekeh.
Andana yang menjadi jengkel berpaling pada Wiro seolah ingin minta pendapat apa
yang harus dilakukannya. Murid Eyang Sinto Gendeng maju mendekat lalu berucap. "Orang tua,
kami kagum dengan
kepandaianmu menggurat tanah yang bisa mengeluarkan letusan, api dan asap. Tapi
kami lebih kagum lagi dan
sangat berterima kasih kalau kau mau memberi jalan agar aku dan kawanku ini bisa
lewat. Kami tidak
bermaksud mengganggumu, apalagi berlaku kurang ajar..."
"Walalah...! Kalian minta jalan. Sudah kupersilahkan. Soal letusan, api dan asap
tak ada sangkut
pautnya dengan diriku! Mau lewat, lewat saja...!''
Wiro jadi kesal juga mendengar kata-kata orang tua itu. Dipegangnya tali kekang
kudanya lalu dia
menggerakkan kaki kanan melangkahi guratan di tanah. Kaki kanannya lewat. Aman.
Tak ada letusan, tak ada
semburan api dan asap. Wiro berpaling pada Andana. "Aman," katanya sambil
senyum-senyum. Tapi ketika kaki kirinya menyusul melangkah tiba-tiba terdengar suara letusan
keras. Api dan asap
kembali menyembur. Pendekar 212 terlempar ke atas. Selangkangannya terasa panas.
Ketika dia memperhatikan pendekar ini berseru kaget. Selangkangan celananya robek dan
hangus besar hingga auratnya
tersingkap lebar. Cepat-cepat Wiro pergunakan kedua tangannya untuk menutupi
diri. Dari mulutnya tak
tertahankan lagi caci maki.
"Andana, orang tua tak dikenal ini punya maksud yang tak baik pada kita..." Tapi
ucapannya itu terhenti karena dilihatnya Andana setengah mati menahan tawa. Wiro jadi
menggerendeng panjang pendek.
"Orang tua! tindakanmu sungguh keterlaluan. Bagaimana aku akan melanjutkan
perjalanan dalam
keadaan seperti ini?"
Sebagai jawaban orang tua itu tiup saluangnya keras-keras hingga Wiro dan Andana
terpaksa menutup
telinga masing-masing dengan kedua tangan karena suara saluang itu seolah hendak
merobek gendang-gendang telinga mereka. Setelah tertawa panjang orang tua itu kembali
bernyanyi. sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening Lancar jalan karena ditempuh
Lancar kaji karena diulang
Bagaimana tahu tingginya ilmu
Kalau tidak turun ke gelanggang
"Ah, orang tua ini hendak menguji kita rupanya," kata Andana pada Wiro.
"Kurasa begitu," jawab Pendekar 212.
"Kalau begitu kau mintalah sedikit pelajaran padanya!"
"Mengapa aku! Kau saja!" jawab Wiro.
Pendekar 212 garuk-garuk kepala. Lalu dia berpaling pada orang tua itu dan
berkata. "Ilmuku cuma
tinggi sejengkal dalam secupak. Mana saya berani menyombongkan diri di
hadapanmu. Tapi karena saya dan
kawan ini perlu cepat-cepat ke Pagaralam, maka saya tak berani berlaku tidak
sopan selain meminta petunjuk
darimu!" "Ah, ternyata orang Jawa pandai juga berbasa-basi seperti orang Minang!" tibatiba orang tua berdestar putih itu menyahuti.
"Sialan! Jadi dia tahu kalau aku datang dari Jawa," maki Wiro.
Wiro tidak menunggu lebih lama. Dia kerahkan tenaga dalam lalu meniup ke tanah.
Guratan di tanah
serta merta lenyap. Pada saat itu tiba-tiga saluang yang tadi dipegang si orang
tua melayang ke atas,
mengemplang ke arah kepala Wiro. Pendekar ini terpaksa selamatkan kepala dengan
jalan menghindar karena
kalau dia pergunakan kedua tangannya berarti dia tak dapat lagi melindungi
auratnya. Lama-lama Wiro
mengalami kesulitan juga karena serangan saluang itu semakin cepat dan bertubitubi. Akhirnya terpaksa dia
pergunakan kedua tangan untuk menangkis dan balas memukul. Aneh. Setiap dia
berhasil menangkis atau
memukul saluang yang menyerangnya itu, dia bukan merasa membentur sebuah benda
keras, melainkan
seperti mengelus sebuah benda yang terbuat dari kapas lembut. Padahal dia sudah
memperhitungkan sekali
hantam saja saluang yang terbuat dari bambu itu pasti akan hancur berantakan.
Penasaran tak dapat memukul hancur saluang itu Wiro akhirnya pergunakan kedua
tangannya menangkap benda itu. Begitu kedua tangannya memegang saluang tiba-tiba secara
aneh suling yang terbuat
dari bambu itu berubah menjadi sepotong besi panas membara. Hampir Wiro
berteriak kesakitan. Namun
otaknya cepat bekerja. Ilmu seperti itu hanyalah ilmu tipuan belaka jika
seseorang bisa mempercayainya.
Dia kerahkan tenaga dalam lalu berteriak. "Asal bambu kembali kepada bambu!"
Terdengar letusan kecil. Saluang bambu yang tadi tampak membara kembali berubah
ke bentuknya semula. Begitu saluang kembali ke bentuk aslinya, Pendekar 212 segera meniupnya
sambil mengerahkan
tenaga dalam penuh.
Dua ekor kuda meringkik keras. Andana melompat jauh sambil menekap kedua
telinganya. Orang tua
yang duduk menjelepok di tanah berseru tegang, sambil menutupkan kedua tangannya
ke telinga kiri kanan dia
coba kerahkan tenaga dalam. Wiro meniup sekali lagi. Tubuh orang tua itu melesat
ke atas, jungkir balik di
udara. Ketika turun tahu-tahu dia melayang dan hinggap di atas serumpun semak
belukar sambil tertawa
mengekeh. Di tangannya ada sebatang saluang. Ketika Wiro memperhatikan kedua
tangannya astaga. Dia
tidak memegang apa-apa lagi.
sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening "Gila! Bagaimana dan kapan dia merampas suling bambu itu dari tanganku. Aku sama
sekali tidak merasa apa-apa!" Kata Wiro terheran-heran dalam hati.
"Orang tua. Ilmumu tinggi. Aku merasa malu untuk melanjutkan main-main ini..."
"Aku juga tak punya kepandaian apa-apa," kata Andana. "Sekarang kau mau berbaik
hati membiarkan
kami pergi..."
"Orang tua, kami tengah dalam perjalanan ke sebuah tempat yang kabarnya dihuni
oleh peri-peri cantik. Jika sapu tangan ini disapukan ke bagian tubuh mereka, mereka akan
tunduk dan mau menjadi istri kita.
Di samping itu segala ilmu kepandaian mereka yang aneh-aneh akan diberikan pada
kita..." Si orang tua tertawa mengekeh. "Tak dapat kudengar ada tempat yang seperti kau
katakan itu..."
"Kalau kau tak percaya silahkan ikut kami berdua. Saat ini biar kutunjukkan saja
sapu tangan itu
padamu..." Lalu dari saku celananya yang robek Wiro mengeluarkan sehelai sapu
tangan. Dia melangkah
mendekati orang tua di atas semak belukar itu dan memperlihatkan sapu tangan
yang dipegangnya.
"Uh! Hanya sehelai sapu tangan butut! Apa hebatnya?" ujar si orang tua.
"Butut ya memang butut. Tapi coba lihat dulu ini..." kata Wiro puia sambil
mengangsurkan sapu
tangan itu lebih dekat. Tiba-tiba dua jari tangannya meluncur cepat ke arah dada
si orang tua. Saat itu juga
orang tua itu tak dapat lagi bergerak. Sekujur tubuhnya telah kaku ditotok
Pendekar 212. Sadar kalau dirinya
sudah kena ditipu orang kini hanya carut makinya saja yang terdengar memenuhi
malam buta. Wiro Sableng tertawa bergelak.
"Orang tua, aku terpaksa melakukan hal ini!" katanya. Lalu orang tua itu
diturunkannya ke tanah.
"Kurang ajar! Apa yang kau lakukan ini"!" teriak si orang tua ketika Wiro dengan
paksa melepaskan
celana putih yang dipakainya.
"Tenang saja," sahut Wiro seenaknya. "Aku mana mungkin bisa kemana-mana dengan
celana robek melompong begini. Aku pinjam dulu celanamu!"
Kini orang tua itu terbujur di tanah dalam keadaan setengah bugil. Wiro cepat
mengenakan celana
putih milik orang tua itu. "Ah, pinggangnya pas tapi kakinya agak kependekan.
Tak apa dari pada telanjang!"
kata Wiro. Dia melambaikan tangan pada si orang tua. "Selamat tinggal sobatku.
Kalau ketemu lagi pasti
celanamu akan kukembalikan!"
Wiro melompat ke atas kudanya. Andana melakukan hal yang sama. Kedua pemuda ini
lalu menghambur meninggalkan tempat itu.
"Pendekar 212! Kau rasakan nanti pembalasanku!" teriak si orang tua.
Di atas kuda Wiro jadi tersentak kaget.
"Dia menyebut aku Pendekar 212. Tidak satu orangpun di pulau Andalas ini tahu
siapa diriku, apalagi
gelarku. Aneh! Jangan-jangan dia seorang yang kukenal." Memikir sampai kesitu
Wiro putar kudanya.
"Hai! Kau mau kemana Wiro?" tanya Andana.
"Kau tunggu sebentar di sini. Saya segera kembali!" sahut Wiro lalu membedal
kudanya ke tempat
tadi dia meninggalkan orang tua itu di pinggir jalan dalam keadaan setengah
telanjang. Tetapi sampai di tempat
itu, si orang tua tak ada lagi di situ!
"Orang tua aneh. Siapa dia sebenarnya?" Tanya Wiro dalam hati sambil garuk-garuk
kepala. sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening ENAM BELAS MALAM itu sulit bagi Andana untuk memicingkan mata. Wiro sahabatnya itu tak mau
bermalam di rumah gadang. Kalau dia ada di situ paling tidak waktunya bisa dihabiskan dengan


Wiro Sableng 074 Dendam Di Puncak Singgalang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bercakap-cakap bertukar
pengalaman. Ingatannya sesaat kembali pada pertemuannya dengan orang tua aneh
yang ditelanjangi Wiro.
Dia tak dapat menyalahkan sahabatnya itu. Karena tak mungkin bagi Wiro
melanjutkan perjalanan dalam
keadaan setengah telanjang. Dia tak dapat membayangkan keadaan si orang tua
sendiri yang ditinggalkan
kemudian lenyap dalam keadaan bertelanjang seperti itu. Kemudian ingatan pemuda
ini sampai pada Halidah,
gadis anak gurunya, Datuk Alis Merah di Asahan. Bayangan wajah Halidah pupus
dengan kemunculan
bayangan wajah Bunga. Dia seperti coba membanding-bandingkan Halidah dengan
Bunga. Sukar baginya
untuk mencari kelebihan masing-masing. Seolah-olah dua gadis itu seperti
sepasang rembulan yang sama
indahnya atau sepasang berlian yang sama bercahaya.
Dari bawah bantal Andana mengeluarkan dua buah benda. Yang pertama adalah keris
Tuanku Ameh Nan Sabatang yang terbuat dari emas. Dielus-elusnya senjata itu. Hal ini membuat
hatinya tenteram.
Terbayang kembali olehnya kejadian di dekat air terjun di Asahan itu. Ketika
Ayahnya secara aneh muncul
memperlihatkan diri padahal jelas sang Ayah telah tewas beberapa saat
sebelumnya. Benda kedua adalah sebilah pisau tanpa sarung yang gagangnya ada ukiran
tengkorak manusia. Sesaat
ditimang-timangnya pisau itu. Senjata inilah yang telah menghabisi nyawa Udin
Burik. Satu-satunya orang
yang sampai saat itu mengetahui siapa orang yang telah memfitnahnya hingga dia
dijebloskan dalam penjara.
Pisau dan keris kemudian dimasukkannya kembali ke bawah bantal. Andana
mengeluarkan sehelai selendang
putih, selendang pemberian Halidah ketika dia hendak meninggalkan Asahan.
Diletakkannya selendang itu di
dada. Diciumnya beberapa kali. Dia menelentang dan coba memejamkan mata. Entah
timbul firasat apa
Andana kemudian mengambil keris Tuanku Ameh Nan Sabatang dari bawah bantal lalu
menyisipkannya di
balik pinggang celana di atas perutnya. Sebelum tertidur pemuda ini masih sempat
memikirkan apa sebabnya
Pamannya Datuk Gampo Alam sengaja mengadakan pesta besar besok sebagai
penyambutan kembalinya
dirinya. Dia merasa hal itu tak perlu diada-adakan. Perlahan-lahan pemuda ini
akhirnya tertidur juga.
Di luar rumah gadang udara malam terasa dingin. Suasana sunyi senyap sesekali
diusik oleh suara
hembusan angin serta gemerisik daun-daun pepohonan. Rumah gadang tampak berdiri
kokoh dalam kegelapan
malam. Satu-satunya cahaya terang adalah cahaya yang datang dari lampu minyak
yang terletak di bagian
pertengahan rumah.
Sekali lagi angin bertiup agak keras. Pada saat itu dari arah selatan berkelebat
cepat dua sosok orang
berpakaian hitam. Salah seorang dari mereka membawa kurungan kawat. Dengan
cepat-cepat mereka
mendekati rumah gadang. Lalu dengan gerakan-gerakan luar biasa mereka naik ke
sebuah pohon besar yang
salah satu cabangnya menjuntai di atas gonjong terendah atap rumah gadang. Tanpa
mengeluarkan suara
sedikitpun kedua orang itu berjalan di atas cabang pohon tadi lalu turun ke
gonjong rumah gadang. Di salah
satu bagian atap orang di sebelah depan berhenti sesaat, berpaling pada kawannya
lalu menunjuk pada atap
yang dipijaknya. Kawannya yang membawa kurungan kawat mengangguk. Kurungan kawat
itu ternyata berisi
seekor ular hijau dari jenis yang sangat berbisa dengan panjang hampir tujuh
kaki. Ekor binatang ini diikat
sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening dengan seutas tali sepanjang sepuluh kaki. Dengan hati-hati kurungan diletakkan
di atas atap rumah gadang
yang terbuat dari ijuk. Lalu orang di sebelah depan mengeluarkan sebilah pisau
yang sangat tajam. Dengan
cekatan dan tanpa suara dia mulai merobek ijuk atap, membuat sebuah lobang.
"Cukup. Coba kau Intai dulu..." kata orang yang membawa kurungan ular. Kawannya
menyibakkan ijuk atap yang sudah terpotong dan membentuk sebuah lobang sebesar lingkaran
paha. Dia mengintai ke
bawah. Dari lobang itu dia dapat melihat tempat tidur serta sosok tubuh Andana
yang tengah terbaring miring
dalam keadaan pulas.
"Tepat benar di atas tempat tidurnya," bisik lelaki yang membuat lobang di atap.
"Coba kulihat" kata kawannya yang membawa ular. Dia mengintip dan tampak puas.
"Kita bisa segera
mulai." Lalu dia menggeser kurungan kawat ke atas lobang. Dia memberi isyarat
agar temannya memegang
ujung tali pengikat ekor ular berbisa itu. Lalu dengan hati-hati dia menggeser
alas kurungan kawat. Dengan
sepotong lidi ular di dalam kurungan ditusuk-tusuknya. Binatang ini membuka
mulut dan mendesis marah.
Karena ditusuk terus menerus ular ini jadi bergerak, berusaha mencari jalan
keluar. Satu-satunya jalan keluar
ialah lewat alas kurungan yang telah terbuka terus ke dalam lobang di atap
rumah. Setelah meliuk-liukkan
badannya beberapa kali binatang ini akhirnya meloloskan diri ke dalam lubang,
meluncur turun ke bawah.
Namun gerakannya tak bisa semaunya karena ikatan tali yang kukuh pada ekornya
mengendalikan dirinya.
Sedikit demi sedikit orang di atas atap mengulur tali yang dipegangnya hingga
ular hijau itu meluncur
turun semakin jauh ke bawah. Binatang ini membuka mulutnya lebar-lebar begitu
mencium bau tubuh manusia
di bawahnya. Taring dan deretan gigi-giginya kelihatan mengerikan. Lidah dan
mulutnya yang penuh bisa
bergerak-gerak siap mematuk.
Ketika binatang itu hendak mematuk leher Andana dari ketinggian dua jengkal,
kedua mata pemuda
ini terbuka. Sesaat dia mengira bermimpi melihat kepala ular dekat sekali di
depannya. Ketika dia mendengar
suara mendesis secepat kilat Andana menggulingkan diri ke samping. Patukan ular
datang. Tapi hanya
mengenai bantal. Ular berbisa ini meliukkan badannya. Kepalanya mengejar ke arah
Andana. Saat itu pula satu
sinar kuning berkelebat dalam kamar.
Craaasss! Kepala ular berbisa itu terpisah dari badannya. Kepala yang putus tercampak di
atas tempat tidur
sedang tubuhnya yang menggelantung bergelung-gelung kian kemari, meneteskan
darah dengan deras.
Andana berlutut pucat di atas permadani. Dalam hatinya dia mengucap. "Terima
kasih Tuhan. Untuk
kesekian kalinya Kau masih melindungi Hamba-Mu ini."
Dua orang di atas atap tahu kalau rencana keji mereka hendak membunuh Andana
dengan ular berbisa
itu gagal, yang satu segera melepaskan ujung tali yang dipegangnya. Akibatnya
tubuh ular itu jatuh berdebam
di atas tempat tidur. Bersama kawannya dia segera berkelebat pergi. Suara
langkah-langkah kaki mereka kali
ini sempat terdengar oleh Andana. Dia segera bangkit berdiri dan lari ke
jendela. Dari sini dia akan melompat
ke bawah lalu menunggu orang-orang itu di bawah. Namun saat itu pintu kamar
terdengar diketuk orang
keras-keras. Lalu terdengar suara Datuk Gampo Alam.
"Andana! Lekas buka pintu! Ada apa di dalam sana! Aku mendengar suara ributribut!" Andana cepat menyarungkan keris Tuanku Amen Nan Sabatang lalu menyembunyikannya
di bawah sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening bantal. Begitu pintu dibuka Datuk Gampo Alam menghambur masuk membawa sebuah
lampu minyak. Ternyata dia tidak sendirian. Dia diikuti oleh dua orang istrinya, salah satu
diantaranya adalah Rukiah. Di
belakang mereka menyusul tiga orang lelaki pembantu merangkap pengawal di rumah
gadang itu. Cahaya lampu yang dibawa Datuk Gampo Alam cukup terang menyinari seluruh kamar.
Ketika melihat apa yang menggeletak di atas tempat tidur serta darah yang berpercikan
di mana-mana, Datuk Gampo
Alam berseru kaget. Kedua istrinya menjerit keras. Semua orang kecuali Andana
mundur ke pintu.
Datuk Gampo Alam berpaling. Matanya membeliak dan lehernya disentakkan.
"Kalian!" bentaknya
pada kedua istrinya. "Mengapa ikut-ikutan masuk ke sini?"
"Kami... kami takut Datuk...'' jawab Rukiah.
"Setan! Keluar dari kamar ini! Cepat!"
Kedua orang perempuan itu segera meninggalkan kamar. Kini Datuk Gampo Alam
memelototi ke tiga
pembantunya. "Kalian setan semua! Apa saja kerja kalian di sini hingga kamar
kemenakanku kemasukan
ular!" "Bukan kemasukan ular Mamak," kata Andana. "Tapi ada orang yang sengaja
memasukkan ular lewat
atap sana. Sengaja hendak membunuh saya!"
Datuk Gampo Alam mendongak ke atas ke arah yang ditunjuk Andana.
"Setan kurang ajar! Berani-beraninya! Siapa pula yang punya pekerjaan ini! Akan
kupatahkan batang
lehernya!" lalu pada ke tiga pembantunya Datuk Gampo Alam membentak marah,
menyuruh mereka keluar
semua. Andana menarik nafas dalam. Kamar itu terasa sesak. Dibukanya daun jendela. Di
luar serba gelap.
Pohon-pohon tampak seperti hantu berbaris. Diam-diam Andana ingat pada nyanyian
orang tua aneh yang
ditemuinya di tengah jalan.
Orang pandai kalau tidur, Mata nyalang telinga terbuKa
Andana mengusap wajahnya yang keringatan dua kali. "Rupanya orang tua itu sudah
tahu apa yang akan terjadi terhadap diriku. Dia berusaha memberi tahu. Tetapi mengapa tidak
terus terang. Manusia aneh!"
Ketika dua orang di atas atap meniti cabang pohon lalu turun ke tanah dan
melarikan diri dalam gelap,
salah satu diantara mereka menoleh ke belakang.
"Celaka Somat, ada orang mengejar kita!"
Kawan yang di sebelah depan menoleh. "Kita harus memencar Rojali! Siapkan pisau
beracunmu! Kalau kita sampai tertangkap kau sudah tahu apa yang harus kita lakukan!"
Laki-laki bernama Somat menghambur ke kiri lenyap di balik semak belukar dan
gelapnya malam.
Yang bernama Rojali melompat ke kanan. Namun orang yang mengejarnya ternyata
lebih cepat. Sebelum dia
lari lebih jauh tahu-tahu lehernya sudah dicekal orang dan tubuhnya diangkat
tinggi-tinggi. Sambil
meronta-ronta Rojali tendangkan kakinya ke arah orang yang mebembengnya seperti
seekor kucing. Namun
dia tak mampu menendang orang itu. Dia mencabut pisau beracun yang ada di
pinggangnya. Dengan kalap dia
membabatkan pisau itu ke belakang. Tetap saja dia tak berhasil mengenai orang
itu. Malah tiba-tiba tubuhnya
terasa diangkat lebih tinggi lalu dilemparkan ke arah sebatang pohon besar.
Kepala Rojali menghantam batang
pohon lebih dulu. Tubuhnya jatuh bergedebukan ke tanah. Orang yang
melemparkannya cepat mendatangi dan
sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening memeriksa. Orang ini garuk-garuk kepala. "Sialan! Terlalu keras aku melemparkannya.
Kepalanya rengkah!"
Wiro memandang berkeliling. Di tanah dalam gelap dilihatnya menggeletak pisau
yang tadi dipergunakan orang itu untuk menyerangnya. Dipungutnya senjata ini. Dari warna
pisau jelas senjata itu
dilapisi racun jahat. Pendekar 212 Wiro Sableng memperhatikan gagang pisau itu.
Ada ukiran tengkoraknya.
"Pisau ini sama bentuknya dengan pisau yang diperlihatkan Andana. Berarti
pelakunya berasal dari komplotan
yang sama. Dan setiap komplotan orang-orang jahat pasti ada dalangnya!"
Tiba-tiba satu banyangan berkelebat. Orang ini langsung menghantam ke arah
Pendekar 212. Terlambat saja Wiro mengelak pasti lehernya patah dihajar pukulan tepi telapak
tangan. Serangan yang lolos
itu menghantam sebatang pohon yang batangnya sebesar paha. Tak ampun lagi pohon
ini patah dan tumbang.
"Penyerang gelap keparat!" Maki Wiro orang ini kembali menyerbunya dari samping
dengan cepat Wiro menangkis. Dua lengan beradu keras. Keduanya sama-sama terpental dan jatuh
duduk di tanah. Wiro
melompat lebih dulu. Kaki kanannya melesat mengirimkan tendangan. Hampir
tendangannya akan menemui
sasaran, orang yang terduduk di tanah tiba-tiba berteriak.
"Tahan! Wiro ini aku Andana!"
Pendekar 212 berseru kaget. "Walah! Apa-apaan ini."
Dengan cepat dia melompat tinggi ke atas hingga tendangannya lewat di atas
kepala orang. "Kukira kau siapa membokongku secara gelap!" kata Wiro. "Untung pisau beracun
ini tak sampai melukai dirimu!"
"Kau sendiri kukira orang yang hendak membunuhku dengan ular itu..." kata
Andana. Pemuda ini lalu
menuturkan apa yang barusan dialaminya di rumah gadang. "Aku tak senang hati
kalau tak dapat menyingkap
tabir perbuatan keji ini. Itu sebabnya setelah Datuk Gampo Alam masuk ke
kamarnya aku turun ke bawah dan
menyelidiki. Kebetulan kulihat kau. Kukira kau salah seorang dari manusiamanusia keparat itu..."
"Aku sendiri kebetulan lewat karena merasa tak enak seolah ada firasat sesuatu
akan terjadi di rumah
gadang. Ketika aku sampai di ujung halaman kulihat ada dua orang turun dari atas
pohon lalu lari ke arah
timur. Aku segera mengejar mereka. Di tengah jalan mereka menyebar. Aku


Wiro Sableng 074 Dendam Di Puncak Singgalang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengikuti yang kabur ke kanan.
Aku berhasil menangkapnya tapi tindakanku terlalu keras. Orang itu pecah
kepalanya ketika kubantingkan ke
pohon!" "Coba kulihat pisau itu," kata Andana seraya mengulurkan tangannya meminta pisau
yang dipegang Wiro. Ketika melihat gagang yang ada ukiran tengkoraknya Andana berkata. "Pisau
ini sama dengan pisau
yang membunuh Udin Burik. Berarti komplotan yang sama juga yang hendak
membunuhku!"
"Kelihatannya memang begitu, Andana. Kau harus lebih berhati-hati..."
"Itu sebabnya aku mengajakmu bermalam bersama di rumah gadang. Paling tidak kita
bisa saling berjaga-jaga..."
"Aku mau saja. Tapi Mamakmu itu rasa rasanya tidak senang padaku..."
"Jangankan padamu. Padakupun dia tidak suka. Ada sesuatu yang membuat dia
bersikap manis..."
"Ah, jangan kau terlalu curiga padanya, kalau dia tidak senang padamu masakan
dia mau membuat
selamatan besar menyambut kepulanganmu..."
sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening "Justru ini yang jadi kecurigaanku Wiro."
"Sudahlah. Malam ini kukira kau harus tidur nyenyak. Besok kau akan jadi bintang
perhelatan besar.
Kalau aku jadi kau aku akan minta pada Pamanmu itu sekaligus saja membuat pesta
pernikahanku dengan
Bunga!" "Kau bisa saja. Kau tak mau menemaniku ke rumah gadang?"
"Terima kasih. Besok saja aku hadir di pestamu. Pasti banyak gadis-gadis cantik
yang hadir. Pasti aku
akan puas mencuci mata."
Ketika Wiro hendak berlalu Andana bertanya. "Eh, kau menginap di mana sahabat?"
"Di surau," jawab Wiro. "Aku hanya mengikuti adat orang di sini. Kalau sudah
dewasa dan belum
kawin harus tidur di surau..."
Andana tertawa. Ditepuknya bahu sahabatnya itu lalu keduanya berpisah. Ketika
Andana kembali ke
kamarnya di rumah gadang, pemuda ini terkejut. Didapatinya keris Tuanku Ameh Nan
Sabatang serta pisau
yang gagangnya berukiran tengkorak lenyap dari bawah bantal. Berarti ada orang
yang masuk dan mengambil
kedua benda itu selagi dia turun ke bawah tadi.
"Kurasa aku sudah mengambil keputusan yang salah menginap di rumah gadang ini!"
Kata Andana dalam hati. Tiba-tiba dia mendengar suara orang berlari menaiki tangga rumah.
Andana cepat keluar. Yang
muncul ternyata adalah Datuk Gampo Alam. Orang ini kelihatan turun naik dadanya.
"Ada apa Mamak" Dari mana Mamak barusan?" bertanya Andana.
Aku masuk ke kamar dengan perasaan was-was. Lalu aku keluar. Saat itu aku
melihat seseorang
menyelinap keluar dari kamarmu. Aku tak bisa melihat wajahnya karena ditutup
dengan kain hitam. Aku
membentak dan mengejarnya. Ternyata orang ini memiliki ilmu lari yang hebat. Aku
tak sanggup mengejarnya. Aku kembali dengan sia-sia. Kujenguk ke kamar ternyata kaupun tidak
ada. Ada barang-barangmu yang hilang?"
"Tidak ada. Saya memang tidak punya barang yang berharga," jawab Andana
berdusta. "Kalau begitu tidurlah kembali. Periksa semua jendela apakah sudah terkunci.
Besok pagi kau akan
jadi raja kecil dalam pesta besar itu."
Andana mengangguk lalu masuk ke dalam kamarnya. Tapi bagaimana mungkin dia bisa
tidur di kamar yang tilamnya penuh darah serta bangkai ular berbisa itu" Pemuda ini akhirnya
keluar dari kamar dan tidur di
ruang tengah rumah gadang. Hampir matanya terpicing tiba-tiba dia merasa lantai
papan rumah gadang
bergerak-gerak dan telinganya mendengar langkah-langkah kaki mendekati. Andana
bersiap-siap. Begitu
orang itu sampai dihadapannya Andana melompat bangkit siap untuk menggebuk.
Tetapi ketika menyadari
siapa yang tegak di depannya pemuda ini cepat menarik pulang pukulannya.
"Ibu.... saya kira siapa..." kata Andana seraya menurunkan tangannya!
"Walau saya istri Mamakmu, jangan panggil saya Ibu..." kata perempuan di hadapan
Andana. "Kau
tak apa-apa?"
"Tidak Ibu... tidak. Saya baik-baik saja."
"Banyak keanehan di rumah gadang ini. Manusianya, suasananya! Terus terang saja
saya sudah tidak
betah tinggal di sini."
sumber buku by Pendekar212 sumber cover by kelapalima scan by kiageng80 ebook by
kalibening "Ibu..."
"Panggil saya Rukiah..."
"Malam sudah larut. Kalau Datuk melihat kau berada di sini dia bisa salah
sangka. Sebaiknya kau
masuk ke dalam kamar kembali."
Rukiah, istri paling muda Datuk Gampo Alam yang baru berusia 19 tahun itu
menggeleng. "Saya
sengaja keluar untuk memberi tahu bahwa kau tak pantas tidur di ruangan ini.
Pakailah kamar saya."
"Terima kasih. Saya tidak bisa melakukan hal itu. Saya lebih suka tidur di
sini..." Rukiah memegang lengan pemuda itu. Jari-jari tanggannya yang halus terasa
hangat. Sesaat Andana
merasakan tubuhnya bergetar. Mendadak muncul bayangan Halidah di depannya. Lalu
bayangan Bunga.
"Kau sungguh tak mau masuk ke kamar saya?" tanya Rukiah.
"Terima kasih. Biar saya tidur di sini saja..."
"Baik kalau begitu. Besok pagi-pagi sekali akan saya suruh orang membersihkan
kamarmu..."
Andana hanya bisa mengangguk. Perempuan muda itu tersenyum dan masih berharap
Andana akan mau menerima ajakannya masuk ke dalam kamar. Namun dari sinar mata si pemuda
Rukiah maklum kalau
Andana tak mudah untuk ditundukkan. Perlahan-lahan Rukiah memutar tubuhnya lalu
masuk kembali ke
dalam kamarnya.
Andana menghela nafas dalam. Lalu dibaringkannya kembali tubuhnya di tempat
semula. Lama sekali
baru dia bisa memicingkan mata. Andana tak tahu berapa lama dia tertidur. Pemuda
ini terbangun ketika di
kejauhan terdengar suara kokok ayam bersahut-sahutan. Lalu dari arah selatan
terdengar suara orang azan
tanda saat sembahyang Subuh sudah datang. Andana segera bangun lalu turun ke
bawah. Agak bergegas dia
melangkah menuju surau. Bukan saja untuk melakukan sholat Subuh di sana tetapi
juga ingin menemui
sahabatnya Wiro guna menceritakan apa yang telah terjadi.
Selesai sembahyang Subuh kedua pemuda itu duduk di tangga surau. Kesempatan ini
dipergunakan Andana untuk menceritakan hilangnya keris Tuanku Amen Nan Sabatang serta pisau
berhulu kepala tengkorak
itu. "Nasib buruk masih saja mengikutimu sahabatku," kata Wiro. "Saya pasti
membantumu untuk
mencari dan mendapatkan keris bertuah itu kembali. Mengenai pisau dengan gagang
yang ada ukiran kepala
tengkoraknya itu kau tak usah khawatir. Kita masih ada satu lagi." Lalu Wiro
mengeluarkan pisau milik orang
yang hendak membunuh sahabatnya itu dengan ular berbisa.
"Sebentar lagi pagi akan tiba. Perhelatan besar akan berjalan dengan segala
kemeriahannya." Wiro
lalu berdiri di hadapan Andana. "Menurutmu apakah pantas aku hadir dengan baju
kusut dekil serta celana
kekecilan dan cekak kedua kakinya ini" Kau bayangkan bagaimana nanti gadis-gadis
cantik akan memandangku dengan perasaan geli. Bisa-bisa mereka mengira aku ini pemuda asing
yang kurang waras!"
Andana tertawa lebar "Jangan takut sahabatku. Aku akan menyuruh orang
mengantarkan seperangkat
pakaian bagus lengkap dengan saluaknya untukmu."
"Terima kasih. Terima kasih sahabatku..." kata Wiro dengan perasaan gembira.
TAMAT Raja Silat 13 Dewa Linglung 8 Pertarungan Dua Naga Penjara Terkutuk 2

Cari Blog Ini